tantangan pembangunan pertanian: kemiskinan...

13
Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem 219 TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN PADA BERBAGAI EKOSISTEM Agricultural Development Challenges: Poverty in Many Agroecosystems Maman H. Karmana 1 , Ivonne Ayesha 2 , dan Sri Hery Susilowati 3 1 Universitas Padjadjaran, Bandung, Kampus Jatinangor, Bandung 40600 2 Universitas Ekasakti, Padang, Jl. Veteran Dalam 26 B, Padang, Sumatera Barat 3 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRACT Eventhough agricultural development has been conducted continually but issues related with rural poverty, limited access on land and agriculture infrastructure, and inadequate income are still becoming prominent issues on rural and agriculture development. This paper aims to review trend of poverty level and poverty condition in some areas based on different agro ecosystem and to analyze the correlation between incident of poverty and agriculture land ownership. The trend of poverty level in 1984-2009 reflected a persistent poverty, that is, percentage of poverty tends to decrease but level of poverty in absolute number is still high. In wetland agro ecosystem, level of poverty highly correlated with gestation period of rice planting, while level of poverty in dry land agro ecosystem is higher in areas based on palawija commodities, related with the inadequate farm environment, mainly on unproductive agriculture land. The correlation between level of poverty with wetland holding indicate that the less land household land holding, the more the level of poverty. Key words : poverty, rural area, land ownership ABSTRAK Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus, namun isu yang berkaitan dengan kemiskinan di perdesaan, terbatasnya akses lahan dan prasarana pertanian, serta pendapatan yang tidak memadai masih tetap menjadi isu utama pembangunan pertanian dan perdesaan. Tulisan ini bertujuan untuk mereview perkembangan tingkat kemiskinan dan kondisi kemiskinan di berbagai agroekosistem serta keterkaitan antara tingkat kemiskinan dengan penguasaan lahan rumah tangga. Perkembangan tingkat kemiskinan selama tahun 1984-2009 menunjukkan kemiskinan yang persisten (persistent poverty), secara prosentis menurun tetapi secara absolut masih cukup tinggi. Di agroekosistem lahan sawah, tingkat kemiskinan berhubungan dengan musim paceklik (gestation period masa tanam padi), sedangkan kemiskinan di agroekosistem lahan kering lebih banyak terjadi pada lahan kering berbasis komoditas palawija karena terkait dengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung seperti kondisi lahan yang kurang produktif. Hubungan antara kemiskinan dengan kepemilikan lahan sawah mengindikasikan meningkatnya kemiskinan dengan makin sempitnya rata-rata pemilikan lahan. Kata kunci : kemiskinan, wilayah perdesaan, pemilikan lahan

Upload: trinhliem

Post on 15-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

219

TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINANPADA BERBAGAI EKOSISTEM

Agricultural Development Challenges: Poverty in ManyAgroecosystems

Maman H. Karmana1, Ivonne Ayesha2, dan Sri Hery Susilowati3

1Universitas Padjadjaran, Bandung, Kampus Jatinangor, Bandung 406002Universitas Ekasakti, Padang, Jl. Veteran Dalam 26 B, Padang, Sumatera Barat3Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT

Eventhough agricultural development has been conducted continually but issuesrelated with rural poverty, limited access on land and agriculture infrastructure, andinadequate income are still becoming prominent issues on rural and agriculturedevelopment. This paper aims to review trend of poverty level and poverty condition in someareas based on different agro ecosystem and to analyze the correlation between incident ofpoverty and agriculture land ownership. The trend of poverty level in 1984-2009 reflected apersistent poverty, that is, percentage of poverty tends to decrease but level of poverty inabsolute number is still high. In wetland agro ecosystem, level of poverty highly correlatedwith gestation period of rice planting, while level of poverty in dry land agro ecosystem ishigher in areas based on palawija commodities, related with the inadequate farmenvironment, mainly on unproductive agriculture land. The correlation between level ofpoverty with wetland holding indicate that the less land household land holding, the more thelevel of poverty.

Key words : poverty, rural area, land ownership

ABSTRAK

Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus, namun isu yangberkaitan dengan kemiskinan di perdesaan, terbatasnya akses lahan dan prasaranapertanian, serta pendapatan yang tidak memadai masih tetap menjadi isu utamapembangunan pertanian dan perdesaan. Tulisan ini bertujuan untuk mereviewperkembangan tingkat kemiskinan dan kondisi kemiskinan di berbagai agroekosistem sertaketerkaitan antara tingkat kemiskinan dengan penguasaan lahan rumah tangga.Perkembangan tingkat kemiskinan selama tahun 1984-2009 menunjukkan kemiskinan yangpersisten (persistent poverty), secara prosentis menurun tetapi secara absolut masih cukuptinggi. Di agroekosistem lahan sawah, tingkat kemiskinan berhubungan dengan musimpaceklik (gestation period masa tanam padi), sedangkan kemiskinan di agroekosistem lahankering lebih banyak terjadi pada lahan kering berbasis komoditas palawija karena terkaitdengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung seperti kondisi lahan yang kurangproduktif. Hubungan antara kemiskinan dengan kepemilikan lahan sawah mengindikasikanmeningkatnya kemiskinan dengan makin sempitnya rata-rata pemilikan lahan.

