status di ruang nicu
DESCRIPTION
statusTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
IKTERUS NEONATORUM
Oleh
Andri Agustaria Wijaya
H1A003005
Pembimbing :
dr. Nyoman Budastra, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
DI RSUD KOTA MATARAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi
dimana bayi memulai kehidupan diluar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami
sampai dari organ fisik maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi
maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena hal tersebut.
Diantaranya adalah perubahan patologis yang memberikan pengaruh buruk terhadap
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Salah satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih
dikenal dengan bayi kuning. Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh
penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit,mukosa,dan sklera berubah warna
menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur dan
BBLR. Hal ini disebabkan karena organ hati yang berfungsi sebagai pemecah bilirubin belum
terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna layaknya bayi cukup bulan. 1
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus,
ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka
kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di
Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian,
karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5
mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1
minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus
dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus
adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Atau
disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. 1,2
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR
(Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah
karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi
usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati
bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit
disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. 1,2,3
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12
mg/dL pada minggu pertama kehidupan.4 RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup
bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di
atas 13 mg/dL.5 Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar
bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi
cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal
(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data
yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.4
2.3 Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari
hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang
mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air
tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah
melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut
kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme
ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati.
Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z
dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya
proses konjugasi.1
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar
tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini
dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini
terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun
kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi
cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian
bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul
apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi
di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel
tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian. 5,6
2.4. Etiologi, Faktor Resiko, Klasifikasi
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
a. Meningkatnya produksi bilirubin:
o Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.
b. Penurunan ekskresi bilirubin
o Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) sehingga terjadi penurunan uptake
dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati.
o Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya
enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
2. Faktor Risiko 4
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI.
b. Faktor Perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
3. Klasifikasi 4,5,6
Ada 2 macam ikterus neonatorum:
a. Ikterus Fisiologis 4,5,6
Ikterus yang timbul pada hari ke 2-3
Tidak mempunyai dasar patologis
Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak mempunyai
potensi menjadi kern ikterus
Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
Ikterus tampak jelas pada hari ke 5 dan 6 dan menghilang pada hari ke 10
b. Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah: 4,5,6
Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD,
atau sepsis)
Ikterus yang disertai oleh:
1. Berat lahir <2000 gram
2. Masa gestasi 36 minggu
3. Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
4. Infeksi
5. Trauma lahir pada kepala
6. Hipoglikemia, hiperkarbia
7. Hiperosmolaritas darah
8. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14
hari (pada NKB)
Ikterus dikatakan patologik jika pigmennya, konsentrasinya dalam serum, waktu
timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah disebut pada Ikterus
fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai
terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologik. Ikterus patologik
dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu:
a. Ikterus Prahepatik
Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah
merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah
merah. Infeksi seperti malaria, sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat –
obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi
dan eritroblastosis fetalis.
b. Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin
konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami
regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke
ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya
karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang
sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.
c. Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin
direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin
darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan
peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi
pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
2.5. Penegakan Diagnosis
Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan
yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat
memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah
menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon
yaitu:3
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan
dapat disusun sebagai berikut :
Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
Biasanya ikterus fisiologis.
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golongan lain.
Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5
mg%/24 jam.
Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
Polisitemia
Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar
subkapsuler dan lain-lain).
Hipoksia
Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
Biasanya karena infeksi (sepsis)
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim G6PD
Pengaruh obat
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Gilbert
Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Biasanya karena obstruksi
Hipotiroidisme
“Breast milk jaundice”
Infeksi
Neonatal hepatitis
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala
Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan penyaring G6PD
Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya
tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
icterus.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut: 6
1. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan
buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.
3. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus 6
Usia Kuning
terlihat
pada:
Tingkat
Keparahan
Ikterus
Hari 1 Bagian tubuh
manapuna Berat
Hari 2 Lengan dan
Tungkaia
Hari 3 dan Tangan dan
seterusnya Kaki
Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat
dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar
bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila
kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.4
Gambar 1. Pembagian ikterus menurut Kramer4
Tabel 2.1 Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterus menurut Kramer
Daera
h
ikterus
Penjelasan Kadar bilirubin (mg/dL)
Prematur Aterm
1
2
Kepala dan leher
Dada sampai pusat
4 – 8
5 – 12
4 – 8
5 – 12
3
4
5
Pusat bagian bawah sampai lutut
Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai
pergelangan tangan
Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan
telapak tangan
7 – 15
9 – 18
> 10
8 – 16
11 – 18
> 15
2.6 Penatalaksanaan
Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif,
minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus
sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara
berikut: 4
Minum ASI dini dan sering
Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor
prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya.
Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang
cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO): 6
1. Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat
2. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
3. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
- Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
- Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
- Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.
4. Mengatasi hiperbilirubinemia
5. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini
bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.
6. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti
dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum
transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin
dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah
dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar
sebagai sumber energi.
7. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi
tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca
transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah:
8. bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.
9. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat
diberikan dosis kedua selama 24 jam.
10. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :
- Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
- Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
- Peningkatan bilirubin >1 mg/dL
Tabel 2.2 Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubin
serum
<24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500
(mg/dL)
<5 Tidak perlu terapi-observasi
5-9 Terapi sinar bila hemolisis
10-14 Transfusi tukar
bila hemolisis
Terapi sinar
15-19 Transfusi tukar Terapi sinar
>20 Transfusi tukar
Sumber : pedoman pelayanan kesehatan di rumah sakit WHO
11. Terapi suportif, antara lain :
- Minum ASI atau pemberian ASI peras.
- Infus cairan dengan dosis rumatan.
- Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain:
- Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat
terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
- Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila
sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.
Strategi Pencegahan 4
Pencegahan Primer
1. Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.
2. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
Pencegahan Sekunder
1. Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum
untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
2. Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda
– tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin
adalh sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin
tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern
icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan
oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan
suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan
permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan
rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda
hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain:2
Bentuk akut :
1. Fase 1(hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
2. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
3. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
Bentuk kronis :
1. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes,
keterampilan motorik yang terlambat.
2. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),
gangguan pendengaran.
Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut
sebagai berikut: 2
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : By. S
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Ds. Karang Sidemen
Tanggal Lahir : 19 Oktober 2012
MRS : 25 Oktober 2012 20.00
Tanggal pemeriksaan : 25 Oktober 2012
3.2 Heteroanamnesis (Orang Tua)
Keluhan Utama : Kuning seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan SpA dikeluhkan kuning pada seluruh badan sejak berumur 3 hari. Pada
awalnya pasien sejak lahir dikatakan tidak mendapat ASI karena ibu pasien mengakui tidak
paudaranya tidak dapat memproduksi ASI hingga pasien berumur tiga hai, padahal dikatakan
pasien netek kuat, sehingga sejak lahir hingga berumur 3 hari pasien hanya mendapatkan susu
formula yang mana ibu pasien tidak ingat namanya. Pada sore harinya pasien dikatakan
menguning pada wajah dan seluruh badan, lalu dibawa ke praktek dokter, dan disarankan ke
RSUD Kota Mataram. Keluhan demam sebelumnya disangkal.
Keluhan batuk, muntah, mencret, tidak ada.
Riwayat penyakit terdahulu
Keluhan seperti ini baru pertama kali dialami pasien.
Riwayat keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama seperti ini.
Riwayat pengobatan
Pasien dibawa ke praktek dokter dan langsung disarankan ke RSUD Kota Mataram
Riwayat kehamilan
Selama kehamilan, ibu dikatakan tidak ada keluhan dan tidak ada tanda-tanda kelainan.
Kehamilan ini adalah kehamilan ketiga ibu pasien. Ibu pasien rutin melakukan ANC di bidan
setiap bulan. USG pada usia kehamilan 4 bulan di dr. Sp. OG. Umur kehamilan 9 bulan. Nyeri
BAK disangkal, keputihan disangkal, gerak anak terasa baik. Riwayat penyakit Ibu seperti
tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan asma tidak ada. Ibu pasien tidak
menggunakan obat-obatan kecuali yang diberikan dibidan.
Riwayat persalinan
Pasien adalah anak ketiga, dilahirkan di RSU Praya, pada tanggal 19 Oktober 2012 jam
23.20. Dikatakan oleh ibu pasien, bayi lahir SC karena pada persalinan sebelumnya ibu riwayat
melahirkan dengan SC pada anak pertama, kulit merah, tidak kuning, segera menangis, dengan
BBL 3400 gr, PB 46 cm, tidak ada kelainan.
3.3 Pemeriksaan Fisik (29/9/2009)
Status Present
Keadaan umum : Sedang
Frekuensi napas : 38 kali/menit
HR : 134 kali/menit, regular, isi cukup.
