suku tengger
TRANSCRIPT
SUKU TENGGER
Suku tengger adalah suku yang tinggal disekitar gunung bromo, jawa
timur yakni menempatati sebagian wilayah kabupaten pasuruan, kabupaten
probolinggo, dan kabupaten malang. Komunitas suku tengger berkisar antara 500
ribu orang yang tersebar di tiga kabupaten tersebut. Etnis yang paling terdekat
dengan suku tengger adalah suku jawa namun terdapat perbedaan yang sangat
menonjol antara keduanya, terutama dari sistem kebudayaannya.
KEADAAN GEOGRAFIS
Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke selatan; 20-30 km
dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger
teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang
dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-
tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak
pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo,
dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak
Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Wilayah adat
Wilayah Adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah yaitu Sabrang
Kulon (Brang Kulon diwakili oleh Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten
Pasuruan) dan Sabrang Wetan (Brang Wetan diwakili oleh Desa
Ngadisari,Wanantara,Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo).
Perwakilan oleh Desa T osari dan tiga Desa tersebut mengacu pada Prosesi
Pembukaan Upacara Karo yang sekaligus membukla Jhodang Wasiat / Jimat
Klontong. Adapun Desa – Desa yang merupakan Komunitas Suku Tengger adalah
Sebagai Berikut: Desa Ngadas, Wanatara, Jetak, dan Ngadisari (Kecamatan
Sukapura Kabupaten Probolinggo), Desa Wanakersa, Ledokombo, Pandansari
(Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo), Desa Tosari, Baledono, Sedaeng,
Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo (Kecamatan Tosari Kabupaten
Pasuruan), Desa Keduwung ( kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan), Desa
Ngadirejo, Ledok Pring (Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadas
(Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang),dan Desa Ranupani (Kecamatan
Senduro Kabupaten Lumajang).
Keadaan tanah dan tanam-tanaman
Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur.
Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii,
tectona, grandis leucaena, dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus cadamba.
Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon cemara sampai di ketinggian 3000 dpl
yaitu lereng Gunung Semeru. Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan yang
tinggi, pohon elfin dan pohon cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian
terutama adalah kentang, kubis, wortel, jagung,bawang prei (plompong tengger)
dsb.
Jenis hewan
Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu, kambing, babi dan ayam
kampung. Jenis binatang yang hidup secara liar di hutan-hutan adalah babi hutan
(sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak muntiacus), dan
berkembang pula jenis macam tutul (panthera pardus), terdapat pula species
burung-burungan, misalnya burung air.
Iklim dan cuaca
Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi
antara bulan Mei-Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan
musim hujan terjadi pada bulan November-April, dengan persentase 20 hari/lebih
hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara berubah-ubah, tergantung ketinggian,
antara 3º - 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban udara rata-rata 80%.
Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam hari terasa dingin.
Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada musim
hujan. Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah
perkampungan, kabut mulai menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak
Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi hari sebelum fajar menyingsing.
ASAL USUL DAN SEJARAH
Suku Tengger yang beragama Hindu hidup di wilayah Gunung Bromo,
Jawa Timur. Ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara
etimologis, Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila
dikaitkan dengan adat dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering budi luhur.
Artinya tanda bahwa warganya memiliki budi luhur. Makna lainnya adalah:
daerah pegunungan. Tengger memang berada pada lereng pegunungan Tengger
dan Semeru. Ada pula pengaitan tengger dengan mitos masyarakat tentang suami
istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger
Hikayat Rara Anteng dan Jaka Seger. Alkisah, pada zaman dahulu, ada seorang
putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri Kerajaan Majapahit. Namanya Rara
Anteng. Karena situasi kerajaan memburuk, Rara Anteng mencari tempat hidup
yang lebih aman. Ia dan para punggawanya pergi ke Pegunungan Tengger. Di
Desa Krajan, ia singgah satu windu, kemudian melanjutkan perjalanan ke
Pananjakan. Ia menetap di Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Rara Anteng
kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di
Pegunungan Bromo.
Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di
Majapahit. Joko Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa
Kedawung sambil mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di
desa ini, Joko Seger mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang
menetap di Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai
Pananjakan.
Joko Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya ke
kediamannya. Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuat
serong dengan Joko Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara
Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu.
Lamaran diterima. Resi Dadap Putih mengesahkan perkawinan mereka.Sewindu
sudah perkawinan itu namun tak juga mereka dikaruniai anak. Mereka bertapa 6
tahun dan setiap tahun berganti arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi
mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian
menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan Joko Seger. Ada pawisik mereka akan
dikaruniai anak, namun anak terakhir harus dikorbankan di kawah Gunung
Bromo.
Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah
Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma.
Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai
tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu
mereka. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun
semburan api itu sampai juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah
Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudara-
saudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan
masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti hasil
bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga
tempat-tempat lain. Kini upacara itu terkenal dengan nama Kesada. Pada upacara
Kesada, dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger – Rara Anteng
BAHASA
Bahasa yang berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa
Tengger yaitu bahasa Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang
Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan
tulisan Jawa Kawi. Suku Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa
yang mengembangkan variasai budaya yang khas. Kekhasan ini bisa dilihat dari
bahasanya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa
tingkatan bahasa sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa
pada umumnya. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa
sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang
yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak
terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama. Contoh:
Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira ,
Kamu ( untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak ,
Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk
SISTEM PENGETAHUAN
Pendidikan pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju
dengan dibangunnya sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah
disekitar kawasan Tengger. Sumber pengetahuan lain adalah mengenai
penggunaan mantra-mantra tertentu oleh masyarakat Tengger.
Sistem Kalender Suku Tengger
Suku Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri
yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa., jumlah usia kalender suku
tengger berjumlah 30 hari (masing-masing bulan dibulatkan),tetapi ada perbedaan
penyebutan usia hari yaitu antara tanggal 1 sampai dengan 15 disebut tanggal
hari,dan 15 sampai 30 disebut Panglong Hari (penyebutannya adalah Panglong
siji,panglong loro dan seterusnya) . Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat
tanggal yang digabungkan yaitu tumbuknya dua tanggal. Pada tanggal
Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1 (sepisan) sasih kedhasa
(bulan ke sepuluh), yaitu sehari setelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada
bulan Maret dalam Tahun Masehi. Cara menghitungnya dengan rumus : tiap bulan
berlangsung 30 hari, sehingga dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk
wuku dan hari pasaran tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga
ada dua tanggal yang harus disatukan dan akan terjadi pengurangan jumlah hari
pada tiap tahunnya. Untuk melengkapi atau menyempurnakannya diadakan
perhitungan kembali setiap lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada waktu
itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-unan,
yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan
berikutnya, yaitu bulan Dhesta atau bulan ke-sebelas. MECAK (Perhitungan
Kalender Tengger ),istilah mecak biasanya digunakan untuk menghitung atau
mencari tanggal yang tepat untuk melaksankan Upacara-upacara besar seperti
Karo,Kasada maupun Upacara Unan-unan. Setiap Dukun Sepuh telah mempunyai
persiapan atau catatan tanggal hasil Mecak untuk tiap – tiap Upacara yang akan
dilaksanakan sampai lima tahun ke depan.
NAMA – NAMA HARI SUKU TENGGER.
1. Dhite : minggu
2. Shoma : senin
3. Anggara : selasa
4. Budha : r a b u
5. Respati : kamis
6. Sukra : jum’at
7. Tumpek : sabtu
NAMA – NAMA BULAN SUKU TENGGER
1. Kartika : kasa
2. Pusa : karo
3. Manggastri : katiga
4. Sitra : kapat
5. Manggakala : kalima
6. Naya : kanem
7. Palguno : kapitu
8. Wisaka : kawolu
9. Jito : kasanga
10. Serawana : kasepoloh
11. Pandrawana : destha
12. Asuji : kasada
Adapun tahun yang digunakan adalah tahun saka ( caka ).
Sifat dan sikap suku tengger
Konsep tentang Manusia Menurut Falsafah Tengger Sifat Umum Di dalam
kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin
dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan
puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat
sederhana, terdiri dari cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu
terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb.
Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus
membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu
siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat.
Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan
memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger
sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya
secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara
Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan,
kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk
mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan
kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan
mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan
sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh
Petinggi ( Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga
menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh
seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah
yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger Ajaran tentang asal-usul
manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas
manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger memberi
makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang
dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini.
h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa, d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi
laksana, p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji, m, g, b, th, ng :
marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: “Tuhan
Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia)
dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan
kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan
(ngakasa ‘menuju alam bebas angkasa’)”.
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak
ada menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini
melaksanakan lima perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di
dunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita
tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar
(berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya
keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung
makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan
tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan
kedua hal itu.
Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah Tengger Masyarakat Tengger
beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma
(roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal,
badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari
mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka
mengembara tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah
timur akan melenyapkan semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di
dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa
bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah
candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci
serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui
upacara Entas-entas.
Hubungan Antar-manusia Menurut Falsafah Tengger Sesuai dengan ajaran
yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap
hidup dengan sesanti panca setia, yaitu: i. setya budaya artinya, taat, tekun,
mandiri; ii. setya wacana artinya setia pada ucapan; iii. setya semàya artinya setia
padajanji; iv. setya laksana artinya patuh, tuhu, taat; v. setya mitra artinya setia
kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat
Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-
royong, serta rasa tanggung jawab. umpamanya menunjukkan bahwa pada
umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap
hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan
pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan
sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula
tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada kesadaran
rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya
apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap
perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang
lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai
orang Tengger. Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria
adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya
memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana
tenteram dan damai.
