tarian sunyi - jayaningsila.files.wordpress.com filedan si laras kecil akan duduk tenang di hadapan...
TRANSCRIPT
Tarian Sunyi Page 1
TARIAN
SUNYI
SEBUAH NOVEL
Jayaning Sila Astuti
Tarian Sunyi Page 2
PROLOG
Semua sudah berakhir. Cukup sampai di sini.
Ah, ya. Tak terasa benar berlalunya waktu, dan tak terasa benar bagaimana kawan-
kawan yang kucinta bertumbangan satu persatu. Demi yang mereka perjuangkan dan mereka
yakini sebagai kebenaran.
Kuayun lagi kursi goyang yang memanggul tubuhku. Kurasakan ini seperti pangkuan
Bunda, yang nyaman menentramkan. Lalu kurapatkan sweter hangat yang membungkus
tubuhku. Kemudian kubiarkan lagi pikiranku melayang. Pada mereka, kawan-kawan tercinta
yang bertumbangan.
Aku sebenarnya amat marah pada mereka, mengapa tak mengajakku serta. Kami
berempat, dan kini hanya satu yang tersisa. Akulah. Bersama dengan sisa-sisa hal yang kami
perjuangkan dahulu.
Aku amat marah mengetahui mereka satu persatu meninggalkanku. Tak kumaafkan.
Namun, lama-lama aku berfikir ini mungkin kehendak Tuhan, yang menginginkan salah satu dari
kami tinggal. Untuk melihat perkembangan dari apa yang keras kami perjuangkan. Agar lewat
mataku, kawan-kawanku tahu jadi seperti kehidupan yang Tuhan janjikan.
Berangsur-angsur kumaafkan mereka, atas kejahatan mereka tak mengajakku serta pergi
ke surga. Berangsur-angsur kuterima ketertinggalanku di dunia ini. Aku kembali melangkah,
melanjutkan yang dulu kami buat. Berangsur-angsur pula, setelah sekian lama berjalan sendiri,
wadagku yang menua ini meminta tempatnya pada kesenangan kursi goyang.
Dan kini, saatnya aku kembali mengenang beragam kisah indah yang telah kami
ciptakan. Dan demi anak cucu yang harus tahu bagaimana kisah indah mereka dan aku dahulu,
akan kurangkaikan kata ini untuk kalian. Berurutan.
Akan kuawali dengan kisah tentang Laras, tentang kenekatannya yang jauh melampaui
perempuan sebangsa yang hidup semasa dengannya. Tentang petualangan mengejar pria impian.
Ini tentang Laras, seorang gadis desa dari kalangan biasa, yang berkedudukan sama
dengan setiap anggota keluarga. Dalam membuat keputusan, dalam bermata pencaharian.
Tarian Sunyi Page 3
Ayahnya awak kapal dagang yang lebih banyak menghabiskan waktunya di laut,
membuat Laras kecil harus cukup puas untuk hanya hidup berdua dengan ibunya di desa. Dan
sang pelaut, hanya pulang sekali dalam beberapa masa. Membawakan berbagai kisah yang
ditimba di berbagai negeri. Dan si Laras kecil akan duduk tenang di hadapan sang pelaut yang
membawakan kisah dengan gaya yang sempurna.
Begitulah kisah hidupnya yang awal. Namun semuanya mulai berubah pada hari ketika
ia putuskan pergi lihat tontonan di pelataran kadipaten.
“Aku ingin lihat tontonan nanti malam,” sebentuk suara lirih meluncur dari bibir Laras.
Namun begitu, pandangannya tak menatap pada kawannya, Ratri, tapi terbang ke awang-awang.
Ia seolah sedang bermimpi. Dan si kawan yang tak paham, tak urung jadi heran.
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba….”
Baru kemudian pandangan Laras teralih pada Ratri.
“Akan ada tontonan di kediaman Gusti Bupati. Aku ingin lihat.”
Si Ratri mengamati sorot mata kawannya. Seperti sorot mata orang yang baru bangun
tidur, yang barusan mimpi indah.
“Jangan macam-macam, Ras. Kita ini perempuan, mana boleh keluar malam. Apa kata
orang?”
Sorot mata yang sempat berbinar itu layu lagi. Sebenarnya Ratri tak tega. Tapi apa
boleh buat, keluar malam bagi perempuan tetap saja tak patut.
“Karena tak boleh itulah aku bicarakan denganmu. Aku ndak mau hanya pergi sendiri,
tapi bertiga dengan Bapakmu. Dengan begitu tetap ada yang menjaga. Orang tak akan ngomong
macam-macam.”
“Kenapa sebenarnya kau bersikeras ingin nonton? Toh belum tentu tontonannya akan
bagus, apalagi bakal bikin kita senang.”
“Tak tahulah Rat. Aku hanya merasa akan ada sesuatu yang penting di sana. Artinya
kau harus datang,“ katanya sambil membuang pandang.
Ratri tercenung.
“Jangan terlalu percaya pada perasaan.”
“Perasaan ini kuat sekali Rat. Kalau begini, selalu betul ini sebagai firasat.”
“Bapakku pernah bilang, di negeri-negeri jauh sana, orang-orang perempuan boleh
keluar malam buat nonton asalkan tak sendirian. Kita juga pasti boleh, asalkan bersama teman.”
Tarian Sunyi Page 4
Ratri yang sedang nggerus lombok, berhenti. Dilonggarkannya pikirannya untuk
sekedar menamatkan raut wajah kawannya.
“Itu di tempat yang jauh, bukan di sini. Sudah, jangan ngimpi lagi.” Diulurkannya seikat
bayam pada kawannya itu, “Mending kau petiki ini saja daripada terus menerus ngimpi. Biar bisa
cepat sarapan, trus kirim ke sawah. Bapakku dan Simbokmu pasti sudah kaliren dari tadi nunggu
kiriman.”
Namun niat baiknya tak bersambut. Sebab si kawan masih ingin ngimpi.
“Sekali ini saja Rat, lain kali tidak. Tolong bujuk Bapakmu buat temani kita ya.”
Ratri geleng-geleng kepala. Tak biasanya si kawan sebegitu inginnya. Ya sudahlah tak
apa-apa, pikirnya. Semoga saja firasatnya itu bukan sesuatu yang buruk. Sesekali saja, tidak
sering-sering.
“Ya, nanti aku bilang Bapak. Tapi aku ndak janji Bapak mau.”
Mata itu berbinar lagi. Dan anggukan senanglah yang kemudian ia dapat.
“Dan sekarang, kita mesti cepat-cepat selesai masak.”
Senyum sumringah Laras mau tak mau membuka senyum Ratri.
Tarian Sunyi Page 5
Kadangkala,
kita hidup tak hanya dengan sesuatu yang jelas
Kadangkala,
kita hidup karena nekat dan firasat,
Serta ingin tahu
Tarian Sunyi Page 6
BAB I
Kuayun lagi kursi goyangku yang mulai berhenti. Beginilah lanjutan kisah Laras,
seperti yang dituturkannya padaku tentang hari istimewa itu :
Aku berhasil membujuk Simbok untuk mengijinkanku pergi, setelah kukatakan pada
kalau aku tak pergi sendiri. Aku akan pergi dengan Ratri, ditemani Bapaknya. Ratri pun sampai
datang ke rumah untuk meyakinkan Simbok. Dan akhirnya, beradalah kami malam ini di
pelataran kediaman bupati, bersama ratusan orang yang mungkin sama haus tontonannya dengan
kami.
“Ayo Rat, cepat! Nanti kita ndak dapat tempat,” bisikku. Kami mulai ketinggalan
langkah dari Bapaknya Ratri
“Iya, tapi sabarlah. Paling juga belum mulai,” balasnya.
“Memang belum mulai, tapi kita musti berebut tempat. Kalau hanya dapat tempat di
belakang, sama saja ndak bisa lihat apa-apa.”
Ratri mempercepat langkah, kainnya dicincing sedikit. Kupercepat langkah,
memperpendek jarak dengan Bapaknya Ratri. Biar tak hilang kami nanti.
Dari ujung pelataran tempat kami berada kini, bisa kulihat atap sebuah panggung
megah. Ah, dasar kediaman Bupati memang luas, tontonan yang seramai ini masih bisa
dipusatkan di sisi kanan pendopo agung saja. Sedang di sebelah kirinya, ada keriuhan yang lain.
Keriuhan para abdi dalem mempersiapkan iring-iringan, dan para prajurit yang menjadi batas
keriuhan di sebelah kanan dan kiri pendopo. Mungkin mau ada acara besar.
Kalau melihat riuhnya malam ini, kukira sangat luaslah tersiar kabar tentang tontonan
malam ini. Mungkin karena tontonan ini penting, atau mungkin karena sudah sangat lama tak
pernah ada tontonan.
Bapaknya Ratri yang mencarikan kami tempat untuk duduk. Untuk berdua, sebab
beliau kemari mau jualan.
“Rat, lihat apa kamu…?”
“Bukan apa-apa,” jawabnya. Namun pandangannya tak jua beralih.
“Ayolah katakan, kau sedang cari siapa?” bisikku lagi.
Tarian Sunyi Page 7
“Kubilang tak ada apa-apa.”
“Tapi matamu jelalatan terus. Pasti ada apa-apa.”
“Stt…” Ratri mengunci mulutku dengan telunjuknya. “Aku akan bilang, tapi kamu
harus janji tidak akan bilang ke Bapak atau Simbok.”
Aku mengiyakan.
“Kau tahu kenapa ada tontonan malam ini? Kenapa mereka mau main tanpa pasang
kotak?” Dia beri jeda sebentar, mungkin memancing rasa penasaranku. “Karena Gusti Bupati
akan kedatangan tamu. Tuan Asisten Residen M yang baru.”
Ratri pasti main-main.
“Mana mungkin Tuan Besar mau kemari? Darimana kau tahu?”
Ratri tersenyum.
“Hampir semua orang tahu. Apalagi kalau biasanya jarang ada tontonan.”
“Jadi sebelumnya kau sudah tahu tapi ndak ingin pergi?”
Ia mengangguk.
“Keluar malam kan ndak patut buat perempuan.”
“Jangan bicara patut ndak patut lagi. Kalau memang perempuan ndak boleh keluar
malam, pasti tak banyak perempuan yang akan datang malam ini. Buktinya?”
“Iya aku tahu. Kamu tahu kan putri bungsu Tuan Bupati? Gusti Ayu Harsini itu. Gusti
Bupati pasti mau mendapuk Tuan Asisten sebagai calon mantunya. Tuan ini kan belum punya
istri. Padahal tampannya, ampun....! Dan belum genap sebulan pula datang dari Holland,
mumpung belum ketemu banyak dara ayu. Begitu pasti pikirannya Gusti Bupati itu.”
“Jadi?”
“Ayo kita cari tahu yang mana orangnya.”
Kuiyakan saja. Mana mungkin bisa ketemu dengan Tuan Asisten Residen. Seperti katak
mimpi naik pohon saja.
“Ayo!”
“Buat apa?”
“Ya biar tahu.”
“Ndak usah. Kalau tahu pun ndak ada gunanya.”
Ratri mendelik.
Tarian Sunyi Page 8
“Ndak ada gunanya bagaimana? Siapa tahu Tuan itu malah kepincutnya sama kamu,
bukan sama Gusti Ayu. Ayo sini!” Ditariknya tanganku dan diseretnya aku menerobos
kerumunan orang yang berdiri di utara panggung.
“Mau kemana ini?”
“Mencuri pandang pada si Tuan Asisten.” Aku yang tercekat menyentak lepas tanganku
dari genggaman Ratri.
“Jangan gila, mana mungkin bisa.”
“Aku mengenal tempat ini Ras. Bapak dan Simbokku pernah mengabdi di sini bertahun-
tahun, ingat? Aku tahu tempat ini.”
“Mungkin letak ruang-ruangnya berubah.”
“Memang. Tapi tidak mungkin sampai tidak bisa kukenali.”
Aku menggeleng lagi. Makin cemas.
“Percayalah, sekarang ramai. Tak akan ada yang tahu.”
Dia menarikku sebelum mampu kukatakan sesuatu, kemudian mnyembunyikan raga
kami dalam kegelapan bayang-bayang. Kami susuri sisi dalam tembok ini, dan berhenti di titik
yang tak tersorot sinar rembulan.
“Kita tunggu sampai keramaian memuncak. Itu saat yang tepat untuk masuk.” Kami
menunggu dalam hening.
Suara gending yang ditabuh sejak sore makin bertalu-talu. Ratri masih diam. Irama
gending kudengar makin cepat, dan „Gong...!‟. Dan „Pelaris...!‟ sahutan serempak dari semua
yang hadir menyambut irama puncak itu. Ungkapan sederhana bagi doa setulus hati dari segenap
yang hadir.
“Ayo!”
Kami sebrangi jarak sedemikian lebar antara tembok dengan bagian belakang kadipaten
ini. Dengan berlari dan menaikkan kain bawahan kami sedikit. Lalu mengendap-endap di taman
kecil yang membelah tiap-tiap bangunan.
“Pertemuannya di gandok. Kita ke sana.”
“Darimana kau tahu?”
“Manalagi tempat yang biasa dipakai menjamu tamu besar selain gandok kadipaten
kalau pendopo sedang tak bisa dipergunakan?”
Tarian Sunyi Page 9
Aku paham. Pelataran depan yang begitu ramainya membuat pendopo tak cukup pantas
untuk menyambut tamu sepenting Tuan Asisten Residen.
“Lalu bagaimana?”
Ratri tak menjawab, hanya terus menarikku menyusuri jalan-jalan sempit menuju
kediaman utama. Lalu menyelinap ke kamar tamu yang tak terkunci. Yang paling dekat dengan
gandok kediaman utama.
Pasti aneh terasanya gandok kediaman utama yang di dalamnya akan diadakan
pertemuan penting dibiarkan tak dijaga. Tidak, bukannya tak dijaga. Tapi Ratri saja yang sudah
hafal jalan mana yang aman.
Agar tak mencurigakan, pintu kami buka sedikit saja. kami mengintip bergantian, harap-
harap cemas apa betul akan terlihat jelas raut wajah Tuan itu dari sini. Menungguu kapan
rombongan si Tuan dan Gusti Bupati akan datang.
Ternyata tak lama ketika rombongan pertama datang. Pastilah Gusti Bupati adalah
priyayi sepuh berwibawa yang berjalan paling depan. Berjalan dengan seorang abdi, yang segera
bersila tak jauh dari tempat Gusti Bupati ketika beliau sudah lenggah. Dua orang yang kukira
orang-orang terdekat beliau pun segera duduk mendampingi. Suasananya senyap. Suara Gusti
Bupati yang berbicara lamat-lamat dengan orang di kanan kirinya pun masih bisa terdengar.
Sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan mereka Namun tetap kusimpan ingatan
tentang wajah mereka Mungkin suatu saat nanti aku membutuhkannya Tak berselang lama
penjaga memberitahukan kedatangan tamu yang ditunggu-tunggu Tuan Asisten Residen Kini
arah pandangku tertuju pada rombongan baru itu. Yang mereka kenakan sungguh kontras dengan
yang dikenakan rombongan Gusti Bupati Putih lawan coklat sepuhan emas
Yang mana Tuan Asisten?
“Lihat yang paling depan sebelah kiri, yang berselempang.”
Mereka makin dekat, ketegangan kami meningkat. Begerakpun sangat hati-hati. Sekilas
sempat kurasakan si Tuan melirik ke pintu ini, seolah mengerti kehadiran kami. Walaupun itu
sangat kusangsikan.
Sekarang bisa kupandangi warna kulitnya. Dengan rambut coklat gelap, sedikit
kemerahan. Eropa. Disambutnya tabik Gusti Bupati dengan hormat, kemudian duduk berhadapan
dengan beliau melingkari meja.
Tarian Sunyi Page 10
“Betul kata orang Tuan itu memang tampan. Memang patut jadi dewa impian. Benar
kan?”
“Ya, baiklah. Sekarang apa lagi?”
“Menunggu para Tuan itu selesai berbincang dan berkenan untuk pulang. Baru
kemudian kita bisa menyelinap pergi.”
Aku menyetujuinya. Memang hanya tinggal menunggu yang bisa kami lakukan.
Kugeser tubuhku supaya Ratri bisa leluasa mengamati keadaan di luar. Dia yang mengenal
tempat ini, maka dia yang akan mencarikan jalan untuk kami pergi Aku hampir tertidur ketika
Ratri mengguncang pundakku.
“Mereka sudah hampir pergi. Kita harus bersiap-siap juga.”
Sedang kusiapkan diri untuk pergi secepatnya saat ia tiba-tiba berbalik dengan wajah
pucat.
“Mereka berjalan kemari. Kita harus sembunyi.”
Direbahkannya tubuhnya lantai lalu ia merayap ke kolong ranjang. Aku yang tak kalah
panik menyambar tongkat di kepala dipan dan kubawa bersembunyi dalam lemari.
Betul kata Ratri. Orang-orang itu sepertinya sedang bicara di depan kamar. Tak lama
sebelum satu detak sepatu terdengar masuk ke kamar ini. Kami terus menunggu.
Detak langkah itu mendekat ke tempatku sembunyi, dan kuayunkan tongkat di tanganku
tepat saat pintunya terbuka. Sekuat tenaga. Dan sosok itu tersungkur seketika.
Ratri melongok dari kolong. Tanpa bicara ia bergegas membantuku mengangkat tubuh
itu dan membaringkannya di ranjang
“Dandani dia seolah-olah sedang tidur saja, lalu segera keluar. Cepat! Sebelum mereka
kembali.”
Kupasangkan bantal, lalu kuhamparkan selimut di atas tubuhnya. Aku sedang
memandanginya untuk yang terakhir kali ketika tiba-tiba tangan di balik selimut itu
mencengkeram lenganku. Matanya menatap nanar.
“Rat!”
Pria ini menoleh pada Ratri. Ratri memandang ngeri para pria ini, padaku, sebelum
menyelinap pergi. Hilang di balik pintu. Aku ditinggal sendirian
“Temanmu sudah pergi. Kupikir kau sengaja ditinggal untuk menemaniku
menghabiskan malam. Bukan begitu?”
Tarian Sunyi Page 11
Tanganku yang bebas yang sedang berusaha mencari sesuatu untuk senjata disambarnya
juga lalu ditelikung ke belakang. Hingga wajah kami hampir bersentuhan. Dia tersenyum sinis.
Sungguh baru kusadari bahwa sifatnya sama sekali tak setampan yang dikatakan orang.
Kini kutahu warna matanya. Biru gelap, yang jadi lebih gelap saat emosi membalutnya.
Ikat pinggang kulitnya berpindah mengikat tanganku. Sambil terus mengawasiku, disobeknya
kain seprai dan dijadikannya ikatan untuk kakiku.
Satu ciuman mendarat di keningku.
“Ini hadiah untuk keberanianmu, sayang. Tenang-tenang saja di sini. Takkan ada hal
buruk yang terjadi.”
Aku tak suka seringainya. Pria ini menepis kotoran di bajunya, menoleh padaku
sebentar, sebelum menyambut panggilan orang-orang yang ada di luar kamar ini.
Yang kurasakan, putus asa. Dengan ketidaktahuan apa yang akan terjadi, dan tak bisa
berbuat apa-apa. Ikatan-ikatan ini membuatku sulit melarikan diri. Boleh tidak ya aku berharap
tidak akan dihukum esok? Aku menyesal. Harga yang kubayar untuk kesenangan sejenak ini
terlalu mahal. Aku hanya tinggal berharap Bapak dan Simbok tidak terlalu meratapi
kehilanganku.
Di tengah tikaman putus asa yang tak habis-habisnya, satu ketukan terdengar dari
jendela. Apa itu Ratri? Harus kubuka jendelanya. Bagaimana? Ah ya! Bergerak ke pinggir
ranjang, berusaha untuk duduk, meloncat-loncat ke jendela, dan mendorongnya sebisa mungkin
dengan punggungku.
Benar!
“Ras, ayo!”
Kutunjukkan tanganku yang terikat. Letak jendela yang cukup tinggi tak urung
membuat Ratri kebingungan. Namun ditariknya tanganku dan dilepaskannya ikatan itu dengan
susah payah.
Ikatan terlepas. Tanpa buang waktu segera kubuka ikatan di kaki, dan melompati
jendela. Jendela kututup pelan sebelum mengendap-endap secepatnya dengan sedikit menyincing
jarit, kembali ke area tontonan. Maaf tata krama, kali ini aku sedang tak ingin mengindahkanmu
dulu.
Tarian Sunyi Page 12
Sesampainya di sana, untunglah tontonan belum rampung. Sayangnya tempat kami
duduk kami sudah dipakai orang. Maka kami duduk tak jauh dari tempat yang tadi. Semoga
Bapaknya Ratri belum mencari-cari.
Dan karena niatku datang kemari adalah untuk nonton, kutanya orang yang duduk di
sebelah kami bagaimana jalan lakonnya. Namun orang itu menggeleng sambil menyahut, “Nanti
saja Nduk, kalau Bapak cerita sekarang terlalu ramai. Nanti suara Bapak tak terdengar.”
Lelaki itu sedikit saja membesarkan suaranya, namun segera disambut sahutan “Stt….!”
dari samping kanan-kiri.
Kalau begini, bagaimana bisa menonton. Masih pertengahan memang. Tapi tetap saja
tak enak kalau tak tahu cerita awalnya. Akhirnya, tak ada yang musti dilakukan, secara tak
terkontrol lamunanku berlanjut. Merenungi lagi pertemuanku dengan si Tuan Asisten.
Ah sudah. Tidak boleh dipikirkan lagi. Yang baru saja terjadi adalah kekeliruan yang
harus dilupakan. Setidaknya sementara.
Ternyata tak hanya kami yang bertemu dengan Tuan Asisten Residen. Bapaknya si
Ratri juga. Bedanya, kami sengaja sembunyi-sembunyi melihatnya. Sedangkan Bapaknya si
Ratri – kalau sudah nasib akan terjadi juga – tak pergi kemana-mana, hanya merelakan dirinya
untuk berdiri di tempat yang cukup dekat dengan panggung seselesai berdagang. Sebenarnya tak
terlalu dekat, namun cukuplah untuk tahu tontonannya dari awal hingga akhir.
Dan keberuntungan menghampirinya, itu kata Bapaknya si Ratri. Saat ia sedang asyik-
asyiknya menonton, ada orang yang berteriak-teriak di belakangnya, “Minggir, minggir, Tuan
Asisten Residen mau lewat.”
Dasar orang gemblung, kalau mau ngibul mbok ya tahu diri sedikit, cerita si Bapak.
Mana mungkin Tuan Asisten Residen mau datang kemari. Ini kan tontonan orang desa, bukan
pesta kaum ningrat. Bapaknya Ratri tak menggubris.
“Tak tahunya Nduk, beberapa saat kemudian, orang itu malah teriak di kupingku. Ya
Bapak kaget. Waktu noleh, ternyata yang teriak-teriak kayal kesetanan itu bukan orang
gemblung. Benar-benar opsir! Dan di belakangnya seorang Tuan yang masih muda, pastinya
Tuan Ten, seperti yang dibilang opsir tadi. Duh bagusnya...” Bapaknya si Ratri geleng-geleng
kepala, takjub.
Tarian Sunyi Page 13
“Bapak heran, orang macam apa Tuan Ten itu sampai mau ikut nonton. Ini baru
awalnya Nduk, kamu bakal merasa lebih takjub kalau lihat Tuan Ten itu sampai mlongo.”
Aku tertunduk, Bapaknya Ratri ternyata jualan di tempat yang tetap masih bisa jelas
ngawasi kami. Ya terang saja kami tak bakal bisa sembunyikan yang baru saja kami perbuat.
Kata beliau, “Ratri memang nekat Nduk. Begitulah kalau diikuti maunya. Untungnya
ndak ada kejadian buruk.”
Andai saja kukatakan kalau kami sempat ketahuan, aku yakin Bapak tidak akan
menanggapi sedatar ini.
“Kamu ndak sempat lihat lakon yang kemarin ya Nduk? Wah, mereka memang pintar
bikin lakon. Ck ck, mujur bener nasibnya si Bambang Setiyawan tu punya istri Dewi Sawitri.
Cantik, pinter.Kamu lihat Nduk waktu Dewi Sawitri minta seratus anak pahal suaminya itu
sudah mati? Ndak masuk akal, tapi pinter. Bathoro Narodo jadi harus menghidupkan lagi si
Bambang Setiyawan. Kan ndak mungkin to Nduk punya anak kalau suami sudah ndak punya.
Yang nari itu juga ndak kalah bagusnya. Apalagi pas nunjukkan kebahagiaan mereka. Weleh
weleh!”
“Orang-orang yang tahu kedatangan Tuan Ten langsung minggir kasih jalan. LAlu
Tuan itu duduk di depan panggung sisi kanan. Diapit dua opsir di kanan kirinya, tiga di
belakangnya, terus dua lagi yang berdiri di pinggir kirinya dekat lalu lalang orang. Bapak berdiri
sebelahan sama opsir itu. Pokonya Bapak bisa lihat Tuan itu jelas! Bapak perhatikan terus
sampai lupa sama kalian. Tuan itu ndak noleh-noleh! Apalagi pas tarinya. Kelihatan senang
banget nontonnya. Bapak ini betul-betul ndak nyangka ada orang besar kagum sama tontonannya
orang desa.”
Bapaknya Ratri masih saja terus saja berkisah tentang pertemuan indahnya dengan si
Tuan. Padahal batinku mengatakan Tuan itu mengerikan.
Si Bapak menuang teh. Singkong rebusnya digeser ke tengah, mungkin biar aku tak
segan untuk ikut makan.
“Ayo dimakan, Nduk Laras. Rat, itu Nduk Laras diajak makan. Nanti keburu dingin.”
Mana Bapaknya Ratri tahu kalau aku tak minat makan. Bayangan buruk andai saja
Ratri tak bisa datang lagi masih melekat di ingatan.
“Ayo Nduk, cepat dimakan. Bapak ini malu kalau kamu itu pulang kelaparan, kayak
ndak ditawari makan.”
Tarian Sunyi Page 14
Terpaksa makan juga beberapa, baru kemudian dibolehkan pulang. Ratri yang
mengantar.
“Rat?”
“Ya?”
“Kamu sudah lihat Tuan itu kan?”
Dahinya berkerut. Mungkin kebingungan.
“Tentu saja, kan kita menyelinap berdua. Ada apa?”
“Kau dengar cerita Bapak yang terakhir. Rasanya mustahil kalau Tua itu suka.”
“Kenapa tak masuk akal?”
“Orang-orang seperti Tuan itu berbeda dari kita. Pangkatnya, rumahnya. Ndak mungkin
menyukai yang orang-orang seperti kita suka. Sudah kulihat di kedalaman matanya. Aku ndak
percaya ada rasa suka yang tulus dari lubuk hatinya.”
Kami berjalan bersisian dalam diam. Melewati jalan setapak tanah, dengan berkali-kali
jumpa para penduduk desa yang berangkat ke ladang.
“Aku mau belajar nari Rat.”
Aku tahu kerutan di dahinya makin dalam. Kukira ia masih mencoba cari sambungan
omonganku yang barusan dengan yang tadi.
“Kenapa tiba-tiba?”
“Tarian yang kemarin itu lembut, cantik. Pasti bahagia kalau aku juga bisa
menarikannya.”
“Bukan karena Bapak bilang Tuan itu sangat suka tariannya?”
“Mungkin itu juga.” Tak bisa kusembunyikan senyumku.
“Aku memang bilang dia itu mengerikan. Dia itu ndak bisa dipercaya. Tapi aku melihar
sesuatu darinya, meski ndak tahu itu apa.”
Ratri manggut-manggut.
“Ras, kalau kamu belajar menari karena tarian itu kamu anggap cantik, aku bisa pahami.
Tapi kalau ingin belajar karena si Tuan suka, itu ndak akan bisa membuatmu dekat dengannya.
Juga ndak akan biisa membuatmu memahami yang tersembunyi di matanya.”
“Tuan itu dan orang-orangnya Rat, kukira selalu mengejar yang mereka inginkan
sampai akhirnya bisa tiba di tanah kita. Aku tahu kemungkinannya kecil, bahkan mungkin aku
akan terjebak dalam keinginan itu seumur hidup.”
Tarian Sunyi Page 15
“Lalu apa kau masih ingin menuruti keinginan itu?”
“Aku hanya sedang menginginkan hal-hal baru, yang berbeda dari yang selama ini kita
punya. Tidakkah membosankan jika segala sesuatu selalu sama? Pertemuan dengan Tuan itu
hanya pemicu, kamu tahu, yang semakin membulatkan tekadku.”
“Apa kau sudah pikirkan caranya?”
“Aku akan minta mereka mengijinkanku ikut serta dalam rombongan ludruk mereka.
Belajar nari sambil ngludruk ndak ada salahnya. Dan kamu?”
“Aku kenapa?”
“Selanjutnya kamu mau lakukan apa? Tidakkah kau ingin mencoba hal baru juga?”
Dia terdiam. Pertimbangannya banyak tampaknya.
“Kita berteman sejak kecil Rat. Aku tahu kamu suka nekat. Apa ndak ingin sekali-kali
mencicipi pengalaman-pengalamannya Bapakku, datang ke tempat dan keadaan baru?”
“Tapi kita ini perempuan.”
“Memangnya perempuan tak boleh rasakan yang para lelaki nikmati. Tidak adil sekali.”
Ratri menghela nafas panjang.
“Sebenarnya aku tak berminat. Tapi sudahlah, aku ikuti kamu. Ya siapa tahu
keinginamu dekat dengannya bisa terwujud, aku bakal ikut senang juga.”
Kugenggam tangannya. Aku selalu yakin dia bisa jadi sahabatku kapanpun itu.
***
Tentunya penasaran dengan Tuan Asisten Residen yang memikat hati. Maka inilah
kisahnya, sahabatku yang kedua :
Nama saya Rijkaard Pieters. Umur 24 tahun. Rumah saya sebuah bangunan mungil
dengan taman tulip di sekelilingnya serta kandang sapi di belakang. Mama pemerah susu.
Sedang Papa, ia pergi entah kemana Mama tak pernah cerita. Yang saya tahu, dia sudah mati dari
kehidupan kami. Sia-sia mengharapkan kepulangannya.
Saya pernah dengar ia pergi ke Hindia, sebagai pegawai kerajaan Belanda. Mungkin dia
sudah senang sekarang. sehingga lupa pada kami.
Ya sudahlah, biarkan saja. Semua yang sudah usang dan tak berguna, lempar saja ke
belakang, biar dimakan oleh sang waktu tanpa protes. Biar hilang tak usah dikenang. Lupakan
saja Papa, kita bicara yang lainnya.
Tarian Sunyi Page 16
Kata pepatah tentang orang yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan yang ia
inginkan itu betul! Awal tahun kedua kuliah, berbekal pengalaman dan nilai yang cukup, saya
diterima sebagai asisten seorang ahli tanggul ternama di Leiden.
Akhir tahun keempat saya selesai sekolah tinggi dan meraih gelar insinyur. Tuan
Philiph yang mengerti betul diri saya, menyuruh saya mendaftar sebagai ahli tanggul kerajaan.
Yang artinya, seorang pegawai yang siap dikirim kemanapun demi kepentingan kerajaan.
Dengan begitu, peluang saya untuk menimba pengalaman serta merintis karir akan lebih besar.
Mungkin benar. Berbekal pengalaman yang saya punya, saya datangi kantor kementrian
pekerjaan umum wilayah.
Seorang pria paruh baya yang saya temui di sana mengatakan begini, “Tepat sekali kau
datang kemari pagi ini. Kerajaan sedang membutuhkan banyak ahli tanggul untuk memperkuat
pertahanan laut kita. Kau beruntung. Sangat!”
Katanya lagi, “Ah kau sungguh beruntung Nak. Aku masih punya satu kabar baik
lainnya. Kerajaan sedang membutuhkan banyak orang untuk ditempatkan di Hindia. Memang
bukan posisi-posisi yang terlalu tinggi, tapi cukup bagus untuk memulai karir di pemerintahan
Hindia. Kalau kau berminat.”
Saya diam.
“Kalau kau berminat, datanglah pada orang yang namanya tertulis di sini,” diberikannya
satu kartu nama, “Kau akan dapatkan informasi lengkap darinya.”
Melihat saya ragu, katanya, “Kalau kau tak ingin menemuinya, datanglah padaku. Aku
akan membantumu. Pikirkan saja baik-baik. jangan sampai menyesal belakangan.”
Saya mengangguk lalu pamit. Setelah berjanji akan datang besok pagi, memberikan
keputusan. Sorenya, saya bawa obrolan itu pada Mama. Saya ceritakan sedetail-detailnya tentang
tawaran bekerja di Hindia
“Kau sudah dewasa, Rijkaard. Ambil jalan manapun yang menurutmu paling baik. Kau
sudah tahu mana lebih kurangnya masing-masing pilihan, tinggal kau tanyakan pada dirimu,
mana baiknya yang kau inginkan dan mana kurangnya yang bisa kau tolerir. Ibu percaya
padamu.”
Pada akhirnya, tetap saya yang harus menimbang dan menentukan. Sulit ternyata jadi
orang dewasa. Harus mengambil keputusan yang mana takkan ada yang bisa dipersalahkan akan
hasilnya kecuali diri sendiri.
Tarian Sunyi Page 17
Semalaman saya sulit tidur. Berguling-guling saja di ranjang, sampai satu pemikiran
terbersit di benak. Seketika saya terjaga. Rasanya tak sabar berumpa dengan pagi. Saya lihat
jarum pendek jam dinding baru bertengger pada angka dua. Paling tidak saya masih harus saya
tunggu enam jam lagi sebelum bisa menemuinya.
Namun, sudah saya putuskan.
Saya menemui pria di kantor pekerjaan umum itu pagi ini.
“Saya sudah memutuskan Tuan. Dan seperti yang saya janjikan, saya datang kemari
untuk memberitahukan keputusan saya.”
“Kalau begitu, katakanlah.” Pria itu menutup berkas yang sedang dibacanya dan
meletakkan pena di genggaman di atasnya.
“Saya akan ke Hindia.”
“Mengapa?”
“Saya ingin mengabdikan diri pada kerajaan.”
“Alasan lainnya?”
“Alasan tadi adalah yang terkuat yang dapat saya ungkapkan pada Tuan.”
Dia pasti mengerti bahwa tak setiap hal bisa diungkap. Selalu ada yang tersembunyi dan
hanya menjadi rahasia pribadi.
“Baiklah. Kukira kau hanya bisa katakana itu karena waktumu berfikir yang teramat
sempit. Tapi Nak, jarang tersedia waktu yang cukup untuk orang berfikir benar-benar matang.
Jadi, kusarankan jangan pernah menyesali yang kau putuskan kalau kau ingin hidupmu bahagia.”
“Saya mengerti.”
“Hubungi orang yang namanya kuberikan padamu kemarin. Dia tahu yang harus
dilakukannya untukmu.”
“Terima kasih. Tuhan yang akan membalas kebaikan hati Anda.”
Kau tentu ingin tahu alasan saya yang sebenarnya. Sama penasarannya dengan pria itu.
Saya tertawa. Siapapun tak akan saya beritahu, kecuali kau. Kau sahabat saya, maka kau akan
tahu segalanya tentang saya.
Tarian Sunyi Page 18
Saya ingin mencari dia, Jan Pieters, dan mengatakan padanya bahwa kami tak
membutuhkannya lagi. Dia sudah membuang kami, maka kami juga akan membuangnya dari
kehidupan kami selamanya. Kenapa? Karena pria seperti itu harus diberi pelajaran, agar tak
berbuat seenaknya lagi pada orang.
Selain itu, saya memang ingin melihat tanah Hindia. Suatu tempat yang disebut-sebut
tak pernah dibalut salju, yang selalu panas, dan selalu rimbun dengan daun. Dan hmm,
kedatangan saya bakal jadi amal baik saya rasa. Saya dengar mereka orang-orang yang belum
mandiri, orang-orang yang membutuhkan kami untuk mengurus kepentingan-kepentingan
mereka. Kalau begitu, mengapa tidak?
Saya akan menemuinya pagi berikutnya, si kepala kepegawaian daerah jajahan yang
namanya di kartu nama yang diberikan pada saya.
“Silahkan duduk dulu,” katanya.
Tanpa diminta dua kali, segera saya geser kursi di samping saya untuk saya duduki.
Saya lihat si Tuan sedang memeriksa beberapa berkas, mencoret-coret. Dua map yang
bertumpuk di sebelahnya ia periksa seperti itu juga, sebelum berpaling pada saya.
“Rijkaard Pieters?”
“Betul Tuan.”
“Ada yang kamu perlukan dariku?”
“Saya ingin bekerja di Hindia. Oleh sebab itu saya disarankan untuk menemui Tuan.”
“Ada yang bisa kulihat?”
Saya tahu yang dimaksud, lembar-lembar riwayat hidup saya. Berkas itu saya letakkan
di meja, lalu saya dekatkan padanya. Serius sekali dibacanya lembar demi lembar. Dibolak-balik,
dengan sesekali memandang pada saya. Sampai ia lepaskan kacamata dan bersandar santai di
kursinya.
“Kamu sangat minim pengalaman tentang pemerintahan. Coba jelaskan kelebihan apa
yang kamu punya yang bisa membuat saya mempertimbangkan untuk menerima anda?”
“Saya bisa belajar dan beradaptasi dengan cepat. Jadi, meskipun pengalaman saya di
pemerintahan kurang, saya akan bisa bekerja dengan baik.”
Tarian Sunyi Page 19
“Sudah kulihat rekomendasi untukmu dari kantor pekerjaan umum. Ya, walaupun
kurang cocok, kuberi kau kesempatan. Aku bisa berikan fasilitas khusus, tapi kau tetap akan diuji
sebelum ditempatkan. Kau mengerti?”
“Ya, saya mengerti. Saya akan mengikuti aturan yang ada.”
Beliau mengajak saya keluar. Kami susuri lorong-lorong kantor, lalu naik dua lantai.
Saya terus mengikutinya sampai di ruangan paling ujung. Di pintunya direkatkan tulisan Ruang
Arsip Negara, Dilarang Masuk Kecuali Berkepentingan. Tuan itu membuka pintu, memutar
kenopnya dan masuk. Ditunjuknya satu persatu bagian ruangan itu.
“Seluruh arsip di ruangan ini boleh kamu baca. Tapi untuk keamanan, ruangan ini akan
kukunci dari luar. Akan kutugaskan seseorang berjaga andaikan sewaktu-waktu kamu ingin
keluar, entah untuk ke kamar kecil atau untuk pulang. Dan satu lagi, yang akan kamu baca ini
bukan arsip yang diperuntukkan untuk publik, jadi jangan membagi informasi apapun yang ada
di ruangan ini dengan siapapun.”
“Saya mengerti. Dengan memberi ijin saja, itu sudah anugerah bagi saya.”
“Baik, saya harus tinggalkan Anda sekarang.”
Tiba-tiba aku teringat, “Sampai kapan saya berhak di sini?”
”Sampai kantor kami tutup. Sebelum pukul setengah lima sore.”
“Terima kasih,” kata saya sebelum lelaki baik hati itu berbalik keluar dan mengunci
pintu.
Rasanya sumpek sekali ruangan ini. Tanpa jendela dan hanya ada ventilasi kecil-kecil
yang menyebar. Saya mengerti ini dilakukan demi terjaganya rahasia. Saya juga yakin ruangan
ini pasti sudah diatur dengan suhu tertentu agar koleksinya awet. Ah sudah biarkan saja jadi
urusannya penjaga ruangan ini. Asal lampunya tak mati, selesai urusan saya.
Sepertinya mulus sekali jalan yang saya tempuh. Kelihatannya ya, tapi tidak. Saya harus
belajar banyak sebelum saatnya ujian tiba.
Saya kira kedatangan kami selalu disambut bak dewa penyelamat di Hindia. Ternyata
tidak. Beberapa arsip yang kubaca bertutur tentang pemberontakan. Meski tak ada penjelasan
tentang jumlah pastinya, juga tak ada keterangan di mana pemberontakan paling banyak terjadi.
Tarian Sunyi Page 20
Hanya saja di pengantarnya, penulisnya mengatakan bahwa gerakan yang akan dibeberkan dalam
tulisan ini adalah juga termasuk pemberontakan walaupun tidak bersenjata.
Sebelum berlanjut membacanya, saya buka beberapa arsip yang hampir serupa, yang
sama-sama diberi kode „pemberontakan‟ di pinggir arsipnya. Kubacai sekilas-sekilas, hampir
semuanya berkisah tentang pemberontakan bersenjata. Lalu yang tidak bersenjata ini apa
maksudnya? Rasa penasaran membuat saya mengembalikan arsip-arsip lainnya dan membawa
arsip tentang pemberontakan tak bersenjata itu ke meja baca.
Selama ini, tak pernah ada masalah teramat berat yang membuat kerajaan Holland harus
turun tangan sendiri. Biasanya, masalah yang terjadihanya berupa pemberontakan bersenjata
yang pengikutnya cukup banyak. Solusinya jelas, mengirim sejumlah tentara berpengalaman
untuk memadamkannya. Jika kurang, kirim tambahan tentara dari wilayah lain di Hindia yang
sedang lebih aman. Atau jika masih kurang juga, pemerintah Hindia akan menyewa tentara
bayaran. Siapapun yang cukup sehat dan memenuhi syarat untuk berperang.
Sayangnya masalah berat yang ini tak bisa diselesaikan dengan menambah tentara,
sebab perkaranya adalah aksi boikot para pedagang Cina terhadap salah satu perusahaan dagang
Holland di Hindia. Para pedagang Cina ini sepakat tidak melakukan jual beli dengan perusahaan
tersebut dalam bentuk apapun.
Perkara ini segera disikapi dengan meminta pertolongan beberapa bank sebagai
pemegang gadai surat hutang para pedagang tersebut. Namun cara ini tak mempan. Phak bank
yang akan rugi jika melepaskan surat hutang para pedagang. Janji pemberian sejumlah besar
uang buat mendirikan sekolah khusus anak Cina pun dianggap sepi. Kesepakatan putus
hubungan itu sepertinya mutlak.
Perkara ini dianggap besar karena putusnya hubungan dengan pedagang sebanyak itu
akan membuat perusahaan merugi besar. Karena akan kehilangan kepercayaan para pedagang
Eropa sebagai pemasok rempah terbesar di Eropa.
Selesai saya baca menyeluruh, saya ambil lagi satu arsip lain secara acak. Yang ini
tentang seorang Jawa bernama Tirto Hadi Soerjo. Saya baca sekilas, dan saya simpulkan bahwa
dia banyak membuat masalah untuk pemerintah Hindia.
Tepat pukul empat, pintu terbuka. Seorang petugas masuk, menghampiri saya.
“Kantor akan segera tutup. Tuan van Disch menyuruh saya untuk mengantar Anda
keluar.”
Tarian Sunyi Page 21
“Baik.”
Saya masukkan lagi arsip itu ke tempatnya semula, lalu saya ikuti si petugas keluar.
Katanya, “Tak banyak orang yang mendapatkan ijin untuk membaca arsip-arsip di
ruangan ini. Anda sangat beruntung.”
“Terima kasih banyak. Boleh saya tahu siapa saja yang boleh masuk ke ruangan itu?”
“Saya tak tahu. Setahu saya, hanya Tuan van Disch yang berhak untuk masuk. Dan
kunci yang saya pegang ini, bila dalam sepuluh menit tidak berada di tangan Tuan van Disch,
maka saya akan kehilangan pekerjaan sayaAtau Tuan ingin bertemu dengan beliau lagi?”
“Apa Tuan berpesan pada Anda untuk mengantar saya bertemu beliau lagi?”
“Jika Tuan ingin, saya disuruh untuk mengantar Tuan menemui beliau. Masih ada
setengah jam lagi sebelum kantor tutup.”
Aku mengangguk. Si petugas mengantarkanku beserta kunci yang tadi mengurung saya
di ruang arsip itu pada si empunya.
Seperti apapun kata orang, takkan manis kalau tak dicoba. Hindia tetap Hindia. Saya
akan ke sana.
***
Dan inilah kisah dari kawanku yang ketiga : Soesilo Hadiprojo.
Orang tuaku menamaiku Poniman. Lahir hari Selasa Pon, wukunya madhangkungan.
Kelahiranku istimewa, kata Simbok. Karena bukannya ditangani dukun seperti bayi kebanyakan,
kelahiranku langsung ditangani dokter. Dokter!
Jangan bayangkan Bapak dan Simbok priyayi berjabatan tinggi, hingga sanggup
mengundang dokter untuk menangani kelahiranku. Tidak. Bapak hanya tukang kebun, dan
Simbok tukang masak. Lalu, bagaimana kelahiranku bisa ditangani dokter? Tuannya Simbok dan
Bapak yang memanggilkan dokter. Istri beliau juga sedang hamil tua. Diperkirakan sebentar lagi
lahir. Beliau berharap, dengan membantu kelahiranku, putranya juga akan lahir dengan selamat.
Itu keberuntungan pertamaku.
