sub kultur

12

Click here to load reader

Upload: dwi-januanto-nugroho

Post on 05-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bahan kuliah

TRANSCRIPT

Page 1: Sub Kultur

PERILAKU MENYIMPANG

Perilaku Menyimpang

erilakau menyimpang menyiratkan kesan, meskipun tidak ada masyarakat yang seluruh warganya dapat menaati dengan patuh seluruh aturan  norma social yang berlaku tetapi apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, maka hal itu dianggap telah mencoreng aib diri sendiri, keluarga maupun  kumunitas besarnya.

            Sumbangan sosiologi cukup signifikan dalam memetakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dan reaksi masyarakat yang ditimbulkannya. Kajian tentang perilaku menyimpang dipelajari oleh sosiologi karena berkaitan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai kulutral yang telah ditegakkan oleh masyarakat. Selain itu, melalui teori dan hasil-hasil penelitian yang dikembangkannya, sosiologi membantu masyarakat untuk dapat menggali akar-akar penyebab terjadinya tindakan menyimpang. Upaya untuk menghentikan atau paling tidak menahan bertambahnya penyimpangan perilaku dapat dipelajari pula melalui kajian tentang lembaga kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mencegah terjadinya tindakan tersebut.

 

Secara sederhana kita dapat mengatakan, bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan besar masyarakat ( minimal di suatu kelompok atau komunitas tertentu ) perilaku atau tindakan tersebut di luar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku.

Tindakan menyimpang yang dilakukan

orang-orang tidak selalu berupa tindakan kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh. Melainkan bisa pula cuma berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkehalahi dengan teman, suka meludah di sembarang tempat, makan dengan tangan kiri dsb.

Meskipun secara nyata kita dapat menyebutkan  berbagai bentuk perilaku menyimpang, namun mendefinisikan arti perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda di antara berbagai kelompok masyarakat. Ada segolongan orang yang menyatakan perilaku menyimpang adalah ketika orang lain melihat perilaku itu sebagai sesuatu yang berbeda dari kebiasaan umum. Namun, ada pula yang menyebut perilaku menyimpang sebagai tindakan yang dilakukan oleh kelompok minoritas atau kelompok-kelompok tertentu yang memiliki nilai dan norma sosial berbeda dari kelompok sosial yang lebih dominan.

Definisi tentang perilaku menyimpang dengan demikian bersifat relatif, tergantung dari masyarakat yang mendefinisikannya, nilai-nilai budaya dari suatu masyarakat, dan masa, zaman, atau kurun waktu tertentu.

P

Page 2: Sub Kultur

Hal lain yang juga menyebabkan perilaku menyimpang bersifat relatif adalah karena perilaku menyimpang itu juga dianggap sebagai gaya haidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion atau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman.

Page 3: Sub Kultur

Pertama, secara statistikal adalah segala perilaku yang bertolak dari suatu tindakan yang bukan rata-rata atau perilaku yang jarang dan tidak sering dilakukan. Pendekatan ini berasumsi, bahwa sebagian besar masyarkat dianggap melakukan cara-cara dan tindakan yang benar.

Kedua, secara absolut atau mutlak. Definisi perilaku menyimpang yang bersasal dari kaum absolutis ini berangkat dari aturan-aturan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang “mutlak” atau jelas dan nyata, sudah ada sejak dulu, serta berlaku tanpa terkecuali, untuk semua warga masyarakat. Kelompok ini berasumsi bahwa aturan-aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan anggota-anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai menyimpang dan bukan.

Ketiga, secara reaktif yaitu perilaku menyimpang yang berkenaan dengan rekasi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang. Artinya apabila ada reaksi dari masyarakat atau agen kontrol sosial dan kemudian mereka memberi cap atau tanda (labeling) terhadap si pelaku maka perilaku itu telah dicap menyimpang, demikian pula si pelaku, juga dikatan menyimpang. Dengan demikian apa yang menyimpang dan apa yang tidak, tergantung dari ketetapan-ketetapan ( atau reaksi-reaksi) dari anggota masyarakat terhadap suatu tindakan.

Keempat, secara normatif ;  penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma sosial. Norma adalah suatu standar tentang “apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dipikirkan, dikatakan, atau dilakukan oleh warga masyarakt pada suatu keadaan tertentu” Secara keseluruhan, maka definisi normatif dari suatu perilaku menyimang adalah tindakan-tindakan atau perilaku yang menyimpang dari norma-norma, dimana tindakan-tindakan tersebut tidak disetujui atau dianggap tercela dan akan mendapatkan sanksi negatif dari masyarakat.