Kata kunci : kemiskinan, wilayah perdesaan, pemilikan lahan

Page 2: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati

220

PENDAHULUAN

Berbagai isu dalam pembangunan perdesaan berkaitan denganpenurunan kualitas hidup, terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana,ketidakmampuan institusi ekonomi menyediakan kesempatan usaha, lapangankerja terbatas, serta pendapatan yang tidak memadai. Ujung dari ke semua itubermuara pada kemiskinan, baik secara relatif maupun absolut. Bahkan seringditemukan keterkaitan dari berbagai isu tersebut yang menambah rumitnyapermasalahan yang dihadapi. Sementara itu, pertumbuhan dan perkembanganekonomi perdesaan sebagian besar masih tertumpu pada usaha pertanian denganberbagai kelemahan struktural yang terkandung di dalamnya. Lahan kepemilikanpertanian yang semakin menyempit dan tersebar tidak terhindarkan akibat sistempewarisan membagi tanah tanpa ada pembatasan serta masalah kawin cerai yangmewarnai kehidupan masyarakatnya.

Agricultural ladder bukan mengarah pada hasil surplus yang dapatdiinvestasikan kembali pada pemilikan atau penguasaan lahan pertanian yanglebih luas, malahan yang terjadi justru sebaliknya. Banyak di antara petani yangsebelumnya memiliki lahan, karena desakan kebutuhan hidup terpaksa menjuallahan yang menjadi tumpuan kehidupannya. Mereka beralih menjadi penyewa ataubahkan penyakap atau sebatas menjadi buruh tani dan akibat dari seluruhpermasalahan tersebut adalah kemiskinan. Proses munculnya kemiskinanstruktural di kalangan masyarakat tani semacam itu tidak jarang dilatarbelakangipula oleh kelemahan kultural lemah karsa dan atau tuna mentalitas produktif.

Sutomo (1997) dalam bukunya “Kekalahan Manusia Petani”,mengungkapkan massa petani adalah bagian dari kaum yang kalah. Kekalahanpetani tercermin antara lain dari kualitas hidupnya yang tidak beranjak naik darigenerasi ke generasi, serta dari nilai tukar produk pertaniannya yang makinmenurun terhadap barang-barang kebutuhan lain, seperti sembako dan saranaproduksi pertanian pupuk, benih, atau alat/mesin pertanian. Kekalahan yang palingmengenaskan tercermin dari harapan petani, agar anaknya jangan bekerjasebagai petani seperti dirinya. Di tengah kekalahan itu, petani (peasant) cenderungbersikap “diam”, mengeluh dan tak berdaya. Situasi ketidakberdayaan ini berakardari persoalan struktural (sistemik). Dalam sistem sosial misalnya, petanicenderung menjadi elemen yang (dibuat) tak berdaya, bergantung pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Bahkan, petani dibuat tersisihkan dari jaringan atau aksesatas organisasi, informasi, permodalan, serta sistem transportasi. Dalam interaksidi pasar pun, petani selalu berada dalam posisi lemah.

Historis Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia, berdasarkan pendekatan historis, sebenarnyasudah berlangsung sejak lama, sejak diintroduksikannya tanam paksa(cultuurstelsel) tahun 1830, yaitu dilakukannya remisi pajak terhadap petani, tetapimereka harus bekerja di lahan pemerintah kolonial waktu itu, di mana seperlimabagian harus ditanami dengan tanaman ekspor atau mereka harus bekerja selama

Page 3: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

221

66 hari setiap tahun pada perkebunan yang dimiliki oleh pemerintah kolonialBelanda. Akibatnya pulau Jawa berubah menjadi wilayah perkebunan raksasa.Khusus untuk daerah yang petaninya terbiasa menanam padi sawah, yangditandai oleh kondisi involusi pertanian (Geertz, 1964), pemerintah kolonial waktuitu secara jeli melihat peluang besar dikembangkannya tanaman tebu yang persismemerlukan basis ekologi seperti yang dibutuhkan padi sawah. Lahan-lahan yangdimiliki oleh petani yang diperlukan untuk penanaman tebu dikuasai melalui bentukpenyewaan atau melalui sistem sewa. Agar nilai sewanya rendah, pabrik gula yangdikuasai oleh penguasa Belanda berusaha untuk memberikan komisi tertentukepada pejabat setempat dari sejak lurah sampai dengan bupati, sehinggapergiliran wilayah penanaman tebu melalui glebagan dapat dilakukan lebih leluasadengan harga sewa yang relatif sangat murah.

Pada gilirannya petani-petani yang lahannya disewakan ke pabrik gulabekerja sebagai kuli kebun juga dengan upah yang rendah. Upaya ini sejalandengan upaya pabrik gula untuk mensubstitusi kebutuhan capital dengan tenagakerja. Tingkat kehidupan masyarakat yang rendah lebih diarahkan pada sebataspemenuhan kebutuhan subsisten memungkinkan perusahaan gula memperolehkeuntungan yang sangat tinggi. Tingkat upah yang rendah maupun hasilmenyewakan lahan yang juga murah menyebabkan ketergantungan petani diwilayah itu terhadap keberadaan pabrik gula menjadi sangat tinggi. Tetapi di lainpihak potensi dan kemampuan usaha petani menjadi tertekan, tidak berkembang.

