step 7 skenario 4 agro

43
1. Penyakit kulit akibat kerja Kulit merupakan organ tubuh yang terpenting yang berfungsi sebagai sawar (barrier), karena kulit merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh dengan lingkungan di luar tubuh. Kulit secara terus- menerus terpajan terhadap faktor lingkungan, berupa faktor fisik, kimiawi, maupun biologik. Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau kulit ari. Meskipun ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit. Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensisitif terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit. Demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya berbagai penyakit kulit.

Upload: abdi-nusa-persada-nababan

Post on 22-Nov-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

zsfas

TRANSCRIPT

1. Penyakit kulit akibat kerjaKulit merupakan organ tubuh yang terpenting yang berfungsi sebagai sawar (barrier), karena kulit merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh dengan lingkungan di luar tubuh. Kulit secara terus-menerus terpajan terhadap faktor lingkungan, berupa faktor fisik, kimiawi, maupun biologik.Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau kulit ari. Meskipun ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit.Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensisitif terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit. Demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya berbagai penyakit kulit.Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap bahan atau material yang ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kulit dikenal, pada individu atau pekerja tertentu baik yang berada di negara berkembang maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit akibat pekerjaannya. Penyakit Kulit Akibat Kerja (PAK) dikenal secara populer karena berdampak langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PAK dapat diartikan sebagai kelainan kulit yang terbukti diperberat oleh jenis pekerjaannya, atau penyakit kulit yang lebih mudah terjadi karena pekerjaan yang dilakukan.Apabila ditinjau lebih lanjut, penyakit kulit akibat kerja (PKAK) sebagai salah satu bentuk penyakit akibat kerja, merupakan jenis penyakit akibat kerja terbanyak yang kedua setelah penyakit muskulo-skeletal, berjumlah sekitar 22 persen dari seluruh penyakit akibat kerja. Data di Inggris menunjukkan 1.29 kasus per 1000 pekerja merupakan dermatitis akibat kerja. Apabila ditinjau dari jenis penyakit kulit akibat kerja, maka lebih dari 95 persen merupakan dermatitis kontak, sedangkan yang lain merupakan penyakit kulit lain seperti akne, urtikaria kontak, dan tumor kulit.Berdasarkan jenis organ tubuh yang dapat mengalami kelainan akibat pekerjaan seseorang, maka kulit merupakan organ tubuh yang paling sering terkena, yakni 50 % dari jumlah seluruh penderita Penyakit Akibat Kerja (PAK). Dari suatu penelitian epidemiologik di luar negeri mengemuka, PAK dapat berdampak pada hilangnya hari kerja sebesar 25 % dari jumlah hari kerja. Secara umum, tampaknya hingga kini kelengkapan data PAK masih menjadi salah satu tantangan, karena PAK acapkali tidak teramati atau tidak teridentifikasi dengan baik akibat banyaknya faktor yang harus dikaji dalam memastikan jenis penyakit ini.Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya pelaporan tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya variasi besar antarnegara adalah karena sistem pelaporan yang dianut berbeda. Effendi (1997) melaporkan insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9 persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.Di AS angka statistik berasal dari survei yang dilakukan oleh Bureau of Labor Statistic pada industri swasta yang didata secara random. Di Inggris pelaporan melibatkan dokter spesialis kulit yang bekerja pada beberapa pusat kesehatan. Diagnosis ditetapkan secara sederhana termasuk menetapkan jenis pekerjaan yang dilaksanakan. Pengamatan yang dilaksanakan pada berbagai jenis pekerjaan di berbagai negara barat mendapatkan insiden terbanyak terdapat pada penata rambut 97.4 persen, pengolah roti 33.2 persen dan penata bunga 23.9 persen.Apabila ditinjau dari masa awitan penyakit, maka masa awitan terpendek adalah dua tahun untuk pekerjaan penataan rambut, tiga tahun untuk pekerjaan industri makanan, dan empat tahun untuk petugas pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang berhubungan dengan logam.Ditemukan pula pengaruh gender, perempuan dikatakan lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan dengan laki-laki. Berkaitan dengan umur, maka umur 15-24 tahun merupakan usia dengan insidens penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh pengalaman yang masih sedikit dan kurangnya pemahaman mengenai kegunaan alat pelindung diri. Sensitisasi sesuai dengan jenis pekerjaan terjadi pada 52 persen kasus.Di beberapa negara maju telah berhasil mendata PAK, misalnya di Swedia prosentase PAK 50 % dari seluruh jenis PAK. Sedang di Singapura, angka ini berkisar 20 %. Ada dua kelompok besar dalam penggolongan PAK ini, yakni PAK eksematosa dan PAK non-eksematosa.Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis. Pengertian dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal, dapat berupa penebalan/bintil kemerahan, multipel mengelompok atau tersebar, kadang bersisik, berair dan lainnya. Akibat permukaan kulit terkena bahan atau unsur-unsur yang ada di lingkungannya (faktor eksogen). Namun demikian, untuk terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala dermatitis, kadang-kadang dipengaruhi pula oleh faktor kerentanan kulit seseorang (faktor endogen).Lebih dari 90 % PAK merupakan jenis PAK eksematosa, sedang sisanya kira-kira 10 % berupa PAK non-eksematosa. Termasuk di dalam PAK eksematosa adalah Dermatitis Kontak Iritan (DKI), Dermatitis Kontak Alergi, serta Urtikaria. Di antara ketiga jenis ini, umumnya DKI lebih sering terjadi.Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan, barang atau unsur yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit, menyebabkan alergi kulit, menyebabkan infeksi kulit, maupun menyebabkan perubahan pigmen kulit jika menempel pada kulit. Bahkan, masih ada bahan atau unsur yang bersifat memicu terjadinya keganasan pada kulit (kanker kulit).Terjadinya PAK dipengaruhi oleh jenis PAK dan faktor individual pekerja, seperti kulit terang, jenis kulit kering, kulit berminyak, mudah berkeringat, kebersihan diri yang kurang, penyakit kulit yang sudah ada, serta kemungkinan trauma kulit yang sudah ada sebelumnya. Sedang untuk kejadian luar biasa (KLB) PAK, jarang terjadi.Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PAK, terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat menimbulkan dermatitis. DKI merupakan jenis PAK yang paling sering terjadi di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak Alergika (DKA). Dermatitis kontak secara umum merupakan penyakit spesifik-lingkungan, yaitu suatu peradangan kulit akibat bahan yang berasal dari lingkungan. Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dematitis kontak alergik (DKA). Kedua jenis tersebut kadang-kadang sangat sukar dibedakan secara klinis, meskipun keduanya berbeda dalam patogenesis yang mendasarinya. Insidens dermatitis kontak iritan lebih tinggi dibandingkan dengan dermatitis kontak alergik.Dermatitis kontak iritan merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan bahan toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis. Umumnya setiap orang dapat terkena, bergantung pada kapasitas toleransi kulitnya. Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu kerusakan diikuti dengan penyembuhan.Dermatitis kontak iritan dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan terhadap keratinosit dan kerusakan sawar kulit (seperti terlihat pada gambar). Efek langsung iritan pada keratinosit, pada DKI akut, penetrasi iritan melewati sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang pengeluaran mediator inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi akumulasi sel T dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut dapat menerangkan kesamaan jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI dan DKA. Peradangan hanya merupakan salah satu aspek sindrom DKI. Apabila terjadi pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang terjadi langsung kronik.Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif terhadap berbagai bahan iritan karena pembaharuan sel terjadi secara berkesinambungan dan proses penyembuhan berlangsung cepat. Apabila waktu pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga sel-sel keratinosit tidak sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI kumulatif. Kerusakan sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya kohesi antar korneosit dan deskuamasi diikuti dengan peningkatan trans-epidermal water loss (TEWL). Hal tersebut merupakan rangsangan untuk memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit dan hiperkeratosis sewaktu transient sehingga dapat terbentuk sawar kulit dalam keadaan baru.DKI terjadi karena kerusakan organ kulit secara langsung (bukan suatu proses imunologis) akibat efek toksik bahan yang bersifat kimiawi ataupun fisik yang menempel pada permukaan kulit. DKI kronis terjadi karena bahan penyebab, seperti sabun, pelarut, air, deterjen, minyak sintetis, kerosen, formalin, merkuri anorganik, terpentin, photographic developer, dan lain-lain menempel pada kulit dalam jangka waktu panjang. Kelainan yang ditimbulkan adalah dalam beberapa hari bahkan sampai beberapa bulan setelah terkena bahan penyebab, kulit terasa gatal, tampak kering, kasar, bersisik halus, kemerahan, menebal, kadang kulit pecah-pecah.Pada kondisi tertentu di tempat kerja, yakni udara panas dan pengap, atau suhu ruang yang amat dingin, berpakaian nilon dan lain-lain dapat meningkatkan kepekaan kulit atau memudahkan kulit pekerja terkena DKI. DKI itu sendiri adalah penyakit kulit yang terjadi akibat menempelnya sesuatu bahan atau unsur yang disebut sensitizer pada permukaan kulit. Proses terjadinya penyakit tergantung sistem kekebalan seseorang yang ditandai dengan kulit gatal kemerahan, mungkin bengkak, terdapat bintil merah, bintil berair berjumlah banyak yang tampak tidak hanya terbatas pada area kulit yang terkena bahan penyebab, tetapi dapat meluas di luar area kulit yang terkena bahan penyebab, bahkan dapat ke seluruh permukaan kulit.Untuk mengantisipasi hal ini perlu pembersih kulit yang tidak bersifat iritatif atau melukai permukaan kulit. Untuk pencegahannya, perlu alat pelindung yang tepat di tempat kerja, setelah dilakukan pengamatan oleh petugas yang berkompeten.Dermatitis kontak alergi dapat terjadi bila bahan LMW seperti lateks dan nickel, sebagai hapten berikatan dengan protein pembawa di kulit dan menimbulkan dermatitis kontak alergi Tipe IV.Urtikaria dapat terjadi akibat kontak dengan bahan dalam lingkungan kerja yang menimbulkan urtikaria alergi Tipe I (lateks) atau urtikaria nonalergi. Faktor fisik lingkungan kerja seperti tekanan, panas, dingin dan lainnya dapat juga menimbulkan urtikaria nonalergi (urtikaria fisik).Dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) paling sering, yakni sekitar 90 persen, menyerang tangan. Ini berpengaruh pada gejala dan perasaan seseorang. Misalnya, rasa gatal dan sakit pada waktu melaksanaan pekerjaan, serta rasa kurang nyaman pada waktu melayani seseorang ketika menggunakan tangan. Sedangkan eksim lebih banyak berlokasi di daerah muka dan bagian tubuh lain. Ini berdampak pada perasaan malu sehingga akan lebih besar pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari, kinerja, dan hubungan dengan orang lain. DKAK paling sering disebabkan oleh logam. Pada perempuan DKAK disebabkan oleh nikel, sedangkan pada laki-laki oleh kromat.Dermatitis akibat kerja (DAK) umumnya mempunyai prognosis buruk. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja logam dan pekerja konstruksi menemukan 70 persen tetap menderita dermatitis meskipun telah dilakukan upaya penghindaraan terhadap alergen penyebab dan perubahan jenis pekerjaan.Meski dermatitis akibat kerja tidak memerlukan rawat inap, ringan, dan umumnya dianggap sebagai risiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial psikologi harus diperhitungkan. Dampak dermatitis kontan akibat kerja (DKAK) terhadap ekonomi sangat besar. Ini meliputi biaya langsung atas pengobatan, kompensasi kecacatan dan biaya tidak langsung yang meliputi kehilangan hari kerja dan produktivitas, biaya pelatihan ulang serta biaya yang menyangkut efek terhadap kualitas hidup. Kasus Penyakit Kulit Akibat KerjaKASUS IDermatosis pada Pekerja Industri BatikPenyakit akibat kerja yang paling banyak terjadi adalah dematosis akibat kerja yaitu sekitar 50 60 %. Salah satu penyebab dermatosis akibat kerja adalah karena bahan kimia yang dapat menyebabkan dermatosis kontak. dalam industri tekstil, bahan kimia merupakan bahan yang paling banyak digunakan. Seperti industri tekstil pada umumnya, industri batik yang banyak berdiri di Surakarta ini tidak bisa lepas dari penggunaan bahan kimia. Bahan-bahan tersebut dapat mengakibatkan kelainan kulit seperti ulcera, eritema, kulit kering, luka bakar kimia, dan sebagainya.Telah dilakukan suatu penelitian dengan tujuan untuk mengetahui proporsi dermatosis serta gambaran faktor-faktor yang diduga berkaitan dengan timbulnya dermatosis pada pekerja industri batik di kota Surakarta. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kimia (emakaian bahan kimia) dan faktor karakteristik tenaga kerja seperti masa kerja, umur, lama paparan, pemakaian APD, riwayat penyakit kulit tertentu, riwayat alergi pada kulit, dan kebersihan perorangan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi dermatosis karena bahan kimia pada pekerja industri batik di Surakarta adalah 32,7 %. Pekerja yang menggunakan bahan kimia lebih banyak menderita dermatosis (54,5 %). Kelompok umur < 25 tahun lebih banyak menderita dermatosis daripada yang berumur > 25 tahun. Pekerja dengan masa kerja < 1 tahun lebih banyak menderita dermatosis daripada yang masa kerjanya > 1 tahun. Pekerja yang terpapar bahan kimia > 4 jam sehari lebih banyak yang dermatosis daripada yang terpapar 1 4 jam sehari. Pekerja yang tidak mempunyai riwayat penyakit kulit lebih cenderung terkena dermatosis daripada yang mempunyai riwayat penyakit kulit. Pekerja yang mempunyai riwayat alergi pada kulit cenderung terkena dermatosis daripada yang tidak mempunyai riwayat alergi pada kulit. Pekerja yang selalu memakai APD sarung tangan juga cenderung terkena dermatosis daripada yang kadang-kadang atau tidak pernah memakai sama sekali. Pekerja yang kebersihan perorangannya buruk lebih banyak yang dermatosis daripada yang kebersihan perorangannya baik atau sedang.KASUS II Dermatosis pada Tenaga Kerja Industri PlywoodMenurut catatan Kanwil Depnaker Kalimantan Selatan, kurang lebih 30.000-an tenaga kerja yang bergelut di bidang industri plywood. Tenaga kerja ini di lingkungan kerjanya terpajan debu kayu dan bahan kimia. Laporan salah satu poliklinik perusahaan plywood menyatakan 10% tenaga kerjanya menderita penyakit kulit. Penyakit kulit ini sangat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi bekerja sehingga dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.Di negara maju dengan penerapan higiene perusahaan dan higiene perorangan tenaga kerja yang sudah lebih baik masih ditemukan penyakit kulit akibat kerja dengan prevalensi 1%-2%. Angka ini merupakan 40% dari seluruh penyakit akibat kerja. Penyakit kulit akibat kerja ini sebagian besar (80%) berupa dermatitis kontak. Dari hasil yang didapat, tenaga kerja yang menderita penyakit kulit sebanyak 696 orang (35%), terbanyak di bagian logpond, boiler, dan hot press. Tenaga kerja di bagian logpond kebanyakan menderita tinea pedis dan dermatitis kontak, sedangkan tinea pedis kebanyakan diderita tenaga kerja di bagian dryer dan boiler.Penyakit kulit akibat kerja atau dermatosis akibat kerja (DAK) di luar negeri merupakan yang tertinggi di antara penyakit-penyakit akibat kerja lainnya. Tahun 1973 di California, Amerika Serikat ditemukan 40,6% penyakit akibat kerja merupakan DAK. Biro statistik tenaga kerja Amerika Serikat mendapatkan angka 1,5% dari seluruh tenaga kerja yang terdaftar menderita DAK.Dermatosis tersering adalah dermatitis kontak, yang pada penelitian ini didapatkan sebesar 21,3% (terbanyak ke dua). Zat iritan akan merusak kulit dengan cara mengurangi kandungan air kulit, sehingga kulit mudah retak, menimbulkan dermatitis. Zat alergik mempengaruhi kulit melalui jalur imunologis, limfosit terangsang untuk membentuk mediator yang mengakibatkan dermatitis. Dermatitis kontak foto, kejadiannya hampir sama hanya memerlukan bantuan sinar matahari. Akne sering disebabkan senyawa klor yang menyumbat muara folikel rambut dan muara kelenjar keringat sehingga retensi produksinya disertai pembentukan keratin yang mengakibatkan terbentuknya komedo. Dermatomikosis akibat kerja dapat memberi gambaran klinis berupa dermatofitosis seperti tinea pedis dan non dermatofitosis akibat kerja seperti tinea versikolor, yang ditemukan 3,3% di dalam penelitian ini. Kelainan pigmentasi sering disebabkan monobenzil eter hidrokuinon di pabrik karet. Kanker kulit terjadi karena pajanan kronis sinar ultra violet, radiasi ionisasi dan shale oil.Penyakit kulit yang ditemukan dapat dinyatakan sebagai dermatosis akibat kerja, karena didukung oleh faktor penyebabnya berupa: 1. Faktor kimia, debu berbagai jenis kayu, formaldehid sebagai bahan campuran lem (glue) dan uap amoniak yang dibuktikan dengan hasil pemeriksaan lingkungan kerja, 2. Faktor fisik, berupa lingkungan kerja yang panas dan lembab, 3. Riwayat perjalanan penyakit yang membaik bila tenaga kerja libur atau istirahat dan kambuh atau bertambah parah bila bekerja lagi.Di lokasi logpond tenaga kerja kontak langsung dengan kayu di sungai, sedangkan di bagian boiler dan di hot press debu kayu sangat banyak serta udaranya yang panas dan lembab.Insiden DAK di Indonesia belum diketahui, mungkin karena laporan perusahaan mengenai DAK tidak ada atau tidak lengkap karena berbagai sebab atau ada anggapan bahwa DAK merupakan penyakit ringan serta sulit menentukan derajat kecacatannya guna perhitungan kompensasi.KASUS IIIDermatosis pada Tukag Batu dan Tenaga Kerja Industri ElektronikSejak bekerja sebagai tukang batu, hampir seluruh dada dan perut saya berisisik dan gatal. Hampir tak tersisa warna kulit aslinya, keluh seorang buruh bangunan yang dalam bekerja memang bertelanjang dada. Ia benar-benar merasa tersiksa dan kurang produktif, karena rasa gatal yang membuatnya kurang nyaman dalam bekerja.Kasus lain, seorang analis kimia yang bekerja di sebuah industri elektronik selalu mengeluh tidak nyaman dengan wajahnya. Rasanya seperti terbakar. Padahal sebelum bekerja di pabrik ini, saya tidak pernah mengalaminya ...Kedua kasus tersebut merupakan penyakit akibat kerja. Kebetulan keduanya mengenai kulit. Hal ini banyak dialami oleh para tenaga kerja, walaupun tidak selalu diketahui sebagai penyakit akibat kerja.Kasus pertama, tenaga kerja pada pekerjaan konstruksi, dalam hal ini sebagai tukang batu, tidak tahan terhadap bahan bangunan tertentu, sehingga kontak dengan bahan tersebut menimbulkan radang kulit akibat alergi (dermatitis alergika). Sedangkan kasus kedua, tenaga kerja pada industri elektronik mengalami electrical sensitivity, yaitu merupakan gambaran gangguan fisiologis berupa tanda dan gejala neurologis maupun kepekaan terhadap