solusi dalam ikhtilÂf...
TRANSCRIPT
SOLUSI DALAM IKHTILÂF AL-HADÎTS
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Maya Arianty Adjie
NIM: 1113034000223
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
ḏ de dengan garis bawah ض
ṯ te dengan garis bawah ط
ẕ zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan ha غ
f Ef ؼ
q Ki ؽ
k Ka ؾ
l El ؿ
m Em ـ
n En ف
w We و
ػه h Ha
Apostrof ` ء
y Ye ي
ii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـ
I Kasrah ـ
U ḏammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـ
ai a dan i
و ـ
au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ػػػػػػػػػػػػػػا
î i dengan topi di atas ـــي
û u dengan topi di atas ـــو
iii
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu اؿ, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
diwân bukan ad-diwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya,
kata tidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian الضرورة
seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na´t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
iv
No. Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريػقة 1
ميةالجاملة اإلسل 2 Al-Jâmilah al-Islâmiyyah
Wahdat al-Wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Ranîrî.
v
8. Cara Penulisan Data
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
تاذ ذهب األس dzahaba al-ustâdzu
tsabata al-ajru ثػبت األجر
al-harakah al-‘asriyyah الحركة العصرية
ه إل اهللأشهد أف ل إل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
الصالح مولنا ملك Maulânâ Malik al-Salih
yu’atstsirukum Allâh يػؤثػركم اهلل
al-maẕâhir al-‘aqliyyah المظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
vi
ABSTRAK
Maya Arianty Adjie
Solusi Dalam Ikhtilâf al-Hadîts
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hadis adalah sumber ajaran
kedua yang disampaikan dari Rasulullah SAW. setelah Al-Qur`an dan
tidak boleh dipisahkan. Namun sebagaimana diketahui bahwa mayoritas
hadis-hadis Nabi SAW. diriwayatkan secara makna, hal ini ditunjukkan
oleh adanya perbedaan-perbedaan lafal dari para periwayat yang tsiqqat
untuk satu hadis. Namun demikian, al-riwâyah bi al-ma‘nâ dengan
berbagai alasannya, merupakan fenomena yang tak bisa dielakkan. Alasan
utamanya adalah ketidak mungkinannya seluruh sabda dan perbuatan Nabi
SAW. untuk diriwayatkan secara lafal. Namun jelas, bahwa adanya al-
riwâyah bi al-ma´nâ secara otomatis akan berimplikasi pada perbedaan
redaksi yang tidak mempengaruhi makna atau maksud hadis, namun ada
juga yang menyebabkan perbedaan makna, bahkan tidak jarang menjadi
pemicu munculnya perbedaan dan perpecahan umat sehingga akhirnya
timbullah adanya ikhtilâf, seperti pada hadis kontradiksi mengenai buang
hajat menghadap kiblat, buang air kecil dengan posisi berdiri, al-Kayy, dan
aurat laki-laki di bagian paha.
Metode penulisan yang digunakan adalah metode Library Research
yaitu penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumber-sumber
tertulis. Materi yang akan dibahas yaitu hadis mengenai buang hajat
menghadap dan membelakangi kiblat. Dari pembahasan itulah yang akan
dijelaskan hakikat tentang buang hajat menghadap dan membelakangi
kiblat, hadis yang membolehkan dan yang melarang, solusi metode
penyelesaian dalam ikhtilâf al-hadîts dan status dari ketiga kasus hadis
tersebut.
Kesimpulan dari judul skripsi tersebut, hadis mengenai buang hajat
menghadap dan membelakangi kiblat itu dilarang jika dilakukan secara
mutlak dalam keadaan terbuka atau di tempat yang dapat dilihat orang
banyak, sedangkan membuang hajat menghadap kiblat di dalam ruangan
atau WC sebenarnya bukan menghadap ke kiblat tetapi menghadap ke
dinding dan hal tersebut menunjukkan kebolehan, maka metode
penyelesaian hadis tersebut menggunakan metode al-Jam‘u wa al-Taufîq,
serta dapat pula diamalkan.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang mana Dia-lah yang
memberikan nikmat sehat, nikmat iman, dan nikmat Islam, sehingga skripsi ini
dapat dikerjakan dengan baik hingga selesai, karena tanpa pertolongan-Nya
penulis tidak akan bisa menempuh pendidikan hingga meraih gelar Sarjana.
Shalawat serta salam tidak lupa penulis junjungkan kepada Rasulullah SAW.
beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dengan selesainya skripsi ini, merupakan suatu kebahagiaan yang tak
terhingga, meskipun banyak sekali rintangan-rintangan yang ditempuh demi
menyelesaikan skripsi ini, namun berkat pertolongan-Nya, rintangan-rintangan
tersebut dapat dijalani dengan kesabaran. Dan juga tidak lupa beberapa bantuan
dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu yang pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof.
Dr. Masri Mansoer, M.Ag. beserta jajarannya.
3. Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Ibu Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, M.Ag, beserta Sekretaris Program Studi Ibu Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd.
4. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Ahmad Fudhaili, M.Ag, yang telah
memberikan begitu banyak bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dan dapat pula penulis
amalkan serta kelak mendapat balasan yang terbaik di sisi Allah SWT.
6. Kedua orang tua tercinta, mamah dan papah (Bapak Adjie Maspul Padmo
dan Ibu Neny Nuraeni Natawiriya), terima kasih banyak atas segala
pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi, dan do’a yang tidak
viii
pernah putus, cinta dan kasih sayang yang selalu memberikan semangat,
serta do’a dan restunya kepada penulis.
7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir angkatan 2013, khususnya kepada sahabat TH-Family Dini Asrianti,
Puput Fauziyah, Fildzah Nida, Tuti Atianti, Rusnul Nur’ahlina Hanifi,
Yeni Yulianti, Nia Yuniarti, Lukmanul Hakim, Rozali Hidayatullah, dan
lain-lain.
8. Seluruh teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2016, khususnya Iqbal
Syafei selaku ketua KKN SMART, Prameswari Putri Pramono, Nur
Jannah, Lusiani, dan lain-lain.
Jakarta, 2 Juni 2018
Maya Arianty Adjie
ix
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI............................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Permasalahan ................................................................................................. 14
1. Identifikasi Masalah ................................................................................. 14
2. Pembatasan Masalah ................................................................................ 14
3. Perumusan Masalah ................................................................................. 15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 15
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 15
E. Metodologi Penelitian .................................................................................... 17
1. Metodologi Penelitian .............................................................................. 17
a. Sumber Data....................................................................................... 17
b. Metode Pengumpulan Data ................................................................ 17
c. Metode Analisa Data.......................................................................... 18
2. Teknik Penulisan ...................................................................................... 18
F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 19
BAB II : IKHTILÂF DALAM HADIS ................................................................. 21
A. Kedudukan Hadis ........................................................................................... 21
B. Fungsi Hadis .................................................................................................. 23
C. Hakikat Ikhtilâf al-Hadîts .............................................................................. 25
1. Definisi Mengenai Ikhtilâf al-Hadîts ....................................................... 25
2. Urgensi Mempelajari Mukhtalif al-Hadîts ............................................... 30
3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Ikhtilâf dalam Hadis ....................... 31
4. Pendapat Ulama Tentang Mukhtalif al-Hadîts ........................................ 34
D. Sejarah Perkembangan Ikhtilâf al-Hadîts ...................................................... 35
E. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif ............................................... 36
1. Al-Jam´u wa al-Taufîq ............................................................................. 36
2. Nasikh wa al-Mansukh ............................................................................. 40
3. Al-Tarjîh ................................................................................................... 43
4. Tawaqquf.................................................................................................. 46
F. Karya-Karya Dalam Bidang Ilmu Mukhtalif al-Hadîts ................................. 49
x
BAB III : SOLUSI METODE PENYELESAIAN DALAM
IKHTILÂF AL-HADÎTS ........................................................................ 51
A. Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi Kiblat ......... 51
1. Hakikat Melakukan Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi
Kiblat........................................................................................................ 51
2. Takhrij Hadis ........................................................................................... 52
3. Metode Penyelesaian Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan
Membelakangi Kiblat............................................................................... 54
BAB IV : PENUTUP .............................................................................................. 63
A. Kesimpulan .................................................................................................... 63
B. Saran .............................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membahas mengenai hadis, seluruh umat Islam telah sepakat
bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati
kedudukannya setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat
Islam, baik berupa perintah maupun larangannya sama halnya dengan
kewajiban mengikuti Al-Qur`an. Hal ini karena hadis merupakan
mubayyin (penjelasan) terhadap Al-Qur`an, yang karenanya siapa pun
tidak akan bisa memahami Al-Qur`an tanpa memahami dan menguasai
hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an. Karena
Al-Qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis
besar syari‟at. Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki
kaitan sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa
dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.1
Karena itu, hadis Nabi SAW. pun juga adalah wahyu, dan
penampilannya muncul melalui redaksi atau perilaku Nabi SAW. sebagai
Rasul Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah SWT. :
٤-٣: [٥٣]جم )سورة الن ﴾٤﴿ى لا وحي ي وح ان ىو ا ﴾٣﴿ى وما ي نطق عن الهو
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut
keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm [53] : 3-4).
كم عنو فان ت هواراسول فخذوه وما كم الا ت آوم ﴾ ۷﴿ انا الل شديد العقاب وات اقوا الل ن ه ۷[ :٥٥الحشر ] )سورة
1 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
2
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr [59] :
7).
Untuk Al-Qur`an, semua periwayatan ayat-ayatnya berlangsung
secara mutawatir, sedang untuk hadis Nabi SAW., sebagian
periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi
berlangsung secara ahad. Karenanya, Al-Qur`an dilihat dari segi
periwayatannya mempunyai kedudukan sebagai qaṯ„i al-wurûd, dan
sebagian lagi, bahkan yang terbanyak, berkedudukan sebagai ẕanni al-
wurûd. Dengan demikian, dilihat dari segi periwayatannya, seluruh ayat
Al-Qur`an tidak perlu dilakukan penelitian tentang orisinalitasnya, sedang
hadis Nabi SAW., dalam hal ini yang berkategori ahad, diperlukan
penelitian. Dengan penelitian itu akan diketahui, apakah hadis yang
bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan periwayatannya berasal dari
Nabi SAW. ataukah tidak.2
Merujuk pada Firman Allah SWT. tersebut, maka tidak ada alasan
bagi orang Islam untuk menafsirkan dan menolak hadis Nabi SAW. karena
eksistensi hadis telah memperoleh justifikasi dari Al-Qur`an. Karena itu,
setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadis sebagai sumber
ajaran agama Islam sebenarnya hal itu tidaklah dari sebuah pelecehan dan
pada gilirannya akan memisahkan Al-Qur`an dari kehidupan umat Islam.
Pada zaman Rasul, al-Khulafâ` al-Rasyidun, sampai akhir abad
pertama hijriah, sebahagian hadis berpindah dari mulut ke mulut. Masing-
masing periwayat hadis meriwayatkannya berdasarkan kepada catatan dan
2 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 3-4.
3
kekuatan hafalannya. Pada fase tabi„in wilayah Islam sudah demikian luas,
meliputi Jazirah Arab, Syiria, Palestina, Yordania, Libanon, seluruh
kawasan Irak, Mesir, Persia, dan kawasan Samarkan. Perluasan daerah itu
diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran Islam di
daerah-daerah tersebut. Maka kondisi tersebut menjadi salah satu alasan
pembukuan hadis.
„Umar ibn „Abd „Azîz adalah orang pertama mengajurkan
pembukuan hadis. Sebagai seorang khalifah (99-101 H) Islam, „Umar ibn
„Abd „Azîz merasa berkewajiban mempertahankan keberadaan hadis,
maka beliau memerintahkan Abû Bakar ibn Hazm dan Ibn Syihâb al-
Zuhri3 serta ulama yang lainnya untuk mengumpulkan hadis, baik yang
berupa hafalan maupun catatan yang terdapat pada mereka.
Perintah „Umar ibn „Abd „Azîz kepada Gubernur Madinah, Abû
Bakar Muhammad ibn „Amr ibn Hazm untuk membukukan hadis, yang
pelaksanaannya ditangani oleh Ibn Syihab al-Zuhri, memotivasi para
ulama meningkatkan perhatian mereka untuk mengumpulkan dan
membukukan hadis, baik secara kuantitas maupun dalam bentuk kualitas,
terutama pada abad kedua hijriah, dan mencapai puncaknya pada abad
ketiga, ditandai dengan munculnya kitab-kitab hadis induk.4
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan terdahulu bahwa
jumlah kitab hadis yang telah disusun oleh ulama periwayat hadis cukup
3 Nama lengkap Ibn Syihâb al-Zuhri adalah Muhammad ibn Muslim ibn ´Abdillah ibn
´Abdullah ibn Syihâb al-Quraisyi al-Zuhri. Ia ulama besar kalangan tabi´in senior yang mula-mula
mengodifikasikan hadis dari hafalan ulama dan hafiz besar dari penduduk Madinah yang terkenal
di seluruh Hijaz dan Syam. Ia lahir pada tahun 51 Hijriah dan tinggal di Aylah, desa antara Hijaz
dan Syam. Ia sangat alim sehingga menjadi referensi bagi ulama sekitarnya. Lihat Abdul Majid
Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 227. 4 Bustamin dan Hasanuddin, Membahas Kitab Hadis, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 5 dan 6.
4
banyak. Jumlah itu sangat sulit dipastikan angkanya sebab mukharrijul
hadîts, ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus melakukan
penghimpunan hadis tidak terhitung banyaknya. Apalagi, sebagian dari
para penghimpun hadis itu ada yang menghasilkan karya himpunan hadis
lebih dari satu kitab.
Di antara kitab-kitab hadis yang ditulis oleh para mukharrij-nya
masing-masing itu, ada yang beredar luas di masyarakat sampai zaman
sekarang, ada yang cukup sulit ditemukan, da nada yang telah hilang.
Kitab-kitab himpunan hadis yang banyak beredar tersebut tampaknya
hanya belasan buah saja, khususnya: Sahîh al-Bukhâri susunan al-Bukhari
(wafat 256 H/870 M); Sahîh Muslim susunan Muslim (wafat 261 H/875
M); Sunan Abû Dâwud susunan Abu Daud (wafat 275 H/892 M); Sunan
al-Tirmidzi susunan al-Tirmidzi (wafat 279 H/889 M); Sunan al-Nasâ`i
susunan al-Nasa`i (wafat 303 H/915 M); Sunan Ibn Mâjah susunan Ibn
Majah (wafat 273 H/887 M); Sunan al-Dârimî susunan al-Darimi (wafat
255 H/868 M); Musnad Ahmad ibn Hanbal susunan Ahmad ibn Hanbal
(wafat 241 H/855 M); Muwaṯṯa` Malik susunan Malik ibn Anas (wafat 179
H/795 M); Sahîh Ibn Khuzaimah susunan Ibn Khuzaimah (wafat 311
H/924 M); Sunan al-Kubra al-Baihaqî susunan al-Baihaqî (wafat 458
H/1066 M); Mustadrak al-Hakim susunan al-Hakim al-Naisaburi (wafat
405 H/1014 M); Musnad al-Humaidi susunan al-Humaidi (wafat 219
H/834 M); dan Musnad Abû „Awânah susunan Abû „Awânah (wafat 316
H/928 M).5
5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 18.
5
Metode penyusunan kitab-kitab himpunan hadis tersebut ternyata
tidak seragam. Hal itu memang logis sebab yang lebih ditekankan dalam
kegiatan penulisan itu bukanlah metode penyusunannya, melainkan
penghimpunan hadisnya.
Masing-masing mukharrij memiliki metode sendiri-sendiri, baik
dalam penyusunan sistematikanya dan topik yang dikemukakan oleh hadis
yang dihimpunnya, maupun kriteria kualitas hadisnya masing-masing.
Karenanya tidaklah mengherankan, bila pada masa sesudah kegiatan
penghimpunan itu, ulama menilai dan membuat kriteria tentang peringkat
kualitas kitab-kitab himpunan hadis tersebut, misalnya:
Al-Kutubul-Khamsah (Lima Kitab Hadis yang Standar);
Al-Kutubus-Sittah (Enam Kitab Hadis yang Standar);
dan Al-Kutubus-Sab„ah (Tujuh Kitab Hadis yang Standar).
