studi kritik sanad dan matan hadis tentang ancaman...
TRANSCRIPT
STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS TENTANG
ANCAMAN ALLAH BAGI PENGHINA PEMIMPIN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
Sartika
NIM: 1110034000099
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
Abstrak
Sartika.
Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis tentang Ancaman Allah bagi Penghina Pemimpin
Kajian hadis Nabi memiliki posisi yang sangat penting, karena hadis merupakan sumber
kedua dalam hukum Islam. Kajian hadis tergolong dalam tiga bahasa. Pertama berkaitan dengan
kajian musṯalâẖ al-ẖadîts, kedua berkaitan dengan kajian kritik sanad dan matan. Ketiga,
berkaitan dengan pemahaman terhadap kandungan hadis. Pemahaman hadis yang sesuai dengan
metode yang telah ditetapkan para ulama, akan memudahkan dalam pemahaman hadis yang
tidak menyesatkan. Karena jika dalam keliru dalam memahami hadis akan berakibat fatal yaitu
berdampak sesat dan menyesatkan. Begitu juga dalam memahami hadis tentang ancaman Allah
bagi penghina pemimpin, harus sesuai tata cara dalam memahami hadis. bentuk hinaan yang
dimaksud dalam hadis ini adalah menganggap remeh atau merendahkan terhadap segala urusan
pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yang bertujuan untuk menimbulkan
kemaksiatan.
Proses pemahaman hadis bisa diawali dengan penelusuran hadis-hadis setema melalui
metode penelusuran hadis atau lafaz hadis, yaitu melalui al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâẕ al-
Hadîts al-Nabawi dibantu dengan program al-Maktabah al-Syamilah yang dapat menghasilkan
bahwa hadis tentang ancaman Allah bagi penghina pemimpin terdapat dalam kitab Sunan al-
Timidzî, Musnad Ahmad bin Hanbal.
Penelitian ini menggunakan gaya pustaka, dengan menggunakan metode takhrîj wa
dirâsat al-asânîd, karena metode inilah yang paling tepat, setidak-tidaknya hingga saat ini untuk
digunakan dalam mengkaji dan menghukumi tentang suatu hadis. Adapun sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer dan data sekunder.
Karena penelitian ini menyangkut takhrîj al-ẖadîts maka kitab-kitab Tarâjum adalah menjadi
sumber primer, penulis membatasi pada beberapa kitab diantaranya kitab Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl karya Yûsuf bin al-Zakki Abdurrahman Abû al-Hajjâj al-Mizzî, Tahdzîb al-
Tahdzîb dan Taqrîb al-Tahdzîb karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Juga kitab-kitab yang membahas
jarẖ dan ta’dil para perawi hadis, diantaranya karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî.
Sumber data dalam penelitian hadis ini adalah hadis yang terdapat dalam kitab Jâmi’ al-
Tirmidzî atau lebih dikenal dengan Sunan al-Tirmidzî. Kemudian hadis tersebut dibatasi hanya
pada kutub al-tis’ah saja. Kesimpulan penelitian terhadap hadis tersebut dinilai ẖasan ghârîb.
Dari segi matannya hadis ini dinyatakan maqbûl, karena tidak bertentangan dengan dalil al-
Qur’an juga tidak bertentangan dengan akal sehat serta terdapat hadis-hadis mendukung
pemahaman terhadap hadis tersebut.
ii
KATA PEGANTAR
Alhamdulillȃhi Rabbi al-‘Âlamîn, segala puji dan syukur kehadirat Allah
Swt. yang telah memberikan taufiq, hidayah dan inȃyah-Nya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan judul: “STUDI
KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS TENTANG ANCAMAN ALLAH BAGI
PENGHINA PEMIMPIN”. Salawat serta salam semoga tetap dicurahkan kepada
baginda Nabi Muhammad Saw., rasul pilihan yang membawa cahaya penerang
dengan ilmu pengetahuan. Serta untaian doa semoga tetap dicurahkan kepada
keluarga, sahabat, seluruh pengikutnya sampai akhir zaman, dan semoga kelak
kita mendapatkan syafa’atnya.
Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan, motivasi,
dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan menghanturkan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, dan
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
4. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA. pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdialog dengan penulis,
memotivasi penulis serta memberi petunjuk dan nasehat kepada penulis yang
dengan ikhlas demi keberhasilan penulis.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan ketulusan hati dan
kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama belajar di Ushuluddin.
6. Kepada kedua orang tua penulis, yakni Apa Sa’ang, dan Mamah tercinta
Ma’anih, terimakasih atas pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi
dan doa yang selalu diberikan kepada penulis. Dan terimakasih juga penulis
ucapkan kepada ayah dan ibu mertua.
7. Kepada suami tercinta Nur Cholis, S.Pd.I, yang selalu memberikan penulis
semangat, mencintai penulis dengan sangat tulus, selalu mendoakan penulis,
selalu menghadapi penulis dengan kesabaran, terimakasih atas pengorbanan
baik moril maupun materil, dan terimakasih telah sabar menunggu penulis
sampai lulus kuliah.
8. Kepada anakku tercinta, terkasih, dan tersayang Muhammad Mustafa Hadziq
al-Laitsi yang selalu menjadi penyemangat dan pelipur hati penulis.
9. Kepada segenap keluarga (adek Sukma Wijaya) serta saudara-saudara lain
yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Merekalah yang senantiasa
mendoakan dan memotivasi penulis untuk terus berkreasi dan berpacu dalam
mencari ilmu. Kalianlah salah satu cita-cita besar bagi penulis.
iv
10. Kepada Mudîr, asȃtidz, wa ustadzȃt keluarga Pondok Pesantren al-Qur’an al-
Falah Bandung dan Nihayatul Amal Karawang, yang telah memberikan ilmu
sehingga penulis bisa belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Kepada Prof. K.H. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (alm.) Darus Sunnah
International Institute for Hadith Sciences, dengan ketulusan hati dan
kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu yang bermanfaat kepada
penulis.
12. Kepada teman-teman jurusan Tafsir Hadis angkatan 2010, khususnya kelas
TH-C (Maliya, Nurul, Ernik’, Nisa’, Ai’, Ina, vira dan yang lainnya), yang
sama-sama berjuang selama kuliah, penulis tidak akan melupakan
persahabatan kita. Dan juga kepada teman-teman di Darus Sunnah
International Institute for Hadith Science.
Akhirnya penulis berharap, semoga karya tulis ini merupakan sebuah
refleksi studi S1 dan dapat memberikan sumbangan keilmuan, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca yang berminat dengan tulisan ini. Dan
dengan harapan karya tulis ini dapat dijadikan amal bagi penulis, Amin ya rabb al-
‘ȃlamîn.
Jakarta, 09 Agustus 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................. vii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 8
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ............................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 13
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PEMIMPIN
A. Pengertian Pemimpin ............................................................. 15
B. Teori Kelahiran Pemimpin ..................................................... 16
C. Pemimpin dalam Islam …………………………………….. 17
D. Kriteria Seorang Pemimpin .................................................... 25
E. Dalil Taat terhadap Pemimpin ............................................... 27
F. Larangan Menghina dalam al-Qur’an ................................... 30
vi
BAB III STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
A. Kritik Sanad Hadis
1. Teks Dan Terjemahannya ............................................... 33
2. Kegiatan Takhrîj ............................................................. 34
3. I’tibȃr Hadis .................................................................... 37
4. Sanad Hadis..................................................................... 41
5. Natîjah (kesimpulan)....................................................... 56
B. Kritik Matan Hadis
1. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanad ............. 58
2. Meneliti Matan yang Semakna ...................................... 59
3. Meneliti Matan Hadis ditinjau dari Dalil al-Qur’an ........ 61
4. Meneliti Matan Hadis ditinjau dari segi akal sehat ......... 63
5. Penjelasan Matan Hadis……………………………….. 63
6. Kesimpulan Matan Hadis……………………………… 72
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 76
B. Saran-saran ............................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 79
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada buku
Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2010/2011.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksra Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F ef ف
viii
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ه
apostrof ’ ء
Y ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fathah ـ
i kasrah ـ
u dammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ ai a dan i
و ـ au a dan u
ix
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
اـ ȃ a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas ـي
û u dengan topi di atas وـ
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf
(al), dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.
E. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak الض
ditulis dengan ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ [lihat
x
contoh 1 di bawah]. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) [lihat contoh 2]. Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
[lihat contoh 3].
Contoh:
No Kata Arab Alih Akasara
tarîqah طريقة .1
al-jȃmi’ah al-islȃmiyyah الجامعة اإلسالمية .2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3
A. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam ma’rifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
ه) al-atsâr dan (االثار) ,al-jizyah (الجزيه) al-dzimmah. Kata sandang ini (الذم
menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tasydîd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭa’.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai
dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
B. Singkatan
Swt. = Subḥȃnahu wa-ta’ȃlȃ
Saw. = Salla Allȃh ‘alaih wa-sallam
r.a = Raḍiya Allȃh ‘anhu
xi
QS. = al-Qur’an Surȃh
HR. = Hadis Riwayat
M = Masehi
H = Hijriyah
w. = Wafat
h. = Halaman
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan, apa pun bentuk atau nama dan cirinya serta ditinjau dari
sudut pandang mana pun, selalu harus berlandaskan kebajikan dan kemaslahatan
serta mengantar kepada kemajuan. Kepemimpinan, antara lain harus dapat
menentukan arah, menciptakan peluang, dan melahirkan hal-hal baru melalui
inovasi pemimpin yang kesemuanya menuntut kemampuan berinisiatif, kreativitas,
dan dinamika berpikir.1 Dalam pandangan Islam, setiap orang adalah pemimpin,
paling tidak memimpin dirinya sendiri bersama apa yang berada di sekitarnya.
هممسئولوىوراعالن اسعلىال ذىفاألميوتي عرنعلوؤسممكل كواعرمكل ك راعوالر جل،عن
هممسئولوىوب يتوأىلعلى هممسئولةوىىوولدهب علهاب يتعلىراعيةوالمرأة،عن والعبد،عن
ورعي تعنمسئولوكل كمراعفكل كمأل،عنومسئولوىوسيدهمالعلىراع
Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin yang bertugas memelihara
serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang pemimpin
adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka.
Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung
jawab atas mereka, seorang istri adalah pemimpin dirumah suami dan
anaknya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang hamba sahaya
adalah penjaga harta tuannya dan ia bertanggung jawab atasnya,
ingatlah! Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin yang bertugas
memelihara serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (H.R.
Bukhârî dan Muslim).2
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2010), Jilid. 2, h.
679 2 Muhammad bin Ismâ‟il al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid. 9, h.
285
2
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh
al-Imâm Bukhârî dan al-Imâm Muslim melalui Ibn „Umar ra. Semakin luas ruang
lingkup yang dicakup oleh wewenang seseorang, semakin luas pula tanggung
jawabnya, dan semakin luas tanggung jawabnya, semakin berat dan luas pula
persyaratannya.
Negara yang berdaulat terdapat sistem pemerintahan, dan didalamnya
terdapat kepemimpinan. Kepemimpinan itu meliputi seluruh jajaran yang ada
didalamnya, baik pusat, daerah maupun lingkup instansi atau organisasi. Pemimpin
dari tingkat terbawah hingga yang paling teratas, ia berhak mengatur segala
sesuatu yang berkitan dengan kepemimpinan.
Sebagai seorang pemimpin, tidak terlepas dari dua pihak yang senang
akan kepemimpinannya, ada juga yang tidak. Disinilah, pmimpin dituntut agar
tetap adil dalam menjalankan kepemimpinannya. Karena jika pemimpin berlaku
tidak adil kepada rakyatnya, maka akan menimbulkan sikap yang ingin
menghancurkan tampuk kepemimpinannya. Pada mulanya, mereka hanya sekedar
mengkritik, menghina dan membeberkan aib-aib pemimpin di atas mimbar,
seminar, koran dan media sosial, akan tetapi pada akhirnya dapat memicu
terjadinya pemberontakan terhadap pemimpin yang berdaulat.
Allah Swt. memuliakan seorang pemimpin dengan mewajibkan orang-
orang yang dipimpinnya mematuhi apa yang diperintahkannya, selama perintah itu
tetap dalam koridor taat kepada Allah Swt. namun, saat ini fenomena penghinaan
terhadap pemimpin seakan menjadi hal yang biasa saja. Maraknya peristiwa hinaan
yang ditujukan kepada beberapa pemimpin di Indonesia melalui media massa dan
media sosial. Baik melalui facebook, twitter, instagram, ataupun media sosial yang
3
lain. Tak luput juga presiden Indonesia sekarang ini, Joko Widodo. Hal ini tidak
mencerminkan sebagai rakyat yang menghormati pemimpinnya. Ada beberapa
bukti yang penulis paparkan dibawah ini mengenai kasus penghinaan terhadap
pemimpin, diantaranya adalah:
1. Penghinaan yang dilakukan oleh Muhammad Arsyad (tukang sate) Penghinaan
ini berupa editan foto seronok antara Jokowi dan Megawati Soekarno Putri dan
disebarkan melalui facebook. Muhammad Arsyad kemudian ditangkap dan
diproses secara hukum. Pada tanggal 23 Oktober 2014, Direktorat Tindak
Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri menahan MA. Ia dianggap
melanggar pasal 29 Undang-undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008 serta
kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran
nama baik.3
2. Polres Jakarta Utara menciduk pria pengangguran, Jamil Adil (49), yang sudah
menghina Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Jenderal Tito
Karnavian, lewat coretan yang ditulisnya di Kolong Tol Kebon Baru, tepat di
Jalan Raya Cakung-Cilincing (Cacing) Kecamatan Cilincing Jakarta Utara,
Kamis (29/12/2016), sekitar 06.00 WIB. "Tersangka Jamil Adil yang menulis
di tiang dan di dinding Kolong Tol Kebon Baru, serta kontainer yang berisi
kalimat yang memenuhi unsur penghinaan terhadap Presiden RI, Joko Widodo
atau Jokowi, dan Kapolri Jenderal Tito, sudah dijerat dengan pasal 207 KUH
3http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571a2c098997e/4-kasus-penghinaanterhadap-
presiden-yang-diproses-hukum
4
Pidana tentang penghinaan, dihukum selama 1 tahun 6 bulan penjara," papar
Kapolres Metro Jakarta Utara, Awal Chairuddin, Jumat (30/12/2016).4
3. Saat meresmikan Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Balige,
Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Minggu, 21 Agustus 2016, Presiden
Jokowi dan Ibu Negara Iriana tampil dengan mengenakan pakaian adat Batak.
Andi Redani Putribangsa dan Nunik Wulandari II adalah dua orang yang telah
mengolok-olok dan menghina Presiden Jokowi di akun Facebook mereka.5
Beberapa peristiwa di atas, menyelisihi salah satu hadis Nabi Muhammad
Saw. yang berkaitan dengan peristiwa penghinaan terhadap seorang amir di
Basrah. Peristiwa ini terjadi pada masa sahabat yaitu Abû Bakrah. Dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa, suatu hari ketika seorang penguasa sedang berkhutbah
dangan mengenakan pakaian yang tipis, Abû Bilâl mencemoohnya dengan
mengatakan pemimpin itu mengenakan pakaian orang fasik. Abû Bakrah
menegurnya dengan menyampaikan hadis yang pernah ia dengar dari Nabi
Muhammad Saw.
ث ن ث ناب ندارحد حد كسيبالعدوى ث ناحيدبنمهرانعنسعدبنأوسعنزيدبن اأبوداودحد
بابنعامروىويطبوعليوثيابرقاقف قالأبوبل كنتمعأببكرةتتمن للانظرواإقال
الل رسول عت س اسكت بكرة أبو ف قال الفس اق. ثياب ي لبس -ملسو هيلع هللا ىلص-أمين ي قول أىان» من
فاألرضأىانوالل )رواهالرتمذي( «سلطانالل
4http://wartakota.tribunnews.com/2016/12/30/penghina-presiden-dan-kapolri-di-
cilincingdipenjara-16-tahun 5http://www.kompasiana.com/danielht/mengapa-tidak-bisa-membedakan-
menghinadengan-mengritik_57c15de990fdfdf43e009e6d
5
Telah menceritakan kepada kami Bundâr, telah menceritakan kepada kami
Abû Dâud, telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mihrân, dari Sa‟d
bin Aus, dari Ziyâd bin Kusaib al-„Adawi, ia berkata, ketika aku bersama
Abû Bakrah mendengarkan khutbah Ibn „Âmir, kala itu beliau mengenakan
pakaian yang tipis. Kemudian Abû Bilâl berkata, “Lihatlah pemimpin kita,
ia memakai pakaian orang-orang fasik”. Abû Bakrah pun menegurnya,
“Diamlah, aku memdengar Rasulullah Saw. bersabda; “Barangsiapa yang
menghinakan pemimpin Allah di bumi, Allah akan hinakan dia “ (H.R. al-
Tirmidzî)6.
Hal ini sejalan dengan hadis yang penulis kemukakan di atas, melalui
hadis Nabi Saw. Allah mengancam akan menghinakan seseorang yang melakukan
hinaan terhadap seorang pemimpin. Melihat ancaman tersebut, artinya Allah Swt.
memberikan kemuliaan bagi siapa pun yang memiliki kekuasaan di bumi ini.
Kemudian, apakah hinaan yang akan Allah timpakan itu di dunia atau di akhirat?
Atau bahkan akan ditimpakan di dunia dan di akhirat?. Dengan begitu, kita tidak
bisa menganggap sikap penghinaan terhadap pemimpin adalah hal yang sepele,
karena terbukti ada hadis Nabi Muhammad Saw. yang mengancam pelaku
penghinaan akan dihinakan kembali oleh Allah Swt.
Hadis yang memuat tentang ancaman bagi penghina pemimpin
tercantum dalam kitab Sunan7 al-Tirmidzî dan kitab al-Musnad
8 Aẖmad bin
Hanbal. Hal ini penting untuk dikaji karena baik dalam Kitab Sunan al-Tirmidzî
maupun al-Musnad Aẖmad bin Hanbal, tidak menghimpun hadis saẖîẖ. Selain
hadis saẖîẖ9, Imam al-Tirmidzî memasukkan pula ke dalam kitabnya hadis
6 Muhammad bin „Isâ al-Tirmidzî, al-Jâmi‟ al-Saẖîẖ wahuwa Sunan al-Tirmidzî (al-Azhar:
al-Dâr al-„Alamiyyah Li al-nasyr wa al-Tauzî‟, 2013), h. 74 7 Definisi kitab Sunan adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan bab fikih dan hanya
berisi hadis marfû‟ dan beberapa beberapa atsar sahabat 8 Definisi kitab al-Musnad ialah kitab hadis yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah
dengan mengacu kepada nama sahabat 9 Hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil
dan ḏabiṯ, selamat dari syâdz dan „illat. „Abd al-Rahman bin Abî Bakar al-Suyûṯî, Tadrîb al-Râwî fî
Syarẖ Taqrîb al-Nawâwî, (Riyâḏ: Maktabah al-Riyâḏ al-Hadîtsah, tth.), juz. 1, h. 63
6
ẖasan10
, ḏa‟îf,11
gharîb12
dan mu‟allal13
dengan penjelasan kelemahannya.14
Begitu
juga dengan kitab Musnad, di dalamnya terdapat hadis sahih, hasan dan ḏa‟îf.15
Ada beberapa poin yang melatarbelakangi penulis dalam mengkaji hadis
ini dan manjadikannya menarik dan layak untuk dikaji, yaitu pertama, mengingat
hadis sebagai penjelasan al-Qur‟an yang menduduki posisi yang sangat penting
dan berpengaruh dalam membentuk perilaku seseorang dan masyarakat, khususnya
dalam hal ini masyarakat Indonesia, kedua, hadis ini berkaitan erat dengan perilaku
sebagian warga Negara Indonesia kepada pemimpinnya pada saat ini, ketiga, hadis
ini tidak banyak disinggung dalam penjelasan kitab-kitab syarh, keempat, hadis ini
tidak diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim, menjadi menarik untuk dikaji
karena boleh jadi peluang hadis tersebut termasuk hadis ḏa‟îf bahkan palsu,
kelima, hadis ini secara tersirat berbicara tentang prinsip-prinsip dan adab kepada
pemimpin.
