sri rahayu.skripsi p26-p48

23
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Resiliensi a. Pengertian Terdapat banyak definisi mengenai resiliensi, hal ini terjadi karena para ahli atau peneliti tersebut menekankan aspek yang berbeda dari resiliensi itu sendiri. Menurut Masten dkk (2005), resiliensi dipandang sebagai kapasitas untuk bertahan dan memulihkan diri dari gangguan terhadap keseimbangan seseorang atau stres berat yang diakibatkan oleh pengalaman yang tidak menyenangkan. Kimberly Gordon (dalam Emilia Astuty Hutapea, 2006) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan suatu proses tidak hanya memfokuskan pada kesulitan atau trauma masa lalu melainkan juga pada kesulitan atau trauma masa kini dan antisipasi terhadap kesulitan atau trauma masa depan sehingga pada akhirnya seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Menurut Block (dalam Papalia, 2001) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah satu tipe kepribadian dengan ciri-ciri, kemampuan penyesuaian yang baik,

Upload: yayangasangga

Post on 16-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Dalam kehidupan sehari-hari kita lazim mendengar istilah kepribadian atau pribadi. Maksud penggunaan istilah itu tidak selalu sama, dan munggkin juga jauh berbeda dari pengertian yang sesungguhnya. Marilah kita lihat beberapa penggunaan dari istilah kepribadian tersebut dalam kehidupan sehari-hari.Kepribadian sebagai sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki. Kita sering mendengar seseorang menyatakan, “lembaga itu maju pesat setelah dipimpin oleh Bapak A, pantas saja sebab dia adalah orang yang berpribadi.” Yang lain menyatakan “perusahaan X menjadi mundur dan kacau-balau karena dipimpin oleh seorang yang tidak berpribadi”. Dalam kedua contoh di atas pribadi atau kepribadian dipandang sebagai suatu benda yang dimiliki atau tidak, Dimiliki sedikit atau banyak. Kedua orang tersebut sesungguhnya ingin menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki orang yang disebut berpribadi, yaitu sebagai orang yang berpendirian tegeuh, bertindak tegas, konsekuen, berani mengambil resiko, bertanggung jawab dsb. Orang yang tidak berpribadi adalah orang yang lemah, mudah berubah, tidak berpendirian, ragu-ragu dalam bertindak, tidak bertanggung jawab,dsb.

TRANSCRIPT

  • 10

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Landasan Teori

    1. Resiliensi

    a. Pengertian

    Terdapat banyak definisi mengenai resiliensi, hal ini terjadi karena

    para ahli atau peneliti tersebut menekankan aspek yang berbeda dari

    resiliensi itu sendiri. Menurut Masten dkk (2005), resiliensi dipandang

    sebagai kapasitas untuk bertahan dan memulihkan diri dari gangguan

    terhadap keseimbangan seseorang atau stres berat yang diakibatkan oleh

    pengalaman yang tidak menyenangkan.

    Kimberly Gordon (dalam Emilia Astuty Hutapea, 2006)

    mengemukakan bahwa resiliensi merupakan suatu proses tidak hanya

    memfokuskan pada kesulitan atau trauma masa lalu melainkan juga pada

    kesulitan atau trauma masa kini dan antisipasi terhadap kesulitan atau

    trauma masa depan sehingga pada akhirnya seseorang dapat meningkatkan

    kualitas hidupnya.

    Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat

    kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai

    peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi

    terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Menurut

    Block (dalam Papalia, 2001) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah

    satu tipe kepribadian dengan ciri-ciri, kemampuan penyesuaian yang baik,

  • 11

    percaya diri, mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu

    dan berpusat pada tugas.

