strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan … · dilakukan melalui wawancara mendalam...
TRANSCRIPT
STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN
(KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)
Oleh
GEIDY TIARA ARIENDI
I34070014
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ABSTRACT
Farmers in Cisarua Village have limited access and land tenure because
the land is own by government through plantation concertion (HGU). Those facts
lead the farmers for setting strategy to get the access of land cultivate. Generally,
this research used qualitative analysis methode which is done since July 2010 to
January 2011. Depth interview, direct observation, and questionaire are used to
get primary data and literature study is used to get secondary data in this
research. Sample taken as many as thirty four respondents with the population is
Cisarua Society and the frame sample is Cisarua Society who work as farmer. The
result of this research shows that Cisarua’s farmer struggle individually by doing
compromy with foreman of tea plantation so that they can get access of land
tenure. Strategy choosing that’s used by farmers is influenced by some external
and internal factors.
Keyword: Land limits, strategy, individual struggle, compromy
RINGKASAN
GEIDY TIARA ARIENDI, Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan. Studi Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi (Dibawah Bimbingan RILUS A. KINSENG)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan sesuai dengan strategi yang digunakan serta menggambarkan bagaimana proses yang dilalui petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Adapun secara tujuan khusus penelitian ini ialah untuk (1) mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, (3) mengetahui permasalahan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, dan (4) mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi pendekatan kualitatif yang digunakan ialah studi kasus. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden. Pendekatan kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei yang mana pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner. Jumlah responden dalam penelitian ini ialah 34 orang yang diambil menggunakan accidental sample methode dengan populasi penelitian yaitu petani Desa Cisarua. Pengumpulan data sekunder penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Data primer penelitian dikumpulkan mulai dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011. Data sekunder dikumpulkan melalui studi literatur, dari data di Kantor Kepala Desa. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian dimana dilakukan wawancara kepada responden dan informan yang mengacu kepada kuesioner dan panduan pertanyaan. Data kualitatif yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskriptif sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan uji Korelasi Rank Spearman menggunakan program komputer Ms. Excel 2007 dan SPSS 17 for windows.
Petani di Desa Cisarua melakukan perjuangan secara individual untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dengan melakukan kompromi dengan pihak perkebunan. Setelah melakukan kompromi dengan pihak perkebunan, masyarakat kemudian mendapat izin untuk menggarap lahan perkebunan dengan membayar uang sewa yang dihitung berdasarkan banyaknya patok lahan yang digarap dan memperluas lahan garapannya sedikit demi sedikit secara diam-diam.
iv
Hasil uji Rank Spearman yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor internal yang terdiri dari pengalaman berorganisasi, jumlah beban tanggungan, lama pendidikan yang ditempuh oleh petani, serta pendapatan petani tidak memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Faktor internal yang memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani hanyalah jumlah dan luas relasi dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika jumlah dan luas relasi meningkat maka tingkat keterlibatan petani juga semakin meningkat.
Tidak adanya organisasi pendukung membuat petani Desa Cisarua tidak solid dan melakukan upaya secara individual. Respon pemerintah yang terlihat pilih kasih menimbulkan kecemburuan sosial didalam masyarakat. Kecemburuan sosial ini kemudian berdampak pada solidaritas masyarakat Desa Cisarua. Petani besar di Desa Cisarua menggunakan pemilihan kepala desa sebagai kesempatan politik untuk mendukung keinginannya ketika kepala desa tersebut menjabat. Faktor eksternal lain yang mendukung masyarakat untuk melakukan upaya secara individual ialah respon pihak perkebunan. Pihak perkebunan tidak menghalangi masyarakat untuk menggarap lahan non-produktifnya karena pihak perkebunan yang sedang mengalami masalah ekonomi juga mendapatkan keuntungan.
Dalam upaya mendapatkan lahan garapan, masyarakat Desa Cisarua mengalami beberapa hambatan seperti administrasi yang panjang serta memakan waktu cukup lama, lahan strategis yang terbatas, keberpihakan pemerintah pada petani besar, solidaritas masyarakat yang rendah, kecemburuan sosial, serta ketidakmampuan masyarakat untuk melawan penguasa.
Status lahan garapan yang diperoleh oleh petani ialah sewa yang besarnya dihitung berdasarkan luasan patok lahan yang digarap. Sistem sewa dibagi kembali menjadi sistem sewa dengan perjanjian dan sistem sewa tidak dengan perjanjian. Petani yang menanam pohon albasia mendapat sistem sewa dengan perjanjian karena merupakan salah satu program perkebunan untuk menambah pohon tegakan di areal perkebunan. Sistem sewa tidak dengan perjanjian berlaku bagi petani ayng menanam tanaman holtikultura. Meski demikian, petani merasa cukup senang karena tujuan petani untuk dapat mengolah lahan HGU milik perkebunan tercapai. Saat ini luas total lahan perkebunan yang digarap oleh petani di Desa Cisarua ialah 93 hektar. Selain itu, ada pula sistem bagi hasil dengan porposi 30:70 untuk mandor karena mandor memodali segala keperluan dalam produksi dan juga membayar uang sewa lahan. Adapun saran yang diajukan oleh penulis bagi petani ialah menguatkan ikatan petani dengan cara membentuk suatu wadah yang dapat menjadi tempat bagi para petani untuk saling berinteraksi serta berkomunikasi. Selain itu, pemerintah desa diharapkan dapat bertindak adil baik kepada petani kecil dan petani besar. Adapun saran untuk pihak perkebunan ialah menyediakan alternatif usaha lain bagi petani sebelum menarik kembali lahan garapan dari petani.
STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN
(KASUS DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN SUKABUMI)
Oleh
GEIDY TIARA ARIENDI
I34070014
Skripsi
Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PETANIAN BOGOR
2011
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:
Nama : Geidy Tiara Ariendi
NRP : I34070014
Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan
Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Kasus Desa Cisarua,
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA NIP. 19590506 198703 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian :
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “STRATEGI PERJUANGAN PETANI DALAM
MENDAPATKAN AKSES DAN PENGUASAAN ATAS LAHAN (KASUS
DESA CISARUA, KECAMATAN SUKARAJA, KABUPATEN
SUKABUMI)” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA
JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL
KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN
YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH
PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH
Bogor, Februari 2011
Geidy Tiara Ariendi NRP. I34070014
RIWAYAT HIDUP
Geidy Tiara Ariendi (penulis) merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara hasil pernikahan pasangan Bapak Muhammad Syifried dan Mama
Niken Penta Dewi. Penulis dilahirkan di Kendari pada tanggal 12 Mei 1989.
Penulis memiliki dua orang adik yang bernama Geini Agni Swastiagri dan Ghafie
Addina Ghani. Penulis menetap di berbagai daerah yaitu Kendari, Palu, Napu,
Malang, Bengkulu, dan Pekanbaru.
Riwayat pendidikan penulis cukup panjang karena penulis hidup
berpindah-pindah. Penulis menikmati masa Taman Kanak-kanaknya di TK Tadika
Puri Kencana PT Hasfarm Ladongi, Kendari, Sulawesi Tenggara lalu melanjutkan
Sekolah Dasar Negeri 01 Gunung Jaya, Ladongi, Kendari selama satu tahun
(1995-1996). Setelah itu penulis melanjutkan studinya di Madrasah Ibtidaiyah
Negeri Malang I Jawa Timur tinggal bersama Eyang Putri dan Eyang Kakung
hingga lulus (1996-2001).
Setelah lulus, penulis pindah dan tinggal bersama orang tua ke Bengkulu.
Penulis melanjutkan studi di bangku Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1
Bengkulu selama satu tahun (2001-2002) dan menyelesaikan SMP pada tahun
2004 di SMP Negeri 13 Pekanbaru. Penulis lalu melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas terbaik di Pekanbaru, yaitu di SMA Negeri 8 Pekanbaru (2004-
2007). Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor yang telah
lama diimpikan oleh penulis melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) dan
memilih masuk Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan
Minor Arsitektur Lanskap.
Sejak sekolah hingga masuk bangku sekolah, penulis aktif mengikuti
berbagai kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi, antara lain: ekstrakulikuler
paduan suara (1996-2001), musik tradisional (1997-2000), musik modern (1996-
2007), pasukan pengibar bendera SMPN 1 Bengkulu (2001), anggota Komisi A
Majelis Permusyawarahan Kelas (MPK) SMAN 8 Pekanbaru, Punggawi II
Pasukan Khusus 8 Jaya (2005-2006), anggota divisi Public Relation HIMASIERA
(Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan
ix
Masyarakat) pada tahun 2009, anggota divisi Olahraga IKPMR (Ikatan Keluarga
Pelajar dan Mahasiswa Riau Bogor) Bogor (2008), Sekretaris HIMASIERA
(2010-2011), dan lain-lain.
Selama di kampus IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
Komunikasi Bisnis selama 1 semester. Penulis juga pernah mengikuti beberapa
seminar tingkat nasional serta aktif menjadi panitia di beberapa kegiatan di tingkat
nasional. Pada tahun 2010, penulis juga lolos dalam seleksi Program Kreativitas
Mahasiswa dan mendapatkan pendanaan dari DIKTI untuk merintis usaha Cup
Cake yang terbuat dari tape singkong sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan nilai ekonomis dari tape.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur diucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, kasih sayang, karunia, ridho, dan kenikmatan kepada penulis
dalam penyelesaian penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Perjuangan Petani
dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan Atas Lahan (Studi Kasus Desa
Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi)” di bawah Bimbingan Dr. Ir.
Rilus A. Kinseng, MA.
Tulisan ini menjadi salah satu syarat kelulusan mata kuliah KPM 499 dan
syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat. Dalam skripsi ini, penulis mencoba menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam memperjuangankan akses
dan penguasaan atas lahan, mengetahui permasalahan petani dalam
memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan, mengetahui bagaimana
strategi perjuangan yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan
penguasaan atas lahan, serta mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan strategi
yang digunakan petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.
Skripsi ini terbagi menjadi enam bab, terdiri dari Bab I yang berisi latar
belakang penulis melakukan penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Bab II yang memaparkan teori-
teori yang menjadi landasan penulis dalam melakukan penelitian. Bab III penulis
menguraikan mengenai metodologi penelitian yang digunakan untuk menyusun
skripsi. Lalu penulis menguraikan situasi serta kondisi lokasi penelitian yang
dituangkan dalam Bab IV. Hasil penelitian serta pembahasan dituliskan pada Bab
V. Skripsi ini diakhiri pada Bab VI yang berisi kesimpulan serta saran dari
penulis. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam meningkatkan khasanah ilmu
pengetahuan dan menjadi sumber rujukan dalam bidang gerakan sosial agraria.
Bogor, Februari 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi tepat pada
waktunya dengan judul “Strategi Petani dalam Memperjuangkan Akses dan
Penguasaan Atas Lahan (Kasus Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten
Sukabumi)”. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
karena adanya dari dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dosen pembimbing Dr. Ir. Rilus A. Kinseng yang telah membimbing,
memberi saran dan kritik yang membangun, serta memotivasi dan
meluangkan waktu untuk penulis meski pun sedang berada di Kanada.
2. Prof. Dr. Endriatmo, MA dan Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai penguji dalam
sidang skripsi penulis pada tanggal 4 Februari 2011.
3. Keluarga tercinta, khususnya Ayahanda Muhammad Syifried dan Ibunda
Niken Penta Dewi yang di sela-sela kesibukannya selalu mendengarkan
curahan hati penulis, selalu mendukung penulis dalam berbagai hal, memberi
motivasi, dan terus mengingatkan agar tidak putus asa karena hidup ini begitu
indah.
4. Adik kandung penulis, Geini Agni Swastiagri dan Ghafie Addina Ghani yang
selalu penulis rindu dan sayang.
5. Sahabat penulis, JOJOTIK yang terdiri dari Hardiyanti Dharma Pertiwi,
Marika Veraria Sianipar, Isma Rosyida, dan Mery Purnamasarie yang selalu
mengingatkan penulis dalam menyelesaikan Skripsi, menemani penulis
mencari literatur, serta menyemangati penulis dalam mengumpulkan data
penelitian. Selalu memberi keceriaan dalam menghadapi hari-hari, selalu ada
dikala penulis membutuhkan dukungan dan motivasi, selalu menghibur
penulis, dan selalu membuat hari-hari penulis menjadi lebih berwarna. Terlalu
banyak cerita, kenangan, dan kebahagiaan yang telah kalian berikan.
6. Om Edos yang membantu penulis dalam mengumpulkan data-data penelitian
dengan sabar.
xii
7. Eric Ekaputra yang hadir mengisi, menghibur, dan membantu penulis dalam
menata hati kembali serta menemukan keindahan rasa memiliki. Selalu
mendengarkan dengan setia cerita dan curahan hati penulis serta membantu
dan menuntun penulis menjadi manusia yang lebih baik lagi.
8. Om Joyo Winoto, Bu Yusi, dan pihak Brighten Institut yang mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi. Selalu terbuka dan ramah ketika penulis
datang untuk menyelesaikan skripsi. Menjadi salah satu tempat penulis
mencari literatur dan tempat mengerjakan skripsi yang nyaman.
9. Pak Endriatmo, Pak Shohibuddin, dan Pak Satyawan yang telah ikut
memudahkan penulis dalam mencari literatur mengenai kajian agraria.
10. Mas Muhammad Yusuf dan SAINS yang membantu penulis dalam mencari
literatur, menjadi pembimbing kedua dalam mengarahkan penulis melakukan
penelitian dan mengerjakan skripsi.
11. Teman-teman satu Departemen SKPM khususnya angkatan 44 yang tidak
bisa disebutkan satu persatu.
12. Semua pihak yang telah ikut membantu secara tidak langsung selama
menyelesaikan Skripsi ini.
Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dapat dijadikan
sumber referensi untuk penelitian berikutnya. Akhir kata, penulis mengharapkan
kritik dan saran membangun dari pembaca.
Bogor, Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1 1.2 Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian ...................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
2.1 Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani ................................ 7 2.2 Model Gerakan Strategi Perjuangan Petani ................................................. 11 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perjuangan Petani ............................. 15
2.3.1 Faktor Internal ...................................................................................... 15 2.3.2 Faktor Eksternal .................................................................................... 18
2.4 Tingkat Keberhasilan Perjuangan Petani..................................................... 20 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................... 21 2.5 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 23
2.5.1 Hipotesis Uji ......................................................................................... 23 2.5.2 Hipotesis Pengarah ............................................................................... 24
2.6 Definisi Operasional .................................................................................... 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 28
3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................................. 28 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 29 3.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 30 3.4 Teknik Analisis Data ................................................................................... 31
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI ........................................................... 32
4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan ................................................. 32 4.2 Demografi Desa ........................................................................................... 33 4.3 Mata Pencaharian Penduduk ....................................................................... 34 4.4 Sarana dan Prasarana ................................................................................... 36 4.5 Sejarah Desa Cisarua ................................................................................... 36
xiv
BAB V STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN KEBERHASILANNYA ....................................................................................... 38
5.1 Petani dan Permasalahannya ....................................................................... 38 5.2 Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua .................................................... 48 5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani ....... 56 5.4 Tingkat Keberhasilan Petani........................................................................ 68
BAB VI PENUTUP .............................................................................................. 73
6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 73 6.2 Saran ............................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 76
LAMPIRAN .......................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
Tabel 1. Luas Tanah Berdasarkan Kegunaan di Desa Cisarua Tahun 2008.......................................................................................
32
Tabel 2. Persentasi Penduduk di Desa Cisarua Berdasarkan Etnis Tahun 2008............................................................................
33
Tabel 3. Jumlah dan Jenis Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Cisarua Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008..................
34
Tabel 4. Jumlah dan Persentasi Petani Berdasarkan Aset Tanah Desa Cisarua Tahun 2008......................................................
35
Tabel 5. Hasil Uji SPSS Rank Spearman Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Keterlibatan Petani dalam Upaya Mendapatkan Lahan Garapan...............................................
65
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
Gambar 1. Model mobilisasi Tilly, From Mobilization to Revolution.... 13
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................ 23
Lampiran I
Gambar 1. Kawasan Pertanian Naimin…............................................... 89
Gambar 2. Tanaman Cabe....................................................................... 89
Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura.................................................. 89
Gambar 4. Tanaman Bunga Kol.............................................................. 89
Gambar 5. Sketsa Peta Desa Cisarua.......................................................... 89
Gambar 6. Penanda Kawasan Lindung................................................... 89
Gambar 7. Budidaya Cabe...................................................................... 89
Gambar 8. Kawasan Pertanian................................................................ 89
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris tentu menggantungkan masa depannya
pada pertanian. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya penduduk Indonesia yang
tinggal di perdesaan dengan matapencaharian sebagai petani. Namun sangat
disayangkan kondisi petani di Indonesia sangat memprihatinkan. Hal ini
dipengaruhi oleh besarnya luas lahan yang dapat digarap oleh petani. Berdasarkan
data tahun 1983 dan 1993 menunjukkan, luas lahan garapan per keluarga petani di
Jawa telah mengalami penurunan dari 0,58 hektar menjadi 0,48 hektar1. Luasan
ini semakin hari semakin menurun. Hal ini juga dibuktikan pada pemaparan
program kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II, Suswono sebagai Menteri
Pertanian RI juga menyatakan bahwa rata-rata luas lahan pertanian yang dimiliki
oleh petani hanyalah 0,3 hektar dengan luas ideal tanah garapan seluas 2 hektar
per kepala keluarga2. Dengan luasan sebesar itu, petani tidaklah mungkin dapat
hidup sejahtera. Perlu dilaksanakan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan
masalah salah satunya ialah reforma agraria.
Kecilnya ukuran luas lahan yang dimiliki oleh petani tak lepas dari sejarah
yang melatarbelakanginya. Pada jaman penjajahan dahulu, ribuan hektar tanah
petani diambil paksa oleh penjajah. Hal ini membuat rakyat Indonesia menderita
kelaparan dan ketidakberdayaan. Hingga masa kemerdekaan pun, keadaan petani
dan permasalahan tanah tidak membaik. Petani tetap dijadikan buruh di
perkebunan-perkebunan besar dengan kehidupan yang jauh dari ambang sejahtera.
Hanya segelintir orang saja yang merasa diuntungkan atas perkebunan tersebut.
Menurut Hafid (2001), persoalan tanah makin krusial akibat keluarnya UU
Pokok Kehutanan (No.5/1967) dan UU Pokok Pertambangan (No. 7/1967) karena
UU ini dianggap tidak sejalan dengan UUPA No.5/1960. Dengan adanya UU
tersebut, hak dan kepentingan rakyat kecil menjadi semakin tergeser karena segala
bentuk pembangunan yang dilakukan hanya untuk mengejar keuntungan pemodal
besar. Protes petani untuk mendapatkan hak-haknya tidak didengar oleh 1 Diambil dari www.amline.edu/apakabar/basisdata/1997/09/17/0038.html 2 Diambil dari http://donnytobing.wordpress.com/2010/02/07/100-hari-pemerintahan-kib-jilid-ii/
2
pemerintah dan malah dianggap sebagai tindakan pidana dengan menentang
kebijakan pembangunan nasional.
Masih sedikit sekali upaya yang dilakukan pemerintah dalam
mengakomodasi kepentingan petani. Hal yang dilakukan pemerintah hanyalah
menyelesaikan masalah-masalah kecil tanpa membongkar masalah utama, hal ini
dilakukan semata-mata hanya untuk menentramkan keadaan. Awalnya petani
hanya bisa pasrah dan tunduk atas perjanjian yang dilakukan akibat kekuatan
senjata yang dimiliki.
Mengacu pada pasal 33 yang berbunyi “bumi, air, tanah, dan sumberdaya
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” seharusnya
segala objek agraria digunakan untuk mensejahterakan hidup rakyat Indonesia.
Masyarakat dalam hal ini ialah petani sangat berharap agar hidup mereka menjadi
lebih baik dan mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali. Namun pada
kenyataannya, kehidupan petani tidak berubah sama sekali. Mereka tetap menjadi
buruh dan kuli angkut meski perkebunan-perkebunan telah dimiliki oleh Negara.
Hal ini membuat masyarakat semakin menelan kekecewaan.
Menurut Mustain (2007), konflik pertanahan di perdesaan umumnya
bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik negara maupun swasta)
dengan rakyat petani. Perusahaan perkebunan milik negara tersebar diberbagai
penjuru Nusantara, salah satunya terletak di Jawa Barat. Perusahaan ini berstatus
sebagai sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perkebunan milik negara
ini memiliki berbagai komoditi seperti kelapa sawit, teh, kakao, karet, kina, dan
gutta percha. Namun komoditi terbesar yang dihasilkan perkebunan yang terletak
di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Sukabumi ini ialah teh dengan total produksi
sekitar 61.072 ton per tahun. Jawa Barat menyumbang 60 persen dari produksi teh
nasional3. Untuk kebun teh, perkebunan milik negara ini tersebar di beberapa unit
kebun dengan total luas 25.981 hektar. Salah satunya ialah yang ada di Desa
Cisarua, Kabupaten Sukabumi.
Masyarakat di sekitar perkebunan teh ini hidup bergantung kepada
kegiatan perkebunan. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
buruh di perkebunan tersebut sebagai pemetik teh dan buruh tani. Masyarakat di
3 Diambil dari www.kpbptpn.co.id/profileptpn pada tanggal 19 Juni 2010 pukul 17.40 wib
3
daerah ini sangat sedikit yang bermatapencaharian sebagai petani yang bercocok
tanam sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh lahan karena lahan di wilayah desa ini
merupakan HGU untuk perkebunan milik negara. Selain itu, latar belakang
masyarakat yang ada di daerah tersebut berasal dari daerah lain yang didatangkan
khusus untuk menjadi buruh. Bekerja di perkebunan merupakan suatu tradisi
turun temurun yang dilakukan masyarakat sekitar. Meski masyarakat telah bekerja
secara turun temurun sejak puluhan tahun yang lalu, nasib masyarakat di daerah
tersebut tidak banyak berubah. Mereka tetap hidup dalam batas kecukupan untuk
keperluan sehari-hari ditambah dengan biaya hidup yang tinggi.
Sejak jatuhnya rezim Soeharto, petani di Indonesia mulai berani
melakukan aksi perlawanan. Petani melakukan berbagai upaya untuk
mendapatkan akses dan hak atas tanah mereka karena lawan meraka tidak
tanggung-tanggung yaitu pemodal besar yang didukung oleh Pemerintah bahkan
perusahaan milik negara yang seharusnya memperhatikan nasib rakyatnya.
Perjuangan untuk mendapatkan tanah untuk petani bukanlah hal yang mudah.
Dibutuhkan strategi yang tepat dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas
tanah. Strategi yang diterapkan tidaklah sama di tiap lokasi. Strategi yang
diterapkan haruslah disesuaikan dengan karakteristik sosial dan masalah yang
dihadapi.
Hingga kini, banyak terdapat permasalahan sengketa tanah yang telah
terjadi di wilayah perkebunan milik negara di Goalpara baik yang telah selesai
maupun yang belum terselesaikan. Seperti yang terjadi pada tahun 2009 dimana
warga mematoki 76 hektar lahan perkebunan karena petani merasa tanah tersebut
sah secara hukum milik petani4. Kasus ini telah berlangsung sejak tahun 1970 dan
hingga kini belum jelas keberadaannya. Adapula masyarakat yang dapat
mengolah lahan perkebunan dengan luas total 25 hektar. Petani sebagai pihak
yang merasakan langsung dampak ketiadaan akses dan penguasaan tanah menjadi
pihak yang paling dirugikan. Hal tersebut menjadi urgensi dari penelitian
mengenai strategi petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas
tanah.