Pola kehidupan yang berkembang dalam kondisi yang semacam itumenurut Mackie (1963), mengarah pada pola-pola konservatif, baik dalam aspeksosial, politik maupun ekonomi. Dari sudut sosial, penanaman tebu cenderungmempertahankan sistem hak milik secara komunal, tidak ada dorongan untukmemperluas atau mengkonsolidasikan lahan miliknya. Dari sisi politik, yaitu adanyapengaruh konservatif atas organisasi masyarakat yang mempertahankan danmemperkuat kekuasaan kepala desa. Sementara dari segi ekonomi, karenaketergantungan petani terhadap pabrik gula semakin besar. Ikatan hutang ke pihakpabrik menyulitkan petani memperoleh sumber kehidupan lain, misalnya menjadipedagang di desa.

Menurut Geertz (1966), pada masyarakat padi sawah yang terinvolusisudah ditandai dengan kondisi mekanisme kalahkan diri (self defeatingmechanism) yang mengarah pada bentuk kehidupan yang statis dengan bebankemiskinan yang dipikul bersama (shared poverty). Dikembangkannya pabrik gulapada kondisi masyarakat semacam itu menyebabkan kondisi petani padi sawahsemakin tertekan lagi kehidupannya dan Herman Suwardi “memandang sebagaipengembangan industri gula yang dihimpitkan di atas pola sawah”. Mackie (1963)menyimpulkan bahwa di antara tanaman perkebunan yang paling jelekpengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat petani adalah perkebunan tebuyang bukan hanya menyebabkan masyarakatnya miskin, tetapi juga konservatif.Mengingat pengembangan pola sawah di P. Jawa ini banyak bersinggungan,bahkan sebagian dihimpitkan dengan perkebunan tebu serta berlangsung dalamkurun waktu lama – lebih dari dua abad, maka dampak negatifnya menyebar keseluruh persawahan Jawa.

Page 4: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati

222

Masyarakat di sekitar perkebunan, apakah di dataran rendah padi sawahmaupun perkebunan di dataran tinggi yang dikuasai oleh pemerintah kolonialBelanda, merupakan bentuk enclave dimana masyarakat di sekitar perkebunanhanya memiliki fungsi sebagai pemasok kuli dan tidak ada jalinan fungsional bisnisapapun. Akibatnya sementara perusahaan perkebunan memiliki watak korporasimencari keuntungan yang setinggi mungkin, masyarakat di sekitarnya berorientasiuntuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Kesenjangan semacam inilah yangmengundang pemikiran Boeke memandang fenomena itu sebagai dualismeekonomi yang sulit dipertautkan. Kesenjangan ekonomi yang terjadi di antara duakelompok masyarakat itu diperberat lagi tingkatannya, karena pertambahanpenduduk di kalangan masyarakat, sehingga tingkat kemiskinan semakin tinggi.

Gambaran kemiskinan seperti yang telah berkembang dalam 3,5 abadmasa penjajahan itu ternyata masih berlanjut sampai setelah kemerdekaan bahkansampai saat ini. Kemiskinan di Indonesia yang berkembang dalam abad ke 18 inioleh Geertz (1966) dipandang seiring dengan era kapitalisme petualangan, dalamabad 19 dengan kapitalisme negara, dan dalam abad 20 seiring dengankapitalisme birokrat. Dalam era pasca kemerdekaan diungkapkan oleh Ellis (1994),penyakit-penyakit yang terkait dengan kegagalan suatu negara (state failure)seperti motivasi kerja yang rendah karena upah tidak memadai, atau pembururente (rent seeking) yang membatasi pelayanan terkecuali dengan imbalan,menimbulkan akibat timbulnya suap menyuap dan korupsi yang sangat merugikan,bahkan memiskinkan masyarakat paling bawah. Dalam hubungan ini Soemarwoto(1994) mengaitkan pandangannya dengan hukum ekologi atas barang, siapa yangmenguasai arus informasi, dialah yang menguasai arus materi dan energi. Jika duasistem dihubungkan, seperti antara desa dan kota atau antara rakyat (yangdikuasai) dengan pejabat (yang menguasai), terjadilah pertukaran informasi, materidan energi. Tetapi jika di antara kedua sistem tersebut tidak sama tingkatperkembangannya, maka sistem yang memperoleh informasi, energi dan materiyang lebih banyak dan lebih berkembang akan mengeksploitasi sistem yangkurang berkembang. Atas dasar itu, keberadaan jalan yang menghubungkan desa– kota, maka desa yang notabene didominasi pertanian akan dieksploitasi kota.Demikian pula hubungan pejabat – rakyat, karena pejabat – penguasa lebihmenguasai informasi, energi dan materi maka merekalah yang akan menguasaidan mengeksploitasi rakyatnya. Soewardi (2004) menandaskan mereka itumenjadi miskin karena dimiskinkan, yaitu terjadinya proses perenggutan(depreviation) dari mereka yang ingin menang dan kaya terhadap kelompok atauorang lain yang lemah.