Dalam kriteria yang beragam terhadap hadis-hadis yang dihimpun
dalam kitab-kitab hadis tersebut, maka kualitas hadis-hadisnya menjadi
tidak selalu sama. Untuk mengetahui apakah hadis-hadis yang termuat
dalam berbagai kitab himpunan itu berkualitas shahih ataukah tidak
shahih, diperlukan kegiatan penelitian. Dengan melaksanakan kegiatan
penelitian tersebut akan dapat terhindar sedapat mungkin penggunaan dalil
hadis yang tidak memenuhi kriteria sebagai hujah. Apalagi, kualitas para
periwayat yang termuat dalam berbagai sanad bagi hadis yang dihimpun
6
dalam berbagai kitab itu bermacam-macam; ada yang memenuhi syarat
dan ada yang tidak memenuhi syarat.6
Karena tujuan utama penelitian hadis mengacu kepada status
kehujahan hadis, yang karenanya kualitas hadis yang bersangkutan harus
diketahui, maka ulama menciptakan istilah-istilah dilihat dari keadaan
sanad dan matn-nya. Dalam hubungan ini, jumlah istilah yang diciptakan
untuk kualitas hadis tidak sebanyak jumlah istilah untuk macam-macam
hadis dilihat dari keadaan sanad dan matn-nya.7
Sesuai dengan sejarah perjalanan hadis, ternyata tidak semua yang
disebut hadis itu benar-benar berasal dari Nabi SAW. Apalagi kita
mengetahui hadis palsu itu memang ada. Benar bahwa tadinya, hadis itu
segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., yang fungsinya
sebagai rujukan dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam.
Selanjutnya, apa yang dinisbahkan kepada sahabat pun disebut hadis,
bahkan, yang disandarkan kepada tabi„in. Maka persoalannya, mana hadis
yang dapat diterima (maqbul) sebagai dalil agama karena “diduga keras”
berasal dari Nabi SAW., dan mana pula yang ditolak (mardud).
Di masa al-Bukhârî, Muslim, dan imam-imam sebelumnya, nilai
hadis itu ada dua. Yang maqbul disebut shahih dan yang mardud disebut
dha„if. Tetapi sebenarnya ada hadis yang kalau disebut dha„if rasanya
tidak pas, kalau disebut shahih rasanya juga kurang tepat. Maka oleh al-
Tirmidzi, hadis semacam ini disebut hadis Hasan (baik).
6 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 18 dan 19. 7 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 32.
7
Semua hadis yang sampai kepada kita, dilihat dari segi kualitasnya
untuk dapat diamalkan ataupun ditinggalkan,8 istilah-istilah kualitas hadis
yang telah dapat dinyatakan sebagai standar (baku) yang berlaku sampai
saat ini ada tiga macam, yakni sahîh, hasan, dan ḏa„îf. Dengan demikian,
hasil penelitian hadis ahad dilihat dari keadaan sanad dan matn-nya akan
tidak terlepas dari ketiga kemungkinan kualitas tersebut.9
1. Hadis Shahih. Yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat.
2. Hadis Hasan. Sebenarnya hadis hasan itu sama dengan hadis shahih.
Bedanya, kalau di dalam hadis shahih semua periwayat harus sempurna
kedhabitannya, maka dalam hadis hasan ada perawi yang kedhabitan,
kecermatan atau hafalannya kurang sempurna.
3. Hadis Dha„if. Yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan di atas,
misalnya sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang
pendusta atau tidak kenal, dan lain-lain.10
Perkembangan selanjutnya, ternyata diantara hadis-hadis yang
telah dibukukan oleh para ulama ada yang tampak bertentangan secara
zahir, kemudian dikenal dengan ilmu mukhtalif al-hadîts.11
Sebagaimana
diketahui bahwa mayoritas hadis-hadis Nabi SAW. diriwayatkan secara
makna. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan-perbedaan lafal dari
para periwayat yang tsiqat untuk satu hadis. Namun demikian, al-riwâyah
8 Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA (Riau Vol. XVII No. 2, Juli 2011), h. 184. 9 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016),
h. 33. 10
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2011), h. 87-94. 11
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”, UIN SUSKA XXII, No. 2 (Juli 2014), h. 145-146.
8
bi al-ma„nâ dengan berbagai alasannya, merupakan fenomena yang tak
dapat dielakkan. Sebagai alasan utamanya adalah ketidakmungkinannya
seluruh sabda dan perbuatan Nabi SAW. untuk diriwayatkan secara lafal.
Namun jelas, bahwa adanya al-riwâyah bi al-ma„nâ secara otomatis akan
berimplikasi pada perbedaan redaksi. Perbedaan redaksi hadis ini ada yang
tidak mempengaruhi makna atau maksud hadis, namun ada juga yang
menyebabkan perbedaan makna, bahkan tidak jarang menjadi pemicu
munculnya perbedaan dan perpecahan umat.12
Contoh hadis yang bertentangan yaitu hadis mengenai buang hajat
menghadap dan membelakangi kiblat. Dalam suatu riwayat Rasulullah
SAW. pernah bersabda:
ث نا سعيد بن عبد الراحم ث نا سفيان ن المخزومي حدا نة بن ع ، قال: حدا ، عن ي ي ، عن الزىري، يزيد عطاء بن تم إذا أت ي ): ملسو هيلع هللا ىلص ، قال: قال رسول الل وب األنصاري عن أبي أي اللايثي
لة بغائط ول ب ول، ول الغائط فل تست قبلوا قال أب و ربوا(.تستدبروىا، ولكن شرقوا أو غ القب لة أي وب: ف قدمنا الشاام ف وجدنا مراحيض ها ونست غفر الل. قد بنيت مست قبل القب ف ن نحرف عن
13.(مذي)رواه التر Telah menceritakan kepada kami Sa„îd ibn „Abd al-Rahmân al-
Makhzûmî berkata: telah menceritakan kepada kami Sufyân ibn „Uyaynah,
dari al-Zuhrî, dari „Aṯa` ibn Yazîd al-Laits, dari Abî Ayyûb al-Ansârî
berkata: bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila kalian mendatangi
tempat berak atau kencing, maka janganlah kamu menghadap kiblat
waktu berak atau kencing dan janganlah membelakanginya. Tetapi
menghadaplah ke timur atau ke barat.” Abû Ayyûb berkata: “Kami datang
(tiba) di Syam (Syiria) dan kami telah mendapat kakus-kakus telah
dibangun dengan menghadap kiblat, maka kami merubahnya dan mohon
ampunan kepada Allah.” (HR. al-Tirmidzî).14
12
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 3. 13
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Membuang Hajat Menghadap Kiblat (6),
h. 58. 14
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 1, Kitab Bersuci dari
9
ث نا عبد الل بن ي وسف قال: أخب رنا ما بن ىيحي سعيد عن محماد بن ى بن لك عن يحي حداو : إذا بن عمر أناو كان ي قول: إنا ناسا ي قولون عن عبد الل واسع بن حباان، حباان عن عم
لة ول ب يت المقدس.ق عدت على حاجتك فل : لقد عبد الل بن عمر ف قال تست قبل القب ب يت المقدس على لبنت ين مست قبل ملسو هيلع هللا ىلص الل ف رأيت رسول يت لنا، ظهر ب رت قيت ي وما على ا
15 )رواه البخاري(. .لحاجتو Telah menceritakan kepada kami „Abdullâh ibn Yûsuf berkata:
Telah mengabarkan kepada kami Mâlik dari Yahyâ ibn Sa´îd dari
Muhammad ibn Yahyâ ibn Habbân dari pamannya Wâsi„ ibn Habbân dari
„Abdillâh ibn „Umar: Sesungguhnya orang-orang berkata, “Jika duduk
(jongkok) untuk buang air, maka jangan menghadap qiblat dan Baitul
Maqdis. Sungguh aku pernah naik ke atas rumah kami, tiba-tiba aku
melihat Nabi SAW. duduk di atas dua bata (buang air) menghadap Baitul
Maqdis.” (HR. al-Bukhari).16
Hadis tersebut di atas bila ditelaah, maka tampak kontroversi
dalam kondisi tertentu. Rasulullah SAW. melarang buang hajat
menghadap kiblat dan dalam kondisi lain beliau SAW. buang hajat
menghadap Bait al-Maqdis. Dari dua contoh di atas perlu mengkaji
pendekatan yang digunakan oleh ulama hadis dan ulama fiqh dalam
menyelesaikan hadis-hadis kontroversial.17
Berikut berkaitan dengan posisi kencing dalam Islam nampaknya
bertentangan, pada satu sisi terdapat hadis yang membolehkan kencing
berdiri dan di lain sisi ditemukan pula hadis yang melarang. Kontroversi
Rasulullah SAW. (1), Bab Larangan Untuk Menghadap Kiblat Waktu Berak atau Kencing (6), h.
11-12. 15
Abû „Abdullâh Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wuḏu` (4), Bab Orang yang Buang Hajat Besar di Atas Dua Batu (12), h. 49. 16
Muhammad Fu„ad bin Abdul Baqi, Hadits Shahih Bukhari Muslim, Penerjemah: Abu
Firly Bassam Taqiy (Cet. V, Depok: Fathan Prima Media, 2015), Kitab Bersuci (2), Bab Adab
Buang Air (9), h. 77. 17
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”, UIN SUSKA XXII, No. 2 (Juli 2014): h. 148.
10
yang terjadi dalam pelbagai hadis menimbulkan pertanyaan tentang
kebolehan dan ketidakbolehan kencing berdiri.18
ث نا يحيى بن يحيى: أخب رنا جري ر، عن منصور، عن أبي د قال: كان أبو موس وائل حدا ى يشديل كان إذا أصاب جلد أحدىم ب ول ق رضو في الب ول. وي ب ول في قارورة وي قول: إنا بني إسرائ
د ى ذا التاشديد، ف لقد رأي تني أنا و بالمقاريض. ف قال حذي فة: لوددت أنا صاحبكم ل يشدف قام كما ي قوم أحدكم، ف بال، خلف حائط. سباطة ى ى، فأت ، ن تماش ملسو هيلع هللا ىلصرسول الل
19(.ى ف رغ. )رواه مسلم، ف قمت عند عقبو حت فجئت فان تبذت منو، فأشار إليا Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya telah
mengabarkan kepada kami Jarîr, dari Mansûr, diriwayatkan dari Abî Wâ`il
ia berkata: Abû Mûsâ sangat berhati-hati dalam urusan kencing. Ia
kencing di dalam botol dan berkata, “Sesungguhnya bani Israil apabila
kulit salah seorang dari mereka terkena kencing, maka digosok dengan alat
penggosok.” Hudzaifah mengatakan, “Saya merasa senang kalau teman
kalian tidak menyulitkan seperti ini. Saya pernah bersama Rasulullah
SAW. berjalan-jalan kemudian beliau SAW. mendekati tempat sampah
suatu kaum di balik pagar. Lalu beliau SAW. berdiri sebagaimana yang
dilakukan oleh salah seorang dari kamu, kemudian beliau SAW. kencing,
maka saya menjauh dari beliau SAW., namun beliau SAW. memberi
isyarat kepada saya, kemudian saya mendekat dan berdiri di sisi beliau
SAW. sehingga beliau selesai”. (HR. Muslim).20
)من أخب رنا علي بن حجر، أخب رنا شريك عن المقدام بن شريح، عن أبيو، عن عائشة قالت: ثكم أنا رسول الل ق وه، ما كان ي ب ول إلا جالسا(. ملسو هيلع هللا ىلصحدا )رواه بال قائما فل تصد
21ئي(.النسا Telah mengabarkan kepada kami „Alî ibn Hujr, telah mengabarkan
kepada kami Syarîk, dari al-Miqdâm ibn Syuraih, dari bapaknya, dari
„Aisyah, dia berkata, “Barangsiapa yang mengabarkan kepadamu bahwa
Rasulullah SAW. buang air kecil sambil berdiri, maka kamu jangan
18 Johar Arifin, “Studi Hadis-Hadis Tentang Posisi Kencing Berdiri; Kajian Mukhtalaf
Hadis”, UIN SUSKA RIAU, Vol. XX No. 2, Juli 2013, h. 152. 19
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (2), Bab Membasuh Khuff (22),
h. 138. 20
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Wudu (2), Bab Mengusap Khuff (29), h. 91. 21
Abû „Abd al-Rahmân Ahmad ibn „Alî Syu´aib ibn „Alî ibn Sînân al-Nasâ`î, Sunan al-
Nasâ`î (Beirut: Dâr al-Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Buang Air Kecil di Dalam
Rumah Sambil Duduk (25), h. 31.
11
mempercayainya karena Rasulullah SAW. tidak buang air kecil kecuali
sambil duduk.” (HR. al-Nasâ`î).22
Selanjutnya hadis kontradiksi mengenai al-Kayy (Pengobatan
dengan Besi Panas) sebagai berikut:
د بن بشاار، قال: ث نا محما ث نا عبد الراحم حدا ث نا سفيان، عن منصور حدا ، قال: حدا ، ن بن مهديرة عن مجاىد، عن عقاار بن من : )ملسو هيلع هللا ىلصقال: قال رسول الل عن أبيو، ، بن شعبة المغي
23(.يلترمذا. )رواه (است رقى ف قد برئ من الت اوكل ت وى أو ك ا
Muhammad ibn Basysyâr menceritakan kepada kami, „Abd al-
Rahmân ibn Mahdi menceritakan kepada kami, Sufyân menceritakan
kepada kami, dari Mansûr, dari Mujâhid, dari „Aqâr ibn al-Mugîrah ibn
Syu„bah, dari bapaknya ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda,
“Barangsiapa yang menempelkan besi panas di kulit atau minta jampi,
maka dia orang yang lepas dari tawakkal.” (HR. al-Tirmidzi).24
ث نا يزيد بن زريع، قال: أخب رنا معمر، عن الزىري ث نا حميد بن مسعدة، قال: حدا عن ، حدا )رواه الترمذي .، كوى اسعد بن زرارة من الشاوكة ملسو هيلع هللا ىلصأنا النابيا أنس،
.)25
Humaid ibn Ma„sadah menceritakan kepada kami, Yazîd ibn
Zurai„ menceritakan kepada kami, Ma„mar memberitahukan kepada kami,
dari al-Zuhri, dari Anas, “Bahwasanya Nabi SAW. membakar kulit As„ad
ibn Zurârah dengan besi panas karena terkena duri”. (HR. al-Tirmidzî).26
Berikutnya hadis kontradiksi mengenai aurat laki-laki di bagian
paha sebagai berikut ini:
22
Muhammad Nashruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa‟I, Penerjemah: Ahmad
Yuswaji (Cet. 2, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Jilid 1, Kitab Thaharah (1), Bab Buang Air Kecil
di Dalam Rumah Sambil Duduk (25), h. 16. 23
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 3, Kitab Ṯibb (26), Bab Larangan Meruqyah (14), h. 573-574. 24
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Pengobatan dari
Rasulullah SAW. (27), Bab Dibencinya Jampi (Mantera) (14), h. 557 . 25
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 3, Kitab Ṯibb (26), Bab Keringanan Berobat dengan Cara Membakar Kulit
dengan Besi Panas (11), h. 570. 26
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Pengobatan dari
Rasulullah SAW. (27), Bab Diperbolehkan Membakar Kulit dengan Besi Panas (11), h. 553
12
ث نا سفيان، عن أبي الناضر مولى عمر بن عب يد الل، ث نا ابن أبي عمر، قال: حدا عن زرعة بن حدا ، ه جرىد، قال: مرا النابي مسلم بن جرىد األسلمي بجرىد في المسجد وقد ملسو هيلع هللا ىلصعن جد
27.)رواه الترمذي( انكشف فخذه ف قال: )إنا الفخذ عورة(. Ibn Abî „Umar menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan
kepada kami, dari Abî al-Naḏr hamba sahaya „Umar ibn „Ubaidillah, dari
Zur„ah ibn Muslim ibn Jarhad al-Aslamî, dari kakeknya Jarhad, ia berkata:
“Nabi SAW. melewati Jarhad di masjid, dia terbuka pahanya, maka Nabi
SAW. bersabda, “Sesungguhnya paha itu termasuk aurat”. (HR. al-
Tirmidzî).28
ث نا عبد العزيز ب ث نا إسماعيل بن علياة قال: حدا ث نا ي عقوب بن إب راىيم قال: حدا ن صهي حدانا عندىا صلة الغداة بغلس، ف رك نبي املسو هيلع هللا ىلص عن أنس أنا رسول الل لل غزا خيب ر فصلاي
في زقاق خيب ر وإنا ملسو هيلع هللا ىلص ورك أب و طلحة وأنا رديف أبي طلحة، فأجرى نبي ملسو هيلع هللا ىلص. ثما حسر اإلزار عن فخذه حتاى إني أنظر إلى ب ياض فخذ نبي ملسو هيلع هللا ىلصركبتيا لتمس فخذ نبي
. ف لماا دخل القرية قال: )الل أكب ر خربت خيب ر، وإناا إذا ن زلنا بساحة ق وم فساء ملسو هيلع هللا ىلصقال عبد -صباح المنذرين(. قالها ثلثا. قال: وخرج القوم إلى أعمالهم، ف قالوا: )محماد!
