syaikh haji abdul muhyi pamijahan

7
Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan Posted by jalod99 | Filed under Tokoh {1650 – 1730M /1071 – 1151H} Tasawuf Martabat Alam Tujuh Abstrak Hendaklah kamu sekalian bertakwa kepada Allah, berbaktilah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang, janganlah kamu sedikit berbuat yang dapat menyusahkan orang, kasihanilah orang yang kecil hormati orang yang besar dan hargailah sesamamu, …. hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri …. {Wasiat Syekh Abdul Muhyi kepada putra-putri dan istri-istrinya sebelum malaikat maut menjemputnya} Genealogi Syekh Abdul Muhyi Berbeda dengan tokoh-tokoh sufi Melayu lainnya, aspek kesejarahan Syekh Abdul Muhyi sampai sekarang masih belum tuntas diungkapkan, baik riwayat hidup maupun perannya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kesulitan memperoleh sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Kalaupun ada, sebagian besar masih berada di tangan penduduk atau tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa misalnya di Leiden, Belanda. Bersumber dari naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tersebut dapat diketahui bahwa Syekh Abdul Muhyi dari pihak ibu adalah keturunan Nabi sedangkan dari pihak bapak adalah keturunan raja-raja Jawa khususnya dari kerajaan Galuh (Jawa Barat). Penarikan garis keturunan ke atas ini tampaknya dimaksudkan untuk memberikan legitimasi ketokohannya sebagai ulama. Tetapi kepentingan teks tersebut bukan terletak pada kebenaran sumber sejarah, tetapi harus dilihat sebagai trend sejarah para wali yang senantiasa menarik garis keturunan pada Rasulullah. Karena kecenderungan ini, para sosiolog kerap memandangnya sebagai keturunan spiritual; sebab sang wali berperan sebagai penerus risalah nabi. Inti genealogi Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah terletak pada dua tokoh: selain Syekh Abdul Muhyi sendiri yang diberi gelar Safaril Wadin Pamijahan, dan juga Kanjeng Dalem Tumenggung Wiradadaha, Bupati Sukapara (nama lama Kabupaten Tasikmalaya) yang hidup sezaman. Perbedaannya, yang pertama memainkan peran sebagai ulama sedangkan yang kedua lebih berperan sebagai penguasa (umara). Untuk memperkuat perannya sebagai ulama, di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah disebutkan ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf Pamijahan yaitu: Abdul Qadir Jaelani, Abdul Jabbar dan Abdul Rauf Singkel. Apabila Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Abdul Muhyi dianggap sebagai

Upload: abdulrohman-yahya

Post on 19-Jun-2015

1.670 views

Category:

Documents


125 download

TRANSCRIPT

Page 1: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan Posted by jalod99 | Filed under Tokoh

{1650 – 1730M /1071 – 1151H} Tasawuf Martabat Alam Tujuh

Abstrak Hendaklah kamu sekalian bertakwa kepada Allah, berbaktilah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang, janganlah kamu sedikit berbuat yang dapat menyusahkan orang, kasihanilah orang yang kecil hormati orang yang besar dan hargailah sesamamu, …. hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri ….

{Wasiat Syekh Abdul Muhyi kepada putra-putri dan istri-istrinya sebelum malaikat maut menjemputnya} Genealogi Syekh Abdul Muhyi Berbeda dengan tokoh-tokoh sufi Melayu lainnya, aspek kesejarahan Syekh Abdul Muhyi sampai sekarang masih belum tuntas diungkapkan, baik riwayat hidup maupun perannya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kesulitan memperoleh sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Kalaupun ada, sebagian besar masih berada di tangan penduduk atau tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Eropa misalnya di Leiden, Belanda.