    Dengan demikian, resiliensi tidak hanya dikaitkan dengan

    kemampuan seseorang yang pernah mengalami suatu pengalaman trauma

    melainkan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang, baik yang

    mengalami pengalaman traumatik atau pun tidak, dengan tingkat

    kemampuan yang berbeda-beda. Resiliensi dapat digunakan untuk

    membantu seseorang dalam menghadapi serta mengatasi situasi sulit

    sekaligus dapat digunakan untuk mempertahankan serta meningkatkan

    kualitas hidupnya.

    b. Aspek-aspek resiliensi

    Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi,

    aspek-aspek tersebut adalah pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls,

    optimisme, kemampuan menganalisis masalah, empati, efikasi diri, dan

    pencapaian. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :

    1) Pengaturan emosi

    Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan individu

    untuk mengatur emosi sehingga tetap tenang meskipun berada dalam

    situasi di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan dalam

    pengaturan emosi yang baik dapat mengembangkan kemampuan dan

    menolong mereka dalam mengendalikan emosi, perhatian, dan tingkah

    laku mereka. Individu yang memiliki kemampuan dalam pengaturan

    emosi biasanya dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal

  • 12

    serta dapat mengatasi rasa cemas, sedih atau marah sehingga

    mempercepat dalam proses pemecahan masalah tersebut (Rahmawati,

    2009).

    Pengaturan emosi ini sangat penting dalam hubungan yang

    intim, sukses dalam pekerjaan, dan mempertahankan kesehatan fisik.

    Tidak semua emosi harus dikendalikan karena pengekspresian emosi

    sebenarnya merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan

    dilakukan sesuai dengan konteks yang terjadi. Seseorang yang

    memiliki kesulitan dalam pengaturan emosi akan cenderung menjadi

    kurang efektif dalam mengatasi kesulitan dan pemecahan masalah

    serta sulit dalam mempertahankan dan membangun hubungan dengan

    orang lain maupun sulit untuk berkomunikasi dalam bekerja.

    Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di

    antara alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau

    menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas,

    khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang dirasakan oleh

    seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita

    terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi

    seorang yang pemarah.

    Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan terdapat dua

    hal penting yang terkait dengan pengaturan emosi, yaitu ketenangan

    (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola

    kedua keterampilan ini dapat membantu mereka dalam meredakan

  • 13

    emosi yang ada dan memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu

    serta mengurangi stress.

    2) Kontrol terhadap impuls

    Kontrol terhadap impuls adalah kemampuan individu untuk

    mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan dalam dirinya,

    kemampuan mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan

    berpikir yang jernih dan akurat. Pengaturan emosi memiliki hubungan

    dengan kontrol terhadap impuls, apabila kontrol terhadap impuls

    tinggi maka pengaturan emosi yang dimiliki pun cenderung tinggi.

    Kontrol terhadap impuls ini bukan hanya berhubungan erat

    dengan pengaturan emosi, tetapi juga berhubungan dengan kebutuhan

    ataupun keinginan tertentu dari individu yang dapat mengganggu

    ataupun menghambat perkembangannya (Reivich & Shatte, 2002).

    Individu dengan kontrol terhadap impuls yang rendah pada umumnya

    percaya pada pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi

    sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut.

    Reivich dan Shatte (dalam Rahmawati, 2009) juga

    menyebutkan bahwa individu dengan kontrol terhadap impuls rendah

    sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung

    mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Hal ini mengakibatkan

    individu seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah

    marah, impulsif dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang

    tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa

  • 14

    kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam

    hubungan sosial.

    3) Optimisme

    Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Individu

    ini percaya bahwa suatu hal yang mereka hadapi dapat berubah

    menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan untuk masa depan dan

    percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Optimisme

    berarti bahwa kita percaya akan adanya kemampuan untuk mengatasi

    kesulitan-kesulitan yang akan menghadang (Reivich & Shatte, 2002).

    Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan

    individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik

    serta lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih

    produktif dalam bekerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga

    (Reivich & Shatte, 2002).

    Individu yang optimis percaya bahwa mereka dapat

    menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang.

    Hal ini sangat berhubungan dengan self-efficacy, yaitu kepercayaan

    individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk memecahkan

    masalahnya sendiri dan menguasai dunianya. Menurut Reivich,

    optimisme dan self-efficacy adalah dua hal yang terjadi secara

    bersamaan. Hal ini disebabkan optimisme memotivasi individu untuk

    mampu mencari solusi dan bekerja keras untuk memperbaiki situasi

    yang dihadapi individu. Reivich dan Shatte (dalam Rahmawati, 2009)

  • 15

    mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa

    depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan

    membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang

    terjadi.