medan elektromagnetik, dengan gejala-gejala khas. Manifestasi electrical sensitivity pada kulit, antara lain berupa muka terbakar (facial burning) serta kulit meruam (rashes).Akibat Kerja Penyakit kulit akibat kerja atau yang didapat sewaktu melakukan pekerjaan, banyak penyebabnya. Agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut antara lain berupa agen-agen fisik, kimia maupun biologis. Kebanyakan agen terdapat dalam pekerjaan industri. Paparan terhadap kondisi cuaca lazim pada pekerja pertanian dan nelayan.Beberapa kelompok pekerja yang berisiko tinggi antara lain (a) pekerja pertanian, akibat kondisi cuaca, agen-agen zoonotik, pestisida, pupuk dan sebagainya, (b) pekerja bangunan, akibat kontak dengan semen, cat, serat-serat mineral dan sebagainya, (c) pekerja industri rekayasa, akibat kontak dengan minyak atau pelumas pemotong, (d) penyepuh elektrik, akibat pembersih pelumas, asam-asam, garam-garam logam, (e) petugas kesehatan, akibat kontak dengan antibiotika, anestesi lokal, desinfektan.Agen-agen fisik menyebabkan trauma mekanik, termal atau radiasi langsung pada kulit. Kebanyakan iritan langsung merusak kulit dengan cara (a) mengubah pH nya, (b) bereaksi dengan protein-proteinnya (denaturasi), (c) mengekstraksi lemak dari lapisan luarnya, atau (d) merendahkan daya tahan kulit. Sedangkan reaksi yang menimbulkan alergi kulit umumnya adalah hipersensitivitas tipe lambat. Agen-agen sensitisasi bereaksi dengan protein dalam epidermis membentuk kompleks hapten-protein, yang merangsang pembentukan antibodi. Sementara itu, agen-agen aknegenik menyumbat kelenjar dan saluran-saluran minyak, mengakibatkan peradangan lokal. Photosensitizer meningkatkan sensitivitas kulit terhadap radiasi ultraviolet (Bergqvist and Wahlber, 1994).Efek KlinisEfek klinis yang ditimbulkan oleh agen-agen tersebut, bermanifestasi sebagai penyakit kulit antara lain sebagai berikut (Waldron, 1990; Anies, 2003):Dermatitis kontak iritan primer, adalah dermatosis akibat kerja yang paling sering ditemukan. Bentuk akut ditandai dengan eritema, edema, papula, vesikel atau bula, yang biasanya terdapat pada tangan, lengan bawah dan wajah. Bentuk kronik tidak khas, mirip dengan kebanyakan dermatosis yang lain dan penyebabnya tidak mudah dikenali.Dermatitis (ekzema) kontak alergi, baik akut maupun kronis, mempunyai ciri-ciri klinis yang sama dengan ekzema bukan akibat kerja.Akne (jerawat) akibat kerja. Mirip dengan jerawat pada umumnya, tetapi terutama menyerang bagian yang kontak dengan agen.Dermatosis solaris akut. Penyakit kulit ini dianggap sebagai penyakit kulit akibat kerja, jika sangat dipermudah oleh zat-zat fotodinamik yang digunakan dalam pekerjaan tersebut.Kanker kulit akibat kerja. Biasanya berupa kanker sel skuamosa atau sel basal. Kanker akibat kerja cenderung terjadi pada permukaan kulit yang paling banyak terpapar terhadap karsinogen.Penyakit kulit menular akibat kerja. Paling sering adalah penyakit zoonotik, kandidiasis, tuberkulosis verukosa.PemeriksaanPemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan dan berkala, juga perhatian khusus pada kulit di seluruh tubuh serta alergi. Pemeriksaan kesehatan berkala dianjurkan dilakukan dengan selang waktu 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung pada tingkat paparan di tempat kerja.Alergen yang kuat, sensitizer dan karsinogen, sebaiknya diganti dengan bahan-bahan yang kurang berbahaya. Kontak agen penyebab dengan kulit hendaknya dibatasi dengan upaya pengendalian teknis. Pakaian pelindung, sarung tangan, maupun krem pelindung, sepatu boot dan topeng wajah, sangat diperlukan. Pencegahan Penyakit Kulit Akibat KerjaUntuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja (dermatitis kontak akibat kerja) maka perawatan dan perlindungan kulit sangat penting. Program perlindungan kulit ini tidak hanya melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja sebagai penyedia sarana. Yang juga penting adalah kertelibatan peraturan atau perundang-undangan.Program perawatan kulit sebaiknya diikutsertakan dalam program pendidikan, memuat informasi tentang kulit sehat dan penyakit kulit yang terkait dengan pekerjaan. Juga pengenalan diri penyakit kulit dan kegunaan prosedur perlindungan. Sebagai contoh, program perlindungan kulit pada pekerja di pekerjaan basah. Yakni, mencuci tangan dengan air biasa, lalu bilas dan keringkan tangan dengan sempurna setelah mencuci. Karena kulit yang tidak dilindungi lebih mudah terkena iritasi, maka disarankan memakai sarung tangan untuk melindungi kulit terhadap air, kotoran, deterjen, sampo, dan bahan makanan.Yang juga penting diperhatikan, hindari pemakaian cincin selagi bekerja. Karena, dermatitis umumnya dimulai pada jari yang memakai cincin sebagai reaksi terhadap iritan yang terjebak di bawah cincin. Pemakaian jenis disinfektan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan tempat kerja. Sebab, umumnya disinfektan bersifat iritan dan turut berperan terhadap perkembangan menjadi dermatitis kontak di tangan.Cara lainnya, gunakan pelembab sewaktu bekerja, atau setelah bekerja. Pilih pelembab yang banyakmengandung lemak dan bebas parfum, serta bahan pengawet berpotensi alergenik terendah. Pelembab terbukti dapat mempermudah regenerasi fungsi sawar kulit dan kandungan lemak berhubungan dengan kecepatan proses regenerasi tersebut. Pelembab sebaiknya dipakai di seluruh tangan, termasuk sela jari, ujung jari, dan punggung tangan.KesimpulanPenyakit Kulit Akibat Kerja (PAK) dikenal secara populer karena berdampak langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PAK dapat diartikan sebagai kelainan kulit yang terbukti diperberat oleh jenis pekerjaannya, atau penyakit kulit yang lebih mudah terjadi karena pekerjaan yang dilakukan.Lebih dari 95 % penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, sedangkan yang lain merupakan penyakit kulit seperti akne, urtikaria kontak, dan tumor kulit.Untuk mencegah terjangkitnya penyakit kulit akibat kerja maka perawatan dan perlindungan kulit sangat penting. Program perlindungan kulit ini tidak hanya melibatkan pekerja tapi juga pemberi kerja sebagai penyedia sarana serta melibatkan peraturan atau perundang-undangan.SaranSetiap tempat kerja sebaiknya melaksanakan upaya kesehatan kerja dengan maksimal, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Selain itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja agar lebih memadai sehingga pekerja tidak lagi meremehkan risiko kerja dan menggunakan alat-alat pengaman yang sudah tersedia.