Bersumber dari naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tersebut dapat diketahui bahwa Syekh Abdul Muhyi dari pihak ibu adalah keturunan Nabi sedangkan dari pihak bapak adalah keturunan raja-raja Jawa khususnya dari kerajaan Galuh (Jawa Barat). Penarikan garis keturunan ke atas ini tampaknya dimaksudkan untuk memberikan legitimasi ketokohannya sebagai ulama. Tetapi kepentingan teks tersebut bukan terletak pada kebenaran sumber sejarah, tetapi harus dilihat sebagai trend sejarah para wali yang senantiasa menarik garis keturunan pada Rasulullah. Karena kecenderungan ini, para sosiolog kerap memandangnya sebagai keturunan spiritual; sebab sang wali berperan sebagai penerus risalah nabi.

Inti genealogi Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah terletak pada dua tokoh: selain Syekh Abdul Muhyi sendiri yang diberi gelar Safaril Wadin Pamijahan, dan juga Kanjeng Dalem Tumenggung Wiradadaha, Bupati Sukapara (nama lama Kabupaten Tasikmalaya) yang hidup sezaman. Perbedaannya, yang pertama memainkan peran sebagai ulama sedangkan yang kedua lebih berperan sebagai penguasa (umara).

Untuk memperkuat perannya sebagai ulama, di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah disebutkan ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf Pamijahan yaitu: Abdul Qadir Jaelani, Abdul Jabbar dan Abdul Rauf Singkel. Apabila Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Abdul Muhyi dianggap sebagai

Page 2: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

‘wali penutup’. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah wafatnya, keturunan Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah ‘wali penutup’ memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada setiap zaman, tetapi hanya para ‘wali’ yang mengetahui keberadaan seorang ‘wali’.

Yang penting dari naskah itu dapat dicatat dua hal, pertama keturunan Nabi dan kedua keturunan raja. Di dalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah disebutkan bahwa sebagai ‘keturunan’ nabi dirinya merupakan keturunan ke-26 dihitung dari Fatimah. Dengan begitu kedudukannya sebagai ulama menjadi kuat, karena ia adalah keturunan nabi dari garis Husein, putera Fatimah. Hal itu didukung pula oleh keterangan bahwa Syekh Abdul Muhyi juga adalah murid Syekh Abdul Rauf Singkel, salah seorang ulama Aceh terkemuka pada abad XVII yang dimakamkan di Kuala Aceh dan terkenal sebagai guru tarekat Satariyah. Lebih dari itu, dilihat dari genealoginya, Syekh Abdul Rauf Singkel juga keturunan Nabi yang ke-13 dari garis Hasan, putera Fatimah. Pada cabang inilah terdapat Abdul Qadir Jaelani al-Bagdadi yang terkenal sebagai penggagas tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Derajat kewalian Syekh Abdul Muhyi semakin kuat, karena antara Nabi dan dirinya terdapat urutan tokoh yang menjadi salah satu dari ‘Wali Songo’, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri.

Sebagai keturunan raja, Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tidak banyak menyebutkan garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul Muhyi yang bernama Lebe Warta kusumah adalah keturunan ke-6 dari Ratu Galuh. Perkawinan Lebe Warta dengan Sembah Ajeng Tanganziah melahirkan dua orang anak: pertama adalah Syekh Abdul Muhyi dan kedua adalah Nyai Kodrat (menjadi isteri Khotib Muwahid). Dari Khotib Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.

Syiar Islam dan Tradisi Ziarah Kubur Berbeda dengan riwayat keturunannya, aktivitas keagamaan Syekh Abdul Muhyi tidak banyak informasi diperoleh. Dalam kedudukannya sebagai penyebar Islam, kisahnya sulit dilacak. Hal ini barangkali disebabkan karena pada umumnya para ulama, apalagi jika ia telah mencapai derajat ‘wali’, hal-hal yang bersifat popularitas sangat dihindari, sehingga kehidupan keagamaannya selalu berkembang dari legenda ke legenda dan dari mitos ke mitos.

