studi kasus pada illegal occupation

202
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Letak wilayah Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa menyebabkan Indonesia banyak memiliki hutan khususnya hutan hujan tropis. Areal hutan tersebut diperkirakan seluas kurang lebih 144 juta ha. 1 Hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia yakni dalam fungsi klimatologis, hidrolis, dan dalam memberikan kemanfaatan ekonomi. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan dengan tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum seperti untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta religi dan budaya, sehingga hutan memberikan manfaat bagi masyarakat. Untuk menjaga dan melestarikan fungsi hutan, dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan ditetapkan suatu prinsip perlindungan hutan. Prinsip perlindungan hutan ini merupakan prinsip yang tidak terpisahkan dan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan atau yang kini diistilahkan dengan good forestry governance. Penerapan 1 Salim H.S, 2006, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1

Upload: ngonhan

Post on 31-Dec-2016

259 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: studi kasus pada illegal occupation

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Letak wilayah Indonesia yang berada pada daerah khatulistiwa

menyebabkan Indonesia banyak memiliki hutan khususnya hutan hujan

tropis. Areal hutan tersebut diperkirakan seluas kurang lebih 144 juta ha.1

Hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia yakni

dalam fungsi klimatologis, hidrolis, dan dalam memberikan kemanfaatan

ekonomi. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan

dengan tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum seperti

untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,

serta religi dan budaya, sehingga hutan memberikan manfaat bagi

masyarakat.

Untuk menjaga dan melestarikan fungsi hutan, dalam peraturan

perundang-undangan di bidang kehutanan ditetapkan suatu prinsip

perlindungan hutan. Prinsip perlindungan hutan ini merupakan prinsip yang

tidak terpisahkan dan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan

atau yang kini diistilahkan dengan good forestry governance. Penerapan

1 Salim H.S, 2006, Dasar-dasar Hukum Kehutanan, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, hal.

1

Page 2: studi kasus pada illegal occupation

2

good forestry governance merupakan salah satu kunci untuk menekan

terjadinya kerusakan hutan.

Dalam tataran filosofi Hindu, prinsip perlindungan hutan dapat dilihat

pada sejumlah pustaka suci. Prinsip ini terangkum dalam Sad Kertih yang

tertuang dalam Kitab Purana terutamanya mengenai Wana Kertih yaitu

upaya untuk melestarikan hutan. Sad Kertih merupakan enam konsep dalam

melestarikan lingkungan yang terdiri dari Atma Kertih yaitu upaya untuk

menyucikan Atma, Samudra Kertih yaitu upaya untuk melestarikan

samudra, Wana Kertih yaitu upaya untuk melestarikan hutan, Danu Kertih

yaitu upaya untuk menjaga kelestarian sumber air tawar di daratan, Jagat

Kertih yaitu upaya untuk melestarikan keharmonisan hubungan sosial yang

dinamis dan produktif berdasarkan kebenaran dan Jana Kertih yakni upaya

untuk menjaga kualitas individu.2

Hutan dalam lontar Bhuwana Kosa VIII, 2-3 dikatakan sebagai

sumber penyucian alam dimana patra (tumbuh-tumbuhan) dan pertiwi

(tanah) merupakan pelebur dari segala hal yang kotor di dunia ini. Pustaka

suci Rgveda III.51.5 misalnya menyebutkan: “Indraa ya dyaava osadhir uta

aapah. Rayim raksanti jiyaro vanani” yang artinya tanpa terlindungi

sumber-sumber alam tersebut manusia tidak akan pernah mendapatkan

kehidupan yang aman damai dan sejahtera. Selanjutnya dalam kitab

Pancawati sebagaimana yang dikutip oleh I Ketut Wiana dijabarkan

2 I Ketut Wiana, “Mulianya Pahala Menjaga Kelestarian Hutan”, disampaikan pada Dharma

Wacana tentang upaya pelestarian hutan menurut agama Hindu yang diselenggarakan oleh Dinas

Kehutanan Provinsi Bali di Desa Ban Kabupaten Karangasem pada 24 Juni 2010.

Page 3: studi kasus pada illegal occupation

3

mengenai tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri)

yakni:

a. Maha wana adalah hutan belantara sebagai sumber dan pelindung

berbagai sumber hayati di dalamnya. Maha wana juga sebagai waduk

alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun.

b. Tapa wana artinya tempat orang-orang suci mendirikan pertapaan atau

pasraman. Di pasraman inilah doa-doa suci terus dipanjatkan dan juga

ajaran-ajaran suci ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat yang

datang mohon tuntunan pada orang-orang suci tersebut.

c. Sri wana artinya hutan sebagai sumber membangun kemakmuran

ekonomi.3

Umat Hindu di Bali sangat menghormati keberadaan pohon dan

kelestarian lingkungan. Penghormatan umat Hindu terhadap pohon ini

merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap Dewa Wisnu dan Dewi

Wasundari. Dalam mitologi Linggod Bhawa disebutkan bahwa Dewa

Wisnu sebagai Dewa Air menjelma menjadi babi hitam yang mencari ujung

bawah dari lingga yoni. Dalam pencarian tersebut Dewa Wisnu bertemu dan

kawin dengan Dewi Wasundari (ibu pertiwi). Dari perkawinan ini lahirlah

bhoma (bahasa Sanskerta dari pohon). Hal ini melukiskan peristiwa alam

dimana air yang bertemu dengan bumi (pertiwi) melahirkan pohon.

3 Ibid.

Page 4: studi kasus pada illegal occupation

4

Wujud nyata dari penghormatan ini dapat dilihat dari adanya upacara

tumpek uduh yang dilaksanakan setiap wuku wariga. Tumpek uduh dimaknai

sebagai hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan

hidup segala tumbuh-tumbuhan (pohon-pohonan) agar tumbuh subur,

terhindar dari hama penyakit dan memberikan hasil yang lebih baik dan

berlimpah. Di jalan pun seringkali ditemukan pohon-pohon yang dilingkari

dengan kain poleng (putih hitam). Ciri ini memiliki makna filosofis yang

tinggi dimana para leluhur mengajarkan untuk “memanusiakan lingkungan”,

sehingga pohon-pohonan tersebut akan diperlakukan layaknya

memperlakukan manusia. Manusia diharapkan menghindari penebangan

pohon namun apabila hal tersebut terpaksa dilakukan maka diharapkan

setiap penebangan pohon selalu diikuti dengan penanaman pohon lain di

sebelah pohon yang ditebang itu. Tradisi ini pun hingga kini tetap

dipertahankan.

Prinsip perlindungan hutan yang terkandung dalam berbagai

instrumen hukum nasional khususnya pada Undang-undang No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan sesungguhnya berakar pula dari hukum adat. Sejak

masa kerajaan di Bali telah dikenal profesi Mantri Juru Kayu atau kini

dikenal dengan sebutan Menteri Kehutanan. Dalam Lontar Manawa Swarga

dinyatakan bahwa barang siapa yang menebang pohon tanpa izin Raja akan

didenda sebesar lima ribu kepeng. Sanksi tersebut diikuti dengan sanksi

Page 5: studi kasus pada illegal occupation

5

spiritual berupa pengenaan kutukan agar kepalanya botak bagi orang yang

menebang pohon sembarangan.4

Sanksi terhadap pengerusakan hutan juga terkandung dalam awig-

awig desa pakraman, antara lain desa pakaraman Buahan, Kintamani, Bangli

yang mengadaptasikan pesan leluhur mereka dalam menjaga kawasan hutan.

Pesan leluhur tersebut dimuat dalam 23 lembar prasasti yang disebut

“Prasasti Bhatara Ratu Pingit” dan disimpan di sebuah batu berlubang di

Hutan Alas Kekeran yang disakralkan sebagai tempat roh para leluhur.5

Pengaturan mengenai larangan pengerusakan hutan juga dapat dilihat

dari awig-awig Desa Tenganan Pegringsingan yang mengatur mengenai

sistem pengelolaan tata hutan. Adapun isi awig-awig tersebut antara lain,

larangan memetik buah- buahan seperti buah durian, buah kemiri, buah

pangi serta larangan menebang pohon di dalam hutan. Aturan ini sangat

ketat dan konsisten dengan penerapan sanksi baik yang bersifat material

maupun sanksi yang bersifat imaterial. Pengaturan sanksi dalam sejumlah

awig-awig ini sejalan dengan pemikiran dari aliran Mazhab Sejarah oleh

Von Savigny mengenai volkgeist (jiwa rakyat) dimana isi hukum ditentukan

oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.6

4 Ibid.

5 Wayan Pukel, --- “Pengabdi Penyelamat Lingkungan: Desa Adat Pakraman Buahan” ,

Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:http://www.google.com.

6 Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, hal. 40

Page 6: studi kasus pada illegal occupation

6

Negara hukum yang hanya dikonstruksikan sebagai bangunan hukum

perlu dijadikan lebih lengkap dan utuh, dalam hal perlu dijadikannya

memiliki struktur politik pula.7 Secara yuridis, pentingnya perlindungan

hutan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan ditindaklanjuti dengan langkah Presiden untuk

mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia dalam

situs resminya mengemukakan mengenai perlindungan hutan yakni sebagai

berikut:

Forest protecting consist of forest secure including flora and fauna,

forest rangers and investigation. The aim of forest protection are to

secure forest, forest land, and its environment in order to get sustainable

and optimal functions of the forest e.g. protection, conservation, and

production.8

(Perlindungan hutan terdiri dari pengamanan hutan atas flora dan fauna,

penjagaan hutan dan investigasi. Hutan melindungi terdiri dari hutan

yang aman termasuk flora dan fauna, penjaga hutan dan investigasi.

Tujuan perlindungan hutan untuk mengamankan hutan, lahan hutan, dan

lingkungan dalam rangka untuk mendapatkan fungsi yang berkelanjutan

dan optimal, misalnya hutan perlindungan, konservasi, dan produksi).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa

perlindungan hutan meliputi pengamanan hutan, pengamanan tumbuhan dan

satwa liar, pengelolaan tenaga dan sarana perlindungan hutan serta

penyidikan. Perlindungan hutan diselenggarakan dengan tujuan untuk

7 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta

Publishing, Yogyakarta, hal. 8, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I).

8 Departemen Kehutanan, “Forest Protection And Nature Conservation”, Serial Online (Cited

2011 Jan. 2), available from : URL:

http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/stat2002/PHKA/PHKA.htm.

Page 7: studi kasus pada illegal occupation

7

menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung,

fungsi konservasi dan fungsi produksi dapat tercapai secara optimal dan

lestari.

Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang

Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan

meliputi :

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil

hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,

daya-daya alam, hama, serta penyakit.

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan

perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta

perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Berdasarkan rumusan norma tersebut dapat dikatakan bahwa prinsip

perlindungan hutan memiliki dua fungsi yakni di satu sisi berfungsi dalam

melindungi kawasan hutan baik karena perbuatan manusia, ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan di sisi lain berfungsi

dalam mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan

perorangan atas hutan.

Pelaksanaan dari prinsip perlindungan hutan ini sesungguhnya

merupakan usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan

hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan mempertahankan dan

menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan

hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan

pengelolaan hutan (Pasal 47 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Page 8: studi kasus pada illegal occupation

8

Kehutanan). Hak-hak negara tersebut meliputi hak untuk menguasai hutan

dengan mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,

kawasan hutan, dan hasil hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai

kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan serta

mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan

hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan.

Masyarakat dan perorangan berhak untuk memanfaatkan dan

mendapatkan izin usaha atas hutan sesuai dengan prosedur hukum yang

berlaku. Oleh sebab itu ada 3 (tiga) prinsip minimal yang harus diperhatikan

dalam tata kelola kehutanan yang baik, yaitu partisipasi masyarakat,

transparansi dan akuntabilitas. Prinsip tersebut harus saling bersinergi untuk

mewujudkan usaha-usaha perlindungan terhadap hutan.

Untuk mewujudkan perlindungan hutan secara optimal maka

ditentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana yang ditegaskan

dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan dimana setiap orang dilarang:

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan

hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk

atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan

sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi

sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2

Page 9: studi kasus pada illegal occupation

9

(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga

puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi

pantai.

d. membakar hutan;

e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam

hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;

f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut

diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara

tidak sah;

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin

Menteri;

h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil

hutan;

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk

secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;

j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam

kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin

pejabat yang berwenang;

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan

kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan

fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan

satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari

kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Pengaturan yang komprehensif mengenai perlindungan hutan, ternyata

tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan. Seiring dengan kebijakan-

kebijakan perlindungan hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah,

organisasi lingkungan hidup dan masyarakat, ada saja persoalan yang

terjadi. Persoalan ini terlihat dari semakin meningkatnya angka deforestasi

Page 10: studi kasus pada illegal occupation

10

(perubahan tutupan suatu wilayah dari kawasan hutan menjadi tidak

berhutan) dan degradasi hutan (penurunan kualitas hutan). Supriadi dalam

bukunya yang berjudul “Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di

Indonesia” memprediksikan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di

Indonesia diperkirakan 70 sampai dengan 80 persen merupakan akibat

perbuatan manusia. Selanjutnya ia menambahkan bahwa permasalahan ini

bagi Indonesia merupakan sesuatu yang sangat sulit, kerusakan hutan di

Indonesia disebabkan karena ulah manusia, baik sebagai masyarakat

maupun sebagai pengusaha. Namun pada sisi lain negara maju mendesak

kepada negara berkembang, terutama negara yang memiliki hutan tropis

menghentikan pemanfaatan hutan untuk keperluan pembangunannya.9

Kerusakan hutan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh illegal

occupation terhadap kawasan hutan. Kasus illegal occupation sesungguhnya

telah ada sejak masa prasejarah, namun seiring dengan perkembangan

zaman, tujuan dan motif illegal occupation juga mengalami pergeseran.

Sejak masa bercocok tanam/ zaman neolithik (kurang lebih 2000 SM),

masyarakat seringkali membuka kawasan hutan dengan cara membakar

hutan. Setelah hutan dibakar, masyarakat mengokupasi kawasan hutan

tersebut dengan tinggal dan berladang di kawasan yang telah dibakar tadi.

Jika kesuburan tanah dianggap telah menurun, maka warga meninggalkan

lahan tersebut dan mencari lahan baru kembali. Peladang tradisional

9 Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 387-388.

Page 11: studi kasus pada illegal occupation

11

biasanya membuka ladang sesuai dengan kebutuhan pangan dan kondisi

calon pangan.10

Kegiatan membakar hutan dengan cara berhuma ini masih

ada hingga kini, walaupun jumlahnya sudah menurun.

Seiring dengan modernisasi yang terjadi di berbagai bidang

kehidupan maka tujuan dan motif dari illegal occupation terhadap kawasan

hutan juga mengalami perubahan. Kasus illegal occupation yang

termodernisasi ini secara nyata dapat dilihat pada hutan-hutan di Bali, yakni

illegal occupation dengan pensertifikatan kawasan hutan. Kasus illegal

occupation memang tidak hanya terjadi di Bali melainkan di hampir setiap

daerah yang memiliki kawasan hutan, salah satunya adalah di Desa

Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang. Dalam kasus

tersebut terdapat sengketa penguasaan tanah hutan antara PT Perhutani

dengan masyarakat sekitar hutan sebagaimana yang dituliskan oleh

Bambang Eko Supriyadi, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum PPSUB

bersama Achmad Sodiki dan I Nyoman Nurjaya dari Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya Malang. Dalam penelitian tersebut ditelusuri

mengenai latar belakang masyarakat Desa Sumbergondo melakukan

reklaiming dan mengokupasi tanah hutan Perhutani. Dari akar permasalahan

penyebab konflik tersebut maka dilacak mengenai upaya-upaya yang telah

dan sedang dilakukan oleh para pihak dan pemerintah daerah dalam

mengatasi masalah reklaiming dan okupasi tanah hutan, kendala-kendala

10 Samsudi, Agus Wiyanto, 2002, Modul Pelatihan Training of Trainers Pencegahan

Kebakaran Hutan, Departemen Kehutanan dan ITTO, Bogor, hal. 49.

Page 12: studi kasus pada illegal occupation

12

dan peluang para pihak dalam mengatasi masalah tersebut serta alternatif

penyelesaian masalah reklaiming dan okupasi tanah hutan, namun dalam

penelitian tersebut okupasi terhadap kawasan hutan oleh masyarakat di areal

kekuasaan pengelolaan PT. Perhutani (Persero) tidak sampai pada tahap

pensertifikatan.11

Tesis tentang kehutanan pernah ditulis oleh Anang Tri Hananta

dengan judul “Analisis Penegakan Hukum Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-

undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Wilayah Hukum

Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang.” Dalam tesis tersebut dibahas

mengenai pelaksanaan Pasal 50 dan 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun

1999 tentang Kehutanan di Kecamatan Ngantang dan dampak dan

penanggulangan penebangan liar di Ngantang sehingga dapat dicari solusi

yang benar-benar efektif guna memberantas pembalakan liar. Tesis ini

menelaah mengenai Pasal 50 yang juga mengatur mengenai larangan illegal

occupation namun dalam tesis ini pembahasan atas pasal tersebut dikaitkan

dengan penanggulangan terhadap pembalakan liar.12

11 Bambang Eko Supriyadi, Achmad Sodiki dan I Nyoman Nurjaya, “Sengketa Penguasaan

Tanah Hutan Antara PT. Perhutani (Persero) Dengan Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi di

Desa Sumbergondo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu Malang) The Conflict of Forest Land Control

between PT. Perhutani (Persero) and Village Society Surrounding Forest Area (A Study at Sumbergondo Village, District of Bumiaji, Batu, Malang),” Universitas Brawijaya, Malang, Serial

Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:

http://ppsub.ub.ac.id/perpustakaan/abstraksi/tesis/BAMBANG-EKO-SUPRIYADI---SENGKETA-

PENGUASAAN-TANAH-HUTAN-ANTARA-PT-PERHUTANI-%28PERSERO%29-DENGAN-

MASYARAKAT-DESA-.pdf

12 Anang Tri Hananta “Analisis Penegakan Hukum Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Wilayah Hukum Kecamatan Ngantang Kabupaten

Malang”, tesis, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah

Malang, 2009

Page 13: studi kasus pada illegal occupation

13

Penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan melalui instrumen

hukum pidana pernah ditulis oleh S., Andrijani (2007) dengan judul

Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia. Dalam

tesis tersebut dikaji mengenai tindak pidana kehutanan dari aspek hukum

positifnya, aspek sejarah hukum dan masalah penegakan hukumnya. Dalam

penelitian tersebut diketahui bahwa penegakan hukum terhadap tindak

pidana kehutanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang

terkait, yakni instrumen hukum yang memadai, kebijakan dan peraturan

yang mendukung, aparat penegak hukum serta kapasistas kelembagaan yang

kuat, proses peradilan yang bersih, dan sanksi hukum yang dikenakan

terhadap pelaku tindak pidana.13

Dilihat dari vegetasinya, Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi dalam

mencegah abrasi yang mengancam Bali karena letaknya yang dikelilingi

oleh pantai. Selain itu hutan ini juga memiliki fungsi yang intangable yakni

dalam memberikan produk tambahan berupa jasa pariwisata. Manfaat dan

fungsi hutan yang sangat berguna bagi lingkungan dan makhluk hidup di

dunia memberikan konsekuensi logis bahwa keberadaan hutan harus dijaga

kelestariannya. Okupasi terhadap hutan khususnya terhadap Tahura Ngurah

Rai tentunya akan menyebabkan pulau Bali semakin rentan dengan abrasi.

Permasalahan illegal occupation terhadap hutan merupakan

permasalahan yang sangat kompleks mengingat pengaturan mengenai

13 S., Andrijani, “Penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia” tesis,

Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2007.

Page 14: studi kasus pada illegal occupation

14

kepemilikan tanah diatur secara sporadis dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Untuk itu para pihak yang terlibat dalam

pensertifikatan tanah harus dapat mengintepretasikan peraturan tersebut

secara tepat. Di sisi lain, okupasi ini menghadapkan beberapa kepentingan

dari stake holder yang memiliki ego sektoral yang sangat tinggi.

Kasus illegal occupation menjadi pemicu dari deforestasi dan

degradasi dan konversi hutan secara ilegal. Hal ini tentu akan

mengakibatkan kerusakan lingkungan dan meniadakan hak negara untuk

menguasai hutan demi kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan

dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu sangat menarik untuk membahas

lebih lanjut mengenai IMPLEMENTASI PRINSIP PERLINDUNGAN

HUTAN DALAM PENANGGULANGAN ILLEGAL OCCUPATION DI

KAWASAN HUTAN (STUDI KASUS PADA ILLEGAL OCCUPATION

DI TAHURA NGURAH RAI).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka

permasalahan yang dapat dirumuskan adalah:

a. Bagaimanakah bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

illegal occupation di Tahura Ngurah Rai?

b. Bagaimanakah implementasi prinsip perlindungan hutan dalam upaya

penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai?

Page 15: studi kasus pada illegal occupation

15

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Penelitian mengenai implementasi prinsip perlindungan hutan dalam

penanggulangan illegal occupation dilakukan di hutan mangrove Tahura

Ngurah Rai. Hutan ini merupakan hutan konservasi yang memiliki fungsi

pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya.

Dalam permasalahan pertama penelitian ini dibahas tentang bentuk

dan faktor-faktor yang menyebabkan illegal occupation di kawasan Tahura

Ngurah Rai, yang dibagi menjadi beberapa sub-sub pembahasan yakni

illegal occupation dalam bentuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah

dengan merambah kawasan hutan. Faktor-faktor penyebab meliputi faktor

struktur hukum dan faktor budaya hukum.

Permasalahan kedua membahas mengenai prinsip perlindungan

hutan dan implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi

illegal occupation sehingga pada akhir pembahasan dapat dirumuskan

mengenai upaya-upaya untuk menanggulangi illegal occupation di kawasan

hutan.

1.4 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat dua tujuan penelitian yakni tujuan umum

dan tujuan khusus. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah:

1.4.1 Tujuan umum.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji masalah

kehutanan dari perspektif ilmu hukum.

Page 16: studi kasus pada illegal occupation

16

1.4.1 Tujuan khusus.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

a. Menganalisis bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.

b. Menganalisis implementasi prinsip perlindungan hutan dalam

upaya penanggulangan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis.

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan penelitian ini

adalah untuk menambah wawasan serta pengembangan khasanah

ilmu dalam hukum kehutanan.

1.5.2 Manfaat praktis.

Secara praktis, penelitian ini memiliki manfaat sebagai

berikut:

a. Bagi legal drafter, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk

merevisi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

Adapun substansi dari peraturan perundang-undangan tersebut

wajib memuat ketentuan-ketentuan baik yang bersifat preventif

maupun represif terhadap segala bentuk illegal occupation di

kawasan hutan.

b. Bagi Badan Pertanahan Nasional agar berhati-hati dalam

memverifikasi syarat-syarat pendaftaran tanah yang nantinya

Page 17: studi kasus pada illegal occupation

17

akan menjadi dasar untuk mengeluarkan sertifikat kepemilikan

tanah.

c. Bagi Polisi Hutan, untuk melakukan upaya preventif terhadap

upaya-upaya illegal occupation dan represif terhadap pelaku

illegal occupation sesuai dengan kewenangannya.

d. Bagi Notaris agar memverifikasi status tanah dari setiap

permohonan sertifikat kepemilikan yang diajukan oleh klien

yang ditanganinya.

e. Bagi Masyarakat agar lebih berhat-hati dalam membeli tanah

agar jangan sampai terlanjur membeli tanah hutan.

1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.6.1 Landasan Teoritis

Landasan teoritis dalam penelitian ini meliputi teori, konsep dan

pendapat para sarjana.

1.6.1.1 Teori

Teori-teori yang dipergunakan untuk menganalis

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1) Teori sistem hukum.

2) Teori hukum dan lingkungan fisik.

3) Teori kebutuhan.

Teori tersebut dapat dijabarkan sebagaimana yang

terurai di bawah ini:

Page 18: studi kasus pada illegal occupation

18

1) Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)

Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence

Friedman. Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:

sistem hukum terdiri dari tiga komponen sistem, yaitu 1)

substansi hukum (legal subtance), 2) struktur hukum

(legal structure) dan 3) budaya hukum (legal culture).

Menurut Friedman yang dimaksud dengan komponen

sistem hukum tersebut yakni: 14

a) Struktur hukum adalah keseluruhan institusi hukum

beserta aparatnya, jadi termasuk di dalamnya

kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan

jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan

seterusnya.

b) Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum

(termasuk asas hukum dan norma hukum), baik yang

tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan

pengadilan.

c) Kultur hukum, mengenai pengertian kultur hukum

ini Friedman menyatakan:

Besides structure and subtance, then, there is a

third and vital element of the legal system. It is

14 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal.225.

Page 19: studi kasus pada illegal occupation

19

the element of demand. What creates a demand?

One factor, for what of a better term, we call ‘the

legal culture’. By this we mean ideas, attitudes,

beliefs, expectations and opinions about law.

Teori ini akan digunakan untuk menganalisis

permasalahan permasalahan mengenai faktor-faktor

penyebab terjadinya illegal occupation di kawasan

Tahura Ngurah Rai.

2) Teori hukum dan lingkungan fisik

Teori hukum dan lingkungan fisik merupakan teori

yang dikemukan oleh Montesquieu dengan menjabarkan

lebih lanjut mengenai hubungan antara hukum dengan

lingkungan. Bagi pemikir pada era Aufklarung ini, ada

faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat,

yakni faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang

utamanya adalah iklim yang menghasilkan akibat-akibat

fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan

daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan

suatu masyarakat juga turut berpengaruh. Dalam faktor

moral terhimpun antara lain agama, adat-istiadat,

kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir serta

suasana yang tercipta di pengadilan.15

15 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 81-82.

Page 20: studi kasus pada illegal occupation

20

Teori ini akan digunakan untuk menganalisis

implementasi prinsip perlindungan hutan dalam

menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura

Ngurah Rai.

3) Teori kebutuhan

Teori kebutuhan merupakan salah satu bagian dari

teori motivasi yang diperkenalkan oleh Abraham

Maslow. Maslow mengatakan bahwa dalam diri manusia

bersemayam lima jenjang kebutuhan yakni:

a) Psikologis: antara lain rasa lapar, perlindungan

(pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan

jasmani lain.

b) Keamanan: antara lain keselamatan dan

perlindungan terhadap kerugian fisik dan

emosional.

c) Sosial: mencakup kasih sayang, rasa memiliki,

diterima baik dan persahabatan.

d) Penghargaan: mencakup faktor penghormatan diri

seperti harga diri, otonomi dan prestasi serta

faktor penghormatan dari luar seperti misalnya

pengakuan dan perhatian.

e) Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi

seseorang/ sesuatu sesuai ambisinya yang

mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi dan

pemenuhan kebutuhan diri.16

16 Stephen P. Robbins, 2003, Perilaku Organisasi edisi kesepuluh, Indeks, Jakarta, hlm. 214.

Page 21: studi kasus pada illegal occupation

21

Maslow mendikotomikan kelima kebutuhan ini

yang tersusun secara hierarki, sehingga dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1

Hierarki kebutuhan

Jika kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang

dikemukakan Maslow tidak terpenuhi maka ia akan

termotivasi untuk melakukan hal-hal dalam mencapai

tujuan tersebut. Dengan demikian teori ini akan

digunakan untuk menganalisis mengenai bentuk illegal

occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai dan

implementasi prinsip perlindungan hutan dalam

menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.

1.6.1.2 Konsep

Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini

adalah: 1) implementasi dan penanggulangan 2) prinsip

Page 22: studi kasus pada illegal occupation

22

perlindungan hutan, 3) asas penyelenggaraan kehutanan, 4)

illegal occupation, 5) kawasan hutan dan 6) Tahura. Konsep

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Implementasi dan penanggulangan

Kata implementasi berasal dari bahasa Inggris

yakni “implement”. Dalam Oxford Dictionary,

implement berarti carry out (a plan, idea, etc.).17

Dengan

demikian implementasi berarti pelaksanaan atau

penerapan suatu perencanaan, ide, prinsip, aturan dan

sebagainya. Adapun kata implementasikan dapat

divisualisasikan sebagai berikut:

Gambar 2

Visualisasi konsep implementasi18

17 Martin H. Compiler, 1995, Oxford Learner’s Pocket Dictiobary New Edition, Oxford University Press, Oxford, hal. 206.

18 Arti Kata.com, 2011, “Definisi 'implementasi' “Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available

from : URL: http://www.artikata.com/arti-330542-implementasi.html

Page 23: studi kasus pada illegal occupation

23

Kajian mengenai implementasi prinsip

perlindungan hutan sangat penting untuk mengukur

keberhasilan dalam penanggulangan illegal occupation.

Konsep penanggulangan mengandung upaya-upaya

preventif dan represif. Upaya preventif merupakan upaya

pencegahan terhadap illegal occupation sedangkan upaya

represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap

pelaku illegal occupation.

2) Prinsip Perlindungan Hutan

Perlindungan hutan menurut Pasal 1 angka 1

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan adalah:

Usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan

hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang

disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta

mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,

masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan

hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang

berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Dalam memberikan perlindungan terhadap hutan

maka hutan tersebut harus dikelola dengan baik.

Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk mewujudkan

pengelolaan hutan lestari berdasar tata hutan, rencana

pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan,

Page 24: studi kasus pada illegal occupation

24

perlindungan hutan dan konservasi.19

Dengan adanya

upaya-upaya untuk menanggulangi illegal occupation di

kawasan hutan maka prinsip perlindungan hutan dan

konsep good forestry governance akan terlaksana dengan

baik.

3) Asas penyelenggaraan kehutanan

Untuk melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan

hutan maka dibutuhkan upaya-upaya yang didasarkan

pada asas penyelenggaraan kehutanan. Penyelenggaraan

kehutanan didasarkan pada asas-asas sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan. Adapun yang dimaksud dengan

asas-asas penyelenggaraan kehutanan meliputi:

a. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan

lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan

penyelenggaraan kehutanan memperhatikan

keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan,

sosial dan budaya, serta ekonomi.

b. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan

dan keadilan, dimaksudkan agar setiap

penyelenggaraan kehutanan harus memberikan

peluang dan kesempatan yang sama kepada semua

19 Anonim, 2006, “ Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bentuk Pengelolaan Hutan Masa

Mendatang?” Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL: http://www.google.com,

(selanjutnya disebut anonim I).