4 Diambil dari www.republika.co.id pada tanggal 22 juni 2010 pukul 19.15 wib.
4
1.2 Pertanyaan Penelitian
Penyelesaian masalah agraria hingga saat ini hanya sampai pada taraf
menenangkan keadaan dan menyelesaikan masalah-masalah kecil tanpa
menyelesaikan permasalahan utama. Berdasarkan paparan di atas penting
bahwasanya mengetahui strategi petani dalam upaya mendapatkan akses dan
penguasaan lahan di Desa Cisarua dikaji secara lebih mendalam dengan berbagai
perspektif sehingga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bentuk
solusi dan rekomendasi bagi permasalahan agraria yang ada di Indonesia dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, khususnya
petani. Hal ini disebabkan karena petani sebagai pihak yang merasakan dampak
langsung ketiadaan akses dan penguasaan lahan. Untuk mencapai tujuan tersebut
maka diperlukan strategi yang tepat untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas
maka dirumuskanlah beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Permasalahan apa sajakah yang dihadapi petani di wilayah Desa Cisarua,
Kabupaten Sukabumi yang berhubungan dengan akses dan penguasaan atas
lahan?
2. Bagaimanakah strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan
akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua, Kabupaten
Sukabumi?
3. Apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan dengan strategi petani dalam
memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua,
Kabupaten Sukabumi?
4. Sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan petani dalam
memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan di wilayah Desa Cisarua,
Kabupaten Sukabumi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk:
1. Mengetahui permasalahan petani di Desa Cisarua yang berhubungan dengan
akses dan penguasaan atas lahan.
2. Mengetahui bagaimana strategi perjuangan yang digunakan petani dalam
memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.
5
3. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan strategi yang
digunakan petani dalam memperjuangankan akses dan penguasaan atas
lahan.
4. Mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan strategi yang digunakan
petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat untuk mahasiswa selaku
pengamat dan akademisi, masyarakat dan pemerintah. Adapun manfaat yang
dapat diperoleh yaitu:
1. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini memberikan contoh kongkret pada mahasiswa tentang tingkat
keberhasilan petani petani dalam memperjuangkan akses dan penguasaan
atas lahan. Selain itu, membuka wawasan mahasiswa mengenai masalah
yang dihadapi petani dalam hal akses dan penguasaan atas lahan.
2. Bagi Masyarakat
Melalui penelitian ini, masyarakat khususnya petani yang akan melakukan
perjuangan agar lebih dapat memilih dan mengetahui jenis-jenis strategi
yang dapat digunakan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan
demi mensejahterakan hidup. Masyarakat agar dapat lebih mengetahui
permasalah yang dihadapi petani karena ketiadaan akses dan penguasaan
atas lahan serta strategi yang digunakan petani dalam memperjuangkan hak
dan penguasaan atas lahan tersebut.
3. Bagi Perguruan Tinggi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan dalam bidang
gerakan sosial agraria khususnya mengenai strategi yang digunakan petani
dalam menyelesasikan masalahnya dalam memperjuangkan hak dan
penguasaan atas lahan. Hal ini juga dapat memacu intelektualitas di
kalangan mahasiswa serta dapat meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan.
4. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan strategi petani dalam
6
memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan serta menambah
informasi pemerintah mengenai strategi perjuangan petani dalam
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang Terjadinya Gerakan Perjuangan Petani
Peran negara yang semakin meluas dalam proses transformasi perdesaan
menurut Scott (1993) mengakibatkan: (1) perubahan hubungan antara petani
lapisan kaya dan lapisan miskin, (2) munculnya realitas kaum miskin untuk
membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang
merupakan pembelotan kultural, dan (3) terbangunnya senjata gerakan perlawanan
menghadapi kaum kaya maupun negara seperti menghambat, pura-pura menurut,
pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, membuat skandal,
membakar, memfitnah, sabotase, dan mengakhiri pertentangan secara kolektif.
Terdapat dua aspek pokok yang menjadi pemicu gerakan perlawanan petani
model Scottian, yaitu: (1) gerakan ini merupakan aksi defensif terhadap
perubahan yang dianggap akan mengancam kelangsungan hidup para petani yang
berada dalam kondisi subsisten dan (2) dalam gerakan perlawanan petani, faktor
pemimpin gerakan merupakan faktor kunci dan pemimpin gerakan ini biasanya
dari kalangan elite desa dan patron.
McAdam dkk (2001) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa gerakan
sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, transisional
menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk merespon,
memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya yang ada sehingga
memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara
para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan
kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi.
Scott (1981) menjelaskan mengenai alasan petani marah yang
dikemukakan Barrington Moore disebabkan oleh pembebanan atau tuntutan baru
yang secara tiba-tiba merugikan banyak orang sekaligus dan melanggar aturan
serta adat istiadat yang diterima. Hal ini dapat membangkitkan solidaritas
pemberontakan atau revolusi di setiap jenis masyarakat petani karena tidak ada
satu pun tipe masyarakat petani yang kebal terhadap pemberontakan atau revolusi.
8
Meskipun demikian, ada variasi dalam potensi eksplosif yang dapat dihubungkan
dengan tipe-tipe masyarakat petani.
Para petani biasanya bersedia mengambil resiko dengan mengadakan
konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat
ditoleransi, bila tuntutan akan kebutuhan mereka melonjak secara tiba-tiba, serta
bila institusi lokal dan nasional dan kondisi kultural cenderung meminta mereka
untuk menggunakan jubah kolektif (Ecstein, 1989 dalam Mustain, 2007). Gerakan
menurut Landsberger (1973) dalam Mustain (2007) lebih banyak terjadi di desa
karena sering mendapatkan dukungan dari petani dan petani merupakan korban
modernisasi sehingga setiap gerakan selalu didukung petani. Di Meksiko,
Eckstein (1989) dalam Mustain (2007) menunjukkan bahwa revolusi agraris
ditentukan oleh ikatan-ikatan desa dan otonomi institusi-institusi lokal dan tak
terlampau menonjolkan dasar mobilitas perdesaan.
Popkin (1979) menyatakan bahwa gerakan perlawanan petani lebih karena
faktor determinan individu, bukan kelompok. Setiap manusia ingin menjadi kaya.
Biang keladi atas terjadinya perlawanan para petani tradisional datang dari
penetrasi kapitalisme ke kawasan perdesaan yang dalam banyak kasus melahirkan
eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh Negara dan kaum
kapitalis. Gurr (1970) dalam Mustain (2007) juga meman dang faktor frustasi
dan pengurangan hak relatif yang terjadi dalam masyarakat petani dengan pihak
lain menjadi pendorong bagi petani melakukan perlawanan. Kornhouser (1959)
dalam Mustain (2007) memandang faktor keterasingan dan anomi yang dialami
warga petani oleh karena mereka justru semakin miskin dan terpinggirkan.
Mustain (2007) mengutip Wolf (1969) menyatakan bahwa petani kelas
menengah menjadi pelopor pendukung gerakan petani karena petani kelas
menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar,
tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar
dunia. Hal ini tidak seperti petani miskin dan buruh perkebunan karena mereka
tidak memiliki basis ekonomi yang independen dan sumber daya politik taktis
(Siahaan, 1996 dalam Mustain, 2007).
Pernyataan tersebut dibantah oleh Jeffery Paige (1975) dalam Mustain
(2007) karena Wolf dianggap tidak melihat adanya tanda-tanda konflik. Konflik
9
di daerah pertanian merupakan konflik yang terjadi antara dua kelompok, yaitu
kelompok kelas atas atau yang disebut kelompok petani bukan penggarap dan
kelompok kelas bawah atau kelompok petani penggarap tanah. Konflik tersebut
muncul karena kedua kelompok mempunyai kecenderungan perilaku ekonomi
politik yang berbeda. Perilaku ekonomi politik tersebut dipengaruhi oleh sumber
penghasilan. Kelompok pertama mempunyai sumber penghasilan yang berasal
dari tanah dan kelompok kedua memiliki sumber penghasilan dari tanah dan upah.
Popkin (1979) menyebutkan bahwa semua perlawanan petani tidaklah
dimaksudkan untuk menentang program Negara tapi lebih dimaksudkan untuk
menentang kekuasaan elite desa (petani kaya) yang selama ini mengklaim
komunitas tradisional, padahal lebih untuk mempertahankan tatanan demi
keuntungan mereka. Penelitian Popkin di Vietnam menemukan bahwa: (1)
gerakan yang dilakukan petani adalah gerakan antifeodal, bukan untuk
mengembalikan tradisi lama tapi untuk membangun tradisi baru, (2) tidak ada
kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsisten dan tindakan kolektif,
dan (3) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman
kelas.
Asumsi pendekatan ekonomi-politik menyatakan bahwa gerakan
perlawanan petani sebenarnya didasari oleh pertimbangan rasional individual para
petani terhadap perubahan yang dikalkulasikan akan merugikan dan bahkan
mengancam mereka atau, sekurang-kurangnya, perubahan ini dinilai menghalang-
halangi usaha yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan taraf hidup dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa petani juga berorientasi ke masa depan (Mustain,
2007).
Pernyataan ahli lain seperti Race (1972) dalam Mustain (2007)
menyatakan bahwa aksi perlawanan petani biasanya untuk memenuhi kepentingan
materi dan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
petani akan melakukan aksi atau perlawanan berpatokan dengan adanya insentif
selektif dan petani akan menghitung waktu partisipasi mereka menurut insentif
yang tersedia. Didukung oleh Migdal (1974) dalam Mustain (2007), jika ada
sejumlah insentif selektif, para petani akan membandingkan antara perolehan
10
meteri dan resiko yang ditawarkan oleh organisasi swasta yang berbeda atau oleh
negara.
Olson (1971) dalam Mustain (2007) menjelaskan bahwa ia mengkritik
argumen bahwa organisasi petani dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut
dapat menyeimbangkan antara pertimbangan insentif selektif dengan barang
kebutuhan umum karena pergolakan petani menentang kekuasaan pasar tidaklah
selalu mendorong pemberontakan petani. Perilaku menentang juga dapat terjadi
pada tingkat individual dan berdasarkan untung rugi yang akan ditanggungnya
dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Olson mengatakan bahwa aksi
kolektif sangat berhubungan dengan tujuan dan manfaat aksi bagi aktor. Orang
melakukan gerakan lebih banyak didasari oleh pilihan rasionalnya. Hal ini
diperdalam oleh Salert (1976) dalam Mustain (2007) dengan menjelaskan alasan
pilihan rasional itu relevan terhadap aksi revolusioner karena teori ini melibatkan
sifat efek faktor psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan partisipasi orang
dalam aksi kolektif dan teori ini dapat difokuskan pada proses pembentukan
putusan sebelum melakukan aksi kolektif yang kemudian akan membentuk
pengalaman sosial yang akan mengakibatkan perubahan perilaku sebagian
masyarakat.
Menurut Mustain (2007), latar belakang terjadinya konflik pertanahan di
perdesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan dan
petani. Seperti yang melatarbelakangi perjuangan petani di PTPN VII Kalibakar,
yaitu: (a) kemarahan petani akan janji dikembalikannya tanah nenek moyangnya,
(b) ketidakjelasan dan ketidaksesuaian penjelasan pihak PTPN XII dan BPN
tentang luas lahan, (c) muncul dan meluasnya kesadaran “bersalah” karena tidak
mampu mempertahankan tanah hasil perjuangan leluhurnya, (d) manajemen
PTPN XII tidak akomodatif dan sensitif dengan tekanan tenaga kerja lokal, (e)
kejanggalan data HGU PTPN XII, dan (f) perilaku arogan dan over acting dari
para sinder dan mandor perkebunan.
Menurut Hafid (2001), perjuangan petani di Jenggawah terjadi akibat
akumulasi kekecewaan, ketertindasan, serta keterpurukan tenaga dan harga diri
petani. Petani juga masih dicap sebagai PKI sehingga mereka mengalami
penyiksaan dan diskriminasi dari pemerintah dan perkebunan.
11
Sitorus (2006) menyatakan bahwa perjuangan petani yang berada di
daerah hutan dipicu oleh keluarnya klaim negara atas hutan tersebut. Seperti yang
terjadi di Sulawesi Tengah dimana hutan-hutan tersebut diklaim menjadi Taman
Nasional. Dengan berubahnya status tanah hutan tersebut dari rezim terbuka
menjadi akses tertutup, masyarakat yang bermukim di wilayah ini menjadi
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka dilarang untuk
melakukan berbagai macam kegiatan di dalam area Taman Nasional. Hal ini
membuat masyarakat adat menjadi pihak yang terpinggirkan dan tidak
diperhitungkan kepentingannya. Hal ini mendukung pendapat Wignjosoebroto
(2002) dalam Mustain (2007) bahwa terjadi benturan antara dua hukum, yaitu
hukum negara dan hukum rakyat sehingga memunculkan cultural conflict.
Bachriadi dan Lucas (2001) menyatakan bahwa penderitaan yang
dirasakan petani juga bisa berasal dari ambisi pejabat Negara. Aksi sepihak yang
dilakukan pejabat dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Tapos, dimana Presiden
ingin memiliki area untuk tempat bertani dan beristirahat. Untuk mewujudkan
keinginannya tersebut, presiden melakukan penggusuran terhadap ratusan
keluarga petani penggarap pada tahun 1971. Di Cimacan, penggusuran terhadap
ratusan keluarga petani karena akan dibangunnya lapangan Golf dan sarana
pariwisata.
2.2 Model Gerakan Strategi Perjuangan Petani
Teori Moral Ekonomi Scottian dipelopori oleh James C. Scott (1981)
memandang model gerakan perlawanan kaum petani sebagai model perlawanan
“Gaya Asia” dimana gerakan petani miskin yang lemah dengan organisasi yang
anonim, bersifat nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk
perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan
penuh kesabaran dan kehati-hatian, mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura
sakit dan bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Hal ini sangat sesuai dengan
karakteristik petani yang lemah karena tidak membutuhkan koordinasi atau
perencanaan. Dalam penelitian ini teori Scott hanya digunakan sebagai rujukan
pola perjuangan petani, bukanlah sebagai rujukan mengenai latar belakang
12
perjuangan petani yang mempertimbangkan keharmonisan serta moral
kebersamaan.
Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguh-
sungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Perlawanan “insidental”
ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat
untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner,
dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem
dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan:
(a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih,
(c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau
tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa
apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai
perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan
definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi
bersama.
Gurr (1970) dalam Mustain (2007) membagi gerakan petani terhadap
rezim politik merupakan kekerasan politik yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: (1)
kekacauan (turmoil), (2) persengkongkolan (conspiracy), dan (3) perang saudara
(internal war). Kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota masyarakat marah
karena kondisi praktis dan kondisi budaya yang ada seperti terjadinya jurang
pemisah antara barang dan kesempatan yang mereka anggap sebagai hak
sebenarnya atau biasa dikenal dengan deprivasi relative sehingga merangsang
terjadinya agresi terhadap sasaran politik.
Ecstein (1989) dalam Mustain (2007) menyatakan, meskipun petani
tampaknya pasif, sungkan, dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi yang
tidak mereka sukai melalui cara mengurangi produksi, atau tidak mengindahkan
informasi-informasi penting dari para penindasannya. Bentuk perlawanan secara
diam-diam atau terselubung lebih umum dilakukan daripada melawan secara
terang-terangan.
Tilly mendefinisian aksi kolektif sebagai aksi sekelompok orang secara
bersama dalam mencapai kepentingan bersama. Tilly menggunakan dua model:
“Model Masyarakat Politik” dan “model mobilisasi”. Model masyarakat politik
13
adalah pemerintah dan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan.
Model kedua, yaitu model mobilisasi dirancang untuk menjelaskan pola aksi
kolektif yang dilakukan oleh aktor yang mengacu pada kepentingan kelompok,
tingkat pengorganisasian, besarnya sumberdaya yang ada di bawah kendali
kolektif dan kesempatan dan ancaman yang dipakai oleh pesaing-pesaing tertentu
dalam hubungannya dengan pemerintah dan kelompok pesaing lainnya (Skocpol,
1991 dalam Mustain 2007). Model mobilisasi menurut Tilly terdiri dari beberapa
unsur, yaitu organization, interest, repression, power, opportunity, dan collective
action, yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Model mobilisasi Tilly, From Mobilization to Revolution. Sumber: Mustain (2007)
Untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang
tepat. Terdapat dua bentuk strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani, yaitu:
(1) melalui jalur hukum dan (2) aksi massa secara langsung oleh petani. Aksi
massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) reklaiming;
(2) ekspansi anggota baru; (3) dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan (4)
aksi demonstrasi.
Dalam Mustain (2007) dipaparkan bahwa bentuk strategi yang dilakukan
petani melalui aksi massa dan spontan dapat dilihat pada kasus yang terjadi di
Desa Simojayan, dimana petani melakukan pembabatan terhadap tanaman kakao
yang berada di dalam wilayah PTPN VII. Petani melakukan aksi pembabatan
organization
Collective action
mobilization
Opportunity/threat
power
Repression/facilitation
interest
14
selama tiga hari dengan hasil pembabatan seluas 250 hektar tanah perkebunan.
Kasus gerakan petani di Desa Tirtoyudo bersifat terencana dengan bentuk strategi
yang dilakukan ialah melalui jalur hukum dan aksi massa. Gerakan petani bersifat
terencana karena petani melakukan berbagai persiapan seperti pertemuan dan
rapat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bentuk aksi klaim secara
langsung dilakukan oleh petani disebabkan oleh bentuk stategi pertama yaitu
melalui jalur hukum tidak ditanggapi oleh instansi terkait.
Kasus yang terjadi di Jenggawah menurut Hafid (2001), juga masuk dalam
kategori bentuk strategi yang bersifat terencana dengan menggunakan strategi
hukum dan aksi langsung. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertemuan yang
dilakukan para tokoh untuk menyatukan visi, misi, dan persepsi. Para tokoh juga
melakukan diskusi tentang kelemahan dari HGU PTPN X. Strategi melalui jalur
hukum dilakukan dengan mengirim surat dan melakukan berbagai pertemuan
dengan pejabat dan instansi terkait.
Strategi petani yang dilakukan di Desa Tirtoyudo dimana terdapat tanah
rakyat yang kemudian diambilalih dan dijadikan HGU oleh pemerintah, menurut
Mustain (2007) dibagi menjadi dua tahap: (1) tahapan pra-reklaiming, berkaitan
dengan upaya mobilisasi dan pendayagunaan potensi struktural, institusi sosial,
budaya, serta agama yang ada, dan (2) tahapan pasca reklaiming yang dibagi lagi
menjadi empat bentuk strategi yang dilakukan petani. Adapun keempat bentuk
strategi tersebut adalah: (a) menguasai tanah terlebih dahulu melalui aksi
reklaiming, (b) memperjuangkan pengakuan secara hukum sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku, (c) strategi pengorganisasian gerakan dengan
membentuk Forkotmas, dan (d) strategi mendapatkan dan mempertahankan
pengakuan sosial.
Menurut Sitorus (2006), berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, tipologi
reforma agraria dibagi menjadi tiga yaitu: (1) aneksasi, (2) integrasi, dan (3)
kultivasi. Pembagian tipologi reforma agraria dari bawah ini merujuk pada cara
mendapatkan akses terhadap tanah. Tipe aneksasi dimana masyarakat secara
langsung menempati kawasan hutan negara secara paksa dan illegal untuk
kegiatan pertanian. Tipe aneksasi dapat dilihat dalam kasus di Dongi-dongi
dimana masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara
15
paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. Tipe kedua ialah tipe integrasi dimana
gerakan yang dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan komunitas
lokal dalam manajemen sumberdaya hutan seperti yang terjadi di Toro. Tipe yang
ketiga ialah tipe kultivasi, menggabungkan kedua tipe aneksasi dan integrasi. Pada
satu sisi, tanah direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh
penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual
dikelola sebagai bagian dari taman nasional seperti di Sintuwu dimana penduduk
merambah kawasan hutan negara dan melakukan aksi unjuk rasa untuk
memperjuangkan hak mereka.
Shohibuddin (2007) menjelaskan bahwa masyarakat Toro melakukan empat
agenda strategis, yaitu: (1) tahap pembentukan landasan; (2) tahap perjuangan
untuk memperoleh pengakuan; (3) tahap konsolidasi lebih lanjut; (4) tahap
diseminasi keluar.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Strategi Perjuangan Petani
2.3.1 Faktor Internal
Untuk mencapai tujuan petani biasanya menggunakan penggalangan
massa karena semakin besarnya jumlah massa yang ikut maka akan semakin
didengar suara mereka. Namun menurut Wolf (1966) dalam Mustain (2007)
terdapat beberapa faktor yang membuat gerakan petani sulit untuk mendapatkan
massa yaitu: (1) kurang adanya kerjasama antar sesama petani dalam mengelola
tanah, (2) terjebak dalam rutinitas irama pekerjaan sektor pertanian, (3) lebih
berorientasi ke jenis tanaman lokal dari pada komersial, (4) terbuai dengan sifat
komunalitas kekerabatan sehingga rentan terhadap perubahan, (5) tidak
mempunyai orientasi kepentingan yang jelas, (6) orientasi ke “in-group” lebih
kuat sehinggga kurang tertarik terhadap pengetahuan dari luar yang mestinya
dibutuhkan untuk mengungkapkan kepentingannya. Sikap petani seperti itu
dikarenakan para petani lebih mengedepankan semangat komunalisme dengan
mengedepankan nilai-nilai pemerataan terhadap sumber-sumber yang kian
terbatas (Scott, 1981). Scott (1993) juga mengungkapkan rintangan petani untuk
melakukan perlawanan kolektif yaitu: (1) rumitnya struktur kelas setempat
sehingga menghalangi pendapat kolektif, (2) rasa takut terhadap pembalasan atau
16
penahanan sehingga petani lebih memilih bersikap rendah hati, dan (3) “tekanan
setiap hari” dimana tidak ada kemungkinan yang realistis untuk secara langsung
atau kolektif menata kembali keadaannya sehingga si miskin tidak ada pilihan lain
kecuali menyesuaikan diri.
Petani tidak mau ikut gerakan perlawanan meski sedang berada dalam
krisis subsistensi jangka pendek yang diakibatkan oleh perubahan yang dihasilkan
oleh penetrasi kapitalis karena tidak tercapainya kesepakatan antar petani dalam
melakukan aksi bersama, juga adanya penilaian bahwa cara-cara perlawanan
dianggap tidak akan bisa menyelesaikan masalah, masih ada cara lain yang dinilai
labih baik seperti kompromi yang diperhitungkan lebih menguntungkan (Popkin,
1979).
Mustain (2007) mengutip Wolf (1969) menyatakan bahwa petani kelas
menengah menjadi pelopor pendukung gerakan petani karena petani kelas
menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar,
tingginya tingkat bunga, dan perubahan-perubahan lain yang diakibatkan pasar
dunia. Hal ini tidak seperti petani miskin dan buruh perkebunan karena mereka
tidak memiliki basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis
(Siahaan, 1996 dalam Mustain, 2007).
Untuk melakukan perlawanan atau tindakan kolektif yang terorganisasi,
petani harus memiliki pengaruh internal yang menurut Skocpol (1991) dalam
Mustain (2007) pengaruh internal dipengaruhi oleh: (1) jenis solidaritas petani, (2)
kemampuan membebaskan diri dari kontrol sehari-hari tuan tanah dan kaki
tangannya, (3) pengendoran sanksi-sanksi kerja paksa dari Negara terhadap
pemberontakan petani. Pengaruh internal yaitu kemampuan untuk melakukan
tindakan kolektif yang terorganisasi terhadap orang-orang yang memeras mereka.
Ada dua tipe organisasi petani dalam melakukan perlawan, yaitu: (1)
organisasi yang muncul dari dalam kelompok petani sendiri untuk mengatur
dirinya sendiri, dan (2) organisasi yang muncul dari luar. Keberhasilan organisasi
yang mengorganisasi dirinya sendiri berdasarkan ketidaksepakatan bersama dan
organisasi yang muncul dari luar keberhasilannya memerlukan mekanisme dengan
melaksanakan peraturan tertentu seperti kemampuan dalam mengundang para
17
pengikutnya untuk berpartisipasi secara aktif (Lichbach, 1994 dalam Mustain,
2007).
