tantangan binadamai: kegagalan demokratisasi pasca konflik
TRANSCRIPT
Tantangan Binadamai: Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik
Sipil di Afghanistan
Irza Khurun’in
Abstrak
Tulisan ini mengambil tema mengenai tantangan yang sering dihadapi
pada proses binadamai pasca konfik. Penulis fokus pada binadamai di
Afghanistan pasca 2001. Konflik di Afghanistan merupakan konflik yang rumit
dan berkepanjangan. Pihak internasional pun mengambil peran untuk penciptaan
perdamaian yang berkelanjutan. Namun, binadamai yang dilakukan di
Afghanistan terhitung sejak tahun 2002 hingga 2006 tidak berbuah demokrasi.
Binadamai dan demokrasi merupakan dua hal yang konstitutif. Demokrasi
menjadi tujuan utama dalam transisi politik suatu negara pasca konflik,
khususnya negara yang sebelumnya menganut rezim otoriter, demokrasi
dianggap sebagai obat bagi penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian
berkelanjutan. Selanjutnya, penulis menggunakan pendekatan postwar
democratic transition untuk menganalisis kegagalan binadamai di Afghanistan.
Keyword: Binadamai, Afghanistan, Post war Democratic Transition
Pendahuluan
Binadamai adalah aspek penting dalam sebuah kondisi pasca konflik.
Binadamai bertujuan untuk menciptakan perdamaian positif (Positive peace) dan
perdamaian berkelanjutan (sustainable peace). Namun, seringkali binadamai
dijadikan sebagai pintu masuk ide-ide demokrasi melalui pendekatan ‘Liberal
Democratic Peace Theory’. Gagasan Liberal Democratic Peace Theory adalah
meyakini bahwa demokrasi liberal sebagai jalan untuk menciptakan perdamaian
yang berkelanjutan.
Sayangnya, kondisi konflik di tiap-tiap negara memiiki karakteristik yang
berbeda-beda yang tidak bisa hanya menggunakan satu kacamata pendekatan saja.
Oleh karenanya, pendekatan yang banyak digunakan dalam proses peacekeeping
maupun peacebuilding justru jarang berbuah demokrasi dan rentan menimbulkan
96 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
konflik jenis baru. Seklipun tidak menutup kemungkinan pendekatan liberal
democratic peace theory juga berhasil di beberapa tempat, seperti Timor Leste,
Namibia, Macedonia, Mozambik. Sedangkan, kegagalan binadamai dapat dilihat
di Aghanistan, Irak, Rwanda, dan Kosovo.
Afghanistan menjadi salah satu contoh aktivitas binadamai yang gagal
berbuah demokrasi. Menarik untuk melihat kegagalan di Afghanistan, pertama
konflik yang terjadi di Afghanistan adalah berkepanjangan dengan konstelasi
konflik yang rumit. Banyak aktor yang terlibat di dalamnya, termasuk Saudi
Arabia, Iran, Taliban, Al-Qaeda, dan tidak terlepas keterlibatan AS. Konflik sipil
di Afghanistan tercatat berawal sejak tahun 1978 hingga sekarang. Kedua,
Afghanistan merupakan negara yang paling rentan terjadi konflik. Berdasarkan
data The Guardian, ditahun 2014, Afghanistan adalah negara kedua yang paling
rentan terjadi konflik dengan skor 3,42, yakni satu posisi di bawah Suriah.1
Ketiga, Afghanistan merupakan negara yang paling banyak mendapatkan bantuan
luar negeri untuk mengatasi konflik sipil Afghanistan termasuk untuk
pembangunan pasca konflik. Berdasarkan data dari Organization for Economic
Co-operation and Development (OECD) Afghanistan adalah negara penerima
bantuan luar negeri terbanyak dada periode 2011-2012, yakni total bantuan
sebesar US$ 5,811 juta.2 Keempat, Afghanistan telah menandatangani Bonn
Agreement di tahun 2001 yang merupakan perjanjian damai untuk mengakhiri
perang sipil. Namun, konflik di Afghanistan masih terus berlanjut dan stabilitas
keamanan dan politik masih rendah.
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, yakni “mengapa binadamai di
Afghanistan tidak berbuah demokrasi?” Untuk menganalisis hal tersebut,
penulis menggunakan konsep Postwar democratic transitions. Argumen yang
dibangun dalam tulisan ini adalah kegagalan binadamai di Afghanistan dan tidak
membuahkan demokrasi karena faktor-faktor berikut, pertama adalah kurangnya
kapasitas administrasi; kedua karena kegagalan pendekatan analisis konflik;
1 http://www.theguardian.com/news/datablog/2014/jun/18/global-peace-index-2014-every-
country-ranked 2 Anup Shah, 2014, Foreign Aid for Development Assistance, (daring),
<http://www.globalissues.org/article/35/foreign-aid-development-assistance> diakses pada 20
Desember 2015.
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 97
ketiga karena spillover geopolitik di Afghanistan; keempat karena minimnya
sumberdaya dalam pelaksanaan mandat peacebuilding.
