status lingkungan hidup indonesia 2010

147

Upload: vubao

Post on 03-Jan-2017

273 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Status Lingkungan Hidup Indonesia 2010

Diterbitkan oleh :Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia Jl. D.I. Panjaitan Kav.24 Jakarta 13410Telp : 021-858 0081Fax : 021-858 0081

ISBN 978-602-8358-39-2

Isi dan materi yang ada dalam buku ini boleh di reproduksi dan disebarluaskan dengan tidak mengurangi isi dan arti dari dokumen ini. Diperbolehkan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumbernya.

Pelindung :Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Menteri Negara Lingkungan Hidup

Pengarah :DR. Henry Bastaman, Deputi MENLH Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas

Penanggungjawab :Ir. Johny P. Kusumo, MBA, Asisten Deputi Data dan Informasi Lingkungan

Editor :Ir. Denny D Indradjaja, MSIE, MSc.

Tata Letak :Polagrade

Dokumentasi :KLH, Polagrade, Tempo, Kompas, Alain Compost, Cipto A. Gunawan, Coremap II, Ecopark LIPI, PLN, PLN PJB, KRB, Ferry Tan, Agus Supriyanto, Siswanto, Arnold Parsaulian, Sugiarti, Bachran Mile, Indarto, Arie Basuki, Prima Mulia, Eko Siswanto Tuyodho, Tony Hartawan, Aditia Noviansyah, Wahyu Setiawan, Fransiskus S.

Penjelasan Cover : Banyaknya masalah yang menimpa lingkungan akibat campur tangan manusia (kebakaran hutan, kegiatan pertambangan, polusi, penebangan liar dll). Membuat kita perlu melakukan tindakan untuk membenahinya, sebelum terlambat. Buku ini menjadi bahan evaluasi bahwa terciptanya lingkungan yang sehat adalah tugas kita bersama.

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUPREPUBLIK INDONESIA

iii

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan hidup dapat menimbulkan berbagai bencana lingkungan seperti pencemaran lingkungan, banjir, kerusakan hutan, kebakaran hutan dan kekeringan yang dapat menyebabkan krisis pangan yang berkepanjangan, krisis air, krisis energi. Memperhatikan kondisi tersebut maka pembangunan yang dilaksanakan saat ini harus memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian dan lingkungan yang berkelanjutan, perlu dilakukan strategi untuk meningkatkan kualitasnya sehingga melalui gerakan masyarakat terutama berkaitan dengan nilai-nilai kearifan tradisional yang ramah lingkungan.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2010 diharapkan dapat merekam semua data dan informasi tentang keadaan lingkungan dan permasalahannya serta dapat menyampaikan fakta perjalanan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara nasional maupun pada level daerah. Informasi SLHI dapat menjadi basis referensi semua pihak baik instansi pemerintah terkait, masyarakat, para pelaku industri dan swasta lainnya untuk merencanakan kegiatan pada masa mendatang.

Buku ini telah menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan hasil pemantauan dan evaluasi kondisi media lingkungan, juga memuat hambatan dan persoalan pengelolaan lingkungan hidup serta berbagai respon kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah dan menyampaikan pula rencana langkah tindak ke depan (outlook) dalam mengatasi berbagai persoalan lingkungan, khususnya berbagai persoalan lingkungan hidup terkait dengan pengelolaan lahan dan hutan, pengelolaan air dan udara, pengelolaan pesisir dan lautan serta upaya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia serta upaya dalam mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Atas nama Kementerian Lingkungan Hidup pada kesempatan ini perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada Tim Pakar SLHI 2010 dan semua pihak yang selama ini telah membantu penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2010. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholder dalam upaya meningkatkan pelestarian lingkungan hidup Indonesia dan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

Jakarta, November 2011

Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA

Kata Pengantar

v

Kementerian Lingkungan Hidup mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyusunan Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2010

Penulis : Prof. DR. Ahmad Fauzi (IPB); DR. Chay Asdak (Unpad); DR. Driejana (ITB); Ir. Sri Hudyastuti (KLH); Ir. Johny P. Kusumo, MBA (KLH); DR. Ahmad Riqqi (ITB); Benny Bastiawan, S. Kom, M.Sc. (KLH); Abdul Aziz Sitepu, SAP (KLH).

Kontributor :Kementerian Lingkungan Hidup : Maulyani Djajadilaga, Wijono Pribadi, Harimurti, Luhut Lumban Gaol, Aksa Tejalaksana, Wiyoga, Agnes Swastikarina Gusthi, Darmanto, Esrom Hamonangan, Sri Unon Purwati, Wukir Amintari Rukmi, Bambang Nooryanto; Kementerian Perhubungan, Azlian Rekayani, Herwan Nuri; Kementerian Kelautan dan Perikanan : Liliek Farida; Badan Nasional Penanggulangan Bencana : Ratih Nurmasari; Kementerian Kehutanan : Harry Tri Budianto.

Sekretariat : Hardini Agustina, Lindawati, Adi Fajar Ramly, Hasan Nurdin, Indira Siregar, Suhartono, Nurheni Astuti, Anastasya, Saeprudi

Pendukung : R. Susanto, Heru Harnowo, Nuke Mutikania, Baiah, Heru Subroto, Tommy Aromdani, Wahyudi Suryatna, Juarno, Sarjono, S Dombot Sunaryedi, Yayat Rukhiyat, Rio Kurniawan.

Ucapan Terima Kasih

vi

Daftar Isi

KATA PENGANTAR iiiUCAPAN TERIMAKASIH vDAFTAR ISI viDAFTAR GRAFIK viiiDAFTAR TABEL xDAFTAR GAMBAR xiiDAFTAR KOTAK xiiiBAB I PENDAHULUAN xiv 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Gambaran Umum Indonesia 3

1.2.2 Sejarah Geologi 3

1.3 Kerangka Kebijakan Lingkungan Indonesia 5 1.4 Ekonomi 8

BAB II AIR 10 2.1. Tekanan Terhadap Sumber Daya Air 11 2.1.1. Fungsi Lahan 11 2.1.2. Konsumsi dan Ketersediaan Air 12 2.1.3. Perubahan Kualitas Air 14 2.1.4. Perubahan Iklim 17 2.2. Kondisi Air 21 2.2.1. Kuantitas Air 21 2.2.2. Kualitas Air 25 2.3. Upaya dan Inisiatif 27 2.3.1. Pengelolaan Sumber Daya Air 27 2.3.2. Konservasi Air 30 2.3.3. Perlindungan Mata Air 30 2.3.4. Konferensi Nasional Danau Indonesia 30 2.3.5. Pengelolaan Kualitas Air 31 2.3.6. Prioritas Pengelolaan pada Sungai dan Danau 32

BAB III UDARA 34 3.1. Tekanan Bagi Lingkungan Udara 35 3.1.1. Penggunaan Energi dan Dampaknya 35 3.1.2. Transportasi 43 3.1.3. Sampah Domestik 46 3.1.4. Industri 47 3.2. Status Kualitas Udara 48

vii

3.2.1. Pencemar Udara 48 3.2.2. Deposisi Alam 54 3.2.3. Gas Rumah Kaca 55 3.3. Upaya Pengendalian Pencemaran 55 3.3.1. Pengendalian Emisi dari Sumber Bergerak 55 3.3.2. Pengendalian Gas Rumah Kaca (CO2) dari Sumber Industri 56 Daftar Pustaka 63

BAB IV LAHAN DAN HUTAN 64 4.1. Pendahuluan 65 4.2. Penyusutan dan Kerusakan Hutan dan Lahan 65 4.2.1. Pertumbuhan Penduduk 65

4.2.3. Lahan Kritis 66 4.2.4. Alih Fungsi Lahan dan Hutan 67 4.2.5. Deforestrasi 71 4.2.6. Kebakaran Hutan 73 4.2.7. Industri Kehutanan 74 4.2.8. B3 75 4.3. Kondisi Lahan dan Hutan 76 4.3.1. Tutupan Lahan dan Hutan 76 4.3.2. Kebencanaan 80 4.3.3. Daerah Aliran Sungai 81 4.4. Upaya dan Inisiatif Pengelolaan 84 4.4.1. Pengelolaan, Pengendalian dan Regulasi 84 4.4.2. Limbah B3 93 4.5. Strategi Pengendalian Laju Penurunan Luas Hutan 95

BAB V KEANEKARAGAMAN HAYATI 96 5.1. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati 97 5.2. Selayang Pandang Kondisi Kehati 101 5.3. Upaya Pengelolaan, Pengendalian, dan Regulasi 104

BAB VI PESISIR DAN LAUT 108 6.1. Tekanan terhadap Pesisir dan Laut 109 6.2. Kondisi Kerusakan Wilayah Pesisir dan Laut 110 6.3. Upaya Pengendalian dan Inisiatif Pengelolaan 116 6.4. Analisis Poin-Poin Penting dan Strategi Pengelolaan 121

BAB VII SINTESIS DAN OUTLOOK 122 7.1. Sintesis 123 7.2. Outlook 124

LAMPIRAN SLHI 2010 126

viii

DAFTAR GRAFIK

BAB I PENDAHULUAN xiv

BAB II AIR 10

Tahun 2004 dan 2007 12

Kepulauan Tahun 2009 12

Tahun 2004 dan 2007 16

(Pusarpedal-KLH 2006) 26

BAB III UDARA 34

(Dalam Unit Kendaraan Bermotor) 44

2

2

10

(SLHI 2009) 55

6 di Stasiun GAW-Bukit Kototabang (SLHI 2009) 55

ix

BAB IV LAHAN DAN HUTAN 64

Tutupan Lahan Berhutan Tahun 2009 - 2010 73

Terhadap Lahan dan Hutan 74

2) Tahun 2005-2009 753) Tahun 2005-2009 75

(2007-2010) 76

di DAS Prioritas 82

BAB V KEANEKARAGAMAN HAYATI 96

Tahun 2005-2009 99

BAB 6 PESISIR dan LAUT 108

x

DAFTAR TABEL

BAB I xivTabel 1.1 Penduduk Indonesia Menurut Provinsi 1971, 1980, 1995, 2000 dan 2010 4Tabel 1.2 Distribusi Ongkos Degradasi Lingkungan Terhadap PDB 9

BAB II AIR 10Tabel 2.1 Persentase Rumah Tangga dan Sumber Air Minum Tahun 2007 12Tabel 2.2 Perkiraan Kebutuhan Air Bersih Untuk Penduduk Menurut Wilayah Kepulauan Tahun 2005-2009 (milyar m3) 13Tabel 2.3 Perkiraan Kebutuhan Air Untuk Tanaman Pangan (Juta m3) Menurut Wilayah Tahun 2004-2009 14Tabel 2.4 Sumber Pencemar dan Parameter Pencemar 14Tabel 2.5 Jumlah Industri Besar dan Menengah yang Berpotensi Mencemari Air Permukaan Tahun 2004-2008 15Tabel 2.6 Jumlah Industri Kecil yang Berpotensi Mencemari Tahun 2005-2007 15Tabel 2.7 Penggunaan Pupuk Anorganik dan Pestisida di Kolam menurut Wilayah Tahun 2005-2007 15Tabel 2.8 Persentase Rumah Tangga Dengan Fasilitas Tempat Buang Air Besar Menurut Wilayah Kepulauan Tahun 2004 dan 2007 16Tabel 2.9 Persentase Rumah Tangga tanpa Tangki Septik Menurut Kepulauan Tahun 2006-2008 16Tabel 2.10 Luas Areal Beberapa Danau di Indonesia 21

3) Tahun 2008 22Tabel 2.12 Potensi Cekungan Air Tanah di Indonesia 22

Tabel 2.14 Persentase Sampel Air Sungai yang Tidak Memenuhi Kriteria Air Kelas II 26Tabel 2.15 Satus Kualitas Air Danau di Provinsi Sumatera Barat dan Bali Tahun 2009 27Tabel 2.16 Pembangunan Sumur Resapan menurut Kepulauan Tahun 2003-2007 33

BAB III UDARA 34Tabel 3.1 Contoh Beberapa Jenis Tutupan Lahan dan Nilai Dari Masing-masing Fungsinya 40Tabel 3.2 Tekanan-Dampak-Respons Untuk Pengelolaan Kualitas Udara di Perkotaan 41Tabel 3.3 Proporsi Beberapa Kegiatan Energi dan Migas Terhadap Emisi Gas Rumah Kaca dan Pencemar Udara 47Tabel 3.4 Penurunan Gas Rumah Kaca Melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan (PROPER) 56Tabel 3.5 Beban Emisi Pencemar Udara dan Gas Rumah Kaca di DKI Jakarta Tahun 2008 62

xi

BAB IV LAHAN dan HUTAN 64Tabel 4.1 Luas Lahan Kritis Per Pulau 67Tabel 4.2 Tutupan Lahan Bervegetasi dan Tidak Bervegetasi Per Pulau Indonesia Tahun 2007-2010 (ha) 68

Tabel 4.4 Perubahan Luas Lahan Sawah di Jawa Tahun 2005-2007 69

Hingga Tahun 2007 70Tabel 4.6 Perubahan Tutupan Hutan dan Permukiman di DAS Citarum Tahun 2000-2009 72Tabel 4.7 Perhitungan Deforestrasi (ha) 7 Pulau Besar di Indonesia Tahun 2000-2005 72Tabel 4.8 Kebakaran Lahan dan Hutan di Sejumlah Provinsi yang menjadi Perhatian 74Tabel 4.9 Luas Tutupan Hutan dan Non-Hutan Per Pulau Indonesia Tahun 2007-2010 77Tabel 4.10 Kondisi Tutupan Lahan Per Provinsi Tahun 2010 (ha) 78Tabel 4.11 Jumlah Desa Terkena Bencana Longsor Per Provinsi Tahun 2005-2008 80Tabel 4.12 Perubahan Luas Hutan dan Pemukiman di Kawasan DAS Prioritas Tahun 2000-2009 82Tabel 4.13 Perubahan Tataguna lahan di DAS Ciliwung, Jawa Barat 83Tabel 4.14 Perambahan Hutan Negara Per Bagian Kesatuan Pemangkuan Kesatuan

Tabel 4.15 Fungsi Tumbuhan Bawah dan Serasah Dalam Menentukan Besarnya Erosi 87

BAB V KEANEKARAGAMAN HAYATI 96Tabel 5.1 Angka Deforestasi di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Periode

Tabel 5.2 Jumlah Satwa dan Tumbuhan yang Dilindungi Sampai Desember 2009 102Tabel 5.3 Ekspor Satwa dan Tumbuhan Serta Nilai Ekspor Tahun 2006-2009 102

BAB VI PESISIR LAUT 108Tabel 6.1 Area tutupan Mangrove di Wilayah Sumatera 111Tabel 6.2 Area Tutupan Karang di Wilayah Sumatera 111Tabel 6.3 Produksi Perikanan Tangkap Per-Pulau dan Sub Sektor di Indonesia

xii

DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN xivGambar 1.1 Tahapan Penyusunan SLHI 2010 1Gambar 1.2 Dasar Pemikiran Perubahan SLHI 2010 2

Gambar 1.4 Road Map Penyusunan SLHI 2 Gambar 1.5 SLHI Full Dashboard 3

BAB II AIR 10 Gambar 2.1 Penyebab Perubahan Iklim 17Gambar 2.2 Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air 31

BAB III UDARA 34 Gambar 3.1 Besaran dan Proporsi Bahan Bakar di 30 Ibukota Provinsi 39Gambar 3.2 Ternary Diagram 40Gambar 3.3 Peta Fungsi Lahan Kota Bandung dan Sebaran Emisi NO2

dari Transportasi dan Konsentrasi Ambien 42Gambar 3.4 Peta Fungsi Lahan Kota Bandung dan Sebaran Emisi CO2 dari Transportasi 43 Gambar 3.5 Kepadatan Lalulintas di Perkotaan 43Gambar 3.6 Pembakaran Sampah Terbuka 46Gambar 3.7 Sebaran Beban Emisi CO2 dari Kegiatan Pembangkit Tahun 2010 47Gambar 3.8 Sebaran Beban Emisi NO2 dari Kegiatan Pembangkit Tahun 2010 48Gambar 3.9 Trend Konsentrasi NO2

Gambar 3.10 Trend Konsentrasi SO2

BAB IV LAHAN DAN HUTAN 64 Gambar 4.1 Peta Tingkat Rawan Kebakaran Pulau Sumatera Tahun 2010 88 Gambar 4.2 Peta Tingkat Rawan Kebakaran Pulau Sumatera Tahun 2010 89

Gambar 4.4 Peta Rawan Longsor Pulau Jawa 92

BAB VI PESISIR DAN LAUT 108Gambar 6.1 Data dan Informasi Kerusakan Wilayah Pantai di Indonesia 116Gambar 6.2 Model Pemulihan Ekosistem Pesisir Berbasis Masyarakat 117

dengan Pola Pendekatan Kekurangan (KLH-2010) 119Gambar 6.4 Kerangka Pembangunan Berkelanjutan di Kawasan Pesisir dan Laut 120

xiii

DAFTAR KOTAK

BAB II AIR 10Kotak 2.1. Kondisi DAS Sungai Citarum saat ini 17Kotak 2.2. Jasa Air Hutan Gunung Ciremai 28

BAB III UDARA 34Kotak 3.1. Kualitas Udara di Kota Bandung : Hubungan Tata Guna Lahan Dengan Tekanan-Dampak-Respons 40Kotak 3.2. Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) 59Kotak 3.3 Pengelolaan Kualitas Udara di DKI Jakarta 61

BAB IV LAHAN DAN HUTAN 64Kotak 4.1. Tutupan Hutan dan Permukiman di DAS Citarum, Jawa Barat 72Kotak 4.2. Degradasi DAS dan Dampak yang Ditimbulkannya 83Kotak 4.3. Sinergi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan 84Kotak 4.4. Reriontasi Pola Pengelolaan Hutan 85Kotak 4.5. Kebijakan Konservasi Tanah dan Air 87

1 Pendahuluan

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di tengah krisis ekonomi global yang melanda dunia pada saat ini, Indonesia diharapkan tetap mampu memperta-hankan pertumbuhan ekonominya yang positif dalam rangka mensejahterakan masyarakat sebagaimana di-amanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, bukan hanya pertumbuhan ekonomi semata yang menjadi tujuan pembangunan Indonesia, selain per-tumbuhan yang berkualitas, Indonesia juga memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pembangun an berkelanjutan sejatinya dicapai dengan meminimalkan de-gradasi lingkungan dan kerusakan lingkungan yang diaki-batkan oleh aktivitas ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi terhadap lingkungan selama ini sudah terlihat dari beberapa indikator degradasi lingkungan baik pada air, uda-ra, lahan dan hutan, pesisir dan lautan serta keanekaragam-an hayati. Dengan berubahnya pilar pembangunan Indone-sia dari pro jobs, pro poor, pro growth menjadi pro jobs, pro poor, pro growth, dan pro environment, adalah sangat pen-ting dan relevan untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup dalam dimensi ruang dan waktu terkait dengan pembangunan di Indonesia.

Informasi mengenai indikator lingkungan hidup selama ini disajikan dalam berbagai format, termasuk yang paling komprehensif dalam bentuk Status Lingkungan Hidup Indonesia atau SLHI yang diterbitkan setiap tahun. SLHI yang diterbitkan selama ini, umumnya membahas kondisi

Pesisir dan Laut, Keanekaragaman Hayati, Energi, Sampah, dan Pengelolaan B3 dan Limbah B3 dalam bentuk pelaporan kondisi eksisting berbasis data yang diperoleh. Kedalaman dan keluasan penulisan dari setiap pokok bahasan terlihat berbeda-beda, hal ini terjadi karena data yang tersedia pun tidak sama baik tahun penerbitan dan tujuan data tersebut dipublikasikan. Disamping itu, penyajian ulasan setiap pokok bahasan tidak secara konsisten mengacu pada ulasan tentang Pressure (Tekanan), State (Kondisi SDAL) dan Response (Program Pemerintah atau masyarakat yang bersifat memperbaiki SDAL).

Sebagai suatu infromasi tentang lingkungan hidup yang komprehensif, Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) sejatinya disusun dan diterbitkan sebagai suatu publikasi yang dapat dijadikan sebagai:a) Benchmark data tentang lingkungan hidup.b) Parameter Kunci (key parameters) Lingkungan Hidup.

c) Informasi mengenai perkembangan LH di masa lalu dan ke depan (trend).

d) Acuan kebijakan pembangunan secara menyeluruh.

Dengan demikian, SLHI bukan “LAPORAN ENTITAS TER-TENTU” yang dikompilasi dari sektor tertentu seperti Ke-menterian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta sektor lainnya, namun lebih sebagai terolah untuk me-nentukan status lingkungan Indonesia. Berdasarkan pemikir-an di atas, SLHI 2010 kini mengalami perubahan penyusunan yang berbeda dengan SLHI tahun-tahun sebelumnya.

Selanjutnya Tahapan penyusunan SLHI 2010 disajikan pada gambar di bawah ini:

Gambar 1.1 Tahapan Penyusunan SLHI 2010

Seperti tahun-tahun sebelumnya, buku SLHI merupakan bentuk atau penyampaian informasi terkini tentang kondisi lingkungan hidup Indonesia (Amanat UU No. 32 tahun 2009) sebagai dasar penyusun kebijakan, strategi, program dalam pembangunan yang berwawasan

Untuk SLHI tahun 2010 ini dalam proses penyusunannya akan menguraikan tentang Roadmap menguraikan diagram pemikiran proses penyusunan SLHI 2010.

Dalam penulisan SLHI 2010 ada beberapa perubahan yang mendasar yang menyangkut perubahan format penulisan yang mengkuti susunan Pressure (Tekanan), yaitu: konsekuensi dari tingkat kebutuhan manusia terhadap lingkungan; State Response (Respon), yaitu tindakan atau upaya terhadap status lingkungan hidup.

Disamping itu, perlunya perubahan format penyusunan SLHI 2010 adalah dengan mempertimbangkan adanya: 1) Perubahan paradigma pembangunan; 2) Kebutuhan SLHI

2

PENDAHULUAN

Disamping itu, Road Map atau Peta Jalan dari penyusunan SLHI ke depan disajikan dalam diagram di bawah ini:

Gambar 1.4 Road Map Penyusunan SLHI

SLHI 2010 akan berisi Sintesis dari berbagai poin-poin penting setiap media bahasan, kesenjangan (Gaps) dan juga Outlook dari keadaan lingkungan Indonesia yang komprehensif yang akan bisa menjadi landasan kebijakan dijadikan atau Policy Tool dalam kerangka Scenario Analysis serta dapat juga menjadi baseline kebijakan. Oleh karena itu, SLHI 2010 akan mempunyai tampilan baru sesuai dengan susunan tersebut di atas.

Selanjutnya SLHI 2011, akan mulai mengintegrasikan dengan Dashboard lingkungan yang sudah disepakati.

sebagai barometer kebijakan lingkungan; 3) SLHI sebagai potret informasi lingkungan dengan sintesis dan analisis; 4) SLHI sebagai arahan untuk kebijakan lingkungan di masa mendatang dan 5) Format penulisan dan analisis SLHI Indonesia sesuai dengan SLHI negara lain. Seperti tercermin dalam Gambar 1.2 di bawah ini.

Gambar 1.2 Dasar Pemikiran Perubahan SLHI 2010

Dalam penerbitan SLHI di masa mendatang diperlukan langkah-langkah perbaikan yang terus menerus baik menyangkut data, analisis dan penyajian. Dengan demikian, diharapkan SLHI 2010 berdasarkan ketersediaan data dan bersifat komprehensif yang melingkupi seluruh parameter kunci. Selanjutnya pada SLHI 2011 dan

kebutuhan dan dinamika status Lingkungan Hidup yang bersifat parsial. Sedangkan pada SLHI 2013 adalah merupakan tahun pemutakhiran SLHI yang bersifat komprehensif yang menyangkut seluruh parameter kunci.Hal ini dapat digambarkan dalam Gambar 1.3 berikut ini:

Gambar 1.3 Dinamika Penulisan SLHI 2010-2013

3

PENDAHULUAN

Sedangkan SLHI 2013 dan 2014 bisa ditampilkan dengan SLHI full dashboard sebagaimana gambar dibawah ini:

Gambar 1.5 SLHI Full Dashboard

1.2. Gambaran Umum Indonesia

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai 17.408 pulau. Negara dengan julukan zamrud khatulistiwa ini terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia memiliki iklim tropis, cuaca dan musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya, termasuk kekayaan keanekaragaman hayati serta sumber daya alam yang terkandung dalam perut

Republik Indonesia (NKRI) terletak pada koordinat 940 45’ BT dan 1410 05’ BT serta pada 060 08’ LU dan 110 15’ LS. Luas wilayah mencapai 5,2 juta km2 yang terdiri dari 1,9 juta km2 wilayah daratan dan 3,3 juta km2 wilayah lautan. Pembagian secara administratif provinsi, kabupaten dan

1.2.2. Sejarah Geologi

zaman Palaeocene (70 juta tahun sebelum masehi ), Eocene (30 juta tahun sebelum masehi ), Oligacene ( 25 juta tahun sebelum masehi) dan Miocene (12 juta tahun sebelum masehi ). Indonesia terletak di antara dua lempeng benua Asia dan Australia dan di antara dua lempeng Samudera

membentuk sabuk vulkanik di wilayah bagian Selatan dan Timur Indonesia yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi.

Pada sabuk vulkanik terdapat 400 gunung berapi dan 129 merupakan gunung berapi yang masih aktif. Proses tektonik tersebut akan menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami tiga kali getaran dalam satu hari, gempa bumi satu kali dalam satu hari dan sedikitnya satu kali letusan gunung berapi dalam satu tahun.

Jumlah penduduk Indonesia sebesar 238 juta jiwa, dengan konsentrasi terbanyak berada di Pulau Jawa yang berpenduduk 121 juta jiwa dan merupakan salah satu daerah terpadat di dunia. Laju pertumbuhan penduduk meningkat dari 2,3% per tahun menjadi 2,7% per tahun. Realita ini menggambarkan bahwa pada tahun 2050 penduduk Indonesia akan mencapai 384 juta jiwa merupakan negara keempat terbesar jumlah penduduknya setelah China, India dan Amerika Serikat.

Beberapa masalah besar yang dihadapi Indonesia terkait dengan kependudukan, antara lain:

1.

2.

3.

4.

5.

6.

4

PENDAHULUAN

Tabel 1.1. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010

ProvinsiPenduduk

1971 1980 1990 1995 2000 2010*)

Aceh 2.008.595 2.611.271 3.416.156 3.847.583 3.930.905 4.494.410

Sumatera Utara 6.621.831 8.360.894 10.256.027 11.114.667 11.649.655 12.982.204

Sumatera Barat 2.793.196 3.406.816 4.000.207 4.323.170 4.248.931 4.846.909

R i a u 1.641.545 2.168.535 3.303.976 3.900.534 4.957.627 5.538.367

J a m b i 1.006.084 1.445.994 2.020.568 2.369.959 2.413.846 3.092.265

Sumatera Selatan 3.440.573 4.629.801 6.313.074 7.207.545 6.899.675 7.450.394

B e n g k u l u 519.316 768.064 1.179.122 1.409.117 1.567.432 1.715.518

L a m p u n g 2.777.008 4.624.785 6.017.573 6.657.759 6.741.439 7.608.405

Kep. Bangka Belitung - - - - 900.197 1.223.296

Kepulauan Riau - - - - - 1.679.163

DKI Jakarta 4.579.303 6.503.449 8.259.266 9.112.652 8.389.443 9.607.787

Jawa Barat 21.623.529 27.453.525 35.384.352 39.206.787 35.729.537 43.053.732

Jawa Tengah 21.877.136 25.372.889 28.520.643 29.653.266 31.228.940 32.382.657

DI Yogyakarta 2.489.360 2.750.813 2.913.054 2.916.779 3.122.268 3.457.491

Jawa Timur 25.516.999 29.188.852 32.503.991 33.844.002 34.783.640 37.476.757

Banten - - - - 8.098.780 10.632.166

B a l i 2.120.322 2.469.930 2.777.811 2.895.649 3.151.162 3.890.757

Nusa Tenggara Barat 2.203.465 2.724.664 3.369.649 3.645.713 4.009.261 4.500.212

Nusa Tenggara Timur 2.295.287 2.737.166 3.268.644 3.577.472 3.952.279 4.683.827

Kalimantan Barat 2.019.936 2.486.068 3.229.153 3.635.730 4.034.198 4.395.983

Kalimantan Tengah 701.936 954.353 1.396.486 1.627.453 1.857.000 2.212.089

Kalimantan Selatan 1.699.105 2.064.649 2.597.572 2.893.477 2.985.240 3.626.616

Kalimantan Timur 733.797 1.218.016 1.876.663 2.314.183 2.455.120 3.553.143

Sulawesi Utara 1.718.543 2.115.384 2.478.119 2.649.093 2.012.098 2.270.596

Sulawesi Tengah 913.662 1.289.635 1.711.327 1.938.071 2.218.435 2.635.009

Sulawesi Selatan 5.180.576 6.062.212 6.981.646 7.558.368 8.059.627 8.034.776

Sulawesi Tenggara 714.120 942.302 1.349.619 1.586.917 1.821.284 2.232.586

Gorontalo - - - - 835.044 1.040.164

Sulawesi Barat - - - - - 1.158.651

M a l u k u 1.089.565 1.411.006 1.857.790 2.086.516 1.205.539 1.533.506

Maluku Utara - - - - 785.059 1.038.087

Papua Barat - - - - - 760.422

Papua 923.440 1.173.875 1.648.708 1.942.627 2.220.934 2.833.381

INDONESIA 119.208.229 147.490.298 179.378.946 194.754.808 206.264.595 237.641.326

Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 dan Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995*) Angka sementara

5

PENDAHULUAN

datanganan kerjasama dalam jejaring informasi dengan Peme rintah Daerah DIY dan Sumatera Utara; menginte-grasikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup dalam perencanaan pembangunan dan penataan ruang wilayah, rekomendasi kebijakan pemanfaatan ruang pulau berdasarkan daya dukung lingkungan dan koordinasi pe-nyiapan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis; dan terlaksananya Program Menuju Indonesia Hijau (MIH).

Dalam program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup telah dilak-sanakan berbagai upaya seperti menyusun, menyem-purnakan, dan mengkaji peraturan perundang-undangan

-nasional di bidang lingkungan hidup dan instrumennya, mengalokasikan DAK pada 434 kabupaten/kota dan dana dekonsentrasi lingkungan pada 32 provinsi di tahun 2007, 2008, 2009, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk menciptakan “check and balances” melalui pola kemitraan, kegiatan adiwiyata, kegiatan aliansi strategis masyarakat peduli lingkungan, mengembangkan Debt for Nature Swaps (DNS) bidang lingkungan hidup, menyusun panduan ekonomi ekosistem lahan basah, melakukan kajian ekonomi ekosistem terum-bu karang dan ekosistem padang lamun; program insentif lingkungan; kerangka Indonesia Environment Fund Stategy; dan proposal pendanaan lingkungan dari luar negeri dan integrasi instrumen lingkungan dalam perbankan nasional, serta menyusun buku panduan penyusun an PDRB Hijau.

Selanjutnya, untuk meningkatkan Kapasitas dan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dilaksanakan berbagai kegiatan pengembangan data dan informasi, seperti penyusunan laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2004 hingga 2008,

1.3. Kerangka Kebijakan Lingkungan Indonesia

Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah dan mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam. Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan diantaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk, pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya penegakan hukum serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia.

Persoalan lain yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahan iklim. Indonesia sebagai negara tropis dan kepulauan, dikategorikan sebagai salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah menjadi ancaman yang cukup serius bagi lingkungan. Tanda- tanda dari dampak perubahan iklim di Indonesia dapat dilihat dari adanya kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, kenaikan permukaan air laut dan perubahan musim yang ekstrim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor dan bencana alam lainnya.

Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak aktivitas pembangunan dan perubahan iklim tersebut terhadap lingkungan dalam Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telah dilaksanakan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang mengarah kepada 4 program prioritas, yaitu: 1) Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam; 2) Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; 3) Program Peningkatan Kualitas serta Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; dan 4) Program Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan. Berikut ini uraian pencapaian masing-masing program tersebut.

Dalam program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam dilakukan berbagai upaya, diantaranya adalah

-rah penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) seluas 20 Ha; menyusun Model Pengelolaan Daerah Pe-nyangga Kawasan Konservasi; terbentuknya Balai Klir-ing Keanekaragaman Hayati dan melaksanakan penan-

Dok: Kompas

6

PENDAHULUAN

evaluasi Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) 2004

pelaksanaan sosialisasi metadata, data warehouse untuk lingkungan hidup, pengumpulan data lingkungan hidup dari sektor dan daerah, pembuatan sistem informasi

advokasi komunikasi lingkungan dan sinergitas kemitraan dengan Kaukus Lingkungan di DPRD tingkat provinsi, kabupaten dan kota, serta jaringan Environmental Parliament Watch (EPW). Penyusunan sistem terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi di tingkat nasional oleh BPS, Pemda Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemda Provinsi Lampung, pengembangan sistem informasi terpadu antara sistem jaringan pemantauan kualitas lingkungan hidup nasional dan daerah dan terlaksananya penandatanganan kerjasama dalam jejaring informasi dengan pemda DIY, Sumatera Utara, penyusunan database Sumber Daya Genetik (SDG) holtikultura dan pedoman CEP (Communication, Education & Public Awareness) keanekaragaman hayati.

Upaya Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Ling-kungan juga dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti pengembangan peraturan perundangan lingkungan dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan (disahkannya UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada tanggal 7 Mei 2008) optimalisasi peraturan dan metodologi di bidang pengkajian dampak lingkung-an (AMDAL), penerapan kebijakan dan standarisasi lingkungan melalui pengembangan Sistem Manajemen

Pusat Produksi Bersih Nasional, pelaksanaan pemantau-

Kota, penyelenggaraan program langit biru, pengendali an dan pengelolaan pencemaran limbah padat dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Proper, Adipura, pro-gram perlindungan lapisan ozon, penegakan hukum ter-padu dan penyelesaian hukum atas kasus perusakan sum-ber daya alam dan lingkungan hidup serta pembentuk an pos pengaduan dan pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

Khusus pengendalian pencemaran udara telah dilakukan melalui (1) pemasangan peralatan pengamatan kualitas udara yaitu CO dan debu di Jakarta; (2) tersedianya data kandungan timbal (Pb) di udara ambient di 10 kota, data terjadinya hujan asam di 7 kota, data kebisingan kendaraan

bermotor di 5 kota, Sistem Pemantauan Kualitas Udara Ambien Kontinyu Air Quality Monitoring System (AQMS) di 10 kota dan passive sampler di 30 kota dan data sumber pencemar emisi DKI Jakarta dan sumber pencemar Pb di Tangerang; (3) tersedianya 41 jaringan stasiun pemantau kualitas udara; (4) terselenggaranya Program Langit Biru (PLB) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas udara perkotaan melalui pengendalian pencemaran emisi sumber bergerak khususnya untuk sektor transportasi. Data pada tahun 2007 menunjukkan hasil yang sangat baik, yang ditunjukkan oleh kandungan Pb dalam bensin di kota metropolitan dan besar yang sudah tidak terdeteksi lagi. Untuk kota-kota lainnya masih terdeteksi namun masih di

Program Perlindungan Lapisan Ozon berupa penghapusan pemakaian bahan perusak lapisan ozon (BPO) untuk aerosol, MAC dan foam sebesar 321 metric ton (MT) dan pendistribusian peralatan untuk semua sektor.

Sementara itu, dalam rangka pengendalian pencemaran air, telah dilakukan pengadaan data series kualitas air sungai prioritas di 30 provinsi, data kualitas air 6 danau, data kadar POS air dan sedimen di 12 lokasi dan data kualitas air akibat kegiatan PETI di 4 sungai.

Sedangkan Kerangka Kebijakan Lingkungan Indonesia dalam pembangunan SDA dan LH pada RPJMN 2010-2014, mempunyai sasaran pokok yang ingin dicapai secara umum adalah meningkatnya kontribusi pembangunan SDA dan LH terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja PPK di perdesaan, serta meningkatkan sumbangan ekspor dari sektor PPK. Selain itu, sasaran pembangunan SDA dan LH lainnya adalah menjaga kondisi SDA dan LH seperti saat ini atau meningkat kualitasnya.

