studi penafsiran muhammad rasyÎd rida dalam tafsir...
TRANSCRIPT
STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR AL-
MANÂR DAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR FÎ ZILÂL AL-QUR’AN
TENTANG PERANG (QITÂL) FÎ SABÎL ALLÂH DALAM ALQURAN
SURAH AL-BAQARAH AYAT 190, 246 DAN AN-NISA AYAT 74-75
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh :
Tohirin
NIM : 1112034000170
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
vi
STUDI PENAFSIRAN MUHAMMAD RASYÎD RIDA DALAM TAFSIR
AL-MANÂR DAN SAYYID QUTB DALAM TAFSIR FÎ ZILÂL AL-
QUR’AN TENTANG PERANG (QITÂL) FÎ SABÎL ALLÂH DALAM
ALQURAN SURAH AL-BAQARAH AYAT 190, 246 DAN AN-NISA AYAT
74-75.
vii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Studi Penafsiran Muhammad Rasyîd Rida dalam Tafsir
Al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam Tafsir Fî Zilâl al-Qur’an tentang Perang
(Qitâl) Fî Sabîl Allâh dalam Alquran Surah al-Baqarah Ayat 190, 246 dan an-
Nisa Ayat 74-75” diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Universitas (UIN) Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian munaqosah
pada 23 Juli 2019 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program Studi
Ilmu al-Qur`an dan Tafsir.
Anggota,
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Surat Keputusan Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017 tentang Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts Te dan es ث
j Je ج
h Ha dengan garis bawah ح
kh Ka dan ha خ
d De د
dz De dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy Es dan ye ش
s Es dengan garis bawah ص
d De dengan garis bawah ض
t Te dengan garis bawah ط
z Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh Ge dan ha غ
f Ef ف
q Qi ق
vi
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha هـ
Apostrof ` ء
y ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuannya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ai a dan i
و au a dan u
C. Vokal Panjang
Alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harakat dan huruf, ketentuannya adalah sebagai berikut:
Tanda Voka Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ا ــ â a dengan topi di atas ــ
ي ـــ ــ î i dengan topi di atas ــ
ــ ــ و ــ û u dengan topi di atas
vii
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
E. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ( -tidak ditulis ad (الض ر و ر ة
darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbûtah
Transliterasi untuk ta marbûtah ada dua, yaitu: ta marbûtah yang hidup atau
mendapat harkat fathah, kasrah atau dammah maka transliterasinya adalah /t/.
Sedangkan ta marbûtah yang mati atau mendapat harkat sukûn, transliterasinya
adalah /h/.
Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbûtah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbûtah ditransliterasikan dengan ha /h/.
G. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (`) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal
kata maka ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
ء ي
syai`un : ش
ت ر م umirtu : أ
viii
H. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî,
al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya, Abdussamad al-Palimbani tidak ditulis ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî, Nuruddin al-Raniri tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
I. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam
bahasa Arab dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
اذ ت س
ب ال ه
dzahaba al-ustâdzu ذ
م للا ك ر ث
ؤ yu`tsirukum Allâh ي
ة ي ر
ص ع ال
ة ك ر ح
al-harakah al-‘asriyyah ال
للا
ل إ ه ل إ
ن ل
د أ ه
ش
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أ
ح ال ك الص ل ا م
ن
ل و maulânâ malik al-sâlih م
ix
ABSTRAK
TOHIRIN
Studi Penafsiran Muhammad Rasyîd Rida dalam Tafsir al-Manâr dan Sayyid
Qutb dalam Tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân tentang Perang (Qitâl) fî Sabîl Allâh
dalam Alquran surah al-Baqarah Ayat 190, 246 dan an-Nisa Ayat 74-75.
Skripsi ini mencoba mengomparasikan penafsiran dua mufassir modern,
yakni Muhammad Rasyîd Rida dalam tafsirnya al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam
tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân tentang perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam Alquran. Kedua
mufassir ini dan tafsirnya penting untuk dikaji, terutama tentang bagaimana
pandangan keduanya mengenai perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam Alquran. Sebab,
meski dikategorikan hidup dalam satu masa dan tempat, namun pada perjalanannya,
keduanya memiliki corak pemikiran yang berbeda, terutama yang berhubungan
dengan jihad dan perang. Sebagai murid Abduh, Rida dikenal lebih modernis
dengan ide-ide pembaharuannya, Berbeda dengan Qutb. Sebagai salah satu tokoh
penting dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, Qutb dikenal lebih progresif dan
radikal.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan. Untuk itu digunakan
bahan-bahan kepustakaan dengan sumber primer yakni kitab al-Manâr dan Fī Zilâl
Qur’an. dan beberapa sumber-sumber primer seperti tesis, skripsi, dan artikel
jurnal. Dalam mengolah data, penulis lebih dulu mengumpulkan ayat-ayat dalam
Alquran yang menyebut dan membahas qitâl dan kata fî sabîl allâh dalam Alquran.
Dari kedua kata itu, kemudian penulis mengumpulkan ayat yang menyebut
keduanya dalam satu ayat.
Dan, berdasarkan empat ayat yang dikaji dalam skripsi ini, yakni dalam
surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246, an-Nisa [4] ayat 74-75, menemukan bahwa
keduanya tak memiliki perbedaan signifikan dalam memaknai perang (qitâl) fî sabîl
allâh dalam Alquran. Baik Rasyîd Rida maupun Sayyid Qutb, rupanya sama-sama
memaknai fî sabîl allâh sebagai upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan
kalimat Allah Swt., dan menyiarkan Islam. Bukan untuk kepentingan pribadi,
kelompok, maupun kepentingan dunia. Namun, perbedaan cukup terlihat
bagaimana dalam beberapa penafsiran, Sayyid Qutb begitu tegas menafsirkan
perintah perang dalam Islam. Berbeda dengan Rasyîd Rida, yang meski tegas
namun masih cukup moderat.
Kata kunci: Qitâl, Fî Sabîl Allâh, Alquran, Tafsir al- Manâr, Tafsir Fī Zilâl Qur’an.
x
KATA PENGANTAR
يمٱ لرنمحٱ لله ٱ مسب لرحهSegala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas segala
rahmat dan kehendak-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.
Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada manusia paling sempurna,
junjungan semesta alam, pembimbing umat manusia, yakni Nabi Muhammad Saw.
Keselamatan semoga selalu menyertai keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Semoga kita selalu mendapat syafaat darinya, baik di dunia maupun kelak di
akhirat.
Penulis sadar sepenuhnya skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan,
arahan, motivasi, dan kontribusi banyak pihak. Oleh karenanya, ucapan terimakasih
yang tulus dan tak terbilang, penulis tujukan kepada para dosen, keluarga, sahabat,
teman, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih setulus dan sebanyak mungkin kepada:
1. Segenap sivitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayaullah
Jakarta: Ibu Rektor Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.
beserta jajarannya; Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, M.A.
beserta jajarannya; Ketua Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir periode
sebelumnya Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. dan Sekretaris Jurusan Ibu Dra.
Banun Binaningrum, M. Pd; dan Ketua Program Studi Ilmu Alquran dan
Tafsir yang baru menjabat Eva Nugraha, M. Ag, dan Sekretaris Jurusan
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH.
2. Bpk, Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. selaku dosen pembimbing
akademik sekaligus pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan
waktu agar skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Seluruh dosen dan karyawan Fakultsa Ushuluddin UIN Jakarta yang banyak
membantu penulis selama menempuk studi.
4. Kedua orang tua saya, yang kepada keduanya saya akan selalu menaruh
hormat. Dan akan terus menjadi orientasi hidup saya.
5. Kepada adik, semoga terus sehat dan kuat.
xi
6. Kelurga pesantren Miftahul Mutaallimin dan seluruh pesantren Babakan
Ciwaringin Cirebon.
7. Kepada keluarga besar Ikatan Mutakharrijin Madrasah Aliyah Negeri
(IMMAN), Babakan Ciwaringin Cirebon, Cabang Jakarta. Terimakasih telah
menemani selama penulis menempuh studi.
8. Teman-teman IMMAN Jakarta angkatan 2012.
9. Teman-teman di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Institut. Teman-teman seangkatan 2013, Syah Rizal,
Erika, Nur Hamidah, Maulia. Terimakasih sudah menemani saya belajar di
sana.
10. Teman-teman Mawar Institut.
11. Teman-teman KBEA di Jogja maupun di Jakarta, terimakasih sudah banyak
memberikan ilmu di luar kelas. Kepada Aditia Purnomo, rekan yang
kepadanya saya akan selaku ingat.
12. Isty Puspitasari, terimakasih banyak sudah banyak menemani dan memberi
semangat sejauh ini.
13. Kepada semua sahabat, teman, rekan, yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
Semoga Allah Swt. memberi balasan berlipat kepada semua pihak atas
bantuan, dorongan, kebaikannya kepada penulis selama ini. Semogra skripsi ini
dapat bermanfaat. Amin
Ciputat, 15 Juli 2019
Tohirin
xii
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR .............................................................................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7
E. Kajian Terdahulu ............................................................................ 8
F. Metodologi Penelitian .................................................................... 11
G. Sitematika Penulisan ...................................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERANG
A. Pengertian Perang (Qitâl) .............................................................. 15
B. Dasar Hukum Perang (Qitâl) ......................................................... 18
a. Perintah Berperang dalam Alquran .......................................... 18
b. Larangan Berperang dalam Alquran ......................................... 22
C. Tujuan Perang (Qitâl) ..................................................................... 26
D. Sejarah Perang (Qitâl) ................................................................... 28
E. Asbâb al-Nuzul Ayat-ayat Qitâl ...................................................... 34
BAB III RIWAYAT HIDUP M. RASYÎD RIDA DAN SAYYID QUTB
A. Riwayat Hidup M. Rasyîd Rida
a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan ..................... 40
b. Pemikiran M. Rasyîd Rida ........................................................ 44
c. Karya dan Tafsir ...................................................................... 47
d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran .................................... 50
B. Riwayat Hidup Sayyid Qutb
a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan ..................... 51
b. Pemikiran Sayyid Qutb ............................................................. 54
xiii
c. Karya dan Tafsir ...................................................................... 57
d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran .................................... 61
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN M.
RASYÎD RIDA DAN SAYYID QUTB
A. Penjelasan Kata
a. Tafsir Ayat Qitâl dalam Alquran Menurut Mufassir ............... 62
b. Tafsir Ayat Fî Sabîl Allâh dalam Alquran
Menurut Mufassir ................................................................... 66
B. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh
Menurut M. Rasyîd Rida ............................................................... 72
C. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh
Menurut Sayyid Qutb .................................................................... 77
D. Persamaan dan Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida
dan Sayyid Qutb Tentang Perang (Qitâl) Fî sabîl Allâh
dan Pendapat Ulama Lain
a. Persamaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid
Qutb Tentang Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh ........................... 83
b. Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid
Qutb Tentang Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh ........................... 85
E. Relevansi Perang (Qitâl) Fî sabîl Allâh dalam Alquran
dengan Konteks Sekarang ............................................................. 86
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................... 90
B. Saran ............................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perang, dalam Alquran sering terkonotasi dengan istilah qitâl dan jihâd.
Kata qitâl berasal dari kata qâtala-yuqâtilu-qitâl, sebagaimana banyak disebut
dalam beberapa ayat dalam Alquran, yang menyeru peperangan terhadap orang-
orang yang bersikap memusuhi Islam.1 Tepatnya sulasi majid satu huruf bab fi’âl
dari kata qâtala yang memiliki tiga pengertian: pertama, berkelahi melawan
seseorang. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah [2]: 190-193. Sedangkan jihâd,
Alquran memakainya sebagai istilah mengerahkan segenap tenaga untuk
menyebarkan Islam dan membelanya.2
Dalam sejarah Islam, umat Islam telah terlibat dengan banyak peristiwa
peperangan, besar maupun kecil. Peperangan-peperangan itu umumnya banyak
terjadi di awal-awal penyebaran Islam, termasuk sejak zaman Rasulullah Saw.
Tercatat, tak kurang dari 19 sampai 21 peperangan terjadi di masa Rasulullah Saw.
Jumlah itu adalah total dari perang yang langsung dipimpin oleh Nabi
(perang ghazwa). Bahkan ada yang menyebut 27 kali. Jumlah itu belum termasuk
perang yang tidak dipimpin oleh nabi, atau terjadi pasca Nabi wafat yang disebut
perang sariyyah dan jumlahnya sampai 35 sampai 42 kali.3
Menurut Gamal al-Banna, usaha untuk memahami ayat qitâl tidak akan
tercapai dengan baik tanpa memahami konteks dan sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya sebuah ayat. Perpindahan Nabi dari Mekah ke Madinan
bukan semata dimaknai sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Akan
tetapi, ada banyak aspek yang perlu dikaji dalam salah satu peristiwa besar dalam
sejarah umat Islam tersebut, baik dari kondisi sosio-kultural masyarakat, hingga
1 Ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab, (Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t), Jilid. V, h. 3531. 2 Muhammad Imarah, Hadza’ Huwa al-Islam: al-Samahat al-Islamiyah, Haqiqah al-
Jihad wa al-Qital al al-Ihrab (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2005), h. 52. 3 A. Lalu Zaenuri, Qitâl dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1.
2
politik. Meski pada akhirnya, kesimpulan yang bisa ditarik dari hijrah itu adalah
revolusi dalam metode penyebaran Islam oleh Nabi.4
Sementara beberapa peristiwa perang besar yang terjadi dan langsung di
pimpin oleh Nabi Saw., antara lain Perang Badar5, Perang Uhud, Perang Mu’tah,
Perang Ahzab, dan Perang Tabuk.
Lalu, apa yang melatarbelakangi banyak peperangan yang dilakukan dan
dialami oleh umat Islam, bahkan hingga kini? Dalam sebuah hadisnya, Nabi Saw.
bersabda, “Barang siapa berperang agar kalimat Allah tegak berdiri maka dia
berada di jalan Allah”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya). Dengan
demikian, perang dilakukan semata-mata karena Allah dan demi kejayaan agama-
Nya di Bumi. Sebagian mufassir berpendapat, seorang muslim yang berperang
harus mementapkan hatinya di jalan Allah sehingga ia harus bersungguh-sungguh
mengalahkan musuh. Oleh karena itu, seorang mujahid tidak diperbolehkan untuk
mati sia-sia dalam perang.6
Yusuf al-Qardhawi memberikan definisi berbeda antara jihad, peperangan
(al-qitâl), dan perang (al-harb). Peperangan (al-qitâl), menurut al-Qardhawi
menjadi bagian dari jihad, yakni berperang menggunakan senjata untuk
menghadapi musuh. Pemaknaan jihad sebetulnya didefinisikan sebagai
mencurahkan kemampuan dan tenaga.
Namun, pemaknaan tersebut direduksi menjadi peperangan (al-qitâl) untuk
menolong agama dan membela kehormatan umat. Peperangan tidak disebut sebagai
syariat kecuali bila dilakukan di jalan Allah Swt. Sementara perang (al-harb)
didefinsikan, satu kelompok yang menggunakan senjata dan kekuatan materi untuk
melawan kelompok lain. Makna jihad berkaitan dengan agama yang letak
perbedaannya pada tujuan, motif, akhlak, dan batasan. Sedangkan makna perang
4 Gamal al-Banna, Jihad, Terj. Tim Mata Air Publishing, Pengantar: Nasiruddin Umar
(Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 71 5 Perang pertama yang dijalani umat muslim dan dipimpin oleh Nabi. Beberapa pendapat
mengatakan, dalam perang itu, umat muslim berjumlah 314. Ada yang mengatakan 317. Meraka
kira-kira terdiri dari 82 sampai 86 kaum Muhajirin, 61 kabilah Khazraj. Dari jumlah itu, ada dua
ekor kuda, milik Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswa al-Kindi. Ada 70 unta yang ditumpangi
secara bergantian termasuk unta yang dinaiki Rasulullah Saw. Sementara di pihak lawan, berjumlah
sepulul kali lipat, atau lebih dari 1300 pasukan. Dengan 100 kuda, dan 600 perisai. Dalam perang
ini, umat Islam menang. 6 Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi.
Anwar at-Tanzi I wa Asrar at-Ta’wi l, (Beirut: Dâr al-Ihyâ at-Turâs al-‘Arabi, 1418 H), Juz. II h.
84.
3
berkaitan dengan dunia, tujuannya ialah hegemoni, menindas atau merampas
kekayaan orang lain.7
Saddam Husein Harahap, dalam tesisnya Perang dalam Perspektif Alquran
(2016) menyebut, kata qitâl dan berbagai derivasinya, baik fi’il maupun ism disebut
sebanyak 170 kali. Salah satunya tercantum dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 190,
sebagai berikut:
إنه ٱلله ل يب ٱلمعتدين تلونكم ول ت عتدوا وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas".
Sementara itu, berbicara istilah-istilah perang dalam Alquran, tak terlepas
dari ayat-ayat yang berkaitan dengan istilah qitâl. Persoalannya kemudian, ayat-
ayat yang menyebut istilah qitâl tersebut, beberapa di antaranya juga berkaitan
dengan jihad. Menurut Quraish Shihab, jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh
dengan mengerahkan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki seseorang untuk
mencapai tujuan, khususnya melawan musuh, atau mempertahankan kebenaran,
kebaikan, dan keluhuran.
Adapun Aquran membagi jenis-jenis perang, yakni: 1) Perang fisik, yang
beberapa kali disebut dalam Alquran seperti dalam surah an-Nisa [4]: 74, al-
Baqarah [2]: 190, an-Nisa [4]: 39. 2) Perang (jihad) lisan, atau dakwah dengan
hikmah, yakni dengan mengemukakakn hujjah dan dalil-dalil dalam Alquran.
Perintah ini tercantum dalam surah al-Furqan [25]: 52, dan at-Taubah [9]: 73. 3)
Perang (jihad) dengan hati. Jihad dengan hati adalah upaya sungguh-sungguh untuk
membimbing hati yang berpaling dari selain Allah menuju ketaatan kepada-Nya.
Perintah ini tercantum dalam surah al-Hajj [22]: 78. 4) Perang (jihad) dengan harta
benda. Perintah ini tercantum dalam surah an-Nisa [4]: 95. Dan terakhir, 5) Perang
(jihad) dengan ideologi. Menurut Abdul Bawi Ramdhun, perang ini adalah perang
untuk memengaruhi psikologis musuh8. Perintah perang ini terdapat dalam surah
al-Anfal [8]: 43-44, dan al-Hasyr [59]: 2.
7 Yusuf al-Qardhawi , Fiqih Jihad, terj. Irwan Maulana Hakim, (dkk.), h. 25-27. 8 Abdul Baqi Ramdhun, Al-Jihadu Sabi’ luna, terj. Imam Fajruddin, h. 339.
4
Di Indonesia, konsep jihad yang direduksi menjadi perang (qitâl), pernah
mencuat bersamaan dengan lahirnya reformasi. Sebagian kelompok pernah
menuntut agar Indonesia memberlakukan syariat Islam. Bagi mereka, upaya
memperjuangkan penegakkan syariat Islam adalah kewajiban setiap muslim. Oleh
karenanya, jihad bagi mereka merupakan jihâd fi sabîl allâh . Wacana tentang jihad
dan konsep-konsep yang dikemukakan sedikit banyak mengalami pergeseran dan
perubahan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir.9
Dalam sebuah riwayat dijelaskan, ketika perjanjian Hudaibiyah—
kesepakatan damai antara umat Islam dan kafir Quraisy yang salah satu isinyanya
berupa izin bagi umat Islam untuk memasuki Mekah dan menunaikan haji—para
sahabat masih khawatir kalau kaum Quraisy tidak menepati janji mereka.
Menghalangi dan memerangi mereka masuk Tanah Haram. Dalam situasi itu, Allah
Swt. telah mengizinkan untuk melawan dan berperang jika kemungkinan perjanjian
itu dilanggar oleh mereka. Perintah Allah Swt. termaktub dalam surah al-Baqarah
[2]: 190-191.10
Riwayat tersebut secara eksplisit menjadi legitimasi bahwa Islam, memang
mengizinkan perang, tapi dalam beberapa situasi. Muhammad Khair Haykal
membagi perang (qitâl) menjadi dua, yakni perang defensif dan perang ofensif.11
Perang defensif, menurut Abdul Baqi Ramdhun adalah perang yang boleh
dilakukan setelah turunnya perintah perang. Perang ini ditujukan kepada orang-
orang yang memerangi saja. Dan tidak dianjurkan kepada mereka yang tidak
memerangi Islam. Sementara perang ofensif, menurut Abdul Baqi Ramdhun,
adalah perang untuk memerangi orang-orang kafir, baik didahului maupun tidak.
Izin perang ofensif diturunkan saat kaum kafir sudah di luar batas kemanusiaan
terhadap Nabi dan umat muslim. Artinya, izin tersebut bukan kewajiban, dan
dengan kata lain memerangi kaum kafir tidak berarti wajib.12
9 Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 127. 10 K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk. Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 2009), h.
58. 11 Muhammad Khair Haykal, al-jihad wa al-Qitāl, tt., (1996), h. 789. 12 Abdul Baqi Ramdhun, Al-Jihādu sabi luna, terj. Imam Fajaruddin, Jihad adalah Jalan
Kami (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 31.
5
Sementara menurut Wahbah Zuhaili, bahwa umat Islam tidak boleh memulai
peperangan kecuali bila orang kafir lebih dulu menyerang.13 Sayyid Sabiq
menegaskan bahwa perindah perangdalam Islam adalah dalam rangka
mempertahankan diri.14 Menurutnya, perang ekspansif yang bertujuan untuk
perluasan daerah, pengaruh, dan bermotivasi untuk mengumpulkan harta atau
memperluas kekuasaan yang menyebabkan kemusnahan suatu umat atau peradaban
adalah terlarang.15
Al-Habasyi, seorang ulama modern asal Libanon berpendapat, perang dalam
Islam yang bersifat mempertahankan diri (defensif), agama maupun tanah air, jelas
bertentangan dengan usul al-syari’ah; Alquran, hadis, ijma’ maupun fakta sejarah.
Misalnya pada Alquran surat at-Taubah [9] ayat 29:
ل يدينون دين لوا ٱلهذين ل ي ؤمنون بٱلله ول بٱلي وم ٱلخر ول ير مون ما حرهم ٱلله ورسولهۥ و قت غ وهم ٱلق من ٱلهذين أوتوا ٱلكتب حته ي عطوا ٱلزية عن يد رون ص
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk”
Menurut al-Habasyi, QS. al-Taubah [9] ayat 29 menjelaskan kewajiban
memerangi orang-orang kafir, baik mereka menyerang maupun tidak.16 Sebab, ayat
tersebut secara umum memerintahkan memerangi orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan sesuatu yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, dan tidak memeluk agama yang benar, kecuali apabila
mereka maumembayar jizyah.
13 Wahbah Zuhayli, Atsar al-Harb fi-alFiqh al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) h. 106. 14 Sayyid Sabiq, Anasir al-Quwwah fi al-Islam, terj. Muhammad Abday Ratami
(Surabaya: Toko Nabhana, 1981), h. 272-274. 15 Sayyid Sabiq, Anasir al-Quwwah fi al-Islam, terj. Muhammad Abday Ratami, h. 272. 16 Al-Habasyi, Mukhtasar Bughyah al-Talib li Ma’rifati ‘ilm al-Din al-Wajib, (Bairut:
Dar al-Masyari: 2008), h. 205.
6
Pertannyaannya, mengapa dua konsep mengenai perang (qitâl) itu bisa lahir,
dan pada perjalanannya, kemudian melahirkan dua kelompok Islam yang hari ini
kita kenal dengan kelompok moderat dan ekstremis. Keduanya, mempraktikkan
model keislaman yang berbeda dan saling menolak pemahaman masing-masing,
mengenai konsep Islam yang ramah dan toleran, dengan yang keras dan eksplosif.
Skripsi ini mencoba mengkaji secara komprehensif dua ulama dan karyanya,
yang dalam perjalanannya telah menjadi poros keislaman yang mempengaruhi
corak praktik keislaman, bukan hanya di Indonesia bahkan umat Islam di seluruh
dunia: yakni Rasyîd Rida dalam tafsir al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam tafsir Fî
Zilâl al-Qur’ân.
Lewat karyanya, kedua ulama itu telah menandai lahirnya corak pandangan
keislaman yang agak berbeda, khususnya mengenai jihad dan qitâl. Meski
keduanya besar dan berada dalam waktu dan kondisi sosial budaya sama, yakni di
Mesir, beberapa pandangan Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb dinilai berbeda,
khususnya mengenai hubungan agama dan politik. Rasyîd Rida lewat tafsir al-
Manâr lebih menekankan pandangan moderat tentang konsep jihad. Sedangkan
Sayyid Qutb, dalam Tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân hingga kini menjadi pegangan
kelompok fundamentalis atau ekstremis, dalam merepresentasikan konsep jihad
dan perang. Beberapa faktor itulah yang menjadi alasan pemilihan dua ulama itu
dan karyanya untuk diangkat menjadi tema dalam skripsi ini.
Dalam pandangan Sayyid Qutb, jihad adalah perang ofensif melawan musuh
Islam. Ia juga memisahkan secara total hubungan muslim dan non muslim.17
Pandangan Sayyid Qutb tentu saja dipengaruhi oleh kondisi kehidupan sosial,
politik di Mesir. Berbeda dengan Sayyid Qutb, konsep jihad inklusif, moderat, dan
progresif justru ditawarkan oleh Rasyîd Rida. Rasyîd Rida menggariskan makna
jihad dan perang, adalah sikap defensif untuk menunjukkan kekuatan Islam yang
ramah namun tetap revolusioner. Maka penelitian ini akan mencoba
mengomparasikan kedua ulama modern tersebut dalam menafsirkan ayat perang
(qitâl) fî sabîl allâh dalam Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246 dan an-Nisa
[4] ayat 74-75.
17 Qutb, Sayyid, Tafsir fi Zilāl al-Qur’an, (Beirut, Darusy Syuruq, 1992), h 228.
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan definisi tentang perang (qitâl) fî sabîl allâh di antara para
mufassir.
2. Sebagai dua ulama besar modern, Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb memiliki
dua pandangan yang cukup berbeda dalam menafsirkan perang (qitâl) fî sabîl
allâh dalam Alquran.
3. Terdapat banyak definisi tentang kata fî sabîl allâh dalam Alquran di antara
para mufassir.
4. Sebagai dua ulama besar modern, Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb memiliki
pandangan berbeda dalam mendefinisikan makna fî sabîl allâh dalam
Alquran.
5. Kini, banyak kelompok yang menggunakan ayat perang dalam Alquran
untuk melegitimasi tindak kekerasan atas nama agama.
6. Selain perang jihad, banyak kelompok yang memaknai kata fî sabîl allâh
dalam Alquran hanya bermakna perang.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Dengan mempertimbangkan identifikasi masalah di atas, penulis oleh karena
itu membatasi skripsi ini pada kajian penafsiran perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam
Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246 dan an-Nisa [4] ayat 74-75, dan
dirumuskan dalam rumusan masalah berikut:
• Bagaimana M. Rasyîd Rida dalam tafsir al-Manâr dan Sayyid Qutb dalam
tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân menafsirkan perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam
Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 190, 246 dan an-Nisa [4] ayat 74-75?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat yang hendak
dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui lebih banyak kajian tentang perang fî sabîl allâh dalam
Alquran, dan pendapat para mufassir terhadap topik tersebut.
8
2. Mengetahui pemikiran M. Rasyîd Rida dalam tafsir al-Manar dan Sayyid
Qutb dalam tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân tentang perang fî sabîl allâh dalam
Alquran.
3. Mengetahui ayat-ayat yang memerintahkan dan menjelaskan perang
menurut Islam dan pendapat para mufassir terhadap ayat tersebut.
