status bst )
DESCRIPTION
vgcghfghTRANSCRIPT
REFERAT THT
KANKER LARING
DISUSUN OLEH :
DINIESKA INDIASTRI
1102011081
PRESEPTOR
dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL
dr. Elananda Mahendrajaya, Sp.THT-KL
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSU Dr. SLAMET GARUT
PERIODE 11 MEI 2015 – 12 JUNI 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan ke hadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman.
Karena atas rahmat dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan
judul “KANKER LARING” yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan
kepaniteraan di bagian THT RSU dr. Slamet Garut.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, SpTHT-KL selaku kepala SMF dan
konsulen THT RSU dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan
memberikan ilmu kepada penyusun.
2. dr. Elananda Mahendrajaya, SpTHT-KL selaku Konsulen THT RSU
dr. Slamet Garut yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu
kepada penyusun.
3. dr. Arroyan W, SpTHT dosen Ilmu Kedokteran THT FK Universitas
YARSI yang telah memberi bimbingan serta pengajaran kepada penyusun
selama ini.
4. Para perawat di poliklinik THT yang telah banyak membantu penyusun
dalam kegiatan klinik sehari-hari.
5. Orang tua dan keluarga yang tidak pernah berhenti memberi kasih
sayang, mendoakan dan memberi dukungan kepada penyusun.
6. Teman-teman sejawat yang telah banyak memberikan inspirasi dan
dukungannya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi semua pihak.
1
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Garut, Mei 2015
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING ...............................................6
2.1. Anatomi.............................................................................................................6
2.2 Fisiologi............................................................................................................15
BAB III KANKER LARING .............................................................................17
3.1. Definisi................................................................................................17
3.2. Etiologi dan Klasifikasi ......................................................................17
3.3. Patofisiologi .......................................................................................19
3.4. Manifestasi Klinis .............................................................................21
3.5. Diagnosis.............................................................................................22
3.6. Penatalaksanaan .................................................................................26
3.7. Komplikasi..........................................................................................28
3.8. Diagnosis Banding..............................................................................29
3.9. Pencegahan..........................................................................................29
3.10. Prognosis...........................................................................................30
BAB IV KESIMPULAN .....................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................32
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker laring merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada
daerah kepala dan leher, sekitar 20% dari semua kasus. Di RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta kanker laring menempati urutan ketiga setelah kanker
nasofaring dan tumor ganas hidung dan sinus paranasal, dari seluruh keganasan di
daerah leher dan kepala. Dampak pada kesehatan masyarakat di dunia jauh lebih
besar, berada pada urutan keempat belas dari semua kanker yang terjadi pada laki-
laki dan menempati urutan kedua dari kanker yang terjadi pada daerah kepala dan
leher.
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh
para ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang
dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik
menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma
laring yang kuat ialah rokok, alkohol dan terpajan oleh sinar radioaktif.
Pengumpulan data yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo menunjukkan
bahwa karsinoma laring jarang ditemukan pada orang yang tidak merokok,
sedangkan resiko untuk mendapatkan karsinoma laring naik, sesuasi dengan
kenaikan jumlah rokok yang dihisap.
Kini, perbandingan kasus karsinoma laring yang terjadi pada laki-laki dan
perempuan adalah 5 : 1, karena meningkatnya kebiasaan merokok pada
perempuan walaupun masih lebih sering terjadi pada laki-laki. Terbanyak pada
usia 56-69 tahun dengan kebiasaan merokok didapatkan pada 73,94%.
Laring dibagi menjadi laring supraglotik (di atas pita suara), daerah glotik
(pita suara asli), daerah subglotik (di bawah batas pita suara asli) dan daerah
transglotik. Tumor glotis merupakan keganasan yang paling sering terjadi.
Kanker laring bermanifestasi secara klinis sebagai suara serak menetap,
yang merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hubungan antara serak
4
dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. Letak tumor di dalam laring
memiliki dampak yang besar oada prognosis.
Secara umum, penatalaksanaan tumor ganas laring adalah dengan
pembedahan, radiasi, sitostatika ataupun kombinasi daripadanya, tergantung
stadium penyakit dan keadaan umum penderita. Yang terpenting dalam
penatalaksaan kanker laring ialah diagnosis dini dan pengobatan/tindakan yang
tepat dan kuratif, karena tumornya masih terisolasi, dan dapat diangkat secara
radikal. Tujuan utama ialah mengeluarkan bagian laring yang terkena tumor
dengan memperhatikan fungsi respirasi, fonasi serta fungsi sfingetr laring.
5
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING
2.1. ANATOMI
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
daripada bagian bawah. Laring adalah organ yang berperan sebagai sphincter
pelindung pada sistem respirasi dan berperan dalam pembentukan suara. Terletak
setinggi vertebrae cervicalis 4,5, dan 6, di bawah lidah dan tulang os hioid (batas
dagu dan leher), di bagian depan terdapat otot-otot dan bagian lateral ditutupi oleh
kelenjar tiroid. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya
ialah batas kaudal kartilago krikoid.