Page 25: studi kasus pada illegal occupation

25

warga negara sesuai dengan kemampuannya,

sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh

rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian

wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan

harus dicegah terjadinya praktek monopoli,

monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.

c. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan

kebersamaan, dimaksudkan agar dalam

penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha

bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan

saling ketergantungan secara sinergis antara

masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD,

dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan

usaha kecil, menengah, dan koperasi.

d. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan

dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan

kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan

memperhatikan aspirasi masyarakat.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan

keterpaduan, dimaksudkan agar setiap

penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara

terpadu dengan memperhatikan kepentingan

nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat

Page 26: studi kasus pada illegal occupation

26

4) Illegal occupation

Istilah okupasi berasal dari bahasa Inggris yakni

occupation. Dalam kamus Oxford disebutkan bahwa

occupation adalah action of taking possession of a

country20

atau secara bebas diterjemahkan sebagai

tindakan untuk mengambil kepemilikan di suatu negara.

Illegal occupation dalam konteks ini adalah kegiatan

membuka lahan atau pendudukan di kawasan hutan baik

yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa illegal occupation

merupakan pendudukan kawasan hutan oleh masyarakat

tanpa izin Menteri Kehutanan.

5) Kawasan Hutan

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang

dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu

yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan

adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1

20 Martin H. Compiler, op.cit., hal. 284.

Page 27: studi kasus pada illegal occupation

27

angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan).

Ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur

bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan

kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan

untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna

optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan

manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan

hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh

persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau

dengan sebaran yang proporsional. Untuk itu pemerintah

menetapkan wilayah Tahura.

6) Tahura

Tahura (taman hutan raya) adalah kawasan hutan

yang termasuk dalam hutan konservasi yang berfungsi

untuk pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya. Hutan jenis ini tergolong pada hutan

negara yang artinya dikuasai penggunaannya oleh

negara. Tahura ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap.

Page 28: studi kasus pada illegal occupation

28

1.6.1.3 Pandangan para sarjana

Pandangan para sarjana yang digunakan dalam tesis ini

adalah pandangan dari 1) Otje Salman dan Anton F. Susanto,

2) H.L.A Hart, 3) Soerjono Soekanto, 4) Simon dan beberapa

pandangan para ahli lain yang hampir serupa. Otje Salman

dan Anton F. Susanto menuliskan bahwa pandangan “hukum

sebagai sistem” adalah pandangan yang cukup tua, mesti arti

“sistem” dalam berbagai berbagai teori yang berpandangan

demikian itu meski tidak selalu jelas dan tidak juga seragam.

Asumsi umum mengenai sistem mengartikan kepada kita

secara langsung bahwa jenis sistem hukum tersebut telah

ditegaskan lebih dari ketegasan yang dibutuhkan oleh sistem

jenis manapun juga.21

Pandangan mengenai substansi hukum selalui dikaitkan

dengan keberlakuan hukum. Dalam teori ilmu hukum, dapat

dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya hukum

sebagai kaidah, yakni sebagai berikut:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila

penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih

tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang

telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila

kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat

dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun

tidak diterima oleh warga masyarakat (teori

21 Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2009, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung , hal. 86.

Page 29: studi kasus pada illegal occupation

29

kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya

pengakuan dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai

dengan cita hukum sebagai nilai positif yang

tertinggi.22

Struktur hukum dalam sistem hukum adalah penegak

hukum. Penegak hukum atau orang yang bertugas

menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat

luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah

dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas penerapan

hukum, petugas seyoggianya harus memiliki suatu pedoman

salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang

lingkup tugasnya.23

Kultur hukum berkaitan dengan penilaian manusia

dalam melihat hukum. Manusia sebagai makhluk budaya

selalu melakukan penilaian terhadap keadaan yang

dialaminya. Menilai berarti memberi pertimbangan untuk

menentukan sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk,

indah atau jelek berguna atau tidak.24

Hasil penilaian itu

disebut dengan nilai. Nilai-nilai yang hidup di masyarakat

membentuk sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman,

acuan perilaku. Sistem nilai menjadi dasar kesadaran

22 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.

23 Ibid., hal. 9.

24 Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8

Page 30: studi kasus pada illegal occupation

30

masyarakat untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.25

Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya

hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan

nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.26

Aspek kebudayaan merupakan suatu garis pokok tentang

perikelakuan atau blueprint for behavior yang menetapkan

peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya

dilakukan, apa yang selayaknya dilakukan dan seterusnya27

Teori sistem hukum juga dikemukakan oleh H.L.A Hart

yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum

modern. Inti pemikiran Hart terletak pada apa yang

dijelaskannya sebagai primary rules dan secondary rules.

Hart memandang bahwa penyatuan antara primary rules dan

secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum dan

keduanya harus ada dalam sistem hukum.28

Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban

manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Mengenai

primary rules Charles Sampford menyimpulkan terdapat dua

model. Yang pertama adalah primary rules yang di dalamnya

25 Ibid.

26 Kaelan, 2004, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hal. 232.

27 Soerjono Soekanto, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

hal. 204, (selanjutnya Soerjono Soekanto I).

28 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal. 96.

Page 31: studi kasus pada illegal occupation

31

berisi apa yang disebut aturan sosial (social rule), yang eksis

apabila syarat-syarat yakni adanya keteraturan perilaku di

dalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan

banyak dijumpai dalam masyarakat. Model kedua bahwa

aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu

(sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang

relevan.29

Secondary rules merupakan rules about rules yang

apabila dirinci meliputi aturan yang menetapkan persisnya

aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognition).

Kedua, bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of

change) dan ketiga, bagaimana dan oleh siapa dapat

dikuatkan/ dipaksa, ditegakkan (rules of adjudication).

Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of adjudication lebih

efisien sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku, dan

rules of recognition bersifat reduksionis.30

Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial

di negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara

memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi

bagi para pelanggarnya melalui penegak hukum yang

dilegalisasi dengan substansi hukum. La Bruyerre, pakar

29Ibid.

30 Ibid., hal. 91.

Page 32: studi kasus pada illegal occupation

32

hukum Prancis abad ke-17 menegaskan “dihukumnya

seseorang yang tidak bersalah, merupakan urusan semua

orang yang berpikir. Demikian juga pemeo hukum yang

bunyinya “Under the law, it is better that ten guilty persons

escape. than that one innocent man suffer” (di dalam hukum,

adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah,

ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah).31

Soerjono Sekanto mengemukakan mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi penegakan hukum yakni:

1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini

akan dibatasi pada undang-undang saja.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang

membentuk maupun menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung

penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta,

dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di

dalam pergaulan hidup.32

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka

tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan

lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup

tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup,

31 Achmad Ali, op.cit., hal. 501.

32 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8, (selanjutnya Soerjono Soekanto II).

Page 33: studi kasus pada illegal occupation

33

dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang

sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya

sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak

hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan

peranan yang aktual. 33

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan

bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.

Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka

masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga

dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).34

Mengenai nilai-nilai dalam masyarakat ini, Soerjono

Soekanto mengungkapkan bahwa derajat efektivitas hukum

dipengaruhi oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap

hukum. Dengan demikian, dikenal suatu asumsi bahwa taraf

kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator

berfungsinya suatu sistem hukum.35

33 Ibid.

34 Ibid.

35 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, hal. 62, (selanjutnya

Soerjono Soekanto III).

Page 34: studi kasus pada illegal occupation

34

Pemikiran mengenai perlindungan terhadap hutan

juga dikemukakan oleh Koesnadi Hardjosoemantri yang

menyatakan bahwa seharusnya diberikan hak perlindungan

kepada hutan, samudra, sungai dan sumber daya alam lainnya

yang ada dalam lingkungan, malahan sekaligus kepada

lingkungan hidup itu sendiri.36

Dengan demikian harus

dikelola dengan baik demi pelaksanaan prinsip perlindungan

hutan.

Menurut Simon, perkembangan teori pengelolaan

hutan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu

kategori kehutanan konvensional dan kategori kehutanan

modern (kehutanan sosial). Kehutanan konvensional adalah

teori pengelolaan hutan yang termasuk ke dalam kehutanan

konvensional adalah penambangan kayu atau timber

extraction (TE) dan perkebunan kayu atau timber

management (TM). Kehutanan sosial adalah pengelolaan

hutan sebagai sumber daya atau forest resource management

(FRM) dan pengelolaan hutan sebagai ekosistem atau forest

ecosystem management (FEM). Keduanya disebut juga

dengan istilah lain Sustainable Forestry Management (SFM).

Teori-teori pengelolaan hutan tersebut, secara evolutif

36 Koesnadi Hardjosoemantri, 1983, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta, hal. 211.

Page 35: studi kasus pada illegal occupation

35

berkembang, sejak dari mulai penambangan kayu (TE)

hingga sampai pada pengelolaan ekosistem hutan (FEM).37

Pemanfaatan hutan bagi masyarakat sedapat mungkin

memberikan kemanfaatan. Konsep ini sejalan dengan teori

tujuan hukum yakni kemanfaatan tidak dapat dilepaskan dari

doktrin yang sangat populer dari Jeremy Bentham yang

mengedepankan the greatest happines principle (prinsip

kebahagian yang semaksimal mungkin). Masyarakat yang

ideal menurut Bentham adalah masyarakat yang mencoba

memperbesar kebahagiaan dan memperkecil

ketidakbahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi

kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada

umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit

mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.38

1.6.2 Kerangka berpikir.

Dalam penulisan penelitian ini, disusunkan kerangka konseptual

yang menjelaskan secara singkat mengenai masalah yang akan diteliti,

menggambarkan variabel-variabel dengan dilandasi oleh landasan

teoritis sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun

kerangka berpikir dapat diterjemahkan dalam bagan di bawah ini

yakni:

37 Wikipedia, “Kehutanan”, Serial Online 13:58, 29 Oktober 2010, (Cited 2011 Jan. 2),

available from : URL:http://id.wikipedia.org/wiki/Kehutanan, 38 Achmad Ali, op.cit., hal. 274-275.

Page 36: studi kasus pada illegal occupation

36

Gambar 3

Kerangka berpikir

Substansi Hukum Struktur Hukum Budaya Hukum

Keterangan:

= Mempengaruhi

= Teori Utama

Tindakan illegal occupation akan selalu ditinjau dengan menggunakan

teori sistem hukum sebagai teori utama dalam penelitian ini. Analisis prinsip

perlindungan hukum ditelaah dari segi substansi hukum yang menjadi payung

hukum dari perlindungan hutan dan penegakan prinsip perlindungan hutan

Hierarki

kebutuhan

1. Psikologis

2. Keamanan

3. Sosial

4. Penghargaan

5. Aktualisasi

diri

Illegal

occupation

Implementasi prinsip

perlindungan hutan dalam

penanggulangan illegal

occupation di Tahura

Ngurah Rai

Perspektif

hukum dan

lingkungan fisik

1. Faktor fisik

2. Faktor moral

Page 37: studi kasus pada illegal occupation

37

dalam menanggulangi illegal occupation, struktur hukum dalam menjaga

kawasan hutan dari illegal occupation dan budaya hukum terhadap upaya-

upaya perlindungan hutan.

Analisis melalui elemen sistem hukum tersebut akan memberikan

pemahaman mengenai bentuk illegal occupation di kawasan hutan serta

faktor-faktor penyebab terjadinya illegal occupation. Dengan pemahaman

tersebut maka dapat dirumuskan mengenai upaya-upaya penanggulangan

terhadap illegal occupation baik yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi

lingkungan hidup dan masyarakat.

Berdasarkan teori kebutuhan dan teori lingkungan fisik maka dapat

diketahui bentuk illegal occupation dan implementasi prinsip perlindungan

hutan dalam menanggulangi illegal occupation. Terjadinya illegal occupation

merupakan pelanggaran terhadap prinsip perlindungan hutan khususnya

perlindungan hutan dari perbuatan manusia.

1.7 Hipotesis

Berdasarkan teori sistem hukum, teori lingkungan fisik dan teori

kebutuhan maka dapat dirumuskan hipotesis seperti ini:

a. Bentuk illegal occupation di Tahura Ngurah Rai terjadi karena adanya

kebutuhan manusia untuk menduduki kawasan hutan. Faktor-faktor

penyebab dari illegal occupatin di Tahura Ngurah Rai disebabkan

karena faktor struktur hukum dan faktor budaya hukum.

Page 38: studi kasus pada illegal occupation

38

b. Implementasi prinsip perlindungan hutan ini sangat bergantung pada

selarasnya hukum dan lingkungan fisik serta kebutuhan negara,

penegak hukum, badan usaha dan masyarakat dalam melaksanakan

prinsip perlindungan hutan. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan

psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis penelitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

jenis penelitian hukum empiris yang mengkaji bekerjanya hukum di

masyarakat, yakni dengan mengkaji mengenai illegal occupation di

Tahura Ngurah Rai. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang

melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum dalam

penelitian ini tidak dikonsepkan sebagai suatu gejala normatif yang

otonom, akan tetapi suatu institusi sosial yang secara riil berkaitan

dengan variabel-variabel sosial lainnya.39

1.8.2 Sifat penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang bertujuan untuk

menggambarkan secara tepat sikap, gejala dan keadaan dari illegal

occupation di Tahura Ngurah Rai dalam konteks perlindungan hutan.

Perlindungan hutan merupakan suatu prinsip dalam ilmu hukum yang

kemudian dirumuskan secara normatif dalam peraturan perundang-

unangan. Oleh sebab itu penelitian ini termasuk dalam theoretical

39 Soetandyo Wignjosoebroto, 1974, “Penelitian Hukum: Sebuah Tipologi,” Majalah

Masyarakat Indonesia, tahun ke-1 No. 2., hal. 96.

Page 39: studi kasus pada illegal occupation

39

research. Terry Hutchinson menjelaskan bahwa theoretical research

adalah “Research which fosters a more complete understanding of the

conceptual bases of legal principles and of the combined effect of a

range of rules and procedures that touch on particular area of

activity.”40

Dengan demikian penelitian ini mengelaborasikan

pemahaman yang lebih lengkap dari suatu konsep yang didasarkan

pada prinsip-prinsip hukum dan menggabungkan akibat dari

perubahan aturan-aturan serta prosedur yang berkaitan dengan

tindakan hukum tertentu.

Deskripsi mengenai illegal occupation ini disertai dengan

analisis kritis terhadap struktur hukum dan budaya hukum yang

menyebabkan terjadinya illegal occupation. Dari gambaran tersebut

ditemukan prinsip perlindungan hutan yang disimpangi dari adanya

illegal occupation dan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan

terhadap illegal occupation tersebut.

1.8.3 Lokasi penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Tahura Ngurah Rai yang berlokasi

di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung karena Tahura Ngurah Rai

merupakan satu-satunya Tahura yang dimiliki oleh Provinsi Bali

sebagai kawasan Konservasi yang berfungsi sebagai pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Teknik

penentuan informan kunci dimulai dari petugas pengukuran tanah

40 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney,

Australia, hal. 9.

Page 40: studi kasus pada illegal occupation

40

yang terdiri atas tim rekonstruksi/ pengukuran tanah hutan pada Dinas

Kehutanan Provinsi Bali dan Polisi Hutan saat melakukan patroli

keamanan hutan. Dari hasil pengukuran tersebut terlihat perubahan

posisi pada beberapa titik pal batas, adanya kegiatan di luar kegiatan

kehutanan berupa bangunan, pondasi dan penebangan mangrove.

Penggalian informasi dilanjutkan terhadap pelaku illegal

occupation. Dari pelaku illegal occupation diperoleh informasi

adanya kepemilikan hak yang sudah mereka pegang sebagai dasar

bagi mereka menduduki kawasan hutan tersebut. Informan selanjutnya

adalah BPN, Notaris, Tokoh Adat dan Masyarakat untuk menelaah

mengenai faktor penyebab dan kronologis dari illegal occupation.

Begitu seterusnya pencarian informasi mengenai illegal occupation,

dan berhenti pada titik jenuh atau sudah terpenuhinya data yang

dipergunakan dalam penyusunan penelitian ini.

1.8.4 Jenis data dan sumber data.

1.8.4.1 Jenis data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi

data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari

penelitian lapangan langsung dari sumber pertama baik dari

informan maupun dari responden. Data sekunder diperoleh

dari penelitian kepustakaan berupa literatur dan kamus.

Page 41: studi kasus pada illegal occupation

41

1.8.4.2 Sumber data

a) Sumber data primer

Data primer dalam penelitian ini bersumber dari

wawancara yang dilakukan terhadap polisi hutan,

notaris, BPN, Tokoh Adat/masyarakat dan pelaku

illegal occupation serta melalui observasi terhadap

kawasan hutan yang diokupasi secara ilegal serta

sidang pengadilan mengenai illegal occupation.

b) Sumber data sekunder

Sumber data sekunder berasal dari bahan hukum

dan bahan non hukum. Bahan hukum terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini

adalah:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945.

2. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah.

Page 42: studi kasus pada illegal occupation

42

4. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan.

5. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998

tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian, awig-

awig, karya tulis hukum yang termuat dalam media

massa, buku-buku hukum dan jurnal-jurnal hukum

baik yang dimuat dalam media cetak maupun media

online.

3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah kamus.

Bahan non hukum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah prasasti dan literatur tentang

lingkungan hidup, ilmu manajemen dan kehutanan.

1.8.5 Teknik pengumpulan data.

1.8.5.1 Teknik pengumpulan data primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan

teknik:

Page 43: studi kasus pada illegal occupation

43

a. Wawancara, wawancara dilakukan untuk

menggali faktor-faktor penyebab dari illegal

occupation dan upaya yang telah dilakukan

untuk menanggulanginya. Wawancara

dilakukan pada Polisi Kehutanan Dinas

Kehutanan Provinsi Bali, Notaris, BPN, Tokoh

Adat/masyarakat dan pelaku illegal occupation.

b. Observasi/ pengamatan, teknik ini dilakukan

pada illegal occupation di Tahura Ngurah Rai

dan pada proses sidang pengadilan mengenai

illegal occupation. Teknik ini dilakukan dengan

cara mengamati dan mencatat segala hal untuk

menjelaskan mengenai bentuk illegal

occupation dan faktor-faktor penyebab

terjadinya illegal occupation di kawasan hutan.

1.8.5.2 Teknik pengumpulan data sekunder

Teknik pengumpulan data sekunder yang

digunakan adalah studi kepustakaan yakni dalam

mengumpulkan bahan hukum dan bahan non hukum

yang relevan dengan penelitian ini.

Page 44: studi kasus pada illegal occupation

44

1.8.6 Pengolahan dan analisis data.

1.8.6.1 Pengolahan data

Data lapangan yang telah dilakukan proses

editing yakni merapikan kembali data yang telah

diperoleh dengan memperhatikan kelengkapan,

kejelasan dan sinkronisasi dari data yang telah

dikumpulkan sebelumnya, Kemudian dilanjutkan

dengan coding yakni mengklasifikasikan jawaban

informan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan,

kemudian diolah sehingga data tersebut dapat

berfungsi secara relevan didalam menjawab semua

permasalahan yang dirumuskan didalam penelitian

ini.

1.8.6.2 Analisis data

Analisis data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah analisis kualitatif oleh karena

penelitian ini bersifat deskriptif. Data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini bukanlah berupa

angka-angka melainkan berupa fakta-fakta, kasus-

kasus dan hubungan antara variable mengenai

illegal occupation melalui pensertifikan tanah hutan

menjadi tanah milik. Proses analisis dilakukan

Page 45: studi kasus pada illegal occupation

45

dengan cermat hingga mendapatkan hasil penelitian

yang valid dan reliabel.

1.8.7 Teknik penyajian data

Setelah dianalisis maka hasil analisis data tersebut

disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hasil

analisis dijabarkan dalam bentuk uraian-uraian mengenai

fenomena yang diangkat, kemudian dihubungkan dengan

teori, konsep dan pendapat sarjana sehingga diperoleh

gambaran yang komprehensif mengenai substansi

permasalahan. Gambaran ini disusun secara sistematis sesuai

dengan kerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya

guna memperoleh simpulan dan saran yang rasional.

Page 46: studi kasus pada illegal occupation

46

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN

ILLEGAL OCCUPATION DI TAHURA NGURAH RAI

2.1 Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hutan

Prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan untuk menjaga dan

melestarikan Tahura dari illegal occupation, sehingga secara umum hutan

dan perlindungan hutan merupakan dua terminologi yang tidak dapat

dipisahkan. Hutan menunjuk pada objek hukum sedangkan perlindungan

hutan menunjuk pada perbuatan subjek hukum terhadap objek hukum. Kata

hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris).

Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat

dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan seperti pariwisata. Di

dalam hukum Inggris Kuno, forrest (hutan) adalah daerah tertentu yang

tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-

burung hutan. Di samping itu, hutan juga dijadikan tempat pemburuan,

tempat peristirahatan dan tempat bersenang-senang bagi raja dan pegawai-

pegawainya.41

Menurut Dengler yang diartikan dengan hutan, adalah:

Sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas,

sehingga suhu, kelembaban, cahaya, angin dan sebagainya tidak lagi

menentukan lingkungannya akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-

tumbuhan/ pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas

dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal).42

41 Black dalam Salim H.S., op.cit., hal. 40.

42 Ibid., hal 40.

Page 47: studi kasus pada illegal occupation

47

Selanjutnya Dengler mengemukakan bahwa “yang menjadi ciri hutan

adalah adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak

termasuk savana dan kebun), dan pepohonan tumbuh secara

berkelompok.”43

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan memberikan pengertian bahwa hutan adalah “suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.” Dari uraian mengenai pengertian

hutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut dapat diketahui empat

unsur yang terkandung dari definisi tersebut yakni:

a. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut

tanah hutan.

b. Unsur pohon (kayu, bambu, palm), flora dan fauna.

c. Unsur lingkungan.

d. Unsur penetapan pemerintah.44

Dalam konteks kehutanan dan kelangsungan hidup manusia, hutan

sangat penting bagi kehidupan jutaan orang Indonesia. Sekitar 48,8 juta

orang hidup di hutan negara dan sekitar 10,2 juta orang di antaranya

43 Ibid.

44Ibid, hal. 40.

Page 48: studi kasus pada illegal occupation

48

merupakan orang miskin. Secara keseluruhan, sekitar 20 juta orang

Indonesia tinggal di daerah pedesaan dekat hutan, dan sekitar 6 juta orang

memperoleh penghasilan dari sumber daya hutan . Di samping menyediakan

pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat, hutan juga penting untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat termiskin di kawasan hutan,

seperti untuk kayu bakar, obat-obatan, makanan, bahan bangunan, dan

barang lainnya.45

Kuantitas areal hutan yang begitu besar memberikan kesempatan

kerja yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Tercatat sektor kehutanan

mampu menyerap tenaga kerja langsung sebesar 1,5 juta orang dan

penyerapan tenaga kerja tidak langsung sebesar 2,5 juta orang. Apabila

setiap pekerja memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3-4 orang, maka

jumlah orang yang hidupnya tergantung kepada sektor kehutanan mencapai

12-16 juta orang. Tidak hanya itu, sektor kehutanan juga berhasil menjadi

pendorong bagi berkembangnya sektor-sektor lain, diantaranya sektor

industri pendukung mesin dan peralatan, industri kimia, industri perbankan

dan asuransi, industri metal, industri jasa berupa pendidikan, pelatihan dan

pengembangan serta jasa-jasa pengujian. Pada periode tersebut, total

investasi di sektor kehutanan yang ditanamkan oleh pihak swasta mencapai

US$27,7 miliar dimana US$10,7 miliar merupakan industri pulp dan

45 H. MS. Kaban, “Perlindungan dan Pemberdayaan Hutan; Wujud Bela Negara dalam

Perspektif Kebangkitan Nasional”, Selasa, 19 Juni 2007,

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=527&Itemid=11, diakses

pada 2 November 2010.

Page 49: studi kasus pada illegal occupation

49

kertas.46

Dari sisi finansial, keberadaan hutan dan hasil-hasil hutan mampu

menopang roda perekonomian negara, badan usaha dan masyarakat.

Dari sisi pelestarian lingkungan hidup, hutan mampu

mengkonversikan CO2 menjadi O2 dalam proses fotosistensis sehingga efek

rumah kaca dan gangguan iklim dapat teratasi. Dalam hal ini hutan memiliki

fungsi klimatologis yakni sebagai pengatur iklim dan sebagai paru-paru

dunia yang menghasilkan oksigen. Fungsi hutan sebagai pengahasil O2

tentunya sangat bermanfaat bagi hidup manusia. O2 merupakan bahan baku

bagi manusia untuk bernafas, oleh sebab itu manusia sangat membutuhkan

hutan dalam kehidupannya. Selain itu, hutan juga memiliki fungsi hidrolis

yakni dapat menampung air hujan di dalam tanah, mencegah intrusi air laut

yang asin dan menjadi pengatur tata air tanah.

Menilik pada fungsi hutan yang begitu besar dalam kehidupan

manusia, maka hutan tersebut harus dilindungi. Kenyataan inilah yang

melahirkan konsep perlindungan hutan. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan

Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hutan adalah usaha untuk

mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,

yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya

alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak

negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,

46 Agung Nugraha, 2004, Menyongsong Perubahan Menuju Evitalitasi Sektor Kehutanan,

Wirna Aksara, Jakarta, hal. 58-59.

Page 50: studi kasus pada illegal occupation

50

investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Sehingga dari rumusan normatif tersebut dapat dijelaskan mengenai ruang

lingkup dari perlindungan hutan yakni:

a. Suatu usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan

hutan dan hasil hutan.

b. Dari perbuatan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.

c. Dalam rangka mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,

masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,

investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Ruang lingkup perlindungan hutan ini juga ditegaskan kembali dalam

Penjelasan Umum Undang-undang No, 41 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Hutan yang menyebutkan:

Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan

dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi

kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak,

kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam

pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga

hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan

dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan

pengelolaan hutan.

Dalam Pasal 46 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan dinyatakan bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan dan

konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan

lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,

tercapai secara optimal dan lestari. Pemerintah mengatur perlindungan

Page 51: studi kasus pada illegal occupation

51

hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan ini

bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja melainkan

diselenggarakan melalui sinergi antara pemerintah, pemegang hak atau izin

pengelolaan hutan dan masyarakat yang dilakukan berdasarkan status hutan,

apakah termasuk hutan negara atau hutan hak. Perlindungan hutan pada

hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.

Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang

menerima wewenang pengelolaan hutan diwajibkan melindungi hutan

dalam areal kerjanya. Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas

terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Perlindungan hutan pada hutan

hak dilakukan oleh pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan

perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam

upaya perlindungan hutan. Dengan demikian secara spesifik ada beberapa

pihak yang berkewajiban melaksanakan perlindungan hutan yakni

pemerintah, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan serta pihak-pihak yang

menerima wewenang pengelolaan hutan, pemegang hak dan masyarakat.

Untuk menjamin perlindungan hutan melalui good forestry

governance maka dilakukan penegakan prinsip perlindungan hutan.

Penegakan prinsip perlindungan hutan merupakan salah satu bentuk dari

penegakan hukum di bidang kehutanan. Ada empat faktor yang harus

diperhatikan dalam penegakan hukum secara konsisten di bidang kehutanan,

yaitu:

Page 52: studi kasus pada illegal occupation

52

a. Ada ketentuan hukum yang akomodatif, yaitu ketentuan hukum yang

ada harus mampu memecahkan masalah yang terjadi dalam bidang

kehutanan. Ketentuan hukum yang ada dalam bindang kehutanan telah

cukup memadai karena telah mengatur berbagai hal seperti tata cara

penyidikan, penuntutan serta memuat tentang sanksi yaitu sanksi

administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana;

b. Adanya penegak hukum yang tangguh, terampil dan bermoral di bidang

kehutanan, seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Polri,

Kejaksaan dan Hakim.

c. Adanya fasilitas yang mendukung ke arah penegakan hukum seperti,

alat tulis dan alat transportasi.

d. Adanya partisipasi masyarakat dalam mendukung penegakan hukum di

bidang kehutanan, karena tanpa partisipasi masyarakat, penegak hukum

sulit memprosesnya.47

Terkait dengan fungsi penegak hukum dalam menjamin

terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan

tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian

khusus. Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus berwenang untuk:

a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya;

47 Salim H.S., op.cit., hal. 3-4.

Page 53: studi kasus pada illegal occupation

53

b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan

pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah

hukumnya;

c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang

menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk

diserahkan kepada yang berwenang; dan

f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak

pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Perlindungan hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan

hutan. Kegiatan perlindungan hutan dilaksanakan pada wilayah hutan dalam

bentuk Unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Unit

atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit atau Kesatuan

Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Adapun kegiatan perlindungan hutan

ini merupakan kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.

Kegiatan perlindungan hutan di wilayah dan untuk kegiatan tertentu, dapat

dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

yang bergerak di bidang kehutanan.

Dalam rangka kepentingan penelitian, pengembangan, pendidikan dan

pelatihan kehutanan, religi dan budaya, Menteri menetapkan perlindungan

Page 54: studi kasus pada illegal occupation

54

hutan dengan tujuan khusus. Perlindungan hutan pada kawasan hutan

dengan tujuan khusus untuk kegiatan :

a. penelitian dan pengembangan dapat diberikan kepada lembaga yang

melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan;

b. pendidikan dan pelatihan dapat diberikan kepada lembaga yang

melaksanakan kegiatan pendidikan dan pelatihan;

c. religi dan budaya dapat diberikan kepada lembaga yang melaksanakan

kegiatan keagamaan dan kebudayaan.

Prinsip perlindungan hutan merupakan aktualisasi dari nilai-nilai civil

society yang artinya berasal dari kearifan lokal dan dipertahankan melalui

penguatan budaya hukum mereka. Terkait dengan budaya hukum

masyarakat maka perlindungan hutan ini menjadi isu etika bagi mereka.

Perlindungan hutan akan terlaksana dengan baik jika mereka memiliki etika

yang baik dalam menjaga dan memanfaatkan kawasan hutan. Prinsip ini

juga merupakan penjabaran dari nilai-nilai religius agama yang mereka

anut, sehingga sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku pengrusakan hutan selalu

dikaitkan dengan upacara agama dan adat-istiadat masyarakat setempat.

Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan yang sesuai dengan good

forestry governance pada dasarnya adalah upaya perlindungan dan

penegakan hak asasi manusia atas perolehan lingkungan hidup yang baik

dan sehat sebagaimana yang dikumandangkan dalam sejumlah instrumen

hak asasi manusia. Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia

merupakan kewajiban semua pihak, negara dan warga negaranya. Hak asasi

Page 55: studi kasus pada illegal occupation

55

manusia tidak hanya berbicara mengenai hak, tetapi juga berbicara

mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling menghormati dan

menghargai hak asasi manusia orang lain. Dengan demikian segala kegiatan

pengrusakan hutan merupakan tindakan melanggar hak asasi orang lain.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Illegal occupation

Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai adalah perbuatan hukum

yang bertentangan dengan prinsip penguasaan hutan oleh negara. Dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

dinyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.” Rumusan norma tersebut mengamanatkan bahwa penguasaan atas

bumi, air dan kekayaan alam dilakukan oleh negara, sehingga hutan sebagai

salah satu kekayaan alam yang juga merupakan sumber air dikuasi oleh

negara.

Penguasaan terhadap hutan mutlak dipegang oleh negara, namun

pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan oleh badan usaha atau

masyarakat. Hutan pada dasarnya tidak dapat dimiliki oleh badan usaha atau

masyarakat, sebab konsep kepemilikan oleh badan usaha atau masyarakat

sangat bertentangan dengan konsep penguasaan oleh negara. Pemilikan

adalah hak untuk menguasai terhadap suatu barang baik dalam bentuk

memanfaatkan maupun dalam bentuk mengalihkan hak penguasaan dan

Page 56: studi kasus pada illegal occupation

56

pemilikannya.48

Kepemilikan atas hutan berarti mengghilangkan hak

penguasaan hutan oleh negara, yang mana hal ini bertentangan dengan

konstitusi.

Dengan kompleksitas masalah yang ada di dalam masyarakat, dewasa

ini badan usaha atau masyarakat sering kali memanfaatkan, menduduki,

memiliki bahkan mengubah fungsi hutan menjadi daerah pemukiman,

pertanian, pertambangan dan lain-lain. Dalam pemanfaatan terhadap hutan,

badan usaha dan masyarakat dapat menduduki kawasan hutan sepanjang

tidak bertentangan dengan peraturan di bidang kehutanan. Bahkan

perubahan peruntukan kawasan hutan memang diatur dalam Pasal 19

Undang-undang No, 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menyebutkan:

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah

dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh

Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Penelitian terpadu yang dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan untuk menjamin

objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian

diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan

memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain

yang terkait. Adapun yang dimaksud dengan “berdampak penting dan cakupan

48 Zainuddin Ali, op.cit., hal. 31.

Page 57: studi kasus pada illegal occupation

57

yang luas serta bernilai strategis” menurut penjelasan Pasal 19 Undang-undang

No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah perubahan yang berpengaruh

terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata

air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang

dan generasi yang akan datang. Kriteria fungsi hutan, cakupan luas hutan, pihak-

pihak yang melaksanakan penelitian, dan tata cara perubahan peruntukan hutan

ini diatur dalam peraturan pemerintah.

Okupasi atau pendudukan terhadap kawasan hutan memang diatur dan

diperbolehkan oleh peraturan di bidang kehutanan berdasarkan kriteria

tertentu dan terkait dengan perlindungan hutan dengan tujuan khusus.

Secara empiris, praktik okupasi kawasan hutan ini, dapat dilihat pada

pembuatan pal batas di kawasan hutan untuk tempat pembangunan

pelinggih, pembangunan jalan raya dan fasilitas umum lainnya. Meskipun

hutan didayagunakan untuk kemakmuran rakyat namun hutan tidak dapat

serta-merta diduduki oleh individu, masyarakat atau badan usaha.

Pendudukan yang melanggar peraturan di bidang kehutanan inilah yang

menimbulkan tindakan illegal occupation.

Illegal occupation adalah terminologi baru dalam penegakan prinsip

perlindungan hutan walaupun telah dilakukan sejak zaman pra sejarah.

Frasa ini terdiri atas dua kata yakni illegal dan occupation. Black’s Law

Dictionary mengartikan illegal sebagai forbidden by law; unlawful.49

49 Bryan A.Garner (ed.), 1999, Black’s Law Dictionary Deluxe Seventh EditionWest Group,

St. Paul United States of America, hal. 750.

Page 58: studi kasus pada illegal occupation

58

Occupation sendiri diartikan dalam berbagai konteks yakni: (1) An activity

or persuit in which a person is engaged; esp., a person’s usual or principal

work or bussiness, (2) The possesion, control, or use of real property (3)

The seizure and control of a territory by military force; the condition of

territory that has been placed under the authority of a hostile army. (4) The

period during which territory seized by military force is held.50

Illegal

merujuk pada perbuatan yang tidak sah menurut hukum sedangkan kata

occupation di dalam konteks ini diterjemahkan dengan okupasi atau

pendudukan atas suatu wilayah meskipun tidak dilakukan oleh militer.

Dengan demikian, secara sederhana illegal occupation berarti pendudukan

hutan secara dengan melawan hukum atau pendudukan hutan secara tidak

sah.

Pendudukan kawasan hutan secara tidak sah sangat terkait dengan

masalah kependudukan. Penduduk memang merupakan objek dari

pembangunan yang menjadi kekuatan bagi negara untuk membangun.

Namun penyebaran penduduk yang tidak merata dengan ledakan penduduk

hanya di beberapa titik saja dan kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi

masalah kependudukan, dapat menimbulkan permasalahan baru. Salah satu

permasalahan yang kerap muncul adalah keterbatasan lahan pemukiman.

Akibatnya penduduk yang belum mendapatkan tempat tinggal, merambah

hutan dan mendudukinya. Apalagi jika hutan tersebut berada di kawasan-

kawasan strategis.

50 Ibid., hal. 1106.

Page 59: studi kasus pada illegal occupation

59

Menilik dengan seksama mengenai manfaat sumber daya hutan

selama lebih kurang 25 tahun terakhir, dimana eksploitasi sumber daya alam

dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh terhadap hutan. Secara

keseluruhan, Bappenas telah menyoroti faktor-faktor yang menekan hutan

Indonesia yaitu pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang tidak merata,

konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan,

pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional

(adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam,

program transmigrasi, pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan

basah, degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak,

pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan introdusir spesies eksotik.51

Penegakan hukum melalui penegakan prinsip perlindungan hutan

dalam menanggulangi illegal occupation sangat memerlukan peran serta

dari masyarakat. Relasi ini juga disepakati oleh Satjipto Rahardjo dalam

bukunya yang berjudul “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.”

Dalam bukunya tersebut beliau menuliskan:

Membahas penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang

menjalankan penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya.

Apabila membahas penegakan hukum hanya berpegang pada keharusan-

keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum,

maka hanya akan memperoleh gambaran stereotips yang kosong.

Membahas penegakan hukum menjadi berisi apabila dikaitkan pada

pelaksanaan yang konkret oleh manusia.52

51 Supriadi., op.cit., hal 16.

52 Satjipto Rahardjo, 2011, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,

Yogyakarta, hal. 26, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II).

Page 60: studi kasus pada illegal occupation

60

Upaya pencegahan terhadap illegal occupation dilakukan dengan

meletakkan kewajiban hukum bagi masyarakat sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan. Dalam Pasal 69 ayat (1) tersebut dinyatakan “Masyarakat

berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari

gangguan dan perusakan.” Kemudian dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1)

dikatakan “Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah

mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan,

gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain sebagainya.”

2.3 Status Hukum Tahura Ngurah Rai

Penetapan status hukum kawasan hutan merupakan kegiatan penting

dalam menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum

adalah illegal occupation atau legal occupation. Kedudukan atau status

hutan di Indonesia perlu dilakukan penetapan status dan fungsi agar tidak

menimbulkan kesimpangsiuran terhadap status hutan tersebut. Penetapan

status dan fungsi sangat penting diwujudkan untuk menghindari klaim atau

tuntutan dari masyarakat yang saat ini gencarnya menuntut pengakuan atas

hutan hak mereka.53

Penetapan status dan fungsi hutan ini memberikan

jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak atas hutan.

Penegasan terhadap status hukum dari kawasan hutan dilakukan

melalui pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-

53 Supriadi, op.cit. hal. 18.

Page 61: studi kasus pada illegal occupation

61

undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya dalam Pasal 14

dan 15 yang menyebutkan:

Pasal 14 (1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan

hutan.

(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas

kawasan hutan.

Pasal 15

(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. penunjukan kawasan hutan,

b. penataan batas kawasan hutan,

c. pemetaan kawasan hutan, dan

d. penetapan kawasan hutan.

(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Secara normatif, hutan berdasarkan statusnya menurut Pasal 5

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terdiri dari:

a. Hutan negara

Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani

hak atas tanah. Hutan negara ini dapat berupa hutan adat yang

ditetapkan berdasarkan kenyataannya sepanjang masyarakat hukum

adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila

dikemudian hari masyarakat adat yang bersangkutan tidak ada lagi,

maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah. Hutan

negara yang berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan

pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap).

Page 62: studi kasus pada illegal occupation

62

Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimaksudkan di dalam

pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai

oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan

yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hukum negara,

tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang

kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan

kegiatan pengelolaan hutan. Hutan yang dikelola oleh desa dan

dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa. Hutan

negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan

masyarakat disebut hutan kemasyarakatan. Hutan hak yang berada pada

tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. 54

b. Hutan hak.

Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas

tanah. Pasal 48 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan menyebutkan bahwa:

(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang

haknya.

(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-

baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan

hutan.

Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

mengatur mengenai fungsi hutan yakni fungsi konservasi, fungsi lindung,

54 Supriadi, op.cit, hal. 19.

Page 63: studi kasus pada illegal occupation

63

dan fungsi produksi. Pada dasarnya setiap hutan memiliki ketiga fungsi ini,

namun dari ketiga fungsi ini tentu ada salah satu fungsi yang lebih

menonjol. Berdasarkan fungsi pokok tersebut, Pemerintah menetapkan jenis

hutan yakni hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hutan

produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang

mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga

kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan

konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang

mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari kawasan hutan suaka alam,

kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru.

Dilihat dari status hukum, maka tahura merupakan suatu kawasan

hutan yang termasuk dalam hutan konservasi yang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap. Kewajiban pemerintah dalam mempertahankan keberadaan

hutan konservasi menjadikan hutan ini sebagai satu-satunya jenis hutan

yang tidak dapat dialihfungsikan. Keberadaan tahura ini memang benar-

benar dijaga sebab hutan ini memang bukan hutan alami melainkan memang

sengaja ditata untuk tujuan dan fungsi tertentu. Secara singkat status hukum

tahura dapat dilihat pada skema berikut ini:

Page 64: studi kasus pada illegal occupation

64

Gambar 4

Skema Tahura dalam Jenis Hutan

Kawasan tahura menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Alam adalah “kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan

atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan jenis asli,

yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.” Secara

Hutan

Hutan

Kawasan

Pelestarian

Alam

Hutan

Hak

Hutan

Negara

Hutan

Konservasi

Hutan

Wisata

Hutan

Lindung

Hutan

Produksi

Hutan

Suaka

Alam

Taman

Buru

Cagar

Alam

Suaka

Marga

Satwa

Taman

Hutan

Raya

(Tahur

a)

Taman

Wisata

Alam

Taman

Nasional

Page 65: studi kasus pada illegal occupation

65

spesifik tahura merupakan hutan konservasi yang termasuk dalam hutan

pelestarian alam karena dibuat oleh manusia. Dengan demikian tahura

merupakan hutan tetap yang berfungsi untuk pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung

upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.

Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam, suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan

Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik

pada kawasan yang ekosistemnya sudah berubah;

2. memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;

3. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan

koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli atau bukan asli.

Upaya pengawetan kawasan tahura dilaksanakan dalam bentuk

kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan,

penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan, pembinaan

dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa dan pembinaan dan

pengembangan tumbuhan dan satwa untuk tujuan koleksi. Upaya

pengawetan kawasan tahura dilaksanakan dengan ketentuan dilarang

melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungssi kawasan.

Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

fungsi kawasan tahura adalah:

Page 66: studi kasus pada illegal occupation

66

a. merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya;

b. merusak keindahan alam dan gejala alam;

c. mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan;

d. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana

pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat

persetujuan dari pejabat yang berwenang.

e. suatu kegiatan, dapat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan

kegiatan apabila melakukan perbuatan memotong, memindahkan,

merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan.

f. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap

berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut sumber

daya alam ke dan dari dalam kawasan.

Kawasan tahura dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan

pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan penunjang

budidaya, pariwisata alam dan rekreasi, pelestarian budaya. Kegiatan

penelitian dan pengembangan meliputi penelitian dasar, penelitian untuk

menunjang pengelolaan dan budidaya.

Tata kelola kehutanan yang baik merupakan kunci dari perlindungan

hutan. Prinsip-prinsip inilah yang semestinya diterapkan pada perlindungan

hutan-hutan di Bali. Hutan di Provinsi Bali terdiri dari 22 kelompok hutan

dan 29 Register Tanah Kehutanan (RTK). Dari seluruh luas kawasan hutan

di Bali 93 % memiliki fungsi konservasi terhadap tanah atau sebagai fungsi

hidroorologis.Tipe hutan yang tumbuh di Provinsi Bali sebagian besar tipe

Page 67: studi kasus pada illegal occupation

67

hutan hujan tropik. Selain ditumbuhi flora yang beraneka ragam di Provinsi

Bali terdapat fauna khas endemik. Menurut fungsinya kawasan hutan di

Provinsi Bali terbagi menjadi Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, Hutan

Produksi Terbatas, Hutan Cagar Alam, Taman Wisata, Taman Nasional dan

Taman Hutan Raya.55

Salah satu taman hutan raya yang ada adalah Taman Hutan Raya

(Tahura) Ngurah Rai. Tahura Ngurah Rai merupakan suatu kawasan hutan

bertipe hutan payau yang selalu tergenang air payau dan dipengaruhi oleh

pasang surut. Vegetasi utama di Tahura ini adalah tanaman mangrove.

Dilacak dari sejarah pengukuhan kawasan Tahura Ngurah Rai, kawasan

hutan ini dulunya disebut dengan Hutan Prapat benoa yang dikukuhkan

melalui Staatsblad 1923 No. 509 tertanggal 29 Mei 1927 selanjutnya oleh

SK Menteri Pertanian No. 821/KPTS/UM/II/1982, tanggal 10 november

1982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I

Bali sebagai kawasan hutan dengan luas 125.513.8 Ha. Pada tahun 1992,

kawasan ini diubah menjadi taman wisata alam melalui SK Menteri

Kehutanan No. 885/Kpts-II/1992. Pengukuhan kawasan Prapat Benoa

sebagai Tahura mulai berlaku sejak tahun 1993 yakni sejak dikeluarkannya

SK Menteri Kehutanan No. 544/KPTS-II/1993 tentang perubahan fungsi

kawasan hutan Prapat Benoa menjadi Tahura dengan luas sekitar 1.373.50

ha.

55 Departemen Kehutanan, “Hutan Propinsi Bali”, Serial Online (Cited 2011 May. 2),

available from : URL: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/BALI/hutan_bali.html,

diakses

Page 68: studi kasus pada illegal occupation

68

Secara umum di Tahura Ngurah Rai terdapat 18 jenis mangrove yaitu

Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera

gymnorrhyiza, Rhizophora stylosa, Avicennia marina, Xylocarpus

granatum, Excoecaria agalocha, Avicennia lanata, Ceriops tagal, Aegiceras

corniculatum, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrical, Sonneratia

caseolaris, Lumnitzera racemosa, Ceriops decandra dan Phemphis acidula).

Semua jenis mangrove ini adalah jenis mangrove sejati (true mangrove).

Jenis tanaman yang mendominasi di Tahura Ngurah Rai adalah

Rhizophora apiculata dan Rhizophora Mucronata, Soneratia alba,

Bruguiera gymnorrhyiza, Avecinia marina dan Ceriops tagal. Tahura

Ngurah Rai berada di dua Kabupan/Kota yaitu di Kabupaten Badung dan

Kota Denpasar. Tahura Ngurah Rai Merupakan muara dari sungai Tukad

badung dan Tukad mati yang merupakan sungai utama di Kota Denpasar

dan Kabupaten Badung. 56

Dilihat dari vegetasinya, Tahura Ngurah Rai memiliki fungsi dalam

mencegah abrasi dan tsunami yang mengancam Bali karena letaknya yang

dikelilingi oleh pantai. Selain itu hutan ini juga memiliki fungsi yang

intangable yakni dalam memberikan produk tambahan berupa jasa

pariwisata. Manfaat dan fungsi hutan yang sangat berguna bagi lingkungan

56 Anonim, “Perubahan Luasan Tanaman Mangrove di Tahura Ngurah Rai – Bali”, Serial

Online 12 Februari 2009, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:

http://mbojo.wordpress.com/2009/02/12/perubahan-luasan-tanaman-mangrove-di-tahura-ngurah-

rai-bali/, (selanjutnya disebut anonim II).

Page 69: studi kasus pada illegal occupation

69

dan makhluk hidup di dunia memberikan konsekuensi logis bahwa

keberadaan hutan harus dijaga kelestariannya.

Page 70: studi kasus pada illegal occupation

70

BAB III

BENTUK DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ILLEGAL OCCUPATION

DI TAHURA NGURAH RAI

3.1 Bentuk Illegal Occupation

Penyimpangan terhadap prinsip perlindungan hutan menimbulkan

illegal occupation yang semakin meluas dan sistemik. Bentuk illegal

occupation di Tahura Ngurah Rai sangat ditentukan oleh kebutuhan-

kebutuhan manusia akan penguasaan tanah. Tanah-tanah hutan dikuasai

untuk dijadikan kawasan perumahan, sekolah ataupun tempat usaha.

Berdasarkan data yang dihimpun dari hasil penelitian lapangan, terdapat 17

kasus illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai. Adapun ke-17

kasus tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut:57

1. Illegal occupation oleh I Wayan Suka seluas 0,8 are yang berlokasi

di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I

Made Mudra dengan sertifikat No. 3283 tanggal 30/4/1990 Ps. No.

86, PP No. 908. Saat ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan

rumah tinggal.

2. Illegal occupation oleh I Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di

Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I

Made Tinggal dengan sertifikat No. 3073 tanggal 4/11/1989 Ps. No.

89, PP No. 396 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan

diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.

3. Illegal occupation oleh Ni Wayan Sudarti seluas 0,46 are yang

berlokasi di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut

dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3363 tanggal

57 Observasi langsung kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni di Br. Jaba Jero

Kuta, Br. Pengabetan, Br. Temacun. Br. Anyar Kuta, Pemogan, Desa Sanur Kauh, Br. Mumbul,

Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan di Kelurahan Sesetan pada 5 Januari 2011.

Page 71: studi kasus pada illegal occupation

71

4/08/1990 Ps. No. 89 c, PP No. 908 Kls I Ds./Kuta. Saat ini tanah

hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.

4. Illegal occupation oleh I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang

berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut

dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 30733 tanggal

4/11/1989 Ps. No. 89, PP No. 396 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini

tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.

5. Illegal occupation oleh I Ketut Urip seluas 0,178 are yang berlokasi

di Br. Anyar Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut dibeli dari I

Made Mudra dengan sertifikat No. 3539 tanggal 22/4/1991 Ps. No.

89, PP No. 908 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan

diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.

6. Illegal occupation oleh I Wayan Lunas seluas 0,18 are yang

berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut

dibeli dari I Made Mudra dengan sertifikat No. 3468 tanggal

12/12/1990 Ps. No. 89 c, PP No. 908 Kls II Ds./Kuta No. 119. Saat

ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.

7. Illegal occupation oleh I Wayan Suadi seluas 0,675 are yang

berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut

dibeli dari I Made Tinggal dengan sertifikat No. 3657 tanggal

30/9/1991 Ps. No. 517 c, PP No. 89 c Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat

ini tanah hutan diduduki dengan mendirikan rumah tinggal.

8. Illegal occupation oleh I Ketut Konde seluas 0,9 are yang berlokasi

di Br. Pengabetan Kuta Kabupaten Badung. Tanah tersebut

merupakan tanah warisan dengan sertifikat No. 89 c, PP No. 517 Kls

II Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki dengan

mendirikan rumah tinggal.

9. Illegal occupation oleh I Wayan Buda seluas 1 are yang berlokasi di

Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung. Tanah bersertifikat No. 89 c,

PP No. 53 Kls III Ds./Kuta No. 119. Saat ini tanah hutan diduduki

dengan mendirikan rumah tinggal.

10. Illegal occupation oleh I Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati,

Made warta dan Nyoman Wartika seluas3,3 dan 1,65 are yang

berlokasi di Pemogan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat No.

1047 tanggal 31/8/1990. Saat ini sebagian tanah telah dirambah dan

dikapling-kapling sedangkan sebagian lagi telah dibangun 3 unit

rumah.

Page 72: studi kasus pada illegal occupation

72

11. Illegal occupation oleh I Wayan Wija/ Tjegeg seluas 0,14 are yang

berlokasi di Sanur Kauh, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat

No.1442 tanggal 30/5/1996. Saat ini tanah hutan diduduki dengan

mendirikan rumah tinggal.

12. Illegal occupation oleh IB Surakusuma/ IB Lolek seluas 2 are yang

berlokasi di Mumbul, Kuta Tanah tersebut bersertifikat No.1363

tanggal 19/11/1991. Saat ini tanah hutan diduduki dengan

mendirikan rumah tinggal.

13. Illegal occupation oleh I Nyoman Sudri/ Artono seluas 1 are yang

berlokasi di Br. Pemogan, Denpasar. Tanah tersebut bersertifikat

No.3091 tanggal 3/9/1996. Saat ini tanah hutan tersebut dirambah.

14. Illegal occupation oleh I Ketut Lolong, Nyoman Kardiana, Nyoman

Suarta (PT Bali Siki Utama) seluas 84 are yang berlokasi di Br.

Perarudan, Jimbaran, Badung. Tanah tersebut bersertifikat No. 257

1978, Kls IV. Saat ini tanah hutan tersebut dirambah, dikapling

untuk bangunan, diduduki dengan mendirikan 4 unit rumah di

sebelah selatan sungai yang dijual kepada dr. Ana dkk. dan di

sebelah utara sungai sudah ada 2 bangunan, di dalamnya termasuk

kaplingan milik A.A. Santosa seluas 7 are dan I Ketut Juana seluas 4

are. Kasus illegal occupation ini sedang digelar dipersidangan

Pengadilan Negeri Denpasar.

15. Illegal occupation oleh Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are

yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan. Tanah tersebut

bersertifikat No. 8115 tanggal 8/7/2001. Saat ini di atas tanah hutan

tersebut telah didirikan SMA Negeri 2 Kuta yang dibangun pada

awal 2006.

16. Illegal occupation oleh I Wayan Suwirta seluas 6,30 are yang

berlokasi di Kelurahan Sesetan, Denpasar. Tanah tersebut

bersertifikat No. 9362 tanggal 6/4/2010. Di atas tanah telah dipagari

dengan seng dan sudah diurug serta siap didirikan bangunan.

17. Illegal occupation oleh Ahmad Sofyan seluas 30 are dengan klaim

SPPT PBB NOP. 51.71.010.008.037.0139.0. Tanaman mangrove di

atas tanah hutan tersebut ditebang oleh anak buah yang bersangkutan

namun aktivitas ini dihentikan oleh Polisi Kehutanan Tahura Ngurah

Rai. Kasus ini tengah diproses di Polsek Denpasar Selatan (Sanur).

Page 73: studi kasus pada illegal occupation

73

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, diketahui ada dua bentuk

illegal occupation yaitu 1) Menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan

2) Merambah kawasan hutan.

3.1.1 Menduduki Kawasan Hutan Secara Tidak Sah

Perbuatan illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah

Rai pada dasarnya adalah kegiatan menduduki hutan secara tidak

sah yakni tanpa seizin Menteri Kehutanan. Artinya jika menduduki

tanah hutan atas seizin Menteri Kehutanan tidak dapat dikategorikan

sebagai illegal occupation. Dalam kasus-kasus yang terjadi di

Tahura Ngurah Rai, dapat diketahui bahwa perbuatan illegal

occupation dilakukan dengan menduduki kawasan hutan secara tidak

sah. Karena pendudukan ini dilakukan untuk membuat sejumlah

bangunan, maka tanah-tanah hutan tersebut dirambah terlebih

dahulu.

Salah satu illegal occupation yang kini masih dalam proses

hukum adalah kasus Bali Siki. Bali Siki adalah sebuah perusahaan

yang bergerak di bidang properti yang membeli tanah dari I Ketut

Lolong. Kasus illegal occupation ini diketahui sejak pembuatan

pondasi pada tahun 2002. Saat itu KRPH melalui surat bernomor

300/164/RPH.THR tertanggal 20 April 2002 diikuti dengan surat

dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali bernomor 300/ 75/Dishut-4

tertanggal 29 Mei 2002 telah memberikan surat peringatan pada Bali

Page 74: studi kasus pada illegal occupation

74

Siki untuk menghentikan pembangunan karena melanggar Pasal 5

ayat (3) huruf o Jo Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan. Menindaklanjuti kasus ini, maka instansi

terkait yakni Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan

Kabupaten dan Kejaksaan telah melakukan gelar perkara pada tahun

2003. Namun hasilnya hanya sebatas inventarisasi permasalahan dan

tidak ada upaya ke arah penyidikan.58

Kasus ini kembali mencuat, ketika A.A Santosa dan I Ketut

Juana berkeinginan untuk melakukan pengukuran ulang terhadap

tanah yang mereka beli dari Bali Siki dengan tujuan untuk

menjualnya kembali. Dinas Kehutanan Provinsi Bali kali ini

mengajukan keberatan dan tidak mau menandatangi daftar hadir

yang disodorkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Badung karena

sebagian dari tanah tersebut adalah termasuk dalam kawasan tahura

Ngurah Rai. Hal ini tentu sangat menyulitkan A.A Santosa dan I

Ketut Juana yang telah membeli tanah bersertifikat dari Bali Siki.

Illegal occupation yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai

diduga dilakukan oleh Bali Siki, dimana pihak Bali Siki awalnya

membeli tanah dari I Ketut Lolong seluas 1,250 Ha yang berbatasan

dengan Tahura Ngurah Rai. Setelah kepemilikian tanah tersebut

beralih pada Bali Siki, luas tanah yang ada di dalam sertifikat

58 Observasi di persidangan pada Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.

Page 75: studi kasus pada illegal occupation

75

berubah dan bertambah seluas 81,44 are ke kawasan Tahura Ngurah

Rai. Ini berarti ada indikasi bahwa Bali Siki telah melakukan illegal

occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai seluas 81,44 are.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sesungguhnya Dirut Bali

Siki, I Nyoman Suartha, telah menyadari dan memahami bahwa

dirinya terindikasi melakukan illegal occupation di Tahura Ngurah

Rai. Perbuatan melawan hukum ini telah disadari sebelum adanya

bangunan di atas tanah hutan tersebut. Namun pengkavlingan tanah

terus dilakukan. Untuk menutupi jejaknya, menghindari kerugian

bahkan menambah keuntungan, I Nyoman Suarta melalui

perusahaan properti miliknya menjualnya kembali tanah-tanah

tersebut kepada perseorangan dengan sertifikat yang telah diperoleh

dengan pemalsuan data penyanding. Ia menggunakan kedok

sertifikat Nomor 257 an. Lolong seluas 1,250 Ha. Bahwasanya

sertifikat tersebut adalah sah, namun setelah kepemilikan tanah

beralih pada PT Bali Siki, luas tanah yang ada di dalam sertifikat

berubah dan melebar. Dari hasil pengukuran parsial terindikasi

bahwa kelebihan luas tanah mencapai 81,44 are. Artinya seluas

81,44 are tanah hutan Tahura Ngurah Rai telah diokupasi secara

ilegal.59

59 Wawancara dengan I Nyoman Suartha, 40 tahun, laki-laki, Dirut Bali Siki (pelaku) pada 4

Mei 2011.

Page 76: studi kasus pada illegal occupation

76

Kasus illegal occupation yang dilakukan dengan menduduki

kawasan Tahura Ngurah Rai secara tidak sah juga dilakukan oleh I

Wayan Suka, Ni Wayan Sudarti, I Wayan Rembyok, I Ketut Urip, I

Wayan Lunas, I Wayan Suadi, I Ketut Konde, I Wayan Buda, I

Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made Warta, Nyoman

Wartika, I Wayan Wija/ Tjegeg dan IB Surakusuma/ IB Lolek.

Pelaku menduduki kawasan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai

dengan mendirikan rumah tinggal.

Pendudukan secara tidak sah ini juga dilakukan oleh Desa

Adat Kedonganan dengan memberikan tanah yang ada di wilayah

hukumnya untuk dibangun sekolah yakni SMA Negeri 2 Kuta.

Pendirian sekolah di atas tanah hutan itu belum mendapat

persetujuan dari Menteri Kehutanan, dengan demikian tanah tersebut

diduduki secara tidak sah. Berdasarkan kasus-kasus illegal

occupation yang dihimpun sebelumnya maka telah terdapat 15 kasus

menduduki kawasan hutan secara tidak sah dari 17 kasus illegal

occupation yang ada.

Perbuatan illegal occupation yang terjadi di Tahura

menyebabkan degradasi hutan mangrove sebagai penyangga

kehidupan di bumi. Hutan merupakan salah satu sumber daya alam

yang menjadi penyangga kehidupan di bumi. Vegetasi ini menjadi

begitu penting karena mampu menjadi sumber kehidupan bagi

manusia dan mencegah bencana alam. Salah satu jenis hutan yang

Page 77: studi kasus pada illegal occupation

77

memiliki fungsi tersebut adalah hutan mangrove. Hutan mangrove

merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh

beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Dilihat dari

segi fungsi hutan mangrove dideteksi sebagai hutan yang memiliki

elemen terbesar dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan

menetralisir bahan-bahan pencemar.60

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari

total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas

mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah

memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Hutan Mangrove

memiliki karakteristik habitat yang khas yakni umumnya tumbuh

pada daerah pasang surut yang jenis tanahnya berlumpur,

berlempung, atau berpasir, tergenang air laut secara berkala,

menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari

gelombang besar dan arus pasut yang kuat dan air bersalinitas payau

(2 – 22 permil) hingga asin (38 permil).61

60 Anonim, 2007, “Peranan dan Fungsi Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem Pesisir”,

Serial Online Desember 30, 2007, (Cited 2011 May. 2), available from : URL: available from

URL: http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/peranan-dan-fungsi-hutan-bakau-mangrove-

dalam-ekosistem-pesisir/.