Selanjutnya, prioritas ke sembilan dalam RPJM 2009-2014 adalah dalam bidang Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana yang meliputi:

Konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup men-dukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang keberlanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan risiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim.Oleh karena itu, substansi inti program aksi bidang lingkungan hidup dan pengelolaan bencana adalah sebagai berikut:

7

PENDAHULUAN

1. Perubahan iklim: Peningkatan keberdayaan penge-lolaan lahan gambut, peningkatan hasil rehabilitasi seluas 500.000 ha per tahun dan penekanan laju de-forestasi secara sungguh-sungguh di antaranya me-lalui kerjasama lintas kementerian terkait serta opti-

Iuran Hak Pemanfaatan Hutan (IHPH), Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi;

2. Pengendalian Kerusakan Lingkungan: Penurunan beban pencemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industri dan jasa pada 2010 dan terus berlanjut; Penurunan jumlah hotspot kebakaran hutan sebesar 20% per tahun dan penurunan tingkat polusi keseluruhan sebesar 50% pada 2014; Penghentian kerusakan lingkungan di 11 Daerah Aliran Sungai yang rawan bencana mulai 2010 dan seterusnya;

3. Sistem Peringatan Dini: Penjaminan berjalannya fungsi Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS) dan Sistem Peringatan Dini Cuaca (MEWS) mulai 2010 dan seterusnya serta Sistem Peringatan Dini Iklim (CEWS) pada 2013;

4. Penanggulangan bencana: Peningkatan kemampuan penanggulangan bencana melalui: 1) penguatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha mitigasi risiko serta penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 provinsi dan 2) pembentukan tim gerak cepat (unit khusus penanganan bencana) dengan dukungan peralatan dan alat transportasi yang memadai dengan basis di dua lokasi strategis (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

Gambar 1.5. Alur Pembangunan Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Di Dukung :

1. Fiskal dan Moneter

2. Pembangunan Infrastruktur

3. Pengembangan IPTEK

Pengembangan Sumber Daya Manusia

Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan

Peningkatan produksi dan produk�vitas untuk menjamin ketersediaan pangan dan bahan baku industry dari dalam negeri Peningkatan efisiensi distribusi dan stabilisasi harga pangan Peningkatan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan Peningkatan nilai tambah, daya saing dan pemasaran produk pertanian,

Peningkatan kapasitas masyarakat, pertanian, perikanan dan kehutanan

Peningkatan Ketahanan dan Kemandirian Energi

Peningkatan produksi dan cadangan migas (intensifica�on) Peningkatan produk�vitas dan pemerataan pemanfaatan energi

Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan

Peningkatan produksi dan nilai tambah produk pertambangan mineral batu-baraPengurangan dampak nega�ve akibat kegiatan pertambangan dan bencana geologi

Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup

Pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup Peningkatan kapasitas pengelolaan SDH dan LH

Peningkatan Konservasi dan rehabilitasi Sumber Daya Hutan

Pemantapan kawasan hutan Konservasi keanekaragaman haya� dan perlindungan hutan

Peningkatan fungsi daya dukung Daerah Aliran SungaiPengembangan peneli�an dan IPTEK sector kehutanan

Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan

Peningkatan Kualitas Informasi Iklim dan Bencana Alam serta Kapasitas Adaptasi

Peningkatan rehabilitasi, konservasi, pengawasan dan pengendalianpemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan

Pendayagunaan laut, pesisir, pulau-pulau kecil dan, pulau-pulau terdepan Inovasi riset dan teknologi terapan kelautan

Peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana alam lainnya Peningkatan Adaptasi dan Mi�gasi terhadap perubahan iklim

Peningkatan kapasitas kelembagaan penanganan perubahan iklim

Pemanfaatan SDA untuk Pembangunan Ekonomi

Peningkatan Kualitas dan Kelestarian Lingkungan Hidup

Peningkatan

Kesra

dan

Peningkatan

Kualitas

Lingkungan

Hidup

Fokus Prioritas Bidang Dampak

perikanan, dan kehutanan

8

PENDAHULUAN

1.4. Ekonomi

Dalam konteks pembangunan ekonomi, Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil selama lima tahun terakhir. Meski ditengah

regional dan global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif dan tumbuh di atas lima persen per tahun. Selama satu dekade terakhir (periode 2000-2011), rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia diukur dari pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai 5,27% dengan pertumbuhan tertinggi pada Desember 2004 yakni sebesar 7,16% dan terendah pada Desember 2001 yakni sebesar 1,56%. Sampai periode kuartal kedua tahun 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,5% per tahun relatif terhadap kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Dibanding kuartal sebelumnya, pertumbuhan PDB ini mengalami peningkatan sebesar 2,9% (BPS, 2011). Sampai tahun 2014, perekonomian Indonesia diprediksi masih tumbuh antara 6,3% sampai 6,8% per tahun.

Dilihat dari kontribusi antar sektor ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh sektor industri

pengolahan dengan kontribusi di atas 25% terhadap total PDB, disusul kemudian oleh sektor berbasis pertanaian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Komposisi ini

-kan selama lima tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih banyak ditunjang oleh aset alam yang baik berupa olahan maupun bahan baku seperti kayu dan ikan.

Salah satu catatan penting dari perekonomian adalah bahwa meski aset alam merupakan 25% dari total sumber kemak muran Indonesia, aset ini telah banyak mengalami degradasi lingkungan sehingga diperlukan investasi yang cukup massif untuk mengkompensasi degradasi tersebut. Hal ini tentu saja akan mereduksi PDB Indonesia secara umum. Studi dari Bank Dunia yang dirilis oleh Leitmann et al (2009) menunjukkan bahwa degradasi lingkungan ini menggerus 5% terhadap PDB Indonesia. Tabel 1.2 di bawah ini menunjukkan distribusi ongkos degradasi lingkungan terhadap PDB yang dirilis oleh Leitmann et al (2009).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

9

PENDAHULUAN

Tabel 1.2. Distribusi Ongkos Degradasi Lingkungan terhadap PDB

Jenis degradasiOngkos ekonomi (US$ billion, 2007)

% GDP (2007)

Perubahan iklim Meningkat sepanjang waktu

2,5-7,0

Air bersih dan sanitasi 7,7 2

Pencemaran udara ambient 3,9 0,9

Pencemaran udara dalam ruang

1,6 0,4

Degradasi lahan 0,56 0,13Sumber: Leitmann et al (2009)

Dari Tabel 1.2. di atas nampak bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi semata yang diukur dari PDB tidak menunjukkan biaya lingkungan yang harus dibayar. Banyak pihak kini mengakui bahwa indikator pertumbuhan dengan menggunakan PDB semata tidak dapat sepenuhnya mengukur progress pembangunan suatu bangsa. Salah satu kelemahan dari PDB ini adalah gagalnya memasukan degradasi sumber daya alam dan lingkungan dalam perhitungan neraca nasional. Selain itu kecenderungan mengejar PDB semata akan mengakibatkan makin terdegradasinya lingkungan yang justru akan memberikan umpan balik yang negatif terhadap pembangunan ekonomi itu sendiri.

Menyadari akan tekanan pembangunan yang dihadapi Indonesia dan juga berbagai negara lain di dunia, saat ini terjadi perubahan paradigma yang cukup masih di tatanan global untuk mengoreksi pertumbuhan ekonomi tersebut dengan mewacanakan “ekonomi hijau”. Agenda ekonomi hijau juga akan menjadi tema penting dalam pertemuan Rio+20 yang akan diselenggarakan tahun 2012. Saat ini perubahan paradigma ekonomi hijau juga telah direspon oleh Indonesia melalui berbagai inisiatif dan aturan

ruang yang cukup banyak untuk mengembangkan ekonomi hijau melalui instrumen-instrumen ekonomi lingkungan. Selain itu beberapa inisiatif lingkungan berbasis pasar seperti pembayaran jasa lingkungan, produksi bersih dan sejenisnya merupakan beberapa langkah yang telah, sedang dan akan terus diupayakan oleh Indonesia sebagai komitmen untuk menuju ekonomi hijau. Secara nasional Indonesia juga berkomitmen mengejar pertumbuhan

pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26%. Komitmen ini tentu saja membutuhkan dukungan kebijakan lingkungan yang konsisten dan kontinyu sehingga target ekonomi hijau tersebut dapat dicapai tanpa harus mengorbankan lingkungan.

Dok: Polagrade

10

Dok: Polagrade 2 Air

11

AIR

Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting

fauna dan makhluk hidup lainnya. Manusia memerlukan air tidak hanya sebagai zat makanan untuk mendukung metabolisme tubuh, melainkan juga untuk kepentingan lainnya. Penyediaan air untuk kehidupan di bumi diatur atau mengikuti suatu siklus hidrologi, yaitu suatu siklus yang menggambarkan sirkulasi air secara terus-menerus melalui proses alami. Melalui siklus ini, suplai air yang tersedia bagi manusia dan organisme lainnya dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu air permukaan dan air tanah.

Lingkungan sungai beserta daerah aliran sungainya sejak dahulu mengalami tekanan karena merupakan pusat

masyarakat. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan ketersediaan air untuk berbagai kepentingan

Tekanan penduduk dengan kegiatannya yang semakin meningkat, telah melampaui daya dukung lingkungan,

maupun kualitas air. Gejala kerusakan lingkungan sudah nampak pada sebagian besar sungai, termasuk sungai-sungai besar (11 sungai prioritas) di Indonesia saat ini.

Pada saat ini terdapat indikasi kondisi sumber atau air di

penurunan baik jumlah, debit, maupun kualitasnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah akibat penggundulan hutan dan berubahnya fungsi daerah resapan.

Di Indonesia terdapat 5.590 sungai utama dan sekitar 65.017 anak sungai, serta 500 danau. Peran sungai dan danau selain berperan secara hidrologis, juga berperan dalam memelihara potensi keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budidaya, transportasi, pariwisata dan lain-lain. Semua

kondisi kuantitas dan kualitas air memenuhi persyaratan kebutuhan. Saat ini kondisi kuantitas (debit) sebagian

dan hujan, banjir pada musim kemarau dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu kualitas air pada sebagian besar sungai dan danau juga sudah mengalami pencemaran akibat tekanan beban pencemaran dari berbagai sumber. Penyebab penurunan kuantitas dan kualitas air antara lain erosi di lahan kritis, limbah domestik, industri dan perdagangan. Penurunan kualitas dan kuantitas terjadi selain karena peningkatan penduduk dan aktivitas ekonomi, juga karena rendahnya kesadaran masyarakat serta kurang efektifnya upaya yang selama ini sudah berjalan.

2.1. Tekanan Terhadap Sumber daya Air

2.1.1. Fungsi Lahan

Gejala kerusakan lingkungan antara lain akibat penyusutan hutan. Hutan merupakan penopang kebutuhan air yang penting dalam siklus hidrologi suatu daerah aliran sungai. Penurunan luas hutan berakibat menurunnya potensi sumber daya air. Berdasar interpretasi citra landsat 2005 (MIH, 2006), secara total persentasi luas kawasan hutan per pulau pada tahun 2005 adalah Jawa (19%), Sumatera (54%), Kalimantan (43%), Sulawesi (43%), dan Papua (71%).

Di Indonesia penyusutan luas hutan tersebut hampir terjadi merata di seluruh daerah aliran sungai (DAS). Di DAS Batanghari sebagai contoh, dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 1997-2002 terjadi penyusutan lahan berhutan lahan kering kurang lebih 862.269 Ha (37.45%) atau rata-rata per tahun terjadi penyusutan hutan seluas 172.454 Ha atau 7,49 persen terhadap luas hutan tahun 1977. Sedangkan hutan rawa terjadi penyusutan 101.756 Ha atau 40,51 persen terhadap luas hutan 1997 selama lima tahun atau 20,223 Ha per tahun.

Dok: Alain Compost

Dok: Alain Compost

12

AIR

Di samping itu, perubahan pemanfaatan lahan juga sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Secara umum semua daerah aliran sungai mempunyai kecenderungan terjadinya perubahan pemanfaatan lahan berupa:

a. Perubahan pemanfaatan lahan hutan menjadi lahan non hutan (pertanian, dan non pertanian);

b. Perubahan pemanfaatan lahan ladang menjadi pemanfaatan lahan non pertanian;

c. Perubahan pemanfaatan sawah menjadi pemanfaatan lahan pertanian (ladang, perkebunan) dan non

Penyebab kerusakan lingkungan lain adalah kerusakan kawasan lindung. Kawasan lindung, seperti hutan lindung, kawasan resapan air, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk dan sekitar mata air saat ini sudah menurun karena sebagian besar mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebabkan berkurangnya luasan tutupan hutan dan atau kualitas tegakan, atau tanahnya rusak, yang semuanya berperan mengurangi fungsi penyedia air. Indikasi penurunan fungsi penyedia air antara lain berupa penurunan debit air sungai yang tajam atau tingginya

2.1.2. Konsumsi dan Ketersediaan Air

Konsumsi air minum untuk rumah tangga di Indonesia pada tahun 2007 sebagian besar atau sekitar 58 persen dipenuhi dari air tanah. Sisanya dipenuhi dari ledeng (Perusahaan Air Minum) sekitar 16 persen, air sungai 3 persen, air hujan 2,6 persen, air kemasan 7,2 persen, mata air 12,6 persen, dan lainnya 0,4 persen.

Penduduk Menurut Wilayah Kepulauan, 2009

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2009, BPS

Minum, 2004 dan 2007

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2008, BPS

Tabel 2.1. Persentase Rumah Tangga dan Sumber Air Minum, 2007

No. Wilayah LedengAir

TanahAir

KemasanMata Air

Air Sungai

Air Hujan

Lainnya

1 Sumatera 14,58 61,27 5,92 7,48 4,42 5,75 0,57

2 Jawa 14,96 62,15 8,20 13,19 0,77 0,39 0,34

3 Bali dan Nusa Tenggara 20,57 40,11 8,28 25,61 3,11 1,66 0,56

4 Kalimantan 26,50 27,60 4,14 3,80 21,10 16,46 0,40

5 Sulawesi 20,01 54,73 4,17 16,83 3,15 0,88 0,23

6 Maluku dan Papua 17,59 36,92 4,00 23,23 9,24 8,34 0,69

Indonesia 16,19 57,97 7,18 12,64 3,04 2,58 0,40

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2008, BPS

13

AIR

Berdasarkan wilayah kepulauan, Pulau Jawa mempunyai persentase terbesar rumah tangga yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minum yaitu sekitar 62 persen. Sementara persentase terbesar rumah tangga yang mengandalkan air sungai dan air hujan sebagai sumber air minum berada di Kalimantan.

Dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2004, penggunaan ledeng dan air tanah sebagai sumber air minum untuk rumah tangga cenderung menurun, masing-masing sekitar 1,7 persen dan 3,5 persen. Penurunan tersebut diiringi dengan kenaikan penggunaan air kemasan sebesar 4,7 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sekitar 4 persen rumah tangga beralih dari menggunakan air ledeng dan air tanah menjadi menggunakan air kemasan pada tahun 2007.

Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, memperkirakan rata-rata kebutuhan air bersih untuk rumah tangga di Indonesia adalah 110 Liter per kapita per hari. Dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa pada tahun 2009, maka pada tahun tersebut kebutuhan air minum untuk penduduk Indonesia minimal mencapai 9,3 milyar m3. Berdasarkan distribusi penduduk menurut pulau-pulau besar maka kebutuhan air minum terbesar adalah Pulau Jawa yaitu sekitar 58 persen dari total kebutuhan air bersih tahun 2009.

Selain untuk kebutuhan rumah tangga, lahan pertanian juga memerlukan air dalam jumlah yang sangat besar. Dalam skala global dari sekitar 3.600 km3 air yang dikonsumsi manusia per tahun, sekitar 69 persen di antaranya dipergunakan untuk sektor pertanian. Bahkan di Asia konsumsi air untuk sektor pertanian mencapai rata-rata sekitar 83 persen dari total air yang dikonsumsi manusia.

Berdasarkan data hasil panen tanaman pangan di Indonesia, pada tahun 2009 konsumsi air untuk tanaman pangan meningkat sebesar 25 juta m3 dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2005. Kenaikan terbesar berasal dari tanaman padi yaitu sebesar 14 juta m3 seiring dengan pencapaian target swasembada beras pada tahun 2007 - 2008.

Pada tahun 2009, kebutuhan air terbesar untuk tanaman pangan tersebut berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 78,5 juta m3 atau 47 persen dari total kebutuhan air untuk tanaman pangan di Indonesia.

Tabel 2.2. Perkiraan Kebutuhan Air Bersih untuk Penduduk menurut Wilayah Kepulauan, 2005 – 2009 (milyar m3)

Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009

Sumatera 1,86 1,89 1,92 1,95 1,98

Jawa 5,13 5,18 5,24 5,29 5,34

Bali & NT 0,48 0,48 0,49 0,50 0,50

Kalimantan 0,51 0,52 0,53 0,54 0,55

Sulawesi 0,64 0,65 0,66 0,67 0,68

Maluku & Papua 0,19 0,19 0,20 0,20 0,20

Indonesia 8,80 8,92 9,03 9,15 9,26

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2008, BPS

Dok: Polagrade

14

AIR

Pangan, 2005 - 2009

Sumber: Diolah dari Statistik Pertanian 2009, Departemen Pertanian

Tabel 2.3. Perkiraan Kebutuhan Air untuk Tanaman Pangan (Juta m3) Menurut Wilayah, 2004 – 2009

Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009

Sumatera 29,37 28,96 31,98 35,39 37,73

Jawa 68,62 67,47 68,45 73,42 78,48

Bali dan Nusa Tenggara 6,63 7,18 6,82 7,78 8,21

Kalimatan 6,30 6,60 7,50 7,64 7,74

Sulawesi 11,33 11,65 13,41 15,15 15,58

Maluku dan Papua 0,99 1,04 1,06 1,15 1,15

Indonesia 123,24 122,90 129,22 140,54 148,89

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2009, BPS

2.1.3. Perubahan Kualitas Air

Selain terjadinya kerusakan lingkungan sungai, sebagian besar sungai di Indonesia mengalami penurunan kualitas air akibat pencemaran. Pencemaran yang terjadi pada sungai-sungai pada umumnya bersumber dari berbagai kegiatan manusia baik di hulu maupun di hilir sungai.

Setiap sumber pencemar menghasilkan limbah serta meningkatkan kadar parameter pencemar air sungai yang berbeda. Bahan-bahan pencemar yang dihasilkan dari setiap sumber disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.4. Sumber Pencemar dan Parameter Pencemar

No Sumber Pencemar Parameter

1 Pemukiman BOD, COD, TSS, bakteri Coli

2 Industri BOD, COD, TSS, Fenol, pH, Cd, Pb dll

3 Pertanian TSS, Fosfat, Nitrat

4 Peternakan BOD, TSS, bakteri Coli

5 Perdagangan BOD, COD, TSS

6 Transportasi Minyak, Pb, Cd

7 Pertambangan TSS, pH, Hg dll

15

AIR

Di Indonesia pada tahun 2007 tercatat ada sekitar 13 ribu industri besar dan menengah yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Jumlah ini meningkat sekitar 29 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2004. Sedangkan untuk industri kecil ada sekitar 94 ribu industri yang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah pada tahun 2007. Jumlah ini menurun sekitar 13 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2005.

Tabel 2.7. Penggunaan Pupuk Anorganik dan Pestisida di Kolam Menurut Wilayah, 2005 - 2007

WilayahPupuk Anorganik Pestisida

2005 2006 2007 2005 2006 2007

Sumatera 470.389 8.145.073 292.833 54.256 6.502 5.424

Jawa 242.916 460.609 1.632.454 56.993 668.240 655.294

Bali dan Nusa Tenggara 313.317 111.635 59.100 5.880 151 183

Kalimantan 20.577 6.255 8.528 11 90 338

Sulawesi 1.021.582 468.000 3.096 33.790 2.392 32

Maluku dan Papua 0 0 1.880 21 36 0

Indonesia 2.068.781 9.191.572 1.997.891 150.951 677.411 661.271

Sumber: Statistik Lingkungan Hidup 2009, BPS

Tabel 2.5. Jumlah Industri Besar dan Menengah yang berpotensi Mencemari Air Permukaan, 2004 - 2008

No. Jenis Industri 2004 2005 2006 2007 2008 *)

1 Makanan dan Minuman 4.638 4.722 5.478 6.341 6.316

2 Tekstil 1.889 1.934 2.568 2.820 2.701

3 Kulit 493 491 540 764 737

4 Kertas 391 413 467 553 457

5 Pertambangan 48 52 56 96 55

6 Kimia 1.017 1.011 845 1.151 1.253

7 Karet 1.482 1.477 1.795 1.774 1.881

Sumber: Statistik Indonesia 2009, BPS *) Angka perkiraan

Tabel 2.6. Jumlah Industri Kecil yang berpotensi Mencemari Air, 2005 - 2007

No. Jenis Industri 2005 2006 2007 *) 2008 *)

1 Makanan dan Minuman 60.174 78.621 69.352 66.178

2 Tekstil dan Kulit 22.394 21.132 14.802 13.747

3 Kimia 1.337 2.129 2.287 2.319

Sumber: Statistik Indonesia 2009, BPS *) Angka perkiraan

Selain dari industri, penggunaan pupuk dan insektisida di sektor pertanian dan perkebunan juga berpotensi mencemari air terutama air permukaan. Pada tahun 2007 penggunaan pupuk anorganik di kolam menurun secara drastis dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2006. Demikian pula halnya dengan penggunaan pestisida meskipun penurunannya sangat kecil.

16

AIR

Tabel 2.8. Persentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Tempat Buang Air Besar menurut Wilayah Kepulauan, 2004 dan 2007

WilayahSendiri Bersama Umum Tidak Ada

2004 2007 2004 2007 2004 2007 2004 2007

Sumatera 70 65 8 9 5 4 17 22

Jawa 61 60 13 14 6 5 21 21

Bali dan Nusa Tenggara 53 50 11 15 2 1 34 33

Kalimantan 64 61 9 10 6 6 21 22

Sulawesi 56 54 9 12 3 3 32 31

Maluku dan Papua 48 44 9 11 8 8 36 36

Indonesia 62 60 11 13 5 4 22 23

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2004 dan 2008, BPS

Sumber pencemaran lainnya adalah limbah dari rumah tangga. Di Indonesia pada tahun 2007 terdapat sekitar 23 persen rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar.

Tempat Buang Air Besar, 2004 dan 2007

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2004 dan 2008, BPS

Dibandingkan dengan tahun 2004, persentase rumah tangga tanpa fasilitas tempat buang air besar ini meningkat satu persen pada tahun 2007. Peningkatan ini terutama karena persentase rumah tangga tanpa fasilitas tempat buang air besar meningkat sebesar lima persen di wilayah Sumatera.

Dilihat dari fasilitas penampungan akhir tinja, pada tahun 2008 tercatat sekitar 47 persen rumah tangga tidak mempunyai tangki septik atau menurun sekitar 12 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2006.

Tabel 2.9. Persentase Rumah Tangga Tanpa Tangki Septik menurut Kepulauan, 2006 - 2008

Wilayah 2006 2007 2008

Sumatera 63,08 55,44 50,69

Jawa 55,55 47,73 43,43

Bali & Nusa Tenggara 68,67 55,02 51,53

Kalimantan 69,96 62,22 57,97

Sulawesi 61,96 50,96 46,88

Maluku & Papua 71,59 60,33 58,32

Indonesia 59,25 50,89 46,62

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia 2009 dan Statistik Lingkungan Hidup 2009, BPS

Dok: Polagrade

17

AIR

2.1.4. Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan permasalahan lingkungan yang berdampak luas bagi kehidupan. Iklim yang berubah bukan merupakan hal baru. Di masa lalu, perubahan iklim juga terjadi namun lebih diakibatkan karena fenomena

berapi secara berkala. Perubahan iklim yang dihadapi saat ini merupakan hasil dari meningkatnya kegiatan manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil dan pola global pemanfaatan lahan.

Gambar 2.1Penyebab Perubahan Iklim

Berbagai kegiatan pembangunan menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer semakin bertambah, akibatnya, radiasi gelombang panjang sinar matahari terperangkap dan suhu bumi menjadi naik. Pada gambar di atas dapat dilihat kegiatan yang menghasilkan GRK dan jenis-jenis gas yang menyebabkan

efek rumah kaca di atmosfer bumi bagian bawah, yaitu karbondioksida (CO2), nitrogen oksida (N2O), metan (CH4),

6). Para ahli melaporkan bahwa konsentrasi CO2 telah meningkat dari 280 ppm (part per million) di tahun 1800, saat ini menjadi sekitar 380 ppm. Demikian juga halnya dengan metan dan GRK jenis lain juga semakin bertambah konsentrasinya.

Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas kejadian cuaca

biologis yang terjadi akibat peningkatan suhu bumi antara lain adalah berubahnya pola hujan, salinitas air laut dan pola angina di samping intensitas badai tropis, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi serta frekuensi serangan hama dan wabah

terhadap perubahan iklim adalah:

a. Sumber daya air b. Ekosistem daratan c. Pertanian dan ketahanan pangan d. Ekosistem kawasan pesisir dan laut e. Kesehatan manusia

Kotak 2.1

Kondisi DAS Sungai Citarum Saat Ini

PENCEMARAN Sampai dengan tahun 2007, kualitas air sungai di Jawa Barat masih memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 7 sungai utama yaitu Cimanuk, Citarum, Cisadane, Kali Bekasi, Ciliwung, Citanduy dan Cilamaya, kesemuanya menunjukkan status mutu D atau kondisi sangat buruk.

Pada DAS Citarum tidak satu lokasi pun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air kelas II. Tingginya kandungan koli tinja, oksigen terlarut, BOD, COD dan zat tersuspensi pada semua lokasi. Khusus untuk parameter oksigen terlarut yang merupakan indikator kesegaran air, di beberapa lokasi, kadarnya sangat rendah bahkan ada yang mencapai nol, yaitu di Sapan, Cijeruk, Dayeuh Kolot dan Burujul.

Pencemaran air sungai disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk ke dalam sungai yang berasal dari berbagai sumber pencemaran yaitu dari limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian dan sebagainya. (Annual Statement Environment Regional (ASER) 2008, BPLHD Jawa Barat)

18

AIR

Kondisi Sungai Citarum sudah masuk ke tingkat pencemar-an berat. Banyak parameter kunci yang sudah melebihi baku mutu, baik dari limbah organik hingga kandungan logam berat. Sekitar 40 persen limbah Sungai Citarum, merupakan limbah organik dan rumah tangga. Sisanya merupakan limbah kimia atau industri dan limbah peternakan serta pertanian. (Pikiran Rakyat, 30 Desember 2009)

PENURUNAN AIR TANAH Demikian pula halnya dengan kondisi air tanah. Pengambilan air tanah yang meningkat dari tahun ke tahun berimplikasi terhadap penurunan muka air tanah. Penurunan muka air tanah secara drastis terutama terjadi di Cekungan Bandung yang mencapai penurunan sekitar 2 – 5 m per tahun. (ASER 2008, BPLHD Jawa Barat)

Sedangkan penurunan muka tanah di daerah Citarum yang cukup padat dengan permukiman dan industri, mencapai 10 cm tiap tahunnya akibat pengambilan air tanah secara masif. (Pusat Komunikasi Publik Dep PU, 4 Maret 2010)

KERUSAKAN KAWASAN PESISIR Persoalan lingkungan lainnya yang dihadapi Jawa Barat adalah belum tertanganinya kerusakan kawasan pesisir. Di wilayah pesisir utara Jawa Barat, kerusakan kawasan ditandai oleh kerusakan hutan bakau, abrasi pantai, serta pendangkalan muara sungai yang berdampak pada aktivitas lalu lintas perahu. Tingkat abrasi yang terjadi

air laut antara 7,391 - 9,843 yang menunjukkan sudah tercemar berat. (ASER 2008, BPLHD Jawa Barat)

KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN AIR. Permintaan air sekarang untuk kebutuhan domestik, konsumsi industri dan irigasi pertanian diperkirakan 17,5 milyar m3 per tahun dan diperkirakan akan terus naik sekitar satu persen per tahun. Permintaan air irigasi sekitar 80 persen dari total permintaan air, meskipun angka ini diperkirakan berkurang dalam jangka panjang, mengingat kebutuhan domestik, perkotaan dan industri tumbuh lebih cepat. Kebutuhan ini dipenuhi dari sumber-sumber seperti: air permukaan dari sungai di wilayah Provinsi Jawa Barat dan air tanah.

Analisis terhadap 40 DAS di Jawa Barat mengindikasikan

telah merosotnya fungsi hidrologis dari DAS tersebut, yaitu 14 DAS dari 22 DAS yang mengalir ke utara sudah dalam kategori sangat kritis dan sisanya masuk kategori kritis. Berdasarkan ketersediaan air mantapnya, maka ada 5 (lima) DAS sudah termasuk tidak tersedia, sementara 14 DAS termasuk memiliki ketersediaan air mantap. Ditinjau dari tingkat erosi lahannya, maka 15 DAS dari 22 DAS tersebut termasuk dalam kategori kritis hingga sangat kritis. Dari tiga Satuan Wilayah Sungai yang mengalir ke pantai utara, yang paling penting sebagai pemasok air adalah Citarum, namun kondisi kemantapan alirannya sudah makin merosot seperti halnya hampir semua DAS lainnya.

Muka air tanah (water table) di Cekungan Bandung telah mengalami penurunan setiap tahunnya. Bandung adalah kota yang sangat rawan menghadapi masalah penyediaan air di masa yang akan datang, demikian pula wilayah Cirebon memerlukan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kekeringan dan intrusi air laut.

Permasalahan utama di Jawa Barat dalam pengelolaan sumber daya air baik air permukaan maupun air tanah adalah menurunnya kualitas dan ketidakseimbangan ketersediaan air. Ketersediaan air secara garis besar ditentukan oleh interaksi antara iklim, curah hujan dan kontur tanah yang melalui aliran air. Ketersediaan air di Jawa Barat pada musim penghujan mencapai sekitar 81,4 milyar m3

sekitar 8,1 milyar m3

banjir pada saat musim penghujan dan kekurangan air pada musim kemarau. (ASER 2008, BPLHD Jawa Barat)

Saat ini Aetra mengolah 8.500 Liter per detik air baku untuk memasok kebutuhan warga Jakarta atau setara dengan 22 juta meter kubik per bulan. Rekannya, PT Palyja mengolah 6 ribu Liter per detik air baku. Saat ini pelanggan Aetra tercatat 382 ribu orang. (Tempo, 11 September 2009)

Dok: Kompas

19

AIR

Pantauan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum (BPDAS) menunjukkan hulu DAS Citarum memiliki periode

periode surplus pada periode November-April. Meskipun memiliki periode kondisi debit air Citarum yang surplus selama lima bulan, nyatanya bila dirata-ratakan dalam

BANJIR Frekuensi banjir di Jawa Barat nampak semakin meningkat.

kota di daerah dataran rendah dan pantai, khususnya Indramayu dan Karawang yang berada di hilir Sungai Citarum dan anak-anak sungainya dan wilayah Cirebon, yang berada di bagian hilir Sungai Cimanuk-Cisanggarung.

Sementara sepanjang musim penghujan terjadi banjir yang

menurun karena berkaitan dengan kerusakan hutan dan erosi, dan berakibat semakin luas wilayah dan lamanya kekeringan. Kekeringan dan kekurangan air adalah salah satu permasalahan yang dirasakan di sebagian daerah dataran tinggi, tapi yang paling luas adalah di sepanjang pantai utara Jawa. (ASER 2008, BPLHD Jawa Barat)

Berdasarkan data BPLHD Jabar, penyebab banjir cekungan Bandung adalah karena tekanan penduduk, perubahan fungsi tutupan lahan hulu dan hilir, pengelolaan sampah tidak memadai, erosi di hulu dan sedimentasi hilir, bangunan di sempadan sungai atau badan air, sistem pengendalian air tidak memadai, drainase tidak memadai,

air tidak memadai, penurunan tanah (pengambilan air tanah), serta bangunan benda melintang di atas sungai. Kondisi tersebut, merupakan indikator alih fungsi lahan yang semakin terpuruk dari tahun ke tahun. Tidak bisa tidak, konservasi di kawasan lahan kritis harus dilakukan. (Pikiran Rakyat, 30 Desember 2009)

LIMBAH Polutan terbesar Sungai Citarum adalah limbah domestik/rumah tangga. Porsi buangan bahan organik itu bisa mencapai 60 persen. Lainnya 30 persen limbah asal industri, sisanya berasal dari pertanian dan peternakan. Parameter polutan yang meningkat paling tajam di Sungai Citarum itu di antaranya bakteri coli asal tinja manusia. (Tempo, 11 September 2009)

Kontribusi terbesar dalam pembangunan Jawa Barat secara makro didominasi oleh sektor industri pengolahan (60% industri pengolahan berlokasi di Jawa Barat) yang akhirnya berimplikasi pada terganggunya sistem hidrologi. (ASER 2008, BPLHD Jawa Barat)

KONDISI WADUK Kemarau tak hanya membuat air waduk melorot dan membuat putaran turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatiluhur melemah. Karena debit air berkurang drastis, kualitasnya pun sangat merosot. Tahun 1994, air di waduk itu masih berwarna biru bening. Sekarang, yang ada adalah warna kuning keruh. Ini terutama terlihat di sejumlah lokasi keramba, seperti di blok Tanggul Usman, Pasir Laya, dan Pasir Jangkung.

Keruhnya waduk terjadi sejak bermunculannya keramba jaring-jaring terapung milik para petambak. Pada waduk seluas 83 kilometer persegi itu tersebar 3.083 unit keramba milik 209 petambak. Dari ribuan keramba itu setiap tahun dikeruk 16.869 ton ikan. Dan setiap hari, pemilik tambak menebar sekitar 10 ton pakan ikan. Dengan tebaran sebanyak itu, bagaimana mungkin air waduk bisa bening?

Tak hanya membuat air jadi keruh, berton-ton pakan ikan juga menyebabkan air waduk berbau amis. Padahal, danau buatan ini adalah sumber pengairan bagi sekitar 240 ribu

Kota Bekasi, Karawang, Subang, dan sebagian Indramayu. Sebelum ada keramba, air waduk tak pernah berbau.

Sungai Citarum juga menampung sulfur akibat aktivitas Gunung Patuha dan Tangkubanperahu. Sungai ini sekaligus pula menjadi tempat pembuangan limbah dari sekitar 1.500 industri di Cekungan Bandung, seperti Majalaya, Banjaran, Rancaekek, Dayeuhkolot, Ujung Berung, Cimahi, dan Padalarang. Dari sini saja, Citarum harus menampung 280 ton limbah kimia anorganik setiap hari.

Dok: PLN

20

AIR

Dari hasil penelitian yang dilakukan PT Indonesia Power bersama Pusat Penelitian Sumber daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran, Bandung, pada tahun 2004, kualitas air Waduk Saguling sudah di atas ambang batas normal. Kandungan merkuri (Hg),

3. Padahal, menurut baku mutu, angka aman adalah 0,002

3.

Logam merkuri itu, menurut penelitian PPSDAL Universitas Padjadjaran, berasal dari pakan ikan dan industri plastik. Sedangkan logam berat lainnya berasal dari pabrik tekstil untuk proses pewarnaan kain. Timbunan logam inilah yang akan menjadi bom waktu. Sekarang air Waduk Saguling tidak layak lagi dimanfaatkan untuk konsumsi, pertanian, dan perikanan.

Kondisi di Waduk Cirata sekitar tiga puluh lima kilometer dari Waduk Saguling, pun setali tiga uang. Badan Pengelola Waduk Cirata pernah melakukan penelitian bersama Laboratorium Jatiluhur dan Laboratorium Higiene Industri dan Taksikologi Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari beberapa sampel ikan mas dan nila yang diambil dari jaring apung petambak di waduk seluas 6.200 hektare itu, ditemukan empat kandungan

m3

3. Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Cianjur mengeluarkan data bahwa kematian ikan di Waduk Cirata, yang mencapai 300 ton, adalah akibat koi herpes virus.

Tentu saja, selain virus, pekatnya limbah ikut membuat ikan-ikan itu meregang nyawa. Nah, bila ikan saja tercemar lalu mati, memang sulit membayangkan bahwa air waduk

masih aman dikonsumsi. Air Waduk Saguling dan Cirata kini tak lagi layak konsumsi karena baku mutu air normal untuk minum sudah terlewati. Kondisi yang masih agak baik adalah air Waduk Jatiluhur, karena dengan posisi di hilir, Jatiluhur bernasib lebih baik. Air kotor dari hulu secara alamiah ditampung lebih dulu oleh Waduk Saguling dan Cirata. (Tempo, 27 September 2004)

Hitung-hitungan yang didapat dari 3 PLTA yang ada di aliran Sungai Citarum ternyata menghasilkan energi setara

ada sekitar 4 juta meter kubik lumpur masuk ke dalam waduk Saguling. Kemudian, rata-rata tahunan sampah yang disaring oleh UBP Saguling mencapai 250.000 m3/

tahun. Sejumlah sampah tersebut disaring agar tidak masuk ke dalam turbin pembangkit listrik. Tentunya proses penyaringannya sendiri memakan biaya yang tidak sedikit.

Hasil penelitian lain dari BPLHD Jabar menunjukkan kualitas air Citarum masih dapat digunakan dengan

tersebut berarti air sungai Citarum terutama di sekitar waduk Saguling sudah tidak dapat digunakan untuk konsumsi air minum lagi. (Greenersmagz, 2 Februari 2010)

KONDISI HUTAN Berdasarkan data dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, luas reboisasi rutin lebih kecil daripada luas reboisasi pembangunan. Luas reboisasi rutin 1 028 Ha dan luas reboisasi pembangunan 40 802 Ha. Sementara itu, dari berbagai jenis gangguan keamanan hutan, perusakan tanaman (pohon) merupakan gangguan terbesar, dibanding pencurian pohon, sebesar 150 690 pohon. Dibandingkan lagi 4 887 pohon kebakaran terjadi di 586 Ha hutan. Adapun produksi kayu bulat sebesar 237 212 m dengan produksi terbesar kayu jati sebesar 49,42 persen disusul pinus dan accasia mangium, masing-masing sebesar 26,27 persen dan 8,11 persen. (BPS Jawa Barat, 2008)

Sumber: - - Pikiran Rakyat, 30 Desember 2009 - PusKom Publik Dep Pekerjaan Umum, 4 Maret 2010 - Tempointeraktif, 11 September 2009 - Greenersmagz, 2 Februari 2010 - Majalah Tempo 27 September 2004 - BPS JABAR, Jawa Barat dalam Angka 2008

Dok: PLN PJB

21

AIR

2.2. Kondisi Air

Kondisi air digambarkan dengan kuantitas atau ketersedia-annya (volume) dan kualitas. Ketersediaan air berhubung-an dengan berapa banyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya, sedangkan kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan. Di samping, itu kualitas air juga dipe-ngaruhi oleh volume yang berpengaruh langsung pada daya pulih air ( ) untuk menerima beban pencema-ran dalam jumlah tertentu.

2.2.1. Kuantitas Air

Ketersediaan sumber daya air ditandai antara lain dengan curah hujan. Berdasarkan pengamatan pada 33 stasiun

pada tahun 2007 dan 2008 curah hujan maksimum tahunan cenderung meningkat dibandingkan dengan keadaan

2009.

Tahunan dari 33 Stasiun BMKG, 2005 – 2009

Sesuai dengan daur hidrologis, maka air hujan tersebut sebagian akan mengisi danau dan situ baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui mata air dan aliran sungai. Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari 500 danau yang tersebar dari dataran rendah hingga puncak gunung. Dari sekian banyak danau tersebut, Danau Toba di Sumatera Utara yang mempunyai luas sekitar 110 ribu hektar merupakan danau yang terluas di Indonesia.

Hasil pemantauan volume beberapa waduk utama di Indonesia, terutama di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pada tahun 2008 volume waduk pada umumnya menurun pada bulan April hingga Oktober. Waduk Cirata di Jawa Barat mengalami penurunan volume air terbesar yaitu sebesar 89 persen. Sedangkan waduk Sermo di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta mengalami penurunan terkecil yaitu sekitar 33 persen. Persentase penurunan volume waduk selama musim kemarau mengindikasikan adanya kerusakan fungsi resapan air di bagian hulu.