وة، فجمع السابي، –ز وقال ب عض أصحابنا العزي ناىا عن والخميس( ي عني الجيش. قال: فأصب فياة فجاء دحية ف قال: يا نبيا الل أعطني جارية من السابي. قال: اذى فخذ جارية. فأخذ ص
. فجاء رجل إلى النابي بنت ف قال: يا نبيا الل أعطيت دحية صفياة بنت حيي ملسو هيلع هللا ىلص حييه ا النابي سيدة ق ريظة والناضير، ل تصلح إلا لك. قال: ادعوه بها. فجاء بها. ف لماا نظر إلي
رىا. قال: أعت قها النابي ملسو هيلع هللا ىلص وت زواجها. ف قال لو ملسو هيلع هللا ىلص قال: خذ جارية من السابي غي هازت ها ثابت: يا أبا حمزة ما أصدق ها؟ قال: ن فسها، أعت قها وت زواجها. حتاى إذا كان بالطاريق ج
عروسا، ف قال: من كان عنده شيء ملسو هيلع هللا ىلص سليم فأىدت ها لو من اللايل، فأصبح النابي لو أم ف ليجئ بو وبسط نطعا فجعل الراجل يجيء بالتامر، وجعل الراجل يجيء بالسامن، قال:
27
Abî „Îsâ Muhammad ibn „Îsā al-Tirmidzî, al-Jâmi„ al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Garb al-
Islâmî, 1996), Jilid 4, Kitab Adab (41), Bab Paha itu Aurat (40), h. 493. 28
Muhammad Isa bin Surah At-Tirmidzi, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah:
Moh. Zuhri Dipl. TAFL, dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 4, Kitab Minta Ijin dan
Sopan Santun dari Rasulullah SAW. (40), Bab Menerangkan Paha Termasuk Aurat (73), h. 401.
Lihat juga Umar Faruq, “Kritik Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1,
Januari-Juni 2013.
13
)رواه .ملسو هيلع هللا ىلصذكر الساويق. قال: فحاسوا حيسا، فكانت وليمة رسول الل وأحسبو قد 29البخاري(.
Telah menceritakan kepada kami Ya„qûb ibn Ibrâhîm berkata:
Telah menceritakan kepada kami Ismâ„îl ibn „Ulayyah berkata: Telah
menceritakan kepada kami „Abd al-„Azîz ibn Suhaib dari Anas,
bahwasanya Rasulullah SAW. perang Khaibar. Kami shalat Shubuh disana
masih dalam keadaan remang-remang. Rasulullah SAW. Abû Ṯalhah naik
kendaraan dan saya mengiringi Abû Ṯalhah. Nabi SAW. melarikan
(kendaraan beliau SAW.) di jalan sempit Khaibar. Lututku menyentuh
paha Nabi SAW. dan membuka kain dari paha beliau SAW. sehingga saya
melihat putihnya paha Nabi SAW. Ketika masuk desa, beliau SAW.
mengucapkan: “Allah Maha Besar. Robohlah Khaibar. Sesungguhnya
apabila kami tinggal di halaman suatu kaum, maka buruklah bagi orang-
orang yang diberi peringatan”. Beliau SAW. tiga kali. Ia berkata: “Kaum
itu pergi ke pekerjaannya”, lalu mereka berkata: “Awas, Muhammad dan
bala tentara”. Ia berkata: “Maka kami kalahkan kaum itu secara paksa.
Lalu tawanan-tawanan perang dikumpulkan. Datanglah komandan tentara
seraya berkata: “Wahai Nabiyullah, berilah saya seorang perempuan
tawanan”. Beliau SAW. bersabda: “Pergilah, ambillah seorang
perempuan”. Lalu ia mengambil Safiyyah binti Huyyai. Datanglah seorang
laki-laki kepada Nabi SAW. berkata: “Wahai Nabiyullah, kamu berikan
kepada komandan akan Safiyyah binti Huyyai pemimpin Quraiẕah dan
Naẕir, ia pantasnya hanya untuk engkau”. Ia berkata: “Panggilah ia”. Lalu
perempuan itu dibawa. Ketika Nabi SAW. melihatnya, beliau bersabda:
“Ambillah perempuan tawanan selainnya”. Ia berkata: “Nabi SAW.
memerdekakannya lalu memperisterikannya. Maharnya adalah
kemerdekaannya. Sehingga ketika di jalan, Ummu Sulaim mempersiapkan
perempuan itu dan memberikannya kepada beliau SAW. di malam hari,
maka Nabi SAW. masuk pagi sebagai pengantin, dan beliau SAW.
bersabda: “Orang yang memiliki sesuatu, bawalah kemari dan beliau
SAW. membentangkan kulit. Mulailah seorang laki-laki membawa tamar
(kurma), dan seorang laki-laki membawa minyak samin dan saya duga ia
menyebutkan sawik (makanan tepung campur kurma). Ia berkata: “Maka
mereka mengambilnya dan itulah walimah Rasulullah SAW.” (HR. al-
Bukhari).30
Dari beberapa hadis di atas, terdapat hadis-hadis yang dinilai
kontradiktif dan belum ditemukan pula solusi metode dalam
29
Abî „Abdillâh Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Shalat (8), Bab Mengenai Apa yang Disebutkan Perihal Paha (12), h. 104. 30
Abû „Abdullah Muhammad ibn Ismâ„îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1991), Kitab Shalat (7), Bab
Mengenai Apa yang Disebutkan Perihal Paha (12), h. 256-257. Lihat juga Umar Faruq, “Kritik
Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1, Januari-Juni 2013.
14
menyelesaikan hadis-hadis kontradiktif tersebut. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka penulis melakukan penelitian skripsi yang berjudul:
“SOLUSI DALAM IKHTILÂF AL-HADÎTS.”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan latar belakang masalah di atas, penulis
mengemukakan beberapa akar permasalahan yang diidentifikasikan dalam
penelitian tersebut, yakni:
a. Dari latar belakang terdapat pertentangan antara hadis dengan hadis, dan
antara hadis dengan Al-Qur`an yang sebenarnya hadis tersebut dinilai
maqbûl, namun terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama yang
mencetuskan dua hukum yang membolehkan dan yang melarang dan
solusi metode penyelesaian belum ditemukan.
b. Dari hadis mukhtalif terdapat kasus hadis mengenai buang air kecil dengan
posisi berdiri, al-Kayy (pengobatan dengan besi panas), mengenai aurat
laki-laki yang terletak di paha, dan mengenai buang hajat menghadap dan
membelakangi kiblat belum ditemukan mengenai metode penyelesaian
dari kasus hadis-hadis tersebut.
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa masalah yang teridentifikasi di atas, maka
diperlukan batasan masalah agar penelitian tersebut dapat lebih terperinci.
Dalam penelitian tersebut, penulis hanya membatasi satu kasus hadis
yaitu, hadis mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat.
15
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas yang akan dibahas dalam
penelitian, adapun bentuk rumusan masalahnya yaitu: Bagaimana
Memahami Solusi Metode yang Dapat Diterapkan Dalam Hadis
Kontradiktif Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi
Kiblat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian tersebut yakni untuk mengetahui mengenai
bagaimana metode penyelesaian dari kasus hadis buang hajat menghadap
dan membelakangi kiblat. Adapun manfaat dari penelitian tersebut yakni
memberikan gambaran secara jelas mengenai pemahaman hadis tersebut,
agar dapat mengemukakan kasus hadis tersebut apakah dengan
menggunakan metode al-Jam„u wa al-Taufîq, Nasakh wa Mansûkh, at-
Tarjîh, atau al-Tawaqquf.
D. Tinjauan Pustaka
Di sini penulis mencantumkan beberapa karya ilmiah terdahulu
yang dianggap relevan dengan penelitian Mukhtalif al-Hadîts yang penulis
lakukan sekarang ini, sebagai bentuk gambaran relasi antara tulisan
penulis serta karya-karya ilmiah lainnya yang senada dengan penelitian
tersebut.
Jurnal yang ditulis oleh Johar Arifin dengan judul “Studi Hadis-
Hadis Tentang Kencing Berdiri”, Jurnal Ushuluddin UIN SUSKA Riau
Vol. XX No. 2, Juli 2013. Jurnal tersebut menjelaskan tentang kisah Nabi
SAW. yang melakukan kencing berdiri di tempat pembuangan sampah,
16
namun dibantah oleh yang mengatakan bahwa Nabi SAW. tidak pernah
kencing dengan posisi berdiri melainkan dengan posisi duduk. Namun
para sahabat kebanyakan melakukan kencing dengan posisi berdiri karena
faktor penyakit tulang, sehingga lebih baik dengan posisi berdiri dan
kemungkinan juga terjadi pada Rasulullah SAW.
Jurnal yang ditulis oleh Johar Arifin dengan judul “Pendekatan
Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis”,
Jurnal Ushuluddin UIN SUSKA Riau Vol. XXII No. 2, Juli 2014. Jurnal
tersebut menerangkan tentang semua hadis yang sampai kepada kita
dilihat dari segi kualitasnya untuk dapat diamalkan ataupun ditinggalkan.
Hal tersebut dapat dibagi kepada tiga, yaitu Sahîh, Hasan, dan Ḏa„îf.
Jurnal yang ditulis oleh Kaizal Bay dengan judul “Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi„î”, Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA Riau Vol. XVII No. 2, Juli 2011. Jurnal tersebut
menjelaskan mengenai dua istilah pertama dikatakan sebagai hadis
maqbûl, yakni yang wajib diamalkan dan dapat menjadi hujjah, sedangkan
yang disebut terakhir (Ḏa„îf) adalah mardûd, dalam arti tidak boleh
diamalkan atau hadisnya ditolak.
Jurnal yang ditulis oleh Umar Faruq dengan judul “Kritik Atas
Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadis Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Vol. III No. 1,
Januari-Juni 2013, menjelaskan mengenai hadis pertama yang dinyatakan
sebagai aurat, hadis kedua dinyatakan bahwa paha bukan aurat, artinya
17
paha hanya bagian dari aurat karena aurat yang sebenarnya yaitu qubul
dan dubur.
E. Metodologi Penelitian
1. Metodologi Penelitian
a. Sumber Data
Yang dimaksud dengan metodologi penelitian adalah suatu cara atau
jalan yang ditempuh dalam mencari, menggali, mengolah, dan membahas data
dalam suatu penelitian untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap
permasalahan.31
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu penelitian melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumber-
sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau pun belum dipublikasikan.32
Data yang penulis gunakan dalam skripsi tersebut adalah sebagaimana
terdapat kitab, Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-
Tirmidzî, Sunan al-Nasâ`î, Sunan Ibn Mâjah, Sunan al-Dârimî, dan Musnad
Ahmad. Adapun sumber-sumber lainnya yang dapat mendukung dan
menguatkan data primer dalam kajian tersebut, penulis merujuk pada kitab-
kitab Syarah al-Hadîts di antaranya yaitu : Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-
Asqalânî, dan kitab Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts karya Ibn Qutaibah.
b. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode takhrij untuk
melihat hadis-hadis dari ketiga materi tersebut. Adapun metode takhrîj hadîts
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode takhrij menurut lafadz-
31
Joko Subagyo, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), h. 2. 32
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Bina
Aksara, 1989), h. 10.
18
lafadz yang terdapat dalam hadis. Metode takhrij hadis menurut lafadz yang
terdapat dalam hadis yaitu suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata
yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja.
Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan
adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat
diperoleh. Kamus yang diperlukan dalam metode takhrij ini salah satunya
yang paling mudah adalah kamus Mu„jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Hadîts al-
Nabawî yang disusun oleh A. J. Wensinck dan kawan-kawannya dalam 8
jilid.33
c. Metode Analisa Data
Metode analisa data menggunakan teori Ikhtilâf al-Hadîts. Ada 4
langkah yang digunakan sebagai metode penyelesaian hadis-hadis yang
bertentangan:
1. Al-Jam„u wa al-Taufîq (Kompromi).
2. Nasakh wa Mansûkh (membatalkan salah satu dan
mengamalkan yang lain).
3. Al-Tarjîh (Memilih yang terkuat).
4. Tawaqquf (tidak diamalkan).
2. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, digunakan teknik penulisan karya
ilmiah yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat
dalam Surat Keputusan Rektor Tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
33
Mahmud Ṯahhân, Usul al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânid, (Riyaḏ: Maktabah al-Ma´ârif,
1991), h. 35.
19
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No. 507 tahun
2017.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tersebut dimaksudkan sebagai gambaran
yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat
memudahkan dalam memahami dan mencerna masalah-masalah yang akan
dibahas. Adapun sistematika penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, merupakan pendahuluan yang berisi uraian secara global
atau menyatakan keseluruhan isi skripsi secara sepintas, kemudian dirinci ke
dalam sub bab yang terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian
(yang terdiri dari empat bagian yaitu, teknik pengumpulan data, metode
pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penulisan), tinjauan
pustaka, serta sistematika penulisan.
Bab II, merupakan pembahasan mengenai kedudukan dan fungsi
hadis, hakikat Ikhtilâf al-Hadîts yang terdiri dari definisi, urgensi, faktor-
faktor terjadinya ikhtilaf, contoh hadis-hadis mukhtalif, pendapat para ulama
mengenai mukhtalif hadis, sejarah perkembangan dan metode penyelesaian
hadis-hadis mukhtalif.
Bab III, merupakan penjelasan solusi mengenai kasus hadis
mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat beserta takhrij
hadis, menjelaskan metode-metode penyelesaian dari kasus hadis yang saling
bertentangan, menjelaskan mengenai bagaimana memahami solusi metode
20
yang dapat diterapkan dalam memahami hadis yang kontradiktif pada kasus
tersebut.
Bab IV, merupakan akhir dari pembahasan berupa kesimpulan dan
saran.
21
BAB II
IKHTILÂF DALAM HADIS
A. Kedudukan Hadis
Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah
disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan
demikian, karena dalam sejarah umat Islam (dari dahulu sampai sekarang)
ada kalangan yang hanya berpegang kepada Al-Qur`an dalam menjalankan
ajaran agamanya (yang disebut Inkar al-sunnah). Hadis diterima sebagai
salah satu sumber ajaran Islam merupakan suatu keniscayaan dilihat dari
ruang lingkup dan jangkauan Al-Qur`an serta keterbatasan manusia dalam
memahami petunjuk Al-Qur`an.1
Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Qur`an,
yang karenanya siapapun tidak akan bisa memahami Al-Qur`an tanpa
dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan
hadis tanpa Al-Qur`an. Karena, Al-Qur`an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari´at.2 Al-Qur`an sebagai
wahyu yang qadim dan menjangkau seluruh masa kehidupan manusia,
maka Al-Qur`an hanya berbicara dalam hal tertentu yang dijelaskan secara
terinci.3 Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki kaitan
sangat erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa
dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.4
1 Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 194.
2 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
3 Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 194.
4 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 19.
22
Masalah umat dan tantangan yang dihadapi Nabi SAW. yang tidak
ditemukan jawabannya dalam Al-Qur`an, Nabi SAW. mendapat legitimasi
dari Allah SWT. untuk menyelesaikan masalah dan menjawab pertanyaan
tersebut dan umat berkewajiban mengikutinya. Kewajiban tersebut
merupakan amanat Al-Qur`an. Diantaranya ialah:
﴾٧: [٩٥]الحشر ﴿... فان ت هواكم عنو وه وما ن ه لرسول فخذ كم ات ا آ. وم .. “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …”(QS. Al-Hasyr [59]:
7).
عوا اهلل والرسول ﴾۳۳ :[۳]ل عمران ا ﴿فرين فان ت ولوا فان اهلل ل يحب الك قل اطي Katakanlah (Muhammad) :“Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
kafir.”(QS. Âli ´Imrân [3]: 32).
Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa orang yang tidak
mengikuti perintah Allah SWT. (melalui Al-Qur`an) dan Rasul-Nya
(melalui Sunnah Rasulullah SAW.) termasuk orang ingkar. Selain itu ayat
di atas juga menunjukkan bahwa sumber ajaran Islam ada dua yaitu Al-
Qur`an dan hadis. Ucapan, perbuatan, tingkah laku, dan kehidupan
Rasulullah SAW. merupakan uswah bagi orang-orang yang beriman.
Uswah berarti idola dan teladan. Menjadikan Rasulullah SAW. sebagai
uswah, berarti menjadikan beliau sebagai idola dan suri tauladan dalam
berbagai aspek kehidupan.5
Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur`an di atas, kedudukan hadis
ini juga dapat dilihat melalui hadis-hadis Rasul SAW. sendiri. Banyak
hadis yang menggambarkan hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan
kepada perintahnya. Dalam salah satu pesannya, berkenaan dengan
5 Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 195-196.
