tasawuf dan perubahan sosial di cirebon
TRANSCRIPT
TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL DI CIREBON:
Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Institusi Keraton, Pondok Pesantren, dan Industri Batik
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
IVAN SULISTIANA
NIM. 1111111000057
Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015 M/ 1436 H
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL DI CIREBON:
Kontribusi Tarekat Syatariyah Terhadap Perkembangan Institusi Keraton,
Pondok Pesantren, dan Industri Batik
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Agustus 2015
Ivan Sulistiana
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
TASAWUF DAN PERUBAHAN SOSIAL DI CIREBON:
KONTRIBUSI TAREKAT SYATTARIYAH TERHADAP PERKEMBANGAN
INSTITUSI KERATON, PONDOK PESANTREN, DAN INDUSTRI BATIK
oleh:
Ivan Sulistiana
1111111000057
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1
September 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua Sidang,
Husnul Khitam, M.Si
Penguji I, Penguji II,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Ahmad Abrori, M.Si.
NIP. 197609182003122003 NIP. 197602252005011005
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 8 September
2015.
Ketua Program Studi Sosiologi,
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122003
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis tentang “Tasawuf dan Perubahan Sosial di
Cirebon: Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi
Keraton, Pondok Pesantren, dan Industri Batik”. Tujuan dari penelitian ini ialah
menjelaskan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial yang dilihat
dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik di
Cirebon. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan audio-
visual. Selanjutnya, data-data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara induktif
menjadi tema-tema khusus yang selanjutnya dianalisis menggunakan kerangka
teori. Adapun kerangka teori yang digunakan ialah teori strukturasi Giddens
mengenai peran agency (reflexive monitoring of action, rasionalization of action,
dan motivation of action) dan konsep substantivies (signifikansi, dominasi, dan
legitimasi).
Dari hasil analisis menggunakan teori strukturasi, dapat dilihat kontribusi
tarekat Syattariyah di Cirebon terhadap: berdirinya institusi keraton, pesantren,
dan industri batik; serta menyinergikan antara tradisi dan modernisasi di tengah
perubahan sosial di ketiga institusi tersebut. Fenomena perubahan sosial yang
dianalisis ialah perubahan dari masyarakat Hindu ke Islam pada abad ke-16; serta
modernisasi di keraton, pesantren, dan industri batik pada abad ke-20. Dari hasil
analisis kedua fenomena perubahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tarekat
Syattariyah di Cirebon berkontribusi dalam: (i) memelopori perubahan dari
masarakat Hindu ke Islam melalui proses invantion (kombinasi unsur tradisi
Hindu dan ajaran Islam); dan (ii) menyinergikan antara tradisi ke-Islaman di
Cirebon yang bernuansa sufistik dengan modernisasi di keraton, pesantren, dan
industri batik. Dengan demikian, hasil penelitian ini membuktikan bahwa tarekat
bukanlah aktor yang pasif, eksklusif, atau anti-perubahan. Tarekat dapat menjadi
aktor yang aktif, yang dapat berkontribusi dalam menciptakan dan menyinergikan
perubahan di institusi keraton, pondok pesantren, dan industri batik di Cirebon.
v
KATA PENGANTAR
Segala puja-puji syukur kepada Allah Subhannahu wa Ta‟ala., yang telah
melimpahkan segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya yang tak berhingga,
sehingga peneliti dapat merampungkan skripsi ini sesuai dengan keridhoan-Nya.
Shawalat beserta salam selalu tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad
Saw., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Proses penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari kemurahan hati berbagai
pihak yang telah memberikan bantuannya, baik secara moril maupun materil. Atas
segala bantuannya, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sebagai dosen
pembimbing penulis, yang selalu sabar dan murah hati dalam
membimbing dan memotivasi penulis merampungkan skripsi ini.
2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Prodi Sosiologi, yang telah
membantu dan mendukung proses penulisan skripsi ini.
3. Bapak Husnul Khitam, M.Si., selaku Sekretaris Prodi, yang telah
memberikan masukan dan bantuannya dalam proses penulisan skripsi ini.
4. Bapak Mohammad Hasan Ansori, Ph.D, selaku dosen pembimbing
akademik penulis yang telah memotivasi dan membantu proses penulisan
skripsi ini.
vi
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen pengajar Prodi Sosiologi, FIIP, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan
bimbingannya selama penulis masih berkuliah.
6. Para staff pengurus bidang akademik dan administrasi, FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu kepengurusan berkas dan
admnistrasi dalam proses penulisan skripsi ini.
7. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FISIP UIN
Jakarta yang telah membantu penulis untuk mengakses buku-buku dan
litaratur.
8. Pimpinan dan Staff Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM),
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Islamic Centre Jakarta, Perpustakaan
UI, Perpustakaan IAIN Syeikh Nurjati, dan Perpustakaan Jakarta Utara,
yang telah membantu penulis bagi tambahan literatur.
9. Segenap civitas akademika, teman-teman mahasiswa prodi sosiologi,
FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selalu mendorong dan
memotivasi penulis menyelesaikan skripsi ini.
10. Rama Guru P. Muhammad Nurbuwat Purbaningrat, Elang Bagoes
Chandra Kusumaningrat, keluarga dan para murid, atas keramah-tamahan,
kesedian wawancara, dan segala bantuannya kepada penulis selama proses
pengumpulan data di Pengguron Pegajahan.
11. Rama Guru Bambang Iriyanto dan Rama Guru Harman Raja Kaprabon,
yang telah membantu penulis dalam proses pengumpulan data di
Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam.
vii
12. KH. M. Ade Nasihul Umam, Lc. (Kang Babas) dan KH. M. Anas Azaz,
S.Pd.I (Kang Anas), beserta Ibu Nyai, keluarga, dan para santri, atas
keramah-tamahan dan segala bantuannya kepada penulis selama proses
pengumpulan data di Pesantren Buntet.
13. KH. Muhammad Hasan, Ibu Nyai, beserta keluarga dan para santri, atas
keramah-tamahan, kesediaan wawancara, dan segala bantuannya kepada
penulis selama proses pengumpulan data di Pesantren Benda.
14. Kyai Tonny, beserta keluarga dan pengurus makam Mbah Trusmi, atas
kesediaan wawancara dan segala bantuannya selama proses pengumpulan
data di Trusmi.
15. Bapak Katura AR., beserta keluarga dan pengurus Sanggar Batik Katura,
atas keramah-tamahan dan kesediaannya untuk wawancara dan memotret
koleksi batik selama proses pengumpulan data di Trusmi.
16. Sultan, sesepuh, abdi dalem, pengurus, dan keluarga Keraton Kasepuhan,
Kanoman, Kacirebonan, dan Pengguron Kaprabonan, yang telah
mendukung dan membantu penulis dalam proses pengumpulan data.
17. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Bapak H. Sutana, MM. dan Ibu Hj. Dyah
Eulis Tisnawardhany, yang selalu sabar mendukung, menasihati, dan
membantu penulis, baik secara lahir maupun batin sampai selesailah
skripsi ini.
18. Adik-adik tercinta, adinda Susi Nurdinaningsih dan ananda Nurul Alam,
yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
merampungkan skripsi ini.
viii
Demikianlah ucapan terima kasih penulis, semoga segala bantuan dan
dukungannya menuai keberkahan dan mendapat balasan yang berlipat-lipat ganda
dari Allah Swt. Amin ya rabbal „alamin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, civitas akademika, dan segenap pihak yang memerlukannya.
Jakarta, 11 Agustus 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................... 1
B. Pertanyaan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 7
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 8
E. Kerangka Teoritis ................................................................... 19
E.1 Definisi Konseptual ......................................................... 19
E.2 Definsi Operasional ......................................................... 34
E.3 Kajian Teori: Teori Strukturasi ...................................... 36
F. Metode Penelitian ................................................................... 45
G. Sistematika Penelitian ............................................................ 53
BAB II: GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kota/Kabupaten Cirebon ......................... 54
B. Keraton dan Pengguron ......................................................... 59
C. Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep .......................... 70
D. Desa Batik Trusmi ................................................................. 76
x
BAB III: TAREKAT SYATTARIYAH DI CIREBON
A. Akar Historis Tarekat Syattariyah ....................................... 79
B. Masuknya Tarekat Syattariyah ke Nusantara Sampai
Cirebon ................................................................................ 83
C. Pemetaan Tarekat Syattariyah di Cirebon............................ 89
D. Ajaran Tarekat Syattariyah di Cirebon ................................ 98
E. Aktivitas Tarekat Syattariyah di Cirebon ............................. 108
BAB IV: KONTRIBUSI TAREKAT SYATTARIYAH TERHADAP
PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL DI CIREBON
A. Peran Mursyid Dalam Perspektif Strukturasi ...................... 119
B. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Institusi Keraton di Cirebon ................................................ 127
C. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Institusi Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep .......... 154
D. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Industri Batik Trusmi .......................................................... 174
E. Perubahan Sosial di Keraton, Pesantren, dan Industri Batik 189
BAB V: PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................. 199
B. Saran .................................................................................... 202
DAFTAR PUSTAKA 203
LAMPIRAN-LAMPIRAN xiv
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Bentuk Institusi Sosial dalam Teori Strukturasi ......................... 40
Tabel 1.2 Konsep Perubahan Sosial dalam Teori Strukturasi ..................... 42
Tabel 2.1 Lokasi Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah..................... 68
Tabel 3.1 Jalur Tarekat dan Keturunan Pengguron Tarekat Syattariyah
di Cirebon ................................................................................... 90
Tabel 3.2 Silsilah Tarekat Syattariyah di Pondok Pesantren Buntet ........... 95
Tabel 4.1 Perbandingan Peran Mursyid dari Perspektif Tarekat dan
Strukturasi ................................................................................... 126
Tabel 4.2 Analisis Keraton Berdasarkan Konsep Tipologi Institusi Sosial 133
Tabel 4.3 Hasil Komparasi Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap
Berdirinya Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep ........... 160
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Hubungan Timbal-balik Antar Institusi Sosial........................ 27
Gambar 1.2 Model Skema Stratifikasi Agency........................................... 37
Gambar 1.3 Tahapan Analisis Data ............................................................ 52
Gambar 2.1 Peta Kota Cirebon ................................................................... 56
Gambar 2.2 Kereta Singa Barong di Museum Keraton Kasepuhan............ 60
Gambar 2.3 Siti Inggil di Keraton Kanoman .............................................. 62
Gambar 2.4 Jinem di Keraton Kecirebonan ................................................ 64
Gambar 2.5 Halaman Pengguron Kaprabonan............................................ 66
Gambar 2.6 Halaman Depan Pengguron Pegajahan ................................... 69
Gambar 2.7 Masjid Kuno di Pesantren Buntet............................................ 72
Gambar 2.8 Masjid Kuno di Pesantren Benda Kerep ................................. 74
Gambar 2.9 Show Room Batik di Desa Trusmi .......................................... 77
Gambar 3.1 Kegiatan Kliwonan Tarekat Syattariyah di Pengguron
Pegajahan ................................................................................ 113
Gambar 3.2 Kegiatan Shalawatan Tarekat Syattariyah Pada Acara
Rajaban .................................................................................. 116
Gambar 3.3 Kegiatan Muludan Tarekat Syattariyah di Pengguron
Pegajahan ................................................................................ 117
Gambar 4.1 Peninggalan Bangunan Keraton Dalem Agung Pakungwati ... 130
Gambar 4.2 Patung Macan Ali sebagai Lambang Kesultanan Cirebon
Penerus Kerajaan Pajajaran ..................................................... 136
Gambar 4.3 Makam Santri di Buntet Sebagai Bukti Dakwah Mbah
Muqoyyim ............................................................................... 156
Gambar 4.4 Motif Mega Mendung Pada Medium Ikat Kepala .................. 179
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Silsilah-silsilah........................................................................ xiv
Lampiran 2. Dokumentasi Visual ............................................................... xviii
Lampiran 3. Transkrip Wawancara ............................................................. xxx
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Permasalahan utama penelitian ini berfokus pada kontribusi Syattariyah
terhadap perubahan sosial yang dilihat dari perkembangan institusi sosial di
Cirebon. Dari permasalahan tersebut, peneliti hendak menjelaskan: (1) sejarah,
perkembangan, ajaran, dan aktivitas tarekat Syattariyah di Cirebon; dan (2)
kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan tiga institusi sosial di
Cirebon (keraton, pesantren, dan industri batik) yang mendorong terciptanya
perubahan sosial di Cirebon. Dalam penelitian ini, tarekat dilihat sebagai
organisasi kaum sufi yang dapat secara aktif berkontribusi terhadap perubahan
sosial yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, politik,
dan agama masyarakat Cirebon.
Jika ditelaah secara historis, memang penyebaran Islam di Indonesia pun
tidak terlepas dari kontribusi para ulama tarekat yang membawa ajaran tasawuf ke
Nusantara. Terdapat argumen A.H. Johns (1961) yang menyatakan bahwa salah
satu jalur masuk dan penyebaran Islam di Indonesia ialah melalui jalur tasawuf
(Azra, 2006:21-22). Ajaran tasawuf atau yang disebut sebagai kaum orientalis
sebagai „sufisme‟ atau „mistisme Islam‟ ini dibawa oleh kaum sufi yang
berafiliasi sebagai pedagang sekaligus pendakwah di Nusantara sejak kurun abad
2
ke-13. Faktor utama yang mendukung keberhasilan para sufi dalam menyebarkan
Islam ke Nusantara ialah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan
yang menekankan kesesuaian antara Islam dan praktik keagamaan lokal (Azra,
2013:15). Penyebaran Islam di Nusantara berlangsung secara damai di mana
terjadi pembauran antara Islam sufistik dengan tradisi budaya lokal. Turner (2012:
195) mengatakan “pengakuan sebagai orang suci adalah salah satu bagian
terpenting otoritas yang dimiliki wali-wali Islam. Wali-wali Islam biasanya
populer, membaur, dan mewariskan kharisma dan tidak bersifat ortodoks”. Oleh
karena itu, dengan figur kharismatik yang dipandang sebagai “orang suci”, para
tokoh sufi yang dicap sebagai wali (sunan) telah berhasil menyelaraskan ajaran
Islam dengan tradisi yang berkembang di masyarakat.
