studi kasus ham
TRANSCRIPT
Ini studi kasus yang pertama boo tinggal pilih aja :)
I. STUDI KASUS
a. Kasus
“Pembajakan Kapal Indonesia oleh Perompak Somalia”
Kasus pembajakan di lepas pantai oleh perompak Somalia yang dialami kapal
Sinar Kudus pada 16 Maret 2011 lalu, hingga saat ini masih nihil dari upaya
pembebasan. Keluarga ABK, salah satunya dari Kabupaten Kediri merasa cemas
dan berharap pemerintah segera turun tangan.
Salah satu ABK kapal Sinar Kudus adalah Mas Bukhin (37), warga Desa
Purwokerto, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Hingga saat ini PT
Samudera Indonesia sebagai pemilik kapal dianggap belum serius melakukan
pembebasan, sehingga 31 ABK yang 20 diantaranya Warga Negara Indonesia
(WNI) merasa sangat tertekan.
"Kontak terakhir ke saya Sabtu kemarin, itupun tak lebih dari 5 menit. Intinya
dia minta saya hubungi Kapolri agar membantu membebaskan, karena perusahaan
sepertinya sudah lepas tangan," ungkap Febi Susilo, keponakan Mas Bukhin saat
ditemui detiksurabaya.com di rumahnya, Kelurahan Burengan, Kecamatan Kota,
Kota Kediri, Kamis (31/3/2011).
Febi yang tercatat sebagai Anggota Sat Brimob Polda Jatim menambahkan,
meski kondisi ABK seluruhnya dipastikan aman, belum adanya upaya pembebasa
dianggap sebagai bentuk lepas tanggung jawab yang tak semestinya ditunjukkan.
"Makan, salat masih boleh. Bahkan telepon kalau tujuannya minta agar bisa
segera dibebaskan juga diizinkan. Tapi kan tetak gak nyaman," sambungnya.
Kapal Sinar Kudus dibajak oleh perompak Somalia pada 16 Maret 2011 di
perairan Laut Arab, saat melakukan perjalanan dari Pomala, Sulawesi Selatan ke
Roterdam, Belanda. Kapal bermuatan biji nikel tersebut berangkat pada tanggal
28 Februari 2011 dan seharusnya sampai 34 hari kemudian.
"Pembajaknya minta tebusan dua setengah juga dollar Amerika. Kalau
dirupiahkan sekitar dua puluh tiga miliar," tandas Febi.
Menyikapi permintaan pamannya, Febi mengaku hanya bisa melaporkannya
via kotak aduan online Mabes Polri, dan sejauh ini belum mendapatkan
tanggapan. PT.Samudera Indonesia sejauh ini dianggap belum melakukan
tindakan apapun, meski keberadaannya di Jakarta.
"Saya di Kediri lapor ke Polres kan jelas salah alamat, jadi saya lapornya via
email ke Mabes (Polri). Nah perusahaan yang seharusnya lapor langsung, sejauh
ini sepertinya gak ada tindakan," tegas Febi.
Sementara Yunita (35), istri dari Mas Bukhin juga menyampaikan permintaan
yang sama. Ibu dari Maya Atria dan Satria Luhuring Pambudi tersebut sementara
hanya bisa berdoa, suaminya secepatnya bisa dibebaskan.
"Mungkin ini yang terakhir kerja sampai ke Eropa. Nanti kalau layar lagi,
cukup yang dalam negeri saja," ungkap Yunita dengan mata berkaca-kaca.
Terkait pembajakan yang dialami suaminya, Yunita mengaku sebenarnya
sudah memiliki firasat. Namun karena bekerja di pelayaran sudah dijalani
suaminya sejak tahun 1996 silam, dia tak menjadikan apa yang dirasakannya
sebagai alasan melarang keberangkatan.
"Pas berangkat dia telepon kakaknya, minta agar menjaga saya dan anak-
anak. Dia juga berangkat sambil dada-dada, padahal sebelumnya gak pernah
seperti itu," pungkas Yunita sedih.
b. Pendapat
Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 1).