Sikap dan Pandangan Hidup Pandangan tentang Perilaku Sikap dan
pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat),
wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah,
tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan
terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan
tentang watak yaitu: i. prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya; ii.
prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana; iii. pranata berarti senantiasa patuh
pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah; iv. prasetya berarti setya; v. prayitna
berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger
mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan
perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima
pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai
perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa
malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa
malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang
bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat
bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain.
Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun
toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada
cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai
Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam
hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para
putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya
perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya
ada yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama
sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi
muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak
banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras,
dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja
adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya
sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan
harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan
demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk
mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja
sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan
telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri
seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan,
dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu
memuliakan orangtuanya. Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti
mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan
lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih
baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan
masyarakatnya. Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan
masyarakat Tengger, yakni: 1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan
lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan; 2. usia 21 (wanita)
atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk
membangun rumah dan mandiri; 3. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka,
membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa
akhir hidupnya. Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih
mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah
hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa
menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
Pertunangan dan Perkawinan Pada umumnya masyarakat Tengger
mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan
perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di bawah umur juga
jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh orangtua
pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa
senang kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka
orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk
menanyakan persetujuannya atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria
telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk
menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui
oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada
dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan
memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, ‘papan’ tempat
pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan
ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur
putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin
diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka
dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan
hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain,
sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi
buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang
utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam
perkawinan dengan disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan
dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh
nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan. Biasanya setelah melakukan
perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
Hak Waris Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah
untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual
hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada
anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar
aturan ketat yang dibakukan.
Tata Rumah Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang
sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih
tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh dan gangguan angiñ. Rumah-rumah
letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki
dan berbagaf jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit atau gak lebar
antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang disebut Jcrajan biasa-nya
terletak di tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa
lain. Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula
apabila bangunan telah selesai diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan
yang sedang dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-
tiang, berupa makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah
orang Tengger biasanya luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga
bersama-sama, Ada kebiasaan bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan
tinggal bersama mertuanya. Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan
atapnya terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa
ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dan seng,
papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih
tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh di depan rumah. Di
dalam ruangan rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat
dan batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4 dari panjang
ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek terbuat dari
kayu (dingklik bhs jawa) yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan.
Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan duduk di tempat ini
menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian
juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya yang
memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu
terdapat pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada
umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula
terdapat sigiran, tempat untuk menggantungkan jagung yang belum dikupas.
Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga
berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen mendatang.
TEKNOLOGI
Dalam kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi
yang dibawa oleh wisatawan-wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga
cenderung menimbulkan perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti
suku-suku lain karena masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka,
maupun kekayaan seni budaya tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga
memiliki beberapa obyek penting yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di
lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing.
SISTEM AGAMA DAN RELIGI
Agama yang dianut sebagian besar suku tengger adalah Hindu, Islam dan
Kristen. Masyarakat tengger dikenal taat dengan aturan agama Hindu. Mereka
yakin merupakan keturunan langsung dari majapahit. Gungung brahma (Bromo)
dipercayai sebagai gunung suci dengan mengadakan berbagai macam upacra-
upacara yang dipimpin oleh seorang dukun yang sangat dihormati dan disegani.
Masyarakat tengger bahkan lebih memilih tidak mempunyai kepala pemerintahan
desa dari pada tidak memiliki pemimpin ritual. Para dukun pandita tidak bisa di
jabat oleh sembarang orang, banyak persyaratan yang harus dipenuhi sebagai
perantara doa-doa mereka. Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat tengger
diantaranya :
a. Yahya kasada, Upacara ini ilakukan pada 14 bulan kasada, mereka membawa
ongkek yang berisi sesaji dari hasil pertanian, ternak dan sebagainya. Lalu
dilemparkan kekawah gunung bromo agar mendapatkan berkah dan diberikan
keselamatan oleh yang maha kuasa.
b. Upacara Karo, Hari raya terbesar masyarakat tngger aalah upacara karo atau
hari raya karo. Masyarakat menyambutnya dengan suka cita dengan membeli
pakaian baru, perabotan, makan, minuman, melimpah, dengan tujuan mengadakan
pemujaan terhadap sang Hyang Widi Wasa.
c. Upacara Kapat, jatuh pada bulan ke empat, bertujuan untuk memohon brekah
keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
d. Upacara kawalu, jatuh pada bulan kedelapan, masyarakat mengirimkan sesaji
ke kepala desa, dengan tujuan untuk kesehatan Bumi, air, api, angin, matahari,
bulan dan bintang.
e. Upacara kasanga, jatuh pada bulan kesembilan. Masyarakat berkelilling desa
dengan membunyikan kentongan dan membawa obor tujuannya adalah memohon
keselamatan.
f. Upacara kasada, Jatuh pada saat bulan Purnama (ke dua belas) tahun saka,
Upacara ini isebut sebagai upacara kuban
g. Upacara Unan, Unan, diadakan lima tahun sekali dengan tujuan mengaaan
penghormatan terhadap roh leluhur.
