sosialisasi

17
SOSIOLOGI BAB 3 SOSIALISASI Peter berger (1978) mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makluk lain. Berbeda dengan makluk lain yang menyeluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya,maka di saat lahir manusia merupakan makluk tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relatif tidak lengkap.oleh sebab itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri;manusia harus memutuskan sendiri apa yang harus dimakannya dan kebiasaan yang kemudian ditegakkannya menjadi dua bagian kebu-dayaannya.karena keputusan yang diambil suatu kelompak dapat berbeda dengan kelompok lain maka kita jumpai keanekaragaman kebiasaan di bidang makanan.ada kelompok yang makanan pokoknya nasi;ada yang sagu;ada yang roti.kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapar saling berhuungan karena naluri,maka manusia harus menggembangkan kebiaaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan .kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan yang berbeda satu dengan yang lain.keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut di bidang ekonomi,kekeluargaan,pendidikan,agama ,politik dan sebagainya harus dipelajari oleh setiap anggota baru setiap masyarakat melalui proses yang dinamakan sosialisasi(socialization). Berger mendefenisikan sosialisasi sebagai “a Proses by which a child learns to be a participant member of society” proes melalui mana

Upload: arnold-jayendra-sianturi

Post on 26-Jul-2015

154 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sosialisasi

SOSIOLOGI

BAB 3

SOSIALISASI

Peter berger (1978) mencatat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makluk lain. Berbeda dengan makluk lain yang menyeluruh perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak awal hidupnya,maka di saat lahir manusia merupakan makluk tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relatif tidak lengkap.oleh sebab itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri;manusia harus memutuskan sendiri apa yang harus dimakannya dan kebiasaan yang kemudian ditegakkannya menjadi dua bagian kebu-dayaannya.karena keputusan yang diambil suatu kelompak dapat berbeda dengan kelompok lain maka kita jumpai keanekaragaman kebiasaan di bidang makanan.ada kelompok yang makanan pokoknya nasi;ada yang sagu;ada yang roti.kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapar saling berhuungan karena naluri,maka manusia harus menggembangkan kebiaaan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan .kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam tiap kelompok tersebut kemudian menghasilkan bermacam-macam sistem pernikahan yang berbeda satu dengan yang lain.keseluruhan kebiasaan yang dipunyai manusia tersebut di bidang ekonomi,kekeluargaan,pendidikan,agama ,politik dan sebagainya harus dipelajari oleh setiap anggota baru setiap masyarakat melalui proses yang dinamakan sosialisasi(socialization).

Berger mendefenisikan sosialisasi sebagai “a Proses by which a child learns to be a participant member of society” proes melalui mana sseorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpatisipasin dalam masyarakat (berger,1978:116). Defenisi disajikannya dalam sesuatu pokok bahasan berjudul society in man;dari sini tergambar pandangannya melalui sosialisasi masyarakat dimasukkkan kedalam manusia.

Apa yang dipelajari seseorang dalam prose sosialisasi?,menurut berger,dan menurut sejumlah tokoh sosiologi yang teorinya akan kita bahas,yang diajarkan melalui sosiologi ialah peran-peran.Oleh sebab itu teori sosialisasi sejumlah tokoh sosiologi meerupakan teoti mengenal peran(role theory)

Page 2: Sosialisasi

Masusia bekembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain.menurut mead pengenbangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap lay stage,tahap game stae,dan tahap generalized other.

Menurut mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat sesuatu yang dinamakannya pengambilan peran (role taking).dalam proses ini seorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankanya serta peran yang dapat dijalankan orang lain.melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seorang dapat berinteraksi dengan lain.