Demikian pula dengan Syekh Abdul Muhyi. Kebanyakan informasi diperoleh dari legenda-legenda atau tradisi lisan masyarakat Pamijahan atau para murid dan penganut disiplin Satariyah. Dalam tradisi setempat, Abdul Muhyi datang ke Pamijahan melalui Darma Kuningan. Pengetahuan agamanya diperoleh setelah berguru kepada Sunan Giri. Kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada Syekh Abdul Rauf Singkel di Aceh, yang memungkinkannya sampai di Bagdad dan berhasil mewarisi ajaran Abdul Qadir Jaelani. Sekembalinya ke tanah air, ia diperintahkan gurunya di Aceh untuk menemukan sebuah gua yang serupa dengan gua tempat tarekatnya Abdul Qadir Jaelani. Setelah bertahun-tahun menelusuri daerah pedalalaman Jawa Barat bagian tenggara, akhirnya ia sampai di

Page 3: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

Pamijahan. Gua yang ditemukannya di desa itu diberi nama Munajat, dan mendirikan kampung dinamai Saparwadi. Tetapi di kemudian hari kampung itu lebih dikenal dengan nama Pamijahan; istilah yang diberikan untuk menandai kedatangan banyaknya peziarah seperti ikan yang bertelur di gua Saparwadi.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa syiar Islam dilakukan dengan melalui jalan tasawuf. Mula-mula memperkenalkan tarekat Qadiriyah; sebuah aliran yang banyak dikenal di Tanah Sunda sebagaimana dibuktikan oleh banyaknya manuskrip tarekat ini. Namun kemudian ajaran tersebut semakin mengkristal menjadi Tarekat Mu’tabarah Syatariyah. Ajaran ini ditandai oleh berbagai varian cara pendekatan diri kepada Sang Pencipta yang rupanya amat sesuai dengan tradisi lama masyarakat Sunda.

Sayangnya ini tidak menemukan bukti pesantren tertua di Pamijahan, namun jika penyebaran Islam dilakukan melalui jalan tasawuf, artinya telah terjalin hubungan kekerabatan spiritual antara sang guru dan muridnya. Melalui murid-murid tarekat itulah kemudian ajaran Islam berkembang. Cara seperti ini sudah tentu memberikan kemungkinan meluasnya jaringan Islam dalam metode yang homogen. Dan dari setiap murid itulah akan tercipta kutub-kutub pengajaran Islam lainnya, yang meskipun tetap terfokus pada pusat suci Pamijahan, pusat-pusat penyebaran lainnya dikesankan sebagai satelit-satelit yang mengelilingi sistem tata surya dari pusat cahayanya. Dan pusat cahaya yang pertama itu sendiri sesungguhnya menjadi satelit dari kutub suci utamanya di Mekah.

Praktek keagamaan dari tarekat ini tercermin pada perilaku ziarah di Pamijahan, seperti halnya juga dilakukan di kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon. Menurut Viviane Sukanda-Tessier pada tahun 1991, pada prinsipnya, dalam ritual tersebut para peziarah meyakini bahwa ziarah (tawaf) di kompleks makam Sunan Gunung Jati dan Syekh Datuk Kahfi, Cirebon sama nilainya dengan pergi haji ke tanah suci Mekkah. Demikian pula, ziarah ke makam Syekh Abdul Muhyi dan dilanjutkan dengan penerebosan gua Saparwadi, dianggap ekivalen dengan pergi haji ke Mekkah. Anggapan ini direpresentasikan oleh tingkat keistimewaannya dalam penetrasi gua Saparwadi. Kecuali mengandung sifat-sifat keajaiban alam juga mengandung nilai mistis.

Keistimewaan itu pertama-tama terletak pada kesukaran ketika memasuki dan mencari jalan keluarnya. Setelah berada di dalam gua, orang dapat menemukan tempat keramat / pertapaan yang konon merupakan warisan Syekh Abdul Muhyi seperti jalan ghaib menunju berbagai jurusan: Mekah, Madinah, Cirebon, Banten, dan Surabaya (Gresik).

