strategi pengembangan pendidikan menengah dan … · aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa...
TRANSCRIPT
STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH
DAN PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN
BANGKA PASCA PEMEKARAN WILAYAH
HARI SUBARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan
Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca
Pemekaran Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Hari Subari
NIM A156110204
RINGKASAN
HARI SUBARI. Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi
Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah. Dibimbing oleh
ERNAN RUSTIADI dan FREDIAN TONNY NASDIAN.
Kabupaten Bangka adalah salah satu wilayah administratif yang terletak di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dimekarkan pada tahun 2003 menjadi
empat kabupaten terdiri dari satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru. Saat
ini Kabupaten Bangka sedang dalam tahap untuk meningkatkan akses pendidikan
yang luas di jenjang pendidikan menengah karena saat ini nilai Angka Partisipasi
Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebesar 82.29 persen, sedangkan target
nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah secara nasional pada
tahun 2020 adalah sebesar 97 persen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pendidikan
menengah dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka setelah pemekaran
wilayah. Metode analisis yang digunakan yaitu: 1) Analisis Regresi Data Panel
untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai angka
partisipasi kasar (APK), 2) Analisis Deskriptif (Metode Diskusi Objektif, Reflektif,
Interpretatif dan Decision atau ORID) untuk menganalisis tingkat partisipasi
stakeholder, dan 3) Analisis Proses Hirarki (AHP) untuk menentukan skala
prioritas pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.
Hasil penelitian menunjukkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK)
pendidikan menengah dipengaruhi oleh jumlah penduduk usia pendidikan
menengah, jumlah ruang kelas pendidikan menengah, dan luas wilayah kecamatan.
Berdasarkan pada delapan tangga Arstein, secara keseluruhan tingkat partisipasi
stakeholder termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Hal ini berarti
bahwa terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab
dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta adanya kesamaan pandangan
antara stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan.
Pandangan stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka menilai penyediaan dana jauh lebih penting dibandingkan
peningkatan partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya,
pengembangan tenaga pendidik serta sarana dan prasarana dinilai jauh lebih
penting dari pengembangan aparatur negara.
(Kata kunci: pengembangan pendidikan, pendidikan menengah, angka partisipasi
kasar, partisipasi stakeholder, Kabupaten Bangka dan pemekaran wilayah).
SUMMARY
HARI SUBARI. The Strategy of Secondary Educational Development and
Stakeholder Participation in Bangka Regency after Regional Proliferation.
Supervised by ERNAN RUSTIADI and FREDIAN TONNY NASDIAN.
Bangka regency is one of the administratif areas in the Province of Bangka
Belitung island and becomes four regency with one old district and three new
districts after the regional proliferation process in 2003. Now, Bangka regency is
in processing to increase the secondary education because gross enrollment rate is
82.29 percent and the national target of gross enrollment rate for secondary
education in 2020 is 97 percent.
This research was aimed to study secondary educational development and
stakeholder participation aftermath regional proliferation in Bangka regency: 1) to
analyze the factors that will affect the gross enrollment rate of secondary
education, 2) to analyze the participation rate of stakeholder in the developmental
of secondary education, and 3) to formulate the strategy for development of
secondary education. The analysis methods used in this study were: regression
analysis of panel data, descriptive analysis such as objective discussion, reflective,
interpretative and decisions, analytical hierarchy process (AHP).
The results showed that the gross enrollment rate was influenced by the the
number of secondary education age population, the number of the classrooms
secondary education, and the land area of district. Based on eight stars Arstein, the
overall participation rate of stakeholders was included in the partnership level.
This meant that there was a mutual agreement for sharing the responsibility and
the same perception between the stakeholders in the planning and decision-
making for the development of education. The views of stakeholders in the
development of secondary education in Bangka regency assess the provision of
funds is much more important than the increased participation of stakeholder and
public participation. Furthermore, the development of teaching staff and facilities
assessed far more important than the development of the state apparatus.
(Keywords: educational development, secondary education, gross enrollment rate,
stakeholder participation, Bangka regency and regional proliferation).
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
TESIS
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
MAGISTER SAINS
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN
PARTISIPASI STAKEHOLDER DI KABUPATEN BANGKA
PASCA PEMEKARAN WILAYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
HARI SUBARI
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi
Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah
Nama : Hari Subari
NIM : A156110204
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ernan Rustiadi, MAgr
Ketua
Ir Fredian Tonny Nasdian, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 21 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah SWT. atas Ridho-Nya maka
penyusunan hasil penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian yang berjudul
Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di
Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah ini merupakan tahap akhir dalam
menyelesaikan pendidikan.
Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada: Dr Ir Ernan Rustiadi,
MAgr dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS. selaku komisi pembimbing, Prof Dr Ir
Santun RP Sitorus selaku Ketua Program Studi PWL beserta seluruh dosen
pengajar dan staf, H Yusroni Yazid, SE selaku Bupati Bangka, Drs Yunan Helmi,
MSi. (Kepala Dinas) dan Zuniar, SE (Kepala Bidang Perencanaan) pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bangka beserta teman-teman sekantor. Special thank you
to ibunda Holiyah beserta Eddy (first bro) Sil dan Dinda, Eddo (second bro),
ibunda mertua Zubaidah, A’ Irma dan Bang Narto, Yuk Elis dan Bang Toni, My
lovely family: Firdia Agustin (istri) dan Fatih Annafis (anak) untuk doa,
pengorbanan, pengertian, dan dukungannya, serta kepada berbagai pihak yang
telah membantu penyelesaian tesis ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Februari 2013
Hari Subari
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila
ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku dan
segala larangan-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku (Yakin bahwa Aku selalu
hadir dikehidupannya), agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
(Q.S. Al-Baqarah: 186)
Ku persembahkan karya ini kepada:
Ayahanda Sopiyan (alm) dan Ibunda Holiyah,
Ibunda mertua Zubaidah,
Adik-adikku tersayang: Eddy Sugara dan Hamdu Santoso,
My Lovely wife (Firdia Agustin) and our hero (Fatih Annafis),
Keluarga besar dan guru-guruku.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 7
Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA 11
Pemekaran Wilayah 11
Pendidikan 13
Partisipasi Stakeholder 16
Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan
Menengah dan Partisipasi Stakeholder 19
METODE PENELITIAN 23
Lokasi dan Waktu 23
Bahan dan Alat 23
Metode dan Teknik Analisis Data 24
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 27
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka 27
Letak Geografis dan Administratif Wilayah 28
Keadaan Alam 30
Profil Sosial Budaya 31
KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI KASAR (APK) 33
Keragaan Pendidikan Menengah 33
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) 36
TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN MENENGAH 45
Bentuk Partisipasi Stakeholder 45
Tingkat Partisipasi Stakeholder 48
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA PEMEKARAN
KABUPATEN BANGKA 57
Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan 57
Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah 59
SIMPULAN DAN SARAN 65
Simpulan 65
Saran 65
DAFTAR TABEL
1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun
2003 5 2 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun
2011 6 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) 26 4 Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya 28 5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010 31 6 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum
dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 33
7 Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan
setelah pemekaran di Kabupaten Bangka 34 8 Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah
pemekaran Kabupaten Bangka 35 9 Hasil regresi data panel 36 10 Hasil uji korelasi 37 11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 45 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan 46 13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi 48 14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan 48 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan
pendapat 50 16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik 52 17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar 53 18 Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan 55 19 Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder 55
DAFTAR GAMBAR
1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan 3 2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan 3 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
tahun 2003 5 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
tahun 2011 6 5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah
2008) 18 6 Lokasi penelitian 23
7 Bagan alir penelitian 24 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008) 26 9 Lokasi kecamatan sampel 29 10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung
atau nganggong di Pulau Bangka 32 11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum
dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 34 12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011 38 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011 39 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011 40 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 41
16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 42 17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011 43 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 45 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan
kegiatan 47 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam
pertemuan 49 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam
berdiskusi dan mengemukakan pendapat 51 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat
dalam kegiatan fisik 52 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk
membayar 54 24 Hasil AHP dari level alternatif 59 25 Hasil AHP dari level kriteria 60
26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder 61 27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat 61 28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana 62 29 Hasil Analisis Proses Hirarki (AHP) 62
DAFTAR LAMPIRAN
1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali 71 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat 71 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor
pendidikan tingkat Kabupaten Bangka 71 4 Hasil regresi data panel menggunakan software eviews 6.0 72
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemekaran wilayah semakin marak terjadi sejak diterapkannya sistem
otonomi daerah sebagai implikasi penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan Undang-Undang Otonomi
Daerah. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang kepada suatu daerah
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang
ini mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus, dapat
berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi
dua daerah atau lebih dengan syarat yang diatur dalam undang-undang. Pemekaran
wilayah diharapkan akan membentuk daerah yang mampu menghidupi kebutuhan
pembangunan secara mandiri. Adapun tujuan pemekaran wilayah sebagaimana
tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui: 1) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2)
Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, 3) Percepatan pelaksanaan
pembangunan perekonomian daerah, 4) Percepatan pengelolaan potensi daerah, 5)
Peningkatan keamanan dan ketertiban, 6) Peningkatan hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah.
Menurut Mardiasmo dalam Hermani (2007), otonomi daerah diharapkan
dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan
daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin dapat meningkatkan partisipasi
aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan
dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: 1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah, 2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan
kesejahteraan masyarakat, 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi
masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan. Selanjutnya Effendy
(2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah yang dilakukan pada beberapa
daerah dimaksudkan agar terjadi peningkatan kemampuan pemerintah daerah,
berupa makin pendeknya rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan
efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.
Pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu upaya yang
berkaitan dengan perluasan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pendidikan.
Pengembangan pendidikan memegang peranan yang sangat penting karena
peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan akan memberikan kontribusi
terhadap pengembangan sumber daya masyarakat. Wilayah/daerah yang mencapai
keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan penduduknya adalah yang
menanamkan investasi yang relatif besar di bidang pendidikan dan pelatihan.
Gambaran ini memberikan indikasi betapa pentingnya investasi di bidang
pendidikan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan indikator yang memegang
peranan penting sebagai penentu kualitas penduduk di suatu negara/daerah, dapat
diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang akan terkait dengan
indikator lainnya yaitu pendapatan masyarakat (daya beli) dan kesehatan
masyarakat (angka harapan hidup).
2
Todaro (1998) menyatakan bahwa sumber daya manusia dari suatu bangsa
merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial
dan ekonomi dari bangsa yang bersangkutan. Keberhasilan pembangunan di suatu
daerah tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pengembangan sumber daya
manusia, disamping ketersediaan sumber alam, modal dan teknologi yang dimiliki.
Selain itu juga, terdapat empat unsur yang menjadi modal dalam upaya
pengembangan wilayah yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber
daya infrastruktur, dan sumber daya sosial. Kemudian Iwahashi (2004) menyatakan
bahwa pengembangan suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan
ekonomi penduduknya. Meningkatnya taraf kehidupan ekonomi akan memberikan
kesempatan yang lebih besar bagi penduduk untuk mendapatkan kesempatan
pendidikan yang lebih baik. Penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi akan memiliki peran untuk mengisi sektor-sektor pembangunan karena
memiliki nilai keunggulan komparatif yang memadai. Selanjutnya Nasution (2011)
menyatakan bahwa pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan
kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan
prasangka. Pendidikan adalah suatu aktivitas masyarakat yang berfungsi
mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik.
Pendidikan merupakan wadah untuk membentuk kepribadian dan watak masyarakat
yang berilmu dan berbudaya serta dapat menunjukkan tingkat peradaban suatu
bangsa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain
yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah
(MTs.) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah
Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Adapun usia jenjang
pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar yaitu 7-12 tahun dan tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yaitu 13-15 tahun, jadi dapat dikatakan bahwa jenjang
pendidikan dasar berusia antara 7-15 tahun. Kemudian untuk jenjang pendidikan
menengah (SMA/SMK/MA/MAK) yaitu 16-18 tahun.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor 7 Tahun 2001
Tentang Pembentukan sembilan kecamatan, maka terjadilah pemekaran wilayah
kecamatan di Kabupaten Bangka dengan terbentuknya sembilan kecamatan baru,
yaitu: Kecamatan Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Tempilang, Simpang
Teritip, Simpang Katis, Simpang Rimba dan Air Gegas. Selanjutnya, sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 Tanggal 23 Januari 2003 sebagai
implementasi terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terwujudnya
pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten yaitu Kabupaten Bangka,
Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Bangka Barat. Sembilan kecamatan baru
tersebut, hanya empat kecamatan yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bangka,
yaitu: Kecamatan Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar. Lingkup wilayah
Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1.
3
Gambar 1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan
Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan memiliki wilayah seluas 11 554
km², terdiri dari 22 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat,
Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Toboali, Payung, Simpang Rimba, Lepar
Pongok, Air Gegas, Koba, Pangkalan Baru, Namang, Sungai Selan, Mentok,
Simpang Teritip, Kelapa, Jebus, dan Tempilang. Wilayah Kabupaten Bangka
setelah dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 2.
Gambar 2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan
4
Kabupaten Bangka setelah dimekarkan memiliki wilayah seluas 2 950.68
km², terdiri dari 8 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat,
Pemali, Bakam, Riau Silip, dan Puding Besar.
Salah satu indikator kinerja utama yang digunakan untuk menilai
keberhasilan program pendidikan dan juga indikator keberhasilan sistem
pendidikan dalam mendidik anak-anak dan remaja adalah nilai Angka Partisipasi
Kasar (APK) yang dapat juga memberikan gambaran secara umum banyaknya
anak-anak yang sedang atau telah menerima pendidikan pada jenjang tertentu.
Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan indikator yang paling sederhana dalam
mengukur daya serap penduduk usia sekolah untuk masing-masing jenjang
pendidikan. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) dapat diperoleh dengan membagi
jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah siswa), tanpa memperhitungkan
umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia
yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut atau jumlah siswa jenjang
pendidikan tertentu dibagi jumlah penduduk kelompok usia tertentu dikalikan
seratus persen. Makin tinggi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) berarti makin
banyak anak usia sekolah yang bersekolah disuatu daerah, atau makin banyak anak
usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan
tertentu. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah diperoleh
dengan cara sebagai berikut: jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah
siswa) tingkat SMA/SMK/MA negeri dan swasta dibagi dengan jumlah penduduk
kelompok usia pendidikan menengah (16-18 tahun) kemudian dikalikan dengan
100 persen. Semakin tinggi Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah,
berarti semakin banyak penduduk usia sekolah SMA/SMK/MA yang bersekolah
sehingga akan semakin baik (Kemdiknas 2009).
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Kabupaten
Bangka pada tahun 2011 untuk jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar
(SD) Angka Partisipasi Kasar (APK) sudah mencapai 114.25 persen dan untuk
jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 109.13
persen. Hal ini dapat menjadi gambaran keberhasilan pemerintah Kabupaten
Bangka dalam melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar
Dikdas) sembilan tahun karena nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) ditargetkan
secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 95 persen sudah
tercapai. Tetapi pada jenjang pendidikan menengah Angka Partisipasi Kasar (APK)
untuk tingkat SMA/SMK/MA di Kabupaten Bangka sebesar 82.29 persen dan
masih jauh untuk target secara nasional pada tahun 2020 sebesar 97 persen.
Salah satu penyebab tingginya nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang
pendidikan dasar dikarenakan ketersediaan prasarana yang sangat memadai. Setiap
desa sudah memiliki Sekolah Dasar (SD) atau sederajat minimal dengan daya
tampung enam ruang kelas. Demikian juga untuk tingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP) atau sederajat minimal tiap kecamatan sudah memiliki dua unit
minimal dengan daya tampung enam ruang kelas. Beda halnya dengan jenjang
pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) yang tidak terdapat di setiap desa atau pun
kelurahan. Bahkan di Kabupaten Bangka ketersediaan prasarana pendidikan
menengah terdapat di setiap kecamatan baru dapat terealisasi pada tahun 2009.
Kabupaten Bangka pada waktu dimekarkan tepatnya pada Januari 2003,
memiliki prasarana pendidikan menengah sebanyak 16 unit SMA (6 berstatus
negeri dan 10 berstatus swasta), 10 SMK (2 berstatus negeri dan 5 berstatus swasta)
5
dan 5 MA (1 berstatus negeri dan 4 berstatus swasta) yang tersebar hampir di
seluruh kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2003
No. Nama kecamatan Sekolah (N/S)
Jumlah SMA SMK MA
1 Sungailiat 7 6 1 14
2 Mendo Barat 2 1 2 5
3 Belinyu 4 2 0 6
4 Merawang 1 1 1 3
5 Riau Silip 0 0 1 1
6 Puding Besar 1 0 0 1
7 Pemali 1 0 0 1
8 Bakam 0 0 0 0
Jumlah 16 10 5 31
Sumber: DISDIK (2004)
Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar
(APK) pendidikan menengah tahun 2003 sebagaimana terdapat pada Gambar 3.
Gambar 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
tahun 2003
Tampak pada Gambar 3, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan
menengah untuk Kecamatan Riau Silip, Merawang, Puding Besar dan Mendo Barat
masih sangat rendah yaitu kurang dari 20 persen. Bahkan untuk Kecamatan Bakam
masih nol persen karena belum memiliki prasarana pendidikan menengah di
kecamatan tersebut. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
paling tinggi yaitu Kecamatan Sungailiat yaitu sebesar 114.58 persen. Kondisi ini
menggambarkan tidak meratanya ketersediaan prasarana pendidikan menengah di
tiap kecamatan.
6
Tampak pada Tabel 2, menggambarkan kondisi prasarana pendidikan
menengah sudah hampir tersebar merata diseluruh kecamatan, namun masih ada
satu kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah yaitu
Kecamatan Bakam.