Menurut mead pada tahap pertama,play stage,seorang anak kecil mulai belajar menambil peran orang yang berada disekitarnya.ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orang tuanya,misalnya,atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering bernteraksi.dengan demikian kita sering melihat anak kecil yang dikala bermain meniru peran yang dijalankan ayah,ibu,kakak,nenek,polisi,dokter,tukang pos,sopir dan sebagainya.namun pada tahap ini sang kelakuan ayah atau ibu untuk bekerja dan mekna kegiatan yang dilakukan ayah atau ibu di tempat kerja.seorang anak dapat berpura-pura menjadi petani,dokter,polisi tetapi tidak mengetahui mengapa petani mencngkul,dokter menyuntik pasien,polisi mengintrogasi tersangkan pelaku kejahatan.

Pada tahap game stage seorang anak tidak hanay telah mengetahui peran yang harus dijalankannya,tetapi telah pula mengethui peran yang harus diujalankan oleh orang lain dengan siapa ia berintertaksi .contoh yang diajukan mead ialah keadaan dalam suatu pertandingan:seorang anak yang bermain dalam suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya ,tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut.dikala bermain sebagai penjaga gawang dalam suatu pertandingan sepak bola,misalnya ,ia mngetahui peran –peran yang dijalankan oleh para pemain lain(baik kesebelasan kawan maupun telh dapat mengambil peran orang lain.

Pada tahap awal sosialisasi,interaksi seorang anak biasanya pada sejumlah kecil orang lain biasanya anggota keluarga,terutama ayah dan ibu.oleh mead orang pentingdalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others.pada tahap ketiga sosialisasi,seorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijlankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil peran generalized others.ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi.selaku anak ia telah memahami peran yang dijalankan orang tua;selaku siswa ia memahami guru;selaku anggota gerakan pramuka ia memahami peran para pembinannya.jika seseorang telah mencapai tahap ini maka menurut mead orang tersebut

Page 3: Sosialisasi

telah mempunyai suatu diri.dari pandangan-pandangan mead ini namapk jelas pendirienya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.

Pemikiran cooley

Pandanga n lain yang juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi terutang dalam buah pekiran charles h.cooley.menurut cooley konsep diri (seklf-concept)seseorang bekembang melalui interaksinya dengan orang lain.diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh cooley diberi nama looking-glass self.nma demikian diberikan olehnya karena ia melihat anologi antara pembentukan diri sesorng dengan perilaku orang yang sedang bercermin ;kalau cermin memantulkan apa yang terdapat didepannya,maka menurut cooley diri sesseorang pun memantulkan apa yang dirasakan sebagai tanggapan mmasyarakat terhadapnya.

Cooley berpendapat bahwea looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap.pada tahap pertama sesorang empunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya.pada tahap berikut sesorang mempunyai persepsi mengenai perasaan terhadap penilaian terhadap apa yang dorasakan sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu(lihat horton dan hunt,1984:94-97).

Untuk memaham,i yang cxenderung memperaoleh nilai rendah(misanya nilai D atau E ) dalam ujian semesternya,misalnya,merasa bahwa para dosen dalam jurusannya mengangapnya bodoh.ia merasa pula bahwa karena ia dinilai bodoh maka ia berkurang dihargai para dosennya.karena merasa kurang dihargai,mahasiswa tersebut menjadi murung .jadi disini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri sendiri diri seseorang merupakan pencerminanpenilaian orang lain(looking-glass self).dalam kasus tersebut diatas,pelecehn oleh dosen ini ada dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri,terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperassaan memang demikian terhadapnya atau tidak.

Apa yang terjadi bila seseorang anak tidak mengaslami sosialisasi?:karena kemampuan sesorang untuk mempunyai diri untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergntung paa sosialisasi,maka seseorang yang tidak galami sosiolisassi,tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain.hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar(feral children).gidden (1990)mengisahkan kasus anak-anak yang tidak sosialisasi (olehnya dinamakan unsocialized children),yaitu seorang anak laki-laki berusia 11-12 tahun yang pada tahun 1990 ditemukan di desa saint-serin,perancis(the wild of avyron)dan kasus gadis berusia 13 tahun di California, USA yang disekap ayahnya di gudang gelap sejak usia satu setengah tahun .Light,Keller, dan Calhoun(1989)mengisahkan kasus Anna yang semenak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama 5 tahun.