Melihat latar belakang masalah yang menarik untuk dikaji, penulis
mencoba untuk menulis skripsi dengan judul Studi Kritik Sanad dan Matan
Hadis tentang Ancaman Allah bagi Penghina Pemimpin.
10
Hadis ẖasan ialah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil,
dan ḏabiṯ (tingkat ke-ḏabiṯ-annya lebih rendah dari hadis sahih), selamat dari syâdz dan „illat. „Abd
al-Rahman bin Abî Bakar al-Suyûṯî, Tadrîb al-Râwî fî Syarẖ Taqrîb al-Nawâwî, (Riyâḏ: Maktabah
al-Riyâḏ al-Hadîtsah, tth.), juz. 1, h. 511 11
Hadis ḏa‟îf ialah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan tidak pula
menghimpun sifat-sifat hadis hasan. Al-Suyûṯî, Tadrîb al-Râwî fî Syarẖ Taqrîb al-Nawâwî, juz. 1, h.
179 12
Hadis gharîb ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi. Al-Suyûṯî, Tadrîb al-
Râwî fî Syarẖ Taqrîb al-Nawâwî, juz. 1, h. 585 13
Hadis mu‟allal ialah hadis yang secara ẕahir terlihat sahih, tetapi setelah diteliti terdapat
„illat yang dapat merusak kesahihan hadis tersebut. Al-Suyûṯî, Tadrîb al-Râwî fî Syarẖ Taqrîb al-
Nawâwî, juz. 1, h. 412 14
Ibnu Ahmad „Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoarjo: Mashun, 2008),h. 219 15
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), h. 203
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan argumen di atas, penulis memiliki banyak akar
permasalahan yang timbul dalam benak penulis dan perlu adanya penelusuran
lebih lanjut berkaitan dengan hadis yang menyatakan adanya ancaman Allah
Swt. bagi penghina pemimpin
a. Kriteria pemimpin yang sesuai dengan hadis di atas
b. Bentuk penghinaan yang dimaksud dalam hadis tersebut
c. Ancaman penghinaan seperti apakah yang akan Allah berikan kepada
penghina pemimpin
Permasalahan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan
penelitian terhadap permasalahan dalam hadis di atas.
2. Pembatasan Masalah
Skripsi ini hanya akan lebih difokuskan untuk membahas tentang
larangan menghina seorang pemimpin. Untuk menghindari pembiasan dalam
memahami pembahasan ini, penulis memberikan batasan terhadap, kualitas
sanad dan matan hadis tentang ancaman Allah bagi penghina pemimpin yang
terdapat dalam Sunan al-Tirmidzî dan Musnad Ahmad.
3. Perumusan Masalah
Dari penjelasan pembatasan masalah di atas dan untuk lebih terarahnya
pembahasan skripsi ini, maka penulis menyusun perumusan masalah tersebut
adalah: Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang ancaman
8
Allah bagi penghina pemimpin yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî,
Ahmad bin Hanbal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan permasalahan di atas, orientasi penelitian ini diarahkan pada
upaya mengetahui makna yang terkandung dalam hadis tersebut, serta untuk
memenuhi syarat menyelesaikan program strata satu (S1). Sedangkan manfaat
dari penelitian ini adalah
a. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan dan
penambahan informasi mengenai pemahaman terhadap hadis Nabi Saw.
tentang ancaman Allah Swt. terhadap orang yang menghina pemimpin.
b. Secara umum diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu
pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan masalah pemahaman hadis
tentang ancaman Allah Swt. terhadap orang yang menghina pemimpin
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi yang lain, sebelumnya penulis terlebih dahulu menelusuri kajian-
kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil
penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi
atau pendekatan yang sama sehingga diharapkan kajian yang penulis lakukan tidak
terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.
Melalui pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan, penulis belum
menemukan skripsi yang secara khusus membahas hadis tentang ancaman Allah
9
terhadap penghina pemimpin. Hanya ada beberapa skripsi yang mendekati
permasalahan ini, yaitu:
Ihwanuddin dalam skripsinya yang berjudul “Konsepsi Kepemimpinan
dalam Sahih al-Bukhâri: Kajian atas Sanad dan Matan Hadis” mengetengahkan
pembahasan konsep kepemimpinan dari hadis-hadis tentang kepemimpinan yang
terdapat dalam kitab Saẖîẖ al-Bukhârî. Pembahasan ini meliputi penelitian
terhadap sanad dan matan hadis. Ihwanuddin menyatakan bahwa hadis-hadis
tersebut saẖîẖ baik sanad maupun matannya. Sedangkan kandungan dalam
matannya mengindikasikan bahwa rakyat harus taat kepada pemimpinnya dalam
hal kebajikan dan amar makruf. Apabila ada hal yang tidak menyenangkan dalam
kepemimpinannya, maka rakyat harus bersabar tanpa membangkang.16
Abdul Hadi dalam skripsinya yang berjudul “Larangan melengserkan
Pemimpin Selama Masih Menegakkan Salat”. Skripsi ini mengkaji tentang kualitas
sanad dan matan hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal
dan Imam al-Dârimi. Sedangkan kandungan dalam matannya mengindikasikan
hadis tentang larangan melengserkan pemimpin dapat digeneralisasikan bahwa
ketaatan kepada penguasa atau pemimpin diharuskan selama mereka tidak
menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka masih menegakkan keadilan dalam
masyarakat.17
Asep Sopian Hadi dalam skripsinya yang berjudul “Studi Kritik Sanad
dan Matan Hadis Tentang Jihad yang Paling Utama (menyampaikan kebenaran
kepada pemimpin yang ẕalim)”. Skripsi ini membahas tentang kualitas sanad dan
16
Ihwanuddin, “Konsepsi Kepemimpinan dalam Shahih al-Bukhari : Kajian atas Sanad
dan Matan Hadis”, Skripsi, nomor 229 2001, h. 67 17
Abdul Hadi, “Larangan Melengserkan Pemimpin Selama Masih Menegakkan Salat”
Skripsi, 2013, h. 72
10
matan hadis yang terdapat dalam Sunan Abû Dâud . hadis ini termasuk dalam
kelompok hadis yang menceritakan tentang fitnah yang akan menimpa kaum
muslimin sesudah Nabi Muhammad Saw. tiada, akan ada para pemimpin yang
zalim, maka sampaikanlah terus olehmu perkara yang hak kepada mereka, apabila
mereka membunuhmu, maka kamu mati sebagai suhada yang membela yang
hak.18
Penulis menemukan beberapa artikel yang ditulis di media sosial tentang
hadis yang akan penulis bahas, diantaranya: artikel dengan judul “Larangan
Menghina Pemimpin“ yang ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli, didalamnya
terdapat hadis tentang ancaman Allah terhadap penghina pemimpin. Akan tetapi
didalam artikel tersebut tidak menjelaskan bagaimana kualitas dari sanad dan
matan hadisnya.19
Artikel selanjutnya dengan judul “Larangan Mencaci Pemimpin”,
didalamnya hanya mencantumkan hadis tentang ancaman Allah bagi penghina
pemimpin dan terjemahnya saja, tidak menjelaskan tentang kualitas sanad, kualitas
matan serta penjelasan lebih rinci tentang hadis tersebut.20
Artikel berikutnya dengan judul “ تخريج مه أهان سلطان هللا تبارك وتعالى في الدويا
”أهاوه هللا يىم القيامة yang ditulis oleh Abû „Abdurrahman al-Najdî. Tulisan ini
menjelaskan tentang takhrij hadis yang penulis bahas dengan memaparkan kitab-
kitab yang memuat hadis tersebut, kemudian ia menjelaskan kritik sanadnya dan
18
Asep Sopian Hadi, “Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis Tentang Jihad yang Paling
Utama (menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang ẕalim)”, Skripsi, 2014, h. 59 19
Muhammad Idrus Ramli, “Larangan Menghina Pemimpin”.
Prabuagungalfayed.blogspot.com > laranganmenghinapemimpin. 20
http://larangan-islam.blogspot.com/2015/04/larangan-mencaci-pemimpin.html
11
tidak menjelaskan secara rinci tentang kritik matannya.21
Sehingga yang menjadi
perbedaan tulisan Abû „Abdurrahman al-Najdî dengan tulisan penulis adalah latar
belakang masalah yang merupakan peristiwa yang serupa dengan apa yang terjadi
dalam hadis tersebut, kemudian kriteria penghinaan yang akan Allah berikan.
E. Metodologi Penelitian
Metode merupakan upaya agar kegiatan penelitian dapat dilakukan secara
optimal. Berikut penulis paparkan metode yang digunakan dalam penelitian ini.
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu
penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis seperti buku
atau kitab yang berkenaan dengan topik pembahasan, sehingga dapat diperoleh
data-data yang jelas.
Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, yaitu data yang telah terkumpul
diolah kemudian diuraikan secara obyektif untuk dianalisis secara konseptual
dengan menggunakan metode takhrîj wa dirâsat al-asânîd, karena menurut hemat
penulis, metode inilah yang paling tepat, setidak-tidaknya hingga saat ini untuk
digunakan dalam mengkaji dan menghukumi tentang suatu hadis.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
macam, yaitu sumber data primer dan data sekunder. Karena penelitian ini
menyangkut takhrîj al-ẖadîts maka kitab-kitab Tarâjum adalah menjadi sumber
primer, penulis membatasi pada beberapa kitb diantaranya kitab Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ‟ al-Rijâl karya Yûsuf bin al-Zakki Abdurrahman Abû al-Hajjâj al-Mizzî,
Tahdzîb al-Tahdzîb dan Taqrîb al-Tahdzîb karya Ibn Hajar al-„Asqalânî. Juga
21
www.ahlalhdeeth.com
12
kitab-kitab yang membahas jarẖ dan ta‟dil para perawi hadis, diantaranya karya
Ibn Hajar al-„Asqalânî.
Dalam melakukan kajian ini penulis menetapkan beberapa hal berikut ini:
a. Penulis akan melakukan pengecekan ke kitab kamus-kamus hadis
b. Hadis yang disebutkan mukharrijnya, penulis akan melakukan pengecekan ke
kitab yang disebutkan untuk memastikan bahwa hadis yang dimaksud benar-
benar ada dalam kitab tersebut
c. Menulis lengkap hadis dan perawinya sesuai dengan yang ada dalam sumber
kitab asliny dan menyertakan artinya
d. Setelah hadis diketahui mukharrij-nya, penulis akan melakuka kajian untuk
mengetahui kualitas sanadnya.
e. Jika ada ulama yang menilai kualitas hadis, maka penulis menyebutkan
penilaian itu sebagai bahan pembanding dan bahan pertimbangan
f. Jika ada riwayat terkait dengan kategori asbâb wurûd al-ẖadîts, penulis akan
menggunakannya sebagai tambahan pemahaman
g. Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah hadis, penulis menukil pendapat
ulama mutaqaddimîn dan pendapat ulama mutaakhkhirîn.
h. Penulis melakukan kajian kritik sanad dan matan hadis dengan menggunakan
kaidah umum takhrij hadis sebagaimana telah disebutkan oleh Mahmûd al-
Ṯaẖẖân dan ulama lain.
i. Dalam melakukan kajian terhadap seorang transmitter hadis, penulis
mendasarkan penilaian kepada data-data yang terdapat dalam kitab Tarâjum
j. Jika ada perbedaan pendapat ulama jarẖ wa al-ta‟dîl mengenai kualitas perawi,
maka penulis melakukan ijtihad dan komparasi pendapat-pendapat itu.
13
Dalam hal ini penulis menggunakan buku “Pedoman Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2010/2011”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi empat bab. Bab I
merupaka n pendahuluan yang meliputi, latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II membahas mengenai kajian teoritis tentang pemimpin,
pengertian pemimpin, teori kelahiran pemimpin, pemimpin dalam Islam, kriteria
seorang pemimpin, dalil taat kepada pemimpin, dan larangan menghina dalam al-
Qur‟an.
Pada Bab III penulis membahas mengenai studi kritik sanad dan matan
hadis yang meliputi, teks dan terjemahannya, kegiatan takhrîj, i‟tibȃr hadis, sanad
hadis, natîjah (kesimpulan), kritik matan hadis, meneliti matan ditinjau dari
kualitas sanad, meneliti matan hadis ditinjau dari matan yang semakna, meneliti
matan hadis ditinjau dari al-Qur‟an, meneliti matan hadis ditinjau dari segi akal
sehat, penjelasan kandungan hadis, dan kesimpulan matan hadis.
Sedangkan pada Bab IV merupakan kesimpulan serta saran-saran
terhadap hasil karya penulis. Setelah melakukan pembahasan terhadap masalah
yang menjadi fokus dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai
penutup. Bab ini berisi jawaban terhadap rumusan masalah yang telah dipaparkan
di muka, dan berisi saran-saran demi perkembangan penelitian-penelitian
selanjutnya.
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PEMIMPIN
Setiap pemimpin memiliki kerinduan untuk membangun dan
mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin
dalam kelompoknya. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari
kemampuannya untukkk membangun orang-orang di sekitarnya, karena
keberhasilah sebuah organisasi sangat bergantung pada potensi sumber daya
manusia dalam organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat
mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa
tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.
Kesuksesan seorang pemimpin berkaitan erat dengan kaum pemimpinnya.
Karena pemimpin adalah cerminan masyarakatnya. Pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang memahami aspirasi masyarakatnya. Pemimpin juga merupakan
hasil kehendak atau pilihan masyarakat, karena itu masyarakat harus menerimanya
atau sekurang-kurangnya tidak membencinya.22
Oleh karena itu tidak akan pernah
ada kepemimpinan jika antara orang yang memimpin dan orang yang dipimpin
tidak ada. Diantara keduanya pun harus terjalin hubungan yang baik, agar nantinya
tercipta kehidupan yang yang harmonis, sejahtera serta menciptakan perdamaian.
22
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2010), Jilid. 2, h.
688
15
A. Definisi Pemimpin
Dilihat dari sisi bahasa Indonesia, pemimpin sering disebut penghulu,
pemuka pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus penggerak, ketua,
kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah memimpin
digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan
kemampuannya memengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin dn memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang
sama “pimpin” dan berikut ini dikemukakan beberapapengertian pemimpin23
:
1. Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin,
mempunyai kemampuan memengaruhi pendirian atau pendapat orang lain
taua sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya.
2. Pemimpin adalah suatu peran dalam sistem tertentu, karenanya seseorang
dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpinan dan
belum tentu mampu memimpin.
3. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan,
khususnya kecakapan di satu bidang sehingga dia mampu memengaruhi
orang lain untuk bersam-sama melakukan aktivitas tertentu demi
pencapaian tertentu
Dari definisi di atas, pemimpin berarti seseorang yang memiliki
kemampuan untuk memimpin. Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus
23
Veithzal Rivai, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi (Depok: Rajagrafindo
Persada, 2014), h.1-2
16
dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena kelak
Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu.
B. Teori Kelahiran Pemimpin
Para ahli teori kepemimpinan telah mengemukakan beberapa teori tentang
timbulnya seorang pemimpin. Dalam hal ini, terdapat tiga teori yang menonjol24
1. Teori Genetik
Penganut teori ini berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan dan bukan
dibentuk (leaders are born and not made). Pandangan teori ini bahwa,
seseorang akan menjadi pemimpin karena keturunan atau ia telah dilahirkan
dengan membawa bakat kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi
karena seseorang dilahirkan telah memiliki potensi termasuk memiliki potensi
atau bakat untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan faktor dasar. Dalam
realitas, teori keturunan biasanya terjadi di kalangan bangsawan atau keturunan
raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam
keturunan tersebut akan diangkat menjadi raja.
2. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin
dibentuk dan bukan dilahirkan (leaders are made and not born). Penganut teori
ini berkeyakinan semua orang itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi
pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi ataua bakat untuk menjadi
pemimpin, hanya saja faktor lingkungan atau faktor pendukung yang
mengakibakan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan
inilah yang disebut dengan faktor ajar atau latihan.Pandangan penganut teori
24
Veithzal Rivai, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi, h. 30
17
ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi
pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasa dari keturunan seorang
pemimpin atau raja.
3. Teori ekologik
Penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang kan menjadi pemimpin
yang baik manakala dilahirkan telah memiliki bakat kepemimpinan.
Kemudian bakat tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan dan
pengalaman-pengalaman yang memungkina untuk mengembangkan lebih
lanjut bakat-bakat tang telah dimiliki. Jadi, inti teori ini yaitu seseorang yang
akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat
dan lingkungan yaitu faktor pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman
yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.
C. Pemimpin dalam Islam
Dalam pandangan Islam, setiap orang adalah pemimpin, paling tidak
memimpin dirinya sendiri bersama apa yang berada di sekitarnya.
ث نا عنعبد حد قالأخب رنسالبنعبدالل بنعمرأبواليمانأخب رنشعيبعنالز ىرى الل
رضىهللاعنهما اإلمامفاوتي عرنعلوؤسممكل كواعرمكل كي قول-ملسو هيلع هللا ىلص-أن وسعرسولالل
والمرأةراعيةفب يتزوجهاوالر جلراعفأىلووىومسئولعنرعي توومسئولعنرعي توراع
)رواهالبخاري( ،والادمراعفمالسيدهومسئولعنرعي توومسئولةعنرعي تها
Setiap orang di antara kamu adalah pemimpin yang bertugas memelihara
serta bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang penguasa
adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka.
Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung
18
jawab atasnya. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harta tuannya dan
dia bertanggung jawab atasnya. (H.R. al-Bukhârî) 25
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh al-
Imâm Bukhârî dan al-Imâm Muslim melalui Ibn „Umar ra. Semakin luas ruang
lingkup yang dicakup oleh wewenang seseorang, semakin luas pula tanggung
jawabnya, dan semakin luas tanggung jawabnya, semakin berat dan luas pula
persyaratannya. Karena itu, ketika sahabat Nabi Saw., Abû Dzar ra., meminta
jabatan, Nabi Saw. bersabda:
ث ناعب ثنحد ثنالل يثبنسعدحد ثنأبشعيببنالل يثحد دالملكبنشعيببنالل يثحد
رةاألكب عنابنحجي عنأبيزيدبنأبحبيبعنبكربنعمروعنالارثبنيزيدالضرمى
ألتست عملنقالفضرببيدهعلىمنكبث قال قالق لتيرسولالل فيعضكن إرذبأيذر
اهي فويلعيذىال د أاوهقابىذخأنمل إةامدنويزخةاميقالموي اهن إوةانماأهن إو
Wahai Abû Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya
kepemimpinan adalah amanah, ia akan merupakan kehinaan dan
penyesalan kecuali siapa yang menerimanya sesuai dengan haknya
(persyaratan yang ditetapkan) serta melaksanakan (seluruh cakupan
tanggung jawabnya) (H.R. al-Imâm Muslim)26
Berdasarkan hadis di atas, lahir ungkapan yang menyatakan:
“Kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab, ia bukan fasilitas,
tetapi pengorbanan, ia juga bukan leha-leha, tetapi kerja keras, sebagaimana ia
bukan kesewenang-wenangan bertindak, tetapi kewenangan melayani.
Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan.”27
Pengamalan nilai-nilai
25
Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî (Beirût: Dâr al-Fikr, tth), Juz. 9,
h. 285 26
Muslim, Shaẖîẖ Muslim (Beirût, Dâr al-Fikr, tth), Juz. 12, h. 203 27
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2010), Jilid. 2, h.
680
19
agama, seharusnya dimulai dan diterapkan terlebih dahulu oleh para pemimpin,
agar menjadi contoh dan teladan bagi masyarakatnya. Sebagaimana yang
diteladankan Nabi Muhammad Saw. kepada umatnya yang tersurat dalam al-
Qur‟an surat al-Aẖzâb [33]: 21
كاني رجوا أسوةحسنةلمن كانلكمفرسولالل كثيالقد والي وماآلخروذكرالل لل
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah Saw. itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
Kepemimpinan tertinggi adalah pondasi tegaknya hukum dalam masyarakat
Islam, ia adalah kedudukan agama penerus kenabian. Seorang imam (pemimpin
tertinggi) adalah pengganti Nabi dalam memimpin kaum muslimin. Bedanya hanya
satu, Nabi menerima hukum-hukum yang diberlakukan kepada umatnya melalui
wahyu dari sisi Allah Swt., berbeda dengan imam, dia menimbanya dari nas-nas
al-Qur‟an dan al-Sunnah, atau ijmâ‟ kaum muslimin, atau ijtihad sesuai dengan
dalil-dalil umum, bila tidak menemukan nas padanya dan tidak ada ijma yang
berkaitan dengannya.28
Menurut M. Quraish Shihab, ada tiga kata yang digunakan kitab suci al-
Qur‟an ketika berbicara kepemimpinan. Pertama, khalîfah/khulafâ/khalâif ( – خليفة
خالئف – خلفاء ) antara lain QS. Al-Baqarah [2]: 30, Sâd [38]: 26, al-A‟râf [7]: 69-74,
dan Yûnus [10]: 14. Kedua, imam/a‟immah ( أئمة - إمام ), antara lain QS. Al-Baqarah
[2]: 124, al-Anbiyâ‟ [21]: 73, dan al-Sajdah [32]: 24. Sedangkan kata ketiga adalah
ulil amr ( األمر أولي ), seperti pada QS. Al-Nisâ‟ [4]: 50 yang seringkali ditunjuk
28
Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Konsep Kepemimpinan dan Jihad dalam
Islam Menurut Madzhab Syafi‟i, (Jakarta: Darul Haq, 2014), h. 95
20
bentuk tunggalnya oleh hadis-hadis Nabi Saw. dengan kata amîr.29
Sedangkan di
Indonesia amîr diterjemahkan ke dalam tiga arti sebagaimana disebutkan dalam
kamus besar bahasa indonesia (KBBI) yaitu diartikan sebagai panggilan kepada
anak raja. Kedua, pemimpin yang memerintah sebuah negeri, ketiga, pemimpin
yang dipercaya untuk mengetuai suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kosakata
dalam bahasa Arab telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Pada dasarnya di
Indonesia, amîr al-mu‟minin adalah pemimpin umat Islam. Walaupun dalam
bahasa aslinya memiliki makna yang luas, misalnya dalam bahasa Arab
penggunaannya bisa lebih luas, seperti amîr al-mu‟minîn fî al-ẖadîts.30
Kata khalîfah (خليفة) artinya di belakang, dari sini kata tersebut sering kali
diartikan pengganti karena yang menggantikan selalu berada atau berada
dibelakang. Dari satu sisi, kata ini menegaskan kedudukan pemimpin yang
hendaknya berada di belakang untuk mengawasi dan membimbing yang
dipimpinnya bagaikan penggembala. Tujuan pengawasan dan bimbingan itu adalah
memelihara serta mengantar gembalaannya menuju arah penciptaannya.31
Adapun
khalîfah secara umum ditunjukkan kepada semua manusia, khalîfah fî al-arḏ yaitu
sebagai hamba Allah di muka bumi.
Istilah ini di satu pihak, dipahami sebagai kepala negara dalam
pemerintahan dan kerajaan Islam di masa lalu, yang dalam konteks kerajaan
pengertiannya sama dengan kata sultan. Di lain pihak, cukup dikenal pula
pengertiaanya sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mempunyai dua
29
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 686 30
amîr al-mu‟minîn fî al-ẖadîts merupakan gelar tertinggi dalam ilmu hadis yang diberikan
kepada seorang penghafal hadis dan mengetahui ilmu Dirâyah dan Riwâyah hadis 31
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 687
21
pengertian. Pertama, wakil Tuhan yang diwujudkan dalam jabatan sultan atau
kepala Negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi, sebagai ciptaan
Tuhan yang paling sempurna.32
Khalîfah adalah pemimpin di muka bumi sebagai
perwakilan Tuhan dalam merealisasikan nilai-nilai agama, seperti halnya Nabi
Adam a.s. dan Nabi Dâud yang dijadikan Allah Swt. sebagai khalîfah di muka
bumi ini.
جاعلفاألرضخليفةوإذ قالرب كللملئكةإن
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku
hendak menjadikan di bumi”.(Q.S. al-Baqarah [2]: 30)
جعلناكخليفةفاألرضفاحكم يداودإن ولت ت بعالوىف يضل كعنسبيلالل الن اسبلق ب ي
لمعذابشديدبانسواي ومالساب إن ال ذينيضل ونعنسبيلالل
(Allah berfirman), “Wahai Dâud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan
khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena
akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan”. (Q.S. Sâd [38]: 26)
Menurut M. Dawam Rahardjo, istilah khalîfah dalam al-Qur‟an mempunyai
tiga makna. Pertama, Adam yang merupakan simbol manusia sehingga kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa manusia berfungsi sebagai khalîfah dalam
kehidupan. Kedua, khalîfah berarti pula generasi penerus atau generasi pengganti,
32
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996). h. 357
22
fungsi khalîfah diemban secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khalîfah
adalah kepala negara atau pemerintahan.33
Kata Imâm (إمام) terambil dari akar kata amma – yaummu ( يؤم - أم ) dalam
arti menuju, menumpu, dan meneladani. Ibu dinamai umm karena anak selalu
menuju kepadanya. Depan dinamai amâm karena mata tertuju kepadanya sebab ia
berada di depan. Seorang imam dalam salat adalah yang diteladani gerak-geriknya
oleh para makmum, sedang imam dalam arti pemimpin adalah yang diteladani oleh
masyarakatnya sekaligus selalu berada di depan. Dengan demikian, seorang
pemimpin bukan saja harus menunjukkan jalan meraih cita-cita masyarakatnya,
tetapi juga yang dapat mengantar mereka ke pintu gerbang kebahagiaan. Seorang
pemimpin tidak sekedar menunjukkan, tetapi juga mampu memberi contoh
aktualisasi, sama halnya dengan imam dalam salat yang memberi contoh agar
diteladani oleh makmumnya.34
Oleh sebab itu di Indonesia, kata imam sudah
menjadi bahasa serapan utama yang serikali dipakai. Misalnya ketika seseorang
ditunjuk atau dijadikan pemimpin salat, maka ia disebut imam. Sehingga bahasa
imam dalam salat mempunyai makna tersendiri yang mempersempit makna aslinya
yaitu pemimpin. Dalam bahasa sehari-hari, sebuah keluarga suami disebut imam,
karena suami adalah orang yang membimbing keluarganya, mencari nafkah,
memberi keamanan dan kenyamanan serta menjaga keluarganya dari perbuatan
dosa dan kemaksiatan.
Oleh sebab itu, menjadi imam dalam artian yang menjaga misi dakwah
Nabi Saw. bukanlah hanya pekerjaan dan kewajiban seorang „âlim, kiyai, ustadz,
33
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, h. 357 34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 687
23
atau pendakwah (biasa disebut dâ‟i) tetapi selurh individu yang mengakui adanya
iman dihatinya wajib menjaga misi dakwah Nabi Saw. sebagaimana firman Allah
Swt. dalam Q.S. al-Naẖl [16]: 125
رب كىوأعلمبنضل ادعإلسبيلربكبلكمةوالموعظةالسنةوجادلمبل تىي أحسنإن
عنسبيلووىوأعلمبلمهتدين
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk”.
Dalam al-Qur‟an, kata imâm dapat berarti orang yang memimpin suatu
kaum yang berada di jalan lurus, seperti dalam surat al-Furqân [25] ayat 74 dan al-
Baqarah [2] ayat 124. Kata ini juga bisa berarti orang yang memimpin di jalan
kesesatan, seperti yang ditunjukkan dalam surat al-Taubah ayat 12 dan al-Qasas
[28] ayat 41. Namun, lepas dari semua arti itu, secara umum dapat dikatakan
bahwa imam adalah seorang yang dapat dijadikan teladan yang di atas pundaknya
terletak tanggung jawab untuk meneruskan misi Nabi Saw. dalam menjaga agama
dan mengelola serta mengatur urusan negara.35
Kata Amîr (أمير) menggunakan patron kata yang dapat berarti subjek dan
juga objek. memerintah, sedangkan dalam kedudukannya sebagai objek, maka ia
adalah yang diperintah, dalam hal ini oleh siapa yang dipimpinnya. Ini
mensyaratkan bahwa amir tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tetapi harus
memperhatikan perintah, yakni kehendak dan aspirasi siapa yang dipimpinnya.36
35
Taufiq Rahman, Moralitas Pemimpin dalam Perspektif al-Qur‟an (Bandung: Pustaka
Setia, 1999), h. 42 36
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 688
24
Maka pada hakikatnya pemimpin itu dipilih untuk mencari kemaslahatan umat,
bukan kemaslahatan golongan apalagi hasrat pribadi.
Seorang amir adalah adalah seorang yang memerintah, seorang komandan
militer, seorang gubernur provinsi atau -ketika posisi kekuasaan diperoleh atas
dasar keturunan- seorang putra mahkota. Sebutan ini adalah sebutan yang
diinginkan oleh berbagai penguasa yang lebih rendah tingkatannya, yang tampil
sebagai gubernur provinsi dan bahkan kota yang menguasai wilayah tertentu di
kota. Sebutan ini pula bagi mereka yang merebut kedalatan yang efektif untuk diri
mereka sendiri, sambil memberikan pengakuan simbolik yang murni terhadap
kedaulatan khalîfah sebagai penguasa tertinggi yang dibenarkan dalam Islam.
Istilah amir ini pertama kali muncul pada masa pemerintahan „Umar bin al-
Khaṯṯâb. „Umar menyebut dirinya sebagai amîr al-mukminîn yang berarti
pemimpin kaum yang beriman.37
Pada masa Umar ada sedikit kesulitan, sebab ia
adalah pengganti sehingga disebut khalîfatu khalîfati al-rasûl. Kemudian, kata
Umar, pengganti penulis nanti bagaimana? Pada saat itulah timbul istilah amîr al-
mu‟minîn, dan sejak saat itu istilah inilah yang lebih sering digunakan. Tidak ada
anjuran kuat pemakaian gelar amîr al-mu‟minîn, baik dari al-Qur‟an ataupun hadis.
Hanya saja sejumlah ayat al-Qur‟an secara tersirat mengutarakan keberadaan
pemimpin dengan kata al-amr.
Istilah pemimpin dalam islam selanjutnya adalah adalah sulṯân. Kata ini
berasal dari akar kata sîn, lâm dan ṯa‟ (سلط) artinya kekuatan dan penaklukan,
karena seorang penguasa atau pemimpin itu memiliki kekuatan, maka dinamai
37
Abdul Hadi, “Larangan Melengserkan Pemimpin Selama Masih Menegakkan Salat”,
Skripsi, 2013, h. 28
25
sultan. Disisi lain, sulṯân diartikan sebagai hujjah (dalil, orang kepercayaan) dan
burhân (petunjuk), sehingga seorang pemimpin disebut sultan karena pemimpin itu
orang yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. untuk memimpin di muka bumi ini.
Sulṯân juga bisa diartikan sebagai kekuatan seorang raja.38
Bentuk jama‟ (plural)
dari kata sultan adalah سالطيه .39
D. Kriteria Seorang Pemimpin
Menjadi seorang pemimpin, ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi,
yaitu40
:
1. Al-Siddîq, yakni kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap,
serta berjuang melaksanakan tugasnya.
2. Al-Amânah, atau kepercayaan, yang menjadikan dia memelihara sebaik-
baiknya apa yang diserahkan kepadanya, baik dari Tuhan maupun yang
dipimpinnya sehingga tercipta rasa aman bagi semua pihak.
3. Al-Faṯânah, yaitu kecerdasan yang melahirkan kemampuan
menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul mendadak
sekalipun.
4. Al-Tablîgh, yaitu penyampaian yang jujur dan bertanggung jawab atau
dengan kata lain keterbukaan.
Kriteria lain yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin seperti halnya
dikemukan oleh Imam al-Mawardy dalam bukunya al-Ahkam al-Sulṯânyah adalah
pemimpin hendaknya memiliki ilmu pengetahuan. Dalam Islam, pemimpin bukan
38
Muhammad bin Makram bin Manẕûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-„Arab (Beirût: Dâr
Ṣâdir, t.t.), juz. 7, h. 320 39
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, Al-Mu‟jam al-Wasîṯ (Teheran: al-Maktabah al-
„Ilmiyyah, t.t.), h. 918 40
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 683-684
26
saja piawai dalam mengatur negara, tapi juga berpengetahuan luas tentang agama.
Sebagaimana Khulafâ‟ al-Râsyidîn, mereka pemimpin juga ulama. Pemimpin
Negara juga sepatutnya sehat pancaindra, anggota tubuh, punya pemikiran ke
depan (visi dan misi) yang jelas, serta berani dan tegas dalam bertindak. Namun
begitu, ada syarat yang tak kalah penting yaitu seorang pemimpin Negara itu
mesti seorang yang adil.
Adil pada dirinya sendiri ialah pemimpin yang dekat dengan Allah Swt.
dirinya terhindar dari perbuatan dosa, memiliki sifat warâ‟ yang tidak terobsesi
mengejar kepentingan dunia, dan dapat dipercaya dalam memegang amanah
kepemimpinan. Dan adil dalam kepemimpinan itu juga menghendaki adil dalam
aspek sosial dan adil dalam menerapkan hukum.41
Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang adil terhadap dirinya sendiri,
adil dalam menjalankan amanah kepemimpinan, seperti halnya dalam surat al-
Nisâ [4]: 58
الن اسأنتكموابل الل يمركمأنت ؤد وااألمانتإلأىلهاوإذاحكمتمب ي الل نعم اإن عدلإن
يعابصيا يعظكمبوإن الل كانس
Sesungguhnya Allah mememintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-naiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Nabi Ibrahim as. Beliau diangkat sebagai imam setelah lulus dalam ujian
Tuhan, ketika rencana pengangkatannya disampaikan, sebagaimana diuraikan
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124, beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh
41
Veithzal Rivai, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi, h. 62-63
27
pula oleh anak cucunya, tetapi Tuhan menggarisbawahi satu syarat dengan
berfirman: “Perjanjian-Ku ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku
aniaya.”
Ada dua hal yang patut digarisbawahi dari jawaban di atas: Pertama,
kepemimpinan bukan sekedar kontrak sang pemimpin dengan masyarakatnya,
tetapi juga merupakan ikatan perjanjian dia dengan sang pemimpin dengan Tuhan,
atau dengan kata lain kepemimpinan adalah amanat dari masyarakat dan dari
Tuhan. Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan, karena keadilan adalah lawan
dari penganiyaan yang dijadikan syarat dalam jawaban Tuhan di atas. Keadilan
juga dituntut untuk diterapkan bukan hanya kepada kelompok sendiri, tetapi juga
kepada pihak lain.
Dari sini, lahir kriteria dalam menetapkan seseorang sebagai pemimpin dan
indikator kepantasannya untuk diangkat, antara lain bagaimana sikapnya terhadap
Tuhan dan lingkungannya, bukan saja lingkungan kecil atau keluarga dan
masyarakat luas, tetapi juga lingkungan alam sekitarnya.
E. Dalil Taat terhadap Pemimpin
Dalam firman Allah Swt., orang-orang beriman diperintahkan untuk taat
kepada Allah Swt, taat kepada Rasulullah Saw. serta kepada para pemimpin. Ini
tercantum dalam surat al-Nisâ [4] ayat 59
يءف رد وهإليأي هاال ذينآمنواأطيعواالل وأطيعواالر سولوأولاألمرمنكمفإنت نازعتمفشروأحسنتوي والي وماآلخرذلكخي تمت ؤمنونبلل كن والر سولإن (95ل)الل
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amr (pemegang kekuasaan) diantara kamu.
28
Kemudian jika berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (al-Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.
Ayat di atas dengan jelas menyerukan kepada orang-orang yang beriman
agar taat kepada Allah Swt. dengan menjalankan semua perintah-Nya serta
menjauhi segala larangan-Nya yang termaktub dalam Kitab-Nya yaitu al-Qur‟an
al-Karîm. Kemudian diserukan juga untuk selalu taat terhadap Rasul-Nya Nabi
Muhammad Saw. dengan mengikuti apa yang diserukan Nabi Saw. berupa ajaran-
ajaran yang berasal dari hadis-hadis yang diwahyukan Allah Swt. kepadanya. Jika
orang-orang beriman taat kepada al-Qur‟an dan Sunah-sunah Rasulullah Saw.yaitu
dengan dengan menjadikan keduanya sebagai pedoman hidupnya, maka manusia
tidak akan pernah terjerumus kedalam kesesatan, sebagaimana telah Nabi Saw.
sabdakan dalam hadisnya.
Selanjutnya, orang-orang mukmin diserukan agar taat kepada ulil amr.
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna ulil amr. Ulî bentuk jamak dari
walîy yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Al-amr adalah
perintah atau urusan, dengan demikian, ulil amr adalah orang yang berwenang
mengurus urusan kaum muslimin. Ibn Katsîr menukil riwayat dari „Ali bin Abî
Ṯalẖah, dari Ibn „Abbâs bahwa makna ulil amr adalah ahli fiqih dan ahli agama.
