status penelitian pemuliaan tanaman hutan di balai besar
TRANSCRIPT
BUNGA RAMPAI
STATUS PENELITIAN PEMULIAAN
TANAMAN HUTAN
DI BALAI BESAR PENELITIAN
BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN
TANAMAN HUTAN
Editor :
Arif Nirsatmanto
ILG. Nurtjahjaningsih
BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected]
ii
BUNGA RAMPAI INI DITERBITKAN OLEH : BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Editor :
Dr.Arif Nirsatmanto, M.Sc
ILG. Nurtjahjaningsih, Si, M.Sc, Ph.D
Redaksi Pelaksana :
Ir. Edy Subagyo, MP
Ir. Dyah Nurhandayani, M.Sc
Nana Niti Sutisna, S.IP
Maya Retnasari, A.Md
Edy Wibowo, S.Hut
Hak Cipta oleh BBPBPTH
Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi,
cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan
pendidikan atau keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti
berikut :
Untuk sitiran seluruh buku, ditulis : Bunga Rampai, Tema : Status Penelitian Pemuliaan
Tanaman Hutan Di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam Bunga Rampai, Tema : Status
Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan Di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,
Yogyakarta.
Halaman….
ISBN : 978-979-3666-14-3
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : [email protected] Sumber foto cover : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
iii
KATA PENGANTAR
Pemuliaan tanaman hutan merupakan salah satu langkah strategis dalam upaya meningkatkan produktifitas tanaman hutan baik secara kualitas maupun kuantitas. Semakin berkembangnya tuntutan akan sifat-sifat tanaman yang perlu dimuliakan dan seiring adanya perubahan kondisi lingkungan tumbuh dan permintaan pengguna, telah mendorong kegiatan pemuliaan tanaman hutan menjadi kegiatan yang dinamis dan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Sifat dinamis yang didukung dengan kemajuan IPTEK dalam bidang genetika tanaman memungkinkan kegiatan pemuliaan tanaman hutan akan terus berkembang lebih kompetitif dan inovatif.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), sejak berdirinya sudah hampir 20 tahun secara kontinyu melaksananakan kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan. Kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan di BBPBPTH dijabarkan ke dalam 3 kelompok penelitian yang meliputi ruang lingkup Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan Tanaman Hutan dan Bioteknologi Hutan. Dinamika terus berkembang dan seiring dengan kondisi ini BBPBPTH telah mampu memfasilitasi dan menetapkan target jenis dan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, dan sampai saat ini telah menghasilkan produk benih unggul untuk beberapa jenis tanaman hutan.
Buku Bunga Rampai Status Hasil Pemuliaan Tanaman Hutan disusun sebagai suatu rangkuman atas kegiatan dan hasil penelitian pemuliaan tanaman hutan yang dilakukan oleh BBPBPTH selama kurun waktu hampir 20 tahun terakhir. Buku disusun atas beberapa makalah dengan cakupan materi meliputi penelitian konservasi sumber daya genetik, pembangunan populasi pemuliaan dan perbanyakan, dan aplikasi bioteknologi. Untuk memberikan informasi dan sebagai bahan komparasi, disetiap makalah juga dipaparkan kegiatan penelitian yang dilakukan oleh institusi lain, baik dalam tataran nasional maupun internasional, sehingga diharapkan bisa diketahui status kemajuan dari kegiatan penelitian pemuliaan tanaman hutan yang telah dilakukan oleh BBPBPTH.
Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Buku Bunga Rampai ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi para pihak yang berkecimpung dalam kegiatan pemuliaan tanaman hutan.
Kepala Balai Besar,
Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc NIP.19570530 198303 1 002
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …..…………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI………………………………..………...………...…………………….. v
Konservasi ex-situ tanaman hutan………………….………………………………….. 1
Konservasi in-situ tanaman hutan..……………….………………..………..…………. 17
Program pemuliaan tanaman ……………………..…………..……………..………… 29
Pembangunan populasi pemuliaan tanaman hutan…………………………………… 37
Pengembangan klon dan hibridisasi………………..………………………………….. 57
Pemuliaan untuk resistensi hama dan penyakit…………………………….………….. 65
Kultur jaringan tanaman hutan…………………………..…………………….……... 79
Aplikasi penelitian genetika molekuler ……………………………………………….. 91
Biodata penulis………………………………………………………………………… 107
1
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN
Liliek Haryjanto
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Kerusakan hutan di Indonesia merupakan ancaman yang serius terhadap keberadaan sumberdaya genetik yang dikandungnya. Upaya konservasi sumberdaya genetik diperlukan untuk menyelamatkan sumberdaya genetik tanaman hutan yang masih ada. Upaya konservasi ex-situ telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta meliputi 8 jenis tanaman hutan yaitu Cendana (Santalum album Linn), Merbau (Intsia bijuga), Ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.), Suren (Toona spp), Pulai (Alstonia sp), Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg), Nyawai (Ficus variegata), dan Jabon (Anthocephalus cadamba). Bentuk konservasi ex-situ berupa tegakan konservasi yang tersebar di areal Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) maupun di areal kerjasama penelitian (Perum Perhutani, Dinas Kehutanan Prop. DIY). Adanya tegakan konservasi ini diharapkan mampu melindungi keberadaan jenis-jenis target dan menjadi sumber materi genetik untuk pemuliaan maupun bioteknologi di masa mendatang. Kata kunci: Konservasi ex-situ, sumberdaya genetik tanaman hutan
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara mega-biodiversity, baik dari segi keanekaragaman
ekosistem, jenis maupun genetik. Namun demikian Indonesia juga dikenal sebagai negara
dengan tingkat keterancaman yang tinggi pada sumberdaya hayatinya. Tekanan yang sangat
kuat terhadap sumberdaya genetik hutan di Indonesia diakibatkan oleh pembalakan liar,
kebakaran hutan, alih fungsi lahan telah mengakibatkan hilangnya sumberdaya genetik yang
mengurangi potensi ketahanan dan potensi penggunaanya di masa mendatang. Kementerian
Kehutanan mencatat kerusakan hutan hingga 2009 mencapai lebih dari 1,08 juta hektar per
tahun. Angka ini menurun apabila dibandingkan dengan data kerusakan hutan tahun
sebelumnya yang mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun. Untuk mencegah bertambahnya
kerusakan hutan, maka perlu segera dilakukan upaya konservasi sumberdaya genetik.
Menurut Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil,
sumberdaya genetik adalah bahan genetik dari tumbuhan, hewan, mikroba atau sumber
lainnya yang memiliki nilai nyata dan potensial (Sastrapraja, 2004). Sedangkan tujuan
konservasi sumberdaya genetik hutan adalah melindungi kemampuan tanaman hutan untuk
beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi dasar untuk meningkatkan produksi dan
keuntungan lain dari pertumbuhan pohon melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan (FAO,
1989, dalam Graudal, dkk, 1997; Eriksson dkk, 1993 dalam Skroppa, 2005). Sumberdaya
| Bunga Rampai | 1 - 16
2
genetik yang memiliki keragaman genetik luas, yang selalu tersedia untuk periode jangka
panjang akan menentukan efisiensi dan keluwesan program pemuliaan tanaman di masa yang
akan datang.
Pada prinsipnya strategi konservasi sumberdaya genetik meliputi konservasi di dalam
habitat aslinya (in situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ). Konservasi ex-situ lebih mudah
diaplikasikan dalam rangka penyediaan materi genetik untuk program pemuliaan pohon.
Di Indonesia era konservasi ex-situ menurut Soekotjo (2001) dibagi dalam 3 (tiga) era
yaitu:
1. Era pertama (1817-1959): introduksi pohon, baik jenis asli maupun kayu asing, lazimnya
dengan genetik base yang sangat terbatas.
2. Era kedua semenjak tahun 1976 yang berkembang dengan jumlah sampel yang besar dan
lebih mewakili keragaman genetiknya dalam bentuk kebun benih dan pertanaman uji
keturunan maupun uji provenans
3. Era ketiga (1998 dan seterusnya): konservasi yang pemanfaatanya dirancang lebih efisien,
lebih terkait dengan program breeding dan bioteknologi. Keragaman genetik dijaga dalam
jangka panjang. Ciri era ketiga ini adalah adanya sampling target populasi, pembangunan
populasi yang terpisah, adanya jalur isolasi dan ulangan lokasi untuk menjaga keamanan.
Pertimbangan genetik untuk konservasi ex-situ
Menurut Graudal dkk., (1995), isu pokok dalam perencanaan konservasi genetik adalah
bagaimana mengidentifikasi target spesies dan populasi yang akan dilakukan konservasi.
Idealnya sebelum melakukan konservasi sumberdaya genetik, variasi genetik yang ada harus
diketahui lebih dahulu. Sementara itu informasi tersebut untuk kebanyakan spesies masih
terbatas sehingga menjadi sebuah dilema dalam konservasi sumberdaya genetik. Spesies
terdistribusi pada areal luas diasumsikan ada perbedaan genetik karena variasi ekologi,
adanya isolasi, dan sejarah introduksi.
Variasi genetik suatu jenis dapat ditentukan dengan beberapa cara. Penilaian melalui studi
morfologi dan karakter metrik di lapangan, penanda biokimia dan penanda molekuler di
laboratorium, serta menduga pola variasi genetik dapat diprediksi dari variasi ekogeografi.
Studi tentang karakter metrik atau sifat adaptif pada uji di lapangan merupakan teknik yang
banyak digunakan dan sampai sekarang masih merupakan teknik yang valid untuk menilai
variasi genetik sifat-sifat yang diukur tersebut. Perkembangan yang pesat dalam penanda
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
3
biokimia dan molekuler memungkinkan survey keragaman genetik di dalam dan antar
populasi dapat dilakukan secara cepat dan akurat. Teknik ini sangat berguna sebagai data
pendukung dari uji coba lapangan dan survey ekologi (Graudal dkk, 1997). Variasi
ekogeografis dapat digunakan untuk memprediksi variasi genetik karena diasumsikan bahwa
kesamaan kondisi ekologis menunjukkan kesamaan susunan genetik (Frankel, 1970).
Pernyataan ini didasarkan asumsi bahwa adaptasi lokal melalui seleksi alam merupakan
tenaga penggerak dalam proses deferensiasi antar populasi.
Idealnya semakin tinggi level variasi genetik yang ada di alam semakin baik sebagai
target konservasi genetik. Oleh karena itu ketepatan metode sampling merupakan hal penting
dalam kegiatan konservasi genetik. Sampling yang benar akan meminimalkan efek
inbreeding yang memiliki efek negatif pada karakter-karakter penting untuk pemuliaan
tanaman dan usaha menjaga variasi genetik jangka panjang. Informasi penting yang
diperlukan untuk memperoleh sampel yang benar memerlukan pengetahuan sistem
penyerbukan pada tanaman, distribusi populasi (terpencar, mengelompok, kontinyu, terputus)
dan penyebaran benih. Populasi dari sudut pandang genetik adalah kelompok individu yang
serumpun yang berasal dari keturunan sekelompok dan diperlakukan sebagai satu unit sebaik-
baiknya (Wright, 1976). Menurut Keiding (1993), nilai rata-rata inbreeding sebesar 1%-2%
(koefisien inbreeding (F) = 1% - 2%) masih dapat diterima untuk sampel dari populasi yang
luas. Bila F = 1/2Ne, dimana Ne merupakan ukuran populasi efektif, maka jumlah sampel
acak antara 25-50 individu tidak berkerabat per populasi sudah cukup. Untuk menjamin
sampel tidak berkerabat, maka penentuan jarak antar pohon perlu mempertimbangkan
mengenai sistem penyerbukan dan penyebaran benih.
Beberapa referensi menyebutkan perbedaan mengenai jumlah sampel yang cukup untuk
konservasi ex-situ. The Centre for Plant Conservation (1991) merekomendasi jumlah 10-50
individu per populasi sebagai batas yang layak antara batas minimum dan pengambilan
sampel yang terlalu banyak (over collection). Frankel dan Soule (1981) menyarankan jumlah
ukuran populasi efektif (Ne) adalah 50 sebagai ukuran minimal untuk kegiatan pemuliaan.
Sementara itu Franklin (1980) mengusulkan 500 sebagai ukuran populasi minimum yang
dibutuhkan untuk mempertahankan keragaman genetik suatu jenis untuk beradaptasi.
Yozenawa (1985) menganjurkan 10 individu per populasi untuk memenuhi kriteria baik dari
segi kecukupan jumlah maupun efisiensi. Graudal dkk. (1997) menyebutkan 25 individu yang
tidak berkerabat tiap populasi, sedangkan Johnson (2001) menyarankan 50 sampel per
| Bunga Rampai | 1 - 16
4
populasi akan mampu menangkap gen dengan frekuensi >0,01. Dari berbagai pendapat ini
jumlah individu untuk konservasi genetik 20-30 individu per populasi sudah cukup ideal.
Marshall dan Brown (1975) dalam Neel dan Cummings (2003) menyarankan untuk
konservasi ex-situ, standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90%-95% semua
allele dengan frekuensi alel >0,05 (common allele). Selain itu, Brown dan Briggs (1991)
menentukan bahwa sampling dari 5 populasi untuk spesies yang jarang dapat menangkap 90-
95% common allele The Centre for Plant Conservation (1991) memakai standar yang
disarankan oleh Marshall dan Brown (1975) untuk keragaman genetik dan Brown dan Briggs
(1991) menerapkan 5 populasi target untuk koleksi materi genetik konservasi ex-situ.
Persyaratan konservasi ex-situ
Syarat minimun untuk melakukan konservasi ex-situ dapat dikelompokkan dalam empat
faktor yaitu persyaratan biologi, fisik, manusia dan institusi (Hidalgo dkk., 2007).
Biologi
Pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman, reproduksi biologi yang penting untuk
menentukan tipe materi genetik yang akan dikoleksi, apakah benih atau bahan vegetatif yang
akan mendasari tipe penyimpanannya.
Tipe polinasi apakah alogami atau autogami menentukan pengelolaan tegakan konservasi
dan strategi sampling saat koleksi materi genetik.
Adaptasi ekologi untuk mengetahui kondisi lingkungan asal seperti kisaran altitude,
latitude, suhu, tanah dll yang penting untuk mendapatkan tapak yang sesuai dengan kondisi
alaminya.
Fisiologi struktur reproduksi yang menentukan benih ortodok atau rekalsitran, siklus
kemasakan benih, dormansi yang penting untuk metode pemanenan maupun kesehatan benih.
Fisik
Fasilitas yang digunakan untuk menyimpan materi genetik hendaknya terbebas
lingkungan yang dapat merusak seperti api, hama/penyakit, pasokan listrik dll. Pemilihan
tapak di lapangan hendaknya mempertimbangkan altitude, latitude, suhu, tanah, curah hujan,
kemudahan akses dan kemudahan pemanfaatannya.
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
5
Sumberdaya Manusia
Konservasi memerlukan kerja tim dari berbagai disiplin ilmu seperti botani, taksonomi,
genetik, biologi, fisiologi, pemulia maupun teknik pendinginan. Karena sifatnya kerja tim,
kontinyuitas tim menjadi penting.
Institusi
Dukungan institusi, pemerintah maupun politik diperlukan dalam arti dukungan
pendanaan, SDM, dan teknis untuk mengelola aktivitas konservasi. Panjangnya aktivitas
konservasi sehingga memerlukan prioritas-prioritas jenis yang akan dikonservasi.
Bentuk-bentuk konservasi ex-situ
Bentuk konservasi ex-situ menurut ITTO dan RCFM (2000), Zobel and Talbert (1984),
dan Finkeldey (2005), yaitu:
Konservasi kumpulan faktor-faktor keturunan (gene complexes conservation)
Kegiatan ini bertujuan untuk menyelamatkan kumpulan faktor-faktor keturunan yang
berpengaruh terhadap sifat-sifat tanaman tertentu yang diinginkan, seperti: kecepatan
pertumbuhan, kualitas batang dan daya adaptasi yang tinggi.
Arboreta
Suatu arboretum adalah koleksi pohon yang cukup mewakili komposisinya dan
mempunyai pertumbuhan yang subur. Arboretum dibangun untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan dapat juga sebagai sumber benih dan material herbarium yang mudah didapat. Tujuan
lainnya adalah untuk konservasi sumberdaya genetik, pembelajaran ilmu dendrologi,
phenologi dan perkembangbiakan biologi.
Botanical gardens
Kebun raya adalah suatu cara yang paling tepat untuk preservasi terhadap individu
species tanaman, meskipun dibangun untuk sejumlah kecil pohon jenis tertentu, namun
kegiatan ini harus dilihat sebagai bagian dari usaha global yang lebih luas untuk melindungi
keanekaragaman biodiversity.
| Bunga Rampai | 1 - 16
6
Bank genetik (gene bank) dan kebun benih (seed orchard)
Penyimpanan benih dalam bank gen dalam jangka panjang merupakan metode statis
penting untuk konservasi sumberdaya genetik tanaman. Benih dapat diangkut dengan mudah
dan genotipe dalam jumlah banyak dapat disimpan dalam fasilitas ruang sempit. Namun
keterbatasan metode ini bila diterapkan pada jenis-jenis pohon yang bijinya bersifat
rekalsitran yang tidak dapat disimpan dalam jangka panjang. Kebun benih merupakan
pertanaman yang ditujukan untuk menghasilkan benih unggul. Kebun benih dapat dibedakan
menjadi kebun benih semai (KBS) dan kebun benih klok (KBK). Kebun benih semai selalu
dirancang dari uji keturunan dengan mengidentifikasi famili-famili yang memiliki fenotipe
unggul. Famili-famili yang berfenotipe jelek dibuang melalui penjarangan selektif yang
dilakukan sekali atau beberapa kali. Kebun benih klon dibangun untuk memproduksi benih
dalam jumlah banyak dari pohon yang bergenotipe unggul yang jumlahnya terbatas. Pohon
yang bergenotipe unggul dikloning dan beberapa copynya dikumpulkan dalam suatu
populasi.
Tegakan benih
Tegakan benih atau areal produksi benih dibangun di dalam atau di luar tegakan alam,
dengan individu yang berpenampilan baik dalam jumlah yang cukup banyak. Tegakan ini
kemudian ditingkatkan kualitasnya (upgrade) dan dikelola untuk produksi benih. Tegakan ini
sangat bermanfaat untuk program pemuliaan pohon, sepanjang tegakan ini dapat memberi
sumbangan material yang berkualitas untuk membangun tanaman. Tegakan benih dapat
dijadikan sumber benih antara, sampai dengan benih hasil pengujian keturunan didapatkan.
Tegakan benih secara tidak langsung berperan sebagai genepool yang bernilai tinggi sehingga
dapat digunakan sebagai tegakan konservasi.
Tegakan benih provenan
Tegakan yang berasal dari sumber benih yang berbeda lokasi geografisnya. Perbedaan
geografis ini mungkin akan bervariasi dalam hal pertumbuhannya, ketahanan hama dan
penyakit. Hal ini sangat berhubungan dengan variasi genetik yang ada pada species tersebut
terkait perbedaan geografisnya.
Bank klon
Perbanyakan vegetatif dapat memperbanyak genotipe secara identik. Pemanfaatan teknik
ini untuk memperbanyak sumberdaya genetik yang sangat terancam dengan memindahkan
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
7
bahan vegetatifnya terhindar dari kepunahan di habitat alamnya ke areal yang terlindung.
Bank klon juga dapat menyimpan informasi genetik unggul hasil pemuliaan.
Bank kultur jaringan
Merupakan perbanyakan vegetatif dari genotipe secara in vitro. Kultur jaringan dari
sebagian besar jenis dapat dipertahankan untuk jangka lama jika kondisi sesuai seperti
temperatur, cahaya dan media yang tepat.
Cryopreservation
Preservasi untuk jangka waktu yang tidak terbatas berbagai genotipe dengan volume
sangat kecil. Jaringan biologi disimpan pada temperatur sangat rendah (-196°C) dalam
larutan nitrogen.
Pembangunan dan pengelolaan tegakan konservasi ex-situ
Tegakan konservasi ex-situ dimaksudkan untuk menjaga sumberdaya genetik pada suatu
areal yang aman untuk dimanfaatkan di masa mendatang (Theilade, 2003). Fungsi tegakan
konservasi ex-situ di kehutanan dapat digunakan sebagai sumber benih, untuk mendukung
program pemuliaan pohon, mencoba jenis asing maupun penelitian dan pendidikan. Tegakan
konservasi ex-situ dapat terdiri dari satu jenis maupun beberapa jenis. Desain dan
pengelolaan tegakan konservasi ex-situ meliputi ukuran dan struktur famili, regenerasi dan
isolasi, penjarangan, pemanfaatan dan kondisi tapak (Graudal dkk, 1997).
Ukuran dan struktur famili
Ukuran konservasi ex-situ hendaknya tidak terlalu kecil untuk meminimalkan efek
inbreeding. Bilamana 25 pohon induk yang tidak berkerabat dikoleksi dari suatu populasi dan
tiap pohon induk diwakili 30 anakan, maka dalam satu populasi terdiri dari 750 tanaman.
Dengan jarak tanam 5m x 5m, maka luas areal yang diperlukan 1,87 ha tiap populasi.
Bilamana target konservasi sebanyak 5 populasi, maka luas areal yang diperlukan 9,4 ha. Bila
jalur isolasi antar populasi diperhitungkan, maka luasan yang diperlukan akan lebih besar
lagi. Tegakan konservasi beberapa jenis membutuhkan areal yang lebih luas dibandingkan
tegakan konservasi dari satu jenis saja.
| Bunga Rampai | 1 - 16
8
Regenerasi dan isolasi
Tegakan konservasi ex-situ dibangun dari materi genetik dengan ciri khas phenotipik
maupun genetik yang unik untuk masing-masing populasi. Untuk menjaga ciri khas tersebut
disyaratkan untuk membuat jalur isolasi agar tidak terjadi kontaminasi serbuk sari. Jalur
isolasi yang ideal untuk sebuah tegakan konservasi yaitu sepanjang 330m (FAO,1992) .
Penjarangan
Penjarangan diperlukan untuk mendapatkan pohon dengan tajuk yang baik agar
pembungaan dan pembuahan dapat berlangsung dengan baik. Pada tegakan konservasi ex-situ
satu jenis, penjarangan sistematik dapat dilakukan untuk menjaga komposisi materi genetik.
Pemanfaatan
Tegakan konservasi dapat dipadukan dengan bentuk pemanfaatan hutan lainnya
sepanjang tidak mempengaruhi komposisi materi genetik.
Kondisi tapak
Keamanan areal menjadi pertimbangan penting saat pemilihan tapak. Untuk menghindari
kerusakan atau hilangnya materi genetik, maka pembangunan tegakan konservasi ex-situ
hendaknya dibangun pada 2-3 lokasi sebagai ulangan tempat. Tanaman mampu beradaptasi
pada tapak manakala mampu berbuah/berbiji.
Konservasi ex-situ jenis-jenis prioritas di BBPBPTH
Mengingat banyaknya sumberdaya genetik hutan, maka diperlukan pemilihan jenis-jenis
prioritas untuk dilakukan konservasi. Adapun penentuan jenis-jenis prioritas ini didasarkan
pada nilai manfaat saat ini, nilai potensi di masa mendatang dan status konservasinya.
Tahapan kegiatan konservasi ex-situ yaitu (1) pemilihan jenis, (2) eksplorasi materi genetik
dari sebaran alam maupun tanaman, namun diusahakan dari sebaran alamnya, (3)
pembangunan tegakan konservasi, (4) karakterisasi/evaluasi dan (5) dokumentasi
Pemilihan jenis
Untuk meningkatkan efisiensi kegiatan konservasi, pemilihan jenis yang dilakukan di
Balai Besar adalah jenis yang bernilai ekonomi tinggi dan status konservasi sudah masuk
dalam daftar CITES (Convention of International Trade in Indangered Species of Wild Fauna
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
9
and Flora) atau VU (vulnerable). Bentuk tegakan yang dibangun merupakan populasi dasar
yang diarahkan untuk pemuliaan tanaman, maupun dalam bentuk plot konservasi.
Berdasarkan pemilihan jenis di atas Balai Besar telah mengkonservasi 8 jenis tanaman hutan
yaitu Cendana (Santalum album Linn), Merbau (Intsia bijuga), Ulin (Eusideroxylon zwageri
T. et B.), Suren (Toona spp), Pulai (Alstonia sp), Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson)
Fosberg), Nyawai (Ficus variegata), dan Jabon (Anthocephalus cadamba).
Sebaran alam dan eksplorasi materi genetik
Informasi sebaran alam merupakan hal yang penting untuk mengetahui potensi populasi
maupun gene pool suatu target konservasi. Sebaran jenis-jenis target yaitu:
Cendana. Sebaran alam terbesar Cendana terletak di Nusa Tenggara Timur (NTT),
sedangkan cendana yang ada di pulau Jawa merupakan hutan tanaman. Materi genetik
Cendana yang berhasil dikumpulkan untuk tujuan konservasi berasal dari populasi P. Timor
(11 populasi), P. Sumba (4 populasi), P. Alor (3 populasi), P. Jawa (1 populasi), P. Flores (2
populasi), P. Pantar (1 populasi) dan P. Rote (1 populasi).
Merbau. Sebaran alam Merbau sebagian besar berada di Indonesia bagian timur, terutama
Papua dan Maluku. Plot konservasi dibangun dengan materi genetik berasal dari Papua,
Maluku dan Jawa (Mahfudz, dkk. 2009).
Ulin. Sebaran alam Ulin terletak di P. Sumatera bagian timur dan selatan, Bangka,
Belitung dan Kalimantan. Pengumpulan materi genetik untuk pembangunan plot konservasi
dilakukan di P. Sumatera (2 populasi), P. Kalimantan (7 populasi), dan P. Bangka (1
populasi), P. Beliting (1 populasi) (Susanto, dkk. 2009).
Suren. Suren tumbuh tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, Nepal,
India, Burma, China, Thailand, Malaysia sampai ke barat Papua Nugini (Djam’an, 2000). Di
Indonesia sebaran jenis ini terletak di seluruh Sumatera (kecuali Jambi), seluruh Jawa,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua (Irian) (Heyne, 1987). Koleksi
materi genetik berasal dari Jawa (15 populasi), Sumatera dan Kalimantan (21 populasi),
Sulawesi, NTB, Maluku dan Papua (10 populasi) (Fiani, dkk., 2009).
Pulai. Pulai dapat ditemui hampir diseluruh wilayah/bagian di Indonesia, mulai dari
ketinggian 10 – 1250 m dpl dengan variasi tapak yang beragam baik pada areal rawa,
gambut, pasang surut maupun daerah kering (Martawidjaja, 1981). Koleksi materi genetik
berasal dari Sumatera (Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan), Kalimantan Selatan,
| Bunga Rampai | 1 - 16
10
Sulawesi, Papua, Jawa (Banten, Bantul dan Gunung Kidul), Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur.
Sukun. Sebaran alami tanaman Sukun di Indonesia cukup luas meliputi Sumatera (Aceh,
Sumatera Utara, Nias, Lampung), Jawa ( Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura),
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi (Minahasa, Gorontalo, Bonerate,
Makasar, Bugis), Maluku (Seram, Buru, Kai, Ambon, Halmahera dan Ternate) dan Papua.
Materi genetik yang telah dikoleksi berasal dari Sleman (DIY), Bali, Lampung dan
Manokwari (Papua), sedangkan yang ditanam pada tahun 2004 berasal dari Banyuwangi,
Mataram dan Malino (Sulawesi Selatan).
Nyawai. Nyawai memiliki sebaran alam meliputi seluruh Asia Tenggara (Heyne, 1987).
Kegiatan konservasi ini masih relatif baru. Eksplorasi materi genetik telah dilakukan dari 2
populasi di Kalimantan Timur.
Jabon. Jabon memiliki sebaran alam yang luas, mulai dari India sampai Papua New
Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenanjung Malaya,
Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, PNG dan Australia (Mansur dan Tuheteru, 2010). Di
Indonesia dapat dijumpai di sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Timur, seluruh Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya (Nurhasybi dan Muharam, 2003).
Kegiatan konservasi jenis ini masih tahap awal. Eksplorasi Jabon dilakukan di Sumatera (1
populasi) dan NTB (1 populasi).
Pembangunan tegakan konservasi ex-situ
Pembangunan konservasi yang telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH), Yogyakarta dimulai tahun 2002 sampai dengan
sekarang. Plot konservasi dibangun dalam bentuk tegakan benih maupun kebun klonal.
Lokasi penanaman di KHDTK Watusipat dan Playen (Gunung Kidul), KHDTK
Sumberwringin (Bondowoso), BKPH Candiroto (Temanggung). Luasan areal konservasi
berkisar antara 3-10 Ha. Gambaran umum lokasi untuk konservasi ex-situ sebagai berikut:
KHDTK Watusipat (Gunung Kidul):
Topografi datar sampai bergelombang dengan kemiringan tanah berkisar antara 0º– 20º. Jenis
tanah termasuk jenis gromosol hitam, bahan induk napal dan tufvolkan intermedier dan tidak
subur. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe C dengan curah
hujan rata-rata per tahun 1. 809 mm. Ketinggian tempat 200 mdpl.
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
11
KHDTK Playen (Gunung Kidul): Topografi bergelombang sampai curam dengan kelerengan
8%-30%, sebagian berbatu, jenis tanah vertisol, bahan induk napal dan tufvolkan dengan
tingkat kesuburan rendah. Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe
C dengan curah hujan rata-rata per tahun 1. 894 mm.
KHDTK Sumberwringin (Bondowoso):
Kelerengan berkisar 0%-15%, jenis tanah asosiasi andosol coklat. Menurut klasifikasi curah
hujan Schmidt dan Ferguson adalah tipe B dengan curah hujan rata-rata per tahun 2.400 mm.
Ketinggian tempat 800 mdpl
BKPH Candiroto (Temanggung):
Kelerengan berkisar 2%-15%, jenis tanah latosol merah kekuningan. Ketinggian tempat pada
870 mdpl, curah hujan pertahun berkisar antara 1000 - 3100 mm
Karakterisasi/evaluasi
Karakterisasi/evaluasi dapat dilakukan dengan penanda genetik (isozim dan DNA)
maupun melalui uji di lapangan. Penelitian keragaman genetik Cendana di kebun konservasi
ex-situ ini dilaporkan cukup tinggi menggunakan penanda RAPD (HE=0,391 (Rimbawanto
dkk. 2006); dan menggunakan analisis isozyme (0,366 (Haryjanto 2009). Keragaman genetik
ini masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan dengan rata-rata nilai HE dari spesies
tropika seperti dilaporkan oleh Hamrick dan Godt (1989) yaitu sebesar 0,211. Sedangkan
jarak genetik antar populasi sebesar 0,0438. Menurut Yeh (2000), distribusi keragaman
genetik antar populasi ini termasuk rendah (<0,05).
Analisis DNA yang dilakukan Rimbawanto dan Widyatmoko (2006) pada 4 populasi
Merbau (Manokwari, Nabire, Ternate dan Carita) menunjukkan keragaman genetik yang
cukup tinggi 0,296 dimana angka ini lebih besar daripada jenis rata-rata keragaman genetik
baik untuk kelompok jenis tropis maupun konifer. Rata-rata jarak genetik antar populasi
sebesar 0,141 hasil analisis DNA menunjukkan bahwa 86% keragaman genetik berada di
dalam populasi, sedangkan sisanya berada di antara populasi. Demikian halnya dengan hasil
analisis dengan isozim yang dilakukan Pamungkas (2008) pada 6 populasi merbau (Haltim,
Seram, Waigo, Oransbari, Wasior, dan Nabire), menunjukkan masih adanya keragaman
genetik yang cukup tinggi yaitu 0,392.
Berdasarkan hasil analisis variasi genetik dari DNA analisis diketahui bahwa keragaman
genetik 4 populasi ulin yaitu Sepaku (Kaltim), Nanga Tayap (Kalbar), Seruan Hulu dan
Sumber Barito (Kalteng), rata-rata nilai keragaman genetik dalam populasi sebesar 0,379 dan
| Bunga Rampai | 1 - 16
12
jarak genetik antar populasi sebesar 0,182 (Sulistyawati dkk., 2005). Keragaman genetik
tersebut menunjukkan bahwa keragaman genetik didalam populasi sangat tinggi.
Evaluasi di plot konservasi dilakukan terhadap persen hidup dimana menunjukan daya
adaptibilitas masing-masing jenis maupun karakter pertumbuhan (tinggi dan diameter).
Selain itu, kemampuan pertumbuhan Sukun bervariasi dalam pertumbuhan, produksi buah,
morfologi pohon, daun dan buahnya (Kartikawati dkk. 2009).
Dokumentasi
Manajemen data yang efisien dan efektif sangat krusial bagi konservasi dan
pemanfataannya. Dokumentasi penting dilakukan karena beranekaragamnya sifat setiap
koleksi. Data yang penting meliputi: ekogeografis (taksonomi, ekologi, geografi); data
populasi; data karakterisasi/evaluasi. Data disimpan dalam database untuk memudahkan
pengamanan dan pengaksesan kembali.
Beberapa keunggulan penggunaan sistem database dalam pengelolaan SDG (Perry, dkk.,
1993 dalam Hawkes, dkk., 2000) :
1. Memudahkan pertukaran data antar organisasi
2. Menyediakan alat untuk memelihara dan menggunakan data yang dapat membantu
kurator untuk memonitor viabilitas, kuantitas dan lokasi benih atau stok SDG di
persemaian
3. Membantu seleksi materi yang dapat digunakan untuk program pemuliaan dan penelitian.
4. Menyediakan informasi untuk koordinasi pemanfaatan sumberdaya genetik tingkat
global.
Beberapa permasalahan dan langkah ke depan konservasi ex-situ
Beberapa tegakan konservasi ex-situ yang dibangun BBPBPTH menggunakan desain
yang memungkinkan terjadi pencampuran serbuksari antar populasi, sehingga benih hasil
reproduksi seksual tidak lagi memiliki identitas populasi. Tentunya hal ini mengurangi
pemanfaatan materi genetik terutama untuk pemuliaan pohon di masa datang.
Materi genetik yang ada kemungkinan belum sesuai dengan jumlah minimum individu
tiap populasi. Individu yang jumlahnya sedikit tentunya akan mengurangi kemampuan
tanaman bereproduksi karena adanya efek inbreeding.
Konservasi genetik merupakan kegiatan jangka panjang dan mahal. Disadari bahwa
konservasi genetik tidak secara langsung berdampak ekonomi, sehingga peran pemerintah cq.
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
13
Departemen Kehutanan sangat penting. Oleh sebab itu komitmen dari berbagai pihak harus
terus ditingkatkan.
Kebutuhan areal yang luas dan sesuai untuk jenis target menjadi faktor yang mendesak
untuk dicarikan solusi terbaik.
Daftar Pustaka Brown, A.H.D dan Brigg, J.D. 1991. Sampling strategies for genetic variation in ex-situ
collections of endangered plant species. In: D.A Falk and K.E Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York (In: Neel, M.C., dan Cummings, M.P. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229)
Centre for Plant Conservation, 1991. Genetic sampling guidelines for conservation collections of endangered plant. In: D.A Falk and K.E Holsinger (eds). Genetic and Conservation of Rare Plant. Oxford University Press, New York (In: Neel, M.C., dan Cummings, M.P. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229.
