solo
DESCRIPTION
Taksanomi bloom & soloTRANSCRIPT
1
Mengukur Kualitas Pembelajaran Matematika
Dengan Gabungan Taksonomi Bloom dan SOLO
Drs. Khamim Thohari, MEd.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesulitan yang sering dialami oleh praktisi pendidikan khususnya pendidikan
matematika dalam mempersiapkan pembelajaran adalah merumuskan tujuan
pembelajaran baik yang ada dalam silabus maupun rencana perktik pembelajaran (RPP).
Untuk keperluan tersebut beberapa pakar mengklasifikasikan tujuan-tujuan pembelajaran
dalam suatu model yang disebut taksonomi. Taksonomi berguna sebagai alat untuk
menjamin ketelitian dalam komunikasi berkenaan dengan pengorganisasian dan
interrelasi, dalam hal ini taksonomi tujuan pendidikan (Bloom et. al, 1979; Tjokrodihardjo,
2001). Beberapa model taksonomi tujuan pendidikan diantaranya adalah, Taksonomi
Bloom, Taksonomi Bloom Berdimensi Dua (Anderson, et al., 2001), dan Taksonomi
SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) (Biggs & Collis, 1982).
Bloom, Engelhart, Furst, Hill, dan Krathwohl mengklasifikasi tujuan pendidikan
pada ranah kognitif menjadi enam kategori, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi
(evaluation) (Bloom et. al., 1979; Arikunto, 2002; Winkel, 1996). Taksonomi ini sering
disebut dengan taksonomi Bloom dan menjadi satu-satunya model taksonomi tujuan
pembelajaran yang digunakan sebagai acuan mengembangkan tujuan kurikulum dalam
sistem pendidikan di Indonesia.
Selain taksonomi Bloom, terdapat model taksonomi tujuan pembelajaran lain,
seperti Taksonomi SOLO. Biggs dan Collis pada tahun 1982 mengembang-kan model
taksonomi tujuan pembelajaran yang kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO.
Taksonomi SOLO mengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda
dan bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural (pre-structural), level 1: unistruktural
(uni-structural), level 2: multistruktural (multy-structural), level 3: relasional (relational),
dan level 4: extended abstract (Biggs dan Collis, 1982). Selanjutnya taksonomi SOLO ini
dikembangkan oleh Hartanto (2006) menjadi taksonomi SOLO Plus (TSP) yang levelnya
2
menjadi 7 level yaitu, prastruktural, unistruktural, multistruktural, semirelasional,
relasional, abstrak, dan extended abstract.
Berdasarkan uraian di atas, perbedaan model-model taksonomi tujuan
pembelajaran tersebut dilandasi oleh cara pandang berbeda dalam melihat tujuan
pendidikan. Biggs dan Collis (1982) mendesain taksonomi SOLO sebagai suatu alat
evaluasi tentang kualitas respons siswa terhadap suatu tugas. Taksonomi yang digunakan
untuk mengukur kemampaun siswa dalam merespon (baca: menjawab) suatu masalah
dengan cara membandingkan jawaban benar optimal dengan jawaban yang diberikan
siswa. Taksonomi SOLO digunakan untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap
suatu masalah berdasar pada kompleksitas pemahaman atau jawaban siswa terhadap
masalah yang diberikan.
Taksonomi Bloom digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa
berdasar pada proses kognitif siswa dalam memahami suatu masalah. Pencapaian hasil
belajar siswa diukur berdasar pada kemampuan siswa menjawab masalah (instrumen
evaluasi) yang sesuai proses kognitif yang akan diukur. Seorang siswa dipandang telah
mencapai proses kognitif yang diinginkan apabila telah menjawab dengan benar masalah
matematika yang sesuai dengan proses kognitif tersebut. Taksonomi Bloom sering
digunakan guru untuk menentukan hasil belajar yang diinginkan, menentukan proses
pembelajaran yang akan dilakukan, dan menentukan alat evaluasi yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Anderson et. al., 2001).
Taksonomi Bloom berperan dalam menentukan tujuan pembelajaran, kemudian
dari tujuan tersebut dapat disusun alat evaluasi (masalah) yang sesuai dengan tujuan
tersebut. Sedangkan taksonomi SOLO berperan menentukan kualitas respon siswa
terhadap masalah tersebut. Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai alat
menentukan kualitas jawaban siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh dari hasil
jawaban siswa, selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian proses kognitif yang
ingin diukur oleh alat evaluasi tersebut. Berdasarkan peran yang berbeda ini, kedua model
taksonomi seharusnya digunakan bersama-sama sebagai alternatif sistem evaluasi yang
saling melengkapi. Selanjutnya dapat dibuat sistem taksonomi baru dua dimensi. Dimensi
pertama adalah ”masalah matematika” yang didesain berdasar taksonomi Bloom,
sedangkan dimensi kedua adalah ”kualitas respon terhadap masalah” berdasar pada
taksonomi SOLO.
3
Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan mendeskripsikan, bagaimana
karakteristik kemampuan respon siswa dipandang dari taksonomi SOLO terhadap
masalah matematika disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang mengacu pada
taksonomi Bloom? Matriks berikut dapat menggambarkan model taksonomi dua dimensi
Bloom dan SOLO.
Tabel 1: Penggabungan Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO
Prastruktural Unistruktural Multistruktural Relasional Extended
Abstract
Pengetahuan C1-S0 C1-S1 C1-S2 C1-S3 C1-S4
Pemahaman C2-S0 C2-S1 C2-S2 C2-S3 C2-S4
Aplikasi C3-S0 C3-S1 C3-S2 C3-S3 C3-S4
Analisis C4-S0 C4-S1 C4-S2 C4-S3 C4-S4
Sintesis C5-S0 C5-S1 C5-S2 C5-S3 C5-S4
Evaluasi C6-S0 C6-S1 C6-S2 C6-S3 C6-S4
Keterangan,
Ci : Masalah matematika yang mengukur kemampuan kognitif level ke-i, i = 1, 2, ... ,6
Sj : Respon siswa pada level SOLO ke-j, j = 0, 1, ... ,4
Ci-Sj: Karakteristik respon siswa pada setiap level SOLO ke-j terhadap masalah
matematika yang mengukur kemampuan kognitif ke-i.