Temperatur : 36,70 C
Berat Badan : 3300 gram
Status general
Kepala : Normocephali, UUB datar
Mata : anemis (-), ikterus (+), Refleks Pupil +/+ isokor
strabismus (-) cowong (-)
THT
Telinga : bentuk normal, sekret (-)
Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-)
Leher
Inspeksi : benjolan (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar (-),
Thorak : simetris
Jantung : S1S2 normal regular murmur (-)
Paru
Inspeksi : gerakan dada simetris
Palpasi : gerakan dada simetris
Perkusi : perkusi paru sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-, stridor (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, turgor N
Extremitas : akral hangat (+), edema (-), sianosis (-),
deformitas (-)
Kramer V
3.4 Usulan Pemeriksaan
Cek bilirubin total dan direct
3.5 Hasil Laboratorium (25/10/2012)
Bilirubin Total 21,8 (0,0-1,6) mg/dl
Bilirubin Direct 0,5 (0,0-1,6) mg/dl
3.6 Diagnosis kerja : BCB SMK
Ikterus Neonatorum
hiperbilirubinemia
3.7 Problem List
Nampak kuning
3.8 Penatalaksanaan
Fototerapi
ASI on demand
BAB IV
PEMBAHASAN
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah
keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. Ikterus neonatorum, pada umumnya fisiologis,
kecuali:
a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
b. Bilirubin total untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan > 10
mg/dL
c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/hari
d. Bilirubin direk > 2 mg/dL
e. Ikterus menetap pada bayi cukup bulan > 1 minggu atau pada bayi kurang bulan > 2
minggu
f. Terdapat faktor risiko
Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan dengan cara visual (sesuai panduan WHO),
atau derajat kramer dan didukung dengan pemeriksaan serum bilirubin. Pendekatan penegakkan
diagnosis dan menentukan kemungkinan penyebab pada pasien ini adalah saat timbulnya ikterus
seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon yaitu:7 Pada pasien ini, ikterus timbul pada hari
ke-3 dimana kemungkinan penyebab ikterus pada pada 24-72 jam setelah kelahiran : Biasanya
ikterus fisiologis, masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh, Defisiensi enzim
G6PD juga mungkin, polisitemia, hemolisis perdarahan tertutup, hipoksia, dehidrasi asidosis,
defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pada kasus ini pasien didapatkan ikterus neonatorum + hiperbilirubinemia, hal ini
didukung dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Penyebab ikterus pada bayi ini adalah
ketidakcukupan ASI (low intake). Pasien dikeluhkan kuning pada seluruh badan sejak berumur 3
hari. Pada awalnya pasien sejak lahir dikatakan tidak mendapat ASI karena ibu pasien mengakui
payudaranya tidak dapat memproduksi ASI hingga pasien berumur tiga hari, padahal dikatakan
pasien netek kuat, sehingga sejak lahir hingga berumur 3 hari pasien hanya mendapatkan susu
formula yang mana ibu pasien tidak ingat namanya. Pada sore harinya pasien dikatakan
menguning pada wajah dan seluruh badan, lalu dibawa ke praktek dokter, dan disarankan ke
RSUD Kota Mataram. Keluhan demam, batuk, muntah, mencret, tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, frekuensi napas 38 kali/menit,
HR 134 kali/menit, regular, isi cukup, suhu 36,70 C, berat badan 3200 gram. Didapatkan ikterus,
penampakan fisik kramer V. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Dari pemeriksaan penunjang 25/10/12 didapatkan kelainan Bilirubin total 21,8 (0,0-1,6)
mg/dl, Bilirubin direct 0,5 (0,0-1,6) mg/dl.
Pada kasus ini dari anamnesis diketahui bahwa tubuh pasien berwarna kuning mulai dari
kepala hingga telapak kaki sehingga sampai termasuk daerah ikterus no.5. Daerah ikterus no.5
pada bayi cukup bulan menunjukkan kadar bilirubin > 15 mg/dL. Hal ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan lab di mana kadar bilirubin total sebesar 21,8 mg/dL sehingga cara Kramer
kemungkinan masih relevan untuk dipakai, walaupun pengalaman membuktikan bahwa derajat
intensitas ikterus tidak selalu sama dengan tingginya kadar bilirubin darah.1
Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum adalah Fototerapi atau transfusi tukar.
Indikasi terapi sinar adalah:11
1. bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.
2. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat
diberikan dosis kedua selama 24 jam.
Mekanisme kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang
larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi
cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi
isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui
empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada
manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole
yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya
dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang
bisa diekskresikan lewat urin.
Terapi suportif pada kasus ini adalah Pemberian ASI secara langsung sebab Ada 2 jenis
ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI, yaitu (1) ikterus yang timbul dini (hari kedua
atau ketiga) dan disebabkan oleh asupan makanan yang kurang karena produksi ASI masih
kurang pada hari pertama dan (2) ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama, bersifat
familial disebabkan oleh zat yang ada di dalam ASI.
Perkembangan pasien saat dirawat selanjutnya menunjukkan perbaikan, kuning
menghilang, dan pada pemeriksaan laboratorium terakhir menunjukkan penurunan Bilirubin total
yaitu 16,27 mg/dl dan bilirubin direk 0,46 mg/dl, sehingga pada tanggal 29/10/12 fototerapi
dihentikan dan pasien dijinkan pulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985.
”Perinatologi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Hamid, H.A. 2000. “Ikterus Neonatorum”, dalam: Suraatmaja, S., Soetjiningsih (eds),
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II,
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah.
4. Kosim, M.S., Santosa, G.I., dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I,
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal.296-300, 61-63.
5. Suradi, Rulina. 2009. Air Susu Ibu dan Ikterus. Buku Bedah Asi IDAI. http :
www.idai.or.id/asi/artikel.asp?q=20109693639 di unduh tgl 25/10/12
6. World Health Organization. Asma. Dalam : Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di
Rumah Sakit. Tim Adaptasi Indonesia : editor. 2009; h. 99-100.