subjek dan objek pendidikan
TRANSCRIPT
1
SUBJEK DAN OBJEK PENDIDIKAN
DALAM AL-QUR’AN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah Tafsir Pendidikan
Dosen Pembimbing: Dr. Nur Arfiyah Febriani,MA
Disusun Oleh:
Izul Ramdani
Dewi Masruroh
PROGRAM STUDI MAGISTER AGAMA ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PASCA SARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA
TAHUN AJARAN 2013/2014
2
ABSTRAK
Artikel ini merupakan penelitian kepustakaan. Penelitian menunjukkan bahwa objek
pendidikan Islam termuat dalam al-Qur’an Surah At-Tahrim 6 dan surah asy-Syuaara 214 .
Setidaknya ada tiga tingkatan prioritas objek pendidikan yaitu diri sendiri, keluarga dan
kerabat. Sedangkan dalam Surat Lukman 12-19 terdapat tiga tingkat pendidikan yaitu
pendidikan aqidah, pendidikan syari’ah, dan pendidikankarakter. Pendidikan aqidah meliputi
dua hal: (1) larangan mensekutukanAllah. Lukman Hakim memprioritaskan pendidikan
tauhid kepada anak-anak; (2) mempercayai hari akhir. Lukman Hakim mengajarkan kepada
anak-anaknya untuk mempercayai balasan atas perbuatan yang dilakukan di dunia.Pendidikan
syariah meliputi dua hal, yaitu mendirikan sholat dan amar ma‘rūfnahy munkar. Pendidikan
karakter meliputi perintah untuk bersyukur kepadaAllah atas semua karunia-Nya.
Sedangkan penjelasan subjek pendidikan dalam islam yang diambil dari tafsir surah
Ar-Rahman ayat 1-4, surah An-Nahl ayat 43-44, surah An-Najm ayat 5-6 dan surat Al-Kahfi
ayat 66. Al-Qur’an memiliki banyak sekali kandungan konsep ilmu yang mana jika dikaji
secara mendalam, maka kita akan bisa memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Terlihat betapa selektifnya islam dalam menentukan mana yang pantas dikatakan
sebagai pendidik dan mana yang tidak. Subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok
yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau
yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan.
Pendidik memegang peranan penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Oleh
karenanya, jika ia dapat melaksanakan kewajibanya dalam mengajar, ikhlas dalam
melaksanakan tugas, dan mengarahkan anak didiknya kepada pendidikan agama serta
perilaku yang baik, maka ia akan mendapat keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam situasi
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kata kunci : Tafsir Pendidikan Ayat Al-Qur’an, Subjek dan Objek Pendidikan, Nilai-Nilai
Pendidikan Islam
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... 1
ABSTRAK.................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................3
BAB I : PENDAHULUAN
A. Muqadimah .............................................................................. 4
B. Latar Belakang Masalah ............................................................ 4
C. Rumusan Masalah ..................................................................... 5
D. Tujuan Pembahasan ................................................................... 5
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Subjek Pendidikan .................................................. 6
B. Pengertian Objek Pendidikan ...................................................... 8
C. Subjek dan Objek Pendidikan dalam Al-Qur’an
1. Subjek Pendidikan dalam Al-Qur’an ..................................... 8
2. Objek Pendidikan dalam Al-Qur’an ....................................... 16
3. Nilai Pendidikan dalan Surat Al-Luqman............................... 20
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 31
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Muqadimah
Tujuan pendidikan Islam, tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan
transfer of knowledge) tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of islamic
values) dari subjek pendidikan terhadap objek pendidikan. Tujuan pendidikan Islam pada
hakikatnya menjadikan manusia yang bertaqwa, manusia yang dapat mencapai al-
falāḥ,serta kesuksesan hidup yang abadi di dunia dan akhirat (mufliḥūn).1
Al-Qur’an sebagai dasar pokok pendidikan Islam di dalamnya terkandung sumber
nilai yang absolut, eksistensinya tidak mengalami penyesuaian yang sesuai dengan
konteks zaman, keadaan dan tempat. Objek-objek pendidikan yang secara implisit
dipaparkan al-Qur’an secara keseluruhan (umum) di dalamnya terangkum aktivitas
pendidikan seperti penyadaran fi’ddīn, menumbuhkan,mengelola dan membentuk
wawasan (fikrah), akhlak dan sikap Islam,menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk
beramal shalih, berdakwah (berjuang) dalam rangka memenuhi tugas kekhalifahan dalam
rangka beribadah kepada Allah.
Berangkat dari itu, di sini penulis mencoba mengontekstualisasikan ayat-ayat
tersebut sebagai prioritas subjek dan objek pendidikan guna menumbuhkan
kepribadiannya menjadi pribadi Islami di masa depan. Kepribadian islami (Muslim)
adalah kepribadian yang beriman dan bertaqwa, yang menunjukkan pengabdiannya
kepada Allah SWT, untuk memperoleh ridha-Nya, sehingga mendapatkan kebahagiaan
(keselamatan) dunia dan akhirat. Karena tidak sedikit orang tua yang melaikan tugasnya
untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada anak-anaknya sesuai dengan potensi
fitrahnya.
B. Latar Belakang Masalah
Al-qur’an adalah kalamullah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad SAW. Sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life). Al-qur’an
mengandung beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa
manusia ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan belajar-
mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen- komponen pendidikan,
diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
1A.Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam Di Indonesia, Antara Cita Dan Fakta , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 41.
5
Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari peran pendidik dan
peserta didik itu sendiri. Berhasil atau gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh
kedua komponen tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai
kemampuan pendidik dalam menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik dan
tentu saja pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil yang
direncanakan tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan tentang
subjek dan objek pendidikan.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia di dalamnya menyimpan berbagai
mutiara yang mahal harganya yang jika dianalisis secara mendalam sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia. Diantara mutiara tersebut adalah beberapa konsep pendidikan yang
terkandung dalam Al-Quran, diantara konsep tersebut adalah konsep awal pendidikan,
kewajiban belajar, tujuan pendidikan, objek dan subjek pendidikan. Keluasan Al-Qur’an
dalam konsep pendidikan tersebut telah mendorong penulis untuk menggali beberapa nilai
dari konsep tersebut, untuk itu dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan
sedikit tentang konsep tersebut, yaitu yang berhubungan dengan subjek dan objek
pendidikan dengan harapan dapat lebih memahami bagaimana subjek dan objek
pendidikan menurut Al-Quran.
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian subjek dan objek pendidikan?
2. Bagaimana penjelasan ayat Al-Qur’an mengenai subjek dan objek pendidikan islam?
D. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep subjek dan objek pendidikan.
2. Untuk mengetahui bagaimana tafsir ayat Al-Qur’an mengenai subjek dan objek
pendidikan islam.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Subjek Pendidikan
Subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok yang bertanggung jawab dalam
memberikan pendidikan, sehingga materi yang diajarkan atau yang disampaikan dapat
dipahami oleh objek pendidikan.
Subjek pendidikan yang dipahami kebanyakan para ahli pendidikan adalah orang
tua, guru-guru di institusi formal (disekolah) maupun non formal dan lingkungan
masyarakat, sedangkan pendidikan pertama (tarbiyatul awwal) yang kita pahami selama
ini adalah rumah tangga (orang tua).Sebagai seorang muslim kita harus menyatakan
bahwa pendidik pertama manusia adalah Allah dan yang kedua adalah Rasulullah.
Kita dapat membedakan pendidik itu menjadi dua kategori yaitu:
1. Pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua
Orang tua sebagai pendidik menurut kodrat adalah pendidik pertama dan utama,
karena secara kodrat anak manusia dilahirkan oleh orang tuanya (ibunya) dalam
keadaan tidak berdayam hanya dengan pertolongan dan layanan orang tua
(terutama ibu) bayi (anak manusia) itu dapat hidup dan berkembang semakin
dewasa. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan edukatif,
mengandung dua unsur dasar, yaitu:
a. Unsur kasih sayang pendidik terhadap anak.
b. Unsur kesadaran dan tanggung jawab dari pendidik untuk menuntun
perkembangan anak.
