solo

25
1 Mengukur Kualitas Pembelajaran Matematika Dengan Gabungan Taksonomi Bloom dan SOLO Drs. Khamim Thohari, MEd. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesulitan yang sering dialami oleh praktisi pendidikan khususnya pendidikan matematika dalam mempersiapkan pembelajaran adalah merumuskan tujuan pembelajaran baik yang ada dalam silabus maupun rencana perktik pembelajaran (RPP). Untuk keperluan tersebut beberapa pakar mengklasifikasikan tujuan-tujuan pembelajaran dalam suatu model yang disebut taksonomi. Taksonomi berguna sebagai alat untuk menjamin ketelitian dalam komunikasi berkenaan dengan pengorganisasian dan interrelasi, dalam hal ini taksonomi tujuan pendidikan (Bloom et. al, 1979; Tjokrodihardjo, 2001). Beberapa model taksonomi tujuan pendidikan diantaranya adalah, Taksonomi Bloom, Taksonomi Bloom Berdimensi Dua (Anderson, et al., 2001), dan Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) (Biggs & Collis, 1982). Bloom, Engelhart, Furst, Hill, dan Krathwohl mengklasifikasi tujuan pendidikan pada ranah kognitif menjadi enam kategori, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) (Bloom et. al., 1979; Arikunto, 2002; Winkel, 1996). Taksonomi ini sering disebut dengan taksonomi Bloom dan menjadi satu-satunya model taksonomi tujuan pembelajaran yang digunakan sebagai acuan mengembangkan tujuan kurikulum dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selain taksonomi Bloom, terdapat model taksonomi tujuan pembelajaran lain, seperti Taksonomi SOLO. Biggs dan Collis pada tahun 1982 mengembang-kan model taksonomi tujuan pembelajaran yang kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO. Taksonomi SOLO mengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda dan bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural (pre-structural), level 1: unistruktural (uni-structural), level 2: multistruktural (multy-structural), level 3: relasional (relational), dan level 4: extended abstract (Biggs dan Collis, 1982). Selanjutnya taksonomi SOLO ini dikembangkan oleh Hartanto (2006) menjadi taksonomi SOLO Plus (TSP) yang levelnya

Upload: noor-farrah-wahida-murad

Post on 03-Jan-2016

53 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Taksanomi bloom & solo

TRANSCRIPT

1

Mengukur Kualitas Pembelajaran Matematika

Dengan Gabungan Taksonomi Bloom dan SOLO

Drs. Khamim Thohari, MEd.

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesulitan yang sering dialami oleh praktisi pendidikan khususnya pendidikan

matematika dalam mempersiapkan pembelajaran adalah merumuskan tujuan

pembelajaran baik yang ada dalam silabus maupun rencana perktik pembelajaran (RPP).

Untuk keperluan tersebut beberapa pakar mengklasifikasikan tujuan-tujuan pembelajaran

dalam suatu model yang disebut taksonomi. Taksonomi berguna sebagai alat untuk

menjamin ketelitian dalam komunikasi berkenaan dengan pengorganisasian dan

interrelasi, dalam hal ini taksonomi tujuan pendidikan (Bloom et. al, 1979; Tjokrodihardjo,

2001). Beberapa model taksonomi tujuan pendidikan diantaranya adalah, Taksonomi

Bloom, Taksonomi Bloom Berdimensi Dua (Anderson, et al., 2001), dan Taksonomi

SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) (Biggs & Collis, 1982).

Bloom, Engelhart, Furst, Hill, dan Krathwohl mengklasifikasi tujuan pendidikan

pada ranah kognitif menjadi enam kategori, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman

(comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi

(evaluation) (Bloom et. al., 1979; Arikunto, 2002; Winkel, 1996). Taksonomi ini sering

disebut dengan taksonomi Bloom dan menjadi satu-satunya model taksonomi tujuan

pembelajaran yang digunakan sebagai acuan mengembangkan tujuan kurikulum dalam

sistem pendidikan di Indonesia.

Selain taksonomi Bloom, terdapat model taksonomi tujuan pembelajaran lain,

seperti Taksonomi SOLO. Biggs dan Collis pada tahun 1982 mengembang-kan model

taksonomi tujuan pembelajaran yang kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO.

Taksonomi SOLO mengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda

dan bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural (pre-structural), level 1: unistruktural

(uni-structural), level 2: multistruktural (multy-structural), level 3: relasional (relational),

dan level 4: extended abstract (Biggs dan Collis, 1982). Selanjutnya taksonomi SOLO ini

dikembangkan oleh Hartanto (2006) menjadi taksonomi SOLO Plus (TSP) yang levelnya

2

menjadi 7 level yaitu, prastruktural, unistruktural, multistruktural, semirelasional,

relasional, abstrak, dan extended abstract.

Berdasarkan uraian di atas, perbedaan model-model taksonomi tujuan

pembelajaran tersebut dilandasi oleh cara pandang berbeda dalam melihat tujuan

pendidikan. Biggs dan Collis (1982) mendesain taksonomi SOLO sebagai suatu alat

evaluasi tentang kualitas respons siswa terhadap suatu tugas. Taksonomi yang digunakan

untuk mengukur kemampaun siswa dalam merespon (baca: menjawab) suatu masalah

dengan cara membandingkan jawaban benar optimal dengan jawaban yang diberikan

siswa. Taksonomi SOLO digunakan untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap

suatu masalah berdasar pada kompleksitas pemahaman atau jawaban siswa terhadap

masalah yang diberikan.

Taksonomi Bloom digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa

berdasar pada proses kognitif siswa dalam memahami suatu masalah. Pencapaian hasil

belajar siswa diukur berdasar pada kemampuan siswa menjawab masalah (instrumen

evaluasi) yang sesuai proses kognitif yang akan diukur. Seorang siswa dipandang telah

mencapai proses kognitif yang diinginkan apabila telah menjawab dengan benar masalah

matematika yang sesuai dengan proses kognitif tersebut. Taksonomi Bloom sering

digunakan guru untuk menentukan hasil belajar yang diinginkan, menentukan proses

pembelajaran yang akan dilakukan, dan menentukan alat evaluasi yang sesuai dengan

tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Anderson et. al., 2001).

