studi tentang perilaku skrining kanker serviks...
TRANSCRIPT
STUDI TENTANG PERILAKU SKRINING KANKER
SERVIKS PADA WANITA DI TANGERANG SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh :
GANISSUFI KAUTSAR
NIM : 1111070000101
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan seluruh alam
(Al-An’am, 162)
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri
(Ar-Ra’d, 11)
Allah berfirman : Aku akan mengikuti prasangka hamba-Ku dan Aku akan
senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku
(Hadis Qudsi)
Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat
(Al-Baqarah, 45)
Karya tulis ini penulis dedikasikan kepada kedua orang tua, adik,
saudara-saudara, dosen-dosen, para sahabat, serta seluruh wanita
di tanah air
vi
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi
B) Januari 2016
C) Ganissufi Kautsar
D) Studi tentang Perilaku Skrining Kanker Serviks pada Wanita di Tangerang
Selatan
E) xiv + 92 halaman + 25 lampiran
F) Kanker serviks adalah kanker paling umum terjadi di Indonesia. Kanker ini
dapat dicegah dengan skrining serviks rutin tes pap smear atau IVA. Tujuan
penelitian ini adalah untuk meneliti perilaku skrining kanker serviks yang
dipengaruhi oleh variabel Health Belief Model, yang terdiri dari dimensi
perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived
barriers, cues to action, self-efficacy, dan pengaruh faktor demografis yang
terdiri dari usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan pada wanita di
Tangerang Selatan. Sampel berjumlah 227 orang wanita, usia 21-70 tahun
yang sudah menikah dan berdomisili di Tangerang Selatan. Teknik
pengambilan sampel menggunakan convenience non probability sampling
technique. Uji validitas alat ukur menggunakan teknik Confirmatory Factor
Analysis (CFA). Analisis data menggunakan teknik analisis regresi logistik
binary.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh independent variable
berpengaruh secara signifikan dan memberikan kontribusi sebesar 55.6%
terhadap dependent variable. Dari sembilan independent variable, terdapat
lima independent variable yang berpengaruh secara signifikan terhadap
perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan, yaitu
perceived barriers, cues to action, usia, tingkat pendidikan dan tingkat
pendapatan. Hasil ini menunjukkan bahwa health belief yang menjadi
penggerak utama perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang
Selatan adalah perceived barriers dan cues to action. Peneliti menyarankan
untuk penelitian selanjutnya dilakukan pengkajian lebih dalam pada variabel
perceived barriers dan cues to action.
G) Bahan bacaan: 45; buku: 12 + jurnal: 23 + artikel online: 8 + disertasi: 1
vii
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology
B) January 2016
C) Ganissufi Kautsar
D) The Study of Cervical Cancer Screening Behavior in South Tangerang
Women
E) xiv + 92 page + 25 appendix
F) Cervical cancer is the most common cancer in Indonesia. It can be prevented
with routine screening by pap smear or IVA test. The aims of this study is to
examine the cervical cancer screening behavior in South Tangerang women
with predictor Health Belief Model, including perceived susceptibility,
perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-
efficacy, and demography factors, including age, education level and income
level. Participants were involved approximately 227 married women, age
between 21-70 years old and have been living in South Tangerang. Samples
had been taken with convenience non probability sampling technique. The
instruments was examined by Confirmatory Factor Analysis (CFA). The
method is binary logistic regression.
The result shows that perceived barriers, cues to action, age, education level
and income level has significant effect toward cervical cancer screening
behavior in South Tangerang women. This result indicates that the prime
activator of health belief toward cervical cancer screening behavior in South
Tangerang women is perceived barriers and cues to action. Deeper study on
the variables perceived barriers and cues to action is recommended for the
next same research.
G) Reading: 45; books: 12 + journal: 23 + online article: 8 + dissertation: 1
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah, serta inayah
kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun masih
jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam senantiasa peneliti sanjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat.
Skripsi ini terwujud tak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam
bentuk pikiran, tenaga, maupun waktu. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, peneliti menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2014-2019, beserta jajarannya.
2. Ibu Luh Putu Suta Haryanthi, M.Psi.T., Psikolog selaku dosen pembimbing
skripsi, terima kasih atas segala bimbingan, masukan, kritikan, dan nasihat
selama peneliti menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Liani Luzvinda, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik Kelas C 2011,
terima kasih atas segala bimbingan dan arahan selama perkuliahan.
4. Ibu dr.Ratna Mardiati, Sp.Kj, Ibu Puti Febrayosi, M.Si, dan Ibu Nia
Tresniasari, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, masukan, nasihat dan
inspirasi bagi peneliti.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu dan pembelajaran kepada peneliti. Para staf Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam
proses administrasi selama ini.
ix
6. Kedua orang tua tercinta, Ayah dan Mama, terima kasih atas doa, kasih sayang,
dukungan, nasihat, serta perhatian kepada peneliti.
7. Mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2011 khususnya kelas C yang telah
menemani peneliti selama empat tahun menuntut ilmu di Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas cinta, kasih sayang,
persahabatan, dukungan, bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada
peneliti.
8. Kak Ani, Kak Bobby, Daus, Dana, Ningrum, Rijkaard, Raden, Sri, Kak Rere,
Lilih, Bunda Zakiatin Nisa, dan LDK Syahid 18, terima kasih atas bantuan,
semangat, dukungan dan sharing ilmunya kepada peneliti di saat peneliti
mengalami kesulitan.
9. Dinas kesehatan, puskesmas dan Ibu kader se-Tangerang Selatan, terima kasih
atas bantuan, dukungan, dan kemudahan yang diberikan kepada peneliti saat
penelitian di lapangan, juga para Ibu yang bersedia menjadi responden, terima
kasih atas kesediaannya membantu peneliti.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat peneliti tuliskan satu per satu. Semoga segala
niat baik dan perbuatan baiknya dibalas oleh Allah dengan sebaik-baiknya
balasan.
Terakhir, peneliti berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Oleh karena karya ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, peneliti
senantiasa menanti feedback dan saran yang membangun guna bahan
penyempurnaan.
Jakarta, 11 Januari 2016
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN ORISINALITAS ......................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 9
1.2.1 Pembatasan Masalah ............................................................... 9
1.2.2 Perumusan Masalah ................................................................ 9
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 11
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 11
1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................... 11
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................ 11
BAB 2 LANDASAN TEORI ........................................................................... 13
2.1 Perilaku Skrining Kanker Serviks .................................................... 13
2.1.1 Definisi Perilaku Skrining Kanker Serviks ............................. 13
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Skrining ............ 14
2.1.3 Pengukuran Perilaku Skrining Kanker Serviks ....................... 16
2.2 Health Belief Model ......................................................................... 18
2.2.1 Definisi Health Belief Model ................................................... 18
2.2.2 Komponen Health Belief Model............................................... 21
2.2.3 Pengukuran Health Belief Model ............................................ 24
2.3 Variabel Demografis ........................................................................ 27
2.3.1 Usia ......................................................................................... 27
2.3.2 Tingkat pendidikan .................................................................. 27
2.3.3 Tingkat pendapatan ................................................................. 28
2.4 Kerangka Berpikir ............................................................................ 29
2.5 Hipotesis Penelitian .......................................................................... 33
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................... 34
3.1 Populasi dan Sampel ......................................................................... 34
3.2 Teknik Pengambilan Sampel............................................................. 35
xi
3.3 Variabel Penelitian ........................................................................... 35
3.4 Definisi Operasional Variabel .......................................................... 36
3.5 Instrumen Pengumpulan Data ........................................................... 37
3.6 Uji Validitas Konstruk ..................................................................... 39
3.6.1 Uji Validitas Konstruk Skala Health Belief Model ................. 41
3.7 Metode Analisis Data ....................................................................... 49
3.8 Prosedur Penelitian ........................................................................... 52
BAB 4 HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54
4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ............................................................. 54
4.2 Hasil Analisis Deskripsi ................................................................... 56
4.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian .......................................................... 58
4.3.1 Proporsi Varians Masing-Masing Variabel Independen .......... 70
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ........................................ 74
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 74
5.2 Diskusi ............................................................................................. 74
5.3 Saran ................................................................................................. 86
5.3.1 Saran Metodologis .................................................................. 86
5.3.2 Saran Praktis ........................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 89
LAMPIRAN ...................................................................................................... 93
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Perilaku Skrining Kanker Serviks .................................... 38
Tabel 3.2 Blue Print Item Health Belief Model ................................................. 39
Tabel 3.3 Muatan Faktor Item Perceived Susceptibility .................................... 42
Tabel 3.4 - 3.5 Muatan Faktor Item Perceived Severity ..................................... 43
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Perceived Benefits .............................................. 45
Tabel 3.7 - 3.8 Muatan Faktor Item Perceived Barriers ..................................... 46
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Cues to Action .................................................... 47
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Self-Efficacy ..................................................... 48
Tabel 4.1 Gambaran Perilaku Subjek Penelitian ................................................ 54
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Data Demografis ............ 55
Tabel 4.3 Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Skor Variabel Penelitian .......... 57
Tabel 4.4 Norma Skor Variabel ......................................................................... 57
Tabel 4.5 Hosmer and Lemeshow Test ............................................................... 58
Tabel 4.6 R Square .............................................................................................. 59
Tabel 4.7 Koefisien Regresi Logistik.................................................................. 60
Tabel 4.8 Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen ..................... 71
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pengaruh Health Belief Model dan faktor demografis terhadap
perilaku skrining kanker serviks ................................................................ 32
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran Kuesioner Penelitian ................................................................... 93
2. Lampiran Hasil Lisrel ................................................................................. 99
3. Lampiran Output SPSS Analisis Regresi Logistik ..................................... 109
4. Lampiran Surat Izin Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ................. 117
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab satu ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Kanker serviks merupakan kanker ketiga yang paling sering didiagnosis dan
penyebab keempat kematian kanker pada perempuan di seluruh dunia. Terhitung
sekitar sembilan persen atau 529.800 dari total kasus kanker baru dan delapan
persen atau 275.100 dari jumlah kematian akibat kanker di kalangan perempuan
pada tahun 2008 (Jemal, Bray, Center, Ferlay, Ward & Forman, 2011). Pada tahun
2012, diperkirakan lebih dari 270.000 kematian akibat kanker serviks dan lebih
dari 85% kematian ini terjadi di negara miskin dan berkembang (WHO, 2014).
Kanker serviks adalah kanker paling umum terjadi pada wanita di
Indonesia, seperti di kebanyakan negara berkembang (Tjindarbumi &
Mangunkusumo, 2002; Parkin et al., 2005 dalam Vet et al., 2008). Berdasarkan
data dari rumah sakit, kanker serviks menyumbang sekitar 28,6% dari kanker
perempuan di Indonesia (Tjindarbumi & Mangunkusumo dalam Vet et al., 2008).
Penyebab utama kanker serviks adalah karena infeksi Human papilloma virus atau
HPV (MDGs and NCDs, dalam American Cancer Society, 2010). Hasil penelitian
di tiga kota di Indonesia yaitu di Jakarta, Tasikmalaya, dan Denpasar pada 2.686
2
wanita, usia 15-70 tahun, menunjukkan bahwa prevalensi HPV adalah sekitar
11,4% (Vet et al., 2008).
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ditargetkan setiap
lima tahun, minimal 80% perempuan usia 30-50 tahun sudah melakukan skrining
kanker serviks (Mufti, 2014). Moeloek (2014) yang merupakan ketua Yayasan
Kanker Indonesia (YKI) menjelaskan bahwa tingginya angka kasus kanker
serviks di Indonesia diperkirakan karena tidak cepat terdeteksi. Pada stadium
awal, kanker ini tidak menimbulkan gejala atau keluhan sama sekali. Kanker
serviks disebabkan oleh Human papilloma virus (HPV) yang menyerang leher
rahim dan membutuhkan proses yang panjang antara 3-20 tahun untuk menjadi
sebuah kanker. Penyebaran virus ini terjadi melalui hubungan seksual. Sehingga
bila seseorang sudah pernah melakukan hubungan intim, ditekankan untuk rutin
melakukan skrining IVA atau tes pap smear (Herman, 2014). Direktur Layanan
Kesehatan dari Yayasan Kusuma Buana dr. Adi Sasongko (2014) menyatakan
kendala wanita takut melakukan pap smear yaitu sulitnya memotivasi masyarakat
karena faktor psikologis. Jika wanita melakukan pap smear, mereka berpikir akan
terkena kanker serviks di saat itu juga, padahal persepsi ini salah besar (Kania,
2014).
Perhatian utama psikolog kesehatan adalah memprediksi dan memahami
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat (Sheeran & Orbell,
2000). Kanker serviks adalah penyakit yang dapat dicegah, karena pra-deteksi
dengan waktu yang panjang, tahap pra-invasif dapat diobati dengan deteksi
skrining serviks rutin (Reis, Bebis, Kose, Sis, Engin, & Yavan, 2012). Deteksi
3
dini dan pengobatan kanker serviks melalui program skrining secara signifikan
mengurangi morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini (WHO 2005; Mosavel et
al., 2009 dalam Reis et al., 2012).
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan di Indonesia
sebagai Badan Pelaksana merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia
sejak tanggal satu Januari 2014. Tujuan diberlakukannya program Jaminan
Kesehatan Nasional dalam skrining kesehatan adalah untuk mendeteksi faktor
risiko penyakit kronis dan mendeteksi penyakit kanker leher rahim dan kanker
payudara. Sasaran deteksi kanker adalah pada wanita peserta BPJS Kesehatan,
meliputi semua wanita yang pernah menikah dan wanita berisiko, yang berusia 30
tahun ke atas. Deteksi kanker leher rahim dilakukan melalui pemeriksaan Inspeksi
Visual Asetat (IVA) dan pap smear (BPJS Kesehatan, 2014). Dalam tingkatan
pelayanan kesehatan, sejak dari pelayanan primer, dilakukan kegiatan promosi
hidup sehat untuk menghindari kanker dan deteksi dini. Bentuk pelayanan di
pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer) atau di puskesmas adalah
melakukan edukasi atau penyuluhan terkait penyakit kanker dan melakukan
pemeriksaan fisik umum maupun pemeriksaan fisik khusus yang ditujukan untuk
deteksi dini kanker. Bentuk pemeriksaan berupa tes Inspeksi Visual Asetat (IVA)
atau pemeriksaan pap smear pada perempuan usia 20-74 tahun yang telah
menikah atau berhubungan seksual, dapat dilakukan oleh dokter atau bidan
terlatih (Kementerian Kesehatan, 2015).
4
Informasi yang diperoleh peneliti dari bagian Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, diketahui bahwa di Tangerang
Selatan telah terdapat pelayanan skrining kanker serviks sejak tahun 2010 untuk
11 puskesmas. Bentuk pelayanan ini menggunakan tes IVA dan gratis bagi warga
yang memiliki KTP Tangerang Selatan maupun bukan warga Tangerang Selatan,
tetapi menggunakan BPJS. Tanggal 21 April 2015, Kementerian Kesehatan RI
menyelenggarakan roadshow pemeriksaan tes IVA secara nasional untuk
memperingati hari Kartini. Peringatan pusatnya di Jawa dan untuk provinsi
Banten dilakukan di Serang dan Tangerang Selatan. Selain itu, peneliti juga
mendapatkan informasi dari koordinator kader se-Tangerang Selatan bahwa
Tangerang Selatan mendapat penghargaan administrasi posyandu terbaik tingkat
nasional dari Kementerian Kesehatan.
Jumlah puskesmas di Tangerang Selatan pada tahun 2015 bertambah
sehingga totalnya menjadi 25 puskesmas. Puskesmas yang baru ini belum
mendapat training dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan untuk program
pelayanan skrining kanker serviks. Selain itu, didapatkan informasi dari Dinas
Kesehatan Tangerang Selatan bahwa program skrining kanker serviks yang
dilaksanakan di 11 puskesmas masih memiliki kekurangan. Dari 11 puskesmas
yang telah ditunjuk untuk melakukan pelayanan skrining kanker serviks, hanya
dua puskesmas yang masih teratur melaporkan pelaksanaan program skrining
kanker serviks kepada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Akibatnya, data yang
tersedia di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan mengenai pelaksanaan program
skrining kanker serviks tidak tercatat dengan baik dan lengkap. Dinas Kesehatan
5
Tangerang Selatan menyatakan bahwa program skrining kanker serviks masih
dalam pembenahan.
Peneliti melakukan preliminary study pada 15 orang wanita, yang berusia
37-67 tahun, melalui wawancara mengenai fenomena skrining kanker serviks
dengan tes pap smear atau tes IVA gratis dari BPJS. Peneliti melakukan
wawancara kepada wanita dengan kriteria pernah melakukan pap smear untuk
melihat faktor-faktor psikologis apa saja yang mendorong mereka melakukan tes
pap smear. Hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti didapatkan bahwa
sekitar 86,7% (13 orang) responden telah melakukan tes pap smear melalui BPJS,
33,34% (5 orang) dari 86,7% responden menyatakan akan berpikir dua kali dan
merasa berat untuk melakukan tes pap smear jika harus membayar dengan uang
sendiri. Frekuensi responden telah melakukan pap smear sebagian besar sebanyak
dua kali, dan empat orang responden pernah melakukan skrining dengan tes IVA
dan pap smear. Delapan puluh persen (12 orang) responden menerima informasi
mengenai tes pap smear dan IVA dari ibu kader setempat, sedangkan sisanya (tiga
orang) berasal dari media elektronik dan media massa.
Dua orang responden berasal dari keluarga dengan riwayat kanker usus
dan kanker rahim, sedangkan responden lainnya tidak ada riwayat kanker. Alasan
dasar responden melakukan skrining kanker serviks adalah karena takut terkena
penyakit kanker serviks dan terkena dampak yang lebih buruk di masa mendatang.
Selain itu, responden menyatakan pendapatnya mengenai wanita yang belum
melakukan skrining (yaitu berdasarkan kejadian di sekitar lingkungan rumah,
tetangga dan teman responden) bahwa para wanita yang enggan untuk skrining
6
disebabkan karena merasa malu dengan proses skrining, merasa risih, takut sakit
karena alat tes yang dimasukkan ke vagina, dan bilamana diperiksa takut
penyakitnya terdeteksi.
Memahami keyakinan masyarakat tentang faktor-faktor yang mengontrol
kesehatan mereka, penting pula untuk memahami perilaku orang yang
berhubungan dengan kesehatan (Bundek, Marks, & Richardson, 1993). Salah satu
faktor penting yang memengaruhi aplikasi untuk diagnosis dini kanker serviks
adalah keyakinan pada kesehatan (health belief). Penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa keyakinan sosial dan nilai-nilai berkontribusi terhadap
tingkat partisipasi perempuan dalam skrining untuk kanker payudara dan leher
rahim dan keyakinan ini juga dapat menciptakan hambatan untuk perilaku tes pap
smear dan skrining (Matin & LeBaron, 2004; Paskett et al., 2004; Donnelly, 2006;
Wong et al., 2008 dalam Reis et al., 2012). Health Belief Model (HBM) telah
digunakan dalam sejumlah besar studi perilaku protektif kesehatan yang pada
mulanya dikembangkan oleh Rosenstock (dalam Murray & McMillan, 1993).
Champion dan Skinner (dalam Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008) menyatakan
bahwa HBM terdiri dari enam komponen yaitu perceived susceptibility
(keyakinan terhadap kerentanan terjangkit suatu penyakit), perceived severity
(keyakinan terhadap seberapa serius kondisi penyakit yang dialami), perceived
benefits (keyakinan terhadap seberapa manfaat tindakan yang disarankan),
perceived barriers (keyakinan terhadap hambatan-hambatan saat individu
bertindak sesuai yang dianjurkan), cues to action (strategi-strategi yang dilakukan
7
guna mengaktifkan kesiapan berperilaku) dan self-efficacy (keyakinan individu
atas kemampuan yang dimiliki untuk melakukan tindakan yang disarankan).
Dalam penelitian Abotchie dan Shokar (2009) mengenai perilaku skrining
kanker serviks, didapatkan hasil bahwa lebih dari 68% wanita merasa rentan
(perceived susceptibility) terhadap kanker serviks, dan sekitar tiga perempat dari
responden (73%) percaya bahwa kanker serviks adalah penyakit serius (perceived
severity) yang akan membuat hidup wanita sulit. Wanita juga lebih mungkin
untuk terlibat dalam perilaku kesehatan jika biaya dan hambatan (perceived
barriers) untuk perilaku sehat masuk akal (Abotchie & Shokar, 2009). Penelitian
juga telah mendukung untuk peran cues to action dalam memprediksi perilaku
kesehatan, pada isyarat eksternal tertentu seperti penerimaan informasi. Informasi
dalam bentuk peringatan dapat membangkitkan dan mengubah sikap serta
perilaku kesehatan (Ogden, 2007). Penentu penting lain dari praktik perilaku
kesehatan adalah self-efficacy, yaitu keyakinan bahwa seseorang mampu
mengendalikan perilaku tertentu (Bandura, 1991; D.A. Murphy et al., 2001 dalam
Taylor, 2006). Umumnya, penelitian menemukan hubungan yang kuat antara
persepsi self-efficacy baik pada perubahan perilaku kesehatan maupun
pemeliharaan jangka panjang pada perubahan perilaku (Taylor, 2006).