Gambar 1. Kartilago Penyusun Laring
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang, yaitu os hiod, dan
beberapa kartilago yang dihubungkan oleh membran dan ligamentum serta
digerakkan oleh otot-otot laring. Di sebelah superior terdapat os hioideum,
struktur berbentuk U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada
6
dinding faring lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau
korpus hiodeum adalah suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke
posterior dan suatu prosesus pendek yang mengarah ke superior. Tendon dan otot-
otot lidah, mandibula dan kranium, melekat pada permukaan superior korpus dan
kedua prosesus. Saat menelan, kontraksi otot-otot ini mengangkat laring. Namun
bila laring dalam keadaan stabil, maka otot-otot tersebut akan membuka mulut
dan ikut berperan dalam gerakan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago
kuneiformis dan kartilago tritisea. Di bawah os hioideum dan menggantung pada
ligamentum tirohioideum adalah dua alae atau sayap kartilago tiroidea. Pada tepi
posterior masing-masing alae, terdapat kornu superior dan inferior. Artikulasio
kornu inferius dengan kartilago krikoidea, memungkinkan sedikit pergeseran atau
gerakan antara kartilago tiroidea dan krikoidea.
Kartilago krikoidea yang juga mudah teraba di bawah kulit, melekat pada
kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum. Tidak seperti struktur
penyokong lainnya dari jalan pernapasan, kartilago krikoidea berbentuk lingkaran
penuh dan tak mampu mengembang. Permukaan posterior atau lamina krikoidea
cukup lebar, sehingga kartilago ini tampak seperti signet ring. Di sebelah inferior,
kartilago trakealis pertama melekat pada krikoid lewat ligamentum
interkartilaginosa.
Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoidea,
masing-masing berbentuk seperti piramid bersisi tiga. Basis piramidalis
berartikulasi dengan krikoid pada artikulasio krikoaritenoidea, sehingga dapat
terjadi gerakan meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Tiap kartilago
aritenoidea mempunyai dua prosesus, prosesus vokalis anterior dan prosesus
muskularis laterlaris. Ligamentum vokalis meluas ke anterior dari masing-masing
prosesus vokalis dan berinsersi ke dalam kartilago tiroidea di garis tengah.
Prosesus vokalis membentuk dua perlima bagian belakang dari korda vokalis,
sementara ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian pita
suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis
7
suara membentuk glotis. Bagian laring di atasnya disebut supraglotis dan di
bawahnya subglotis. Terdapat dua pasang kartilago kecil dalam laring yang tidak
memiliki fungsi. Kartilago kornikulata terletak dalam jaringan di atas menutupi
aritenoid. Di sebelah lateralnya, yaitu di dalam plika ariepiglotika terletak
kartilago kuneiformis.
Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang
berbentuk seperti bat pingpong. Epiglotis dewasa umumnya sedikit cekung pada
bagian posterior. Selain itu, laring juga disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah
posterior, pada kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis yang meluas
ke belakang dari tepi lateral epiglotis hingga tepi lateral kartilago aritenoidea.
RONGGA LARING
Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas
bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas
depannya ialah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum
tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago
krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus
elastikus dan arkus kartilago krikoid. Sedangkan batas belakangnya ialah M.
aritenoid transversus lamina kartilago krikoid.
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum
ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika
ventrikularis (pita suara palsu). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut
rima glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibuli.
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga
bagian, yaitu vestibulum laring, glotis, dan subglotis. Antara plika vokalis dan
plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni.
8
Rima glotis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plika vokalis, dan
terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terlerak antara kedua
puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotis
adalah rongga laring yang terletak di bawah plika vokalis.
Gambar 2. Plika vokalis pada saat terbuka dan tertutup
OTOT-OTOT LARING
Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan
artikulasi krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah
ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid
medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal,
ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum
hioepiglotika, ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang
menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum
tiroepiglotika.
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-
otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian
laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara.
9
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terketak di atas tulang hioid
(suprahioid), dan ada yang terletak di bawah hioid (infra hioid). Otot-otot
ekstrinsik yang suprahioid ialah M. digastrikus, M. geniohioid, M. stilohioid dan
M. milohioid. Otot-otot yang infrahioid ialah M. sternohioid, M. omohioid dan M.
tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke
bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas.
Gambar 3. Otot-Otot Ekstrinsik Laring
Otot ekstrinsik dapat digolongkan berdasarkan fungsinya, yaitu otot
depresor dan otot elevator. Otot depresor atau otot-otot leher (omohioideus,
sternotiroideus, sternohioideus) berasal dari bagian inferior. Otot elevator
(milohioideus, geniohioideus, genioglosus, hioglosus, digastrikus dan
stilohioideus) meluas dari os hioideum ke mandibula, lidah, prosesus stiloideus
pada kranium. Otot tirohioideus walaupun digolongkan sebagai otot depresor, tapi
memiliki fungsu utama sebagai elevator.
Otot-otot intrinsik laring ialah M. krikoaritenoid lateral, M. tiroepiglotika,
M. vokalis, M. tiroaritenoid, M. ariepiglotika dan M. krikotiroid. Otot-otot ini
terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian
posterior, ialah M. aritenoid transversum, M. aritenoid oblik dan M.
10
krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor
(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali M.
krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan
menjauhkan kedua pita suara ke lateral).