Taksonomi Bloom berperan dalam menentukan tujuan pembelajaran, kemudian

dari tujuan tersebut dapat disusun alat evaluasi (masalah) yang sesuai dengan tujuan

tersebut. Sedangkan taksonomi SOLO berperan menentukan kualitas respon siswa

terhadap masalah tersebut. Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai alat

menentukan kualitas jawaban siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh dari hasil

jawaban siswa, selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian proses kognitif yang

ingin diukur oleh alat evaluasi tersebut. Berdasarkan peran yang berbeda ini, kedua model

taksonomi seharusnya digunakan bersama-sama sebagai alternatif sistem evaluasi yang

saling melengkapi. Selanjutnya dapat dibuat sistem taksonomi baru dua dimensi. Dimensi

pertama adalah ”masalah matematika” yang didesain berdasar taksonomi Bloom,

sedangkan dimensi kedua adalah ”kualitas respon terhadap masalah” berdasar pada

taksonomi SOLO.

3

Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan mendeskripsikan, bagaimana

karakteristik kemampuan respon siswa dipandang dari taksonomi SOLO terhadap

masalah matematika disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang mengacu pada

taksonomi Bloom? Matriks berikut dapat menggambarkan model taksonomi dua dimensi

Bloom dan SOLO.

Tabel 1: Penggabungan Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO

Prastruktural Unistruktural Multistruktural Relasional Extended

Abstract

Pengetahuan C1-S0 C1-S1 C1-S2 C1-S3 C1-S4

Pemahaman C2-S0 C2-S1 C2-S2 C2-S3 C2-S4

Aplikasi C3-S0 C3-S1 C3-S2 C3-S3 C3-S4

Analisis C4-S0 C4-S1 C4-S2 C4-S3 C4-S4

Sintesis C5-S0 C5-S1 C5-S2 C5-S3 C5-S4

Evaluasi C6-S0 C6-S1 C6-S2 C6-S3 C6-S4

Keterangan,

Ci : Masalah matematika yang mengukur kemampuan kognitif level ke-i, i = 1, 2, ... ,6

Sj : Respon siswa pada level SOLO ke-j, j = 0, 1, ... ,4

Ci-Sj: Karakteristik respon siswa pada setiap level SOLO ke-j terhadap masalah

matematika yang mengukur kemampuan kognitif ke-i.

Karya tulis yang berjudul ”PENGGUNAAN TAKSONOMI BLOOM DAN SOLO

UNTUK MENGUKUR KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA” ini

merupakan pemikiran awal untuk mengembangkan sebuah teori baru model taksonomi

dua dimensi yang menggabungkan taksonomi Bloom dan taksonomi SOLO.

C. Identifikasi Masalah

Dari kajian diatas penulis mengidentifikasi masalah dalam penulisan karya tulis

ilmiah ini sebagai berikut:

1. Pendidik dan praktisi pendidikan masih sulit merumuskan tujuan pembelajaran

dengan benar, yang berakibat pada biasnya obyektifitas penentuan hasil belajar.

2. Pendidik dan praktisi pendidikan lebih banyak menggunakan Taksonomi Bloom,

namum masih banyak menemui kesulitan karena biasnya klasifikasi yang bersifat

herarkis

4

3. Pendidik dan praktisi pendidikan masih belum mampu menggunakan gabungan

model Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO menjadi satu model taksonomi

baru berdimensi dua untuk menentukan kualitas pembelajaran

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana menggunakan

gabungan model Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO menjadi satu model taksonomi

baru taksonomi berdimensi dua untuk menentukan kualitas pembelajaran?

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:

1. Pengembangan Ilmu: Sebagai rujukan untuk pengembangan model taksonomi

berdimensi dua yang bermanfaat dalam menentukan kualitas pembelajaran.

2. Praktisi: Penulis berharap agar penggunaan taksonomi SOLO dan Bloom secara

sinergis dapat digunakan oleh para praktisi pendidikan untuk menentukan kualitas

pembelajaran.

5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Taksonomi Pengetahuan

Taksonomi adalah suatu klasifikasi khusus, yang berdasar data penelitian ilmiah

mengenai hal-hal yang digolong-golongkan dalam sistematika tertentu (Winkel, 1996:

244; Anderson, et al., 2001). Salah satu klasifikasi khusus yang dimaksud dalam penelitian

ini adalah klasifikasi tujuan-tujuan pembelajaran. Tujuan (objective) pembelajaran

menunjukkan apa yang harus dicapai siswa sebagai hasil belajar, yang dituangkan dalam

“rumusan eksplisit untuk mengubah performa siswa melalui proses pendidikan”. Tujuan

ini sangat penting dalam pembelajaran, sebab pembelajaran merupakan suatu tindakan

yang disengaja dan beralasan (Widada, 2003). Tujuan-tujuan pembelajaran ini dapat

diklasifikasikan dalam suatu taksonomi, seperti Taksonomi Bloom berdimensi dua

(Anderson,et al., 2001), Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes)

(Biggs & Collis, 1982).

Menurut Anderson, et al. (2001) suatu pernyataan tentang tujuan pembelajaran

memuat kata kerja dan kata benda. Kata kerja secara umum dideskripsikan sebagai suatu

perubahan perilaku yang diharapkan dalam proses kognitif sebagai dampak dari suatu

proses pembelajaran. Sedangkan kata benda secara umum dideskripsikan sebagai

pengetahuan siswa yang diharap dapat dikonstruknya. Untuk itu, Taksonomi Bloom yang

direvisi adalah Taksonomi Bloom Berdimensi Dua. Dua dimensi tersebut adalah dimensi

proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Dimensi proses kognitif memuat enam kategori

yaitu, ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan menciptakan. Kontinuitas

dimensi proses kognitif diasumsikan berdasarkan kompleksitas kognitif; yaitu,

pemahaman lebih kompleks secara kognitif dari ingatan, dan seterusnya. Dimensi

pengetahuan memuat empat kategori, yaitu pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual,

pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif. Kategori ini ditempatkan

berdasarkan asumsi bahwa proses kognitif bermula dari konkret (faktual) ke abstrak

(metakognitif).

6

B. Taksonomi Bloom

Taksonomi Bloom yang dimaksud dalam penelitian ini adalah katego-risasi atau

klasifikasi tujuan pendidikan pada ranah kognitif. Kategorisasi ini disusun secara

hierarkis, sehingga menjadi tingkatan yang semakin kompleks. Bloom mengklasifikasikan

ranah kognitif menjadi enam kategori, pengetahuan (knowledge), pemahaman

(comprehension), penerapan (appli-cation), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan

evaluasi (evaluation).

Pengetahuan

Pengetahuan adalah kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan,

definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, dan prinsip dasar (Wikipedia).

Pengetahuan adalah kemampuan memberi bukti bahwa siswa tidak lupa, baik dengan

mengingat kembali maupun dengan mengenali lagi beberapa gagasan atau fenomena,

karena telah memiliki pengalaman dalam proses pendidikan. Pengetahuan didefinisikan

sebagai kemampuan sedikit lebih dari sekedar menghafal gagasan atau fenomena dalam

bentuk yang sangat menyamai aslinya. Pengetahuan tentang sesuatu dari yang paling

sederhana sampai yang paling kompleks, seperti pengetahuan tentang fakta, istilah, urutan,

klasifikasi, kriteria, dan metodologi (Tjokrodihardjo, 2001; Bloom, 1979).

