stroke infark
DESCRIPTION
presusTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS BANGSAL 1
STROKE INFARK, CONGESTIF HEART FAILURE (CHF),
DAN ATRIAL FIBRILASI
Pembimbing:
dr. Hernawan, Sp.S
Disusun Oleh :
Shofa Shabrina Henandar (G4A014004)
SMF ILMU SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO
2015
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Jantung
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Sedangkan gagal jantung
kongestif merupakan suatu kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural
dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisisan
ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Gagal jantung kongestif dapat
terjadi akibat kelainan jantung maupun non jantung yang mempengaruhi
kemampuan jantung untuk memenuhi kebutuhan fisiologi tubuh.
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan
metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi
untuk mempertahankan cardiac output Gagal jantung kongestif terjadi ketika
jantung tidak mampu melakukan kompensasi terhadap kebutuhan
metabolisme tubuh. Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan
curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan
penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air untuk
sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan
preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum Starling.
Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi
disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi
gagal jantung yang tidak terkompensasi.
Beberapa etiologi dari gagal jantung kongestif, yaitu (gambar 1)
Gambar 1. Etiologi CHF
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung
kongestif, yaitu (gambar 2):
Gambar 2. Kriteria Frammingham
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis
adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi. Pada
pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran jantung (cardio
thoraxic ratio > 50%) dan gambaran kongesti vena pulmonalis. Pada
elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita, sedangkan ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran
obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung.
B. Aritmia
Aritmia atau gangguan irama jantung merupakan kelainan
elektrofisiologi jantung yang dapat disebabkan oleh gangguan sistem
konduksi jantung serta pembentukan dan atau penghantaran impuls. Aritmia
jantung menyebabkan detak jantung menjadi terlalu cepat, terlalu lambat, atau
tidak teratur. Atrial fibrilasi merupaka jenis aritmia yang paling banyak.
Atrial Fibrilasi merupalan kelainan irama jantung yang ditandai dengan
dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. Pada elektrokardiogram
(EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang
digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitudo, bentuk
dan durasinya.
Berbagai jenis penyakit jantung struktural dapat memicu remodelling
yang perlahan tetapi progresif baik di ventrikel maupun atrium. Proses
remodelling yang terjadi di atrium ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi
fibroblas menjadi miofibroblas yang dapat meningkatkan deposisi jaringan
ikat dan fibrosis di atrium. Proses remodelling atrium menyebabkan
gangguan elektris antara serabut otot dan serabut konduksi di atrium, serta
menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang melanggengkan terjadinya FA .
Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien AF, namun
sebaliknya AF dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung
tergantung dari penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Sampai saat ini
patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami dan dipercaya
bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang mekanisme
FA adalah adanya faktor pemicu (trigger); dan faktor-faktor yang
mempermudah.
Hampir >50% episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial
fibrillation). Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara
lain rasa berdebar-debar, kelemahan secara umum, mudah lelah atau toleransi
rendah terhadap aktivitas fisik, presinkop atau sinkop, dan pusing. Temuan
EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya mencakup
laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas,
digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks
QRS yang ireguler pula.
Gambar 3. Gambaran EKG pada AF
C. STROKE INFARK
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke
sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 1986). Definisi
stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis
yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global),
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat
menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke
dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia
atau perdarahan otak.
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi (Hacke, 2003). Munculnya tanda dan gejala fokal atau
global pada stroke disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat
berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia
sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak
tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau
perdarahan subrakhnoid (Bruno et al., 2000).
Lesi iskemik parenkim otak disebabkan oleh gangguan suplai darah
otak yang persisten, biasanya baik oleh blokade pembuluh darah yang
memberikan suplai (arteri), atau yang lebih jarang, oleh hambatan aliran vena
yang menyebabkan stasis darah, dengan gangguan sekunder penghantaran
oksigen dan nutrien. Aliran darah ke otak normalnya adalah 58 mL/100 gram
jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per
menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,
sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai
<10 mL/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan
biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk daerah infark.