61 Faiq, 2007, “Hutan Mangrove sebagai Tujuan Wisata”, Serial Online Sabtu, 29 Desember

2007, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:, http://f4iqun.wordpress.com/2007/12/29/hutan-

mangrove-sebagai-tujuan-wisata/

Page 78: studi kasus pada illegal occupation

78

Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai sangat berhubungan

dengan letak kawasan hutan tersebut. Hutan mangrove pada

dasarnya adalah jenis hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai

atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Mangrove tumbuh di pantai-pantai yang terlindung atau pantai-

pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung

dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang

terlindung. Letaknya disekitar pantai tentu menjadi incaran investor

untuk menduduki kawasan hutan ini guna menunjang sarana rekreasi

pantai dan pembangunan rumah di sekitar pantai. Orientasi ini

menjadi faktor pendorong dilakukannya illegal occupation di Tahura

Ngurah Rai.

Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis,

ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya

di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di

Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan

kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju

penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi

masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya,

yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun.62

Hal ini juga terjadi di Bali,

dimana illegal occupation telah mengghilangkan kawasan hutan

62 Chairil Anwar dan Hendra Gunawan “Peranan Ekologis Dan Sosial Ekonomis Hutan

Mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir”, (Cited 2011 May. 2), available

from : URL: http http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf.

Page 79: studi kasus pada illegal occupation

79

seluas 133,9598 are. Hilangnya hutan mangrove di Tahura Ngurah

Rai tentu menimbulkan laju kerusakan hutan yang signifikan, apalagi

Tahura Ngurah Rai difungsikan sebagai benteng bagi Bali untuk

mencegah tsunami.

Pendudukan kawasan hutan secara ilegal membutuhkan suatu

gerakan perlindungan hutan. Perlindungan hutan merupakan prinsip

yang memasuki seluruh dimensi dalam menciptakan good forestry

governance. Prinsip ini membutuhkan langkah-langkah preemtif,

preventif dan respresif dalam penjagaan kawasan hutan dari

kerusakan hutan. Supriadi dalam bukunya yang berjudul “Hukum

Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia” menegaskan bahwa

kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia hampir dapat dipastikan

70 sampai 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia.63

Hal ini

menjadi landasan pemikiran yang tepat manakala legislator secara

khusus mengatur mengenai perlindungan hutan dari perbuatan

manusia dalam ketentuan-ketentuan di bidang kehutanan.

Pengaturan mengenai perlindungan hutan tersebar dalam

beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Payung

hukum dari perlindungan hutan adalah Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan sedangkan secara umum

perlindungan hutan diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun

2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

63 Supriadi, op.cit., hal. 387.

Page 80: studi kasus pada illegal occupation

80

Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dengan adanya

sejumlah peraturan tersebut maka penegakan prinsip perlindungan

hutan sudah dilakukan.

Dalam ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 Tentang Kehutanan dirumuskan sejumlah perbuatan manusia

yang dilarang dalam penegakan prinsip perlindungan hutan. Adapun

perbuatan yang dilarang tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a. merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.

b. setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,

izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan

hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil

hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang

menimbulkan kerusakan hutan.

c. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah;

d. merambah kawasan hutan;

e. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan

radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari

tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata

air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter

dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri

kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari

Page 81: studi kasus pada illegal occupation

81

tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang

tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

f. membakar hutan;

g. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di

dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang

berwenang;

h. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima

titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui

atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau

dipungut secara tidak sah;

i. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin

Menteri;

j. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil

hutan;

k. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak

ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang

berwenang;

l. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim

atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan

di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;

Page 82: studi kasus pada illegal occupation

82

m. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa

izin pejabat yang berwenang;

n. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran

dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau

kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

o. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan

dan satwa liar yang dilindungi undang-undang yang berasal dari

kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka bentuk illegal ocupation yang

terjadi terhadap kawasan hutan meliputi mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

merambah kawasan hutan dan menggembalakan ternak di dalam

kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud

tersebut oleh pejabat yang berwenang sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, b dan i Undang-undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan. Semua tindakan tersebut merupakan

bentuk pelanggaran dari prinsip perlindungan hutan yang dilakukan

oleh manusia.

Manusia baik dalam kapasitasnya sebagai masyarakat maupun

badan usaha dianggap paling bertendensi dalam melindungi atau

Page 83: studi kasus pada illegal occupation

83

merusak hutan termasuk melakukan illegal occupation. Kedua

perilaku yang kontradiktif tersebut ditentukan dari motivasi yang

dimiliki masing-masing pihak. Motivasi merupakan kegiatan yang

mengakibatkan, menyalurkan dan memelihara perilaku manusia, dan

merupakan suatu proses untuk mencoba mempengaruhi seseorang

agar melakukan sesuatu yang diinginkan. Motivasi dapat

mengarahkan perilaku hukum masyarakat. Mengenai perilaku

hukum ini, Lawrence M. Friedman mengatakan:

Perilaku hukum mencakup perilaku taat hukum, tetapi semua

perilaku yang merupakan reacting to something, going on in the

legal system (reaksi terhadap sesuatu yang sedang terjadi dalam

sistem hukum). Reaksi tersebut dapat merupakan reaksi ketaatan

terhadap hukum, tetapi juga termasuk reaksi yang bersifat

ketidaktaatan kepada hukum. Selain itu juga mengkaji mengenai

motivasi mengapa use (menggunakan) atau non use (tidak

menggunakan aturan hukum).64

Berdasarkan teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow,

dapat diindetifikasi beberapa motivasi yang melahirkan ketaatan

hukum yakni melaksanakan prinsip perlindungan hutan dan beberapa

motivasi yang melahirkan ketidaktaatan dengan melakukan

pendudukan secara tidak sah di Tahura Ngurah Rai. Perilaku yang

menunjukkan ketaatan hukum dalam perlindungan hutan antara lain

disebabkan karena:

64 Achmad Ali, op.cit., hal. 144.

Page 84: studi kasus pada illegal occupation

84

a. Kebutuhan psikologis yakni kebutuhan akan hidup di

lingkungan yang nyaman dan kebutuhan akan rekreasi (hutan

merupakan salah satu tempat rekreasi).

b. Kebutuhan keamanan dimana hutan berfungsi dalam

menyediakan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia untuk

bernafas, menjadi sumber mata air serta mampu mencegah

bencana alam seperti tsunami dan abrasi.

Perilaku ketidaktaatan hukum dari manusia menimbulkan

kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia yaitu

illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Adapun beberapa motivasi

yang menyebabkan illegal occupation antara lain:

a. Kebutuhan psikologi, dimana setiap manusia memiliki

keinginan untuk berlindung. Perlindungan ini salah satunya

didapat ketika manusia memiliki rumah. Hal ini membuat

mereka menduduki kawasan hutan membuka lahan hutan untuk

perumahan bahkan memiliki hutan untuk kepentingan tersebut.

b. Kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan ini sangat berkaitan

dengan kebutuhan akan aktualisasi diri dimana seseorang

memiliki ambisi untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Salah

satunya adalah kebutuhan untuk dihormati oleh orang lain.

Kehormatan ini didapat jika yang bersangkutan memiliki

kekayaan. Bentuk dan cara yang digunakan untuk mendapatkan

kekayaan tentunya bermacam-macam, salah satunya adalah

Page 85: studi kasus pada illegal occupation

85

didasarkan pada kepemilikan tanah. Atas dasar inilah mereka

berlomba-lomba untuk menduduki kawasan hutan secara tidak

sah.

Dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41

tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa bahwa perbuatan

yang dilarang meliputi tiga jenis perbuatan yakni mengerjakan dan

atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak

sah. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa ketiga perbuatan

hukum yakni mengerjakan, menggunakan dan menduduki kawasan

hukum secara tidak sah dapat dilakukan secara komulatif atau secara

alternatif (masing-masing perbuatan hukum berdiri sendiri) untuk

mewujudkan delik illegal occupation.

Mengerjakan kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3)

a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah

mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat

yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau

untuk usaha lainnya. Mengerjakan kawasan hutan untuk peternakan

atau pengembalaan ternak seringkali menjadi ancaman bagi

keberadaan hutan. Hewan ternak yang untuk sementara diliarkan di

kawasan hutan dapat merusak vegetasi hutan, apalagi jika lahan

hutan sengaja dirambah untuk dijadikan kawasan peternakan. Oleh

sebab itu perlindungan hutan dari ternak memang perlu untuk

dilakukan. Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan diatur mengenai perlindungan hutan dari

Page 86: studi kasus pada illegal occupation

86

gangguan ternak. Adapun substansi dari Pasal 15 Peraturan

Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan adalah:

(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 6 huruf a dari gangguan ternak, dalam

kawasan hutan produksi dapat ditetapkan lokasi

penggembalaan ternak.

(2) Penetapan lokasi penggembalaan ternak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Unit

Pengelolaan Hutan.

(3) Untuk kepentingan konservasi dan rehabilitasi hutan, tanah

dan air, Kepala Unit Pengelolaan Hutan dapat menutup lokasi

penggembalaan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang, penetapan lokasi

penggembalaan ternak dalam kawasan hutan produksi

sebagaimana dimaksud, pada ayat (1), diatur dengan

Keputusan Menteri.

Dalam kasus illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah

Rai, pelaku memang tidak mengerjakan kawasan hutan untuk

kepentingan pertanian atau perladangan mengingat kawasan Tahura

yang bertanah rawa yang tidak cocok untuk pertanian maupun

perladangan.

Menggunakan kawasan hutan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat

(3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah

memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang

berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau

penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang

diberikan. Penggunaan kawasan hutan Tahura Ngurah Rai bukanlah

penggunaan kawasan hutan yang melanggar hukum. Kegiatan wisata

yang ada di Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu fungsi dari hutan

konservasi yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Bahkan

Page 87: studi kasus pada illegal occupation

87

untuk mendukung kegiatan wisata ini, pihak Indonesia telah

bekerjasama dengan Jepang dalam membangun Mangrove Information

Centre.

Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai

adalah menduduki kawasan hutan. Menduduki kawasan hutan menurut

Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat

izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat

pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya. Pelaku menggunakan

kawasan hutan untuk kepentingan properti yakni pembangunan

perumahan (seperti dalam kasus Bali Siki “1”) dan tempat usaha.

Dengan demikian illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai

adalah perbuatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Perbuatan

ini dikukuhkan dengan pensertifikatan tanah hutan.

Fungsi dan peranan hutan mangrove yang begitu besar bagi

kehidupan ternyata tidak diikuti dengan penjagaan dan pelestarian

hutan mangrove. Hal itulah yang setidaknya terjadi di hutan

manggrove Tahura Ngurah Rai. Pendudukan hutan mangrove secara

ilegal (illegal occupation) kini menjadi permasalahan pelik yang

dihadapi negara (khususnya Dinas Kehutanan) dalam

mempertahankan penguasaan atas kawasan hutan. Dari kawasan

Tahura Ngurah Rai yang diduduki, setidaknya ada 17 wilayah yang

berhasil dihakmilikkan oleh individu melalui penunjukan bukti

sertifikat.

Page 88: studi kasus pada illegal occupation

88

Adanya illegal occupation merupakan salah satu bentuk

perilaku menyimpang. Mengenai perilaku menyimpang ini Frank E.

Hagan menuliskan deviant behavior may refer to a broad range of

activities which the majority in society mayview as eccentric,

dangerous, annoying, bizarre, oulandish, gross, abhorent and the

like.65

Menilik dari kasus illegal occupation di kawasan Tahura

Ngurah Rai maka dapat disimpulkan bahwa prinsip perlindungan

hutan yang disimpangi adalah prinsip perlindungan hutan dari

perbuatan manusia, yakni perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan dimana setiap orang dilarang mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.

3.1.2 Merambah Kawasan Hutan

Kegiatan merambah hutan dalam illegal occupation di Tahura

Ngurah Rai terungkap saat beberapa orang diketahui dan tertangkap

tangan sedang menebang hutan. Dalam kasus Ahmad Sofyan ini,

tanaman mangrove ditebang oleh anak buah yang bersangkutan.

Pelaku saat itu langsung ditangkap oleh Polisi Kehutanan sebagai

penyidik PNS dan diserahkan kepada penyidik polisi di Polsek

Denpasar Selatan (Sanur).66

65 Frank E. Hagan, 1989, Introduction Criminology Theories, Method and Criminal

Behavior, Nelson-Hall Inc., Chicago., hal. 6.

66 Observasi langsung pada kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari

2011.

Page 89: studi kasus pada illegal occupation

89

Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai didahului dengan

perbuatan merambah hutan. Hutan mangrove yang ada di areal

tersebut dirambah, kemudian diduduki untuk mendirikan bangunan

tempat tinggal. Diantara tanah-tanah tersebut, memang masih ada

lahan yang kosong, seperti tanah seluas 6,3 are yang disertifikatkan

atas nama Drs. I Wayan Suwirta. Namun tanah tersebut sudah

dipagari dengan seng, diurug dan siap dibangun.

Berdasarkan observasi langsung pada seluruh kasus illegal

occupation di Tahura Ngurah Rai yakni di Br. Jaba Jero Kuta, Br.

Pengabetan, Br. Temacun. Br. Anyar Kuta, Pemogan, Desa Sanur

Kauh, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan dan di

Kelurahan Sesetan, seluruh kegiatan menduduki kawasan Tahura

Ngurah Rai secara tidak sah didahului dengan merambah hutan,

yaitu sebanyak 15 kasus dari 17 kasus yang ada. Sebanyak 2 kasus

illegal occupation hanya sampai dilakukan pada kegiatan merambah

hutan saja yakni illegal occupation yang dilakukan oleh I Wayan

Suwitra dan Ahmad Sofyan.67

Merambah hutan merupakan perbuatan hukum yang tidak

dapat dipisahkan dengan illegal occupation di Tahura Ngurah Rai,

bahkan perbuatan ini menjadi perbuatan yang harus dilakukan untuk

dapat menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Berdasarkan

Penjelasan Pasal 50 ayat (3) a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

67 Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 90: studi kasus pada illegal occupation

90

Tentang Kehutanan yang dimaksud dengan merambah adalah

melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari

pejabat yang berwenang. Merambah kawasan hutan tidak hanya

berdampak pada pengurangan kawasan hutan tetapi juga

pengurangan fungsi lingkungan hidup sebagai penghasil oksigen.

Fakta empiris menunjukkan bahwa Indonesia menempati

peringkat ketiga negara pengemisi karbon terbesar di dunia yang

mayoritas berasal dari deforestasi, dan keduanya bertanggung jawab

atas 50% emisi global yang dihasilkan dari deforestasi. Secara

global, penggundulan hutan menyumbang sekitar 20% dari emisi gas

rumah kaca, melebihi emisi yang dihasilkan dari kereta api, pesawat

dan mobil di dunia bila dijadikan satu. Oleh karena itu, kesepakatan

iklim yang baik hanya akan efektif jika berhasil menangani emisi

dari kedua sumber yaitu bahan bakar fosil dan deforestasi.68

Hal ini

menunjukkan bahwa perlindungan hutan dari perbuatan manusia

hanya dapat dilakukan jika manusia memiliki komitmen dalam

melindungi hutan baik dari degradasi maupun deforestasi.

Kedekatan serta ketergantungan masyarakat yang hidup di

sekitar kawasan hutan dengan hutan tersebut, menyebabkan adanya

interaksi masyarakat dengan hutan di sekitarnya. Pada awalnya

interaksi-interaksi tersebut terjadi dengan tetap memperhatikan

68 Green Peace, 2009, “Industri ternak menolak kehancuran Hutan Amazon, Sebuah Petunjuk

Untuk Perlindungan Hutan Indonesia”, Serial Online 7 Oktober, 2009, (Cited 2011 May. 2),

available from : URL: http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/industri-ternak-tolak-

kehancuran-amazon/

Page 91: studi kasus pada illegal occupation

91

aspek pelestarian alam, tetapi dengan semakin berkembangnya

peradaban dan kebutuhan, maka interaksi yang terjadi antara

masyarakat dengan hutan sudah mulai bergeser. Bahkan bukan

hanya masyarakat yang dekat dengan hutan lagi yang melakukan

interaksi dengan hutan. Interaksi dalam arti negatif saat ini banyak

terjadi hutan di seluruh Indonesia, yaitu perambahan.69

Berdasarkan observasi yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai,

dalam kasus illegal occupation, pelaku yang tertangkap tangan

diketahui sedang melakukan perambahan hutan untuk kemudian

diduduki secara tidak sah. Adapun beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya perambahan hutan dalam illegal occupation

ini adalah:

a. Perambahan hutan dilakukan dengan maksud menghilangkan

unsur hutan yakni pepohonan yang tumbuh di areal tersebut.

Hilangnya unsur pepohonan membuat pelaku dapat leluasa

untuk menduduki kawasan hutan secara tidak sah. Pelaku tidak

mungkin menjual, membangun atau mensertifikatkan tanah

hutan apabila bentuknya masih berupa hutan. Pembangunan

gedung di kawasan Tahura Ngurah Rai tentu didahului dengan

perambahan hutan.

b. Perambahan hutan juga dipicu oleh pemekaran wilayah yang

kurang menghitung daya dukung kawasan membuat tekanan

69 Detik.com, 2010, “Motif Perambahan Hutan”, Serial Online 3 Juni 2011, (Cited 2011

May. 2), available from : URL:http://forum.detik.com/motif-perambahan-hutan-t188997.html

Page 92: studi kasus pada illegal occupation

92

terhadap hutan semakin berat. Suatu daerah yang terkena

pemekaran tentu akan berusaha mendapatkan penghasilan yang

maksimal untuk daerahnya. Hutan secara kasat mata tidak

memberikan penghasilan dibandingkan jika hutan tersebut

dialihfungsikan untuk kawasan pemukiman dan tempat usaha

sehingga ada kecendrungan untuk merambah hutan menjadi

kawasan pemukiman dan tempat usaha tersebut.

c. Kurangnya pengawasan dan belum optimalnya penegakan

hukum terhadap perambahan hutan. Meskipun kebijakan

moratorium telah dikeluarkan, kegiatan perambahan masih

belum dapat dihentikan. Hal tersebut karena pelaku tidak

ditindak sesuai prosedur hukum yang berlaku. Tindakan

penegak hukum justru dianggap sebagai tindak pidana

pengancaman dan pemerasan oleh pelaku.

Perambahan kawasan hutan menjadi perbuatan hukum

pertama yang dilakukan dalam mengokupasi lahan hutan.

Perambahan ini bertujuan untuk mempersiapkan lahan hutan

sebagai kawasan yang akan dibangun. Berdasarkan penelitian

lapangan yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai maka dapat

digambarkan bentuk illegal occupation sebagai berikut:

Page 93: studi kasus pada illegal occupation

93

Tabel 1

Bentuk illegal occupation

No. Kasus Menduduki

Kawasan

Hutan

Merambah

Kawasan

Hutan

1 I Wayan Suka seluas 0,8

are yang berlokasi di Br.

Jaba Jero Kuta

Kabupaten Badung.

x x

2 I Wayan Suka seluas 1 are

yang berlokasi di Br. Jaba

Jero Kuta Kabupaten

Badung.

x x

3 Ni Wayan Sudarti seluas

0,46 are yang berlokasi di

Br. Pengabetan Kuta

Kabupaten Badung.

x x

4 I Wayan Rembyok seluas

0,2 are yang berlokasi di

Br. Temacun Kuta

Kabupaten Badung.

x x

5 I Ketut Urip seluas 0,178

are yang berlokasi di Br.

Anyar Kuta Kabupaten

Badung.

x x

6 I Wayan Lunas seluas

0,18 are yang berlokasi di

Br. Jaba Jero Kuta

Kabupaten Badung.

x x

7 I Wayan Suadi seluas

0,675 are yang berlokasi

di Br. Jaba Jero Kuta

Kabupaten Badung.

x x

8 I Ketut Konde seluas 0,9

are yang berlokasi di Br.

Pengabetan Kuta

Kabupaten Badung.

x x

9 I Wayan Buda seluas 1 are

yang berlokasi di Br.

Temacun Kuta Kabupaten

x x

Page 94: studi kasus pada illegal occupation

94

Badung.

10 I Made Dogor, Luh

Sendri, Ni Putu Wati,

Made warta dan Nyoman

Wartika seluas3,3 dan

1,65 are yang berlokasi di

Pemogan, Denpasar

x x

11 I Wayan Wija/ Tjegeg

seluas 0,14 are yang

berlokasi di Sanur Kauh,

Denpasar.

x x

12 IB Surakusuma/ IB Lolek

seluas 2 are yang

berlokasi di Mumbul,

Kuta Tanah tersebut

bersertifikat No.1363

tanggal 19/11/1991.

x x

13 I Nyoman Sudri/ Artono

seluas 1 are yang

berlokasi di Br. Pemogan,

Denpasar.

x x

14 I Ketut Lolong, Nyoman

Kardiana, Nyoman Suarta

(PT Bali Siki Utama)

seluas 84 are yang

berlokasi di Br. Perarudan,

Jimbaran, Badung.

x x

15 Desa Adat Kedonganan

seluas 0,1768 are yang

berlokasi di Kelurahan

Kedonganan.

x x

16 I Wayan Suwirta seluas

6,30 are yang berlokasi di

Kelurahan Sesetan,

Denpasar.

- x

17 Ahmad Sofyan seluas 30

are dengan klaim SPPT

PBB NOP.

51.71.010.008.037.0139.0.

- x

Total 15 17

Page 95: studi kasus pada illegal occupation

95

Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai

dilakukan dengan merambah hutan, kemudian membangun di

kawasan hutan menjadi tempat pemukiman atau kegiatan usaha,

menduduki secara tidak sah bahkan dikukuhkan melalui

pensertifikatan. Dengan demikian ada dua perbuatan hukum dalam

illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yakni menduduki kawasan

Tahura Ngurah Rai secara tidak sah dan merambah Tahura Ngurah

Rai.

3.2 Faktor-faktor Penyebab Illegal Occupation

Indikasi terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai

sebenarnya telah terlihat sejak 20 April 2002, yang sejak KRPH menyurati

pihak pengembang Bali Siki untuk menghentikan pembangunannya.

Kemudian pada tahun 2003, gelar perkara atas kasus ini dilakukan dengan

melibatkan Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kejati Bali, namun hasilnya

hanya terbatas pada inventarisasi kasus tanpa disertai tindakan nyata untuk

memulai penyidikan. Kasus illegal occupatin di Tahura Ngurah Rai

kemudian dibiarkan bergulir sampai pada tahun 2009, sejumlah pembeli

properti PT Bali Siki ingin mengadakan pengukuran ulang karena akan

menjual tanah itu kembali.

Illegal occupation di Tahura Ngurah Rai merupakan penyimpangan

prinsip perlindungan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Kasus

Page 96: studi kasus pada illegal occupation

96

hukum ini terjadi karena beberapa faktor-faktor yang dapat dianalisis

melalui teori sistem hukum. Analisis ini tidak lepas dari pandangan para

ahli hukum seperti H. Baharuddin Lopa yang berpendapat bahwa “jika

membicarakan hukum tentu tidak terlepas dari suatu sistem, yaitu sistem

hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan bernegara. Demikian pula

keterkaitan dan keterpaduannya dengan sistem lain sebagai bagian dari

sistem nasional secara keseluruhan.”70

Lawrence M. Friedman mengemukakan “a legal system in actual is a

complex in which structure, substance and culture interact”71

dimana ada

tiga elemen dari sistem hukum yaitu substansi hukum, struktur hukum dan

budaya hukum. Dalam kajian ini, struktur hukum dan budaya hukum

menjadi kajian dalam menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan illegal

occupations sedangkan substansi hukum yang mengatur mengenai hukum

kehutanan telah terumus dengan jelas. Secara normatif, tidak ada

kekosongan, kekaburan dan konflik norma yang mengatur mengenai

larangan illegal oocupation di Tahura Ngurah Rai. Larangan tersebut

dirumuskan dengan jelas pada Pasal 50 Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan.

70 H. Baharuddin Lopa, 1996, Alquran dan Hak-hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima

Yasam Yogyakarta, hal. 124.

71 Lawrence. M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Sentence Perspective, Russel

Sage Foundation, New York, hal. 16.

Page 97: studi kasus pada illegal occupation

97

3.2.1 Faktor Struktur Hukum

Struktur hukum dalam sistem hukum menunjuk pada penegak

hukum di bidang kehutanan. Dalam pembahasan ini adalah polisi

kehutanan yang memiliki tugas dalam menjaga dan melindungi

Tahura Ngurah Rai dari illegal occupation. Hukum merupakan suatu

sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang memiliki fungsi

otonom, namun jika elemen-elemen tersebut dielaborasikan maka ia

akan mencapai tujuan. Sehingga polisi kehutanan merupakan elemen

otonom untuk disinergikan dengan elemen lain dalam mencapai

perlindungan hutan dari illegal occupation.

Di dalam hukum kehutanan, kedudukan Polisi Kehutanan

sangat kuat sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No 45

Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Sedangkan, tugas-tugas

Polisi Kehutanan itu sendiri tercantum dibanyak peraturan baik

Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Intruksi Presiden.

Secara garis besar, tugas Polisi Kehutanan adalah mengamankan

segala peraturan yang ada tentang kehutanan.

Hutan merupakan aset negara yang menjadi sumber

penghidupan bagi masyarakat. Sehingga diperlukan upaya yang

sistematis dan terpadu untuk mencegah dampak sistemik dari illegal

occupation. Salah satunya dengan mengoptimalisasi peranan polisi

kehutanan dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Dalam

Page 98: studi kasus pada illegal occupation

98

Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang

Perlindungan Hutan disebutkan:

Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi

kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya,

menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan

hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang

kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya.

Dalam pengamanan kawasan hutan mangrove di Tahura

Ngurah Rai, ditempatkan sejumlah polisi hutan yang memiliki

kewenangan untuk melaporkan, melakukan pendataan terhadap

pihak yang melanggar, memberi peringatan dan pembinaan,

mengambil tindakan sesuai dengan aturan yang berlaku seperti

menangkap dalam hal tertangkap tangan, melakukan penyelidikan

dan penyidikan khusus bagi PPNS jika di lapangan ia menemukan

pihak-pihak yang melakukan illegal occupation.

Sejauh ini ada beberapa upaya yang telah dilakukan dan akan

dilakukan oleh polisi kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali

untuk mencegah dan mengembalikan kawasan hutan yang telah

diokupasi secara melawan hukum. Adapun upaya tersebut meliputi

kegiatan menghentikan dan mengambil tindakan sesuai kondisi di

TKP, memproses temuan tersebut melakukan gugatan baik pidana

maupun perdata. Untuk mengembalikan fungsinya sebagai kawasan

Page 99: studi kasus pada illegal occupation

99

hutan maka tanah-tanah hutan tersebut ditanami kembali dengan

tanaman mangrove.72

Untuk mencegah illegal occupation maka Dinas Kehutanan

Provinsi Bali telah melakukan pengukuran luas kawasan Tahura

Ngurah Rai secara berkala yakni sekurang-kurangnya satu kali

dalam lima tahun, bahkan jika ada hal-hal yang bersifat mendesak

maka pengukuran dapat dilakukan kapan pun. Misalnya dalam

perbatasan wilayah antara kawasan hutan dengan tanah milik dimana

sebagai penyanding tidak ditemukan pal batas kawasan hutan.

Pengukuran juga dapat dilakukan sewaktu-waktu dalam hal ada

permasalahan yang memerlukan pengukuran titik-titik koordinat

maka dilakukan pengukuhan secara parsial, insidental dan

kasuistis.73

Secara represif, lemahnya perlindungan hutan dari illegal

occupation disebabkan karena lemahnya penegakan hukum atas

kasus tersebut. Dalam konsep negara hukum, maka prinsip

perlindungan hutan harus ditegakkan guna menanggulangi illegal

occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai. Penanggulangan illegal

occupation dalam kerangka negara hukum dapat dilakukan dengan

72 Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,

laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

73 Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,

laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

Page 100: studi kasus pada illegal occupation

100

penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan konkritisasi dari

negara hukum. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.74

Sehingga penegakan hukum terhadap

illegal occupation berfungsi untuk mengembalikan keseimbangan

dalam masyarakat.

Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial di

negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam hal ini negara memiliki

hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi bagi para

pelanggarnya melalui penegak hukum yang dilegalisasi dengan

substansi hukum. Dengan demikian penegakan hukum terhadap

pelaku illegal occupation harus ditindak sesuai dengan prosedur

hukum yang berlaku. Pembiaran terhadap pelaku illegal occupation

berarti sama dengan penodaan terhadap negara hukum.

Perlindungan hutan dari illegal occupation selama ini

dilakukan dengan upaya preventif dan upaya represif namun hingga

kini penegakan hukum kehutanan terhadap kasus ini masih belum

optimal. Adapun beberapa hal yang melemahkan penegakan hukum

74 Soerjono Soekanto II, op.cit., hal. 5.

Page 101: studi kasus pada illegal occupation

101

terhadap illegal occupation di Tahura Ngurah Rai oleh polisi hutan

adalah:

a. Kurangnya dukungan pimpinan terhadap polisi hutan yang

melaksanakan tugas pengamanan hutan. Hal ini dapat dilihat

dari penjejalan beban kerja bagi polisi hutan. Berdasarkan

observasi yang dilakukan di Tahura Ngurah Rai, maka diketahui

bahwa polisi kehuatanan yang bertugas di daerah tersebut masih

harus mengerjakan tugas-tugas administratif yang

sesungguhnya dapat dikerjakan oleh staf biasa.75

b. Kurangnya komitmen dari pimpinan dalam menyelesaikan kasus

illegal occupation. Kurangnya komitmen ini dapat terekam

dalam kasus Bali Siki dimana kasus illegal occupatiion ini telah

diketahui sejak tahun 2002 dan gelar perkara telah dilakukan di

tahun 2003, namun hingga kini belum ada penyelesaian secara

tuntas terhadap kasus ini. Kegiatan pengurugan tanah hutan,

pembuangan limbah dan penyerobotan tanah hutan mengandung

indikasi sebagai tindakan permulaan dari illegal occupation di

kawasan hutan.76

Namun dalam praktik, tindakan permulaan

tersebut seringkali tidak diwaspadai karena kurangnya

koordinasi diantara instansi terkait dalam penanganan kasus.