Tabel 2.10. Luas Areal Beberapa Danau Di Indonesia

No. Provinsi DanauLuas (Ha)

1 NAD Danau Laut Tawar 5.965

2 Sumatera Utara Danau Toba 110.260

3 Sumatera Barat Danau Maninjau 9.950

4 Jambi Danau Kerinci 4.000

5 Jawa Tengah Danau Rawa Pening 2.660

6 Bali Danau Batur 10.535

7 Nusa Tenggara Timur Danau Kelimutu 105

8 Kalimantan Barat Danau Sentarum 40.000

9 Kalimantan Selatan Danau Bangkau 535

10 Kalimantan Timur Danau Jempang 15.000

11 Sulawesi Utara Danau Tondano 4.638

12 Sulawesi Selatan Danau Tempe 14.200

13 Gorontalo Danau Limboto 3.000

14 Maluku Utara Danau Laguna 185

15 Papua Danau Sentani 14.000

Sumber: Forum Danau Indonesia, 2004

22

AIR

Sebagian air hujan juga akan masuk ke cekungan-cekungan air tanah yang potensinya mencapai lebih dari

Tabel 2.11. Kecenderungan Volume Beberapa Waduk (Milyar m3), 2008

Waduk

Waktu Pemantauan

Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nop Des

Jawa Barat

1 Djuanda 2,30 1,90 1,81 1,51 1,33 1,17 1,10 0,89 1,05 1,43

2 C i r a t a 1,68 0,64 0,57 0,57 0,44 0,37 0,20 0,19 0,36 0,24

3 Saguling 0,64 0,51 0,46 0,41 0,34 0,28 0,16 0,14 0,21 0,16

Jawa Tengah

1 Kedungombo 0,57 0,59 0,53 0,42 0,39 0,39 0,37 0,28 0,31 0,24

2 Wonogiri 0,50 0,50 0,43 0,34 0,34 0,20 0,13 0,14 0,35 0,31

3 Sempor 0,04 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,04 0,03

4 Wadaslintang 0,28 0,29 0,24 0,17 0,13 0,11 0,11 0,12 0,19 0,20

Daerah Istimewa Yogyakarta

1 Sermo 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02

Jawa Timur

1Sutami - Lahor

0,15 0,17 0,17 0,17 0,14 0,13 0,10 0,10 0,09 0,08

2 Selorejo 0,03 0,04 0,04 0,04 0,03 0,03 0,03 0,02 0,01 0,01

3 Bening 0,02 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01

4 Wonorejo 0,10 0,10 0,10 0,09 0,07 0,06 0,04 0,03 0,04 0,04

Lampung

1 Batutegi 0,22 0,23 0,20 0,16 0,12 0,10 0,01 0,13 0,16 0,23

Sulawesi Selatan

1 Bili-Bili 0,28 0,29 0,26 0,21 0,14 0,10 0,05 0,03 0,06 0,14

Sumber: Ditjen SDA, Departemen Pekerjaan Umum, 2008

308 milyar m3. Potensi volume cekungan air tanah terbesar berada di Sumatera yaitu sebesar 110 milyar m3.

Tabel 2.12. Potensi Cekungan Airtanah di Indonesia

No. PulauCekungan

Jumlah Luas (km2) Volume (Juta m3)

1 Sumatera 65 270.656 109.926

2 Jawa 80 80.936 41.334

3 Kalimantan 22 209.971 68.473

4 Bali 8 4.381 1.598

5 Nusa Tenggara 47 41.425 10.139

6 Sulawesi 91 37.768 20.244

23

AIR

Tabel 2.13. Volume Sungai dan Kondisi Hidrologis beberapa Sungai, 2007

ProvinsiInduk Sungai

Lokasi Desa, Kecamatan, KabupatenLuas DPS

(km2)

Volume (106 m3)

Kondisi Hidrologis

Sumatera Utara

Barimun Seroja, Labuhan Batu 6.781,00 5.606,00 Baik

Bingei Binjai, Langkat 1.621,30 789,30 Baik

Asahan Asahan, Pulau Rakyat, Pulau Raja 4.669,40 2.355,00 Baik

Sumatera Barat

Batang Kuantan Lima Puluh Koto, Payahkumbuh 1.421,00 1.705,00 Buruk *)

Riau

S. Rokan Lubuk Bendahara, Kampar 4.848,00 4.383,00 Baik

S. Siak Pantai Cermin, Siak Hulu, Kampar 1.716,00 1.966,00 Baik *)

Batang Kampar Lipat Kain, Kampar 3.431,00 6.017,00 Baik

Batang Kuantan Lbk Ambacang, Kuantan 7.464,00 6.767,00 Baik

Jambi

S. Batanghari Batang Hari, Jambu 8.704,00 51.091,00 Baik *)

Sumatera Selatan

S. Musi Sungai Rotan, Gelumpang, Muara Enim 6.990,00 7.974,00 Baik

Lampung

Way Seputih Buyut Udik, Lampung Tengah 1.648,00 584,40 Sedang

Way Sekampung Pujo Rahayu, Gedong Tataan, Lampung Selatan 1.696,00 1.275,00 Baik

Jawa Barat

S.Cimanuk Kertasemaya, Kertasemaya, Indramayu 3.305,00 7.195,00 Sedang

Jawa Tengah

S. Pemali Brebes, Brebes 1.250,00 1.937,00 Buruk

S. B. Solo Jebres, Jebres, Surakarta 3.206,70 2.510,00 Sedang

No. PulauCekungan

Jumlah Luas (km2) Volume (Juta m3)

7 Maluku 68 25.830 13.174

8 Papua 16 52.662 43.400

Total 397 723.629 308.288

Sumber: Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Departemen ESDM, 2006

Air hujan juga akan mengalir ke sungai-sungai yang di Indonesia pada umumnya mempunyai volume lebih dari

1 milyar m3. Tabel 2.13 menunjukkan volume dan kondisi hidrologis beberapa sungai di Indonesia pada tahun 2006.

24

AIR

ProvinsiInduk Sungai

Lokasi Desa, Kecamatan, KabupatenLuas DPS

(km2)

Volume (106 m3)

Kondisi Hidrologis

S. Serayu Kedunguter, Banyumas, Banyumas 2.631,30 3.479,00 Baik

D I Yogyakarta

S. Progo Duwet, Kalibawang, Kulon Progo 1.712,30 1.205,20 Buruk *)

Jawa Timur

B. Solo Lamongan 17.300,00 9.056,00 Baik *)

Banten

S. Cisadane Sukasari, Babakan, Tangerang 1.146,00 2.645,00 Baik

S. Ciujung Cidoro Lebak, Rangkasbitung, Lebak 1.363,90 1.646,00 Baik

Kalimantan Barat

S. Kapuas Manggu, Ngabang, Pontianak 3.710,00 9.498,00 Baik

Kalimantan Tengah

S. Barito Dusun Tengah, Barito Selatan 1.531,00 237,80 Buruk *)

S. Kapuas Kapuas, Kapuas 4.741,00 14.766,00 Baik

S. Kahayan Kurun, Gunung Mas 5.591,00 11.535,00 Baik

S. Katingan Kasongan, Barito 11.929,00 32.732,00 Baik

S. Mentaya Mentaya, Kotawaringin Timur 4.765,90 8.019,00 Baik *)

S. Lamandau Arut, Kotawaringin 1.968,00 3.676,00 Baik

Kalimantan Timur

S. Mahakam Kotabangun, Tenggarong 56.600,00 88.282,00 Baik

Sulawesi Tengah

S. Palu Palu Selatan, Palu 3.062,00 910,20 Baik

Sulawesi Selatan

S. Rongkong Ampana,. Sadang, Luwu 1.030,00 1.001,00 Baik

S. Cinranae Madukeling, Sengkang, Wajo 6.437,00 3.583,00 Baik

S. Walanae Mong, Mario Riwano, Soppeng 2.680,00 2.095,00 Buruk *)

S. Sadang Kabere, Cendana, Enrekang 5.760,00 2.756,00 Baik

S. Mapili Bulo, Buyo, Wonomulyo, Pol Mas 1.390,00 1.759,00 Buruk *)

Sulawesi Tenggara

L. Roraya Lainea, Konawe Selatan 1.747,00 482,50 Buruk *)

Sumber: Statistik Lingkungan Hidup 2008 dan 2009, BPS *) Data Tahun 2006

25

AIR

2.2.2. Kualitas Air

Kualitas air sungai yang mengalir di kota-kota besar terutama di Pulau Jawa dan Sumatera semakin menurun karena masukan bahan-bahan pencemar (polutan) yang semakin meningkat. Hal ini akibat kurangnya kesadaran pelaku dan masih lemahnya pengendalian.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

(empat) kelas yaitu:

1. Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

2. Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk

tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

3. Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air

untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Akibat tingginya pencemaran, maka sebagian besar air sungai di Pulau Jawa sudah berada pada status Kelas III

sumber pencemar yang utama di luar Pulau Jawa dan Sumatera terutama diakibatkan oleh erosi lahan-lahan kritis yang semakin besar, antara lain akibat penebangan liar, perladangan dan lain-lain.

Hasil pemantauan 35 sungai yang dilakukan sejak tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk parameter TSS, DO, dan COD, kualitas air cenderung membaik pada tahun 2008 dan memburuk kembali pada tahun 2009 jika dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas II.

Dok: Polagrade

26

AIR

Tabel 2.14. Persentase Sampel Air Sungai yang Tidak Memenuhi Kriteria Air Kelas II

No Pulau 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Sumatera 64 72 61 47 41 38

2 Jawa 62 55 74 69 65 74

3 Bali dan Nusa Tenggara 50 76 81 39 28 58

4 Kalimantan 60 67 69 65 70 80

5 Sulawesi 60 51 61 61 41 56*)

6 Maluku dan Papua 54 33 48 83 32 37

Total 62 61 67 61 47 56

*) Tidak termasuk Sulawesi Tenggara

Fecal coli

110

1001000

10000100000

100000010000000

100000000

T.B

ad

un

g B

ali

To

nd

an

o S

ulu

t

Bt

Ag

am

Su

mb

ar

Ma

ha

ka

m K

alt

im

Ma

rta

pu

ra

Ka

lse

l

De

li S

um

ut

Bt

Ha

ri J

am

bi

Ka

ha

ya

n K

alt

en

g

Ra

ng

ku

i B

ab

el

NT

B J

an

gk

ok

Mu

si

Su

ms

el

Sia

k R

iau

NT

T D

en

gd

en

g

Ka

mp

ar

Ria

u

Ind

rag

iri

Ria

u

Bra

nta

s J

ati

m

Ta

bo

bo

Ma

luk

u U

tara

Ro

ka

n R

iau

Bo

ne

Go

ron

talo

Pa

lu S

ult

en

g

K.A

ce

h N

AD

Ba

tu G

aja

h M

alu

ku

Ba

tu M

era

h M

alu

ku

Pro

go

Yo

gy

a

K.A

ng

ke

Ba

nte

n

Pro

go

Ja

ten

g

Cil

iwu

ng

DK

I

Cit

aru

m J

ab

ar

Ka

pu

as

Ka

lba

r

Ko

nse

ntra

si

(mg

/L)

75%MaxMin25%

Kriteria Mutu Air Kelas I PP No. 82/2001 = 100 Jml/100mlKriteria Mutu Air Kelas II PPNo. 82/2001 = 1000 Jml/100ml

di semua wilayah Indonesia sudah tercemar (Pusarpedal-KLH, 2006). Contoh kandungan bahan pencemar di sungai disajikan pada gambar berikut ini.

Di samping itu, hasil pemantauan kualitas air sungai pada beberapa sungai besar di Indonesia menunjukkan, bahwa sungai-sungai yang berada di daerah berpenduduk padat

27

AIR

Pemantauan kualitas air danau yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Limnologi LIPI di Danau Maninjau menunjukkan

Tabel 2.15. Status Kualitas Air Danau di Provinsi Sumatera Barat dan Bali, 2009

No Danau Tipe danau Lokasi Tahun

1. Danau Diatas Tektonik Kab. Solok, Sumbar 2005

2006

2007

2008 --

2. Danau Batur Kaldera Kab. Bangli, Bali 2005

2006

2007

2008

3. Danau Maninjau Tektonik Kab. Agam, Sumbar 2005

2006

2007

2008

2009

Sumber: Pusat Penelitian Limnologi, LIPI, 2009

2.3. Upaya dan Inisiatif

2.3.1. Pengelolaan Sumber daya Air

Dalam rangka meningkatkan daya guna dan fungsi air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, telah

0,01

0,1

1

10

100

1000

10000

Ko

na

we

ha

Su

ltra

Bo

ne

Go

ro

nta

lo

NT

T D

en

gd

en

g

Ta

bo

bo

Ma

luk

uU

tara

W.S

ek

am

pu

ng

La

mp

un

g

To

nd

an

o S

ulu

t

Mu

si S

um

sel

Cil

iwu

ng

DK

I

Pro

go

Ja

ten

g

T.B

ad

un

g B

ali

Ka

pu

as

Ka

lba

r

Pro

go

Yo

gy

a

K.A

ng

ke

Ba

nte

n

De

li S

um

ut

Bt

Ag

am

Su

mb

ar

K.A

ce

h N

AD

Ind

ra

gir

i R

iau

Ka

mp

ar R

iau

A B

en

gk

ulu

Ba

tu M

era

hM

alu

ku

Ro

ka

n R

iau

Bt

Ha

ri

Jam

bi

Ma

ha

ka

m K

alt

im

Ra

ng

ku

i B

ab

el

Ba

tu G

aja

hM

alu

ku

Sia

k R

iau

Bra

nta

s Ja

tim

Ta

llo

Su

lse

l

Cit

aru

m J

ab

ar

NT

B J

an

gk

ok

Pa

lu S

ult

en

g

Jen

eb

era

ng

Su

lse

l

Ma

rta

pu

ra

K

als

el

Ka

ha

ya

n K

alt

en

g

Ko

ns

en

tra

si (m

g/L

75%Max

Min

25%

Kriteria Mutu Air Kelas I&II PP No. 82/2001 = 50 mg/l

TSS Air Sungai

28

AIR

Kotak 2.2

Jasa Air Hutan Gunung Ciremai

Pemerintah Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan ber-sepakat untuk memelihara hutan guna menyelamatkan sumber air mereka.

Oleh : Hikmat Ramdhan

Upaya untuk membangun apresiasi nilai hidrologis (air) hutan di Indonesia telah diteliti Ramdan (2006) di kawasan hutan Gunung Ciremai. Pendekatan pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services, PES) dicoba diterapkan di kawasan tersebut, dimana sumber air yang dimanfaatkan bersifat lintas wilayah (transboundary water).

Kontribusi dana konservasi dari pengguna air di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon perlu diterapkan sebagai bentuk tanggung-jawab dan kepedulian pengguna air terhadap kelangsungan sumber airnya. Hasil ini menunjukkan bahwa semua pengguna air sudah menyadari pentingnya upaya konservasi kawasan resapan air Gunung Ciremai sebagai upaya untuk menjamin kesinambungan pasokan air.

Penerapan skema PES mengandung dua komponen penting, yaitu adanya proses terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak terkait mengenai kesediaan salah satu pihak untuk memberikan pembayaran atas jasa lingkungan yang disediakan oleh pihak lain, serta bentuk dari skema PES itu

dan Kota Cirebon atas sumber daya air minum, kedua komponen tersebut adalah proses terjadinya kesepakatan antara kedua daerah mengenai adanya pembayaran oleh Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan, serta Perda Tata

dilakukan pemerintah baik melalui perangkat peraturan perundang-undangan maupun melalui program-program yang dijalankan oleh sektor-sektor terkait. Secara garis besar upaya pengelolaan sumber daya air dapat dibagi atas dua kegiatan yaitu konservasi air dan pengendalian pencemaran air atau pemulihan kualitas air.

Beberapa program pengelolaan sumber daya air secara sektoral dalam kaitannya dengan pengelolaan kuantitas dan kuantitas air yang sudah berjalan antara lain: Pekan Penghijauan Nasional, Gerakan Rehabilitasi Lahan, DAS

www.panoramio.com

Terpadu, pengembangan pasang surut, pengembangan bendungan skala besar, pengembangan jaringan irigasi, gerakan nasional kemitraan penyelamatan air, konservasi tanah dan air, penataan ruang dan perencanaan penggu-

Program-program ini sebagian sudah selesai dan sebagian masih berjalan.

air dilaksanakan oleh KLH, khususnya dalam konteks pemantauan dan kesepakatan sistem pemantauan.

oleh Kabupaten Kuningan untuk melaksanakan konservasi di kawasan Gunung Ciremai.

Upaya untuk membangun kesepahaman dalam pengelolaan sumber air minum lintas wilayah didukung pula oleh komitmen politik dan dukungan publik yang kuat. Komitmen politik diantara dua Pemda, yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, dalam menyelesaikan permasalahan sumber air minumnya tampaknya sangat kuat. Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon langsung terlibat memimpin rapat untuk mendiskusikan penyelesaian masalah air lintas wilayah. Komitmen kedua pimpinan daerah tersebut didukung oleh pihak DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sebagai lembaga legislatif dari masing-masing daerah dan juga masyarakat di dua wilayah tersebut. Sebagai badan legislatif dan wakil rakyat, DPRD merasa berkepentingan untuk ikut mendorong penyelesaian masalah sumber air minum lintas wilayah tersebut. Oleh karena itu komitmen politik dan dukungan publik yang kuat ternyata mampu mendorong penyelesaian sengketa sumber air minum lintas wilayah tersebut secara damai dan saling menguntungkan.

29

AIR

Untuk menjamin alokasi air lintas wilayah secara berkelanjutan, maka kerjasama antar daerah diatur dalam suatu peraturan kerjasama pemanfaatan air yang disepakati oleh kedua belah pihak. Peraturan pemanfaatan air dan kontribusi dana konservasi di kawasan Gunung Ciremai telah diatur oleh suatu nota kesepakatan (memo-randum of understanding) antara Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon yang ditandatangani tanggal 17 Desem-ber 2004, yaitu Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan.

Perjanjian kerjasama tersebut bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan pelestarian sumber air serta untuk kesejahteraan masyarakat diantara kedua daerah tersebut. Perjanjian tersebut mengatur mengenai kewajiban pihak pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon.

Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan mempertimbangkan produksi air dari sumber air, tarif yang berlaku sebelum diolah bagi pelanggan di Kota Cirebon, dan tingkat kebocoran air. Kesepakatan besaran dana kompensasi untuk konservasi Gunung Ciremai dari Kota Cirebon berdasarkan rumusan tersebut adalah Rp.1,75 milyar untuk tahun 2005. Dana kompensasi konservasi ini secara khusus harus dialokasikan untuk mendanai kegiatan konservasi di zona resapan air Paniis sebagai sumber mata airnya.

Perlu ditegaskan bahwa dana kompensasi konservasi tidak dibuat dalam kerangka tradable water yang memandang air sebagai komoditas ekonomi semata, tetapi dana terse-but dikembangkan sebagai bentuk kepedulian dan tang-gung-jawab dari pengguna jasa lingkungan air di bagian hilir untuk berkontribusi membantu kegiatan konservasi di bagian hulunya. Hal tersebut dipengaruhi oleh panda ngan masyarakat terhadap hak airnya, misalnya hak akses. Pada umumnya di kawasan tersebut masyarakat meman-dang bahwa air dapat diakses untuk memenuhi kebutuh-an pokok masyarakat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pandangan hukum Islam yang banyak dianut di daerah tersebut. Pandangan tersebut sesuai dengan pernyataan Sarwan et al. (2003) yang menjelaskan bahwa persepsi masyarakat atas hak-hak air di Indonesia dilatarbelakangi oleh pandangan hukum Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh penduduk Indonesia, dimana air adalah meru-pakan barang publik.

Oleh karena itu pengembangan hak guna air, terutama hak guna usaha air, perlu memperhatikan pandangan masyarakat terhadap hak-hak airnya. Penerapan kebijakan pengelolaan sumber air yang tidak mempertimbangkan

dalam pengembangan sistem air minum masyarakat.

di wilayah Gunung Ciremai tersebut didorong oleh suatu kemitraan yang luas (broad based partnerships) antara pemerintah, lembaga legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya. Kesepahaman untuk memberikan kontribusi dari hilir ke hulu diharapkan akan meningkatkan upaya kelestarian lingkungan sumber mata air, sehingga distribusi manfaat air diantara pihak-pihak yang berkepentingan dapat berjalan lebih adil.

Keberhasilan Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon pada

air minum menunjukkan bahwa hal yang sama bisa saja dilakukan di tempat lain di Indonesia.

Pada saat proses negosiasi berjalan penyedia jasa

untuk meyakinkan wilayah pengguna bahwa wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologis secara serius menja-min wilayahnya tetap mampu memasok air. Komitmen wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologis ditunjukkan dengan adanya instrumen kebijakan yang secara khusus melindungi daerah resapan airnya, misalnya dalam bentuk peraturan daerah yang secara khusus berisikan kebijakan perlindungan wilayah resapan airnya.

terselenggaranya pengelolaan air lintas wilayah yang adil

manfaat air diantara dua wilayah yang bersengketa, maka

dan bahkan dapat menciptakan perang sipil antar daerah yang bersengketa. Hal tersebut mungkin terjadi karena air merupakan sumber daya alam yang keberadaanya vital dan tidak dapat disubstitusi oleh barang lainnya.

Sumber: www.conservation.org

30

AIR

2.3.2. Konservasi Air

Berkaitan dengan konservasi air, dalam rencana induk terdapat program-program sebagai berikut:

a. Program Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup seperti reboisasi, rehabilitasi sungai, pembuatan sumur resapan dan pemeliharaan situ;

b. Program Penataan Ruang seperti revisi tata ruang, sistem monitoring dan pengawasan penataan ruang dan sosialisasi;

c. Program Penegakan Hukum terutama yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap tata ruang;

d. Program Peningkatan Peran Masyarakat seperti pelatihan pembuatan kompos dan pembangunan tanki septik komunal.

2.3.3. Perlindungan Mata Air

Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan ketersediaan air untuk berbagai kepentingan terus

itu, upaya “perlindungan mata air” merupakan kebijakan yang strategis dan penting dilakukan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan kerusakan dan beban pencemaran areal lokasi mata air, sekitar mata air, dan kawasan resapan air, serta mendorong upaya adaptasi terhadap dampak perubahan tata air akibat perubahan iklim. Di samping itu, kebijakan ini juga merupakan bagian dari upaya pemulihan, menjaga dan melindungi kuantitas, kualitas dan kontinuitas debit air di DAS. Diharapkan pelaksanaan kebijakan tersebut dapat mendukung keberhasilan upaya pencapaian tujuan konservasi air dan keberlanjutan DAS baik ditinjau dari sudut kuantitas maupun kualitas airnya sebagai sumber daya. Keberadaan mata air tidak selalu di kawasan lindung atau kawasan hutan, hal ini karena telah ditemukan sejumlah mata air di lahan penduduk, sempadan sungai, bantaran sungai, danau, bahkan di pantai. Menurunnya jumlah mata air maupun debit volume air di berbagai mata air merupakan indikator adanya ancaman terhadap

gangguan terhadap siklus hidrologi dan tatanan ekosistem setempat. Bekerjasama dengan berbagai pihak, telah disusun Konsep Perlindungan Mata Air atau Permata Air, dengan strategi kebijakan perlindungan mata air, antara lain: (i). Peningkatan pemahaman para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan terkait tentang

pentingnya perlindungan mata air (penyediaan awareness mate-rials/bahan pencerahan, sosialisasi/kampanye, workshop, pameran, dan kegiatan terkait lainnya); (ii). Pengembangan pelibatan semua pemangku kepentingan termasuk peran masyarakat dalam upaya perlindungan mata air; (iii). Pengembangan kebijakan tentang bentuk perlindungan kelestarian fungsi areal lokasi mata air, sekitar mata air, dan daerah kawasan resapan air; (iv). Pengembangan perangkat dan program perlindungan

perlindungan mata air; serta (vi). Pemantauan dan evaluasi.

2.3.4. Konferensi Nasional Danau Indonesia

Pada Konferensi Nasional Danau Indonesia I di Bali tahun 2009, telah dihasilkan Kesepakatan Bali tentang Pengelolaan Danau Berkelanjutan. Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh sembilan Menteri terkait, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Energi dan Sumber daya Mineral, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Negara Riset dan Teknologi, serta Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kesepakatan tersebut dideklarasikan atas keprihatinan kondisi ekosistem danau di Indonesia yang semakin terancam akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan pada daerah tangkapan air hingga perairan danaunya. Oleh karena itu arah kebijakan penyelamatan danau pada periode 2010 hingga 2014 diprioritaskan pada 15 danau, yaitu: Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Singkarak, Danau Kerinci, Danau Tondano, Danau Limboto, Danau Poso, Danau Tempe, Danau Matano, Danau Mahakam (Semayang, Jempang, Melintang), Danau Sentarum, Danau Sentani, Rawa Danau, Danau Batur, dan Danau Rawa Pening.

Penyelamatan danau tersebut ditujukan untuk memulihkan, melestarikan dan mempertahankan fungsi danau berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungannya melalui 7 program yaitu: (1). Pengelolaan ekosistem danau; (2). Pemanfaatan sumber daya air danau; (3). Pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau; (4). Penyiapan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau; (5). Pengembangan kapasitas, kelembagaan dan koordinasi; (6). Peningkatan peran masyarakat; serta (7). Pendanaan berkelanjutan.

31

AIR

2.3.5. Pengelolaan Kualitas Air

Landasan Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air di antaranya adalah: (a). Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air; (b). UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; (c). UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (d). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Dalam rangka pemulihan kualitas air melalui penanganan in-stream (sungai dan danau) serta (daerah aliran sungai) maka dilakukan melalui pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana disajikan dalam gambar di bawah.

Gambar 2.2. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air

Untuk mencapai kondisi yang diharapkan, beberapa upaya yang perlu dilakukan adalah:

a. Melibatkan secara aktif para pihak baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat di dalam proses penataan ruang melalui pendekatan partisipatif dan proses konsultatif dengan semua para pihak;

b. Mengindahkan peraturan tata ruang dalam pembangunan, mengendalikan limbah sungai secara kontinyu, melaksanakan keterpaduan program dan keterlibatan para pihak;

Inventarisasidan Identifikasi

Sumber Pencemar

PenghitunganDaya Tampung

Beban Pencemar

KlasifikasiMutu Air dan

Baku Mutu Air

PemantauanKualitas Air

StatusMutu Air

Pengelolaan Kualitas Air

Izin PemanfaatanLimbah

Izin PembuanganAir Limbah

Baku MutuAir Limbah

Pengendalian Pencemaran Air

Rencana PenanggulanganPencemaran AirKeadaan Darurat

Restribusi

KEBIJAKANPENGELOLAAN KUALITAS AIR DANPENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PROKASIH2005

SUPERKASIH

PROPER

TATARUANG

KONSERVASIAIR

PenetapanTitik Pantau

Mutu AirSasaran

RencanaPendayagunaan

Air

32

AIR

c. Melibatkan secara aktif para pemangku kepentingan, khususnya masyarakat luas dalam pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam hayati;

d. Menguatkan koordinasi antar pemangku kepentingan; e. Menguatkan Pangkalan Data dan Sistem Informasi

Lingkungan; f. Menguatkan Instrumen Kebijakan Pemulihan Kualitas

Air; serta

Lahan

2.3.6. Prioritas Pengelolaan pada Sungai dan Danau

diprioritaskan pada 11 sungai besar yaitu: (1). Ciliwung, (2). Cisadane, (3). Citarum, di Jawa Barat; Bengawan Solo, di Jawa Tengah, (5). Progo, di Yogyakarta, (6). Siak, di Riau, (7). Kampar, di Riau, (8). Batanghari, di Jambi, (9). Musi, di Sumatera Selatan, (10). Barito di Kalimantan Selatan-Tengah, dan (11). Mamasa, di Sulawesi Selatan.

Sedangkan danau-danau prioritas meliputi 10 danau, yaitu: (1). Limboto, Gorontalo, (2). Toba, Sumatera Utara,

(3). Tempe, Sulawesi Selatan, (4). Tondano, Sulawesi Utara, (5). Maninjau, Sumatera Barat, (6). Singkarak, Sumatera Barat, (7). Poso, Sulawesi Tengah, (8). Matano, Sulawesi Selatan, (9). Rawa Pening, Jawa Tengah, dan (10). Batur, Bali.

Termasuk yang diatur di dalam rancangan peraturan tersebut adalah Rencana Induk Pengendalian Pencemaran Air dan Pemulihan Kualitas Air Sungai Ciliwung. Dalam rencana induk tersebut setiap instansi pusat seperti Pekerjaan Umum, Kehutanan, Perindustrian, Kesehatan, Pertanian dan Lingkungan Hidup serta instansi pada

mempunyai peran sesuai dengan kewenangannya.

Kegiatan pengendalian pencemaran air dilakukan oleh KLH melalui berbagai program, yaitu Program Kali Bersih (PROKASIH) dan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER).

a. Program Kali Bersih (PROKASIH) Program Kali Bersih (PROKASIH) merupakan program pengendalian pencemaran air secara terpadu untuk menurunkan beban pencemaran air pada sumbernya. Dilaksanakan melalui kerjasama dengan pemerintah

33

AIR

Salah satu proses yang harus dilakukan oleh industri dan atau kegiatan yang masuk dalam lingkup PROKASIH adalah menandatangani Surat Pernyataan (SUPER) tentang kesediaan untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dalam batas waktu yang disepakati bersama. Selama

yang sudah menandatangani SUPER.

b. PROPER Program ini dilaksanakan dengan maksud mendorong penaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Instrumen yang digunakan adalah publikasi informasi yang mencerminkan reputasi suatu perusahaan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Sistem peringkat kinerja PROPER terdiri atas 5 peringkat warna yaitu emas, hijau, biru, merah dan hitam.

Secara garis besar tingkat penaatan sektor pertambangan, energi dan migas adalah paling tinggi yaitu 83%, kemudian manufaktur 72%, kawasan dan jasa 69% dan agro adalah terendah 59%.

Dengan demikian, hasil pelaksanaan PROPER cukup menggembirakan dilihat dari jumlah perusahaan yang menaati peraturan yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran air.

Selain itu Departemen Kehutanan juga telah membangun sejumlah sumur resapan di sekitar kawasan hutan di seluruh Indonesia. Sampai dengan tahun 2007 tercatat sudah dibangun sebanyak 15.381 unit sumur resapan dengan perincian dalam tabel 1-15.

dan Agro yang Taat Terhadap Peraturan Pengendalian Pencemaran Air, 2010

Kepulauan, 2008

5.340

21.161

2.112

26.052

38.071

19.256

Sumatera

Jawa

Bali & Nusa Tenggara

Kalimantan

Sulawesi

Maluku & Papua

Sumber : Departemen Kehutanan, 2008

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

PEM Agro Manuf Kwsn Js

Tingkat Penaatan PROPER 2010

TAAT TIDAK TAAT

Tabel 2.16. Pembangunan Sumur Resapan menurut Kepulauan, 2003 - 2007

Wilayah 2003 2004 2005 2006 2007 Jumlah

Sumatera 76 330 141 521 120 1.188

Jawa 1.600 2.889 167 2.799 3.207 10.662

Bali & Nusa Tenggara -- 310 20 960 315 1.605

Kalimantan 35 85 15 43 103 281

Sulawesi 10 396 153 506 180 1.245

Maluku & Papua -- 165 65 160 10 400

Indonesia 1.721 4.175 561 4.989 3.935 15.381

Sumber: Statistik Lingkungan Hidup 2009, BPS

34

Dok: Polagrade 3 Udara

35

UDARA

Udara adalah sumber daya yang sangat penting bagi kehidupan, Atmosfer merupakan sumber oksigen utama yang memungkinkan mahluk di muka Bumi untuk bernafas dan hidup. Di samping nitrogen (N2) sebesar 78%, dengan kadar rata-rata 21%, oksigen (O2) di atmosfer Bumi adalah komponen esensial yang dominan. Selain kedua komponen udara tersebut, 1% dari udara terdiri dari sejumlah kecil gas-gas lain, yang menciptakan keseimbangan di atmosfer. Gas karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4)

menyebabkan atmosfer memiliki temperatur yang sesuai bagi kelangsungan kehidupan. Gas-gas yang mengandung nitrogen dan sulfur pada konsentrasi di udara dalam

2 dan CH4, berada pada siklusnya di Bumi dan berperanan sebagai nutrisi bagi tanaman. Namun, perubahan komposisi gas-gas meskipun hanya pada bagian yang sangat kecil (kurang dari 1%) tersebut dapat menyebabkan gangguan pada kehidupan.

Perubahan konsentrasi gas-gas di atmosfer sehingga berubah dari komposisi alamiahnya dapat dinyatakan sebagai pencemaran udara. Pencemaran udara

masa waktu yang dapat menyebabkan gangguan pada

kerusakan material yang menyebabkan gangguan atau penurunan kualitas hidup, kenyamanan, atau melaksanakan kegiatan (Canter, 1996 dalam Harrop,

unsur yang secara alamiah seharusnya tidak berada di dalam komposisi udara yang bersih, pencemaran udara

juga terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas-gas di atmosfer sehingga berubah dari konsentrasi alamiahnya.

Pencemaran udara dapat terjadi karena berbagai peristiwa alam maupun kegiatan manusia yang melepaskan emisi gas dan partikel ke atmosfer, sehingga terjadi perubahan (peningkatan) konsentrasi. Manakala peristiwa alam yang luar biasa seperti letusan gunung berapi yang dapat menyebabkan pencemaran udara secara mendadak merupakan hal yang tidak dapat dihindari, pencemaran udara lebih banyak diakibatkan oleh kegiatan manusia yang terjadi secara terus-menerus.

Kegiatan transportasi, industri, komersial, domestik (termasuk pembakaran sampah), terutama yang melibatkan pembakaran bahan bakar fosil untuk mendapatkan energi adalah kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan konsentrasi berbagai gas di atmosfer yang menimbulkan pencemaran udara. Di samping itu, kegiatan manusia tersebut juga dapat meningkatkan gas-gas yang seperti CO2 dan CH4 yang berperanan dalam menentukan temperatur Bumi, sehingga terjadi perubahan iklim. Berbagai kegiatan tersebut diperlukan bagi kelangsungan kehidupan manusia tetapi di lain pihak juga dapat menjadi tekanan bagi lingkungan dan kehidupan itu sendiri.

3.1. Tekanan Bagi Lingkungan Udara

Berbagai kegiatan manusia yang menghasilkan emisi ke atmosfer adalah tekanan bagi lingkungan atmosfer. Gas-gas dan partikel diemisikan dari aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi dan sosial. Di daerah perkotaan, transportasi adalah tekanan yang utama, di samping industri, komersial dan domestik. Kegiatan manusia yang lain seperti pertanian dan peternakan pun dapat mengemisikan gas pencemar maupun gas rumah kaca. Semua kegiatan tersebut berkaitan dengan adanya populasi manusia. Dengan meningkatnya populasi, dan pola serta bentuk penggunaan energi yang terjadi pada masa sekarang, tekanan terhadap atmosfer diprediksikan akan semakin meningkat.

3.1.1. Penggunaan Energi dan Dampaknya

Penyediaan energi untuk berbagai keperluan didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil dalam berbagai jenisnya. Kecenderungan konsumsi energi semakin meningkat terlihat dari penggunaan bahan bakar fosil,

36

UDARA

khususnya minyak untuk sektor transportasi dan batubara untuk sektor industri terlihat sejak tahun 2000 hingga 2007 dan diperkirakan masih terus meningkat hingga saat ini. Peningkatan pembakaran bahan bakar fosil akan secara langsung meningkatkan emisi gas rumah kaca khususnya CO2 dari sektor-sektor tersebut (SLHI, 2009 - Gambar 3.9 dan Gambar 3.12). Bahan bakar bensin terutama digunakan di daerah perkotaan untuk kebutuhan transportasi, hal ini terlihat pada data tahun 2006, di mana terlihat konsumsi bensin terjadi di kota besar yang tinggi

pihak konsumsi batubara sebagian besar terkonsentrasi di kota-kota dengan aktivitas industri dan pembangkit yang

Penggunaan bahan bakar terbesar terjadi di kota-kota dengan populasi dan aktivitas industri dan energi yang tinggi, terutama di Pulau Jawa, disusul oleh kota-kota besar di Sumatera. Pemakaian energi di kota-kota Indonesia bagian Timur relatif lebih rendah dibandingkan

dengan bagian Barat. Besaran dan proporsi konsumsi energi di ibukota provinsi pada tahun 2006 dapat dilihat pada Gambar 3.1. Konsumsi energi terbesar terjadi di kota Jakarta disusul oleh kota-kota besar di Jawa bagian Barat seperti Bandung dan Tangerang, Samarinda di Kalimantan Timur, serta Padang, Pekanbaru, Batam, Palembang di Sumatera. Namun, proporsi energi berbeda-beda, beberapa kota dengan PLTU dan industri lebih banyak menggunakan batubara, sedangkan di kota Jakarta penggunaan solar memiliki proporsi yang terbesar. Jakarta juga merupakan kota yang menggunakan energi gas dengan proporsi terbesar. Di Kota Samarinda terlihat pemakaian kayu bakar sebagai bahan bakar

dan proporsi masing-masing jenis bahan bakar akan berpengaruh terhadap status kualitas udara, terutama pada parameter pencemar udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat pada Sub-bab 3.2. Status Kualitas Udara.