Strategi perekrutan anggota adalah aspek yang dipengaruhi oleh insentif
selektif. Strategi perekrutan ini ditemukan dalam pemberontakan petani yang
terorganisasi. Insentif selektif digunakan untuk mengundang para pengikut untuk
berpartisipasi aktif. Menurut Mustain (2007), untuk memperjuangkan tanah petani
mengalami berbagai problematika internal seperti timbulnya sikap saling curiga
antar sesama petani yang kemudian mempengaruhi soliditas gerakan petani,
munculnya kesenjangan sosial, golongan kaum borjuis, hingga problematika masa
depan pertanian yang makin tergeser akibat adanya pergeseran beberapa sektor
pembangunan yang menjadi tumpuan penggerak utama ekonomi nasional. Pada
awalnya pembangunan bertumpu pada sektor pertanian, kemudian kini bertumpu
pada sektor industri dan jasa karena dianggap mempunyai nilai tambah untuk
memacu pertumbuhan ekonomi.
Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor
internal yang mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam suatu program ialah
hal yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu
tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu tersebut
mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan
pengalaman berkelompok.
Silaen (1998) dalam Wicaksono (2010) menyatakan bahwa semakin tua
umur seseorang maka penerimaannya terhadap hal-hal baru semakin rendah. Hal
ini karena orang yang masuk dalam golongan tua cenderung selalu bertahan
dengan nilai-nilai lama sehingga diperkirakan sulit menerima hal-hal yang
sifatnya baru. Tamarli (1994) dalam Febriana (2008) juga menyatakan bahwa
umur merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi. Semakin tua seseorang,
relatif berkurang kemampuan fisiknya dan keadaan tersebut mempengaruhi
partisipasi sosialnya. Oleh karena itu, semakin muda umur seseorang, semakin
tinggi tingkat partisipasinya dalam suatu kegiatan atau program tertentu.
Ajiswarman (1996) dalam Wicaksono (2010) menyatakan tingkat
pendidikan mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap sesuatu hal yang baru.
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk
18
menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jumlah beban tanggungan juga
dinyatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi. Seperti yang
diungkapkan Ajiswarman (1996) dalam Febriana (2008), semakin besar jumlah
beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan
berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi
memenuhi kebutuhan keluarga. Nurlela (2004) dalam Wicaksono (2010)
mengungkapkan bahwa tingkat pendapatan seseorang tidak mempengaruhi
partisipasi orang dalam suatu kegiatan.
2.3.2 Faktor Eksternal
Dalam Mustain (2007) dijelaskan mengenai proses memobilisasi suatu
gerakan perlawanan dipengaruhi oleh seorang aktor yang berpeluang
mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal. McAdam juga
mengemukakan bahwa terdapat hambatan dalam memobilisasi struktural dalam
mobilisasi gerakan harus memperhatikan kesempatan dan ancaman yang disebut
the repertoire of contention dimana suatu jalan yang secara budaya menandakan
saat orang-orang berinteraksi dalam pertikaian politik. Hal ini juga didukung oleh
Ecskein (1989) dalam Mustain (2007) bahwa penting untuk memerhatikan faktor
kekuatan dan tekanan Negara. Tilly (1978) dan Wolf (1969) dalam Mustain
(2007) juga mengatakan bahwa pemberontakan tidak akan terjadi jika situasinya
benar-benar tidak mendukung. Hal ini didukung dengan pernyataan Arif, 2002;
Anshori, 2003; Wignjosoebroto, 2002 dalam Mustain, 2007 bahwa yang
mempengaruhi strategi perjuangan petani ialah persoalan hukum dalam penataan
tanah yang hingga era reformasi masih problematik.
Pemerintah, swasta, dan kelompok lain yang memberontak dapat
memberikan insentif selektif dan berhak bergabung dengan gerakan wilayah
tertentu daripada organisasi lain berdasarkan tersedianya intensif selektif. Negara
mempengaruhi tingkat insentif selektif dalam perbedaan kolektif dengan cara
tertentu. Cara yang optimal untuk menawarkan insentif selektif adalah dengan
menjadi supplier tunggal atau monopoli. Organisasi petani yang mempunyai akses
khusus untuk mendapatkan insentif selektif terbukti lebih berhasil memobilisasi
pengikutnya dibandingkan dengan kelompok yang tidak mempunyai akses.
19
Organisasi yang memberontak jika tidak mampu memasuki perang tawar-
menawar perlu menjauhi rezim. Hal ini disebabkan rezim dapat mengalahkan
dengan mudah organisasi tersebut (Mustain, 2007). Ditambahkan bahwa
pemberian insentif selektif tanpa faktor lain tidak akan pernah cukup untuk
mendukung suatu pemberontakan petani dan barang kebutuhan umum tanpa
didukung oleh hal lain juga tidak akan pernah cukup untuk memulai suatu
pemberontakan petani. Untuk itu insentif selektif harus didasarkan pada
pertimbangan ideologi agar tidak menjadi counterproductive.
Adapun cara entrepreneur menemukan sumber daya yang dibutuhkan
untuk menyediakan insentif selektif bagi para pengikutnya dijelaskan dalam
Mustain (2007) diambil dari berbagai ahli ialah: (1) mendorong pengikutnya
untuk melakukan penjarahan (Avrich, 1972), (2) mendistribusikan ulang sumber
daya (Popkin, 1979), (3) pemimpin yang memberontak merahasiakan kebaikan,
persolaan, ataupun keluhan yang dapat menarik kelompoknya, (4) pemimpin yang
memberontak dapat mematahkan monopoli kaum elite pada institusi politik dan
mungkin saja menciptakan organisasi desa petani baru, (5) pemberontak mencari
penyokong yang dapat menyediakan insentif selektif, dan (6) intensif selektif
selalu tersedia dalam jumlah sedikit dan selalu diharapkan oleh petani yang lebih
miskin.
Pangestu (1995) dalam Febriana (2008) memaparkan faktor-faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat meliputi hubungan
yang terjalin antara pihak pengelola proyek dengan sasaran dapat mempengaruhi
partisipasi karena sasaran akan dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika
sambutan pihak pengelola positif dan menguntungkan mereka. Selain itu, bila
didukung dengan pelayanan pengelolaan kegiatan yang positif dan tepat
dibutuhkan oleh sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu untuk berpartisipasi.
Eisinger (1973) dalam McAdam dan Snow (1997) mengungkapkan bahwa
kesempatan politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan
terjadinya protes berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang
ada disuatu kota. Eisinger juga mendefinisikan bahwa kesempatan politik
merupakan derajat dimana suatu kelompok dapat meningkatkan akses terhadap
kekuasaan dan dapat memanipulasi sistem politik. Hal ini didukung dengan
20
pernyataan Moniaga (2010) bahwa pada era reformasi, kaum terpinggirkan bebas
untuk berpolitik seperti masyarakat kasepuhan yang secara tegas memutuskan
untuk bertindak mengatasi kemelut pertanahan yang mereka hadapi.
2.4 Tingkat Keberhasilan Perjuangan Petani
Banyak kasus mengenai masalah pertanahan di Indonesia yang masih terus
berlanjut hingga kini meski pun lahan tersebut telah diduduki oleh masyarakat
namun lahan tersebut belum ada pengakuan secara hukum. Menurut Mustain
(2007), hal ini disebabkan karena belum habisnya HGU seperti yang terjadi di
Kalibakar, Malang. Meski pun petani berhasil membabat dan menduduki lahan
tersebut, namun petani belum mendapatkan kepastian hukum. Hal ini karena
masih terbentur masalah HGU yang berlaku hingga tahun 2014 dan belum adanya
kepastian bahwa tanah tersebut akan dikembalikan kepada rakyat ketika HGU
tersebut habis. Karena lelah, petani bersikap defensif dan reaktif. Defensif dalam
artian menunggu sampai habisnya masa HGU PTPTN XII.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bachriadi dan Lucas (2001), dimana
kasus di Tapos juga belum menemukan titik terang. Meski Kepala Kantor BPN
Bogor telah menyatakan sekitar 450 hektar lahan peternakan Tri-S Tapos akan
dikembalikan kepada petani penggarap, sisanya diserahkan kepada Pemda
Kabupaten Bogor.
Di Bengkulu juga terjadi kasus yang sama menurut Serikat Tani Bengkulu
(2006), dimana meskipun masyarakat telah dapat mengakses lahan dan telah
melakukan mobilisasi terhadap penduduk miskin dari desa lain namun belum
mendapatkan pengakuan secara hukum. Hal ini membuat lahan tersebut dapat di
klaim sewaktu-waktu oleh pihak perkebunan yang memegang HGU. Untuk
mengantisipasi diambilnya kembali lahan tersebut, petani membayar pajak dan
menabung untuk persiapan sertifikasi tanah.
Keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat dataran tinggi yang tinggal di
wilayah hutan lindung juga berbeda-beda. Di Dongi-dongi, Sulawesi Tengah telah
terjadi konversi lahan besar-besaran yang diakibatkan adanya gerakan petani atau
tindakan kolektif penduduk yang paksa dan illegal membuka, bercocok tanam,
dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan negara. Di Toro, hasil yang
21
dicapai cukup unik, dimana hak adat kembali diakui oleh negara. Hal ini terjadi
akibat terjadinya perambahan hutan oleh masyarakat karena kekurangan tenaga
dalam mengontrol dan menegakkan hukum pada masyarakat lokal, sehingga
terciptanya resolusi konflik dimana masalah-masalah hutan di Toro secara
eksklusif ditangani oleh lembaga adat (Sitorus, 2006).
Masyarakat sebagian besar menginginkan tanah yang mereka peroleh
mendapatkan sertifikat yang sah secara hukum untuk individu. Namun yang
terjadi di Pasir Randu agak berbeda dimana petani menginginkan sertifikasi yang
ditujukan pada organisasi atau Organisasi Tani Lokal agar perempuan yang secara
aktif dalam proses reclaiming memiliki hak yang sama dalam penguasaan tanah
(Bahari dan Krishnayanti, 2005).
Kasus tanah adat masyarakat kasepuhan Citorek, Cibedug, dan Cisiih juga
belum memiliki kejelasan hukum, berbeda dengan masyarakat adat Baduy yang
telah memiliki legal hukum yang tertuang dalam Perda No. 32 tentang
Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Masyarakat kasepuhan Citorek,
Cibedug, dan Cisiih belum mendapatkan pengakuan formal secara hukum
disebabkan oleh rumitnya kasus dan mengakui keabsahan klaim-klaim mereka
atas tanah adat di Citorek dan Cibedug. Karena belum dapat dipastikan jenis hak
atas tanah yang sesuai dengan konsep wewengkon dan diperlukan informasi rinci
mengenai status tanah terkini. Lagi pula tanah itu secara legal berada dalam
kawasan hutan negara dan tidak berwewenang membatalkan secara sepihak
(Moniaga, 2010). Contoh kasus tanah adat lain yang berhasil diselesaikan ialah di
Kabupaten Nunukan, dimana telah keluar sebuah Perda No. 3 dan 4 tahun 2004
tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Sebaliknya di Paser, status tanah
ulayat telah dihapus karena masyarakat di daerah tersebut tidak lagi menggunakan
sistem hak ulayat (Bakker, 2010).
2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian
Keterbatasan akses dan penguasaan lahan menjadi masalah yang dihadapi
oleh hampir seluruh petani di indonesia khususnya di wilayah perkebunan di Desa
Cisarua, Kabupaten Sukabumi dimana penelitian ini dilakukan. Keadaan petani
22
tersebut memicu terciptanya strategi petani. Strategi yang tepat diperlukan untuk
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.
Strategi perjuangan yang digunakan diduga memiliki hubungan dengan
tingkat keterlibatan petani yang dilihat dari peran petani dalam oraganisasi dan
partisipasi yang diberikan petani terhadap gerakan yang dilakukan untuk
mendapatkan tanah. Tingkat keterlibatan petani di sini diduga dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang datangnya dari dalam pribadi
petani yang dibagi menjadi pengalaman berorganisasi, luas dan jumlah relasi,
lama pendidikan yang telah dilalui, pendapatan, serta jumlah tanggungan. Faktor
eksternal ialah hal-hal yang ikut berpengaruh namun berasal dari luar pribadi
petani tersebut.
Faktor eksternal dibedakan menjadi organisasi pendukung, kesempatan
politik, serta respon pemerintah dan pihak lawan. Adapun sifat strategi perjuangan
petani dibedakan menjadi “insidental” dan “sungguh-sungguh” dengan bentuk
berupa aksi massa dan jalur hukum.
Bentuk aksi massa petani dibedakan menjadi demo, reklaiming, ekspansi
anggota, dukungan terhadap organisasi tani lokal, serta perlawanan kecil dan
sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan
kehati-hatian, seperti mencuri, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan
bodoh, mengumpat dan sejenisnya. Strategi perjuangan yang digunakan petani
kemudian akan berhubungan dengan tingkat keberhasilan dalam mendapatkan
akses dan penguasaan atas lahan.
Tingkat keberhasilan yang dapat dicapai petani dalam mendapatkan akses
dan penguasaan atas tanah ialah hak miliki, sewa, pinjam pakai, serta tidak
berhasil mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Untuk lebih jelas,
kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
23
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Keterangan: Berhubungan
Komponen
Memicu
2.5 Hipotesis Penelitian
2.5.1 Hipotesis Uji
Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab
permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah
dirumuskan. Dari kerangka pemikiran di atas dapat disusun hipotesis uji berupa:
1. Tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatan petani
dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.
Faktor internal: - Pengalamam organisasi - Luas dan jumlah relasi - Tingkat pendidikan - Tingkat pendapatan - jumlah tanggungan
Faktor ekternal: - Organisasi pendukung - Kesempatan politik - Respon pemerintah dan
pihak lawan
Tingkat keterlibatan: - Peran dalam organisasi - Partisipasi dalam gerakan
Petani: Keterbatasan akses dan
penguasaan lahan
Strategi perjuangan
Sifat: ‐ Insidental ‐ Sungguh-sungguh
Bentuk: ‐ Aksi massa ‐ Jalur hukum
Tingkat keberhasilan: - Hak milik - Sewa - Pinjam pakai - Tidak berhasil
24
2. Luas dan banyaknya jumlah relasi berkorelasi positif dengan tingkat
keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan.
3. Tingkat pendapatan berkorelasi positif dengan tingkat keterlibatkan petani
dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.
4. Pengalaman dan peran dalam organisasi berkorelasi positif dengan tingkat
keterlibatan petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan.
5. Jumlah tanggungan keluarga berkorelasi negatif dengan tingkat keterlibatan
petani dalam perjuangan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas
lahan.
2.5.2 Hipotesis Pengarah
Dari kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun hipotesis pengarah
dimana terdapat hubungan antara faktor eksternal petani yang berupa keterlibatan
organisasi pendukung, kesempatan politik yang tersedia, serta respon pemerintah
desa dan respon pihak perkebunan dengan tingkat keterlibatan petani dalam
strategi memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan yang kemudian juga
akan berhubungan dengan bentuk strategi yang digunakan petani dan tingkat
keberhasilan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.
2.6 Definisi Operasional
1. Mata pencaharian adalah pola aktivitas yang dilakukan oleh anggota
masyarakat, guna menghasilkan pendapatan pada tingkat yang aman untuk
dapat bertahan hidup, yang dilakukan secara teratur dan berulang. Mata
pencaharian di sini dikategorikan dalam 2 hal, yaitu:
1) Mata pencaharian dalam bidang pertanian, adalah aktifitas mata
pencaharian di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, dan
peternakan.
2) Mata pencaharian dalam bidang non-pertanian, adalah aktivitas mata
pencaharian di sektor remunerative, pendidikan, pemerintahan, jasa
dan perdagangan.
25
2. Status penguasaan lahan adalah keadaan lahan yang dapat diakses dan
dikuasai oleh seorang petani. Status penguasaan lahan di sini dikategorikan
menajdi 3 tingkatan, yaitu:
1) Pinjam pakai diberi skor 1
2) Sewa diberi skor 2
3) Hak milik diberi skor 3
3. Tingkat kepemilikan lahan adalah jumlah lahan yang dimiliki oleh seorang
petani, mengacu pada luas lahan ideal yang dimiliki oleh satu rumahtangga.
Dalam penelitian ini tingkat kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 3
tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika tidak memiliki lahan diberi skor 1
2) Sedang : memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar diberi skor 2
3) Tinggi : memiliki lebih dari 0,3 hektar diberi skor 3
4. Aksesibilitas menunjukkan kemampuan seorang petani dalam menguasai dan
menggunakan lahan, dalam penelitian ini tingkat kepemilikan lahan
dikategorikan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika tidak punya akses terhadap lahan diberi skor 1
2) Sedang : akses terhadap lahan kurang dari 0,3 hektar diberi skor 2
3) Tinggi : akses terhadap lahan lebih dari 0,3 hektar diberi skor 3
5. Tingkat pendapatan adalah sejumlah sumberdaya berupa uang yang didapat
setelah bekerja dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
keluarganya berdasarkan UMR (Upah Minimum Rata-rata) Kabupaten
Sukabumi tahun 2010. Pendapatan di sini dibedakan dalam 2 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika di bawah Rp 671.500 diberi skor 1
2) Tinggi : jika di atas Rp 671.500 diberi skor 2
6. Tingkat pendidikan ialah lama pendidikan formal yang dilalui oleh petani.
Tingkat pendidikan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika petani mengeyam pendidikan selama 0-4 tahun diberi
skor 1
2) Sedang : jika petani mengeyam pendidikan selama 5-9 tahun diberi
skor 2
26
3) Tinggi : jika petani mengenyam pendidikan lebih dari 9 tahun
diberi skor 3
7. Pengalaman organisasi ialah status petani dalam sebuah organisasi.
Dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika petani tidak mengikuti organisasi diberi skor 1
2) Sedang : jika petani menjadi anggota dalam sebuah organisasi
diberi skor 2
3) Tinggi : jika petani menjadi pengurus dalam sebuah organisasi
diberi skor 3
8. Jumlah tanggungan ialah banyaknya individu yang ditanggung oleh seorang
petani. Jumlah tanggungan dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika petani menanggung lebih dari 5 orang diberi skor 1
2) Sedang : jika petani menanggung sebanyak 3-4 orang diberi skor 2
3) Tinggi : jika petani menanggung sebanyak 0-2 orang diberi skor 3
9. Tingkat keterlibatan petani adalah persentase keikutsertaan petani dalam
berbagai kegiatan dalam memperjuangkan akses dan penguasaan atas lahan:
a. Peran dalam organisasi
1) Rendah : jika petani tidak ikut dalam organisasi gerakan petani
maka akan diberi skor 1
2) Sedang : jika petani menjadi anggota dalam organisasi gerakan
petani maka akan diberi skor 2
3) Tinggi : jika petani menjadi pengurus dalam organisasi gerakan
petani maka akan diberi skor 3
b. Peran dalam aksi yang dilakukan
1) Rendah : jika petani hanya ikut serta dalam pelaksanaan gerakan
maka akan diberi skor 1
2) Sedang : jika petani ikut serta dalam perencanaan dan atau
merekrut anggota baru maka akan diberi skor 2
3) Tinggi : jika petani menjadi penggagas gerakan maka akan diberi
skor 3
27
10. Aksi massa ialah tindakan kolektif yang dilakukan petani sebagai upaya
untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Aksi massa dibedakan
menjadi demo, reklaiming, ekspansi anggota baru, dan dukungan terhadap
organisasi tani lokal. Aksi massa dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : jika petani melakukan 1 bentuk aksi massa maka akan
diberi skor 1
2) Sedang : jika petani melakukan 2 bentuk aksi massa maka akan
diberi skor 2.
3) Tinggi : jika petani melakukan 3 atau lebih aksi massa maka akan
diberi skor 3.
11. Rapat ialah pertemuan yang dilakukan oleh petani sebagai salah satu upaya
petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Rapat dibedakan
menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : kurang dari 30 persen dari jumlah pertemuan yang
dilakukan diberi skor 1.
2) Sedang : 30 persen - 60 persen dari jumlah pertemuan yang
dilakukan diberi skor 2.
3) Tinggi : lebih dari 60 persen dari jumlah pertemuan yang
dilakukan diberi skor 3.
12. Demo ialah salah satu bentuk aksi massa yang dilakukan oleh petani sebagai
salah satu upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Demo
dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1) Rendah : kurang dari 30 persen dari jumlah demo yang dilakukan
diberi skor 1.
2) Sedang : 30 persen - 60 persen dari jumlah demo yang dilakukan
diberi skor 2.
3) Tinggi : lebih dari 60 persen dari jumlah demo yang dilakukan
diberi skor 3.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses
dan penguasaan atas lahan dilakukan menggunakan metode kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif dan explanatif dimana
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan petani dalam
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan sesuai dengan strategi yang
digunakan serta menggambarkan bagaimana proses yang dilalui petani untuk
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan.
Metode pendekatan kualitatif digunakan peneliti untuk memahami secara
mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa, serta dapat menggali berbagai
realitas, proses sosial, dan makna yang berkembang dari orang-orang yang
menjadi subjek penelitian. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam
penelitian ini ialah studi kasus, dimana peneliti memilih suatu kejadian atau gejala
untuk diteliti (Sitorus,1998).
Peneliti menggali informasi mengenai proses yang dilakukan petani
sehingga mereka dapat mengolah lahan milik perkebunan negara. Pembahasan
kemudian dilanjutkan untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor eksternal
yang dapat mempengaruhi strategi yang dilakukan petani untuk mendapatkan
akses dan penguasaan atas lahan perkebunan. Metode kualitatif dilakukan melalui
wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden.
Responden di sini dibedakan menjadi petani besar dan petani kecil yang mengolah
lahan perkebunan, sedangkan terdiri dari aparatur desa, pegawai perkebunan,
petani besar, dan juga petani kecil yang berjuang untuk mendapatkan akses dan
penguasaan lahan.
Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
hubungan antara faktor internal petani dengan tingkat keterlibatan petani dalam
upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Metode kuantitatif
dilakukan menggunakan metode survei yang mana pengumpulan data dilakukan
melalui kuesioner.
29
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses
dan penguasaan atas lahan dilaksanakan di Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja,
Kabupaten Sukabumi. Desa ini merupakan salah satu desa yang berada di dalam
wilayah salah satu perkebunan milik negara. Wilayah ini dipilih atas dasar
pertimbangan:
1. Desa Cisarua merupakan desa yang berada di dalam wilayah salah satu
perkebunan negara yang secara langsung memperoleh dampak dari kegiatan
di perkebunan.
2. Sebagian besar penduduk di Desa Cisarua bekerja sebagai buruh di
perkebunan. Hal ini menunjukkan semakin terbatasnya akses dan panguasaan
atas lahan bagi penduduk.
3. Wilayah strategis di Desa Cisarua yang dapat dijadikan wilayah pertanian
dikuasai oleh perkebunan sehingga membuat semakin terbatasnya akses dan
penguasaan atas lahan bagi penduduk.
4. Desa ini merupakan desa terdekat dengan kantor salah satu perkebunan milik
negara dan sudah dilalui jalan arteri dan angkutan umum sehingga tidak
menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitian.
5. Lahan kosong banyak yang berubah fungsi menjadi bentuk lain seperti
pemukiman.
6. Di wilayah ini pernah terjadi gerakan petani dan hingga kini pun belum
terselesaikan perkaranya.
7. Penduduk di desa ini dapat berbahasa Indonesia sehingga memudahkan
peneliti dalam melakukan wawancara untuk menggali informasi dan
mengumpulkan data.
8. Di desa ini terlihat jelas adanya sikap saling curiga antara penduduk dengan
pihak perkebunan.