Stroke yang berhubungan dengan kardioemboli cenderung
bermanifestasi lebih berat, berisiko tinggi untuk berulang, serta berhubungan
dengan mortalitas yang lebih tinggi. Kardioemboli akibat fibrilasi atrium akan
meningkatkan risiko stroke sebanyak lima sampai enam kali lipat. Selain itu,
kejadian rekurensinya jauh lebih tinggi dibanding kan dengan penyebab
stroke lain. Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu
berkisar 1,5% pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga
23,5% pada kelompok usia 80 sampai 89 tahun. Sedangkan rerata insiden
stroke dan emboli sistemik lain adalah 5%.
Risiko stroke dan emboli sistemik pada pasien dengan FA didasari
sejumlah mekanisme patofisiologis, yaitu abnormalitas aliran darah,
abnormalitas endokard, dan unsur darah. Abnormalitas aliran darah ditandai
dengan stasis aliran darah di atrium kiri akan menyebabkan penurunan
kecepatan aliran pada aurikel atrium kiri (AAK) yang dapat terlihat sebagai
spontaneous echo-contrast pada ekokardiografi. AAK merupakan sumber
emboli yang utama (>90%). Abnormalitas endokard terdiri dari dilatasi
atrium yang progresif, denudasi endokard, dan infiltrasi fibroelastik dari
matriks ekstraseluler. Sedangkan, abnormalitas unsur darah berupa aktivasi
hemostatik dan trombosit, peradangan dan kelainan faktor pertumbuhan dapat
ditemukan pada FA.
Emboli di otak mengakibatkan terganggu nya aliran darah ke otak, otak
akan mengalami kekurangan asupan oksigen dan glukosa untuk proses
fosforilasi oksidatif. Terjadilah proses oksidasi anaerob yang menghasilkan
asam laktat. Otak akan mengalami asidosis, akibatnya terjadi denaturasi
protein, influks kalsium, edema glial, dan produksi radikal bebas Di sisi lain,
kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan deplesi ATP, sehingga
pompa Na-K ATPase juga mengalami kegagalan. Hal ini akan menyebabkan
proses depolarisasi membran, sehingga terjadilah influks natrium. Natrium
masuk ke intrasel dengan membawa Cl- dan H2O, akibatnya sel akan
mengalami pembengkakan dan osmolisis Terjadinya depolarisasi sel dan
pembengkakan sel akan menyebabkan glutamat keluar ke ruang ekstraseluler.
Hal ini akan memacu reseptor-reseptor glutamat pada sel. Ada dua bentuk
reseptor glutamat, yaitu reseptor metabotropik dan reseptor ionotropik.
Rangsangan pada setiap reseptor glutamat ionotropik menyebab kan
depolarisasi membran oleh karena masuknya ion yang bermuatan positif dan
secara tidak langsung merangsang voltage gated calcium channel.
Reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dapat memasukkan kalsium
dan natrium ke dalam sel dan rangsangan yang berlebihan akan menyebabkan
kelebihan kalsium dalam neuron. Reseptor AMPA (alpha amino 3 hydroxy 5
methyl isoxazolepropionic acid) dan reseptor kainate berhubungan dengan
saluran ion dan agak kurang permeabel terhadap kalsium. Masuknya kalsium
ke dalam neuron dapat mengaktivasi enzim seperti protein kinase C,
kalmodulin, fosfolipase, nitrit oksidase sintesis, endonuklease, dan ornitin
dekarboksilase. Semuanya ini menyebabkan kerusakan membran sel dan
struktur neuron lainnya, sehingga terjadi kematian sel. Radikal bebas, asam
arakidonat, dan nitrit oksida yang timbul akibat proses tersebut akan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada sel neuron.