Dalam prakteknya, ziarah pada umumnya dipandu oleh kuncen (juru kunci). Para peziarah membaca al-Quran, surat al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, istighfar, shalawat, mengingat jasa guru dan zikir, yang seterusnya memanjatkan doa. Termasuk ke dalam disiplin ini, di daerah inti Pamijahan terdapat beberapa perilaku yang wajib ditaati pengunjung, seperti dilarang merokok, naik sepeda atau motor.

Page 4: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

Keberadaan institusi pakuncenan pada kenyataanya bukan sekedar ‘juru kunci’ yang melayani prosesi ziarah, tetapi sekaligus penjaga tradisi baku yang berlaku di Pamijahan. Antisipasi masyarakat Pamijahan pun telah mendukung meningkatnya kegiatan ziarah tahunan. Popularitas Pamijahan semakin hari semakin luas tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga seluruh Jawa. Seperti juga makam para wali lainnya di pesisir utara Jawa, Pamijahan selalu menarik puluhan ribu pengunjung pada setiap kalender hari raya Islam tahunan.

Hikmah besar ini sekarang dirasakan amat positif bagi dinamika kehidupan masyarakat Pamijahan. Harus diakui, keramat Pamijahan sekarang menjadi salah satu sektor pendapatan masyarakat yang penting, dan sudah tentu mendukung peningkatan ekonomi daerah, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya.

Pemikiran Tasawuf Martabat Alam Tujuh Dalam tradisi Tasawuf yang kelak nantinya diikuti oleh pengikutnya, maka Syekh Abdul Muhyi dengan Tarekat yang ditempuhnya ialah tarekat Mu’tabarah Syatariyah ini akan memberi suatu pemikiran tentang ajaran Martabat Alam Tujuh, yang disebut Martabat Alam Tujuh ini adalah sesuatu yang mengajak manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Taqarub Ila Allah). Diantaranya adalah; Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah (tertuju kepada sang khaliq), Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam (tertuju terhadap Alam), dan Alam Insan (tertuju kepada manusia).

Sejalan dengan konsep wujudiyyat Ibnu ‘Arabi dan al-Jilli di atas, Muhammad bin Fadhlallah al-Burhanpuri mencetuskan konsep wujudiyyat yang dikenal dengan “Martabat alam Tujuh”. Menurutnya, wujud Allah itu untuk dapat dikenal melalui tujuh martabat (tingkatan). Martabat pertama, adalah martabat al-lata’ayyun yang disebut ahadiyyat, yaitu esensi Tuhan yang mutlak tanpa nama dan sifat, sehingga tak nampak dan tak terkenal siapa pun. Martabat kedua, adalah martabat al-ta’ayyun al-awwal (penampakan yang pertama) yang disebut wahdat. Penampakan esensi Tuhan pada tingkat ini berupa Hakikat Muhammad (al-haqiqat al-Muhammadiyyat) yang diartikan sebagai ilmu Tuhan mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta secara global tanpa pembedaan yang satu dari yang lain. Martabat ketiga, adalah al-ta’ayyun al-tsani (penampakan kedua) yang disebut wahidiyyat dalam rupa Hakikat Insan (al-haqiqat al-insaniyyat), yakni ilmu Tuhan mengenai diri-Nya, sifat-Nya, dan alam semesta ini secara terinci dan pembedaan yang satu dari yang lain, atas jalan perceraian.

Tiga martabat tersebut, menurut al-Burhanpuri semuanya bersifat qadim dan ‘azali, karena martabat yang tiga ini ketika itu tiada ada yang mawjud, melainkan Dzat Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, sedangkan sekalian makhluk ketika itu adalah mawjud di dalam ilmu Allah, belum lahir dalam wujud kharij (luar).