4. Penulisan skripsi ini diharapkan memberi sumbangsih bagi pihak-pihak
yang hendak mendalami isu tentang studi perang dalam Islam, khususnya
dalam pandangan dua ulama besar dalam Islam yakni M. Rasyîd Rida dan
Sayyid Qutb.
5. Penulisan skripsi ini sekaligus sebagai penyelesaian tugas akhir dan syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag.).
E. Kajian Terdahulu
Konsep perang (qitâl) dalam Alquran memang bukan kajian baru. Penulis juga
telah menemukan beberapa karya ilmiah, baik skripsi maupun tesis dan buku yang
mengkaji tentang isu ini. Akan tetapi, penulis tidak menemukan judul yang serupa
dengan yang akan diangkat dalam skripsi ini. Berikut beberapa penelitian
sebelumnya yang pernah membahas perang (qitâl) dalam Alquran, khususnya
menurut penafsiran para ulama.
Pertama, skripsi berjudul “Etika Perang (Qitâl) dalam Surat al-Baqarah Menurut
M. Abduh dan Rasyîd Rida” karya Gunawa Jati Nugroho, Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008. Skripsi ini berbicara konsep perang
menurut Rasyîd Rida khususnya dalam tafsir Al-Manar. Melalui skripsinya,
Gunawan menjelaskan bahwa etika perang dalam Islam menurut kedua ulama itu
adalah perang defensif, di mana perang (qitâl) hanya boleh dilakukan sebagai
bentuk pertahanan. Selain itu, skripsi ini juga menjelaskan etika berperang,
sebagaimana diatur dalam Alquran. Antara lain, tidak boleh melukai orang tua,
perempuan, atau anak-anak yang tidak terlibat aktif dalam sebuah peperangan.
Perang juga tidak boleh merusak sarana dan fasilitas sosial.
Kedua, skripsi berjudul, “Nilai-Nilai Etis dalam Ayat Perang (Penafsiran Ayat-
Ayat Perang dalam Alquran)” karya Azam Anhar, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta 2015. Lewat skripsinya, Azam menghimpun beberapa ayat
dalam Alquran yang menggunakan lema dan istilah perang (dalam bahasa Arab)
9
lalu mengkajinya dalam empat sudut pandang, yakni aspek kemanusiaan,
perdamaian, persatuan, dan kesatria. Skripsi ini juga menjelaskan nilai-nilai etis
atau etika beperang berperang dalam berperang, seperti tidak melukai perempuan,
orang tua, dan anak-anak.
Ketiga, tesis berjudul, “Perang dalam Perspektif Alquran (Kajian Terhadap
Ayat-Ayat Qitâl)” karya Saddam Husein Harahap, Fakultas Ushuluddin, UIN
Sumatera Utara, Medan, 2016. Tesis ini secara spesifik mengkaji konsep qitâl
dalam Alquran menurut enam ulama dan tafsirnya, antara lain M. Quraisy Shihab
dalam Tafsir al-Misbah, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, Al-Jashash
dalam Ahkam Al-Qur’an, ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, al-Qurthubi dalam al-
Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, dan az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
Ghawamid at-Tanzil. Selain perang (qitâl), tesis ini juga mengkalsifikasikan
beberapa istilah lainnya seperti ghazwah, sariyyah, dan jihad yang lebih general.
Saddam juga menjelaskan hukum, etika, dan faktor-faktor yang membolehkan
perang dalam Alquran.
Keempat, skripsi berjudul, “Penafsiran Qitâl dalam Tafsir Sufi: Studi atas Tafsir
Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi” karya Muhammad Juaeni, Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008. Skripsi ini melihat menafsiran qitâl dari
tafsir bercorak sufi. Menurutnya, ada keluasan makna yang menarik, yaitu qitâl
yang mengandung makna variatif berupa mencabut jiwa, nafsu amarah, nafsu setan,
pedang para mujahid, pedang cinta, lauhul azal, dan lain-lain.
Kelima, skripsi berjudul, “Makna Fî Sabîl Allâh dalam Alquran (Suatu Kajian
Tafsir Maudhu’iy)” karya Jamalia Idrus, Fakultas Ushuluddin, UIN Sultan Syarief
Kasim, Riau, 2011. Skripsi ini mengklasifikasikan makna fî sabîl allâh dalam dua
definisi: makna sempit dan luas. Dalam makna sempit, Jamalia mengutip pendapat
Ibnu Katsir, bahwa makna fî sabîl allâh didefinisikan sebagai jihad, berjuang di
jalan Allah Swt. Sementara dalam makna yang lebih luas, skripsi ini antara lain
mengutip pendapat antara lain al-Maraghi dan Buya Hamka, bahwa fî sabîl allâh
meliputi semua jenis kebaikan, ketaatan, atau semua jenis kegiatan sosial. Jamalia
secara khusus juga mengkritisi perbedaan pendapat pendapat di kalangan mufassir
dalam memaknai surat at-Taubah ayat 60 yang juga menyebut istilah fî sabîl allâh.
10
Keenam, artikel18 berjudul “Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat
“Kekerasan dalam Alquran” karya Dede Rodin, UIN Walisongo, Semarang, 2016.
Dalam makalahnya, Dede menegaskan bahwa jihad atau perang (Qitâl) berbeda
dengan aksi radikalisme. Tujuan utama jihad atau qitâl adalah welfare
(kesejahteraan), sementara radikalisme adalah warfare (peperangan). Maka, jihad
mestinya menjadi tanggung jawab semua muslim karena bertujuan positif.
Sementara itu, qital bersifat kondisional, temporal atau pilihan terakhir setelah tidak
ada cara lain kecuali perlawanan secara fisik. Selain itu, perang juga harus
memenuhi berbagai persyaratan yang sangat ketat.
Ketujuh, artikel19 berjudul “Konsep Perang dalam Islam Menurut Al-Habasyi:
Studi Kritis Terhadap Tafsir Liberal Ayat-ayat Perang” karya Asyhari, Fakultas
Tarbiyah, STAI Hasanuddin, Pare, 2015. Tulisan hendak membuktikan kekeliruan
pendapat dari kelompok ekstrem kiri (liberal) yang memahami konsep perang
dalam Islam adalah defensif, bukan ofensif. Menurut al-Habasyi perang ofensif
dibolehkan dalam Islam. Hal ini berdasarkan penjelasan Alquran, hadis, maupun
ijma’. Meski demikian perang dalam Islam juga harus memenuhi pra syarat yang
ketat. Sehingga dalih apapun yang digunakan, dalam aksi terorisme tidak dapat
dibenarkan.
Kedelapan, artikel20 berjudul “Jihad dan Hukum Perang dalam Islam” karya
Muflihatul Khairah, Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2008. Jurnal
ini secara spesifik membahas relevansi antara jihad dan perang. Menurut Muflihatul
dalam kesimpulan makalahnya, jihad merupakan terminologi hukum Islam dalam
upaya seorang muslim melindungi dan mempertahankan agama dan masyarakat.
Sementara qitâl fî sabîl allâh merupakan bagian dari jihad yang bersifat defensif.
Kesembilan, buku Fiqih Jihad, yang diterjemahkan oleh Irwan Maulana Hakim,
(dkk.) karya Yusuf al-Qardhawi, Bandung, Mizan, 2010. Qardhawi dalam buku ini
membahas secara komprehensif jihad dalam tinjauan yang kompleks. Mulai dari
pengertian, konsep, macam, dan tujuan pada konteks hingga membawanya pada
18 Rodin, Dede, Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan dalam
Alquran, ADDIN, vol. 10, No. 1, Februari 2016. 19 Asyhari, Konsep Perang dalam Islam Menurut Al-Habasyi: Studi Kritis Terhadap
Tafsir Liberal Ayat-ayat Perang, Inovatif: Vol. 1 No. 1 tahun 2015. 20 Khairah, Muflihatul, Jihad dan Hukum Perang dalam Islam, Al-Qanun, Vol. 11 No. 2,
Desember 2008.
11
konteks masyarakat sekarang. Bahasan perang menjadi tema terkait pada setiap
bab. Qardhawi menjelaskan perang antara melawan dan menyerang; kapan
dilakukan; ia membahas secara khusus bab penafsiran ayat-ayat perang serta
hadisnya.
Kesepuluh, buku Jihad dalam Alquran karya Muhammad Chirzin, Mitra
Pustaka, Yogyakarta, 1997. Buku tersebut menelaah jihad dalam pengertian umum
dari sisi normatif, historis, dan prospektif. Termasuk jihad perang yang terpaksa
dilakukan oleh umat Islam. Ia menyinggungnya dalam aspek historis secara singkat
dalam dua bab: jihad periode Mekkah dan periode Madinah.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terhadap perang (qitâl) dalam beberapa
karya di atas, posisi penelitian akan fokus pada makna perang (qitâl) fî sabîl allâh
menurut dua ulama besar yang telah mempengaruhi corak keberislaman dalam
masyarakat. Selain kajian tafsir, skripsi ini juga akan membahas kajian historis yang
melatarbelakanginya.
F. Metodologi Penelitian
Dalam suatu karya ilmiah, termasuk skripsi, metode penelitian merupakan unsur
penting yang menentukan hasil dalam sebuah penelitian atau karya ilmiah tersebut.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini meliputi seluruh perkembangan
pengetahuan dan tahapan dari awal hingga akhir; bagian khusus maupun umum dari
keseluruhan bidang dan obyek penelitian.21
Selanjutnya, untuk memfokuskan penelitian makna perang fî sabîl allâh dalam
kitab tafsir al-Manar dan tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân, akan menggunakan tahap
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah kajian
pustakan (library research) yang fokus pada aspek pemikiran, sejarah, dan
beberapa tokoh lain yang berpengaruh pada kajian ini. Oleh karenanya, untuk
mendukung jenis penelitian ini, penulis mengumpulkan buku-buku primer
dan sekunder yang berkaitan dan mendukung studi penulisan ini.
21Anton Baker, Metode-metode filsafat, Jakarta, Ghalis Indonesia, 1984, h. 10.
12
2. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode literal,
yaitu dengan terlebih dulu membaca dan menelaah buku-buku yang
berkaitan dengan objek penelitian.
Sedangkan literatur yang dijadikan sumber data dalam melakukan
penelitian ini adalah:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah referensi utama yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu kitab tafsir al-Manar karya M. Rasyîd Rida dan tafsir Fî Zilâl al-
Qur’ân karya Sayyid Qutb.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah buku-buku, jurnal, atau karya ilmiah lain yang
membahas isu serupa yang dapat mendukung studi dalam skripsi ini.
c. Teknik Pengolahan Data
Dalam mengolah data yang berkaitan dengan fokus kajian makna perang
fî sabîl allâh dalam Alquran, penulis menggunakan beberapa tahapan
sebagai berikut:
1) Deskripsi
Deskripsi merupakan langkah awal dalam melakukan pengolahan data.
Dengan deskripsi, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan
penuturan dan penafsiran data yang tersedia, misalnya, mendeskripsikan
suatu kondisi yang berhubungan satu sama lain. Deskripsi juga dapat
menyajikan objek-objek atau kasus-kasus tertentu agar lebih detail.22
2) Analisis
Adanya deskripsi tentang istilah-istilah tertentu yang membutuhkan
pemahaman secara konsepsional guna menemukan pemahaman lebih
jauh, dengan melakukan perbandingan pikiran-pikiran yang lainnya inilah
22 Anton Baker dan A. Chris Zubair, Metodologi, Penelitian Filsafat, Yogyakarta,
Kanisius, 1990, h. 54.
13
yang disebut dengan analisis.23 Tahap ini merupakan lanjutan dari teknik
deksipsi.
Dalam penelitian ini, studi yang hendak dianalisis bersumber dari kitab
tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan M. Rasyîd Rida dan tafsir
Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan derivasinya dalam Alquran.
Untuk menganalisis dan memaparkan kajian ini, skripsi ini menggunakan
metode berpikir:
a) Induksi, yakni proses penalaran dari hal-hal yang bersifat umum (proses
generalisasi).24
b) Deduksi, yaitu proses penalaran dari hal-hal yang besifat umum ke
khusus.25
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan memuat lima bab pembahasan di mana setiap bab terdiri dari
beberapa sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam memberi penjelasan
secara komprehensif dan sistematis. Adapun sistematika penulisannya sebagai
berikut:
Bab pertama, pendahuluan. Bab ini memuat latar belakang, batasan, dan
rumusan masalah. Selain itu ada tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,
metodologi penelitian yang akan digunakan, serta sistematika penulisan.
Latar belakang masalah akan memberikan deskripsi dan gambaran umum
tentang beberapa faktor yang melatarbelakangi diangkatnya penelitian dalam
skripsi ini. Kemudian, faktor-faktor tersebut akan diidentifikasi, dibatasi dan dibuat
dalam beberapa pertanyaan dalam bagian rumusan masalah. Tujuan dan manfaat
penelitian tentu berupa harapan agar kelak skripsi ini akan memberi tambahan
literatur dan bahan bacaan dalam isu-isu atau kajian-kajian serupa. Lalu disusul
dengan telaah pustaka. Dalam sub bab ini, akan dijabarkan beberapa penelitian lain
23 Louis Katsof, Pengantar Filsafat, terjemahan Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1992, h. 18. 24 A. Muri Yusuf, Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan,Jakarta, Prenadamedia Group, h. 19. 25 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persana, 1996, hal 43-
44.
14
yang sebelumnya pernah dilakukan dalam mengkaji topik serupa. Gunanya, agar
skripsi ini mendapat posisinya dalam beberapa penelitian lain tersebut, selain tentu
saja memberi tambahan literatur dalam isu ini.
Untuk mendukung penelitian ini agar berjalan dengan baik dan sistematis, maka
disusunlah metodologi penelitian. Metodologi penelitian merupakan metode yang
akan dilakukan dalam menyusun skripsi ini; jenis penelitian, sumber data, metode
olah dan analisis data. Tujuannya, agar hasil penelitian sesuai dengan kaidah yang
berlaku dan penelitian tersusun dengan baik. Sub bab terakhir dalam bab pertama
berupa sistematika penulisan. Bagian ini merupakan penjelasan ringkas dari kajian
yang akan dibahas dalam setiap bab skripsi ini. Secara sederhana, bab ini
merupakan kerangka dari seluruh penelitian isi penelitian.26
Bab kedua,definisi dan penjelasan secara umum. Bab ini akan memberi definisi
perang (qitâl ) secara umum, di samping memberi batasan pada tema ini agar hasil
penelitian bisa efektif dan efisien. Bab ini juga akan kembali meninjau bagaimana
sejarah membicarakan perang dalam sudut pandang Islam, serta bagaimana
kemudian para ulama dan mufassir memberi interpretasi berbeda mengenai hal ini.
Bab ketiga, makna perang (qitâl) fî sabîl allâh dalam pandangan M. Rasyîd
Rida dan Sayyid Qutb. Di samping memberi pandangan perang dari keduanya, bab
ini juga menceritakan riwayat hidup keduanya, mulai dari biografi, pemikiran, dan
karya-karyanya.
Bab keempat, analisis komparatif tentang makna perang (qitâl ) fî sabîl allâh
dalam Alquran. Bab ini merupakan bab inti di mana pandangan dua ulama modern
tersebut mengenai perang dalam Islam akan dijabarkan. Mulai dari persamaan,
perbedaan, hingga faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Pendalaman itu akan
dilihat dan diambil dari karya besar dua ulama itu, yakni tafsir al- Manâr dan tafsir
Fî Zilâl al-Qur’ân.
Bab kelima, kesimpulan dan saran. Bab ini adalah bagian terakhir dari hasil
penelitian skripsi ini yang akan memuat simpulan dan saran. Bagian ini akan bisa
juga berupa jawaban pokok terhadap uraian dari bab pertama hingga keempat.
Kesimpulan dan saran merupakan rekomendari dari penulis.
26 Buku pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
15
BAB II
KAJIAN UMUM TENTANG PERANG DAN DASAR HUKUMNYA
A. Pengertian Perang (Qitâl)
Secara bahasa, perang adalah bentuk permusuhan antara dua atau beberapa
pihak. Baik antar perseorangan, kelompok, negara-bangsa melalui tentara, hingga
agama. Perang (qitâl) merupakan bentuk masdar dari kata qâtala-yuqâtilu, tepatnya
sulasi majid satu huruf bab fi’âl dari kata qâtala yang memiliki tiga pengertian:
pertama, berkelahi melawan seseorang. Kedua, memusuhi (adâhu) dan ketiga,
memerangi musuh (hârabahû al- ‘adâ’).1
Kata qitâl juga bisa berarti “meredakan” seperti contoh kalimat qatala al-barûd,
dan mencampuri sesuatu dengan yang lain, seperti contoh kalimat qataltu al—
homro bi al-mâ’i : saya mencampuri khamar dengan air.2 Kata qitâl juga salah satu
bentuk derivasi dari kata qatala yang memiliki beberapa arti sebagai berikut:
mencampur, mematikan atau membunuh, mengutuk, menolak keburukan,
menghilangkan lapar atau haus, menghina, merendahkan dan melecehkan.3
Sedangkan al-Qasimi mendefenisikan bahwa perang adalah melawan musuh
Islam berarti berjihad menghadapi mereka dengan tujuan dapat menghancurkan,
menundukkan, memaksa, atau melemahkan mereka.4
Dalam Alquran, selain al-qitâl, perang juga terjemahan dari kata al-harb dan al-
ghazwah. Namun, di antara ketiganya, kata qitâl lebih sering digunakan dalam
Alquran. Kata harb beserta derivasinya dalam Alquran disebutkan sebanyak enam
kali5, yaitu pada surah Al-Baqarah [2] ayat 279, al-Ma’idah [5] ayat 33 dan 64, al-
Anfal [8], ayat 57, at-Taubah [9] ayat 107, dan surah Muhammad [47] ayat 4.
Adapun bunyi ayat-ayat tersebut sebagai berikut:
QS. Al-Baqarah [2] ayat 279:
1 Ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab, (Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t), Jilid. V, h.3531. 2 Al-‘Allamah al-Râgib al- Asfahâni, Mufrâdât alfâz al-Qur’an, (Damaskus: Dâr al-Qalam,
2002), h.655-656. 3 Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Daūliyyah,
t.t.), Jilid II, h.715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam
(Jakarta: UIN PRESS, 2015). h. 155. 4 Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wἷ l (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, h.99. 5 Fu'ad ‘Abd al Bāqī, Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'ān al-Karīm (Beirut: Dār al-
Fikr, 1994), h. 197.
16
ذنوا برب تم ف لكم ر م ن فإن له ت فعلوا فأ لكم ل تظلمون ول أ ءوس ٱلله ورسولهۦ وإن ت ب مو
ون تظلم
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
QS. al-Ma’idah [5] ayat 33 dan 64:
ؤا ٱلهذين ياربون ٱلله ورسولهۥ ويسعون ف ٱلرض فسادا أن ي قت هلوا أو ي ا جز صلهب وا أو ت قطهع إنهلك م همأيديهم وأرجل يا ولم ف ٱلخرة عذاب ف لم خزي ن خلف أو ينفوا من ٱلرض ذ ن ٱلد
عظيم
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.
غ و بل يداه مبسوطتان ينفق كيف قالت ٱلي هود يد ٱلله مغلولة
لهت أيديهم ولعنوا با قالوا
هم ايشاء وليزيدنه كثي نا وكفرا طغينا رهب ك من إليك أنزل مها م ن ن ب وألقي وة وٱلب غضاء م ه ي ٱلعد
مة كلهما أوقدوا نر إل ي وم ٱ ل يب و ا ٱلله ويسعون ف ٱلرض فساد أطفأها ل لحرب القي ٱلله
ٱلمفسدين
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya
tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan
apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua
tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan
al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka.
Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka
sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah
tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.”
17
QS. al-Anfal [8], ayat 57:
قفن ههم ف ٱلرب فشر د بم مهن خلفهم لعلههم يذهكهرون فإمها ت ث
“Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah
orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya
mereka mengambil pelajaran”
QS. at-Taubah [9] ayat 107:
ا وكفرا ضرارا ا ٱتهذوا مسجدوٱلهذين ٱلله ورسولهۥ حارب ل من ا ادص ر ٱلمؤمني وإ بي وت فريق
ذبون م لك يشهد إنه وليحلفنه إن أردن إله ٱلسن وٱلله من ق بل
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan
masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin),
untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta
menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-
Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak
menghendaki selain kebaikan". Dan Allah menjadi saksi bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya)”.
QS. Muhammad [47] ayat 4:
ا ب عد وإمها فإذا لقيتم ٱلهذين وا ٱلوثق فإمها منه كفروا فضرب ٱلر قاب حته إذا أثخنتموهم فشد
هم ولكن ولو يشاء ٱلله لٱنتصر من لك لوا ب عضكم ب فداء حته تضع ٱلرب أوزارها ذ ب عض ل ي ب
لهم و ٱلهذين قتلوا ف سبيل ٱلله ف لن يضله أعم“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka
pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan
mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila
Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah
hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-
orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal
mereka”.
18
Sedangkan Kata qitâl, dalam Alquran disebut sebanyak sembilan kali,6 yakni
pada surah al-Baqarah [2] ayat 216, 217, 246; surah Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan
167; surah an-Nisa’[4] ayat 77; al-Anfal [8] ayat 65; al-Ahzab [33] ayat 25; dan
Muhammad [47] ayat 20. Penjabaran ayat-ayat tersebut akan dijelaskan pada bab
selanjutnya, sebab-sebab turunnya ayat qitâl dalam Alquran.
B. Dasar Hukum Perang (Qitâl)
Dasar hukum tentang perang (qitâl) berkaitan erat tentang perintah dan
larangannya dalam Alquran. Banyak ayat Alquran yang menyinggung tentang
perintah dan larangan berperang kepada Nabi Muhammad Saw., dan umat muslim.
Keduanya, selarik dengan beberapa faktor yang melatarbelakangi turunnya ayat-
ayat yang memerintahkan maupun yang melarang umat Islam dalam berperang. Di
antara beberapa alasannya adalah sebagai berikut:
a. Perintah Berperang dalam Alquran
1. Untuk membalas serangan musuh
Sebagai agama baru di tanah Arab, kedatangan Islam tentu memunculkan
kebencian dari kaum Quraisy sebagai pendahulu.7 Mereka beranggapan
bahwa agama baru yang dibawa Muhammad Saw., dianggap telah
mengganggu kepercayaan dan keyakinan mereka yang telah ada sebelumnya
dan telah diajarkan secara turun temurun di Jazirah Arab. Mereka, oleh
karenanya tak segan untuk melakukan penyerangan.8 Berbagai bentuk
serangan dan intimidasi terus diterima Nabi dan sahabat selama mereka dalam
masa-masa awal berada di Mekah. Meski demikian, Nabi tak kemudian
membalas semua perbuatan yang mereka terima, hingga pasca
perpindahannya ke Madinah, dan turunlah surah al-Baqarah [2] ayat 190
sebagai berikut:
6 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, (al-Qâhirah :
Dâr al-Hadἷs,t.t. ), h. 645. 7 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h. 159-160.
19
إنه ٱلله ل يب ٱلمعت تلونكم ول ت عتدوا دين وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Ayat di atas turun ketika Nabi Saw. bersama para sahabat bermaksud
melaksanakan ibadah umrah ke Mekah. Sesampainya di daerah Hudaibiyah,
sebuah daerah yang sangat subur, tiba-tiba mereka dihadang oleh kaum
musyrik dan dihalangi agar tidak masuk ke kota Mekah. Akhirnya, selama
sebulan, mereka hanya berdiam di tempat mereka dihentikan.9
Kemudian kaum musyrik membuat perjanjian dan memberi kesempatan
kepada Nabi agar kembali lagi pada tahun berikutnya. Inilah yang dikenal
dengan Sulh al- Hudaibiyah (Perdamaian Hudaibiyah). Mereka berjanji akan
membiarkan Nabi Saw., bersama para sahabatnya melaksanakan ibadah
umrah selama tiga hari dan melakukan apa saja selama waktu tersebut. Nabi
menyepakati perjanjian tersebut lalu beliau kembali ke Madinah. Namun, para
sahabat Nabi meragukan komitmen kaum musyrik tersebut. Para sahabat tidak
yakin mereka akan memenuhi perjanjian tersebut. Kaum muslimin ragu kalau
mereka tidak akan menghalangi dan memerangi lagi, padahal mereka tidak
ingin berperang bulan-bulan haram dan wilayah haram. Kemudian turunlah
ayat di atas.10
2. Melindungi Kebebasan dalam Beribadah
Dalam Alquran surah al-Ma’idah [5] ayat 97 Allah Swt.
menjelaskan, bahwasanya Ia telah menjadikan Bait al-Haram (Ka’bah)
sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah haji.
9Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.160. 10 Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Umar al- Razi, Mafâtih al- Ghaib, (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-
Turâṣ al- ‘Arabἷ , 1420 H/ 1990 M), Juz. V. h.287. Lihat juga al- Qurthubi, al- Jâmi’ li al- Ahkâm
al- Qur’an, ( Kairo: Dâr al- Kutub al- Misriyyah, 1964), Juz. II. H. 347. Lihat juga Lilik Ummu
Kaltsum, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.161.
20
ٱلكعبة ٱلب يت ٱلرام قيم و ل لنهاس ا جعل ٱلله لك لت علموا أنه ٱلله ئد ذ ٱلشههر ٱلرام وٱلدي وٱلقل
ت وما ف ٱلرض وأنه ٱلله بكل شيء عليم و ي علم ما ف ٱلسهم“Allah telah menjadikan Ka´bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan
dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya,
qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dijelaskan juga dalam Tafsir Ayat-ayat Ahkam karya Lilik Ummu
Kaltsum dkk, bahwa Tanah Haram ini dijamin keamananya oleh Allah Swt.,
hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran pada surah Ibrahim [14] ayat 35:
رهيم رب ذا ٱلب لد ءامنوإذ قال إب ٱجن بن وبنه أن ن هعبد ٱلصنام و ا ٱجعل ه“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku
daripada menyembah berhala-berhala”.
Secara eksplisit, bahwa potongan ayat pertama di atas (QS. Ibrahim:35)
menegaskan larangan kepada kaum Muslimin untuk tidak berperang
diwilayah Tanah Haram. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan
kepada kaum muslimin jika kaum musyrik melakukan penyerangan
ditempat itu.11
Al-Jasshash menjelaskan, bahwa Allah telah menjadikan Masjid al-
Haram sebagai tempat ibadah bagi umat beriman, tapi kaum musyrik
menjadikan rumah Allah itu sebagai tempat penempatan patung-patung
sembahan mereka. Mereka menghalngi kaum muslimin menggunakannya,
bahkan mereka mengusir keluar dari tanah kelahiran mereka.12 Pernyataan
itu berdasar pada QS. al-Baqarah [2]: 217.
11 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.172. 12 Aẖmad ibn ‘Ali Abi Bakr al-Razi al- Jasshas. Ahkâm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kutub
al- Ilmiyyah, 1405 H/ 1987 M), Juz. I. h. 402.
21
ۦ وٱلمسجد سبيل عن وصد كبي فيه قتال قل فيه ل ٱلرام قتا لونك عن ٱلشههر يس وكفر به ٱلله
نة أكب من ٱلقتل ول ي زالون ي ق وٱلفت تلونكم حته ٱلرام وإخراج أهلهۦ منه أكب عند ٱلله
حبطت فأولئك ومن ي رتدد منكم عن دينهۦ ف يمت وهو كافر ي ردوكم عن دينكم إن ٱستطعوا
لهم لدون ف أعم ب ٱلنهار هم فيها خ يا وٱلخرة وأولئك أصح ن ٱلد“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih
besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai
mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya”.