Karya tulis yang berjudul ”PENGGUNAAN TAKSONOMI BLOOM DAN SOLO
UNTUK MENGUKUR KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA” ini
merupakan pemikiran awal untuk mengembangkan sebuah teori baru model taksonomi
dua dimensi yang menggabungkan taksonomi Bloom dan taksonomi SOLO.
C. Identifikasi Masalah
Dari kajian diatas penulis mengidentifikasi masalah dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini sebagai berikut:
1. Pendidik dan praktisi pendidikan masih sulit merumuskan tujuan pembelajaran
dengan benar, yang berakibat pada biasnya obyektifitas penentuan hasil belajar.
2. Pendidik dan praktisi pendidikan lebih banyak menggunakan Taksonomi Bloom,
namum masih banyak menemui kesulitan karena biasnya klasifikasi yang bersifat
herarkis
4
3. Pendidik dan praktisi pendidikan masih belum mampu menggunakan gabungan
model Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO menjadi satu model taksonomi
baru berdimensi dua untuk menentukan kualitas pembelajaran
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana menggunakan
gabungan model Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO menjadi satu model taksonomi
baru taksonomi berdimensi dua untuk menentukan kualitas pembelajaran?
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Pengembangan Ilmu: Sebagai rujukan untuk pengembangan model taksonomi
berdimensi dua yang bermanfaat dalam menentukan kualitas pembelajaran.
2. Praktisi: Penulis berharap agar penggunaan taksonomi SOLO dan Bloom secara
sinergis dapat digunakan oleh para praktisi pendidikan untuk menentukan kualitas
pembelajaran.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Taksonomi Pengetahuan
Taksonomi adalah suatu klasifikasi khusus, yang berdasar data penelitian ilmiah
mengenai hal-hal yang digolong-golongkan dalam sistematika tertentu (Winkel, 1996:
244; Anderson, et al., 2001). Salah satu klasifikasi khusus yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah klasifikasi tujuan-tujuan pembelajaran. Tujuan (objective) pembelajaran
menunjukkan apa yang harus dicapai siswa sebagai hasil belajar, yang dituangkan dalam
“rumusan eksplisit untuk mengubah performa siswa melalui proses pendidikan”. Tujuan
ini sangat penting dalam pembelajaran, sebab pembelajaran merupakan suatu tindakan
yang disengaja dan beralasan (Widada, 2003). Tujuan-tujuan pembelajaran ini dapat
diklasifikasikan dalam suatu taksonomi, seperti Taksonomi Bloom berdimensi dua
(Anderson,et al., 2001), Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes)
(Biggs & Collis, 1982).
Menurut Anderson, et al. (2001) suatu pernyataan tentang tujuan pembelajaran
memuat kata kerja dan kata benda. Kata kerja secara umum dideskripsikan sebagai suatu
perubahan perilaku yang diharapkan dalam proses kognitif sebagai dampak dari suatu
proses pembelajaran. Sedangkan kata benda secara umum dideskripsikan sebagai
pengetahuan siswa yang diharap dapat dikonstruknya. Untuk itu, Taksonomi Bloom yang
direvisi adalah Taksonomi Bloom Berdimensi Dua. Dua dimensi tersebut adalah dimensi
proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Dimensi proses kognitif memuat enam kategori
yaitu, ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan menciptakan. Kontinuitas
dimensi proses kognitif diasumsikan berdasarkan kompleksitas kognitif; yaitu,
pemahaman lebih kompleks secara kognitif dari ingatan, dan seterusnya. Dimensi
pengetahuan memuat empat kategori, yaitu pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual,
pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Kategori ini ditempatkan
berdasarkan asumsi bahwa proses kognitif bermula dari konkret (faktual) ke abstrak
(metakognitif).
6
B. Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom yang dimaksud dalam penelitian ini adalah katego-risasi atau
klasifikasi tujuan pendidikan pada ranah kognitif. Kategorisasi ini disusun secara
hierarkis, sehingga menjadi tingkatan yang semakin kompleks. Bloom mengklasifikasikan
ranah kognitif menjadi enam kategori, pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehension), penerapan (appli-cation), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan
evaluasi (evaluation).
Pengetahuan
Pengetahuan adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan,
definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, dan prinsip dasar (Wikipedia).
Pengetahuan adalah kemampuan memberi bukti bahwa siswa tidak lupa, baik dengan
mengingat kembali maupun dengan mengenali lagi beberapa gagasan atau fenomena,
karena telah memiliki pengalaman dalam proses pendidikan. Pengetahuan didefinisikan
sebagai kemampuan sedikit lebih dari sekedar menghafal gagasan atau fenomena dalam
bentuk yang sangat menyamai aslinya. Pengetahuan tentang sesuatu dari yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks, seperti pengetahuan tentang fakta, istilah, urutan,
klasifikasi, kriteria, dan metodologi (Tjokrodihardjo, 2001; Bloom, 1979).
Pengetahuan meliputi ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan
dalam ingatan. Hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip serta metode yang
diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, dipanggil kembali pada saat
dibutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).
Misalnya, dalam bentuk rumusan tujuan pembelajaran khusus adalah seperti berikut, siswa
dapat menuliskan definisi lingkaran (Winkel, 1996).
Anderson (2001) menggunakan istilah “mengingat (remember)” sebagai konsep
yang sepadan dengan “pengetahuan (knowledge)”. Mengingat adalah kemampuan
memperoleh kembali pengetahuan yang releven dari memori jangka panjang. Dua kata
yang sepadan dengan kata “mengingat” adalah kata recognizing dan recalling.
Recognizing adalah kemampuan menemukan informasi di memori jangka panjang yang
relevan dengan informasi tersaji, sedangkan recalling adalah kemampuan untuk
memanggil kembali informasi di memori jangka panjang dalam merespon masalah.
Demikian juga, Winkel (1996: 245) menyatakan bahwa pengetahuan yang disimpan dalam
ingatan digali pada saat dubutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal
kembali (recognition).