Gambar 4. Otot-Otot Intrinsik Laring
Anatomi otot-otot intrinsik laring dapat dimengerti dengan mengetahui
fungsinya. Serat-serat otot interaritenoideus (aritenoideus) transversus dan oblikus
meluas di antara kedua kartilago aritenoidea. Bila berkontraksi, kartilago
aritenoidea akan bergeser ke arah garis tengah, mengaduksi korda vokalis. Otot
krikoaritenoideus posterior meluas dari permukaan posterior lamina krikoidea
untuk berinsersi ke dalam prosesus muskularis aritenoidea; otot ini menyebabkan
rotasi aritenoid ke arah luar dan mengabduksi korda vokalis. Antagonis utama otot
ini, yaitu otot krikoaritenoideus lateralis berorigo pada arkus krikoidea lateralis;
insersinya juga pada prosesus muskularis dan menyebabkan rotasi aritenoid ke
11
medial, menimbulkan aduksi. Yang membentuk tonjolan korda vokalis dan
tiroaritenoideus yang hampir tidak dapat dipisahkan; kedua otot ini ikut berperan
dalam membentuk tegangan korda vokalis. Pada individu lanjut usia, tonus otot
vokalis dan tiroaritenoideus agak berkurang; korda vokalis tampak membusur ke
luar dan suara menjadi lemah dan serak.
Otot-otot laring utama lainnya adalah pasangan otot krikotiroideus, yaitu otot
yang berbentuk kipas berasal dari arkus krikoidea di sebelah anterior dan
berinsersi pada permukaan lateral alae tiroid yang luas. Kontraksi otot ini menarik
kartilago tiroidea ke depan, meregang dan menegangkan korda vokalis. Kontraksi
ini secara pasif juga memutar aritenoid ke medial, sehingga otot krikotiroideus
juga dianggap sebagai otot aduktor.
12
Gambar 5. Abduksi dan Aduksi Pita Suara oleh Otot-Otot Intrinsik LaringPERSARAFAN, PERDARAHAN DAN DRAINASE LIMFATIK
Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu N. laringis
superior dan N. laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik. Saraf laringeus superior meninggalkan trunkus vagalis tepat
di bawah ganglion nodosum, melengkung ke anterior dan medial di bawah arteri
karotis eksterna dan interna, dan bercabang dua menjadi suatu cabang sensorik
interna dan cabang motorik eksterna. Cabang interna menembus membrana
tirohiodea untuk mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis, sinus
piriformis, dan seluruh mukosa laring superior interna tepi bebas korda vokalis
sejati. Masing-masing cabang eksterna merupakan suplai motorik untuk satu otot
saja, yaitu otot krikotiroideus. Di sebelah inferior, saraf rekurens berjalan naik
dalam alur diantara trakea dan esofagus, masuk ke dalam laring tepat di belakang
artikulasio krikotiroideus, dan mengurus persarafan motorik semua otot intrinsik
laring kecuali krikotiroideus. Saraf rekurens juga mengurus sensasi jaringan di
bawah korda vokalis sejati (regio subglotis) dan trakea superior. Karena
perjalanan saraf inferior kiri yang lebih panjang serta hubungannya dengan aorta,
maka saraf ini lebih rentan cedera dibandingkan saraf yang kanan.
Nervus laringis superior mempersarafi M. krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula
terletak di atas M. konstriktor faring medial, di sebelah medial A. karotis interna
dan eksterna, dan kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan setelah
menerima hubungan dengan ganglion servikal superior, membagi diri dalam dua
cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.
Ramus eksternus berja;an pada permukaan luar M. konstriktor faring
inferior dan menuju ke M. krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh M.
tirohioid terletak di sebelah medial A. tiroid superior, menembus membran
hiotiroid, dan bersama-sama dengan A. laringis superior menuju ke mukosa
laring. Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari nervus rekuren setelah
13
saraf itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren
merupakan cabang dari nervus vagus.
Nervus rekuren kanan akan menyilang A. subklavia kanan di bawahnya,
sedangkan N. rekuren kiri akan menyilang arkus aorta. N. laringis inferior
berjalan di antara cabang-cabang A. tiroid inferior, dan melalui permukaan
mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan medial M. krikofaring.
Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang dua menjadi
ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan mempersarafi otot-otot
intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot
intrinsik laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan N. laringis
superior ramus internus.
Perdarahan Laring
Perdarah untuk laring terdiri dari dua cabang, yaitu A. laringis superior
dan A. laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari A. tiroid
superior. A. laringis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang
membran tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari N. laringis superior
kemudian menembus membran ini untuk berjalan ke bawah di submukosa dari
dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan
otot-otot laring.
Arteri laringis inferior merupakan cabang dari A. tiroid inferior dan
bersama-sama dengan N. laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid,
masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari M. konstriktor faring inferior. Di
dalam laring arteri tersebut bercabang-cabang, memperdarahi mukosa dan otot
serta beranastomosis dengan A. laringis superior.
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan
A. laringis superior dan inferior dan kemudia bergabung dengan vena tiroid
superior dan inferior.
Pembuluh Limfa Laring
14
Pengetahuan mengenai drainase limfatik laring penting dalam terapi
kanker. Terdapat dua sistem drainase terpisah, superior dan inferior, dimana garis
pemisah adalah korda vokalis sejati. Korda vokalis sendiri mempunyai suplai
limfatik yang buruk. Di sebelah superior, aliran limfe menyertai pedikulus
neurovaskular superior unutk bergabung dengan nodi limfatisi superiores dari
rangkaian servikalis profunda setinggi os hioideus. Drainase subglotis lebih
beragam, yaitu ke nodi limfatisi pretakeales (satu kelenjar terletak tepat di depan
krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar getah bening servikalis profunda
inferior, nodi supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior.