Sedangkan menurut Mujâhid, „Aṯâ, Hasan al-Basrî, serta Abû al-„Aliyah ulil amr
adalah „ulamâ‟. Ada pendapat lain yang menafsirkannya sebagai para pemimpin
dan „ulamâ‟. Menurut Ibn „Athiyyah dan al-Qurṯubî, pendapat ini merupakan
pendapat jumhur.42
42
Ibn Katsîr, Tafsîr Ibn Katsîr al-„Aẕîm (Beirût: Dâr Ṯayyibah, 1999), Juz. 2, h. 345
29
Para pakar al-Qur‟an menerangkan bahwa apabila perintah taat diulangi
seperti pada QS. Al-Nisâ [4]: 59 diatas, Rasul Saw. memiliki wewenang serta hak
untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur‟an. Itu sebabnya perintah
taat kepada ulil amr tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak
memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan
ketaatan kepada Allah Swt. atau Rasul Saw.43
Oleh karena itu taat kepada
pemimpin harus dalam ranah taat kepada Allah bukan dalam maksiat kepada-Nya.
Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah Swt.
Sedangkan hadis yang mewajibkan orang-orang Islam taat kepada
pemimpin adalah:
أخ عنيونسعنالز ىرى ث ناعبدانأخب رنعبدالل عأبحد ب رنأبوسلمةبنعبدالر حنأن وس
عصانف قدعصىمنأطاعنف قدأطاعالل ،ومنملسو هيلع هللا ىلصقالأن رسولالل ىري رةرضىهللاعنو
44)رواهالبخارى(أطاعن،ومنعصىأميىف قدعصان،ومنأطاعأميىف قدالل
Dari Abû Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa taat
kepadaku, maka taat kepada Allah, Barangsiapa yang bermaksiat
kepadaku, maka maksiat kepada Allah, Barangsiapa yang taat kepada para
pemimpinku maka ia taat kepadaku, barangsiapa bermaksiat kepada para
pemimpinku, ia bermaksiat kepadaku.”
ثننفععنابنعمر قالحد ث ناييعنعب يدالل دحد ث نامسد عن-رضىهللاعنهما-حد
عنملسو هيلع هللا ىلصالن ب ءعنعب يدالل ث ناإساعيلبنزكري ب اححد ثنبم دبن نفععنابنعمر.وحد
43
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), vol. 2, h. 585 44
Muhammad bin Ismâ‟îl Al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.t.), Juz.
23, h. 353
30
ملسو هيلع هللا ىلص- ي ؤمربلمعصية،فإذاأمر،مالالس معوالط اعةحق »قال-رضىهللاعنهماعنالن ب
طاعة سعول 45)رواهالبخاري( بعصيةفل
Dari Ibn „Umar, Nabi Saw. bersabda: “Mendengar dan menaati seorang
pemimpin yang muslim wajib, baik dalam perkara yang disenangi atau
perkara yang dibenci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat, jika
dieprintahkan untuk bermaksiat, maka jangan didengar dan ditaati.
Kedua hadis di atas menjelaskan kewajiban menaati dan dan mendengarkan
apa yang diperintahkan oleh pemimpin, selama pemimpin itu tidak memerintahkan
kepada perbuatan maksiat. Jika pemimpin itu memerintahkan untuk maksiat, maka
hal itu tidak boleh dilaksanakan, karena tidak ada kewajiban taat kepada makhluk
yang memerintahkan kepada kemaksiatan.
F. Larangan Menghina dalam al-Qur’an
Menghina orang adalah sebuah perbuatan tercela, dan Allah tidak
menyukai hal tersebut. Karena, orang yang suka menghina dan mencaci maki
orang lain adalah mereka yang bersikap sombong dan merasa dirinya lebih baik.
Selain itu menghina adalah perbuatan yang dapat menyakiti hati orang lain.
Sedangkan Allah sangat membenci orang menyakiti orang lain, terlebih orang yang
menyakiti adalah orang muslim. Firman Allah Swt. dalam surat al-Hujurât [49]: 11
همولنساءمننساءعسىأنيأي هاال ذينآمنواليسخرقوممنق ومعسىأنيك رامن ونواخي
اإلميا ب عد الفسوق بأللقاببئسالسم ولت ناب زوا أن فسكم ولت لمزوا من هن را خي ليكن ومن ن
(11)الجرات:ي تبفأولئكىمالظ المون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-
45
Al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî, Juz. 23, h. 363
31
olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita yang (diperolok-
olokan)lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka
itulah orang-orang yang lalim”. (QS. Al-Hujurât[49]: 11)
Ayat di atas menjelaskan bahwa, sebagai orang yang beriman, tidak boleh
melakukan perbuatan menghina orang lain, karena bisa saja orang yang dicemooh
dan ditertawakan ternyata mereka jauh lebih baik di sisi Allah Swt. daripada orang
yang menghina. Ayat ini juga menjelaskan bahwa memanggil orang lain dengan
gelar yang buruk adalah kefasikan dan hal itu buruk jika dilakukan oleh orang yang
beriman.46
Ada beberapa riwayat yang menyatakan sabab nuzûl ayat ini, diantaranya
mufassir ada yang meneybutkan bahwa turunnya ayat ini berkenaan ejekan yang
dilakukan oleh Bani Tamîm terhadap Bilâl, Suhaib dan „Ammâr yang merupakan
orang-orang yang tidak punya. Ada lagi yang menyatakan ayat ini turun berkenaan
dengan ejekan yang dilontarkan Tsâbit bin Qais, seorang sahabat Nabi yang tuli.
Tsabit melangkahi sekian banyak orang agar dapat mendengar wejangan beliau
dari dekat. Salah seorang pun menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya
dengan menyatakan bahwa dia sipenegur adalah anak seorang wanita yang
memiliki aib di masa jahiliah. Ada lagi yang menyatakan ayat ini turun karena
ejekan yang tujukan istri Nabi Muhammad Saw. terhadap ummu Salamah yang
merupakan madu mereka dengan ejekan wanita pendek.47
46
Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, Safwatut TAfâsir (Taf sir-tafsir Pilihan),
penerjemah. Yasin. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), juz. 5, h. 43 47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2012), vol. 12, h. 608
32
Beberapa riwayat yang menuturkan kisah dibalik turunya ayat tersebut,
semuanya menunjukan sikap menghina orang lain dapat menimbulkan rasa hati
yang mendalam. Sehingga melalui ayat ini Allah Swt. melarang orang-orang
mukmin mengejek, menghina atau mencemooh orang-orang mukmin lainnya, baik
laki-laki maupun perempuan karena dimata Allah kita tidak tahu siapakah yang
derajatnya lebih baik di sisi-Nya, bisa saja orang yang dihina, dicemooh dan diejek
justru lebih baik daripada orang yang menghinanya.
33
BAB III
STUDI KRITIK SANAD DAN MATAN HADIS
A. Kritik Sanad Hadis
Untuk menentukan suatu hadis, maka terlebih dahulu haruslah melakukan
penelitian lebih lanjut baik dalam meneliti dari segi sanadnya ataupun dari
matannya.
1. Teks dan Terjemahannya
ث نا كسيبحد بن زيد عن أوس بن سعد عن مهران بن حيد ث نا حد داود أبو ث نا حد ب ندار
ف قال ثيابرقاق يطبوعليو وىو عامر ابن ب من تت بكرة أب كنتمع قال أبوالعدوى
ملسو هيلع هللا ىلصب عترسولالل ي قول للانظرواإلأميني لبسثيابالفس اق.ف قالأبوبكرةاسكتس
« فاألرضأىانوالل يبقالأبوعيسىىذاحديثحسنغر«.منأىانسلطانالل
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Bundâr, telah menceritakan kepada
kami Abû Dâud, telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mihrân,
dari Sa‟d bin Aus, dari Ziyâd bin Kusaib al-„Adawi, ia berkata, ketika aku
bersama Abû Bakrah mendengarkan khutbah Ibn „Âmir, kala itu beliau
mengenakan pakaian yang tipis. Kemudian Abû Bilâl berkata, “Lihatlah
pemimpin kita, ia memakai pakaian orang-orang fasik”. Abû Bakrah pun
menegurnya, “Diamlah, aku memdengar Rasulullah Saw. bersabda; “Barangsiapa yang menghinakan pemimpin Allah di bumi, Allah akan hinakan
dia “ (H.R. al-Tirmidzî)48
48
Muhammad bin „Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Riyâḏ: Dâr al-Salâm, 1999), h. 501
34
2. Kegiatan Takhrîj
Takhrîj berasal dari kata خرج (kharaja) berarti “tampak” atau “jelas”. Para
ahli bahasa mengartikannya dengan “mengeluarkan (al-istinbâṯ)”.49
Kegiatan
takhrîj ini dilakukan dengan tujuan: Pertama, untuk mengetahui asal-usul riwayat
hadis (sumber asal hadis) yang sedang diteliti. Kedua, untuk megetahui seluruh
riwayat bagi hadis yang sedang diteliti, karena mungkin saja hadis tersebut
memiliki lebih dari satu sanad, atau mungkin juga kualitas diantara sanad itu
berbeda-beda.
Dalam men-takhrîj hadis, seorang peneliti haruslah mengetahui terlebih
dahulu metode apa saja yang digunakan dalam melakukan takhrîj hadis, karena
seorang peneliti tidak akan bisa menentukan kualitas hadis tanpa mengetahui
metodenya.
Adapun metode-metode takhrîj sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mahmûd Ṯaẖân ada lima50
, yaitu:
1. Takhrîj dengan jalan mengetahui sahabat periwayat hadis.
2. Takhrîj dengan mengetahui lafal pertama pada matan hadis.
3. Takhrîj dengan jalan mengetahui lafal (yang sering digunakan atau
tidak) dari bagian matan hadis.
4. Takhrîj dengan jalan mengetahui topik hadis atau salah satu topiknya
jika ia mempunyai topik yang banyak.
5. Takhrîj dengan jalan memperhatikan sifat-sifat spesifik pada sanad
hadis atau pada matannya.
49
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulum Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.
198 50
Mahmûd Tahhȃn, Dasar-dasar Ilmu Takhrîj dan Studi Sanad (Semarang: Dina Utama,
1995), h. 39.
35
Adapun menurut Bustamin, metode takhrîj hadis ada empat51
, yaitu:
1. Takhrîj hadis melalui kata atau lafaz pada matan hadis.
2. Takhrîj hadis melalui tema.
3. Takhrîj hadis melalui awal matan hadis.
4. Takhrîj hadis dengan melalui sahabat Nabî atau periwayat pertama.
Dalam hal kegiatan takhrîj mengenai hadis tentang ancaman Allah bagi
penghina pemimpin penulis membatasi dalam metodenya, adapun metode yang
digunakan hanya dua, hal tersebut dikarenakan referensi-referensi yang penulis
gunakan lebih mudah ditemukan selain itu juga kedua metode tersebut sudah
umum digunakan dalam takhrîj hadis, yaitu:
1. takhrij hadis melalui kata-kata pada matan
2. takhrij hadis melalui tema
1. Takhrij hadis melalui kata-kata (lafaẕ hadis)
Dalam men-takhrîj melalui penelusuran lafaz hadis yang terdapat pada
matan, penulis menggunakan kamus al-Muʻjam al-Mufahras li Alfȃz al-Hadîts al-
Nabawî karya Aren Jhon Wensink yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Muhammad Fu‟ȃd „Abd al-Bȃqî. Dari matan hadis yang dikutip diatas, pertama
bila ditempuh metode takhrîj al-hadîts bi al-lafaz, maka penggalan lafal-lafal
(kata-kata)-nya yang dapat ditelusuri adalah سلطان. Adapun data yang disajikan
oleh kitab al-Mu‟jam lewat penelusuran kata سلطان adalah sebagai berikut:
52من أهان سلطان هللا
51
Bustamin, Dasar-dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ushul Press, 2009), h.184-190.
36
24، 24، 1حم
24 تفنت
2. Takhrîj hadis melalui tema
Selanjutnya takhrij hadis dengan menggunakan metode tema, yaitu dengan
menggunakan kitab Kanzun al-„Ummâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af‟âl maka hadis
di atas akan ditemukan dengan nomor hadis 932
53 من أهان سلطان هللا يف االرض اهانة هللا - 239
)تعناببكرة(
Berdasarkan petunjuk dengan menggunakan metode takhrîj tersebut, maka
data yang diperoleh setelah melakukan penelusuran langsung pada kitab aslinya
adalah berjumlah 2 jalur periwayat yaitu jalur al-Tirmidzî, Ahmad bin Hanbal,
hadis ini diriwayatkan oleh seorang sahabat yakni, Abû Bakrah.
Berikut ini adalah riwayat-riwayat hadis di atas dari setiap mukharrij
berdasarkan naskah aslinya. Diantaranya:
Susunan riwayat hadis yang mukharij-nya Imam al-Tirmidzî:
52
A. J. Wensinck, Concordance et Indices de la Tradition Musumane, diterjemahkan
kedalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li alfâz al-
Hadîts al-Nabawî (Leiden: E.J. Brill, 1936), Juz. 2, h. 503. 53
„Alâ‟a al-Dîn „Alî al-Muttaqî ibn Hisyâm al-Dîn, Kanzun al-„Ummâl fî Sunan al-Aqwâl
wa al-Af‟âl (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1989), Juz. 1, h. 184
37
ث ناأبوداود ث ناب ندارحد حد كسيبالعدوى ث ناحيدبنمهرانعنسعدبنأوسعنزيدبن حد بابنعامروىويطبوعليوثيابرقاقف قالأبوبل كنتمعأببكرةتتمن لانظرواإلقال
ي أمين الل رسول عت س اسكت بكرة أبو ف قال الفس اق. ثياب -ملسو هيلع هللا ىلص-لبس ي قول أىان» من .قالأبوعيسىىذاحديثحسنغريب«.األرضأىانوالل
Telah menceritakan kepada kami Bundâr, telah menceritakan kepada
kami Abû Dâud, telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mihrân,
dari Sa‟d bin Aus, dari Ziyâd bin Kusaib al-„Adawi, ia berkata, ketika aku
bersama Abû Bakrah mendengarkan khutbah Ibn „Âmir, kala itu beliau
mengenakan pakaian yang tipis. Kemudian Abû Bilâl berkata, “Lihatlah
pemimpin kita, ia memakai pakaian orang-orang fasik”. Abû Bakrah pun
menegurnya, “Diamlah, aku memdengar Rasulullah Saw. bersabda;
“Barangsiapa yang menghinakan pemimpin Allah di bumi, Allah akan
hinakan dia “ (H.R. al-Tirmidzî)54
Susunan riwayat hadis yang mukharij-nya Imam Ahmad bin Hanbal
ث نا ثنالل عبدحد ث ناأبحد ث نابكربنبم دحد ث نامهرانبنحيدحد زيدعنأوسبنسعدحد أكرممن»ي قول-وسلمعليوهللالى-الل رسولسعتقالبكرةأبعنالعدوىكسيببن
ن يافوت عالت باركالل سلطان فوت عالت باركالل سلطانأىانومنالقيامةي ومالل أكرموالد ن يا «.القيامةي ومالل أىانوالد
Telah menceritakan kepada kami „Abdullah, telah menceritakan
kepadaku Ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakr,
telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mihrân. Telah
menceritakan kepada kami Sa‟d bin Aus dari Ziyâd bin Kusaib al-
„Adawi, dari Abû Bakrah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw.
berkata: “Barangsiapa yang memulyakan pemimpin Allah Swt. di dunia,
Allah mulyakan ia pada hari Kiamat, dan barangsiapa yang menghina
pemimpin Allah Swt. di dunia maka Allah hinakan ia di hari
Kiamat”.(H.R. Ahmad bin Hanbal)
3. I’tibȃr Hadis
Kata i‟tibȃr (اإلعتبار) merupakan masdar dari kata إعتبر. Menurut bahasa, arti
al-i‟tibȃr adalah “Peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat
diketahui sesuatu yang jelas”. Menurut istilah ilmu hadis, al-i‟tibȃr berarti
54
Muhammad bin „Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (Beirût: Dâr Iẖyâ al-Turâts al-
„Arabi, tth.). Juz. 4, h. 502
38
menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada
bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut, akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang
dimaksud.55
Kegiatan i‟tibȃr dilakukan untuk memperlihatkan dengan jelas seluruh jalur
sanad hadis yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya dan metode yang
digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.56
Kegunaan i‟tibȃr
adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau
tidak adanya periwayat yang berstatus pendukung, baik berupa mutȃbi‟ atau
syȃhid, juga untuk mengetahui apakah hadis yang diteliti ini ahad atau
mutawâtir.57
Hadis yang sedang diteliti ini diriwayatkan oleh satu orang sahabat, yaitu
Abû Bakrah. Sedangkan mukharrijnya terdiri dari tujuh orang, yaitu al-Tirmidzî,
Ahmad bin Hanbal, al-Baghâwî, al-„Iraqi, al-Zubaidî, al-Syajari, dan al-Tabzîrî.
Dalam penelitian ini, penulis hanya akan meneliti hadis dengan mukharrijnya al-
Tirmidzî dan Ahmad bin Hanbal. Semua jalur hadis ini bersumber dari seorang
sahabat yang bernama Abû Bakrah. Nama asli beliau adalah Nufai‟ bin al-Harits
bin Kiladah bin „Amr bin „Allâj bin Abî Salamah.
55
M. Syuhudi Isma‟il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
h. 51. 56
Arifudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Jakarta: Renaisan, 2005), h.
74. 57
M. Syuhudi Isma‟il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 49.
39
Selain itu terdapat perbedaan metode periwayatan yang digunakan oleh
para periwayat dalam sanad hadis tersebut. Lambang-lambang metode periwayatan
yang digunakan antara lain, ẖaddatsanâ, akhbaranâ, haddatsanî, „an dan sami‟tu.
Dalam melakukan i‟tibȃr dapat dibantu dengan pembuatan skema serta
diagram sanad, hal ini guna untuk memudahkan pemahaman dan efektifitas
kegiatan penelitian mengenai hadis yang bersangkutan. Namun sebelum
dikemukakkan sanadnya, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu
agar skema mudah disusun dan dipahami, antara lain: Pada jalur Tirmidzî dan
Ahmad bin Hanbal terdapat periwayat yang bernama Bundâr, setelah penulis teliti
bahwa yang dimaksud Bundâr di sini adalah Muhammad bin Basysyâr, kemudian
terdapat periwayat yang bernama Abû Dâud, setelah penulis teliti bahwa yang
dimaksud Abû Dâud di sini adalah Abû Dâud al-Ṯayâlisî.
Adapun skema hadisnya adalah sebagai berikut:
40
Skema Hadis
ملسو هيلع هللا ىلص يبالن
ه( 241) أمحد بن حنبل
ه( 204) دمحم بن بكر
ه( 52) أيب بكرة
زايد بن كسيب
محيد بن مهران
سعد بن أوس
ه( 204) الطيالسي أبو داود
ه( 252) بندار
ه( 279) الرتمذي
س
Keterangan:
Jalur al-Tirmidzî
Jalur Ahmad bin Hanbal
من أهان سلطان الله ف األرض أهانه الله
حدثنا
حدثنا
حدثنا
حدثنا حدثنا
عن
عن
عن
مسعت
41
4. Sanad Hadis
Sanad ialah jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Ada tiga
peristiwa penting yang mengharuskan adanya penelitian sanad. Pertama, pada
zaman Nabi Muhammad Saw. tidak seluruh hadis tertulis. Kedua, sesudah zaman
Nabi Saw. terjadi pemalsuan hadis. Ketiga, penghimpunan hadis secara resmi dan
massal terjadi setelah berkembangnya pemalsu-pemalsu hadis.58
Kegiatan penelitian sanad ini adalah untuk memperoleh inforrmasi
mengenai periwayat, pada bagian ini diperlukan kitab-kitab yang menerangkan
periwayat hadis baik dari sisi biografinya, pribadinya, kritikan terhadapnya dan
lain-lainnya. Dalam meneliti sanad hadis ini, dari awal penulis telah membatasi
yaitu hanya meneliti hadis yang ada pada kitab al-kutub al-tis‟ah saja.