7
Dalam penelitian ini, yang dimaksud pengetahuan adalah kemampuan
memperoleh kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang sesuai
dengan informasi tersaji, baik berupa fakta, konsep, prinsip, struktur, prosedur, klasifikasi,
maupun kategori. Contoh dalam topik bahasan “dimenasi tiga” adalah kemampuan siswa
menuliskan kembali definisi dua garis bersilangan dalam ruang.
Pemahaman
Pemahaman adalah kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran,
laporan, tabel, diagram, arahan, dan peraturan (Wikipedia). Sedangkan menurut Winkel
(1996:246 ), pemahaman adalah kemampuan menangkap makna dan arti dari bahan yang
dipelajari. Adanya kemampuan ini dapat dilihat dalam bentuk, kemampuan menguaraikan
isi pokok dari suatu bahasan, kamampuan mengubah suatu data yang disajikan dalam
bentuk tertentu ke bentuk yang lain, seperti rumusan matematika dalam bentuk kata-kata.
Bloom (1979) menyatakan bahwa, seorang siswa dikatakan memiliki pemahaman,
apabila dihadapkan pada sesuatu yang harus dikomunikasikan maka dia diperkirakan
mengetahui apa yang harus dikomunikasikan dan dapat menggunakan ide yang termuat di
dalamnya. Mengkomunikasikan ide tersebut dapat bentuk lisan maupun dalam bentuk
tulisan atau dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk simbol. Secara lebih singkat,
pemahaman adalah kemampuan mengkomunikasikan ide dalam berbagai macam bentuk
komunikasi. Contoh dalam matematika, siswa mampu mengkomunikasikan ”rumus”
dalam bentuk verbal.
Anderson (2001) menggunakan istilah (mengerti) understand sebagai padanan
kata pemahaman. Understand adalah kemampuan merumuskan makna dari pesan
pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam bentuk lisan, tulisan maupun
grafik. Kata kerja yang sering disepadankan dengan kata pemahaman adalah
menginterpretasikan (interpreting), memberi contoh (exemplifying), mengkalsifikasi
(classifying), menyimpul-kan (summarizing), membandingkan (comparing), dan
menjelaskan (explaining). Menginterpretasikan adalah kemampuan mengubah sajian
informasi dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Memberi contoh adalah kemampuan
memberikan contoh khusus dari suatu konsep atau prinsip. Klasifikasi adalah kemampuan
untuk memilah contoh dan yang bukan contoh dari suatu konsep atau prinsip.
Menyimpulkan adalah kemampuan untuk menyusun pernyataan tunggal yang mewakili
suatu informasi. Membandingkan adalah kemampuan menunjukkan persamaan dan
perbedaan antara dua atau lebih objek. Menjelaskan adalah kemampuan merumuskan dan
8
menggunakan model sebab akibat sebuah sistem. Siswa yang memiliki kemampuan
menjelaskan dapat menggunakan hubungan sebab akibat antar bagian dalam suatu sistem.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan
merumuskan makna dari pesan pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam
bentuk lisan, tulisan maupun grafik. Contoh dalam matematika, khusunya dalam topik
bahasan “dimensi tiga” adalah kemampuan siswa menentukan sudut yang dibentuk oleh
garis dan bidang dalam ruang. Dalam contoh ini siswa tidak hanya mampu menentukan
sudut dan besar sudut, tetapi berdasarkan definisi sudut antara garis dan bidang mampu
menjelaskan alasannya.
Penerapan
Penerapan adalah kemampuan menerapkan suatu konsep, prinsip, dan metode pada
suatu masalah yang kongkrit dan baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam
penerapan suatu rumus pada masalah yang belum pernah dihadapi atau penerapan suatu
metode kerja pada pemecahan masalah baru. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari
kemampuan memahami, karena memahami suatu kaidah belum tentu membawa
kemampuan untuk menerapkan pada suatu masalah. Misalnya, siswa dapat menghitung
jumlah liter cat dan uang yang dibutuhkan untuk untuk mengecat dinding suatu ruangan,
apabila kuantitas cat yang dibutuhkan untuk tiap m3 dan harga cat perliter disajikan
(Winkel, 1996). Sedangkan Anderson (2001: 77) menyatakan bahwa penerapan
adalah kemampuan menggunakan prosedur untuk menyelesaikan masalah. Dengan
demikian, penerapan selalu berkaitan dengan pengetahuan prosedural (procedural
knowledge). Kategori penerapan sering disepadankan dengan kemampuan melakukan
(executing) sesuatu pekerjaan routin, atau sering disepadankan dengan kemampuan
menerapkan (implementing) gagasan, prosedur, metode, dan teori dalam kondisi kerja
yang tidak routin. Apabila suatu masalah sudah dikenal oleh siswa, maka secara umum
sudah diketahui prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, apabila masalah tersebut tidak routin, maka siswa harus mencari prosedur seperti
apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Bloom (1979) menyatakan bahwa, penerapan mengikuti kaidah bahwa untuk
menerapkan sesuatu membutuhkan pemahaman metode atau prinsip. Seorang guru sering
mengatakan bahwa, apabila sesorang siswa betul-betul paham maka dia dapat
menggunakan pemahamannya tersebut.
9
Penerapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan menggunakan
gagasan, prosedur, metode, dan teori dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang routin
maupun yang tidak routin. Contoh kategori penerapan dalam masalah matematika yang
routin adalah kemampuan siswa menyelesaikan persamaan kuadrat x2 + 2x – 3 = 0 dengan
cara melengkapkan kuadrat. Contoh kategori penerapan dalam masalah matematika yang
tidak routin adalah kemampuan siswa menyelesaikan masalah luas persegipanjang dengan
menggunakan konsep persamaan kuadrat.
Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian,
sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya
kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagain-bagian pokok atau komponen
dasar, bersama hubungan antara bagian-bagian itu. Kemampuan analisis setingkat lebih
tinggi dibanding penerapan, karena kemampuan ini menangkap adanya kesamaan dan
perbedaan antara sejumlah hal (Winkel, 1996).
Anderson (2001) menyatakan bahwa, analisis meliputi kemampuan untuk
memecah suatu kesatuan menjadi bagain-bagian dan menentukan bagaimana bagian-
bagian tersebut dihubungkan satu dengan yang lain atau bagain tersebut dengan
keseluruhannya. Kemampuan yang sering disepadankan dengan analisis adalah
kemampuan membedakan (differentiating), dan mengorganisasi (organizing).
