struma nodosa non toksik
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Struma nodosa nontoksik merupakan struma nodosa tanpa disertai tanda- tanda
hipertiroidisme. Pembesaran kelenjar tiroid ini bukan merupakan proses inflamasi atau
neoplastik dan tidak berhubungan dengan abnormalitas fungsi tiroid.
Kelainan ini dapat terjadi akibat proses fisiologis ataupun patologis. Keadaan ini normal
terjadi pada masa pubertas, menstruasi, ataupun pada kehamilan. Sedangkan pada kekurangan
iodium, kelainan kongenital, atau akibat konsumsi makanan atau obat-obatan yang bersifat
goitrogenik keadaan ini merupakan proses patologis yang harus diterapi.
Kelainan ini sangat sering terjadi terutama di daerah endemik dengan defisiensi iodin.
Struma nodosa endemik terjadi pada 10% populasi suatu daerah. Sedangkan struma nodosa yang
bersifat sporadik disebabkan oleh multifaktor seperti lingkungan dan genetik dan tidak
melibatkan populasi umum.
Perbandingan struma nodosa pada perempuan dan laki –laki adalah 5-10 : 1. Struma yang
bersifat sporadik akibat dari dishormogenesis. Struma endemis biasanya timbul pada masa kanak
– kanak. Struma sporadik karena penyebab lain jarang terjadi sebelum pubertas dan tidak
memiliki usia insiden puncak. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut,
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hiperplasia dan bagian
yang berinvolusi. Pada awalnya, sebagian dari struma multinodosa dapat dihambat
pertumbuhannya dengan hormon tiroksin. Tiga sampai 5% struma nodosa nontoksik berisiko
menjadi ganas. 6
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan
patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma. 1
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan. Kelenjar tyroid
mulai terlihat terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama
kehamilan. Kelenjar tyroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan
kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah
bawah mengalami desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk
sebagai duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih menetap.
Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal, seperti persisten
duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan
membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut membentuk kelenjar tyroid,
merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tyroid
janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. 1,2
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan
syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga sampai tiga
perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang.
2
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea
2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan
dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar
tyroid atau tidak. 2
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh
jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular.2
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl.
Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.2
3
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel terdiri
dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya
menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk
membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000).2
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di
perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap
dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam
tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang
kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG)
atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA). 1
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen
(5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang
tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler. 2
4
Pengaturan faal tiroid : 2
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH
(thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi
hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek
hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya
hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus.
Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : 2
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam
dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal meningkat,
cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot menipis pada dosis
farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol
dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid
kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester
dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid.
Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus
gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare, gangguan faal hati,
anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Klasifikasi Struma.3,4
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan).
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis
kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih
kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium.
Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum
diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
6
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
3. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina,
brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam
rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid.
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
1. Defisiensi Iodium.
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis.
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan
pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis
hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi.
7. Penyakit deposisi.
8. Resistensi hormon tiroid.
7
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis).
10. Silent thyroiditis.
11. Agen-agen infeksi.
12. Suppuratif Akut : bacterial.
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit.
14. Keganasan Tiroid.
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4.
2. Aktivasi reseptor TSH.
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G.
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth
factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan
penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya.
Patofisiologi : 3,4
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan dalam
struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh TSH, TSH-
Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin, akan menyebabkan
struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke
kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa.
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan peningkatan
produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar
tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini terus menerus, akan terbentuk
8
struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid,
defisiensi iodida dan goitrogen.
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk
stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap
hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi
human chorionic gonadotropin.
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan lainnya, yaitu
morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui
dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
Batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
9
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli waktu
melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
5. Jantung : Takikardi
10
Status Lokalis :
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideu
STRUMA NON TOKSIK5
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau nodular.
Hampir semua struma diduga sebagai hasil dari stimulasi TSH sekunder yang
menyebabkan kurangnya sintesis hormon tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid tersebut berguna
untuk mempertahankan pasien dalam keadaan eutiroid. Struma dapat berbentuk difus,
uninodular, atau multinodular. Struma familial diakibat oleh kurangnya enzim yang diperlukan
untuk sintesis hormon tiroid secara keseluruhan atau parsial dan bersifat genetik.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut struma
11
nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di daerah pegunungan
karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita
usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi.
Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau
adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa
gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto
Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan
sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator.
Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul hangat, dan
nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Hampir semua pasien struma nodusa non toksis tidak memiliki keluhan. Pada umumnya
pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan.
Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala
mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Jika ada pasien
yang datang dengan keluhan kelumpuhan nervus rekuren laringeal seperti suara parau sebaiknya
dicurigai kearah keganasan.
12
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher sebelah
lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah bening,
sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita datang karena
benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada kranium.
Diagnosis
Anamnesa sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah endemis dan
banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah sebelumnya penderita
pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis
kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma
tiroid tipe meduler).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan bawah
yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di atasnya apakah
hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita dan
jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
13
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada umumnya
pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai sangat keras. Yang
multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut lebih menonjol dan lebih
keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya
metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Pemeriksaan sidik tiroid.
Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc99m per
technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid, serta pemeriksaan in
vitro menggunakan I125 untuk T3, T4, dan TSH (RIA).
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop yang utama ialah mengetahui fungsi bagian-
bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara
fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil
sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :
o Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan keadaan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya.
Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
14
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan,
tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan
yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul.
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau
positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Petanda Tumor.
5. Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum. Kadar Tg
serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rataa-rata 323 ng/ml, dan pada
keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah:
1. keganasan
15
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila hanya
satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena dilakukan subtotal
tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher maka dikerjakan juga deseksi
kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya
ekstensi dan luasnya ekstensi di luar kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai
supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi
baik (TSH dependence). Terapi supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang tidak
resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet dengan dosis : 3x75 Ug/hari p.o
16
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi., EGC.,
Jakarta.
2. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :
Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta.
3. Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/med/topic919.htm
4. Mulinda, James R., 2005., Goiter., eMedicine.,
http://www.emedicine.com/MED/topic916.htm
5. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid., In
: Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill.,
Newyork.
6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta
17
18