23
keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup di samping Al-
Qur`an, Rasul SAW. bersabda sebagai berikut6:
الحاكم( ت ركت فيكم امرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتاب اهلل وسنة رسولو. )رواه “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang
kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-
Qur`an) dan sunnah Rasul-Nya.”(HR. al-Hakîm).7
Dalam hadis lain Rasul SAW. bersabda:
الراشدين المهديين تمسكوا بها. )رواه أبو داود( عليكم بسنتي وسنة الخلفاء “… Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan Sunnah
khulafâ` al-râsyidîn yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya …” (HR. Abû Dâwud).8
Dalam salah satu taqrîr Rasul SAW. juga memberikan petunjuk
kepada umat Islam, bahwa dalam menghadapi berbagai persoalan hukum
dan kemasyarakatan, kedua sumber ajaran, yakni Al-Qur`an dan hadis
merupakan sumber asasi. Umat Islam, kecuali mereka para penyimpang
dan pembuat kebohongan, telah sepakat menjadikan hadis sebagai salah
satu dasar hukum dalam beramal. Penerimaan mereka terhadap hadis sama
seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur`an, karena keduanya sama-
sama dijadikan sebagai sumber hukum Islam.9
B. Fungsi Hadis
Berdasarkan kedudukannya, Al-Qur`an dan hadis sebagai pedoman
hidup dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan yang lainnya jelas tidak
dapat dipisahkan. Al-Qur`an sebagai sumber pertama memuat ajaran-
6 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 22.
7 Al-Suyûṯî, al-Jâmi„ al-Sagîr (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 130.
8 Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), h. 832. 9 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 23.
24
ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut
dan terperinci. Di sinilah hadis menduduki dan menempati fungsinya,
sebagai sumber ajaran kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi
kandungan Al-Qur`an tersebut. Hal ini sesuai dengan Firman-Nya dalam
QS. Al-Nahl [16] : 44, yang berbunyi sebagai berikut:
﴾٤٤ : [٦١]النحل ﴿ا إليك الذكر لتب ين للناس ...وأن زلن “… Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur`an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia …” (QS. An-Nahl [16] : 44).
Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap Al-Qur`an itu bermacam-
macam. Mâlik bin Anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayân al-
taqrîr10
, bayân al-tafsîr11
, bayân al-tafsîl12
, bayân al-basṯ13
, dan bayân al-
tasyrî„14
. Al-Syâfi„î menyebutkan lima fungsi, yaitu bayân al-tafsîl, bayân
al-takhsîs,15
bayân al-ta`yîn16
, bayân al-tasyrî„, dan bayân al-nasakh17
.
10
Bayân al-Taqrîr disebut juga dengan Bayân al-Ta„kid dan Bayân al-Isbat. Maksudnya
ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur`an. Lihat di Asep
Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014), h. 10. 11
Bayân al-Tafsîr adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an
yang masih mujmal (samar-samar), memberikan persyaratan ayat-ayat Al-Qur`an yang masih
mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat Al-Qur`an yang masih umum. Lihat di Asep
Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014), h. 10. 12
Bayân al-Tafsîl berarti penjelasan dengan merinci kandungan ayat-ayat mujmal, yakni
ayat-ayat yang bersifat ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelas
kecuali ada penjelasan ataupun perincian. Lihat di Idri, Studi Hadis (Cet 3; Jakarta: Prenada Media
Group, 2016), h. 26-27. 13
Bayân al-Basṯ yaitu bayân yang berfungsi memanjang lebarkan sesuatu yang
didatangkan oleh Al-Qur`an secara ringkas. Lihat di Daelan M. Danuri “Al-Sunnah sebagai Bayân
Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,
h. 3. 14
Bayân al-Tasyrî´ mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati
dalam Al-Qur`an. Lihat di Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I; Bandung: Tafakur, 2014),
h. 10. 15
Bayân al-Takhsîs adalah penjelasan Nabi SAW. dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur`an yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada bagian-
bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Lihat di Idri, Studi Hadis (Cet 3; Jakarta: Prenada
Media Group, 2016), h. 28. 16
Bayân al-Ta´yîn adalah bayân yang berfungsi menentukan mana yang dimaksud dari
dua atau tiga makna yang dipunyai oleh suatu lafal yang ada dalam Al-Qur`an. Lihat di Daelan M.
Danuri “Al-Sunnah sebagai Bayân Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syari‟ah, Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 3.
25
Kedudukan hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam. Sementara
fungsi hadis adalah sebagai penjelas, penguat, kandungan Al-Qur`an, dan
menetapkan hukum baru. Fungsinya tersebut merupakan suatu
keniscayaan dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan Al-Qur`an serta
keterbatasan manusia dalam memahami petunjuk Al-Qur`an. Al-Qur`an
sebagai wahyu yang qadim dan menjangkau seluruh masa kehidupan
manusia, maka Al-Qur`an hanya berbicara dalam hal tertentu yang
dijelaskan secara terinci. Terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang global
maknanya dan tidak membumi bahasanya, Nabi SAW. mempunyai tugas
untuk menjelaskan dan merinci tujuannya. Masalah umat dan tantangan
yang dihadapi Nabi SAW. yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-
Qur`an. Nabi SAW. mendapat legitimasi dari Allah SWT. untuk
menyelesaikan masalah dan menjawab pertanyaan tersebut dan umat
berkewajiban mengikutinya.
C. Hakikat Mengenai Ikhtilâf al-Hadîts
1. Definisi Ikhtilâf al-Hadîts
Istilah bahasa (etimologi) menurut Dr. Salamah Noorhidayati,
M.Ag yaitu dalam kajian ilmu hadis, hadis-hadis kontradiktif sering
disebut dengan istilah mukhtalif al-hadîts. Secara bahasa, kata mukhtalif
(مختلف) adalah bentuk ism fâ„il dari kata اختالف. Menurut Ibn Manzûr,
17
Bayân al-Nasakh ialah adanya dalil syara´ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang
telah ada), karena datangnya dalil berikutnya. Lihat di Asep Herdi, Memahami Ilmu Hadis (Cet. I;
Bandung: Tafakur, 2014), h. 11.
26
ikhtilâf yakni bentuk masdar, merujuk pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak
cocok) dan مالميتساو كل (segala sesuatu yang tidak sama/beragam).18
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang
hadîts mukhtalif, diantaranya: Menurut al-Tahanuwi, hadîts mukhtalif
adalah dua hadis maqbul yang saling bertentangan pada makna zahirnya
dan maksud yang dituju oleh suatu dengan lainnya, dapat dikompromikan
dengan cara yang wajar (tidak dicari-cari). Definisi yang dikemukakan al-
Tahanuwi di atas, membatasi hadîts mukhtalif itu hanya pada hadis-hadis
maqbûl saja, dan tidak termasuk hadis-hadis ḏa„îf. Sedangkan menurut
pendapat mayoritas ulama, hadis yang memenuhi persyaratan maqbul
adalah hadis sahîh dan hasan.19
Selanjutnya dalam pendefinisian ini ada perbedaan antara makna
ikhtilâf al-hadîts sebagai sebuah fakta kehadisan dan ikhtilâf al-hadîts
sebagai sebuah ilmu. Ikhtilâf bermakna, “Dua hadis yang secara lahir
maknanya bertentangan, lalu dikompromikan atau di-tarjîh-kan salah
satunya”. Dua hadis yang bertentangan ini dari sisi sanadnya sama-sama
maqbûl (bisa diterima). Bila tidak sama-sama maqbûl, sebagaimana telah
dijelaskan, tidak dipandang sebagai ikhtilâf. Mukhtalif al-hadîts adalah
18
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 13. Lihat juga di Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn
Mukarram Ibn Manẕur al-Afriqîy al-Misriy, Lisân al-´Arab (Beirut: Dâr al-Sâdir, t.t.), Jilid 2, h.
737. 19
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, UIN
SUSKA Riau, XVII No. 2, Juli 2011, h. 184.
27
dua hadîts maqbûl yang secara lahir maknanya bertentangan dan dapat
dikompromikan muatan makna keduanya dengan cara yang wajar.20
Makna dari hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang sampai kepada
kita, namun satu sama lain saling bertentangan maknanya. Dengan kata
lain, maknanya saling kontradiktif. Menurut istilah yaitu hadis maqbûl
yang bertentangan dengan hadis lain yang semisal, namun memiliki
peluang untuk di-jama´ (dikompromikan) diantara keduanya.21
Menurut Dr. Muhammad „Ajjâj Al-Khaṯib mengenai Ikhtilâf al-
Hadîts, yaitu:
ن ها كما في الحا ي بحث العلم الذي ديث التي ظاىرىا مت عارض ف يزيل ت عارضها أوي وفق ب ي قت ها.همها ي بحث في الحاديث التي يشكل ف أوتصورىا ف يدفع أشكالها وي وضح حقي
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling
bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadīts yang sulit difahami
atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan
hakekatnya.”22
ن ها إم بت قي يد علم ي بحث عن الحاديث التي ظاىرىا الت ناقض من حيث إمكان الجمع ب ي د الحادثة او غير ذلك.مطلقها او 23بتخصيص عامها او حملها على ت عد
“Ilmu mukhtalif al-hadîts sebagai suatu disiplin ilmu yang
mengkaji hadis-hadis Nabi SAW. yang secara ẕahirnya kelihatan berbeda
yang mungkin dikompromikan antara keduanya dengan cara
mentaqyidkan yang mutlak atau mentakhsiskan yang umum atau karena
hadis-hadis tersebut berada di dalam situasi dan peristiwa yang berbeda
dan sebagainya”.24
20
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 111-112. 21
Mahmud Thahhan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1436 H/2014
M), h. 64. Lihat juga di buku asli Mahmud Ṯahhân, Taisîr Musṯalah al-Hadîts (Jakarta: Dār al-
Hikmah, t.th), h. 56. 22
Muhammad „Ajjâj Al-Khaṯib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2013), h. 254. 23
Subhi al-Sâlih, ´Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu (Beirut: Dâr al-´Ilmi lil Malâyîn,
1959), h. 111. 24
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 22.
28
Jika ada dua hadis kontradiktif padahal keduanya shahih, solusinya
adalah mengompromikannya, yaitu dengan membatasi yang mutlak,
mengkhususkan yang umum, dan atau menginterpretasikan peristiwa yang
terjadi berkali-kali dengan berbeda latar belakang dan kondisinya.
Sementara itu, ulama memberikan nama lain bagi ilmu mukhtalif al-hadîts,
yaitu ilmu talfîq al-hadîts, ilmu musykil al-hadîts, dan ilmu ikhtilâf al-
hadîts.25
Dalam hal ini, Ibn Hajar lebih jelas menegaskan, “Hadis maqbûl,
jika tidak ada hadis maqbûl lain yang bertentangan dengannya disebut al-
Muhkam”. Tetapi, jika ada hadis setara (maqbûl) lain yang bertentangan
dengannya, bila dapat dikompromikan secara wajar maka hadis tersebut
dipandang hadis mukhtalif. Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data
sejarah yang memastikan bahwa kedua hadis itu tidak datang secara
bersamaan, maka yang datang terakhir dipandang mahmûd (nasikh) dan
yang lainnya dipandang mansûkh. Jika langkah ini tidak dapat dilakukan
(karena tidak ada data sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan) maka
jalan yang ditempuh selanjutnya adalah tarjîh. Namun bila hal ini tidak
juga dapat dilakukan, maka hadis-hadis yang bertentangan tersebut
(akhirnya) di-tawaqquf-kan.26
Demikian juga Ibn Qutaibah, melalui karyanya yang fenomenal
“Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts”, dia banyak mengumpulkan macam-macam
hadis yang bertentangan, baik dengan Al-Qur`an, hadis-hadis lain maupun
25
Abdul Majid Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
195-196. 26
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 112-113.
29
ijma, qiyas, sains, dan logika/akal. Mengacu kepada beberapa definisi
maupun indikasi-indikasi yang dikemukakan di atas, maka menurut
penulis Ilmu Mukhtalif al-Hadîts adalah ilmu yang membahas tentang
hadis-hadis yang berbeda atau bertentangan dengan dalil lainnya untuk
kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya.27
Definisi Ilmu Mukhtalif al-Hadîts di atas bisa mencakup beberapa
aspek, berikut ini penjelasannya:
a. Objek kajian Ilmu Mukhtalif al-Hadîts yaitu perbedaan dan
pertentangan dalam hadis, perbedaan atau pertentangan ini bisa terjadi
dalam beberapa hal: antara hadis dengan hadis, hadis dengan Al-
Qur`an, hadis dengan dalil lain seperti ijma, qiyas, sains, akal/logika.
b. Sifat perbedaan dan pertentangan. Perbedaan yang mengarah pada
bentuk variasi (tanawwu`) dan perbedaan yang menunjukkan pada
pertentangan (tanâqud/ta„âruḏ) dalam hadis itu. Sementara
pertentangan, adakalanya dari segi zhahir saja, ada juga yang hakiki
(memang benar-benar terjadi pertentangan).
c. Metode penyelesaian. Untuk memahami hadis yang berbeda-beda
tersebut, ada beberapa metode penyelesaian yang bisa diterapkan
sesuai dengan sifat perbedaannya. Metode al-Jam„u bisa diterapkan
untuk variasi (tanawwu`) hadis dan pertentangan ada pada zhahirnya,
sementara metode al-Naskh dan al-Tarjîh diterapkan untuk hadis yang
pertentangannya bersifat hakiki. Untuk kedua metode ini kemudian
27
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 23.
30
melahirkan sebuah kajian tersendiri, yakni Ilmu al-Nâsikh wa al-
Mansûkh dan al-Tarjîh.28
2. Urgensi Mempelajari Mukhtalif al-Hadîts
Menurut „Ajjâj al-Khaṯîb para ulama telah memberikan perhatian
yang serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadîts sejak masa sahabat. Mereka
melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai
hadis, menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi
demi generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis
yang tampak saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam
memahaminya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka bisa dinyatakan beberapa
poin tentang pentingnya mempelajari ilmu ini, yaitu:
a. Ilmu ini termasuk bagian dari beberapa kajian keislaman (Islamic Studies),
seperti Studi Hadis, Ilmu Hadis, Fiqh, dan Usul Fiqh.
b. Seluruh kelompok maupun golongan (baik teologis maupun ideologis)
membutuhkan ilmu ini dalam rangka menjelaskan kebenaran beberapa
dalil yang saling bertentangan, dan untuk memilih dan menetapkan mana
diantaranya yang lebih tepat dijadikan hujjah dan diamalkan.
c. Dengan ilmu ini, para mujtahid dimungkinkan untuk melakukan tarjîh dan
mengambil salah satu dalil yang lebih kuat (arjah) berdasarkan hasil
penelitiannya atas beberapa dalil yang saling bertentangan dan faktor
penyebabnya. Dalam hal ini, seseorang belum bisa mencapai derajat
mujtahid kalau belum mengetahui letak pertentangan dan penyebabnya.
28
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 24.
31
d. Ilmu ini memungkinkan seseorang untuk melaksanakan hadis Nabi SAW.
sesuai dengan kemampuannya.
e. Bagi usuliyyûn, tema pertentangan antar dalil (ta„âruḏ al-adillah)
termasuk salah satu tema yang sangat penting yang menjadi fokus
pembahasannya.
Dengan demikian, maka ilmu mukhtalif al-hadîts merupakan salah
satu cabang ilmu hadis yang perlu diketahui oleh semua umat Islam
khususnya para fuqaha dan ahli hadis dalam usaha mempertahankan
kewibawaan hadis sebagai sumber hukum Islam, karena ilmu ini memiliki
fungsi sebagai alat panduan dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW.
Ilmu ini dapat membantu ulama dalam menghindari dari kekeliruan dan
kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadîts-
hadîts mukhtalif.29
3. Faktor-Faktor Terjadinya Ikhtilâf al-Hadîts
Pada masa Rasulullah SAW. belum ada perbedaan pendapat dalam
menentukan hukum-hukum Islam, para sahabat masih bertumpu pada
Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah wafatnya Rasulullah SAW., banyak
masalah baru yang mengharuskan para sahabat untuk berijtihad dalam
menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqih.30
Dan beberapa faktor
yang lain sebagai berikut:
29
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kنajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 26-27. 30
Nafiz Husain Hammad, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahāʻ wa al-Muhadditsîn,
(Mesir: Dārul Wafa, 1993), h. 26.
32
a. Faktor Historisitas Hadis
Yakni terkait dengan latar belakang munculnya hadis: a) Ibṯâl
umûr sâidah fî al-jâhiliyyah (pembatalan terhadap kepercayaan yang
beredar di masyarakat Arab); misalnya hadis tentang pengobatan
menggunakan al-kayy. Terdapat hadis-hadis yang saling bertentangan,
sebagian mengatakan boleh dan sebagian lagi mengharamkannya; b) al-
tadarruj bi al-tasyrî„ (gradualisasi penetapan hukum Islam). Terdapat dua
langkah pentahapan: (1) al-tadarruj bi al-tasyrî„iy al-zamâniy
(gradualisasi waktu), yaitu pentahapan ajaran Islam sesuai dengan fase
pewahyuan di Mekkah dan Madinah, misalnya awalnya disyariatkan
aqidah dan dasarnya, kemudian disyariatkan ibadah, jihad, muamalah, dan
hukum pidana-perdata; (2) al-tadarruj al-nau„îy (gradualisasi jenis), yaitu
pentahapan penetapan hukum tertentu, yang pada awalnya halal dan boleh
kemudian berubah menjadi haram. Misalnya, pernikahan antara seorang
muslim dengan orang musyrik, hukum khamr, dan hukum nikah mut‟ah.
b. Faktor Internal Hadis (al-‘Âmil al-Dâkhilî)
Yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang
terkesan bertentangan.Jika kontradiksi ini benar-benar terjadi, maka
biasanya karena hadis tersebut ada ´illat (cacat) yang menyebabkan
menjadi ḏa´îf. Jika memang ini yang terjadi, maka hadis tersebut harus
ditolak, terutama ketika bertentangan dengan hadis yang shahih.