Martin Van Bruinessen (1999:15) juga mengatakan bahwa “...menjelang
penghujung abad ke-13, ketika orang Indonesia mulai berpaling kepada Islam,
tarekat justru sedang berada di puncak kejayaannya”. Memang tasawuf atau
tarekat ini telah menjadi bagian dinamika ke-Islaman sejak berabad-abad silam.
Tentunya dengan rentang waktu yang panjang hingga saat ini tarekat telah banyak
berkontribusi bagi dinamika dan perkembangan institusi sosial yang ada, terutama
pada aspek tradisi keagamaan di Indonesia. Dengan kata lain, tarekat telah
menjadi fenomena gerakan esoteris keagamaan yang luas (Kahmad, 2009:210).
Saat ini telah banyak berkembang berbagai aliran tarekat di Indonesia.
Sedikitnya terdapat sekitar delapan jenis aliran utama yang berpredikat
muktabarah (diakui sanad dan ajarannya yang terus bersambung sampai ke Nabi
Saw.), antara lain: aliran tarekat Qadariyah, Syadziliyah, Naqsabandiyah,
3
Khalwatiyah, Sammaniyah, Tijaniyah, Syattariyah, dan Qadariyah wa
Naqsabandiyah (Mulyati dkk., 2004). Tarekat-tarekat ini tersebar di hampir
seluruh wilayah Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan, yang masih eksis
dan terus berkembang hingga dewasa ini.
Namun demikian, walaupun tarekat atau kelompok sufi sudah berkembang
luas di kalangan masyarakat Islam Indonesia, masih banyak persepsi (stigma)
yang beranggapan bahwa para sufi dan kelompok-kelompok tarekat cenderung
bersifat pasif, eksklusif, tertutup, dan kurang berkontribusi bagi kehidupan
masyarakat. Bisa jadi, stigma tersebut merupakan penafsiran keliru dari
masyarakat terhadap istilah dan kegiatan tasawuf yang merujuk pada suatu jalan
hidup “zuhud”, yaitu mekanisme penyucian diri dengan cara menjauhi
kesenangan dan kemewahan duniawi, untuk hidup sederhana dan hanya fokus
untuk beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini senada dengan
penjelasan Ibnu Khaldun (2011) dalam Muqaddimah yang memandang konsep
zuhud dalam tasawuf mengarah pada praktik eksklusifisme beragama:
Ilmu tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu syari‟at yang muncul di kemudian
hari dalam agama... yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan
memfokuskan pada pengabdian kepada Allah Ta‟ala, menghindari kemegahan
gemerlap dunia dengan segala perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan
ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya,
mengasingkan diri dari keramaian dunia, serta berkhalwat untuk memusatkan diri
dalam beribadah. (h.865).
Memang salah satu sasaran kritik terhadap tasawuf selama ini terutama
tentang ajaran asketisme dan zuhud yang dianggap tidak relevan bagi kemajuan
dan pembangunan di era modern. Di abad ke-21 ini, sejumlah intelektual seperti
Geertz, Arberry, dan Gellner juga memandang tasawuf sebagai penghambat
4
kemajuan umat Islam baik dalam konteks Indonesia maupun di negara lain.
Tasawuf dipandang akan pudar mengingat perubahan sosial (modernisasi) sangat
membantu pergantian ritual-ritual emosional dan mistis dengan sikap skeptis para
ulama yang berpusat di kota (Howell, 2008:374). Oleh karena itu, berdasarkan
kontradiksi di dalam perkembangan tasawuf tersebut, peneliti terdorong untuk
membuktikan bahwa stigma pesimistis ini tidak sepenuhnya tepat.
Tarekat/tasawuf tidak melulu bersifat pasif dan anti-perubahan yang dapat pula
berkontribusi bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam penelitian ini tarekat
dilihat sebagai aktor perubahan, baik dalam memelopori atau menyinergikan
antara tradisi dan modernisasi institusi sosial di Cirebon.
Adapun tarekat yang menjadi subjek penelitian ini ialah tarekat Syatariyah
yang berafiliasi di Cirebon, Jawa Barat. Dari hasil observasi pendahuluan peneliti,
saat ini berkembang banyak aliran tarekat di Cirebon, seperti tarekat Tijaniyah,
Naqsabandiyah, Qadiriyah, Qadiriyah-Naqsabandiyah, Akmaliyah, Syadzaliyah,
dan Syattariyah. Dari berbagai aliran tarekat tersebut, peneliti memilih tarekat
Syattariyah sebagai subjek penelitian dibandingkan aliran tarekat lainnya dengan
alasan sebagai berikut:
1) Tarekat Syattariyah merupakan aliran tarekat yang berkembang dengan
bentuk neo-sufisme, yang mensinergikan antara tasawuf dan syari‟at
sehingga ajarannya bersifat dinamis (Sri Mulyati, dkk., 2004:171). Sifat
dinamis tersebut dimanifestasikan dengan memperlunak filosofi mistisnya
sehingga dapat beradaptasi dan bersinergi dengan syari‟at Islam dan tradisi
budaya lokal. Hal ini terbukti dengan adanya pengaruh sufistik terhadap
5
berbagai tradisi sosial-keagamaan lokal, seperti perayaan tradisi Panjang
Jimat/Muludan (perayaan kelahiran Nabi Saw.), kliwonan (manaqiban),
rajaban (Isra‟ Mi‟raj), ataupun tradisi perayaan Hari Raya Idul Fitri dan
Adha di Cirebon. Oleh karena itu, tarekat Syattariyah merupakan tarekat
yang “membumi” dengan sifatnya yang konsilitatif terhadap tradisi
kebudayaan lokal (Bruinessen, 1999:194).
2) Tarekat Syattariyah juga merupakan salah satu aliran tarekat tertua di
Cirebon yang telah berumur sekitar 600 tahun sejak kedatangannya.
Tarekat ini telah banyak berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan
masyarakat Cirebon secara umum, dan khususnya perkembangan keraton-
keraton yang ada di Cirebon (Sulendraningrat, 1985:67).
3) Tarekat Syattariyah hingga saat ini masih berafiliasi kuat dengan pondok
pesantren di Cirebon, khususnya Buntet dan belakangan berkembang ke
Benda Kerep. Pengaruh tarekat ini demikian kuat terhadap dinamika
pendidikan Islam dalam format pesantren di Cirebon, baik dari segi ajaran
maupun perkembangan pesantren itu sendiri (Muhaimin, 2001:340-341).
4) Tarekat Syattariyah berperan sebagai pelopor kegiatan membatik di
Trusmi oleh para murid tarekat asal Trusmi yang berguru ke pengguron di
keraton. Selanjutnya, kegiatan ini memberikan pengaruh terhadap motif-
motif batik yang banyak memiliki filosofi dari ajaran tarekat sehingga
terdapat kaitan antara tarekat dan perkembangan industri batik saat ini
yang tengah berkembang pesat (Irianto, 2015:41-42).
6
Berdasarkan keempat pertimbangan di atas, tarekat Syattariyah yang
menjadi subjek dalam penelitian ini akan dilihat sebagai agen perubahan yang
berkontribusi dalam mempengaruhi dinamika perubahan sosial di Cirebon.
Adapun perubahan sosial yang dimaksud ialah perkembangan tiga institusi sosial
(keraton, pondok pesantren, dan industri batik) di Cirebon yang telah mengalami
banyak perubahan akibat proses modernisasi. Kajian perubahan sosial dalam
penelitian ini termasuk dalam tataran messo, di mana organisasi tarekat
Syattariyah menjadi agen perubahan, sementara perkembangan institusi sosial
menjadi titik tolak analisis untuk melihat perubahan sosial yang terjadi, seperti
perubahan masyarakat Hindu ke Islam, modernisasi keraton dan pondok
pesantren, serta berkembangnya industri batik di Trusmi.
Dalam konteks ini, peneliti hendak mengkaji melalui pendekatan sosio-
historis dengan mengaitkan antara aspek sejarah dan fenomena sosial yang terjadi;
perihal kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan berbagai institusi
sosial di Cirebon. Masalah penelitian ini penting untuk dikaji, mengingat masih
sedikit penelitian berbasis sosiologi, khususnya sosiologi agama yang mengkaji
kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial.
B. Pertanyaan Masalah
Permasalahan utama yang diteliti dalam penelitian ini yaitu kontribusi
tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial di Cirebon. Secara
khusus pertanyaan masalah penelitian ini meliputi:
7
1. Bagaimana sejarah, perkembangan, ajaran dan aktivitas tarekat Syattariyah
di Cirebon?
2. Bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di
Cirebon yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren,
dan industri batik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini ialah untuk menjelaskan kontribusi Tarekat
Syattariyah terhadap perubahan sosial di Cirebon Jawa Barat. Secara khusus,
tujuan penelitian ini meliputi:
1. Menjelaskan sejarah, perkembangan, ajaran, dan aktivitas tarekat
Syattariyah di Cirebon.
2. Menjelaskan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perubahan sosial di
Cirebon yang dilihat dari perkembangan institusi keraton, pondok pesantren,
dan industri batik?
C.2. Manfaat Penelitian
C.2.1 Manfaat Akademis
Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: (i)
memberikan penjelasan analitis berbasis sosiologis tentang kontribusi tarekat
Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial; (ii) memperkaya khazanah
intelektual sosiologi agama tentang kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial.
8
C.2.2 Manfaat Praktis
Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
informasi dan bahan rujukan bagi para praktisi atau instansi, seperti: Departemen
Agama RI, Majelis Ulama Indonesia, pihak keraton, pondok pesantren Buntet,
serta pemerintah kota/kabupaten Cirebon, agar dapat melahirkan kebijakan untuk
memberdayakan dan mendukung aktivitas tarekat Syattariyah di pengguron,
keraton, pesantren, ataupun industri batik di Cirebon.
D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa hasil kajian tarekat yang peneliti temukan, terdapat beberapa
penelitian tentang tarekat yang berasal dari disiplin sosiologi dan interdisipliner
yang relevan dengan penelitian ini. Berbagai penelitian tersebut menunjukan
adanya persinggungan antara tarekat sebagai fokus penelitian dengan berbagai
aspek kehidupan masyarakat, baik dari kaitan antara tarekat dengan kehidupan
sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, maupun politik. Berikut adalah beberapa
penelitian yang relevan dengan penelitian ini baik dari segi permasalahan,
konseptual, metodologi, maupun subjek yang diteliti.
Dalam kaitan antara tarekat dengan aspek sosial-budaya, terdapat penelitian
Nur Syam, Fatuhurrahman, dan Darno. Penelitian Nur Syam (2013) mengkaji
tentang “Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal”. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif yang bersifat fenomenologis dengan melakukan
observasi, wawancara, dan kajian pustaka selama 3 bulan. Kajian yang dilakukaan
di desa Kuanyar, Jawa Tengah ini menggambarkan bagaimana kehidupan
9
religiusitas petani tarekat dalam interaksinya dengan kehidupan sosial-budaya
lokal. Hasil penelitian Nur Syam menjelaskan bahwa penganut tarekat bukanlah
seorang yang hidup di dalam dunianya sendiri, namun mereka adalah individu
yang hidup di dalam dunia sosialnya. Mereka terlibat di dalam kegitan sosio-
religius seperti upacara sambatan, pengajian umum, dan mengikuti kegiatan sosial
maupun ekonomi yang sifatnya profan. Penelitian Nur Syam memiliki kesamaan
subjek, namun dalam wialayah yang berbeda. Penelitian ini lebih bersifat
menggambarkan keseharian penganut tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar secara
fenomenologis.
Berbeda dengan Nur Syam, Penelitian Oman Fathurahman (2003) tentang
“Tarekat Syattariyah di Minangkabau” lebih bersifat interdisipliner yang mengkaji
aspek filologi naskah tarekat dengan aspek sosiologis perkembangan, ajaran, dan
dinamika tarekat Syattariyah di Minangkabau. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif, melalui analisa teks dengan menyertakan 10 manuskrip tentang
tarekat Syattariyah dari Minangkabau dan dua naskah dari Cirebon dan Giriloyo.
Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa sejak abad ke-19 ajaran Syattariyah
di Minangkabau terlepas dari doktrin wahdatul wujud yang dipandang
bertentangan dengan ajaran Ahlussunah wal Jamaah, yang mana hal ini
menjadikannya terlepasnya dari ajaran tersebut dan menjadi suatu kekhasan
tarekat Syattariyah di Minangkabau, yang berbeda dengan di tanah Jawa dan
Sunda. Temuan lain dari penelitian ini ialah bahwa setelah bersentuhan dengan
budaya lokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyah menjadi banyak dipengaruhi dan
sarat akan nuansa lokal. Hal ini mencerminkan suatu kelenturan dan fleksibilitas
10
ajaran tarekat Syattariyah. Penelitian Fathurrahman juga telah menjelaskan
bagaimana masuknya tarekat Syattariyah ke nusantara melalui jalur Syeikh
Abdurrauf. Sebagaimana relevansi dengan penelitian Nur Syam, penelitian
Fathurrahman ini juga memiliki kesamaan subjek dalam konteks dan lokasi yang
berbeda. Namun, penelitian Fathurrahman terlalu berfokus pada aspek filologi
yang terbatas pada ketersediaan teks dan kurang mendalami aspek sosiologis
ketika membahas tradisi budaya lokal.