Postwar Democratic Transition, sebuah pendekatan konseptual
Binadamai adalah aktivitas yang dilakukan untuk memulihkan kondisi
sebuah negara pasca perang. Tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas
keamanan dan perdamaian yang berkelanjutan. School of Conflict Analysis and
Resolution mendefinisikan bendamai sebagai proses dan aktivitas yang berkiatan
dengan penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian berkelanjutan.
Binadamai hampir sama dengan resolusi konflik, namun menitikberatkan pada
pembangunan sosial dan ekonomi yang stabil karena merujuk pada kenyataan
bahwa tidak serta merta ketika konflik berakhir dapat secara otomatis
menciptakan stabilitas yang berkelanjutan. Sedangkan John Paul Lederach
mendefinisikan binadamai sebagai konsep yang komprehensif, memuat proses
pendekatan, dan tahapan yang diperlukan untuk mentransformasikan konflik
menuju kondisi damai yang berkelanjutan. Intinya, binadamai adalah proses
rekonstruksi dan transformasi negara dari kondisi konflik menuju kondisi damai
dan berkelanjutan.
Merujuk pada definisi di atas, menjadi paradoks ketika demokrasi menjadi
goal utama dari aktivitas binadamai. Seperti yang diungkapkan oleh Fortna bahwa
stabilitas perdamaian dalam misi binadamai merupakan tujuan yang kedua,
sedangkan tujuan utamanya adalah demokrasi dalam masyarakat internasional.3
Lebih lanjut lagi, argumen tersebut banyak diamini oleh para pengkaji konflik.
Binadamai bertujuan untuk membawa perdamaian dan demokrasi ke
dalam host countries. Singkat kata, binadamai adalah membangunan sebuah
negara guna memberdayakan negara, merekonstruksi lembaga negara, sehingga
3 Christoph Zurcher, et. al, 2013, Cotly Democracy: Peacebuilding and Democratization After
War, Tansford: Stanford University Press, Hlm. 20.
98 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
negara mampu menyediakan keamanan fisik dan ekonomi terhadap
masyarakatnya.4
Binadamai seringkali membawa perdamaian, namun jarang berbuah
demokrasi. Bukti kesuksesan transisi demokrasi pasca perang tidak menunjukkan
hasil yang memuaskan. Terhitung sejak tahun 1989, dalam 19 major
peacebuilding operations yang dilancarkan oleh PBB, dua negara berhasil
menganut liberal democracy, tujuh negara dalam kondisi elcetoral democracy,
tujuh negara menganut electoral authoritarian, dan tiga negara lainnya menganut
fully closed authoritarian.5
Binadamai merupakan proses yang interaktif. Artinya, banyak pihak yang
harus terlibat untuk mencapai kesuksesan. Sebagai sebuah proses yang interaktif,
binadamai tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik namun juga antara
aktivis perdamaian dan elit politik yang memenangkan kursi pemerintahan, yang
mana interaksi tersebut secara tegas membentuk proses perdamaian beserta hasil
akhirnya.6 Faktor penentu utama dalam binadamai adalah perbedaan/persamaan
prioritas antara aktivis perdamaian dengan elit domestik.7 Maka dibutuhkan
persamaan kepentingan antara aktivis perdamaian dengan elit politik di host
country.
Menurut Zurcher, dkk (2013) interaksi yang ada dalam proses binadamai
adalah antara pemerintah termasuk elit domestik, masyarakat sipil, mantan
kombatan dan pemberontak atau pihak yang terlibat konflik secara langsung, aktor
internasional, dan aktivis perdamaian. Sedangkan untuk melihat sukses atau
gagalnya sebuah aktivitas binadamai, belum ada tolak ukur yang pasti. Namun
secara umum, Zurcher (2013) menyebutkan keberhasilan atau kegagalan
binadamai dalam dilihat melalui faktor-faktor berikut ini. Pertama, level produk
domestik bruto suatu negara; kedua, intensitas dan tipe konflik; ketiga, modalitas
penyelesaian pascaperang; dan keempat adalah footprint misi binadamai.
4 Ibid., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 20. 5 Ibid., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 2. 6 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 5. 7 Ibid., Zurcher, et. al, 2013, Hlm. 5.
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 99
Sejauh ini tidak ada eksplanasi yang konsisten untuk menjelaskan
mengapa binadamai jarang berbuah demokrasi. Zurcher dkk. (2013) mencoba
memberikan penjelasan secara umum terkait dengan minimnya demokratisasi
dalam binadamai pasca konflik. Kegagalan binadamai dalam menghasilkan
demokrasi dapat disebabkan oleh kurangnya kapasitas administrasi; kegagalan
pendekatan analisis konflik; spillover geopolitik; dan minimnya sumberdaya
dalam pelaksanaan mandat peacebuilding.8
Kapasitas administrasi adalah kemampuan pemerintah suatu negara dalam
menjalankan perannya guna menerapkan demokrasi dan perdamaian
berkelanjutan. Kapasitas administrasi di sini berkaitan dengan transparansi dan
akuntabilitas pemerintahan, termasuk tingkat korupsi suatu negara.