    4) Kemampuan menganalisis masalah

    Kemampuan menganalisis masalah adalah kemampuan

    mengidentifikasi secara akurat penyebab dari suatu masalah. Apabila

    seseorang tidak dapat menemukan penyebab dari suatu masalah secara

    akurat, maka masalah yang sama akan terjadi terus menerus (Reivich

    & Shatte, 2002). Kemampuan menganalisis masalah dilakukan

    individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Individu dapat

    melihat penyebab sebagai suatu hal menurut tiga dimensi gaya

    berpikir, yaitu: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak

    selalu), dan pervasive (meluas-tidak meluas) sebagai cara berpikir.

    Individu yang menjelaskan masalah dengan dimensi personal

    saya, meyakini bahwa masalah yang dihadapi berasal dari dirinya

    sendiri. Kemudian, individu yang menjelaskan masalah dengan

    dimensi selalu akan menjelaskan masalah sebagai hal yang akan

    berlangsung terus dan tidak dapat diubah. Sedangkan, individu yang

    menjelaskan masalah dengan dimensi meluas, menjelaskan masalah

    sebagai hal yang berdampak pada semua aspek kehidupannya

    (Reivich & Shatte, 2002).

  • 16

    Individu yang merefleksikan sesuatu sebagai saya, selalu,

    seluruhnya akan selalu menganggap penyebab sebagai suatu kejadian

    berasal dari dirinya sendiri. Sedangkan individu yang merefleksikan

    sesuatu sebagai bukan saya, tidak selalu, tidak seluruhnya akan

    selalu menganggap penyebab dari suatu kejadian berasal dari faktor di

    luar dirinya.

    Hal ini kemudian berkaitan dengan locus of control. Locus of

    Control (LoC) terbagi menjadi 2 jenis, yaitu LoC internal dan LoC

    eksternal. Individu dengan LoC eksternal meyakini bahwa perilakunya

    diarahkan oleh takdir, keberuntungan atau kejadian lain di luar

    dirinya. Sedangkan individu dengan LoC internal mempercayai bahwa

    perilakunya dikendalikan oleh upaya-upaya sendiri dan berdasarkan

    keputusan mandiri.

    Individu yang dianggap memiliki resiliensi yang tinggi

    adalah yang memiliki karakteristik locus of control internal, dimana

    orang yang memiliki LoC internal adalah orang yang memiliki

    kemampuan kognitif yang fleksibel dan dapat mengidentifikasi

    penyebab panting dari setiap masalah yang dihadapi tanpa harus

    terikat dengan gaya berpikir tertentu. Individu tersebut realistis

    sehingga tidak menghiraukan faktor-faktor yang permanen dan

    pervasif. Mereka tidak merefleksikan kesalahan dengan menyalahkan

    orang lain terhadap kesalahan mereka hanya untuk mempertahankan

    harga diri mereka Reivich dan Shatte (dalam Rahmawati, 2009).

  • 17

    5) Empati

    Empati merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca

    dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain. Beberapa

    individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam

    menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh

    orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan

    mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain.

    Individu yang mempunyai kemampuan empati rendah

    cenderung mengulangi tingkah laku yang menunjukkan

    ketidakresiliensian dengan tidak memahami perasaan orang lain.

    Dengan kemampuan ini individu dapat memahami bagaimana cara

    menghadapi orang lain sehingga mampu mengatasi permasalahan

    yang dihadapinya (Reivich & Shatte, 2002). Oleh karena itu,

    seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki

    hubungan sosial yang baik.

    6) Efikasi diri

    Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai

    keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan

    memecahkan masalah dengan efektif. Hal ini dapat menggambarkan

    kepercayaan bahwa seseorang dengan kemampuannya dapat

    menyelesaikan suatu masalah dengan berhasil dan sukses. Individu

    dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan

    masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa

  • 18

    strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil Revich dan Shatte

    (dalam Rahmawati, 2009).