Betul! Beberapa hari berselang dari kelahiranku, Nyonya melahirkan bayi laki-laki.
Seperti yang diharapkan Tuan, putranya yang kemudian dinamai Hevga Raymond Griitz lahir
Tarian Sunyi Page 22
dengan selamat. Meski Nyonya tak terselamatkan akibat perdarahan pasca melahirkan. Maka
jadilah Hevga anak pertma dan satu-satunya dalam keluarga Tuan Griitz.
Sebagaimana para pejabat tinggi Eropa lainnya, Tuan sangat sibuk. Hevga, atau Tuan
Muda, sering ditinggal di rumah sendirian. Simbok yang disuruh mengasuh. Sekaligus karena
aku dan HEvga seumuran, aku disuruh menemaninya bermain.
Usia 6 tahun, tiap anak Eropa harus sekolah. Hevga yang akan disekolahkan di ELS
dicarikan pengasuh baru. Seorang wanita Eropa paruh baya bernama Magdalena.
Tuan bilang padaku, “Mulai hari ini, kamu tak boleh dekat-dekat lagi Tuan Muda.
Mengerti?”
Simbok mengangguk, aku ikut-ikutan.
Dan ketika di dapur, Simbok berkata pula, “Mulai hari ini, Man, kamu ndak boleh main
“lagi sama Tuan Muda Hevga.
Hari kelima kami tak dibolehkan lagi main bersama, Hevga mogok sekolah. Ia tak mau
bangun, tidak mau keluar kamar. Magdalena sampai menyuruh Simbok membujuk Hevga agar
mau berangkat sekolah. Simbok sudah ngiming-ngimingi dengan yang biasanya Hevga suka, tak
mempan juga. Hevga tetap tidak mau berangkat sekolah.
Tuan Griitz marah besar. Berkali-kali beliau katakan harusnya Hevga bersyukur punya
orang tua yang masih menyekolahkan. Seharusnya dia merasa bersalah kalau tak sekolah,
melihat bagaimana orang tua-orang tua lainnya cari uang banting tulang untuk sekedar
menyekolahkan anaknya. Hevga bergeming, bahkan sampai Tuan Besar tidak bisa marah lagi.
Tuan benar-benar putus asa kali ini.
Kata Hevga, “Aku mau Simbok, Bapak, sama Poniman ke sini.”
Tuan segera menyuruh asistennya memanggil kami. Sampai di teras depan, tempat Tuan
Besar dan Hevga berhadap-hadapan, kami berdiri berjajar bertiga. Saat kulirik dia, sempat
kulihat kedipan matanya.
“Papa sudah panggil mereka kemari. Sekarang apa lagi?”
Dia tersenyum pada Tuan Besar. Raut wajahnya serius, entah dibuat-buat atau sedang
sungguh-sungguh.
“Aku mau sekolah kalau dia,” telunjuknya mengarah padaku, “berangkat sekolah juga
bersamaku.”
Tuan Besar menggeleng.
Tarian Sunyi Page 23
“Papa mau sekolahkan dia, tapi tidak bisa di ELS. Papa akan menyekolahkan dia di
volkschool, atau tweede inlandsche. Terserah mana saja yang dia mau.”
“Kalau begitu aku juga akan sekolah di sana.”
“Tidak bisa! Mana ada anak Eropa masuk sekolah pribumi!”
“Kalau begitu Papa boleh pilih, aku yang masuk sekolah dia, atau dia yang masuk
sekolaku.”
Ayah anak itu saling pandang. Sama-sama berkeras dengan pendirian masing-masing.
Akhirnya Tuan Besar mengalah.
“Papa akan masukkan Iman ke ELS, tapi besok kamu harus sekolah.”
Ternyata Tuan Muda yang keras kepala ini masih memilih untuk tidak mau kalah.
“Hevga akan masuk sekolah dengan Iman. Kalau Iman mulai masuk sekolah besok, aku
berangkat sekolah besok. Tapi kalau Iman mulai sekolah minggu depan, Hevga juga masuk
sekolah minggu depan.”
Tuan menemukan tandingan.
Hari Senin dengan diantar bendi, Tuan Besar, Hevga, dan aku, berangkat ke ELS. Tuan
menyuruh Hevga masuk kelas lebih dulu sementara beliau akan mengurus administraku untuk
masuk ke sekolah ini. Dia menolak. Dia memilih ikut masuk ke ruang direktur sekolah dan
menunggu. Tuan Besar mengalah lagi.
Tuan Besar masuk ke kantor direktur agak lama, lalu keluar membawa map dan kantong
plastik bening berisi kain bahan seragam.
Katanya, “Mulai hari ini, kau sekolah di sini, dengan Hevga. Dan namamu aku ganti
dengan yang bagus, tapi Soesilo Adiprojo. Biar anak-anak yang lain tidak mengejek. Nanti kau
harus bantu Tuan Muda belajar, jadi kau harus rajin belajar. Mengerti?”
Aku mengangguk, takut-takut.
Tuan dan direktur mengantar kami ke kelas. Tanpa menunggu guru memperkenalkan,
Hevga menarikku masuk dan memperkenalkanku di antara kawan-kawan sekelasnya.
“Teman-teman, perkenalkan teman baru kita. Soesilo Adiprojo.”
Ditariknya aku duduk sebangku dengannya. Aku tahu semua mata memandang padaku.
Kulirik mereka satu persatu, dan tahulah aku : aku satu-satunya Jawa diantara anak-anak Eropa.
Ya, aku Poniman alias Soesilo Adiprojo, anak tukang kebun dan tukang masak pribumi, mulai
hari ini sekolah di ELS. Sekolah khusus untuk anak Eropa.
Tarian Sunyi Page 24
Aku dan Hevga lulus dalam 10 peringkat terbaik ELS kami. Membuat puluhan siswa
yang lain iri. Lagi-lagi, Hevga memakai cara yang hampir sama supaya aku bisa meneruskan
sekolah di HBS bersamanya.
Tiga tahun berikutnya berlalu. Kami lulus dalam 50 lulusan terbaik se-HBS Hindia. Dan
untuk yang ketiga kalinya, Hevga meminta Tuan Besar memberangkatkan kami berdua untuk
melanjutkan sekolah ke Holland. Aku tahu dia nekat dan gila sejak dulu. Hanya tak kusangka
segila ini.
“Dulu Papa meluluskan keinginanmu karena kau masih kecil dan belum bisa berfikir
dewasa. Tapi sekarang, apa bijak memakai cara ini lagijuga untuk memaksa Papa menuruti
keinginanmu?”
Katanya, “Aku minta maaf dulu sudah memaksa Papa. Tapi sekarang, aku punya alas an
kuat. Dia pintar Pa, dia harus sekolah lagi.”
“Uang Papa tidak cukup untuk menyekolahkan dua anak. Jangan kau anggap biaya
sekolah itu murah..”
“Tapi dia harus sekolah Pa.”
“Papa sudah membiayainya sampai lulus ELS. HBS juga. Apa Papa masih kurang baik
padanya? Kalau dia memang ingin sekolah, harusnya orang tuanya yang menanggung biayanya.
Apa dia yang menyuruhmu memaksa Papa menyekolahkannya? Dasar anak tak tahu diri! Apa
dia ingin keluarganya diusir dari sini!”
“Dia tidak pernah menyuruhku, Pa. Memang aku yang ingin dia melanjutkan sekolah.”
“Papa tidak mengerti. Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Dulu ELS, lalu HBS,
sekarang Holland!”
Mereka diam, saling pandang, mungkin mengukur sampai sejauh mana pihak lawan
dapat bertahan.
Kalau dulu aku hanya dengar cerita lengkapnya dari Hevga saat kenaikan kelas, kali ini
kudengar sendiri. Sungguh, aku tak sengaja. Aku disuruh Simbok mengantar kopi untuk Tuan
Besar, dan berhenti di balik pintu ketika kudengar pertengkaran mereka.
Tarian Sunyi Page 25
Lama hening. Tiba-tiba daun pintu yag menyembunyikanku dari pandangan mereka
terbuka. Dia melihatku, kemudian mendekat.
“Kenapa bertengkar dengan Tuan Besar?”
“Tidak apa-apa.”
“Memang seharusnya Bapak dan Simbok yang menanggung biaya sekolahku dan
bukannya Tuan Besar.”
“Aku tahu uang Papa masih terlalu banyak kalau hanya untuk menyekolahkan satu anak
lagi. Tenanglah, Papa pasti luluh.”
“Tapi kau membuatnya marah besar lagi kali ini.”
“Tidak apa-apa. Sudah lama tidak ada orang yang berani menentang Papa. Agar tak
cepat tua, sesekali Papa musti merasakan ini,” ditepuknya pundakku lalu pergi.
Memang benar Tuan Besar meloloskan keinginannya. Tapi tak bisa kubayangkan
rasanya jika orang yang berani melawannya adalah putra tunggalnya sendiri.
Kata Hevga suatu hari saat kami akan berangkat, “Akhirnya Papa bisa mengerti.”
Lalu teringat olehku perbincangan kami empat sekawan beberapa hari sebelum wisuda
kelulusan HBS Surabaya.
“Ayo ke Belanda!” kata Hevga tiba-tiba.
Aku, Widhi, dan Suryo serempak menoleh.
“Kita lanjutkan sekolah di sana,” lanjutnya.
“Aku ingin menengok tanah moyangku.”
Tidak menarik. Itu hal yang mustahil buatku, kubuang pandang ke depan. Daripada
ngimpi yang terlalu tinggi.
“Aku tidak bisa. Romo menyuruhku masuk sekolah calon ambtenaar. Aku harus mulai
memikirkan masa depan setelah ini,” tegas Suryo.
“Aku juga,” imbuh Widhi.
Tinggal aku yang bungkam.
“Dan kau Man, apa rencanamu setelah lulus HBS?” Ah ya aku lupa katakan, kawan-
kawanku ini masih selalu memanggilku Iman.
Aku melirik mereka bergantian, terus menggigiti batang rumput di sela-sela bibirku.
Memangnya aku punya pilihan. Widhi dan Suryo, Romo mereka pejabat pangreh praja. Hevga,
Papanya pejabat Eropa kaya, pemilik perkebunan. Dan aku, Bapak hanya tukang kebun.
Tarian Sunyi Page 26
“Man?” sela Hevga.
Aku angkat bahu.
“Ada usul?”
“Ikut aku ke Belanda.”
Aku dan Hevga berpandangan. Meledak sudah tawaku, tak bisa kutahan.
“Kali ini tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Kau tahu betul siapa aku, siapa Bapak. Jangan bicara macam-macam.”
“Tapi kau pintar. Peringkat 50 besar tidak mudah untuk diraih.”
“Memang,” jawabku santai. “Tapi biayanya, segala macam persiapannya? Tidak
mungkin kusiapkan semua itu tanpa biaya.”
“Kau tenang saja, uang Papa masih terlalu banyak kalau hanya untuk menyekolahkan
satu anak lagi.”
Kupikir aku sangat beruntung. Seseorang yang bukan siapa-siapa bisa sampai ke
Holland. Meski perantaranya adalah seorang kawan Eropa yang kuanggap gila. Ya, sepertinya
jalan mulai terbuka untukku bermimpi lebih tinggi.
Dan jawabnya ketika kutanya mengapa ia bersikeras memberikan padaku juga semua
yang ia nikmati, “Aku hanya ingin teman baikku punya bekal yang cukup untuk hidup. Setelah
ini, kau boleh lakukan apapun yang kau inginkan”.
Tarian Sunyi Page 27
Hidup sering berjalan tak sesuai dengan yang kita inginkan
Kita inginkan kedamaian, kemapanan, ketenangan,
tapi kepentingan yang tak habis-habis menawarkan gejolak.
Dan gejolak membawa kita pada pemikiran
yang mengajarkan tentang memahami orang-orang
Tarian Sunyi Page 28
BAB II
Soesilo Adiprojo
Tiga minggu berjalan sejak kami pertama kali menginjakkan kaki di negeri Van Heutz.
Di Leiden.
Saat mengingat kata-kata Hevga „Kau boleh melakukan apapun yang kau ingin‟, aku
jadi berharap menemukan banyak hal baru di sini. Terutama ketika ingatan tentang wawancara
seleksi masuk universitas ini terbayang kembali.
“Bagaimana saya harus memanggilmu?”
“Adi, Tuan.”
“Baik, Adi, beri saya alasan kenapa harus menerima Anda di universitas ini.”
Aku diam. Jawaban klise yang diajarkan untuk wawancara macam ini, “Saya memiliki
kelebihan yang akan menguntungkan universitas ini jika saya bergabung di dalamnya”. Lalu
setelah si pewawancara tertarik menayakan lebih lanjut, baru dijelaskan detailnya. Nah detail ini
yang harus dipikirkan dulu : apa kelebihanku yang bisa membuat Tuan ini tertarik.
Otakku berputar. Mengingat-ingat kebiasaanku, kesukaanku Sampai kutemukan satu
jawaban : aku lebih suka bicara lewat tulisan.
“Oke, kalau kesulitan menjawab, katakan saja alasanmu ingin melanjutkan studi di
sini.”
“Saya akan menjawab kedua pertanyaan Tuan sekaligus. Saya suka menulis Tuan. Saya
rasa saya membantu pengembangan universitas ini lewat tulisan-tulisan saya. Dan alasan saya
memilih di sini adalah karena saya ingin belajar hal-hal baru di tempat yang baru.”
Pria itu mencopot kacamatanya, meletakkannya hati-hati di meja. Yang memberi kami
jarak. Dahinya mengerut.
“Bisa kau jelaskan maksudmu dengan hal-hal baru di tempat baru?”
“Saya hanya tahu Holland dari buku-buku yang saya baca. Saya tahu universitas ini juga
hanya dari cerita. Datang dan belajar di dalamnya akan menjadi suatu pengalaman yang amat
berharga untuk saya, terutama jika saya dapat mengembangkan kemampuan menulis saya.”
Tarian Sunyi Page 29
Pok..! Satu tepukan menyeretku kembali ke alam nyata. Pada tulisan-tulisan berjajar di
majalah dinding depan ruang pertemuan. Hevga.
“Ayo masuk, pertemuan akan segera dimulai.”
Dan di sinilah aku sekarang, berjalan ke satu ruangan di salah satu sisi Universitas
Leiden. Beralas karpet tanpa kursi, bersama dengan mungkin dua puluhan orang lainnya.
“Selamat siang semuanya. Selamat berkumpul di klub jurnalistik. Yang akan kita
lakukan hari ini sampai seminggu ke depan pengaplikasian jurnalistik. Silahkan berkumpul
dengan kawan sekelompok dan rundingkan yang akan kalian angkat kali ini. Jika ada masalah,
segera tanyakan.”
Beberapa orang yang berdiri di samping-sampingnya serentak menyebar, masuk dalam
tiap kelompok. Di tangan mereka masing-masing setumpuk surat kabar, yang diberikan pada
kelompok-kelompok dampingannya.
Dan kami berempat duduk melingkar. Kebetulan semuanya lelaki.
“Apa yang akan kita lakukan berikutnya?”
“Melakukan yang diinginkan orang-orang itu,” ujar Leo.
“Ya betul, mempertimbangkan banyak hal di sekitar kita, memilih satu yang paling
menarik, dan menjadikannya target buruan.” Kali ini Herbert yang bicara.
Kemudian, pria yang tadi menyambut kami mulai bicara lagi.
Katanya, “Waktu kita tak lama. Jadi segera tentukan topik yang akan kalian angkat dan
bicarakan dengan pendamping kalian. Ingat, tulisan yang terbaik akan betul-betul diterbitkan.
Bersemangatlah. ”
“Memang seperti yang mereka katakan, asalkan peka, kita bisa mendapati banyak hal
dalam waktu sesedikit apapun.”
“Ya, harus sesuatu yang baru kalau kita memngulasnya secara singkat. Jika ulasannya
mendalam, kupikir tidak masalah topiknya tidak baru. Bukankah mengumpulkannya pun butuh
waktu panjang sebenarnya?”
“Benar. Dua-duanya bisa jadi pertimbangan.”
Perbincangan berlanjut menjadi perdebatan. Sampai tercapai kesepakatan, kami akan
mengulas isu tuntutan balas budi dari sebagian kaum terpelajar Holland terhadap pemerintah
kerajaan Holland para para warga daerah koloninya.
Tarian Sunyi Page 30
Pria yang mendampingi kami tak bicara sepatah katapun. Mungkin melihat dan
mendengar baik-baik yang kami perbincangkan. Dan sudah final keputusan kami atas tema yang
akan diangkat, dia seolah mengerti. Diambilnya satu tumpukan di lemari lalu diberikannya pada
kami.
Katanya, “Kalau boleh kuberikan pendapat, tema yang kalian angkat masih terlalu luas.
Lagipula di sini,” ditunjuknya tumpukan surta kabar di tengah kami, “Hanya disampaikan hal-hal
yang tak terlalu beresiko untuk diberitakan. Sedang bahasan yang berat takkan kalian temukan di
dalamnya. Jika ingin tulisan kalian lebih dari sekedar sampah, buat ulasan yang mendalam
setelah kalian temukan fokusnya. Asal kalian pertimbangkan juga kemungkinan resikonya.”
Dahi yang semakin dalam berkerut dan pandangan-pandanganb yang terfokus menjadi
reaksi atas kata-katanya. Kami menunggu.
“Ada kasus menarik tentang kebebasan pemberitaan di kampus kita. Katakanlah isu
yang ingin kalian angkat tadi sedang hangat-hangatnya sekarang, tapi tidak demikian beberapa
bulan lalu. Pada waktu itu, baru satu atau dua tulisan yang muncul. Dan salah satunya terbit lewa
surat kabar kampus kita. Penulisnya salah satu dosen, Tuan V. Venter. Tak disangka setelah
penerbitan itu, surat kabar kampus kita tidak terbit lagi. Pembredelan. Akan bagus sekali kalau
kalian berani mengangkat.”
“Tentang resikonya?”
“Surat kabar student punya kebebasan yang berbeda dengan surat kabar kampus.
Lagipula peredarannya terbatas, hanya di kalangan student saja. Dan jika telah melewati dapur
redaksi, resiko ditanggug oleh semua yang terlibat. Bukan hanya kalian secara pribadi. Tulisan
Tuan ini bacalah dulu. Agar kalian tahu duduk perkara yang sebenarnya.”
…………. Kita bangsa Holland adalah bangsa yang makmur. Jikalau rajin membaca
perkembangan-perkembangan yang terjadi di seluruh penjuru dunia melalui surat kabar-surat
kabar harian, atau mingguan, atau media informasi lain yang tak kalah banyaknya, maka kita
akan pahami segera bahwasanya keadaan di negeri kita adalah baik belaka.
Bagaimana bisa? Jawabannya ada pada betapa besarnya usaha pemerintah kita untuk
mewujudkan hal tersebut. Ini merupakan suatu bukti gamblang tak terbantahkan betapa besar
kasih sayang Sri Ratu terhadap rakyat Holland. Sungguh mulia budi Sri Ratu.
Tarian Sunyi Page 31
Salah satu upaya yang ditempuh kerajaan Belanda dalam misinya meningkatkan
kesejahteraan kita para rakyatnya adalah merangkul berbagai daerah di luar Eropa menjadi
koloni bagi Holland. Termasuk daerah yang nun jauh di Asia Tenggara. Ya, daerah-daerah
tersebut mensuplai banyak hasil bumi mereka ke Holland sehingga kebutuhan rakyat kita yang
berkaitan dengan hasil bumi tersebut tercukupi atau bahkan berlebih.
Betapa pesat perkembangan di Holland. Namun saat menengok pada keadaan daerah-
daerah koloni kita, miris sekali rasanya. Jauh sekali perbedaannya. Bahwa ketika seluruh rakyat
Holland tanpa kecuali merasakan kemakmuran, maka demikian pula yang seharusnya dicecap
oleh rakyat kita di daerah koloni.
Pelbagai masalah juga terjadi pada rakyat kita di daerah-daerah yang jauh. Betapa
seharusnya kita memperhatikan betul kesejahteraan mereka juga. Betapa seharusnya kita juga
memberikan balasan atas segala kebaikan dan kerja keras mereka terhadap kerajaan Holland.
Betapa seharusnya kita memberikan balasan yang sepadan ......................
Lanjutannya lebih banyak membahas tentang nominal-nominal uang dan analisisnya.
Kami saling lempar pandang. Sepertinya kami sudah saling sepakat. Waktunya hampir
habis. Kami berbagi tugas, dan memutuskan akan menindaklanjuti perkara ini besok. Di taman
belakang kampus.
“Sampai jumpa kawan-kawan semua. Semoga yang kita lakukan sore ini berbuah
manis,” katanya menutup perjumpaan kami. Sungguh pendamping yang baik.
Tak dapat kutahan, satu senyum samar terukir di bibirku. Kukatakan saat wawancara
hari itu bahwa aku mau kemampuan menulisku meningkat. Apa benar-benar kuyakini ke arah
inilah lajunya keinginanku itu?
Pembredelan bukan sesuatu yang lazim di masa ini, karena pada faktanya pemerintah
Holland sedang giat-giatnya menggalakkan minat baca dan minat belajar rakyatnya. Isunya
memang tidak panas, tapi kontradiksinya yang bikin panas. Sebenarnya ada tema lain yang kami
ajukan, tapi yang tentang pembredelanlah yang diterima.
Tarian Sunyi Page 32
Ah jangan dikira proses yang dibebankan di klub jurnalistik ini mudah. Memang tak ada
anggota yang dikeluarkan. Tapi bila tak sungguh-sungguh punya loyalitas, akan gugur di tengah
jalan. Seperti Hevga. Ia tak pernah bisa melogika gunanya memburu banyak orang hanya untuk
menelurkan satu tulisan.
Dia memilih klub politik pada akhirnya, suatu wadah untuk para student belajar
menganalisis politik satu negara sekaligus kaitannya dengan hal-hal lain di sekitarnya. Mungkin
di sanalah jiwanya.
Yah, sebenarnya bisa saja aku mundur dan memilih yang lain. Tapi kupikir-pikir, kalau
aku mundur yang mana lagi yang akan segera kucoba. Belum tentu tantangan pilihan baruku
lebih mudah. Belum tentu sesuai juga denganku. Betapa menyedihkannya kalau harus mencari
dan mencoba dari awal lagi. Jadi kuputuskan bertahan.
Dan hal pertama yang kulakukan setelah memutuskan bertahan saat ini adalah menemui
pimpinan koran kampus dan meminta penjelasan kenapa tidak terbit lagi.
Seorang pria keluar dari ruang pimpinan menyambut kedatangan kami di depan pintu
ruang pimpinan. Katanya, “Saya sudah sampaikan maksud kedatangan kalian. Masuk saja.”
Dia mengantarkan kami ke dalam, lalu pergi. Agak lama sebelum Tuan pemilik ruangan
ini mengalihkan pandangan pada kami. Pada lima menit yang ketiga, Herbert yang
menghitungnya.
“Ada apa?”
“Kami anggota baru klub jurnalistik. Kami datang kemari untuk konfirmasi masalah
berhenti terbitnya koran kampus kita.”
“Oh. Kalian ingin tahu apa? Aku tak punya banyak waktu.” Jawabannya datar.
“Kami dengar koran kampus kita sudah dua bulan tidak terbit. Bisa Anda jelaskan
sebabnya?”
Pria itu membenahi letak kacamatanya. Dicermatinya kami satu persatu.
“Kalian anak-anak baru tidak usah ikut pusing dengan hal-hal seperti ini. Belajar saja
yang benar. Yang seperti ini biar orang-orang tua saja yang urus.”
Bukan sambutan yang ramah. Sayang sekali.
“Kami sama sekali tak punya maksud turut campur Tuan. Kami hanya sedang berusaha
peduli dengan masalah yang terjadi di kampus ini. Dan pemberitaan yang ingin kami buat ini
Tarian Sunyi Page 33
bukan dengan maksud buruk, kami hanya ingin orang-orang yang terikat dengan kampus ini ikut
merasa peduli.”
Dia masih saja menatap kami dengan datar.
“Memangnya apa yang berubah kalau kalian peduli? Apa koran kampus kita akan terbit
lagi?”
Tak! Satu titik terang. Koran kampus kami dihentikan penerbitannya. Kudiamkan saja
pertanyaan itu
“Kalau kami boleh tahu, Tuan,” kucoba mengejar lagi, “Kenapa penerbitannya
dihentikan?”
Lelaki itu menggeleng. Katanya, “Kau tanya saja pada Venter. Dia yang buat tulisan itu.
Sekarang keluarlah Nak. banyak sekali yang harus kuurus untuk penerbitan koran baru.”
Dua info lagi. Kukira masalahnya lebih dari sekedar berat.
“Ini alamatnya di Gravensteen. Kau coba saja ajak dia bicara. Semoga saja dia bisa
memuaskan keingintahuan kalian. Kalau dia tanya siapa yang menyuruh kalian mencarinya,
kalian saja de Wit yang memberitahu kalian. Sekarang pergilah.”
Disuruhnya kami menghabiskan minuman kami sebelum pergi. Sekarang teranglah,
kami harus menemui Vande Venter kalau ingin mendapatkan informasi lengkapnya. Dan
Gravensten bukannya terlalu jauh, hanya tak mungkin ditempuh dengan jalan kaki.
Kami menyewa kereta untuk ke sana. Beberapa kali bertanya, barulah alamat itu
ketemu. Bukan daerah pinggiran sebenarnya, tapi sejujurnya, menyusuri kota kadangkala lebih
sulit dari menyisir alamat di pinggiran. Apalagi Vande Venter bukan orang terkenal di daerah ini.
Seorang wanita paruh baya yang tinggal di gedung yang sama dengannya mengantar kami ke
pintu kamar sewaan Tuan Venter.
Namun katanya, “Aku tak melihatnya keluar atau masuk dari rumah itu sejak kemarin.
Beberapa orang juga datang, tapi tak ada yang membuka pintu. Kukira tak ada orang.”
“Tak apa-apa. Kami menunggu saja,” kata Herbert.
“Aku tinggal di sana,” ditunjuknya satu pintu di ujung lorong ini. “Kalau kalian butuh
sesuatu, datanglah ke tempatku. Aku akan sangat senang membantu kalian.”
Kami mengiyakan. Dan si wanita baik hati berbalik pergi.
“Apa betul dia akan pulang hari ini?” tanyaku.
Tarian Sunyi Page 34
“Kukira tak ada dari kita yang tahu, Adi. Jangan khawatir, rumahku dekat dari sini. Kita
bisa datang jam berapapun kita mau. Mm, kuharap masing-masing punya sesuatu yang bisa
dikerjakan sembari menunggu. Bukan begitu Adi, Herman?”
“Tentu,” sahutku.
Kali ini kami bertiga, tanpa Leo. Dia kerja malam.
Untung saja ada kursi panjang di samping pintu kamar Tuan Venter. Jadi bisa duduk
cukup nyaman. Barangkali kursi panjang ini memang diperiapkan untuk para tamu beliau yang
menunggu.
Masing-masing dari kami mengeluarkan buku. Meski aku sendiri tak yakin apakah
pikiran kawan-kawanku benar-benar tertuju pada barisan huruf di lembar-lembar buku.
Kedatangan kami sore ini bolehlah dianggap sebagai kebodohan. Kami tidak bikin janji
sebelumnya. Tapi bagaimana kau pikir kami bisa bikin janji jika di kampus beliau tak ada? Tuan
Venter dibebastugaskan dari kampus sampai kasus ini selesai ditangani. Padahal kami tak tahu
dimana lagi beliau bisa ditemui. Beberapa orang yang lalu lalang menyempatkan diri
memandang pada kami yang tak tampak beranjak sedikitpun sejak – mungkin saat – mereka
pergi hingga datang kembali.
Hampir petang ketika dua orang mendekat ke pintu di samping kami. Tuan Venter salah
satunya. Kami serentak berdiri dan mendekat pada mereka.
“Tuan Venter?” Herman mendului.
Dua pria itu tak bereaksi. Hanya memandang.
“Ada apa mencari Venter?”
“Kami ingin konfirmasi tentang berhentinya penerbitan koran kampus kita.”
“Untuk apa?”
“Kami dari koran student ingin mengangkat masalah ini. Dan perkenalkan, nama saya
Adi. Kawan di sebelah kiri saya Herman, dan yang di kanan saya ini Herbert.”
Pria yang kuduga sebagai Tuan Venter bertukar pandang dengan kawannya. Entah apa
artinya, namun kemudian pria ini membukakan pintu. Kami dibolehkan masuk. Satu tahap lebih
maju, batinku.
Dia menemani kami di ruang tengah, tak ada ruang tamu. Sementara si kawan masuk ke
dalam.
“Sekarang katakana, untuk kepentingan apa kalian ingin tahu?”
Tarian Sunyi Page 35
Herman yang mewakili bicara.
“Kami anggota baru klub jurnalistik. Topik ini rencananya akan kami angkat di buletin
edisi berikutnya. Dan karena kami dapat info bahwa salah satu orang yang mengerti betul
perkara ini adalah Anda, maka kami datang kemari.”
“Mana buktinya?”
Kusodorkan surat keterangan yang dibuatkan klub. Dilihatnya saja sekilas.
“Katakan yang ingin kalian tahu. Akan kujawab jika bisa.”
Pertanyaan dan jawaban silih berganti dilontarkan. Mulai lengkaplah duduk perkaranya
di benakku.
Semuanya berawal dari dimuatnya tulisan Tuan Venter di koran kampus seminggu
sebelum koran kampus kami dihentikan. Tulisan yang mengangkat tentang keharusan
pemerintah dan masyarakat Holland member balasan atas hal yang telah dilakukan para warga
daerah koloni terhadap negeri Holland ini dianggap mencemarkan nama baik pemerintah,
kaitannya dengan nominal-nominal dana yang dijabarkan. Dan karena anggapan pencemaran
nama baik ini, utusan pemerintah yang daang tempo hari memberi dua pilihan : meralat tulisan
yang dibuat sendiri oleh penulisnya dan dimuat beberapa kali, ditambah dengan permohonan
maaf atas pencantuman data yang tidak benar, atau diperkarakan di pengadilan.
Tititk baliknya : Tuan. Dan sang actor yang tak bersedia meralat membuat masalah jadi
rumit. Saat ini, sebatang rokok terselip di celah bibirnya.
“Aku tidak akan meralat tulisanku. Apa masuk akal aku harus minta maaf untuk
kesalahan yang tak pernah kubuat? Aku tidak mau, dan tidak akan pernah mau. Kenapa
kaupikir? Kita tidak mungkin minta maaf karena menyampaikan kebenaran kan? Semua orang
punya hak berfikir dan bicara. Dan aku hanya sedang menggunakannya sebagai sesama
manusia.”
Kucatat baik-baik ungkapan itu.
“Sangat egois jika mereka ingin menyimpan kebenaran untuk dirinya sendiri. Kalau
sedang berinisiatif baik, mereka akan menanganinya diam-diam karena tak mau hal seperti ini
terpublikasikan. Alasannya demi nama baik Holland. Padahal, kau tahu, kalau mereka
menutupinya, mereka melakukan pembohongan public besar-besaran.“
“Tentang pembebastugasan Anda, Tuan?”
Tarian Sunyi Page 36
“Itu hak kampus. Mereka punya kebijakannya sendiri. Yang kuyakini, aku mengajarkan
yang benar agar kita waspada dan bisa menilai dengan kritis. Sekarang mungkin rakyat koloni
kita tak berbuat apa-apa. Tapi apakah kediaman mereka akan berlangsung selamanya? Atau
sebenarnya mereka tak sediam kelihatannya?”
Teman-temanku sedang berbuat sama denganku, mencatat pernyataan-pernyataan pria
ini selengkapnya.
“Dan yang kalian perlu ingat, ini baru perlawanan kecil dari seorang Venter. JIka
sampai betul ada pencabutan ijin terbit, ini akan jadi catatan buruk bagi pemerintah kita karena
membatasi keleluasaan media massa. Peristiwa ini malah akan memberi tahu masyarakat kita
betapa pemerintah ketakutan dibongkar keburukannya. Bukan ancaman bagi para pemberani
untuk terus melawan.“
Radikal, hal lain yang bisa kuungkap dari kepribadian orang ini.
“Tuan, apabila masalah ini betul-betul akan dibawa ke pengadilan, apa yang akan Anda
lakukan?”
“Aku sedang mempersiapkan hal itu.” Dia tersenyum.
“Sudahlah, itu hanya efek. Kita bahas esensinya saja. Yang sebenarnya ingin
kusampaikan, aku ingin mereka ingat baik-baik bahwa kita sudah mendapat banyak dari rakyat
koloni kita. Dan seharusnya yang kita berikan pada mereka sepadan. Ya, memberikan yang
betul-betul mereka butuhkan. Bukan hanya yang mereka butuhkan menurut kita.”
Kawan Tuan Venter membawakan suguhan minuman, lalu ditatanya di depan kami
satu persatu. Dua cangkir lagi untuk Tuan Venter dan dirinya sendiri. Kemudian duduk di
samping Tuan Venter.
“Kau Adi, darimana asalmu?”
“Saya dari Jawa.” Dia manggut-manggut.
“Putra priyayi tentunya?”
Aku menggeleng.
“Tidak Tuan, Bapak saya tukang kebun.”
“Lalu bagaimana bisa sampai di sini?”
“Tuan kami yang menyekolahkan kami hingga kemari, sekaligus untuk menemani
putranya. Tuan Muda teman sepermainan saya sejak kecil.”
Pria ini kelihatannya tertarik.
Tarian Sunyi Page 37
“Unik sekali Tuanmu itu. Aku ikut senang untukmu. Apa kau senang tinggal di
Holland?”
“Ya Tuan, saya sangat senang.”
“Baguslah. Selain itu, kau tentu punya kawan sesama Jawa atau yang dari Hindia di
sini. Sampaikan pada mereka bahwa kami sangat ingin berbuat sesuatu untuk kalian dan saudara-
saudaramu di Hindia. Tapi kami tak bisa bekerja sendiri. Kami butuh bantuan kalian. Tolong
sampaikan.”
“Ya, saya mengerti Tuan. Nanti saya sampaikan.”
Kurasa semua pertanyaan sudah beroleh jawaban. Kami pamit pulang. Tentang
menyampaikan pada kawan-kawan, semoga saja betul-betul bisa kulakukan. Aku tak tahu pada
siapa saja harus kusampaikan, dan bagaimana caranya.
Aku datang ke negeri ini untuk belajar. Betul biaya kuliahku ditanggung oleh Tuan
Griitz, tapi tidak dengan biaya hidupku. Aku harus bekerja untuk mencukupi kebutuhanku
sendiri. Sejak hari keberapa belas tiba di negeri ini, aku kerja di rumah makan dengan 3 kali
giliran pagi dan tiga kali giliran sore.
Kesibukan di tempat kerjaku tak perlu kuceritakan kupikir. Ya selayaknya kesibukan di
rumah makan lainnya di seluruh penjuru dunia. Koki di dapur memasak, pelayan menunggu
tamu datang, mencatat pesanan mereka, kemudian menyajikannya.
Tapi, kurasa masih ada hal unik yang harus kuceritakan. Bukan kesibukannya, tapi latar
belakang pendirian serta orang-orangnya.
Sampai hari ini, kebanyakan orang-orang Jawa atau Hindia dibawa ke negeri ini sebagai
babu atau abdi. Apa saja sebutannya pada intinya sama saja. Abdi bagi si Tuan besar yang baru
kembali setelah tinggal sekian lama di Hindia. Dan nasib si abdi, ada yang menjadi abdi abadi
sebab si Tuan sudah merasa cocok dan tak ingin ganti-ganti, ada juga yang dipecat gara-gara
kesalahan yang menurut Tuannya tak termaafkan dan kebingungan untuk pulang ke Hindia. Tipe
yang kedua ini, banyak yang berkeputusan untuk tinggal dan mencoba bertahan hidup. Dengan
segala cara.
Tarian Sunyi Page 38
Salah satunya adalah yang jadi pemilik rumah makan ini. Tak ada pasang iklan,
mungkin karena tak ada biaya. Mungkin juga karena pikiran tak mungkin bisa dijajarkan dengan
rumah-rumah makan kelas Eropa, maka promosinya lebih banyak dari mulut ke mulut. Dan
rumah makan inipun, dengan berbagai kesulitan dan tanpa banyak mengerti peraturan yang
berlaku di negeri ini, berdiri juga. Dengan nama Warung Djawa. Pengobat kangen akan suasana
Jawa bagi para perantau Hindia.
Dihitung hingga hari ini berarti sudah hamper lima tahun berdiri. Namanya juga
Warung Djawa, seluruhnya dibuat se-Jawa mungkin. Masakannya, suasananya, semua yang
bekerja di dalamnya. Dan satu lagi, tidak merekrut yang tidak punya latar belakang Jawa atau
Hindia.
Mengingatnya aku tak bisa menahan senyum. Mungkin pemilik rumah makan ini
punya pedoman begini, „Kalau orang Belanda di Hindia bilang selain yang kulit putih lulusan
Eropa tak berhak punya pangkat tinggi, maka di rumah makan ini barangsiapa bukan Jawa tak
diperkenankan ikut-ikut mengelola bahkan hal terkecil sekalipun.‟ Warung Jawa adalah dari
Jawa, oleh Jawa, dan untuk para manusia Jawa.
Kuenyahkan lamunanku ketika pintu rumah makan terbuka. Ada tamu, dan aku harus
segera melayaninya. Seorang pria Eropa. Kuantar ia ke meja dekat jendela. Biasanya pengunjung
kami paling suka dekat jendela, bisa makan sambil melihat pemandangan. Sebenarnya
pemandangannya biasa, tiap hari orang yang tinggal dekat sini melihatnya. Mereka suka duduk
dekat jendela, karena posisi ini memberi mereka cara pandang yang berbeda terhadap hal biasa
yang mereka amati tiap harinya.
“Sajikan masakan terenak yang ada di sini. Saya ingin mengenang masa saya tinggal di
Jawa dulu. Tiga porsi ya, sebentar lagi kawan-kawan saya datang,” katanya tanpa menyentuh
buku menu sama sekali.
“Baik Tuan.”
“Satu lagi Nak, katakan pada Tuanmu ada yang perlu kubicarakan denganmu nanti.
Kami minta ijinnya untuk itu.”
Aku mengangguk sambil undur ke belakang, menyerahkan pesanan pada koki. Pintu
terbuka lagi, namun kawanku yang lain sigap menghampirinya dan mengantarkannya ke meja
yang sama dengan tamuku. Pasti mereka orang yang ditunggu.
Tarian Sunyi Page 39
Tentang dominasi etnis Jawa di sini, Hevga yang berdarah Eropa tak punya tempat. Di
sisi lain, karena darah Eropanya, banyak pekerjaan paruh waktu lain yang terbuka untuknya. Dia
dapat pekerjaan di salah satu toko dekat kampus, tak jauh dari kamar sewaan kami.
Sesuatu yang mengingatkan kami pada kuliah adalah rutinitas bangun jam tiga atau
empat pagi. Yang bangun lebih awal membangunkan yang lain. Saat itulah kami punya
kesempatan belajar, mengerjakan tugas. Pokoknya mempersiapkan hari berikutnya.
Ya, kehidupan kami seperti rutinitas padat nyaris tanpa celah. Tapi menyenangkan,
sebab tak hanya satu dua orang yang menjalani. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan orang
yang melakoni hal serupa.
Kulirik jam dinding. Lewat setengah jam dari jadwal tutupnya. Makanan mereka sudah
tandas. Saat itulah mereka memanggilku. Sekarang aku duduk di antara para pria Eropa, salah
satunya Tuan Venter. Di kursi yang sama, sejajar dan setara.
“Venter bilang pada kami kalau kalian pernah bicara banyak. Betul begitu?”
Aku mengangguk, sekali. Asap mengepul tak henti-henti dari celah bibir mereka.
“Dan dia titipkan pesan untuk-teman Hindiamu. Sudah sampaikan?”
Aduh, apa yang harus kukatakan sekarang.
“Ada apa? Kenapa diam saja?”
Kuputuskan bicara apa adanya saja.
“Maaf Tuan, saya masih tak tahu bagaimana caranya menyampaikan pesan Tuan pada
kawan-kawan saya.”
“Mungkin memang tak mudah.”
“Ada apa Tuan?”
“Ya seperti yang Venter bilang, kami betul-betul ingin berbuat sesuatu untuk kalian.
Bukan begitu, Venter?”
Tuan Venter mengangguk tanpa sedikitpun mengalihkan pandang dari minumannya.
“Tapi kuminta betul-betul sampaikan. Ini sangat penting bagi kami.”
Aku jadi bertanya-tanya, ada apa sesungguhnya. Sepenting apa artinya pesan itu hingga
para Tuan Eropa ini menyempatkan diri mendatangiku.
“Aku akan kemari lagi besok malam. Tolong bawakan hasil wawancaramu, aku ingin
lihat.”
“Ya, besok akan saya bawakan.”
Tarian Sunyi Page 40
Pria yang berambut coklat tiba-tiba menyela, “Hei Robert, besok ajak lagi aku kemari.
Aku sangat suka tempat ini.”
Kawan-kawannya tertawa.
“Kau ini, kalau saja kulitmu lebih coklat, kau pasti memilih tinggal di Hindia daripada
ikut orang tuamu pulang ke Holland.”
Si rambut coklat ikut tertawa. Diletakkannya beberapa gulden di meja.
“Ambil saja kembalinya. Aku tidak akan bosan-bosannya datang kemari.”
“Terima kasih kedatangannya,” ujarku.
“Ya, sampai jumpa besok.”
Mereka membalas senyumku sebelum berbalik keluar. Dan kupikir episode hidupku
malam ini selesai. Barang-barangku bisa kubereskan dan segera pulang. Sayangnya belum.
Seseorang mendekat setelah mereka pergi. Atmo.
“Ada apa mereka mencarimu?”
“Tidak ada apaapa. Tidak usah dipikirkan.”
“Tapi mereka kemari sepertinya sengaja untuk menemuimu.”
“Iya memang. Salah satu dari mereka menjadi narasumber tugas liputanku tempo hari.
Ayo beres-beres, sudah waktunya tutup.”
Kupikir penjelasanku masuk akal. Sayangnya Atmo tak kelihatan mau menerima begitu
saja. Ia masih ingin bertanya, tapi lebih baik kami bicara lain kali saja.
Di warung, kehidupan berjalan seperti biasa. Kecuali bahwa aku membawa tulisan
tentang wawancara itu dan mereka berjanji akan datang lagi kemari malam ini. Kesibukan yang
biasa dengan mayoritas tamu berkulit coklat, dengan segelintir tamu kulit putih yang ingin
bernostalgia dengan kenangan semasa tinggal bersama di Asia Tenggara.
Sore berganti malam. Mereka datang beberapa saat lewat dari pukul delapan. Rekanku
yang menyambut, aku sedang melayani tamu.
Di Hindia sana maupun di Holland, biasanya orang kulit putih akan mendapatkan
layanan pertama hampir dalam semua hal. Yang akan dilayani lebih dulu meski mereka datang
Tarian Sunyi Page 41
paling akhir sekalipun. Tapi di sini, itu tidak berlaku. Semua tamu akan dilayani dengan cara
yang sama, dengan sama hormatnya.
Misalnya saat warung sedang ramai, yang datang lebih dulu adalah seorang pria Jawa,
dan yang datang berikutnya adalah pria Eropa maka yang akan dilayani lebih dulu tetap si pria
Jawa. Inilah satu hal yang membuatku betah. Tempat ini menawarkan keadilan. Dan satu versi
dari dominasi Jawa : kami pemiliknya, maka kami yang akan tentukan aturan mainnya.
Tak lama setelah memberikan pesanan ke dapur, rekanku mendekat padaku dan
mengatakan bahwa tamu yang baru datang itu mencariku. Katanya, “Pergilah. Yang lain biar aku
yang urus.”
Kudekati mereka, para tamu istimewaku malam ini.
“Selamat malam.”
“Malam juga. Duduklah.”
Salah satu dari mereka menarikkan kursi. Sudah kuselipkan pesanan mereka di
kantongku.
“Apa Anda masih menginginkan tulisan kami tentang wawancara itu?”
“Tentu saja.”
Kuletakkan pesanan mereka di meja. Pria yang dipanggil Robert tempo hari itu
meraihnya, membacanya. Diletakkan lagi, kemudian berpindah tangan beberapa kali hingga rata
semua sudah membacanya.
Pesanan mereka tiba, terselang cukup lama untuk masing-masing menikmati hidangan.
Pria itu menyodorkan satu mangkok untukku.
“Bicaralah, Venter!”
“Oke. Kenalkan dulu, ini Robert. Aku yakin kau sudah tahu. Dan ini,” ditunjuknya yang
berambut coklat, “Fede. Bagaimana? Apa kau sudah sampaikan pada mereka?”
Ternyata pertanyaan yang sama.
“Maaf, saya masih belum sampaikan. Saya tak kenal satu pun dari mereka.”
Robert menyahut, “Aku yakin kau mengenal mereka. Kau hanya belum tahu bahwa
merekalah orangnya. Tolong pikirkanlah baik-baik. ini betul-betul untuk kebaikan kalian
sendiri.”