Segala upaya telah dilakukan oleh kaum musyrik untuk menghalangi
umat beriman dalam melakukan ibadah di Tanah Haram. Tujuannya adalah
untuk mengembalikan orang-orang yang telah beriman agar kembali ke
agama dan kepercayaan sebelumnya. Oleh karena itu, perang melawan
mereka tetap dibolehkan untuk melindungi dan memberikan kebebasan
kepada umat yang menjalankan ibadah.13
3. Untuk menegakkan kebenaran
Sebagaimana kedatangan Islam sejak awal, yakni untuk menghilangkan
tradisi-tradisi masyarakat Quraisy yang tidak buruk. Namun, niat baik
memang tak selalu diterima dengan baik. Meski sejak awal Nabi
Muhammad Saw. datang dengan wajah Islam yang santun dan tidak
sporadis, nyatanya sulit untuk diterima oleh kaum Quraisy. Bahkan
sebaliknya, Islam mendapat banyak perlakukan buruk dan intimidatif. Oleh
karenaya, kemudian Islam memerintahkan agar umat Islam bisa melawan
semua perlakuan-perlakuan itu. Dengan kata lain, Alquran kemudian
13 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.176.
22
membolehkan umat muslim untuk berperang melawan kaum Quraisy. Hal
ini sesuai dalam QS. at-Taubah ayat 12: م ل وإن نهكث وا أين هم م ن ب عد عهدهم ة ٱلكفر إنه تلوا أئمه أين لم لعلههم وطعنوا ف دينكم ف ق
ينت هون
“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan
mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-
orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang
tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”.
Ayat di atas menjelaskan perintah perang melawan para pemimpin kaum
musyrik. Perintah tersebut sebagai jawaban atau respons jika mereka
mengingkari janji yang telah disepakati bersama umat Islam. Oleh sebab itu,
perintah perang merupakan konsekuensi dari sikap mereka yang tidak
menepati janji. Janji yang telah dibuat di antara kaum muslimin dan kaum
musyrik adalah janji dalam melakukan kerjasama. Namun, kontrak kerja
sama tersebut dengan mudah dilanggar mereka. Ketika traktat politik
bernama Piagam Madinah dibuat Nabi Muhammad atas nama umat Islam
dan orang-orang Yahudi dan musyrik Madinah, namun dalam hitungan
bulan bahkan hari, piagam itu sudah dilanggar mereka.
Alih-alih bekerja sama membantu umat Islam sebagai sesama warga
Madinah, orang-orang Musyrik dan Yahudi Madinah itu justru membangun
aliansi dengan orang-orang musyrik Mekah memerangi umat Islam. Atas
peristiwa tersebut, maka meletuslah sejumlah peperangan antara umat Islam
dan orang Yahudi yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang Yahudi
“terlempar” dari tanah Madinah. Sejak itu hingga sekarang, Madinah tidak
lagi menjadi hunian prang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik.14
b. Larangan Berperang dalam Alquran
Pada mulanya, Islam datang dengan tanpa kekerasan. Apa yang dilakukan
Nabi Saw., di masa-masa awal penyebaran Islam di Mekah, dilakukan juga
dengan sembunyi-sembunyi dan ajakan ramah, atau dakwah bi al-hikmah. Para
14 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.176-177.
23
ahli tafsir juga sepakat bahwa sebelum periode hijrah, peperangan dilarang
dalam Islam.15 As-Shabuni menjelaskan beberapa alasannya:
1. Pada periode Mekah, kaum muslim secara kuantitas masih terbatas. Jika
dipaksakan berperang, penduduk Mekah akan enggan untuk masuk
Islam.
2. Menguji kesabaran kaum mukmin dalam melaksanakan perintah, dan
patuh pada komando Nabi Muhammad Saw. sambil menunggu izin
perang dari Allah Swt.
3. Menguji kesabaran kaum muslim dalam menerima gangguan dari para
pembenci Islam.16
Setelahnya, ayat perang kemudian turun pasca Nabi Saw., hijrah ke
Madinah. Meski begitu, hal itu tak sepenuhnya menjadi membuat kaum
muslim bebas dalam berperang. Alquran, dalam beberapa kondisi masih
melarang kaum muslim untuk berperang. Larangan-larangan tersebut sebagian
berkaitan dengan situasi tertentu, kelompok tertentu, dan di tempat tertentu:
1. Orang yang tidak melawan Islam
Kondisi ini adalah kebalikan dari situasi yang menyebabkan kaum
muslim akhirnya diizinkan untuk berperang. Jika perintah perang turun
pasca Nabi Saw., hijrah ke Madinah lantaran terus menerus mendapat
tekanan dari kaum kafir Quraisy, Islam melarang untuk lebih dulu memulai
perang. Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada QS. Al-Baqarah
[2]:190, sebagai berikut:
إ وقتلوا ف سبيل ٱلله تلونكم ول ت عتدوا نه ٱلله ل يب ٱلمعتدين ٱلهذين ي ق
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
15 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.177. 16 Muẖammad ‘Ali As-Shabuni. Rawâi’ al-Bayân, Tafsἷ r Ayât al-Aẖkâm min al-Qur’ân,
(t.t: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah,1997), I.h. 212-213.
24
Sebagian mufassir berpendapat, tindakan melampaui batas berarti
memerangi orang-orang yang tidak memerangi orang Islam atau berperang
bukan atas nama agama. Sementara menurut al-Mawardi, tindakan
melampaui batas berarti menyerang orang-orang musyrik yang tidak
terlibat dalam penyerangan, seperti perempuan dan anak kecil. Pendapat
tersebut juga diikuti oleh Ibnu ‘Abbad Mujahid dan Umar bin Abd al-
‘Aziz.17
2. Berperang melawan orang yang tidak terikat dengan perjanjian damai
Islam hadir sebagai agama yang membawa prinsip perdamaian. Nabi
Saw., oleh karenanya tetap memegang prinsip-prinsip ini agar tidak
memicu hal-hal yang menimbulkan perselisihan dan perdamaian. Untuk
menjaga visi ini, hal yang paling penting adalah kerjasama dan interaksi
social yang baik. Hal ini telah ditegaskan dalam QS. An-Nisa’ [4]: 90
sebagai berikut:
تل ن هم م يثق أو جاءوكم حصرت صدورهم أن ي ق نكم وب ي ب ي وكم أو إله ٱلهذين يصلون إل ق وم
تلوا ق ومهم ولو شاء لسلهطهم ي ق ت لوكم فإن ٱعت زلوكم ف لم ٱلله تلوكم وألقوا إليكم عليكم ف لق ي ق
لم فما جع لكم عليهم سبيل ٱلسه ل ٱلله“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum,
yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang
yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk
memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu
Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka
memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi
kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak
memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka”.
Menurut Ibnu ‘Athiyah, ketentuan dalam QS. an-Nisa’: 90 terjadi di
awal Islam saat Rasulullah Saw., menyepakati gencatan senjata dengan
sebagian suku Arab. Kemudian ayat tersebut turun berkaitan dengan
17 Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muẖammad Ibn Muẖammad Ibn Habib al-Basrἷ al-
Bagdadἷ al-Mawardἷ . An-Nukât wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.),
Juz. I.h. 251.
25
sebagian warga musyrik dari suku yang tidak memiliki perjanjian damai
dengan Rasulullah Saw., tetapi dia meminta suaka politik dan bergabung
dengan suku yang memiliki kerjasama dengan Islam.18
Ar-Razi juga menjelaskan bahwa setelah ada perintah perang kepada
kaum Muslimin melawan orang-orang kafir, ada dua kelompok dari mereka
yang dikecualikan.19 Adapun pengecualian tersebut sebagaiman dijelaskan
secara eksplisit pada ayat di atas mencakup: Pertama, adalah orang-orang
yang menjalin perjanjian berdamai dengan kaum Muslimin. Kedua, orang-
orang yang datang meminta suaka politik. Dua alasan tersebutlah, menurut
Ar-Razi, sebagai landasan untuk tidak memerangi mereka.20
3. Berperang di tempat ibadah
Islam melarang keras berperang di tempat ibadah. Sebab, tempat
ibadah adalah tempat yang disucikan dalam setiap ajaran agama.21 Tempat
ibadah, oleh karenanya harus harus bersih dari segala bentuk pertikaian
sesama manusia, terlebih peperangan dan pembunuhan. Salah satu tempat
ibadah yang oleh Alquran secara eksplisit dan tegas harus bersih dari segala
bentuk pertikaian adalah Masjidil Haram.
Sejak zaman Nabi Ibrahim As., Masjidil Haram telah menjadi tempat
ibadah kaum beriman untuk menunaikan ibadah haji dan umrah, dan
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh karenanya, Allah Swt., sangat
mengagungkan tempat tersebut dan kemudian menjaminnya sebagai tempat
yang paling dilindungi. Hal ini sesuai QS. al-Baqarah [2]: 191 sebagai
berikut:
ت لوهم حي تلوهم وٱق نة أشد من ٱلقتل ول ت ق ث ثقفتموهم وأخرجوهم م ن حيث أخرجوكم وٱلفت
ت لك جزاء ٱل عند ٱلمسجد ٱلرام حته ي ق ت لوهم كذ فرين لوكم فيه فإن قت لوكم فٱق ك
18 Abu Muẖammad ‘Abd al-Haqq Ibn Ghalib Ibn ‘Abd ar-rahman Ibn Tamam
Ibn ‘Athiyah. Al-Muharrar al-Wajiz fἷ Tafsἷ r al-Kitâb al- ‘Azἷ z, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1422 H), Juz II.h. 89. 19 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.181.
20 Ar- Razi, Mafâtih al- Ghaib, Juz.X. h.172 21 Lilik Ummu Kaltsum, dkk., Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.182
26
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat
itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir”.
Menurut At-Thabari, bahwa ayat di atas merupakan larangan bagi
orangorang yang beriman untuk memulai peperangan melawan orang-orang
musyrik di Masjidil Haram sampai mereka memulainya terlebih dahulu.
Kalau mereka melakukan penyerangan dan pembunuhan di rumah Allah
tersebut, maka tidak masalah sekiranya umat Islam melakukan tindakan
balasan atas perbuatan buruk mereka tersebut.22
C. Tujuan Perang (Qitâl)
Mengapa sejarah penyebaran Islam banyak dilalui dengan peperangan.
Barangkali itu salah satu pertanyaan penting yang harus dijawab. At-Thabari
menjelaskan, peperangan bertujuan agar manusia tak lagi menyekutukan Allah Swt.
Tak ada lagi manusia yang menyembah patung, pepohonan, matahari, atau Sesutu
apapun sebagai tuhan. Dan sebaliknya, dapat menjadikan Allah sebagai Tuhan satu-
satunya.23 Ar-Razi menegaskan, perang merupakan salah satu usaha agar manusia
bisa melawan orang-orang musyrik dalam upaya untuk menegakkan agama Allah.
Tujuan tersebut, menurut ar-Razi bisa tercapai dengan cara berperang.24
Dalam Alquran surah al-Anfal [8] ayat 39 disebut bahwa tujuan perang qitâl
adalah agar tak ada lagi yang manusia yang musyrik. Sebaliknya, mampu
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
نة فإن ٱنت هوا فإنه ٱلله با ي عملون بصي ويكون وقتلوهم حته ل تكون فت ين كلهۥ لله ٱلد
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”.
22 Muẖammad ibn Jarir at-Thabari. Jâmi’ al- Bayân fἷ Tawἷ l Ayi al- Qur’an, (Beirut:
Muassasah ar-Risalah, 2000), Jilid. III.h. 566-567 23 at-Thabari. Jâmi’ al- Bayân fἷ Tawἷ l Ayi al- Qur’an, Juz XIII, h. 570. 24 al- Razi, Mafâtih al- Ghaib, Juz. XV, h.483-484
27
Ayat tersebut dengan terang menunjukkan perintah berperang melawan musuh.
Perintah dalam ayat tersebut jika ditelusuri lebih jauh, akan semakin lebih jelas
tentang perintah berperang dalam Alquran.25
Kata “fitnah” dalam ayat di atas, diartikan sebagai gangguan-gangguan
terhadap umat Islam dan Islam. Menurut An-Nasafi dan al-Maraghi, yang dimaksud
dengan “agama itu semata-mata untuk Allah” adalah tegaknya agama Islam dan
hilangnya kebatilan.
Sementara al-Jashash, mengutip pendapat Muhammad bin Ishaq menjelaskan,
maksud “fitnah” pada al-Anfal [8] ayat 39 adalah kekafiran, kerusakan, atau
kejahatan. Disebut kekafiran, sebab di dalamnya mengandung kerusakan.26
Pendapat serupa juga dijelaskan al-Wahidi, bahwa tujuan perang adalah agar tak
manusia meyakini ke-Esaan Allah dan hanya beribadah kepadanya.27
Tujuan di atas dipertegas dalam Hadis Nabi saw., “Barang siapa berperang agar
kalimat Allah tegak berdiri maka dia berada di jalan Allah” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud dan lainnya). Dengan demikian, perang dilakukan semata-mata karena
Allah demi kejayaan agama-Nya di muka bumi. Allah menjamin pahala yang besar
bagi orang yang melaksanakannya, baik kalah maupun menang, baik terbunuh di
medan perang maupun tetap hidup dan kembali ke keluarganya. Perang
disyariatkan bukan untuk mencari kemuliaan duniawi atau popularitas pribadi,
golongan atau suku tertentu, melainkan untuk memperoleh keridaan Allah Swt.
Sebagian mufassir berpendapat bahwa seorang muslim yang berperang di
medan perang harus memantapkan hatinya di jalan Allah sehingga ia harus
bersungguh-sungguh untuk mengalahkan musuh. Karena itu, seorang mujahid atau
yang berperang di jalan Allah tidak boleh berniat hanya untuk terbunuh di
dalamnya.28
25 Lilik Ummu Kaltsum dkk.Tafsir Ayat Ahkam, h. 157. 26 Al-Jasshash, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al’Ilmiyyah), Juz IV, h. 229. 27 Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Ali al-Wahidi. Al-Wajἷ z fἷ Tafsἷ r
al-Kitâb al-‘Azἷ z, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1415 H/1995 M), Juz. I, h. 155. 28 Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi.
Anwâr at-Tanzἷ l wa Asrar at-Ta‟wἷ l, (Beirut: Dâr al-Ihyâ’ at-Turâs al-‘Arabἷ , 1418 H), Juz. II,
h. 84.
28
Dari semua pendapat di atas dapat disimpulkan. Pada intinya, perang
merupakan salah satu cara agar manusia menyembah Allah Swt. dan dengan tegas
melarang segala bentuk kekufuran yang yang bersifat menyekutukan-Nya.
D. Sejarah Perang (Qitâl)
Kebesaran Islam, tak dipungkiri lahir dari banyak darah yang mengalir dan
nyawa yang melayang. Dalam hal ini tentu saja, ada begitu banyak peperangan yang
diikuti oleh kaum muslim. Kedatangan Islam, pada faktanya bukan hanya
membawa pesan damai ke seluruh penjuru dunia, namun di balik itu, Islam juga
telah mengubah masyarakat Arab sebagai mesin perang yang tidak bisa dihentikan.
Sebelum Islam, orang Arab tidak mencari motif untuk melakukan perang mereka;
organisasi sosial mereka membutuhkan perang, dan tanpa kemenangan, itu akan
runtuh.
Bagi mereka perang adalah bagian alami dari kehidupan.29 Watak keras dan suka
perang yang dimiliki masyarakat Arab ini memang berkaitan dengan kondisi
geografis mereka, tidak ada sumber air yang mengalir berlimpah, yang ada
hanyalah lembah-lembah di musim hujan yang disebut oasis.30 Penduduk di
pedalaman terdiri dari suku-suku Badui yang berkelompok dan nomaden. Mereka
sering berebut air minum.31
Meski begitu, tanpa Islam, tidak mungkin penaklukan Suriah dan Irak akan
terjadi. Tanpa Islam dan kepribadian karismatik Muhammad, tidak mungkin
mereka akan mengatasi sifat kerasnya masyarakat kesukuan mereka dan
permusuhan yang tiada henti. Islam menyatukan mereka, menekan suku-suku dan
memberi mereka kesatuan yang memungkinkan penaklukan.
Di masa hidupnya, Nabi Muhammad Saw. sendiri tercatat telah mengikuti 19-21
peperangan (ghazwah). Jumlah itu adalah perang yang langsung dipimpin sendiri
oleh Nabi Saw. Bahkan, ada yang mencatat sampai 27 kali peperangan. Selain
ghzawah, ada pula peperangan-peperangan lain yang disebut sariyyah (yang tidak
29 George F. Nafziger and Mark W. Walton, Islam at War, (London: Praeger Publishers,
2003), h. 208. 30 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h.
25-26. 31 Jurji Zaidan, History of Islamic Civilization (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), h. 25-
26.
29
dipimpin oleh Nabi Saw) atau perang kecil yang jumlahnya antara 35 sampai 42
kali peperangan.32
Menurut Gamal al-Banna, usaha untuk memahami ayat qitâl, dan sebagaimana
bentuk penerapannya, tidak akan tercapai dengan baik tanpa memahami kondisi
dan sebab-sebab yang melatarbelakangi ayat tersebut diturunkan, kepindahan dari
Mekah ke Madinah bukanlah semata perpindahan dari suatu tempat ketempat lain,
akan tetapi merupakan kepindahan dari sebuah model masyarakat ke model
masyarakat yang lain yang memiliki sifat, karakter serta memiliki spesifikasi
tersendiri yang sangat berbeda dibandingkan dengan spesifikasi yang dimiliki oleh
masyarakat Quraisy.33
Hijrah hanyalah langkah pertama dari Revolusi Islam. Islam bukan agama
kependetaan sebagaimana halnya gama-agama Arab lain yang telah ada, Islam
adalah agama revolusioner yang menggantikan pandangan kabilah dengan “umat”
dan kepercayaan nenek moyang dengan syariah, menggantikan berhala-berhala
dengan Allah Swt.34 Saat masih di Mekah, Nabi sebetulnya bisa menerima tawaran
dari suku Quraisy untuk menjadi pemimpin mereka. Namun Nabi menolak, sebab
ia ada bukan hanya untuk menjadi pemimpin dari satu kelompok masyarakat
tertentu, namun pemimpin semua umat. Terbukti, pada perjalanannya, Nabi bukan
hanya menyatukan masyarakat Arab yang telah biasa hidup dengan peperangan,
namun semua manusia dengan berada di bawah panji Islam. Meski kadang jalan itu
ditempuh Nabi dengan berperang.
Demikanlah Islam berada pada kondisi yang menuntut penggunaan pedang,
sementara kaum musyrik tidak berhenti sampai di situ saja, Yahudi juga demikian,
mereka tidak mau menghentikan desas desus fitnah miring serta provokasi yang
mereka lakukan, bahkan sebagian orang Badui dan pengikut Abdullah bin Ubey
yang disebut dalam Alquran sebagai kaum “munafik” juga tidak rela membiarkan
Islam dalam keadaan aman dan damai.
Perbenturan antara kebudayaan lama dan baru yang dibawa oleh Islam memang
mesti terjadi. Maka, Islam kali pertama berbernturan dengan budaya Paganisme,
32 A. Lalu Zaenuri. Qitâl Dalam Perspektif Islam, JDIS Vol. 1, No. 1. 33 Gamal al- Banna. Jihad, Terj. Tim MataAir Publishing, Pengantar: Nasiruddin Umar
(Jakarta: MataAir Publishing, 2006), h. 71. 34 Saddam Husain Harahap, Tesis, Perang dalam Perspektif Alquran, Program Studi
Tafsir Hadis, Program Pascasarjana, UIN Sumatera Utara (Medan:2016), h. 18.
30
inilah perbenturan yang dialami dalam sejarah Islam atau yang disebut “benturan
peradaban”. Itulah posisi Islam dalam pengakuannya terhadap tindakan qitâl.35
1. Periodesasi Perang (qitâl)
Menurut pandangan Syeikh ‘Abd al-Aziz bin Baz, perang dalam Alquran
terbagi menjadi tiga periode:
Periode Pertama, umat Islam diizinkan berperang tanpa ada kewajiban
untuk itu. Dengan kata lain, bahwa perang belum merupakan suatu kewajiban.
Hal tersebut berdasarkan QS. Al-Hajj [22] ayat 39:
وإنه ٱلله على نصرهم لقدير أذن للهذيم ظلموا ت لون بنه ن ي ق
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu”.
Periode Kedua, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang
yang memerangi mereka saja, sementara orang-orang yang tidak memerangi
mereka tidak boleh diperangi. Dalam hal ini sesuai dengan firman Allah QS.
al-Baqarah [2] ayat 190:
إنه ٱلله ل يب ٱلمعت تلونكم ول ت عتدوا دين وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Periode Ketiga, umat Islam diperintahkan untuk memerangi orang-orang
musyrik secara mutlak, baik mereka yang memerangi umat Islam maupun
tidak. Tujuannya adalah agar kemusyrikan lenyap dari muka bumi dan manusia
semuanya tunduk kepada Allah.36 Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Anfal [8]
ayat 39:
35 Al-Banna. Jihad, h.76. 36 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1.
31
نة وقتلوهم حته فإن ٱنت هوا فإنه ٱلله با ي عملون بصي ويكون ل تكون فت ين كلهۥ لله ٱلد
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”.
2. Perang (qitâl) di Masa Rasulullah Saw.
Berikut ini adalah beberapa peristiwa perang (qitâl) besar yang pernah
terjadi di masa Nabi Saw.:
a. Perang Badar
Perang Badar adalah perang pertama yang dilakukan oleh kaum
muslim. Perang ini sekaligus telah menguatkan posisi Nabi di tanah Arab.
Meski dengan jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit dibanding musuh,
Nabi Bersama para sahabat berhasil memenangkan perang. Kemenangan
pada perang Badar disebut sebagai sanksi langsung dari Allah Swt., dengan
keyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw., telah dikenal.37 Selain itu,
kemenangan itu juga menguatkan kedudukan pasukan muslim dalam
perang-perang setelahnya sebagai pasukan yang disiplin dan berani mati.
Kedua faktor inilah yang menjadi ciri khas perang umat Islam dalam 1.500
tahun berikutnya.38
Dalam perang itu, Rasulullah saw., berangkat bersama tiga ratusan
orang sahabat dalam perang Badar. Beberapa riwayat mengatakan mereka
berjumlah antara 313, 314, dan 317 orang sahabat. Mereka kira-kira terdiri
dari 82 atau 86 Muhajirin serta 61 kabilah Aus dan 170 kabilah Khazraj.
Kaum muslimin memang tidak berkumpul dalam jumlah besar dan tidak
melakukan persiapan sempurna. Mereka hanya memiliki dua ekor kuda,
memiliki Zubair bin Awwam dan Miqdad bin Aswad al-Kindi.
Di samping itu, mereka hanya membawa tujuh puluh onta yang
dikendarai secara bergantian, setiap onta untuk dua atau tiga orang.
Rasulullah saw., sendiri bergantian mengendarai onta dengan Ali dan
Mursid bin Abi Mursid Al Ghanawi. Sementara jumlah pasukan kafir
Quraisy sepuluh kali lipat. Tidak kurang seribu tiga ratusan prajurit. Dengan
37 George F. Nafziger and Mark W. Walton, Islam at War h. 6. 38 George F. Nafziger and Mark W. Walton, Islam at War, h. 7
32
seratus kuda dan enam ratus perisai, serta onta yang jumlahnya tidak
diketahui secara pasti, dan dipimpin langsung oleh Abu Jahal bin Hisyam.
Sedangkan pendanaan perang ditanggung langsung oleh sembilan
pemimpin Quraisy. Setiap hari, mereka menyembelih sekitar sembilan atau
sepuluh ekor onta.39
b. Perang Uhud
Kekalahan diperang Badar menanamkan dendam mendalam di hati
kaum kafir Quraisy. Mereka pun keluar ke bukit Uhud hendak menyerang
kaum muslimin. Pasukan Islam berangkat dengan kekuatan sekitar seribu
orang prajurit, seratus orang diantaranya menggunakan baju besi, dan lima
puluh orang lainnya dengan menunggang kuda.
Di sebuah tempat bernama asy-Syauth, kaum muslimin melakukan salat
subuh. Tempat tersebut sangat dekat dengan musuh sehingga mereka bisa
dengan mudah saling melihat. Ternyata pasukan kafir Quraisy berjumlah
sangat banyak. Mereka berjumlah tiga ribu tentara, terdiri dari orang-orang
Quraisy dan sekutunya. Mereka juga memiliki tiga ribu onta, dua ratus ekor
kuda dan tujuh ratus baju besi.
Pada kondisi sulit tersebut, Abdullah bin Ubay, sang munafik,
berkhianat dengan membujuk kaum muslimin untuk kembali ke Madinah.
Sepertiga pasukan (sekitar tiga ratus prajurit) mundur, Abdullah bin Ubay
mengatakan, “Kami tidak tahu mengapa kami membunuh diri kami
sendiri?”
Namun, setelah kemundurun tiga ratus prajurit tersebut, Rasulullah
melakukan konsolidasi dengan sisa pasukan yang jumlahnya sekitar tujuh
ratus prajurit untuk melanjutkan perang. Allah memberi mereka
kemenangan, meski awalnya sempat kocar-kacir.40
c. Perang Tabuk
Perang Tabuk adalah merupakan kelanjutan dari perang Mu’tah. Pada
saat itu Romawi memiliki kekuatan militer paling besar. Kaum muslimin
mendengar persiapan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Romawi
39 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1 40 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1
33
dan raja Ghassan. Informasi tentang jumlah pasukan yang dihimpun adalah
sekitar empat puluh ribu personil. Keadaan semakin kritis, karena suasana
kemarau, kaum muslimin tengah berada di tengah kesulitan dan kekurangan
pangan.
Mendengar persiapan besar pasukan Romawi, kaum muslimin berlomba
melakukan persiapan perang. Para tokoh sahabat memberi infaq fî sabîl
Allâh dalam suasana yang sangat mengagumkan. Usman menyedekahkan
dua ratus onta lengkap dengan pelana dan barang-barang yang diangkutnya.
Kemudian ia menambahkan lagi sekitar seratus onta lengkap dengan pelana
dan perlengkapannya. Lalu ia datang lagi dengan membawa seribu dinar
diletakkan di pangkuan Rasulullah saw. Usman terus berinfak hingga
jumlahnya mencapai sembilan ratus onta dan seratus kuda, dan uang dalam
jumlah besar. Abdurrahman bin ‘Auf membawa dua ratus uqiyah perak.
Dan Abu Bakar membawa seluruh hartanya dan tidak menyisakan untuk
keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Umar datang
menyerahkan setengah hartanya. Abbas datang menyerahkan harta yang
cukup banyak. Thalhah, Sa’ad bin Ubadah dan Muhammad bin Maslamah,
semuanya datang memberikan infaknya. Ashim bin Adi datang dengan
menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma dan diikuti oleh para sahabat
yang lainnya.
Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup besar, tiga
puluh ribu personil. Tapi, mereka minim perlengkapan perang. Bekal
makanan dan kendaraan yang ada masih sangat sedikit dibanding dengan
jumlah pasukan. Setiap delapan belas orang mendapat jatah satu onta yang
mereka kendarai secara bergantian. Berulang kali mereka memakan
dedaunan sehingga bibir mereka rusak.
Mereka terpaksa menyembelih onta, meski jumlahnya sedikit, agar
dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh
karena itu, pasukan tersebut dinamakan Jaisyu al-‘Usrah, (pasukan yang
berada dalam kesulitan).41
41 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1
34
Selain beberapa perang tersebut, ada pula perang Ahzab di mana ini adalah
perang yang dipimpin oleh dua puluh pimpinan Yahudi Bani Nadhir datang ke
Mekah, untuk melakukan provokasi agar kaum kafir mau bersatu untuk
menumpas kaum muslimin.