75 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

76 Wawancara dengan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas

Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

Page 102: studi kasus pada illegal occupation

102

Akibatnya, tindakan-tindakan permulaan tersebut tidak ditindak

oleh petugas atau penyelesaian kasus dalam setiap permasalahan

yang telah dilaporkan atau ditangani terkatung-katung.77

Jika dilihat dari tahun pensertifikatan semua kasus illegal

occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai sebagaimana yang

telah dideskripsikan dalam Bab III diketahui bahwa, kasus ini

1978 melalui kepemilikan tanah dari I Ketut Lolong, dilanjutkan

pada tahun 1989 dengan pensertifikatan tanah atas nama I

Wayan Suka seluas 1 are yang berlokasi di Br. Jaba Jero Kuta,

Kabupaten Badung. Di Tahun yang sama juga terjadi

pensertifikatan atas nama I Wayan Rembyok seluas 0,2 are yang

berlokasi di Br. Temacun Kuta Kabupaten Badung.78

c. Sarana dan prasarana pengamanan hutan yang belum memadai.

Dalam proses hukum illegal occupation yang kini tengah

ditangani di Pengadilan Negeri Denpasar, polisi hutan tidak

difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dalam mencari barang bukti

baik dalam bentuk kendaraan dinas maupun biaya operasional.79

d. Kemampuan polisi hutan yang masih kurang. Berdasarkan data

yang dihimpun dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali, saat ini

77 Wawancara dengan I Made Puspama, 36 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas

Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

78 Data diperoleh dari RPH. Tahura Ngurah Rai.

79 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di

Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.

Page 103: studi kasus pada illegal occupation

103

belum ada polisi hutan ahli yang memiliki kemampuan dibidang

penindakan illegal occupation, sebab kasus ini memerlukan

kemampuan komunikasi antar instansi, koordinasi dengan para

pihak termasuk kejaksaan, pengadilan, hakim, notaris dan

sebagainya. Hal ini juga didukung dengan keterbatasan tenaga

PPNS di Dinas Kehutanan, bahkan di Provinsi tidak ada yang

memiliki izin PPNS sehingga setiap kasus dialihkan ke pihak

kepolisian. Penyidikan hanya oleh penyidik polisi dalam kasus

di bidang kehutanan tentu bertendesi memunculkan bias dalam

penyelesaian kasus. Akibat kasus menjadi mengambang atau

justru melebar.

e. Ketidaktuntasan kasus illegal occupation ini disebabkan karena

kinerja dan koordinasi dari pemangku kebijakan. Pemangku

kebijakan selama ini kurang tegas dan berniat dalam memproses

setiap laporan tentang terjadinya gangguan keamanan hutan

yang dilaporkan oleh polisi hutan dan aparat yang bertugas di

tingkat RPH dan UPT KPH. Dalam penyelesaian kasus

seringkali terjadi konflik kepentingan antara stake holder yang

berkecimpung di dalam penyelesaian kasus tersebut baik antara

Notaris, tokoh adat, BPN, Dinas Kehutanan, pelaku dan

masyarakat. Beberapa diantaranya bahkan membela

Page 104: studi kasus pada illegal occupation

104

kepentingannya tanpa memperhatikan kepentingan dan hak

negara atas penguasaan hutan.80

Dalam proses penyelesaian illegal occupation, aparatur

pemerintah tidak hanya terfokus pada bagaimana cara menghadapi

pelaku tetapi juga saling menyalahkan satu sama lain. Masing-

masing memiliki ego sektoral untuk tidak ingin disalahkan dan

bertanggung jawab terhadap kasus illegal occupation yang terjadi,

sehingga mereka sibuk untuk menyusun alibi dan mengalihkan kasus

tersebut. Akibatnya kasus ini semakin mengambang tanpa adanya

penyelesaian yang jelas dan saling mendalihkan.

Untuk menanggulangi illegal occupation, dibutuhkan sebuah

strategi baru yang berorientasi kepada optimalisasi peranan polisi

hutan yang berafiliasi dengan partisipasi dan pemberdayaan

masyarakat. Karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis yang

bersifat khusus (applied)) dan berpijak kepada pengembangan

potensi lokal (locallity development), yakni membangun konsensus

dari komitmen yang kuat dari berbagai pihak, baik pemerintah,

masyarakat dan para pengusaha dibidang kehutanan bahwa hutan

harus diselamatkan.

Mewujudkan kelembagaan berarti diperlukan SDM polisi

kehutanan yang baik dan berkompeten dan profesional, oleh karena

80 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 105: studi kasus pada illegal occupation

105

itu paradigma polisi kehutanan hanya pelaksana perlu dirubah ke

arah polisi hutan sebagai perancang kebijakan dan perancang

program keamanan yang baik dengan melibatkan peran serta

masyarakat dalam pembangunan kehutanan dan pengamanan hutan.

Meningkatkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam

pengelolaan hutan dan bertanggungjawab berarti polisi hutan

berperan dalam pengelolaan konflik. Konflik dikelola menjadi suatu

yang dapat membangun dan mendukung program kehutanan.

Disinilah ruang gerak polisi hutan tingkat ahli. Selain itu, polisi

hutan ahli harus mampu menciptakan program-program

pemberdayaan masyarakat yang tepat sasaran dan tepat

guna/applicable.

Hukum merupakan sistem yang terdiri atas satu kesatuan yang

utuh. Dalam sistem hukum tersebut terdapat unsur-unsur yang yang

saling berinteraksi satu sama lain dan berkerjasama untuk mencapai

satu tujuan dalam kesatuan tadi. Kesatuan tersebut diterapkan

terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum,

teori hukum, asas hukum dan pengertian hukum. Dalam sistem

terdapat sub sistem yang saling mendukung dan tidak bercerai-berai

antara satu sub sistem dan sub sistem lainnya. Sistem hukum

merupakan satu mata rantai yang memiliki perannya masing-masing.

Dengan demikian hukum menjadi pedoman bagi manusia dalam

kehidupan bermasyarakat.

Page 106: studi kasus pada illegal occupation

106

Hukum, menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main

bersama (rule of the game). Dalam konsteks ini, aturan tersebut

diistilahkan dengan substansi hukum. Fungsi utama sub sistem ini

mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai

dengan aturan main. Parson kemudian menempatkan hukum sebagai

unsur utama dalam integrasi sistem. Hal ini juga didukung oleh

Steeman yang membenarkan bahwa apa yang secara formal

membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap

aturan main yang normatif. Pola normatif inilah yang mesti

dipandang sebagai unsur paling teras dari sebuah struktur yang

terintegrasi. Dalam kerangka Bredemeier ini, hukum difungsikan

untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul di masyarakat.81

Pembentukan hukum merupakan bagian yang sangat penting

dalam pembangunan hukum pada konsep negara hukum. Dalam

konteks pembangunan hukum menuju kondisi yang lebih baik itu,

dapat dirumuskan paling tidak dua hal. Pertama bagaimana faktor

domestik, baik pemerintah maupun masyarakat memainkan

peranannya dalam pembangunan tata aturan. Hal ini tentu sangat

dipengaruhi oleh ideologi politik hukum atau untuk mudahnya

politik pembangunan hukum. Kedua bagaimana kondisi hukum ke

depan dapat menjawab perkembangan global dan regional yang

81 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, op.cit., hal 152-153.

Page 107: studi kasus pada illegal occupation

107

berpengaruh pada paradigma negara dalam menjalankan

pembangunan dan pembaruan hukum.82

Dalam kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia,

Darji Darmodiharjo dan Shidarta berkata, “setidaknya kita sadar

bahwa hukum dibentuk karena pertimbangan keadilan

(gerechtigheit) disamping sebagai kepastian hukum

(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigheit).”83

Beranjak

dari pemikiran tersebut maka pembentukan hukum di Indonesia

harus berorientasi pada pencapaian tujuan hukum. Pembentukan

hukum kehutanan di Indonesia sedapat mungkin memberikan

keadilan bagi negara sebagai pemegang hak atas penguasaan hutan,

masyarakat, masyarakat hukum adat dan badan usaha untuk

mendapatkan manfaat atas hutan. Selain itu, izin usaha pemanfaatan,

pengukuhan kawasan hutan dan sebagainya diharapkan dapat

menjami kepastian hukum. Dengan demikian, apa yang diatur dalam

hukum kehutanan diharapkan dapat memberikan manfaat lingkungan

dan manfaat ekonomi.

Sejumlah produk normatif yang diterbitkan tentu tidak akan

lepas dari dinamika internal maupun eksternal, yakni relasi antar

negara, negara dan korporasi internasional. Relasi-relasi inilah yang

82 Adnan Buyung Nasution, Visi Pembangunan Hukum Tahun 2025 Akses Terhadap

Keadilan dalam Negara Demokrasi Konstitusional, Jurnal Buah Pena Vol. V/No.4/Agustus 2008.

83 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI, hal. 154

Page 108: studi kasus pada illegal occupation

108

bekerja dalam membentuk hukum di Indonesia. Subtansi hukum,

struktur hukum dan aparat penegak hukum tidak akan pernah dapat

bekerja sendiri di luar model negara yang hendak dibangun oleh

aktor-aktor pemegang keputusan di sebuah negara. Dirumuskannya

ketentuan di bidang kehutanan tentu tidak lepas dari adanya

kepentingan-kepentingan terhadap hutan. Dewasa ini, negara maju

cenderung mendorong negara berkembang untuk menyelamatkan

hutan guna mengekspor oksigen kepada negara maju. Sehingga

ketentuan di bidang kehutanan bukan hanya menyangkut

permasalahan sektoral di suatu negara namun menjadi payung

hukum bagi penyelesaiaan masalah global.

Dalam pembentukan substansi hukum selain memperhatikan

relasi antar negara, negara dan korporasi internasional,

pembentukan substansi hukum di bidang kehutanan juga menyerap

berbagai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, disinilah

filosofi-filosofi dalam hukum adat di Indonesia digali dan diangkat

menjadi hukum positif. Dibandingkan hukum nasional yang state

law itu, hukum lokal yang folklaw itu memang tak mempunyai

struktur-strukturnya yang politik, namun kekuatan dan

kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang

politik itu melainkan dari imperativa-imperativanya yang moral dan

kultural. Maka dalam bingkai-bingkai kesatuan politik kenegaraan

yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional,

Page 109: studi kasus pada illegal occupation

109

tetap tertampakkanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam

konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional.84

Interkoneksi relasi antar negara, negara, korporasi

internasional dan kearifan lokal telah melahirkan Undang-undang

No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memperhatikan relasi-

relasi tadi. Dalam Undang-undang tersebut diatur mengenai hak

penguasaan hutan oleh negara, tanggung jawab bersama dalam

pengelolaan hutan yang memungkinkan keberlangsungan hutan

untuk dinikmati oleh seluruh umat manusia dan kesempatan bagi

BUMN, BUMD, BUMS dan koperasi untuk memiliki usaha izin

pemanfaatan hutan. Relasi kearifan lokal dalam Undang-undang No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ditunjukkan dengan hak dari

masyarakat hukum adat atas hutan, penetapan status hutan adat dan

kehadiran polisi kehutanan (rimbawan) dalam penegakan hukum

kehutanan.

Pentingnya interkoneksi relasi antar negara, negara, korporasi

internasional dan kearifan lokal digambarkan oleh Geoffrey Sawer

dengan menyatakan bahwa “The adaptability of law to social

demand varies greaty which the techniques of interpreatation

adopted in particular systems, or in parts of particular systems and

there is no uniform correlation between type of interpretation and

84 Soetandyo Wignjosoebroto, 2010, “Masalah Budaya Dalam Pembentukan

Hukum Nasional”, Serial Onlie, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:

http://soetandyo.wordpress.com/2010/07/13/masalah-budaya-dalam-pembentukan-hukum-

nasional/

Page 110: studi kasus pada illegal occupation

110

social consequence.”85

Hal ini menjelaskan bahwa perlunya

adapatasi hukum terhadap tuntutan sosial sehingga dalam

pembentukan hukum relasi antar negara, negara, korporasi

internasional dan kearifan lokal memang menjadi energi dalam

substansi hukum yang dihasilkan.

Hukum yang baik akan dihasilkan dari proses pembentukan

hukum yang baik. Dalam proses pembentukan hukum itu sendiri

melewati tahapan sebagai berikut:

a. Tahapan Sosiologis :

Dalam konteks sosiologis, faktor masyarakat merupakan tempat

timbulnya suatu kejadian, permasalahan atau tujuan sosial.

Untuk menentukan agar problem tersebut dapat masuk dalam

agenda pemerintah dapat dilihat dari beberapa faktor, antara lain

aspek peristiwanya, siapakah yang terkena peristiwa itu, apakah

mereka yang terkena peristiwa itu terwakili oleh mereka yang

mempunyai posisi sebagai pembuat keputusan, dan apakah jenis

hubungan antara pembuat kebijaksanaan dan orang-orang yang

terkena pengaruh kebijakan tersebut. Dalam tahap ini

diperhatikan berbagai kepentingan masing-masing pihak dalam

pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Dengan adanya perhatian

85 Geoffrey Sawer, 1973, Law in Society, Oxford University Press, London, hal. 182.

Page 111: studi kasus pada illegal occupation

111

terhadap berbagai kepentingan ini maka diharapkan illegal

occupation dapat dihindari.

b. Tahapan Politis :

Apabila problem yang timbul tersebut dapat dimasukkan dalam

agenda pemerintah atau sebagai policy problems, maka langkah

selanjutnya adalah pada tahapan politis. Tahapan politis ini

berusaha mengidentifikasi problem dan kemudian merumuskan

lebih lanjut. Tahapan politis inilah yang sangat menentukan,

apakah ide atau gagasan itu perlu dilanjutkan atau diubah untuk

selanjutnya memasuki tahapan yuridis. Konteks pemahaman

politis ini sangat menentukan bagi lahirnya suatu peraturan,

karena harus disadari bahwa peraturan hukum ini merupakan

salah satu alat yang penting untuk menyalurkan dan

mewujudkan tujuan-tujuan kebijaksanaan pemerintah. Dengan

demikian, apa yang ingin diatur dalam ketentuan di bidang

kehutanan akan diformulasikan dalam bentuk hukum.

c. Tahapan Yuridis :

Pada tahapan ini lebih memfokuskan diri pada masalah

penyusunan dan pengorganisasian masalah-masalah yang diatur

kedalam rumusan-rumusan hukum. Keadaan hukum tidak dapat

dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks politis.

Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan

Page 112: studi kasus pada illegal occupation

112

yang demokratis, diharapkan dapat menghasilkan kondisi

hukum yang responsif sehingga dapat menjawab berbagai

tuntutan di masyarakat.86

Produk hukum yang dilahirkan di bidang kehutanan juga

dipengaruhi oleh sistem politik yang dianut pada saat pembentukan

hukum. Menurut Mahfud M.D, suatu proses dan konfigurasi politik

rezim tertentu akan signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk

hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang

konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter

responsif dan populistik sedangkan di negara yang konfigurasi

politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau

konservatif atau elitis.87

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan lahir pada era reformasi. Salah satu ciri reformasi yang

tampak dalam Undang-undang ini adalah adanya pengakuan hak

masyarakat hukum adat dan adanya kesempatan bagi siapa saja yang

dilanggar haknya untuk dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Pengakuan atas hak-hak rakyat inilah yang sangat terbatas pada masa

orde baru.

Upaya pembangunan tatanan hukum paling tidak didasarkan

atas tiga alasan. Pertama, sebagai pelayan bagi masyarakat. Karena

86 Warassih,E., 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama,

Semarang.

87 Mahfud MD dalam Iman Syaukani dan A.Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik

Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 6.

Page 113: studi kasus pada illegal occupation

113

hukum itu tidak berada pada kevakuman, maka hukum harus

senantiasa disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang

dilayaninya juga senantiasa berkembang. Kedua, sebagai alat

pendorong kemajuan masyarakat. Ketiga, karena secara realistis di

Indonesia saat ini fungsi hukum tidak bekerja efektif, sering

dimanipulasi, bahkan jadi alat (instrumen efektif) bagi penimbunan

kekuasaan.88

Manipulasi inilah yang menimbulkan illegal

occupation di kawasan hutan.

Hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk

mengubah perkelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang

dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang

dinamakan Gunnar Myrdal sebagai sofdevelopment, dimana hukum-

hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak

efektif.89

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dapat dikatakan berhasil dalam mengubah perilaku masyarakat

terhadap hutan. Hal ini terbukti dengan belum dicabutnya aturan

yang telah berjalan selama 12 tahun (1999-2011).

Efektifnya Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan tidak lepas dari keberadaan asas-asas hukum yang

88 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 61-62.

89 Soerjono Soekanto I, op.cit., hal. 135.

Page 114: studi kasus pada illegal occupation

114

dianutnya. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan

lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan

keterpaduan. Kebutuhan akan pendayagunaan asas-asas hukum

tersebut menurut Satjipto Rahardjo, disebabkan karena kita

membutuhkan orientasi yang jelas ke arah mana masyarakat ini ingin

dibawa oleh hukumnya. Selain itu, disebabkan pula karena sistem

hukum itu tidak hanya terdiri dari undang-undang yang berbaris,

melainkan juga punya semangat. Asas hukum memberikan nutrisi

kepada sistem perundang-undangan, sehingga ia tidak hanya

merupakan bangunan perundang-undangan, melainkan bangunan

yang sarat dengan nilai dan punya filsafat serta semangatnya sendiri.

Sebagai konskuensi apabila kita meninggalkan asas-asas hukum

adalah adanya kekacauan dalam sistem hukum90

Keberadaan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan telah mengantisipasi illegal occupation di kawasan hutan

melalui pengaturan dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan “Setiap orang

dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki

kawasan hutan secara tidak sah” Terhadap pelanggaran atas

ketentuan ini, akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara

90 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal. 141,

(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo IV).

Page 115: studi kasus pada illegal occupation

115

dan denda. Ketentuan ini menjadi dasar dari penegakan hukum

terhadap illegal occupation di kawasan hutan.

Struktur hukum (penegak hukum) merupakan bagian dari

sistem hukum yang sangat mempengaruhi bekerjanya hukum

kehutanan dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan hutan di

dalam masyarakat. Kehadiran penegak hukum menelusuri efektivitas

hukum dalam masyarakat dijelaskan Achmad Ali sebagai berikut:

Efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung

pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum

untuk menegakkkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai

dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan

hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum

(penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi), dan

penerapannya terhadap suatu kasus konkret. Efektitif atau

tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standar hidup

sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.91

Adanya subtansi hukum yang baik ternyata tidak menjadi satu-

satunya jaminan dalam melindungi hutan dari illegal occupation. Hal

ini disebabkan karena kelemahan dalam struktur hukum dan budaya

hukum.

3.2.2 Faktor Budaya Hukum

Budaya hukum masyarakat mempengaruhi terjadinya illegal

occupation di Tahura Ngurah Rai. Budaya hukum merupakan

working machine dari sistem hukum. Oleh karena itu, baik tidaknya

suatu hukum dalam konteks ini disandarkan pada kesadaran hukum

dan kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang

91 Achmad Ali, op.cit., hal. 378.

Page 116: studi kasus pada illegal occupation

116

secara politik, ekonomi dan sosial kurang memberikan penghargaan

tinggi terhadap hukum bahkan berangsur-angsur melecehkan hukum,

tidak akan pernah memberikan energi pendorong bagi terciptanya

suatu penegakan hukum. Merujuk apa yang pernah diungkapkan

Paul Scholten bahwa kesadaran hukum itu merupakan suatu

kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh

dan taat kepada hukum.92

Maraknya kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai

disebabkan karena budaya hukum masyarakat. Adapun berdasarkan

penelitian lapangan yang telah dilakukan, dapat diketahui penyebab

dari tindakan tersebut yaitu:

a. Kawasan Tahura Ngurah Rai merupakan kawasan yang memiliki

nilai ekonomi tinggi. Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh pada

implementasi prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi

illegal occupation. Pertumbuhan globalisasi yang begitu pesat

membuka jaringan bisnis yang semakin terbuka lebar.

Perkembangan aspek bisnis ini tentu mampu memberikan

kontribusi dalam pembangunan nasional, maka tidak

mengherankan jika pemerintah semakin menggalakkan

penanaman modal asing dalam bentuk investasi. Investasi

92 IGN Parikesit Widiatedja, 2010, Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer, Udayana

University Press, Denpasar, 18-19.

Page 117: studi kasus pada illegal occupation

117

memberikan sumber dana yang begitu besar dalam pemerataan

pembangunan.

b. Adanya pembangunan di bidang industri pariwisata.

Pengembangan kawasan wisata saat ini telah merambah areal

hutan mangrove terutama di daerah wisata seperti Sanur, Kuta,

dan Nusa Dua. Pengalihfungsian lahan ini bisa terjadi karena

tidak semua hutan mangrove dikelola pemerintah Provinsi Bali.

Sebagian tanaman mangrove berdiri di atas lahan pribadi. Selain

itu, para pengembang juga sudah mengantongi izin pembangunan

dari pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak dapat

membendung penyempitan lahan hutan mangrove. Lokasi-lokasi

ini memang strategis dijadikan kawasan wisata. Sehingga banyak

pengembang yang merubah hutan mangrove menjadi bangunan

penunjang pariwisata. Keberadaan restoran Aka Mie di Denpasar

Selatan yang hingga kini belum mengantongi izin analisis

mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari Dinas LH Denpasar.

Padahal, pembangunan restoran ini telah mengorbankan sejumlah

lahan hutan mangrove.93

c. Adanya sindikat yang bergerak untuk membeli atau menguasai

tanah dorongan ekonomi, dimana kawasan Tahura Ngurah Rai

merupakan salah satu kawasan strategis di Bali untuk

93 Muhammad Saifullah, 2008, “Hutan Mangrove Bali Terancam Punah”, Serial Online

Sabtu, 8 Maret 2008 17:26 wib, (Cited 2011 May. 2), available from : URL:

http://news.okezone.com/read/2008/03/08/1/90001/hutan-mangrove-bali-terancam-punah.

Page 118: studi kasus pada illegal occupation

118

pengembangan usaha terutama pengembangan jasa sarana

pariwisata. Perbuatan melawan hukum ini akan lebih mudah

dilakukan dengan lemahnya mekanisme kontrol terhadap kawasan

hutan.

d. Kurang jelinya aparat desa/ tokoh masyarakat dalam

menandatangani SPOP yang diajukan oleh masyarakat.

Kebocoran pertama kalinya berada di tingkat SPPT pajak,

kemudian berlanjut ke Notaris dan BPN. Notaris tidak melakukan

verifikasi ke lapangan mengenai kebenaran data yang diajukan

(teks clearens). Kebenaran yang diverifikasi hanya sebatas

kebenaran data yang diajukan bukan kebenaran data yuridis dan

data fisik atau data lapangan. BPN sendiri terlalu terburu-buru

memutuskan atau menyatakan bahwa apabila berbatasan dengan

jalan, sungai dan tanah negara langsung dicantumkan dalam kartu

hijau tanpa memperhatikan apakah jalan, sungai dan tanah negara

itu berada dalam kawasan hutan atau tidak. Bahkan dalam

pelaksanaannya, pihak BPN tidak mau mengundang pihak dari

Dinas Kehutanan apabila ada permohonan hak atas tanah yang

berbatasan dengan hutan melainkan langsung menuliskan batas-

batasnya dengan “berbatasan dengan fasilitas umum.”

e. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai sertifikat milik.

Sertifikat selama ini dipandang sebagai alat bukti yang paling

kuat. Padahal didalam sistem pendaftaran hak di Indonesia,

Page 119: studi kasus pada illegal occupation

119

apabila dikemuadian hari ada data yang keliru maka keabsahan

sertifikat milik dapat dikaji ulang. Nyoman Suarta yang kini

menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai mengaku sama sekali

tidak mengetahui bahwa tanah tersebut termasuk dalam kawasan

hutan. Ia yakin untuk membeli tanah seluas 160 m2 karena

sertifikat tanah bernomor 08877 tersebut jelas yakni atas nama I

Ketut Lolong melalui Made Kardiana. Ia pun hanya melihat patok

BPN dan tidak ada pal hutan disana. Tanah tersebut baru

diketahui berstatus tanah hutan negara sejak petugas Polisi

Kehutanan menghentikan pembangunan pondasi di atas tanah

tersebut.94

Hal yang serupa juga diungkap oleh I Ketut Juana yang kini

tengah mengokupasi kawasan Tahura Ngurah Rai. Ia juga

membeli tanah dari Made Kardiana dengan sertifikat atas nama I

Ketut Lolong dan pada tahun 2002, sertifikat tersebut sudah atas

nama I Ketut Juana. Seperti Nyoman Suarta, Juana juga yakin

bahwa tanah tersebut tidak ada masalah karena sudah bersertifikat

sehingga bagaimana mungkin tanah hutan bisa dikonversi

menjadi tanah milik. Di depan tanah tersebut pun adalah jalan

aspal dan dibelakangnya adalah sungai besar sehingga ia tidak

menyangka jika tanah tersebut adalah kawasan Tahura Ngurah

94 Wawancara dengan Nyoman Suarta, 40 tahun, laki-laki, pelaku illegal occupation di

Tahura Ngurah Rai, pada 4 Mei 2011.

Page 120: studi kasus pada illegal occupation

120

Rai. Akibat kasus ini, Juana merasa dirugikan dan menuntut

pengembalian uang pembelian atas tanah tersebut.95

Pensertifikatan tanah hutan dalam kasus illegal occupation

dilakukan karena adanya penyelundupan hukum oleh oknum-oknum

tertentu. Pelaku sengaja membayar pajak atas tanah hutan selama

kurun waktu tertentu dan bukti dari SPPT tersebut dijadikan syarat

untuk mensertifikatkan tanah. Pada dasarnya SPPT ini dapat

dijadikan syarat dalam permohonan sertifikat. Untuk melengkapi

permohonan tersebut, pemohon hanya perlu mengajukan saksi-saksi

dan bukti atas penguasaan fisik atas bidang tanah dalam jangka

waktu yang lama.96

Dalam fakta persidangan pada kasus illegal occupation yang

dilakukan oleh PT Bali Siki terungkap bahwa pelaku mendapatkan

sertifikat dengan mengajukan persyaratan berupa SPPT dan

dokumen dengan tanda tangan penyanding yang dipalsukan.

Pemalsuan ini memang sangat mudah dilakukan apalagi pihak

Notaris tidak melakukan pemeriksaan data yang diajukan oleh

pemohon.97

Kalaupun melakukan verifikasi data yang disampaikan

pemohon, sifatnya hanya sebatas kebenaran formil artinya semua

95 Wawancara dengan I Ketut Juana, 39 tahun, laki-laki, pelaku illegal occupation di Tahura

Ngurah Rai, pada 4 Mei 2011.

96 Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki-laki dan Ida Monica E. Sidjabat, 45

tahun, perempuan, Notaris, pada 19 Mei 2011.

97 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di

Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.

Page 121: studi kasus pada illegal occupation

121

data yang disampaikan oleh pemohon kepada notaris dianggap benar

adanya, kecuali ada pihak lain yang membantah. Apabila

dikemudian hari ditemukan adanya pemalsuan data maka pihak

notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan.98

Hal ini menjadi

kendala dalam perlindungan hutan dari illegal occupation, apalagi

jika tanda tangan penyanding tersebut dipalsukan. Polisi kehutanan

bisa jadi tidak mengetahui bahwa ada suatu pihak yang telah

memohonkan penerbitan sertifikat atas tanah hutan yang

diamankannya itu, maka tidak mengherankan jika kasus ini baru

terungkap setelah bertahun-tahun sejak penerbitan sertifikat.

Pengembalian tanah hutan yang telah disertifikatkan oleh suatu

pihak tidak serta merta dapat dilakukan. Pengembalian ini melalui

proses panjang. Sertifikat dapat dibatalkan melalui putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika dikemudian hari

ditemukan fakta bahwa pemohon menghakmilikkan tanah secara

melawan hukum. Hal ini disebabkan karena sistem hukum

pertanahan di Indonesia tidak berlaku mutlak.99

Kelemahan-kelemahan dalam sistem pendaftaran tanah di

Indonesia ini menjadi peluang bagi meningkatnya jumlah illegal

occupation. Apalagi dengan banyaknya oknum-oknum yang

98 Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki, Notaris, pada 19 Mei 2011.

99 Wawancara dengan Bistok Situmorang,46 tahun, laki-laki dan Ida Monica E. Sidjabat, 45

tahun, perempuan, Notaris, pada 19 Mei 2011.

Page 122: studi kasus pada illegal occupation

122

memanfaatkan kesempatan ini, sehingga yang perlu dilakukan

adalah membangun kesadaran hukum masyarakat untuk taat kepada

hukum yang berlaku.100

Hukum mengikat bukan karena negara

menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari

kesadaran hukum rakyat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya,

yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Pendapat itu diutarakan

oleh H. Krabbe dalam bukunya “Die Lehre der Rechtssouveranitat”.

Selanjutnya beliau berpendapat bahwa kesadaran hukum yang

dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu yaitu

perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.101

Adanya sindikat yang

mengokupasi kawasan hutan menunjukkan lemahnya kesadaran

hukum masyarakat atas perlindungan hutan. Mereka tanpa

mengindahkan hukum, berbuat untuk kepentingannya.

Ajaran kesadaran hukum lahir sebagai kaidah-kaidah hukum

yang tidak tertulis, yang merupakan gejala umum yang terdapat pada

setiap individu dengan derajat yang merata. Kesadaran hukum ada

yang bersifat pribadi dan yang umum. Pada kesadaran pribadi

masing-masing individu memiliki kesadaran hukum spontan

mengenai apa yang dianggap selaras dengan hukum atau berupa sifat

yang melanggar hukum. Kesadaran hukum, antara lain terwujud

100 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di

Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.

101 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal. 84.

Page 123: studi kasus pada illegal occupation

123

apabila masyarakat mempunyai sikap tertentu terhadap hukum yang

ada. Sikap tertentu tersebut berupa ketaatan hukum dalam

masyarakat.

Keberadaan hukum nasional yang mengatur kehutanan tampak

perlu dielaborasikan dengan hukum yang ada di dalam masyarakat

(exiting law) Hal ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran

hukum masyarakat mengenai pentingnya perlindungan hutan.