Darno (1995) juga telah meneliti tentang “Studi Kasus Tarekat Syathariyah
di Kecamatan Karangrejo, Tulung-Agung, Jawa Timur”. Dengan menggunakan
metode kualitatif melalui insturmen wawancara, observasi, dan studi
dokumentasi, Darno berusaha menggali tentang sejarah, ajaran, ritual, struktur
tarekat, dan relasi sosial tarekat. Hasil penelitian Darno menggambarkan bahwa
tarekat Syattariyah masuk ke Kec. Karangrejo sejak tahun 1951 yang dibawa oleh
H.Dimyati, yang mana ajaran tarekat ini meliputi tentang hakekat Tuhan, anasir
diri manusia (jasad dan ruh yang terdiri dari 4 anasir; air, tanah, api, dan udara),
dan hakikat dunia yang akan terjadi kerusakan apabila terputus washitah (mata-
rantai) guru. Darno juga menjelaskan ritual peribadahannya (shalat, dizikir, doa-
doa khusus, dan sedekah) sera hubungan tarekat Syattariyah di Tulungrejo dengan
masyarakat setempat, tokoh agama, dan pejabat pemerintahan yang bersifat
terbuka. Namun, penelitian ini terlalu bersifat deskriptif yang kurang menjelaskan
aspek analitis prihal kaitan tarekat dan masyarakat.
Dalam kaitan antara tarekat dengan aspek pendidikan dapat dilihat dari
penelitian Martin, Muhaimin, dan Zulkifli. Martin van Bruinessen (1999) telah
11
mengkaji tentang “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia”. Kajian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat etnografis
melalui instrumen kajian teks, observasi, dan wawancara. Martin menjelaskan
adanya keterkaitan antara tradisi keilmuan Islam dalam kitab-kitab kuning di
pesantren dengan penyebaran Islam di Indonesia oleh para ulama tasawuf dengan
berbagai aliran tarekat yang berbeda. Hasil dari penelitian ini berkesimpulan
bahwa khazanah intelektual di pesantren yang telah ada sejak era walisongo dan
bersumber dari dominasi tradisi keilmuan Islam di Hijaz dari para ulama Kurdi,
Timur Tengah. Penelitian ini telah secara apik menjelaskan hubungan antara
tarekat dan tradisi keilmuan di Indonesia, namun Martin tidak secara khusus
membahas suatu aliran tarekat tetapi beberapa aliran tarekat, seperti
Naqsabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, dan Syadzaliyah sehingga pembahasan-
nya terlalu melebar. Aspek antropologis dari penelitian yang berbasis etnografis
ini sangat kental sehingga kurang membahas kaitan antara berbagai tarekat
tersebut dengan kehidupan masyarakat di mana mereka berada.
Dengan metode yang sama dengan Martin, Muhaimin A.G. (1995) telah
melakukan penelitian berbentuk etnografi tentang uraian mendalam tentang tradisi
sosial-keagamaan masyarakat Islam di Cirebon Jawa Barat berjudul “The Islamic
Traditions of Cirebon: Ibadat and Adat Among Javanase Muslims”. Temuan
penelitian ini menjelaskan secara deskriptif dan holistik prihal berbagai aspek
tradisi keagamaan di Cirebon, meliputi sistem kepercayaan dan mitologi
masyarakat Cirebon, perayaan hari-hari besar Islam, ziarah kubur, serta tradisi dan
tarekat di pesantren Buntet. Temuan tentang yang terakhir ini relevan dengan
12
permasalahan peneliti, di mana terdapat dua aliran tarekat di pesantren Buntet,
yaitu tarekat Tijaniyah dan Syattariyah, yang keduanya berpengaruh terhadap
ajaran keagamaan, aktivitas keagamaan, dan relasi sosial-pendidikan di Pesantren
Buntet. Secara umum, penelitian ini telah cukup apik mendeskripsikan tentang
kehidupan keagamaan dan tradisi Islam di masyarakat Cirebon, namun kurang
fokus pada analisa tentang kaitan antara tarekat dengan pesantren.
Zulkifli (2002) mengkaji tentang “Sufism in Java: the Role of the Pesantren
in the Maintenance of Sufism in Java”. Penelitian ini memiliki kesamaan metode
dengan Martin dan Muhaimin, namun dengan analisis yang lebih mendalam. Hasil
penelitian ini menggambarkan bahwa pesantren dan para kyai di Jawa telah
berperan dalam menanamkan tasawuf kepada para santrinya sehingga tumbuh
pesat melalui institusi pesantren. Zulkifli melihat bahwa ibadah haji merupakan
media dalam menghubungkan ulama Indonesia yang mengajar di Mekah (Masjid
Al-Haram), seperti Imam Nawawi Al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib Sambas
dengan para santri di Indonesia untuk menyalurkan ilmu tasawufnya sehingga
terjadi relasi antara tradisi Jawa dan Mekah. Kemudian Zulkifli juga telah
membandingkan antara dua pesantren di Jawa, yaitu: (1) Pesantren Tebu Ireng,
Jawa Timur di bawah tradisi Syeikh Hasyim Asy‟ari yang telah me-maintenance
tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Jawa Timur; dan (2) Pesantren
Suralaya, Jawa Barat di bawah pimpinan Abah Anom yang berhasil
mengembangkan ajaran tasawuf TQN yang ditanamkan melalui pengajaran di
pesantren dari satu genenrasi ke generasi melalui Pondok Remaja Inabah (pondok
rehabilitasi pemuda yang terjangkit narkoba). Penelitian ini telah menggambarkan
13
secara antropologis peranan institusi pesantren dalam melakukan maintenance
ajaran tasawuf melalui metode yang dikembangkan di pesantren.
Dalam kaitan tasawuf dengan institusi ekonomi terdapat beberapa penelitian
dari Mu‟tashim dan Mulkhan, serta Lukman Hakim. Mu‟tashim dan Mulkhan
(1998) meneliti tentang “Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat dalam Masyarakat
Industri”. Penelitian ini mengkaji tentang kehidupan sosio-ekonomi penganut
tarekat Syadzaliyah di Kudus Kulon, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan instrumen observasi, wawancara, dan kajian pustaka.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa relasi antara kehidupan spiritual dan sosial
penganut tarekat Syadzaliyah tercermin dari tiga pusat kegiatan kehidupan
mereka: rumah, pasar, dan masjid. Etos kerja yang bersumber dari ajaran tarekat
berkembang menjadi dasar ekonomi produktif. Jaringan bisnis kaum tarekat
Syadzaliyah menjadi suatu sistem yang memberi landasan kekuasan dan
pengembangan ekonomi produktif. Di sini juga tercermin adanya dualisme, di
mana di satu sisi mereka sangat fanatik terhadap ajaran tarekatnya, tetapi di satu
sisi mereka bekerja keras pada waktu siang dalam usaha mencari untung dari
kegiatan ekonomi yang dijalankan. Hasil penelitian ini menepis tuduhan bahwa
kaum tarekat sangat skeptis terhadap kehidupan material, tetapi mereka juga turut
andil dalam usaha bisnis dan kegiatan ekonomi yang mereka jalankan. Penelitian
ini memiliki perbedaan dari segi subjek dan konteks penelitian. Namun, hasil
kajian yang menggunakan metode kualitatif ini sangat relevan, yang telah
mengaitkan antara tarekat dan institusi ekonomi secara sosiologis, di mana
peneliti hendak melihat kaitan antara tarekat dengan industri batik.
14
Lukman Hakim (2003) telah meneliti tentang “Etos Kerja Penganut Tarekat
(Studi Kasus Terhadap Pengikut Tarekat Assyahadatain di Desa Gebang Kulon
Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon)”. Penelitian ini mengkaji keterkaitan
ajaran tarekat dan etos kerja ekonomi para penganutnya. Dengan menggunakan
metode kualitatif melalui instrumen observasi, wawancara, dan kajian pustaka,
hasil penelitian ini menunujukan bahwa terdapat perbedaan etos kerja antara
sesama anggota tarekat satu dengan yang lain yang dipengaruhi oleh pemahaman
ajaran tarekat dan faktor-faktor lain (kebutuhan hidup, penguasaan terhadap aset
produksi, dan penguasaan pemasaran). Penelitian ini memiliki kesamaan wilayah
kajian dan metode dengan penelitian peneliti, yaitu sama-sama meneliti kajian
tentang tasawuf di Cirebon dengan menggunakan metode kualitatif. Perbedaannya
terletak pada subjek penelitiannya, yang mana Hakim mengkaji tentang tarekat
Assyahadatain dan fokusnya hanya kepada perilaku etos kerja, sementara peneliti
hendak mengkaji tarekat Syattariyah dalam kaitannya dengan perkembangan
institusi sosial. Kendati berbeda, temuan Hakim ini telah menjelaskan bahwa
terdapat keterkaitan antara ajaran tarekat dengan perilaku ekonomi (etos kerja)
para penganutnya sehingga sangat relevan dengan penelitian peneliti.
Dalam kaitan antara tarekat dan aspek sosio-politik terdapat penelitian
Thohir dan Hamdi yang melihatnya dari sisi historis. Ajid Thohir (2002) telah
meneliti tentang “Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan Politik
Anti-Kolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau Jawa”. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat telaah historis dengan format
kajian pustaka. Penelitian ini menggambarkan bagaimana Tarekat Qadiriyah wa
15
Naqsabandiyah (TQN) mengubah peran dan fungsinya dari sistem sosial-organik
ke sistem religio-politik. Fenomena perubahan sosial politik di Indonesia dari
kesultanan ke kolonialisme pada akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 menjadi
faktor utama TQN bertransformasi ke gerakan politik menentang kolonialis
Belanda. Penelitian ini menjelaskan bahwa ikatan solidaritas sufi yang didukung
oleh kharisma suci telah menjadi jembatan efektif dalam menggalang konsolidasi
dan membangun gerakan berideologi anti-kolonial. Penelitian Thohir ini memiliki
perbedaan metodologi yang lebih bersifat historis dan terbatas pada data-data
sejarah. Penelitian Thohir juga kurang menjelasakan perkembangan gerakan
sosial TQN dari sisi sosiologis pada masa saat ini.
Dengan mengaitkan antara sejarah dan perkembangan saat ini, Mohammad
Hamdi (2009) telah mengkaji tentang “Dinamika Tarekat Syattariyah di
Lingkungan Keraton Cirebon”. Penelitian ini bertujuan mengkaji dinamika,
sejarah, ajaran, dan kegiatan tarekat Syattariyah di lingkungan kraton. Melalui
metode kualitatif dengan instrumen wawancara, observasi, studi pustaka, dan
dokumentasi, penelitian Hamdi menemukan bahwa: (i) Secara historis, masuknya
tarekat Syattariyah ke Cirebon melalui dua jalur, yaitu melalui jalur Syeikh Datul
Kahfi pada masa awal penyebaran Islam sekitar abad ke-15 M, dan melalui jalur
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan; (ii) Ajaran wajib tarekat ini meliputi kegiatan
bai‟at, shalat, puasa, dzikir, dan pengjian di pengguron-pengguron; (iii) Dinamika
perkembangan tarekat Syattariyah di keraton bersifat fluktuatif, naik-turun dari
masa ke masa; (iv) Sekitar tahun 2009 perkembangan dan kuantitas jamaah
tarekat ini sedang menurun yang disinyalir telah dipengaruhi arus modernisasi.
16
Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian berbasis historis. Namun secara
implisit penelitian ini menggambarkan bahwa tarekat sejak dulu telah berafiliasi
dengan keraton, di mana keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan, hingga
terjadi perubahan di mana keraton saat ini hanya berfungsi sebagai pusat kultural
di Cirebon. Penelitian Hamdi juga kurang mengeksplor kaitan antara tarekat
dengan kehidupan keraton saat ini sehingga pembahasannya terlalu terfokus pada
deskripsi sejarah tarekat Syattariyah di keraton Cirebon.
Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, terdapat dua penelitian yang
relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian Selo Soemardjan dan Hiroko
Horikosi. Penelitian Selo Seomardjan (1961) tentang “Perubahan Sosial di
Yogyakarta” merupakan kajian sosio-historis tentang perubahan sosial, politik,
ekonomi, pendidikan yang terjadi di Yogyakarta sejak masa kolonial Belanda
(1755-1942), masa kolonial Jepang (1942-1945) hingga masa awal kemerdekaan
Indonesia (1945-1950an). Observasi, wawancara mendalam, dan kajian historis
atas naskah-naskah teks kuno merupakan instrumen yang melandasi metodologi
penelitian dengan pendekatan kualitatif ini. Dari hasil studi ini, Soemardjan
menggambarkan suatu proses perubahan sosial berdasarkan berbagai karakteristik
khusus, seperti perubahan fungsi kesultanan yang fluktuatif dari masa ke masa,
perubahan sistem ekonomi di pedesaan yang berubah dari sistem agraris beralih
ke sistem produksi, maupun perubahan pendidikan dan budaya, serta hambatan-
hambatan perubahan yang terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Yang
terpenting dalam penelitian ini adalah relevansinya tentang penjelasan agen
perubahan (agent of change) sebagai pelopor perubahan sekaligus dipengaruhi
17
pula oleh perubahan yang diciptakan. Sultan Yogyakarta dipandang sebagai agen
yang memainkan peran penting sebagai pelopor perubahan sosial. Dalam hal ini,
lembaga poltik, keagamaan, ekonomi dan pendidikan terjalin satu sama lain
sehingga perubahan penting yang terjadi pada suatu lembaga mungkin sekali
diikuti oleh perubahan pada lembaga lainnya (Soemardjan, 1961:304).
Sementara Soemardjan lebih mengaitkan sultan sebagai agen perubahan,
penelitian Hiroko Horikoshi (1987) tentang “Kyai dan Perubahan Sosial” lebih
menitikberatkan tokoh agama sebagai agen perubahan. Penelitian ini menjelaskan
peranan kyai dan ulama yang tidak lagi berperan sebagai cultural broker (makelar
budaya) sebagaimana asumsi C. Geertz . Horikoshi telah menghadirkan suatu
studi etnografis yang menjelaskan bahwa kyai dan ulama sebagai tokoh
kharismatik telah mampu berkontribusi bagi perubahan sosial masyarakat desa.