2.2. FISIOLOGI
Walaupun laring dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata
mempunyai fungsi unutk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta
fonasi.
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda
asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis
secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan
laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi M. tiroaritenoid dan M. aritenoid.
Selanjutnya M. ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis
terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan mendekat
karena aduksi otot-otot intrinsik.
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam
trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang
berasal dari paru dapat dikeluarkan.
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila M. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus
vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka
(abduksi).
15
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-
bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga
sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan tiga
mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis
dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke
dalam laring. Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi,
seperti berteriak, mengeluh, menangis, dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka M. krikotiroid
akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan M. krikoaritenoid posterior akan menahan
atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan
yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi M. krikoaritenoid akan
mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.
Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya
nada.
16
BAB III
KANKER LARING
3.1. DEFINISI
Kanker laring merupakan suatu neoplasma yang ditandai dengan sebuah
tumor yang berasal dari epitel struktur laring yang merupakan salah satu
keganasan pada daerah kepala dan leher. Karsinoma sel skuamosa merupakan
keganasan laring yang paling sering terjadi (94 %). Meskipun jarang, dapat terjadi
adenokarsinoma yang mungkin berasal dari kelenjar mukosa. Tumor biasanya
terbentuk di pita suara (tumor glotis) pada 60% - 75% kasus, meskipun juga dapat
terjadi di atas pita suara (supraglotis; 25% - 40%) atau di bawah pita suara
(suglotis; kurang dari 5%).
3.2. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Penyebab utama kanker laring belum sepenuhnya diketahui, namun
diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan merokok (>85%), konsumsi alkohol
berlebihan, paparan radiasi serta sekuensi HPV (Human Papiloma virus) pada
sebagian kecil kasus. Dulu perbandingan laki-laki dengan perempuan pada kasus
kanker laring adalah 11:1, namun sekarang menjadi 5:1 dikarenakan
meningkatnya kebiasaan merokok pada perempuan. Perokok memiliki 10-20 kali
lipat peningkatan risiko untuk bisa menderita kanker laring, dimana dengan
berhenti merokok akan mengurang risiko relatif sekitar 10-15 tahun setelah
berhenti.
Terdapat beberapa etiologi lain terjadinya kanker laring diantaranya
karena terpapar bahan atau substansi berbahaya misalnya asbes, Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons, debu dan larutan berbahaya lainnya.
Risiko terjadinya tumor ganas laring ini akan meningkat seiring dengan
berat dan banyaknya faktor risiko yang terdapat pada seseorang. Faktor risiko
tersebut diantaranya adalah:
1. Usia
17
Menurut American Cancer Society (2011) lebih dari setengah kasus
kanker laring terjadi pada usia 65 tahun. Berdasarkan National Cancer
Institute’s Surveilance Epidemiology and End Result Cancer Statistic
Review (2012), dari tahun 2005-2009 rata-rata penderita tumor ganas
laring adalah pada usia 65 tahun, tidak ditemukan (0%) pada usia kurang
dari dua puluh tahun. Namun ditemukan 0,4% antara usia 20-34 tahun;
2,7% antara usia 35-44 tahun; 16,3% antara usia 45-54 tahun; 29,8%
antara usia 55-64 tahun; 28,6% antara usia 65-74 tahun, 17,3% pada usia
75-84 tahun dan 4,8% pada usia 85 tahun keatas.
2. Jenis Kelamin
Insidensi tertinggi kanker laring ini lebih banyak terjadi pada laki- laki
dibandingkan dengan wanita yaitu sekitar 5:1. Tahun 2008 di US
diperkirakan jumlah tumor ganas laring 88.941 kasus, yang terdiri dari
71.273 laki-laki dan 17.668 wanita.
3. Ras
Tumor ganas laring lebih sering pada ras African American dan kulit putih
dibandingkan dengan ras asia dan latin.
4. Merokok
Sebagian besar (88-89%) penderita tumor ganas laring adalah perokok.
Kebiasaan merokok merupakan hal penting yang dapat meningkatnya
risiko terjadinya tumor ganas laring. Peningkatan itu juga tergantung dari
lama dan intensitas seseorang itu merokok. Merokok dengan >22 mg tar
memiliki insidensi 2 kali lebih tinggi menderita kanker laring
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau perokok dengan tar
yang rendah.
5. Alkohol
Alkohol bukan merupakan faktor risiko tunggal yang menyebabkan
terjadinya kanker laring, namun kombinasi antara penggunaan rokok dan
konsumsi alkohol serta faktor lain yang memicu terjadinya karsinogenik
memiliki risiko tinggi terjadinya kanker laring.
6. Infeksi virus HPV
18
7. Paparan terhadap bahan berbahaya di lingkungan kerja
Bahan karsinogen yang berhubungan dengan terjadinya kanker laring
dapat berupa asbestos, komponen nikel, dan beberapa minyak mineral,
radiasi.
Berdasarkan letaknya, kanker laring dapat dibagi empat, yaitu:
1. Tumor supraglotis. Terbatas dari tepi atas epiglotis sampai batas atas
glotis, termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.