2. Pendidik menurut jabatan, yaitu guru.
Guru adalah pendidik kedua setelah orang tua. Mereka tidak bisa disebut secara
wajar dan alamiah menjadi pendidik, karena mereka mendapat tugas dari orang
tua, sebagai pengganti orang tua. Mereka menjadi pendidik karena profesinya
menjadi pendidik, guru di sekolah misalnya.
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, guru
adalah pendidk profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik,
pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formanl, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah.
7
Guru berfungsi sebagai pendidik di samping sebagai pengajar. Guru
membentuk sikap siswa, bahwa guru menjadi contoh atau teladan bagi siswa-
siswanya. Hal itu tidak mungkin kalau guru hanya bertuigas mengajar saja.2
Adapun untuk syarat sebagai seorang pendidik adalah sebagai berikut :
a. Syarat fisik
Seorang pendidik harus berbadan sehat, tidak memiliki penyakit yang
mungkin akan mengganggu pekerjaannya. Seperti penyakit menular.
b. Syarat psikis
Seorang pendidik harus sehat jiwanya (rohani)nya, tidak mengalami
gangguan jiwa, stabil emosi, sabar, ramah , penyayang, berani atas
kebenaran, mempunyai jiwa pengabdian, bertanggung jawab dan memiliki
sifat-sifat positif yang lainnya.
c. Syarat keagamaan
Seorang pendidik harus seorang yang beragama dan mengamalkan
agamanya. Disamping itu dia menjadi figur dalam segala aspek
kepribadiannya. Sebagaimana firman Allah SWT,
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan [Yakni: orang-orang yang mempunyai
pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab] jika kamu tidak mengetahui.
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka [Yakni: perintah-perintah, larangan-
larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran] dan supaya
mereka memikirkan. (QS.An-Nahl : 43-44)
d. Syarat teknis
Seorang pendidik harus memiliki ijazah sebagai bukti kelayakan pendidik
menjadi seorang guru.
e. Syarat Pedagogis
Seorang pendidik harus menguasai metode pengajaran, menguasai materi
yang akan diajarkan, dan ilmu lain yang mendukung ilmu yang dia ajarkan.
f. Syarat administrative
2 Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta), 8.
8
Syarat pendidik harus diangkat oleh pemerintah, yayasan atau lembaga lain
yang berwenang mengangkat guru. Sehingga ia diberi tugas untuk mendidik
dan mengajar. Dan dia benar-benar mengabdikan dirinya sepenuh hati
dalam provesinya sebagai gurun.
Semua ketentuan tentang pendidik di atas, itu hanya terbatas pada kriteria pendidik
dalam dunia pendidikan, karena itu cakupannya lebih sempit dan terbatas.
B. Pengertian Objek Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “pendidikan adalah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang-orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.
Objek menurut bahasa yaitu orang yang menjadi pokok sasaran. Pendidikan adalah
proses pencerdasan secara utuh dalam rangka mencapai kebahagian dunia dan akhirat
atau keseimbangan materi dan religious spritual.3
Objek pendidikan adalah murid yang menerima dan menjalani proses pendidikan
yang dilangsungkan oleh subjek pendidikan atau pun yang dialami langsung oleh objek
melalui pengalaman sehari-hari dan relasi objek dengan subjek dan objek lain serta relasi
dengan alam (lingkungan).
Jadi objek pendidikan adalah orang yang mendapat pencerdasan secara utuh dalam
rangka mencapai kebahagian dunia dan akhirat atau keseimbangan materi dan religious
spritual. Dapat disimpulkan bahwa objek pendidikan adalah manusia dalam kaitannya
dengan fenomena situasi pendidikan. Fenomena tersebut terdapat dimana-mana, didalam
masyarakat, didalam keluarga dan disekolah.
C. Subjek dan Objek Pendidikan Dalam Al-Qur’an
1. Subjek Pendidikan Dalam Al-Qur’an
a. Tafsir Surah Ar-Rahman ayat 1-4
“(tuhan) yang Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al Quran. Dia
menciptakan manusia. mengajarnya pandai berbicara.” (QS.Ar-Rahman : 1-4)
3 Abdurrahman Mas’ud dkk. Paradigma Pendidikan Islam. (Pustaka Pelajar: Semarang.2001), 7.
9
Pada surah ar-Rahman ayat 1-4 ditegaskan disini bahwa yang menjadi subjek
pendidikan adalah seorang manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna karena diberikan olehnya sesuatu yang tidak ia berikan kepada
makhluk ciptaannya yang lain yakni akal yang mengangkat derajat manusia
sehingga manusialah yang berhak menjadi subjek pendidikan baik bagi sesama
ataupun bagi makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
Surah Ar-rahman terdiri dari 78 ayat, surah ini termasuk ke dalam surah
Madaniyah. Dinamankan Ar-Rahman yang berarti Yang Maha Pemurah berasal
dari kata Ar-Rahman yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Ar-rahman
merupakan satu dari sekian nama Allah SWT, sebagian besar dari surah ini
menerangkan kepemurahan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan
memberikan nikmat-nikmat yang tak terhingga baik di dunia maupun di akhirat
kelak.4
Selain itu ayat ini juga menjelaskan tentang bagaimana Allah dalam sifatnya
Yang Maha Kasih Sayang telah mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad
saw. untuk kemudian dijadikan landasan utama bagi kaum muslimin dalam
mengarungi kehidupan di dunia. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Malik dalam kitab Muwaththa : Aku telah meninggalkan 2 perkara untuk kalian, kalian tidak akan sesat selama berpegang
teguh kepada keduanya, yakni kitabullah (Al-Quran) dan sunnah Nabi-Nya.
Dalam konteks ayat ini, kata Ar-rahman juga dapat ditambahkan bahwa kaum
musyrikin Mekah tidak mengenal siapa Ar-Rahman sebagaimana pengakuan
mereka yang direkam oleh Q.S Al-Furqan 25 :60. Dimulainya surah ini dengan
kata tersebut bertujuan juga mengundang rasa ingin tahu mereka dengan harapan
akan tergugah untuk mengakui nikmat – nikmat dan beriman kepada Nya.5
Kata ‘Al-lama atau mengajarkan memerlukan objek. Banyak ulama yang
mengatakan bahwa yang dimaksud objek disini adalah Al-insan atau manusia.
Malaikat jibril yang menerima wahyu dari Allah yang berupa Al-qur’an untuk
disampaikan kepada nabi Muhammad Saw, disampaikan oleh beliau kepada nabi,
malaikat jibril tidak akan mungkin mengajarkannya kepada nabi kalau sebelumnya
tidak mendapat pengajaran kepada Allah.
4 Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, (Banten : PAM Press, 2012), 201. 5 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), 405.
10
Al-Hasan berkata kata Al-Bayan berarti berbicara, karena konteks Al-qur’an
berada dalam pengajaran Allah yaitu cara membacanya, hal ini berlangsung dengan
cara memudahkan pengucapan artikulasi serta memudahkan keluarnya huruf
melalui jalanya masing-masing dari tenggorokan, lidah dan dua bibir sesuai dengan
keragaman artikulasi sesuai dengan jenis hurufnya.6
Sedangkan menurut Thabathaba’i, kata bayan berarti jelas, yang dimaksud
disini dalam arti potensi mengungkap yakni kalam atau ucapan yang dengannya
dapat terungkap apa yang terdapat dalam benak. Menurutnya tidaklah dapat
terwujud kehidupan bermasyarakat manusia, tidak juga mahluk ini dapat mencapai
kemajuan yang mengagumkan dalam kehidupan kecuali dengan kesadaran
tentang al-kalam atau pembicaraan itu sendiri, karena dengan demikian dia telah
membuka pintu untuk memeroleh dan memberi pemahaman, tanpa itu manusia
akan sama saja dengan binatang dalam hal ketidakmampuannya mengubah wajah
kehidupan dunia ini.7
Adapun kaitan ayat ini dengan subjek pendidikan adalah sebagai berikut :
1) Kata Ar-rahman menunjukan bahwa sifat-sifat pendidik adalah murah
hati, penyayang dan lemah lembut, santun dan berakhlak mulia kepada
anak didiknya dan siapa saja (kompetensi personal).
