sumber hukum islam

39
SUMBER HUKUM ISLAM Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Allah SWT berfirman: “(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” (QS. Al Isra 36) “(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus 36) Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka. Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i adalah Al- Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar’i). Al-Qur’an Definisi Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi

Upload: arum-vilia-utami

Post on 03-Jan-2016

67 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sumber Hukum Islam

SUMBER HUKUM ISLAM

Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) karena dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).

Allah SWT berfirman:“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” (QS. Al Isra 36)“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus 36)

Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka.

Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar’i).

Al-Qur’an

Definisi Al-Qur’anAl-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.

Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.

Kehujjahan Al-Qur’anAl-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq,

Page 2: Sumber Hukum Islam

yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-Isra: 88)“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)

Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah saw, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya berkata: “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’an.”

Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’an menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian Iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya. Yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. (Lihat juga pembuktian kesahihan Al-Qur’an pada materi “Proses Keimanan”)

Al Muhkamat dan Al Mutasyabihat

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepadamu, di antaranya (isinya) ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan lainnya (ayat-ayat) Mutasyabihat.”(QS. Ali Imran 7)

Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara nyata dan tidak dapat ditafsirkan lagi. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai arti terselubung (tersembunyi) yang dapat ditafsirkan karena mengandung beberapa pengertian.

Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari kiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, kesemuanya dijelaskan melalui ayat-ayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat adalah haramnya riba dan zina dalam segala

Page 3: Sumber Hukum Islam

bentuknya, wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan hukum-hukum Allah dan sebagainya.

Sedangkan ayat-ayat yang Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang mu’amalah seperti QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri).

Tafsir Al-Qur’anTafsir adalah menerangkan maksud pada lafadz. Misalnya firman Allah SWT ‘laa raiba fiihi’ (tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain “laa syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir Al-Qur’an merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat) atau oleh hadits Rasulullah saw tentang suatu ayat (tafsir bis Sunnah), atau penjelasan para shahabat dan ahli ilmu terhadap suatu ayat.

Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an melalui bahasa yang lain.

Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab.

Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT, maka tidak ada alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab.” (QS. Ar-Ra’du: 37)

Sesungguhnya kelalaian ummat dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an menyebabkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ummat sedang berjalan menuju garis yang berada di luar jalur ketentuan Allah SWT.

Hendaknya disadari bahwa melakukan kajian terhadap isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Disamping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an.

Juga harus disadari bahwa pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an.

Page 4: Sumber Hukum Islam

Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang kita lakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.

As-Sunnah

Definisi SunnahSunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”  (QS. An-Najm: 3-4)

Makna ayat di atas bahwanya apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am 50)

Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya.

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an, Rasulullah saw juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.

Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’anAdapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/penunjukannya) yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.

Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan:

Page 5: Sumber Hukum Islam

“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.”

2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.Umum (‘Aam) ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘Al Muslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar rijaalu’ (orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qur’an tersebut. Misalnya firman Allah SWT:“Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS. An-Nisaa’: 11)

Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw:“Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR Imam Bukhari)“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya mendapat warisan dari ayahnya.

3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang MutlakMutlak ialah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” (QS. Al-Maidah: 38)

Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas ke atas. Sabda Rasulullah saw:“Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR Ahmad)

Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagimana ayat 38 Surat Al Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw.

4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum.Peranan Sunnah yang lain adalah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al-Qur’an disamping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang asalnya dari Al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan tentang pengharaman memperisteri dua orang sekaligus.“(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisaa’: 23)

Page 6: Sumber Hukum Islam

Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan tentang haramnya seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:“Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ‘ammah (saudara bapaknya), atau dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan) dan tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya, sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.”(HR .An Nasa’i dan Ibnu Majah).

5. Sunnah Menetapkan Hukum-hukum Baru, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-Qur’an, akan tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah. Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan umum seperti air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, tempat penggembalaan ternak dan lain-lain.

Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An-Nur: 51)

Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i, karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/Syari’ah masih dapat digunakan nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).

Ijma’ Shahabat

Pengertian Ijma, Shahabat

Lafadz Ijma’ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh, Ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’.

Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat

Page 7: Sumber Hukum Islam

atau sebagainya.

Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.

Alasan Ijma’ Shahabat Dijadikan Sumber Hukum IslamDari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tersebut? Benarkah semua ‘ulama’ tadi mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud ijma’ setelah masa shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.

Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya aku telah memilih para shahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain).“Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr)

Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para Shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.

Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan

Page 8: Sumber Hukum Islam

manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?

Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan Hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.

Beberapa Contoh Ijma’ Shahabat

Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’) para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat: 42)

Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi.

Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang mashur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.

Qiyas

Pengertian Oiyas

Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya.

Alasan Qiyas Dijadikan Sumber Hukum

Page 9: Sumber Hukum Islam

Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.

Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut.

Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:

“Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”

Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.”

Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi

Contoh Qiyas dan Ruang Lingkup Pembahasan Qiyas

Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat:“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)

Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.

Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-reka, semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan,

Page 10: Sumber Hukum Islam

minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.

Rukun Qiyas

Setiap qiyas mempunyai empat rukun:

a. Asal (pokok). Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)

b. Far’u (cabang). Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).

c. Hukum asal.Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.

d. ‘Illat.Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabaang itu dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang keempat adalah yang terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya.

Demikianlah gambaran ringkas tentang qiyas. Karena pembahasan di sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang dalam dan terperinci bila ingin mendapat pemahaman yang menyeluruh dan mendalam.

http://mardiunj.blogspot.com/2010/06/sumber-sumber-hukum-islam.html

Fungsi Hukum Islam dalam kehidupanBermasyarakatFungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakatsebenaranya cukup banyak, namun dalam pembahasan inihanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu (a)fungsi ibadah, Fungsi yang paling utama hukum islam adalah

Page 11: Sumber Hukum Islam

untuk beribadah kepada Allah swt. (b) Fungsi amar ma’rufnahi munkar (c) Fungsi zawajir. (d) Fungsi tanzim wa islah alUmmah. Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagaisarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancarproses interaksi sosial sehingga terwujudlah masyarakat yangharmonis, aman dan sejahtera (Ibrahim Hosen, 1996:90).D. Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan danPenegakan HukumKontribusi umat islam dalam perumusan dan pengakanhukum pada akhir-akhir ini semakin nampak jelas dengandiudangkannya beberapa peraturan perundang-undanganyang berkaitan dengan hukum Islam, seperti misalnyaUndang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun1977 tentang Perwakafan tanah milik, Undang-undangRepublik Indonesia nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilanagama, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 TentangKompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik IndonesiaNomor 38 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, danUndang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 1999tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195604201983011-SOFYAN_SAURI/BUKU_PAI_REVISI/BAB_XV.pdf

Fungsi Hukum Islam di Dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Berbicara masalah hukum Islam tentu saja akan mencakup semua spek kehidupan di dalam masyarakat. Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk lainnya.

Peranan utama fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat adalah :

1. Fungsi ibadah yaitu fungsi hukum Islam dalam beribadah kepada Allah dan fungsi ini adalah fungsi yang utama.

2. Fungsi Amar ma`ruf nahi munkar yaitu di dalam hukum Islam terdapat hukum yang mengatur kehidupan manusia.

3. Fungsi Zawazir yaitu adanya sangsi yang diberikan kepada pelaku apabila melakukan perbuatan pidana misalnya mencuri atau berzina yang telah ditetapkan sangsinya.

4. Fungsi tanzim wal islah al-Ummah yaitu fungsi untuk mengatur kehidupan di dalam masyarakat misalnya dalam masalah muamalah (Ibrahim Hosen,        1996 : 90)

Kontribusi Hukum Islam dalam Perundang-undangan Indonesia

Page 12: Sumber Hukum Islam

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari segi etnik, budaya dan agama. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Hukum agama datang ke Indonesia bersamaan dengan hadirnya agama. Oleh karena itu sebagai mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam merupakan salah satu sistem yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia. (A.Qodri Azizy. 2004 : 138)

Ada beberapa peraturan baik berupa undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden yang didalamnya berisi tentang hukum Islam, diataranya adalah :

1. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Banyak pasal dalam undang-udang ini berasal dari hukum Islam.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan dan tanah milik.3. Instruksi presiden No 13 tahun 1980 tentang perjanjian bagi hasil.4. Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan salah satu

perundang-undangan pelaksanaan dari undang-undang No 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan hakim.

5. Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI). KHI berisi tentang himpunan hukum Islam yang berkenaan dengan perkawinan, waris dan wakaf.