2. Tumor glotis. Mengenai pita suara asli. Batas inferior glotis adalah 10 mm
di bawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otot
intrinsik pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu,
tumor glotis dapat mengenai 1 atau 2 pita suara, dapat meluas ke subglotis
sejauh 10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau
prosesus vokalis kartilago aritenoid.
3. Tumor subglotis, tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara
asli sampai batas inferior krikoid
4. Tumor transglotis adalah tumor yang menyeberangi ventrikel mengenai
pita suara asli dan pita suara palsu, atau meluas ke subglotis lebih dari 10
mm.
3.3. PATOFISIOLOGI
Tumor adalah massa abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan
dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal dan terus
demikian walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti.
Hal mendasar tentang asal neoplasma adalah hilangnya responsivitas terhadap
faktor pengendali pertumbuhan yang normal.
Tumor ganas laring dapat mempengaruhi fisiologi laring tergantung pada
lokasi tumor dan ukuran. Tumor supraglotis mungkin tidak mengubah fungsi
laring, apabila mencapai ukuran yang relatif besar maka akan menyebabkan
obstruksi saluran napas yang merupakan gejala awal dari tumor ini. Sebaliknya,
tumor glotis mengubah kualitas suara dalam perkembangan awal dan dengan
19
demikian, suara serak sering ditemukan pada tahap awal penyakit. Selain itu,
tumor ganas laring juga dapat mempengaruhi fisiologi menelan. Mekanisme
menelan berubah ketika tumor menyerang dan mengubah fisiologi otot menelan.
Hal ini dapat menyebabkan disfagia atau aspirasi.
Histopatologi
Tumor ganas atau neoplasma ganas ditandai dengan differensiasi yang
beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiasi baik (well differentiated)
sampai yang sama sekali tidak berdiferensiasi. Neoplasma ganas yang terdiri atas
sel tidak berdiferensiasi disebut anaplastik. Tidak adanya diferensiasi, atau
anaplasia dianggap sebagai tanda utama keganasan. Neoplasma ganas (kanker)
tumbuh dengan cara infiltrasi, invasi, destruksi dan penetrasi progresif ke jaringan
sekitar. Kanker tidak membentuk kapsul yang jelas.
Akibat pajanan dari faktor-faktor risiko tersebut mengakibatkan
berubahnya epitel normal menjadi hiperplasia, hiperkeratosis, displasia,
karsinoma in situ, hingga menjadi karsinoma invasif. Mayoritas keganasan laring
gambaran histopatologisnya adalah karsinoma sel skuamosa keratinisasi dan non-
keratinisasi (90-95%). Diferensiasi tumor laring dapat dibagi secara histopatologis
menjadi berdiferensiasi baik (G1), berdiferensiasi sedang (G2), berdiferensiasi
buruk (G3). Adapun yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel
skuamosa berdiferensiasi baik atau sedang.
Karsinoma sel skuamosa laring mengikuti pola pertumbuhan karsinoma
sel skuamosa. Tumor berawal sebagai lesi in situ yang kemudian tampak sebagai
plak abu-abu mutiara keriput di permukaan mukosa dan akhirnya mengalami
ulserasi dan berbentuk seperti jamur.
Tumor glotis biasanya adalah karsinoma sel skuamosa keratinisasi yang
berdiferensiasi sedang hingga baik, meskipun juga dapat ditemukan karsinoma
nonkeratinisasi yang berdiferensiasi buruk. Seperti yang dapat diperkirakan pada
tumor yang berasal dari pajanan berulang ke karsinogen lingkungan, mukosa di
sekitar lesi mungkin memperlihatkan hiperplasia sel skuamosa dengan fokus
displasia, bahkan karsinoma in situ.
20
3.4. MANIFESTASI KLINIS
1. Serak merupakan gejala utama kanker laring, merupakan gejala paling
dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi
laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar celah glotis, besar pita
suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita
suara. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik
disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan
celah glorik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi, dan ligamen
krikoaritenoid, dan kadang-kadang menyerang saraf. Adanya tumor di pita
suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut.
Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, mengganggu, sumbang
dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-kadang bisa afoni karena
nyeri, sumbatan jalan nafas, atau paralisis komplit.
Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.
Apabila tumor tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini
dan menetap. Apabila tunor tumbuh di daerah ventrikel laring, di bagian
bawah plika ventrikularis, atau di batas inferior pita suara, serak akan
timbul kemudian. Pada tumor supraglotis dan subgloris, serak dapat
merupakan gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini,
gejala pertama tidak khas dan subjektif, seperti perasaan tidak nyaman,
rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Gangguan menelan bisa terjadi
disebabkan oleh tumor di supraglotis.
2. Dispnea dan stridor adalah gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan
napas dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh
gangguan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau sekret,
maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan transglotik
terdapat kedua gejala tersebut. Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat
dikompensasi oleh pasien. Pada umumnya dispnea dan stridor adalah
tanda prognosis yang kurang baik.
21
3. Nyeri tenggorok. Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai
rasa nyeri yang tajam.
4. Disfagia adalah ciri tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus
piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor
ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagia) menandakan
adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.
5. Batuk dan hemoptisis. Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotis,
biasanya timbul dengan tertekannyya hipofaring disertai sekret yang
mengalir ke dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotis dan
tumor supraglotis.
6. Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk,
hemoptisis dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke
luar laring atau metastase jauh.
7. Pembesaran kelanjar getah bening leher dipertimbangkan sebagai
metastase tumor ganas yang menunjukkan tumor pada stadium lanjut.
8. Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi
supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dsn perikondrium.
3.5. DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis mengenai perjalanan penyakit pasien, apabila pasien dengan
gejala suara parau hingga >2 minggu harus dilakukan pemeriksaan penunjang
yang sesuai untuk menunjang diagnosis dini kanker laring secara tepat dan cepat.
Selain itu, faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya kanker laring
penting untuk ditanyakan seperti merokok, konsumsi alkohol serta faktor lain
seperti usia, jenis kelamin dan riwayat pekerjaan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien secara
keseluruhan. Pemeriksaan ini meliputi penilaian saluran nafas jika pasien
mengeluhkan sesak nafas, melihat kondisi pasien apakah tampak sakit berat, serta
22
menilai status nutrisi yang terlihat dari penurunan berat badan. Selain itu juga
untuk menilai status fisik untuk tindakan biopsi, pembedahan, radioterapi dan
kemoterapi.
Pada saat kanker laring telah dicurigai maka pemeriksaan kepala dan leher
lengkap juga harus dilakukan, khususnya pada laring dan leher. Kualiatas suara
juga perlu diperhatikan. Suara nafas bisa menunjukkan adanya paralisis pita suara
dan suara yang meredam adanya lesi di supraglotis.
a. Pemeriksaan Laring
Pemeriksaan laring dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan
menggunakan indirect laryngoscopy (kaca laring) atau secara langsung
dengan direct laryngoscopy. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
batas yang irregular, warna, karakteristik dan mobilitas pita suara. Lesi
pada kanker laring akan tampak seperi kembang kol, lunak, ulseratif atau
terdapat perubahan warna mukosa. Dengan pemeriksaan laringoskopi
langsung kita dapat membedakan massa tumor laring berdasarkan
gambarannya yaitu sebagai berikut:
i. Tumor supraglotis akan tampak tepi tumor yang meninggi dan banyak
bagian sentral yang ulseratif atau kemerahan dan sering kali meluas.
ii. Tumor glotis akan tampak lebih proliferatif daripada ulseratif.
Gambaran khas lesi menyerupai kembang kol dan berwarna
keputihan.
iii. Tumor subglotis akan tampak lebih difus dan memiliki ulkus yang
superfisial dengan tepi yang lebih tinggi.
b. Pemeriksaan Leher
Pemeriksaan leher dilakukan dengan palpasi, hal ini untuk menentukan
apakah terdapat pembesaran kelenjar limfa dan metastasis tumor ke ekstra
laring. Palpasi dilakukan dengan sistematis dimulai dari submental
berlanjut kearah angulus mandibula, sepanjang muskulus
sternokleimastoid, klavikula dan diteruskan sepanjang saraf assesorius.
23
Pada saat pemeriksaan perlu diperhatikan mengenai lokasi, ukuran, batas,
dan mobilitas tumor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan biopsi pada lesi laring
dengan laringoskop langsung. Hal ini perlu dilakukan untuk menilai
keganasan dan membedakannya dengan lesi jinak atau lesi lain misalnya
oleh karena infeksi bakteri, virus dan jamur. Selain itu pemeriksaan biopsi
ini juga dapat mengidentifikasi tipe tumor dan diferensiasinya. Selain itu
pemeriksaan biopsi ini juga dapat mengidentifikasi tipe tumor dan
diferensiasinya.
b. Pemeriksaan Pencitraan
Metastasis kanker laring pada awalnya adalah pada nodus servikal regional
setelah itu akan bermetastasis ke paru. Oleh karena itu, pasien dengan
kanker kepala dan leher harus dilakukan foto toraks rutin sekali atau dua
kali dalam setahun untuk evaluasi dan skrining metastasis tumor. Jika
terdapat abnormalitas yang signifikan maka computed tomography (CT)
scan dada harus dilakukan untuk konfirmasi lesi. CT scan laring dapat
menunjukkan destruksi tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre
epiglotis serta metastasis ke kelenjar getah bening leher. Bronkoskopi
dengan evaluasi apusan bronkial atau biopsi transbronkial harus dilakukan
jika dicurigai adanya lesi.
Stadium Kanker Laring
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2002
menetapkan klasifikasi tumor laring di tentukan oleh jumlah situs yang terlibat,
mobilitas pita suara, dan keberadaan metastasis jauh atau metastasis ke servikal.
24
25
Stage Grouping
Stage 0 Tis N0 M0
Stage I T1 N0 M0
Stage II T2 N0 M0
Stage III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
Stage IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
Stage IV B T4b Any N M0
Any T N3 M0
Stage IV C Any T Any N M1
Tabel 1. Stadium Kanker Laring (AJCC, 2002)
Tabel 2. Stadium Tumor Laring berdasarkan Letaknya
3.6. PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan, maka tentukan tindakan
yang akan diambil sebagai penanggulannya. Dokter di layanan primer harus
merujuk ke Spesialis THT-KL untuk penanganan lebih lanjut. Tata laksana yang
dapat dilakukan berupa pembedahan yaitu pengangkatan sebagian atau seluruh
26
pita suara yang disebut laringektomi, radiasi, obat sitostatika ataupun
kombinasinya. Tatalaksana utamanya merupakan pembedahan dan radioterapi.