Dalam kegiatan ini, kritik sanad dimulai dari periwayat terakhir (mukharrij)
yakni al-Tirmidzî, lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya sampai
pada periwayat pertama.
a. Penjelasan Periwayat Hadis
1. Al-Tirmidzî (w. 279 H)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzî, nama lengkapnya Abû
‘Isa Muhammad ibn Mûsȃ ibn al-Dahhak al-Sulamî al-Bughi al-Turmudzî al-
Darir, ia lebih dikenal dengan al-Turmudzî atau al-Tirmidzî. Tirmidzî dilahirkan
pada tahun 209 H. di kota Tirmidz dan meninggal di kota yang sama pada tahun
279 H/ 892 M.59
58
M. Agus Solahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.
198 59
Syihab al-Dîn Ahmad ibn „Alî ibn Hajar al-„Asqalȃnî, Tahdzîb al-Tahdzîb (Bairût: Dȃr
al-Fikr, 1995), jilid 9, h. 388.
42
Sejak kecil Tirmidzî dikenal sebagai anak yang senang menimbah ilmu
termasuk hadis. Kegemarannya itu berlanjut sampai ia dewasa dengan merantau
kebeberapa negeri seperti Irak, Hijaz, Khurazan, dan lain-lain.60
Tirmidzî adalah salah seorang imam ulama hadis sekaligus penghafal hadis.
Dia belajar dari Imam Bukhârî dan beberapa guru Imam Bukhârî. Dia melakukan
rihlah ilmiah ke Khurasan, Irak, dan Hijâz. Meski mengalami kebutaan di akhir
hidupnya, dia tetap dijadikan teladan dalam penghafalan hadis. Diantara buku-
buku karangannya adalah al-Jâmi‟ al-Kabîr yang kemudian dikenal dengan Ṣaẖîẖ
al-Tirmidzî, al-Syamâil al-Nabawiyyah, al-Târîkh dan al-„Ilal.61
Guru-gurunya yaitu:
„Ali ibn al-Madinî (w. 234 H.), Muhammad ibn „Abdullah ibn Numair al-
Kufî (w. 234 H.), Muhammad ibn „Amar al-Sawaq al-Balkhî (w. 236 H.),
Muhammad ibn Ghailȃn (w. 239 H.), Muhammad ibn Basysyȃr (w. 252 H.),
Muhammad ibn Mutsannȃ Abû Mûsȃ (w. 252 H.), Qutaibah (w. 240 H.), Ziyȃd
ibn Yahya al-Hassana (w. 254 H.), al-Bukhȃrî (w.246 H.), Muslîm (w. 261 H.),
Abû Dȃwud (w.275 H.), dan lain-lain.62
Murid-muridnya yaitu:
Abû Bakr Ahmad ibn Ismȃ‟il „Amir al-Samarqandî, Abû Hamid Ahmad ibn
„Abdullah ibn Dȃwud al-Marwazi al-Tajir, Ahmad ibn Yûsuf, Mahmûd ibn
60 Bustamin dan Hasanudin, Membahas Kitab Hadis, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah,
2010), h. 66. 61
Syauqi Abdul Khalil, Atlas Hadits (Jakarta: Al-Mahira, 2012), h. 10 62
Bustamin dan Hasanudin, Membahas Kitab Hadis, h. 66-67.
43
„Anbar, Hammȃd ibn Syakur al-Wariq, Dȃwud ibn Nasr ibn Suhail al-Badawî, dan
lain-lain.63
Komentar ulama tentang dirinya:
“Al-Khalîlî berkata: al-Tirmidzî adalah seorang yang tsiqah, al-Hafiz al-Dzahabî
menyebutkan bahwa Abû „Isa Muhammad adalah Hafidz, pengarang kitab al-
Jami‟, ia disepakati sebagai seorang pengarang yang terpercaya, Ibn Fadli
menjelaskan bahwa imam al-Tirmidzî adalah pengarang kitab Al-Jami‟ dan
tafsirnya, dia juga seorang ulama yang paling berpengetahuan”.64
Berbagai komentar yang disampaikan para ulama di atas, bahwa al-
Tirmidzî adalah seorang penulis kitab yang ẖâfiẕ, tsiqah. Tidak ada seorang pun
yang mencela al-Tirmidzî, pujian yang diberikan kepadanya adalah pujian yang
berperingkat tinggi yang menunjukkan bahwa beliau adalah periwayat yang
mempunyai kredibilitas dan ke-dabît-an yang tidak diragukan, dilihat dari tahun
wafatnya, dapat disimpulkan bahwa sanad Tirmidzî (w. 279 H) dan Muhammad
bin Basysyâr (w. 252 H) bersambung karena antara jarak satu dan lainnya tidak
berjauhan yaitu sekitar 27 tahun, sehingga sangat mungkin sekali keduanya dapat
bertemu, hal ini juga didukung lafal penyampaiannya dengan kata حدثىا dapat
dipercaya kebenarannya.
2. Bundâr (w. 252 H)
Al-Tirmidzî menerima hadis dari Bundâr, yakni Muhammad bin
Basysyâr bin ‘Utsmân bin Dâud bin Kaisân al-‘Abdi, kuniyah-nya Abû Bakr al-
Basri. Disebut Bundâr karena beliau seorang ẖafiẕ hadis, beliau mengumpulkan
63
Bustamin dan Hasanudin, Membahas Kitab Hadis, h. 67. 64
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabî, Siyar A‟lȃm al-Nubala (Bairût: Dȃr al-
Kutub al-Ilmiyah, t.t.), jilid 8 h. 177.
44
hadis dinegerinya. Beliau lahir pada tahun 167 H dan wafat pada tahun 252 H di
Bashrah.65
Guru-gurunya yaitu:
Abû Dâud al-Ṭayâlisî (w. 204 H), Umayyah bin Khâlid (w. 405 H),
Ṣafwân bin „Îsâ (w. 200 H), „Affân bin Muslim (w. 219 H), Yazîd bin Hârûn (w.
206 H), Abû Bakar al-Hanafî (w. 204 H), Mu‟âdz bin Mu‟âdz (w. 196 H), Wakî‟
bin al-Jaraẖ (w. 196 H).
Murid-muridnya yaitu:
Al-Bukhârî (w. 256 H), Muslim (w. 465 H), Abû Dâud (w. 441 H),
Tirmidzî (w. 972 H), al-Nasâ‟î (w. 303 H), Ibn Mâjah (w. 443 H), „Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal (w. 440 H), Abû Hâtim al-Râzi (w. 444 H), Muhammad bin al-
Musayyab, Ibrâhîm bin Isẖâq al-Harabî, „Abdullah bin Muhammad bin Yâsîn, dll.
Komentar ulama tentang dirinya:
Abû Hâtim berkata: Bundâr adalah Sadûq, al-Nasâ‟î berkata: Bundâr adalah
seorang yang lâ ba‟sa bihî, Ibn Hibbân memasukannya ke dalam kitab al-Tsiqât,
Maslamah bin Qâsim berkata: aku memperoleh kabar dari Ibn Mihrân bahwa
Bundâr seorang tsiqah masyhûr, al-Dâruquṯnî berkata: Bundâr termasuk al-huffâẕ
al-itsbât, al-Dzahabî berkata: Bundâr adalah seorang imâm ẖâfiẕ.66
Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai komentar para ulama bahwa
Bundâr adalah seorang imâm, ẖâfiẕ, sadûq. Tidak ada seorang pun yang mencela
Bundâr, dilihat dari tahun wafatnya, dapat disimpulkan bahwa sanad Bundâr (w.
252 H) dan Abû Dâud al-Ṯayâlisî (w. 204 H) bersambung karena antara jarak satu
65
Al-„Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz. 9, h. 61 66
Al-Dzahabî, Siyar A‟lâm al-Nubalâ‟, Juz. 12, h. 144
45
dan lainnya tidak berjauhan yaitu sekitar 48 tahun, jarak ini masih memungkinkan
bagi keduanya untuk bertemu dan satu masa, hal ini juga didukung lafal
penyampaiannya dengan kata حدثىا dapat dipercaya kebenarannya.
3. Abû Dâud al-Ṯayâlisî (w. 902 H )
Bundâr menerima hadis dari Abû Dâud, yakni Sulaimân bin Dâud al-
Jârûd, kuniyahnya Abû Dâud al-Ṯayâlisi al-Basrî al-Hâfiẕ, beliau seorang maulâ
keluarga Zubair bin „Awwâm. Beliau wafat pada tahun 204 H, bulan Rabî‟ul
Awwal dalam usia 72 tahun di kota Basrah.67
Guru-gurunya yaitu:
Humaid bin Mihrân, Sufyân al-Tsaurî (w. 565 H), al-Hasan bin Abî Ja‟far
(w. 564 H), Hammâd bin Salamah (w. 167 H), Sulaimân bin al-Mughirah (w. 165
H), „Abdullah bin „Aun (w. 510 H), Qais bin al-Rabî‟ (w. 100 H), Ibrâhîm bin Sa‟d
(w. 581 H), dll.
Murid-muridnya yaitu:
Muhammad bin Basysyâr (w. 252 H), Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal (w. 425 H), Ahmad bin Ibrâhîm al-Dauqî (w. 246 H), „Alî ibn al-Madinî
(w. 234 H), Muhammad bin Humaid al-Râzî (w. 248 H), Muhammad bin Rafî‟ al-
Naisabûrî (w. 245 H), „Amr bin „Ali (w. 249 H), Ahmad bin Mansûr (w. 265 H),
dan lain-lain.
Komentar ulama tentang dirinya:
Ja‟far bin al-Faryabî berkata, dari „Amr bin „Alî bahwa: Abû Dâud tsiqah, „Ali ibn
al-Madînî: “Aku tidak pernah melihat seorang pun lebih hafiẕ dari Abû Dâud”, al-
67
Al-„Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz. 4, h. 160-162
46
Hajjâj bin Yûsuf bin Qutaibah al-Asbahânî berkata: “beliau tsiqah ma‟mûn”, al-
Nasâ‟î: tsiqah.
Berdasarkan penilaian para ulama, Abû Dâud adalah seseorang yang
berpredikat tsiqah ma‟mûn, tidak ada seorang pun yang mencela Abû Dâud, pujian
yang diberikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi yang
menunjukkan bahwa beliau adalah periwayat yang mempunyai kredibilitas dan ke-
dabîṯ-an yang tidak diragukan. Jika dilihat dari tahun wafatnya, dapat disimpulkan
bahwa sanad Abû Dâud al-Ṯayâlisî dan Humaid bin Mihrân bersambung karena
antara jarak satu dan lainnya tidak berjauhan, lafal yang digunakan dalam
penyampaiannya adalah عه. Satu sama lain saling menyebutkan dalam deretan
guru dan muridnya, maka hal ini memungkinkan bagi keduanya bertemu dan satu
masa.
4. Humaid bin Mihrân
Abû Dâud al-Ṯayâlisî menerima hadis dari Humaid bin Mihrân. Nama
lengkapnya Humaid bin Abî Humaid al-Khayâṯ al-Kindî, kuniah-nya Abû
„Abdullah al-Basrî.68
Guru-gurunya yaitu:
Sa’d bin Aus, al-Hasan al-Basrî (w. 110 H), Yahyâ bin Abî Katsîr (w. 132
H ), Muhammad bin Sîrîn (w. 550 H), Qatâdah bin Di‟âmah (w. 100 H), Dâud bin
Abî Hindi (w. 140 H), Saif al-Mazâni, Sâliẖ al-Ghadâni, Abû Ghâlib, Abû Ṯâriq
al-Sa‟di, Khâlid bin Bâb al-Rab‟î.69
Murid-muridnya yaitu:
68
Jamâluddîn Abî al-Hâjj Yûsuf al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl (Beirût:
Muassasah al-Risâlah, 1992), Juz. 7, h. 398 69
Al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, juz. 7, h. 398
47
Abû Dâud al-Ṯayâlisî (w. 204 H), Ziyâd bin Sa‟d al-Khurasânî, Muslim
bin Ibrâhîm (w. 222 H), Abû Qutaibah (w. 400 H), Abû „Âṣim al-Ḏahhâk bin
Makhlad al-Nabîl (w. 454 H), „Abdul Majîd bin Ayûb al-Wâsyihî, Muhammad bin
Bakr (w. 402H), dan lain-lain.
Komentar ulama tentang dirinya:
Ishâq bin Mansûr dari Yahyâ bin Ma‟în, dia berkata: tsiqah, Abû Dâud dan al-
Nasâ‟î berkata: laisa bihî ba‟s, Ibn Hibbân mencantumkannya dalam kitab al-
Tsiqât, al-Tirmidzî dan al-Nasâ‟î hanya meriwayatkan satu hadis darinya, Muslim
bin Ibrâhîm berkata: “ia sadûq”.70
Kesimpulan dari penilaian para ulama, Humaid bin Mihrân dinilai tsiqah,
tidak ada seorang pun yang mencela Humaid bin Mihrân, pujian yang diberikan
kepadanya menunjukkan bahwa beliau adalah periwayat yang mempunyai
kredibilitas dan ke-ḏabîṯ-an yang tidak diragukan. Jika dilihat dari tahun wafatnya,
dapat disimpulkan bahwa sanad Humaid bin Mihrân dan Sa‟d bin Aus bersambung
karena antara jarak satu dan lainnya tidak berjauhan, lafal yang digunakan dalam
penyampaiannya adalah عه. Kemudian satu sama lain saling menyebutkan dalam
deretan guru dan muridnya, maka hal ini memungkinkan bagi keduanya bertemu
dan pernah hidup dalam satu masa.
5. Sa’d bin Aus
Humaid bin Mihrân menerima hadis dari Sa’d bin Aus. Nama lengkapnya
adalah Sa’d bin Aus al-‘Adawî, kuniyahn-nya al-‘Abdî Abû Muhammad. Ia
adalah suami dari Naḏrah binti Abî Naḏrah al-„Abdî.71
Guru-gurunya yaitu:
70
Al-„Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz. 3, h. 44 71
Al-Mizzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ al-Rijâl, Juz. 10, h. 251
48
Ziyâd bin Kusaib, Anas bin Sirîn (w. 120 H), Siyâr bin Mikhrâq, Miṣda‟
Abî Yahyâ.
Murid-muridnya yaitu:
Humaid bin Mihrân, Abû „Ubaidah (w. 190 H), „Abdul Wâhin bin Wâṣil
al-Haddâd, Muhammad bin Dînâr al-Ṯâhî, Muhammad bin Abî al-Farât al-Bajalî.
Komentar ulama terhadap beliau:
Yahyâ bin Ma‟în berkata: ḏa‟îf, Ibn Hibbân mencantumkannya dalam kitab al-
Tsiqât, Ibn Hajar al-„Asqalânî: Sadûq lahû aghâlîṯ72
. Al-Sâji berkata: Sadûq73
Kesimpulan dari penilaian para ulama di atas, bahwa Sa‟d bin Aus
menurut Yahyâ bin Ma‟în dinilai ḏa‟îf, Ibn Hibbân dan Ibn Hajar al-„Asqalâni
men-ta‟di-lnya. Penulis berpegang kepada pendapat Ibn Hajar al-„Asqalâni dalam
menilai kredibilitas Sa‟d bin Aus. Komentar sadûq lahû aghâlîṯ termasuk dalam
urutan ta‟dil keenam.74
Al-Sakhâwi berpendapat, hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang berpredikat sadûq lahû aghâlîṯ, maka hadis yang diriwayatkannya
tidak bisa dijadikan hujjah, hanya sebagai i‟tibar saja.75
Sanad Sa‟d bin Aus dan
Ziyad bin Kusaib bersambung lafal yang digunakan dalam penyampaiannya adalah
Kemudian satu sama lain saling menyebutkan dalam deretan guru dan .عه
muridnya, maka hal ini memungkinkan bagi keduanya bertemu dan pernah hidup
dalam satu masa.
72
Al-„Asqalanî, Taqrîb al-Tahdzîb, Juz 1, h. 343 73
Al-„Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz. 3, h. 406 74
Nûr al-Dîn „Itr, Alfâẕ al-Jarẖ wa al-Ta‟dîl wa Aẖkâmihâ wa al-Tahqîq fî Martabah al-
Sadûq (Damaskus: Maktab Dâr al-Farfûr, 1999), h. 14 75
Nûr al-Dîn „Itr, Alfâẕ al-Jarẖ wa al-Ta‟dîl wa Aẖkâmihâ wa al-Tahqîq fî Martabah al-
Sadûq, h. 18
49
6. Ziyâd bin Kusaib
Sa‟d bin „Aus menerima hadis dari Ziyâd bin Kusaib. Nama lengkapnya
adalah Ziyâd bin Kusaib al-‘Adawî al-Basrî.76
Gurunya yaitu:
Abû Bakrah al-Tsaqafî
Murid-muridnya yaitu:
Sa’d bin Aus dan Mustalim bin Sa‟îd.
Komentar ulama terhadap beliau:
Al-Mizzi berkata: Ibn Hibbân mencantumkan namanya dalam kitab al-Tsiqât, al-
Tirmidzî dan al-Nasâ‟î meriwayatkan satu hadis dari beliau77
, Ibn Hajar al-
„Asqalâni: maqbûl.78
Ibn Hajar menilainya maqbûl, dimana maqbûl termasuk kategori ta‟dîl di
urutan keenam.79
Al-Sakhâwi berpendapat, hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang berpredikat maqbûl, maka hadis yang diriwayatkannya tidak bisa dijadikan
hujjah, hanya sebagai i‟tibâr saja.80
Sanad Ziyad bin Kusaib dan Abû Bakrah
bersambung, lafal yang digunakan dalam penyampaiannya adalah عه. Kemudian
satu sama lain saling menyebutkan dalam deretan guru dan muridnya, maka hal ini
memungkinkan bagi keduanya bertemu dan pernah hidup dalam satu masa.
7. Abû Bakrah (w. 52 H)
Ziyâd bin Kusaib menerima hadis dari Abû Bakrah. Abû Bakrah al-
Tsaqafî adalah kuniyah dari Nufai’ bin al-Hârits bin Kaladah bin ‘Amr bin ‘Ilâj
76
Al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, juz. 4, h. 504 77
Al-„Asqalânî, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz. 3, h. 44 78
Al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, juz. 4, h. 504 79
Nûr al-Dîn „Itr, Alfâẕ al-Jarẖ wa al-Ta‟dîl wa Aẖkâmihâ wa al-Tahqîq fî Martabah al-
Sadûq, h. 18 80
Nûr al-Dîn „Itr, Alfâẕ al-Jarẖ wa al-Ta‟dîl wa Aẖkâmihâ wa al-Tahqîq fî Martabah al-
Sadûq, h. 18
50
bin Abî Salamah. Ada yang mengatakan namanya Msrûẖ, dan ada yang
mengatakan juga namanya Nufai‟ bin Masrûẖ. Abû Bakrah masuk Islam di Ṯâif
kemudian tinggal di Baṣrah. Dinamai Abû Bakrah karena ia menunjukkan Bakrah
kepada Nabi Muhammad dari arah Ṯâif, kemudian Nabi Saw. memberikan kuniah
Abû Bakrah dan beliau membebaskannya. Ia wafat pada tahun 52 H dalam usia 63
tahun di Basrah dan Abû Zur‟ah menyolatkannya.81
Guru-gurunya yaitu:
Nabi Muhammad Saw.