Hasil penelitian Esin, Bulduk, dan Ardic (2011) didapatkan bahwa HBM
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap perilaku skrining kanker serviks.
Berkaitan dengan keyakinan akan kerentanan (perceived susceptibility), wanita
melaporkan bahwa mereka tidak beresiko terkena kanker serviks. Untuk
keyakinan akan keseriusan penyakit (perceived severity), wanita tidak
8
menganggap kanker serviks seserius jenis kanker lain. Untuk keyakinan akan
manfaat dari skrining (perceived benefits), 10,6% dari wanita percaya bahwa tes
pap smear dapat mendeteksi perubahan serviks sebelum mereka berubah menjadi
kanker. Untuk keyakinan akan hambatan, 69,3% mengatakan bahwa hanya wanita
yang telah melahirkan yang membutuhkan tes pap smear. Hal ini terjadi karena
wanita yang percaya bahwa tes pap smear menyakitkan, empat kali lebih mungkin
untuk menghindari tes. Rasa sakit dan ketidaknyamanan dianggap sebagai
hambatan untuk skrining di kalangan wanita tanpa gejala kanker serviks. Dalam
studi Esin et al. (2011) ini, para wanita yang tidak tahu di mana mereka akan
melakukan tes pap smear, empat kali lebih mungkin untuk tidak melakukan tes
pap smear. Hal ini sejalan dengan penelitian Byrd et al. (2004) dalam Esin et al.
(2011) yang melakukan penelitian pada wanita Meksiko juga menemukan
keyakinan pada wanita bahwa tes pap smear adalah mahal dan kurangnya
pengetahuan tentang di mana tes pap smear dapat dilakukan merupakan hambatan
untuk melakukan tes pap smear.
Faktor lain yang memengaruhi aplikasi untuk skrining kanker serviks
adalah faktor demografis yang berupa faktor usia, tingkat pendidikan dan tingkat
pendapatan. Meskipun tes pap smear telah direkomendasikan dan sudah mapan
selama bertahun-tahun, tetapi tidak semua wanita melakukan skrining pada
interval yang tepat (Paskett, McLaughlin, Reiter, Lehman, Rhoda, Katz, Hade,
Post, & Ruffin, 2010). Studi terakhir oleh Akers et al. (dalam Paskett et al., 2010)
menyatakan bahwa kelompok-kelompok perempuan tertentu yang memiliki
pendapatan buruk, berpendidikan rendah, usia lanjut, minoritas, terisolasi secara
9
geografis kecil kemungkinannya untuk melakukan pap smear sesuai panduan
yang direkomendasikan.
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat dua penelitian
terdahulu yang memiliki hasil berbeda dalam Health Belief Model terhadap
perilaku skrining kanker serviks. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai perilaku skrining kanker serviks dengan menggunakan Health Belief
Model dan faktor demografis untuk meneliti faktor-faktor yang memprediksi
partisipasi wanita dalam skrining kanker serviks dan menguji kembali teori HBM
dan faktor demografis terhadap perilaku skrining kanker serviks pada wanita di
Tangerang Selatan.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah yang berkaitan dengan perilaku skrining
kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan, dan faktor-faktor yang
memengaruhinya yaitu Health Belief Model (perceived susceptibility, perceived
severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-efficacy) dan
faktor demografis (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan).
1.2.2 Perumusan Masalah
Peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan Health Belief Model dan faktor
demografis terhadap perilaku skrining kanker serviks?
10
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived susceptibility terhadap
perilaku skrining kanker serviks?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived severity terhadap perilaku
skrining kanker serviks?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived benefits terhadap perilaku
skrining kanker serviks?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan perceived barriers terhadap perilaku
skrining kanker serviks?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan cues to action terhadap perilaku
skrining kanker serviks?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap perilaku skrining
kanker serviks?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan usia terhadap perilaku skrining kanker
serviks?
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan tingkat pendidikan terhadap perilaku
skrining kanker serviks?
10. Apakah ada pengaruh yang signifikan tingkat pendapatan terhadap perilaku
skrining kanker serviks?
11. Prediktor mana yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku skrining
kanker serviks?
11
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh variabel Health Belief Model
(perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived
barriers, cues to action, self-efficacy) dan faktor demografis (usia, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan) terhadap perilaku skrining kanker serviks pada
wanita di Tangerang Selatan, serta mengetahui seberapa besar kontribusi yang
diberikan oleh masing-masing variabel terhadap perilaku skrining kanker serviks
pada wanita di Tangerang Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik teoritis maupun praktis yaitu
sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khazanah kajian
psikologi, terutama berkaitan dengan psikologi kesehatan.
2. Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya, yang
ingin mengembangkan penelitian dengan tema yang sama.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Sebagai masukan bagi pemerintah dan instansi kesehatan di Indonesia dalam
upaya promosi kesehatan reproduksi.
2. Sebagai masukan bagi para praktisi kesehatan dalam mengatasi hambatan pada
wanita untuk melakukan skrining kanker serviks.
12
3. Sebagai masukan bagi para wanita agar dapat lebih memahami bahaya dari
kanker serviks dan manfaat dari perilaku pencegahan dengan skrining.
4. Sebagai bahan dan sumber pengetahuan baru bagi semua kalangan.
13
BAB 2
LANDASAN TEORI
Pada bab dua ini dijelaskan definisi perilaku skrining kanker serviks, teori Health
Belief Model, variabel demografis, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
2.1 Perilaku Skrining Kanker Serviks
2.1.1 Definisi Perilaku Skrining Kanker Serviks
Skrining dalam Kamus Epidemiologi (Porta, Greenland, Hernán, Silva, & Last,
2014) diartikan sebagai identifikasi dugaan penyakit yang belum diketahui dengan
aplikasi tes, pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat diterapkan dengan cepat.
Tes skrining memilah orang-orang yang mungkin memiliki penyakit dari orang-
orang yang mungkin tidak memiliki penyakit.
Menurut Matti Hakama dalam Miller (1996), skrining kanker meliputi
identifikasi penyakit praklinis dengan tes yang relatif sederhana yang bertujuan
untuk mengurangi risiko kematian. Tes skrining kanker serviks ditujukan untuk
deteksi luka prainvasif sehingga dapat dilihat penurunan kejadian penyakit invasif
karena skrining kanker serviks, dan dapat dilihat indikator untuk efek perubahan
dari kejadian sebelum dan sesudah penerapan tes skrining atau perbedaan antara
mereka yang mengalami skrining dan mereka yang tidak mengalami skrining.
Menurut Marks, Murray, Evans, dan Willig (2000) skrining adalah salah
satu bentuk pencegahan sekunder melalui deteksi dini penyakit. Skrining ini
merupakan prosedur dimana bagian dari populasi yang paling berisiko memiliki
14
penyakit tertentu diperiksa untuk melihat apakah mereka memiliki indikasi awal
suatu penyakit. Alasan di balik strategi ini adalah semakin awal suatu penyakit
diidentifikasi dan diobati, semakin kecil kemungkinan penyakit itu untuk
berkembang menjadi bentuk yang lebih buruk.
Ogden (2007) menyatakan skrining adalah pencegahan sekunder yang
telah dikembangkan sepanjang abad XX sebagai sarana penting untuk mendeteksi
penyakit pada tahap asimtomatik (tanpa gejala) yang bertujuan untuk menemukan
risiko penyakit (skrining primer) dan mendeteksi penyakit itu sendiri (skrining
sekunder). Menurut WHO (2013), skrining kanker serviks adalah aplikasi
sistematis dari sebuah tes untuk mengidentifikasi kelainan serviks pada populasi
asimtomatik (tanpa gejala). Wanita yang ditargetkan untuk skrining berada dalam
kondisi sehat dan tidak ada gejala penyakit, akan tetapi dianjurkan untuk skrining
sebagai pencegahan terhadap kanker serviks. Sedangkan menurut Murray dan
McMillan (1993), perilaku skrining kanker serviks adalah perilaku mendatangi
tempat skrining kanker serviks untuk tes pap smear.
Perilaku skrining kanker serviks dalam penelitian ini menggunakan
definisi dari Murray dan McMillan (1993) yaitu perilaku mendatangi tempat
skrining kanker serviks untuk tes pap smear atau tes IVA.
2.1.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Skrining
Marteau (dalam Ogden, 2007) menyatakan bahwa ada tiga faktor utama yang
memengaruhi pengambilan skrining, yaitu faktor internal, faktor profesional
kesehatan dan faktor organisasi.
15
1. Faktor Internal
a) Faktor Demografi
MacLean et al. (dalam Ogden, 2007) menyatakan bahwa wanita yang
datang untuk melakukan skrining kanker payudara kemungkinan besar
berasal dari status sosial-ekonomi yang tinggi, dan Owens et al. (dalam
Ogden, 2007) menyatakan bahwa wanita yang berusia lebih tua cenderung
lebih besar untuk melakukan skrining kanker payudara dibandingkan
wanita yang lebih muda.
b) Health Belief
Health belief telah dikaitkan dengan pengambilan untuk melakukan
skrining dan telah diukur dengan menggunakan model. Bish et al. (dalam
Ogden, 2007) menggunakan Health Belief Model (HBM) dan Theory of
Planned Behaviour (TPB) untuk memprediksi pengambilan tes pap smear
serviks rutin.
c) Faktor Emosional
Faktor emosional seperti kecemasan, stres, ketakutan, ketidakpastian, dan
perasaan tidak senonoh juga telah terbukti berhubungan dengan
pengambilan untuk melakukan skrining. Simpson et al. (dalam Ogden,
2007) memperlihatkan bahwa orang yang tidak datang kembali dalam
program skrining di tempat kerja menyatakan bahwa mereka lebih takut
untuk menerima hasil dari skrining. Studi kualitatif lebih memperhatikan
peran faktor emosional dalam bentuk perasaan tidak senonoh. Analisis
Borrayo dan Jenkins (dalam Ogden, 2007) menunjukkan bahwa masalah
16
mendasar pada wanita yang melakukan skrining kanker payudara adalah
karena melanggar standar budaya.
d) Faktor Kontekstual
Smith et al. (dalam Ogden, 2007) menunjukkan bahwa pengambilan tes
tidak hanya karena persepsi risiko individu tetapi juga faktor kontekstual
seperti diskusi keluarga atau peristiwa penting yang terjadi pada seseorang
yang memicu untuk melakukan skrining.
2. Faktor Profesional Kesehatan
Marteau dan Johnston (dalam Ogden, 2007) berpendapat bahwa penting
untuk menilai keyakinan dan perilaku dari profesional kesehatan „di samping
perilaku pasien‟. Cara penyajian tes memengaruhi pengambilan untuk
melakukan skrining pada pasien.
3. Faktor Organisasi
Banyak faktor organisasi dapat memengaruhi pengambilan skrining, misalnya
penggunaan undangan (Mann et al., 1988; Smith et al. dalam Ogden 2007),
aksesibilitas ke tempat program skrining, serta edukasi dan kampanye
melalui media akan berdampak tinggi pada pengambilan skrining.
2.1.3 Pengukuran Perilaku Skrining Kanker Serviks
Perilaku skrining kanker serviks dalam penelitian ini yaitu perilaku mendatangi
tempat skrining kanker serviks untuk tes pap smear atau tes IVA (Murray &
McMillan, 1993). Dalam penelitian ini peneliti hendak mengukur perilaku
skrining kanker serviks, yaitu subjek pernah melakukan skrining kanker serviks
17
atau tidak pernah, maka peneliti membuat skala pengukuran sendiri yang
didasarkan pada konsep regresi logistik binari dengan dua kategori pilihan
jawaban „Ya‟ dan „Tidak‟. Adapun beberapa alat ukur perilaku skrining kanker
serviks lainnya antara lain :
1. Murray dan McMillan (1993) mengukur perilaku skrining kanker serviks
berdasarkan dari perilaku wanita dalam mendatangi tempat skrining untuk
melakukan tes pap smear, yaitu dengan menggunakan dua pertanyaan :
a) Apakah Anda pernah tes pap smear serviks? „sekali‟, „beberapa kali‟,
„tidak pernah‟.
b) Anda melakukan tes pap smear karena? (a) Anda yang memintanya, (b)
dokter yang menyarankannya, (c) tes ini dilakukan secara rutin pada
pemeriksaan pasca melahirkan, (d) atau karena beberapa alasan lain?"
Jawaban para wanita dari kedua pertanyaan tersebut, Murray dan McMillan
mengklasifikasikannya menjadi tiga kelompok: (1) non-attenders, (2) passive
attenders (datang untuk tes pap smear karena mengikuti saran dari orang lain
atau melakukan skrining secara rutin), (3) active attenders (wanita yang
meminta untuk melakukan tes pap smear).
2. Kuitto, Pickel, Neumann, Jahn, dan Metelmann (2010) mengukur
pengambilan skrining pada wanita dengan memberikan pertanyaan “Kapan
Anda terakhir membuat janji pertemuan dengan dokter kandungan untuk
skrining kanker serviks dengan pap smear?” Jawaban dari para wanita
kemudian diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kehadiran skrining rutin (yaitu
18
dalam 12 bulan terakhir) dan kehadiran skrining tidak rutin (yaitu terakhir
melakukan skrining lebih dari tiga tahun yang lalu atau tidak pernah).
3. Park, Park, Choi, Jun, dan Lee (2011) melakukan penelitian terhadap tingkat
partisipasi orang Korea pada skrining kanker untuk lima kanker yang umum
yaitu lambung, hati, usus, payudara, dan kanker serviks dengan menggunakan
data Korean National Cancer Screening Survey (KNCSS) dari tahun 2005-
2009. Hasilnya mengukur wanita yang pernah mammogram dan pap smear
dengan mengklasifikasikan wanita ke dalam orang yang pernah melakukan
kedua jenis skrining (yaitu, minimal satu kali mammogram dan minimal satu
kali pap smear), hanya satu jenis skrining (mammogram atau pap smear,
tetapi tidak keduanya), dan tidak melakukan satu pun jenis skrining.
2.2 Health Belief Model
2.2.1 Definisi Health Belief Model
Health Belief Model (HBM) awalnya dikembangkan pada tahun 1950 oleh para
psikolog sosial yang bekerja di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika
Serikat, untuk menjelaskan banyaknya masyarakat yang gagal dalam partisipasi
program pencegahan dan pendeteksian penyakit (Hochbaum, 1958; Rosenstock,
1960, 1974 dalam Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008). Model diperluas
penggunaannya untuk mempelajari respons individu terhadap gejala (Kirscht,
1974 dalam Glanz et al., 2008) dan perilaku mereka dalam menanggapi penyakit
yang didiagnosis, khususnya dalam hal kepatuhan berobat (Becker, 1974 dalam
Glanz et al., 2008).
19
Konsep HBM ini merupakan hasil gabungan teori belajar, yaitu teori
Stimulus Response atau S-R (Watson, 1925 dalam Glanz et al., 2008) dan teori
kognitif (Lewin, 1951; Tolman, 1932 dalam Glanz et al., 2008). Teori S-R
menyatakan belajar itu berasal dari suatu peristiwa (disebut reinforcement) yang
mengurangi dorongan-dorongan psikologis sehingga muncul sebuah perilaku.
Skinner (1938 dalam Glanz et al., 2008) telah merumuskan hipotesisnya yang
telah banyak berlaku yaitu frekuensi suatu perilaku ditentukan oleh konsekuensi
atau reinforcement yang diperoleh oleh pelaku. Menurut Skinner pemberian
reward langsung setelah adanya suatu perilaku merupakan cara untuk
meningkatkan kemungkinan perilaku tersebut akan diulang. Pandangan ini tidak
mengkaitkan konsep penalaran atau berpikir dalam menjelaskan sebuah perilaku.
Sedangkan teori kognitif berasumsi bahwa perilaku merupakan fungsi dari
nilai subjektif dan harapan yang dimiliki individu. Rumusan ini dikenal dengan
teori value-expectancy. Teori kognisi beranggapan bahwa perilaku terjadi setelah
adanya proses mental. Teori kognisi juga berasumsi bahwa reinforcement bekerja
dengan memengaruhi harapan terhadap suatu kondisi, tidak memengaruhi
perilaku secara langsung. Ketika konsep teori value-expectancy digunakan dalam
konteks perilaku sehat, ada dua asumsi yang diperoleh; 1) penilaian (value)
individu untuk menghindari penyakit atau sembuh; 2) harapan (expect) individu
dengan perilaku sehat tertentu bisa mencegah atau menyembuhkan penyakit.
Harapan tersebut kemudian digambarkan sebagai perkiraan individu tentang
kerentanan pribadi dan keparahan yang dirasakan dari suatu penyakit. Lalu ada
kemungkinan untuk bisa mengurangi ancaman tersebut melalui suatu perilaku.
20
HBM telah banyak didefinisikan oleh para tokoh. Sarafino dan Smith
(2011) mendefinisikan health belief model yaitu kemungkinan seseorang
berperilaku sehat bergantung langsung pada dua penilaian, yaitu perasaan
terancam atas masalah kesehatan yang dialami dan pro-kontra dalam bertindak.
Menurut Lynn Clemow dalam Anderson (2004) HBM adalah teori ekspektasi
nilai yang berupaya menggambarkan penilaian dari keinginan individu untuk
menghindari suatu penyakit (atau mengobati secara efektif) dan jenis ekspektasi
tentang kesehatan mendasar yang memengaruhi perilaku pencegahan (atau
perawatan diri).
Maiman dan Becker (1974) menyatakan bahwa HBM menggunakan
variabel sosio-psikologis untuk menjelaskan perilaku kesehatan preventif dan
menganalisis motivasi individu untuk bertindak sebagai fungsi dari harapan untuk
mencapai tujuan di bidang perilaku kesehatan. Sedangkan Janz dan Becker (1984)
mendefinisikan health belief model sebagai suatu formulasi konseptual untuk
memahami mengapa orang melakukan atau tidak melakukan berbagai tindakan
yang terkait dengan kesehatan.
Champion dan Skinner (dalam Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008)
mendefinisikan HBM adalah suatu model tentang keyakinan akan kesehatan yang
dapat memprediksi mengapa orang mengambil tindakan pencegahan, skrining,
atau untuk mengontrol suatu kondisi penyakit. Ogden (2007) menyatakan HBM
adalah serangkaian keyakinan yang berisi persepsi-persepsi seseorang yang
menghasilkan suatu perilaku sehat. Sedangkan Taylor (2006) mendefinisikan
bahwa HBM adalah model yang dapat digunakan untuk memahami perilaku
21
kesehatan seseorang dengan mengetahui dua faktor, yaitu perasaan seseorang
akan ancaman terhadap kesehatan dirinya dan keyakinan seseorang bahwa
tindakan kesehatan tertentu akan efektif dalam mengurangi ancaman terhadap
kesehatan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi dari Champion dan
Skinner (dalam Glanz et al., 2008) yang mendefinisikan HBM sebagai suatu
model tentang keyakinan akan kesehatan yang dapat memprediksi mengapa orang
mengambil tindakan pencegahan, skrining, atau untuk mengontrol suatu kondisi
penyakit.
2.2.2 Komponen Health Belief Model
Menurut Champion dan Skinner (dalam Glanz et al., 2008) HBM terdiri atas
beberapa konsep dasar yaitu kerentanan, keseriusan, manfaat dan hambatan untuk
berperilaku, isyarat berperilaku, dan keyakinan diri. Ketika seorang individu
beranggapan ia rentan terhadap suatu kondisi, percaya bahwa kondisi itu memiliki
konsekuensi serius, percaya bahwa ada suatu tindakan yang bisa mengurangi
kerentanan atau keparahan suatu kondisi tersebut, serta percaya bahwa manfaat
tindakan tersebut lebih besar daripada hambatan yang ia terima, ia akan
berperilaku sesuai yang ia yakini dapat mengurangi risiko.
1. Perceived susceptibility
Perceived susceptibility adalah keyakinan terhadap kerentanan terjangkit suatu
kondisi atau penyakit. Contohnya, seorang wanita meyakini kemungkinan ia
terjangkit kanker payudara sebelum ia melakukan pemeriksaan mammogram.
22
Menurut Sarafino dan Smith (2011), perceived susceptibility adalah seseorang
mengevaluasi kemungkinan terjadi pengembangan masalahnya. Semakin besar
risiko yang ia persepsikan, semakin besar pula ia merasa terancam dan
mengambil tindakan. Ogden (2007) dalam bukunya Health Psychology
menjelaskan susceptibility adalah kerentanan terhadap penyakit. Sedangkan
Taylor (2006) menyebutnya sebagai perception of health threat, yaitu persepsi
mengenai ancaman terhadap kesehatan diri dipengaruhi oleh tiga faktor: nilai
terhadap kesehatan umum, termasuk perhatian dan kekhawatiran tentang
kesehatan; keyakinan spesifik tentang kerentanan pribadi terhadap gangguan
tertentu; dan keyakinan tentang konsekuensi dari gangguan, seperti seberapa
serius suatu penyakit.
2. Perceived severity
Perceived severity adalah keyakinan akan adanya keseriusan tertular atau
terkena suatu penyakit yang memiliki dua konsekuensi. Konsekuensi medis
berupa kematian, cacat, atau nyeri dan konsekuensi sosial berupa dampak
terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Kombinasi dari
perceived susceptibility dan severity disebut perceived threat (keyakinan akan
ancaman). Ogden (2007) mendefinisikan severity adalah keseriusan penyakit.