Kedua, kegagalan pendekatan analisa konflik. Seringkali aktivis binadamai
kurang cermat dalam melihat akar penyebab konflik di suatu negara. Bisa jadi
konflik tersebut merupakan warisan dari masa kolonialisme. Argumen lain adalah
konflik sipil akibat perebutan kekuasaan. Namun, yang biasa dijadikan sebagai
faktor utama adalah rezim yang represif dan korup menjadi penyebab terjadinya
konflik sipil di suatu negara. Maka, dibutuhkan analisa konflik yang tepat untuk
mencari akar penyebab konflik, sehingga resolusi konflik yang diperoleh menjadi
tepat sasaran.
Ketiga, Faktor spillover kawasan juga mempengaruhi proses demokratisasi
paska perang.9 Kondisi geopolitik suatu negara dapat berpengaruh pada proses
transformasi konflik. Ketika negara tetangga atau negara-negara di regional
tertentu mengalami konflik, maka rentan bagi negara yang berkonflik untuk
mencapai damai yang berkelanjutan. Stabilitas kawasan/neighbourhood yang
buruk dapat membahayakan proses demokratisasi pasca perang.10
Keempat adalah minimnya sumberdaya dalam pelaksanaan mandat
peacebuilding. Mandat yang tidak memadai, kurangnya personel, dan
8 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 131. 9 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 103. 10 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 103.
100 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
implementasi yang buruk menjadi salah faktor yang mempengaruhi kegagalan
atau kesuksesan binadamai.11
Keempat faktor tersebut menjadi variabel yang digunakan oleh penulis
untuk melihat mengapa binadamai di Afghanistan gagal berbuah demokrasi.
Untuk memperkuat argumen, penulis menambahkan satu variabel yang diambil
dari konsep binadamai sebagai interaksi. Yakni, bagaimana interaksi antara elit
politik domestik dengan aktivis perdamaian. Dari penjelasan yang dipaparkan
oleh Zurcher, dkk., ketika elit politik domestik dan aktivis perdamaian memiliki
kepentingan yang sama yaitu demokratisasi, maka tujuan binadamai dapat dengan
mudah dicapai.
Sejarah singkat Konflik Sipil di Afghanistan
Perang sipil di Afganistan terjadi sejak 1978, yang melibatkan kehadiran
militer berkepanjangan dari Amerika Serikat, Uni Soviet, dan sejumlah negara-
negara Barat. Sebelumnya, di tahun 1970-an terjadi perubahan kekuasaan di kubu
pemerintahan Afghanistan. King Zahir Shah yang telah memimpin selama kurang
lebih 40 tahun, digulingkan di tahun 1973. Terjadi pendudukan Uni Soviet atas
Afghanistan di tahun 1979 hingga 1989. Maka muncul pertarungan ideologi yang
pro dan anti komunis yang selanjutnya secara terbuka terjadi konflik sipil di tahun
1978 dan perang saidara di antara berbagai kelompok suku Afghanistan. Lebih
dari 1 juta warga Afghanistan meninggal dunia akibat konflik ini, namun Uni
Soviet berhasil di pukul mundur tahun 1992.12
Kemudian tahun 1996 Taliban merebut ibukota Afghanistan, Kabul, dan
mendirikan Islamic Emirate of Afghanistan yang hanya mendapat pengakuan dari
Arab Saudi, Pakistan, dan Uni Emirat Arab. Sedangkan Islamic State of
Afghanistan masih tetap diakui internasional sebagai pemerintahan yang
berdaulat. Konflik sipil antara Taliban dengan pemerintah Afghanistan ini yang
11 Ibid., Zurcher, et. al.,, 2013, Hlm. 131. 12http://wilsonquarterly.com/quarterly/spring-2014-afghanistan/interactive-timeline-war-in-
afghanistan/
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 101
kemudian memperpanjang sejarah kelam perang sipil di Afghanistan. Akar
konflik di Afghanistan adalah konflik etnis.
Mulai muncul keterlibatan AS yang pada tahun 1998 meuncurkan
serangan rudal di pangkalan militansi Afghanistan, Osama Bin Laden, yang
dituduh telah membom kedutaan besar AS di Afrika.13 Pendudukan Taliban di
Afghanistan menjadi legitimasi bagi AS dan negara sekutu untuk melakukan
intervensi kemanusiaan di Afghanistan. Ditambah dengan tragedi 9/11 tahun 2001
di AS sekaligus menjadi turning point peningkatan intervensi militer AS di
Afghanistan. PBB tidak ambil diam atas konflik tersebut, hingga pada Desember
2001 kelompok berkonflik di Afghanistan bersepakat untuk menandatangai Bonn
Agreement yang berarti untuk menghentikan pertarungan dan membentuk
pemerintahan sementara.14
Di tahun 2001 ini awal dari major peacebuilding operations, yakni operasi
binadamai yang dilakukan secara besar-besaran oleh PBB. Tujuannya adalah
untuk menyebarkan oeprasi perdamaian dan misi perdamaian ke daerah-daerah
rentan dan pasca konflik untuk membantu menciptakan perdamaian
berkelanjutan.15 Hamid Karzai ditunjuk sebagai pemimpin interim di Afghanistan
hingga selanjutnya secara resmi menjadi kepala negara di Afghanistan setelah
pemilu tahun 2004.