Elaborasi ini sejalan dengan pemikiran Anthon Freddy Susanto

dalam bukunya yang berjudul “Semiotika Hukum dari Dekonstruksi

Teks Menuju Progresivitas Makna”, dimana dalam buku tersebut ia

menuliskan:

Sistem peraturan perundang-undangan adalah sebuah fungsi dari

suatu kelompok atau masyarakat yang jelas dan otonom, yaitu

organisasi-organisasi/ institusi dan tentu saja termasuk juga

manusia. Untuk mengatakan bahwa masyarakat itu bersifat

otonom, artinya masyarakat itu sendiri bebas dalam pengertian

formal, dan bahwa masyarakat mempunyai peraturan sendiri-

sendiri.102

Hukum selalu sarat dengan nilai-nilai tertentu. Apabila

memulai berbicara tentang nilai-nilai, maka telah termasuk pula

kegiatan menilai dan memilih. Keadaan tersebut memberikan arah-

arah tertentu pada jalannya hukum di suatu negara.103

Ketentuan di

bidang kehutanan diharapkan dapat memberikan reorientasi nilai-

nilai bagi masyarakat mengenai pentingnya mempertahankan

102 Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju

Progresivitas Makna, Refika Aditama, Bandung, hal. 85.

103 Satjipto Rahardjo II, op.cit. hal. 137.

Page 124: studi kasus pada illegal occupation

124

kawasan hutan. Mindset mengenai konsep kepemilikan hutan perlu

diubah dari “kepemilikan atas tanah hutan” menjadi “kepemilikan

atas hutan”. Dengan konsep kepemilikan atas hutan berarti

masyarakat harus mempertahankan dan menjaga hutan untuk

kelangsungan hidupnya.

Budaya hukum masyarakat dalam kasus illegal occupation ini

menunjukkan kecenderungan akan ketidaktaatan hukum. Dalam hal

ini diperlukan upaya-upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat

yang tidak taat tersebut. Mengubah pola berpikir masyarakat dan

meningkatkan kesadaran hukum masyarakat memerlukan suatu

proses, salah satunya dengan proses pendidikan. Mengenai

pendidikan ini Purwanto dkk. berpendapat:

Education for sustainability is more than learning about nature

and the environment, but more importantly, it must improve the

skills for constructive and meaningful participation in the

Biosphere Reserve management, The key objective is to develop

the capability to shape the future sustainably. In this regard, it is

evident that the Biosphere Reserve’s role is a laboratory for

learning to achive sustainable development.104

Dengan adanya pemahaman akan pentingnya penjagaan

lingkungan maka diharapkan masyarakat akan patuh terhadap prinsip

perlindungan hutan tersebut. Masalah kepatuhan hukum melibatkan

perasaan hukum dari subjek hukum. Menurut Soerjono Soekanto,

kepatuhan hukum atas dasar nilai-nilai keanggotaan kelompok,

104 Purwanto dkk., 2009, Giam Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve Riau-Sumatra-

Indonesia: Caring for Live, LIPI Press, Jakarta, United hal. 31.

Page 125: studi kasus pada illegal occupation

125

medapatkan bermacam tanggapan. Tanggapan-tanggapan tersebut

berintikan pada pendapat bahwa nilai keanggotaan kelompok pada

dasarnya merupakan motivasi pada identifikasi terhadap kelompok

tersebut, bukan merupakan dasar motivasi untuk patuh. Kepatuhan

hukum dari individu pada hakikatnya merupakan hasil proses

internalisasi yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh sosial yang

mempengaruhi kejiwaan seseorang. Sehingga kepatuhan tersebut

sesungguhnya berasal dari faktor eksternal dalam diri manusia.

Seorang kriminolog Belanda Hoefnagels membedakan adanya

derajat kepatuhan hukum yang meliputi:

a. Seseorang berperilaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan

menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dan

mereka yang berwenang.

b. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum

dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian

yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang

bersangkutan.

c. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan

kaidah-kaidah tersebut maupun daripada nilai-nilai dan

penguasa.

Page 126: studi kasus pada illegal occupation

126

d. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui

hukum tersebut dan nilai-nilai dari pada mereka yang

mempunyai wewenang.

e. Seseorang yang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan

dia pun tidak patuh pada hukum (melakukan protes).105

Hukum tidak mungkin bekerja tanpa adanya dukungan

masyarakat, sehingga illegal occupation tidak mungkin

ditanggulangi tanpa adanya niat dan moral yang baik dari

masyarakat untuk menaati prinsip perlindungan hutan. Prinsip ini

harus menjadi kewajiban hukum bagi masyarakat yang dilakukan

karena kesadarannya. Mengenai kewajiban ini Hari Chand

berpendapat “The obligation in such a society form the historical

fact that the society has adopted such a scheme. Thus, integrity is the

best interpretation of a morally pluralistic society. “106

Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan ini sejalan dengan

komitmen social forestry. Social Forestry dilaksanakan dengan

prinsip: 1) Penciptaan suasana yang memungkinkan berkembangnya

potensi/ daya yang dimiliki masyarakat, 2) memperkuat potensi/daya

yang dimiliki masyarakat, dan 3) melindungi masyarakat dari

dampak persaingan yang tidak sehat, antara lain dengan pemihakan

105 Ibid., hal. 82-83.

106 Hari Chand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala

Lumpur. hal. 167.

Page 127: studi kasus pada illegal occupation

127

kepada masyarakat. Sebagai dasar konsepsi, pembangunan social

forestry dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan

kemandirian masyarakat setempat dalam pemanfaatan hutan, dengan

tujuan membangkitkan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar

hutan dan mempercepat rehabilitasi hutan dengan mempersatukan

masyarakat, investasi, dan institusi usaha pengelolaan hutan.

Hukum kehutanan yang baik adalah sarana untuk mengatur

kehidupan manusia dalam berinteraksi di masyarakat, yakni

kehidupan manusia untuk tidak melakukan illegal occupation.

Melalui teori perjanjian masyarakat, negara diserahi tugas oleh

masyarakat untuk mengatur masyarakat tersebut. Dalam hal ini

Cotterrell mengatakan negara hanya menyediakan fasilitas melalui

pembuatan hukum dan untuk selebihnya diserahkan kepada rakyat.

Diserahkan kepada rakyat berarti menyerahkan pilihan kepada rakyat

tentang apa yang ingin dilakukannnya, apakah menggunakan hukum

atau tidak. Maka dalam sosiologi hukum dikenal fenomena “hukum

yang tidur/ ditidurkan” (statutory dormancy), yaitu hukum yang

masih berlaku tetapi tidak lagi dipakai oleh rakyat.107

Hubungan antara hukum tekstual dengan rakyat disebabkan

karena adanya pertautan dalam suatu sistem sosial. Parson

menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem

107 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku Hidup yang Baik adalah Dasar Hukum

yang Baik, Kompas, Jakarta, hal. 21, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo V).

Page 128: studi kasus pada illegal occupation

128

sosial yang lebih sosial. Di samping hukum, terdapat sub-sub sistem

lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub

sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.108

Budaya,

politik dan ekonomi inilah yang mempengaruhi cara pandang

manusia terhadap hukum atau yang sering diistilahkan dengan

budaya hukum.

Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu

yang menjadi acuan dalam mempraktikkan hukumnya. Problema

yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-

nilai yang ada dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum

modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat.

Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh sistem nilai

yang berbeda.109

Oleh sebab itu pembangunan atas budaya hukum

masyarakat untuk melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan hutan

sangat diperlukan dalam menanggulangi illegal occupation di

Tahura Ngurah Rai.

Budaya hukum berimplikasi terhadap jalannya suatu proses

hukum. Saat ini kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai

sedang berada pada proses hukum di Pengadilan Negeri Denpasar.

Untuk mengungkap kasus ini, budaya hukum masyarakat pelaku dan

108 Talcott Parsons dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage,

op.cit., hal 152.

109 Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, hal. 212,

(Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo VI).

Page 129: studi kasus pada illegal occupation

129

saksi sangat penting untuk menggali fakta-fakta di persidangan.

Dapat dikatakan budaya hukum akan mempengaruhi penolakan dan

penerimaan masyarakat terhadap suatu peraturan hukum. Hal ini

penting diperhatikan karena suatu peraturan hukum tanpa dukungan

dari masyarakat, dapat berakibat tidak berwibawanya peraturan

hukum tersebut. Dukungan ini hanya dapat diperoleh bila apa yang

ditetapkan sebagai suatu peraturan oleh pihak yang berkompeten,

selaras dengan keyakinan hukum masyarakat.110

Sehingga dapat

diketahui bahwa illegal occupation di Tahura Ngurah Rai dilakukan

karena masyarakat tidak mendukung prinsip perlindungan hutan atau

karena ada faktor lainnya.

Berdasarkan penelitian lapangan mengenai 17 kasus illegal

occupation di Tahura Ngurah Rai maka faktor penyebab illegal occupation

tersebut dapat dirinci sesuai tabel berikut ini:

Tabel 2

Faktor penyebab illegal occupation di Tahura Ngurah Rai

No. Kasus Faktor Struktur

Hukum

Faktor Budaya

Hukum

1 I Wayan Suka seluas 0,8

are yang berlokasi di Br.

Jaba Jero Kuta

Kabupaten Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

110 H. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia, Laksbang, Yogyakarta, hal. 155-156.

Page 130: studi kasus pada illegal occupation

130

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

mengenai arti

sertifikat.

2 I Wayan Suka seluas 1 are

yang berlokasi di Br. Jaba

Jero Kuta Kabupaten

Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

3 Ni Wayan Sudarti seluas

0,46 are yang berlokasi di

Br. Pengabetan Kuta

Kabupaten Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

4 I Wayan Rembyok seluas

0,2 are yang berlokasi di

Br. Temacun Kuta

Kabupaten Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

Page 131: studi kasus pada illegal occupation

131

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

5 I Ketut Urip seluas 0,178

are yang berlokasi di Br.

Anyar Kuta Kabupaten

Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

6 I Wayan Lunas seluas

0,18 are yang berlokasi di

Br. Jaba Jero Kuta

Kabupaten Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

7 I Wayan Suadi seluas

0,675 are yang berlokasi

di Br. Jaba Jero Kuta

Kabupaten Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

Page 132: studi kasus pada illegal occupation

132

tindakan

permulaan.

8 I Ketut Konde seluas 0,9

are yang berlokasi di Br.

Pengabetan Kuta

Kabupaten Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

9 I Wayan Buda seluas 1 are

yang berlokasi di Br.

Temacun Kuta Kabupaten

Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

10 I Made Dogor, Luh

Sendri, Ni Putu Wati,

Made warta dan Nyoman

Wartika seluas3,3 dan

1,65 are yang berlokasi di

Pemogan, Denpasar

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

Page 133: studi kasus pada illegal occupation

133

permulaan.

11 I Wayan Wija/ Tjegeg

seluas 0,14 are yang

berlokasi di Sanur Kauh,

Denpasar.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

12 IB Surakusuma/ IB Lolek

seluas 2 are yang

berlokasi di Mumbul,

Kuta Tanah tersebut

bersertifikat No.1363

tanggal 19/11/1991.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Kawasan Tahura

merupakan

kawasan

pariwisata.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

13 I Nyoman Sudri/ Artono

seluas 1 are yang

berlokasi di Br. Pemogan,

Denpasar.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

Page 134: studi kasus pada illegal occupation

134

14 I Ketut Lolong, Nyoman

Kardiana, Nyoman Suarta

(PT Bali Siki Utama)

seluas 84 are yang

berlokasi di Br. Perarudan,

Jimbaran, Badung.

Kurangnya

komitmen

pimpinan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

15 Desa Adat Kedonganan

seluas 0,1768 are yang

berlokasi di Kelurahan

Kedonganan.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Kurangnya

fasilitas dalam

penyelesaian

kasus.

Tidak ada

tanggapan

terhadap laporan.

Konflik

kepentingan

antara stake

holder.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

Penyelundupan

hukum oleh

oknum tertentu.

16 I Wayan Suwirta seluas

6,30 are yang berlokasi di

Kelurahan Sesetan,

Denpasar.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Rendahnya

Page 135: studi kasus pada illegal occupation

135

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Konflik

kepentingan

antara stake

holder.

pemahaman

mengenai arti

sertifikat.

Penyelundupan

hukum oleh

oknum tertentu.

17 Ahmad Sofyan seluas 30

are dengan klaim SPPT

PBB NOP.

51.71.010.008.037.0139.0.

Kurangnya

kualitas dan

kuantitas polisi

kehutanan.

Keterbatasan

PPNS.

Tidak

mewaspadai

tindakan

permulaan.

Konflik

kepentingan

antara stake

holder.

Pandangan bahwa

kawasan Tahura

merupakan

kawasan strategis

yang bernilai

ekonomi tinggi.

Pemalsuan tanda

tangan pada

SPOP.

Penyelundupan

hukum oleh

oknum tertentu.

Jumlah 9 Faktor 5 Faktor

Dari dua faktor yang menyebabkan penyimpangan prinsip

perlindungan hutan berupa tindakan illegal occupation, maka dapat

dikatakan bahwa faktor dominan yang menyebabkan illegal occupation

adalah faktor struktur hukum.

Page 136: studi kasus pada illegal occupation

136

BAB IV

IMPLEMENTASI PRINSIP PERLINDUNGAN HUTAN DALAM

MENANGGULANGI ILLEGAL OCCUPATION

DI TAHURA NGURAH RAI

4.1 Prinsip Perlindungan Hutan

Prinsip perlindungan hutan merupakan prinsip fundamental dalam

hukum kehutanan demi mencegah illegal occupation di Tahura Ngurah Rai.

Prinsip ini meliputi pengamanan dan kelestarian hutan yang dikonkritisasi

pada perbuatan pengurusan hutan yang meliputi kegiatan penyelenggaraan,

perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan,

pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan.

Prinsip perlindungan hutan lahir dari dinamika kehidupan masyarakat

telah berpengaruh pada kehidupan hukum masyarakat. Perubahan penting

yang terjadi dewasa ini menunjukkan semakin banyaknya konstitusi (UUD)

di berbagai negara di dunia yang semakin mengakui hak asasi manusia atas

ekonomi. Pencantuman hak ekonomi ini menunjukkan semakin pentingnya

hak asasi manusia atas ekonomi untuk dilindungi dan dipenuhi oleh negara.

Konstitusi merupakan dokumen hukum yang sangat penting dalam sebuah

negara hukum untuk mengakui dan melindungi hak asasi tersebut. Konsep

inilah yang menimbulkan pembedaan hak dari negara, masyarakat dan

perorangan atas kawasan hutan serta pembatasan atas hak tersebut.

Page 137: studi kasus pada illegal occupation

137

Hak merupakan konsep politik yang dapat diperjuangkan oleh siapa

pun sampai pada batas-batas tertentu. Hak akan menjadi hak asasi manusia

jika diakui dalam instrumen hukum. Mengenai konsep hak, Satjipto

Rahardjo mengemukakan ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum

adalah sebagai berikut:

a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut pemilik atau

subjek dari hak. Ia juga disebut orang yang memiliki titel atas barang

yang menjadi sasaran hak.

b. Hak itu tertuju kepada orang lain dalam pengertian menjadi

pemegang kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan

korelasi.

c. Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini dapat

disebut isi dari hak.

d. Seseorang yang berkewajiban melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu perbuatan disebut objek dari hak.

e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa

tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.111

Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan

perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat

yang berhubungan dengan pengelolaan hutan merupakan upaya dalam

pelaksanaan perlindungan hutan. Oleh sebab itu hak-hak negara,

masyarakat, dan perorangan perlu diinventarisir untuk mengetahui

pembatasan dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat di masing-

masing pihak.

111 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 95 (selanjutnya disebut

Satjipto Rahardjo III).

Page 138: studi kasus pada illegal occupation

138

Pada dasarnya negara memiliki hak mutlak untuk menguasai hutan.

Konsep penguasaan ini tercermin dari Pasal 33 ayat (3) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dari

rumusan pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa penguasa tunggal atas

hutan dan kawasan hutan adalah negara.

Penguasaan hutan dan kawasan hutan oleh negara kembali dipertegas

dalam Pasal 4 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang

menyatakan bahwa:

(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan

hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan

atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara

orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan

hukum mengenai kehutanan.

(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak

masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan

diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional.

Dalam tataran kehidupan masyarakat ada kaidah-kaidah yang

membatasi ruang gerak mereka. Kaidah merupakan patokan untuk

bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan. Seseorang dalam kondisi

normal akan memikirkan pendapat orang lain atas hal-hal yang

Page 139: studi kasus pada illegal occupation

139

dilakukannya. Dalam kondisi inilah kaidah menjadi kontrol perilaku dalam

kehidupan manusia. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam hukum bukan

hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia melainkan juga

mengatur manusia dengan lingkungan alam.

Filosofi keseimbangan antara hubungan manusia dengan lingkungan

alam merupakan bagian dari filosofi Hindu yakni Tri Hita Karana (tiga

penyebab kebahagiaan). Dalam filosofi tersebut dijelaskan bahwa

keseimbangan di dunia ini akan dapat tercapai jika ada keserasian antara

manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.

Kecintaan terhadap alam dapat diwujudkan dengan penegakan prinsip

perlindungan hutan. Prinsip ini adalah prinsip fundamental dalam menjaga

kawasan hutan dari illegal occupation. Dengan demikian prinsip

perlindungan hutan meliputi pengamanan dan kelestarian hutan.

Dalam mengamankan dan melestarikan hutan, maka prinsip

perlindungan hutan dikonkritisasi pada perbuatan pengurusan hutan yang

meliputi kegiatan penyelenggaraan, perencanaan kehutanan, pengelolaan

hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta

penyuluhan kehutanan dan pengawasan sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 10 Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-

besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Hal ini tentu

sejalan dengan konsep penguasaan hutan oleh negara.

Page 140: studi kasus pada illegal occupation

140

Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan melalui pengurusan hutan

merupakan implementasi hak menguasai hutan oleh negara yang

berimplikasi pada hak pemerintah dalam menetapkan status hutan. Dalam

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa

pemerintah menetapkan status hutan menjadi hutan negara dan hutan hak.

Adapun hutan negara dapat berupa hutan adat dan hutan adat ini ditetapkan

sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam

perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada

lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Pemerintah juga berhak menetapkan hutan berdasarkan fungsi

pokoknya yakni fungsi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.

Untuk kepentingan umum, maka pemerintah dapat menetapkan kawasan

hutan tertentu untuk tujuan khusus yakni untuk tujuan penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan latihan, religi dan budaya. Penguasaan

negara terhadap hutan dan kawasan hutan melahirkan kewajiban hukum

bagi pemerintah dalam pengurusan hutan.

Perencanaan kehutanan sebagai kegiatan awal dari pengurusan hutan

dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin

tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan. Perencanaan kehutanan

dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu,

serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan

meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan

Page 141: studi kasus pada illegal occupation

141

kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan

rencana kehutanan. Dengan adanya kegiatan perencanaan ini maka akan

diketahui prosedur dan ketersediaan pemanfaatan hutan serta akan

memudahkan polisi hutan nantinya untuk menentukan perbuatan yang

termasuk illegal occupation dengan perbuatan yang termasuk legal

occupation.

Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh

data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta

lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei

mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya

manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.

Kegiatan ini terdiri dari inventarisasi hutan tingkat nasional, inventarisasi

hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan

inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. Hasil inventarisasi hutan antara

lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan

neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem

informasi kehutanan.

Berdasarkan inventarisasi hutan, pemerintah menyelenggarakan

pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan dilakukan

untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan

kawasan hutan dilakukan melalui proses penunjukan kawasan hutan,

penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan

kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Page 142: studi kasus pada illegal occupation

142

Dikukuhkannya Tahura Ngurah Rai sebagai hutan konservasi mengandung

konsekuensi yuridis bahwa hutan tersebut memang ditunjuk dan atau

ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap, sehingga hutan ini tidak dapat dikonversikan atau

dialihfungsikan.

Setelah pengukuhan kawasan hutan, pemerintah menyelenggarakan

penatagunaan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi

kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pembentukan

wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat propinsi,

kabupaten/kota, dan. unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan

hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan

karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai,

sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk

masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Pembentukan

unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan

karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara

khusus oleh Menteri.

Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas

kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan

atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan

manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus

dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran

sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Sehingga

Page 143: studi kasus pada illegal occupation

143

pemerintah sedapat mungkin harus melakukan upaya-upaya dalam

mempertahankan luas sebaran hutan yang ada.

Perambahan hutan menjadi kegiatan yang perlu dihindari untuk

mempertahankan jumlah minimal 30% (tiga puluh persen) tersebut,

sehingga legalisasi atas perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan

sangat dibatasi. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan hanya

dapat ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian

terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan berdampak penting dan

cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari

persetujuan rakyat. Dengan demikian, dalam hal-hal tertentu yang

didasarkan pada penelitian terpadu, fungsi dan peruntukan hutan dapat

diubah.

Berdasarkan hasil inventarisasi dan dengan mempertimbangkan

faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah

menyusun rencana kehutanan. Rencana kehutanan perlu mempertimbangkan

aspek-aspek dan estimasi pengaruh dari suatu penyelenggaraan hutan bagi

masyarakat sehingga penyelenggaraan hutan diharapkan tidak sampai

merugikan masyarakat. Rencana kehutanan disusun menurut jangka waktu

perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.

Kegiatan perencanaan hutan melalui inventarisasi hutan, pengukuhan

kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah

pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan sudah berlangsung

Page 144: studi kasus pada illegal occupation

144

dengan baik dalam mencegah illegal occupation. Untuk mencegah illegal

occupation ini pemerintah melalui Menteri Kehutanan telah menetapkan

hutan mangrove sebagai taman hutan raya yang menjadi hutan konservasi.

Ini berarti pemerintah telah mengamatkan agar hutan ini selalu

dipertahankan dalam kondisi apapun.112

Demi kelangsungan fungsi hutan maka pengelolaan hutan menjadi

prioritas penting. Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada

rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh

karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada

kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu

diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber

daya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.

Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan

rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan

hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan

konservasi alam. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan

kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih

optimal dan lestari. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam

blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan

hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan

efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak, disusun rencana

pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.

112 Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 145: studi kasus pada illegal occupation

145

Konsep penguasaan hutan oleh negara sesungguhnya bertujuan agar

hutan-hutan yang ada tidak dieksploitasi untuk kepentingan beberapa

kelompok. Hutan hendaknya dapat memberikan kemakmuran dan

kesejahteraan bagi rakyat, oleh sebab itu konsep penguasaan hutan oleh

negara tidak berarti meniadakan hak masyarakat dan badan usaha untuk

menikmati dan memanfaatkan hasil hutan. Dalam rangka pengembangan

ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan

koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan

hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah

(BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta

koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan wajib bekerja

sama dengan koperasi masyarakat setempat dan secara bertahap

memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh,

mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.

Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari

sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan

pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana

reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk

pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi

pelestarian hutan.

Page 146: studi kasus pada illegal occupation

146

Secara normatif ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh

Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk mencegah,

membatasi dan mempertahankan serta menjaga hutan dari perbuatan

manusia demi pengamanan dan kelestarian hutan sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 Tahun 2004

tentang Perlindungan Hutan yaitu:

a. melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan

di bidang kehutanan;

b. melakukan inventarisasi permasalahan;

c. mendorong peningkatan produktivitas masyarakat;

d. memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat;

e. meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan

hutan;

f. melakukan kerjasama dengan pemegang hak atau izin;

g. meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan;

h. mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat;

i. meningkatkan efektifitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan

hutan;

j. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan

keamanan hutan; dan atau

k. mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum.

Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya

diserahkan kepada BUMN di bidang kehutanan, dilaksanakan dan menjadi

Page 147: studi kasus pada illegal occupation

147

tanggung jawab pengelolanya. Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang

telah menjadi areal kerja pemegang izin pemanfaatan kawasan, izin usaha

pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin

pemungutan hasil hutan, dan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan

dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang izin yang

bersangkutan. Kegiatan perlindungan hutan pada kawasan hutan dengan

tujuan khusus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pengelolanya.

Perlindungan hutan oleh BUMN dan pemegang izin meliputi :

b. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan

dan hasil hutan termasuk tumbuhan dan satwa;

c. mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak,

kebakaran hutan, hama dan penyakit serta daya-daya alam;

d. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya

gangguan keamanan hutan di areal kerjanya;

e. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal

kerjanya kepada instansi kehutanan yang terdekat;

f. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan

yang sesuai dengan kebutuhan.

Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang pengelolaannya

diserahkan kepada masyarakat hukum adat, dilaksanakan dan menjadi

tanggung jawab masyarakat hukum adat dan dilaksanakan berdasarkan

kearifan tradisional yang berlaku dalam masyarakat hukum adat yang

bersangkutan dengan pendampingan dari Pemerintah, pemerintah provinsi

Page 148: studi kasus pada illegal occupation

148

dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota. Pelibatan masyarakat adat dalam

perlindungan hutan dilakukan baik secara sekala maupun niskala.

Perlindungan secara sekala yakni dengan memberikan informasi mengenai

adanya kegiatan baru di Tahura Ngurah Rai yang sangat mungkin menjadi

indikasi awal dari illegal occupation dan melestarikan mangrove dengan

melakukan reboisasi. Secara niskala, masyarakat adat sudah biasa

melakukan persembahyangan sehari-hari atau di saat-saat tertentu seperti

saat tumpek uduh.113

Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi

tanggungjawab pemegang hak. Adapun pelaksanaan perlindungan hutan hak

meliputi kegiatan antara lain:

a. pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;

b. pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran;

c. penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan;

d. mempertahankan dan memelihara sumber air;

e. melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola

kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin

pemungutan, dan masyarakat.

Pemerintah, pemerintah provinsi dan atau pemerintah kabupaten/kota

melakukan fasilitasi, bimbingan, pembinaan, pengawasan dalam kegiatan

perlindungan hutan yang dilakukan oleh BUMN, pemegang izin,

masyarakat dan masyarakat hukum adat serta terhadap hutan hak. Dengan

113 Observasi langsung di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 149: studi kasus pada illegal occupation

149

demikian perlindungan hutan dari manusia memerlukan tanggung jawab

komprehensif dari pemerintah, BUMN, pemegang izin, masyarakat dan

masyarakat hukum adat.

Pengurusan hutan tidak meniadakan hak untuk memanfaatkan hutan.

Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi

kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga

kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua

kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba

pada taman nasional. Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan

kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pemanfaatan hutan lindung dapat

berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan

pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung

dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan

kayu.

Izin usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan

atau koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan

kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan

usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin pemungutan hasil

hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan atau koperasi.

Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,

pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan

Page 150: studi kasus pada illegal occupation

150

kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pemanfaatan

hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan

kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan

hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin

pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Izin usaha pemanfaatan kawasan dapat diberikan kepada perorangan atau

koperasi. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada

perorangan atau koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, badan usaha

milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin usaha pemanfaatan hasil

hutan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha

milik swasta Indonesia atau badan usaha milik negara atau badan usaha

milik daerah. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan

kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia atau

badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Izin pemungutan

hasil hutan kayu dan bukan kayu dapat diberikan kepada perorangan atau

koperasi.

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha

milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta

Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin

usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja

sama dengan koperasi masyarakat setempat. Untuk menjamin asas keadilan,

pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan

mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.

Page 151: studi kasus pada illegal occupation

151

Pemegang izin berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan

melestarikan hutan tempat usahanya. Usaha pemanfaatan hasil hutan

meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan

pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan tidak boleh

melebihi daya dukung hutan secara lestari. Hal ini bertujuan untuk tetap

menjaga kondisi tanah dari tanah hutan. Selanjutnya, pengaturan,

pembinaan dan pengembangan mengenai pengolahan hasil hutan diatur oleh

Menteri Kehutanan.

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus dapat diberikan

kepada masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian,

lembaga sosial dan keagamaan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan

hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan

kinerja. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan juga wajib

menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan sedangkan setiap

pemegang izin pemungutan hasil hutan hanya dikenakan provisi.

Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan hak yang

berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak

mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat

hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan

adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak

mengganggu fungsinya.

Page 152: studi kasus pada illegal occupation

152

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar

kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi

dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan

tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan

untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam

pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka

waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung

dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.

Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang

luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat.

Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada

dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang

bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum

adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan

mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan

dengan Peraturan Daerah.

Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum

adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak

menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh

rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan

Page 153: studi kasus pada illegal occupation

153

demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih

ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan

dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang

berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.

Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang

dihasilkan hutan. Selain hak menikmati kualitas lingkungan hidup tersebut,

masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengetahui rencana

peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan,

memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan

kehutanan; dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan

kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat di dalam dan

di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses

dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Kerusakan hutan dan kerugian yang ditimbulkan atas penetapan

kawasan hutan, memberikan hak hukum (legal rights) bagi masyarakat

untuk mendapatkan kompensasi. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum dalam

mengubah masyarakat. Roscoe Pound mengatakan bahwa hukum dilihat

dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law

Page 154: studi kasus pada illegal occupation

154

as a tool of social engineering). Hukum dapat berperan di depan untuk

memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan cara

memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan perdamaian dan

ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Hukum

berada di depan untuk mendorong pembaruan dari tradisional ke modern.114

Sehingga siapa pun yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan proses

hukum atas kerugian yang dialaminya.

Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak

atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau

melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan

kehidupan masyarakat. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan

terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat

pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga

mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau

instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan

dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,

organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk

114 Abdul Manan, 2009, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media Goup,

Jakarta, hal. 20-21.

Page 155: studi kasus pada illegal occupation

155

kepentingan pelestarian fungsi hutan. Organisasi bidang kehutanan yang

berhak mengajukan gugatan harus memenuhi persyaratan berbentuk badan

hukum, organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas

menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian

fungsi hutan dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya.

Bagian terakhir dari pengurusan hutan adalah kegiatan pengawasan

Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan

menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai

secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan

atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.

Prinsip perlindungan hutan melalui pengurusan hutan mencakup

dimensi preventif, preemtif dan represif yang bermuara pada pengamanan

dan kelestarian hutan (sustaibale forest). Dengan demikian, pelaksanaan

prinsip perlindungan hutan akan menjamin keberlangsungan daya dukung

dan daya tampung lingkungan hidup.