Mengapa Perilaku Menyimpang Perlu Dipalajari ?

Oleh karena cukup banyak pelanggaran atau penyimpangan perilaku yang dilakukan manusia dan hal itu terkadang dapat dianggap mengancam ketentraman masyarakat, maka perlu juga kita mempelajarinya, untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya dan bagaimana melakukan pencegahan terhadapnya.

Secara umum, yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang, antara lain adalah :

1.      Tindakan yang nonconform, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang ada. Contoh : memakai sandal butut ke kampus; merokok di area di larang merokok, membuang sampah bukan pada tempat yang semestinya dsb.

2.      Tindakan yang antisosial atau asosial, yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Bentuk tindakan sosial itu antara lain : menarik diri dari pergaulan, tidak mau berteman, penyimpangan seksual, pelacuran dsb.

3.      Tindakan-tindakan kriminal, yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulid dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Misalnya, pencurian, perampokan, pembunuhan dsb.

Page 4: Sub Kultur

Rangkaian pengamalan atau karier menyimpang sesorang dimulai dari penyimpangan-penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadarinya (primary deviance/penyimpangan primer). Penyimpangan jenis ini dialami oleh seseorang mana kala ia belum memiliki konsep

sebagai penyimpang atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang.

            Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap secondary deviance (penyimpangan sekunder) yaitu suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang.

            Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tapi berkembang melalui periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Karier menyimpang juga didukung oleh pengendalian diri yang lemah serta kontrol masyarakat yang longgar (permisif).

Perilaku menyimpang tidak saja dilakukan secara perorang, tapi tak jarang juga dilakukan secara berkelompok. Penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok acap disebut dengan subkulur menyimpang.

            Subkultur adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, atau gaya hidup yang berbeda dari kultur dominan.

            Asal mula terjadinya subkultur menyimpang karena ada interaksi di antara sekelompok orang yang mendapatkan satatus atau cap menyimpang. Melalui interaksi dan intensitas pergaulan yang cukup erat, maka terbentuklah perasaan senasib, dan memiliki jalan pikuran nilai dan norma serta aturan bertingkah laku yang berbeda dengan norma-norma sosial masyarakat pada umumnya(kultur dominan).

            Para anggota dari suatu subkultur menyimpang biasanya juga mengajarkan kepada anggota-anggota barunya tentang berbagai keterampilan untuk melanggar hukum dan menghindari kejaran agen-agen kontrol sosial. Mereka juga mengindoktrinasi suatu keyakinan yang berbeda dari keyakinan yang dianut mayoritas masyarakat kepada yuniornya. Begitu pula ketika menerima keanggotaan baru, ujian yang cukup keras akan diberlakukan kepada anggota-anggota baru itu.

Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok orang berperilaku menyimpang. Yang pertama adalah perspektif individualistik dan yang kedua adalah teori-toeri sosiologi.

Teori-teori individualistik berusaha mencari penjelasan tentang munculnya tindakan menyimpang melalui kondisi yang secara unik mempengaruhi individu seperti warisan genetis-biologis atau pengalaman-pengalaman awal ari kehidupan seseorang di dalam keluarganya. Teori-teori individualistik sebagian besar didasarkan pada proses-proses yang sifatnya individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial yang menyimpang.

Page 5: Sub Kultur

            Berbeda halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang berspektif sosiologis tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-kondisi sosial yang mendasari penyimpangan. Beberapa hal yang dianggap bersifat sosiologis dalam memahami tindakan menyimpang misalnya proses penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat ; bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya perilaku menyimpang pada seseorang; dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh masyarakat apda orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya.

Teori Anomie

Teori anomie berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Anomie adalah suatu keadaan atau nama dari situasi di mana kondisi sosial/situasi masyarakat lebih menekankan pentingnya tujuan-tujuan status, tetapi cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan status tersebut jumlahnya lebih sedikit.

Situasi anomie tersebut dapat berakibat negatif bagi sekelompok masyarakat, di mana untuk mencapai tujuan statusnya mereka terpaksa melakukannya melalui cara-cara yang tidak sah, di antaranya melakukan penyimpangan atau kejahatan.

Teori Belajar atau Teori Sosialisasi

Salah seorang ahli teori belajar adalah Edwin H. Sutherland yang menamakan teorinya dengan Asosiasi Diferensial, menurut teori ini penyimpangan adalah konsekuensi dari kemahiran dan penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma yang menyimpang, terutama dari subkultur atau diantara teman-teman sebaya yang menyimpang.