Fakta Empiris Kemiskinan di Indonesia

Gambaran kemiskinan dalam kurun waktu sangat lama itu menurut istilahBeckford (1972) digambarkan sebagai kemiskinan yang persisten (persistentpoverty), serara prosentis menurun, tetapi secara absolut masih cukup tinggi. Halini dapat diketahui dari trend angka kemiskinan Indonesia dari tahun 1984-2009,seperti pada Gambar 1. Bahkan yang memprihatinkan, menurut Cervantes et al.(2010), bahwa gambaran kemiskinan Indonesia antara tahun 1984-2005,

Page 5: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

223

pengurangannya justru minus 1,47 (Perhitungan OECD berdasarkan dataPovcalnet, 2009).

Sumber: BPS, 1998 dan BPS, 2009

Gambar 1. Tren Angka Kemiskinan Indonesia Tahun 1984-2009

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan keberhasilan prosesindustrialisasi belum menjamin peningkatan kesejahteraan petani (peasant). Hal initerlihat dari perbandingan pendapatan per kapita buruh tani terhadap rumahtangga bukan pertanian golongan atas di kota pada tahun 1985 sebesar 1: 3,7meningkat menjadi 1: 9,5 pada saat krisis ekonomi tahun 1998 (BPS, 2002).

Dari sisi lahan, penguasaannya yang sempit pada lahan padi sawahmengakibatkan return on investment di kalangan para petani tidak menghasilkansurplus yang memadai dan masyarakatnya terperangkap hanya untuk bertahanhidup (bare of survival). Permasalahan yang muncul lebih diwarnai oleh semakinbesarnya kebutuhan akan garapan untuk memenuhi pertambahan kebutuhanakibat pertambahan penduduk, sehingga kalaupun perluasan itu terjadi bersifatperluasan statis dan kehidupan petaninya tetap miskin. Menurut Witoro (2005),sistem pertanian masyarakat desa yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhansendiri (subsistence) secara berlanjut - berabad-abad menjadi basis kehidupanmereka. Manakala kemudian dilenyapkan oleh konsentrasi pemilikan tanah,penguasaan benih, dan alat-alat produksi lainnya ke tangan segelintir perusahaantransnasional maka petani tidak lagi memiliki lahan untuk berproduksi, tidak punyapekerjaan, tidak punya uang untuk membeli makanan bahkan bila harga panganimpor itu murah sekalipun.

Sehubungan dengan munculnya kemiskinan di kalangan masyarakat taniseperti yang telah diuraikan terdahulu dan sebagian besar dari mereka itu beradadi perdesaan maka tidak mengherankan kalau kantung-kantung kemiskinan itupun

Page 6: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati

224

sebagian besar adanya di perdesaan. Angka-angka statistik yang mendukung halitu banyak diungkapkan oleh BPS. Informasi mengenai profil kemiskinan diperdesaan sangat diperlukan oleh para penentu kebijakan di tingkat pusat danutamanya di daerah. Mereka perlu memahami akar permasalahan yang dihadapipenduduk miskin agar dapat dibuat perencanaan dan program-programpengentasan kemiskinan yang tepat dan terarah sesuai dengan apa yangdibutuhkan oleh penduduk miskin tersebut. Berdasarkan data BPS 2009 kondisikemiskinan di Indonesia diungkapkan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Daerah, 1996-2008

Tahun Jumlah penduduk Miskin (Juta) Persentase Penduduk MiskinKota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

197619781980198119841987199019931996199819992000200120022003200420052006200720082009

10.08.39.59.39.39.79.48.7

9,4217,6015,6412,30

8,6013,3012,2011,4012,4014,4913,5612,7711,91

44,238,932,831,325,720,317,817,3

24,5931,9032,3326,4029,3025,1025,1024,8022,7024,8123,6122,1920,62

54,247,242,340,635,030.027,234,5

34,0149,5047,9738,7037,9038,4037,3036,1035,1039,3037,1734,9632,53

38,830,829,828,123,120,116,813,4

13’3921,9219,4114,60

9,7614,4613,5712,1311,6813,4712,5211,6510,72

40,433,428,426,521,216,414,313,8

19,7825,7226,0322,3824,8421,1020,2320,1119,9821,8120,3718,9317,35

40,133,328,626,921,617,415,113,7

17,4724,2323,4319,1418,4118,2017,4216,6615,9717,7516,5815,4214,15

Sumber: BPS (1999) dalam Wiranto (2007) dan BPS (2009).

Profil Kemiskinan pada Basis Ekosistem Sawah

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan diversifikasi di lahan sawah diJawa Barat, memberi gambaran bahwa kalau diurut dari strata utara ke selatanpolanya adalah monokultur di utara, 2 sampai 3 variasi komoditas tanaman dibagian tengah dan variasi yang lebih banyak lagi di bagian selatan. Fenomenarawan pangan cerminan kemiskinan yang sering muncul justru dari kantung-kantung kemiskinan di utara. Mengapa di wilayah monokultur padi yang notabenepenghasil makanan pokok justru sebagian penduduknya sering mengalamimasalah rawan pangan? Beberapa argumentasi yang dapat mengklarifikasikan halitu disebabkan oleh berbagai alasan yang mungkin satu dan lainnya berkaitan:

a) Usaha tani padi di wilayah monokultur padi, variasi kegiatan dan perolehanhasil serta pendapatan terkait dengan gestation period padi dan terjadi lebih