    Menurut Bandura (1997), individu yang memiliki efikasi diri

    yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu

    tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan

    kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan

    mampu bangkit dari keagagalan yang ia alami. Dengan keyakinan

    yang dimiliki individu, ia pasti akan mampu bertahan dan menjadi

    individu yang resilien.

    7) Pencapaian

    Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi

    lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan

    untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun

    lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih

    aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa atau

    biasa disebut dengan pencapaian.

    Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk

    meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang

    mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala

    ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Menurut

    Revich dan Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang

    meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang

    meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua

  • 19

    aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang

    realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta

    mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu

    meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi

    permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan

    interpersonal dan pengendalian emosi.

    c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

    Everall, et al., (2006) memaparkan tiga faktor yang

    mempengaruhi resiliensi, yaitu :

    1) Faktor individual

    Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu,

    konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu.

    Menurut Holaday (dalam Emelia Astuty Hutapea, 2006), keterampilan

    kognitif berpengaruh penting pada resiliensi individu. Inteligensi

    minimal rata-rata dibutuhkan bagi pertumbuhan resiliensi pada diri

    individu karena resiliensi sangat terkait erat dengan kemampuan untuk

    memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat,

    kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliensi juga

    dihubungkan dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari

    trauma dengan menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang

    ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan.

  • 20

    2) Faktor keluarga

    Faktor-faktor keluarga yang berhubungan dengan resilensi,

    yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang memiliki

    kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat, teratur dan kondusif

    bagi perkembangan individu, sosial ekonomi yang berkecukupan,

    memiliki hubungan harmonis dengan anggota keluarga-keluarga lain.

    3) Faktor komunitas

    Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan

    kesempatan kerja. Menurut Isaacson (dalam Rahmawati, 2009),

    menambahkan bahwa dukungan sosial yang diberikan oleh komunitas

    (dalam hal ini tetangga, teman, penolong) merupakan penanda

    kesuksesan bagi individu. Komunitas resilien adalah sebuah

    komunitas yang terfokus pada faktor protektif yang mendorong

    anggotanya untuk memiliki kemampuan resiliensi yang baik.

    Menurut Krovetz (1999), komunitas ini memiliki beberapa

    sifat, diantaranya yaitu sangat memperhatikan dan memberikan kasih

    sayang kepada anggotanya, memiliki harapan dan dukungan yang

    tinggi, memberikan kesempatan yang selalu terbuka untuk ikut

    berpatisipasi seluas-luasnya pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan

    oleh komunitas tersebut.

  • 21

    2. Mahasiswa

    a. Pengertian

    Menurut Sarwono (2002), mahasiswa adalah kelompok masyarakat

    yang statusnya terikat dengan Perguruan Tinggi. Ditjen Pendidikan Tinggi

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Nugraha, 2001)

    mendefinisikan mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar

    untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di Perguruan Tinggi dengan batas

    usia 18-30 tahun.

    Sedangkan Perguruan Tinggi dalam pengertian di atas adalah

    satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi (Nugraha,

    2001). Sarwono (dalam Nugraha, 2001) menjelaskan bahwa Perguruan

    Tinggi adalah lembaga pendidikan formal di atas sekolah lanjutan atas

    yang terutama memberikan pendidikan teori dari suatu ilmu pengetahuan

    disamping mengajarkan keterampilan (skill) tertentu.

    Berdasarkan batas usia yang dijelaskan oleh Sarwono (dalam

    Nugraha, 2001), maka mahasiswa yang berada di tahun pertama

    perkuliahan ( 18 tahun) berada pada tahap perkembangan remaja akhir

    dan transisi menuju dewasa muda. Oleh sebab itu, yang menjadi ciri khas

    dan tugas perkembangan mahasiswa baru adalah dalam masa transisi

    meninggalkan kehidupan remaja dan menuju kehidupan dewasa muda,

    sehingga mereka sedang beralih dari tugas perkembangan remaja menuju

    tugas perkembangan dewasa muda

  • 22

    Masalah dan situasi yang dihadapi oleh mahasiswa mungkin

    berbeda dengan yang dihadapi oleh selain mahasiswa atau pekerja.