Murid-muridnya ialah:
Ziyâd bin Kusaib al-‘Adawî, Hasan al-Baṣrî (w. 110 H), „Abdurrah bin
Abî B akrah (anaknya) (w. 96 H), Muhammad bin Sîrîn (w. 110 H) , Kaisah binti
Abî Bakrah (putrinya), al-Ahnaf bin Qais (w. 72 H), Abû „Utsmân al-Nahdî (w. 95
H), Ibrahîm bin „Abdurrahman bin „Auf (w. 96 H), dan lain-lain.
Komentar ulama terhadap beliau:
Al-„Ijî berkata: “Beliau termasuk sahabat Nabi Saw. yang terbaik”, al-Asbahânî
berkata: “ia seorang laki-laki yang solih, warâ‟ dan Nabi Saw.
mempersaudarakan dirinya dengan Abû Zur‟ah”.
Penilaian tentang Abû Bakrah tidak perlu dibahas, karena beliau adalah
sahabat, dan kullu sahȃbah „udûlun (setiap sahabat adalah adil). Maksud dari „adl
nya para sahabat adalah karena mereka terhindar dari kebohongan dan
penyelewengan secara sengaja terhadap hadis-hadis Nabi Saw., sehingga seluruh
riwayat yang berasal dari dapat diterima.
81
Al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ al-Rijâl, Juz. 30, h. 5
51
Selanjutnya penulis akan meneliti jalur sanad yang diriwayatkan oleh
Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
1. Ahmad bin Hanbal (164 H – 241 H)
Imam Ahmad, nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hilal bin Asad al-Syaibani al-Marwazi, dikenal juga sebagai Imam Hanbali.
Kuniyahnya Abû „Abdullah al-Marwazî. Ia lahir di Marw (saat ini bernama Mary
di Turkmenistan, utara Afghanistan dan Utara Iran ) pada tanggal 20 Rabiul Awal
164 H/781 M dan wafat pada tahun 241 H di kota Baghdad, Irak.82
Ia telah mempelajari hadis sejak kecil dan untuk mempelajari hadis ini, ia
pernah pindah-pindah atau merantau ke Kûfah, Basrah, Makkah, Madinah, Syam
(Syiria), Hijaz, Yaman, dan negara-negara lainnya sehingga ia menjadi tokoh
ulama yang bertakwa, saleh dan zuhud.
Guru-gurunya yaitu:
Muhammad bin Bakr (w. 204 H), Jâbir bin Nûẖ (w. 403 H), Ja‟far bin „Aun
(w. 404 H), Sufyân bin „Uyainah (w. 548 H), Abû Dâud al-Ṯayâlisî (w. 902 H),
„Abdullah bin Bakr al-Sahmi (w. 408 H), Qutaibah bin Sa‟îd (w. 420 H), Wakî‟
bin al-Jarâẖ (w. 544 H), Yazîd bin Hârûn (w. 406 H), dan lain-lain.
Murid-muridnya yaitu:
Al-Bukhârî (w. 256 H), Muslim (w. 465 H), Abû Dâud (w. 441 H ), Yahya
bin Ma‟în (w. 433 H), Abû Hâtim al-Râzî (w. 444 H), „Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal (w. 440 H), Ziyâd bin Ayyûb al-Ṯûsî (w. 414 H), Abû Zur‟ah al-Dimasyqî
82
Agus Salahudin dan Agus Suryadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 229
52
(w. 485 H), „Utsmân bin Sa‟îd al-Dârimî, Abû Qudâmah al-Sarkhasî (w. 425 H),
dan lain-lain.
Komentar ulama terhadap beliau
Abû Hâtim berkata: ia seorang imâm dan ẖujjah, al-Nasâ‟î berkata: tsiqah,
ma‟mûn, seorang imâm, Ibn Hibbân mencantumkannya dalam kitab al-Tsiqât, ia
berkata: Ahmad bin Hanbal seorang ẖâfiẕ, mutqin, faqîh, wara‟, Ibn Hajar
berkata: ia ẖâfiẕ, tsiqah, faqîh, hujjah.
Dari berbagai komentar yang disampaikan para ulama, dapat disimpulkan
bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang imâm ẖafîẕ tsiqah. Tidak ada seorang
pun yang mencela Ahmad bin Hanbal, pujian yang diberikan kepadanya adalah
pujian yang berperingkat tinggi yang menunjukkan bahwa beliau adalah
periwayat yang mempunyai kredibilitas dan ke-dabît-an yang tidak diragukan,
dilihat dari tahun wafatnya, dapat disimpulkan bahwa sanad Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H) dan Muhammad bin Bakr (w. 204 H) bersambung karena jarak antara
satu dan lainnya tidak berjauhan yaitu sekitar 37 tahun, sehingga sangat mungkin
sekali keduanya dapat bertemu, hal ini juga didukung lafal penyampaiannya
dengan kata حدثىا dapat dipercaya kebenarannya.
2. Muhammad bin Bakr (w. 204 H)
Ahmad bin Hanbal menerima hadis dari Muhammad bin Bakr. Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Bakr bin ‘Utsmân al-Barsâni, kuniyahnya
Abû „Utsmân al-Baṣrî. Beliau wafat pada tahun 204 H di Baṣrah.83
Guru-gurunya yaitu:
83
Al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, juz. 24, h. 503
53
Humaid bin Mihrân al-Kindî, Hammâd bin Salamah (w. 167 H), Sa‟îd
bin Abî „Arûbah (w. 157 H), Katsîr bin Abî Katsîr, „Utsmân bin Sa‟d al-Kâtib,
Hisyâm bin Hassân (w. 148 H), dan lain-lain.
Murid-muridnya yaitu:
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Ishâq bin Râhawaih (w. 238 H), Sufyân
bin Wakî‟ al-Jarâẖ, „Abdullah bin „Abdurrahman al-Dârimî (w. 255 H), Yahyâ bin
Ma‟în (w. 233 H), Mahmûd bin Ghailân (w. 434 H), Naṣr bin „Alî al-Jahḏamî (w.
250 H), „Alî ibn al-Madînî (w. 234 H), dan lain-lain.
Komentar ulama terhadap beliau
Al-Dzahabî berkata: al-imâm al-muhaddits tsiqah84
, „Utsmân bin Sa‟îd dari Yahyâ
bin Ma‟în, Abû Dâud dan al-„Ijlî, ia berkata: tsiqah, Ibn Hibbân menyebutkannya
dalam kitab al-Tsiqât, Abû Hâtim berkata: syeikh mahallhuhû al-sidqi, Ibn Qâni‟
berkata: tsiqah.85
Dari penilaian para ulama di atas, Muhammad bin Bakr adalah seorang
yang tsiqah, tidak ada seorang pun yang mencela Muhammad bin Bakr, pujian
yang diberikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi yang
menunjukkan bahwa beliau adalah periwayat yang mempunyai kredibilitas dan ke-
ḏabîṯ-an yang tidak diragukan. Jika dilihat dari tahun wafatnya, dapat disimpulkan
bahwa sanad Muhammad bin Bakr (w. 204 H) dan Humaid bin Mihrân
bersambung karena antara satu dan lainnya saling menyebutkan dalam deretan
guru dan murid, hal ini juga didukung lafal penyampaiannya dengan kata حدثىا
dapat dipercaya kebenarannya.
3. Humaid bin Mihrân al-Kindî
Telah disebutkan pada halaman 46
84
Al-Dzahabî, Siyar A‟lâm al-Nubalâ‟, Juz. 9, h. 421 85
Al-Mizzî, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, Juz. 24, h. 503
54
4. Sa’d bin Aus
Telah disebutkan pada halaman 47
5. Ziyâd bin Kusaib al-‘Adawî
Telah disebutkan pada halaman 49
6. Abû Bakrah (w. 52 H)
Telah disebutkan pada halaman 49
b. Ketersambungan Sanad
Setelah pembahasan mengenai syarat adil dan ḏabiṯ dalam susunan
periwayat hadis telah selesai, langkah selanjutnya adalah membahas tentang
kebersambungan sanad dalam hadis tersebut. Kemungkinan adanya
kebersambungan sanad bisa dilihat dalam tiga hal, yaitu:
1. Dengan mengetahui tahun wafat para perawi
2. Adanya hubungan guru dan murid
3. Siyagh al-adâ‟
Sighat mu‟an‟an bisa menjadi muttasil dengan syarat86
:
1. Tidak adanya tadlîs
2. Kemungkinan adanya pertemuan antara satu sama lain. Terjadi perbedaan
pendapat di syarat yang kedua ini, yakni adanya tambahan tentang adanya
pertemuan, lamanya persahabatan, serta mengetahui tahun wafatnya.
86
Mahmûd Ṯaẖẖân, Taisîr Musṯalaẖ al-ẖadîts, h. 72
55
Rincian mengenai ketersambungan sanad akan dibahas dalam tabel
dibawah ini:
NO.
Jalur al-Tirmidzî
Perawi Tahun
wafat
Sighat Nama guru Nama
murid
1. Abû Bakrah 52 H سعت Nabi Muhammad
Saw
Ziyâd bin
Kusaib
2.
Ziyâd bin
Kusaib
Abû Bakrah قال -
Sa‟d bin
Aus
3. Sa‟d bin Aus - عن Ziyâd bin Kusaib
Humaid bin
Mahrân
4.
Humaid bin
Mahrân
Sa‟d bin Aus Abû Dâud عن -
5. Abû Dâud 204 H حدثنا Humaid bin
Mahrân
Bundâr
6. Bundâr 252 H حدثنا Abû Dâud Tirmidzî
7. Tirmidzî 279 H حدثنا Bundâr -
Tabel di atas menunjukan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî
sanadnya bersambung.
56
NO.
Jalur Ahmad bin Hanbal
Perawi Tahun
wafat
Sighat Nama guru Nama
murid
1. Abû Bakrah 52 H سعت Nabi Muhammad
Saw
Ziyâd bin
Kusaib
2.
Ziyâd bin
Kusaib
Abû Bakrah عن -
Sa‟d bin
Aus
3. Sa‟d bin Aus - عن Ziyâd bin Kusaib
Humaid bin
Mahrân
4.
Humaid bin
Mahrân
Sa‟d bin Aus حدثنا -
Muhammad
bin Bakr
5.
Muhammad
bin Bakr
204 H حدثنا Humaid bin
Mahrân
Ahmad bin
Hanbal
6.
Ahmad bin
Hanbal
241 H حدثنا Muhammad bin
Bakr
-
Tabel di atas menunjukan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
Hanbal sanadnya bersambung.
5. Natîjah (Kesimpulan)
Setelah penulis melakukan penelitian sanad dengan meneliti kepribadian
para periwayat, dan melihat beberapa pendapat kritikus hadis diatas, dapat
dikatakan bahwa hadis yang diteliti belum memenuhi kriteria ke-saẖîẖ-an hadis.
Karena kesemua periwayat dalam hadis diatas tidak semuanya berpredikat tsiqah,
57
diantaranya terdapat periwayat yang sadûq yaitu Muhammad bin Basysyâr, sadûq
lahû aghâliṯ yaitu Sa‟d bin Aus dan maqbûl yaitu Ziyâd bin Kusaib. Tetapi
predikat para perawi hadis di atas termasuk kategori ta‟dil, dan hal ini sangat
mempengaruhi kualitas hadis yang diriwayatkannya, oleh karena itu penulis
menilai hadis ini ẖasan. Adapun, dari segi sanadnya hadis ini dinilai muttasil
(bersambung) karena tidak adanya terputus jalur periwayatan pada sanad.
B. Kritik Matan Hadis
Dalam menentukan ke-saẖîẖ-an atau ke-hujjah-an suatu hadis, tidak
cukup dengan hanya meneliti sanad, maka dengan itu matan juga memiliki
kepentingan yang sama. Karena menurut ulama hadis, suatu hadis barulah
dinyatakan berkualitas saẖîẖ apabila sanad dan matan hadis itu sama-sama
berkualitas saẖîẖ.87
Ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan kriteria ke-saẖîẖ-an
matan hadis, perbedaan tersebut mungkin dikarenakan latar belakang, keahlian,
alat bantu dan persoalan serta masyarakat yang dihadapi oleh mereka berbeda.
Kriteria kesaẖîẖ-an matan hadis diantaranya sebagai berikut:
a. Meneliti matan hadis ditinjau dari kualitas sanad hadis
b. Meneliti matan hadis ditinjau dari matan yang semakna
c. Meneliti matan hadis ditinjau dari kualitas hadis yang lebih kuat
derajatnya
d. Meneliti matan hadis ditinjau dari sejarah
87
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 115.
58
e. Meneliti matan hadis ditinjau dari dalil al-Qur‟an
f. Meneliti matan hadis ditinjau dari segi akal sehat
Dari beberapa poin dalam mengkritik matan hadis yang telah dipaparkan,
adapun yang menjadi unsur-unsur acuan utama yang harus dipenuhi oleh suatu
matan yang berkualitas sahîh adalah terhindar dari syâdz (kejanggalan) dan „illat
(kecacatan). Dan di sini penulis akan menggunakan beberapa langkah penelitian
matan hadis sebagai berikut:
a. Meneliti matan hadis ditinjau dari kualitas sanad hadis
b. Meneliti matan hadis ditinjau dari matan yang semakna
c. Meneliti matan hadis ditinjau dari dalil al-Qur‟an
d. Meneliti matan hadis ditinjau dari sejarah
e. Meneliti matan hadis ditinjau dari segi bahasa
f. Meneliti matan hadis ditinjau dari segi akal sehat
a. Meneliti Matan dengan Melihat Kualitas Sanadnya.
Dilihat dari segi obyek penelitian, matan dan sanad hadis memiliki
kedudukan yang sama, yakni sama-sama penting untuk diteliti dalam hubungannya
dengan status ke-hujjah-an hadis. Suatu matan hadis tidak dianggap saẖîẖ apabila
sanadnya diragukan. Dari hasil penelitian sanad yang telah dilakukan, penulis
mendapati hadis di atas beserta mukharrij-nya telah diriwayatkan dalam keadaan
bersambung dan periwayatannya tidak semuanya bersifat tsiqah, karena terdapat
juga periwayat yang bersifat sadûq, maqbûl, maka hal ini dapat mempengaruhi ke-
59
sahîh-an hadis tersebut. Oleh karena itu dengan melihat kualitas sanad, maka
menurut penulis hadis ini dinilai ẖasan.
b. Meneliti Matan yang Semakna.
Periwayatan matan hadus dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu riwâyat bi
al-lafaẕi dan riwâyat bi al-ma‟na. Riwâyat bi al-lafẕi adalah menyampaikan
kembali kata-kata Nabi dengan redaksi kalimat yang sama dengan apa yang
disabdakan beliau. Dengan periwayatan bi al-lafẕî, maka tidak ada perbedaan
antara seorang perawi lainnya dalam menyampaikan hadis Nabi Saw. akan tetapi
dalam kenyataannya banyak sekali hadis yang ada dalam kitab-kitab karya para
ulama ditulis dengan redaksi kalimatnya, meskipun makna yang dikandungnya
sama. Hal ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan hadis dengan cara
riwâyat bi al-lafzî melainkan dengan cara riwâyat bil ma‟na.88
Perbedaan dalam redaksi (matan) dengan matan hadis yang sejalur
dengannya, karena periwayatan secara makna menurut ulama hadis dapat
ditoleransi, sepanjang tidak menyalahi kandungan makna hadis dari Rasûlullȃh
Saw. baik itu pergantian lafal, perbedaan struktur, maupun pengungkapannya
sempurna atau tidak, semuanya masih dapat diterima sebagai sabda yang berasal
dari Rasûlullȃh Saw..
Untuk memperjelas adanya perbedaan lafal yang dimaksud, penulis telah
menghimpun dan menyandingkan hadis-hadis yang semakna untuk mengetahui
88
Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 131
60
bagaimana bentuk periwayatan dari hadis tersebut, apakah bi al-lafdzi atau bi al-
ma‟nâ, berikut penulis cantumkan hadis-hadisnya:
Teks hadis dalam kitab Sunan al-Tirmidzî:
بابنعامروىويطبوعليوثيابرقاقف قالأبوبل كنتمعأببكرةتتمن لانظرواقالعترسولالل من»ي قول-ملسو هيلع هللا ىلص-إلأميني لبسثيابالفس اق.ف قالأبوبكرةاسكتس
فاألرضأىانوالل «.أىانسلطانالل
Teks hadis dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
عترسولالل ت بارك»ي قول-ملسو هيلع هللا ىلص-قالس ي وممنأكرمسلطانالل ن ياأكرموالل وت عالفالد
ي ومالقيامة ن ياأىانوالل ت باركوت عالفالد .« القيامةومنأىانسلطانالل
Kedua teks hadis di atas terdapat beberapa perbedaan dalam matan
hadisnya. Pada matan hadis al-Tirmidzî memakai lafaẕ أهان kemudian pada matan
hadis Ahmad bin Hanbal terdapat tambahan تبارك وتعالى فى الدويا أكرمه مه أكرم سلطان الله
يىم القيامة .الله
Pada matan hadis di atas tampak adanya perbadaan lafal, tetapi perbedaan
lafal itu tidak begitu menonjol justru saling melengkapi satu sama lain, sehingga
dapat memudahkan dalam memahami hadis tersebut. Dengan demikian, apabila
ditempuh metode muqȃranah terhadap perbedaan lafal pada berbagai matan yang
semakna, maka dapat dinyatakan bahwa perbedaan lafal tersebut masih dapat
ditoleransi.
61
c. Meneliti Matan ditinjau dari Dalil al-Qur’an
Penelitian dengan pendekatan ini yaitu dilatar belakangi oleh anggapan atau
pemahaman bahwa al-Qur‟an adalah sumber pertama dalam ajaran Islam untuk
melakukan syari‟at, baik usûl maupun yang furu‟, maka al-Qur‟an haruslah
berfungsi sebagai penentu hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya, hadis
yang tidak sejalan dengan al-Qur‟an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya
sahîh.
Menghina, mencela atau mengolok-olok orang lain terlebih sesama muslim
termasuk perbuatan yang bisa menyakiti hati orang lain. Sehingga hal ini bisa
menimbulkan hubungan yang tidak baik diantara keduanya. Hal ini bisa merusak
silaturahim yang sebelumnya terjalin dengan baik. Menyakiti orang lain termasuk
perbuatan maksiat kepada Allah Swt. sehingga melalui firman-Nya Allah
menyebutkan konsekuensi yang akan diterimanya, bila ia menyakiti hati orang
lain.
(95ا)وال ذيني ؤذونالمؤمنيوالمؤمناتبغيمااكتسبواف قداحتملواب هتانوإثامبين
Artinya:
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan,
tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.