Pengetahuan meliputi ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan

dalam ingatan. Hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip serta metode yang

diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, dipanggil kembali pada saat

dibutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).

Misalnya, dalam bentuk rumusan tujuan pembelajaran khusus adalah seperti berikut, siswa

dapat menuliskan definisi lingkaran (Winkel, 1996).

Anderson (2001) menggunakan istilah “mengingat (remember)” sebagai konsep

yang sepadan dengan “pengetahuan (knowledge)”. Mengingat adalah kemampuan

memperoleh kembali pengetahuan yang releven dari memori jangka panjang. Dua kata

yang sepadan dengan kata “mengingat” adalah kata recognizing dan recalling.

Recognizing adalah kemampuan menemukan informasi di memori jangka panjang yang

relevan dengan informasi tersaji, sedangkan recalling adalah kemampuan untuk

memanggil kembali informasi di memori jangka panjang dalam merespon masalah.

Demikian juga, Winkel (1996: 245) menyatakan bahwa pengetahuan yang disimpan dalam

ingatan digali pada saat dubutuhkan melalui bentuk mengingat (recall) atau mengenal

kembali (recognition).

7

Dalam penelitian ini, yang dimaksud pengetahuan adalah kemampuan

memperoleh kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang sesuai

dengan informasi tersaji, baik berupa fakta, konsep, prinsip, struktur, prosedur, klasifikasi,

maupun kategori. Contoh dalam topik bahasan “dimenasi tiga” adalah kemampuan siswa

menuliskan kembali definisi dua garis bersilangan dalam ruang.

Pemahaman

Pemahaman adalah kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran,

laporan, tabel, diagram, arahan, dan peraturan (Wikipedia). Sedangkan menurut Winkel

(1996:246 ), pemahaman adalah kemampuan menangkap makna dan arti dari bahan yang

dipelajari. Adanya kemampuan ini dapat dilihat dalam bentuk, kemampuan menguaraikan

isi pokok dari suatu bahasan, kamampuan mengubah suatu data yang disajikan dalam

bentuk tertentu ke bentuk yang lain, seperti rumusan matematika dalam bentuk kata-kata.

Bloom (1979) menyatakan bahwa, seorang siswa dikatakan memiliki pemahaman,

apabila dihadapkan pada sesuatu yang harus dikomunikasikan maka dia diperkirakan

mengetahui apa yang harus dikomunikasikan dan dapat menggunakan ide yang termuat di

dalamnya. Mengkomunikasikan ide tersebut dapat bentuk lisan maupun dalam bentuk

tulisan atau dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk simbol. Secara lebih singkat,

pemahaman adalah kemampuan mengkomunikasikan ide dalam berbagai macam bentuk

komunikasi. Contoh dalam matematika, siswa mampu mengkomunikasikan ”rumus”

dalam bentuk verbal.

Anderson (2001) menggunakan istilah (mengerti) understand sebagai padanan

kata pemahaman. Understand adalah kemampuan merumuskan makna dari pesan

pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam bentuk lisan, tulisan maupun

grafik. Kata kerja yang sering disepadankan dengan kata pemahaman adalah

menginterpretasikan (interpreting), memberi contoh (exemplifying), mengkalsifikasi

(classifying), menyimpul-kan (summarizing), membandingkan (comparing), dan

menjelaskan (explaining). Menginterpretasikan adalah kemampuan mengubah sajian

informasi dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Memberi contoh adalah kemampuan

memberikan contoh khusus dari suatu konsep atau prinsip. Klasifikasi adalah kemampuan

untuk memilah contoh dan yang bukan contoh dari suatu konsep atau prinsip.

Menyimpulkan adalah kemampuan untuk menyusun pernyataan tunggal yang mewakili

suatu informasi. Membandingkan adalah kemampuan menunjukkan persamaan dan

perbedaan antara dua atau lebih objek. Menjelaskan adalah kemampuan merumuskan dan

8

menggunakan model sebab akibat sebuah sistem. Siswa yang memiliki kemampuan

menjelaskan dapat menggunakan hubungan sebab akibat antar bagian dalam suatu sistem.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pemahaman adalah kemampuan

merumuskan makna dari pesan pembelajaran dan mampu mengkomunikasikannya dalam

bentuk lisan, tulisan maupun grafik. Contoh dalam matematika, khusunya dalam topik

bahasan “dimensi tiga” adalah kemampuan siswa menentukan sudut yang dibentuk oleh

garis dan bidang dalam ruang. Dalam contoh ini siswa tidak hanya mampu menentukan

sudut dan besar sudut, tetapi berdasarkan definisi sudut antara garis dan bidang mampu

menjelaskan alasannya.

Penerapan

Penerapan adalah kemampuan menerapkan suatu konsep, prinsip, dan metode pada

suatu masalah yang kongkrit dan baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam

penerapan suatu rumus pada masalah yang belum pernah dihadapi atau penerapan suatu

metode kerja pada pemecahan masalah baru. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari

kemampuan memahami, karena memahami suatu kaidah belum tentu membawa

kemampuan untuk menerapkan pada suatu masalah. Misalnya, siswa dapat menghitung

jumlah liter cat dan uang yang dibutuhkan untuk untuk mengecat dinding suatu ruangan,

apabila kuantitas cat yang dibutuhkan untuk tiap m3 dan harga cat perliter disajikan

(Winkel, 1996). Sedangkan Anderson (2001: 77) menyatakan bahwa penerapan

adalah kemampuan menggunakan prosedur untuk menyelesaikan masalah. Dengan

demikian, penerapan selalu berkaitan dengan pengetahuan prosedural (procedural

knowledge). Kategori penerapan sering disepadankan dengan kemampuan melakukan

(executing) sesuatu pekerjaan routin, atau sering disepadankan dengan kemampuan

menerapkan (implementing) gagasan, prosedur, metode, dan teori dalam kondisi kerja

yang tidak routin. Apabila suatu masalah sudah dikenal oleh siswa, maka secara umum

sudah diketahui prosedur apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, apabila masalah tersebut tidak routin, maka siswa harus mencari prosedur seperti

apa yang tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Bloom (1979) menyatakan bahwa, penerapan mengikuti kaidah bahwa untuk

menerapkan sesuatu membutuhkan pemahaman metode atau prinsip. Seorang guru sering

mengatakan bahwa, apabila sesorang siswa betul-betul paham maka dia dapat

menggunakan pemahamannya tersebut.