Djam’an, D.F. 2000. Suren (Toona sureni (Blume) MERR). Prinsip-prinsip Umum Penanganan Benih Tanaman Hutan Untuk Reboisasi, Penghijauan dan Hutan Rakyat. Ekspose dan Temu Lapang Hasil-hasil Penelitian Perbenihan Tanaman. Kerjasama Balai Teknologi Perbenihan Bogor dengan Balai Perbenihan Tanaman Hutan Denpasar. Denpasar 17-18 Oktober 2000.
FAO, 1992. Establishment and management of ex-situ conservation stand. Forest Genetik Resources Information 20, 7-10. FAO, Rome
Fiani, A., Jayusman, Setiawan A., Izudin, E., Budi, S. 2009. Evaluasi dan Pemeliharaan Plot Konservasi Eksitu Jenis Suren (Toona spp.) Laporan Kegiatan 2009. Buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta
Finkeldey, R. 2005. Pengantar genetika hutan tropis. Terjemahan. Edje Djamhuri, Iskandar Z. Siregar, Ulfah J. Siregar, Arti W. Kertadikara. Fak. Kehutanan IPB
Frankel, O.H. 1970. Genetic conservation in perspective. In: Genetic Resources in Plant-their exploration and conservation (eds. Frankel, O.H. and Bennet, E). IBP Handbook No 11. Blackwell, Oxford and Edinburgh.
Frankel, O.H dan Soule, M.E. 1981. Conservation and evolution. Cambridge University Press. (In: Gradual, L. Kjaer, E., Thomsen, A., and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark).
Franklin, I.R. 1980. Evolutionary change in small population. In: Conservation Biology An Evolutionary-Ecologycal Perspective. (eds) Soule, M.E and Wilcox, B.A. Sinauer Associates, Sunderland, Mass.
Graudal, L., Kjaer, E., and Changer, S.C. 1995. A systematic approach to conservation of forest genetic resources in Denmark. Forest Ecology and Management 73.
Graudal, L., Kjaer, E., Thomsen, A., and Larsen. 1997. Planning national programmes for conservation of forest genetic resources. Danida Forest Seed Centre. Denmark.
Hamrick, J.L., dan Godt, M.J.W. 1989. Allozyme diversity in plant species. In: Brown, A.H.D., Clegg, M.T., Kahler, A.L., Weis, B.S. (Eds). Plant Population Genetic, Breeding and Genetic Resources, Sinauer. Sunderland. Mass, USA.
Haryjanto, L. 2009. Keragaman genetik cendana (Santalum album Linn) dari Kepulauan Nusa Tenggara Timur di kebun konservasi ex-situ Watusipat, Gunungkidul dan dari ras
| Bunga Rampai | 1 - 16
14
lahan Wanagama. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Hawkes, J.G., Maxted, N., Ford-Lloyd, B.V. 2000. The ex-situ conservation of plant genetic resources. Kluwer Academic Publishers. London
Heyne, K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Hildago, R., Pineda, B., Deboukc, D., and Mejia, M. 2007. Minimum requirements for ex-situ
conservation. In: Multi-Institutional distance learning course on the ex-situ conservation of plant genetic resources. CIAT Publication No 360. Colombia
ITTO and RCFM. 2000. Technical guidelines for the establisment and management of ex-situ conservation stand of tropical timber species. Malaysia
Johnson, R., Clair,B.S., Lipow, S. (2001). Genetic conservation in applied tree breeding programs. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. Of International Conference on In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees. Yogyakarta.
Kartikawati, N.K., Adinugraha, H.A., Setiadi., D., dan Prastyono. 2009. Variasi produktivitas dan morfologi buah sukun (Artocarpus altilis [Park.] Fosberg) pada uji klon di Gunungkidul. Dalam: Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta
Keiding, H dan Graudal, L. 1989. Introduction to conservation of forest genetic resources. Lecture Note A-4. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek, Denmark.
Keiding, H. 1993. Gene conservation and tree improvement. Lecture Note D-9. Danida Forest Seed Centre, Humlebaek, Denmark.
Mahfudz, Pujiono, S., Pamungkas, T. 2009. Status terkini konservasi sumberdaya genetik merbau (Intsia bijuga). Dalam: Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta
Mansur, I., dan Tuheteru, F.D. 2010. Kayu jabon. Penebar Swadaya Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid
I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Neel, M.C. dan Cummings, M.P., 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing
genetic diversity. Conservation Biology 17: 219-229 Nurhasybi dan Muharam, A. 2003. Jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Dalam: Atlas benih
tanaman hutan Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Bogor
Pamungkas, T.Y. 2008. Studi Variasi Genetik Beberapa Populasi Merbau menggunakan penanda isoenzim dan pamanfaatannya dalam Program Konservasi genetik. Tesis S2 Universisat Gadjah Mada. Jogjakarta.
Sulistyowati,P., Widyatmoko, A.Y.P.B.C. dan Rimbawanto, A. 2005. Keragaman genetik empat populasi Eusideroxylon zwageri asal Kalimantan berdasarkan penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan-Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. (ed: E.B. Hardiyanto). Fak. Kehutanan UGM dan International Tropical Timber Organisation. Yogyakarta
Rimbawanto, A. dan AYPBC Widyatmoko. 2006. Keragaman Genetik Empat Populasi Intsia bijuga Berdasarkan Penanda RAPD dan Implikasinya bagi Program Konservasi Genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Bogor
Rimbawanto, A., Widyatmoko, AYPBC dan Sulistyowati, P. 2006. Distribusi keragaman genetik populasi Santalum album L berdasarkan penanda RAPD. Jornal Penelitian Hutan Tanaman Vol 3 No 3.
KONSERVASI EX - SITU TANAMAN HUTAN Liliek Haryjanto
15
Sastrapraja, S.D. 2004. Menjamin masa depan dengan plasma nutfah hutan. Prosiding Workshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Skroppa, T. 2005. Ex-situ conservation methode. In: Geburek, T., dan Turok, J. (Eds). Conservation and Management of Forest Genetic Resources in Europe. Arbora Publisher, Zvolen.
Soekotjo, 2001. The status of ex-situ conservation of commercial trees in Indonesia. In: Thielges, B.A., Sastrapraja, S.D., Rimbawanto, A (Eds). Proc. of
| Bunga Rampai | 1 - 16
16
17
KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN
Charomaini dan Lukman Hakim
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Angka deforestasi pada hutan hujan tropis di Indonesia bervariasi dari 1,08 sampai dengan 1,2 juta ha per tahun yang angka tersebut menggambarkan terjadinya peningkatan kemerosotan kualitas dan kuantitas sumber daya alam baik dalam tingkat jenis, genetik maupun ekosistem. Konservasi biodiversitas sangat bermacam-macam, di antaranya adalah konservasi sumber daya genetik tanaman hutan yang salah satunya diharapkan dapat mendukung kegiatan pemuliaan pada tanaman hutan. Konservasi in situ dan ex situ biasa disebut sebagai bagian dari kegiatan konservasi sumber daya genetik. Bahkan dalam praktek terbaru, dikenal adanya konservasi pseudo in situ yang dianggap lebih menghemat biaya dan sangat membantu dalam penyelamatan jenis/ populasi yang terancam. Konservasi in situ yang umum dikenal adalah dalam bentuk Taman Nasional, Cagar alam, Suaka margasatwa, Perlindungan hutan atau danau, biosfer laut dan bumi. Konservasi ini dilakukan di daerah ekosistem aslinya. Meskipun pelaksanaannya mengacu pada regenasi alami, tetapi dapat juga dilakukan menggunakan regenerasi buatan. Contoh dari penelitian pada kegiatan konservasi in situ dilakukan pada penelitian struktur dan komposisi vegetasi pada Shorea penghasil tengkawang. Pada hutan alam Dipterocarpaceae di Kalimantan, diketahui tingkatan semai ditemui terbanyak (82,16%), sedangkan pohon hanya 0,67%. Komposisi vegetasi umumnya disusun oleh minimal tiga strata, yaitu dominasi Dipterocarpaceae, kemudian strata semak belukar, dan lapisan ketiga merupakan tumbuhan herba dan lapisan herba rendah dari semak belukar. Penelitian konservasi in situ yang berkaitan dengan penelitian genetika bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, pola perkawinan, struktur genetik, luas minimal populasi tingkat degradasi jenis dan lain-lain. Kegiatan konservasi in situ di berbagai negara lain sangat bervariasi. Di California, USA, kegiatan konservasi in situ pada Pinus radiatagagal karena perbedaan pendapat antara sektor swasta, organisasi non profit, perorangan, perusahaan, negara dan universitas. Di Amerika Utara, konservasi ekosistem padang rumput/ prairi berhasil baik. Hutan Darkwood di British Columbia, seluas 55.000 ha berhasil dilindungi oleh pemerintah Canada setelah dibeli dari orang Jerman pada tahun 2008. Pemerintah India bekerjasama dengan IUCN melalui Kelompok Spesialis Breeding Konservasi berhasil menyelamatkan sekitar 39 jenis tanaman obat dalam areal konservasi in situ di Andhra Pradesh. Di masa depan, konservasi in situ di Indonesia diharapkan dapat berjalan lebih baik dengan cara menjalin kerjasama dengan institusi kompeten seperti IUCN,sehingga dapat diperoleh kembali data jenis dan lokasi area konservasi in situ yang disurvey terdahulu. Pendekatan melalui jaringan kerjasama diharapkan dapat memperlancar atau mengurangi perbedaan pendapat yang terjadi dalam pengambilan keputusan. Cara konservasi pseudo in situ dapat dipelajari lebih mendalam untuk pelaksanaan konservasi yang lebih baik dan menguntungkan. Alokasi dana yang menjadi masalah diharapkan dapat diatasi dengan menjalin kerjasama dengan sektor privat, instansi pemerintah dan luar negeri. Penelitian berkaitan dengan konservasi in situ harus dilakukan lebih mendalam untuk meningkatkan wawasan yang lebih luas mengenai manfaat konservasi in situ bagi masyarakat luas dan pemulia pohon hutan khususnya.
Pendahuluan
Sebagian besar hutan Indonesia sesuai dengan letak dan karakteristik iklimnya termasuk ke
dalam katagori hutan hujan tropis. Angka deforestasi di Indonesia berdasarkan data CIFOR tahun
| Bunga Rampai | 17 - 28
18
2009, dari tahun 2000 s.d. 2005 seluas 1,2 ha/tahun.Sedangkan menurut data Kementerian
Kehutanan deforestasi dan degradasi hutan Indonesia seluas 1,08 juta ha/tahun (Anon,2002).
Degradasi hutan Indonesia menyebabkan kemerosotan kualitas dan kuantitas baik pada tingkat
genetik, jenis, maupun ekosistem. Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai
sistem sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta
pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Basuni (2008), dasar konservasi biodiversitas adalah variasi genetik, dimana variasi
genetik mempengaruhi ciri-ciri fisik spesies, produktivitas, ketahanan terhadap tekanan lingkungan,
dan potensi evolusi jangka panjang. Program konservasi genetik dapat mendukung kegiatan
pemuliaan tanaman hutan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Menurut Namkoong
dkk(1996), kegiatan konservasi merupakan proses pemeliharaan variasi genetik sebagai salah satu
kriteria dalam pengelolaan hutan yang lestari. Program konservasi dapat dilakukan bagi sebagian
kecil jenis-jenis yang ada di hutan tropis yang memiliki kekayaan jenis yang sangat tinggi.
Pemilihan prioritas jenis didasarkan pada pentingnya suatu populasi, jenis atau kelompok jenis, dan
status konservasi sumberdaya genetik tersebut. Jenis-jenis prioritas dipilih untuk dikonservasi
karena memegang peran kunci dalam ekosistem (keystone species) atau memiliki prospek secara
ekonomis yang tinggi (Finkeldey, 2005).
Menurut Maxted dkk (1997), strategi konservasi sumberdaya genetik terdiri atas konservasi in-
situ dan ex-situ, dimana menurut Cohendkk (1991) kedua strategi tersebut saling melengkapi,
konservasi ex-situ merupakan back-up bagi konservasi in-situ, apalagi jika genetik maupun jenis
target disebaran alamnya terancam punah. Materi genetik yang dikoleksi dari areal konservasi in-
situ dapat berfungsi ganda yaitu selain untuk materi pembangunan konservasi ex-situ juga dapat
sekaligus dimanfaatkan untuk keperluan pemuliaan.
Diperkenalkannya metode konservasi pseudo in-situmenambah wawasan mengenaikonservasi,
yang pseudo in-situini tidak begitu berbeda dengan konservasi in-situ tetapi cara ini lebih
menghemat biaya dan lebih menjamin keselamatan populasi dari bencana baik karena manusia
maupun alam. Pseudo in-situ lebih menghemat biaya karena jenis yang dikonservasi hanya jenis
target saja, dan lebih menjamin keselamatan populasi dari bencana karena penanaman dilakukan di
luar habitat aslinya sehingga disebut sebagai konservasi pseudo in-situ atau mirip seperti
konservasi in-situ.
Kegiatan konservasi in-situ di negara luar sebagian cukup maju, lebih dari kegiatan yang
dilakukan di Indonesia. Meskipun demikian, dengan segala usaha baik pembentukan jaringan
KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim
19
kerjasama, dana, peningkatan kemampuan SDM peneliti dan wawasan mengenai konservasi in-situ
yang lebih luas maka di masa depan, kegiatan konservasi in-situdi Indonesia akan lebih besar dan
bermanfaat untuk kepentingan pelestarian tanaman hutan yang hampir punah, kebutuhan akan
keragaman genetik populasi terancam punah dan kepentingan kemanusiaan di dunia.
Konservasi In-Situ
Konservasi in-situ adalah konservasi sumberdaya genetik suatu species tertentu di daerah
sebaran alam atau di daerah ekosistim aslinya (onsite). Walaupun pelaksanaannya lebih mengacu
pada regenerasi secara alami, tetapi kegiatan regenerasi secara buatan juga dapat dilakukan, selama
pelaksanaan koleksi materi genetiknya tidak ada seleksi dan dikumpulkan secara acak di lokasi
populasinya.
Konservasi in-situ dapat berupa antara lain Taman nasional, Cagar alam, Suaka margasatwa,
Perlindungan hutan atau danau yang kondisinya mengkhawatirkan, Biosphere laut dan bumi dan
lain-lain.
Diketahui ada cara lain konservasi in-situ yang lebih mudah, murah dan praktis yaitu
konservasi pseudo in-situ yang diperkenalkan oleh DANIDA meskipun cara ini juga mempunyai
kelemahan. Pada dasarnya cara ini meniru cara konservasi in-situ tetapi tidak semua jenis
dikonservasi. Jenis yang dikonservasi hanya terbatas jenis target saja. Jadi dengan cara
memindahkan beberapa jenis target dari kelompok hutan yang diduga tidak aman ke tempat lain
yang lebih aman di luar habitatnya sehingga disebut pseudo (mirip) in- situ.Untuk menjaga agar
tidak terjadi inbreeding maka setiap jenis yang dipindah harus diwakili oleh minimal 50 pohon
induk, setiap pohon induk diwakili oleh minimal 4 – 10 individu (anakan). Fakultas Kehutanan
UGM bekerjasama dengan Perum Perhutani berusaha menyelamatkan jenis Dipterocarpaceae dari
10 kelompok hutan di Kalimantan dan Sumatera, yang ditanam di Bagian Daerah Hutan (BDH)
Carita, dengan ulangan lokasi di BDH Gunung Kencana, KPH Banten. Selanjutnya akan dibangun
konservasi pseudoin-situ juga oleh PT. Sari Bumi Kusuma, PT Erna Juliawati, PT. Suka Jaya
Makmur dan PT. SARPATIM dari 4 kelompok hutan yang mewakili Kalimantan Tengah dan Barat
(Soekotjo dan Naiem, 2010).
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta SK Menhut No. 261/Kpts-IV/1990 tentang perlindungan pohon
tengkawang sebagai tanaman langka. Berdasarkan hal tersebut maka upaya konservasi sumberdaya
genetik Shorea spp penghasil tengkawang menjadi sangat mendesak.
| Bunga Rampai | 17 - 28
20
Beberapa contoh aspek penelitian konservasi in-situ pada hutan alam Dipterocarpaceae
penghasil tengkawang, diuraikan sebagai berikut.
Penelitian Struktur Dan Komposisi Vegetasi
Struktur dan komposisi vegetasi dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu tempat tumbuh (unsur hara)
dan iklim. Struktur vegetasi atau tegakan merupakan vegetasi atau tegakan yang tersusun atau
terbentuk oleh tingkatan-tingkatan umur pada pertumbuhan tertentu. Sedangkan komposisi vegetasi
merupakan susunan jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Penyebaran kelas diameter dapat
mencerminkan kisaran ukuran pohon yang membentuk suatu struktur tegakan.
Inventarisasi yang telah dilakukan di hutan alam Dipterocarpaceae, Kalimantan dapat
digunakan sebagai contoh gambaran struktur vegetasi yang ada. Berdasarkan hasil pengolahan data
inventarisasi untuk mengetahui struktur tegakan yang berada di petak TTT.23 seluas 100 ha dapat
dilihat pada grafik 1.
Tingkatan semai menempati urutan teratas (82,16%) tumbuh dengan populasi yang melimpah,
kemudian disusul tingkatan sapling (15,38%), tingkatan tiang (1,79%) dan terakhir tingkatan
pohon (0,67%). Data tersebut menggambarkan bahwa makin besar tingkatan tumbuhan (kelas
diameter)nya maka keberadanya semakin sedikit. Hal ini menunjukkan kondisi struktur tegakan
alam di petak TTT23 untuk semua jenis tumbuhan menunjukkan masih dalam kondisi yang
normal.Stratifikasi di petak TTT23 mewakili hutan alam tropis di Kalimantan yang masih normal
yang umumnya disusun minimal dalam tiga strata yaitupertama, lapisan atas yang membentuk
kanopi yang lengkap, didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Lapisan kedua yang merupakan
Strata semak belukar dan lapisan ketiga merupakan tumbuhan herba dan satu lapisan herba rendah
dari semak belukar.
Prosentase Per Tingkat Tumbuhan Dalam 100 ha
82.16
15.381.79 0.67
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Semai Sapling Tiang Pohon
Tingkat Tumbuhan
Pro
sent
ase
Series1
Grafik 1.Polapenyebaran kelas diameter pada petak seluas 100 ha
KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim
21
Berdasarkan data inventarisasi jumlah jenis tumbuhan yang ada di plot konservasi in-situ
Shorea penghasil tengkawang, komposisi dan keragaman jenis yang ada sebanyak 74 jenis. Data ini
menunjukkan keanekaragaman jenis di lokasi ini sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa
hasi linventarisasi jenis di beberapa tempat di Kalimantan, seperti di hutan Dipterocarpaceae
Wanariset yang terdapat 239 jenis (Kartawinataet al., 1981), di Lempake 209 jenis (Riswan, 1986),
dan hutan lindung Gunung Meratus 103 jenis (Tata, 1999).
Estimasi Potensi Shorea Penghasil Tengkawang
Kelimpahan jenis ditentukan oleh frekuensi, kerapatan, dan dominasi setiap jenis. Penguasaan
suatu jenis terhadap jenis yang lainnya ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP)volume,
biomass, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar, atau banyaknya individu dan kerapatan
(Soerianegara dan Indrawan, 1978). Nilai penting suatu jenis merupakan nilai yang
menggambarkan peran suatu jenis dalam suatu komunitas. Dari hasil inventarisasi diketahui bahwa
Shorea penghasil tengkawang yaitu Shorea macrophylla, S. pinanga, S. stenoptera,dan S.
compressa mendominasi pada tingkat pohon, pada tingkat semai tidak masuk dalam daftar 10 jenis
dengan INP tertinggi. Sedangkan pada tingkat sapling dan tiang, hanya S. compressa saja. Hal ini
mengindikasikan bahwa telah terjadi kemunduran regenerasi secara alami dari waktu ke waktu.
Berdasarkan data grafik2 diketahui bahwa jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang yang
terdapat di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang di petak TTT.23 antara lain Shorea
macrophylla, S. pinanga, S. stenoptera, S. seminis dan S compressa. Nilai kriteria INP semakin
tinggi seiring dengan tingkatan tumbuhan, yaitu tingkat semai nilai INP=7,5; tingkat sapling
INP=8,5; tingkat tiang INP=16,5; dan tingkat pohon INP=81,7. Hal ini menunjukkan bahwa
regenerasi jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang mengalami permasalahan dari waktu kewaktu.
Kegagalan regenerasi alam ini dimungkinkan terjadi karena pemanfaatan masyarakat untuk
mengambil biji tengkawang sebagai salah satu sumber pendapatan yang dari waktu kewaktu
semakin tinggi. Shorea stenoptera dengan buah berukuran besar pada tingkat pohon, nilai INP 43,6
(sangat berperan), namun pada tingkat semai, sapling, maupun tiang, nilai INP kurang berperan.
Hal ini terjadi disebabkan karena Shorea stenoptera ini merupakan target utama masyarakat untuk
mengambil buahnya karena memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi.
| Bunga Rampai | 17 - 28
22
Grafik 2. Nilai INP jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang per tingkat pertumbuhan
Berdasarkan data-data penurunan daya regenerasi dari jenis-jenis Shorea penghasil
tengkawang, maka perlu dilakukan kegiatan yang dapat menjaga proses permudaan alam atau
kegiatan pengayaan secara buatan dengan 2 syarat yaitu: a). materi genetik harus berasal dari petak
TTT 23, dan b). tidak ada seleksi dan bersifat acak dalam penentuan pohon induk sebagai sumber
benih.
Gambar 1. Kegiatan inventarisasi di plot konservasi in-situ Shorea penghasil tengkawang
Data-data hasil kegiatan penelitian awal tersebut dapat dijadikan bahan rekomendasi untuk
kegiatan-kegiatan pembangunan plot konservasi in-situjenis Shorea penghasil tengkawang di tahun
berikutnya. Penelitian lanjutan di lokasi tersebut dapat melibatkan beberapa disiplin ilmu dan
teknologi, antara lain ekologi, dendrologi, genetika molekuler dan kultur jaringan, statistis, GIS dan
kehutanan sosial jika masyarakat sekitar memiliki kebergantungan yang tinggi secara sosial,
budaya dan ekonomi terhadap lokasi areal konservasi in-situ.
Dengan meningkatnya angka degradasi hutan alam yang semakin memprihatinkan, maka upaya
penyelamatan sumberdaya genetik pada jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang juga dapat
dilakukan dengan membangun plot konservasi ex-situ.
7,5 8,5
16,5
81,7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
INP
Semai Sapling Pancang PohonTingkatan
Series1
KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim
23
Konservasi Sumberdaya Genetik untuk Mendukung Program Pemuliaan
Populasi dasar dapat berupa hutan alam maupun hutan tanaman yang merupakan sumber benih
dimana materi genetik untuk mendukung program pemulian dikumpulkan. Syarat penting suatu
populasi dasar agar dapat dimanfaatkan untuk program pemuliaan adalah memiliki basis genetik
yang luas dan diketahui karakteristik keunggulannya, misalnya memiliki kualitas kayu yang baik,
ketahanan terhadap hama dan penyakit, rendemen dan kualitas minyak yang tinggi, dan lain-lain
(Leksono, 2004). Populasi dasar yang berupa hutan alam dengan kondisi serta potensinya yang
sangat spesifik dapat ditetapkan sebagai areal konservasi in-situ. Secara umum ada 2 aspek
penelitian yang dapat dilakukan di areal konservasi in-situ yaitu penelitian ekologi dan penelitian
genetika. Beberapa penelitian ekologi dapat dilakukan pada areal tersebut, seperti survey potensi,
struktur,komposisi jenis,dinamika populasi, permudaan alam, biologi reproduksi, dan lain-lain.
Sedangkan penelitian genetika dapat dilakukan untuk mengetahui variasi genetik,pola perkawinan,
struktur genetik, luas minimal populasi untuk suatu jenis, tingkat degradasi jenis dan lain-lain.
Kegiatan penelitiandi plot konservasi in-situ jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang
dilakukan pada tahun 2005 - 2009 di petak TTT 23 di hutan alam Sungai Runtin di areal konsesi
PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat. Penelitian aspek ekologi berupa struktur, potensi, dan
komposisi jenis, sedangkan penelitian pada aspek genetika berupa keragaman genetik, pola
perkawinan dan tingkat degradasi jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang (Hakim, L. 2009).
Petak TTT 23 merupakan salah satu populasi dasar yang telah ditetapkan sebagai tegakan benih
teridentifikasi untuk jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang karena memiliki potensi yang tinggi.
Petak TTT 23 menjadi salah satu lokasi kegiatan explorasi dan pengumpulan benih jenis-jenis
Shorea penghasil tengkawang saat panen raya pada awal tahun 2010. Koleksi materi genetik
berupa anakan Shorea sudah dipelihara di persemaian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan (Gambar 2.)
(A) (B) (C)
Gambar 2. Pembibitan jenis-jenis Shorea penghasil tengkawang di persemaian BBPBPTH Yogyakarta: (A) populasi Kalbar, (B) populasi Kalteng dan (C) populasi Jabar
| Bunga Rampai | 17 - 28
24
Konservasi In-situ di Berbagai Negara
Di California, Amerika Serikat, konservasi in-situ dilakukan pada hutan alam Pinus radiata
yangmempunyai nilai estetis pemandangan hutan alam yang indah. Namun demikian, terjadi
perbedaan pendapat di antara sektor swasta, organisasi non profit, perorangan, perusahaan, negara
dan universitas yang menyebabkan kegiatan konservasi in situ tersebut gagal dilaksanakan (Rogus,
2002).
Padang rumput/ prairie di Amerika Utara juga mendapat perhatian untuk dikonservasi. Dalam
suatu konferensi, disarankan dilakukan kegiatan pengenalan biologi dan ekologi ekosistem prairi;
identifikasi dan inventarisasi prairi alami yag tersisa dan menentukan tingkat kerusakan;
identifikasi, inventarisasi dan konservasi endemik prairi khususnya binatang dan tanaman yang
tidak biasa ditemui; evaluasi calon jenis yang terancam punah; melarang penanaman tanaman
berkayu dalam ekosistem yang didominasi oleh prairi; mendukung inisiatif konservasi oleh publik,
privat dan pemerintah; meluruskan batas administrasi dan ekoregion (Samson, F and Fritz Knopf,
1994).
Di Canada, Nature Concervancy of Canada (NCC), suatu organisasi privat, non profit, yang
bekerja untuk perlindungan langsung biodiversitas Canada bersama dengan Menteri Lingkungan
Canada menyelamatkan hutan Darkwoods di British Columbia seluas 55.000 ha yang dibeli dari
seorang warga negara Jerman pada tahun 2008. Menteri Lingkungan John Baird dan Presiden NCC
John Lounds mengumumkan bahwa hal tersebut merupakan pembelian lahan privat terbesar untuk
kepentingan konservasi dalam sejarah Canada (Kirby, 2011).
Konservasi in-situ cenderung lebih murah biayanya, salah satu pilihan untuk mempertahankan
keragaman genetik, tetapi kesulitannya adalah kebanyakan institusi tidak begitu memperhatikan
mengenai jenis yang ada di areal konservasi in- situ. Meskipun demikian, biasanya dapat dilakukan
monitoring di lokasi in-situ dalam usaha memutuskan kapan konservasi ex-situ diperlukan. Usaha
ini sedang dilakukan di Pasifik Barat Laut Amerika Utara. Di British Columbia (BC), Menteri
Kehutanan BC telah menginventarisir populasi in-situ dalam usaha menemukan populasi yang
kemungkinan berada dalam kondisi berbahaya/ hampir punah (Lester dan Yanchuk 1996).
KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim
25
Gambar3.Hutan Darkwoods di British Columbia.Sumber: Bruce Kirby (2011)
Di Oregon dan Washington, banyak organisasi bersama-sama melakukan analisis “gap” 8
jenis conifer penting (St. Clair danLipow 2000).Pendekatan kerjasama tersebut dapat menghemat
biaya pada masing-masing institusi.
Untuk tujuan pengukuran secara cepat jenis terancam punah dan tujuan menjalin kerjasama untuk
mengatasi kekurangan data kuantitatif maka pemerintah India telah melakukan usaha konservasi in-
situ jenis tanaman obat (Medicinal Plan Conservation Areas =MPCA). Dengan bekerjasama
dengan IUCN melalui Kelompok Spesialis Breeding Konservasi (Conservation Breeding Specialist
Groups), melakukan workshop untu kmengatasi permasalahan keterbatasan lahan, sumberdana,
jenis prioritas, strategi konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Dari 50 jenis yang didata di
Andhra Pradesh selama Maret 2001, diantaranya 39 jenis dalam keadaan terancam punah dalam
berbagai tingkatan. Dari 39 jenis tersebut, 28 terekam dari berbagai areal konservasi in-situ MPCA
dan akan dikonservasi di dalam dan di sekitar masing-masing MPCA. Sebelas jenis terancam
punah umumnya endemik di Andhra Pradesh sehingga memungkinkan untuk dilakukan konservasi
in-situ. Tujuh dari jenis tersebut direkam dari jaringan kerjasama MPCA, sementara lahan baru
diperlukan untuk jenis Boswellia ovalifoliolata, Butea monosperma var. Lutea, Urginea
nagarjunae dan Phyllanthus indofischeri (Anon, 2002).
Konservasi in situ di Masa Depan yang Diinginkan Indonesia
Kalau melihat pengalaman kegiatan konservasi in-situ yang sudah dilakukan di negara lain,
banyak yang dapat digunakan sebagai contoh untuk kegiatan konservasi in-situ di Indonesia di
masa depan. India dengan usaha inventarisasi lokasi konservasi in-situ tanaman obat, merupakan
usaha yang memerlukan ketekunan. Dengan menjalin kerjasama dengan institusi kompeten seperti
IUCN, merupakan usaha positif dalam merekam kembali data yang hilang mengenai lahan dan
| Bunga Rampai | 17 - 28
26
jenis dalam area konservasi in-situ yang telah dikelola terdahulu dan mengalokasikan lahan baru
jenis yang direncanakan.
Di California, telah dilakukan usaha konservasi pada hutan P. radiata (Monterey Pines) untuk
keperluan estetika, perlindungan pemandangan hutan yang indah. Meskipun demikian, banyak
kendala yang dihadapi seperti perbedaan pendapat antar fihak terkait. Hal seperti ini dapat menjadi
pelajaran bagi Indonesia bahwa untuk memperlancar agar tidak terjadi perbedaan pendapat dalam
mengambil keputusan, perlu dilakukan pendekatan yang lebih baik melalui jaringan kerjasama
dengan pertemuan anggota secara intensif. Konservasi dalam arti jenis tidak selalu menjadi
prioritas, tetapi konservasi dalam arti ekosistem terkadang diperlukan untuk kepentingan tertentu.
Cara konservasi pseudo in-situ yang diadopsi dari DANIDA perlu dipelajari lebih mendalam
karena dengan cara ini, konservasi in-situ tidak harus mengkonservasi semua jenis yang ada tetapi
hanya jenis target saja, dan dapat dilakukan di luar habitatnya. Dengan menjalin kerjasama dengan
fihak pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang masih aktif, cara konservasi pseudo in-situ
dapat dicoba dengan mengikutsertakan pakar bidang ini yang ada di perguruan tinggi dan HPH
aktif yang telah melakukan kegiatan konservasi pseudo in-situ di areal HPHnya.
Alokasi dana terkadang dirasakan menjadi kendala. Harus dicari jalan keluar misalnya dengan
menjalin kerjasama yang umumnya akan dapat lebih memperkecil pengeluaran dana dengan hasil
yang lebih baik karena keikutsertaan pakar-pakar di bidangnya. Contohnya British Columbia
bersama dengan NCC, yang membeli hutan Darkwoods seluas 55.000 ha dari seorang bangsa
Jerman. Dengan usaha kerjasama dengan sektor privat dan instansi pemerintah dan luar negeri,
kemungkinan kesulitan dana tidak akan menjadi masalah.
Riset yang menyangkut aspek konservasi in-situ yang lebih luas harus selalu dilakukan oleh
para peneliti yang terkait seperti peneliti di bidang Konservasi Genetik, Genetika molekuler dan
Kultur jaringan, dan Pemuliaan Tanaman Hutan karena bidang yang terkait tersebut akan memberi
kontribusi pada wawasan pengetahuan, analisis dan akan menghasilkan informasi yang lebih
luas,mendalam dan bermanfaat.
Jenis-jenis terancam punah sudah direkam oleh Kementerian Kehutanan. Action untuk
melakukan konservasi in-situ maupun pseudo in-situ dan yang berkaitan dengan konservasi ex-situ
seharusnya dapat segera dilakukan. Aspek dana dan lahan yang biasanya menjadi pembatas
kegiatan seharusnya dapat diatasi dengan berbagai cara tersebut. Jenis terancam punah, juga
keragaman ekosistem hutan yang spesifik harus dapat diselamatkan untuk kepentingan masa depan,
KONSERVASI IN – SITU TANAMAN HUTAN Charomaini dan Lukman Hakim
27
kepentingan pemanfaatan keragaman genetik yang ada dan untuk kepentingan pemuliaan dan
masyarakat di dunia.
Daftar Pustaka Basuni, S. 2008. Metodologi Penelitian Teknis Konservasi. Materi pelatihan metodologi penelitian
dan penyusunan proposal penelitian bagi peneliti yunior. Bogor. CIFOR. 2010. REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD.
CIFOR, Bogor, Indonesia. Hal 14. http://www.cifor.cgiar.org/Knowledge/Publications/Detail?pid=2812Diakses pada tanggal 8 Mei 2003.
Cohen, J.I;Williams, J.T. Pluncknett, D.L.andShands, H. 1991. Ex-Situ Conservation of Plant Genetic Resoursce: Global Development and Enviromental Concern. Science: 253: 866-872.
Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Alih bahasa oleh Djamhuri, E., Siregar, I.Z., Siregar, U.J., Kertadikara, A.W. Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Hakim, L. 2009. Struktur, Komposisi, Dan Potensi Tegakan Shorea Penghasil Tengkawang di Plot Konservasi In-Situ PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Makalah Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BBPBPTH Yogyakarta. Yogyakarta.
Kartawinata, K., R. Abdulhadi, and T. Partomihardjo. 1981. Composition and Structure of a Lowland Dipterocarpaceae Forest at Wanariset, East Kalimantan. The Malaysian Forester 44 (2 & 3) : 397-406.
Kirby, Bruce. 2011. Darkwoods, British Columbia. Magazine/jt 11. January/ February 2011. Issue. (http://www.canadiangeographic.ca/magazine/jt11/concerving_darkwoods.asp) diakses 12 Januari 2011.
Leksono B. 2004. General Concept of Tree Improvement. Procceding on the Third Country Training Program,” Short Course in FTI of Tropical Tree Species, CFBTI – JICA, Yogyakarta, 15-26 March 2004. (unpublished)
Lester and Yanchuk. 1996.dalam Genetic Conservation in Applied Tree Breeding Programs. Randy Johnson, Brad St.Clair and Sara Lipow. Corvalis, OR. USA.
