studi perbandingan pemikiran h} mad...
TRANSCRIPT
-
STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUH}AMMAD AH}MAD KHALAFULLAH DAN
MUH}AMMAD ‘ABIRI> TENTANG KISAH DALAM AL QUR’AN
Muhammad Ridhwan
UAI Press 2018
-
~ ii ~
STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUH}AMMAD AH}MAD KHALAFULLAH DAN MUH}AMMAD ‘ABIRI> TENTANG KISAH DALAM AL QUR’AN
Copyright@2018 by Muhammad Ridhwan All right reserved
Desain Sampul: Nandang Nur Muhammad CHS Pro Komplek Percetakan ALS Jalan Insinyur Haji Juanda Raya No. 46 Blok. B-4, Cipayung, Ciputat, Cipayung, Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419, Indonesia
Cetakan 1, Juli 2018 Diterbitkan oleh UAI Press Universitas Al Azhar Indonesia Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan
14,8 x 21
-
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS
"Studi Pcrbaodingan Pcmikiran Muqammad AfJmad Khalafullah dao Muqammad 'Abid al-Jiibin Tcntaog Kisah dalam al-Qur'an"
TESTS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh: Muhammad Ridhwan
IM: 2112034000009
Pembimbing
Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A 19500804 198603 l 002
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI
SY ARIF HIDAY ATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M
-
Abstrak
Tesis ini berusaha untuk mengungkap beberapa
pemikiran tentang kisah dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui,
setidaknya terdapat dua kutub pemikiran yang besar, yakni
mereka yang mempercayai kisah dalam al-Qur’an hanyalah kisah
keagamaan dan mereka yang meyakini bahwa kisah dalam al-
Qur’an adalah kisah faktual sejarah yang bisa dibuktikan
kebenarannya. Tentu saja landasan berpikir dari masing-masing
kutub tersebut berbeda. Bagi mereka yang meyakini kisah-kisah
ini hanyalah kisah keagamaan, pembuktian faktual sejarah tidak
mereka butuhkan, keyakinan lebih berperan. Bukanlah hal
penting apakah kejadian dalam kisah tersebut nyata atau tidak,
tujuan dari adanya kisahlah yang lebih penting bagi mereka.
Sedangkan mereka yang meyakini kisah tersebut merupakan
kisah nyata yang dapat dibuktikan dengan faktual sejarah maka
mereka akan mencari bukti-bukti sejarah yang dapat mendukung
kebenaran kisah tersebut.
Dua tokoh yang dikaji adalah tokoh kontroversial dengan
pemikiran-pemikiran mereka yang mengguncang dunia.
Muhammad Ahmad Khalafullah yang sering dicap sebagai tokoh
liberal yang menyatakan bahwa kisah-kisah dalam al Qur’an
hayalah kisah mitos masa lalu dan Muhammad ‘Abid al-Jabiri --
yang terkenal dengan trilogi nalarnya—menyatakan bahwa kisah
dalam al-Qur’an hanyalah perumpamaan saja. Hal ini menarik
perhatian penulis, bagaimana kedua tokoh besar tersebut dapat
menyimpulkan bahwa kisah dalam al-Qur’an hanyalah mitos
belaka atau hanyalah perumpamaan?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan,
menganalisis dan mengungkap makna kisah menurut kedua tokoh
tersebut. Adakah keterkaitan antara kedua bidang ilmu yang
berbeda –Khalafullah dengan kajian sastranya, sedangkan al-
Jabiri dengan Filsafat Epistemologisnya—terhadap pemikiran
mereka tentang kisah dalam al-Qur’an.
Penelitian yang hampir serupa adalah tesis Ariel Jacob
Segal (2005) yang meyakinkan orang bahwa kebenaran ilmiah
adalah kebenaran agama. Lalu tesis Andy Hadiyanto yang
menitik beratkan pada kajian semiotik terhadap kisah Nabi Yusuf.
-
Tesis Wisnawati Loeis dan Tesis Moh. Wakhid Hidayat, yang
lebih menitik beratkan penelitiannya pada gaya strukturalisnya al-
Qur’an. Terakhir adalah tesis Achmad Hasmi Hashona seperti
halnya tesis Andy Hadiyanto, tesis ini lebih menitik beratkan
penelitian pada kajian bahasa. Terakhir adalah Disertasi dari
Andy Hadiyanto yang juga memakai kaca mata kajian bahasa.
Tesis pertama dari Segal menitikberatkan kajian
kebenaran ilmiah terhadap penafsiran Bibel dengan mengkaji
tokoh dan pemikirannya, sedangkan keempat tesis dan satu
disertasi yang dilakukan di UIN lebih menitikberatkan pada
kajian sastra. Sementara penelitian kali ini ingin menegaskan dan
mengungkap bagaimana pemikiran tokoh tersebut. Sehingga
penelitian ini bersifat deskripsi-kualitatif dengan menerapkan
pendekatan pendekatan normatif.
Kata kunci: Kisah, Muhammad Ahmad Khalafullah,
Muhammad Abid al Jabiri, Faktual Sejarah
-
Abstract
This thesis attempts to reveal some thoughts about the
story in the Qur'an. As is known, there are at least two great poles
of thought, those who believe the story in the Qur'an is only a
religious story and those who believe that the story in the Qur'an
is a factual history that can be proved true. Of course the ground
of thought of each pole is different. For those who believe these
stories are only religious stories, they do not need the factual
proof of history, beliefs are more important. It is not important
whether the events in the story are real or not, the purpose of the
story is more important to them. While those who believe the
story is a true story that can be proven by factual history then they
will look for historical evidence that can support the truth of the
story.
The two figures studied are controversial figures with
their thoughts. Muhammad Ahmad Khalafullah who is often
labeled as a liberal figure who states that the stories in the Qur'an
just the story of the myth of the past and Muhammad 'Abid al-
Jabiri - famous for his trilogy of reasoning - stated that the story
in the Qur'an is parable only. This attracts the author's attention,
how can the two great figures conclude that the story in the
Qur'an is merely a myth or a metaphor?
This study aims to describe, analyze and reveal the
meaning of the story according to both figures. Is there a link
between the two different disciplines -Khalafullah with his
literary studies, while al-Jabiri with his Epistemological
Philosophy-against their thinking about the story in the Qur'an.
A similar study is Ariel Jacob Segal's (2005) thesis that
convinces people that scientific truth is the truth of religion. Then
Andy Hadiyanto's thesis focuses on the semiotic study of the
story of Prophet Yusuf. Thesis Wisnawati Loeis and Thesis Moh.
Wakhid Hidayat, who focused their research on the structuralist
style of the Qur'an. Finally, Achmad Hasmi Hashona's thesis, as
well as Andy Hadiyanto's thesis, focuses on research on language
studies. Last is Dissertation from Andy Hadiyanto who also use
of language study perspective.
-
The first thesis of Segal emphasized the study of
scientific truths on the interpretation of the Bible by examining
the figures and ideas, while the four theses and one dissertation
conducted at UIN focus more on literary studies. While research
this time want to affirm and reveal how the character thinks. So
this research is descriptive-qualitative by applying approach of
normative approach.
Keywords: Story, Muhammad Ahmad Khalafullah, Muhammad
Abid al Jabiri, Factual History
-
~ iii ~
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Puji syukur kepada Allah atas limpahan semua karunia, nikmat Iman dan Islam. Shalawat dan salam kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, juga untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya serta seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Tesis yang berjudul “STUDI PERBANDINGAN PEMIKIRAN MUH{AMMAD AH{MAD KHALAFULLAH DAN MUH{AMMAD ‘A
-
~ iv ~
untuk menyelesaikan studi S2 ini di tengah kesibukan kantor.
6. Kedua orang mertua penulis yang senantiasa menolong dalam berbagai kesulitan hidup, H. Yus Kusmayadi, S.Pd dan Hj. Neneng Rochmah.
7. Isteri tercinta Yuke Rahmawati, MA yang senantiasa menjadi tempat bertukar pikiran, di tengah kesibukan mengajar dan menyelesaikan Disertasinya, tetap dengan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga membesarkan 3 putra-putrinya, Ananda Khalief Ilhan, Ananda Alex Radhiya Ihsan, dan Ananda Shofie Maharani Latansania Putri.
8. Keluarga Besar Prof. Dr. Zuhal, M.Sc.E.E (Allahu Yarham) Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Pertama yang sudah seperti orang tua bagi penulis, juga untuk Ibu Lin isteri beliau yang begitu perhatian dengan studi penulis. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menunaikan amanah yang diberikan Pak Zuhal untuk menyelesaikan S2 ini.
9. Dr. Ir. Ahmad H. Lubis, M.Sc, Rektor UAI 2015-2017, yang selalu memberi dukungan kepada penulis untuk sekolah yang lebih tinggi lagi.
10. Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, Rektor UAI 2018-2021, atas perkenannya Penulis dapat ijin meninggalkan tugas-tugas kantor selama hampir dua bulan terakhir.
11. Rekan-rekan kerja di lingkungan Sekretariat Rektor, Bu Dini Priatini, Sdri. Lia Nuryati, Sdri. Reni Setiyani, Sdri. Ikhwana Yennyta, Sdr. Mudhika Nur Romadhon atas kerelaan dan keikhlasan menggantikan tugas-tugas penulis selama penulis tidak dapat masuk kantor.
12. Rekan-rekan seangkatan di S2 Fakultas Ushuluddin, Mas Toto Tohari yang sangat membantu penulis selama studi S2 ini, teman senasib dan sepenanggungan Ustadz Rizky, Ustadz Irwan, dan Ustadz Engkus semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat untuk ummat.
13. Bapak/Ibu Pimpinan dan Pengelola Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,
-
~ v ~
dan Perpustakaan Universitas Al Azhar Indonesia atas kesempatan memanfaatkan outsourcing buku dan kepustakaan lainnya yang dapat mendukung terselesainya tesis ini.
14. Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh Dosen yang telah berbagi ilmu dan pengalamannya. Jazzakumulla>h ah}sanal jazza>.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis bertawakkal,
h}asbunalla>h wa ni’mal waki>l ni’mal maula> wa ni’man nasi>r. Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ciputat, 16 Maret 2018 Penulis Muhammad Ridhwan
-
~ vi ~
DAFTAR ISI
BAB I 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1 B. Permasalahan ....................................................................... 8
1. Identifikasi Masalah .................................................... 8
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................... 8
C. Tujuan, Manfaat, Dan Signifikasi Penelitian .................... 9 D. Penelitian Terdahulu ......................................................... 10 E. Metodologi Penelitian ........................................................ 18 G. Kerangka Teori .................................................................. 21 BAB II 23 KISAH DALAM AL-QUR’AN .................................................. 23 A. Pandangan Umum Tentang Kisah Dalam Al-Qur’an ....... 23
1. Pengertian Umum Tentang Makna Kisah ............... 23
2. Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an ................. 30
3. Sistematika al-Qur’an dalam Menyampaikan Kisah 32
4. Beberapa Pemikiran Tentang Kisah ........................ 35
5. Mukjizat: Peristiwa Luar Biasa ............................... 51
6. Jejak Arkeologis dalam Kisah .................................. 55
BAB III 61 PEMIKIRAN MUH{AMMAD AH{MAD KHALAFULLAH ...... 61 A. Biografi Singkat ................................................................. 61 B. Pemikiran Muh}ammad Ah}mad Khalafullah ................... 61
1. Kisah dalam al-Qur’an adalah Kisah Keagamaan ... 61
2. Makna Kebenaran dalam Kisah ...................................... 75
3. Tujuan Kisah ................................................................... 77
-
~ vii ~
BAB IV 81 PEMIKIRAN MUH}AMMAD ‘ABIRI ..................... 81 A. Pemikiran Muh}ammad ‘Abiri> ............................... 81
1. Riwayat Hidup ............................................................... 81
2. Karya Ilmiah .................................................................. 83
3. Pemikiran-Pemikirannya ............................................. 85
5. Lima Asumsi Dasar Dalam Kajian Kisah ................... 92
BAB V 97 PERBANDINGAN PEMIKIRAN KHALAFULLAH DAN AL-
JABIRI ......................................................................... 97 A. Beberapa Ayat al-Quran yang Menceritakan tentang
Tongkat Nabi Musa as ........................................................ 97 B. Pandangan Khalafullah dan ‘Abiri> tentang Kisah
Tongkat Nabi Musa ......................................................... 102 BAB VI 109 PENUTUP ................................................................................. 109 A. Kesimpulan ...................................................................... 109 B. Saran .................................................................................. 111
-
~ viii ~
-
~ 1 ~
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Apabila dicermati, mayoritas materi kisah1 dalam al-Qur’an
adalah legenda atau kisah-kisah heroik yang telah diakrabi oleh
pemikiran bangsa Arab. Kisah-kisah tersebut diwarisi secara
turun-temurun, dan diceritakan berulang-ulang dalam asma>r-
asma>r (obrolan-obrolan malam) mereka.2 Al-Qur’an menceritakan
kembali kisah-kisah tersebut di samping untuk menyegarkan
ingatan orang Arab, adalah untuk memberikan pemaknaan baru,
dan menjadikannya media untuk menyampaikan konsep atau
ajaran tertentu. Melalui kisah dalam al-Qur’an kita mendapat
1Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Dar S}a>d, tt), Juz 7 h. 73 menguraikan makna kata
kisah atau qis}s}ah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata qas}s}a-yaqus}s}u yang berarti memotong, sebagaimana dalam ungkapan qas}as}tu al-sya’r (saya memotong rambut); menjelaskan, mengikuti jejak, sebagaimana ungkapan qas}as}tu al-sya’i (saya mengikuti jejaknya sedikit demi sedikit); mengurangi atau mengambil, Qas}s}a Alla>hu biha> khat}aya>hu (Allah mengurangi dengan dosa-dosanya). Dari akar kata qas}s}a terambil kata qis}s}ah yang berarti khabar (berita), amr (perkara/urusan), hadis\ (pembicaraan). Penggunaan kosa kata qis}s}ah dalam al-Qur’an tidak ditemukan. Al-Qur’an menggunakan kata kerja lampau (fi’il mad}i) qas}s}a dan qas}as}na dalam 4 ayat, dalam bentuk kata kerja sedang (fi’il mud}ari) dengan berbagai kasusnya dalam 13 ayat, kata perintah (fi’il amr) 2 ayat, dan mas}dar qas}as} sebanyak 6 ayat.
2Muh}ammad Ah}mad Khalafullah, al-Fann al-Qas}as}i fi> al-Qur’a>n al-Kari>m Penerjemah Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin, Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 101.
-
~ 2 ~
materi pembelajaran yang berlimpah tentang ibadah ritual, moral,
teknik memperbaiki hati, dan lain sebagainya.3
Afi>f ‘Abdul Fatta>h} T}abbarah– mewakili Jumhur Ulama -
menyatakan bahwa kisah dalam al-Qur’an adalah kisah
keagamaan.4 Sebagai kisah keagamaan, maka tujuan utama yang
ingin dicapai dan penyajiannya adalah agar pembaca atau
pendengar terpengaruh lalu tergerak untuk menerima dan taat
kepada kehendak Tuhan. Al-Qur’an menggunakan kisah-kisah itu
untuk menjelaskan sebuah prinsip, mengajak kepada sebuah ide,
menyeru kepada kebaikan dan kebenaran serta melarang
kemungkaran.5
Sementara Amin al-Khulli 6 yang berangkat dari
mendudukkan al-Qur’an sebagai ‘kitab bahasa Arab terbesar’ dan
‘warisan sastra teragung’, menjadikan kajian sastra sebagai
pijakan awal. Ia meyakini bahwa prioritas utama dari penafsiran
al-Qur’an adalah tujuan al-Qur’an itu sendiri yakni mendakwahi
umat manusia dan membimbingnya meraih kebahagiaan dunia-
akhirat.
3 Amru Khalid, Qira>’ah Jadi>dah wa Ru’yah fi> Qas}as} al-Anbiya>, (Beiru>t: Da>r al-
Ma’rifah, 2007) h.12. juga dalam Afi>f ‘Abdul Fatta>h} T}abba>rah, Ru>h al-Di>n al-Isla>mi>, (Beiru>t: Da>r al-Ilm li al-Malayi>n, 1993), h. 47.
4Afi>f ‘Abdul Fatta>h} T}abba>rah, Ru>h al-Di>n al-Isla>mi>, h. 47. 5Bakri> Syaikh Ami>n, Al-Ta’bi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r al-Ilm li
al-Malayi>n, 1993), h. 226-227. 6Menurutnya metode susastra dapat mengkaji teks-teks al-Qur’an. Dengan pendekatan
sastra yang mampu menampilkan aspek-aspek keindahan bahasa dan uslub al-Qur’an serta efek seni dan psikologis yang ditimbulkan pada diri penerima (receiver) al-Qur’an. Teori inilah yang dikaji oleh Amin al-Khulli (1895-1966 M) yang lalu dikenal sebagai metode tafsir susastra.
-
~ 3 ~
Pemikiran al-Khulli ini begitu menginspirasi seorang
mahasiswanya yakni Muh}ammad Ah}mad Khalafullah (1916-
1998M), ia berangkat dari keyakinan bahwa dalam memahami
kisah-kisah al-Qur’an perlu dibedakan antara dua hal, pertama
antara paparan seni/susastra dan kedua adalah paparan sejarah.
Khalafullah meyakini bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an adalah
kisah susastra yang tidak perlu pembuktian bahwa hal tersebut
benar-benar terjadi.7 Karena pendekatan inilah ia mengeluarkan
pernyataan yang mencabut kebenaran fakta sejarah dari kisah
yang dimuat al-Qur’an, sehingga ada kisah al-Qur’an itu bahkan
disebut-sebut sebagai kisah mitologis, atau perumpamaan, atau
kisah imaginatif semata.8
Begitu pun dengan Moh}ammed Arkoun (1928-2010M), ia
tidak menerima kisah-kisah itu sebagai keyakinan faktual, namun
juga tidak mau mengatakan terus terang sebagai jenis khurafat.
Menurutnya, jika kita membahas tentang mitos dan kisah, maka
akan kita dapati terjemahnya mythe dalam bahasa Perancis,
karena mitos ini digunakan oleh para ahli antropologi untuk
menunjukkan kepada kisah yang benar dan tampak di dalamnya
imajinasi sosial.9
7Khalfullah, al-Fann al-Qas}as}i, h. 31. 8‘Abdul Kari>m al-Khat}i>b, al-Qas}as} al-Qur’a>n fi> Mant}u>qihi wa Mafhu>mihi, (Beiru>t: Da>r
al-Ma’rifah, 1975), h. 282. 9Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif,
2012), h. 382.
-
~ 4 ~
Muh}ammad ‘Abiri> menuangkan pemikirannya
tentang kisah dalam bukunya al-Madkhal Ila> al-Qur’a>n al-Kari>m.
Buku ini diproyeksikannya untuk menjadikan al-Qur’an relevan
bagi umat manusia saat ini dan tentu dengan mengkritisi Quranic
Studies klasik yang telah dibangun oleh ulama-ulama terdahulu.
Berangkat dari kritik nalar Arab, yang diharapkan akan mampu
mensinergikan kesenjangan antara turas\ dan modernitas, al-Ja>biri>
mencoba teorinya masuk dalam ranah kajian al-Qur’an yang
diorientasikan dapat menjaga orisinilitas Quranic studies dan
tafsirnya dari pengaruh sektarian.10 Al-Ja>biri> berpendapat bahwa
kisah al-Qur’an adalah perumpamaan. Menurutnya, kisah al-
Qur’an disampaikan bukan untuk kepentingan kisah itu sendiri,
melainkan untuk tujuan dakwah. Sehingga, kisah al-Qur’an tidak
disampaikan sesuai urutan waktu kisah itu sendiri, melainkan
berdasarkan urutan fase dakwah Nabi Muhammad SAW. Karena
hanya perumpamaan, kebenaran kisah atau kesesuaiannya dengan
fakta sejarah bukanlah hal yang perlu dikaji.
Berbeda dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya, Abdullah
Saeed, berada di tengah-tengah, di satu sisi ia sependapat dengan
pandangan Khalafullah bahwa banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an
yang mengandung kisah atau sejarah namun tidak ada keterangan
secara detail, juga banyaknya kisah-kisah yang diulang tapi di
10Ahmad Fawaid, “Kritik Atas Kritik Epistemologi Tafsir M. Abied Al Jabiri: Studi
Kritis Atas Madkhal Ila al-Quran al Karim,” Ulul Albab Volume 16, No. 2 Tahun 2015, h. 157.
-
~ 5 ~
tempat yang tidak berurutan. Namun yang menarik, Saeed
menegaskan bahwa banyaknya ayat-ayat tentang kisah ini tidak
lain menunjukan pada peristiwa sejarah manusia yang bisa
diperiksa ulang dari sumber dan tradisi lainnya.
Saeed membuka peluang untuk mencari kebenaran atas
kisah-kisah ini dari sumber-sumber lain. Sumber-sumber itu bisa
dari al-Qur’an, hadis\ Nabi, atau bahkan dari dokumen lainnya,
artefak, dan bukti-bukti arkeologis dan antropologis. Saeed pun
menyadari bahwa banyak penafsiran yang dapat didukung dengan
keterangan dari Bible.11
Pada masa Nabi sekalipun kita mengenal al-Nad}r ibnu al-
Haris\ yang selalu memperhatikan gerak gerik Nabi SAW ketika
berdakwah kepada penduduk Makkah sambil membacakan ayat-
ayat suci al-Qur’an, ibnu al-Haris\ selalu mengatakan bahwa apa
yang disampaikan Nabi SAW adalah mitos umat terdahulu. Hal
ini diabadikan dalam al-Qur’an yang menjadikannya sebab turun
ayat 31 surat al-Anfa>l.
Hal inilah yang menarik perhatian penulis, benarkah kisah-
kisah al-Qur’an hanyalah kisah-kisah mitologis, imaginatif
sebagaimana yang diyakini oleh Khalafullah, atau hanya kisah
keagamaan sebagaimana yang diyakini T}abba>rah yang semuanya
tidak perlu dicari pembuktian kebenarannya. Umat Islam hanya
11Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n: Towards a Contemporary Approach, (New
York: Routledge, 2006), h. 94.