Differentiating meliputi kemampuan membedakan bagian-bagian dari keseluruhan struktur
dalam bentuk yang sesuai. Misalkan, ketika seorang siswa membedakan antara ”apel” dan
”jeruk” dalam konteks buah, apabila dilihat dari sisi ”biji”nya tepat dijadikan aspek
pembeda, sedangkan apabila dilihat dari sisi ”warna” dan ”bentuk” nya tidak tepat sebagai
aspek pembeda. Organizing meliputi kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur secara
bersama-sama menjadi struktur yang saling terkait.
Analisis menekankan pada kemampuan merinci sesuatu unsur pokok menjadi
bagian-bagian dan melihat hubungan antar bagian tersebut. Di tingkat analisis, seseorang
akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan
informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan
mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario
yang rumit.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan analisis adalah kemampuan memecah
suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut
10
dihubungkan satu dengan yang lain atau bagain tersebut dengan keseluruhannya. Contoh
dalam matematika adalah kemampuan menentukan unsur-unsur dan karakteristik kubus.
Sintesis
Sintesis merupakan kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru.
Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga tercipta suatu bentuk baru. Adanya
kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana seperti penyusunan satuan
pelajaran yang dilakukan guru atau penyusunan proposal penelitian ilmiah, dalam
mengembangkan suatu skema dasar sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan tersebut.
Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari kemampuan analisis, karena dituntut kriteria
untuk menemukan pola dan struktur organisasi. Misalnya, siswa dapat merumuskan suatu
hipotesis penelitian berdasarkan teori dan kajian data tertentu (Winkel, 1996).
Sintesis satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesis akan mampu
menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan
mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg
dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan
solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap
semua penyebab turunnya kualitas produk.
Evaluasi
Evaluasi didefinisikan sebagai kemampuan melakukan judgement berdasar pada
kriteria dan standar tertentu. Kriteria sering digunakan dalam menentukan kualitas,
efektifitas, efisiensi, dan konsistensi, sedangkan standar digunakan dalam menentukan
kuantitas maupun kualitas.
Evaluasi mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai
sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang
berdasar kriteria tertentu. Adanya kemampuan ini dinyatakan dengan memberikan
penilaian terhadap sesuatu. Misalnya, memberikan penialian tepat tidaknya suatu rumusan
tujuan pembelajaran khusus berdasarkan kriteria penyusunan rumusan tujuan
pembelajaran khusus. Kemampuan ini merupakan tingkat tertinggi, karena mencakup
semua kemampuan mulai dari pengtahuan sampai sintesis (Winkel, 1996).
Evaluasi adalah kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan,
dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk
memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
11
C. Taksonomi SOLO
Biggs & Collis (1982) mendesain taksonomi SOLO (Structure of Observed
Learning Outcomes) sebagai suatu alat evaluasi tentang kualitas respons siswa terhadap
suatu tugas. Taksonomi tersebut terdiri dari lima level, yaitu prastruktural, unistruktural,
multistruktural, relasional, dan extended abstract.
Biggs & Collis (1982) mendeskripsikan setiap level tersebut sebagai berikut. Siswa
yang tidak menggunakan data yang terkait dalam menyelesaikan suatu tugas, atau tidak
menggunakan data yang tidak terkait yang diberikan secara lengkap dikategorikan pada
level prastruktural. Siswa yang dapat menggunakan satu penggal informasi dalam
merespons suatu tugas (membentuk suatu data tunggal) dikategorikan pada unistruktural,.
Siswa yang dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi tidak dapat
menghubungkannya secara bersama-sama dikategorikan pada level multistruktural. Siswa
yang dapat memadukan penggalan-penggalan informasi yang terpisah untuk menghasilkan
penyelesaian dari suatu tugas dikategorikan pada level relasional. Siswa yang dapat
menghasilkan prinsip umum dari data terpadu yang dapat diterapkan untuk situasi baru
(mempelajari konsep tingkat tinggi) dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Tugas tidak dikerjakan oleh siswa secara tepat, dia tidak memiliki keterampilan
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugasnya, siswa itu adalah siswa prastruktural.
Untuk mahasiwa unistruktural dan multistruktural, dapat mengerjakan tugas dengan
menggunakan satu atau lebih aspek yang terkait, namun belum diintegrasikan. Bila aspek-
aspek tersebut diintegrasikan secara koheren, maka siswa tersebut tergolong dalam
relasional. Jika integrasi tersebut dikonseptualisasi pada level tinggi dengan cara abstraksi
dan generalisasi untuk topik atau area baru, maka siswa ini berada dalam level extended
abstract.
Menurut Biggs (1999) respons siswa pada level extended abstract dan relasional
adalah fase kualitatif. Dalam hal ini, siswa merespons suatu masalah dengan cara
mengintegrasikan informasi-informasi yang diberikan dengan menggunakan pola (pattern)
struktural. Sedangkan untuk level-level di bawahnya merupakan fase kuantitatif. Siswa
dalam hal ini melakukan respons terhadap tugas dengan menggunakan satu atau lebih atau
bahkan tidak sama sekali dari informasi-informasi yang diberikan. Bila informasi-
informasi tersebut digunakan, dia tidak melakukan penginteg-rasian.
12
Bila dibandingkan dengan Taksonomi Bloom, maka dapat dideskripsikan sebagai
berikut. Indikasi level extended abstract adalah membuat teori, generalisasi, hipotesis,
refleksi, dan membangun. Indikasi level relasional adalah membandingkan, menjelaskan
(tentang mengapa), memadukan, menganalisis, menghubungkan, dan menerapkan.
Indikasi level multistruktural adalah mengklasifikasikan, menghitung, mendes-kripsikan,
mendaftar, mengombinasikan, dan mengerjakan suatu algoritma. Indikasi level
unistruktural adalah mengidentifikasi, melakukan prosedur sederhana. Indikasi level
prastruktural adalah tidak ada poin dalam taksonomi Bloom.