13 http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253 14 http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253 15http://www.canadainternational.gc.ca/prmny-mponu/canada_un-canada_onu/positions-
orientations/peace-paix/peace-operations-paix.aspx?lang=eng
102 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
Analisis Kegagalan Binadamai di Afghanistan
Kegagalan binadamai di Afghanistan dapat dilihat melalui indikator-
indikator berikut ini. Pertama tingkat GDP Afghanistan yang rendah, yakni
peringkat 13 terbawah. GDP per kapita Afghanistan tahun 2013 adalah sebesar
US$ 660, US$ 654 di tahun 2014, dan US$ 615 di tahun 2015.16 Padahal, di posisi
teratas ditempati oleh Luxemburg dengan GDP perkapita sebesar US$ 103,187 di
tahun 2015.17 Beirkut ini adalah data dari World Bank terkait dengan tingkat GDP
di Afghanistan.
Tingkat GDP di Afghanistan.
Gambar 1. Tingkat GDP Afghanistan dari 2006-2014
Sumber : http://data.worldbank.org/country/afghanistan
Gambar 2. GDP Afghanistan dalam Angka
Sumber : http://data.worldbank.org/country/afghanistan
16 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts 17 http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 103
Kedua, outcome demokrasi di Afghanistan. Tingkatan demokrasi menjadi
salah satu indikator bahwa binadamai di Afghanistan tidak berbuah demokrasi.
Level demokrasi di Afghanistan adalah rendah jika dibandingkan dengan negara-
negara lain di dunia. Gambar di bawah ini merupakan perbandingan level
demokrasi Afghanistan dengan negara-negara dunia.
Gambar 3. Level Demokrasi di Afghanistan
Sumber : http://knoema.com/GDI2015JAN/democracy-index-2014?country=1001570-afghanistan
Tabel 1. Level Demokrasi di Afghanistan menurut Freedom House
Sumber: https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2012/afghanistan-0
Ketiga, tingkat indeks pembangunan manusia di Afghanistan. Melalui
indeks pembangunan manusia, dapat melihat sejauh mana pembangunan yang
• 2012 Score
• Status : Not Free
• Freedom Rating
6.0 (1=Best, 7=worst)
• Civil Liberties
6.0 (1=Best, 7=Worst)
• Political Rights
6.0 (1=Best, 7=Worst)
104 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
dilakukan di oleh pemerintah Afghanistan. Berdasarkan data UNDP, di tahun
2002, skor HDI (Human Development Index) Afghanistan mendapatkan skor
0.345. Pada tahun 2015, HDI Afghanistan berada pada ranking 169 dari 187
negara dunia.18
Indikator yang keempat adalah high adoption cost, low action. Yaitu, biaya
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan misi binadamai disebut sebagai adoption
cost. Adoption cost Afghanistan adalah yang tertinggi pada tahun tersebut, yakni
periode 2002-2006. Namun, cost tersebut tidak diimbangi dengan hasil yang
dicapai. Adoption cost justru dijadikan ‘ladang’ finansial bagi elit politik di
Afganistan. Tingginya biaya binadamai terlihat dalam gambar berikut:
Gambar 4. Adoption Cost dalam misi-misi binadamai antara tahun 2002-2006
Sumber : Zurcher, et al., 2013.
Dari keempat indikator tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
binadamai yang dilaksanakan di Afghanistan pasca perang sipil adalah gagal dan
tidak membuahkan demokrasi. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab
kegagalan binadamai di Afghanistan, penulis menggunakan konsep postwar
18 http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human-development-
report.html
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 105
democratic transition. Penulis menggunakan lima faktor penyebab kegagalan
demokratisasi di Afghanistan yang diuraikan pada bagian berikut ini.
1. Afghanistan: Kapasitas Administrasi Rendah, Tingkat Korupsi Tinggi
Kapasitas administrasi dan tingkat korupsi menjadi faktor penting penyebab
kegagalan demokratisasi dalam binadamai pasca konflik. Afghanistan memiliki
kapasitas adminitrasi yang rendah. Hal itu terbukti melalui tingginya korupsi di
Afghanistan. Konflik dan korupsi adalah dua hal yang berjalan beriringan.
Keduanya merupakan konsep yang saling berkaitan. Konflik dapat berpengaruh
pada tingkat korupsi di suatu negara. Pun sebaliknya, tingginya tingkat korupsi
memicu kesenjangan sosial yang dapat berujung pada konflik. Analis kebijakan di
seluruh dunia kembali berfikir akan implikasi korupsi bagi perdamaian di sebuah
negara.