Dengan otoritas yang dimiliki, kyai juga mampu menjadi agen perubahan dengan
menggandeng modernisasi dan tidak hanya menyaring atau menyampaikannya
saja. Kyai telah mampu membangun desa dan turut andil dalam usaha memajukan
ekonomi masyarakat desa. Penelitian ini cukup relevan untuk menggambarkan
bagaiaman agen (kyai) berkontribusi bagi perubahan sosial masyarakat desa.
Kedua penelitian ini telah menggambarkan agen perubahan yang memiliki
berkontribusi penting dalam mewujudkan perubahan sosial. Baik kyai maupun
sultan keraton memiliki otoritas kekuasaan di mana perubahan fungsi yang
dialaminya telah mempengaruhi perubahan lingkungan sosialnya. Kedua
penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini, telah apik menggambarkan
secara sosiologis peran agen dalam mempengaruhi perubahan. Namun, peneliti
18
belum menemukan penelitian yang secara khusus menjelasakan kaitan antara
tarekat dengan perubahan sosial dari perspektif sosiologis.
Berdasarkan 12 penelitian terdahulu yang terkait dengan kaitan antara
tarekat dengan perubahan sosial, pada umumnya kesemuanya menggunakan
metode kualitatif dengan instrumen wawancara, observasi, dan kajian pustaka.
Sebagian penelitian juga menggunakan kajian interdisipliner, yang mengaitkan
antara disiplin sosiologi dengan filologi, antropologi, politik, dan ekonomi, yang
menggunakan metode fenomenologi, etnografis, kajian historis, atau kajian
manuskrip. Kesemua penelitian tersebut cukup relevan dengan topik yang hendak
peneliti kaji, yaitu tasawuf dan perubahan sosial. Adapun kelemahan berbagai
penelitian terdahulu tersebut antara lain: (i) kebanyakan penelitian tarekat
Syattariyah hanya bersifat deskriptif-etnografis; (ii) ketika membahas kaitan
antara tarekat dengan perekembangan masyarakat secara interdisipliner,
kebanyakan penelitian terlalu terfokus pada satu sudut pandang disiplin ilmu saja
sehingga menimbulkan ketimpangan analisis; (iii) belum ada penelitian yang
membahas kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial yang mencakup
perkembangan institusi sosial secara komprehensif.
Oleh karena itu, peneliti hendak mengisi lubang kosong yang terdapat dari
literatur penelitian tentang tarekat Syattariyah dari perspektif sosiologi. Penelitian
ini penting untuk menjelaskan kaitan antara tasawuf dan perubahan sosial yang
dilihat dari perkembangan institusi sosial, meliputi; keraton, pondok pesantren,
dan industri batik.
19
E. Kerangka Teoritis
E.1. Definisi Konseptual
E.1.1. Tasawuf
Istilah “tasawuf” secara umum berarti jalan hidup menuju kedekatan kepada
Tuhan, ketenangan dan kesucian batin, serta kemuliaan akhlak (moral atau budi
pekerti). Tasawuf juga sering disamakan dengan fenomena mistisme dalam tradisi
Kristen atau agama lainnya, namun para ahli sepakat bahwa tasawuf (sufisme)
adalah khusus pada agama Islam (Amsal Bakhtiar, 2003:22).
Adapun penganut ajaran tasawuf disebut dengan sufi. Dalam menelusuri
asal-usul kata “sufi”, para ahli berbeda pendapat. Sebagian mengatakan kata
“sufi” berasal dari kata shaf (bersih), shaffah (penjaga pintu Ka‟bah), atau ada
pula yang mengatakan istilah ini berasal dari bahasa Yunani sfia (filsafat/hikmah).
Namun yang paling masyhur ialah bahwa istilah sufi berasal dari kata shuf yang
berarti kain wol. Pendapat ini dapat ditelusuri dari sejarah tasawuf yang
menjelaskan, apabila seseorang hendak menempuh jalan tasawuf, maka ia
diharuskan menanggalkan pakaian mewah, diganti dengan kain wol kasar yang
melambangkan kesederhanaan serta jauh dari kehidupan dunia (Al-Taftazani,
2008:22-23). Jadi, kaum sufi dengan kehidupan asketiknya ditandai dengan
kebiasaan memakai jubah penuh tambalan, yang setelah meninggal dunia syeikh
mewariskan jubah tersebut kepada muridnya (Turner, 2012:195).
Dalam mendefiniskan istilah „tasawuf‟ para ahli pun berlainan pendapat.
Syeikh Muhammad Amin Al-Kurdy dalam kitabnya, Tanwirul Qulub fi
20
Mu‟amalah „Alamil Ghuyub, berpendapat bahwa “tasawuf adalah suatu ilmu yang
dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara
membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat
terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju (keridhaan) Allah dan
meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya)” (dalam Mustafa,
2007:203-205). Dalam ilmu tersebut, Al-Kurdy merumuskan bahwa jalan menuju
kepada Tuhan melalui empat cara, yaitu syari‟at, thariqat, haqiqat, dan ma‟rifat.
Kemudian Ibnu Khaldun (2011) dalam karyanya Mukaddimah,
mendefinisikan tasawuf sebagai berikut :
Ilmu tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu syari‟at yang muncul di kemudian
hari dalam agama... yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan
memfokuskan pada pengabdian kepada Allah Ta‟ala, menghindari kemegahan
gemerlap dunia dengan segala perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan
ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya,
mengasingkan diri dari keramaian dunia serta berkhalwat untuk memusatkan diri
dalam beribadah (h.865).
Ibnu Khaldun melihat tasawuf sebagai suatu jalan hidup (the way of life)
yang berusaha menjauhi kehidupan duniawi dan aspek material (zuhud), untuk
beralih kepada jalan hidup sederhana, dengan berkontemplasi, mengasingkan diri,
menghabiskan sisa hidup hanya untuk beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menurut Harun Nasution (2010:43), “tasawuf merupakan ilmu pengetahuan
yang karenanya mempelajari cara-cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat
berada sedekat mungkin dengan Allah Swt”. Maka, tasawuf dapat diartikan
sebagai tuntunan, cara atau jalan yang bertujuan untuk mencapai kedekatan hati,
penyucian hati, dan kemuliaan akhlak.
21
E.1.2. Tarekat
Istilah tasawuf sebagai jalan hidup ini identik dan berkaitan dengan istilah
“tarekat” yang sering diasosiasikan sebagai suatu kelompok atau komunitas aliran
tasawuf. Istilah tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan), dalam artian sebagai
suatu jalan menuju kepada hakikat, atau sama dengan pengamalan syariat
(Mustofa, 2007:280). L. Massignon, yang telah meneliti kehidupan tasawuf di
beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah “tarekat”
mengandung dua macam pengertian (Mustofa, 2007:281-282):
1) Tarekat sebagai jalan pendidikan kerohanian, atau tingkatan yang sedang
ditempuh oleh penganut cara hidup tasawuf (suluk). Tingkatan tersebut
sering disebut juga maqamat (tingkatan) atau ahhwal (keadaan). Pengertian
ini masyhur pada masa-masa awal sekitar abad ke-9 dan 10 M.
2) Tarekat sebagai perkumpulan yang didirikan menurut aturan tertentu yang
dibuat oleh seorang “syeikh” atau guru yang menganut aliran tasawuf
tertentu. Dalam perkumpulan tersebut seorang syeikh mengajarkan ilmu
tasawuf menurut aliran tarekat yang dianutnya, lalu dipraktikkan bersama-
sama dengan muridnya. Pengertian ini menonjol setelah abad ke-10 M.
Berdasarkan pendapat Massignon tersebut, definisi tarekat telah bergeser
dari sebagai suatu tingkatan capaian pendidikan batin, menjadi suatu organisasi
(perkumpulan) tasawuf. Definisi tarekat sebagai suatu perkumpulan tasawuf ini
dikukuhkan oleh Al-Taftazani (2008:294) yang menyatakan:
22
Tarekat bagi sufi masa terakhir diartikan sebagai sekumpulan sufi yang bergabung
dengan seorang syeikh tertentu, tunduk pada aturan-aturan yang terperinci dalam
tindakan spiritual, hidup secara berkeliling dalam momen-momen tertentu serta
membentuk majlis-majlis ilmu secara organisasi.
Dari definisi ini terlihat peran sentral seorang syeikh sebagai tokoh utama
dalam organisasi atau perkumpulan tarekat. Oleh karena itu, penamaan suatu
tarekat sering dinisbatkan kepada syeikh atau ulama yang menjadi pendiri atau
pemimpin suatu tarekat, seperti tarekat Qadariyah yang dinisbatkan kepada
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani (w.561 M/1166 H), tarekat Syadzaliyyah yang
dinisbatkan kepada Syeikh Abu Hasan A-Syadzili (w.656 H/1258 M), atau tarekat
Syattariyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdullah Al-Syaththari (w.809
H/1485 M), dan berbagai tarekat lain yang demikian halnya.
Senada dengan Al-Taftazani, Martin Van Bruinessen (1996:15) juga
memandang tarekat sebagai organisasi sufi :
Kata tarekat secara harfiyah berarti jalan, mengacu baik kepada sistem latihan
meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dsb.) yang dihubungkan
dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang
khas ini. Tarekat itu mensistematisasikan ajaran metode-metode tasawuf (h.15).
Berdasarkan definisi tersebut, tarekat di sini dapat dilihat sebagai organisasi
tasawuf atau kelompok para sufi yang dipimpin oleh seorang mursyid (guru
tarekat) yang dikelilingi oleh para murid-murid setianya yang sedang menempuh
jalan kesufian (salik). Mereka bersama-sama mengamalkan ajaran dan ritual
keagamaan (muraqabah, dzikir, wirid, dsb.) sesuai dengan tuntunan dari mursyid
sebagai sistem latihan meditasi maupun amalan. Tarekat dipandang sebagai
organisasi yang mensistematisasikan ajaran metode-metode tasawuf, di mana
23
seorang pengikut tarekat dapat mencapai kemajuan dengan melalui sederetan
ijazah berdasarkan tingkatnya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat yang
sama; dari pengikut biasa (mansub) hingga murid, selanjutnya hingga pembantu
syaikh atau khalifah-nya, dan akhirnya __
dalam beberapa kasus__
hingga menjadi
guru yang mandiri (mursyid).
Menurut Martin (1996:15-16) tarekat juga memiliki fungsi-fungsi bagi
pengikutnya dan masyarakat luas; (1) Fungsi spiritual (memberikan ketenangan
dan peningkatan spiritual melalui metode meditasi tasawuf); (2) Fungsi sosial
(satu pengikut dengan pengikut lain adalah keluarga (ikhwan) di kala sedang
melakukan perjalanan jauh dapat menginap di zawiyah (pondokan) kepunyaan
anggota lain); (3) Fungsi politis (banyak syeikh kharismatik yang juga memainkan
peran politik karena mendapat dukungan besar dalam percaturan politik.
E.1.3. Institusi Sosial
a) Definisi Institusi Sosial
Dalam sosiologi, terdapat perbedaan dalam penyebutan konsep “institusi
sosial”. Sebagian ahli menyebutnya sebagai “lembaga sosial”, sebagian lainnya
menyebutnya dengan “lembaga kemasyarakatan”, adapula yang menyebutnya
sebagai “pranata sosial”. Hal itu dikarenakan belum ada istilah yang tepat untuk
menerjemahkan istilah social institutions dari bahasa Inggris. Peneliti tidak akan
membahas secara panjang lebar tentang perdebatan istilah ini. Dalam penelitian
ini, peneliti cenderung memilih istilah “institusi sosial” sebagai penyerapan
langsung dari istilah social institutions.
24
Para sosiolog pun telah mendefinisikan istilah social institutions. Menurut
Mac Iver dan Charles H. Page (1957:15), “institutions defined as established
forms of procedure” (institusi didefinisikan sebagai berbagai bentuk tata-
cara/prosedur yang dibentuk). Dengan kata lain, definisi ini menjelaskan institusi
sebagai rangkaian tata-cara kehidupan guna mengatur hubungan manusia. Sumner
(1960:61-62) juga mengatakan, “An institution consists of a concept (idea, notion,
doctrine, interest) and a structure... The structure holds the concept and furnishes
instrumentalities for bringing it into the world of fact and action in a way to serve
the interest the man in society” (Suatu institusi berisikan suatu konsep (ide,
dokrin, kebutuhan) dan struktur. Struktur berisikan konsep dan cara-cara yang
mengantarkan pada berbagai fakta dan tindakan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat). Dengan kata lain, institusi dilihat sebagai tata cara dan tindakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurut Paul B. Horton dan Charles L. Hunt (1984:245-246) institusi sosial
ialah “sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-
nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebuthan dasar
masyarakat”. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa „nilai-nilai‟ umum
mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; „prosedur‟ umum adalah pola
perilaku yang dibakukan dan diikuti; sementara „sistem hubungan‟ adalah
jaringan peran serta status yang menjadi media untuk melaksanakan suatu peran
dan tindakan tertentu.
25
b) Karakteristik Institusi Sosial
J. Lewis Gillin dan J. Philip Gillin (dalam Soemardjan dan Soemantri,
1964:67-70) menjelaskan beberapa karakteristik institusi sosial, yang meliputi:
1. Suatu institusi sosial adalah suatu organisasi pola pemikiran dan perilaku
yang dimanifestasikan dalam aktivitas sosial dan produk material.
2. Semua institusi sosial memiliki tingkat kekekalan tertentu.
3. Suatu institusi sosial memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Suatu institusi sosial memiliki alat-alat/perlengkapan yang digunakan
untuk menjapai tujuan dari institusi yang bersangkutan.