Pengumpulan data sekunder penelitian dilaksanakan pada bulan Juli
hingga Agustus 2010. Data primer penelitian telah dilakukan dalam kurun waktu
3 bulan, dimulai dari bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011.
30
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam meneliti strategi
perjuangan petani untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan ialah
metode triangulasi. Metode ini digunakan untuk mendapatkan kombinasi data
yang akurat. Dalam metode ini, data didapatkan melalui wawancara mendalam,
studi literatur, dan observasi lapang. Observasi lapang dilakukan peneliti dengan
melakukan pengamatan secara menyeluruh terkait kondisi faktual yang terjadi di
Desa Cisarua. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder
dan data primer.
Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi literatur dari data di
Kantor Desa Cisarua ialah data mengenai kondisi wilayah desa dilihat dari segi
geografis, demografis, profil desa, serta infrastruktur desa. Data primer diperoleh
melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian dimana dilakukan wawancara
kepada responden dan informan yang mengacu kepada kuesioner dan panduan
pertanyaan. Informan terdiri dari aparatur desa, pegawai perkebunan, dan aktor
dalam perjuangan petani dalam mendapatkan akses atas lahan. Hal ini dilakukan
agar data dan informasi yang didapat akurat. Data sudah mengalami kejenuhan
setelah dilakukan wawancara mendalam terhadap 5 informan. Hasil wawancara
mendalam kemudian direkam peneliti dalam catatan harian lapangan.
Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan metode
accidental sample (convinience sampling) dengan populasi penelitian yaitu petani
Desa Cisarua yang menggarap di lahan milik perkebunan blok 14, blok 15, dan
blok 16 serta bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4. Responden dalam
penelitian ini adalah petani kecil dan petani besar yang menggarap di lahan HGU
milik perkebunan dengan jumlah responden sebanyak 34 orang. Kerangka
sampling dalam penelitian ini berjumlah 760 KK yang bertempat tinggal di RW 2,
RW 3, dan RW 4 Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi.
Seluruh kepala keluarga (KK) di ketiga RW tersebut bekerja sebagai petani, baik
petani kecil maupun petani besar. Petani besar hanya berjumlah 3 orang saja dan
sisanya merupakan petani kecil. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil petani
yang ditemui baik ketika berada di lahan perkebunan yang digarap oleh petani dan
wilayah RW 2, RW 3, dan RW 4 untuk dijadikan responden.
31
3.4 Teknik Analisis Data
Data mengenai strategi yang digunakan dalam perjuangan untuk
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan, kondisi geografis desa,
demografis, profil desa serta infrastruktur dipaparkan secara deskriptif. Data
kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan elite desa, tokoh
masyarakat, responden, informan, dan observasi langsung disajikan dalam bentuk
deskriptif.
Analisis uji Korelasi Rank Spearman dilakukan untuk melihat hubungan
antara tingkat pendidikan, pendapatan, pengalaman dan peran dalam organisasi,
jumlah dan luas relasi dengan tingkat keterlibatan petani dalam memperjuangkan
akses dan penguasaan atas lahan. Pengolahan data ini dilakukan menggunakan
program komputer Ms. Excel 2007 dan SPSS 17 for windows.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan
Desa Cisarua adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Sukaraja,
Kabupaten Sukabumi. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar ± 767,448 hektar
dan terletak di lereng gunung Gede Pangrango. Secara geografis, Desa Cisarua
dibatasi oleh Taman Nasional Gunung Pangrango di sebelah utara, Desa
Limbangan di sebelah selatan, Desa Sukamekar di sebelah barat, dan Desa
Langensari di sebelah timurnya.
Bentangan wilayah Desa Cisarua terbagi menjadi wilayah berbukit,
dataran tinggi, dan lereng gunung. Tingkat erosi di wilayah desa ini juga masih
rendah. Berdasarkan data profil Desa Cisarua hanya 0,65 persen dari total luas
wilayah yang berstatus erosi berat. Desa Cisarua terletak 900-1.200 m di atas
permukaan laut sehingga menyebabkan iklim di Desa Cisarua termasuk basah
dengan jumlah bulan hujan 9 bulan dan curah hujan sebesar 2.200 mm.
Berdasarkan kegunaannya, tanah yang ada di desa ini terbagi menjadi
tanah kering, tanah sawah, tanah perkebunan, tanah hutan dan untuk fasilitas
umum. Luas penggunaan lahan di desa ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Tanah Berdasarkan Kegunaan di Desa Cisarua Tahun 2008 No Kegunaan Luas (Ha) 1. Tanah sawah irigasi perdesaan 25,002. Tanah kering
• Tegal/ladang • Pemukiman • Pekarangan
310,8915,7522,25
3. Tanah perkebunan • tanah perkebunan rakyat • tanah perkebunan negara
20,0082,03
4. Tanah hutan lindung 247,325. Tanah fasilitas umum 44,21 Jumlah 685,42Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008
33
Desa Cisarua merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi, namun
letaknya dekat dengan Ibukota Kota Sukabumi. Akses untuk menuju ke kota
Sukabumi juga sangat mudah. Terdapat 80 angkutan umum yang tersedia selama
24 jam.
4.2 Demografi Desa
Penduduk Desa Cisarua sebagain besar merupakan etnis Sunda. Hal ini
dipengaruhi oleh latar belakang datangnya penduduk di desa tersebut. Penduduk
Desa Cisarua pada mulanya merupakan pekerja perkebunan yang khusus
didatangkan dari Garut pada tahun 1928. Mereka didatangkan dari Garut untuk
menjadi buruh di perkebunan. Hingga saat ini mereka secara turun menurun terus
menetap dan berkembang di Desa Cisarua. Berdasarkan profil Desa Cisarua pada
tahun 2008, total jumlah penduduk Desa Cisarua berdasarkan jenis kelamin dapat
dibedakan menjadi laki-laki sebanyak 3.563 orang dan perempuan sebanyak 3.431
orang. Desa Cisarua memiliki 8 RW dan 30 RT dengan 1.798 Kepala Keluarga
dengan kepadatan penduduk sebesar 911 jiwa per km2.
Desa Cisarua memiliki total jumlah penduduk sebanyak 6994 orang dan
41,8 persen dari total jumlah penduduk hanya mengenyam pendidikan hingga
jenjang SD/sederajat, lalu diikuti oleh SMA, SMP, D3, D1, S1, dan D2. Penduduk
di Desa Cisarua ini pun mayoritas beragama islam dan hanya 0,1 persen dari total
jumlah penduduk yang beragama kristen. Perbandingan persentasi jumlah etnis di
Desa Cisarua dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentasi Penduduk di Desa Cisarua Berdasarkan Etnis Tahun 2008 No Etnis Jumlah (orang) Persentasi (%) 1. Sunda 5.905 84,422. Batak 26 0,373. Betawi 6 0,094. Jawa 1.035 14,805. Ambon 4 0,066. Sumba 6 0,097. China 3 0,048. Arab 9 0,13 Total 6.994 100,00Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008
34
4.3 Mata Pencaharian Penduduk
Penduduk laki-laki di Desa Cisarua sebagian besar bermatapencaharian
pokok sebagai buruh tani, karyawan perkebunan, petani, dan pedagang keliling.
Penduduk perempuan, selain menjadi buruh tani dan karyawan perkebunan,
banyak pula yang menjadi pembantu rumahtangga, pedagang keliling, dan petani.
Jumlah dan jenis mata pencaharian pokok penduduk di desa ini disajikan dalam
Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah dan Jenis Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Cisarua Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008
No Jenis pekerjaan Laki-laki (orang) Perempuan (orang)
1. Petani 189 48
2. Buruh tani 702 302
3. Pedagang keliling 151 65
4. Karyawan perkebunan 457 197
5. Pegawai negeri sipil 14 10
6. Pengrajin industri rumah tangga 4 2
7. Pembantu rumah tangga 0 72
8. Guru swasta 6 2
9. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 10 2
10. Peternak 42 0
11. TNI 4 0
12. Montir 4 0
13. Dukun kampung terlatih 0 5
14. Pengusaha kecil dan menengah 4 0
Jumlah 1.587 705
Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008
Berdasarkan profil Desa Cisarua juga diketahui komoditi pertanian yang
mayoritas dibudidayakan di Desa Cisarua ialah tomat, sawi, kubis, dan cabe. Pada
sektor perkebunan diketahui bahwa terdapat 5 keluarga yang memiliki tanah
perkebunan dengan luasan kurang dari 10 hektar. Pemasaran hasil pertanian di
Desa Cisarua ada yang dijual melalui tengkulak, pengecer, serta langsung dijual
35
ke pasar. Pemasaran hasil perkebunan hanya dilakukan oleh tengkulak. Komoditi
perkebunan yang dihasilkan di Desa Cisarua ialah teh.
Penguasaan lahan di Desa Cisarua masih sangat minim, berdasarkan daftar
isian tingkat perkembangan Desa Cisarua tahun 2008, dari 3.596 orang yang telah
berkeluarga, hanya 1.283 orang yang memiliki aset tanah. Agar lebih jelasnya
dapat dilihat di Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah dan Persentasi Petani Berdasarkan Penguasaan Aset Tanah Desa Cisarua Tahun 2008
No Luasan Aset Tanah (Ha) Jumlah (orang) Persentasi (%)
1. Memiliki tanah antara 0,1-0,2 1.062 82,77
2. Memiliki tanah antara 0,21-0,3 77 6,00
3. Memiliki tanah antara 0,31-0,4 39 3,03
4. Memiliki tanah antara 0,41-0,5 26 2,02
5. Memiliki tanah antara 0,51-0,6 16 1,25
6. Memiliki tanah antara 0,61-0,7 21 1,64
7. Memiliki tanah antara 0,71-0,8 6 0,47
8. Memiliki tanah antara 0,81-0,9 5 0,39
9. Memiliki tanah antara 0,91-1,0 5 0,39
10. Memiliki tanah antara 1,1-5,0 20 1,56
11. Memiliki tanah antara 5,1-10 4 0,32
12. Memiliki tanah lebih dari 10 2 0,16
Total 1.283 100,00
Sumber: Profil Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi Tahun 2008
Petani di Desa Cisarua seluruhnya menggarap di lahan milik perkebunan.
Hal ini disebabkan karena letak Desa Cisarua yang berada di sekitar wilayah
perkebunan milik negara dan hutan lindung. Memiliki tanah bukan berarti petani
mengolah di atas tanah yang dimiliki secara perseorangan dan bersertifikat.
Namun kata memiliki pada Tabel 4. bermakna menggarap. Dari data di atas dapat
dilihat bahwa 88,77 persen petani di Desa Cisarua hanya menggarap 0,1-0,3
hektar lahan. Petani tersebut masuk dalam kategori petani kecil. Petani sedang
merupakan petani yang menggarap lahan dengan luas 0,31-1,00 hektar. Petani
36
yang masuk kategori sedang ada sekitar 9,19 persen dan hanya ada 2,04 persen
petani yang masuk dalam kategori petani besar karena menggarap lahan dengan
luasan lebih dari 1,1 hektar.
4.4 Sarana dan Prasarana
Desa Cisarua merupakan desa kabupaten yang lokasinya berdekatan
dengan kotamadya. Untuk mencapai desa ini terdapat 80 angkutan umum yang
siap melayani selama 24 jam dan terdapat 60 ojek yang menghubungkan antar
RW. Jalan-jalan di desa ini keadaannya berlubang dan becek. Hal ini dibuktikan
melalui data desa bahwa hanya terdapat 3,6 km jalan dengan kondisi yang baik.
Jalan yang dalam kondisi baik merupakan jalan kabupaten. Jalan desa dan
jalan antar desa kondisinya rusak sepanjang 9,5 km dengan klasifikasi jalan
makadam sepanjang 9 km dan jalan tanah sepanjang 0,5 km. Kondisi jalan yang
rusak ini disebabkan oleh banyaknya truk pengangkut hasil perkebunan yang
melewati jalan tersebut. Kondisi cuaca dengan curah hujan yang tinggi sehingga
membuat kondisi jalan menjadi rentan rusak.
Desa Cisarua memiliki sarana peribadatan 12 mesjid dan 87 musholla
yang tersebar di 8 RW dan 30 RT. Untuk prasarana kesehatan, Desa Cisarua
memiliki puskesmas pembantu, balai pengobatan, dan 8 posyandu yang tersebar
di 8 RW. Sarana kesehatan yang dimiliki Desa Cisarua ialah 4 orang dukun
bersalin terlatih.
Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Cisarua hanya tersedia hingga
jenjang SD. Di desa ini terdapat 2 buah Sekolah Dasar Negeri, 2 buah Taman
Kanak-kanak, serta 4 buah Pendidikan Anak Usia Dini. Tidak terdapat Sekolah
Menengah Pertama di desa ini.
4.5 Sejarah Desa Cisarua
Tahun 1920 Belanda membuka hutan untuk dijadikan perkebunan teh.
Lalu pada tahun 1928 pabrik teh dibangun dan bibit teh didatangkan dari India.
Untuk mengoperasikan perkebunan, dibutuhkan tenaga kerja. Untuk itulah pihak
perkebunan mendatangkan buruh dari Garut menggunakan sistem bedol desa.
Pada saat itu, Desa Cisarua masih merupakan bagian dari Desa Limbangan.
37
Penduduk yang didatangkan tersebut lalu menetap dan terus berkembang hingga
saat ini dan merasa merupakan penduduk asli Desa Cisarua.
Desa Cisarua baru dibentuk pada tahun 1979 atas usulan dari para tokoh
masyarakat Dusun Cisarua, Dusun Cisarua Caringin, dan Dusun Nagrak. Adapun
tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi penggagas berdirinya Desa Cisarua ialah
(Alm) M.Rachmat, Maksum Syah, Tjutju, Jaja, Sukardi, Halim, dan Junaini.
Pada Maret 1979, Desa Cisarua berdiri dengan (Alm) Rachmat bertindak
sebagai kepala desa. Kantor Desa Cisarua pertama kali menumpang di SD Inpres
Cisarua. Lalu pada tahun 1980, dilakukan pembangunan kantor Desa Cisarua.
Pembangunan kantor Desa Cisarua pada mulanya dilakukan di balai desa sebelah
utara Goalpara. Namun karena letaknya dianggap kurang strategis, lahan tersebut
lalu dijual. Hasil penjualan lahan tersebut lalu digunakan untuk membeli lahan
yang lebih strategis yaitu ditempat saat ini kantor Desa Cisarua berdiri.
Hingga tahun 2011, Desa Cisarua telah dipimpin oleh 4 kepala desa dan 2
penanggung jawab sementara (pjs). Adapun urutan kepemimpinan Desa Cisarua
ialah:
1979-1988 : (Alm) M. Rachmat
1988-1989 : Maksum Syah (pjs)
1989-1999 : Ace Sujatman
1999-2000 : Asep (pjs)
2000-2005 : (Alm) M. Rachmat
2005-2011 : A. Malik
Berdasarkan sejarah, perkebunan terbentuk terlebih dahulu daripada Desa
Cisarua, maka program-program desa mengikuti program perkebunan. Namun
ketika kepemimpinan A. Malik keadaan pemerintahan desa berubah. Berbagai
program desa berdiri independen dan tidak lagi mengikuti program dari
perkebunan dengan alasan bahwa wilayah perkebunan lah yang berada di dalam
desa, bukan desa yang berada di dalam wilayah perkebunan.
BAB V
STRATEGI PERJUANGAN PETANI DI DESA CISARUA DAN
KEBERHASILANNYA
5.1 Petani dan Permasalahannya
Petani di Desa Cisarua dibagi ke dalam 3 golongan, yaitu petani kecil,
petani sedang, dan petani besar sebagaimana yang telah disebutkan di depan.
Penelitian ini dilakukan di tiga RW dari delapan RW yang ada di Desa Cisarua,
yaitu RW 2, RW 3, dan RW 4. Pada tahun 2003, dari tiga RW diperoleh data
bahwa terdapat 760 petani yang menggarap di lahan perkebunan dengan
pembagian sebagai berikut: (a) RW 2 sebanyak 350 orang, (b) RW 3 sebanyak
280 orang, dan (c) RW 4 sebanyak 130 orang.
Petani dari ketiga RW diatas menggarap di tiga blok lahan milik
perkebunan, yaitu blok 14, blok 15, dan blok 16 dengan pembagian sebagai
berikut: (a) blok 14 seluas 30 hektar, (b) blok 15 seluas 38 hektar, dan (c) blok 16
seluas 25 hektar. Total luas lahan keseluruhan yang digarap oleh petani ialah 93
hektar namun hanya 82 hektar saja yang termasuk dalam wilayah Desa Cisarua.
Dari 93 hektar lahan perkebunan dan 760 petani yang menggarap, maka
rata-rata per petani menggarap sekitar 3 patok atau setara dengan 0,12 hektar.
Seiring berjalannya waktu, ada petani yang kemudian mengambil alih lahan milik
petani lain. Pengambilalihan ini tidak didaftarkan sebagai ganti nama sehingga
terjadi perbedaan data baik secara de facto maupun de jure, sebagaimana yang
terjadi pada blok 16. Pada awalnya lahan ini diolah oleh sekitar 208 orang petani.
Namun saat ini, lahan pada blok 16 telah dikuasai oleh 4 petani besar namun yang
bertempat tinggal di RW 2, RW 3, dan RW 4 hanya 3 orang saja.
Berdasarkan sejarah, petani Desa Cisarua terbagi menjadi dua, yaitu petani
asli yang merupakan petani yang berasal dari hasil bedol desa dari Garut dan
petani pendatang yang berasal dari Lembang. Petani asli ini didatangkan pada
tahun 1928 melalui program bedol desa ketika perkebunan mulai beroperasi dan
mulai mendatangkan bibit tanaman teh dari India. Petani ini didatangkan untuk
bekerja menjadi buruh di perkebunan. Petani pendatang masuk pada tahun 1990an
ke Desa Cisarua dengan tujuan untuk bertani.
39
Petani asli hingga saat ini terus bertahan secara turun temurun menjadi
buruh di perkebunan. Mereka menggantungkan hidupnya menjadi buruh
perkebunan dengan gaji harian dan berharap akan naik pangkat. Selain itu, petani
asli yang bekerja sebagai buruh perkebunan juga mengharapkan uang pensiun
ketika mereka tua nanti.
Petani pendatang yang datang dengan tujuan untuk bertani dan
mendapatkan perkerjaan terus berupaya untuk mendapatkan lahan garapan.
Setelah dilihat bahwa lahan yang memungkinkan untuk digarap hanyalah milik
perkebunan dan lahan tersebut dalam keadaan terlantar, petani pendatang pun
semakin berkeinginan untuk dapat mengakses lahan tersebut. Penduduk asli desa
memaklumi keinginan para pendatang tersebut untuk dapat mengolah lahan
perkebunan karena mereka tidak terikat pada masa lalu dengan pihak perkebunan.
Hal ini seperti yang dinyatakan salah satu petani yang menjadi responden dalam
penelitian ini.
“Mereka kan orang baru. Kalo kita mah segen. Ga enak. Orang tua kita juga kadang ada kerabatan ama orang-orang perkebunan itu.”
Meskipun terdapat luas total 600 hektar lahan perkebunan non-produktif
dan dapat dimanfaatkan oleh petani, namun hanya sedikit lahan yang dapat
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena sebagian besar lahan merupakan
tanah tegalan yang sulit air serta memiliki letak lahan yang jauh. Faktor tersebut
membuat petani harus bersaing untuk mendapatkan lahan garapan yang ideal dan
strategis. Persaingan yang ketat juga merupakan masalah yang dihadapi oleh
petani. Ditambah dengan letak geografis Desa Cisarua, membuat lahan
terkonsentrasi pada perkebunan dan hutan lindung sehingga lahan pertanian di
Desa Cisarua semakin terbatas.
Lahan perkebunan yang petani pendatang inginkan merupakan lahan
perkebunan teh yang tanamannya telah tidak produktif. Lahan milik perkebunan
yang tidak produktif ada sekitar 600 hektar. Sekitar tahun 1990an, perkebunan
melakukan peremajaan tanaman teh. Tanaman yang dianggap sudah tidak
produktif lagi dipangkas. Setelah melalui proses pemangkasan kemudian tanaman
40
tersebut dicabut hingga akar. Proses peremajaan kemudian dilanjutkan dengan
penanaman bibit teh baru.
Pada saat melakukan peremajaan tanaman teh yang non-produktif,
perkebunan mengalami kesulitan ekonomi. Harga teh dunia mengalami penurunan
yang kemudian mengakibatkan penurunan pendapatan bagi pihak perkebunan.
Hal ini kemudian membuat pihak perkebunan tidak dapat melanjutkan peremajaan
tanaman teh dan menelantarkan lahannya. Keadaan lahan yang terlantar dalam
kondisi tanaman teh yang kering dan tidak terurus membuat petani pendatang
yang menginginkan bertani sendiri tertarik untuk menggunakan lahan tersebut
untuk budidaya tanaman holtikultura.
Penduduk asli Desa Cisarua yang berprofesi sebagai buruh perkebunan
mengetahui betul bahwa lahan HGU tidak dapat digarap oleh masyarakat.
Berdasarkan hal inilah para buruh perkebunan memupuskan harapannya untuk
bisa menggarap lahan perkebunan yang terlantar tersebut. Ketika pihak
perkebunan yang mengetahui bahwa ada pihak yang ingin menggarap lahan HGU
lalu mereka memanfaatkan situasi tersebut. Pihak perkebunan kemudian
meminjamkan lahan tersebut kepada para mandor perkebunan. Tiap mandor
mendapat masing-masing 2 hektar lahan namun lahan tersebut akan diambil
kembali oleh perkebunan.
Pada kenyataannya, lahan tersebut tidak digarap sendiri oleh para mandor
karena mandor merasa tidak memiliki modal dan waktu untuk menggarap lahan
yang diberikan perkebunan. Mandor pun memanfaatkan para petani yang
menginginkan lahan tersebut. Mandor lalu memberikan lahan tersebut untuk
digarap kepada petani dengan luas masing-masing sekitar 0,12 hektar atau setara
dengan 3 patok. Lahan tersebut juga menjadi kompensasi kepada para buruh
perkebunan yang bekerja mencabut akar tanaman teh namun upahnya belum
dibayar. Hal inilah yang menjadi alasan awal mula buruh perkebunan dapat
menggarap di lahan perkebunan. Tahun 1998 merupakan tahun dimana
perkebunan berencana mengambil kembali lahan tersebut. Namun krisis moneter
yang menimpa Indonesia membuat perkebunan tidak mampu menarik kembali
lahan yang digarap oleh petani dan hingga saat ini lahan tersebut masih dapat
diakses oleh petani.
41
Mandor mengizinkan petani yang hendak menggunakan lahan tersebut
untuk dijadikan wilayah pertanian tanaman holtikultura dengan syarat petani
sendiri yang membersihkan lahan tersebut dan petani membayar iuran kepada
mandor sebagai pihak perkebunan. Iuran yang dibayar petani pada saat itu ialah
sebesar Rp. 15.000,00 per patok. Upaya ini diindikasikan merupakan salah satu
taktik yang digunakan perkebunan untuk melanjutkan pembersihan lahan non-
produktif dan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan tambahan dana yang
digunakan dalam pembayaran pajak kepada pemerintah pusat serta untuk biaya
operasional yang tidak dibiayai oleh kantor pusat perkebunan.
Sampai saat ini perkebunan tidak melakukan peminjaman lahan garapan
secara langsung karena sesungguhnya lahan HGU yang diinginkan oleh petani
tidak boleh digarapkan kepada petani umum. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa mandor yang dijadikan perpanjangan tangan perkebunan. Mandor di sini
selain bertugas untuk memungut iuran, ia juga bertugas untuk menjaga dan
mengawasi lahan non-produktif yang digarap petani agar tidak berpindah tangan.
Lahan yang boleh digarapkan pada petani hanyalah lamping-lamping yang
umumnya memiliki letak yang jauh dan sulit air sehingga petani enggan
menggarap di lahan lamping tersebut.