Kemudian, setelah delapan tahun pemekaran atau tepatnya pada tahun 2011,
Kabupaten Bangka telah memiliki 15 SMA (8 berstatus negeri dan 7 berstatus
swasta), 7 MA (1 berstatus negeri dan 6 berstatus swasta) serta 9 SMK (4 berstatus
negeri dan 5 berstatus swasta) dan sudah terdapat atau tersebar merata diseluruh
kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2011
No. Nama kecamatan Sekolah (N/S)
Jumlah SMA SMK MA
1 Sungailiat 6 5 0 11
2 Mendo Barat 1 1 3 5
3 Belinyu 3 3 0 6
4 Merawang 1 0 2 3
5 Riau Silip 1 0 1 2
6 Puding Besar 1 0 0 1
7 Pemali 1 0 1 2
8 Bakam 1 0 0 1
Jumlah 15 9 7 31
Sumber: DISDIK (2012)
Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar
(APK) pendidikan menengah tahun 2011 atau delapan tahun setelah pemekaran
Kabupaten Bangka sebagaimana terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
tahun 2011
Tampak pada Gambar 4, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan
menengah untuk Kecamatan Pemali, Mendo Barat dan Belinyu mengalami
7
peningkatan yaitu sudah di atas 85 persen. Bahkan untuk Kecamatan Belinyu sudah
mencapai di atas 90 persen. Demikian juga halnya untuk Kecamatan Riau Silip,
Puding Besar dan Merawang yang sudah berkisar di atas 70 persen. Kecamatan
yang memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah paling
rendah adalah Kecamatan Bakam yang masih berkisar di bawah 70 persen, yaitu
54,12 persen.
Terwujudnya pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten
dengan satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru menarik minat penulis untuk
mengadakan penelitian bagaimana strategi pengembangan pendidikan menengah
dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah. Hal ini
perlu dilakukan karena bukan suatu hal yang mustahil setelah dimekarkan,
pengembangan pendidikan menengah mengalami kemunduran ataupun jalan
ditempat sehingga berpengaruh terhadap daya serap pendidikan menengah yang
akan mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan
menengah di Kabupaten Bangka.
Perumusan Masalah
Salah satu kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada
pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah yaitu urusan bidang pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan pendidikan menengah karena urusan pendidikan
tinggi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam konteks pemekaran
wilayah diharapkan pelayanan pendidikan akan lebih mempercepat tersedianya
sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan ilmiah sehingga
dapat berperan dalam pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya.
Pemekaran wilayah telah memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar
bagi masyarakat dan pemerintah melalui stakeholder untuk berpartisipasi dalam
perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan daerah karena
tranformasi sentralisasi menjadi desentralisasi mengharuskan keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan. Pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003
merupakan implikasi dari pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada
tahun 2001. Setelah dimekarkan tentu saja ruang lingkup wilayah menjadi lebih
kecil namun hal ini harus menjadi motivator bagi pemerintah daerah untuk berbuat
lebih baik dalam hal pelayanan masyarakat.
Realita sekarang ketersediaan prasarana pendidikan menengah terutama untuk
pendidikan menengah kejuruan belum terdistribusi secara merata. Masih ada empat
kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah kejuruan.
Demikian juga untuk sarana penunjangnya, keberadaan laboratorium dengan
peralatan yang lengkap masih menjadi sarana penunjang yang langka bila
dibandingkan dengan sekolah jenjang pendidikan menengah yang berada di
Kecamatan Sungailiat.
Kondisi tersebut diatas menyebabkan terjadinya mobilitas peserta didik
karena harus melanjutkan pendidikan menengah ke luar tempat tinggalnya namun
status kependudukannya tetap terdaftar sebagai penduduk tempat tinggal asalnya.
Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perhitungan angka partisipasi sekolah
peserta didik. Tentu saja yang dirugikan adalah kecamatan yang belum memiliki
8
prasarana pendidikan memadai karena sebagian peserta didiknya melanjutkan
pendidikan menengah ke kecamatan lain.
Dari permasalahan diatas, petanyaan penelitian dalam karya ilmiah ini yaitu:
1 Bagaimana dampak pemekaran Kabupaten Bangka terhadap nilai Angka
Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah?
2 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar
(APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?
3 Bagaimana tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?
4 Bagaimana persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan
menengah di Kabupaten Bangka?
5 Bagaimana arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pemekaran Kabupaten Bangka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Upaya memperluas dan memberikan
kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat, percepatan pembangunan
infrastruktur pendidikan seharusnya menjadi prioritas untuk ditingkatkan karena
pemerintah daerah dapat lebih fokus untuk membangun dalam ruang lingkup
wilayah yang tidak terlalu luas serta alokasi dana bantuan pembangunan
infrastruktur pendidikan dari pemerintah pusat akan langsung dikelola oleh
pemerintah kabupaten masing-masing. Namun, pembangunan infrastruktur
pendidikan harus diikuti dengan peningkatan daya serap untuk meningkatkan angka
partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan:
1 Menganalisis tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
di Kabupaten Bangka pasca pemekaran
2 Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai Angka
Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
3 Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
4 Menganalisis persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan
menengah di Kabupaten Bangka dan merumuskan arahan strategi
pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi
pendidikan menengah sehingga menjadi bahan masukan dalam menyusun rencana
strategis pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.
Ruang Lingkup Penelitian
Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian serta kendala yang
dihadapi, menimbulkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu :
9
1 Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung,
2 Jenjang pendidikan menengah (SMA, SMK, MA negeri/swasta),
3 Periode waktu analisis yaitu tahun 1998, 2000 dan 2003 (sebelum pemekaran)
serta 2009 sampai dengan 2011 (setelah pemekaran).
11
TINJAUAN PUSTAKA
Pemekaran Wilayah
Pengertian, maksud dan tujuan
Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponennya
memiliki arti di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya
pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi
antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu
batasan unit geografis tertentu.
Terlepas dari unsur politis yang menyelimutinya, bahwa tujuan mulia
dilakukannya pembangunan daerah dalam konteks pemekaran wilayah adalah
kesejahteraan. Pemekaran wilayah juga akan mewujudkan birokrasi pemerintahan
menjadi lebih efektif dan efisien. Secara umum, pemekaran wilayah merupakan
suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan
meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Menurut Juanda (2007),
tujuan ideal dari pemekaran wilayah adalah dapat diwujudnyatakannya melalui
peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan
pemerintahan yang efektif dan efisien, dapat meningkatkan pelayanan dasar publik,
menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat serta dapat akses langsung
pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dengan mudah dijangkau oleh
masyarakat pedesaan maupun kota.
Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru
pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan
pada masyarakat. Effendy (2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: 1)
peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2) percepatan pertumbuhan kehidupan
demokrasi, 3) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian, 4) percepatan
pengelolaan potensi suatu daerah, dan 5) peningkatan keamanan dan ketertiban.
Kemudian Saefulhakim dalam Agusniar (2006) menyatakan bahwa terciptanya
wilayah administrasi baru, secara logika harus dapat menciptakan hal-hal sebagai
berikut: 1) mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan
kewenangan lebih kepada masyarakat lokal untuk mengelola potensi sumberdaya
wilayah secara arif, 2) partisipasi dan rasa memiliki dari masyarakat meningkat, 3)
efisiensi, produktivitas serta pemeliharaan kelestarianya, 4) kumulasi dari nilai
tambah secara lokal dan kesejahteraan masyarakat masyarakat meningkat, 5)
prinsip keadilan dan kesejahteraan yang berkeadilan lebih tercipta, sehingga
ketahanan nasional semakin kuat. Hal ini perlu diupayakan agar tidak
mengakibatkan kesenjangan yang signifikan dimasa mendatang. Selanjutnya dalam
suatu usaha pemekaran wilayah akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan
kebutuhan kolektif semua warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan
mempengaruhi aktivitas seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan
karena pelayanannya yang lebih maksimal. Akhirnya pemekaran wilayah ini
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya
secara berkelanjutan, meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan
12
antar sektor, memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat
meningkatkan kualitas hidup. Riyadi dan Bratakusumah (2004) berpendapat bahwa pengembangan wilayah
merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan
kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu
wilayah. Tentu saja upaya ini sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya
dan keadaan geografis yang ada disetiap wilayah sangat berbeda-beda, sehingga
diperlukan perlakuan yang berbeda-beda pula dan pengembangan wilayah bertujuan
untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Beberapa konsep
pengembangan wilayah, antara lain: 1) mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana
konsep ini bertujuan untuk menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk
membentuk struktur ruang yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah
non-metropolitan, 2) membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah
yang memiliki karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita
yang rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat, 3)
memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju pusat-
pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan maka telah
memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Hal ini diharapkan akan dapat
mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.
Dasar Hukum dan Syarat Teknis Pemekaran Wilayah
Payung hukum terjadinya pemekaran wilayah yaitu Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 yang mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II
tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Oleh karena itu, masalah
pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah.
Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu
daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum
dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan bahwa
undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan,
dokumen, serta perangkat daerah. Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan
dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang menyatakan bahwa pembentukan daerah
dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan
atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Kemudian ayat (4)
menyebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas
minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila
telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi,
syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi
bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi
dari pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk
kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya
persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan
13
DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menetapkan syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di
bawah ini, antara lain: 1) kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan
usaha perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota,
yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan
daerah sendiri, 2) potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya
yang dapat dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari
lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana
transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan, 3) sosial
budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola
budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari tempat
peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana olahraga, 4)
sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat
diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi kemasyarakatan, 5)
kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah, 6) luas daerah,
merupakan luas tertentu suatu daerah, 7) pertahanan dan keamanan merupakan
kesiapan system pertahanan dan kondisi keamanan yang kondusif, 8) faktor-faktor
lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, meliputi paling sedikit
5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan
untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi
calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Pembentukan daerah otonom baru tidak boleh mengakibatkan daerah induk
menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik
daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan
otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Oleh karena
itu dalam usulan pembentukan daerah baru harus dilengkapi dengan kajian daerah.
Pendidikan
Sebagaimana menurut Conyers (1994) bahwa keuntungan investasi pelayanan
sosial tidaklah dapat diukur dengan kriteria ekonomis, seperti naiknya pengeluaran
atau pendapatan keuangan, walaupun mungkin mempunyai beberapa dampak tak
langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan
investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak
dianggap sebagai cara mencapai perkembangan ekonomi melalui tenaga-tenaga
terampil atau di lain pihak pendidikan merupakan hak dasar yang berlaku bagi
rakyat secara keseluruhan. Perencanaan pendidikan akan semakin erat kaitannya
dengan perencanaan dan sumber tenaga kerja yang didasarkan pada ramalan akan
kebutuhan berbagai jenis kategori tenaga terampil serta adanya keyakinan bahwa
kebutuhan ini akan terpenuhi, namun apabila pendidikan dilihat sebagai bentuk hak
sosial yang mendasar, maka adalah mungkin memperdebatkan kelengkapan sumber
daya yang hampir tak terbatas, paling tidak seluruh penduduk telah memperoleh
kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan tertentu.
14
langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan
investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak
Infrastruktur Pendidikan
Menurut Amirin (2011), bahwa infrastruktur pendidikan disebut juga sarana
dan prasarana pendidikan. Kerap kali istilah itu digabung begitu saja menjadi
sarana-prasarana pendidikan. Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut
dengan facility (facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut
educational facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan
menjadi fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan artinya segala sesuatu (alat dan
barang) yang memfasilitasi (memberikan kemudahan) dalam menyelenggarakan
kegiatan pendidikan. Definisi secara umum tentang sarana pendidikan sebagai
segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses pendidikan dan
prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung
digunakan dalam proses pendidikan. Sarana pendidikan adalah segala macam alat
yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, sementara prasarana pendidikan
tidak digunakan dalam proses atau kegiatan belajar-mengajar. Erat terkait dengan
sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah pendidikan dikenal pula
sebutan alat bantu pendidikan (teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang
dipakai guru untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat
bantu pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana
pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan guru untuk
memudahkan penyampaian materi pelajaran.
Selanjutnya Amirin (2011) juga menyatakan jika dilihat dari sudut murid,
sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan murid untuk
memudahkan mempelajari mata pelajaran dan prasarana pendidikan adalah segala
macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru (dan murid)
untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan. Perbedaan sarana pendidikan dan
prasarana pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan
untuk memudahkan penyampaian/mempelajari materi pelajaran sedangkan
prasarana pendidikan untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan
Terdapat lima faktor yang harus ada pada proses belajar mengajar yaitu ; guru,
murid, tujuan, materi dan waktu. Ketidakadanya salah satu dari faktor tersebut,
maka proses belajar mengajar tidak mungkin terjadi. Walaupun sudah memenuhi
lima faktor tersebut, proses belajar mengajar terkadang memperoleh hasil yang
tidak maksimal. Hasil yang maksimal dapat ditingkatkan apabila didukung dengan
sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Bafadal (2004) menyatakan bahwa
prasarana pendidikan adalah semua perangkat perlengkapan dasar yang secara tidak
langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.
Fungsi dan Tujuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
15
mencerdaskan dan mendewasakan anak didik. Dalam pengertian sempit,
pendidikan berarti pembuatan atau proses pembuatan untuk memperoleh
pengetahuan. Menurut Marimba (1981) bahwa pendidikan merupakan suatu
bimbingan atau pimpinan dilakukan secara sadar yang dilakukan oleh seorang
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju terbentuknya
kepribadian prima. Upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah untuk
menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya,
demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam
bidang ilmu pengetahuan teknologi dan seni, budaya dan agama. Proses pendidikan
yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang sejalan dengan upaya
pencapaian masyarakat madani. Dampak dari proses perubahan dunia yang cepat
berdampak pada perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat
berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Pendidikan memegang peranan
penting dalam membentuk dan menciptakan masyarakat sesuai dengan yang
diharapkan. Keberadaan pendidikan, apa yang dicita-citakan masyarakat dapat
diwujudkan melalui anak didik sebagai generasi masa depan. Adapun tujuan
pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Sastrawijaya dalam Idi (2011) adalah
mencakup kesiapan jabatan, keterampilan memecahkan masalah, penggunaan
waktu senggang secara membangun, dan sebagainya karena tiap siswa/anak
mempunyai harapan yang berbeda. Tujuan pendidikan secara umum menyangkut
kemampuan luas yang akan membantu siswa untuk berpartisipasi dalam
masyarakat.
Lebih jauh, ada sejumlah fungsi dan peranan pendidikan bagi suatu
masyarakat, seperti diungkapkan oleh Wuradji dalam Idi (2011): 1) fungsi
Sosialisasi yaitu proses reproduksi budaya dimaksudkan upaya mendidik anak-anak
untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah
mapan adalah menjadi tugas sekolah. Masa-masa permulaan pendidikan merupakan
masa sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan serta pengadopsian
nilai-nilai ini, 2) fungsi kontrol sosial yaitu sekolah dalam menanamkan nilai-nilai
dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus berfungsi sebagai
lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme fungsi kontrol sosial, 3)
fungsi pelestarian budaya yaitu sekolah disamping mempunyai tugas mempersatu
budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga perlu melestarikan budaya-budaya
daerah yang masih layak dipertahankan, 4) fungsi seleksi, latihan dan
pengembangan tenaga kerja yaitu sekolah mengajarkan bagaimana menjadi
seseorang yang akan memangku jabatan tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa
tanggungjawab akan tugas, disiplin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat
dan martabat manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan
memperhatikan segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya,
5) fungsi pendidikan dan perubahan sosial yaitu pendidikan mempunyai fungsi
untuk mengadakan perubahan sosial, memiliki beberapa fungsi: (a) melakukan
reproduksi budaya, (b) difusi budaya, (c) mengembangkan analisis kultur terhadap
kelembagaan-kelembagaan tradisional, dan (d) melakukan perubahan yang lebih
mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan, 6) fungsi
sekolah dan masyarakat yaitu hubungan timbal balik pendidikan di sekolah dan
16
masyarakat sangat besar manfaat dan artinya bagi kepentingan pembinaan
dukungan moral, materiil, dan pemanfaatan masyarakat sebagai sumber belajar.
Partisipasi Stakeholder
Pengertian partisipasi
Terdapat banyak definisi mengenai partisipasi diantaranya adalah sebagai
berikut: 1) bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan
dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas
saja, yang berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya (Allport dalam Sastropoetro
1988:12), 2) partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan
emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut
bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Davis dalam Sastropoetro
1988:13), 3) partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam
merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
pembangunan (Soetrisno 1995:207)
Menurut FAO dalam Mikkelsen (2003:64): 1) partisipasi adalah kontribusi
sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan
keputusan, 2) partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-
proyek pembangunan, 3) partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang
mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan
menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu, 4) partisipasi adalah
pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan
persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi
mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social, 5) partisipasi adalah
keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri,
6) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan,
dan lingkungan mereka.
Schubeller (1996:3) menyatakan, bahwa partisipasi tidak dapat dipisahkan
dari pemberdayaan dan menurutnya ada 4 pendekatan strategi partisipasi yaitu: 1)
community–based strategies merupakan bentuk paling dasar dari pembangunan
partisipatif, 2) area-based strategies merupakan bentuk umum dari program-
program pemerintah, 3) functionally-based strategies merupakan struktur
fungsional dari sistem infrastruktur sebagai kerangka referensi, 4) process-based
strategies merupakan seluruh proses manajemen infrastruktur sebagai kerangka
referensi.
Pengertian tentang partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang,
baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada
proses pembuatan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang
yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya
(Talizuduhu 1990:103 dalam Chusnah 2008). Selanjutnya Korten dalam
Khadiyanto (2007: 28-29) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu tindakan yang
mendasar untuk bekerjasama yang memerlukan waktu dan usaha, agar menjadi
mantap dan hanya berhasil baik dan terus maju apabila ada kepercayaan. Lain
halnya dengan definisi partisipasi menurut Suherlan dalam Khadiyanto (2007: 29).
17
Menurutnya, partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat
dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek
pemerintah.
Pengertian stakeholder
Istilah stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh
banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagai ilmu atau konteks,
misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam,
sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas
istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi
keputusan. Stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku,
atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.
Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu
yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan
tertentu. Menurut Hatry dalam Rosyada (2004:276) menyatakan bahwa stakeholder
adalah salah satu kategori masyarakat sekolah, yang merupakan unsur-unsur
sekolah yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka proses persekolahan
tersebut menjadi terganggu. Definisi ini lebih diperjelas dalam Kamus Manajemen
Mutu yang menyatakan bahwa stakeholder adalah kelompok atau individu di dalam
atau luar organisasi yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi oleh pencapaian
misi, tujuan dan strategi organisasi biasanya terdiri atas pemegang saham,
karyawan, pelanggan, pemerintah dan peraturannya.
Tingkatan dalam partisipasi
Arstein (1969) dalam Chusnah (2008), menyatakan delapan tangga tingkat
partisipasi yaitu: kesatu, manipulation (manipulasi). Tingkat partisipasi ini
merupakan tingkatan paling rendah yang memposisikan masyarakat hanya dipakai
sebagai pihak yang memberikan persetujuan dalam berbagai badan penasehat.