Sarafino dan Smith (2011) menyebutnya dengan istilah perceived seriousness
yaitu keyakinan terhadap keseriusan masalah kesehatan yang dihadapi
seseorang. Artinya, seseorang beranggapan terhadap seberapa parah
konsekuensi yang ia terima jika ia menyelesaikan masalah kesehatannya atau
membiarkannya tidak terobati. Semakin serius keyakinan seseorang terhadap
23
dampaknya, semakin besar kemungkinan untuk menganggapnya sebagai
ancaman dan mengambil tindakan pencegahan.
3. Perceived benefits
Perceived benefits adalah keyakinan akan adanya keberhasilan dari tindakan
yang disarankan untuk mengurangi risiko atau keseriusan dampak. Menurut
Sarafino dan Smith (2011), dalam menimbang pro dan kontra dari suatu
perilaku kesehatan, seseorang akan menilai manfaatnya (benefits), seperti
membuat hidup lebih sehat atau mengurangi risiko kesehatan, dan hambatan
(barriers) atau biaya dalam mengambil tindakan kesehatan. Sedangkan
menurut Ogden (2007), benefits adalah manfaat yang diperoleh dari
berperilaku sehat. Sedangkan Taylor (2006) menyebutnya perceived threat
reduction, yaitu keyakinan seseorang bahwa tindakan kesehatan akan
mengurangi ancaman memiliki dua subkomponen: pikiran individu bahwa
tindakan kesehatan akan efektif dan biaya dalam melakukan tindakan melebihi
manfaat dari tindakan (Rosenstock dalam Taylor, 2006).
4. Perceived barriers
Perceived barriers adalah keyakinan terhadap hambatan-hambatan saat
individu bertindak sesuai dengan yang dianjurkan atau aspek negatif potensial
dari perilaku kesehatan tertentu dapat bertindak sebagai hambatan untuk
perilaku yang dianjurkan, seperti masalah biaya berobat. Dalam komponen
HBM yang dikemukakan oleh Ogden (2007) tidak terdapat komponen
perceived barriers, tetapi terdapat cost, yaitu biaya yang digunakan dalam
24
berperilaku sehat. Sarafino dan Smith (2011) menyatakan hambatan (barriers)
adalah biaya dalam mengambil tindakan kesehatan.
5. Cues to action
Cues to action adalah strategi-strategi yang dilakukan guna mengaktifkan
kesiapan berperilaku, misalnya publikasi media. Ini bermanfaat sebagai trigger
(pemicu) agar orang tergugah sadar dan mau berperilaku. Sarafino dan Smith
(2011) juga mendefinisikan hampir sama, yaitu pengingat-pengingat yang
dibuat untuk meningkatkan kemungkinan seseorang mengambil tindakan
kesehatan. Pengingat ini bisa berupa papan pengumuman, iklan di televisi, dan
panggilan untuk konsultasi kesehatan. Sedangkan menurut Ogden (2007), cues
to action adalah dorongan yang bersifat internal seperti gejala yang dirasakan
tubuh dari suatu penyakit dan dorongan yang bersifat eksternal seperti dari
leaflet yang berisi informasi pendidikan kesehatan.
6. Self-efficacy
Self-efficacy adalah keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia mampu untuk
berperilaku. Ogden (2007) memiliki dua komponen HBM berbeda dengan
Glanz et al. (2008) yaitu health motivation, kesiapan individu dalam
menanggapi keadaan kesehatannya dan perceived control, keyakinan individu
untuk mencapai keberhasilan dalam menjalankan perilaku sehat.
2.2.3 Pengukuran Health Belief Model
Health Belief Model telah diterapkan untuk populasi di seluruh dunia dalam
pencegahan AIDS dan pengobatan, pengelolaan berbagai penyakit kronis,
25
pencegahan kanker dan skrining, pemanfaatan imunisasi, kehamilan pada remaja,
dan bahkan meneliti pengaruh keyakinan kesehatan pada penyedia layanan
kesehatan (Anderson, 2004). Sejak tahun 1974-1984, HBM telah digunakan
dalam 46 studi. Dua puluh empat studi meneliti preventive-health behaviors
(PHB), 19 studi mengeksplorasi sick-role behaviors (SRB), dan tiga studi
membahas clinic utilization (Janz & Becker, 1984).
Health Belief Model dalam penelitian perilaku skrining kanker serviks,
diukur menggunakan kuesioner dengan 22 item yang diambil dari penelitian
sebelumnya oleh Champion (1985) dan National Analysts (1982) dalam Murray
dan McMillan (1993). Responden diminta untuk menilai sejauh mana tingkat
persetujuan mereka dalam skala enam poin dan dirancang untuk menilai lima
dimensi HBM yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived
barriers, perceived benefits, dan cost. Sedangkan dalam penelitian Esin, Bulduk,
dan Ardic (2011), perilaku skrining kanker serviks diukur menggunakan Health
Belief Model-Based Scale yang dikembangkan oleh Byrd et al. (2004), kemudian
diadaptasi menjadi Turkish Health Belief Model (T-HBM) based scales untuk
persamaan budaya di Turki. Skala ini digunakan untuk mengetahui keyakinan
wanita tentang skrining kanker serviks. Indeks content validity T-HBM based
scales adalah 0.91. T-HBM based scales untuk reliabilitas konsistensi internal
dinyatakan diterima untuk perceived susceptibility terhadap kanker serviks (alpha
= 0,69), perceived seriousness terhadap kanker serviks (alpha = 0,84), perceived
benefits terhadap tes pap smear (alpha = 0,79), dan perceived barriers untuk
melakukan skrining (alpha = 0,93). Koefisien reliabilitas alpha cronbach untuk
26
item berkisar antara 0,30-0,83. Semua elemen menunjukkan korelasi yang
signifikan (p <0,01). Respon untuk item ini dievaluasi pada empat angka skala
likert dengan satu berarti sangat setuju dan empat sangat tidak setuju.
Instrumen HBM telah digunakan dalam berbagai perilaku kesehatan,
seperti dijelaskan oleh Charles Abraham dan Paschal Sheeran (dalam Conner &
Norman, 2005), yaitu skala Standardized Compliance Questionnaire (Sackett et
al., 1974) yang telah dimodifikasi dalam berbagai setting penggunaan (Cerkoney
& Hart 1980; Bollin & Hart 1982; Connelly 1984), tetapi instrumen ini sulit untuk
diperoleh sehingga muncul skala lainnya yang juga telah digunakan. Misalnya,
Calnan (1984) dan Hallal (1982) menggunakan instrumen yang diambil dari
penelitian Stillman (1977) untuk kanker payudara. Fincham dan Wertheimer
(1985) menggunakan item yang berasal dari Leavitt (1979) dalam penelitian
mereka tentang pengambilan resep obat, sementara Hoogewerf et al. (1990)
meneliti kepatuhan skrining genetik menggunakan item dari Halper et al. (1980).
Skala HBM juga di perkenalkan di bidang kepatuhan dalam pemeriksaan
hipertensi (Abraham & Williams 1991), obesitas anak-anak (Maiman et al. 1977),
pemeriksaan payudara sendiri (Champion 1984), dan perilaku lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti memodifikasi skala HBM dari Champion
(1985) dan National Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993) khusus terkait
dengan perilaku skrining kanker serviks berdasarkan enam komponen HBM dari
Champion dan Skinner (dalam Glanz et al., 2008) yaitu perceived susceptibility,
perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action dan self-
efficacy. Item yang digunakan terdiri dari empat skala poin di mana responden
27
diminta menilai tingkat kesetujuan mereka, dari skala satu „sangat tidak setuju‟
dan empat „sangat setuju‟.
2.3 Variabel Demografis
2.3.1 Usia
Wanita berusia 35-64 tahun cenderung lebih intens melakukan skrining kanker
serviks dibandingkan dengan wanita berusia 25-34 tahun (Damiani, Federico,
Basso, Ronconi, Bianchi, Anzellotti, Nasi, Sassi, & Ricciardi, 2012). Hasil
penelitian dari Yanikkerem, Goker, Piro, Dikayak dan Koyuncu (2013)
menunjukkan bahwa wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki persentase
tinggi untuk melakukan pap smear. Pelaksanaan BSE (Breast Self Examination)
dan kehadiran untuk tes pap smear lebih sering terjadi pada wanita yang berusia
35-54 tahun (Murray & McMillan, 1993).
Usia merupakan prediktor demografis yang menunjukkan bahwa
kehadiran untuk tes pap smear lebih sering dilakukan oleh wanita dengan usia
yang lebih tua (Murray & McMillan, 1993). Wanita dengan usia lebih tua
cenderung untuk melakukan skrining kanker serviks dibandingkan wanita yang
lebih muda (Yi, 1994). Wanita yang melakukan skrining (mammogram atau pap
smear) lebih cenderung pada usia 50 tahun atau lebih (Park et al., 2011).
2.3.2 Tingkat Pendidikan
Orang dengan pendidikan yang lebih baik dan berasal dari keluarga dengan status
sosial-ekonomi yang tinggi akan cenderung untuk ikut berpartisipasi dalam
perilaku sehat (Hajializadeh, Ahadi, Jomehri, & Rahgozar, 2013). Wanita yang
28
bekerja dan memiliki tingkat pendapatan tinggi, pendidikan yang tinggi serta
memiliki asuransi kesehatan lebih menyadari tentang kanker serviks (Yanikkerem
et al., 2013).
Hasil penelitian dari McKinnon, Harper dan Moore (2011)
mendeskripsikan bahwa pendidikan umumnya memberikan kontribusi terbesar
dalam skrining kanker serviks. Kuitto et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan pada kehadiran saat skrining.
Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung untuk mendatangi
skrining secara lebih teratur.
Wanita dengan tingkat pendidikan rendah yang tinggal di daerah
metropolitan di U.S cenderung rendah untuk melakukan skrining kanker serviks
(Coughlin, King, Richards, & Ekwueme, 2006). Sampai saat ini di Korea,
diketahui bahwa tingkat pendidikan yang rendah adalah penghalang untuk
skrining kanker payudara dan kanker serviks (Park et al., 2011).
2.3.3 Tingkat Pendapatan
Faktor sosial ekonomi menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat dengan
pemanfaatan layanan pencegahan (Lorant, Boland, Humblet, & Deliège, 2002;
Garrido-Cumbrera M, Borrell, Palència, Espelt, & Rodríguez-Sanz dalam
Damiani, et al., 2012). Studi komparatif tentang penggunaan layanan pencegahan
di Eropa menunjukkan kesenjangan dalam berpartisipasi untuk program skrining
(Palencia, Espelt, Rodriguez-Sanz, Puigpinòs, Pons-Vigués, Pasarìn, et al., 2010;
Stirbu, Kunst, Mielck, Mackenbach dalam Damiani et al., 2012).
29
Etnis minoritas, usia tua dan status sosial ekonomi rendah memiliki
kesempatan yang rendah pula dalam menjalani prosedur skrining kanker
(Ackerson & Gretebeck dalam Damiani et al., 2012). Penelitian di Itali
menunjukkan bahwa wanita dengan status sosial ekonomi tinggi memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks
dibandingkan dengan wanita dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah
(Damiani et al., 2012).
Kehadiran skrining secara signifikan lebih tinggi pada responden dari
status sosial ekonomi yang tinggi dan tingkat pendidikan yang tinggi (Kuitto et
al., 2010). Wanita yang memiliki status sosial ekonomi mandiri berkorelasi
dengan kepatuhan melakukan pap smear (Paskett et al., 2010). Penelitian di U.S.,
pasien dengan status sosial ekonomi rendah memiliki tingkat signifikansi yang
lebih tinggi dalam diagnosis kanker serviks stadium akhir (Singh, Miller, Hankey,
& Edwards, 2004).
2.4 Kerangka Berpikir
Perilaku skrining kanker serviks merupakan salah satu perilaku sehat preventif
yang dilakukan dengan mendatangi tempat skrining yang bertujuan untuk
mendeteksi penyakit akibat virus HPV (human papilloma virus) pada tahap
perkembangan asimtomatik (tanpa gejala) dengan tes pap smear atau IVA,
sehingga perkembangan penyakit dapat dihentikan atau terhambat. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, perilaku skrining kanker serviks diprediksi kuat oleh
faktor-faktor psikologis berupa keyakinan-keyakinan yang berkaitan dengan
30
perilaku sehat yaitu Health Belief Model (HBM). HBM merupakan variabel yang
sering digunakan dan signifikan memprediksi perilaku skrining kanker serviks.
Model ini berpendapat bahwa mungkin untuk mengidentifikasi pola keyakinan
khusus tertentu yang akan memprediksi penggunaan layanan kesehatan seperti
skrining (Marks et al., 2000). Teori HBM ini terdiri dari empat komponen utama,
yaitu perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived
barriers dan dua komponen tambahan, yaitu cues to action dan self-efficacy
(Champion & Skinner dalam Glanz et al., 2008).
Health Belief Model dalam Ogden (2007) memprediksi skrining rutin
untuk kanker serviks jika seorang individu meyakini bahwa dia sangat rentan
terhadap kanker serviks, penyakit ini merupakan ancaman kesehatan yang serius,
dan manfaat dari skrining rutin tinggi serta biaya dari tindakan tersebut relatif
murah. Tindakan skrining ini akan menjadi kenyataan jika wanita tersebut
menjalankan isyarat untuk bertindak yang bersifat eksternal, seperti membaca
leaflet yang disediakan di ruang tunggu dokter, atau bersifat internal, seperti
gejala yang dirasakan terkait dengan kanker serviks misalnya rasa sakit atau
iritasi. HBM juga memprediksi bahwa wanita akan hadir untuk skrining jika dia
yakin bahwa dia bisa melakukannya dan jika dia termotivasi untuk menjaga
kesehatannya.
Health Belief Model menyatakan bahwa untuk keberhasilan sebuah
perubahan perilaku, individu harus memiliki dorongan untuk mengambil tindakan,
merasa terancam oleh pola perilakunya saat ini, dan percaya bahwa perubahan
spesifik tertentu akan bermanfaat dan menyebabkan hasil yang bernilai dengan
31
biaya yang dapat diterima, selain itu individu juga harus meyakini bahwa dirinya
kompeten (self-efficacious) untuk menerapkan perubahan itu (Moore, 2011).
Penelitian telah menunjukkan dukungan kuat terhadap perceived barriers dari
konstruk HBM (Tanner-Smith & Brown, 2010; Janz, Champion & Strecher, 2002
dalam Moore, 2011). Perceived susceptibility (Janz et al., 2002 dalam Moore,
2011) dan perceived benefits (Tanner-Smith & Brown, 2010 dalam Moore, 2011)
juga telah diidentifikasi sebagai prediktor yang penting.
Hasil temuan Moore (2011) menyatakan bahwa HBM secara keseluruhan
fit untuk menguji skrining kanker serviks. Hasil penelitiannya mendukung
komponen utama dari teori HBM. Partisipan dilaporkan tinggi dalam keyakinan
akan manfaat (perceived benefits) dari skrining dan ancaman terhadap kanker
serviks, serta rendah dalam keyakinan akan hambatan (perceived barriers) untuk
skrining memiliki kesempatan signifikan yang lebih besar. Self-efficacy dan
ancaman adalah prediktor terkuat dari perilaku skrining kanker serviks. Penelitian
lain dari Hill et al. (1985) yang mengaplikasikan HBM terhadap kanker serviks,
untuk menguji faktor-faktor yang memprediksi perilaku skrining serviks
menunjukkan bahwa keyakinan akan hambatan (perceived barriers) untuk
berperilaku adalah prediktor terbaik dari intensi perilaku dan keyakinan akan
kerentanan (perceived susceptibility) dari kanker serviks juga secara signifikan
berhubungan dengan perilaku skrining.
Faktor demografis berupa usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan
dari wanita juga turut memengaruhi perilaku skrining kanker serviks. Banyak
penelitian yang menyatakan bahwa faktor demografis secara signifikan
32
memengaruhi perilaku skrining kanker serviks, termasuk usia, tingkat pendidikan
dan tingkat pendapatan. Studi terakhir oleh Akers et al. (dalam Paskett et al.,
2010) menyatakan bahwa kelompok-kelompok perempuan tertentu yaitu
pendapatan buruk, berpendidikan rendah, usia lanjut, minoritas, dan terisolasi
secara geografis kecil kemungkinannya untuk melakukan pap smear sesuai
panduan yang direkomendasikan. Penelitian ini menggunakan Health Belief
Model dan faktor demografis untuk memprediksi secara langsung serta
mengetahui probabilitas perilaku skrining kanker serviks. Selanjutnya, peneliti
menyajikan kerangka berpikir dalam bentuk gambar 2.1 sebagaimana berikut :
perceived susce
Gambar 2.1 Pengaruh Health Belief Model dan faktor demografis terhadap
perilaku skrining kanker serviks
Perilaku Skrining
Kanker Serviks
Health Belief Model
Perceived susceptibility
Perceived severity
Perceived benefits
Perceived barriers
Cues to action
Self-efficacy
Faktor Demografis
Usia
Tingkat pendapatan
Tingkat pendidikan
33
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang terdapat dalam penelitian ini, antara lain :
H1 : Ada pengaruh yang signifikan Health Belief Model dan faktor demografis
terhadap perilaku skrining kanker serviks.
H2 : Ada pengaruh yang signifikan perceived susceptibility terhadap perilaku
skrining kanker serviks.
H3 : Ada pengaruh yang signifikan perceived severity terhadap perilaku skrining
kanker serviks.
H4 : Ada pengaruh yang signifikan perceived benefits terhadap perilaku skrining
kanker serviks.
H5 : Ada pengaruh yang signifikan perceived barriers terhadap perilaku skrining
kanker serviks.
H6 : Ada pengaruh yang signifikan cues to action terhadap perilaku skrining
kanker serviks.
H7 : Ada pengaruh yang signifikan self-efficacy terhadap perilaku skrining kanker
serviks.
H8 : Ada pengaruh yang signifikan usia terhadap perilaku skrining kanker serviks.
H9 : Ada pengaruh yang signifikan tingkat pendidikan terhadap perilaku skrining
kanker serviks.
H10 : Ada pengaruh yang signifikan tingkat pendapatan terhadap perilaku skrining
kanker serviks.
34
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab tiga ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, teknik
pengambilan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel, instrumen
pengumpulan data, uji validitas konstruk, metode analisis data dan prosedur
pengumpulan data.
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah wanita yang berdomisili di Tangerang Selatan.
Sampel yang digunakan adalah wanita berusia 21-70 tahun dan sudah menikah.
Besar sampel penelitian yang peneliti gunakan adalah sebanyak 227 orang wanita.
Peneliti memilih wanita yang sudah menikah karena sasaran deteksi kanker
serviks dengan pemeriksaan tes Inspeksi Visual Asetat (IVA) atau dengan
pemeriksaan pap smear adalah pada wanita usia 20-74 tahun yang telah menikah
atau berhubungan seksual (Kementerian Kesehatan, 2015).
Pelayanan skrining kanker serviks dengan tes IVA telah tersedia di
puskesmas Tangerang Selatan. Dari 25 puskesmas, terdapat 11 puskesmas yang
telah memiliki pelayanan skrining kanker serviks. Peneliti mendatangi puskesmas
yang telah memiliki pelayanan skrining kanker serviks dan puskesmas terdekat
serta posyandu untuk mendapatkan responden.
35
3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik convenience non
probability sampling, yaitu teknik pemilihan partisipan penelitian berdasarkan
kemudahan perekrutan partisipan oleh peneliti (Howitt & Cramer, 2011). Peneliti
mengambil data dengan mendatangi empat puskesmas yang telah disetujui oleh
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, antara lain Puskesmas Ciputat,
Puskesmas Ciputat Timur, Puskesmas Pondok Ranji, dan Puskesmas Pamulang.
Puskesmas dipilih berdasarkan ketersediaan pelayanan untuk skrining kanker
serviks dengan tes IVA serta kemudahan peneliti dalam mengakses lokasi
puskesmas. Pengambilan data dilakukan dengan cara mendatangi posyandu-
posyandu dari setiap puskesmas yang dipilih, berkoordinasi dengan bidan dan
petugas puskesmas yang bertugas saat itu.
3.3 Variabel Penelitian
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Perilaku skrining kanker serviks
2. Perceived susceptibility
3. Perceived severity
4. Perceived benefits
5. Perceived barriers
6. Cues to action
7. Self-efficacy
8. Usia
36
9. Tingkat pendidikan
10. Tingkat pendapatan
Variabel dependen (outcome variable) dalam penelitian ini adalah perilaku
skrining kanker serviks yang merupakan variabel kategorik dengan nilai 0 dan 1.
Nilai 0 berarti subjek yang tidak pernah melakukan skrining kanker serviks dan
nilai 1 berarti subjek yang pernah melakukan skrining kanker serviks. Sedangkan
variabel-variabel lainnya merupakan variabel independen (predictor variable).
3.4 Definisi Operasional Variabel
Peneliti menggunakan definisi operasional dari Champion dan Skinner (dalam
Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008) untuk semua variabel independen dalam
penelitian ini.
1. Perilaku skrining kanker serviks adalah perilaku mendatangi tempat skrining
kanker serviks untuk tes pap smear atau tes IVA (Murray & McMillan, 1993).