2. Pneumokoniasis lain2.1 DefinisiPneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai O2 ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian tubuh lainnya (Yulaekah, 2007). Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru.

2.2 Jenis Pneumokoniosis2.2.1 AsbestosisPenyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan penumokoniosis yang ditandai oleh fibrosis paru. Paparan dapat terjadi di daerah industri dan tambang, juga bisa timbul pada daerah sekitar pabrik atau tambang yang udaranya terpolusi oleh debu asbes. Pekerja yang dapat terkena asbestosis adalah yang bekerja di tambang, penggilingan, transportasi, pedagang, pekerja kapal dan pekerja penghancur asbes (Yunus, 1997).

2.2.2 SilikosisPenyakit silikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas (SiO2) yang terhisap kemudian mengendap menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Paparan terjadi di daerah besi dan baja, keramik, beton, timah putih, dan pasir (WHO, 1986).

2.2.3 Pneumokoniosis Penambang BatubaraPenyakit pneumokoniosis pada penambang batu bara atau coal workers pneumoconiosis (CWP) adalah penyakit yang terjadi akibat penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah pekerja terpapar lebih daii 10 tahun (Yunus, 1997).

2.2.4 BeriliosisPenyakit ini diperoleh terutama pada pemurnian berilium. Secara klinis, menyerupai sarkoidosis kronik (fibrosis difus tidak teratur). Pemberian kortikosteroid disebutkan masih berfungsi untuk menangani penyakit tersebut (Seaton, 1999).