Dalam hal ini tidak ada partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi
diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa. Kedua,
theraphy (terapi/penyembuhan) yaitu berkedok melibatkan partisipasi masyarakat
dalam perencanaan, para ahli memperlakukan anggota masyarakat seperti proses
penyembuhan pasien dalam terapi. Meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan
namun pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan
masukan dari masyarakat demi kepentingan pemerintah. Ketiga, informing
(informasi) yaitu memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak
mereka, tanggungjawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang
sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Meskipun yang sering
terjadi adalah pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kekuasaan
kepada masyarakat, tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik
atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam situasi saat itu terutama
informasi diberikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit
kesempatan untuk mempengaruhi rencana. Keempat, consultation (konsultasi) yaitu
mengundang opini masyarakat, setelah memberikan informasi kepada mereka,
dapat merupakan langkah penting dalam menuju partisipasi penuh dari masyarakat.
Meskipun telah terjadi dialog dua arah, akan tetapi cara ini tingkat keberhasilannya
rendah karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan
diperhatikan. Metode yang sering seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi.
18
Meskipun masyarakat terlibat digunakan adalah survei, pertemuan lingkungan
masyarakat, dan dengar pendapat dengan masyarakat.
Selanjutnya, kelima, placation (penentraman/perujukan) yaitu pada tingkat ini
masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih
tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya beberapa
anggota masyarakat dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-
badan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya
wakil dari berbagai instansi pemerintah. Walaupun usulan dari masyarakat
diperhatikan sesuai dengan kebutuhannya, namun suara masyarakat seringkali tidak
didengar karena kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit
dibanding anggota dari instansi pemerintah. Keenam, partnership (kerjasama) yaitu
pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi
antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Hal ini disepakati
bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan
keputusan serta pemecahan berbagai masalah. Terdapat kesamaan kepentingan
antara pemerintah dan masyarakat. Ketujuh, delegated power (pelimpahan
kekuasaan) yaitu pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk
memberikan keputusan dominan pada rencana atau program tertentu. Upaya
memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan harus mengadakan tawar
menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas.
Jadi masyarakat diberi wewenang untuk membuat keputusan rencana dan rencana
tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah, dan kedelapan, citizen control
(kontrol masyarakat) yaitu pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk
mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka.
Mereka mempunyai kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-
pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Hal ini terdapat usaha bersama
warga bisa langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapat
bantuan atau pinjaman tanpa melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki
kekuasaan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang
dibuatnya. Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arstein (1969), sebagaimana
terdapat pada Gambar 5.
Gambar 5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah 2008)
19
Tampak pada Gambar 5, pada tingkat 1 dan 2 disimpulkan sebagai tingkat
yang bukan partisipasi atau non participation. Tingkat 3, 4, dan 5 disebut tingkatan
penghargaan/ tokenisme atau Degree of Tokenism. Tingkat 6, 7, 8 disebut tingkatan
kekuatan masyarakat atau Degree of Citizen Power.
Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan
Menengah dan Partisipasi Stakeholder
Analisis Regresi Data Panel
Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data
longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series.
Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap
banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan
dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu
metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin
dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section.
Data panel merupakan analisis untuk menjelaskan hubungan antara peubah
respon (variabel dependen) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lebih dari
satu prediktor (variabel independen). Data panel (longitudinal data) adalah data
yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Data cross section yang sama
diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah
observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah
observasi = N x T). Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit
cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan
time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan
menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time
series murni. Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik
maupun teori ekonomi. Manfaat penggunaan panel data adalah sebagai berikut: 1)
mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini melakukan estimasi secara
eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu, 2) memberikan data yang
informatif, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom,
sehingga diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien, 3) mampu mengidentifikasi dan
mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section
murni atau time series murni, 4) dapat menguji dan membangun model prilaku yang
lebih kompleks, 5) lebih baik untuk studi dynamic of adjustments karena berkaitan
dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam
mempelajari perubahan dinamis. Berdasarkan keunggulan tersebut maka tidak harus
dilakukan pengujian asumsi klasik dalam model data panel (Verbeek 2000; Gujarati
2006; Wibisono 2005; Aulia 2004, dalam Shochrul dan Ajija 2011 ).
Terdapat tiga macam estimasi model yang dapat digunakan dalam analisis
regresi data panel yaitu model common effects, fixed effects, dan random effects.
Pada dasarnya, perbedaan yang mendasari ketiganya adalah keberadaan efek
spesifik individu (αi). Keberadaan efek spesifik individu dan korelasinya dengan
variabel penjelas yang teramati (Xit) sangat menentukan spesifikasi model yang
akan digunakan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
commone effect yang hanya dengan mengkombinasikan data time series dan cross
section. Penggabungan kedua jenis data tersebut dapat menggunakan metode OLS
20
untuk mengestimasi model data panel. Pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi
individu maupun waktu, dan dapat diasumsikan bahwa perilaku data antar wilayah
sama dalam berbagai rentang waktu.
Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t) digunakan untuk menguji
parameter secara parsial, dengan kata lain untuk mengetahui apakah variabel
independent (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap variabel dependent
(y).
H0 : βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5,6
H1 : βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5,6
Tolak H0 jika p-value (masing-masing koefisien x) < alpha (0,05).
Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) digunakan untuk menguji
kelayakan model dan menguji parameter regresi secara keseluruhan :
H0 : βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model tidak layak digunakan)
H1 : βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model layak digunakan)
Tolak H0 jika p-value (prob F-statistic) < alpha (0,05).
Uji korelasi digunakan untuk menentukan terjadi atau tidaknya
multikolinearitas. yaitu apabila nilai R-square yang tinggi namun banyak variabel
yang tidak signifikan maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas, dan demikian
juga sebaliknya. Cara lain yaitu dengan melihat angka korelasi. Apabila korelasi
antara variabel penjelas tidak lebih besar dibanding korelasi variabel terikat dengan
masing-masing variabel penjelas, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah
yang serius sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila angka korelasi lebih kecil
dari 0,8 maka dapat dikatakan telah terbebas dari masalah multikolinearitas
(Gujarati 2004).
Metode Deskriptif
Menurut Walpole (1992) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah metode
yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga
memberikan informasi yang berguna Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi
upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan, yang terkandung
dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana,
sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.
Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan gagasan, dari hasil
diskusi dengan isu yang disepakati, kemudian melakukan refleksi atas isu dan
peristiwa yang muncul dan dilakukan suatu pengambilan keputusan. Adapun
penarikan sampel digunakan metode pengambilan sampel gugus bertahap
(multistage random sampling).
Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut: 1) objective,
yaitu menyampaikan data-data/fakta-fakta/permasalahan yang ada, 2) reflective,
yaitu melihat refleksi/reaksi responden terhadap data-data/fakta-fakta yang telah
disampaikan, 3) interpretative, yaitu menggali/mengundang pemikiran kritis
responden terhadap data-data/fakta-fakta yang disampaikan, 4) decision, yaitu
menentukan keputusan/saran/langkah-langkah yang akan dilakukan untuk
mengatasi permasalahan yang ada.
Analisis data dilakukan dengan menghubungkan antara satu variabel dengan
variabel yang lain. Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur dengan
menggunakan analisis deskriptif kuantitatif melalui penjumlahan skor dari indikator.
Indikator yang digunakan yaitu bentuk partisipasi yang didapatkan dari hasil
21
analisis sebelumnya. Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi
yang digunakan oleh Arstein (1969), yaitu delapan tangga tingkatan partisipasi.
Delapan tangga tersebut diberi skor masing-masing berkisar antara 1-8.
Berdasarkan hasil penjumlahan skor tersebut akan didapatkan tingkat partisipasi.
Analisis Proses Hirarki (Analytic Hierarchy Process atau AHP)
Menurut Falatehan (2009), untuk memecahkan persoalan dengan analisis
logis eksplisit, ada tiga prinsip yaitu prinsip menyusun hirarki, menetapkan prioritas
dan konsistensi. Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk
menelaah kebijakan adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) yang
dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan suatu teori
pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat
tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan
berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006). AHP juga merupakan suatu
teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat
tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan
berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006).
Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama
berupa persepsi stakeholder, kemudian diberi bobot mengunakan skala
perbandingan (Saaty 2008). Komponen-komponen utama penelitian dibuat urutan
secara hierarki lalu diberi nilai (skoring) dalam angka kepada setiap bagian yang
menunjukkan penilaian subjektif. Tahap selanjutnya penilaian tersebut kemudian
disintesiskan (dengan eigen vector) guna menentukan variabel mana yang
mempunyai prioritas tertinggi. Model ini banyak digunakan pada pengambilan
keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan
prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Aplikasi
AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu : 1) choice (pilihan),
yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan
yang ada, dan 2) forecasting (peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai
alternatif hasil di masa yang akan datang (Saaty dan Niemira 2006).
Beberapa langkah berikut ini dalam menggunakan AHP yaitu: 1)
Menentukan goal (tujuan) dan menentukan kriteria atau sub kriteria berdasarkan
tujuan, 2) Menyusun kriteria ke dalam hirarki dari level teratas (tujuan dari sudut
pandang pembuat keputusan) melalui level menengah hingga level terbawah, yang
biasanya memuat beberapa alternatif, 3) Menyusun matriks perbandingan
berpasangan (ukuran n x n) untuk masing-masing level bawah dengan satu matrik
untuk setiap unsur dalam level menengah di atasnya dengan menggunakan skala
relative, dan 4) Pengujian konsistensi dengan mengambil rasio konsistensi (CR)
dari indeks konsistensi (CI) dengan nilai yang tepat. Nilai CR dapat diterima jika,
tidak melebihi 0.10. Jika nilai CR > 0.10, berarti matriks tersebut tidak konsisten
(Saaty 1980).
23
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka, Provinsi kepulauan Bangka
Belitung, dengan luas wilayah 2 950.68 km² atau 295.068 ha persegi terdiri dari 8
kecamatan, 9 kelurahan dan 60 desa. Lokasi penelitian sebagaimana terdapat pada
Gambar 6.
Gambar 6 Lokasi penelitian
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten yang
dimekarkan pada tahun 2003 sebagai implikasi dari pembentukan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yang terbentuk pada tahun 2000.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Peta administrasi wilayah
Kabupaten Bangka, Profil pendidikan Kabupaten Bangka 1998/1999, 2000/2001
dan 2003/2004 (sebelum pemekaran) serta 2009/2010 sampai dengan 2011/2012
(setelah pemekaran) dan Bangka Dalam Angka 2011.
24
Untuk keperluan analisis data, perangkat lunak yang digunakan dalam
pelaksanaan penelitian ini adalah ArcGis ver. 9.3, Eviews 6.0, Expert Choice 11,
dan Ms. Office 2010.
Tahapan penelitian mulai dari persiapan sampai pengolahan data terdapat
pada Gambar 7.
Gambar 7 Bagan alir penelitian
Metode dan Teknik Analisis Data
Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan primer. Data sekunder
diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Bangka, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Kabupaten Bangka, laporan hasil studi terdahulu, serta instansi lainnya yang dapat
membantu ketersedian data, terdiri dari: 1) jumlah penduduk usia pendidikan
menengah, 2) jumlah daya tampung ruang kelas jenjang pendidikan menengah, dan
3) luas wilayah kecamatan. Adapun profil pendidikan yang dipakai yaitu tahun
1998, 2000 dan 2003 (sampel tahun sebelum pemekaran wilayah) serta tahun 2009
sampai dengan 2011 (sampel tahun setelah pemekaran wilayah).
Data primer diperoleh dengan melakukan kegiatan wawancara langsung
menggunakan kuesioner dan diajukan kepada responden (para stakeholder).
Metode pengumpulan data: 1) wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
kepada responden, 2) wawancara mendalam dengan informan, dan 3) data
sekunder. Responden dan informan ditentukan secara purposive yaitu stakeholder
bidang pendidikan tingkat Kabupaten Bangka, kecamatan sampel yaitu: Kecamatan
Mendo Barat yang mewakili kecamatan tipikal kota dan Kecamatan Pemali yang
mewakili kecamatan tipikal desa.
Tahap Persiapan :
1. Pemilihan Topik dan Judul Penelitian
2. Penyusunan Proposal Penelitian
3. Studi Pustaka
4. Pemilihan Metode untuk Analisis Data
Tahap Persiapan :
1. Pemilihan Topik dan Judul Penelitian
2. Penyusunan Proposal Penelitian
3. Studi Pustaka
4. Pemilihan Metode untuk Analisis Data
Tahap Pengumpulan Data :
- Data Primer :
kuesioner/wawancara/ studi pustaka
- Data Sekunder :
studi pustaka
Tahap Pengumpulan Data :
- Data Primer :
kuesioner/wawancara/ studi pustaka
- Data Sekunder :
studi pustaka
Tahap
Analisis Data
Tahap
Analisis Data
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
(ANALISIS REGRESI DATA PANEL)
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
(ANALISIS REGRESI DATA PANEL)
Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder
dalam pengembangan pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka
(METODE DISKUSI (Objectif,
Replectif, Interpretatif, Decision atau ORID))
Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder
dalam pengembangan pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka
(METODE DISKUSI (Objectif,
Replectif, Interpretatif, Decision atau ORID))
Merumuskan arahan strategi pengembangan
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
(ANALISIS HIERARCHY PROCESS)
Merumuskan arahan strategi pengembangan
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka
(ANALISIS HIERARCHY PROCESS)
25
Analisis Regresi Data Panel
Analisis regresi data panel ini dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dari
penelitian ini, yaitu menganalisis tingkat Angka Partisipasi kKasar (APK)
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran.
Hubungan indeks angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan
menengah terhadap variabel-variabel bebas terlihat dalam bentuk persamaan
berikut:
dimana :
= Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
a = Konstanta
= Koefisien jumlah penduduk usia pendidikan menengah
= Koefisien jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah
= Koefisien luas wilayah kecamatan
= Jumlah penduduk usia pendidikan menengah
= Jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah
= Luas wilayah kecamatan
D = Peubah Dummy pemekaran wilayah
D = 0 : sebelum pemekaran wilayah
D = 1 : setelah pemekaran wilayah
ε = Error / residual
Alasan pemilihan variabel tersebut diatas adalah: 1) penduduk usia
pendidikan menengah merupakan angka pembilang dan penentu utama nilai Angka
Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah, 2) jumlah ruang kelas
merupakan parameter daya tampung sebagai tolok ukur daya serap peserta didik
jenjang pendidikan menengah, dan 3) luas wilayah kecamatan merupakan indikator
pemekaran wilayah karena ada kecamatan yang baru terbentuk.
Metode Deskriptif ORID
Metode Deskriptif Objektif, Reflektif, Interpretatif dan Decision (ORID)
digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya
pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran.
Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur melalui penjumlahan skor kuesioner
dari indikator dengan responden dari stakeholder tingkat kabupaten adalah Kepala
Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Anggota DPRD Kabupaten Bangka, Ketua
Dewan Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua MKKS Kabupaten Bangka, LSM
Pendidikan dan pihak swasta. Responden untuk stakeholder tingkat kecamatan dan
desa yaitu camat, kepala UPTD Pendidikan kecamatan, ketua PGRI kecamatan,
kepala desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), tokoh masyarakat dan pihak swasta.
Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi yaitu delapan tangga
tingkatan partisipasi yang digunakan oleh Arstein (1969).
Analisis Proses Hierarki (Analytical Hierarchy Process)
Analisis ini dilakukan untuk menentukan arahan strategi pembangunan
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Responden dari Stakeholder yang
+D + ε
26
diminta pendapatnya adalah anggota DPRD Kabupaten Bangka, Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS)
Tingkat Kabupaten Bangka, tokoh masyarakat, pihak swasta dan LSM bidang
pendidikan yang kesemuanya berjumlah enam orang. Adapun struktur analisis
proses hirarkinya dapat dilihat pada Gambar 8.
Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen
dengan perbandingan berpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai level
terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgment para pengambil
keputusan/para pakar berdasarkan nilai skala komparasi 1-9. Nilai skala
perbandingan secara berpasangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Pengembangan
pendidikan Menengah
di Kabupaten Bangka
Pengembangan
pendidikan Menengah
di Kabupaten Bangka
Partisipasi StakeholderPartisipasi Stakeholder Partisipasi MasyarakatPartisipasi Masyarakat Ketersediaan DanaKetersediaan Dana
Sarana dan PrasaranaSarana dan Prasarana Sumberdaya AparaturSumberdaya Aparatur Tenaga PendidikTenaga Pendidik
Level 1
Level 2
Level 3 Gambar 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008)
Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008)
Tingkat
Kepentingan
Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama
pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang
sama besar terhadap tujuannya
3 Elemen yang satu sedikit
lebih penting dari elemen
yang lain
Pengalaman dan penilaian sedikit
mendukung satu elemen dibanding elemen
yang lain
5 Elemen yang satu lebih
penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sangat kuat
mendukung satu elemen dibanding yang
lain
7
Elemen yang satu jelas lebih
penting dari elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat didukung dan
dominan terlihat dalam praktek
9 Elemen yang satu mutlak
lebih penting dari elemen
yang lain
Bukti yang mendukung elemen yang satu
terhadap elemen yang lain memiliki
tingkat penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai
pertimbangan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada kompromi
diantara dua pilihan
Kebalikan Reciprocals Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka
bila dibandingkan dengan aktivitas j,
mempunyai nilai kebalikan bila
dibandingkan dengan i
27
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka
Selama lebih dari seratus tahun, Bangka dikepalai oleh residen secara
administratif dan taktis operasional berada dibawah Pemerintahan Pusat di Batavia
(Jakarta). Demikian juga dengan Belitung yang pada mulanya merupakan suatu
asisten residen, berdiri sendiri langsung di bawah Pemerintah Pusat. Atas dasar
ordonansi tanggal 2 Desember 1933 (Stbl.No.565), terhitung dari tanggal 11 Maret
1933 terbentuklah “Residentie Bangka en Ouderhoregheden” yang menetapkan
Biliton (Belitung) menjadi salah satu “onderafdeling” dikepalai oleh seorang
“controleur” dengan pangkat asisten residen dari Karesidenan Bangka, berikut
pulau-pulau lain sekitarnya. Pulau Bangka sendiri terbagi dalam lima
onderafdeling, yang masing-masing dikepalai oleh seorang controleur. Lima
onderafdeling kemudian menjadi Kawedanan Residen Bangka yang terakhir
menjelang perang dunia kedua adalah P. Brouwer. Ketika kekuasaan kolonial
Belanda atas kepulauan Indonesia direbut oleh Nippon pada tahun 1942, semasa
berkobarnya perang Asia Timur Raya, Karesidenan Bangka-Belitung diperintah
oleh Pemerintah Militer yang dinamakan “Bangka Biliton Gunseibu”. Pemerintah
administratif menurut sistem pemerintahan Belanda diteruskan, dengan mengganti
nama/istilah saja, yaitu dengan istilah-istilah Jepang dan atau Indonesia. Sehingga
Residence menjadi “chokan” dan controleur menjadi “sidokan”. Namun disamping
petugas-petugas Jepang diangkat pembantu-pembantu bangsa Indonesia seperti
“gunco” dan “fuku gunco”. Pada waktu Dai Nippon sudah terdesak didalam
peperangan melawan Sekutu, barulah di Bangka dibentuk semacam DPRD, yang
dinamakan Bangka Syu Sangikai, yang diketuai oleh Masyarif Datuk Bendaharo
Lelo.