-
~ 6 ~
perlu meyakini dan mengimani kisah-kisah tersebut. Sementara
kita hidup di masa yang lebih mengedepankan rasionalitas.
Mensikapi hal ini, penulis lebih condong kepada pemikiran
kontemporer yang digagas oleh Abdullah Saeed. Kisah-kisah
dalam al-Qur’an dapat kita cari kebenarannya dengan berbagai
sumber. Salah satu sumber tersebut adalah dengan pendekatan
filsafat.
Ada dua tokoh utama yang akan dikaji pemikirannya yakni
Muh{ammad Ah{mad Khalafullah dan Muh{ammad ‘Abiri>.
Pemilihan kedua tokoh ini tak lain karena pemikirannya yang
kontroversial dan menarik untuk dikaji. Khalafullah dengan
pendekatan sastranya yang cenderung menafikan faktual sejarah
dari kisah dan ‘Abiri> yang terkenal dengan Trilogi
Nalarnya yang merupakan pemikiran filsafat epistemologi.
Terminologi kebenaran banyak ditemukan dalam kajian-
kajian filsafat. Sehingga muncullah peristilahan pendekatan
filosofis. Pendekatan filosofis dalam memahami studi Islam
merupakan cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu. Selanjutnya filsafat ini digunakan dalam
memahami dan mempelajari agama Islam, baik simbol-simbol
keagamaannya maupun nilai-nilai yang terkandung dalam
ajarannya dan tidak dibatasi dari sesuatu yang membatasinya. Di
samping itu, pendekatan filosofis ini penting digunakan dalam
studi Islam karena dapat membantu dalam memahami teks-teks
al-Qur’an dan Hadis\ Nabi SAW.
-
~ 7 ~
-
~ 8 ~
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari uraian di atas, maka ditemukan beberapa pertanyaan
yang perlu ditindaklanjuti dan ditelaah sehingga informasi yang
didapat akan utuh dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan hal-hal berikut:
1. Bagaimana pandangan ulama tentang kisah dalam al-
Qur’an?
2. Mengapa Khalafullah dan al-Ja>biri> dapat menyatakan
bahwa kisah dalam al-Qur’an hanyalah perumpamaan
dan kisah keagamaan saja?
3. Apa persamaan dan perbedaan pandangan keduanya?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari permasalahan yang telah teridentifikasi di atas, maka
penelitian ini dibatasi pada masalah seputar pemikiran
Khalafullah dan ‘Abiri>, dan bagaimana penerapan
pemikirannya terhadap kisah dalam al-Qur’an.
Sebagai contoh, penulis mengangkat kisah tongkat Nabi
Musa yang dapat berubah menjadi ular. Kisah ini akan ditelaah
menurut penafsiran klasik sebagai penafsiran yang menggunakan
epistemologi bayani lalu dikaji bagaimana pemikiran Khalafullah
dan ‘Abiri> tentang hal ini. Untuk mendapatkan gambaran
tentang hal tersebut, maka penelitian akan dibatasi cakupan
kajiannya seputar:
-
~ 9 ~
1. Deskripsi tentang terminologi seputar kisah dan kajian tentang
kisah menurut Khalafullah dan al-Ja>biri>.
2. Deskripsi kisah Nabi Musa a.s. sebagai contoh penerapan teori,
deskripsi atas kisah ini juga memaparkan penafsiran terhadap
ayat-ayat yang menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Lalu penulis
mencoba mengurai terkait kisah Nabi Musa a.s yang sulit
diterima akal yakni bagaimana tongkat Nabi Musa a.s dapat
berubah menjadi ular.
Bertolak dari pembatasan masalah di atas, maka pertanyaan
penelitian diformulasikan sebagai berikut: Bagaimanakah
pandangan Khalafullah dan al-Ja>biri> tentang kisah dalam al-
Qur’an? Apa yang menjadi landasan berpikirnya?
C. Tujuan, Manfaat, Dan Signifikasi Penelitian Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis
dan mengungkap pemikiran dua tokoh yakni Muh}ammad
Ah}mad Khalafullah dan ‘Abiri> tentang kisah dalam
al Qur’an. Penelitian ini juga ingin mengungkap bahwa kisah
dalam al-Qur’an dapat dibuktikan kebenarannya. Hal ini
tentu saja akan menambah keyakinan bagi kita sebagai umat
Islam dan memperkuat kemukjizatan al-Qur’an dalam
perspektif ilmu pengetahuan.
-
~ 10 ~
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritik
dan praktis bagi kalangan akademik maupun umum. Manfaat
tersebut antara lain:
1. Manfaat teoritik Penelitian ini diharapkan dapat memberi kerangka kerja
metodologis bagi penelaahan dan pemaknaan kisah dalam
al-Qur’an sebagai kisah yang benar.
2. Manfaat praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan masyarakat memahami kisah-kisah dalam al-
Qur’an bukan hanya dari sisi keyakinan saja, tapi juga
melalui pemikiran filosofis.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi
peneliti-peneliti kisah al-Qur’an, menambah keyakinan
bagi para ilmuwan tentang kebenaran al-Qur’an melalui
kisah-kisah yang ada di dalamnya.
D. Penelitian Terdahulu Pada tahun 2005, Ariel Jacob Segal melakukan penelitian
tesisnya berjudul "Scientific Truth, Rightly Understood, Is
Religious Truth": The Life and Works of Reverend Edward
Hitchcock, 1793-1864. Penelitiannya ini meyakinkan orang
bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran agama. Ia coba
mengupas pemahaman dan pengalaman dari pendeta Edward
Hitchcock yang memiliki banyak kontribusi di bidang geologi dan
paleontologi. Hitchcock adalah tokoh Kristen yang berusaha
-
~ 11 ~
merekonsiliasi ilmu dan agama (baca: Kristen Evangelis).
Penelitian Hitchcock yang diangkat oleh Segal adalah pemahaman
ilmiah terhadap Penciptaan dan Air Bah (banjir pada masa Nabi
Nuh). Pada awal keyakinannya, Hitchcock menarik kesimpulan
bahwa air bah yang terjadi pada masa Nuh terjadi di seluruh
belahan bumi, namun pada paruh lain dari hidupnya ia menarik
kesimpulan bahwa banjir itu hanya terjadi di sebagian dari belahan
bumi.
Di akhir tesisnya Segal menarik kesimpulan bahwa
Hitchcock telah menempatkan garis demarkasi yang jelas antara
kebenaran Alkitab dan kebenaran ilmiah, dalam arti bahwa
Alkitab harus dijelaskan dengan menggunakan bahasa non-
scientific untuk menggambarkan alam. Hal ini memungkinkan
Hitchcock untuk menginterpretasi yang benar tentang Penciptaan
dan Air Bah. Menurutnya, Hitchcock akhirnya berpikir bahwa
kebenaran ilmiah adalah kebenaran agama, dan kebenaran ini akan
memberikan manusia keyakinan tentang keberadaan Tuhan, baik
dalam kehidupan ini dan berikutnya. 12
Di samping penelitian tentang kebenaran ilmiah di atas,
terdapat beberapa penelitian tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an
yang telah dilakukan civitas akademika UIN, setidaknya penulis
12A. J. Segal, "Scientific Truth, Rightly Understood, Is Religious Truth": The Life and
Works of Reverend Edward Hitchcock, 1793—1864(Order No. 1431573). (2005), available from ProQuest Dissertations & Theses Full Text: The Humanities and Social Sciences Collection. (304995825). Retrieved from http://search.proquest.com/docview/304995825?accountid=25704.
-
~ 12 ~
menemukan empat tesis dan satu disertasi di UIN Syarif
Hidayatullah. Keempat tesis tersebut dilakukan dalam kurun
waktu 2004 – 2008, dua tesis dilakukan pada tahun 2004, satu di
tahun 2007 dan satu lagi di tahun 2008. Adapun disertasi tentang
kisah ada di tahun 2010.
Dalam tesis Andy Hadiyanto yang berjudul “Kajian Semiotik
Kisah Yusuf: Sebuah Tinjauan Sastra Terhadap Kisah al-Qur’an”,
ia mengkaji kisah dalam al-Qur’an dengan pendekatan sastra.
Hadiyanto menitik beratkan pada kajian semiotik terhadap kisah
Nabi Yusuf. Ia menganalisa kisah ini dalam dua tahapan, pertama
analisis struktural untuk menguraikan secara merenik unsur-unsur
kisah sastra pembangun kisah ini. Lalu diikuti langkah kedua
yakni, analisis semiotik yang mencoba menggali makna kedua
(baca: makna konotatif) dari kisah tersebut. Makna yang diperoleh
dari analisis semiotik ini adalah makna konotatif. Kajian yang
ingin ia peroleh adalah seputar bagaimana penerapan metode
semiotik dalam pembacaan atas kisah Yusuf, lalu apa interpretasi
yang didapat dari metode ini.
Di akhir penelitiannya, Hadiyanto menarik kesimpulan
bahwa analis semiotik yang berujung pada proses pembacaan
hermeneutik membawa pembaca untuk memahami kisah Yusuf
menggunakan metode demitologisasi. Dengan metode ini,
pembaca dibawa kepada makna-makna yang terpendam dan
tersembunyi di balik uraian kisah tersebut. Sehingga ia
-
~ 13 ~
menyimpulkan bahwa tema kisah Yusuf adalah kesabaran dalam
memegang kebenaran akan membawa kebahagiaan. 13
Tesis kedua adalah milik Wisnawati Loeis yang berjudul
“Kandungan Moral Al-Qur’an dalam Kisah ‘A
-
~ 14 ~
Kisah ini diulas dalam 180 ayat di 18 surat, umumnya surat-
surat Makiyyah dan hanya sebagian kecil pada surat-surat
Madaniyyah. Di akhir tulisannya, Loeis berkesimpulan bahwa
manusia yang memiliki hati nurani atau kecerdasan spiritual tentu
akan ‘menarik pelajaran’ dari peradaban yang telah musnah. Jika
tidak, mereka akan mengulangi lagi siklus sejarah penciptaan dan
kehancuran yang sama, karena satu hal: ‘Hukum Allah tidak akan
pernah berubah’ bagi setiap bangsa dan peradaban.16
Selanjutnya penulis menemukan tesis Moh. Wakhid Hidayat,
berjudul “Struktur Narasi Dalam Qas}as} al-Qur’an (tinjauan
Analisa Strukturalisme Naratif)’, yang lebih menitik beratkan
penelitiannya pada gaya strukturalisnya al-Qur’an. Ia
menggunakan pendekatan sastra untuk mengkaji kisah-kisah yang
ada dalam al-Qur’an. Dengan pisau bedah teori Strukturalisme
Naratif yang dikembangkan A.J. Greimas yang mengandaikan
bahwa struktur suatu teks dikarakteristikkan oleh enam peran
yang disebut dengan aktan. Aktan ini memetakan tokoh yang
berbeda-beda yang ditelaah melalui tata bahasa naratif.17
16Wisnawati Loeis, “Kandungan Moral Al-Qur’an dalam Kisah ‘A
-
~ 15 ~
Dengan pisau bedah ini, Wakhid memulai penelitiannya
dengan memetakan qas}as} al-Qur’an ditinjau dari konsep
strukturalisme dan narasi, lalu dikombinasikan dengan paradigma
tarti>b ayat dan kesatuan ayat-ayat dalam surah, terbagi dalam tiga
klasifikasi. Pertama model qas}as} al-Qur’a>n satu narasi dalam satu
surah, kedua model kumpulan narasi pendek berurutan dalam satu
surah, dan ketiga model narasi tak beraturan dalam satu surah.