Hawkins & Hedberg (1986) melakukan penelitian tentang evaluasi LOGO (nama
software komputer) dengan menggunakan taksonomi SOLO. Deskripsi umum tentang
level SOLO untuk keterampilan belajar dengan LOGO adalah sebagai berikut. Siswa yang
tidak melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah, dan jenis-jenis perintah yang
“diberikan” siswa tidak dipahami oleh komputer dikategorikan pada level prastruktural.
Siswa yang dapat menggunakan hanya satu model display, menggunakan hanya satu
perintah, dan untuk membersihkan screen monitor dimatikan dan dimulai lagi
dikategorikan pada level unistruktural. Siswa yang dapat menggunakan model-model
display dengan satu atau lebih perintah, menggunakan model teks dan berusaha membuat
program, namun tidak dapat mengedit, bila salah program dihapus dan dimulai lagi
dikategorikan pada level multistruktural. Siswa yang dapat menulis program dalam model
teks, dan jika terjadi kesalahan, maka dilakukan editing dikategorikan pada level
relasional. Siswa yang dapat menulis program dengan model teks, dan mengeditnya bila
perlu, serta mampu memasukkan variabel dapat dikategorikan pada level extended
abstract.
Dalam penelitian Olive (1991) tentang pemrograman LOGO dan pengertian
geometri, diperoleh deskripsi sebagai berikut. Respons siswa prastruktural tidak dapat
menggunakan objek secara tepat. Siswa unistruktural menggunakan satu objek. Siswa
multistruktural menggunakan objek-objek yang dikombinasikan dengan objek lainnya atau
perintah pada suatu prosedur, tetapi objek tersebut tidak direlasikan secara tepat. Siswa
realtional dapat menghubungkan objek-objek secara bersama-sama dalam suatu urutan
penyelesaian tugas. Operasi relasi terkait dengan tugas dan struktur objek. Objek LOGO
digunakan untuk membangun blok. Siswa extended abstract dapat merelasikan objek-
objek secara bersama-sama untuk memciptakan objek baru yang lebih umum, lebih
13
abstrak dari bagiannya; atau suatu prosedur digeneralisasi secara efektif untuk
menciptakan objek khusus dalam struktur tersebut.
Level Prastruktural
Siswa yang merespons suatu tugas dengan menggunakan pendekatan yang tidak
konsisten dikategorikan pada level prastruktural (Collis & Biggs, 1986). Respons yang
ditunjukkan berdasarkan rincian informasi yang tidak relevan. Konsepsi yang dia
munculkan bersifat personal, subjektif dan tidak terorganisasi secara intrinsik. Siswa
tersebut tidak memahami tentang apa yang didemonstrasikan. Bila dikaitkan dengan
bangunan suatu rumah, maka semua bahan berserakan dan tidak dapat memulai
membangun rumah tersebut.
Nulty (2001) melakukan penelitian tentang respons siswa dalam konteks seperti
berikut, yaitu mendesain eksperimen (merencanakan suatu percobaan dalam mata kuliah
Sain/Kimia) dan menguji hipotesis; menganalisis suatu argumen; menyelesaikan masalah;
dan berpikir kreatif. Siswa tidak dapat mendesain eksperimen dan tidak dapat menguji
hipotesis, tidak dapat menganalisis suatu argumen, tidak dapat menyelesaikan masalah,
dan tidak dapat berpikir secara kreatif siswa tersebut dapat dikategorikan pada level
prastruktural.
Biggs & Collis (1982) melakukan penelitian tentang bagaimana cara mengevaluasi
kemampuan berpikir kritis. Dalam penelitian ini, masalah yang diajukan adalah seperti
berikut, mengapa sisi gunung yang menghadap ke pantai lebih basah dibanding sisi
gunung yang menghadap ke darat? Dua responden pada level prastruktural memberikan
respon seperti berikut, responden pertama tidak memberikan jawaban apapun, sedangkan
responden kedua memberikan jawaban tetapi tidak relevan dengan masalah.
Menurut Hawkins, et al (1986) bila siswa diberikan masalah dan tidak ada upaya
untuk memecahkan masalah tersebut. Jenis-jenis perintah yang digunakan untuk
menjalankan suatu algoritma tidak bermakna. Hal ini berarti siswa tersebut tidak
memahami pertanyaan atau tugas yang harus dia selesaikan. Dia melakukan sesuatu yang
tidak relevan, tidak melakukan identifikasi terhadap konsep-konsep yang terkait, dan
sering menuliskan fakta-fakta yang tidak ada kaitannya. Siswa yang berkarakteristik
seperti di atas dapat dikategorikan pada level prastruktural
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, siswa prastruktural tidak
melakukan respons yang sesuai dengan sekumpulan pernyataan yang diberikan. Dia tidak
memahami masalah yang diberikan. Dia mengabaikan pernyataan-pernyataan atau
14
informasi-informasi yang diberikan, atau bila memberikan respon maka respon tersebut
tidak relevan dengan informasi-informasi yang diberikan.
Level Unistruktural
Menurut Collis & Biggs (1986) bahwa siswa yang melakukan respons berdasarkan
satu fakta konkret yang digunakan secara konsisten, namun hanya dengan satu elemen
dapat dikategorikan pada level unistruktural. Untuk suatu permasalahan yang kompleks,
siswa hanya memfokuskan pada satu konsep saja. Biggs (1999) menemukan respons siswa
pada level unistruktural dalam usaha menyusun struktur tertentu hanya membuat satu
hubungan sederhana, sehingga hubungan yang dibuat tersebut tidak memiliki logika yang
jelas. Hasil penelitian Hawkins & Hedberg (1986) menunjukkan bahwa siswa yang hanya
menggunakan satu model display, hanya menggunakan satu perintah tunggal, dan ia tidak
dapat memberikan penalaran terhadap respon yang diberikan dapat dikategorikan pada
level unistruktural.