Setelah Jepang ditaklukkan oleh sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945
kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945, atas inisiatif tokoh-tokoh Sumatera Selatan dibentuklah
Pemerintahan Otonomi Sumatera Selatan dibawah pimpinan Gubernur Militer.
Pulau Bangka termasuk didalamnya, dimana pimpinan pemerintahan dipegang oleh
Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Bangka Syu Sangikai, dengan gelar
Residen yang dibantu oleh seorang asisten residen dan seorang kontrolir yang
diperbantukan. Letnan Gouveneur General Nederlandsch Indie mempergunakan
kekuasaannya menjadi daerah otonom dengan membentuk Dewan Bangka
Sementara (Voorlopige Bangka Raad) dengan surat keputusan tanggal 10
Desember 1946 nomor 8 (Stbl.1946.Nomor 38). Dewan Bangka Sementara ini
merupakan Lembaga Pemerintah tertinggi dalam bidang otonomi, dibuka dengan
resmi pada tanggal 10 Februari 1947, diangkat sebagai ketua yaitu Masyarif Datuk
Bendaharo Lelo, sedangkan anggota-anggotanya terdiri dari 16 orang. Sepuluh
bulan kemudian “Dewan Bangka Sementara” ini ditetapkan menjadi “Dewan
Bangka” yang tidak bersifat sementara lagi, dengan surat keputusan Lt. GG. Ned.
Indie tanggal 12 Juli 1947 Nomor 7 (Stbl. 1947 Nomor 123) yang dilantik pada
tanggal 11 Nopember 1947, dengan ketua dan anggota-anggota Dewan Bangka
Sementara itu juga.
28
Setelah Masyarif meninggal, diangkatlah Saleh Ahmad, Sekretaris dari
Dewan tersebut sebagai ketua. Pada bulan Januari 1948 Dewan Bangka bergabung
dengan Dewan Riau dan Dewan Belitung dalam suatu federasi Bangka Belitung
Riau (BABERI), yang disahkan oleh Lt. GG. Ned. Indie dengan surat keputusan
tanggal 23 Januari 1948 nomor 4 (Stbl. 1948 No. 123), yang kemudian disahkan
menjadi salah satu Negara Bagian dalam pemerintahan federal Republik Indonesia
Serikat (RIS). Hal ini ternyata tidak berlangsung lama, dengan keputusan Presiden
RIS No. 141 tahun 1950, Negara Bagian ini disatukan kembali dalam Negara RI,
sehingga berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dalam wilayah ini.
Kemudian pada tanggal 21 April 1950 datanglah Perdana Menteri Dr. Halim
beserta rombongannya ke Bangka yang terdiri dari 18 orang, diantaranya Dr. Mohd.
Isa – Gubernur Sumatera Selatan, tanggal 22 April bertempat di Karesidenan
diserahkanlah pemerintahan atas Bangka kepada Gubernur Sumatera Selatan.
Dengan demikian bubarlah Dewan Bangka dan pemerintahan setempat dipimpin
oleh R. Soemardjo yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai Residen
Bangka Belitung dengan kedudukan di Pangkalpinang. Bangka sendiri menjadi
kabupaten, dengan 5 wilayah kewedanan, masing-masing Pangkalpinang,
Sungailiat, Belinyu, Mentok dan Toboali dan 13 wilayah kecamatan. Sebagai
Bupati yang pertama ditunjuk R. Soekarta Martaatmadja.
Penetapan Bangka sebagai daerah otonom kabupaten didasarkan atas
Undang-Undang Darurat Nomor 2, 5 dan 6 tahun 1956. Dalam rangka penyesuaian
dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, maka ketiga undang-undang darurat ini diganti dengan Undang-Undang
Nomor 28 tahun 1959. Undang-undang inilah kemudian disebut sebagai dasar
hukum pembentukan Daerah Tingkat II Bangka dan dijelaskan pemisahan
Kabupaten Bangka dengan Kotapraja Pangkalpinang
Letak Geografis dan Administratif Wilayah
Kabupaten Bangka merupakan salah satu dari tujuh wilayah administratif
yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki luas
wilayah lebih kurang 2 950.68 km² atau 295.068 ha dengan titik koordinat terletak
antara 1o29’-2
o21’ Lintang Selatan dan 105
o36’-106
o11’ Bujur Timur.
Kabupaten Bangka dengan ibukota Sungailiat memiliki banyak pantai
sebagai tujuan wisata, diantaranya: Pantai Matras, Parai, Tanjung Pesona,
Romodong, Teluk Uber, Batu Bedaun, dan lain sebagainya. Adapun jarak dari
Sungailiat ke ibukota kabupaten lain dan Kota Pangkalpinang seperti yang tertera
pada Tabel 4.
Tabel 4 Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya
No. Dari Sungailiat ke daerah lainnya Jarak (km)
1 Kota Pangkalpinang 33
2 Muntok (Bangka Barat) 140
3 Koba (Bangka Tengah) 90
4 Toboali (Bangka Selatan) 158
29
Wilayah Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan daratan wilayah
kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu Kabupaten
Bangka Barat, Bangka Tengah dan Kota Pangkalpinang. Ditinjau dari ketersediaan
infrastruktur dan kehidupan social ekonomi masyarakatnya maka kecamatan di
Kabupaten Bangka dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kecamatan
bertipikal kota dan desa. Pengambilan sampel untuk penelitian ini dan penyebaran
kuesioner penelitian terletak di dua kecamatan dengan dua desa yang menjadi
daerah sampel yaitu Desa Petaling Banjar, Kecamatan Mendo Barat mewakili
kecamatan bertipikal kota dan Desa Pemali, Kecamatan Pemali mewakili
kecamatan bertipikal desa. Lokasi pengambilan sampel sebagaimana terdapat pada
Gambar 9.
Gambar 9 Lokasi kecamatan sampel
Berdasarkan letak geografis, dari delapan kecamatan di Kabupaten Bangka,
terdapat dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Pangkalpinang
yaitu Kecamatan Merawang dan Mendo Barat. Kondisi ini secara langsung
berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya,
terutama desa-desa yang terletak diperbatasan terluar dengan Kota Pangkalpinang.
Bahkan terkadang menjadi suatu persoalan dilematis karena tidak sedikit warga
yang berstatus penduduk Kota Pangkalpinang namun berdomisili di wilayah
Kecamatan Merawang ataupun Mendo Barat. Selain itu, banyak warga dua
kecamatan ini yang memiliki dokumen kependudukan ganda sehingga terkadang
menimbulkan polemik tersendiri terutama pada saat akan berlangsungnya
pemilihan kepala daerah.
Kecamatan
sampel
30
Keadaan Alam
Iklim, Tanah dan Hidrologi
Wilayah penelitian termasuk dalam Kabupaten Bangka yang berada pada
zona tropis, berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth-Ferguson wilayah ini termasuk
dalam tipe iklim A. Suhu udara rata-rata di Kabupaten Bangka menurut data
Stasiun Meteorologi Pangkalpinang menunjukkan variasi antara 25.7˚C hingga
29˚C dengan suhu rata-rata 27˚C.
Tanah di Kabupaten Bangka mempunyai pH rata-rata dibawah 5,
didalamnya mengandung mineral bijih timah dan bahan galian lainnya, seperti :
pasir kwarsa, kaolin, batu gunung, dan lain-lain. Bentuk dan keadaan tanahnya
adalah sebagai berikut :
- 4 persen berbukit seperti Gunung Maras lebih kurang 699 meter, Bukit
Pelawan, Bukit Rebo, dan lain-lain. Jenis tanah perbukitan tersebut adalah
podsolik coklat kekuning-kuningan dan litosol berasal dari batu plutonik
Masam,
- 52 persen berombak dan bergelombang, tanahnya berjenis asosiasi podsolik
coklat kekuning-kuningan dengan bahan induk komplek batu pasir kwarsit dan
batuan plutonik masam,
- 20 persen lembah/datar sampai berombak, jenis tanahnya asosiasi podsolik
berasal dari komplek batu pasir dan kwarsit,
- 25 persen rawa dan bencah/datar dengan jenis asosiasi alluvial hedromotif dan
glei humus serta regosol kelabu muda berasal dari endapan pasir dan tanah liat.
Pada umumnya sungai-sungai di daerah Kabupaten Bangka berhulu di daerah
perbukitan yang berada di bagian tengah Pulau Bangka dan bermuara di laut.
Sungai-sungai yang terdapat di wilayah Kabupaten Bangka, antara lain : Sungai
Baturusa, Sungai Layang, Sungai Menduk, dan lain-lain. Kabupaten Bangka
memiliki banyak kolong yang merupakan areal bekas penambangan bijih timah
yang luas sehingga menjadikannya tampak seperti danau.
Fauna dan Flora
Di kawasan hutan terdapat binatang liar seperti : rusa, beruk, monyet, lutung,
babi, trenggiling, napuh, musang, berbagai jenis burung, ayam hutan. Namun, hutan
di Kabupaten Bangka tidak terdapat binatang buas seperti harimau, macan, dan
sebagainya.
Tumbuhan hutan terdapat bermacam-macam jenis kayu, seperti : kayu ramin,
meranti, kapuk, jelutung, pulai, gelam, bitanggor, meranti rawa, mahang, bakau,
dan lain sebagainya.
Khusus untuk tanaman bakau, merupakan jenis tanaman yang menjadi
andalan untuk ditanam di rawa-rawa daerah pantai sebagai habitat ikan dan
binatang laut lainnya. Penanaman bakau ini menjadi sangat penting karena sebagian
besar daerah pinggiran pantai sudah mengalami kerusakan sebagai akibat
penambangan timah yang dilakukan baik secara legal maupun illegal di daerah laut.
Penduduk
Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang dua
peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subyek/pelaku sekaligus
sebagai obyek dari pembangunan. Berdasarkan data Bangka Dalam Angka (2011),
31
jumlah penduduk di Kabupaten Bangka sampai dengan tahun 2010 adalah sebesar
260 935 jiwa, dengan luas wilayah 2 950.68 km² maka kepadatan penduduk di
Kabupaten Bangka adalah 88 jiwa/km², sebagaimana tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010
No Kecamatan Luas (km2) Jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan
(jiwa/km2)
1 Sungailiat 146.38 74 066 506
2 Belinyu 546.50 40 625 74
3 Merawang 164.40 24 962 151
4 Mendo Barat 570.46 43 052 75
5 Puding Besar 383.29 16 068 41
6 Pemali 127.87 23 786 186
7 Riau Silip 523.68 22 275 42
8 Bakam 488.10 15 561 32
Jumlah 2 950.68 260 935 88
Sumber : BPS Kabupaten Bangka (2011)
Berdasarkan Tabel 5, jumlah penduduk pada dua kecamatan penarikan
sampel penelitian yaitu Kecamatan Pemali sebanyak 23 786 jiwa dan Kecamatan
Mendo Barat sebanyak 43 052 jiwa.
Profil Sosial Budaya
Masyarakat Kabupaten Bangka, pada umumnya Pulau Bangka adalah
masyarakat yang mempunyai akar budaya dasar, yakni budaya melayu yang
kemudian diperkaya dengan budaya pendatang seperti: Cina, Minangkabau, Batak,
Bugis, Jawa, dan lain sebagainya, dan menyatu dengan budaya masyarakat asli.
Beberapa seni budaya yang asli masih terjaga sampai sekarang, bahkan beberapa
ritual adat istiadat setempat dikembangkan menjadi bagian dari even pariwisata
seperti: nujuh jerami di Desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu, rebo kasan di
Desa Air Anyir dan mandi belimau di Desa Jada Bahrin Kecamatan Merawang,
peringatan 1 muharam di Desa Kenanga Kecamatan Sungailiat, maulud Nabi
Muhammad SAW di Desa Kemuja dan Desa Zed Kecamatan Mendo Barat.
Adapun budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Kabupaten Bangka serta
Pulau Bangka pada umumnya, yang merupakan gambaran kebersamaan dan
semangat persatuan adalah adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan
nganggung atau nganggong dimana pada setiap peringatan hari besar agama islam
ataupun momen lainnya masyarakat tiap rumah akan membawakan makanan
berupa nasi beserta lauknya ataupun kue-kue yang diletakkan dalam wadah
dinamakan dulang kemudian dibawa ke masjid untuk dinikmati secara bersama-
sama.
32
Gambar 10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung
atau nganggong di Pulau Bangka
Budaya nganggung atau nganggong masyarakat Bangka sebagaimana
tampak pada Gambar 10 juga diadakan untuk menyambut sekaligus menjamu
pejabat pemerintahan maupun non pemerintahan, tokoh masyarakat serta tokoh
agama.
33
KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI
KASAR (APK)
Keragaan Pendidikan Menengah
Kondisi sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, nilai Angka Partisipasi
Kasar (APK) pendidikan menengah antar kecamatan terdapat perbedaan yang
cukup signifikan. Kecamatan Sungailiat memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar
(APK) yang sangat besar, sedangkan kecamatan lainnya memiliki nilai Angka
Partisipasi Kasar (APK) yang lebih kecil. Hal ini menggambarkan bahwa peluang
dan kesempatan peserta didik yang dapat mengenyam pendidikan menengah antar
kecamatan tidak merata. Kondisi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan
menengah sebelum dan setelah pemekaran wilayah tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum dan
setelah pemekaran Kabupaten Bangka
No. Kecamatan
Tahun
1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012
1 Sungailiat 95,76 97,61 81,83 95,14 90,63 95,94
2 Belinyu 57,72 50,03 41,07 98,87 110,90 91,73
3 Merawang 5,36 9,22 13,45 65,62 47,27 74,64
4 Mendo Barat 11,30 11,29 18,19 63,83 71,42 87,68
5 Bakam - - - 8,40 78,27 54,12
6 Pemali - - - 89,05 98,03 89,07
7 Puding Besar - - - 51,14 71,42 81,70
8 Riau Silip - - - 25,77 47,27 83,42
Tampak dari Tabel 6, nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan
menengah untuk kecamatan yang baru terbentuk, yaitu: Bakam, Pemali, Puding
Besar dan Riau Silip mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa meningkatnya
partisipasi penduduk dan peserta didik dalam pendidikan, khususnya pendidkan
menengah. Satu hal yang paling penting adalah upaya pemerintah daerah untuk
meningkatkan daya serap agar setelah pemekaran wilayah, kebutuhan masyarakat
terhadap layanan pendidikan menengah dapat terpenuhi dan akses untuk
mendapatkan pendidikan yang layak dan terjangkau dapat dipermudah. Adapun
untuk gambaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah
sebagaimana terdapat pada Gambar 11.
34
a. Sebelum pemekaran wilayah b. Setelah pemekaran wilayah
Gambar 11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum
dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka
Suatu kondisi yang dapat dimaklumi apabila Kecamatan Sungailiat
memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah yang tinggi
karena sebagai ibukota kabupaten sarana dan prasarana pendidikan menengah yang
dimiliki cukup memadai sehingga memungkinkan peserta didik leluasa memilih
program studi sesuai dengan minat dan keinginan mereka. Selain itu, pilihan
bersekolah di sekolah yang berstatus negeri adalah satu alasan tersendiri bagi
peserta didik untuk lebih memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Sungailiat
karena jumlah sekolah negeri yaitu lima unit dengan daya tampung ruang kelas
sejumlah lima belas ruang atau paling banyak diantara kecamatan lainnya sehingga
peluang dan kesempatan bersekolah di sekolah negeri terbuka lebar ada di
Kecamatan Sungailiat. Adapun jumlah prasarana pendidikan menengah berupa
gedung sekolah di Kecamatan Sungailiat sebagaimana terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan setelah
pemekaran di Kabupaten Bangka
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
Kecamatan Sungailiat yang pada tahun 2003 memiliki 14 unit sekolah jenjang
No. Kecamatan
Tahun
1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012
1 Sungailiat 13 14 14 11 11 11
2 Belinyu 6 7 6 5 5 6
3 Merawang 2 2 3 3 3 3
4 Mendo Barat 3 2 5 5 5 5
5 Bakam - - - 1 1 1
6 Pemali - - - 2 2 2
7 Puding Besar - - - 1 1 1
8 Riau Silip - - - 2 2 2
35
Kecamatan Sungailiat yang pada tahun 2003 memiliki 14 unit sekolah jenjang
pendidikan menengah perlahan mengalami penurunan sebagai dampak
pembangunan prasarana pendidikan menengah di wilayah pemekaran sehingga ada
beberapa sekolah swasta yang tidak mampu bersaing dalam mendapatkan peserta
didik dan terpaksa tutup.
Tampak pada Tabel 7, keadaan jumlah ruang kelas jenjang pendidikan
menengah mengalami fluktuasi, seperti yang terjadi di Kecamatan Sungailiat dan
Belinyu. Sebelum pemekaran wilayah, cakupan wilayah yang luas dengan
prasarana terbatas dan fokus pembangunan infrastruktur pendidikan yang sebagian
besar teralokasi di ibukota kabupaten telah menjadikan Sungailiat sebagai tujuan
favorit peserta didik untuk melanjutkan pendidikan menengahnya. Kondisi daya
tampung ruang kelas tiap kecamatan sebagaimana tertera pada Tabel 8.