Setelah pemetaan ini, barulah ia menganalisa kepada 9 surah
pilihan yakni QS. (12) Yu>suf, QS. (28) al-Qas}as}, QS. (7) al-A’ra>f,
QS. (19) Maryam, QS. (26) asy-Syu’ara>, QS. (27) al-Naml, QS.
(37) as}-S}āffāt, QS. (2) al-Baqarah, dan QS. (18) al-Kahf. Dari
analisa ini ditemukan variasi deskripsi struktur-struktur narasi
aktansial qas}as} al-Qur’a>n yang lengkap dalam keenam aktan, atau
zeroisasi dalam salah satu dari aktan pembantu dan penentang.
Di akhir penelitiannya, Wakhid menyimpulkan bahwa
terdapat beberapa struktur narasi qas}as}, yakni struktur narasi
ah}san qas}as}, struktur narasi konflik dalam bingkai kekerasan,
struktur narasi drama dakwah kerasulan, struktur narasi anugerah
berfungsi atributif, struktur narasi reaksi terhadap anugerah
berfungsi syukur dan kufur, struktur narasi kekuasaan Tuhan (deus
ex machina) qas}as} al-Qur’a>n, struktur narasi reaksi terhadap
perintah, struktur narasi isotope of space (isotop tempat), dan
struktur narasi dengan interaksi aktan Tuhan. Di mana struktur
narasi ini merujuk kepada the syntax of naratif, tata bahasa narasi
-
~ 16 ~
qas}as} al-Qur’a>n, morfologi qas}as} al-Qur’a>n, atau nahwu al-qas}as}
fi> qas}as} al-qur’a>n. 18
Terakhir adalah tesis Achmad Hasmi Hashona berjudul
“Repetisi Kisah Nabi Musa a.s. dalam Al-Qur’an (Kajian
Strukturalisme-Semiotika), seperti halnya tesis Andy Hadiyanto,
tesis ini lebih menitik beratkan penelitian pada kajian bahasa. Ia
melihat kisah dari sudut pandang bahasa di mana dalam setiap
kisah terkandung sistem tanda yang mengekspresikan pesan-pesan
tersebut. Dan yang menarik baginya adalah pesan-pesan tersebut
disampaikan secara berulang-ulang dengan gaya bahasa yang
berbeda. Kisah Nabi Musa dipaparkan berulang di beberapa surat
yakni, al-Baqarah, al-A’ra>f, Yu>nus, T}a>ha>, al-Qas}as}, asy-Syu’ara>,
dan lainnya. Lalu ia mengulas kisah tersebut dari sudut pandang
strukturalisme-semiotika untuk mengetahui repetisi dari aspek
gaya bahasanya, yakni sintaksis, semantik, dan pragmatik. Karena
barangkat dari strukturalisme-semiotika ini, ia mengungkap
‘segala sesuatu’ yang terdapat di dalam repetisi suatu kisah yang
berkaitan dengan komponen kisah, yakni: tokoh, plot atau alur,
setting atau latar, dan tema, serta bagaimana kisah itu lahir. Di
akhir dari penelitiannya, Hashona mengambil kesimpulan bahwa
kajian strukturalisme-semiotika terhadap repetisi kisah Nabi
Musa as merupakan sebuah metode alternatif untuk memperoleh
18Moh. Wakhid Hidayat, “Struktur Narasi Dalam Qas}as} Al-Qur’an (tinjauan Analisa
Strukturalisme Naratif)’, Tesis, Program Magister Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
-
~ 17 ~
pemaknaan yang lebih kontekstual, sehingga tidak terjebak dalam
anggapan bahwa repetisi kisah merupakan repetisi secara literal
yang tanpa arti.19
Disertasi dari Andy Hadiyanto yang berjudul “Repetisi Kisah
Al-Qur’an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim
dalam Surat Makkiyah dan Madaniyyah)”, yang juga memakai
kaca mata kajian bahasa. Menurutnya, konteks situasional dan
bahasa dalam surat-surat Makiyyah dan Madaniyyah memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap variasi maksud tujuan tipologi
dan penyusunan kontribusi unsur kisah-kisah Ibrahim dalam tema
besar yang ingin dicapai oleh surat di mana kisah tersebut
disajikan.20
Tesis pertama dari Segal menitikberatkan kajian kebenaran
ilmiah terhadap penafsiran Bible dengan mengkaji tokoh dan
pemikirannya, sedangkan keempat tesis dan satu disertasi yang
dilakukan di UIN lebih menitikberatkan pada kajian sastra.
19Achmad Hasmi Hashona, “Repetisi Kisah Nabi Musa A.S. dalam Al-Qur’an (Kajian
Strukturalisme-Semiotika), Tesis, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
20Andy Hadiyanto, “Repetisi Kisah Al-Qur’an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makkiyah dan Madaniyyah)”, Disertasi, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
-
~ 18 ~
E. Metodologi Penelitian Sebagai dasar penyusunan penelitian ini agar dapat tercapai
apa yang diharapkan, penulis melakukan kajian atas pemikiran
Khalafullah dan al-Ja>biri>, sebagai contoh penulis akan
menguraikan tafsir atas ayat-ayat al-Qur’an yang mengisahkan
tentang tongkat Nabi Musa as menurut tafsir al T{abari>.
1. Jenis Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskripsi-kualitatif dengan
menerapkan pendekatan normatif. Pendekatan ini berusaha
mengungkap konsep dalam memahami kisah al-Qur’an.
2. Sumber Data.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku
karangan Muh}ammad Ah}mad Khalafullah, al-Fann al-Qas}as}i
fi> al-Qur’a>n al-Kari>m dan karangan Muh}ammad ‘Abiri>, Madkhal Ila> al-Qur’a>n al-Kari>m, dan dukungan dari
kitab-kitab dan sumber data lainnya, juga diperoleh dari
berbagai ayat tentang kisah Nabi Musa as dalam al-Qur’an
dan buku-buku yang mengkaji kisah-kisah ini, sedangkan
data sekundernya diperoleh dari data-data dan informasi dari
berbagai sumber yang mendukung teori dalam penelitian ini.
Beberapa bahan yang sifatnya teoritis diambil dari sumber-
sumber tertulis yang berkaitan dengan tema pembahasan,
baik dari literatur primer maupun sekunder, dan sebagian lagi
diperoleh melalui buku, majalah, hasil penelitian, jurnal,
artikel, internet dan lain-lain.
-
~ 19 ~
3. Analisa Data
Data-data yang diperoleh diolah, dirumuskan kemudian
dideskripsikan sehingga dapat menjawab pertanyaan yang
ada dan mendapatkan peta konsep yang jelas. Selanjutnya
dilakukan interpretasi dan analisis terhadap data tersebut.
F. Sistematika Penulisan Penelitian tesis yang dilakukan oleh penulis akan dilaporkan
dalam lima bab dengan menggunakan sistematika penyajian
sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan, pada bab ini penulis menyajikan
tentang latar belakang pemilihan objek kajian, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, signifikasi penelitian, dan metodologi penelitian.
Bab II berisi pengantar menuju perdebatan seputar kisah
dalam al-Qur’an, pada bab ini penulis menyajikan pandangan
umum tentang kisah dalam al-Qur’an, pengertian tentang kisah
dalam al-Qur’an, macam-macam kisah dalam al-Qur’an, beberapa
pemikiran dan perdebatan tokoh terhadap kisah.
Pada Bab III berisi tentang tokoh yang dibahas yakni
Muh}ammad Ah}mad Khalafullah bagaimana riwayat hidupnya dan
apa pemikiran-pemikirannya tentang kisah.
Pada Bab IV berisi tentang tokoh yang dibahas yakni
Muh}ammad ‘Abiri>, bagaimana riwayat hidupnya dan apa
pemikiran-pemikirannya tentang kisah.
-
~ 20 ~
Lalu dilanjutkan dengan Bab V berisi bagaimana pandangan
kedua tokoh terhadap suatu kisah. Penulis mengambil satu contoh
yakni kisah tongkat Nabi Musa as. Pendekatan bayani dengan
mengutip penafsiran al-T{abari> tentang ayat-ayat yang memuat
kisah tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular, lalu
diulas bagaimana pandangan keduanya.
Penelitian diakhiri dengan Bab VI yang berisi Penutup, pada
bab inilah akan disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang ada pada perumusan masalah,
dan saran berupa usulan yang diajukan bagi peneliti-peneliti lain
yang ingin menindaklanjuti kajian tentang kisah-kisah al-
Qur’an.[]
-
~ 21 ~
G. Kerangka Teori
Merupakan kisah
keagamaan
Tidak perlu pembuktian sejarah karena kisah-
kisah ini hanyalah kisah sastra
Tidak perlu dilihat faktual sejarah,
pembacaan kisah sebagai simbol-simbol
Kisah mitologis, perumpamaan,
imaginatif
Benarkah kisah-kisah ini hanya mitos, perumpamaan, khayal/imaginatif, tidak perlu
faktual sejarah?
Perlu pengkajian dan pembuktian lebih lanjut.
Kisah-kisah dalam al-Qur’an
T}abba>rah (mewakili Jumhur
Ulama)
Amin al-Khulli dan Muh}ammad Ah}mad
Khalafullah
Moh}ammed Arkoun Abdullah Saeed
Kisah-kisah ini dapat
diperiksa ulang dgn sumber
lain
-
~ 22 ~
-
~ 23 ~
BAB II KISAH DALAM AL-QUR’AN
A. Pandangan Umum Tentang Kisah Dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Umum Tentang Makna Kisah Ibn Manz}u>r dalam kitab Lisa>n al-‘Arab menguraikan makna
kata qis}s}ah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata َّقَص (yang berarti memotong, sebagaimana dalam ungkapan qas}as}tu al-sya’r
(saya memotong rambut); menjelaskan, mengikuti jejak,
sebagaimana ungkapan qas}as}tu al-sya’i (saya mengikuti jejaknya
sedikit demi sedikit); mengurangi atau mengambil, قص هللا
طياهبهاخ (Allah mengurangi dengan dosa-dosanya). Dari akar kata qas}s}a terambil kata qis}s}ah yang berarti khabar (berita), amr
(perkara/urusan), hadis\ (pembicaraan). Penggunaan kosa kata
qis}s}ah dalam al-Qur’an tidak ditemukan. Al-Qur’an menggunakan
kata kerja lampau (fi’il mad}i) qas}s}a dan qas}as}na dalam 4 ayat,
dalam bentuk kata kerja sedang (fi’il mud}ari) dengan berbagai
kasusnya ada di 13 ayat, kata perintah (fi’il amr) 2 ayat, dan
mas}da>r qas}as} sebanyak 6 ayat.21
Al-Qat}t}an dalam kitabnya menjelaskan bahwa kata al-qas{as{
yang berarti قَصَّ berasal dari bahasa Arab dari kata (القََصصُ )
‘mencari’ atau ‘mengikuti jejak’ ) ُتَتَّبُِع االَثَر( sebagaimana
21Ibnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Dar S{a>d, tt), Jilid 7, h. 73.