Pihak perkebunan memiliki lahan yang dapat secara resmi digarap oleh
masyarakat umum, yaitu lahan lamping yang umumnya memiliki letak yang jauh,
berkontur ekstrim, dan sulit air. Agar dapat menggarap lahan lamping ini,
dibutuhkan proses administrasi yang panjang dan membutuhkan biaya besar untuk
mengurus perizinan. Untuk mendapatkan hak garap di lahan lamping tersebut juga
membutuhkan proses yang rumit. Segala keperluan administrasi akan diolah di
kantor pusat sehingga membutuhkan waktu yang lama dan modal yang besar. Hal
ini semakin membuat petani menjadi enggan untuk menggarap tanah lamping dan
mendapat tanah garapan secara resmi dari perkebunan.
Mendapatkan lahan garapan dari mandor dan petani lain dianggap lebih
mudah karena petani yang ingin menggarap hanya perlu melakukan kompromi
dengan pihak yang bersangkutan. Besarnya luas lahan yang diberikan oleh
mandor kepada petani didasarkan pada azas kepercayaan dan kuatnya ikatan
dengan mandor. Tiap petani yang ingin menggarap lahan perkebunan pada
42
awalnya hanya diberi 3 patok atau setara dengan 0,12 hektar. Jika hasil panen
memuaskan, mandor menjadi lebih percaya kepada petani tersebut sehingga
ketika petani meminta penambahan luas lahan garapan, mandor memberikannya
setahap demi setahap.
Mandor pada saat itu sangat ditakuti dan disegani oleh petani karena
mandor memegang kendali terhadap tanah garapan mereka. Jika petani tidak
bersikap baik terhadap mandor, maka mandor dapat mengambil kembali lahan
garapan dan membuat petani kehilangan pekerjaan. Iuran yang dibayar petani
kepada mandor seharusnya hanya dilakukan setahun sekali. Namun pada
kenyataannya, petani harus membayar sekitar 3-4 kali pertahun tergantung kepada
masa panen yang dilakukan petani karena mandor biasanya datang ketika petani
sedang melakukan panen.
Terdapat beberapa masalah yang dialami oleh petani yang mempengaruhi
pemilihan strategi yang digunakan petani untuk mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan, seperti: (a) modal dan administrasi yang panjang dalam
mengurus tanah garapan secara legal, (b) keterbatasan lahan strategis yang
terbatas, (c) keberpihakan pemerintah desa kepada petani besar, (d) rendahnya
solidaritas antar petani, (e) kecemburuan sosial, dan (f) ketidakmampuan melawan
penguasa.
Berdasarkan pernyataan dari para responden dan informan didapat bahwa
masalah utama yang dihadapi oleh petani dalam mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan ialah modal. Diakui oleh petani di Desa Cisarua, jika modal
cukup, maka akan mudah bagi petani dalam mengakses dan mengolah lahan.
Karena modal di sini dibutuhkan untuk mengurus izin penggunaan lahan serta
untuk penyediaan sarana dan prasarana produksi. Modal juga diperlukan dalam
memperluas lahan garapan dengan cara membeli lahan garapan petani lain yang
ada disekitarnya, seperti yang dilakukan beberapa petani yang saat ini menjadi
petani besar di Desa Cisarua.
Pada awalnya seluruh petani mendapatkan lahan dengan luas yang merata
yaitu sekitar 0,12-0,16 hektar. Dengan modal yang cukup, petani tersebut lalu
membeli hak garap petani-petani yang lain. Hak garap dibeli dengan harga yang
murah yaitu sekitar Rp. 500.000,00. Selain itu, petani besar juga menggunakan
43
cara pemberian hutang yang kemudian dapat membelit petani kecil. Jika
mempunyai modal, maka banyak hal yang tidak mungkin, menjadi mungkin untuk
dilakukan. Seperti yang dialami oleh seorang perempuan di Desa Cisarua yang
baru pulang dari menjadi TKI di Arab. Dengan memiliki modal yang diperoleh
dari menabung selama berkerja di Arab, ia dapat memperoleh hak garap sebesar 8
petak atas namanya sendiri.
Pengurusan hak garap atas nama sesuai penggarap sendiri tidaklah mudah
untuk dilakukan. Petani harus mengurus berbagai administrasi dengan pihak
perkebunan hingga ke kantor pusat yang terletak di Bandung. Dibutuhkan waktu
yang panjang serta pemenuhan syarat-syarat tertentu untuk memperoleh izin
penggarapan lahan perkebunan karena lahan HGU yang produktif tidak boleh
digarap oleh masyarakat. Kerumitan administrasi seperti ini membuat petani
enggan untuk mengurus hak garap dan lebih memilih untuk menjadi buruh di
perkebunan dengan harapan akan naik pangkat dan mendapat uang pensiun atau
menggarap lahan bekas orang lain.
Meskipun pihak perkebunan mengizinkan lahan non-produktifnya diolah
oleh petani, namun hal ini tidak dibuka kepada umum. Pihak-pihak tertentu saja
lah yang dapat mengakses kebijakan perkebunan ini. Pihak-pihak yang dapat
mengakses ialah pihak yang dapat memenuhi syarat yang diajukan perkebunan,
memiliki akses untuk melakukan negosiasi dengan pihak perkebunan seperti
memiliki relasi dan modal. Jika pihak yang dianggap asing mengajukan
permohonan hak garap, maka pihak perkebunan akan mengelak dan menyatakan
bahwa lahan perkebunan tidak diizinkan untuk digarap oleh petani atau pun orang
luar karena merupakan HGU milik perkebunan. Petani yang telah mendapat hak
garap pun diperingatkan oleh para mandor untuk tidak memberi informasi kepada
pihak luar mengenai penggarapan lahan perkebunan ini.
Masalah lain yang dirasakan oleh petani ialah keberpihakan pemerintah
desa. Hal ini telah dirasakan oleh petani Desa Cisarua yang menjadi responden
dan informan penelitian ini. Petani merasa pemerintah desa hanya menguntungkan
satu pihak saja, yaitu para petani besar. Keberpihakan pemerintah desa kepada
petani besar ditunjukkan melalui manipulasi data pengolah lahan perkebunan.
Pemerintah desa menggunakan KTP dari petani-petani di Desa Cisarua yang
44
kemudian didaftarkan sebagai penggarap di lahan perkebunan. Namun pada
kenyataannya, lahan tersebut hanya diolah oleh petani besar. Selain itu,
pemerintah desa juga tidak melakukan tindakan apapun ketika salah satu lahan
petani kecil diambil alih kembali oleh pihak perkebunan. Sedangkan ketika lahan
petani besar ingin diambil alih, pemerintah melakukan pembelaan agar lahan
tersebut tidak jadi diambil alih oleh pihak perkebunan.
Saat ini petani tidak melakukan aksi protes dan hanya memendam
kekecewaan terhadap pemerintah desa yang dianggap pilih kasih. Konflik yang
terjadi pada petani desa saat ini ialah konflik laten dimana petani hanya
memendam dan memegang prinsip azas tahu sama tahu terhadap kekacauan yang
terjadi pada pemerintahan desa. Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan dapat
memicu terjadinya konflik terbuka. Pemerintah desa dalam hal ini menjadi pihak
ketiga dalam perjuangan yang dilakukan oleh petani. Jika dilihat dari sudut
pandang perkebunan, pemerintah desa menjadi pihak yang membantu petani
untuk mendapatkan serta mempertahankan lahan garapan petani. Namun jika
dilihat dari sudut pandang petani kecil, pemerintah desa hanya berpihak dan
membantu petani besar sehingga terjadi ketimpangan dalam hak akses lahan di
Desa Cisarua.
Keadaan Desa Cisarua sesuai dengan salah satu poin yang diungkapkan
Scott (1993), dimana petani tidak dapat melakukan perlawanan kolektif yang
disebabkan oleh rasa takut terhadap pembalasan atau penahanan sehingga petani
lebih memilih bersikap rendah hati. Petani di Desa Cisarua telah melihat
penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada warga di desa tetangga
yang melakukan aksi demo dalam rangka memperjuangkan akses dan penguasaan
atas lahan perkebunan. Hal ini membuat petani Desa Cisarua menjadi takut untuk
melakukan aksi kekerasan. Petani kecil yang merasa tak mampu dan berdaya
mengubah “aturan-aturan” di Desa Cisarua ini tak memiliki pilihan lain selain
menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Petani kecil merasa
tidak mampu jika harus melawan para petani besar.
Petani tidak melakukan aksi untuk memperbaiki nasibnya karena petani
merasa suaranya tidak akan didengar baik oleh pihak perkebunan maupun
pemerintah. Untuk menyatukan pendapat di Desa Cisarua sangat sulit sekali
45
karena terjadi kecemburuan sosial antar petani. Kecemburuan sosial ini
diakibatkan karena pandangan petani kepada pemerintah desa yang pilih kasih.
Hal ini mengakibatkan petani sulit untuk merumuskan pendapat bersama. Hal ini
seperti yang dikatakan oleh AM, salah satu responden dalam penelitian ini ketika
ditanyai mengenai hal yang dilakukan pemerintah untuk para petani:
“Boong aja itu neng. Cuma janji-janji pemilihan kemaren aja. Ujung-ujungnya yang dibantu ya mereka-mereka (petani besar) lagi. Petani kecil kayak kita mah ya ga dapet apa-apa. Pasrah aja. Ga akan didenger neng.”
Adanya pembagian kelas-kelas seperti petani kecil dan petani besar
membuat adanya jarak sosial di Desa Cisarua. Petani kecil tidak berani melawan
petani besar karena petani kecil merasa membutuhkan petani besar. Keadaan
seperti ini membuat petani tidak berani mengeluarkan aspirasinya. Dengan adanya
persaingan antar petani kecil pun, membuat para petani kecil tidak memiliki
ikatan yang kuat satu sama lainnya. Persaingan dilakukan dalam hal pertanian
dimana petani kecil sama-sama berlomba untuk mendapatkan hasil panen yang
baik. Mereka setiap hari disibukkan dengan rutinitas pertanian sehingga tidak
mementingkan petani yang lain dan cenderung memandang petani kecil lain
merupakan saingan mereka. Prasangka-prasangka yang ada makin memperburuk
hubungan petani satu dengan yang lainnya sehingga sulit untuk menyatukan
pendapat.
Prasangka yang timbul di Desa Cisarua tidak hanya terjadi diantara petani
kecil dengan petani besar saja. Prasangka juga terjadi antara petani kecil dengan
petani kecil serta antara petani kecil dengan pemerintah desa. Prasangka yang
terjadi antara petani kecil dengan petani kecil cenderung terjadi akibat persaingan
untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah. Masing-masing individu petani
kecil berupaya untuk memaksimalkan hasil panen. Tidak adanya komunikasi dan
kerjasama untuk memaksimalkan hasil panen bersama menimbul prasangka-
prasangka negatif kepada petani kecil lainnya yang dapat memperoleh hasil panen
yang bagus. Petani kecil menuduh petani kecil yang lain menggunakan cara-cara
negatif sehingga dapat memperoleh hasil panen yang baik. Seperti yang
46
dinyatakan M, salah satu petani ketika ditanyakan mengenai hubungan dengan
petani kecil lain:
”Ya biasa aja neng. Tapi yah mereka itu cuma mau bantu petani yang sodaranya aja. Kalo enggak, ya ga akan dibantu. Dia pura-pura ga tau aja. Padahal mah dia punya obat rahasia buat nyembuhin penyakit tanemannya.”
Satu sisi, petani kecil ingin mendapatkan keadilan. Namun disisi lain ada
tekanan bahwa petani kecil membutuhkan petani besar untuk kelangsungan
hidupnya. Bagaimana pun juga, petani kecil merasa dengan adanya petani besar,
petani kecil sedikit banyak terbantu karena petani besar bisa menjadi tempat para
petani kecil meminjam uang sewaktu-waktu baik untuk modal pertanian,
keperluan anak sekolah, hingga modal untuk membangun rumah. Hal ini
membuat petani kecil memiliki rasa utang budi dan ketergantungan kepada petani
besar. Tidak seperti bank yang letaknya jauh serta membutuhkan proses
administrasi dan waktu yang cukup lama serta rumit. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan S, salah satu petani yang menjadi responden dalam penelitian ini:
“Kita malah terbantu dengan adanya mereka (petani besar). Kalau butuh apa-apa
bisa langsung ke mereka juga.”
Petani kecil tidak menyadari resiko yang ditimbulkan dengan meminjam
uang kepada petani besar, yaitu hutang yang terus melilit hingga berakibat pada
pengambilan lahan garapan petani kecil dengan alasan untuk mengembalikan
hutang-hutang yang ada. Pemberian hutang kepada petani kecil pada dasarnya
merupakan salah satu cara petani besar untuk memperluas lahan garapannya. Jika
petani kecil melawan petani besar, maka ia akan ditandai dan ketika ia sedang
mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuan, petani besar enggan untuk
menolongnya. Oleh karena itu, petani kecil hanya bisa pasrah dengan keadaan
yang ada dan berusaha tidak membuat permasalahan agar kelangsungan hidupnya
juga tidak terganggu.
Penduduk asli Desa Cisarua tidak terlalu menyadari bahwa pengambilan
lahan garapan oleh petani merupakan suatu masalah yang besar. Hal ini
disebabkan oleh latar belakang para petani asli merupakan buruh perkebunan.
Mereka tidak terlalu menginginkan lahan garapan untuk bertani karena menurut
47
mereka, bertani menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Jika menjadi
buruh perkebunan, mereka tidak membutuhkan modal. Hanya tenaga dan sedikit
waktu serta tidak menghadapi resiko rugi jika mengalami gagal panen. Hal ini
seperti yang dinyatakan oleh I, sebagai salah satu responden dalam penelitian ini:
“Kalo lahannya diambil ama petani besar ya mau gimana lagi. Kita ga punya uang buat bayar utang. Kita kan bisa jadi buruh kebun lagi aja neng.”
Petani Desa Cisarua tidak melakukan upaya untuk mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan dengan tindak kekerasan, demo, ataupun reclaiming (ambil
paksa) karena petani tahu bahwa lahan yang mereka inginkan merupakan lahan
yang legal secara hukum merupakan HGU milik perkebunan dan masih berlaku.
Oleh karena itu, upaya yang dilakukan petani melalui kompromi hanya bertujuan
untuk mendapatkan akses terhadap lahan HGU perkebunan non-produktif, bukan
untuk menguasai atau memiliki lahan tersebut.
Didukung dengan pandangan petani bahwa kekerasan tidak akan
menyelesaikan masalah serta akan makin mempersulit keadaan kaum kecil seperti
yang dinyatakan oleh petani kecil sebagai responden dalam penelitian ini,
kompromi dianggap merupakan jalan yang lebih baik dibanding dengan
melakukan aksi kekerasan serta perlawanan untuk mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan. Petani enggan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh
desa tetangga yang dianggap salah. Petani juga merasa tidak akan mampu untuk
melawan rezim kekuasaan perkebunan dan pemerintah. Hal ini sesuai dengan
yang dinyatakan oleh Popkin (1979) bahwa cara-cara perlawanan dianggap tidak
akan bisa menyelesaikan masalah, masih ada cara lain yang dinilai lebih baik
seperti kompromi yang diperhitungkan lebih menguntungkan.
Adapun hal-hal yang melatarbelakangi upaya petani untuk mendapatkan
akses atas lahan perkebunan di Desa Cisarua, Kabupaten Sukabumi ialah: (1)
keinginan petani untuk menanam tanaman holtikultura untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan untuk tambahan gaji, (2) keadaan lahan strategis yang
terbatas, (3) lahan strategis di Desa Cisarua merupakan lahan HGU milik
48
perkebunan, (4) lahan HGU yang diinginkan petani untuk dijadikan lahan garapan
dalam keadaan tidak terawat.
5.2 Strategi Perjuangan Petani Desa Cisarua
Desa Cisarua merupakan salah satu desa di Kabupaten Sukabumi yang
didalamnya terdapat areal perkebunan milik negara dan berdekatan dengan
kawasan hutan lindung. Hal ini membuat lahan-lahan di Desa Cisarua dikuasai
oleh pihak perkebunan dan hutan lindung sehingga petani mengalami ketiadaan
akses dan penguasaan lahan untuk pertanian. Pada tahun 1990an, pihak
perkebunan mengalami permasalahan ekonomi yang menyebabkan beberapa
lahan milik perkebunan menjadi tidak terurus dan terlantar. Keadaan lahan yang
terlantar inilah yang kemudian mendorong petani berani melakukan upaya untuk
mendapatkan akses terhadap lahan tersebut.
Petani di Desa Cisarua melakukan upaya mendapatkan lahan perkebunan
dengan melakukan perlawanan yang oleh Scott (1981) disebut sebagai bentuk
perlawanan “Gaya Asia”. Dalam penelitian ini, Gaya Asia yang diungkapkan
Scott hanya digunakan sebagai rujukan dalam pola perjuangan namun tidak
merujuk kepada pertimbangan keharmonisan dan moral kebersamaan dalam
melakukan perjuangan.
Pola perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua termasuk dalam
pola perjuangan Gaya Asia karena dalam melakukan perjuangan, petani di Desa
Cisarua: (a) tidak memiliki organisasi formal, (b) melakukan perjuangan kecil
secara sembunyi-sembunyi dengan berpura-pura bodoh, dan (c) perjuangan yang
dilakukan petani tidak membutuhkan koordinasi.
Petani di Desa Cisarua tidak memiliki organisasi formal. Organisasi yang
ada di desa ini dipimpin oleh HO. Seluruh warga desa mengetahui bahwa HO
adalah pemimpin mereka. HO merupakan warga asal Lembang, Jawa Barat. Pada
awalnya ia hanyalah seorang supir truk pengantar pupuk ke wilayah Desa Cisarua.
Karena sering datang ke desa ini, ia melihat banyak lahan kosong yang tidak
termanfaatkan serta lahan milik perkebunan yang tidak terawat. Lalu ia menyewa
lahan dan mencoba bertani di Desa Cisarua. Ternyata, panen perdana yang
dilakukan HO berhasil.
49
Merasa puas dan berhasil akan hasil panennya, HO lalu mengajak
keluarganya dari Lembang untuk membantunya bercocok tanam. Sesuai dengan
sifat dasar petani yaitu manusia yang rasional, kreatif, dan juga ingin menjadi
kaya seperti yang dikatakan oleh Popkin (1979), HO lalu memperluas sedikit
demi sedikit lahan pertaniannya hingga saat ini HO menggarap total luas lahan 15
hektar termasuk lahan milik perkebunan seluas 10 hektar dan tanah milik desa 5
hektar.
Melihat keberhasilan HO dan keluarganya, banyak tetangga HO di
Lembang tertarik dan ikut merantau ke Desa Cisarua. Mereka lalu menjadi buruh
di lahan pertanian HO hingga kini. Ada pula sistem plasma yang dilakukan oleh
AA, adik HO kepada 15 orang. Para juragan ini mengembangkan sebuah sistem
yang dinamai plasma yang sesungguhnya merupakan ikatan patron klien. Sistem
plasma ini dimana juragan meminjamkan berbagai sarana dan produksi tanaman
serta lahan yang akan dikerjakan oleh anggota plasma. Jika panen, anggota
plasma tersebut membayar kepada juragan sejumlah yang ia gunakan. Jika
anggota tidak dapat membayar hutangnya, maka hutang tersebut akan masuk ke
tagihan panen yang akan datang.
Dengan sistem seperti ini membuat suatu pola yang mengikat anggota
plasma kepada juragan. Sistem yang diterapkan oleh juragan ini lambat laun
membuat anggota plasma makin terjerat hutang dan membuat anggota plasma
menjadikan dirinya buruh gratis secara tidak langsung karena segala hasil panen
disetorkan kepada juragan untuk membayar hutang. Hasil panen anggota plasma
sering kali dihargai lebih rendah dari pasaran hal ini membuat hutang anggota
plasma makin lama makin menumpuk. Anggota plasma tidak memiliki hak untuk
menentukan jenis tanaman yang akan ditanam, merek benih yang akan dipakai,
pupuk yang akan dipakai, dan berbagai sarana dan prasarana yang akan digunakan
selama proses produksi. Segala hal yang akan digunakan ditentukan dan
disediakan oleh juragan.
Saat ini, juragan telah menguasai 25 hektar lahan milik perkebunan. Lahan
ini dijadikan lahan pertanian tanaman holtikultura dengan komoditi berupa tomat,
sawi, dan cabe. Tidak mudah bagi juragan untuk mendapatkan lahan garapan
seluas ini. Lahan yang pertama kali diolah oleh juragan merupakan area bekas
50
penebangan tanaman teh yang sudah tidak produktif. Juragan diperbolehkan
menggarap di lahan tersebut karena pihak perkebunan tidak mempunyai cukup
dana untuk membongkar akar teh sehingga pihak perkebunan mencari cara agar
lahan tersebut bersih dari akar teh namun tidak mengeluarkan uang. Lalu pihak
perkebunan mengijinkan petani untuk bertani di lahan tersebut dengan harapan 5
tahun lagi lahan tersebut akan diambil kembali oleh perkebunan untuk ditanami
teh lagi. Ketika tahun 1998 dan pihak perkebunan ingin menarik lembali lahan
tersebut, masalah ekonomi kembali melanda, yaitu krisis moneter. Pihak
perkebunan pun mengurungkan niatnya untuk mengambil kembali tanah tersebut
dan menanamnya kembali sehingga petani masih bisa menggunakan lahan
tersebut untuk bercocok tanam.
Hasil panen yang diperoleh juragan meningkat tiap musim panen. Hal ini
membuat pendapatan juragan semakin banyak. Dengan uang itu, juragan terus
memperluas daerah garapannya dengan mengambil lahan garapan petani yang
kehabisan modal. Sesuai dengan sifat manusia yang ingin menjadi kaya menurut
Popkin, keinginan juragan untuk memperluas area pertaniannya pun semakin
kuat. Keinginannya untuk memperluas lahan garapan terhalangi oleh kebijakan
pemerintah desa pada saat itu. Kepala desa tidak menyetujui upaya juragan untuk
menambah lahan garapan. Saat itu, prinsip pemerintahan desa ialah “program desa
mengikuti program perkebunan”. Hal ini terjadi karena berdasarkan sejarah, Desa
Cisarua berdiri karena adanya perkebunan terlebih dahulu.
Pada tahun 1995, terjadi pemilihan kepala desa untuk yang keempat
kalinya. Juragan ingin memanfaatkan kesempatan politik ini agar niatnya untuk
mempertahankan dan memperluas lahan pertanian bisa terwujud. Ia lalu
mencalonkan A sebagai kepala desa untuk menyaingi kepala desa yang lama
dalam pencalonan menjadi kepala desa periode 2005-2011.
Juragan mendukung secara penuh kebutuhan dalam pencalonan menjadi
kepala desa terutama dalam hal kebutuhan materi. Ketika kepala desa A terpilih
menjadi kepala desa yang baru, prinsip pemerintahan desa pun berubah. Program-
program desa tidak lagi mengikuti program perkebunan. Saat ini desa berusaha
menjadi pihak yang otonom. Malah terkesan, hubungan antara pemerintahan desa
51
dengan pihak perkebunan kurang akur. Hal ini terlihat dari penjelasan Kepala
Desa:
“Pimpinan perkebunan suka ngerasa dirinya bupati. Padahalkan perkebunan ada di dalam desa. Bukan desa yang ada didalam perkebunan. Tapi mereka suka bikin aturan sendiri yang tidak mengikuti aturan desa.”
Dukungan pemerintahan desa kepada juragan semakin terlihat pada saat
pihak perkebunan mengumpulkan petani yang menggarap di lahan perkebunan.