Peralatan upacara
Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan,Udeng dan kain
Selempang berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai
warisan dari nenek moyang Suku Tengger. Prasen, berasal dari kata rasi atau praci
(Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar binatang
dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka:
1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka
1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana
Tunggadewi di Majapahit. Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna
kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger. Genta, keropak dan prapen, sebagai
pelengkap upacara.
ORGANISASI SOSIAL
Perkawinan
Sebelum ada Undang-Undang perkawinan banyak anak-anak suku
Tengger yang kawin dalam usia belia, misalnya pada usia 10-14 tahun. Namun,
pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan pola perkawinannya
endogami. Adat perkawinan yang diterapkan oleh siuku Tengger tidak berbeda
jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak sebagai
penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah menikah
adalah neolokal, yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang
baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan
kerabat istri.
Sistem Kekerabatan
Seperti orang Jawa lainnya, orang Tengger menarik garis keturunan
berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok
kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan
anak-anak.
Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa yang
masing-masing kelompok tersebut dipimpin oleh tetua. Dan seluruh
perkampungan ini dipimpin oleh seorang kepala adat. Masyarakat suku Tengger
amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka dibandingkan pejabat
administratif karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat
Tengger. Masyarakat Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar masyarakat
Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya bisa menjadi warga
kehormatan di masyarakat Tengger. Masyarakat muslim Tengger biasanya tinggal
di desa-desa yang agak bawah sedangkan Hindu Tengger tinggal didesa-desa yang
ada di atasnya.
MATA PENCAHARIAN
Pada masa kini masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani di
ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual tanah (ladang) mereka pada
orang lain. Macam hasil pertaniannya adalah kentang, kubis, wortel, tembakau,
dan jagung. Jagung adalah makanan pokok suku Tengger. Selain bertani, ada
sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi menjadi pemandu wisatawan di
Bromo. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menawarkan kuda yang
mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan.
KESENIAN
Tarian khas suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan
Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh
dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar
budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa
- Seni Tari
Tari yang biasa dipentaskan adalah tari Roro Anteng dan Joko Seger yang dimulai
sebelum pembukaan upacara Kasada.
- Seni bangunan
Bangunan untuk peribadatan berupa pura disebut punden, danyam, dan poten.
Poten adalah sebidang tanah dilautan pasir sebagai tempat berlangsungnya
upacara Kasada. Poten dibagi menjadi tiga mandala atau zone yaitu :
1. mandala utama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan yang terdiri
dari padma, bedawang, nala, bangunan sekepat, dan kori agung candi bentar.
2. mandala madya atau zone tengah, disebut juga jaba tengah yaitu tempat
persiapan pengiring upacara yang terdiri dari kori agung candi bentar bale
kentongan, dan Bale Bengong.
3. mandala nista atau zone depan, disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralhian dari
luar kedalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar dan bangunan
penunjang lainnya.
NILAI-NILAI BUDAYA
Orang Tengger sangat dihormati oleh masyarakat Tengger karena mereka
selalu hidup rukun, sederahana, dan jujur serta cinta damai. Orang Tenggr suka
bekerja keras, ramah, dan takut berbuat jahat seperti mencuri karena mereka
dibayangi adanya hukum karma apabila mencuri barang orang lain maka akan
datang balasan yaitu hartanya akan hilang lebih banyak lagi. Orang Tengger
dangat menghormati Dukun dan Tetua adat mereka.
DAFTAR PUSTAKA
AnneAhira.com diunduh 3 Januari 2011
www.wikipedia.com diunduh 5 Januari 2011
http://m.detik.com diunduh 5 Januari 2011
Simanhadi, Widyaprakoso, 1994, Masyarakat Tengger: Latar Belakang Daerah Taman
Nasional Bromo, Yogyakarta, Kanisius.
Koentjaraningrat, 1989, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru.
umkm-pasuruankab.com diunduh 8 Januari 2011
KARANGAN ETNOGRAFI
SUKU TENGGER
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Antropologi
Dosen Pengampu : Isawati, S.Pd
Disusun Oleh:
ESTI PRAMIATI
K4408032
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011