Tabel 8 Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah
pemekaran Kabupaten Bangka
Tampak dari Tabel 8, bahwa Kecamatan Sungailiat memiliki ketersediaan
daya tampung ruang kelas yang sangat banyak. Pada tahun ajaran 2003/2004 atau
sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, Kecamatan Sungailiat memiliki 153 ruang
kelas, namun pada tahun ajaran 2009/2010 berkurang menjadi 126 ruang kelas. Hal
ini dikarenakan dalam kurun waktu tersebut ada dua unit SMA swasta yaitu SMA
YPBI 11 dan SMA YPLP PGRI yang terpaksa tutup karena sepi pendaftar peserta
didik sebagai akibat berdirinya sekolah baru di daerah pemekaran. Namun setelah
tahun 2010/201 daya tampung mengalami kenaikan yang mengindikasikan
terjadinya peningkatan jumlah peserta didik.
Kabupaten Bangka memiliki permasalahan cukup rumit terkait dengan bidang
pendidikan menengah. Terdapat dua kecamatan, Merawang dan Mendo Barat,
secara geografis berbatasan langsung dengan Kota Pangkalpinang yang memiliki
prasarana pendidikan menengah cukup memadai karena ketersediaan program studi
lebih bervariasi mulai dari sekolah menengah atas, madrasah aliyah dan sekolah
menengah kejuruan. Hal tersebut menjadi daya tarik bagi peserta didik di dua
kecamatan itu ataupun kecamatan lainnya, bahkan tidak jarang juga peserta didik di
Sungailiat lebih memilih melanjutkan pendidikannya ke Kota Pangkalpinang.
No. Kecamatan
Tahun
1998/1999 2000/2001 2003/2004 2009/2010 2010/2011 2011/2012
1 Sungailiat 119 139 153 126 131 157
2 Belinyu 48 50 46 45 45 43
3 Merawang 3 8 12 18 22 19
4 Mendo Barat 6 9 16 34 41 46
5 Bakam - - - 3 3 6
6 Pemali - - - 31 28 31
7 Puding Besar - - - 14 14 14
8 Riau Silip - - - 8 14 13
36
Kondisi ini terjadi juga di beberapa kecamatan lain, seperti Kecamatan Bakam dan
Puding Besar yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kelapa (Kabupaten
Bangka Barat). Kasus serupa terjadi juga di Kecamatan Riau Silip bahwa masih ada
memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Kecamatan Belinyu ataupun
Kecamatan Sungailiat, serta penduduk usia pendidikan menengah di Kecamatan
Pemali yang memilih melanjutkan pendidikan menengah ke Kecamatan Sungailiat.
Hal ini ternyata terjadi juga antar kecamatan lainnya yang memiliki prasarana
pendidikan lebih memadai dan dianggap lebih baik yang berdampak pada nilai
APK pendidikan menengah di beberapa kecamatan.
Setelah pemekaran wilayah yang menerapkan sistem otonomi daerah,
paradigma pembangunan infrastruktur pendidikan menengah mengalami pergeseran
karena tiap kabupaten yang baru dimekarkan mulai memperluas akses dengan
menyediakan prasarana pendidikan menengah. Demikian juga orientasi
pembangunan infrastruktur pendidikan menengah di Kabupaten Bangka yang
semakin memperhatikan wilayah lainnya, khususnya kecamatan yang baru
terbentuk pada tahun 2001. Kondisi ini menjadikan peserta didik memiliki
kemudahan dalam akses melanjutkan pendidikan menengah sehingga sebagian
besar memilih untuk bersekolah di kecamatan tempat tinggalnya walaupun masih
ada sebagian kecil yang tetap melanjutkan pendidikan menengah ke Sungailiat
ataupun Kota Pangkalpinang.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK)
Terdapat banyak faktor terkait yang dapat mempengaruhi nilai Angka
Partisipasi Kasar (APK) pendidikan. Beberapa faktor yang menjadi variabel
independen dalam penelitian ini yaitu: jumlah penduduk usia pendidikan menengah,
jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah, luas wilayah tiap
kecamatan dan kepadatan penduduk tiap kecamatan. Hasil regresi data panel
dengan menggunakan software eviews 6.0 adalah sebagaimana pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil regresi data panel
Variable Coefficient Prob.
X1 -1.995 0.0000
X2 2.035 0.0000
X3 0.039 0.0004
X4 0.504 0.0000
DUMMY -49.537 0.0005
C 103.698 0.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.9432 69.5959
Adjusted R-squared 0.9274 42.2994
Dari output diatas, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut : ̂ D
Berdasarkan hasil output tersebut terdapat nilai R Square 0.9432 yang artinya
sebanyak 94.32 persen variabel dependen dapat dijelaskan variabel independen,
sisanya sebesar 5.68 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model (tidak dapat
dijelaskan oleh model).
37
Hasil uji statistik t terlihat nilai p-value dari masing-masing koefisien
( < alpha=0,05 yang artinya variable ( ) berpengaruh
signifikan terhadap angka partisipasi kasar pendidikan menengah pada taraf nyata 5
persen atau variabel independen (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap
variabel dependen (y).
Hasil uji statistik F terlihat nilai dari p-value=0,00000< alpha=0,05 (tolak H0)
yang artinya model yang digunakan layak pada taraf nyata 5 persen atau secara
keseluruhan variabel x memiliki pengaruh terhadap angka partisipasi kasar
pendidikan menengah.
Tampak pada Tabel 10, hasil uji korelasi menunjukkan angka korelasi lebih
kecil dari 0,8 dan variabel (x2, x3, x4 dan dummy) signifikan (terlihat pada uji-t)
dan tidak ada koefisien korelasi yang memiliki nilai<0.8, maka dapat dikatakan
tidak terdapat masalah yang serius. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi
multikolinearitas antar variabel yang artinya bahwa tidak ada korelasi antar peubah
independen x, dapat disimpulkan bahwa data telah terbebas dari masalah
multikolinearitas (Gujarati 2004).
Tabel 10 Hasil uji korelasi
Y x1 x2 x3 x4
Y 1.000000 -0.544795 0.681808 0.267862 0.637748
x1 -0.544795 1.000000 0.104652 0.024744 -0.129476
x2 0.681808 0.104652 1.000000 0.252861 0.517868
x3 0.267862 0.024744 0.252861 1.000000 -0.151655
x4 0.637748 -0.129476 0.517868 -0.151655 1.000000
Hasil regresi, nilai R-square 94.32 persen Nilai R-square 0.9432
menunjukkan bahwa sebesar 94.32 persen nilai angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah dipengaruhi oleh rasio penduduk usia pendidikan menengah
terhadap jumlah total penduduk, rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah total
penduduk, luas wilayah kecamatan dan kepadatan penduduk. Sisanya 5.68 persen
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Pada peubah x1, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK)
pendidikan menengah sebesar negatif 1.99 untuk setiap kenaikan peubah bebas
rasio jumlah penduduk usia pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk
seluruhnya dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hal ini berarti setiap
peningkatan satu orang penduduk usia pendidikan menengah dalam setiap seribu
penduduk akan menurunkan 1.99 persen (dibulatkan 2.00 persen) nilai Angka
Partisipasi Kasar (APK). Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien
x2<alpha=0.05, yang artinya rasio penduduk usia pendidikan menengah terhadap
jumlah penduduk seluruhnya berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi
kasar pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen.
Penduduk usia pendidikan menengah (16-18 tahun) merupakan parameter
pembilang untuk menghitung nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan
menengah namun peningkatan jumlah penduduk usia pendidikan menengah di
suatu kecamatan ternyata tidak langsung secara otomatis akan menaikkan nilai
Angka Partisipasi Kasar (APK). Apabila keberadaan penduduk usia pendidikan
menengah (16-18 tahun) tidak diimbangi dengan jumlah siswa pendidikan
38
menengah di suatu wilayah maka akan menyebabkan nilai Angka Partisipasi Kasar
(APK) pendidikan menengah akan semakin turun. Sebaran rasio jumlah penduduk
usia pendidikan menengah terhadap jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 2011
sebagaimana terdapat pada Gambar 12.
Gambar 12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011
Berdasarkan Gambar 12, maka Kecamatan Sungailiat memiliki rasio yang
paling tinggi. Pada tahun 2010/2011 nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan
menengah Kecamatan Sungailiat adalah sebesar 90.63 persen dan pada tahun
2011/2012 adalah sebesar 95.94 persen, yang artinya mengalami kenaikan sebesar
5.31 persen. Kondisi berbeda terdapat di Kecamatan Belinyu, Bakam dan Pemali.
Hal ini disebabkan tidak merata dan keterbatasan prasarana atau belum tersedianya
banyak pilihan jurusan program studi yang terdapat di kecamatan tersebut
mengakibatkan masih banyak peserta didik melanjutkan pendidikan ke daerah lain,
yaitu Sungailiat dan Kota Pangkalpinang. Beberapa faktor lain yang juga turut
menjadi faktor penyebabnya yaitu kemampuan ekonomi orangtua peserta didik,
kedekatan jarak dari tempat tinggal, dan masih adanya anggapan bahwa mutu
pendidikan di Sungailiat dan Kota Pangkalpinang lebih bermutu, dan lain
sebagainya.
Pada peubah x2, nilai dugaan rataan angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah akan naik sebesar 2.03 untuk setiap kenaikan peubah bebas
rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah total penduduk dengan asumsi peubah
bebas yang lain tetap. Hal ini berarti setiap peningkatan satu ruang kelas dalam
setiap 10 000 penduduk akan menaikkan 2.03 persen nilai Angka Partisipasi Kasar
(APK) pendidikan menengah. Hasil uji-t, terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien
x2<alpha=0.05, yang artinya rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah penduduk
seluruhnya berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar pendidikan
menengah pada taraf nyata 5 persen.
39
Pembangunan unit sekolah baru dan bertambahnya ruang kelas jenjang
pendidikan menengah menyediakan daya tampung yang lebih banyak sehingga
meningkatkan daya serap peserta didik. Ruang kelas merupakan daya tampung
yang dapat menggambarkan kemampuan sekolah untuk menyerap peserta didik,
sehingga semakin banyak ketersediaan ruang kelas mengindikasikan semakin besar
daya serap pendidikan suatu wilayah. Conyers (1994:70) menyatakan bahwa
pengembangan pendidikan secara cepat dan dalam waktu yang relatif singkat
adalah dengan memperbesar ukuran ruang kelas, yang pada akhirnya akan
menaikkan pula rasio murid dan guru, atau dapat pula menggunakan tenaga
pendidik yang belum matang guna diperbantukan pada staf pamong yang sudah
mapan. Kondisi rasio jumlah ruang kelas terhadap jumlah penduduk seluruhnya
sebagaimana tertera pada Gambar 13.
Gambar 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011
Berdasarkan Gambar 13, maka daerah yang memiliki rasio jumlah ruang
kelas terhadap jumlah penduduk seluruhnya paling tinggi adalah Kecamatan
Sungailiat dan Mendo Barat. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) kecamatan ini
mengalami kenaikan yaitu sebesar 5.31 persen untuk Kecamatan Sungailiat dan
16.26 persen untuk Kecamatan Mendo Barat. Hal ini merupakan dampak dari
bertambahnya prasarana pendidikan menengah, khususnya di Kecamatan Mendo
Barat didirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Peternakan pada
tahun 2005.
40
Kabupaten Bangka memiliki rasio peserta didik terhadap ruang kelas yaitu
1:27 sedangkan rasio ideal peserta didik jenjang pendidikan menengah terhadap
ruang kelas sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 41 Tahun 2007 yaitu minimal 1:17 dan maksimal 1:32. Namun pada
kenyataannya jumlah daya tampung ruang kelas tersebut belum tersebar secara
merata karena masih terdapat kecamatan yang memiliki jumlah ruang kelas jauh
dari cukup. Kondisi sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah tiap kecamatan
pada tahun 2011 sebagaimana tertera pada Gambar 14.
Gambar 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011
Tampak dari Gambar 14, daya tampung ruang kelas yang ada di Kecamatan
Sungailiat adalah yang paling banyak yaitu 157 lokal dan Kecamatan Bakam yang
memiliki jumlah ruang kelas paling sedikit atau sebanyak 6 lokal.
Pada peubah x3, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK)
pendidikan menengah akan naik sebesar 0.039 untuk setiap kenaikan peubah luas
wilayah kecamatan dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hasil uji-t, terlihat
bahwa nilai p-value dari koefisien x3<alpha=0.05, yang artinya luas wilayah
kecamatan berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen.
Kondisi sebelum pemekaran wilayah, peningkatan angka partisipasi kasar
(APK) pendidikan menengah hanya terkonsentrasi di Kecamatan Sungailiat karena
memiliki prasarana yang beragam. Namun setelah pemekaran wilayah maka nilai
41
angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah tampak merata di semua
kecamatan, baik yang lama maupun yang baru karena disertai dengan
pembangunan unit sekolah baru pendidikan menengah, terutama SMA negeri di
tiap kecamatan yang saat ini telah terdapat di semua kecamatan se-Kabupaten
Bangka. Kondisi luas wilayah dan sebaran prasarana pendidikan menengah pada
tahun 2011 sebagaimana terdapat pada Gambar 15.
Gambar 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011
Tampak dari Gambar 15, kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu
Kecamatan Mendo Barat dengan 570.46 km² dan yang paling sempit yaitu
Kecamatan Pemali dengan 127.87 km². Berdirinya unit-unit sekolah baru
pendidikan menengah telah meningkatkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) di
kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001. Tampak pada Gambar 15,
kecamatan yang memiliki wilayah paling luas yaitu Kecamatan Mendo Barat dan
kecamatan yang paling sedikit wilayahnya yaitu Kecamatan Pemali. Meskipun
memiliki wilayah paling kecil dan hanya memiliki masing-masing satu unit SMA
Negeri dan MA Negeri namun nilai Angka Partisaipasi Kasar (APK) pendidikan
menengahnya pada tahun 2011 menempati urutan ketiga untuk tingkat kabupaten.
Berdasarkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah,
Kecamatan Mendo Barat (87.68 persen) lebih kecil daripada Kecamatan Pemali
(89.07 persen), yang artinya daya serap pendidikan di Kecamatan Pemali lebih baik
daripada di Kecamatan Mendo Barat walaupun jumlah ruang kelas di kecamatan
Mendo Barat lebih banyak. Hal ini berarti jumlah peserta didik tiap ruang kelas di
Kecamatan Pemali lebih banyak daripada di Kecamatan Mendo Barat.
42
Terjadinya pemekaran wilayah berarti terjadi penyempitan wilayah karena
jumlah luas wilayah tetap tetapi sudah terbagi dalam beberapa kecamatan. Namun
di sisi yang lain, pemekaran wilayah juga berarti terbentuknya wilayah baru.
Pemekaran Kabupaten Bangka telah mempercepat pembangunan prasarana
pendidikan termasuk pendidikan menengah. Pada tahun 2011 ini, setiap kecamatan
yang baru terbentuk pada tahun 2001 di Kabupaten Bangka telah memiliki fasilitas
Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri. Kondisi sebaran prasarana
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pada tahun 2011 sebagaimana tampak
pada Gambar 16.
Gambar 16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011
Tampak pada Gambar 16, tiap kecamatan telah memiliki prasarana
pendidikan menengah. Kondisi ini telah memberikan kemudahan dan memperluas
akses pendidikan kepada masyarakat karena peserta didik yang merupakan anak-
anak mereka dan generasi penerus tongkat estafet pembangunan tidak perlu jauh-
jauh lagi untuk mendapatkan layanan pendidikan menengah khususnya bersekolah
negeri kecuali untuk program studi yang belum tersedia didaerahnya.
Pada peubah x4, nilai dugaan rataan Angka Partisipasi Kasar (APK)
pendidikan menengah akan naik sebesar 0.504 untuk setiap kenaikan peubah
kepadatan penduduk dengan asumsi peubah bebas yang lain tetap. Hasil uji-t,
terlihat bahwa nilai p-value dari koefisien x4<alpha=0.05, yang artinya kepadatan
penduduk berpengaruh signifikan terhadap angka partisipasi kasar (APK)
pendidikan menengah pada taraf nyata 5 persen.
Meningkatnya jumlah penduduk di beberapa kecamatan ternyata didominasi
oleh penduduk usia 16-18 tahun yang merupakan usia penduduk jenjang pendidikan
43
menengah sehingga ikut mempengaruhi angka partisipasi kasar (APK) penduduk
usia 16-18 tahun merupakan parameter pembilang nilai angka partisipasi kasar
(APK) pendidikan menengah. Sebaran kepadatan penduduk tiap kecamatan
sebagaimana tertera pada Gambar 17.
Gambar 17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011
Tampak dari Gambar 17, kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk
paling tinggi adalah Sungailiat yaitu sebesar 549 jiwa/km². Jauh diatas kepadatan
rata-rata tingkat Kabupaten Bangka yang hanya 88 jiwa/km². Kemudian untuk
tingkat kepadatan terendah yaitu Kecamatan Riau Silip yang hanya 45 jiwa/km².
Kepadatan penduduk di Kecamatan Sungailiat sangat dipengaruhi karena statusnya
sebagai ibukota kabupaten yang merupakan pusat pemerintahan. Selain itu juga
menjadi pusat perdagangan dan jasa. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan
menengah yang cukup memadai juga telah menjadikan Sungailiat sebagai pilihan
untuk berdomisili bagi masyarakat.
Pemekaran Kabupaten Bangka telah mempercepat pembangunan prasarana
pendidikan termasuk pendidikan menengah karena tuntutan kebutuhan. Pada tahun
2011 ini, setiap kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2001 di Kabupaten
Bangka telah memiliki fasilitas Sekolah Menengah Atas (SMA) berstatus negeri.
Kondisi ini telah memberikan kemudahan dan memperluas akses pendidikan
kepada masyarakat karena peserta didik yang merupakan anak-anak mereka dan
generasi penerus tongkat estafet pembangunan tidak perlu jauh-jauh lagi untuk
mendapatkan layanan pendidikan menengah khususnya bersekolah negeri kecuali
untuk program studi yang belum tersedia didaerahnya.
45
75%
25%
Menyumbang uang
Menyumbang barang
Menyumbang tenaga
Menyumbang ide/gagasan
Sumbangan bentuk lain
TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH
Bentuk Partisipasi Stakeholder
Pada tahap awal kegiatan, bentuk partisipasi yang paling banyak dipilih oleh
para stakeholder yaitu menyumbang ide/gagasan sebanyak 9 orang atau sebesar 75
persen dan 3 orang atau 25 persen memilih sumbangan bentuk lainnya yaitu
membantu mencarikan donatur. Sedangkan untuk pilihan jawaban menyumbang
uang, barang dan tenaga tidak ada yang memilih.