Perkebunan berniat mengganti komoditas yang ditanam oleh petani menjadi
rumput untuk pakan ternak. Perkebunan menawarkan pembangunan kandang sapi
dan uang sebesar Rp. 25.000.000,00 per ekor sapi bagi petani yang bersedia
menyerahkan tanahnya kembali kepada perkebunan. Pemerintah desa menolak
program yang ditawarkan oleh perkebunan dengan alasan jika komoditi yang
ditanam diganti dengan rumput, maka PAD (Pendapatan Asli Daerah) menurun.
Pemerintah desa juga tidak percaya bahwa pihak perkebunan dapat
memenuhi PAD awal desa seperti ketika ditanami oleh tanaman holtikultura.
Selain PAD menurun, penduduk desa nanti semakin banyak yang menganggur
karena pemeliharaan rumput tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak seperti
jika menanam tanaman holtikultura. Rapat yang melibatkan pihak pemerintah,
petani, dan perkebunan ini berlangsung sebanyak 3 kali hingga dicapai keputusan
bahwa lahan tersebut tetap diolah oleh petani. Keputusan seperti ini tidak akan
terjadi ketika masa pemerintahan desa yang lalu.
Dengan dukungan modal yang cukup, juragan memiliki kekuatan untuk
mengambil alih tanah-tanah garapan petani yang lain hingga saat ini juragan telah
menguasai 25 hektar lahan perkebunan dan 10 hektar tanah bengkok desa dengan
pendapatan perbulan mencapai Rp. 40.000.000,00. Pengambilalihan lahan juga
dapat terlaksana karena juragan memiliki relasi yang dapat menghubungkan
dengan pimpinan perkebunan.
Petani-petani yang menggarap lahan perkebunan merupakan pendatang
dari Lembang. Namun, karena tidak memiliki modal dan relasi, mereka hanya
dapat menjadi buruh dan petani kecil yang terikat dengan juragan. Pada awalnya
petani pendatang datang dengan tujuan agar bisa mengikuti jejak para juragan
52
yang berjumlah 3 orang agar dapat bertani secara mandiri. Namun karena
kurangnya modal dan relasi, mereka tidak bisa bertani secara mandiri. Modal pas-
pasan yang dimiliki oleh pendatang membuat mereka mudah sekali terjerat hutang
ketika mengalami sedikit kesalahan selama proses produksi.
Bentuk perlawanan kecil yang dilakukan di Desa Cisarua ialah
memperluas lahan garapan secara diam-diam dengan koordinasi yang dilakukan
hanya berdasarkan azas asal sama tahu saja. Organisasi yang anonim, bersifat
nonformal melalui koordinasi asal sama tahu saja, dengan bentuk perlawanan
kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari oleh petani Desa Cisarua
dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian serta berpura-pura bodoh dengan
berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah
HGU yang tidak boleh digarap oleh petani. Seperti yang dinyatakan AM, pada
jaman dulu, mandor merupakan orang yang ditakuti karena ia mempunyai kuasa
untuk menarik kembali tanah yang digarap oleh petani. Bentuk perlawanan kecil
dapat tergambar dari hal yang dilakukan oleh AM untuk mendapatkan lahan.
Dari pernyataan di bawah dapat dilihat bahwa petani melakukan upaya
secara diam-diam dan hati-hati dalam memperluas lahan garapannya. Pada
awalnya, lahan yang digarap hanyalah 3 patok, lalu meluas hingga 2 hektar atau
setara dengan 50 patok. Perluasan lahan yang dilakukan petani secara sembunyi-
sembunyi agar tidak diketahui oleh mandor. Namun jika mandor mengetahui
perluasan lahan yang dilakukan oleh petani, petani kemudian berpura-pura bodoh
dan mencari alasan agar tetap diperbolehkan menggarap di lahan tersebut. Petani
melakukan kompromi dengan mandor yang kemudian berujung pada pembayaran
sewa seluas lahan yang digarap. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan AM,
sebagai salah satu responden dalam penelitian ini:
“Saya mah dateng kesini umur 13 tahun. Niatnya mah mau bantu-bantu di kebun juragan. Tapi karena saya masi kecil, kata juragan saya ga mungkin kuat ngangkat drum yang gede-gede. Jadi saya ga bisa kerja disitu neng. Tapi karena saya pengen kerja, saya ga mau pulang ke lembang. Terus saya temenan ama mandor. Si mandor nawarin saya ngegarap 3 patok, tapi bayar. Ya saya mau aja, dari pada mubazir. Orang niat saya kesinikan mau kerja. Namanya juga manusia
53
ya neng, petani, ya saya perluas sendiri, dikit-dikit. Awalnya 3 patok, jadi 2 hektar.”
Selain itu, ada pula petani yang mengaku pada awalnya hanya menggarap
lahan sebesar 10x10 m dan tidak membayar uang sewa. Lalu ia menambah sedikit
demi sedikit hingga mencapai luas 0,12 hektar. Dengan semakin bertambahnya
luas lahan garapannya, mandor menjadi sadar dan menegur petani tersebut. Petani
ini juga berpura-pura bodoh jika ada mandor yang memergoki mereka menggarap
lahan perkebunan. Petani berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang ia
garap ialah lahan HGU perkebunan. Jika telah ketahuan seperti ini, maka petani
melakukan negosiasi dengan mandor agar ia tidak diusir dari lahan tersebut.
Setelah negosiasi didapatlah kesepakatan bahwa petani akan membayar uang sewa
kepada mandor. Berhubung tanah tersebut belum digunakan oleh pihak
perkebunan, maka mandor pun setuju.
Berdasarkan perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua, jika
dilihat berdasarkan pemikiran Scott, sifat strategi perjuangan yang dilakukan oleh
petani di Desa Cisarua ialah Perlawanan “insidental” karena ditandai oleh: (a)
tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan
dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) dalam
maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang
ada.
Jelas terlihat di sini bahwa perjuangan yang dilakukan oleh petani ialah
bersifat individual. Petani tidak melakukan perjuangan secara kolektif. Petani
yang ingin menggarap lahan perkebunan melakukan upaya seorang diri agar
keinginannya tersebut berhasil. Perjuangan yang dilakukan petani juga tidaklah
sistematis dan tidak terorganisasi secara formal, hanya bergantung pada
kesempatan yang terbuka. Segala bentuk perjuangan yang dilakukan oleh petani
juga tidak memiliki dampak revolusioner karena tidak ada bentuk-bentuk aktivitas
yang dilakukan petani dapat mengubah sistem secara cepat dan berdampak luas.
Tidak ada perubahan-perubahan besar yang terjadi setelah perjuangan petani
dilakukan, baik bagi pihak pemerintah, perkebunan, maupun petani itu sendiri.
Perjuangan yang dilakukan oleh petani di Desa Cisarua juga bersifat
untung-untungan dan pamrih dimana petani melakukan perjuangan dengan tujuan
54
untuk mendapat keuntungan pribadi. Namun jika setelah melakukan perjuangan ia
tetap tidak mendapatkan lahan, mereka tidak melakukan tindak lanjut lagi. Dalam
kata lain, jika setelah melakukan perjuangan ia mendapatkan lahan maka syukur.
Namun jika tidak mendapatkan lahan, ya mau bagaimana lagi. Petani menyadari
bahwa kapasitasnya tidak memungkinkan jika dibandingkan dengan petani-petani
besar baik dari segi modal maupun relasi. Petani hanya bisa memaklumi dan
pasrah terhadap apa yang terjadi. Jalan lain jika ia tidak mendapatkan lahan, maka
ia akan menjadi buruh tani saja dan berbesar hati bahwa inilah jalan hidup mereka
dan tidak berfikir untuk mendapatkan yang lebih.
Dari hal ini juga dapat dilihat bahwa petani, baik petani besar dan petani
kecil melakukan perjuangan tanpa maksud untuk menentang sistem dominan yang
ada. Petani besar melakukan perjuangan dengan meminta langsung kepada pihak
perkebunan, tanpa maksud untuk menentang kebijakan dari perkebunan. Karena
pada dasarnya perkebunan telah memiliki program menggarapkan lahannya yang
belum produktif namun hanya untuk pegawai perkebunan saja. Petani besar
kemudian melakukan negosiasi dengan pihak perkebunan yang kemudian
mengizinkan petani besar mengolah lahan tersebut dengan perjanjian-perjanjian
tertentu. Petani kecil juga tidak melakukan penentangan terhadap kekuasaan
petani besar. Dalam hal ini, baik pihak perkebunan maupun pihak petani sama-
sama melakukan penyesuaian demi tercapainya tujuan bersama.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Ecstein (1989) dalam Mustain (2007)
bahwa petani lebih menyukai bentuk perlawanan secara diam-diam atau
terselubung dibanding dengan secara terang-terangan terjadi di Desa Cisarua.
Petani Desa Cisarua mengatakan bahwa kekerasan tidak diperlukan dalam
perjuangan untuk mendapatkan lahan karena kekerasan tidak akan memecahkan
masalah yang ada, namun akan membuat keadaan semakin kacau. Petani juga
mengalami kekhawatiran akan dipenjara jika melawan pihak perkebunan seperti
yang terjadi di desa tetangga karena petani tahu betul tanah tersebut merupakan
tanah HGU milik perkebunan. Dengan adanya pandangan seperti itu, maka petani
di Desa Cisarua tidak melakukan penggalangan massa untuk mendapatkan lahan
garapan dari pihak perkebunan.
55
Bentuk perjuangan petani di Desa Cisarua, jika dilihat dari Sitorus (2006)
maka termasuk dalam tipe perjuangan kultivasi. Satu sisi, tanah secara faktual
ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim
dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari perkebunan.
Secara garis besar, runutan bentuk strategi yang dilakukan petani Desa
Cisarua untuk mendapatkan lahan ialah: (1) menyewa lahan garapan kepada
mandor, (2) memperluas lahan garapan secara diam-diam dan sedikit demi sedikit,
dan (3) petani besar terus memperluas lahan dengan mengambil lahan garapan
petani kecil lainnya. Petani yang tidak memiliki cukup modal, lalu menjadi buruh
perkebunan.
Petani besar dapat mengolah lahan yang lebih luas disebabkan karena
petani besar memiliki modal dan relasi yang dapat menghubungkan petani dengan
pihak perkebunan. Semakin banyak, kuat, dan strategis jabatan relasi yang
dimiliki petani maka semakin besar dan mudah peluang petani mendapatkan lahan
perkebunan. Pihak perkebunan mengaku bahwa mereka mempunyai perjanjian
dengan petani-petani yang secara resmi terdaftar sebagai penggarap lahan. Surat
perjanjian hanya dipegang dan disimpan oleh pihak perkebunan dengan alasan
jika diberikan kepada petani, pihak perkebunan khawatir surat tersebut
diperjualbelikan atau disalahgunakan. Salah satu isi dalam perjanjian yang
dilakukan antara pihak perkebunan dengan petani ialah pihak perkebunan berhak
jika sewaktu-waktu mengambil kembali lahan yang diolah oleh petani. Petani
tidak mempunyai hak untuk menghalang-halangi usaha pihak perkebunan untuk
mengambil lahan yang diolah oleh petani tersebut.
Usaha yang dilakukan petani di Desa Cisarua dalam mendapatkan lahan
garapan dari perkebunan ialah perluasan lahan secara diam-diam serta cara lobi
dan negosiasi yang dilakukan secara individual. Tingkat keterlibatan petani di sini
juga dipengaruhi oleh respon pemerintah serta pihak perkebunan, organisasi
petani, dan kesempatan politik yang ada di desa tersebut. Desa Cisarua merupakan
desa yang tidak memiliki organisasi petani baik dari internal petani maupun dari
pihak eksternal. Hal ini yang kemudian membuat ikatan antar petani menjadi
lemah dan membuat petani bergerak secara individu untuk mendapatkan lahan
garapan.
56
Masalah keterbatasan modal dan kebutuhan subsisten petani, mendesak
petani untuk berbuat cepat agar kebutuhannya terpenuhi. Jalan yang termudah
ialah menjadi petani kecil. Pilihan lain ialah menjadi buruh perkebunan. Buruh
perkebunan merupakan mata pencaharian yang dominan terjadi di Desa Cisarua.
Penduduk yang menjadi buruh perkebunan biasanya merupakan petani asli yang
nenek moyangnya didatangkan dari Garut lalu menjadi buruh di perkebunan
secara turun temurun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penduduk Desa
Cisarua terbagi menjadi dua yaitu petani pendatang yang bermatapencaharian
sebagai petani serta petani asli yang bermatapencaharian sebagai buruh
perkebunan.
5.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Strategi Perjuangan Petani
Tanah merupakan sumberdaya alam yang penting. Seluruh petani
menggantungkan hidupnya pada tanah untuk tempat ia bercocok tanam. Namun
kini luas lahan dapat diolah oleh petani semakin turun tiap tahunnya. Dari data
yang diperoleh, rata-rata petani di Indonesia hanya mengolah 0,3 hektar dari luas
ideal sebesar 2 hektar per kepala keluarga. Berdasarkan profil Desa Cisarua,
dimana penelitian ini dilakukan, terdata bahwa 1.139 orang menguasai tanah
seluas 0,1-0,3 hektar dari total 1.283 orang yang menguasai tanah. Ketimpangan
terlihat jelas dimana terdapat 1.062 orang menguasai lahan seluas 0,1-0,2 hektar
dan terdapat 2 orang yang menguasai lebih dari 10 hektar tanah.
Dalam melakukan upaya untuk mendapatkan lahan, strategi yang
dilakukan di setiap daerah tidaklah sama. Strategi yang diterapkan di Desa
Cisarua dipengaruhi oleh: (1) status lahan yang diinginkan oleh petani dan (2)
tujuan petani tersebut.
Petani Desa Cisarua mengetahui bahwa status lahan yang mereka inginkan
merupakan lahan HGU legal milik perkebunan negara, bukanlah lahan sengketa,
dan bukanlah lahan milik petani yang kemudian diambil oleh pihak perkebunan.
Oleh karena itu, petani cenderung tidak dapat melakukan tindakan radikal untuk
mendapatkan lahan tersebut. Strategi yang dipilih oleh petani juga disesuaikan
dengan tujuan petani, yaitu mendapatkan akses untuk menggarap di lahan
57
perkebunan. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, petani menggunakan
strategi yang lebih aman dan lebih lembut sesuai dengan kondisi di desa.
Tingkat keterlibatan petani di sini dilihat berdasarkan peran dalam
organisasi dan partisipasi petani dalam gerakan atau upaya dalam mendapatkan
lahan. Semakin banyak petani yang terlibat, maka kemungkinan terjadinya
perlawanan kolektif akan semakin besar karena solidaritas antar petani semakin
kuat. Hal ini disebabkan oleh karena aksi kolektif sangat berhubungan dengan
tujuan dan manfaat bagi pihak yang terlibat. Jika petani telah memiliki tujuan
yang sama dan telah miliki rasa solidaritas yang tinggi, maka aksi kolektif
semakin mungkin untuk terjadi. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Olson
(1971) dalam Mustain (2007). Dalam penelitian ini dirumuskan beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan.
Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal merupakan situasi dan kondisi dari luar individu petani
yang dapat mempengaruhi strategi yang digunakan petani dalam mendapatkan
lahan perkebunan. Dalam penelitian ini, faktor eksternal dapat berasal dari: (1)
organisasi pendukung, (2) kesempatan politik yang digunakan, serta (3) respon
pemerintah dan respon dari pihak perkebunan.
Desa Cisarua tidak memiliki organisasi yang mendukung petani dalam hal
mendapatkan lahan perkebunan. Petani melakukan usaha secara individu dengan
dasar sifat manusia yang rasional, kreatif, dan ingin menjadi kaya, sesuai dengan
yang dikatakan Popkin (1979) dalam Mustain (2007) bahwa gerakan perlawanan
petani lebih karena faktor determinan individu, bukan kelompok. Perjuangan
secara individual dan tanpa melakukan konfrontasi dipengaruhi oleh tidak adanya
organisasi lokal, nasional, dan kultural yang mendorong petani untuk melakukan
perjuangan kolektif seperti yang dikatakan oleh Ecstein (1989) dalam Mustain
(2007). Hal ini yang menjadi dasar bahwa di Desa Cisarua tidak terjadi kesatuan
dan kesolidan petani karena tidak adanya organisasi yang menjadi wadah bagi
para petani di Desa Cisarua.
Organisasi pendukung di sini dianalogikan sebagai katalis yang dapat
menyadarkan serta mengarahkan petani. Organisasi pendukung juga bisa menjadi
suatu wadah dimana petani dapat bertukar pikiran dan kemudian menyamakan
58
tujuan sehingga pada akhirnya membuat petani bergerak secara kolektif. Desa
Cisarua tidak memiliki organisasi dan tidak ada organisasi yang berusaha
menyadarkan dan mempersatukan petani. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi
kesolidan antar petani dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi strategi
perjuangan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing dalam hal
ini untuk mendapatkan lahan garapan.
Kesempatan politik merupakan situasi politik yang dapat digunakan
sebagai momentum untuk memperlancar usaha petani dalam mendapatkan lahan.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Eisinger (1973) dalam McAdam dan
Snow (1997) dimana kesempatan politik merupakan derajat dimana suatu
kelompok dapat meningkatkan akses terhadap kekuasaan dan dapat memanipulasi
sistem politik. Seiring dengan Era Reformasi dimana kaum terpinggirkan bebas
untuk berpolitik, masyarakat secara tegas memutuskan untuk bertindak mengatasi
kemelut pertanahan yang mereka hadapi (Moniaga, 2010). Demikian pula yang
terjadi di Desa Cisarua, dimana petani berani memanfaatkan era reformasi untuk
mencapai tujuannya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Petani
di Desa Cisarua berani melakukan berbagai upaya karena merasa bebas untuk
melakukan berbagai tindakan di era reformasi. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh petani ialah memanfaatkan pemilihan kepala desa sebagai titik balik
perubahan kebijakan-kebijakan yang menghambat perjuangan petani untuk
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan milik perkebunan.
Pada tahun 2005 yang telah masuk dalam era reformasi, di Desa Cisarua
dilakukan pemilihan kepala desa untuk yang keempat kalinya dan dilakukan
secara demokratis. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesempatan politik
yang ada di daerah. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor untuk
membuka komunikasi, koordinasi, dan komitmen sehingga menghasilkan
kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama karena pada masa
seperti ini, petani sedang mengalami perubahan sesuai dengan McAdam dkk
(2001) dalam Mustain (2007). Pada masa pemilihan kepala desa, masyarakat
sedang mengalami masa transisi. Perubahan-perubahan dapat terjadi ketika kepala
desa yang baru terpilih. Pergantian kepala desa kemudian dapat mengubah aturan-
aturan, program serta kebijakan desa. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan para
59
petani besar. Petani besar memanfaatkan kesempatan politik ini agar ketika
terpilih nanti, kepala desa baru mendukung upaya yang dilakukan petani besar
untuk mendapatkan lahan perkebunan.
Upaya yang dilakukan petani besar dalam memanfaatkan kesempatan
politik yang ada ialah dengan memberi dukungan baik berupa moral dan finansial
kepada salah satu calon kepala desa yang ikut dalam pemilihan kepala Desa
Cisarua. Agar mendapat banyak dukungan, calon kepala desa yang didukung oleh
petani besar ini mengangkat tema mengenai pembagian lahan kepada petani kecil
sebagai salah satu visi dan misi yang akan dilaksanakan ketika ia terpilih nanti.
Benar saja, dukungan kepada calon kepala desa ini mengalir dan akhirnya
memenangkan pemilihan kepala Desa Cisarua dan menjabat hingga saat ini.
Para petani besar dan calon kepala desa berkampanye seolah-olah berpihak
kepada petani dan akan membantu petani-petani kecil ketika terpilih nanti salah
satunya ialah dengan memberikan lahan garapan kepada petani kecil. Namun
ketika kepala desa tersebut menjabat, janji-janji yang diungkapkan pada
kampanye tidak terlaksana karena pada akhirnya yang diuntungkan hanyalah para
petani besar saja. Hal ini sesuai dengan dinyatakan Popkin (1979) bahwa elite
desa (petani kaya) yang selama ini mengklaim komunitas tradisional, padahal
lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka.
Ketika kepala desa yang dicalonkan petani besar menjabat, segala bentuk
administrasi dan keperluan petani besar dalam mendapatkan lahan perkebunan
menjadi lebih mudah. Ketika terjadi perbedaan keinginan dengan perkebunan,
pemerintah desa kemudian membela petani besar dengan mengatasnamakan
petani desa. Pemerintah dalam hal ini ialah pemerintah desa telah mendukung
sepenuhnya upaya yang dilakukan petani besar untuk mendapatkan lahan
perkebunan. Petani besar ini juga telah menggarap lahan milik bengkok desa
seluas 11 hektar. Respon positif dari pihak pemerintah ternyata hanya dirasakan
oleh petani besar. Hal ini membuat pera petani kecil kecewa terhadap pemerintah
dan membuat petani enggan untuk bersatu.
Adanya sikap saling curiga antar petani dan kesolidan petani yang rendah
membuat petani tidak dapat bersatu. Selain itu petani kecil merasa tidak ada
gunanya melawan mereka karena pada akhirnya petani kecil yang akan dirugikan.
60
Ketika petani kecil melawan dan ketika petani kecil membutuhan bantuan, petani
besar dan pemerintah desa tidak akan membantu. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan para petani kecil untuk melawan petani besar dan pemerintah desa
karena pada dasarnya petani kecil masih tergantung kepada petani besar dan
pemerintah desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh E, salah seorang
responden dalam penelitian ini:
“Kita yang jadi susah neng. Kan kita juga sebenernya butuh mereka juga. Kalo kita udah diciriin, mau kemana lagi ntar kalo minta bantuan.”
Petani merasa pemerintah desa pilih kasih kepada petani-petani besar.
Pemerintah desa terus menerus membantu para juragan untuk memperluas lahan
bahkan tanah desa pun digarap oleh para petani besar. Hal ini disayangkan karena
tanah tersebut dapat dijadikan tanah garapan bagi petani-petani atau buruh yang
ada di Desa Cisarua. Pemerintah desa yang pilih kasih diungkapkan oleh AM,
salah satu responden dalam penelitian ini sambil berbisik: “Yah, yang dibantu
juga mereka-mereka (petani besar) lagi neng. Kita (petani kecil) mah ga dapet
apa-apa.”
Adanya kecemburuan sosial yang ditimbulkan oleh sikap dan respon
pemerintah desa terhadap petani menimbulkan kecurigaan terhadap sesama petani
sehingga membuat kepercayaan antar petani menjadi rendah. Rasa solidaritas
serta rasa kesamaan nasib petani di Desa Cisarua juga sangat rendah. Terlihat
ketika seorang petani mengalami masalah mengenai hama dan penyakit, petani
yang lain enggan membantu meski mereka tahu bagaimana cara mengatasi hama
dan penyakit tersebut. Kecurigaan petani ditujukan kepada petani lain dengan
tudingan bahwa petani lain memiliki obat yang dapat menyembuhkan penyakit
tanaman namun enggan untuk berbagi.
Seluruh petani berlomba-lomba untuk membuat kaya diri sendiri dengan
kata lain, tidak memiliki semangat komunal. Hal ini menunjukkan bahwa respon
pemerintah juga memiliki dampak yang sangat luas terhadap petaninya dan dapat
mempengaruhi tingkat keterlibatan petani serta strategi perjuangan yang
dilakukan petani untuk mendapatkan lahan karena bagi petani, lahan merupakan
61
sumberdaya yang sangat penting yang dapat mempertahankan kelangsungan
hidup petani. Bentuk strategi ini sesuai dengan yang dinyatakan Mustain (2007),
bahwa sikap saling curiga antar sesama petani, munculnya kesenjangan sosial
serta golongan kaum borjuis dapat mempengaruhi solidaritas gerakan petani.