  Perilaku menyimpang adalah hasil dari proses belajar atau yang dipelajari, ini berarti bahwa penyimpangan bukan diwariskan atau diturunkan, bukan juga hasil ari intelegensi yang rendah atau karena kerusakan otak.

  Perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain secara intens.

  Bagian utama dari belajar tentang perilaku menyimpang terjadi di dalam kelompok-kelompok personal yang intim atau akrab.

  Hal-hal yang dipelajari ; teknis-teknis penyimpangan, motif, dorongan & sikap

  Petunjuk-petunjuk khusus ttg. Dorongan menyimpang dipelajari dari definisi ttg, norma yang baik atau tidak baik.

  Seseorang menjadi menyimpang karena ia menganggap lebih menguntungkan untuk melanggar norma daripada tidak.

  Terbentuknya asosiasi diferensial itu bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas

  Proses mempelajari penyimpangan melalui mekanisme yang berlaku di dalam setiap proses belajar.

Teori Labeling ( Teori Pemberian cap atau teori Reaksi Masyarakat )

Teori ini menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secodary deviance). Analisis tentang pemberian cap itu

Page 6: Sub Kultur

dipusatkan pada reaksi orang lain. Artinya ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labelrs) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut adalah negatif.

Teori labeling ( Becker ) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Melalui definisi itu dapat ditetapkan bahwa menyimpang adalah tindakan yang dilabelkan kepada seseorang, atau pada siapa label secara khusus telah ditetapkan. Dengan demikian dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualitas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.

            Konsekuensi dari pemberian label pada diri seseorang maka ia cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang dan kemungkinan berakibat pada suatu karier yang menyimpang.

Teori Kontrol

Ide utama di belakang teori kontrol adalah bahwa penyimpangan merupakanhasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum. Oleh sebab itu teori ini menilai perilaku menyimpang adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mentaati hukum.

Teori Konflik

Persepektif konflik lebih menekankan sifat pluralistik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompoknya. Berkaitan dengan hal itu, persepektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok-kelompok dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui  persaingan itu maka kelompok-kelompok dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.

Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai suatu tindakan rasional. Orang-orang yang mencuri dan merampok telah didorong masuk ke dalam tindakan-tindakan tersebut melalui kondisi sosial yang disebabkan oleh distribusi kekayaan yang tidak seimbang, dimana kejahatan perusahaan dan berbagai kejatan kerah putih secara langsung melindungi serta memperbesar modal kapitas mereka. Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilegal dalam masyarakat kapitalis.

Sumber: Sosiologi “Teks Pengantar Dan Terapan” J. Dwi Narwoko–Bagong Suyatno(ed)

Sub-Culture (Anti Kemapanan)Posted on May 26, 2011 | 1 CommentPengertian SubkulturKata ‘kultur’ dalam subkultur menunjuk pada keseluruhan cara hidup yang bisa dimengerti oleh para anggotanya. Kata ‘sub’ mempunyai arti konotasi yang khusus dan perbedaan dari kebudayaan dominan atau mainstream. Menurut Fitrah Hamdani dalam Zaelani Tammaka (2007:164) “Subkultur adalah gejala budaya dalam masyarakat industri maju yang umumnya terbentuk berdasarkan usia dan kelas.

Page 7: Sub Kultur

Secara simbolis diekspresikan dalam bentuk penciptaan gaya (style) dan bukan hanya merupakan penentangan terhadap hegemoni atau jalan keluar dari suatu ketegangan sosial”. Subkultur lebih jauh menjadi bagian dari ruang bagi penganutnya untuk membentuk identitas yang memberikan otonomi dalam suatu tatanan sosial masyarakat industri yang semakin kaku dan kabur. Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, studi subkultur seringkali memasukan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh kebudayaan induknya dalam pembelajarannya. Secara harfiah, subkultur terdiri dari dua kata. Sub yang berarti bagian, sebagian dan kultur kebiasaan dan pembiasaan. Tapi secara konseptual, subkultur adalah sebuah gerakan atau kegiatan atau kelakuan (kolektif) atau bagian dari kultur yang besar. Yang biasanya digunakan sebagai bentuk perlawanan akan kultur mainstream tersebut. Bisa berupa perlawanan akan apa saja; agama, negara, institusi, musik, gaya hidup dan segala yang dianggap mainstream.Konsep Subkultur dalam MasyarakatKonsep subkultur adalah suatu konsep yang terus bergerak yang bersifat konstitutif bagi objek studinya. Ia adalah suatu terminologi klasifikaoris yang mencoba memetakan dunia sosial dalam suatu tindakan representasi. Subkultur tidak hadir sebagai suatu objek autentik, melainkan dikemukakan oleh para teoritisi subkultur. Kebudayaan adalah subkultur mengacu kepada seluruh cara hidup atau peta makna yang menjadikan dunia ini mudah dipahami oleh anggotanya. Kata “sub” mengandung konotasi suatu kondisi yang khas dan berbeda dibandingkan dengan masyarakat dominan atau mainstream.