6. Undang-undang No 7 tahun 1992 dan peraturan pemerintah No 70 dan 72 tentang Bag bagi hasil.

7. Undang-undang No 38 tahun 1999 tentang penyelenggaran ibadah haji.

Buku biru mku kita

SUMBER HUKUM ISLAMAL QUR’ANPengertian al-Qur’anSecara Bahasa (Etimologi)Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تال) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).Secara Syari’at (Terminologi)Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

>ز:يال <ن ت آن< >قAر> ال >ك< <ي ع<ل <ا >ن ل Jز> ن Aح>ن> ن Jا :ن إAllah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

Aون< <ع>ق:ل ت Aم> Jك <ع<ل ل Sا :ي ب ع<ر< Uا آن قAر> Aاه> >ن ل >ز< <ن أ Jا :ن إDan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,

<ح<اف:ظAون< ل Aه> ل Jا :ن و<إ >ر< الذ\ك <ا >ن ل Jز> ن Aح>ن> ن Jا :ن إ

Page 13: Sumber Hukum Islam

“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)

Nama-Nama Al-Qur’anAdapun nama –nama al Qur’an yaitu :1. Al kitab (kitabullah),yang merupakan sinonim dari kata Al Qur’an artinya,kitab suci sebagai petunjuk bagi oranh yang bertakwa.nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 2.2. Az-zikr,artinya peringatan,nam ini di terangkan dalam Al-Qur’an surat al-hijr ayat 9.3. Al- furqan, artinya pembeda,nama ini diterangkan dalam surat al Furqan ayat 1.4 As-suhuf berate lembaran-lembaran,seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al- bayinah ayat 2.

Pembagian surat dalam Al-Qur’an.

1. Assabi’uthiwaal, yaitu tujuh surat yang panjang,ketujuh surat itu yaitu al-baqarah (286), al-A’raf (206), Ali Imran (200), an-nisa (176), al an’am (165),al-maidah (120), dan Yunus ( 109)2. Al-Miuun, yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih.Maksudnya surat-surat tersebut memiliki ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya,surat Hud (123 ayat),Yusuf (111 ayat), dan At-Taubah (129 ayat).3. Al-Matsaani, yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Maksudnya surat-surat tersebut kurang dari seratus ayat.Misalnya,surat Al-anfal (75 ayat),ar-rum (60 ayat),dan al-hijr(99 ayat).4. Al- Mufashshal, yaitu surat-surat pendek seperti al-ikhlas,ad-duha,dan an-nasr.suat-surat seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.

Wahyu yang pertama dan terakhir diturunkan .Wahyu yang di turunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad adalah surat Al-Alaq ayat ke 1-5 di gua hira.Tepatnya pada tangal 17 ramadan,tahun ke 40 bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M.

Proses turunnya Al-Qur’anAda 3 pendapat yang berkenaan dengan proses turunnya Al-Qur’an :1.Al-Qur’an diturunnkan sekaligusAl-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar kemudiaan diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw.2.Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur.Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur pada setiap malam lailatul qadar.3.Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah. AL-Qur’an diturunkan pertama kali pada malam lailatul qadar sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah,kemudian b aru diturunkan sedikit demi sedikit kepada Nabi Muhammad saw.Sejarah turunnya Al-Qur’anAllah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan perantaraan malaikat jibril sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu’an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat

Page 14: Sumber Hukum Islam

3.Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Lama al-quran diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.

Fungsi Al-Qur’an1.Petunjuk bagi Manusia.Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)2. Sumber pokok ajaran islam.Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.

Tujuan Pokok Al-Quran1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.3. ptunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan AlQur’an1.Akidahakidah adalah keyakinan atau kepercayaan.Akidah islam adalah keyakinan atau kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.2.Ibadah dan MuamalahKandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-ur’an tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia dengan manusia atau

Page 15: Sumber Hukum Islam

hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 82.3.HukumSecara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum perang,hukum antar bangsa.4. AkhlakDalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4.5. Kisah-kisah umat terdahuluKisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an.Al-Qur’an menaruh perhatian penting terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.6. Isyarat pengemban ilmu pengetahuan dan teknologiAl-Qur’an banyak mengimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9.Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia.Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :1. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu.2. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya.3. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.4. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia manusia.5. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.6. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa.

HIKMAH DITURUNKANNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR1. Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam . Firman-Nya:“Orang-orang kafir berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (Al-Furqaan: 32)2.Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Qur’an karena menurut mereka aneh kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata

Page 16: Sumber Hukum Islam

mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur’an, apalagi membuat langsung satu kitab.3.Supaya mudah dihapal dan dipahami.4.Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur’an dan giat mengamalkannya.5.Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.

http://hbis.wordpress.com/2009/11/11/makalah-al-quran-sebagai-sumber-hukum-islam/

HADITS/SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA

PENDAHULUAN

Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi

hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW

(aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya

pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila

mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka

namai dengan ”Sunnah”.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits

dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum

primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang

sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau

bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan

merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah

peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi

sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

Sekarang timbulah setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;

Pertama, dapatkah Sunnah berdiri sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan

dalam Al-Qur’an?; Kedua, apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai

sumber hukum yang harus diikuti oleh setiap umat islam?.