Pihak perkebunan pada dasarnya telah memiliki program memberikan
lahan perkebunan yang letaknya jauh dan kurang produktif. Program ini hanya
berlaku untuk pegawai perkebunan saja. Alasan kesibukan dan letak lahan yang
jauh, membuat pegawai yang mendapat lahan garapan enggan untuk menggarap
lahan tersebut. Pegawai lalu menyewakan tanah tersebut kepada petani yang mau
menggarap tanah tersebut. Sebagai gantinya, petani menyetorkan iuran kepada
pegawai tersebut setahun sekali. Namun pada kenyataannya, pegawai meminta
uang iuran hampir setiap 3-4 bulan sekali ketika musim panen tiba. Petani tidak
bisa menolak karena pegawai mengancam akan mengambil lahan tersebut dan
akan menyewakannya pada orang lain. Pada tahun 1993, harga sewa per patok
ialah Rp. 15.000,00 per tahun.
Pihak perkebunan juga pernah mendapat permintaan langsung dari warga
agar dapat menggarap lahan perkebunan. Pada saat itu juga, pihak perkebunan
sedang mengalami masalah biaya dalam pencabutan akar tanaman yang tidak
produktif. Pihak perkebunan lalu mengizinkan warga tersebut untuk menggarap di
lahan perkebunan dengan tujuan untuk mengurangi beban perkebunan. Sebagai
gantinya, perkebunan meminta warga yang mengolah di lahan tersebut untuk
membayar iuran yang akan digunakan untuk membantu pihak perkebunan dalam
membayar pajak tahunan. Iuran ini biasa disebut uang sewa oleh warga Desa
Cisarua. Warga pun setuju terhadap syarat yang diberikan oleh pihak perkebunan
karena iuran tersebut dirasa tidak memberatkan petani.
Pembayaran iuran dilakukan langsung kepada mandor yang kemudian
uangnya disetorkan kepada pihak perkebunan. Selain memungut iuran, mandor
memiliki tugas untuk mengawasi lahan-lahan perkebunan yang tidak produktif
agar tidak ditempati oleh warga. Mandor yang menjaga suatu area diperbolehkan
melakukan apa saja terhadap lahan tidak produktif tersebut selama lahan tersebut
dalam pengawasan. Mandor menyatakan bahwa untuk mempermudah
pengawasan, lahan-lahan tersebut diberikan kepada petani untuk digarap. Uang
62
sewa yang masuk dapat dijadikan pemasukan tambahan bagi dirinya dan
perkebunan. Harga sewa lahan per patok saat ini ialah Rp. 60.000,00 per tahun.
Pada masa itu, pihak perkebunan memberikan respon yang cukup positif karena
perkebunan juga sedang mengalami masalah ekonomi dalam perawatan lahan-
lahan miliknya.
Respon positif yang diberikan perkebunan bukanlah tanpa tujuan. Jalan ini
ditempuh dengan harapan memberikan keuntungan bagi perkebunan, yaitu: (1)
mengurangi biaya perawatan lahan yang kurang produktif, (2) lahan tetap dapat
terawasi dengan baik, (3) sumber pendapatan baru bagi pihak perkebunan dalam
membayar pajak dan biaya operasional lainnya.
Respon pihak perkebunan membuat petani tidak perlu melakukan
perlawanan secara radikal. Karena itu pula maka petani tidak melakukan demo,
reclaiming, dan sebagainya. Petani hanya perlu mendatangi mandor-mandor yang
bertugas untuk menjaga area tertentu dan melakukan negosiasi agar mereka
diperbolehkan untuk menggarap di lahan tersebut karena petani bersaing untuk
mendapatkan lahan yang strategis dan baik. Dari gambaran di atas dapat dilihat
bahwa strategi yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan juga dipengaruhi
oleh respon yang diberikan oleh pihak perkebunan. Kondisi pada masa itu tidak
mendukung petani untuk melakukan gerakan yang frontal serta jelas terlihat
bahwa petani tidak akan melakukan perlawanan jika memang tidak sangat
diperlukan seperti yang dikatakan Tilly (1978) dan Wolf (1969) dalam Mustain
(2007) bahwa pemberontakan tidak akan terjadi jika situasinya benar-benar tidak
mendukung.
Segala bentuk upaya yang dilakukan oleh petani kecil di Desa Cisarua
bukanlah untuk menentang kebijakan negara. Namun petani lebih cenderung
untuk menentang kekuasaan petani besar dan elite desa. Hal ini dapat dilihat
ketika kampanye pemilihan kepala desa yang dirancang sedemikian rupa oleh
petani besar, mereka melakukan kampanye dengan mengusung janji-janji yang
akan mendukung petani kecil. Namun pada kenyataannya hal tersebut lebih untuk
mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka. Hal ini sesuai dengan
dinyatakan Popkin (1979). Petani yang kecewa tidak mengumpulkan kekuatan
yang kemudian melakukan tindakan-tindakan radikal.
63
Bentuk perlawanan gaya Scottian dimana petani mengumpat, menggerutu,
dan berpura-pura bodoh dilakukan oleh petani Desa Cisarua. Gaya Scottian
dilakukan bukan dalam upaya untuk perlawanan namun sebagai bentuk
perjuangan petani untuk mendapatkan akses lahan perkebunan. Dalam hal ini,
petani berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan
tanah HGU perkebunan yang tidak boleh digarap oleh masyarakat. Petani juga
melakukan perluasan secara diam-diam hingga suatu ketika mandor memergoki.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh AY, salah seorang petani yang menjadi
responden dalam penelitian ini:
“Awalnya saya menggarap lahan 10x10 meter neng. terus saya nambah-nambah terus sampe sekitar 3 patokan. Karena udah luas, jadi ketauan ama mandor. Terus mandor negur. Saya pura-pura ga tau aja neng. Terus kompromi ama mandornya karena kan tanemannya udah mau panen. Sayang kan kalo ditinggal, rugi saya nya atuh. Yaudah akhirnya saya bayar uang sewa ke mandornya.”
Untuk mencapai tujuan, petani biasanya menggunakan penggalangan
massa karena semakin besarnya jumlah massa yang ikut maka akan semakin
didengar suara mereka. Di Desa Cisarua, merujuk pada pernyataan Wolf (1966)
dalam Mustain (2007), tidak dilakukan penggalangan massa karena kurang
adanya kerjasama dalam petani dan petani terjebak dalam irama pekerjaan sektor
pertanian. Kurang adanya kerjasama antar petani di Desa Cisarua dapat dilihat
dari sikap petani ketika petani lain sedang mengalami masalah dalam bidang
pertanian. Ketika petani lain sedang mengalami masalah seperti hama dan
penyakit yang menyerang tanaman mereka, petani lain enggan untuk membantu
dan memberi solusi untuk menyembuhkan penyakit tanaman tersebut meskipun ia
tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Padahal jika penyakit
tersebut tidak disembuhkan maka akan merugikan bagi petani yang lain karena
penyakit tanaman tersebut akan menular ke tanaman-tanaman yang sehat. Selain
itu, jika ada bibit unggul baru yang cocok dan sesuai digunakan di Desa Cisarua,
petani enggan untuk berbagi informasi kepada petani lainnya.
Petani Desa Cisarua menghabiskan banyak waktunya untuk mengerjakan
kegiatan pertanian. Petani telah berangkat ke ladang sekitar pukul 5 pagi dan
64
pulang diwaktu dhuhur atau sekitar pukul 12. Setelah beristirahat sebentar, sore
harinya petani melakukan kegiatan lain seperti mencari kayu untuk keperluan
rumah tangga serta mencari rumput gajah untuk dijadikan pakan ternak yang
mereka miliki atau hanya untuk dijual kembali sebagai tambahan penghasilan.
Kegiatan seperti ini menjadi rutinitas sehari-hari para petani sehingga mereka
tidak punya waktu lagi untuk mengerjakan hal lain. Selain itu, faktor yang paling
mempengaruhi ialah petani merasa tidak perlu dilakukan penggalangan massa
karena status lahan yang diinginkan dan tujuan yang ingin dicapai petani tidak
mengharuskan penggunaan penggalangan massa.
Adapun komoditas yang ditanam oleh petani Desa Cisarua ialah tanaman
holtikultura meskipun ada 3 orang petani yang menanam pohon kayu albasia.
Petani yang memiliki modal besar menanam tanaman holtikultura seperti cabe dan
tomat karena untuk menanam 1 hektar tanaman cabe dan tomat membutuhkan
modal sebesar masing-masing sekitar Rp. 70.000.000,00 dan Rp. 80.000.000,00.
Sedangkan petani kecil yang mengolah sekitar 3-4 patok atau setara dengan 0,12-
0,16 hektar menanam komoditas holtikultura seperti kubis, kacang panjang,
jagung, labu siam, dan wortel karena hanya dibutuhkan modal sebesar Rp.
8.000.000,00 per hektarnya.
Selain faktor eksternal, faktor internal juga mempengaruhi keterlibatan
petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Adapun faktor-faktor internal
yang dikaji dalam penelitian ini ialah: (1) pengalaman berorganisasi petani, (2)
lama pendidikan yang ditempuh, (3) jumlah pendapatan, (4) jumlah tanggungan,
serta (5) luas dan jumlah relasi yang dimiliki oleh petani Desa Cisarua.
Faktor internal tersebut diuji secara kuantitatif menggunakan SPSS untuk
mengetahui apakah ada hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam
upaya mendapatkan lahan garapan. Hasil uji SPSS yang dilakukan antara variabel
pengalaman berorganisasi dengan variabel tingkat keterlibatan petani dalam upaya
untuk mendapatkan lahan garapan dapat dilihat pada Tabel 5.
65
Tabel 5. Hasil Uji SPSS Rank Spearman Hubungan Faktor Internal dengan Tingkat Keterlibatan Petani dalam Upaya Mendapatkan Lahan Garapan
Variabel Sig (2-tailed) Corelation Coefficient
Pengalaman Berorganisasi 0,940 0,013
Luas dan Jumlah Relasi 0,021 0,395*
Lama Pendidikan 0,232 -0,210
Tingkat Pendapatan 0,957 -0,010
Jumlah Tanggungan 0,773 -0,051
Keterangan: * Uji pada α=0,05
Pengalaman berorganisasi pada awalnya dihipotesiskan memiliki
hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan. Pada kasus ini ternyata pengalaman organisasi tidak ada
hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan
lahan yang diukur dengan peran petani dalam organisasi perjuangan dan
partisipasi dalam aksi massa. Hal ini disebabkan karena pada awal penelitian
diasumsikan bahwa petani di Desa Cisarua menggunakan aksi massa untuk
mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Namun yang ditemukan ialah
petani bergerak secara individual untuk mendapatkan lahan garapan. Selain itu, di
Desa Cisarua tidak ada organisasi yang dibentuk untuk mendukung perjuangan
petani untuk mendapatkan akses lahan.
Dari tabel hasil pengolahan data menggunakan SPSS di atas, didapatkan
hasil bahwa luas dan jumlah relasi petani Desa Cisarua memiliki hubungan
dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan
garapan. Hubungan antara dua variabel ini merupakan hubungan korelasi positif
yang ditunjukan oleh Correlation Coefficient sebesar 0,395. Semakin tinggi luas
dan jumlah relasi yang dimiliki petani maka keterlibatan petani dalam
mendapatkan lahan garapan semakin tinggi pula. Tingkat kepercayaan yang
didapat dari penghitungan antara hubungan luas dan jumlah relasi dengan
keterlibatan petani dalam gerakan menggunakan SPSS yaitu sebesar 95 persen.
Hasil penghitungan menggunakan SPSS ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini, yaitu jumlah dan luas relasi memiliki hubungan positif
dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan akses lahan.
66
Hasil penghitungan SPSS juga sesuai dengan kondisi yang terjadi di Desa
Cisarua. Jika petani memiliki relasi baik dengan pihak perkebunan maupun
pemerintah maka semakin tinggi pula keterlibatannya dalam upaya yang
dilakukan. Semakin banyak dan kuat ikatan yang dimiliki petani dengan pihak-
pihak terkait maka akan semakin mudah petani mendapatkan lahan garapan dari
pihak perkebunan. Pihak-pihak terkait dalam hal ini ialah pemerintah desa dan
pihak perkebunan.
Dalam penelitian ini, kuatnya ikatan ditandai dengan adanya hubungan
keluarga dan pertemanan baik dengan mandor maupun dengan pihak pemerintah
desa. Memiliki relasi dalam jumlah banyak dengan hubungan yang kuat juga akan
semakin memudahkan petani untuk mendapatkan lahan garapan yang luas serta
memperluas lahan garapannya. Ikatan relasi petani dengan mandor relatif kuat
karena pada umumnya mereka memiliki ikatan saudara. Jika petani tidaklah
memiliki ikatan keluarga, namun ia merupakan mantan mandor perkebunan atau
mantan pejabat pemerintahan.
Pendidikan juga merupakan salah satu variabel yang diuji menggunakan
SPSS untuk mengetahui hubungannya dengan tingkat keterlibatan petani dalam
upaya mendapatkan lahan garapan. Tabel di atas merupakan hasil penghitungan
menggunakan SPSS dimana Sig. sebesar 0,232 menunjukkan bahwa pendidikan
tidak memiliki hubungan dengan keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan. Hal ini disebabkan karena tingkat keterlibatan petani
dalam kasus ini dilihat dari peran dalam organisasi perjuangan dan aksi massa
yang dilakukan. Desa Cisarua tidak memiliki organisasi perjuangan dan tidak
melakukan aksi massa untuk mendapatkan lahan garapan. Lama pendidikan yang
ditempuh oleh petani di Desa Cisarua juga mayoritas berada didalam selang yang
sama, yaitu rendah.
Hasil penghitungan didukung dengan keadaan di Desa Cisarua dimana
petani yang memiliki pendidikan tinggi tidak memiliki keterlibatan yang rendah
dalam upaya mendapatkan lahan tidak rendah. Demikian juga sebaliknya, petani
yang berpendidikan rendah, tidak memiliki keterlibatan yang tinggi pula dalam
perjuangan yang dilakukan secara individual.
67
Pendapatan petani Desa Cisarua dalam penelitian ini juga diuji
menggunakan SPSS untuk mengetahui hubungannya dengan tingkat keterlibatan
petani dalam upaya mendapatkan lahan garapan. Pendapatan petani dihipotesiskan
memiliki hubungan positif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penghitungan SPSS
dimana nilai Sig. menunjukkan nilai sebesar 0,957. Nilai ini berada diatas nilai α
yang mungkin yaitu 0,05 ataupun 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan
tidak memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya
mendapatkan lahan garapan. Meskipun petani memiliki pendapatan yang tinggi,
namun bukan jaminan bahwa keterlibatan petani menjadi rendah. Demikian juga
sebaliknya, semakin rendah pendapatan bukan merupakan jaminan bahwa
keterlibatan petani akan semakin tinggi. Dari kuesioner yang disebarkan, didapat
data bahwa 23 responden atau sekitar 68 persen petani yang menjadi responden
memiliki pendapatan dibawah UMR rata-rata pemerintah Kabupaten Sukabumi.
Dari kuesioner yang disebar kepada 34 responden penelitian di Desa Cisarua
menunjukkan bahwa petani yang memiliki pendapatan yang besar ialah petani
yang berkerja di bidang pertanian namun menggarap lahan yang besar ataupun
petani yang tidak terbelit hutang. Hutang di sini diartikan sebagai pinjaman modal
baik berupa barang maupun uang kepada para petani besar. Hutang ini
dikembalikan dengan cara menyetorkan hasil panen peminjam kepada pihak
pemberi hutang dalam kasus ini ialah petani besar. Hasil panen tersebut lalu dibeli
dan hasilnya dipotongkan langsung untuk membayar hutang yang mereka miliki.
Namun sering kali hasil panen para petani kecil dibeli dengan harga yang lebih
rendah dari harga beli di pasar induk. Hal inilah yang membuat petani terus
terbelit hutang dan terus terikat kepada petani besar.
Hasil uji SPSS di atas juga dilakukan antara jumlah tanggungan dengan
tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan. Tabel
di atas (Tabel 5.) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kedua variabel
tersebut. Meski semakin banyak atau sedikit jumlah tanggungan petani tidak
mempengaruhi tingkat keterlibatan petani dalam upaya mendapatkan lahan
garapan. Hal ini menolak hipotesis awal dimana jumlah tanggungan memiliki
hubungan negatif dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
68
mendapatkan lahan garapan. Hal ini disebabkan karena sebaran yang diperoleh
dari responden ialah sebagian besar memiliki jumlah tanggungan yang sama, yaitu
sedang. Selain itu, di Desa Cisarua juga tidak ada organisasi pendukung dan aksi
massa yang dijadikan ukuran tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk
mendapatkan lahan garapan dari perkebunan.
5.4 Tingkat Keberhasilan Petani
Tingkat keberhasilan petani dalam mendapatkan lahan dalam hal ini
dilihat dari status tanah yang mereka olah. Status tanah dibedakan oleh peneliti
menjadi tiga, yaitu pinjam pakai, sewa, dan hak milik. Pinjam pakai merupakan
situasi dimana petani dapat mengolah lahan perkebunan namun tanpa adanya
beban biaya yang harus dibayar oleh petani. Sistem sewa merupakan kondisi
dimana petani membayar sejumlah uang kepada pihak perkebunan yang dihitung
berdasarkan luas lahan yang digarap. Kedua sistem ini dapat terikat dengan
perjanjian maupun tidak dengan perjanjian yang jelas.
Petani Desa Cisarua pada nyatanya mengolah pada lahan sewa dengan
pihak perkebunan namun tidak dengan perjanjian yang jelas mengenai jangka
waktu bagi petani dalam pengelolaan lahan tersebut. Selama lahan tersebut tidak
dipakai oleh pihak perkebunan, petani diperbolehkan menggarap namun petani
dibebani iuran yang wajib dibayar setahun sekali. Besaran iuran yang wajib
dibayarkan terus meningkat setiap tahun. Saat ini, besar iuran yang wajib dibayar
oleh petani ialah Rp. 60.000,00 per patok per tahun. Untuk diketahui, dalam 1
hektar tanah terdapat 25 patok.
Adapula petani yang membayar kepada mandor dengan sistem bagi hasil
dengan perbandingan 30:70 untuk mandor. Mandor mendapat porsi yang lebih
besar karena mandor lah yang memberi modal dan memberi tanah. Petani hanya
tinggal mengolah lahan tersebut hingga panen. Tidak banyak petani yang
menerapkan sistem bagi hasil ini karena mandor yang memilih siapa saja orang
yang mengikuti sistem bagi hasil atau sistem iuran. Yang mengolah lahan dengan
sistem bagi hasil ini ialah petani yang handal namun tidak memiliki modal dan
mandor percaya kepada petani tersebut, terkadang mereka memiliki hubungan
keluarga.
69
Namun ditemukan kasus yang agak berbeda dimana seorang petani terikat
perjanjian dengan pihak perkebunan. Hal ini terjadi karena petani tersebut
menanam pohon kayu albasia bukanlah petani tanaman holtikultura. Program ini
diadakan oleh perkebunan yaitu untuk menambah pohon tegakan di kawasan
perkebunan dengan melakukan pembagian bibit kayu albasia dan perjanjian secara
tertulis dengan pihak perkebunan mengenai penggunaan lahan untuk penanaman
kayu tersebut. Adapun alasan petani mengikuti program ini ialah lahan garapan
mereka memiliki kontur dan keadaan yang tidak memungkinkan untuk ditanami
tanaman holtikultura dan mereka tidak memiliki keahlian yang cukup untuk
bertani tanaman holtikultura.
Saat ini, K merupakan generasi kedua penerus usaha orang tuanya dalam
menanam kayu albasia. Ia telah melakukan 4 kali panen dalam waktu 24 tahun.
Setiap pemanenan dilakukan, maka akan dilakukan perpanjangan perjanjian. Ia
menanam 1.200 pohon tegakan di 8 wilayah perkebunan dengan luas total 3
hektar. Perjanjian yang dilakukan dengan pihak perkebunan ialah 20 persen dari
pohon tegakan yang ditanam tidak boleh ditebang. Hal ini sesuai dengan tujuan
dari pihak perkebunan yaitu menjaga daerah resapan air dan menjaga agar tidak
erosi dengan menambah tegakan pohon diwilayah perkebunan. Namun pada
kenyataannya, 20 persen dari pohon yang seharusnya ditinggalkan tetap ditebang
dan uangnya disetorkan kepada pihak perkebunan. Oleh karena itu, pohon tegakan
di wilayah perkebunan tidak bertambah hingga saat ini.
Status lahan yang diolah oleh petani pohon albasia ialah sewa, namun
disertai dengan kejelasan antara hak dan kewajiban serta ada kejelasan waktu
peminjaman lahan. Petani dalam hal ini memiliki posisi yang kuat jika pihak
perkebunan sewaktu-waktu ingin menarik lahannya kembali. Kejanggalan yang
terjadi ialah surat perjanjian tidak dipegang oleh kedua belah pihak, namun hanya
dipegang oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan merasa khawatir surat
tersebut akan disalahgunakan jika surat perjanjian juga dipegang oleh petani.
Berdasarkan data yang diperoleh, luas lahan perkebunan yang saat ini digarap
oleh petani berjumlah 93 hektar, namun hanya 82 hektar saja yang masuk dalam
wilayah Desa Cisarua dengan pembagian sebagai berikut:
a. Blok 14 : 30 hektar
70
b. Blok 15 : 38 hektar
c. Blok 16 : 25 hektar
Lahan di Blok 16 atau yang biasa disebut daerah Naimin seluas 25 hektar
digarap oleh 4 petani besar. Petani besar atau yang biasa disebut juragan ini bisa
mendapat lahan seluas 25 hektar karena mereka memiliki modal. Pada mulanya,
lahan seluas 25 hektar ini digarap oleh sekitar 208 petani. Namun seiring
berjalannya waktu, lahan tersebut hanya digarap oleh 4 petani besar. Modal yang
cukup membuat para petani besar dapat mengambil tanah garapan petani lain,
membiayai kampanye pemilihan desa yang kemudian meningkatkan bargaining
position petani besar dihadapan pihak perkebunan dan memiliki posisi tawar
menawar yang baik. Petani kecil dengan modal pas-pasan yang mengolah lahan
dengan sistem pinjam pakai berada pada situasi yang paling rawan karena mereka
tidak memiliki landasan yang kuat untuk mempertahankan lahan garapan mereka
jika pihak perkebunan sewaktu-waktu menarik kembali lahan garapan mereka.
Keberhasilan yang diperoleh oleh petani Desa Cisarua tidak lepas dari
usaha yang dilakukan. Strategi yang tepat disesuaikan dengan situasi dan kondisi
desa yang ada. Pemilihan strategi yang digunakan juga dipengaruhi oleh opini
petani mengenai kekerasan. Petani Desa Cisarua tidak menggunakan gerakan
yang radikal karena mereka menganggap bahwa masih ada cara lain yang lebih
efektif dibanding melakukan aksi kekerasan. Dari seluruh responden dan informan
yang dikumpulkan oleh peneliti didapat bahwa menyatakan bahwa tidak
diperlukannya kekerasan dalam upaya mendapatkan lahan garapan karena akan
membuat petani menjadi lebih sengsara. Dengan pandangan seperti itu dan
didukung dengan situasi perkebunan, strategi yang digunakan oleh petani pun
dapat berhasil tanpa harus menggunakan aksi kekerasan.
Penduduk asli yang berprofesi sebagai petani kecil tidak terlalu tertarik
untuk memperluas lahan seperti yang dilakukan oleh petani pendatang yang saat
ini menjadi petani besar di Desa Cisarua karena mereka merasa segan dan
menghormati pihak perkebunan yang bagaimana pun juga merupakan pihak yang
mempekerjaan para orang tua mereka. Terkadang mereka masih memiliki ikatan
keluarga dengan pemimpin-pemimpin perkebunan. Petani yang merupakan
penduduk asli merasa malu untuk mengambil dan memanfaatkan lahan
71
perkebunan karena pada dasarnya orang tua mereka merupakan buruh perkebunan
dan mereka bisa hidup di Desa Cisarua karena adanya perkebunan. Berbeda
dengan para pendatang yang tidak memiliki ikatan dengan pihak perkebunan.