2. Perceived susceptibility, keyakinan akan kemungkinan mengalami suatu risiko
atau kerentanan terjangkit suatu penyakit sehingga mengambil tindakan untuk
melakukan perilaku pencegahan.
3. Perceived severity, keyakinan akan keseriusan suatu penyakit dan akibatnya
sehingga seseorang mengambil langkah pencegahan.
4. Perceived benefits, keyakinan terhadap keefektifan atau manfaat suatu tindakan
kesehatan dalam mengurangi risiko suatu penyakit dan keyakinan akan adanya
keberhasilan dari tindakan yang disarankan untuk mengurangi risiko atau
keseriusan dampak.
37
5. Perceived barriers, keyakinan terhadap hambatan-hambatan yang dialami saat
melakukan tindakan yang disarankan berupa hambatan dalam biaya, fasilitas,
pelayanan, transportasi, jarak, waktu, perasaan malu, dan perasaan takut sakit.
6. Cues to action, strategi-strategi yang dilakukan guna mengaktifkan kesiapan
berperilaku, misalnya publikasi media dan menggunakan sistem pengingat
yang tepat.
7. Self-efficacy, keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia mampu untuk
berperilaku, misalnya mengurangi kecemasan dan menetapkan tujuan yang
progresif.
3.5 Instrumen Pengumpulan Data
Peneliti membuat sendiri skala perilaku skrining kanker serviks, sedangkan untuk
skala Health Belief Model dimodifikasi dari skala Champion (1985) dan National
Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993) khusus terkait dengan perilaku
skrining kanker serviks berdasarkan enam komponen HBM dari Champion dan
Skinner (dalam Glanz et.al., 2008).
1. Perilaku skrining kanker serviks diukur dengan menggunakan pertanyaan
“apakah anda pernah melakukan pemeriksaan dini kanker leher rahim?”
dengan dua pilihan jawaban yaitu “Ya” atau “Tidak”. Pilihan satu merupakan
pilihan jawaban Ya (Ya = 1), artinya jika responden pernah melakukan
skrining kanker serviks dengan tes pap smear atau tes IVA, baik pernah sekali
atau beberapa kali. Pilihan dua merupakan pilihan jawaban Tidak (Tidak = 0),
artinya jika responden tidak pernah melakukan skrining kanker serviks.
38
Tabel 3.1
Blue Print Perilaku Skrining Kanker Serviks
No. Item Jumlah
Ya (1) Tidak (0)
1. Apakah Anda pernah melakukan pemeriksaan
dini kanker leher rahim?
2. Health Belief Model diukur menggunakan skala yang dimodifikasi dari
Champion (1985) dan National Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993)
khusus terkait dengan perilaku skrining kanker serviks berdasarkan komponen-
komponen yang dikemukakan oleh Champion dan Skinner (dalam Glanz et.al.,
2008). Skala ini disusun berdasarkan skala likert dengan rentang dari satu
hingga empat poin, yaitu dari “1” (sangat tidak setuju) hingga “4” (sangat
setuju). Peneliti menggunakan skala likert empat poin karena untuk
menghindari kecenderungan jawaban pada skala tengah-tengah dan
mempermudah subjek dalam pengisian alat ukur. Pernyataan dalam skala
tersebut bersifat favorable, yaitu pernyataan yang mendukung objek sikap
dengan bobot nilai STS=1, TS=2, S=3, SS=4 dan unfavorable, yaitu
pernyataan anti objek sikap dengan bobot nilai STS=4, TS=3, S=2, dan SS=1.
Berikut blue print dimensi Health Belief Model.
39
Tabel 3.2
Blue Print Item Health Belief Model
No Komponen Indikator Nomor Item
Total Fav Unfav
1. Perceived
susceptibility
Keyakinan individu akan
kemungkinan terkena kanker
serviks yang disebabkan suatu
keadaan pada diri individu
tersebut.
23,24,25,
26,27
5
2. Perceived severity Keyakinan individu akan
keseriusan suatu penyakit dan
akibatnya.
29,30,31,
32
28 5
3. Perceived benefits Keyakinan individu akan efek
positif yang diharapkan dari
tindakan yang disarankan.
1,2,3,4,5 5
4. Perceived barriers Keyakinan individu akan
hambatan dalam melakukan
tindakan kesehatan karena
masalah biaya kesehatan,
fasilitas kesehatan, transportasi,
jarak, waktu, rasa malu, dan rasa
takut sakit.
16,17,18,
19,20,21
22 7
5. Cues to action Pemberian informasi;
meningkatkan kesadaran melalui
publikasi media; dan
menggunakan sistem pengingat
yang tepat untuk meningkatkan
kesiapan berperilaku.
6,7,8,9,
10
5
6. Self-efficacy Keyakinan individu bahwa ia
mampu berperilaku sehat dengan
menetapkan tujuan yang
progresif, menunjukkan perilaku
yang diinginkan, dan
mengurangi kecemasan.
11,12,13,
14,15
5
Jumlah 30 2 32
3.6 Uji Validitas Konstruk
Sebelum peneliti melakukan analisis data, peneliti melakukan pengujian validitas
konstruk terhadap instrumen yang dipakai, yaitu skala Health Belief Model.
Peneliti melakukan uji validitas konstruk instrumen tersebut dengan menggunakan
CFA (Confirmatory Factor Analysis) dengan bantuan software LISREL 8.7.
Adapun logika dari CFA (Umar, 2013) :
40
1. Ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang didefinisikan secara
operasional sehingga dapat disusun pertanyaan atau pernyataan untuk
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor, sedangkan pengukuran terhadap
faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon atas item-itemnya.
2. Setiap item diteorikan hanya mengukur satu faktor saja, begitu pun juga tiap
sub tes hanya mengukur satu faktor juga. Artinya baik item maupun sub tes
bersifat unidimensional.
3. Dengan data yang tersedia, dapat diestimasi matriks korelasi antar item yang
seharusnya diperoleh jika memang unidimensional. Matriks korelasi ini disebut
sigma (Σ), kemudian dibandingkan dengan matriks dari data empiris yang
disebut matriks S. Jika teori tersebut benar (unidimensional) maka tentunya
tidak ada perbedaan antara matriks Σ dan matriks S, atau bisa juga dinyatakan
dengan Σ – S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi
square. Jika hasil chi square tidak signifikan (p > 0,05), maka hipotesis nihil
tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori unidimensionalitas tersebut dapat
diterima bahwa item ataupun sub tes instrumen hanya mengukur satu faktor
saja.
5. Jika model fit, maka langkah selanjutnya ialah menguji apakah item signifikan
atau tidak mengukur apa yang hendak diukur dengan menggunakan uji-t. Jika
hasil uji-t tidak signifikan maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur
apa yang hendak diukur, sebaiknya item yang demikian di drop. Dalam
penelitian kali ini, peneliti menggunakan taraf kepercayaan 95% sehingga item
41
yang dikatakan signifikan adalah item yang memiliki nilai-t lebih dari 1,96 (t >
1,96).
6. Terakhir, apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan faktornya
negatif, maka item tersebut harus di drop. Sebab hal ini tidak sesuai dengan
sifat item, yang bersifat positif (favorable).
3.6.1 Uji Validitas Konstruk Skala Health Belief Model
1. Perceived Susceptibility
Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya
item-item tersebut benar hanya mengukur perceived susceptibility. Setelah
dilakukan analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak
fit dengan Chi-Square = 18.22, df = 5, P-Value = 0.00268, RMSEA = 0.108.
Namun setelah dilakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model dengan
membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis,
maka kemudian diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5.90, df = 4, P-Value =
0.20698, RMSEA = 0.046. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived
susceptibility.
Langkah selanjutnya adalah melihat signifikan atau tidaknya item dalam
mengukur apa yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tertentu
perlu di-drop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang
koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t
42
bagi setiap koefisien muatan faktor, jika nilai t > 1.96 artinya item tersebut
signifikan dan begitu juga sebaliknya. Koefisien muatan faktor untuk item
pengukuran perceived susceptibility disajikan dalam tabel 3.3.
Tabel 3.3
Muatan Faktor Item Perceived Susceptibility No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
23 0.74 0.06 12.21 V
24 0.88 0.06 15.67 V
25 0.78 0.06 13.12 V
26 0.43 0.07 6.38 V
27 0.69 0.06 11.28 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Pada tabel 3.3 tidak terdapat item yang memiliki t-value <1.96 dan tidak
ada item yang memiliki koefisien muatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang
diperoleh juga tidak menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan
pengukuran lebih dari sama dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
item perceived susceptibility yang di-drop.
Langkah terakhir yang dilakukan yaitu item–item perceived susceptibility
yang tidak di-drop dihitung faktor skornya. Faktor skor ini dihitung untuk
menghindari estimasi bias dari kesalahan pengukuran. Jadi penghitungan faktor
skor ini tidak menjumlahkan item–item variabel pada umumnya, tetapi
menghitung true score pada tiap item. Setelah didapatkan faktor skor, peneliti
mentransformasikan faktor skor menjadi T skor. Penggunaan T skor ini bertujuan
untuk menyamakan skala pengukuran yang berbeda-beda dan untuk menghindari
nilai minus pada faktor skor agar pembaca mudah memahami interpretasi hasil
penelitian. Adapun rumus T skor yaitu (Umar, 2013) :
T skor = (10*faktor skor)+50
Keterangan : 10= nilai standar deviasi, 50= nilai mean
43
Setelah didapatkan faktor skor yang telah diubah menjadi T skor, nilai
baku inilah yang akan dianalisis dalam uji hipotesis korelasi dan regresi. Perlu
dicatat, bahwa langkah terakhir juga berlaku untuk variabel-variabel lain dalam
penelitian ini.
2. Perceived Severity
Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya
item-item tersebut benar hanya mengukur perceived severity. Setelah dilakukan
analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan
Chi-Square = 33.51, df = 5, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.159. Namun setelah
dilakukan modifikasi sebanyak satu kali terhadap model dengan membebaskan
korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 6.36, df = 4, P-Value = 0.17372,
RMSEA = 0.051. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived severity.
Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran perceived severity disajikan
dalam tabel 3.4.
Tabel 3.4
Muatan Faktor Item Perceived Severity No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
28 0.04 0.07 0.62 X
29 1.00 0.07 14.38 V
30 0.48 0.07 7.09 V
31 0.45 0.07 6.77 V
32 0.71 0.07 10.45 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
44
Pada tabel 3.4 terdapat item yang memiliki t-value < 1.96, yaitu item 28, hal ini
menunjukkan bahwa item 28 di-drop, artinya item tersebut tidak diikutkan dalam
analisis. Setelah itu, peneliti melakukan analisis kembali dengan tidak
mengikutsertakan item 28, sehingga didapatkan hasil analisis CFA dengan Chi-
Square = 0.00, df= 0, P-Value = 1.00000, RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square
menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model satu faktor
(unidimensional) dapat diterima, bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor
saja yaitu perceived severity. Koefisien muatan faktor item perceived severity
disajikan dalam tabel 3.5.
Tabel 3.5
Muatan Faktor Item Perceived Severity No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
29 0.948 0.071 13.299 V
30 0.503 0.068 7.427 V
31 0.479 0.070 6.882 V
32 0.751 0.069 10.808 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
3. Perceived Benefits
Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya
item-item tersebut benar hanya mengukur perceived benefits. Setelah dilakukan
analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan
Chi-Square = 56.51, df = 5, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.213. Namun setelah
dilakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model dengan membebaskan
korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 5.56, df = 3, P-Value = 0.13488,
RMSEA = 0.061. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
45
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived benefits.
Selanjutnya peneliti melihat t-value bagi setiap koefisien muatan faktor seperti
pada tabel 3.6.
Tabel 3.6
Muatan Faktor Item Perceived Benefits No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
1 0.69 0.06 11.50 V
2 0.72 0.06 12.02 V
3 0.93 0.05 18.07 V
4 0.87 0.05 16.20 V
5 0.84 0.05 15.37 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Tabel 3.6 menunjukkan bahwa tidak ada item yang memiliki nilai t < 1.96 dan
bermuatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang diperoleh juga tidak
menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan pengukuran lebih dari sama
dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada item perceived benefits yang
di-drop.
4. Perceived Barriers
Peneliti menguji apakah tujuh item yang ada, bersifat unidimensional, artinya
item-item tersebut benar hanya mengukur perceived barriers. Setelah dilakukan
analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan
Chi-Square = 149.96, df = 14, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.207. Namun
setelah dilakukan modifikasi sebanyak empat kali terhadap model dengan
membebaskan korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis,
maka kemudian diperoleh model fit dengan Chi-Square = 16.05, df = 10, P-Value
= 0.09824, RMSEA = 0.052. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05
(tidak signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
46
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu perceived barriers.
Koefisien muatan faktor untuk item pengukuran perceived barriers disajikan
dalam tabel 3.7.
Tabel 3.7
Muatan Faktor Item Perceived Barriers No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
16 0.40 0.07 5.80 V
17 0.68 0.06 10.82 V
18 0.73 0.06 12.17 V
19 0.79 0.06 13.66 V
20 0.87 0.06 15.50 V
21 0.77 0.06 12.78 V
22 0.08 0.07 1.12 X
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Pada tabel 3.7 terdapat item yang memiliki t-value < 1.96 yaitu item 22,
hal ini menunjukkan bahwa item 22 di-drop, artinya item tersebut tidak diikutkan
dalam analisis. Setelah itu, peneliti melakukan analisis kembali dengan tidak
mengikutsertakan item 22, sehingga didapatkan hasil analisis CFA dengan Chi-
Square = 9.44, df= 5, P-Value = 0.09270, RMSEA = 0.063. Koefisien muatan
faktor item perceived barriers disajikan dalam tabel 3.8 berikut :
Tabel 3.8
Muatan Faktor Item Perceived Barriers No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
16 0.40 0.07 5.82 V
17 0.68 0.06 10.88 V
18 0.73 0.06 12.19 V
19 0.82 0.06 14.01 V
20 0.85 0.06 15.01 V
21 0.79 0.06 13.06 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
5. Cues to action
Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya
item-item tersebut benar hanya mengukur cues to action. Setelah dilakukan
47
analisis CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan
Chi-Square = 99.43, df = 5, P-Value = 0.00000, RMSEA = 0.289. Namun setelah
dilakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model dengan membebaskan
korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 4.93, df = 3, P-Value = 0.17666,
RMSEA = 0.053. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu cues to action.
Selanjutnya peneliti melihat t-value bagi setiap koefisien muatan faktor seperti
pada tabel 3.9.
Tabel 3.9
Muatan Faktor Item Cues to Action No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
6 0.67 0.06 10.68 V
7 0.71 0.06 11.39 V
8 0.78 0.06 12.85 V
9 0.88 0.06 14.95 V
10 0.72 0.06 11.31 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Tabel 3.9 menunjukkan bahwa tidak ada item yang memiliki nilai t < 1.96 dan
bermuatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang diperoleh juga tidak
menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan pengukuran lebih dari sama
dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada item cues to action yang di-
drop.
6. Self-Efficacy
Peneliti menguji apakah lima item yang ada, bersifat unidimensional, artinya
item-item tersebut benar hanya mengukur self-efficacy. Setelah dilakukan analisis
48
CFA pertama dengan model satu faktor, dihasilkan model tidak fit dengan Chi-
Square = 28.24, df = 5, P-Value = 0.00003, RMSEA = 0.143. Namun setelah
dilakukan modifikasi sebanyak dua kali terhadap model dengan membebaskan
korelasi kesalahan pengukuran diantara item-item yang dianalisis, maka kemudian
diperoleh model fit dengan Chi-Square = 2.49, df = 3, P-Value = 0.47661,
RMSEA = 0.000. Nilai Chi-Square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak
signifikan), yang artinya model satu faktor (unidimensional) dapat diterima,
bahwa seluruh item hanya mengukur satu faktor saja yaitu self-efficacy.
Selanjutnya peneliti melihat t-value bagi setiap koefisien muatan faktor seperti
pada tabel 3.10.
Tabel 3.10
Muatan Faktor Item Self-Efficacy No.Item Koefisien Standard Error Nilai t Signifikan
11 0.77 0.06 13.63 V
12 0.91 0.05 17.38 V
13 0.81 0.06 14.35 V
14 0.87 0.05 16.11 V
15 0.80 0.06 13.33 V
Keterangan : tanda V = signifikan (t>1.96), X = tidak signifikan
Tabel 3.10 menunjukkan bahwa tidak ada item yang memiliki nilai t < 1.96 dan
bermuatan faktor negatif. Selain itu, model fit yang diperoleh juga tidak
menunjukkan adanya item yang memiliki kesalahan pengukuran lebih dari sama
dengan tiga. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada item self-efficacy yang di-
drop.
49
3.7 Metode Analisis Data
Penelitian ini memiliki variabel independen sebanyak sembilan variabel dan satu
variabel dependen. Peneliti menggunakan teknik analisis regresi logistik berganda
untuk menguji hipotesis nihil penelitian ini. Dalam penelitian ini tidak bisa
dilakukan analisis regresi biasa dikarenakan variabel dependen yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan data kategorik dikotomi, sedangkan dalam
analisis regresi biasa diasumsikan variabel tersebut adalah kontinum. Jika tetap
dilakukan analisis regresi biasa maka hasil menjadi palsu atau tidak valid. Itulah
sebabnya dalam penelitian ini, peneliti menggunakan regresi logistik berganda.
Penyelesaian ini menggunakan pendekatan persamaan nonlinear yaitu model
logistik dengan persamaan regresi logistik sebagai berikut:
Keterangan :
P(i) = probabilitas perilaku skrining kanker serviks
e = basis logaritma natural, yaitu mathematical constant sebesar 2.718
β = koefisien regresi
X1= perceived susceptibility
X2= perceived severity
X3= perceived benefits
X4= perceived barriers
X5= cues to action
X6= self-efficacy
X7= Usia
50
X8= Tingkat pendidikan
X9= Tingkat pendapatan
Koefisien regresi logistik secara sederhana menunjukkan perubahan pada
log odds dari suatu peristiwa yang dialami atau yang memiliki karakteristik dari
satu unit perubahan variabel independen. Koefisien ini memiliki penafsiran yang
sama persis dengan koefisien dalam regresi biasa hanya saja unit variabel
dependen dalam regresi logistik diwakili dengan log odds (Li) yang memiliki
satuan logit (Pampel, 2000).
Li =
Keterangan :
Li= logit dari perilaku skrining kanker serviks
Kesederhaan interpretasi dari koefisien regresi logistik seperti dijelaskan di atas
tidak memiliki matrik yang bermakna. Log odds (logit) merupakan persamaan
yang linear, namun ada beberapa informasi yang tidak bisa didapatkan dari logit.
Oleh karena itu, interpretasi akan dilanjutkan pada tingkat odds (Oi). Berikut
model persamaan odds dengan mengambil eksponen atau antilogaritma dari
koefisien regresi logistik :
=
Odds adalah rasio dari dua probabilitas. Dalam hal ini odds diartikan
sebagai rasio dari probabilitas perilaku pernah melakukan skrining kanker serviks
dibanding dengan probabilitas kejadian tidak pernah melakukan skrining kanker
serviks, sehingga dapat dituliskan rumus sebagai berikut :
51
Oi = odds perilaku skrining kanker serviks
Dalam regresi logistik nilai odds bisa disajikan dalam bentuk odds ratio
(OR), yaitu rasio dari dua odds. OR digunakan untuk melihat nilai dari naik atau
turunnya odds perilaku skrining kanker serviks tiap kenaikan satu unit variabel
independen. Dapat juga dikatakan bahwa OR menunjukkan sejauh mana
peningkatan ukuran variabel dependen dengan setiap perubahan yang dipengaruhi
oleh variabel independen. Selain itu, terdapat sebuah rumus sederhana di dalam
analisis regresi logistik yang menunjukkan odds ratio dapat ditafsirkan sebagai
persentase perubahan (percent change) dengan rumus:
% change = 100 (OR – 1)
Selanjutnya, penafsiran koefisien regresi logistik dilanjutkan ke tahap
probabilitas. Karena hubungan antara variabel dependen dan variabel independen
adalah nonlinear dan bukan penambahan, maka probabilitas tidak bisa
diinterpretasi secara penuh dengan koefisien tunggal. Probabilitas harus
diidentifikasi dengan nilai tertentu, yaitu dengan persamaan sederhana yang
menunjukkan predicted probability dalam odds sebagai berikut :
Penafsiran dalam perhitungan analisis regresi logistik melalui empat tahapan,
yaitu logit, odds, odds ratio, dan probabilitas. Dalam melakukan perhitungan
analisis regresi logistik, peneliti menggunakan bantuan software SPSS 20.
52
3.8 Prosedur Penelitian
1. Persiapan
Pada tahap awal, peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti kemudian
mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang
teori. Selain itu, peneliti juga melakukan studi pendahuluan di lapangan, guna
membuktikan adanya fenomena terkait masalah yang diangkat dalam
penelitian. Peneliti mengadakan studi pendahuluan di Rumah Sakit
Bhayangkara Sespima Polri dan Bintaro, Jakarta Selatan. Setelah mendapatkan
teori-teori secara lengkap, kemudian peneliti menyiapkan, membuat dan
menyusun alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan skala yang peneliti buat sendiri dengan konsep binary logistic
regression untuk mengukur variabel dependen. Sedangkan untuk skala Health
Belief Model merupakan modifikasi dari skala Champion (1985) dan National
Analysts (dalam Murray & McMillan, 1993) khusus terkait dengan perilaku
skrining kanker serviks berdasarkan enam komponen HBM dari Champion dan
Skinner (dalam Glanz et.al., 2008).
2. Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini sampel diambil dengan menggunakan convenience non
probability sampling yaitu teknik pemilihan partisipan penelitian berdasarkan
kemudahan perekrutan partisipan oleh peneliti (Howitt & Cramer, 2011).
Sampel dalam penelitian ini adalah wanita berusia 21-70 tahun yang sudah
menikah di kawasan Tangerang Selatan. Pengambilan data dilakukan dari
tanggal 8 Mei 2015 sampai 17 Juni 2015.
53
3. Penyebaran Data
Peneliti melaksanakan pengambilan data dengan cara menyebarkan kuesioner
skala kepada para responden sesuai dengan kriteria sampel yang telah
ditentukan, yaitu kepada wanita berusia 21-70 tahun yang sudah menikah di
kawasan Tangerang Selatan dengan mengunjungi puskesmas yang
menyediakan pelayanan skrining kanker serviks dan puskesmas terdekat serta
posyandu.
4. Pengolahan Data
Setelah melakukan penyebaran data atau kuesioner, peneliti melakukan scoring
terhadap hasil skala yang telah diisi oleh responden, menghitung dan mencatat
tabulasi data yang diperoleh, kemudian membuat tabel. Peneliti selanjutnya
melakukan analisis data. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi
logistik binary dengan software SPSS 20.
54
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini peneliti membahas hasil penelitian yang telah dilakukan.
Pembahasan tersebut meliputi tiga bagian yaitu deskripsi subjek penelitian, hasil
analisis deskriptif dan hasil uji hipotesis penelitian.
4.1 Deskripsi Subjek Penelitian
Gambaran umum subjek pada penelitian ini diuraikan berdasarkan perilaku
pernah melakukan skrining kanker serviks atau tidak. Subjek penelitian ini
berjumlah 227 orang. Penjelasan mengenai subjek penelitian berdasarkan
gambaran perilaku dan gambaran demografis responden sebagaimana
digambarkan pada tabel 4.1 dan 4.2 berikut ini.
Tabel 4.1
Gambaran Perilaku Subjek Penelitian Sampel Penelitian Jumlah Persentase
Perilaku 227
Tidak Pernah Skrining 121 53,3%
Pernah Skrining 106 46,7%
Jenis Skrining 106
Tes IVA 1 0,4%
Tes pap smear 102 44,9%
Tes IVA & pap smear 3 1,3%
Frekuensi melakukan skrining 106
Satu kali 55 24,2%
Dua kali 18 7,9%
Tiga kali 20 8,8%
Empat kali 7 3,1%
Enam kali 2 0,9%
Delapan kali 1 0,4%
Sepuluh kali 3 1,3%
55
Berdasarkan tabel 4.1 terlihat bahwa dari 227 responden dalam penelitian
ini diketahui jumlah subjek penelitian yang tidak pernah melakukan skrining
kanker serviks lebih banyak dibandingkan dengan yang pernah melakukan
skrining kanker serviks yaitu sebanyak 121 orang atau 53,3%, sedangkan subjek
penelitian yang pernah melakukan skrining kanker serviks sebanyak 106 orang
atau 46,7%. Jenis skrining kanker serviks yang paling banyak dilakukan oleh
subjek penelitian adalah tes pap smear sebanyak 102 (44,9%) orang. Sedangkan
intensitas skrining kanker serviks yang paling banyak dilakukan oleh subjek
penelitian adalah satu kali, sebanyak 55 (24,2%) orang.
Subjek penelitian dalam penelitian ini juga dijelaskan berdasarkan data
demografis yaitu usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan, jumlah
anak dan status pernikahan.
Tabel 4.2
Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Data Demografis Sampel Penelitian Jumlah Persentase
Usia
21-40 135 59,5%
41-65 91 40,1%
66-70 1 0,4%
Tingkat Pendidikan
SD 11 4,8%
SMP 54 23,8%
SMA 130 57,3%
Diploma 18 7,9%
Sarjana 14 6,2%
Tingkat Pendapatan
<1.000.000 45 19,8%
1.000.000-2.730.000 94 41,4%
2.730.000-5.000.000 62 27,3%
>5.000.000 26 11,5%
Total 227 100%
UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten) Tangerang (2015) : Rp 2.730.000, Kep.Gub.Banten
Nomor: 561/Kep.506-Huk/2014 dalam Dewi (2015).
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa usia responden yang mendominasi
pada penelitian ini adalah usia dewasa awal menurut teori Erikson yaitu usia
56
antara 21-40 tahun dengan persentase 59,5% atau sebanyak 135 orang. Tingkat
pendidikan responden paling banyak berasal dari SMA sebesar 57,3% atau 130
orang. Penghasilan per bulan responden lebih banyak pada Rp 1.000.000 -
2.730.000 dengan persentase 41,4% atau sebanyak 94 orang, dan diikuti tingkat
pendapatan Rp 2.730.000 – 5.000.000 sebesar 27,3% atau 62 orang.
Responden yang bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) memiliki
persentase terbesar 89% atau sebanyak 202 orang, kemudian diikuti pekerjaan
wiraswasta sebanyak 9 (4%) orang, karyawan swasta 5 (2,2%) orang, PNS 3
(1,3%) orang, dosen 2 (0,9%) orang, jurnalis, asisten apoteker, guru PAUD,
perawat, pensiunan dan bidan memiliki persentase sama sebesar 0,4% atau 1
orang. Responden yang berstatus menikah sebanyak 207 (91,2%) orang,
sedangkan sisanya berstatus janda sebesar 20 (8,8%) orang. Kebanyakan
responden memiliki jumlah anak dua orang sebanyak 100 (44,1%) orang
kemudian diikuti responden yang memiliki jumlah anak tiga orang sebanyak 50
(22%) orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.
4.2 Hasil Analisis Deskripsi
Pada tabel 4.3 dijelaskan hasil analisis deskriptif variabel-variabel penelitian yang
terdiri dari nilai mean, standar deviasi, nilai maksimum, nilai minimum, dan
varians. Berdasarkan tabel 4.3 diketahui deskripsi statistik pada variabel
penelitian yaitu variabel independen (selain variabel demografi dan variabel
dependen). Kolom min dan max menjelaskan nilai minimum dan maksimum pada
setiap variabel penelitian. Dilihat dari kolom minimum diketahui variabel
57
independen yang memiliki nilai terendah ialah perceived benefits sebesar tujuh.
Sedangkan berdasarkan kolom maksimum diketahui variabel independen yang
memiliki nilai tertinggi adalah perceived barriers sebesar 82. Berdasarkan kolom
variance, variabel independen penelitian yang paling heterogen ialah variabel
perceived barriers, disusul dengan variabel self-efficacy.
Tabel 4.3
Deskripsi Statistik dan Kategorisasi Skor Variabel Penelitian
Variabel N Min Max Mean S.D Variance Rendah
n (%)
Tinggi
n (%)
P.susceptibility 227 32 77 50 9.090 82.635 104 (45.81) 123 (54.18)
P.severity 227 16 65 50 8.944 79.997 149 (65.63) 78 (34.36)
P.benefits 227 7 65 50 9.152 83.761 137 (60.35) 90 (39.64)
P.barriers 227 29 82 50 9.364 87.693 137 (60.35) 90 (39.64)
Cues to action 227 20 69 50 8.991 80.842 137 (60.35) 90 (39.64)
Self-efficacy 227 23 71 50 9.252 85.607 148 (65.19) 79 (34.80)
Kategorisasi skor hanya untuk variabel independen, selain variabel demografi.
Dengan menggunakan standar deviasi dan mean dari skala T ini, maka ditetapkan
norma seperti yang tertera pada tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4
Norma Skor Variabel Norma Interpretasi
X < 49 Rendah
X ≥ 50 Tinggi
Dengan demikian, dari hasil sebaran pada dimensi-dimensi Health Belief Model,
dimensi yang paling banyak berada pada kategori tinggi adalah perceived
susceptibility. Sedangkan dimensi yang paling banyak pada kategori rendah ialah
perceived severity, perceived benefits, perceived barriers, cues to action, dan self
efficacy.
58
4.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian
Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi logistik
dengan bantuan software IBM SPSS 20. Dalam analisis regresi logistik ada tiga
hal yang perlu diperhatikan. Pertama, besaran R square untuk mengetahui berapa
persen varians variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel independen.
Kedua, koefisien tiap variabel independen terhadap variabel dependen beserta
signifikansinya. Ketiga, proporsi varians masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen. Sebagaimana sudah dijelaskan di bab tiga bahwa
masing-masing koefisien variabel independen dapat ditafsirkan melalui empat
tingkat analisis, yaitu logit, odds, odds ratio, dan probabilitas.
Sebelum analisis regresi data penelitian, peneliti melakukan uji model fit
data, yakni apakah model yang ada sudah sesuai dengan data. Pengujian model ini
dengan model uji goodness-of-fit Hosmer-Lemeshow. Model dikatakan fit apabila
p > 0.05. Adapun hasil uji model data penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.5
berikut :
Tabel 4.5
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 13.199 8 .105
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai chi-square sebesar 13.199 dengan p= 0.105
(>0.05), artinya model teori yang digunakan dalam penelitian fit dengan data.
Dengan demikian, ada pengaruh perceived susceptibility, perceived severity,
perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-efficacy, usia, tingkat
pendidikan dan tingkat pendapatan terhadap pernah tidaknya responden
melakukan skrining kanker serviks. Setelah pengujian model fit, peneliti melihat
59
besaran R square untuk mengetahui berapa persen varians variabel dependen
dijelaskan oleh seluruh variabel independen. Berikut dipaparkan besar R square
dalam tabel 4.6.
Tabel 4.6
R Square Step Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 .417 .556
Peneliti menggunakan Nagelkerke R square untuk melihat nilai R square
karena Nagelkerke memiliki rentang nilai dari 0 sampai 1 sehingga
pengukurannya lebih reliabel dalam menjelaskan hubungan. Umumnya, nilai
Nagelkerke R square lebih tinggi dari pada Cox & Snell R square. Nagelkerke R
square lebih sering dijadikan acuan dalam pelaporan hasil analisis regresi logistik
karena nilainya yang mendekati 1. Meskipun demikian, hal ini bersifat
kontroversi, karena R square ini tidak dapat disamakan dengan R square dalam
regresi linear biasa. Dari tabel 4.6 dapat dilihat nilai Nagelkerke R square
penelitian ini sebesar 0.556 atau 55,6%. Artinya, proporsi varians logit perilaku
skrining kanker serviks yang dijelaskan oleh seluruh variabel independen yaitu
perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefits, perceived barriers,
cues to action, self-efficacy, usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan
adalah sebesar 55,6%, sedangkan 44,4% dipengaruhi oleh variabel independen
lain di luar penelitian ini.
Tahap selanjutnya adalah melihat besaran koefisien masing-masing
variabel independen. Adapun penyajiannya ditampilkan pada tabel 4.7.
60
Tabel 4.7
Koefisien Regresi Logistik B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I. for
EXP (B)
Lower Upper
P.Susceptibility .008 .022 .131 1 .718 1.008 .965 1.052
P.Severity -.001 .026 .001 1 .971 .999 .950 1.051
P.Benefits -.040 .027 2.290 1 .130 .960 .911 1.012
P.Barriers -.058 .024 5.762 1 .016 .944 .900 .989
Cues to action .079 .036 4.751 1 .029 1.082 1.008 1.162
Self-efficacy -.026 .033 .612 1 .434 .974 .912 1.040
Usia .141 .024 34.131 1 .000 1.151 1.098 1.206
T.Pendidikan 13.429 4 .009
T.Pendidikan(1) -3.284 1.405 5.466 1 .019 .037 .002 .588
T.Pendidikan(2) -2.321 .921 6.358 1 .012 .098 .016 .596
T.Pendidikan(3) -1.216 .798 2.323 1 .128 .296 .062 1.416
T.Pendidikan(4) .159 .942 .028 1 .866 1.172 .185 7.423
T.Pendapatan 24.433 3 .000
T.Pendapatan(1) -1.736 .746 5.424 1 .020 .176 .041 .760
T.Pendapatan(2) .173 .589 .086 1 .769 1.188 .375 3.770
T.Pendapatan(3) 1.601 .624 6.586 1 .010 4.960 1.460 16.853
Constant -2.664 2.167 1.512 1 .219 .070
*T.Pendidikan (pembanding) : Sarjana
*T.Pendapatan (pembanding) : > Rp 5.000.000
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa terdapat lima variabel yang signifikan
memengaruhi perilaku skrining kanker serviks, yaitu perceived barriers, cues to
action, usia, tingkat pendidikan(1), tingkat pendidikan(2), tingkat pendapatan(1)
dan tingkat pendapatan(3). Variabel lainnya yaitu perceived susceptibility,
perceived severity, perceived benefits, dan self-efficacy tidak signifikan
memengaruhi perilaku skrining kanker serviks. Untuk mengetahui signifikan atau
tidaknya koefisien regresi yang dihasilkan, peneliti melihat nilai signifikansi pada
kolom keenam dari kiri. Jika sig < 0,05, maka koefisien regresi yang dihasilkan
signifikan pengaruhnya terhadap perilaku skrining kanker serviks dan sebaliknya.
Seperti yang telah dijelaskan di bab 3, dalam melakukan analisis regresi
logistik, penafsiran dilakukan melalui empat tahap, yaitu logit, odds, odds ratio,
dan probabilitas. Logit atau log odds merupakan log dari rasio dua probabilitas.
61
Odds adalah rasio dari dua probabilitas, sedangkan odds ratio adalah rasio dari
dua odds. Odds ratio dapat dijelaskan dalam bentuk persen perubahan odds ratio
(percent change), yaitu nilai perubahan pada odds ratio dalam persen. Kemudian,
probabilitas adalah besarnya peluang terjadinya perilaku.
Nilai B (kolom ke-2) adalah koefisien dalam skala logistik yang dapat
digunakan untuk membuat persamaan prediktif (sama dengan nilai b pada regresi
linear) dalam satuan logit. Sehingga didapatkan persamaan dari model regresi ini,
yaitu:
logit perilaku skrining kanker serviks = -2.664 + 0.008 perceived susceptibility
– 0.001 perceived severity – 0.040 perceived benefits – 0.058 perceived barriers*
+ 0.079 cues to action* – 0.026 self efficacy + 0.141 usia* – 3.284 tingkat
pendidikan(1)*– 2.321 tingkat pendidikan(2)* – 1.216 tingkat pendidikan(3)
+ 0.159 tingkat pendidikan(4) – 1.736 tingkat pendapatan(1)* + 0.173 tingkat
pendapatan(2) + 1.601 tingkat pendapatan(3)* (1)
(*signifikan)
Dari enam variabel psikologi dan tiga variabel demografi pada hipotesis minor
terdapat lima yang signifikan. Penjelasan dari nilai logit yang diperoleh pada
masing-masing variabel independen adalah sebagai berikut:
1. Variabel perceived susceptibility memiliki nilai koefisien sebesar 0.008 (sig =
0.718;>0.05), yang berarti bahwa variabel perceived susceptibility secara
positif tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara
signifikan.
62
2. Variabel perceived severity memiliki nilai koefisien sebesar -0.001 (sig =
0.971;>0.05), yang berarti bahwa variabel perceived severity secara negatif
tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.
3. Variabel perceived benefits memiliki nilai koefisien sebesar -0.040 (sig =
0.130;>0.05), yang berarti bahwa variabel perceived benefits secara negatif
tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.
4. Variabel perceived barriers memiliki nilai koefisien sebesar -0.058 (sig =
0.016;<0.05), yang berarti bahwa variabel perceived barriers secara negatif
mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan. Jadi,
semakin tinggi perceived barriers seseorang, semakin rendah logit perilaku
skriningnya dan signifikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa apabila
perceived barriers seseorang naik sebanyak satu unit, maka logit seseorang
untuk skrining turun sebanyak 0.058 kali.
5. Variabel cues to action memiliki nilai koefisien sebesar 0.079 (sig =
0.029;<0.05), yang berarti bahwa variabel cues to action secara positif
mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan. Jadi,
semakin tinggi cues to action seseorang, semakin tinggi pula logit perilaku
skriningnya secara signifikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa apabila
cues to action seseorang naik sebanyak satu unit, maka logit seseorang untuk
skrining naik sebanyak 0.079 kali.
6. Variabel self-efficacy memiliki nilai koefisien sebesar -0.026 (sig =
0.434;>0.05), yang berarti bahwa variabel self-efficacy secara negatif tidak
mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.
63
7. Variabel usia memiliki nilai koefisien sebesar 0.141 (sig = 0.000;<0.05), yang
berarti bahwa variabel usia secara positif mempengaruhi logit perilaku skrining
kanker serviks secara signifikan. Jadi, semakin tinggi usia seorang wanita,
semakin tinggi pula logit perilaku skriningnya dan signifikan. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa apabila usia seorang wanita naik sebanyak satu unit,
maka logit untuk skrining naik sebanyak 0.141 kali.
8. Variabel tingkat pendidikan(1) atau SD memiliki nilai koefisien sebesar -3.284
(sig = 0.019;<0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(1) atau SD
secara negatif mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara
signifikan. Dapat pula diartikan bahwa logit perilaku skrining kanker serviks
pada wanita SD 3.284 kali lebih rendah dibandingkan sarjana. Dengan kalimat
sederhana, saat wanita lulusan SD dibandingkan dengan sarjana, sarjanalah
yang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker
serviks.
9. Variabel tingkat pendidikan(2) atau SMP memiliki nilai koefisien sebesar –
2.321 (sig = 0.012;<0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(2)
atau SMP secara negatif mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks
secara signifikan. Dapat pula diartikan bahwa logit perilaku skrining kanker
serviks pada wanita SMP 2.321 kali lebih rendah dibandingkan sarjana.
Dengan kalimat sederhana, saat wanita lulusan SMP dibandingkan dengan
sarjana, sarjanalah yang memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan
skrining kanker serviks.
64
10. Variabel tingkat pendidikan(3) atau SMA memiliki nilai koefisien sebesar –
1.216 (sig = 0.128;>0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(3)
atau SMA secara negatif tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker
serviks secara signifikan.
11. Variabel tingkat pendidikan(4) atau diploma memiliki nilai koefisien sebesar
0.159 (sig = 0.866;>0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat pendidikan(4)
atau diploma secara positif tidak mempengaruhi logit perilaku skrining kanker
serviks secara signifikan.
12. Variabel tingkat pendapatan(1) atau <Rp1.000.000 memiliki nilai koefisien
sebesar –1.736 (sig = 0.020;<0.05), yang berarti bahwa variabel tingkat
pendapatan atau <Rp1.000.000 secara negatif mempengaruhi logit perilaku
skrining kanker serviks secara signifikan. Dapat pula diartikan bahwa logit
perilaku skrining kanker serviks pada wanita dengan pendapatan <Rp1.000.000
adalah 1.736 kali lebih rendah dibandingkan wanita dengan pendapatan
>Rp5.000.000. Dengan kalimat sederhana, saat wanita dengan pendapatan
<Rp1.000.000 dibandingkan dengan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000,
wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000 lah yang memiliki kecenderungan
lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks.
13. Variabel tingkat pendapatan(2) atau Rp1.000.000-2.730.000 memiliki nilai
koefisien sebesar 0.173 (sig = 0.769;>0.05), yang berarti bahwa variabel
tingkat pendapatan(2) atau Rp1.000.000-2.730.000 secara positif tidak
mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan.
65
14. Variabel tingkat pendapatan(3) atau Rp2.730.000-5.000.000 memiliki nilai
koefisien sebesar 1.601 (sig = 0.010;<0.05), yang berarti bahwa variabel
tingkat pendapatan(3) atau Rp2.730.000-5.000.000 secara positif
mempengaruhi logit perilaku skrining kanker serviks secara signifikan. Dapat
pula diartikan bahwa logit perilaku skrining kanker serviks pada wanita dengan
pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 adalah 1.601 kali lebih tinggi
dibandingkan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000. Dengan kalimat
sederhana, saat wanita dengan pendapatan Rp2.730.000-5.000.000
dibandingkan dengan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000, wanita dengan
pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 lah yang memiliki kecenderungan lebih
tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks.
Kesederhanaan interpretasi koefisien regresi logistik dengan logit seperti
dijelaskan di atas tidak memiliki metrik yang bermakna. Log odds (logit)
merupakan persamaan yang linear, namun ada beberapa informasi yang tidak bisa
didapatkan dari logit. Oleh karena itu, interpretasi akan dilanjutkan pada tingkat
odds (Oi).
=
Keterangan : Oi = odds perilaku skrining kanker serviks
Dari persamaan di atas peneliti dapat menghitung nilai odds dari
keseluruhan variabel independen. Untuk lebih jelasnya, peneliti memberikan
sebuah contoh dari logit perilaku skrining kanker serviks dari seorang wanita.