Itu artinya para sandra yang merupakan warga negara Indonesia berhak
mendapatkan jaminan dan perlindungan dari pemerintah. Pemerintah harus
menyelamatkan mereka walaupun pada akhirnya negara harus mengeluarkan uang
tebusan untuk membebaskan mereka. Keselamatan manusia dalam hal ini mereka
adalah WNI harus diprioritaskan daripada kepentingan negara lainnya, misalnya
dana untuk merenovasi gedung DPR.
II. KESIMPULAN
1. HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga, dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara.
2. Ada tidaknya rule of law di dalam suatu negara ditentukan oleh ”kenyataan”,
apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati keadilan, dalam arti : perlakuan
yang adil dan baik dari sesama warga negaranya, maupun dari pemerintahannya,
sehingga inti dari rule of law adalah adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh
masyarakat/bangsa.
Ini refrensi kasus yang lain booo :)
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, seperti di daerah-daerah konflik, kerusuhan Mei 1998, hingga pembunuhan Munir, merupakan sederet kasus yang tidak terselesaikan karena kentalnya intervensi politik terhadap penegakan HAM.
Berbagai permasalahan tersebut menguak dalam diskusi bertajuk �HAM dalam Perspektif Hukum dan Politik� yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Diskusi yang merupakan hasil kerja sama PSKP dengan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) digelar Senin (31/8) di Ruang Seminar Fisipol UGM. Kegiatan diselenggarakan dalam rangka Pekan Hak Asasi Manusia 2009.
Dalam acara yang menghadirkan pembicara Drs. Dafri Agus Salim, M.A., staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol UGM, dan Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum., staf pengajar Fakultas Hukum UGM, juga dibahas beberapa kasus pelanggaran HAM lain yang menimpa WNI dan terjadi di luar negeri. Berbagai pelanggaran yang terjadi di luar negeri tidak mendapat perhatian yang serius. Kalaupun ada respon yang diberikan oleh aktor-aktor dan lembaga-lembaga politik di Indonesia, itu hanya sekadar komoditas politik untuk kepentingan jangka pendek.
Dari kasus-kasus tersebut, dipaparkan di akhir diskusi, setidaknya ada dua persoalan mendasar yang patut untuk dicari jalan keluarnya. Pertama, lemahnya perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia. Kedua, adanya perbedaan dalam menginterprestasikan penegakan HAM dari perspektif hukum dan politik. (Humas UGM/Ika)
kasus Munir
Berikut adalah kronologis pembunuhan Munir hingga proses pengadilan tersangka pembunuh
Munir.Pada 6 September 2004 Munir menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi program
master (S2) di Universitas Utrecth Belanda. Munir naik pesawat GarudaIndonesia GA-974 pada
pukul 21.55 WIB menuju Singapura untuk kemudian transitdi Singapura dan terbang kembali ke
Amsterdam. Tiba di Singapura pada pukul00.40 waktu Singapura. Kemudian pukul 01.50 waktu
Singapura Munir kembaliterbang dan menuju Amsterdam. Tiga jam setelah pesawat GA-974
take off dariSingapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang
penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik
ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisiMunir. Munir pun
dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga
berusaha menolongnya. Penerbangan menujuAmsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua
jam sebelum mendarat 7September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol
Amsterdam, saatdiperiksa, Munir telah meninggal dunia. Pada tanggal 12 November
2004dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak
senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisiIndonesia. Belum
diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yangmenduga bahwa oknum-oknum
tertentu memang ingin menyingkirkannya.Salah satunya adalah kebencian para penguasa orde
baru terhadap gerakan‘human right’ Munir. Mereka “penguasa” yang telah semena-mena
menindas,membunuh, dan membantai rakyat kecil mendapat perlawanan keras dari Munir.Munir
tanpa lelah terus mencari fakta dan realita untuk mengungkap kasus-kasus
pembantaian orang dan rakyat yang tidak berdosa. Meskipun dirinya dankeluarganya menerima
berbagai ancaman pembunuhan, Munir tetap melangkahkan perjuangannya dengan darah jadi
taruhannya.Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (danakhirnya
terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan,terungkap bahwa pada 7
September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Laluia membuat surat tugas palsu dan
mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat tatkala
Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Sebelum pembunuhan
Munir, Pollycarpusmenerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh
agenintelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP dijatuhi vonis20
tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakuidirinya sebagai
pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surattugas dan hal-hal yang
janggal. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpusmembunuh Munir. Apakah dia
bermusuhan atau bertengkar dengan Munir. Tidak ada historis yang menggambarkan hubungan
mereka berdua.Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah
menghubungiPollycarpus dari agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI,
yakniMayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR
pernahmenduduki jabatan sebagai Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yangditinggali
Prabowo Subianto (pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernahmenjabat sebagai Deputi
Badan Intelijen Indonesia.Muchdi PR ditangkap pada 6 Juni 2008. Lalu ia disidangkan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan pada awal Desember 2008, jaksa penuntut umum (JPU)
kasus pembunuhan Munir menuntut Muchdi PR dihukum 15 tahun penjara. MuchdiPR terbukti
menganjurkan dan memberikan sarana kepada terpidana PollycarpusBudihari Priyanto untuk
membunuh Munir.Jaksa juga memaparkan sejumlah fakta yang terungkap dari keterangan saksi,
barang bukti, dan keterangan terdakwa selama 17 kali sidang. Di antaranya adalahsurat dari
Badan Intelijen Negara yang ditujukan kepada Garuda Indonesia pada Juni2004 yang
merekomendasikan Pollycarpus sebagai petugas aviation security. Haltersebut sangat tidak wajar
karena Badan Intelijen Negara ikut campur urusan bisnisGaruda hingga merekomendasikan
Pollycarpus untuk ikut terbang bersama Munir.Jaksa juga menunjuk bukti transaksi panggilan
dari nomor telepon yang diduga milik Pollycarpus ke nomor yang diduga milik Muchdi, atau
sebaliknya, yang tercatatdalam call data record. Selain itu, dalam persidangan Muchdi PR
memberikanketerangan berubah-ubah dan beberapa kali bertindak tidak sopan.Usaha para jaksa
membongkar kasus pembunuhan dan menuntut pelaku pembunuh kandas ditangan majelis hakim
PN Jakarta Selatan yang diketuai Suharto.Tanggal tanggal 31 Desember 2008, majelis hakim
menvonis bebas Muchdi Pr atasketerlibatannya dalam pembunuhan aktivis HAM – Munir.2.3
Pelanggaran HAM yang Tak Kunjung Usai
Kasus munir merupakan contoh lemahnya penegakkan HAM di Indonesia.Kasus Munir juga
merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saatitu lebih bersifat otoriter.
Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-
cara yang bersifat otoriter karena setiap manusiaatau warga Negara memiliki hak untuk
memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman.
Sedangkan bangsa Indonesia saat ini
memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAMseluruh
masyarakat Indonesia.Pemerintah hingga saat ini masih kurang tegas dalam menangani kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Hal itu dikarenakan kurang ketatnya peraturan
perundang-undangan dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Dan pemerintah kurang
disiplin melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan,sehingga terdapat kesan
kelonggaran bagi pelaku pelanggaran HAM.Selain hal tersebut, kasus munir merupakan suatu
kejahatan yang dicurigaidilakukan oleh penguasa sebelumnya, sehingga terkesan pemerintah
sekarangmenutup-nutupi “borok” pemerintah sebelumnya agar nama baik pemerintahan tidak
tercemar.Seharusnya pemerintah menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk
memberikan Hak-hak yang diimiliki seluruh masyarakat yang tertuang dalam UUD1945, batang
tubuh UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia,dan UU No. 26 Tahun
2000.Dalam UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintah menjamin Hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, hak
untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaanapa pun dan oleh siapa pun. Hal diatas sangat bertentangan
dengan hal yang diterimamunir sebagai warga Negara yang hanya ingin memperjuangkan
kebenaran atasketidak adilan yang terjadi pada masa pemerintahan orde baru, sehingga
dengandibunuhnya munir sudah jelas merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM
SATU lagi peristiwa memilukan terjadi di negeri ini: tragedi kemanusiaan Mesuji. Tindak kekerasan antara petugas keamanan (pamswakarsa) perusahaan perkebunan swasta (asing) dengan warga ini berawal dari sengketa kepemilikan lahan. Kekerasan yang terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung itu merupakan akibat dari pengelolaan bisnis kelapa sawit yang tidak jujur dan merugikan masyarakat sejak 1997. Kekerasan meningkat ketika pihak perusahaan menolak mengembalikan lahan kepada masyarakat sehingga tidak kurang 30 warga tewas. Mabes Polri mengoreksi dengan menyebutkan korban tewas 9 orang, termasuk dua petugas pamswakarsa yang dipenggal kepalanya. (SM, 22/12/11).