-
~ 24 ~
dikatakan (saya mengikuti atau mencari jejaknya) قََصْصُت اَثَُرهُ
atau ُتَتَّبَِعتُه (mengikuti jejaknya). Kata al-qas{as} sendiri merupakan bentuk masdar sebagaimana dalam QS. al-Kahfi [18]: 64
قَاَل َذلَِك َما ُكنَّا نَْبِغ فَاْْرتَدَّا َعلَى اَثَا ِرِهَما قََصًصا Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. al-Kahfi [18]: 64)
Maksudnya, kedua orang dalam ayat itu kembali lagi untuk
mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang, juga di ayat lain
dalam QS. al-Qas}as} [28]:11 disebutkan: ِْيه Dan) َوقَالَْت ِالُْختِِه قُصِّberkatalah ibu Musa kepada saudaranya yang perempuan: Ikutilah
dia!), maksudnya mengikuti jejaknya sampai terlihat siapa yang
mengambilnya (Nabi Musa). Qas}as} juga berarti berita berurutan.
Firman Allah dalam QS. Ali ‘Imra>n [3]: 62:
ُ انَّ هََذا لَهَُو القََصُص الَحقُّ َ لَهَُو َوَما ِمْن الٍَه االَّ هللاَّ َو انَّ هللاَّ
الَعِزْيُز الَحِكْيمُ
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali ‘Imra>n [3]: 62)
Juga dalam QS. Yu>suf [12]: 111:
-
~ 25 ~
َما َكاَن َحِدْيثاً ِلَقَْد َكاَن فِى قََصِصِهْم ِعْبَرةٌ ِألُْولِى اْألَْلبَاب
يُْفتََرى َولَِكْن تَْصِدْيَق الَِّذى بَْيَن يََدْيِه َو تَْفِصْيَل ُكلِّ َشْيٍئ َو هًُدى َو
َرْحَمةً لِّقَْوٍم يُْؤِمنُْونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yu>suf [12]: 111)
sedangkan al-qis}s}ah berarti ‘urusan (االمر)’, ‘berita (الخبر)’,
‘perkara (الشأن)’, dan ‘keadaan (22.’(الحال
Adapun Qas}as} al-Qur’an, al-Qat}t}an merumuskan istilahnya
sebagai pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah
lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan
tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan
negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Al-Qur‘an
menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik
dan mempesona. 23 Kisah menurut Jumhur ulama adalah
menelusuri peristiwa/kejadian dengan jalan
menyampaikan/menceritakannya tahap demi tahap sesuai dengan
22Manna’Khalil al-Qat}t}a>n, Maba>hi|s fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Cairo: Maktabah Wahbah, tt),
h. 300. 23Manna’Khalil al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Penerjemah Mudzakir AS, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2013), Cet. ke-16, h. 436.
-
~ 26 ~
kronologi kejadiannya. Quraish Shihab menambahkan bahwa
penyampaian itu dapat terjadi dengan menguraikannya dari awal
hingga akhir, bisa juga dalam bentuk bagian/episode-episode
tertentu.24
Adanya kisah dalam al-Qur’an menjadi bukti yang kuat bagi
umat manusia bahwa al-Qur’an sangat sesuai dengan kondisi
mereka. Karena dari anak kecil sampai dewasa bahkan orang yang
sudah tua sekali pun tak ada orang yang tak suka pada kisah,
apalagi bila kisah itu mempunyai tujuan ganda, yakni sebagai
pelajaran dan pendidikan, juga berfungsi sebagai hiburan. Kisah
dalam al-Qur’an mencakup kedua aspek itu, bahkan di samping
tujuan yang mulia itu, kisah-kisah tersebut diungkapkan dalam
bahasa yang sangat indah dan menarik, sehingga tidak ada orang
yang bosan mendengar dan membacanya.
Rosihon Anwar25 –mengutip Hanafi dalam bukunya “Segi-
segi Kesusastraan pada Kisah-kisah al-Qur’an”– menjelaskan
bahwa secara umum, kisah-kisah dalam al-Qur’an mengandung
tiga unsur yakni; pelaku (as-sakhsiyyah), peristiwa (ahdas\) dan
dialog (al-h{iwar). Ketiga unsur ini terdapat hampir di setiap kisah
dalam al-Qur’an, hanya saja peran ketiga unsur ini tidaklah sama,
sebab bisa saja salah satunya hilang. Kisah nabi Yusuf
24Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang
Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2013) h. 319.
25Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2005), Cet. ke-3, hal. 65.
-
~ 27 ~
mengandung ketiga unsur tersebut, namun tidak ditemui pada
kisah-kisah lain, terutama pada ayat-ayat pendek.
Menurut Khalafullah, unsur-unsur kisah dalam al-Qur’an
dapat dibagi menjadi 5 bagian, yakni tokoh ( الَشْخِصيَّة( adalah pemeran dari kisah di mana ia menjadi paparan kisah tersebut,
peristiwa ( الَحاِدثَة( adalah hal-hal yang terjadi pada tokoh dalam
kisah, pemaparan ( السَّْردُ ( sarana untuk melukiskan gejolak-
gejolak kejiwaan dari tokoh, qada’ dan qadar ( القََضاُء َو اْلقََدرُ (
nasib dan takdir atas para tokoh dalam kisah, suara hati ) ُالَصْوت
ungkapan hati para tokoh agar didengar orang lain.26 اْلقَْلب Unsur Pertama: Pelaku.
Pelaku kisah-kisah dalam al-Qur’an tidak saja manusia, tapi
juga hewan, malaikat, dan jin. Pada manusia, al-Qur’an
mengangkat kisah tentang para Nabi, orang biasa (seperti Fir’aun,
Qarun), dan lain sebagainya. Kisah tentang binatang seperti semut
dalam QS.an-Naml [27]: 18-19,
يَأَيُّهَا النَّْمُل اْدُخلُْوا َحتَّى اَذا أَتُْوا َعلَى َواِد النَّْمِل قَالَْت نَْملَةٌ
َمَساِكنَُكْم َال يَْحِطَمنَُّكْم ُسلَْيَماُن َو ُجنُْوُدهُ َوهُْم الَ يَْشُعُرْونَ
26Muh}ammad Ah}mad Khalafullah, Al-Fann al-Qas}as}i Fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, Comment
and Explanation by Khalil Abdul Karim, (Beirut: al-Intisyaru al-‘Arab, 1999), Cet. Ke-4, h. 37.
-
~ 28 ~
ْن قَْولِهَا َو قَاَل َربِّ أَْوِزْعنِْي أَْن أَْشُكَر نِْعَمتََك فَتَبَسََّم َضاِحًكا مِّ
َوأَْن أَْعَمَل َصالًِحا تَْرَضاهُ َو أَْدِخْلنِْى الَّتِْي أَْنَعْمَت َعلَيَّ َو َعلَى َوالَِديَّ
الِِحْينَ بَِرْحَمتَِك فِى ِعبَاِدَك الصَّ
Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan Dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.”(QS. an-Naml [27]: 18-19)
atau kisah burung Hud-hud yang menjadi mata-mata bagi Nabi
Sulaiman untuk memberikan informasi tentang kerajaan Saba’
yang dipimpin Ratu Bilqis (QS. an-Naml [27]: 20).
َآل أََرى اْلهُْد هَُد أَْم َكاَن ِمَن الَغائِبِْينَ يَ َو تَفَقََّد الطَّْيَرفَقَاَل َمالِ
Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah ia termasuk yang tidak hadir?” (QS. an-Naml [27]: 20)
Kisah yang mengangkat Malaikat sebagai pelaku adalah
sebagaimana kisah malaikat yang datang kepada Nabi Ibrahim dan
-
~ 29 ~
Nabi Lu>t} yang menjelma sebagai tamu (QS. Hu>d [11]: 69-83), atau
malaikat yang datang kepada Maryam dalam bentuk manusia (QS.
Maryam [19]: 10-21).
Unsur kedua: Peristiwa
Pada unsur peristiwa ini, al-Qur’an menggambarkannya
dalam tiga bagian, yakni:
1. Peristiwa yang berkelanjutan
Misalkan, seorang Nabi yang diutus kepada suatu kaum,
kemudian mereka mendustakannya dan meminta ayat-ayat
(bukti) yang menunjukkan kebenaran dakwah dan
kenabiannya. Lalu datanglah ayat (bukti) yang mereka minta,
tetapi mereka tetap saja mendustakannya.
2. Peristiwa yang dianggap luar biasa
Yakni kisah-kisah mukjizat para nabi dan rasul, sebagai contoh
Mukjizat Nabi Isa dalam QS. al-Ma>idah [5]: 110-115.
3. Peristiwa yang dianggap biasa
Yaitu peristiwa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal
sebagai tokoh, baik Nabi atau bukan yang beraktivitas makan
dan minum seperti biasa. QS. al-Ma>idah [5]: 116-118.
Unsur ketiga: Percakapan (dialog)
Tidak semua kisah mengandung percakapan, seperti kisah
yang bermaksud menakut-nakuti, tetapi ada pula kisah yang
-
~ 30 ~
sangat menonjol percakapannya, seperti kisah Nabi Adam dalam
QS. al-A’ra>f [7]: 11-25, QS. T}a>ha> [20]: 9-99, dan lainnya.27
2. Macam-macam Kisah Dalam Al-Qur’an Al-Qat}t}an membagi kisah-kisah al-Qur’an dari sisi pelaku,
beliau membagi menjadi tiga bagian, yakni:28
1. Kisah para nabi. Pada bagian ini dikisahkan bagaimana ajakan
para nabi kepada kaumnya (dakwah mereka), mukjizat-
mukjizat yang memperkuat dakwahnya, bagaimana sikap
orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan
perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh
mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan.
Misalnya kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,
Nabi Muhammad dan nabi-nabi serta rasul-rasul lainnya.
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan
kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung
27Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, h. 72. 28Al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, h. 436. Begitu juga dengan pendapat Muhammad
Qutub ‘Abdul ‘Al dalam muqaddimah bukunya yang berjudul Nazara>t Fi> Qas}as} al-Qur’a>n, Muhammad Qutub membagi kisah al-Qur’a>n dalam tiga macam, yaitu:
1. Kisah lengkap yang memuat tempat, tokoh, dan gambaran peristiwa yang berlaku serta akibat yang timbul dari hal tersebut, seperti Kisah Nabi Musa dan Fir’aun.
2. Kisah yang hanya menggambarkan peristiwa yang terjadi, tetapi tidak mengungkapkan nama tokoh pelaku atau tempat berlangsungnya peristiwa, seperti kisah kedua putra Nabi Adam as.
3. Kisah yang diutarakan dalam bentuk percakapan atau dialog tanpa menyinggung nama dan tempat kejadian. Misalnya dialog antara seorang kafir yang memiliki dua bidang kebun yang luas dan kekayaan yang berlimpah dengan seorang mukmin.
-
~ 31 ~
halamannya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, kisah
dua orang putra Adam, kisah penghuni gua (as{ha>bul kahfi),
Zulkarnain, Qarun, orang-orang yang menangkap ikan pada
hari Sabtu (as{ha>bul Sabt), Maryam, As}ha>bul Ukhdud, As}ha>bul
Fi>l (pasukan gajah) dan lain sebagainya.