Contoh 1: Jika diketahui seorang wanita berusia 38 tahun, pendidikan terakhir
diploma, penghasilan per bulan Rp 2.730.000-5.000.000, memiliki nilai perceived
66
susceptibility 49, nilai perceived severity 60, nilai perceived benefits 48, nilai
perceived barriers 55, nilai cues to action 50, dan nilai self-efficacy 48, maka nilai
odds yang dihasilkan adalah :
𝑖= ex (2)
Karena persamaan yang terbentuk terlalu panjang maka peneliti menyingkatnya
menjadi seperti pada persamaan (2), dimana x adalah -2.664 + 0.008(49) –
0.001(60) – 0.040(48) – 0.058(55) + 0.079(50) – 0.026(48) + 0.141(38) +
0.159(4) + 1.601(3). Sehingga didapat 𝑖 = e6.057
= 427.09.
Odds sebesar 427.09, artinya seorang wanita dengan kriteria yang
disebutkan di atas memiliki peluang 427.09 kali untuk melakukan skrining kanker
serviks dibanding tidak melakukan skrining. Interpretasi dengan angka yang besar
pada odds dapat terjadi, karena rentang nilai odds ialah dari 0 sampai +∞.
Interpretasi lebih mudah dimengerti jika dalam bentuk probabilitas yang rentang
nilainya dari 0 sampai 1.
Selanjutnya, interpretasi koefisien regresi dilanjutkan dalam bentuk odds
ratio atau persentase perubahan. Odds ratio (OR) adalah perbandingan satu odds
dengan odds yang lain. Adapaun rumus OR seperi persamaan di bawah ini :
Odds ratio =
(3)
OR digunakan untuk melihat nilai dari naik atau turunnya odds perilaku
skrining kanker serviks tiap kenaikan satu unit variabel independen. Dapat juga
dikatakan bahwa OR menunjukkan sejauh mana peningkatan ukuran variabel
dependen dengan setiap perubahan yang dipengaruhi oleh variabel independen.
Nilai OR disajikan pada kolom Exp (B) pada tabel 4.8 (kolom ke-7). Selain itu,
67
terdapat sebuah rumus sederhana di dalam analisis regresi logistik yang
menunjukkan odds ratio dapat ditafsirkan sebagai persentase perubahan (percent
change) dengan rumus:
% change = 100(OR – 1) (4)
Untuk lebih jelasnya peneliti memberikan penjabaran mengenai beberapa
contoh OR dari setiap variabel dan persentase perubahannya sehingga
mendapatkan hasil yang sesuai dengan tabel 4.8 sebagai berikut:
1. Variabel perceived susceptibility :
=
=
= 1.008. Nilai
persentase perubahannya adalah 100(1.008 – 1) = 0.8. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita
yang memiliki nilai perceived susceptibility 40 adalah 0.8 kali atau 0.8% lebih
besar dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita
yang memiliki nilai perceived susceptibility 39. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap kenaikan satu unit perceived susceptibility dan variabel lain dianggap
konstan, peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan naik sebanyak 0.8
kali atau sebesar 0.8%.
2. Variabel perceived severity :
=
=
= 0.999. Nilai
persentase perubahannya adalah 100(0.999 – 1) = 0.1. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada
wanita yang memiliki nilai perceived severity 1 adalah 0.1 kali atau 0.1%
lebih kecil dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada
wanita yang memiliki nilai perceived severity 0. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap kenaikan satu unit perceived severity dan variabel lain dianggap konstan,
68
peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan turun sebanyak 0.1 kali atau
sebesar 0.1%.
3. Variabel perceived benefits :
=
=
= 0.960. Nilai
persentase perubahannya adalah 100(0.960 – 1) = 4. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita
yang memiliki nilai perceived benefits 48 adalah 4 kali atau 4% lebih kecil
dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang
memiliki nilai perceived benefits 47. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
kenaikan satu unit perceived benefits dan variabel lain dianggap konstan,
peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan turun sebanyak 4 kali atau
sebesar 4%.
4. Variabel perceived barriers :
=
=
= 0.944. Nilai
persentase perubahannya adalah 100(0.944 – 1) = –5.6. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita
yang memiliki nilai perceived barriers 58 adalah –5.6 kali atau 5.6% lebih
kecil dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita
yang memiliki nilai perceived barriers 57. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
kenaikan satu unit perceived barriers dan variabel lain dianggap konstan,
peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan turun sebanyak 5.6 kali atau
sebesar 5.6%.
5. Variabel cues to action :
=
=
= 1.082. Nilai persentase
perubahannya adalah 100(1.082 – 1) = 8.2. Dengan demikian dapat dikatakan
69
bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang
memiliki nilai cues to action 48 adalah 8.2 kali atau 8.2% lebih besar
dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang
memiliki nilai cues to action 47. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan
satu unit cues to action dan variabel lain dianggap konstan, peluang wanita
untuk skrining kanker serviks akan naik sebanyak 8.2 kali atau sebesar 8.2%.
6. Variabel self-efficacy :
=
=
= 0.974. Nilai persentase
perubahannya adalah 100(0.974 – 1) = –2.6. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang
memiliki nilai self-efficacy 57 adalah –2.6 kali atau 2.6% lebih kecil
dibandingkan terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang
memiliki nilai self-efficacy 56. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan
satu unit self-efficacy dan variabel lain dianggap konstan, peluang wanita untuk
skrining kanker serviks akan turun sebanyak 2.6 kali atau sebesar 2.6%.
7. Variabel usia :
=
=
= 1.151. Nilai persentase
perubahannya adalah 100(1.151 – 1) = 15.1. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa odds terjadinya perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang
berusia 47 adalah 15.1 kali atau 15.1% lebih besar dibandingkan terjadinya
perilaku skrining kanker serviks pada wanita yang berusia 46. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu unit usia dan variabel lain dianggap
konstan, peluang wanita untuk skrining kanker serviks akan naik sebanyak 15.1
kali atau sebesar 15.1%.
70
Dalam hal ini odds adalah rasio dari probabilitas, sehingga penafsiran
dapat dilakukan dalam level probabilitas. Penafsiran dalam taraf probabilitas juga
memiliki keuntungan di mana hasilnya akan lebih mudah untuk dipahami.
Probabilitas dapat menunjukkan peluang terjadinya perilaku melakukan skrining
kanker serviks dibandingkan terjadinya perilaku tidak melakukan skrining kanker
serviks dengan persamaan:
probabilitas perilaku skrining kanker serviks =
(5)
Dari persamaan di atas, peneliti dapat menghitung peluang terjadinya
perilaku skrining kanker serviks pada wanita dilihat dari nilai keseluruhan
variabel independen seperti pada contoh 1 dan persamaan 2, sehingga didapatkan
hasil sebagai berikut:
probabilitas perilaku skrining kanker serviks =
= 0.997
Artinya, peluang wanita yang berusia 38 tahun dengan pendidikan terakhir
diploma dan penghasilan per bulan Rp 2.730.000-5.000.000, memiliki nilai
perceived susceptibility 49, perceived severity 60, perceived benefits 48, perceived
barriers 55, cues to action 50, dan self-efficacy 48 untuk melakukan skrining
kanker serviks adalah 0.997 atau 99,7%. Nilai 99,7% ini disebut juga nilai
predicted probability.
4.3.1 Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen
Pengujian pada tahapan ini bertujuan untuk melihat berapa besar proporsi varians
dari logit perilaku skrining kanker serviks yang bisa dijelaskan oleh masing-
masing variabel independen yaitu perceived susceptibility, perceived severity,
71
perceived benefits, perceived barriers, cues to action, self-efficacy, usia, tingkat
pendidikan, dan tingkat pendapatan seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8
Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen Variabel Independen Nagelkerke R Square R square changes
X1 0.031 0.031
X1.2 0.031 0
X1.2.3 0.057 0.026
X1.2.3.4 0.176 0.119
X1.2.3.4.5 0.201 0.025
X1.2.3.4.5.6 0.201 0
X1.2.3.4.5.6.7 0.338 0.137
X1.2.3.4.5.6.7.8 0.443 0.105
X1.2.3.4.5.6.7.8.9 0.556 0.113
Total 0.556
Keterangan :
X1= perceived susceptibility
X2= perceived severity
X3= perceived benefits
X4= perceived barriers
X5= cues to action
X6= self-efficacy
X7= Usia
X8= Tingkat pendidikan
X9= Tingkat pendapatan
Tabel 4.8 memberikan informasi mengenai besar proporsi sumbangan masing-
masing variabel independen sebagaimana berikut :
1. Variabel perceived susceptibility memberikan sumbangan sebesar 0.031 atau
3.1% dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.
72
2. Variabel perceived severity memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians
logit perilaku skrining kanker serviks.
3. Variabel perceived benefits memberikan sumbangan sebesar 0.026 atau 2.6%
dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.
4. Variabel perceived barriers memberikan sumbangan sebesar 0.119 atau 11.9%
dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.
5. Variabel cues to action memberikan sumbangan sebesar 0.025 atau 2.5%
dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.
6. Variabel self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 0% dalam varians logit
perilaku skrining kanker serviks.
7. Variabel usia memberikan sumbangan sebesar 0.137 atau 13.7% dalam varians
logit perilaku skrining kanker serviks.
8. Variabel tingkat pendidikan memberikan sumbangan sebesar 0.105 atau 10.5%
dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.
9. Variabel tingkat pendapatan memberikan sumbangan sebesar 0.113 atau 11.3%
dalam varians logit perilaku skrining kanker serviks.
Dari kesembilan variabel independen yang diprediksi memengaruhi perilaku
skrining kanker serviks, terdapat tujuh variabel yang menyumbang dalam
memprediksi perilaku skrining kanker serviks, dari mulai yang memiliki nilai
sumbangan terbesar hingga terkecil, yaitu usia sebesar 13.7%, perceived barriers
sebesar 11.9%, tingkat pendapatan sebesar 11.3%, tingkat pendidikan sebesar
10.5%, perceived susceptibility sebesar 3.1%, perceived benefits sebesar 2.6%,
dan cues to action sebesar 2.5%. Sedangkan dua variabel independen lainnya
73
tidak memberikan sumbangan sama sekali terhadap logit perilaku skrining kanker
serviks, yaitu perceived severity dan self-efficacy.
74
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti memaparkan kesimpulan penelitian, diskusi penelitian, serta
saran metodologis maupun praktis untuk penelitian selanjutnya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah
hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada pengaruh Health Belief Model
dan faktor demografis terhadap perilaku skrining kanker serviks diterima. Dari
sembilan variabel yang diduga mempengaruhi perilaku skrining kanker serviks
pada wanita di Tangerang Selatan, ditemukan lima variabel yang signifikan, yaitu
perceived barriers, cues to action, usia, tingkat pendidikan(1), tingkat
pendidikan(2), tingkat pendapatan(1) dan tingkat pendapatan(3).
5.2 Diskusi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kasus perilaku skrining kanker
serviks pada wanita di Tangerang Selatan, keyakinan wanita terhadap kerentanan
dan keseriusan dari suatu penyakit, keyakinan wanita akan manfaat dari tindakan
yang disarankan, serta keyakinan wanita akan kemampuannya untuk melakukan
skrining kanker serviks tidaklah menjadi penggerak utama seorang wanita
berperilaku skrining kanker serviks. Yang menjadi penggerak utama dan terbukti
menurut penelitian ini adalah keyakinan wanita terhadap hambatan dalam
75
melakukan tindakan kesehatan (perceived barriers), strategi yang dilakukan guna
mengaktifkan kesiapan berperilaku (cues to action), usia, tingkat pendidikan dan
tingkat pendapatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku skrining
kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan terbukti signifikan dipengaruhi
oleh perceived barriers, cues to action, usia, tingkat pendidikan, dan tingkat
pendapatan.
Variabel perceived barriers (keyakinan akan hambatan saat individu
bertindak sesuai dengan yang dianjurkan) merupakan variabel kedua terbesar yang
memberikan kontribusi pada logit perilaku skrining kanker serviks dan signifikan.
Variabel ini memiliki nilai koefisien negatif dalam skala logistik, artinya semakin
tinggi perceived barriers pada wanita, maka semakin rendah perilaku skrining
kanker serviksnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Murray dan McMillan (1993) bahwa perceived barriers atau keyakinan akan
hambatan untuk pemeliharaan kesehatan diidentifikasi sebagai prediktor yang
paling penting dari kehadiran untuk skrining serviks. Wanita yang keyakinan akan
hambatannya sedikit yang lebih mungkin untuk hadir. Hill et al. (1985) dalam
Murray dan McMillan (1993) juga menemukan bahwa keyakinan akan hambatan
merupakan yang paling penting dalam health belief yang memprediksi kehadiran
untuk skrining serviks. Item barrier yang diketahui memiliki korelasi negatif
tertinggi dengan kehadiran skrining serviks adalah rasa malu, ketidaknyamanan
dan biaya dokter. Malu adalah prediktor kuat dari skrining dari pada keyakinan
akan kerentanan dan manfaat dari deteksi dini (Richardson et al., 1987 dalam
Austin, Ahmad, McNally, & Stewart, 2002).
76
Penelitian Norman dan Fitter (1989) dalam Ogden (2007) mengenai
perilaku skrining kesehatan menemukan bahwa perceived barriers adalah
prediktor terbesar untuk kehadiran ke klinik. Review studi HBM yang dilakukan
antara tahun 1974 dan 1984 (Becker, 1974; Janz & Becker, 1984 dalam Glanz et
al., 2008), ditemukan bahwa perceived barriers adalah prediktor tunggal paling
kuat di semua studi dan perilaku. Sarafino dan Smith (2011) menyatakan
keyakinan akan risiko (kerentanan) dan keyakinan akan hambatan (perceived
barriers) muncul menjadi elemen penting dalam memprediksi perilaku kesehatan,
namun hambatan yang kuat dapat memiliki pengaruh lebih besar daripada
keyakinan akan risiko.
Data yang peneliti temukan pada studi pendahuluan, diketahui dari 15
orang wanita yang diwawancara menyatakan bahwa hambatan mereka dalam
melakukan skrining kanker serviks yaitu rasa malu, rasa takut sakit, risih, tabu,
biaya untuk skrining, jarak tempuh menuju puskesmas atau klinik yang jauh, tidak
adanya uang transport, dan tidak adanya fasilitas yang menyediakan tes skrining
di klinik sekitar rumahnya yang menyebabkan mereka enggan untuk melakukan
skrining kanker serviks. Sedangkan dari hasil wawancara dengan dua bidan di
puskesmas yang berbeda, diketahui bahwa hambatan wanita di Tangerang Selatan
untuk melakukan skrining kanker serviks adalah karena malu, tabu, sibuk, atau
karena petugas yang terlatih untuk melakukan tes skrining tidak ada karena ada
pekerjaan lain. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kesehatan
Tangerang Selatan, didapatkan informasi bahwa program skrining kanker serviks
di Tangerang Selatan telah tersedia di 11 puskesmas dari 25 puskesmas. Jadi,
77
belum semua puskesmas di Tangerang Selatan mempunyai fasilitas dan tenaga
ahli untuk pelayanan skrining kanker serviks.
Cues to action signifikan memprediksi perilaku skrining kanker serviks
dan memiliki pengaruh positif terhadap perilaku skrining kanker serviks, artinya
semakin tinggi cues to action atau strategi-strategi yang dilakukan guna
mengaktifkan kesiapan berperilaku pada wanita, maka semakin tinggi pula
perilaku skrining kanker serviksnya. Penelitian sebelumnya telah mendukung
peran cues to action dalam memprediksi perilaku kesehatan, berupa isyarat
eksternal tertentu seperti perolehan informasi. Faktanya, promosi kesehatan yang
menggunakan informasi tersebut bertujuan untuk mengubah keyakinan dan
akibatnya mempromosikan perilaku sehat di masa depan. Informasi dalam bentuk
peringatan yang membangkitkan rasa takut dapat mengubah sikap dan perilaku
kesehatan di berbagai bidang seperti kesehatan gigi, berkendara yang aman dan
merokok (Sutton, 1982; Sutton & Hallett, 1989 dalam Ogden, 2007).
Penelitian lain juga telah mendukung peran cues to action, misalnya,
individu lebih mungkin untuk melakukan Breast Self Examination (BSE) dan
jalan cepat jika mereka menerima pengingat dari eksternal, seperti saran dari
dokter dan membaca informasi kesehatan dari leaflet (Craun & Deffenbacher,
1987; Prestwich, Perugini & Hurling dalam Sarafino & Smith, 2011). Ada
kesesuaian yang peneliti temukan antara studi pendahuluan, hasil wawancara
dengan bidan di puskesmas, dan teori dari Glanz et al. (2008), bahwa cues to
action berpengaruh positif terhadap perilaku skrining kanker serviks secara
signifikan karena ia berfungsi sebagai trigger (pemicu) melalui pemberian
78
informasi dari tenaga medis (dokter, bidan, atau petugas puskesmas) serta kader
dan melalui publikasi media (brosur, majalah, koran, atau televisi) sehingga orang
tergugah sadar dan mau berperilaku skrining kanker serviks.
Variabel usia memiliki sumbangan atau pengaruh terbesar terhadap logit
perilaku skrining kanker serviks secara positif. Artinya semakin bertambah usia
seorang wanita, maka semakin tinggi logit perilaku skriningnya dan signifikan.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Murray dan McMillan (1993) yang
menyatakan bahwa usia merupakan prediktor demografis yang menunjukkan
bahwa kehadiran untuk tes pap smear lebih sering dilakukan oleh wanita dengan
usia yang lebih tua. Hasil penelitian Damiani et al. (2012) menyatakan usia
berkorelasi positif dengan pengambilan tes pap smear tetapi berkorelasi negatif
dengan penggunaan mammografi. Berdasarkan wawancara dengan responden,
wanita yang berusia muda menyatakan bahwa mereka belum melakukan skrining
kanker serviks karena waktu dan pikiran yang mereka miliki lebih diutamakan
untuk suami dan anak dibandingkan diri mereka sendiri. Sedangkan menurut hasil
wawancara dengan bidan di puskesmas, alasan yang diberikan wanita yang belum
melakukan skrining karena sibuk dengan pekerjaan.
Variabel berikutnya yaitu tingkat pendidikan, ada dua tingkat pendidikan
yang signifikan mempengaruhi perilaku skrining kanker serviks dengan tingkat
pendidikan sarjana sebagai pembanding. Responden dengan tingkat pendidikan
sarjana memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker
serviks dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan SD dan SMP. Hasil
79
penelitian ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan yang semakin tinggi
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku skrining kanker serviks.
Sesuai dengan hasil penelitian Reis et al. (2012) yang menyatakan bahwa
pendidikan menjadi suatu hal penting saat mempelajari hubungan antara
keyakinan kesehatan pada wanita dan karakteristik demografisnya. Keyakinan
wanita terhadap skrining kanker serviks dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Ketika tingkat pendidikan naik, wanita menjadi lebih yakin pada kenyataan bahwa
aplikasi kesehatan secara teratur dan melakukan pap smear merupakan suatu
perlindungan terhadap kanker serviks dan hambatan mereka untuk pap smear
menurun. Selain itu, sebagian besar health belief pada wanita dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan mereka dan wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah
memiliki health belief negatif terhadap skrining kanker serviks. Hasil ini
menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dalam membuat wanita memiliki
health belief dan perilaku yang positif.
Hasil studi Hacihasanoglu dan Gozum (2008) dalam Reis et al. (2012)
menunjukkan bahwa pendidikan adalah cara efektif dalam hal meningkatkan
persepsi yang akurat dan mengarah ke perilaku kesehatan yang positif. Terdapat
kesesuaian antara penelitian ini dan penelitian terdahulu. Salah satu hambatan
wanita di Tangerang Selatan untuk melakukan skrining kanker serviks adalah
karena berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Berdasarkan hasil wawancara
dengan dua bidan di puskesmas yang berbeda, wanita yang tinggal di pinggiran
kota belum tahu mengenai pentingnya tes IVA, mereka masih belum memahami
fungsi dan manfaat tes IVA. Wanita yang sudah tahu pun masih kurang
80
kesadarannya untuk memeriksakan diri dengan skrining kanker serviks. Hal ini
berhubungan dengan faktor pendidikan masyarakat di pinggiran kota yang tingkat
pendidikannya masih rendah, misalnya masih banyak yang lulusan SMA. Selain
itu, puskesmas juga melihat dari status pekerjaan suami, karena tingkat prostitusi
di pinggiran kota masih tinggi. Pengkajian untuk pencegahan kanker serviks di
puskesmas dilakukan dengan melihat status pekerjaan suaminya, misal suaminya
bekerja sebagai supir, kuli bangunan, atau pelayar yang jarang pulang ke rumah,
karena wanita yang hasil skriningnya positif biasanya karena ada masalah pada
hubungan suami istrinya.
Variabel tingkat pendapatan dengan pembandingnya adalah tingkat
pendapatan >Rp5.000.000 signifikan mempengaruhi perilaku skrining kanker
serviks. Responden dengan tingkat pendapatan >Rp5.000.000 memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker serviks
dibandingkan responden dengan tingkat pendapatan <Rp1.000.000. Sedangkan
responden dengan tingkat pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 cenderung lebih
tinggi melakukan skrining kanker serviks dibandingkan responden dengan tingkat
pendapatan >Rp5.000.000. Peneliti berasumsi bahwa wanita dengan pendapatan
Rp2.730.000-5.000.000 cenderung lebih tinggi untuk melakukan skrining kanker
serviks dibandingkan wanita dengan pendapatan >Rp5.000.000 karena
pendapatan Rp2.730.000-5.000.000 sudah termasuk golongan pendapatan di atas
Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Tangerang, sehingga wanita ini mampu
untuk melakukan skrining kanker serviks.