Page 7: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

225

seragam terkait dengan ketersediaan air irigasi ke wilayah itu. Dengandemikian musim panen dan paceklik di wilayah ini terjadinya seragam pula.Informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Indramayu mengemukakanbahwa dalam musim panen saat petani seharusnya memperoleh pendapatanyang tinggi, tetapi tidak terjadi karena over supply panen raya yangmengakibatkan harga padi jatuh. Jatuhnya harga saat panen raya jugadiakibatkan oleh perilaku para penderep yang sesaat setelah merekamemperoleh bawon upah memanen langsung menjual padinya dengan hargamurah karena ingin segera memperoleh uang tunai. Harga pembelian padiyang murah ini berpengaruh pula kepada harga padi bagi petani lainnya yangjuga menjual padinya sesaat setelah panen.

b) Bagi petani yang lahannya relatif luas, padi yang dijual saat panen rayamungkin hanya sebagian saja sebatas kebutuhan akan uang tunai dan masihmenyisakan padi yang biasa dijual saat harga padi beranjak lebih tinggi.Namun bagi petani kecil hal seperti itu sulit dilakukan karena desakankebutuhan akan uang tunai dapat menyita seluruh hasil padinya. Bahkan tidaktertutup kemungkinan saat padi masih muda menghijau sudah dijual hijauan -ijon. Hasil panen yang mereka peroleh terkadang tidak cukup sampai masapanen berikutnya, apalagi untuk menyisihkan uang hasil penjualan gabahsebagai modal usaha tani pada musim tanam berikutnya. Akibatnya petaniterpaksa meminjam uang kepada para pelepas uang/rentenir atau berhutangkepada pedagang/tengkulak yang menjual input-input pertanian danmenciptakan interlocking market, karena peluang petani untuk menjual hasilusaha tani kepada pihak-pihak lainnya menjadi terkunci. Kondisi ini selaluterjadi berulang kali setiap musim dan ujung-ujungnya petani terjebak dalamlingkaran hutang yang berkelanjutan dan kemiskinan.

c) Hal yang menimpa petani kecil seperti pada butir b) terjadi pula pada kelompokpetani penyakap. Hasil padi dari lahan sakapan yang relatif sempit, hanyasebagian yang diterimanya sebab sebagian lagi diberikan kepada pemiliklahan. Bahkan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah diperoleh informasi bahwabagian panen yang diterima oleh penyakap hanya sepertiga, sementarapenyakap menanggung semua biaya produksi usaha tani. Masalah yangbanyak ditemukan di kalangan para penyakap karena sharing arrangementyang mendasarinya sering tidak terwujud. Hal ini banyak ditemukan di wilayahyang lahan pertaniannya guntai dimiliki oleh orang-orang kota yang seringtidak mampu sharing dalam usaha tani penyakap ataupun menjenguk karenakesibukannya (absentee landowner). Alhasil pengusahaan lahan sakapan itutergantung seluruhnya pada keputusan dan kemampuan penyakap itu sendiri.Kalau kemampuan dari sisi permodalan atau teknologi terbatas, sebatas itupulalah aplikasi budidaya yang diterapkannya. Fenomenanya penyakap yangsemakin membengkak jumlahnya justru merupakan kelompok yang kurangatau mungkin tidak tersentuh oleh berbagai bentuk pelayanan modal danteknologi yang dibutuhkannya.

d) Bagi petani kecil dengan status penguasaan menyewa, kondisi harga murahsaat panen dapat berakibat sama seperti pada petani kecil lainnya denganstatus penguasaan lahan yang berbeda. Karena dalam sistem penyewaan,

Page 8: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati

226

baik dalam uang tunai yang dibayarkan di muka atau bentuk natura, hasilkomoditas yang diusahakan pertaruhannya sama, yaitu harus mampumenutupi nilai sewa yang telah atau akan dibayarkan. Karena di kalanganpetani kecil jarang yang memiliki modal yang dapat dipertaruhkan, maka petaniyang menyewa lahan juga relatif kecil jumlahnya.

e) Kelompok buruh tani hanya memperoleh selama tenaga mereka dibutuhkan,biasanya dari saat pengolahan tanah persiapan tanam, saat penanamansampai dua kali penyiangan. Setelah itu ada waktu jeda kesibukan menunggupanen, disebut musim paceklik. Saat-saat paceklik inilah yang rawan bagiburuh tani karena tidak ada kesempatan kerja berburuh yang ditawarkan danini berarti kehilangan sumber pendapatan harian mereka. Berdasarkan kasusyang diperoleh dari Klaten, upah yang diterima buruh tani juga relatif rendah.Untuk saat ini, rata-rata upah buruh tani laki-laki adalah Rp 25.000,- perbeduk- dzuhur (setengah hari) ditambah natura, dan Rp 15.000,- untuk buruhtani perempuan per beduk dzuhur ditambah natura. Apabila dalam satu musimtanam seorang buruh tani laki-laki dapat bekerja efektif selama 20 hari, makaupah riil yang diterimanya dalam bulan itu dari berburuh adalah Rp. 500.000,-.Nilai ini jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan upah UMR rata-rataprovinsi yang kisarannya antara Rp 900.000,- sampai Rp 1.500.000,-. Darigambaran tersebut, dapat diperkirakan, bagaimana sulitnya buruh tanimemenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan pendapatan Rp 16.667,- perhari atau Rp 500.010,- per bulan.