Selain itu ada Perang Mu’tah, di mana menjadi jalan pembuka untuk
menaklukkan negeri-negeri Nasrani. Pemicu perang Mu‟tah adalah
pembunuhan utusan Rasulullah yang bernama al-Haris bin Umair yang
diperintahkan menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Al-Haris dicegat
oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur di wilayah Balqa di Syam,
ditangkap dan dipenggal lehernya. Khusus perang ini, Rasulullah
mempersiapkan 3000 prajurit. Jumlah itu adalah jumlah terbesar yang
dipersiapkan Nabi selama memimpin perang.42
E. Asbâb al-Nuzul Ayat-ayat Qitâl
Kata qitâl, dalam Alquran disebut sebanyak sembilan kali,43 yakni pada surah al-
Baqarah [2] ayat 216, 217, 246; surah Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan 167; surah an-
Nisa’[4] ayat 77; al-Anfal [8] ayat 65; al-Ahzab [33] ayat 25; dan Muhammad [47]
ayat 20. Berikut adalah sebab-sebab turunnya ayat qitâl dalam Alquran.
QS. al-Baqarah [2] ayat 216, 217, 246 :
ا شي تبوا أن وعسى لهكم خي وهو ا شي تكرهوا أن وعسى لهكم كتب عليكم ٱلقتال وهو كره ي علم وأنتم ل ت علمون و لهكم شر وهو ٱلله
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
42 Zaenuri. Qitâl, JDIS Vol. 1, No. 1 43 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li al-fâz al-Qurân, h. 645.
Menurut al-Asfahani, sebanyak 12 kali. Lihat Ar-Ragib al-Asfahani, al-Mufradat fi Garib al-
Qur’an, cet. ke-1, jilid 1 (Damaskus: Dar al-Qalam, 1412 H), h. 655. Menurut Lilik Ummi
Kaltsum dkk.Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h. 142, disebut sebanyak 13 kali ditambah beberapa bentuk
kata derivasinya.
35
هر ٱلرام قتا يس فيه قتال قل فيه ل لونك عن ٱلشه ۦ وٱلمسجد سبيل عن وصد كبي وكفر به ٱللهنة أكب من ٱلقتل ول ي ز ٱلرام وإخراج أهلهۦ منه
وٱلفت تلونكم حته أكب عند ٱلله الون ي ق ومن ي رتدد منكم عن دينهۦ ف يمت وهو كافر ي ردوكم عن دينكم إن ٱستطع حبطت فأولئك وا
لهم ب ٱلنهار هم فيها ف أعم يا وٱلخرة وأولئك أصح ن لدون ٱلد خ“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih
besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai
mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya”.
ب عد موسى إذ قالوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من بن م إسرءيل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق
تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله قال هل عسي قالوا وما لنا ٱللهتلوا تل ف سبيل ٱلله ت ق وقد أله ن ق
ا كتب عليهم ٱلقتال ت ولهوا إله قليل نائنا ف لمه هم أخرجنا من ديرن وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah
Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka:
"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah
pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika
kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka
menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal
sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang
itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di
antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.
Sebab turunnya QS. Al-Baqarah ayat 217 menurut Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim,
at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al Baihaqi dalam sunannya,
meriwayatkan dari Jundub bin Abdillah bahwa Rasulullah mengutus beberapa
orang lelaki yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Ketika dalam perjalanan,
mereka bertemu dengan Ibn al-Hadrami.
Lalu, mereka membunuhnya dan mereka tidak tahu bahwa ketika itu adalah
bulan Rajab atau bulan Jumadil. Maka orang-orang Musyrik berkata kepada orang-
36
orang Muslim, “Kalian membunuh pada bulan haram”. Maka turunlah Firman
Allah QS. Al-Baqarah ayat 217 di atas.44
Sebagian dari mereka berkata, “Jika mereka tidak mendapatkan dosa karena
yang mereka lakukan itu, maka mereka tidak mendapatkan pahala. Maka turun
jugalah firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 218. Ibnu Mandah menyebutkan riwayat
di atas dalam kitab aṣ-ṣaẖâbah dari jalur Usman bin Atha” dari ayahnya dari Ibnu
Abbas.45
QS. Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan 167.
سيع عليم وٱللهعد للقتال وإذ غدوت من أهلك ت ب و ئ ٱلمؤمني مق
“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah)
keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk
berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun sebab turunnya ayat di atas adalah Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya’la
meriwayatkan dari al-Miswar bin Makhramah, dia berkata, “Saya katakan kepada
Ibnu Mas’ud, ‘Beri tahu saya tentang kisah kalian pada peperangan Uhud’. Ibnu
Mas’ud menjawab, ‘Bacalah ayat 120 dari surah ‘Ali ‘Imran, maka engkau akan
mendapati kisah kami’. Lalu turunlah ayat 121 surah ‘Ali ‘Imran hingga firman
Allah Swt. QS. Ali ‘Imran ayat 122 turun.”
Ibnu Mas’ud berkata lagi, ‘Mereka adalah orang-orang yang meminta jaminan
keamanan kepada orang-orang musyrik’, hingga firman-Nya, QS. ‘Ali ‘Imran ayat
143 turun. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Itu adalah angan-angan para orang mukmin untuk
bertemu musuh, hingga firman-Nya turun QS. Ali Imran ayat 144. Ibnu Mas’ud
berkata lagi, ‘Itu adalah teriakan setan pada perang Uhud, yaitu, Muhammad telah
terbunuh’.
Hingga firmanya,.... Keamanan (berupa) kantuk...., maksudnya adalah membuat
mereka merasa mengantuk.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia
berkata, Firman Allah QS. Ali Imran ayat 122.
44 Jalaluddin as-Suyuti, Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, Terjemahan: Tim Abdul
Hayyie,(Jakarta: Gema Insani, 2008) Cet.I. h.88-89. 45 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, h.89.
37
Ayat itu turun kepada kami, Bani Salamah dan Bani Haritsah.46 Ibnu Abi
Syaibah dalam al-Musannaf dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari asy-Sya’bi
bahwa pada Perang Badar orang-orang Muslim mendengar bahwa Kirz bin Jabir al-
Muharibi memberi bantuan kepada orang-orang musyrik. Hal itu membuat orang-
orang muslim merasa kacau. Lalu Allah menurunkan firman-Nya QS. Ali Imran
Ayat 124-125.
Kemudian Kirz mendengar berita kekalahan orang-orang musyrik. Maka dia pun
tidak jadi memberi bantuan kepada orang-orang musyrik dan Allah pun tidak
memberi bantuan pasukan lima ribu malaikat kepada orang-orang Muslim.47
وقيل لم قالوا لو ن علم قتال ولي علم ٱلهذين نف قوا
كم له ت عالوا قتلوا ف سبيل ٱلله أو ٱدف عوا ٱت هب عن
وههم مها لي هم للين ي قولون بف رب من أعلم با يكت هم للكفر ي ومئذ أق مون س ف ق لوبم وٱلله“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada
mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah
(dirimu)". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi
peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih
dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan
mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih
mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan”.
QS. An-Nisa’[4] ayat 77:
ة ف لمها كت ة وءاتوا ٱلزهكو ب عليهم أل ت ر إل ٱلهذين قيل لم كفوا أيديكم وأقيموا ٱلصهلو
هم ٱلقتال إذا فريق ن شون م كت بت ل رب هنا وقالوا خشية ٱلنهاس كخشية ٱلله أو أشده ي
نا رت نا إل أجل علي يا قليل متع قل قريب ٱلقتال لول أخهن ٱت هقى ل من ٱلخرة خي و ٱلد
ول تظلمون فتيل
46 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, h.131-132. Lihat juga HR Bukhari
dalam Kitab al-Magâzi, No. 3745 dan HR Muslim dalam Kitab al-Fadâ’i li aṣ-ṣaẖâbh, No. 4560. 47 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, h.132-133.
38
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka:
"Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan
tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba
sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh),
seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka
berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada
kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada
kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”.
Sebab Turunnya ayat:
Nasa’i dan al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin
‘Auf dan beberapa rekannya mendatangi Nabi Saw., lalu mereka berkata, “Wahai
Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang yang mulia.
Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang hina”.
Rasulullah Saw., pun bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk
memafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu”.
Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk memerangi musuh,
namun orang-orang tadi (Abdurrahman bin ‘Auf dkk.) enggan melakukannya.
Maka turunlah firman Allah, “Tidakkah engakau memperhatikan orang-orang
yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang),....” hingga
akhir ayat.48
QS. al-Anfal [8] ayat 65
إن يكن م نكم عشرون ي ها ٱلنهب حر ض ٱلمؤمني على ٱلقتال بون ي غلبوا مائ تي وإن يكن ي ص
م ق وم م ن ألفا ي غلب وا م نكم م ائة هون ي فق له ٱلهذين كفروا بنه“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada
dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang
kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”
Sebab Turunnya Ayat:
48 As-Suyuti. Sebab-sebab turunnya ayat Al Qur’an h.180-181. Lihat juga HR an-Nasa’i
dalam Kitâb al-Jihâd,No. 3036 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, No. 2338.
39
Ishaq bin Râhawih, dalam al-Musnad-nya, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
berkata, “Ketika Allah mewajibkan agar setiap orang menghadapi sepuluh musuh,
mereka merasa keberatan. Maka Allah pun meringankannya sampai satu lawan dua.
Lalu Allah menurunkan ayat “... Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara
kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh ...,” hingga akhir
ayat.49
QS. al-Ahzab [33] ayat 25:
ٱلهذين كفروا بغيظهم ل قويا عزيز وكفى ا ي نالوا خي ورده ٱلله وكان ٱلله ٱلمؤمني ٱلقتال اٱلله
“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun.
Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan
adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”.
QS. Muhammad [47] ayat 20
ٱلهذين ف ٱلقتال رأيت فيها وذكر مة ك م سورة أنزلت فإذا وي قول ٱلهذين ءامنوا لول ن ز لت سورة
ٱلمغشي عليه من ٱلموت فأول لم نظر إليك ينظرون ق لوبم مهرض “Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu
surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan
disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada
penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang
yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka”.
49 As-Suyuti, Sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an, h.269-270. Lihat juga Ibnu Kasir
Jilid IV. h.429. dan Lihat Fath al-Bâri, J.VIII. h.312 dan Lihat Tafsir al-Qurthubi, J. IV. h.2971.
40
BAB III
RIWAYAT HIDUP M. RASYÎD RIDA DAN SAYYID QUTB
A. Riwayat Hidup M. Rasyîd Rida
a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan
“Aku tadinya menanggap saudaraku, adalah seorang nabi. Tapi ketika aku
tahu bahwa Nabi Muhammad Saw., adalah penutup seluruh nabi dan rasul,
aku menjadi yakin bahwa dia adalah seorang wali”. Demikian penuturan
Sayyid Shaleh, adik dari Sayyid M. Rasyîd Rida, atau masyhur dikenal M.
Rasyîd Rida, salah satu ulama penting di era modern, juga murid dari ulama
penting modern lain, Muhammad Abduh.1
Muhammad Rasyîd Rida Ibn Ali Rida Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn
Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah, nama lengkapnya, lahir di Qalamun,
sebuah wilayah dari pemerintahan Tarablus Syam (satu wilayah yang kini
meliputi Lebanon, Palestina, dan Syuriah) pada 1282 H/1865 M. Lebih
spesifik, Qalamun adalah sebuah desa yang terletak di pantai Laut Tengah,
sekitar tiga mil dari kota Lebanon, yang waktu itu merupakan bagian dari
wilayah kerajaan Turi Utsmani.2 Perlu diketahui, waktu itu Turki Utsmani
(Ottoman) masih merupakan Daulah Islamiyah besar dan menjadi salah satu
pemerintahan adikuasa di dunia.
Rasyîd Rida berasal dari keluarga terhormat yang berhijrah dari Baghdad
dan kemudian menetap di Qalamun. Rasyîd Rida lahir tepat pada 18 Oktober
1865, di sebuah daerah dengan tradisi Islam Sunni yang kuat.3 Tempat
tarekat-tarekat berperan pernting.4 Kondisi sosil kultural inilah yang kelak
juga akan berpengaruh pada dasar keagamaan seorang Rasyîd Rida.
Gelar “Sayyid” diterima Rasyîd Rida dari ayah dan ibunya. Keduanya
berasal dari keturunan al-Husayn, putra Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah,
1 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 45. 2 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar (Cet. I:
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 26. 3 Muhammad Imarah, Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami diterjemahkan oleh Muhammad
Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), h.1. 4 Elizabeth Sirriyeh, Sufis and Anti Sufis diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan judul
Sufi dan Anti-sufi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h.146.
41
Putri Rasulullah Saw. Itulah sebabnya, ia juga kerap menyebut tokoh-tokoh
ahl al-bayt seperti Ali bin Abi Thalib, al-Husain, dan Ja’far al-Shadiq dengan
Jadduna (nenek moyang kami).5 Selain mungkin karena ayah Rasyîd Rida
bernama al-Sayyid Ali- Rida adalah seorang Sunni bermazhab Syafi’i.6
Rida kecil hidup di daerah dengan tradisi keislaman Sunni yang kuat.
Sejak usia tujuh tahun, ia dimasukkan orang tuanya ke madrasah tradisional
di Qalamun. Ia belajar di taman-taman Pendidikan yang disebut al-Kuttab. Di
sana ia belajar membaca Alquran, menulis, dan berhitung. Ia belajar dari
banyak guru. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rida kecil dikenal
memang rajin dan banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan
membaca, selain memang memiliki kecerdasan yang tinggi.
Selesai di al-Kuttab di desanya, Rida lalu dikirim orang tuanya ke Tripoli
(Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah dan mengajarkan ilmu nahwu,
Sharaf, akidah, fiqih, berhitung, hingga ilmu bumi. Ia belajar itu semua
menggunakan Bahasa Turki, sebab madrasah tempat ia belajar adalah sekolah
yang sengaja dipersiapkan untuk mencetak para pegawai pemerintah Turki
Utsmani.7 Rasyîd Rida, oleh karena itu, setelah mengetahui itu semua setahun
kemudia memutuskan untuk pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah
Wathaniyah Islamiyah yang merupakan sekolah terbaik waktu itu. Selain
menggunakan bahasa Arab, sekolah ini juga mengajarkan Rasyi Rida bahasa
Turki dan Prancis.8
Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh
Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan
pemikiran Rida sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian
sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh Husain al-Jisr pula,
Rasyîd Rida kelak mendapat kesempatan untuk menulis di beberapa surat
kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar.
5 Fahd al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir, (Beirut:
Mu’assasah al–Risalah, 1981 M) h.172. 6 Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih (Cet. I Riyadh:
Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933), h. 18. 7 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, (Kairo: al-Muassasah
Mishiyyah al-Ammah,t.th), h.19. 8 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 25.
42
Selain Syaikh Husain al-Jisr, Sayyid Muhammad Rasyîd Rida juga
belajar dari Syaikh Mahmud Nasybah, seorang ulama ahli hadis.9 Darinya,
Rida banyak belajar hadis, dan oleh karenanya ia kemudian digelari
Voltaire10-nya kaum muslim karena kedalaman ilmu hadisnya. Rasyîd Rida
juga belajar hadis dari Syaikh Abdul Gani ar-Rafi. Kepadanya, Rasyîd Rida
belajar sebagian dari kitab hadis Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang
dikarang Asy-Syaukani, seorang ulama bermazhab Syiah Saidiyah).11
Rasyîd Rida adalah seorang pembelajar yang tekun. Ia selalu bisa
membagi waktunya antara ilmu dan ibadah. Ibunda Rasyîd Rida bahkan
sempat bercerta, “Sejak M. Rasyîd Rida dewasa, aku tidak pernah melihat
dia tidur. Sebab, ia tidur setelah kami tidur, dan terbangun sebelum kami
terbangun”.
Dia begitu tertarik dan terkesan kepada al-Urwah al-Wusqa.12 Dan tentu
saja menemui dua orang ulama itu adalah impian seorang Rasyîd Rida.
Nahas, ia tak sempat bertemu Jamaluddin al-Afgani. Sebab, tokoh besar pada
masanya ini lebih dulu wafat. Pasca wafatnya Jamaluddin al-Afgani,
pilihannya hanya tinggal satu, ia harus menemui gurunya, Muhammad
Abduh. Rasyîd Rida tak lama akhirnya berangkat ke Mesir pada 1879 M.
9 Lihat lebih lanjut mengenai Syekh Muhammad Nasabah dalam Nurjannah Ismail,
Perempuan dalam Pasungan (Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2013), h. 131. 10 Voltaire adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka
agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi
Prancis tahun 1789 M. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah (Cet.I: Jakarta: PT Dunia Pustaka, 1978), h. 65. 11 Syi’ah Zaidiyah dinisbatkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin. Ali Zainal Abidin yang
merupakan ayahandanya termasuk sosok yang cinta kepada para sahabat seperti Abu bakar, Umar
dan Utsman. Bahkan beliau menilai kalangan yang senantiasa mencaci maki para sahabat
merupakan kalangan yang melecehkan Islam dan bukan bagian dari Islam. Pemahaman ayahnya
tersebut rupanya diikuti oleh anaknya, Zaid bin Ali. Zaid bin Ali Zainal Abidin merupakan sosok
yang ‘alim, taqwa, pemberani, senatiasa berpegang kepada Alquran dan Sunnah. Tim Penulis MUI, Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia (Cet I: Depok: Gema Insani, 2013),
h. 33-34. 12 Jemaah Al-‘Urwah al-Wutsqa adalah perkumpulan yang diketuai oleh Jamaluddin al-
Afghani dengan wakilnya, Muhammad Abduh. Perkumpulan ini dibentuk dengan tujuan
membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam menentang ekspansi negara-negara
barat ke dunia Islam. Dan untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menerbitkan majalah yang juga
diberi nama Al‘Urwah al-Wutsqa. Penerbitan majalah ini mengoncangkan dunia Islam dan Barat,
Majalah ini dibinasakan oleh penguasa-penguasa Inggris di dunia Timur. Penyebarannya di Mesir
dan India dilarang. Penyebaran ini hanya mungkin dilakukan dengan mengirimkannya secara gelap
kepada pihak-pihak yang berminat. Namun, larangan publikasi ini membuat majalah tersebut hanya
dapat bertahan delapan bulan, dengan delapan belas kali penerbitan
43
untuk berusaha menemui Syaikh Muhammad Abduh.13 Kelak pertemuan ini
akan tercatat sebagai salah satu awal dari lahirnya salah satu karya penting
dari keduany, yakni Tafsir al-Manar.
Selain itu, pertemuan antara keduanya juga akan menjadi pertemuan
murid dan guru. Hubungan Sayyid Muhammad Rasyîd Rida dan Muhammad
Abduh, bermula dari interaksi Sayyid Muhammad Rasyîd Rida dengan
majalah Al-‘Urwah Al-Wusqa’, majalah yang diterbitkan oleh Jamaludin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh di Paris. Tulisan-tulisan kedua pembaharu
tersebut memberi pengaruh besar kepada Sayyid Muhammad Rasyîd Rida,
sehingga mampu mengubahnya dari seorang pemuda sufi menjadi menjadi
pemuda yang penuh semangat.14
Setelah keberangkatannya ke Mesir pada 1979 M., Rasyîd Rida akhirnya
bertemu dengan M. Abduh pada 1898 M. (Rajab 1315 H.), hamper dua puluh
tahun sejak kepergiannya. Kepada M. Abduh, Rasyîd Rida memberikan saran
agar ia menulis tafsir Alquran dengan metode yang sama yang ia gunakan
dalam penulisan majalah al-‘Urwah al-Wustqa. Usai dua ulama itu berdialog,
M. Abduh akhirnya bersedia memberi kuliah tafsir di Jami’ al-Azhar kepada
murid-muridnya.15
Pasca wafatnya Muhammad Abduh, Sayyid Muhammad Rasyîd Rida
sempat kembali ke Damaskus pada 1908 M., sebelum akhirnya kembali ke
Mesir, lalu mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Ia juga pernah
pergi ke Suriah dan menjadi ketua Muktamar Suriah. Namun pada 1920 M.,
Rasyîd Rida kembali ke Mesir. Beberapa tempat lain yang pernah ia singgahi
antara lain, India, Hijaz, dan Eropa, sebelum akhirnya menetap di Mesir
hingga wafat tepat pada usia 70 tahun pada Kamis, 23 Jumadil ‘Ula 1354 H,
bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. dan dimakamkan di Kairo.16
13 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 45. 14 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 46. 15 A. Athahillah, Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar, h. 2. 16 Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2009),
h.56.
44
b. Pemikiran M. Rasyîd Rida
Sayyid Muhammad Rasyîd Rida sangat terpengaruh Ihya Ulum al-Din.
Kitab karangan Imam al-Ghazali itu sangat membantu membentuk pandangan
Rasyîd Rida, bukan hanya soal keimanan dan ketauhidan, tapi juga agar
setiap orang mampu menyadari konsekuensi dari setiap tindakannya. Kitab
tersebut bahkan dapat memancing Rasyîd Rida untuk memebacanya berulang
kali, hingga membentuk kepribadiannya.17 Selama dalam pengaruh al-
Ghazali itulah, Rasyîd Rida mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah,
mengamalkan ajaran-ajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan ‘uzlah
yang sangat berat.
Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani hidup sufi, Rasyîd
Rida menyadari bahwa ada begitu banyak praktik bidah dan khurafat dalam
ajaran laku hidup banyak orang dalam ajaran tersebut. Dan ia memutuskan
untuk meninggalkannya. Meski begitu, minat Rasyîd Rida pada laku tarekat
bukan sebatas pada mempelajari dan mengamalkannya secara pribadi. Setelah
ia sadar begitu banyak prilaku menyimpang dari orang-orang yang
mengamalkan laku sufi, Rasyîd Rida juga membantu masyarakat agar bisa
mengikuti jalannya, dengan membuka pengajian-pengajian, menebang
pohon-pohon yang menjadi sumber bidah dan khurafat, dan melarang
masyarakat untuk mencuri berkah dari kuburan-kuburan para wali dan ulama-
ulama.18
Perubahan pandangan Rasyîd Rida selama mengamalkan laku tarekat
muncul setelah ia juga tekun mempelajari kitab-kitab hadis. Perubahan itu
terutama muncul setelah ia terpengaruh oleh pandangan Syaikh Jalam al-Din
al-Afgani dan Muhammad Abduh dalam majalah al-‘Urwah al-Wutsqa. Rida
mempelajarinya sewaktu ia masih tinggal di Tripoli. Hingga ia akhirnya
berkeinginan untuk bertemu keduanya meski Jamal al-Din al-Afgani telah
lebih dulu wafat sebelum sempat ia temui.
Lama setelah ia banyak belajar dari Jamal al-Din al-Afgani dan
Muhammad Abduh, Rasyîd Rida mencoba menerapkan ide-ide pembaharuan
17 Ibrahim Ahmad al-Adawi, Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid, h. 36. 18 Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih. h. 36-38.
45
yang dipelajarinya. Namun usahanya mendapat penolakan dan tekanan politik
dari Kerajaan Turki Utsmani. Rasyîd Rida akhirnya memutuskan untuk
pindah ke Mesir dan bisa menjumpai tokoh idolanya, M. Abduh.
Di Mesir, Rasyîd Rida kelak bukan hanya menjadi murid M. Abduh, tapi
juga menjadi orang yang melanjutkan konsep pemikiran kedua pendahulunya.
Selain tentu saja melahirkan karya besar yang banyak orang hari ini
mengenalnya sebagai kitab Tafsir al-Manar.
Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Sayyid Muhammad Rasyîd Rida
berupaya mengaitkan ajaran-ajaran Alquran dengan masyarakat dan
kehidupan serta menegaskan bahwa Islam adalah agama universal dan abadi,
yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia di segala waktu dan tempat.
Muhammad Rasyîd Rida memiliki visi bahwa umat Islam harus menjadi
umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju”
sehingga dapat bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa barat
diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu
pengetahuan dan teknologi.19
Berikut adalah beberapa ide pembaharuan yang dipublikasikan Rasyîd
Rida:
1. Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan disebabkan
mereka tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Banyak
perilaku mereka yang menyimpang dari Islam. Misalnya, menurut
Rasyîd Rida, anggapan yang menyatakn bahwa dalam Islam terdapat
ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh
segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama,
kebahagian dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal
usaha yang sesuai sunatullah.20
2. Kemunduran umat Islam juga disebabkan budaya paham fatalis
(Jabbariyyah). Sebaliknya, salah satu sebab kemajuan bangsa Eropa
adalah kemampun untuk berpikir rasional dan keluar dari kejumudan
dalam beragama. Padahal, Islam sebenarnya berisi ajaran yang
19 Andi Mappiaswan, Skripsi, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
Pengembangan Islam, (Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar: 2015), h. 24. 20 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 72
46
mendorong umatnya untuk bersifat dinamis. Ajaran tersebut
terkandung dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan
bersungguh sungguh dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan,
dan berkurban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa raga.
3. Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam. Dan
sudah sepantasnya umat Islam mendambakan kemajuan, dengan
sungguh-sungguh mempelajarinya. Kemajuan yang pernah dicapai
umat Islam pada zaman klasik salah satunya karena kemajuan mereka
di bidang ilmu pengtahuan. Namun, ilmu pengetahuan tersebut telah
diabaikan oleh umat Islam yang datang kemudian, dan sebaliknya
dikembangkan oleh bangsa barat. Akibatnya, Islam mengalami
kemunduran sedangkan barat mengalami kemajuan. Karena itu, jika
umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dari barat, mereka
sebenarnya mempelajari kembali ilmu pengetahuan yang pernah
dimiliki.
4. Islam itu sederhana, baik masalah ibadah maupun muamalah. Ibadah
terlihat ruwet, karena hal-hal yang sunah dan tidak wajib dijadikan
hal-hal yang wajib. Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan
kemasyarakatan meski didasarkan pada Alquran dan hadis, tidak
boleh dianggap absolut dan tidak dapat diubah. Hukum-hukum itu
ditetapkan sesuai kondisi suatu struktur sosial masyarakat.
5. Kemunduran umat Islam dalam bidang ini disebabkan perpecahan.
Oleh karena itu, jika ingin maju maka umat Islam harus mewujudkan
persatuan dan kesatuan yang bukan hanya didasarkan pada bahasa,
suku, atau etnis, tapi juga pada keyakinan. Rasyîd Rida, oleh
karenanya, menyeru umat Islam agar bisa bersatu dalam satu
keyakinan, sistem moral, konsep pendidikan, yang tunduk pada sistem
hukum di bawah negara. Bukan konsep negara seperti di Barat, namun
seperti pada al-Khulafa ar-Rasyîd in. Dalam hal ini, Rasyîd Rida
menganjurkan untuk membentuk organisasi al-Jami’ah al-Islamiyah
(persatuan umat Islam). Dalam politik, keterlibatan Rasyîd Rida
secara nyata juga terlihat. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah
47
pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa pada 1921.
Rasyîd Rida juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo
pada 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah pada 1926 dan
Yerussalem pada 1931.21
c. Karya dan Tafsir
Sayyid M. Rasyîd Rida cukup menghasilkan banyak karya semasa
hidupnya, antara lain Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh (Sejarah
Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida’ Li Al-Jins Al Latif (Panggilan
terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang
diturunkan kepada Muhammad Saw.), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-
‘Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum
Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam
besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum
pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan
Kelahiran Nabi Muhammad Saw.), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (hak-
hak wanita Muslim).