Fede ikut bicara. “Begini, misalnya rumah makan ini. Sepengamatanku tentang aturan-
aturan yang diterapkan disini, aku yakin pemiliknya adalah orang yang berpikiran terbuka, yang
Tarian Sunyi Page 42
punya pandangan jauh tentang kehidupan. Orang-orang yang tidak memandang perbedaan warna
kulit, perbedaan warna rambut, atau perbedaan fisik lainnya sebagai penghalang kita bisa
berbicang bersama.”
Aku jadi agak curiga dengan alasan mereka meminta padaku.
“Kuharap kau bisa mempertimbangkan dengan bijak. Orang-orangmu tidak akan
mempercayai kami tanpa ada seseorang diantara kalian yang member mereka rasa yakin.”
Kami saling diam. Santapan sudah habis, dan jam dinding menunjukkan hampir pukul
sepuluh malam. Fede meninggalkan bayarannya di meja.
“Well, kami harus pergi. Kami tunggu kabar baiknya.”
Sesungging senyum terlukis di bibirku seraya mengantar mereka keluar. Kuharap aku
segera mengerti mengapa mereka sangat menginginkannya. Atmo sedang memandangku dari
pintu dapur ketika aku berbalik. Ah, lagi-lagi.
“Tuan-tuan Eropa mau apa? Kalau hanya urusan liputanmu itu mereka tak mungkin
sampai dua kali datang kemari.”
Aku jadi tak enak.
“Iya, memang ada urusan lainnya.”
“Apa?”
“Bantu aku beres-beres dulu, nanti kukatakan.”
Aku tahu dia tidak sabaran. Memang sudah sifatnya. Maka sambil dia membantuku
beres-beres, aku bercerita. Bahwa mereka ingin dipertemukan dengan orang-orang kalangan
Hindia yang mau mendukung cita-cita mereka.
“Apa menurutmu mereka mengatakan yang sejujurnya? Atau kau kira ada maksud
lainnya?”
“Aku tak tahu. Yang manapun tujuan mereka, bagiku tak ada bedanya. Aku tak kenal
dengan orang-orang yang mereka maksud.”
“Tapi aku kenal beberapa diantaranya.”
Kami saling pandang.
“Sepulang kerja ini, ikutlah denganku. Kau akan kupertemukan dengan mereka.”
“Aku lelah,” jawabku.
“Jangan katakan tidak jika kau belum pernah datang sendiri. Aku yakin kau bakal
tertarik kalau ikut denganku.”
Tarian Sunyi Page 43
“Sudahlah. Aku sebenarnya tak terlalu peduli dengan yang mereka katakan. Jadi biarkan
aku tenang.”
“Tapi kau harus peduli. Kalau betul mereka ingin membanu kita, itu akan sangat besar
artinya.”
“Kalau kau yang berminat, kau saja yang menemui mereka. Jangan memaksaku.”
“Jangan bersikap egois! Kau harus pikirkan teman-teman yang lain juga.”
“Egois apa! Kau piker aku hidup enak selama ini? Kau tahu bagaimana kujalani
hidupku tiap hari! Hampir tanpa jeda!”
“Tapi banyak yang lebih menderita daripadamu!”
Sama-sama bicara dengan nada meninggi. Tak akan selesai bila tak ada yang mengalah.
Sementara kuturuti saja maunya.
Kukira fase jurnalistikku yang pertama hampir berakhir. Paling tinggal menyerahkan
tulisan, pengevaluasian, dan selesai. Perkara asas keberimbangan informasi, lain kali saja
dipikirkan. Sekarang apa adanya dulu. Kemudian berganti dengan yang lain.
Ternyata tidak. Fase jurnalistikku kemarin bukannya hampir berakhir. Malah jadi titik
bermulanya segala yang terjadi berikutnya.
Malam sedingin ini, setelah mampir ke rumah dan memberitahu Hevga kalau akan
pulang larut, aku dan Atmo menyusuri jalan-jalan kecil kota Leiden. Kurasa hamper satu jam
berjalan, tapi belum juga sampai di tempat tujuan. Yang kutahu, perjalanan kami makin menuju
daerah pinggiran.
“Masih lama?”
“Tidak. Sebentar lagi sampai.”
“Apa orang-orang yang kau kenal ada di sana?”
“Tentu saja.”
Betul tak lama, kami berbelok ke satu rumah besar. Sayangnya malam, jadi aku tak bisa
mengamati detail-detail yang mungkin indah dari rumah besar ini. Pagarnya tertutup rapat, dan
gelap. Seperti rumah tak berpenghuni. Atmo mendorong gerbangnya, kemudian menyorongku
masuk.
Tarian Sunyi Page 44
“Lewat pohon yang itu,” bisiknya.
Ya, dia pernah bercerita tentang jalan masuknya. Deretan pohon cemara yang ditanam
dekat tembok tinggi, memanjang sampai sisi belakang rumah. Orang-orang yang datang harus
merepet ke pohon itu, atau paling tidak ke bayang-bayangnya, sehingga orang yang luar takkan
ada yang tahu kalau rumah itu didatangi. Semua pintu terkunci. Lampu pun tak ada yang
menyala.
Sampai di sisi belakang rumah, akan ada pintu kayu setinggi dada yang sedikit terbuka.
Itulah pintu masuknya.
Sebenarnya, kalau melihat dari deret pohon cemara, pintu itu hampir tak kelihatan.
Tertutup deretan pot bunga setinggi perut orang dewasa dan bunga-bunga tinggi yang ditanam di
masing-masing pot. Sempurna.
Aku masih sibuk mengagumi penataan tempat ini saat ia tiba di sampingku.
“Ayo masuk! Kita bisa ketinggalan banyak nanti.”
Secercah sinar temaram menyeruak keluar ketika pintu dibuka. Aku ikut masuk. Cahaya
temaram itu tak berasal dari ruang belakang ternyata. Tapi ruang tengah, tempat orang-orang
sebangsaku sedang lesehan di karpet. Arah pandang mereka tertuju padaku. Mungkin karena
mereka belum pernah melihatku. Beberapa orang mengakrabiku.
Malam makin larut. Obrolan yang mulanya basa-basi belaka perlahan jadi serius. Walau
tak urung gelak tawa dan canda menyelingi.
Secercah sinar temaram menyeruak keluar ketika pintu dibuka. Aku ikut masuk. Cahaya
temaram itu tak berasal dari ruang belakang ternyata. Tapi ruang tengah, tempat orang-orang
sebangsaku sedang lesehan di karpet. Arah pandang mereka tertuju padaku. Mungkin karena
mereka belum pernah melihatku. Beberapa orang mengakrabiku.
Malam makin larut. Obrolan yang mulanya basa-basi belaka perlahan jadi serius. Walau
tak urung gelak tawa dan canda menyelingi.
Salah satu hal yang riuh bicarakan adalah perbaikan keadaan. Perbaikan kesejahteraan
masyarakat kelas bawah Hindia. Bahwa harusnya para penduduk asli lebih sejahtera dari para
Tuan Eropa yang sebenarnya pendatang, dan mengapa yang terjadi malah sebaliknya. Orang-
orang ini sibuk berdebat masalah sebab dan akibat, kemudian pemecahannya. Sedang aku
sebagai pendengar , sedang sibuk berfikir mengapa orang-orang ini mau merepotkan diri
Tarian Sunyi Page 45
memikirkan orang lain sedang hidup mereka sendiri sudah terlalu berat untuk dijalani.
Terbayang tawaran kerjasama yang diinginkan Tuan Robert dan kawan-kawannya
Jam besar di sudut ruangan berdentang satu kali ketika mata ini hampir tak mampu
terbuka. Aku pamit pulang. Atmo menyusul tak lama kemudian. Dia akan mengantarku pulang.
“Aku membicarakan Tuan-tuan yang mencarimu itu dengan Wira. Dia kenal dengan
banyak orang Eropa.”
“Lalu apa katanya?”
“Dia kenal dengan banyak orang Eropa. Tapi dia tak kenal Vande Venter ataupun
Robert Marck. Dia janji akan mencarikan info untukmu.”
Aku diam saja. Masih terus bertanya-tanya, dan malah semakin banyak
ketidakmengertianku tentang semua ini.
Aku yakin Atmo bisa membaca ketidaktertarikan dalam ekspresiku tempo hari, tapi
masih saja ia memaksaku datang mala mini. Yah, kupikir datang masih lebih baik daripada
diceramahi panjang pendek hingga kukatakan bersedia datang.
Seperti sebelumnya, isinya obrolan. Aku lebih banyak diam dan mendengar. Dan Atmo
tak biasanya coba-coba memancing reaksiku. Dibiarkannya aku begitu saja.
Lewat sedikit dari jam sepuluh, dua orang baru tiba. Yang seorang berbusana lengkap
layaknya priyayi Jawa, dan yang seorang lagi berbusana biasa seperti kami pada umumnya.
Kukira mereka orang penting, atau minimal orang yang sedang ditunggu-tunggu. Bagaimana
tidak jika kedatangan mereka diikuti dengan wajah-wajah sumringah segenap kawan yang hadir.
Semua tatapan mata tersedot pada mereka.
“Hadirin sekalian, kita kedatangan tamu istimewa. Raden Adhi Soerjo yang datang
jauh-jauh dari Jawa khusus untuk menjumpai kita. Sebelum obrolan ini kita mulai, sudilah
kiranya Tuan memberi pembuka bagi saudara-saudara kita yang hadir.”
Pria itu tersenyum.
“Alangkah terhormatnya saya diberikan kesempatan ini. Tak dapat tidak saya merasa
sangat bahagia dan bangga dengan berkumpulnya saudara-saudara saya sebanyak ini.
Tarian Sunyi Page 46
Kebersamaan kita ini semoga bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk berbuat lejar dan bersama
menimba ilmu kemudian membagikannya pada saudara-saudara kita yang lain.
Saya sempat diberitahu oleh beberapa kawan kalau akhir-akhir ini marak terdengar
orang-orang terpelajar Holland yang merasa tidak puas dengan sikap pemerintahnya terhadap
rakyat daerah koloni. Mereka ingin pemerintahnya bersikap yang sepantasnya terutama tentang
hal yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Kini mulai lagi seru diperdebatkan hal apa
sajakah itu. Saya dengar pembahasan ini juga sudah ramai diperbincangkan oleh saudara-saudara
kita dalam forum ini. Dan sudah pula dirumuskan beberapa hal tersebut. Betul demikian saudara-
saudara?”
“Betul…” sahut yang hadir serempak.
“Saya dengar mulai ada juga para Tuan Holland itu yang mencoba menghubungi kita
karena ingin membantu kita. Betul?”
“Betul…”
“Dan malam ini yang akan kita bicarakan adalah bagaimana sikap kita terhadap iktikad
para Tuan tersebut.”
Sekarang jelas yang orang-orang ini akan lakukan.
“Nah sekarang saya serahkan pada saudara-saudara sekalian adakah yang ingin urun
pendapat bagaimana seharusnya kita bersikap.”
Hening.
“Ini lebih fokus pada sikap orang Hindia terhadap mereka, bukannya sikap penduduk
daerah koloni secara umum. Kalau saya ya senang-senang saja. Bagimanapun, kalau bban
ditanggung berdua pasti akan lebih ringan daripada ditanggung sendirian. Bagaimanapun, kita
membutuhkan dukungan mereka. Kalau mempertimbangkan bahwa biasanya orang Eropa
dianggap lebih berkuasa daripada orang kulit berwarna. Baik di negeri ini maupun di Hindia.”
Seseorang yang duduk di tengah angkat bicara.
Lalu kawan yang duduk di sampingnya ikut bicara juga. Katanya, “He Marto, mereka
itu sudah banyak menyengsarakan kita. Apa mereka pantas dipercaya?”
“Mereka memang sudah menyengsarakan rakyat kita, tapi toh itu tidak mewakili sikap
rakyat Holland secara keseluruhan. Aku yakin masih ada orang baik di antara mereka.”
“Ya, saya percaya masih ada orang baik. Tapi bagaimana caranya kita bisa tahu orang
yang sedang mendekati kita itu betul-betul berniat baik atau punya maksud-maksud tertentu yang
Tarian Sunyi Page 47
malah bisa merusak yang susah payah kita usahakan selama ini? Bagaimana Tuan?” Satu yang
lain menimpali.
“Kita berusaha percaya, saudara-saudara sekalian. Namun kita harus memegang teguh
sikap hati-hati dan waspada. Itulah yang akan menolong kita memahami tanda-tanda yan ada di
sekeliling kita.”
“Jadi maksud Tuan kami harus belajar percaya pada Tuan-tuan Eropa? Lalu bagaimana
jika ternyata yang ingin mereka usung berbeda dengan yang ingin kita kerjakan lebih dulu?”
“Saya yakin kita bisa merundingkannya. Dan lepas dari segala prasangka, kita harus
memanfaatkan semua peluang demi kebaikan kita. Kadang memang baik menerima uluran
tangan orang lain, tapi tak boleh sampai bergantung. Mereka ingin memberikan balas budi pada
kita, mengapa tidak kita terima? Itu sah-sah saja. Sebab hakikatnya orang hidup itu saling
memanfaatkan asalkan tidak saling merugikan.”
Perbincangan ini masih panjang sebetulnya. Orang-orang ini mulai bicara tentang
struktur, lalu membagi tugas, lalu menunjuk orang-orang yang diberi tanggung jawab itu. Semua
yang hadir dilibatkan, bahkan aku yang tak tertarik dan tak tahu apa-apa dilibatkan juga. Sampai
berbusa-busa mereka meyakinkanku untuk turut serta, berupaya member pengertian bahwa tak
ada peran yang tak dibutuhkan.
Aku mengalah. Kuterima yang mereka minta.
Dan aku lagi-lagi pulang pagi. Hevga sudah bangun dan sedang menekuri bukunya. Dia
mendongak melihatku datang.
“Darimana saja baru pulang?”
“Dengan Atmo, pergi ke tempat kawan.”
Pandangannya beralih. Kakinya diselonjorkan.
“Teman mana yang kau kunjungi hingga dini hari?”
“Jangan dibahas dulu, aku lelah.”
“Dua hari ini kau selalu pulang pagi. Padahal nanti ada tugas yang harus dikumpulkan.
Apa sudah kau kerjakan?”
Tarian Sunyi Page 48
Aku diam saja. Hevga tak salah mengingatkanku. Tapi kepalaku sedang sangat terberati
kantuk dan hasil pertemuan tadi.
“Apa ini akan sering-sering?”
“Kenapa?”
“Jangan lupa tujuan awalmu kemari.”
“Aku akan belajar baik-baik. Kau tenang saja.”
“Tadi pagi surat Papa sampai. Dia menanyakan keadaanmu. Ada salam dari Bapak dan
Simbok juga. Kata Papa, di Jawa sedang ramai orang dari Tweede Kommer berkunjung. Mereka
minta fasilitas untuk pribumi HIndia diperbaiki dan macam-macam tuntutan lain yang tidak
masuk akal. Mereka bilang hal tersebut didukung para putra pribumi Hindia di Holland.”
“Lalu?”
Papa bilang kau tak usah ikut-ikut. Belajar saja yang benar biar nanti kau bisa bantu
kelola perkebunan Papa.”
Kurasa aneh.
“Kenapa bukan kau?”
“Aku akan masuk akademi militer tiga bulan lagi. Papa sudah kuberitahu dan beliau
setuju.”
“Jadi tujuanmu datang kemari sebenarnya?”
“Aku ingin jadi perwira, Man. Kau tahu itu, Papa juga tahu betul hal itu. Sekolah ini, ya
pengisi waktu sembari menunggu.”
“Kalau begitu kenapa jurusan sastra dan kenapa di Leiden?”
“Karena kulihat kau berbakat di bidang itu. Jadi kenapa tidak? Harusnya kau berterima
kasih padaku. Kau tahu, berat membujuk Papa mengirimmu kemari dan bukannya ke sekolah
pertanian. Coba bilang kau ingin jadi apa? Sinder? Jurnalis? Atau keduanya?”
Aku semakin takjub pada pribadi pria keturunan Holland yang satu ini. Betapa banyak
ternyata yang dia mengerti tentangku. Meski ia anak majikan dan aku anak Simbok Emban.
Kudekati ia, kurangkul erat.
“Kau tumpuan perkebunan Papa sekarang. Belajarlah yang giat.”
Bagai air, mungkin sudah saatnya kehidupan kami mengalir pada nak sungai yang
berbeda.
“Apa kau akan menetap di Holland?”
Tarian Sunyi Page 49
Dia menggeleng.
“Aku akan minta ditugaskan di Jawa kalau saatnya tiba. Jadi kau harus pulang.”
“Aku mengerti. Kita akan bertemu lagi nanti, di kediaman Tuan Gtriitz. Di rumahmu.”
“Janji?”
“Ya, aku janji.”
Tautan jari kelingking mempersatukan ketetapan hati kami.
Tarian Sunyi Page 50
Filosofi selembar daun
Tarian ibarat selembar daun kering
Dengan menari, manusia memanjatkan syukur pada Yang Kuasa
Dengan jatuh ke tanah, daun kering menunaikan darma bakti
pada alam raya
Tarian Sunyi Page 51
BAB III
Larasati
Kurogoh saku rok panjangku, kukeluarkan lembaran kumal yang puluhan kali kubaca.
Tentang pemindahtugasan seorang Asisten Residen kembali ke Holland. Kucermati lagi baris
demi baris, kutanam dalam-dalam di ingatan, lalu kumasukkan lagi ke saku. Bahwa semua itu
hanya masa lalu, akhir dari mimpi masa muda.
Kau ingat, aku dulu ingin belajar menari karena Tuan itu suka – menurutku dan Ratri
waktu itu – pada tari. Kami memohon-mohon pada Bapak dan Simbok sampai akhirnya diijinkan
pergi ke tempat yang dianggap sebagai tonggak budaya Jawa, meski dengan berat hati.
Memulai memang tak mudah. Kami datangi sanggar paguyuban-paguyuban tari
ternama, hanya ada penolakan. Sampai suatu malam saat nonton ludruk, seseorang menarik kami
yang ke belakang panggung. Mungkin para dewa sedang baik hati. Orang itu menawariku naik
panggung, menggantikan pemain yang mendadak sakit. Dia janjikan bayaran kalau kami mau
bantu.
Kupikir, biasanya kelompok pertunjukan macam ini selalu punya orang pengganti. Jadi
untuk apa sampai membawa orang asing bermain di panggung. Tapi sudahlah, itu urusan mereka
saja. Singkatnya, dengan berbagai pertimbangan kami diijinkan bergabung.
Kelompok ludruk tidak pernah menetap lama. Selalu berpindah, dan tampil di banyak
tempat. Selalu menampilkan yang baru, sehingga pertunjukan selalu dinanti di semua tempat
yang pernah disinggahi.
Dan peristiwa berulang : perubahan nasib karena campur tangan orang-orang Eropa.
Seorang Tuan mencari Ratri seselesainya pertunjukan. Ia katakan ingin membawa Ratri pulang
dan berbagi kehidupan.
Waktu itu jalan empat tahun sejak pertama kami meninggalkan rumah.
“Apa kau ingin pergi?”
“Kurasa ya.”
“Kenapa?”
Tarian Sunyi Page 52
“Mau seperti apapun, akhir hidup seorang wanita pasti bersama suaminya. Kalau ada
yang menghendaki berbagi hidup denganku, mengapa tidak?”
“Tapi Tuan itu mungkin tidak akan menjadikanmu istri sahnya. Apa kau bisa terima?”
“Mengapa tidak. Asalkan ia baik-baik padaku dan anak-anak kami kelak, itu sudah
cukup.”
“Tapi kalau nantinya dia tidak baik-baik padamu dan anakmu, atau kalau habis masa
tugasnya dan dia ingin pulang ke negeri asalnya, mau bagaimana?”
Dagunya masih terangkat, bersama sebentuk senyum.
“Itu akan kupikirkan belakangan. Aku melakukan ini juga untukmu Ras. Aku akan
minta pada Tuan untuk cari tahu dimana gerangan orang yang kita cari. Dengan begitu, akan
jelas kemana lagi kau harus pergi.”
Ratri benar-benar menjalankan rencananya. Dan calon kekasih hati Ratri, si Tuan Eropa,
menulis kabar tentang Rijkaard Pieters di lembaran kertas yang saat ini tersimpan rapi dalam
saku. Ditulis tangan rapi dalam bahasa Belanda. Dan Ratri melakoni maunya. Ia pamit pada
kami semua untuk tinggal di kediaman Tuan yang belakangan kutahu bernama Twistmar.
Sekali lagi, kukeluarkan lembaran itu. Kubaca keras-keras.
Ratri sayang, sudah kudapatkan kabar tentang Rijkaard Pieters. Seperti yang kau
katakan, ia pernah menjadi asisten residen. Namun sekarang tidak. Dia sudah ditarik pulang ke
Holland.
Kudengar, ia sendiri yang meminta untuk ditarik pulang ke Holland. Ibunya yang sakit-
sakitan memintanya untuk pulang. Seseorang mengatakan padaku bahwa dia dipekerjakan di
departemen jajahan sekarang. Entah di bagian mana aku sendiri tak tahu. Ibunya tinggal di
Leiden. Mungkin sesekali ia akan berada di sana.
Dan kawanmu yang masih ingin berjumpa dengan pria ini, suruhlah ia melupakan
keinginannya itu. Kecuali kalau ia mau ikut pergi ke Holland dan mencarinya di sana. Tapi
kusarankan sayang, beritahukan padanya untuk tidak pergi. Kehidupan di Holland lebih kejam
baginya dibanding di Jawa.
Salam sayang,
T.
Tarian Sunyi Page 53
Twistmar. Aslinya surat ini memang untuk Ratri, tapi ia berikan padaku sebelum pergi.
Angin sedang bertiup tak terlalu dingin. Tak terasa sore makin temaram. Sebentar lagi
malam. Kuteruskan saja penelusuran kenangan ini sambil terus menyusur jalanan yang semakin
sepi.
Aku juga memilih. Dan di sinilah aku sekarang, di satu sisi kota Leiden yang dinamai
Neve.
Di sinilah aku berada sekarang, di satu sisi kota Leiden yang dinamai Neve. Kenapa ke
Leiden, dan kenapa Neve? Karena kebanyakan penghuninya adalah orang-orang kulit coklat,
khususnya Jawa. Dan mengapa orang-orang Jawa memilih Neve? Begini ceritanya.
Harga sewa pemukiman di Neve termasuk paling murah di Leiden. Mungkin karena
letaknya yang ada di pinggiran kota. Mungkin juga karena fasilitasnya yang sederhana. Dengan
alasan itu, tentunya Neve menjadi pilihan yang menjanjikan bagi para kaum tak berpunya.
Awalnya, orang-orang Jawa datang ke negeri ini karena dibawa oleh Tuannya. Dengan
berbagai alasan, mereka dilepas oleh si Tuan dan akhirnya harus memperjuangkan hidupnya
sendiri. Tentunya, tempat tinggal murahlah yang akan mereka sewa. Ya di Neve ini.
Aku tak tahu bagaimana orang-orang Jawa pertama memilih tinggal di Neve dan
bukannya daerah murah lainnya. Tapi yang jelas, penduduk yang bukan Jawa semakin lama
semakin sedikit. Terutama yang Eropa.
Maka jadilah Neve, satu wilayah dari kota Leiden yang hampir seluruh penduduknya
adalah Jawa. Satu wilayah yang punya kehidupan dan tata aturan sendiri.
Kata sang nasib, hidup adalah kegigihan. Sebuah proses berkelanjutan yang tidak
pernah berakhir. Itu benar. Mulanya Neve hanya dihuni orang-orang miskin, para buruh di
pabrik. Namun seiring dengan berjalannya waktu, si miskin yang gigih pun berhasil. Mereka
mulai hidup lebih baik. Dan hidup yang lebih baik membuat mereka berfikir lebih luas. Mulailah
mereka mempertimbangkan keadaan lingkungan. Perbaikan-perbaikan diadakan, sehingga
lingkungan Neve lebih terawat.
Mulai ada yang berjualan meski tidak sampai malam. Sedikit demi sedikit pekerjaan
jadi lebih beragam. Kehidupan lebih berwarna. Dan sesekali diadakan acara hiburan.
Tarian Sunyi Page 54
Tak dinyana, acara sesekali ini disambut baik oleh warga Neve. Permintaan agar digelar
lebih sering meruak. Tapi kembali lagi, sedikit orang yang mau menyiapkan hiburan. Ah, lagi-
lagi. Sejak dulu kalau namanya aspirasi itu pasti lebih lancar daripada pelaksanaanya.
Pelan-pelan warga bersedia mengerti kalau tak mungkin ada hiburan kalau tak ada yang
mau melonggarkan waktu untuk menghibur. Satu persatu kelompok hiburan mulai terbentuk.
Dan kini, satu atau dua kali malam minggu dalam sebulan pasti ada hiburan.
Untuk seluruh warga, kalau mau nonton ya nonton saja. Tidak ada tarikan. Tapi
berhubung ada biaya sewa lampu, panggung, dan alat, si pelaksana hiburan pasang kotak
sumbangan di dekat pintu masuk area pertunjukan.
Sebenarnya juga bukan area pertunjukan sungguhan. Hanya tanah lapang cukup luas di
pinggiran Neve milik beberapa warga yang sengaja dibiarkan jadi lapangan. Ya memang dibeli
untuk pentas-pentas macam begini katanya. Biar muat banyak orang.
Malam ini akan ada hiburan. Dimana-mana sepi. Orang-orang sudah berkumpul di sana
kupikir. Memang sudah hampir jam delapan.
Aku sedang tak ingin keluar sebenarnya. Tapi tontonan yang tak setiap minggu ada
sepertinya sayang dilewatkan. Siapa tahu berkumpul dengan banyak bisa menghilangkan
jenuhku. Jalanku santai, akan kunikmati segala yang bisa dinikmati malam ini.
Namun, sekelebat bayangan mengganggu. Ekor mataku menangkap sosoknya yang
lebih tinggi daripada rata-rata kami orang Hindia. Dia akan ke lapangan juga tampaknya. Kulihat
langkah-langkah panjangnya semakin mendekat pada jalan yang kuambil.
Berlagak tak punya maksud menoleh, kulihat wajahnya sekilas. Kemudian tatapanku
terkunci di sana. Lama, dan orang itu menatapku juga. Mata pria itu menyipit memperhatikan
keseluruhan diriku. Mungkin sedang berharap mengingat sesuatu.
Sayangnya aku tak ingin dia mengingatku waktu ini. Aku pun berbalik dengan santai
seolah-olah salah mengenali seseorang. Sosok itu terpaku sejenak sebelum hilang di antara
kerumunan orang.
Ah, setelah ini mana mungkin fikiranku bisa terfokus pada tontonan. Pikiran yang
kacau, degub jantung yang tak karuan. Bagaimana dia mempengaruhiku sebegini rupa jika
pernah kuputuskan berhenti memikirkannya?
Tarian Sunyi Page 55
Melihatnya membuatku teringat hidupku yang dulu. Sesuatu yang kupilih karenanya,
dan kutinggalkan pula untuknya. Seorang penari dan pemain ludruk yang terpisah dari
rombongan.
Seorang penari tidak akan bisa hidup tanpa kelompoknya, tanpa penari lainnya, tanpa
pemusiknya, tanpa semua yang dibutuhkan untuk hadir dan mewujudkan pertunjukan yang utuh.
Aku tersenyum.
Omong-omong, sudah berapa lama ya aku tidak menari. Belum terlalu lama rasanya,
tapi cukup membuat tubuhku kaku.
“Ras!” Satu panggilan membuyarkan lamunanku. Itu Haryo.
“Ras! Keluarlah, ada tamu.”
Tapi masakannya? Ah sudahlah, kumatikan saja dulu apinya. Kupindahkan pancinya,
lalu kukurangi kayunya. Kulihat dari balik tirai, tamunya satu orang. Aku keluar sekalian
membawakan tehnya. Haryo menarikku duduk di sampingnya.
Beliau tersenyum. Kurasa sudah cukup banyak yang mereka perbincangkan sebelum
aku bergabung.
“Begini, Nak Laras pasti mengerti kalau warga ingin agar acara hiburan di Neve dibuat
lebih beragam. Saya dengar dulu Nak Laras penari. Kalau tak memberatkan, kami mau minta
anak berdua tampil sesekali.”
Lagi-lagi beliau tersenyum.
“Saya akan sangat senang sekali apabila bisa memenuhi keinginan warga di sini. Tapi
saya tidak bisa sendiri. Maksud saya, untuk pertunjukan, saya butuh penari lainnya, pemusiknya,
perias, penata panggung. Padahal saya tidak punya kelompok.”
“Nak Haryo juga sudah bersedia membantu. Saya pikir itu bisa disiasati, Nak.”
Haryo mengangguk. Ia memberiku isyarat untuk setuju ketika aku sedang bersiap
mendebat keputusannya. Enak saja, memangnya dia pikir melakukan yang seperti ini gampang.
“Saya dan Nak Haryo sudah pernah membicarakan persiapannya panjang lebar. Jadi
saya kira tinggal melaksanakan saja. Betul kan Nak Haryo? Saya mohon bantuannya Nak Laras.
Tarian Sunyi Page 56
Saya sangat ingin yang pernah kita miliki di Jawa bisa dimengerti juga oleh warga kita yang
tinggal di sini. Supaya kita tetap punya sesuatu saat bersanding dengan penduduk asli.”
Haryo lagi-lagi mengangguk.
“Kalau begitu saya pamit dulu Nak. Saya ingin segera infokan pada warga. Saya yakin
banyak yang berminat.”
“Tentu Pak. Bagaimana mungkin yang seperti ini peminatnya sedikit.”
Beliau tampak sumringah sekali dengan sikap Haryo. Meyakinkan sekali bahwa rencana
ini akan berhasil. Semoga saja beliau tahu kalau memang sudah sifatnya Haryo mendukung
orang berlebihan, entah rencana itu bakal berhasil atau gagal nantinya. Tapi semoga saja tidak
berakhir buruk.
Aku hanya memandang dia yang melenggang santai ke dalam. Kemudian kembali
dengan dua cangkir kopi, serta sepiring gorengan.
“Kenapa kau langsung menyanggupinya?”
“Kenapa tidak?”
“Persiapannya tidak ringan,” kataku keras.
“Memang tidak ringan, tapi bukannya tidak mungkin. Kita hidup dari seni panggung,
Ras. Suka tak suka kita tak bisa mengingkari itu. Panggung dan seni sudah jadi bagian dari aliran
darah kita, dan kita sama sekali tak bisa melepaskan diri darinya. Aku dan kau. Kupikir tak ada
salahnya kalau kita membentuk kelompok baru. Kau bisa mengajari mereka menari, dan aku
akan mengajari mereka memainkan gamelan.”
Begitu santainya ia berkata, sambil makan gorengan dan menyeruput kopi panas pelan-
pelan. Yah, aku menyerah. Kalau memang sudah direncanakan, ya tinggal dijalankan.
“Sekarang bagaimana?”
“Aku sudah jelaskan semua yang kita butuhkan. Sudah kujelaskan pula tentangmu yang
tak mau menari sendirian. Beliau sanggupi mencarikan orang. Gamelannya juga akan dicarikan.
Aku yang melatih gending, kau yang melatih tarinya. Teratasi sudah masalahnya. Tentang
persiapan, Pak Ketua akan mengabari kita secepatnya. Apalagi yang kurang?”
“Waktu Yo. Berapa lama hingga mereka siap untuk tampil pertama kalinya?”
Kursi yang menghadap jendela diputarnya ke arahku. Tatapannya lurus mengunci
pandangku.
Tarian Sunyi Page 57
“Memangnya kenapa kalau butuh waktu lama? Kau penari. Apa yang bisa kau ajarkan
pada orang-orang selain tarian. Ini baktimu sebagai penari, maka lakukanlah.”
Aku memikirkannya, tapi tak berani kutatap matanya. Lebih nyaman sambil mencermati
cangkir ini, memperhatikan kepulan uapnya.
“Aku tahu kau jenuh, Ras. Aku juga. Lama berada di sini dengan tujuan yang tidak
jelas. Karena itu aku melakukannya, meski tak bisa kita jadikan sandaran hidup. Jangan hanya
berfikir pendek saja.”
“Akan kujalani semampuku.”
Kuraih cangkir kopiku lalu beranjak ke dapur. Hari beranjak petang. Harus kumasak
sesuatu untuk makan malam.
“Jangan hanya memikirkan pria itu. Kau juga harus pikirkan hidupmu,” teriaknya
sebelum aku menghilang di balik kelambu.
Kali ini orang lain yang menentukan hidupku. Kemauan mbalelo dari yang dia buat,
adakah? Kurasa tidak. Mungkin benar yang dia bilang. Meski aku merasa akan terjadi masalah
lagi. Dengannya, pria yang tak sengaja kutemui di tontonan.
Omong-omong tentang Haryo, dia dan Ratri kawan karibku saat sama-sama masih main
ludruk. Dan ketika kuputuskan ke Holland, dia yang ikut. Hanya ikut, tanpa menanyakan
alasanku, tanpa menanyakan dimana kami akan tinggal.
Dia bilang waktu itu, “Ras, kita bisa mampir di Neve kalau kau mau. Kudengar banyak
orang Jawa yang tinggal di sana.”
Itu tiga bulan yang lalu.
Dan Pak Ketua, siapa dia? Mengapa kami begitu menghormatinya? Ketua itu pemimpin
perkumpulan warga Jawa Neve. Meski tak ada pengakuan dari kerajaan Holland, beliau yang
memegang pucuk kendali tertinggi orang Jawa yang tinggal di Neve, bahkan di luar Neve.
Beliau juga yang menyambut dan memberi kami tumpangan tinggal sebelum kami
mampu menyewa rumah sendiri. Apa salahnya mengabulkan permintaan orang yang sudah
menolong kita saat kita mengalami kesulitan. Mungkin itu yang Haryo pikirkan. Ya, bagaimana
mungkin kami tega menolak membantunya.
Tarian Sunyi Page 58
Entah bagaimana Ketua dan Haryo mengaturnya, tapi segalanya tampak lancar-lancar
saja. Berjeda dua minggu dari hari itu, aku sedang berdiri di hadapan para siswa tariku sekarang.
Ada satu proses yang berubah dari rencanaku dulu. Keinginan awalku, orang-orang yang ingin
bergabung diseleksi. Dan yang loloslah yang mendapatkan kesempatan untuk belajar menari
bersamaku.
Tapi lama-lama kupikir, cara itu agak kejam. Harusnya tiap orang berhak untuk belajar
sebelum seleksi diadakan. Memang prosenya jadi panjang. Tapi dengan begini takkan ada yang
merasa sakit hati.
Saat ini, para gadis ayuku sedang berjajar rapi dengan sampur terikat di pinggang. Siap
mencoba gerakan-gerakan dasar dalam seni tari, juga menjajaki ragawi dan hakikat kejawen.
Bahwa setiap yang tercipta dalam budaya Jawa mewujudkan hal-hal yang ada di alam raya.
Memang tak cukup sehari dua hari saja menguasai tari. Keluwesan gerak terbentuk
dengan latihan yang tak kenal lelah. Gerak lembut yang melambangkan banyu mili
mengisyaratkan kearifan falsafah „tiap segala sesuatu pasti jatuhnya ke bawah‟. Ojo dumeh.
Gerak-gerak perkasa tari prajurit misalnya, melambangkan betapa para prajurit mati-matian
membela negerinya. Sikap gagah berani bertaruh nyawa.
Kujelaskan hakikathakikat ini di sela-sela waktu istirahat. Betapa keindahan tari takkan
utuh jika hanya mengandalkan penguasaan teknik ragawi.
Kami duduk melingkar, sehingga bisa saling tatap satu sama lain. Selembar daun kering
kuletakkan di telapak tanganku, dan dengan satu tiupan daun itu melayang. Pelan-pelan lalu
jatuh ke bawah para gadis ayuku yang masih terpesona dengan hakikat tak pelak memperhatikan
seksama yang baru saja kuperbuat.
“Kalian tahu, gerak alami daun kering tertiup angin ini, adalah juga satu bentuk tarian.
Coba perhatikan bagaimana geraknya sejak berpindah dari telapak tanganku hingga jatuh ke
tanah. Jika kita tanggap pada sasmita, hal yang tampaknya kecil seperti ini juga mampu membuat
kita mengerti tentang arifnya kehidupan.”
“Mbakyu, apakah ada tarian yang melambangkan gerak daun itu?”
“Mungkin ada, tapi aku tak tahu. Aku hanya mengerti yang lazim dipelajari orang.”
“Mbakyu, kenapa leluhur kita menciptakan tarian? Untuk apa sebenarnya?”
“Leluhur kita sangat percaya adanya kekuatan yang lebih besar di luar manusia.
Leluhur kita juga percaya bahwa kekuatan itu tersimpan dalam benda-benda di alam raya.
Tarian Sunyi Page 59
Pohon, batu, gunung, masing-masing menyimpan kekuatan. Semua yang ada di sekeliling kita
punya andil pada alam raya, tidak hanya manusia.
Kita tahu, kekuatan-kekuatan itu anugerah Tuhan. Tapi Tuhan yang ada namun tak
tampak oleh mata manusia, membuat manusia menduga-duga dimana dan bagaimana memuja-
Nya. Dan pohon-pohon, batu-batu, yang menyimpan sedikit dari kekuatan-Nya pun akhirnya
dijadikan tempat memuja.”
Beberapa dahi berkerut.
“Dan manusia yang pada fitrahnya mencintai keindahan, menciptakan sesuatu yang
indah untuk menyempurnaan pemujaan-pemujaan mereka. Tari lah salah satunya. Maka tarian
adalah doa.”
“Itukah alasannya Mbakyu selalu menyuruh kami menari sepenuh hati?”
“Ya. jika menari dengan sepenuh hati dan mengerti untuk apa kalian menari, itu sama
artinya dengan sedang mengucapkan syukur dan berdoa setulusnya atas segala yang telah
diberikan Sang Pencipta pada kita manusia. Karena itu, jika menari adalah hubungan batin
dengan Tuhan, hanya kalian sendiri yang bisa putuskan kualitasnya.”
Kuharap mereka betul-betul mengerti.
“Ayo masuk, kita latihan lagi. Sekarang, aku yakin kalian sudah tahu apa yang harus
kalian lakukan dengan tari yang kalian bawakan.”
Kusorong mereka satu persatu ke pendopo, tempat istri Pak Ketua baru saja
menghidangkan minuman sebelum berlatih lagi. Samar-samar terdengar gamelan ditabuh. Haryo
masih mengajar rupanya.
Malam ini, pertunjukan kami digelar. Tidak di panggung besar, hanya sebuah panggung
yang cukup untuk 20 orang naik bersama. Kami juga tak tampil sendiri. Ada dua kelompok lain
yang bergabung dengan kami, memainkan lakon satria pilih tanding Aryo Wibisono dari negeri
Gondomanik.
Haryo sibuk menata menata gamelan. Demi malam ini, pengalamannya bertahun-tahun
akan diuji. Menata penabuh-penabuh yang lain, memberi arahan pada masing-masing. Serta
dukungan dan kepercayaan.
Tarian Sunyi Page 60
Bathara Surya baru saja pulang ke peraduan. Dan Dewi Nawangwulan baru saja turun
dari kahyangan, menunjukkan kalau selendangnya di langit.
Dan alunan irama gamelan yang mendayu menyusup kalbu, membujuk orang-orang
untuk datang. Banyak dan semakin banyak. Wajah-wajah sumringah dan gumam riuh rendah
para penonton membuat suasana semarak. Dan tarian Dewi Wulan pun semakin indah.
Ritme tabuhan makin memuncak, sampai gong besar menyudahinya. Senyap. Segala
suara manusia seolah lenyap, tersisa desau angin dan kerik jangkrik. Nafas yang perlahan pun
seolah enggan ditarik.
Lalu bunyi gamelan mengalun lagi lirih-lirih. Semesta manusia pun mulai hidup,
dengan lepasnya hembus-hembus nafas yang tertahan.
Dan para gadis ayuku, satu persatu menjelma serupa dewi di panggung. melukiskan puji
syukurnya pada semesta lewat sebentuk tari beskalan. Juga ungkapan selamat datang untuk para
sanak kadang, para saudara Jawa yang sama merantau di bumi orang.
Wajah-wajah sumringah makin memerah. Dan gemuruh tepuk tangan memberi kami
tanda bahwa waktunya telah tiba. lakon akan digelar, tentang satrio pinilih Aryo Wibisono dari
Gondomanik. Bahwa kedatangannya ke pesisir selatan pulau Jawa adalah demi mendapatkan
tolak bala wabah penyakit di bumi Gondomanik. Tak dinyana Dewi Sawitri lah pemilik tolak
bala yang ia cari. Seorang dewi yang mensyaratkan tiap orang yang menginginkan tolak bala itu
mundur dari urusan-urusan kenegaraan. Syarat yang dengan ikhlas hati diterima Raden Aryo
demi kembalinya ketenangan di negerinya.
Satu tari penutup lakon dimainkan. Tari yang sama dengan yang waktu itu, tentang
pertemuan kembali Dewi Sawitri dan Bambang Setiyawan. Tiba-tiba sekelebat perasaan
menyelinap di dada, entah apa.
Kukira, Haryo keluar malam selama ini hanya untuk mengurus pertunjukan dan latihan.
Tapi untuk apa lagi dia keluar malam ini kalau urusan pertunjukan sudah selesai kemarin.
Memang betul para pria suka berkumpul saat malam, tapi tidakkah dia ingin istirahat barang dua
atau tiga hari? Bukankah pagi pun dia harus bekerja?
Tarian Sunyi Page 61
Sebenarnya ingin kubiarkan saja. Ini urusannya dan toh sudah sama-sama dewasa.
Namun dipikir-pikir, dia satu-satunya temanku sepenanggungan. Kalau terjadi apa-apa, aku juga
ikut bertanggungjawab atas dirinya. Maka kucegat ia sebelum pergi.
“Mau kemana Yo?”
“Kumpul dengan teman-teman.”
“Apa tak bisa berselang sehari saja? Pentas baru dihelat kemarin. Kau butuh istirahat.”
“Belum saatnya Ras, masih ada yang harus kulakukan.”
“Katakan Yo. Kau bisa membaginya denganku.”
Dia menggeleng, kemudian tersenyum. Disentuhkannya tangannya di pipiku.
“Sayangnya tidak Ras. Tidak ada perempuan dalam pekerjaan ini.”
Senyumnya melembut. Ia coba memberiku pengertian dengan caranya. Kuraih tangan
itu, kuhangatkan dalam genggamanku.
“Aku mengerti kau peduli padaku, jadi kau tak ingin menyusahkanku dengan urusanmu.
Tapi setidaknya tolong beritahu aku yang kau lakukan.”
“Tidakkah lebih baik kau tak tahu?”
Kali ini dengan tatapanku, aku berusaha memberinya pengertian tentang caraku peduli
padanya. Aku menginginkan penjelasan.
“Kau tahu ketua? Yang diketahui orang, beliau satu-satunya yang memegang kendali
tertinggi di Neve. Ketua yang berhak menentukan hal apapun yang berkait dengan warga Neve.
masih ada satu ketua lainnya di belakang ketua yang kita kenal. Ia yang menyelesaikan hal yang
tak bisa diselesaikan dengan cara biasa.”
“Dan kau?”
“Aku mengikuti ketua yang pertama, juga ketua yang kedua.”
Sekarang jelas. Malam belum larut, namun senyapnya terasa menggigit. Mata yang
saling memandang nyalang, pendar-pendar lampu minyak yang meredup membentuk siluet-
siluet di dinding.
“Sekarang bagaimana?”
“Bagaimana apanya?”
“Kau, kegiatan barumu itu, apa tidak berbahaya? Lalu pekerjaanmu, tidakkah
terbengkalai?”
Tarian Sunyi Page 62
“Kalau sudah konsekuensi pekerjaan, mau apa lagi selain dihadapi. Kau tenanglah,
sampai hari ini keduanya berjalan baik-baik saja.”
“Lalu aku Yo?”
“Kau kenapa?”
“Selama ini kita hadapi semuanya bersama. Untuk yang ini, tolong libatkan aku juga.”
Di antaranya senyumnya, ditepuknya pipiku sekali lagi.
“Kau penari Laras. Teruslah menari, ajarkan tarianmu pada orang-orang. Olah ragawi
serta hakikatnya, itu hal terbaik yang bisa dilakukan seorang penari. Percayalah, nanti
keahlianmu akan banyak gunanya.”
Kuamati ia yang bersiap pergi. Jadi hanya sampai sebegini saja rahasia yang bisa ia
bagi?
“Aku tetap ingin terlibat Yo?”
“Tentu. Akan ada saatnya, tunggu saja.”
Dirapatkannya jaket kulitnya, kemudian menghilang di balik malam. Dan aku tak boleh
ikut serta? Enak sekali menikmatinya sendirian. Kita datang bersama, maka sepantasnya kalau
kita berjalan berdampingan. Kalau kau tak mau menunjukkanku jalannya, kurasa aku cukup
pintar untuk menemukan jalan itu sendirian.