Contohnya adalah hadis: “man ghassala maytan falyaghtasil wa man
hamalahu falyatawaḏḏa`” (barangsiapa yang memandikan jenazah,
33
hendaknya ia mandi dan barangsiapa yang membawanya, hendaknya ia
berwudu).31
c. Faktor Eksternal (al-‘Âmil al-Khârijî)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks di mana Nabi SAW.
menyampaikan hadis dan kepada siapa beliau berbicara. Dalam hal ini,
terdapat dua konteks, yaitu a). Konteks Nabi SAW. (mutakallim) dan b).
Konteks mukhâṯab. Yang dimaksud konteks Nabi SAW. adalah kondisi
dimana Nabi SAW. memang menghendaki untuk menjelaskan dan
menyampaikan hukum tentang sesuatu dan faktor perbedaan hadis karena
perbedaan peristiwa, waktu dan tempat (geografis) di mana Nabi SAW.
menyampaikan hadis. Sementara konteks mukhâṯab adalah perbedaan
situasi dan kondisi dari para sahabat atau umat Islam yang dihadapi Nabi
SAW.
d. Faktor Metodologi (al-Bu‘du al-Manhajî)
Yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahami
hadis tersebut. Ada sebagian hadis dianggap bertentangan degan hadis
lain, atau dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadis tersebut dipahami
secara tekstual. Padahal jika hadis tersebut dipahami secara kontekstual,
misalnya dengan metode ta`wîl (hermeneutis) kesan pertentangan tersebut
akan hilang. Sebagai contoh hadis tentang lalat, hadis tentang penciptaan
perempuan dari tulang rusuk Adam, dan lain-lain.
31
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab: Sisa Musnad sahabat yang
banyak meriwayatkan hadis, Bab: Musnad Abu Hurairah ra., hadis no. 9485.
34
e. Faktor Ideologi (al-Bu‘du al-Madzhabî)
Yakni berkaitan dengan ideologi atau madzhab seseorang ketika
memahami suatu hadis. Suatu hadis dinilai bertentangan dengan hadis atau
ayat tertentu yang menjadi dasar ideologi madzhab atau alirannya. Solusi
terhadap hadis yang bertentangan disebabkan oleh faktor ideologi adalah
bagaimana “mengurung diri” dari prejudice-prejudice32
ideologi,
kemudian mengumpulkan hadis-hadis tersebut secara tematik, dianalisis
secara kritis, sehingga akan menghasilkan kesimpulan secara relatif lebih
obyektif dan intersubyektif. Contohnya adalah hadis tentang nikah mut„ah,
hadis tentang boleh tidaknya berdoa dengan ber-tawassul dengan Nabi
SAW. atau wali, hadis tentang imamah vs khilafah dan sebagainya.33
4. Pendapat Ulama Tentang Mukhtalif al-Hadîts
Sebelum kemunculan al-Syâfi„î, umat Islam hanya mendialogkan
masalah seputar hukum syari´ah secara alamiah saja dan belum ada
referensi kaidah otoritatif yang dapat digunakan sebagai metode
mengetahui dalil-dalil syari„ah serta metode menyeleksi dan menguatkan
dalil-dalil syari´ah tersebut.34
Ulama telah memberikan perhatian serius
terhadap mukhtalif al-hadîts sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan
utama segala persoalan setelah Nabi SAW. wafat mereka melakukan
ijtihâd mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis,
menjelaskan dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi
32
Prasangka atau Prejudice adalah suatu sikap negatif yang tidak tepat atau tidak benar
terhadap suatu kelompok atau anggota dalam kelompok tertentu.Lihat di Joko Kuncoro,
“Prasangka dan Diskriminasi”, Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang, h. 5. 33
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 41-43. 34
Ahmad Amîn, Ḏuhâ al-Islâm (Kairo: Maktabah al-Nahḏah al-Misriyyah, t.t.), Juz II, h.
224.
35
generasi mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antara hadis yang
tampaknya saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam
memahaminya35
sebagaimana yang dilakukan para ulama fiqh, Usul dan
Hadis.
Mereka sepakat bahwasanya tidak ada pertentangan atau perbedaan
antara dalil-dalil syara„. Akan tetapi, jika ada suatu hadis yang berbeda itu
adalah ijtihâd atau pendapat dari masing-masing atau perseorangan. Dalam
hal ini, al-Syâfi„î berkata: “Tidak ada perbedaan dalam hadis, dan yang
paling penting adalah mereka tidak ragu dalam ketetapan hadis”. Begitu
juga pendapat al-Syâṯibî, bahwasanya dalam hukum syari„ah itu tidak ada
perbedaan. Jika ada perbedaan maka kembali kepada pandangan masing-
masing. Lebih lanjut, Ibn Qutaibah berpendapat bahwa semua hadis
sebenarnya tidak ada pertentangan melainkan tergantung dari pemahaman
seseorang dalam memahami sebuah hadis.36
D. Sejarah Perkembangan Ikhtilâf al-Hadîts
Para ulama hadis generasi awal telah berbicara banyak tentang
ikhtilâf al-hadîts ini serta telah merumuskan kaidah-kaidah
penyelesaiannya. Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan
penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadis-hadis yang mukhtalif
ini merupakan bagian dari pembahasan ilmu usul fiqh.37
Ulama telah
memberikan perhatian serius terhadap ilmu mukhtalif dan musykil al-
hadîts ini sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala
35
M. Nur Ahmad Musyafiq, terjemahan Ushul al-Hadîts (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2007), h. 255. 36
Ibnu Qutaibah, Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 27. 37
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 109.
36
persoalan setelah Rasulullah SAW. wafat. Mereka melakukan ijtihad
mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadis, menjelaskan
dan menerangkan maksudnya. Kemudian generasi demi generasi
mengikuti jejak mereka, mengkompromikan antar hadis yang tampaknya
saling bertentangan dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya.38
E. Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif
1. Al-Jam‘u wa al-Taufîq
Berangkat dari landasan teori bahwa pada hakikatnya tidak ada
ikhtilâf al-hadîts. Ibn Khuzaimah dengan begitu lantang menyatakan,
“Aku tidak tahu kalau ada dua hadis yang sanadnya sama-sama sahih
namun isinya bertentangan. Jika ada orang yang mendapatkan hadis-hadis
seperti itu, bawalah kepadaku untuk aku kompromikan keduanya”.
Selanjutnya, Abû Bakar Muhammad ibn al-Ṯayyib dalam rumusan
teorinya mengatakan bahwa khabar (hadis) itu ada dua macam, yakni
khabar yang diketahui pernah diucapkan Rasulullah SAW. dan khabar
yang diketahui tidak pernah diucapkan beliau. Semua khabar yang
dipastikan bersumber dari Rasulullah SAW. tidak mungkin terjadi ta„âruḏ
(pertentangan) dalam bentuk apapun, meski pada lahirnya tampak
bertentangan.39
Selanjutnya, al-Syâfi„î dengan logika yang sama mengatakan
bahwa pada prinsipnya karena berasal dari sumber yang sama, semua
hadisitu bersesuaian (muttafiq) dan shahih, tidak ada yang bertentangan.
38
Muhammad „Ajaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), h. 255. 39
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 114.
37
Pertentangan yang kadangkala tampak pada hadis, menurutnya disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya faktor umum dan khusus dalam hadis.
Ada hadis bersifat umum dan yang dimaksudkan memang keumumannya.
Tetapi, ada pula hadis bersifat umum namun yang dimaksudkan adalah
kekhususannya. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya pertentangan
adalah pengamalan hadis yang tidak sempurna atau sepotong-potong
sehingga makna yang esensial dari hadis tersebut menjadi hilang. Bagian
akhir komentar al-Syâfi„î ini mengandung isyarat bahwa riwayat dengan
makna dan faktor ketelitian para periwayat hadis sering menjadi penyebab
terjadi ikhtilâf.40
Dengan sejumlah argumen dan kemungkinan di atas, al-Syâfi„î
menegaskan bahwa tidak ditemukan dua hadis yang bertentangan kecuali
ada jalan penyelesaiannya. Antara duahadisyang bertentangan itu, ada
kemungkinan satu dipahami secara umum dan yang lain dipahami secara
khusus. Kemungkinan kedua, dua hadis yang bertentangan tadi terjadi
karena dikeluarkan pada situasi yang berbeda. Untuk memahami hadis-
hadis seperti ini dengan baik dan benar, kita harus melihat dan
mempertimbangkan situasi atau kondisi yang berbeda tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya kompromi
hadis mukhtalif secara umum dapat dilakukan dengan penerapan pola
umum dan khusus atau muṯlaq41
dan muqayyad42
. Penerapan pola khusus
40
Daniel Juned, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 114-115. 41
Kata muṯlaq dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat “. Dari akar kata
yang sama lahir kata ṯalâq (talak), yakni lepasnya hubungan suami maupun istri sudah tidak saling
terikat.Lihat di M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 188.
38
dapat pula dilihat kekhususan dari konteks kapan, di mana, dan kepada
siapa Nabi SAW. bersabda. Pola pikir yang dirumuskan oleh generasi awal
ini, ternyata juga menjadi pegangan generasi selanjutnya hingga ke zaman
modern.
Berikut contoh hadits di bawah ini diriwayatkan dari Abû Hurairah
bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ثني أب و الطاىر وحرملة بن يحيى )واللفظ لبي الطاىر( قال: أخب رنا ابن وىب، حدثني أب و سلمة بن عبد الرحم أخب رن ن، عن أبي ىري رة، حين ي ي ونس، قال ابن شهاب: فحد
: )ل عدوى ول صفر ول ىامة(. ف قال أعرابي: يا رسول اهلل فما بال ملسو هيلع هللا ىلصقال رسول اهلل ها ف يجرب ها كلها؟ قال: اإلبل تكون ر الجرب ف يدخل في في الرمل كأن ها الظباء، ف يجيء البعي
43)فمن أعدى الول؟ )رواه مسلم(. Telah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯâhir dan Harmalah ibn
Yahya (dan pengucapan Abî al-Ṯâhir) berkata: Telah mengabarkan kepada
kami Ibn Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yûnus, Ibn Syihâb berkata:
dan telah menceritakan kepadaku Abû Salamah ibn „Abdirrahmân, dari
Abû Hurairah r.a.: Ketika Rasulullah SAW. bersabda, “Tidak ada penyakit
yang menular (tanpa izin Allah), tidak ada tabu di bulan Shafar, dan tidak
ada mayat yang menjadi hantu (tidak ada hantu)”, maka seorang Arab
pedalaman bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan onta yang ada di
padang pasir yang sehat-sehat bagai rusa, lalu didatangi oleh seekor onta
yang berkudis kemudian turut menyusup ke tengah onta-onta yang sehat
itu sehingga semuanya berkudis?” Rasulullah SAW. bersabda, “Siapakah
yang menularkan penyakit pertama kali? (Yakni: Allah). (HR. Muslim).44
42
Muqayyad dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki
kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”. Lihat di M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 188. 43
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Tidak Ada Tanda
Penyakit yang Menular, Tidak Ada Tanda Buruk (Kesialan), Tidak Ada Hantu, Tidak Ada Tabu di
Bulan Shafar, dan Orang yang Sakit Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (33),
h. 1057. 44
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Tidak Ada
Penyakit yang Menular (tanpa izin Allah), Tidak Ada Thiyarah, Tidak Ada Tabu di Bulan Shafar,
dan Tidak Ada Mayat yang Menjadi Hantu (1), h. 850.
39
Sedangkan hadis kedua berbunyi:
ث نا شريك ب ث نا أب و بكر بن أبي شيبة، حد ث نا يحيى بن يحيى، أخب رنا ىشيم، وحد ن عبد حدو، قال: اهلل و ىشيم بن بشير عن ي على بن عطاء، عن عمرو بن الشريد رضي اهلل عنو، عن أبي
: )إنا قد باي عناك فارجع(. ملسو هيلع هللا ىلصكان في وفد ثقيف رجل مجذوم، فأرسل إليو رسول اهلل 45)رواه مسلم(.
Telah menceritakan kepada kami „Amr ibn Râfi„, telah
menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ya„lâ ibn „Aṯâ` dari seorang
laki-laki dari kalangan keluarga al-Syarîd r.a. yang bernama „Amr dari
bapaknya, dia berkata: Dalam orang-orang Tsaqîf terdapat seorang laki-
laki yang menderita sakit kusta, lalu Nabi SAW. mengutus utusan
kepadanya agar menyampaikan jawaban Nabi SAW., “Kami telah
menerima baiatmu, maka kamu boleh pulang.” (HR. Muslim).46
ثني أب و الطاىر وحرملة )وت قاربا في اللفظ( قال: أخب رنا ابن وىب. أخب رني ي و نس عن وحدثو أن رسول اهلل عبد الرحم ابن شهاب أن أبا سلمة بن قال: )ل ملسو هيلع هللا ىلص ن بن عوف حد
ث انو قال: )ل ي ورد الممرض على المصح(. )رواه مسلم(. 47عدوى( ثم حد Telah menceritakan kepadaku Abû al-Ṯâhir dan Harmalah (dan
dekat dengan pengucapannya), berkata: telah mengabarkan Ibn Wahb.
Telah mengabarkan kepadaku Yûnus dari Ibn Syihâb bahwa Abû Salamah
ibn „Abdurrahmân ibn „Auf memberitahu dia bahwa Rasulullah SAW.
pernah bersabda: “Orang yang sakit tidak menularkan penyakit kepada
orang yang sehat (tapi Allah-lah yang menularkannya).” (HR. Muslim).48
Secara lahiriah dua hadis di atas bertentangan. Hadis pertama
memberikan ketegasan bahwa tidak ada penyakit menular, sedangkan
hadis kedua memberikan ketegasan bahwa penyakit kusta itu menular
45
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Menjauhi Orang yang
Berpenyakit Menular (36), h. 1062. 46
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Menjauhi Orang
yang Berpenyakit Menular (5), h. 852. 47
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 2, Kitab Salam (39), Bab Tidak Ada Tanda
Penyakit yang Menular, Tidak Ada Tanda Buruk (Kesialan), Tidak Ada Hantu, Tidak Ada Tabu di
Bulan Shafar, dan Orang yang Sakit Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (33),
h. 1058. 48
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Thiyarah dan Penyakit Menular (47), Bab Orang yang Sakit
Tidak Menularkan Penyakit Kepada Orang yang Sehat (2), h. 850-851.
40
sehingga Nabi SAW. memerintahkan untuk menjauh. Keduanya dapat
dikompromikan sebagai berikut.
a. Penyakit itu tidak menular menurut potensi dan sifatnya, tetapi Allah
menjadikannya menular melalui pergaulan antara orang yang sakit dan
orang yang sehat. Namun, tidak semua orang sehat tertular penyakit
tersebut. Terkadang orang sehat tidak tertular karena imunitas tubuhnya
yang kuat, sekalipun banyak bergaul dengan orang sakit.
b. Hadis pertama menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang menular.
Sementara itu, hadis kedua menyatakan bahwa ada penyakit tertentu yang
dapat menular. Dengan demikian, keumuman hadis pertama ditakhsis oleh
hadis kedua.49
2. Nasakh wa al-Mansûkh
Nasakh secara etimologis berarti اإلز الة (menghilangkan) dan النقل
(mengutip, menyalin). Sedangkan pengertian nasakh secara terminologi
yaitu:
ن ها من حيث الحكم العلم الذي ي بحث عن الحاديث المت عارضة التي ل يمكن الت وفيق ب ي مو كان ناسخا وم ا ث بت على ب عضها بأنو ناسخ وعلى ب عضها الخر بأنو منسوخ فما ث بت ت قد
تأخره كان ناسخا.“Ilmu yang membahas hadîts-hadîts yang saling bertentangan
yang tidak mungkin bisa dikompromikan, dengan cara menentukan
sebagiannya sebagai nasakh dan sebagian lainnya sebagai mansûkh. Yang
terbukti datang terdahulu sebagai mansûkh dan yang terbukti datang
kemudian sebagai nasakh”.50
49
Abdul Majid Khon, Takhrîj & Metode Memahami Hadis (Cet. 1, Jakarta: Amzah,
2014), h. 200-201. 50
Muhammad ´Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadîts Pokok-Pokok Ilmu Hadîts (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2013), h. 258-259.