37

UDARA

0 4000000 8000000 12000000 16000000

KOTA BANDA ACEH

KOTA MEDAN

KOTA PADANG

KOTA PEKANBARU

KOTA JAMBI

KOTA PALEMBANG

KOTA BENGKULU

KOTA BANDAR LAMPUNG

KOTA PANGKAL PINANG

KOTA BATAM

JAKARTA SELATAN

JAKARTA TIMUR

JAKARTA PUSAT

JAKARTA BARAT

JAKARTA UTARA

BANDUNG

KOTA BANDUNG

SEMARANG

KOTA YOGYAKARTA

KOTA SURABAYA

KOTA TANGERANG

KOTA DENPASAR

KOTA MATARAM

KOTA KUPANG

PONTIANAK

KOTA PONTIANAK

KOTA PALANGKA RAYA

KOTA BANJARMASIN

KOTA BALIKPAPAN

KOTA SAMARINDA

KOTA MANADO

KOTA PALU

KOTA MAKASSAR

KOTA KENDARI

GORONTALO

KOTA GORONTALO

KOTA AMBON

KOTA TERNATE

JAYAPURA

KOTA JAYAPURA

Konsumsi Bensin Premium tahun 2006 (Liter)

Bensin Premium (Liter)

Sumber data : Badan Pusat Statistik

38

UDARA

0 40000000 80000000 12000000

KOTA BANDA ACEH

KOTA MEDAN

KOTA PADANG

KOTA PEKANBARU

KOTA JAMBI

KOTA PALEMBANG

KOTA BENGKULU

KOTA BANDAR LAMPUNG

KOTA PANGKAL PINANG

KOTA BATAM

JAKARTA SELATAN

JAKARTA TIMUR

JAKARTA PUSAT

JAKARTA BARAT

JAKARTA UTARA

BANDUNG

KOTA BANDUNG

SEMARANG

KOTA YOGYAKARTA

KOTA SURABAYA

KOTA TANGERANG

KOTA DENPASAR

KOTA MATARAM

KOTA KUPANG

PONTIANAK

KOTA PONTIANAK

KOTA PALANGKA RAYA

KOTA BANJARMASIN

KOTA BALIKPAPAN

KOTA SAMARINDA

KOTA MANADO

KOTA PALU

KOTA MAKASSAR

KOTA KENDARI

GORONTALO

KOTA GORONTALO

KOTA AMBON

KOTA TERNATE

JAYAPURA

KOTA JAYAPURA

Konsumsi Batubara tahun 2006 (kg)

Batu Bara (kg)

Sumber data : Badan Pusat Statistik

39

UDARA

Gambar 3.1. Besaran dan Proporsi Bahan Bakar di 30 Ibukota Provinsi

Dok: Tempo

40

UDARA

KUALITAS UDARA DI KOTA BANDUNG:Hubungan Tata Guna Lahan dengan Tekanan-Dampak-Respons

Tata guna lahan menggambarkan lahan yang berkaitan dengan fungsinya secara ekologi, sosial dan ekonomi. Contohnya, lahan hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi, lahan pemukiman didominasi oleh fungsi sosial dan lahan di mana industri berada mempunyai fungsi ekonomi. Dengan perkembangan aktivitas manusia, seringkali suatu area lahan memiliki ketiga fungsi tersebut dengan proporsi yang berbeda-beda. Perhitungan proporsi nilai fungsi lahan pada suatu area didasarkan pada suksesi (perubahan gradual dari lahan) dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi (Riqqi et al, 2008). Suksesi pada dimensi ekologi memperlihatkan perkembangan gradasi dari lahan tanah gundul yang mempunyai nilai ekologi nol, hingga tahapan klimaksnya, misalnya hutan mangrove alami dengan nilai 1. Hubungan antara ketiga dimensi fungsi pada suatu lahan tersebut dapat digambarkan dalam suatu diagram segitiga yang disebut sebagai Ternary Diagram (Gambar 3.2). Setiap sudut pada segitiga menyatakan nilai 1 atau 100% dari suatu fungsi lahan. Di sudut puncak segitiga, fungsi ekologi divisualisasikan dengan warna hijau, warna biru mewakili fungsi sosial dan dengan warna merah mewakili fungsi ekonomi. Fungsi lahan yang merupakan campuran dari ketiga dimensi dengan proporsinya masing-masing terlihat sebagai gradasi warna campuran, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1.

Gambar 3.2 Ternary Diagram

Tabel 3.1. Contoh beberapa jenis tutupan lahan dan nilai dari masing-masing fungsinya

Tutupan LahanNilai Fungsi Lahan

Ekologi Sosial EkonomiHutan 0,97 0.01 0,02Hutan Mangrove 1 0 0Ilalang 0,78 0,11 0,11Perdu 0,85 0,05 0,09Kebun Campuran 0,57 0,15 0,28Sawah 0,52 0,24 0,24Tambak 0,5 0,3 0,2Perumahan 0,06 0,69 0,25Lahan Komersial 0 0,5 0,5Kampung 0,14 0,53 0,32Pergudangan 0 0,18 0,82Kuburan 0 1 0Utilitas 0 0,18 0,82Sungai 0,81 0,09 0,01

Tata guna lahan yang mempunyai kaitan erat dengan aktivitas manusia berpengaruh terhadap sebaran dan besaran beban emisi pencemar; dan di lain pihak dapat juga mempengaruhi

populasi manusia maupun lingkungan. Peta tata guna lahan yang disederhanakan dengan peta fungsi lahan berdasarkan

Ternary Diagram yang digabungkan dengan peta distribusi emisi dan pencemar udara membantu analisis hubungan antara penyebab, potensi dampak dan perencanaan respon terhadap masalah kualitas udara.

Gambar 3.3 memperlihatkan peta fungsi lahan daerah Bandung dan sekitarnya, yang digabungkan dengan peta distribusi emisi NO2 dari kendaraan bermotor di beberapa jalan utama, dan data pemantauan konsentrasi ambien pencemar udara NO2 dari pemantauan pasif yang dilakukan Pusarpedal di 4 lokasi, yaitu dekat jalan raya (Titik A), industri (Titik B), pemukiman (C1 dan C2). Sedangkan Gambar 3.4 menunjukan peta yang sama yang digabungkan dengan peta distribusi emisi CO2 dari ruas-ruas jalan yang lebih lengkap. Berdasarkan gambar 3.4 dapat dilihat bahwa emisi pada jalan-jalan yang berada

industri mempunyai kepadatan lalulintas yang juga tinggi sehingga menunjukan beban emisi yang relatif tinggi. Pada Gambar 2 terlihat konsentrasi ambien tertinggi terpantau di lokasi yang dekat dengan jalan, dengan emisi yang relatif tinggi, tetapi berdasarkan peta emisi terlihat pula bahwa terdapat beberapa lokasi lain yang berpotensi sebagai hotspot (daerah dengan emisi tinggi) yang belum dipantau konsentrasi pencemarnya.

41

UDARA

Gabungan dari berbagai informasi yang ditampilkan dalam peta fungsi lahan dapat menghasilkan suatu analisis hubungan Tekanan-Dampak-Reseptor yang disertai dengan analisis status pada lokasi yang telah dipantau, serta perencanaan Respons yang dapat diterapkan untuk

memperbaiki kualitas lingkungan. Dari analisis tersebut, selain lokasi pemantauan yang telah ada, dapat diketahui kebutuhan umum lokasi pemantauan yang dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran status yang lebih lengkap. Contoh dari analisis dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.

Tabel 3.2. Tekanan Dampak Respons untuk Pengelolaan Kualitas Udara di Perkotaan

Titik TekananReseptor – Potensi

DampakStatus Response

A Emisi TransportasiPemukiman

kesehatan

Trend konsentrasi NO2 tertinggi dan meningkat (roadside)

- Pengendalian emisi dari transportasi dengan manajemen lalulintas

- Pemantauan kualitas udara di pemukiman di sekitarnya untuk

B IndustriPemukiman

kesehatan

Trend konsentrasi NO2 relatif tinggi dan meningkat

- Pengendalian emisi dari industri- Pemantauan kualitas udara di

pemukiman di sekitarnya untuk

C1Transportasi, Komersial

Pemukiman

kesehatan

Trend konsentrasi NO2 moderat dan meningkat

- Pemantauan kualitas udara di pemukiman

- Analisis pengaruh sumber-sumber di sekitar yang berpotensi menimbulkan dampak untuk merencanakan respons pengendalian

C2Transportasi, Komersial, Industri

Pemukiman

ekonomi

Konsentrasi NO2 moderat, Trend belum diketahui

- Pemantauan kualitas udara di pemukiman

- Analisis pengaruh sumber-sumber di sekitar yang berpotensi menimbulkan dampak untuk merencanakan respons pengendalian

1Transportasi, Pemukiman

Perlu ditelaah- Pemantauan kualitas udara untuk

mengetahui status dampak terhadap ekologi dan tanaman produktif

2 Pemukiman Ekologi Perlu ditelaah- Pemantauan kualitas udara untuk

mengetahui status dampak terhadap ekologi

3 TransportasiPemukiman

kesehatanPerlu ditelaah

- Pemantauan kualitas udara tepi jalan (roadside)

- Pemantauan kualitas udara di pemukiman di sekitarnya untuk

- Pengendalian emisi dari transportasi dengan manajemen lalulintas

4 Industri

Pemukiman

ekonomi

Perlu ditelaah

- Pemantauan kualitas udara di pemukiman dan daerah pertanian

- Analisis pengaruh sumber-sumber di sekitar yang berpotensi menimbulkan dampak untuk merencanakan respons pengendalian

42

UDARA

Titik TekananReseptor – Potensi

DampakStatus Response

5

Potensi kegiatan perkotaan yang mengemisikan pencemar udara

kerugian ekonomiPerlu ditelaah

Pemantauan kualitas udara di daerah pertanian

6Transportasi, Komersial, Industri

Pemukiman

kesehatanPerlu ditelaah

- Pemantauan kualitas udara tepi jalan (roadside) di Utara dan Selatan

- Pemantauan kualitas udara di pemukiman di sekitarnya untuk

- Pengendalian emisi dari transportasi dengan manajemen lalulintas

industri

Gambar 3.3. Peta Fungsi Lahan Kota Bandung dan Sebaran Emisi NO2 dari Transportasi dan Konsentrasi Ambien NO2

43

UDARA

Gambar 3.4. Peta Fungsi Lahan Kota Bandung dan Sebaran Emisi CO2 dari Transportasi

3.1.2. Transportasi

Transportasi pada saat ini adalah salah satu sektor yang mengkonsumsi bahan bakar minyak yang utama di samping sektor industri. Peningkatan populasi dan kebutuhan akan mobilitas belum dapat diimbangi oleh ketersediaan angkutan publik, sehingga khususnya untuk angkutan darat terjadi peningkatan kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi yang sangat pesat, terutama untuk memenuhi kebutuhan transportasi pada jarak pendek. Hal tersebut terlihat jelas

eksponensial pada jumlah mobil dan terutama sepeda motor sebagai jenis angkutan darat yang terjangkau. Pada saat ini, ketidakseimbangan antara ketersediaan sarana angkutan dengan kebutuhan, menyebabkan angkutan pribadi seperti sepeda motor pun mulai menjadi sarana transportasi jarak

Gambar 3.5. Kepadatan Lalulintas di perkotaan

44

UDARA

Sumber Data: Diolah dari Statistik Perhubungan 2010, Kementerian Perhubungan, 2011.

pergerakan masyarakat di wilayah Indonesia. Hal ini akan menimbulkan peningkatan kebutuhan akan pengelolaan lingkungan yang diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi udara. Peningkatan ini berpotensi menghasilkan dampak lingkungan yang berasal dari gas buang, emisi gas rumah kaca dan kebisingan di sekitar pelabuhan udara, serta di lapisan atmosfer yang lebih tinggi.

Hal yang sama juga terlihat pada transportasi air, sebagai contoh dapat digambarkan dengan peningkatan jumlah

jasa labuh sebesar 7%, dan pada tahun 2009-2010 terjadi peningkatan yang terbesar. Peningkatan transportasi air ini akan meningkatkan pula kebutuhan akan bahan bakar, dan pada akhirnya emisi gas buang yang dihasilkan.

Selain angkutan darat, perlu diperhatikan juga kecenderungan kenaikan jumlah kebutuhan akan angkutan udara dan angkutan air, baik laut maupun sungai. Kebutuhan akan mobilitas bagi orang dan barang dengan angkutan non-darat ini akan semakin meningkat di masa mendatang, demikian juga dengan konsekuensinya pada lingkungan. Sebagai gambaran, dari

3.4). Pergerakan pada moda udara meningkat, rata-rata sebesar 3% per tahun, di mana pada tahun terakhir dari tahun 2009 ke 2010 terjadi peningkatan pesat sebesar 15%. Proporsi penerbangan domestik selama 5 tahun

jelas pada jumlah penumpang yang terangkut (data tidak ditampilkan), mengindikasikan peningkatan kebutuhan

45

UDARA

Sumber: Statistik Perhubungan Buku I, 2011.Catatan: AP : Angkasa Pura

Sumber: Statistik Perhubungan Buku I, 2011.Catatan: AP : Angkasa Pura

46

UDARA

3.1.3. Sampah Domestik

Sampah di perkotaan yang tak terangkut menjadi sumber pencemar udara baik secara langsung maupun tidak langsung. Besarnya timbulan sampah terkait erat dengan jumlah populasi penduduk, dengan demikian jumlah penduduk yang cenderung meningkat pada saat ini berpotensi menimbulkan konsekuensi peningkatan emisi pencemaran udara dari sektor ini. Pembakaran sampah menjadi jalan keluar individual yang terpaksa dilakukan oleh masyarakat pada saat layanan pengangkutan dan pengolahan sampah tidak mencukupi, menimbulkan emisi gas-gas seperti NOx, SO2, senyawa-senyawa karbon. Sampah yang tak terangkut dan tidak dimusnahkan dengan cara dibakar, kemungkinan dibuang ke badan air atau tanah, yang menimbulkan emisi gas-gas berbau dan gas rumah kaca seperti CH4.

Sampah menjadi faktor penekan terhadap lingkungan udara di daerah-daerah dengan populasi manusia yang tinggi, seperti di perkotaan. Timbulan sampah terbesar terjadi di Pulau Jawa di mana kota-kotanya memiliki

populasi penduduk yang padat. Pada tahun 2007 timbulan sampah mencapai hampir 65.000 m3

menjadi mendekati 70.000 m3

pulau lain dengan luas lahan yang lebih besar, seperti Sumatera yang hanya mencapai kurang dari sepertiga volume sampah di Jawa, sedang daerah-daerah lain di Indonesia umumnya tidak mencapai 10000 m3

2009 (Sub-bab 8.1 Gambar 8.2). Dari total volume sampah tersebut, hanya sekitar 70% dapat terangkut ke , mengindikasikan masalah pencemaran udara dari sampah yang tak terangkut, sehingga cara pemusnahan dengan dibakar, dibuang ke badan air atau lahan lain kemungkinan semakin meningkat.

Timbulan sampah yang tidak dikelola dengan semestinya menimbulkan persoalan kualitas udara. Sebagai contoh, untuk wilayah Bandung Metropolitan (Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Cimahi) secara total data pada tahun 2004, sampah yang tak terangkut rata-rata sekitar 55% (SLHI 2009, Tabel 8.1). Statistik terbaru dibutuhkan untuk mengetahui statusnya pada saat ini terutama

Gambar 3.6. Pembakaran Sampah Terbuka

47

UDARA

yang berkaitan dengan pencemaran udara. Sampah yang terdekomposisi secara anaerobik menghasilkan gas rumah kaca berupa gas metana (CH4) yang mempunyai nilai potensi pemanasan global 21 kali dari CO2. Selain CH4, sampah yang tertimbun di lahan terbuka atau dibuang ke badan air dan mengalami proses pembusukan menghasilkan gas-gas H2S, NH3 yang mencemari udara.

Pembakaran sampah terbuka selain menghasilkan CO2 juga menghasilkan gas-gas pencemar berupa CO, partikulat termasuk partikel logam berat, dan gas-gas buang lain seperti hidrokarbon (HC), SO2 dan NO2. Pembakaran sampah terbuka dapat terjadi pada sampah

rumah tangga, maupun terbakar di area .

Tabel 3.3. Proporsi Beberapa Kegiatan Energi dan Migas terhadap Emisi Gas Rumah Kaca dan Pencemar Udara

Bidang Usaha CH4 (CO2e)

CO2N2O

(CO2e)Total CO2e

NOx SOx VOC PM

Eksplorasi Migas 24.788,38 571.330,60 573,91 594.562,273 1.910,38 11,05 1.696,09 41,1

Pengilangan 22.283,26 44.315,80 35.753.223,07 6.695.659,365 14.755,55 5.148,76 79.868,53 1.166,09

PLTU 11.279,621 11.279.620,74 169.041,99 245.759,95 174.112,93

Sumber: diolah dari data KLHKeterangan: CO2e : beban emisi GRK diekivalensikan ke CO2

Gambar 3.7. Sebaran Beban Emisi CO2 dari Kegiatan Pembangkit Tahun 2010

3.1.4. Industri

Berbagai sektor industri mengemisikan pencemar udara dan GRK. Dengan mulai dilakukannya pendataan beban emisi dari beberapa sektor industri, khususnya industri minyak dan gas dan pembangkit, dapat diketahui proporsi emisi dari masing-masing kegiatan tersebut. Secara total dari 3 kegiat-an yang telah terdata emisinya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Sedangkan sebaran spasial dari masing-masing sumber emisi CO2 dan NO2 dari kegiatan pembangkit energi

luasi hasil kegiatan pengurangan emisi yang telah dilakukan, lebih banyak jenis industri perlu disertakan dalam inventari-sasi beban emisi. Hal ini akan menunjang evaluasi usaha-usaha pengurangan emisi secara nasional, dan penentuan arah kebijakan pengelolaan lingkungan yang akan datang.

48

UDARA

Gambar 3.8. Sebaran Beban Emisi NO2 dari Kegiatan Pembangkit Tahun 2010

otomatis sebanyak 43 stasiun yang tersebar di 10 kota, dengan jumlah rata-rata lokasi pemantauan per kota

dari hasil pemantauan adalah untuk menentukan Index Standar Pencemar Udara (ISPU) yang merupakan indikator kualitas udara suatu kota. SLHI 2009 telah memuat hasil pemantauan dari jaringan AQMS dimana berdasarkan

yang sering menjadi parameter kritis adalah PM10, diikuti oleh ozon (Tabel 2.1., SLHI 2009). PM10 adalah partikel dengan diameter di bawah 10 mikrometer, sehingga bersifat inhalable. Selain secara langsung menimbulkan dampak kesehatan, partikel yang mengandung senyawa karbon dapat mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel pada permukaannya. Pencemar kritis tersering yang kedua, yaitu ozon adalah pencemar sekunder yang terbentuk di atmosfer dari reaksi fotokimia NOx dan HC. Ozon bersifat oksidator kuat, karena itu pencemaran oleh ozon troposferik dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi kesehatan manusia.

Berdasarkan SLHI 2009 (Gambar 3.1) dengan data tahun

jumlah perolehan data masih membutuhkan perhatian yang serius. Terdapat 7 kota yang sedikitnya mempunyai

3.2. Status Kualitas Udara

3.2.1. Pencemar Udara

Status kualitas udara dilihat dari data pemantauan. Pemantauan kualitas udara di Indonesia dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:1. Alat pemantauan otomatis dari Jaringan AQMS yang

dilakukan di 10 kota besar di Indonesia dengan data dilaporkan secara kontinu ke KLH .

2. Alat pemantauan manual aktif; dilakukan secara ad hoc atau teratur di beberapa titik. Data ini tidak selalu tersedia.

3. Alat pemantauan pasif yang dilakukan di sekitar 30 ibukota provinsi.

Parameter pencemar yang dipantau umumnya adalah parameter pencemar kriteria, yaitu SOx, NOx, CO, O3 dan partikulat PM10. Pemantauan terhadap Gas Rumah Kaca dan komposisi kimia air hujan dilakukan di beberapa kota di Indonesia oleh berbagai institusi seperti LAPAN dan BMKG, selain oleh Pusarpedal KLH.

Kementerian Lingkungan Hidup mengembangkan Jaringan Pemantauan Kualitas Udara (Air Quality Monitoring System) dengan alat pemantau udara secara

49

UDARA

setahun data dengan kehilangan data 100%. Perolehan data umumnya lebih kecil dari 40% bahkan hingga 0%. Di Jakarta, Surabaya dan Palangkaraya kondisi pemantauan kualitas udara otomatis umumnya relatif baik, dengan

atau mendekati, serta Pekanbaru dan Jambi pada tahun terakhir (2008) (Gambar 3.1., SLHI 2009). Dengan semakin meningkatnya tekanan terhadap kualitas udara, dibutuhkan revitalisasi dan pengembangan jaringan AQMS untuk mendapatkan data yang memadai dan dapat dipergunakan untuk pengembangan dan evaluasi kebijakan lingkungan, khususnya kualitas udara.

Di samping AQMS, KLH juga melakukan pemantauan kualitas udara dengan alat pemantau pasif. Alat pemantauan pasif menggunakan prinsip difusi gas pada absorben tertentu yang akan menangkap gas pencemar. Alat ini memiliki kelebihan sangat praktis dari segi pengambilan sampel, sehingga dapat dilakukan di banyak tempat dan cocok untuk pengamatan variasi konsentrasi dalam skala ruang dan temporal dalam jangka panjang. Pemantauan dengan metode ini di Indonesia telah dilakukan oleh Pusarpedal sejak tahun 2005 hingga 2010 di sekitar 30 kota, umumnya adalah ibukota provinsi.

Pemantauan dilakukan pada 2 parameter yaitu SO2 dan NO2, dilakukan sebanyak 4 kali 1 tahun dengan durasi masing-masing 1 minggu. Jumlah titik pemantauan di tiap kota sebanyak 3 - 4 titik, mewakili tata guna lahan utama di perkotaan, yaitu 1 atau 2 titik di daerah pemukiman, 1

mewakili daerah industri. Dari data pemantauan tersebut dilakukan perhitungan nilai konsentrasi rata-rata tahunan di masing-masing kota.

trasi NO2 di ibukota provinsi di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan 2010. Kota-kota di Jawa, Bali dan Lombok, serta di Sumatera dan beberapa kota di Kalimantan yang relatif padat penduduk atau kegiatan industrinya menunjukan konsentrasi NO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota di Indonesia Bagian Timur. Pembakaran bahan bakar fosil adalah sumber dari emisi NO2, oleh sebab itu seringkali kendaraan bermotor menjadi salah satu pengemisi NOx di perkotaan yang utama. Dengan bertambahnya populasi kendaraan

2 pun cenderung meningkat. Kondisi ini perlu dicermati karena senyawa NOx adalah senyawa kimia yang memiliki dampak kesehatan

50

UDARA

Gambar 3.9. Trend Konsentrasi NO2 di 30 Ibukota Provinsi 2005 - 2010

yang telah diketahui, seperti dapat menyebabkan iritasi pada dinding alat pernafasan dan penyempitan saluran nafas baik pada orang yang sehat maupun pada penderita asma. Selain itu, senyawa ini juga merupakan senyawa pemicu (prekursor) bagi terbentuknya asap kabut (asbut) fotokimia, yaitu kekeruhan di atmosfer akibat adanya aerosol dan gas-gas yang terbentuk karena adanya reaksi fotokimia. Asbut telah banyak teramati di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.

Gas SO2 telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernafasan. Berlawanan dengan NO2, Terlihat kecenderungan penurunan konsentrasi SO2 di hampir setiap kota yang dipantau (Gambar 3.10). Pada pembakaran bahan bakar fosil, terutama solar dan batubara, sumber dari SO2 adalah kandungan sulfur di dalam bahan bakar. Dengan penggunaan bahan bakar fosil yang pada saat ini masih memiliki kecenderungan meningkat, belum dapat diketahui penyebab menurunnya konsentrasi di sebagian besar kota tersebut. Salah satu kemungkinan adalah terkonversinya gas SO2 di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat, sehingga tidak dapat terdeteksi oleh alat pemantau pasif.

Selain data pemantauan pasif, melalui program Langit Biru, KLH juga melakukan pemantauan kualitas udara tepi jalan (roadside) di beberapa kota besar di Indonesia. Di tiap kota, kualitas udara tepi jalan diwakili oleh 3 titik pemantauan. Program ini telah berjalan sejak tahun 2007 sebagai bagian dari Pengelolaan Transportasi yang digunakan sebagai kriteria evaluasi kualitas udara perkotaan. Program dimulai dengan 12 kota, kemudian meningkat menjadi 16 kota pada tahun 2008. Kegiatan ini dilaksanakan kembali pada tahun 2011 dengan jumlah pemantauan bertambah menjadi 26 kota. Kegiatan yang dilakukan berupa uji emisi, pemantauan kualitas udara tepi jalan (roadside) dan kinerja lalulintas. Pada tahun 2007, kegiatan pemantauan udara tepi jalan memantau 6 parameter, yaitu NOx, SO2, CO, HC, PM10 dan O3, sedangkan pada tahun 2008 hanya 4 parameter yang merupakan pencemar primer dari kendaraan bermotor, yaitu NOx, SO2, CO dan HC. Terdapat banyak sumber yang berpengaruh pada konsentrasi PM10. Hasil pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor dapat menjadi salah satu sumbernya, terutama dari pembakaran bahan bakar solar. Pada laporan ini ditampilkan data dari tahun

yang sekaligus digunakan sebagai bagian dari penilaian Adipura untuk tahun 2011 tengah berlangsung.

51

UDARA

Secara umum dari data 2 tahun berturut-turut tersebut terjadi kenaikan konsentrasi pencemar, walaupun konsentrasi tersebut sebagian besar masih di bawah ambang batas, kecuali untuk parameter hidrokarbon. Trend meningkat untuk parameter CO dan HC terjadi di 12 kota yang dipantau di kedua tahun tersebut, sedangkan untuk parameter NO2 terjadi di 7 dari 12 kota, dan SO2 di 9 dari 12 kota. Hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan pemakaian bahan

bakar, termasuk kemungkinan bahan bakar solar. Hasil pemantauan ini relevan dengan data pada sub-bab 3.1.1 dimana terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor, yang kemudian sebagai dampak selanjutnya adalah bertambahnya kemacetan atau pengurangan kecepatan pada ruas-ruas jalan yang dipantau, sehingga meningkatkan emisi CO dan

Gambar 3.10. Trend Konsentrasi SO2 di 30 Ibukota Provinsi 2005 - 2010

Trend Konsentrasi Pemantauan CO di Tepi Jalan tahun 2007 – 2008

Sumber data: Program Langit Biru, KLH

52

UDARA

Trend Konsentrasi Pemantauan HC di Tepi Jalan Tahun 2007 – 2008

Sumber data: Program Langit Biru, KLH

Trend Konsentrasi Pemantauan NO2 di Tepi Jalan Tahun 2007 – 2008

Sumber data: Program Langit Biru, KLH

53

UDARA

Trend Konsentrasi Pemantauan SO2 di Tepi Jalan Tahun 2007 – 2008

Sumber data: Program Langit Biru, KLH

Trend Konsentrasi Pemantauan PM10 di Tepi Jalan Tahun 2007 – 2008

Sumber data: Program Langit Biru, KLH

54

UDARA

3.2.2. Deposisi Asam

Jaringan Acid Deposition Monitoring Network in East Asia (EANET) memantau komposisi kimia air hujan di beberapa negara di Asia Timur termasuk di Indonesia sebanyak 4 kota, yaitu Jakarta, Bandung, Serpong, Kototabang sejak 2001, serta di Maros sejak 2008. Berdasar nilai kadar keasaman (pH) rata-rata tahunan air hujan di 4 kota, umumnya nilai pH berada di bawah pH air hujan normal (5,6). Hal ini terdeteksi termasuk di kota Kototabang yang berlokasi di daerah dengan tingkat pencemaran yang

pH tampak lebih terlihat dari data pemantauan di kota Jakarta, dan Serpong yang pada tahun-tahun terakhir berkisar pada nilai 4,6. Penurunan pH ini diperkirakan terjadi akibat meningkatnya konsentrasi senyawa nitrat dan sulfat dari proses konversi dari gas NO2 dan SO2 yang diemisikan ke atmosfer, dan tidak dapat diimbangi oleh proses penetralan alamiah.

hujan di 5 kota di Indonesia

Sumber data: EANET

55

UDARA

3.2.3. Gas Rumah Kaca

SLHI 2009 memberikan data konsentrasi ambien GRK di stasiun pemantauan Kototabang, salah satu stasiun peman-tau dari Global Atmosphere Watch (GAW) yang berlokasi di Indonesia. Pemantauan di Kototabang merepresentasikan kondisi atmosfer secara umum, karena terletak di daerah yang relatif jauh dari sumber-sumber emisi. Di stasiun ini diamati GRK utama, yaitu CO2, CH4, N2O dan SF6

-ga 2009 di Kototabang terjadi kenaikan CO2

tahun, CH4

6 kurang dari 1 ppt per tahun. Kecen-derungan kenaikan konsentrasi GRK meskipun untuk bebe-rapa parameter tampak relative kecil tetapi telah mengindi-kasikan diperlukannya respons untuk mengendalikan GRK.

Indonesia dan Global (SLHI 2009)

CO2 Mixing Ratio Comparison395

390

385

380

375

370

3652004 2005 2006 2007 2008 2009

Time Series

CO2 p

pm

sumber : BMKG, 2010

6 di stasiun GAW-Bukit-kototabang (SLHI 2009)

7.4

7.27.0

6.8

5.8

5.65.4

5.22004 2005 2006 2007 2008 2009

6.66.4

6.2

6.0

Mix

ing

Rat

io (p

pt)

Time Series

sumber : BMKG, 2010

3.3. Upaya Pengendalian Pencemaran

3.3. 1. Pengendalian Emisi dari Sumber Bergerak

Untuk mengendalikan emisi dari sumber bergerak telah dilakukan beberapa respons, baik program baru maupun lanjutan, yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maupun sektor-sektor terkait. KLH mencanangkan Program Langit Biru sejak tahun 2004, termasuk pengembangan standard dan teknologi untuk emisi dan kebisingan kendaraan bermotor, bahan bakar bersih, inspeksi dan perawatan kendaraan bermotor, pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat. Kementerian Perhubungan sebagai sektor yang paling

Dok: PLN

56

UDARA

Tabel 3.4. PENURUNAN GAS RUMAH KACA MELALUI PROGRAM PENILAIAN PERINGKAT KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (PROPER)

NAMA PERUSAHAANUPAYA PENGENDALIAN

PENCEMARANPENURUNAN GAS RUMAH

KACA

1. Chevron Geothermal Indonesia Ltd.

Pembangunan proyek rendah

Geothermal)

650. . dengan reduksi emisi yang

Emission Reduction (CERs) sebanyak 90.804 CO2 ton. pada tanggal 11 Juni 2009.

2. PT. Badak NGL Hasil program Plant Thermal

ini kemudian dibandingkan dengan 10 Kilang LNG utama di Dunia, pencapaian PT Badak NGL untuk Corrected Energy & Loss (CEL) mencapai peringkat 3 terbaik, untuk Energy Index dan Site Carbon Management Index (SCMI) mencapai 4 terbaik.

program termasuk di dalamnya program :

a. Menurunkan yang di di

Penurunan emisi GHG 8.363 ton CO2e per tahun

b. Menurunkan yang di di blowdown system

Penurunan emisi GHG 1.647 ton CO2e per tahun

c. Menurunkan proses cooldown Main Heat Exchanger

Penurunan emisi GHG 5.018 ton CO2e per tahun

d. Menurunkan gas pada system sampling proses train

Penurunan emisi GHG 171 ton CO2e per tahun

e. Menurunkan gas dalam proses Plant

Penurunan emisi GHG 736 ton CO2e per tahun

f. Menurunkan gas selama proses derime

Penurunan emisi GHG 2.356 ton CO2e per tahun

3. PT. Adaro Indonesia Pemanfaatan biodisel 20 % (B20) dari minyak jarak untuk kendaraan operasional berat

pengurangan emisi CO2 mencapai 20.000 ton CO2 per tahun.

4. PT. Pertamina (Persero) Pertamina memiliki Rencana Aksi

2015 melalui Program teknologi bersih meliputi pemanfaatan gas

secara bertahap

Program teknologi bersih mengurangi emisi GRK sampai 520 ribu ton CO2.

Program konversi minyak tanah ke LGP pada tahun 2010

Mengurangi GRK sebesar 6.617.946 juta Ton CO2e

terkait dengan pelaksanaan pengendalian emisi mengembangkan program Bus Rapid Transit (BRT) dan pemberian penghargaan Wahana Tata Nugraha kepada kota-kota yang mengembangkan transportasi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Deskripsi dari berbagai kegiatan tersebut sebagian telah diberikan pada SLHI 2009. Kegiatan baru yang dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan adalah Public Transport Day. Pada program ini adalah program internal di dalam Kemenhub yang mewajibkan penggunaan kendaraan umum 1 hari dalam seminggu.

3.3.2. Pengendalian Gas Rumah Kaca (CO2) dari Sumber Industri

Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan pendataan beban emisi dari beberapa industri, seperti pembangkit listrik dan eksplorasi minyak dan gas sejak tahun 2009, terdiri dari pencemar udara SOx, NOx, partikulat, CO, NMHC dan gas rumah kaca yaitu CO2, CH4, N2O. Tindakan penurunan GRK telah dilakukan oleh beberapa perusahaan melalui program yang dapat dilihat pada Tabel. 3.4.

57

UDARA

NAMA PERUSAHAANUPAYA PENGENDALIAN

PENCEMARANPENURUNAN GAS RUMAH

KACA

untuk kebutuhan industry, PLTU, maupun dimanfaatkan untuk LPG Plant; dan penggunaan roof untuk pembangunan tangki timbun BBM yang baru

Memproduksi produk ramah lingkungan seperti Musicool, Hydrocabon Aerosol Propelant dan Solven

Pemakaian Musicool sebesar 57 Metrik Ton pada tahun 2010 menurunkan emisi GRK adalah sebesar 60 ribu Ton CO2.

5. Proyek MP3 Emisi Sumatera Light North

Mengurangi 126.504 ton CO2e per tahun

Pembangunan fasilitas pembakaran gas buang Enclosed Ground Flare (EGF) atau incineratortercapainya nil gas buang (zero venting) di area 1-4

Mengurangi 1.566.600 tonCO2e per tahun

6. PT. Medco Energi Internasional Optimasi proses dan pemanfaatan gas ikutan yang sebelumnya hanya di kemudian dimanfaatkan menjadi gas yang dijual kemudian elpiji dan listrik

Dari tahun 2008-2010 menurunkan CO2e per tahun (akumulatif 2010)

Penanaman 239.000 batang pohon dengan luas 283 hektare

Menyerap CO2 sebanyak 47.298 ton CO2e per tahun

Penggunaan BBG pada 26 mobil operasional

Mengurangi emisi 320 ton CO2e per tahun

Program antar jemput karyawan di kantor Jakarta.

Mengurangi emisi 1164 CO2e per tahun

7. PT. Arutmin Indonesia, Tambang Senakin

Sampai dengan tahun 2010 Revegetasi = 1696,86 ha

Absorpsi CO2 Senakin 21.710

CO2e per tahun

8. PT. Unilever Cikarang Project Al Gore - mengurangai dimensi Pembungkus Detergen, pada tahun 2010.

Mengurangi 500 ton per tahun plastic, setara 3.000 ton CO2e per tahun

Administrasi elektronik sehingga mengurangi kertas

mengurangi GRK 136 kg CO2e per tahun.

Program antar jemput karyawan mengurangi GRK 77 ton CO2e per tahun

9. PT . Unilever Cikarang Manajemen energi. Mengurangi emisi GRK 594 ton CO2e per tahun.

Pemanfaatan panas dari gas pembakaran untuk pemanasan air di boiler. Hasilnya 2,5 ton per tahun.

Pemakaian TDS kontrol sensor untuk mengurangi kehilangan panas pada boiler.

Hasilnya 75 ton CO2.

58

UDARA

NAMA PERUSAHAANUPAYA PENGENDALIAN

PENCEMARANPENURUNAN GAS RUMAH

KACA

10. Kodeco Energy, Co., Ltd. Mengurangi Flaring Gas basis emisi tahun 2001-2011.

Terjadi pengurangan CO2 sebesar 66.750 ton.

11. PT. Jababeka Tbk. Mengganti sistem IPAL dan penggunaan inverter pada pompa distribusi.

Hasilnya CO2 2.607 ton per tahun.

Mengikuti Program CDM Power Plant kapasitas 130 MWh.

Potensi reduksi karbon setara 327.443 ton CO2 per tahun.

12. PT. Jawa Power Optimasi pengoperasian Desalination RO Plant.

Hasilnya 1.668 CO2e per tahun.

Optimasi pengoperasian FGD. Hasilnya 15.168 CO2e per tahun.

13. Toba Pulp Lestari Program Hutan Tanaman Rakyat (PKR) pada areal tanah kosong milik masyarakat.

Serapan CO2 tahun 2006-2010 sebanyak 161.102,4 ton per tahun dan rata-rata sebanyak 146.681 ton per tahun.

14. PT. Nestle Indonesia Pabrik Kejayan.

Penggantian genset dengan turbin berbahan gas alam dan Co-generation.

Pada tahun 2010 mengurangi CO2 sebesar 26.000 ton per tahun

15. PT. TOTAL E&P Indonesia Penurunan GHG dari Fuel di lapangan CPA.

2008: 340,02 ton CO2 eq,2009: 282,45 ton CO2 eq,

Penurunan GHG dari Fuel di 2008: 248,45 ton CO2 eq,2009: 216,73 ton CO2 eq,

Penurunan GHG dari Flare di lapangan CPA.

2008: 108,23 ton CO2 eq,2009: 88,63 ton CO2 eq,

Utara.

2008: 434,16 ton CO2 eq,2009: 88,63 ton CO2 eq,

16. PT. KPC Revegetasi di lahan Reklamasi. Luas lahan 4.095,21 Ha dengan serapan karbon pada tahun 2011 sebesar 36.284,97 ton.

17. PT. Tri Polyta Indonesia Tbk. Pemasangan Jumper lain di vent recovery system dan penggantian electric fan menjadi non electric fan, optimasi pabrik penghasil No2 dan SO2

Pada tahun 2009 mengurangi emisi sebesar 8.000 ton.

Pemasangan Jumper lain di vent recovery system untuk mengoptimalkan pengambilan kembali (recovery) gas propylene menjadi produk (polypropylene).

Pengurangan emisi CO2 rata-rata sebesar 5.500 ton CO2 per tahun.

18. PT. YKK Zipper Indonesia Pabrik Cibitung

Sinkronisasi genset dengan PLN. Pada tahun 2010 mengurangi CO2 sebesar 13.5 ton.

59

UDARA

Hutan tropis di Indonesia menduduki urutan ketiga ter-luas di dunia, namun di sisi lain laju kehilangan hutannya relatif sangat cepat. Oleh karena itu, Indonesia memi-liki posisi sa ngat penting dalam mensukseskan program Pengu rangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus (REDD+)). Sebagian besar pengurangan emisi terse-but akan diperoleh dari sektor kehutanan dan tata guna lahan, karena merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia.

Bali Action Plan paragraf 1 b (iii), yaitu ‘pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan pengurangan emisi yang berasal dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang.