Resiko stroke pada AF dapat ditaksir dengan skor CHA2DS2-VASc
terdiri dari Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2),
Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age
between 65 to 74 years, Sex Category (female). Skor CHA2DS2-VASc sudah
divalidasi pada berbagai studi kohor dan menunjukkan hasil yang lebih baik
untuk mengidentifikasi pasienpasien AF yang benar-benar risiko rendah,
tetapi juga sebaik atau mungkin lebih baik dari skor CHADS2 untuk
identifikasi pasien AF yang akan mengalami stroke dan tromboemboli
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada
pasien AF meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan
baru), dan antiplatelet. Sedangkan Rekomendasi Terapi Stroke Tipe
Kerdioembolik dengan Atrial Fibrilasi:
a. Penderita stroke iskemik atau TIA disertai dengan fibrilasi atrial
intermiten atau permanen yang paroksismal direkomendasikan pengobatan
antikoagulasi dan antagonis vitamin K (target INR 2,5 dengan rentang 2,0-
3,0) (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).1
b. Jika pasien tersebut tidak dapat diberikan antikoagulan, maka pemberian
aspirin saja direkomendasikan (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).1
c. Kombinasi klopidogrel dengan aspirin mempunyai risiko perdarahan yang
sama dengan pemberian warfarin. Oleh karena itu, pemberiannya tidak
direkomendasikan kepada pasien-pasien yang kontraindikasi terhadap
warfarin (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).1
d. Pasien-pasien dengan fibrilasi atrial dan mempunyai risiko tinggi terjadi
stroke (menderita stroke atau TIA dalam 3 bulan terakhir, CHADS skor 5
atau 6, terpasang katup mekanik atau menderita penyakit katup jantung
rematik) yang memerlukan terapi sementara antikoagulan oral, dapat
dipertimbangkan mendapat terapi bridging dengan pemberian LMWH
subkutan (AHA/ASA, Class II, Level of evidence C).1
e. Pasien-pasien yang tidak dapat memeriksaan INR secara teratur dapat
diberikan dabrigatan etexilate (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
pemebrian obat ini perlu diberikan secara berhati-hati karena sampai saat
ini belum ada obat-obatan yang dapat menghentikan komplikasi
perdarahan.
TRANSFORMASI PERDARAHAN (Hemmoragic Transformation, HT)
STROKE INFARK
Transformasi perdarahan merupakan suatu keadaan dimana stroke infark
berubah menjadi stroke hemoragik. Hal ini mengacu pada perubahan yang terjadi
di antara area stroke yang memungkinkan kebocoran darah dari arteri yang
mengalami kerusakan. Transformasi perdarahan merupakan komplikasi penting
dari stroke iskemik. Beberapa penelitian menduga pada hampir semua kejadian
infark selalu disertai komponen perdarahan berupa petekie. Dengan menggunakan
CT Scan 5% dari kejadian infark dapat berkembang menjadi transformasi
perdarahan. Penggunaan antitrombotik, terutama antikoagulan dan trombolitik
salah satunya dapat meningkatkan kejadian transformasi perdarahan
Patogenesis transformasi hemoragik dari stroke merupakan fenomena yang
kompleks. Transformasi perdarahan terjadi karena jaringan iskemik sering
dilakukan reperfusi ketika emboli lisis spontan dan aliran darah dikembalikan ke
daerah yang sebelumnya iskemik. Dalam hitungan detik ke menit setelah
terjadinya iskemia, ATP menurun secara substansial, mengorbankan aktivitas Na
+ -K + ATPase. Hal ini menciptakan serangkaian ketidakseimbangan seluler dan
metabolisme yang secara kumulatif menimbulkan gangguan dari BBB. Infiltrasi
leukosit memainkan peran penting dalam memicu gangguan sawar darah otak dan
transformasi hemoragik. Leukosit sangat penting dalam respon inflamasi, dan
jumlah sel darah putih secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami
transformasi hemoragik dibandingkan pada mereka yang tidak (Xing et al 2014).
Gangguan yang dihasilkan dari BBB dan kerusakan kapasitas autoregulatory dari
pembuluh darah otak merupakan faktor predisposisi terjadinya ekstravasasi darah
ketika jaringan iskemik akhirnya mengalami reperfusi. Leukosit dapat merusak
sel-sel endotel mikrovaskuler, memediasi gangguan sawar darah otak, dan
menyebabkan transformasi hemoragik. Tingkat gangguan anatomi dan fisiologi
muncul sangat tergantung pada durasi iskemia (Zhang, 2014).