Maxted, N., Ford-Liod, B.V. and Hawkes, J.G. 1997. Complementary Conservation Strategies. In: Maxted, N., Ford-Liod, B.V. and Hawkes, J.G. (eds.) Plant Genetic Conservation.Pp: 15-39. Chapman & Hall. New York.
Namkoong, G.; Boyle, T.J.B.; Gregorius, H.-R.; Joly, H.; Savolainen, O.; Ratnam, W.; Young, A.1996. Testing criteria and indicator for assessing the sustainability of forest management: Genetic Criteria and Indicators. CIFOR Working Paper No.10, Bogor, Indonesia.
Riswan, S. 1986. Structure and Floristic Composition of a mixed Dipterocarp Forest at Lempake, East Kalimantan. In A.J.G.H. Kostermans (ED). Proceeding of the Third Round Table Conference on Dipterocarp. Pp:435-457. United Nation Educational Scientific and Culture Organization. Jakarta.
Rogus, Deborah, L. 2002. In situ Genetic Conservation of Monterey Pines (Pinus radiata). Information and Recommendation. Report No. 26. Sept 2002. Genetic Resources Conservation Program. Divisoin of Agriculture and Natural Resources. University of California.
Samson, Fred and Fridz Knopf. 1994. Roundtable. Prairie Conservation in North America. Bioscience Vol.44. No.6. June 1994.
Soekotjo dan Moch Na’iem. 2010. LAPORAN KE II. Petunjuk Koleksi Buah Dipterocarpa.
| Bunga Rampai | 17 - 28
28
http://www.pdf-finder.com/LAPORAN-KE-II-Petunjuk-Koleksi-Buah-Dipterocarpa.htmlDiakses tanggal 13 Januari 2010.
Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 1978. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Managemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
St. Clair and Lipow 2000. dalam Genetic Conservation in Applied Tree Breeding Programs. Randy Johnson, Brad St.Clair and Sara Lipow. Corvalis, OR. USA.
Sumadiwangsa, S. 2001. Nilai dan Daya Guna Penanaman Pohon Tengkawang (Shorea spp.) di Kalimantan. Buletin Vol 2. No 1. Th 2001.
Tata, M.H.L. 1999. Komposisi dan Struktur Vegetasi di Hutan Lindung Gunung Meratus, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Kehutanan, Vol. 13, No. 2. BPK Samarinda. Kalimantan Timur.
29
PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Pada suatu program pemuliaan menentukan sistem yang efisien dengan kendala waktu dan sumberdaya merupakan hal penting yang perlu penyelesaian dengan memperhatikan berbagai kepentingan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal selain program pemuliaan perlu strategi, metode, rancangan dan teknik pemuliaan sesuai produk akhir yang diinginkan dan pertimbangan ekonomi. Beberapa negara di asia yang mengembangkan pemuliaan tanaman hutan adalah Cina, India, Kamboja, Laos, Philipina, Thailand, Vietnam juga Indonesia. Jenis-jenis pohon yang dikembangkan di negara-negara tersebut pada umumnya adalah fast growing species antara lain jenis Acacia spp, Eucalyptus spp, Paraserianthes falcataria. Jenis lainnya yaitu Casuarina spp, Intsia bijuga, Pinus spp, Vitex spp, Pterocarpus spp. Indonesia telah melakukan kegiatan pemuliaan tanaman hutan hutan sejak tahun 1930, dan sampai sekarang telah menghasilkan beberapa jenis unggul pohon hutan.
Pendahuluan
Pemuliaan tanaman hutan merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan
dan silvikultur untuk menghasilkan tanaman berkualitas. Untuk mendapatkan perpaduan yang
optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya program pemuliaan dimana strategi,
rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa pertimbangan diantaranya besarnya variasi
genetiktindakan silvikultur, dan produk akhir yang ingin dicapai serta pertimbangan ekonomi.
Tujuan umum dari suatu program pemuliaan tanaman hutan menurut Suseno (2001) adalah : (1)
memuliakan secara progresif populasi dasar dan populasi pemuliaan; (2) membiakkan material
yang dimuliakan untuk membuat populasi produksi yang unggul; (3) menjaga variabilitas dan
ukuran populasi pada populasi dasar dari populasi pemuliaan; (4) semuanya ini dicapai secara
ekonomis.
Empat komponen populasi dalam strategi pemuliaan tanaman hutan yaitu populasi dasar,
populasi pemuliaan, populasi perbanyakan dan populasi produksi (Leksono, 2001). Populasi dasar
adalah populasi tempat dipilihnya pohon yang akan ditangkar untuk kegiatan seleksi. Populasi
pemuliaan adalah bagian kumpulan individu dari populasi dasar yang diseleksi berdasarkan kualitas
yang diinginkan untuk dijadikan tetua bagi penangkaran generasi berikutnya. Populasi pemuliaan
akan menjadi pusat kegiatan dari strategi pemuliaan ini. Populasi perbanyakan terdiri dari pohon-
pohon terpilih dari individu dan famili-famili terseleksi dalam kebun benih atau area perbanyakan
dimana kombinasi gen yang terpilih dalam populasi pemuliaan diproduksi secara massal sebagai
benih unggul. Populasi perbanyakan dapat dibangun dengan bentuk yang lebih besar berdasarkan
| Bunga Rampai | 29 - 36
30
informasi dari populasi pemuliaan untuk memenuhi kebutuhan benih yang cukup besar. Bentuk
populasi perbanyakan dapat berupa Kebun Benih Semai hasil konversi uji keturunan, Kebun Benih
Klon dari individu-individu terseleksi, Kebun Pangkas dari klon-klon terpilih atau Kebun Benih
Komposit untuk populasi pemuliaan yang menggunakan sistem sub galur. Populasi produksi
merupakan hutan tanaman untuk produksi dengan menggunakan material benih yang berasal dari
populasi perbanyakan, baik menggunakan biji (generatif) atau dengan mengunakan bagian
vegetatifnya.
Menentukan sistem yang paling efisien pada suatu program pemuliaan dengan kendala waktu
dan sumberdaya yang ada merupakan masalah yang perlu penyelesaian dengan memperhatikan
berbagai kepentingan. Skema yang dibuat untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam program
pemuliaan dengan memperhatikan semua kondisi dinamakan strategi pemuliaan. Proses untuk
mengimplementasikan strategi pemuliaan disebut metode pemuliaan. Prosedur biologis yang
digunakan (penyerbukan terkendali, okulasi, penanaman dll) merupakan teknik pemuliaan (Suseno,
2001).
Metode pemuliaan yang umumnya diterapkan pada tumbuh-tumbuhan ialah pemuliaan mutasi,
inbreeding, hibridisasi, pemuliaan silang balik dan seleksi (Alard, 1960 dalam Suseno, 2001).
Morgernstern et al. (1975) menyatakan bahwa metode pemuliaan yang cocok untuk suatu jenis
tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, besarnya variabilitas, tujuan pemuliaan serta
produksi biji. Seleksi merupakan metode yang paling umum diterapkan untuk pohon-pohon hutan.
Metode ini sesuai bagi kebanyakan jenis-jenis penyerbukan silang dan yang variabilitasnya besar
seperti halnya jenis-jenis yang masih liar. Menurut Shelbourne dan van Buijtenen dalam
Morgernstern et al., 1975 menyatakan bahwa seleksi merupakan metode pemuliaan yang paling
sederhana dan paling memberi harapan untuk memperoleh hasil-hasil genetik yang agak besar pada
generasi pertama serta untuk memenuhi kebutuhan benih unggul dalam jumlah besar.
Maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah memaparkan program pemuliaan tanaman hutan yang
berkaitan dengan strategi pemuliaan, metode dan teknik pemuliaan serta status pemuliaan tanaman
hutan yang ada di negara-negara asia, termasuk Indonesia, yang mengembangkan jenis jenis
tanaman tertentu untuk dimuliakan.
Status pemuliaan tanaman hutan di beberapa negara Asia
Status pemuliaan tanaman hutan dibeberapa negara Asia sampai dengan tahun 2004
(Rimbawanto et al., 2004) adalah sebagai berikut:
PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono
31
Cina
Pemuliaan tanaman hutan jenis-jenis tropis dan sub tropis dikembangkan di bagian Selatan
Cina. Jenis yang diprioritaskan antara lain adalah Acacia auriculiformis, A. mangium, A.
crassicarpa dan A. mearnsii, Eucalyptus urophylla, Casuarina equisetifolia dan C. Junghuniana.
Program pemuliaan tanaman hutan di Cina tergolong cukup maju. Berbagai uji genetik telah
dibangun seperti uji keturunan (F1 dan F2), uji perolehan genetik, uji klon, hibridisasi inter-species,
kebun benih klonal dll. Teknik perbanyakan konvensional maupun kultur jaringan juga telah
dikembangkan untuk berbagai jenis. Kegiatan-kegiatan diatas dilaksanakan oleh Research Institute
of Sub-tropical Forestry serta lembaga kehutanan provinsi.
India
Selain Jati dan Bambu, India mempunyai tanaman Eucalyptus yang luas. Jenis Eucalyptus
yang mendominasi hutan tanaman jenis ini adalah Eucalyptus camaldulensis dan E. tereticornis
yang mencapai luas 2,5 juta ha. Kemudian disusul oleh C. Equisetifolia 500.000 ha dan A.
auriculiformis dan A. mangium 45.000 ha. Hutan tanaman ini berkembang di wilayah bagian
selatan India.
Berbagai uji genetik seperti uji keturunan, uji klonal dan uji perolehan genetik telah dilakukan
untuk jenis-jenis tersebut diatas serta jenis lainnya. Program hibridisasi yang telah dilakukan
antara lain adalah E. tereticornis x E. grandis, E. grandis x E. urophylla. Beberapa program
penelitian yang tengah dilaksanakan sebagai kelanjutan dari hasil yang telah dicapai saat ini antara
lain adalah studi tentang aspek inbreeding, kesesuaian jenis/seedlot dengan tapak (species site
matching), hibridisasi inter species dan introduksi sumber plasma nutfah baru. Lembaga yang
melaksanakan dan mengkoordinir program pemuliaan tanaman hutan adalah Institute of Forest
Genetic and Tree Breeding, Coimbatore, Kerala Forestry Research. Selain itu beberapa perusahaan
yang membangun dan mengelola hutan tanaman juga melaksanakan program serupa.
Kamboja
Sebagai sebuah negara kecil, Kamboja membangun tidak lebih dari 13.000 ha hutan tanaman
dengan jenis Acacia mangium dan Eucalyptus camaldulensis. Kebutuhan benih kedua jenis
tersebut didatangkan masing-masing dari Australia dan Thailand. Pada saat yang sama, untuk
memenuhi kebutuhan jangka pendek telah pula dibangun Seed Production Area (SPA) untuk kedua
jenis tersebut. Kebutuhan akan benih bermutu dan informasi tentang pemuliaan tanaman hutan
banyak disuplai dari Thailand dan Vietnam.
| Bunga Rampai | 29 - 36
32
Laos
Pembangunan hutan tanaman di Laos baru dimulai pada tahun 1994, dan kini luas hutan
tanaman di Laos tidak lebih dari 16.000 ha yang terdiri dari 2 jenis utama yaitu E. camaldulensis
dan A. mangium. Sejauh ini belum ada program pemuliaan tanaman hutan untuk kedua jenis
tersebut. Pada awalnya benih kedua jenis tersebut didatangkan dari Australia, sedang untuk
memenuhi kebutuhan sendiri kini telah dibangun SPA seluas 5 ha. Pengguna benih tersebut antara
lain adalah proyek pemerintah dan petani kecil.
Philipina
Setiap tahunnya tidak kurang dari 50.000 ha tanaman baru dibangun di Philipina, separuh dari
jumlah itu untuk tujuan konservasi sedang sisanya untuk tujuan hutan produksi. Jenis-jenis yang
ditanam antara lain A. mangium, A. auriculiformis, Eucalyptus spp, C. Equisetifolia, Swietenia
macrophylla, Gmelina arborea, Pterocarpus indicus, Pinus kesiya, Vitex parviflora, Intsia bijuga
dan Paraserianthes falcataria. Program pemuliaan tanaman hutan relatif masih terbatas pada
pembangunan SPA serta uji keturunan A. mangium dan E. urophylla. Persoalan utama yang
dihadapi adalah tidak adanya lembaga yang secara khusus menangani pemuliaan tanaman hutan.
Pengguna benih unggul juga umumnya adalah perorangan.
Thailand
Program pemuliaan di Thailand relatif telah cukup maju. Uji keturunan generasi kedua telah
dilakukan pada beberapa jenis seperti A. auriculiformis, E. camaldulensis dan E. urophylla. Jenis
lain yang dikembangkan antara lain adalah A. aulacocarpa, A. crassicarpa, A. mangium, C.
Equisetifolia dan C junghuniana. Disamping itu hutan clonal E. urophylla dan E. camaldulensis
telah banyak dibangun baik oleh perorangan maupun perusahaan. Kebutuhan benih A.
auriculiformis, A. crassicarpa dan E. camaldulensis di negara tetangga seperti Vietnam, Laos dan
Kamboja dipenuhi oleh Thailand. Program pemuliaan tanaman hutan ini secara nasional
dilaksanakan oleh Royal Forestry Department (RFD). Persoalan yang dihadapi adalah kecilnya
partisipasi swasta dalam memanfaatkan benih unggul yang dihasilkan oleh RFD.
Vietnam
Kemajuan yang pesat dalam bidang ekonomi yang dicapai oleh Vietnam ternyata juga terjadi
dalam program domestikasi jenis. Luas hutan tanaman telah mencapai 1,4 juta ha terdiri dari antara
lain jenis ekaliptus, acacia, melaleuca dan casuarina. Program pemuliaan secara sistematik mulai
dilakukan pada tahun 1988 dengan bantuan CSIRO FFP. Uji keturunan jenis A. auriculiformis,
PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono
33
A. mangium, E. camaldulensis dan E. urophylla telah memasuki generasi kedua. Disamping itu
program hibridisasi A. auriculiformis x A. mangium juga memperoleh perhatian yang serius.
Hingga kini lebih dari 100.000 ha tanaman hibrid acacia (klon hibrid terpilih) telah dibangun.
Program hibridisasi ekaliptus juga tengah dilakukan. Pemuliaan tanaman hutan di Vietnam
dilakukan oleh Research Centre for Forest Tree Improvemant.
Status pemuliaan tanaman hutan di Indonesia
Kegiatan pemuliaan tanaman hutan hutan di Indonesia yang pertama kali, direncanakan pada
tahun 1930 pada Jati oleh Lembaga Penelitian Hutan (LPH). Tahun 1930-1931 dilakukan studi
biologi bunga jati (Coster, 1931 dalam Suseno, 2001). Tahun 1932 dilakukan percobaan tempat
asal (”Provenans trial”) dan percobaan varietas. Biji jati didatangkan dari berbagai tempat asal
yaitu Burma, Thailand, India, Indochina, Muna, Cepu, Pati, Gundih dan Ponorogo, yang setelah
dianalisis bijinya ditanam di berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Coster dan Eidman,
1934 dalam Suseno, 2001) Disamping itu juga diuji biji-biji jati beberapa varietas pohon jati yang
mempunyai sifat khusus, yaitu : jati doreng, jati batang lurus (glad stam), dan jati knoble.
Pengamatan dilakukan setelah tanaman berumur 1 tahun (Coster dan Eidman, 1934); 2 tahun
(Coster dan Hardjowasono, 1935 dalam Suseno, 2001) dan setelah itu tidak pernah diamati, sampai
berumur 25 tahun (Loekito Darjadi, 1959 dalam Suseno, 2001). Sesuai dengan uraian yang
mengemukakan bahwa pemuliaan tanaman hutan dimanapun yang dilakukan sebelum tahun 1950-
an umumnya kurang efektif disebabkan antara lain karena rancangan percobaan kurang tepat dan
kurang perawatan sehingga secara tegas tidak dapat ditarik kesimpulan. Apalagi kondisi
pertanaman sudah mengalami kerusakan. Percobaan provenans jati tahun 1950 sehubungan saran
APFC (Asia Pasific Forestry Commission) dilakukan oleh LPH untuk mempelajari pertumbuhan
jati dari berbagai tempat asal pada tapak yang jelek. Meski hasilnya telah diinventarisir tahun
1963-1964 dan ditulis oleh Soerianegara (1971), namun untuk selanjutnya tidak ada
kesimpulannya.
Dengan Proyek Bank Benih dan Persemaian Modern, dilaksanakan aktivitas pemuliaan
tanaman hutan tusam oleh LPH dalam tahun 1968-1971 (Soerianegara, 1971) meliputi ; (1)
Pembangunan Kebun Benih Klon dengan ”bottle grafting”; (2) Penelitian Populasi Alam di
Sumatera; (3) Studi Provenans di Indonesia; (4) Pembangunan persemaian pusat.
Oleh LPH dibuat pertanaman uji asal benih Tusam (Aceh dan Bandung). Pinus caribaea dan
Pinus oocarpa yang bijinya dipersiapkan oleh Comonwealth Forestry Institute ditanam di
Lampung dan Kalimantan Timur tahun1974-1975. Walaupun kegiatan pemuliaan tanaman hutan
| Bunga Rampai | 29 - 36
34
hutan di Indonesia telah lama dilakukan (1930-1975) namun karena program tidak jelas, rancangan
kurang tepat, perawatan pertanaman kurang baik dan kegiatan tidak kontinyu, maka tidak ada hasil
nyata yang terwujud.
Kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia sejak tahun 1975 yang diawali dengan
kedatangan Prof. Dr. Jonathan Wright dari Michigan State University dari Amerika Serikat
mengalami banyak perkembangan. Sebelum tahun 1975, kegiatan pemuliaan tanaman hutan itu
ada tetapi tidak kontinyu. Sejak 1975 sampai saat ini, kegiatan pemuliaan tanaman hutan di
Indonesia dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Hal ini antara lain disebabkan karena
adanya dampak positif dari pembangunan kebun benih tusam di 3 lokasi masing-masing di
Cijambu-Sumedang Jawa Barat, Baturaden-Purwokerto Jawa Tengah dan Sempolan-Jember Jawa
Timur. Kebun benih tersebut atas kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dan Direktorat Jenderal
Kehutanan, institusi yang ditunjuk sebagai mitra adalah Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan (DITSI) serta Perum Perhutani. Dampak positif yang diperoleh tidak hanya perkembangan
fisik kebun benihnya, tetapi banyak aspek kegiatan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia dari
waktu ke waktu berkembang. Dengan adanya Gedung Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan dibawah Badan Litbang Kementrian Kehutanan, tersedianya SDM
pemuliaan tanaman hutan (sarjana bidang pemuliaan tanaman hutan S1 dan S2 bahkan sampai S3),
mantan peserta kursus singkat pemuliaan tanaman hutan, adanya program-program pemuliaan dan
pertanaman uji genetik di berbagai instansi (HTI), seminar, simposium pemuliaan pohon tingkat
nasional merupakan harapan yang baik bagi pengembangan pemuliaan tanaman hutan di Indonesia.
Di Indonesia, institusi pemerintah yang menangani pemuliaan tanaman hutan berada dibawah
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementrian Kehutanan yaitu Balai Besar
Penelitian dan Bioteknologi Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) yang berkedudukan di
Purwobinangun Pakem Sleman Yogyakarta. BBPBPTH menangani penelitian pemuliaan tanaman
hutan mulai tahun 1992 sampai sekarang, telah dan sedang melakukan penelitian pada beberapa
jenis pohon hutan meliputi jenis kayu pertukangan daur panjang seperti Jati dan Merbau,
sedangkan daur menengah yaitu Pulai, Suren. Jenis kayu pulp seperti Acacia mangium, Acacia
crassicarpa, Eucalyptus pellita, Paraseriantes falcataria, Anthocephalus cadamba, kayu energi
untuk kayu bakar seperti Acacia auriculiformis, Acacia decurrens. Tanaman hutan yang
pemanfaatannya diprioritaskan untuk pangan diantaranya jenis sukun, untuk energi/biofuel seperti
Nyamplung, untuk obat seperti Kayu putih, Gaharu dan Cendana. Penelitian-penelitian tersebut
terangkum dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014. (Badan Litbanghut, 2010).
PROGRAM PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono
35
Kesimpulan
Pemuliaan tanaman hutan merupakan aplikasi dari perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan
dan silvikultur untuk menghasilkan tanaman yang berkualitas. Metode pemuliaan yang cocok
untuk suatu jenis tanaman tergantung kepada sistem penyerbukan, besarnya variabilitas, tujuan
pemuliaan serta produksi biji.
Penggunaan jenis eksot di beberapa negara dapat memberikan hasil yang menggembirakan.
Beberapa negara di Asia telah melakukan pemuliaan yaitu Cina, India, Kamboja, Laos, Philipina,
Thailand, Vietnam juga Indonesia. Indonesia telah melakukan kegiatan pemuliaan tanaman hutan
sejak tahun 1930, dan sampai sekarang telah menghasilkan beberapa jenis unggul pohon hutan.
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian Integratif (RPI) tahun
2010-2014. Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. pp 371-419.
Leksono, B. 2001. Strategi pemuliaan pohon dan peningkatan genetik hasil uji keturunan Acacia mangium, A. auriculiformis dan Eucalyptus pellita. Training course on Basic Forest Genetics. Kerjasama IFSP (Indonesia Forest Seed Project), P3BPTH (Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan) dan Fakultas Kehutanan UGM. 20-26 Agustus 2001. Yogyakarta.
Morgenstern, E.K., H.J. Holts, A.H. Teich and C.W. Yeatman. 1975. Plus tree Selection: Review and Outlook. DeptEnv. Can. For. Srv. Pub. No. 1347. Ottawa.
Rimbawanto, A. dan Yuliah. 2004. Perkembangan pemuliaan Pohon di beberapa negara Asia. Jaringan Kerja Pemuliaan Pohon Hutan. Newsletter. Vol.3. No. 3 November 2004. ISN 1412-8276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Soerianegara, I. 1971. Forestry Improvement in Indonesia. Rimba I th. XVI, 1971. No 1-2. Suseno, O,H., 2001. Peletakan dasar-dasar dan strategi pemuliaan pohon hutan di Indonesia. Orasi
ilmiah purna tugas. Seminar sehari. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
| Bunga Rampai | 29 - 36
36
37
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan merupakan salah satu unit pelaksana teknis yang mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang bioteknologi hutan dan pemuliaan tanaman hutan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh kepala badan litbang dan mempunyai visi serta misi ke depan. Penelitian pemuliaan tanaman hutan telah dilakukan sekitar tahun 1990an. Pembangunan populasi pemuliaan merupakan salah satu langkah untuk menuju kepada benih unggul. Beberapa jenis tanaman hutan yang telah dibangun populasi pemuliaannya yaitu Acacia mangium, A. crassicarpa, A. auriculiformis, A. aulacocarpa, A. decurrens, Eucalyptus pellita, E. urophylla, Melaleuca cajuputi, Tectona grandis, Falcataria moluccana, Alstonia scholaris, A. angustiloba, Intsia bijuga, Toona sinensis, T. sureni, Araucaria cunninghamii, Callophyllum inophyllum, Pongamia pinnata, Artocarpus altilis.
Pendahuluan
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Litbang Kementerian Kehutanan. BBPBPTH
mempunyai tugas melaksanakan penelitian di bidang bioteknologi hutan dan pemuliaan tanaman
hutan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan.
Visi BBPBPTH adalah menjadi pusat keunggulan IPTEK di bidang bioteknologi dan pemuliaan
tanaman hutan. Sedangkan misi BBPBPTH yaitu 1) menjadikan IPTEK untuk menghasilkan benih
unggul guna peningkatan produktivitas hutan tanaman (industri dan hutan rakyat), 2) meningkatkan
pemanfaatan hasil-hasil penelitian di bidang bioteknologi dan pemuliaan tanaman hutan.
3) memantapkan perencanaan, evaluasi, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta sarana
dan prasarana.
Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman adalah
ketersediaan benih unggul untuk memaksimalkan produktivitas hutan tanaman. Penyedian benih
unggul tersebut perlu direncanakan dengan teliti dan matang karena membutuhkan waktu yang
lama, biaya yang besar dan tenaga yang memadai. Pemuliaan pohon merupakan aplikasi dari
perpaduan prinsip-prinsip genetika hutan dan silvikultur untuk menghasilkan benih unggul. Untuk
mendapatkan perpaduan yang optimal dari kedua elemen dasar tersebut maka perlu adanya
program pemuliaan dimana strategi, rancangan dan intensitasnya bergantung pada beberapa
| Bunga Rampai | 37- 56
38
pertimbangan diantaranya besar variasi genetik, tindakan silvikultur, produk akhir yang ingin
dicapai serta pertimbangan ekonomi.
Paper ini memaparkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh BBPBPTH dalam rangka
pembangunan sumber benih melalui pembangunan populasi pemuliaan beberapa jenis tanaman
hutan. Pemaparan ini bermaksud untuk memberikan gambaran status secara umum kegiatan
pembangunan populasi pemuliaan yang dilakukan di BBPBPTH.
Sumber Benih Tanaman Hutan
Sumber benih merupakan tempat dimana akan dilakukan koleksi benih yang akan digunakan
baik untuk kegiatan pemuliaan maupun untuk pembangunan hutan tanaman. Setiap sumber benih
seringkali mempunyai potensi genetik yang berbeda yang akan berpengaruh kepada keberhasilan
pemuliaan maupun kualitas tegakan yang akan dihasilkan.
Sumber benih berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor
P.72/Menhut-II/2009 dibedakan menurut kualitas genetik dengan klasifikasi sebagai berikut :
a) Tegakan Benih Teridentifikasi; b) Tegakan Benih Terseleksi; c) Areal Produksi Benih; d)
Tegakan Benih Provenan; e) Kebun Benih Semai; f) Kebun Benih Klon; g) Kebun Pangkas.
Urutan kualitas genetik pada klasifikasi tersebut dimulai dari yang terendah pada huruf (a) sampai
dengan yang tertinggi pada huruf (g). Strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkan benih
berkualitas melalui pembangunan sumber benih dapat ditempuh melalui pendekatan jangka pendek,
jangka menengah maupun jangka panjang.
Pendekatan jangka pendek dapat ditempuh melalui penunjukkan Areal Produksi Benih (APB).
Semula tegakan ini dirancang bukan untuk tujuan penghasil benih, melainkan sebagai tegakan
penghasil kayu. Tetapi karena individu penyusunnya kebanyakan memiliki fenotipik yang bagus
dan letaknya strategis, maka tegakan tersebut kemudian ditetapkan menjadi sumber benih setelah
dilakukan penjarangan seleksi. Oleh sebab itu APB tersebut bersifat sementara. Apabila sudah
tidak diperlukan atau benih yang diperlukan sudah tercukupi maka tegakan tersebut setiap saat
dapat ditebang. Sebagai langkah pengamanan terhadap kemampuan adaptasi pada lingkungan baru
maka benih APB tersebut sebaiknya digunakan pada daerah yang kondisi lingkungannya hampir
sama dengan kondisi dimana APB tersebut berada.
Pendekatan jangka menengah dapat dilakukan melalui upaya upaya pembangunan seperti :
1) Tegakan Benih Provenans (TBP) yaitu tegakan yang dirancang untuk penghasil benih, yang
pembangunannya didasarkan atas hasil uji provenans yang sudah dilakukan. Dengan demikian,
kualitas benih yang dihasilkan jelas akan lebih baik dibanding dari APB. 2) Kebun Benih Semai
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
39
(KBS) yaitu sumber benih yang dibangun berdasarkan konversi hasil suatu uji keturunan setelah
dilakukan penjarangan seleksi. Dengan demikian, kualitas benih yang dihasilkan akan lebih baik
dibandingkan APB maupun TBP, karena materi genetik yang dipergunakan memiliki sifat yang
lebih baik. 3) Kebun Benih Klon (KBK) yaitu sumber benih yang dibangun secara khusus dimana
pohon-pohon induk yang digunakan dipilih berdasarkan hasil suatu uji keturunan. Jadi, kebun
benih ini dibangun secara terpisah dari uji keturunannya. Dengan demikian, kualitas benih yang
dihasilkan jelas paling baik dibanding sumber benih lainnya.
Untuk pendekatan jangka panjang perlu diupayakan adanya usaha menjaga variabilitas genetik
untuk mendapatkan peningkatan produksi. Penambahan materi genetik dari populasi infusi sangat
diperlukan untuk menjaga basis genetik yang akan digunakan sebagai uji generasi berikutnya.
Kegiatan-kegiatan lain seperti persilangan individu dengan karakter yang berbeda akan sangat
membantu dalam mengantisipasi peluang pasar kedepan.
Untuk mendapatkan benih unggul perlu dibangun sumber-sumber benih. Salah satu langkah
untuk menuju kepada benih unggul tersebut adalah pembangunan populasi pemuliaan. Populasi
pemuliaan merupakan pusat kegiatan strategi penelitian untuk melaksanakan seleksi dari karakter
yang diinginkan.
Penelitian dan pengembangan populasi pemuliaan di BBPBPTH Yogyakarta
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta
telah memulai penelitian pemuliaan tanaman hutan sekitar tahun 1990an. Penelitian populasi
pemuliaan dengan membangun beberapa sumber benih untuk menghasilkan benih dengan kualitas
unggul berupa tegakan provenans, kebun benih semai uji keturunan yang nantinya dikonversi
sebagai kebun benih semai. Pembangunan populasi pemuliaan berupa plot uji dilakukan pada
beberapa jenis. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu-persatu.
Strategi Pembangunan Populasi Pemuliaan
Seperti disebutkan dimuka bahwa populasi pemuliaan merupakan populasi utama dimana
dilakukan seleksi pohon berdasarkan target sifat yang akan dimuliakan. Pembangunan populasi
pemuliaan dimulai dengan pembangunan uji keturunan generasi pertama (F1). Setelah dilakukan
evauasi, pohon plus terpilih di F1 kemudian dijadikan materi genetik untuk pembangunan uji
keturunan generasi kedua (F2). Selanjutnya proses seleksi dilakukan berlanjut ke generasi
berikutnya. Dalam uji keturunan dirancang berdasarkan subline, dimana dilakukan pembeda
provenansi, dan populasi tunggal (single populasi). Sistem subline ditujukan untuk menjaga
kemurnian provenansi, sedangkan populasi tunggal ditujukan untuk memperluas genetik base.
| Bunga Rampai | 37- 56
40
Jenis-Jenis Tanaman Hutan Yang Dimuliakan
Acacia mangium
Acacia mangium merupakan jenis cepat tumbuh (fast growing spesies) yang dikembangkan
oleh beberapa perusahaan swasta nasional maupun badan usaha milik negara di Indonesia sebagai
salah satu sumber bahan baku industri pulp di Indonesia. BBPBPTH telah membangun populasi
pemuliaan untuk jenis ini dibeberapa lokasi sejak tahun 1993 hingga sekarang. Populasi pemuliaan
berupa Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) generasi pertama (F1) telah dibangun di
Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Prediksi produktivitas (genetic gain)
benih dari KBSUK untuk beberapa sifat pertumbuhan dan bentuk batang berkisar 3-6% untuk
A. mangium (Kurinobu et al., 1996). Prediksi produktivitas terhadap riap volume tegakan mampu
mencapai 37 m3/ha/th atau terdapat peningkatan sebesar 25% terhadap benih dari APB
(Nirsatmanto dan Kurinobu, 2002).
Untuk lebih meningkatkan kualitas benih unggul yang telah dihasilkan, sejak tahun 2001 telah
dilakukan penelitian lanjutan berupa pembangunan sebanyak 31 KBSUK generasi kedua (F-2)
tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Riau dan Jawa Tengah, yang meliputi jenis
Acacia mangium (Leksono, 2004). Rata-rata prediksi peningkatan genetik (genetic gain) untuk
sifat tinggi berkisar antara 1,8%-3,8%, diameter 0,7%-1,6%, bole 1,7%-4,3% dan stem form 1,9%-
4,0%. Untuk program pengembangan lebih lanjut, sampai dengan tahun 2009, kegiatan koleksi
benih dari pohon plus pada 6 KBSUK F-2 dan KBSUK F-1 jenis A. mangium sebanyak 208 pohon
plus dengan jumlah total benih yang dikumpulkan sebanyak 23,072 kg. Sampai dengan tahun
2009, serangkaian kegiatan evaluasi uji keturunan F-2 untuk jenis A. mangium sudah selesai
dilaksanakan dan kebun benih siap untuk memproduksi benih unggul untuk keperluan operasional
pembangunan hutan tanaman.(Nirsatmanto, et al., 2010).
Pembangunan plot uji multi lokasi pada A. mangium bertujuan untuk mengevaluasi dan
verifikasi pertumbuhan serta produktivitas benih unggul A. mangium yang diperoleh dari kebun
benih generasi pertama (F-1) maupun generasi kedua (F-2). Uji dilaksanakan di daerah
pengembangan HTI jenis Acacia, seperti di Sumatera, Kalimantan maupun Jawa. Hasil analisis uji
multi lokasi A. mangium hasil pemuliaan generasi pertama (F-1) di Jawa Tengah pada umur 8
tahun menunjukkan perbaikan genetik untuk sifat tinggi sebesar 13,10%, diameter 10,26%, tinggi
bebas cabang 35,47%, bentuk batang 24,10% dan volume 48%.(Nirsatmanto, et al., 2010).
Sedangkan hasil awal pertumbuhan pada uji multi lokasi untuk pemuliaan generasi kedua (F-2)
menunjukkan perbaikan genetik sebesar 7,87% untuk sifat tinggi tanaman (Setyaji dan
Nirsatmanto, 2009).
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
41
Acacia crassicarpa
KBSUK A. crassicarpa F-1 telah dibangun di Pendopo Sumatera Selatan seluas 5,09 ha
dengan prediksi produksi benih 300kg/th. KBSUK F-1 A. crassicarpa juga dibangun di Pelaihari
Kalimantan Selatan seluas 1,73 ha dengan prediksi produksi benih 110kg/th. (Leksono, 2004).
KBSUK A. crassicarpa F-2 dibangun di Wonogiri Jawa Tengah seluas 0,77 ha. Hasil analisis
parameter genetik umur 5 tahun di Wonogiri Jawa Tengah menunjukkan rata-rata tinggi 12,48 m,
diameter 14,59 cm, tinggi bebas cabang 6,99 m dan bentuk batang 2,82. Nilai heritabilitas berkisar
antara 0,15-0,35. Rata-rata nilai korelasi genetik antar sifat yang diukur (tinggi, diameter, tinggi
bebas cabang, bentuk batang) berkisar antara 0,09 -0,33. Prediksi peningkatan genetik yang
diperoleh untuk sifat tinggi sebesar 0,9%, diameter -1%, tinggi bebas cabang 3,7% dan bentuk
batang 3,7%. (Leksono, 2004)
Acacia auriculiformis
KBSUK F-1 A. auriculiformis sudah di Wonogiri Jawa Tengah seluas 3,3 ha dengan prediksi
produksi benih 200 kg/th. Materi genetik untuk pembangunan kebun benih berasal dari provenansi
Papua Nugini dan Australia. Selain dari itu dibangun pula KBSUK F-1 A. auriculiformis di
Pendopo Sumatera Selatan seluas 2,11 ha dengan prediksi produksi benih 130 kg/th (Leksono,
2004).