Transparency International tahun 2014 menyebutkan Afghanistan sebagai
salah satu negara dalam indeks persepsi korupsi terkecil. Indeks persepsi korupsi
(IPK) adalah cerminan suatu negara atas persepsi publik terhadap korupsi elit
politik yang menduduki jabatan fungsional pemerintahan. Sekalipun IPK ini tidak
bisa menjadi satu-satunya acuan mengenai tingkat korupsi suatu negara, namun
bisa menjadi referensi tingkat korupsi. Afghanistan berada di posisi keempat IPK
terendah setelah Somalia, Korea Utara, dan Sudan.19
Korupsi muncul sebagai salah satu faktor kegagalan demokratisasi di
Afghanistan. Adanya korelasi antara korupsi, instabilitas politik, dan konflik
menjadi penguat mengapa korupsi adalah faktor penting yang perlu diperhatikan
dalam proses binadamai. Terlebih ketika aliran dana dalam proses binadamai
tidaklah kecil. Maka, ketika dana tersebut tidak tersalurkan dengan baik akibat
adanya korupsi, maka proses demokratisasi dalam binadamai pun sulit untuk
dicapai.
Ketika kontrak sosial dalam suatu negara lemah, mendorong angka korupsi
yang tinggi. Hal itu pula yang menyebabkan proses binadamai tidak berjalan
19 World Bank, 2011, Hlm. 7-8 dalam International, T. (2015). Corruption Perception Index.
(daring), <https://www.transparency.org/cpi2014/results> diakses pada 29 September 29, 2015
106 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
mulus dan bahkan cenderung memantik konflik baru. Negara berkewajiban untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat, namun hal itu sulit tercapai karena, lagi-lagi,
penyalahgunaan wewenang para elit pemegang kekuasaan. Kondisi tersebut
memicu kekecewaan. Maka, dari ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa negara
yang terindikasi tinggi tingkat korupsinya memiliki sistem politik, administrasi
publik, dan lembaga ekonomi yang lemah20.
2. Pendekatan Analisa Konflik Sipil Afghanistan yang Tidak Tepat Sasaran
Dalam pelaksanaan aktivitas binadamai, penting untuk melihat akar
penyebab konflik di Afghanistan. Sehingga penyelesaian konflik dapat dilakukan
secara maksimal. Banyak asumsi yang bermunculan dalam melihat konflik di
Afghanistan. beberapa pengkaji melihat bahwa konflik di Afghanistan adalah
konflik etnis, sehingga metode penyelesaiannya adalah melalui etnis-etnis yang
berkonflik. Namun, kebanyakan melihat bahwa perebutan kekuasaan antara etnis,
yang dipicu dengan adanya sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Kondisi
yang seringkai menjadi dasar diberlakukannya demokratisasi di Afghanistan.
Menurut Zurcher, penyelesaian konflik di Afghanistan tidak dapat hanya
melihat dari dua kondisi tersebut. Kondisi lokal di Afganistan mempengaruhi
praktik binadamai. Banyaknya kelompok-kelompok militan di Afghanistan,
menjadikan konflik etnis sulit untuk dikendalikan. Tier Warlord, yakni adanya
keterlibatan militer dalam pemerintahan menjadi pemicu konflik di Afghanistan
terus berlangsung. Selain itu, regional strongmen yang ada di Afghanistan
menjadi aktor penting dalam konflik di Afghanistan. Regional strongmen melihat
visi peacebuilder adalah ancaman atas otonominya dan wilayah kekuasannya
(lahan). Di sisi lain, regional strongmen dan warlord dijadikan sebagai alat bagi
pihak internasional yang ingin berkepentingan dalam konflik, salah satunya
Amerika Serikat yang memberikan dukungan terhadap regional strongmen dan
warlord. Banyak regional strongmen dan warlord menerima dukungan
20 Ibid., Transparency International, 2014, Hlm. 16.
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 107
substansial dari Amerika Serikat.21 Misalnya, warlord yang mendukung kebijakan
war on terror Amerika Serikat akan mendapatkan assistance. Kondisi yang
demikian seringkali luput dari sudut pandang aktivis perdamaian.
Konflik sipil di Afghanistan merupakan konfik yang rumit. Akar penyebab
konflik pun beragam. Keterlibatan Taliban dan Al-Qaeda menjadi faktor penting
untuk dianalisis dalam mencari penyelesaian konflik. Ditambah dengan invasi
militer Amerika Serikat pasca 9/11 yang justru menambah runyam kondisi
perpolitikan di Afghanistan. Ketika dunia internasional menitikfokuskan pada Al-
Qaeda dengan memborbardir Afghanistan, justru menimbulkan masalah baru.
Perang sipil di Afghanistan terjadi antara 1996-2001 yang mana berakhir
secara ambigu. Selama menjadi negara transisi, antara tahun 2001-2004,
Afghanistan dipimpin oleh Hamid Karzai. Namun, Presiden Karzai juga enggan
untuk melepaskan jaringan patronase di Afghanistan.22 Jaringan patronase23
seperti ini juga dapat dengan mudah memicu konflik karena adanya ketidakpuasan
masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.