Hal ini menggambarkan bahwa secara pribadi ataupun sebagai stakeholder
tingkat kecamatan hanya mengajukan usulan kepada pemerintah tingkat diatasnya
karena ada asumsi bahwa pembiayaan pembangunan baik fisik maupun non fisik
kegiatan pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah baik tingkat
kabupaten, provinsi maupun pusat. Selain itu, masing-masing pihak beranggapan
bahwa bentuk partisipasi agar dapat terlaksananya suatu kegiatan tidak lagi hanya
berorientasi pada uang/materi tetapi sudah berkembang dan mempunyai makna
yang lebih luas serta disadari menjadi tanggung jawab bersama antara para
stakeholder beserta seluruh lapisan masyarakat. Hasil perhitungan bentuk
partisipasi pada tahap awal kegiatan sebagaimana pada Tabel 11 dan Gambar 18.
Tabel 11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan
Tahap awal kegiatan Bentuk partisipasi
Pilihan jawaban Frekwensi %
Menyumbang uang a 0
-
Menyumbang barang b 0
-
Menyumbang tenaga c 0
-
Menyumbang ide/gagasan d 9 75
Sumbangan bentuk lain e 3 25
Jumlah 12 100
Gambar 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan
46
Tampak pada Tabel 11 dan Gambar 18, bahwa tidak ada pilihan jawaban
pada opsi menyumbang uang, menyumbang barang dan menyumbang tenaga.
Biasanya dalam program pembangunan fisik kegiatan, untuk pembiayaan
konstruksi dan faktor pendukung lainnya sudah disiapkan oleh pemerintah
kabupaten ataupun pemerintah provinsi dan pemerintah pusat melalui APBD dan
APBN. Kemudian, sangat jarang terjadi para stakeholder menyumbang materi
kecuali mereka juga berpredikat sebagai orangtua/wali yang anaknya berstatus
siswa di suatu sekolah yang akan melaksanakan pembangunan fisik. Hal ini
merupakan representasi dari fungsi keberadaan stakeholder sebagai sosok yang
memiliki kemampuan untuk merencanakan, menetapkan dan melaksanakan suatu
program kegiatan.
Pada tahap pelaksanaan kegiatan, 11 stakeholder atau sebesar 92 persen
menentukan pilihan bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat. Sedangkan 1
stakeholder atau sebesar 8 persen memilih jawaban bentuk lainnya. Pemerintah
dalam hal ini adalah para stakeholder tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat.
Hasil perhitungan bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan kegiatan sebagaimana
pada Tabel 12 dan Gambar 19.
Tabel 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan
Tahap pelaksanaan kegiatan Bentuk partisipasi
Pilihan jawaban Frekwensi %
Bekerjasama dengan pemerintah dan
masyarakat a 11 92
Membuat kesepakatan atau aturan
tertentu dalam melaksanakan
program tersebut b 0 -
Menyerahkan kepada masyarakat
dengan dana dari pemerintah c 0 -
Menyerahkan kepada sekolah dengan
dana dari orang tua siswa d 0 -
Menyerahkan kepada sekolah dengan
dana dari orang tua siswa dan Komite
Sekolah e 0 -
Bentuk lainnya f 1 8
Jumlah 12 100
Tampak pada Tabel 12, bahwa hampir semua responden memilih opsi
bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dan tidak ada pilihan jawaban
membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program,
menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah, menyerahkan
kepada sekolah dengan dana dari orangtua/siswa serta menyerahkan kepada sekolah
dengan dana dari orangtua siswa dan komite sekolah.
Hal ini mengambarkan bahwa semua stakeholder telah menyadari peran
penting semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, dalam menyukseskan
suatu pelaksanaan program kegiatan sehingga sebagian besar memilih opsi untuk
bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat.
47
92%
8%
Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat
Membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalammelaksanakan program tersebut
Menyerahkan kepada masyarakat dengan dana daripemerintah
Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tuasiswa
Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tuasiswa dan Komite Sekolah
Bentuk lainnya
Gambar 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan
kegiatan
Tampak pada Tabel 12 dan Gambar 19, pada tahap pelaksanaan kegiatan
pilihan jawaban paling banyak pada opsi menyumbang ide/gagasan yaitu sebesar 92
persen. Pada tahap ini, nampaknya para stakeholder memanfaatkan posisi mereka
sebagai orang yang berkompeten menampung dan menyampaikan aspirasi
pembangunan dari masyarakat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan kegiatan opsi
yang paling banyak dipilih adalah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat.
Para stakeholder telah menempatkan posisi mereka sebagai perwakilan pemerintah
daerah sehingga dalam setiap pelaksanaan pembangunan berupaya melibatkan
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dimaklumi
karena stakeholder tingkat kecamatan merupakan perpanjangan tangan pemerintah
kabupaten sehingga segala kebijakan pembangunan yang dilaksanakan diwilayah
kecamatan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten, yang sumber dananya
baik berasal dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat.
Menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan, digunakan skala penilaian
dengan berpedoman pada Teori Sherry Arstein yaitu menggunakan delapan tangga
partisipasi. Kedelapan tangga tersebut adalah : a) hadir karena terpaksa, b) hadir
sekedar memenuhi undangan, c) hadir untuk memperoleh informasi tanpa
menyampaikan pendapat, d) hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan
pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan, e) hadir dan memberikan pendapat
namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan, f) hadir dan mendapat
pembagian tanggungjawab yang setara, g) hadir dan memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan, h) hadir dan mampu membuat keputusan.
Kategori tingkat partisipasi ditentukan dengan penghitungan sebagai berikut :
Dari satu variabel pertanyaan diatas terdapat delapan pilihan jawaban dengan skor
terendah 1 dan skor tertinggi 8. Urutan skor tersebut berdasarkan pada 8 (delapan)
tingkat partisipasi dari Sherry Arstein, sehingga diperoleh skor minimum 1, yang
berasal dari 1 x 1 dan skor maksimum dari tiap individu adalah 8, yang berasal dari
1 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah 12 orang, maka skor minimumnya
adalah 12 x 1 = 12, dan skor maksimum adalah 12 x 8 = 96. Menentukan jarak
intervalnya, yaitu (96 – 12) / 8 = 10,5. Sehingga dengan menggunakan tipologi
Arstein maka diperoleh 8 (delapan) tingkat partisipasi dengan nilainya masing-
masing yaitu sebagaimana yang terdapat pada Tabel 13.
48
Tabel 13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi
No. Tangga Tingkat partisipasi Jumlah skor
8 Citizen Control 85,5 - 96
7 Delegated Power 75 - 85,5
6 Partnership 64,5 - 75
5 Placation 54 - 64,5
4 Consultation 43,5 - 54
3 Informing 33 - 43,5
2 Therapy 22,5 - 33
1 Manipulation 12 - 22,5
Tingkat Partisipasi Stakeholder
Pada tahap ini, sebanyak 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi hadir
dalam pertemuan dan akan memberikan pendapat walaupun hanya sedikit pendapat
yang akan diperhitungkan, 3 orang atau sebesar 25 persen memilih opsi hadir dan
memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, 2 orang atau sebesar 17 persen
memilih opsi hadir hanya untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan
pendapat, dan 1 orang atau sebesar 8 persen yang memilih opsi hadir dan mendapat
pembagian tugas yang setara, demikian juga opsi hadir dan mampu membuat
keputusan dipilih oleh 1 orang atau sebesar 8 persen. Hasil perhitungan tingkat
partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Tabel 14 dan Gambar
19.
Tabel 14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan
No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x Bobot
1
Tingkat
kehadiran
dalam
pertemuan
Hadir karena terpaksa 0
- 1 0
Hadir sekedar memenuhi
undangan 0
- 2 0
Hadir untuk memperoleh
informasi tanpa menyampaikan
pendapat 2
17 3 6
Hadir untuk memperoleh
informasi dan menyampaikan
pendapat tapi tidak
diperhitungkan 0
- 4 0
Hadir dan memberikan pendapat
namun hanya sedikit pendapat
yang diperhitungkan 5
42 5 25
Hadir dan mendapat pembagian
tanggung jawab yang setara 1
8 6 6
Hadir dan memiliki kewenangan
untuk membuat keputusan 3
25 7 21
Hadir dan mampu membuat
keputusan 1
8 8 8
Jumlah 12 100 66
49
17%
42% 8%
25%
8%
Hadir karena terpaksa
Hadir sekedar memenuhi undangan
Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikanpendapatHadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikanpendapat tapi tidak diperhitungkan Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikitpendapat yang diperhitungkanHadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara
Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan
Hadir dan mampu membuat keputusan
Kesadaran stakeholder untuk hadir dalam pertemuan cukup tinggi, meski
dengan alasan yang bervariasi. Tidak ada stakeholder yang memilih opsi hadir
karena terpaksa ataupun hadir sekedar memenuhi undangan. Walaupun sebagian
besar stakeholder memilih opsi hadir dan memberikan pendapat namun hanya
sedikit pendapat yang diperhitungkan, yang menunjukkan masih terdapat rasa
pesimis terhadap realisasi berbagai usulan ide/gagasan. Penyebab mayoritas opsi ini
paling banyak dipilih karena berbagai macam alasan yang menjadi penyebab betapa
banyak usulan kegiatan pembangunan tidak dapat dilaksanakan, dan alasan klasik
adalah terbatasnya pendanaan sehingga setiap usulan hanya mendapat jawaban
klasik juga yaitu ditampung dan diupayakan. Tentu saja, kondisi ini menimbulkan
sikap apatis dan apriori dari stakeholder non pemerintah, sehingga apabila diminta
mengusulkan suatu kegiatan terkesan lambat dan bahkan malas untuk
mengusulkannya kepada stakeholder pemerintah baik tingkat kecamatan maupun
kabupaten. Fenomena yang ada dan berkembang bahkan tidak jarang stakeholder
non-pemerintah (kalangan masyarakat) lebih cenderung mengusulkan ke
stakeholder di tingkat provinsi ataupun stakeholder di tingkat pusat. Diagram
tingkat partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Gambar 20.
Gambar 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam
pertemuan
Tampak pada Tabel 14 dan Gambar 20, sebanyak 3 stakeholder atau sebesar
25 persen dan 1 stakeholder atau sebesar 8 persen yang memilih opsi memiliki
kewenangan untuk membuat keputusan dan mampu membuat keputusan,
menunjukkan bahwa stakeholder telah memahami posisi strategis mereka sebagai
penentu kebijakan akhir dari usulan perencanaan pembangunan yang akan
dilakukan didaerahnya. Hal ini sejalan dengan pilihan para stakeholder bahwa
diantara mereka tidak ada yang hadir karena terpaksa ataupun hadir sekedar untuk
memenuhi undangan, yang mengindikasikan para stakeholder memiliki kepedulian
yang tinggi untuk bersama-sama masyarakat merencanakan dan melaksanakan
program pengembangan pendidikan didaerahnya.
Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa partisipasi tingkat kehadiran dalam
pertemuan memiliki nilai 66, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga
50
Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership (kerjasama). Pada tingkat ini,
kehadiran dalam suatu pertemuan tidak akan dapat menghasilkan apa-apa bila tidak
adanya kerjasama berbagai pihak dan harus ada kejelasan pembagian tanggung
jawab antar stakeholder dalam merencanakan berbagai program sehingga terdapat
kesamaan kepentingan antara stakeholder.
Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk aktif dalam berdiskusi dan
mengemukakan pendapat, 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi aktif
berdiskusi dan mendapat pembagian tanggungjawab yang setara, 3 orang atau
sebesar 25 persen memilih opsi aktif tetapi merasakan hanya sedikit hasil diskusi
yang diperhitungkan, 2 orang atau sebesar 17 persen memilih opsi aktif berdiskusi
dan memiliki kewenangan membuat keputusan, 1 orang atau sebesar 8 persen
memilih opsi mendapat informasi dan merasakan boleh berpendapat tapi tidak
diperhitungkan, dan 1 orang atau sebesar 8% memilih opsi aktif berdiskusi dan
merasakan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan. Tidak ada yang
memilih opsi berdiskusi karena terpaksa, mendapat informasi dan berdiskusi
sekedarnya ataupun mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat.
Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat
dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 21.
Tabel 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan
pendapat
No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x
Bobot
2
Tingkat
keaktifan dalam
berdiksusi dan
mengemukakan
pendapat
Berdiskusi karena terpaksa 0 - 1 0
Mendapat informasi dan
berdiskusi sekedarnya 0 - 2 0
Mendapat informasi dan tidak
diberi kesempatan berpendapat 0 - 3 0
Mendapat informasi dan boleh
berpendapat tapi tidak
diperhitungkan 1 8 4 4
Aktif, tetapi hasil diskusi hanya
sedikit sekali diperhitungkan 3 25 5 15
Aktif berdiskusi dan mendapat
pembagian tanggung jawab yang
setara 5 42 6 30
Aktif berdiskusi dan memiliki
kewenangan membuat keputusan 2 17 7 14
Aktif berdiskusi dan mampu
membuat keputusan 1 8 8 8
Jumlah 12 100
71
Tampak pada Tabel 15 diatas, terlihat bahwa kondisi sesungguhnya para
stakeholder memiliki kesadaran untuk bertanggungjawab dalam hal pengembangan
pendidikan didaerahnya karena tidak ada yang memilih opsi berdiskusi karena
terpaksa ataupun mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya ataupun mendapat
informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat, yang artinya mereka tetap
memiliki harapan agar kiranya dari suatu pertemuan didapat kesepakatan yang
memberikan kontribusi positif terhadap upaya pengembangan pendidikan
didaerahnya.
51
8%
25%
42%
17%
8%
Berdiskusi karena terpaksa
Mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya
Mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat
Mendapat informasi dan boleh berpendapat tapi tidakdiperhitungkan
Aktif, tetapi hasil diskusi hanya sedikit sekali diperhitungkan
Aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yangsetara
Aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan
Aktif berdiskusi dan mampu membuat keputusan
Gambar 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam
berdiskusi dan mengemukakan pendapat
Tampak pada Tabel 15 dan Gambar 21, sebagian besar stakeholder terlibat
aktif dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Opsi paling banyak yaitu
pada tingkat aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara,
yang artinya 5 orang atau sebesar 42 persen selalu terlibat aktif dalam pertemuan
untuk mengemukakan pendapat dan mereka mendapatkan pembagian tugas yang
merata, sesuai dengan jabatan masing-masing.
Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan dalam berdiksusi dan
mengemukakan pendapat memiliki skor 71 poin, yang apabila didasarkan pada 8
(delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini,
dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat, sebagian besar stakeholder
berkeinginan untuk aktif dalam berdiskusi dan berharap mendapatkan limpahan
tugas yang setara.
Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk terlibat dalam kegiatan fisik, ada
dua opsi yang dipilih oleh masing-masing 3 orang atau sebesar 25 persen yaitu
jawaban terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan dan opsi terlibat dan
memiliki pembagian tanggung jawab yang sama. Opsi berikutnya yaitu dipillih oleh
dua orang atau sebesar 17 persen yaitu terlibat dan mampu membuat keputusan
serta mampu mengakses dana dari luar. Kemudian, masing-masing satu orang atau
sebesar 8 persen memilih opsi terlibat sekedarnya saja, terlibat tanpa mendapat
kesempatan menyampaikan ide-ide, terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-
ide tapi tidak diperhitungkan serta terlibat dan memiliki kewenangan untuk
melaksanakan ide tersebut. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam
kegiatan fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil perhitungan tingkat keaktifan
untuk terlibat dalam kegiatan fisik sebagaimana pada Gambar 22.
52
8% 8%
8%
25% 25%
8%
17%
Terlibat karena terpaksa
Terlibat sekedarnya saja
Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide
Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-ide tapi tidakdiperhitungkan
Terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan
Terlilbat dan mendapat pembagian tanggung jawab yangsama
Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide
Terlibat dan mampu membuat keputusan
Tabel 16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik
No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x
Bobot
3
Tingkat
keaktifan
dalam kegiatan
fisik
Terlibat karena terpaksa
0
- 1 0
Terlibat sekedarnya saja
1
8 2 2
Terlibat tanpa mendapat
kesempatan menyampaikan ide-ide 1
8 3 3
Terlibat dan berkesempatan
menyampaikan ide-ide tapi tidak
diperhitungkan 1
8 4 4
Terlibat tapi hanya sedikit ide
yang diperhitungkan 3
25 5 15
Terlilbat dan mendapat pembagian
tanggung jawab yang sama 3
25 6 18
Terlibat dan memiliki kewenangan
melaksanakan ide 1
8 7 7
Terlibat dan mampu membuat
keputusan 2
17 8 16
Jumlah 12 100
65
Gambar 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat
dalam kegiatan fisik
Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan untuk terlibat dalam
kegiatan fisik memiliki skor 65 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan)
tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, dalam
kegiatan fisik, sebagian besar stakeholder terlibat dan mendapat pembagian
53
tanggungjawab yang sama serta terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan
ide.
Pada tingkat partisipasi stakeholder pada kesediaan untuk membayar, empat
orang atau sebesar 33 persen memilih opsi terlibat dan mendapat pembagian
tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang, tiga orang memilih opsi
membayar tapi merasakan hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan.
Masing-masing dua orang atau sebesar 17 persen memilih opsi membayar dan
berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi hanya sedikit yang
diperhitungkan serta opsi membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide
pemanfaatan uang tersebut. Hasil perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar
dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 23.
Tabel 17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar
No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x
Bobot
4
Tingkat
kesediaan untuk
membayar
Membayar karena terpaksa
0
- 1 0
Membayar sekedarnya dan
tidak memperhatikan
manfaatnya 0
- 2 0
Membayar dan tidak
berkesempatan menyampaikan
ide pemanfaatannya 1
8 3 3
Membayar dan berkesempatan
menyampaikan ide
pemanfaatannya tapi tidak
diperhitungkan 2
17 4 8
Membayar tetapi hanya sedikit
ide pemanfaatan uang yang
dilaksanakan 3
25 5 15
Membayar dan mendapat
pembagian tanggung jawab
yang setara dalam pemanfaatan
uang 4
33 6 24
Membayar dan memiliki
kewenangan melaksanakan ide
pemanfaatan uang 2
17 7 14
Membayar dan mampu
membuat keputusan serta
mampu mengakses dana dari
luar 0
- 8 0
Jumlah 12 100
64
Tampak pada Tabel 17, tidak ada yang memilih opsi membayar karena
terpaksa, membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya ataupun
membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar.