9

Penerapan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan menggunakan

gagasan, prosedur, metode, dan teori dalam menyelesaikan suatu masalah baik yang routin

maupun yang tidak routin. Contoh kategori penerapan dalam masalah matematika yang

routin adalah kemampuan siswa menyelesaikan persamaan kuadrat x2 + 2x – 3 = 0 dengan

cara melengkapkan kuadrat. Contoh kategori penerapan dalam masalah matematika yang

tidak routin adalah kemampuan siswa menyelesaikan masalah luas persegipanjang dengan

menggunakan konsep persamaan kuadrat.

Analisis

Analisis adalah kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian,

sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya

kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagain-bagian pokok atau komponen

dasar, bersama hubungan antara bagian-bagian itu. Kemampuan analisis setingkat lebih

tinggi dibanding penerapan, karena kemampuan ini menangkap adanya kesamaan dan

perbedaan antara sejumlah hal (Winkel, 1996).

Anderson (2001) menyatakan bahwa, analisis meliputi kemampuan untuk

memecah suatu kesatuan menjadi bagain-bagian dan menentukan bagaimana bagian-

bagian tersebut dihubungkan satu dengan yang lain atau bagain tersebut dengan

keseluruhannya. Kemampuan yang sering disepadankan dengan analisis adalah

kemampuan membedakan (differentiating), dan mengorganisasi (organizing).

Differentiating meliputi kemampuan membedakan bagian-bagian dari keseluruhan struktur

dalam bentuk yang sesuai. Misalkan, ketika seorang siswa membedakan antara ”apel” dan

”jeruk” dalam konteks buah, apabila dilihat dari sisi ”biji”nya tepat dijadikan aspek

pembeda, sedangkan apabila dilihat dari sisi ”warna” dan ”bentuk” nya tidak tepat sebagai

aspek pembeda. Organizing meliputi kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur secara

bersama-sama menjadi struktur yang saling terkait.

Analisis menekankan pada kemampuan merinci sesuatu unsur pokok menjadi

bagian-bagian dan melihat hubungan antar bagian tersebut. Di tingkat analisis, seseorang

akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan

informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan

mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario

yang rumit.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan analisis adalah kemampuan memecah

suatu kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut

10

dihubungkan satu dengan yang lain atau bagain tersebut dengan keseluruhannya. Contoh

dalam matematika adalah kemampuan menentukan unsur-unsur dan karakteristik kubus.

Sintesis

Sintesis merupakan kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru.

Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga tercipta suatu bentuk baru. Adanya

kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana seperti penyusunan satuan

pelajaran yang dilakukan guru atau penyusunan proposal penelitian ilmiah, dalam

mengembangkan suatu skema dasar sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan tersebut.

Kemampuan ini setingkat lebih tinggi dari kemampuan analisis, karena dituntut kriteria

untuk menemukan pola dan struktur organisasi. Misalnya, siswa dapat merumuskan suatu

hipotesis penelitian berdasarkan teori dan kajian data tertentu (Winkel, 1996).

Sintesis satu tingkat di atas analisis, seseorang di tingkat sintesis akan mampu

menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan

mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg

dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan

solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap

semua penyebab turunnya kualitas produk.

Evaluasi

Evaluasi didefinisikan sebagai kemampuan melakukan judgement berdasar pada

kriteria dan standar tertentu. Kriteria sering digunakan dalam menentukan kualitas,

efektifitas, efisiensi, dan konsistensi, sedangkan standar digunakan dalam menentukan

kuantitas maupun kualitas.

Evaluasi mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai

sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang

berdasar kriteria tertentu. Adanya kemampuan ini dinyatakan dengan memberikan

penilaian terhadap sesuatu. Misalnya, memberikan penialian tepat tidaknya suatu rumusan

tujuan pembelajaran khusus berdasarkan kriteria penyusunan rumusan tujuan

pembelajaran khusus. Kemampuan ini merupakan tingkat tertinggi, karena mencakup

semua kemampuan mulai dari pengtahuan sampai sintesis (Winkel, 1996).

Evaluasi adalah kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan,

dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk

memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.

11

C. Taksonomi SOLO

Biggs & Collis (1982) mendesain taksonomi SOLO (Structure of Observed

Learning Outcomes) sebagai suatu alat evaluasi tentang kualitas respons siswa terhadap

suatu tugas. Taksonomi tersebut terdiri dari lima level, yaitu prastruktural, unistruktural,

multistruktural, relasional, dan extended abstract.

Biggs & Collis (1982) mendeskripsikan setiap level tersebut sebagai berikut. Siswa

yang tidak menggunakan data yang terkait dalam menyelesaikan suatu tugas, atau tidak

menggunakan data yang tidak terkait yang diberikan secara lengkap dikategorikan pada

level prastruktural. Siswa yang dapat menggunakan satu penggal informasi dalam

merespons suatu tugas (membentuk suatu data tunggal) dikategorikan pada unistruktural,.

Siswa yang dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi tidak dapat

menghubungkannya secara bersama-sama dikategorikan pada level multistruktural. Siswa

yang dapat memadukan penggalan-penggalan informasi yang terpisah untuk menghasilkan

penyelesaian dari suatu tugas dikategorikan pada level relasional. Siswa yang dapat

menghasilkan prinsip umum dari data terpadu yang dapat diterapkan untuk situasi baru

(mempelajari konsep tingkat tinggi) dapat dikategorikan pada level extended abstract.

Tugas tidak dikerjakan oleh siswa secara tepat, dia tidak memiliki keterampilan

yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugasnya, siswa itu adalah siswa prastruktural.

Untuk mahasiwa unistruktural dan multistruktural, dapat mengerjakan tugas dengan

menggunakan satu atau lebih aspek yang terkait, namun belum diintegrasikan. Bila aspek-

aspek tersebut diintegrasikan secara koheren, maka siswa tersebut tergolong dalam

relasional. Jika integrasi tersebut dikonseptualisasi pada level tinggi dengan cara abstraksi

dan generalisasi untuk topik atau area baru, maka siswa ini berada dalam level extended

abstract.

Menurut Biggs (1999) respons siswa pada level extended abstract dan relasional

adalah fase kualitatif. Dalam hal ini, siswa merespons suatu masalah dengan cara

mengintegrasikan informasi-informasi yang diberikan dengan menggunakan pola (pattern)

struktural. Sedangkan untuk level-level di bawahnya merupakan fase kuantitatif. Siswa

dalam hal ini melakukan respons terhadap tugas dengan menggunakan satu atau lebih atau

bahkan tidak sama sekali dari informasi-informasi yang diberikan. Bila informasi-

informasi tersebut digunakan, dia tidak melakukan penginteg-rasian.