3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti Perang Badar dan
Perang Uhud dalam QS. Ali ‘Imra>n, Perang Hunain dan Perang
Tabuk dalam QS.at-Taubah, Perang Ahzab dalam QS. al-
Ah}za>b, Peristiwa Hijrah, Peristiwa Isra dan lain-lain.
Adapun Rosihon Anwar membagi kisah-kisah ini
berdasarkan panjang pendeknya, menurutnya kisah dalam al-
Qur’an dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Kisah Panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam QS. Yu>suf
[12] yang hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan
Nabi Yu>suf, sejak masa kanak-kanak sampai dewasa dan
sampai memiliki kekuasaan. Contoh lainnya adalah kisah Nabi
Musa dalam QS. al-Qas{as{ [28], kisah Nabi Nu>h dan kaumnya
dalam QS. Nu>h [71], dan lain-lain.
2. Kisah yang lebih pendek dari bagian pertama (sedang), seperti
kisah Maryam dalam QS. Maryam [19], kisah As{ha>b al-Kahfi
pada QS. al-Kahfi [18], kisah Nabi Adam dalam QS. al-
Baqarah [2] dan QS. T}a>ha> [20] yang terdiri atas sepuluh atau
belasan ayat saja.
-
~ 32 ~
3. Kisah Pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh
ayat, misalnya kisah Nabi Hu>d dan Nabi Lu>t} dalam QS.al-A’ra>f
[7], kisah Nabi S{alih dalam QS. Hu>d [11], dan lain
sebagainya.29
3. Sistematika al-Qur’an dalam Menyampaikan Kisah Kisah adalah salah satu cara yang digunakan al-Qur’an untuk
memberi pelajaran bagi manusia. Agar tujuan pengajaran tersebut
dapat berhasil dengan baik, biasanya al-Qur’an lebih dahulu
menyebutkan kandungan suatu kisah secara umum melalui
beberapa kata secara singkat. Setelah itu barulah al-Qur’an
menguraikannya secara luas.
Sementara itu, jika al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-
pesan penting yang terdapat dalam suatu kisah, cara yang
digunakannya adalah mengemukakan pernyataan tegas secara
berjenjang, baik berisi penolakan maupun pengukuhan isi kisah.
Abdurrahman Dahlan meringkaskan sistematika
penyampaian kisah ini dalam beberapa metode. Ketika al-Qur’an
menceritakan kisah nabi Yu>suf, nabi Mu>sa, nabi Adam dan as}ha>b
al-Kahfi. Ketika berkisah tentang nabi Yu>suf, al-Qur’an
memulainya dengan ayat yang berbunyi: “Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling baik, dengan mewahyukan al-Qur’an
ini kepadamu…(QS. Yu>suf [12]:3). Setelah mengukuhkan
29Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, h. 73.
-
~ 33 ~
kebaikan kisah yang hendak dikemukakan dan menceritakannya
secara singkat rangkuman kisah nabi Yu>suf, al-Qur’an kemudian
menegaskan bahwa: “Sesungguhnya terdapat beberapa tanda
kekuasaan Allah pada Yu>suf dan saudara-saudaranya, bagi orang-
orang yang bertanya.” (QS. Yu>suf [12]: 7). Kemudian, barulah al-
Qur’an menguraikan kisah nabi Yu>suf secara deskriptif sampai
selesai.30
Selanjutnya, ketika berkisah tentang as}ha>b al-Kahfi, al-
Qur’an lebih dahulu menyebutkan: “Apakah kamu mengira orang-
orang yang mendiami gua dan (memiliki) raqim itu merupakan
tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah)
ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan ke dalam
gua, maka mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada
kami rahmat dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah untuk kami
petunjuk yang lurus dalam masalah kami ini.” (QS. al-Kahfi [18]:
9-10). Lalu barulah al-Qur’an menguraikan kisah tersebut sampai
akhir, yang dimulai dengan kalimat: “Kami ceritakan kisah
mereka kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan
kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. al-Kahfi [18]: 13.
Demikian pula halnya dengan kisah nabi Musa, al-Qur’an
memulainya dengan kalimat: “Kami membacakan kepadamu
sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar, untuk orang-
30Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Maret
1997), h. 188.
-
~ 34 ~
orang yang beriman. Sungguh Fir’aun telah berbuat sewenang-
wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya terpecah-
belah dengan cara menindas segolongan dari mereka….(QS. al-
Qas}as} [28]: 3-4).
Pola ini juga diterapkan al-Qur’an dalam mengurai kisah
Adam, yakni dalam QS. T{a>ha> [20]: 115, “Dan sesungguhnya telah
Kami perintahkan sebelumnya kepada Adam, kemudian ia lupa
(pada perintah itu), dan tidak Kami dapati di dalam dirinya
kemauan yang kuat.”31
Adapun ketika al-Qur’an hendak menyampaikan pesan
penting di dalam suatu kisah, digunakanlah bentuk pernyataan
bersifat menegasikan atau mengukuhkan. (1) Hal ini dapat dilihat
ketika al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-
orang yang mempertuhankan berhala-berhala, di samping
mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Al-Qur’an membantah
keyakinan tersebut dengan menegaskan: “Mereka sama sekali
tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek
moyang mereka. Alangkah jahatnya kata-kata yang keluar dari
mulut mereka, apa yang mereka katakan itu benar-benar
kedustaan.” QS. al-Kahfi [18]: 5. (2) Ketika mencela pendapat
orang-orang yang tidak mempercayai kebangkitan manusia di
akhirat, al-Qur’an menegaskan: “Sebenarnya pengetahuan mereka
tentang akhirat tidak sampai (kesana), bahkan mereka ragu-ragu
31Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah, h. 189.
-
~ 35 ~
tentang adanya kehidupan akhirat, bahkan mereka buta mengenai
hal itu” QS. an-Naml [27]: 66. (3) Sedangkan ketika hendak
mengukuhkan kebenaran risalah yang dibawa nabi Nuh dan
membatalkan tuduhan dusta dan sesat yang dihadapkan padanya,
al-Qur’an secara berjenjang menyatakan pernyataan-
pernyataannya. Dimulai dengan bantahan Nabi Nuh (QS. al-A’ra>f
[7]: 61), lalu al-Qur’an membantah tuduhan kesesatan dan
menegaskan kedudukan nabi Nuh, dan pada jenjang berikutnya al-
Qur’an menegaskan materi petunjuk yang dibawa Nabi Nuh
kepada kaumnya. (QS. al-A’ra>f [7]: 62). Pola ini juga didapat pada
materi kisah nabi Hu>d dan nabi Muh}ammad SAW. Al-Qur’an
membantah tuduhan kaum kafir Quraisy yang mengatakan nabi
Muh}ammad sesat dan mengada-ada (QS. al-Najm [53]: 1-3).
Setelah menegasikan semua tuduhan negatif tersebut, barulah al-
Qur’an menyatakan secara terperinci kedudukan beliau sebagai
pembawa wahyu Allah (QS. al-Najm [53]: 4-5).32
4. Beberapa Pemikiran Tentang Kisah Quraish Shihab dalam buku Kaidah Tafsir menguraikan
bahwa terdapat dua sikap para cendikiawan menyangkut kisah.
Pertama, memahami semua peristiwa dalam kisah-kisah al-Qur’an
adalah benar-benar terjadi di dunia nyata. Kedua, mereka yang
menyatakan bahwa sebagian dari kisah-kisah tersebut hanyalah
32Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah, h. 191.
-
~ 36 ~
simbolik saja. Peristiwa yang diceritakan tidak pernah terjadi di
dunia nyata, namun kandungannya adalah benar. 33 Disamping
kedua sikap tersebut, terdapat sekelompok cendikiawan yang
memahami kisah simbolik tadi hanyalah mitos belaka.34
4.1 Muh}ammad Abduh
Dalam Tafsir Al-Manar vol 1, Muhammad Abduh (1849 –
1905) menyatakan bahwa tujuan kisah dalam al-Qur’an adalah
sebagai nasihat dan pelajaran, bukan untuk perincian aspek
sejarah. Hal ini disebabkan al-Qur’an mengisahkan yang haq dan
bathil, yang jujur dan dusta, dan yang bermanfaat dan mud{arat
dari aqidah dan tradisi umat-umat terdahulu.35
Sebagai contoh Muhammad Abduh memahami kisah Adam
yang diuraikan al-Qur’an dalam surah al-Baqarah [2]: 30-38
sebagai kisah simbolik. Menurutnya:
a. Pemberitaan Allah kepada malaikat tentang rencana-Nya
menetapkan khalifah berarti: Bumi dengan segala hukum alam
yang menjadi ruh, inti serta sumber ketergantungannya telah
disiapkan Allah untuk dihuni oleh manusia yang diasumsikan
dapat mengelolanya sehingga tercapai kesempurnaan hidup di
dunia ini.
33Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 326. 34Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 329. 35Muhammad Abduh, Tafsir Al Manar, Vol. 1 Hal. 329-330, lihat juga Fahmi Salim,
Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), Cet. Ke-1, h. 367.
-
~ 37 ~
b. Pertanyaan malaikat tentang sifat khalifah yang dapat
melakukan kerusakan dan menumpahkan darah adalah
gambaran tentang adanya potensi dalam diri sang khalifah –
baca: manusia – untuk melakukan hal-hal tersebut, walaupun
potensi tersebut tidak bertentangan dengan kekhalifahan yang
disandangnya.
c. Pengajaran Allah kepada Adam tentang nama-nama benda,
menjelaskan bahwa manusia secara potensial mampu
mengetahui segala sesuatu di alam materi dan mengelola serta
memanfaatkannya.
d. Pemaparan pertanyaan kepada malaikat dan ketiadaan jawaban
mereka menunjukkan keterbatasan ruh-ruh (hukum-hukum
alam) yang mengatur alam ini.
e. Sujudnya malaikat menunjukkan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk memanfaatkan hukum-hukum alam
tersebut.
f. Keengganan Iblis untuk sujud menunjukkan kelemahan
manusia dan ketidakmampuannya menundukkan jiwa
kejahatan dan menghilangkan bisikan-bisikan kotor yang
menghantarkan kepada perselisihan, perpecahan dan
permusuhan di muka bumi.36
36Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 327-328.
-
~ 38 ~
4.2 Sayyid Qut}b
Kisah-kisah dalam al-Qur’an secara umum bertujuan untuk
kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan.37 Jika dilihat dari
keseluruhan kisah yang ada, maka tujuan-tujuan tersebut dirinci
sebagai berikut:
1. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al-Qur’an
tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam QS.
Yu>suf [12]: 2-3 dan QS. al-Qas{as{ [28]: 3 sebelum
mengutarakan cerita nabi Musa, al-Qur’an lebih dahulu
menegaskan, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari
cerita Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk kaum yang
beriman”. Dalam QS. Ali ‘Imra>n [3]: 44 pada permulaan
cerita Maryam disebutkan, itulah berita yang ghaib, yang
kami wahyukan kepadamu.
2. Menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa
nabi Nuh sampai dengan nabi Muhammad SAW; bahwa
kaum muslimin semuanya merupakan satu ummat; bahwa
Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan bagi semuanya” (QS. al-
Anbiya>’ [21]: 51 – 92).
3. Menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh Nabi-nabi
dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka
terhadap dakwahnya itu juga serupa (QS. Hu>d [11]).
37Sayyid Qutb, Seni Penggambaran dalam Al-Qur’an, Penerjemah Chadijah Nasution,
(Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), h. 138.
-
~ 39 ~
4. Menerangkan dasar yang sama antara agama yang dianjurkan
oleh Nabi Muhammad SAW, dengan agama Nabi Ibrahim,
secara khusus dengan agama-agama bangsa Israel pada
umumnya dan menerangkan bahwa hubungan itu lebih erat
daripada hubungan yang umum antara semua agama.
Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi
Ibrahim, Musa, dan Isa.38
4.3 Moh}ammed Arkoun (1928-2010M)39
Dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, Arkoun melakukan
pendekatan sejarah. 40 Arkoun menyimpulkan bahwa tidak ada
38Sayyid Qut}b, Seni Penggambaran, h. 140. 39 Moh}ammed Arkoun lahir di Toiriret-Maimun Aljazair pada Februari 1928.
Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Wahran, lalu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Universitas Aljazair dan melanjutkan pascasarjananya ke Paris. Arkoun berhasil meraih Doktoral bidang Sastra pada tahun 1969 dan menjadi Guru Besar Tamu di Universitas Lion II (1969-1972), dan mendapatkan profesorship dalam bidang Sastra Arab dan Peradaban Islam di Universitas Paris VIII antara tahun 1972-1977. Ia lalu diangkat menjadi Kepala Bidang Studi Arab dan Islam di Universitas Paris III. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa Arab diantaranya Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islami, al-Fikr al-Islami, Qira’ah Ilmiyyah, al-Qur’an min al-Tafsir al-Mauruts ila> Tahlil Khitab al-Dini, al-Fikr al-Islami Naqd wa Ijtihad, al-Fikr al-Ushuli wa Ishtilahat al-Ta’shil, Min Faishan at-Tafriqah Ila> Fashl al-Maqal, Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Muashir? Min al-Ijtihad Ila> al-Naqd al-Aql al-Islami, al-Fikr al-Arabi, Ma’ark Min Ajli Fi> al-Siyaqat al-Islamiyyah. lihat: Fahmi Salim, Kritik, h. 201.
40Metode pendekatan sejarah bisa dikatakan metode historisitas yakni metode yang menganggap penafsiran teks harus digadaikan dengan sejarahnya, dan harus diam di sana pada waktu ia lahir. Jadi tidak mungkin memisahkan teks apa pun dari sejarahnya. Metode ini lahir dari aliran materialisme positivis yang meyakini bahwa agama hanyalah kreasi manusia saja. Sebagian dari pengikut metode ini, menempatkan teks dengan sejarah agar dapat lepas dari teks itu pada masa kini. Fahmi Salim melihat bahwa apa yang sudah dilakukan Arkoun melalui karya-karyanya: Tarikhiyyat al-Fikr al-Arabi al-Islami, Qira’ah Ilmiyyah, Al-Qur’an min Al-Tafsir al-Mauruts Ila> Tahlil al-Khitab al-Din, Al-Fikr Al-Islami, dan Naqd wa Ijtihad adalah karya-karya yang menerapkan metode historisitas, komparasi linguistik serta ilmu humaniora terhadap al-Quran. Lihat: Fahmi Salim, Kritik, h. 116-117.
-
~ 40 ~
cara yang tepat untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an
kecuali dengan mengaitkannya dengan sejarah. Pendekatan
sejarah ini tentu saja akan menentang semua bentuk sakralisasi41
dan transendensi penafsiran yang menjadi orientasi ulama-ulama
klasik.42 Bagi Arkoun, sakralitas al-Qur’an bukanlah sesuatu yang
asli melainkan sesuatu yang disusupkan, yang diada-adakan untuk
kepentingan intelektual-politis. Kepalsuan ini bisa dibuktikan
dengan apa yang terjadi pada Taurat dan Injil.43 Arkoun memuji
wacana sekularisme karena dapat memerdekakan seseorang dari
41Arkoun memandang bahwa sakralitas Islam berporos pada al-Qur’an. Perspektif
umat Islam terhadap al-Qur’an dan bagaimana berinteraksi dengannya –baca: al-Qur’an- menyebabkan sakralitas terjadi. Arkoun melakukan dekonstruksi al-Qur’an sebagai proyek besarnya, ia berusaha menolehkan pandangan umat Islam terhadap mushaf yang dimiliki saat ini. Menurutnya, mushaf yang diyakini sebagai al-Qur’an ini telah mengalami berbagai perubahan dan penyelarasan, hal inilah yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Arkoun ingin memindahkan teks al-Qur’an yang profan tersebut dari area teologis menuju area penelitian linguistik dan mendudukkannya pada kajian sastra.”.
42 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today, in Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity and Change., Ed. Azim Nanji, (Berlin: Mouton de Gruyter, 1997) h. 36-37. Arkoun mengklasifikasikan wahyu dalam dua level, yakni level al-Qur’an level ‘Ummul Kitab’ yang merupakan al-Qur’an yang sangat istimewa (tersimpan di langit), mengandung kebenaran absolut dan transenden, dan berada di luar jangkauan manusia karena berada di Lauh al-Mahfuz} dan kekal bersama Tuhan. Level kedua adalah mushaf (al-Qur’an) edisi dunia, berada dalam jangkauan manusia. Mushaf inilah yang menjadi sasaran kritik dan dekonstruksi. Lihat: Abdul Karim Hasan Shalihu, Pendekatan Historitas untuk Al-Qur’an: Pengaruh Hermeneutika Barat di Abad ke-19 atas Tulisan-tulisan Pemikir Islam, (Malaysia: IIU, 2003), h. 189.
43 Kajian Hermeunetika dan Metode Kritik telah menghasilkan apa yang disebut metode kritik Bible (Biblical Criticism). Bagi mereka, kemajuan yang diraih adalah karena keberhasilan mereka menundukkan teks-teks yang disucikan kepada metode kritik historis. Ketika mereka mengkajinya, mereka meyakini bahwa Bible yang mereka pegangi (textus receptus) di dalamnya mengandung kesalahan-kesalahan besar sehingga perlu diluruskan. Metode kritik historis adalah metode yang penting dalam kritik Bible. Langkah yang ditempuh dengan lebih dahulu menentukan naskah Bible yang paling awal, karakter sastranya, konteks yang memunculkannya, dan makna aslinya. Ketika metode ini diterapkan untuk mengkaji Yesus dan Injil, maka ia berfungsi membedakan antara yang mitos dan yang nyata terjadi serta meneliti cara-cara pengarang Injil dengan riwayat-riwayat yang saling bertentangan dan menentukan mana yang sebenarnya adalah perkataan Almasih.
-
~ 41 ~
kewibawaan teks yang menghalangi dari hakikat material
kebahasaannya. 44 Sehingga Arkoun berorientasi ‘menundukkan
al-Qur’an ke dalam standar kritik historis komparatif’. Al-Qur’an
harus tunduk terhadap tekanan kritik dengan metode arkeologi
dekonstruktif yang menelanjangi historitasnya yang lebih
materialistis dan hedonis.45
Orientasi modernitas yang menjadi tujuan Arkoun
meniscayakan mindset yang tidak selalu sakral dan
mendekonstruksi pemikiran yang ada pada nalar Islam
kontemporer. Arkoun beranggapan bahwa umat Islam telah
memposisikan al-Qur’an sebagai sesuatu yang sakral. 46 Oleh
sebab itu, langkah yang diambil oleh Arkoun adalah
mendekonstruksi pola pikir umat Islam tentang al-Qur’an dan
bagaimana bergaul dengannya –baca: al-Qur’an–. Arkoun
berusaha memalingkan pandangan atau mendekonstruksi
pemikiran umat Islam bahwa al-Qur’an yang ada sekarang
tidaklah sama seperti saat ia diturunkan, tetapi telah mengalami
berbagai penyelarasan.
Menurut Arkoun, tidak mungkin akal kita bisa merdeka
selama belum melihat pandangan historisitas terhadap perubahan
ini, sehingga perlu dilakukan penyempitan area sakral. Lalu,
44Moh}ammed Arkoun, Ayna Huwa al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir?, (tt: Dar al-Saqi,
1993), h. 13. 45Moh}ammed Arkoun, Al-Fikr Al-Islami Qira’ah Ilmiyyah (Casablanca: al-Markaz al-
S|aqafi al-‘Arabi, 1996), h. 91. 46Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘Inda Muhammad Arkoun, (Beirut: Dar
At}-T}ali’ah, 2005), h. 162.
-
~ 42 ~
Arkoun hendak memindahkan teks al-Qur’an yang suci itu dari
area teologis kepada area penelitian linguistik dan
menundukannya kepada kajian sastra.47 Menurutnya, al-Qur’an
yang hakiki adalah al-Qur’an yang verbalis, bukan yang tertulis
atau terkodifikasi. Selanjutnya, Arkoun membangun kajian
seputar proses pengujaran al-Qur’an, dari sekadar teks yang
disucikan, dibaca berulang-ulang menuju teks yang memiliki nilai
pelaksanaannya. Sehingga, pembacaan linguistik, semantis,
antropologis, dan sebagainya tidak mengedepankan makna
teologis sebagaimana yang biasa dipahami mufassir-mufassir
klasik. Arkoun berupaya menemukan pemahaman dari teks
tersebut, atau dalam bahasa Mukhtar al-Fajjari “dari takwil makna
kepada takwil pemahaman”.48
Bagi Arkoun, teks-teks yang mendasari kesakralan dapat
ditundukan dengan metode antropologis-humanis yang
komprehensif agar bisa dikaji dalam konteks dualisme (imajinasi-
rasionalitas, verbalis-tertulis, dan juga psikologis-sosiologis)
secara sama dan sederajat.49
47 Arkoun beranggapan bahwa dengan menekuni hermeneutika dan linguistik
kontemporer ia dapat merombak banyak konsep sakralitas teks dan kewibawaannya yang dibebankan kepada kita karena label hukum teologis yang membungkusnya selama berabad-abad. Lihat: Moh}ammed Arkoun, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mauruts Ila> Tahlil al-Khitab al-Din, (Beirut: Dar as-Saqi, 1992), h. 62.
48Mukhtar al-Fajjari, Naqd, h. 164. 49Moh}ammed Arkoun, al-Fikr al Islami Naqd wa Ijtihad, (Beirut: Dar as-Saqi, 1992),
h. 140, lihat juga Moh}ammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions Uncommon Answers, translate Robert D. Lee (Colorado: Westview Press Inc, 1994), h. 35.
-
~ 43 ~
Arkoun yang dikenal melakukan pembacaan antropologis
atas teks al-Qur’an menolak faktualitas sejarah dalam kisah-kisah
al-Qur’an. Menurutnya, kisah simbolik digagas oleh al-Qur’an
untuk menjustifikasi aturan-aturan syariah yang hendak
dipaksakan kepada umat manusia. Arkoun menyatakan bahwa
kisah-kisah dalam al-Qur’an melalui tokoh-tokoh simbolik dan
peristiwa-peristiwa besar telah membentuk adu argumentasi
untuk memantapkan sistem hukum yang ingin ditetapkan kepada
perilaku manusia. Kisah-kisah dalam al-Qur’an disampaikan
dalam konteks-konteks yang bertautan dan tidak bernilai apapun
dalam hidup jika tidak dikaitkan dengan alam baka. Visi yang
diutarakan Arkoun adalah menjadikan dimensi simbolik sebagai
fondasi agama di bidang aqidah dan syariah, karena aroma
kegaiban itulah yang dapat meneguhkan kehadiran Tuhan di
dalam kehidupan manusia.