Namun, di antara semua karya itu, Tafsir al-Manâr dikenal sebagai yang
paling fenomenal. Lengkapnya adalah Tafsir al-Qur’an al-Hakim.22 Tafsir ini
terdiri dari 12 volume, dan ditulis hanya sampai surah Yusuf ayat 53.23
Penulisan tafsir ini bermula dari kuliah tafsir Alquran yang diberikan
Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar, antara tahun 1899-1905. Kuliah
itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah catatan dan diterbitkan dalam
bentuk majalah al-Manâr yang kemudian dibukukan dengan nama Tafsir al-
Qur’an al-Hakim atau yang lebih populer Tafsir al-Manâr. Volume 1-3
(sampai surat al-Nisâ’ ayat 125) merupakan penafsiran Alquran berdasarkan
catatan dari Muhammad ‘Abduh. Sedangkan volume 4-12 (surat an-Nisa’ ayat
126 sampai dengan Yusuf ayat 110) adalah karya Rashid Rida sendiri yang
21 Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari Format
Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 87 22 Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran /Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), h. 280. 23 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th), h. 664.
48
jiwa dan idenya disesuaikan dengan pendapat gurunya. Oleh sebab itu, dalam
menafsirkan Alquran, Rashid Rida banyak mengikuti cara penafsiran M.
‘Abduh.
Majalah al-Manar mulai terbit pada 22 Syawal 1315 H./15 Maret 1989
M. Majalah ini terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam seminggu, kemudian
setengah bulan sekali, lalu sebulan sekali, bahkan kadang hanya sembilan
Edisi dalam setahun. Meski begitu, al-Manar masih bisa Rasyîd Rida
terbitkan hingga ia wafat 46 tahun kemudian (Rasyîd Rida wafat tepat pada
22 Agustus 1935 M).
Secara mendetail tidak ada referensi atau penjelasan mengenai alasan
penulisan Tafsir al-Manar. Namun, beberapa pengamat menyebutkan bahwa
pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran
dari tiga tokoh pembaharu dalam Islam yaitu Jamaluddin al-Afgani, Syekh
Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyîd Rida. Meski mereka
sepakat mengatakan bahwa penulis karya Tafsir al-Manar ini adalah hasil
tokoh yang ketiga.24
Mulanya, Rasyîd Rida sempat mengusulkan agar M. Abduh menulis kitab
tafsir. Namun hingga usulan itu mendapat hingga tiga kali penolakan oleh M.
Abduh, sekalipun ia menyadari pentingnya penulis tafsir. Di samping itu, M.
Abduh juga memiliki alasan, bahwa buku-buku tidak akan bermanfaat bagi
orang-orang yang dibutakan hatinya. Menurutnya, metode ceramah lebih
efektif daripada penulisan.25
Dalam penafsirannya, ‘Abduh tidak ingin terikat dengan pendapat mufasir
terdahulu, tetapi lebih cenderung mengombinasikan antara riwayat sahih dan
nalar rasional yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syariat serta
eksistensi Alquran sebagai petunjuk manusia.26 Satu-satunya kitab tafsir yang
menjadi rujukan adalah Tafsîr Jalâlayn. Dalam hal ini Rashid Rida berbeda
dengan gurunya. Jika Abduh tidak banyak menukil pendapat para mufassir
terdahulu, Rida cenderung lebih akomodatif dan banyak menukil banyak
24 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995),
h. 4 25Muhammad Imarah, Mencari Format Peradaban Islam. (Jakarta: PT
RajaGrafidoPersada, 2005), h. 2-3. 26 Muhammad Rashîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Kairo: t.p, 1954), h. 17.
49
pendapat mufassir lain. Abduh mengkritik kita-kitab tafsir yang terlalu
banyak mengulas aspek bahasa dan perdebatan antar kelompok yang justru
akan mengesampingkan fungsi Alquran sebagai kitab hidayah.27
Meski ditulis juga oleh M. Abduh, namun 12 jilid Tafsir al-Manar lebih
populer dinisbatkan pada M. Rasyîd Rida. Sebab, disamping lebih banyak
yang ia tulis, pada bagian-bagian awal seperti pada surah al-Fatihah, al-
Baqarah, dan an-Nisa ditemui pula pendapat Rasyîd Rida yang ditandai
dalam kata اقول (saya berkata) sebelum uraian pendapat28 meski dalam lima
jilid pertama kitab ini ditulis oleh gurunya, M. Abduh dengan gagasan
pembaharuannya.
Sitematikan penulisan al-Manar menggunakan metode penulisan
mushafi. Hal itu bisa dilihat, dari susunan penulisan yang dimulai dari surah
al-Fatihah dan berakhir di surah an-Nas, kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan ayat per ayat. Penjelasan dalam kitab ini disertai dengan asbab al-
nuzul, dan menjelaskan keutamaan pada setiap ayat.
Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat Alquran dengan gaya menakjubkan dan
mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas, juga
mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya dengan
perspektif aAlquran. Tafsîr al-Manâr adalah salah satu kitab tafsir yang
banyak berbicara tentang sastra budaya dan kemasyarakatan (adabî ijtimâ‘î).
Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Alquran
pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-
ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama
turunnya Alquran, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia29 dan
merangkaikan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.
27 Dalhari, Jurnal, Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20 M, (Mutawatir:
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis: 2013), Vol. 3, h. 68. 28Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir (Jakarta: BulanBintang,
1994), h. 34 29 Muhammad ‘Alî Iyâzî, al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th), h. 669.
50
d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran
Dalam menyusun tafsir al-Manar, Rasyîd Rida menggunakan metode
penulisan tahlili (analisis). Hal itu terlihat dalam dari pola susunan
penafsirannya yang dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah
an-Nas sesuai susunan surah-surah dalam mushaf Utsmani.
Dengan metode penulisan ini Muhammad Abduh hendak menyoroti ayat-
ayat Alquran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung
dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang
relevan dari setiap bagian ayat. Pemaparan itu diperkuat Rida dengan
pendekatan kebahasaan dan sastra, sehingga lebih memperdalam analisis.
Abduh dan Rida juga membatasi pengambilan riwayat-riwayat yang tidak
memiliki bukti kesahihannya.30
Sementara dari segi sumber penafsiran, Rasyîd Rida bisa dikatakan
mengolaborasikan antara sumber penafsiran bi al-ma’tsur (riwayat) dan bi al-
ro’yi (logika). Hal itu terlihat dari bagaimana ia menjadikan ayat-ayat Alquran
sebagai sumber utama penafsirannya. Apalagi jika kandungan ayat yang
ditafsirkan itu berkaitan atau dirinci oleh ayat-ayat lainnya.31 Rasyîd Rida
menjadikan hadis Nabi Saw, sebagai sumber kedua, dengan ketentuan hadis-
hadis tersebut memiliki kualitas sahih menurut standar ilmu hadis.
Untuk corak, setidaknya ada dua corak yang terlihat dalam model
penafsiran Rasyîd Rida, yakni corak al-Hida’I di mana dalam corak ini
dilatarbelakangi oleh pemikiran yang menjadikan hidayah atau akhlak
Alquran sebagai pusat dari usaha penafsiran terhadap Alquran. Hidayah
Alquran menjadi perhatian utama Rasyîd Rida dalam menafsirkan Alquran.
Selain al-Hida’I corak lain yang begitu terlihat yakni corak ilmi. Dalam corak
ini, ada kecenderungan Rasyîd Rida dan M. Abduh berupaya agar Alquran
memiliki relevansi dengan ilmu pengetahuan. Faizah Ali Syibromalisi dan
Jauhar Azizy, dalam bukunya Membahas Kitab Tafsir Klasik Modern
(Jakarta, 2012), menjelaskan upaya Rasyîd Rida ini dilakukan agar
30 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, Maret, 2012), h. 96. 31 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
94.
51
masyarakat dapat memahami pesan-pesan yang terkandung dalam Alquran
dalam menjawab tantangan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
B. Riwayat Hidup Sayyid Qutb
a. Biografi Singkat dan Latar Belakang Pendidikan
Nama lengkapnya Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Ia lahir di
Musya, salah satu wilayah dari Provinsi Asyuth, kawasan dataran tinggi di
Mesir. Sayyid Qutb lahir pada 9 Oktober 1906.32 Anak sulung dari lima
bersaudara ini tumbuh dalam lingkungan dan keluarga yang taat beragama.
Ayah Sayyid Qutb, al-Hajj Qutb Ibrahim adalah anggota Partai Nasionalis
Mustafa Kamil dan pengelola majalah al-Liwa.33 Dengan kedudukannya
itulah, mendapat kepercayaan dari masyarakat di lingkungannya, hingga ia
wafat saat anak terakhirnya tengah menempuh pendidikan di Kairo.
Sementara Ibu Sayyid Qutb, bernama Fatimah adalah perempuan saleha
yang, tentu saja membesarkan anak-anaknya dalam corak pendidikan agama
yang taat.34 Hingga Sayyid Qutb tumbuh dewasa, Sang Ibu menyaksikan Qutb
sebagai seorang sastrawan sekaligus pegawai, bahkan sempat dalam beberapa
waktu lama tinggal bersama anaknya di Kairo. Sang Ibu wafat saat Sayyid
Qutb, menginjak usia 44 tahun atau pada 1940 M.
Sayyid Qutb adalah anak pertama dari lima bersaudara dengan seorang
saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan, yakni Muhammad, Nafisah,
Aminah, dan Hamidah.35
Jenjang pertama pendidikan Sayyid Qutb dimulai saat menginjak usia
enam tahun, ketika orang tuanya mengirim Qutb kecil ke sebuah madrasah
dan sekolah tradisional yang mempelajari Alquran tak jauh dari
lingkungannya. Di sekolah itu ia belajar selama empat tahun dan sudah hafal
32 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid
Qutub, Terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Era Intermedia, Solo, 2001), h. 23. 33 Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Tiara Wacana Yogja, cet. I,
Yogyakarta), h. 111. 34 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz 1. terj. As’ad Yasin, dkk., (Gema Insani,
Jakarta, 1992), h. 218. 35 John L. Esposito, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, (Mizan, Bandung, 2001),
jilid V, h. 69.
52
Alquran saat berusia 10 tahun. Pengetahuannya tentang Alquran memberi
pengaruh yang besar dalam kehidupannya saat dewasa.36
Saat Revolusi Mesir pecah pada 1919, Sayyid Qutb berangkat dari
desanya ke Kairo untuk melanjutkan studi. Di sana, ia lalu bertemu dengan
Abbas Mahmud al-Aqqad, seorang sastrawan besar ketika itu, dan banyak
belajar dengannya. Lama belajar pada al-Aqqad ia lalu bergabung dengan
partai Ward. Qutb muda lalu pindah ke Hulwan untuk tinggal dengan
pamannya, yang berprofesi sebagai seorang jurnalis. Pada 1925 M, Sayyid
Qutb masuk ke lembaga pendidikan keguruan, dan lulus tiga tahun
kemudian.37
Pada 1930, beliau masuk sebagai mahasiswa di institut Darul Ulum,
setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat tsanawiyah (tingkat menengah)
dari Tajhiziyah Darul Ulum, kemudian lulus dari perguruan tersebut pada
1933 dengan meraih gelar Lc dalam bidang sastra dan diploma dalam bidang
tarbiah. Setelah lulus kuliah, Sayyid Qutb bekerja di Departemen Pendidikan
dan beberapa kali berpindah tugas, mulai dari tenaga pengajar selama enam
tahun, menjadi pegawai kantor, dan terakhir bertugas di lembaga pengawasan
pendidikan umum hingga delapan tahun, hingga ia akhirnya departemen
tempat Qutb bekerja mengirimnya ke Amerika untuk menempuh Pendidikan
pada 1948.38
Di Amerika, ia tinggal selama dua tahun dan tiga kali belajar di tempat
yang berbeda: Wilson’s Teacher College di Washington, Greenley College di
Colorado, dan Stanford University di California.
Dalam dua tahun masa studinya, Sayyid Qutb melihat paham-paham anti-
tuhan, spiritual, sosial, ekonomi yang menimbulkan banyak kerusakan. Di
negara adikuasa inilah tumbuh kesadaran dalam diri Qutb, terutama saat ia
melihat banyak masyarakat yang senang atas kabar kematian Hasan al-Banna
pada awal 1949.
36 Yayasan Penyelenggara Penterjemah, Ensiklopedi Islam, Proyek peningkatan Prasarana
dan Sarana, (Depertemen Agama, Jakarta, 1993), h. 1039. 37 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid
Qutub, Terj. Salafuddin Abu Sayyid, h. 27-28. 38 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid
Qutub, h. 27-28.
53
Saat kembali ke Mesir, Sayyid Qutb kemudian mengajukan surat
pengunduran diri dari pekerjaannya, dan memutuskan meluangkan banyak
waktunya untuk berdakwah dan menulis.39 Tak berselang lama ia juga
memutuskan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin.40 Dalam organisasi ini,
Sayyid Qutb aktif dalam berbagai kegiatan, menulis berbagai artikel
keislaman yang cukup berani di berbagai surat kabar dan majalah, serta
menyiapkan berbagai kajian dan studi umum keislaman. Beliau juga menjadi
salah satu anggota Maktab Irsyad ‘Am dan menjadi ketua seksi penyebaran
dakwah, dan turut dalam memberi pengaruh wacana membawa revolusi
kepada masyarakat.
Revolusi Mesir yang pecah pada 1952 mendapat dukungan penuh dari
Ikhwanul Muslimin yang telah dipesenjatai dan mendapat pelatihan militer.
Hingga dua tahun kemudian atau 1954, Sayyid Qutb menjadi pemimpin di
harian Ikhwanul Muslimin. Namun, dua bulan kemudian, harian tersebut
dibredel atas perintah dari Presiden Mesir, Kolonel Abdul Nasser, karena
sebelumnya dinilai telah mengecam perjanjian Mesir-Inggris pada 7 Juli
1954. Sejak saat itu, Abdul Nasser menjadi musuh para anggota Ikhwanul
Muslimin.
Pembredelan harian Ikhwanul Muslimin, akhirnya disusul dengan
pembubaran organisasi itu dengan tuduhan telah melawan pemerintah resmi.
Para anggotanya ditangkap, tak terkecuali Sayyid Qutb yang ditahan tanpa
proses pengadilan. Baru setahun kemudian, atau pada 13 Juli 1955,
pengadilan umum memutuskan menjatuhkan hukuman kepada Sayyid Qutb
dengan tahanan selama 15 tahun. Sayyid Qutb sempat mendapat tawaran
bebas dari Presiden Abdul Nasser setelah belum genap setahun ditahan,
dengan syarat ia harus menyatakan permintaan maaf pada pemerintah atas
tindakannya. Namun tawasan itu ia tolak.
39 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid
Qutub, h. 29. 40 Ikhwanul Muslimin adalah satu gerakan Islam yang mengajak dan menuntut tegaknya
syariat Allah, hidup di bawah naungan Islam, seperti yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Saw,
diserukan oleh para salafus-soleh, bekerja dengan-Nya dan untuk-Nya, keyakinan yang bersih yang
berakar teguh dalam hati, pemahaman yang benar, akal dan fikrah, syariah yang mengatur al-
jawarih, perilaku dan politik. Lihat: Zaimah dan Septian Min Ahdi, Makalah Tafsir Fi zhilalil
Qur’an Karya Sayyid Qutb, Fakultas Usuluddin IAIN Walisongo, Semarang, 2014, h. 1
54
Sayyid Qutb menjalani tiga tahun pertama masa tahanannya dengan
kelonggaran. Keluarga Sayyid Qutb juga diperbolehkan menjenguk. Di masa
inilah, Sayyid Qutb menggunakannya untuk melanjutkan penulisan Tafsir Fî
Zilâl al-Qur’ân. Pada 1964, atas perintah Abdus Salam Arif, yang kelak
menjadi Presiden Irak, Sayyid Qutb dibebaskan saat kunjungannya ke Mesir.
Namun setahun kemudian, bersama saudaranya, Muhammad dan dua saudara
perempuannya, Hamidah dan Aminah, Sayyid Qutb kembali ditahan dengan
alasan yang sama, menumbangkan rezim dengan jalan kekerasan. Sayyid
Qutb bersama tiga saudaranya ditahan bersama 20 ribu, termasuk di antaranya
700 perempuan.
Masa-masa yang berat akan dialami Sayyid Qutb saat Presiden Abdul
Nasser kembali dari lawatannya ke Moskow. Ia menuduh Ikhwanul Muslimin
telah bekerjasama dalam usaha membunuhnya. Atas tuduhannya itu, tak
sampai setahuan, lewat UU No. 911 tahun 1966, Presiden Abdul Nasser telah
memberi kekuasaan penuh pada dirinya untuk menangkap tanpa proses
pengadilan yang dicurigai tergabung dalam misi penggulingan presiden.41
Pada Senin, 12 Agustus 1966 (13 Jumadil Awwal 1386), bersama dua
temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy), Sayyid
Qutb akhirnya meninggal dalam tiang gantungan, meski banyak protes dari
berbagai penjuru dunia menolak keputusan pemerintah menghukum mati
tokoh penting Revolusi Mesir itu.42
b. Pemikiran Sayyid Qutb
Selain seorang mufassir, Sayyid Qutb juga dikenal sebagai salah satu
tokoh politik yang digolongkan pada kelompok fundamentalis dalam Islam.43
41 Sayyid Qutb, Perdamaian dan Keadilan Sosial, terj. Drs. Dedi Junaedi, (Akademika
Pressindo, Jakarta, cet. I, 1996), h.5-7. 42 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, Juz 1. terj. As’ad Yasin, dkk, h.319. 43 Istilah fundamentalsme pertama kali muncul dikalangan para penganut Kristen Protestan
di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Fundamentaslisme dianggap sebagai aliran yang
berpegang teguh pada “fundament” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu
sendiri secara rigid dan literalis. Gerakan ini merupakan bagian dari fenomena responsi kalangan
konservatif terhadap perkembagan teologi liberal-modernisme dan gejala sekuler. Sedangkan
gerakan fundamentalisme Islam dapat diartikan, di antaranya, sebagai gerakan-gerakan Islam yang
secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai the
others. A. Maftuh Abegebriel dan Ibida Syitaba, Fundamentalisme Islam; Akar Teologis dan Politis,
dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: Multi
55
Ia telah merumuskan sejumlah agenda politik yang tertuang dalam berbagai
karyanya terutama Ma’alim fi at-Thoriq. Pemikiran-pemikiran politiknya
telah memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan pemuda dalam melawan
Barat di berbagai negara, terutama Mesir. Secara tidak langsung mungkin
dapat dikatakan ada geneologi kekerasan yang dihubungkan dengan teori
politik Qutb yang mengakibatkan lahirnya golongan pejuang muslim garis
keras di beberapa belahan bumi.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, negara-negara Islam masih
menjadi koloni-koloni negara-negara Barat. Dalam kurun waktu itu, sejarah
mencatat, dinamika pemikiran Islam cukup kondusif meski dalam tensi politik
yang tinggi. Salah satu di antaranya tentu saja Sayyid Qutb. Kiprah dan
pemikiran Qutb telah banyak berpengaruh terhadap banyak gerakan-gerakan
Islam kontemporer, terutama pada Ikhwanul Muslimin, di mana dia akhirnya
menjadi salah satu petinggi di organisasi penting di Mesir itu.44
Muhammad Taufiq Barakat, dalam kitabnya yang berjudul “Sayyid Qutb:
Khulashatuhu wa Manhaju Harakatihi, membagi fase pemikiran Sayyid Qutb
menjadi tiga tahap. Pertama, tahap pemikiran sebelum mempunyai orientasi
Islam. Kedua, Tahap mempunyai orientasi Islam secara umum. Ketiga, Tahap
pemikiran berorientasi Islam militan.
Pada fase ketiga inilah, Sayyid Qutb mulai merasakan keengganan dan
muak terhadap westernisasi, kolonialisme dan juga terhadap penguasa Mesir.
Masa-masa inilah yang kemudian menjadikan Qutb aktif dalam
memperjuangnkan Islam dan menolak segala bentuk westernisasi yang kala
itu sering digembor-gemborkan oleh para pemikir Islam lainnya yang silau
akan kegemilingan budaya-budaya Barat.
Dalam pandangan Qutb, Islam telah memuat aturan komprehansif. Islam
adalah ruh kehidupan yang mengatur sekaligus memberikan solusi atas
Karya Grafika, 2004), h. 449 dan 502. Sedangkan dalam pengertian yang sesungguhnya
Fundamentalisme Islam dapat diartikan sebagai satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang
menjadikan Islam sebagai agama dan ideologi. Sehingga interpretasi yang dikembangkan di
dalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologi tetapi juga ideologis. Lihat: Hamim Ilyas, Akar
Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, h. 125. 44 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,
(Hikmah, Jakarta, 2003), h. 280.
56
problem sosial-kemasyarakatan. Selain itu, Barat sendiri menurut Qutb, telah
gagal memberikan perkembangan pada nilai-nilai bagi kemanusiaan. Dalam
pengantar bukunya Ma’alim fi Thariq, ia mengatakan: sekarang kemanusiaan
sedang berdiri di tepi jurang bukan lantaran ancaman penghancuran yang
melayang di atas kepalanya ini hanyalah gejala penyakit bukan penyakit itu
sendiri akan tetapi lantaran miskinnya kemanusiaan dalam hal memahami
“nilai” yang mungkin memelihara kehidupan manusia dalam bayangan
kemanusiaan, menjaga keselamatan dan memajukan kemajuan yang benar.
Kriteria pemikiran Sayyid Qutb, dalam Religious Resurgence yang diedit
oleh Anton dan Hegland, dengan bagus menyimpulkan proyek pemikiran
Qutb dengan pernyataan, “Islam adalah deklarasi pembebasan manusia dari
penyembahan terhadap sesama makhluk di muka bumi dan penyembahan
yang ada hanyalah pada Allah semata”. Deklarasi Islam dalam proyek
pemikiran Qutb itu tidak sebatas analisis filosofis dan kajian teoritis,
sebagaimana diklaim sebagian penulis, tetapi sekaligus sebagai deklarasi
yang bersifat progresif, aplikatif dan reaktif.45
Meski demikian, di jajaran para pemikir Islam di masanya, Qutb tak bisa
dikelompokkan dengan tokoh-tokoh reformis, semisal Abduh, sekali pun
pada beberapa sisi gerakan reformisme juga tampak jelas dalam gagasan dan
pemikiran Sayyid Qutb. Ada perbedaan mendasar antara Sayyid Quhtb dan
Abduh. Misalnya, bila Abduh berupaya mendekatkan Islam pada gagasan
keagamaan barat yang konsisten dengan rasionalitas sains dan sekularisme
masyarakat, maka tidak dengan Qutb. Bagi Qutb, justru melawan kemodernan
dengan cara yang modern. Sebaliknya, Qutb malah bisa dan mesti
disejajarkan dengan para pemikir Eropa dan Dunia, karena menolak dikotomi
antara mistisisme Timur dan rasionalisme Barat. Dengan kata lain, Qutb ingin
mengambil sikap otentik dari apa yang ia yakini dari agamanya, yakni sikap
pasrah (Islam).
Tampaknya Qutb dinilai radikal bukan karena dia telah mencela semua
pemerintahan muslim yang ada. Namun, dia berbicara mengenai pembebasan
45 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, h.
282.
57
umat manusia dari semua yang dapat menghalangi realisasi potensi yang telah
di ciptakan Tuhan bagi mereka. Sebagaimana di tulis Robert D. Lee dalam
Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Authenticity,
Qutb berpendapat bahwa umat manusia yang otonom dapat melalui tindakan
berdasarkan keimanan dan kemauan untuk membentuk komunitas Islam yang
otentik. Dalam komunitas inilah, Qutb berkata bahwa pembebasan manusia
dapat di upayakan secara maksimal.46
Pada kesimpulan tentang kebebasan berkehendak, Qutb menyatakan
bahwa kebebasan ini adalah salah satu asas dari rukun untuk membangun
keadilan sosial dalam Islam, tetapi kebebasan ini adalah dasar yang paling
fundamental untuk menegakan bagian-bagian penting dalam mewujudkan
keadilan sosial.47 Dalam penjelasannya tentang kebebasan ia memulai dengan
pernyataan bahwa Islam memulai dengan membebaskan manusia dari
menyembah sesuatu selain Allah dan dari ketundukan kepada sesuatu selain
Allah. Maka tidak ada ketundukan kepada selain Allah termasuk juga pada
penguasa.
Mencermati gagasan ini, tersirat jelas pemikiran dan gerakan Qutb dengan
karakteristik otentisisme Islam (Islam otentik). Sayyid Qutb berkeinginan
besar ingin menampilkan Islam dalam wajah dan bentuknya yang modern,
tetapi memiliki sikap dan prinsip tegas. Itulah jalan Sayyid Qutb.48
c. Karya dan Tafsir
Sayyid Qutb meninggalkan sejumlah kajian dalam bidang sastra dan studi
keislaman49, berikut di antaranya:
1) At-Taswīrul Fanni fī al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1945) atau Seni
Penggambaran dalam al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Khadijah
Nasution (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981).
46 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, h.
283. 47 Sayyid Qutb, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam (Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi, 1967),
cet 7, h. h. 51. 48 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, h.
284. 49 Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayid Qutb dalam Tafsir Ẓilāl, (Era Intermedia,
Solo, 2001), h. 52.
58
2) Masyāhid al-Qiyāmah fī al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1947) atau
Hari Akhir Menurut al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Aziz
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
3) Al-‘Adalah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām (Kairo: Dar al-Kitab al’Arabi,
1948) atau Keadilan Sosial dalam Islam, diterjemahkan oleh Afif
Mohammad (Bandung: Pustaka, 1994).
4) Fī Ẓilāl al-Qur’ān (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tanpa
tahun) atau Tafsir di Bawah Naungan al-Qur’ān, Juz I di terjemahkan
oleh Bey Arifin dan Jamaluddin Kafie (Surabaya: Bina Ilmu, 1982).
Manhaj Hubungan Sosial Muslim Non-Muslim, fī Ẓilāl, Juz IX,
diterjemahkan oleh Abu Fahmi, (Jakarta: Gema Insan Press, 1993).
Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Sosial dalam Kitab Tafsir fī Ẓilāl al-
Qur’ān, diterjemahkan oleh Muhammad Abbas Aula, (Jakarta: Litera
Antarnusa, 1987). Pada tahun 1996 Afif Mohammad telah
menyelesaikan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, tetapi
hingga hari ini belum terbit.
5) As-Salām al-‘Alamī wa al-Islām (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1951)
atau Jalan Pembebasan: Rintisan Islam Menuju Perdamaian Dunia,
diterjemahkan oleh Bedril Saleh (Yogyakarta: Shalahuddin Press,
1985).
6) Al-Mustaqbāl lī Haża ad-Din (Kairo: Maktabah Wahbah, tanpa tahun)
atau Islam Menyongsong Masa Depan, diterjemahkan oleh Tim
Shalahuddin Press, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987).
7) Haża ad-Din (Kairo: Dar al-Qalam, tanpa tahun) atau Inilah Islam,
diterjemahkan oleh Anwar Wahdi Hasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986).
8) Al-Islām wa Musykilāt al-Ḥāḍarah (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, 1962) atau Islam dan Problema-Problema Kebudayaan.
9) Khaṣa’iṣut at-Taṣawwuril Islāmī wa Muqawwīmatuhu (Kairo: Daru al-
Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1962) atau Karakteristik Konsepsi Islam,
diterjemahkan oleh Muzakir, (Bandung: Pustaka, 1990).
59
10) Ma’ālim fiṭ-Ṭāriq (Kairo: Maktabah Wahbah, 1964) atau Petunjuk
Jalan, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Media
Dakwah, 1994).
11) Ma’rākatūna Ma’al Yahūd, (Bairut: Daru asy-Syuruq, 1978) atau
Perbenturan Kita dengan Yahudi.