Pengobatan trombolitik dengan tPA dapat berhasil mereperfusi otak yang
mengalami iskemik, tetapi hal ini justru meningkatkan kejadia HT, yang
membatasi penggunaannya. Data terbaru menunjukkan bahwa aktivitas tPA di
unit neurovaskular bertanggung jawab untuk beberapa efek samping yang
neurotoksik. Selain perannya dalam melisiskan gumpalan, TPA juga merupakan
protease ekstraseluler dan molekul sinyal di otak. Secara khusus, tPA memediasi
renovasi matriks selama perkembangan otak dan plastisitas. Dengan berinteraksi
dengan NMDA- suatu jenis reseptor glutamat, tPA mungkin berpotensi
memperkuat excitotoxin kalsium. Selanjutnya, pada konsentrasi tertentu, tPA
mungkin vasoaktif. Akhirnya, dengan meningkatkan disregulasi matriks
metalloproteinase (MMP) setelah stroke, tPA dapat menurunkan integritas matriks
ekstraselular dan meningkatkan risiko kematian neurovaskular sel, BBB
kebocoran, edema, dan perdarahan (49
Secara radiografis, peneliti dari ECASS (European Coopera-tive Acute
Stroke Study) mengklasifikasikan transformasi hemoragik menjadi infark
hemoragik (infark petekial tanpa effek yang memenuhi ruang) dan hematoma
parenkim (perdarahan yang disertai effek massa). Infark hemoragik dibagi lebih
lanjut menjadi infark hemoragik 1 (petekie kecil) dan infark hemoragik 2 (petekie
yang lebih banyak bertaut). Begitu juga, hematoma parenkim dibagi lebih lanjut
menjadi hematoma parenkim 1 (kurang dari 33% dari daerah infark disertai effek
menempati-ruang yang sifatnya ringan) dan hematoma parenkim 2 (lebih dari
33% dari daerah infark disertai effek menempati-ruang yang signifikan atau
disertai bekuan darah yang jauh dari daerah infark). Gambar radiografi, HI1
ditandai dengan hyperdense petechiae kecil, sedangkan hi2 mengacu hyperdensity
yang lebih terhimpit di seluruh zona infark. Kedua dari dua jenis tanpa efek
massa. PH1 mengacu pada hyperdensity homogen menempati kurang dari 30%
dari zona infark, dengan beberapa efek massa, dan PH2 mengacu pada
hyperdensity homogen menempati lebih dari 30% dari zona infark, dengan efek
massa yang signifikan.
Secara klinis, HT dapat juga diklasifikasikan menjadi simptomatik atau
nonsimp-tomatik. Perdarahan intrakranial didefinisikan sebagai simptomatis jika
pasien memiliki penurunan klinis sehingga menimbulkan peningkatan National
Institutes for Health Stroke Scale (NIHSS) score ≥4 poin dan jika perdarahan itu
menjadi penyebab kerusakan klinis. Klasifikasi klinis berguna dalam
menunjukkan bahwa perdarahan yang lebih besar lebih mungkin simptomatis, dan
lebih mungkin memberikan efek negatif dalam mempengaruhi hasil stroke, dan
dengan demikian penting untuk strategi pencegahan. Namun, masih timbul
keraguan mengenai apakah edema atau perdarahan yang menyebabkan keadaan
patologis, berhubungan dengan perdarahan yang mengakibatkan kerusakan yang
diasumsikan. Beberapa review menunjukkan bahwa risiko awal kerusakan
neurologis dan kematian dalam 3 bulan meningkat setelah PH2, menunjukkan
bahwa hematoma besar adalah satu-satunya jenis HT yang dapat mengubah
perjalanan klinis stroke iskemik.
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan
asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B).1 Terapi transformasi
perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan
memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara
hati-hati.