Dari beberapa argumen yang dikemukakan di atas sudah jelas tergambar hal-halyang terkait dengan kondisi kemiskinan masyarakat petani di lahan sawah. Walaudianggap memegang peran penting sebagai penyedia kebutuhan pangan (beras)bagi rakyat, petani tetap berada dalam posisi lemah. Bahkan, yang lebih parah,petani --secara sistemik- terjerat dalam kendali dan dominasi negara. Dalamterminology Gramsci dalam Damastuti dan Demang (1998), keadaan ini disebuthegemoni atas petani oleh kelompok-kelompok sosial di luar dirinya. Nuansahegemonik --dalam konteks petani Indonesia-- sebagai misal tercermin dari tingkahlaku dan suasana mental dalam diri petani yang lekat dengan tanaman padi. Meskiterbukti bahwa hasil dari tanaman padi pada umumnya tidak mampu meningkatkankesejahteraan petani tetapi mereka tetap menanamnya. Bisa jadi hal itudisebabkan oleh rasa takut (yang sudah mengendap di alam bawah sadar petani)karena “anjuran” menanam padi datang dari “atas”. Atau, mungkin kegiatanmenanam padi sudah menjadi aktivitas yang mekanis belaka, menjadi pola kerjayang tidak pernah direfleksikan lagi. Sebagai misal, suatu kebijakan pemerintah --agar petani menerapkan suatu metode atau teknologi tertentu-- akhirnya “diterima”petani bukan karena kebijakan itu disadari sebagai hal yang baik, melainkankarena petani tidak mempunyai perangkat intelektual yang cukup untuk memahamisecara kritis “kebijakan” tersebut.

Kondisi Kemiskinan pada Basis Ekosistem Lahan Kering

Lahan kering yang diusahakan untuk tanaman semusim palawija atausayuran biasanya diusahakan pada musim penghujan, terkecuali di wilayah yang

Page 9: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

227

sumber airnya tersedia bisa diusahakan sepanjang tahun. Jenis tanaman yangdiusahakan umumnya terkait dengan ketinggian lokasinya dan di kalangan petanikecil orientasinya sering mengarah pada tanaman subsisten dan diusahakankurang intensif karena keterbatasan modal dan teknologi. Sementara di kalanganpetani yang lahan kepemilikannya luas lebih berorientasi pada tanaman komersial,baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan dan pengusahaannya lebihintensif. Khusus untuk petani kecil, berbagai pola tanam spesifik lokasi banyakdiintroduksikan, akan tetapi karena keterbatasan modal dan pemahaman teknologidari petaninya, maka perkembangannya tidak sepesat seperti yang berada padaekosistem sawah. Khusus untuk kasus Jawa Barat, lahan kering ini dominannya diwilayah bagian tengah dan Selatan dengan karaktristik umum yang tidak mudahterjangkau karena infrastruktur jalannya, terutama di bagian Selatan, yang belummemadai, padahal transportasi menurut Mosher (1966) mutlak keberadaannyadalam memajukan pertanian. Terkait dengan infrastruktur jalan ini denganberbagai statusnya seperti jalan provinsi, kabupaten, dan desa, justru jalandesalah yang nasibnya paling tidak terurus karena keterbatasan dana yang dimilikidesa. Padahal justru jalan desa inilah yang paling diperlukan untuk menjangkaupetani dan lahan pertaniannya.

Lahan kering sering dipandang sebagai tumpuan kehidupan masyarakatmiskin yang termarjinalkan. Kebutuhan mereka akan lahan pertanian tidak jarangmendorong mereka untuk merambah lahan-lahan milik kehutanan, seperti yangbanyak ditemukan di daerah Jawa Barat bagian tengah dan selatan. Tidak jarangperambahan hutan ini justru disponsori oleh mereka dari perkotaan yang memilikibanyak uang dan berusaha mengembangkan tanaman komersial yang akandiusahakannya di lahan yang masih subur-perawan bekas hutan. Jadi kalau petanikecil dan mereka yang tuna lahan terlibat di dalamnya karena doronganpemenuhan kebutuhan hidup mereka. Di wilayah ini banyak ditemukan lahan-lahan yang kemiringannya curam dipaksakan diolah untuk tanaman kentangkhususnya, guludannya justru menjulur dari atas ke bawah untuk menghindarigenangan air sehingga terhindar pula tanaman kentangnya dari seranganPhytoptora infestan. Akan tetapi, di pihak lain bahaya erosi atau bahkan longsortidak jarang terjadi. Dari gambaran ini kelihatan bahwa di kalangan petani kecillahan kering yang notabene petani miskin, dorongan untuk memenuhi kebutuhanjangka pendek sangat menonjol, walaupun harus ditempuh dengan menghadapikonsekuensi yang paling jelek dan fatal seperti tingkat erosi yang tinggi dan atautanah longsor.