12) Dirāsat Islāmiyyah, (Kairo: Maktabah Lajtani asy-Syabab alMuslim,
1953) atau Beberapa Studi Tentang Islam, diterjemahkan oleh A.
Rahman Zainuddin, (Jakarta: Media Dakwah, 1982).
13) Nahwa Mujtāma’ Islāmi dalam al-Muslimun, tahun 1953-1954 atau
Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh H.A. Muthi’ Nurdin (Bandung:
Al-Ma’arif, 1978).
14) An- Naqdul Adābi: Ushuluhu wa Manāhijuhu (Kairo: Daru al-Fikr al-
‘Arabi, tanpa tahun) atau Kritik Sastra: Prinsip Dasar dan Metode-
Metode.
15) Ma’rākah al-Islām wa ar-Ra’sumaliyah (Kairo: Dar al-Kitab al’Arabi,
1951) atau Perbenturan Islam dan Kapitalisme.
16) Fit-Tāriḥ: Fikrah wa Manāhij (Bairut: Daru asy-Syuruq, 1974) atau
Teori dan Metode dalam Sejarah.
17) Muhīmmah Asy-Syā’ir fī al-Hāyah (Kairo: Lajnatun Nasyr li
alJami’iyyin, tanpa tahun), atau Urgensi Penyair dalam Kehidupan.
18) Naqdu al-Kitāb Mustaqbal aṡ-Ṡaqāfah fī al-Misr (Jeddah: Ad-Dar as-
Su’udiyyah li-Nasyr wa-Tauzi’, tanpa tahun) atau Kritik Terhadap
Buku Masa Depan Peradaban di Mesir.
19) Ṭifli min al-Qaryāh (Kairo: Lajnatun Nasyr li al-Jami’iyyah, 1946) atau
Seorang Anak dari Desa.
20) Al-Asywak (Kairo: Daru Sa‟d Mishr bi al-Fujalah, 1947) atau
DuriDuri.
Selain itu, Sayyid Qutb juga pernah menulis beberapa studi namun
kemudian ditarik dari peredarannya, yakni:50
1) Mihimmah asy-Syā’ir fī al-Hāyah.
50 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an Sayyid
Qutub, h. 42.
60
2) Dirāsah ‘asy-Syaūqi
3) Al-Murāhaqah Akhṭāruha wa ‘Ilājuha
4) Al-Mar’ah Lug Basiṭ
5) Al-Mar’ah fī Qaṣaṣ Najīb Maḥfuẓ
6) Diwān: Aṣdā’ az-Zāman
7) Diwān: al-Ka’s al-Masmūmah
8) Diwān: Qafīlah ar-Rāqiq
9) Diwān: Hulm al-Fajr
10) Qiṣṣah al-Quṭaṭ ad-Dhallāh
11) Qiṣṣah min A’māq al-Wādi
12) Al-Mażāhib al-Fannīyah al-Mu’aṣīrah
13) Aṣ-Ṣuwār wa aẓ-Ẓilāl fī asy-Syi’r al-Arābi
14) Al-Qiṣṣah fī al-Adāb al-Arābi
15) Syu’āra’ asy-Syahāb
16) Al-Qiṣṣah al-Hadīṡah
17) Arābī al-Muftāra ‘alaih
18) Asy-Syārif ar-Rīdha
19) Lahżat ma’ā al-Khalīdin
20) Amrīka Allāti Ra’aitu.
Adapun beberapa karya Sayyid Qutb yang mengakibatkan dirinya diburu
oleh rezim Presiden Abdul Naser dan dihukum mati, yakni:
1) Ma’ālim fī at-Ṭāriq, seri kedua.
2) Fī Ẓilāl as-Sīrah
3) Fī Maukīb al-Imām
4) Muqawwīmat at-Taṣawwur al-Islāmi
5) Nahwu Mujtamā’ Islāmi
6) Hażā Al-Qur’ān
7) Awwalīyyat fī Hażā ad-Din
8) Taṣwibat fī al-Fikr al-Islāmi al-Mu’āṣir.
61
d. Metode, Sumber, dan Corak Penafsiran
Secara garis besar, bila mencermati metode penulisan Sayyid Qutb, akan
terlihat signifikan metode yang ia gunakan dalam menulis tafsirnya adalah
metode tahlili (analisis). Meski begitu, Qutb juga tidak sepenuhnya
menggunakannya secara mutlak. Sebab, dalam beberapa bagian, ia juga
menggunakan ayat lain dalam menafsirkan sebuah ayat di mana hal itu
merupakan salah satu contoh metode tematik. Namun itu juga tidak dapatnya
menyebutnya semi tematik, karena sayyid Qutb tidak memberi judul atau
tema dari ayat-ayat yang sedang ia tafsirkan.51
Lebih jauh mengenai sumber penafsiran Sayyid Qutb, tampaknya ia
begitu berhati-hati untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahid
mengenai tafsir. Upaya itu ia lakukan dengan sebisa mungkin untuk selalu
merujuk pada kita-kita tafsir bi al-ma’tsur (riwayat). Namun demikian, di
samping itu ia juga kerap menggunakan bi al-ro’yi (logika), seperti
penafsirannya pada surah at-Taubah ayat 44-45. Dalam ayat yang
menjelaskan tentang jihad ini, Qutb menegaskan bahwa salah satu dari bentuk
jihad adalah dengan perang fisik. 52
Ada perubahan corak yang terlihat dalam penafsiran Sayyid Qutb.
Mulanya sebelum ditangkap, penafsiran Qutb lebih cenderung pada corak
penafsiran adabi ijtima’I, yaitu corak yang diperkenalkan M. Abduh. Dalam
corak ini, penafsiran lebih terlihat sebagai jawaban dan berdasarkan
kepentingan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun, pasca Qutb
cukup lama mendekam di penjara, ada perubahan corak yang terlihat, yang
bukan hanya corak adabi ijtima’I, namun ada pula corak perjuangan dan
pendidikan.53
51 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
138. 52 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
138. 53 Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.
139.
62
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF PEMIKIRAN M. RASYÎD RIDA DAN
SAYYID QUTB
A. Penjelasan Kata
a. Tafsir Ayat Qitâl dalam Alquran Menurut Mufassir
Menurut bahasa, seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya, perang adalah
bentuk permusuhan antara dua atau beberapa pihak. Baik antar perseorangan,
kelompok, negara-bangsa melalui tentara, hingga agama. Kata qitâl (قتال)
merupakan bentuk masdar dari kata qâtala-yuqâtilu ( اتلقاتل, يق ), tepatnya sulasi
majid satu huruf bab fi’âl dari kata qâtala yang memiliki tiga pengertian:
pertama, berkelahi melawan seseorang. Kedua, memusuhi (adâhu) dan ketiga,
memerangi musuh (hârabahû al- ‘adâ’).1
Penggunaan kata al-qitâl dalam Alquran, dengan berbagai bentuknya
disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali,2 yakni pada surah Al-Baqarah [2]
ayat 216, 217, dan 246; surah Ali ‘Imran [3] ayat 121 dan 167; surah An-Nisa’
[4] ayat 77; surah al-Anfal [8] ayat 65; surah al-Ahzab [33] ayat 25; dan surah.
Muhammad [47] ayat 20. Sedangkan derivasinya disebut dalam 157 ayat. 3
Selain al-qitâl, peperangan dalam Alquran juga terjemahan dari kata al-
hârb dan al-ghazwah. Namun, di antara ketiganya, kata qitâl lebih sering
digunakan dalam Alquran. Menurut istilah, perang dalam bentuk kata al-qitâl,
berbeda dengan potret kata al-hârb. Dalam bentuk kata, al-qitâl merupakan
bentuk pertentangan fisik antara kelompok yang bertengkar yang lebih
menunjukkan pada sisi taktis yang berakibat melayangnya nyawa karena
pembunuhan dan imbulnya kesengsaraan.4 Jika kata qitâl dalam Alquran,
menurut Fuad Abd Bagi disebut sebanyak sembilan kali, kata hârb beserta
1 Ibn Manzur, Lisân al- ‘Arab, (Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t), Jilid. V, h.3531. 2 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, (al-Qâhirah :
Dâr al-Hadἷs,t.t. ), h. 645. Sedangkah Lilik Ummi Kultsum dan Abdul Moqsith Ghazali dalam
Tafsir Ayat-Ayat Ahkam mencatat sebanyak 13 kali dalam 7 surat. Jumlah itu beserta beberapa
bentuk derivasinya. Lihat Lilik Ummi Kultsum, Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,
(Jakarta: UIN PRESS, 2015), h. 155. 3 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, h. 643-645. 4 Sa’id Ramadan al-Buthi, Fiqh al-Sirah (Beiru: Dar al-Fikr, 1986), h. 170.
63
derivasinya dalam Alquran disebutkan sebanyak enam kali5, yaitu pada surah
Al-Baqarah [2] ayat 279, al-Ma’idah [5] ayat 33 dan 64, al-Anfal [8], ayat 57,
at-Taubah [9] ayat 107, dan surah Muhammad [47] ayat 4 (rincian ayatnya lihat
pada bab dua).
Penggunaan kata al-hârb, berarti penyerangan dan pertempuran yang
membabi-buta, tidak menggunakan aturan serta melanggar prikemanusiaan
serta bersifat habis-habisan.6 Oleh karenanya, perintah perang dalam Islam
(Alquran) tidak menggunakan kata al-hârb, melainkan al-qitâl.
Menurut Ibn Faris, qitâl memiliki dua pengertian, yaitu izlâl: yang berarti
merendahkan, menghina, melecehkan; dan imâtah: yang berarti membunuh
dan mematikan.7 Di samping pengertian tersebut, kata qitâl juga merupakan
salah satu bentuk derivasi dari kata qâtala yang memiliki beberapa arti seperti,
mencampur, mematikan atau membunuh, mengutuk, menolak keburukan,
menghilangkan lapar atau haus, menghina, merendahkan, dan melecehkan.8
Menurut para ahli tafsir, seperti yang dikemukakan Al-Qurthubi dalam
tafsirnya, qitâl didefinisikan berperang melawan musuh-musuh Islam dari
kalangan orang-orang kafir.9 Al-Qasimi mendefenisikan bahwa perang adalah
melawan musuh Islam atau berjihad menghadapi mereka dengan tujuan dapat
menghancurkan, menundukkan, memaksa, atau melemahkan mereka.10
Peperangan dalam Islam memliki aturan jelas yang menghargai nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana yang diajarkan Nabi Saw. Di antaranya, tidak boleh
ada dendam dalam peperangan, dilarang membunuh orang yang tidak ikut
berperang, tidak lari dalam peperangan, tidak boleh menikam dari belakang,
tidak boleh membunuh perempuan kecuali perempuan yang ikut berperang,
5 Fu'ad ‘Abd al Bāqī, Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'ān al-Karīm (Beirut: Dār al-
Fikr, 1994), h. 197. 6 Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , Vol. IV (Jakarta: PT Ikhtiar Baru
Van Have, 1996), h. 1395. 7 Abἷ al- Ḫusain Aẖmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Tahqiq
‘Abd As-Salâm Muẖammad Ḫarûn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), Juz. V. h.56. 8 Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-Daūliyyah,
t.t.), Jilid II, h.715. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat
Ahkam, h. 155. 9 Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Quran, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1964).
Juz. III, h.38. Lihat juga Lilik Ummu Kaltsum, Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h.
156. 10 Al-Qasimi, Mahasin at-Ta’wἷ l (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz. II, h.99
64
tidak boleh membunuh dengan sadis, tidak boleh membunuh anak-anak, dan
tidak boleh merusak tanaman atau tumbuh-tumbuhan.
Meski demikian, menurut Quraish Shihab, pada dasarnya tak ada manusia
yang ingin berperang. Sebab, peperangan, walau bagaimanapun dapat
menimbulkan kerugian. Baik kerugian fisik seperti hilangnya nyawa, cedera,
maupun kerugian materi. Sekalipun bagi para sahabat Nabi Saw. sendiri, meski
itu merupakan anjuran untuk menegakkan keadilan dan kejayaan Islam.
Perang ibarat obat, yang tetap harus dimakan meski pahit untuk dirasakan,
namun akan berbuah manis jika telah sembuh dari sakit.
Sebagaimana dikemukakan Syalabi, bahwa Islam sebenarnya tidaklah
menginginkan peperangan. Secara fitrah, memang manusia cenderung tidak
menyukai perang dan kekerasan seperti disebut dalam QS. al-Baqarah [2]: 216.
Karenanya, ketika ayat ini turun, sebagian kaum muslim masih belum cukup
yakin dengan ayat ini untuk dijadikan alasan untuk melakukan peperangan.11
Hal tersebut juga dipertegas oleh Syihab ad-Din bahwa semua kata qitâl,
seperti tercantum pada QS. al-Baqarah [2] ayat 216-217 memang digunakan
Alquran untuk menyatakan perang, atau peperangan, yang merupakan
kewajiban yang dibebankan kepada orang-orang yang beriman. Qitâl yang
dimaksud pada ayat tersebut bermakna jihad, sebagaimana menurut Syihab ad-
Din:
كتب عليكم ٱلقتال أي فرض عليكم الهاد12
Ayat tersebut, lanjut Quraish Shihab, dari satu sisi mengingatkan
keniscayaan peperangan jika kondisi mengharuskannya. Kewajiban itu dilihat
dari kata كتب yang dihubungkan dengan kata qitâl. Sekalipun itu merupakan
perintah, namun pada dasarnya Islam merupakan agama yang membawa
kedamaian. Namun dalam satu kasus, jika suatu ketika daerah yang kita
11 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h.
154. 12 Syihab ad-Din Aẖmad Ibn Muẖammad al- Hâlim al-Misrἷ . At-Tibyân fἷ Tafsἷ r Garἷ b
al-Qur’ân, (Dâr: As-Saẖâbah at-Turâs bi Tanta, 1992), Juz. I, h.126.
65
tempati mendapat serangan, maka hukum untuk mempertahankan tempat itu
merupakan suatu kewajiban.13
Kendati diwajibkan, dalam beberapa kondisi tak selamanya perang bisa
dilaksanakan, atau dalam bahasa lain, ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi kapan dan di mana perang boleh dan harus dilakukan. Dalam QS. al-
Baqarah [2] ayat 217 disebutkan:
هر ٱلرام قتا لونك ع يس فيه قتال قل فيه ل ن ٱلشه ۦ وٱلمسجد سبيل عن وصد كبي وكفر به ٱللهنة أكب من ٱلقتل ول ي ز
وٱلفت تلونكم حته ٱلرام وإخراج أهلهۦ منه أكب عند ٱلله الون ي ق ومن ي رتدد منكم عن دينهۦ ف يمت وهو كافر
حبطت فأولئك ي ردوكم عن دينكم إن ٱستطعوا
لهم ب ٱلنهار هم فيها ف أعم يا وٱلخرة وأولئك أصح ن لدون ٱلد خ“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,
(menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih
besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari
agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Dalam ayat tersebut misalnya, perang hukumnya haram dilaksanakan
pada bulan-bulan haram, bahkan termasuk kategori dosa besar. Ar-Razi,
menerjemahkan ayat tersebut: “Berperang dalam buan itu adalah dosa besar,
dan (adalah berarti) menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada
Allah dan (menghalangi manusia dari) Masjidil Haram. Tapi mengusir
penduduknya dari Masjidil Haram (Mekah) lebih besar lagi (dosanya) di sisi
Allah”.
Pendapat ar-Razi barangkali berdasarkan pertimbangan, bahwa mengusir
Nabi dan sahabatnya dari Masjid al-Haram sama dengan menolak Islam.
13 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan keserasian Alquran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2008), Cet.X , Vol. 1, h.460.
66
Definisi “fitnah” di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang
dimaksudkan untuk menindas umat Islam.
QS. al-Baqarah pada ayat di atas dengan kata lain menjelaskan, anjuran
perang dalam Islam pada perkembangannya memang terus bergerak dinamis.
Di masa-masa awal dakwah Nabi di Mekah, tak ada perintah perang bagi Nabi
Saw., sebab belum memenuhi prasyarat. Pasca hijrah, ketika penduduk Mekah
masih melakukan berbagai macam bentuk intimidasi dan represi, Allah Swt.
kemudian menurunkan perintah agar Nabi melawan penduduk Mekah. Namun,
dalam beberapa kondisi, seperti pada bulan haram atau di Masjid al-Haram,
perang juga tak boleh dilakukan.
b. Tafsir Fî Sabîl Allâh dalam Alquran Menurut Mufassir
Secara bahasa, kata fî sabîl Allâh terdiri dari tiga kata yang dirangkai
menjadi satu, yakni lafaz “fi” yang dalam bahasa Arab merupakan huruf jar14
artinya “di dalam”. Sedangkan lafaz sabîl Allâh terdiri dari dua kata, yakni
“sabîl” dan “Allah”, yang dalam ilmu tata bahasa Arab disebut mudhaf dan
mudhaf ilaih.15 Sabîl bermakna asli “al-Thariq” yang berarti “jalan”. Dalam
kamus Al-Munjid, sabîl Allâh adalah isim mufraf (kata tunggal). Sedangkan
dalam bentuk jama’ (jamak) yaitu: أسبله – أسبله – سبوله – سبل – سبل artinya, jihad,
menuntut ilmu, haji, dan apa saja yang diperintahkan Allah yang mengandung
unsur kebaikan. Selain sabîl, ada juga lafaz سبيله yang berarti jalan yang
dilewati.16
Berdasarkan kesepakatan ulama bahwa kata fî sabîl Allâh mempunyai dua
arti yakni; muwassain (meluaskan makna) dan mudhayyiqin (menyempitkan
makna).
Sementara menurut istilah, kata sabîl Allâh adalah kalimat yang bersifat
umum. Ia mencakup segala amal yang mengantarkan seseorang pada rida
Allah Swt. dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan
14 Huruf Jar adalah حرف يجر على إنحرار على إنحرار ما بعده “huruf-huruf yang menjarkan isim
yang sesudahnya. 15 Mudhof dan mudhaf ilaih itu adalah dua kalimat isim yang digabung menjadi satu
ungkapan supaya memberikan sebuah pemahaman yang bermanfaat. 16 Lausil Maluf, Kamus al-Munjid al-Lughah, (Bairut: Darul Masyrik, 2007), h. 320.
67
larangan-Nya. Jadi, yang dimaksud sabîl Allâh adalah orang yang berjuang di
jalan Allah.17
Ibnu Atsir, seperti dikutip dalam Ensklopedi Islam memberi dua
pengertian pada kata “fi sabîl Allâh”. Pertama, bila kata ini disebut secara
mutlak atau sempit, biasanya digunakan untuk arti jihad (berperang melawan
orang kafir). Sebab, umumnya kata ini digunakan seolah hanya untuk
pengertian jihad.18 Kedua, dalam pengertian lebih luas, fi sabîl Allâh
digunakan untuk semua amal yang ikhlas ditujukan untuk mengabdikan diri
kepada Allah Swt., meliputi segala perbuatah baik, untuk pribadi maupun
untuk masyarakat.
Dalam Alquran, kata “fi sabîl Allâh” disebut sebanyak 45 kali, dari 42
surah dalam 13 surah,19 yakni pada surah al-Baqarah [2] ayat 154, 190, 195,
218, 244, 246, 261, 262, dan 273; surah Ali ‘Imran [3] ayat 13, 146, 157, 167,
dan 169; surah an-Nisa [4] ayat 74, 75, 76, 84, 89, 94, 95, dan 100; surah al-
Maidah [5] ayat 54; surah al-Anfal [8] ayat 60, 72, 74; surah al-Taubah [9] ayat
19, 20, 38, 41, 60, 81, 111, dan 120; surah al-Hajj [22] ayat 58; surah al-Nur
[24] ayat 22; surah Muhammad [47] ayat 4 dan 38; surah al-Hujurat [49] ayat
15; surah al-Hadid [57] ayat 10; surah al-Shaff [61] ayat 11; dan surah al-
Muzammil [73] ayat 20.
Di antara semua surah tersebut, berdasarkan turunnya, hanya surah al-
Muzammil [73] ayat 20 yang masuk kategori Makiyyah. Sementara sisanya
masuk dalam kategori Madaniyyah. Berikut, penulis cantumkan beberapa
kutipan ayatnya khususnya yang berhubungan dengan qitâl sesuai tema skripsi
ini:
QS. al-Baqarah [2] ayat 190:
17 Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , Vol. IV, h. 1523 18 Usaha sungguh-sungguh atau yang dalam Alquran disebut mujahadah. Dalam pengertian
khusus, mujahadah secara fisik disebut jihad. Sementara mujahadah dengan akal disebut ijtihad.
Secara umum, mujahadah dan ijtihad diartikan sama, yakni penumpahan segala kesempatan. Lihat,
Amir Nuddin, Ijtihad ‘Umar bin al-Khatab, (Jakarta: CV Rajawali, 1991), h. 53. 19 Jamalia Idrus, Makna Fi Sabilillah dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Tafsir Maudhu’iy,
(Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim, Riau, 2011), h. 23-
35. Lihat Muhammad Fuâd Abd al-Bâqἷ, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, h. 433-436.
68
إنه ٱلله ل يب ٱلمعتدين تلونكم ول ت عتدوا وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Kata qitâl dalam ayat tersebut merupakan bentuk fi’il mudâri yang
menjelaskan bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah Swt. (mati)
sebenarnya mereka itu hidup namun di alam lain. Mereka mendapat nikmat
dari Allah, namun tidak menyadarinya.20
QS. al-Baqarah [2] ayat 246:
بن ب عد موسى إذ قالوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من
م إسرءيل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق قالوا وما لنا
تلوا تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله ت ق قال هل عسي تل ف سبيل ٱلله و ٱلله قد أله ن ق
ا كتب عليهم ٱلقتال ت ولهوا إله قليل نائنا ف لمه هم أخرجنا من ديرن وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil
sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi
mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang
(di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab:
"Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak
akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau
berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari
anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka,
mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan
Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.
Ayat ini menceritakan tentang pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi
Musa as. Ketika mereka berkata kepada Nabi mereka, mereka menginginkan
seseorang yang diangkat menjadi raja untuk memimpin mereka berperang di
jalan Allah Swt., namun ketika perang itu telah diwajibkan kepada mereka,
mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja, dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang zalim.21
20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.CV.Toha
Putra, 1989), h. 39. 21 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 60.
69
QS. Ali ‘Imran [3] ayat 167.
وقيل لم ولي علم ٱلهذين نف قالوا لو ن علم قتال قوا
كم له ت عالوا قتلوا ف سبيل ٱلله أو ٱدف عوا ٱت هب عن
وههم مها لي هم للين ي قولون بف رب من أعلم با يكت هم للكفر ي ومئذ أق مون س ف ق لوبم وٱلله“Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada
mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah
(dirimu)". Mereka berkata: "Sekiranya kami mengetahui akan terjadi
peperangan, tentulah kami mengikuti kamu". Mereka pada hari itu lebih
dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan
mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih
mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan”.
Ayat ini menjelaskan kemahatahuan Allah terhadap orang-orang munafik.
Mereka diajak untuk berperang di jalan Allah dan apabila tidak termotivasi,
maka berperanglah untuk membela diri, keluarga, dan harta. Namun mereka
menghindar dengan alasan yang dibuat-buat, mereka lebih dekat dengan
kekafiran. Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan.22
QS. An-Nisa’ [4] ayat 84 (qitâl dalam bentuk fi’il Amr):
وحر ض تل ف سبيل ٱلله ل تكلهف إله ن فسك س ٱلهذين ٱلمؤمني عسى ٱلله ف ق
أن يكفه ب
س أشد ب وٱلله
يل تنك وأشد ا كفروا
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani
melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para
mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan
orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras
siksaan (Nya)”.
Ayat ini menerangkan bahwa diperintahkan untuk berperang di jalan
Allah. Dalam ayat ini terdapat isyarat, bahwa Nabi SAW. diwajibkan
memerangi orang-rang kafir meskipun hanya sendiri, hal ini berkaitan dengan
22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 105.
70
ketidakmauan sebagian besar orang Madinah untuk ikut berperang Bersama
Nabi Saw. Allah telah menjanjikan kemenangan.23
Selain menyebut kata fi sabîl Allâh, empat ayat tersebut sekaligus
mengandung perintah qitâl. Dengan demikian, Alquran memang
memerintahkan agar umat Islam bisa berjuang di jalan Allah, sekalipun itu
harus melalui jalan perang.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris memaknai, kata fi sabîl Allâh untuk
kepentingan umum, seperti tegaknya agama, negara, dan bukan untuk
kepentingan pribadi. Dalam kehidupan bermasyarakat, hal demikian bisa
termanifestasikan misalnya dengan membangun panti jompo, madrasah,
pesantren, membangun organisasi untuk kepentingan masyarakat, dan
sebagainya. Dalam kasus qitâl, dan lebih umum jihad, fi sabîl Allâh
direalisasikan dengan membeli senjata, atau memenuhi kebutuhan logistik para
prajurit.24
Sedangkan Yusuf al-Qardhawi berpendapat, tidak ada perluasa arti sabîl
Allâh, selain hanya untuk perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Demikian halnya kata itu tak
dipersempit hanya untuk jihad.25 Tak jauh berbeda, Sayyid Sabiq
mengemukakan, fi sabîl Allâh secara definitif, merupaka jalan yang
mengantarkan pada keridaan Allah Swt., baik dengan ilmu maupun amal.26
Pendapat lebih tegas disampaikan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni.
Menurutnya, fi sabîl Allâh adalah lema dalam Alquran yang memiliki makna
secara mutlak, yakni untuk jihad. Sebab, sebagian besar ayat yang menyebut
fi sabîl Allâh, umumnya merupakan perintah jihad, kecuali beberapa ayat yang
menunjukkan perintah lain.27
Menurut Imam al-Ghazali misalnya. Ia memberi keterangan tentang lema
fi sabîl Allâh untuk para kelompok yang berhak menerima zakat, meski masih
dalam konteks peperangan. Hanya saja, Imam Ghazali lebih spesifik pada
23 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 133. 24 M.Abdul Qadir Abu Faris, Infaq al-Zakah fi al Maslahah al-Ammal, ahli bahasa: Said
Aqil al-Munawar, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, (Semarang: Dina Utama, t.th), h. 52-53. 25 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1991), h. 633. 26 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, (Bandung : PT al-Ma’arif, 1990), hal. 101. 27 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, h. 617.
71
mereka yang berhak menerima bagian, sekalipun ia adalah orang kaya. Bagian
yang berhak mereka terima sebagai bantuan bagi mereka yang terlibat dalam
perang.
Salah satu ayat yang menyebut fi sabîl Allâh, dengan diiringi kata selain
jihad atau qitâl, antara lain terdapat dalam surah al-Baqarah [2] ayat 195, di
mana dalam ayat ini fi sabîl Allâh diiringi dengan kata infak:
إنه ٱلله يب ٱلمحسني وأنفقوا ف سبيل ٱلله ول ت لقوا بيديكم إل ٱلت ههلكة وأحسن وا
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Hal ini dipertegas dalam surah al-Baqarah [2] yang lain, yakni pada ayat
273:
سب هم ٱلاهل أغنياء من رض ٱل ف للفقراء ٱلهذين أحصروا ف سبيل ٱلله ل يستطيعون ضرب ي
هم ل يس لون ٱلنهاس إلاف ٱلت هعفف ت عرف هم بسيم ٱلله بهۦ عليم فإنه خي من تنفقوا وما ا
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta
kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui”.
Ayat ini mempertegas bahwa berjihad, bukan hanya dapat dilakukan
dengan jiwa, melainkan juga dengan harta kekayaan. Dua pilihan itu dilakukan
jika hanya dapat melakukan salah satu di antaranya, maka yang wajib itulah
yang dilakukan.
Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir, bahwa orang-orang yang
berjihad mengabdikan dirinya kepada Allah Swt., mereka tidak memiliki
sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sebab, mereka terlalu
khusuk dalam berjihad, sehingga mereka tidak ada waktu untuk melakukan
72
aktifitas lain, seperti berdagang atau mencari penghidupan lain.28 Oleh
karenanya, al-Maraghi menambahkan, mereka wajib diberi biaya. Termasuk
berjuang di jalan Allah di era sekarang, seperti orang-orang yang menyibukkan
diri untuk kepentingan publik, dan menegakkan Islam.29
Meski tak menyinggung kata qitâl atau jihad, para ulama tafsir memaknai
ayat ini masih dalam konteks peperangan, di mana infak di sini dimaksudkan
sebagai upaya untuk menegakkan Islam, dan untuk mengalahkan musuh. Oleh
karenanya, Buya Hamka menekankan bahwa dalam menghadapi musuh dalam
peperangan di jalan Allah Swt., penyediaan logistik untuk kebutuhan selama
peperangan harus dilipatgandakan.30
B. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh Menurut M. Rasyîd Rida
Jika merujuk pada definisi sebelumnya tentang makna Fî Sabîl Allâh,
Rasyîd Rida termasuk kelompok ulama yang memberi makna muwassain
(meluaskan makna) terhadap definisi Fî Sabîl Allâh. Bagi Rasyîd Rida,
pengertian Fî Sabîl Allâh bukan hanya mutlak terkonotasi pada makna qitâl,
melainkan lebih umum, yakni berjuang untuk umum, seperti pengentasan
kemiskinan, kebodohan, dan lebih umum seperti membangun kualitas
masyarakat.31
Menurut Rida, sekalipun Nabi sendiri melakukan perang dan
memerintahkan berperang, namun perang yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.,
dan umat muslim saat itu bukan dengan tujuan penaklukan (The conquest),
namun lebih untuk mempertahankan diri (defensif).32 Pendapat itu sejalan
dengan pendapat pendahulunya, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh,
serta para pemikir modernis sesudahnya seperti Mahmud Syaltut. Tentu saja
penafsiran Rasyîd Rida, maupun kedua gurunya dilatarbelakangi oleh kondisi
28 Imam Abi Fida al-Hafazh Ibnu katsir al-Damasyqiy, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
(Kairo: Darul Hadis, 2003), Jilid 1, h. 401. Ahli bahasa: Bahrun Abu Bakar, judul Tafsir Ibn
Katsir, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008). 29 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Berut: Darul Fikr, 2006), h. 279. Ahli
bahasa: Anshori Umar Sitanggal, dkk, Terjemahan Tafsir al-Maraghi, Semarang: Toha Putra. 30 Hamka, Buya, Tafsir al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2007), Jilid I,
h. 452. 31 Djunaidi, Rasyid Ridha Ide-Ide Pembaharua”, (Jurnal Tajdid, Vol. IX, No. 2, 2010), h.
71. 32 Djunaidi, Rasyid Ridha Ide-Ide Pembaharuan, h. 71.
73
sosial dan politik masyarakat Mesir yang tengah berjuang melepaskan diri dari
kolonialisasi Inggris.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rasyîd Rida misalnya, dalam menafsirkan
ayat perang (qitâl), pada QS. al-Baqarah [2] ayat 190, sebagai berikut:
ت وقتلوا إنه ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق ٱلله ل يب ٱلمعتدين لونكم ول ت عتدوا
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Definisi “melampauai batas” dalam ayat di atas, menurut M. Abduh seperti
dikutip Rasyîd Rida dalam tafsirnya, adalah tak ikut memerangi orang-orang
yang tak terlibat dalam peperangan, seperti anak-anak, perempuan, orang sakit,
atau mereka yang sudah menyerah dan mengajak berdamai.33 Sekalipun musuh
adalah orang-orang yang lebih dulu menyerang dan memusuhi.
Meski ayat ini secara tegas memberi perintah agar umat Islam melakukan
perlawanan dengan jalan perang, Rasyîd Rida menafsirkan, ayat tersebut
memberi batasan agar umat Islam tidak melampauai batas dalam melakukan
perang dan melawan segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh orang-
orang kafir ketika itu.
Dengan kata lain, perang yang dilakukan semata-mata adalah untuk
penegakkan dan eksistensi Islam. Ayat ini sekaligus menjadi ayat kedua yang
melegalisasi perang, setelah turunnya surah al-Hajj [22] ayat 39.34
Lebih jauh mengenai surah al-Baqarah [2] ayat 190, sebagian mufassir juga
mengemukakan pendapat serupa, yakni mengenai etika perang. Dengan kata
lain, bahwa dalam berperang ada etika atau aturan yang harus diperhatikan oleh
kaum muslim dalam berperang. Salah satunya seperti dikemukakan al-
33 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,
Juz II, (Kairo: Dār al-Manar, 1954), h. 209. 34Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Menurut Ibn al-‘Araby, ayat yang
memerintahkan perang pertama kali adalah QS. al-Hajj (22): 39. Ia beralasan adanya prinsip
tadarruj bahwa pada mulanya perang diizinkan kemudian diwajibkan. Sedangkan Menurut Rafi`
ibn Anas bahwa ayat perang pertama adalah QS. Al-Baqarah [2] ayat 190. Kemudian disusul QS.
Al-Hajj [22] ayat 39, dan seterusnya, dengan pengertian bahwa QS. Al-Baqarah [2]: 190 bersifat
menyerukan dalam rangka membalas setimpal. Sedangkan al-Hajj [22]: 39 bersifat memberi aturan
secara legal bahwa perang diizinkan.
74
Mawardi, tidak boleh menyerang mereka yang tak terlibat dalam peperangan,
sekalipun mereka adalah orang musyrik.35
Asbâb al-Nuzul ayat tersebut, seperti diriwayatkan al-Wahidi dari jalur al-
Kalabi dari Abu Saleh dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Ayat di atas turun saat
Perjanjian Hudaibiyyah. Yaitu ketika Rasulullah dihalangi untuk mendatangi
Bait al-Haram, kemudian beliau diajak berdamai oleh orang-orang musyrik
agar kembali pada tahun berikutnya. Ketika tahun itu datang, beliau dan para
sahabatnya bersiap-siap untuk melakukan umrah qadha. Namun, mereka
khawatir jika orang-orang Quraisy tidak memenuhi janji mereka dan
menghalangi mereka lagi untuk memasuki Bait al-Haram, serta memerangi
mereka, sedangkan para sahabat tidak senang untuk berperang dengan
orangorang musyrik pada bulan-bulan Haram. Maka, Allah Swt., menurunkan
firmanNya ayat 190 surah al-Baqarah [2].36
Dalam ayat lain, tentang makna Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh, misalnya juga
tercantum dalam surah al-Baqarah [2] ayat 246, sebagai berikut:
بن إسرءيل من ب عد م موسى إذ قالوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق
تل ف قالوا وما لنا أله ن قتلوا تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله ت ق قال هل عسي سبيل ٱلله وقد ٱلله
ا كتب عليهم ٱلقتال أخرجنا من دي نائنا ف لمه هم ت ولهوا إله قليل رن وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil
sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi
mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang
(di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab:
"Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak
akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau
berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari
anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka,
mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan
Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.
35 Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Bagdhadi al-Mawardi.
AnNukât wa al-‘Uyūn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), Juz. I, h. 251. 36 Jalaluddin as-Suyuti, Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran, Terjemahan: Tim Abdul
Hayyie,(Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet.I. h. 76
75
Rasyîd Rida dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini bercerita tentang bangsa
Israil—setelah wafatnya Nabi Musa as.—yang bertanya kepada nabi mereka
yang bernama, Samuel, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami
berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. “Mungkinkah kalian nanti
akan berperang?”, lalu mereka menjawab, “Kenapa kami tidak mau berperang,
padahal sesungguhnya kami telah diusri dari anak-anak kami?” Namun ketika
perang itu wajibkan kepada mereka, sebagian besar di antara mereka malah
berpaling, dan lalu mereka menyebrangi sungai Nil bersama Thalut. Hanya
beberapa saja dari mereka yang mau berperang.37
M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata nuqâtil, atau tuqâtilū
keduanya bermakna, “kami akan berperang”, dan “kamu berperang”. Pada ayat
di atas dijelaskan kepada orang-orang yang beriman akan tabiat umat terdahulu
mereka yang meminta kepada Nabi Musa untuk ditetapkannya seorang raja,
yang nantinya bersama raja tersebut mereka akan ikut berperang. Namun, Nabi
Musa as. meragukan tekad mereka. Kemudian mereka menegaskan ungkapan
mereka dengan berkata “mengapa kami takut, padahal kami telah diusir dari
kampung kami.” Akhirnya keraguan Nabi terbukti, di mana pada saat itu ketika
mereka diajak berperang, banyak di antara mereka yang berpaling.38
Dalam ayat lain dijelaskan tentang perintah berperang (qitâl) Fî Sabîl
Allâh, yakni dalam surah an-Nisa [4] ayat 74, sebagai berikut:
يا ن تل ف سبيل ٱلله ٱلهذين يشرون ٱلي وة ٱلد تل ف سبيل ٱلله ف ي قتل أو ي غلب ف لي ق بٱلخرة ومن ي ق
ا عظيم فسوف ن ؤتيه أجرا“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia
dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang
berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka
kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”.
37 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,
Juz II, h. 476. 38 M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan keserasian Alquran, h. 530-
531.
76
Menurut Abduh, seperti dikutip Rasyîd Rida dalam tafsirnya, ayat ini
menjelaskan prilaku orang-orang yang lemah imannya dengan menunda-nunda
dalam berperang di jalan Allah Swt. Kemudian Allah melalui ayat ini
menyebut bahwa orang-orang seperti itu adalah orang yang menjual akhirat
dengan dunianya.39
Sementara yang dimaksud fî sabîl allâh dalam ayat ini adalah jalan yang
benar. Dalam hal ini, perang dilakukan dengan tujuan untuk menolong agama
Allah Swt. Seperti mengangagungkan kalimat Allah, menyiarkan Islam, serta
melawan musuh yang mengancam keselamatan kaum muslim dan hendak
merampas tanah dan harta mereka. Dengan kata lain, fî sabîl allâh berarti
adalah ungkapan untuk menyatakan kebenaran.40
Keterangan di atas kemudian dilanjutkan pada ayat selanjutnya yakni, pada
surah an-Nisa [4] ayat 75, sebagai berikut:
تلون ف سبيل ٱلله وٱلمستضعفي م ن ٱلهذين ي قولون رب هنا وما لكم ل ت ق ن ٱلر جال وٱلن ساء وٱلولد
ذه ٱلقرية ٱلظهال أهلها وٱجعل لهنا من لهدنك ولي نك نصياا من لهد ٱجعل لهن و ا أخرجنا من ه“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-
orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
(Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi
Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" .”
Dalam ayat ini, Rasyîd Rida, seperti mengutip pendapat gurunya
menegaskan, lalu apa yang menjadikan kalian enggan ikut berperang di jalan
Allah Swt., padahal itu bertujuan untuk mencari kebenaran dan keadilan.
Sebagai bentuk penegasan dari makna perang fî sabîl allâh, secara implisit
Rida juga menjelaskan dalam ayat ini. Menurutnya, tak ada alasan lain untuk
ikut berperang selain untuk menjunjung tauhid di atas kemusyrikan.41
39 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,
Juz V, h. 257. 40 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,
Juz V, h. 258. 41 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,
Juz V, h. 259.
77
Kata “ مستضعفي” dalam ayat di atas, menurut Rida adalah orang-orang
lemah dalam melawan para penguasa yang zalim. Mereka, kata Rida, adalah
saudara seagama sesama muslim. Menurut Abduh, yang dimaksud orang
lemah dalam ayat di atas adalah orang-orang yang dilemahkan keimanannya,
dengan cara dilarang untuk mengikuti Rasulullah Saw. Hijrah ke Madinah.
Allah Swt., kata Abduh, oleh karenanya memberi penyebutan khusus kepada
mereka. Ayat ini juga menjelaskan bahwa hubungan keimanan nyatanya lebih
kuat daripada nasab dan tanah kelahiran. Hal itu terlihat jelas dari doa mereka
yang hendak keluar dari Mekah dan hendak ikut Nabi hijarah ke Madinah.42
C. Tafsir Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh Menurut Sayyid Qutb
Nama Sayyid Qutb ‘lahir’ dalam gejolak politik di Mesir yang tengah
memanas. Ia besar oleh pemimpin ‘bertangan besi’, Kolonel Gamal Abdul Nasser.
Sosoknya berkali-kali diburu, dan keluar masuk penjara karena terus menerus
memposisikan diri sebagai oposisi. Namun, justru karena itulah, ia kemudian juga
dikenal bukan hanya pemikirannya dalam bidang Islam, tapi juga sebagai tokoh
revolusioner Mesir.
Dalam sekitar 15 tahun masa penahannya di bawah kepemimpinan Abdul
Nasser itulah salah satu karya fenomenal Qutb dalam bidang keislaman lahir.
Mulanya, karya yang dikenal dengan Tafsir Fī Zilâl Qur’an itu disebarluaskan
lewat majalah bernama Al Muslimun, yang diasuh oleh Sa’id Ramadhan, selama
tujuh edisi berturut-turut. Persis di edisi ketujuh ia menyatakan berhenti untuk
menerbitkan majalah itu dan akan menuliskannya dalam sebuah kitab khusus, yang
akan diterbitkan dalam juz-juz secara berkelanjutan. Juz pertama tafsir itu terbit
pada Oktober 1952, lalu diikuti juz-juz berikutnya.43
Meski begitu, mengenai makna Fî Sabîl Allâh dalam Alquran, Sayyid Qutb
cenderung cukup moderat. Ia berkata, “Yang demikian ini merupakan bab yang
luas, yang meliputi semua bentuk kemaslahatan bagi banyak orang”.44 Pendapat ini
42 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār,
Juz V, h. 259. 43 Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi pergerakan, terj. Asmuni Solihan
Zamakhsyari, (Yayasan Bunga Karang, Jakarta, cet. I, 1995), h. 18-19. 44 Sayyid Qutb, Fi Zilâl al-Qur'an, Jilid 3, (Beirut : Dar al-Syuruf, 1979), hal. 1670
78
cukup berbeda dengan pendapat ulama pada umumnya yang memaknai Fî Sabîl
Allâh hanya terkonotasi dengan jihad atau perang.
Dr. Wahba al-Zuhayly misalnya. Menurutnya, Fî Sabîl Allâh adalah para
pejuang yang berperang di jalan Allah Swt., dengan tidak digaji, atau imbalan
apapun atas perjuangannya. Dan kelompok mereka itu tidak boleh menunaikan
ibadah haji dengan hartanya.45
Pendapat serupa disampaikan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni. Menurutnya,
kata Fî Sabîl Allâh telah bermakna mutlak sebagai jihad. Sebab menurutnya, ayat-
ayat dalam Alquran yang menyebut kata Fî Sabîl Allâh umumnya terkonotasi
dengan jihad dan qitâl.46
Untuk melihat lebih jauh pendapat Sayyid Qutb tentang makna perang (qitâl)
Fî Sabîl Allâh dalam Alquran, mari lihat penafsirannya terhadap QS. al-Baqarah [2]
ayat 190.
تلونكم ول ت عتد إنه ٱلله ل يب ٱلمعتدين وقتلوا ف سبيل ٱلله ٱلهذين ي ق وا
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Menurut Qutb, makna fî sabîl Allâh (di jalan Allah) dalam surah al-Baqarah
[2]: 190 di atas, adalah perang karena Allah, bukan untuk tujuan lain, di antara
tujuan-tujuan lain yang dikenal manusia dalam berperang. Lebih lanjut, menurut
Qutb, perang di jalan Allah bukan untuk meraih kehormatan maupun kedudukan
yang tinggi di muka bumi. Bukan pula untuk mendapat rampasan, atau bahkan
mendapat kedudukan yang tinggi di atas golongan-golongan lain.47
Menurut az-Zamakhsyari, surah al-Baqarah [2] ayat 190 berisi perintah untuk
memerangi orang-orang kafir.48 Sebab, semua penggunaan kata “qâtilū” (yang
tercantum dalam ayat tersebut) dalam Alquran, menurut az-Zamakhsyari adalah
perintah untuk memerangi orang-orang kafir, kecuali ayat 9 dari surah al-Hujurat.
45 Wahba al-Zuhayli, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 287. 46 Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, h. 617. 47 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., (Gema Insani,
Jakarta, 1992), h. 223. 48 Abu al- Qasim Maẖmud Ibn ‘Amr Ibn Aẖmad az- Zamakhsyari. Al-Kasysyaf ‘an
Haqâ’iq Ghawâmid at-Tanzἷ l, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabἷ , 1407 H), Juz II, h. 239.
79
Selain mendefinisikan makna Fî Sabîl Allâh, ayat tersebut juga memberi
batasan dalam sebuah peperangan yang dilakukan kaum muslim. Menurut Qutb,
yakni pada kata ول ت عتدو (jangan melampaui batas). Dalam memaknai kata tersebut,
Qutb menjelaskan kedua belah pihak yang tengah berperang, dilarang untuk
mengganggu orang-orang yang tidak menimbulkan bahaya, seperti perempuan,
anak-anak kecil, orang tua, atau para ahli ibadah yang tidak melakukan aktifitas lain
selain beribadah, dari agama apapun mereka berasal, dan segala bentuk kebrutalan
lain yang pernah ada sebalum Islam selama berperang.49
Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw., sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي هللا عنه قال : "وجد ت امرأة مقتولة ف بعض مغازي رسول سل م , فنهى رسول الل الل صل ى الل عليه وسل م عن قتل الل صل ى الل عليه و
"النساء والصبيان Ibnu Umar ra. berkata, “Saya menjumpai seorang wanita yang terbunuh
dalam salah satu peperangan Rasulullah Saw., lalu Rasulullah Saw.,
melarang membunuh wanita dan anak-anak.” (HR. Imam Malik, Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Dalam hadis lain, Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah Saw., bersabda:
إذا قاتل أحدكم فليجتنب الوجه “Apabila seseorang dari kamu berperang, maka janganlah ia melukai wajah”.
(HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Lebih lanjut, menurut Qutb, batasan-batasan itu harus ditaati saat berperang.
Sebab, kemenangan umat Islam dalam perang, semata-semata bukan hanya dengan
jumlah prajurit yang banyak atau persenjataan yang lengkap, melainkan ada sebab
pertolongan Allah Swt..50
Lebih lanjut, Sayyid Qutb menjelaskan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 246,
tentang kisah Bani Israil pasca ditinggal Nabi Musa as., sebagai berikut:
49 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 223. 50 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 224.
80
بن إسرءيل من ب عد موسى إذ ق م الوا لنب أل ت ر إل ٱلمل من عث لنا ملك له تل ا ٱب سبيل ف ن ق
قالوا وما لنا تلوا تم إن كتب عليكم ٱلقتال أله ت ق قال هل عسي تل ف سبيل ٱلله وقد ٱلله أله ن ق
ا كتب عليهم ٱلقتال ت ولهوا إله قليل أخرجنا من ديرن نائنا ف لمه هم وأب عليم بٱلظهلمي و م ن ٱلله
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah
Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka:
"Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah
pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika
kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka
menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal
sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang
itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di
antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim”.
Ayat di atas menjelaskan tentang sifat khusus Bani Israil yang kerap
mengingkari janji, lari dari tanggung jawab, dan berpaling dari kebenaran yang
sudah terang. Namun menurut Sayyid Qutb, sifat yang demikian itu, bukan hanya
sifat satu golongan manusia. Itu adalah sifat umum yang ada pada semua golongan
manusia. Sifat itu, lanjut Sayyid Qutb diakibatkan karena pendidikan dan iman yang
belum matang. Dan untuk mengubahnya dengan cara Pendidikan iman yang tinggi,
dalam jangka waktu Panjang. Ia harus dibina secara cermat dan dibimbing dengan
teliti.51
Kemudian, untuk mengakhiri ayat tersebut, Allah berfirman, “Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang zalim”. Menurut Sayyid Qutb, itu adalah sifat yang
diberikan Allah kepada perbuatan bangsa Bani Israil. Lebih lanjut menurut Qutb,
orang yang mengerti bahwa dia berada di atas kebenaran dan musuhnya di atas
kebatilan seperti pemuka-pemuka Bani Israil yang meminta kepada nabi mereka
supaya mengangkat seseorang penguasa (pemimpin) untuk memimpin mereka
dalam peperangan fî sabîl allâh kemudian dia berpaling dari jihad dan kebenaran
yang didiketahuinya maka yang demikian itu merupakan golongan orang zalim, dan
akan dibalas kezalimannya.52
51 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 317. 52 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 317.
81
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Sayyid Qutb cukup tegas menyatakan
bahwa, apa yang dilakukan oleh Bangsa Bani Israil adalah sebuah kezaliman. Ia
juga menjelaskan sifat itu sebetulnya bukan sifat khusus bagi satu golongan, namun
sifat umum semua manusia. Untuk menghilangkannya, Qutb memberi jalan keluar
yakni dengan pembinaan dengan teliti, sabar, agar tidak mudah terkejut dan
memandang sesuatu dengan tidak berlebihan.
Dalam ayat lain, tentang makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh, bisa dilihat
penafsiran Sayyid Qutb pada surah al-Nisa [3] ayat 74, sebagai berikut:
تل تل ف سبيل ٱلله ف ي قتل ف لي ق يا بٱلخرة ومن ي ق ن أو ي غلب فسوف ف سبيل ٱلله ٱلهذين يشرون ٱلي وة ٱلد
ا ن ؤتيه أجرا عظيم“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di
jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami
berikan kepadanya pahala yang besar”.
Sebagai pendahuluan sebelum menafsirkan ayat tersebut, Qutb menjelaskan
bahwa ayat tersebut menekankan orang-orang agar melihat sesuatu yang lebih
penting; lebih baik dan kekal yakni akhirat. Dan agar manusia dapat menukar
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Kemudian Sayyid Qutb menyatakan
dengan tegas, “Menang atau mati syahid?”53 pernyataan itu bisa bisa dikatakan
sangat tegas dari seorang Sayyid Qutb agar umat Islam dapat melihat bahwa
kehidupan akhirat adalah kehidupan sebenarnya, dan lebih kekal daripada
kehidupan di dunia.
Dalam ayat ini, Sayyid Qutb tegas menekankan pentingnya berperang “di jalan
Allah Swt.,” Sebab Islam tak mengenal perang kecuali di jalan Allah. Islam
menurut Qutb, tak mengenal perang untuk mendapat rampasan dan kekuasaan, atau
karena alasan perang untuk pamor pribadi dan bangsa. Perang dalam Islam, oleh
karenanya bukan untuk ekspansi atau perluasan wilayah. Perang dilakukan untuk
menjunjung tinggi agama Allah Swt., yakni Islam. Menurut Qutb, saat seorang
82
muslim berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh, maka ia mati dalam keadaan
syahid.54
Sampai pada titik ini, melihat penafsiran Sayyid Qutb, masih terlihat konsisten
memaknai makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam Alquran, yakni perang yang
dilakukan semata-mata karena tujuan agama, bukan untuk kepentingan pribadi atau
kelompok seperti bangsa, maupun untuk eksistensi dari kelompok lain.
Pemikiran Qutb yang lebih tegas lagi terlihat dalam penafsiran selanjutnya,
yakni pada surah al-Nisa [3] ayat 75.
تلون ف سبيل ٱلله ن ٱلهذين ي وٱلمستضعفي من ٱلر جال و وما لكم ل ت ق قولون رب هنا ٱلن ساء وٱلولد
ذه ٱلقرية ٱلظهال أهلها وٱجعل لهنا من لهدنك ولي ٱجعل لهنا من لهدنك نصياو ا أخرجنا من ه“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-
orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini
(Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi
Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!"
Menafsirkan ayat ini, Sayyid Qutb menjelaskan, “Bagaimana kamu duduk-
duduk saja dan tidak mau berperang di jalan Allah untuk menyelematkan orang-
orang tertindas, dari kalangan laki-laki, perempuan, dan anak-anak? Mereka yang
tertindas terlukis dalam pemandangan yang dapat memebangkitkan harga diri
seorang muslim, kehormatan seorang mukmin, dan menyentuh rasa belas kasihan
kemanusiaan secara mutlak”.55
Dalam ayat ini, tampaknya terlihat genuitas dari kerangka pemikiran Sayyid
Qutb sebagai salah satu tokoh penting revolusioner Mesir. Hal itu sesuai dengan
apa yang ia tulis dalam bukunya, Religious Resurgence. Dalam buku yang disunting
oleh Anton dan Hegland itu, Qutb menulis argumennya mengenai nilai-nilai dasar
Islam sebagai religion, “Islam adalah deklarasi pembebasan manusia dari
54 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz V. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 21. 55 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz V. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 22.
83
penyembahan terhadap sesama makhluk di Bumi, yang ada hanya pada Allah
semata”.56
Dalam bukunya yang lain, Milestones, Qutb menulis, “Agama yang sejati
merupakan deklarasi universal kebebasan manusia dari penghambaan kepada orang
lain dan pada nafsunya sendiri yang merupakan sebentuk penghambaan. Ini berarti
agama adalah revolusi total dan serba melingkupi melawan kedaulatan manusia
dalam segala jenis, segala sistem dan keadaan, serta berontak sepenuhnya melawan
setiap sistem di mana otoritas sudah berada di tangan manusia dalam segala
bentuknya”.
Mencermati argumen Qutb di atas, tampaknya terlihat bagaimana ia menjadikan
Islam sebagai agama yang tegas dalam melihat segala bentuk penindasan. Qutb
menjadikan Islam sebagai agama yang progresif dan modern, namun tegas terhadap
kemurnian.
D. Persamaan dan Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb
Tentang Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh
a. Persamaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb Tentang Perang
(Qitâl) Fî Sabîl Allâh
M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb adalah dua ulama yang masuk dalam
kelompok ulama-ulama modern. Beberapa nama lain yang masuk dalam
kelompok ini antara lain, al-Alusi (w. 1270 H), Jawhari al-Misri (w.1385 H),
al-Maraghi, Muhammad ‘Alî al-Sâyis (w. 1397 H), al-Sha’rawi (w. 1419 H),
Ali al-Shabuni, al-Tabataba’I, dan lain-lain.57
Umumnya ulama yang masuk kelompok ini lahir dan besar di Mesir sebut
saja Alî al-Sâyis dan al-Sha’rawi. Mesir di masa-masa lahirnya para mufassir
ini, adalah negara yang tengah berada dalam tensi politik yang tinggi, terutama
di bawah kepemimpinan Kolonel Gamal Abd Nasser. Namun, kondisi itu
bukan tidak membuat khazanah keilmuwan dalam Islam khususnya, mandeg
56 Henry Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,
(Hikmah, Jakarta, 2003), h. 282. 57 Dalhari, Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20, Mutawatir: Jurnal
Keilmuwan Tafsir Hadis Vol 3, No. 1, (Sekolah Tinggi Agama Islam Diponegoro, Juni, 2013), h.
65-82.
84
dan stagnan. Bahkan sebaliknya, banyak karya-karya besar kemudian lahir di
negara ini, sebuat saja kita tafsir yang dibahas dalam skripsi ini.
Mencermati pandangan M. Rasyîd Rida dalam Tafsir al-Manār dan Sayyid
Qutb dalam Tafsir Fī Zilâlil Qur’an, tentang makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh
dalam Alquran, maka akan didapati beberapa kesamaan meski pada prinsipnya
mereka memiliki banyak pandangan yang berbeda dalam banyak aspek.