Aku percaya tiap orang berhak menentukan garis nasibnya. Kita bisa meminta pada
orang tentang sesuatu, tapi tak bisa kita tentukan hasilnya. Kadang diberi kadang tidak. Kalau
diberi tentu. Kalau tidak, minta saja dari yang lain. Haryo tak mau memberi yang kumau, maka
akan kucari sendiri.
Aku sempat datang ke perkebunan bunga Leiderdorp di jatah hari libur Haryo. Melihat
siapa tahu ada yang bisa kujadikan petunjuk. Beberapa orang yang bukan Eropa sempat kutemui,
kutanyai tentang Haryo. Mereka hanya angkat bahu sambil menggeleng. Pikirku, aku yakin
mereka tahu sesuatu. Mungkin karena tak mengenalku, mereka memilih bungkam. Salah satunya
hanya katakan, “Seingatku Haryo pernah menyebut Warung Djawa.”
Keingintahuanku yang lain hanya disambut jawaban tidak tahu. Kecuali tanyaku tentang
letak tempat itu.
Tarian Sunyi Page 63
Seperti yang orang itu bilang, warung itu kulihat di sebelah kiri jalan. Tak jauh dari toko
kue Eve. Tempat yang kecil, tidak menarik. Yang tampak hanya plang besarnya „Warung
Djawa‟.
Seorang pelayan menyambut begitu aku masuk. Diantarnya ke satu meja dekat jendela,
ditarikkannya kursi, lalu dipersilahkannya aku duduk.
“Ada yang ingin Anda pesan sekarang?”
Kuraih lembaran menu di meja. Tak ada warung di Jawa punya cara macam ini. ini adat
Eropa.”
“Bawakan saja yang menurutmu enak.”
Dia pasti lebih tahu yang mana yang enak. Tempat ini betul tak mencerminkan Jawa.
Harusnya bukan meja-meja bundar untuk beberapa orang yang sedikit seperti ini, tapi meja
panjang yang mana banyak orang bisa makan bersama. Dan bukannya kursi satu-satu, tapi
lesehan beralas tikar pandan. Dia kembali tak lama, membawa pesananku dalam talam berukir
warna coklat.
“Apa Anda datang sendirian?”
“Kenapa?”
“Tidak biasanya pengunjung perempuan datang sendirian.”
“Oh.”
“Tapi tak apa, tidak masalah.”
Kuperhatikan warung ini sedang sepi, hanya satu dua orang yang datang. Cepat datang
dan cepat pula pergi, silih berganti. Merasa tak dibutuhkan lagi, pria yang melayaniku
menyempatkan diri mengangguk sebelum menjauh.
Ah, makan sendirian membuatku memiliki cukup waktu melihat-lihat. Meja kursi dan
sebagian besar perabot diwarna coklat mengkilat. Sewarna pohon, sewarna tanah. Lukisan satu
pendopo agung yang entah dimana digantung menutupi sudut kiri di belakang meja kasir. Dan
tiap sudut dilukisi dengan ukir-ukiran warna coklat, seolah sudut-sudut itu terbuat dari kayu jati.
Warna coklat yang dominan itu suram. Namun, kesan itu tak tampak di sini. Cara
mereka mempadu-padankan coklat dengan warna-warni bunga tulip menjadikan coklat bagian
dari warna ceria.
Saat acara makanku tampak selesai, pelayan yang sama mendekat.
“Ada lagi yang ingin Anda pesan?”
Tarian Sunyi Page 64
Aku menggeleng.
“Tidak, tolong katakan harganya. Dan satu lagi, aku ingin bertanya sesuatu kalau kau
tak keberatan.”
“Tentu saja.”
“Apa teman saya Haryo sering datang kemari?”
Pria itu tertegun, bingung. Kurasa ada sesuatu, bahasa tubuhnya berubah. atau sedang
berfikir, karena pernah mendengar nama itu suatu kali. Meski akhirnya ia menggeleng.
“Maaf, saya tak tahu.”
Kubalas dengan anggukan, membayar makanan yang kupesan, kemudian pulang. Sekali
dua kali aku datang, dia boleh tak percaya padaku. Tapi pada kali berikutnya, aku yakin ia akan
bicara. Ya, aku akan datang lagi esok hari dan mencoba membuat diriku dipercaya.
Kedatanganku yang kedua di warung itu dibiarkan saja. untung saja pada kedatanganku
yang keempat, pria yang pernah melayaniku mencegatku di tak jauh dari warung.
Katanya, “Dimana kerjamu?”
“Kenapa?”
“Sebelumnya kau tak pernah tampak makan siang di warung. Apa kau baru saja dapat
pekerjaan di sekitar sini?”
“Memang apa hubugannya makan dengan pekerjaan? Apa yang tempa kerjanya jauh tak
boleh datang?”
“Bukan begitu. Hanya tak lazim perempuan pergi jauh sendirian.“Tidak. Tapi tidak
biasanya seorang wanita muda datang sendirian kemari.” Dia diam sebentar. Lalu lanjutnya,
“Apa maumu sebenarnya? Dan siapa Haryo?”
Kata-katanya tidak terlontar spontan. Terlihat sekali berhati-hati meski mungkin
keingintahuannya tentangku tak terbendung lagi.
“Dan kau kenapa ingin tahu?” Sama-sama berkeras lebih dulu mendapat jawaban, kami
malah hanya berjalan beriringan di bawah sengat matahari siang.
“Kalau jawabanmu masuk akal, akan kuberitahu yang kau inginkan.”
Aku sibuk berfikir hal mana dari penjelasan Haryo yang bisa kubagikan dengan pria ini.
seseorang yang tak kukenal, juga tak kuketahui alasannya ingin tahu.
Tarian Sunyi Page 65
“Temanku Haryo selalu keluar tiap malam. Bahkan sehari setelah pertunjukan besar
kami, dia juga pergi. Kurasa itu aneh, sebab aku tahu dia sebenarnya sedang sangat lelah.
Mempersiapkan pertunjukan seperti appun pasti menguras tenaga.”
“Pertunjukan yang mana?”
“Lakon ludruk Aryo Wibisono di Neve, aku dan dia yang menyiapkannya.”
Dia gigit bibir, dan dahinya lagi-lagi berkerut agar terlihat berfikir keras barangkali.
“Neve jauh. Kalau kau mau, kutunggu di depan warung jam tujuh nanti malam. Ikutlah
denganku, kau akan tahu jawabannya.”
Pria itu mundur, berbalik kemudian menjauh. Seperti pria-pria lain yang sempat
kutanyai, dia tak memberi nama apalagi alamat. Hanya memberi keterangan singkat yang tak
akan jelas maksudnya jika tak berusaha diungkap.
Malamnya, aku sampai di depan rumah makan sekitar jam tujuh. Entah kurang entah
lewat. Dimana-mana senyap. Dia yang seharusnya menungguku tak terlihat. Namun saat
kuteruskan langkah mendekat, dia muncul dari satu sisi di kegelapan. Ia berjaket dan bercelana
panjang hitam.
“Ayo,” katanya.
Kuikuti ia berjalan. Sebisa mungkin mengikuti langkahnya yang panjang.
Dinginnya malam ini menusuk, pantas saja sedikit orang berseliweran di jalan.
Sebaliknya, rumah-rumah benderang. Mungkin karena musim dingin hampir tiba. Jadi tergoda
untuk pulang, menyalakan perapian, kemudian menyulam, atau merencanakan yang harus
kulakukan pada latihan tari berikutnya. Tidak! Hal itu bisa ditunda nanti setelah aku tahu yang
Haryo sembunyikan.
Ekor mataku terus merekam langkah kami yang berbelok di gang di kanan jalan.
keberadaannya yang berbelok di gang. Dan beberapa kali lagi berbelok di gang kecil dengan sisi
kanan dan kirinya adalah bangunan yang bentuknya hampir sama. Andai punya pilihan, aku
takkan mau melewati jalan yang seperti ini. Terlalu sulit mengingatnya.
Dan kini aku setengah berlari mengejar langkahnya. Aku tak sempat lagi mengamati
sekitar. Yang kutahu, setelah beberapa waktu yang cukup membuat nafasku memburu, kami
sampai di tempat terbuka. Hembus angin yang menggoyang dedaunan, membuatnya
bergemerisik, sungguh terasa lapangnya. Lalu berhenti di depan sebuah rumah berpagar tembok
tinggi.
Tarian Sunyi Page 66
Katanya, “Itu tujuan kita.”
“Rumah itu tak berpenghuni!” sentakku.
Bagaimana mungkin rumah tak terawat macam ini jadi jujugan? Lihat saj rerumputan di
halamannya yang meninggi, ranting pepohonannya yang tak beraturan.
“Kau yang mengikutiku, jadi anggap saja aku yang lebih tahu. Terserah saja mau ikut
masuk atau tidak. Tapi kuingatkan, di sini sepi. Kalau tak masuk, kau akan tinggal sendirian
sampai aku kembali.”
Bagaimana ini? Aku juga tidak hafal jalan kembali. Sungguh tak adakah pilihan lain?
Betul, rumah ini aneh. Gerbangnya tertutup tapi tak terkunci. Hampir tak ada tanaman
hias, dan hanya pohon cemara yang tumbuh tinggi sekeliling pagar sebelah dalam yang tampak
rapi.
Ah! Aku lupa sesuatu!
“Siapa namamu?” Kulirik dia bersamaan dengan didorongnya pintu gerbang terbuka,
namun dia malah tertawa.
“Kau ceroboh,” ujarnya.
“Ya, tapi kau tetap harus katakan.”
Dia melenggang.
“Nanti kau akan tahu sendiri.”
Kuikuti dia menyusuri celah sempit di balik bayang-bayang cemara sampai ke sisi
belakang rumah. Kemudian masuk ke dalam lewat pintu kayu yang tersamar deretan pot tinggi.
Mungkin kau kira langsung saja kutemukan orang-orang bergerombol. Ternyata tidak.
Masih harus terlewati entah berapa belas anak tangga untuk menemukan pintu ruang atas yang
tertutup juga.
“Ini jawabannya. Haryo yang kau cari ada di sini hampir tiap malam.”
Jadi kemari selama ini ia pergi.
“Dia pernah katakan padaku, mungkin suatu saat teman perempuannya akan datang
mencarinya. Dia minta aku mengentarmu kemari, juga mengantarmu pulang. Atau kalau kau
masih tak percaya, aku bisa memintanya keluar sebentar.”
“Ya, minta ia keluar sebentar.”
Sebentar ia menghilang. Katanya setelah kembali, “Ia yang akan menemanimu pulang.
Sementara menunggu, kita bisa bicara. Kau tak ingin katakan sesuatu?”
Tarian Sunyi Page 67
Gelengan kepalaku sudah cukup menjawab. Tubuhnya bersandar santai pada punggung
kursi, dengan telapak tangan terentang di belakang kepala sebagai bantal.
“Aku punya harapan suatu saat nanti tiap orang akan dianggap setara dalam segala hal.
Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tapi beberapa kurun belakangan ini, yang seperti
itu tak terjadi. Kenapa? Kau tahu sebabnya? Karena orang-orang yang dianggap kelas bawah
menerima saja perlakuan itu dan tidak melawan.
Ya, aku ingin sekali mewujudkannya. Melawan.”
Kudengarkan saja.
“Karena banyak hal yang seharusnya kita miliki, yang seharusnya bisa kita lakukan, jadi
terhalang karena pembedaan itu.” Akan kulakukan yang bisa kulakukan, Laras.”
Dia tersenyum. Mungkin tersenyum pada impiannya, atau mungkin malah
mentertawakannya. Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Haryo.
“Ras, kita pulang sekarang.”
Kutoleh pria di sampingku. Dia mengerti, memang ini yang sedang kutunggu.
“Namaku Sapto. Datanglah ke warung kalau kau ingin bicara denganku.”
Tarian Sunyi Page 68
Ah laut,
meski tak lagi berkutat dengannya, saya selalu suka.
Karena kami pejuang samudra.
Bagaimana tidak bila sebagian tanah kami lebih rendah dari permukaan laut,
Dan sehari-hari kami adalah berfikir caranya agar laut tak kuasa merenggut?
Tarian Sunyi Page 69
BAB IV
Rijkaard
Lazimnya, semua orang kulit putih akan sejahtera jika datang ke Hindia. Tak peduli
apakah di negeri asalnya mereka gelandangan, kere, atau bromocorah sekalipun. Di sini, mereka
akan diberikan kuasa, hak-hak istimewa, serta tanah. Tentu saja jika mereka menjadi abdi
pemerintah.
Saya begitu juga. Saya berangkat dari Holland dengan bekal seadanya, beberapa
pakaian dan celana serta sedikit uang, dan tiba di sini sudah dengan kuasa dan kehormatan dalam
genggaman. Apalagi yang kurang?
Saya sadar betul bahwa kehadiran kami di negeri ini tidak selalu dijunjung tinggi. Ada
segelintir orang yang tetap bertekad untuk tidak mengakui kami mesti secara tersembunyi.
Mereka sebut kami berbuat licik dan curang untuk mewujudkan keinginan kami. Tak kurang-
kurang Tuan Van Disch mengingatkan tentang hal itu. kalau betul begitu, orang-orang kami lah
yang membuat masalah. Jadi yang perlu saya lakukan pertama kali adalah menarik simpati
mereka. Akan saya bela kepentingan mereka, akan saya beri yang mereka mau.
Yang saya lakukan sehari-hari adalah memeriksa laporan dari saudara muda saya Gusti
Bupati dan pejabat pangreh praja lainnya, kemudian melaporkannya pada Tuan Residen di
Surabaya, memeriksa kas negara di M, dan menghadiri undangan para pembesar pribumi. Yang
lainnya, berkuda dari satu tempat ke tempat lainnya, menelusuri jalan-jalan yang tak pernah
dijadikan jalur dalam kunjungan-kunjungan resmi. Saya ingin melihat sendiri kondisi rakyat.
Kadang saya lebih suka jalan kaki, kuda saya tuntun saja. Saya senang menatap wajah
rakyat saya satu demi satu dan bergumam dalam hati, „Inilah rakyat saya, orang-orang yang
harus saya ayomi‟. Sekalgus saya ingin memeriksa apakah penyelewengan yang dicapkan pada
pejabat Eropa oleh sekelompok pembelot itu betul-betul orang-orang saya yang lakukan, atau
malah para pejabat pribumi di bawah saya.
Kadang-kadang dengan menyelinap di antara sekian banyak penonton, saya ikut
melihat yang rakyat saya nikmati. Saya sempat diajari bahasa Jawa sebelum berangkat kemari.
Tarian Sunyi Page 70
Ada gunanya ternyata. Setidaknya saya bisa mengerti yang sedang rakyat saya nikmati. Nanti
setelah kembali ke Holland, saya pasti tak akan sanggup melupakan yang sempat saya alami di
sini.
Ada satu lagi yang pasti akan teringat, yaitu ketika seorang wanita Jawa menyusup ke
dalam kamar peristirahatan saya dan memukul saya hingga roboh. Saya hanya tak habis pikir
bagaimana seorang perempuan Jawa yang dididik bertingkah laku lembut dan berpembawaan
halus bisa sampai memukul. Jelas saya jadi meragukan didikan itu, setidaknya didikan yang
wanita itu dapat. Entah dimana ia sekarang.
Semua kesenangan itu sayang sekali tak dapat saya cecap lama. Saya harus pulang ke
Holland setelah masa tugas berakhir karena kondisi kesehatan ibu saya tidak baik. Maka segera
saja saya tulis surat pada Tuan Residen agar beliau segera bisa membuat permohonan
penempatan pejabat baru menggantikan saya, sebelum saya kirimkan permohonan untuk tidak
memperpanjang masa tugas saya di Hindia ke Batavia.
Dan Tuan Residen memanggil saya beberapa hari kemudian.
“Kau sudah pikirkan baik-baik keinginanmu ini?”
“Sudah Tuan.”
“Kalau kau meninggalkan Hindia, kau hanya akan mendapatkan pesangon dan biaya
pulang ke Holland. Sedang hak tanahmu otomatis akan dicabut.”
“Saya sudah mempertimbangkannya baik-baik Tuan.”
Pria paruh baya itu menghela nafas berat. Kumis tebalnya bergerak-gerak. Ditepuk-
tepuknya bahuku.
“Sayang sekali. Apa kau tidak bisa minta saja ibumu yang menyusulmu kemari?”
“Saya tak pernah bisa membayangkan meminta itu dari ibu saya.”
“Aku tahu kemampuanmu, Nak. Pemerintah Hindia akan sangat kehilangan seorang
pekerja yang giat sepertimu, terutama aku. Tapi bagaimanapun, aku menghargai keputusanmu.”
Pria itu memelukku.
“Permohonanmu ke Batavia biar aku yang urus. Sementara itu tinggallah dulu sampai
kutemukan penggantimu.”
“Saya mengerti.”
Setelah bicara dengan Tuan Residen, saya segera kirim permohonan tidak
memperpanjang tugas ke pemerintah pusat. Agar nanti saat Tuan Residen tiba di Batavia, tinggal
Tarian Sunyi Page 71
menyelesaikan saja dan segera bisa dibawa kemari sura tanggapannya. Sekaligus Tuan Residen
mengurus penempatan pejabat baru.
Tak sampai dua minggu, dua pucuk surat diantarkan ke kantor saya. Satu berstempel
pemerintah pusat di Batavia di Batavia, dan satu lagi bertuliskan nama Huizen Mattius di
belakang amplopnya. Kedua surat itu tertuju pada orang yang sama : Rijkaard Pieters. Saya.
Surat yang berstempel berisi keputusan tidak memperpanjang masa tugas saya. Sedang
surat dari Tuan Residen mengatakan bahwa beliau masih berada di Batavia, sedang
mengusahakan harga yang cocok untuk menumpang kapal pemerintah. Juga mengusahakan satu
hal lain yang tak bisa dijelaskan lewat surat. Beliau hanya berpesan agar saya berangkat segera
setelah surat ini tiba.
Kata si kurir pengantar surat, “Tuan Residen berpesan supaya saya mengantarkan Tuan
ke Batavia.”
Tak terbilang terima kasih saya. Tuan yang baik hati itu juga telah mengirim pemandu
jalan sekaligus.
“Berapa lama saya bisa tiba di Batavia?”
“Kalau tak banyak halangan, satu minggu bisa sampai Tuan.”
“Baiklah, kita berangkat besok. Kudamu tinggalkan saja di sini, besok kita pakai kuda
yang baru. Sekarang kau istirahat saja dulu.”
Salah satu penjaga pintu mendekat melihat lambaian tanganku. Saya suruh ia membawa
si kurir ke peristirahatan dan melayaninya baik-baik.
Saya pulang. Lewat pelabuhan Batavia, dengan menumpang kapal dagang pengangkut
rempah yang akan berlayar ke Holland. Setelah Tuan Residen tak berhasil membujuk kapten
kapal pemerintah memberi harga miring. Katanya, yang diberikan pelayanan khusus hanya abddi
pemerintah dan bukannya mantan abdi. Jadi kalau saya yang mantan abdi ini harus membayar
penuh kalau ingin menumpang.
Dari pelabuhan menuju selat Sunda, terus ke selatan ke Samudra Hindia. Mengikuti rute
yang pernah diambil Vasco da Gama pada tahun 1497. Lalu mengitari sebagian besar Afrika
sebelah selatan, sebelum bertemu dengan perairan Portugal. Kemudian ke utara, ke Holland.
Tarian Sunyi Page 72
Beberapa kali kami singgah di darat. Kami menukar rempah secukupnya dengan
perbekalan, lalu berlayar lagi.
Asal kau tahu, para pedagang tak ada yang mau rugi. Kapal pengangkut rempah ini
datang Hindia untuk membeli rempah banyak-banyak, sebab berlimpahnya persediaan di tempat
asalnya membuat harganya murah. Setelah muatannya penuh, kapal ini akan berlayar pulang. Di
sanalah rempah akan dijual seluruhnya dengan harga tinggi.
Omong-omong, kenapa hanya menjual secukupnya saja di persinggahan? Karena
semakin dekat jarak tempat penjualan dengan dengan tempat penghasilnya, orang tidak akan
mau membeli dengan harga tinggi. Sedang di Eropa, orang akan mau membeli dengan harga
berapapun karena persediaannya yang terbatas. Orang tak akan mau berlayar mengarungi
separuh bumi hanya demi barang yang segelintir saja.
Dan kini, baru saja seorang kawan mengatakan padaku bahwa perairan Holland jauhnya
tak sampai seratus kilometer dari sini. Tak lama lagi kami akan berbelok di Sungai Rhine,
kemudian merunutnya sampai tiba di pelabuhan Amsterdam.
Kau tahu yang nampak di wajah para awak kapal ini? Kegembiraan tak terhingga.
Sebab semakin detik terlewat, semakin dekat kami dengan tanah kelahiran. Dengan orang-orang
yang dirindukan.
“Hei Rijkaard!” Satu panggilan mengalihkan lamunan saya. Herman.
“Ada apa?”
“Kapten menyuruh kita berkumpul di geladak. Pertemuan biasa.”
Dia mendekat, merangkulku erat.
“Cepat kau selesaikan pekerjaanmu lalu ke geladak. Kutunggu di sana.”
Saya mengangguk. Saya dorong dia pergi.
Semua telah hadir saat saya tiba. Kecuali beberapa orang yang memang tak bisa
meninggalkan bagiannya. Untung saja samudra sedang tenang.
“Aku yakin kalian sudah tahu hal pentingnya. Jadi dengarkan baik-baik. Ini daftar calon
peserta lelang potensial yang harus kalian temui.”
Mereka orang-orang yang diperkirakan akan membeli banyak muatan kami. Daftar itu
bergulir dari satu tangan ke tangan yang lain.
“Catat siapa saja yang ingin turun ke darat, dan siapa saja yang akan tetap di kapal
bersamaku. Lelangnya dua minggu setelah kita merapat. Ingat, hari Selasa jam 9 pagi.”
Tarian Sunyi Page 73
Serentak gaduh. Masing-masing sibuk menyuarakan keinginannya. Aku memilih tetap
tinggal di kapal. Saya rasa pengalaman yang ini yang mungkin tidak akan terulang lagi.
Sekitar tujuh harian kawan-kawan berkelana seminggu lamanya teman-teman yang
mendapat bagian untuk menjaring para peminat rempah, sebelum kembali dan menyampaikan
perolehannya. Kata mereka, kantor perwakilan resmi urusan dagang pemerintah juga berjanji
untuk mempromosikan lelang kami. Saya sempat bingung, apa istimewanya. Bukankah memang
sudah seharusnya?
Kenyataannya tidak begitu, kata Herman. Biasanya, lelang kecil tidak pernah
diprmosikan. Memang tidak ada aturan seperti itu, tapi para penyelenggara lelang kecil cukup
tahu diri. Tidak ada cukup cukup uang untuk membayar pajak siaran.
Tapi kali ini, mengapa perwakilan resmi bersedia. Ya karena penyelenggaraan lelang
sangat sedikit bulan ini. Laut sedang tak bersahabat, dan gelombangnya sedang tak bisa
diperkirakan. Saya pikir, pasti ada batas minimal pajak dagang yang disetor tiap harinya ke kas
negara. Jadi karena pendapatan yang besar tak ada, yang kecil pun tak apa.
Dan saat inilah yang dinanti. Puncaknya.
Pagi-pagi buta kami tiba di gedung lelang. Cek akhir kebutuhan sudah kami lakukan
kemarin, sekarang tinggal menjalankan. Menjelang jam delapan, beberapa orang silih berganti
datang. Bertanya ini itu kemudian pergi. Mungkin baru datang lagi jam sembilan, kalau
memutuskan kembali.
Berikutnya dua orang berkulit coklat yang datang. Yang satu berjas perlente, dan
satunya cukup berkemeja saja. Mereka berjalan berdampingan, sama sekali tak tampak rikuh
berada di sekeliling orang Eropa.
Masih jauh dari jam sembilan tapi mereka tak memutuskan pergi, malah meminta
diantarkan ke dalam. Si perlente itu tersenyum lalu mengajak saya bersalaman. Saya sambut juga
meski rikuh rasanya. Tak biasanya seorang Eropa bersalaman dengan orang kulit berwarna,
apalagi yang tak punya kedudukan.
Saya antar mereka ke dalam, lalu saya persilahkan menempati bangku di deret tengah.
Betapa kagetnya saya saat si pria kulit coklat yang berjas itu tersenyum dan bicara, “Saya peserta
Tarian Sunyi Page 74
lelang yang datang pertama kali, betul? Tentunya saya berhak memilih dimana saya akan
duduk.”
Sungguh sikap dan cara berlaku orang ini membuat saya terpaku. Setengah terkejut,
saya antarkan mereka duduk di tempat yang mereka mau. Di tempat strategis tepat di depan
panggung lelang. Saya masih tak henti-hentinya terpana, bahkan sampai sayatinggalkan mereka
dan bertemu kembali dengan kedua kawan saya
“Mau apa mereka?” Herman melirik sengit.
”Ikut lelang.”
“Tapi mereka tidak punya hak!” sentaknya.
“Biarkan saja, Herman. Kalau tak mampu, mereka takkan berani datang lagi. Biar ini
jadi pelajaran langsung buat mereka. Lihat saja seperti apa jadinya.”
“Ya Herman, biarkan saja. Asal kita untung besar, siapapun yang beli tak jadi masalah.
Begitu kan Rijkaard?” Itzak berusaha menenangkan Herman.
Anggukan kecil dan sebelah alis yang ditinggikan saya kira cukup memberi jawaban.
Meskipun otak saya terus berputar, mencoba mengerti bagaimana orang macam mereka berani
ikut lelang di Holland. Dan lagi, tak peduli kecil atau besar, bagaimana mereka diijinkan ikut
lelang sedangkan orang harus terdaftar di kantor perwakilan resmi untuk ikut berdagang?
Saya tak sempat berpikir lebih banyak lagi, sebab para peserta lain mulai datang. Jam di
dekat kami menunjuk angka sembilan. Sebentar lagi.
Sayup-sayup dari dalam terdengar para peserta bergantian mengajukan tawaran. Sekitar
setengah jam saya rasa, sampai suara gemuruh memekakkan terdengar. Prosesi lelang awal
selesai. Lalu terdengar sayup-sayup para peserta saling mengadu harga lagi. Kemudian gemuruh
lagi. Demikian berulang beberapa kali, sampai proses lelang berakhir dan para peserta keluar
dari ruangan. Tak selama biasanya, tapi pasti rempah kami sudah terjual seluruhnya.
Kapten keluar bersama dua orang berkulit coklat yang tadi datang pertama kali.
“Rijkaard, para Tuan ini ingin melihat barangnya. Ayo!”
Ternyata.
“Pembeli lainnya langsung menemui kita di gudang. Aku akan kesana lebih dulu. Dan
kau, temani Tuan-tuan ini ke gudang kita.” Kapten memberikan secarik kertas pada saya, catatan
barang lelang yang dua orang ini menangkan. Lebih dari separuh. Mereka yang paling banyak
menang.
Tarian Sunyi Page 75
Saya ikut kedua orang itu dengan kereta mereka, sedang Kapten naik kereta sewaan
langsung ke gudang. Tak lama waktu yang diperlukan kereta ini untuk mengantar kami ke
gudang. Langsung kubawa mereka ke dalam, ke karung-karung rempah yang mereka
menangkan. Kapten segera menyusulku ke sana. Pemenang yang lain belum ada yang datang.
“Selamat datang Tuan-tuan sekalian. Semua ini,” ditunjuknya barang yang ditumpuk di
sisi kiri kami, di pojok utara gudang, “Adalah barang-barang yang akan Tuan-tuan bawa pulang.
Mari, silahkan diperiksa dulu. Kami tak ingin ada yang dirugikan dalam hubungan dagang kita.”
Segera saja Kapten menggiring mereka ke sana. Kapten dan lelaki yang berjas berhenti
di dekat karung lada. Sementara pria berkemeja yang kukira usianya lebih muda, saya bimbing
memeriksa karung pala. Saya bantu ia mengecek isi dalamnya.
Kami tak sempat bicara banyak. Namanya Haryo, datang kemari dari Jawa dengan
kawan perempuannya. Dan saya beritahu ia nama depan saya : Rijkaard. Itu saja.
Lelaki ini menutup kembali karung pala, lalu beranjak pada karung lainnya.
Lelaki yang lebih tua mendekat pada kami. Katanya, “Kereta barang sudah datang.”
“Saya mengerti.”
Mereka berpamitan.
Kata Haryo lagi, “Saya senang bisa berbincang dengan Anda, Rijkaard. Saya berharap
kita bisa berjumpa lagi suatu saat nanti.”
“Tentu saja. Selamat jalan.” Saya iyakan.
Kemudian kereta sewaan itu membawa pergi sosok mereka. Dan kereta itupun segera
tertutup dengan kereta barang besar yang membuntuti dari belakang. Saya dan Kapten masuk
lagike gudang, membantu kawan-kawan melayani para pemenang lelang.
Tujuh hari semenjak hari lelang, urusan perdagangan selesai. Rempah sudah diambil
oleh pemilik barunya, tempat lelang sudah dibayar, gudang sudah dibersihkan, bahkan
keuntungan penjualan juga sudah dibagi-bagi. Sekarang hari terakhir kami bisa bersantai-santai
di darat. Karena besok, gudang ini akan dikembalikan beserta pembayarannya.
Tarian Sunyi Page 76
Besok juga, kapal akan dibawa ke galangan, diperbaiki, dipoles, dipercantik lagi, agar
layak lagi dibawa berlayar. Sementara kami akan diberi libur dua minggu penuh untuk
bercengkrama dengan keluarga.
Biasanya, malam terakhir di dermaga dihabiskan dengan bersenang-senang di luaran.
Tapi Kapten meminta kami tetap tinggal malam ini. Katanya ada sesuatu hal penting yang harus
disampaikan. Jadilah kami berdiam, menunggu. Padahal langit sedang cerah.
Semua segera berkumpul ketika Kapten datang.
“Besok kalian boleh pulang,” Kapten buka suara.
Ah, kalau yang ini saya tahu. Pasti baru pembukaan. Pandangannya menelusuri kami
satu persatu.
“Dan sebelum semuanya pulang, baiknya kusampaikan bahwa kawan kita Rijkaard tak
akan bersama kita lagi di pelayaran berikutnya. Aku tahu kalian sudah tahu, namun tak ada
salahnya kusampaikan lagi.”
Dihisapnya cerutunya. Asapnya mengepul naik.
“Sudah lama aku berfikir aku lelaki yang sendirian. Dari hari ke hari hidupku di laut.
Kapal ini yang jadi istriku. Dan kalianlah yang menjadi anak yang kusayang dan kubela
sepanjang waktu. Sedang anak dan istriku sendiri kutinggalkan di daratan.
Aku tak ikut merasakan jungkir baliknya mereka untuk hidup. Aku tak pernah ikut
merasakan bahagianya berkumpul untuk merayakan sesuatu bersama mereka. sampai tiba
masanya tubuhku tak lagi kuat mengarungi samudra. Nah anak-anak, inilah pelayaran terakhirku.
Karena setelah ini, aku igi menebus semua masa yang terlewat bersama anak dan istriku.
Tapi bagaimana dengan kalian? Aku tak mampu berhenti begitu tanpa memikirkan yang
terjadi dengan kalian selanjutnya.”
Disesapnya lagi asap cerutunya dalam-dalam. Semua diam, hanya sesekali beradu
pandang. Mungkin inilah gongnya.
“Kapal ini hidup dengan kerja keras kita semua. Sekarang kupasrahkan pada kalian.
Kalau ada yang mau menggantikanku, kapal ini akan kuserahkan.”
Malam ini tidak akan jadi malam yang biasa.
Perubahan besar akan terjadi keputusan manapun yang diambil. Dan dua minggu
liburan sehabis berlayar, saya tak yakin berjalan sesuai kebiasaan.
“Kenapa tiba-tiba Kapten?”
Tarian Sunyi Page 77
Lelaki tua itu menggeleng.
“Tidak. Aku hanya baru merasa sekarang lah saat yang tepat. Pikirkanlah dulu malam
ini. Dan besok pagi sebelum kalian pulang, katakan padaku keputusan kalian.”
Saya yakin malam ini tiap orang sedang banyak pikiran.
“Rijkaard, kau tak ingin katakan sesuatu pada kawan-kawanmu?”
Seorang kawan menimpali, “Ya Rijkaard, katakanlah sesuatu.”
“Baiklah.” Kucermati satu persatu wajah mereka.
“Kawan-kawan, senang sekali bisa merasakan seperjalanan dengan kalian. Segala yanng
saya alami akan selalu saya ingat dan jadi pelajara yang amat berharga. Semoga yang baik-baik
yang terkenang dalam hati kita.”
“Kau juga pergi besok?” katanya lagi.
Saya iyakan kemudian kami berangkulan. Herman menyelipkan sesuatu di telapak
tanganku.
“Kenang-kenangan,” katanya.
Saya tukar hadiahnya dengan saputangan. Satu demi satu saya tukarkan milik saya
dengan barang-barang mereka, sampai hampir semua isi tas berganti. Kecuali uang dan barang-
barang pribadi yang musti saya bawa pulang. Termasuk yang harus saya bawa saat melapor ke
departemen jajahan Amsterdam.
Kapten yang memberi peluk perpisahan terakhir memberikan pisau lipat kesayangannya
sebagai kenang-kenangan. Saya tukar dengan sebatang pena berukir yang terbawa dari Hindia.
Herman dan Itzak menghampiri, melepaskanku dari pelukan Kapten.
“Malam ini bukan saatnya untuk tidur kawan. Ini hari terakhir kebersamaan kita di sini,
mari habiskan bersama.” Itzak merapatkan rangkulannya.
Kapten mengangguk mengerti. Malam ini cerah, kami berjalan-jalan di dermaga. Dan
tak hanya bertiga ternyata. Kawan-kawan sedang menanti di depan gudang.
“Biasanya, kita selalu menghabiskan malam terakhir dengan bersenang-senang. Apalagi
malam seistimewa ini. Ayo semua bersenang-senang.”
Kau pasti tahu, dermaga memang tak pernah sepi bahkan di malam hari. Selalu ada
kapal yang datang dan pergi, hilir mudik silih berganti. Tapi malam ini sangat indah. Kami
berjalan dan terus berjalan, sambil saling berkisah. Dan saya bercerita tentang kehidupan saya di
Tarian Sunyi Page 78
Hindia sampai akhirnya harus pulang ke Holland. Dengan beberapa hal yang saya lewatkan,
terutama tentang jabatan asisten residen.
Sampai menjelang pagi, saat tiap orang harus melanjutkan hidupnya sendiri.
Yah, perjalanan nasib memang tak pernah bisa diperkirakan. Keputusan yang dibuat
satu orang yang berada dalam kelompok, pasti mempengaruhi keputusan orang dari komunitas
yang sama. Dan sedikit banyak, secara langsung atau tidak, juga mempengaruhi orang-orang
yang berhubungan dengan kelompok itu.
Beberapa kawan yang usianya tidak muda, ada yang memilih untuk mengambil
keputusan yang sama dengan kapten. Beberapa lainnya, yang merasa kehidupan di laut lebih
menjanjikan, memilih tetap berlayar. Mereka pikir berlayar membuat mereka tetap mampu
menafkahi keluarga. Apalagi dengan semakin banyaknya tuntutan masyarakat terhadap anak-
anak mereka.
Kapal akan tetap berlayar. Seorang kawan yang mengambil alih pimpinan. Dan bagi
para awak kapal yang pulang, ditugaskan merekrut awak kapal baru. Betul kan, libur takkan
berlangsung seperti biasa saja.
Saya dan beberapa kawan yang memutuskan untuk meninggalkan kapal, diantar oleh
kapten baru dan kawan-kawan sampai batas kota Rotterdam, sebelum saya meneruskan
perjalanan ke sebuah desa dekat ibukota. Tempat ibu selalu menunggu saya pulang.
Ah laut, meski tak berkutat lagi dengannya, saya akan selalu suka. Karena kami orang-
orang Holland adalah pejuang lautan. Bagaimana tidak jika sebagian wilayah kami lebih rendah
dari permukaan laut, dan sehari-hari kami terus berfikir caranya agar laut tak merenggut tanah
kami.
Mama saya membuat taman di sekeliling rumah. Sejauh mata memandang, yang
tertangkap adalah wujud bunga tulip. Kata Mama, bunga tulip sedang mekar-mekarnya di desa
kami saat saya lahir. Alam pun merayakan kelahiran saya. Jadi, Mama merombak taman di
sekeliling rumah kami menjadi taman tulip. Meskipun masih ada terselip beberapa jenis bunga
lainnya, tapi tetap tak sedominan bunga tulip. Dan, kata beliau, andaikan saya pergi kemanapun
Tarian Sunyi Page 79
dan beliau hanya bisa menunggu kepulangan saya, memandang bunga-bunga itu membuat beliau
selalu merasa dekat.
Tak terasa kereta yang saya tumpangi berhenti.
“Hei Nak, ini rumah Nyonya Pieters.”
Teguran itu membuyarkan lamunan saya.
“Ah iya. Terima kasih.”
Saya selipkan rijksdaalder ke genggaman tangan lelaki tua ini. Kemudian si lelaki ini
menghela kudanya berbalik, memaksa kuda itu menarik lagi gerobak tuanya. Selepas
kepergiannya, saya pandangi cermat rumah berpagar kayu setinggi pinggang di depanku. Masih
seperti dulu.
Dengan ransel berat di punggung, saya berjalan ke pintunya. Sambil memandangi
bunga-bunga tulip hidup yang segar. Pelan-pelan sesungging senyum terlukis di bibir ini. Bunga-
bunga yang terawat membisikkan sesuatu pada saya, yang akan saya buktikan kebenarannya
sebentar lagi.
Pintu segera terbuka saat saya ketuk sekali saja. Dan Mama muncul dari baliknya,
terpana. Kain sulaman masih menggantung di lengan kirinya.
“Rijkaard!”
“Hai Ma, putramu sudah pulang sekarang.”
Senyumnya melebar. Senang sekali bisa memluk Mama lagi.
“Saya bahagia bisa pulang dan melihat Mama baik-baik saja. Tapi kenapa menatapku
seperti itu? Apa Mama tak senang melihat saya pulang?”
“Tentu saja saya senang. Bagaimana kau ini! Tapi tubuhmu bau. Kau seharusnya mandi
lebih dulu sebelum memelukku. Sekarang Mama Ibu jadi harus mandi lagi!”
Mama selalu berkata saya sudah dewasa. Membiarkan saya berfikir dan memutuskan
banyak hal sendiri, tapi memperlakukan saya tak ubahnya anak-anak yang musti diingatkan
untuk mandi. Kadang memukul pantat saya kalau dirasanya saya berbuat salah. Apa kata orang
melihat pria dewasa dipukul pantatnya? Seperti yang baru saja Mama perbuat pada saya.
Dibukakannya pintu kamar mandi, lalu didorongnya saya masuk.
“Mandilah. Sementara ibu siapkan makanan untukmu.”
Kalau masih seperti biasanya. Semua toples kue akan keluar dari lemari. Dan makanan-
makanan yang saya suka akan sudah ada di meja saat saya keluar dari kamar mandi.
Tarian Sunyi Page 80
“Mama kira kau akan pulang dengan kapal pegawai bulan lalu. Mama sudah siapkan
makanan kesukaanmu. Tahunya baru sekarang. Duduk dan makanlah, Mama tahu kau kelaparan,
kekurangan makan pula.”
Diambilnya handuk yang tersampir di pundak saya, lalu keluar. Mungkin menjemurnya
di belakang, seperti biasanya.
“Sekarang katakan bagaimana kau bisa pulang?”
Sambil menyuapkan makanan, sesekali saya sela dengan bercerita.
“Sebenarnya bisa saja naik kapal pemerintah, Ma. Tapi karena saya hanya mantan
pegawai dan bukannya sedang menjadi pegawai, maka saya harus bayar mahal kalau ingin naik.
Jadi lebih baik saya ikut kapal lainnya.”
“Memangnya kapal apa sampai anakku yang tampan jadi tak terawat?”
Saya mengerling jenaka. Dan Mama menggeleng-geleng. Saya memang tak jelaskan
kapalnya, tapi saya kira Mama sudah paham kalau ini jelasnya bukan kapal penumpang yang
semestinya. Mana ada seorang ibu yang tak mengerti kebiasaan anak-anaknya.
“Mama tanya itu kapal apa?”
Saya tertawa, Mama masih gigih ingin tahu.
“Kapal pengangkut rempah. Mama jangan salah, ada untungnya saya tak ikut kapal
pemerintah. Saya jadi tahu banyak hal. Saya belajar berlayar Ma, juga lelang rempah di dermaga.
Dahi Mama berkerut makin tajam, dan pluk! Satu pukulan mampir di lengan saya.
“Sebenarnya tak hanya sekali dua kali Mama mengajarimu. Tapi kenapa kau tak paham-
paham juga. Kau harus berhubungan dengan orang-orang penting kalau ingin jadi orang penting.
Bukannya naik kapal rempah!”
Saya hanya bisa angkat bahu. Saya dengarkan saja, sambil membantu beliau membawa
peralatan makan kotor ke dapur.
“Sekarang bagaimana?”
“Saya akan temui kepala pegawai daerah jajahan. Saya akan bicara dengan beliau.”
“Bicara apa?Kau masih mau minta dipekerjakan di kementrian itu? Kau harus pikir dulu
Rijkaard Pieters, pengalamanmu masih sedikit. Atau di daerah lainnya yang jauh-jauh itu? Kalau
begitu untuk apa minta pulang?”
Sekarang saya betul-betul percaya bahwa wanita yang melahirkan saya ini adalah yang
paling pengasih yang pernah Tuhan ciptakan di dunia. Bodoh sekali pria yang meninggalkannya.
Tarian Sunyi Page 81
Saya hujani pipinya dengan ciuman, dan pelukan. Terhirup oleh saya bau kasih sayang yang
selalu mampu membuatku tenang.
“Saya takkan minta ditugaskan di tempat jauh Ma. Saya hanya akan minta ditempatkan
di Holland. Saya tentu takkan sanggup jauh-jauh lagi dari Mama.”
Ketegangannya sirna.
“Apa kau yakin mereka akan menerimamu?”
“Saya tak tahu, Ma. Kita lihat saja nanti seperti apa jadinya.”
“Dan kalau mereka tak mau menerima?” Saya hanya mampu memberinya senyuman.
“Saya yakin Tuhan masih menyimpan sesuatu dalam diri saya yang bisa saya andalkan.
Saya juga masih puya tabungan, kita bisa beli lahan dan membuka peternakan kita sendiri.”
Disusupkannya jemari tangan tuanya di sela-sela helai rambutku, lalu mengacaknya.
“Aku tahu pengalaman mampu mendidik putraku jadi lebih dewasa. Seseorang yang
mampu menimbang baik buruk dan menentukan keputusan dalam kehidupannya.”
Lalu kata Mama lagi, “Tatalah barang yang akan kau bawa besok. Sementara Mama
buatkan bekalmu.”
Saat ini di kantor kementrian jajahan, saya sedang menunggu di ruang tamu. Menanti
panggilan dari penerima tamu untuk bertemu dengan orang yang sama lima tahun lalu. Hari ini
adalah kali kedua, harusnya tidak menjadi tempat yang asing lagi. Sayangnya, kesibukan
masing-masing membuat mereka tak saling peduli. Kecuali penerima tamu, tak ada yang begitu
peduli untuk menyapa semua yang datang.
“Tuan Pieters.”
Nama saya disebut. Satu orang penerima tamu menghampiri.
“Mari saya antarkan,” katanya.
Sebenarnya aku tahu betul tempatnya. Tapi memang beginilah birokrasi, aturan yang
dibuat konon untuk melindungi. Pria itu mengantar sampai depan pintu, kemudian meninggalkan
saya setelah terdengar suara seseorang menyuruhku masuk.
Pintu pelan-pelan saya buka. Tepat seperti dulu, pintu yang terbuka tersambung
langsung dengan pandang cermat si pemilik ruangan. Tuan Van Disch.
Tarian Sunyi Page 82
“Silahkan duduk dulu. Ada yang perlu kubantu?”
“Saya ingin melaporkan keberadaan pasca habisnya masa penugasan saya di Hindia.”
Pria itu menutup berkas-berkas di mejanya, lalu memasukkannya ke laci.
“Nama saya Rijkaard Pieters. Saya ditugaskan sebagai asisten Residen M lima tahun
lalu. Menurut ketentuan, saya diharuskan melaporkan keberadaan jika tak melanjutkan
pengabdian saya.”
“Ada surat keterangannya?”
Saya letakkan surat itu di meja. Dicermatinya isi surat itu, seraya menandai beberapa
bagian dengan tinta merah.
“Baiklah. Tinggalkan suratmu sebagai arsip di sini. Apa kau butuh rekomendasi?
Mungkin kau butuh melamar pekerjaan.”
“Sebenarnya saya ingin bekerja di kementrian jajahan.”
Surat kedua saya letakkan di meja.