Jenis pembedahan yang dilakukan dapat berupa laringektomi total ataupun
parsial, tergantung lokasi dan penjalaran tumor, atau diseksi leher radikal bila
terdapat penjalaran ke kelenjar limfe leher. Pada tumor yang lebih ekstensif,
laringektomi total biasanya diindikasikan pada pasien sebagai berikut:
1. Tumor dengan destruksi kartilago dan penyebaran luas ke luar laring.
2. Melibatkan komisura posterior dan aritenoid bilateral.
3. Penyakit submukosa sirkumferensial.
4. Perluasan subglotis dengan invasi ekstensif ke kartilago krikoid.
Stadium dan lokasi tumor menentukan tata laksana yang diberikan dan tata
laksana yang terbaik untuk tumor laring adalah operasi. Stadium I dan II biasanya
suaranya berat dan kasar dapat dilakukan operasi laringektomi sebagian atau
dilakukan radiasi. Tahap awal karsinoma laring (stadium I-II) idealnya tata
laksana yang dilakukan adalah dengan radiasi atau teknik bedah (baik endoskopik
atau terbuka) sehingga dapat memperbaiki fungsi laring. Untuk karsinoma in situ
atau stadium awal kanker invasif glotis atau supraglotis, eksisi bedah endoskopi
atau terapi radiasi keduanya sama-sama efektif dengan hasil fungsional yang
sama. Lesi pada tahap awal tertentu, mungkin memerlukan reseksi lebih luas,
dalam hal ini laryngectomy parsial terbuka yang memberikan kontrol onkologi
baik, meskipun biasanya dengan hasil suara lebih buruk dari operasi endoskopi
atau radiasi.
Pada stadium III biasanya dilakukan penanganan dengan operasi
laringektomi total dengan diseksi leher. Modalitas tambahan seperti kemoradiasi
dapat menjadi pertimbangan, dan stadium IV dilakukan operasi rekonstruksi bila
masih memungkinkan, atau hanya mendapatkan radiasi.
Secara historis, karsinoma laring stadium lanjut (stadium III-IV)
penatalaksanaannya dengan operasi laringektomi total, rekonstruksi, dan terapi
kemoradiasi pasca operasi adjuvant. Namun, kemajuan luar biasa telah dibuat
dalam 20 tahun terakhir dalam pengelolaan kanker laring. Meskipun laringektomi
total masih diperlukan dalam kasus-kasus tumor yang agresif dan luas, strategi
27
pemeliharaan laring menggunakan kemoterapi dan terapi radiasi, kini telah
menjadi protokol standar perawatan untuk kanker laring stadium lanjut.
Rekomendasi NCCN Practice Guidelines in Oncology untuk mencapai
pemeliharaan laring pada kasus kanker laring stadium lanjut adalah dengan terapi
radiasi dan cisplatin 100mg / m2 pada hari 1, 22, dan 43 . Terapi radiasi saja dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang secara medis tidak layak untuk menjalani
kemoterapi.
Meskipun peningkatan penggunaan kemoradiasi dalam pengobatan kanker
laring stadium lanjut, operasi masih sering diperlukan. Protokol kemoradioterapi
secara bersamaan berhubungan dengan toksisitas. Beberapa pasien yang tetap
memiliki disfungsi menelan dan episode aspirasi yaang mengancam jiwa
membutuhkan tindakan laringektomi total. Tindakan laringektomi total perlu
dilakukan jika terdapat kegagalan selama pengobatan kemoradiasi pada sepertiga
dari pasien. Selain itu, laringektomi total merupakan pilihan terapi awal terbaik
dalam situasi tertentu.
Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring
menyebabkan cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring
beserta pita suara yang ada di dalamnya, maka pasien akan menjadi afonia dan
bernafas melalui stoma permanen di leher.
Setelah penatalaksaan diperlukan rehabilitasi terhadap suara untuk
mengembalikan agar pasien dapat bersuara dan berkomunikasi verbal. Dapat
dilakukan dengan pertolongan alat bantu semacam vibrator (elektro laring) yang
diletakkan di submandibula ataupun dengan suara yang dihasilkan oleh esofagus
melalui proses pembelajaran. Akhir-akhir ini dapat dipasang alat pada dinding
antara laring-esofagus (party-wall) sehingga dapat dihasilkan suara yang disebut
provox.
Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara,
dapat disimpulkan menjadi dua faktor utama, yaitu faktor fisik dan faktor psiko-
sosial.
3.7. KOMPLIKASI
28
Beberapa komplikasi yang perlu diperhatikan, baik yang merupakan akibat
dari operasi pembedahan, radioterapi maupun kemoterapi, yaitu:
1. Kehilangan kekuatan tubuh bagian atas setelah laringektomi
2. Trauma psikososial dari operasi dan / atau terapi radiasi
3. Mobilitas leher terbatas
4. Perawatan sehari-hari stroma
5. Pneumonia asprirasi, dalam beberapa prosedur
6. Radiasi menyebabkan neoplasma pada leher
7. Disfagia
8. Infeksi pada stroma
9. Kesulitan bernafas
3.8. DIAGNOSIS BANDING
Kanker laring pada stadium awal dapat di diagnosis bandingkan dengan
penyakit laringitis kronik, laringitis TB dan tumor jinak laring (papiloma laring,
nodul pita suara) dimana manifestasi dari kedua penyakit tersebut adalah suara
serak yang menetap hingga >2-3 minggu.