81
Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian internasional lainnya (Lorant
et al., 2002; Moser, Patnick, & Beral, 2009; Couture et al., 2008; Duport &
Ancelle-Park, 2006 dalam Damiani, 2012) yang melaporkan bahwa wanita
dengan status sosial ekonomi rendah, kecil kemungkinannya untuk menjalani
skrining kanker. Penelitian lain menunjukkan bahwa pendapatan keluarga
mempengaruhi partisipasi untuk mammogram dan pap smear, dimana wanita dari
keluarga dengan penghasilan rendah, kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi
dibandingkan dari keluarga berpenghasilan tinggi (Moser et al., 2009; Coughlin et
al., 2006; Katz & Hofer, 1994; Kim & Jang, 2008; Selvin & Brett, 2003 dalam
Park et al., 2011).
Variabel perceived susceptibility (keyakinan terhadap kerentanan
terjangkit suatu kondisi atau penyakit), tidak signifikan memprediksi perilaku
skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan. Peneliti berasumsi
berdasarkan hasil wawancara dengan dinas kesehatan dan puskesmas di
Tangerang Selatan bahwa tidak signifikannya perceived susceptibility pada wanita
di Tangerang Selatan karena berkaitan dengan pengetahuan mereka mengenai
pentingnya skrining kanker serviks yang sangat rendah. Partisipasi wanita di
Tangerang Selatan untuk skrining masih sedikit karena masyarakat belum tahu
banyak mengenai skrining serviks dengan tes IVA atau tes pap smear, sehingga
mereka tidak memahami betul mengenai risiko kemungkinan terkena kanker
serviks jika tidak skrining.
Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Reis et al. (2012) yang
menyatakan bahwa wanita memiliki perceived susceptibility rendah. Menurut
82
temuan ini, wanita berpikir bahwa mereka mungkin tidak terkena kanker serviks
di masa depan atau di waktu lainnya dalam kehidupan mereka. Hasil penelitian
lain yang dilakukan oleh Esin, Bulduk, dan Ardic (2011) menyebutkan bahwa
penyebab tidak signifikannya variabel perceived susceptibility karena sebagian
besar wanita meyakini bahwa mereka tidak berisiko terkena kanker serviks.
Sarafino dan Smith (2011) menyatakan bahwa perceived susceptibility terjadi saat
seseorang mengevaluasi kemungkinan terjadi pengembangan masalahnya.
Semakin besar risiko yang ia persepsikan, semakin besar pula ia merasa terancam
dan mengambil tindakan.
Variabel selanjutnya yaitu perceived severity (keyakinan akan keseriusan
suatu penyakit dan akibatnya) memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap
perilaku skrining kanker serviks. Berdasarkan studi pendahuluan ditemukan
bahwa dari 15 wanita yang diwawancara, terdapat sembilan orang yang
menyatakan bahwa teman-teman mereka yang tidak mau skrining kanker serviks
disebabkan karena tidak ingin mengetahui hasil tes skriningnya, mereka takut
hasil tesnya positif. Peneliti juga mendapatkan informasi dari hasil wawancara
dengan bidan di puskesmas bahwa alasan kuat yang membuat wanita di
Tangerang Selatan tidak mau melakukan skrining karena mereka takut hasilnya
positif ada kanker dan membuat beban bagi pikiran mereka, sehingga mereka
lebih memilih untuk tidak skrining. Selain itu, kesadaran wanita di Tangerang
Selatan untuk melakukan skrining masih rendah. Hal ini disebabkan karena
pemahaman mereka yang rendah akan pentingnya skrining, meskipun wanita telah
mengetahui tentang pentingnya skrining dari penyuluhan yang disampaikan
83
petugas puskesmas tetapi kesadaran untuk memeriksakan diri dengan skrining
masih kurang.
Serupa dengan yang ditemukan oleh Esin et al. (2011) yang membuktikan
bahwa perceived severity tidak signifikan memengaruhi perilaku skrining kanker
serviks pada wanita di Turki karena sebagian besar wanita Turki berpikir bahwa
kanker serviks tidak separah atau seserius jenis kanker lainnya. Sedangkan dalam
penelitian Reis et al. (2012), wanita memiliki perceived severity rendah karena
mereka tidak meyakini bahwa kanker serviks dapat mengakibatkan efek negatif
dan dapat mempengaruhi kehidupan dan hubungan mereka. Sarafino dan Smith
(2011) menyatakan bahwa semakin serius keyakinan seseorang terhadap dampak
suatu penyakit, semakin besar kemungkinan orang tersebut untuk menganggapnya
sebagai ancaman dan mengambil tindakan pencegahan. Sedangkan menurut
penelitian lain menyatakan bahwa prediktor terlemah adalah perceived severity
(Tanner-Smith & Brown, 2010; Janz et al., 2002 dalam Moore, 2011). Keyakinan
akan keparahan atau perceived severity telah terbukti memiliki korelasi kecil
dengan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Salah satu penjelasan
potensial untuk korelasi yang lemah dengan perilaku karena persepsi keparahan
hanya memengaruhi motivasi ketika keparahan melebihi batas tertentu (Abraham
& Sheeran, 2000 dalam Moore, 2011).
Variabel perceived benefits (keyakinan akan manfaat dari tindakan yang
disarankan) tidak signifikan mempengaruhi perilaku skrining kanker serviks.
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Dinas Kesehatan Tangerang
Selatan diketahui bahwa masih banyak wanita di Tangerang Selatan yang
84
memiliki keyakinan rendah akan efek positif dari skrining yang disarankan, hal ini
disebabkan karena mereka merasa belum memiliki kebutuhan untuk
memeriksakan dini kanker serviks secara teratur. Berkaitan dengan perceived
benefits, beberapa studi telah menunjukkan bahwa alasan yang paling sering
diberikan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam skrining kanker karena wanita
tidak merasa butuh, mereka merasa dalam kondisi sehat sehingga tidak merasa
butuh untuk menggunakannya. Wanita berpikir bahwa skrining mammogram
hanya perlu ketika seseorang sakit (Vernon et al. dalam Marks, Murray, Evans, &
Willig, 2000).
Harlan et al. (1991) dalam Marks, Murray, Evans, dan Willig (2000)
menemukan bahwa alasan utama wanita untuk tidak ikut berpartisipasi dalam
skrining serviks adalah mereka tidak menganggap skrining perlu dilakukan karena
mereka tidak memiliki gejala apapun. Dalam penelitian Reis et al. (2012), wanita
memiliki perceived benefits yang sedang untuk skrining kanker serviks, artinya
wanita tidak meyakini bahwa praktik kesehatan secara teratur dan melakukan tes
pap smear bisa melindunginya dari kanker serviks.
Sarafino dan Smith (2011) menyatakan kemungkinan seseorang
berperilaku sehat bergantung langsung pada dua penilaian, yaitu perasaan
terancam (perceived threat) atas masalah kesehatan yang dialami dan pro-kontra
(perceived benefits dan barriers) dalam menimbang suatu perilaku kesehatan.
Hasil pertimbangan seseorang yang menilai manfaat suatu perilaku kesehatan
terhadap hambatan merupakan suatu penjumlahan (sum = benefits – barriers),
sejauh mana seseorang mengambil tindakan jika lebih bermanfaat bagi dirinya
85
daripada tidak mengambil tindakan. Seseorang yang merasa terancam oleh
penyakit dan percaya manfaat dari pemeriksaan lebih besar daripada hambatan
cenderung untuk melakukan pemeriksaan. Tetapi, orang yang tidak merasa
terancam atau menilai bahwa hambatan terlalu kuat, orang tersebut cenderung
untuk tidak melakukan pemeriksaan.
Variabel self-efficacy tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan. Pada beberapa
penelitian sebelumnya ditemukan self-efficacy memiliki pengaruh signifikan
terhadap perilaku skrining kanker serviks. Penelitian Fernández et al. (2009)
ditemukan hasil regresi logistik mendukung hubungan teoritis antara self-efficacy
dan perilaku kesehatan di mana wanita dengan self-efficacy tinggi lebih cenderung
melakukan tes pap smear kembali daripada wanita dengan self-efficacy rendah.
Penelitian lain ditemukan self-efficacy menjadi faktor penting dari banyak
perilaku kesehatan (Kang et al., 2004; Reece & Harkless, 2006; Lorig et al., 2003;
Lorig K et al., 1999; Palmer et al., 2005 dalam Fernández et al., 2009), dan
temuan ini menunjukkan bahwa hal ini penting juga untuk skrining tes pap smear.
Ditemukan ketidaksesuaian antara penelitian ini dengan penelitian-
penelitian terdahulu. Peneliti berasumsi bahwa tidak signifikannya self-efficacy
terhadap perilaku skrining kanker serviks pada wanita di Tangerang Selatan
berdasarkan hasil wawancara dengan bidan di puskesmas disebabkan karena
masih banyak wanita yang memiliki komitmen sangat rendah untuk melakukan
skrining kanker serviks sesuai dengan anjuran pihak medis, mereka masih perlu
terus diingatkan tentang adanya tes IVA di puskesmas. Jika tidak ada petugas
86
puskesmas atau kader yang mengingatkan dan mendorong untuk tes IVA di
puskesmas, kemungkinan wanita untuk melakukan skrining sangat kecil sekali,
ditambah keyakinan bahwa mereka mampu mengatasi hambatan-hambatan yang
mungkin muncul untuk melakukan skrining kanker serviks yang masih rendah.
5.3 Saran
Peneliti menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena
itu, peneliti memaparkan saran metodologis dan saran praktis. Saran-saran ini
dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya yang memiliki variabel dependen
yang sama, yaitu perilaku skrining kanker serviks.
5.3.1 Saran Metodologis
1. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya dilakukan pengkajian
lebih dalam pada variabel yang signifikan dalam penelitian ini, antara lain
variabel perceived barriers dan cues to action.
2. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya dilakukan pada wanita
dengan domisili yang berbeda, misalnya pada wanita yang berdomisili di
Jabodetabek di tingkat kabupaten atau perkotaannya, dan atau pada wanita
yang tinggal di pedesaan, karena sampel dari lokasi lain memiliki
karakteristik yang berbeda-beda sehingga hasilnya pun dapat berbeda.
87
5.3.2 Saran Praktis
1. Penelitian ini membuktikan bahwa perceived barriers memiliki pengaruh
signifikan terhadap perilaku skrining kanker serviks pada wanita di
Tangerang Selatan. Peneliti memiliki saran untuk Dinas Kesehatan
Tangerang Selatan, agar menyediakan fasilitas skrining kanker serviks di
seluruh puskesmas di Tangerang Selatan serta menambah tenaga ahli dalam
pelayanan skrining di setiap puskesmas yang bertujuan untuk mengurangi
hambatan pada wanita dan memudahkan seluruh wanita di Tangerang
Selatan dalam mengakses fasilitas untuk skrining kanker serviks.
2. Peneliti memiliki saran untuk Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, dokter,
bidan, bagian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di puskesmas, dan khususnya
kader yang langsung berinteraksi dengan warga untuk lebih aktif
memberikan program penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan cues
to action (strategi yang dilakukan guna mengaktifkan kesiapan berperilaku
berupa informasi dari eksternal) pada wanita di Tangerang Selatan, sehingga
mereka mau melakukan skrining kanker serviks. Adapun penyuluhan ini
bisa lebih difokuskan pada wanita yang tidak pernah skrining, wanita yang
berasal dari tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan yang rendah, wanita
yang cenderung jarang untuk skrining karena lupa, merasa malu dan tabu,
tidak teratur melakukan skrining, atau karena tidak tahu mengenai program
skrining kanker serviks.
3. Pemberian informasi dari eksternal (cues to action) mengenai skrining
kanker serviks untuk wanita di Tangerang Selatan dapat berupa edukasi
88
kesehatan, leaflet yang disediakan di puskesmas, seminar, konseling khusus,
pendekatan dan intervensi berbasis komunitas, serta meyakinkan wanita
mengenai nilai dan manfaat dari kemampuan tes ini untuk mendeteksi sel-
sel pra-kanker, sehingga akan memberikan kesempatan untuk meningkatkan
pengambilan skrining kanker serviks.
4. Untuk para wanita di Tangerang Selatan disarankan aktif dalam mencari
informasi berkaitan dengan skrining kanker serviks yang telah disediakan
oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, puskesmas dan BPJS Kesehatan.
89
DAFTAR PUSTAKA
Abotchie, P.N., & Shokar, N.K. (2009). Cervical cancer screening among college
students in Ghana: knowledge and health beliefs. International journal of
gynecological cancer: Official journal of the international gynecological
cancer society. 19(3), 412-416.
American Cancer Society. (2010). The millenium development goals and non-
communicable diseases (NCDs). Diunduh dari
http://ncdalliance.org/sites/default/files/rfiles/The%20MDGs%20and%20N
CDs_0.pdf. Diakses pada 30 Januari 2015.
Anderson, N.B. (2004). Encyclopedia of health and behavior. U.S.A: Sage
Publications.
Austin, L.T., Ahmad, F., McNally, M.J., & Stewart, D.E. (2002). Breast and
cervical cancer screening in hispanic women: a literature review using the
health belief model. Women's health issues. 12(3), 122-128.
BPJS Kesehatan. (2014). Panduan praktis skrining kesehatan. Diunduh dari
http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/arsip/view/36. Diakses pada 30
Januari 2015.
Bundek, N.I., Marks, G., & Richardson, J.L. (1993). Role of health locus of
control beliefs in cancer screening of elderly hispanic women. American
psychological association. 12(3), 193-199.
Conner, M., & Norman, P. (2005). Predicting health behaviour: Research and
practice with social cognition models. London : Open University Press.
Coughlin, S.S., King, J., Richards, T.B., & Ekwueme, D.U. (2006). Cervical
cancer screening among women in metropolitan areas of the united states by
individual-level and area-based measures of socioeconomic status, 2000 to
2002. Cancer epidemiology, biomarkers and prevention. 15(11), 2154-2159.
Damiani, G., Federico, B., Basso, D., Ronconi, A., Bianchi, C.B.N.A., Anzellotti,
G.M., Nasi, G., Sassi, F., & Ricciardi, W. (2012). Socioeconomic disparities
in the uptake of breast and cervical cancer screening in Italy: a
crosssectional study. BMC public health. 12(99), 1471-2458.
Dewi, Tris Susanti. (2015). UMR/UMK propinsi banten, non sektor pada tahun
2015. Diunduh dari
http://www.hrcentro.com/umr/banten/kota_tangerang/non_sektor/2015.
Diakses pada 28 April 2015.
90
Esin, M.N., Bulduk, S., & Ardic, A. (2011). Beliefs about cervical cancer
screening among turkish married women. Journal of cancer education.
26(3), 510-515.
Fernández, M. E., Diamond, P. M., Rakowski, W., Gonzales, A., Tortolero-Luna,
G., Williams, J., & Morales-Campos, D.Y. (2009). Development and
validation of a cervical cancer screening self-efficacy scale for low-income
mexican american women. Cancer epidemiology biomarkers and
prevention. 18(3), 866-875.
Glanz, K., Rimer, B.K., & Viswanath, K. (2008). Health behavior and health
education: Theory, research, and practice. U.S.A: Jossey-Bass A Wiley
Imprint.
Hajializadeh, K., Ahadi, H., Jomehri, F., & Rahgozar, M.. (2013). Psychosocial
predictors of barriers to cervical cancer screening among iranian women:
the role of attachment style and social demographic factors. Journal of
preventive medicine and hygiene. 54(4), 218-222.
Herman. (2014). Kesadaran untuk deteksi dini kanker serviks masih rendah.
Diunduh dari http://www.beritasatu.com/kesra/192891-kesadaran-untuk-
deteksi-dini-kanker-serviks-masih-rendah.html. Diakses pada 8 Desember
2014.
Howitt, D., & Cramer, D. (2011). Introduction to research methods in psychology.
U.K : Pearson Education Limited.
Janz, N. K., & Becker, M. H. (1984). The health belief model: A decade later.
Health education and behavior. 11(1), 1-47.
Jemal, A., Bray, F., Center, M.M., Ferlay, J., Ward, E., & Forman, D. (2011).
Global cancer statistics. CA: A cancer journal for clinicians. 61(2), 69-90.
Julinawati, S., Cawley, D., Domegan, C., Brenner, M., & Rowan, N.J. (2013). A
review of the perceived barriers within the health belief model on pap smear
screening as a cervical cancer prevention measure. Journal of asian
scientific research. 3(6), 677-692.
Kania, D. (2014). Alasan wanita takut jalani pap smear. Diunduh dari
http://lifestyle.okezone.com/read/2014/12/16/481/1080013/alasan-wanita-
takut-jalani-pap-smear. Diakses pada 8 Desember 2014.
Kementerian Kesehatan. (2015). Panduan pelayanan kanker. Diunduh dari
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PanduanPelayananKanker.pdf.
Diakses pada 3 November 2015.
Kuitto, K., Pickel, S., Neumann, H., Jahn, D., & Metelmann, H.R. (2010).
Attitudinal and socio-structural determinants of cervical cancer screening
91
and HPV vaccination uptake: a quantitative multivariate analysis. Journal of
public health. 18(2), 179–188.
Maiman, L.A., & Becker, M.H. (1974). The health belief model: Origins and
correlates in psychological theory. Health education monographs. 2(4), 336-
353.
Marks, D.F., Murray, M., Evans, B., & Willig, C. (2000). Health psychology :
Theory, research and practice. London: SAGE Publications.
McKinnon, B., Harper, S., & Moore, S. (2011). Decomposing income-related
inequality in cervical screening in 67 countries. International journal of
public health. 56(2), 139-152.
Miller, A.B. (1996). Advances in cancer screening. Massachusetts : Kluwer
Academic Publishers.
Moore, A.D.P. (2011). Health beliefs and socio-cultural factors that predict
cervical cancer screening behaviors among hispanic women in seven cities
in the upstate of south carolina. ProQuest Dissertations & Theses Full Text:
The Humanities and Social Sciences Collection; ProQuest Sociology.
Diunduh dari
http://search.proquest.com/docview/919007102?accountid=25704. Diakses
pada 9 November 2015.
Mufti, A. (2014). Peran pemerintah daerah provinsi bali dalam penanggulangan
kanker serviks. Diunduh dari
http://yayasankankerindonesia.org/2014/peran-pemerintah-daerah-provinsi-
bali-dalam penanggulangan-kanker-serviks/. Diakses pada 8 Desember
2014.
Murray, M., & McMillan, C. (1993). Health beliefs, locus of control, emotional
control and women's cancer screening behaviour. British journal of clinical
pychology. 32(1), 87-100.
Ogden, J. (2007). Health psychology. England : Open University Press.
Pampel, F.C. (2000). Logistic regression : A primer. U.S.A : Sage Publications.
Park, M.J., Park, E.C., Choi, K.S., Jun, J.K., & Lee, H.Y. (2011).
Sociodemographic gradients in breast and cervical cancer screening in
korea: the Korean National Cancer Screening Survey (KNCSS) 2005-2009.
BMC cancer. 11(1), 257-265.
Paskett, E.D., McLaughlin, J.M., Reiter, P.L., Lehman, A.M., Rhoda, D.A., Katz,
M.L., Hade, E.M., Post, D.M., & Ruffin, M.T. (2010). Psychosocial
predictors of adherence to risk-appropriate cervical cancer screening
guidelines: a cross sectional study of women in ohio appalachia
92
participating in the Community Awareness Resources and Education
(CARE) project. Preventive medicine. 50(1), 74-80.
Porta, M.S., Greenland, S., Hernán, M., Silva, I.S., & Last, J.M. (2014). A
dictionary of epidemiology. U.S.A : Oxford University Press.
Reis, N., Bebis, H., Kose, S., Sis, A., Engin, R., & Yavan, T. (2012). Knowledge,
behavior and beliefs related to cervical cancer and screening among turkish
women. Asian pacific journal of cancer prevention. 13(4), 1463-1470.
Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2011). Health psychology : Biopsychosocial
interactions. U.S.A : John Wiley & Sons.
Sheeran, P., & Orbell, S. (2000). Using implementation intentions to increase
attendance for cervical cancer screening. American psychological
association. 19(3), 283-289.
Singh, G.K., Miller, B.A., Hankey, B.F., & Edwards, B.K. (2004). Persistent area
socioeconomic disparities in US incidence of cervical cancer, mortality,
stage, and survival. Cancer. 101(5), 1051-1057.
Taylor, S.E. (2006). Health psychology. New York : McGraw-Hill.
Umar, J. (2013). Statistika. Bahan ajar fakultas psikologi UIN Jakarta. Tidak
dipublikasikan.
Vet, J.N.I., De Boer, M.A., Van den Akker, B.E.W.M., Siregar, B., Lisnawati,
Budiningsih, S., Tyasmorowati, D., Moestikaningsih, Cornain, S., Peters,
A.A.W., & Fleuren, G.J. (2008). Prevalence of human papillomavirus in
Indonesia: a population-based study in three regions. British journal of
cancer. 99(1), 214 – 218.