Gagasan REDD Plus secara resmi dinyatakan dalam Copenhagen Accord. Dalam hal ini, Copenhagen Accord telah mendorong pemberian insentif positif untuk aktivitas yang terkait dengan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari degradasi hutan dan peranan konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang (REDD Plus) melalui pembentukan mekanisme REDD Plus. Penggunaan insentif positif ini dimaksudkan untuk memobilisasi sumber daya keuangan negara maju ke negara berkembang. Dengan demikian, Indonesia mendesak dan mendukung pelaksanaan REDD Plus dan metodologinya.

Pembentukan mekanisme implementasi REDD Plus sangat penting bagi Indonesia, karena akan memberikan manfaat bagi pembangunan Indonesia. Pelaksanaan mekanisme REDD Plus di Indonesia tidak hanya berguna untuk kepentingan pembangunan lingkungan saja seperti Penurunan Emisi GRK dari deforestrasi dan degradasi hutan serta meningkatkan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan stok karbon hutan, tetapi juga berguna bagi pembangunan ekonomi dan sosial, seperti halnya peningkatan taraf hidup masyarakat setempat.

Salah satu elemen yang tercakup dalam Cancun Agree-ment terkait dengan posisi Indonesia mengenai REDD

nasional reference emissions level/Reference level serta safeguards telah di-setujui dan masuk dalam keputusan COP-16 UNFCCC.

Dengan keputusan tersebut, implementasi REDD+ di Indonesia akan meningkatkan kontribusi mitigasi perubahan iklim untuk mencapai target reduksi emisi nasional yang telah ditetapkan pemerintah.

Sebagai dasar dalam melakukan penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan yang terkait dengan REDD+, pemerintah Indonesia menyusun Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+). Penyusunan Stranas REDD+ dilatarbelakangi dengan adanya komit-men dari Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (business as usualaksi). Sebagian besar pengurangan emisi GRK tersebut diperkirakan berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan karena merupakan sumber emisi paling besar dari emisi Indonesia. Kondisi ini kemudian distimulasi dengan ditandatanganinya Letter of Intent antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Norwegia yang mensyaratkan pembentukan suatu strategi nasional yang disusun secara inklusif.

Terkait dengan LoI antara Indonesia dan Norwegia, tujuan utama kemitraan ini adalah untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, dengan tahapan pembayaran ber-dasarkan kemampuan Indonesia untuk menurunkan emisi.

Implementasi tahap pertama adalah persiapan. Tahap 2 dari kemitraan ini akan dimulai awal tahun 2012 termasuk pembentukan Lembaga REDD plus Indonesia, pengembangan lanjutan yang menyeluruh dari strategi nasional REDD plus, penciptaan instrumen pembiayaan, pengembangan kerangka kerja pelaporan, monitoring dan

pelaksanaan moratorium selama dua tahun untuk konsesi baru atas hutan dan lahan gambut.

Kotak 3.2.

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+)

60

UDARA

Sebagaimana yang tertuang dalam Draft Strategi Nasional REDD Plus, keberhasilan REDD Plus memiliki tiga unsur independent utama yakni :a. Memastikan adanya penurunan emisi GRK dari

deforestasi dan degradasi [sebagai bagian dari penurunan emisi sebesar 26% - 41% (BAU 2020)].

b. Memastikan , termasuk kompensasi pendanaan dan perdagangan, yang memadai dari sumber-sumber internasional untuk penurunan emisi yang tercapai.

c. Memastikan adanya manfaat untuk peningkatan kesejah teraan dan economic prospect untuk masyarakat di lapangan.

Ketiga unsur tersebut dimaksudkan dalam rangka mendorong Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkesinambungan sebagai aset nasional yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Strategi-strategi yang ditawarkan dalam Stranas REDD+ antara lain (1). Membangun kelembagaan REDD+; (2). Menelaah dan memperkuat kerangka hukum dan per-aturan (Penataan dan penggunaan ruang, tenurial, Pen-gelolaan hutan dan lahan gambut, Pemantauan hutan dan penegakan hukum, Penangguhan izin selama 2 tahun); (3). Meluncurkan program program strategis (Pengelolaan lansekap yang berkelanjutan, Sistem ekonomi peman-faatan SDA secara Lestari, Konservasi dan restorasi); (4). Perubahan paradigm dan budaya kerja; (5). Pelibatan ma-syarakat hutan dan berbagai pemangku kepentingan.

Salah satu progress Indonesia dalam rangka menyeim-bangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, telah dikeluarkan Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada tanggal 20 Mei 2011.

Penundaan pemberian izin baru berlaku bagi penggunaan kawasan hutan alam primer dan lahan gambut, dengan pengecualian diberikan kepada: a. Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip

dari Menteri Kehutanan;b. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat

vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi,

ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu;

penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan

d. Restorasi ekosistem. Kebijakan moratorium ini diinstruksikan kepada Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala UKP4, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Bakorsutranal, Ketua Satgas REDD+, seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota se Indonesia.

Sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan dalam instruksi presiden ini, Menteri Lingkungan Hidup melakukan upaya pengurangan emisi dari hutan dan lahan gambut melalui perbaikan tata kelola pada kegiatan usaha yang diusulkan pada hutan dan lahan gambut yang ditetapkan dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru melalui izin lingkungan.

Pada tanggal 8 September 2011 Presiden telah menetapkan dan menandatangani Keputusan Presiden RI tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Satgas Kelembagaan REDD+ berada dibawah dan tanggung jawab langsung kepada Presiden.

Adapun Tugas Satgas Kelembagaan REDD+ adalah melaksanakan kegiatan pesiapan untuk implementasi Surat Niat dengan Pemerintah Norwegia, yang mencakup:a. Menyiapkan pembentukan kelembagaan REDD+b. Mengkoordinasikan penyusunan strategi nasional

REDD+c. Menyiapkan instrument dan mekanisme pendanaan

REDD+measurable,

, atau terukur, terlaporkan dan

e. Melaksanakan kegiatan REDD+ di provinsi percontohan pertama dan menyusun kriteria pemilihan provinsi percontohan kedua;

f. Melaksanakan pemantauan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Kementerian Lingkungan Hidup, dalam hal ini Ir. Arief Yuwono, MA merupakan salah satu anggota tersebut.

61

UDARA

Kotak 3.3.

PENGELOLAAN KUALITAS UDARA DI DKI JAKARTA

Dengan menggunakan data 2008 sebagai tahun acuan (baseline) DKI telah melakukan inventarisasi emisi yang memberikan informasi proporsi kontribusi dari beberapa kegiatan utama di perkotaan dalam beban emisi pencemar udara di perkotaan. Transportasi memberikan kontribusi

yang dominan terhadap sebagian besar parameter pencemar, bahkan hingga diatas 80%, yaitu untuk parameter CO sebanyak 98%, HC sebanyak 90% dan NOx sebanyak 83%. Pembangkit listrik menempati urutan yang kedua dengan kontribusi terhadap SO2 sebesar 81%.

a) CO b) HC

Dok: Polagrade

Rumah Tangga

0%

Industri2 %S hSampah

0 %

PPembangkit Listrik

0 0 %%

Transportasi9898 %%

RumahTangga

0%

Industri10 %

S hSampah0 %

PembangkitListrik

0 %

Transportasi990 90 %%

62

UDARA

c) NOx d) SO2

e) PM10 f) CO2

Sumber: Suhadi dan Emerentiana, 2009

Tabel 3.5. Beban Emisi Pencemar Udara dan Gas Rumah Kaca di DKI Jakarta tahun 2008

Sumber SO2 NO2 PM10 HC CO CO2 CH4 N2O

Pembangkit listrik 41.938 17.921 2.190 694 2.064 8.820.164 42 2.167

Industri 3.873 2.348 1.042 25.762 29.180 2.129.885 38 49

Rumah tangga 218 840 33 34 223 883.956 87 3

Transportasi 6.323 108.756 10.340 219.311 1.153.447 11.744.480 7.411 407

Sampah - - - - - 1.658.739 74.456 -

Total 52.352 129.865 13.604 245.802 1.184.914 25.237.224 82.033 2.627

Sumber: Suhadi dan Emerentiana, 2009.

Kota Jakarta dapat menjadi salah satu contoh daerah yang telah mengembangkan sistem pengelolaan kualitas udara secara terintegrasi. Sistem pemantauan kualitas udara telah dibangun sejak tahun 1980, Pada tahun 1992, telah beroperasi 9 stasiun manual aktif serta 4 stasiun pemantau otomatis. Keempat stasiun otomatis tersebut berhenti beroperasi sejak tahun 2000. Pada tahun 2001, 5 stasiun pemantau otomatis dibangun di DKI Jakarta sebagai bagian dari jaringan AQMS. Perawatan stasiun otomatis

tersebut dilakukan dengan baik sehingga perolehan data

Transportasi sebagai sektor yang dominan terhadap pencemaran udara di DKI Jakarta telah diketahui sejak beberapa lebih dari satu dekade yang lalu, tetapi hasil studi memberikan gambaran mengenai tingkat emisi pada saat sekarang. Dengan mengetahui peranan transportasi sebagai kontributor utama pencemaran udara, DKI Jakarta adalah kota pertama di Indonesia

O

Sampah0 %

Rumah Tangga

1 %

Industri2 %

Transportasi83 %

Pembangkit Listrik14 %

PPe b kitmbangkit listrik8 %

S hSampah0 %

transportasi12 12 %%Rumah

Tangga0%

Industri7 %

NOOx 83 %

Transportasi78 %

Rumah Tangga

0%

Industri8 %

Sampah0 %

PPe b kitgmbangkit listrik16 %

S

CO

SO2

81 %

Transportasi46 %

Rumah Tangga

4 %

Industri8 %

PPembangkit listrikstrik35 %

SampahSampah77 %

63

UDARA

yang memiliki stasiun pemantau kualitas udara otomatis yang ditujukan sebagai pemantau roadside. Stasiun yang berlokasi di tepi Jalan Thamrin tersebut mulai beroperasi pada tahun 2010 (Box. 3.1, SLHI 2009). Pada tahun 2011, DKI Jakarta menambah lokasi pemantauan kualitas udara otomatis di 3 lokasi, yaitu di Jagakarsa, Lubangbuaya dan Kelapa Gading, sehingga pada saat ini beroperasi 8 stasiun otomatis ditambah dengan 1 stasiun otomatis roadside, serta 9 stasiun aktif manual. Hal ini akan meningkatkan informasi variasi konsentrasi pencemar secara spasial.

Dok: Polagrade

Daftar PustakaSuhadi, D. R., dan Emerintiana, G., Inventarisasi Emisi dari Pencemar Udara di DKI Jakarta, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta, 2009.

Landscape, makalah dalam prosiding The First International Remote Sensing Workshop Series on Demography, Land Use – Land Cover dan Disaster (IReSWS – DLUCD), ITB Bandung, 27 June, 2008.

Harrop, D.O. Air Quality Assessment and Management, a Practical Guide. Spon Press, London, 2002.

Driejana, Riqqi, A., Sjafruddin, A., Watson, A.F.R., Yudison, A.P., Nurrohmah, L., Purwaningrum, R., Adrianti, F., Of Air Pollution To Respiratory Health Of Residential Occupants Near Busy Roads, Laporan Penelitian, Riset International ITB 2010.

Kajian Potensi Reduksi Emisi dari Sektor Transportasi untuk Mekanisme Pembangunan Bersih, Laporan Penelitian, Hibah Strategis Nasional Dikti 2009.

Kementerian Perhubungan, Statistik Perhubungan 2010, 2011.

Kementerian Lingkungan Hidup, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009.

64

4 Lahan dan

Hutan

Dok: Polagrade

65

LAHAN DAN HUTAN

4.1. Pendahuluan

Peran lahan dan hutan bagi Indonesia tidak dapat diabaikan dalam menunjang pembangunan ekonomi. Se-cara ekonomi, hasil hutan merupakan sumber pendapatan penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Sumba-ngan produk domestik bruto lapangan usaha yang terkait kehutanan selama 6 tahun terakhir mencapai rata-rata 2,23% pertahun.

Terkait Dengan Kehutanan Tahun 2004 - 2009

0

0,5

1

1,5

2

2,5

Kehutanan

Industri Kayu dan Produk LainnyaTotal Kehutanan

2004 2005 2006 2007 2008* 2009**

* Angka Sementara** Angka Sangat Sementara

Sedangkan, tingkat deforestrasi hutan yang terjadi pada tahun 2000-2005 di Indonesia menunjukkan data sebesar 1,05 juta hektar (Tabel 4.7).

Sementara itu, alih fungsi lahan pertanian beririgasi teknis ke pemanfaatan non-pertanian di pulau Jawa saja menca-

4.2. Penyusutan dan Kerusakan Hutan dan Lahan

4.2.1. Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diiringi dengan peningkatan jumlah lapangan kerja seringkali menimbulkan persoalan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Indonesia dengan jumlah penduduk keempat terbesar dunia dan lapangan kerja terbatas, menghadapi persoalan ekonomi yang berimbas pada persoalan-persoalan lingkungan hidup. Tekanan penduduk, baik terhadap perkotaan maupun terhadap sektor pertanian dan kehutanan atau seringkali disebut tekanan penduduk agraris, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya degradasi lahan dan hutan yang menunjukkan kecenderungan meningkat pula. Berbagai bentuk kegiatan manusia yang mengakibatkan degradasi lahan dan hutan, dan oleh karenanya dikatagorikan sebagai faktor tekanan terhadap sumber daya lahan dan hutan, utamanya adalah meningkatnya luas dan tingkat lahan kritis, tingginya laju deforestasi, kebakaran lahan dan hutan, alih fungsi lahan dan hutan, menurunnya produktivitas lahan pertanian, dan perubahan iklim. Dari keseluruhan faktor-faktor penekan terjadinya degradasi lahan dan hutan tersebut, faktor deforestasi, kebakaran lahan dan hutan, serta alih fungsi lahan merupakan faktor-faktor terberat yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Ke depan, apabila laju pertumbuhan penduduk dan kesempatan kerja, utamanya bagi mereka yang tinggal di perdesaan dan di sekitar hutan tidak segera ditangani dengan sungguh-sungguh, maka laju degradasi lahan dan hutan masih akan menjadi persoalan lingkungan hidup di Indonesia.

Dok: Alain Compost

66

LAHAN DAN HUTAN

Alih fungsi lahan pertanian sawah produktif ke bentuk tataguna lahan lain tersebut di atas telah menurunkan produktivitas lahan pertanian. Untuk memberikan gambaran, berikut ini ditunjukkan kasus terkait dengan produktivitas lahan pertanian yang berlangsung di Jawa Barat.

Potensi sektor pertanian di Jawa Barat termasuk penting, bahkan ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, sektor pertanian tidak hanya bertahan, tapi masih mampu memberikan kontribusi ekonomi yang tidak kecil. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 15,9%.

Produksi padi mencapai 9.166.872 ton GKG atau mencapai 98% dari sasaran yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk produksi palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan ubi kayu) mencapai 3.240.511 ton atau 96% dari sasaran yang telah ditetapkan. Untuk produksi sayuran angka capaian telah melampaui target yang telah ditetapkan, yaitu mencapai 3.987.846 ton atau 128% dari sasaran 2.406.126 ton. Secara keseluruhan, produksi buah-buahan mencapai 2.304.126 ton dan meningkat 40,77% dari produksi tahun 1998 sebesar 1.636.772 ton (NKLD, 2000). Sementara untuk produksi hortikultura juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, antara lain, adanya peningkatan produksi alpukat sebesar 74%, jeruk meningkat sekitar 71%, dan durian meningkat sebesar 50%.

Gambaran singkat tentang produksi berbagai komoditas pertanian tersebut di atas menunjukkan bahwa, potensi

sumber daya pertanian di Jawa Barat relatif besar. Sentra komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura merupakan satuan wilayah agribisnis yang prospektif dan mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan sentra agribisnis. Untuk menunjukkan potensi sektor pertanian, dapat dilihat dari kemajuan pembangunan di bidang pertanian tanaman pangan, yaitu dengan melihat kontribusi PDRB sub-sektor pertanian tanaman pangan terhadap PDRB Jawa Barat. Pada tahun 2002 pencapaian Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) sub-sektor pertanian tanaman pangan dapat menunjang terhadap peningkatan LPE Jawa Barat sebesar 0,32% dan 22,82%. Kontribusi dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan terhadap PDRB Jawa Barat (harga konstan 2002) menduduki peringkat kedua (15,5% dari PDRB), setelah sektor industri (37,3%). Tampak bahwa potensi sektor pertanian dan kehutanan di Jawa Barat cukup penting, terutama apabila mempertimbangkan

menuju ibu kota Jakarta.

Potensi sektor pertanian ditinjau dari perspektif tenaga kerja juga menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi tumpuan harapan masyarakat Jawa Barat. Hal ini ditunjukkan bahwa selama periode 1996 hingga 2002, tenaga kerja pada sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 430.743 orang atau 9,17%, yaitu dari 4.697.917 orang pada 1996 menjadi 5.128.660 orang pada tahun 2002.

4.2.3. Lahan Kritis

Berdasarkan Statistik Kehutanan Tahun 2008, penetapan lahan kritis mengacu pada lahan yang telah rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya lahan sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon. Berdasarkan kondisi vegetasi, kondisi lahan

potensial kritis dan kondisi normal. Berdasarkan kriteria tersebut, luas lahan kritis di Indonesia tahun 2008 adalah ± 77.806.881 ha, seperti terlihat pada tabel rekapitulasi per pulau (Tabel 4.1). Perlu dikemukakan bahwa tidak mudah untuk memperoleh angka luas lahan kritis yang konsisten untuk skala Indonesia karena luas lahan kritis seringkali berbeda tergantung sumber yang digunakan. Perbedaan luas lahan kritis juga diakibatkan oleh kriteria yang digunakan untuk menetapkan status lahan kritis. Dok: KRB

67

LAHAN DAN HUTAN

Namun demikian, kriteria manapun yang digunakan, ada dua hal yang tampaknya konsisten, yaitu bahwa luas lahan kritis tidak menunjukkan kecenderungan menurun, melainkan meningkat dari tahun ke tahun. Hal kedua adalah bahwa luas lahan kritis di lahan pertanian (di luar kawasan hutan) lebih besar daripada luas lahan kritis di dalam kawasan hutan (Tabel 4.1). Dua fenomena lahan kritis ini menguatkan fakta tentang besarnya tantangan yang harus dihadapi dalam upaya mengendalikan luas lahan kritis.

Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa sebaran luas lahan kritis berdasarkan pulau yang tergolong besar (propor-sional terhadap luas pulau) adalah lahan kritis di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Besarnya lahan kritis di pulau-pulau ini juga menguatkan bahwa lahan kritis ber-korelasi dengan besarnya tekanan penduduk terhadap la-han (agricultural pressure) karena di pulau-pulau tersebut konsentrasi penduduk agraris besar, sementara lapangan pekerjaan kurang memadai. Hal ini juga dikuatkan oleh fakta bahwa luas lahan kritis di pulau yang kecil konsen-trasi penduduknya, tapi luas (Papua dan Papua Barat), luas lahan kritis (di dalam dan luar kawasan hutan) relatif kecil.

Tabel 4.1. Luas Lahan Kritis per Pulau

No. PULAU

2000 2007

Kritis & Sangat Kritis Tingkat Kekritisan Lahan

Dalam Kawasan (Ha)

Luar Kawasan (Ha)

Agak Kritis (Ha)

Kritis (Ha)Sangat Kritis

(Ha)

1 Sumatera 1.988.869,00 4.352.999,00 15.395.568,07 8.314.101,46 2.189.303,24

2 Jawa 366.985,00 1.699.682,00 2.103.618,39 1.003.566,26 386.365,34

3 Bali dan Nusa Tenggara 363.764,00 1.305.116,00 1.833.745,00 2.523.125,10 1.058.338,48

4 Kalimantan 2.612.971,00 4.565.755,00 21.234.574,98 5.306.761,75 1.376.712,34

5 Sulawesi 974.713,00 948.213,00 3.617.823,59 1.709.981,25 890.405,52

6 Maluku dan Maluku Utara 180.036,00 514.875,00 1.239.966,14 747.675,22 415.294,37

7 Papua dan Papua Barat 1.649.309,00 1.719.594,00 2.184.784,69 3.701.021,97 574.147,62

INDONESIA 8.136.647,00 15.106.234,00 47.610.080,86 23.306.233,01 6.890.566,91

Sumber: Dirjen. RLPS, Kementerian Kehutanan, 2008

4.2.4. Alih Fungsi Lahan dan Hutan

Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat mengaki-batkan kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat. Pertumbuhan yang sangat pesat tersebut merupakan an-caman terhadap lingkungan hidup, akibat peningkatan kebutuhan lahan yang memang sulit untuk dihindarkan. Selama ini pemanfaatan sumber daya alam untuk kepen-

tingan kegiatan pembangunan telah mengakibatkan ru-saknya sumber daya alam, antara lain berkurangnya luas hutan, hilangnya habitat alami, menurunnya produktivitas lahan pertanian, pencemaran dan erosi tanah, punahnya beberapa spesies langka, bertambahnya lahan kritis, dan berkurangnya debit air tanah. Dengan kata lain, akibat laju pertumbuhan penduduk yang cepat, maka tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan hutan juga sema-kin meningkat sehingga mengakibatkan perubahan alih fungsi lahan. Akibat perubahan tataguna lahan tersebut adalah terjadinya degradasi lahan dalam bentuk lahan kritis dengan tingkat sangat kritis seluas 6,89 juta hektar pada tahun 2007 (tabel 4.1). Masalah lainnya adalah alih fungsi besar-besaran dari lahan pertanian sawah irigasi teknis menjadi kawasan perindustrian dan pemukiman. Alih fungsi lahan pertanian beririgasi teknis ke peman-faatan non-pertanian di Pulau Jawa saja mencapai total

Degradasi lahan terutama disebabkan oleh rencana

sepenuhnya dilaksanakan atau kalau dilaksanakan banyak

mengalami penyimpangan. Dalam banyak kasus, hal ini

yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya lahan.

Masalah ini terjadi karena lemahnya koordinasi di antara lembaga-lembaga pemerintah dan sektor-sektor

68

LAHAN DAN HUTAN

masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan tata guna

Tabel 4.2. Tutupan Lahan Bervegetasi dan Tidak Bervegetasi per Pulau Indonesia Tahun 2007 - 2010 (ha)

Pulau 2007 2008 2009 2010

Bali dan Nusa TenggaraNon 5.116.501,43 5.190.491,19 5.038.220,12 5.022.606,98

2.248.869,09 2.174.879,35 2.329.280,17 2.342.912,92

JawaNon 6.941.052,04 6.983.434,51 6.876.504,49 6.996.239,46

6.690.850,13 6.664.519,43 6.593.660,04 6.487.693,49

KalimantanNon 24.073.958,49 20.122.208,17 23.465.386,17 22.157.991,72

29.494.026,37 25.024.049,35 30.084.501,22 31.408.880,57

MalukuNon 2.154.383,45 2.018.085,23 2.123.314,89 2.214.848,34

5.642.251,43 5.778.522,48 5.682.518,58 5.644.179,54

PapuaNon 7.798.723,51 7.770.843,88 7.653.807,18 7.364.250,39

33.185.152,23 33.271.626,54 33.710.882,64 33.976.696,55

SulawesiNon 7.261.738,59 7.295.243,87 7.328.718,14 7.389.897,97

11.088.062,05 11.194.143,33 11.210.121,91 11.232.511,52

SumateraNon 22.391.046,85 22.443.212,66 22.071.587,81 21.616.879,85

25.364.833,76 25.312.701,85 25.683.059,78 26.141.366,00

IndonesiaNon 75.737.404,36 71.823.519,50 74.557.538,81 72.762.714,71

113.714.045,06 109.420.442,33 115.294.024,35 117.234.240,59

Sumber : Program MIH, KLH.

pembangunan, rumitnya peraturan dan mekanisme yang berkaitan dengan sumber daya lahan, serta oleh terbatasnya partisipasi dari kelompok utama, khususnya

69

LAHAN DAN HUTAN

Secara umum selama tahun 2007 hingga 2010 terdapat peningkatan luas area yang memiliki tutupan bervegetasi. Seluas 113,7 juta hektar pada tahun 2007 menjadi 177,2 juta hektar pada tahun 2010. Namun sebaliknya khususnya Pulau Jawa mengalami pengurangan luas area bervegetasi antara tahun 2007 -2010. Tren pengurangan area bervegetasi tersebut dari seluas 6,69 juta hektar pada tahun 2007 menjadi 6,48 juta hektar pada tahun 2010. Dengan kata lain Pulau Jawa kehilangan areal bervegetasi seluas ± 203 ribu hektar.

Tabel 4.3. Tutupan Lahan Non Vegetasi Indonesia Tahun 2007 - 2010 (ha)

Tutupan Non Vegetasi 2007 2008 2009 2010

Kebun Campuran 23.759.829 20.029.755 22.748.316 21.266.906

Permukiman 2.821.497 2.876.965 2.921.936 3.001.250

Rawa 13.634.527 12.059.352 12.006.684 11.923.975

15.956.560 17.717.183 17.138.192 16.706.814

816.782 827.200 848.814 876.701

Tanah Terbuka 6.036.975 5.642.279 6.235.563 6.041.640

10.285.906 10.317.701 10.388.927 10.580.946

Tubuh Air 2.425.328 2.353.085 2.269.107 2.364.483

Sumber : Program MIH, KLH.

Indonesia secara umum mengalami penambahan luas areal permukiman dari sebesar 2,8 juta hektar pada tahun 2007 menjadi 3 juta hektar pada tahun 2010, atau bertambah ± 200 ribu hektar areal permukiman.

a. Alih Fungsi SawahTelah dikemukakan di muka bahwa sebagai negara agraris, seharusnya swa-sembada beras dapat dilaksanakan seperti pada era 1980an. Hal ini tidak lagi dapat dicapai terutama karena lahan-lahan produktif untuk sawah di Pulau Jawa telah

beralih fungsi menjadi permukiman, industri, dan peruntukan non-pertanian lain. Untuk memberikan gambaran laju konversi lahan sawah irigasi menjadi peruntukan lain dapat digunakan data BPN tahun 2007 dan data BPS tahun 2005. Berdasarkan data BPN dan BPS, besarnya konversi lahan sawah beririgasi teknis dan semi teknis di berbagai provinsi adalah seperti tercantum dalam Tabel 4.4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa di Jawa Tengah selama periode waktu 2005-2007 telah terjadi penambahan sawah beririgasi teknis seluas 180.252 ha dan penambahan sawah semi-teknis

seluas 260.044 ha. Sebaliknya untuk Jawa Timur dan Jawa Barat terjadi penurunan luas sawah irigasi teknis masing-masing 214.655 ha dan 363.072 ha. Sedangkan untuk sawah irigasi semi-teknis, di Jawa Timur mengalami peningkatan seluas 348.860 ha selama periode tiga tahun tersebut di atas. Untuk Jawa Barat, luas sawah irigasi semi-teknis juga mengalami penurunan seluas 21.472 ha. Angka perubahan luas lahan sawah beririgasi, terutama di Jawa Barat, menunjukkan besarnya kompetisi pemanfaatan lahan akibat pembangunan.

Tabel 4.4. Perubahan Luas Lahan Sawah Di Jawa Tahun 2005-2007

No. Provinsi

2005 2007 Perubahan

Irigasi teknis teknis Jumlah Irigasi

teknis teknis Jumlah Irigasi teknis teknis Jumlah

(ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha)

1 DKI Jakarta 510 782 1.2 - - - -510 -782 -1.292

2 Jawa Barat 376.718 119.407 496.125 13.646 97.935 111.581 -363.072 -21.472 -384.544

3 Jawa Tengah 382.569 120.113 502.682 562.821 380.157 942.978 180.252 260.044 440.296

4 DI Yogyakarta 18.493 22.630 41.123 30.061 19.218 49.279 11.568 -3.412 8.156

5 Jawa Timur 641.001 110.435 751.436 426.346 459.295 885.642 -214.655 348.860 134.206

6 Banten 51.908 18.217 70.125 106.958 69.941 176.899 55.050 51.724 106.774

Sumber : BPS, 2005 dan BPN, 2007

70

LAHAN DAN HUTAN

b. Alih Fungsi Hutan

No Provinsi Tahun 2007

(ha)

Jumlah hingga tahun 2007

(ha)

21 Kalimantan Tengah 19.678,54 619.868,37

22 Kalimantan Timur - 510.580,39

23Kalimantan Selatan

- 199.654,53

24 Gorontalo - -

25 Sulawesi Utara - 8.887,83

26 Sulawesi Tengah - 79.473,00

27 Sulawesi Selatan - 84.936,50

28 Sulawesi Tenggara - 7.862,00

29 Sulawesi Barat - 6.722,45

30 Maluku - 13.767,17

31 Maluku Utara - 29.772,25

32 Papua - 286.982,34

33 Papua Barat - -

4.741.194,00

Jumlah Tahun 2007 65.461,68

Jumlah Tahun 2006 146.635,13

Jumlah Tahun 2005 66.181,26

Jumlah Tahun 2004 -

Jumlah Tahun 2003 -

4.608.062,13

Sumber : Departemen Kehutanan, 2007

No Provinsi Tahun 2007

(ha)

Jumlah hingga tahun 2007

(ha)

1 NAD - 265.743,70

2 Sumatera Utara - 139.997,93

3 Sumatera Barat 9.038,00 157.956,37

4 Riau 6.869,80 1.564.060,87

5 Kepulauan Riau - 47.798,81

6 Jambi - 345.775,98

7 Bengkulu - 57.581,25

8 Bangka Belitung - -

9 Sumatera Selatan 22.01050 125.394,75

10 Lampung 7.864,84 83.964,19

11 DKI. Jakarta - -

12 Jawa Barat - -

13 Banten - -

14 Jawa Tengah - -

15 D.I. Yogyakarta - -

16 Jawa Timur - -

17 Bali - -

18Nusa Tenggara Barat

- 846,86

19Nusa Tenggara Timur

- -

20 Kalimantan Barat - 110.234,50

Dalam kurun waktu hingga tahun 2007, telah terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 4.741.194 ha (Tabel 4.5). Berdasarkan data pada Tabel 4.5, tampak bahwa perubahan kawasan hutan untuk perkebunan di lima provinsi terbesar adalah Provinsi Riau seluas 1.564.061 ha, Provinsi Kalimantan Tengah seluas 619.868 ha, Provinsi Kalimantan Timur seluas 510.580 ha, Provinsi Jambi seluas 345.776 ha, dan Provinsi Papua seluas 286.982 ha. Meskipun tidak disertai keterangan jenis perkebunan apa saja konversi dari kawasan hutan menjadi perkebunan, dapat diperkirakan bahwa sebagian besar alokasi lahan tersebut adalah untuk perkebunan kelapa

sawit. Meskipun perkebunan ini memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar mengingat perkebunan kelapa sawit sedang menjadi primadona, sebaiknya juga harus dipertimbangkan pengaruh negatifnya, utamanya terkait dengan distribusi keuntungan ekonomi terhadap masyarakat lokal dan dampaknya terhadap lingkungan hidup, utamanya isu hilangnya keragaman hayati dan gangguan hidrologi.

Untuk memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian produktif dan hutan menjadi peruntukan lain, berikut ini

71

LAHAN DAN HUTAN

ditunjukkan ilustrasi perubahan tutupan hutan dan lahan pertanian produktif yang berlangsung di Jawa Barat (Kotak 2). Kotak tersebut selain menunjukkan terjadinya konversi lahan hutan menjadi non-hutan, juga disertai dengan informasi penyimpangan RTRW di Jawa Barat yang selalu berulang.

4.2.5. Deforestrasi

Sebagai negara tropis dengan luas hutan terbesar ke tiga di dunia, hutan tropis Indonesia mempunyai fungsi sosial-ekonomi dan ekologi penting bagi rakyat dan pemerintah Indonesia. Karena kekayaan hayati hutan tropis itulah, Indonesia juga menyandang julukan sebagai negara mega-biodiversity atau negara dengan keragaman hayati yang

sangat kaya. Oleh karena adanya fungsi sosial-ekonomi dan ekologis di satu sisi, dan tingginya laju deforestasi, menyebabkan pentingnya pelestarian hutan di Indonesia.

Berdasarkan data Statistik Kehutanan 2008, laju deforestrasi per tahun dari 2000-2005 dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut. Sedangkan Gambar 4.2 menunjukkan perbandingan laju deforestasi pada periode 2000-2006 dan berkurangnya tutupan lahan periode 2009-2010. Tabel tersebut, selain menunjukkan bahwa laju deforestasi di pulau-pulau kaya hutan tersebut tetap tinggi, pola

menunjukkan pola menurun secara sistematis. Maknanya, upaya-upaya pemberantasan deforestasi belum sepenuh-nya menunjukkan hasil yang dikehendaki.

Dok: Polagrade

72

LAHAN DAN HUTAN

Kotak 4.1.

Tutupan Hutan dan Permukiman di DAS Citarum, Jawa Barat

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mempunyai luas

dengan status nasional meskipun terletak di satu provinsi (Jawa Barat). Hal ini karena di Sungai Citarum terletak tiga bendungan besar, yaitu Cirata, Saguling, dan Jatiluhur yang berfungsi selain untuk pengendali banjir serta penyedia air untuk perikanan, pertanian dan domestik, juga untuk pembangkit tenaga listrik transmisi Jawa Bali. DAS Citarum termasuk katagori DAS sangat kritis dari

sedimentasi yang masuk ke waduk Saguling, yaitu sekitar 4,2 juta m3 (Indonesia Power, 2006). Persoalan luas tutupan lahan, permukiman, dan persoalan kualitas air di DAS Citarum termasuk serius seperti tersebut dalam Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Perubahan Tutupan Hutan dan Permukiman di DAS Citarum 2000-2009

Tahun Hutan [ha] Permukiman [ha]

20002005200720082009

71.75051.04415.8399.9689.899

81.686119.198152.088172.361176.442

Sumber: Kompas, 25 April 2011

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa selama periode 2000-2009 terjadi pengurangan luas tutupan hutan cukup mencolok. Hal ini diiringi dengan meningkatnya luas permukiman dan umumnya juga diiringi dengan meningkatnya luas pertanian lahan kering. Peningkatan luas permukiman, penurunan luas tutupan hutan, dan peningkatan luas lahan kering, pada banyak kasus, akan meningkatkan

meningkat tajam. Persoalan-persoalan tersebut di atas seringkali bersumber pada penataan ruang (RTRW), baik karena proses dan penyusunan substansi tata ruang tidak dilakukan secara partisipatif, maupun persoalan-persoalan yang terkait dengan konsistensi dalam implementasi RTRW. Sebagai contoh, penyimpangan RTRW Provinsi Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke tahun seperti dilaporkan oleh harian Pikiran Rakyat berikut ini. Pada tahun 1995, penyimpangan terhadap RTRW adalah 13%. Pada tahun 1997, angka penyimpangan tersebut meningkat dua kali menjadi 27% dari total wilayah Jawa Barat (Pikiran Rakyat, 7 Agustus 1997). Penyimpangan pemanfaatan ruang terhadap RTRW yang terjadi pada 2002 dilaporkan sebesar 35% (Pikiran Rakyat, 28 Agustus 2002) dan turun sedikit menjadi 33% pada 2006 (Pikiran Rakyat, 25 Juni 2006). Penyimpangan implementasi RTRW di lapangan tersebut sebagian besar dari status kawasan lindung menjadi kawasan budidaya, utamanya menjadi perumahan, hotel, kawasan industri, dan usaha-usaha komersial lainnya.

Tabel 4.7. Perhitungan Deforestrasi (ha) 7 Pulau Besar di Indonesia Tahun 2000-2005

NO TAHUN SUMATERA JAWABALI & NUSA TENGGARA

KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA

1 2000-2001 259.500 118.300 107.200 212.000 154.000 20.000 147.200

2 2001-2002 202.600 142.100 99.600 129.700 150.400 41.400 160.500

3 2002-2003 339.000 343.400 84.300 480.400 385.800 132.400 140.800

4 2003-2004 208.700 71.700 28.100 173.300 10.600 10.600 100.800

5 2004-2005 335.700 37.300 40.600 234.700 10.500 10.500 169.100

Sumber: Dirjen Planologi Kehutanan, Statistik Kehutanan 2008, Kemhut, 2009

73

LAHAN DAN HUTAN

2009-2010

PAPUA

MALUKU

SULAWESI

BALI - NUSA TENGGARA

KALIMANTAN

JAWA

SUMATERA

52,345

84,251

9,619

87

27,637

5,765

51,271

143,680

42,980

71,960

137,222

246,020

142,560

269,100

50.000- 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000

Laju Deforestasi 2000 – 2006

Penurunan Tutupan Berhutan 2009-2010

Sumber : Laporan MIH 2010 (diolah dari Kemenhut 2009 dan KLH 2011)

4.2.6. Kebakaran Hutan

Indonesia, terutama pulau-pulau besar yang mempunyai

sering mengalami kebakaran hutan. Pada musim kemarau panjang, bencana kebakaran lahan dan hutan menjadi berita besar karena asap yang ditimbulkan oleh kebakaran tersebut tidak hanya mengganggu transportasi darat dan udara, juga mengganggu kesehatan masyarakat yang tinggal dekat dengan lokasi bencana kebakaran, bahkan ke negara tetangga. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kebakaran lahan dan hutan akan selalu berulang selama cara persiapan lahan pertanian dan hutan tanaman industri (HTI) masih dilakukan dengan teknik pembakaran. Oleh karenanya, upaya pengendalian kebakaran hutan, harus dimulai dari sumbernya, yaitu mengendalikan atau mencegah digunakannya teknik pembakaran lahan dan hutan sebagai kegiatan persiapan lahan untuk tanaman pertanian dan HTI.

Tabel 4.8 dan Gambar 4.3 menunjukkan jumlah kebakaran lahan dan hutan di beberapa provinsi yang menjadi perhatian karena rentan terhadap terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Tabel dan gambar tersebut menunjukkan bahwa selama tahun 2006 hingga 2010, kejadian kebakaran

pada indeks kekeringan di lokasi kejadian kebakaran. Apabila dilihat dari jumlah kejadian kebakarannya,

provinsi-provinsi yang mengalami kebakaran lahan dan hutan lebih dari 1500 kebakaran per tahun adalah: provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi, dan provinsi Riau. Provinsi-provinsi dengan jumlah kebakaran selama lima tahun terakhir terbesar ini dikenal sebagai provinsi yang memiliki luas lahan pertanian dan hutan tanaman industri termasuk terbesar dibandingkan provinsi lain.