Page 17: Sumber Hukum Islam

Makalah yang kecil lagi tipis ini, berusaha menjelaskan sekelumit tentang kedua perkara di

atas, dan juga menjelaskan adanya keterkaitan antara Al-Hadits/As-Sunnah dengan Al-Qur’an.

SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM

A. DASAR ALASAN SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua

setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber

hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber

hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam,

bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri

telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber

hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:

1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad:

33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).

2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)

3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,

An-Nisa: 115).

4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di

perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)

suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam

Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber

hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal,

seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-

ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang

menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan

kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna),

Page 18: Sumber Hukum Islam

muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan

Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan

kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran

yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

B. HUBUNGAN AL-HADITS/AS-SUNNAH DENGAN AL-QUR’AN

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,

pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-

Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :

1. Bayan Tafsir,

yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits :

“Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku

shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :

“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni

manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an

“Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).

1. Bayan Taqrir,

yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.

Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah

karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-

Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

1. Bayan Taudhih,

yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :

“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang

sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-

Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan

perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka

dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa

Page 19: Sumber Hukum Islam

berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang

kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

C. DAPATKAH AS-SUNNAH BERDIRI SENDIRI DALAM MENENTUKAN HUKUM

Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang

bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu

persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para

Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan

pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam

bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang

kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa

sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk

kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan

keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran

didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah

ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,

kesemuanya bersumber dari Allah SWT.

Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan

(sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan

seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu

tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:

“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,

agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”

(An-Nahl: 44)

Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski

secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan

Page 20: Sumber Hukum Islam

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)

Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik

tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya

adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena

menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.

Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah

karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai

tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas.

Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda

pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan

oleh Sunnah saja)

Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan

oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang

membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk

berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

D. APAKAH SEMUA PERBUATAN NABI MUHAMMAD SAW DAPAT BERFUNGSI

SEBAGAI SUMBER HUKUM, YANG HARUS DIIKUTI OLEH SETIAP MUSLIM?

Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga

umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya.

Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang

wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan

tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah,

ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh

dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi

tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi

tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian

berikut ini:

Page 21: Sumber Hukum Islam

1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya

Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah

pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan.

Contohnya antara lain:

Berpuasa Wishal

Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu

bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan

hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.

Boleh beristri lebih dari empat wanita

Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu

yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang,

sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.

2. Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya

Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh

Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.

Shalat Dhuha’

Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.

Qiyamullail

Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya

Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.

Bersiwak

Page 22: Sumber Hukum Islam

Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya

hukumnya hanya Sunnah saja.

Bermusyawarah

Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya

Menyembelih kurban (udhhiyah)

Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.

3. Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya

Menerima harta zakat

Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat.

Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).

Makan makanan yang berbau

Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau,

seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya

malakat kepadanya untuk membawa wahyu.

Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka

jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan

oleh umat Muhammad SAW.

Haram menikahi wanita ahlulkitab

Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri

Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi.

Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah

dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.

Page 23: Sumber Hukum Islam

Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum

kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah

dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau

mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu

contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita

mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam

sekalipun.

Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara

memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah

Nabi SAW.

KESIMPULAN

Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan

pokok sebagai berikut:

1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah,

hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada

Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).

2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga

menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.

4. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan

tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan

Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan

Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an

3. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini

didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang

syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama

sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.

Page 24: Sumber Hukum Islam

Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh

umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

http://iaibcommunity.wordpress.com/2008/05/10/haditssunnah-sebagai-sumber-hukum-kedua/

SEJARAH AL QURAN

 

 

Apakah itu al-Quran.                     "Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).

                     Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:

Artinya:

                     ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya".Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.

Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"

Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.

 Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.                     Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:

1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).

2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.

3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat

Page 25: Sumber Hukum Islam

dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".

                     4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.

Artinya:

                     Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.

 Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansurAl Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:

1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.

2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).

3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.

4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:

                     mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus

                     Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:

                     demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu

5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.

 Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah                     Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:

Page 26: Sumber Hukum Islam

  1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.

2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.

Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.

Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:

1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.

Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.

2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.

3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

 Nama-nama al-Quran  Allah memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".

                     Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.

  Nama ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.

Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

                     Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:

Page 27: Sumber Hukum Islam

  1. Al Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.

                     2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"

  3. Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.

 Surah-surah dalam al-Quran  Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).

Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.

                     Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:

  1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.

2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.

3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.

4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.

g. Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.

                     Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:

  (1) Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).

Page 28: Sumber Hukum Islam

Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.

Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)

 http://joerzack.tripod.com/SEJARAH_AL_QURAN.htm