41
Mengetahui hadis yang mengandung nasakh adalah salah satu ilmu
yang sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam
fiqh. Al-Zuhri berkata, para fuqaha telah mengerahkan segala tenaga dan
pikiran untuk mengetahui hadis Rasulullah SAW. yang berkedudukan
sebagai nasikh (yang menghapus) dan hadis yang berkedudukan sebagai
mansûkh (yang dihapus).51
Melalui fakta sejarah, seperti hadis Syidâd ibn Aus dan lainnya
yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
ث نا موس عث، عن ، عن أبي الش البة ، عن أبي ق ، نا أي وب نا وىيب ،إسماعيل ى بن حدخذ آلبقيع، وىو يحتجم، وىو أتى على رجل باملسو هيلع هللا ىلص ن رسول اهلل شداد بن أوس، أ
(. )رواه أبو افطر الحاجم والمحجوم ) ف قال: ،لثمان عشرة خلت من رمضان بيدي، 52.داود(
Telah menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Ismâ„îl, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami
Ayyûb, dari Abî Qilâbah, dari Abî al-Asy„ats, dari Syidâd ibn Aus, bahwa
Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang
berbekam di Baqî„. Dan beliau SAW. serta memegang tanganku, pada
tanggal delapan belas Ramaḏân. Maka beliau SAW. bersabda:
“Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Abû
Dâwud).53
Dan dari Ibn „Abbâs ra.ia berkata:
ث نا أب و معمر ث نا حد ث نا أي وب حد رضي اهلل عن عكرمة عن ابن عباس عبد الوارث حدهما قال 54(. )رواه البخاري(.وىو صائم ملسو هيلع هللا ىلصالنبي احتجم ) :عن
51
Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlûmul Hadîts (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 348. 52
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Saum (8), Bab Berpuasa Namun Melakukan
Bekam (28), h. 415. 53
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Tarjamah Sunan Abi Daud,
Penerjemah: Ustadz Bey Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.), Jilid 3, Kitab Puasa, Bab Orang
Puasa Berbekam, h. 211. 54
Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Saum (30), Bab Melakukan Bekam Saat Berpuasa (32), h. 467.
42
Telah menceritakan kepada kami Abû Ma„mar, telah menceritakan
kepada kami „Abd al-Wârits, telah menceritakan kepada kami Ayyûb, dari
„Ikrimah, dari Ibn „Abbâs r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW.
berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”. (HR. al-Bukhari).55
Al-Muṯṯalibi Muhammad ibn Idris al-Syâfi„î menjelaskan bahwa
hadis yang kedua merupakan nasakh terhadap hadis yang pertama.
Buktinya cukup unik, yakni diriwayatkan kepadanya bahwa Syidâd pada
masa-masa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah SAW. Ketika
Rasul SAW. melihat seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramaḏân,
maka beliau berkata:
ث نا موس عن أبي الشعث، عن ى بن إسماعيل، نا وىيب، نا أي وب، عن أبي قالبة،حدخذ آأتى على رجل بالبقيع، وىو يحتجم، وىو ملسو هيلع هللا ىلص اد بن أوس، أن رسول اهلل شد
بيدي، لثمان عشرة خلت من رمضان، ف قال: )افطر الحاجم والمحجوم(. )رواه أبو 56داود(.
Telah menceritakan kepada kami Mûsâ ibn Ismâ„îl, telah
menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami
Ayyûb, dari Abî Qilâbah, dari Abî al-Asy„ats, dari Syiddâd ibn Aus r.a.,
bahwa Rasulullah SAW. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang
berbekam di Baqî„. Dan beliau SAW. serta memegang tanganku, pada
tanggal delapan belas Ramaḏân. Maka beliau SAW. bersabda:
“Berbukalah orang yang membekam dan yang dibekam”. (HR. Abû
Dâwud).57
55
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Puasa (12),
Bab Berbekam dan Bermuntah-muntah Bagi Orang Yang Berpuasa (32), h. 121. 56
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Saum (8), Bab Berpuasa Namun Melakukan
Bekam (28), h. 415. 57
Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Tarjamah Sunan Abi Daud,
Penerjemah: Ustadz Bey Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.), Jilid 3, Kitab Puasa, Bab Orang
Puasa Berbekam, h. 211.
43
Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibn „Abbâs ra.berkata:
ث نا أب و معمر ث نا أي وب عن عكرمة عن ابن عباس رضي اهلل حد ث نا عبد الوارث حد حدهما قال: )احتجم النبي 58وىو صائم(. )رواه البخاري(. ملسو هيلع هللا ىلصعن
Telah menceritakan kepada kami Abû Ma„mar, telah menceritakan
kepada kami „Abd al-Wârits, telah menceritakan kepada kami Ayyûb, dari
„Ikrimah, dari Ibn „Abbâs r.a. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW.
berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”.59
Dengan demikian, jelas bahwa hadis yang pertama (hadis Syidad)
itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8
Hijriah, dan hadis kedua (hadis Ibn „Abbâs) terjadi pada waktu Haji
Wada„, yaitu pada tahun 10 Hijriah. Jadi, hadis yang kedua merupakan
nasakh bagi hadis yang pertama.60
3. Al-Tarjîh
Hadis-hadis mukhtalif, bila tidak mungkin untuk dikompromikan
dengan cara apapun, tidak mungkin pula diperlakukan ketentuan takhsis,
tidak ditemukan pula cara untuk memberlakukan naskah. Akan tetapi
ditemukan petunjuk yang mungkin menguatkan salah satu di antara
keduanya, maka digunakanlah dalil yang memiliki petunjuk yang
menguatkan itu. Cara tersebut dinamakan tarjîh.
Secara etimologi, tarjîh berarti “menguatkan”. Dalil yang
dikuatkan disebut dengan rajîh, dan dalil yang dilemahkan disebut dengan
marjûh. Dalam arti istilah, tarjîh adalah ungkapan mengenai diiringinya
salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang
58
Abû „Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Saum (30), Bab Melakukan Bekam Saat Berpuasa (32), h. 467. 59
Abû „Abdullah Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Tarjamah Shahih Bukhari,
Penerjemah: Achmad Sunarto, dkk (Semarang: CV Asy-Syifa‟, 1992), Jilid 3, Kitab Puasa (12),
Bab Berbekam dan Bermuntah-muntah Bagi Orang Yang Berpuasa (32), h. 121. 60
Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadīts, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 349.
44
dikehendaki, di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk
mengamalkan satu di antaranya dan meninggalkan yang satu lagi.
Dari definisi di atas, dapat diketahui hakikat tarjîh dan sekaligus
merupakan persyaratan bagi tarjîh, yaitu:
1. Dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk
mengamalkan keduanya dengan cara apapun. Dengan demikian, tidak
terdapat tarjîh dalam dua dalil yang qaṯ´î karena dua dalil qaṯ´î, tidak
mungkin berbenturan.
2. Kedua dalil yang berbenturan itu adalah sama-sama pantas untuk memberi
petunjuk kepada yang dimaksud.
3. Adanya petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu di antara
dua dalil, dan meninggalkan dalil yang satu lagi.61
Sebagai contoh antara lain, berikut ini dikemukakan dua hadis
Nabi SAW. yang tampak kontradiktif
د بن بكر و عبد الرزاق ث نا محم بن دي نار عن ابن جريج أخب رني عمرو قال أخب رناحدأنو سمع أبا ىري رة ي قول ورب ىذا أخب ره عن عبد اهلل بن عمرو القاري يحي بن جعدة
د ن هى عنو ورب ىذا الب يت ما أنا ما أنا ن هيت عن صيام ي وم الجمعة ولكن الب يت محمفي قالو قال عبد الرزاق ملسو هيلع هللا ىلصولكن رسول اهلل ق لت من أدركو الصبح جنبا ف لي فطر
رواه ري أنو سمع أبا ىري رة ي قول. )جعدة أخب ره عبد اهلل بن عمرو القايحيى بن حديثو إن 62أحمد(.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Bakr dan „Abd
al-Razzâq mereka berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij telah
mengabarkan kepadaku „Amr ibn Dînâr dari Yahya ibn Jad„ah telah
menceritakan kepadanya dari „Abdillah ibn „Amr al-Qâri bahwa ia
61
Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syāfiʼi”, UIN
SUSKA RIAU, Vol. XVII No. 2, Juli 2011, h. 197-198. 62
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Anshar, Bab:
Lanjutan Musnad yang lalu, hadis no. 25095. Lihat juga Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-
Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 124.
45
mendengar Abû Hurairah berkata: “Demi Tuhan Pemilik Ka‟bah
sesungguhnya bukan aku yang melarang dari berpuasa pada hari Jum‟at
akan tetapi Muhammad SAW. yang melarangnya, dan demi Tuhan Pemilik
Ka‟bah bukan aku yang mengatakan; barangsiapa mendapatkan subuh
dalam keadaan junub maka hendaklah ia berbuka akan tetapi
Rasulullah SAW. yang mengatakan itu”. Barangsiapa yang pada waktu
subuh mandi junub, maka tidak sah puasanya”. „Abd al-Razzâq berkata
dalam haditsnya: Sesungguhnya Yahya ibn Jad„ah telah diberitahu oleh
„Abdullah ibn „Amr al-Qâri bahwa ia mendengar Abû Hurairah yang
berkata. (HR. Ahmad).63
ث نا بن بكر أبي عن على مالك عن عبد ربو بن سعيد، ق رأت :قال يحيى بن يحيى.حدأن هما ملسو هيلع هللا ىلص النبي زوجي أم سلمة عائشة و عن ،الحارث بن ىشام ن بن عبد الرحم
ثم في رمضان، ،تالم اح يصبح جنبا من جماع، غير ل ملسو هيلع هللا ىلص رسول اهلل كان إن قالتا: 64(.رواه مسلم) .يصوم
Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Yahya berkata: Aku
membaca dari Mâlik dari „Abdirabbihi ibn Sa´îd, dari Abî Bakar ibn „Abd
al-Rahmân ibn al-Hârits ibn Hisyâm, dari „Aisyah dan Ummu Salamah
yang keduanya adalah isteri Rasulullah SAW. Keduanya mengatakan:
“Rasulullah SAW. pernah junub pada saat subuh karena habis bersetubuh
pada malam Ramadhan, bukan karena bermimpi, kemudian beliau SAW.
berpuasa”. (HR. Muslim).65
Hadis pertama menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mandi
junub sebelum waktu subuh, tidak sah puasanya. Sebaliknya, hadis kedua
menjelaskan bahwa Nabi SAW. pernah mandi junub pada waktu subuh
kemudian berpuasa Ramadhan. Kedua hadis ini tidak dapat
dikompromikan karena tidak diketahui hadis mana yang datang lebih
dahulu. Oleh sebab itu, langkah berikutnya adalah tarjîh, yaitu
mengunggulkan salah satu hadis yang lebih kuat.
63
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab: Sisa Musnad Sahabat Anshar, Bab:
Lanjutan Musnad yang lalu, hadis no. 25095. Lihat juga Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-
Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 124. 64
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Siyâm (13), Bab Puasa Orang yang
Junub Ketika Fajar (78), h. 495. 65
Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun (Cet. II,
Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Kitab Puasa (11), Bab Puasa Orang yang Junub Ketika Fajar (14),
h. 330.
46
Periwayat kedua hadis sama-sama kuat, yaitu al-Bukhârî dan
Muslim. Keduanya pun berkualitas sahih. Namun, sanadnya berbeda hadis
pertama diriwayatkan oleh Abû Hurairah, sedangkan hadis kedua
diriwayatkan oleh „Aisyah ra. dan Ummu Salamah. Sementara itu, topik
yang dibicarakan adalah masalah yang berkaitan dengan junub dan
hubungan suami-istri. Hadis yang kedua lebih unggul karena menyangkut
masalah internal dan para periwayatnya ikut terlibat.66
Konsep tarjih ini menjadi solusi metodologis dalam menyelesaikan
hadis-hadis mukhtalif yang tidak bisa dikompromikan dan tidak terdeteksi
kronologi waktu turunnya. Jadi sebagai sebuah metode penyelesaian
mukhtalif al-hadîts, tarjih diterapkan setelah metode al-jam„u dan al-naskh
mengalami kebuntuan.67
4. Tawaqquf
Al-Tawaqquf atau mutawaqqaf fîh ialah hadis yang ditunda,
dihentikan, ditinggalkan, atau tidak diamalkan. Hadis ini bermula karena
dua hadis yang kontradiktif tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
dinasakh, dan tidak dapat ditarjih. Oleh sebab itu, alternatif terakhir adalah
ditunda, dihentikan, ditinggalkan, atau tidak diamalkan.
Hadis mutawaqqaf fîh ini kasusnya hampir sama dengan hadis
muḏṯarib68
, yaitu dua hadis yang kontradiktif dan tidak dapat ditarjih.
Akan tetapi, hadis muḏṯarib lebih umum daripada hadis mutawaqqaf fîh.
66
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
204. 67
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 84. 68
Hadis Muḏṯarib adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan
beberapa redaksi yang berbeda dan dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat
diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan. Lihat Dr. Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadīts, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 465.
47
Hal itu karena hadis muḏṯarib dapat terjadi pada sanad dan matan;
sekaligus dapat terjadi pada hadis sahih, hasan, dha„if. Sementara itu,
hadis mutawaqqaf fîh hanya terjadi pada matan dan hadisyang maqbûl.
Berikut ini contoh hadis mutawaqqaf fîh sebagaimana hadis muḏṯarib pada
matan.
a. Hadis tentang Nabi SAW. Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân yang tidak
membaca basmalah dalam membaca al-Fatihah. Hadis tersebut
diriwayatkan dari Anas ibn Mâlik ra. Ia berkata,
صليت خلف ثو قال:مالك، أنو حد بن أنس يخبره عن كتب إليو و عن ق تادة أنو للو رب لحمد ٱ﴿وأبي بكر وعمر وعثمان فكانوا يست فتحون ب ملسو هيلع هللا ىلصالنبي
ن ٱبسم اهلل ﴿ل يذكرون ﴾لعالمين ٱ )رواه .خرىاآفي أول قراءة ول ﴾لرحيم ٱلرحم 69مسلم(.
Dan dari Qatâdah yang dia tulis menceritakan tentang Anas ibn
Mâlik, bahwasanya telah mengabarkan kepadanya, berkata: “Aku pernah
shalat di belakang Nabi SAW., Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân. Mereka
memulai al-Fatihah dengan “Al-hamd lillâh rabb al-„âlamîn”. Mereka
tidak menyebut, „Bism Allâh al-rahmân al-rahîm,‟ baik pada awal bacaan
maupun akhir bacaan”. (HR. Muslim).
b. Hadis tentang Nabi SAW. Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân membaca
basmalah dengan keras dalam membaca al-Fatihah.
أبي بكر وعمر فكانوا عن ابن عمر قال صليت خلف النبي صلى اهلل عليو وسلم و ن ٱبسم اهلل ﴿يجهرون ب ﴾لرحيم ٱلرحم
Dari Ibnu „Umar, ia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi SAW.,
Abû Bakar, „Umar, dan „Utsmân. Mereka membaca dengan keras, „Bism
Allâh al-rahmân al-rahîm.‟” (HR. Daruquṯni).70
Selain itu, ada hadis lain yang senada dengan hadis tersebut.
69
Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H), Jilid 1, Kitab Shalat (4), Bab Larangan Ma‟mum
dalam Mengeraskan Bacaan di Belakang Imam (12), h. 187-188. 70
Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I, h. 400.
Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 206.
48
بي بكر وخلف عمر عليو وسلم وخلف أ عن أنس قال صليت خلف النبي صلى اهلل ن ٱوخلف عثمان وخلف علي فكلهم كانوا يجهرون بقراءة بسم اهلل لرحيم ٱلرحم
Dari Anas, ia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi SAW., Abû
Bakar, „Umar, „Utsmân, dan „Alî. Mereka semua membaca keras, „Bism
Allâh al-rahmân al-rahîm.‟”(HR. al-Hakim).71
Periwayatan dua kelompok hadis di atas tampak bertentangan.
Kelompok pertama menyatakan bahwa Nabi SAW, Abû Bakar, „Umar,
dan „Utsmân tidak membaca basmalah atau tidak mengeraskannya.
Sementara itu, kelompok hadis kedua menegaskan kebalikannya, yaitu
mereka membaca basmalah dengan keras. Shubhi al-Shalih menyatakan
bahwa kedua kelompok hadisdi atas adalah muḏṯarib. Al-Bukhârî dan
Muslim sepakat dalam periwayatan sanad lain yang tidak menyebutkan
kalimat aku shalat di belakang…, baik menetapkan maupun meniadakan
basmalah. Mereka hanya menyebutkan bahwa al-Fatihah adalah surat yang
dimulai dengan hamdalah.