12

Bila dibandingkan dengan Taksonomi Bloom, maka dapat dideskripsikan sebagai

berikut. Indikasi level extended abstract adalah membuat teori, generalisasi, hipotesis,

refleksi, dan membangun. Indikasi level relasional adalah membandingkan, menjelaskan

(tentang mengapa), memadukan, menganalisis, menghubungkan, dan menerapkan.

Indikasi level multistruktural adalah mengklasifikasikan, menghitung, mendes-kripsikan,

mendaftar, mengombinasikan, dan mengerjakan suatu algoritma. Indikasi level

unistruktural adalah mengidentifikasi, melakukan prosedur sederhana. Indikasi level

prastruktural adalah tidak ada poin dalam taksonomi Bloom.

Hawkins & Hedberg (1986) melakukan penelitian tentang evaluasi LOGO (nama

software komputer) dengan menggunakan taksonomi SOLO. Deskripsi umum tentang

level SOLO untuk keterampilan belajar dengan LOGO adalah sebagai berikut. Siswa yang

tidak melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah, dan jenis-jenis perintah yang

“diberikan” siswa tidak dipahami oleh komputer dikategorikan pada level prastruktural.

Siswa yang dapat menggunakan hanya satu model display, menggunakan hanya satu

perintah, dan untuk membersihkan screen monitor dimatikan dan dimulai lagi

dikategorikan pada level unistruktural. Siswa yang dapat menggunakan model-model

display dengan satu atau lebih perintah, menggunakan model teks dan berusaha membuat

program, namun tidak dapat mengedit, bila salah program dihapus dan dimulai lagi

dikategorikan pada level multistruktural. Siswa yang dapat menulis program dalam model

teks, dan jika terjadi kesalahan, maka dilakukan editing dikategorikan pada level

relasional. Siswa yang dapat menulis program dengan model teks, dan mengeditnya bila

perlu, serta mampu memasukkan variabel dapat dikategorikan pada level extended

abstract.

Dalam penelitian Olive (1991) tentang pemrograman LOGO dan pengertian

geometri, diperoleh deskripsi sebagai berikut. Respons siswa prastruktural tidak dapat

menggunakan objek secara tepat. Siswa unistruktural menggunakan satu objek. Siswa

multistruktural menggunakan objek-objek yang dikombinasikan dengan objek lainnya atau

perintah pada suatu prosedur, tetapi objek tersebut tidak direlasikan secara tepat. Siswa

realtional dapat menghubungkan objek-objek secara bersama-sama dalam suatu urutan

penyelesaian tugas. Operasi relasi terkait dengan tugas dan struktur objek. Objek LOGO

digunakan untuk membangun blok. Siswa extended abstract dapat merelasikan objek-

objek secara bersama-sama untuk memciptakan objek baru yang lebih umum, lebih

13

abstrak dari bagiannya; atau suatu prosedur digeneralisasi secara efektif untuk

menciptakan objek khusus dalam struktur tersebut.

Level Prastruktural

Siswa yang merespons suatu tugas dengan menggunakan pendekatan yang tidak

konsisten dikategorikan pada level prastruktural (Collis & Biggs, 1986). Respons yang

ditunjukkan berdasarkan rincian informasi yang tidak relevan. Konsepsi yang dia

munculkan bersifat personal, subjektif dan tidak terorganisasi secara intrinsik. Siswa

tersebut tidak memahami tentang apa yang didemonstrasikan. Bila dikaitkan dengan

bangunan suatu rumah, maka semua bahan berserakan dan tidak dapat memulai

membangun rumah tersebut.

Nulty (2001) melakukan penelitian tentang respons siswa dalam konteks seperti

berikut, yaitu mendesain eksperimen (merencanakan suatu percobaan dalam mata kuliah

Sain/Kimia) dan menguji hipotesis; menganalisis suatu argumen; menyelesaikan masalah;

dan berpikir kreatif. Siswa tidak dapat mendesain eksperimen dan tidak dapat menguji

hipotesis, tidak dapat menganalisis suatu argumen, tidak dapat menyelesaikan masalah,

dan tidak dapat berpikir secara kreatif siswa tersebut dapat dikategorikan pada level

prastruktural.

Biggs & Collis (1982) melakukan penelitian tentang bagaimana cara mengevaluasi

kemampuan berpikir kritis. Dalam penelitian ini, masalah yang diajukan adalah seperti

berikut, mengapa sisi gunung yang menghadap ke pantai lebih basah dibanding sisi

gunung yang menghadap ke darat? Dua responden pada level prastruktural memberikan

respon seperti berikut, responden pertama tidak memberikan jawaban apapun, sedangkan

responden kedua memberikan jawaban tetapi tidak relevan dengan masalah.

Menurut Hawkins, et al (1986) bila siswa diberikan masalah dan tidak ada upaya

untuk memecahkan masalah tersebut. Jenis-jenis perintah yang digunakan untuk

menjalankan suatu algoritma tidak bermakna. Hal ini berarti siswa tersebut tidak

memahami pertanyaan atau tugas yang harus dia selesaikan. Dia melakukan sesuatu yang

tidak relevan, tidak melakukan identifikasi terhadap konsep-konsep yang terkait, dan

sering menuliskan fakta-fakta yang tidak ada kaitannya. Siswa yang berkarakteristik

seperti di atas dapat dikategorikan pada level prastruktural

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, siswa prastruktural tidak

melakukan respons yang sesuai dengan sekumpulan pernyataan yang diberikan. Dia tidak

memahami masalah yang diberikan. Dia mengabaikan pernyataan-pernyataan atau

14

informasi-informasi yang diberikan, atau bila memberikan respon maka respon tersebut

tidak relevan dengan informasi-informasi yang diberikan.

Level Unistruktural

Menurut Collis & Biggs (1986) bahwa siswa yang melakukan respons berdasarkan

satu fakta konkret yang digunakan secara konsisten, namun hanya dengan satu elemen

dapat dikategorikan pada level unistruktural. Untuk suatu permasalahan yang kompleks,

siswa hanya memfokuskan pada satu konsep saja. Biggs (1999) menemukan respons siswa

pada level unistruktural dalam usaha menyusun struktur tertentu hanya membuat satu

hubungan sederhana, sehingga hubungan yang dibuat tersebut tidak memiliki logika yang

jelas. Hasil penelitian Hawkins & Hedberg (1986) menunjukkan bahwa siswa yang hanya

menggunakan satu model display, hanya menggunakan satu perintah tunggal, dan ia tidak

dapat memberikan penalaran terhadap respon yang diberikan dapat dikategorikan pada

level unistruktural.