Lebih jauh Arkoun mengungkapkan bahwa visinya tentang
dimensi simbol ini akan merubah pemahaman Islam menjadi suatu
bangunan konsep-konsep imajiner semata, dan selanjutnya
bertugas merampas kesadaran manusia yang rasional, dan
menggantinya dengan kesadaran mitologis-simbolistik.
Arkoun menulis,”Sebenarnya kisah dalam al-Qur’an, hadis\
Nabi, dan sirah selalu diketengahkan sebagai bentuk argumentasi
rasional, padahal semua cerita itu sangat berutang kepada
imajinasi sosial yang mengkristalkan mitologi yang khas dalam
setiap kelompok, dan berperan dalam penguatan imajinasi itu.
-
~ 44 ~
Sehingga jadilah al-Qur’an sebagai referensi utama yang
menikmati efek yang canggih dalam tingkat imajinasi sosial,
namun tak bernilai apapun dalam level pengetahuan sejarah.50
4.4 Abdullah Saeed (1964 - )51
Abdullah Saeed mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an
dalam 3 kelompok yakni,
a. Ayat-ayat teologis (Alam Gaib)
Dalam pandangan Saeed, ayat-ayat yang masuk dalam
kategori ini dibagi menjadi dua bagian, ayat-ayat tentang Tuhan
dan ciptaan-Nya, semisal sifat dan perbuatan-Nya, arsy, surga,
neraka, malaikat dan al-lauh al-Mahfuz}. Semua teks yang
bersangkutan dengan tema-tema di atas berada di luar pemikiran
dan pemahaman manusia.52
Untuk memahami ayat-ayat seperti ini, Abdullah Saeed
mengajukan tiga langkah, pertama, membuat pengertian dari kode
linguistik yang digunakan untuk menggambarkan bahan tersebut.
50Fahmi Salim, Kritik, h. 386.
51 Abdullah Saeed adalah seorang Profesor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne, Australia bagian barat. Ia lahir pada tanggal 25 Desember tahun 1964 di Maldives, keturunan suku bangsa Arab Oman yang berdomisili di kepulauan Maldives yang telah menjadi negara Republik. Dalam proses belajarnya, Saeed meraih gelar kesarjanaan dari Australia dan dari luar Australia. Ia memiliki gelar BA di Arab/Studi Islam dari Arab Saudi, gelar MA dalam Linguistik Terapan dan Ph.D dalam Studi Islam dari University of Melbourne, Australia. Pada tahun 1993, ia bergabung dengan Departemen Asia Bahasa dan Antropologi di University of Melbourne dan diangkat sebagai dosen, kemudian naik ke dosen senior pada tahun 1996 dan menjadi anggota Asosiasi Profesor pada tahun 2000. Beliau diangkat Sultan Oman sebagai Profesor Studi Arab dan Islam pada tahun 2003.
52Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’a>n: Toward a Contemporary Approach, (New York: Routledge, 2006), h. 91.
-
~ 45 ~
Kedua, memperhatikan kode linguistik yang juga dipahami oleh
komunitas saat ayat itu diucapkan pada mereka, memahami
catatan kebiasaan, pemahaman, asosiasi yang terbentuk saat
‘term’ itu dipakai, bukan pada ruang hampa tetapi, pada sebuah
konteks etis, moral, pandangan dunia dan pengalaman agama.
Ketiga, seorang penafsir pun – yang paling penting menurut Saeed
– bukan hanya mengidentifikasi makna ‘taksiran’ namun juga
menyadari implikasinya terhadap masyarakat yang ditunjukan
oleh al-Qur’an.53 Pada intinya, Saeed ingin menegaskan bahwa
penafsir perlu menemukan hubungan antara teks, komunitas dan
maksud hubungan tersebut.
b. Ayat-ayat kisah
Dalam menafsirkan ayat-ayat ini, Saeed agak terpengaruh
dengan tesis Muh}ammad Ah}mad Khalafullah dalam karyanya, al-
Fann al-Qas}as}i fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, yang menyatakan bahwa
kisah-kisah dalam al-Qur’an lebih memiliki aspek psikologis dari
pada faktualitas sejarah itu sendiri. Pernyataan ini didasarkan atas
penelitiannya yang menyimpulkan, 1) bahwa ayat yang
mengandung sejarah atau kisah, tidak disertai dengan keterangan
sejarah secara detail, 2) Pengulangan satu tema kisah pada
berbagai tempat tidak secara beruntutan. Terlepas dari
problematika tesisnya Ah}mad Khalafullah, Saeed menegaskan
bahwa ayat-ayat seperti ini berjumlah banyak dalam al-Qur’an,
53Abdullah Saeed, Interpreting, h. 93.
-
~ 46 ~
yang tiada lain menunjukan pada peristiwa sejarah manusia yang
bisa diperiksa ulang dari sumber dan tradisi lainnya.54
Dalam literatur tafsir, peristiwa-peristiwa historis sering
ditafsirkan dengan berdasar pada laporan-laporan historis.
Laporan-laporan sejarah itu bisa ditemukan dalam al-Qur’an
sendiri, dalam hal ini para mufassir menghubungkan makna ayat
dengan ayat lain, hadis\-hadis\ Nabi. Di samping kedua sumber
tersebut, Saeed menyatakan bahwa ada dokumen lain, yakni
peninggalan-peninggalan (artefak), dan bukti-bukti arkeologis dan
antropologis yang dapat digunakan. Bahkan, Saeed menyatakan
bahwa Bible pun dapat dijadikan rujukan dalam mencari informasi
tentang Nabi-nabi yang terdapat dalam teks Bible terkait
umatnya, tempat, dan peristiwa.55
Pada penafsiran ayat-ayat historis ini, Saeed menyadari
bahwa ada kalangan mufassir cenderung enggan menguji
kebenaran historis tersebut dengan sumber-sumber di luar al-
Qur’an dan hadis\ Nabi. Keengganan ini berangkat dari persepsi
bahwa jika al-Qur’an diuji dengan sumber-sumber itu, di luar
disiplin syari’ah, maka secara tidak langsung akan mereduksi
54Abdullah Saeed, Interpreting, h. 94. 55 Abdullah Saeed, Interpreting, h. 94. Secara detail Saeed menulis, “Muslim
theologians have viewed the task of understanding these historical details in various ways. Some suggest that the Bible is a useful tool to understanding the historical elements of the Qur’an, as it provides additional information on the prophets that are part of both Judaeo-Christian and Muslim tradition. However, particularly in the later centuries of Islam, several Muslim scholars of the Qur’an argued against using the Bible for additional insight, as they believed that this would put the Bible on an equal footing with the Qur’an, which they are thought was unacceptable.” Lihat Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction, (New York: Routledge, 2008), h. 76.
-
~ 47 ~
sakralitas al-Qur’an, kecuali mereka menggunakan sumber-
sumber yang berdasarkan tradisi Islam.56
Teks-teks yang berorientasi sejarah dalam al-Qur’an terbagi
dalam beberapa karakteristik yang umum. Pertama, ayat-ayat
tersebut sering kurang detail –dari aspek sejarah- seperti nama,
waktu, dan tempat. Al-Qur’an tidak pernah memberikan data yang
spesifik terkait suatu kejadian. Saeed mengungkapkan bahwa
ayat-ayat seperti ini diutamakan untuk mencari pesan moral dan
tujuan-tujuan keagamaan yang ingin disampaikan al-Qur’an
tentang umat-umat terdahulu.57 Lebih lanjut, Saeed menegaskan
bahwa sejarah yang dikandung dalam ayat-ayat al-Qur’an itu perlu
dipelajari untuk menghadirkan pesan moral di dalamnya. Sebagai
contoh, al-Qur’an tidak pernah mengungkapkan di mana nabi
Adam hidup, atau tahun berapa nabi Musa meninggalkan Mesir,
atau kapan Fir’aun meninggal. Namun yang disampaikan adalah
bagaimana nabi Musa memproklamirkan atau menyampaikan
pesan-pesan keimanan kepada Fir’aun, atau bagaimana reaksi
Fir’aun atas ajakan nabi Musa, dan apa yang diperbuat oleh
Fir’aun terhadap pengikut-pengikut Musa.58
Namun Saeed menegaskan juga bahwa minimnya informasi
terkait sejarah dalam kisah-kisah al-Qur’an bukanlah suatu
masalah yang berarti. Hal ini karena Saeed meyakini bahwa al-
56Abdullah Saeed, Interpreting, h. 94. 57Abdullah Saeed, Interpreting, h. 95. Lihat juga Abdullah Saeed, The Qur’an, h. 76. 58Abdullah Saeed, Interpreting, h. 95.
-
~ 48 ~
Qur’an sendiri tidaklah ditujukan untuk catatan sejarah. Pesan
moral dari kisah adalah hal yang paling penting untuk diambil
pelajaran darinya. Saeed mengambil contoh kisah Nabi Nuh yang
terdapat sebanyak 13 kali disebutkan dalam al-Qur’an. Setiap
bagian dari kisah tersebut memiliki pesan moral atau ajaran
sendiri. Terlebih lagi retorika al-Qur’an yang dapat menarasikan
kisah ini dengan baik.59
Tanggung jawab mufassir dalam menemukan sebuah makna
tersembunyi dibalik suatu ayat, terlebih lagi bagaimana mencari
relevansi ayat tersebut dalam konteks kekinian. Maka, mufassir
dalam konteks ini harus mampu menjadi perantara bagi pembaca
kontemporer dengan menghubungkan masa lalu dan masa
sekarang.60
c. Ayat-ayat perumpaan (mas\al)
Orang-orang Arab sebelum masa Islam telah mengenal
perumpamaan mas\al dalam dunia sastra mereka. Al-Qur’an
menggunakan frase, gambaran, dan teks untuk menuangkan
konsep dan ide/gagasan-gagasannya. Hal ini merupakan suatu
yang lumrah dalam dunia bahasa, yakni untuk menjadikan makna
teks sampai pada yang dituju. Pada wilayah teks al-Qur’an,
59Abdullah Saeed, The Qur’an, h. 76-77. 60 Abdullah Saeed, Interpreting, h. 96. Pada terminologi inilah Saeed ingin
menyampaikan bahwa kontekstualisasi penafsiran sangat dibutuhkan. Saeed memang ingin mengajak pembacanya untuk membaca al-Qur’an secara kontekstual bukan tekstual.
-
~ 49 ~
beragam bentuk pun bisa ditemukan, salah satunya adalah mas\al. 61
Abdullah Saeed kemudian mengikuti klasifikasi yang
diungkapkan oleh al-Qat}t}a>n terkait beragam bentuk mas\al.
Pertama, yang disebut dengan al-ams\a>l al-musarrah}ah yaitu
pernyataan mas\al secara tegas dengan adanya lafaz mas\al pada
susunan kalimat tersebut, seperti pada surah al-Baqarah [2]: 17.