Page 4: Sosialisasi

Dari kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar dan kecil dengan tertib atau berbicara. Anna tidak dapat makan sendiri atau mengunyah,dan juga tidak dapat tertawa dan menangis. Genie tidak dapat berdiri tegak . Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa di antara kemampuan yang dimiliki manusia sebaya mereka, namun mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.

Kasus ini memberikan pada kita gambaran mengenai apa yang terjadi bila seorang anak tidak disosialisasi dan menunjukkan bahwa meskipun mereka disosialisasi namun kemampuan mereka tidak dapat menyamai kemampuan anak lain yang sebaya dengan mereka.Kasus tersebut pun memberikanb petunjuk bahwa kemampuan tertentu seperti kemampuan berbahasa hanya dapat diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak, bila proses sosisalisasinya terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil untuk sebagian saja.

AGEN SOSIALISASI

Fuller dan Jacobs mengidentifikasikan 4 agen sosialisasi utama :

KELUARGA

Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenai system keluarga luas(extended family) agen sosialisasi bias berjumlah lebih banyak dan dapat mencakup pula nenek, paman, kakek, bibi dan sebagainya. Pada system komun yang dijumpai di RRC atau berbagai Negara Eropa timur sebelum runtuhnya Uni Soviet, pada system Kibbutz di Israel, atau pada system penitipan anak dalam hal kedua orang tua bekerja, sosialisasi terhadap anak dibawah usia lima tahun mungkin dilakukan pula oleh orang lain yang sama sekali bukan kerabat seperti tetangga, baby sister, pekerja social, petugas tempat penitipan anak dan sebagainya. Di kalangan lapisan menengah dan atas dalam masyarakat perkotaan kita sering kali membantu rumah tangga pun sering memegang peran penting sebagai agen sosialisasi anak, setidak-tidaknya pada tahap-tahap awal.

Gertrude Jaeger(1977)mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orang tua, sangat penting. Sang anak(khususnya pada masyarakat modern barat) sangat bergantung pada orang tua dan apa yang tejadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindung terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang sering dilkukan orang tua terhadap mereka seperti penganiayaan(child abuse), perkosaan dan sebagainya. Dalam media massa kita pun berulang kali membaca mengenai kesewenang-wenangan yang dilakukan orang tua masyarakat kita terhadap anak- anak mereka yang dalam beberapa kasus mengakibatkan kematian si anak.

Page 5: Sosialisasi

Arti penting agen sosialisasi pertama pun terletak pada pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Untuk dapat berinteraksi dengan significant others pada tahap ini seorang bayi belajar berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, ia mulai berkomunikasi bukan saja melalui pendengaran dan penglihatan tetapi juga melalui panca indera lain, terutama sentuhan fisik.

Kemampuan berbahasa ditanamkan pada tahap ini sang anak mulai mempunyai diri mulai memasuki play stage dalam proses pengambilan peran orang lain. Ia mulai mengidentifikasikan diri sebagai anak laki-laki atau perempuan.Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan pada periode tertentu saja dalam perkembangan fisik seseorang, artinya proses sosialisasi akan gagal bilamana dilaksanakan terlambat ataupun terlalu dini.

TEMAN BERMAIN

Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain:teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun tetangga dan tempat sekolah. Disini seorang anak mempelajari berbagai kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya di rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat(seperti antara kakek atau nenek dengan cucu, orang tua dengan anak, paman atau bibi dengan kemenakan, kakak dengan adik atau pengasuh dengan anak asuh) maka dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki game stage mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang kedua-duanya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak mulai belajar nilai-nilai keadilan.

SEKOLAH

Agen sosialisasi berikut tentunya dalam masyarakat yang teklah mengenalnya adalah system pendidikan formal. Disini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari di kala seseorang tidak bergantung lagi kepada orang tuanya.

Sejumlah ahli sosiologi memusatkan perhatian mereka pada perbedaan antara sosialisasi yang berlangsung dalam keluarga dengan sosialisasi pada system pendidikan formal. Robert Dreeben(1968), misalnya, berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah di samping membaca, menulis dan berhitung adalah aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi(achievement), universalisme(universalism) dan spesifisitas(specificity).Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons misalnya antara ascription dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness dan specificity.

Menurut Dreeben di sekolah seorang anak harus belajar untuk mandiri. Kalau di rumah seorang anak dapat mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan maka di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh tanggung jawab. Ketergantungan

Page 6: Sosialisasi

pada orang tua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di sekolah, guru menuntut kemandirian dan tanggung jawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerjasama dalam kelas hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan atau kecurangan.

Aturan kedua yang dipelajari anak melibat prestasi. Di rumah peran seorang anak terkait dengan askripsi peran-peran yang dimilikinya, seperti peran sebagai anak laki-laki atau perempuan, sebagai adik atau kakak merupakan peran yang dibawa sejak lahir. Di sekolah di pihak lain, peran yang diraih dengan berprestasi merupakan peran yang menonjol. Kedudukan anak pada suatu jenjang pendidikan tertentu, atau peringkatnya dalam jenjang prestasi dalam kelas misalnya, hanya dapat diraih melalui prestasi. Meskipun orang tua pun berperan dalam mendorong anak untuk berprestasi, namun menurut Dreeben peran sekolah masih lebih besar. Sekolah menuntut siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan kurikuler atau ekstrakurikuler. Seseorang siswa di dorong untuk giat berusaha mengembangkan kemampuan dan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari kegagalan. Kemampuan yang diperoleh serta keberhasilan maupun kegagalan yang dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa mendatang.

Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai universalisme. Aturan mengenai universalisme merupakan lawan aturan mengenai particularisme. Dalam keluarga seorang anak cenderung mendapat perlakuan khusus dari orang tuanya karena ia adalah anak mereka. Anak orang lain tidak mendapatkan perlakuan yang sama.Di sekolah, di pihak lain, setiap siswa mendapat perlakuan yang sama. Perlakuan berbeda hanya dibenarkan bila didasarkan pada kelakuan siswa di sekolah apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah.

Spesifisitas merupakan aturan yang keempat dan merupakan kebalikan dari kekaburan(diffuseness). Di sekolah kegiatan siswa serta penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi secara spesifik.Kekeliruan yang dilakukan seorang siswa dalam mata ajaran matematika, misalnya, sama sekali tidaj mempengaruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya dalam mata ajaran bahasa Indonesia. Ia dapat memperoleh kegagalan yang disertai kritik dalam satu jam pelajaran tetapi meraih keberhasilan dan memperoleh pujian dalam jam pelajaran berikutnya. Dalam kelurga, di pihak lain, kegiatan anak serta penilaian terhadapnya tidak dibatasi spesifik itu. Seorang anak dihukum oleh orang tuanya karena melakukan kesalahan pada bidang tertentu(misalnya, memecahkan piring di kala makan, pergi tanpa ijin, berkelahi di jalan atau pulang terlambat)mungkin mengalami bahwa hukuman yang diterimanya itu diberlakukan pula di bidang-bidang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan pelanggaran yang telah dilakukannya.

Dari pandangan Dreeben kita dapat melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenlkan aturan baru yang diperlukan anggota masyarakat, dan aturan baru tersebut sering berbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah.

MEDIA MASSA

Page 7: Sosialisasi

Light, Kelle dan Calhoun(1989)mengemukakan bahwa media massa yang terdiri atas media cetak(surat kabar, majalah)maupun elektronik(radio, televise, film dan internet) merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku khalayaknya. Peningkatan teknologi yang memungkinkan peningkatan kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting.

Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak ke arah perilaku prososial maupun antisocial. Penayangan secara berkesinambungan deari laoran-laporan mengenai perang seperti perang teluk, perang di Somalia atau di kawasan Balkan atau penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjolkan kekerasan dianggap sebagai satu factor yang memicu perilaku agresif pada anak-anak yang melihatnya. Penayangan adegan-adegan yang menjurus ke pornografi di layar televisi sering dikaitkan dengan perubahan moralitas serta meningkatkan pelanggaran susila dalam masyarakat. Iklan-iklan yang diayangkan melalui media massa mempunyai potensi untuk memicu perubahan pola konsumsi bahkan gaya hidup masyarakat. Media massa pun sering digunakan untuk mengukur, membentuk ataupun memengaruhi pendapat umum.

Kesadaran akan arti penting media massa bagi sosialisasi pun telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media massa. Di banyak Negara, misalnya, televisi digunakan untuk siaran-siaran pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan sikap khalayaknya. Dalam masyarakat kita TVRI serta stasiun televisi swasta pun secara teratur menayangkan acara-acara pendidikan.

Dari data yang ada Fuller dan Jacobs menyimpulkan bahwa di Amerika Serikat televisi menyita sejumlah besar waktu anak-anak lebih banyak waktu dari pada waktu yang diluangkannya di sekolah, dan bahwa banyak di antara acara-acara televisi yang ditonton anak merupakan acara-acara yang ditujukan untuk orang dewasa(40% di kala seorang anak berada di kelas 1 sekolah dasar, dan 80% di kala anak sudah berada di kelas 6 sekolah dasar). Di kala membahas dampak siaran televisi, Fuller dan Jacobs antara lain mengemukakan bahwa menurut studi Bandura dan Walters sejumlah anak yang terterpa acara televisi yang mengandung kekerasan dapat menampilkan perilaku keras dan agresif(mengenai dampak televisi terhadap anak-anak, lihat pula, antara lain, Brown ed, 1976, yang juga menunjukkan temuan berbagai studi bahwa kekerasan di layar televisi menjadikan penonton lebih agresif).

Meskipun temuan yang dilaporkan Fuller dan Jacobs didasarkan pada penelitian di AS, namun kecenderungan yang sama dapat pula kita amati pada masyarakat kita meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil. Sejak beberapa tahun yang lalu jam siaran TVRI makin bertambah, sedangkan di kota-kota besar dapat ditangkap sejumlah siaran televisi swasta yang jumlah siarannya melebihi jam TVRI dan siarannya dapat ditangkap di seluruh Indonesia. Keadaan ini memungkinkan terterpanya sejumlah besar anak oleh siaran televisi untuk jangka waktu yang lebih lama dari pada waktu sebelumnya, terutama di kota-kota besar dan di kalangan keluarga di kota-kota besar yang memiliki pesawat televisi. Semakin banyaknya keluarga yang mrmiliki antenna parabola yang dapat menagkapo siaran televisi luar negeri dan computer dengan akses ke internet pun menambah keanekaragaman pesan yang diterima.

Page 8: Sosialisasi

Temuan yang dilaporkan Fuller dan Jacobs mengenal jenis acara televisi yang di tonton pun berlaku pula bagi masyarakat kita. Jam siaran yang tersedia bagi acara-acara khusus untuk anak yang ditayangkan TVRI maupun televisi swasta jumlahnya masih sangat terbatas, sedangkan banyak di antara acara yang tersedia bagi orang dewasa namun ikut ditonton anak seperti film seri Miami Vice dan Hunter serta sinetron memuat banyak adegan pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, serta bentuk kekerasan lainnya. Selain itu, para pengamat televisi telah mencatat pula bahwa banyak di antara acara untuk anak-anak seperti film kartun sering memuat adegan kekerasan dan sadis seperti pembunuhan dan penganiayaan. Jenis-jenis penganiayaan yang dilakukan oleh Donald Duck terhadap Chipmunks dalam film seri Donald Duck dari Walt Disney atau oleh Road Runner terhadap Coyote dalam film seri The Road Runner, apabila ditiru anak, sangat mungkin mengakibatkan cidera yang dapat membahayakan jiwa manusia. Kita kini masih belum mengetahui bagaiman sesungguhnya dampak televisi terhadap perilaku anak-anak kita, namun temuan-temuan mengenai dampak televisi dalam masyarakat lain memberikan cukup alasan bagi kita untuk mengkaji dampak televisi bagi para penonton kita.

Bagaiman dampak sebenarnya siaran media massa?Fuller dan Jacobs (1973)mengemukakan bahwa dampak televisi sebagai agen sosialisasi belum diketahui dengan pasti. Urie Bronfenbrenner(1970)setelah mempelajari data penelitian terhadap dampak televisi terhadap perilaku anak, merasa yakin bahwa media massa ini memberikan sumbangan yang berarti bagi tumbuh dan dipertahankannya suatu tingkat kekerasan tinggi dalam masyarakat Amerika. Light, Killer dan Calhoun, di pihak lain,mengemukakan bahwa menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun 1966 televisi tidak memberikan pesan tunggal yang sederhana melainkan menyajikan berbagai pesan yang rancu dan saling bertentangan, dan bahwa pesan televisi membawa banyak dampak positif seperti perangsang interaksi, eksprimen dan pertumbuhan mental serta sosial anak(lihat Light, Killer dan Calhoun, 1989).

Dengan sendirinya agen sosialisasi yang ada dalam masyarakat tidak terbatas pada agen-agen yang telah disebutkan Fuller dan Jacobs suatu hal yang telah mereka sadari pula. Kita tentu bahwa di bidang pendidikan di jumpai system pendidikan seumur hidup yang memungkinkan warga masyarakat yang telah bekerja untuk melanjutkan pandidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi dan bahwa di luar lembaga pendidikan formal sosialisasi dilakukan pula oleh agen-agen informal atau nonformal seperti kursus-kursus dan lembaga-lembaga pendidikan agama seperti pesantren, pengajian atau sekolah minggu.

KESEPADANAN PESAN AGEN SOSIALISASI BERLAINAN

Sebagimana yang telah kita lihat dari pemikiran Dreeben mengenai sosialisasi di sekolah, maka pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi yang berlainan tidak selamanya sepadan satu dengan yang lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin berbeda dan bahkan mungkin bertentangan dengan yang diajarkan sekolah. Hal serupa berlaku pula bagi agen-agen sosialisasi lain. Kelakuan yang dilarang oleh keluarga maupun sekolah, seperti misalnya merokok, minum-minuman keras, pelanggaran susila atau penyalahgunaan narkotika dipelajari anak dari agen sosialisasi lain seperti teman bermain dan media

Page 9: Sosialisasi

massa. Sekolah berusaha mendorong siswanya untuk menaati aturan sekolah, berprestasi, berlaku jujur, teman sekolah mungkin mendorong siswa untuk berbuat curang di kala ujian atau ulangan, untuk membolos sambil membuat surat sakit dengan memalsukan tanda tangan orang tua, memalsukan tanda tangan teman pada daftar hadir, melakukan pemerasan atau pencurian dengan kekerasasan terhadap harta benda siswa lain(di Jakarta dikenal dengan istilah “mengompas”), atau melakuakan pengeroyokan massal terhadap siswa sekolah lain yang di kota Jakarta dan sekitarnya telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa, cacat tubuh dan kerusakan harta benda. Media massa sering menayangkan gaya hidup yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan sekolah.

Apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam masyarakata sepadan dan tidak saling bertentangan melainkan saling mendukung maka proses sosialisasi diharapkan dapat berjalan relatif lancer. Namun dalam masyarakat yang terdapat agen sosialisasi pesan yang bertentangan dijumpai kecenderungan bahwa warga masyarakat yang menjalani proses sosialisasi sering mengalami konflik pribadi karena diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang berlainan. Seorang anak sering harus memilih antara menaati orang tua atau mengikuti teman(misalnya dalam hal merokok, keluar malam tanpa izin orang tua atau penyalahgunaan narkotika), dan pilihan apa pun yang di ambilnya akan mempertentengkannya dengan salah satu agen sosialisasi. Konflik pribadi pun akn terjdi manakala seseorang disosialisasi karena mempelajari peran baru, dan aturan dalam proses sosialisasi ini bertentangan dengan sosialisasi yang pernah dialaminya di masa lampau.

Tema tersebut di atas ialah yaitu perbedaan hasil belajar karena adanya perbedaan pola sosialisasi masyarakat yang berlainan dikaji secara mendalam oleh Urie Bronfenbrenner(1970). Dalam tulisannya mengenai dunia anak-anak di Amerika Serikat dan Uni Soviet Bronfenbrenner berdalih bahwa pola sosialisasi anak di Amerika Serikat lebih cenderung menghasilkan anak dengan perilaku antisocial dari pada pola sosiasisasi anak di Uni Soviet. Menurut Bronfenbrenner di Amerika Serikat peran orang tua dalam proses sosialisasi semakin menurun, sedangkan peran agen-agen sosialisasi lain seperti teman bermain cenderung menentang orang tua dan televisi yang cenderung memupuk perilaku antisocial. Pola sosialisasi di Uni Soviet, di pihak lain, menampilkan kesepadanan antara pesan-pesan yang disampaikan oleh berbagai agen sosialisasi seperti keluarga, sekolah, dan lingkungan di luar sekolah yang menghasilkan perilaku prososial.

SOSIALISASI PRIMER DAN SEKUNDER

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi setelah masa kanak-kanak(socialization after childhood), pendidikan sepanjang hidup(life long education), atau pendidikan berkesinambungan(continuing education). Light et al (1989)mengemukakan bahwa setelah sosialisasi dini yang dinamakannya sosialisasi primer(primary socialization)kita menjumpai sosialisasi sekunder(secondary socialization). Berger dan Luckmann(1967)mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi sekunder mereka definisikan sebagai proses selanjutnya yang memperkenalkan

Page 10: Sosialisasi

individu yang telah di sosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya(Berger dan Luckmann 1967).

Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan prosea resosialisasi(resocialization) yang didahului dengan proses desosialisasi(desocialization)dalam proses desosialisasi seseorang mengalami”pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam apa yang oleh Goffman dinamakan institusi total(total institutions):suatu tempat tinggal dan berkerja yang didalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk suatu jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung dan diatur secara formal(Goffman, 1961)

Rumah tahanan, rumah sakit jiwa dan lembaga pendidikan militer merupakan contoh institusi total tersebut. Seseorang yang berubah status dari orang bebas kemudian tahanan dan akhirnya menjadi narapidana mula-mula mengalami desosialisasi:ia harus menanggalkan busana bebas dan menggantinya dengan seragam tahanan, sebagai kebebasan yang semula dinikmatinya dicabut, berbagai milik pribadinya disita atau disimpan oleh penjaga, namanya mungkin tidak digunakan dan diganti dengan suatu nomor. Setelah menjalani proses cenderung membawa dampak terhadap citra diri serta harga diri ini, ia kemudian menjalani resosialisasi dididik untuk menerima aturan dan nilai baru untuk mempunyai diri yang sesuai dengan keinginan masyarakat(dengan alas an tersebut di Indonesia pada tahun 60-an nama penjara diubah menjadi lembaga pemasyarakatan.

Proses serupa dialami pula oleh seseorang yang dirawat di rumah sakit jiwa. Ia harus menjalani desosialisasi menanggalkan statusnya sebagai orang yang berjiwa sehat dan menerima status baru sebagai orang yang sakit jiwa sebelum menjalani proses resosialisasi yang bertujuan mengubah mentalnya menjadi orang yang berjiwa sehat.