Seiring dengan prioritas pemanfaatan hasil hutan, pemuliaan pohon pada A. auriculiformis juga
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu energi. Kandungan kalor merupakan salah satu
indikator penting dalam memilih tanaman-tanaman yang memiliki potensi sebagai kayu energi.
Beberapa tanaman hutan dilaporkan memiliki potensi sebagai bahan bakar dan salah satunya adalah
A. auriculiformis. Untuk itu, seleksi A. auriculiformis untuk pemuliaan karakter-karakter yang
berguna untuk tujuan produk sumber kayu energi sangat penting untuk dilakukan.
Hasil pengukuran pada kebun benih uji keturunan A. auriculiformis umur 12 tahun
menunjukkan peningkatan nilai kalor dengan adanya seleksi yaitu dari 4638,08 ke 4762,42
(Hendrati et al.,2010). Hasil seleksi dengan mempertimbangkan pertumbuhan memberikan efek
yang lebih baik terutama terhadap nilai kalor baik pada batang maupun pada cabang (Hendrati et
al.,2010).
A. auriculiformis mempunyai nilai kalor relatif lebih tinggi (4416,54 kkal/kg) dibandingkan
dengan jenis tanaman lain yang umumya berkisar 2865 – 4479 kkal/kg, kecuali jambu (4792
kkal/kg) dan Acacia nilotica (4800 kkal/kg) (Hendrati et al.,2010).
| Bunga Rampai | 37- 56
42
Acacia aulacocarpa
KBS F-1 A. aulacocarpa dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas 2,15 ha. Potensi dan
karakteristik A. aulacocarpa adalah bahwa jenis ini termasuk jenis acacia dengan batang tunggal
dan lurus, pertumbuhannya lambat, tahan terhadap penggerek batang, berat jenis kayu tinggi (0,51-
0,66). Kegunaan kayu untuk pulp, kertas ataupun dapat digunakan untuk kayu pertukangan
(Leksono, 2004)
Acacia decurrens
Acacia decurrens merupakan sumber kayu utama untuk indisutri kayu arang dan kayu bakar di
daerah lereng pengunungan. Jenis ini juga merupakan jenis cepat beregenerasi di daerah-daerah
bekas letusan gunung berapi (Hadiwinoto et al., 1998). Jenis ini juga termasuk jenis cepat tumbuh
dan mampu tumbuh pada lahan-lahan kritis dan marginal, serta mempunyai manfaat sebagai
tanaman obat untuk pencegahan diare (Lemmens et al., 1995). Kulit kayu dari jenis ini juga
menghasilkan tanin yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat dalam pembuatan papan serat
A. mangium (Lemmens et al., 1995; Ruskin, 1983; Syafii, 2009; Santoso dan Sutigno, 1995).
Secara umum A. decurrens memenuhi persyaratan sebagai jenis tanaman kayu bakar seperti daur
yang pendek, mudah tumbuh, mempunyai kemampuan tumbuh dilahan marginal dan mempunyai
manfaat ganda (Burley, 1978).
Pentingnya pengembangan sumber kayu energi di daerah dataran tinggi juga ditunjang fakta
bahwa saat ini industri kayu arang maupun penghasil kayu bakar berasal dari daerah pegunungan.
Untuk keperluan itu maka pengembangan jenis A. decurrens yang mempunyai nilai kalor dan
produktivitas yang tinggi melalui serangkaian tindakan pemuliaan perlu dilaksanakan. Kegiatan
pemuliaan jenis ini di BBPBPTH baru tahap awal dimulai dengan kegiatan eksplorasi dari populasi
alam yaitu di Gunung Ciremai (Jawa Barat), Ranupani Gunung Semeru dan Probolinggo Gunung
Bromo (Jawa Timur), Boyolali, Kopeng, Karanganyar Gunung Lawu (Jawa Tengah), serta Bebeng
Gunung Merapi (DI Yogyakarta) (Baskorowati, 2010).
Hasil eksplorasi di lereng Ciremai dari 3 lokasi (Argalingga, Ponjong, Apuy) didapat 20 pohon
induk, masing-masing pohon induk rata-rata dikumpulkan 1 s/d 2 kg buah yang masih berpolong.
Elevasi tempat pengambilan sampel 1199 m - 1251 m dpl. Hasil eksplorasi A. decurrens di
Boyolali lereng Gunung Merbabu Jawa Tengah didapat 20 pohon induk. Lokasi pengambilan buah
di Genting Cepogo, Lencoh Selo dan Samiran Selo dengan ketinggian antara 1156 m – 1567 m dpl.
Hasil eksplorasi di Lereng Gunung Bromo dan Semeru, didapat 20 pohon induk. Ketinggian
tempat pengambilan sampel eksplorasi adalah antara 2111 m – 2472 m dpl.
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
43
Eucalyptus pellita
Eucalyptus pellita merupakan salah satu jenis utama pada pembangunan hutan tanaman industri
(HTI) untuk industri pulp. Jenis tersebut mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan tumbuh
cepat, berbatang tunggal, lurus, bebas cabang tinggi serta tahan terhadap hama dan penyakit.
Program pemuliaan E. Pellita di BBPBPTH dimulai pada tahun 1994 dengan membangun KBSUK
F-1 di Sumatera dan Kalimantan. KBSUK E. Pellita di Kalimantan Selatan dibangun dengan 155
famili menggunakan sistem populasi tunggal, sedangkan di Sumatera Selatan dan Riau dibangun
dengan sistem sub galur. Materi benih yang digunakan berasal dari Papua New Guinea yaitu
wilayah South Kiriwo, North Kiriwo dan Serissa Village.
Pertumbuhan tinggi tanaman E. Pellita di ketiga lokasi KBS F-1 dapat mencapai 15 m pada
umur 4 tahun dan 20 m pada umur 6 tahun dengan diameter diatas 15cm pada umur 5 tahun
(Leksono dan Setyaji, 2004). Pertumbuhan tersebut lebih baik dibandingkan hasil penelitian
E. Pellita di Australia, Brazil, Filipina, Vietnam dan Negara-negara tropis serta sub tropis lainnya
yang pada umur 4 tahun hanya mencapai 6-10 m dan umur 5 tahun sekitar 6-13 m (Craciun, 1978;
Ferreira and Couto, 1981; Glori, 1993; Dickinson and Sun, 1995; Le Dinh Kha, 1996; Harwood et
al., 1997).
Studi dilakukan untuk melihat respon provenan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
diantara provenan yang diuji pada umur 2,5 tahun (Leksono dan Setyaji, 2004). Provenan dari
PNG dan Indonesia (Bupul-Muting) mempunyai penampilan diatas rata-rata populasi
(tinggi 16,4 m dan diameter 14,9 cm).
KBSUK F-1 E. Pellita yang dibangun sudah memproduksi benih unggul pada tahun 2000.
Prediksi produksi benih dari KBSUK F-1 E. Pellita tersebut sebanyak 35 kg/th (Leksono, 2004).
Selanjutnya program penelitian diteruskan dengan pembangunan KBSUK generasi kedua (F-2)
mulai tahun 2003 di Kalimantan Selatan dan di Riau.
Hasil analisis menggunakan data pada KBSUK F-2 menunjukkan bahwa peningkatan genetik
dari populasi terseleksi terhadap populasi tidak terseleksi berkisar antara 11-21% di Kalimantan
dan 16-22% di Sumatera (Leksono et al., 2008). Rata-rata peningkatan genetik sebesar 18%, 15%
dan 13% berturut-turut untuk diameter, tinggi dan bentuk batang. Trend peningkatan genetik pada
kedua sifat pertumbuhan (tinggi dan diameter) relatif konsisten selama lima tahun pengukuran
yaitu sekitar 15% untuk tinggi dan 18% untuk diameter, walaupun pada umumnya persentase
peningkatan genetik cenderung menurun dengan penambahan umur (Zobel and Talbert, 1984).
| Bunga Rampai | 37- 56
44
Eucalyptus urophylla
KBSUK F-1 Eucalyptus urophylla telah dibangun di Pelaihari Kalimantan Selatan seluas
2,88 ha dengan prediksi produksi 40 kg/th. Jenis E. urophylla ini merupakan jenis eucalyptus yang
sesuai pada dataran tinggi dengan curah hujan rendah. Pertumbuhan jenis ini cepat, berat jenis
kayunya 0,45-0,56. Riap dbh 2,0-2,5 cm/th. Kayu nya dapat digunakan sebagai pulp dan kertas.
Jenis ini berpotensi sebagai materi hibrid dengan jenis Eucalyptus lain (Leksono, 2004)
Kayu Putih (Melaleuca cajuputi sbspsp cajuputi)
Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi adalah salah satu jenis dari famili Myrtaceae yang
menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak kayu putih, dan dapat digunakan sebagai
obat.Tujuan utama pemuliaan kayuputih adalah meningkatkan produksi melalui peningkatan
rendemen minyak dan meningkatkan kualitas minyak melalui peningkatan kadar cineol kayuputih.
Pemuliaan tanaman kayuputih telah dimulai sejak tahun 1995 dengan melakukan eksplorasi benih
dan daun di daerah sebaran alam jenis ini, yaitu di Kep. Maluku serta australia bagian utara.
Jumlah seluruh individu hasil eksplorasi diseleksi kadar cineolnya, dari 256 pohon yang berasal
dari 23 populasi alam terpilih hanya 19 pohon (7% dari total). Pada tahun 1998 dibangun uji
keturunan di Paliyan Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan 19 individu pohon
hasil eksplorasi tersebut. Kebun benih uji keturunan tahun 1998 ini sekarang sudah dikonversi
menjadi kebun benih produksi. Hasil seleksi famili di uji keturunan tersebut mempunyai nilai
rendemen minyak sebesar 2% (Susanto et al., 2003). Sejak tahun 2002 benih unggul telah dipanen
dan digunakan bagi program penanaman dan peremajaan tegakan di wilayah DI Yogyakarta.
Penelitian dan pengembangan tanaman kayuputih sampai dengan tahun 2009 telah
menghasilkan 4 kebun benih (Gunung Kidul, Gundih, Cepu dan Ponorogo), 1 kebun benih uji
keturunan full-sib (Gunung Kidul), 1 plot uji klon (Gunung Kidul), 2 plot uji perolehan genetik
(Gunung Kidul dan Ponorogo), 1 plot uji keturunan F-2 (Gunung Kidul).
Keragaman antara provenansi untuk rendemen minyak menunjukkan bahwa provenansi dari
Pulau Ambon lebih baik dibandingkan provenansi lainnya. Sedangkan peningkatan rendemen hasil
uji keturunan dibanding data pabrik di Jawa menunjukkan bahwa dari materi daun kayuputih kebun
benih uji keturunan lebih tinggi dibanding dari pabrik di Jawa. (Rimbawanto et al., 2004).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa korelasi genetik antara pertumbuhan dan sifat minyak
sangat rendah (-0.07 – 0.10). Estimasi besarnya perolehan genetik dari kebun benih tersebut untuk
sifat tinggi sebesar 15%, diameter 20%, 1,8-cineol 10% dan rendemen minyak 21%.(Rimbawanto,
et al., 2004)
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
45
Jati (Tectona grandis)
Jati merupakan salah satu jenis tanaman primadona dalam pengembangan hutan tanaman dan
hutan rakyat di Indonesia. Kebutuhan kayu Jati untuk industri di Jawa mencapai 8,2 juta m3 dan
baru terpenuhi oleh Perum Perhutani dan Hutan Rakyat sebesar 2,7 juta m3 (33,5%) (ITTO, 2006).
Salah satu permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat Jati adalah produktivitas dan kualitas
kayunya yang masih rendah. Untuk mengatasi masalah ini, sejak tahun 2002 dilakukan kegiatan
penelitian dan pegembangan Jati melalui IPTEK penyediaan benih unggul jati dalam bentuk
pembangunan uji klon dan uji keturunan.
Plot uji klon dibangun di Watusipat dan Playen Gunung Kidul Yogyakarta masing-masing
seluas 2,5 ha dan 5 ha. Uji klon juga dibangun di Wonogiri Jawa Tengah seluas 2,7 ha.
(Mahfudz et al., 2010).Hasil evaluasi uji klon di Watusipat Gunung Kidul umur 6,5 tahun
menunjukkan rata-rata diameter tanaman 11,05 cm dan tinggi 11,4 m. Ada perbedaan yang sangat
nyata diantara klon yang diuji pada sifat diameter maupun tinggi. Klon yang berasal dari Cepu dan
Muna memberikan pertumbuhan diameter dan tinggi yang terbaik. Nilai heritabilitas clone (h2c)
sebesar 0,51 untuk diameter dan 0,40 untuk tinggi. (Mahfudz, et al., 2010).
Evaluasi uji klon di Wonogiri umur 6,5 tahun menunjukkan rata-rata diameter sebesar 14,2 cm
dan tinggi 10,8 m. Ada perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat tinggi. Klon
terbaik untuk sifat tinggi yaitu klon nomor 11 (Cepu 1) dan klon nomor 18 (FU41) dari Perusahaan
Fitotek Unggul. Sedangkan untuk diameter 2 klon terbaik adalah klon nomor 11 (Cepu 1) dan klon
nomor 18 (FU 41). Klon dari Cepu menunjukkan pertumbuhan yang lebih optimal untuk
pertumbuhan tinggi dan diameter. Nilai heritabilitas clone (h2c) untuk diameter sebesar 0,15 dan
tinggi sebesar 0,19. (Mahfudz et al., 2010).
Evaluasi uji klon lainnya di Wonogiri menggunakan 100 klon pada 3 tahun menunjukkan rata-
rata tinggi dan diametrer tanaman sebesar 5,08 m dan 4,45 cm. Ada perbedaan yang nyata diantara
klon yang diuji untuk sifat diameter maupun tinggi. Dua klon terbaik untuk sifat tinggi adalah klon
41 (Madiun) dan klon nomor 5 (KDI Muna). Sedangkan untuk diameter 2 klon terbaik adalah klon
nomor 5 (KDI Muna) dan klon nomor 41 (Madiun). Nilai heritabilitas klon (h2c) 0,36 untuk
diameter dan 0,37 untuk tinggi.(Mahfudz et al., 2010).
Evaluasi uji klon di Playen Gunung Kidul umur 4 tahun menunjukkan rata-rata tinggi sebesar
8,1 m dan diameter 9,2 cm. Klon terbaik adalah klon dari Gunung Kidul, Muna, Cepu dan Madiun
untuk sifat pertumbuhan tinggi dan diameter. Plot uji klon lainnya di lokasi yang sama
menunjukkan rata-rata tinggi 40,32 cm dan diameter 7.05 mm pada umur 1 tahun. Hasil analisis
| Bunga Rampai | 37- 56
46
varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara klon yang diuji untuk sifat tinggi.
Klon terbaik untuk sifat tinggi adalah klon nomor 51 (Cepu 4), klon 58 (Margasari 5) dan klon
nomor 60 (Gunung Kidul 1) (Mahfudz, et al., 2010)
Hasil pengukuran pada plot uji keturunan di Gunung Kidul umur 18 bulan menunjukkan bahwa
persentase hidup tanaman mencapai 96,20%. Tinggi tanaman bervariasi antara 55 cm – 502 cm
dan diameter 0,8 cm – 4,6 cm. Hasil analisis varians menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
diantara famili-famili yang diuji untuk sifat tinggi maupun diameter. Nilai heritabilitas (h2f) untuk
sifat diameter sebesar 0,44 dan 0,69 untuk sifat tinggi. (Mahfudz et al., 2010)
Sengon (Falcataria moluccana)
Sengon telah dibudidayakan sejak lama, baik melalui hutan rakyat maupun Hutan Tanaman
Industri (HTI). Salah satu masalah dari pertumbuhan tanaman ini adalah produktivitasnya yang
masih tergolong rendah. Salah satu penyebabnya adalah belum digunakannya benih sengon yang
berkualitas baik. Selama ini kebutuhan benih sengon yang beredar kebanyakan berasal dari hutan
rakyat, sedangkan benih sengon yang berasal dari Areal Produksi Benih dan Kebun Benih Sengon
masih terbatas.
BBPBPTH telah berperan aktif dalam upaya memperoleh benih-benih sengon berkualitas sejak
tahun 1995 melalui program pemuliaan pohon sengon. Pada tahun 2007 telah dibangun KBSUK
Sengon seluas 1,75 ha di Kediri Jawa Timur. Pada tahun 2008 dibangun kembali satu KBSUK
Sengon di Cikampek Jawa Barat. KBSUK Sengon ini terdiri dari 80 famili yang berasal ras lahan
Candiroto Temanggung Jawa Tengah, provenansi Biak Papua, provenansi Wamena Papua, ras
lahan Lombok Nusa Tenggara Barat dan ras lahan Kediri Jawa Timur. Pada umur 6 bulan
pertumbuhan sengon terbaik berasal dari sumber benih Kediri (diameter 1,77cm dan tinggi 1,57 m).
Akan tetapi pada umur 1 tahun rangking pertumbuhan berubah dan yang terbaik berasal dari
sumber benih Candiroto dan Lombok untuk diameter (4,17 cm) dan Wamena untuk tinggi tanaman
(2,43 m). (Hadiyan, 2010). Selanjutnya menurut Hadiyan (2010) bahwa hasil evaluasi pada umur 6
bulan dan 1 tahun menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
sangat berbeda nyata. Taksiran heritabilitas individu pada umur 1 tahun untuk diameter batang
tergolong rendah (0,07), sedangkan heritabilitas pertumbuhan tinggi tanaman tergolong moderat/
sedang (0,10).
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
47
Pulai (Alstonia scholaris dan A. angustiloba)
Pulai gading (Alstonia scholaris) dan pulai darat (Alstonia angustiloba) merupakan jenis
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Jenis tersebut termasuk indegenous species
dan cepat tumbuh (fast growing spesies). Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994), pulai
gading mempunyai sebaran hampir di seluruh wilayah Indonesia, sedang pulai darat mempunyai
sebaran di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pulai sangat prospektif dikembangkan untuk
pembangunan hutan tanaman, karena kegunaan kayu pulai cukup banyak dan saat ini
permintaannya cukup tinggi.
Uji Keturunan F-1 Pulai gading sudah dibangun di Gunung Kidul Yogyakarta dan di Sumber
Klampok, Bali Barat, Bali. Sementara itu uji keturunan jenis Pulai darat (A. angustiloba) ditanam
di Wonogiri Jawa Tengah (Mashudi et al., 2010). Hasil pengukuran dan perhitungan persentase
hidup, tinggi dan diameter batang (15 cm dari permukaan tanah) pada tanaman umur 6 bulan uji
keturunan Pulai Gading di Gunung Kidul diperoleh hasil rata-rata persentase hidup 94,54%, tinggi
berkisar 41,14-88,65cm (rata-rata 59,64), diameter berkisar 3,38-10,99mm (rata-rata 7,29 mm).
Pada umur 12 bulan variasi tinggi antar famili 72,27-139,81 cm (rata-rata 110,31 cm), diameter
12,85-26,50mm (rata-rata 19,92mm). Rata-rata persentase hidup 92,84%. Hasil pengukuran uji
keturunan Pulai Gading di Sumber Klampok Bali pada umur 12 bulan persentase hidup 85,80%,
tinggi berkisar 78,80-117.38 cm (rata-rata 100,94cm), diameter berkisar 10,58-15,40mm (rata-rata
12,80mm). (Mashudi et al., 2010)
Merbau (Intsia bijuga)
Merbau (Intsia bijuga) merupakan jenis andalan di Papua yang pernah direkomendasikan untuk
digunakan dalam pembangunan hutan tanaman, khususnya di Papua sebagai bahan baku industri.
Tekanan terhadap potensi kepunahan sumberdaya genetik merbau masih tinggi antara lain
disebabkan oleh penebangan yang tidak terkontrol, penebangan liar, dan konversi lahan baik untuk
lahan perkebunan maupun pertambangan.
Uji keturunan Merbau telah dibangun di Sobang Banten seluas 4 ha. Hasil evalusi uji keturunan
umur 18 bulan menunjukkan adanya variasi diantara famili maupun individu dalam plot uji untuk
sifat tinggi dan diameter. Diameter rata-rata 9,92 mm dan tinggi 77,96 cm. Heritabilitas individu
dan famili untuk sifat tinggi masing-masing 0,63 dan 0,80. Sedangkan heritabilitas individu dan
famili untuk diameter masing-masing 0,79 dan 0,84. Famili-famili dari Oransbari dan Manimeri
menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk sifat tinggi dan diameter (Mahfudz et al., 2010).
| Bunga Rampai | 37- 56
48
Suren (Toona sinensis dan Toona sureni)
Masalah yang dihadapi jenis suren di Indonesia antar lain 1) menyusutnya potensi suren di
habitat alamnya karena eksploitasi yang terus menerus akan tetapi tidak disertai budidaya yang
memadai, 2) mendesaknya konservasi jenis suren untuk penyelamatan sumberdaya genetik,
3) terbatasnya sumber benih suren yang berkualitas.
Langkah awal yang ditempuh dalam upaya penyediaan benih berkualitas jenis ini adalah
melakukan koleksi benih dari zona koleksi benih, tegakan benih teridentifikasi dan tegakan benih
terseleksi. Tegakan benih teridentifikasi sudah ditunjuk dan berada di Sumedang Jawa Barat.
Disamping itu sudah dipilih juga calon tegakan benih teridentifikasi di Desa Sipolha, Kecamatan
Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dan di Desa Bontotapallang, Kabupaten
Bantaeng, Sulawesi Selatan masing-masing seluas 1 ha.
Selanjutnya plot uji keturunan Suren (Toona sinensis) sudah dibangun di Candiroto
Temanggung Jawa Tengah seluas 2,25 ha (Jayusman et al., 2010). Menurut Mashudi et al., (2012)
hasil evaluasi menunjukkan bahwa rata-rata persentasi hidup tanaman uji keturunan Suren umur 12
bulan di Candiroto Temanggung dalam kriteria cukup (70%). Taksiran nilai heritabilitas individu
(h2i) karakter tinggi tanaman Suren umur 12 bulan di Temanggung sebesar 0,1 yang berarti masuk
dalam kriteria sedang/moderat. Kemudian taksiran nilai heritabilitas famili (h2f) karakter tinggi
tanaman Suren umur 12 bulan di Temanggung sebesar 0,40, yang berarti nilai heritabilitas famili
karakter tinggi tersebut termasuk dalam kriteria sedang/moderat.
Araucaria (Araucaria cunninghamii)
Araucaria cunninghamii merupakan salah satu jenis konifer yang tumbuh alami di hutan alam
Papua. Jenis ini sangat potensial untuk dikembangkan untuk hutan tanaman. Hasil kayunya sangat
baik digunakan untuk bahan baku industri plywood, pulp, paper, kayu pertukangan dan
menghasilkan getah yang bernilai ekonomi tinggi.
Selama ini pembangunan pertanaman Araucaria di Papua kebutuhan benihnya masih
bergantung pada hutan alam, dan umumnya benih tersebut hanya dikumpulkan dari area dengan
dasar genetik yang relatif sempit. Hal ini mendorong perlunya membangun sumber benih dengan
genetik unggul sehingga mampu menyediakan benih dalam jumlah yang memadai untuk
pengusahaan hutan tanaman skala operasional.
Plot uji keturunan A. cunninghamii sudah dibangun di Desa Sumber Waringin, Kecamatan
Sumber Waringin, Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur, pada ketinggian 800 m dpl, tipe
tanah andosol dengan curah hujan 2.430 mm/th. Plot uji keturunan dibangun menggunakan tiga
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
49
sumber provenansi, yaitu Pegunungan Nerwah, Peg. Tuan dan Peg. Tumbii dari Kebar Kabupaten
Tambraw Papua Barat. Evaluasi pada umur 5 tahun menunjukkan persentase hidup tanaman
berkisar 75%-100% dan rata-rata pertumbuhan untuk sifat tinggi sebesar 8,06 m, sifat diameter
12,79 cm, sifat volume 0,07 m3. Ada variasi diantara famili-famili yang diuji untuk sifat tinggi
dan diameter. Nilai heritabilitas famili untuk sifat tinggi 0,47, sifat diameter 0,36, volume 0,42,
sedangkan heritabilitas individu untuk sifat tinggi 0,12, sifat diameter 0,09 dan volume 0,12
(Widyatmoko et al., 2010). Famili-famili yang menempati ranking terbaik untuk sifat tinggi
adalah famili dari P3-Nerwah II dari Kabupaten Tambraw Propinsi Papua Barat
(Widyatmoko et al., 2010).
Plot uji Keturunan lainnya juga dibangun pada lokasi yang sama dengan menggunakan enam
sumber provenansi, yaitu Manokwari dan Fakfak dari propinsi Papua Barat, Serui, Wamena dan
Jayapura dari propinsi Papua dan Queensland-Australia. Pertumbuhan tanaman sifat tinggi dan
diameter umur 6 bulan terbaik adalah provenansi Queensland sedangkan terendah adalah
provenansi Manokwari. Akan tetapi pada umur 12 bulan dari hasil uji menunjukkan bahwa
pertumbuhan terbaik adalah provenansi Manokwari dan terburuk adalah provenansi Queensland.
(Widyatmoko et al., 2010)
Nyamplung (Calophyllum inophyllum)
Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang
berpotensi sebagai bahan baku biofuel, sangat potensial dengan memanfaatkan bijinya.
Permasalahan yang dihadapi dalam budidaya jenis ini diantaranya adalah ketersediaan bahan baku
biji nyamplung rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan.
Pembangunan sumber benih untuk mendapatkan benih unggul berupa uji provenansi
Nyamplung telah dibangun di 2 lokasi, yaitu di Pantai Congot, Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta
dan Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis Jawa Barat masing-masing seluas 2,25 ha. Dari hasil
analisis data didapat informasi bahwa terdapat keragaman antar provenansi Nyamplung terhadap
produktivitas biokerosene (rendemen maupun karakteristik biokerosene) minyak nyamplung yang
dihasilkan. (Leksono et al., 2011). Hasil analisis dari kedua penanda DNA yang telah digunakan
(RAPD dan sequencing chloroplast DNA) menunjukkan bahwa keragaman dalam populasi
nyamplung masih cukup besar (Leksono et al., 2011).
Selain pembangunan sumber benih berupa tegakan provenans dilakukan pula uji klon
Nyamplung. Uji klon tersebut dilakukan untuk mengetahui kinerja klon, adaptabilitas dan
mendapatkan klon dengan produksi pembuahan terbaik dalam waktu yang relatif singkat.
| Bunga Rampai | 37- 56
50
Pembangunan uji klon dilakukan di Desa Jambusari, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap,
Jawa Tengah seluas 4 ha. Materi genetik yang digunakan dalam pembangunan uji klon berasal dari
80 pohon induk (klon) yang dikoleksi dari Alas Purwo Banyuwangi Jawa Timur dan Cilacap Jawa
Tengah (Mahfudz et al., 2011).
Malapari (Pongamia pinnata)
Pongamia pinnata merupakan arboreal legume cepat tumbuh, pionir pada daerah marginal
dengan tingkat salinitas tinggi. Tanaman ini sangat berpotensi sebagai salah satu tanaman alternatif
sumber energi (biofuel) baru dan terbarukan dengan kandungan kalori yang tinggi sekitar 44600
kcal/kg (Jayusman et al., 2010).
Kegiatan awal pemuliaan Pongamia pinnata adalah eksplorasi benih di sebaran alamnya antara
lain di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Baluran, TN Alas Purwo dan Pulau Seram.
Pembangunan plot uji provenansi telah dilakukan menggunakan tujuh sumber provenansi yaitu
Panaitan, Haundelem, Peucang, Cilintang, Selokanduyung kelimanya dari Taman Nasional Ujung
Kulon Kabupaten Pandeglang Propinsi Banten, Banyuwangi Jawa Timur dan Seram Maluku seluas
1,5 ha.
Pemuliaan dengan seleksi tanaman legum yang mempunyai efisiensi penggunaan N tinggi
merupakan isu penting untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas biji dan kandungan minyak
P. Pinnata (Paul et al, 2008 dalam Jayusman, 2010). Kemampuan P. Pinnata dalam fiksasi N
secara biologis melalui pembentukan nodul dan simbiose dengan bakteri Rhizobium, menjadikan
tanaman ini dapat memenuhi sendiri kebutuhan N untuk pertumbuhan. Penggunaan tanaman ini
dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan bila menggunakan tanaman biofuel non legum.
Berdasarkan pengamatan bibit P. Pinnata 3 bulan setelah diinokulasi Rhizobium sp.
menunjukkan bahwa bibit yang berasal dari Pulau Seram, Ambon mempunyai rata-rata jumlah
nodul, tinggi tanaman dan diameter yang lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Baluran
Banyuwangi. (Jayusman et al., 2010).
Sukun (Artocarpus altilis (Park). Fosberg)
Sukun (Artocarpus altilis (Park). Fosberg) merupakan salah satu jenis yang potensial sebagai
sumber pangan penghasil karbohidrat sehingga kegiatan budidaya sukun secara luas sangat
digalakan untuk mendukung program ketahanan pangan di Indonesia. Upaya peningkatan
produktivitas sukun dilakukan dengan pendekatan melalui pengujian klon terhadap materi genetik
dari induk tanaman yang telah dikumpulkan dari berbagai tempat di Indonesia. Evaluasi terhadap
keragaman genetik sukun perlu dilakukan untuk mengetahui potensi genetik yang dapat
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
51
dimuliakan. Dalam hal ini, keragaman morfologi dari klon-klon yang dikembangkan perlu diteliti
untuk memudahkan dalam praktek pengelolaannya.
Menurut Kartikawati et al. (2009) dalam rangka penelitian dan pengembangan jenis sukun
BBPBPTH telah membangun uji klon sukun yang berasal dari Sleman (Yogyakarta), Bali,
Lampung dan Manokwari (Papua Barat), Banyuwangi (Jawa Timur), Mataram (Nusa Tnggara
Barat) dan Malino (Sulawesi Selatan). Hasil pengamatan pada plot uji klon Sukun di Gunung kidul
menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman sukun cukup bervariasi dalam kemampuan tumbuh,
produksi buah, morfologi pohon, daun dan buahnya. Pertumbuhan tanaman umur 5 tahun rata-rata
tinggi 5,14m dan diameter rata-rata 13,46 cm. Kemampuan berbuah setiap klon bervariasi
terutama jumlah buah. Pada umur 5 tahun 88% klon sukun yang ditanam berbuah akan tetapi
banyak mengalami kerontokan buah sebelum dapat dipanen diduga disebabkan akibat cekaman
lingkungan (water stress) dan kondisi kesuburan tanah di lokasi penelitian. Klon dari Bali
menunjukkan kemampuan berbuah lebih baik dibandingkan populasi lainnya
Morfologi buah sukun dapat dibedakan menurut populasi asalnya. Buah sukun Sleman, Bali
dan Lampung menunjukkan ciri-ciri yang sama yaitu berbentuk bulat sampai lonjong, berukuran
sedang sampai besar dan tidak berduri sehingga disebut ”sukun gundul” Buah sukun dari Gunung
Kidul yang merupakan sukun lokal Yogyakarta berbentuk bulat, ukurannya lebih kecil dan berduri.
Sukun dari Manokwari memiliki bentuk lonjong, berukuran sedang sampai besar dan berduri.
Sukun yang berasal dari Manokwari dan daerah lainnya seperti Bone, Malino, Gowa, Madura
memiliki morfologi bentuk daun yang sama yaitu berlekuk agak dalam, sukun dari Cilacap,
Sleman, Mataram memiliki lekuk yang dalam sedangkan sukun dari Gunung Kidul selain berlekuk
dalam juga memiliki tepi daun yang bergerigi.
Buah sukun dari Bali dan Sleman memiliki kandungan fosfor lebih tinggi dari yang lain. Buah
sukun dari Lampung memiliki kandungan kalsium lebih tinggi, sedangkan buah sukun dari
Manokwari memiliki kandungan vitamin C dan serat yang lebih tinggi dari yang lain, akan tetapi
kandungan pati, kalsium dan fosfor lebih rendah dari yang lain. Kesimpulan dan harapan kedepan
Telah banyak kegiatan pemuliaan jenis-jenis tanaman kehutanan yang telah dilakukan.
Sekurang-kurangnya BBPBPTH Yogyakarta telah melakukan pembangunan populasi pemuliaan
terhadap 17 jenis tanaman kehutanan untuk mendapatkan benih unggul sesuai dengan tujuan yang
diharapkan terhadap jenis-jenis tanaman tersebut.
| Bunga Rampai | 37- 56
52
Beberapa diantaranya berada pada tingkat yang sudah maju seperti pemuliaan jenis A. mangium,
E. pellita dan kayuputih. Benih unggul untuk spesies-spesies tersebut telah dihasilkan dan telah
digunakan untuk program penanaman.
Untuk jenis-jenis lain masih dalam pelaksanaan menuju pemuliaan tanaman yang lebih lanjut,
yang pada gilirannya nanti akan mendapatkan benih unggul sesuai tujuan strategi dan tujuan
produk akhir yang diinginkan dapat tercapai.
Harapannya, kedepan produktivitas hutan tanaman jenis-jenis tersebut diatas dapat meningkat
sehingga persatuan areal luas lahan dapat meningkat hasil panennya.
Daftar Pustaka Baskorowati, L. 2010. Pengembangan Acacia decurrens Willd Sebagai Bahan Baku Sumber
Energi untuk Daerah Dataran Tinggi melalui Pemuliaan. Program Insentif Riset Terapan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. Yogyakarta. (tidak diterbitkan)
Burley, J. 1978. Selection of species for fuelwood plantations. Proceeding of 8th World Forestry Congress, Jakarta.
Cracium, G.C.J. 1978. Eucalyptus Trials in the North Territory Coastal Region. Australian Forest Research 8” 153-161.
Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Nomor P.72/Menhut-II/2009. Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2009. Tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009. Nomor 490. Jakarta.
Dickinson, G.R. and D. Sun. 1995. Species and Provenance Evaluation of Eucalyptus cloeziana, E. Pellita and E. Urophylla at 4 Years in Far North Queensland. DPI Forestry Tech. Reort. Lybrary Ref. Quensland Department of Primary Industry-Forestry, Brisbane, Australia.
Ferreira, C.A. and H.T.Z. do Couto. 1981. The influence of Environmental Variables on the Growth of Species/Provenances of Eucalyptus in the State of Minas Gerais and Esperito Santo. Boletim de Pesquisa Florestal, Unidade Regional de Pesquisa Florestal Centro Sul. EMBRAPA, Brazil no.3: 9-35.
Glori, A.V. 1993. The Eucalyptus Tree Improvement Programme of PICOP. Pp 253-261 in Davidson, J.(ed) Proceedings of Regional Symposium on Recent Advances in Mas Clonal Multiplication of Forest Tree for Plantation Programmes. UNDP/FAO Regional Project on Improved Productivity of Man-Made Forest through Application of Technological Advances in Tree Breeding and Propagation. Los Banos, Philipines, 391 pp.
Hadiwinoto, S., Pudyatmoko, S., dan Sabarnurdin, S. 1998. Tingkat ketahanan dan proses regenerasi vegetasi setelah letusan gunung Merapi. Jurnal Manusia dan lingkungan Vol 15.
Hadiyan, Y. 2010. Pertumbuhan dan Parameter Genetik Uji Keturunan Sengon (Falcataria moluccana) di Cikampek, Jawa Barat. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol 4 No.2.