2) Seorang guru hendaknya memiliki kompetensi pedagogis yang baik
sebagaimana Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada nabi-Nya.
3) Al-Qur’an menunjukkan sebagai materi yang diberikan kepada anak didik
adalah kebenaran/ilmu dari Allah (kompetensi professional).
4) Keberhasilan pendidik adalah ketika anak didik mampu menerima dan
mengembangkan ilmu yang diberikan, sehingga anak didik menjadi
generasi yang memiliki kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual.8
b. Tafsir Surah An-Najm ayat 4-6
“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal
yang cerdas; dan (Jibril itu) Menampakkan diri dengan rupa yang asli.”
6 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir,Terj. M.
Abdul Ghofar dan Abu Ihsan Al -Atsari, (Jakarta : Pustaka Imam Syafii, 2008), cet. 1, 229-230 7 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,ji l id 13, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 3, 278. 8 Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, (Banten : PAM Press, 2012), 203.
11
(QS.An-Najm:5-6)
Surah An-Najm termasuk kedalam surah Makiyah, jumlah ayatnya terdiri dari
62 ayat. Surah ini diturunkan sesudah surah Al-Ikhlas. Nama An-Najm yang
berarti bintang, diambil dari perkataan An-Najm yang terdapat pada ayat pertama
surah ini. Menurut keterangan yang shahih, surah An-Najm ini surah yang pertama
kali dikemukakan oleh Rosulullah saw.9
Pada surah An-Najm ini ditegaskanya klasifikasi seorang pendidik atau siapa
saja yang berkompeten menjadi subjek pendidikan yakni seperti yang tersurah
dalam ayat ini adalah seperti halnya seorang malaikat jibril yang mana beliau
digambarkan sebagai berikut:
1) Sangat kuat, maksudnya memiliki fisik dan psikis yang matang dan mampu
memecahkan masalah.
2) Mempunyai akal yang cerdas, yakni seorang pendidik haruslah memiliki akal
yang mumpuni dalam bidangnya yakni berkompeten dalam mengajarkan apa
yang diajarkannya sebagai seorang subyek pendidikan.
3) Menampakan dengan rupanya yang asli, yakni seorang subyek pendidikan
hendaklah bersikap wajar yang tidak melebih-lebihkan segala sesuatu baik dari
dirinya maupun apa yang dilakoninya dalam bidangnya.
Sedangkan dalam tafsir Al-Qurtubi dijelaskan bahwa seluruh mufassir mengatakan
شديد adalah malaikat Jibril, kecuali Al-Hasan, ia menyatakan bahwa شديد القوى
berarti memiliki kekuatan dan ذومرة adalah Allah saw. Adapun kalimat القوى
kecerdasan atau wawasan luas. Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir.
Dengan merujuk kepada pendapat jumhur mufassir, ayat ini berbicara tentang
malaikat Jibril yang menjadi guru besar nabi Muhammad saw. terlepas dari
perbedaan mengenai figur yang disebut pada ayat 5, seluruh mufassir sepakat
bahwa figur yang dimaksud bersifat memiliki kekuatan dalam segala dimensinya
serta kecerdasan khusus. Dengan demikian, makna pendidikan dalam ayat ini
adalah bahwa seorang pendidik seyogyanya merupakan sosok yang kuat, baik dari
segi fisik, mental, ekonomi, maupun intelektual.10
9 Ibid, 203. 10 Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, (Banten : PAM Press, 2012), 204.
12
c. Tafsir Surah An-Nahl ayat 43-44
”Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami
beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan11, jika kamu tidak mengetahui, keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka12, dan supaya
mereka memikirkan”[QS.An-Nahl:43-44)
Surah An-Nahl adalah surah ke-16 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 128
ayat dan termasuk surah makiyyah. Surah ini dinamakan An-Nahl yang berarti
lebah, karena didalamnya terdapat firman Allah SWT, yaitu pada ayat 68 yang
artinya : ”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”. Lebah adalah makhluk Allah
yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan kepada manusia. Ada persamaan
antara madu yang dihasilkan oleh lebah dengan Al-Qur’an Al-Karim. Madu
berasal dari bermacam-macam sari bunga dan dia menjadi obat bagi bermacam-
macam penyakit manusia.13 Sedang Al-Qur’an mengandung inti sari dari kitab-
kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi zaman dahulu ditambah dengan
ajaran-ajaran yang diperlukan oleh semua bangsa sepanjang masa untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Surah ini dinamakan pula An-Ni’am artinya
11 Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab. 12 Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran 13 Untuk lebih jelas l ihat dalam ayat 69
13
nikmat-nikmat, karena didalamnya Allah menyebutkan berbagai macam
kenikmatan yang diperuntukan hamba-hambanya.14
Penyebutan anugerah Allah kepada nabi Muhammad secara khusus dan bahwa
yang dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan perbedaan kedudukan
beliau dengan para nabi dan para rasul sebelumnya. Dalam konteks ini nabi
Muhammad saw bersabda :
”Tidak seorang nabi pun kecuali telah dianugerahkan Allah apa (bukti-bukti
indrawi) yang menjadikan manusia percaya padanya. Dan sesungguhnya aku
dianugerahi wahyu (Al-Qur’an) yang bersifat immaterial dan kekal sepanjang
masa, akan aku mengharap menjadi yang paling banyak pengikutnya dihari
kemudian”. (HR.Bukhari).
Adapun dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa kata أهل الذكر ditafsirkan
sebagai العلماء بالتوراة واالنجيل (para ulama yang memahami kitab Taurat dan kitab
Injil). Ibnu Katsir menjelaskan hal yang senada bahwa yang dimaksud dengan
ahludz dzikr adalah ahli kitab sebelum Muhammad saw.
Sementara itu, kaitannya dengan subjek pendidikan pada ayat tersebut adalah
bahwa seorang guru dalam perannya sebagai ahli al-dzikr selain berfungsi sebagai
orang yang mengingatkan para peserta didik dari berbuat yang melanggar larangan
Allah dan rasul-Nya, juga sebagai seorang yang mendalami ajaran-ajaran yang
berasal dari Tuhan yang terdapat dalam berbagai kitab yang pernah diturunkan-
Nya kepada para nabi dan rasul-Nya dari sejak dahulu kala hingga sekarang.
Sebagai ahli al-dzikr ia dapat mencari titik persamaan antara ajaran yang terdapat
didalam berbagai kitab tersebut untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.15
Selain itu surah an-Nahl menerangkan bahwa Allah Swt mengutus utusannya
dengan terlebih dahulu memberikannya wahyu kepada utusannya, ini dikarenakan
agar segala bentuk pertanyaan yang mungkin diajukan kepada utusannya dapat
dijawab dan dipecahkan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah dan tidak
mungkin terjadi kedzaliman dalam hal ini.
Di karenakan semua jawaban yang diberikan oleh utusannya adalah datang
dari tuhan, oleh karena itu, sebagai subyek pendidikan yang merupakan salah satu
sumber pendidikan hendaklah memiliki segala pengetahuan yang sesuai dengan
14 Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, (Banten : PAM Press, 2012), 204 15 Ibid, 207
14
kaidah ilmu pengetahuan itu sendiri. Yakni sebagai seorang pendidik hendaklah
mempersiapkan segala sesuatu sebelum mengadakan proses pembelajaran yang
mana jikalau terdapat kasus-kasus pendidik dapat menyelesaikan apa yang muncul
didalam proses pembelajaran. Maka tidak salah jika salah satu syarat sebagai
seorang pendidik adalah memiliki kecerdasan pikiran mental dan juga spiritual
yang digambarkan pada ayat ini.
d. Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66
“Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?" (QS.Al-Kahfi:66)
Surah Al-Kahfi artinya gua, disebut juga surah Ashab Al-Kahfi yaitu surah ke-
18 dalam Al-Qur’an. Surah ini terdiri dari 110 ayat dan termasuk kedalam surah
Makiyah. Dinamai Al-Kahfi dan Ashabul Kahfi yang artinya Penghuni-Penghuni
Gua. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surah ini pada ayat 9
sampai dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua bertahun-
tahun lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah cerita dalam
surah ini, yang kesemuanya mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat berguna
bagi kehidupan umat manusia.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan tentang ucapan nabi Musa
terhadap nabi Khidhir yang sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi
permintaanya diajukan dalam bentuk pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu?”.