Hasil penelitian Nulty (2001) menunjukkan bahwa siswa pada level ini

memberikan satu desain eksperimen, dengan satu hipotesis. Desain eksperimen ini bersifat

konvergen dengan hanya ingin mengetahui satu jawaban. Desain eksperimen tersebut

diasumsikan dapat menemukan jawaban hanya dengan satu tahapan (jika x maka y). Dia

memberikan satu interpretasi tanpa kualifikasi atau mendasarkan pada sesuatu yang

kontekstual. Terkait dengan problem solving, siswa hanya memberikan satu solusi, dan dia

menyatakan solusinya hanya itu (walaupun yang sebenarnya problem tersebut adalah

divergen). Dalam hal berpikir kreatif, siswa tersebut mendemonstrasikan suatu pola pikir

yang uni-directional, yang memfokuskan pada satu aspek atau satu strategi atau satu

solusi. Dia berpikir terbatas pada parameter, dan membuat hubungan antar item secara

langsung.

Penelitian Biggs & Collis (1982) tentang bagaimana cara mengevaluasi

kemampuan berpikir kritis terhadap masalah seperti berikut, mengapa sisi gunung yang

menghadap ke pantai lebih basah dibanding sisi gunung yang menghadap ke darat?

Responden yang memberikan jawaban seperti berikut, “karena hujan lebih banyak terjadi

pada sisi gunung yang menghadap ke pantai” dapat dikategorikan pada level unistruktural.

Berdasarkan uraian di atas, siswa pada level ini mencoba menjawab pertanyaan

secara terbatas, dengan cara memilih satu penggal informasi yang ada.

15

Level Multistruktural

Collis & Biggs (1986) mendeskripsikan bahwa siswa yang dapat memecahkan

masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan yang dapat mereka

buat, namum hubungan-hubungan tersebut belum tepat. Respons yang dibuat siswa pada

level ini didasarkan pada hal-hal yang konkret tanpa memikirkan bagaimana

interrelasinya. Respons tersebut konsisten, namun belum terintegrasi dengan baik. Siswa

dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.

Penelitian Hawkins & Hedberg (1986) tentang evaluasi program computer dengan

bahasa LOGO menemukan siswa yang bekerja dengan trial & error. Dia dapat melihat

lebih dari satu strategi, tetapi mereka tidak melakukan interrelasi. Dia menggunakan

model display dengan lebih dari satu perintah. Dia juga menggunakan mode teks dan

berusaha membuat program, namun tidak memiliki kemampuan untuk mengedit, bila

terjadi kesalahan dia akan hapus program tersebut, dan memulai dengan yang baru. Siswa

dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.

Hasil penelitian Nulty (2001) menunjukkan bahwa siswa yang memberikan lebih

dari satu desain eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis. Desain eksperimen tersebut

konvergen, namun dapat memberikan beberapa kemungkinan jawaban. Dia memberikan

lebih dari satu interpretasi terhadap suatu argumen namun interpretasi tersebut masih

dilakukan secara terpisah. Terkait dengan problem solving, siswa pada level ini

memberikan beberapa solusi dari suatu permasalahan. Dia mendemonstrasikan suatu pola

pikir dalam dua dimensi. Siswa pada level ini menggunakan dua atau lebih penggal

informasi, namun urutan informasi tersebut sering gagal diberikan penjelasan mengapa

atau apa hubungan di antara sekumpulan data tersebut. Berkaitan dengan berpikir kritis,

siswa memfokuskan pemikiran pada beberapa asfek strategi dan solusi, tanpa mampu

menghubungkan antara aspek-aspek dan strategi-strategi yang jelas-jelas saling berkaitan.

Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level multistruktural.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dismpulkan bahwa siswa yang memiliki

kemampuan merespon masalah dengan beberapa strategi yang terpisah. Banyak hubungan

yang dapat mereka buat, namum hubungan-hubungan tersebut belum tepat. Respons yang

dibuat siswa pada level ini didasarkan pada hal-hal yang konkret tanpa memikirkan

bagaimana interrelasinya. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan

pada level multistruktural.

16

Level Relasional

Collis & Biggs (1986) mendeskripsikan bahwa siswa yang merespons suatu tugas

berdasarkan konsep-konsep yang terintegrasi, menghubungkan semua informasi yang

relevan. Konklusi yang diperoleh secara konsisten secara internal. Siswa dengan

karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level realsional.

Penelitian Hawkins & Hedberg (1986) tentang pemrograman dengan bahasa

LOGO menemukan bahwa siswa mampu membuat keputusan, dan mengintegrasikan

semua data yang ada. Dia mampu menulis program dalam model teks, dan jika terjadi

kesalahan cukup diedit. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan

pada level relasional.

Nulty (2001) menemukan bahwa siswa yang memberikan lebih dari satu desain

eksperimen, dengan lebih dari satu hipotesis. Siswa tersebut dapat mengaitkan desain dan

hipotesis secara bersama-sama. Desain eksperimennya menggunakan pendekatan tahap

ganda untuk menemukan perbedaan fakta. Siswa pada level ini dapat memberikan lebih

dari satu interpretasi dari suatu argumen. Dia dapat memberikan beberapa solusi untuk

suatu problem divergen, dan memberikan hubungan antar solusi yang mungkin. Siswa

pada level ini dapat mengaitkan hubungan antara fakta dan teori serta tindakan dan tujuan.

Siswa mulai mengaitkan informasi-informasi menjadi satu kesatuan yang koheren,

sehingga ia peroleh konklusi yang konsisten. Pemahaman siswa terhadap beberapa

komponen terintegrasi secara konseptual. Siswa dapat menerapkan konsep untuk masalah

yang familier dan tugas situasional. Siswa dapat mengaitkan bagian-bagian menjadi satu

kesatuan. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level

relasional.

Level Extended Abstract

Menurut Collis & Biggs (1986) siswa yang dapat memberikan beberapa

kemungkinan konklusi. Prinsip abstrak digunakan untuk menginterpretasikan fakta-fakta

konkret dan respons yang tepat yang terpisah dengan konteks. Hal ini dilakukannya secara

konsisten. Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level

extended abstract.

Hawkins & Hedberg (1986) mendeskripsikan siswa yang memiliki kemampuan

menyusun keterkaitan antar sistem. Dia mampu menulis program dalam model teks dan

17

mengeditnya bila perlu, dengan memunculkan variabel-variabel tertentu. Siswa dengan

karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended abstract.