5. Suatu institusi sosial memiliki lambang atau simbol.
6. Suatu institusi sosial memiliki tradisi tertulis maupun tidak tertulis yang
berisikan formulasi dari tujuan, tata cara, dan perilaku individu-individu
yang berpartisipasi di dalamnya.
c) Tipe-tipe Institusi Sosial
Gillin dan Gillin juga menjelaskan tipe-tipe institusi sosial (dalam
Soemardjan dan Soemantri, 1964:70-72) berdasarkan perspektif yang berbeda:
i. Dari sudut pandang perkembangan institusi (development of institutions):
Crescive institutions (institusi yang tidak sengaja tumbuh dari tradisi/adat
kebiasaan masyarakat);
Enacted institutions (institusi yang segaja dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan tertentu).
26
ii. Dari sudut pandang sistem nilai yang diterima masyarakat (the accepted
system of values):
Basic institutions (institusi yang paling penting untuk menjaga ketertiban
sosial dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat);
Subsidiary institutions (institusi yang kurang penting dan hanya
berfungsi memenuhi kebutuhan sekunder masyarakat).
iii. Dari sudut pandang penerimaan masyarakat (public acceptance):
Sanctioned institutions (institusi yang diterima masyarakat);
Unsanctioned institutions (institusi yang menyimpang/tidak diterima
masyarakat).
iv. Dari sudut pandang penyebaran dalam populasi (spread of population):
General institutions (institusi yang dikenal seluruh masyarakat);
Restricted institutions (institusi yang dikenal sebagian masyarakat saja).
v. Dari sudut pandang metode penggunaannya (method of functioning):
Operative institutions (institusi yang berfungsi mengoperasikan pola atau
tata cara untuk mencapai tujuan utama);
Regulative institutions (institusi yang berfungsi untuk meregulasi/
mengawasi adat istiadat atau tata perilaku masyarakat).
d) Hubungan Antar Institusi Sosial
William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff (1964:637-638) melihat institusi
sebagai bagian dari sistem sosial. Mereka mengelompokan institusi ke dalam lima
bentuk yaitu: institusi ekonomi, keluarga, pemerintahan, pendidikan, dan agama.
27
Semua institusi tersebut saling terhubung satu sama lain sebagai sebuah sistem
(lihat gambar 1.1).
Dari sudut pandang demikian Ogurn dan Nimkoff menjelaskan bahwa
terdapat interrelationship antar satu institusi dengan institusi lain. Ogburn dan
Nimkoff juga menambahkan bahwa setiap institusi memiliki fungsi yang berbeda,
namun terhubung satu sama lain sebagai sebuah sistem.
Gambar 1.1 Hubungan Timbal-balik Antar Institusi Sosial
*Sumber: Diadopsi dari Ogburn dan Nimkoff, Sociology (1964:638)
Kemudian James W. Vander Zenden (1979:370) juga mengatakan bahwa
“Institutions do not exist in isolation from one another. They are bound together
within a complex web of interrelationships” (Berbagai institusi yang ada tidak lah
terisolasi satu sama lain. Mereka terikat bersama dalam suatu jaringan kompleks
hubungan timbal balik). Dengan hubungan timbal balik antar institusi sosial, maka
perubahan pada suatu institusi akan berpengaruh terhadap perubahan pada
institusi lainnya.
Institusi Ekonomi
Institusi Keluarga
Institusi Pendidikan
Institusi Pemerintahan
Institusi Agama
28
e) Pendekatan/Metode Analisis Institusi Sosial
Mac Iver dan Charles H. Page menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan
dalam menganalisis institusi sosial (dalam Soemardjan dan Soemantri, 1964:77):
1. Historical Analysis; analisis secara historis dengan menelusuri sejarah
timbul dan perkembangan suatu institusi sosial tertentu.
2. Comparative Analysis; analisis secara komparatif yang membandingkan
suatu kasus pada institusi tertentu dengan institusi lain
3. Functional Interrelationships Analysis; analisis secara fungsional tentang
hubungan timbal balik antara suatu institusi dengan institusi lain dalam
suatu masyarakat tertentu.
Ketiga pendekatan/metode tersebut merupakan instrumen untuk meneliti
institusi sosial. Pendekatan tersebut dapat pula digunakan secara bersamaan untuk
menggambarkan hasil penelitian yang lebih komprehensif.
E.2.4. Perubahan Sosial
a) Definisi Perubahan Sosial
Para sosiolog memiliki difinisi yang berbeda-beda mengenai perubahan
sosial. Sztompka (2010:3) menjelaskan perubahan sosial sebagai bagian dari
sistem sosial bahwa “perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang
terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan
antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan”. Dari definisi ini,
konsep perubahan sosial mencakup dua hal: (i) perbedaan kondisi sistem; dan (ii)
29
perbandingan yang sama. Apabila dipilah-pilah, maka perubahan sosial tersebut
mencakup: perubahan komposisi, struktur, fungsi, batas, hubungan antar
subsistem, dan perubahan lingkungan.
Horton dan Hunt (1984:208) mendefinisikan perubahan sosial sebagai
“perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial”. Di sini struktur sosial
diandaikan sebagai kerangka bangunan masyarakat yang terdiri dari elemen-
elemen yang saling berkaitan secara interdependen sehingga perubahan pada suatu
elemen akan mempengaruhi perubahan elemen lainnya.
Selo Soemardjan (1961:3) mendefinisikan konsep perubahan sosial sebagai
“bermacam perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola tingkah laku
antar-kelompok di dalam masyarakat”. Menurut Soemardjan (1961:4) tidak ada
perubahan yang berdiri sendiri sehingga apabila terjadi bagian pada salah satu
bagian, maka akan terjadi perubahan pada bagian lain. Hal itu terjadi sebagai
konsekuensi dari tatanan struktur sosial yang saling berjalin (interwoven) dari
berbagai lembaga sosial dalam masyarakat.
Dari sudut pandang tingkat perubahan, Lauer (2003:5) mendefinisikan
perubahan sosial sebagai “...perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehi-
dupan manusia, mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia”. Pada titik ini
perubahan sosial dapat dianalisis dalam tingkatan level sosial yang berbeda:
mikro, mezzo, dan makro. Pada tingkat mikro, perubahan dapat dilihat pada unit
analisa keluarga, komunitas, kelompok pekerjaan, dan lingkungan pertemanan.
30
Pada tingkat mezzo perubahan dilihat pada unit perusahaan, partai politik, gerakan
keagamaan, dan asosiasi besar. Sedangkan pada tingkat makro perubahan terjadi
pada tingkat sistem internasional, bangsa, atau negara.
b) Sifat Perubahan Sosial
Sifat perubahan sosial dapat dibedakan menjadi dua, berdasarkan
terencananya perubahan (Setiadi dan Kolip, 2011:645-646):
1) Perubahan yang dikehendaki (intended-change) dan direncanakan
(planned change); perubahan yang diperkirakan atau telah direncanakan
terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan
(agent of change), yaitu seseorang atau kelompok yang berperan
terhadap perubahan yang terjadi. Cara yang digunakan melalui sistem
yang teratur dan terencana disebut social planning.
2) Perubahan yang tidak dikehendaki (unitended change) dan tidak
direncanakan (unlaned change); perubahan sosial yang terjadi tanpa
dikehendaki sehingga proses perubahan di luar jangkauan kontrol
masyarakat sehingga kerap kali menimbulkan akibat-akibat sosial yang
tidak diharapkan.
c) Proses Perubahan Sosial
Horton dan Hunt (1984:212-213) mengklasifikasikan proses perubahan
sosial menjadi tiga:
31
1) Discovery (penemuan baru); Tambahan pengetahuan terhadap khazanah
pengetahuan yang telah diverifikasi kebenarannya, tentang sesuatu yang
sudah ada. Suatu penemuan baru dapat menjadi faktor perubahan sosial
bila hasil penemuan tersebut didayagunakan masyarakat.
2) Invensi (kombinasi baru); kombinasi atau cara penggunaan baru dari
pengetahuan yang sudah ada, menjadi suatu benda yang belum pernah
ada sebelumnya yang meliputi rangkaian modifikasi, pengembangan, dan
kombinasi ulang yang dapat bersifat baru dari segi bentuk, fungsi, dan
maknanya.
3) Difusi (penyebaran); penyebaran unsur-unsur budaya dari satu kelompok
ke kelompok lainnya yang dapat berlangsung baik di dalam masyarakat
maupun antar masyarakat. Apabila beberapa kebudayaan saling
mengadakan kontak, maka pertukaran beberapa unsur kebudayaan
terjadi. Difusi juga merupakan proses selektif disertai modifikasi tertentu
terhadap unsur-unsur serapan. Dalam hal ini, dapat terjadi proses
akulutrasi (penggabungan dua budaya atau lebih menjadi suatu budaya
gabungan tanpa menghilangkan unsur budaya masing-masing) ataupun
proses asimilasi (penggabungan dua budaya atau lebih menjadi suatu
budaya baru yang meleburkan unsur-unsur budayanya.
d) Faktor-faktor Penentu Perubahan Sosial
Gillin dan Gillin (1957) mengatakan bahwa perubahan sosial meliputi
“suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-
32
perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun
karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat”. Penjelasan tersebut
mengindikasikan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat.
A.W. Green (1964) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat dan kadar perubahan sosial meliputi: (1) Ultimate Conditions; berbagai
faktor yang berada di luar batas kekutan manusia seperti: lingkungan fisik,
perubahan iklim, dan ukuran populasi; (2) Institutional Integration; sistem yang
mempersaatukan berbagai institusi agar berjalan secara harmonis menuju titik
keseimbangan (equilibrium); (3) Social Values and Ideology; ide atau nilai-nilai
yang mengatur hubungan antar masyarakat dalam konteks tertentu, seperti:
sosialisme dan kapitalisme; (4) Technology Base; perkembangan dan kemajuan
teknologi dalam masa tertentu yang turut mempengaruhi hubungan sosial, seperti
revolusi industri yang didasari penemuan mesin uap; (5) the Role of Innovator;
peran aktor-aktor yang menemukan suatu penemuan baru yang selanjutnya
diikuti, diterima, dan merubah kehidupan banyak orang, seperti: pemuka agama,
tokoh pemikir, dan para ilmuwan.
Adapun faktor pendorong perubahan sosial dapat meliputi faktor internal
maupun eksternal. Faktor-faktor internal perubahan sosial antara lain (Stark,
1987:434-436): Pertama, Innovations (penemuan baru), yang di sini meliputi:
respon terhadap teknologi baru, budaya baru berupa kepercayaan dan nilai-nilai
baru, dan struktur sosial baru seperti munculnya masyarakat modern melalui
proses modernisasi. Kedua, Conflict (perselisihan); yang bersumber dari
33
perbedaan kelas, ras, kelompok etnis, dan perbedaan agama. Ketiga, Growth
(pertumbuhan); yang meliputi kelahiran, kematian, atau migrasi yang
mempengaruhi ukuran dalam suatu populasi.
Sementara faktor-faktor eksternal perubahan sosial yaitu (Stark, 1987:439-
440): Pertama, diffussion (penyebaran), yaitu proses penyeberan budaya daru
suatu masyarakat ke masyarakat sehingga interaksi antar budaya dapat
menumbuhkan budaya baru, atau menggabungkan kedua budaya. Kedua, conflict
(perang); antara masyarakat pribumi dan pendatang, meliputi konflik keyakinan,
suku, ataupun konflik rasial. Ketiga, ecology (ekologi); yaitu perubahan dalam
lingkungan fisik yang turut mempengaruhi perubahan sosial. seperti: bencana
alam, global warming, dan perubahan iklim.
Baik faktor internal maupun eksternal, keduanya mempengaruhi perubahan
sosial. Namun dampak dari keduanya dapat berbeda. Terkadang dapat membawa
kemunduran atau kehancuran suatu masyarakat, tapi di sisi lain dapat pula
membawa kemajuan. Hal itu bergantung dari respon masyarakat, proses
perubahan, dan fenomena yang terjadi setelah adanya perubahan (Stark,
1987:440).
Selain faktor-faktor pendorong di atas, terdapat pula faktor penghambat
perubahan sosial, antara lain (Schaffer, 2008: 289-291): (i) Sikap masyarakat yang
tertutup karena adanya nilai dan kepentingan yang mendarang daging (vested
interest); (ii) Faktor ekonomi dan kultural, dengan memproteksi nilai-nilai
material dan non-material, sehingga menyebabkan kesenjangan budaya (cultural
34
lag); (iii) Penolakan terhadap teknologi, seperti menolak adanya industri, internet,
dan berbagai hal yang berbau asing dan modern __
umumnya terjadi pada
masyarakat adat atau pedalaman yang menjaga tradisi.
E.2. Definisi Operasional
E.2.1. Tasawuf sebagai Jalan Hidup
Tasawuf didefinisikan sebagai suatu pandangan hidup (the world of view)
dan jalan hidup (the way of life) yang dijalankan oleh sekelompok orang
berlandaskan nilai-nilai luhur ajaran Islam untuk menuju kemuliaan akhlak dan
keselamatan di akhirat, dengan jalan menjauhi kehidupan duniawi dan aspek
material, beralih kepada jalan hidup sederhana, berkontemplasi, mengasingkan
diri, menghabiskan sisa hidup hanya dengan beribadah, mendekatkan Tuhan.
E.2.2. Tarekat sebagai Organisasi Sosial
Tarekat diartikan sebagai organisasi yang terdiri dari sekumpulan sufi yang
bergabung dengan seorang syeikh tertentu, tunduk pada aturan-aturan yang
terperinci. Tindakan spiritual dalam tarekat ditentukan berdasarkan otoritas
syeikh, hidup secara bersama, menganut nilai-nilai hidup yang sama, melakukan
ritual dan aktivitas khusus bersama, atau terikat dalam suatu ikatan emosional
sebagai suatu saudara dalam menempuh jalan hidup dan tujuan yang sama.
Organisasi tarekat yang menjadi subjek dalam penelitian ini ialah tarekat
Syattariyah yang tersebar di keraton, pesantren, dan pengguron di Cirebon.