Selain karena alasan sejarah, umur dan modal juga menjadi penyebab
mengapa petani asli Desa Cisarua tidak tertarik dalam upaya mendapatkan lahan
garapan. Jika merasa masih muda dan kuat, petani asli mengaku masih bisa
menjadi buruh di perkebunan. Namun ketika sudah mendekati masa pensiun, para
buruh perkebunan mulai mencari lahan perkebunan yang dapat digarap olehnya
dengan modal yang berasal dari pesangon ketika pensiun. Hal ini dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan subsisten dirinya saja. Luas lahan perkebunan yang digarap
para pensiunan ini hanya sebesar 0,08 hektar atau setara dengan 2 patok. Lahan ini
merupakan luas lahan terkecil yang diberikan oleh mandor kepada petani dan ia
dibebaskan dari kewajiban membayar iuran. Hal ini disebabkan karena faktor
umur yang sudah terlalu tua.
Adapula pensiunan pegawai pemerintah kecamatan yang saat ini
menggarap lahan milik perkebunan seluas 0,24 hektar atau setara dengan 6 patok.
Ia tidak memiliki keahlian bertani, maka ia mempekerjakan orang untuk
menggarap lahan tersebut. Hasil panen dari lahan garapan tersebut digunakan
untuk menghidupi ia dan keluarganya.
Petani Desa Cisarua tidak melakukan upaya untuk memiliki lahan
perkebunan karena mereka menyadari bahwa tanah tersebut merupakan tanah
HGU yang diberikan oleh pemerintah kepada perkebunan. Petani menyadari
sepenuhnya bahwa tanah tersebut tidak dapat menjadi hak milik pribadi. Hal ini
seperti yang dinyatakan oleh AN, petani di Desa Cisarua:
“Ga mungkin neng. Kan itu punya perkebunan. Kalo kita maksa, kita juga yang susah. Orang kita yang salah. Kayak di desa sebelah itu, pada dipenjara. Orang salah ngapain diikutin. Udah bisa ngegarap aja udah seneng. Punya lahan sendiri. Tani sendiri. Kalo dulu mah ga mungkin neng.”
Hal ini pula yang membuat petani tidak melakukan aksi-aksi radikal untuk
memiliki lahan tersebut. Petani merasa hanya dengan melakukan kompromi,
tujuan mereka telah tercapai. Petani juga sudah merasa cukup puas dengan dapat
72
melanjutkan hidup dengan menggarap lahan perkebunan meski tanpa kepastian
jangka waktu yang diperbolehkan oleh pihak perkebunan.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh petani Desa Cisarua seperti
administrasi panjang serta memakan waktu cukup lama untuk mendapatkan lahan
garapan secara legal di tanah lamping milik perkebunan, terbatasnya lahan
strategis, keberpihakan pemerintah pada petani besar, solidaritas petani yang
rendah, kecemburuan sosial, kecurigaan yang terjadi antar petani dan pemerintah
desa, serta ketidakmampuan masyarakat untuk melawan penguasa.
Upaya perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua termasuk dalam
perjuangan Gaya Asia yang diunggkapkan oleh Scott (1981) karena petani di
Desa Cisarua tidak memiliki organisasi formal, melakukan perlawanan kecil
secara sembunyi-sembunyi, serta tidak membutuhkan koordinasi dalam
melakukan perjuangan. Perjuangan yang dilakukan petani di Desa Cisarua juga
termasuk dalam jenis perlawanan insidental dimana petani melakukan perjuangan
secara tidak terorganisir, tidak sistematis dan individual. Perjuangan yang
dilakukan oleh petani juga bersifat untung-untungan dan pamrih namun tidak
memiliki dampak revolusioner karena menyesuaikan dengan sistem dominan yang
ada. Jika dianalisis menurut Sitorus (2006), perjuangan petani Desa Cisarua
termasuk perjuangan kultivasi dimana secara faktual tanah ditanami oleh petani,
namun di sisi lain juga masih diklaim dan juga masih dikelola oleh pihak
perkebunan.
Petani Desa Cisarua melakukan kompromi dengan mandor secara
individual. Kompromi dianggap lebih menguntungkan bagi masyarakat dibanding
dengan melakukan tindakan kekerasan. Setelah melakukan kompromi, petani
kemudian diharuskan membayar sewa yang dihitung sesuai dengan banyaknya
patok yang digarap. Luas satu patok lahan setara dengan 0,04 hektar. Sewa ini
dibayar setahun sekali oleh petani kepada mandor. Setelah mendapatkan lahan,
petani kemudian memperluas lahan sedikit demi sedikit yang dilakukan secara
diam-diam agar tidak ketahuan oleh mandor.
74
Ada dua faktor yang berhubungan dengan tingkat keterlibatan petani
dalam upaya untuk mendapatkan lahan garapan, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal dari diri petani tersebut. Faktor internal dibedakan menjadi pengalamann
berorganisasi, lama pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, serta luas
dan jumlah relasi. Dari lima faktor internal yang diuji secara kuantitatif
menggunakan Rank Spearman, hanya luas dan jumlah relasi yang memiliki
hubungan dengan tingkat keterlibatan petani dalam upaya untuk mendapatkan
lahan garapan. Hubungan yang diperoleh ialah hubungan positif, dimana ketika
jumlah dan luas relasi meningkat maka tingkat keterlibatan petani dalam upaya
untuk mendapatkan lahan juga semakin meningkat dengan tingkat kepercayaan
hasil sebesar 95 persen.
Faktor eksternal yang diuji secara kualitatif menunjukkan bahwa
organisasi pendukung, kesempatan politik, dan respon pemerintah desa serta
respon pihak perkebunan juga memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatan
petani. Selain ketiga faktor eksternal tersebut, ditemukan bahwa hal yang paling
berpengaruh terhadap strategi perjuangan yang dipilih oleh petani di Desa Cisarua
ialah status lahan yang diinginkan oleh petani serta tujuan dari petani itu sendiri.
Status lahan yang diinginkan petani merupakan lahan legal HGU milik
perkebunan yang masih berlaku, bukan merupakan tanah sengketa, dan bukan
lahan petani yang diambilalih oleh pihak perkebunan. Dengan status lahan seperti
itu, petani tidak bisa memaksa atau pun berkeinginan untuk memiliki dan
mengambil alih lahan tersebut. Adapun tujuan dari petani di Desa Cisarua ialah
hanya untuk menggarap lahan tersebut, bukan untuk memiliki lahan. Hal ini
membuat petani merasa tidak perlu dilakukannya tindakan-tindakan radikal yang
memaksa seperti demo atau pun reclaiming terhadap lahan perkebunan yang
diinginkan petani tersebut.
Setelah melakukan upaya untuk mendapatkan lahan, masyarakat Desa
Cisarua akhirnya dapat menggarap lahan dengan status sewa dan bagi hasil
dengan pihak perkebunan. Sistem sewa terbagi lagi ke dalam sistem sewa tidak
dengan perjanjian serta sistem sewa dengan perjanjian. Sistem bagi hasil dengan
komposisi 30:70 hanya berlaku untuk petani handal namun tidak memiliki modal.
75
6.2 Saran
Mengacu pada hasil penelitian yang ditemukan, terdapat beberapa hal
yang dapat dijadikan masukan bagi keadaan di Desa Cisarua berkaitan dengan
strategi petani untuk mendapatkan akses terhadap lahan perkebunan. Hal yang
paling penting untuk dilakukan ialah memperkuat ikatan antar petani karena
terlihat jelas dari hasil penelitian ini bahwa ikatan antar petani di Desa Cisarua
masih sangat rendah. Perlu dibentuk suatu wadah yang dapat menjadi tempat bagi
para petani untuk saling berinteraksi serta berkomunikasi. Dengan dilakukannya
hal tersebut diharapkan berbagai masalah seperti prasangka negatif yang timbul
antar petani dapat diselesaikan terlebih dahulu. Ketika masalah antar petani dapat
diselesaikan, maka dapat terbentuk rasa solidaritas, kesamaan nasib serta
semangat komunal dalam diri petani. Dengan kesamaan nasib dan semangat
komunal yang dimiliki, petani kemudian dapat menyelesaikan masalah-masalah
lain seperti masalah produktivitas lahan yang kemudian dapat meningkatkan hasil
panen yang berdampak pada keadaan ekonomi petani dan petani juga menjadi
lebih kuat ketika masalah lain menghampiri.
Selain itu, pemerintah desa juga diharapkan bertindak adil kepada seluruh
petani. Tidak hanya petani besar saja yang dibela dan diperhatikan, namun juga
petani kecil. Terlebih lagi petani kecil merupakan petani yang berada dalam
kondisi kritis sehingga membutuhkan lebih banyak dukungan baik moral maupun
finansial untuk keberlanjutan usaha pertaniannya. Jika pemerintah desa tidak
memperbaiki citra dan sikapnya terhadap petani kecil, dikhawatirkan konflik laten
yang terjadi dalam diri petani kecil berkembang menjadi konflik terbuka.
Saran yang penulis ajukan untuk pihak perkebunan ialah menyediakan
alternatif usaha lain bagi petani sebelum lahan garapan ditarik kembali. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadinya pengangguran besar-besaran akibat
hilangnya lahan garapan yang menjadi sumber pendapatan petani di Desa Cisarua
ketika lahan garapan ditarik kembali oleh pihak perkebunan. Hal ini juga untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan radikal yang dapat
dilakukan oleh petani untuk mendapat lahan garapannya kembali yang juga akan
berdampak negatif terhadap pihak perkebunan jika tindakan radikal tersebut
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Gutomo Bayu. 2005. Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-Lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin.
Anonimous. 2009. Sejuta Ha Lahan Pertanian di Jawa Berubah Fungsi. www.amline.edu/apakabar/basisdata/1997/09/17/0038.html (diakses pada 8 april 2010 pukul 13.00 WIB)
Anonimous. 2009. Warga Patoki Lahan di Areal PTPN Goalpara. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/16/31846-warga-patoki-lahan-di-areal-ptpn-goalpara (diakses pada 22 juni 2010 pukul 19.15 WIB)
Anonimous. 2010. Profil PTPN Jawa Barat. www.kpbptpn.co.id/profileptpn (diakses pada 19 Juni 2010 pukul 17.40 WIB)
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Bahari, Syaiful dan Ika N. Krishnayanti. 2005.Tanah Untuk Penggarap: Merintis Tataguna Lahan di Pasir Randu. Jakarta: Sekretariat Bina Desa.
Bakker, Laurens. 2010. ‘ “Dapatkan Kami Memperoleh Hak Ulayat?” Tanah dan Masyarakat di Kabupaten Paser Dan Nunukan, Kalimantan Timur’. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi (Jakarta). Huma Press. Hal 183-212.
Febriana, Yohana Desi. 2008. Partisipasi Masyarakat dalam Program Corporate Sosial Responsibility “Kampung Siaga Indosat” (Studi Kasus: RW 04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Skripsi. IPB. Bogor.
Hafid, J.O.S. 2001. Perlawanan Petani, Kasus Tanah Jenggawah. Bogor: Pustaka
Latin McAdam, Doug dan David A.Snow. 1997. Social Movemenst: Reading on Their
Emergence, Mobilization, and Dynamics. United States: Roxbury Publishing Company.
Moniaga, Sandra. 2010. ‘Antara Hukum Negara dan Realitas Sosial Politik di
Tataran Kabupaten, Perjuangan Mempertahankan Hak Atas Tanah Adat di Perdesaan Banten’. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi (Jakarta). Huma Press. Hal 143-182.
77
Mustain. 2007. Petani VS Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. United States: University of California Press.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
------- .1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES.
Serikat Tani Bengkulu. 2006. ‘Pembagian Tanah Hasil Reclaiming Pada Transmigrasi’. Jurnal Pembaharuan Desa dan Agraria (Bogor). Volume III Tahun III.
Shohibudin, Moh. 2007. ‘Dimensi Etis Dalam Revitalisasi Identitas Ngata Untuk Klaim Atas Teritori dan Sumberdaya Lokal, Perjuangan Otonomi Desa di Sebuah Komunitas Tepi Hutan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah’. Renai: Kajian Politik Lokal dan Sosial-Humaniora. Pustaka Perak. No 2 Hal 175-229.
Sitorus, Felix. 1998. Penelitian Kualitatif “Suatu Perkenalan”. Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi, dan Kependudukan, Jurusan Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB.
Sitorus, MT. Felix. 2006. ‘Reklaim Tanah Hutan, Tipe-Tipe Reforma Agraria Dari Bawah di Dataran Tinggi Sulewasi Tengah’. Jurnal Pembaharuan Desa dan Agraria (Bogor). Volume III Tahun III.
Sunito, Satyawan. 2010. Sosial Learning. Disampaikan dalam kuliah Komunikasi dan Manajemen Lintas Budaya Departemen SKPM, IPB, Bogor. Pada Tanggal 28 November 2010.
Tobing, Donny. 2010. 100 Hari Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. http://donnytobing.wordpress.com/2010/02/07/100-hari-pemerintahan-kib-jilid-ii/ (diakses pada 18 November 2010 pukul 17.00 WIB)
Vel, Jacqueline dan Stepanus Makambombu. 2010. ‘Penggunaan Hukum Adat Terkait Tanah Pada Masa Kini di Samba, Nusa Tenggara Timur’. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi (Jakarta). Huma Press. Hal 213-248.
Wicaksono, Muhammad Arya. 2010. Analisis Tingkat Partisipasi Warga dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Kasus PT. Isuzu Astra Indonesia Assy Plant Pondok Ungu). Skripsi. IPB. Bogor.
LAMPIRAN
79
PANDUAN PERTANYAAN UNTUK INFORMAN
NAMA: TANGGAL:
1. Apakah pernah terjadi permasalahan lahan dengan pihak perkebunan?
2. Permasalahan lahan seperti apa yang terjadi?
3. Berapa kali permasalahan lahan tersebut muncul?
4. Di daerah mana permasalahan lahan terjadi?
5. Apa yang dilakukan petani untuk menyelesaikan masalah tersebut?
6. Apakah pernah terjadi gerakan petani untuk mendapatkan lahan?
7. Apa yang melatarbelakangi petani melakukan gerakan?
8. Kapan gerakan terjadi?
9. Siapa penggagas kegiatan?
10. Berapa kali gerakan dilakukan?
11. Kapan gerakan yang paling parah terjadi?
12. Siapa saja yang terlibat dalam gerakan?
13. Apakah ada organisasi eksternal yang mendukung?
14. Siapakah pihak eksternal yang mendukung petani untuk melakukan gerakan?
15. Apa yang dilakukan pihak eksternal untuk mendukung petani?
16. Bagaimana peran pihak eksternal dalam gerakan ini?
17. Apakah pernah terjadi tindak kekerasan?
18. Bagaimana bisa terjadi tindak kekerasan?
19. Apakah pihak perkebunan pernah melakukan tindak kekerasan terhadap
petani?
20. Apakah pihak perkebunan melibatkan aparat kepolisian?
21. Bagaimana respon yang diberikan perkebunan terhadap kejadian ini?
22. Apakah hasil yang diperoleh petani setelah melakukan gerakan?
23. Masalah apa yang dihadapi petani dalam melakukan gerakan?
24. Bagaimana cara petani untuk mengatasi masalah tersebut?
25. Apakah masalah tersebut berpengaruh besar terhadap gerakan yang dilakukan
petani?
26. Bagaimana respon yang diberikan pemerintah terhadap kejadian ini?
27. Apa saja yang dilakukan petani untuk mendapatkan lahan?
80
28. Strategi apa yang digunakan petani untuk mendapatkan lahan?
29. Apakah jalur hukum juga digunakan?
30. Dalam hal apa jalur hukum digunakan?
31. Apakah ada organisasi yang dibentuk oleh petani untuk mendapatkan lahan?
32. Apa nama organisasi tersebut?
33. Apa peran organisasi yang dibentuk oleh petani tersebut?
34. Apakah ada kesempatan politik yang dimanfaatkan petani dalam melakukan
gerakan?
35. Apakah pada saat gerakan sedang ada PILKADA?
81
KUESIONER
No responden: tanggal:
A. Identitas Responden
1. Nama :
2. Umur :…………. Tahun
3. Alamat :
..........................................................................................................
4. Jenis kelamin :
5. Jumlah tanggungan : ……………… orang
6. Lama Pendidikan : ....................... tahun
7. Mata pencaharian : a. buruh tani
b. petani
c. pegawai
d. buruh bangunan
e. lainnya, ............
8. Pendapatan per bulan :
a. < Rp 671.500
b. > Rp 671.500
B. Pemicu terjadinya gerakan dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas
lahan
1. Apakah anda mengolah lahan?
a. Ya
b. Tidak
2. Apa status lahan yang anda olah?
a. Pinjam pakai
b. Sewa
c. Hak milik
3. Siapa pemilik tanah yang anda olah?
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
82
4. Apakah anda memiliki lahan?
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah ada usaha dalam mendapatkan lahan untuk diolah?
a. Ya
b. Tidak
6. Apakah ada usaha dalam memiliki lahan?
a. Ya
b. Tidak
7. Apakah anda ikut berpatisipasi dalam usaha mendapatkan lahan untuk
diolah?
a. Ya
b. Tidak
8. Apakah anda ikut berpartisipasi dalam usaha mendapatkan kepemilikan
lahan?
a. Ya
b. Tidak
9. Apakah anda setuju dengan dilakukannya usaha untuk dapat mengolah
lahan?
a. Ya
b. Tidak
10. Apakah anda setuju dengan dilakukannya usaha untuk mendapatkan
kepemilikan lahan?
a. Ya
b. Tidak
11. Tabel partisipasi petani dalam usaha untuk mendapatkan penguasaan
lahan
No Jenis usaha partisipasi
perencanaan pelaksanaan Merekrut
anggota
baru
Penggagas
ide
1 Demo
83
2 reklaiming
3 Menempuh jalur
hukum
12. Apakah anda pernah mendapat perlakuan kasar dari pihak pemerintah?
Jika ya, jelaskan!
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
13. Apakah anda pernah mendapat perlakuan kasar dari pihak perkebunan?
Jika ya, jelaskan!
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
14. Apa yang memicu terjadinya gerakan untuk mendapatkan lahan?
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
15. Apakah yang memicu anda ikut serta dalam gerakan tersebut?
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
C. Strategi dan langkah yang dilakukan untuk mendapatkan akses dan
penguasaan atas lahan
1. Apakah anda merencanakan terlebih dahulu apa yang harus dilakukan?
a. Ya
b. Tidak
2. Apa yang anda rencanakan untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas
lahan?
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
3. Apakah anda ikut aktif dalam upaya mendapatkan lahan?
a. Ya
b. Tidak
84
4. Apa yang anda lakukan untuk merencanakan gerakan yang akan
dilakukan?
a. Rapat
b. Mencari informasi ke dinas terkait
c. Tidak ada
d. Lainnya,………………………………………………...........................
5. Apa yang anda lakukan untuk mendapatkan lahan?
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
6. Peran apa yang anda mainkan dalam usaha untuk mendapatkan lahan?
a. Ketua
b. Pengurus
c. Anggota
d. Lain-lain,.................................................................................................
7. Apakah anda menggunakan jalur hukum untuk mendapatkan lahan?
a. Ya
b. Tidak
8. Dalam hal apa jalur hukum digunakan untuk mendapatkan lahan?
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
9. Bentuk aksi massa apa yang anda lakukan untuk mendapatkan lahan?
a. Demo
b. Reklaiming/ambil paksa
c. Membentuk organisasi
d. Merekrut anggota baru
e. Mencuri, mengumpat, berpura-pura tidak tahu, memperluas lahan
secara diam-diam.
f. Tidak ada
10. Apakah anda mengikuti demo?
a. Ya ( …….dari ……. demo yang dilakukan)
b. Tidak
85
11. Apakah menurut anda perlu dibentuknya organisasi petani? Jelaskan!
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
12. Apakah menurut anda perlu digunakannya kekerasan dalam upaya untuk
mendapatkan lahan? Jelaskan!
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
D. Respon dari pihak lawan dan pemerintah
1. Apakah ada respon dari pemerintah?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah sifat respon yang diberikan?
a. Membantu petani
b. Membantu pihak lawan
c. Tidak memihak manapun
3. Dalam bentuk apa respon yang diberikan pemerintah?
a. Bantuan
b. Kemudahan dalam birokrasi dan akses dalam melakukan pengaduan
c. Lain-lain,.................................................................................................
4. Apakah ada respon dari pihak perkebunan?
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah sifat respon yang diberikan pihak perkebunan?
a. Mengabaikan
b. Menentang
c. Mengatasi masalah yang ada
d. Lainnya,……...............…………………………………………………
6. Dalam bentuk apa respon yang diberikan perkebunan?
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
E. faktor-faktor yang mempengaruhi strategi perjuangan petani
86
1. Apakah ada organisasi atau pihak yang mendukung perjuangan yang
dilakukan?
a. Ya
b. Tidak
2. Dukungan apa yang diberikan kepada petani?
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
3. Apakah petani membentuk organisasi untuk melakukan perjuangan?
a. Ya
b. Tidak
4. Apa nama organisasi itu?
……………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………
5. Apakah anda pernah bergabung dengan organisasi?
a. Ya
b. Tidak
6. Organisasi dan jabatan apa yang pernah anda duduki?
No Nama Organisasi Jabatan Lama menjabat
(Bulan)
7. Apakah menurut anda ada aktor yang berperan aktif dalam melakukan
perjuangan?
a. Ya
b. Tidak
8. Siapa sajakah aktor-aktor tersebut?
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
87
9. Apakah anda memiliki relasi yang mendukung untuk melakukan
perjuangan?(jika ya, isi tabel dibawah ini)
a. Ya
b. Tidak
10. Nama, jumlah dan tingkat kekuatan ikatan dengan relasi
No Nama Relasi Jumlah Ikatan*
Keterangan: * (sangat kuat, kuat, cukup kuat, tidak kuat, sangat tidak
kuat)
F. Distribusi Akses dan Penguasaan Atas Lahan
1. Apakah anda memiliki lahan sebelum terjadinya perjuangan?
a. Ya
b. Tidak
2. Berapa luas lahan yang anda miliki sebelum terjadinya perjuangan?
a. > 0,3 hektar
b. < 0,3 hektar
c. Tidak punya
3. Apakah anda memiliki akses terhadap lahan sebelum terjadinya
perjuangan?
a. Ya
b. Tidak
4. Berapa luas lahan yang dapat anda akses sebelum terjadinya perjuangan?
a. > 0,3 hektar
b. < 0,3 hektar
c. Tidak punya
5. Apakah setelah terjadinya perjuangan anda memiliki tanah?
a. Ya
b. Tidak
88
6. Berapa luas lahan yang anda miliki?
a. > 0,3 hektar
b. < 0,3 hektar
c. Tidak punya
7. Apakah status lahan tersebut?
a. Hak milik
b. Sewa
c. Pinjam pakai
8. Apakah setelah terjadinya perjuangan anda dapat mengolah tanah?
c. Ya
d. Tidak
9. Berapa luas lahan yang anda olah setelah perjuangan?
d. > 0,3 hektar
e. < 0,3 hektar
f. Tidak punya
10. Apakah status lahan tersebut?
d. Hak milik
e. Sewa
f. Pinjam pakai
89
Gambar 3. Jenis Tanaman Hortikultura Gambar 4. Tanaman Bunga Kol
Gambar 5. Sketsa Peta Desa Cisarua Gambar 6. Penanda Kawasan Lindung
Gambar 7. Budidaya Cabe Gambar 8. Kawasan Pertanian
Gambar 1. Kawasan Pertanian Naimin Gambar 2. Tanaman Cabe