4.2 Implementasi Prinsip Perlindungan Hutan Dalam Menanggulangi

Illegal Occupation

Penyimpangan terhadap prinsip perlindungan hutan yang

menyebabkan terhadinya illegal occupation merupakan masalah hukum

kehutanan yang saat ini menjadi kendala dalam menjaga fungsi lingkungan

hidup. Terjadinya kasus ini tidak lepas dari kebutuhan-kebutuhan yang

meliputi diri manusia. Illegal occupation terjadi di sejumlah daerah di

Page 156: studi kasus pada illegal occupation

156

Indonesia termasuk juga di Bali. Illegal occupation di Bali paling banyak

terjadi di kawasan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Berdasarkan data

yang diperoleh dari RPH Tahura Ngurah Rai, dari 17 tanah hutan yang

berhasil disertifikatkan, tanah-tanah tersebut telah diubah fungsinya dari

tanah hutan menjadi bangunan rumah tinggal, sekolah dan bangunan lain

yang belum selesai dengan total wilayah seluas 133,9598 Ha. Adapun

tanah-tanah tersebut tersebar di beberapa wilayah yakni Br. Jaba Jero Kuta,

Br. Pengabetan Kuta, Br. Temacun Kuta, Br. Anyar Kuta Badung,

Pemogan, Desa Sanur, Br. Mumbul, Br. Perarudan, Kelurahan Kedonganan

dan kelurahan Sesetan.115

Tanah-tanah yang disertifikatkan tersebut diantaranya adalah A.A

Santosa seluas 7 are dan I Ketut Juana seluas 4 are yang sama-sama

berlokasi pada perumahan Bali Siki, Jimbaran pada tahun 2002. Kasus

tersebut diketahui saat rekonstruksi ulang pal batas RTK-10 kawasan hutan

Prapat Benoa oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Kasus serupa juga

terungkap pada permohonan SPPT PBB seluas 30 are oleh Ahmad Sofyan

di Jalan Pantai Pengembak Sanur Kauh yang diketahui pada saat anak buah

pelaku tertangkap oleh Polisi Hutan ketika menebang mangrove di kawasan

tahura.116

115 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

116 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 157: studi kasus pada illegal occupation

157

Klaim kawasan hutan oleh I Wayan Suwirta atas sebidang tanah yang

bersebelahan dengan Supermarket Lotte menjadi catatan penting dalam

upaya perlindungan hutan dari illegal occupation. Illegal occupation ini

dilakukan sejak tahun 2008 yang didahului oleh pihak Suwirta yang

mengajukan penegasan konversi hak atas tanah seluas 6,3 are ke Kantor

Pertanahan Kota Denpasar. Karena 6,3 are dari konversi tanah yang

dimohonkan adalah termasuk wilayah hutan Prapat Benoa, maka

permohonanan hak kepada Kantor Pertanahan Kota Denpasar tersebut

ditolak oleh BPN. Terhadap keputusan tersebut, Suwirta mengajukan

gugatan ke PTUN yang akhirnya mengeluarkan putusan yakni menerima

permohonan penggugat dan meolak penolakan dari BPN Kota Denpasar

serta memerintahkan untuk melanjutkan proses sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Merujuk pada putusan tersebut BPN

Kota Denpasar secara serta merta menerbitkan sertifikat hak milik atas

nama I Wayan Suwirta dengan mengabaikan keberatan dari Dinas

Kehutanan Provinsi Bali.117

Illegal occupation menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan.

Deforestasi ini terlihat pada kawasan Tahura Ngurah Rai yang berkurang

yakni 133,9598 are.118

Berkurangnya luas kawasan Tahura Ngurah Rai tentu

menimbulkan degradasi hutan dalam menjamin stabilitas lingkungan hidup.

117 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

118 Observasi kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 158: studi kasus pada illegal occupation

158

Perbuatan illegal occupation merupakan pelanggaran terhadap prinsip

lingkungan hidup yakni prinsip pengamanan hutan dan kelestarian hutan.

Pelaksanaan prinsip perlindungan hutan belum optimal dalam

menanggulangi illegal occupation di Tahura Ngurah Rai. Padahal Tahura

Ngurah Rai memiliki fungsi penting dalam mencegah abrasi, tempat

perlindungan biota laut, menahan limbah sampah ke laut, menahan

gelombang air laut ke darat, sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan

tempat rekreasi. Oleh karena itu langkah-langkah perlindungan hutan perlu

dilakukan. Secara yuridis, upaya perlindungan hutan mangrove ini

dilakukan dengan penetapan kawasan hutan mangrove menjadi Tahura yang

secara spesifik diurus oleh UPT dari Dinas Kehutanan.119

Konskritisasi prinsip perlindungan hutan meliputi kegiatan a.

perencanaan kehutanan, b. pengelolaan hutan, c. penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan d.

pengawasan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan

diketahui bahwa tidak semua kegiatan tersebut efektif dalam melindungi

Tahura Ngurah Rai dari illegal occupation.

Perencanaan kehutanan pada dasarnya telah dilakukan dengan baik

dengan melakukan inventarisasi sumber daya mangrove, penunjukan

kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan,

dan penetapan kawasan hutan sebagai taman hutan raya yang termasuk

119 Wawancara dengan I Wayan Suardana, 40 tahun, laki-laki, Polisi Kehutanan pada 4 Mei

2011.

Page 159: studi kasus pada illegal occupation

159

hutan konservasi. Penetapan ini menjadi landasan yuridis bagi Tahura

Ngurah Rai untuk tetap dipertahankan dalam kondisi apapun.

Pengurusan dan pengelolaan hutan menjadi kewajiban dari pemerintah, badan

usaha dan masyarakat. Berbagai kegiatan perlindungan hutan sudah dilakukan

oleh ketiga komponen tadi. Pemerintah telah membuat serangkaian regulasi untuk

memberikan kewajiban hukum bagi semua pihak untuk melindungi hutan baik

dari perbuatan manusia, kebakaran, ternak, hama maupun penyakit. Kebijakan

tersebut juga diikuti dengan langkah-langkah konkrit dengan menerapkan pola

kemitraan dalam pengamanan hutan, menjatuhkan sanksi bagi pelaku

pengrusakan hutan serta memberikan apresiasi berupa penghargaan kalpataru

bagi pihak-pihak yang berjasa dalam menjaga lingkungan hidup. Badan usaha

baik berupa BUMN, BUMD, BUMS dan koperasi telah berupaya dalam

melindungi hutan baik melalui perbuatan aktif seperti ikut melakukan reboisasi

maupun dengan perbuatan pasif yakni dengan melaksanakan kegiatan usaha yang

ramah lingkungan.

Masyarakat termasuk masyarakat hukum adat juga telah berupaya melindungi

hutan baik dengan melaksanakan ketentuan hukum kehutanan maupun dengan

hukum adat yang mereka miliki. Masyarakat menganggap bahwa hutan

merupakan bagian dari dirinya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, hal

ini tampak pada pelaksanaan upacara tumpek uduh (ritual untuk mendoakan

pohon-pohonan) serta pembangunan tempat suci di kawasan hutan. Warga di

sekitar Tahura Ngurah Rai sesungguhnya paham akan arti penting perlindungan

hutan bagi makhluk hidup. Mereka sering dilibatkan dalam penanaman mangrove

Page 160: studi kasus pada illegal occupation

160

dan pemasangan pal batas dalam rekonstruksi yang dilakukan oleh RPH Dinas

Kehutanan. Warga yang tinggal berbatasan dengan hutan mangrove juga memiliki

kesadaran untuk mengadakan upacara bagi kelestarian hutan.120

Hal ini

menunjukkan adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam

perencanaan dan pengelolaan hutan.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha dan masyarakat

ternyata belum mampu menghindari fakta-fakta kerusakan. Fakta kerusakan

hutan khususnya mangrove dapat dilihat dengan jelas di Bali. Pembabatan hutan

mangrove secara besar-besaran mulai dari Desa Pesanggaran sampai dengan Desa

Pemogan (perbatasan antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung) yang

dilakukan sebelum tahun 1990-an oleh investor. Investor tersebut bergerak dalam

bidang usaha tambak udang yang telah mengakibatkan berkurangnya luas area

hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya

tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu

meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, tetapi setelah beberapa tahun

beroperasi tambak-tambak tersebut mulai mengalami kerugian sehingga

mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha

pertambakan.121

120 Wawancara dengan I Made Sami, 70 tahun, laki-laki, tokoh agama dan masyarakat di

kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 20 Mei 2011.

121 I Nengah Subadra, 2009, “Penyelamatan Hutan Mangrove Jawaban ”Global Warming’”

Serial Online 19 February 2009, (Cited 2011 Jan. 2), available from

:http://artikelpariwisata.blogspot.com/2009/02/bali-tourism-watch-penyelamatan-hutan.html

Page 161: studi kasus pada illegal occupation

161

Seiring dengan kemajuan pariwisata yang begitu pesat maka illegal occupation

dilakukan dengan menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan

pembangunan gedung. Hal ini menjadikan kawasan Tahura Ngurah Rai sebagai

wilayah incaran atas ekspansi ekonomi pariwisata. Dengan pengetahuan yang

kurang memadai, masyarakat pelaku sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya pada kasus Bali Siki membeli rumah di kawasan tersebut dengan

alasan tanah telah bersertifikat. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa sertifikat

tersebut didapat secara melawan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan

penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan

kehutanan belum berjalan optimal sehingga pengetahuan hukum masyarakat

masih sangat kurang.

Penyebab illegal occupation tidak hanya dari masyarakat sekitar

kawasan hutan, namun lebih karena kelemahan kebijakan pemerintah,

seperti:

a. Kegagalan menurunkan pertumbuhan penduduk, khususnya masyarakat

sekitar kawasan hutan;

b. Kegagalan menjamin kepastian hukum kawasan;

c. Kegagalan reformasi di bidang agraria dan pembaharuan sosial ada

lahan-lahan produktif;

d. Kegagalan menciptakan lapangan kerja alternatif dalam industri dan

agroindustri yang jauh dari kawasan hutan;

e. Lebih membuka daripada membatasi akses ke kawasan hutan; serta

Page 162: studi kasus pada illegal occupation

162

f. Pemberian susbsidi dan insentif bagi transmigrasi dan translokasi di

lahan-lahan hutan negara.

g. Kendala kelembagaan pemerintah yang turut bertanggung jawab

terhadap pengelolaan kawasan konservasi, seperti :

1) Prioritas bagi upaya konservasi alam biasanya rendah karena sistem

sosial terbiasa dengan pemanfaaatan sumberdaya alam secara

bebas.

2) Sistem komando dalam struktur organisasi pemerintah kaku, dan

lemahnya dukungan dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi

konflik;

3) Kondisi politik, ekonomi, dan sosial saat ini yang melemahkan

dukungan finansial dan kemampuan birokrasi untuk menangani

tindakan konservasi dan perlindungan.

4) Adanya tantangan politik lokal, tekanan organisasi kemanusiaan

internasional dibidang HAM, dan perkembangan pemberdayaan

otoritas daerah, di mana pihak berwenang tidak mendahulukan

aspek konservasi dalam kasus-kasus yang terkait dengan

eksploitasi sumber daya alam.122

Pendapat di atas sejalan dengan yang terjadi di Tahura Ngurah Rai,

dimana dalam kasus illegal occupation tersebut, pelaku menduduki kawasan

hutan untuk membangun rumah tinggal seperti dalam kasus Illegal

occupation oleh I Wayan Suka, Ni Wayan Sudarti, I Wayan Rembyok, I

122 Iman Santoso dkk. op.cit., hal. 30-31.

Page 163: studi kasus pada illegal occupation

163

Ketut Urip, I Wayan Lunas, I Wayan Suandi, I Ketut Konde, I Wayan Buda,

Made Dogor, Luh Sendri, Ni Putu Wati, Made Warta dan Nyoman Wartika,

Wayan Wija/ Tjegeg, IB Surakusuma/ IB Lolek dan Bali Siki. Hal ini

mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan

penduduk. Akibat ledakan penduduk tersebut maka masyarakat

membutuhkan rumah tinggal. Keterbatasan lahan menyebabkan mereka

mengekspansi wilayah hutan untuk dijadikan rumah. Apalagi daerah Tahura

Ngurah Rai termasuk wilayah strategis.123

Belum optimalnya kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan

dan latihan serta penyuluhan kehutanan bukan hanya bagi individu

melainkan juga bagi masyarakat hukum adat setempat. Hal ini dapat dilihat

dari kasus illegal occupation oleh Desa Adat Kedonganan seluas 0,1768 are

yang berlokasi di Kelurahan Kedonganan. Tanah bersertifikat No. 8115

tanggal 8/7/2001 tersebut telah didirikan SMA Negeri 2 Kuta yang telah

dibangun pada awal 2006.124

Pendirian sekolah di wilayah tersebut memang

penting namun akan lebih baik jika membangun di tempat lain di luar

kawasan Tahura Ngurah Rai. Disinilah terlihat kurangnya pendidikan

mengenai arti penting hutan. Dengan demikian belum optimalnya kegiatan

penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan

kehutanan terjadi pada 15 kasus dari 17 kasus yang ada.

123 Observasi di kawasan Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

124 Observasi di Kelurahan dan Desa Adat Kedonganan mengenai pendirian SMA Negeri 2

Kuta yang seluruh wilayahnya sebenarnya masih termasuk wilayah Tahura Ngurah Rai pada 5

Januari 2011.

Page 164: studi kasus pada illegal occupation

164

Pengawasan merupakan instrumen yang sangat penting untuk

mengamankan dan melestarikan hutan. Kelemahan dalam lini ini tentu akan

menyebabkan illegal occupation yang sulit terkendali. Tindakan ini akan

berakibat pada kerusakan hutan. Penyebab kerusakan hutan mangrove

menurut Harry Santoso dalam makalahnya yang berjudul “Penyelamatan

Ekosistem Mangrove Dalam Mewujudkan Kelestarian Hutan” juga

diakibatkan karena adanya konflik kepemilikan lahan, konversi lahan hutan

mangrove menjadi lahan pertanian/ pemukimaan/ budidaya/ tambak,

perkembangan teknologi yang membuat lahan mangrove menjadi lahan

industri, pemanfaatan kayu. Dengan kondisi yang seperti itu, maka

dibutuhkan lebih banyak Balai Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia

dimana saat ini hanya ada dua yang bertempat di Bali dan Medan. Selain itu,

harus digalakkannya ketentuan mengenai kawasan hutan mangrove dimana

diadakannya pelarangan kegiatan budidaya di kawasan mangrove kecuali

kegiatan yang tidak merusak/mengganggu kawasan lindung tersebut.

Tsunami Aceh merupakan salah satu fenomena yang mencengangkan

dimana Aceh diporak-porandakan oleh tsunami. Tsunami tersebut terjadi

dikarenakan pada saat itu hutan mangrove sudah jarang sehingga tidak

mampu menahan gelombang besar yang mengakibatkan air laut masuk ke

daratan dan menghempas semua yang dilaluinya.125

125 Harry Santoso, “ “Penyelamatan Ekosistem Mangrove dalam Mewujudkan

Kelestarian Hutan”, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from

:http://fdcipb.wordpress.com/2011/02/28/seminar-nasional-%E2%80%9Cpenyelamatan-

ekosistem-mangrove-dalam-mewujudkan-kelestarian-hutan%E2%80%9D/

Page 165: studi kasus pada illegal occupation

165

Kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia tidak dapat

dibiarkan begitu saja sebab kejahatan terhadap hutan sama dengan kejahatan

terhadap berjuta-juta umat manusia. Oleh sebab itu diperlukan suatu

instrumen hukum yang dapat digunakan untuk menjaring pelaku

pengrusakan hutan. Dilihat dari fungsinya hukum lingkungan berisi kaedah-

kaedah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya,

langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum

lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan.

Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan

landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaedah kepada

masyarakat.

Sanksi adalah elemen penting bagi tegaknya hukum di dalam

masyarakat. Dalam Pasal 78 dan 80 Undang-undang No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan diatur mengenai sanksi atas pelaku illegal occupation.

Dalam Pasal 78 ayat (2) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan disebutkan “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf

c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”. Adapun rumusan

Pasal 50 ayat (3) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

adalah “Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan

atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah”

Page 166: studi kasus pada illegal occupation

166

Pengenaan sanksi pidana penjara dan denda yang dirumuskan secara

komulatif juga diikuti dengan kewajiban bagi penanggung jawab perbuatan

itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat

yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan

kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan sebagaimana yang

dirumuskan dalam Pasal 80 (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan yang menyebutkan:

Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang

ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk

membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang

ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi

hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.

Adanya pengaturan mengenai larangan menduduki kawasan hutan

secara tidak sah (lllegal occupation) memerlukan manusia sebagai

penggeraknya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Otje Salman dan Anton F.

Susanto, dimana hukum dianggap sebagai sistem yang abstrak yang hadir

dalam bentuk keharusan-keharusan (das sollen). Pada posisi ini manusia

akan bertindak sebagai partisipan faktor yang berperan menjalankan sistem

tersebut), yaitu mereka yang bermain dan memainkan sistem berdasarkan

logic tadi. Tujuan lebih kepada kepentingan praktik dan untuk membuat

keputusan.126

Sehingga untuk menanggulangi illegal occupation diperlukan

penegakan hukum oleh aparat-aparat yang berwenang.

126 Otje Salman dan Anton F. Susanto, op.cit., hal. 51.

Page 167: studi kasus pada illegal occupation

167

Penegakan hukum dapat menjadi instrumen represif dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Masalah lingkungan tidak

selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk

melaksanakannya. Instrumen hukum yang mengatur mengenai prinsip

perlindungan hutan hanya dapat berjalan efektif jika masyarakat memiliki

komitmen untuk melaksanakannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Jimly

Asshiddiqie yang menjelaskan:

Yang penting untuk disadari adalah bahwa institusi negara dibentuk,

tidak dengan maksud untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang secara

alamiah dapat dikerjakan sendiri secara lebih efektif dan efisien oleh

institusi masyarakat. Institusi negara dibentuk justru dengan maksud

untuk makin mendorong tumbuh dan berkembangnya peradaban bangsa

Indonesia, sesuai dengan cita dan citra masyarakat madani yang maju,

mandiri, sejahtera lahir batin, demokratis dan berkeadilan.127

Suatu Undang-undang yang mengandung instrumen hukum masih

diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan

bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan

lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah

lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan

disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan

dapat dicapai agar ditaati masyarakat.

Penegakan hukum pada hakikatnya adalah penegakan norma-norma

hukum, baik yang berfungsi suruhan (gebot, command) atau berfungsi lain

seperti memberi kuasa (ermachtigen to empower), membolehkan (erlauben,

127 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 68.

Page 168: studi kasus pada illegal occupation

168

to permit), dan menyimpangi (derogieren, to derogate).128

Penegakan

hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah

laku manusia. Hukum tidak dapat tegak dengan sendirinya, artinya hukum

tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang

tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janji dan kehendak tersebut

misalnya untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan

perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seseorang

yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.129

Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor penegak hukum.

Dalam konteks ini penegakan hukum terhadap illegal occupation dapat

dilakukan oleh polisi kehutanan. Polisi kehutanan selama ini mengalami

hambatan dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku illegal

occupation sebab mereka berhadapan dengan pelaku yang dibentengi oleh

pelaku-pelaku intelektual. Pelaku justru memiliki sertifikat atas tanah hutan

yang diduduki secara tidak sah. Padahal tanah hutan hanya dapat dikonversi

apabila ada izin dari menteri kehutanan itu pun hanya dapat dilakukan pada

hutan produksi dan hutan lindung sebagaimana yang ditegaskan dalam

Pasal 38 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

yang menyebutkan bahwa “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan

pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam

kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.” Sementara hutan

128 A. Hamid S. Attamimi dalam Siswanto Sunarso, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 42.

129 Satjipto Rahardjo II, op.cit, hal. 7.

Page 169: studi kasus pada illegal occupation

169

mangrove Tahura Ngurah Rai adalah hutan konservasi, yang berarti tidak

dapat digunakan untuk pembangunan di luar kegiatan hutan apalagi sampai

disertifikatkan.

Dikeluarkannya sertifikat milik atas tanah hutan tentu melibatkan

Notaris dan PPAT serta BPN. Hal ini menunjukkan adanya indikasi pelaku

intelektual atas illegal occupation. Selama ini belum ada permohonan

pensertifikatan tanah hutan oleh pribadi, jika ada permohonan maka

sebelumnya harus mendapat izin dari Menteri Kehutanan dan harus ada

pelepasan hak dari Menteri Kerhutanan.130

Padahal kasus pensertifikatan

tanah hutan ini memang ada dan kini sedang dalam proses hukum.131

Keberhasilan penegakan hukum terhadap illegal occupation

memerlukan kredibilitas dan transparansi dari polisi kehutanan. Penegak

hukum menurut Abdulkadir Muhammad harus jujur dalam menegakkan

hukum atau melayani pencari keadilan dan menjauhkan diri dari perbuatan

curang. Kejujuran berkaitan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya

itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar

akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan

130 Wawancara dengan Ni Putu Eka Darmayanti, 23 tahun, perempuan, BPN Tabanan dan

Drs. I Wayan Dastra, 50 tahun, laki-laki, BPN Badung, pada 21 April 2011.

131 Observasi pada sidang kasus illegal occupation di Tahura Ngurah Rai yang digelar di

Pengadilan Negeri Denpasar pada 9 Mei 2011.

Page 170: studi kasus pada illegal occupation

170

akal (ratio) dan kebenaran hati nurani. Benar menurut akal, baik menurut

akal diterima oleh hati nurani.132

Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah

dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan

hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum

menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran

badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan

hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada

pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan

dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan

hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak

hukum.133

Sehingga penegakan hukum akan berlangsung dengan optimal

apabila dimulai dengan prosedur dan komitmen yang kuat sejak perumusan

hingga pelaksanaannya. Substansi hukum yang baik sudah tentu akan

memudahkan penegak hukum yang dalam hal ini adalah polisi kehutanan

untuk menegakkan hukum terhadap pelaku illegal occupation.

Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak

tergantung pada hukum administratif atau hukum pemerintahan, terutama

menyangkut perizinan. Yang mengeluarkan izin adalah pejabat

132 Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.

119.

133 Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 24.

Page 171: studi kasus pada illegal occupation

171

administrasi, baik pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.134

Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali

penerapan instrumen sanksi pidana adalah aparat penegak hukum dalam hal

ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) dan penyidik POLRI.

Lemahnya instrumen pengawasan terjadi pada semua kasus (17 kasus)

illegal occupation di Tahura Ngurah. Meskipun dalam kasus Ahmad Sofyan

telah dilakukan penangkapan oleh polisi kehutanan dan diproses di Polsek

Denpasar Selatan namun kasusnya hingga kini masih terkatung-katung.

Gelar perkara pada kasus Bali Siki juga pernah dilakukan pada tahun 2002,

namun tindak lanjut dari kasus tersebut sangat minim. Baru pada tahun

2010, kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Denpasar (pidana dan

perdata). Kawasan Tahura Ngurah Rai juga telah dipagari dengan seng dan

sudah diurug serta siap didirikan bangunan oleh I Wayan Suwirta dan

didirikan bangunan rumah tinggal dan sekolah oleh pelaku lainnya

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Perbuatan-perbuatan ini

sampai terjadi karena lemahnya pengawasan hingga penjatuhan sanksi bagi

pelaku illegal occupation.135

Adapun kelemahan-kelemahan dalam kegiatan

perlindungan hutan dapat dilihat secara rinci dalam tabel berikut:

134 Andi Hamzah, op.cit., hal. 74.

135 Observasi di kawasan Tahura Ngurah Rai pada 5 Januari 2011.

Page 172: studi kasus pada illegal occupation

172

Tabel 3

Kelemahan dalam kegiatan perlindungan hutan

No Kasus Perencanaan kehutanan

Pengelolaan hutan

Penelitian dan pengembangan

pendidikan

dan latihan, serta

penyuluhan

kehutanan

Pengawasan

1 I Wayan

Suka seluas

0,8 are yang

berlokasi di

Br. Jaba Jero

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

2 I Wayan Suka

seluas 1 are

yang

berlokasi di

Br. Jaba Jero

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

3 Ni Wayan

Sudarti seluas

0,46 are yang

berlokasi di

Br.

Pengabetan

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

4 I Wayan

Rembyok

seluas 0,2 are

yang

berlokasi di

Br. Temacun

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

Page 173: studi kasus pada illegal occupation

173

5 I Ketut Urip

seluas 0,178

are yang

berlokasi di

Br. Anyar

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

6 I Wayan

Lunas seluas

0,18 are yang

berlokasi di

Br. Jaba Jero

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

7 I Wayan

Suadi seluas

0,675 are

yang

berlokasi di

Br. Jaba Jero

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

8 I Ketut Konde

seluas 0,9 are

yang

berlokasi di

Br.

Pengabetan

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

9 I Wayan

Buda seluas 1

are yang

berlokasi di

Br. Temacun

Kuta

Kabupaten

Badung.

- - x x

Page 174: studi kasus pada illegal occupation

174

10 I Made

Dogor, Luh

Sendri, Ni

Putu Wati,

Made warta

dan Nyoman

Wartika

seluas3,3 dan

1,65 are yang

berlokasi di

Pemogan,

Denpasar

- - x x

11 I Wayan

Wija/ Tjegeg

seluas 0,14

are yang

berlokasi di

Sanur Kauh,

Denpasar.

- - x x

12 IB

Surakusuma/

IB Lolek

seluas 2 are

yang

berlokasi di

Mumbul,

Kuta Tanah

tersebut

bersertifikat

No.1363

tanggal

19/11/1991.

- - x x

13 I Nyoman

Sudri/ Artono

seluas 1 are

yang

berlokasi di

Br. Pemogan,

Denpasar.

- - x x

14 I Ketut

Lolong,

Nyoman

Kardiana,

Nyoman

- - x x

Page 175: studi kasus pada illegal occupation

175

Suarta (PT

Bali Siki

Utama) seluas

84 are yang

berlokasi di

Br.

Perarudan,

Jimbaran,

Badung.

15 Desa Adat

Kedonganan

seluas 0,1768

are yang

berlokasi di

Kelurahan

Kedonganan.

- - x x

16 I Wayan

Suwirta

seluas 6,30

are yang

berlokasi di

Kelurahan

Sesetan,

Denpasar.

- - - x

17 Ahmad

Sofyan seluas

30 are dengan

klaim SPPT

PBB NOP.

51.71.010.008

.037.0139.0.

- - - x

Total - - 15 17

Illegal occupation memiliki dampak yang besar bagi keberlangsungan

hutan mangrove Tahura Ngurah Rai. Pembiaran atas tindakan tersebut akan

menimbulkan degradasi dan deforestasi mangrove, padahal mangrove di

Page 176: studi kasus pada illegal occupation

176

kawasan Tahura Ngurah Rai sangat bermanfaat untuk melindungi Bali dari

bencana tsunami. Mangrove juga berfungsi menyerap CO2 dan mencegah

terjadinya abrasi, sehingga keberadaan hutan mangrove harus

dipertahankan. Ancaman degradasi dan deforestasi mangrove Tahura

Ngurah Rai karena adanya pendudukan yang tidak sah, perlu diperhatikan

dan dicarikan solusinya. Oleh sebab itu diperlukan antara sinergi

pemerintah, badan usaha dan masyarakat untuk menanggulangi illegal

occupation.

Pemerintah

Penegakan hukum lingkungan dalam upaya penanggulangan illegal

occuption dapat dilakukan secara preventif dan represif sesuai sifat dan

efektifitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa

pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa

kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan

sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen bagi

penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan

penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Dengan demikian

penegakan hukum yang utama adalah pejabat/aparat pemerintah daerah

yang berwenang mencegah pencemaran lingkungan. Penegakan hukum

yang bersifat represif, dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar

peratuaran. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli

pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat

pelanggaran tersebut. Untuk menghindari penindakan pidana secara

Page 177: studi kasus pada illegal occupation

177

berulang-ulang pelaku/ pencemar sendirilah yang harus menghentikan

keadaan itu.

Hukum yang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan konteks sosialnya

serta tidak ada komunikasi yang efektif tentang tuntutan dan

pembaharuannya bagi warga negara tidak akan bekerja secara efektif.136

Sehingga menjadi tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk

mensosialisasikan serta mengambil langkah-langkah yang tepat dalam

menanggulangi illegal occupation. Adapun upaya yang diatur dalam

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan langkah-

langkah yang telah ditempuh untuk menyelamatkan hutan mangrove Tahura

Ngurah Rai adalah:

a. Penyuluhan kehutanan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 Pasal

57 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penyuluhan

kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau

dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan

taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya

sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Penyelenggaraan

penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Pemerintah juga bekerjasama

dengan dunia usaha, dan masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban

136 Muchsin & Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,

hal 18.

Page 178: studi kasus pada illegal occupation

178

hukum untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung

terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.

b. Pengawasan kehutanan, pengawasan kehutanan yang diatur dalam Pasal

59 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan ini,

dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan

pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal

dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau

penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.

Pemerintah yang melakukan pengawasan hutan meliputi

pemerintah pusat dan Pemerintah. Pemerintah pusat berkewajiban

melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaan

pengawasan hutan oleh pemerintah, masyarakat dan atau perorangan

dapat berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Pemerintah,

Pemerintah Daerah, dan masyarakat juga melakukan pengawasan

terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh

pihak ketiga. Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan, Pemerintah

dan Pemerintah Daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta

keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan

hutan. Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan

internasional.

Page 179: studi kasus pada illegal occupation

179

Terkait dengan adanya pengawasan terhadap kawasan hutan

terhadap illegal occupation, maka Dinas Kehutanan telah meregistrasi

lokasi yang dipinjam pakai maupun yang ditukar guling dan

mengurangi peluang-peluang untuk memanfaatkan kawasan hutan

sebagai tempat usaha.137

c. Memperketat perizinan. Perizinan merupakan salah satu wujud

keputusan pemerintah yang paling banyak dipergunakan dalam hukum

administrasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan tindaka

masyarakat, sebagai bagian dari keputusan pemerintah, maka perizinan

pada hakikatnya adalah tindakan hukum pemerintah bersifat sepihak

berdasarkan kewenangan publik yang memperbolehkan atau

memperkenankan suatu kegiatan. Menurut N.M Spelt dan J.B.J.M ten

Berge sebagaimana dikutip oleh Arya Utama, motif atau tujuan utama

instrumen perizinan adalah sebagai berikut:

1) Keinginan mengarahkan (mengendalikan/ sturen) aktivitas-

aktivitas tertentu.

2) Untuk mencegah bahaya bagi lingkungan hidup (izin-izin

lingkungan hidup).

3) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin tebang, izin

membongkar pada monumen-monumen).

4) Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghunian di

daerah padat penduduk).

5) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-

aktivitas.138

137 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,

laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

138 I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan Sistem Hukum Perizinan Berwawasan

Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 23.