3. Afghanistan dan Neighborhood Matters
Faktor spillover kawasan juga mempengaruhi proses demokratisasi paska
perang. Mekanisme spillover di Afghanistan melalui penularan konflik dan
dukungan aktor regional.24 Stabilitas kawasan/neighborhood yang buruk
membahayakan proses demokratisasi paska perang. Presiden Karzai yang terpilih
dalam Bonn Agreement juga tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya dalam
menghadapi Taliban dan spillover konflik di negara-negara tetangga.
Afghanistan berbatasan langsung dengan Iran, Pakistan, Tajikistan,
Turkmenistan, Uzbekistan, dan Cina. Afghanistan juga berbatasan dengan
Kashmir, kawasan konflik yang diperebutkan oleh India dan Pakistan. Terlepas
21 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013. 22 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013. 23 Patronase adalah hubungan antara apa yang disebut sebagai ‘patron’ dan ‘klien’. 24 Op. Cit., Zurcher, et. al., 2013, Hlm. 103.
108 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
dari kekuatan regional, dua negara di kawasan Afghanistan dapat secara signifikan
mempengaruhi konflik Afghanistan, yakni Pakistan dan Iran.
Pakistan misalnya, yang memegag peranan penting dalam mensponsori
kekuatan untuk Taliban sehingga memegang kunci stabilitas di Afghanistan.25
Hubungan keduanya telah renggang, yang mana Pakistan menyalahkan
Afghanistan atas tuduhannnya telah menyembunyikan teroris di wilayahnya.
Sementara Afghanistan menyalahkan Islamadan yang menjadi kendalam
perdamaian dan stabilitas di Afghanistan.26
Di sisi lain, Iran juga memiliki kepentingan strategis yang signifikan di
Afghanistan. DI beberapa waktu silam, Iran mendukung kelompok-kelompok
Syiah. Iran juga berkepentingan untuk mendukung pemerintahan pasca
Najibulloh. Namun, pasca 2001 Iran melihat Afghanistan sebagai pro AS.27
Berbeda dengan Pakistan yang memberikan dukungan terhadap Taliban,
Iran di posisi yang sebaliknya. Iran melihat Taliban sebagai perpanjangan tangan
dari Pakistan dan Arab Saudi. Oleh karenanya, Iran cenderung melawan
pendudukan Taliban di Afghanistan. Di periode konflik sipil Afghanistan, tahun
1996-2001, Iran memberikan dukungan terhadap Northern Alliance dan meng-
counter dominasi Taliban.28
Melalui penjelasan di atas, terlihat bahwa negara-negara di kawasan Asia
Barat sangat mengambil peranan penting akan terjadinya stabilitas di Afghanistan.
Selain berdampak pada preferensi demokrasi, spillover konflik juga memberikan
efek terhadap adoption cost. Biaya pelaksanaan binadamai menjadi semakin
besar, karena aktivitasnya terhambat karena instabilitas kawasan yang secara
langsung memberikan efek terhadap demokratisasi.
25 Smruti S. Pattanaik, 2013, Afghanistan and Its Neighbourhood, Institute fo Defense Studies and
Analyses, Hlm. 14 26 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 19. 27 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 20. 28 Ibid., Pattanaik, 2013, Hlm. 20.
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 109
4. Pelaksanaan Mandat Peacebuilding di Afghanistan, Sudahkah Memadai?
Major peacebuilding operations di Afghanistan secar aresmi dilakukan
pada periode 2002-2006 yang mana pada saat itu kualitas demokrasi di
Afghanistan adalah electoral authoritarian dengan unstable democratic.29 Zurcher
menyebutkan bahwa jenis konfliknya adalah konflik identitias untuk perebutan
kekuasaan dengan jumlah pemberontah lebih dari satu.
Skala misi peacebuilding di Afghanistan dalam periode 2002-2006 adalah
US$ 8,000,000 dengan totoal personil baik sipil maupun militer tercatat sebanyak
28, 905 orang.30 Saat itu populasi di Afghanistan sebanyak 27,770,000 jiwa.31
Cakupan misinya adalah penegakan perdamaian, reformasi sektor keamanan, dan
peningkatan kekuatan legislatif dengan tanpa adanya kepolisian eksekutif dan
penguatan power eksekutif.32 Lama mandat binadamai yang dijalankan di
Afghanistan adalah selama 105 bulan.
Mandat binadamai di Afghanistan diantaranya adalah33
• Rekonstruksi untuk pihak-pihak yang rentan
• Pembiayaan untuk program reintegrasi
• Membangun local governance yang kuat
• Mendesain keseimbangan etnis dan institusi keamanan profesional
• Menguatkan institusi di level grass roots untuk resolusi
• Memberdayakanpemimpin sipil
• Membangun ketertiban hukum
• Promote dinamika pemimpin lokal (pemuda dan perempuan)
• Menekankan komitmen finansial dan politik yang berkelanjutan
Dari mandat tersebut, terlihat bahwa proyek binadamai terlalu ambisius
dan kurang peka melihat kondisi riil di Afghanistan. sedangkan implementasi
mandat, dari segi personil kurang memadai. Lebih dari itu, kondisi politik
domestik di Afghanistan membutuhkan penanganan yang lebih spesifik. Karena
banyak local strongmen dan warlord yang justru mengambil peluang dengan
adanya proyek binadamai ini. Maka, dapat disimpulkan bahwa, mandat binadamai
29 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 12. 30 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60. 31 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60. 32 Op. Cit., Zurcher, et al., 2013, Hlm. 60. 33 Op. Cit., Zurcher, et.al., 2013.