Dok: Polagrade

74

LAHAN DAN HUTAN

Tabel 4.8. Kebakaran Lahan dan Hutan di sejumlah Provinsi yang menjadi perhatian

No Provinsi 2006 2007 2008 2009 2010

1 NAD (Aceh) 232 177 566 849 291

2 Bangka-Belitung 703 477 438 864 146

3 Bengkulu 216 119 405 317 85

4 Jambi 1.922 1.314 1.695 1.675 622

5 Kepulauan Riau 69 35 49 57 32

6 Lampung 1.021 481 317 271 123

7 Riau 5.217 2.377 3.109 4.375 1.780

8 Sumatera Barat 369 184 661 558 173

9 Sumatera Selatan 5.439 2.538 2.851 3.571 1.477

10 Sumatera Utara 865 513 774 993 516

11 Kalimantan Barat 6.500 3.108 2.875 7.273 1.755

12 Kalimantan Selatan 1.730 551 375 1.282 119

13 Kalimantan Tengah 7.857 2.827 1.850 4.952 872

14 Kalimantan Timur 1.773 1.443 1.262 2.124 939

Total 33.913 16.144 17.227 29.161 8.931

Catatan: Tahun 2010 data terakhir tanggal 26 Desember 2010; hasil pemantauan ASMC, Singapura

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

2005 2006 2007 2008 2009

Juta

Dol

lar A

mer

ika

FibreboardParticle_Board(including_OSB)Veneer_sheets

PulpKayu_Lapis/PlywoodKayu_Gergajian/_Sawnwood

Sumber : Dikutip dari Statistik Kehutanan 2009 (sumber dari BPS)

Sampai dengan tahun 2009 terdapat total seluas 25,77 juta hektar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

terakhir sedikit mengalami penurunan sebesar ± 2 juta meter kubik pada tahun 2007 dan 2008, namun kembali

Beberapa Provinsi yang Rentan terhadap Kebakaran Lahan dan Hutan

ACEHBABEL

BENGKULUJAMBI

KEP. RIAU

LAMPUNGRIAU

SUMUT

KALBAR

KALSEL

KALTENG

KALTIM

SUMBAR

SUMSEL

PROVINSI

8.0007.0006.0005.0004.0003.0002.0001.000

0

JUM

LAH

KEB

AK

AR

AN

HU

TAN

TAHUN 2006 TAHUN 2006 TAHUN 2006 TAHUN 2006 TAHUN 2006

4.2.7. Industri Kehutanan

Sektor kehutanan memainkan peranan cukup penting dalam ekonomi nasional melalui produksi dan ekspor kayu dan produk-produk berbahan baku kayu. Selama tahun 2005-2009 secara umum terjadi penurunan nilai eksport hasil hutan, dari total senilai 3,2 trilyun dollar amerika pada tahun 2005 menjadi 2,1 trilyun dollar amerika pada

75

LAHAN DAN HUTAN

313132323333343435

2006 2007 2008 2009

Juta

Met

er K

ubik

Kayu Bulat

Kayu Bulat

Sumber : Statistik Kehutanan 2009.

Secara umum, kontribusi ekonomi sumber daya hutan ini seluruhnya berasal dari hasil hutan langsung (direct forest use) dan belum memperhitungkan kontribusi ekonomi hutan yang bersifat tidak langsung (indirect forest use). Hasil kontribusi ekonomi tidak langsung hutan diprakirakan lebih besar daripada hasil kontribusi ekonomi hutan langsung, namun karena pasarnya belum sepenuhnya tersedia, maka perhitungan kontribusi hutan yang tidak langsung belum sepenuhnya nyata. Hasil hutan yang tidak langsung ini, antara lain, berasal dari fungsi hutan dalam kaitannya dengan hasil air, fungsi mencegah erosi, perdagangan emisi karbon, hutan sebagai sumber daya keanekaan hayati dan ekowisata. Selain itu, banyak masyarakat lokal di Indonesia masih bergantung pada hutan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan sosial mereka. Selain fungsi ekonomi dan sosial, hutan juga mempunyai fungsi ekologis baik pada skala lokal, regional maupun global. Pengaruh keberadaan hutan terhadap lingkungan global, akhir-akhir ini banyak dibicarakan, terutama dalam kaitannya dengan isu pemanasan global (global warming). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan merupakan penyerap karbon di atmosfer (carbon sink). Karena penyebab fenomena pemanasan global adalah emisi karbon di atmosfer meningkat, sementara pada saat bersamaan sumber daya hutan menyerap karbon, maka keberadaan hutan membantu mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer, dan dengan demikian, mengurangi pemanasan global. Oleh karena itu, United Nation Environment Proigramme (UNEP) melalui mekanisme Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD) memfasilitasi mekanisme perdagangan emisi karbon. Sebagai negara dengan sumber daya hutan sangat luas, yaitu 70% dari keseluruhan wilayah

daratan, Indonesia seharusnya memanfaatkan peluang yang diberikan oleh program REDD tersebut.

4.2.8. B3

Sampai dengan saat ini bahan kimia yang beredar di Indonesia sudah mencapai sekitar 5.500 jenis yang sebagian besar merupakan bahan kimia yang digunakan di berbagai sektor kegiatan meliputi sektor industri, pertanian, kesehatan, pangan, pertahanan, pertambangan dan lain sebagainya. Bahan kimia tersebut hampir 90% berasal dari impor melalui beberapa pelabuhan di Indonesia.

tahun 2005 sampai tahun 2008 dan kemudian turun pada tahun 2009.

B3 (m2), 2005 - 2009

0.00

0.01

0.10

1.00

10.00

100.00

1,000.00

10,000.00

2005 2006 2007 2008 2009

16.0954.80

642.823,489.52

7.00

Rib

u m

2

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2011

Sedangkan total volume B3 yang ditangani juga menurun semenjak tahun 2008, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

(m3), 2005 - 2009

0.00

0.01

0.10

1.00

10.00

100.00

1,000.00

10,000.00

2005 2006 2007 2008 2009

3.63

70.15

1,344.31 1,005.04

7.02

Ribu

m3

76

LAHAN DAN HUTAN

4.3. Kondisi Lahan dan Hutan

4.3.1. Tutupan Lahan dan Hutan

Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 2005 (Kemenhut, 2010) luas hutan Indonesia adalah 132.397.729 ha (70% luas daratan) yang dibedakan berdasarkan tipe dan fungsinya. Untuk fungsi hutan sebagai sumber daya ekonomi, telah ditetapkan kawasan hutan produksi dengan luas 82,7 juta ha (62,57%). Pada kawasan hutan produksi ini dialokasikan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan luas sekitar 35 juta ha, dengan rincian 13 juta ha untuk investasi HPH berbasis tebang pilih, 7,4 juta ha untuk direstorasi kembali ke kondisi hutan alam, 9 juta ha untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), dan sekitar 5,5 juta ha untuk hutan tanaman rakyat. Sedang untuk kepentingan ekologi dan konservasi, telah ditetapkan kawasan hutan lindung dengan luas 29,8 juta ha (22,5%) dan kawasan hutan konservasi dengan luas 19,7 juta ha (14,9%).

Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) menunjukkan data sebaran luas hutan berdasarkan pulau (2007-2010). Berdasarkan data tersebut, tutupan hutan paling kecil adalah pulau Jawa (< 10%), sedangkan tutupan hutan

tertinggi pada tahun 2009, adalah Papua dengan tutupan lebih dari 77% (Tabel 4.9 dan Gambar 4.9). Selama periode

masing pulau karena berbagai pemanfaatan lahan hutan untuk kegiatan pembangunan di luar bidang kehutanan, pada saat bersamaan, juga terjadi penambahan luas hutan karena program pemerintah melalui gerakan nasional rehabilitasi lahan dan hutan.

Pulau Di Indonesia (2007-2010)

0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.0090.00

100.00

% HUTAN % NON HUTAN

SUMATERA

JAW

A

BALI & N

USA TENGGARAKALIM

ANTANSULAW

ESIMALUKU

PAPUAIN

DONESIA

Sumber: Program Menuju Indonesia Hijau (2010)

Dok: Kompas

77

LAHAN DAN HUTAN

Tabel 4.9. Luas Tutupan Hutan dan Non-Hutan Per Pulau Indonesia (2007 – 2010)

Pulau Status 2007 2008 2009 2010

Bali dan Nusa TenggaraHutan 1.905.003,27 1.805.142,51 1.897.640,68 1.909.108,51

Non 5.460.367,25 5.560.228,03 5.469.859,62 5.456.411,40

JawaHutan 1,179,092.01 1.012.121,04 1.322.752,67 1.368.430,82

Non 12.452.810,16 12.635.832,90 12.147.411,86 12.115.502,14

KalimantanHutan 25.603.901,49 21.377.644,58 25.479.754,38 26.202.575,70

Non 27.964.083,37 23.768.612,94 28.070.133,01 27.364.296,59

MalukuHutan 5.549.894,31 5.676.778,49 5.587.643,31 5.549.097,16

Non 2.246.740,57 2.119.829,22 2.218.190,17 2.309.930,72

PapuaHutan 32.817.563,96 32.885.527,59 33.081.562,84 33.327.090,88

Non 8.166.311,78 8.156.942,83 8.283.126,98 8.013.856,06

SulawesiHutan 10.498.919,48 10.580.523,57 10.587.337,39 10.497.726,29

Non 7.850.881,16 7.908.863,63 7.951.502,66 8.124.683,20

SumateraHutan 15.373.003,87 15.349.403,15 15.462.868,06 15.935.420,00

Non 32.382.876,74 32.406.511,36 32.291.779,53 31.822.825,85

Total 189.451.449,42 181.243.961,83 189.851.563,17 189.996.955,29

Sumber : Program MIH (2010); Non-hutan adalah berbagai pemanfaatan lahan, a.l., pertanian

Salah satu indikator penting yang seringkali digunakan untuk menentukan “status” kualitas lingkungan hidup adalah kondisi tutupan lahan dan hutan. Meskipun disadari bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menentukan secara akurat luas, sebaran dan kualitas tutupan lahan dan hutan, kondisi tutupan lahan berdasarkan provinsi tersebut pada Tabel 4.10 dan Gambar 4.9 dapat digunakan sebagai

Gambar 4.9 menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi tutupan lahan masing-masing provinsi, utamanya dilihat dari luas hutan primer yang dimilikinya, dapat ditentukan 5 Provinsi dengan luas hutan alam terbesar. Provinsi dengan luas hutan primer terbesar adalah Provinsi Papua dengan luas 13.319.451 ha, Provinsi Kalimantan Timur (7.947.237 ha), Provinsi Papua Barat (7.149.075 ha), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3.142.578 ha), dan Provinsi Sulawesi Tengah (3.855.168 ha). Selain hutan primer, tutupan lahan yang dianggap penting dari sisi perlindungan lingkungan adalah tutupan hutan mangrove. Dari sisi luasannya, lima provinsi yang masih memiliki hutan mangrove cukup luas adalah provinsi Papua (674.222 ha), Papua Barat (440.712 ha), Kalimantan Timur (442.416 ha), Sumatera Selatan (172.793 ha) dan provinsi Riau (187.945 ha). Terjaganya

keutuhan hutan mangrove, tidak hanya penting bagi kepentingan produksi ikan dan sumber daya pesisir dan laut lainnya, melainkan juga penting untuk perlindungan lingkungan hidup, utamanya penahan gelombang tsunami, mengurangi laju intrusi air laut, dan mengurangi potensi banjir akibat meningkatnya tinggi muka air laut. Hal yang terakhir ini erat kaitannya dengan isu perubahan iklim yang sedang menjadi perhatian dunia.

Tabel 4.10 dan Gambar 4.10 menunjukkan bahwa meskipun beberapa provinsi masih memiliki luas hutan yang cukup besar, sebagian besar provinsi telah kehilangan luas hutan, atau kondisi hutannya banyak yang telah mengalami degradasi. Meskipun, pada banyak kasus, kerusakan hutan erat kaitannya dengan tingginya kompetisi pemanfaatan lahan untuk berbagai kepentingan, pada kasus tertentu,

karena tidak sinergisnya atau buruknya hubungan antar pemangku kepentingan seperti ditunjukkan dalam Kotak 4.1. Ilustrasi dalam Kotak 4.1 menekankan pentingnya kerja sinergis pemerintah, swasta dan masyarakat untuk mewujudkan tutupan lahan dan hutan berkelanjutan.

78

LAHAN DAN HUTAN

Tabel 4.10. Kondisi Tutupan Lahan Per Provinsi 2010 (ha)

No Provinsi Hutan PrimerHutan

SekunderMangrove Sawah

Kebun Campuran

1 NAD 3.142.578,1 279.112,9 38.790,7 228.265,1 511.430,5

2 Bangka - Belitung 22.873,4 40.557,71 81.969,0 759,80 796.146,4

3 Bengkulu 733.511,5 107.934,2 1.690,2 80.228,2 419.237,0

4 Jambi 1.030.183,5 351.140,9 10.479 362.447,8 1.299.057,9

5 Kepulauan Riau 2.080 239.439,4 65.405,4 262,1 63.194,1

6 Lampung 198.924,6 455.963,3 3.520,2 539.258,1 534.252,8

7 Riau 730.414,3 1.736.245,6 187.945,3 428.190,4 830.790,4

8 Sumatera Barat 1.609.670,0 735.010,3 18.389,6 362.397,9 259.541,7

9 Sumatera Selatan 582.579,0 949.769,8 194.774,1 517.890,4 1.916.923,8

10 Sumatera Utara 1.702.790,8 617.268,9 64.409 513.973,3 868.460,3

11 Banten 5.331,4 81.201,4 3.442,5 244.035,4 330.689,4

12 DIY - 6.411 - 59.892,9 73.721,0

13 DKI Jakarta - - 914,8 3.324,9 515,4

14 Jawa Barat 32.337,6 284.013,6 366,4 1.040.879,9 1.053.632,2

15 Jawa Tengah 26.064,6 207.942,2 14.265,1 1.082.109,8 406.762

16 Jawa Timur 386.495,1 299.760,2 19.884,2 1.202.916,8 323.406,3

17 Bali 105.641,9 70.905,87 2.201,1 115.188,0 142.117,8

18 NusaTenggara Barat 533.291,9 314.999,1 11.456,3 162.099,3 192.444,3

19 Nusa Tenggara Timur 246.340,7 582.109,5 22.162,2 85.456,8 372.724,7

20 Kalimatan Barat 2.783.493,8 2.982.923,8 141.091,1 228.392,2 4.023.499,1

21 Kalimantan Selatan 426.306,3 295.892,8 109.640,0 406.872,1 267.756,4

22 Kalimantan Tengah 1.550.061,1 4.613.326,6 39.106,5 488.363,1 849.262,7

23 Kalimantan Timur 7.947.236,6 4.891.081,2 422,415,9 18.887,4 792.458,9

24 Gorontalo 722.490,9 62.510,1 11.042,5 10.504,8 285.075,8

25 Sulawesi Barat 842.990,7 168.071,5 3.112,8 12.356,3 290.953

26 Sulawesi Selatan 1.340.731,2 475.220,3 11.900,4 255.581,1 1.386.878,8

27 Sulawesi Tengah 3.855.168,5 318.034,6 32.818,9 82.659,2 883.298,5

28 Sulawesi Tenggara 1.828.798,7 134.348,3 63.512,4 34.486 562.043,6

29 Sulawesi Utara 458.940,4 159.223,4 8.810,7 26.485,4 386.813,4

30 Maluku 2.266.516,6 391.248,6 172.793,3 1.346,4 283.037,7

31 Maluku Utara 618.644,2 2.049.116,6 50.777,9 9.774,5 497.625,2

32 Papua Barat 7.149.075 1.268.105,2 440.712,2 1.367,6 106.876,8

33 Papua 13.319.451,3 10.475.525,0 674.222,2 17.595,3 256.278,3

Sumber: Program Menuju Indonesia Hijau, Kementerian Lingkungan Hidup (2010)

Selain kondisi tutupan lahan per provinsi tersebut di atas, kondisi lahan dan hutan juga dapat ditunjukkan melalui besarnya prosentasi lahan bervegetasi dibandingkan lahan yang tidak bervegetasi. Pentingnya tutupan lahan dalam bentuk vegetasi karena hasil kajian hidrologi dan

pengalaman bencana banjir dan tanah longsor selama ini menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan dan kejadian bencana tersebut mempunyai korelasi yang kuat. Secara umum, semakin kecil tutupan lahan oleh vegetasi, maka semakin besar potensi untuk terjadinya banjir dan bencana

79

LAHAN DAN HUTAN

sistem perakaran, sangat penting untuk mengurangi potensi terjadinya banjir dan tanah longsor di musim hujan, dan mencegah kekurangan air pada musim kemarau.

Konsisten dengan kondisi tutupan lahan per pulau tersebut di atas, prosentasi lahan yang bervegetasi juga didominasi oleh provinsi-provinsi yang konsentrasi jumlah penduduknya relatif kecil, yaitu Papua dan Papua Barat, Maluku, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur (Gambar 4.10). Sementara provinsi dengan prosentasi vegetasi kecil didominasi oleh provinsi padat penduduk di pulau Jawa.

longsor pada musim hujan karena sebagian besar air hujan menjadi air larian ( ) yang kemudian menimbulkan banjir. Pada lahan dengan kemiringan lereng besar, meningkatnya air larian juga mudah menyebabkan tanah longsor apabila tidak cukup vegetasi yang melalui sistem perakarannya akan berfungsi sebagai jangkar penahan tanah tetap pada tempatnya. Sebaliknya, pada musim

dalam tanah karena tidak cukup vegetasi untuk meloloskan air tersebut ke dalam tanah. Akibat yang ditimbulkan adalah kekurangan air pada musim kemarau. Tampak, bahwa peran vegetasi, utamanya tumbuhan bawah dan

80

LAHAN DAN HUTAN

4.3.2. Kebencanaan

Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng besar dan mempunyai curah hujan yang termasuk tinggi. Sebagai wilayah beriklim tropis yang dicirikan dengan intensitas hujan yang tinggi, serta sebagian besar wilayah daratan yang bergunung-gunung, bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia sering terjadi di Indonesia. Bencana banjir dan tanah longsor di musim hujan, dan bencana kekurangan air dan kebakaran lahan dan hutan di musim kemarau,

yang terdiri atas gugusan pulau-pulau. Untuk memberikan gambaran kebencanaan yang terjadi di Indonesia, khususnya yang sering dialami oleh masyarakat, Tabel 4.11 menunjukkan jumlah desa yang terkena bencana tanah longsor per provinsi pada tahun 2005 dan 2008.

Tabel 4.11 dan Gambar 4.11 menunjukkan bahwa berdasarkan jumlah kejadiannya, tidak termasuk tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tersebut, Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan dua provinsi yang paling banyak mengalami bencana longsor. Bencana longsor yang terjadi di Jawa Barat berlangsung di 1.435 desa pada tahun 2005 dan 1610 desa pada tahun 2008. Demikian pula, bencana longsor di Jawa Tengah terjadi di 1.014 desa pada 2005 dan meningkat menjadi 1.254 desa pada tahun 2008. Jumlah desa yang terkena musibah tanah longsor terbesar ketiga adalah provinsi Jawa Timur, yaitu terjadi di 556 desa pada 2005, dan 696 desa pada 2008.

Apabila dicermati angka-angka bencana longsor tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa bencana tanah longsor yang terjadi pada musim hujan tahun 2005 dan 2008, sebagian besar berlangsung di Pulau Jawa, yang dicirikan dengan tingginya intensitas hujan, merupakan daerah bergunung yang jenis tanahnya volkanik dan kemiringan lereng kebanyakan wilayah termasuk besar.

Tabel 4.11. Jumlah Desa Terkena Bencana Longsor Per Provinsi Tahun 2005 dan 2008

No ProvinsiTahun 2005

Tahun 2008

1 Nanggroe Aceh Darussalam 293 310

2 Sumatera Utara 392 470

3 Sumatera Barat 197 205

4 Riau dan Kepulauan Riau 39 34

5 Jambi 54 51

6 Sumatera Selatan 163 136

7 Bengkulu 53 88

8 Lampung 69 58

9 Kep. Bangka Belitung 0 1

10 D K I Jakarta 2 1

11 Jawa Barat 1.435 1.610

12 Jawa Tengah 1.014 1.254

13 D I Yogyakarta 65 61

14 Jawa Timur 556 696

15 Banten 81 127

16 Bali 52 105

17 Nusa Tenggara Barat 35 28

18 Nusa Tenggara Timur 459 621

19 Kalimantan Barat 37 35

20 Kalimantan Tengah 14 10

21 Kalimantan Selatan 39 40

22 Kalimantan Timur 41 113

23 Sulawesi Utara 227 303

24 Sulawesi Tengah 101 178

25Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

355 523

26 Sulawesi Tenggara 61 55

27 Gorontalo 24 54

28 Maluku 31 48

29 Maluku Utara 10 34

30 Papua dan Papua Barat 275 309

81

LAHAN DAN HUTAN

4.3.3. Daerah Aliran Sungai

Banyak wilayah Indonesia mengalami peningkatan laju degradasi lahan akibat besarnya laju erosi tanah, utamanya terkait dengan aktivitas bercocok tanam yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Selain itu, besarnya laju degradasi lahan dan hutan meningkat karena makin banyak tegakan hutan yang mengalami alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian, khususnya pada lahan dengan kemiringan lereng besar, lebih besar dari 25%. Di Indonesia, dari keseluruhan jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang memperoleh perhatian, yaitu 458 DAS, 62 DAS dalam kondisi kritis dan sangat kritis. Jumlah DAS sangat kritis tampaknya tidak menunjukkan tendensi berkurang, tapi sebaliknya meningkat. Hal ini ditunjukkan bahwa jumlah DAS sangat kritis pada tahun 1996 hanya 22 DAS (Ministry of Forestry, 2009). Oleh kenyataan masih besarnya jumlah DAS yang tergolong kritis, maka pengelolaan DAS terpadu menjadi prioritas pemerintah di banyak negara, termasuk di Indonesia. Melalui kerangka kerja pengelolaan DAS terpadu ini, kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan lebih sistematis, efektif, dan lebih bertanggung jawab. Adanya kerangka kerja pengelolaan DAS terpadu memungkinkan para pemangku kepentingan, baik mereka yang tinggal di dalam atau antar wilayah administrasi dalam suatu DAS, mencapai kesepakatan tentang pengelolaan sumber daya alam. Kerangka kerja ini juga memungkinkan

terbangunnya suatu mekanisme pembiayaan bersama dan

terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam skala DAS.

Salah satu indikator penting telah berlangsungnya degradasi DAS adalah berkurangnya luas hutan yang merupakan sub-sistem penting dalam suatu ekosistem DAS. Tabel 4.12 menunjukkan perubahan luas hutan di beberapa DAS besar di Indonesia. Seperti halnya pada tinjauan degradasi lahan dan hutan di muka, berkurangnya luas hutan seiring dengan bertambahnya permukiman, terutama permukiman yang merupakan perkembangan kota. Perkembangan permukiman yang bersifat horizontal

82

LAHAN DAN HUTAN

(cluster of houses), bukan model perumahan bertingkat (apartment). Tabel 4.12 dan Gambar 4.12 juga menunjukkan bahwa luas hutan yang berkurangnya dari tahun 2000 hingga tahun 2009, lebih banyak terjadi pada DAS di luar Jawa karena luas hutan pada DAS tersebut jauh lebih luas

daripada luas hutan pada DAS di Jawa. Apabila digunakan ukuran luas hutan ideal dalam suatu DAS, yaitu 30% dari luas DAS, maka sebagian besar DAS (di Jawa maupun di luar Jawa) memiliki luas DAS lebih kecil dari 30%. Indikator yang menunjukkan bahwa DAS telah terdegradasi.

Tabel 4.12. Perubahan Luas Hutan dan Pemukiman di Kawasan DAS Prioritas Tahun 2000-2009

Nama DAS Luas DAS (Ha)

Hutan PemukimanTahun 2000 Tahun 2009 Tahun 2000 Tahun 2009

Ha (%) Ha (%) Ha (%) Ha (%)

Bengawan Solo 1.779.069,9 28.982,5 1,6 11.401,5 0,6 282.028,1 15,9 370.323,1 20,8Brantas 1.553.235,3 80.944 5 42.683 3 265.353 17 463.677 30Ciliwung 97.151,0 4.716,0 4,9 958,0 1,0 42.695,0 43,9 66.969,0 68,9Cisadane 151.283,7 18.519 12,2 4.314 2,85 56.164 15,8 42.362 28,00Citanduy 69.554,0 603,0 0,9 162,0 0,2 21.445,0 30,8 22.284,0 32,0Citarum 562.958,0 33.569,0 6,0 2.830,0 0,5 103.833,0 18,4 212.171,0 37,7Progo 18.097,0 21,0 0,1 2,0 0,0 8.013,0 44,3 10.677,0 59,0Siak 1.061.577,4 61.877,3 5,8 22.524,5 2,1 16.830,9 1,6 37.130,6 3,5Musi 5.812.303,2 2.633.642,4 45,3 869.041,5 15,0 108.339,9 1,9 168.940,8 2,9Kampar 2.516.881,8 687.211,6 27,3 588.418,4 23,4 22.416,2 0,9 48.585,2 1,9Batanghari 4.426.004,4 1.874.867,4 42,4 1.364.850,6 30,8 75.955,8 1,7 127.398,7 2,9

Barito 6.396.011,0 3.911.008,4 61,1 2.996.422,0 46,8 43.112,7 0,7 100.290,8 1,6Mamasa 846.898,1 66.109,4 7,8 38.745,6 4,6 10.649,2 1,3 13.271,5 1,6

Sumber : Data Analisis Program Menuju Indonesia Hijau, SLHI [2009]

(11.401 Ha atau 0,6%)

42.683 Ha atau 3%

(958Ha atau 1,0%)

(4.314 Ha atau 2,85%)

(162 Ha atau 0,2%)

(2.830 Ha atau 0,5%)

(2,0 Ha atau 0,0%)

(22.254,5 Ha atau 2,1%)

(869.041 Ha atau 15,0%)

( 588.418,4 Ha atau 23,4%)

( 1.364.850 Ha atau 30,8%)

( 3.911.008 Ha atau 46,8%)

(38.745,6 Ha atau 4,6%)

(28.982 Ha atau 1,6%)

(80944 Ha atau 5%)

( 4716Ha atau 4,9%)

(18.519 Ha atau 12,2%)

(603 Haatau 0,9%)

( 33.569,0 Ha atau 6,0%)

(21,0 Ha atau 0,1%)

(61.877,3 Ha atau 5,8%)

(2.633.642 Ha atau 45,3%)

( 687.211,6 Ha atau 27,3%)

( 1.874.867 Ha atau 42,4%)

(3.911.008,4 Ha atau 61,1%)

(66.109,4 Ha atau 7,8%)

(370.323 Ha atau 20,8)

(463677 Ha atau 30%)

( 66969 Ha atau 68,9%)

(42.362 Ha atau 28,0%)

(22. 284 Ha atau 32,0%)

(212.171 Ha atau 37,7%)

( 10.667 ha atau 59,0%)

(37.130,6 Ha atau 3,5%)

( 168.940 Ha atau 2,9%)

( 127.398,7 Ha atau 1,9%)

(687.211,6 Ha atau 2,9%)

(100.290 Ha atau 1,6%)

(13.271 Ha atau 1,6%)

(282.028 Ha atau 15,9%)

(265.352 Ha atau 17%)

( 42695 Ha atau 43,9%)

(56.164 Ha atau 15,8)

(21.445 Ha

atau 30,8%)

(103.833 Ha atau 18,4%)

(8.013 Ha atau 44,3%)

(16.830 Ha atau 1,6%)

(108.339 Ha atau 1,9%)

(22.416,2 Ha atau 0,9%)

(75.955 Ha atau 1,7%)

(43.112,7 Ha atau 0,7%)

(10.649,2 Ha atau 1,3%)

0, 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0

Bengawan Solo

Brantas

Ciliwung

Cisadane

Citanduy

Citarum

Progo

Siak

Musi

Kampar

Batanghari

Barito

MamasaPemukiman Tahun 2000

Pemukiman Tahun 2009

Hutan Tahun 2000

Hutan Tahun 2009

Sumber: Hasil Olahan Program Menuju Indonesia Hijau, KLH, 2009

83

LAHAN DAN HUTAN

Kotak 4.2.

Degradasi DAS dan Dampak yang Ditimbulkannya

ini diiringi dengan bertambahnya luas pertanian lahan kering (169%) dan luas permukiman (338%). Perubahan tutupan lahan ini memberikan dampak hidrologis dalam

30%, dan dengan demikian, mendorong terjadinya banjir di Jakarta.

Ke depan, sebagai upaya mitigasi banjir di Jakarta, di-lakukan dengan kombinasi kegiatan berikut: pertama, pendekatan koordinatif dan regulatif [soft approach], utamanya melalui pengaturan dan pengendalian tingkat pengambilan air tanah, penetapan tarif air tanah pro-gresif, dan diwujudkanya “satu DAS, satu pengelolaan terpadu” bekerjasama dengan provinsi Jawa Barat. Kedua,

-manfaatkan Perda Konservasi Sumberdaya Air DKI Jakarta

Banjir di Jakarta akan digunakan sebagai kasus untuk menunjukkan kaitan antara kualitas DAS dan konsekuensinya, dalam hal ini, adalah banjir yang kecenderungannya meningkat frekuensi dan besarannya. Banjir Jakarta ini ditempatkan dalam konteks DAS Ciliwung, karena Jakarta merupakan hilir sungai Ciliwung. Perubahan lanskap DAS Ciliwung akan memberikan pengaruh hidrologis bagi Jakarta. Pentingnya memahami daerah tangkapan air sungai Ciliwung ini karena wilayah hulu dan tengah DAS Ciliwung telah mengalami

Tabel 4.13 menunjukkan bahwa DAS Ciliwung termasuk DAS terdegradasi, utamanya di wilayah hulu dan tengah dengan tingginya laju alih fungsi lahan. Tutupan hutan yang tersisa di DAS Ciliwung hanya 15%, sementara permukiman dan bangunan lainnya seluas 35%.

Tabel 4.13. Perubahan Tataguna Lahan di DAS Ciliwung, Jawa Barat

Tataguna LahanDAS Ciliwung

(ha)DAS hulu dan tengah

1990 (ha)DAS hulu dan tengah

1999 (ha)Perubahan tataguna

lahan (1990-1999) (%)

Hutan 5.094 5.600 5.034 (-) 10

Perkebunan 5.730 6.848 5.612 (-) 18

Pertanian lahan kering 7.770 2.330 6.267 (+) 169

Sawah 1.665 10.409 2.833 (-) 73

11.590 1.613 7.058 (+) 338

- 38 36 -

Lainnya 724 - - -

Total 32.573 26.841 26.841

Sumber: Sabar (2003); Sinukaban (2005)

dari besarnya alih fungsi lahan yang terjadi di wilayah tengah DAS selama 1990-1999. Pada periode 10 tahun ini luas hutan berkurang 10%. Demikian pula halnya dengan luas perkebunan (fungsi hidrologis menyerupai hutan), berkurang 18%. Berkurangnya luas hutan dan perkebunan

untuk mendorong berbagai pihak, utamanya usaha-usaha komersial [hotel, industri, dan pusat perbelanjaan] untuk mengimplementasikan teknik konservasi air tanah me-lalui pembuatan sistem pemanenan air hujan [rainwater harvesting] dan pembuatan polder-polder di wilayah DKI Jakarta.

84

LAHAN DAN HUTAN

Kotak 4.3.

Sinergi Pemangku Kepentingan dalam Pengelolaan Hutan

(KPH) Bandung Selatan, terjadi perambahan hutan seluas lebih dari 15.000 ha oleh lebih dari 41.000 masyarakat lokal (Tabel 4.14). Perambahan hutan tersebut utamanya dimanfaatkan untuk budidaya tanaman pertanian komersial, terutama sayuran. Hal ini terjadi karena saat itu semangat “kebebasan” akibat pergantian pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi sedang mencapai puncaknya. Di Jawa Barat, suasana “kebebasan” atau eforia politik

antara Dinas Kehutanan (Pemda) dengan PT Perhutani (BUMN). Dinas Kehutanan yang sebelumnya memiliki fungsi regulasi dalam pengelolaan hutan menginginkan peran sebagai operator yang selama ini dilakukan oleh PT

swasta ini demikian meruncingnya sehingga masyarakat melihat hutan tidak ada yang punya. Lebih tepatnya hutan tidak ada yang mengurusi. Bahkan, ada nuansa Dinas Kehutanan “merestui” masyarakat untuk merambah hutan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membangun argumen bahwa selama ini terjadi salah-urus hutan di Jawa Barat. Akibatnya, pada saat itu sekitar 15.000 ha dirambah oleh sekitar 41.000 orang yang tinggal di sekitar hutan. Pemanfaatan kawasan hutan untuk budidaya pertanian ini di satu sisi memberikan keuntungan ekonomi bagi perambah hutan, tapi pada sisi lain, menurunkan

fungsi layanan ekologis (ecological services) hutan dalam bentuk stabilitas tata air dan tanah, iklim mikro, habitat satwa, dll. Pelajaran yang dapat diperoleh dari peristiwa ini adalah ketika dua dari ketiga pemangku kepentingan

lainnya akan mengambil keutungan. Dengan kata lain, keberlanjutan pengelolaan hutan ditentukan oleh kerja sinergis antara pemerintah daerah (state), swasta (private), dan masyarakat (civil society). Saat ini, jumlah perambah hutan telah jauh berkurang seiring dengan harmonisnya hubungan kerja ketiga pemangku kepentingan hutan di Jawa Barat tersebut.

Tabel 4.14. Perambahan Hutan Negara per Bagian Kesatuan Pemangkuan Kesatuan Hutan (BKPH) di KPH

BKPH Luas (ha) Jumlah Perambah

Rajamandala 762,6 2.285

Cililin 741,6 2.224

Gunung Halu 2.732,9 7.937

Tbr Barat 1.174,1 3.521

Tbr Timur 1.197,7 3.592

Ciwidey 1.429,9 4.289

Pangalengan 2.629,0 6.072

Banjaran 2.882,5 6.706

Ciparay 1.680,4 4.200

Rancabali 244,2 609

Jumlah total 15.475,0 41.435

4.4. Upaya dan Inisiatif Pengelolaan

4.4.1. Pengelolaaan, Pengendalian dan Regulasi

a. Sinergitas Pengelolaan HutanSelama 30 tahun terakhir, dominasi pemerintah (pusat) dan swasta dalam pengelolaan hutan di Indonesia dilakukan melalui konsep industrial forestry dengan ciri large scale dan sangat berorientasi pada kepentingan ekonomi (jangka pendek). Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila pola pengelolaan hutan yang dipilih adalah tree management. Pola pengelolaan tree management hanya berkepentingan pada beberapa species pohon komersial yang telah ada pasarnya (industri perkayuan).

Akibat yang ditimbulkan oleh pengelolaan hutan dengan pendekatan tree management adalah tersingkirnya kepentingan masyarakat lokal karena tidak leluasa lagi dalam memanfaatkan hasil hutan non-kayu, rusak dan tidak berkembangnya pemanfaatan non-timber forest products (NTFP), tidak imbangnya antara permintaan dan penawaran kayu untuk industri, dan meningkatnya luas hutan sekunder. Untuk menggambarkan pentingnya paradigma pengelolaan hutan dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan, ilustrasi dalam Kotak 4.4 diharapkan dapat membantu pemahaman, dan dengan demikian, memudahkan untuk menyusun strategi pengelolaan hutan berkelanjutan.

85

LAHAN DAN HUTAN

Salah satu isu yang paling sering diperdebatkan dalam pengelolaan hutan adalah hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan, kurangnya pengakuan sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal, serta pembagian keuntungan yang adil dari pemanfatan hutan komersial di antara pemangku kepentingan. Selama ini, hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan kurang diakui dan masyarakat lokal tidak memperoleh banyak keuntungan dari operasi penebangan kayu komersial.

tentang Kehutanan, hutan adat diakui keberadaannya sepanjang terdapat masyarakat adat di sana dan diakui.

Hutan Kemasyarakatan juga memberikan dasar hukum untuk hutan yang dikelola oleh masyarakat (lokal). Hal ini merupakan usaha untuk memperoleh pembagian sumber daya hutan yang adil. Kedua kebijakan tersebut, dengan segala keterbatasannya, merupakan langkah awal untuk mencapai pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pengakuan peran sistem tradisional dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sebenarnya sudah banyak dilakukan usaha untuk memperbaiki pengelolaan hutan, namun usaha tersebut masih parsial dan terfragmentasi. Ada lima persoalan yang menjadi kendala terwujudnya pengelolaan hutan berkelanjutan yang selama ini mengemuka dalam diskusi-diskusi. Pertama, belum efektifnya reformasi kebijakan yang murni dan partisipatif dalam peraturan perundangan yang mendukung pengelolaan hutan. Kedua, informasi dasar untuk pengambilan keputusan sangat lemah. Ketiga, pengelolaan hutan selama ini lebih menekankan pada eksploitasi sumber daya kayu daripada menyadari potensi penuh dari sumber daya hutan untuk kesejahteraan nasional dan masyarakat. Hal ini mengakibatkan terjadinya masalah keempat, yaitu dikotomi tujuan dan metode pengelolaan hutan antara masyarakat lokal di satu pihak, dengan pengusaha hutan dan pemerintah di lain pihak. Masalah kelima berkaitan dengan distorsi pemahaman Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama dalam implementasi di lapangan. Pemberian kewenangan bagi daerah untuk mengelola sumber daya hutan seringkali menimbulkan

perebutan kewenangan pengelolaan hutan, misalnya antara Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani di Jawa Barat (lihat Kotak 4.1).

Kotak 4.4.

Reorientasi Pola Pengelolaan Hutan

Khusus untuk kasus tidak berimbangnya antara permintaan dan penawaran kayu bagi industri, dampaknya adalah terjadinya penebangan kayu secara ilegal.

tahun. Sedangkan produksi kayu secara lestari yang dapat diperoleh dari hutan alam, hutan rakyat, dan perkebunan

ini, kekurangan tersebut kemungkinan besar dipenuhi dari hasil penebangan kayu ilegal oleh pengusaha kayu, masyarakat atau pihak lain (Kementerian LH, 2003). Akibat

timbulnya dampak tersebut di atas mendorong perubahan pola pengelolaan hutan dari pendekatan industrial forestry ke arah eco-forestry. Konsep eco-forestry menekankan pentingnya pergeseran pola pengelolaan sumber daya hutan dari tree management menjadi ecosystem management. Dalam konsep ecosystem management¸ fokus pengelolaan hutan tidak hanya pada pohon komersial, tapi juga NTFP dan fungsi hutan tidak langsung sehingga masyarakat lokal dapat lebih terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Melalui pola pengelolaan hutan yang terakhir ini, kemungkinan untuk terwujudnya pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan menjadi lebih besar.