Menjadi hal menarik adalah ketidakmampuan stakeholder kecamatan untuk
mengakses dana dari luar karena bukan hal yang sulit mengajak pihak swasta untuk
bersinergi memberikan sumbangan dalam rangka pengembangan pendidikan
diwilayahnya.
54
8%
17%
25% 33%
17%
Membayar karena terpaksa
Membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya
Membayar dan tidak berkesempatan menyampaikan idepemanfaatannya
Membayar dan berkesempatan menyampaikan idepemanfaatannya tapi tidak diperhitungkan
Membayar tetapi hanya sedikit ide pemanfaatan uang yangdilaksanakan
Membayar dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setaradalam pemanfaatan uang
Membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan idepemanfaatan uang
Membayar dan mampu membuat keputusan serta mampumengakses dana dari luar
Gambar 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk
membayar
Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa kesediaan untuk membayar memiliki
skor 64 poin atau paling rendah diantara empat tingkat partisipasi, yang apabila
didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat
partnership. Pada tingkat ini, sebagian besar stakeholder bersedia untuk membayar
dan mendapatkan pembagian tanggungjawab yang setara dalam pemanfaatan uang.
Setelah mendapatkan bobot hasil analisis dari tiap tingkat partisipasi
stakeholder, langkah selanjutnya adalah merangkum bobot-bobot tersebut secara
keseluruhan untuk mendapatkan tingkat partisipasinya. Hal ini dilakukan dengan
tujuan mendapatkan nilai dari masing-masing tingkat partisipasi untuk dihitung
nilai keseluruhan sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir tingkatan partisipasi
stakeholder dalam program pengembangan pendidikan menengah Di Kabupaten
Bangka.
Menghitung tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan dilakukan
dengan cara sebagai berikut: Dari empat tingkat partisipasi, diperoleh skor
minimum 4, yang berasal dari 4 x 1 dan skor maksimum dari tiap tingkat partisipasi
adalah 32 poin, yang berasal dari 4 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah
12 orang, maka skor minimumnya adalah 4 x 12 = 48 poin, dan skor maksimum
adalah 12 x 32 = 384 poin. Menentukan jarak intervalnya, yaitu (384 – 48) / 8 = 42
poin. Sehingga dengan menggunakan tipologi Arstein maka diperoleh 8 (delapan)
tingkat partisipasi dengan nilainya masing-masing yaitu sebagaimana yang terdapat
pada Tabel 18. Rangkuman hasil perhitungan tingkat partisipasi stakeholder yang
terdiri atas: 1) tingkat kehadiran dalam pertemuan, 2) keaktifan dalam berdiskusi
dan menyampaikan pendapat, 3) keterlibatan dalam kegiatan fisik dan 4) kesediaan
untuk membayar, dapat dirangkum hasil analisisnya sebagaimana terdapat pada
Tabel 19.
55
Tabel 18 Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan
No. Tangga Tingkat partisipasi Jumlah skor
8 Citizen Control 342 - 384
7 Delegated Power 300 - 342
6 Partnership 258 - 300
5 Placation 216 - 258
4 Consultation 174 - 216
3 Informing 132 - 174
2 Therapy 90 - 132
1 Manipulation 42 - 90
Tabel 19 Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder
No. Variabel Skor
1 Tingkat kehadiran dalam pertemuan 66
2 Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat 71
3 Keterlibatan dalam kegiatan fisik 65
4 Kesediaan untuk membayar 64
Jumlah 266
Dari Tabel 19, tampak bahwa tingkat partisipasi yang memiliki nilai paling
besar yaitu keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yaitu sebesar
71 poin. Berikutnya adalah tingkat kehadiran dalam pertemuan sebesar 66 poin,
kemudian tingkat keterlibatan dalam kegiatan fisik sebesar 65 poin, dan yang
memiliki nilai paling kecil yaitu tingkat kesediaan untuk membayar yaitu sebesar
64 poin.
Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yang memiliki
nilai paling besar menunjukkan bahwa para stakeholder menyadari bahwa
pelaksanaan suatu kegiatan berawal dari hasil pertemuan guna menentukan arah
dan sasaran kegiatan sehingga program yang dilaksanakan dapat bermanfaat secara
keseluruhan. Tentu saja keberadaan stakeholder dalam suatu pertemuan adalah
keharusan karena mereka memiliki kewenangan yang legal dalam hal pengambilan
suatu keputusan.
Dari hasil rangkuman penghitungan analisis tingkat partisipasi stakeholder
pada Tabel 19, maka dapat ditentukan bahwa bobot keseluruhan tingkat partisipasi
berjumlah 266 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka
termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Dalam hal ini diartikan bahwa
terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam
perencanaan dan pembuatan keputusan serta telah terdapat kesamaan pandangan
antara stakeholder. Seperti yang diungkapkan oleh Epstein (2009) bahwa kemitraan
(partnership) berperan penting dalam pengembangan pendidikan.
Pemekaran wilayah sebagai implikasi penetapan sistem otonomi daerah telah
memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat dan para stakeholder untuk
berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Rustiadi et al.
(2011) menyatakan bahwa otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan
pembangunan berbasis pengembangan wilayah dimana lebih berperannya
masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan.
57
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA
PEMEKARAN KABUPATEN BANGKA
Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan
Salah satu urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan
pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah daerah adalah pelayanan bidang
pendidikan, yaitu pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk urusan
pelayanan pendidikan tinggi masih menjadi kewenangan permerintah pusat.
Penerapan sistem otonomi daerah yang merupakan perubahan dari sentralisasi
menjadi desentralisasi telah membuka ruang dan memberikan kesempatan kepada
masyarakat dan pemerintah daerah untuk lebih berperan secara aktif dalam
pengelolaan pembangunan daerah. Sebagaimana menurut Chan dan Sam (2010)
yang menyatakan bahwa proses desentralisasi pendidikan meliputi dua konsep
utama. Pertama, pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah pemindahan
berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada
masyarakat.
Implikasi pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003 selain
berkurangnya luas wilayah, juga berkurangnya jumlah kecamatan karena sebagian
besar masuk dalam wilayah kabupaten pemekaran. Awalnya jumlah kecamatan di
Kabupaten Bangka yaitu dua puluh dua kecamatan, namun setelah pemekaran
menjadi delapan kecamatan terdiri dari empat kecamatan lama, yaitu Sungailiat,
Belinyu, Merawang dan Mendo Barat serta empat kecamatan yang baru terbentuk
pada tahun 2001, yaitu Bakam, Pemali, Puding Besar dan Riau Silip. Tentu saja
sebagai wilayah baru, masih banyak keterbatasan sarana dan prasarana bidang
pendidikan terutama bidang pendidikan menengah, dibandingkan dengan
kecamatan yang sudah lama terbentuk.
Adapun terhadap keterlibatan stakeholder dan masyarakat dalam
pengembangan pendidikan sebelum pemekaran wilayah bisa dikatakan masih
minim karena pada saat itu, khususnya sekitar tahun 1960 sampai dengan 1990-an,
masih berlakunya sistem sentralisasi pendidikan oleh pemerintah pusat dan kasus di
Kabupaten Bangka adanya peran serta PT. Timah yang juga ikut membantu
pemerintah daerah dalam upaya pengembangan pendidikan dengan membangun
sarana dan prasarana pendidikan serta penyediaan tenaga pendidik terutama untuk
Jenjang pendidikan dasar dan menengah, seperti SD UPTB Komplek Nangnung
Sungailiat, SMP UPTB Pemali, SMA UPTB Sungaiselan dan sebagainya.
Walaupun sekolah-sekolah PT. Timah itu diperuntukkan khusus untuk anak-anak
pegawai dan karyawan PT. Timah namun kondisi ini sungguh sangat membantu
pemerintah daerah karena biaya operasional, pengadaan perlengkapan, penyediaan
peralatan penunjang pendidikan dan pembayaran gaji tenaga pendidik yang
berstatus pegawai ataupun tenaga honor ditanggung seluruhnya oleh PT. Timah.
Berhubung semua biaya menjadi tanggungan PT. Timah maka semua kebijakan
internal menjadi kewenangan manajemen PT. Timah melalui pihak sekolah
sehingga baik pemerintah daerah maupun masyarakat serta orangtua peserta didik
tidak diperkenankan mengintervensi dalam setiap pengambilan keputusan dalam
hal apapun. Bisa dibayangkan pada masa itu, orangtua peserta didik di sekolah-
58
sekolah PT. Timah tidak memiliki peran apapun dalam upaya pengembangan
pendidikan di sekolah. Kalaupun ada pengambilan keputusan yang harus
melibatkan orangtua peserta didik maka dapat dipastikan hal tersebut hanya bersifat
formalitas yang merujuk pada tangga partisipasi Arstein berada pada tingkatan non
participation atau tingkat 1 dan 2 yaitu manipulation dan therapy. Tingkat
manipulation merupakan tingkatan paling rendah yang menempatkan masyarakat
hanya sebagai pihak yang memberikan persetujuan. Kondisi sebenarnya bahwa
tidak ada peran serta masyarakat. Tingkat therapy merupakan tingkatan paling
rendah kedua dimana keterlibatan masyarakat hanya memberikan bahan masukan
demi kepentingan pengambil kebijakan.
Pada awal tahun 1990-an, perlahan PT. Timah menyerahkan hak kepemilikan
sarana dan prasarana pendidikan beserta tenaga pendidiknya kepada pemerintah
daerah. Kemudian tahun 1998, berdirinya SMA Negeri 2 Sungailiat, yang sekarang
berubah nama menjadi SMA Negeri 1 Pemali, PT. Timah Tbk masih memberikan
konstribusi positif terhadap upaya perluasan akses jenjang pendidikan menengah,
bersinergi dengan pemerintah daerah memberikan beasiswa khusus siswa
berprestasi melalui kelas unggulan. Hal yang menjadi pembeda dengan tahun
sebelumnya, peserta didik kelas unggulan tidak terbatas hanya untuk anak pegawai
ataupun karyawan PT. Timah Tbk namun terbuka bagi siapa saja yang lulus
persyaratan administrasi dan akademik. Selain dibebaskan dari biaya sekolah,
peserta didik kelas unggulan juga mendapatkan akomodasi penginapan di asrama
dan perlengkapan sekolah. Kemudian, manajemen PT. Timah Tbk tidak
mengintervensi kebijakan pemerintah daerah dan sekolah dalam hal pengambilan
keputusan di sekolah, sehingga peran masyarakat melalui komite sekolah memiliki
porsi yang lebih besar. Saat ini PT. Timah masih memegang penuh hak
kepemilikan dan pengelolaan terhadap satu perguruan tinggi di Sungailiat yaitu
Politeknik Manufaktur Timah Bangka Belitung (POLMAN Babel).
Seiring dengan dinamika pelaksanaan otonomi daerah dan sistem
desentralisasi salah satu fenomenanya pemekaran/pembentukan daerah baru
semenjak tahun 2000, pemerintah daerah baru wajib memberikan jaminan akses
pendidikan bagi masyarakat. Kaitannya dengan pemekaran wilayah, Pemerintah
Kabupaten Bangka dapat lebih mudah untuk merencanakan dan melaksanakan
program kegiatan pembangunan sarana dan prasarana karena ruang lingkup wilayah
yang tidak terlalu luas lagi. Sebagai ilustrasi, sebelum dimekarkan jarak tempuh
ibukota kecamatan terjauh dengan ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Lepar
Pongok dengan Sungailiat adalah sekitar 12 jam dan harus menggunakan alat
penyebarangan laut karena Kecamatan Lepar Pongok terletak di pulau kecil
terpisah dari Pulau Bangka. Sedangkan setelah dimekarkan, jarak tempuh ibukota
kecamatan terjauh dengan ibukota kabupaten, yaitu Kecamatan Belinyu dengan
Sungailiat adalah sekitar 45 menit saja, yang berjarak 54 km. Jarak tempuh antar
kecamatan yang semakin pendek waktu tempuhnya akan memudahkan pelaksanaan
pengelolaan pembangunan khususnya dalam hal koordinasi, monitoring dan
evaluasi pelaksanaan program kegiatan. Selain itu juga, pendeknya rentang kendali
urusan birokrasi dan administrasi penyelenggaraan pendidikan telah memberikan
ruang yang cukup besar dalam peningkatan peran dan partisipasi masyarakat baik
melalui stakeholder pemerintah maupun non pemerintah.
Salah satu manfaat yang terasa langsung bagi masyarakat dalam bidang
pendidikan setelah pemekaran Kabupaten Bangka adalah kemudahan peserta didik
59
untuk mendapatkan layanan pendidikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang
tinggi. Sebelum pemekaran Kabupaten Bangka, terlebih pada jenjang pendidikan
menengah, peserta didik di wilayah yang belum memiliki sarana dan prasarana
apabila ingin melanjutkan pendidikannya seperti: SMA, SMK, dan MA, terutama
sekolah yang berstatus negeri, terpaksa harus mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit tiap bulan untuk transportasi dan akomodasi karena harus bersekolah ke luar
dari wilayah tempat tinggalnya. Tentu saja hal ini akan memberatkan bagi orangtua
yang berpenghasilan rendah sehingga hanya orangtua yang berpenghasilan tinggi
atau mampu saja dapat membiayai anaknya untuk bersekolah di jenjang pendidikan
menengah. Namun setelah Kabupaten Bangka dimekarkan, kondisi saat ini semua
kecamatan telah memiliki sarana dan prasarana pendidikan menengah atas sehingga
biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua peserta didik untuk menyekolahkan
anaknya dapat diminimalisir.
Berdasarkan analisis deskriptif yang mengintegasikan hasil kuesioner dengan
metode Objektif, Reflektif, Interpretatif and Decisional atau ORID, partisipasi
stakeholder dalam pengembangan pendidikan khususnya pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah menempati tingkatan partnership
(kemitraan). Keterlibatan stakeholder yang bermitra dengan masyarakat dalam
pengembangan pendidikan setelah pemekaran wilayah sangat penting karena
masyarakat lebih memahami dan mengetahui kebutuhan di daerahnya. Saat ini,
Pemerintah Kabupaten Bangka telah menerapkan sistem pembangunan partisipatif.
Usulan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan
daerahnya dapat diajukan kepada pemerintah daerah melalui forum musyawarah
pembangunan tingkat desa dan kecamatan.
Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah
Berdasarkan hasil AHP dari level alternatif sebagaimana terdapat pada
Gambar 24, diperoleh bahwa alternatif tenaga pendidik memberikan pengaruh
paling tinggi. Tingkat Inconsistency-nya = 0.02, menunjukkan bahwa hasil ini
berada di dalam batas toleransi kekonsistenan sehingga datanya dapat digunakan.
Hal ini berarti persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka berdasarkan pada tiga faktor yang berpengaruh menyatakan
bahwa faktor tenaga pendidik dan faktor sarana prasarana menjadi prioritas pertama
karena memiliki nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 0.425 atau 42.50 persen dan
0.415 atau 41.50 persen.
Inconsistency : 0.02
Gambar 24 Hasil AHP dari level alternatif
Walaupun dari segi jumlah pendidik sudah cukup memadai, namun
kompetensinya tetap harus ditingkatkan karena tuntutan perubahan zaman yang
60
dinamis serta terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Diharapkan
dengan peningkatan kualitas tenaga pendidik dapat lebih meningkatkan
perkembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Kualitas tenaga
pendidik memang memegang peranan penting dalam upaya pengembangan
pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Sahertian (2008) bahwa dalam usaha
meningkatkan kualitas sumberdaya pendidikan, guru merupakan komponen
sumberdaya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus menerus.
Sarana dan prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka untuk saat
ini bisa disimpulkan belum tersebar secara merata karena masih ada kecamatan
yang belum memiliki SMK yaitu Kecamatan Merawang, Puding Besar, Riau Silip,
Pemali dan Bakam. Peserta didik yang berminat melanjutkan ke jenjang pendidikan
menengah kejuruan bisa dipastikan akan melanjutkan pendidikannya ke kecamatan
lain, baik ke Sungailiat maupun ke Kota Pangkalpinang. Tentu saja hal ini akan
memerlukan dana tambahan yang tidak sedikit untuk transportasi dan akomodasi
mereka.
Berdasarkan hasil AHP dari level kriteria/faktor sebagaimana terdapat pada
Gambar 25, diperoleh bahwa faktor ketersediaan dana memberikan pengaruh paling
tinggi atau sebesar 68,1 persen. Tingkat Inconsistency-nya = 0.00, menunjukkan
bahwa hasil ini masih berada di dalam batas toleransi kekonsistenan sehingga dapat
digunakan.
Gambar 25 Hasil AHP dari level kriteria
Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada
pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana yang memadai karena sarana
dan prasarana merupakan alat bantu yang menjadi penunjang kelancaran
terlaksananya kegiatan belajar mengajar. Ketersediaan sarana dan prasarana
menjadi penting karena dengan sarana dan prasarana yang memadai, peserta didik
dan pendidik dapat berinteraksi ilmiah dengan baik. Kondisi saat ini, prasarana
pendidikan menengah di Kabupaten Bangka terdiri dari: SMA negeri 8 unit dan
SMA swasta 5 unit, SMK negeri 4 unit dan SMK swasta 5 unit, MA negeri 1 unit
dan MA swasta 6 unit dengan jumlah keseluruhan ruang kelas 329 ruang kelas.
Faktor partisipasi stakeholder
Berdasarkan faktor partisipasi stakeholder sebagaimana terdapat pada
Gambar 26, ketersediaan sarana dan prasarana menjadi prioritas pertama dengan
nilai 0.378. Peningkatan akses dan kemudahan peserta didik melanjutkan ke jenjang
pendidikan menengah membuat minat bersekolah meningkat sehingga hal ini harus
disikapi dengan penyediaan prasarana pendidikan menengah yang tersebar merata
di semua kecamatan. Oleh karena itu, stakeholder memegang peranan penting
dalam pembangunan prasarana tersebut dalam upaya pengembangan pendidikan
menengah di Kabupaten Bangka.
61
Gambar 26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder
Faktor partisipasi masyarakat
Berdasarkan faktor partisipasi masyarakat sebagaimana terdapat pada
Gambar 27, keberadaan tenaga pendidik menjadi prioritas pertama dengan nilai
0.566.