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
53
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Harwood, C.E., D. Alloysius, P.C., Pomroy, K.W. Robson, and M.W. Haines. 1997. Early Growth and Survival of E. Pellita Provenances in a Range of Tropical Environment, Compared with E. Grandis, E. Urophylla and A. mangium. New Forst 14: 203-219.
Hendrati , R., Nirsatmanto, A., Baskorowati, L., Fauzi, A., Surip, Yuliastuti,D.S., Setyobudi. 2010. Nilai Kalor Acacia auriculiformis untuk mendapatkan bibit unggul dengan tujuan sumber bahan bakar. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Jayusman, A. Insiana, E. Izudin, A. Setiawan, Suprihati, R. Hartono. 2010. Pemuliaan Malapari (Pongamia pinnata): Jenis Potensial untuk Sumber Energi Terbarukan. Program Insentif Riset Terapan : Sumber Energi Baru dan Terbarukan. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Jayusman, D. Setiadi, Setyobudi, A. Setiawan. 2010. Identifikasi dan Seleksi untuk Pembangunan Tegakan Benih Suren (Toona sinensis). Penelitian dan Pengembangan Jenis Suren (Toona spp.). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Kartikawati, N.K., H.A. Adinugraha, D. Setiadi dan Prastyono. 2009. Variasi Pertumbuhan dan Morfologi Buah Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) pada Uji Klon di Gunung Kidul. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Le Dinh Kha. 1996. Research on Formulation of Scientific on Technological Basis for Supplying Improved Planting Materials of Forest Tree. Science Rep.of Subject KN 03-03. Forest Science Institute of Vietnam, Chem, Tu Liem, Hanoi, Vietnam. 53 pp.
Leksono, B. 2004. Sepuluh tahun pemuliaan Acacia dan Eucalyptus untuk mendukung program pembangunan Hutan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Leksono, B. 2004. Litbang Pemuliaan Acacia dan Eucalyptus untuk penyediaan Benih Unggul dan Perannya dalam Mendukung Program GN-RHL. Peran Benih Unggul dalam Mendukung GN-RHL. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Leksono, B., S. Kurinobu and Y. Ide. 2008. Realized Genetic Gains observed in second generation seedling seed orchards of E. Pellita in Indonesia. Journal of Forest Research 13: 110-116.
Leksono, B. dan T. Setyaji. 2004. Variasi Pertumbuhan Tinggi dan diameter pada uji keturunan Eucalypyus pellita system Populasi Tunggal. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No.2 (67-78). P3HT Bogor.
Leksono, B., AYPBC. Widyatmoko, S. Pudjiono, E. Rahman, K.P. Putri, 2011. Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) untuk Bahan Baku Biofuel. Laporan kegiatan 2010 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan
| Bunga Rampai | 37- 56
54
Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Lemmens R.H.M.J., Soerianegara, I., and Wong, W.C. (eds) 1995. Plant Resources of South-East Asia No 5 (2). Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA, Bogor, Indonesia.
Mahfudz, T.P. Yudohartono, Y. Hadiyan, D.E. Pramono. 2011. Uji Klon dan Evaluasi Plot Konservasi Sumberdaya Genetik Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) di Cilacap. Laporan kegiatan 2010 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Mahfudz, S. Pudjiono, A. Fauzi, Hidayatmoko, H. Supriyanto, Setyobudi, Susanto. 2010. Penelitian dan Pengembangan Jenis Jati (Tectona grandis). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Mahfudz, S. Pudjiono, T. Pamungkas, B. Ismail, H. Supriyanto, D.E. Pramono, Susanto. 2010. Evaluasi Uji Keturunan Merbau (Intsia bijuga). Penelitian dan Pengembangan Jenis Merbau. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Mashudi, B. Leksono, L. Baskorowati, M. Susanto, S. Pudjiono, Jayusman, H.A. Adinugraha, M.A. Fauzi, Marlan, D.S. Yuliastuti, Sukijan, Mulyanto, M. Sulaman. 2012. Populasi Pemuliaan untuk Kayu Pertukangan Daur Menengah. Laporan Tahunan Tahun 2011 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Mashudi, T. Setyaji, A. Fiani, Surip, Mulyanto, Marlan. 2010. Evaluasi Uji Keturunan Generasi Pertama (F1) Pulai Gading (Alstonia scholaris) dan Pembangunan Uji Keturunan Generasi Pertama (F1) Pulai Darat (Alstonia angustiloba). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan).
Nirsatmanto, A dan Kurinobu, S. 2002. Trend of within-plot selection practiced in two seedling seed orchard of Acacia mangium in Indonesia . J.For. Res 7: 49-52.
Nirsatmanto, A., S. Susilawati, T. Setyaji, N. Hidayati, Marlan, Mulyanto, Surip, D.W. Yuliastuti, Setyo budi. 2010. Penelitian dan Pengembangan Jenis Acacia dan Eucalyptus. Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan).
Rimbawanto, A. dan M. susanto. 2004. Pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp cajuputi untuk Pengembangan Industri Minyak Kayu Putih di Indonesia. Peran Benih Unggul dalam Mendukung GN-RHL. Prosiding Ekspose Hasil Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, 24 Desember 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta.
Ruskin, F.R. 1983. Mimosa (Black Wattle) Acacia decurrens Willd, National Academy Press.
Santoso, A dan Sutigno, P. 1995. The effect of blue Spreads and percentage of filler of tanin formal-dehyde resin in Plywood bonding strength. Forest Product Journal 13: 87-92.
PEMBANGUNAN POPULASI PEMULIAAN TANAMAN HUTAN Sugeng Pudjiono dan Liliana Baskorowati
55
Setyaji, T dan Nirsatmanto, A. 2009. Uji Perolehan Genetik Terhadap Hasil Pemuliaan Generasi Pertama (F1) Jenis Acacia mangium Pada Umur 7 Tahun di Jawa Tengah. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil Hasil Penelitian. 1 Oktober 2009. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. Yogyakarta.
Susanto, M., J.C. Doran, R. Arnold and A. Rimbawanto. 2003. Genetic Variation in Growth and Oil Characteristics of Melaleuca cajuputi subsp cajuputi and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15 (3): 469-482.
Syafii, W. 2009. Pemanfaatan tanin kulit Acacia decurrens Willd sebagai bahan baku perekat untuk pembuatan papan serat. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.
Widyatmoko, AYPBC., Hendrati, LH., Setiadi, D., Fauzy, MA, Setyobudi, Susanto, Maryanti, A. 2010. Pembangunan Pertanaman Uji Keturunan Araucaria cunninghamii. Penelitian dan Pengembangan Jenis Araucaria (Araucaria cunninghamii). Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kahutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Zobel, B.J. and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.
| Bunga Rampai | 37- 56
56
57
PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI
Liliana Baskorowati
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Program pembangunan hutan tanaman berupa pengembangan klon dan perhutanan klonal dengan hibridisasi atau pohon-pohon induk perlu dilakukan sebagai langkah pemuliaan kedepan. Pengembangan klon unggul dan pembuatan persilangan antara induk-induk (hibridisasi) dengan pertumbuhan superior dan kesehatan yang baik dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang lebih baik dari induknya yang umumnya disesuaikan dengan tujuan pemanfaatan yang diinginkan. Pengembangan klon yang sudah dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan untuk jenis jati, sukun, acacia hybrid, eucalyptus pellita dan kayu putih.
Pendahuluan
Pengembangan klon dan pengembangan hibrid (perkawinan antar dua species) merupakan
kegiatan pemuliaan lanjut yang umumnya dilakukan setelah melakukan serangkaian kegiatan
pemuliaan. Perhutanan klon merupakan pertanaman dengan material tanaman berasal dari klon
unggul hasil uji klon. Pada umumnya, klon-klon yang baik berasal dari hasil seleksi half-sib atau
full-sib dan mempunyai sifat yang jauh lebih baik dibandingkan dengan yang berasal dari pohon
yang belum dimuliakan.
Pemuliaan hibrid dikembangkan untuk mendapatkan spesies baru dengan sifat-sifat yang
diinginkan, yang umumnya mempunyai kinerja diantara kedua induknya. Meskipun demikian,
tidak semua hibrid F-1 menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding kedua induknya. Sehingga
perlu adanya strategi pemuliaan yang disusun dengan baik. Strategi pengembangan hibrid yang
sederhana ditempuh melalui seleksi hibrid alami pada pertanaman komersial. Sedangkan strategi
pengembangan hibrid yang lebih kompleks melalui persilangan terkendali pada individu-individu
terpilih dari masing-masing species.
Pengembangan Klon
Pada kegiatan pemuliaan tingkat lanjut, pengembangan klon menjadi sangat penting untuk
dilakukan. Hal ini karena perhutanan klon (clonal forestry) yang dibangun menggunakan klon
terpilih akan menghasilkan keseragaman sifat-sifat yang diinginkan dan dapat disesuaikan dengan
keperluan industri. Perhutanan klon pada umumnya dilakukan pada jenis-jenis yang mudah
dibiakkan secara vegetatif, seperti pada Eucalyptus, Acacia, Melaleuca maupun Tectona.
| Bunga Rampai | 57- 64
58
Pengembangan klon merupakan pengembangan pertanaman dengan materi tanaman yang
berasal dari klon unggul. Pada umumnya klon unggul tersebut diperoleh melalui seleksi dengan
kriteria seleksi yang diinginkan pada uji klon di lapangan (Hardiyanto, 2004). Lebih lanjut
disebutkan, untuk mendapatkan klon unggul, kegiatan pengembangan klon dimulai dari beberapa
tahap sebagai berikut:
Seleksi pohon induk. Seleksi dilakukan dengan memilih pohon-pohon induk dengan
mempertimbangkan kenampakan fisiologis atau sifat fisik yang diinginkan, misalnyabatang bebas
cabang tinggi, bentuk batang lurus, percabangan ringan serta bebas dari hama dan penyakit. Seleksi
pohon induk dapat dilakukan pada tanaman operasional maupun tanaman uji.
Evaluasi kemampuan perbanyakan vegetatif pohon induk. Evaluasi meliputi kemampuan
bertunas (sprouting ability) maupun kemampuan berakar (rooting ability). Adapun teknik
perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan stek pucuk yaitu
dengan menebang pohon induk (0.5 - 2 m) dari permukaan tanah dan tunas yang muncul pada
tunggul kemudian digunakan sebagai bahan stek pucuk; atau bisa juga dengan memangkas hampir
semua cabang pohon induk dan hanya meninggalkan 4-5 cabang aktif dimana daun-daun serta
pucuk cabang tersebut dihilangkan, kemudian tunas-tunas yang muncul digunakan sebagai bahan
stek pucuk. Teknik lainnya adalah dengan mencangkok cabang-cabang yang aktif pada pohon
induk ataupun dengan kultur jaringan.
Uji Klon. Klon-klon dari pohon induk yang mempunyai kemampuan bertunas dan berakar
tinggi kemudian diuji dilapangan dalam bentuk uji klon. Uji klon sebaiknya dilakukan dalam
beberapa lokasi yang mempunyai tapak yang berbeda, dikarenakan klon umumnya lebih sensitif
terhadap kondisi tapak daripada semai yang berasal dari benih, sehingga kemungkinan besar ada
interaksi antara klon dengan tapak. Pada uji klon, penggunaan kontrol dari semai diperlukan untuk
mengetahui kinerja klon dibandingkan dengan semai. Uji klon disini penting dilakukan sebelum
dipergunakan untuk penanaman skala operasional, karena tanaman hasil pembiakan vegetatif dari
pohon induk yang berfenotip bagus belum tentu memiliki pertumbuhan vegetatif yang sama sepeti
induknya (Zobel 1993; Talbert dan Zobel 1984).
Perhutanan Klonal. Klon-klon yang terpilih dari uji klon sesuai kriteria yang diinginkan dapat
digunakan untuk pembuatan pertanaman operasional. Perlu diperhatikan, klon yang berkinerja
tidak lebih baik dari materi semai sebaiknya tidak dianjurkan untuk tanaman operasional
dikarenakan biaya pengembangan klon yang membutuhkan biaya tinggi dibandingkan dengan
semai.
PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati
59
Saat ini BBPBPTH sedang melakukan pengembangan klon untuk jenis Tectona grandis (jati),
Arthocarpus altilis (sukun), hibrid Acacia, Eucalyptus pellita, dan Melaleuca cajuputi (kayu putih).
Uji klon dan kebun benih klon (Clonal Seed Orchard) jati sudah dibangun di Gunung Kidul,
Yogyakarta dan Wonogiri, Jawa Tengah. Hasil evaluasi uji klon jati menunjukkan bahwa pada
umur 6,5 tahun klon-klon yang berasal dari Cepu, Jawa Tengah dan Muna memberikan
pertumbuhan tinggi dan diameter yang terbaik dengan nilai heritabilitas clone sebesar 0.51 untuk
diameter dan 0.40 untuk tinggi. Uji klon Sukun (Arthocarpus altilis) dilakukan untuk
meningkatkan produktifitas dan kualitas kadar karbohidrat sukun sebagai sumber pangan. Uji klon
jenis Sukun sudah dibangun di Gunung Kidul menggunakan 25 klon, dan hasilnya menunjukkan
bahwa klon yang berasal dari Bali dan Manokwari merupakan klon dengan produktivitas buah
paling banyak. Untuk pengembangan hutan tanaman penghasil serat, uji klon Eucalyptus pellita
dan hibrid Acacia (A. mangium x A. auriculiformis) juga telah dibangun di Wonogiri, Jawa Tengah,
masing-masing menggunakan 10 dan 44 klon.
Hibridisasi
Hibridisasi dikenal sebagai persilangan antara individu-individu pohon yang terpisah
populasinya, mempunyai perbedaan type dan umumnya mempunyai taksonomi yang berbeda, dan
dapat dikelompokkan ke dalam klasifikasi berdasarkan kesamaan fisiologis (Wagner, 1968).
Hibridisasi jenis-jenis tanaman dapat terjadi secara alam maupun secara buatan. Hibridisasi alam
mungkin terjadi pada: (i) sepanjang perbatasan antar spesies, umumnya terjadi secara sporadic
antar individu, (ii) kumpulan hibrid yang sudah menyebar menjauh diluar generasi pertama, atau
(iii) pada daerah-daerah yang merupakan introgressi antar jenis (Potts, et al., 2001).
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang dapat menjadikan kendala keberhasilan
hibridisasi secara alam, seperti jenis tanaman terisolasi secara geografis, sehingga akan
menyebabkan terkendalanya penyerbukan secara alami, perbedaan waktu berbunga dari jenis
tanaman, serta terhambatnya perkecambahan pollen atau pertumbuhan embrio dari hibrid tersebut
karena adanya mekanisme self-incompatibility (Wright, 1976, Grant, 1981). Zobel and Talbert
(1984) mengemukakan bahwa hal yang paling umum menjadi kendala keberhasilan hibridisasi
secara alam adalah ketika jenis yang berkerabat dan populasinya berdekatan mempunyai perbedaan
waktu pembungaan.
Seperti halnya pada genus Melaleuca, hibridisasi secara alam hanya terjadi pada jenis-jenis
yang berkerabat dekat. Sebagai contoh hibridisasi alam jenis ini sudah banyak ditemukan di
Queensland yaitu hibrid Melaleuca arcana S.T.Blake x Melaleuca saligna Schauer, di New South
| Bunga Rampai | 57- 64
60
Wales M. bracteata F. Muell x M. styphelioides Sm, di Western Australia, M. bracteosa Turcz. x
M. pomphostoma Barlow serta M. laxiflora Turcz. x M. spicigera S.Moore, M. alternifolia x M.
linariifolia di Port Macquarie, NSW. Pada hibrid M. alternifolia x M. Linariifolia, indikasi hibrid
alam yang muncul diketahui dari morfologi daun maupun dari kadar minyaknya yang merupakan
perpaduan kedua tetua (Butcher, 1994). Lebih lanjut Butcher et al., (1995) juga melakukan
konfirmasi status hibrid yang terletak di Port Macquarie tersebut dengan menggunakan chloroplast
DNA.
Pada jenis Acacia, hibridisasi antara Acacia mangium dan Acacia auriculiformis merupakan
hibrid antar jenis yang masih dalam satu genus, terjadi secara alam di Malaysia maupun di
beberapa negara Asia Pasifik dan Australia (Kha, 2001). Hibrid A. mangium dan A. auriculiformis
cenderung lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan tempat tumbuh dan mempunyai
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kedua induknya (Kijkar 1992). Bentuk pohonnya
secara keseluruhan sangat memuaskan, batangnya lurus menyerupai A. mangium dan mempunyai
kemampuan pelepasan cabang alami yang baik seperti A. auriculiformis (Ibrahim, 1993).
Hibridisasi buatan merupakan salah satu cara untuk meciptakan kombinasi jenis baru.
Hibridisasi buatan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu hibridisasi interspecifik dimana
mengawinkan dua jenis yang masih dalam satu genus dan hibridisasi intergenerik dimana
mengawinkan jenis-jenis dari dua genus yang berbeda (Agrawal, 1988). Hibridisasi buatan sudah
digunakan di untuk tanaman kehutanan secara luas selama beberapa dekade pada genus-genus
seperti Acacia, Pinus, Larix dan Eucalyptus (Griffin and Cotterill, 1988; Nikles and Griffin, 1992;
Dungey 1999). Ulasan detail tentang hibridisasi alam maupun buatan pada jenis-jenis Eucalyptus
sudah dipaparkan oleh Griffin et al., (1988). Umumnya penggunaan hibridisasi buatan bertujuan
untuk menciptakan genotip baru yang mempunyai karakter-karakter yang diinginkan dari dua jenis
dan dikombinasikan menjadi satu jenis yang mungkin tidak dapat ditemui di alam (Briggs and
Knowles, 1967; Zobel and Talbert, 1984; Potts, et al., 2001). Sebagai contoh, pengembangan
interspecifik hibrid eucalypts di Afrika Selatan mempunyai 3 tujuan: (i) mengkombinasikan sifat-
sifat yang diinginkan; (ii) untuk mendapatkan hibrid vigor (heterosis) dan; (iii) untuk
meningkatkan daya adaptabilitas jenis-jenis eucalyptus pada areal-areal marginal (Verryn, 2000).
Secara umum determinasi hibrid tanaman kehutanan hanya menggunakan karakteristik secara
morfologi and anatomi berdasarkan bentuk daun dan buah atau bagian reproduksi yang lain.
Meskipun demikian, akhir-akhir ini untuk mendeterminasi suatu hibrid sudah mengkombinasikan
metode anatomi, morfologi, molecular dan metode kimia. Untuk jenis Eucalyptus, molecular
markers sudah digunakan untuk mengidentifikasi asal hibrid maupun kompatibilitas masing-masing
PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati
61
individu hibrid (Moran et al. 2000; Griffin et al. 2000). Analisis isozyme analysis juga digunakan
untuk verifikasi in-situ F-1 hibridisasi antara E. Nitens dan jenis asli Eucalyptus seperti E. Ovata
dan E. viminalis di Tasmania (Barbour et al. 2002). Mereka menemukan level heterosigositas yang
tinggi pada tetua-tetua hibrid (>80%). Microsatellite analysis dan chloroplast DNA juga digunakan
untuk verifikasi hibridisasi antara jenis E. Acmenoides dan E. Cloeziana di Queensland Tenggara
(Stokoe et al. 2001). Tingkat polymorphism yang tinggi pada microsatellite loci terdapat pada
hibrid antara E. Acmenoides dan E. Cloeziana.
Penelitian hibridisasi BBPBPTH telah dilakukan untuk memperoleh tanaman hibrid Acacia
yang memiliki keunggulan lebih tinggi dibandingkan dengan kedua induknya, baik keunggulan
dalam pertumbuhan, kelurusan bentuk batang dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
tempat tumbuhnya serta ketahanan terhadap penyakit. Penelitian hibridisasi ini diawali dengan
membangun plot uji persilangan terbuka A. mangium x A. auriculiformis di Wonogiri, Jawa Tengah
untuk mendapatkan tanaman hibrid secara alami. Identifikasi morfologis benih dan semai kandidat
hibrid telah dilakukan untuk mendapatkan diskripsi morfologis tanaman hibrid. Semai kandidat
hibrid hasil identifikasi morfologis selanjutnya diuji secara molekuler menggunakan metode PCR
(Polimerase Chain Reaction) untuk memastikan ketepatan sistem diskripsi morfologis yang
digunakan. Disamping hibridisasi secara alami, penelitian dilakukan pula secara buatan melalui
penyerbukan terkendali antara A. mangium x A. auriculiformis. Penelitian penyerbukan terkendali
ini diawali dengan membangun green house culture dan breeding garden di BBPBPTH,
Yogyakarta. Dengan identifikasi tanaman hibrida secara dini, akan sangat membantu keberhasilan
pelaksanaan uji klon maupun perbanyakan klon-klon hibrid Acacia secara masal selanjutnya
(Nirsatmanto et al., 2009).
Kesimpulan
Pengembangan klon dan hibridisasi sudah dilakukan oleh BBPBPTH Yogyakarta mulai dari
beberapa tahun yang lalu meliputi jenis Tectona grandis, Eucalyptus pellita, hibrid Acacia, dan
Melaleuca cajuputi.
Sedangkan penelitian hibridisasi secara buatan juga sudah dilakukan antara Acacia mangium x
A. auriculiformis, dan saat ini beberapa klon hibrid Acacia sedang dilakukan evaluasi pada plot uji
klon di Wonogiri, Jawa Tengah. Ke depan, untuk pengujian sifat-sifat yang diinginkan perlu
dilakukan dibeberapa lokasi, dengan demikian pengulangan penanaman hasil hibrid perlu
dilakukan pada tapak dan lokasi yang berbeda.
| Bunga Rampai | 57- 64
62
Daftar Pustaka
Agrawal, R. L., 1988. Fundamentals of Plant Breeding and Hybrid Seed Production. Science Publishers, USA.
Barbour, C. R., Potts, B. M., Vaillancourt, R. E., Tibbits, W. N. and Wiltshire, R. J. E., 2002. Gene flow between introduced and native Eucalyptus species. New Forests 23: 171 – 191.
Butcher, P. A., 1994. Genetic diversity in Melaleuca alternifolia: Implications for breeding to improve production of Australian tea tree oil. PhD Thesis, The Australian National University, Canberra.
Butcher, P. A., Byrne, M. and Moran, G. F., 1995. Variation within and among the chloroplast genomes of Melaleuca alternifolia and M. linariifolia (Myrtaceae). Plant Systematics and Evolution 194: 69 – 81.
Dungey, H. S., 1999. Interspecific hybridisation in forestry – a review. Technical Report No. 21, Cooperative Research Centre for Sustainable Production Forestry. Australia.
Grant, V., 1981. Plant Speciation 2nd edition. Columbia University Press, New York.
Griffin, A. R. and Cotterill, P. P., 1988. Genetic variation in growth of outcrossed, selfed and open pollinated progenies of Eucalyptus regnans and some implications for breeding strategy. Silvae Genetica 37:124 – 131.
Griffin, A. R., Burgess, I. P. and Wolf, L., 1988. Patterns of natural and manipulated hybridisation in the genus Eucalypts L’Herit – a review. Australian Journal of Botany 36: 41 – 66.
Griffin, A. R., Harbard, J. L., Centurion, C. and Santini, P., 2000. Breeding Eucalyptus grandis x globulus and other inter-specific hybrids with high inviability-problem analysis and experience with Shell Forestry project in Uruguay and Chile. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H.S. Dungey., M.J. Dieters and N.G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 1 – 13.
Hardiyanto, E. B., 2004. Silvikultur dan Pemuliaan Acacia mangium. In: Hardiyanto, EB and Arisman, H (Eds). Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium. Pengalaman di PT Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. PT Musi Huta Persada, hal. 207 – 281.
Moran, G. F., Butcher, P. A., Devey, M. E. and Thamarus, K., 2000. Genetic mapping and application in hybrid breeding. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H.S. Dungey., M.J. Dieters and N.G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 177 – 183.
Nikles, D. G. and Griffin, A. R., 1992. Breeding hybrids of forest trees: definitions, theory, some practical examples, and guidelines on strategy with tropical Acacias. In: Proceedings of an International Workshop on Breeding Technologies for Tropical Acacias, eds L. T. Carron and K. M. Aken. ACIAR Proceeding No. 37. ACIAR, Canberra, Australia, pp. 101 - 109.
Nirsatmanto, A., Leksono B., Sunarti, S., Setyaji, T., Nurrohmah, S.H., Surip, Yuliastuti, D.W., Margiyanti, Sumaryana. 2009. Populasi Pemuliaan Jenis Unggulan untuk Kayu Pulp.
PENGEMBANGAN KLON DAN HIBRIDISASI Liliana Baskorowati
63
Laporan kegiatan 2009 buku 2. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Yogyakarta (tidak diterbitkan)
Potts, B. M., Barbour, R. C. and Hingston, A.B., 2001. Genetic pollution from farm forestry using eucalypt species and hybrids. RIRDC Publication No 01/114. RIRDC, Canberra.
Stokoe, R. L., Shepherd, M., Lee, D. J., Nikels, D. G. and Henry, R. J., 2001. Natural inter-subgeneric hybridisation between Eucalyptus acmenoides Schauer and Eucalyptus cloeziana F. Muell (Myrtaceae) in Southeast Queensland. Annals of Botany 88: 563 – 670.
Verryn, S. D., 2000. Eucalyptus hybrid breeding in South Africa. In: Hybrid Breeding and Genetics of Forest Trees, eds H. S. Dungey., M. J. Dieters and N. G. Nikles. Proceedings of QFRI/CRC-SPF Symposium, Noosa, Queensland, Australia. Department of Primary Industries, Brisbane, Australia, pp. 191 – 199.
Wright, J. W., 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, New York.
Zobel, B. and Talbert, J., 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons, New York.
Zobel, B., 1993. Clonal forestry in Eucalyptus. In: Ajuha, MR and Libby, WJ (Eds). Clonal Forestry II. Springer-Verlag, Berlin, pp. 139 – 149.
| Bunga Rampai | 57- 64
64
65
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT
Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Hama dan penyakit merupakan salah satu ancaman dalam pembangunan hutan tanaman. Salah satu cara untuk mendapatkan pohon-pohon unggul yang tahan terhadap hama maupun pemyakit adalah dengan melakukan pemilihan terhadap pohon-pohon induk yang tahan terhadap hama atau penyakit tersebut. Dikarenakan ketahanan terhadap suatu penyakit diwariskan, maka upaya pencarian pohon-pohon unggul yang resisten terhadap hama dan penyakit dilakukan. Sejauh ini species yang dikembangkan untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit adalah jenis sengon (Falcataria moluccana) dan akasia (Acacia mangium).
Pendahuluan
Sasaran kegiatan pemuliaan untuk resistensi terhadap hama dan penyakit adalah
mengembangkan family atau provenan yang mempunyai mekanisme ketahanan terhadap hama dan
penyakit. Tanaman dapat terhindar dari serangan penyakit melalui beberapa cara yaitu: 1) Escape,
dimana tanaman tidak diserang penyakit karena tidak adanya patogen dan vektor pada area
tersebut, atau karena suatu tanaman mempunyai struktur morfologi yang tidak mendukung adanya
infeksi maupun karena hal teknis lain yang menghindarkan atau mengurangi serangan penyakit.
Contohnya, tanaman yang rentan dapat terhindar atau sedikit terinfeksi bila daur hidupnya terhindar
dari penyakit; 2) Resistensi masuknya patogen ke dalam inang atau resistensi non spesifik dan
pasif; hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya warna atau senyawa tertentu sehingga
patogen dicegah masuk ke tanaman inang maupun dikarenakan struktur tertentu yang dipunyai
tanaman seperti adanya lapisan lilin permukaan, lapisan kutikula dan adanya ramput-rambut;
3) Resistensi dalam menyebarkan patogen dalam inang melalui reaksi hipersensitif.
Adapun resistensi/ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit dapat
dikategorikan dalam tiga type yaitu:
1. Ketahanan non preferens. Ketahanan ini timbul dimana tanaman mempunyai sifat-sifat yang
tidak disukai oleh hama penyakit baik untuk dimakan, untuk meletakkan telur maupun sebagai
tempat berlindung. Ketahanan disini mencakup sifat-sifat morfologi dan struktur tanaman yang
tidak disukai hama penyakit.
2. Antibiosis. Tanaman dengan ketahanan antibiosis memberikan pengaruh yang merugikan pada
pertumbuhan dan perkembangan hama serta reproduksinya. Ketahanan ini terbagi dalam
beberapa type yaitu: ketahanan tanaman yang disebabkan oleh struktur fisik tanaman seperti
| Bunga Rampai | 65 - 78
66
adanya pengerasan jaringan atau kandungan silika yang tinggi, ketahanan biokimiawi
(kandungan zat tertentu) yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan hama penyakit,
serta ketahanan tanman yang disebabkan oleh tidak adanya zat-zat makanan tertentu yang
diperlukan oleh hama penyakit.
3. Tolerans. Tanaman dengan tipe ketahanan yang tolerans meskipun ada serangan hama penyakit,
tanaman tidak kehilangan vigor dan hanya sedikit pengurangan hasil, atau akan cepat
mengalami regenerasi setelah serangan. Tipe ketahanan ini dikendalikan oleh gen-gen minor,
sehingga family atau provenan dengan tipe ketahanan tolerans ini akan tetap efektif dalam
jangka panjang pada lingkungan yang baik.
Adapun metode evaluasi untuk menentukan family atau provenan suatu jenis tanaman toleran
terhadap serangan hama dan penyakit adalah melaui uji resistensi pada species-species target,
sehingga akan ditemukan family atau provenan mana yang toleran dan dapat dikembangkan untuk
kegiatan selanjutnya.
Resistensi Sengon Terhadap Penyakit Karat Tumor
Pemuliaan untuk ketahanan penyakit memerlukan informasi dasar tentang pola pewarisan
ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit, informasi mengenai tipe ketahanan, mekanisme
ketahanan, dan sumber ketahanan genetik yang diperlukan. Ketahanan genetik tanaman terhadap
penyakit dapat diwariskan sebagai sifat monogenik sederhana dengan gen-gen penentunya
mungkin dominan sebagian atau sempurna ataupun resesif (Allard, 1960 dalam Sutopo dan Saleh,
1992). Kemungkinan lainnya adalah terdapat gen-gen minor atau modifer yang ikut serta
bekerjasama dengan gen major dalam menentukan sifat ketahanan pada tanaman. Ketahanan
genetik tanaman mungkin pula bersifat kompleks dan dikendalikan oleh beberapa atau banyak gen
dan dikenal sebagai pola pewarisan oligogenik atau poligenik.
Tanaman menggunakan berbagai sistem untuk menghambat, membatasi atau mencegah
pertumbuhan parasit. Semua tanaman mempunyai potensi secara genetik untuk mekanisme
resistensi terhadap jamur, bakteri, virus dan nematoda patogen. Mekanisme tersebut pada tanaman
yang resisten cepat terjadi setelah patogen muncul, sehingga dapat menghambat atau mencegah
perkembangan patogen, sebaliknya pada tanaman yang rentan, mekanisme tersebut lebih lambat
terjadi sehingga patogen telah berkembang terlebih dahulu. Ada dua mekanisme pertahanan diri
yang dimilki oleh tanaman, yaitu i) sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai
penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam tanaman, dan
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
67
ii) respon biokimia yang berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman
sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya.
Penyakit pada tanaman disebabkan oleh interaksi tiga faktor, yakni inang, penyakit dan
lingkungan. Epidemi penyakit timbul bilamana ketiga faktor diatas berada dalam kondisi yang
sesuai bagi perkembangan penyakit. Oleh sebab itu cara untuk mengendalikan penyakit adalah
dengan memanipulasi salah satu atau lebih faktor-faktor tersebut sehingga tercapai kondisi yang
merugikan bagi pertumbuhan penyakit dan mencegah terjadinya infeksi oleh penyakit.
Tumbuhan inang dapat dimanipulasi dengan cara meningkatkan resistensi terhadap penyakit.
Hal ini dapat dicapai dengan cara pemuliaan melalui seleksi tanaman yang secara genetik resisten
terhadap penyakit tertentu. Resistensi juga dapat dicapai dengan memberikan dosis fungisida yang
dapat mencegah infeksi pada tanaman.
Lingkungan dapat dimodifikasi agar diperoleh kondisi yang optimal bagi pertumbuhan
tanaman. Misalnya dengan memperbaiki drainase tanah, mengurangi kerapatan tanaman atau
memberikan pupuk yang tepat. Tanaman yang tumbuh dalam kondisi yang tertekan umumnya akan
lebih rentan terhadap infeksi penyakit. Dari sisi genetik, serangan penyakit karat tumor pada
tanaman sengon dapat disebabkan oleh ketidak mampuan tanaman beradaptasi dengan perubahan
lingkungan sebagai akibat dari rendahnya keragaman genetik tanaman. Berdasarkan penelitian
tentang keragaman genetik tanaman sengon di Jawa menggunakan penanda molekuler RAPD
diperoleh hasil bahwa tegakan sengon yang ada di Jawa berasal dari satu populasi di Biak.
Keragaman genetik populasi ini lebih rendah daripada populasi Wamena dan Halmahera
(Suharyanto et al., 2002). Dalam jangka panjang upaya penanggulangan serangan hama dan
penyakit pada sengon dapat diatasi dengan mengintrodusir sumber genetik baru di luar populasi
yang telah ada sehingga keragaman genetik sengon dapat ditingkatkan. Introduksi sumber genetik
baru juga dapat digunakan untuk menguji resistensi terhadap hama dan penyakit.
Serangan karat tumor yang terjadi di plot uji keturunan sengon di Kediri dapat menjadi berkah
bila dapat diseleksi famili pohon yang resisten. Sejauh ini telah ada indikasi bahwa famili-famili
dari provenans tertentu resisten terhadap penyakit ini. Pemuliaan untuk resistensi karat tumor yang
kini sedang berlangsung menerapkan parameter pengamatan karat tumor, seperti letak, warna,
bentuk dan jumlah tumor yang ditemukan pada pohon. Keuntungan menggunakan varietas resisten
dalam pengendalian hama/penyakit antara lain: (1) mengendalikan populasi hama/penyakit tetap di
bawah ambang kerusakan dalam jangka panjang, (2) tidak berdampak negative, (3) tidak
membutuhkan alat dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak membutuhkan biaya tambahan
| Bunga Rampai | 65 - 78
68
(Wiryadiputra, 1996). Namun demikian penggunaan varietas resisten tidak selamanya efektif,
terutama apabila menggunakan varietas dengan ketahanan tunggal (ketahanan vertikal) secara terus
menerus (Liu et al., 2000; Witcombe and Hash, 2000).
Suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu
menghindar, atau pulih kembali dari serangan penyakit pada keadaan yang akan mengakibatkan
kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan, (2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat
mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan penyakit, (3) memiliki sekumpulan
sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi kemungkinan penyakit untuk menggunakan
tanaman tersebut sebagai inang, atau (4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih
baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi penyakit yang sama (Sumarno, 1992).