Bila pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dipahami tidak hanya berupa tindakan (action) tetapi sekaligus juga pendiaman (omission), ketika pelanggaran dilakukan oleh individu atau kelompok individu yang bukan aparat negara --namun negara melalui aparatnya tidak melakukan tindakan apa pun, baik preventif maupun represif-- maka indikasi terjadinya pelanggaran HAM jelas terlihat.
Sikap pemda setempat melalui berbagai kebijakan dan tindakan yang tidak berpihak pada masyarakat, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, menjadi bukti cukup kuat. Begitu pula dengan jarak waktu yang cukup lama antara terjadinya peristiwa (April dan November 2011) dan pengungkapannya secara terbuka pada pertengahan Desember 2011 menjadi indikasi tidak tertanganinya kasus itu dengan baik, bila tidak mau dikatakan telah terjadi pembiaran. Apalagi rekomendasi Komnas HAM terhadap pemerintah pun tidak mendapatkan tanggapan semestinya.
Dampak Konglomerasi
Sesungguhnya tragedi Mesuji bukanlah satu-satunya di negeri ini berkaitan dengan sengketa kepemilikan lahan dan pengelolaan sumber daya alam antara masyarakat dan pemilik modal. Menurut Kontras, di samping terjadi di Lampung dan Sumatra Selatan, setidak-tidaknya saat ini ada 6 kasus besar serupa, dari Papua, Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, hingga Sulawesi Tengah.
Dari semua kasus itu, akhirnya selalu menempatkan rakyat sebagai korban yang
tidak berdaya ketika harus berhadapan dengan pemilik modal. Marginalisasi dan kriminalisasi merupakan stereotipe perlakuan yang menimpa mereka. Persinggungan kepentingan antara bisnis perusahaan (korporasi) dan warga setempat, berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM. Seperti hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pemenuhan hak-hak lainnya.
Persoalan ini sebenarnya merupakan salah satu akibat dari kecenderungan global yang menempatkan sektor privat (korporasi) sebagai pilar utama, di samping negara dan masyarakat sipil. Negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan adalah pihak yang menentukan aktivitas bisnis macam apa yang mestinya boleh hidup dan berkembang di suatu negara. Orientasinya semata-mata untuk menyejahterakan rakyatnya. Idealnya, hubungan yang serasi di antara ketiganya akan melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Namun sebaliknya, tarik-menarik kepentingan di antara ketiga komponen tersebut menurut Eric Wilson justru menyebabkan pemerintah seringkali takluk pada kepentingan bisnis dan mengabaikan rakyatnya.
Tanggung Jawab
Dewasa ini perjuangan untuk menegakkan HAM menghadapi tantangan luar biasa sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme global yang menghendaki tata perekonomian dunia diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Hal ini mendorong munculnya korporasi sebagai pemilik modal dengan kekuatannya yang seringkali melebihi kekuatan negara.
Kendati masih diterima prinsip bahwa negara adalah pemegang kewajiban utama di bidang HAM, fakta menunjukkan dalam pola relasi kekuasaan horizontal, peluang terjadinya pelanggaran HAM menjadi lebih luas. Pelakunya juga meliputi aktor-aktor nonnegara, baik individu maupun korporasi. Artinya, pelanggaran HAM berpotensi dilakukan oleh korporasi, khususnya terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar perusahaan.
Keberadaan korporasi dan bisnis di mana pun pasti berorientasi mencari keuntungan. Namun bukan berarti hal itu bisa dilakukan dengan melanggar HAM masyarakat karena pelaku bisnis juga memiliki kewajiban di bidang HAM. Sebagaimana ditegaskan dalam Konferensi Dunia tentang HAM di Vienna pada
1993, bahwa pelaku bisnis memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan melaksanakan HAM. Hal ini kembali ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 2003 Nomor E/CN 4/ Sub 2/ 2003/ 12/ Rev 2 tentang Norms on the Responsibilities of Trans National Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Right.
Kewajiban dan tanggung jawab korporasi di bidang HAM lahir karena komitmen kemanusiaan dan kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, berisiko ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pengingkaran terhadap kewajiban tersebut melahirkan tanggung jawab bagi pelaku bisnis sebagai pelaku pelanggaran HAM. Konsekuensinya, negara melalui pemerintah harus berani lebih tegas mengambil tindakan yang berpihak membela kepentingan rakyat. Tidak sekadar melakukan tindakan hukum bagi pelaku dan pemilik korporasi, namun yang lebih penting adalah upaya pengembalian dan pemenuhan hak-hak masyarakat melalui rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban.
Kewajiban dan tanggung jawab tersebut menjadi makin penting mengingat masalah utama yang dihadapi manusia bukan lagi sekadar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai salah satu dampak dari eksploitasi dan ketidakpedulian korporasi sebagai pemilik modal.
Kronologi dibalik peristiwa mesujiDecember 22, 2011 by admin | 0 comments
Kronologi dibalik peristiwa mesuji memang banyak veri dari berbagai nara sumber tetapi ,
Ridha mengatakan, peristiwa di Desa Sungai Sodong dipicu oleh konflik tanah. Dimana pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan.
Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi.
Namun hingga saat ini perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan.
Tidak juga mengembalikan tanah tersebut, perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai gangguan. Kemudian, pada tanggal 21 april 2011, dua orang warga yakni Indra (ponakan) dan Saytu (paman) sekitar pukul 10.00 WIB keluar rumah berboncengan bertujuan ingin membeli racun hama.
Mereka melewati jalan poros perkebunan warga (bukan wilayah sengketa dan di luar Desa Sungai Sodong). Tidak ada yang mengetahui peristiwanya, tiba-tiba pada pukul 13.00 WIB tersebar kabar ada yang meninggal 2 orang. Berita itu sampai ke warga Sodong termasuk keluarga korban.
Mendengar berita tersebut, keluarga korban termasuk paman dan adiknya langsung menuju TKP dan menemukan Indra terkapar di jalan dengan luka tersayat lehernya(tidak sampai putus) dan diduga ada 3 luka tembak, dua di dada dan satu di pinggang. Sementara Saytu ditemukan di dekat perkebunan kelapa sawit atau sekitar 70 meter dari jasad Indra, dengan posisi tengkurap dalam keadaan sekarat.
“Saytu lalu ditanya adiknya siapa yang melakukan penganiayaan itu. Saytu menjawab yang melakukan adalah satpam, pam swakarsa, dan aparat,” ungkap Ridha.
Lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, sebagian warga mendatangi base camp perusahaan dan ber unjuk rasa di situ. Mereka mempertanyakan, serta meminta pertanggujawaban mengapa keluarga mereka dibunuh. Menurut pengakuan warga, kata Ridha, saat berdemo mereka tidak melakukan tindakan anarkis apalagi melakukan pembunuhan.
” terkait dengan 5 orang security perusahaan yang meninggal mereka tidak tahu. Ini yang harus diluruskan,” kata Ridha
1. Kasus antara PT Sumber Wangi Alam (SWA) dengan warga di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Peristiwa terjadi 21 April 2011. Ada pembunuhan 2 warga. Pembunuhan terhadap warga ini membuat warga marah karena menduga 2 warga tewas korban dari PT SWA. Akhirnya, warga menyerang PT SWA yang menyebabkan 5 orang tewas yaitu 2 orang Pam Swakarsa dan 3 orang karyawan perusahaan.
2. Kasus antara PT Silva Inhutani dengan warga di register 45 di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, terjadi sejak tahun 2009. PT Silva mendapatkan penambahan lahan Hak Guna Usaha (HGU). Nah, penambahan HGU itu melebar hingga ke wilayah pemukiman warga sekitar. HGU ini menjadi sumber konflik karena warga yang sudah tinggal bertahun-tahun di wilayah pemukiman diusir. Rumah-rumah warga dirobohkan.
Komnas HAM masih menyelidiki adanya korban dari kasus kedua ini. Sehingga, Komnas HAM belum menyatakan ada korban tewas dari kasus ini.
3. Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di register 45, Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, pada 10 November 2011. PT BSMI ini memang letaknya berdekatan dengan PT Silva Inhutani. Ada penembakan terhadap warga yang dilakukan Brimob dan Marinir, 1 warga tewas dan 6 warga menderita luka tembak.