“Ini rekomendasi dari atasan saya, Tuan Residen Huizen Mattius. Saya harap ini bisa
jadi bahan petimbangan.”
Surat itu dibacanya. Dipandangnya saya bergantian dengan surat itu.
“Bisa kau jelaskan alasannya?”
“Saya ingin pengalaman saya di Hindia dapat termanfaatkan di sini.”
“Memangnya pengalaman apa yang kau punya sehinga aku seharusnya
mempekerjakanmu?”
Saya belum sempat memberi jawaban saat pintu ruangan diketuk. Seorang staf –
kelihatannya – masuk dengan membawa setumpuk berkas, lalu diletakkan di rak samping.
Kemudian membisiki Tuan Van Disch sesuatu.
Mereka sempat melirik saya.
“Saya sungguh ingin bekerja di sini? Aku punya tawaran pekerjaan yang bisa menguji
pengalamanmu. Kau tertarik?”
Padahal saya belum katakan apapun tentang pekerjaan yang saya mau. Tapi ini
kesempatan, yang mungkin takkan terulang. Toh saya bisa saja mundur kalau tak cocok.
“Ya, saya tertarik.”
“Kalau begitu kau ikut saja dengan Frank. Dia yang akan jelaskan.”
Pria yang membawa berkas itu tersenyum
Tarian Sunyi Page 83
“Ya, mari ikuti saya.”
Charlie membawa saya melewati koridor yang sambung menyambung, sampai di
ruangan ujung di lantari teratas. Seseorang duduk di belakang meja saat saya masuk ke dalam.
“Tuan, ini pria yang dikirim Tuan Van Disch.”
Frank memberikan lembaran surat yang segera saya tahu sebagai surat rekomendasi dan
surat keterangan tugas saya. Dibacanya seksama lalu dilipatnya lagi.
“Silahkan duduk. Kita perlu berkenalan dulu. Frank, tolong tutup pintunya.”
Frank meninggalkan kami berdua setelah menutup pintu.
“Jadi kau baru saja selesai bertugas di Jawa?
“Ya Tuan.”
“Pekerjaan yang kutawarkan ini hampir kesemuanya melibatkan pemahaman akan diri
orang-orang Hindia, atau Jawa karena kau ditugaskan di sana. jelaskan padaku seberapa besar
kau mengerti mereka?”
“Saya melihat dua strata dalam lingkup masyarakat Jawa, priyayi dan jelata. Priyayi
berasal dari keturunan para raja dan kerabatnya, sehingga keseharian mereka juga mengadopsi
tata aturan keraton. Kalangan ini terpetakan dengan kelemahlembutannya, serta kestabilan yang
mereka inginkan alam kehidupan. Dalam pikiran mereka, trah mereka ada untuk mencontohkan
pada rakyat biasa bagaimana sopan santun dan trapsusila para raja Jawa dijalankan. Di sisi lain,
kestabilan hidup yang mereka pahami adalah suatu keadaan dimana mereka tak perlu bekerja
untuk hidup. Rakyatlah yang harusnya bekerja untuk kesejahteraan mereka.
Di sinilah intinya, kondisi stabil. Hidupi saja orang-orang ini, dan mereka akan tunduk
dengan kemauan kita. Yang saya maksud, buat mereka tergantung dengan jenis-jenis pekerjaan
serta jabatan yang kita ciptakan. Saya yakin kebanyakan orang akan lebih baik gaji yang sudah
pasti daripada sejumlah besar uang yang tak pasti.
Dan orang-orang jelatanya, saya pikir mereka bukan orang-orang yang punya inisiatif.
Jadi setelah kita berhasil merangkul para priyayinya, rakyat biasa akan tunduk dengan
sendirinya.
Terkadang ada yang menyadari bahwa yang kita lakukan ini merusak tatanan hidup
masyarakat mereka. Beri saja mereka jabatan atau apalah agar mereka tak banyak lagi berulah.
Saya yakin, pada dasarnya tidak ada orang yang mau hidup susah.
Tarian Sunyi Page 84
Itu yang pertama. Yang kedua, buat mereka terkagum-kagum dengan segala yang
berbau Eropa. Adat kita, pengetahuan kita, orang-orang kita. Hanya tinggal selangkah kita bisa
menerapkan yang kedua ini bila yang pertama sudah teramini.
Yang saya ungkapkan tadi adalah rencana-rencana. Bolehkan saya mengungkapkan
yang lainnya?”
Pria itu mengangguk.
“Tentu. Katakan saja semua yang kau pikirkan.”
“Sebetulnya saya kagum pada Jawa, dan kesuburan yang mengikuti namanya. Namun
karena sikap mereka yang selalu menganggap segala sesuatu yang datang dari luar itu bagus,
keindahan yang mereka punya lambat laun menghilang. Seninya, budayanya. Saya sangat
menyayangkannya, meski itu memang efek yang harus mereka tanggung atas langkah kita.
Saya juga mengagumi trapsusila terhadap orang yang lebih tua yang mereka ajarkan
pada anak keturunan mereka, keramahan para pejabat prajanya.
Satu lagi yang saya tangkap dari cara hidup mereka, mereka orang yang terlalu penakut
menghadapi kehidupan dengan menenggelamkan diri dalam hal yang sebetulnya bukan esensi.”
Pria itu mempermainkan penanya. Cermat sekali mendengarkan yang saya katakan.
“Ya, ya, kita berusaha memahami orang Jawa. Lalu bagaimana pendapatmu tentang
karakteristik orang Jawa yang tinggal di Holland?”
“Saya pikir sama saja dengan prototipe orang Jawa pada umumnya. Tapi ketika mereka
tinggal di Holland, saya yakin berbagai gesekan yang mereka alami dengan bangsa-bangsa lain
membuat mereka banyak berfikir. Yang mulai mampu berfikir inilah yang perlu diwaspadai dan
dipantau perkembanganya.”
“Lalu kewaspadaan macam apa yang ingin kau terapkan?‟
“Terutama aktifitas sosialnya, kita harus memantaunya. Tapi satu hal yang harus kita
mengerti bahwa pemantauan itu harus dilakukan dengan rapi, atau katakanlah yang mampu
mengatasi masalah tanpa bukti yang bisa mengarahkan tuduhan pada pihak kerajaan. Agar
mereka tak meningkatkan kewaspadaan.”
Dia tersenyum. Semoga pertanda baik.
“Pemikiran yang bagus. Waktu singkat yang kau manfaatkan di sana tidak sia-sia. Data
dirimu tinggalkan di sini, biar kupelajari. Sekarang ayo ikut denganku.”
Tarian Sunyi Page 85
Lelaki itu memasukkan surat-surat serta data diri saya ke laci meja yang paling atas, lalu
memberiku isyarat mengikutinya. Datang ke sebuah ruangan lain berpenjaga dan hanya orang-
orang berwajah serius yaang ada di sana.
Seseorang di ujung meja pertemuan ini berdiri melihat kedatangan kami. Tuan yang
bicara banyak dengan saya, berjalan mendekat pada orang itu, lalu mengatakan sesuatu padanya.
“Semua sudah datang. Mari kita mulai saja. Dan dia,” katanya seraya menunjuk pada
saya, “Adalah rekan baru kita Rijkaard Pieters. Selamat bergabung Pieters. Terima kasih sudah
mengantarnya kemari, Dissels.”
Seseorang yang duduk paling dekat dengan saya menarikkan kursi, lalu dipersilahnya
saya duduk. Mereka pasti sudah saling kenal, sebab tak ada lagi yang diperkenalkan selain saya.
Sebelum pergi Tuan Dissels berbisik, “Mulai sekarang di sinilah tempatmu. Baik-
baiklah. Dan itu Gautier Thomas, tanya saja padanya jika kau ingin tahu sesuatu.
Sedikit demi sedikit saya mulai mengerti yang terjadi. Dan secara terurut, begini
ceritanya. Sudah umum diketahui bahwa selama ini sebagian dari orang-orang bangsa kita yang
tinggal di Hindia kembali kemari dengan membawa serta abdi mereka yang orang Hindia.
Seiring berjalannya waktu, entah karena si tuan meninggal dan penerusnya tak menginginkan
abdi itu atau sebab lain, banyak abdi yang dilepas. Beberapa diantaranya mendirikan „Warung
Jawa‟. Penyelidikan awal mengungkap bahwa si Jawa satu ini mendirikan usaha dengan modal
dan jerih payahnya sendiri.
Yang membuat kami tak habis pikir adalah bagaimana mungkin seorang abdi berbuat
sejauh itu, bahkan yang tidak dipikirkan oleh kaum priyayi.
Hanya rumah makan kecil awalnya, kemudian berkembang. Entah bagaimana, si Jawa
berhasil menjalin hubungan baik dengan orang-orang bangsa kami. Sehingga selain sesama Jawa
yang datang ke rumah makan itu, juga bangsa Eropa.
Data kami menyebutkan si Jawa ini memiliki beberapa usaha lain yang mana semua
pekerjanya adalah orang sebangsanya. Dan orang sebangsa yang ia percaya, dibantu modal untuk
mendirikan usaha. Berkembang, dan berkembang lagi. Sampai di taraf yang mengkhawatirkan,
saat di kota maupun di desa mulai bermunculan kios-kios dan usaha lain yang diketahui milik
orang-orang Hindia.
Lalu dimana letak masalahnya? Masalah pertama ada pada terus berkembangnya usaha
mereka. Sebenarnya jika berpegang pada asas „kesejahteraan hak semua orang‟ maka mereka
Tarian Sunyi Page 86
juga berhak memperbaiki nasib. Namun jika dibiarkan, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan
mengganggu kesejahteraan orang-orang asli Holland, serta negara. Kenapa, bagaimana ulah
mereka bisa mempengaruhi negara kita? Karena jika kesejahteraan rakyat kita menurun, maka
dunia usaha sulit merangkak juga. Apalagi saat ini kita sedang memperoleh banyak perlawanan
dari para penduduk daerah jajahan, yang pastinya ikut menguras kas negara.
Masalah yang kedua, entah bagaimana pikiran mereka bekerja hingga bergulir sebuah
pemikiran aneh : mereka menginginkan agar pemerintah Kerajaan Holland mendesak pemerintah
Hindia memberikan perbaikan nasib bagi kawula Hindia. Dan orang-orang sebangsa si pemilik
Warung Jawa inilah yang melakukannya.
Meskipun belum ada pernyataan resmi terkait hal ini, kami tahu ini hanya tinggal
menunggu waktu. Dan kami yang ada dalam ruangan ini, adalah tim eksekutor. Tugas kami
adalah mencegah pemikiran aneh itu agar tidak semakin banyak menyebar apalagi terlaksana.
Dari tujuan itulah keberhasilan kami diukur.
Meski kami tidak pernah ada dalam struktur yang tercantum dalam kementrian ini, kami
tahu betul yang harus kami lakukan. Demi negara dan rakyat kami.
Setiap orang harus mengikuti perkembangan sekecil apapun. Dan siap berkumpul
kapanpun. Kemudian pertemuan dibubarkan. Semua pergi membawa urusannya sendiri-sendiri,
tinggal tersisa Tuan Thomas dan saya.
“Kau baru di sini. Kupikir kau perlu belajar lebih banyak untuk mengikuti pemikiran
rekan-rekanmu yang lain.”
Saya pikir juga begitu, gumam saya dalam hati.
“Ayo ikut aku. Ada yang harus kau pelajari di ruang arsip pribadiku.”
Jika dulu Tuan van Disch membawa saya ke ruang arsip negara, kali ini Tuan Thomas
membawa saya ke ruang arsip pribadinya. Satu ruang tersembunyi yang dibuka lewat panel
rahasia di di belakang lemari. Dia meninggalkan saya sendirian, setelah mengatakan kalau dia
akan kembali tiga empat jam lagi.
Dan yang saya lakukan berikutnya adalah mencoba memahami dan menyerap data
orang-orang kulit berwarna di negeri ini, terutama bangsa Hindia. Kau pasti sudah tahu
sebabnya. Membaca populasinya, persebarannya, pekerjaannya, serta perkumpulan-perkumpulan
yang mereka punya. Kemudian mencoba menggabungkan fakta-fakta tersebut dengan asumsi-
asumsi yang mengalir, guna memprediksi beragam kemungkinan peristiwa yang akan terjadi.
Tarian Sunyi Page 87
Ada sesuatu yang berkembang di pertemuan kali ini.
“Orang-orang yang menyebut dirinya perwakilan rakyat Hindia mereka mengajukan
permohonan untuk bertemu dengan Yang Mulia Ratu. Mereka mengajukan beberapa tuntutan,
dua hal yang paling pokok adalah tentang kesejahteraan dan pendidikan untuk orang-orang
Hindia.”
Tuan Thomas membagikan lembaran kertas pada tiap orang.
“Itu salinan tuntutan mereka, silahkan dipelajari. Perlu kutekankan kembali, tim kita
sengaja dibentuk untuk menangani permasalahan ini di luar jalur diplomasi. Jadi tugas kita
adalah meminimalkan dampak dari apapun keputusan yang diambil dalam pertemuan tersebut.”
Hening.
“Ada peribaratan yang harus kalian tahu bahwa orang yang terdidik baik akan selalu
punya solusi atas masalah yang dialaminya. Sebaliknya, orang yang tak terdidik akan berfikiran
sempit dan cepat menyerah. Yang kita lakukan selama ini adalah menciptakan tipe orang yang
kedua dalam diri orang-orang itu. Jadi yang harus kita lakukan dari awal hingga akhir adalah,”
dia menunggu, hingga seluruh perhatian terpusat padanya, “membuat hal itu tidak berubah.
Mengerti? Lebih teknis ada yang ingin bicara?”
“Saya tidak tahu pemerintah akan mempertimbangkannya seperti apa, tapi lebih baik
sarankan saja untuk mengabulkan keiginan mereka. setidaknya agar mereka tetap beranggapan
bahwa kerajaan Holland selalu mengayomi mereka. Yang kita butuhkan hanya memperkecil
akibat yang mungkin muncul. Tepat seperti yang Tuan Thomas bilang, membuat mereka
berfikiran sempit dan mudah menyerah.”
Pitt yang bicara. Nama itu terjahit manis di atas saku baju seragamnya.
“Saran itu akan kusampaikan. Tujuh orang yang ada di sini, akan dibagi menjadi tiga
tim. Tim pemantau, tim penggarapan mental, dan tim penggarapan fasilitas. Aku yang akan
memimpin langsung misi ini, sekaligus pemimpin tiga tim. Ada yang ditanyakan?”
Pandangan Tuan Lee menyapu kami satu persatu. Tak ada komentar.
“Kalau begitu, tim sudah kubagi. Pieters dan Pitt sebagai pemantau, Jan dan Dennis
sebagai tim penggarap mental, van Hooft dan Ell menggarap fasilitas yang mereka punya.”
Saya dan Pitt, tugas kami memantau para pembelot itu, rencana-rencana pemerintah
juga. Untuk apa? Mendapatkan info bagi dua tim lainnya dan memberi masukan hal mana yang
perlu digarap berikutnya. Yang kami lakukan hanya melihat dan menyampaikan. Tidak boleh
Tarian Sunyi Page 88
bertindak sendiri agar tak terlibat dengan kesulitan apapun. Sudah ada yang ditugaskan untuk
eksekusi. Timnya Jan dan Dennis serta van Hooft dan Ell.
Pitt yang punya banyak relasi di dalam pemerintahan, dia yang masuk ke pemerintahan.
Dan bagian saya mencermati perkembangan orang-orang Hindia itu. Karena saya lebih mengenal
mereka di tempat asalnya dibanding Pitt.
Sebentar lagi pesta ulang tahun Yang Mulia Ratu, sebulan lagi. Pesta besar. Saatnya
para pembesar negeri ini dan para kepala negara sahabat berkumpul untuk memberikan ucapan
selamat pada Yang Mulia Ratu. Rakyat juga akan ikut merayakan, lewat karnaval dan pesta
jalanan.
Hari itu juga pertemuan pra-perundingan resmi wakil pemerintah dengan para pembelot
akan diadakan. Betul-betul kamuflase yang sempurna. Kenapa? Karena orang takkan mengira
maksud kedatangan mereka berbeda dengan kedatangan orang-orang yang lainnya, selama tidak
ada publikasi yang kentara. Cukup yang tahu hanya orang-orang yang berkepentingan, kami dan
mereka.
Pitt mengharuskan saya datang. Mungkin dipikirnya saya yang mengerti mereka akan
bisa melihat sesuatu yang tidak semua orang bisa melihatnya. Sesuatu yang bisa melancarkan
pekerjaan kami. Dan dia sudah mempersiapkan segalanya dengan sempurna untuk saya. Peran
pendengar, dan seseorang yang ditugaskan menyiapkan saya untuk posisi itu.
Tarian Sunyi Page 89
Kau tahu kenapa aku malah menyuruhmu bersembunyi, Adi?
Perjuangan ibarat sebuah rumah.Ia ada di tengah alam,yang kadang mengirim
banjir atau badai, atau tak menentunya cuaca, untuk merusaknya.
Apa menurutmu orang yang bisa berlindung di dalamnya bila bagian yang rusak
tak diperbaiki?
Maka itulah yang kami lakukan dengan membawamu kemari.
Tarian Sunyi Page 90
BAB V
Soesilo Adiprojo
Untuk satu hal yang tak pernah kumengerti ujungnya, bergulirnya sang waktu dan
perjalanan nasib. Keajaibannya yang tak pernah tertebak oleh alam pikiran manusia
mengombang-ambingkan jiwa sang makhluk Tuhan dari satu ujung ke ujung lainnya. Dari satu
alur nasib ke alur nasib lainnya, dari tempat satu ke tempat lainnya. Duhai manusia yang tak
pernah tahu dimana ia akan berada di sisi waktu yang berikutnya.
Kami mengajukan tuntutan pada Ratu sebulanan yang lalu. Tidak ada tanggapan.
Mungkin, surat kami belum dibaca. Atau, langsung ditumpuk di bagian dokumen tak penting
seselesainya dibaca.
Mungkin mereka melakukan itu karena mereka pikir kami akan diam saja. Salah kalau
sampai mereka berfikiran seperti itu. Salah besar! Kami akan tetap berupaya selama punya daya.
Coba tebak yang kami lakukan? Kami buat pamflet-pamflet, kemudian
menempelkannya di papan-papan pengumuman penting di seantero kota besar di negeri ini.
Andai saja kami punya akses ke media umum, kami bisa berbuat lebih daripada ini. Akan lebih
banyak orang yang membaca, seiring dengan bertambah banyak orang yang mengerti dan
mendukung keinginan kami.
Waktu berjalan, kenekatan kami mulai mendapat tanggapan. Isu-isu mulai menyebar.
Namun yang seperti ini saja tidak akan cukup. Dengan wakil kerajaan menyatakannya sebagai
hasil perbuatan orang tak bertanggung jawab, habislah sudah. Maka kami buat media kecil-
kecilan, namanya Suara Djawa. yah, semacam buletin lah. Diedarkan pada orang-orang Jawa di
Amsterdam dan kota-kota lainnya.
Kau ingat Warung Jawa yang kuceritakan dulu? Ada fasilitas bacaan di sana. Sambil
menunggu pesanan diantarkan, orang-orang bisa menghabiskan waktu dengan membaca. Dan
Tarian Sunyi Page 91
Suara Djawa, berdampingan dengan surat kabar Holland, bisa dipinjam oleh setiap pengunjung
yang datang. Demikian juga di Warung Djawa yang di Amsterdam
Semakin banyak orang yang tahu. Tulisan-tulisan dari warga Holland sendiri mulai
bermunculan di media, mempertanyakan pada kerajaan dan kami, fakta sebenarnya dari kabar
yang santer beredar.
Puncaknya ada di hari ulang tahun Ratu beberapa jam lagi. Mereka mengundang kami
untuk datang dan membicarakan permohonan kami.
Hari ini ulang tahun Ratu, kau tahu. Ulang tahun Ratu! Beliau yang sudah begitu
banyak berbuat untuk negeri ini sedang berbahagia, maka patutlah jika kami rakyatnya juga
berbuat yang serupa. Arak-arakan kerajaan, dilanjutkan dengan karnaval indah yang
menampilkan pesona tersembunyi sebuah negeri bernama Holland dihelat seharian. Sedang nanti
malam, sebuah pesta kerajaan yang dihadiri Ratu dan para petingginya serta para petinggi negara
sahabat akan digelar semalaman.
Perjalanan kami ke istana sedikit terhambat oleh arak-arakan ini. Meski begitu, kami
menikmatinya, kesemarakan yang dihelat hanya setahun sekali.
“Menurutmu, apa yang akan mereka katakan nanti?”
Seseorang membuat lamunanku terpecah. Hari.
“Bukannya mereka bilang ingin membicarakan tentang permohonan kita?”
“Aku tak yakin.”
Pandangannya lurus ke depan. Ia cemas.
“Kau harus ingat, Di, kedatangan kita ke sana bukan hanya untuk kunjungan biasa atau
memberi selamat saja. Kedatangan kita betul-betul untuk memperjuangkan yang menjadi hak
kita. Tak bisa main-main.”
“Memang tak ada yang mau main-main. Hanya saja tak harus segelisah itu. Kita harus
tenang supaya bisa berfikir jernih.”
“Aku gugup.”
“Percayalah. Selama kita benar, Tuhan selalu punya jalan.”
Obrolan kami berhenti. Siapapun harusnya paham, kalau akan maju berperang yang
terpenting adalah keberanian dan kejernihan pikiran. Masalah kemungkinan kalah, perasaan
takut dan gelisah, taruh jauh-jauh di belakang. Jangan dilirik sekarang.
Tarian Sunyi Page 92
Beberapa orang berseragam pengawal menyambut kedatangan kami di gerbang selatan
istana, kemudian membawa kami ke ruang pertemuan.
“Mari, Tuan-tuan. Wakil Ratu sudah menunggu.”
Dua pengawal membukakan pintu, kemudian pengawal lainnya mengabarkan
kedatangan kami. Orang-orang yang ada dalam ruangan serentak berdiri. Dan pelayan mengantar
kami ke tempat. Ruang pertemuan yang didesain elegan ini rasanya cukup menampung 100
orang.
Dan pria yang berada di salah satu ujung meja ikut berdiri, membungkuk sedikit seraya
berkata, “Selamat datang Tuan-tuan. Kedatangan Anda sekalian sudah kami nantikan.”
Dan juru bicara kami, Prayogo, membungkuk pula dan berkata, “Alangkah
beruntungnya kami mendapatkan sambutan yang seistimewa ini dari perwakilan kerajaan.”
Aku sengaja duduk di deret depan paling ujung, dekat pintu keluar. Dengan meja yang
memanjang ke samping semua yang hadir akan terlihat. Eropa berhadap-hadapan dengan
pribumi Hindia, di meja yang sama dengan tempat duduk yang sama tingginya.
Seorang pria yang duduk di seberang membuatku terpaku. Sepertinya aku pernah
bertemu dengannya. Tapi dimana? Benakku menampilkan kembali pertemuan-pertemuanku
yang penting dengan para pria Eropa, namun tak kutemukan ia di sana. kutampilkan lagi tiap
adegan lebih lama, kuteliti orang-orangnya satu persatu, dan kutemukan! Aku pernah melihatnya
di pelabuhan, di pelelangan rempah.
Tapi apa betul orang adalah orang yang sama dengan yang kutemui di pelabuhan?
Kalau iya, bagaimana mungkin ia bisa berpindah peran begitu cepat. Kalau tidak, bagaimana
mungkin ada dua orang yang begitu mirip.
Pria itu diam seolah acuh dengan yang sedang terjadi. Namun beberapa kali bertemu
pandang membuatku mengerti bahwa itu hanya kesan yang ia ciptakan untuk orang yang tak
memperhatikan sementara ia berfikir dan mengamati. Ah, rasanya tak aneh bila mereka
menempatkan orang-orang khusus untuk mengamati kami. Maka tak aneh pula jika kami
tempatkan beberapa dari kami untuk mengamati mereka.
Sesekali kulayangkan pandang pada Prayogo dan kawan-kawan yang datang sebagai
juru bicara. Tak ada masalah. Pembicaraan bergulir sesuai dengan yang dipersiapkan.
“Jadi, kita akan berjumpa dua minggu lagi. Selamat siang.”
Tarian Sunyi Page 93
“Terima kasih atas kedatangannya. Kami akan sampaikan ucapan selamat serta hadiah
dari Anda sekalian pada Yang Mulia Ratu.”
Prayogo berdiri. Pria yang berdiri di ujung meja, Wakil Ratu berdiri. Serentak teman-
teman kami dan orang-orang mereka berdiri. Kami saling bersalaman lalu pamit pulang.
Seorang kawan sempat menyenggolku dan berbisik, “Apa kita bisa percaya begitu saja
pada mereka?”
“Kita sedang berusaha untuk percaya.”
Hasan menyuruhku datang malam ini, ke rumah yang dulu. Dia menitipkan pesan pada
Atmo, teman sekerjaku di warung. Hasan tak mengatakan apa-apa, hanya berpesan bahwa aku
harus datang.
Beberapa kawan yang duduk melingkari meja, menoleh serempak saat aku masuk.
Mereka bergeser memberiku tempat. Betapa menyenangkannya ketika senyum mereka yang
menyambut kedatanganku.
“Duduklah.”
Aku pun duduk di antara mereka. Heranku, kenapa hanya ada beberapa orang saja. Lain
dari pertemuan biasanya.
“Ada apa?”
“Dengar, sebenarnya masih terlalu dini untuk kau terlibat jauh. Tapi apa boleh buat, ya
memang harus dipersiapkan sebanyak mungkin orang-orang baru. Kita tak pernah tahu yang
akan terjadi di masa depan.”
Aku sungguh tak mengerti. Pandangan kawan-kawan tertuju padaku seolah meminta
sesuatu. Padahal aku sendiri tak mengerti yang sedang terjadi.
“Jelaskan perlahan San. Dia tak tahu yang baru saja kita bicarakan.”
“Tak apa Kang Arya, aku siap mendengar.”
“Kami berfikir satu hal, betul bahwa mereka menjanjikan keinginan kita akan dibahas
saat perundingan. Tapi siapa yang bisa menjamin hasilnya. Kita butuh lebih banyak dukungan,
tidak hanya dari rekan kita sesama Jawa atau Hindia tapi juga Eropa.”
Aku mengerti, butuh Eropa untuk melawan Eropa.
“Orang-orang yang punya kepedulian terhadap kondisi rakyat di daerah-daerah koloni,
mereka yang kita butuhkan. Tuan Venter, dosenmu itu mungkin salah satunya.”
Tarian Sunyi Page 94
“Dalam bentuk apa?”
“Dalam bentuk apapun yang dia kawan-kawannya bisa. Banyak sekali yang kita
butuhkan. Salah satunya, menyebarluaskan impian kita pada masyarakat. Sehingga yang paling
kita butuhkan dari mereka adalah pemuatan tulisan tentang kita di surat kabar. Kita tahu bahwa
orang selain Eropa tak punya hak mempergunakan fasilitas masyarakat secara leluasa.”
Sekarang jelas yang harus kulakukan berikutnya.
“Dan untuk itu kita butuh dukungan dari orang-orang Eropa yang berkedudukan kuat di
masyarakat.” Nada suaranya mantap, sambil menunjuk beberapa lembar kertas secara bergantian
padaku. Menyimpan segenap harapan akan perubahan. Ya, kami semua memiliki ini jauh di
lubuk hati kami, bahwa akan ada perbaikan.
“Aku tidak terlalu dekat dengannya. Aku juga tak tahu apa kita bisa mempercayainya.”
“Kita coba dulu saja. Selanjutnya kita serahkan saja pada kuasa-Nya.”
Kupandangi mereka satu persatu. Kucoba memahami yang mereka pikirkan.
“Aku mengerti,” kataku seraya tersenyum.
“Terima kasih. Kami tahu kau bisa diandalkan.”
Kami bicara lama. Waktu berlalu tak terasa. Dari cermin berukuran paruh badan di
kamar mandi kudapati kantong mata menebal dan sorot mata berkabut menghiasi wajahku. Ah,
aku ingat sekarang. Hari ini genap seminggu aku terus menerus begadang.
Seseorang pernah berkata : dalam mewujudkan suatu impian, entah miliki sendiri atau
milik bersama, yang besar atau yang kecil, harus ada yang mau bekerja lebih keras dari yang
lainnya. Yang mengatur segalanya. Meski pada akhirnya, yang punya peran besar atau yang
hanya berperan kecil, semuanya harus terlibat. Tak ada yang boleh diam saja. Seperti bangunan,
tiap orang punya peran yang tak tergantikan. Mereka mungkin yang berfikir tenang rencana, dan
aku sebagai salah satu pelaksana.
Cermin ini menggurat wajahku dengan presisi yang tepat. Tanpa cela, hingga bisa
kulihat wajah ayah dan bunda. Tentang alasan kuliah dan jam-jam yang tertinggal di kampus
Leiden, teringat perselisihanku dengan Hevga tentang masalah yang sama. Berfikir tentang
kuliah yang serasa tertinggal jauh di belakang.
Sekali lagi kugelontorkan air di wajahku. Ah, sudah saatnya aku keluar dan memikirkan
kembali dunia nyata.
Tarian Sunyi Page 95
“Aku perlu menjernihkan isi kepalaku dulu.” Kuberikan jawaban itu pada pandangan
bertanya-tanya Hasan.
Dia tersenyum. Tangannya ia rentangkan lebar-lebar, terdengar bunyi gemeretuk tulang.
Tubuhnya menyandar. Begitu pula yang dilakukan Abhinaya dan yang lainnya. Mereka lelah.
“Sudah terfikir yang akan kau lakukan?”
“Akan kulihat situasinya dulu. Nanti kukabari.”
Aku sedang bersiap pulang ketika Bhi, menyelipkan lembaran kertas ke dalam tasku.
“Mungkin kau akan butuh ini nanti,” katanya.
Bhi mengantarku hingga gerbang, kemudian berbalik lagi ke dalam. Aku pulang
sendirian. Berfikir.
Tuan Venter akan sulit sekali ditemui. Dia sudah tidak mengajar lagi. Dan satu-satunya
cara agar bisa bicara dengannya adalah lewat surat yang diselipkan lewat bawah pintu rumahnya.
Maka kutulis surat begini setibanya aku di kamar sewaanku,
Yang terhormat Tuan Venter,
Saya ingin mempertemukan Anda dengan kawan-kawan saya, orang-orang yang ingin
Anda bilang waktu itu ingin Anda temui. Bila Anda masih menginginkannya, kita bisa bicara
lebih lanjut. Di alun-alun kota sebelah utara, dekat gerbang pada hari Rabu ini jam tiga sore.
Terima kasih
S. Adiprojo
Akan kuantar surat ini besok malam, agar tak menarik perhatian orang.
“Bagaimana? Apa sudah berhasil menemuinya?”
“Hanya kutinggalkan pesan di rumahnya kalau aku akan menunggu hari Rabu di taman
kota. Bagaimana perkembangan yang lainnya?”
“Terus berjalan. Teman-teman juga sedang mengusahakan sebanyak mungkin
dukungan. Yah, agak sulit meyakinkan orang-orang Eropa.”
Tarian Sunyi Page 96
Kami tertawa. Saling tahu kalau kata-kata itu hanya ironi, menyederhanakan dari situasi
aslinya.
“Hari Rahu biar aku yang temani kau. Omong-omong, kenapa Rabu, baru dua hari dari
lagi? Tidak bisakah lebih cepat?”
“Aku tidak tahu bagaimana menemuinya, Bhi, jadi kuletakkan surat itu di rumahnya.
Aku juga tak tahu kapan ia akan pulang. Dan lagi, kupikir dia butuh waktu untuk menghubungi
kawan-kawannya.”
“Ya ya, aku tahu. Kita hanya sedang terdesak.”
Kami sama-sama terdiam, meski duduk berhadapan.
“Apa kau merasa nyaman dengan keadaanmu yang sekarang?”
Kerutan terbentuk di keningku, aku tak mengerti.
“Kau baru saja bergabung dengan kami. Tapi begitu saja kami menyeretmu dalam
pemikiran dan keinginan kami. Apa kau merasa nyaman?”
Hei, kenapa tiba-tiba dia menanyakan ini?
“Kenapa tiba-tiba menanyakannya?”
“Tidak apa-apa. Hanya tak ingin kau menanggung kesusahanmu sendirian. Berjanjilah
kau akan mengatakan pada kami jika kau mendapat kesulitan.”
Alis kanan yang meninggi serta gerakan kepala ke kiri memberikan jawaban : ya.
“Kapan semua berkumpul di Amsterdam?”
“Seminggu lagi. Tapi hanya kau dan Hasan yang pergi. Terlalu sering pulang pergi
Leiden-Amsterdam sangat melelahkan.”
“Kenapa?”
“”Tetap harus ada yang tinggal di sini, berjaga kalau ada hal mendadal yang harus
dilakukan. Sebetulnya tak benar-benar berdua. Kau dan Hasan mewakili tim dukungan dari kota
ini, sedang tim lainnya masing-masing akan mengirim dua utusan juga.”
“Dan kenapa harus aku?”
“Kami pikir harus ada anggota muda yang terlibat agar tetap ada yang meneruskan
perjuangan kita ini kelak.”
“Aku tak tahu sudah berapa kali kau menyinggung tentang penerus. Sebegitu
pentingkah?”
Mata hitamnya berbinar.
Tarian Sunyi Page 97
“Kau akan tahu nanti, ketika sudah ada generasi setelahmu. Setelah kau memahami
segalanya, kau akan tahu bagaimana rasanya mempertahankan yang sudah dibangun dengan
segenap jiwa raga.”
Baiklah, aku akan sangat menunggu saat-saat itu.
Ah ya, kau ingat lembaran kertas yang diselipkan Bhi di tasku kemarin? Dia menulis
penjelasan tentang dimana sekarang aku berada. Yaitu di sebuah tim dukungan dari masyarakat
Leiden. Lebih tepatnya di tim yang mengusahakan dukungan dari para tokoh-tokoh pendidik.
Yang menggalang dari para tokoh politik lain lagi. Yang menggalang dari masyarakat kecil atau
kaum pedagang, juga sudah beda. Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri.
Penjelasan sepenting itu seharusnya tak dituliskan begitu saja di kertas lembaran.
Terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah. Untung saja segera kubaca, dan kubakar
seselesainya.
Di taman kota hari Rabu. Ditemani cahaya teduh matahari sore, sesekali suara jangkrik
dan katak bersahutan, menciptakan simphoni bernama riang. Aku dan Bhi tak lama menunggu,
kemudian sekelebat bayangan mendekat.
Katanya, “Venter tak bisa menemui kalian di sini. Tapi dia akan menemui kalian di
suatu tempat yang aman. Ikutlah denganku, akan kutunjukkan tempatnya.”
Ia membawa kami agak jauh, ke penginapan sederhana, lalu masuk ke salah satu
kamarnya. Pria itu mengetuk pintu, dan seseorang berseru dari dalam, “Ada apa?”
“Mengantar yang kau inginkan.” Kemudian pintu terbuka.
Pria itu masuk lebih dulu. Dan benarlah, seorang lelaki lain yang segera kukenali
sebagai Tuan Venter menengok pada kami. Hanya tiga orang di dalam, orang-orang yang sama
dengan yang datang ke warung pada waktu itu. Kami dipersilahkan duduk, dan pria itu pamit
pergi.
“Waktu kita tak panjang, jadi langsung bicara saja pada pokoknya.”
Untuk waktu yang agak lama aku dan Bhi diam, memandang wajah orang-orang yang
duduk di hadapan kami. Mempersepsi, mengukur kejujuran, kepercayaan, segala yang mungkin
kami percaya untuk berbagi sebuah rahasia.
Tarian Sunyi Page 98
Kupandang wajah mereka satu persatu, menamatkan detailnya. Coba merangkum
pengamatan sekilas dengan berbagai teori tentang struktur tubuh yang membentuk pribadi
manusia. Kami hanya sedang mencoba untuk membangun percaya.
“Nama saya Abhinaya, dan kawan saya Adiprojo. Saya yakin Tuan-tuan sekalian sudah
mendengar tentang pertemuan antara wakil rakyat Hindia dengan wakil kerajaan lima hari yang
lalu. Dan akan diadakan pertemuan resminya sembilan hari lagi.”
“Lanjutkan!” kata Fede.
“Kami meminta kerajaan lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat kami. Salah
satunya dengan memberi fasilitas pendidikan yang lebih baik. Kami tahu itu bukan hal yang
mudah untuk dikabulkan. Jadi kami membutuhkan dukungan dari banyak pihak, supaya kerajaan
betul-betul melaksanakan yang kami inginkan.”
“Lalu dukungan apa yang kalian inginkan?”
“Kami menyerahkan bentuk bantuan pada pemberinya. Namun yang saat ini sangat
kami butuhkan adalah pemuatan tulisan tentang kami di media. Kami ingin menyiarkan cita-cita
kami pada masyarakat lewat tulisan, sehingga tiap orang tahu yang sebenarnya terjadi di daerah-
daerah koloni. Begitulah Tuan.”
Herriet, keningnya berkerut tajam. Fede sama seriusnya, apalagi dengan jari tengah
yang terus menerus mengetuk pinggiran kursi. Sementara Venter membawakan kopi dari dalam.
Herriet sedikit mencondongkan tubuhnya. “Apa kau yakin rakyat Holland akan peduli?
Selama ini Gubernur Jenderal mengabarkan Hindia selalu aman, rakyatnya sejahtera dan
bahagia. Aku ragu yang kalian sampaikan akan dianggap serius.”
“Karena itulah kami membutuhkan dukungan.”
Ruang yang kami huni hening lagi.
“Apa timbal baliknya jika kami membantu kalian? Dan, rasanya akan lebih mudah bila
kalian buat sendiri saja medianya. Fasilitas pendidikan yang kalian maksud itu sekolah? Lebih
mudah langsung kalian dirikan sendiri juga.”
“Banyak hal selain „mudah‟ yang menjadi pertimbangan kami, Tuan.”
“Begitukah? Coba jelaskan, agar kami mengerti!” Pria itu tersenyum, terus menerus
mengaduk kopi. Sorot matanya, senyumnya, seperti paduan rasa yang mengandung tidak
percaya.
Tarian Sunyi Page 99
“Kami menginginkan pemerintah yang mendirikan langsung sekolah-sekolah itu, salah
satunya adalah demi legalitasnya. Kami ingin pemerintah yang mewajibkan rakyat kami
bersekolah. Anda akan mengerti bila berada di posisi kami.
Alasan lainnya adalah biaya. Seharusnya pendidikan yang cukup sudah diberikan
pemerintah pada rakyat walau tak diminta. Jika rakyat Holland mendapatkannya, kawula Sri
Ratu yang lain harusnya juga mendapatkannya.”
“Apa kalian yakin keinginan kalian akan terwujud?”
Bhi tersenyum, memandangku lalu mereka.
“Upaya lah yang terpenting bagi kami. Masalah terwujud atau tidak, biar Tuhan saja
yan putuskan.”
“Ada lagi?”
“Tidak Tuan, kami menunggu jawaban.”
Kukira mereka butuh waktu untuk berfikir. Dan betul!
“Kami tak bisa berikan jawaban sekarang. Akan kami kabari lagi nanti.”
“Ya, kami mengerti.”
Bhi mengajakku pamit. Tentu setelah menghabiskan kopi yang disuguhkan.
Kesepakatan sudah dibuat. Mereka bersedia mendukung kami dalam hal yang paling
esensi : pemuatan tulisan tentang kami di surat kabar. Tiga pria itu yang menghubungkan kami
dengan para Tuan Eropa. Bhi, Hasan, dan dua kawan lain yang tak kukenal yang membuat
kesepakatan dengan mereka.
Terhitung dari sekarang, tinggal delapan hari lagi menuju pelaksanaan pertemuan resmi.
Bhi bilang, mereka janjikan pemuatan tulisan tentang kami tiap tiga hari sekali di surat
kabar kota. Mereka sedang usahakan juga di surat kabar nasional, meskipun tak bisa sesering
surat kabar kota.
Entah bagaimana, mereka tak pernah lagi menyinggung tentang timbal balik.
Sebenarnya aku curiga, secara logika tak ada orang yang mau bekerja tanpa imbalan. Tapi kata
Bhi, mereka tak butuh imbalan dari kita. Sebab pada hakekatnya, yang mereka lakukan ini hanya
Tarian Sunyi Page 100
sedikit balas budi terhadap yang diberikan rakyat kami pada kerajaan Holland selama ini.
Katanya lagi, Tuan Fede yang mengatakannya sendiri.
Sekali lagi, mereka tak bisa berjanji bisa mempengaruhi rakyat Holland. Waktunya
terlalu sempit.
Mereka bantu menghubungkan kami dengan komunitas yang peduli pada nasib rakyat
koloni di seluruh penjuru negeri, satu demi satu. Dan mereka hanya menuntut satu dari kami :
rasa saling percaya.
Bhi dan Hasan yang akan selalu berhubungan dengan mereka, begitulah kebijakannya.
Ah cukup sudah aku berkisah. Ada hal lain yang harus kupikirkan pagi ini. Kuliah.
Aku sempat terpaku di samping gerbang. Baru seminggu tak datang, rasanya banyak
sekali yang berubah. Bukan bangunannya, mungkin juga bukan orang-orangnya. Tapi
suasananya. Mereka yang biasanya tak menganggapku, kini meluangkan waktu meski sekedar
untuk melirik. Dengan tatapan aneh, seolah tak seharusnya aku di sini. Beberapa dosen yang
mengajar di kelasku juga berbuat sama. Bahkan kawan-kawan yang biasanya bersikap ramah.
Awalnya aku bertanya-tanya mengapa. Namun kemudian, segera saja kutemukan
jawabannya. Tulisan tentang kami di surat kabar kota mulai diterbitkan pagi ini. Kurasa tatapan
aneh mereka hanya keingintahuan apa aku terlibat atau tidak dalam gerakan yang tersebut dalam
tulisan itu. Kau tentu sudah tahu. Tapi mereka, demi kebaikan bersama, lebih baik tak tahu dan
tak pernah mendapat jawabannya.
Ah! Begini saja mereka sudah bersikap aneh. Apalagi besok pagi saat pamflet-pamflet
kami sebar lebih banyak. Pasti bakal lebih seru. Dan tentu aku akan makin keranjingan datang ke
kampus, menikmati suasana yang makin panas saja.
Dan malamnya, aku dan kawan-kawan menyebar ke segenap penjuru kota untuk tulisan
ini :
Pada faktanya, terjadi banyak kerusuhan di Hindia pada masa-masa sekarang. Baik yang
besar sehingga menyulut kericuhan tiada henti, maupun yang hanya menyala sebentar kemudian
mati. Kenapa? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Hindia yang dilaporkan sebagai tanah
nan damai dan sejahtera di bawah lindungan Kerajaan Holland bergolak?
Muncullah sebuah asumsi : rakyat Hindia tidak puas dengan wali negeri yang diutus oleh
Yang Mulia Ratu. Kemudian muncul lagi tanya, dalam hal apa ketidakpuasan itu terjadi.
Tarian Sunyi Page 101
Diakui atau tidak, hal paling mendasar yang dibutuhkan manusia adalah yang disebut
orang Jawa sebagai sandang, pangan, papan. Ketika ketiga hal tersebut terpenuhi, maka dasar
keamanan dan kestabilan suatu negeri akan terjamin. Namun manakala hal tersebut tak terpenuhi,
maka yang terjadi adalah kegoncangan. Dan salah satu bentuk kegoncangan yang dapat dilihat
langsung dari tanah Hindia adalah kerusuhan bersenjata.
Merunut lebih jauh penyebab dari rakyat yang tidak mampu memenuhi tiga kebutuhan
dasarnya – sandang, pangan, papan – salah satunya mungkin disebabkan karena kurangnya
pengetahuan rakyat terhadap pemanfaatkan segala hal yang ada di sekitarnya. Dan mengapa
kekurangan pengetahuan ini terjadi adalah karena kurangnya didikan pengetahuan yang diterima
oleh bumiputera Hindia.
Sambil menempel, aku curi-curi baca. Pamflet ini baru jadi satu jam yang lalu. Bhi yang
memeriksa isinya, dan langsung menginstruksikan kawan-kawan untuk berangkat ke sasaran
masing masing.
“Ayo cepat! Sasarannya masih banyak.”
Seorang kawan menyadarkanku pada terbatasnya sang waktu.
“Sekarang dimana lagi?” kataku.
“Papan pengumuman di ujung jalan.”
Kami beranjak. Menyebar sebanyak ini dalam betul-betul melelahkan. Namun, tak
urung rasa penasaran yang menang. Kulanjutkan membaca. Begini lanjutannya :
Dimanakah tepatnya didikan tentang pengetahuan itu diperoleh? Di sekolah. Meskipun
sekolah bukan satu-satunya sarana, namun adalah yang paling efektif pada masa sekarang. Dan
mengingat masih sangat sedikitnya jumlah sekolah yang diperuntukkan pada kawula Hindia, maka
alangkah besarnya harapan kami pada Yang Mulia Ratu dan kerajaan Holland untuk
memperbanyak jumlahnya serta mempermudah jalan bagi kalangan kebanyakan untuk ikut
mencecapnya.