Nulty (2001) juga mendeskripkan siswa yang dapat memberikan lebih dari satu

desain eksperimen dengan lebih dari satu hipotesis. Dia memberikan suatu dasar untuk

mendesain eksprimen dan membuat hipotesis dari masalah awal. Diagnosis yang

dilakukan tidak selalu konvergen, sehingga memungkinkan adanya temuan-temuan baru

dan teori baru. Desain eksperimen tersebut menggunakan pendekatan tahap ganda. Dia

memberikan lebih dari satu interpretasi tentang suatu argumen, sehingga dapat mengaitkan

keterpaduan diantara interpretasi tersebut untuk membentuk suatu gagasan baru. Dalam

hal problem solving, siswa pada level ini dapat memberikan beberapa solusi terhadap

suatu masalah, memberikan penjelasan tentang hubungan antar solusi yang mungkin,

melakukan justifikasi terhadap solusi-solusi tersebut untuk membangun struktur baru.

Dalam hal berpikir kritis, menyajikan pemikiran dengan pandangan yang menyeluruh,

imajinatif atau original untuk menghubungkan antara aspek yang tidak berhubungan

secara langsung. Dia mampu mendemonstrasikan berpikir multidimensi, dan dapat

menghubungkan dengan item-item di luar yang ada sehingga terbentuk gagasan baru.

Siswa dengan karakteristik seperti tersebut dapat dikategorikan pada level extended

abstract.

Dari uraian ini, siswa pada level ini telah berpikir secara konseptual, dan dapat

melakukan generalisasi pada suatu area baru. Rincian respons yang dibangun pada suatu

pola struktural dapat terintegrasi pada suatu struktur yang lain.

D. Taksonomi Berdimensi Dua

Usaha untuk menggabungkan dua macam taksonomi pengetahuan bisa dilakukan

dengan memasukkan dua macam taksonomi dalam tabel. Berdasarkan uraian di atas dapat

dideskripsikan karakteristik setiap sel Ci-Sj seperti diuraikan pada matriks berikut.

Tabel 2: Deskripsi dan Karakteristik Setiap Sel Ci-Sj Taksonomi Bloom dan

SOLO

Taksonomi

Bloom

Taksonomi

SOLO

Sel

Ci-Sj

Hipotesis Karakteristik Respon

1 2 3 4

Pengetahuan Pra-struktural C1-S0 Tidak dapat memanggil informasi dari memori jangka

panjang atau memanggil informasi dari memori yang

18

tidak relevan dengan masalah.

Uni-

struktural

C1-S1 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi

dari memori jangka panjang yang relevan dengan

masalah.

Multi-

struktural

C1-S2 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi

dari memori jangka panjang yang relevan dengan

masalah lebih dari satu yang bersifat parsial, kalaupun

mecoba mengaitkan satu informasi dengan informasi

lainya namun keterkaitannya tidak tepat.

Relasional C1-S3 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi

dari memori jangka panjang yang relevan dengan

masalah lebih dari satu dan mampu mengaitkan satu

informasi dengan informasi lainya.

Extended

Abstract

C1-S4 Kemampuan memperoleh kembali sebuah informasi

dari memori jangka panjang yang relevan dengan

masalah lebih dari satu dan mampu mengaitkan satu

informasi dengan informasi lainya serta dapat

memperluas informasi tersebut dalam konteks yang

lebih luas.

Pemahaman Pra-struktural C2-S0 Tidak dapat merumuskan makna yang relevan dengan

masalah atau dapat merumuskan makna tetapi tidak

relevan dengan masalah.

Uni-

struktural

C2-S1 Kemampuan merumuskan sebuah makna yang relevan

dengan masalah.

Multi-

struktural

C2-S2 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang

relevan dengan masalah tetapi masih bersipat parsial.

Relasional C2-S3 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang

relevan dengan masalah dan dapat menghubungkan

beberapa makna tersebut menjadi satu kesatuan.

Extended

Abstract

C2-S4 Kemampuan merumuskan lebih dari satu makna yang

relevan dengan masalah dan dapat menghubungkan

beberapa makna tersebut menjadi satu kesatuan serta

dapat memperluas makna dalam konteks yang lebih

luas.

Penerapan Pra-struktural C3-S0 Tidak dapat menggunakan konsep, prinsip, dan

19

metode pada suatu konteks atau menggunakan konsep,

prinsip, dan metode pada konteks yang tidak tepat.

Uni-

struktural

C3-S1 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan

metode pada satu konteks.

Multi-

struktural

C3-S2 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan

metode pada beberapa konteks namun masih bersifat

terpisah kalaupun mencoba mengaitkan antar konteks

keterkaitannya tidak tepat.

Relasional C3-S3 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan

metode pada beberapa konteks dapat menjelaskan

keterkaitannya.

Extended

Abstract

C3-S4 Kemampuan menggunakan konsep, prinsip, dan

metode pada beberapa konteks dapat menjelaskan

keterkaitannya serta memperluas penggunaan dalam

konsteks yang umum.

Analisis Pra-struktural C4-S0 Tidak dapat memecah suatu kesatuan menjadi bagian-

bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian

tersebut dihubungkan atau dapat memecah suatu

kesatuan menjadi bagian-bagian dan menentukan

bagaimana bagian-bagian tersebut dihubungkan tetapi

tidak tepat.

Uni-

struktural

C4-S1 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-

bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian

tersebut dihubungkan dengan satu model.

Multi-

struktural

C4-S2 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-

bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian

tersebut dihubungkan dengan beberapa model tetapi

tidak dapat menjelaskan keterkaitan model-model

tersebut kalupun mencoba menjelaskan keterkaitan

model-model tersebut meruapakan keterkaitan yang

tidak tepat.

Relasional C4-S3 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-

bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian

tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan

20

dapat menjelaskan kesetaraan model tersebut.

Extended

Abstract

C4-S4 Kemampuan memecah suatu kesatuan menjadi bagian-

bagian dan menentukan bagaimana bagian-bagian

tersebut dihubungkan dengan beberapa model dan

dapat menjelaskan kesetaraan model-model tersebut

serta dapat memperluas pada model yang lebih umum.

Sintesis Pra-struktural C5-S0 Tidak dapat membentuk suatu kesatuan dari bagian-

bagian atau dapat membentuk suatu kesatuan tetapi

tidak tepat.

Uni-

struktural

C5-S1 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-

bagian dengan satu model.

Multi-

struktural

C5-S2 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-

bagian dengan lebih dari satu model namun tidak

dapat menjelaskan keterkaitan model-model tersebut

dan kalaupun mencoba menjelaskan keterkaitan

model-model tersebut merupakan keterkaitan yang

tidak tepat.