Selanjutnya, beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan,
yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga
menggaris bawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni
untuk menjadi petunjuk baginya. Disisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu
hamba yang shaleh itu sehingga nabi Musa mengharap kiranya dia mengajarkan
sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu nabi Musa
tidak menyatakan “Apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah” karena beliau
sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni Allah
15
Yang Maha Mengetahui. Memang, nabi Musa dalam ucapannya itu tidak
menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran karena hal tersebut telah
merupakan aksioma bagi manusia beriman.
Disisi lain, disini kita menemukan hamba yang shaleh itu juga penuh dengan
tata karma. Beliau langsung tidak menolak permintaan nabi Musa, tetapi
menyampaikan penilaiannya bahwa nabi agung itu tidak akan bersabar
mengikutinya sambil menyampaikan alas an yang sungguh logis dan tidak
menyinggung perasaan ketidak sabaran tersebut.
Berdasarkan ayat diatas menunjukan bahwa interaksi yang terjadi antara guru
dan murit harus berlangsung dalam suasana saling menghargai atau menghormati.
Sikap ini seperti yang ditunjukan oleh nabi Musa kepada nabi Khidhir merupakan
cerminan dari kesabaran dan sikap lapang dada dalam memberikan
bimbingan/pengajaran kepada muritnya
Dengan demikian, seorang pendidik harus memiliki kompetensi akhlak dan
kepribadian yang luhur dalam proses pembelajaran. Diantaranya adalah dengan
memiliki sikap sabar dalam menghadapi perilaku peserta didiknya. Jika sikap
seperti ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, maka akan tercipta suasana
yang kondusif terhadap upaya memperoleh hasil belajar yang berkualitas baik.
Pada surah al-Kahfi ayat 66 ini menjelaskan bahwa subjek pendidikan bisa
siapa saja yang berkompeten di dalam bidangnya tanpa terkecuali dan tanpa
pandang bulu seperti pada ayat ini, ketika nabi Musa berguru kepada Khidir
walaupun Khidir merupakan salah satu nabi sedangkan Musa merupakan nabi dan
rasul tetapi Allah menyuruhnya untuk berguru atau menuntut ilmu kepada Khaidir
dikarenakan Khaidir merupakan orang yang berkompeten dalam rangka
mengajarkan Musa. Jadi, sebagai seorang pendidik atau sebagai subjek pendidikan
hendaklah menguasai seluk beluk bidang yang digelutinya dalam hal yang akan
diajarkannya kepada peserta didik.
Adapun sikap yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah sebagai
berikut :
a. Mengajarkan dan mempraktikkan etika islam.
b. Menghiasi wajahnya dengan senyum.
c. Menggunakan kata-kata yang baik dan bijak.
d. Memperingatkan anak didiknya ketika melakukan kesalahan.
e. Menjawab pertanyaan anak didiknya.
16
f. Menjaga kebersihan diri dan pakaiannya.
Berdasarkan pemaparan diatas, seorang pendidik harus menyadari betul
keagungan profesinya. Ia harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan
menjauhi semua akhlak yang tercela. Ia tidak boleh kikir dalam menyampaikan
pengetahuannya dan menganggap remeh semua masalah yang merintangi, sehingga
mampu mencapai target dan misinya dalam melakukan sistem pendidikan. Sikap
seperti ini akan mampu mendorong seorang pendidik untuk melakukan hal-hal
besar dalam menjalani profesinya demi mendapatkan hasil yang maksimal baik
anak didiknya.
2. Objek Pendidikan Dalam Al-Qur’an
a. Tafsir surat At Tahrim ayat 6
يااي هاالذين امنواقوا ان فسكم واهليكم نارا وق ودهاالناس والجارة عليها مالئكة غالظ شداد
الي عصون هللا ماامرهم ويفعلون مايؤمرون
“Hai orang-orang yang beriman peliharahlah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”(QS. At Tahrim:6).
Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amar yang secara langsung
dengan tegas, yakni lafadz (peliharalah/jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa
kewajiban setiap orang mu’min salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan
keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain proses penjagaan tersebut ialah
dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah merupakan tanggung jawab
manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya. Sebab manusia
merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan
dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda:
“Dari Ibnu Umar RA berkata: saya mendengar Rosululloh SAW bersabda:
setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai
pertanggungjawabannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan
akan ditanyai atas kepemimpinannya..”(HR.Bukhari Muslim).
17
Diriwayatkan bahwa ketika ayat keenam ini turun, Umar berkata: “Wahai
Rosulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga
kami?” Rosulullah menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu
dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah
perintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari
api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang
pemimpinnya berjumlah Sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan
penyiksaan dari dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkanNya kepadanya.”16
Ada pula tafsir lain yang menjelaskan, bahwa pada ayat tersebut terdapat kata
‘quu anfusakum’ yang berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang
siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat,17 memperkuat diri
agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat menjalankan perintah Allah.
Selanjutnya “wa Ahlikum”, maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari
istri, anak, pembantu budak dan di perintahkan kepada mereka agar menjaganya
dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka.
Hal ini sejalan dengan Hadist Rasulullah yang di riwayatkan oleh Ibn Al
Munzir, Al Hakim, oleh riwayat laen dari Ali RA ketika menjelaskan ayat tersebut,
maksudnya adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan
terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian “Al Wuqud” adalah sesuatu yang
dapat di pergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan”Al Hijaroh” adalah batu
berhala yang biasa di sembah oleh masyarakat Jahiliyah. “Malaikatun” dalam ayat
tersebut maksudnya mereka yang berjumlah Sembilan belas dan bertugas menjaga
Neraka. Sedangkan ”Ghiladhun” maksunya adalah hati yang keras, yaitu hati yang
tidak memiliki rasa belah kasihan apabila ada orang yang meminta dikasihani. Dan
“Syidadun” artinya memiliki kekuatan18yang tidak dapat di kalahkan.
Lebih lanjut Al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut (yaa ayyuhal
ladziina amanu… al hijaroh) dengan keterangan: wahai orang-orang yang
membenarkan adanya Allah dan RosulNya hendaknya sebagian yang satu dapat
menjelaskan sebagian yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan
menolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah
16M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), cet. I, vol. 2, 644. 17Ahmad Mushthafa Al -Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa Al -Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966), juz 6, 162. 18Ahmad Mushthafa Al -Maraghi, Tafsir…, juz 29, 162.
18
dan mengikuti segala perintahNya dan juga mengajarkan kepada keluarganya
tentang perbuatan ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan cara
memberikan nasehat dan pendidikan.19 Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau
kewajiban terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka.
Pengertian tentang pentingnya membina keluarga agar terhindar dari api
neraka ini tidak semata-mata diartikan api neraka yang ada di akhirat nanti,
melainkan termasuk pula berbagai masalah dan bencana yang menyedihkan,
merugikan dan merusak citra pribadi seseorang. Sebuah keluarga yang anaknya
terlibat dalam berbagai perbuatan tercela seperti mencuri, merampok, menipu,
berzina, minum-minuman keras, terlibat narkoba, membunuh, dan sebagainya
adalah termasuk kedalam hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana di muka
bumi dan merugikan orang yang melakukannya, dan hal itu termasuk perbuatan
yang membawa bencana.20
b. Tafsir surat Asy Syu’ara ayat 214
قل ان . فان عصوك ف . واخفض جناحك لمن ات بعك من المؤمني ربي رتك االق بريء ما وانذرعشي
ل على العزي ز الرحيم عملون. وتوك *ت
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:”sesungguhnya aku
tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” Dan bertawakallah
kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS.Ay Syu’ara: 214-
217)
Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS At Tahrim:6) bahwa terdapat perintah
langsung dengan fi’il amar (berilah peringatan). Namun perbedaanya adalah
tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat.