110 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
yang terlalu ambisius dengan tanpa memperhatikan pola implementasinya, justru
membawa pada kegagalan demokraitsasi di Afghanistan.
5. Elit Politik Domestik Afghanistan vs Aktivis Perdamaian
Dalam proses binadamai, penting untuk melihat interaksi antara elit politik
domestik dengan aktivis perdamaian. Aktor-aktor yang pentignuntuk dilibatkan
adalah pemerintah pusat, masyarakat sipil, kelompok pemberontak, elit politik
internasional atau regional, dan aktivis perdamaian. Menurut Zurcher dkk (2013),
untuk menyukseskan proyek binadamai, penitng untuk menjalin interaksi aktor-
aktor tersebut, khususnya adalah elit politik domestik Afghanistan dan aktivis
perdamaian.
Ketika dua aktor penting tersebut memiliki preferensi yang sama, yakni
demokratisasi, maka akan mudah melakukan pencapaian tersebut. Namun, apa
yang terjadi di Afghanistan adalah suatu hal yang paradoks. Di negara yang
mengalami perang sipil yang lama, memiliki ketidakpercayaan sosial yang tinggi,
serta proses binadamai yang diambil dengan pendekatan comunity-based yang
lebih pada local strongmen dan warlord, memunculkan kondisi paradoks. Yakni,
di satu sisi kerjasama dengan local strongmen dan warlord hanya menyentuh
sebagian kecil tanpa konsensus lokal. Sementara di sisi lain, hal itu mencoba
membuat lanskap politik yang lebih inklusif.34
Menyoroti kontradiksi tersebut, justru lokal politik domestik Afghanistan
mengambil kesempatan guna mencapai kepentingannya. Banyaknya aliran dana
yang mengalir ke Afghanistan menjadi pintu bagi elit politik untuk mendapatkan
dana. Asumsi pelaku binadamai di Afghanisan adalah dengan menjalin kerjasama
dengan elit politik domestik termasuk local strongmen dan warlord, maka
diharapkan dapat memperlancar demokratisasi di Afghanistan.35 Di satu sisi,
mereka berkepentingan terhadap aliran dana, di sisi lain mereka juga memiliki
34 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 1. 35 Roger Mac Ginty, 2010, Warlords and The Loberal Peace: State-building in Afghanistan,
<http://www.gsdrc.org/document-library/warlords-and-the-liberal-peace-state-building-in-
afghanistan/> diakses pada 1 Januari 2016.
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 111
kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan di Afghanistan. Sedangkan aktivis
perdamaian melalui mandat binadamainya berusaha untuk menciptakan
perdamaian yang berkelanjutan dan instalasi demokrasi di Afghanistan. Maka,
sulit untuk mencapai persamaan preferensi antara elit politik domestik dan aktivis
perdamaian di Afghanistan.
Di Afghanistan, otoritas politik terfragmentasi baik secara internal maupu
eksternal, yang mana masing-masing aktor tersebut mmiliki kepentingan dan
agenda sendiri-sendiri. Maka semakin sulit untuk mengidentifikasi mana yang
memiliki kepemilikan, kekuasan, dan yang tidak akuntabel. Kurangnya kejelasan
dalam peran dan tanggung jawab memungkinkan elit politik, domestik maupun
asing mengalihkan tanggung jawab dan melarikan diri dari tanggung
akuntabilitas.
Seorang pejabat tingkat tinggi di Afghanistan bahkan menyarankan bahwa
skenario binadamai terbaik adalah dengan memufungsikan koalisi antar panglima
perang yang berbeda dan kelompok militansi lain, atau disebut dengan pendekatan
tier warlord, karena tidak bisa untuk melakukan perbaikan langsung pada sistem
di Afghanistan.36 Pendekatan ini yang kurang dijamah oleh para aktivis
perdamaian. Peacbuilders terlalu system-centered dalam melakukan proses
binadamai.
Namun, melalui pendeketan tier warlord, banyak masyarakat yang
kontras. Masyarakat melihat bahwa warlodisme adalah titik pangkal
ketidakamanan yang ada di Afghanistan. masalah korupsi, pemerintahan yang
predator, warlodisme, dan ekonomi politik ekslusif menjadi pemicu utama
ketidakamanan dan perekrutan kelompok militansi Taliban.37
Sedangkan pendekatan sistem juga tidak bisa dengan mudah diaplikasikan
di Aghanistan. Demokrasi, alih-alih memberikan kebebasan kepada rakyat,
sebaliknya, kelompok masyarakat yang tidak sejalan dengan kepentingan elit
banyak mendapatkan tekanan dan kekerasan. Masyarakat internasional berbicara
36 Marika Theros, 2012, Understanding Local Ownership in Peacebuilding Operations in
Afghanistan, Berlin: Friedrich Ebert Stiftung, Hlm. 8 37 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9.