35
E.2.3. Institusi Sosial
Dalam penelitian ini, institusi sosial didefinisikan sebagai seperangkat
aturan, norma, dan tata-cara yang dimanifestasikan dalam tindakan dan perilaku
untuk mencapai tujuan tertentu dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Institusi
yang akan diteliti dalam penelitian ini ialah institusi keraton, pondok pesantren,
dan industri batik. Dengan menggunakan pendekatan analisis historis, komparatif,
dan fungsional, peneliti akan menganalisis kontribusi tarekat Syattariyah terhadap
ketiga institusi tersebut, serta tipe dan hubungan antar institusi tersebut.
E.2.3. Perubahan Sosial
Perubahan sosial dibatasi sebagai proses transformasi dari suatu bentuk
sistem sosial ke bentuk sistem sosial lainnya yang terjadi melalui perubahan pada
suatu lembaga yang akan mempengaruhi lembaga-lembaga lainnya. Perubahan
tersebut mencakup nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku kelompok di masyarakat.
Cakupan perubahan sosial yang terjadi akan diamati dan dianalisis pada
tataran mezzo, yakni berpusat pada tarekat Syattariyah sebagai organisasi
keagamaan. Di sini akan dilihat kontribusi Tarekat Syattariyah sejak awal
kehadiran di Cirebon terhadap perkembangan institusi-institusi sosial di Cirebon.
Proses perubahan sosial dapat dilihat melalui konsep discovery, invention
ataupun diffussion, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan
budaya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial akan
dianalisa dari sudut faktor internal maupun eksternal.
36
E.3. Kajian Teori: Teori Strukturasi
Teori strukturasi (theory of structuration) dicetuskan oleh sosiolog Inggris,
Anthony Giddens (1984) melalui bukunya The Constitution of Society. Teori ini
memfokuskan pada hubungan dialektis antara agensi (agency) dan struktur
(structure), di mana hubungan antara agensi dan struktur merupakan dualitas
kesatuan. Semua tindakan sosial meliputi struktur dan semua struktur meliputi
tindakan sosial, agensi dan struktur terjalin tidak terpisahkan dalam kegiatan-
kegiatan praktik sosial yang berulang dan berkelanjutan. Giddens memerhatikan
pula proses dialektis ketika praktik, struktur, dan kesadaran dihasilkan. Menurut
Ritzer (2012:890), “Giddens membahas isu agensi-struktur dengan cara yang
historis, prosesual, dan dinamis”.
Titik tolak analisis teori strukturasi Giddens terletak pada “social practices
ordered across space and time” (praktik-praktik sosial yang berulang-ulang lintas
ruang dan waktu). Giddens mengatakan:
Human social activities, like some self-reproducing items in nature, are recursive.
That is to say, they are not brought into being by social actors but continually
recreated by them via the very means where by they express themselves as actors.
In and through their activities agents reproduce the conditions that make these
activities possible. (Giddens, 1984:2)
Jika diartikan secara bebas, maka fokus analisis teori ini terletak pada
aktivitas sosial yang mana dalam mengungkapkan diri sebagai aktor, mereka
terlibat dalam praktik dan melalui praktik itulah dihasilkan kesadaran maupun
struktur. Proses ini berlangsung secara berkelanjutan dan melewati ruang dan
waktu dalam dinamika perubahan masyarakat yang panjang.
37
Secara lebih rinci, Giddens (1984) menjelaskan tentang elemen-elemen dari
teori strukturasi, yaitu:
1) Agency
Menurut teori strukturasi, agency (pelaku) merupakan aktor yang
melakukan tindakan dan aktivitas sosial. Di sini Giddens (1984:5)
menjelaskan tiga aspek penting yang terdapat pada agency dalam praktek-
praktek sosialnya: (i) reflective monitoring of action (memonitor tindakan
secara reflektif), yaitu gambaran tindakan sehari-hari aktor, meliputi
hubungan aktor dengan orang lain di mana aktor tidak hanya memonitor
tindakanya secara kontinu, tetapi juga aspek-aspek sosial dan prikologis di
mana mereka bergerak; (ii) rasionalization of action (rasionalisasi
tindakan), yaitu bahwa aktor secara rutin membangun “theoritical
understanding”-nya terhadap tindakan-tindakannya; (iii) motivation of
action (motivasi tindakan), yaitu potensi atau tujuan yang mendorong aktor
untuk bertindak. Ketiga aspek tersebut dapat dilihat pada skema berikut:
Gambar 1.2. Model Skema Stratifikasi Agency
Sumber: Giddens (1984:5), the Constitutions of Society
Dalam ranah kesadaran, Giddens juga membedakan antara discursive
consiousness (kesadaran diskursif) dan practical consiousness (kesadaran
unacknwoledged reflexive monitoring of action unintended
conditions of razionalization of action consequences
action motivation of action of action
38
praktis). Kesadaran diskursif berati kemampuan untuk melukiskan tindakan-
tindakan aktor dengan kata-kata Sementara kesadaran praktis meliputi
tindakan-tindakan yang diterima begitu saja oleh para aktor, tanpa mampu
mengungkapkan dalam kata-kata. Tipe kesadaran praktis ini menjadi
penting dalam teori strukturasi yang mencerminkan perhatian utama pada
apa yang dilakukan ketimbang yang dikatakan (Giddens, 1984:7). Dalam
teori ini, tindakan-tindakan yang sengaja dilakukan sering mempunyai
konsekuensi yang tidak disengaja sehingga dapat mengantarkan analisis ini
dari agensi menuju level sistem sosial.
Giddens (1984:15) juga berpandangan bahwa pada diri agen juga melekat
„power‟ yaitu kemampuan untuk mengubah (sense of transformative
capacity) dan membuat perbedaan (make a difference). Dalam melakukan
praktik-praktik sosial, agen memiliki power yang meliputi otonomi dan
ketergantungan dalam kontinuitas ruang dan waktu; subordinat dapat
mempengaruhi aktivitas superior dalam konteks interaksi sosial. Inilah yang
disebut Giddens (1984:17) sebagai dialectic of control dalam sistem sosial.
2) Structure, System, and Structuration (3S)
Menurut Giddens, inti teori strukturasi ialah struktur, sistem, dan dualitas
struktur. Dalam teori ini, struktur didefiisikan Giddens sebagai “Rules and
resources, or sets of transformation relations, organized as properties of
social systems”. Sementara sistem ialah “reproduced relations between
actors or collectivities, organized as regular social practices”. Adapun
strukturasi diartikan sebagai “conditions governing continuity or transmu-
39
tation of structures, and therefore the reproductions of social systems”
(Giddens, 1984:25).
Giddens menjelaskan bahwa menganalisis strukturasi dari sistem sosial
berati mempelajari mode-mode setiap sistem. Mode setiap sistem diproduksi
dan direproduksi dalam interaksi sosial, berdasarkan aktivitas dari situasi
aktor yang dihadapkan pada rules dan resources dalam konteks tindakan.
Dengan kata lain, aktor dan struktur mengalami „dualitas‟ di antara
keduanya (duality of structures). Dalam setiap praktik sosial, tindakan aktor
dapat menjadi resources dari diproduksinya struktur, tetapi di satu sisi
dalam bertindak aktor tidak sepenuhnya lepas dari kungkungan rules dalam
struktur. Selanjutnya tindakan yang dilakukan berulang-ulang akhirnya
melahirkan reproduksi dari struktur dalam sistem sosial. Sebagaimana yang
Giddens (1984:26) katakan, “the moment of the production of action is also
one of reproduction in the contexts of the day-to-day enactment of social
life”. Maka, agen dan struktur adalah „dualitas‟ bagai dua sisi mata-uang;
tidak ada yang dapat eksis tanpa yang lainnya.
3) Forms of Institutions
Dalam teori ini, institusi diartikan sebagai kelompok-kelompok praktik-
praktik sosial. Ketika menjelaskan bentuk-bentuk institusi (forms of
institutions), Giddens menggunakan konsep „substantivities‟, yaitu konsep
yang terdiri atas tiga aspek dalam institusi: (i) signifikansi (significations),
berisikan aspek simbolik dan pemaknaan; (ii), dominasi (dominations),
berisikan tentang adanya power dalam institusi; dan (iii) legitimasi
40
(legitimations) berisikan pengesahan hukum dari sebuah institusi (Giddens,
1984:30). Ketiga konsep sosiologis ini didasarkan atas 3 teori, yaitu teori
pengkodean, teori otoritas, teori alokasi, dan teori regulasi (normatif).
Tabel 1.1 Bentuk Institusi Sosial dalam Teori Strukturasi
Struktur Dasar Teoritis Bentuk Institusi
Signifikansi - Teori Pengkodean (Coding) - Institusi Simbolik
Dominasi - Teori Otoritas
- Teori Alokasi
- Institusi Politik
- Institusi Ekonomi
Legitimasi - Teori Regulasi Normatif - Institusi Hukum
* Sumber: diadopsi dari Giddens (1984:31), The Constitutions of Society.
Dari tabel 1.1 dapat dilihat bahwa Giddens menekankan analisis terhadap
empat aspek institusi sosial; yaitu: (i) institusi simbolik, yang menekankan
makna-makna dan simbol dari praktik sosial; (ii) institusi politik, yang
menekankan tentang otoritas dan kekuasaan yang dimiliki oleh agen; (iii)
istitusi ekonomi, yang menekankan tentang alokasi sumber daya ekonomi;
dan (iv) institusi hukum, yang menekankan legitimasi normatif.
4) Time-Space
Menurut Giddens (1984:34), “time is perhaps the most enigmatic feature of
human experience”. Secara bebas dapat diartikan bahwa dalam teori
strukturasi, „waktu‟ adalah bagian sangat penting untuk menganalisis
pengalaman manusia. Setiap praktik sosial tidak lepas dari konteks ruang
(spatial) dan waktu (history). Apa yang terjadi di masa lalu dan masa
sekarang adalah proses (praktik sosial) yang dilakukan berulang-ulang.
41
Dalam hal ini Giddens (1984:35) membagi konteks waktu menjadi dua :
(i) reversible time, yaitu waktu yang berulang, meliputi duree of day to day
experiences (konteks kejadian dan rutinitas sehari-hari yang berulang-ulang)
dan longue duree of institutions (konteks waktu yang panjang dan berulang-
ulang sehingga tercipta proses pelembagaan praktik-praktik sosial);
(ii) irreversible time, yaitu waktu khusus, meliputi life span of individual
(kejadian khusus yang mendadak dan sulit diprediksi).
Giddens (1984:36) menggaris bawahi reversible time dalam analisis teori
ini. Yang terpenting ialah bahwa “the routines of daily life are the
'foundation' upon which institutional forms of societal organization are built
in time-space”.
Demikianlah keempat elemen (agent, 3S, forms of institutions, dan time-
space) tentang teori strukturasi. Dari keempat elemen ini, Ritzer (2012:894-895)
telah merangkum sejumlah proposisi dari teori strukturasi agar dapat diterapkan
dalam riset empiris:
1) Berkonsentrasi pada „penataan lembaga-lembaga (intitusi simbolik, politik,
ekonomi, dan hukum) lintas ruang dan waktu‟;
2) Berfokus pada analisis terhadap perubahan-perubahan di dalam lembaga-
lembaga di sepanjang ruang dan waktu;
3) Para peneliti harus peka terhadap cara-cara yang dipakai para pemimpin
(agent) dari berbagai lembaga untuk mengubah pola-pola sosial;
4) Para peneliti harus peka pada temuan-temuan dalam dunia sosial dan
menganalisis dampak modernitas tentang masalah-masalah sosial.
42
Mengenai perubahan sosial (social change) Giddens banyak dipengaruhi,
sekaligus mengkritik teori-teori perubahan sosial yang telah mapan; evolutionism
theory, structural-funtionalism theory, dan historical materialism theory. Dalam
hal perubahan Giddens (1984:244), mengajukan 5 konsep bagaimana teori
strukturasi dalam menganalisis perubahan (lihat tabel 1.2).
Tabel 1.2 Konsep Perubahan Sosial dalam Teori Strukturasi
No Konsep Penjelasan
1 Structural Principles Analysis of modes of institutional articulation
2 Episodic
Characterizations
Delineation of modes of institutional change of
comparable form
3 Intersocietal Systems Spesification of relations between societal
totalities
4 Time-space edges Indication of connection between societies of
differing structural type
5 World Time Examination of conjuctures in the light of
reflexively monitored history
*Sumber: diadopsi dari Giddens (1984:244), The Constitutions of Society
Kelima konsep perubahan tersebut pada dasarnya melihat kehidupan sosial
sebagai episode-episode yang terus berubah seiring dinamika dalam aktivitas
sosial. Masyarakat terdiri atas institusi yang saling berhubungan (intersocietal
systems) dan selalu mengalami perubahan (institutional change). Tindakan dan
fenomena adalah bagian dari episode perubahan yang selalu berawal dan berakhir,
di mana akumulasi dari tindakan akan berpengaruh terhadap bentuk dari suatu
instituti (structural principles). Masyarakat selalu berubah dari satu tipe ke tipe
berikutnya dalam sejarah manusia yang terbentuk atas hubungan antara tindakan
43
agen dan struktur lintas ruang dan waktu (time-space edges). Keseluruhan
hubungan reflektif dari tindakan agen adalah kontribusi mereka dalam membuat
sejarah (world time) (Giddens, 1984:244-255).
Teori strukturasi juga menjelaskan perubahan sosial melalui konsep
„keusangan‟ (obsolence/obsoleteness) struktur, yaitu perubahan struktur berarti
perubahan skemata agar sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang
secara baru (Priyono, 2002:31). Artinya, ketika suatu struktur tidak lagi sesuai
dengan praktik sosial yang berubah secara dinamis, maka terjadilah perubahan
struktur yang dipelopori oleh agen/pelaku untuk menyesuaikan antara praktik
sosial dan struktur. Selanjutnya struktur akan berubah seiring dengan praktik
sosial yang tengah berkembang, dan terjadi dualitas antara struktur dan agen, di
mana perubahan pada praktik sosial turut mempengaruhi perubahan struktur, dan
praktik sosial pun tidak lepas dari perubahan struktur yang baru.