“Aq Alrobin” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, lalu Nabi SAW
memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan. Demikianlah
menurut keterangan Hadits yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Imam
Muslim.
19 Ibid 20 Ibid.
19
Namun hal tersebut berarti khusus untuk Nabi SAW saja kepada Bani Hasyim
dan Mutholib, tetapi juga untuk seluruh umat islam, karena dilihat dari munasabah
ayat, selanjutnya terdapat ayat ke 215: "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-
orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman jadi perintah ini juga
berlaku untuk seluruh umat islam”21
At Thobari meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi menyampaikan
pesan suci yang diterimanya kepada seluruh kerabat dan keluarga terdekatnya.
Sementara Imam Muslim meriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, Nabi
langsung mengumpulkan anak dan kerabat seraya manyampaikan pesan:
ال املك لك شيئا من هللا, سلون من ماىل ما شئتم
Saya tidak mempunyai wewenang tanggung jawab sama sekali terhadap kalian
dari siksaan Allah, kala masalah harta silahkan minta apa yang saya punya semau
kalian.
Sementara Al Bukhori meriwayatkan bahwa ketika ayat tersebut turun Nabi
langsung menuju dan naik bukit shofa seraya mengumpulkan sanak kerabat dan
sahabatnya. Beliau menyeru kapada seluruh kerabat besarnya, yang isi seruannya
adalah:
ان نذي ر لكم بي يدى من عداب شديد
Dan seruan tersebut dengan sepontan ditanggapi dan disahuti oleh paman-
paman Nabi, Abu Lahab, dengan sanggahan:
تبا لك يائر اليوم امادعوتنا اال هلذا؟
Ketika itu pula Allah menjawab sanggahan Abu Lahab tersebut dengan
menurunkan Q.S Al Lahab.
Dari ayat diatas, jika dilihat dari perspektif tanggung jawab pendidikan atau
dakwah, maka dapat disederhanakan menjadi beberapa poin penting diantaranya
adalah22:
1) Jika ayat yang pertama diatas direlasikan dengan ayat yang sebelumnya yaitu:
بي فال تدعو مع هللا اهلا اخر فتكون من المعذ
21Ahmad Mushthafa Al -Maraghi, Tafsir…, juz 19, 109. 22Ahmad Mushthafa Al -Maraghi, Tafsir…, juz 19, 110.
20
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) Tuhan yang lain disamping
Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di azab”.(Qs. Al
Su’ara: 213)
Maka, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada Rosul untuk
meningkatkan keikhlasannya. Padahal secara rasional perintah tersebut
tidaklah tepat sasarannya. Oleh karena itu, hakikat yang dituju dari sesuatu
tersebut adalah ummat Muhammad. Karena salah satu sikap etis al-Qur’an jika
ingin menyampaikan pesan kepada umat, khitobnya terlebih dahulu ditujukan
kepada pemimpinnya. Maka jika ayat tersebut formalnya adalah Rosul, maka
ayat yang berikutnya khitob untuk ummat dan kerabatnya.
2) Gaya retorik tersebut memberikan isyarat bahwa dalam pandangan al-Qur’an
tanggungjawab pendidikan bukan hanya terbatas pada wilayah kekuasaan, baik
formal maupun non formal, tetapi juga konsistensi antara apa yang
disampaikan dengan kondisi perilaku yang menyampaikan. Oleh karena itu,
sebelum segala sesuatunya, pendidik harus terlebih dahulu mampu memberi
qudwah hasanah kepada peserta didiknya.
3) Kata indzar yang direlasikan dengan kata ‘asyir dan kata aqrab, menunjukkan
bahwa hubungan kedekatan, kekerabatan, kekeluargaan, serta nashab dalam
pendidikan, jangan sampai disalah gunakan sebagai factor peningkatan kwalitas
peserta didik yang menafikan proses dan hukum sebab akibat.
4) Dalam pendidikan, keseriusan dalam menyampaikan suatu masalah tidaklah
menghalangi untuk bersikap ramah dan lemah lembut, serta senantiasa
menghindari sikap emosional. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam lanjutan
ayat :
واخفض جنا حك ملن اتبعك من املؤمني
Ayat 214 menunjukkan bahwa dalam pendidikan harus bersikap adil,
dimana setiap peserta didik mempunyai hak yang sama dari pendidik. Adapun
peringatan nabi kepada keluarganya pada ayat diatas hanyalah merupakan sikap
etis (birr) terhadap sanak kerabatnya yang tidak berhenti dan menghalangi
untuk berbuat baik kepada orang lain.
Dalam menyampaikan sebuah pesan kepada peserta didik, jika segala
upaya dan cara telah ditempuh, ternyata belum menghasilkan apa yang
diharapkan oleh pendidik, maka pendidik harus sadar bahwa hasil tersebut
21
bukan hak veto manusia, melainkan adalah hak prerogatif Allah. Oleh karena
itu, segala sesuatunya harus dikembalikan kepada yang Maha Kuasa.
3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Surat Luqman
فسه ومن كفر فإن هللا ايشكرلن نا لقمان الكمة أن اشكرلل ومن يشكرفإن ي يد ولقد آت وإذ (12) غيح مرك لظلم عظيم نااإلنسان بوالديه ملته أمه (13) قال لقمان البنه وهويعظه ياب ي التشرك باهلل إن الش ووصي
ر وهنا علي وهن وفصاله ف عامي أن اشكرل ولوالديك إل صي وإن جا هدك على أن تشرك ب (14) امل
نيامعروفاواتبع سبيل من أنب إل مرجع ا ماليس لك به علم فال تطعهما وصاحبهمماف الد كم فن بئكم عملون موات أو ف ياب ي إن ها (15) كنتم ت تكن ف صخرة أو ف الس إن تك مثقال حبة من خردل ف
ت باهللا إن هللا لطيف خبي نكر واصب على (16) األرض ي
عروف وانه عن املياب ي أقم الصالة وأمر بامل
ب (17) ذلك من عزم األمور ما أصابك إن ك للناس والتش ف األرض مرحا إن هللا الي والتصعر خد (19) واقصد ف مشيك واغضض من صوتك إن أنكراألصوات لصوت المي ( 18) كل متال فخور
Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an suratLuqman ayat
12-19 menurut hemat penulis terdiri dari tiga pokok pendidikan,yaitu; pendidikan
aqidah, pendidikan syariah dan pendidikan akhlak.
a. Pendidikan Aqidah
Pendidikan aqidah adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan,
menanamkanserta mengantarkan anak akan nilai-nilai kepercayaan terhadaprukun-
rukun iman dan lain sejenisnya. Dari nasihat-nasihat Luqman terhadapanaknya,
termasuk dalam kategori pendidikan aqidah terdapat padaayat 12-19 dari surat
Luqman yaitu; larangan menyekutukan Allah danmeyakini adanya tempat kembali
1) Larangan Menyekutukan Allah
Penanaman rasa keimanan yang murni sejak anak mulai diusia
tingkatTaman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar sangatlah penting, sebab naluri
anak-anakpada usia ini telah mampu menerima pendidikan keimanan.