Hasil penelitian Nulty (2001) menunjukkan bahwa siswa pada level ini
memberikan satu desain eksperimen, dengan satu hipotesis. Desain eksperimen ini bersifat
konvergen dengan hanya ingin mengetahui satu jawaban. Desain eksperimen tersebut
diasumsikan dapat menemukan jawaban hanya dengan satu tahapan (jika x maka y). Dia
memberikan satu interpretasi tanpa kualifikasi atau mendasarkan pada sesuatu yang
kontekstual. Terkait dengan problem solving, siswa hanya memberikan satu solusi, dan dia
menyatakan solusinya hanya itu (walaupun yang sebenarnya problem tersebut adalah
divergen). Dalam hal berpikir kreatif, siswa tersebut mendemonstrasikan suatu pola pikir
yang uni-directional, yang memfokuskan pada satu aspek atau satu strategi atau satu
solusi. Dia berpikir terbatas pada parameter, dan membuat hubungan antar item secara
langsung.
Penelitian Biggs & Collis (1982) tentang bagaimana cara mengevaluasi
kemampuan berpikir kritis terhadap masalah seperti berikut, mengapa sisi gunung yang
menghadap ke pantai lebih basah dibanding sisi gunung yang menghadap ke darat?
Responden yang memberikan jawaban seperti berikut, “karena hujan lebih banyak terjadi
pada sisi gunung yang menghadap ke pantai” dapat dikategorikan pada level unistruktural.
Berdasarkan uraian di atas, siswa pada level ini mencoba menjawab pertanyaan
secara terbatas, dengan cara memilih satu penggal informasi yang ada.
15
Level Multistruktural
Collis & Biggs (1986) mendeskripsikan bahwa siswa yang dapat memecahkan
masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan yang dapat mereka
buat, namum hubungan-hubungan tersebut belum tepat. Respons yang dibuat siswa pada
level ini didasarkan pada hal-hal yang konkret tanpa memikirkan bagaimana
interrelasinya. Respons tersebut konsisten, namun belum terintegrasi dengan baik. Siswa
dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Penelitian Hawkins & Hedberg (1986) tentang evaluasi program computer dengan
bahasa LOGO menemukan siswa yang bekerja dengan trial & error. Dia dapat melihat
lebih dari satu strategi, tetapi mereka tidak melakukan interrelasi. Dia menggunakan
model display dengan lebih dari satu perintah. Dia juga menggunakan mode teks dan
berusaha membuat program, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengedit, bila
terjadi kesalahan dia akan hapus program tersebut, dan memulai dengan yang baru. Siswa
dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Hasil penelitian Nulty (2001) menunjukkan bahwa siswa yang memberikan lebih
dari satu desain eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis. Desain eksperimen tersebut
konvergen, namun dapat memberikan beberapa kemungkinan jawaban. Dia memberikan
lebih dari satu interpretasi terhadap suatu argumen namun interpretasi tersebut masih
dilakukan secara terpisah. Terkait dengan problem solving, siswa pada level ini
memberikan beberapa solusi dari suatu permasalahan. Dia mendemonstrasikan suatu pola
pikir dalam dua dimensi. Siswa pada level ini menggunakan dua atau lebih penggal
informasi, namun urutan informasi tersebut sering gagal diberikan penjelasan mengapa
atau apa hubungan di antara sekumpulan data tersebut. Berkaitan dengan berpikir kritis,
siswa memfokuskan pemikiran pada beberapa asfek strategi dan solusi, tanpa mampu
menghubungkan antara aspek-aspek dan strategi-strategi yang jelas-jelas saling berkaitan.
Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dismpulkan bahwa siswa yang memiliki
kemampuan merespon masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan
yang dapat mereka buat, namum hubungan-hubungan tersebut belum tepat. Respons yang
dibuat siswa pada level ini didasarkan pada hal-hal yang konkret tanpa memikirkan
bagaimana interrelasinya. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan
pada level multistruktural.
16
Level Relasional
Collis & Biggs (1986) mendeskripsikan bahwa siswa yang merespons suatu tugas
berdasarkan konsep-konsep yang terintegrasi, menghubungkan semua informasi yang
relevan. Konklusi yang diperoleh secara konsisten secara internal. Siswa dengan
karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level realsional.
Penelitian Hawkins & Hedberg (1986) tentang pemrograman dengan bahasa
LOGO menemukan bahwa siswa mampu membuat keputusan, dan mengintegrasikan
semua data yang ada. Dia mampu menulis program dalam model teks, dan jika terjadi
kesalahan cukup diedit. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan
pada level relasional.
Nulty (2001) menemukan bahwa siswa yang memberikan lebih dari satu desain
eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis. Siswa tersebut dapat mengaitkan desain dan
hipotesis secara bersama-sama. Desain eksperimennya menggunakan pendekatan tahap
ganda untuk menemukan perbedaan fakta. Siswa pada level ini dapat memberikan lebih
dari satu interpretasi dari suatu argumen. Dia dapat memberikan beberapa solusi untuk
suatu problem divergen, dan memberikan hubungan antar solusi yang mungkin. Siswa
pada level ini dapat mengaitkan hubungan antara fakta dan teori serta tindakan dan tujuan.
Siswa mulai mengaitkan informasi-informasi menjadi satu kesatuan yang koheren,
sehingga ia peroleh konklusi yang konsisten. Pemahaman siswa terhadap beberapa
komponen terintegrasi secara konseptual. Siswa dapat menerapkan konsep untuk masalah
yang familier dan tugas situasional. Siswa dapat mengaitkan bagian-bagian menjadi satu
kesatuan. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level
relasional.
Level Extended Abstract
Menurut Collis & Biggs (1986) siswa yang dapat memberikan beberapa
kemungkinan konklusi. Prinsip abstrak digunakan untuk menginterpretasikan fakta-fakta
konkret dan respons yang tepat yang terpisah dengan konteks. Hal ini dilakukannya secara
konsisten. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level
extended abstract.
Hawkins & Hedberg (1986) mendeskripsikan siswa yang memiliki kemampuan
menyusun keterkaitan antar sistem. Dia mampu menulis program dalam model teks dan
17
mengeditnya bila perlu, dengan memunculkan variabel-variabel tertentu. Siswa dengan
karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended abstract.