Atribut yang mendefinisikan subkultur, pada gilirannya terletak pada bagaimana akses diletakkan pada perbedaan antara kelompok kultural atau sosial tertentu dengan kebudayaan ataumasyarakat yang lebih luas. Titik berat diletakkan pada variasi dari kolektifitas yang lebih luas yang diposisikan secara sama, namun tidak problematis, sebagai sesuatu yang norma, rata-rata dan dominan. Subkultur dengan kata alain dipandang rendah atau menikmati satu kesadaran tentang perbedaan. Menurut Thornton, opengertian penting dari awalan “sub” adalah lapis bawah atau bawah tanah. Subkultur dipandang sebagai ruang bagi budaya menyimpang untuk menasosiasikan ulang posisi mereka atau untuk meraih tempat bagi dirinya sendiri. Sehingga kebanyakan teori subkultur terkait dengan perlawanan semakin kentara. Kebanyakan kita menganggap dan mengidentikkan subkultur dengan suatu kegiatan yang sifatnya negatif. Padahal, kalau kita tahu dan sadar akan arti dan tujuan kata tersebut, subkultur tidak selalu ditujukan untuk hal yang negatif.

Menurut Mazhab Chicago mengeksplorasi penyimpangan remaja sebagai serangkaian perilaku kolektif yang dikelola di dalam dan melalui nilai kelas subkultur. Perilaku anak muda yang mengganggu kepentingan umum dipahami bukan sebagai patologi individual, atau sebagai akibat dari anak muda yang tak terbedakan, namun sebagai solusi praktis kolektif terhadap masalah kelas yang muncul secara struktural. Para teoretisi kultural studies setuju bahwa anak muda tidak seharusnya dipahami sebagai kelompok homoigen agar perbedaan kelas dan artikulasi mereka denghan nilai – nilai kultural mainstream dan nilai – nila kultural dominan dapat dipahami. Subkultur dilihat sebagai solusi ajaib atau simbolis atas persoalan struktural kelas.  Chicago School mengidentifikasi bahwa reaksi subkultur lahir bukan sebagai fenomena reaksi individual tetapi reaksi kelompok terhadap

Page 8: Sub Kultur

problem kelas. Penolakan terjadi pada kaum kelas pekerja terhadap kelompok kelas menengah. Dalam model pembagian seperti ini, keadaan kesejahteraan sosial dan ekonomi dinilai sangat tidak adil. Kelompok yang merasa dirugikan, karena kondisi struktur cipataan sangat berperan menyebabkan kondisi ini, berusaha dengan keterbatasan yang ada tetap ingin dapat menikmati hidup dengan cara melakukan redefinisi budaya atau menjadi subkultur agar terasa lebih nyaman.

Subkultur memunculkan suatu upaya untuk mengatasi masalah – masalah yang di alami secara kolektif yang muncul dari kontradiksi berbagai struktur sosial. Seubkultur membentuk suatu bentuk identitas kolektif dimana identitas individu bisa diperoleh diluar identitas yang melekat pada kelas, pendidikan dan pekerjaan. Menurut Brake ada lima fungsi yang bisa di mainkan subkultur bagi para anggotanya diantaranya yaitu :

a. Menyediakan suatu solusi atas berbagai masalah sosio ekonomi dan struktural.

b. Menawarkan suatu bentuk identitas kolektif yang berbeda dari sekolah dan kerja.

c. Memperoleh suatu ruang bagi pengalaman dan gambarab alternatif realitas sosial.

d. Menyediakan berebagai aktifitas hiburan bermakna yang bertentangan dengan    sekolah dan kerja

Contoh – contoh Subkultur Geng Motor

Willis berpendapat bahwa geromolan seperda motor, kebisisngan pengendara yang selalu melaju mengekspresikan kebudayaan nilai dan identitas geng motor. Soliditas , daya tangkap, kekuatan sepeda motor cocok dengan sifat nyata dan penuh percaya diri dari dunia anak – anak muda anggota geng motor. Sepeda motor menegaskan komitmen para anggotanya oleh terhadap hal – hal yang bersifat fisik , ketangguhan dan kekuatan sehingga kejutan dari akselerasi motor agresifitas dari orang – orang yang tak mengenal rasa takut cocok dan menyimbolkan kekuatan maskulin, eratnya persahabatan kekerasan bahasa, dan gaya interaksi sosial mereka.