Luqman al-Hakim sendiri pun memprioritaskan pendidikan tauhidkepada
anaknya. Terbukti pendidikan tauhid telah mendapatkan tempat pertamadari
wasiatnya dalam surat Luqman, yakni pada ayat ke-12 dan ke-13.Setelah pada
ayat ke-12 diperintahkan bersyukur kepada Allah, yakni Dzatyang wajib ada,
maka menurut ayat ke-13 Luqman berkata,
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukanAllah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
22
Syirik dinamakan perbuatanyang zalim, karena perbuatan syirik itu berarti
meletakkan sesuatu bukanpada tempatnya, maka ia termasuk dalam kategori
dosa besar. Perbuatantersebut juga berarti menyamakan kedudukan Tuhan
dengan makhluk-Nya.23
Walaupun pada hakikatnya keimanan atau kekufuran itu tidak
mempengaruhikebesaran-Nya sebagai Raja dari segala Raja, akan tetapi
demikebahagian makhluk-makhluk-Nya, Dia pun memerintahkan agar
makhluk- makhluk-Nya supaya beriman kepada-Nya. Inilah salah satu sifat
raḥmān danraḥīm Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:
” Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan
Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu ersyukur,
niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu ....”24
Bila direnungkan lebih mendalam ada baiknya setiap individu
belajarbersyukur atas berbagai nikmat yang diperolehnya, karena
denganbersyukur diharapkan mereka bisa meminimalisir bahkan bisa terhindar
dariperbuatan syirik.Hal ini diperjelas oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya
Tafsīral-Qurthuby bahwa hakikat bersyukur adalah menaati segala perintah
danmenjauhi segala larangan-Nya.25 Dengan demikian, andaikata manusia
mampumensyukuri nikmat dengan sungguh-sungguh secara otomatis
merekatidak akan terperangkap dari perbuatan syirik.
Hal ini pun terlihat pada ayat ke-13 di atas, huruf ‘aṭaf wawu pada awal
ayat wa-idzqāla luqmānu… lā tushrik billāh itu ma’tuf-nya kembali pada ayat
anishkur lillāh. Ini mengandung pemahaman bahwa sesungguhnya perbuatan
syirik itu tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang pandai bersyukur.
Apalagidengan adanya seruan Allah SWT yang mencegah segala bentuk
tindakan syirik, maka sebagai makhluk yang berakal sudah semestinya ia tidak
melakukan tindakan tersebut.
Larangan perbuatan syirik ini pun terlihat dengan jelas secara redaksional
pada ayat ke-13 di atas. Huruf lā nahy pada kata lā tushrik billāh yang
dijadikan Tuhan sebagai bentuk pencegahan terhadap tindakan syirik
23Ahmad Mushthafa Al -Maraghi, Tafsir…, juz 21, 153. 24QS. al-Zumar [39]: 7. 25Qurthubi, Tafsīr al-Qurthuby,1992, 301.
23
dalamilmu usul fiqih termasuk memberikan makna li tahdīd, artinya bentuk
larangansecara keras.26
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Allah SWT benarbenarmencegah
segala bentuk tindakan syirik dan mengatagorikan dosasyirik sebagai perbuatan
aniaya yang amat besar (laẓulmun ‘aẓīm). Perlu diingat, larangan untuk
menjauhkan diri dari berbagai tindakan syirik berarti perintah melakukan
tindakan yang sebaliknya, yaitu perintah beraqidah secara sungguh-sungguh.
Sebagaimana kaidah usul fiqh yang berbunyi: النهي عن الشئ بضده Terjemah
bebasnya: “Mencegah untuk meninggalkan sesuatu (syirik) berarti
memerintahkan untuk melaksanakan kebalikannya (yaitu beraqidah secara
benar).”
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa syirik merupakan perbuatan kejidan
mungkar. Sehingga diharapkan para orang tua mampu memberikanpengarahan
dan bimbingan sejak dini. Sebagaimana Luqman al-Hakim mengajarkankepada
anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan syirik.
2) Meyakini adanya Tempat Kembali
Penanaman keyakinan adanya balasan di akhirat (tempat kembali)
merupakansuatu kepercayaan yang harus ditanamkan sejak anak masih kecil.
Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan anak akan terkontrol oleh norma-
norma Islam.
Disinyalir pengawasan alat negara ataupun pengawasan manusialainnya
tidak mampu untuk mencegah perilaku yang menyimpang. Oleh karenaitulah
penanaman keimanan terhadap adanya pengawasan dari Yang MahaMelihat
kepada anak sangat dibutuhkan, agar luruslah jalan anak menuju yangdiridhai-
Nya.
Dalam Tafsīr al-Qur’ān li al-Qur’ān dijelaskan bahwa kata ilayya ’l-
maṣīrpada ayat ke-14 di atas, mengandung isyarat sesungguhnya Allah SWT
adalahTuhan yang mengetahui segala urusan manusia. Hubungan antara anak
dankedua orang tuanya adalah sebatas perantara ẓahiriyyah wujudnya
seoranganak di dunia, sedangakan mengenai urusan aqidah mereka tidak
berhakmenyesatkan anak-anaknya. Oleh karena itu sebagai seorang anak
26Abdul Hamid Hakim, Bayān, Juz III, (Jakarta: Sa’diyah Putra, 1991), 31.
24
hendaknyasenantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus
sebagaiungkapan terima kasih kepada keduanya.
Di sisi lain, ada yang menafsirkan kata ilayya ’l-maṣīr sebagai
bentukpenegasan seruan taat kepada-Nya dan kepada kedua orang tua.
Segalakebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia baik kepada Allah
SWT maupun kepada kedua orang tuanya akan dibalas di hari pembalasan
tergantungamal yang diperbuat.27
Menurut Zakiah Darajat dengan adanya kesadaran akan pengawasanAllah
yang tumbuh dan berkembang dalam pribadi anak, maka akan masuklahunsur
pengendali terkuat di dalam kepribadian anak. Dengan demikian,
kesadaranyang tinggi atas pengawasan-Nya akan berdampak positif terhadap
jiwa psikologis anak dalam menjalani samudera kehidupan dikemudian
hari,terutama dalam menentukan sesuatu yang hak dan yang batil. 28
Terkait dengan hal ini, Luqman al-Hakim pun berwasiat kepada
anakanaknyatentang adanya balasan akhirat, yakni dalam akhir ayat ke-15,
Kemudian hanyalah kepada-Ku kembali kalian, maka Kuberitakan apa yang
kalian kerjakan.”
Menurut al-Maraghi29 ayat tersebut di atas menjelaskan adanya balasan
terhadap segala amal perbuatan manusia pada umumnya.Khususnya balasan
atas rasa syukur kita kepada-Nya terhadap segala nikmat dan rasa
penghormatan kita kepada kedua orang tua.
Mengingat begitu pentingnya penanaman keyakinan terhadap
adanyapertanggung jawaban di hari akhir, maka diharapkan sebagai orang tua
yangsadar akan tanggung jawabnya harus memberikan pengarahan dan
bimbingansebagaimana Luqman al-Hakim mendidik anak-anaknya. Perlu
diingat bahwa penanaman keyakinan adanya hari pembalasan pada pribadi
anakakan dapat bermanfaat sebagai salah satu upaya pengendali terhadap
diripribadi seorang anak.
b. Pendidikan Syariah
Pendidikan syariah adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan,
menanamkan serta menghayatkan anak terhadap nilai-nilai peraturan Allah tentang
27Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, Juz XXI, (Beirut: Darul Fikri, 1991), 91. 28Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 63. 29Ahmad Musthafa al -Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., 54.
25
tata cara pengaturan perilaku hidup manusia, baik yang berhubungansecara vertikal
dengan Allah yang disebut ibadah, maupun berhubungan secara horizontal dengan
makhluk-Nya, yang disebut hubungan muamalah.
Dalam ibadah, bentuk peribadatan yang bersifat khusus pelaksanaanya telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa dan zakat.
Olehkarena itu, kita harus mengikuti apa yang dicontohkan Nabi.30
Sedangkan dalam muamalah, bentuk peribadatan yang bersifat umum,
pelaksanaannya tidak seluruhnya dicontohkan langsung oleh nabi, namun beliau
hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar, sedangkan pengembangannya diserahkan
kepada kemampuan dan daya jangkau umat. Seperti ekonomi,bisnis, jual beli,
perbankan, perkawinan, pewarisan, pidana, tata Negara dan sebagainya.