Pada ayat sebelumnya menjelaskan larangan menyakiti Allah Swt. yaitu
dengan bersikap, berucap, atau melakukan hal-hal yang mengandung makna
pelecehan terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan melaknat mereka
dengan menjauhkannya dari rahmat dan kasih sayang-Nya di dunia dan di akhirat,
serta menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan. Orang-orang mukmin
62
adalah para pengikut Nabi Saw. yang mencintai beliau serta beliau cintai maka
menyakiti orang mukmin berarti menyakiti Rasul Saw. menyakiti Rasulullah
mengandung murka Allah Swt. dan Allah yang akan membalas perbuatannya
dengan membebani diri mereka sendiri dengan suatu beban yang semestinya tidak
mereka pikul dengan susah payah. Oleh karena itu, siapapun yang menyakiti hati
orang-orang mukmin tanpa adanya kesalahan yang mereka perbuat, siksa Allah-lah
yang akan mereka dapat.
Kemudian ada ayat al-Qur‟an yang membahas tentang berpakaian, yaitu
dalam surat al-A‟râf ayat 31.
المسرفي مسجدوكلواواشربواولتسرفواإن وليب كل يبنآدمخذوازين تكمعند
Artinya:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid,
makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah idak
menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al-A‟râf [7]: 31
Ayat di atas menjelaskan tentang cara berpakaian ketika hendak melakukan
salat yaitu memakai pakaian yang paling baik dan paling suci dalam setiap salat
dan ṯawâf.89
Berdasarkan ayat ini, penulis berpendapat bahwa ketika seseorang
memakai pakaian yang bagus ketika hendak ke masjid untuk beribadah, maka hal
itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an. Dengan catatan tidak berlebih-lebihan
juga bukan untuk menunjukkan kesombongan.
89
Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir (Tafsir-tafsir Pilihan) (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2001), jilid. 2, h. 296
63
d. Meneliti Matan Hadis ditinjau dari Segi Akal Sehat
Matan hadis dapat dikatan saẖîẖ jika lafaẕ yang terdapat dalam matan
hadis bisa diterima oleh akal sehat, karena hadis Nabi yang saẖîẖ tidak akan
bertentangan dengan akal sehat dan mudah dipahami oleh umatnya. Kata-kata
yang terdapat didalam hadis tentang ancaman Allah bagi penghina pemimpin
tidak terkesan berlebihan atau dibuat-buat. Karena sultan atau pemimpin yang taat
kepada Allah dan Rasul-Nya yang mendapat perlakuan hinaan atau dianggap
remeh atas kepemimpinannya dari rakyatnya, akan memperoleh balasan hinaan
dari Allah berupa siksaan-siksaan di akhrirat kelak. Hal ini juga memberikan
pesan moral kepada kita agar tetap bersikap santun dan menghormati pemimpin.
C. Penjelasan Kandungan Matan Hadis
Sebelum menjelaskan mengenai kandungan matan hadis, penulis hendak
memaparkan mengenai biografi „Abdullah bin „Âmir agar bisa lebih mengetahui
sosoknya sebagai gubernur Basrah yang menjadi pembahasan dalam hadis
tersebut.
a. Biografi ‘Abdullah bin ‘Âmir
Dalam hadis yang penulis teliti, sosok Ibn „Âmir yang mendapat penghinaan
dari Abû Bilâl, karena pada saat itu yang menjabat sebagai gubernur dinegeri
Bashrah adalah beliau. Nama lengkap beliau adalah„Abdullah bin „Âmir bin
Kuraiz bin Rabi‟ah bin Habîb bin „Abd al-Syam bin „Abd Manaf al-Umawi al-
Qurasyi. Dia merupakan panglima pasukan muslimin dan penakluk negeri-negeri
musuh. Pada tahun 29 H ia menjadi gubernur Basrah pada masa khalifah „Utsmân
bin „Affân yang menggantikan posisi Abû Mûsâ al-Asy‟arî . Beliau juga
64
merupakan saudara sepupu dari khalifah Utsmân bn „Affân dari garis ibu.90
„Abdullah bin „Âmir yang menaklukkan negeri Kisra dan Khurasan, wilayah Persia
terkikis habis pada zaman „Ustmân r.a. atas usahanya. Ia juga menaklukkan
Sijistan, Karman dan negeri-negeri lainnya. Al-Dzahabi berkomentar: “Ia termasuk
penguasa „Arab terkemuka, pemberani dan dermawan.91
Khalifah „Utsmân
mengangkatnya menjadi gubernur Mekkah pada tahun 36 H. Namun, ketika „Ali
bin Abi Talib menjadi khalifah, dia dicopot dari jabatan itu. Ia ikut dalam perang
Jamal bersama „Aisyah, Talhah, dan al-Zubair. Setelah kelompoknya kalah, dia
lantas pergi ke Damaskus dan bergabung dengan Muawiyah. Kemudian Muawiyah
menunjuknya sebagai gubernur Basrah setelah putra Abû Sufyân ini berdamai
dengan Hasan bin „Ali. Beberapa waktu kemudian Ibn „Âmir meninggalkan kota
itu dan bermukim di Madinah lalu pindah ke Mekkah dan wafat di tanah suci. Ia
dimakamkan di bumi „Arafah. Beliau dikenal sebagai sosok pemberani, penyayang
dan cinta pembangunan. Ia bahkan membeli rumah-rumah di Basrah yang
kemudian dihancurkan untuk dijadikan jalan-jalan yang lapang.92
Berdasarkan pemaparan di atas, „Abdullah bin „Âmir adalah sosok
pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, juga sebagai sosok pemimpin
yang pemberani juga penyayang.
Dalam matan hadis ini, terdapat kata sulṯân. Sulṯân berasal dari akar kata
sîn, lâm dan ṯa‟ (سلط) artinya kekuatan dan penaklukan, karena seorang penguasa
90
Al-Dzahabî, Siyar A‟lâm al-Nubalâ‟, Juz. 3, h. 20 91
Utsman bin Muhammad al-Khamis, Inilah Faktanya Meluruskan Sejarah Umat Islam
Sejak Wafatnya Nabi Saw. Hingga Terbunuhnya al-Husain, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi;I, 2013),
h. 139 92
Sami bin „Abdullah al-Maghlouth, Jejak Khulafaur Rasyidin „Utsman bin „Affan,
penerjemah Fuad Syaifudin Nur (Jakarta: Almahira, 2014), h. 103
65
atau pemimpin itu memiliki kekuatan, maka dinamai sulṯân. Disisi lain, sulṯân
diartikan sebagai hujjah (dalil, orang kepercayaan) dan burhân (petunjuk),
sehingga seorang pemimpin disebut sulṯân karena pemimpin itu orang yang diberi
kepercayaan oleh Allah Swt. untuk memimpin di muka bumi ini. Sulṯân juga bisa
diartikan sebagai kekuatan seorang raja.93
Bentuk jama‟ (plural) dari kata sulṯân
adalah سالطيه .94
Dalam sebuah hadis dijelaskan mengenai definisi sulṯân, yaitu Yahya
mengartikan sultan adalah bayangan Allah.95
Hal ini mengisyaratkan bahwa
pemimpin adalah perwakilan Allah di muka bumi, ini juga mengisyaratkan bahwa
pemimpin harus selalu dekat kepada Allah. Pemimpin yang selalu dekat dengan
Allah senantiasa berbuat adil terhadap orang-orang yang dipimpinnya, sehingga
dengan adanya pemimpin yang adil adalah nikmat Allah yang patut disyukuri.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sulṯân adalah
seseorang yang diberikan kepercayaan oleh Allah Swt. dan diberikan kekuatan
untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini.
93
Muhammad bin Makram bin Manẕûr al-Afrîqî al-Misrî, Lisân al-„Arab (Beirût: Dâr
Ṣâdir, t.t.), juz. 7, h. 320 94
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah ,Al-Mu‟jam al-Wasîṯ (Teheran: al-Maktabah al-
„Ilmiyyah, t.t.), h. 918 95
Redaksi hadisnya adalah,
أخبنعليبندمحماملقرئ،أنالسنبندمحمبنإسحاق،نيوسفبنيعقوب،ندمحمبنأيببكي،نمسلمكسيب،شهدتأببكرةيوممجعة -بنسعيدالولن،نحيدبنمهران،عنسعدبنأوس،عنزيدبن
دهللابنعامر،فخرجعلىالناسوعليوقميصوعلىالناسعب-وذلكقبلأنيبناملسجدوىويومئذقصبالسلطانظلهللافاألرض،فمن»مرققوبردان،مرجلرأسوفقالأبوبكرة:سعترسولهللاملسو هيلع هللا ىلصيقول:
«أكرموأكرموهللا،ومنأىانوأىانوهللا
Al-Baihaqi, Syu‟ab al-Imân, Juz. 15, h. 423 (al-Maktabah al-Syâmilah)
66
Selanjutnya mengenai definisi أهان, menurut kamus al-Mujam al-Wasîṯ96
diartikan sebagai menganggap remeh sesuatu atau menganggap rendah orang lain,
atau bisa juga diartikan menghina, melecehkan serta merendahkan. Kata ini lebih
cenderung pada bentuk penghinaan atau merendahkan orang lain dalam bentuk
perkataan, perbuatan. Berbeda dengan lafaẕ sabba, yang sama-sama memiliki
definisi menghina akan tetapi dalam bentuk perkataan. Jadi kata أهان lebih khusus
dibandingkan kata sabba, sehingga dalam hadis ini kata yang digunakan adalah
lafaẕ أهان bukan lafaẕ sabba.
Salah satu ayat al-Qur‟an yang menggunakan kata yang berasal dari lafaẕ
terdapat dalam surat al-Fajr [89]: 16 أهان
أىاننوأم اإذامااب تله ف قدرعليورزقوف ي قولريب
Adapun bila mengujinya lalu membatasi rezekinya maka ia berkata:
“Tuhanku telah menghinakanku.”
Pada ayat ini, kata أهاوه diartikan dihinakan. Maksudnya ketika Allah Swt.
menguji manusia dengan keterbatasan harta benda, mereka beranggapan bahwa
Allah telah menghinakannya juga menganggap bahwa keterbatasan harta atau
kepedihan sebagai hasi ujian, padahal hal tersebut merupakan bahan ujian yang
kemudian penilaian akhir akan disampaikan di hari Kemudian. Jadi, keterbatasan
rizki bukanlah suatu penghinaan terhadap manusia, karena sekian banyak dari
96
Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasîṯ (Teheran: al-Maktabah al-
„Ilmiyyah, t.t.), h. 443
67
hamba-hamba-Nya yang saleh justru hidup dalam kesempitan atau
kesederhanaan.97
Berikutnya terdapat kata ثياب الفسهاق diambil dari kata yang (kefasikan) الفسك
di-taghlîẕ menjadi الفسهاق. Dalam kitab Mirqât al-Mafâtîẖ syarẖ Misykât al-Masâbîẖ
dijelaskan mengenai makna ثياب الفسهاق . pertama, artinya kain sutra yang sangat
halus yang haram dipakai oleh laki-laki. Kedua, nasihat bahwa memakai pakaian
yang tipis bisa menimbulkan fitnah. Ketiga, yang dimaksud bukan jenis
pakaiannya, melainkan mengenakan pakaian yang halus itu kebiasaan orang-orang
mewah yang dinisbatkan kepada kefasikan.98
Kala itu beliau hendak melakukan khutbah jum‟at99
dengan mengenakan
pakaian yang bahannya tipis, dengan rambutnya tersisir rapi.100
Pada saat itu, Abû
97
M. Quraysh Shihâb, Tafsîr al-Mishbâh, Vol. 15, h. 293 98
Al-Malâ „Alî al-Qârî, Mirqât al-Mafâtîẖ syarẖ Misykât al-Masâbîẖ, al-Maktabah al-
Syâmilah.
99Al-Dzahabî, Siyar A‟lâm al-Nubalâ‟, Juz. 14, h. 507
.املشهوراملسنداحبالروين،ىارونبندمحمبكر،أبوالثقة،الافظالمام*الروينإبراىيمبندمحمأخبنالافظ،السنبنعليأخبنبركات،بنإبراىيمأخبنالذىيب،يوسفبندمحمعلىقرأت
حدثناالروين،ىارونبندمحمأخبنهللا،عبدبنجعفرأخبنأحد،بنعبدالرحنالفضلأبوأخبنسعدويو،بنكسيب،بنزيدعنأوس،بنسعدعنمهران،بنحيدحدثناداود،أبوأخبنالبصري،حسنبنمبشر
انظروا:بللأبوفقالاملنب،تتبللوأبورقاق،ثيابوعليواجلمعةإلعامربنهللاعبدخرج:قالالعدويمن:"يقولوسلمعليوهللالىهللارسولسعت:املنبتتوىوبكرةأبوفقال.الفساقلباسيلبسأميكمإل
"هللاأىانو الرض،فهللاسلطانأىان100
Abû Bakr Ahmad bin al-Husain bin „Alî al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ (Hindi: Dâirah
al-Ma‟ârif al-Niẕâmiyah, 1344 H), juz. 2, h. 31
ث ناالص ف ارعب يدبنأحدأخب رنعبدانبنأحدبنعلى أخب رن يازى الحبنإب راىيمحد ث ناالش بنمسلمحد ث ناب راىيمإ ث ناالكندى مهرانبنحيدحد بنالل عبدكان:قالالعدوىكسيببنزيدعنأوسبنسعدحد
لرقاقثيابعليوالن اسيطبعامر المن بجنبإلجالسبكرةوأبوقالدخلث ي وماى فصل قالشعرهمرجف قالبكرةأبوفسمعوبلفس اقوي تشب والرقاقي لبسوسيدىمالن اسأميإلت رونأل:بللأبومرداسف قال
68
Bakrah duduk dekat dengan mimbar, Abû Bilâl berkomentar “lihatlah pemimpin
kita, mereka mengenakan pakaian tipis yang menyerupai orang-orang fasik”. Abû
Bilâl adalah Abû Burdah bin Abî Mûsâ al-Asy‟arî, ia memiliki anak bernama Bilâl
dan Abû Mûsâ al-Asy‟arî pernah menjadi gubernur Basrah sebelum dilengserkan
dan digantikan oleh Ibn Âmir.101
Kemudian Al-Mubârakfûrî menjelaskan pakaian
yang dikenakan adalah pakaian sejenis sutra, karena itu adalah pakaian orang-
orang penikmat dunia.
Ibn „Âmir menggunakan pakaian mewah yang berbahan sutra, akan tetapi
kandungan sutra yang digunakan tidaklah banyak. Karena Nabi Muhammad Saw.
mengharamkan laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra.102
Akan tetapi,
Nabi Saw. memberikan keringanan bagi laki-laki yang hendak memakai pakaian
yang mengandung sutra.
بنحربوإسح ر وزىي وأبوغس انالمسمعى القواريرى بنعمر عب يدالل ث نا اقبنإب راىيمحد
بش ار وابن المث ن بن د -وبم ث نا حد اآلخرون وقال أخب رن إسحاق ىشام-قال بن معاذ
عمربن عنسويدبنغفلةأن ثنأبعنق تادةعنعامرالش عب الط ابخطببجلابيةحد
ب عيأوثلثأوأربع-ملسو هيلع هللا ىلص-ف قالن هىنب الل موضعإ .عنلبسالريرإل 103
يلعلبنو أمابكرةأبوف قاللوفدعاهبللأبلادعاأل الل رسولسعتوقدآنفالألميمقالتكسعتقدإن «.الل أىانوالل سلطانىانأومنالل أكرموالل سلطانأكرممن:»ي قول-وسلمعليوهللالى-
101 Muhammad bin Abdurrahman bin „Abdurrahîm al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Aẖwadzî
bisyarẖ Jâmi‟ al-Tirmidzî (Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), juz. 6. H. 6 102
Al-Bukhârî, Saẖîẖ al-Bukhârî, juz. 54, h. 336
يحعنماىدعناب عتابنأبن ث ناأبقالس ث ناوىببنجريرحد حد ث ناعلى -رضىهللاعنو-نأبلي لىعنحذي فةحد بوالفض ة،وأننكلفيها،وعنلبسالريروالديباج،وأننلسعليوأننشربفآنيةالذ ى-ملسو هيلع هللا ىلص-قالن هانالن ب
103 Muslim, Saẖîẖ Muslim, juz. 14, h. 31
69
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami „Ubaidillah bin „Umar al-Qawârîri, Abû
Ghassân al-Misma‟I, Zuhair bin Harb, Isẖâq bin Ibrâhîm, Muhammad bin
al-Mutsannâ, Ibn Basysyâr, Isẖâq berkata, telah mengabarkan kepada
kami dan yang lain berkata telah menceritakan kepada kami Mu‟âdz bin
Hisyâm, telah menceritakan kepada kami ayahku dari Qatâdah, dari „Âmir
al-Sya‟bî dari Suwaid bin Ghafalah, bahwasanya „Umar bin Khaṯṯâb
berkhutbah, beliau berkata Nabi Muhammad Saw. melarang memakai
sutra kecuali seukuran dua, tiga atau empat jari. (H.R. Muslim)
Dalam hadis ini, Rasulullah Saw. membolehkan laki-laki memakai
pakaian yang berbahan sutra, namun dengan syarat kandungan sutranya tidak
melebihi ukuran dua, tiga atau empat jari saja.
Al-Mubârakfûrî juga menjelaskan bahwa yang dimaksud hadis di atas
ialah, barang siapa yang merendahkan orang yang Allah Swt. mulyakan dan
menjadikannya pemimpin, atau siapa saja yang melecehkan seorang hakim atau
melanggarnya maka Allah akan menghinakannya. Menurut al-Ṯîbî tanggapan Abû
Bakrah atas perkataan Abû Bilâl dengan tuduhan fasik yang disebabkan pakaian
yang digunakan Ibn „Amir itu karena Abû Bakrah menganggap Abû Bilâl tidak
berhak menuduh Ibn „Amir orang fasik karena diketahui dari biografinya, beliau
adalah seseorang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Keterkaitan kalimat سلطان
} إوها جعلىاك dengan al-arḏ karena firman Allah Swt. dalam surat Sâd ayat 26 الله
.”sesungguhnya kami menjadikan engkau khalifah di muka bumi“ خليفة في األرض {
Kata sulṯân yang di-iḏâfat-kan kepada lafaẕ Allah merupakan bentuk Allah Swt.
memuliakan siapa saja yang menjadi pemimpin dimuka bumi ini.
Kemudian al-Mubârukfûrî menuturkan sebuah kisah salah satu keturunan
dari Rasulullah Saw. yaitu Ja‟far al-Sâdiq sedang bersama Sufyân al-Tsaurî. Saat
70
itu Ja‟far mengenakan jubah yang berbahan sutra berwarna gelap, Sufyân al-Tsaurî
berkata: “Wahai keturunan Rasulullah Saw. baju ini bukanlah pakaianmu”.