2.3 Epidemiologi Dalam studi epidemiologi pneumokoniosis, gambaran radiografi dari pekerja yang terpajan harus selalu dibandingkan dengan standar film dari International Labour Organization (ILO), dan dinilai dari kategori 0 (normal) hingga kategori 3. Di Inggris, pneumokoniosis pada pekerja batu bara tradisional di diagnosis kurang dari 100 orang /tahun, yang sebagian besar individu adalah mantan penambang dengan usia lebih dari 50 tahun. Risiko pneumokoniosis pada penambang batubara tradisional dan fibrosis masif progresif (PMF) adalah berkaitan dengan debu batubara pada tambang yang terpapar. Sekitar 5% dari penambang terpapar debu sebanyak 8 mg/m3 seluruh masa kerja mereka mengalami pneumokoniosis kategori 2 pekerja batu bara tradisional. Risiko lebih tinggi terjadi pada mereka yang terpapar batubara jenis sangat mudah terbakar (misalnya antrasit), dan lebih rendah peringkat batubara uap. Jika debu mengandung lebih dari sekitar 10% kuarsa, akan cenderung terjadi. Pria dengan PMF (Fibrosis Masif Progresif) dan yang pekerja batu bara pneumokoniosis tradisional yang relatif dini meningkatkan risiko kematian dini. Namun, pneumokoniosis pekerja batu bara tradisional tidak terkait dengan peningkatan risiko kanker paru-paru atau TB. Pekerja batu bara pneumokoniosis tradisional tidak menyebabkan bronkitis kronis atau obstruksi saluran napas, tapi ada hubungan yang terpisah antara paparan debu batubara dan pengembangan sindrom ini, dan banyak pasien memiliki keduanya. Merokok memiliki efek adiktif dengan obstruksi sehubungan dengan saluran udara. Risiko centri-asinar emfisema meningkat dengan meningkatkan paparan debu batubara terespirasi.Menurut survey yang dilakukan oleh Health and Safety Executive, di Inggris, pada tahun 2010 terdapat sekitar 345 kasus pneumokoniosis baru dan 60 kasus silikosis. Kematian dari pneumokoniosis pada pekerja batu bara telah berkurang selama 10 tahun terakhir dengan 131 pada tahun 2009. Ada 18 kematian akibat silikosis pada tahun 2009, sedikit lebih dari pada 5 tahun sebelumnya. Untuk lebih lengkap perhatikan gambar 1 berikut.

Gambar 2.1 Pneumokoniosis dan Silikosis di Great Britain, 1992-2010Sedangkan pada negara berkembang seperti di Cina, pneumokonios ini telah lama menjadi penyakit akibat kerja yang paling serius dan belum dapat dicegah. Kasus baru diperkirakan 7500-10000 setiap tahun, mewakili lebih dari 70% dari jumlah kasus yang dilaporkan penyakit akibat kerja akhir tahun. Kasus yang tercatat di Cina antara tahun 1949 dan 2001 mencapai 569.129. Sebagian besar kasus terjadi di industri pertambangan, khususnya di tambang batubara (Liang et al, 2012)

2.4 Patogenesis Pneumokoniosis merupakan manifestasi dari interaksi antara partikel debu dan mekanisme pertahanan paru-paru. Hanya partikel dengan ukuran kecil yang dapat mencapai asinus paru (terminal bronkus dan alveolus) yang kemungkinan akan menyebabkan bahaya, hal tersebut akan bahaya untuk makrofag yang menyebabkan endapan partikel di paru-paru, yang tergantung pada ukuran, bentuk dan kepadatan. Partikel sferis dengan diameter sekitar 0,5-10 mm umumnya paling mungkin menumpuk di asinus paru-paru, partikel yang lebih besar akan menyerang di saluran napas. Penghancuran mereka tergantung pada integritas dari sistem limfatik paru dan mekanisme mukosiliar.Di dalam asinus, makrofag memfagosit partikel dalam upaya untuk eliminasi. Partikel inert (misalnya asap, besi oksida) dapat dihilangkan sampai pada kapasitas tertentu dengan cara dieliminasi oleh mukosiliaris atau dibawa ke kelenjar getah bening dan hilus intrapulmonal. Partikel yang lebih beracun (misalnya kuarsa-kristal, silikon dioksida) merangsang makrofag untuk melepaskan faktor inflamasi yang dapat menyebabkan peradangan dan fibrogenesis. Sel-sel inflamasi lainnya kemudian menuju asinus, sehingga menyebabkan proliferasi fibroblas. Kuarsa bersifat toksik bagi sel-sel karena dapat merusak dan mengoksidasi lipid membran lisosomal, dan akhirnya membunuh makrofag. Mineral lainnya (misalnya batubara) yang bersifat kurang toksik secara langsung, secara tidak langsung juga dapat menyebabkan fibrosis. Distribusi fibrosis menentukan lokasi akumulasi partikel. Batubara dan kuarsa menyebabkan fibrosis tipe nodular sepanjang jalur partikel dari asinus sampai hilus (Seaton, 1999). 2.1 Diagnosis Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu di lingkungan kerja. Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, karena penyakit biasanya baru timbul setelah paparan yang cukup lama. Anamnesis mengenai riwayat pekerjaan yang akurat dan rinci sangat diperlukan. Berbagai faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan perlu diketahui secara rinci. Karena menunjang penegakan diagnosa penyakit paru yang mungkin diakibatkan oleh pekerjaan/ lingkungan pekerjaan (Yunus, 1997).Langkah pada anamnesis sebagai berikut:1. Riwayat penyakit sekarang: a. Gejala-gejala yang berhubungan dengan pekerjaan. b. Pekerjaan lain yang terkena gejala serupa. c. Paparan saat ini terhadap debu, gas bahan kimia - dan biologi yang berbahaya.d. Laporan terdahulu tentang kecelakaan kerja.2. Riwayat pekerjaana. Catatan tentang semua pekerjaan terdahulu, hari kerja yang khususb. Proses pertukaran pekerjaan. 3. Tempat kerjaa. Ventilasi, higiene industri dan kesehatan, pemeriksaan pekerja, pengukuran proteksi. b. Keamanan cahaya4. Riwayat penyakit dahulua. Paparan terhadap kebisingan, getaran, radiasib. Paparan terhadap zat-zat kimia. 5. Riwayat lingkungana. Rumah dan lokasi tempat kerja sekarang dan sebelumnya. b. Pekerjaan lain yang bermakna c. Sampah/limbah yang berbahaya d. Polusi udara e. Hobi: mencat, memahat, mematri, pekerjaan yang berhubungan dengan kayu. f. Alat pemanas rumah g. Zat-zat pembersih dan tempat kerja h. Paparan peptisida i. Alat pemadam kebakaran di rumah atau ditempat kerja.