Kemiskinan Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan

Kemiskinan pada rumah tangga petani seperti yang telah dipaparkan diatas berkaitan dengan penguasaan petani atas lahan yang diusahakannya. Hasilpenelitian Susilowati et al. (2010) menunjukkan bahwa penguasaan lahan olehpetani di Jawa dan di luar Jawa pada umumnya di bawah 1 ha, dan persentaseterbanyak adalah antara 1,25 ha – 0,499 ha. Persentase kepemilikan lahan antara1,25 ha – 0,499 ha tersebut di Jawa mencapai 19,7 persen pada tahun 2007 dan27,50 persen pada tahun 2010, sementara di luar Jawa mencapai 17,5 persen

Page 10: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati

228

pada tahun 2007 dan 25,34 persen pada tahun 2010. Angka ini mengindikasikanbahwa kepemilikan lahan oleh petani memang sangat sempit yang dikenal denganpetani gurem.

Pada kondisi seperti ini dapat dikatakan bahwa kemiskinan yang dialamioleh rumah tangga petani tersebut merupakan kemiskinan struktural yaitukemiskinan yang muncul bukan karena ketidakmampuan si miskin untuk bekerja(malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalammenyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapatbekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengansumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintahmaupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Akibatnya muncul kemiskinan kultural,dimana masyarakat menjadi fatalistis, semakin pasrah, menganggap kemiskinansebagai nasib dan garis hidup.

Bukan tidak ada upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia,namun sepertinya upaya itu tidak memberikan hasil yang menggembirakan. Dilihatdari bagian sejarah kebijakan yang dilakukan pemerintah pada saat pemerintahanOrde Baru, yang mulai terarahkan pada usaha mengatasi kemiskinan, melalui jalanmelakukan pinjaman dana kepada lembaga luar negeri yaitu IGGI yang kemudianberganti nama menjadi CGI. Namun dampak dari kebijakan ini bukan menghapusmasalah kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru. Adanyapinjaman luar negeri ini menyebabkan tumbuhnya industrialisasi di desa-desadalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan hutan, pembangunanpertanian tanaman industri, dan sebagainya, yang pada akhirnya semakinmenumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut. Kondisi ini ternyata tidakmerubah kehidupan masyarakat miskin dan malah memperkaya segelintir orangyang sudah kaya.

Bukan hanya itu, langkah kebijakan pengentasan kemiskinan yang diambilpemerintah pada waktu itu juga menciptakan kemiskinan sumber daya alam, yangselama ini menjadi tumpuan kehidupan masyarakat kecil di perdesaan. Tanahpertanian menjadi kurus dan tandus akibat penerapan teknologi yang tidakmemikirkan dampak jangka panjang. Lahan pertanian banyak yang kehilangansumber air, sehingga petani tergantung sepenuhnya kepada air irigasi yangkapasitasnya sudah sangat terbatas. Keterbatasan kapasitas air irigasi ini,menyebabkan peralihan jenis lahan dari lahan irigasi teknis/semi teknis menjadilahan irigasi desa/sederhana, irigasi pompa, atau lahan tadah hujan. Kondisi initerjadi di lahan sawah Jawa maupun Luar Jawa. Persentase pengurangan lahansawah irigasi teknis/semi teknis di daerah Jawa mencapai 65,91 persen dari totalluas sawah dalam kurun waktu 2007 – 2010, sementara di luar Jawa mencapai53,83 persen dari total luas sawah (Patanas, 2007 dan 2010). Gambaranperobahan jenis lahan ini terlihat nyata pada data hasil survei Patanas tahun 2007dan tahun 2010 pada Lampiran 1.

Seyogyanya kebijakan pengentasan kemiskinan harus didasaripemahaman menyeluruh mengenai karakteristik sosial demografi dan dimensiekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan, dan hasiltarget yang baik karena salah satu prasyarat keberhasilan program-program

Page 11: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

229

pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target groupdan target area. Dalam program pengentasan nasib orang miskin, keberhasilannyatergantung pada langkah awal dari formulasi kebijakan, yaitu mengidentifikasikansiapa sebenarnya “si miskin” tersebut dan di mana si miskin itu berada. Keduapertanyaan tersebut dapat dijawab dengan melihat profil kemiskinan.

Profil kemiskinan dapat dilihat dari karakteristik ekonominya sepertisumber pendapatan, pola konsumsi/ pengeluaran, tingkat beban tanggungan danlain lain. Juga perlu diperhatikan profil kemiskinan dari karakteristik sosial-budayadan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperolehfasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dansebagainya (Wiranto, 2007). Misalnya: permasalahan yang dihadapi pendudukmiskin dari segmen petani gurem bisa berakar dari asetnya yang justru terlalukecil, atau dari persoalan alam dan infrastruktur dalam bentuk irigasi yang tidakmendukung, dan sebagainya. Jika permasalahan yang membuat mereka sulitkeluar dari kemiskinan itu dapat diidentifikasi dengan baik, maka program yangtepat akan dapat dirumuskan. Akar permasalahan seperti itu, entah itu berasal dariorangnya, masalah infrastruktur/struktural atau masalah ketrampilan, dansebagainya, mestinya tersaji dalam profil kemiskinan di perdesaan.

Tabel 2. Persentase Petani Penyakap dengan Persentase Kemiskinan di Wilayah SurveiTahun 2007 dan 2010

Sumber. Hasil survei Patanas 2010. (diolah)

Bila persentase kemiskinan ini dikaitkan dengan data persentasepenyakapan, berdasarkan hasil survei Patanas 2010, ternyata tidak menunjukkankorelasi. Kondisi penyakapan dengan kemiskinan pada masing-masing daerahsurvei, baik di Jawa maupun luar Jawa, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.