Terkait dengan penyakit karat tumor, penelitian untuk mengendalikan penyakit ini saat ini
tengah berlangsung, baik dari aspek penyakit maupun aspek genetiknya. Pada tahap awal
pendekatan seleksi resistensi akan memanfaatkan genotipe yang resisten untuk diperbanyak secara
vegetatif. Hasil perbanyakkan ini kemudian akan diuji ketahanannya melalui inokulasi. Apabila
resistensi ditimbulkan oleh mekanisme genetik dalam tanaman, maka tanaman hasil perbanyakkan
vegetatif ini akan terbebas dari serangan penyakit, dan selanjutnya dapat dikembangkan sebagai
klon resisten.
Pemahaman tentang keragaman genetik suatu jenis tanaman merupakan salah satu unsur utama
dalam memanfaatkan sumber genetik tanaman. Keragaman genetik merupakan modal dasar bagi
suatu jenis tanaman untuk tumbuh, berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke generasi.
Kemampuan tanaman beradaptasi dengan perubahan lingkungan tempat tumbuh ditentukan oleh
potensi keragaman genetik yang dimiliki oleh tanaman. Semakin tinggi keragaman genetiknya
semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Finkeldey dan Hattemer,
2007). Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan merupakan indikasi kemampuan
jenis tersebut untuk bertahan hidup. Keragaman dalam kemampuan beradaptasi itu merupakan
salah satu fenomena yang ditemukan pada hampir semua jenis tanaman, baik pada tingkatan antara
populasi maupun di dalam populasi. Kekuatan-kekuatan evolusi yang mempengaruhi keragaman
tersebut antara lain adalah: seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift), perpindahan gen (gen
flow), dan mutasi.
Proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan dapat terjadi pada tataran individu jenis atau
disebut adaptasi fisiologis dan tataran populasi atau adaptasi evolusi (Schlichting, 1986). Adaptasi
fisiologis adalah reaksi suatu organisme terhadap perubahan lingkungan untuk bertahan hidup dan
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
69
melanjutkan proses reproduksi. Organisme dengan genotipe yang berbeda mempunyai kemampuan
beradaptasi yang berbeda pula. Dengan kata lain adaptasi fisiologis dipengaruhi oleh faktor
genetik. Sekalipun demikian adaptasi fisiologis tidak menyebabkan perubahan dalam faktor
pewarisan sifat dan karenanya berbeda dari proses evolusi. Adaptasi evolusi adalah respon populasi
terhadap perubahan lingkungan. Keragaman genetik merupakan prasyarat bagi kemampuan
adaptasi evolusi. Oleh sebab itu kemampuan beradaptasi evolusi suatu populasi dapat diteliti
dengan melakukan analisa terhadap struktur genetik populasi tersebut (Finkeldey, 1993).
Keragaman genetik yang rendah meningkatkan resiko serangan, lebih-lebih karena pemuliaan
pohon lebih menekankan pada peningkatan riap dan bukan pada ketahanan terhadap
hama/penyakit. Pola pertanaman secara monokultur juga meningkatkan kerentanan tanaman
terhadap serangan hama/penyakit. Alasan yang mendasari pemikiran tersebut antara lain adalah:
• Tersedianya pohon inang dalam jumlah besar, khususnya bila pohon2 tersebut berada dalam
kondisi yang sesuai untuk perkembangan hama/penyakit.
• Tajuk pohon yang saling bersentuhan memudahkan penularan.
• Pertumbuhan pohon di tapak yang tidak optimal menyebabkan peluang terjadinya serangan.
• Ketiadaan sumber pangan lainnya bagi hama/penyakit menyebabkan tanaman menjadi rentan.
Program pemuliaan sengon telah dimulai oleh BBPBPTH sejak tahun 1996 dengan
membangun uji keturunan di KPH Kedu Utara (BKPH Candiroto), dengan menguji 24 famili yang
berasal dari 6 provenansi (3 dari Jawa, 2 dari Papua dan 1 dari Maluku). Dikarenakan adanya
gangguan dari luar yang mengancam integritas kebun uji tersebut maka pada tahun 2007 dibangun
kembali kebun benih uji keturunan di KPH Kediri dengan menggunakan 80 famili dari 4
provenansi. Namun pada bulan Maret 2008 kebun benih uji keturunan tersebut diserang oleh
penyakit karat tumor. Sebagai kelanjutan dari program pemuliaan sengon, maka plot kebun benih
uji keturunan dibangun juga di Cikampek pada tahun 2008 ini. Plot uji keturunan tersebut
selanjutnya difungsikan sebagai plot seleksi ketahanan terhadap karat tumor.
Pada awal program pemuliaan sengon dilaksanakan, ancaman yang dihadapi tanaman sengon
pada umumnya adalah hama penggerek batang (Xystrocera festiva). Sekalipun demikian serangan
hama ini relatif masih terbatas dan tidak menimbulkan epidemi serangan yang luas. Oleh sebab itu
program pemuliaan sengon pada waktu itu difokuskan pada peningkatan volume kayu. Hal ini
sejalan dengan kenyataan bahwa pohon sengon pada umumnya mempunyai bentuk batang yang
bengkok, dan diameter kecil. Seleksi uji keturunan ditujukan untuk mencari individu atau famili
pohon yang mempunyai pertumbuhan tinggi, diameter dan bentuk batang yang terbaik. Dalam
| Bunga Rampai | 65 - 78
70
perkembangan terakhir ini sebagai akibat serangan penyakit karat tumor (gall rust), maka fokus
pemuliaan sengon perlu memprioritaskan seleksi untuk ketahanan penyakit karat tumor. Secara
kebetulan plot uji keturunan yang dibangun oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan pada tahun 2007 di Kediri telah diserang karat tumor, dan saat ini
pengamatan dan pengukuran tengah dilakukan di plot tersebut untuk mencari individu pohon atau
sumber provenans yang resisten terhadap karat tumor.
Penelitian yang sudah dilakukan oleh BBPBPTH adalah dengan melakukan pembuatan plot uji
resistensi sengon terhadap serangan karat tumor di Kediri pada tahun 2009. Hasil inventarisasi awal
pada umur tanaman 1 tahun menunjukkan bahwa beberapa famili dari Papua yaitu Waga-waga,
Kuaulu; Muai,Wamena; Hubikosi dan Muliama Bawah, Asologoima menampakkan toleransi tinggi
terhadap serangan jamur penyakit karat tumor.
Sedangkan inventarisasi lanjutan yaitu pada saat usia tanaman 3 tahun, menunjukkan bahwa
intensitas serangan terbesar terdapat pada family-family yang berasal dari Jawa yaitu Candiroto-
Jawa Tengah, Kediri dan Pacitan-Jawa Timur (IS= 29.94-29.32); sedangkan family dari Wamena
yaitu Waga-Waga, Muai dan Hubikosi menunjukkan intensitas serangan terendah (IS= 4.48-1.85;
LS=30.6-8.3).
Adapun dari analisis parameter genetiknya menunjukkan nilai heritabilitas intensitas serangan
sebesar 0.65, yang menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan mempengaruhi intensitas
serangan dibandingkan dengan faktor lingkungan.
Tabel 1. Rerata LS (luas serangan) dan IS (intensitas serangan) dari beberapa family uji pada uji resistensi Sengon di Kediri
Family Provenan Rerata LS Rerata IS Keterangan 1 Pacitan, Jatim 94.5 29.32 Serangan sangat
luas dg intensitas serangan sedang
12 Kediri, Jatim 100 29.63 27 Candiroto, Jateng 86.1 29.94 76 Waga-Waga, Wamena 30.6 4.48 Serangan biasa
dengan intensitas serangan rendah
79 Muai, Wamena 30.6 3.86
80 Hubikosi, Wamena 8.3 1.85 Serangan jaramg terjadi, intensitas serangan rendah
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
71
Gambar 1. Tegakan plot uji resistensi sengon terhadap karat tumor di Kediri
Gambar 2. Sengon dari Wamena dengan nilai rerata intensitas serangan karat tumor terendah
| Bunga Rampai | 65 - 78
72
Resistensi Acacia Mangium Terhadap Penyakit Busuk Akar
Penyakit busuk akar merah merupakan penyakit yang dapat merugikan meskipun berada dalam
keadaan endemik. Jamur penyebab penyakit ini menginfeksi pada jaringan akar tanaman yang
kemudian tumbuh dan berkembang di bawah permukaan tanah. Patogen ini mempunyai
kemampuan menyerang banyak jenis tumbuhan dan bagian tumbuhan dari umur yang berbeda.
Hampir semua penyakit akar menunjukkan gejala yang serupa pada pohon yang diserang termasuk
mati pucuk dan pertumbuhan terhambat. Umumnya kondisi tajuk menurun dan riap pertumbuhan
yang terhambat. Daun pohon yang terserang berubah menjadi pucat, ukuran mengecil dan jarang
karena berkurangnya pasokan air dan mineral dari akar. Tunas muda akan layu dan pohon yang
telah terserang berat akan menggugurkan daun (Kile, 2000).
Tanda dari tanaman A. mangium yang terserang penyakit busuk akar ini ditunjukkan dengan
akar tanaman dilapisi oleh rhizomorf berwarna coklat kemerahan yang akan nampak jelas bila
tanah yang menempel dibersihkan. Miselium berwarna putih ditemukan pada bagian dalam akar
yang terinfeksi dan mempunyai bau yang spesifik. Pohon yang terserang jamur Ganoderma pada
tingkat serangan lanjut, tubuh buah jamur akan muncul pada pangkal batang tanaman A. mangium
(Lee, 2000; Old et al., 1996).
Penyakit busuk akar merah dikenal sebagai penyakit yang merugikan tanaman perkebunan dan
tanaman kehutanan. Patogen penyebab penyakit ini mempunyai kisaran inang yang luas. Tanaman
perkebunan penting yang dilaporkan rentan terhadap serangan patogen penyebab penyakit busuk
akar ini antara lain karet, kelapa sawit (Semangun, 2000), dan teh (Arifin et al., 2000). Di bidang
kehutanan, jamur patogen ini menyerang beragai macam jenis pohon pada berbagai tipe
pertanaman hutan (Widyastuti, 2000). Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit busuk
akar merah adalah potensi sumber inokulum (Lee, 2000). Inokulum ini tumbuh dan menyebar di
bawah permukaan tanah. Ketika hutan hujan tropis ditebang untuk ditanami, maka inokulumnya
akan bertahan pada akar dan stump pohon yang mati. Inokulum inilah yang banyak menyerang
tanaman di kemudian hari (Old et al., 2000). Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan
penyakit busuk akar merah adalah patogenesitas jamur Ganoderma dan kerentanan tanaman inang
(Lee, 2000) serta keberadaan organisme antagonis (Arifin et al., 2000)
Seperti halnya penyakit akar yang lain, penyakit busuk akar merah ini menyebar dari satu
tanaman ke tanaman lain melalui kontak antara akar-akar yang sehat dengan jaringan yang sakit di
dalam tanah. Infeksi oleh Ganoderma juga terjadi melalui jaringan yang luka atau akar-akar yang
mati ( Arifin et al., 2000)
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
73
Pohon-pohon yang terserang jamur Ganoderma pada tegakan hutan cenderung berkelompok
secara tersebar dan dalam lingkaran sebagai akibat dari penyebaran jamur dari sumber infeksi.
Pohon dengan tingkat serangan lanjut berada di bagian tengah dari pusat infeksi dan pohon dengan
serangan ringan berada di pinggir luar. Lingkaran ini akan meluas seiring dengan menyebarnya
jamur ke pohon-pohon sehat di sekitarnya (Kile, 2000). Hendrata (2003) juga melaporkan bahwa
pola serangan Ganoderma sp penyebab penyakit busuk akar merah ini menunjukkan pola serangan
terpusat, artinya dengan terlebih dahulu diawali oleh satu atau sekelompok pohon yang terserang
berat sebagai pusat penyebarannya.
Survei untuk mengetahui intensitas serangan penyakit busuk akar dilakukan dengan
menggabungkan tanda-tanda di atas permukaan tanah dan pemeriksaan infeksi akar. Irianto et al.
(2006) melakukan survei pada beberapa lokasi di Indonesia dengan mencatat serangan penyakit
busuk akar ini pada dua jalur tanaman mangium, membiarkan tiga jalur berikutnya dan mengulangi
lagi pengamatan pada dua jalur yang berdampingan hingga mencapai 40% dari blok yang diamati.
Misalnya di Kalimantan Timur pengamatan dilakukan terhadap 200 pohon atau 40% dari 500
pohon yang ada. Tanah di sekeliling akar digali dan diperiksa tanda-tanda busuk akar merah pada
pohon tegak yang sudah mati, tampilan daun yang menguning, hilangnya daun atau badan buah
pada batang. Pohon-pohon yang terserang jamur dan pohon yang hilang kemudian dicatat. Pohon
yang dihilang diasumsikan karena terserang busuk akar dan jumlah pohon dari kedua kategori
tersebut dijumlahkan sebagai persentase. Selama survei juga dilakukan pengamatan/pencatatan
terhadap pola infeksi (ukuran pusat infeksi). Meskipun metode survei ini membutuhkan waktu
lama, namun metode ini menjamin ketepatan tingkat serangan patogen penyebab penyakit busuk
akar.
Salah satu ancaman yang cukup mengkhawatirkan dalam pembangunan hutan tanaman
A. mangium adalah adanya serangan hama dan penyakit. Berbeda dengan hama yang tidak
memberikan gangguan yang berarti pada beberapa kasus di areal HTI maupun hutan rakyat,
serangan karena penyakit memberikan potensi ancaman dan dampak buruk yang lebih besar.
Penyakit busuk hati (heart root) dan busuk akar (root rot) merupakan penyakit yang cukup
berbahaya menyerang tanaman A. mangium di Indonesia. Saat ini sedang dilakukan penelitian oleh
BBPBPTH untuk mengidentifikasi jamur potensial penyebab heart root melalui analisis molekuler.
Sementara itu untuk penelitian root rot, BBPBPTH sedang melakukan identifikasi pola
serangan, inventarisasi dan koleksi klon-klon yang cenderung memiliki tingkat resistensi yang
tinggi dari serangan jamur Ganoderma. Saat ini juga sedang dilakukan persiapan inokulasi jamur
| Bunga Rampai | 65 - 78
74
Ganoderma untuk mengetahui respon resistensi beberapa klon A. mangium yang dikoleksi dari
kebun benih terhadap root rot.
Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Hidayati (2004) di kebun benih mangium generasi
pertama (F-1) di Wonogiri, mulai nampak adanya serangan jamur Ganoderma dengan intensitas
serangan yang cukup tinggi. Serangan jamur Ganoderma pada bulan Januari tahun 2003 sebesar
2,7% dan meningkat pada bulan Februari tahun 2003 berikutnya menjadi 7,2%. Inventarisasi
tanaman mangium yang terserang penyakit busuk akar ini telah dilakukan sejak tahun 2003 sampai
sekarang dan intensitas serangan penyakit ini semakin meningkat tiap tahunnya (Hidayati, 2006).
Respon masing-masing famili terhadap serangan jamur Ganoderma pada kebun benih mangium ini
berbeda-beda (Hendrata, 2003). Ito et al. (2005) juga melaporkan bahwa kematian mangium
pada kebun benih generasi pertama di Wonogiri Jawa Tengah ini di duga kuat karena serangan
jamur Ganoderma penyebab penyakit busuk akar dan serangannya bervariasi antara provenans dan
famili. Penyakit busuk akar ini menyerang tanaman dari semua provenans walaupun tidak semua
nomer famili dalam kebun benih ini terserang penyakit (Irianto et al., 2005).
Senyawa Polifenol bisa ditemukan pada tanaman-tanaman tingkat tinggi (Haslam, 1988) dan
mempunyai kemampuan melindungi jaringan tanaman dari pengaruh lingkungan luar termasuk
antimikrobia (Scalbert, 1991; Mila et al., 1996) dan antioksidan (Hagerman et al., 1998). Di dalam
species tanaman berkayu senyawa polifenol terakumulasi di dalam kulit batang, daun dan bagian
empulur (heart wood). Ekstrak dari kulit batang dan bagian empulur dari beberapa species tanaman
berkayu mempunyai aktivitas biologi yang kuat seperti aktivitas antioksidan (Chang et al., 2001)
dan aktivitas antifungal (Kishino et al., 1995). Hasil penelitian Barry et al. (2005) melaporkan
bahwa zat-zat ekstraktif yang berasal dari bagian empulur kayu tanaman mangium kemungkinan
berpengaruh terhadap kerentanannya terhadap infeksi jamur penyebab penyakit busuk hati
meskipun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk species-species akasia.
Flavon, flavonoid, dan flavonol ketiganya diketahui telah disintesis oleh tanaman dalam
responnya terhadap infeksi mikroba sehingga tidak mengherankan kalau mereka efektif secara in
vitro terhadap sejumlah mikroorganisme. Aktivitas mereka kemungkinan disebabkan oleh
kemampuannya untuk membentuk ikatan kompleks dengan protein ekstraseluler yang terlarut, dan
dengan dinding sel (Naim, 2004). Senyawa flavonoid termasuk golongan senyawa fenol
merupakan senyawa dominan pada bagian empulur kayu A. mangium dan A. auriculiformis
diketahui menunjukkan aktivitas antifungal. Kadar senyawa flavonoid ini pada auriculiformis
mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mangium. Kadar senyawa yang
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
75
lebih tinggi diduga berpengaruh pada ketahanan tanaman terhadap gangguan penyakit busuk hati
(Mihara et al., 2005).
Peta sebaran serangan jamur Ganoderma pada A. mangium dan A. auriculiformis di kebun
benih generasi I di Wonogiri, Jawa Tengah memperlihatkan bahwa serangan jamur Ganoderma,
tersebar merata. Pola serangan yang khas dengan membentuk rumpang-rumpang ini mencirikan
gejala serangan penyakit akar karena adanya kontak akar (Lee, 1997). Pola penyebaran penyakit
akar yang terjadi pada kebun benih A. mangium dan A. auriculiformis ini merupakan pola
penyebaran terpusat yang berawal dari adanya pusat serangan kemudian menyebar ke pohon di
sekitarnya dengan perantara kontak akar atau lubang alami. Akar tanaman secara alami akan
membentuk dua arah perkembangan. Akar utama yang tumbuh ke bawah dan akar yang tumbuh
secara lateral untuk memperluas daerah sumber makanan. Menurut Lee (2000) kecepatan
penyebaran penyakit akar merah dipengaruhi oleh : 1) kecepatan pertumbuhan akar, 2) luas dari
sistem perakaran tiap pohon, 3) luas daerah kontak akar antara tanaman yang sehat dengan yang
terinfeksi, 4) kehadiran, kelimpahan, dan distribusi dari inokulum di lokasi pertanaman.
Prosentase rata-rata serangan penyakit pada tanaman A. mangium bulan Desember 2008
sebesar 32 %. Prosentase serangan tertinggi pada provenans No. 5 (Arufi Village WP, Papua
Nugini) sebesar 47% dan Prosentase serangan terendah pada provenans No. 1 dan provenan No.
14 (Dimisisi WP, Papua Nugini dan Poscoe River, Australia) sebesar 19%. Sedangkan pada
tanaman A. auriculiformis prosentase rata-rata serangan penyakit pada bulan Desember 2009
sebesar 33,21%. Prosentase serangan tertinggi pada provenans No. 2 (Lower Poscoe River,
Queensland) sebesar 62 % dan Prosentase serangan terendah pada provenans No. 14 (Belamuk
WP,PNG ) sebesar 0%. Serangan penyakit busuk akar di kebun benih F-1 Wonogiri ini baru
menunjukkan gejala setelah tanaman berumur 9 – 10 tahun. Gejala yang terlihat pada tanaman
yang terkena penyakit busuk akar ini adalah daun-daun menguning, layu dan kemudian gugur
sehingga pohon menjadi gundul.
Gambar 3. Akar tanaman A. mangium yang
terinfeksi penyakit busuk akar
Gambar 4. Badan buah Jamur Ganoderma pada pangkal batang tanaman A. mangium
| Bunga Rampai | 65 - 78
76
Gambar 5. Badan buah Jamur Ganoderma
pada pohon A. auriculiformis Gambar 6. Tanaman A. auriculiformis
yang telah mati karena penyakit busuk akar
Kesimpulan
Penelitian terhadap ketahanan serangan hama dan penyakit pada tanaman-tanaman kehutanan
terus dilakukan. Strategi untuk mengurangi dampak serangan hama penyakit yang sudah dilakukan
oleh BBPBTH selama ini adalah: i). dengan melakukan pengamatan, pendataan dampak serangan
baik intensitas serangan maupun luas serangan sehingga upaya penyelamatan tegakan berupa
penebangan individu-individu pohon dengan intensitas serangan yang hebat bisa dilakukan;
ii) Melakukan seleksi individu-individu yang resisten terhadap serangan hama dan penyakit
tertentu. Pengkoleksian jenis khususnya sengon dari berbagai populasi dengan variasi genetik yang
tinggi terus dilakukan, yang diharapkan dari variasi genetik yang luas tersebut akan didapatkan
individu-individu yang resisten.
Daftar Pustaka
Ariffin, D., Idris A.S., & Singh G. 2000. Status of Ganoderma in Oil Palm. Dalam J.Flood, P.D. Bridge & M. Holderness (eds.) Ganoderma disease of Perenial Crops. CAB International 2000.
Barry, K.M., Mihara, R., Davies, N.W., Mitsunaga, T., dan Mohammed, C.L. 2005. Polyphenols in Acacia mangium and Acacia auriculiformis Heartwood with Reference to Heart Rot Susceptibility. Original Article. Journal Wood Science. In press.
Chang, S.T., Wu, J.H., Wang, S.Y., Kang, P.L., Yang, N.S., dan Shyur, L.F. 2001. Antioxidant Activity of Extracts from Acacia Confuse Bark and Heartwood. Journal Agriculture Food Chemistry. 49 : 3420-3424.
Finkeledey, R. and Hattemer, H.H. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer Verlag Berlin Heidelberg.
PEMULIAAN UNTUK RESISTENSI HAMA DAN PENYAKIT Liliana Baskorowati, Anto Rimbawanto dan Nur Hidayati
77
Hagerman, A.F., Riedl, K.M., Jones, A., Sovik,K.N., Ritchard, N.T., Hartzfeld, P.W., dan Riechel, T.L. 1988. High Molecular Weight Plant Polyphenols (tannins) as Biological Antioxidant. Journal Agriculture Food Chemistry 46 : 1887-1892.
Haslam, E., 1988. Plant Polyphenols (syn. Vegetable Tannins) and Chemical Defence- a Reappraisal. Journal Chemical. Ecology. 14 : 1789-1806.
Hendrata, Y., 2003. Pola Serangan Jamur Akar Merah (Ganoderma sp.) pada Kebun Benih Mangium (Acacia mangium Willd.) di Wonogiri-Jawa Tengah. Skripsi Mahasiswa S-1. Faklutas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hidayati, N. 2004. Pengamatan Awal Serangan Penyakit Akar Merah pada Kebun Benih Semai Acacia mangium Generasi Pertama di Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No. 2, Agustus 2004.
Irianto, R.S.B., Barry, K.M., Hidayati, N., Ito, S., Fiani,A., Rimbawanto, A., dan Mohammed, C.L. 2006. Incidence, Spatial Analysis and Genetic Trials of Root Rot of Acacia mangium in Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. Vol. 18 No.3 July 2006 pp : 157-165
Ito, S., Fiani, A., Hidayati, N., Yamaguchi, K. 2005. Occurrence of root rot disease on Acacia mangium caused by Ganoderma spp. In Indonesia. The International Forestry Review. ISSN : 1465 5469. United Kingdom, 2005, v. 7(5) p. 390.
Kile, G.A., 2000. Woody Root Rot of Eucalypts. Disease and Pathogens of Eucalyptus. P.J. Keane, G.A. Kile, P. Poupard and B.N. Brown. Collingwood, Australia, CSIRO : 293-306.
Kishino, M., Ohi, H., dan Yamaguchi, A. 1995. Characteristics of Methanol Extractives from Chengal Wood and Their Antifungal Properties (in Japanese). Mokuzai Gakkaishi 41 : 444-447.
Lee, S.S. 2000. The Current Status of Root Diseases of Acacia mangium Willd. dalam Ganoderma Disease of Perennial Crops ( eds. J. Flood, R.D. Bridge & M. Holderness) CAB International 2000.
Liu, J., D. Liu, W. Tao, W. Li, S. Wang, P. Chen, and D. Gao, 2000. Molecular marker-facilitated pyramiding of different genes for powdery mildew resistance in wheat. Plant Breeding. 119 : 21-24.
Mihara, R., Barry, K.M., Mohammed, C.L., dan Mitsunaga, T. 2005. Comparison of Antifungal and Antioxidant Activities of Acacia mangium and A. auriculiformis Heartwood Extracts. Journal of Chemical Ecology, Vol.31, No. 4, p 789-804, April 2005.
Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba dari Tanaman. Kompas, 15 September 2004. http//www. Kompas.htm. Down load, 18 April 2007 jam 13.30.
Old, K.M., I.A. Hood dan Zi Q.Y.1996. Diseases of Tropical Acacias in Northern Queensland dalam K.M. Old. Lee S.S. dan J.K. Sharma (Eds). Diseases of Tropical Acacias. Proc. Of an International Workshop Held at Subanjeruji (South Sumatra) CIFOR, Jakarta.
Scalbert, A.1991. Antimicrobial Properties of Tannins. Phytochemistry 30 : 3875 – 3883
Schlichting, C.D. 1986. The evolution of phenotypic plasticity in plants. Ann.Rev. Ecol. and System. 17:667-693.
Semangun H., 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.
Suharyanto, Rimbawanto, A. and Isoda, K. 2002. Genetic Diversity and Relationship Analysis on Paraserianthes falcataria Revealed by RAPD Marker. In A. Rimbawanto and M. Susanto
| Bunga Rampai | 65 - 78
78
(eds.). Proceedings International Seminar “Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species”. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement. Yogyakarta. Indonesia.
Sumarno, 1992. Pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur
Sutopo, L. dan N. Saleh, 1992. Perbaikan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit. Prosiding symposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur Syahri, N.T. 1991. Analisis kimia kayu dan ulit kayu jeungjing. Pusat Litbang Hasil Hutan. Laporan Hasil Penelitian (Tidak diterbitkan).
Widyastuti, S.M. 2001. Fitoaleksin dan Resistensi. Program Studi Bioteknologi. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Wiryadiputra, S., 1996. Resistance of Robusta coffea to coffee root lesion nematode, Pratylenchus coffeae. Pelitan Perkebunan. 12(3) : 137-148.
Witcombe, J.R. and C.T. Hash, 2000. Resistance gen deployment strategies in cereal hybrids using markerassisted mselection: Gene pyramiding, three-way hybrids, and synthetic parent population. Euphytica. 112 : 175-186.
79
KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN
Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Selama sepuluh tahun terakhir, sekitar 34 persen dari semua kegiatan bioteknologi di dunia dilaporkan terkait dengan perbanyakan tanaman hutan menggunakan kultur jaringan, Asia salah satu yang paling memberikan perhatian terhadap pengembangannya. Spesies tanaman hutan tropis khususnya jenis asli Indonesia yang mempunyai kerentanan terhadap tekanan lingkungan menjadi target penting perbanyakan kultur jaringan, di samping isu kelangkaan untuk menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan pendekatan baru. Penelitian kultur jaringan melalui organogenesis dan embryogenesis somatik yang telah dilakukan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta, mempunyai keunggulan pada jenis-jenis spesies yang diuji.
Pendahuluan.
Kultur jaringan tanaman hutan merupakan aplikasi bioteknologi hutan untuk membuat atau
memodifikasi produk untuk menunjang program-program pemuliaan tanaman hutan (Walter &
Menzies, 2010). Sesuai klasifikasi bioteknologi hutan, kultur jaringan merupakan teknik
perbanyakan vegetatif in vitro untuk memperbanyak klon unggul tanaman hutan dari genotip
terpilih, agar pemeliharaan galur klon dapat terjaga pada tempat/ruangan dan tenaga yang lebih
efisien ((Walter & Menzies, 2010; Bingkun et al., 2006; Xiao-hong et al., 1999).
Aplikasi kultur jaringan semakin berkembang, diantaranya dapat digunakan untuk
mengeliminasi penyakit melalui kultur meristem, memperbanyak tanaman yang bermasalah dengan
generatif melalui kultur embrio, memperbaiki sifat melalui kultur protoplast maupun modifikasi
gen, mutasi dan adaptasi gen in vitro. Kultur jaringan pohon melalui transformasi genetik ditujukan
untuk peningkatan performa batang dan kualitas kayu meliputi modifikasi biokimia karakteristik
kayu dan struktur batang, meningkatkan laju pertumbuhan dan perubahan bentuk batang,
memperoleh tumbuhan yang memiliki performa sistem perakaran dan kanopi pohon yang lebih
baik, tumbuhan yang resisten terhadap hama penyakit serta untuk mendapatkan tumbuhan yang
toleran terhadap tekanan lingkungan abiotik (Leeve et al., 1999; Tian et al., 1999; Wenck et al.,
1999; Han et al., 2000).
Sekitar 34 persen dari semua kegiatan bioteknologi di dunia dilaporkan terkait dengan
perbanyakan tanaman hutan menggunakan kultur jaringan (Chaix & Monteuuis, 2004, Wheeler,
2004). Selama 15 tahun terakhir, teknik kultur jaringan termasuk transformasi (gen teknologi)
Bunga Rampai | 79 - 90
80
dan analisis genom telah dikembangkan untuk berbagai jenis pohon, termasuk pohon-pohon
berdaun lebar maupun berdaun jarum (Groover 2007; Henderson dan Walter, 2006; Merkle dan
Nairn, 2005; Giri, Shyamkumar dan Anjaneyulu, 2004; Campbell et al, 2003). Apabila
dibandingkan dengan negara lain di dunia, Asia merupakan negara yang paling peduli
mengembangkan perbanya kan tanaman melalui kultur jaringan. Jenis yang banyak dikembangkan
merupakan jenis lokal masing-masing negara.
Beberapa spesies hutan tanaman yang telah dilakukan perbanyakan dengan kultur jaringan pada
skala komersial di negara-negara berkembang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Spesies hutan tanaman hasil kultur jaringan pada skala komersial di negara-negara
berkembang (FAO 2010).
Penelitian kultur jaringan di bidang kehutanan di Indonesia telah dilakukan di berbagai
institusi pemerintah maupun swasta. Tidak seperti halnya pada tanaman semusim, waktu
regenerasi tanaman hutan yang nisbi lama menjadi hambatan mendapatkan informasi
pertumbuhan satu spesies secara lengkap mulai dari planlet, bibit sampai dengan tanaman usia
produktif di lapangan. Tanaman hutan hasil kultur jaringan sampai dengan tingkat komersial pada
skala masal banyak di lakukan untuk hutan tanaman industri sebagai bahan baku pulp, terutama
jenis akasia dan eukaliptus. Isu kelangkaan dan penyelamatan materi genetik lebih menjadi topik
utama di lembaga-lembaga penelitian di Indonesia, terlebih dengan meningkatnya kepunahan
jenis-jenis tropis spesifik Indonesia. Penelitian kultur jaringan beberapa spesies pohon di berbagai
institusi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 2. Sedangkan status penelitian kultur jaringan di
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) pada keterangan
selanjutnya.
Negara Spesies India Tectona grandis, Anogeisus latifoglia,
Bamboo spp. Malaysia, Indonesia, Vietnam Acacia mangium, hybrid (A. mangium
x A. auriculiformis) Vietnam, India, Amerika selatan Eucalyptus spp. Chile Pinus radiata Indonesia, Brazil, Thailand, Malaysia
Tectona grandis
|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman
81
Tabel 2. Penelitian kultur jaringan beberapa spesies pohon di Indonesia.
Institusi Spesies 1. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
(Pusat Bioteknologi LIPI, www.biotek.lipi.go.id) Tectona grandis, Jatropha curcas L., Paraserianthes falcataria, Aquilaria malaccensis, Santalum album, Rollinia
2. Balai Penelitain Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) (BPBPI, www.ibriec.org)
Metroxylon sago Rottb.
3. Balai Besar BIOGEN (biogen.litbang.deptan.go.id)
Tectona grandis, Santalum album
4. SEAMEO BIOTROP (www.biotrop.org) Tectona grandis 5. PUSPITEK Serpong (www. puspitek.net) Tectona grandis, Aquilaria malacencis,
Girinop sp., Syzygium oleina, Arenga pinnata, Durio jibetinus, Hevea braziliensis
6. PT. Arara Abadi, APP (www.asiapulppaper.com) Acacia mangium, Eucalyptus pellita 7. PT. Kutai Timber Indonesia (www.kti.co.id) Shorea sp. 8. PT. BIOFOREST Indonesia (www.bio-
forest.com) Gmelina arborea, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria
Pada awalnya penelitian kultur jaringan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan (BBPBPTH) menggunakan teknik organogenesis yang telah berlangsung sebelum
Balai ini terbentuk yaitu sejak sekitar yahun 1990 yang waktu itu masih berstatus proyek bernama
Proyek Pengembangan Sumber Benih, Direktorat Reboisasi, Direktorat Jendral Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan (RRL), Departemen Kehutanan. Selanjutnya kegiatan ini mulai intensif
dikerjakan setelah ada kerjasama teknis antara RRL dengan Pemerintah Jepang melalui Proyek
JICA di bidang pemuliaan Pohon yaitu pada tahun 1992. Kerjasama tersebut secara tidak langsung
terjadi alih teknologi di bidang kultur jaringan dari para tenaga ahli Jepang (Herawan, 2000).
Jenis-jenis yang diprioritaskan dikembangkan pada waktu itu adalah: Acacia mangium,
Eucalyptus deglupta, Eucalyptus urophylla, dan Paraserianthes falcataria. Pada tahun 1994 proyek
beralih status menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan
(BPPPBTH), Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Kemudian
dikembangkan pula jenis-jenis komersial lainnya seperti: E. pellita, A.auriculiformis,
A. aulacocarpa, A. crassicarpa, S. album, T. grandis, P. merkusii dan S. javanica. (Herawan,
2000).
Sampai saat ini penelitian kultur jaringan di BBPBPTH telah lebih berkembang untuk jenis
maupun teknik yang dilakukan. Acacia hybrid (A. mangium x A. auriculiformis), Acacia mangium,
Acacia auriculiformis, Alstonia scholaris, Eucalyptus deglupta, Eucalyptus pellita, Eucalyptus
urophila, Eusideroxylon zwageri, Gmelina arborea, Paraserianthes falcataria, Pongamia pinnata,
Santalum album, Styrax sp., Tectona grandis, Toona sinensis, Vitex Pubescen dan Shorea
Bunga Rampai | 79 - 90
82
merupakan jenis-jenis yang telah dan sedang dilakukan penelitian perbanyakan melalui kultur
jaringan saat ini, sebagian dengan teknik organogenesis dan sebagian yang lain dengan
embryogenesis somatik.
Metode Kultur Jaringan
Metode kultur jaringan dapat ditempuh melalui organogenesis dan embriogenesis somatik.
Masing-masing metode tersebut mempunyai sifat-sifat perbanyakan yang berbeda sebagai berikut:
Organogenesis
Organogenesis adalah perbanyakan in vitro dari bagian tanaman sangat kecil, jaringan atau sel,
terutama meristem dari kecambah embrio atau apeks tanaman remaja. Beberapa contoh Negara dan
jenis yang dikembangkan melalui organogenesis ditunjukkan di Tabel 2.