1) Perintah Mendirikan Shalat
Shalat adalah salah satu bentuk sarana ritual yang menandakan ketundukan
seorang hamba kepada Tuhannya. Shalat juga bisa diartikan sebagaibentuk
konkret manusia mensyukuri segala nikmat-Nya. Dalam hal ini,Luqman al-
Hakim sebagai pribadi yang bertanggung jawab memerintahkankepada anak-
anaknya untuk mendirikan shalat. Perintah ini secara redaksional nampak sangat
jelas betapa Luqman mendidik anak-anaknya denganmenggunakan motode yang
sangat humanis, yaitu model bertahap (tadrīj). Mulai dari larangan berbuat
syirik, menanamkan keyakinan adanya tempatkembali sebagai balasan atas
berbagai amal manusia, dan perintah mendirikanshalat lima waktu.
Sebagaimana Nabi Muhammad memberi tuntunan dalam haditsnya,
“Perintahkanlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah
mereka karena meninggalkan shalat jika telah berumursepuluh tahun, dan
pisahkan anak laki-laki dari anak perempuan dalam tempat tidur mereka.”
(HR. Abu Dawud, al-Turmudzi dan al-Hakim).31
Tuntunan para nabi yang telah diimplementasikan oleh Luqman al-Hakim
baik secara metodologis maupun aplikatif di lapangan hendaknya bisadicontoh
dan dilaksanakan oleh para orang tua ataupun para pendidik.Sehingga mutiara
hikmah Luqman yang diabadikan Tuhan dalam al-Qur’anbisa membumi dan
berakar, bukan hanya sekedar i‘tibār tanpa adanya pengamalan. Apalagi
diperparah dengan adanya pengaruh globalisasi media elektronik; televisi,
30Nurdin, Muslim dan Ishak Abdullah, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), 103. 31Hasan Langulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: al -Ma’arif, 1980), h. 373.
26
internet, mass media, video game dan sejenisnya seakan telah menggantikan
berbagai mutiara hikmah dari orang-orang shalih.
Menurut Mushthafa al-Maraghi32 dalam kitab tafsirnya yang berjudulTafsir
al-Maraghi dijelaskan, perintah mendirikan shalat yang terdapat dalamsurat
Luqman ayat ke-17 mempunyai arti bahwa perintah untuk menjalankan shalat
dengan sempurna sesuai dengan cara yang diridhainya. Karena didalam shalat
itu terkandung ridha Tuhan, sebab orang yang mengerjakannya berarti
menghadap dan tunduk kepada-Nya. Dan di dalam shalat terkandung pula
hikmah lainnya, yaitu dapat mencegah orang yang bersangkutan dari perbuatan
keji dan mungkar. Maka apabila seseorang menunaikan hal itudengan sempurna,
niscaya bersilah jiwanya dan berserah diri kepada-Nya,baik dalam keadaan suka
maupun duka.
Namun demikian, persoalan yang memprihatinkan dari peradaban saatini
adalah hilangnya nilai-nilai shalat dari sendi-sendi kehidupan ummatIslam.
Seakan shalat hanyalah sekedar ritualitas dan tradisi tanpa makna,hampa dari
esensi ontologisnya, tercerabut dari tujuannya. Padahal, secarategas dalam doa
iftitah kaum Muslim mengikrarkannya minimal lima kalidalam sehari: inna
ṣalātī wanusukī wa maḥyāya wamamātī lillāhi rabbil ‘ālamīn, yang artinya:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matikuhanyalah untuk Allah
SWT, Tuhan seisi alam.”
Berpijak pada Tafsir al-Maraghi dalam surat Luqman ayat ke-17 di atas,
dimungkinkan kaum Muslim sampai saat ini belum mampu melaksanakanshalat
dengan sempurna. Hal ini terbukti dari berbagai kasus kriminalitas yang terjadi
di Indonesia mulai perampokan, pembunuhan, tindakan KorupsiKolusi
Nepotisme (KKN), tawuran, perjudian, pelecehan seksual, narkoba,dekadensi
moral dan lain sejenisnya, kebanyakan dilakukan oleh “ummat Islam.”
Padahal, apabila kaum Muslimin mampu dan mau merenungkan darisetiap
gerakan dan bacaan-bacaan shalat yang dilakukannya, manfaatnyasangatlah luar
biasa, terlebih dalam membentuk kepribadian Islami. Sebagaicontoh yang
sangat sederhana misalnya, prosesi pelaksanaan sujud. Di setiap shalat sering
kali seorang Muslim melaksanakan gerakan sujud, dengan cara meletakkan
(menundukkan) wajahnya ke bumi (tempat sujud), sembari diikuti dengan
32Ahmad Musthafa al -Maraghi, Tafsir al-Maraghi... h. 158.
27
meletakkan kedelapan anggota tubuhnya di atas tempat sujud, yaitu
menempelkan kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut, dan jari-jari kedua
kaki. Kemudian diiringi dengan bacaan subḥānaka rabbiya ‘l-a‘lā wa
biḥamdihi, (“Mahasuci Tuhan yang menguasai ‘arsy (tempat yang gaib) dengan
kesuciannya.”)
Hal ini mengandung isyarat, bahwa manusia adalah makhluk yanglemah,
kedudukannya di sisi Tuhan adalah sama, tidak dibedakan oleh warnakulit, ras,
suku, golongan, pangkat, kekayaan, kemewahan dan lain sebagainya.Kedelapan
anggota tubuh yang biasanya digunakan sebagai simbol keangkuhanmanusia.
Pada saat melaksanakan prosesi sujud dipaksa “tunduk” kepada Yang Maha
berhak. Karena pada hakikatnya harkat dan martabat,kekayaan dan kemegahan
manusia di dunia merupakan kamuflase yangsemu dan sementara. Sedangkan
yang membedakan manusia satu denganmanusia lainnya adalah ketakwaannya
di sisi-Nya.
Dengan demikian, merupakan suatu keniscayaan apabila para orang tua
maupun para pendidik mulai mengajarkan nilai-nilai dari pelaksanaan shalat
kepada anak-anaknya. Baik mengajarkan nilai-nilai yang terkandung
dalambacaan shalat, maupun nilai-nilai dari gerakannya. Minimal memberi
pemahaman bahwa shalat bukanlah sekedar ritualitas tanpa makna, melainkan
ritualitas bermakna yang dapat mengantarkan anak-anak menjadi pribadi yang
sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Terlebih apabila penanaman dan
pendidikan yang demikian ini diajarkan para orang tua pada saat anak-anak
masih berumur 0-12 tahun, niscaya mereka akan senantiasa
mengingat,mengamalkan, dan menjadikan batu pijakan nasihat-nasihatnya
tersebut dalam menjalani kehidupan sehari-hari.33
2) Perintah Amar Ma‘rūf Nahy Munkar
Setelah menyuruh anak-anaknya untuk mendidirikan shalat, Luqman al-
Hakim pun pada ayat ke-17 melanjutkan nasihatnya, agar anak-anaknyasupaya
berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Al-Zuhaili34
menafsirkankalimat wa’mur bi ’l-ma‘rūf pada ayat ke-17 ini sebagai
ajakanLuqman al-Hakim kepada dirinya sendiri maupun orang lain (anak-
anaknya)untuk berbuat kebajikan, seperti budi pekerti yang baik, melakukan
33Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 200. 34Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr..., h.150.
28
pekerjaanyang mulia, membersihkan jiwa dari keburukan. Sedangkan
kalimatwanhā ‘an al-munkar sebagai ajakannya untuk mencegah
kemaksiatan,kejelekan dan kemungkaran baik kepada dirinya sendiri maupun
kepadaorang lain yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah.
Lain halnya dengan al-Zuhaili, al-Maraghi35 menafsirkan kalimat wa’murbi
’l-ma‘rūf dalam surat Luqman ayat ke-17 ini sebagai seruan Luqman al-Hakim
agar orang lain (anak-anaknya) supaya mau membersihkan dirinyasesuai dengan
kemampuannya. Maksudnya supaya jiwanya menjadi suci dandemi untuk
mencapai keuntungan. Sedangkan kalimat wanhā ‘an al-munkar ditafsirkan
sebagai seruan agar manusia mau mencegah perbuatan durhaka kepada Allah
SWT, dan dari mengerjakan larangan-larangan-Nya yang membinasakan
pelakunya serta menjerumuskannya ke dalam azab neraka yang apinya menyala-
nyala, yaitu neraka jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka
jahanam.