Demi terciptanya kestabilan kondisi di tanah Hindia, dengan tidak adanya kerusuhan,
kemiskinan maupun kelaparan. Demi yang tertanam dalam hati rakyat adalah ketaatan dan
kemuliaan bagi Yang Mulia Ratu junjungan kawula Hindia.
Atas nama kawula Hindia
Hasan Sadiki Usman
Tarian Sunyi Page 102
Suasana yang kusebut aneh dan penuh curiga kemarin, kembali panas hari ini. Apalagi
setelah surat kabar beroplah terbesar di negeri ini beredar tadi pagi. Ada tulisan tentang kami.
Begini isinya :
Saya mendengar kabar bahwa permohonan rakyat Hindia kepada Sri Ratu
tentang penambahan jumlah sarana pendidikan rakyat di Hindia akan ditanggapi dalam
perundingan resmi tujuh hari lagi. Saya sangat bangga terhadap iktikad baik tersebut.
Kawula Hindia turut andil dalam mensejahterakan negeri kita. Mereka telah
menyumbang banyak komoditas berharga bagi serikat dagang kita. Serikat yang menaungi
para pedagang kita di Hindia timur. Dengan demikian, tak salah bila kita menyebut
mereka telah menyumbang banyak untuk kesejahteraan kita.
Maka sudah sepatutnya apabila nanti Sri Ratu kita yang mulia tidak hanya
menutup niat baiknya sampai pada bersedia melaksanakan perundingan saja, namun juga
bersedia menitahkan pada serikat dagang kita untuk membangunkan bagi mereka
sekolah-sekolah, supaya terperhatikan juga segi pengembangan kemampuan hidup anak-
anak bumiputera.
Alangkah bijaknya jika Sri Ratu tak melupakan para kawula Hindia yang ada di
Holland. Berikanlah yang serupa dengan yang akan diberikan pada para saudara mereka di
Hindia.
Dan alangkah akan lebih indah jika rakyat negeri ini memberikan dukungan yang
sama, atau paling tidak setuju terhadap orang-orang yang mendukung keinginan tersebut.
Saya sungguh-sungguh berharap adanya suatu tatanan dunia baru yang mana
tiap-tiap orang punya derajat yang sama, punya hak dan kewajiban yang sama, meskipun
berada dalam kepemimpinan yang berbeda. betapa indahnya keadaan yang seperti ini,
saat semua orang bisa tertawa bersama dan menanggung segalanya bersama.
Terjadi kegemparan di masyarakat luas. Bukan atas pemikiran orang Hindia yang layak
memperoleh didikan, tapi atas pemikiran „semua orang punya derajat yang sama‟.
Sehari berselang, mulai muncul tanggapan. Satu tulisan Herman Vinn, seorang politikus
tersohor negeri ini, muncul keesokan harinya. Ia menegaskan bahwa bagaimanapun orang Hindia
dan Holland adalah berbeda. Menurutnya, bisa saja orang Holland memberi mereka didikan ala
Tarian Sunyi Page 103
Eropa tapi tetap saja mereka Hindia. Mustahil berharap mereka akan bisa duduk sejajar dnegan
kita. Harus disadari kalau kemampuan tiap orang itu berbeda.
Pada intinya, sepertinya dia sepakat kalau Sri Ratu meluluskan keinginan kami.
Mungkin sudah disadarinya sumbangan rakyat kita. Tapi menurutnya, ide tentang kesederajatan
itu tidak realistis. Jadi untuk orang-orang yang punya ide seperti itu, pikirkanlah dulu masak-
masak kalau ingin memuatkannya di surat kabar. Bisa meracuni pikiran orang yang tak mengerti.
Masih banyak tanggapan lain. Baik yang pro atau kontra, baik yang dimuat di media
atau yang hanya jadi obrolan ringan. Baik yang pro-kontra pendapat Vinn, atau pro-kontra
tulisan sebelumnya.
Sepertinya media menganggap isu ini menguntungkan. Dan betul! Ketika mereka
teratur menyediakan setengah halaman mereka untuk isu ini, oplah penjualan mereka meningkat.
Sehingga kami tak perlu membayar halaman khusus. Aku jadi ingat sesuatu, kawan-kawan Eropa
kami harus membayar mahal untuk tulisan yang pertama dulu.
Jangan kira itu saja cukup. Kau ingat Suara Djawa? Media ini sekarang lebih
digalakkan, apalagi dengan semakin mengalirnya bantuan. Beberapa dari para nyonya Eropa
yang Hindia, mereka ingin mendukung cita-cita kami dengan sebagian harta yang kini mereka
punya.
Kami yakin pemerintah tidak akan tinggal diam. Pamflet yang kami tempel di berbagai
sudut kota tahu-tahu menghilang. Orang-orang yang berkumpul dan ketahuan membahas tentang
kami ditangkap dan diamankan meski tidak saat itu juga. Dalihnya, mencegah timbulnya
kerusuhan.
Untungnya, kalau hanya beli surat kabar tidak akan dicekal. Mungkin asumsinya begini
: dengan tidak mengijinkan orang membeli surat kabar berarti menarik mundur rakyat Holland
beberapa abad ke belakang dengan tidak tahu perkembangan negara kita dan negara tetangga.
Bicara tentang tetangga, tersiar kabar utusan Napoleon menemui Sri Ratu.
Membicarakan perkara penting jelasnya. Yang agak janggal, pertemuan dua negara ini malah
tidak dipublikasikan. Malah terkesan ditutupi. Ada apa ya?
Tentang pamflet-pamflet yang menghilang, rasanya tak bisa dicegah. Tidak ada yang
melihat langsung pelakunya, jadi tidak bisa menuduh sembarangan. Yang bisa dilakukan hanya
menggantikan yang hilang. Kami akan tempelkan yang baru di ruang-ruang kosong itu nanti
malam.
Tarian Sunyi Page 104
Kau tahu dimana aku sekarang? Berdiri di ujung jalan, dengan jaket penahan dingin,
dan berjuang keras menahan kuap. Seseorang yang bersikap seolah acuh padahal sedang
mengamati dengan cermat. Sambil tersenyum, bergumam dalam hati „Yang terjadi sesuai dengan
yang diperkirakan‟, kemudian beranjak dari pohon yang menutupiku dari pandangan.
Kau pasti berfikir yang kuceritakan ini mengada-ada, melebihkan dari yang terjadi
sebenarnya. Orang-orang seperti kami mana mungkin bisa menggoncang negeri stabil macam
ini? Membuat para petinggi mendengarkan? Mustahil!
Mungkin mustahil, jika saja Napoleon tak juga sedang bikin perkara dengan Holland.
Kabar yang beredar, orang itu ingin menciptakan imperium baru bagi Prancis. Meliputi Holland.
H-4 perundingan jam 8 malam, anggota timku dikumpulkan. Di markas yang baru di
pinggiran kota Leiden, dekat dengan percetakan yang tak terjaring pengawasan polisi kota.
“Teman-teman kita ada yang menghilang.”
Kawan-kawan yang hadir saling beradu pandang.
“Di Amsterdam, teman-teman kita yang memegang peran kunci menghilang tiba-tiba.
Dua orang ditemukan terbunuh di kediamannya. Dalam pikiranku, bukannya tak mungkin hal itu
juga terjadi pada kita.”
Pernyataan Hasan membuat kami tercengang.
“Kapan terjadinya?”
“Semalam. Jadi masih belum diketahui apakah ini campur tangan kerajaan atau ulah
orang lain yang ingin merecoki kita. Bagaimana menurut kalian?”
Seorang kawan menggeleng-geleng dengan wajah resah. “Aku tak menyangka bakal
begini.”
“Disangka atau tidak toh sudah terjadi.”
Seorang yang lain menyeletuk, “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Bersikap hati-hati, dan menyimpan semua rahasia untuk diri sendiri.”
Aku menunduk. Akhirnya sampai di sini juga. Amsterdam seperti itu, Neve pasti segera
panas juga. Lebih waswas tiap saat.
“Apa rumah ini ada kemungkinan sudah dicurigai juga?” tanyaku.
Tarian Sunyi Page 105
“Bisa jadi.”
“Jadi kita harus pindah lagi?”
Dia menggeleng.
“Tidak perlu. Kita hanya tidak bisa bertemu lagi di sini dan harus mengamankan
beberapa barang. Tak lebih.”
Seorang kawan bertanya lagi, “Lalu dimana berkumpulnya? Barang apa yang musti
dipindahkan secepatnya?”
Bhi menepuk bahu kawan itu. “Rencana sudah disusun Har. Kita tinggal menunggu
perintah.”
Begitukah?
“Sekarang yang penting kita lanjutkan rencana seperti semula. Masalah ini biar
diselesaikan diluar pertemuan malam ini. Sekarang kuminta laporan dari masing-masing orang
sudah berapa banyak yang berhasil diyakinkan untuk mendukung kita.”
“San! Masalah ini bukan hal yang bisa dipandang remeh. Bukankah kau bilang hal yang
berkaitan dengan perjuangan kita harus dipikirkan dan ditanggapi serius?”
“Masalah ini bukannya kuanggap tidak serius. Kita hanya baru akan membahasnya
nanti, setelah bahasan utama selesai.”
Bhi merangkulku dan berbisik, “Tenanglah. Hasan sudah mempertimbangkan semuanya
sebelum memutuskan sesuatu untuk kita. Nanti dia akan bicara langsung pada orang-orang yang
ia inginkan untuk menjalankan rencananya. Semua dapat bagian. Tenang saja.”
“Tapi kalau tak dibeberkan rencananya, tidak akan ada yang bisa menggantikan bila ia
yang hilang. Karena tak ada yang mengerti utuh rencananya.”
“Sudahlah ikuti saja. Kujelaskan setelah pertemuan ini selesai, bagaimana?”
Tak kuberi jawaban, namun Bhi mengartikannya sebagai persetujuan.
Pertemuan berlanjut, dengan penambahan daftar nama pendukung dan bentuk dukungan
yang diberikan, juga sasaran-sasaran baru. Sayangnya terlalu banyak yang masih yang memilih
menyembunyikan identitasnya.
Saat pertemuan berakhir, Bhi menahanku agar tak terburu pergi. Ia mengajakku bicara
tentang banyak hal. Tampak sekali ia berusaha memaksaku tinggal. Dan saat semua sudah pergi,
tersisa bertiga saja, Hasan mendekat.
Tarian Sunyi Page 106
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Ikutlah dengan Bhi, aku segera menyusul.
Hati-hati, jangan sampai ada yang mengikuti.”
Kami tak saling bicara, hanya terus berjalan hampir sepanjang malam. Sampai ke
sebuah rumah pertanian kecil di sisi lain pinggiran Leiden. Awalnya kukira ini hanya pondok
peristirahatan biasa, dengan satu kamar, satu ruang tamu, serta dapur. Ternyata lebih dari itu.
Dindingnya hanya kayu tanpa perapian – kalau perapian rusak itu dianggap tak ada – dan pasti
membeku di musim dingin. Kami masuk ke dalam.
Malam makin larut, dan hanya ada sebatang lilin sebagai penerang.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa musti kemari, tidak di sana saja?”
“Tunggulah sampai Hasan datang. Dia yang akan memberi penjelasan.”
Kau bisa bayangkan bagaimana malam berlalu jika yang tertinggal hanya dua orang
yang sama-sama terdiam. Bhi sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedang aku hanya bisa diam
memandang bagaimana angin berhembus dan dedaunan yang bergoyang. Untunglah Hasan
datang tak lama kemudian.
“San.”
“Ayo ikut aku. Ada yang ingin kutunjukkan padamu.”
Satu persatu kami masuk dalam kamar. Mereka menggulung kasur, hingga tampaklah
lubang – sepertinya jalan masuk – menuju ruang bawah tanah. Hasan memberiku isyarat untuk
masuk.
Kami berjalan dengan lilin sebagai penerang. Ternyata hampir sama sempitnya dengan
rumah induk. Bedanya, ruang ini gelap dan tak bersekat. Dengan barang-barang yang ditumpuk
sepanjang pinggir ruangan.
Dibukanya satu peti dengan kunci yang dibawanya. Tampaklah empat kotak persegi
setelah kain yang menyamarkannya dikeluarkan. Satu yang terbungkus kain warna merah
diangkat, lalu diletakkan di lantai.
“Bukalah. Akan kuberitahu kau apa itu.”
Kubuka ikatan kain di kotak itu, lalu kubaca sekilas kertas yang direkatkan di tutup
kotak. Keningku berkerut.
“Ini dokumen-dokumen yang tersimpan di markas. Pelajarilah baik-baik. Bhi akan
tinggal bersamamu, untuk membantumu mempelajarinya.”
Emosiku mendidih. Berani-beraninya!
Tarian Sunyi Page 107
“Ini kau pindahkan tanpa sepengetahuan kami? Berani-beraninya!”
“Tak ada yang berharap keberadaan dokumen-dokumen ini jadi rahasia umum. Lebih
baik begini.”
“Tapi tidak berarti boleh dipindahkan diam-diam!”
“Suatu saat kau akan mengerti.”
Hasan tersenyum dan tak mengatakan apa-apa lagi. Dia sibuk mengeluarkan kotak-
kotak lainnya dan membuka ikatannya satu persatu.
“Kau suruh aku dan Bhi tinggal di sini berapa lama?”
“Tinggallah sampai ketegangan di luar mereda.”
“Kau menyuruhku tinggal ketika yang lain sedang sibuk berjuang? Kau anggap apa aku
ini! Tidak masuk akal!”
“Dengarkan dulu sebelum mengambil kesimpulan. Bisa kan?”‟
Jalan pikirannya benar-benar tak bisa kupahami. Mana pantas seorang pemimpin
bertindak semacam ini. Aku tak mengerti harus berkata apa. Dan lagi-lagi kediamanku diartikan
sebagaii persetujuan.
“Kau tahu perjuangan ibarat sebuah rumah. Ia berada di tengah alam yang kadang
mengirim banjir atau badai, atau tak menentunya cuaca untuk merusaknya. Apa menurutmu
orang bisa berlindung di dalamnya jika bagian rumah yang rusak tak diperbaiki?”
“Tentu tidak bisa.”
“Maka itulah yang kami lakukan dengan membawamu kemari. Jika suatu saat nanti ada
yang memporak-porandakan rumah kita, perjuangan kita, kalian lah yang harus menggantikan
kami yang hilang.”
Tubuhku menyandar di peti itu, dan Hasan menyandar pada peti lainnya, tak jauh
dariku. Dengan tatakan lilin itu di tangannya.
“Kenapa memilihku?”
“Apa?” Matanya menyipit.
“Beri aku alasan kenapa harus kuterima?”
“Aku tahu pasti berat menerima ini. Butuh kebesaran hati. Tidak bisa berjalan
beriringan, ah! Sejujurnya kami tak punya pilihan lain. Pertimbangannya adalah karena kau
orang baru. Tidak banyak kawan kita yang mengenalmu, maka kemungkinan tak banyak juga
pihak lawan yang mengenalmu. Artinya, kami bisa mengandalkanmu untuk tetap hidup. Kau
Tarian Sunyi Page 108
juga terdidik baik. Apa lagi? Kau pasti bisa menerima keputusan ini, karena aku tahu kami bisa
mengandalkanmu.”
Ditepuknya pundakku berkali-kali.
“Ayo naik. Ada yang harus kukatakan pada Bhi sebelum pergi.”
Sampai di atas, kami menutup lagi lubang itu. Hingga tampak seakan tak ada apapun di
baliknya.
Aku ditinggalkan sendiri saat mereka bicara berdua dalam kamar. Agak lama. Mereka
keluar dan Hasan memelukku. Dia memeluk Bhi lalu berbalik pergi. Aku terdiam melepas
kepergiannya.
“Ayo, kita lakukan sesuatu yang lebih berguna.”
Diajaknya aku mengunci pintu dan menutup semua jendela. Bhi mengepit sekotak
penuh lilin sambil turun ke ruang bawah.
“Apa semua yang ada di sini harus kupelajari, Bhi?”
Jawabnya, “Makin banyak yang kau serap semakin baik.”
Kami keluarkan isi kotak yang pertama. Seluruhnya, lalu kujajar di meja. Hanya ada
kertas-kertas, namun isi masing-masingnya berbeda. Yang pertama tentang Sriwijaya dan
Majapahit. Tulisan yang kedua tentang kerajaan-kerajaan laut sebelum kedatangan bangsa Eropa
di wilayah yang kini lazim disebut Hindia. Kemudian yang judulnya „Perang salib dan
kemunduran kelautan di kerajaan-kerajaan nusantara lama‟.
Apa ini! Katanya harus belajar pergerakan, kenapa malah disodori bacaan yang macam
begini!
Kubuka lagi, dan kutemukan tulisan tentang regenerasi organisasi di bawah „perang
salib‟. Ah, pasti tulisan yang di atas tadi hanya untuk menyamarkan yang ini, batinku. Aku
hampir mulai membacanya ketika kutemukan tulisan tangan kecil di atas judul tulisan ini.
„Bacalah secara berurutan, agar tercapai yang kami maksudkan dari tulisan-tulisan ini‟.
Jadi yang menyusun dokumen-dokumen ini menginginkanku membacanya secara
berurutan. Kenapa? Alasannya kutemukan di lembaran yang terakhir, sebelum dokumen-
dokumen terjilid. Begini bunyinya :
Disarankan untuk membaca lembar-lembar ilmu ini secara berurutan. Dimulai dari tulisan
tentang kerajaan-kerajaan lama yang ada di wilayah yang kini lazim disebut Hindia, terutama
Tarian Sunyi Page 109
masa-masa kejayaannya. Kenapa bicara tentang kejayaan dulu, karena kami ingin mengatakan
padamu bahwa orang-orang kita pernah sangat berjaya. Kita telah memiliki jung Jawa jauh sebelum
bangsa-bangsa Eropa mengenal kapal-kapal perang yang mampu mengangkut begitu banyak
tentara. Kita telah memiliki hubungan baik dengan negara-negara jauh. Bahkan kita juga memiliki
pusat-pusat budaya dan tempat belajar yang menjadi tujuan para empu dan pelajar dari negeri-
negeri seberang. Namun jika mencermati kondisi yang sekarang, betapa jauh terbaliknya. Ada apa?
Karena pada masa itu, kita adalah orang-orang yang bangga pada dirinya. Sedang pada
masa keberadaan bangsa Eropa di HIndia, mereka melakukan segala cara untuk mematahkan
kebanggaan diri dalam jiwa kita, kemudian menggantinya dengan kebanggaan pada Eropa.
Kembali pada bangga diri itu dalam jiwa kita, apalah artinya puluhan tahun terkubur
dalam bayang-bayang Eropa dibandingkan dengan ratusan tahun kejayaan yang pernah
ditorehkan para leluhur kita pada masa sebelumnya? Akhirnya semua kembali pada kita, apakah
kita mau mencoba memberi diri kita rasa bangga dan kepercayaan atas kemampuan sendiri.
Tentang jung Jawa dan hubungan baik dengan negeri-negeri jauh, kita banyak
melakukannya dengan kapal-kapal laut kita. Apa jadinya jika sekarang kerajaan-kerajaan dan
para penguasa kehilangan kuasa atas armada lautnya? Hanya semakin tenggelam dan saling
berebut barang yang sedikit yang tersisa di daratan. Semakin tenggelam dan seolah lupa ingatan
akan begitu banyak hal yang ada di negeri asing yang menunggu untuk dijelajahi. Dan siapakah
yang melakukannya pada kita? Eropa, yang sekarang menjadi tuan di tanah kita.
Tulisan berikutnya tentang pengasuhan anak di berbagai belahan dunia. Untuk apa?
Supaya kita bisa memperbandingkan cara-cara tersebut dan mengambil yang paling cocok untuk
anak-anak kita.
Mengenai alasan mengapa kita malah menuntut Sri Ratu untuk menitahkan pada
Gubernur Jenderal di Hindia menyerahkan sebagian keuntungannya untuk memberi didikan bagi
bumiputera adalah permasalahan biaya. Kita belum punya cukup uang untuk mendirikan sekolah-
sekolah kita sendiri. Memang yang paling tahu yang dibutuhkan oleh anak-anak bangsa kita adalah
kita sendiri. Namun apa daya, permasalahan biaya membuat kita memanfaatkan mereka untuk
membantu kita. Dengan imbalan, kesediaan rakyat kita sepenuhnya membela kerajaan Holland
dari ancaman pendudukan Prancis dan Inggris yang mengincar Hindia dari daftar koloni Holland.
Dan alasan paling dasar kenapa pendidikan yang baik yang paling awal dikejar adalah
karena pendidikan adalah dasar dari kehidupan. Orang yang terdidik adalah orang pintar, yaitu
orang yang mampu melihat potensi dari sekitarnya dan mengolahnya dengan cara yang sebaik-
baiknya demi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sedang hubungannya dnegan bangga diri
adalah bahwa rasa bangga diri akan membuat si orang pintar mengembangkan diri secara
maksimal dan mencetak lagi kejayaan. Itulah harapan kita bersama pada masa depan.
Tarian Sunyi Page 110
Kemudian regenerasi. Alasan kami menyembunyikan sejumlah orang untuk belajar baik-
baik adalah supaya tetap ada yang menggantikan tugas kami jika sesuatu hal membuat kami tak
mampu melanjutkan pergerakan ini. Menghilang untuk belajar bukan pengecut. Orang-orang yang
seperti ini hanyalah sedang menunggu waktu yang tepat untuk muncul.
Setelah catatan pendek ini, akan kau temukan dokumen-dokumen tentang pergerakan
kita. Semuanya, selengkapnya. Kami selalu percaya, siapapun yang dipilih sebagai generasi
berikutnya, adalah orang-orang hebat yang terpilih.
Leiden, pertengahan tahun 18xx
Tarian Sunyi Page 111
Kami punya mimpi bersekolah dimanapun,
Tak ada yang akan katakan “hanya anak-anak Eropa yang boleh
mendaftar”.
Kami punya mimpi, jika kami miskin,
Ada yang bersedia membiayai
Kami juga punya mimpi, bahwa suatu saat nanti,
kami dan Eropa adalah setara
Tarian Sunyi Page 112
BAB VI
LARASATI
Hari ini, tepat seminggu sebelum perundingan dilangsungkan. Yang tampak di wajah
setiap orang hanya kesibukan dan persiapan yang tak kunjung habisnya. Tak ada yang diam,
apalagi berpangku tangan. Dan aku, kau tahu yang kulakukan? Aku sedang menunggu
kedatangan beberapa wanita, Nyonya Eropa-Jawa, untuk berkumpul dalam satu pertemuan dan
berbincang. Untuk memberi pada mereka pemahaman dan meminta dari mereka dukungan.
Wanita yang kusebut Eropa-Jawa itu, karena mereka bersuamikan Eropa. Namun ada
juga yang peranakan. Sebenarnya pertemuan ini hanya untuk para wanita yang pertama. Namun
entah darimana mereka tahu adanya pertemuan ini, para nyonya peranakan ini menemui kami
dan meninta diundang secara resmi.
Sekarang, pertemuan para nyonya ini sedang berlangsung. Kaku pada awalnya, tapi
setelah menemukan beberapa persamaan antara satu dengan lain, suasana mencair. Mereka
saling berbagi cerita. Akan kukisahkan lagi beberapa di antaranya.
Wanita yang pertama bernama Saripah. Namun pria yang menjadi ayah dari anak-
anaknya selalu memanggilnya Maria. Bagaimana bisa? Pria itu merasa Saripah adalah cahaya
dalam hidupnya, seperti Bunda Maria bagi Yesus, dengan kelebihan dan kekurangannya.
Maka si pria ajarkan padanya segala ilmu pengetahuan Eropa, sehingga Ipah bisa
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kesabaran Ipah, ketaatannya pada suami,
kerelaannya untuk hidup dalam situasi apapun yang sedang dijalani dalam hidup mereka, itulah
mengapa si pria menganggapnya cahaya. Meski gereja tak pernah mengukuhkan hubungan
mereka.
Terlepas dari kenyataan awal pertemuan mereka, bahwa Maria hanyalah perempuan
yang dihadiahkan seorang Bupati pada si pria Eropa atas jasanya menyelesaikan suatu perkara.
Para wanita ini menyimak dengan seksama ketika Maria menuturkan kisahnya.
Terutama saat Maria menuturkan kebaikan si pria membelikan tanah perkebunan atas namanya.
Tampaknya si pria menghargai Saripah seperti menyikapi para wanita Eropa.
Tarian Sunyi Page 113
Satu dari para Nyonya menyeletuk, “Meskipun ia tak menikahimu?”
Ucap Maria menutup kisahnya, “Ya, meskipun ia tak menikahiku. Asalkan anak-anakku
tumbuh baik dan bahagia, tak ada yang lebih menggembirakan daripada itu.”
Ini kisah dari wanita kedua :
Kakekku selalu mengatakan kalau leluhur kami datang dari tempat yang tak pernah
mengenal salju, nun jauh di sana. Dari generasi ke generasi cerita ini diwariskan, sampai
sekarang. Dan baru belakangan ini kami tahu dimana sebenarnya tempat itu, di pulau bernama
Jawa di benua Asia sebelah tenggara.
Artinya, jauh sebelum bangsa Eropa menemukan Asia Tenggara dan mengumumkan
penemuannya di Eropa pertama kali, leluhur kami yang pengembara telah sampai dan menetap di
negeri ini. Dan bagaimana ceritanya kami tiba di sini? Begini runutannya.
Para leluhur kami yang pengembara, menumpang kapal dengan menjadi awaknya,
kemudian mengikuti kapal itu menjelajah tempat-tempat terjauh yang baru dijangkau para
pedagang saja. Dari tempat-tempat di belahan dunia timur, sampai di Konstantinopel. Pada masa
itu, para pedagang dari dunia barat dan dunia timur masih bebas bertemu di pelabuhan
Konstantinopel, bebas bertukar dagangan untuk dibawa pulang.
Para leluhur kami memutuskan tinggal beberapa lama, sebelum menjadi awak sebuah
kapal Holland dengan perjanjian yang unik : jika mereka diperbolehkan bekerja di kapal, mereka
akan bercerita tentang suatu negeri dimana rempah-rempah yang sulit didapat di Eropa dijual
murah. Dan sampailah leluhur kami di tanah ini.
Entah apa sebab sebetulnya si pengembara memutuskan untuk tinggal, tapi itulah awal
dari keberadaan saya di negeri ini. Waktu terus bergulir, banyak perubahan yang terjadi. Salah
satunya adalah bahwa para saudara dari leluhur kami sudah tidak menjadi tuan lagi di tanahnya
sendiri. Dan yang melakukannya adalah orang yang di negeri ini menjadi kawan dan saudara
bagi kami. Sedih sekali rasanya.
Kedatanganku kemari untuk menyampaikan kalau kami tak pernah lupa darah mana
yang mengalir dalam nadi, meski kini sudah banyak bercampur dengan darah penduduk asli
negeri ini. Dan walau pertemuan ini tak bertujuan politis, kami nyatakan siap mendukung
keinginan besar para saudara sedarah kami orang-orang Jawa.
Sebenarnya, salah satu tujuan jangka panjang dari pertemuan-pertemuan semacam ini
memang mengumpulkan dukungan yang demikian. Mengingatkan mereka pada keadaan di luar
Tarian Sunyi Page 114
kehidupan Eropa yang mereka jalani, tentang kondisi saudara sebangsa mereka di luar sana.
Berarti, tujuan itu tercapai beberapa tahap lebih cepat dari rencana.
Dan dari wanita ketiga, begini ceritanya :
Sejak kecil, Mama selalu bernyanyi untukku. Saat aku sulit tidur, saat aku menangis,
pada saat apapun yang sulit, lagu yang dinyanyikan Mama selalu bisa membuatku tenang. Tapi
namanya juga anak-anak, aku tidak tertarik tahu lebih dalam. Namun seiring berjalannya waktu,
aku menyadari bahwa yang dinyanyikan Mama tak pernah diajarkan oleh guru-guru di sekolah.
Dan ketika kutanyakan pada Mama, beliau bilang hanya itu yang beliau tahu.
“Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?”
“Aku tidak pernah dengar yang seperti itu di sekolah, Ma. Itu lagu apa?”
Baru kemudian beliau katakan itu tetembangan Jawa. Beliau mempelajarinya saat masih
di Jawa, bersama kelompok seninya. Tampil dari desa ke desa.
Oh, saat itulah aku tahu kalau orang-orang Jawa meyebutnya tembang.
Mama juga sering melantunkannya saat kami tidur berempat, Aku, Papa, Mama, dan
kakakku. Aku punya catatan semua tembang itu, dan diam-diam melantunkannya saat sendu.
Tenang sekali rasanya.
Kadang saat menatap mama menyanyi, kulihat pandangnya menerawang.
“Apa yang menurutmu sedang dipikirkannya?” seseorang menyeletuk
“Kurasa Mama rindu dengan tanah kelahirannya, meski Mama tak pernah katakan.”
“Apa kau pernah menanyakannya?”
“Pernah, beberapa kali. Namun Mama selalu bilang, tanah kelahiran Mama hanya masa
lalu. Dan rumah Mama sekarang adalah di sini, bersama Papa dan kami anak-anaknya.” Wanita
itu tersenyum.
“Dan?” seseorang yang lain menyeletuk lagi.
“Aku ingin mengenang Mama dengan yang menikmati hal yang sangat beliau cintai,
tetembangan itu. Adakah yang bisa membantuku?”
Berbagai obrolan dan cerita lain berlanjut. Hingga hari beranjak sore dan para wanita itu
bersiap pulang.
Seorang nyonya berkata begini waktu berpamitan, “Aku tidak menyesal bersikeras pada
suamiku untuk datang kemari. Pertemuan ini sangat menyenangkan. Tolong jangan lupa
Tarian Sunyi Page 115
mengabariku jika akan diadakan lagi. Terima kasih telah mengadakannya untuk kami, untuk
wadah berbincang sesama kaum perempuan.”
Aku mengangguk, dan katanya, “Sama-sama Nyonya. Saya senang pertemuan kecil
macam ini menyenangkan bagi semua yang datang.”
Nyonya itu menggenggam tanganku erat mengguncangnya beberapa kali sebelum
melepasnya. Para wanita ini saling bersalaman, berciuman pipi atau berpelukan kemudian
pulang.
Malamnya, ketika mengulang kisah para wanita itu pada Haryo, barulah aku berani
berkomentar.
“Menurutku seharusnya Saripah tetap meminta pria itu menikahinya, meski ia merasa
sudah cukup bahagia dengan keadaan rumah tangganya yang sekarang. Banyak yang dapat
terjadi dalam sekejap mata. Apa tak pernah terlintas dalam benak mereka bahwa si pria mati
muda? Lalu apa yang akan terjadi dengan dia dan anak-anaknya?”
Entah apa yang terbetik di benaknya ketika tiba-tiba berkata, “Apa kau pikir menikah
akan menyelesaikan segala masalah dengan membawa akhir yang berbeda?”
“Tentu saja! Dengan menikah, dia masih akan berhak mendapatkan perlindungan
hukum sepeninggal suaminya!”
Haryo menggeleng. “Hukum akan melindunginya jika lawannya adalah sesama Hindia.
Tapi jangan berharap hal yang sama jika melawan orang Eropa. Apalagi di sini, posisi yang
nyata adalah kita lah yang menumpang di tanah mereka.”
Ucapannya membuatku sadar.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Memberi dukungan sepenuhnya, dan tempat tinggal. Di Neve mungkin, atau di tempat-
tempat kita yang lain.”
Keningku berkerut. Sepertinya perhatianku sedikit teralihkan.
“Apa maksudnya „tempat kita yang lain‟?”
“Kita akan punya banyak tempat seperti Neve di negeri ini. Sehingga kita bisa
membangun kehidupan kita dan saudara-saudara kita dengan lebih baik.”
Aku mengerti sekarang.
“Sempurna!”
Tarian Sunyi Page 116
Kulanjutkan dengan kisah wanita yang kedua dan ketiga. Saat usai, dia menoleh padaku
yang duduk bersebelahan dengannya.
“Kau tahu yang lagi-lagi kita abaikan sampai hari ini?”
Aku menyandar, melepas beban yang memberati pundakku. Namun aku mengangguk.
“Jika yang kita perjuangkan ini berhasil, kita masih harus membangun semuanya
kembali. Merencanakan ajaran untuk sekolah-sekolah yang baru. Apa pekerjaan kita akan pernah
ada akhirnya?”
“Sepertinya tidak. Aku juga masih melatih tari, Yo, meskipun belum bisa seintens
dulu.”
Kami saling melempar senyum.
Sejujurnya, aku tak tahu secara detail yang direncanakan para pemimpin kami setelah
perundingan nanti. Aku hanya tahu kalau sekolah-sekolah itu benar-benar dibangun, akan ada
pelajaran seni. Dan yang mengajar haruslah orang-orang bumiputera, sebab yang diinginkan
tentang pelajaran seni ini ialah pengajaran terhadap anak-anak kami tentang seni dan budaya
yang berkembang di kalangan bumiputera Hindia.
Dan untuk anak-anak kami yang tinggal di negeri ini, Holland, yang mungkin tidak
akan didirikan sekolah khusus putera Hindia namun lebih pada diperbolehkan belajar di sekolah
umum saja, kami harus dirikan sekolah khusus seni untuk melengkapi pengajaran yang diberikan
di sekolah umum.
Mungkin kau bertanya, kenapa harus seni? Apa lebihnya seni dibanding lainnya
sehingga harus diajarkan pada semua bumiputera? Karena seni ada sebagai pengasah kepekaan
jiwa akan keindahan, segala jenis keindahan yang ada di alam raya, yang dianugerahkan Yang
Maha Pencipta pada manusia. Ibarat kepingan mata uang, jika pengetahuan adalah sisi kanan
maka pemahaman akan seni adalah sisi kiri. Sesuatu yang menggenapkan menjadi kepingan.
Karena sebagian dari seni hadir sebagai jiwa peradaban. Dengan demikian, bagaimana mungkin
seni tak diajarkan?
Dan tari serta tetembangan, adalah bagian seni yang kumengerti. Setidaknya, dua ini
yang akan kuupayakan untuk diajarkan. Akan kugarap dengan Haryo nanti.
Yang lain lagi dalam pikiranku, aku mau lebih banyak lagi waktu bagi para wanita
untuk berkumpul, berbincang tentang keluarga dan kehidupan wanita. Ah satu lagi! Aku mau
segera dibangun Neve-Neve lain di tempat manapun bumiputera Hindia berada.
Tarian Sunyi Page 117
Beberapa hari setelah perundingan itu berakhir, saat sedang kusiapkan makan malam,
Haryo pulang lebih awal. Ia membantuku meracik bahan, memasak juga, sampai
menghidangkannya juga.
“Ras, aku datang untuk memenuhi janjiku.”
“Yang mana?” Aku masih tak mengerti.
“Menjelaskan yang kulakukan selama ini. Apa kau masih ingin tahu yang terjadi saat
kami dan mereka bertemu?”
“Terserah saja. kau pasti sudah tak betah menahan lidah.”
Dia tertawa.
“Sebenarnya iya. Tapi karena ini tak boleh diceritakan sembarangan, kau harus berjanji
dulu takkan menceritakannya pada orang lain lagi.”
Kuberi persetujuan dengan menempelkan telunjukku di bibir.
“Kau tahu Laras, di malam terakhir kita bicara, yang aku sama sekali tak berminat
bicara tentang diriku? Aku sedang sangat pusing saat itu. Beberapa kawan yang memegang peran
penting menghilang tiba-tiba. Dan satu orang yang menduduki posisi penting terbunuh di
kediamannya. Apa kau masih bisa berfikir jernih jika kejadiannya seperti itu?”
Tak kutanggapi. Kusibukkan diri dengan menyendokkan nasi dan lauk ke piring kami
masing-masing.
“Kau bisa bayangkan yang kurasakan waktu itu? Kalut! Tulang-tulangku serasa dilolosi,
kepalaku serasa hampir meledak. Otakku seakan mati suri. Malam itu, dengan memendam
ketegangan dalam-dalam, masalah-masalah yang ada berusaha diselesaikan.”
“Lalu?”
“Lalu masalah berhasil diselesaikan. Jangan tanya bagaimana prosesnya. Semua terjadi
terlalu cepat, sampai tak tahu bagaimana hari kemarin bisa berlalu.”
Aku menikmati ceritanya sebagai pengiring santap malam. Haryo sendiri begitu sibuk
dengan ceritanya sampai makanan di piringnya tak tersentuh. Hanya diaduk sesekali, lalu
sendoknya diletakkan lagi.
“Apa kau bosan?”
Tarian Sunyi Page 118
“Tidak. Aku hanya merasa belum perlu bicara. Tapi kurasa lebih baik kita makan dulu,
baru kau lanjutkan ceritamu.”
Dia mengangguk. Makan malam ini tak lama. Hanya seperempat jam kukira, dan genap
tiga perempat jam sampai meja dirapikan. Serta lima belas menit tambahan untuk menyiapkan
kopi, teman setia para manusia yang mencintai malam. Acara berbagi kisah akan dimulai
sekarang.
“Hari itu di gedung Oranje jam 8 pagi, dengan pihak kerajaan sudah menunggu di
dalam, kami dipersilahkan masuk. Pihak kita ditempatkan di sisi kiri dan pihak kerajaan di sisi
kanan, mengelilingi meja bundar. Namun masih ada deret bangku kosong. Aku penasaran, siapa
yang belum hadir.
Berselang seperempat jam, rombongan yang satu lagi tiba. Pembawa acara
memperkenalkan mereka sebagai rombongan perwakilan Gubernur Jenderal Hindia, lalu
mempersilahkan mereka duduk di deret bangku yang kosong itu. Tak kuduga mereka benar-
benar bakal datang sekarang. Pantas saja pengamanannya ekstra ketat. Lihat saja berapa banyak
pria tegap berdiri di sisi pintu. Belum terhitung yang menjaga di gerbang, atau tempat-tempat
lainnya.
Berikutnya penyampaian pandangan umum dari wakil kerajaan terhadap tuntutan kita.
Kata si juru bicara, “Para hadirin sekalian, keinginan terbesar wali negeri Holland adalah
mengayomi seluruh rakyatnya dimanapun mereka berada. Kami menginginkan yang terbaik
untuk rakyat. Dan dengan tujuan itu, Sri Ratu mengutus orang kepercayaannya menjadi
Gubernur Jenderal di tanah Hindia.
Mengenai keinginan Anda sekalian agar didirikan sekolah-sekolah untuk bumiputera
Hindia, pihak kerajaan tidak berkeberatan. Namun yang jadi pertanyaan, benarkah hal tersebut
yang paling dibutuhkan oleh rakyat Anda saat ini? Apalagi jika pada faktanya yang mengajukan
tuntutan tersebut adalah rakyat Hindia yang sudah lama tinggal di Holland. Tidakkah yang
mungkin Anda sekalian tuntutkan sekarang bukan lagi hal yang paling penting bagi rakyat Anda
di Hindia? Kami minta diberikan penjelasan atas hal ini.”
Lelaki itu menyudahi pengantarnya, kemudian duduk setelah memberi hormat ke
beberapa orang yang ia anggap penting dalam ruangan ini.
Tarian Sunyi Page 119
Kurang ajar sekali dia! Dia membalikkan semua logika. Mana mungkin protes saudara-
saudara kami di Hindia bisa terdengar sampai ke telinga mereka kalau perwakilan Gubernur
Hindia itu menyensornya lebih dulu! Aku teringat kembali isi surat kami.
.... kami rakyat Hindia mengajukan :
1. Mendirikan sekolah-sekolah yang bisa dimasuki semua bumiputera di Hindia, termasuk
sekolah menengah dan sekolah tinggi
2. Memberi kesempatan kepada bumiputera untuk mendapatkan bantuan biaya dan hak
belajar di Holland
3. Memberikan hak belajar di sekolah umumpada bumiputera Hindia yang tinggal di
Holland
untuk dipenuhi. .....
Amsterdam, 15 Oktober 18xx
Atas nama Perwakilan Himpunan Rakyat Hindia di Holland
Sasmito Adiputro
Moderator pertemuan bicara lagi. Katanya, “Pada Wakil Gubernur Jenderal Hindia,
silahkan menyampaikan pandangan.”
Si Wakil Gubernur memperkenalkan diri sebagai Herman Slejmeijer. Katanya,
“Merupakan suatu kehormatan bagi saya dapat mewakili Tuan Gubernur Jenderal dalam
pertemuan kali ini. Segenap hormat kami sampaikan pada Sri Ratu yang mulia, para wakilnya,
serta wakil rakyat Hindia yang hadir pagi ini.
Pada hakikatnya, Tuan Gubernur dan para pejabat yang ada dalam pimpinan beliau
menganut prinsip yang sama dengan Sri Ratu, bahwa pemerintah adalah pengayom bagi rakyat.
Meskipun kami terkejut dengan tuntutan tersebut, kami menyambutnya dengan tangan terbuka.
Malah kami berfikir adanya tuntutan tersebut adalah demi perbaikan kerja pemerintah.
Namun sebelumnya, kami menginginkan penjelasan rinci mengenai hal tersebut,
sehingga bisa segera ditindaklanjuti. Terakhir kami sampaikan, kami ada di sini mewakili Tuan
Tarian Sunyi Page 120
Gubernur sehingg segala keputusan yang kami ambil pada pertemuan ini akan diamini oleh
beliau. Demikian. Terima kasih.”
Berikutnya giliran kita yang bicara, memberi penjelasan seperti yang mereka minta.
Sasmito yang jelaskan bahwa kami menginginkan sekolah-sekolah yang bisa dimasuki semua
masyarakat Hindia.
„Ini mengacu pada fakta bahwasanya pendidikan yang cukup adalah cara utama bagi
rakyat untuk menyeimbangkan pengetahuan dan gagasannya. Sehingga mereka tidak menjadi
orang yang mudah menyerah, tapi menjadi orang yang punya beragam pemikiran untuk
menyelesaikan perkara. Karena pengetahuan terkait erat dengan kesejahteraan.
Sedikit menyinggung penerapan ketentuan pemerintah Hindia tentang penanaman
tanaman wajib yang lebih dari batas kewajaran. Sehingga si pemilik tanah tidak punya cukup
waktu dan lahan untuk kebutuhan diri dan keluarganya sendiri.
Lalu darimana kami yang sudah lama tinggal di negeri ini tahu bahwa pendidikan
adalah kebutuhan paling urgent bagi masyarakat Hindia?
Pendidikan yang baik sebenarnya bisa didapatkan dari lingkungan sekitarnya. Namun
pendidikan lewat sekolah umum tak kalah penting, sebab pengalaman yang didapat di
lingkungan akan ditelaah tiap sisinya lebih dalam di sekolah. Dengan sebuah harapan bahwa
praktik tidak hanya akan jadi sekedar praktik, tapi dengan diperdalam di sekolah maka akan
lebih mampu memberdayakan lingkungan.
Sekolah umum adalah penghubung antara pengalaman pribadi dengan ajaran sekolah.
Satu lagi, pendidikan dari lingkungan itu kurang tertata – dalam artian mana yang ditemui lebih
dulu di masyarakat maka itu yang akan dipelajari lebih dulu – sedangkan pendidikan di sekolah
umum, pengajarannya lebih tertata. Meski didikan dari lingkungan itu terjadi alamiah.
Tentang betapa pentingnya pendidikan Anda bisa lihat sendiri seperti apa
diperjuangkannya pendidikan bagi penduduk negeri ini.
Sasmito menyatakan keyakinannya bahwa pemerintah akan mengabulkan yang kita
minta. Tidak akan mangkir, meski kami bukan orang yang punya kuasa untuk menuntut jika
mereka mangkir. Kami hanya punya rencana lain.
Dan ternyata mereka merestui keinginan kita : akan ada banyak sekolah yang didirikan
untuk bumiputera Hindia. Namun untuk teknisnya, mereka masih meminta gambaran rencana
Tarian Sunyi Page 121
kita tentang ancangan biaya yang dibutuhkan, pengajar-pengajarnya, ajarannya, serta jumlah
sekolah yang riil diminta.
Pertemuan berlangsung alot lagi ketika membahas poin ketiga, tentang izin belajar
bumiputera Hindia di sekolah umum Holland. Akhirnya disetujui juga, meski ketentuan-
ketentuan lain akan diatur oleh masing-masing sekolah. Dan di pembahasan akhir, mereka bilang
akan dirikan 50 sekolah dulu dan akan ditambah sesuai situasinya nanti.
Andai saja mereka masih mempersulit persetujuannya dengan alasan kas pemerintah
Hindia, kami akan bilang kenapa kerajaan tidak turut membantu jika memang pemerintah Hindia
kesulitan. Bukankah sebagian besar hasil pajak rakyat Hindia disetor dalam kas kerajaan
Holland? Apa karena sedang ada ancaman dari negara tetangga sehingga kerajaan jadi sangat irit
untuk keluar uang? Eropa yang sedang demam perang memang menyusahkan.