Tabel 2. Negara-negara di dunia dan spesies hasil perbanyakan organogenesis (FAO, 2010)
Negara Spesies 1. India (Saxena & Dhawan 2001) Anogeissus latifolia & A. pendula 2. Malaysia & Afrika selatan (Galiana et al. 2003; Monteuuis et
al. 2003; Quoirin 2003), Vietnam (Monteuuis, personal observation)
Acacia mangium, hybrid (A. mangium x A. auriculiformis), A. melanoxylon
3. Vietnam, Thailand, India (Monteuuis, personal observation, ) Watt et al. 2003; Nadgauda in press), Amerika selatan (Levis W. Handley, personal), communication), Australia (Watt et al. 2003; Bandyopadhyay et al. 1999), Afrika selatan, Spanyol & Portugal (Watt et al. 2003)
Eucalyptus camaldulensis, E. globulus, E. grandis, E. nitens, E. tereticornis & E. urophylla
4. Kanada & New Zealand (Lelu and Thompson 2000), Amerika (Levis W. Handley, personal communication), Perancis (Dumas and Monteuuis 1991; Monteuuis & Dumas 1992)
Pinus radiata, P. taeda & P. pinaster
5. Jerman & India (Cornu 1994), Spanyol (Bueno et al. 2003), Lithuania (Kuusiene 2002
Populus alba, P. deltoides, P. tremula & Populus hybrids
6. Amerika (Ritchie et al. 1994) Pseudotsuga menziesii 7. Perancis (Bonga and Von Aderkas 1992; Monteuuis, personal
observation), Jerman (www.cnr.berkeley.edu/~jleblanc/www/Redwood/rdwd-Micropro.html)
Sequoia sempervirens & Sequoiadendron giganteum
8. Norwegia (Saebo et al. 1995) and Finland (Cornu 1994) Betula pendula 9. Australia ( Monteuuis, personal observation) Paulownia fortunei 10. China (Liu and Bao 2003) Platanus acerifolia 11. Brazil & Vietnam (Monteuuis, personal observation),
Thailand (Kjaer et al. 2000), Costa Rica (Schmincke 2000), Malaysia (Goh et al. 2001), India (Bonga &Von Aderkas 1992; Nicodemus et al. 2001; Nadgauda in press), Australia (Monteuuis, personal observation)
Tectona grandis
12. Banglades (Sarker et al. 1997; Roy et al. 1998) Spesies lain termasuk Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica & Elaeocarpus robustus
Metode organogenesis spesies tanaman hutan telah dikembangkan untuk produksi skala besar,
termasuk kayu keras seperti poplar, willow dan eukaliptus, dan untuk tumbuhan berdaun jarum
|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman
83
seperti redwood pantai, Pinus radiata, loblolly pinus (Pinus taeda) dan Douglas fir (Pseudotsuga
menziesii).
Penelitian perbanyakan beberapa spesies tanaman hutan secara organogenesis yang dilakukan
oleh Balai Besar dengan berbagai tahapan kultur ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesies pohon hasil perbanyakan pada berbagai tahap organogenesis yang dilakukan di BBPBPTH sampai dengan tahun 2010.
No. Sumber Eksplan Spesies
Tahap Organogenesis Induksi Tunas
Multipli-kasi
Peraka-ran
Aklimati-sasi
Uji Lapangan
1 Pohon induk Acacia hybrid √ √ √ √ √ 2 Pohon induk Acacia mangium √ √ √ √ √ 3 Pohon induk Alstonia scholaris √ √ √ √ √ 4 Pohon induk Eucalyptus deglupt √ √ √ √ √ 5 Pohon induk Eucalyptus
pellita √ √ √ √ √
6 Pohon induk Eucalyptus urophil √ √ √ √ - 7 Pohon induk Eusideroxylon
zwageri √ - - - -
8 Pohon induk Gmelina arborea √ √ √ √ √ 9 Pohon induk
dan semai Paraserianthes falcataria
√ - - - -
10 Semai Pinus merkusii √ √ √ √ √ 11 Pohon induk Pongamia pinnata √ √ - - - 12 Pohon induk Santalum album √ √ √ √ √ 13 Pohon induk Shorea leprosula √ - - - - 14 Pohon induk Styrax sp. √ √ √ √ - 15 Pohon induk Tectona grandis √ √ √ √ √ 16 Semai Toona sinensis √ √ √ √ - 17 Semai Vitex Pubescen √ √ √ √ -
Di beberapa negara telah dilakukan penelitian organogenesis pada lebih dari 20 spesies
tanaman hutan, namun dari jumlah jenis yang diteliti, BBPBPTH (Tabel 3) lebih unggul
dibandingkan masing-masing dari negara-negara lain (Tabel 3).
Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik merupakan proses perkembangan sel-sel somatik (baik haploid maupun
diploid) membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa
melalui fusi gamet (Williams & Maheswara 1986). Struktur yang bipolar dan kondisi fisiologis
yang menyerupai embrio zigotik, embriogenesis somatik dinilai lebih menguntungkan daripada
pembentukan tunas adventif yang unipolar. Embriogenesis somatik yang dihasilkan dapat disimpan
Bunga Rampai | 79 - 90
84
dalam jangka waktu lama sebagaimana layaknya biji yang dijadikan benih serta memungkinkan
untuk diproduksinya biji buatan (synthetic seed/synseed) (Von Arnold, 2008).
Regenerasi tanaman hutan melalui embriogenesis somatik telah dilakukan pada lebih dari 50
spesies yaitu lebih dari 20 famili angiospermae dan sekitar 12 spesies konifer (Park et al., 1998;
Wann, 1988; Tartorius et al., 1991; Attree & Fowk, 1991; Watt et al., 1999). Potensi kecepatan
multiplikasi khususnya dari suspensi sel dengan penggunaan bioreaktor otomatis, sangat tinggi
serta penanganan secara mekanik dengan teknologi biji sintetis sangat dimungkinkan.
Embriogenesis somatik juga dipergunakan untuk prosedur transformasi genetik karena berasal dari
sel tunggal langsung dari embryo. Meskipun keberhasilan teknik embriogenesis somatik telah
dilaporkan untuk beberapa spesies komersial, namun untuk operasional skala luas pada tanaman
kehutanan belum banyak dilaporkan (FAO, 2010).
Penelitian embriogenesis somatik di BBPBPTH sampai saat ini masih pada tahap awal namun
dari macam spesies menujukkan keunggulan jumlah spesies asli yang diuji. Beberapa spesies dari
negara-negara yang melakukan embriogenesis somatik untuk tanaman kehutanan ditunjukkan pada
Tabel 4.
Tabel 4. Negara-negara di dunia dan spesies hasil perbanyakan embryogenesis somatik (FAO, 2010).
Negara Spesies 1. Chile (Park, 2002; Jones, 2002;Lelu-Walter & Harvengt,
2004) Pinus radiate & P. taeda
2. Brazil & India (Pinto et al. 2002; Watt et al., 1999) E. globulus, E. grandis & E. dunnii 3. India (Krishnadas and Muralidharan, 2008; Godbole et
al., 2004; Shali and Muralidharan, 2008; Rathore et al., 2008)
Tectona grandis, Bamboo & Sandal
4. Banglades (Sarker, Islam Rafiqul and Hoque, 1997; Roy, Islam & Hadiuzzaman, 1998)
Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica & Elaeocarpus robustus
5. Kanada & Perancis (Charest 1996; Lelu and Thompson 2000)
Larix
6. Kanada, Perancis & Irlandia (Thorpe 1995; Charest 1996; Park et al. 1998; Lelu and Thompson 2000; Park 2002; Sutton 2002; Lelu-Walter and Harvengt 2004)
Picea abies, P. glauca, P. mariana and P. sitchensis
7. Kanada (Park 2002), Afrika selatan (Jones 2002), New Zealand (Lelu and Thompson 2000), Amerika (Jones 2002; Sutton 2002) & Chile (Lelu-Walter and Harvengt 2004)
Pinus banksiana, P. patula, P. radiata, P. strobus and P. taeda
8. Amerika & Kanada (Lelu and Thompson 2000, Sutton 2002)
Pseudotsuga menziesii
9. Bangladesh (Sarker et al. 1997; Roy et al. 1998) Gmelina arborea, Artocarpus chaplasha, A. heterophyllus, Azadirachta indica and Elaeocarpus robustus
|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman
85
Penelitian perbanyakan beberapa spesies tanaman hutan secara embriogenesis somatik melalui
tahap induksi dan multiplikasi kalus, multiplikasi kalus embryogenik, tahap pembentukan hati,
tahap pembentukan torpedo, perakaran, aklimatisasi dan uji lapangan ditunjukkan pada Tabel 5.
Dari beberapa spesies yang diuji, hanya Santalum album yang paling unggul sampai pada tahap
perakaran.
Tabel 5. Spesies pohon hasil perbanyakan pada berbagai tahap embryogenesis somatik yang
dilakukan di BBPBPTH sampai dengan tahun 2010. No.
Sumber Eksplan
Spesies Tahap Embryogenesis Somatik Induksi
dan Multiplikasi Kalus
Multipli kasi
Kalus Embryo genik
Hati
Torpedo
Peraka-ran
Aklimati-sasi
Uji Lapang-an
1 Pohon induk
Acacia hybrid √ √
2 Pohon induk
Acacia mangium √
3 Pohon induk
Alstonia scholaris -
4 Pohon induk
Eucalyptus deglup -
5 Pohon induk
Eucalyptus pellita
√
6 Pohon induk
Eucalyptus urophil -
7 Pohon induk
Eusideroxilon zwagery
-
8 Pohon induk
Gmelina arborea
9 Pohon induk dan semai
Paraserianthes falcataria
√
10 Pohon induk
Pongamia pinnata √
11 Pohon induk
Santalum album √ √ √ √ √
12 Pohon induk
Styrax sp. -
13 Pohon induk
Tectona grandis √
14 Semai Toona sinensis √
Bunga Rampai | 79 - 90
86
Operasional embriogenesis somatik memerlukan biaya tinggi dengan presisi aplikasi tinggi.
Perbanyakan melalui embriogenesis somatik sebaiknya hanya diterapkan untuk seleksi spesies
yang benar-benar terpilih berdasarkan perolehan pemuliaan genetik yang maksimal melalui
perbanyakan bervolume tinggi dari satu genotipe. Tahap awal penelitian embriogenesis somatik di
BBPBPTH lebih kepada penguasan teknik, spesies-spesies yang diuji berdasarkan ketersediaan
sumber eksplan, walaupun dengan macam jenis yang lebih beragam dibandingkan negara lain.
Keunggulan penelitian kultur jaringan yang telah dilakukan BBPBPTH dengan prioritas jenis
tanaman hutan tropis asli setempat memberikan nilai tambah untuk tujuan penggunaan bioteknologi
hutan menghadapi perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan
dengan cara baru (FAO, 2010). Hutan tropis memainkan peran utama dalam adaptasi hutan
sebagai dasar untuk semua solusi kebijakan kehutanan lainnya yang ditujukan untuk memperlambat
perubahan iklim seperti mengurangi emisi deforestasi, degradasi (REDD), bioenergi dan biomassa
(Millar et al., 2007; Aitken et al, 2008; Clark, 2004; Hamrick, 2004). Untuk mendukung program
tersebut, laboratorium kultur jaringan BBPBPTH juga sedang melakukan penelitian Pongamia
pinnata sebagai spesies bioenergi unggulan baru dan terbarukan.
Hutan tropis dinilai sangat rentan terhadap perubahan iklim dan mempunyai nilai adaptasi yang
lebih sempit, tidak ada dua daerah akan mengalami perubahan iklim dengan cara yang sama (FAO,
2010). Untuk mendukung program tersebut, melalui kultur jaringan BBPBPTH juga telah
melakukan penelitian ketahanan Vitex pubescens terhadap tekanan masam in vitro dan ex vitro, dan
penelitian tersebut sedang dilakukan untuk spesies-spesies tropis lain (Putria, 2010). Sehingga hasil
penelitian bioteknologi hutan BBPBPTH yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai model
prediktif untuk efek perubahan iklim menjadi lebih regional dengan model tanaman hutan asli
Indonesia. Asal biji dari berbagai provenan setempat dapat lebih bertahan dan dapat tumbuh lebih
optimal terhadap tekanan lingkungan tempat tanaman berada (FAO, 2010).
Berdasarkan perbedaan intensifitas pengelolaan antara hutan alam dan hutan tanaman, FAO
membagi bioteknologi hutan tanaman menjadi tiga kelompok yaitu a) bioteknologi hutan tanaman
dasar diantaranya perbanyakan kultur jaringan dengan organogenesis dan penggunaan kultur
mikrobia seperti rhizobium dan mikoriza, b) bioteknologi hutan tanaman pertengahan diantaranya
perbanyakan kultur jaringan dengan embryogenesis somatik, serta c) bioteknologi hutan tanaman
lanjutan (modifikasi/rekayasa genetik dan transformasi genetik) (FAO, 2010). Di samping
penelitian organogenesis dan embryogenesis somatik pada kelompok bioteknologi hutan tanaman
dasar maupun pertengahan, BBPBPTH telah melakukan penelitian simbiotik spesies rhizobium –
Pongamia pinnata melalui kultur jaringan (Putrib, 2010).
|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman
87
Selama 15 tahun terakhir bioteknologi hutan melalui transformasi (teknologi gen) dan analisis
genom telah dikembangkan untuk untuk mendukung program pemuliaan pada berbagai jenis
pohon, termasuk pohon-pohon berdaun lebar dan berdaun jarum (Groover, 2007; Henderson dan
Walter, 2006; Merkle dan Nairn, 2005; Giri et al., 2004; Campbell et al, 2003). Tanaman hutan
yang telah diuji dengan teknik rekayasa genetika diantaranya dari jenis Populus (poplar), Betula
(Birches), Picea (cemara), Pinus dan Eucalyptus yang telah diproduksi dan diuji di laboratorium,
rumah kaca serta di lapangan. Implikasi berbagai target sifat untuk rekayasa genetik pohon, seperti
lignin dan/atau modifikasi selulosa, hama penyakit, fertilitas, toleransi terhadap cekaman abiotik,
bioenergi menjadi pertimbangan penting untuk tujuan komersial (FAO, 2010).
Resiko transgenik dimungkinkan sama halnya dengan resiko pada proses diperkenalkannya
pohon non-asli serta pohon-pohon yang dimuliakan dengan metode konvensional (Hoenicka &
Fladung, 2006). Identifikasi penting dilakukan terhadap potensi risiko yang terkait dengan stabilitas
fungsi gen yang ditransfer pada jenis tanaman hutan serta aliran DNA rekombinan ke lingkungan
melalui berbagai jalur yang berbeda (Strauss et al, 1995;. Strauss, DiFazio & Meilan, 2001;
Hoenicka & Fladung, 2006).
Kesimpulan
Penelitian kultur jaringan melalui organogenesis dan embryogenesis somatik yang telah
dilakukan di BBPBPTH mempunyai keunggulan pada jenis spesies yang diuji. Spesies tanaman
hutan tropis khususnya jenis asli Indonesia yang mempunyai kerentanan terhadap tekanan
lingkungan menjadi target penting perbanyakan di samping isu kelangkaan untuk menghadapi
perubahan iklim yang diharapkan membentuk arah penelitian bioteknologi hutan dengan
pendekatan baru.
Saran
Peningkatan sumber daya manusia melalui studi banding dan kursus di dalam dan luar negeri
sangat penting, di samping peningkatan kelengkapan sarana prasarana laboratorium dan rumah
kaca yang menunjang penelitian kultur jaringan.
Ucapan terima kasih
Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada Ir. Jayusman, MP., Dra. Yelnititis MP,
Dr. ILG Nurtjahyaningsih, Ir. Elizabeth Sapulete, Suprihati, Endin Izudien, Rudi Hartono,
Bunga Rampai | 79 - 90
88
Triyanto, Arif Setiawan dan Waluyo atas pengabdiannya pada laboratorium kultur jaringan
BBPBPTH.
Daftar Pustaka Aitken, S., Yeaman S., Holliday, J.A., Wang, T. & Curtis-McLane, S. 2008. Adaptation, migration
or extirpation: climate change outcomes for tree populations. Evol. Appl. 1: 95–111. Attree, S.M. & Fowke, L.C. 1991. Micropropagation through somatic embryogenesis in conifers,
pp. 53–70 In Y.P.S. Bajaj ed. Biotechnology in agriculture and forestry 17. High-tech and micropropagation 1. Berlin, Heidelberg, New York, Springer-Verlag.
Bajaj, Y.P.S. (editor). 1986. Biotechnology in agriculture and forestry 1: Trees I. Springer-Verlag,Berlin, Germany.
Bajaj, Y.P.S. (editor). 1989. Biotechnology in agriculture and forestry 5: Trees II. Springer-Verlag,Berlin, Germany.
Bajaj, Y.P.S. (editor). 1991. Biotechnology in agriculture and forestry 16: Trees III. Springer-Verlag, Berlin, Germany.
Bingkun, T., W. Pengcheng, Y. Mei, T. Xiao and Y. Yu-yun. 2002. Study on Cutting Propagation of Toona sinensis.
Bonga, J.M. & Durzan, D.J. 1987a. Cell and tissue culture in forestry, Vol. 2: Specific principles and methods: growth and developments. Martinus Nijoff Publishers, Dordrecht, Netherlands.
Bonga, J.M. & Durzan, D.J. 1987b. Cell and tissue culture in forestry, Vol. 3: Case histories: Gymnosperms, Angiosperms and Palms. Martinus Nijoff Publishers, Dordrecht, Netherlands. Campbell, M.M., Brunner, A.M., Jones, H.M. & Strauss, S.H. 2003. Forestry’s fertile crescent: the
application of biotechnology to forest trees. Plant Biotechnology Journal, 1: 141–154. Chaix, G. & Monteuuis, O. 2004. Biotechnology in the forestry sector. In: FAO, 2004b, q.v. Clark, D.A. 2004. Tropical forests and global warming: slowing it down or speeding it up?
Frontiers in Ecology & the Environment 2(2): 73–80. El-Kassaby, Y.A. 2004. Anticipated contribution to and scale of impact of biotechnology in
forestry. In: FAO, 2004b, q.v. FAO. 2010. Current Status and Options for Forest Biotechnologies in developing Countries
(ABCD-10). FAO International Technical Conference. Guadalajara, Mexico. FAO. 2004. Preliminary review of biotechnology in forestry, including genetic modification. Forest
Genetic Resources Working Paper FGR/59E, Forest Resources Development Service, Forest Resources Division. Rome, Italy.
Galiana, A., Goh, D., Chevallier, M.-H., Gidiman, J., Moo, H., Hattah M. & Japarudin,Y. 2003. Micropropagation of Acacia mangium x A. auriculiformis hybrids in Sabah Bois et Forêts des Tropiques 275: 77–82.
Giri, C.C., Shyamkumar, B. & Anjaneyulu, C. 2004. Progress in tissue culture, genetic transformation and applications of biotechnology to trees: an overview. Trees, 18: 115–135.
Goh, D.K.S., Chaix, G., Baillères, H. & Monteuuis, O. 2007. Mass production and quality control of teak clones for tropical plantations: The Yayasan Sabah Group and Forestry Department of Cirad Joint Project as a case study. Bois et Forêts des Tropiques 33:6–9.
Goh, D.K.S. & Monteuuis, O. 2005. Rationale for developing intensive teak clonal plantations, with special reference to Sabah. Bois et Forêts des Tropiques 28: 5–15.
Groover, A.T. 2007. Will genomics guide a greener forest biotech? Trends in Plant Science, 12: 234–238.
|KULTUR JARINGAN TANAMAN HUTAN Asri Insiana Putri, Toni Herawan dan Jayusman
89
Hamrick, J.L. 2004. Response of forest trees to global environmental changes. Forest Ecol. & Management 197: 323–335.
Han KH, Meilan R, Ma C, Strauss SH. 2000. An Agrobacterium tumefaciens transformation protocol effective on a variety of cottonwood hybrids (genus Populus). Plant Cell Rep 19:315–320.
Henderson, A.R. & Walter, C. 2006. Genetic engineering in conifer plantation forestry. Silvae Genetica, 55(6): 253–262.
Herawan, T. 2000. Protokol kultur Jaringan Tanaman Hutan. Informasi Teknis. BPPPBTH. No. 1. 2000.
Hoenicka, H. & Fladung, M. 2006. Genome instability in woody plants derived from genetic engineering. pp. 301–321, in: M. Fladung & D. Ewald (editors). Tree transgenesis – recent developments. Springer, Berlin, Heidelberg and New York.
Levee V, Garin E, Klimaszewska K. & Seguin A. 1999. Stable genetic transformation of white pine (Pinus strobus L.) after cocultivation of embryogenic tissues with Agrobacterium tumefaciens. Mol Breed 5:429–440
Merkle, S.A. & Nairn, C.J. 2005. Hardwood tree biotechnology. In vitro Cellular & Developmental Biology–Plant, 41: 602–619.
Millar, C.M., Stephenson, N.L. & Stephens, S.L. 2007. Climate change and forests of the future: managing in the face of uncertainty. Ecological Applications 17: 2145–2151.
Park, Y.S., Barret, J.D. & Bonga, J.M. 1998. Application of somatic embryogenesis in high–value clonal forestry: deployment, genetic control, and stability of cryopreserved clones. In Vitro Cell. Dev. Biol.–Plant. 34: 231–239.
Putria, A. I. 2010. Toleransi Masam Vitex pubescens Vahl. In-vitro dan Ex-vitro. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 4 No. 2, September 2010. BBPBPTH. Yogyakarta. Indonesia.
Putrib, A. I. 2010. Pongamia pinnata - Rhizobium: Spesies Simbiotik Bernilai Konservasi Tinggi. Pertemuan Ilmiah Konservasi Hutan (Belum dipublikasikan).
Strauss, S.H., Coventry, P., Campbell, M.M., Pryor, S.M. & Burley, J. 2001a. Certification of genetically modified forest plantations. International Forestry Review, 3: 87–104.
Strauss, S.H., Rottmann, W.H., Brunner, A.W. & Sheppard, L.A. 1995. Genetic engineering of reproductive sterility in forest trees. Molecular Breeding, 1: 5–26.
Tartorius, T.E., Fowke, L.C. & Dunstan, D.I. 1991. Somatic embryogenesis in conifers. Can. J.Bot. 69, 1873–1899.
Tian, L., Levee V, Mentag R., Charest, P. J., Seguin A. 1999. Green Fluorescent Protein as a Tool for Monitoring Transgene Expression in Forest Tree Species. Tree Physiology 19. 541-456.
Trontin, J.F., Walter, C., Klimaszewska, K., Park, Y.-S. & Walter, M.-A. 2007. Recent progress in genetic transformation of four Pinus spp. Transgenic Plant Journal, 1(2): 314–329).
Von Arnold, S. 2008. Somatic Embryogenesis In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition Vol.1. The Background. E.F. George, M.A. Hall and G.J. De Klerk. (Eds.). Springer. Dordrecht. The Netherlands
Walter, C. & M. Menzies. 2010. Genetic Modification as a Component of Forest Biotechnology In Forest and Genetically Modified Trees. Rome, Italy.
Wann, S.R. 1988. Somatic embryogenesis in woody species [Review]. Hortic. Rev. 10: 153–81. Watt, M.P., Blakeway, F.C., Mokotedi, M. & Jain, S.M. 2003. Micropropagation of Eucalyptus. In
S.M. Jain & K. Ishii, eds. Micropropagation of woody trees and fruits, pp. 217–244. Dordrecht, Netherlands, Kluwer.
Watt, M.P., Blakeway, F., Cresswell, C.F. & Herman, B. 1991. Somatic embryogenesis in Eucalyptus grandis. S. African For. J. 157: 59–65.
Wenk, A. R., Quinn M., Whetten R. W., Pullman G., & Sederoff R. 1999. High-efficiency Norway Spruce (Picea taeda). Plant Mol. Biol. 39: 407 – 416.
Bunga Rampai | 79 - 90
90
Wheeler, N. 2004. A snapshot of the global status and trends in forest biotechnology. In FAO, 2004b, q.v.
Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic embryogenesis factors influencing coordinated behaviour of cells as on embryogenic group. Ann. Bot. 57: 443-462.
Xiao-hong, Z., C. Yan-sheng, W. An-zhi, Y. Tu-xi, K. Bing, Y. Heng. 1999. Shaanxi Province and Chinese Academy of Science. Yangling, Shaanxi 712100.
91
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER
ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
ABSTRAK Penelitian genetika molekuler di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) diaplikasikan di hutan alam maupun hutan tanaman, masing-masing ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penyusunan strategi konservasi dan strategi pemuliaan tanaman. Penelitian di hutan alam meliputi analisis genetika populasi yang mengungkap fenomena alam yang menyebabkan perbedaan tingkat keragaman genetik di dalam maupun antar populasi; dan verifikasi asal usul kayu untuk tujuan perlindungan terhadap jenis unggulan di Indonesia. Sedangkan penelitian di kebun benih meliputi menduga perubahan level keragaman genetik akibat seleksi pohon secara intensif, identifikasi klon, sistem perkawinan, analisis tetua, pola gene flow dan genome. Tulisan ini merupakan review peningkatan aplikasi penelitian genetika molekular di BBPBPTH.
Pendahuluan
Penelitian genetika molekuler memberikan informasi struktur dan rekombinasi gen serta proses
pewarisan genetik. Review terhadap sekitar 3,000 referensi di tingkat internasional menunjukkan
bahwa cabang penelitian genetika molekuler yang banyak dilakukan adalah identifikasi genetika
populasi kemudian diikuti oleh genome (FAO 2010). Sedangkan jenis yang paling banyak
dilaporkan yaitu Pinus, Eucalyptus, Populus, Picea, Quercus dan Acacia.
Penelitian genetika molekuler dilakukan di hutan alam maupun hutan tanaman. Penelitian di
hutan alam lebih diutamakan untuk meningkatkan efisiensi strategi konservasi dan lebih bersifat
dinamis. Adapun penelitian yang sering dilakukan di hutan alam ditujukan untuk menduga
perubahan level keragaman dan struktur genetik populasi akibat perpindahan gene (gene flow) oleh
serbuk sari maupun biji. Gene flow kerapkali dikaitkan dengan area hutan menyambung maupun
terfragmentasi yang diduga dengan parameter IBD (Isolation by Distance). Satuan konservasi yang
digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi konservasi adalah ESU (Evolutionary System
Unit) dan MU (Managemen Unit) (Tsuda dan Ide 2005). ESU merupakan satuan konservasi untuk
menduga sistem evolusi suatu jenis, dan mengkonservasi pada level sub taksonomi, sedangkan MU
merupakan satuan konservasi untuk menduga populasi lokal dan mengkonservasi pada level
perbedaan allele frekuensi dan phylogenetik. Di hutan tanaman seperti kebun benih, penelitian
genetika molekuler dilakukan untuk meningkatkan efisiensi managemen kebun benih dan strategi
pemuliaan dalam rangka menyediakan benih berkualitas dan berkuantitas. Kegiatan penelitian yang
dilakukan adalah menduga perubahan tingkat keragaman genetik akibat seleksi pohon secara
| Bunga Rampai | 91 - 106
92
intensif, memaksimalkan nilai perolehan genetik dengan potensi genetik yang ada dengan menduga
sistem perkawinan, kontaminasi serbuk sari, analisis tetua, laju selfing/ outcrossing, pola gene flow
dan mempercepat strategi pemuliaan dengan memetakan gen pengatur sifat (quantitative traits loci
- QTL) melalui metode peta struktur QTL maupun fungsional transkriptomik.
Penelitian genetika molekuler awalnya dilakukan berdasarkan penanda isozyme. Kemudian
untuk memberikan hasil yang lebih akurat, penelitian genetika molekuler berkembang
menggunakan penanda DNA (Deoxyribonucleic Acid) berbasis PCR (Polymorphism Chain
Reaction). DNA adalah asam nukleat yang terdiri dari instruksi genetik yang digunakan dalam
perkembangan dan fungsi metabolisme semua makhluk hidup. Penanda DNA adalah sekuen DNA
non coding, terletak di dalam kromosom dan dapat mengidentifikasi sel, individu maupun spesies.
Penanda DNA yang sering digunakan untuk analisis genetika molekuler yaitu RFLP
(Restriction Fragment Length Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism;
Vos dkk. 1995), RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) (William dkk.1990), SCAR
(Sequence Characterized Amplified Region), nukleus mikrosatelit/SSR (Simple Sequence Repeat)
maupun kloroplas (Weishing dan Gardner 1999) dan SNP (Single Nucleotide Polymorphism).
Aplikasi penggunaan penanda DNA tergantung pada tujuan analisis dengan tingkat akurasi
yang berbeda-beda. Penanda RFLP atau RAPD sering digunakan untuk analisis tingkat keragaman
genetik. Penanda AFLP digunakan untuk studi evolusi, dimana menggunakan keseluruhan untaian
DNA. Aplikasi penanda SSR dilakukan untuk menduga sistem perkawinan, analisis tetua, dan
menyusun peta genetik. Nukleus SSR diaplikasikan untuk menduga sistem perkawinan dan analisis
tetua dimana mendeteksi kombinasi gamet tetua, sedangkan kloroplast SSR mendeteksi gamet garis
tetua jantan pada jenis konifer. Penanda SNP sering digunakan untuk menyusun peta genetik.
Penelitian genetika molekuler terus berkembang pesat dan dinamis sehingga aspek yang diteliti
semakin bertambah. Bunga rampai ini merupakan sebuah review dimana menggambarkan status
dan trend terkini penelitian genetika molekuler baik di tingkat internasional, nasional maupun Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Tujuan review adalah untuk
mengetahui kesesuaian program dan aktivitas serta level penelitian bidang genetika molekuler yang
dilakukan di Balai Besar dengan penelitian di level internasional maupun nasional. Hasil review ini
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penetapan program dan aktivitas penelitian untuk
memperoleh hasil penelitian yang lebih baik sehingga memberikan pengaruh yang lebih nyata
terhadap pembangunan kehutanan Indonesia. Penelitian genetika molekuler yang direview berikut
ini meliputi; genetika populasi di hutan alam, verifikasi asal-usul kayu yang bernilai ekonomi
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
93
tinggi, identifikasi klon dan tetua unggul, identifikasi patogen yang disebabkan oleh jamur, dan
peta gen pengatur sifat kuantitatif (QTL). Metodologi review dilakukan berdasarkan studi referensi
terhadap penelitian-penelitian yang dilakukan di tingkat internasional, nasional dan Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Aspek Penelitian Genetika Molekuler Di Hutan Alam
Perubahan struktur genetik di hutan alam disebabkan oleh proses rekombinasi gen dan proses
reproduksi akibat phenomena alam. Tipe habitat sebaran spesies yang terjadi secara alam adalah
hutan murni satu jenis, hutan campuran beda jenis dan beda genus, hutan campuran beda jenis
namun satu genus (sympatric). Proses reproduksi yang terjadi di tipe hutan murni maupun hutan
campuran beda jenis dan beda genus, hanya akan terjadi hibridisasi intraspesifik, namun pada tipe
hutan campuran beda jenis dalam satu genus sering memicu terjadinya hibridisasi alam baik
intraspesifik maupun interspesifik. Oleh karena itu untuk merancang satu strategi konservasi di
hutan alam didasarkan pada satuan managemen dan satuan sistem evolusi (Tsuda dan Ide, 2005).
Aspek penelitian genetika molekuler menggunakan satuan managemen didekati pada tingkat
perbedaan allele frekuensi populasi dan phylogenetik misalnya keragaman genetik dan perbedaan
genetik antar populasi karena proses aliran gene, sedangkan satuan sistem evolusi didekati pada
tingkat sub taksonomi misalnya penelitian hibridisasi alam. Selain itu, lokasi hutan alam yang
menarik diujikan adalah hutan terfragmentasi (Aldrich dan Hamrick, 1998), jenis dengan sebaran
yang luas (Tsuda dan Ide, 2005; Bucci dkk. 2007) dan lokasi riparian (daerah aliran sungai; Arens
dkk. 1998).
Analisis Keragaman Genetik
Analisis keragaman genetik dilakukan untuk menduga tingkat keragaman genetik di dalam dan
antar populasi. Aspek genetika populasi adalah penurunan tingkat keragaman genetik karena
gangguan rekombinasi gen (genetic drift; Aldrick dan Hamrick 1998) dan leher botol (bottleneck )
akibat penurunan luasan populasi (Bradshaw dkk. 2007).
Di Indonesia, aspek penelitian genetika populasi belum banyak dilakukan. Pendugaan tingkat
keragaman genetik dilaporkan pada Paraserianthes falcataria (Hartati dan Prana 1996), Pinus
merkusii (Naiem dan Indrioko 1996; Naiem 2000), Shorea spp. (Siregar dkk. 1998, Sudarmonowati
dkk.2000; Sudarmono dkk. 1997) dan Tectona grandis (Kertadikara 1996). Selain itu, analisis
genetik yang dilakukan menggunakan penanda isozyme, RAPD dan AFLP.
| Bunga Rampai | 91 - 106
94
Studi keragaman genetik di Balai Besar dilakukan terhadap jenis-jenis prioritas untuk kayu
pulp, kayu pertukangan maupun produk non kayu. Meskipun banyak aspek yang bisa dipelajari
dalam analisis keragaman, namun analisis yang dilakukan lebih banyak mengulas mengenai tingkat
keragaman genetik di dalam populasi dan hubungan kekerabatan antar populasi. Hasil studi
keragaman genetik diaplikasikan untuk merekomendasikan strategi konservasi maupun pemuliaan
tanaman seperti diuraikan berikut ini.
Menggunakan penanda isozyme, keragaman genetik Paraserianthes falcataria di populasi alam
mempunyai level yang sangat rendah (Seido dkk. 1993; Suharyanto dkk. 2002). Pada populasi
hutan alam P. falcataria terbagi menjadi 3 populasi yaitu, Biak, Wamena dan Halmahera,
sedangkan populasi hutan tanaman di Jawa berkerabat secara genetik dengan populasi Biak
(Suharyanto dkk. 2002). Keragaman genetik yang sangat rendah dan hubungan kekerabatan yang
tinggi antar populasi menyebabkan penyakit pada sengon sulit diatasi. Oleh karena populasi Jawa
dekat dengan Biak maka untuk memperluas genetik base hutan tanaman yang ada di Jawa harus
mengumpulkan populasi alam selain Biak.
Menggunakan penanda SSR, keragaman genetik S. leprosula pada populasi alam di Jambi pada
level sedang (HE=0,710) dan levelnya hampir sama dengan populasi kebun pangkas (HE=0,686)
(Rimbawanto dan Isoda 2001; Isoda dkk. 2001). Hal ini menunjukkan tidak adanya penurunan
genetik antar hutan alam dan kebun pangkas. Jarak genetik antar populasi Kalimantan dan
Sumatera termasuk dalam kategori tinggi (0,393) (Prihatini, dkk. 2001) sehingga untuk tujuan
konservasi genetik kedua populasi ini harus dipisahkan.
Analisis keragaman genetik pada jenis-jenis penghasil gaharu seperti Aquilaria spp. dan
Gyrinops spp. dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor genetik terhadap produktivitas gaharu.