Menurut Saud, di Lampung terdapat dua peristiwa berbeda, yaitu pada 2010 dan 2011. Peristiwa Mesuji pertama terjadi pada 6 November 2010, yaitu penertiban masyarakat perambah di lahan hutan sawit tanpa izin.
"Penertiban dan sosialisasi ini dilakukan oleh tim terpadu bentukan Gubernur Lampung. Tim itu terdiri dari Polda Lampung, Pemda, Kanwil BPN, dan personel TNI sebanyak 153 orang," ujar Saud dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Salah satu tempat yang ditertibkan adalah lahan perkebunan sawit Register 45 PT Silva Inhutani pada 6 November 2010 tersebut. Saat itu operasi penertiban dilakukan oleh 60 personel dari anggota kepolisian dengan dipimpin oleh Ajun Komisaris Besar Priyo Wira. "Massa dari masyarakat yang akan ditertibkan melakukan perlawanan sehingga terjadi bentrok antara petugas dan massa," sambungnya.
Saat bentrokan, kata Saud, Ajun Komisaris Besar Priyo nyaris dibacok oleh seorang warga, Nyoman Sumarde. Akibatnya, ia mengeluarkan tembakan terhadap Nyoman. Hal ini memicu kemarahan warga dan terjadi bentrokan yang lebih besar. Akibatnya, satu warga, Made Asta, tewas tertembak. "Saat Kapolres melakukan negosiasi, massa tetap anarki. Tertembaklah Made Asta di perut, dan meninggal dunia," urainya.
Menurut Saud, saat ini pelaku penembakan Made Asta belum diketahui karena proyektil dan senjata yang digunakan saat itu tengah dicocokkan. Dia mengatakan, kasus ini masih dalam penyelidikan.
Peristiwa Mesuji Lampung II masih di Kabupaten Mesuji, Lampung. Saud mengungkapkan, bentrokan terjadi saat masyarakat berunjuk rasa di areal PT Barat Selatan Makmur Investindo (PT BSMI).
Peristiwa yang terjadi pada 10 November 2011 itu berawal dari aksi penjarahan sejumlah warga di perkebunan sawit. Petugas keamanan perusahaan kemudian melaporkan aksi itu kepada polsek setempat. Saat dilaporkan, dua warga berusaha melarikan diri, yaitu Hendri dan Dani. Oleh karena itu, petugas keamanan setempat mengamankan motor yang ditinggalkan keduanya.
Dalam pemaparan kronologi ini, Saud juga menunjukkan sebuah video versi polisi mengenai peristiwa itu, menunjukkan warga datang dengan senjata tajam untuk menyerang areal perkebunan perusahaan itu. "Petugas keamanan di sana laporkan ada penjarahan. Saat dikejar, dua orang dari massa, Dani dan Hendry, melarikan diri. Tertinggallah motor dan diambil Polsek untuk olah tempat kejadian," tutur Saud.
Namun, di saat yang sama, ketika akan olah tempat kejadian tersebut, kata Saud, 14 anggota polisi dihadang oleh 100 orang, massa warga Mesuji. Mereka mempertanyakan keberadaan Hendry dan Dani yang dianggap hilang setelah peristiwa itu. Akibatnya, bentrokan pun terjadi. Dalam aksi ini, seorang pria bernama Suratno (20) terkena luka tembak.
Penembakan itu membuat amarah warga memuncak. Sekitar 300 warga, kata Saud, kemudian datang dan menyerang areal perusahaan perkebunan sawit tersebut. "Massa beringas menyerang, dan anggota kami mencoba evakuasi karyawan. Saat itu massa bertambah menjadi 300 orang dengan membawa senjata tajam untuk menyerang petugas," urainya.
Dari bentrokan tersebut, masyarakat yang terkena luka tembak bertambah sebanyak empat orang, yaitu Muslim, Robin, Rano Karno, dan Harun. Sementara itu, satu orang tewas tertembak, bernama Zaelani. Dalam bentrokan ini, tutur Saud, juga terdapat aksi pembakaran oleh warga terhadap 96 mes karyawan perusahaan, satu pos induk satpam, 29 mes karyawan divisi satu, 5 mes asisten manajer gudang bahan bakar, dan sejumlah gudang lainnya.