    Tekanan bisa timbul dari tuntutan untuk mendapatkan nilai yang tinggi,

    gelar, pekerjaan rumah yang berlebihan, tugas yang tidak jelas, dan ruang

    kelas yang tidak nyaman (Kohn & Frazer dalam Emelia Astuty Hutape,

    2006).

    Tugas yang banyak yang diberikan oleh dosen membuat mahasiswa

    sangat terbebani. Apalagi yang sudah menggunakan kurikulum berbasis

    kompetensi (kurikulum sistem blok), hampir setiap hari ada pembuatan

    paper, makalah atau laporan praktikum. Hal ini sangat menyita waktu yang

    cukup banyak pada mahasiswa. Dinamika kampus yang beragam

    membawa berbagai dampak bagi mahasiswa; baik negatif maupun positif,

    fisik, maupun psikologis selama proses menyelesaikan tugas. Selama

    proses mengerjakan tugas misalnya makalah, mahasiswa ditantang dan

    dilatih untuk melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan yang bersifat

    ilmiah, seperti pencarian suatu problem dan pemecahannya yang

    berlandaskan pada suatu teori dan juga langkah-langkah atau metode yang

    ilmiah disertai pola pikir yang kritis (critical thinking) diharapkan akan

    dimiliki mahasiswa Greenberg (dalam Utami, 2012)

    b. Permasalahan yang dihadapi mahasiswa

    Ketika seseorang memasuki dunia Perguruan Tinggi dan menjadi

    mahasiswa, maka ada perubahan-perubahan yang harus dihadapi.

    Perubahan-perubahan ini kemudian dapat dinilai sebagai permasalahan

  • 23

    yang harus dihadapi dan diatasi oleh mahasiswa agar tidak mempengaruhi

    kelancaran proses pendidikan mereka.

    Menurut Gunarsa (1995), mahasiswa baru perlu menyesuaikan diri

    dengan beberapa perubahan, yang juga terkait dengan tugas

    perkembangannya, antara lain:

    1) Perbedaan sifat pendidikan SLTA dan perguruan tinggi

    Perbedaan sifat pendidikan ini terdiri dari beberapa hal, yaitu:

    a) Kurikulum

    Kurikulum Perguruan Tinggi lebih sedikit dibanding SLTA,

    tapi lebih mendalam. Bidang eksakta juga lebih ketat dibanding

    non eksakta. Jika mahasiswa menyukai jurusan yang ia pilih, maka

    kemungkinan besar mahasiswa tersebut dapat menjalani masa

    pendidikannya dengan lancar. Tetapi, jika ternyata bidang studi

    yang ia pilih tidak sesuai dengan minat mahasiswa, maka

    kegairahan akan menurun, studi tidak lancar, bahkan bisa

    menimbulkan gangguan pada kepribadian dan fungsi organis.

    b) Disiplin

    Perguruan Tinggi tidak seketat SLTA dalam menerapkan

    disiplin, karena mahasiswa dianggap sudah lebih dewasa sehingga

    dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Melonggarnya

    disiplin tentu saja mempengaruhi cara belajar mahasiswa, yang

    lebih bebas dan hal ini bisa menyebabkan kesulitan tersendiri.

  • 24

    c) Hubungan dosen-mahasiswa

    Pola hubungan juga sangat berbeda antara di Perguruan Tinggi

    dan SLTA. Dialog langsung jarang dilakukan pada tingkat-tingkat

    awal ketika jumlah mahasiswa dalam satu kelas masih sangat besar.

    Mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan cara dosen memberi

    mata kuliah yang mungkin masih bayak mempergunakan cara

    tradisional, yaitu dosen hanya menerangkan tanpa mempedulikan

    apakah mahasiswa paham atau tidak. Pada tingkat-tingkat yang

    lebih tinggi, saat jumlah mahasiswa dalam satu kelas berkurang

    atau sistem SKS (Satuan Kredit Semester) diberlakukan, hubungan

    dosen-mahasiswa bisa terjalin dalam bentuk yang lain, yaitu

    kemungkinan terjadi dialog langsung.

    2) Hubungan sosial

    Pola pergaulan juga bergeser dari pola antara sesama jenis ke

    arah pola pergaulan heteroseksual. Seiring pula dengan pergeseran

    dari dependensi ke independensi, mahasiswa merasa lebih bebas untuk

    bergaul. Masalah pergaulan bisa menjadi masalah yang pelik, baik

    mengenai percintaan, kesuliatan penyesuaian diri dan keterlibatan

    terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa bersifat negatif.

    3) Masalah ekonomi

    Pada umumnya, mahasiswa belum memiliki penghasilan

    sendiri, sehingga masih bergantung secara ekonomi pada orang tua.

    Kelonggaran untuk menggunakan uang ternyata tidak sebebas tingkah

  • 25

    laku dan sikapnya yang bisa menentukan sendiri berbagai hal. Kalau

    studi lancar dan orang tua cukup mampu membiayai, maka masalah

    keuangan mungkin tidak banyak timbul. Akan tetapi, kalau yang

    terjadi adalah sebaliknya, maka bisa timbul konflik antara keinginan

    meneruskan kuliah atau bekerja. Banyak yang kemudian

    mendahulukan keinginan yang satu dengan akibat yang lain kurang

    diperhatikan.

    4) Pemilihan bidang studi-jurusan

    Antara bakat, minat dengan kesempatan yang ada sering

    menimbulkan masalah yang cukup rumit. Ada beberapa mahasiswa

    yang memasuki Perguruan Tinggi dan menjalani jurusan yang dirasa

    salah pilih, yang berakibat mengendurnya motivasi untuk menjalani

    perkuliahan. Terkadang mahasiswa mencoba-coba masuk ke jurusan

    tertentu dengan harapan bisa pindah ke jurusan lain, namun bisa saja

    keinginan tersebut terhalang oleh prosedur dan kesempatan yang ada.

    c. Strategi pembelajaran pada sistem blok

    Dalam proses pembelajaran dengan sistem blok terdapat beberapa

    strategi yang digunakan, seperti yang dikutip dari buku panduan

    mahasiswa blok di Jurusan Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman,

    antara lain:

    1) Lecturing

    Lecturing adalah suatu cara mengajar yang digunakan untuk

    menyampaikan informasi atau uraian tentang suatu pokok

  • 26

    permasalahan secara lisan atau biasa disebut dengan metode ceramah.

    Menurut Waji Sholikhul (2002) metode ceramah murni adalah suatu

    metode yang menekankan penjelasan atau menerangkan materi

    pelajaran dari dosen kepada mahasiswa secara lisan tanpa

    menggunakan perantara atau media lainnya.

    2) Discovery learning (DL)

    Discovery Learning merupakan suatu metode pembelajaran yang

    dilakukan oleh mahasiswa dengan bertanya dan merumuskan jawaban

    mereka sendiri yang bersifat sementara (model hipotesis) serta

    menyimpulkan prinsip umum (to deduce general principles) dari

    contoh yang praktis atau pengalaman. Pelaksanaan discovery learning

    tidak hanya menghasilkan penguasaan prinsip-prinsip umum suatu

    topik tetapi juga pengembangan suatu sikap ke arah pembelajaran dan

    penyelidikan, ke arah tebakan dan firasat, ke arah kemungkinan dan

    memecahkan masalah pada diri mereka sendiri.

    3) Small group dscussion (SGD)

    SGD merupakan sarana diskusi mahasiswa yang didampingi tutor

    untuk mengasah kemampuan analisa dan pendalaman materi tertentu

    yang terarah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

    4) Problem based learning (PBL)

    Menurut Duch (dalam Budianto, 2010), PBL adalah metode

    pendidikan yang mendorong siswa untuk mengenal cara belajar dan

    bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-

  • 27

    masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk

    mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari

    sesuatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berfikir secara kritis

    dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan

    secara tepat sumber-sumber pembelajaran.