Kemudian Ja‟far membuka lengan baju jubahnya, dan ternyata didalamnya beliau
mengenakan pakaian yang terbuat dari benang wol yang biasa dipakai oleh
kalangan sufi berwarna putih seraya berkata: “Wahai Tsaurî, baju yang kami pakai
ini karena Allah, sedangkan jubbah ini karena kalian semua, sesuatu yang
diperuntukan Allah kami sembunyikan dan apapun yang diperuntukan kalian kami
perlihatkan.”104
Al-Imâm Hujjah al-Islam juga menuturkan sebuah kisah dalam
kitab Minhâj al-„Abidîn bahwa suatu hari Farqad al-Sinjî masuk ke rumah Hasan,
ia mengenakan pakaian yang bagus, Farqad pun memegang bajunya. Kemudian
Hasan berkata: “mengapa engkau melihat bajuku, bajuku adalah bajunya orang-
orang ahli surge, sedangkan bajumu adalah bajunya orang-orang ahli neraka.
Telah sampai kepadaku, mayoritas penghuni neraka adalah orang-orang yang
berpakaian, kemudian Hasan berkata lagi, pakaian mereka seperti orang zuhud
tapi hati mereka penuh dengan kesombongan”.105
Al-Imâm Muhammad bin Sâliẖ al-„Utsaimin menjelaskan dalam syarẖ
kitab Riyâḏ al-Sâlihîn, maksud dari “Barangsiapa mencela pemimpin Allah, maka
Allah akan menghinakannya”, adalah sebagai berikut106
:
1. Menghina dan menganggap rendah terhadap segala urusan pemimpin
104
Al-Mubârakfûrî, Tuhfat al-Ahwadzî (Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, t.t.), Juz. 6, h. 6 105
Al-Malâ „Alî al-Qârî, Mirqât al-Mafâtîẖ syarẖ Misykât al-Masâbîẖ, al-Maktabah al-
Syâmilah, Juz. 11, h. 332 106
Muhammad bin Sâliẖ al-„Utsaimin, Syarẖ Riyâḏ al-Sâliẖîn (Riyâḏ: Dar al-Watan, 1435
H), Jilid 3, h. 673
71
2. Jika sultan melakukan sesuatu, tapi orang-orang tidak melihatnya. Ia
berkata: “lihatlah, apa yang sultan lakukan?” dengan maksud untuk
mencemooh atau menghinakan urusan-urusan sultan dihadapan manusia
Jika ia menghina urusan pemimpin di hadapan manusia, maka orang-orang
pasti akan menghinannya, kemudian mereka tidak melaksanakan
perintahnya serta tidak menjauhi apa yang dilarang oleh pemimpin tersebut.
Sedangkan maksud dari Allah akan menghinakannya di akhirat kelak
adalah Allah akan menimpakkan kepadanya berupa siksaan. Sebagaimana yang
tertera dalam firman Allah dalam surat al-Hajj [22]: 18
الل يسجدلومنفالس ماواتومنفاألرضوالش مسوالقمروالن جومواجل بالوالش جرألت رأن
من لو الل فما يهن العذابومن عليو حق الن اسوكثي من وكثي ماوالد واب الل ي فعل إن مكرم
يشاء
Apakah engkau tidak melihat bahwa Allah, bersujud kepada-Nya siapa yang
ada di langit, dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan,
binatang-binatang yang melata, dan banyak di antara manusia, dan banyak
(pula) yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan
Allah maka tidak ada yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa
yang Dia kehendaki.
Pada ayat ini, يهه diartikan sebagai penghinaan yang Allah berikan kepada
manusia berupa ketetapan siksa-Nya. Siksaan ini diberikan kepada mereka yang
enggan melaksanakan tuntunan syariat.107
107
M. Quraysh Shihâb, Tafsîr al-Mishbâh, Vol. 8, h. 177
72
Oleh karena itu, apabila ada orang-orang yang mencela pemimpin dengan
membeberkan aib-aibnya dihadapan manusia dengan maksud untuk merendahka
pemimpin tersebut, maka Allah akan menghinakannya. Hal itu terjadi karena jika
seseorang mencela pemimpin dengan perkara seperti ini, dapat memicu manusia
untuk memberontak dan mereka bermaksiat kepadanya dan itu menjadi penyebab
timbulnya kejelekan-kejelekan dan Allah akan menghinakannya. Allah akan
menghinakannya didunia dengan ditimpakannya siksaan terhadap sipencela,
namun jika ia tidak mendapatkan hukuman di dunia, ia berhak mendapatkan
hinaan di akhirat kelak berupa siksaan, karena perkataan Rasulullah itu benar
adanya.
D. Kesimpulan Matan Hadis
Kesimpulannya, penghinaan terhadap pemimpin adalah menganggap
rendah terhadap segala urusannya dengan membeberkan aib-aibnya di hadapan
manusia agar tidak ada seorang pun yang mentaati perintah dan menjahui larangan
pemimpin dengan tujuan timbulnya pemberotakan dan kemaksiatan. Jika
pemberontakan itu terjadi, akan menimbulkan fitnah serta merusak agama dan
dunia, maka hal inilah yang menjadikan Allah Swt. murka kepada si pencela
pemimpin dengan menghinakaanya di dunia berupa hukuman atas perbuatannya.
Akan tetapi jika ia tidak memperoleh hukuman di dunia ia pasti akan mendapatkan
balasan atas perbuatannya di akhirat berupa penghinaan Allah Swt. yaitu siksaan-
siksaan.
Ada hadis yang secara umum melarang kita agar tidak mencela para
pemimpin.
73
حدثناىديةبنعبدالوىاب،ثناالفضلبنموسى،حدثناحسيبنواقد،عنقيسبنلتسبوا»،قال:هنانكباؤنمنأحابرسولهللاملسو هيلع هللا ىلصقال:وىب،عنأنسبنمالك
108«(،واتقواهللاوابوا؛فإناألمرقريب1تبغضوىم)أمراءكم،ولتغشوىم،ول
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hadiah bin „Abdul Wahhâb, telah
menceritakan kepada kami al-Faḏl bin Mûsâ, telah menceritakan kepada
kami Husain bin Wâqid, dari Qais bin wahb, dari Anas bin Mâlik, ia
berkata: para pembesar sahabat Rasulullah Saw. melarang kami, ia
berkata “janganlah kalian mencela para pemimpin kalian, jangan menipu
mereka, jangan marah kepada mereka, bertakwalah kepada Allah dan
bersabarlah, karena urusannya sudah dekat”.
Atau dalam bentuk redaksi yang berbeda,
قال:"كاناألكابرمنأحابرسولهللالىهنع هللا يضرحدثناسفيان،عنقيسبنوىبعنأنسبنمالك
109ينهونعنسباألمراء". هللاعليووعلىآلووسلم
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sufyân, dari Qais bin Wahb dari Anas
bin Mâlik r.a., ia berkata: “para pembesar sahabat Rasulullah Saw.
melarang kami mencela para pemimpin”.
Dalam hadis ini, orang-orang Islam dilarang mencela pemimpin yang
muslim karena celaan itu bisa menimbulkan fitnah, bahwa celaan itu merupakan
awal timbulnya fitnah. Mencela pemimpin bukanlah solusi yang tepat ketika
pemimpin melakukan kesalahan, akan tetapi solusinya adalah dengan menegurnya
secara baik-baik dan mendoakannya agar ia memperoleh hidayah, taufik, agar bisa
108 Al-Baihaqi, Syu‟ab al-Imân, Juz. 6, h. 69 (al-Maktabah al-Syâmilah) 109
Ibn „Âsim, al-Sunnah, Juz. 3, h. 34 (al-Maktabah al-Syâmilah)
74
memimpin negaranya dengan baik. Karena celaan tidak akan membawa kebaikan,
perdamaian, juga bukan ajaran Islam.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menilai
seseorang tidak boleh berdasarkan penampilan atau pakaian yang ia kenakan saja,
karena apa yang terlihat dari luar belum tentu menggambarkan apa yang ada
dihatinya. Bisa saja orang yang terlihat selalu berpenampilan mewah justru
hatinya selalu bersikap zuhud, atau sebaliknya, orang yang berpakaian biasa saja
atau bahkan compang-camping tetapi hatinya hub al-dunyâ. Begitu juga dengan
apa yang terjadi dengan „Abdullah bin „Âmir, ia berpakaian mewah karena ia
adalah seorang pemimpin di Basrah, dengan pakaiannya itu menunjukkan
kewibawaannya sebagai seorang pemimpin serta bentuk rasa syukur kepada Allah
Swt. atas karunia-Nya yang telah memilihnya sebagai salah satu pemimpin di
muka bumi ini. Maka dari itu Abû Bakrah menegur Abû Bilâl dengan melontarkan
sebuah hadis tentang balasan orang yang meremehkan salah satu pemimpin Allah
di bumi yaitu Allah akan menghinakannya di akhirat kelak. Balasan Allah
terhadap pencela pemimpin adalah hinaan yang akan Allah berikan, yaitu berupa
siksaan-siksaan yang telah Allah Swt. siapkan di akhirat kelak. Hal itu diberikan
karena celaan terhadap para pemimpin itu menjadikan seseorang tidak taat kepada
mereka, melakukan maksiat, bahkan bisa memicu timbulnya pemberontakan dan
bisa berujung terjadinya fitnah besar. Jika ia tidak taat kepada pemimpin, berarti ia
tidak taat juga kepada Allah dan Rasul-Nya, jika ia bermaksiat kepada pemimpin,
berarti ia juga berarti kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena berdasarkan dalil-dalil
75
yang ada termaktub dalam al-Qur‟an dan hadis, bahwa menaati pemimpin itu
wajib, selama taatnya bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sebagai seorang mukmin yang bertakwa kepada Allah Swt. dan sebagai
pengikut Rasulullah Saw. sebaiknya selalu mendoakan para pemimpin agar selalu
memperoleh taufik dan hidayah-Nya dalam menjalankan tampuk kepemimpinan
yang selalu membawa kebaikan dunia dan akhirat.
76
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis memaparkan seluruh hal yang berkaitan dengan hadis
ancaman Allah Swt. bagi pencela pemimpin, dapat disimpulkan bahwa: Dari hal
yang menyangkut sanad dan matan yang telah dibahas dalam bab tiga, kemudian
setelah melihat banyak kritikan dari ulama juga.
Berikut penjelasan dari masing-masing jalur yang telah di teliti
1. Jalur Imam al-Tirmidzî. Rangkaian sanad pada jalur ini adalah al-Tirmidzî (w.
279 H), Bundâr (w. 252 H), Abû Dâud al-Ṯayâlisî (w. 204 H), Humaid bin
Mahrân, Sa‟d bin Aus, Ziyâd bin Kusaib, Abû Bakrah (w. 52 H), Nabi
Muhammad Saw. Pada jalur ini, kualitas hadisnya tidak bisa dikategorikan
hadis saẖîẖ, karena Bundâr dinilai sadûq, kemudian Sa‟d bin Aus berpredikat
sadûq lahû aghâlîṯ sedangkan Ziyâd bin Kusaib maqbûl. Selain tiga perawi ini
semuanya berpredikat tsiqah. Akan tetapi, semua sanadnya bersambung, tidak
ada yang terputus. Hal ini dapat dilihat dari tahun wafat dan adanya liqâ‟ antara
guru dan murid, sehingga sanadnya muttasil.
2. Jalur Ahmad bin Hanbal, sanadnya adalah Ahmad bin Hanbal (w. 241 H),
Muhammad bin Bakr (w. 204 H), Humaid bin Mahrân, Sa‟d bin Aus, Ziyâd bin
Kusaib, Abû Bakrah (w. 52 H), Nabi Muhammad Saw. Pada jalur ini, yang
membedakan adalah adanya Muhammad bin Bakr beliau berpredikat tsiqah,
sedangkan mulai dari Humaid hingga Nabi Muhammad Saw. jalurnya sama
seperti pada riwayat al-Tirmidzî. Sanad hadis ini semuanya bersambung,
karena jika dilihat dari tahun wafatnya, memungkinkan adanya pertemuan
77
diantara guru dan murid, juga keduanya mencantumkan masing-masing guru
dan muridnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hadis
yang dikaji adalah hasan gharîb. Secara kualitas para perawi dalam sanad hadis
tersebut dinilai ẖasan, karena ada beberapa perawi yang kredibilitasnya tidak
memenuhi syarat hadis saẖîẖ seperti Bundâr berpredikat sadûq, kemudian Sa‟d bin
Aus berpredikat sadûq lahû aghâlîṯ sedangkan Ziyâd bin Kusaib maqbûl. Jika
dilihat dari jumlah para perawi, hadis dengan sanad ini tidak memenuhi kriteria
hadis mutawâtir karena hadis tersebut hanya bersumber dari sahabat Abû Bakrah,
dan tidak ada sahabat lain yang meriwayatkan hadis ini, kemudian poros dari hadis
ini adalah Abû Bakrah, Ziyâd bin Kusaib, Sa‟d bin Aus dan Humaid bin Mahrân.
Oleh karena itu penulis menilai hadis ini hadis gharîb dan gharîb-nya termasuk
kategori gharîb muṯlaq karena hadis ini hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi
di asal sanadnya yaitu Abû Bakrah. Dilihat dari kajian matannya, hadis ini tidak
bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an dan juga tidak bertentangan dengan akal
sehat, sehingga matan hadis maqbûl (diterima)
Berdasarkan pemaparan penulis, matan hadis ini maqbûl, karena matan
hadis ini tidak bertentangan dengan akal sehat, tidak bertentangan dengan al-
Qur‟an. Kesimpulan dari matannya adalah penghinaan terhadap pemimpin adalah
merendahkan segala urusannya dengan membeberkan aib-aibnya di hadapan
manusia agar tidak ada seorang pun yang mentaati perintah dan menjauhi larangan
pemimpin dengan tujuan timbulnya pemberotakan dan kemaksiatan. Jika
pemberontakan itu terjadi, akan menimbulkan fitnah serta merusak agama dan
dunia, maka hal inilah yang menjadikan Allah Swt. murka kepada si pencela
78
pemimpin dengan menghinakaanya di dunia berupa hukuman atas perbuatannya.
Akan tetapi jika ia tidak memperoleh hukuman di dunia ia pasti akan mendapatkan
balasan atas perbuatannya di akhirat berupa penghinaan Allah Swt. yaitu siksaan-
siksaan. Apabila pemimpin melakukann kesalahan, sebaiknya pemimpin tersebut
ditegur secara baik-baik serta mendoakannya agar ia selalu memperoleh taufik dan
hidayah dari Allah Swt.
B. Saran-saran
Penulis berharap agar tulisan ini bisa didakwahkan kepada khalayak
masyarakat, agar mereka mengetahui ada ancaman Allah Swt. bagi orang-orang
yang mencela, menghina, merendahkan dan membeberkan aib-aib dari perkara
kepemimpinannya. Sehingga harus selalu berhati-hati dalam berkata dan bersikap
terhadap pemimpin agar nantinya tidak menimbulkan fitnah.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi, “Larangan Melengserkan Pemimpin Selama Masih Menegakkan
Salat” Skripsi, 2013.
Al-„Asqalȃnî, Syihab al-Dîn Ahmad ibn „Alî ibn Hajar. Tahdzîb al-Tahdzîb.
Bairût: Dȃr al-Fikr, 1995.
Al-Suyûṯî. Tadrîb al-Râwî fî Syarẖ Taqrîb l-Nawâwî. Riyâḏ: Maktabah al-Riyâḏ
al-Hadîtsah. t.t.
Al-Tirmidzî, Muẖammad bin „Îsâ. al-Jâmi‟ al-Saẖîẖ wahuwa Sunan al-Tirmidzî.
Al-Azhar: al-Dâr al-„Alamiyyah Li al-nasyr wa al-Tauzî‟, 2013.
Al-„Utsaimin, Muhammad bin Sâliẖ. Syarẖ Riyâḏ al-Sâliẖîn. Riyâḏ: Dar al-Watan,
1435 H.
Agus Salahudin dan Agus Suryadi. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Ahmad, Arifudin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi. Jakarta: Renaisan,
2005.
Asep Sopian Hadi, “Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis Tentang Jihad yang
Paling Utama (menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang ẕalim)”.
Skripsi, 2014.
Al-Baihaqî, Abû Bakr Ahmad bin al-Husain bin „Alî. al-Sunan al-Kubrâ. Hindi:
Dâirah al-Ma‟ârif al-Niẕâmiyah. 1344 H
Bustamin dan Hasanuddin. Membahas Kitab Hadis. Ciputat: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Al-Dzahabî, Syams al-Dîn Abû „Abdillah Muẖammad bin Aẖmad bin „Utsmân bin
Qaimâz. Siyar A‟lâm al-Nubalâ‟ .Kairo: Maktabah al-Safâ‟, 2003.
Ihwanuddin.“Konsepsi Kepemimpinan dalam Shahih al-Bukhari: Kajian atas
Sanad dan Matan Hadis”. Skripsi, nomor 229 2001.
Isma‟il, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
„Itr, Nûr al-Dîn. Alfâẕ al-Jarẖ wa al-Ta‟dîl wa Aẖkâmihâ wa al-Tahqîq fî
Martabah al-Sadûq. Damaskus: Maktab Dâr al-Farfûr, 1999.
J. Riberu. Dasar-dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1992.
80
Kementrian Agama RI. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir al-Qur‟an
Tematik). Jakarta: PT. Sinergi pustaka Indonesia, 2012.
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan:Apakah Kepemimpinan Abnormal
itu ?. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Khalil, Syauqi Abdul. Atlas Hadits. Jakarta: Al-Mahira, 2012.
Al-Khin, Musthafa dan Musthafa al-Bugha. Konsep Kepemimpinan dan Jihad
dalam Islam Menurut Madzhab Syafi‟i. Jakarta: Darul Haq, 2014.
Al-Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibn. Lisân al-„Arab. Beirut: Dar
Shadir, t.t.
Al-Mizzî, Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl.
Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1988.
Al-Mubârakfûrî, Abû al-„Alâ‟ Muhammad bin „Abd al-Rahmân bin „Abd al-
Rahîm. Tuẖfat al-Aẖwadzî bisyarẖ Jâmi‟ al-Tirmidzî. Madinah al-
Munawwarah: al-Maktabah al-Salafiyah, 1963.
Muslim. Shaẖîẖ Muslim. Beirût, Dâr al-Fikr, tth.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur‟an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rahman, Taufiq. Moralitas Pemimpin dalam Perspektif al-Qur‟an. Bandung: Pustaka
Setia, 1999.
Rivai, Veithzal. Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi. Depok: Rajagrafindo
Persada. 2014.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur‟an. Ciputat: Lentera Hati, 2010.
-------------------------. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2012.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu Kenegaraan dalam FIqih Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1971.
Ash-Shabuni, Syaikh Muhammad Ali. Safwatut TAfâsir (Tafsir-tafsir Pilihan).
penerjemah. Yasin. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Thaẖān, Mahmūd. Taisīr Musthalah al-Hadīts. Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.
81
W.J.s, Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1976.
Wensinck. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Hadîts al-Nabawi. terjemah
Muhammad Fu‟ad „Abd. Al-Baqi. Leiden: E.J. Brill, 1962.
Al-Qârî, al-Malâ „Alî. Mirqât al-Mafâtîẖ syarẖ Misykât al-Masâbîẖ. al-Maktabah
al-Syâmilah.
Muhammad Idrus Ramli, “Larangan Menghina Pemimpin”.
Prabuagungalfayed.blogspot.com > laranganmenghinapemimpin.
www.ahlalhdeeth.com
http://larangan-islam.blogspot.com/2015/04/larangan- mencaci-pemimpin.html