86

LAHAN DAN HUTAN

b. Pengendalian Perambahan HutanPengalaman selama ini menunjukkan bahwa kerusakan sumber daya hutan merupakan permasalahan yang bersifat kompleks. Kompleksitas permasalahan pengelolaan sumber daya hutan meningkat sejalan dengan makin kompleksnya permasalahan sosial-budaya yang dihadapi oleh masyarakat. Sejalan dengan perkembangan organisasi sosial, kapasitas teknologi yang dihasilkan oleh

manusia juga mengalami peningkatan seiring dengan perjalanan waktu. Meningkatnya organisasi sosial dan kapasitas teknologi, ternyata telah mengubah persepsi manusia terhadap keberadaan dan fungsi sumber daya hutan. Selain mengubah persepsi, perubahan organisasi sosial dan kapasitas teknologi juga telah menurunkan tingkat kemitraan (partnership) antara penguasa (pemerintah, perusahaan pemegang hak penguasaan sumber daya hutan) dan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan. Kedua perubahan tersebut membawa konsekuensi meningkatnya konsumsi sumber daya hutan dan mengakibatkan dominasi penguasaan sumber daya hutan oleh penguasa. Pada kebanyakan kasus,

atau perusahaan) dalam pengelolaan sumber daya hutan mengakibatkan berkurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan harus dilaksanakan secara sinergis oleh instansi pemerintah (state), sektor swasta (private sector), dan masyarakat madani (civil society). Lebih khusus, perlu ditekankan bahwa partisipasi masyarakat dan kemitraan dalam kegiatan pengelolaan sumber daya hutan mempunyai arti sangat penting. Pentingnya kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan berkelanjutan dapat ditunjukkan dari tingginya perambahan hutan di Jawa Barat akibat tidak sinergisnya ketiga pemangku kepentingan utama tersebut (Kotak 4.1).

c. Lahan KritisMempertimbangkan besarnya luas lahan kritis serta belum memadainya keberhasilan rehabilitasi lahan kritis, maka perlu suatu strategi perencanaan program rehabilitasi lahan kritis yang memberi kemungkinan tingkat keberhasilan lebih besar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan program rehabilitasi lahan

ekonomi masyarakat perdesaan. Pertimbangan sosial-ekonomi utamanya mengacu pada jalan keluar terhadap terbatasnya kesempatan kerja di sektor pertanian dan

pada kondisi curah hujan dan kesuburan tanah di Indonesia yang sebagian besar relatif tinggi sehingga memberi harapan besar untuk berhasilnya program reboisasi dan penghijauan apabila tepat strateginya.

Dok: Polagrade

87

LAHAN DAN HUTAN

Kotak 4.5.

Kebijakan Konservasi Tanah dan Air

Kebijakan strategis konservasi tanah dan air seharusnya didasarkan pada hasil-hasil penelitian tentang proses terjadinya lahan kritis. Hasil penelitian tentang erosi dan air larian yang merupakan faktor penentu terjadinya lahan kritis menunjukkan eratnya kaitan antara terjadinya erosi dan keberadaan vegetasi, terutama pengaruh tutupan tajuk (land cover). Faktor yang dianggap penting dalam

dan kerapatan tajuk serta oleh kondisi tumbuhan bawah

memberikan perlindungan yang sangat efektif dalam proses pencegahan erosi melalui mekanisme pemecahan butir-butir air hujan dan menurunkan laju kecepatan air larian. Tabel 4.15 menunjukkan peran penting tumbuhan bawah (undergrowth) dan serasah (litter).

Tabel 4.15 menunjukkan bahwa pada kondisi alamiah,

adanya gangguan terhadap tumbuhan bawah dan serasah, besarnya erosi di bawah tegakan hutan campuran

setelah tumbuhan bawahnya dihilangkan (Coster, 1938). Peningkatan laju erosi menjadi 39 kali, setelah serasah juga dihilangkan. Hasil yang kurang lebih serupa juga dihasilkan dari penelitian erosi di bawah tegakan hutan Acacia sp. di Ubrug, Jatilihur, yaitu pembersihan tumbuhan bawah dan serasah telah meningkatkan besarnya erosi 146 kali. Sementara di Soreang, pembersihan tumbuhan bawah dan serasah telah meningkatkan besarnya erosi 7,9 kali (Tabel 4.15).

Hasil penelitian tersebut di atas seharusnya menjadi dasar kebijakan program konservasi tanah dan air. Misalnya, rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan hutan konservasi di wilayah terpencil (remote areas), dapat dilakukan secara alamiah karena seresah dan tumbuhan sangat cepat dan efektif dalam menurunkan air larian

tanah vulkanik yang subur, sesuai untuk pendekatan reboisasi cara alamiah sepanjang perambahan kawasan hutan oleh manusia dan ternak dapat mencegah. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah dengan mengalokasikan sebagian dana reboisasi dan penghijauan untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang selama ini menjadi perambah hutan.

Dok: Ecopark LIPI

Tabel 4.15. Fungsi Tumbuhan Bawah dan Serasah Dalam Menentukan Besarnya Erosi

Perlakuan Hutan Campuran1 Hutan Acacia2 Kebun Bambu3 Kebun Campuran3

Kontrol 14,95 0,003 1,47 1,36

Tanpa tumbuhan bawah 38,65[2,5]

0,006[2,0]

-

Tanpa tumbuhan bawah dan serasah

586,65[39]

4,39[146]

11,65[7,9]

10,88[8,0]

Sumber: 1Coster (1938); 2Lembaga Ekologi (1983); 3Asdak (2006)

88

LAHAN DAN HUTAN

Berdasarkan hasil penelitian (Kotak 4.5), strategi rehabili-tasi lahan dan hutan seharusnya tidak seluruhnya dikonsen-trasikan dalam bentuk program tanam-menanam pohon semata. Mempertimbangkan persoalan lahan kritis seba-gian besar diakibatkan karena besarnya tekanan pada la-han dan hutan karena terbatasnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat perdesaan, terutama di sekitar hutan, maka sebagian dana rehabilitas lahan dan hutan juga diarahkan pada program-program yang mampu mengurangi tekanan penduduk agraris tersebut di atas, utamanya dengan men-ciptakan lapangan kerja di perdesaan. Dengan demikian, diharapkan tekanan penduduk terhadap lahan dan hutan dapat dikurangi, dan biarkan hutan tumbuh kembali secara alamiah. Indonesia dengan curah hujan tinggi dan lahan yang subur memungkinkan vegetasi hutan untuk tumbuh dan berkembang dengan cepat sepanjang tidak diganggu manusia dan ternak seperti ditunjukkan dalam Kotak 4.5.

d. Kebakaran Lahan dan HutanFokus upaya mitigasi adalah pada pengendalian atau pencegahan pembakaran lahan dan hutan untuk persiapan penanaman tanaman pertanian dan HTI.

Selain upaya teknis pengendalian kebakaran lahan dan hutan tersebut di atas, perlu dikembangkan teknologi

karena cara ini efektif dalam pengelolaan dan ekonomis dalam pembiayaan sehingga dapat diaplikasikan pada jaringan komputer Posko Penanggulangan Bencana

Kota. Apabila dimungkinkan, secara bertahap, dapat ditingkatkan sampai ke Unit Operasional Penanggulangan Bencana Kebakaran Lahan dan Hutan Tingkat Kecamatan. Sistem ini juga perlu dilengkapi dengan dukungan data base yang memadai, termasuk sistem informasi manajemen kebakaran lahan dan hutan. Data potensi kebakaran spasial pada Gambar 4.1, 4.2, dan 4.3 tersebut dapat dimanfaatkan sebagai data dasar untuk mitigasi kebakaran lahan dan hutan. Untuk aspek kebijakan pengelolaan HTI, seyogyanya pengeluaran ijin HTI di kawasan hutan alam tidak lagi diperbolehkan, melalui moratorium HTI baru. Untuk suatu upaya mitigasi yang menyeluruh, upaya moratorium ini harus diselaraskan dengan kebijakan restrukturisasi industri berbasis pohon hutan.

Gambar 4.1. Peta Tingkat Rawan Kebakaran Pulau Sumatera Tahun 2010

89

LAHAN DAN HUTAN

Gambar 4.3. Sebaran Titik Panas di Pulau Sumatera dan Kalimantan Tahun 2006 – 2010

Gambar 4.2. Peta Tingkat Rawan Kebakaran Pulau Kalimantan Tahun 2010

90

LAHAN DAN HUTAN

91

LAHAN DAN HUTAN

92

LAHAN DAN HUTAN

e. KebencanaanApabila dicermati pada Gambar 4.4, sebaran bencana tanah longsor di Pulau Jawa sebagian besar terletak di daerah tengah dan daerah sepanjang bagian Selatan pulau Jawa. Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa di wilayah tengah dan selatan Pulau Jawa lanskapnya terdiri atas wilayah pegunungan, berlereng besar, curah hujan tinggi, dan wilayah pantainya tidak landai seperti pantai utara pulau Jawa. Selain faktor-faktor alam tersebut di atas, ketiga provinsi di pulau Jawa tersebut termasuk daerah dengan intensitas pertanian tinggi, utamanya di hulu daerah aliran sungai, bercocok tanam holtikultur, seringkali tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Kondisi alam dan cara petani dalam bercocok tanam inilah yang seringkali memberikan kontribusi terjadinya bencana tanah longsor. Oleh karena itu, untuk mitigasi bencana tanah longsor diperlukan

dipetakan berdasarkan pulau atau provinsi. Selain pemetaan bencana, perlu dirumuskan sistem dan pola pertanian yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, utamanya di wilayah hulu DAS dan wilayah rawan bencana lainnya.

Gambar 4.4. Peta Rawan Longsor Pulau Jawa

Selain penanganan teknis pertanian tersebut di atas, diperlukan informasi peta rawan longsor dalam skala semi detail. Mempertimbangkan bahwa bencana tanah longsor umumnya terjadi di lokasi yang jauh dari pusat pengendalian bencana, maka perlu dirumuskan indikator untuk mitigasi bencana, misalnya menggunakan indikator di lapangan dalam bentuk kemiringan pohon, retakan-retakan tanah di lereng bukit, dan amblasan atau penurunan muka tanah pada kemiringan lereng terjal. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pelibatan lembaga swadaya masyarakat dalam hal-hal: memberikan informasi kemana harus mencari lokasi perlindungan yang aman pada awal terjadinya bencana, dan menyepakati tanda-tanda bahaya bencana longsor, misalnya: bahaya I: apabila hujan deras terjadi > 3 hari berturut-turut, bahaya II: apabila hujan deras terus-menerus terjadi selama 3 hari, dan bahaya III: apabila hujan deras terjadi malam hari dua hari berturut-turut. Dengan upaya ini, jumlah korban jiwa dapat diupayakan untuk dicegah atau dikurangi.

sumber: KNLH, 2009

93

LAHAN DAN HUTAN

4.4.2. Limbah B3

Pelaksanaan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Setiap pihak, memiliki kewajiban untuk mewujudkan pengelolaan B3 dilakukan secara baik dan benar serta aman terhadap kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud meliputi pengaturan tatacara registrasi, penyimpanan, pengangkutan, tata cara pemberian simbol dan label B3. Penggunaan dan atau pengelolaan bahan kimia berbahaya dan beracun (B3) yang tidak tepat akan sangat berdampak kepada kesehatan manusia maupun lingkungan hidup.

Registrasi B3Pasal 6 ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2001 disebutkan setiap B3 wajib diregistrasi oleh penghasil dan atau pengimpor. Registrasi merupakan salah satu simpul dari sistem pengelolaan B3 yang bertujuan untuk mengetahui jumlah B3 yang beredar di Indonesia agar dapat dilakukan pengawasan dari awal sebagai upaya pencegahan atau mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan manusia maupun lingkungan hidup.

Dalam pelaksanaan proses registrasi selama ini telah menggunakan sistem elektronik Indonesia National Single Window (INSW). Dalam penanganan dokumen kepabeanan dan perizinan yang berkaitan dengan

94

LAHAN DAN HUTAN

Dok: KLH

ekspor dan atau impor bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 tentang penggunaan sistem elektronik dalam Kerangka National Single Window.

Konvensi dan Kerjasama InternasionalDalam hal kerjasama internasional, Pemerintah turut berperan aktif dalam kegiatan persiapan konvensi dan negosiasi di tingkat global diantaranya :

Intergovernmental Negotiating Committee (INC) dalam rangka persiapan legally binding instrument (LBI) on mercury;

Pertemuan INC diselenggarakan sesuai dengan keputusan Governing Council UNEP 25/5 dengan tujuan untuk membentuk suatu rezim internasional yang mengatur merkuri secara global. KLH sebagai lead sector telah berperan aktif menghadiri 2 kail pertemuan INC dari 5 pertemuan yang dijadwalkan membentuk legally binding instrument (LBI) mengenai merkuri di tahun 2013. Legally Binding Instrument (LBI) on mercury bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari penggunaan Mercury. LBI diharapkan dapat diimplementasikan di seluruh negara agar dapat menjawab permasalahan merkuri yang bersifat

global, serta dapat menyediakan low-cost solutions for mercury alternatives bagi negara berkembang dan negara dalam transisi ekonomi. Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants (POPs);

Indonesia ikut menandatangani Konvensi Stockholm

kesepakatan tersebut, pada September 2006, telah dibuat National Implementation Program (NIP), dalam rangka penghapusan dan atau pengurangan POPs serta Implementasi rencana tindak mulai tahun 2008 - 2012.

dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention On Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang Bahan Pencemar Organik Yang Persisten). Beberapa kegiatan yang telah dilakukan antara lain Penyusunan National Implementation Plan (NIP), Pemantauan residu POPs (Pestisida) di media lingkungan (air, tanah, sedimen sungai) dan biota ikan dan Sosialisasi POPs kepada para pemangku kepentingan.Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure For Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade

95

LAHAN DAN HUTAN

Lahirnya konvensi Rotterdam berawal dari pertum-buhan dramatis dalam produksi dan perdagangan ba-han kimia, sehingga mendapat perhatian publik akan potensi risiko yang bisa ditimbulkan oleh bahan kimia berbahaya dan pestisida.

Konvensi Rotterdam mencakup formula pestisida dan bahan kimia industri yang telah dilarang atau sangat dibatasi untuk alasan kesehatan atau lingkungan. Terdapat 40 bahan kimia yang tercantum dalam Annex III dan diatur dalam prosedur PIC, yaitu: 25 jenis pestisida, 4 formulasi pestisida berbahaya dan 11 bahan kimia industri, dan diharapkan akan lebih banyak bahan kimia berbahaya untuk ditambahkan di masa depan.

Negara Indonesia telah menandatangani Konvensi Rotterdam pada tanggal 11 Sep 1998, pada saat ini KLH sedang meyusun rancangan undang-undang pengesahaan Konvensi Rotterdam diharapkan dapat diselesaikan pada tahun ini.

4.5. Strategi Pengendalian Laju penurun-an Luas Hutan

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara, dan pulau Kalimantan luas hutannya lebih kecil dari luas non-hutan. Hal ini terjadi karena pulau-pulau tersebut selain kepadatan penduduknya tinggi, juga aktivitas pembangunan berbasis pemanfaatan lahan, misalnya pertanian, industri dan permukiman juga tertinggi di Indonesia. Dengan kata lain, tekanan penduduk agraris termasuk tinggi. Oleh karena itu, strategi pengendalian laju penurunan luas hutan di pulau-pulau dengan konsentrasi penduduk tinggi dan terbatasnya lapangan kerja tersebut seharusnya lebih ditekankan pada program-program yang mampu mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan dan hutan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan secara bertahap adalah dengan penciptaan lapangan kerja yang berbasis sumber daya hutan, misalnya kerajinan tangan berbasis hasil hutan bukan kayu, ekowisata, dan sistem pertanian-kehutanan-peternakan terpadu. Selain itu, penting pula melakukan penegakan hukum bagi mereka yang melanggar aturan terkait dengan perlindungan kawasan hutan.

Dok: Alain Compost

96

5 Keaneka ragaman

Hayati

97

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

“Lestarikan Puspa dan Satwa Demi Masa Depan Bumi Kita,”

Kakatua Kita.”

Indonesia, sebagai salah satu negara megabiodiversity di dunia menyadari pentingnya peran keanekaragaman hayati, khususnya, sumber daya genetik sebagai bahan baku pangan, obat-obatan serta bahan industri. Dengan menjaga asetnya berarti Indonesia telah berperan bagi dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan, kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan. Keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya akan

berikut keragaman ekosistemnya adalah salah satu aset dan modal dasar bagi pembangunan yang tak terhitung nilainya. Keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa Indonesia ini harus dilestarikan dan dilindungi keberadaan serta dioptimalkan pemanfaatannya secara berkesinambungan untuk menunjang pembangunan di Indonesia.

Masalah penyusutan keaneakaragaman hayati bersifat komplek karena adanya keterkaitan erat antara upaya untuk meningkatkan standar hidup manusia dan keinginan memelihara kualitas lingkungan hidup yang baik. Meningkatkan standar hidup berarti manusia harus terus mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Eksploitasi yang terus meningkat dapat menyebabkan hilangnya habitat yang pada gilirannya akan berakibat pada lenyapnya sejumlah spesies yang hidup di dalamnya. Punahnya spesies berarti juga hilangnya seperangkat gen yang membawa sifat-sifat khas dari spesies tersebut. Ancaman yang dihadapi dalam pelestarian keanekaragaman hayati di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan

asing yang invasif, kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan dan juga terjadinya konversi kawasan hutan menjadi areal lain, perburuan dan perdagangan satwa liar adalah beberapa faktor yang menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati ini merupakan keunggulan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Hal ini merupakan modal dari pembangunan yang harus dijaga keberadaan dan manfaatnya secara seimbang (lihat buku SLHI 2008-2009).

5.1. Ancaman terhadap Keanekaragaman Hayati

Ancaman utama yang mengakibatkan punahnya keaneka-ragaman hayati di Indonesia umumnya disebabkan oleh kerusakan dan fragmentasi habitat, pemanfaatan yang berlebihan, dan introduksi spesies asing. Faktor lain penyebab kepunahan keanekaragaman hayati adalah fenomena perubahan iklim. Punahnya keanekaragaman hayati adalah suatu peristiwa alami, namun proses terjadinya laju kepunahan seringkali dipercepat oleh adanya pemanfaatan berlebihan yang dilakukan oleh manusia. Saat ini kekhawatiran banyak pihak akan dampak dari pembangunan jalan di kawasan lindung akan terulang kembali karena adanya rencana pembangunan jalan. Selain itu, faktor lain yang dapat menjadi penyebab kepunahan keanekaragaman hayati adalah fenomena perubahan iklim.

Dalam beberapa tahun terakhir perubahan iklim juga telah dirasakan dampaknya pada aspek pertanian, yang kemudian dapat berpengaruh pada ketahananan pangan, kesehatan manusia, permukiman dan lingkungan,

Dok: Polagrade

Dok: Polagrade

98

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Akibat nyata dampak perubahan iklim terhadap spesies sebagai komponen keanekaragaman hayati adalah perubahan dalam kisaran penyebaran, meningkatnya kelangkaan, perubahan waktu reproduksi, dan perubahan dalam lamanya suatu musim tanam.

EkosistemKondisi keanekaragaman hayati Indonesia dari waktu ke waktu terus mengalami kemerosotan yang mengkhawatirkan akibat ketidak-pedulian berbagai unsur pelaku pembangunan. Bahkan laju kemerosotannya makin cepat akibat lemahnya pemahaman, peran dan tanggungjawab pemerintah daerah terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Tuntutan pembangunan daerah, lemahnya kapasitas pemerintah daerah dan melemahnya kendali pemerintah pusat yang mewarnai euforia reformasi telah menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam berorientasi pada kepentingan jangka pendek tanpa mengindahkan daya dukung lingkungannya, sehingga menyebabkan

kemerosotan keanekaragaman hayati pada tingkat yang dapat mengancam keberlanjutan pembangunan wilayah dan nasional pada masa yang akan datang.

Perusakan habitat alami maupun pengubahan habitat alami (konversi) menjadi areal hutan tanaman industri, areal perkebunan, areal pertanian, pemukiman dan lain sebagainya telah memberi andil yang besar bagi kepunahan keanekaragaman hayati dan kerabat liar tanaman budidaya di Indonesia. Selain itu, kebakaran hutan juga memberikan andil yang cukup besar dalam kerusakan ekosistem (Statistik Kehutanan 2010, Kemenhut).

Ancaman yang paling utama dalam pelestarian ekosistem hutan adalah Kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan, perambahan kawasan hutan, dan eksploitasi yang bersifat destruktif turut memberikan andil yang besar dalam proses deforestasi dan degradasi lingkungan yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem secara keseluruhan (lihat buku SLHI 2009).

Dok: Alain Compost

99

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

Alih Fungsi LahanKegiatan perubahan kawasan hutan dilakukan melalui perubahan status atau peruntukan kawasan hutan yang dilakukan dengan cara pelepasan kawasan hutan pada hutan produksi yang dapat dikonversi, dan tukar menukar kawasan hutan apabila di wilayah yang bersangkutan tidak tersedia HPK dan hanya pada hutan produksi. Perubahan kawasan hutan dapat terjadi juga melalui perubahan fungsi kawasan hutan tertentu menjadi fungsi kawasan hutan lainnya. Perubahan ini dapat terjadi pada lahan pertanian menjadi kawasan non pertanian seperti perkebunan dan pemukiman, atau kawasan lainnya. Hal ini dapat menjadi ancaman bagi kehidupan berbagai spesies liar dan sumber daya genetik.

Deforestasi

ditemukan dan dijadikan fokus bagi banyak penelitian yang bertujuan meminimasi kerusakan ekologis. Tetapi tidak semua penyebab degradasi dan hilangnya hutan dinyatakan secara langsung dan jelas; proses sosial serta kebijakan ekonomi juga mempunyai peranan penting. Upaya menyelesaikan berbagai faktor penyebab dan kaitan hubungan berbagai proses tersebut serta bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi hutan dan penduduknya. beberapa tahun yang lalu, penduduk miskin dan praktek

Progress of Forest Function Alteration in 2005-2009

HPK (Ha)

HP (Ha)

HPT (Ha)

HL (Ha)

Tahura (Ha)

TWA (Ha)

TN (Ha)

TB (Ha)

SM (Ha)

Fungsi Semula

Alih

Fun

gsi

500 1.000 1.500Luas (Ha)

Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Tahun 2005-2009

0

Fungsi Menjadi

2.000

CA (Ha)

Sumber : Statistik Kehutanan 2009/Kementerian Kehutanan

Dok: Polagrade

100

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

Deforestation Rate Inside and Outside Forest Area by Province for the Period of 2003-2006 (ha/year)

DEFORESTASI PADA KELOMPOK HUTAN/

Deforestation in Forest Grup

APLJUMLAH/

TOTALHPK

Jumlah/TotalKSA-

KPAHL HPT HP

Primary Forest8.980,6 16.512,9 11.690,7 11.287,6 48.471,8 3.799,6 52.271,4 24.136,1 76.407,5

B. Hutan Sekunder/Secundary Forest

43.437,1 110.880,6 122.261,4 246.734,0 523.313,1 96,905,4 620.218,4 359.074,7 979.293,1

C. Hutan Lainnya */Other Forest

3.198,7 2.925,5 13.718,0 60.867,0 80.710,0 7.997,6 88,707,6 29.659,8 118.367,4

Total 55.616,4 130.319,0 147.670,2 318.889,3 652.494,9 108.702,5 761.197,5 412.870,5 1.174.068,0

Sumber/Source : Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan/Directorate General of Forestry Planning Statistik Kehutanan 2009/Kementerian Kehutanan

Keterangan/Note :KSA-KPA = Kawasan Suaka Alam-Kawasan Pelestarian Alam termasuk Taman Buru/Sanctuary Reserve Area+ Nature Conservation Area include Game Hunting ParkHL = Hutan Lindng/Protection ForestHPT = Hutan Produksi Terbatas/Limited Produsction ForestHP = Hutan Produksi Tetap/Production ForestHPK = Hutan Produksi yang dapat Dikonversi/Convertible Production ForestAPL = Areal Penggunaan Lain/Non Forest Area

penyebab utama yang mendorong proses deforestasi. Tetapi bukti-bukti yang ada saat ini menyatakan bahwa

faktor-faktor komersial dan perubahan makro ekonomi dapat memberikan pengaruh yang lebih besar.

Kebakaran hutanKebakaran yang terjadi di kawasan suaka alam dapat menjadi ancaman bagi kegiatan konservasi dan keberadaan jenis tumbuhan, satwa, dan ekosistem, terutama jenis-jenis yang statusnya langka. kebakaran hutan terjadi tidak hanya di kawasan hutan produksi di areal HPH, tetapi juga di dalam kawasan konservasi termasuk Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Ancaman yang paling utama dalam pelestarian ekosistem hutan adalah Kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, pemanfaatan sumber daya hayati yang berlebihan, perambahan kawasan hutan, dan eksploitasi yang bersifat destruktif turut memberikan andil yang besar dalam proses deforestasi dan degradasi lingkungan yang dapat mengancam keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.

hutan tahun 2005 - 2009

101

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

Perubahan IklimPerubahan iklim bukanlah suatu hal yang ”baru” bagi bumi. Terjadinya perubahan iklim senantiasa diikuti dengan

mengapa harus khawatir toh kejadian ini merupakan hal alami, alam akan beradaptasi dengan sendirinya. Namun, data tersebut merupakan hasil dari bentangan waktu dalam satuan abad atau bahkan ribuan tahun. Maka apabila perubahan tersebut diproyeksikan pada satuan waktu tahun, akan menjadi perubahan yang berlangsung secara evolusi. (lihat pada Bab.Udara).

Perubahan iklim akan memacu berbagai pengaruh yang berbeda terhadap jenis hama dan penyakit. Perubahan iklim akan mempengaruhi kecepatan perkembangan individu hama dan penyakit, jumlah generasi hama, dan tingkat inokulum patogen, atau kepekaan tanaman inang. Menurut Wiyono3 pengaruh iklim terhadap perkembangan hama dan penyakit tanaman dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu (1) eskalasi, di mana hama-penyakit yang dulunya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar; (2) perubahan

Desember 2007).

Menyimak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di atas, wajar apabila orang yang tinggal di sekitar daerah tropis merasa khawatir atas terjadinya perubahan iklim. Namun, apakah mungkin perubahan iklim ini dapat diatasi hanya dengan perbaikan lingkungan di daerah tropis? Padahal penyumbang masalah terjadinya perubahan iklim bukan hanya akibat konversi hutan atau lahan budi daya pertanian.

5.2. Selayang Pandang Kondisi Kehati

a. Satwa dan Tumbuhan yang dilindungiPenetapan jenis satwa dan tumbuhan ke dalam golongan yang dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa didasarkan atas kriteria kondisi populasi yang kecil, menunjukkan adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, serta mempunyai daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan di tahun 2009, telah

mamalia (127 jenis), burung (382 jenis), reptilia (31 jenis), ikan (9 jenis), serangga (20 jenis), krustasea (2 jenis), anthozoa (1 jenis) dan bivalvia (12 jenis) lihat Tabel 5.2.

Tabel. 5.2 Jumlah Satwa dan Tumbuhan yang Dilindungi

Dok: Polagrade

102

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

Tabel 5.2. Jumlah Satwa dan Tumbuhan yang Dilindungi sampai Desember 2009

No TahunKLASIFIKASI

Kelas Satwa yang dilindungi

A. Satwa Mamalia Aves Reptilia Pisces Insecta Molusca Crustacea Anthozoa Bivalvia

1 2004 127 382 31 9 20 - 2 1 12

2 2005 127 382 31 9 20 - 2 1 12

3 2006 127 382 31 9 20 - 2 1 12

4 2007 127 382 31 9 20 - 2 1 12

5 2008 127 382 31 9 20 - 2 1 12

6 2009 127 382 31 9 20 - 2 1 12

No Tahun Kelas Tumbuhan yang dilindungi

B. Tumbuhan PalmaeOrchi-daceae

Nephen-taceae

Diptero-carpacea

CrustaceaParasite-

PlantApocyna-

ceaeCykas

1 2004 12 11 29 8 13 2 - - -

2 2005 12 11 29 8 13 2 - - -

3 2006 12 11 29 8 13 2 - - -

4 2007 12 11 29 8 13 2 - - -

5 2008 14 11 29 8 13 2 - - -

6 2009 14 11 29 8 13 2 - - -

Sumber : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Statistik Kehutan2010

b. Ekspor Satwa Liar dan TumbuhanPada tahun 2009, ekspor satwa liar antara lain mamalia,

dengan nilai ekspor sekitar Rp. 3.035.444,435,- .(lihat tabel 5.3) Dari jumlah tersebut, nilai ekspor terbesar diperoleh dari ekspor ikan arwana yaitu sebesar Rp. 1.994.598.000,-, lalu berikutnya diikuti dengan coral dengan nilai ekspor

Rp. 649.821.449,-. Sedangkan nilai ekspor beberapa jenis tumbuhan, diantaranya anggrek, gaharu, pakis dan ramin sebesar Rp. 1.497.393.300,- yang menghasilkan perkiraan devisa sebesar US $. 2.318.421,73,-. Jadi perkembangan jumlah realisasi ekspor untuk jumlah satwa dan tumbuhan pada tahun 2009 sebesar 5.774.649,-, dengan jumlah nilai ekspor sekitar Rp.4.532.837.735,- .

Tabel. 5.3. Ekspor satwa dan tumbuhan serta nilai ekspor tahun 2006 - 2009

No. Tahun Kelas Realisasi Ekspor Nilai Ekspor (Rp) Perkiraan Devisa (USS)

1 2006 Jumlah (Satwa) 4.745.881 39.973.827.200 266.491

Jumlah (Tumbuhan) 2.012.141 9.900.362.400 66.002

Jumlah/Total 6.758.022 49.874.189.600 332.493

2 2007 Jumlah (Satwa) 4.418.480 2.285.152.708 166.354.497

Jumlah (Tumbuhan) 5.006.669 85.935.480 527.438

Jumlah/Total 9.425.149 2.371.088.188 166.881.935

3 2008 Jumlah (Satwa) 4.920.705 1.931.592.440 207.231.891

103

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

No. Tahun Kelas Realisasi Ekspor Nilai Ekspor (Rp) Perkiraan Devisa (USS)

Jumlah (Tumbuhan) 561.359 27.718.500 2.278.967

Jumlah/Total 5.482.064 1.959.310.940 209.510.858

4 2009 Jumlah (Satwa) 4.792.499 3.035.444.435 263.862.680,58

Jumlah (Tumbuhan) 982.150 1.497.393.300 2.318.421,73

Jumlah/Total 5.774.649 4.532.837.735 266.181.102

Sumber : Statistik Kehutanan 2010/Kementerian Kehutanan

c. PemanfaatanPemanfaatan keanekaragaman hayati di Indonesia, di samping untuk pelestarian fungsi dan tata air, tata udara, tataguna tanah, juga untuk pangan, sandang, papan, obat-obatan dan energi bio-massa secara berkelanjutan, disamping itu sebagai potensi ekowisata. Padahal, keberlanjutan SDA yang dapat terbarukan akan tercapai melalui perlindungan, penelitian dan pengembangan serta pemanfaatan secara berkelanjutan, khususnya dalam pembangunan pertanian dalam kaitan siklus makanan (food cange dan food webs), akan menjadi kunci bagi keberhasilan untuk mensejahterakan rakyat.

Suatu kawasan yang mempunyai manfaat secara langsung kepada masyarakat adalah kawasan konservasi, juga termasuk di antaranya taman nasional dan hutan lindung. Kawasan ini tidak hanya berupa tutupan hutan yang mempunyai makna ekonomi dan segala aspek yang mempunyai dampak langsung bagi masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Disamping pemanfaatan yang langsung dapat diperoleh terhadap masyarakat, adapun kawasan konservasi juga mempunyai manfaat tidak langsung. Namun demikian, para pengambil kebijakan di beberapa daerah seringkali mempunyai anggapan yang sama dalam menempatkan potensi sumber daya alam dan hutan sebagai aset untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keuntungan yang diperoleh dari nilai tidak langsung kawasan konservasi antara lain ketersediaan air, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, perlindungan tanah, sebagai sarana untuk

104

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

mengembangkan kegiatan ekowisata, kegiatan penelitian ilmiah, pendidikan, serta pengaturan iklim.

Masyarakat Indonesia telah memanfaatkan keanekaragam an hayati sesuai dengan tingkat pengeta-huan dan kultural yang dimiliki oleh masing-masing indi-vidu ataupun kelompok masyarakat. Diperkirakan 40 juta penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan menggan-tungkan kebutuhan subsisten mereka kepada keanek-aragaman hayati yang ada di sekitar mereka. Lebih dari 6000 spesies tanaman bunga (baik yang masih liar mau-pun yang telah dibudidaya) dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, perlindungan dan obat-obatan. Begitu juga de ngan sumber daya hayati laut, hewan serta mikroba, sudah lama masyarakat mengenal dan meman-faatkan sumber daya hayati tersebut untuk keperluan hidupnya sehari-hari dalam pengobatan maupun proses pembuatan makanan (lihat buku SLHI 2007).

d. Konservasi dan Pengelolaan KehatiKeberadaan kawasan konservasi ini cukup efektif untuk memelihara kondisi keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus mengurangi tekanan terhadap eksploitasi yang berlebihan. Namun perlu diakui bahwa berbagai aktivitas manusia masih sering dijumpai di dalam kawasan yang dilindungi ini sehingga dapat mendorong peningkatan laju kerusakan kawasan konservasi seperti di cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya.

Tahun 2009

Kawasan Konservasi Lautan/Marine Conservation Area

Laha

n (H

a)M

illio

ns

Cagar Alam Suaka Marga Satwa

Taman Wisata Timur

TamanNasional

Unit

Luas (ha) 155.015,10 5.22,00 491.248,00 4.043.541,305

2,00

1,00

3,00

4,00

5,00

0,00

2 14 7

Sumber : Statistik Kehutanan 2010/Kementerian Kehutanan

5.3. Upaya Pengelolaan, pengendalian, dan regulasi

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia. Upaya yang dilakukan antara lain dengan menerbitkan beberapa peraturan terkait dengan konservasi keanekaragaman hayati, penyusunan strategi maupun program dan kegiatan yang mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan masyarakat dari garis kemiskinan, khususnya masyarakat sekitar hutan perlu lebih ditingkatkan.

Seluruh institusi terkait diharapkan untuk dapat menyusun rencana aksi pemanfaatan keanekaragaman hayati hutan secara berkelanjutan sebagai upaya untuk menciptakan sumber-sumber pendapatan alternatif, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam agro forestry tepat guna, serta membangun mekanisme pendanaan, jaringan pemasaran dan mitra kerjanya untuk menampung produk-

Laha

n (H

a)

Indonesia 32.164 248.403 127.532 227.913 56.950,802005 2006 2007 2008

150.000

200.000

50.000

100.000

250.000

2009

Sumber : Statistik Kehutanan 2010/Kementerian Kehutanan

105

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

Penjaminan pembagian keuntungan yang adil dan merata kepada masyarakat pemelihara dan penyedia sumber daya genetik hutan, oleh pengguna sumber daya genetik tersebut juga harus dilakukan sesuai kesepakatan dunia yang tertuang dalam Protokol Nagoya tentang Akses Kepada Sumberdaya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Merata Dan Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati.

Keanekaragaman hayati hutan dapat dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila didukung oleh kemauan politis yang cukup dengan melibatkan semua pihak baik berada di tingkat lokal, nasional dan regional untuk turut melestarikan keanekaragaman hayati hutan di seluruh muka dunia (Prof. Dr. Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS).

Keberadaan hutan di Indonesia memiliki fungsi yang beragam baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan. Hutan merupakan habitat bagi berbagai jenis

memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar. Selain itu hutan yang luas tersebut merupakan benteng pencegah bencana alam. Demikian pula fungsinya sebagai penahan laju angin, hutan-hutan tersebut mencegah terjadinya badai. Dengan kata lain hutan dapat mempengaruhi keadaan cuaca dan perubahan iklim. Hutan yang sangat luas yang dimiliki oleh Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang cukup melimpah.

2009

27.252,50

10.739

39.318

16.901

2.775

2009

2007

2006

2005

2008

2005 20092006 2007 2008

Sumber : Statistik Kehutanan 2010/Kementerian Kehutanan

Dengan adanya komitmen dari semua pihak dalam peles-tarian dan pemanfaatan berkelanjutan keaneka ragaman

hayati serta pembagian keuntungan yang adil dan merata untuk kesejahteraan masyarakat. Dan selalu mendorong pemerintah daerah, akademisi, peneliti dan masyarakat di manapun berada untuk menyelenggarakan kegiatan dalam rangka merayakan hari keanekaragaman hayati ini dengan kegiatan yang menampilkan dan dapat menginspirasi tindakan lebih lanjut untuk melestarikan keanekaragaman hayati hutan guna meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya hutan.

2009

Indonesia 26.963 246.042 76.728 266.921 113.042,41

2005 2006 2007 2008

50.000

Laha

n (H

a)

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

Kegiatan Reboisasi Tahun 2005-2009

Sumber : Statistik Kehutanan 2010/Kementerian Kehutanan

Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Keanekaragaman HayatiDalam rangka implementasi pengelolaan keanekaragaman hayati, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan mendukung upaya pengelolaan keanekaragaman hayati.

a. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 20029 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah.

Pada tahun 2009 Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah. Peraturan ini diterbitkan sebagai salah satu upaya penetapan kebijakan dan pelaksanaan konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati. Serta perencanaan konservasi keanekaragaman hayati. Disamping itu juga perlu adanya pemantauan dan pengawasan pelasanaan konservasi keanekaragaman hayati,

pengembangan sistem informasi dan pengelolaan database kenanekaragaman hayati.