2.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis dan menilai kerusakan paru akibat debu adalah pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan faal paru dengan spirometri. Pemeriksaan foto toraks sangat berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis. Pembacaan foto toraks pneumokoniosis perlu dibandingkan dengan foto standar untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas foto harus baik atau dapat diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan paru lewat foto Rontgen. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan untuk keperluan penegakan diagnosis adalah CT Scan, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan Biopsi (Yunus, 1997).

2.6.1 Pemeriksaan RadiologisPemeriksaan foto toraks sangat berguna untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis. Klasifikasi standar menurut ILO dipakai untuk menilai kelainan yang timbul.

A. Perselubungan Halus (Small Opacities)Perselubungan ini digolongkan menurut bentuk, ukuran, banyak dan luasnya. Menurut bentuk dibedakan menjadi perselubungan halus bentuk lingkar dan bentuk ireguler. Perselubungan lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu: p = diameter sampai 1,5 mm, q = diameter antara 1,5-3 mm dan r = diameter antara 3-10 mm. Bentuk ireguler dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu: s = lebar sampai 1,5 mm, t = lebar antara 1,5-3 mm dan u = lebar antara 3-10 mm. Untuk pelaporan bentuk dan ukuran kelainan digunakan dua huruf. Huruf pertama menunjukkan kelainan yang lebih dominan, contoh p/s. ini berarti perselubungan lingkar ukuran p lebih banyak, tetapi juga ada perselubungan ireguler ukuran s tetapi jumlahnya sedikit. Kerapatan (profusion) kelainan didasarkan pada konsentrasi atau jumlah perselubungan halus persatuan area. Dibagi atas 4 kategori, yaitu:Kategori 0= Tidak ada perselubungan atau kerapatan kurang dari 1.Kategori 1 = Ada perselubungan tetapi sedikit.Kategori 2= Perselubungan banyak, tetapi corakan paru masih tampak. Kategori 3= Perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru sebagian atau seluruhnya menjadi kabur. Foto toraks pada pneumokoniosis mempunyai 12 kategori, yaitu: 0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+. Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih dominan daripada angka dibelakangnya. Kerapatan adalah petunjuk penting .untuk menentukan beratnya penyakit. Luasnya distribusi perselubungan didasarkan atas area yang terkena. Lapangan paru dibagi atas 6 area, masing-masing belahan paru mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah.

B. Perselubungan Kasar (Large Opacities) Perselubungan kasar dibagi atas 3 kategori yaitu: Kategori A = Satu perselubungan dengan diameter antara 1-5 cm, atau beberapa perselubungan dengan dimater masing-masing lebih dari 1 cm, tapi bila diameter semuanya di jumlahkan tidak melebihi 5 cm. Kategori B = Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih banyak dari A dengan luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan atas. Kategori C = Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan paru kanan (Yunus, 1997).

2.6.2 Pemeriksaan Faal Paru Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif dan bersifat reprodusibel serta digunakan secara luas adalah pemeriksaan Kapasitas Vital Paru (KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) pada detik pertama. Selain berguna untuk menunjang diagnosis juga perlu untuk melihat laju penyakit, efektivitas pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan sebelum seseorang bekerja dan pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat mengidentifikasi penyakit dan perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala. Pemeriksaan faal paru lain yang lebih sensitif untuk mendeteksi kelainan di saluran napas kecil adalah pemeriksaan Flow Volume Curve dan Volume of Isoflow.Pengukuran kapasitas difusi paru sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan di interstisial, tetapi pemeriksaan ini rumit dan memerlukan peralatan yang lebih canggih, dan tidak dianjurkan digunakan secara rutin. Pekerja yang pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan kelainan, kemudian menderita kelainan setelah bekerja dan penyakitnya terus berlanjut, dianjurkan untuk menukar pekerjaannya. Ini bisa berarti beralih pekerjaan, atau pindah pada bagian/divisi yang lain di dalam komunitas para pekerja.

2.3 Penatalaksanaan dan PencegahanDalam penatalaksanaan dan pencegahan pada pekerja yang terindikasi penyakit paru akibat kerja, Djojodibroto (1999) dalam bukunya membagi menjadi: a. Penilaian cacat Penilaian cacat sangat penting untuk membuat diagnosis yang tepat serta memberi nasihat kepada penderita terhadap prospek pekerjaannya, untuk menentukan kecacatan paru akibat kerja diperlukan 5 langkah yang harus dilakukan. penilaian cacat sangat penting untuk membuat diagnosis yang tepat meliputi:1. Diagnosis2. Hubungan diagnosis dengan pekerjaan3. Derajat kelainan / gangguan fungsi4. Penilaian kebutuhan kerja5. Penilaian kecacatan

b. Obat-obatanAda banyak jenis penyakit paru akibat kerja, obat memegang peran yang sangat sedikit dan terapi pada umumnya terdiri dari anjuran untuk menghindari pajanan lebih lanjut terhadap bahan yang berbahaya. Obat yang diberikan biasanya bersifat simtomatis.

c. Menghindari pajananBeberapa cara yang dapat dilakakan antara lain: a). mengganti (subtitusi) bahan yang berbahaya dengan bahan yang kurang atau tidak berbahaya, b). membatasi bahan pajanan, c). ventilasi keluar dan d). memakai APD (Alat Pelindung Diri). Penatalaksanaan penyakit paru akibat kerja termasuk mengganti pekerjaan yang menyebabkan penyakit atau pembatasan menyangkut apa yang boleh atau yang tidak boleh dilakuakan.

2.4 PrognosisPrognosis ditetapkan berdasarkan pengetahuan tentang riwayat perjalanan penyakitnya serta hasil- hasil pemeriksaan yang lain, dibekali dengan informasi tersebut, dokter dapat membuat rencana pengobatan untuk penghentian peburukan penyakitnya serta mengurangi keluhan. Salah satu progam yang penting adalah rehabilitasi, merupakan proses untuk membantu individu yang mengalamai kecacatan dalam mempertahankan tingkat maksimal dari setiap fungsinya.