Keragaman genetik 5 populasi G. verstegii di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB)
dianalisis menggunakan penanda RAPD menunjukkan nilai sedang (0,288) untuk dalam populasi,
demikian juga untuk keragaman genetik antar populasinya (0,148) (Widyatmoko, dkk., 2009).
Analisis klaster membagi 5 populasi G. verstegii ke dalam dua kelompok besar. Distribusi
keragaman dan pola pengelompokan populasi dalam kelompok mengindikasikan bahwa upaya
konservasi lebih efektif jika pengumpulan materi genetik mengutamakan individu dalam populasi
dengan tetap memperhatikan pola pengelompokan populasi. Hingga saat ini penelitian masih dalam
proses untuk mengembangkan penanda DNA yang bisa membedakan antara individu yang rentan
dan resisten terhadap inokulan jamur penghasil gaharu (Rimbawanto dkk. 2009b). Untuk
meningkatkan produktifitas gaharu, analisis keragaman genetik juga diharapkan bisa membedakan
antara Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa dimana mempunyai kemiripan secara morfologi
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
95
(Rimbawanto dkk. 2006). Namun demikian hanya 2 putative lokus dari 336 lokus hasil screening
penanda RAPD diduga membedakan kedua jenis tersebut. Sehingga masih perlu dilakukan
screening penanda yang lebih mampu membedakan gen rentan terhadap inokulan.
Analisis keragaman genetik diaplikasikan pada nyamplung (Calophyllum inophylum),
merupakan salah satu jenis penghasil bahan bakar minyak yang dapat diperbarui (biofuel). Hasil
sementara untuk populasi alam di Jawa, Bali dan Sulawesi menunjukkan bahwa keragaman genetik
didalam populasi menunjukkan nilai yang rendah menggunakan penanda RAPD (HE=0,200;
Widyatmoko dkk. 2009). Dendrogram disusun berdasarkan jarak genetik menunjukkan adanya
kecenderungan pengelompokan antar pulau. Untuk menjaga kemurnian genetik, plot konservasi
harus dipisahkan berdasarkan pulau. Untuk memperluas genetik base, pengumpulan materi genetik
untuk pembangunan suatu uji keturunan harus dilakukan dengan populasi yang luas.
Analisis keragaman genetik cendana (Santalum album) menggunakan 17 penanda RAPD
menunjukkan tingkat keragaman yang sedang (0,391), sedangkan jarak genetik antar populasi
menunjukkan nilai yang kecil (0,038) (Rimbawanto dkk. 2006). Berdasarkan hasil diatas strategi
konservasi yang disarankan adalah mengoleksi banyak individu pada beberapa populasi saja.
Untuk analisis keragaman genetik populasi ulin (Eusideroxylon zwageri) menggunakan 23
penanda RAPD menunjukkan bahwa keragaman genetik dalam populasi menunjukkan level sedang
(0,378) dan jarak genetik yang cukup tinggi (0,182). Sedangkan dendrogram menunjukkan
populasi Sepaku (Kalteng), Seruyan Hulu (Kalteng) dan Sumber Barito (Kalteng) membentuk satu
klaster, sedangkan populasi Nanga Tayap (Kalbar) membentuk klaster yang lain (Sulistyawati dkk.
2005). Oleh karena jarak genetik antar populasi cukup besar maka strategi konservasi yang harus
ditempuh adalah mengumpulkan individu dalam beberapa populasi dengan tetap menjaga
kemurnian genetik masing-masing populasi.
Menggunakan penanda RAPD, keragaman genetik populasi merbau berkisar antara 0,257-
0,317, termasuk dalam level sedang. Jarak genetik antar populasi termasuk dalam level tinggi
(0,141). Dendrogram menunjukkan bahwa meskipun populasi Nabire dan Manokwari terdapat pada
pulau yang sama, namun jarak genetik kedua populasi tersebut besar (Rimbawanto dkk. 2006).
Sehingga untuk tujuan konservasi, penanaman kedua populasi dalam plot konservasi harus dipisah
supaya tidak terjadi kontaminasi gen.
Analisis keragaman genetik 64 pohon A. cunninghamii yang berasal dari 7 populasi di Papua
dan 1 populasi di Australia menggunakan 23 primer RAPD menunjukkan level keragaman genetik
yang sedang (0,270) (Widyatmoko dkk., 2009). Sedangkan jarak genetik antar populasi cukup
| Bunga Rampai | 91 - 106
96
rendah (0,092). Delapan populasi terbagi menjadi 2 kelompok besar yang membedakan kedua
negara.
Hasil sementara analisis keragaman genetik 3 populasi Suren yaitu Candiroto, Sumedang dan
Mataram menggunakan penanda RAPD menunjukkan level keragaman yang rendah (Widyatmoko
dkk. 2008). Tingkat keragaman yang rendah biasa ditemukan pada jenis-jenis eksotik. Rendahnya
tingkat keragaman genetik menyebabkan uji klon menjadi strategi pemuliaan untuk jenis ini.
Analisis Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan menunjukkan keberhasilan proses reproduksi untuk menghasilkan individu
baru, dimana keberhasilan ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Sistem
perkawinan berbeda untuk gymnosperm dan angiousperm; tanaman dengan penyerbukan yang
dibantu oleh angin cenderung mempunyai laju outcrossing yang lebih tinggi dibandingkan tanaman
dengan polinator serangga. Parameter sistem perkawinan menggunakan tingkat keragaman genetik
(El-Kassaby dkk. 1984), koefisien inbreeding (El-Kassaby dkk. 1989), laju selfing / outcrossing
(Adam dan Joly 1980; Friedman dan Adams 1985), gene flow dan luasan populasi efektif. Untuk
mempertahankan tingkat keragaman genetik, sistem perkawinan harus random dan seimbang atau
tidak adanya tendensi perkawinan yang memilih. Pada populasi breeding di suatu kebun benih atau
uji-uji untuk menghasilkan benih unggul, sistem perkawinan random akan menjamin bahwa
kualitas genetik pohon plus terpilih akan diturunkan pada generasi selanjutnya.
Di level nasional, menggunakan penanda isozyme, pendugaan laju outcrossing telah dilakukan
terhadap Tectona grandis (Kertadikara 1996) dan P. merkusii (Siregar dan Hattemer 2004).
Rata-rata laju outcrossing populasi alam Nyamplung di Alas Purwo dan Cilacap maupun
populasi hutan tanaman di Gunung Kidul menunjukkan nilai yang tinggi dengan gene flow yang
luas (data belum dipublikasikan). Sinkronisasi pembungaan dan luasan populasi yang besar
mempengaruhi tingginya laju outcrosing dan gene flow.
Verifikasi Asal-Usul Kayu Yang Bernilai Ekonomi Tinggi
Pembalakan liar merupakan salah satu masalah terbesar bagi kehutanan Indonesia, sehingga
diperlukan metode yang akurat dan efektif untuk melacak log kayu terutama dari jenis yang
bernilai ekonomi tinggi. Metode lacak balak menggunakan penanda DNA sedang diinisiasi pada
kayu merbau (Instia bijuga). Pengembangan metode lacak balak terhadap jenis ini sedang
dilakukan oleh peneliti dari Jerman menggunakan penanda SSR dan cp-SSR. Di level nasional,
metode lacak balak juga sedang marak dikembangkan. Balai Besar pun sedang menyusun strategi
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
97
lacak menggunakan beberapa penanda DNA (sekuensing cp-DNA, SSR dan SNP) untuk
meningkatkan akurasi analisis genetik. Langkah awal strategi tersebut antara lain menyusun
database kayu merbau baik yang masih ada di hutan alam sampai hutan tanaman dan toko kayu
menggunakan sekuen cp-SSR. Hingga saat ini, metode ekstraksi DNA dari materi berupa kayu
olahan sudah dikuasai yaitu menggunakan Extract-N-Amp tm (Sigma) walaupun jumlah DNA
masih sangat sedikit. Analisis fragment DNA akan segera dilakukan pada kegiatan penelitian
selanjutnya (Widyatmoko dkk. 2009).
Selain itu, Balai Besar juga menerapkan konsep lacak balak pada jati, dimana banyak informasi
jati unggul yang kebenarannya belum bisa dibuktikan. Analisis fragment DNA menggunakan
penanda RAPD, SCAR dan SSR, sedang dikemas dalam suatu bentuk kumpulan data genetik
(database) (Rimbawanto dkk. 2005). Analisis genetik sudah dilakukan terhadap 46 provenan asal
Sulawesi, dan uji keturunan di Cepu dan Bojonegoro. Kemudian untuk mengidentifikasi asal-usul
jati yang beredar di pasaran, materi genetik dikoleksi dari perusahaan pengada bibit yang ada di
Surabaya dan Jakarta. Analisis klaster menunjukkan bahwa populasi Sulawesi terpisah dari
populasi non-Sulawesi (Rimbawanto dkk. 2006). Hal ini menunjukkan bahwa apabila ada pengada
bibit yang mengaku bahwa bibit yang diproduksi berasal dari salah satu populasi di Sulawesi maka
akan bisa dibuktikan dengan mencocokkan database genetik yang telah disusun dengan data
genetik bibit tersebut.
Klarifikasi Hibridisasi Alam
Aspek penelitian genetika populasi diantaranya adalah analisis struktur ruang (spatial
autocorrelation). Struktur ruang merupakan hasil dari sejumlah faktor genetik-lingkungan dan
hibridisasi interspesifik, yang nilainya bervariasi antar populasi, generasi dan mikrohabitat
(Wallace, 2006). Struktur ruang terjadi ketika gene flow terhambat di populasi alam terfragmentasi
atau karena terisolasi oleh jarak demografi (isolation by distance (IBD) (Aldrich dkk.2005, Hardy
dan Vekemans 1999). Pengetahuan tentang struktur ruang merupakan kunci dari proses evolusi
(Smouse dan Peakall 1999).
Hibridisasi interspesifik sering terjadi di hutan alam yang menyebabkan munculnya jenis baru
yang berbeda secara morfologis dengan kedua induknya. Hibridisasi secara alam terjadi pada jenis
Populus nigra yang diduga merupakan hasil interspesifik hibrid antara P. deltoides dan P. x
euramericana (Arens dkk. 1998). Identifikasi hibridisasi alam pada P. nigra menggunakan penanda
DNA merupakan informasi penting untuk strategi konservasi jenis tersebut.
| Bunga Rampai | 91 - 106
98
Contoh lain interspesifik hibrid terjadi pada F. moesiaca. Berdasarkan analisis morfologis dan
ITS (internal transcribed spacer) Fagus orientalis, F. sylvatica dan F moesiaca merupakan jenis
yang sama. Namun berdasarkan penanda AFLP dan cp-SSR, 3 Fagus tersebut menunjukkan jenis
yang berbeda (Gailing dan Wuehlisch, 2004). Interspesifik hibridisasi alam terjadi pada
F. orientalis dan F. sylvatica yang menghasilkan F. sylvatica var.moesiaca. meskipun lokasi
geografis jenis tersebut berjauhan, masing-masing dari Turki, Jerman dan Italia. Penelitian ini
mengungkap bahwa pada jaman rekolonisasi postglacial, terdapat zona hibridisasi antar dua jenis
tersebut di Yunani sehingga menghasilkan F. sylvatica var moesiaca.
Interspesifik hibridisasi alam banyak terjadi pada genus Abies baik secara alam (Isoda dkk.
2000) maupun melalui penyerbukan buatan (Liu, 1970). Interspesifik hibridisasi alam pada konifer
mudah terdeteksi menggunakan penanda organel seperti cp-DNA dan mitokondria-DNA karena
dua penanda tersebut masing-masing menurunkan garis tetua jantan dan tetua betina (Isoda dkk.
2000). Keberhasilan proses hibridisasi alam juga sangat rendah, misalnya pada Abies veitchii dan
A. homolepsi, dari 334 hanya 2 individu hibrid. Keberhasilan proses hibridisasi dibatasi oleh
tingginya hambatan sistem reproduksi, misalnya proses hibridisasi dua jenis di atas terjadi apabila
A. veitchii berlaku sebagai tetua betina dan A. homolepsi berlaku sebagai pendonor serbuk sari, dan
tidak berlaku sebaliknya. Selain itu, keberhasilan hibrid terjadi karena kedekatan dua jenis secara
taksonomi.
Jenis yang berpotensi merupakan hasil interspesifik hibrid alam yang sedang dikembangkan di
Balai Besar adalah Ulin dan Aquilaria spp. Informasi proses hibridisasi ini sangat dibutuhkan untuk
strategi konservasi sehingga dapat menentukan kemurnian genetik jenis yang akan dikonservasi.
Phylogenetik
Analisis phylogenetik menunjukkan hubungan kekerabatan secara genetik antar jenis. Analisis
ini sering diaplikasikan untuk mengidentifikasi proses hybridisasi dimana menunjukkan karekater
morphologi yang hampir sama akan tetapi digolongkan dalam jenis yang berbeda. Analisis ini juga
digunakan untuk merevisi sistem taksonomi. Aplikasi phylogenetik dilakukan terhadap jenis
konifer (Tsumura dkk. 2005), verifikasi hibridisasi antar jenis Pinus (Arens dkk. 1998). Konsep
phylogenetik belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun demikian, di Balai Besar,
menggunakan penanda RAPD, analisis klaster menunjukkan bahwa 4 jenis Acacia menjadi
2 klaster yaitu klaster 1 terdiri dari A. aulacocarpa dan A. crassicarpa, klaster 2 terdiri dari A.
auriculiformis dan A. mangium (Widyatmoko dkk., 2010). Hasil ini menunjukkan bahwa
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
99
keberhasilan persilangan antar jenis akan meningkat apabila dilakukan terhadap jenis dalam satu
klaster.
Aspek Penelitian Genetika Molekuler Di Kebun Benih
Penelitian molekuler breeding di kebun benih dilakukan untuk meningkatkan efisiensi
managemen kebun benih dan strategi pemuliaan. Populasi pemuliaan harus mempunyai keragaman
genetik yang tinggi dan luas untuk memenuhi kebutuhan seleksi pohon dalam suatu strategi
pemuliaan. Konseptual hubungan keragaman genetik dan perolehan genetik digambarkan sebagai
bentuk piramida terbalik dalam sebuah program managemen sumber benih (Burdon dan Low
1992). Piramida tersebut menggambarkan bahwa keragaman genetik pada populasi dasar harus luas
untuk mengantisipasi penurunan tingkat keragaman genetik pada proses seleksi pohon dalam
strategi pemuliaan. Nilai keragaman genetik akan menurun pada populasi uji pemuliaan namun
nilai perolehan genetik meningkat. Demikian pula pada populasi produksi dimana nilai keragaman
genetik menurun namun nilai perolehan genetik paling tinggi. Dari konsep keragaman genetik
versus perolehan genetik tersebut maka muncul aspek penelitian di kebun benih/sumber benih yaitu
analisis keragaman genetik karena sistem seleksi pohon secara intensif di kebun benih (Gomory
1992). Selain itu, untuk memaksimalkan perolehan genetik dengan status keragaman genetik yang
ada maka muncul aspek penelitian lain yaitu, analisis sistem perkawinan, analisis gene flow,
analisis tetua dan identifikasi klon di kebun benih klonal. Untuk mempercepat strategi pemuliaan
atau merupakan shorcut proses pemuliaan pohon maka dilakukan aspek penelitian identifikasi gen
pengatur sifat kuantitatif (QTL) melalui sruktural genome (seperti asosiasi peta QTL) maupun
fungsional genome (seperti transcriptomik).
Analisis Keragaman Genetik
Menggunakan penanda RAPD, rata-rata keragaman genetik didalam populasi A. mangium di
populasi pemuliaan kebun benih F1 termasuk dalam level rendah (He=0,129; Widyatmoko 1996).
Dari 6 provenan dari PNG yang diuji, terbentuk 2 klaster, dimana klaster tersebut menunjukkan
kedekatan genetik antar provenan. Sedangkan berdasarkan cp-DNA, terdapat 3 klaster populasi
yaitu populasi Maluku, PNG dan Queensland (Rimbawanto 1999). Dari hasil tersebut diatas, untuk
menjaga tingkat keragaman genetik A. mangium konsep infusi genetik dan hibridisasi bisa
diterapkan. Sedangkan jarak genetik yang tinggi antar 3 provenan tersebut menunjukkan perbedaan
struktur genetik ketiga provenan, sehingga untuk menjaga kemurniaan genetik, penanaman di
kebun benih harus dipisahkan berdasarkan provenan.
| Bunga Rampai | 91 - 106
100
Analisis Sistem Perkawinan
Berdasarkan data penanda SSR, biji dalam satu pod pada A. mangium di kebun benih
merupakan hasil perkawinan sendiri (Isoda dkk. 2002). Hal ini menunjukkan adanya tendensi
sistem perkawinan dengan sebaran serbuk sari yang tidak terlalu luas. Namun demikin, oleh karena
informasi laju outcrossing belum diketahui, sehingga belum bisa dipastikan bahwa apakah sistem
perkawinan didalam kebun benih tersebut merupakan sistem perkawinan yang random atau tidak.
Sistem perkawinan dan gene flow diamati di kebun benih P. merkusii menggunakan penanda
SSR (Nurtjahjaningsih 2009). Hasil menunjukkan bahwa laju outcrossing dikategorikan pada level
yang tinggi, sedangkan gene flow bervariasi tergantung pada kondisi pembungaan.
Aplikasi penelitian genetika molekuler untuk mengidentifikasi tetua unggul dilakukan di kebun
benih A. mangium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon plus di generasi kedua uji
keturunan A. mangium diperoleh dari sistem perkawinan acak/random dalam sinkronisasi
pembungaan. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa pasangan tetua mempunyai tingkat
kecocokan genetik yang tinggi (GCA tinggi) dan tingkat inbreeding depression rendah.
Analisis Pengaruh Seleksi Pohon
Salah satu kegiatan dalam pengelolaan kebun benih ialah seleksi, yang bertujuan untuk
menghilangkan pohon yang mempunyai fenotip kurang baik. Kegiatan seleksi ini akan berpengaruh
terhadap keragaman genetik kebun benih, dimana besar kecilnya perubahan keragaman genetik
tergantung pada metode seleksi yang digunakan. Pada level nasional, belum ada laporan mengenai
penelitian ini.
Di Balai Besar, untuk mengetahui pengaruh dari kegiatan seleksi, digunakan 4 metode seleksi
simulasi berdasarkan data tinggi, diameter dan kelurusan batang pohon-pohon yang terdapat di
kebun benih A. mangium di Wonogiri, Jawa Tengah (Widyatmoko dkk., 2006). Perbedaan keempat
metode tersebut terletak pada penentuan ranking pohon yang dipilih dan famili serta provenan yang
diwakilinya. Analisis keragaman genetik dilakukan dengan menggunakan penanda AFLP. Dari
hasil penelitian ini diperoleh bahwa semakin ketatnya seleksi yang dilaksanakan secara nyata tidak
memperlihatkan perbedaan yang besar pada keragaman genetik. Apabila keragaman genetik pada
seleksi random diasumsikan 100%, maka pengaruh tiga metode seleksi yang lain hanya berkisar 4,8
sampai dengan 7,1%. Dengan kata lain, seberapa ketatnya seleksi yang dilaksanakan tidak
memberikan perubahan keragaman genetik yang besar pada kebun benih A. mangium. Hasil ini
tentunya sangat berguna untuk merencanakan strategi pemuliaan A. mangium di masa mendatang.
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
101
Identifikasi Klon
Kebun benih klon dibangun sebagai salah satu sumber benih unggul. Namun demikian
kesalahan dalam identifikasi klon bisa menurunkan kualitas benih yang dihasilkan. Oleh karena
pembangunan kebun klon melibatkan bibit dan tenaga manusia yang banyak, proses pembangunan
kebun klon sering mengalami kesalahan teknis seperti kesalahan penomoran klon pada saat
perbanyakan maupun pengangkutan bibit dari persemaian ke lapangan. Menggunakan penanda
DNA, verifikasi klon akan lebih akurat dibandingkan dengan identifikasi secara morphologi.
Kesalahan identitas klon dideteksi di kebun benih P. thunbergii menggunakan penanda RAPD
(Goto dkk.2002).
Di level nasional, aplikasi identifikasi klon diaplikasikan pada Tectona grandis menggunakan
penanda RAPD (Dwifany 2002, Cintamulya 2002). Identifikasi jenis, kultivar dan varietas juga
dilakukan terutama tanaman pertanian dan perkebunan oleh BPPT (Marwoto dkk. 2010).
Di Balai Besar, identifikasi klon dilakukan terhadap Pinus merkusii menggunakan penanda
RAPD (Widyatmoko dkk. 1996). Identifikasi klon juga dilakukan terhadap 118 pohon plus Tectona
grandis menggunakan penanda isozyme (Widyatmoko 1996). Menggunakan penanda SCAR
identifikasi klon T. grandis memberikan hasil yang lebih akurat. Dari 16 klon jati yang
diidentifikasi, ramet dari 4 klon menunjukkan ketidaksesuaian dengan klonnya (Rimbawanto dkk.
2002). Identifikasi klon sudah diaplikasikan terhadap penjualan bibit jati di pasaran, dimana
menunjukkan pengelompokan yang jelas antara klon hasil kultur jaringan dan bibit non kultur
jaringan (Yuskianti 2009).
Identifikasi hybrid dilakukan terhadap hibridisasi buatan antara A. mangium dan A. auriculiformis
menggunakan penanda SCAR (Sunarti dkk. 2008).
Identifikasi Pathogen Jamur
Analisis identifikasi pathogen jamur merupakan metode pengamanan hutan dari hama dan
penyakit. Identifikasi jamur baik patogen (penyakit busuk akar) maupun non patogen (penghasil
gaharu) bisa dideteksi menggunakan teknik PCR ITS (Polymerase Chain Reaction-Internal
Transcribed Spacer) yang menunjukkan lokasi genome nukleous. Identifikasi sekuen hasil PCR
jamur ini akan dibandingkan dan dicocokkan dengan referensi database, sehingga diketahui jenis
jamur tersebut. Di level nasional, penelitian bio-security belum banyak dilaporkan. Namun
demikian, Balai besar sudah menyusun database jamur penyebab busuk akar pada A. mangium.
Ada beberapa metode untuk menguji keakuratan sekuen jamur yang diteliti dengan referensi
| Bunga Rampai | 91 - 106
102
database (Sulistyawati 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam suatu infeksi penyakit
Ganoderma terdapat variasi jenis dan jumlah jamur yang menyerang sel/ jaringan. Dengan
ditemukannya jenis dan jumlah jamur Ganoderma, managemen penyakit pada Acacia akan lebih
efektif.
Peta Gen Pengatur Sifat Kuantitatif (Qtl)
QTL (Quantitative traits loci) merupakan asosiasi statistik antara penanda DNA dan gene
pengatur sifat kuantitatif, seperti pertumbuhan, produksi pulp, kualitas kayu maupun ketahanan
terhadap penyakit. Aplikasi QTL adalah menyeleksi tanaman berdasarkan faktor genetik (MAS-
Marker Assisted Selection) untuk menghasilkan benih unggul sehingga mempersingkat strategi
pemuliaan.
Sekuensial pekerjaan analisis QTL diawali dengan menscreening penanda DNA yang berasosiasi
dengan QTL. Kemudian menggunakan penanda yang ada untuk menyusun peta genetik. Peta
genetik ini akan menunjukkan lokasi gen penanda QTL. Setelah peta genetik tersusun maka seleksi
tanaman dilakukan berdasarkan lokasi gen pengendali sifat (QTL).
Penelitian QTL sudah banyak dilaporkan pada Pinus, Populus, Eucalyptus dan Picea. Kegiatan
penelitian genome difokuskan pada identifikasi kandidat gen (65%) dan peta QTL (31%).
Sedangkan target gen yang diteliti adalah gen pengatur sifat kayu, resisten terhadap ketahanan
terhadap stress lingkungan, laju pertumbuhan, keragaman genetik dan karakter pembungaan.
LIPI dan BPPT merupakan lembaga yang banyak terlibat dalam penelitian peta asosiasi QTL.
Gen penanda sifat ketahanan terhadap lingkungan ekstrim telah diinisiasi pada Avicennia alba
menggunakan penanda RAPD (Sinulingga 2002). Gen penanda sifat ketahanan penyakit pada P.
falcataria sudah diinisiasi menggunakan pustaka complement DNA (cDNA) (Hartati 2002) dan
menggunakan penanda RAPD dan AFLP (Sudarmonowati dkk. 2001). Peta genetik sifat tumbuh
dilakukan pada Eucalyptus (Marwoto 2010).
Sedangkan di tingkat Balai Besar, peta genetik terhadap sifat pertumbuhan A. mangium telah
diinisiasi menggunakan penanda SSR. Hingga saat ini, inisiasi peta linkage genetik sudah tersusun
dan beberapa penanda yang digunakan berasosiasi dengan sifat tumbuh.
Kesimpulan
Aspek penelitian bidang genetika molekuler di Balai Besar sudah sejalan dengan penelitian di
tingkat internasional, bahkan dari hasil review yang dilakukan, ada indikasi penelitian di Balai
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
103
lebih maju dibandingkan level nasional. Misalnya saja dari segi penanda genetik yang digunakan;
di institusi penelitian lain masih menggunakan analisis berbasis isoenzyme, sedangkan di Balai
Besar sudah menggunakan penanda berbasis PCR, seperti RAPD, SCAR dan SSR, dimana penanda
ini memberikan hasil yang lebih akurat.
Namun demikian aspek-aspek ini masih dibatasi oleh tupoksi Balai Besar yaitu penelitian
genetika molekuler untuk mendukung program konservasi sumber daya genetik dan program
pemuliaan. Selain itu, masih adanya keterbatasan dalam mengulas hasil yang diperoleh, sehingga
untuk memberikan impact yang nyata terhadap pembangunan kehutanan Indonesia, hasil penelitian
harus lebih diulas dengan lebih cermat dan tajam.
Daftar Pustaka Adams, W.T., Joly, R.J. 1980. Allozyme studies in Loblolly pine sees orchards: Clonal variation
and frequency of progeny due to self-fertilization. Silvae Genetica 29 (1):1-4 Aldrich, P.R., Glaubitz, J.C., Parker, G.R., Rhodes, O.E.JR., Michler, C.H. Genetic structure inside
a declining red oak community in old-growth forest. Journal of Heredity 96(6): 627-634 Aldrich, P., Hamrick.,J.L. 1998. Reproductive Dominance of Pasture Trees in a Fragmented
Tropical Forest Mosaic. Science 281: 103-105 Arens, P. Coop, H., Jansen, J., Vosman, B. 1998. Molecular genetic analysis of black poplar
(Populus nigra L.) along Dutch rivers. Molecular Ecology 7: 11-18 Bradshaw, C.J.A., Isagi, Y., Kaneko, S., Brook, B.W.,Bowman, D.M.J.S., Frankham, R. 2007. Low
genetic diversity in the bottlenecked population of endangered non-native banteng in northern Australia. Molecular Ecology 16:2998-3008
Bucci, G., Gonzalez-Martinez, S., Proveost, G.L., Plomion, C., Ribeiro, M.M. Sebastiani, F., Alia, R., Vendramin, G.G. 2007. Range-wide phylogeography and gene zones in Pinus pinaster Ait. Revealed by chloroplast microsatellite markers. Molecular Ecology 16: 2137-2153
Burdon, R.D. and Low C.B. 1992. Genetic survey of Pinus radiata. 6: wood properties: variation, heritabilities, and interrelationships with other traits. New Zealand Jurnal of Forestry Science, 22 (2/3), 228-245.
El-Kassaby, Y.A., Fashler, A.M.K, Crown, M. 1989. Variation in fruitfulness in a Douglas-fir seed orchard and its effect on crop-management decisions. Silvae Genetica 38 (3-4): 113-121
Friedman, S.T., Adams, W.T. 1985. Levels of outcrossing in two Loblolly pine seed orchards. Silvae Genetica 34 (4-5): 157-162
Gailing, O. Wuehlisch, G.V. 2004. Nuclear markers (AFLPs) and chloroplast mikrosatellites differ between Fagus sylvatica and F. orientalis. Silvae Genetica 53 (3): 105-110
Gomory, D. 1992. Effect of stand origin on the genetic diversity of Norway spruce (Picea abies Karst.) Populations. Forest Ecology and Management 54: 215-223
Hardy, O.J., Vekemans, X. 1999. Iswolation by distance in a continous population: reconciliation between spatial autocorrelation analysis and population genetics models. Heredity 83: 145-154
Isoda, K., Shiraishi, S., Watanabe, S., Kitamura, K. 2000. Molecular evidence of natural hybridization between Abies veitchii and A. homolepsis (Pinaceae) revealed by chloroplast, mitochondrial and neclear DNA markers. Molecular Ecology 9: 1965-1974
| Bunga Rampai | 91 - 106
104
Isoda, K., Yasman, I., Rimbawanto, A., Prihatini, I. 2001. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial Tropical Trees (ITTO)
Isoda, K., Yuskianti, V., Rimbawanto, A. 2002. Proceeding Advances in genetic improvement of tropical tree species.
JICA-FORDA. 1994. Annual Report 1993-1994 FTIP. No. 18 JICA-BP3BPTH. JICA-FORDA. 1996. Annual Report 1995-1996 FTIP. No. 49 JICA-BP3BPTH. Liu, TS. 1971. A monograph of the Genus Abies. Departement of Forestry, College of Agriculture,
Natonal Taiwan University, Taipei. Prihatini, I., Rimbawanto, A., Isoda, K. 2001. In-situ and Ex-situ Conservation of Commercial
Tropical Trees (ITTO). Rimbawanto, A. 1999. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon 3(1): Rimbawanto, A. Isoda, K. 2001. In-Situ and Ex-Situ Conservation of Commercial Tropical Trees
(ITTO). Rimbawanto, A. Isoda, K., Suharyanto. 2002. Proceeding Advances in Genetic Improvement of
Tropical Tree Species Rimbawanto, A., Shiraishi, S.,Watanabe, A., Widyatmoko, AYPBC. 1996. Tropical Plantation
Establishment Improving Productivity Through Genetic Practices. Procceding International Seminar. Yogyakarta
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2005. Pengujian Asal Usul Bibit Jati dengan Marker DNA. Laporan Kegiatan 2005 Buku 2. p. 8-11
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2006. Pengujian Asal Usul Bibit Jati dengan Marker DNA. Laporan Kegiatan 2006 Buku 2. p. 9-12
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Prihatini, I., Sulistyawati, P., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2006. Evaluasi Peran Faktor Genetik Terhadap Produktivitas Gaharu. Laporan Kegiatan 2006 Buku 2. p. 197-200
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Sulistyawati, P. 2006. Distribusi Keragaman Genetik Populasi Santalum album Berdasarkan Penanda RAPD. Penelitian Hutan Tanaman 3 (3): 175-181
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2007. Evaluasi Status Sumber Genetik Jenis-Jenis Prioritas/ Komersil/ Langka dengan Penanda DNA. Laporan Kegiatan 2007 Buku 2. p. 197-201.
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Nurtjahjaningsih, ILG. Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009a. Log Tracking Kayu Merbau Menggunakan Penanda DNA. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 118-121.
Rimbawanto, A. Widyatmoko, AYPBC, Yuskianti, V., Nurtjahjaningsih, ILG. Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009b. Evaluasi Peran Faktor Genetik Terhadap Produktivitas Gaharu. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 141-144
Smouse, P.E. and Peakall, R. 1999. Spatial autocorrelation analysis of individual multiallele and multilocus genetic structure. Heredity 82: 561-573
Suharyanto, Rimbawanto, A., Isoda, K. 2002. Proceeding Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species.
Sulistyawati, P. 2004. Identifikasi Jenis Jamur dengan Teknik Molekuler. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 1(2): 58-66
Sulistyawati, P., Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A. 2005. Keragaman Genetik Empat Populasi Eusideroxylon zwageri Asal Kalimantan Berdasarkan Penanda RAPD. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan: Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikulur dalam Mendukung Rehabilitasi Hutan. p.383-396
APLIKASI PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER ILG. Nurtjahjaningsih, AYPBC. Widyatmoko dan A.Rimbawanto
105
Sunarti, S. Nirsatmanto, A., Widyatmoko, AYPBC., Setyaji, T., Yuskianti, V., Yuliastuti, D.S., Wahyunisari, Suwandi, Maryanti, A., Sumaryana, Triyanta, Y. 2008. Uji persilangan dalam jenis dan antar jenis pada jenis-jenis Acacia dan Eucalyptus. Laporan Kegiatan 2008. p. 71-73.
Tsuda, Y. Ide, Y. 2005. Wide-range analysis of genetic structure of Betula maximowicziana, a long-lived pioneer tree species and noble hardwood in the cool temperate zone of Japan. Molecular Ecology 14: 3929-3941
Vos, P., Hogers, R., Bleeker, M., Reijans, M., Van De Lee, T., Hornes, M., Frijters, A. 1995. AFLP: a new technique for DNA fingerprinting. Nucleic Acids Research 23: 4407-4414
Wallace, L.E. 2006. Spatial genetic structure and frequency of interspecific hybridization in Platanthera aquilonis and P. dilatata (Orchidaceae) occuring in sympatry. American Journal of Botany 93(7): 1001-1009
Weising, K. Gardner, R.C. 1999. A set of conserved PCR primers for the analysis of simple sequence repeat polymorphisms in chloroplats genomes of dicotyledonous angiosperm. Genome 42:9-19
Widyatmoko, AYPBC. 1996. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan
Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Nurtjahjaningsih, ILG., Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2009. Variasi Genetik dan Kandungan Resin Kumarin (Coumarin) untuk Mendukung Penyediaan Benih Nyamplung (Calophyllum inophyllum) yang Berkualitas Sebagai Bahan Biofuel. Laporan Kegiatan 2009 Buku 2. p. 168-172
Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Shiraishi, S., Watanabe, A. 1996. Tropical Plantation Establishment Improving Productivity Through Genetic Practices. Proceeding International Seminar
Widyatmoko, AYPBC., Shiraishi, S., Nirsatmanto, A. Kawazaki, H. 2006. The Effect of Individual Selection for Genetic Diversity of Acacia mangium Seedling Seed Orchard Using AFLP Markers. Journal of Forestry Research 3: 2006
Widyatmoko, AYPBC, Rimbawanto, A., Yuskianti, V., Wahyunisari, Triyanta, Y. 2008. Determinasi Keragaman Genetik Populasi Jenis Suren (Toona sinensis). Laporan Kegiatan 2008 Buku 2. p. 106-110
Widyatmoko, AYPBC., Afritanti, R. D., Taryono, Rimbawanto, A. 2009. Keragaman Genetik Lima Populasi Gyrinops verstegii di Lombok menggunakan Penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 3(1):1-10.
Widyatmoko, Lejo, E. S. P., Prasetyaningsih, A., Rimbawanto, A. 2009. Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii menggunakan Penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(2):1-10
Widyatmoko, AYPBC., Watanabe, A., Shiraishi, S. 2010. Study on Genetic Variation and Relationship among Four Acacia Species using RAPD and SSC Marker. Journal of Forestry Research 7(2):
Williams, JGK., Kubelik, AR., Livak, KJ., Rafalski, JA., Tingey, SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitraty primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18:6531-6535
| Bunga Rampai | 91 - 106
106