Berikut beberapa kesamaan keduanya dalam memaknai perang (qitâl) fî sabîl
Allâh dalam Alquran:
1. Rasyîd Rida dengan mengutip pendapat gurunya, Muhammad Abduh, tak
berbeda dengan Sayyid Qutb dalam memaknai surah al-Baqarah [2] ayat
190, sebagai ayat yang kali pertama turun untuk melegalisasi umat muslim
dalam berperang.
2. Melalui ayat yang sama, keduanya berpendapat bahwa perang yang
dilakukan kaum muslim tak lain hanya untuk alasan menegakkan agama
dan melawan tindakan represif dari orang-orang kafir Mekah saat
melanggar perjanjian Hudaibiyah.
3. Mengenai makna perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam ayat tersebut, Rasyîd
Rida dan Sayyid Qutb sepakat, bahwa definisi “di jalan Allah” adalah
tujuan satu-satunya dalam melakukan perang. Artinya, izin Alquran
terhadap perintah perang kepada kaum muslim, semata-mata karena untuk
membela Islam dan untuk berharap keridhaan Allah Swt., dan bukan
untuk tujuan lain, seperti untuk mendapat harta rampasan perang,
kekuasaan, nama baik pribadi, perluasan wilayah apalagi untuk mendapat
kedudukan lebih tinggi dari bangsa atau negara lain.
4. Melalui ayat ini pula, keduanya tak berbeda pendapat mengenai batasan-
batasan dalam berperang, seperti dilarang menyerang anak-anak,
perempuan, orang tua, orang sakit, atau orang yang mengajak berdamai,
dan mereka yang menimbulkan bahaya, dari latar belakang agama apapun
mereka.
5. Sekalipun dalam banyak hal mereka dikenal berada dalam posisi
pandangan berbeda—terlebih Sayyid Qutb sebagai tokoh pergerakan
Mesir— Qutb, justru cenderung lebih moderat dalam memaknai fî sabîl
85
Allâh. Ia menuturkan, “Yang demikian ini merupakan bab yang luas, yang
meliputi semua bentuk kemaslahatan bagi banyak orang”.58
b. Perbedaan Penafsiran M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb Tentang Perang
(Qitâl) Fî Sabîl Allâh
Pada dasarnya, M. Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb adalah dua ulama yang
merefleksikan modernitas dan progresifitas. Pemikiran keduanya merupakan
cerminan kondisi sosial yang hidup di abad ke-19 dan 20. Sebagai ulama yang
lahir di akhir abad ke-19, tentu Rasyîd Rida berada dalam masa peralihan corak
orientasi pemikiran di kalangan ulama-ulama Timur Tengah pada masanya,
dari semula sangat teologis ke aktual. Sementara Sayyid Qutb, lahir di awal
abad ke-20, dan besar dalam kondisi sosial politik yang tengah memanas,
sebab dalam masa-masa usai Perang Dunia II.
Sebagai salah satu negara yang juga berada di bawah kolonialisasi negara-
negara Eropa, Mesir pada perjalanannya kemudian juga melahirkan banyak
ulama yang dibentuk dalam kondisi sosial politik negara tersebut. Dalam hal
ini, meski pada Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb hidup dalam kurun waktu yang
sama, namun dalam beberapa penafsirannya, terlihat bagaimana keduanya
sama sekali berbeda, berikut penulis jabarkan beberapa perbedaan di antara
keduanya, terutama dalam konteks memberi definisi perang (qitâl) fî sabîl
Allâh dalam Alquran:
1. Tak perbedaan signifikan antara keduanya dalam memaknai perang (qitâl)
fî sabîl Allâh dalam Alquran. Hanya saja, Rasyîd Rida dengan tegas
memberi prasyarat yang harus dipenuhi kaum muslim sebelum melakukan
peperangan, di antaranya perang harus dalam rangka melindungi negara,
pemerintah dan masyarakat. Pengertian itu dengan demikian telah
memberi kelonggaran terhadap makna “perang di jalan Allah,” sebagai
motif satu-satunya dalam berperang. Artinya, peperangan hanya boleh
dilakukan jika umat Islam berada dalam tekanan dan ancaman.
2. Perbedaan yang lebih kentara antara keduanya, terlihat dalam interpretasi
Sayyid Qutb pada surah al-Nisa [4] ayat 74-75. Dalam tafsirnya, Qutb
58 Sayyid Qutub, Fi Zilâl al-Qur'an, Jilid 3, hal. 1670.
86
menulis, “Bagaimana kamu duduk-duduk saja dan tidak mau berperang di
jalan Allah untuk menyelematkan orang-orang tertindas, dari kalangan
laki-laki, perempuan, dan anak-anak? Mereka yang tertindas terlukis
dalam pemandangan yang dapat memebangkitkan harga diri seorang
muslim, kehormatan seorang mukmin, dan menyentuh rasa belas kasihan
kemanusiaan secara mutlak”.59 Dalam ayat ini, tampaknya terlihat
ofensifitas Qutb melawan segala bentuk ancaman dan penindasan.
3. Pandangan Sayyid Qutb dalam memaknai perang (qitâl) fî sabîl Allâh,
dalam perjalanannya terlihat bagaimana ia selama hidupnya
memposisikan diri sebagai orang yang melawan “tangan besi” Gamal
Abd. Nasser. Meski Mesir adalah negara dengan penduduk mayoritas
muslim, pemaknaan Qutb dalam hal ini tampaknya terlihat keras dan
radikal terhadap segala bentuk penindasan. Ia bukan hanya melawan
orang-orang kafir seperti latar belakang turunnya izin perang dalam surah
al-Baqarah ayat 190, namun segala bentuk penindasan terhadap
masyarakat, tetap harus dilawan.
E. Relevansi Perang (Qitâl) Fî Sabîl Allâh dalam Alquran dengan Konteks
Sekarang
Mayoritas ulama berpendapat bahwa umat islam tidak diperbolehkan memulai
peperangan. Perang, dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya
mempertahankan diri dari ancaman dan serangan.60 Hal ini diperkuat dengan
pendapat para ahli hukum fikih dari empat mazhab yang menyatakan, peperangan
yang dilakukan oleh kaum muslim terdahulu adalah karena penyerangan orang-
orang kafir. Dalam hal ini yang perlu dipertegas, adalah bukan kekafiran mereka
yang menjadi sebab Islam melakukan perang, melainkan serangan mereka yang
lebih dulu ditujukan para kaum muslim. Dengan demikian serangan hanya boleh
dilakukan jika Islam telah lebih dulu mendapat serangan.61
59 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilâl Qur’an, Juz V. terj. As’ad Yasin, dkk., h. 22.
60 Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl,
(Jurnal Fikri, Vol.2, No. 2, Desember 2007), h. 418. 61 Syahrullah Iskandar, Kekerasan Atas Nama Agama (Tangerang: Pusat Studi al-Qur’an,
2008), 17–18.
87
Pendapat ini sekaligus juga mematahkan pendapat sebagian sarjana Barat yang
menyatakan Islam tersebar dan besar dengan jalan pedang. Pendapat yang kerap
menyudutkan Islam misalnya Geertz Wilders.62 Ia melancarkan propaganda anti-
Islam dengan membuat film berjudul Fitna. Dalam film, ia mengilustrasikan
karikatur Nabi Saw., yang ia gambarkan sebagai pria bersorban dan tengah
membawa bom. Adegan itu yang lebih mengejutkan juga menampilkan ayat qitâl,
yang seolah menjadi legitimasi atas tindakan nabi dalam film tersebut.
Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Bahkan, di banyak belahan negara
lain, Islam tersebar dengan jalan damai, seperti di Indonesia. Hal inilah yang
melatar belakangi Thomas Carlel, Gustav le Bon, sejarawan asal Perancis
mengkritik keras tesis para koleganya yang menyatakan Islam tersebar melalui
jalan perang. Mereka berdua menafikan tesis para sarjana Barat tersebut. Apalagi
Islam mengizinkan untuk melakukan perang setelah lima belas tahun Rasulullah
mengembangkan dakwah Islam.63
Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemahaman non-radikal dan moderat seperti
ini mutlak diperlukan. Mengingat masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai
macam suku dan agama yang berbeda. Keberagaman ini apabila tidak didampingi
dengan paham keagamaan yang moderat sangat memungkinkan terjadinya gesekan
atau konflik sara di tengah-tengah masyarakat.64
Upaya untuk memamahi Islam yang ramah dan tidak radikal di Indonesia sudah
digalakkan sejak tahun 80-an. Abdurahman Wahid dan Nurcholis Majid merupakan
representatif dari cendikiawan yang memperkenalkan tentang Islam yang berwajah
Indonesia. Kebhinekaan, toleransi dan nir-kekerasan adalah konsepsi yang
dielaborasi dengan berbagai doktrin dasar Islam yang fundamental. Bahkan dengan
62 Lahir di Venlo, Belanda 6 September 1963, adalah politikus sayap kanan Belanda dan
pendiri dan pemimpin partai untuk kebebasan (Partij Voor de Vrijheid- PVV) partai politik terbesar keempat di Belanda. Ia adalah anggota parlemen Belanda sejak tahun 1998. Haluan politik Wilders
adalah kanan nasionalis yang liberal. Ia juga dikenal anti-Islam dan anti-imigran. Pada tahun 2008,
ia bersama Arnoud Van Doorn membuat film pendek berjudul Fitna, yang menyulut kontroversi.
Film ini berisi tentang pandangannya mengenai Islam dan Alquran. Film ini dirilis di internet pada
tanggal 27 maret 2008. Wilders pernah menyuarakan usulan agar pemerintah Belanda melarang
Alquran. Lihat Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl,
h. 418. 63 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an & Hadis (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2014), h. 3. 64 Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl, h.
420.
88
percaya diri, Ahmad Najib Burhani menyatakan perlunya mempopulerkan gagasan
Islam moderat Indonesia di dunia.65
Pada dasarnya, paham radikal dalam Islam disebabkan oleh kecenderung
memahami teks ayat secara parsial dan mengabaikan sisi historinya.66 Kondisi-
kondisi itulah yang kini tengah berkembang di banyak negara-negara di dunia. Ada
begitu banyak kepentingan kelompok namun menggunakan dalih agama, dan
berujung pada kontak fisik, dan lebih buruk bahkan hingga menimbulkan
peperangan antar bangsa dan negara.
Kondisi itu kini diperparah dengan perkembangan teknologi seperti internet
yang mengakibatkan pesan-pesan kebencian dan adu domba dengan begitu mudah
difabrikan dan disebarkan dengan cepat. Dengan tidak didasari pengetahuan yang
cakap dalam memverifikasi berita-berita yang beredar, kabar-kabar yang beredar di
tengah masyarakat akan mudah menimbulkan sentiment keagamaan.
Tentu saja itu bukan situasi yang bisa direspons sambil lalu. Menurut Dina
Sulaeman, dosen sekaligus peneliti Timur Tengah dalam status Facebooknya
menulis, “Kebencian yang sifatnya massal disebabkan oleh isu yang difabrikasi
(dibuat secara sengaja dengan berbagai metode dan strategi)”. Lanjutnya, ia
menulis, “Memfabrikasi isu yang membangkitkan kebencian jelas butuh dana
besar”.67
Yang paling menakutkan, menurut Dina, semua isu-isu yang menimbulkan
ketakutan macam itu dalam tahap yang paling kronis akan memunculkan ketakutan
terhadap hal-hal yang bersifat asasi, seperti keselamatan ekonomi, keselamatan
anak, dan beribadah. Sehinga, akan mengaburkan hal-hal yang bersifat logis.
Kondisi itulah yang kini tengah menyerang negara-negara berpenduduk mayoritas
muslim.
Data Global Terrorism Index (2014) menunjukkan, 78% kematian akibat
penyerangan atas nama agama, terjadi di negara-negara berpopulasi mayoritas
muslim: Irak, Afghanistan, Nigeria, Pakista, Suriah. Ironisnya, kelompok-
65 Syamsul Arifin dan Hasnan Backtiar, “Deradikalisasi Ideologi Gerakan Islam
Transnasiaonal Radikal, Harmoni, Vol. 12, No. 3 (September-Desember, 2013), h. 20 66 Arif Chasbullah dan Wahyudi, Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl 67 Dina Sulaeman. 2019. Pembantaian dan Industri Kebencian (2), (Facebook). 23 April.
(Diakses 3 Mei 2019). Tersedia dari:
https://www.facebook.com/233756860383910/posts/655808028178789/
89
kelompok yang melakukan penyerangan itu dilakukan oleh sesama muslim. Isu-isu
sentimen anti-Islam kini juga tengah berkembang di banyak negara di Barat.
Mencermati kondisi aktual tersebut, penting untuk kembali melihat dan
mengkaji ayat-ayat yang melegalisasi peperangan dan bagaimana pendapat ulama
mengenai itu.
90
BAB V
PENUTUP DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka pada kesimpulan penafsiran
Rasyîd Rida dan Sayyid Qutb mengenai perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam Alquran
akan terlihat beberapa kesamaan dan perbedaan. Di antara beberapa kesamaannya
antara lain, keduanya tak berbeda pendapat dalam menafsirkan surah al-Baqarah
[2] ayat 190 ayat pertama yang mengizinkan kaum muslim untuk berperang, bahwa
perang yang dilakukan oleh kaum muslim tak lain hanya untuk alasan menegakkan
agama dan melawan tindakan represif dari orang-orang kafir Mekah saat melanggar
perjanjian Hudaibiyah.
Adapun mengenai perang (qitâl) fî sabîl Allâh dalam ayat tersebut, Rasyîd
Rida dan Sayyid Qutb sepakat, bahwa definisi “di jalan Allah” adalah tujuan satu-
satunya dalam melakukan perang. Artinya, izin Alquran terhadap perintah perang
kepada kaum muslim, semata-mata karena untuk membela Islam dan untuk
berharap keridhaan Allah Swt., dan bukan untuk tujuan lain, seperti untuk mendapat
harta rampasan perang, kekuasaan, nama baik pribadi, perluasan wilayah apalagi
untuk mendapat kedudukan lebih tinggi dari bangsa atau negara lain.
Di samping kesamaan itu, keduanya namun begitu tetap memiliki perbedaan
meski tidak signifikan, di antaranya pada penafsiran Qutb pada surah al-Nisa [4]
ayat 74-75. Dalam ayat ini, terlihat ofensifitas Qutb melawan segala bentuk
ancaman dan penindasan.
Dalam perjalanannya, terlihat bagaimana Qutb selama hidupnya
memposisikan diri sebagai orang yang melawan penguasa yang zalim, terutama di
negaranya. Ia bukan hanya melawan orang-orang kafir seperti latar belakang
turunnya izin perang dalam surah al-Baqarah ayat 190, namun baginya segala
bentuk penindasan terhadap masyarakat, tetap harus dilawan.
B. Saran
Sebagai penutup dari penelitian ini, penulis hendak menyampaikan beberapa
saran dari hasil penelitian ini, sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, tak ada agama apapun di dunia yang melegalisasi kekerasan
dalam bentuk apapun, apalagi perang yang akan menjatuhkan banyak korban.
91
Begitu pula dalam Islam. Islam datang membawa pesan kedamaian. Maka
hendaklah kita sebagai umat Islam hendaknya tak melakukan sesuatu yang
memicu perselisihan, atau yang lebih jauh perang.
2. Di era informasi tersebar begitu cepat melalui internet dan sosial media, pesan-
pesan kebencian begitu mudah tersebar. Dan tak ada siapapun yang bisa
memprediksi dampaknya. Beberapa efek yang sementara bisa kita lihat hingga
hari ini, adalah banyak negara-negara yang hancur karena pesan-pesan
kebencian yang terfabrikasi.
3. Sebagai pemilik wewenang, negara harus berperan aktif mencegah segala
bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap kaum minoritas.
4. UIN Jakarta sebagai Lembaga Pendidikan harus terus memelihara marwah
Islam yang damai, sejuk dan toleran. Dan dapat menghalau segala bentuk akar-
akar kekerasan dan beragama dan bernegara.
92
DAFTAR PUSTAKA
A. Athahillah. Rasyid Ridha-Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir Al-Manar.
Cet. I: Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
A. Muri Yusuf. Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan. Jakarta, Prenadamedia Group.
Al-Adawi, Ibrahim Ahmad. Rasyid Ridha al–Imam al-Mujahid. Kairo: al-
Muassasah Mishiyyah al-Ammah,t.th.
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan,
1995.
Anton Baker dan A. Chris Zubair. Metodologi, Penelitian Filsafat. Yogyakarta,
Kanisius, 1990.
Arifin, Syamsul dan Hasnan Backtiar. Deradikalisasi Ideologi Gerakan Islam
Transnasiaonal Radikal, Harmoni. Vol. 12, No. 3, September-Desember,
2013.
Al-Asfahâni, Al-‘Allamah al-Râgib. Mufrâdât alfâz al-Qur’an. Damaskus: Dâr al-
Qalam, 2002.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Baidhawi Nasir ad-Din Abu Sa’id ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Muhammad as-
Syirazi. Anwar at-Tanzi I wa Asrar at-Ta’wi l. Beirut: Dâr al-Ihyâ at-Turâs
al-‘Arabi, 1418 H, Juz. II
Al-Banna, Gamal. Jihad. Terj. Tim Mata Air Publishing, Pengantar: Nasiruddin
Umar Jakarta: MataAir Publishing, 2006.
Al-Bāqī, Fu'ad ‘Abd. Mu‘jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'ān al-Karīm. Beirut: Dār
al-Fikr, 1994.
_______, Mu’jam al-Mufahras li Al-fâz al-Qurân, al-Qâhirah: Dâr al-Hadἷs,t.t.
Buku pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Al-Buthi, Sa’id Ramadan. Fiqh al-Sirah. Beiru: Dar al-Fikr, 1986.
Chasbullah, Arif dan Wahyudi. Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat
Qitâl, Jurnal Fikri. Vol. 2, No. 2, Desember 2007.
Chirzin, Muhammad. Jihad Menurut Sayid Qutb dalam Tafsir Ẓilāl. Era
Intermedia, Solo, 2001.
93
Dahlan, Abdullah al-Azi. Ensiklopedi Hukum Islam. Vol. IV. Jakarta: PT Ikhtiar
Baru Van Have, 1996.
Dalhari, Jurnal. Karya Tafsir Modern di Timur Tengah Abad 19 dan 20 M.
Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis: 2013, Vol. 3.
Al-Damasyqiy, Imam Abi Fida al-Hafazh Ibnu katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
Jilid 1, Kairo: Darul Hadis, 2003.
Djunaidi. Rasyid Ridha Ide-Ide Pembaharuan, Jurnal Tajdid. Vol. IX, No. 2, 2010.
Esposito, John L. Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern. Mizan, Bandung,
2001, jilid V.
F. Nafziger, George and Mark W. Walton. Islam at War. London: Praeger
Publishers, 2003.
Faris, M. Abdul Qadir Abu. Infaq al-Zakah fi al Maslahah al-Ammal. ahli bahasa:
Said Aqil al-Munawar, Kajian Kritis Pendayagunaan Zakat, Semarang:
Dina Utama, t.th.
Al-Habasyi. Mukhtasar Bughyah al-Talib li Ma’rifati ‘ilm al-Din al-Wajib. Bairut:
Dar al-Masyari: 2008.
Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar Jilid I. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2007.
Harahap, Saddam Husain. Tesis, Perang dalam Perspektif Alquran. Program Studi
Tafsir Hadis, Program Pascasarjana, UIN Sumatera Utara Medan:2016.
Hart, Michael H.. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta:
PT Dunia Pustaka, Cet.I, 1978.
Haykal, Muhammad Khair. al-jihad wa al-Qitâl. tt., 1996.
Ibn ‘Athiyah, Abu Muẖammad ‘Abd al-Haqq Ibn Ghalib Ibn ‘Abd ar-rahman Ibn
Tamam. Al-Muharrar al-Wajiz fἷ Tafsἷ r al-Kitâb al- ‘Azἷ z. Beirut: Dâr al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H, Juz II.
Ibn Manzur. Lisân al- ‘Arab. Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t, Jilid V.
Ibn Zakariyya, Abἷ al- Ḫusain Aẖmad Ibn Faris. Mu’jam Maqâyis al-Lugah, Tahqiq
‘Abd As-Salâm Muẖammad Ḫarûn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1979, Juz. V.
Imarah, Muhammad. Al-Masyru’ al-hadhari al-Islami. Diterjemahkan oleh
Muhammad Yasar, LC dan Muhammad Hikam, LC dengan judul Mencari
Format Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
_______. Hadza’ Huwa al-Islam: al-Samahat al-Islamiyah, Haqiqah al-Jihad wa
al-Qitâl al al-Ihrab. Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2005.
94
Al-Iyâzî, Muhammad ‘Alî. al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum. Teheran:
Mu’assasah al-Tabâ’ah wa al-Nasr, t.th.
Jamalia, Idrus. Makna Fi Sabilillah dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Tafsir
Maudhu’iy. Skripsi, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, UIN Sultan
Syarif Kasim, Riau, 2011.
Al-Jasshash, Ahmad Ibn ‘Ali Abi Bakr ar-Razi. Ahkâm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-
Kutub al’Ilmiyyah, 1994.
K.H.Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, dkk. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro, 2009.
Kaltsum, Lilik Ummu. Abd. Moqsith Ghazali. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Jakarta:
UIN PRESS, 2015.
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Zilâl Qur’an
Sayyid Qutb. Terj. Salafuddin Abu Sayyid, Era Intermedia, Solo, 2001.
_______. Tafsir Metodologi pergerakan. terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari,
Yayasan Bunga Karang, Jakarta, Cet. I, 1995.
Louis Katsof. Pengantar Filsafat. terjemahan Soejono Soemargono, Yogyakarta,
Tiara Wacana, 1992.
Maluf, Lausil. Kamus al-Munjid al-Lughah. Bairut: Darul Masyrik, 2007.
Manzur, Ibn. Lisân al- ‘Arab. Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.t, Jilid. V.
Mappiaswan, Andi. Skripsi, Pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
Pengembangan Islam. Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin
Makassar: 2015.
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir al-Maraghi. Berut: Darul Fikr, 2006, Ahli
bahasa: Anshori Umar Sitanggal, dkk, Terjemahan Tafsir al-Maraghi,
Semarang: Toha Putra.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri al-Bagdhadi.
AnNukât wa al-‘Uyūn, Juz. I. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Al-Misrἷ, Syihab ad-Din Aẖmad Ibn Muẖammad al- Hâlim. At-Tibyân fἷ Tafsἷ r
Garἷ b al-Qur’ân, Juz. I. Dâr: As-Saẖâbah at-Turâs bi Tanta, 1992).
MUI, Tim Penulis. Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia.
Cet. I. Depok: Gema Insani, 2013.
Musthafa, Ibrahim. al-Mu’jam al-Wasith. Jilid II, Mesir: Maktabah asy-Syuruq ad-
Daūliyyah, t.t.
Nasabah, Syekh Muhammad dalam Nurjannah Ismail. Perempuan dalam
Pasungan. Cet. I: Yogyakarta: LKIS, 2013.
95
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Nuddin, Amir. Ijtihad ‘Umar bin al-Khatab. Jakarta: CV Rajawali, 1991.
Qardawi, Yusuf. Hukum Zakat. Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1991.
Al-Qasimi. Mahasin at-Ta’wἷ l. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418, Juz. II.
Al-Qur’an al-Karim in MS. Word Versi 2.2.
Al-Qurthubi. al-Jami’ li Ahkâm al-Quran. Juz. III, Kairo: Dâr al-Kutub al-
Mishriyyah, 1964.
Qutb, Sayyid. al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam. Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi,
1967, cet 7.
_______. Fî Zilâl al-Qur’ân. Beirut, Darusy Syuruq, 1992.
_______. Perdamaian dan Keadilan Sosial. terj. Drs. Dedi Junaedi, Akademika
Pressindo, Jakarta, cet. I, 1996.
_______. Tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân. Juz 1. terj. As’ad Yasin, dkk., Gema Insani,
Jakarta, 1992.
_______. Tafsir Fi Zilâl Qur’an. Juz II. terj. As’ad Yasin, dkk., Gema Insani,
Jakarta, 1992.
_______. Tafsir Fi Zilal al-Qur'an. Jilid 3, Beirut: Dar al-Syuruf, 1979.
Rahnema, Ali (ed). Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Penerbit Mizan,
2009.
Ramdhun, Abdul Baqi. Al-Jihâdu sabi luna. terj. Imam Fajaruddin, Jihad adalah
Jalan Kami. Solo: Era Intermedia, 2002.
Razi, Abu Abdillah Muhammad ibn ‘Umar. Mafâtih al- Ghaib, Beirut: Dâr Ihyâ’
at-Turâṣ al- ‘Arabἷ. 1420 H/ 1990 M, Juz V.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT. CV. Toha
Putra, 1989.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Kairo, Darul Manar:1950.
_______. Tafsīr al-Qur’an al-Hakim al-Syahrir bi Tafsir al-Manār. Juz II, Kairo:
Dār al-Manar, 1954.
Al-Rumi, Fahd. Manhaj al-Madrasah al-Aqliyyah al-Haditsah fi al-Tafsir. Beirut:
Mu’assasah al–Risalah, 1981 M.
96
Sabiq, Sayyid. Anasir al-Quwwah fi al-Islam. terj. Muhammad Abday Ratami
Surabaya: Toko Nabhana, 1981.
_______. Fiqih Sunnah. Jilid 3, Bandung : PT al-Ma’arif, 1990.
Al-Salman, Muhammad Ibn Abdillah. al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih. Cet. I
Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933.
As-Shabuni Muẖammad, ‘Ali. Rawâi’ al-Bayân, Tafsἷr Ayât al-Aẖkâm min al-
Qur’ân. t.t: Dâr Al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran /Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang, 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Alquran.
Jakarta: Lentera Hati, 2008, Cet. X , Vol. 1.
Sirriyeh, Elizabeth. Sufis and Anti Sufis. diterjemahkan oleh Ade Alimah, dengan
judul Sufi dan Anti-sufi. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Sucipto, Henry. Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr hingga Nasr dan
Qardhawi. Hikmah, Jakarta, 2003.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat., Jakarta, Raja Grafindo Persana, 1996.
Sulaeman, Dina. 2019. Pembantaian dan Industri Kebencian (2), (Facebook). 23
April. (Diakses 3 Mei 2019). Tersedia dari:
https://www.facebook.com/233756860383910/posts/655808028178789/
Ash-Suyuti, Jalaluddin. Sebab-sebab Turunnya Ayat al-Quran. Terjemahan: Tim
Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008 Cet. I.
Syamsudin, Sahiron. Studi Al-Qur’an Kontemporer. Tiara Wacana Yogja, cet. I,
Yogyakarta.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, Maret, 2012,
Cet. 2.
At-Thabari, Muẖammad ibn Jarir. Jâmi’ al- Bayân fἷ Tawἷ l Ayi al- Qur’an. Beirut:
Muassasah ar-Risalah, 2000, Jilid III.
Al-Wahidi, Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Ali. Al-Wajἷ z fἷ
Tafsἷ r al-Kitâb al-‘Azἷ z. Beirut: Dâr al-Qalam, 1415 H/1995 M.
Yasar, Muhammad, dan Muhammad Hikam. Mencari Format Peradaban Islam.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
97
Yayasan Penyelenggara Penerjemah. Ensiklopedi Islam. Proyek peningkatan
Prasarana dan Sarana, Depertemen Agama, Jakarta, 1993.
Zaenuri, A. Lalu. Qitâl dalam Perspektif Islam. JDIS Vol. 1, No. 1.
Zaidan, Jurji. History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
Zuhaili, Wahbah. Atsar al-Harb fi-alFiqh al-Islami. Bairut: Dar al-Fikr, t.t.