106

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

Restorasi ekosistem ini dilakukan sebagai upaya untuk

hutan alam produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati antara lain melalui penanaman dengan tanaman lokal, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa,

ekosistem. Aktivitas yang dimungkinkan melalui Izin Usaha Peman-

faatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) mendukung beralihnya fokus pemanfaatan hutan yang berfokus pada kayu menjadi pemanfaatan hutan yang berkelanjutan. Izin ini memungkinkan pengelo-lanya memanfaatkan hutan secara berkelanjutan den-gan aktivitas seperti pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan mengelola jasa lingkungan yang disediakan kawasan.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan.

Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi

Sumberdaya Ikan. Peraturan ini adalah pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang mengatur lebih rinci upaya pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat ikan termasuk di dalamnya pengembangan kawasan konservasi perairan sebagai bagian dari konservasi ekosistem.

Peraturan ini juga mengatur pemanfaatan berkelanjutan jenis-jenis ikan serta upaya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumber daya genetik ikan. Pemanfaatan berkelanjutan sumber daya ikan dilaksanakan melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik melalui pemeliharaan dan peningkatan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. (bisa dilihat pada SLHI 2007, 2008, dan 2009).

Penegakan HukumUpaya penegakan hukum dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati ilegal telah dilakukan. Namun demikian, berbagai permasalahan

Dok: Polagrade

107

KEANEKA RAGAMAN HAYATI

lingkungan ini belum dapat diselesaikan dengan tuntas melalui upaya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran tersebut. Upaya yang belum optimal menyebabkan beberapa permasalahan seperti perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar di Indonesia, termasuk perdagangan satwa dilindungi, dan penebangan ilegal masih terus berlangsung.

Meskipun terdapat kecenderungan penurunan kasus yang ditemui di lapangan, namun penyelesaian terhadap kasus-kasus tidak tuntas sehingga masih ditemui berbagai kasus pelanggaran tersebut. Sebagai contoh, kasus peredaran, perburuan, dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar (TSL) menunjukkan adanya penurunan pada tahun 2007, namun hasil operasi terhadap perburuan liar, perdagangan, dan penyeludupan satwa dilindungi serta perusakan lingkungan perairan sepanjang tahun masih menemukan 50 kasus dengan penyitaan 200 ekor penyu di TN Tanjung Puting, penyelundupan 387 ekor penyu di Kalimantan Timur, pengiriman dan pengangkutan 77 lembar kulit buaya air tawar dari Papua ke Surabaya, perburuan gajah sumatera dan kijang di TN Kerinci Seblat, serta perdagangan harimau sumatera (Kemenhut, 2007).

Faktor lain yang menyebabkan masih ditemuinya kegiatan perburuan, peredaran dan perdagangan ilegal TSL adalah rendahnya kesadaran masyarakat yang tinggal di perkotaan untuk mendukung upaya konservasi satwa dilindungi misalnya dengan tidak membeli dan memelihara

satwa dilindungi tersebut. Di sisi lain, informasi tentang TSL yang dilindungi, termasuk sosialisasi peraturan perlindungan tumbuhan dan satwa kepada masyarakat luas juga belum dilakukan secara optimal.

Untuk mengatasi permasalahan ini telah dilakukan kampanye anti illegal logging secara fungsional dan terpadu bersama pihak terkait, baik melalui ,

kerjasama dengan TNI dan dengan beberapa emerintah daerah rawan illegal logging. Koordinasi antar instansi terkait dalam pemantauan dan pengawasan untuk menghentikan peredaran dan perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar, dan penebangan ilegal, termasuk pemahaman tentang peraturan yang ada masih harus ditingkatkan. Upaya peningkatan koordinasi antar instansi, termasuk aparat penegak hukum dan penigkatan kapasitas para petugas dalam menangani permasalahan tersebut juga perlu ditingkatkan. KemitraanPengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan melalui upaya pengawetan, perlindungan dan pemanfaatan. Tiga tahap penting tersebut memerlukan banyak pihak dalam mewujudkan keberlanjutan pengelolaan kenakeragaman hayati di Indonesia. Pengelolaan memerlukan multipihak dengan mengoptimalkan fungsi dan peran masing-masing baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.

Dok: Coremap

108

6 Pesisir dan

Laut

Dok: Cipto A. Gunawan

109

PESISIR DAN LAUT

Wilayah pesisir dan laut memiliki arti dan tujuan yang stra tegis. Jika dilihat dari artinya, wilayah pesisir meru-pakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi

gelom bang serta perembesan air laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman serta inten-

-laan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Jika dilihat dari tujuannya, wilayah pesisir salah satunya bertujuan untuk melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaat-kan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan (UU No. 27 Tahun 2007 tentang PWP dan PPK).

INDONESIA merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau (Depdagri, 2006). Panjang garis pantai Indonesia dikoreksi oleh PBB pada tahun 2008 lalu yang semula 81.000 kilo- meter (km) menjadi 95.181 km (www.unep.org). Hal ini semakin memperkuat eksistensi Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar di dunia yang memiliki garis pantai terpanjang keempat setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia. Diperkirakan wilayah pesisir Indonesia merupakan wilayah pesisir terluas di dunia. Wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut Indonesia mengandung potensi pembangunan berupa sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang beragam dan melimpah.

Tren penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya pesisir dan laut mengalami tekanan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sumberdaya yang paling terdegradasi adalah terumbu karang dan hutan mangrove. Dari beberapa data terlihat penurunan penutupan karang hidup di beberapa lokasi kawasan timur Indonesia dan bahkan di beberapa kawasan konservasi. Lingkungan pesisir dan lautan yang bersih dan tidak tercemar merupakan jaminan bagi potensinya sebagai sumber daya alam. Berbagai pihak harus terus memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan pesisir. Dibutuhkan suatu gerakan yang melibatkan seluruh unsur masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir, pemerintah dan dunia usaha, serta stakeholder lainnya yang terkait dengan kehidupan di wilayah pesisir.

6.1. Tekanan Terhadap Pesisir dan Laut

dan jelas bahwa degradasi ini disebabkan oleh kegiatan yang berbasis pada lahan dari daerah hulu. Tingkat degradasi diasumsikan meningkat juga disebabkan akibat dari perubahan iklim. Data dari Studi lapangan sering menunjukkan bahwa degradasi kualitas lingkungan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Lebih khusus, mengingat bahwa degradasi ini terletak di daerah pesisir, sehingga masyarakat dengan kondisi ekonomi miskin yang tinggal di daerah akan terkena dampak. Dengan pemikiran ini, jelas bahwa Program Aksi Nasional diharapkan dapat mengatasi masalah kerusakan/degradasi lingkungan pesisir menghubungkan dengan mengurangi sosio-ekonomi mengukur dampak.

dampak lingkungan (Wiryawan, 2009).

Dok: Cipto A. Gunawan

110

PESISIR DAN LAUT

Degradasi dari kualitas lingkungan ekosistem pesisir

satunya disebabkan oleh kegiatan berbasis lahan dari daerah hulu. Tingkat degradasi dapat diasumsikan juga dengan meningkat sebagai akibat dari perubahan iklim. Studi lapangan sering menunjukkan bahwa degradasi kualitas lingkungan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Lebih khusus, mengingat bahwa degradasi ini terletak di daerah pesisir, sehingga masyarakat dengan kondisi ekonomi miskin yang tinggal di daerah akan terkena dampak yang paling. Dengan pemikiran ini, jelas bahwa Program Aksi nasional harus di upayakan dalam kerangka mengatasi masalah degradasi lingkungan pesisir menghubungkan dengan mengurangi dampak sosial ekonomi.

Faktor-faktor utama kerusakan lingkungan antara lain :Kerusakan Fisik dan pencemaran di lingkungan pesisir dan laut, meliputi kerusakan seperti abrasi, akresi, intrusi air laut, sand dune dari masing-masing wilayah pesisir dan laut di daerah.Kerusakan ekosistem Mangrove Kerusakan ekosistem Terumbu karang Kerusakan ekosistem Padang Lamun

6.2. Kondisi Kerusakan Wilayah Pesisir dan Laut

Indonesia dikenal memiliki beragam ekosistem pesisir dan terumbu karang yang luas, ekosistem mangrove dan rum-put laut. Ini merupakan ekosistem yang unik dan kehidupan telah mengalami kerusakan secara terus menerus. Degra-dasi kerusakan ekosistem pesisir ini salah satunya dise-babkan oleh faktor eksternal. Adapun Faktor eksternal ini meliputi pembangunan di daerah aliran sungai, sehingga sebagaimana telah disebutkan, program aksi harus dilaku-kan dengan koneksi ke isu-isu daerah Aliran Sungai ( DAS) yang memberikan kontribusi terhadap degradasi ekosistem pesisir.

a. Manfaat Mangrove Ekosistem Bakau memberikan stabilitas suatu pada ekosistem pesisir, baik secara ekologis maupun secara

Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam menciptakan

maupun secara ekologis sebagai tempat tinggal penduduk pesisir.Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources atau ) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu, sesuai dengan Ada beberapa alasan yang melandasi pentingnya peranan ekosistem mangrove dalam untuk kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu:perkembangan iptek, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri, herbal medicine, dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara. Disamping itu, mangrove juga berperan sebagai penyedia jasa lindungan

Dok: Cipto A. Gunawan

111

PESISIR DAN LAUT

lingkungan (environmental services) bagi sistem penyangga kehidupan masyarakat dan berbagai jenis

Rapatnya batang dan susunan perakaran mangrove partikel liat terdeposisi dan nutrien terserap dalam sedimen liat. Jasa Lingkungan, Proteksi garis pantai, stabilitas iklim mikro, pengaturan bawah air, proteksi garis pantai dari hempasan gelombang, mengatur sedimentasi, retensi nutrient, memperbaiki kualitas air, mengendalikan intrusi air laut. Sumberdaya -nyedia sandang, pangan, papan dan material kesehatan. Groundwater secara ekologis dapat menstabilkan salini-tas pada saat musim kemarau dan mensuplai nutrien ke ekosistem mangrove (Cecep Kusmana, IPB-2011). Nilai manfaat total dari hutan Mangrove di Banawa Sulawesi Selatan : Rp. 170 juta/ha/tahun yang terdiri

pilihan Rp. 127.500/ Rp. 951.600/

b. Kondisi Mangrove dan Terumbu karang:

Tabel 6.1 Area Tutupan Mangrove di wilayah Sumatera

No Kabupaten/KotaLuas Mangroves

(Ha)

1 Karimun 13.068.649

2 Kepulauan Riau 6.030.148

3 Kota Batam 16.903.272

4 Kota Tanjungpinang 3.097.272

5 Lingga 11.475.823

6 Natuna 4.106,17

Total 54.681.915

Sumber : Bakosurtanal tahun 2006

Tabel 6.2 Area Tutupan Terumbu Karang di wilayah Sumatera

No Kabupaten Luas (Ha)

1 Karimun 260,95

2 Kepulauan Riau 5.758,01

3 Kota Batam 7.998,27

4 Lingga 3.930,76

5 Natuna 75.367,69

Total 93.315,68

Sumber : Bakosurtanal Tahun 2006

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang

19931994

19951996

19971998

19992000

20012002

20032004

20052006

20072008

20092010

Keterangan : Sangat Baik : 75-100% tutupan karang hidup Baik : 50-74% tutupan karang hidup Cukup : 25-49% tutupan karang hidup Kurang : 0-24% tutupan karang hidup

Sumber : Coremap, 2011

112

PESISIR DAN LAUT

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

KONDISI TERUMBU KARANG WILAYAH INDONESIA BAGIAN TENGAHTAHUN 1993-2010

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang

0

10

20

30

40

50

60

70

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

KONDISI TERUMBU KARANG WILAYAH INDONESIA BAGIAN BARATTAHUN 1993-2010

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang

113

PESISIR DAN LAUT

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

KONDISI TERUMBU KARANG WILAYAH INDONESIA BAGIAN TIMUR TAHUN 1993-2010

Sangat Baik

Baik

Cukup

Kurang

Keterangan : Sangat Baik : 75-100% tutupan karang hidup Baik : 50-74% tutupan karang hidup Cukup : 25-49% tutupan karang hidup Kurang : 0-24% tutupan karang hidup

Sumber : Coremap, 2011

Foto : Potensi Sumberdaya Terumbu Karang, ikan dan Ekowisata, di wilayah Kepulauan Raja Ampat- Papua, KLH-2011

Potensi Perikanan :Potensi perikanan tangkap yang ada terlihat dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 dibagi dengan wilayah pulau-pulau besar, wilayah Indonesia Timur mempunyai potensi produksi yang paling tinggi.

Tetapi untuk wilayah pulau jawa terlihat sangat jauh tertinggal oleh pulau-pulau besar lainnya. Pulau Jawa dan

Nusa Tenggara masih tertinggal di banding dengan pulau-pulau lainnya yang dapat disebabkan oleh menurunya potensi sumber daya ikan ataupun infrastruktur yang masih belum mendukung secara optimal dalam penangkapan ikan tangkapan. Hal ini pula memberikan strategi dalam pembuatan kebijakan pola eploitasi sumber daya ikan dikaitkan

114

PESISIR DAN LAUT

dengan daya dukung sumber daya ikan ditiap perairan baik untuk perikanan laut maupun yang perikanan umum.

Hasil tangkapan ikan yang ada di wilayah Sumatera terlihat paling tinggi tetapi masih perlu dilihat kembali

pola penangkapan dan potensi Ikan yang ada. Dan untuk tangkapan ikan perairan umum di wilayah Bali Nusa Tenggara masih rendah, hal ini perlu dilihat kembali pola penangkapan dan potensi sumber daya ikan yang ada.

Wilayah Perikanan Laut (ton) Perairan Umum (ton) Total (ton)

2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008

Sumatera 1.162.586 1.216.691 1.343.789 1.420.489 102.979 93.217 100.945 299.070 1.265.565 1.309.908 1.444.734 1.719.559

Jawa 862.728 914.710 915.155 948.057 36.516 42.495 36.369 38.531 899.244 957.205 951.524 986.588

Bali & Nusa Tenggara

285.185 269.427 306.983 292.206 3.441 2.547 3.261 3.417 288.626 271.974 310.244 295.623

Kalimantan 342.822 326.883 308.822 322.820 121.198 120.365 136.324 131.533 464.020 447.248 445.146 454.353

Sulawesi 850.970 863.852 910.326 934.781 26.301 28.332 26.507 14.423 877.271 892.184 936.833 949.204

Maluku 588.848 601.727 623.603 458.573 210 89 124 109 589.058 601.816 623.727 458.682

Papua 315.360 318.901 325.602 325.007 6.725 6.876 6.927 7.312 322.085 325.777 332.529 332.319

Indonesia 4.408.499 4.512.191 4.734.280 4.701.933 297.370 293.921 310.457 494.395 4.705.869 4.806.112 5.044.737 5.196.328

Sumber : KKP, 2010

0

500000

1000000

1500000

2000000

2500000

3000000

3500000

4000000

4500000

5000000

2005 2006 2007 2008

Produksi Perikanan Laut Indonesia

Tahun 2005 - 2008

SUMATERA

J A W A

BALI & NUSA TENGGARA

KALIMANTAN

SULAWESI

MALUKU

PAPUA

INDONESIA

Sumber : KKP, 2010

115

PESISIR DAN LAUT

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

2005 2006 2007 2008

Produksi Perikanan di Perairan Umum IndonesiaTahun 2005-2008

SUMATERA

J A W A

BALI & NUSA TENGGARA

KALIMANTAN

SULAWESI

MALUKU

PAPUA

INDONESIA

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008 2005 2006 2007 2008

SUMATERA

J A W A

BALI & NUSA TENGGARA

KALIMANTAN

SULAWESI

MALUKU

PAPUA

INDONESIA

116

PESISIR DAN LAUT

Gambar 6.1. Data dan Informasi Kerusakan wilayah pantai di Indonesia (Fisik)

6.3. Upaya Pengendalian dan Inisiatif Pengelolaan

Beberapa upaya dalam melakukan pengurangan kerusakan lingkungan, adalah dengan membuat beberapa kegiatan yang terus dilaksanakan untuk upaya pengurangan risiko

kerusakan lingkungan. Sebagai pola dalam kegiatan pengurangan dampak dan risiko kerusakan lingkungan adalah dengan melakukan :

Progran Stimulan pemulihan ekosistem pesisir berbasis Masyarakat. Peran Serta Masyarakat dalam ikut melaksanakan pemulihan pesisir dan laut (Program stimulan dalam kegiatan pemulihan ekosistem Pesisir

berbasis masyarakat).

Model Pemulihan Ekosistem Mangrove (Rehabilitasi pantai entaskan masyarakat sekitar (Rantai Emas) yang berbasis masyarakat di desa

Sumber : KLH, 2011

Dok: Coremap (CAG)

117

PESISIR DAN LAUT

Model program pemulihan ekosistem Mangrove yang berbasis Masyarakat

Gambar 6.2. Model Pemulihan Ekosistem Pesisir Berbasis Masyarakat

Komoditas kepiting Soka yang merupakan komoditas primadona Petani tambak pembesaran kepiting soka baik untuk komoditas Ekspor maupun untuk kebutuhan lpkal (di lingkungan kabupaten Pemalang, atau dikirim ke kota-kota besar misalnya Jakarta, Surabaya dan lain-lainnya).

Pola kemitraan dengan pembentukan kelompok nelayan memberikan nilai tambah konservasi serta peningkatan kesejahteraan anggota kelompok dalam model pola pembesaran di tambak dalam pembesaran Kepiting Soka.

pesisir : Potensi dan kondisi kawasan pantai, baik kondisi pada ekosistem mangrove dan ekosistem pantai, serta kondisi pemanfaatan daerah pesisir dan rencana pengembangan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Analisis permasalahan difokuskan pada dua penyebab, yaitu: permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan eksternal adalah permasalahan yang timbul oleh faktor-faktor eksternal seperti pencemaran, erosi pantai, gelombang Tsunami, dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor

menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan pantai, seperti penebangan hutan, konversi lahan, status pengelolaan, lemahnya kelembagaan dan aturan main dalam mengelola kawasan pesisir (mangrove), dan sebagainya.

Adanya permasalahan akan mempengaruhi nilai

pantai baik manfaat ekologis, manfaat ekonomi dan manfaat sosial. Perubahan fungsi dan manfaat dari ekosistem akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak yang timbul ada yang berlangsung

118

PESISIR DAN LAUT

terbukti telah banyak menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan wilayah pesisir di Indonesia.

Disadari bahwa pentingnya kawasan pesisir dan laut dalam menunjang sumber kehidupan, dilain pihak kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut terus berlangsung, maka upaya pemantauan, perlindungan, dan pemulihannya perlu menjadi perhatian semua pihak. Untuk mewujudkan upaya tersebut, diperlukan adanya

pesisir dan laut di Indonesia.

Berdasarkan analisis permasalahan dan mempertimbang-kan status dan keberadaan fungsi-fungsi ekosistem pesi-sir, maka dilakukan kegiatan kajian akademis kriteria keru-

dicapai dari penyusunannya adalah agar dapat memberi-kan gambaran kondisi kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang telah terjadi di Indonesia, serta dapat dijadikan sebagai sumber acuan dalam upaya pemantauan, perlin-dungan, dan pemulihan kerusakan lingkungan wilayah pe-sisir dan laut di Indonesia.

dengan cepat, tetapi ada yang baru dirasakan dalam jangka waktu yang agak lama. Dampak yang dapat dirasakan dalam jangka pendek, seperti terjadinya pengikisan pantai, penurunan produksi ikan dan sebagainya. Sedangkan dampak jangka panjang adalah hilangnya resapan air dan terjadinya intrusi air laut ke daratan.Berdasarkan kenyataan yang ada, menunjukkan telah terjadinya kecenderungan adanya peningkatan kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut di Indonesia. Berbagai hal yang menyebabkan keadaan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor :

menyebabkan wilayah pesisir dan laut di Indonesia memiliki karakteristik iklim dan hidrologi yang yang berbeda-beda. Pola arus laut dan arah angin musim yang ada telah banyak menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan wilayah pesisir di berbagai daerah di Indonesia.

pada lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan

Dok: Ferry Tan

119

PESISIR DAN LAUT

Dok: Cipto A. Gunawan

(KLH-2010)

Status Wilayah Pesisir dan Laut/State of the Coast (SOC) yang sedang dikembangkan pada saat ini merupakan bagian dari perangkat (Tool) Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu/Integrated Coastal Management (ICM) adalah :

Merupakan pendekatan komprehensif dan terintegrasi yang mendokumentasikan dan mengukur kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Merupakan sistem pelaporan untuk mengukur kemajuan dan dampak dari implementasi ICM oleh pemerintah daerah.Dirancang sebagai tool operasional untuk pemerintah daerah dalam implementasi program ICM

Respon untuk SOC di kaitkan dengan pengelolaan Pesisir Terpadu (ICM) Dalam rangka pelaporan Status Wilayah Pesisir (SOC) pada intinya merupakan:

Perencanaan dikaitkan dengan SOCProgram aksi untuk ICM di wilayah dengan data & informasi SOC yang telah ada (mengacu pada Rencana Strategis yang telah disepakati bersama) contoh dengan mempergunakan renstra Teluk Tomini.

Tujuan dari Status Wilayah Pesisir (SOC) adalah :Menyajikan data dasar secara kualitatif dan kuantitatif

dan pengelolaan aksi Menentukan kondisi mekanisme tata pemerintahan dan rancangan implementasi program sesuai dengan rencana

120

PESISIR DAN LAUT

Menentukan dan memprioritaskan isu-isu terkait yang dapat dimasukkan dalam program ICM.Menyusun kondisi sosial, ekonomi dan kondisi lingkungan, yang dapat berubah setiap waktu.

perlu ditindaklanjuti dalam penelitian dan monitoring.

Manfaat yang diharapkan dari SOC adalah :

pemerintah lokal dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan.Membuat monitoring pemerintah daerah terkait dengan target internasional menjadi sistematis.Mendorong pemerintah daerah untuk melaksanakan pelaporan kegiatan yang sudah dilaksanakan dan mengkaji dampak dari interfensi pengelolaan.

Diagram siklus penyelenggaraan ICM termasuk kerangka kerja berikut mekanisme tata kelolanya di atas dapat dikatakan sebagai mekanisme teknokratis untuk merumuskan satu kebijakan perencanaan stratejik wilayah pesisir. Pada kenyataan perlu ada sejumlah penyesuaian dalam konteks sistem mekanisme perumusan dan penyelenggaraan pembangunan di Indonesia yang sampai saat ini menganut sistem desentralisasi. Oleh karenanya pedoman tata kelola ICM bersama dengan pengembangan SOC harus diselaraskan dengan kebijakan dan peraturan sistem perumusan, penyelenggaraan, dan pengawasan pembangunan daerah yang berlaku di Indonesia sebagaimana yang tercantum diantaranya dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah tahun 2004.

Gambar 6.4. Kerangka pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir dan laut.

Policy, Strategies,and Plans

InstitutionalArrangements

Information andPublic Awareness

FinancingMechanisms

Legistation CapacityDevelopment

Policy and Functional Integration, Scientific/Expert Advice

Governance

Natural andMan-made Hazard

Preventionand Management

Habitat Protection,Restoration and

Management

WatEr Use andSupply

Management

Food Securityand LivelihoodManagement

Sustainable Development Aspects

Project & Programs

Pollution Reductionand Waste

Management

State of the Coasts Reporting

MDG WSSD Agenda 21 SDS-SEA

Targets

ICM CycleICM CycleIC

M C

ode

ISO

900

1IS

O 9

001

Par

tner

ship

s (P

ublic

, Civ

il So

ciet

y, C

orpo

rate

and

Oth

er S

take

hold

ers

Kerangka pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir dan laut

121

PESISIR DAN LAUT

6.4. Analisis Poin-Poin Penting dan Strategi Pengelolaan

Program Aksi Nasional dalam mengintegrasikan pengelolaan Daerah Aliran Sugai (DAS) dan Pesisir.Secara umum, kebijakan pemerintah pada pengelolaan DAS dan pesisir, secara terpisah telah dilakukan, tetapi tidak dikelola secara terpadu.

Begitu juga pengaturan kelembagaan dan keuangan. Kelembagaan penataan dan mekanisme pendanaan antara dua ekosistem yang berbeda masih dipisahkan. Dalam pengelolaan DAS, fokus manajemen masih di bagian atas, meskipun disadari bahwa pengelolaan DAS terpadu memerlukan daerah hulu dan hilir serta harus dilihat sebagai satu unit manajemen. Kasus yang sama juga berlaku untuk pengelolaan sumber daya pesisir, di mana daerah pedalaman ekosistem pesisir tidak diberikan cukup perhatian dalam hal pengelolaan. Pendekatan parsial hasil sumber daya DAS dan pesisir manajemen dalam pengaturan kelembagaan parsial, mekanisme pendanaan, dan peraturan antara dua ekosistem darat dan perairan.

Oleh karena itu, untuk membuat lebih efektif dan hasil yang lebih baik dalam melindungi ekosistem pesisir, adalah penting untuk dampak negatif dari daerah pedalaman pesisir, terutama yang dari tanah berbasis kegiatan.Hubungan sebab akibat tidak hanya terbatas pada aspek siklus hidrologi khususnya, namun aspek-aspek mekanisme peraturan dankebijakan, pengaturan kelembagaan, dan pendanaan juga.

Kebijakan pengelolaan dalam integrasi DAS dan Pesisir :

1. Mengembangkan dan merumuskan kebijakan terpadu di DAS dan pesisir dalam pengelolaan secara terpadu

2. Menggambarkan DAS dan pesisir sebagai dasar untuk kebijakan sinergis dalam penge-lolaan pesisir dan DAS secara terpadu;

3. Mengembangkan dan membangun persepsi umum untuk pengelolaan DAS dan pesisir secara terpadu di antara berbagai pihak, khususnya para perencana dan pengambil keputusan yang membuat dan menentukan DAS dan pesisir dalam pengelolaan yang terpadu,

4. Penyusunan rancangan utama dalam kebijakan dan regulasi untuk DAS dan pesisir.dalam pengelolaan yang terpadu.

Aspek-aspek lainnya yang perlu dijadikan sebagai landasan dalam pengelolaan lainnya :

Penataan Kelembagaan dan peraturanStrategi dalam pengelolaan DAS dan Pesisir

Wilayah Daerah Aliran Sungai dan PesisirMeningkatkan pengelolan Terpadu untuk Daerah Alir an Sungai dan Pesisir Manajemen dalam rangka pengurangan Kemiskinan

Dok: Cipto A. Gunawan

122

7 Sintesis dan

Outlook

Dok: Polagrade

123

SINTESIS DAN OUTLOOK

7.1. Sintesis

Dari paparan SLHI dari 2010 ini dapat disampaikan berbagai sintesis menyangkut tekanan, kondisi, dan respon terhadap lingkungan hidup di Indonesia.

Pertama. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ber-tumpu pada aset sumber daya alam baik yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih, demikian juga jasa ling-kungan masih memberikan manfaat baik langsung mau-

mendasar kemudian sejauh manakah sumber daya alam tersebut dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan sehingga tidak menimbulkan umpan balik yang negatif terhadap lingkungan. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah sejauh mana kebutuhan terhadap sumber daya alam tersebut dapat dipenuhi secara berkelanjutan den-gan pertumbuh an penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kedua pertanyaan tersebut tercermin dari SLHI 2010 yang secara makro dapat memotret bahwa ke-berlanjutan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa ling-kungan belum sepenuhnya dicapai, kalaupun ada masih sebatas parsial dalam skala yang berbeda. SLHI 2010 juga mengindikasikan bahwa tingginya kebutuhan akan aset alam menimbulkan tekanan yang relatif besar terhadap lingkungan baik dalam skala lokal maupun regional.

Kedua. Kecenderungan pertumbuhan penduduk secara umum menambah tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Khususnya menyangkut kebutuhan akan lahan dan air yang secara langsung diturunkan dari kebutuhan akan pangan dan papan. Meski terjadi perubahan yang

positif di beberapa daerah berupa meningkatnya lahan tervegetasi, di beberapa wilayah khususnya di Jawa, situasinya masih belum menggembirakan. Alih fungsi lahan dan konversi lahan masih cenderung terjadi dengan pola yang sporadik. Pertambahan penduduk akan terus menekan kebutuhan air khususnya air bersih dan air minum sehingga dengan kondisi alih fungsi lahan di hulu, hal ini akan meningkatkan beban terhadap kebutuhan air bersih yang terus meningkat. Kecenderungan pertambahan penduduk juga meningkatkan volume alat transportasi dan konsumsi bahan bakar, khususnya yang berbasis fossil. Hal ini menimbulkan tekanan terhadap kualitas udara di beberapa kota-kota besar.

Ketiga. Kebijakan pembangunan ekonomi yang masih mengandalkan indikator pertumbuhan, khususnya Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto, secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan “ongkos” terhadap lingkungan berupa biaya degradasi dalam berbagai bentuk seperti biaya kemacetan, biaya pemulihan, biaya yan terkait dengan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan berbagai biaya lingkungan lainnya. Penggunaan PDB semata memang kemudian memiliki kelemahan terhadap lingkungan karena pengukuran PDB ini tidak memasukan aspek biaya lingkungan tersebut ke dalam indikator pembangunan. Namun, upaya pemerintah dengan memasukan pilar keempat yakni pro environment sebagai pilar pembangunan yang tidak terpisahkan dari tiga pilar sebelumnya (pro growth pro poor dan pro jobs) dalam beberapa relative efektif dalam mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pembangunan baik di tingkat regional maupun nasional. Pengarusutamaan lingkungan

Dok: Polagrade

124

SINTESIS DAN OUTLOOK

kini telah menjadi bagian penting dalam konteks kebijakan pembangunan di Indonesia.

Keempat. Kondisi lingkungan (state) tahun 2010 secara umum bersifat path dependence terkait dengan data historis tahun-tahun sebelumnya. Dalam beberapa kasus seperti kualitas terumbu karang dan mangrove di wilayah pesisir serta perubahan tutupan hutan memerlukan waktu yang relative lama untuk mengalami perubahan yang

2010 ini menunjukkan kecenderungan yang relative sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun demikian pada beberapa kasus ada kecenderungan ke arah perbaikan yang menunjukkan adanya upaya yang cukup efektif dalam hal pengendalian lingkungan.

Kelima. Dengan diundangkannya Undang-Undang Ling---

likan dan memecahkan permasalahan lingkungan. Bebe-rapa aturan-aturan turunan seperti peraturan pemerintah dan sejenisnya, sampai saat ini belum secara tuntas di-rampungkan sehingga sulit dijadikan indikator bagi efek-

demikian beberapa inisiatif dan inovasi yang telah dilaku-kan dari berbagai pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat cukup efektif dalam membantu mengenda-likan permasalahan lingkungan meski dalam skala yang lokal maupun regional.

Keenam. Dengan makin meluasnya Pengarusutamaan ekonomi hijau dan kesadaran lingkungan di Indonesia ditambah lagi dengan telah diselenggarakannya ber-bagai event-event nasional dan internasional tentang lingkungan , yang memberikan peluang dan kesempatan bagi upaya-upaya perbaikan lingkungan di Indonesia. Mo-mentum tersebut hendaknya dimanfaatkan sebaik-bai-knya sehingga diharapkan tekanan terhadap lingkungan yang berasal dari antrophogenic (ganguan manusia) di-harapkan akan berkurang di masa mendatang.

Ketujuh. Status Lingkungan Hidup 2010 mengindikasikan informasi penting mengenai progress pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Beberapa indikator media ada yang menunjukkan perbaikan yang disebabkan oleh

respon-respon kebijakan baik lokal maupun nasional. Namun demikian tantangan yang dihadapi masih cukup banyak karena selain permasalahan pembangunan yang semakin kompleks, tuntutan terhadap kualitas lingkungan juga semakin tinggi. Keterbatasan data menyebabkan SLHI 2010 ini belum sepenuhnya memuat indikator-indiator yang dianggap relevan yang umumnya sudah digunakan di negara maju.

7.2. OutlookDengan melihat beberapa indikator yang telah disajikan pada SLHI 2010 ini maka, outlook status lingkungan Indonesia diperkirakan sebagai berikut:

khususnya di perkotaan nampaknya akan tetap me-nimbulkan tantangan dan permasalahan lingkungan yang cukup kompleks menyangkut udara, air dan lah-an. Demikian juga wilayah-wilayah pesisir yang berada di wilayah-wilayah penduduk akan terus menerima tekanan sumber daya alam dan lingkungan yang akan berimplikasi kepada masalah sosial ekonomi lainnya.

Respon-respon kebijakan yang sifatnya skala mikro seperti adopsi “car free day” di beberapa kota di Indonesia, inisiatif yang dilaksanakan oleh masyarakat desa hutan dan berbagai inisiatif lingkungan skala mikro lainnya nampaknya akan secara efektif membantu mengu rangi tekanan dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan mekanisme insentif yang dapat mempercepat akselerasi perbaikan lingkungan oleh masyarakat. Mekanisme insentif ini

demikian diperlukan upaya-upaya konkrit dan sistimatis untuk pelaksanaanya.

Pengarusutamaan ekonomi hijau akan terus

ini hendaknya dapat dimanfaatkan untuk perbaikan lingkungan di Indonesia. Oleh karenanya diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat, swasta dan pemerintah. Mekanisme-mekanisme PPP (Public Private Partnership) dalam pengembangan ekonomi hijau hendaknya terus diupayakan dan didorong di masa mendatang.

125

SINTESIS DAN OUTLOOK

Aksi kebijakan yang terintegrasi antar sektor saat ini masih menjadi hambatan dikarenakan berbagai faktor termasuk adanya indikasi disharmony antar perundang-undangan yang menyangkut sumber daya alam dan lingkungan. Dalam tahun-tahun mendatang upaya-upaya integrasi ini diharapkan akan mulai membuahkan hasil sehingga integrasi kebijakan antar sektor yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dapat dilakukan secara sinergis.

Dalam dua-tiga tahun mendatang aturan-aturan

dengan demikian penyusunan SLHI di masa mendatang

akan in-line dengan regulasi tersebut dan dampak dari respon kebijakan dari regulasi tersebut diharapkan sudah akan nampak sehingga dapat dijadikan sebagai indikator keragaan kebijakan lingkungan Indonesia.

Dengan perubahan struktur pelaporan SLHI yang baru ini, ke depan SLHI akan menjadi acuan kebijakan dan panduan kebijakan yang terkait dengan lingkungan karena potret terhadap tekanan, kondisi dan respon dari lingkungan sudah terpaparkan secara sistimatis. Namun demikian perbaikan dan penyempurnaan terhadap SLHI akan terus diupayakan dengan memperbaiki sumber informasi yang diperlukan.

Dok: Sugiarti

126

Dok: Polagrade

Lampiran SLHI 2010

127

Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia (IKLH) merupakan sasaran pengarusutamaan

1. IKLH menjadi indikator peningkatan kualitas lingkungan2. IKLH menjadi salah satu alat ukur pembangunan berkelanjutan.

Tujuan:1. Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah

tentang kondisi lingkungan di daerah sebagai bahan evaluasi kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

2. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik tentang pencapaian target program-program pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Indikator dan target (baku mutu):

No. Indikator Target (Baku Mutu)

1. Kualitas Air Kriteria mutu air kelas II menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air

2. Kualitas Udara Baku mutu udara ambien menurut PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

3. Tutupan Hutan Luas kawasan hutan per provinsi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

Sumber Data:1. Pemantauan kualitas air sungai di 33 provinsi2. Pemantauan kualitas udara di 33 ibukota provinsi3. Hasil penafsiran citra satelit tutupan lahan dari Program Menuju Indonesia Hijau (MIH)

Hasil IKLH menurut kepulauan:

Rank 2010

KepulauanIKLH

2010 2009

1 Sulawesi 77,21 75,40

2 Maluku dan Papua 74,29 79,56

3 Bali dan Nusa Tenggara 74,19 68,53

4 Sumatera 73,63 63,76

5 Kalimantan 64,02 60,31

6 Jawa 59,82 54,41

Indonesia 61,07 59,79

128

Rencana Pengembangan IKLH (2012 – 2014)1. Pengembangan indikator oleh para ahli lingkungan dari perguruan tinggi (2012)2. Pembahasan indikator dengan sektor terkait dan daerah (2013)3. IKLH disepakati secara nasional sebagai salah satu indikator pembangunan berkelanjutan

Rank Provinsi Indikator IKLH1 Bali 98,96 100,00 100,00 99,652 Gorontalo 98,61 95,19 100,00 97,933 Sulawesi Tengah 97,79 94,95 100,00 97,584 Bengkulu 99,29 91,37 100,00 96,895 Nusa Tenggara Barat 99,49 85,97 85,00 90,156 Sumatera Utara 99,51 62,00 100,00 87,177 Lampung 99,01 65,18 96,67 86,958 Sulawesi Utara 98,69 88,14 65,71 84,189 Sumatera Barat 98,67 90,17 55,56 81,46

10 Maluku & Maluku Utara *) 99,49 74,52 65,15 79,7211 Aceh 98,58 100,00 33,33 77,3012 Kalimantan Barat 98,05 63,35 67,77 76,3913 Sumatera Selatan 97,26 40,95 88,89 75,7014 DI. Yogyakarta 98,85 38,12 78,76 71,9115 Bangka Belitung 98,99 9,65 86,11 64,9216 Sulawesi Selatan & Sulawesi Barat *) 97,03 85,69 5,95 62,8917 Jambi 98,41 63,38 26,67 62,8218 Sulawesi Tenggara 99,36 77,95 9,38 62,2319 Kalimantan Timur 99,04 87,63 0,00 62,22

20 Papua & Papua Barat *) 99,22 79,45 0,00 59,56

21 Kalimantan Selatan 98,78 39,26 36,67 58,24

22 Riau & Kepulauan Riau *) 98,43 28,64 37,50 54,86

23 Jawa Barat 98,52 38,74 23,08 53,44

24 Nusa Tenggara Timur 98,90 53,27 0,00 50,72

25 Jawa Tengah 98,38 36,16 16,90 50,48

26 Kalimantan Tengah 99,76 40,28 11,11 50,38

27 Jawa Timur 97,90 50,56 0,00 49,49

28 Banten 97,39 42,88 6,67 48,98

29 DKI Jakarta 97,72 7,72 * 20,00 41,81

Indonesia 61,07

*) Belum Ada Pemisahan Luas Kawasan Hutan

Dok: Polagrade