Nulty (2001) juga mendeskripkan siswa yang dapat memberikan lebih dari satu
desain eksperimen dengan lebih dari satu hipotesis. Dia memberikan suatu dasar untuk
mendesain eksprimen dan membuat hipotesis dari masalah awal. Diagnosis yang
dilakukan tidak selalu konvergen, sehingga memungkinkan adanya temuan-temuan baru
dan teori baru. Desain eksperimen tersebut menggunakan pendekatan tahap ganda. Dia
memberikan lebih dari satu interpretasi tentang suatu argumen, sehingga dapat mengaitkan
keterpaduan diantara interpretasi tersebut untuk membentuk suatu gagasan baru. Dalam
hal problem solving, siswa pada level ini dapat memberikan beberapa solusi terhadap
suatu masalah, memberikan penjelasan tentang hubungan antar solusi yang mungkin,
melakukan justifikasi terhadap solusi-solusi tersebut untuk membangun struktur baru.
Dalam hal berpikir kritis, menyajikan pemikiran dengan pandangan yang menyeluruh,
imajinatif atau original untuk menghubungkan antara aspek yang tidak berhubungan
secara langsung. Dia mampu mendemonstrasikan berpikir multidimensi, dan dapat
menghubungkan dengan item-item di luar yang ada sehingga terbentuk gagasan baru.
Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended
abstract.
Dari uraian ini, siswa pada level ini telah berpikir secara konseptual, dan dapat
melakukan generalisasi pada suatu area baru. Rincian respons yang dibangun pada suatu
pola struktural dapat terintegrasi pada suatu struktur yang lain.
D. Taksonomi Berdimensi Dua
Usaha untuk menggabungkan dua macam taksonomi pengetahuan bisa dilakukan
dengan memasukkan dua macam taksonomi dalam tabel. Berdasarkan uraian di atas dapat
dideskripsikan karakteristik setiap sel Ci-Sj seperti diuraikan pada matriks berikut.
Tabel 2: Deskripsi dan Karakteristik Setiap Sel Ci-Sj Taksonomi Bloom dan
SOLO
Taksonomi
Bloom
Taksonomi
SOLO
Sel
Ci-Sj
Hipotesis Karakteristik Respon
1 2 3 4
Pengetahuan Pra-struktural C1-S0 Tidak dapat memanggil informasi dari memori jangka
panjang atau memanggil informasi dari memori yang
18
tidak relevan dengan masalah.
Uni-
struktural
C1-S1 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi
dari memori jangka panjang yang relevan dengan
masalah.
Multi-
struktural
C1-S2 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi
dari memori jangka panjang yang relevan dengan
masalah lebih dari satu yang bersifat parsial, kalaupun
mecoba mengaitkan satu informasi dengan informasi
lainya namun keterkaitannya tidak tepat.
Relasional C1-S3 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi
dari memori jangka panjang yang relevan dengan
masalah lebih dari satu dan mampu mengaitkan satu
informasi dengan informasi lainya.
Extended
Abstract
C1-S4 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi
dari memori jangka panjang yang relevan dengan
masalah lebih dari satu dan mampu mengaitkan satu
informasi dengan informasi lainya serta dapat
memperluas informasi tersebut dalam konteks yang
lebih luas.
Pemahaman Pra-struktural C2-S0 Tidak dapat merumuskan makna yang relevan dengan
masalah atau dapat merumuskan makna tetapi tidak
relevan dengan masalah.
Uni-
struktural
C2-S1 Kemampuan merumuskan sebuah makna yang relevan
dengan masalah.
Multi-
struktural
C2-S2 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang
relevan dengan masalah tetapi masih bersipat parsial.
Relasional C2-S3 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang
relevan dengan masalah dan dapat menghubungkan
beberapa makna tersebut menjadi satu kesatuan.
Extended
Abstract
C2-S4 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang
relevan dengan masalah dan dapat menghubungkan
beberapa makna tersebut menjadi satu kesatuan serta
dapat memperluas makna dalam konteks yang lebih
luas.
Penerapan Pra-struktural C3-S0 Tidak dapat menggunakan konsep, prinsip, dan
19
metode pada suatu konteks atau menggunakan konsep,
prinsip, dan metode pada konteks yang tidak tepat.
Uni-
struktural
C3-S1 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan
metode pada satu konteks.
Multi-
struktural
C3-S2 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan
metode pada beberapa konteks namun masih bersifat
terpisah kalaupun mencoba mengaitkan antar konteks
keterkaitannya tidak tepat.
Relasional C3-S3 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan
metode pada beberapa konteks dapat menjelaskan
keterkaitannya.
Extended
Abstract
C3-S4 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan
metode pada beberapa konteks dapat menjelaskan
keterkaitannya serta memperluas penggunaan dalam
konsteks yang umum.
Analisis Pra-struktural C4-S0 Tidak dapat memecah suatu kesatuan menjadi bagian-
bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian
tersebut dihubungkan atau dapat memecah suatu
kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan
bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan tetapi
tidak tepat.
Uni-
struktural
C4-S1 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-
bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian
tersebut dihubungkan dengan satu model.
Multi-
struktural
C4-S2 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-
bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian
tersebut dihubungkan dengan beberapa model tetapi
tidak dapat menjelaskan keterkaitan model-model
tersebut kalupun mencoba menjelaskan keterkaitan
model-model tersebut meruapakan keterkaitan yang
tidak tepat.
Relasional C4-S3 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-
bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian
tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan
20
dapat menjelaskan kesetaraan model tersebut.
Extended
Abstract
C4-S4 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-
bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian
tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan
dapat menjelaskan kesetaraan model-model tersebut
serta dapat memperluas pada model yang lebih umum.
Sintesis Pra-struktural C5-S0 Tidak dapat membentuk suatu kesatuan dari bagian-
bagian atau dapat membentuk suatu kesatuan tetapi
tidak tepat.
Uni-
struktural
C5-S1 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-
bagian dengan satu model.
Multi-
struktural
C5-S2 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-
bagian dengan lebih dari satu model namun tidak
dapat menjelaskan keterkaitan model-model tersebut
dan kalaupun mencoba menjelaskan keterkaitan
model-model tersebut merupakan keterkaitan yang
tidak tepat.
Relasional C5-S3 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-
bagian dengan lebih dari satu model dan dapat
menjelaskan keterkaitan model-model tersebut.
Extended
Abstract
C5-S4 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-
bagian dengan lebih dari satu model dan dapat
menjelaskan keterkaitan model-model tersebut serta
dapat memperluas pada model yang lebih umum.