Selanjutnya, martabat keempat, dinamakan ‘alam arwah dan disebut juga Nur Muhammad SAW, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus semata. Ruh Tunggal

Page 5: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

yang merupakan asal ruh semua makhluk. Martabat kelima, disebut ‘alam mitsal, yaitu ibarat dari keadaan sesuatu yang halus, yakni diferensiasi dari Nur Muhammad tersebut dalam rupa ruh perorangan, yang dapat ditamsilkan “laut” selaku alam ruh melahirkan dirinya dalam bentuk “ombak” sebagai ‘alam mitsal. Martabat keenam, disebut sebagai ‘alam ajzam, yaitu alam benda-benda yang kasar, yang tersusun serta berbeda-beda antara yang satu dan yang lainnya. Martabat ketujuh, adalah martabat insan atau alam paripurna, yang padanya terhimpun segenap martabat yang sebelumnya, sehingga martabat ini disebut tajalli (penampakan) yang kemudian sekali.

Itulah tujuh martabat wujud Allah menurut al-Burhanpuri, yang dipelajarinya oleh Syekh Abdul Muhyi sekaligus murid dari Abdul Rauf Singkle. dan yang pertama dari tujuh martabat itu adalah sumber martabat bagi penampakan Allah, yang enam martabat lainnya adalah martabat-martabat penampakan Allah yang kulli (global).

Adapun martabat yang terakhir, yakni martabat insan dinamakan insan kamil, jika naik meningkat segenap martabat yang lain tampak serta terpancar di dalamnya. Puncak insan kamil yang paling sempurna terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW, penutup segala nabi-nabi. Demikianlah konsep martabat tujuh menurut pencetus yakni Muhammad bi Fadhallah al-Burhanpuri.

Kesemua ini merupakan hasil dari kitab al-Tufat di Jawa, yang di ikuti oleh Syekh Abdul Muhyi dan mengajarkan martabat alam tujuh. Kalau ini di teliti lebih lanjut sangat panjang uraiannya karena harus mengikuti alur sejarah yang harus di jalani dan ini tidaklah cukup satu hari mempelajari tasawuf martabat alam tujuh.

Pengamalan Tarekat Setelah gua ditemukan maka Syekh Abdul Muhyi bermukimlah beliau di dalam gua beserta keluarganya dan para pengikutnya, di sana beliau mendidik santri-santrinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama disamping itu beliau selalu suluk (istilah kewalian) menempuh keridhaan Allah dengan jalan Tarekat. Tarekat yang ditempuhnya ialah tarekat Mu’tabarah Syatariyah, ada pendapat lain bahwa beliau mendapat pangkat kewaliannya itu dengan mengamalkan Tarekat Nabawiyah.

Pendapat yang masyhur ajaran beliau hingga mencapai suluk kewaliannya dengan Tarekat Mu’tabarah Syatariyah, yang silsilah keguruan atau kemursyidannya hingga Rasulullah SAW.

Setelah sekian lama beliau mendidik santrinya di dalam gua, beliau mempersilahkan mereka untuk membantu menyebarkan agama Islam, dan mulai itulah beliau turut ke alam terbuka bersama santrinya yang telah dapat dipercaya. Berangkatlah beliau menuju tempat sebelah timur dengan menyelusuri hutan-hutan yang lebat turun gunug naik gunung, pasir-pasir dilaluinya dan jurang pun diseberanginya, bila telah berjalan, panas

Page 6: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

terik menyengatnya maka berteduhlah di bawah pohon-pohon yang besar sambil berlindung dari keganasan binatang-binatang buas.

Kesimpulan Pengumpulan data lapangan di Pamijahan, dengan segala keterbatasan data yang diperoleh, setidaknya telah mengisi kekosongan pengetahuan berkenaan dengan pengkultusan orang-orang suci Islam seperti misalnya Syekh Abdul Muhyi. Dengan penelitian ini sedikit kesulitan untuk memahami mentalitas dan religiusitas Islam di pedalaman Jawa Barat dapat diminimalkan. Dengan begitu, dalam mencermati gejala-gejala yang kerap dikategorikan sebagai ‘penyimpangan’ teologis, atau bahkan juga sejenis pengisolasian diri dari realitas-realitas kehidupan yang penuh dengan tantangan, dapat segera memunculkan isu akademik untuk mengkajinya secara lebih objektif.