Ya benar yang dikatakan si Herman Slejmijer itu. Dia bertanya tentang biaya,
pengajara, ajaran-ajarannya. Pikirannya pasti melayang pada wujud sekolah itu yang senyatanya.
Yang kami minta tentang pengajarnya, mungkin separuh guru pribumi dibantu separuh
guru Eropa. Dengan berbagai pertimbangan. Tentang ajaran dan bahan ajarnya disamakan dulu
dengan sekolah umum. Meski tetap ada yang berbeda. Mereka juga mengingatkan kita bahwa
bantuan ini tak mungkin akan berlaku selamanya.
Yah, pokoknya semua jenjang sekolah seperti yang ada di Eropa, perlahan namun pasti
harus juga dibangun di Hindia. Sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah tinggi.
Dan untuk memantau pelaksanaannya, laporan ringkasnya akan dimuatkan di surat
kabar berskala nasional negeri ini. Sedang lengkapnya diberikan langsung pada pihak yang
terkait. Dibuatnya pertiga bulan sekali, dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati.
“Ya begitulah Laras, yang terjadi kemarin.”
Haryo memberitahuku ini tak lama setelah hari itu. Tenaga kami dibagi dua, sebagian
menindaklanjuti hasil perjanjian itu di Hindia sekaligus mengurus aturan resmi yang akan
melandasi pembangunan sekolah-sekolah itu di Hindia, sebagian menindaklanjuti yang ada di
negeri ini. Kami juga berusaha memberitahu para penguasa pribumi maupun Eropa meski Wakil
Gubernur Jenderal sudah menyanggupi menyampaikan pada para pejabat pemerintahan
seluruhnya.
Tarian Sunyi Page 122
Kami mengingatkan mereka agar hasil perundingan ini dicatat di staatblad Holland
serta staatblad Hindia. Orang-orang pemerintahan sudah cukup mengingat dengan staatblad itu.
Mereka tahu cara membacanya. Namun untuk rakyat kebanyakan, kawan-kawan berinisiatif
menterjemahkan dan mengumumkannya secara resmi pada rakyat setelah mendapatkan ijin edar
dari pemerintah.
Waktu terus berjalan, sedikit demi sedikit perbaikan mulai tampak nyata di depan mata.
Para bumiputera mulai terdaftar namanya di sekolah-sekolah umum Holland. Terlepas dari tiap
sekolah memiliki persyaratan tersendiri untuk menerima murid barunya, terlepas dari sikap para
murid lainnya pada kami.
Mereka mengajari kita tentang Holland, tentang bagaimana mengagumi Holland.
Mereka mengajari murid-muridnya untuk membanggakan ke-Holland-annya. Semua murid tanpa
kecuali. Sedangkan kami – kita – adalah Hindia.
Kita dan mereka berbeda. Mungkin itulah sebab selalu terasa ada yang kurang meski
sudah kita cecap yang mereka cecap juga. Kami dirikan sekolah yang mengajari bagaimana
membanggakan diri kami sebagai Jawa dan Hindia. Satu sekolah yang mengenalkan paa
bumiputera pada budaya dan keluhuran para pendahulunya.
Dan aku memilih berpartisipasi mengelola sekolah budaya itu. Sebagai pengajar tari,
yang memberi pengertian tentang luhur dan dalamnya makna tiap gerak yang dicipta dalam
tarian Jawa terutama. Tarian yang merupakan jiwa kami yang sesungguhnya.
Aku hanya tinggal berdoa semoga masa depan berjalan semulus yang kami rencanakan.
Kalau ada rintangan pun, haruslah yang bisa kami selesaikan.
Kawanku Ana, salah seorang di antara para wanita yang pernah datang ke pertemuan
wanita Hindia yang kuadakan, akan menikah. Dia mengundang kami untuk turut menyaksikan.
Tentu saja aku senang, dan tanpa dia sendiri yang menyampaikan undangan itu pun akan
kuusahakan untuk datang. Apalagi kalau sampai ia sempatkan untuk mengantarnya sendiri. Tapi,
keinginan itu memudar langsung padam saat kulihat nama pria Eropa tertulis sebagai pengantin
prianya.
Tarian Sunyi Page 123
Sepertinya ia mampu melihat keberatan di mataku. Segurat senyum paling manis
tampak di bibirnya, digenggamnya tanganku.
“Kalau kau memang tak ingin datang hari itu, aku takkan memaksa, Laras. Aku tahu
bagaimana perasaanmu berada di tengah-tengah mereka. Tapi tolong datanglah ke pesta kecil
yang kuadakan dua hari sebelumnya. Pesta itu kuadakan khusus untuk memperkenalkan calon
suamiku dengan kawan-kawan kita. Tolonglah. Tempatnya di alamat yang sama dengan yang
tertera di undangan itu.”
Saat belum kuberikan kepastian, katanya lagi, “Aku tak pernah meminta sesuatu dengan
sangat untuk kau lakukan kan, Laras? Untuk yang ini saja, kumohon datanglah.”
Anggukanku membuatnya tersenyum. Lalu ia pergi denngan hati senang.
Yah, bagaimana mungkin aku tak datang. Dia sudah melakukan banyak untuk
mempermudah orang kami menembus aturan sekolah-sekolah Eropa, membuat kami bisa belajar
nyaman di dalamnya.
Dua hari sebelum pernikahannya, aku datang diantar kereta sewaan salah satu penduduk
Neve. Dan betul yang dia katakan, hanya kawan-kawan kami yang diundang. Orang-orang yang
semuanya kutahu. Dikenalkannya aku langsung pada calon suaminya.
“Kenalkan Laras, dia calon suamiku.”
Lanjutnya, “Kau akan tertawa jika kukatakan dia berusaha mendapatkanku habis-
habisan. Dia yang jatuh hati lebih dulu, karena aku termasuk sedikit orang yang tak terpana
dengan pesonanya. Dia berkali-kali datang ke rumah, hingga orang tuaku merasa tak enak dan
memaksaku menemuinya. Dan beginilah jadinya. Kau harus merasakannya juga suatu hari nanti.
Betul kan Nika?”
Ana memandang calon suaminya mesra. Pria itu tersenyum, mengangguk. Sedang aku
tak bisa mengatakan apa-apa. Namun pikiranku melayang, pada seseorang yang pernah sangat
kuinginkan. Menanyai lagi hatiku apakah masih ingin memperjuangkanmu, coba menemuimu.
Atau menyerah pada pria lain yang memujaku. Yang peduli dan selalu bersamaku.
Pikiran-pikiran itu membawaku mendudukkan Haryo bersamaku setelah makan pada
malamnya.
“Aku perlu bicara hal penting denganmu. Bisakah?”
“Tentu. Katakan saja.”
Tarian Sunyi Page 124
Dia mengangguk, meskipun bisa kulihat „Ada apa ini? Tidak biasanya‟ terpancar dari
raut wajah dan sorot matanya.
“Aku bertanya-tanya apakah hidup kita akan seperti ini seterusnya. Pada dasarnya,
setiap sesuatu diciptakan bersama pasangannya. Seharusnya kita juga.”
“Kau ingin tanyakan kenapa kita tak seperti itu?”
“Mungkin begitu.”
Kami saling pandang.
“Mungkin karena kita merasa sudah cukup dengan ini.”
Hening lagi. Aku tak mengerti yang berkecambuk di benaknya, hingga ia menyambung
ucapannya, “Sebenarnya kau ingin katakan apa?”
“Aku ingin menemuinya.”
“Siapa?”
“Pria itu, seseorang yang kucari hingga kemari.”
“Kenapa?”
“Karena hidup harus berlanjut. Aku ingin jawaban darinya sebelum meneruskan
langkah. Aku masih ingin tahu apakah dia mungkin menerimaku, meski tak yakin apa dia masih
mengingatku sekarang..”
“Lalu apa yang akan kau lakukan jika dia tak memberimu apapun?”
“Melupakannya. Akan kucari seseorang yang bisa kuraih dengan kedua belah tanganku
ini, bukan pangeran impian lagi.”
“Lakukanlah.”
Haryo hampir beranjak pergi, dia kududukkan kembali.
“Aku mengatakan ini padamu bukan tanpa maksud. Tentunya aku butuh bantuanmu.”
“Memangnya apa yang bisa dilakukan orang sepertiku?”
“Tolong bantu aku menemuinya. Minta kawan-kawanmu mencari tahu tentang dia.
Nanti aku akan menemuinya sendiri. Aku tahu ini bukan hal yang mudah tapi siapa lagi yang
bisa kumintai tolong selain kau, seseorang yang mengerti kisahku sejak awal hingga hari ini.”
Kami berpandangan.
“Akan kulakukan, asal kau mau berjaji sesuatu padaku.”
“Apa?”
Tarian Sunyi Page 125
“Apapun jawaban darinya, kau harus kembali. Kau lebih dibutuhkan di sini daripada
bersamanya.”
Aku mengangguk. Apapun yang terjadi aku akan berusaha kembali. Meski dia yang
menuntun hidupku sampai hari ini, jika memang tak bisa diharapkan, tak akan ada gunanya lagi
diperjuangkan. Tak hanya satu yang harus diperjuangkan dalam hidup ini, terlalu banyak. Hanya
kedurhakaan terhadap hidup kalau umurku kusia-siakan hanya untuk bergantung pada dahan
yang rapuh.
Dia bukan pria kebanyakan, aku tahu itu. Berusaha meraihnya mungkin berarti
mempertaruhkan jiwa. Tapi, sudah sampai di sini. Aku tak mau mundur sebelum menemukan
ujung pencarianku ini.
“Kalaupun aku harus kembali untukmu, aku sama sekali tak keberatan.
Aku tahu tak ada pria yang mau berkorban begitu banyak untuk seorang wanita tanpa
dia menyimpan sesuatu di hatinya.
Aku tak terlalu tahu caranya, tapi Haryo berhasil menghubungkanku dengan seseorang
yang akan membawaku pada pria yang ingin kutemui. Untuk datang ke suatu tempat yang
mungkin takkan pernah kudatangi kecuali untuk urusan ini.
Kulihat senyum dikulum di bibir pria itu ketika melihatku datang.
“Apa dia yang kau bilang ingin menemuiku?”
“Ya Tuan.” Pria di sampingku ini mengangguk.
“Kalau begitu kau keluarlah. Biar dia bersamaku. Mari,” dituntunnya aku masuk,
“Sudah kusiapkan hidangan di dalam.”
Kawanku ini bergeming. Sepertinya masih berat meninggalkanku.
“Percayalah Tuan Griitz, nona di sampingmu ini wanita yang kuat. Dia mampu menjaga
dirinya sendiri. Bukan begitu Nona?”
Kusentuh lengannya.
“Percayalah, aku mampu menjaga diri,” kataku menenangkan.
Pria yang kucari ini, Rijkaard, mulai bicara begitu pengantarku pergi.
“Ada urusan apa menemuiku?”
Tarian Sunyi Page 126
“Saya ingin bertemu Tuan.”
“Kenapa?”
“Karena Tuan telah menuntun banyak perubahan pada diri saya.”
“Aku tak merasa melakukan sesuatu pun untukmu.”
“Tuan memang tak secara langsung melakukannya. Namun saya melakukan banyak hal
karena Tuan.”
Pria itu tersenyum. Dituangnya teh kemudian diberikannnya secangkir padaku.
“Sekarang kita sudah bertemu. Keinginanmu terwujud. apalagi yang akan kau
lakukan?”
“Saya akan pergi dan tidak akan mengganggu Tuan lagi.”
Kini pria itu tertawa. Tawa geli.
“Kau wanita bertekad baja, Nona. Dan aku yakin, cerdas.” Omongannya sedikit tersela
dengan hirupan teh, “Jadi kukira kau sdah mempertimbangkan kemungkinan resikonya saat kau
berkeras ingin menemuiku. Bahwa kau tidak mungkin bisa pergi dengan begitu mudahnya.”
Hening sejenak. Ungkapan itu sempat kuperhitungkan berikutnya, namun kenyataan
kadang lebih menakutkan daripada bayangan.
“Tempat ini adalah tempat yang tidak sembarang orang boleh tahu, apalagi masuk ke
dalamnya.. Bahkan pria yang tadi mengantarmu, meskipun dia Eropa, tak bisa seenaknya pergi
setelah datang kemari. Tapi dia pria yang baik, iya kan? jadi dia hanya akan dipindah tugaskan
ke tempat yang cukup aman. Dan pilihan untukmu Nona, hanya dua, di penjara atau menghadap
Tuhan di surga.”
Benakku mendadak kosong. Aku ingin berfikir sesuatu, tapi tak ada sesuatu pun yang
bersedia mampir di benakku.
“Itu kemungkinan yang sangat buruk untuk wanita berharga sepertimu. Jangan kau kira
aku tak tahu siapa engkau, seorang wanita biasa yang menjadikan dirinya pendukung para pria
yang menginginkan perubahan dari nasib orang-orang kalian. Maka aku punya tawaran lain yang
kukira lebih adil. Tinggallah di sini bersamaku, menjadi istriku, dan membesarkan anak-anakku.
Dengan begitu kau masih hidup untuk melihat yang terjadi dengan orang-orangmu.”
Cahaya lampu ruangan ini remang. Untunglah. Semoga tak tampak terlalu jelas cangkir
yang gemetar di tanganku.
Tarian Sunyi Page 127
“”Kenapa Tuan membiarkan saya hidup dengan menjadikan saya bagian dari kehidupan
Tuan?”
Pria itu menyalakan lampu utama. Benderang. Mendekat, kemudian menatapku lekat.
“Alasannya sederhana, aku tak mau hidup seorang yang berharga sepertimu tersia-sia.
Terserah. Hidup atau mati, tergantung pilihanmu sendiri.”
Kalau sudah begini, pilihan apalagi yang kupunya? Bagi seorang wanita yang benar-
benar pejuang, pantang terlibat dengan musuh. Dan aku, apa sungguh-sungguh murni pejuang?
Sepertinya tidak. Aku ini wanita biasa, yang sedang berusaha menggapai rasa yang sempat
bersemayam di hatinya.
Tapi bukankah yang terbaik adalah bersama orang-orang kita sendiri dan berjuang
bersama mereka? Tapi bukankah takdir seorang wanita adalah bersama kekasih hatinya?
Bukankah kebahagiaan paling dasar berawal dari keluarga? Bukankah posisi kita hidup di dunia
tak selamanya untuk berkorban bagi orang lain, tapi berupaya menggapai bahagianya sendiri?
Jadi apa yang harus kupilih?
Pada akhirnya ketika kebingungan itu melanda, kataku padanya, “Saya hanya seorang
wanita, Tuan pilihkan saja yang mana baiknya.”
Tarian Sunyi Page 128
Tak pernah ada perang yang baik
Kehidupan yang tertata rapi di negeri kami goyah
Perang hanya kesia-siaan yang membuat orang tak bisa
membangun kehidupan
Anak terpisah dari ibunya,
Kakek dari cucunya,
Dan seorang istri harus memilih antara suami atau kawannya
Tarian Sunyi Page 129
BAB VII
RIJKAARD
Akhirnya kami menikah. Dengan pesta sederhana, dihadiri kalangan dekat saja.
Pernikahan ini menjadi hari bahagia tempat orang-orang yang kukenal berkumpul dan saling
melempar tawa. Yah, pesta pernikahan yang biasa. Yang tak perlu dan tak ingin terlalu
disebarluaskan.
Kerajaan akan segera mengumumkan perintah pada seluruh warga negara pria untuk
mendatakan dirinya di kantor kementrian pertahanan. Menunggu giliran dijadikan tentara negara,
jika benar-benar pecah perseteruan Prancis-Holland. Tak peduli ras! Semua yang tinggal di
negeri ini dan memenuhi kriteria harus mendaftar, atau dipaksa mendaftar.
Sepertinya tetangga saya itu bermaksud memaksakan kehendak. Belum ada gerak
menyerang memang, tapi tentara-tentara mereka sudah mulai mengumpul di perbatasan. Tidak
hanya di perbatasan dekat Holland, namun juga di titik strategis yang dekat dengan perbatasan
Jerman.
Sempat terfikir tentang betapa cerdasnya pendiri negara yang membangun sentral tidak
di satu tempat saja, kemudian menempatkannya dekat laut. Dengan begitu, para orang serakah
tidak akan bisa dengan mudahnya menaklukkan tanah ini. Apalagi kami juga punya Oostindische
Compagnie dan Westindische Compagnie. Bertambah besar saja minat mereka menguasai tanah
air saya ini?
Perasaan saya mengatakan keadaan akan makin kacau. Dan kekacauan yang
terbayangkan besar menyedot perhatian hampir semua orang, entah rakyat kebanyakan atau
kalangan kami yang memang khusus ditugaskan. Saya jadi jarang pulang, dan Larasati istri jadi
sering di rumah sendirian.
Saya sedang sibuk di kantor ketika suatu hari Pitt menghampiri dan membawa saya
keluar. Dia perlakukan saya seolah sesuatu yang rapuh.
“Ada apa? Katakanlah.”
Raut ragunya membuat perasaan saya tak enak.
Tarian Sunyi Page 130
“Tak apa, katakan saja.”
“Kepala rumah tanggamu baru saja datang. Dia menitipkan kabar.” Sebentar dia
terdiam, kemudian lanjutnya, “Istrimu hilang sejak semalam. Pengurus rumahmu sudah
mencarinya kemana-mana tapi tidak ada.”
Genggaman tangan saya mengeras. Baru sebulan pernikahan, dan satu minggu sejak
saya tak bisa pulang, dia sudah menghilang. Janji suci macam apa itu. Apa dia tak mengerti
maknanya „sampai maut memisahkan‟, artinya kesetiaan pada pasangan?
“Pengurus rumahmu menemukan ini di meja rias kamar istrimu.”
Diangsurkannya lembaran kertas terlipat rapi di tangannya. Tertulis :
Teruntuk suamiku, Rijkaard Pieters
Waktu teramat singkat yang kita lalui bersama adalah kebahagiaan tiada terkira buatku.
Kesempatan yang kau berikan, yang sebelumnya selalu kukira mimpi yang tak mungkin jadi
kenyataan, telah mewujud. Namun, keadaan berubah. Aku merasa ini adalah pertanda bagi
berakhirnya saat kebersamaan kita.
Akan kujaga baik-baik tanda matamu di rahimku. Kuharap kita bisa berjumpa lagi suatu
hari nanti, setelah semua perseteruan ini berakhir.
Laras, seorang wanita yang impian tertingginya adalah di sisi pria yang ia cinta.
Pitt melempar senyum prihatin. Tangannya menepuk-nepuk pundak saya.
Disodorkannya segelas kopi pahit yang entah dia dapat dari mana. Mungkin dia berharap
kepahitan kopi ini mampu menyerap pahitnya rasa nyeri di kedalaman hati saya. Saya rasa ia
mengerti rasanya ditinggalkan.
Keadaan tak lagi kacau, kau tahu, tapi lebih dari sekedar kacau. Keadaan serba tak
terprediksi. Jumlah tentara Prancis yang begitu banyaknya di perbatasan, entah bagaimana
sedikit demi sedikit berkurang. Ahli strategi kerajaan mengatakan mereka menyusup diam-diam
Tarian Sunyi Page 131
ke negara kami. Sekilas masuk akal. Tapi tidak! Bagaimana mungkin mereka menyusup masuk
bila sepanjang perbatasan Prancis-Holland dijaga tentara-tentara terbaik kami? Apa mungkin
mereka menyusup lewat Romawi sedang Romawi – setahu saya – tidak pro pada rencana
imperium Prancis?
Rakyat kami yang tinggal di dekat perbatasan, sebagian sudah diungsikan. Tempat
tinggal mereka dipakai untuk markas tentara. Sedang mereka pindah ke tempat yang
diperkirakan jauh dari jalur perang. Yang memiliki kerabat, dihimbau menumpang pada
kerabatnya saja. Dan yang tak punya, dibuatkan pemukiman-pemukiman darurat. Sebagian lagi
dititipkan di rumah warga yang mau memberi tumpangan.
Benar-benar keparat! Licik betul mereka memaksa kami tunduk tak berselang lama dari
hari ulang tahun Yang Mulia Ratu. Tentu saja kami tak banyak melawan, tenaga kami baru saja
terkuras. Mereka memanfaatkan kelengahan kami untuk menyerang.
Hingga hari ini, baru separuh rakyat perbatasan yang dipindahkan. Sedang separuh
lainnya masih kebingungan. Kebingungan apakah harus ikut pindah atau tidak. Perang takkan
mungkin terjadi di sepanjang perbatasan, hanya di daerah-daerah tertentu saja. Dan kebingungan
mereka adalah karena wilayah mereka tak dinyatakan sebagai daerah rawan perang, sedang ahli
strategi kerajaan pun tak bisa yakin sepenuhnya daerah itu tak dibidik musuh sebagai area
perang.
Kepala para menteri pasti sedang berdenyut-denyut sekarang. Menteri pertahanan
pusing memikirkan penyiapan tentara, memindahkannya dari markas pertahanan satu ke markas
yang lainnya, merekrut tentara tambahan, memikirkan strategi perang. Belum lagi
memperhatikan penjagaan kerabat kerajaan. Meski hanya memberi perintah, kementrian
pertahanan tetap saja tonggak negara saat suasana perang. Kebijakannya lah yang menentukan
negeri ini masih tetap berdiri atau tidak di masa berikutnya. Juga karena ia lah yang menjaga
keselamatan Yang Mulia Ratu.
Mentri urusan pangan bingung bagaimana caranya produksi pangan tetap mencukupi
atau malah berlebih agar ada cadangan untuk waktu-waktu mendatang, sedang para petani
banyak dipindahkan ke pengungsian. Sulit sekali memikirkan caranya rakyat tetap bisa makan
kenyang sedang ada uangpun tak ada pangan yang bisa dibeli.
Menteri perdagangan kami juga pening, bagaimana barang kiriman dari daerah-daerah
koloni bisa tiba tepat waktu jika di perairan-perairan Eropa jika sedang bertebaran pasukan
Tarian Sunyi Page 132
bersenjata yang siap mencegat kapal yang dicurigai. Kemudian diperiksa entah berapa lama.
Belum lagi bila ditembak di laut lepas, lalu plas! Karam sudah. Kalau begini, apakah berdagang
masih terlihat menguntungkan serta mendatangkan banyak uang? Tentu saja tidak. Dan lagi,
dengan harga berapa orang-orang mampu beli barang kami padahal tak bisa begitu saja
menentukan harga bila tak ingin rugi.
Sementara Eropa bergolak, perdagangan dalam skala besar dihentikan. Galangan-
galangan diperintahkan membuat kapal perang saja. Untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu
ada yang menyerang lewat perairan.
Asia dan Afrika yang tenang-tenang saja, perdagangan kami dijalankan di sana. Kami
gencarkan perdagangan di sana untuk mendulang uang, sehingga bisa mengisi kas kerajaan yang
terkuras untuk perang. Dengan kata lain, para Gubernur Jenderal di wilayah-wilayah koloni
sedang diuji loyalitasnya pada kerajaan, bagaimana mereka bisa mengusahakan keuntungan
untuk mengisi kas negara. Bahkan mungkin mereka sampai berdagang ke Eropa.
Para pedagang dalam negeri Holland tak lagi terlalu fokus pada pengembangan
dagangnya. Mereka lebih banyak berfikir tentang cara mereka dan keluarganya tetap hidup saat
kekacauan ini berakhir nantinya. Lebih disibukkan dengan hal pengungsian.
Bicara tentang mengungsi, saya teringat urusan dengan penduduk Neve. Leiden
termasuk kota yang diperkirakan aman dari serangan, jadi pemerintah memutuskan Leiden
sebagai salah satu fokus pengungsian. Tapi jangan kira mudah saja menjalankannya. Harus
dipertimbangkan di rumah siapa menumpangkan mereka, apalagi di kondisi serba kacau begini.
Menitipkan satu atau dua orang berbeda dengan menitipkan puluhan orang atau bahkan ratusan.
Masih ingat yang orang-orang Neve janjikan jika kami mengabulkan keinginan mereka,
bahwa mereka bersedia memberikan loyalitasnya? Kami menagih itu. Kami temui Ketua Neve
dan meminta dua hal dari mereka sebagai bukti loyalitas mereka. Pertama, beliau harus pastikan
para lelaki dewasa di Neve terdaftar namanya sebagai calon tentara di kementrian pertahanan.
Dan yang kedua, kami minta mereka bersedia berbagi tempat tinggal dengan para warga yang
dipindahkan dari perbatasan.
Kami katakan padanya bahwa kami sudah penuhi sebagian yang kami janjikan.
Contohnya sekolah-sekolah umum Holland yang sudah bersedia menerima anak-anak Hindia
sebagai siswa. Sedang janji kami yang lainnya, mereka harusnya paham kenapa tak segera bisa
dilaksanakan.
Tarian Sunyi Page 133
Masih ingat yang ditugaskan pada saya saat orang-orang Hindia menuntut fasilitas pada
kerajaan Holland? Mengawasi sepak terjang mereka, terutama yang tinggal di Neve sebab di
sanalah pusat kekuatannya. Tapi itu dulu. Sekarang, tugas saya adalah memantau perpindahan
penduduk keluar masuk Leiden serta penempatan warga pengungsian. Saya juga yang
menangani kelanjutan perjanjian „loyalitas pada negara‟ dengan ketua Neve.
Dua hari lalu, rombongan pengungsi yang pertama tiba. Warga Neve yang sudah
diberitahu sebelumnya mengosongkan sebagian rumah mereka, sedang pemilik rumahnya
memilih tinggal dengan tetangga atau saudara. Terserah saja kalau mereka merasa lebih nyaman
begitu.
Saya yang memimpin pemeriksaan di rumah-rumah itu segera setelah dikosongkan,
juga memerintahkan pendataan untuk menentukan kapasitas tiap rumah. Lalu saat rombongan
tiba, kami tinggal mendata jumlahnya dan menempatkan mereka. Entah bagaimana, rombongan
ini saja begitu banyaknya. Belum lagi rombongan berikutnya, padahal rumah kosong yang tersisa
tinggal beberapa. Sepertinya harus mencari tempat baru di sisi lain kota ini, atau malah di daerah
lainnya.
Pitt mengusulkan satu cara mengurangi jumlah penduduk dan pengungsi di Neve.
Panggil saja semua pria dewasa yang cukup umur untuk jadi tentara, lalu kirim segera ke kamp
militer. Perkara mereka dikirim kemana selanjutnya, terserah dimana saja mereka dibutuhkan.
Pitt yang lebih mengerti birokrasi kerajaan yang akan mengatur. Keyakinannya, sumbangan
tentara baru tidak akan disia-siakan dalam situasi perang. Dan untuk kesuksesan rencana ini,
saya harus datang ke rumah-rumah untuk pendataan berapa yang bisa dikurangi dari tiap rumah.
Sekaligus menentukan rumah mana lagi yang bisa dikosongkan.
Tak disangka saat itu menjadi saat istimewa saya.
“Silahkan masuk Tuan. Ada apa datang malam-malam?” Seorang wanita berusia sekitar
empat puluh tahunan menyambut ketika saya datang ke rumahnya.
“Keadaan sedang tak bisa terprediksikan sekarang. Saya hanya ingin memastikan
keadaan penduduk Mbok, melihat adakah yang harus saya lakukan.”
“Ya Tuan.”
Saya bisa melihat sikapnya yang rikuh. Bagaimanapun, lelaki yang biasanya menemui
tamu. Terutama jika tamunya lelaki. Namun akhirnya Simbok juga yang harus menemui saya
jika tak ada lelaki lagi di rumahnya.
Tarian Sunyi Page 134
“Simbok tinggal dengan siapa?”
“Dengan Genduk Tuan. Silahkan masuk Tuan, biar saya suruh Genduk suguhkan
minuman.”
Dia persilahkan saya duduk di kursi kayu panjang. Ia juga meski dengan rikuhnya. Dan
kami duduk berhadapan. Lalu seorang perempuan keluar dengan membawakan talam minuman.
Dia bersimpuh dengan talam di pangkuan setelah menata suguhan. Walau bersikap seolah tak
mengenalku, saya tahu betul siapa dia. Lelaki mana yang bisa tak mengenali istrinya.
“Saya dengar semua anakmu lelaki. Sepi memang kalau harus tinggal sendirian. Saya
senang sudah ada yang menemani Simbok tinggal di sini.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Ya Mbok.” Jeda sebentar kemudian saya lanjutkan, “Sebentar lagi rombongan
pengungsi berikutnya tiba. Rombongan tentara yang akan menjaga perbatasan juga akan
menyusul. Saya rasa rumah ini terlalu besar kalau hanya untuk berdua. Bukan begitu Mbok?”
Perempuan itu manggut-manggut.
“Rundingkan dengan Gendukmu, Mbok, diantara mereka yang mana yang kau inginkan
tinggal?”
“Ya Tuan.”
”Besok pagi saya kemari lagi. Pikirkanlah baik-baik.”
Saya rasa Laras akan memberi banyak pertimbangan untuk Simbok itu menjatuhkan
pilihan. Sayangnya hari belum begitu saja berakhir. Pendataan harus selesai malam ini juga, tak
bisa ditunda. Karena malam adalah saat berkumpulnya keluarga, maka kami akan tahu kondisi
sesungguhnya jika pemeriksaan dilaksanakan saat malam.
Mungkin malam ini keberuntungan saya. Dia sudah ditemukan. Setidaknya saya bisa
mengawasinya meski tak bisa selalu bersama.
Kehidupan yang tertata rapi di negeri kami goyah. Keinginan pemerintah agar seluruh
rakyat suka membaca tersisihkan. Bagaimana tidak jika surat kabar mulai kesulitan terbit? Ya
karena rakyat kami tak lagi mampu membeli, juga karena para kolumnis serta wartawan surat
kabar-surat kabar banyak yang pergi mengungsi. Mencari selamat sendiri-sendiri. Tak hanya
Tarian Sunyi Page 135
keinginan membaca, penyebaran berita pun kesulitan. Karena satu-satunya penyiar berita yang
masih berjalan hanya radio kerajaan. Rencana dan program-program kerajaan yang lain juga
banyak yang terabaikan.
Holland terkenal dengan tulipnya. Bagi kami, bunga tulip adalah perlambang
kebangsawanan. Maka banyak diantara rakyat yang suka membudidayakan lalu menjualnya
dengan harga tinggi. Bahkan sampai ke negeri tetangga. Namun saat ini, rakyat kami yang
sedang disibukkan dengan pengungsian dan perang, lupa pada perlambang kebangsawanan. Tak
lagi peduli. Kami seakan amnesia pada keluasan impian, pada harapan akan masa depan, pada
harta benda yang pernah dimiliki. Yah, kami hanya ingin tetap hidup untuk memulai lagi.
Siapapun yang mengerti sejarah panjang pergolakan di Eropa akan paham bahwa
keinginan imperium Prancis bukan rencana yang main-main. Napoleon yang ambisius itu selalu
berfikir keadaan sekarang dengan masa lalu adalah sama. Dunia yang pernah mendudukkan
Prancis sebagai penguasa Eropa, ia ingin mewujudkannya lagi. Ingin menyatukan seluruh Eropa
dalam satu bendera? Kampanye macam apa itu! Bukankah sama saja dengan menjajah seluruh
Eropa?
Ratu sedang mengirimkan para duta terbaiknya ke negara-negara tetangga, meminta
bantuan untuk membendung serangan Prancis. Pada kerajaan Inggris, kekaisaran Romawi
Jerman, serta Tsar Rusia. Semoga para duta itu berhasil memberi mereka pengertian bahwa
ambisi Prancis ini merupakan ancaman bersama. Bahwa ini harus dicegah sedini mungkin
sebelum Prancis mendapatkan tentara tambahan dari wilayah taklukannya.
Sementara itu, semua lelaki yang sanggup berperang di Neve sudah dikirim ke kamp
militer untuk latihan tempur. Dan tentara yang ditugaskan di sisi timur kota Leiden sudah tiba
empat belas batalyon tadi sore, langsung menempati rumah-rumah kosong yang sudah disiapkan.
Sedang orang-orang tertentu yang kupercaya, akan saya tempatkan di rumah Simbok. Sekaligus
untuk menjaga istriku. Akan kuantarkan mereka ke sana malam ini.
Simbok yang menyambut saat saya mengetuk pintunya. Saya suruh tmereka masuk
juga. Dan suguhan kopi sudah tersedia di meja.
“Suruh gendukmu keluar, Mbok. Saya ingin perkenalkan dia dengan kawan-kawan
barunya.”
Wajah Simbok terlihat lain.
“Genduk sudah tidak tinggal di sini Tuan. Genduk pamit pergi tadi pagi.”
Tarian Sunyi Page 136
Hilang lagi!
“Kemana dia pergi Mbok?”
Simbok gugup. Wajahnya pias.
“Genduk ndak bilang,Tuan. Cuma langsung pamit pergi waktu temannya datang.”
“Temannya laki-laki atau perempuan?‟
“Laki-laki, Tuan.”
Saya berusaha tersenyum, entah senyum macam apa yang tampak.
“Mbok, mereka yang akan tinggal di sini. Tolong antar ke kamarnya. Langsung bawa
masuk barang kalian.”
Perempuan paruh baya itu mengangguk. Lalu mereka ikuti Simbok masuk ke ruang
dalam. Saya tak perlu ikut masuk, mereka sudah tahu yang harus dilakukan.
Saya sedang disibukkan lamunan ketika Simbok bicara. Entah kapan dia mulai ada di
depan saya, saya tak betul-betul tak sadar.
“Tuan, maaf bila baru Simbok sampaikan. Genduk bilang pernah jumpa dengan istri
Tuan, dan istri Tuan menitipkan pesan. Nyonya bilang tak usah mencarinya. Nyonya akan
kembali bila tiba waktunya. Simbok ndak tahu hubungan Genduk dengan Tuan, Simbok hanya
sampaikan yang Genduk bilang.”
“Saya mengerti, Mbok.”
Saya ijinkan dia pergi. Saya tahu banyak yang perlu dia lakukan.
Huh, Larasati. Apa salah bila aku ingin menemuinya? Apa alasannya dia tak ingin
bertemu suaminya sendiri? Padahal saya hanya ingin melihatnya, memastikan bahwa dia baik-
baik saja. Juga hanya ingin sebentar bicara.
Tak lama mereka menyusul keluar. Lebih baik saya ikut mereka ke pangkalan. Saya tak
tahan lebih lama lagi di sini.
Tak ada yang bisa saya lakukan di pangkalan. Lebih baik jalan-jalan saja. Keliling Neve
dengan berkuda, lalu menyisir daerah yang lebih jauh. Menyusup di jalan-jalan setapak di antara
rimbunan pohon.
Tarian Sunyi Page 137
Anggap saja karena perang sudah dekat, saya tak nyenyak tidur. Tiap detik dihantui
bayang-bayang kematian, entah hilangnya nyawa sendiri atau nyawa orang lain yang menjadi
tanggungan. Ah tidak! Munafik sekali bicara tentang tanggung jawab. Sejatinya saya tak peduli
dengan orang-orang Neve, mereka bukan siapa-siapa untuk saya. Saya juga tidak terlalu peduli
rakyat saya punya tempat berlindung yang layak atau tidak. Saya ada di sini karena ingin
menemui seseorang, yang ternyata tak ingin bertemu.
Saya beritahukan padamu, menjaga dan bersikap peduli itu melelahkan. Menuntut kita
melakukan banyak pengorbanan. Jadi kalau tak ingin sungguh-sungguh berkorban, lebih baik tak
usah bersikap peduli.
Perkara saya pernah katakan ingin bekerja di tempat yang ilmu saya termanfaatkan di
sana, saya hampir lupa pernah berfikir seidealis itu. Saya lelah dengan perang. Kesia-siaan yang
membuat orang jadi tak bisa membangun kehidupan, membuat istri harus terpisah dari suaminya,
anak terpisah dari ibunya, kakek dari cucu tersayangnya. Terutama, saya jengah dengan istri
yang memilih pergi di saat suaminya memerlukan dukungan.
Malam yang makin dingin membuat saya merapatkan mantel. Tak satupun orang
tampak kecuali yang sedang giliran ronda. Sengaja saya pelankan langkah kuda saat dekat
dengan mereka. Saya sedang tak ingin berjumpa apalagi bertegur sapa.
Dan untuk yang kedua kali, saya lewat dekat rumah Simbok. Sekedar ingin. Saat itulah
saya lihat bayangan mencurigakan di kegelapan. Tak jelas siapa, namun ia sempat terpaku
sebelum berlari ke rerimbunan.
Saya yang tak mungkin mengejar dengan berkuda meluncur turun. Kuda saya
tambatkan di pohon, lalu lari memburunya. Tak peduli kaki saya terlilit belukar berkali-kali. Dia
tak boleh lolos. Bisa jadi dia berniat jahat. Apa jadinya kalau sampai terlaksana? Dia gigih
berlari, saya gigih mengejar. Saya takkan berhenti sampai dapat.
Alam sedang berpihak pada saya rupanya. Karena gelap, ia terjungkal. Tak menyia-
nyiakan kesempatan, tangannya saya telikung di punggung. Dia coba berontak, tapi posisi saya
lebih menguntungkan. Takkan bisa lepas.
“Jangan berharap bisa lepas! Katakan, kau punya urusan apa di sini?”
Masih saja ia coba berontak. Saya paksa ia berlutut. Satu tendangan bersarang di
betisnya, namun ia tetap bungkam.
Tarian Sunyi Page 138
“Saya akan tunggu sampai kau bicara. Ah tidak, terlalu lama. Saya akan membawamu
ke markas militer, biar mereka yang mengurusmu.”
Satu tendangan lagi.
“Selama saya masih baik, katakan. Atau kau lebih suka orang-orang militer yang
memaksamu bicara? Percayalah, mereka takkan selunak ini. Atau kau ingin mati saja di sini?”
Kebungkamannya menghapus rasa kasihan saya.
“Saya bisa menyeretmu dengan kuda, dan tak ada yang akan menyalahkan saya. Kau
melanggar perintah wajib militer untuk warga Neve. Kau lihat tali ini? Ini hadiahmu kalau kau
terus saja bungkam.”
Saya tak habis pikir bagaimana mungkin ia malah mengamati saya. Berani sekali! Saya
sudah bermaksud meninju perutnya ketika ia berkata, “Saya kawannya Larasati.”
Dengan mengatakan itu, mungkin dia berharap niatan saya terhenti. Sayangnya tidak.
Ungkapannya malah membuat emosi saya tersulut. Beberapa tendangan tanpa ampun meluncur
ke tubuhnya.
“Jangan ngawur! Kau pikir bisa meloloskan diri dengan menyebut namanya?”
“Tuan tidak akan tahu dimana istri Tuan jika Tuan mencelakakan saya.”
Saya tertawa. Ia pasti bisa melihat senyum sinis di bibir saya.
“Tak hanya kau yang tahu nama istri saya. Bagaimana saya bisa percaya?”
“Tuan boleh tidak percaya, tapi saya teman Larasati sejak masih sama-sama di Jawa
sampai sekarang. Saya tahu segalanya tentang dia, lebih daripada Tuan.”
Punya nyali juga ia rupanya, berani tawar menawar dalam posisi yang jelas kalah.
“Kalau begitu katakan sesuatu yang bisa membuat saya percaya.”
“Saya yang menjemput dia tadi pagi, Tuan. Saya juga yang mengantarkan dia ke tempat
barunya. Dan kawan saya, Hevga lah, yang Tuan singkirkan setelah mengantarkan Laras
menemui Anda.”
Antara percaya dan tidak, menyingkirkan pengantar Laras bukan peristiwa yang akan
dijadikan berita. Bagaimana ia bisa tahu?
“Hevga adalah karibnya teman saya, dan tentu saja ia jadi kawan saya. Betapa saya
merasa bersalah ketika Hevga tak pernah kembali.”
“Saya akan percaya jika kau katakan dimana istri saya.”
Tarian Sunyi Page 139
“Lalu Tuan bunuh kawan-kawan saya? Tidak Tuan, saya takkan mengijinkan itu terjadi.
Saya yakin Laras juga. Lebih baik saya yang mati daripada Tuan bunuh semua kawan saya.”
“Kuda ini takkan saya surut menyeretmu jika kau katakan dimana dia.”
Sekelebat saya teringat. Bukan ini awalnya yang ingin saya tahu. Hah, hampir saja dia
berhasil membuat saya lupa.
“Kalau saya katakan pun belum tentu Tuan tidak menyeret saya.”
“Saya masih punya tawaran kedua. Kalau kau katakan yang kau lakukan di sini, tanpa
memberitahu dimana istriku pun kau akan saya lepas.”
Dia tersenyum. Namun rasanya seperti penghinaan. Saya ikatkan ujung tali pengikat
tangannya di pelana. Dan, kau tahulah yang terjadi selanjutnya. Kuda yang berderap kencang
membuat tubuhnya terpelanting dan terseret menembus belukar.
Saya sudah beri dia kesempatan. Perkara ia mau ambil atau tidak, terserah saja. Biar ia
sendiri yang pilih hidup matinya.
Dua puluh menit terseret rasanya takkan membuatnya mati. Dia masih mampu berdiri
ketika kuda berhenti berlari, meski tertatih. Saya lepaskan tali yang menyeretnya, lalu saya bantu
ia berjalan ke halaman. Pintu rumah terbuka, dan Pitt menengok dari sana.
“Kemana saja kau pergi lama sekali? Masih banyak yang harus kita kerjakan.”
“Akan saya jelaskan nanti, tapi kami perlu masuk dulu.”
Kejengkelannya terhenti saat arah pandangnya tiba pada pria yang saya bawa.
Dibukanya pintu lebar-lebar, lalu menyingkir memberi jalan masuk. Pandangnya tak beralih dari
ikatan di tangan pria ini, juga tubuhnya yang penuh goresan dan berdarah.
“Tunggu sebentar, biar saya bawa dulu dia ke dalam.”
Saya papah dia ke ruang tengah, lalu saya dudukkan di kursi panjang. Kalau dari dekat
begini, rasanya tak tega juga melihatnya. Tapi sudahlah. Saya hampir pergi ketika ia menarik
tangan saya.
“Tuan, saya sungguh-sungguh teman karib Laras. Saya tahu betul susah payahnya dia
berusaha menemui Anda.”
Menurutmu saya harus berkata apa?
“Ya saya percaya.”
“Apapun yang terjadi, saya tahu Tuan akan tetap mengirim saya ke kamp latihan. Tapi
ijinkan saya katakan sesuatu lebih dulu.”
Tarian Sunyi Page 140
“Baiklah, katakan saja.”
“Sebenarnya saya tak ingin berprasangka buruk, tapi kenyataan memaksa saya berfikir
begini. Saya Tuan, melihat semua lelaki dewasa di Neve yang mampu berperang dikirim ke
kamp latihan. Juga para lelaki yang punya ikatan dengan Neve. Semuanya, hampir tanpa sisa.
Jika Tuan katakan para lelaki dewasa Holland tak semuanya dikirim berperang karena tetap
diperlukan orang yang mengerjakan hal selain yang berkaitan dengan perang, saya bisa pahami.
Kalau Tuan katakan mereka semua juga akan diberangkatkan namun menunggu giliran, saya
juga bisa mengerti.
Yang tidak bisa saya terima adalah kenapa hanya di Neve yang dikirim seluruhnya.
Yang Tuan lakukan itu sama saja dengan menghabisi para pelindung kami secara serentak.
Karena tak ada lagi yang akan melindungi kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang tua kami.
Saya tak tahu tujuan Tuan, tapi saya berfikir Tuan-tuan sedang menghancurkan Neve
secara perlahan. Agar nanti saat kekacauan ini berakhir, tak ada hutang pada kami yang Tuan-
tuan perlu dilunasi. Siapa yang akan menagih pada Tuan-tuan sekalian bila kawan-kawan kami
yang mengerti duduk perkaranya sudah habis di medan perang?”
Saya diam saja, tak merasa perlu menanggapi. Wajar bila ia berfikir begitu. Tiap orang
punya persepsi dan kepentingannya sendiri. Hanya saja, tak pernah terbersit di benak saya bahwa
yang kami lakukan ini untuk menghancurkan mereka. Saya lakukan ini demi keselamatan
bersama.
“Laras, Tuan, kembali pada kami karena merasa hal macam ini akan terjadi. Dia ingin
di saat genting begini, kemampuan dan keberadaannya adalah di antara kami kawan-kawan yang
membutuhkannya.
Saya tahu memang tak patut seorang istri meninggalkan suaminya, apalagi di saat sang
suami sedang butuh dukungan. Namun hidup adalah kumpulan pilihan, Tuan, dan Laras
memahami itu.”
“Kau sebenarnya ingin mengatakan apa? Langsung saja, tak usah berbelit.”
Dia tersenyum.
“Tolong katakan pada pemimpin Tuan, bersikap adil lah pada semua rakyatnya.”
“Ya,” ujar saya tanpa bicara panjang. Saya tinggalkan ia, lalu keluar menemui Pitt yang
menunggu di ruang depan.
“Untuk apa kau bawa dia kemari?”
Tarian Sunyi Page 141
“Saya menangkapnya di Neve. Sepertinya dia melarikan diri dari wajib militer.”