    5) Praktikum

    Praktikum diadakan sesuai jadwal. Mahasiswa diwajibkan

    menggunakan seragam praktikum dan hadir 15 menit sebelim

    praktikum dimulai. Sebelum praktikum dimulai, mahasiswa

    mengerjakan soal pretest sebagai dasar penilaian kesiapan mahasiswa

    sebelum mengikuti praktikum. Apabila mahasiswa belum siap

    (ditujukan dengan nilai pretest

  • 28

    menjadi stres karena banyaknya tugas tetapi ada juga yang menganggap

    sistem blok ini adalah tantangan tersendiri buat mereka sehingga mereka

    merasa sistem blok bukan sesuatu hal yang menakutkan.

    Kemudian peneliti menanyakan mengenai nilai Indeks Prestasi

    (IP) mereka ternyata nilai akademik mereka berada di atas 3,5 ada

    sebagian yang mengatakan nilai akademik turun dari semester ke semester

    tetapi ada juga yang nilai akademik mereka naik. Dapat diartikan bahwa

    walaupun mahasiswa tersebut merasa stres dengan sistem blok ini tetapi

    mahasiswa blok ini masih bisa beradaptasi dengan keadaan, bahkan ada

    juga mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh jurusan

    atau pun menjadi asisten praktikum dalam suatu mata perkuliahan.

  • 29

    B. Kerangka Teori

    Berdasarkan tinjauan teori menurut Reivich & Shatte (2002) dan Utami

    (2012), maka dibentuk kerangka penelitian sebagai berikut:

    Gambar 2.1 Kerangka Teori

    Aspek-aspek resiliensi

    Pengaturan

    emosi

    Kontrol

    terhadap

    impuls

    Optimisme Kemampuan

    menganalisis

    masalah

    Empati Efikasi

    diri

    Pencapaian

    Resiliensi

    Permasalahan yang dihadapi mahasiswa blok

    Faktor Akademik Faktor Intrapersonal

  • 30

    C. Kerangka Konsep

    Penelitian ini telah meneliti variabel bebas yaitu aspek resiliensi dan

    variabel terikat yaitu resiliensi, sedangkan variabel pengganggu tidak akan diteliti,

    untuk lebih jelasnya kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:

    Gambar 2.2 Kerangka Konsep

    Keterangan:

    : diteliti

    Variabel terikat:

    Resiliensi

    Variabel bebas:

    Pengaturan emosi,

    kontrol terhadap

    impuls, optimisme,

    kemampuan

    menganalisis

    masalah,

    empati,efikasi diri

    dan pencapaian

  • 31

    D. Hipotesis Penelitian

    Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atau pertanyaan

    penelitian yang harus di uji validitasnya secara empiris (Sastroasmoro, 2002).

    Dalam penelitian ini dapat dirumuskan suatu hipotesis yaitu:

    1. Aspek pengaturan emosi mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan

    2010 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

    Universitas Jenderal Soedirman.

    2. Aspek kontrol terhadap impuls mempengaruhi resiliensi mahasiswa

    angkatan 2010 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu

    Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.

    3. Aspek optimisme mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010

    Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

    Universitas Jenderal Soedirman.

    4. Aspek kemampuan menganalisis masalah mempengaruhi resiliensi

    mahasiswa angkatan 2010 Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan

    Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.

    5. Aspek empati mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010 Jurusan

    Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas

    Jenderal Soedirman.

    6. Aspek efikasi diri mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010

    Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

    Universitas Jenderal Soedirman.

  • 32

    7. Aspek pencapaian mempengaruhi resiliensi mahasiswa angkatan 2010

    Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

    Universitas Jenderal Soedirman.

    8. Terdapat satu faktor dominan dari ketujuh aspek yang mempengaruhi

    resiliensi mahasiswa angkatan 2010 Jurusan Keperawatan Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.