Relasional C5-S3 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-

bagian dengan lebih dari satu model dan dapat

menjelaskan keterkaitan model-model tersebut.

Extended

Abstract

C5-S4 Kemampuan membentuk suatu kesatuan dari bagian-

bagian dengan lebih dari satu model dan dapat

menjelaskan keterkaitan model-model tersebut serta

dapat memperluas pada model yang lebih umum.

Evaluasi Pra-struktural C6-S0 Tidak dapat memberikan penilaian terhadap solusi,

gagasan dan metodologi dengan satu kriteria, kalaupun

dapat memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan

dan metodologi dengan satu kriteria tertentu tetapi

kriteria yang digunakan tidak tepat.

Uni-

struktural

C6-S1 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,

gagasan dan metodologi dengan satu kriteria untuk

menentukan kualitas tertentu.

Multi-

struktural

C6-S2 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,

gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria

untuk menentukan kualitas tertentu namun tidak dapat

21

menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa

kriteria tersebut, kalaupun mencoba mengaitkan

keterkaitannya tidak tepat .

Relasional C6-S3 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,

gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria

untuk menentukan kualitas tertentu dan dapat

menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa

kriteria tersebut.

Extended

Abstract

C6-S4 Kemampuan memberikan penilaian terhadap solusi,

gagasan dan metodologi dengan lebih dari satu kriteria

untuk menentukan kualitas tertentu dan dapat

menjelaskan keterkaitan penilaian dengan beberapa

kriteria tersebut serta dapat memperluas untuk kriteria

yang lebih umum.

22

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari kajian yang sudah penulis lakukan pada karya tulis ini, kesimpulan penulisan

adalah:

1. Model taskonomi dua dimensi ini dapat digunakan untuk menilai kualitas respon

siswa terhadap terhadap masalah matematika.

2. Model taksonomi dua dimensi ini dapat mengatasi keterbatasan pengukuran dan

penilaian matematika sehingga pengukuran dan penilainnya menjadi lebih

obyektif.

B. Rekomendasi

Rekomendasi yang penulis sampaikan melalui karya tulis ini adalah:

1. Untuk Praktisi: Pergunakan taksonomi dua dimensi (SOLO dan Bloom) untuk

menentukan respon pembelajaran matematika, agar kita melakukan skoring

terhadap kualitas jawaban soal uraian masih menggunakan pendekatan “materi”.

Artinya, kualitas jawaban soal matematika bentuk uraian ditentukan oleh

kompleksitas materi atau panjang-pendek prosedur pengerjaan soal tersebut. Model

taksonomi dua dimensi ini tidak hanya mengukur kulitas jawaban dari sisi “isi

materi”, tetapi dapat mengukur kualitas berpikir subjek yang menjawab soal

tersebut.

2. Untuk pembuat kebijakan: Sosialisasika model taksonomi berdomensi dua ini untuk

mengatasi keterbatasan pengukuran pendidikan yang selama ini sudah berjalan,

sehingga hasil pengukuran akan lebih obyektif.

23

DAFTAR PUSTAKA

Anderson,Lorin W.;Krathwohl,David R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and

Assessing. New York: Addison Wesley Logman.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:

Bumi Aksara.

Biggs, J. & Collis, K.F. 1982. Evaluating the quality of learning: The SOLO taxonomy.

New York: Academic Press.

Biggs, J.1995. Assesing for learning: Some dimensions underlying new approaches to

educational assesment. The alberta Journal of Educational Research 41 (1).

http://www.tedi.uq.edu.au/downloads/Biggs_SOLO.pdf

Biggs,J.1999. Teaching for quality at University. Second Edition. Buckingham: SRHE/OU

press

Bloom, Benyamin S. 1979. Taksonomy of Educational Objectives (The Clasification of

Educational Goals) Handbook 1 Cognitive Domain. London: Longman Group Ltd.

Bogdan, Robert C. and Biklen, Sari Knopp.1982. Qualitative Research for Education: An

introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Collis, K. F. & Biggs J. B. 1986. Using The SOLO Taxonomy.

http://www.hebes.mdx.ac.uk/teaching/

Davis,Robert B.1984. Learning Mathematics, The Cognitive Science Approach to

Mathematics Education. Croom Helm:London & Sidney

Goldin,G.A.1998. Observing Mathematical Problem Solving Through Task-based

Interviews. In: A.Teppo (Ed.) Qualitative Research Methods in Mathematics

Education. Monograph No. 9 Journal for Research in Mathematical Education

(JRME).

Hartanto Sunardi. 2006. Taksonomi SOLO Plus. Disertasi Doktor P. Matematika UNESA:

Tidak Dipublikasikan.

Hawkins, W & Hedberg, J.G.1986. Evaluating LOGO: Use of the SOLO Taxonomy.

Australian Journal of Educational Technology. 2(2)

http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet2/

Hughes, Dave.1999. Materials and Designs – Use of SOLO.

http://www.bradford.ac.uk/acad/civeng/

Nulty, Duncan.2001. Enhancing the transition of first year science students – a strategic

and systematic approach . http://www.adcet.edu.au/ uploads/documents/055.doc

24

Soedjadi,R. 1999/2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen

Dikti.Depdiknas.

Tjokrodihardjo, Soegijo. 2001. Taksonomi Tujuan Pendidikan (Buku I Bidang Kognitif)

Alih Bahasa. Surabaya: Unesa University Press.

Widada,Wahyu.2003. Struktur Representasi Pengetahuan Siswa tentang Permasalahan

Grafik Fungsi dan Kekonvergenan Deret Tak Hingga pada Kalkulus. Disertasi

Doktor P. Matematika UNESA: Tidak Dipublikasikan.

Winkel,W.S.,1996. Psikologi Pengajaran (Edisi Revisi) Cetakan ke-5. Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia.

25

Biodata Penulis

1. Nama : Drs. Khamim Thohari, MEd.

2. Nip : 150259179

3. Tempat, Tanggal Lahir : Mojokerto, 4 Juni 1968

4. Pangkat : Pembina/IVa

5. Jabatan : Widyaiswara Madya

6. Instansi : Balai Diklat teknis Keagamaan Surabaya

Jl. Ketintang Madya 92 Surabaya

Telp, (031) 8280116 Fax. (031) 8290021

7. Alamat : Beratkulon Kemlagi Mojokerto

Telp. 082139468389

8. Riwayat Pendidikan :

MI Lulus Th. 1980 di Mojokerto

MTs Lulus Th. 1983 di Mojokerto

MA Lulus th. 1986 di Mojokerto

IAIN Jurusan Tadris Matematika Lulus 1990 di Malang

S2 DEAKIN University Melbourne Australia Lulus Th. 2001