3.9. PENCEGAHAN
Merokok merupakan faktor risiko dan penyebab utama dari kanker laring
(>85%) pada semua kasus. Penelitian yang dilakukan menujukkan hasil bahwa
merokok lebih 30 batang akan meningkatkan nilai risiko terkena kanker laring
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan berhenti merokok dapat
menurunkan risiko menderita kanker laring. Hai ini menunjukkan bahwa semakin
lama durasi, semakin banyak jumlah rokok yang dikonsumsi, makan akan
meningkatkan kemungkinan insiden. Oleh karenia itu, unutk mencegah kanker
laring makan harus menghentikan kebiasaan buruk merokok.
Selain itu, kebiasaan buruk lainnya yang harus dihentikan adalah
mengkonsumi alkohol serta apabila bekerja di lingkungan yang setiap hari terus
terpapar oleh bahan kimia yang berbahaya, setidaknya untuk mengantisipasi
29
kemungkinan terjadinya kanker laring adalah dengan menggunakan alat pelindung
dari paparan bahan berbahaya tersebut saat bekerja.
3.10. PROGNOSIS
Supraglotis Glotis Subglotis HipofaringStadium I 59% 90% 65% 53%Stadium II 59% 74% 56% 39%Stadium III 53% 56% 47% 36%Stadium IV 34% 44% 32% 24%
Tabel 3. Angka Kesintasan 5 Tahun Kanker Laring
Merupakan tumor dengan prognosis paling baik diantara tumor-tumor di
daerah traktus aero-digestivus bila di tata laksana dengan cepat, tepat, dan radikal.
Adapun angka ketahanan hidup dari kanker laring adalah dalam jangka lima
tahun.
30
BAB IV
KESIMPULAN
Kanker laring bukanlah hal yang jarang ditemukan di bidang THT dan
masih merupakan menjadi masalah, karena peningkatan faktor risiko dari kanker
laring yang semakin tinggi di kalangan masyarakat dunia. Kanker laring
merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada daerah kepala dan leher,
sekitar 20% dari semua kasus.
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Namun
diperkirakan berkaitan dengan kebiasaan merokok (>85%), konsumsi alkohol
berlebihan, paparan radiasi serta sekuensi HPV (Human Papiloma virus) pada
sebagian kecil kasus.
Yang terpenting dalam penatalaksaan kanker laring ialah diagnosis
dini dan pengobatan atau tindakan yang tepat dan kuratif. Prinsip penatalaksanaan
dari kanker laring adalah tergantung dari stadium dan lokasi tumor. Tata laksana
yang dapat dilakukan berupa pembedahan yaitu pengangkatan sebagian atau
seluruh pita suara yang disebut laringektomi, radiasi, obat sitostatika ataupun
kombinasinya. Tatalaksana utamanya merupakan pembedahan dan radioterapi.
Pada stadium awal (stadium I dan II) dapat dilakukan operasi laringektomi
sebagian atau dilakukan radiasi sehingga dapat memperbaiki fungsi laring. Secara
historis, karsinoma laring stadium lanjut pada stadium III biasanya dilakukan
penanganan dengan operasi laringektomi total dengan diseksi leher. Modalitas
tambahan seperti kemoradiasi dapat menjadi pertimbangan, dan stadium IV
dilakukan operasi rekonstruksi bila masih memungkinkan, atau hanya
mendapatkan radiasi. Meskipun laringektomi total masih diperlukan dalam kasus-
kasus tumor yang agresif dan luas, strategi pemeliharaan laring menggunakan
kemoterapi dan terapi radiasi, kini telah menjadi protokol standar perawatan untuk
kanker laring stadium lanjut.
31
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G. L., Boies, L. R. & Higler, P. A., 1997. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed. Jakarta: EGC.
Hermani, B. & Abdurrachman, H., 2014. Tumor Laring. Dalam: E. A. Soepardi , N. Iskandar, J. Bashiruddin & R. D. Restuti, penyunt. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, pp. 176-180.
Karatzanis, A. D. et al., 2014. Management of Locally Advanced Laryngeal Cancer. Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery, 43(4).
Klarisa, C. & Fardizza, F., 2014. Kanker Laring. In: C. Tanto, F. Liwang, S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, p. 10601064.
Kumar , V., Cotran, R. S. & Robbins, S. L., 2007. ROBBINS: Buku Ajar Patologi. 7 ed. Jakarta: EGC.
Lee, K. J., 2012. Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 10 ed. New York: McGraw-Hill Professional.
Lewis, C. M., Laccourreye, O., Weber, R. S. & Holsinger, F. C., 2011. Cancers of the Larynx: Tis, T1, T2 Evaluation and Management. In: J. Bernier, ed. Head and Neck Cancer Multimodality Management. New York: Springer, pp. 457-470.
Saba, N. F., Wadsworth, J. T., Beitler, J. J. & Khuri, F. R., 2011. Diagnosis and Multidisciplinary Treatment of Laryngeal Cancers. In: J. Bernier, ed. Head and Neck Cancer Multimodality Management. New York: Springer, pp. 471-479.
32