Seandainya tidak disebutkan kelompok hadis kedua di atas, ada
kemungkinan dapat ditarjih dan teks hadis kelompok pertama tidak
disifatkan muḏṯarib. Akan tetapi, datang periwayatan ketiga dari Anas pula
ketika ditanya tentang memulai basmalah dalam al-Fatihah. Ia menjawab,
“Tidak hafal sesuatu tentang hal itu dari Rasulullah.” Ia kesulitan atau uzur
dalam menarjih hadis yang berkaitan dengan basmalah, baik menetapkan
71
Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I, h. 400.
Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h. 206.
49
maupun meniadakannya. Oleh sebab itu, inilah sebab sifat iḏṯirab pada
hadis pertama.72
Dengan demikian, kedua hadis di atas dibiarkan dan tidak
diamalkan (mutawaqqaf fīh) karena terjadi kontradiksi yang tidak kunjung
dapat ditarjih. Selanjutnya, hal tersebut disebut dengan hadis muḏṯarib
sampai ada penguat pada salah satunya. Namun, yang menjadi ganjalan di
sini adalah kedua hadis tersebut sahih, bahkan dikuatkan dengan beberapa
periwayatan, sedangkan hadis muḏṯarib adalah ḏa„îf. Sementara itu,
mayoritas ulama sepakat bahwa basmalah merupakan bagian dari al-
Fatihah, hanya permasalahannya apakah dibaca jahr (bersuara keras) atau
sirr (bersuara pelan). Kadang kala Nabi SAW. membaca jahr pada shalat
jahr (malam hari umumnya) dan membaca sirr pada shalat sirr (siang hari
umumnya) atau bisa jadi membaca sirr pada shalat jahr karena
menjelaskan bahwa hal tersebut boleh dilakukan.73
F. Karya-Karya Dalam Bidang Ilmu Mukhtalif al-Hadîts
Pembahasan tentang Ilmu Mukhtalif al-Hadîts sebenarnya telah
banyak dilakukan oleh ulama dan bisa ditemukan hampir di semua kitab
Ulumul Hadis. Namun pembahasan ini hanya merupakan bagian kecil dari
cabang Ulumul Hadis. Meski demikian, sudah ada kitab-kitab yang ditulis
secara khusus membahas Ilmu Mukhtalif al-Hadîts atau Ilmu Musykil al-
Hadîts. Di antara kitab tersebut adalah:
72
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h.
206-207. Lihat juga Shubhi Shalih, ʼUlūm al-Hadīts wa Musṯalahuhu, (Beirut: Dār al-ʼIlmi lil
Malāyīn, 1959), h. 189. 73
Abdul Majid Khon, Takhrīj & Metode Memahami Hadis (Jakarta: Amzah, 2014), h.
207.
50
a. Kitab Ikhtilâf al-Hadîts karangan Imâm Abû „Abdillâh Muhammad ibn
Idrîs al-Syâfi„î (150-204 H).
b. Kitab Ta`wîl Mukhtalif al-Hadîts karangan Imâm „Abdillâh ibn Muslim al-
Qutaibah al-Dainûrî (213-276 H).
c. Kitab Syarh Musykil al-Atsar fi Nafyi al-Taḏâḏ „an al-Ahâdîts wa Istikhrâj
al-Hanafi (239-321 H).
d. Kitab Musykil al-Hadîts wa Bayânuhu karangan Ibn Faurak al-Ansâri al-
Asbahâni al-Syâfi„î (406 H).74
74
Salamah Noorhidayati, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Kajian Metodologis dan Praktis
(Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016), h. 44.
51
BAB III
SOLUSI METODE PENYELESAIAN DALAM IKHTILÂF AL-HADÎTS
A. Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi Kiblat.
1. Hakikat Melakukan Buang Hajat Menghadap dan Membelakangi
Kiblat.
Para ulama sepakat bahwasanya hadis Nabi SAW. merupakan
landasan syari´at setelah Al-Qur`an, dimana hadis-hadis Rasulullah SAW.
merupakan penjelasan atau penafsiran atas ayat-ayat Allah yang bersifat
mujmal. Hadis-hadis Rasulullah SAW. merupakan bentuk perkataan
Rasulullah SAW., perbuatan dan ketetapan yang menggambarkan tentang
aqidah, syari„ah, mu„amalah dan akhlâq dimana hal tersebut tidak dapat
dipisahkan dari Al-Qur`an.
Para ulama telah banyak menghabiskan umur mereka dalam
melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Rasulullah SAW. baik dari segi
sanad, matan, bahasa, makna maupun kandungan syari„at yang terdapat di
dalamnya. Hal ini perlu untuk dilakukan melihat banyak hadis-hadis
Rasulullah SAW. yang hingga saat ini belum dapat dijangkau makna dan
kandungannya, diantara hadis-hadis Rasulullah SAW. tersebut adalah
hadis-hadis Rasulullah SAW. yang berhubungan dengan istinja meskipun
secara harfiyah atau lafdziyah hadis-hadis yang berhubungan dengan hal
ini sangat banyak dan bertebaran dipelbagai kitab-kitab hadis baik di
dalam kitab-kitab Shahih, Sunan, Masanid, dan bahkan Majami„.
Terdapat berbagai macam pendapat yang berkaitan dengan istinja
dimana terdapat hadis yang menjelaskan tentang istinja atau buang hajat
52
menghadap kiblat yang nampaknya bertentangan, hadis pertama melarang
buang hajat menghadap kiblat dan membelakangi kiblat sedangkan hadis
kedua dinyatakan buang hajat menghadap kiblat dan membelakangi kiblat.
Kontroversi yang terjadi dalam pelbagai hadis menimbulkan pertanyaan
tentang kebolehan dan ketidakbolehan dalam membuang hajat menghadap
dan membelakangi kiblat. Berdasarkan uraian di atas, maka akan
dijelaskan mengenai bagaimana metode penyelesaian dan status mengenai
hadis tentang membuang hajat menghadap dan membelakangi kiblat.
2. Takhrij Hadis.
Setelah melakukan penelusuran dalam melakukan takhrij hadis-
hadis tentang posisi kencing melalui berbagai sumber seperti Mu„jam al-
Mufahras1, maka ditemukan beberapa lafadz hadis. Dalam hadis mengenai
larangan membuang hajat menghadap dan membelakangi kiblat dalam
kitab Mu„jam al-Mufahras disebutkan dalam Sahîh al-Bukhârî Kitab
Wudhu (4), Bab Larangan Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar
dan Kecil, Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang
Tembok Maupun yang Sepertinya (11) hadis ke-1442
عندالبنالتست قبلابب لةبغائطأوب ولإلا أونحوهء:جدارالقب – ۱۱ ث نا-۱٤٤ ث ناابنأبيذئبقال:ث نامقال:حدادآحدا ثي عطاءبنيزيداللايعنريالزىحدا
ائطفليست قبلىأحدكمالغإذاأت ملسو هيلع هللا ىلصقالرسولاللقال:باألنصاري أبيأي وعنلة .ولي ول هاظهره،شر ق واأوغر ب واالقب
1 Wensinck, Mu´jam Al-Mufahras li Alfâẕil Hadîts (Belanda: Breil, 1962 M), Juz 5, h.
256. 2Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wudhu (4), Bab Larangan Menghadap Kiblat Saat Membuang Air Besar dan
Kecil, Kecuali Bila Berada dalam Suatu Bangunan atau Terhalang Tembok Maupun yang
Sepertinya (11), h. 49.
53
Sunan Abû Dâwud Kitab Thaharah (1), Bab Larangan Menghadap
Kiblat Saat Membuang Hajat (4) hadis ke-93.
لةب كراىيةاستقبالالقب الحاجةعندقضاءاب -٤ ث نامسداد-٩ ،عطاءبنيزيداللايثي عنعنالزىري،سفيانث نامسرىد،بن)صحيح(حدا
لةائطفلتست قبلواإذاأت يتمالغقال:،أبيأي وبروايةعن شر ق واولكن،ب ولولبغائطالقب .أوغر ب وا
Sunan al-Nasâ`î Kitab Thaharah (1), Bab Larangan Membelakangi
Kiblat Saat Membuang Hajat (20) hadis ke-214.
هيعناستدبارالقبلةعندالحاجةن(ال٠٢)
ث ناأخب رنامحمادبنمنصور-٠۱ أبيأي وبعن،عطاءبنيزيدعنعنالزىريسفيانقال:حدالةقال:ملسو هيلع هللا ىلصالنابياأنا كنشر ق واأوغر ب واول لغائطأوب ول،ولتستدبروىالتست قبلواالقب
Setelah melakukan takhrij hadis mengenai kebolehan membuang
hajat mengahadap dan membelakangi kiblat terdapat pula pada kamus
Mu„jam al-Mufahras.5 Hadis mengenai perintah membuang hajat
menghadap kiblat dalam Sahîh al-Bukhârî Kitab Wudhu (4), Buang Hajat
di Atas Dua Batu Bata (12) hadis ke-145.6
ت ينمنت ب رازعلىلبن(باب۱٠) ث ناعبداللبني وسفقال:أخب رنامالكعنيحي –۱٤٤ ىبنسعيدعنمحمادبنحدا
كاني قول:إناناساي قويحي وواسعبنحباان،عنعبداللبنعمرأناو لون:ىبنحباانعنعم
3Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud (Riyadh: Maktabah
al-Ma´ârif Lil Nasyri wa Tauzî, t.t), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Menghadap Kiblat
Saat Membuang Hajat (9), h. 8. 4 Abû ´Abd al-Rahmân Ahmad ibn ´Alî Syu´aib ibn ´Alî ibn Sînân al-Nasâ`î, Sunan al-
Nasâ`î (Beirut: Dâr al-Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Larangan Membelakangi
Kiblat Saat Membuang Hajat (20), h. 27-28. 5 Wensinck, Mu´jam Al-Mufahras li Alfâẕil Hadîts (Belanda: Breil, 1962 M), Juz 5, h.
257. 6 Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Ismâ´îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dâr Ibn
Katsîr, t.t), Kitab Wudhu (4), Bab Buang Hajat di Atas Dua Batu Bata (12), h. 145.
54
لةولب يتالمقدس.ف قالعبداللبنعمر:لق دإذاق عدتعلىحاجتكفلتست قبلالقب علىلبنت ينمست قبلب يتالمقدسملسو هيلع هللا ىلصارت قيتي وماعلىظهرب يتلنا،ف رأيترسولالل
لحاجتو.Sunan Ibn Mâjah Kitab Thaharah (1), Bab Keringanan Dalam
Membuang Hajat di Kakus (18) hadis ke- 1/322.7
الصحارىالكنيف،وإباحتودونالرخصةفيذلكفياب:ب–۱۱/۱۱ ث نا–۱/۳٠٠ ثنييحي وزاعياألثنا،حبيبثناعبدالحميدبن،عمااربنىشامحدا ىابن،حدا
ث ناأب وبكربنخلا،سعيداألنصاري ىارون،أن بأناقال:ثنايزيدبنىيحي د،محمادبنوحداأخب ره،اناعبدخب ره،أناعماوواسعبنحباانىبنحباانأأنامحمادبنيحي ىابنسعيد،يحي
لة،ولقدظهرتقال:ي قولأناس:إذاق عدتاللبنعمر، ،ذاتللغائطفلتست قبلالقب ت قبلب يتقاعداعلىلبنت ين،مسملسو هيلع هللا ىلص ،علىظهرب يتنا،ف رأيترسولاللي وم/مناألياام
المقدس. 3. Metode Penyelesaian Hadis Mengenai Buang Hajat Menghadap
Kiblat.
Pengertian “Kecuali bila berada di suatu bangunan, terhadang
tembok maupun yang sepertinya” adalah seperti batu besar, pagar, pohon
dan pembatas-pembatas lain. Al-Ismâ„ili berkata, “Dalam hadis ini
disebutkan pada bab ini tidak ada keterangan yang mengindikasikan
pengecualian seperti itu.” Perkataan ini aku jawab dengan tiga jawaban:
Pertama, bahwa pengecualian itu didasarkan pada hakikat lafazh al-Gha`iṯ
(tempat buang air besar) di mana menurut hakikat bahasa, al-Gha`iṯ adalah
suatu tempat datar di muka bumi yang terdapat di lapangan terbuka.
Meskipun setelah itu lafazh al-Gha`iṯ dipakai untuk nama semua yang
7 Abû ´Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah (Beirut: Dâr al-
Ma´rifah, t.th), Jilid 1, Kitab Ṯahârah (1), Bab Kencing dengan Posisi Duduk (14), h. 196.
55
dikhususkan sebagai tempat buang air besar dalam arti majaz (kiasan).
Maka, larangan dalam hadis di atas khusus untuk tempat yang terbuka.
Sebab suatu lafazh bila tidak dibatasi dengan sesuatu, maka maknanya
kembali kepada hakikat lafazh tersebut. Jawaban ini dikemukakan oleh al-
Isma‟ili yang merupakan jawaban yang terkuat.
Kedua, menghadap ke arah kiblat dapat terealisasi bila seseorang
berada di lapangan terbuka, sementara bila terhalang tembok atau
bangunan, maka secara adat kebiasaan dinamakan menghadap kepada hal-
hal tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibn al-Munir. Pendapat ini
menjadi kuat bila dikatakan bahwa tempat-tempat untuk buang air besar
tidak dapat digunakan untuk shalat, sehingga tidak ada istilah kiblat pada
tempat-tempat tersebut. Akan tetapi jawaban ini dikritisi, karena hal itu
mengakibatkan tidak sahnya shalat seseorang yang antara ia dengan
Ka‟bah ada tempat yang tidak sah untuk dipergunakan shalat, dan ini
adalah batil. Ketiga, pengecualian di atas adalah berdasarkan hadis Ibn
„Umar yang disebutkan setelah bab ini, sebab hadis-hadis Nabi SAW.
adalah merupakan satu kesatuan.8
Apabila dikatakan, “Mengapa kamu memberi makna al-Gha`iṯ
sebagaimana arti hakikinya dan tidak mengartikannya dengan arti yang
lebih luas, sehingga dapat mencakup tempat terbuka maupun bangunan
tertutup. Terlebih lagi sahabat yang meriwayatkan hadis ini telah memberi
makna hadis tadi dalam arti yang luas dan umum, dimana beliau
8 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 42-43.
56
sebagaimana yang akan disebutkan oleh al-Bukhârî dalam bab Kiblat
penduduk Madinah pada awal mula disyariatkannya shalat berkata, “Kami
mendatangi negeri Syam, lalu kami temui tempat-tempat untuk buang
hajat telah dibangun menghadap kiblat, maka kami pun berpaling
(mengambil arah berlawanan) dari arah bangunan itu seraya memohon
ampun.”
Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengatakan, “Abû Ayyûb al-
Ansarî (perawi hadis yang dimaksud) telah memberi makna lafazh al-
Gha`iṯ dari segi hakikat dan majaz sekaligus, dan itulah yang seharusnya
dilakukan. Seakan-seakan hadis yang mengkhususkan makna itu hanya
pada tempat terbuka belum sampai kepada beliau. Andaikata tidak ada
hadis Ibn „Umar yang mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan
larangan menghadap kiblat saat buang air besar tidak berlaku pada tempat
tertutup seperti bangunan, niscaya kami akan berpendapat pula bahwa
larangan itu berlaku umum baik di tempat terbuka maupun tertutup.
Sementara mengamalkan kedua dalil yang ada lebih utama daripada
mengabaikan salah satunya. Disebutkan dalam hadis Jâbir sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud dan Ibn Khuzaimah dan
lainnya sebuah keterangan yang menguatkan pandangan ini. Adapun
lafazh hadis tersebut versi Ahmad, adalah:
هاناأننستدب ملسو هيلع هللا ىلصاللكانرسول لةي ن ىرق ناالماء.قال:ثمااونست قبلهابفروجناإذارالقب لة.ق بلموتوبعامي ب ولمست قبلالرأي تو قب
(Rasulullah SAW. melarang kami membelakangi atau menghadap
kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami saat kami menumpahkan air
(kencing). Jabir menambahkan, “Kemudian aku pernah melihat beliau
SAW. setahun sebelum wafat kencing dengan menghadap kiblat.”).
57
Sebenarnya hadis ini bukan sebagai penghapus hukum larangan
menghadap kiblat sebagaimana anggapan sebagian orang, akan tetapi
hadis ini harus dipahami bahwa kejadian tersebut berlangsung di tempat
tertutup (bangunan) mengingat kebiasaan Nabi SAW. yang senantiasa
menutup diri bila melakukan melakukan hal-hal seperti itu.
Pandangan yang mengatakan bahwa perbuatan itu hanyalah khusus
dibolehkan bagi Nabi SAW. tidak dapat dibenarkan, karena perkara yang
khusus bagi Nabi SAW. tidak ditetapkan dengan dalil yang masih
memiliki kemungkinan lain. Sementara hadis Ibn „Umar yang akan
disebutkan kemudian memberi keterangan bolehnya buang hajat sambil
membelakangi kiblat apabila berada di tempat tertutup (bangunan),
sementara hadis Jâbir menunjukkan kebolehan menghadap kiblat.