“Lalu kenapa tidak langsung diserahkan saja ke markas militer? Malah kau bawa
kemari. Kau bisa dituduh menyembunyikan pelarian.”
Jelas sekali Pitt marah. Kami telah bersepakat tak akan membawa siapapun kemari,
apalagi orang asing.
“Dia kawan karib Laras, Pitt. Maka dia juga kawan saya. Dia yang menjaga Laras
selama ini.”
Pitt angkat bahu. Sikapnya seolah tak peduli.
“Terserahlah. Asal jangan sampai kau anggap semua orang Jawa itu kawanmu. Kita dan
mereka berbeda, sejak awalnya hingga kapanpun juga. Dan lagi, kalau dia kawanmu, kenapa kau
hajar dia habis-habisan?”
“Saya menghajarnya karena tadinya ia tak lekas bicara. Pitt, saya tak pernah
berkeinginan menyembunyikannya dari wajib militer. Saya hanya tak ingin menyerahkan dia
sendirian.”
“Kenapa?”
“Kau tahu sendiri bakal seperti apa perlakuan orang-orang militer. Tolong antar dia,
usahakan mereka memperlakukannya dengan baik. Bagaimanapun saya berhutang banyak
padanya atas nama Larasati.”
Tawanya meledak tiba-tiba.
“Sejak kapan kau peduli padanya, Rijkaard? Bukankah dulu kau katakan menikahinya
hanya supaya ia tak berulah? Sejak kapan kau jadi romantis? Menganggap seorang wanita yang
bukan Eropa benar-benar istri? Lelucon macam apa itu!”
Sebenarnya saya juga tak tahu kapan rasa itu mulai ada. Apa karena ia yang selalu
menunggu kepulangan saya? Ataukah saya hanya mulai terbiasa dengan kehadirannya dan kisah-
kisah yang ia tuturkan tiap malam?
“Ingat Rijkaard, kau saja tak pernah memperkenalkannya pada Mamamu. Tanyalah lagi
pada hatimu apa betul kau menganggapnya berharga.”
“Ya saya mengerti. Tapi lelaki yang di dalam itu, tolong kau antar dia.”
“Akan kuantar dia pagi-pagi sekali.” Sebentar dia terdiam. Katanya kemudian, “Bicara
apa kalian di dalam?”
Saya ulangi pendapat pria itu tentang tindakan kami di Neve.
Tarian Sunyi Page 142
“Biarkan saja dia bicara. Yakinlah, kebijakan yang diambil para pemimpin kita adalah
yang terbaik. Sudah dipertimbangkan baik-buruknya. Jadi tak perlu kau ambil pusing, kita
tinggal jalankan,” kata Pitt sebelum melenggang pergi.
Mungkin memang lebih baik langsung saya yakini saja. Tiap orang punya kepentingan,
punya tujuan yang terselip, meski berjalan pada koridor yang sama. Dan itu sah. Lagipula, terlalu
banyak yang tak mampu kita ketahui dengan waktu dan tangan kita yang hanya sepasang. Dan
tak ada keputusan yang salah selama ditimbang dengan seimbang, antara sisi hati dan logikanya.
Waktu terus berjalan tak bisa dihentikan, namun para utusan tak kunjung pulang.
Sementara pergerakan tentara Prancis semakin mencurigakan. Kekaisaran Romawi sedang punya
konflik internalnya sendiri, juga mengalami masalah karena serangan Napoleon juga. Tsar entah
kenapa terkesan tak ingin ambil sikap. Sedang Britan juga belum memberi keputusan. Mungkin
Britan sendiri masih sibuk memikirkan cara mempertahankan koloninya dari invansi.
Sungguh Eropa dalam bahaya. Jika ambisi Napoleon tak segera diredam, bukan tak
mungkin api perang menyebar ke seluruh dunia. Sehingga tak hanya Eropa yang akan
mengalami ruginya.
Di tengah situasi genting ini, utusan Prancis muncul di perbatasan. Dengan dikawal
sepasukan tentara, mereka minta diijinkan lewat. Mereka ingin menawarkan damai. Untuk itu
sang utusan minta dipertemukan dengan Yang Mulia Ratu.
Dia tunjukkan tanda buktinya sebagai pejabat tinggi Prancis. Mungkin berharap cepat
diloloskan. Tapi tidak semudah itu. Dia harus menemui Jenderal Beauharnis lebih dulu untuk
pemeriksaan, baru kemudian diberi ijin. Dan demi keamanan sang utusan, juga mengontrol
pengawal yang beliau bawa, Jenderal mengutus sepasukan tentara mengantarkan mereka ke
tempat Ratu sekarang berada, di dekat Tournei.
Jenderal mengirim pemberitahuan pada Ratu segera setelah rombongan sang utusan
berangkat. Juga pemberitahuan pada pimpinan-pimpinan markas tentara, terutama yang berada di
sekitar jalur yang akan dilewati oleh sang utusan.
Tarian Sunyi Page 143
Hanya setengah hari perjalanan, rombongan sang utusan tiba di Tournei. Ratu dan para
pejabat yang telah mendapat kabar sebelumnya segera menyambut. Lalu sang utusan
menyerahkan pesan dari yang mereka pertuan.
Begini isinya,
Tak hanya sekali Eropa tersatukan di bawah panji yang sama. Yang terdekat adalah
Kekaisaran Romawi, yang karena berbagai sebab panji tersebut akhirnya tak lagi dijunjung
tinggi. Namun, tersatukan dalam satu panji tetaplah mengharukan. Dan Eropa yang tersatukan
dalam satu panji akan menjadi Eropa yang berjaya dan pemimpin bagi dunia.
Cita-cita kami rakyat Prancis adalah terwujudkannya itu lagi, sebuah kepemimpinan
yang meliputi seluruh Eropa dan menjadi pemimpin bagi dunia.
Demi terwujudkannya cita-cita mulia iu, saya Napoleon Buonaparte meminta pada
Yang Mulia Ratu untuk mendukung dan bergabung. Saya yakin Yang Mulia akan sangat
mempertimbangkan kedamaian dan kessejahteraan rakyat Holland dalam menentukan
kebijakan.
Mewakili rakyat Prancis,
Napoleon Buonaparte
Sang utusan menunggu jawaban. Namun Sang Ratu hanya berkata, “Beristirahatlah
Tuan. Saya yakin Tuan sangat kelelahan menempuh perjalanan panjang untuk sampai kemari.
Setelah Tuan cukup beristirahat, saya akan berikan jawaban. Tapi mohon maafkan bila hanya
sekedarnya kami menyambut Tuan dan pendamping-pendamping Tuan.”
Tak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita kedatangan sang utusan, serta isi surat
yang dibawanya. Dan memang Yang Mulia Ratu langsung mengirim utusann untuk
mengabarkan ini pada perdana menteri yang menjalankan fungsi pemerintahan di Amsterdam,
memerintahkan beliau untuk menyebarkannya pada seluruh rakyat Holland.
Dan untuk itu, beberapa surat kabar besar yang masih hidup meski tersendat
diperintahkan memberitakan tentang kedatangan sang utusan dan memuat salinan suratnya di
surat kabar mereka. Atas nama kemerdekaan Holland, supaya semua rakyat tahu perkembangan
di negerinya.
Tarian Sunyi Page 144
Sementara perdana menteri membakar emosi rakyat dan memancing reaksinya, Ratu
merundingkan kebijakan dengan para pejabat di Tournei. Kemudian memanggil sang utusan ke
tenda besar beliau keesokan harinya.
“Tuan yang saya hormati, sampaikan salam hormat kami pada junjungan Tuan. Kami
hargai semua iktikad baik Yang Mulia Napoleon Buonaparte nya untuk semua bangsa di tanah
Eropa, terutama rakyat kami. Untuk itulah, saya minta pada Tuan untuk menyampaikan pesan
kami ini.”
Yang Mulia Ratu memberi isyarat pada salah satu pejabat, yang segera menyerahkan
pesan itu pada sang utusan.
“Salam serta pesan Yang Mulia akan kami sampaikan, tanpa dilebihi maupun dikurangi.
Dan, Yang Mulia, pesan balasan dari Yang Mulia ini akan sangat dinantikan di negeri kami.
Oleh karena itu jika diijinkan, kami mohon pamit sekarang. Semoga Yang Mulia panjang umur.”
Satu anggukan menjadi isyarakat diberikannya ijin itu. Dan beberapa pengawal
langsung menunjukkan jalan. Pasukan yang kemarin mengantar rombongan sang utusan sudah
bersiap di dekat gerbang perkemahan, kemudian menggantikan para pengawal Ratu menemani
mereka. Sampai nanti di gerbang perbatasan.
Tak berselang lama, Sri Ratu mengirimkan lagi utusan ke Amsterdam. Beliau
perintahkan pada perdana menteri untuk memberitahukan kebijakan Ratu pada seluruh rakyat
atas kunjungan utusan Prancis. Juga memberikan runutan lengkap bagaimana Ratu menghadapi
mereka, lewat media apapun yang bisa. Radio dan surat kabar. Dan dari situlah saya tahu runutan
kisahnya, bahwa Sang Ratu memilih berjuang. Beliau komandokan rakyat Holland untuk
membela kemerdekaan hingga titik darah penghabisan.
Tentang rombongan sang utusan, kebanyakan orang berfikir bahwa dengan dikawal
tentara kerajaan, mereka akan selamat sampai di perbatasan dan akan bisa kembali pulang ke
negerinya. Ternyata bukan jaminan. Di tengah perjalanan, sekelompok orang menyerang
rombongan tersebut. Dan tentunya bukan kelompok sembarangan jika tak ada satupun dari
rombongan maupun tentara Holland yang tampak selamat.
Pejabat perbatasan Holland didatangi pejabat perbatasan Prancis, diingatkan dengan
yang waktu seharusnya kedatangan rombongan sang utusan. Mereka harus membawa sang
utusan pulang. Dan kerena rombongan yang dinanti tak kunjung datang, pejabat Holland
Tarian Sunyi Page 145
menugaskan sejumlah tentara melakukan pencarian bersama pejabat Prancis. Dan diketahuilah
bahwa mereka tumpas semua, juga tentara perbatasan Holland yang mengawal mereka.
Empat jenasah berpakaian serba hitam tercampur diantara jenasah utusan dan para
pasukan. Jelas mereka diserang. Untung saja pesan Sang Ratu tak diambil, sehingga si pejabat
Prancis bisa membawanya pulang.
Kami yakin si pejabat Prancis pulang dengan memendam amarah meskipun tak
mengatakan apa-apa. Pejabat kami berjanji memberi penjelasan atas peristiwa ini. Dan
penjelasannya adalah bahwa para penyerang itu tidak termasuk dalam kesatuan manapun di
ketentaraan Holland. Mereka murni gerilyawan anti-Prancis.
Kerajaan Holland akan mengirim utusan pada Napoleon untuk menyampaikan
penjelasan resmi kronologi peristiwanya. Utusan yang dikawal dua pasukan tentara berbeda
bangsa, tentara dari orang-orang Holland dan tentara dari orang-orang Jawa Hindia.
Saya yakin mereka tak mungkin tak sadar bahwa dikirim sebagai utusan berarti
mungkin takkan pernah kembali lagi ke Holland. Tapi mereka jalani juga. Mungkin itulah yang
disebut loyalitas pada negara, seperti yang dilakukan oleh rombongan utusan Prancis tempo hari.
Memang harus selalu ada yang berkorban. Kata Pitt, pria yang saya titipkan padanya juga
termasuk yang dikirim dalam pasukan.
Perang sepertinya memang tak terhindarkan. Meski tanpa bantuan, kami tetap harus
mampu bertahan. Lebih baik berkalang tanah daripada menyerah kalah ketika kehormatan diri
dan negeri diinjak-injak orang.
Tentara Prancis mulai menyerang. Batas-batas negara di perbatasan dirobohkan. Dan
perkemahan Sri Ratu dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, demi keamanan.
Tentara-tentara Holland yang sudah mengira hari ini segera tiba, bersiap menyambut. Di
area pertempuran, silih berganti tampuk kepemimpinan pasukan dilengserkan. Ketika sang
komandan terbunuh, yang berpangkat di bawahnya menggantikan. Demikian seterusnya, dari
pagi hingga menjelang malam, saat masing-masing kubu harus memberi istirahat pada masing-
masing pasukan. Untuk berlanjut esok paginya, sampai sang waktu, kekuatan dan strategi
menentukan pihak mana yang menang.
Tarian Sunyi Page 146
Kata orang, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Sebuah pembelajaran demi
kedewasaan. Kau bisa simpulkan sendiri maksudnya : kami kalah. Ibukota diduduki. Sedang Sri
Ratu dan keluarga kerajaan serta prajurit-prajurit yang tersisa menyelinap pergi dari Holland,
meminta perlindungan pada negara tetangga. Sepertinya begitu, sebab Ratu dan keluarganya tak
tampak dimanapun di negeri ini. Sehingga pemerintahan yang baru bentukan Prancis
mengiming-imingi hadiah bagi yang melaporkan keberadaan mereka.
Namun tak ada yang melapor. Mereka pikir bisa membeli kesetiaan kami pada negara?
Jangan harap! Kami sudah serahkan sumpah setia kami pada Pangeran van Oranje sejak
dilepaskan dari penindasan Burgondia.
Beberapa hari berselang setelah Holland dinyatakan jatuh, terdengar berita dari
Amsterdam. Orang-orang Prancis akan mengadakan festival di ibukota selama dua hari tiga
malam sepuluh hari lagi. Konon katanya, mereka namai festival itu perayaan keruntuhan rezim
tirani Holland, sehingga harus dirayakan besar-besaran. Ada beragam pertunjukan, yang masing-
masing mewakili tiap ragam etnis di negara ini.
Tidak akan digelar di gedung pertunjukan seperti biasanya pesta yang berkelas, tapi di
lapangan terbuka agar semua rakyat bisa ikut menikmatinya. Begitu kata mereka. Dan di tanggal
23 bulan yang sama dengan dirobohkannya kepemimpinan penerus Pangeran van Oranje di tanah
ini, malam pertama festival itu digelar.
Kau ingat, kewajiban saya memantau kondisi di Neve pasca perjanjian dengan mereka
sampai direnggutnya Amsterdam dari sisi kami. Maka kini saat Holland jatuh, saya dan Pitt
kehilangan kewajiban atas mereka sampai datangnya perintah berikutnya. Hari ini, tepatnya
malam ini, kami sudah berada di ibukota. Kami ingin tahu seperti apa kondisinya.
Di lapangan yang sama dengan yang digunakan sebagai tempat pesta rakyat untuk
memeriahkan ulang tahun Sri Ratu dua bulanan yang lalu, Jenderal Prancis Frans Odena
membangun panggung untuk merayakan kejatuhan Ratu. Orang-orang yang mengerti akan tahu
ini adalah bentuk penghinaan pada bangsa Holland. Bagaimana tidak? Coba saja resapi ironinya.
Saya dan Pitt saling memandang, bertanya-tanya akan seperti apa jadinya festival ini.
Tarian Sunyi Page 147
Di tembok-tembok kota ditempel poster-poster festival. Sepertinya besar-besaran. Di
bawah tulisan acara dituliskan, „Hadirilah bersam-sama perayaan akan hadirnya pemerintahan
yang bersih dan demokratis di antara kita, yang tidak mengenal nepotisme‟. Tidak saya baca lagi
ke bawahnya, sudah ter tebak isinya.
Orang-orang yang belum tahu menyempatkan diri berhenti, membaca, kemudian pergi.
Tak tampak apa-apa di wajah mereka, juga tak keluar komentar. Mungkin takut salah bicara.
Meski sipil Prancis tak bercampur dengan orang-orang Holland, siapa yang tahu di antara
mereka ada tentara Prancis yang sedang bebas tugas dan tak berseragam.
Yah setidaknya Amsterdam tidak jatuh dengan mudah. Menjelang mereka menyerang
ibukota, kamu sudah pindahkan semua bahan pangan. Yang tak bisa dipindahkan, dihancurkan.
Tentara-tentara di Amsterdam sudah dipindahkan seluruhnya, dan penduduk pun diungsikan.
Saat mereka tiba, Amsterdam sunyi senyap. Saat sedang dibalut kecewa karena tak ada
sesuatupun yang mereka dapat, tentara kami menyerang dari segala penjuru. Sedikit lagi. Tak
disangka pasukan bantuan mereka datang dan mengepung kami dari luar lingkaran, sehingga
kami yang akhirnya harus terpukul mundur. Tak ada yang menyangka Jenderal itu hanya
memasukkan separuh tentaranya ke ibukota, dan menyimpan separuh lainnya untuk cadangan.
Dan malamnya di lapangan kota, saya dan Pitt putuskan untuk datang. Namun tak
segera masuk ke lapangan, hanya berdiri di balik bayang-bayang pohon. Menjadi pengamat
sambil menghisap rokok eceran yang kami beli di toko sebelah.
“Kau tebak berapa banyak orang yang akan datang?”
Pitt menggeleng, sambil tak henti-hentinya menghisap asap dari benda nikmat di sela-
sela bibirnya.
“Kau sendiri, menurutmu berapa banyak yang akan datang?”
Saya juga menggeleng.
“Tak ada yang betul-betul tahu isi hati rakyat kita sekarang. Peristiwa-peristiwa terjadi
cepat sekali silih berganti. Terlalu sulit dilogika oleh rakyat kita yang tidak tahu runutan
peristiwanya.”
Batang rokok yang tinggal puntungnya saya lempar ke bawah pohon. Baranya saya
injak sampai mati.
“Kalau yang datang menonton banyak, apa artinya?”
Pitt menggeleng.
Tarian Sunyi Page 148
“Tak ada yang tahu isi hati terdalam tiap orang kecuali dia sendiri. Sudahlah, kita amati
saja dulu yang penjajah-penjajah keparat itu lakukan, setelah itu baru kita berfikir tentang
keadaan.”
Setengah jam berlalu dari saat tenggelamnya matahari. Pertunjukan setengah jam lagi
dimulai. Tapi lapangan tetap sepi, malah yang hadir bisa dihitung jari. Padahal di pertunjukan
biasa, depan panggung penuh bahkan satu jam sebelumnya. Atau jika pertunjukan terkenal, pasti
meluber sampai jauh di belakang. Paling tidak, orang-orang yang tertarik hilir mudik mencari
tempat yang pas. Saya yakin orang-orang Prancis itu tidak akan suka.
Saya jadi teringat kisah pembantaian massal rakyat yang dikumpulkan di lapangan
terbuka. Tepatnya dimana saya lupa, hanya dulu pernah dibahas di sekolah. Apa mungkin
mereka tak berani hadir karena alasan ini? Jika benar mereka merencanakan kekejaman macam
ini, saya akan cegah agar tak terjadi. Apalagi di lapangan yang punya sejarah panjang perayaan
kejayaan bangsa Holland.
Setengah jam lagi berlalu. Yang datang bertambah beberapa gelintir. Seseorang
berseragam tentara tampak menggerutu panjang pendek pada orang di sekelilingnya sambil
berjalan keluar dari lapangan. Ia menuju ke arah kami. Hati-hati saya dan Pitt berjalan makin ke
balik bayang-bayang agar tak ketahuan.
Sungguh, wajah ditekuknya membuat saya ingin muntah. Wajah wajah orang jahat,
penjajah yang sudah mengobrak-abrik tanah kelahiran saya. Saya rekam wajah ini sedetail-
detailnya di benak. Bila terjadi hal buruk dengan saudara-saudara saya di lapangan ini, seraut
wajah inilah yang akan saya buru dan saya habisi pertama kali.
Terdengar bentakan dari dalam toko, kemudian suara tangis anak-anak. Ah terserah apa
maumu penjajah, asal kau tak keluarkan senapan dan mulai menembak, kau akan aman keluar
dari toko ini. Tak lama kemudian si tentara keluar, disusul oleh pria pemilik toko dan
keluarganya. Mereka menutup toko untuk datang ke lapangan.
Sepasukan tentara datang pada si tentara pemarah, memberi hormat, lalu menyebar ke
segala penjuru. Mereka gedor rumah warga, memaksa penghuninya datang ke lapangan kota.
Sehingga lapangan mulai dipadati orang. Meski mereka datang tanpa kerelaan, namun berjalan
dengan dorongan popor senapan.
Ah saya lupa katakan, mulai minggu lalu rakyat kami kembali ke rumahnya masing-
masing. Tak lagi di pengungsian.
Tarian Sunyi Page 149
“Saya berharap sedang membawa sepeti senapan dan granat saat ini, Pitt. Saya ingin
lemparkan pada mereka.”
Pitt tertawa.
Denting piano dan gesekan biola dimainkan oleh para pemusiknya, sampai satu lagu
tanpa ada yang menyanyi. Kemudian berhenti. Dan si tentara pemarah – sebenarnya tak tampak
jelas dari kejauhan di sini, hanya terlihat dari gerak tubuhnya – naik ke panggung. Pengeras
suaranya sempat berdenging ketika si tentara akan bicara, namun teknisi yang tanggap segera
bisa menangani.
“Saudara-saudara yang kucintai, saya sangat senang saudara-saudara berkenan hadir
pada malam hari ini. Ini adalah perayaan besar bagi datangnya demokrasi di Holland, jadi saya
sadari saudara-saudara sekalian pasti akan datang. Betapa ini menjadi bukti kepedulian saudara-
saudara sekalian pada Holland.
Malam hari ini saudara-saudara, sebagai wujud rasa cinta rakyat Prancis pada saudara-
saudaranya di Holland, setelah peperangan yang menguras tenaga dan air mata, kami
persembahkan festival ini. Dan terkhusus untuk malam ini, sebagai pembuka akan ditampilkan
musik dan tarian dari orang-orang yang asalnya jauh di sebelah tenggaranya Asia. Tak ada
maksud lain, kami hanya ingin menghibur. Selamat menikmati.”
Satu, dua, kemudian gemuruh tepuk tangan tercipta mengiringi turunnya si tuan tentara
dari panggung. Saya kira yang akan ditampilkan adalah sesuatu yang biasa, seperti tadi musik
perpaduan piano dan biola. Ternyata berbeda. Yang ini paduan kenong, kempul, demung, saron,
gong. Mereka nggending! Lalu sekelompok penari naik ke panggung. Telinga saya tergelitik
tiba-tiba.
“Pitt, saya akan ke sana.”
Keningnya bekerut, pertanda tak mengerti.
“Ada apa?”
“Sepaham saya, kita saja tak pernah mengakui orang-orang Jawa sebagai bagian dari
kita. Pasti ada sesuatu di sana.”
Ditahannya pundak saya.
“Tak perlu. Terserah saja mereka mau tampilkan apa. Terlalu bahaya untuk ikut ke sana.
Sudahlah, pantau saja dari sini.”
Saya menggeleng. Saya harus tahu.
Tarian Sunyi Page 150
“Saya takkan apa-apa. Saya akan segera kembali.”
Saya singkirkan tangganya, keluar dari bayang-bayang pohon, dan berjalan dalam
bayang-bayang lainnya. Langkah saya perlahan agar para tentara itu tak menyadari seseorang
yang baru mendekat pada kumpulan. Tak sulit menerobos kerumunan.
Mata ini tak menangkap kejanggalan sampai mata saya terpaku pada satu sosok yang
sedang tampil sebagai penari utama. Larasati, dengan perutnya yang tak lagi rata. Berani sekali
mereka memaksanya menari dalam kondisi hamil! Keparat!
Tunggu saja, saya akan buat perhitungan nantinya.
Tarian Sunyi Page 151
Pikiranku melayang pada seorang pria yang pernah sangat kuinginkan
Menanyai lagi hatiku apakah masih ingin memperjuangkannya, coba
menemuinya,
Atau menyerah pada pria lain yang memujaku
Bimbang, kau tahu?
Tapi seharusnya, sesuatu yang sudah kumulai tak kubiarkan berhenti
begitu saja,
Sampai kutemukan ujungnya
Tarian Sunyi Page 152
BAB VIII
LARASATI
Tentara kerajaan Holland sudah jatuh. Itu yang terjadi dan tak bisa dipungkiri.
Darimana kami tahu sedang tak ada surat kabar yang beredar juga tak ada siaran radio? Dari
angin yang berhembus sendu, serta awan yang terus-menerus menggantung seolah enggan pergi.
Kebebasan Holland terenggut sudah.
Jika berfikir negeri ini dan rakyatnya telah banyak memberi penderitaan padaku dan
saudara-saudaraku, harusnya aku mensyukuri kejatuhannya. Karena dendam kami terbalas. Dan
mereka akan tahu rasanya selalu menjadi orang kedua meski di negeri sendiri.
Harusnya, tapi tak sepenuhnya demikian. Kami yang bukan orang Holland pun ikut
merasakan sakit dan perihnya. Bukan karena tanah kelahiran kami direbut orang, tapi karena
kami harus kehilangan banyak hal yang sudah kami usahakan untuk yang kesekian kali. Hal
yang sudah hampir matang dan akan memberikan perbaikan kondisi bagi saudara-saudaraku di
negeri ini juga di Hindia sana.
Amsterdam sudah dikuasai. Kota-kota besar lain juga mulai disisiri, kemudian
ditaklukan. Aku yakin Leiden takkan dilupakan. Hanya tinggal menunggu waktu. Dan betul
perkiraanku. Tak sampai seminggu berselang sejak hari didudukinya Amsterdam, tentara Prancis
sampai di Leiden. Padahal begitu jauhnya jarak Leiden-Amsterdam.
Sebenarnya kami sudah memperkirakannya, tapi ini terlalu cepat. Apalagi Ratu, perdana
menteri, serta para petinggi negeri sedang menghilang. Tanpa ada berita sama sekali. Keadaan
ini pasti berpengaruh buruk pada moral dan semangat para tentara. Dan masalahnya, hanya
sedikit tentara yang ditempatkan untuk menjaga kota ini.
Sebenarnya aku hanya tahu Neve, entah bagaimana bagian kota yang lainnya. Tapi
kurasa tak jauh berbeda. Hanya ada sedikit tentara untuk Leiden. Yang berbeda hanya bahwa
Neve dijaga sedikit tentara tanpa penduduk lelaki dewasa, dan yang ada di rumah-rumah
tinggallah para orang tua, wanita dan anak-anak. Neve dan Leiden terduduki dengan mudahnya.
Tarian Sunyi Page 153
Bagaimana bisa diduduki dengan mudah? Apa kami menyerah tanpa perlawanan?
Tidak! Hanya saja tak ada cukup tentara, dan tak ada cukup lelaki dewasa yang mampu
mengangkat senjata.
Di Neve, komandan tentara Prancis datang menemui ketua. Katanya, “Kami tak butuh
orang-orangmu. Tak ada yang bisa kami dapatkan dari kalian. Sia-sia saja kalian hidup.”
Ketua hanya terdiam. Sepertinya si komandan sudah bersiap melepas pelurunya ketika
seorang pria mendekat dan berbisik padanya. Dia mengangguk-angguk kemudian tersenyum.
“Dia bilang penduduk kalian sering menggelar pertunjukan. Kalau kau mau
mengadakan pertunjukan untuk kami, kalian akan kuampuni. Kau pilih yang mana?”
Kebetulan saja aku sedang bersembunyi di rumah ketua. Dan karena letak kamar ini
dekat dengan ruang tamu, tak sengaja betul pembicaraan mereka terdengar. Sampai muncul
keinginanku mengintip keluar. Hanya ada ketua dan ibu di ruang tamu. Dan ketua yang terdiam,
pasti sama bingungnya denganku yang mendengarkan dari dalam kamar. Bagaimana kami tahu
yang mereka inginkan kalau mereka tak katakan secara gamblang?
Orang yang berbisik pada komandan tadi membisikinya lagi. Dan si pembesar
mengangguk-angguk mengerti.
“Coba sebut pertunjukan apa saja yang pernah kalian buat. Kalau aku tertarik dengan
salah satunya saja, kalian akan kuampuni.”
Ketua pun menjelaskan seperlunya.
“Bagus, aku tertarik. Kalian kuampuni. Dan karena aku mau kalian tampil di festival
Amsterdam seminggu lagi, aku mau semuanya segera siap. Besok kalian akan kuberangkatkan
ke Amsterdam. Aku tak terima alasan. Kecuali kalau kau ingin orang-orangmu mati. Mengerti!”
nada bicaranya yang meninggi membuat ketua tak ingin mengatakan apapun kecuali
mengangguk.
Kemudian mereka pergi. Kuharap mereka takkan kembali, tapi itu tak mungkin. Markas
mereka tak jauh dari sini. Ketua masih termangu ketika kubuka pintu kamar dan
menghampirinya .
“Apalagi yang akan kita lakukan sekarang? Kita sudah kehabisan segalanya untuk
menyelamatkan orang-orang kita. Tapi mereka masih saja meminta. Mana mungkin bisa menari
tanpa iringan, padahal tak ada penabuh gamelan lagi yang tersisa.”
Kutepuk lembut pundak yang kelelahan itu.
Tarian Sunyi Page 154
“Masalah ini biar Laras saja yang tangani, Bapak. Bapak ingat kan siapa yang
membantu Bapak menghidupkan kesenian Jawa di Neve ini?”
“Tapi kau sedang hamil, Nak. Tak boleh kelelahan. Mana mungkin Bapak tega? ”
“Aku tahu, Pak.” Kuelus perutku. “Ia akan mengerti. Karena ia akan jadi setegar aku,
aku yakin itu.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan, Nak?”
“Bila tak menyulitkan, saya minta Bapak dan Ibu memanggil para gadis yang pernah
belajar menari bersamaku. Saya akan minta mereka membantu. Saya juga akan ikut mencari.”
Pria tua itu tersenyum, kemudian memelukku.
“Kau tak boleh kelelahan, tak baik untuk bayimu. Tinggallah saja di sini dan pikirkan
rencana berikutnya. Biar kami saja yang jemput mereka.”
“Betulkah tak apa?” kataku sejenak ragu.
“Akan lebih merepotkan kalau tiba-tiba terjadi sesuatu padamu.”
Tak kusangka menari saja bisa menyelamatkan banyak nyawa, tak hanya untuk bertahan
hidup. Coba kalau dulu kutolak tawaran Haryo mengajar tari, entah apa yang bisa kami tawarkan
sebagai ganti nyawa saudara-saudaraku di sini.
Kau ingat alasan latihan tari kami tak bisa rutin lagi? Karena saat itu orang-orang Neve
sedang sibuk menuntut kerajaan Holland memberi kami fasilitas yang layak. Dan tak lama
setelahnya, kegoncangan terjadi. Serangan Prancis. Dan habislah sudah yang kami usahakan
dengan susah payah. Padahal anak-anak kami sudah mulai dibolehkan belajar di sekolah umum
selayaknya anak-anak Holland, dan kehidupan kami mulai tertata.
Sekarang seolah kembali ke titik nol lagi, seperti dulu saat kami belum berbuat banyak.
Sampai tak bisa kujelaskan lagi masih adakah yang tersisa. Tapi kejadian seperti ini siapa sangka
bakal terjadi, siapa pula yang inginkan. Juga tak hanya kami yang rasakan. Orang-orang yang
lebih dulu menetap di negeri ini pasti merasa lebih remuk lagi.
Cukup lama kutunggu sebelum pak ketua dan ibu datang bersama dengan para gadis
yang kuinginkan. Kemudian kuminta mereka duduk di lantai bersisian. Kursi tamu pak ketua tak
muat untuk semuanya. Lalu kujelaskan pada mereka duduk perkaranya.
“Nah sekarang pertimbangkanlah. Keputusan kalian yang akan menentukan nasib
saudara-saudara kita di Neve. Meskipun aku tak bisa jamin bila kita penuhi keinginan mereka,
Tarian Sunyi Page 155
mereka akan memenuhi janjinya. Juga tak bisa kujamin nasib kita nanti setelah dikirim ke
Amsterdam. Apapun pendapat kalian, bicaralah.”
Aku tahu mereka sama-sama berfikir. Memang tak ada yang bisa menjamin nasib kami
meski kami putuskan mengikuti kemauan tentara-tentara Prancis itu. Kami hanya berfikir, jika
kami ikuti, saudara-saudara kami masih punya harapan untuk hidup. Meski tak tahu berapa lama
penangguhan ini diberikan.berlangsung. Dan kami pun punya waktu sedikit lebih panjang untuk
berfikir bagaimana caranya tetap hidup.
“Saya bersedia ikut.” Satu dukungan kudapatkan dari Sulastri.
Kemudian satu persatu memberikan persetujuannya.
“Kuingatkan lagi kawan-kawan, kita tak punya jaminan nasib baik. Jadi mulai sekarang,
tiap orang bertanggung jawab atas hidupnya masing-masing. Walaupun kita selalu berusaha
menanggung susah senang bersama.”
Kuharap semua menyadari hal itu. Sebagaimana daun kering yang tidak akan bisa saling
membuat janji untuk gugur bersamaan dari ranting pohon.
Kami tiba di Amsterdam sehari sebelum festival digelar. Dan langsung ditunjukkan
panggungnya, juga peralatan yang tersedia. Kata mereka, selain yang tersedia silahkan diurus
sendiri. Untung saja seperangkat gamelan serta perlengkapan tari yang tersimpan di rumahku
masih utuh, sehingga tinggal dibawa sewaktu akan berangkat.
Sudah bukan rahasia bila para tentara menggoda wanita yang mereka bawa. Terutama
bila yang mereka bawa hanya wanita biasa. Dan itulah yang terjadi, pura-pura tak sengaja
menyenggol, menyentuh. Kami hanya bisa diam, dan sesering mungkin bersama. Orang
cenderung masih bersikap sopan di hadapan para wanita yang bersama-sama.
Dan sesering mungkin bersama itu, sambil kami rundingkan yang akan ditampilkan
nantinya. Jangan kira gampang menyiapkan pertunjukan.
Kami anggap pertunjukan ini hampir sama dengan yang sering kami buat di Neve.
Bedanya ada pada panggung yang lebih besar dan penonton yang lebih banyak. Apapun lah,
yang jelas kami lakukan ini untuk bertahan.
Tarian Sunyi Page 156
Masih selalu kutanamkan dalam hati para penariku bahwa keindahan tarian tak hanya
dari gerak tubuh, namun dari ketulusan hati yang selalu bersyukur pada anugrah Tuhan. Rasa
syukur bahwa kami masih diberi penangguhan kematian. Syukur masih diberi kesempatan untuk
menunjukan pada orang-orang bagaimana rasanya memohon pada Tuhan, menyampaikan
sesuatu yang ada di lubuk hati terdalam.
Kemudian tarian kami berakhir, digantikan penampilan yang lain. Dan kami menunggu
selesainya dari balik panggung. Menunggu diantarkan ke penginapan yang tadi, atau penginapan
yang lain lagi.
“Sabar ya sayang,” kuelus perutku yang makin membuncit. “Kondisi sekarang memang
sedang sulit, tapi kau harus kuat.”
Seusai penampilan terakhir, sempat kudengar pembawa acara mengumumkan bahwa
perwakilan rakyat Holland membentuk pemerintahan baru yang lebih demokratis. Disebutkan
pula siapa pemimpin baru republik ini. Kuingat juga meski tak terlalu paham artinya.
“Laras,” seseorang memanggilku. Miar.
“Seorang pria menitipkan ini untukmu. Katanya, jangan sampai seorangpun tahu,”
bisiknya sambil pura-pura mengelus perutku.
“Apa kau ingin segera membacanya?”
Aku mengangguk.
“Ayo kita cari keramaian. Agar tak ada yang menyadarinya.”
Miar mengajakku menyusup ke keramaian di dekat panggung, lalu kubaca pesan itu di
sana.
Laras, senang rasanya kita masih bisa berjumpa. Meski hanya saya yang melihatmu,
tanpa kau menyadari bila pandangku terus melekat padamu sepanjang penampilan kalian. Saya
tahu dimana berikutnya kau akan dipindahkan. Nanti malam di kebun belakangnya, tunggulah
kedatangan saya disana segera setelah kau bisa datang.
Seseorang yang merindumu.
Tanpa nama pengirim di surat itu.
“Dimana kau bertemu dengannya, Miar?”
Tarian Sunyi Page 157
“Kami tak sengaja berjumpa saat aku kembali dari kamar kecil.”
“Apa kau masih ingat seperti apa dia? Warna matanya, warna rambutnya?”
Miar mengangguk. “Rambutnya coklat, warna matanya biru gelap kalau tak salah.”
Aku tahu, dia Rijkaard
Aku seolah lupa pada yang disebut ketakutan saat menyelinap keluar dari penginapan.
Bahkan ketika berjalan sendirian ke kebun belakang. Aku seolah lupa bahwa mungkin saja aku
akan ketahuan, ditangkap kemudian disekap dan diperlakukan entah seperti apa. Semua tersamar
oleh harapan berjumpa dengan seseorang yang aku tak berani berharap bisa kutemui lagi.
Syukurlah yang kuharapkan tak jauh dari kenyataan. Saat berdiri di samping pagar kebun,
satu lengan kokoh begitu kukenal merengkuhku. Ia menuntunku lebih ke dalam kebun, kemudian
memelukku. Kami saling memandang.
Secara hitungan, belumlah lama waktu kami berpisah. Tak sampai hitungan tahun. Tapi
peristiwa-peristiwa pahit yang terjadi membuat banyak perubahan. Rijkaard-ku yang selalu rapi,
rambutnya berantakan. Tampak lebih tua.
“Saya takut kau tak datang.”
“Selama aku hidup, aku akan berusaha datang.”
Dia tersenyum. Direbahkannya kepalanya di pangkuanku.
“Itu yang saya takutkan. Kau akan lakukan apapun untuk memenuhi keinginanmu. Aku
takut terjadi sesuatu yang buruk.”
“Tapi kukira kau tetap senang aku datang.”
Dia tertawa. Terus saja kubelai rambutnya. Waktu seolah berhenti di sini. Tiap detik yang
berharga yang berjalan kami nikmati dalam hening malam. Dalam desau angin yang mengisikan
kebahagiaan.
“Saya ingin kau selamat, Laras. Dengan begitu kau harus pergi dari sini, keluar dari
Eropa.”
“Itu tak mungkin. Aku tak bisa meninggalkan kawan-kawanku.”
Ia terdiam.
“Kalau kau ingin, saya bisa titipkan kau pada seorang kawan yang akan berlayar keluar
Eropa. Kau akan selamat asalkan tak tinggal di Eropa.”
“Dengan siapa? Jangan katakan aku harus pergi sendirian.”
Tarian Sunyi Page 158
“Saya tak bisa menemanimu.”
“Kenapa?”
Dia tersenyum. Disentuhnya pipiku.
“Saya harus tinggal. Saya sudah berjanji akan mengabdi pada negara, jadi tak mungkin
saya meninggalkan Holland saat ini.”
“Begitu juga aku. Aku tak bisa meninggalkan teman-temanku meski harus ikut meregang
nyawa di sini. ”
Keadaan kami tak baik. Maju sulit, mundurpun tak bisa.
“Saya ingin melihatmu menari lagi, Laras, tari yang dulu kita sama-sama lihat sewaktu di
Jawa. Saat jumpa pertama kali, kau ingat? Tentang Dewi Sawitri?”
“Ya, aku ingat.”
“Kalau Dewa Narada betul-betul ada, dan saya mati lebih dulu, minta Ia menghidupkan
saya lagi. Berjanjilah. Saya ingin punya seratus anak darimu, tidak hanya satu.”
Aku mengangguk. Aku tahu kami sama-sama berharap bisa berjumpa suatu hari nanti,
saat semua kekacauan ini berakhir, saat orang-orang Prancis itu sudah pergi dari negeri ini. Tapi
sama-sama tak tahu dan tak yakin bagaimana Tuhan akan takdirkan.
Semoga saja tarianku untuk Rijkaard tak hanya jadi tarian kepedihan yang sunyi.
Tarian Sunyi Page 159
“Laras, kalau Bathara Narada betul-betul ada,
minta Ia menghidupkan saya lagi.
Saya ingin punya seratus anak darimu,
tidak hanya satu.”
Tarian Sunyi Page 160
EPILOG
Semua sudah berakhir. Cukup sampai di sini saja.
Ah, ya. Tak terasa benar berlalunya waktu, dan tak terasa benar bagaimana kawan-
kawanku pergi. Demi yang mereka perjuangkan dan mereka yakini sebagai kebenaran.
Pelan-pelan kuayun lagi kursi goyang yang memanggul tubuhku. Lalu kurapatkan
sweter hangat yang memberi tubuh tua ini kehangatan. Nyaman. Kubiarkan lagi pikiranku
melayang. Pada mereka, kawan-kawanku.
Aku sebenarnya amat marah pada mereka. Kami berempat, dan kini hanya satu yang
tersisa. Akulah. Bersama dengan sisa-sisa hal yang kami perjuangkan dahulu.
Aku amat marah saat tahu mereka pergi satu persatu. Kenapa mereka tidak memilih
hidup saja? Tak kumaafkan! Namun, lama-lama aku berfikir ini mungkin kehendak Tuhan, yang
menginginkan salah satu dari kami tinggal. Untuk melihat perkembangan dari hal yang gigih
kami perjuangkan. Agar lewat mataku, kawan-kawan tahu jadi seperti apa kehidupan yang
dijanjikan itu. Sedikit demi sedikit kumaafkan mereka.
Berangsur-angsur kuterima ketertinggalanku di dunia ini. Aku melangkah kembali,
melanjutkan hidup. Berangsur-angsur pula, setelah sekian lama berjalan sendiri, wadagku yang
menua meminta tempatnya pada kesenangan kursi goyang. Dan kini, saatnya aku kembali
mengenang beragam kisah indah yang telah kami ciptakan.
Dan demi anak cucu yang harus tahu bagaimana kisah indah mereka dan aku dahulu,
telah kurangkaikan kata ini untukmu. Berurutan. Kuawali dengan kisah tentang Laras, kemudian
Adi, kemudian Rijkaard. Kini tuntas sudah ceritaku tentang kehidupan mereka.
“Jadi Rijkaard dan Laras berpisah pada akhirnya ya Opa? Lalu nanti, apa mereka akan
bertemu lagi? Atau bagaimana?”
“Memangnya kenapa, Sayang?”
“Setiap orang kan akhirnya harus bahagia. Apa Laras juga bahagia?”
Aku tertawa.
“Lalu Hans maunya mereka jadi seperti apa?”
Tarian Sunyi Page 161
“Kalau dia perempuan hebat, dia harusnya hidup bahagia. Dia akan bertemu dengan
suaminya lagi dan mereka bahagia. Dan temannya Laras apa bisa pulang dari Prancis? Teman
Opa yang sembunyi, ada dimana dia sekarang? Apa mereka juga bahagia seperti Oma dan Opa?”
Lagi-lagi aku tertawa. Kuraih dan kupeluk buah hati putriku dan kududukkan ia di
pangkuan.
“Ayo, Opa belum katakan bagaimana akhirnya.”
“Opa tak pernah dengar lagi kabar mereka. Perang membuat kami tercerai-berai dan tak
pernah lagi berjumpa.”
Bibir mungilnya mengerucut.
“Harusnya Opa tidak usah cerita kalau akhirnya tidak bahagia.”
Tinju kecil-kecil cucuku menimpa paha dan dadaku. Kutanggapi dengan derai tawa.
Meski sesungguhnya aku selalu salut pada mereka. Hidup yang bahagianya sesingkat itu masih
dijalani juga. Juga tidak pernah berkeinginan mati lebih cepat selayaknya orang-orang yang
merasa tak cukup bahagia sehingga ingin cepat-cepat saja mengakhiri hidup.
Saat aku meminta dikirim ke Hindia, Neve sudah tak ada lagi. Aku tak tahu apakah
perjanjian yang mereka upayakan tetap dijalankan. Aku juga tak tak tahu masih berapa banyak
orang Jawa yang hidup dan bertahan. Mereka lagi-lagi kehilangan kekuatan.
Rijkaard kawanku, Larasati istrinya, dan Adi seseorang yang kuanggap kawan sejak
hari pertama kali kulihat ia di pertemuan pra-perundingan dulu. Seseorang yang dalam beberapa
hal mirip denganku. Kawan-kawanku satu persatu menghilang, hingga yang tersisa hanya
kenangan.
Oh aku hampir lupa. Perkenalkan, namaku Johanes Pitterson. Dan Rijkaard selalu
memanggilku Pitt.
SELESAI
Malang, 27 September 2010
Tarian Sunyi Page 162
OTOBIOGRAFI
Jayaning Sila Astuti, lahir di Trenggalek Jawa Timur pada 1 Oktober. Memulai langkah
kepenulisannya pada tahun 2003, dan diselami lebih dalam pada tahun 2006 saat bergabung
dengan UKM Penulis Universitas Negeri Malang.
Mulai tahun 2012, penulis sedang mendalami Psikologi Industri dan Organisasi di Universitas
Islam Indonesia. Mohon doanya ya..
Penulis bisa dihubungi pada jayaningsila @gmail.com, atau nomer +6285646573810. Karya-
karya lainnya bisa dinikmati pada buku-bukunya yang sudah terbit, atau pada blog
jayaningsila.wordpress.com atau www.kompasiana.com/jayaningsila.