WHO. (2013). WHO guidance note: Comprehensive cervical cancer prevention
and control: A healthier future for girls and women. Switzerland: WHO
Press.
WHO. (2014). Human papilloma virus (HPV) and cervical cancer. Diunduh dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs380/en/. Diakses pada 31
Januari 2015.
Yanikkerem, E., Goker, A., Piro, N., Dikayak, S., & Koyuncu, F.M. (2013).
Knowledge about cervical cancer, pap test and barriers towards cervical
screening of women in turkey. Journal of cancer education. 28(2), 375–383.
Yi, J. K. (1994). Factors associated with cervical cancer screening behavior
among vietnamese women. Journal of community health. 19(3), 189-200.
93
LAMPIRAN 1
KUESIONER PENELITIAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera
Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat
ini sedang melakukan penelitian mengenai keyakinan tentang kondisi kesehatan
pada wanita usia 21-70 tahun dan sudah menikah terhadap kanker serviks. Dalam
rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana psikologi,
saya membutuhkan sejumlah data yang hanya akan dapat saya peroleh dengan
adanya kerjasama dari Anda dalam mengisi kuesioner ini.
Anda diminta untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda
dan jawaban yang diberikan adalah jawaban yang sejujurnya dan paling
menggambarkan diri Anda. Tidak ada jawaban yang salah atau benar dan setiap
jawaban yang Anda berikan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan
untuk keperluan penelitian ini.
Bacalah petunjuk pengisian terlebih dahulu. Setelah selesai mengisi kuesioner
ini mohon diteliti kembali jawaban Anda agar tidak ada pernyataan yang tidak
terjawab atau terlewati. Bantuan Anda dalam menjawab pertanyaan pada
kuesioner ini merupakan bantuan yang amat besar dan berarti bagi keberhasilan
penelitian ini. Saya mengucapkan terima kasih atas kerjasama Anda.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Mei 2015
Hormat saya,
Ganissufi Kautsar
94
DATA RESPONDEN
1) Nama :
2) Usia :
3) Pendidikan terakhir : Centang (√) pada salah satu pilihan jawaban di
bawah ini :
□ SD □ SMA □ Sarjana
□ SMP □ Diploma □ Lainnya .........
4) Pekerjaan :
5) Penghasilan Per bulan (suami dan istri) : Centang (√) pada salah satu
pilihan jawaban di bawah ini :
□ Kurang dari Rp 1.000.000 □ Rp 2.730.000 – Rp 5.000.000
□ Rp 1.000.000 – Rp 2.730.000 □ Diatas Rp 5.000.000
6) Status pernikahan : Centang (√) pada salah satu pilihan jawaban di bawah ini :
□ Belum Menikah
□ Menikah
□ Cerai / Janda
7) Jumlah anak :
Tanda tangan
( )
95
BAGIAN 1
Baca dan pahamilah setiap pernyataan di bawah ini dan isilah sesuai dengan
keadaan diri Anda dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom jawaban
yang telah disediakan.
BAGIAN 2
Berikut ini terdapat beberapa pernyataan. Baca dan pahamilah setiap pernyataan.
Anda diminta untuk memilih jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda dari
keempat alternatif jawaban yang tersedia dengan memberikan tanda centang (√)
pada kolom jawaban yang telah disediakan.
No. Pernyataan Iya Tidak
1. Apakah Anda pernah melakukan pemeriksaan
dini kanker serviks?
2.
Jika iya, apa jenis pemeriksaan kanker serviks yang dilakukan? (Centang
(√) pada pilihan jawaban yang tersedia, jawaban dapat lebih dari
satu) :
□ Tes IVA (Berapa kali...........)
□ Tes pap smear (Berapa kali...........)
No. Pernyataan
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju Setuju
Sangat
Setuju
1. Jika kanker serviks terdeteksi
dini, maka tingkat keberhasilan
pengobatan lebih tinggi.
2. Penyuluhan mengenai kanker
serviks bermanfaat untuk
menambah pemahaman saya
tentang pentingnya pemeriksaan
dini kanker serviks.
3. Jika saya melakukan
pemeriksaan dini kanker serviks
secara teratur, maka peluang
saya terkena kanker serviks
rendah.
4. Dengan adanya pemeriksaan
96
dini kanker serviks, saya dapat
terhindar dari risiko kanker
serviks.
5. Saya melakukan pemeriksaan
dini kanker serviks sesegera
mungkin, sebagai upaya
pencegahan terhadap kanker
serviks.
6. Saya memperoleh informasi
yang tepat dan benar mengenai
pemeriksaan dini kanker serviks
dari pihak medis (dokter, bidan,
konsultan kesehatan).
7. Informasi tentang kanker
serviks yang disampaikan oleh
ibu kader, mendorong saya
untuk melakukan pemeriksaan
dini kanker serviks.
8. Brosur yang berisi informasi
lengkap mengenai kanker
serviks meyakinkan saya untuk
melakukan pemeriksaan dini
kanker serviks.
9. Penyuluhan tentang kanker
serviks mengingatkan saya akan
pentingnya melakukan
pemeriksaan dini kanker serviks
secara teratur.
10. Saya mencatat tanggal untuk
mengingatkan saya melakukan
pemeriksaan dini kanker serviks
selanjutnya.
11. Saya memiliki komitmen untuk
mampu menjalani pemeriksaan
dini kanker serviks sesuai
dengan anjuran pihak medis.
12. Saya mampu menetapkan
tujuan untuk mencegah
terjangkitnya kanker serviks.
13. Saya mampu menjaga pola
hidup yang lebih sehat sesuai
anjuran pihak medis untuk
menghindari risiko
terjangkitnya kanker serviks.
14. Saya mampu mengatasi
hambatan-hambatan yang
97
mungkin muncul untuk
melakukan pemeriksaan dini
kanker serviks.
15. Saya mampu menyampaikan
hasil pemeriksaan dini kanker
serviks kepada anggota
keluarga saya.
16. Saya malu melakukan
pemeriksaan dini kanker
serviks.
17. Melakukan pemeriksaan dini
kanker serviks, menimbulkan
rasa tidak nyaman atau sakit.
18. Saya kesulitan untuk melakukan
pemeriksaan dini kanker serviks
karena jarak tempuh menuju
klinik yang relatif jauh.
19. Saya mengalami kesulitan
memperoleh kendaraan umum
menuju klinik pemeriksaan dini
kanker serviks.
20. Biaya untuk pemeriksaan dini
kanker serviks tidak terjangkau.
21. Klinik di sekitar rumah saya
tidak menyediakan fasilitas
untuk pemeriksaan dini kanker
serviks.
22. Saya tidak terbebani melakukan
pemeriksaan dini kanker serviks
dengan adanya bantuan dana
kesehatan (BPJS) dari
pemerintah.
23. Saya berisiko terkena kanker
serviks.
24. Kondisi kesehatan saya saat ini,
rentan terkena kanker serviks.
25. Saya yakin peluang saya tinggi
mengalami kanker serviks di
masa depan.
26. Kerentanan terhadap
terjangkitnya kanker serviks
dipengaruhi oleh pola hidup
saya sejauh ini.
27. Menilik riwayat kesehatan
keluarga saya, kemungkinan
saya terjangkit kanker serviks
98
Harap periksa kembali seluruh jawaban Anda. Pastikan tidak ada halaman
ataupun nomor yang terlewat.
Terima Kasih
lebih tinggi.
28. Saya tidak mau melakukan
pemeriksaan dini kanker
serviks, karena saya tidak ingin
mengetahui hasil pemeriksaan
tersebut.
29. Saat saya memperoleh
informasi tentang kanker
serviks, saya menyadari betapa
seriusnya akibat yang dapat
ditimbulkan dari kanker serviks.
30. Saya meyakini orang-orang
yang menderita kanker serviks
selalu disertai dengan respon
nyeri.
31. Saya meyakini bahwa kanker
serviks berdampak pada
hubungan sosial seseorang.
32. Keseriusan dampak kanker
serviks menjadi perhatian saya
saat ini.
99
LAMPIRAN 2
Hasil Lisrel
a. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Susceptibility
UJI VALIDITAS KONSTRUK SUSCEPT
DA NI=5 NO=227 MA=PM
LA
X23 X24 X25 X26 X27
PM SY FI=SUSCEPT.COR
MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
SUSCEPT
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1
FR TD 5 4
PD
OU TV SS MI
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 4
Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 5.897 (P = 0.2070)
Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 5.864 (P = 0.2096)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1.897
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 12.634)
Minimum Fit Function Value = 0.0260
100
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.00836
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0557)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0457
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.118)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.453
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.123
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.115 ; 0.170)
ECVI for Saturated Model = 0.132
ECVI for Independence Model = 2.773
Chi-Square for Independence Model (10 df) = 619.545
Normed Fit Index (NFI) = 0.990
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.992
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.396
Comparative Fit Index (CFI) = 0.997
Incremental Fit Index (IFI) = 0.997
Relative Fit Index (RFI) = 0.976
Critical N (CN) = 509.835
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0205
Standardized RMR = 0.0205
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.990
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.962
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.264
b. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Severity
UJI VALIDITAS KONSTRUK SEVERITY
DA NI=5 NO=227 MA=PM
LA
X28 X29 X30 X31 X32
PM SY FI=SEVERITY.COR
SE
2 3 4 5/
MO NX=4 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
SEVERITY
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1
FR TD 4 3 TD 3 2
PD
OU TV SS MI
101
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom for (C1)-(C2) 0
Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) 0.00 (P = 1.0000)
Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) 0.00 (P = 1.0000)
The Model is Saturated, the Fit is Perfect !
c. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Benefits
UJI VALIDITAS KONSTRUK BENEFIT
DA NI=5 NO=227 MA=PM
LA
X1 X2 X3 X4 X5
PM SY FI=BENEFIT.COR
MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
BENEFIT
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1
FR TD 4 2 TD 2 1
PD
OU TV SS MI
102
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 3
Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 5.564 (P = 0.1349)
Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 5.816 (P = 0.1209)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 2.564
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 13.384)
Minimum Fit Function Value = 0.0245
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0113
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0590)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0614
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.140)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.321
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.130
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.119 ; 0.178)
ECVI for Saturated Model = 0.132
ECVI for Independence Model = 4.380
Chi-Square for Independence Model (10 df) = 984.354
Normed Fit Index (NFI) = 0.994
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.991
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.298
Comparative Fit Index (CFI) = 0.997
Incremental Fit Index (IFI) = 0.997
103
Relative Fit Index (RFI) = 0.981
Critical N (CN) = 461.914
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0154
Standardized RMR = 0.0154
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.990
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.949
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.198
d. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Perceived Barriers
UJI VALIDITAS KONSTRUK BARRIER
DA NI=7 NO=227 MA=PM
LA
X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22
PM SY FI=BARRIER.COR
SE
1 2 3 4 5 6/
MO NX=6 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
BARRIER
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1 LX 6 1
FR TD 2 1 TD 4 3 TD 6 2 TD 6 4
PD
OU TV SS MI
104
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 5
Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 9.441 (P = 0.0927)
Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 9.327 (P = 0.0967)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 4.441
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 17.235)
Minimum Fit Function Value = 0.0416
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0196
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0759)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0626
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.123)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.306
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.183
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.163 ; 0.239)
ECVI for Saturated Model = 0.185
ECVI for Independence Model = 4.874
Chi-Square for Independence Model (15 df) = 1094.382
Normed Fit Index (NFI) = 0.991
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.988
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.330
Comparative Fit Index (CFI) = 0.996
Incremental Fit Index (IFI) = 0.996
Relative Fit Index (RFI) = 0.974
Critical N (CN) = 362.176
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0328
Standardized RMR = 0.0328
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.986
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.943
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.235
e. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Cues to Action
UJI VALIDITAS KONSTRUK CUESTOA
DA NI=5 NO=227 MA=PM
LA
X6 X7 X8 X9 X10
PM SY FI=CUESTOA.COR
105
MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
CUESTOA
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1
FR TD 2 1 TD 5 3
PD
OU TV SS MI
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 3
Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 4.935 (P = 0.1767)
Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 4.929 (P = 0.1771)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1.935
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 12.263)
Minimum Fit Function Value = 0.0217
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.00852
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0540)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0533
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.134)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.380
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.127
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.119 ; 0.173)
ECVI for Saturated Model = 0.132
ECVI for Independence Model = 3.775
106
Chi-Square for Independence Model (10 df) = 847.014
Normed Fit Index (NFI) = 0.994
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.992
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.298
Comparative Fit Index (CFI) = 0.998
Incremental Fit Index (IFI) = 0.998
Relative Fit Index (RFI) = 0.980
Critical N (CN) = 520.689
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.0101
Standardized RMR = 0.0101
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.991
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.957
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.198
f. Syntax, Path Diagram, dan Output Variabel Self-efficacy
UJI VALIDITAS KONSTRUK SE
DA NI=5 NO=227 MA=PM
LA
X11 X12 X13 X14 X15
PM SY FI=SE.COR
MO NX=5 NK=1 LX=FR TD=SY
LK
SE
FR LX 1 1 LX 2 1 LX 3 1 LX 4 1 LX 5 1
FR TD 5 2 TD 5 3
PD
OU TV SS MI
107
Goodness of Fit Statistics
Degrees of Freedom for (C1)-(C2) = 3
Maximum Likelihood Ratio Chi-Square (C1) = 2.493 (P = 0.4766)
Browne's (1984) ADF Chi-Square (C2_NT) = 2.465 (P = 0.4816)
Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 7.423)
Minimum Fit Function Value = 0.0110
Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.0327)
Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.0
90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.104)
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.684
Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 0.119
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (0.119 ; 0.152)
ECVI for Saturated Model = 0.132
ECVI for Independence Model = 4.466
Chi-Square for Independence Model (10 df) = 1003.700
Normed Fit Index (NFI) = 0.998
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.002
Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.299
Comparative Fit Index (CFI) = 1.000
Incremental Fit Index (IFI) = 1.001
Relative Fit Index (RFI) = 0.992
108
Critical N (CN) = 1029.767
Root Mean Square Residual (RMR) = 0.00949
Standardized RMR = 0.00947
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.996
Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.978
Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.199
109
LAMPIRAN 3
Output SPSS Analisis Regresi Logistik
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases
Included in Analysis 227 100,0
Missing Cases 0 ,0
Total 227 100,0
Unselected Cases 0 ,0
Total 227 100,0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number
of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Tidak pernah skrining
kanker serviks 0
Pernah skrining kanker
serviks 1
110
Categorical Variables Codings
Frequency Parameter coding
(1) (2) (3) (4)
Tingkat_Pendidikan
SD 11 1,000 ,000 ,000 ,000
SMP 54 ,000 1,000 ,000 ,000
SMA 130 ,000 ,000 1,000 ,000
Diploma 18 ,000 ,000 ,000 1,000
Sarjana 14 ,000 ,000 ,000 ,000
Tingkat_Pendapatan
<1.000.000 45 1,000 ,000 ,000
1.000.000-
2.730.000 94 ,000 1,000 ,000
2.730.000-
5.000.000 62 ,000 ,000 1,000
>5.000.000 26 ,000 ,000 ,000
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed Predicted
Perilaku_Skrining_Kank
er_Serviks
Percentage Correct
Tidak
pernah
skrining
kanker
serviks
Pernah
skrining
kanker
serviks
Step 0
Perilaku_
Skrining_
Kanker_
Serviks
Tidak pernah
skrining kanker
serviks
121 0 100,0
Pernah skrining
kanker serviks 106 0 ,0
Overall Percentage 53,3
a. Constant is included in the model.
b. The cut value is ,500
111
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 0 Constant -,132 ,133 ,990 1 ,320 ,876
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables
Perceived_Susceptibility ,031 1 ,861
Perceived_Severity 5,236 1 ,022
Perceived_Benefits 7,565 1 ,006
Perceived_Barriers 21,844 1 ,000
Cues_to_Action 15,050 1 ,000
Self_Efficacy 9,410 1 ,002
Usia 35,387 1 ,000
Tingkat_Pendidikan 13,935 4 ,008
Tingkat_Pendidikan(1) 6,568 1 ,010
Tingkat_Pendidikan(2) 2,656 1 ,103
Tingkat_Pendidikan(3) ,785 1 ,376
Tingkat_Pendidikan(4) 5,118 1 ,024
Tingkat_Pendapatan 39,778 3 ,000
Tingkat_Pendapatan(1) 21,866 1 ,000
Tingkat_Pendapatan(2) 1,747 1 ,186
Tingkat_Pendapatan(3) 29,040 1 ,000
Overall Statistics 94,765 14 ,000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1
Step 122,382 14 ,000
Block 122,382 14 ,000
Model 122,382 14 ,000
112
Model Summary
Step -2 Log
likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 191,315a ,417 ,556
a. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than ,001.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 13,199 8 ,105
Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test
Perilaku_Skrining_Kanker_Serviks
= Tidak pernah skrining kanker
serviks
Perilaku_Skrining_Kanker_Serviks
= Pernah skrining kanker serviks
Total
Observed Expected Observed Expected
Step 1
1 23 22,684 0 ,316 23
2 23 21,328 0 1,672 23
3 17 20,002 6 2,998 23
4 17 17,720 6 5,280 23
5 16 14,074 7 8,926 23
6 8 10,570 15 12,430 23
7 11 6,980 12 16,020 23
8 2 4,682 21 18,318 23
9 3 2,182 20 20,818 23
10 1 ,778 19 19,222 20
113
Classification Tablea
Observed Predicted
Perilaku_Skrining_Kanker_Serviks Percentage
Correct
Tidak pernah
skrining kanker
serviks
Pernah skrining
kanker serviks
Step 1
Perilaku_Skri
ning_Kanker_
Serviks
Tidak pernah skrining
kanker serviks 99 22 81,8
Pernah skrining kanker
serviks 20 86 81,1
Overall Percentage 81,5
a. The cut value is ,500
114
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 308,308a ,023 ,031
a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 308,304a ,023 ,031
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for
EXP(B)
Lower Upper
Step 1a
Perceived_Susceptibility ,008 ,022 ,131 1 ,718 1,008 ,965 1,052
Perceived_Severity -,001 ,026 ,001 1 ,971 ,999 ,950 1,051
Perceived_Benefits -,040 ,027 2,290 1 ,130 ,960 ,911 1,012
Perceived_Barriers -,058 ,024 5,762 1 ,016 ,944 ,900 ,989
Cues_to_Action ,079 ,036 4,751 1 ,029 1,082 1,008 1,162
Self_Efficacy -,026 ,033 ,612 1 ,434 ,974 ,912 1,040
Usia ,141 ,024 34,131 1 ,000 1,151 1,098 1,206
Tingkat_Pendidikan 13,429 4 ,009
Tingkat_Pendidikan(1) -3,284 1,405 5,466 1 ,019 ,037 ,002 ,588
Tingkat_Pendidikan(2) -2,321 ,921 6,358 1 ,012 ,098 ,016 ,596
Tingkat_Pendidikan(3) -1,216 ,798 2,323 1 ,128 ,296 ,062 1,416
Tingkat_Pendidikan(4) ,159 ,942 ,028 1 ,866 1,172 ,185 7,423
Tingkat_Pendapatan 24,433 3 ,000
Tingkat_Pendapatan(1) -1,736 ,746 5,424 1 ,020 ,176 ,041 ,760
Tingkat_Pendapatan(2) ,173 ,589 ,086 1 ,769 1,188 ,375 3,770
Tingkat_Pendapatan(3) 1,601 ,624 6,586 1 ,010 4,960 1,460 16,853
Constant -2,664 2,167 1,512 1 ,219 ,070
a. Variable(s) entered on step 1: Perceived_Susceptibility, Perceived_Severity, Perceived_Benefits,
Perceived_Barriers, Cues_to_Action, Self_Efficacy, Usia, Tingkat_Pendidikan, Tingkat_Pendapatan.
115
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 303,821a ,043 ,057
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 281,525a ,132 ,176
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 276,637a ,151 ,201
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 276,630a ,151 ,201
a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 247,382a ,253 ,338
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 222,210a ,332 ,443
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
Model Summary
Step -2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
1 191,315a ,417 ,556
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than ,001.
116
Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
IRT 202 89,0 89,0 89,0
KARYAWAN SWASTA 5 2,2 2,2 91,2
WIRASWASTA 9 4,0 4,0 95,2
JURNALIS 1 ,4 ,4 95,6
PNS 3 1,3 1,3 96,9
ASISTEN APOTEKER 1 ,4 ,4 97,4
DOSEN 2 ,9 ,9 98,2
GURU PAUD 1 ,4 ,4 98,7
PERAWAT 1 ,4 ,4 99,1
PENSIUNAN 1 ,4 ,4 99,6
BIDAN 1 ,4 ,4 100,0
Total 227 100,0 100,0
Status_Pernikahan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
Menikah 207 91,2 91,2 91,2
Janda 20 8,8 8,8 100,0
Total 227 100,0 100,0
Jumlah_Anak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
0 11 4,8 4,8 4,8
1 47 20,7 20,7 25,6
2 100 44,1 44,1 69,6
3 50 22,0 22,0 91,6
4 14 6,2 6,2 97,8
5 5 2,2 2,2 100,0
Total 227 100,0 100,0