Menurut Willis subkultur melakukan berbagai kritik penting dan mengemukakan sejumlah pandangan tentang kapitalisme kontemporer dan kebudayaannya. Cara anak – anak pengendara sepeda motor itu dalam menjinakkan brutalnya teknologi demi mencapai tujuan manusia secara simbolis menunjukkan kepada kita teror teknologi raksasa kapitalisme. Dia mengekspresikan alienasi dan banyaknya kerugian yang diderita pada skala manusia. Karya subkultur yang krteatif , ekspresif, dan simbolis bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan.

Gaya PunkMenurut Hebdige , gaya adalah praktik signifikasi yang pada kasus subkultur hura – hura menjadi tampilan penuh rekayasa.Melalaui signifikasi perbedaan gaya membentuk identitas kelompok. British punk adalah contoh favorit Hebdige dia menyatakan bahwa punk bukan hanya merupakan respon atas krisis kemunduran Inggris yang termanifestasi dalam pengangguran, kemiskina, dan berubahnya standar moral. Gaya punk adalah ekspresi kemarahan dan frustasi yang melekat

Page 9: Sub Kultur

pada satu bahasa yang umumnya ada namun sekarang dimaknai sebagai gejala dari sekumpulan masalah kontemporer.

Gaya punk pada dasarnya adalah cara  pemaknaan terpisah, sadar diri dan ironis. Sebagaimana bricolage yang memaknai kebisingan dan kekacauan pada setiap level gaya punk ditata dengan penuh makna. Punk adalah satu gaya memberontak yang menciptakan perpaduan pembangkangan dengan karakter abnormal seperti piercing, binlainers, rambut yang diwarnai, baju yang di corat – coret , dan iconografifetitisme seksual, stocking yang berlubang  lubang dan lain – lain. Melalui tarian yang tak teratur, bunyi yang kacau lirik yang tidak terarah, bahasa yang ofensif dan coret – coretan anarkis. Gerakan punk memandang kemapanan sebagai bahaya sosial karena berpotensi membatasi kebebasan berpikir, mencegah orang-orang untuk melihat sesuatu yang benar di masyarakat, dan sebaliknya memaksa mereka untuk menuruti kehendak kekuasaan. Oleh karena itu lah punk sejatinya merupakan semangat anti-kemapanan. Gerakan punk bukanlah sekadar ihwal musik dan penampilan, melainkan pola pikir (state of mind).Sebagai subkultur, Dick Hebdige (1999:192) memandang punk masa kini tengah menghadapi dua bentuk perubahan yaitu:1. Bentuk komoditas

Dalam segi ini, atribut dan seluruh aksesoris yang dipakai oleh subkultur punk telah dimanfaatkan oleh industri sebagai barang dagangan yang didistribusikan kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan. Atribut dan aksesoris punk yang dulu hanya dipakai oleh anak punk sebagai simbol identitas, kini dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko jalanan yang menjual aksesoris punk dan dikonsumsi oleh umum. Seperti yang diungkapkan oleh Fox-Genovese dalam Malcolm Barnard (1996:187) “Adopsi gaya punk oleh toko-toko fashion High Street adalah ironi yang menyakitkan”. Barang yang awalnya berfungsi sebagai identitas bagi anak punk, kini telah berubah menjadi barang komoditas yang dimanfaatkan oleh pasar untuk mencari keuntungan.

2. Bentuk ideologis

Dari segi ideologis punk merupakan ideologi yang mencakup aspek sosial dan politik. Ideologi mereka dahulu sering dikaitkan dengan perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak punk. Berbagai perilaku punk yang dianggap menyimpang, telah didokumentasikan dalam media massa sehingga membuat identitas punk dibalik aksesoris yang melekat di tubuhnya dipandang sebagai seorang yang berbahaya dan berandalan.Punk sebagai subkultur telah membentuk bangunan budaya baru yang berbeda dengan budaya mainstream yang dianut oleh kaum muda sejak awal kemunculan di Inggris hingga perkembangannya sampai sekarang. Nilai-nilai yang menjadi substansi punk sebagai subkultur tetap diyakini oleh anggotanya. Walaupun punk telah berganti generasi, tetapi sebagai sebuah subkultur nilai-nilai dan eksistensi punk masih dipertahankan hingga sekarang.

Penyusun : Rohati, Roro Oktiyani, Ahmad Farih, Andri Dwi P