112 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
hanya untuk kalangan elit politik asing, pejabat pemerintah, dan pelaku bersenjata,
sedangkan masyarakat di lingkar yang lebih luas lagi, yang suaranya tidak
terwakili, tidak memiliki legitimasi yang luas.38 Salah satu pendapat dari elit
Afghanistan mengatakan bahwa
“Dari awal, pemain internasional hanya mendukung para panglima
perang (warlord). Dan ketika ada kunjungan dari donatur asing, mereka
menemui komandan perang dan mengabaikan masyarakat sipil dan
pasukan demokratis”39
Tensi kepentingan politik domestik dan internasional semakin dalam dari
waktu ke waktu dan mengisi ruang pasca invasi AS ke Afghanistan tahun 2001.
Di negara yang mengalami perang sipil yang lama, memiliki ketidakpercayaan
sosial yang tinggi, serta proses binadamai yang diambil dengan pendekatan
comunity-based yang lebih pada local strongmen dan warlord, memunculkan
kondisi paradoks. Yakni, di satu sisi kerjasama dengan local strongmen dan
warlord hanya menyentuh sebagian kecil tanpa konsensus lokal. Sementara di sisi
lain, hal itu mencoba membuat lanskap politik yang lebih inklusif.40
Penutup
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwasanya binadamai di Afganistan
adalah contoh binadamai yang gagal dengan beberapa empat indikator kegagalan
yang telah dijelaskan di atas. Empat indikator kegagalan tersebut diantaranya
adalah tingkat GDP yang masih rendah yang menunjukkan bahwa kondisi
ekonomi masih belum stabil, oucome demokrasi yang rendah, indeks
pembangunan manusia, dan high adoption-low action. Kesimpulan yang kedua,
faktor-faktor kegagalan binadamai di Afghanistan yang tidak berbuah demokrasi
ada lima diantaranya adalah, yang pertama kapasitas administrasi rendah dan
tingkat korupsi tinggi; kedua pendekatan analisa konflik sipil yang tidak tepat
sasaran; ketiga kondisi geopolitik Afghanistan; keempat pelaksanaan mandat
peacebuilding yang tidak memadai; dan yang kelima adalah tidak adanya
38 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9. 39 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 9. 40 Ibid., Marika Theros, 2012., Hlm. 1.
Irza Khurun’in Tantangan Bina Damai: Kegagalan Demokratisasi…| 113
persamaan preferensi antara elit politik domestik Afghanistan dengan aktivis
perdamaian. Dari uraian tersebut dapat diambil satu kesimpulan utama yakni ada
“pemerkosaan” instalasi demokrasi dalam proses binadamai di Afghanistan.
REFERENSI
Carnegie Endowment For International Peace. (2014). Corruption, The
Unrecognized Threat to International Security. Washington DC: Carnegie
Endowment for International Peace.
MacGinty, Roger, 2010, Warlords and The Loberal Peace: State-building in
Afghanistan, <http://www.gsdrc.org/document-library/warlords-and-the-
liberal-peace-state-building-in-afghanistan/> diakses pada 1 Januari
2016.
ECD. (2009). Integrity in Statebuilding Anti-Corruption with a Statebuilding
Lens. Paris: OECD.
Pattanaik, Smruti S., (2013), Afghanistan and Its Neighbourhood, Institute fo
Defense Studies and Analyses.
Shah, Anup, (2014), Foreign Aid for Development Assistance, (daring),
<http://www.globalissues.org/article/35/foreign-aid-development-
assistance> diakses pada 20 Desember 2015.
Marika Theros, 2012, Understanding Local Ownership in Peacebuilding
Operations in Afghanistan, Berlin: Friedrich Ebert Stiftung.
Transparency International. (2014). Corruption as A Threat to Stability and
Peace. London: Transparency International Deutschland.
Transparency International. (2015). Corruption Perception Index. Retrieved
September 29, 2015, from Transparency Web site:
https://www.transparency.org/cpi2014/results
World Bank, 2011, Hlm. 7-8 dalam International, T. (2015). Corruption
Perception Index. (daring),
<https://www.transparency.org/cpi2014/results> diakses pada 29
September 29, 2015
114 | JURNAL TRANSFORMASI GLOBAL VOL 3 NO 1
Zurcher, Christoph, et. al, 2013, Cotly Democracy: Peacebuilding and
Democratization After War, Tansford: Stanford University Press, Hlm. 20.
Website
http://www.theguardian.com/news/datablog/2014/jun/18/global-peace-index-
2014-every-country-ranked
http://wilsonquarterly.com/quarterly/spring-2014-afghanistan/interactive-timeline-
war-in-afghanistan/
http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12024253
http://www.canadainternational.gc.ca/prmny-mponu/canada_un-
canada_onu/positions-orientations/peace-paix/peace-operations-
paix.aspx?lang=eng
http://knoema.com/sijweyg/gdp-per-capita-ranking-2015-data-and-charts
http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/2014-human
development-report.html