No Kabupaten Desa Penyakapan (%) Kemiskinan(%)

Jawa Barat 2007 2010 20101 Indramayu Tugu 1,2 0,0 2,52 Subang Simpar 6,4 5,0 53 Karawang Sindangsari 0 45,0 5

Jawa Tengah4 Cilacap Padangsari 0,6 5,0 22,55 Klaten Demangan 10,9 17,5 12,56 Sragen Mojorejo 5,6 5,5 17,57 Pati Tambahmulyo 3,4 20,5 15

Jawa Timur8 Jember Padomasan 1,7 5,0 109 Banyuwangi Kaligondo 1,6 0,0 17,510 Lamongan Sungegeneng 0,0 10,0 7,5

Sulawesi Selatan11 Sidrap Carawali 69,1 65,0 1012 Luwu Salu Jambu 0 15,0 15

Sumatera Utara13 Asahan Kwala Gunung 1,4 0,0 1514 Serdang Bedagai Lidah Tanah 0,5 0,0 7,5

Page 12: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Maman H. Karmana, Ivonne Ayesha, dan Sri Hery Susilowati

230

Gambar 2. Persentase Penyakapan dan Kemiskinan pada Wilayah Survei

Apabila dilihat korelasi antara persentase kepemilikan sawah, kemiskinandengan persentase kepemilikan lahan sawah, pada tahun 2010, menunjukkankorelasi negatif (minus 0,471). Angka ini mengindikasikan bahwa bila persentasekepemilikan sawah makin sempit/kecil maka persentase penduduk yang miskinsemakin tinggi. Dengan demikian maka salah satu kebijakan yang dapat dilakukanuntuk mengurangi persentase penduduk miskin terutama di wilayah-wilayah yangdisurvei adalah dengan mengusahakan agar tidak terjadi pengurangan luassawah.

KESIMPULAN

Kemiskinan di Indonesia yang terjadi dalam kurun waktu sangat lamamerupakan kemiskinan yang persisten, yaitu secara persentase menurun namunsecara absolut masih cukup tinggi. Fenomena rawan pangan cerminan kemiskinandi agroekosistem sawah terkait dengan gestation period tanam padi yang terjadipada waktu dan lokasi yang relatif seragam; fenomena ijon yang menciptakaninterlocking market; sharing arrangement yang adil pada sistem sakap yang seringtidak terwujud; dan kesempatan berburuh pada kelompok buruh tani yang hanyaperiode singkat selama tenaga mereka dibutuhkan. Pada agroekosistem lahankering, fenomena kemiskinan di kalangan petani kecil mengarah pada tanamansubsisten yang diusahakan kurang intensif karena keterbatasan modal danteknologi.

Penguasaan lahan yang sempit pada lahan padi sawah mengakibatkanreturn on investment tidak menghasilkan surplus yang memadai sehinggakehidupan petani tetap miskin. Keterkaitan antara persentase kepemilikan sawah

Page 13: TANTANGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: KEMISKINAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Pros_2012_01B_MP_Maman.pdf · Meskipun pembangunan pertanian telah dilakukan terus menerus,

Tantangan Pembangunan Pertanian: Kemiskinan pada Berbagai Ekosistem

231

dengan kemiskinan menunjukkan korelasi negatif yang mengindikasikanmenyempitnya kepemilikan sawah maka persentase penduduk miskin semakintinggi. Dengan demikian maka salah satu kebijakan yang dapat dilakukan untukmengurangi persentase penduduk miskin terutama di wilayah-wilayah berbasisusaha tani lahan adalah dengan mengusahakan agar tidak terjadi penguranganluas sawah.

DAFTAR PUSTAKA

Beckford, G. 1972. Persistent Poverty. Underdevelopment in Plantation of the Third World.Oxford University Press. New York.

BPS. 2009. Profil Kemiskinan Indonesia Maret 2009. No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009.

Cervantes, D. Godoy dan J. Dewbre. 2010. Economic Importance of Agriculture for PovertyReduction. OECD Food, Agriculture and Fisherries. Working Papers No. 23. OECDPublishing. France.

Damastuti, A.P. dan K. Demang. 1998. Pendidikan Bagi Sang Kalah. Jurnal Wacana No12/Juli-Agustus 1998.

Ellis, F. 1992. Agricultural Policies In Developing Countries. Cambridge University Press.

Geertz, C. 1963. Agricultural Involution. The Process of Ecological Change in Indonesia.

Mosher, AT. 1966. Gatting Agriculture Moving. Agricultural Development Centre. FrederickA. Praeger. New York.

Soetomo, G. 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam PembangunanPertanian. Kanisius. Yogyakarta, 1997.

Soewardi, H. 2004. Apa Sebabnya Timbul Kemiskinan. Nasib Sektor Pertanian SebagaiTumpuan Pembangunan. Bakti Mandiri. Bandung.

Wiranto, T. 2007. Profil Kemiskinan di Pedesaan. Info URDI Vol. 14. Direktur KerjasamaPembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas.

Witoro. 2005. Pengurangan Kemiskinan dan Kelaparan Sebagai Agenda UtamaPembaharuan Desa. http://www.forumdesa.orq.