Andaikata bukan karena hadis Jâbir ini, tentu hadis Abû Ayyûb (tentang
larangan menghadap kiblat saat buang hajat) tidak dikhususkan dengan
hadis Ibn „Umar selain kebolehan untuk membelakanginya saja, dan tidak
boleh dikatakan bahwa kebolehan untuk menghadap kiblat dianalogikan
dengan keterangan yang membolehkan membelakanginya.9
Lalu sebagian ulama ada yang berpedoman dengan hadis ini
sehingga membolehkan untuk membelakangi kiblat saat buang hajat dan
tidak boleh untuk menghadapnya, pendapat ini dinukil dari Abû Hanifah
serta Ahmad. Di samping itu ada pula pendapat yang membedakan antara
tempat terbuka dan tempat tertutup (dalam bangunan tertentu), dimana
9 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 43-44.
58
mereka memperbolehkannya di tempat tertutup dan melarangnya di tempat
terbuka, baik menghadap maupun membelakanginya. Jumhur ulama
berkata, “Pendapat terakhir ini adalah pendapat madzhab al-Malik, Syâfi„î
dan Ishaq. Ini merupakan pendapat yang paling netral, karena ia telah
mengamalkan seluruh dalil yang ada. Pendapat ini diperkuat pula dari sisi
logika seperti yang telah disebutkan terdahulu dari Ibn Munir bahwa
menghadap kiblat dalam ruangan (bangunan) menurut kebiasaan dikatakan
menghadap dinding (bukan ke kiblat), dan di samping tempat-tempat
khusus untuk buang hajat adalah tempat syetan, sehingga tidak pantas
dikatakan bahwa tempat itu memiliki kiblat, berbeda dengan tempat yang
terbuka atau tanah lapang.”
Ulama yang lain berpendapat bahwa menghadap dan
membelakangi kiblat adalah haram mutlak. Ini adalah pendapat yang
masyhur dari Abû Hanifah serta Ahmad. Demikian pula pendapat Abû
Tsaur (salah seorang ulama madzhab Syâfi„î). Adapun yang mendukung
pendapat ini dari madzhab Mâlikî adalah Ibn al-„Arabî, sementara dari
madzhab al-Ẕahiriyah adalah Ibn Hazm. Hujjah (alasan) yang mereka
kemukakan adalah sesungguhnya larangan harus didahulukan daripada
pembolehan, sementara mereka menganggap hadis Jâbir yang telah kami
isyaratkan terdahulu sebagai hadis yang tidak shahih.
Di sisi lain ada pula ulama yang membolehkan secara mutlak, dan
ini adalah pandangan „Aisyah, „Urwah, Rabi„ah dan Dâwud. Mereka
beralasan bahwa hadis-hadis dalam masalah ini saling bertentangan, maka
dari itu kita harus kembali kepada hukum asal yaitu ibahah (boleh).
59
Demikianlah empat madzhab yang masyhur di kalangan ulama,
dimana al-Nawawi tidak menukil dalam kitabnya Syarh al-Muhadzdzab
selain keempat pendapat tersebut. Namun dalam persoalan ini masih ada
lagi tiga pendapat lain, yaitu; pertama, boleh menghadap kiblat saat berada
dalam bangunan saja dengan berpegang pada makna lahir (zhahir) hadis
Ibn „Umar. Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Yûsuf. Kedua, haram
secara mutlak meskipun sekedar menghadap kiblat yang telah dihapus,
yakni Baitul Maqdis. Pendapat ini dinukil dari Ibrâhim dan Ibn Sîrîn.
Mereka berpedoman dengan hadis Ma„qil al-Asadi. 10
Sedangkan hadis kedua mengenai membuang hajat menghadap
kiblat, dalam riwayat Ibn Khuzaimah dikatakan, “Aku memandangi
Rasulullah SAW. dari ketinggian, sementara beliau berada di tempat
buang hajat.” Dalam riwayat lain oleh Ibn Khuzaimah dikatakan, “Aku
melihat beliau sedang buang hajat dengan ditutupi atau dibatasi batu bata.”
Sementara dalam riwayat al-Hakim dan Tirmidzî melalui silsilah
periwayatan yang shahih disebutkan, “Aku melihat beliau SAW. berada di
tempat tertutup.”
Berdasarkan riwayat-riwayat ini maka gugurlah alasan orang yang
membolehkan menghadap kiblat secara mutlak saat buang hajat, dimana
mereka mengatakan bahwa ada kemungkinan Ibn „Umar melihat beliau
SAW. di tempat terbuka. Demikian pula perkataan mereka bahwa adanya
batu bata seperti disebutkan dalam lafazh hadis tidaklah menunjukkan
bahwa beliau menggunakannya sebagai pembatas, sebab bisa saja batu
10
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 45.
60
bata itu digunakannya sebagai tempat untuk berpijak agar berada dalam
posisi sedikit lebih tinggi. Akan tetapi kemungkinan yang mereka katakan
ini terbantah dengan sikap Ibn „Umar sendiri yang tidak membolehkan
seseorang menghadap kiblat saat buang hajat apabila berada di tempat
terbuka kecuali bila ada pembatas, sebagaimana disebutkan oleh Abû
Dâwud dan al-Hakim dengan sanad tidak apa-apa.11
Dalam buku Ta`wil Mukhtalif al-Hadîts karya Ibn Qutaibah
mengenai hadis perintah membuang hajat menghadap kiblat, yaitu:
لةأناق وما ملسو هيلع هللا ىلصلاللذكرلرسو بغائطأوب وليكرىونأنيست قبلواالقب ،فأمرالنابيلة.بخلئو،فاست ملسو هيلع هللا ىلص قبلبوالقب
“Dikemukakan kepada Rasulullah SAW. bahwa ada suatu kaum
yang tidak suka menghadap kiblat saat membuang air besar dan air kecil,
lalu Nabi Muhammad SAW. memerintahkannya di tempat buang hajatnya
(WC), dengan tetap menghadap kiblat.”
Menurut kami, hadis ini boleh saja dinasakh (dihapus) karena ia
merupakan hadis yang mengandung perintah dan larangan. Mengapa
mereka tidak berpendapat bahwa salah satu hadis sebagai nasikh
(penghapus) dan hadis yang lain sebagai mansukh (yang dihapus)? Karena
kandungan makna dalam keduanya telah hilang dari mereka.
Menurut kami tidak ada nasikh dan mansukh, melainkan masing-
masing dipahami sesuai konteksnya. Tempat yang tidak boleh menghadap
kiblat bagi orang yang buang air besar dan air kecil adalah padang pasir
dan al-Barahah.12
Orang-orang Arab apabila singgah saat bepergian untuk
melaksanakan shalat, maka sebagian dari mereka menghadap kiblat untuk
11
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, Jilid 2, h. 50.
12 Al-Barahah adalah tempat-tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.
61
melaksanakan shalat dan sebagian yang lain dari mereka menghadap kiblat
untuk buang air besar. Lalu Nabi SAW. memerintahkan mereka agar
jangan menghadap kiblat saat buang air besar atau air kecil dalam rangka
memuliakan kiblat dan mensucikan pelaksanaan shalat.
Suatu kaum berasumsi bahwa hal ini juga dimakruhkan saat di
dalam (WC) rumah dan kakus. Nabi Muhammad SAW. memerintahkan
untuk buang air di tempatnya (WC) dan menghadap kiblat. Di sini
Rasulullah SAW. ingin mengajarkan kepada mereka bahwa beliau SAW.
tidak membenci hal tersebut apabila dilakukan di dalam (WC) rumah-
rumah dan kakus yang digali yang dapat menutupi perbuatan hadats dan
tempat-tempat yang sepi, yaitu tempat-tempat yang di dalamnya tidak
diperkenankan shalat.13
Hadis yang dikutip pertama berisi larangan buang hajat menghadap
kiblat (Ka‟bah) ataupun membelakanginya, sedang hadis yang dikutip
berikutnya menyatakan bahwa Nabi SAW. pernah membuang hajat
dengan menghadap ke Baitulmukadis (Bait al-Maqdis), yang berarti
membelakangi kiblat. Dengan demikian, secara tekstual petunjuk kedua
hadis tersebut tampak bertentangan. Menurut penelitian ulama hadis,
petunjuk kedua hadis di atas tidak bertentangan. Larangan Nabi SAW.
berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbuka, sedang yang
melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya di WC, larangan tidak
berlaku. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jam„u wa
al-Taufîq. Dengan demikian, secara kontekstual kedua hadis tersebut tidak
13
Ibnu Qutaibah, Ta‟wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Penerjemah: team
Foksa (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 156-157.
62
bertentangan. Larangan dan kebolehan yang dikemukakan oleh masing-
masing hadis bersifat temporal ataupun lokal.14
14
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2009), h. 75-76.
63
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan mengenai ikhtilâf al-hadîts melalui kasus
hadis mengenai buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat yaitu, dalam
membuang hajat memang tidak diperbolehkan menghadap dan membelakangi
kiblat apabila dilakukan secara mutlak di tempat yang terbuka atau yang dapat
dilihat orang banyak, karena arah kiblat untuk orang-orang yang
melaksanakan sholat.
Sedangkan membuang hajat di dalam ruangan atau WC pun bukan
menghadap kiblat akan tetapi menghadap ke dinding, maka hukum melarang
buang hajat menghadap dan membelakangi kiblat tidak berlaku dan
penyelesaian kasus hadis tersebut menggunakan metode al-Jam´u wa al-
Taufîq yaitu melakukan penyelesaian hadis yang bertentangan dengan cara
kompromi dan juga menyelaraskan, apabila buang hajat menghadap ke
dinding itu karena menunjukkan ibahah (kebolehan), artinya hadis tersebut
keduanya dapat diamalkan.
B. Saran
Dari sekian pembahasan materi skripsi tersebut, penulis berharap
skripsi ini bermanfaat untuk kedepannya. Dan keluhan penulis dari materi
skripsi tersebut adalah kurangnya bahan rujukan mengenai membuang hajat
menghadap dan membelakangi kiblat.
64
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan Nasa’i, Penerjemah: Ahmad Yuswaji, Cet; 2, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007, Jilid 1.
Al-Bukhârî, Muḥammad ibn Ismâ´îl ibn Ibrâhîm, Ṣaḥîḥ al-Bukhârî Kairo: Maṭbaʻah as-Salafiyyah, 1400
H.
------------ Sahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, t.t
------------ Sahîḥ al-Bukhârî Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008.
Al-Mundziri, Imam, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, Penerjemah: Achmad Zaidun Cet; 2, Jakarta:
Pustaka Amani, 2003.
Al-Naisâbûrî, Al-Imâm al-Hâfiẕ Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî, Sahîh Muslim Riyadh:
Dâr Ṯaybah Lil Nasyri wa Tauzî´, 1426 H.
-----------Sahîh Muslim Kairo: Dâr Ibnu al-Haitsam, 1422 H / 2001 M.
---------- Sahîh Muslim Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008.
Al-Nasâ`î, Abû ´Abd al-Rahmân Ahmad ibn ´Alî Syu´aib ibn ´Alî ibn Sînân, Sunan al-Nasâ`î Beirut: Dâr
Ma´rifah, t.th.
Al-Nuri, Hasan Sulaiman, Ibânah al-Ahkâm: Syarh Bulûgh al-Marâm, Juz I
Al-Syaukani, Al-Imâm, Ringkasan Nailul Authar, Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin, Asep Saefullah
Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.
Amîn, Ahmad, Ḏuhâ al-Islâm, Kairo: Maktabah al-Nahḏah al-Misriyyah, t.t., Juz II.
Arifin, Johar,“Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis,” Jurnal
Ushuluddin UIN SUSKA, Vol. XXII No. 2, Juli 2014.
---------------“Studi Hadis-Hadis Tentang Posisi Kencing Berdiri; Kajian Mukhtalaf Hadis”, UIN
SUSKA RIAU, Vol. XX No. 2, Juli 2013
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis Jakarta: Bina Aksara, 1989.
´Asqalânî, Ibn Hajar, Fath al-Bârî, Penerjemah: Gazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008,
Jilid 2.
Al-Sijistânî, Abî Dâwud Sulaimân ibn al-Asy´ats, Tarjamah Sunan Abi Daud, Penerjemah: Ustadz Bey
Arifin (Semarang: CV. Asy-Syifa‟, t.th.
--------------- Sunan Abû Dâwud Riyaḏ: Maktabah al-Maʼârif Li Natsri at-Tauziʼ, t.t.
--------------- Sunan Abî Dâwud Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
65
Al-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi, Penerjemah: Moh. Zuhri Dipl.
TAFL, dkk, Tarjamah Sunan At-Tirmidzi Semarang: CV. Asy-Syifa‟, 1992.
--------- Al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ´Îsâ Muhammad ibn ´Îsâ, al-Jâmi´ al-Kabîr, Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî,
1996.
-------- Sunan Al-Tirmidzî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.
Baqi, Muhammad Fu‟ad bin Abdul, Hadits Shahih Bukhari Muslim, Penerjemah: Abu Firly Bassam
Taqiy, Cet; 5, Depok: PT. Fathan Prima Media, 2015.
Bay, Kaizal, “Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif Menurut al-Syâfi´î”, Jurnal Ushuluddin UIN
SUSKA Riau, Vol. XVII No. 2, Juli 2011.
Bustamin, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Ushul Press, 2009.
------------ Membahas Kitab Hadis, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Danuri, Daelan M., “Al-Sunnah sebagai Bayân Al-Qur`an”, Jurnal Fakultas Syar‟ah, Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Dârimî, Al-Imâm Abû Muhammad ´Abdullâh ibn ´Abd al-Rahmân ibn al-Faḏl, Sunan al-Dârimî Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1971.
Faruq, Umar, “Kritik Atas Kontroversi Hadis Tentang Aurat Laki-Laki”, Institut Agama Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni, 2013.
Firdausi, Muhammad Anwar, “Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih”, Jurnal Fakultas
Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Vol. 16 No. 1, 2015.
Hammad, Nafiz Husain, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahâ` wa al-Muhadditsîn Mesir: Dârul Wafa
Hanbal, Ahmad ibn Muhammad ibn , Musnad Ahmad ibn Hanbal Kairo; Dar al-Hadits, 1416 H / 1996 M.
Herdi, Asep, Memahami Ilmu Hadis Bandung: Tafakur, 2014.
Idri, Studi Hadis Cet 3; Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2016.
------------------- Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2009.
Juned, Daniel, Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis Jakarta: Erlangga, 2010.
Khatib, Muhammad ´Ajjâj, Ushul Al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadits Jakarta: Gaya Media Pratama,
2013.
Khon, Abdul Majid, Takhrîj & Metode Memahami Hadis, Jakarta: Amzah, 2014.
Kuncoro, Joko, “Prasangka dan Diskriminasi”, Fakultas Psikologi UNISSULA Semarang.
66
Ṯahhân, Mahmud, Taisîr Musṯalah al-Hadîts Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.th.
-------------- Usul al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânid Riyaḏ: Maktabah al-Ma´ârif, 1991.
------------- Ilmu Hadits Praktis Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1436 H/2014 M.
Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ibnu, Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Penerjemah: Abdullah
Shonhaji Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992.
Misriy, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manẕur al-Afriqîy al-Misriy Lisân al-´Arab Beirut:
Dâr al-Sâdir, t.t., Jilid 2.
Mustaqim, Abdul, Ilmu Ma´ani al-Hadits, Yogyakarta: Idea Press, 2008.
Musyafiq, M. Nur Ahmad, terj. Ushul al-Hadīts Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Nawâwî, Abû Zakariyâ Yahyâ Al-Nawâwî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî, Kairo: Dâr al-Hadîts,
2001.
Noorhidayati, Salamah, Ilmu Mukhtalif al-Hadîts Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2016.
Nuruddin „ltr, ʼUlūmul Hadîts, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.
Qazwînî, Abî ´Abdillâh Muhammad ibn Yazîd, Sunan Ibn Mâjah, Riyaḏ: Maktabah Al-Ma´ârif Li an-
Natsri wa al-Tauziʼt.th.
Qutaibah, Ibnu, Ta`wîl Hadîts-Hadîts yang Dinilai Kontradiktif, Penerjemah: Team Foksa Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadîts, Pengantar: Dr. H. Said Agil Husain al-Munawwar, M.A, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996.
Sâlih, Subhi, ´Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu Beirut: Dâr al-ʼIlmilil Malâyîn, 1959.
Shihab, M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Subagyo, Joko, Metodologi Penelitian Dalam Teori dan Praktek Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Suyûṯî, al-Jâmi’ al-Sagîr, Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Wensicjk, al-Mu´jam al-Mufahras li Alfâdz An-Nabawi Belanda: Breil, 1962.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis & Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011.