Teori strukturasi ini sebagai perangkat analtis dapat dipakai guna melihat
berbagai gejala sosial, seperti masalah relasi sosial, modernisasi pendidikan,
globalisasi, dan sosial-keagamaan (Priyono, 2003:31-32). Dalam penelitian ini,
teori strukturasi akan digunakan untuk melihat masalah sosial-keagamaan, yaitu
peran agency (mursyid dalam organisasi tarekat) yang berkontribusi terhadap
perkembangan structure (institusi-institusi sosial di Cirebon).
Dalam penerapan teori ini sebagai riset ilmiah, salah satu kajian yang
relevan dalam menggunakan teori strukturasi dalam studi sosiologi agama ialah
penelitian dari Najib (2013) tentang “Konstruksi Identitas Keagamaan: Studi
44
Tentang Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki dengan Masyarakat Lokal”. Studi
berwawasan sosial relgius ke-Indonesian ini telah menggunakan konsep
strukturasi untuk menjelaskan relasi yang terbentuk antara pesantren Al-Mukmin
Ngruki dengan masyrakat lokal. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa
proses peralihan identitas keagamaan kampung Ngruki dari abangan ke santri
tidak lepas dari peran aktor yang terus menerus melakukan Islamisasi di kampung
ini dengan beragam cara. Keberadaan pondok ini juga memberikan perubahan
keagamaan tersebut dengan bertambahnya jumlah santri di kampung ini. Selain
itu, industrialisasi yang tumbuh sejak 1970-an di kampung ini turut berdampak
pada proses Islamisasi yang terjadi. Jadi, Islam dengan model pesantren yang
peningkatannya begitu masif berpengaruh terhadap perubahan identitas Islam di
masyarakat lokal dari pola abangan menjadi santri (pesantren) (Ramdhon, 2013).
Berdasarkan berbagai hal yang telah dipaparkan tentang teori strukturasi,
teori ini diterapkan untuk melihat bagaimana mursyid dalam organisasi tarekat
(agency) untuk berkontribusi terhadap perkembangan institusi-institusi sosial
(struktur) di Cirebon. Dari penjelasan tentang perkembangan institusi sosial akan
terlihat bagaimana perubahan yang dihasilkan dan kaitannya dengan tarekat
Syattariyah. Peneliti mencoba menerapkan atau menguji teori ini dalam konteks
sosial-keagamaan, khususnya kajian tentang tarekat dari perspektif sosiologis.
45
F. Metode Penelitian
F.1. Pendekatan Penelitian
Untuk mengkaji tentang peran tarekat dalam dinamika perubahan institusi-
institusi sosial, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu “metode-
metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang __
oleh sejumlah
individu atau sekelompok orang__
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan”
(Creswell, 2010:4).
Pendekatan kualitatif dipilih untuk menempatkan pandangan peneliti pada
cara pandang subjek yang diteliti melalui interaksi secara langsung. Pendekatan
kualitatif selalu berusaha memahami pemaknaan dari subjek yang diteliti
(intersubjective meaning), di mana peneliti mengobservasi dan melakukan
interaksi atau komunikasi secara intensif dengan subjek yang diteliti agar mampu
memahami dan mengembangkan kategori-kategori, pola-pola, dan analisis
terhadap proses sosial yang terjadi di tengah masyarakat (Creswell 2010:5).
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, peneliti bertujuan
menghasilkan deskripsi analitis yang menekankan kualitas dari pengalaman
masyarakat (Marsvati, 2004:6). Peneliti berusaha memahami makna yang
diciptakan masyarakat tentang bagaimana mereka memahami dunia dan
pengalaman yang dimilikinya. Dengan berfokus pada proses pemahaman, dan
pemaknaan, peneliti menjadi instrumen utama pengumpulan dan interpretasi data
secara induktif untuk menghasilkan deskripsi mendalam (Merriam, 2009:14).
46
F.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis data,
yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang secara secara
langsung dikumpulkan oleh peneliti dari lapangan dengan mengamati atau
mewawancarai subjek yang diteliti. Data diperoleh secara langsung dari situasi
aktual ketika peristiwa terjadi, tanpa perantara atau tangan kedua, yang disebut
sebagai “first-hand information” (Silalahi, 2010:289).
Sementara data sekunder ialah data yang dikumpulkan bukan secara
langsung oleh peneliti, melalui perantara, atau dikumpulkan dari sumber lain yang
telah tersedia. Peneliti bisa menggunakan data-data, dokumen, manuskrip, atau
laporan yang telah dikumpulkan oleh institusi-institusi pemerintahan atau lembaga
resmi yang teruji validitasnya. Data sekunder ini disebut juga “second-hand
information (Silalahi, 2010:291).
Adapun teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui:
a) Pengamatan (observasi).
Observasi dilakukan dengan mengamati perilaku dan aktivitas kelompok
atau masyarakat di lokasi penelitian. Peneliti akan mencatat dengan cara
terstruktur tentang aktivitas-aktivitas di lokasi penelitian. Peneliti juga dapat
terlibat langsung dalam peran-peran tertentu, mulai dari sebagai non-
partisipan hingga menjadi partisipan utuh (Creswell, 2010:267). Berbagai
fenomena di lapangan selanjutnya dicatat di dalam catatan lapangan (field
notes), meliputi: peristiwa, waktu, tempat, dan aktivitas subjek penelitian.
47
b) Wawancara Mendalam
Adapun wawancara mendalam (in-depth interview) akan dilakukan secara
semi-terstruktur dan terbuka agar lebih fleksibel dan dapat memunculkan
data yang lebih mendalam. Metode wawancara dapat dilakukan melalui tiga
cara: wawancara langsung (face to face interview), melalui telepon (by
phone), atau dalam bentuk wawancara atau diskusi kelompok (focus group
discussion) yang terdiri dari enam sampai delapan partisipan perkelompok
(Creswell, 2010:267). Pemilihan metode wawancara bersifat kondisional,
disesuaikan dengan situasi di lapangan.
Kemudian teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui:
a) Studi dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan arsip kesejarahan,
manuskrip, laporan-laporan resmi, atau dokumen yang terkait dengan subjek
penelitian. Sumber dokumen dapat berasal dari dokumen publik (koran,
jurnal, laporan riset) ataupun dokumen pribadi (buku harian, surat, buku,
atau koleksi arsip pribadi) (Creswell, 2010:269-270).
b) Data Audio-visual.
Data sekunder juga dilengkapi melalui pengumpulan materi audio-visual
dapat berupa foto-foto, video, atau rekaman suara yang dikumpulkan saat
melakukan observasi atau wawancara saat berada di lapangan (Creswell,
2010:270). Pengumpulan audio-visual ini penting untuk menggambarkan
kondisi, aktivitas, dan peristiwa unik ketika masa pengumpulan data.
48
Pengumpulan data lapangan dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan
April-Mei 2015. Data dikumpulkan di 5 kecamatan di Cirebon, yaitu Kecamatan
Lemahwungkuk, Pekalipan, Astanajapura, Harjamukti, dan Tengah Tani. Di
Kecamatan Lemahwungkuk dan Pekalipan, peneliti mengumpulkan data primer
dengan melakukan observasi dan wawancara di tiga keraton (Kasepuhan,
Kanoman, Kacirebonan) dan tiga pengguron tarekat Syattariyah (Pengguron
Tarekat Agama Islam, Lam Alif, dan Tarekat Islam. Di Kecamatan Astanajapura
dan Harjamukti, peneliti melakukan observasi dan wawancara di Pondok
Pesantren Buntet dan Benda Kerep. Terakhir di Kecamatan Tengah Tani,
melakukan wawancara dan observasi di Desa Batik Trusmi.
Sementara data sekunder dikumpulkan melalui pengumpulan dokumentasi
visual berupa foto kegiatan-kegiatan tarekat dan pengumpulan dokumen naskah-
naskah tarekat Syattariyah di Cirebon. Pengumpulan data sekunder ini dilakukan
di keraton, pengguron, pesantren, dan desa batik dengan cara mengikuti kegiatan
ketarekatan atau mengamati benda-benda sejarah di lokasi penelitian yang
berkaitan dengan tarekat Syattariyah.
F.4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian (sumber data) ialah orang yang padanya melekat data
penelitian (Silalahi, 2010:250). Subjek penelitian dalam penelitian ini ialah
kelompok tarekat Syattariyah, yang terdiri dari mursyid (pimpinan tarekat) dan
murid-muridnya. Sementara unit analisis yang hendak diteliti ialah kontribusi
tarekat ini sebagai agen perubahan sosial. Segala aktivitas, perilaku, dan
49
kontribusi agen bagi perubahan sosial akan menjadi unit analisis yang diteliti dan
diamati secara mendalam.
Informasi atau data akan ditelurusi melalui pengamatan dan wawancara
dengan informan. Informan (narasumber) yang akan diwawancara terdiri atas:
a) Mursyid (ketua tarekat);
b) Anggota tarekat;
c) Ulama (kyai);
d) Keluarga keraton;
e) Tokoh masyarakat
Pemilihan informan tersebut dipilih melalui purposive sampling (pemilihan
sample bertujuan), yang didasarkan atas siapa subjek yang ada dalam posisi
terbaik untuk memberikan informasi yang dibutuhkan. Purposive sampling ini
digunakan berdasarkan tiga hal: (1) mendapatkan data kasus yang terbilang unik
dan spesifik; (2) menyeleksi anggota populasi subjek penelitian guna mendapat
data yang akurat; (3) mengidentifikasi beragam informasi dengan investigasi yang
mendalam (Neuman, 2007:143).
Berdasarkan ketiga hal di atas, untuk melakukan penyeleksian diperlukan
kriteria khusus bagi subjek penelitian. Adapaun kriteria dari pemilihan subjek
penelitian ini ialah: (1) subjek merupakan anggota atau tokoh yang berpengaruh
dalam aktivitas tarekat Syattariyah; (2) subjek memiliki relasi dan afiliasi khusus
terhadap tarekat Syatariyah di Cirebon; (3) subjek berpartisipasi atau terlibat
50
langsung dalam aktivitas yang dilakukan tarekat Syattariyah. Pemilihan kriteria
ini didasarkan atas efisiensi dan efektivitas saat proses pengumpulan data.
Adapun informan yang peneliti wawancara berjumlah 15 orang, meliputi: 5
mursyid (Rama Guru PM.Nurbuwat Purbaningrat, Rama Guru Bambang Irianto,
Rama Guru Harman Raja Kaprabon, Kyai Ade Nasihul „Umam, dan Kyai
Muhammad Hasan); 2 anggota tarekat (Elang Bagoes Chandra Kusumaningrat
dan Elang Satriyono); 3 orang keluarga keraton (Bapak Maskun, Bapak Her.
Mungal, dan Pangeran Patih Muhammad Qadiran); 3 orang ulama/kyai (Kyai
Anas, Kyai Tonny, dan Ust.Mubarok); serta 2 orang tokoh masyarakat (Bapak
Slamet dan Bapak Katura AR). Kesemua informan tersebut merupakan orang-
orang yang bersedia secara terbuka untuk diwawancara dan tidak menutup diri
terhadap riset-riset ilmiah.
Dalam proses pengumpulan data, peneliti juga mengalami sedikit hambatan
yaitu karena terdapat sebagian mursyid atau anggota tarekat yang menolak untuk
diwawancara dan lebih memperioritaskan penjelasan tarekat kepada para rama
guru atau mursyidnya. Mereka yang menolak berpandangan bahwa mereka
„belum berhak‟ untuk menyampaikan hal-hal tentang tarekat karena ada rama
guru yang menurut mereka lebih berhak dari segi keilmuan dan aturan tarekat.
Peneliti juga terhambat oleh tidak diperbolehkannya peneliti untuk ikut dalam
kegiatan-kegiatan yang sifatnya tertutup (khusus bagi anggota tarekat), seperti
tawajjuhan (pengajian tarekat mingguan setiap kamis malam). Hal itu
dikarenakan, orang-orang yang belum berbai‟at tidak diperkenankan untuk ikut.
Walaupun mengalami beberapa hambatan, para informan kunci seperti mursyid,
51
kyai, dan abdi dalem keraton, telah menjelasakan berbagai hal secara detail dan
terbuka sehingga tidak mengurangi keotentikan dan kelengkapan data.
F.4. Analisis Data
Data yang telah terkumpul baik dari sumber primer (observasi dan
wawancara) maupun sumber sekunder (dokumentasi dan audio-visual) selanjut-
nya dianlisis secara induktif. Analisis induktif ialah proses pengolahan data di
mana dari data yang terkumpul selanjutnya dibangun suatu konsep dan deskripsi
berdasarkan hasil observasi, wawancara, dokumen yang dikombinasikan, diatur,
dan diinterpretasi dalam bentuk tema, kategori, tipologi, dan konsep tentang aspek
partikular di ranah praktis (Merriam, 200915-16).
Proses analisis data secara induktif ini meliputi beberapa langkah, yaitu
meliputi (Creswell, 2010:276) :
1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis; melibatkan transkrip
wawancara, mengetik data lapangan, memilah dan menyusun data ke dalam
jenis berbeda tergantung sumber informasi.
2. Membaca keseluruhan data; membaca dan menulis catatan khusus atau
gagasan umum tentang data yang diperoleh.
3. Klasifikasi atau kategorisasi; mengolah dan memilah materi atau data
menjadi kategori-kategori khusus sebelum memaknainya, dengan mengkla-
sifikasi data dengan istilah-istilah khusus yang berasal dari partisipan.
4. Menerapkan proses kategorisasi untuk mendeskripsikan setting, orang-
orang, kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis. Deskripsi
52
meliputi penjelasan detail mengenai orang-orang, lokasi, atau peristiwa
dalam setting tertentu. Tema-tema yang telah dikodifikasi selanjutnya
dieksplorasi lebih jauh untuk membuat analisis mendalam dan kompleks.