Gambar 27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat
Hasil studi evaluasi pemekaran daerah tahun 2001-2007 yang dilakukan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2008) bekerjasama dengan United
Nations Development Programme (UNDP) menyatakan bahwa jumlah siswa untuk
pendidikan setingkat SLTP dan SLTA sepanjang 2001-2005 di Daerah Otonomi
Baru (DOB) mengalami perkembangan yang positif dengan pertumbuhan jumlah
guru yang positif pula. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan ketersediaan
tenaga pendidik yang disertai dengan peningkatan partisipasi masyarakat usia
sekolah.
Masyarakat memiliki peran penting dalam memotivasi peserta didik untuk
melanjutkan pendidikannya. Dalam hal ini, masyarakat cenderung memilih tenaga
pendidik sebagai prioritas pertama karena ketersediaan prasarana pendidikan yang
lengkap identik dengan biaya sekolah yang tinggi. Hal ini yang tidak jarang
membuat banyak orangtua keberatan menyekolahkan anak-anaknya. Mengenai
peningkatan kualitas guru, seperti yang disebutkan dalam Chan dan Sam (2010)
bahwa memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka
menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill kemampuan yang tinggi karena
guru (tenaga pendidik) merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia
pendidikan.
Faktor ketersediaan dana
Berdasarkan faktor ketersediaan dana sebagaimana terdapat pada Gambar
28, sarana dan prasarana menempati prioritas tertinggi dengan nilai 0.446. Tentu
saja dari sisi ketersediaan dana, maka sarana dan prasarana menempati prioritas
pertama. Ketersediaan dana yang cukup membuat pemerintah leluasa melakukan
peningkatan mutu dengan membangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang
proses pembelajaran. Peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidikan memang
telah dibiayai oleh pemerintah daerah dan pusat melalui dana APBD ataupun
62
APBN. Namun kondisi faktualnya, jumlah dana yang terbatas dan jumlah
kabupaten yang banyak membuat pemerintah daerah melalui dana APBD ataupun
pemerintah pusat melalui dana APBN tidak mampu mengakomodir berbagai
keluhan dalam waktu yang singkat.
Gambar 28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana
Menurut Sarana (2009) bahwa ketersediaan sarana prasarana pendidikan guna
menjamin akses masyarakat akan pendidikan dasar, menengah dan atas bahkan
lanjutan perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Bidang pendidikan
sebagai bagian dari kewenangan (desentralisasi) menjadi salah satu urusan wajib
pemerintah daerah (Kabupaten/Kota). Seiring dengan dinamika pelaksanaan
otonomi dan desentralisasi salah satunya fenomena pemekaran/ pembentukan
daerah baru semenjak tahun 2000, pemerintah daerah baru pun wajib memberikan
jaminan akses pendidikan bagi masyarakat. Dalam kaitan dengan pemekaran daerah,
pemerintah makin pendek rentang kendalinya maka peningkatan pelayanan publik,
khususnya pendidikan menjadi sangat penting.
Hasil Analisis Hirarki Proses (AHP) secara keseluruhan terdapat pada
Gambar 29.
Gambar 29 Hasil Analisis Proses Hirarki (AHP)
Pengembangan
pendidikan Menengah
di Kabupaten Bangka
Pengembangan
pendidikan Menengah
di Kabupaten Bangka
Partisipasi stakeholder
(0,168)
Partisipasi stakeholder
(0,168)Partisipasi Masyarakat
(0,150)
Partisipasi Masyarakat
(0,150)
Ketersediaan Dana
(0,681)
Sarana dan Prasarana
(0,415)Sumberdaya Aparatur
(0,161)
Sumberdaya Aparatur
(0,161)
Tenaga Pendidik
(0,425)
Level 1
Level 2
Level 3
63
Hasil AHP, sebagaimana terdapat pada Gambar 29, dari hirarki ketiga atau
level alternatif bahwa peningkatan kualitas tenaga pendidik memberikan pengaruh
paling tinggi atau sebesar 42.50 persen, tidak jauh berbeda dengan alternatif
pengadaan sarana dan prasarana atau sebesar 41.50 persen. Hal ini berarti persepsi
stakeholder dalam pengembangan pendidikan di Kabupaten Bangka menyatakan
bahwa faktor tenaga pendidik dan faktor sarana dan prasarana menjadi prioritas
pertama. Surya (2000) dalam Wiharna (2007) menyatakan bahwa tanpa guru,
pendidikan hanya akan menjadi slogan karena segala bentuk kebijakan dan program
pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan
yaitu guru. Artinya ketersediaan guru di sekolah merupakan kunci utama dalam
berlangsungnya proses belajar mengajar. Kemudian Idi (2011) menyatakan bahwa
produk final dari interaksi edukatif disekolah (formal) dan di luar sekolah
(informal) adalah menginginkan keberhasilan anak didiknya. Sukses tidaknya anak
didik lebih ditentukan oleh kualitas seorang pendidik. Peningkatan mutu pendidikan
merupakan sebuah keharusan, walaupun dalam perjalanannya membutuhkan
banyak perbaikan pada sektor yang mendukung dunia pendidikan itu sendiri.
Persyaratannya adalah terdapat sarana dan prasarana yang tentu saja memadai, di
antaranya seperti gedung sekolah yang representatif, terdapat perpustakaan yang
lengkap, sistem pendidikan, anggaran yang cukup, dan guru sebagai tenaga
pendidik.
Pada tahun 2003, kondisi sebelum pemekaran wilayah, rasio pendidik dengan
peserta didik adalah sebesar 1:24. Pada tahun 2011, kondisi setelah pemekaran
wilayah, rasio pendidik dengan peserta didik menjadi 1:13. Kondisi ini
menunjukkan setelah pemekaran wilayah terjadi peningkatan jumlah tenaga
pendidik sedangkan kondisi prasarana pendidikan menengah saat ini bahwa semua
kecamatan telah memiliki SMA berstatus negeri namun untuk SMK dan MA belum
merata di semua kecamatan sehingga kondisi ini harus mendapat perhatian dari
pemerintah agar dapat memperluas akses pendidikan menengah di kecamatan yang
belum memilikinya. Hasil dari hirarki kedua atau level kriteria, bahwa ketersediaan
dana memberikan pengaruh paling tinggi yaitu 0.681 atau sebesar 68.10 persen.
Ketersediaan dana yang cukup akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah
daerah untuk melaksanakan berbagai program kegiatan yang berkaitan dengan
upaya pengembangan pendidikan menengah, baik bersifat fisik yaitu pembangunan
ataupun perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, penambahan tenaga pendidik,
maupun non fisik yaitu peningkatan kualitas tenaga pendidik.
65
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemekaran Kabupaten Bangka berdampak positif terhadap peningkatan nilai
Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.
Adapun faktor-faktor yang memberikan pengaruh meningkatnya Angka Partisipasi
Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebagai berikut: 1) rasio jumlah ruang
kelas jenjang pendidikan menengah terhadap jumlah total penduduk, 2) luas
wilayah kecamatan, dan 3) kepadatan penduduk memberikan pengaruh positif
terhadap peningkatan nilai angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka.
Kemitraan antar stakeholder dalam upaya mengembangkan pendidikan
menengah di Kabupaten Bangka telah terjalin dengan baik karena sudah terdapat
kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan dan
penentuan keputusan.
Persepsi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di
Kabupaten Bangka pada level kedua atau kriteria menyatakan bahwa faktor
ketersediaan dana merupakan faktor yang paling penting dibandingkan faktor
partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Ketersediaan dana yang cukup
akan memberikan keleluasaan kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai
program kegiatan peningkatan mutu pendidikan menengah dengan membangun
sarana dan prasarana yang dapat menunjang proses pembelajaran. Kemudian pada
level ketiga atau alternatif menyatakan bahwa faktor tenaga pendidik serta
pengadaan sarana dan prasarana merupakan faktor paling penting dibandingkan
faktor sumberdaya aparatur. Keberadaan tenaga pendidik serta ketersediaan sarana
dan prasarana berkaitan erat dalam upaya memajukan bidang pendidikan karena
proses belajar mengajar akan memperoleh hasil yang maksimal apabila didukung
dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai.
Saran
1 Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan menengah harus dilakukan
dengan mengedepankan azas pemerataan terutama di kecamatan yang memiliki
nilai angka partisipasi kasar (APK) masih di bawah 80 persen, yaitu
Kecamatan Merawang (74.64 persen) dan Kecamatan Bakam (54.12 persen),
2 Pemerintah daerah harus memperbanyak ketersediaan ruang kelas pendidikan
menengah untuk meningkatkan daya serap dan daya tampung peserta didik
khususnya pada daerah yang jumlah penduduk usia pendidikan menengahnya
tinggi,
3 Meningkatkan peran dan keterlibatan stakeholder untuk menyerap aspirasi
masyarakat sebagai bahan penyusunan rencana strategis pembangunan
partisipatif,
4 Meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pendidik secara berjenjang dan
bertahap berdasarkan kebutuhan wilayah, khususnya pada kecamatan dengan
nilai angka partisipasi kasar (APK) terendah, yaitu Kecamatan Bakam (54.12
persen).
67
DAFTAR PUSTAKA
Agusniar A. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian
Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Amirin T.M. 2011. Pengertian sarana dan prasarana pendidikan. Jakarta (ID):
Raja Grafindo Persada.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Studi Evaluasi Dampak
Pemekaran Daerah 2001-2007 kerjasama Bappenas dan United Nations
Development Programme (UNDP). Jakarta (ID): BRIDGE (Building and
Reinventing Decentralised Governance).
Bafadal I. 2004. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Manajemen
Perlengkapan Sekolah, Teori dan Aplikasi, Jakarta (ID): Bumi Aksara.
[BPS Bangka]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka. 2011. Kabupaten Bangka
Dalam Angka 2011. Sungailiat (ID): Badan Pusat Statistik.
Chan S.M, Sam T.T. 2010. Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada.
Chusnah U. 2008. Evaluasi Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program
Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Pendidikan di SMA Negeri 1
Surakarta [Tesis]. Semarang (ID): Univ Diponegoro.
Conyers D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar.
Yogyakarta (ID): Univ Gadjah Mada.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Depdagri.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Depdagri.
[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta (ID): Depdiknas.
[Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.
[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 1999. Profil Pendidikan
Kabupaten Bangka Tahun 1999. Sungailiat (ID).
[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2000. Profil Pendidikan
Kabupaten Bangka Tahun 2000. Sungailiat (ID).
[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2003. Profil Pendidikan
Kabupaten Bangka Tahun 2003. Sungailiat (ID).
[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2009. Profil Pendidikan
Kabupaten Bangka Tahun 2009. Sungailiat (ID).
[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2010. Profil Pendidikan
Kabupaten Bangka Tahun 2010. Sungailiat (ID).
[DISDIK] Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka. 2011. Profil Pendidikan
Kabupaten Bangka Tahun 2011. Sungailiat (ID).
Effendy A.R. 2008. Input Paper Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota. Yogyakarta
(ID): Univ Gadjah Mada.
Epstein J.L & Associates. 2009. School, Family, and Community Patrnerships,
Your Handbook For Action. US: Corwin Pr.
68
Falatehan A.F. 2009. Teknik Pengambilan Keputusan Menggunakan Analytical
Hierarchy Process (AHP) dan Expert Choice 2000. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor Pr.
Freeman R.E. 1984. Strategic Management: A stakeholder Approach. Boston (US),
MA: Pitman.
Gujarati D.N. 2004. Basic Econometrics, 4th edition. New York (US): McGraw-
Hill Companies.
Hermani A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian di
Kabupaten Brebes dan Kota Tegal [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Idi A. 2011. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta
(ID): Rajawali Pr.
Iwahashi R. 2004. A Theoretical Assessment of Regional Development Effects on
The Demand for General Education Faculty of Law and Letters. Okinawa
(JP): Ryukyus Univ.
Juanda B. 2007. Pemekaran Daerah serta Implikasinya Terhadap APBN. Jurnal
Ekonomi. 25: 157-171.
[Kemdiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2009. Pusat Statistik Pendidikan.
Jakarta (ID): Kemdiknas.
Khadiyanto P. 2007. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Unit Sekolah
Baru. Semarang (ID): Univ Diponegoro.
Marimba A.D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung (ID): Al Ma’arif.
Mikkelsen B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan. Terjemahan Matheos Nalle. Jakarta (ID): Yayasan Obor
Indonesia.
Nasution S. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Ozdemir M.S, Saaty T.L. 2006. The unknown in decision making: What to do about
it. European Journal of Operational Research. 174:349-359.
Pemerintah Kabupaten Bangka. 2001. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Nomor
7 Tahun 2001 tentang Pembentukan 9 (Sembilan) kecamatan.
Riyadi, Bratakusumah D.S. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta
(ID): Gramedia Pustaka Utama.
Rosyada D. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelengaraan Pendidikan. Jakarta (ID): Kencana.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Saaty T.L. 1980. The Analytical Hierarchy Process: Planning, Priority Setting,
Resource Allocation. New York (US): McGraw-Hill.
Saaty T.L. 2008. Making decisions in hierarchic and network systems. Int. J.
Applied Decision Sciences. 1 (1): 24-79.
Saaty T.L, Niemira M.P. 2006. A Framework for Making a Better Decision: How to
Make More Effective Site Selection, Store Closing and Other Real Estate
Decisions. Research Review. 13: 1-4.
Sahertian P.A. 2008. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Sarana J. 2009. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Implikasi Pemekaran Daerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Joko
Suryanto [penyunting]. Jakarta (ID): LIPI.
69
Sastropoetro S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam
Pembangunan Nasional. Bandung (ID): Alumni.
Schubeler P. 1996. Participation and Partnership in Urban Infrastructure
Management. Washington DC (US): World Bank.
Shochrul R, Ajija. 2011. Cara cerdas menguasai Eviews. Jakarta (ID): Salemba
Empat.
Soetrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Todaro M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. [terjemahan]. Jakarta
(ID): Erlangga.
Walpole R.E. 1992. Pengantar Statistika, Bambang S. [penerjemah]. Jakarta (ID):
Gramedia.
Wiharna O. 2007. Perencanaan Kebutuhan Guru Sekolah Dasar Berdasarkan
Pendekatan Kewilayahan. Jakarta (ID): Univ Pendidikan Indonesia.
Lampiran 1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali
No. Nama Pekerjaan
Bentuk
partisipasi Tingkat partisipasi
Nomor Nomor 1 2 3 7 8
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Moh. Nursi, S.IP PNS / Camat d a e h d e a c b b a b
2 Daryanus Gultom
PNS/Ka.
UPTD Pendidikan
e a c f b d b b b a a b
3 Zuri Aprizal
PNS/Ka.
PGRI Kecamatan
e a e f f e a a a a a a
4 H. Sutarman Wiraswasta/
Kepala Desa d a g f h f a a a a a a
5 Ahmad Zarkoni Swasta/Ketua
Komite d a h f h f a a a a a a
6 Syaiful Anwar Swasta d a c d c d c a c b a a
Lampiran 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat
No. Nama Pekerjaan
Bentuk
partisipasi Tingkat partisipasi
Nomor Nomor
1 2 3 7 8
1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 H. Zulfakar PNS / Camat d a g g g g a a a a a b
2 Hadi Sukamta
PNS/Ka. UPTD
Pendidikan d a g g f f a a a a a a
3 Buyung Topan
PNS/Ka. PGRI
Kecamatan d a e e e e b b b a a b
4 Rudi Karmidi
Wiraswasta/
Kepala Desa
Petaling d a e e e g a a c a a a
5
Gumanto
Iswandi
Swasta/Ketua
BPD e f f f f f a c c b a a
6 Kurniawan Saputra Swasta d a e e e c a a a b a a
Lampiran 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor
pendidikan tingkat Kabupaten Bangka
No. Nama
responden Instansi
Rekapitulasi nilai Nilai
total
Rata-
rata Perenc Pelaks Evaluasi Manfaat
1 Drs. Yunan
Helmi, M.Si
Kepala Dinas
Pendidikan
Kabupaten
Bangka 7 7 6 8 20 0,78
2 Drs. H. Usnen,
M.Si
Ketua Komisi A
DPRD Kabupaten
Bangka 5 6 8 9 19 0,78
3 Arizal, A.Md Swasta 5 4 3 6 12 0,50
4 Rusli H.S., S.H
Ketua Dewan
Pendidikan
Kabupaten
Bangka 9 9 9 9 27 1,00
5 Fadillah Sabri,
M.Eng Tokoh masyarakat
2 2 2 4 6 0,28
6 Iwan Kusumah,
S.Pd
Ketua MKKS
Kabupaten
Bangka 7 7 6 8 20 0,78
72
Lampiran 4 Hasil regresi data panel menggunakan software eviews 6.0
Dependent Variable: Y
Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 11/20/12 Time: 08:12
Sample: 2001 2006
Periods included: 6
Cross-sections included: 4
Total panel (balanced) observations: 24
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
X2 -1.99 294.1739 -6.782704 0.0000
X3 2.03 2636.726 7.716496 0.0000
X4 0.039 0.009126 4.300408 0.0004
X5 0.504 0.047431 10.63199 0.0000
DUMMY -49.537 11.80534 -4.196152 0.0005
C 103.698 19.07382 5.436673 0.0000
Weighted Statistics
R-squared 0.9431 Mean dependent var 69.59489
Adjusted R-squared 0.9274 S.D. dependent var 42.29938
S.E. of regression 8.4805 Sum squared resid 1294.551
F-statistic 59.7544 Durbin-Watson stat 1.649909
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.924517 Mean dependent var 58.69321
Sum squared resid 1697.031 Durbin-Watson stat 1.744681
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung pada tanggal 3 Juli 1976 dari Ayah bernama Sopiyan (alm) dan
Ibu bernama Holiyah. Penulis merupakan putera kesatu dari tiga bersaudara yang
semuanya laki-laki. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sungailiat namun
baru pada Tahun 1999 berkesempatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi
tepatnya di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Bangka program studi
agronomi, dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2003.
Pada tahun 2006 penulis diangkat menjadi CPNS dan bertugas di Dinas
Pertanian Kabupaten Bangka. Kemudian pada tahun 2008 hingga sekarang, penulis
ditugaskan di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka.
Pada tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan tugas belajar melalui
beasiswa Pusbindiklatren, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas),
pada Program Magister Sains (S2) Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (PWL IPB). Sebagai persyaratan
dalam penyelesaian studi di sekolah pascasarjana, penulis melakukan penelitian
dengan judul: Strategi Pengembangan Pendidikan dan Partisipasi Stakeholder di
Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah.