sosiologi pinggiran: emile durkheim

4
Kamis, 5 Juli 2012, ada kabar bahwa seorang ibu nekat mengajak kedua anaknya bunuh diri dengan cara meloncat dari atas jembatan Pulo Empang, Bogor, Jawa Barat. Kasus itu disebabkan karena tidak kuatnya si ibu atas himpitan ekonomi yang tidak dapat diselesaikannya. Kasus ini tentu saja bukan satu dua kali muncul di banyak media. Di Gunungkidul, trend bunuh diri bahkan mendapat istilah khusus dari masyarakat yang dikenal dengan Pulung Gantung. Tadinya hanya sebuah mitos masyarakat bahwa ketika di langit terlihat bintang jatuh, maka akan ada kabar tentang orang yang bunuh diri (gantung diri). Walaupun, setelah ditelisik, si korban (?) melakukan tindakan itu karena sakit yang tak terobati, hutang, dan lain-lain hal yang ujung-ujungnya adalah tidak adanya solusi atas persoalan ekonomi. Kita tahu, kasus semacam ini bukan sekali dua kali terjadi. Emile Durkheim David Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 – meninggal 15 November 1917 pada umur 59 tahun), salah satu bapak Sosiologi yang juga melahirkan aliran dalam sosiologi dengan nama struktural fungsional, mengupas bahasan tentang bunuh diri. Suicide. Secara sederhana, Durkheim menyebutkan bahwa bunuh diri ini bukan persoalan psikologi atau kejiwaan an-sich. Bahkan, kondisi kejiwaan memiliki korelasi yang tidak terlalu besar dalam mendorong tindakan manusia untuk bunuh diri. Secara kodrati, mahluk apapun di dunia ini tidak memiliki kamus bernama bunuh diri. Lalu apa? Realitas sosial, dalam pandangan Durkheim, sangat berpengaruh dalam mendorong seseorang untuk mengakhiri hidup mereka sendiri. Ya. Kenyataan hidup yang pada akhirnya bermuara pada rusaknya sistem yang ada di masyarakat. Apa sih yang dimaksud sistem yang ada di masyarakat? Begini. Dalam pandangan Durkheim, masyarakat modern itu ibaratkan satu tubuh, dimana masing-masing bagian memiliki fungsi yang spesifik yang digunakan oleh seluruh bagian tubuh. Fungsi-fungsi itu saling terintegrasi satu sama lain. Dalam kajian sosiologi di Indonesia, konsep masyarakat modern ini yang kemudian dalam bahasa jawa disederhanakan dalam kata patembayan, yang diidentikkan dengan masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat desa yang juga disebut sebagai masyarakat tradisional masing-masing bagian di masyarakatnya tidak memiliki fungsi-fungsi spesifik, melainkan bisa saling menggantikan. Bahasa Jawa-nya paguyuban.

Upload: feriawan-agung-nugroho

Post on 25-Jul-2015

116 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sosiologi Pinggiran: Emile Durkheim

Kamis, 5 Juli 2012, ada kabar bahwa seorang ibu nekat mengajak kedua anaknya bunuh diri dengan cara meloncat dari atas jembatan Pulo Empang, Bogor, Jawa Barat. Kasus itu disebabkan karena tidak kuatnya si ibu atas himpitan ekonomi yang tidak dapat diselesaikannya. Kasus ini tentu saja bukan satu dua kali muncul di banyak media. Di Gunungkidul, trend bunuh diri bahkan mendapat istilah khusus dari masyarakat yang dikenal dengan Pulung Gantung. Tadinya hanya sebuah mitos masyarakat bahwa ketika di langit terlihat bintang jatuh, maka akan ada kabar tentang orang yang bunuh diri (gantung diri). Walaupun, setelah ditelisik, si korban (?) melakukan tindakan itu karena sakit yang tak terobati, hutang, dan lain-lain hal yang ujung-ujungnya adalah tidak adanya solusi atas persoalan ekonomi. Kita tahu, kasus semacam ini bukan sekali dua kali terjadi.

Emile Durkheim David Émile Durkheim (lahir 15 April 1858 – meninggal 15 November 1917 pada umur 59 tahun), salah satu bapak Sosiologi yang juga melahirkan aliran dalam sosiologi dengan nama struktural fungsional, mengupas bahasan tentang bunuh diri. Suicide. Secara sederhana, Durkheim menyebutkan bahwa bunuh diri ini bukan persoalan psikologi atau kejiwaan an-sich. Bahkan, kondisi kejiwaan memiliki korelasi yang tidak terlalu besar dalam mendorong tindakan manusia untuk bunuh diri. Secara kodrati, mahluk apapun di dunia ini tidak memiliki kamus bernama bunuh diri. Lalu apa? Realitas sosial, dalam pandangan Durkheim, sangat berpengaruh dalam mendorong seseorang untuk mengakhiri hidup mereka sendiri. Ya. Kenyataan hidup yang pada akhirnya bermuara pada rusaknya sistem yang ada di masyarakat.

Apa sih yang dimaksud sistem yang ada di masyarakat? Begini. Dalam pandangan Durkheim, masyarakat modern itu ibaratkan satu tubuh, dimana masing-masing bagian memiliki fungsi yang spesifik yang digunakan oleh seluruh bagian tubuh. Fungsi-fungsi itu saling terintegrasi satu sama lain. Dalam kajian sosiologi di Indonesia, konsep masyarakat modern ini yang kemudian dalam bahasa jawa disederhanakan dalam kata patembayan, yang diidentikkan dengan masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat desa yang juga disebut sebagai masyarakat tradisional masing-masing bagian di masyarakatnya tidak memiliki fungsi-fungsi spesifik, melainkan bisa saling menggantikan. Bahasa Jawa-nya paguyuban.

Kembali pada gambaran Durkheim tentang fungsi yang saling terintegrasi tersebut, bagaimanakah jika terjadi error atau gagalnya salah satu fungsi? Kondisi ini yang disebut sebagai kondisi patologis. Jika sudah begitu, keseluruhan sistem akan mengalami perubahan dalam upayanya mengatasi kondisi yang patologis tersebut, sehingga pada suatu titik, keseluruhan fungsi dapat pulih seperti sediakala. Tentu saja, dalam kondisi masyarakat yang dinamis, gangguan dan pemulihan masyarakat akan selalu terjadi beriringan. Disengaja ataupun tidak. Misalkan saja dalam kasus bunuh diri, jika banyak kasus bunuh diri terjadi di masyarakat, tentu banya pihak yang akan bereaksi: agamawan, sastrawan, ilmuwan, ekonom, pemerintah, dll. Mereka akan melakukan, ibaratnya, bisa proteksi, bisa legalisasi. Proteksi misalkan: himbauan moral, problem solving, konseling dll. Legalisasi, kalau mungkin, adalah semacam ijin untuk bunuh diri (semacam harakiri di jepang).

Yang menarik dari uraian Durkheim adalah adalah apa yang disebut sebagai fakta sosial ataupun realitas sosial. Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti dipelajari sebagai realitas mereka. Contoh dari fakta sosial, termasuk aturan legal,beban moral, dan

Page 2: Sosiologi Pinggiran: Emile Durkheim

kesepakatan sosial. Kasarnya begini: ketika terjadi seseorang bunuh diri karena miskin ataupun tidak bisa menanggung kenyataan hidup, maka dia bukan satu-satunya orang yang ‘menanggung dosa’. Siapapun yang terkait dengan si korban harus ‘dipersalahkan’. Memangnya siapa? Bisa jadi tetangga: mungkin karena tetangganya adalah orang yang tidak peduli terhadap kehidupannya, cuek bebek, atau malah mendorong si korban untuk bunuh diri dengan cara memprovokasi, mengucilkan, memberikan cap atau stigma tertentu. Bisa jadi juga pemerintah: tidak memberikan jaring pengaman sosial, tidak memberian jaminan sosial, tidak memberikan pelatihan usaha, dll. Atau dunia usaha yang kejam, realitas perekonomian yang menggunakan hukum rimba: yang lemah memang harus mati, atau dimatikan. Bisa juga provokasi media. Semuanya serba mungkin. Pendek kata, terkait dengan fenomena sosial, tidak ada kejadian di dunia ini yang bejala tunggal. Harus ada yang bertanggungjawab selain mereka yang terlibat secara langsung.

Lalu, bagaimana kita bisa melacak siapa yang ikut bertanggungjawab terhadap suatu fenomena? Durkeim mencetuskan suatu teori yang kemudian dikenal dengan sebutan teori struktural fungsional. Teori ini berusaha menguraikan cara berpikir tentang suatu kejadian ataupun realitas sosial yang bisa dilihat dari berbagai sisi yang bisa digolongkan menjadi dua sisi besar: struktur sosial, dan budaya. Ada banyak pengertian tentang struktur sosial, kita ambil satu saja: Struktur adalah pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia (menurut Coleman). Maka ketika seseorang bunuh diri, kita bisa melihat dari: latar belakang pendidikannya, relasi sosialnya, kedudukannya di masyarakat, pekerjaannya, pendapatan perkapitanya, tingkat kecerdasannya, religiusitasnya dan semua-mua hal yang terkait pengalaman pribadi individu dengan masyarakat. Sedangkan budaya, adalah kodifikasi dari sistem nilai, norma dan kepercayaan yang melekat pada individu yang lahir dari struktur sosial. Misalkan: bagaimana individu memahami nilai agamanya, bagaimana individu mengambil keputusan, bagaimana individu menyikapi tekanan sosial, bagaimana individu memandang persoalan ekonomi dll.

Teori struktural fungsional menjadi dasar pijakan bagi penelitian-penelitian sosial yang digunakan untuk kepentingan akademis, pengambilan kebijakan, ataupun bahan kajian yang lain. Tentu saja, untuk kepentingan penelitian dibutuhkan pemahaman tentang konsep, variabel, parameter dan indikator yang menjadi syarat mutlak agar simpulan yang dihasilkan nanti valid. Katakanlah, apakah bisa disimpulkan bahwa pemerintah yang nantinya paling bertanggungjawab, atau dunia usaha, atau masyarakat sekitar atau apa...atau mungkin memang masyarakat sudah kacau sehinga semua nilai-nilai yang ada di masyarakat sudah bubrah dunia akhirat. Durkeim menyebutnya sebagai anomie.

Pemikiran Durkeim bukan tanpa kritik. Khususnya dalam konteks positivistiknya dia: bahwa sesuatu yang ada yang di luar akal sehat itu tidak mendapat tempat: Tuhan, setan, malaikat, ilmu ghaib, mimpi dll yang berpengaruh terhadap seseorang itu sesungguhnya tidak nyata, tetapi bisa-bisanya saja seseorang meyakini sesuatu, entah karena pengaruh masyarakat, pengalaman pribadi, atau simpulan fatalis terhadap sesuatu yang tidak bisa dijelaskan menurut nalar ilmiah. Tetapi setidaknya dari sini saya ingin mengajak kita untuk berpikir bahwa setiap seseorang semestinya menjadi bagian yang bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya, sekecil apapun tanggung jawab itu.

Lain waktu, saya akan coba berceloteh tentang sosiolog lainnya. Terima kasih sudah membaca catatan ini.(*)