Dengan terungkapnya semua fenomena kekeramatan Pamijahan yang telah nyata menjadi sumber magnet ziarah keagamaan, ‘ongkos’ yang bisa dikembalikan diharapkan berupa pengayaan kualitas ziarah yang telah memberi nuansa signifikan bagi pariwisata budaya spesifik dalam ranah keagamaan Islam. Konsep yang nanti bisa dikembangkan bagi segmen kegiatan itu sudah tentu mengarah pada pengisian entitas-entitas budaya Indonesia sebagai, memang semestinya, ‘payung’ bagi pengembangan pariwisata daerah.

Keberadaan makam dan tempatnya melakukan tarekat di Gua Saparwadi, di tepi sungai Pamijahan, telah menjadi bukti kongkrit dari akhir perjalanan hidupnya yang diabdikan untuk menyebarkan ajaran agama dan menjaga moral masyarakat yang pada waktu itu sedang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Belanda setelah kekalahan Kesultanan Mataram.

Beberapa pakar telah mencoba mengungkapkan pentingnya situs Pamijahan ini sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Dari segi arkeologis, sudah tentu daerah aliran sungai Cipamijahan dan cabang-cabangnya harus tetap diwaspadai sebagai lokasi hunian purba, yang mungkin sudah berlangsung sejak zaman prasejarah. Namun hasil penelitian ini baru memperoleh data-data awal tentang okupasi situs sejak awal abad XVII Masehi, setelah masyarakat setempat memeluk Islam.

Sesungguhnya bentang alam Pamijahan tidak ada yang istimewa, karena di hampir semua tempat di pegunungan selatan banyak ditemukan gua-gua alam, baik berupa ceruk dangkal ataupun rongga besar yang mengandung air atau mungkin bekas aliran sungai bawah tanah. Tetapi justeru karena kedatangan Syekh Abdul Muhyi dan kegiatan da’wahnya di tempat itu, menyebabkan Pamijahan menjadi penting. Unsur-unsur alam yang semula hanya sebagai sumber air yang digunakan bagi keperluan irigasi persawahan, dan bukit-bukit terjal yang rimbun justeru semakin menjadi pendukung berfungsinya tempat itu sebagai salah satu pusat kekeramatan.

Dua elemen penting dengan demikian menjadi faktor menentukan bagi keberlangsungan kegiatan wisata ziarah: alam itu sendiri dan keberadaan sang ‘wali’. Beberapa informasi lisan telah memberikan data pengunjung yang luar biasa besarnya; terutama pada hari besar Islam seperti bulan Rabbi’ul Awwal (kelahiran Nabi),

Page 7: Syaikh Haji Abdul Muhyi Pamijahan

bulan Sya’ban (menjelang ibadah ramadhan) dan bulan Muharram (tahun baru Hijriyah), peziarah bisa mencapai 20-30 ribu orang dalam rentang dua sampai tiga hari berturut-turut. Besarnya jumlah pengunjung sudah tentu membawa dampak luas bagi kehidupan ekonomi setempat, tetapi bisa juga memberi dampak negatif: menurunnya daya dukung alam, ketersediaan air bersih misalnya dan ketergantungan umum pada ekonomi ziarah.

Wassalam,

Sumber; Drs. H. AA. Khaerussalam, Sejarah Perjuangan Syekh Haji Abdul Muhyi Waliyullah هللاPamijahan, cet XI, (Pamijahan, 2005) Wawancara langsung dengan K.H. A. Beben M.D. {Pengurus Harian Kekeramatan هللاPamijahan} ,Prof. Dr. Moh. Ardani, Warisan Intelektual Islam; abd-muhyi (martabat alam tujuh) هللاartikel diluncurkan pada seminar pengaruh Islam terhadap budaya jawa, 31 November 2000