Dalam beberapa hal proses desosialisasi dan resosialisasi yang berlangsung di lembaga pendidikan kemiliteran agak mirip dengan proses di rumah tahanan. Namun dalam kasus lembaga pendidikan kemiliteran para siswa menjadi anggota secara sukarela dan dibina untuk menjalankan suatu proses profesi dengan tuntutan khusus bukan dipaksa menjadi anggota untuk menjadi hukuman sambil diubah mentalnya. Oleh sebab itu meskipun para siswa lembaga pendidikan militer seperti AKMIL mengalami proses pembinaan professional yang secara mental maupun fisik berat namun pada akhirnya pendidikan mereka mempunyai diri yang positif misalnya kebanggaan akan profesi dan korps mereka. Mereka yang dibebaskan dari rumah tahanan, di pihak lain akan lebih cenderung mempunyai diri yang diliputi stigma, meskipun telah memperoleh pembinaan di bidang keahlian maupun mental.

Suatu bentuk desosialisasi dan resosialisasi yang banyak dibahas di kalangan ,ilmu social adalah praktek yang dikenal dengan nama cuci otak(brainwashing). Praktek ini dijumpai dalam perang dan dilakukan terhadap tawanan perang antara lain terhadap tentara Amerika yang pada tahun 50-an ditawan oleh tentara RRT dalam perang korea. Dengan menggunakan praktek penekanan fisik dan psikologis tertentu para tahanan mengalami desosialisasi menanggalkan kesetiaan mereka pada Negara dan tanah air mereka dan mengalami resosialisasi sesuai dengan kehendak para penguasa militer yang menahan

Page 11: Sosialisasi

mereka. Melalui teknik pengendalian terhadap pikiran dan tindakan isolasi, ancaman, dan siksaan pembatasan terhadap tidur atau makanan para tahanan diarahkan untuk membuat pengakuan palsu mengeritik diri mereka sendiri dan ikut serta dalam kegiatan propaganda musuh(lihat,antara lain,farber,Harlow dan West, 1956).

Sosialisasi antisipatoris(anticipatory socialization)merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder mempersiapkan seseorang peran yang baru dalam kajiannya terhadap di kalangan personel militer AS. Robert K. Merton antara lain membahas proses anticipatory socialization ini, khususnya dalam kasus kenaikan pangkat. Seorang anggota angkatan bersenjata yang mengharapkan akan naik pangkat dari bintara menjadi perwira misalnya, sering secara mental mulai mempersiapkan diri untuk peranannya yang batu meskipun kenaikan pangkatnya belum berlangsung. Ia mulai membatasi hubungan dengan rekannya sesame bintara, dan mulai menjalin kontak dengan para perwira. Ia pun mulai mencoba menghayati gaya hidup para perwira yang dalam banyak hal berbeda dengan gaya hidup bintara. Dalam proses ini ia mungkin mulai dijauhi oleh para bintara lain. Dengan demikian ia telah disosialisasi menjadi perwira di kala kenaikan pangkatnya tiba. Namun bila ia ternyata tidak naik pangkat, ia terpaksa harus menyesuaikan dirinya lagi dengan peranannya yang hendak ditinggalkannya. Sosialisasi antisipatoris yang mendahului perubahan status ini berulang kali kita alami dalam hidup kita antara lain menjelang peralihan dari suatu jenjang pendidikan ke jenjang lebih tinggi(misalnya dari sekolah menengah atas ke perguruan tinggi), dari dunia sekolah ke dunia kerja, dari dunia kerja ke kehidupan pensiunan atau dari status selaku gadis atau bujangan menjadi suami atau istri.

POLA SOSIALISASI

Beberapa tahun yang lalu masyarakat kita dihebohkan oleh beberapa kasus hukuman fisik yang dilakukan orang tua terhadap anak mereka yang dinilai tidak menaati perintah sehingga mengakibatkan kematian anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrim satu pola sosialisasi yang oleh Jaeger(1977, dengan mengutip karya Bronfenbrenner dan Kohn) dinamakan sosialisasi represif(repressive socialization). Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Menurut Jaeger sosialisasi represif pun mempunyai ciri lain seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak kepada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other.

Pola kedua yang disebutkan Jaeger ialah sosialisasi partisipatoris(participatory socialization). Sosialisasi partisipatoris menurut Jaeger merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik, hukuman dan imbalan bersifat simbolik, anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikaasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, keperluan anak dianggap penting, dan keluarga menjadi generalized other.