3. Perbedaan pneumokoniasis dan hipersensitivitas pneumonitis

Pneumonitis Hipersensitivitas (Alveolitis Alergika Ekstrinsik, Pneumonitis Interstisial Alergika, Pneumokoniosis Debu Organik) adalah suatu peradangan paru yang terjadi akibat reaksi alergi terhadap alergen (bahan asing) yang terhirup.

Alergen bisa berupa debu organik atau bahan kimia (lebih jarang). Debu organik bisa berasal dari hewan, jamur atau tumbuhan.

PENYEBAB Pneumonitis hipersensitivitas biasanya merupakan penyakit akibat pekerjaan, dimana terjadi pemaparan terhadap debu organik ataupun jamur, yang menyebabkan penyakit paru akut maupun kronik. Pemaparan juga bisa terjadi di rumah, yaitu dari jamur yang tumbuh dalam alat pelembab udara, sistem pemanas maupun AC.

Penyakit akut bisa terjadi dalam waktu 4-6 jam setelah pemaparan, yaitu pada saat penderita keluar dari daerah tempat ditemukannya alergen. Penyakit kronik disertai perubahan pada foto rontgen dada bisa terjadi pada pemaparan jangka panjang. Penyakit kronik bisa menyebabkan terjadinya fibrosis paru (pembentukan jaringan parut pada paru).

Contoh dari pneumonitis hipersensitivitas yang paling terkenal adalah paru-paru petani (farmer's lung), yang terjadi sebagai akibat menghirup bakteri termofilik di gudang tempat penyimpanan jerami secara berulang.

Hanya sebagian kecil orang yang menghirup debu tersebut yang akan mengalami reaksi alergi dan hanya sedikit dari orang yang mengalami reaksi alergi, yang akan menderita kerusakan paru-paru yang menetap. Secara umum, untuk terjadinya sensitivitas dan penyakit ini, pemaparan terhadap alergen harus terjadi secara terus menerus dan sering.

Penyebab Pneumonitis Hipersensitivitas Penyakit Sumber Partikel Debu

Paru-paru petani Jerami yang berjamur

Paru-paru pemelihara burung Paru-paru peternak burung dara Paru-paru pemelihara ayam betinaKotoran betet, burung dara, ayam

Paru-paru penyejuk ruanganPelembab udara, penyejuk ruangan

Bagassosis Limbah tebu

Paru-paru pekerja jamurPupuk jamur

Paru-paru pekerja gabus (Suberosis)Gabus yang berjamur

Penyakit kayu mapleKayu maple yang berjamur

Paru-paru pekerja gandumGandum yang berjamur

SequoiosisDebu kayu merah yang berjamur

Paru-paru pekerja kejuKeju yang berjamur

Penyakit kumbang gandumTepung gandum yang terinfeksi

Paru-paru pekerja kopiBiji kopi

Paru-paru pekerja atapSerabut atau tali yang digunakan untuk atap

Paru-paru pekerja kimiaBahan kimia yang digunakan untuk membuat serabut busa poliuretan, penyekatan, molding, karet tiruan dan bahan pembungkus

GEJALA Gejala dari pneumonitis hipersensitivitas akut: - batuk - demam - menggigil - sesak nafas - merasa tidak enak badan.

Gejala pneumonitis hipersensitivitas kronis: - sesak nafas, terutama ketika melakukan kegiatan - batuk kering - nafsu makan berkurang - penurunan berat badan.

DIAGNOSA Pada pemeriksaan dengan stetoskop, terdengar suara pernafasan ronki. # Pemeriksaan yang biasa dilakukan: Rontgen dada # Tes fungsi paru # Hitung jenis darah # Pemeriksaan antibodi # Presipitan aspergillus # CAT scan dada resolusi tinggi # Bronkoskopi disertai pencucian atau biopsi transtrakeal.

PENGOBATAN Pneumonitis hipersensitvitas episode akut, biasanya akan sembuh jika kontak yang lebih jauh dengan alergen dihindari.

Bila terjadi penyakit yang lebih berat, untuk mengurangi gejala dan membantu mengurangi peradangan yang lebih berat, bisa diberikan corticosteroid (misalnya prednisone).

Episode berkelanjutan atau berulang bisa mengarah ke terjadinya penyakit yang menetap. Fungsi paru-paru bisa semakin memburuk sehingga perlu diberikan terapi oksigen tambahan.

PENCEGAHAN Pencegahan terbaik adalah menghindari pemaparan terhadap alergen, yaitu dengan cara berganti pekerjaan.

Meniadakan atau mengurangi debu atau menggunakan masker pelindung bisa membantu mencegah berulangnya penyakit.

Menangani limbah jerami secara kimiawi dan menggunakan sistem ventilasi yang baik, membantu mencegah pemaparan dan sensitisasi pekerja terhadap bahan-bahan ini.

Pneumoconiosis adalah penyakit paru-paru kronis yang disebabkan karena menghirup berbagai partikel debu, khususnya ditempat kerja industri, untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu juga dikatakan penyakit paru kerja, yang merupakan bagian tertentu dari penyakit terkait kerja, yang terkait terutama untuk yang terkena zat berbahaya.Pneumoconiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh menghirup debu organik dan merupakan subset dari penyakit paru kerja, yang juga termasuk gangguan yang disebabkan oleh menghirup gas, uap dan bahan organik.Pneumoconiosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi debu anorganik dan organic tertentu. Beberapa jenis debu yang terinhalasi dalam kadar yang cukup banyak kedalam paru akan menimbulkan reaksi fibrosis, sedangkan debu lainnya tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Pneumoconiosis yang paling umum adalah silikosis dan asbestosis.