Walaupun sepintas lalu kedua mufassir di atas, berbeda pendapat dalam
memberi penafsiran tentang makna amar ma‘rūf nahy munkar. Namun, pada
prinsipnya keduanya sependapat bahwa perintah kebajikan dan mencegah
berbagai kejelekan merupakan perintah Luqman al-Hakim kepada anak-
anaknyapada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan
demikian,para orang tua maupun para pendidik hendaknya mau mengikuti jejak
Luqman al-Hakim yang tidak pernah bosan menyerukan kebaikan danmencegah
segala bentuk kemungkaran di mana pun ia berada. Tentunya sesuaidengan
kemampuan dan kapasitasnya masing-masing.
c. Pendidikan Ahklak
Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan,
menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yang
mengaturpola, sikap dan tindakan manusia atas isi bumi. Pola sikap dan tindakan
yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia
(termasuk dengan dirinya sendiri) dan dengan alam sekitar.36 Alih kata, pendidikan
akhlak adalah suatu pendidikan yang berusaha mengimplementasikannilai
keimanan seseorang dalam bentuk perilaku.37 Sebab pendidikan akhlak adalah
35Ahmad Musthafa al -Maraghi, Tafsir al-Maraghi... , h. 159. 36Nurdin, Muslim dan Ishak Abdullah, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), h. 205. 37Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, h. 58.
29
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama.Sehingga sesuatu,
dianggap baik atau buruk oleh seseorang manakala berdasar pada agama.38
Adapun nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam nasihat Luqman pada
ayat ke-12-19 adalah mensyukuri nikmat Allah SWT. Atas segala nikmat dan
karunia Allah, kita harus bersyukur kepada-Nya. Nikmat Allah meliputiseluruh
hidup, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk menghitungnya, mulai dari nikmat
yang berhubungan dengan jasmani, rohani, materi dan non materi dengan berbagai
ragam. Sebagaimana berfirman-Nya dalam al-Qur’anyang berbunyi:
“Jika kamu hitung nikmat Allah, niscaya tak dapat kamu menghitungnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Penyanyang.”39
Ayat tersebut di atas, menurut Wahbah al-Zuhaili40 menunjukkan betapa
pentingnya mensyukuri nikmat. Lebih lanjut dijelaskan andai kata manusia ingin
menghitung dan mengidentifikasi nikmat Allah, niscaya ia tidak akan mampu.
Sebab nikmat Allah itu sangat besar jumlahnya (tak terhitung) yang terus menerus
ada, sedangkan akal manusia itu sangat terbatas dan lemah.
Nikmat adalah kesenangan, pemberian atau karunia yang diberikan-
Nyakepada manusia. Menurut Imam al-Ghazali nikmat berarti setiap kebaikan
yang dapat dirasakan kelezatannya dalam kesenangan hidup, tetapi nikmatyang
sejati adalah kesenangan hidup di akhirat. Sedangkan syukur menurut Hamka
adalah orang yang mampu mempertinggi dirinya sendiri dengan caramengenang
dan menghargai jasa orang lain.41 Orang yang paling berjasa terhadap diri kita
adalah kedua orang tua. Sehingga Tuhan pun memerintahkan setiap manusia agar
bersyukur kepada keduanya, dan pada prinsipnya yang maha berjasa adalah Allah
SWT.
Dalam hal ini, Imam al-Qusyairi mengutipdari Syeh Ali Dahaq yang
mengatakan bahwa hakikat syukur menurut para ahli ialah pengakuan terhadap
nikmat yang diberikan-Nya yang dibuktikandengan ketundukannya.
Sebagai makhluk yang beradab sudah semestinya manusia senantiasa
bersyukur kepada-Nya, akan tetapi pertanyaannya kemudian adalah bagaimanacara
bersyukur yang baik itu bisa terlaksana? Namun sebelum hal itudijelaskan perlu
disampaikan terlebih dahulu perbedaan antara kata al-syukr(berterima kasih) dan
38Hasan Langulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: al -Ma’arif, 1980), h. 373. 39QS. al-Nahl [16]: 18. 40Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munīr..., h. 179. 41 Hamka, Tafsir al -Azhar, Juz XXI, (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1991), h. 157.
30
kata al-ḥamd (memuji) agar tidak terjadi kesalahanpersepsi dalam memahami
kedua kata tersebut. Perbedaan kedua kata tersebut pada dasarnya terletak pada
tingkat pelaksanaannya. Kata al-hamd itu terkadang hanya diucapkan dalam lisan
saja tanpa adanya tindakan,sedangkan kata al-shukr biasanya sudah mencakup
syukur secara lisan dan syukur dengan perbuatan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penelitian menunjukkan bahwa objek pendidikan Islam termuat dalam al-
Qur’an Surah At-Tahrim 6 dan surah asy-Syuaara 214 . Setidaknya ada tiga tingkatan
prioritas objek pendidikan yaitu diri sendiri, keluarga dan kerabat. Sedangkan dalam
Surat Lukman 12-19 terdapat tiga tingkat pendidikan yaitu pendidikan aqidah,
pendidikan syari’ah, dan pendidikankarakter. Pendidikan aqidah meliputi dua hal: (1)
larangan mensekutukanAllah. Lukman Hakim memprioritaskan pendidikan tauhid
kepada anak-anak; (2) mempercayai hari akhir. Lukman Hakim mengajarkan kepada
anak-anaknya untuk mempercayai balasan atas perbuatan yang dilakukan di
dunia.Pendidikan syariah meliputi dua hal, yaitu mendirikan sholat dan amar
ma‘rūfnahy munkar. Pendidikan karakter meliputi perintah untuk bersyukur
kepadaAllah atas semua karunia-Nya.
Subjek pendidikan dalam islam benar-benar diperhatikan keberadaannya. Terlihat
betapa selektifnya islam dalam menentukan mana yang pantas dikatakan sebagai
pendidik dan mana yang tidak. Subjek pendidikan adalah orang ataupun kelompok
yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan, sehingga materi yang
diajarkan atau yang disampaikan dapat dipahami oleh objek pendidikan.
Kata “pendidik” itu meliputi semua orang yang memberi pendidikan, seperti
guru, ustad, kyai, pengajar, dan orangtua. Seorang pendidik adalah teladan bagi
generasi di zamannya. Ia memegang peranan penting dalam perkembangan suatu
masyarakat. Oleh karenanya, jika ia dapat melaksanakan kewajibanya dalam mengajar,
ikhlas dalam melaksanakan tugas, dan mengarahkan anak didiknya kepada pendidikan
agama serta perilaku yang baik, maka ia akan mendapat keberuntungan baik di dunia
maupun di akhirat. Pendidik adalah individu yang mampu melaksanakan tindakan
mendidik dalam situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad, 2008, Lubabut Tafsir min Ibni Katsiir, Terj. M. Abdul Ghofar
dan Abu Ihsan Al-Atsari, Pustaka Imam Syafii, Jakarta.
Ahmad Izzan, 2012, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan, PAM Press,
Banten.
Al-Zuhaili, Wahbah,1991, Tafsir al-Munīr, Juz XXI, Beirut: Darul Fikri.
Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta
Hamid Hakim, Abdul,1991, Bayān, Juz III, Jakarta: Sa’diyah Putra.
Hamka, 1991, Tafsir al-Azhar, Juz XXI, Surabaya: Yayasan Latimojong.
Langulung, Hasan, 1980, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif.
M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah, jilid 13, Lentera Hati, Jakarta.
Mas’ud ,Abdurrahman dkk.2001, Paradigma Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar: Semarang.
Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra.
Mushthafa Al-Maraghi,Ahmad, 1966, Tafsir Al-Maraghi Kairo: Syirkah Maktabah.
Nurdin, Muslim dan Ishak Abdullah, 19931,Moral dan Kognisi Islam, Bandung: Alfabeta.
Quraish Shihab, Muhammad, 2001, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, Semarang.
Suryabrata, Sumadi,1995, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad,1991,Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta,
Yogyakarta: Tiara Wacana