Page 180: studi kasus pada illegal occupation

180

Sebagai bagian dari produk hukum, perizinan merupakan suatu

jaminan kepastian hukum bagi pemegang izin sehingga pihak manapun

yang memegang izin dalam pemanfaatan hutan, tidak dapat diganggu

gugat kembali. Kepastian izin dalam pemanfaatan hutan ini mampu

membedakan apakah pendudukan hutan oleh sekelompok orang

tersebut merupakan illegal occupation atau tidak. Pengeluaran izin atas

tempat usaha di kawasan Baypass Ngurah Rai dan Baypass Sanur juga

perlu diperhatikan apakah berdiri di atas tanah hutan atau tidak.

d. Pembentukan hukum yang responsif dan penegakan hukum di bidang

kehutanan. Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan lingkungan demi kepastian hukum dan

mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah

lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische

milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai

sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan,

sampai tahap normal kualitas lingkungan.139

Di dalam kaidah-kaidah

atau peraturan-peraturan hukum terkandung tindakan-tindakan yang

harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum.140

Penegakan hukum terhadap pelaku illegal occupation di kawasan

Tahura Ngurah Rai, telah dilakukan dengan mengupayakan penertiban

dan penataan kawasan hutan hingga mengajukan gugatan atas illegal

139 Siti Sundari Rangkuti, 2003, Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta,

hal. 2

140 Satjipto Rahardjo II, op.cit., hal. 1.

Page 181: studi kasus pada illegal occupation

181

occupation yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang.141

Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya

untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam

ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui

pengawasan dan penerapan (ancaman sarana administratif, keperdataan,

dan kepidanaan).142

Upaya penegakan hukum lingkungan yang

konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya

pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya,

pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan

supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar

supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang

menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.

e. Penataan batas wilayah hutan. Dengan adanya penetapan batas wilayah

hutan maka dapat diketahui perubahan luas dari hutan itu sendiri. Sejak

kawasan hutan mangrove dikukuhkan hingga kini telah terjadi

perubahan luas hutan. Hal ini disebabkan karena pendudukan kawasan

dengan adanya tanah kawasan yang bersertifikat, terjadinya

pembuangan sampah dan limbah secara liar dan untuk kepentingan

umum. Bahkan diantara tanah-tanah yang diokupasi tersebut ada yang

sudah disertifikatkan hak milik baik dalam pinjam pakai maupun tukar

141 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,

laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

142 Suparni, Ninik, 1992, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 160.

Page 182: studi kasus pada illegal occupation

182

guling seperti untuk pembangunan Bandara Ngurah Rai, BTDC dan

BTID maupun oleh individu.143

Dalam rangka memperoleh kepastian hukum di lapangan maka

setiap areal yang telah ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan

penataan batas. Dengan telah dilakukannya penataan batas hutan, maka

tanpa adanya kewenangan yang sah setiap orang dilarang memotong,

memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan

hutan.144

Upaya perlindungan Tahura Ngurah Rai perlu dilakukan secara

komprehensif baik melalui cara preemtif, preventif dan represif. Ada

beberapa upaya yang selalu dilakukan dalam perlindungan hutan yakni

dalam penempatan personil yang terdiri dari polisi kehutanan, staf

administrasi, KRPH dan KPH pemantauan wilayah hutan, pengamanan

daerah yang rawan pelanggaran, patroli rutin dan menindak tegas bagi

pelaku yang melakukan kejahatan atau pelanggaran di kawasan hutan.

Bahkan Dinas Kehutanan tidak segan-segan memperkarakan pelaku baik

secara pidana maupun perdata atau dituntut di pengadilan tata usaha negara

guna mempertahankan kawasan hutan.145

143 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki Polisi Kehutanan pada Dinas

Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

144 Waldemar Hasiholan, 2009, “KONSEP DASAR PERLINDUNGAN HUTAN”, Serial

Online Selasa, 06 Januari 2009 (Cited 2011 Jan. 2), available from : URL:

http://conservationforest.blogspot.com/2009/01/konsep-dasar-perlindungan-hutan.html

145 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,

laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

Page 183: studi kasus pada illegal occupation

183

Untuk menjaga kawasan hutan mangrove (Tahura Ngurah Rai), Dinas

Kehutanan Provinsi telah menempatkan personil yang sebelumnya

ditempatkan di RPH Tahura Ngurai Rai dan sekarang di UPT KPH Tahura

Ngurah Rai dengan spesifikasi 15 orang polisi hutan, 3 pejabat teknis dan 3

staf dengan komposisi luasan kawasan yang diemban sudah sesuai dengan

jumlah personil yang bertugas untuk mengawasi kawasan hutan

mangrove.146

Penetapan kawasan hutan juga ditujukan untuk menjaga dan

mengamankan keberadaan dan keutuhan kawasan hutan sebagai penggerak

perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga

kehidupan lokal, regional, nasional dan global. Kawasan Hutan Indonesia

ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri

Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi.

Penunjukan Kawasan Hutan ini disusun berdasarkan hasil pemaduserasian

antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna

Hutan Kesepakatan (TGHK).147

Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, Pemerintah menyerahkan

sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. Pelaksanaan penyerahan

sebagian kewenangan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengurusan

hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

146 Wawancara dengan Made Puspama, 36 tahun, laki-laki dan I Wayan Suardana, 40 tahun,

laki-laki, Polisi Kehutanan pada Dinas Kehutanan Provinsi Bali, pada 4 Mei 2011.

147 Departemen Kehutanan, “Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2009”, hal. 9.

Page 184: studi kasus pada illegal occupation

184

Badan Usaha

Badan usaha memiliki peranan penting dalam melindungi hutan dari

tindakan illegal occupation. Dalam Pasal 57 Undang-undang No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan ditentukan bahwa:

(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana

investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan

latihan, serta penyuluhan kehutanan.

(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan

mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan

dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

Ketentuan Pasal 57 ayat (1) yang mewajibkan dunia usaha dalam

bidang kehutanan untuk menyediakan dana investasi yang digunakan dalam

penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan

kehutanan merupakan implementasi dari konsep corporate sosial

responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial badan usaha. Setiap usaha

yang ada di Indonesia wajib menyediakan dana untuk kepentingan sosial.

Melalui konsep ini, badan usaha yang bergerak dalam bidang kehutanan

tersebut dapat bermitra dengan pemerintah dalam penyuluhan hutan, dengan

sekolah atau perguruan tinggi serta lembaga-lembaga penelitian lainnya.

Badan usaha yang tidak bergerak di bidang kehutanan selama ini telah

memberikan perhatian pada keberlangsungan hutan mangrove Tahura

Ngurah Rai dengan melakukan penanaman bakau. PT Wijaya Karya

(Persero) Tbk. (WIKA), perusahaan di Jakarta yang bergerak di bidang

konstruksi misalnya telah melakukan penanaman 1.000 pohon bakau di

Page 185: studi kasus pada illegal occupation

185

daerah Pasanggaran, Bali, sejumlah perusahaan jasa pariwisata, perusahaan

pembiayaan dan yayasan pendidikan di Bali juga melakukan hal yang sama.

Pencegahan terhadap illegal occuption oleh badan usaha dapat

dilakukan dengan pembentukan kesadaran hukum dari badan usaha untuk

tidak membangun usahanya di kawasan hutan. Pembangunan tempat usaha

hendaknya jangan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi saja namun

juga pada keberlangsungan lingkungan hidup. Kawasan Tahura Ngurah Rai

memang menjadi lokasi yang strategis untuk pengembangan usaha, sebab

kawasan ini berada di daerah pariwisata Sanur, Kuta dan Nusa Dua. Selain itu

juga dekat dengan Bandara (Bandara Ngurah Rai). Harga tanah di daerah ini

pun cukup tinggi yakni hampir mencapai RP 500.000.000,00 per are.

Masyarakat

Dalam Pasal 68 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

dikatakan bahwa masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup

yang dihasilkan hutan. Selain hak tersebut masyarakat dapat:

a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan

informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan

kehutanan; dan

Page 186: studi kasus pada illegal occupation

186

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan

baik langsung maupun tidak langsung.

Hak-hak tersebut dapat menjadi landasan bagi peran serta masyarakat

untuk mencegah illegal occupation. Dalam pengukuran tanah misalnya, ada

beberapa pihak yang dilibatkan yakni pemohon yang akan menunjukkan

batas, penyanding yang bersebelahan langsung, pejabat di lokasi tanah

dimohonkan misalnya Pekaseh jika tanah tersebut tanah sawah atau Kelian

Dinas jika tanah tersebut tanah karang/ tanah rumah dan petugas ukur.

Dengan pelibatan ini, masyarakat dapat memberikan informasi kepada

petugas yang berwenang mengenai status tanah yang ada di daerahnya.

Dalam pengukuran tanah tersebut, jika ada protes dari perorangan,

masyarakat atau pemerintah sehubungan dengan tanah yang dimohonkan,

maka BPN akan menunda proses penyelesaian permohonan kemudian

memanggil pihak-pihak yang berkeberatan dan pemohon selanjutnya

memfasilitasi atau menjadi mediator dalam permasalahan tersebut. Hal ini

menjadi upaya preventif untuk mencegah didudukinya tanah hutan secara

tidak sah.

Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga

kawasan hutan dari gangguan dan perusakan. Dalam melaksanakan

rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan

dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau Pemerintah.

Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan dan

pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai

Page 187: studi kasus pada illegal occupation

187

kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam

rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah

Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

Dalam upaya penanggulangan illegal occupation di kawasan Tahura

Ngurah Rai, diperlukan pemahaman masyarakat mengenai arti sertifikat

tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa yang dimaksudkan

dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-

bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik

atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang

tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai

adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya sedangkan data yuridis

adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah

susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban

lain yang membebaninya.

Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor

Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan

pejabat lain sebagaimana yang diamanatkan oleh PP Nomor 24 tahun 1997

Page 188: studi kasus pada illegal occupation

188

serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Adapun sistem

pendaftaran tanah yang digunakan di Indonesia adalah sistem pendaftaran

hak bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut tampak dengan adanya

buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang

dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda

bukti hak yang didaftar. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah yang

digunakan adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif karena

akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat. Pada sistem publikasi negatif yang murni tidak

menggunakan sistem pendaftaran hak juga tidak ada pernyataan seperti

dalam pasal-pasal UUPA bahwa sertifikat adalah alat bukti yang kuat.148

Sertifikat dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia pada dasarnya

menjadi bukti otentik yang menyatakan bahwa subjek hukum yang tertulis

namanya dalam sertifkat adalah pemegang hak mutlak. Namun jika

ditemukan adanya kekeliruan dalam data fisik dan data yuridis maka

keabsahan sertifikat tanah dapat dikaji ulang. Dari beberapa kasus illegal

occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai diketahui bahwa masyarakat

yang kini menduduki hutan mangrove untuk perumahan mereka, mau

membeli tanah tersebut karena sudah ada sertifikat atas nama pengembang.

Bagi mereka sertifikat adalah bukti yang kuat untuk menyatakan suatu

148 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, hal.

477.

Page 189: studi kasus pada illegal occupation

189

kepemilikan atas tanah sehingga mereka tidak melakukan verifikasi atas

kebenaran data dalam sertifikat tersebut.

Untuk mensertifikatkan tanah menjadi hak milik maka ada beberapa

persyaratan yang harus ditempuh seperti fotocopy KTP dan KK baik penjual

maupun pembeli, akta jual beli yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah,

pelunasan pajak untuk permohonan peralihan hak. Prosedur ini harus

dilakukan seluruhnya karena peralihan hak harus melalui proses jual beli,

tukar menukar atau hibah. Hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam

permohonan untuk menjamin kepastian hak yang dimohonkan. Oleh sebab

itu terhadap data tersebut, pihak BPN akan memverifikasi kebenaran data

dengan membentuk sebuah panitia kecil (Panitia A) yang bertugas untuk

menyidangkan apakah data yang diajukan pemohon tersebut sudah benar

dan apakah setiap proses permohonan hak seperti pengukuran dan

penggambaran telah dilalui. Hasil sidang tersebut akan diumumkan kepada

publik.149

Upaya yang dilakukan oleh pihak BPN tersebut ternyata belum

mampu menanggulangi illegal occupation. Kenyataannya tanah-tanah yang

diduduki justru telah bersertifikat.

Penanggulangan terhadap illegal occupation memerlukan kerjasama

dengan masyarakat hukum adat yang ada di kawasan hutan. Menurut Ter

Haar, kesadaran mengenai adanya hubungan masyarakat dengan tanah itu

terbukti dari adanya keselamatan yang tetap di tempat-tempat tertentu yang

dipimpin oleh Kepala Adat pada waktu permulaan mengerjakan tanah,

149 Wawancara dengan Drs I Wayan Dastra, 50 tahun, laki-laki, BPN Badung, pada 21 April

2011.

Page 190: studi kasus pada illegal occupation

190

sedangkan keyakinan dari adanya pertalian hidup antara manusia dengan

tanah terlihat dari upacara keagamaan yang hingga kini masih dilaksanakan

oleh masyarakat adat.150

International Tropical Timber Organization (ITTO) sebagai salah satu

organisasi internasional yang bergerak dalam bidang perlindungan hutan

telah melakukan kerjasama dengan masyarakat hukum adat di China, India,

Mexico, Kamerun dan Philiphina. Mereka memiliki manajemen pengelolaan

tersendiri sebagaimana yang ditulis dalam laporan ITTO yakni “Community

forestry, the management of forests with or by local communities, is an

important mechanism for addressing social equaity while pursuing the

sustainability of the forest resourse.”151

Manajemen pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat berbasis

pada kearifan lokal (local indigenous). Local indigenous atau yang juga

dikenal dengan istilah local genius merupakan sejumlah karakter budaya

yang dirasakan masyarakat sebagai hasil pengalaman hidupnya sehari-hari

atau the sum of the cultural characterstics which the vast majority of people

have in comment as a result of their experiences in early life.152

Karakteristik kultural dari masyarakat hukum adat mengandung pelbagai

nilai. Mengenai sistem nilai tersebut, Abdulkadir Muhammad mengatakan:

150 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di

Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, hal. 116.

151 International Tropical Timber Organization, 2007, Making SFM Work ITTO’S First

Twenty Years, ITTO’s First 20 Years, hal. 41.

152 Ayatro Haedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta,

hal. 30.

Page 191: studi kasus pada illegal occupation

191

Sistem nilai yang dianut masyarakat itu menjadi tolok ukur kebenaran

dan kebaikan cita-cita dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan.

Sistem nilai tersebut berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata

kehidupan pribadi dan menata hubungan manusia dan manusia serta alam

di sekitarnya. Sistem nilai yang menjadi dasar kesadaran masyarakat

untuk mematuhi norma hukum yang diciptakan.153

Keberadaan kawasan hutan dikeramatkan hampir merata pada berbagai

etnik Nusantara. Kelompok masyarakat mengakui adanya nilai-nilai tak

terukur, nilai-nilai magis di balik fenomena alam hutan. Eksistensi

kelompok masyarakat berkembang mengikuti dua pola dasar. Pertama pola

alamiah, dimana masyarakat berdasarkan pengalamannya berinteraksi

dengan lingkungannya, dan mereka mengakui adanya kekuatan gaib yang

mempengaruhi hidupnya. Kedua masyarakat lokal berinteraksi dengan

kelompok masyarakat pendatang, dan mereka mendapat pengetahuan

tentang kekuatan magis dalam kehidupannya memiliki landasan sistem

norma.154

Desa pakraman sebagai desa adat yang ada di Bali mempunyai tugas

bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang

terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, termasuk

pembangunan di bidang kehutanan. Selain itu, desa pakraman mempunyai

tugas membina dan mengembangkan nilai budaya Bali dalam rangka

memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada

153 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 8.

154 Ibid.

Page 192: studi kasus pada illegal occupation

192

umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan paras-

paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka (musyawarah mufakat).155

Desa adat pada dasarnya berfungsi untuk mengatur tata kehidupan

warga desanya dalam rangka usaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kebahagiaan dari warga desa yang dinamakan Moksa dan Jagadhita, dimana

hal tersebut sejalan dengan tujuan agama Hindu yakni Morksartham

Jagadhita ya ca iti Dharma.156

Tanggung jawab desa pakraman dalam

pembangunan di bidang kehutanan ini merupakan implementasi dari Tri

Hita Karana yang merupakan falsafah keseimbangan (keseimbangan

manusia dengan Tuhan, keseimbangan antara manusia dengan manusia dan

keseimbangan antara manusia dengan lingkungan), terutama palemahan

yakni keseimbangan antara manusia dengan lingkungan.

Masyarakat Adat Tenganan di Bali turun temurun melalui mekanisme

kelembagaannya telah mampu menjaga hutan dan stabilitas ekosistemnya.

Dalam perspektif deep ecology masyarakat tersebut memandang

keberlangsungan kehidupan dan eksistensi alamnya merupakan kombinasi

faktor yang tampak dan tidak tampak. Konsepsi yang sesuai dengan peta

aksi deep ecology yaitu pandangan ekologi yang lebih mendalam.

Pandangan dan aksi ekologis bertumpu tidak hanya pada gejala biofisik,

155 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Hukum Adat di Bali, Udayana

university Press, Denpasar, hal. 14.

156 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post,

Denpasar, hal. 24.

Page 193: studi kasus pada illegal occupation

193

tetapi mengutamakan etika moral.157

Masyarakat adat Tenganan ini memang

dapat dijadikan contoh dalam meningkatkan peran serta masyarakat hukum

adat dalam perlindungan hutan.

Masyarakat desa pakraman di sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai

selama ini desa pakraman belum pernah dilibatkan dalam pengukuran hutan,

upaya yang dilakukan desa pakraman untuk menanggulangi illegal

occupation pun belum ada karena bagi warga desa illegal occupation ini

merupakan masalah pribadi. Namun sejak tahun 1967, pihak desa sudah

menjalin kerjasama dengan Dinas Kehutanan untuk mengamankan hutan.

Hansip desa diberikan wewenang untuk memberikan informasi jika ada

penebangan pohon mangrove, selain itu mereka juga dilibatkan dalam

pemasangan pal batas bila dilaksanakan rekonstruksi di kawasan Tahura

Ngurah Rai.158

Illegal occupation yang merugikan masyarakat dapat menimbulkan hak

bagi masyarakat. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak

memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya

sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat

penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena

157 I.G.P.Suryadarma, Peran Hutan Masyarakat Adat Dalam Menjaga Stabilitas Iklim Satu

Kajian Perspektif Deep Ecology (Kasus Masyarakat Desa Adat Tenganan, Bali), Jurusan Biologi,

Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Serial Online (Cited 2011 Jan. 2), available from :

URL:

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/I%20Gusti%20Putu%20Suryadarma,%20MS.,%

20Dr.%20/18%29%20Peran%20Hutan%20Masyarakat.pdf

158 Wawancara dengan I Made Sami, 70 tahun, laki-laki, tokoh agama dan masyarakat di

kawasan Tahura Ngurah Rai, pada 20 Mei 2011.

Page 194: studi kasus pada illegal occupation

194

hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan

kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Secara ideal, pemanfaatan kawasan mangrove harus

mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tetapi tidak sampai

mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove. Selain sebagai

penahan abrasi dan gelombang air laut, mangrove juga memiliki fungsi yang

sangat penting dalam kehidupan, yakni mampu menyerap karbondioksida

yang dikeluarkan dari gas emisi cerobong asap perusahaan dan kendaraan

bermotor. Bahkan menurut Bambang Suprayogi, setiap satu hektare hutan

mangrove mampu menyerap 36 sampai dengan 43 ton karbondioksida.

Karenanya di dunia internasional konservasi dan pelestarian ekosistem

hutan mangrove mendapat perhatian serius. Bahkan beberapa negara telah

menerapkan biaya ganti rugi kepada perusahaan yang mengeluarkan gas

emisi perusak lingkungan. Untuk itu, perusahaan harus memberikan ganti

rugi terhadap negara yang telah merawat dan melestarikan hutan mangrove,

demi terciptanya iklim udara yang baik. Menurut Bambang Prayogi, untuk

satu ton karbondioksida yang diserap hutan mangrove, dihargai dengan 20-

30 euro. Hasil ganti rugi tersebut dapat dimanfaatkan untuk pelestarian dan

konservasi hutan mangrove.159

159 Redaksi, 2011, “Hutan Mangrove Penopang Ekonomi Masyarakat Pesisir”, Serial Online

Minggu, 24 Apr 2011 10:22 WIB, (Cited 2011 May 2), available from : URL:

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/04/24/30527/hutan_mangrove_penopang_ekon

omi_masyarakat_pesisir/

Page 195: studi kasus pada illegal occupation

195

Organisasi bidang kehutanan yang ada di tengah-tengah masyarakat

dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, dapat

mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi

hutan. Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan harus

memenuhi persyaratan yakni berbentuk badan hukum dimana organisasi

tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan

didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan serta

telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Sinergi antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat merupakan

implementasi dari ciri-ciri negara hukum Pancasila. Adapun ciri-ciri dari

negara hukum Pancasila adalah:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan nasional.

b. Hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan

negara.

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara bermusyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir.

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.160

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk mendukung

kehidupan umat manusia dan alam semesta memiliki keterbatasan-

keterbatasan. Perlindungan dan pengelolaan yang memperhatikan

keterbatasan daya dukung lingkungan akan membuat lingkungan

berkembang berkelanjutan, sebaliknya perlindungan dan pengelolaan yang

160 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematikan Konstitusi Indonesia

Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal. 162.

Page 196: studi kasus pada illegal occupation

196

berlebihan hanya akan menyebabkan kerusakan bahkan melahirkan bencana

ekologis. Dalam hal ini negara bertanggung jawab menjamin perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan kesejahteraan bagi

rakyatnya secara berkelanjutan. Tanggung jawab Negara tersebut diatur

dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.161

Dalam merehabilitasi mangrove tersebut, yang diperlukan adalah

master plan yang disusun berdasarkan data obyektif kondisi biofisik dan

sosial. Untuk keperluan ini, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam dapat

memberikan kontribusi dalam penyusunan master plan dan studi

kelayakannya. Dalam hal rehabilitasi mangrove, ketentuan green belt perlu

dipenuhi agar ekosistem mangrove yang terbangun dapat memberikan

fungsinya secara optimal (mengantisipasi bencana tsunami, peningkatan

produktivitas ikan tangkapan serta penyerapan polutan perairan).162

Pelindungan hutan dari illegal occupation di Tahura Ngurah Rai

merupakan konsekuensi dari negara hukum. Sebagai sebuah negara hukum

yang ditegaskan dalam konstitusi tertulis sebagai dasar negara, maka segala

aspek kehidupan masyarakat selalu didasarkan atas hukum termasuk dalam

161 Anonim, 2009, “Kita Butuh UU Lingkungan Hidup?”, Serial Online Wednesday, 29 July

2009 09:35, (Cited 2011 May 2), available from : URL: available from URL:

http://www.perwaku.org/index.php?option=com_content&view=article&id=79:tanggapan-ruu-

lingkungan-hidup&catid=40:artikel-dan-opini&Itemid=77

162 Anonim, 2009, “Fungsi dan Peranan Hutan Bakau (Mangrove) dalam Ekosistem, Jaga

Kelestarian Ekosistem Hutan Bakau Bangka Belitung”, Serial Online Tanggal 2009-01-27

Jam 16:09:10, (Cited 2011 May 2), available from : URL: http

http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Fungsi%20dan%20Peranan%20Hutan%20Bakau

%20%28Mangrove%29%20dalam%20Ekosistem,%20Jaga%20Kelestarian%20Ekosistem%20Hut

an%20Bakau%20Bangka%20Belitung&&nomorurut_artikel=268

Page 197: studi kasus pada illegal occupation

197

menjaga dan melindungi kawasan hutan. Dalam pelaksanaannya, hukum

dapat dipaksakan daya berlakunya oleh aparatur negara untuk menciptakan

masyarakat yang damai, tertib dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum

menuntut manusia supaya melakukan perbuatan yang lahir, sehingga manusia

terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat negara.163

Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-

undangannya pun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan

lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan, dimana Undang-

Undang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh

Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam

konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup.164

Sehingga

menjaga hutan sama dengan menjaga keberlangsungan fungsi lingkungan

hidup. Salah satu hutan yang harus dijaga adalah hutan mangrove yang

berada di daerah pantai.

Lingkungan hidup adalah bagian dari kehidupan manusia yang

menjadi sumber penghidupan manusia. Permasalahan lingkungan hidup

memang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas manusia. Masalah lingkungan

hidup dewasa ini timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan

lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa

dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian

163 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 76.

164 Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar Grafika,

Jakarta.

Page 198: studi kasus pada illegal occupation

198

yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun

internasional, karena dapat dikatakan Ia sebagai kekuatan yang mendesak

untuk mengatur kehidupan umat manusia dalam kaitannya dengan

kebutuhan sumber daya alam, dengan tetap menjaga kelanjutan dan

kelestarian itu sendiri. Dua hal yang paling essensial dalam kaitannya

dengan masalah pengelolaan lingkungan hidup, adalah timbulnya

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.165

Hutan merupakan salah satu penyangga kehidupan dan sumber

kemakmuran bagi makhluk hidup. Hutan sebagai modal pembangunan

nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan

bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola,

dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan

masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang

(Penjelasan Umum Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan)

sehingga ancaman kerusakan hutan menjadi ancaman bagi kehidupan

makhluk hidup.

165 Nurdu’a M. Arief, Nursyam B. Sudharsono, 1991, Aspek Hukum Penyelesaian Masalah

Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, Satya Wacana, Semarang, hal. 7.

Page 199: studi kasus pada illegal occupation

199

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

a. Bentuk illegal occupation yang terjadi di Tahura Ngurah Rai adalah

perbuatan menduduki kawasan hutan secara tidak sah yang didahului

dengan perbuatan merambah hutan. Illegal occupation ini diikuti

dengan pensertifikatan tanah hutan. Faktor-faktor yang menyebabkan

terjadinya illegal occupation di Tahura Ngurah Rai adalah faktor

struktur hukum dan budaya hukum. Faktor struktur hukum meliputi

kurangnya dukungan dan komitmen pimpinan terhadap polisi hutan

yang melaksanakan tugas pengamanan hutan, sarana dan prasarana

pengamanan hutan yang belum memadai, kemampuan polisi hutan

yang masih kurang, keterbatasan tenaga PPNS di Dinas Kehutanan,

adanya aktor-aktor intelektual di balik kasus ini, kurangnya koordinasi

antara Dinas Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Tokoh

Adat/masyarakat dan Notaris dalam mengamankan kawasan hutan

menyebabkan kasus illegal occupation sulit ditanggulangi. Dari segi

budaya hukum, illegal occupation juga disebabkan karena lemahnya

pemahaman masyarakat mengenai arti sertifikat sehingga mereka

yakin bahwa membeli tanah yang bersertifikat tidak akan

Page 200: studi kasus pada illegal occupation

200

menimbulkan masalah di kemudian hari. Selain itu juga karena

kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendorong mereka untuk

menduduki kawasan Tahura Ngurah Rai yang memang menjadi lokasi

strategis, apalagi jika tanah tersebut dijual dengan harga yang murah.

b. Implementasi prinsip perlindungan hutan belum optimal dalam

menanggulangi illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai.

Belum optimalnya penegakan prinsip perlindungan hutan ini terletak

pada kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,

serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan terhadap Tahura Ngurah

Rai. Penegakan prinsip perlindungan hutan dalam menanggulangi

illegal occupation di kawasan Tahura Ngurah Rai dilakukan dengan

pola kemitraan antara pemerintah dalam melakukan penegakan hukum

preventif dan represif, tanggung jawab sosial badan usaha dan

partisipasi masyarakat termasuk organisasi kehutanan yang berada di

tengah-tengah masyarakat dan masyarakat hukum adat (sekala dan

niskala) dalam menjaga kawasan hutan dari pendudukan secara tidak

sah.

5.2 Saran

Adapun hal-hal yang dapat disarankan dalam tesis ini adalah:

a. Diperlukan pengawasan oleh polisi kehutanan terhadap setiap

perambahan yang dilakukan terhadap hutan, sebab kegiatan ini

merupakan kegiatan awal dari illegal occupation dan dapat dilihat

secara nyata. Diperlukan pula suatu pemahaman yang jelas bagi

Page 201: studi kasus pada illegal occupation

201

pemerintah, penegak hukum dan masyarakat mengenai hutan mana saja

yang dapat diokupasi dan dibangun, sebab pada dasarnya hutan

konservasi tidak dapat diokupasi. Selain itu juga diperlukan kesatuan

pemikiran mengenai apa saja yang termasuk dalam pendudukan yang

sah dan yang mana menjadi illegal occuption. Setiap adanya izin dari

Menteri Kehutanan untuk membuka lahan hutan hendaknya

dipublikasikan kepada publik. Notaris dan BPN hendaknya lebih

berhati-hati dalam penerbitan sertifikat tanah dengan meneliti terlebih

dahulu keaslian data dari pemohon. Untuk meningkatkan kinerja dari

polisi kehutanan sebagai penegak hukum di bidang kehutanan maka

terhadapnya perlu diberlakukan sistem reward and punishment

sehingga polisi kehutanan yang berhasil menggagalkan atau menindak

pelaku illegal occupation dapat diberikan semacam penghargaan

sedangkan bagi mereka yang tidak melaksanakan kewajibannya

hendaknya dikenakan sanksi.

b. Penegakan prinsip perlindungan hutan sangat diperlukan untuk

menanggulangi illegal occupation. Oleh sebab itu, prinsip perlindungan

hutan seharusnya dipahami dan dilaksanakan oleh semua stake holder.

Pemerintah hendaknya memahami bahwa keberadaan hutan harus

dipertahankan untuk menjamin kesejahteraan rakyat dan

keberlangsungan lingkungan hidup. Penegakan prinsip perlindungan

hutan oleh polisi kehutanan, hendaknya bukan hanya sekadar wacana

melainkan memerlukan sistem komando yang jelas sehingga aparat di

Page 202: studi kasus pada illegal occupation

202

bawahnya dapat melakukan penegakan hukum atas illegal occupation

yang terjadi di kawasan Tahura Ngurah Rai. Penegak hukum juga

memerlukan bantuan dari masyarakat untuk mencegah illegal

occupation dengan memberikan informasi kepada aparat penegak

hukum. Selain itu juga diperlukan penelitian dan penyuluhan kehutanan

kepada masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalam melindungi

hutan juga perlu ditingkatkan dengan adanya penyuluhan di bidang

kehutanan. Peranan masyarakat sangat diperlukan untuk melaporkan

tindakan-tindakan permulaan dari segala bentuk pelanggaran terhadap

prinsip illegal occupation. Keterlibatan masyarakat hukum adat dalam

menjaga kawasan hutan juga perlu direvitalisasikan kembali.