Evaluasi Pra-struktural C6-S0 Tidak dapat memberikan penilaian terhadap solusi,
gagasan dan metodologi dengan satu kriteria, kalaupun
dapat memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan
dan metodologi dengan satu kriteria tertentu tetapi
kriteria yang digunakan tidak tepat.
Uni-
struktural
C6-S1 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,
gagasan dan metodologi dengan satu kriteria untuk
menentukan kualitas tertentu.
Multi-
struktural
C6-S2 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,
gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria
untuk menentukan kualitas tertentu namun tidak dapat
21
menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa
kriteria tersebut, kalaupun mencoba mengaitkan
keterkaitannya tidak tepat .
Relasional C6-S3 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,
gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria
untuk menentukan kualitas tertentu dan dapat
menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa
kriteria tersebut.
Extended
Abstract
C6-S4 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,
gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria
untuk menentukan kualitas tertentu dan dapat
menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa
kriteria tersebut serta dapat memperluas untuk kriteria
yang lebih umum.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kajian yang sudah penulis lakukan pada karya tulis ini, kesimpulan penulisan
adalah:
1. Model taskonomi dua dimensi ini dapat digunakan untuk menilai kualitas respon
siswa terhadap terhadap masalah matematika.
2. Model taksonomi dua dimensi ini dapat mengatasi keterbatasan pengukuran dan
penilaian matematika sehingga pengukuran dan penilainnya menjadi lebih
obyektif.
B. Rekomendasi
Rekomendasi yang penulis sampaikan melalui karya tulis ini adalah:
1. Untuk Praktisi: Pergunakan taksonomi dua dimensi (SOLO dan Bloom) untuk
menentukan respon pembelajaran matematika, agar kita melakukan skoring
terhadap kualitas jawaban soal uraian masih menggunakan pendekatan “materi”.
Artinya, kualitas jawaban soal matematika bentuk uraian ditentukan oleh
kompleksitas materi atau panjang-pendek prosedur pengerjaan soal tersebut. Model
taksonomi dua dimensi ini tidak hanya mengukur kulitas jawaban dari sisi “isi
materi”, tetapi dapat mengukur kualitas berpikir subjek yang menjawab soal
tersebut.
2. Untuk pembuat kebijakan: Sosialisasika model taksonomi berdomensi dua ini untuk
mengatasi keterbatasan pengukuran pendidikan yang selama ini sudah berjalan,
sehingga hasil pengukuran akan lebih obyektif.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,Lorin W.;Krathwohl,David R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assessing. New York: Addison Wesley Logman.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:
Bumi Aksara.
Biggs, J. & Collis, K.F. 1982. Evaluating the quality of learning: The SOLO taxonomy.
New York: Academic Press.
Biggs, J.1995. Assesing for learning: Some dimensions underlying new approaches to
educational assesment. The alberta Journal of Educational Research 41 (1).
http://www.tedi.uq.edu.au/downloads/Biggs_SOLO.pdf
Biggs,J.1999. Teaching for quality at University. Second Edition. Buckingham: SRHE/OU
press
Bloom, Benyamin S. 1979. Taksonomy of Educational Objectives (The Clasification of
Educational Goals) Handbook 1 Cognitive Domain. London: Longman Group Ltd.
Bogdan, Robert C. and Biklen, Sari Knopp.1982. Qualitative Research for Education: An
introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Collis, K. F. & Biggs J. B. 1986. Using The SOLO Taxonomy.
http://www.hebes.mdx.ac.uk/teaching/
Davis,Robert B.1984. Learning Mathematics, The Cognitive Science Approach to
Mathematics Education. Croom Helm:London & Sidney
Goldin,G.A.1998. Observing Mathematical Problem Solving Through Task-based
Interviews. In: A.Teppo (Ed.) Qualitative Research Methods in Mathematics
Education. Monograph No. 9 Journal for Research in Mathematical Education
(JRME).
Hartanto Sunardi. 2006. Taksonomi SOLO Plus. Disertasi Doktor P. Matematika UNESA:
Tidak Dipublikasikan.
Hawkins, W & Hedberg, J.G.1986. Evaluating LOGO: Use of the SOLO Taxonomy.
Australian Journal of Educational Technology. 2(2)
http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet2/
Hughes, Dave.1999. Materials and Designs – Use of SOLO.
http://www.bradford.ac.uk/acad/civeng/
Nulty, Duncan.2001. Enhancing the transition of first year science students – a strategic
and systematic approach . http://www.adcet.edu.au/ uploads/documents/055.doc
24
Soedjadi,R. 1999/2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen
Dikti.Depdiknas.
Tjokrodihardjo, Soegijo. 2001. Taksonomi Tujuan Pendidikan (Buku I Bidang Kognitif)
Alih Bahasa. Surabaya: Unesa University Press.
Widada,Wahyu.2003. Struktur Representasi Pengetahuan Siswa tentang Permasalahan
Grafik Fungsi dan Kekonvergenan Deret Tak Hingga pada Kalkulus. Disertasi
Doktor P. Matematika UNESA: Tidak Dipublikasikan.
Winkel,W.S.,1996. Psikologi Pengajaran (Edisi Revisi) Cetakan ke-5. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
25
Biodata Penulis
1. Nama : Drs. Khamim Thohari, MEd.
2. Nip : 150259179
3. Tempat, Tanggal Lahir : Mojokerto, 4 Juni 1968
4. Pangkat : Pembina/IVa
5. Jabatan : Widyaiswara Madya
6. Instansi : Balai Diklat teknis Keagamaan Surabaya
Jl. Ketintang Madya 92 Surabaya
Telp, (031) 8280116 Fax. (031) 8290021
7. Alamat : Beratkulon Kemlagi Mojokerto
Telp. 082139468389
8. Riwayat Pendidikan :
MI Lulus Th. 1980 di Mojokerto
MTs Lulus Th. 1983 di Mojokerto
MA Lulus th. 1986 di Mojokerto
IAIN Jurusan Tadris Matematika Lulus 1990 di Malang
S2 DEAKIN University Melbourne Australia Lulus Th. 2001