5. Menghubungkan antara deskripsi dan tema-tema untuk disajikan kembali
dalam menyampaikan hasil analisis; pembahasan fenomena, tema-tema
tertentu, atau keterhubungan antar tema. Dapat pula didukung gambar-
gambar atau tabel untuk mendukung penjelasan hasil analisis.
6. Menginterpretasi dan memaknai data; interpretasi berkaitan dengan perban-
dingan antara hasil temuan dengan penjelasan teoritis guna menjawab
pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.
Tahapan analisis di atas dapat dilihat pada skema analisis sebagai berikut:
Gambar 1.3 Tahapan Analisis Data
Gambar 2. Skema Analisis Data
*Sumber : Diadopsi dan dimodifikasi dari Creswell, Research Design (2010:277)
Validasi Hasil
Temuan
Data Mentah (Transkrip wawancara, field
notes, dokumentasi, dll)
Mengolah dan mempersiapkan data untuk
dianalisis
Membaca keseluruhan data
Klasifikasi atau kategorisasi data
Tema-tema Deskripsi
Menghubungkan tema-tema atau deskripsi
Menginterpretasi atau memaknai data
53
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan : Menjelaskan tentang pernyataan dan pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka atas penelitian
terdahulu, kerangka teoritis, dan metode penelitian.
BAB II Gambaran Umum Lokasi Penelitian : Menjelaskan gambaran umum
kota/kabupaten Cirebon dari segi geografis, topografi dan iklim, wilayah
administrasi, kependudukan, ekonomi, serta budaya; menjelaskan
gambaran umum keraton, pengguron, pesantren, dan industri batik di
Cirebon sebagai lokasi penelitian.
BAB III Tarekat Syattariyah di Cirebon : Menjelaskan tentang asal-mula,
perkembangan, persebaran, ajaran, dan aktivitas/kegiatan tarekat
Syattariyah di Cirebon.
BAB IV Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan Institusi
Sosial di Cirebon : Menjelaskan tentang kontribusi tarekat Syattariyah
terhadap perkembangan institusi sosial Cirebon dan hubungannya dengan
perubahan sosial di keraton, pesantren dan industri batik.
BAB V Penutup : Berisikan simpulan dari hasil temuan penelitian ini yang
berusaha menjawab pertanyaan penelitian, beserta saran-saran untuk
penyempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
54
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kota/Kabupaten Cirebon
Penelitian ini berlokasi di wilayah Kabupaten dan Kotamadya Cirebon,
provinsi Jawa Barat. Kota/Kabupaten Cirebon dikenal juga dengan sebutan Kota
Udang, yang mana dahulu memang masyarakat kebanyakan bekerja sebagai
nelayan yang mencari udang sebagai bahan baku pembuatan terasi dan petis.
Adapula yang menyebutnya sebagai Kota Wali, karena memang pada masa Wali
Songo, Cirebon merupakan basis penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat dan
sekitarnya. Selain itu kota Cirebon disebut juga dengan Caruban Nagari atau
Grage (kerajaan yang besar), karena memang dahulu pernah berdiri kesultanan
Cirebon yang dipimpin oleh Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Sesepuh Keraton Kasepuhan, Bapak Her. Mungal menjelaskan:
Kalau Cirebon ini awalnya bernama Caruban, dalam Purwaka Caruban Nagari (PCN) itu,
caruban artinya campuran, karena penduduk awal yang berada di Caruban, atau
disebutnya Kebon Pesisir, berada di pantai, pesisir. Nah kemudian, campuran karena
berasal dari berbagai bangsa yang datang ke tempat ini, yaitu pedagang yang berasal dari
India, Cina, Sumasi, Champa, Kamboja, Arab, dan sebagainya, mereka berdagang di Jawa
khususnya Cirebon. Kemudian, dari Caruban itu menjadi Cirebon. Kemudian waktu itu
karena perkembangan Cirebon itu pesat, makanya disebut Negara Gede, atau Grage, yang
sekarang dipakai jadi nama mall. Lalu dari Cirebon, zaman Belanda itu disebut,
Cheirbhon. Nah terus jadi Cirebon sekarang.
55
Jadi, penamaan nama Cirebon sendiri berasal dari kata sarumban (desa),
yang dahulu merupakan sebuah dukuh kecil percampuran penduduk dari berbagai
daerah. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai
yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalam bahasa Cirebon artinya
bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang
dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya
bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. Kemudian pelafalan kata caruban
berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.
Selain karena faktor penamaan tempat, penyebutan kata cirebon juga
dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil)
di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas
pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut belendrang yang
terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon
(bahasa sunda:air rebon), yang kemudian menjadi cirebon. Pada masa Belanda
pelafalan Cirebon menjadi Cheirbon, dan sekarang dibakukan menjadi Cirebon.
Secara geografis, wilayah Kabupaten Cirebon bagian utara merupakan
dataran rendah (pesisir), sedangkan bagian barat daya berupa pegunungan, yakni
lereng Gn.Ciremai. Letak daratannya memanjang dari barat laut ke tenggara.
Wilayah Kabupaten Cirebon sebelah utara dibatasi Kota Cirebon dan Laut Jawa;
sebelah barat daya dengan Kabupaten Majalengka; sebelah barat dengan
Kabupaten Indramayu; sebelah Selatan dengan Kabupaten Kuningan; dan sebelah
timur dengan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
56
Wilayah administrasi Kabupaten Cirebon sendiri terdiri atas 40 kecamatan,
yang dibagi lagi atas 412 desa dan 12 kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten
Cirebon terletak di Kecamatan Sumber, yang berada di sebelah selatan Kota
Cirebon. Tiga kecamatan yang baru terbentuk pada tahun 2007 adalah Kecamatan
Jamblang (Pemekaran dari Kecamatan Klangenan sebelah timur), Kecamatan
Suranenggala (Pemekaran dari Kecamatan Kapetakan sebelah selatan), dan
Kecamatan Greged (Pemekaran dari Kecamatan Beber sebelah timur).
Gambar 2.1 Peta Kota Cirebon
57
Cirebon juga merupakan salah satu kabupaten terpadat di Provinsi Jawa
Barat. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, Kecamatan Sumber
merupakan wilayah dengan jumlah penduduknya paling banyak yaitu sebesar
80.914 jiwa dan berikutnya adalah Kecamatan Gunung Jati yaitu sebanyak 77.712
jiwa. Sedangkan wilayah dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kabupaten
Cirebon adalah Kecamatan Pasaleman yaitu sebanyak 24.912 jiwa dan Kecamatan
Karangwareng sebanyak 26.554 jiwa. Sesuai dengan data kependudukan terbaru
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Cirebon, jumlah
penduduk per 30 April 2013 berjumlah 2.957.257 jiwa.
Penduduk Cirebon di bagian utara umumnya menggunakan bahasa Cirebon
sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Cirebon merupakan bahasa yang cukup
berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya, bahasa Cirebon memiliki
wyakarana (tata-bahasa) sendiri yang tidak mengikuti pola tata bahasa Jawa.
Bahasa ini dituturkan di bagian barat dan timur Kabupaten Cirebon. Sementara di
wilayah pedalaman seperti Kecamatan Pasaleman, Ciledug, Beber, dan sekitarnya
yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan atau wilayah pedalaman lainnya
yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Brebes, dipergunakan bahasa
Sunda Cirebon dengan beragam dialeknya. Bahasa Jawa juga bercampur dengan
bahasa Cirebon dan bahasa Sunda Cirebon di beberapa wilayah yang berbatasan
dengan Brebes, antara lain: Kecamatan Losari, Pabedilan, dan Ciledug.
Adapun kebudayaan yang melekat pada masyarakat Cirebon merupakan
perpaduan berbagai budaya yang datang, seperti Cina, Arab, dan India, yang
kemudian membentuk perpaduan yang khas. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
58
pertunjukan masyarakat Cirebon, seperti: Tarling, Tari Topeng Cirebon, Sintren,
Kesenian Gembyung, dan Sandiwara Cirebonan. Kota ini juga memiliki beberapa
kerajinan tangan di antaranya Topeng Cirebon, Lukisan Kaca, Bunga Rotan,
dan Batik. Salah satu ciri khas batik asal Cirebon adalah motif batik Mega
Mendung, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya
membentuk bingkai pada gambar utama. Motif tersebut didapat dari pengaruh
keraton-keraton di Cirebon, karena pada awalnya seni batik Cirebon hanya
dikenal di kalangan keraton. Sekarang di Cirebon, batik motif mega mendung
telah banyak digunakan berbagai kalangan. Selain itu terdapat juga motif batik
yang disesuaikan dengan ciri khas penduduk pesisir. Pusat industri batik di
Cirebon saat ini terpusat di wilayah desa Trusmi, sehingga disebut juga sebagai
desa batik Trusmi.
Memang banyak keunikan lain yang terdapat di kota pesisir ini, baik dari
aspek budaya, bahasa, sejarah, maupun agama masyarakat Cirebon. Khususnya
dari aspek sejarah, kota yang berjuluk kota wali ini, menjadi saksi dinamika
penyebaran Islam di Jawa Barat sejak masa wali songo hingga sekarang.
Kesultanan Cirebon yang dahulu dipimpin Sunan Gunung Jati telah menorehkan
sejarah bagi perkembangan agama Islam Nusantara. Bahkan, telah menciptakan
perubahan sosial dengan mengislamkan masyarakat di tanah-sunda (Pajajaran)
yang terbentang dari Cirebon sampai ke Banten dari beragama Hindu ke Islam.
Berbagai peninggalan sejarah dan institusi-institusi sosial yang dahulu
berperan penting masih lestari hingga saat ini. Keraton, masjid Sang Cipta Rasa,
Astana (pemakaman) Gunung Jati dan Gunung Sembung, pondok-pondok
59
pesantren, serta pengguron-pengguron tarekat yang terdapat di Cirebon,
mencerminkan kota ini kental dengan tradisi ke-Islaman yang bersifat sufistik.
Tarekat Syattariyah yang menjadi fokus peneleitian ini, telah berasosiasi dengan
berbagai institusi sosial tersebut. Filosofi, ajaran, dan pola kehidupan sufistik
telah meresap ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Cirebon. Berikut akan
dipaparkan beberapa lokasi yang memiliki kaitan dengan tarekat Syattariyah di
Cirebon sebagai lokasi penelitian ini.
B. Keraton dan Pengguron di Cirebon
Pusat-pusat pengajaran tarekat (pengguron) tersebar di berbagai wilayah
Cirebon. Berdasarkan sejarahnya (sejak masa wali songo abad ke-16 dan masa
Kolonial abad ke-17 sampai 19) tarekat Syattariyah berkembang pesat di sekitar
keraton-keraton di Cirebon karena memang dahulu keraton berfungsi sebagai
pusat pemerintahan dan keagamaan. Hingga saat ini, terdapat tiga keraton dan satu
pengguron yang belakangan disebut sebagai keraton, yaitu: Kasepuhan, Kanoman,
Kacirebonan, dan Kaprabonan. Dua yang pertama, keraton Kasepuhan dan
Kanoman merupakan dua keraton utama. Sementara dua yang terakhir merupakan
cabang (pecahan) dari keraton Kanoman. Berikut adalah deskripsi singkat
mengenai keraton dan pengguron-pengguron di Cirebon yang berkaitan dengan
tarekat Syattariyah sebagai lokasi penelitian.
B.1. Keraton Kasepuhan
Keraton ini terletak di Jl. Lemahwungkuk, Kec. Lemahwungkuk,
Kotamadya Cirebon. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah
60
dan terdapat dinding-dinding, gerbang, dan gapura bangunan keraton yang banyak
menggunakan porselen (piring-piring) dari Cina sebagai hadiah dari Kerajaan
Dinasti Ming saat Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien. Keraton
Kasepuhan memiliki nilai historis, filosofis, dan sufistik yang berkaitan erat
dengan sejarah penyebaran Islam di Cirebon, dan Jawa Barat pada umumnya.
Gambar 2.2 Kereta Singa Barong di Museum Keraton Kasepuhan
* Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 16 April 2015 di Keraton Kasepuhan
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih.
Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja. Keraton ini juga
memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan
koleksi kerajaan. Salah satu koleksinya yaitu kereta Singa Barong yang
merupakan kereta kencana Sunan Gunung Jati. Kereta tersebut melambangkan
tiga binatang suci (buroq-Islam, gajah-Hindu, dan naga-Cina) sebagai perlambang
61
budaya-budaya masyarakat di Cirebon. Ini mencerminkan bahwa Cirebon sangat
menghargai budaya-budaya yang ada pada saat itu. Bahkan bagi kalangan tarekat,
kereta ini bukan hanya dimaknai secara kultural, tetapi merupakan ceminan cipta,
karsa, dan rasa dari manusia. Saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya
dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Secara tata letak, sebagaimana keraton-keraton yang ada di wilayah Cirebon
dan Jawa pada umumnya, bangunan keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara.
Di depan keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang dahulu bernama Sangkala
Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan setiap
hari Sabtu (Saptonan) dan juga sebagai titik pusat tata letak kompleks
pemerintahan keraton. Dahulu di alun-alun ini dilaksanakan juga pentas perayaan
kesultanan dan sebagai tempat rakyat berdatangan untuk memenuhi panggilan
ataupun mendengarkan pengumuman dari sultan.
Di sebelah barat keraton Kasepuhan terdapat masjid megah hasil karya
walisongo yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Di sebelah timur alun-alun
dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar (sekarang adalah pasar
kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya). Model bentuk keraton yang
menghadap utara, dengan bangunan Masjid di sebelah barat, dan pasar di sebelah
timur, serta alun-alun ditengahnya, merupakan model tata letak keraton pada masa
itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini
banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan
gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
62
B.2. Keraton Kanoman
Keraton Kanoman terletak di Jl. Kanoman, Kec. Pekalipan, Kotamdya
Cirebon, atau di sisi barat keraton Kasepuhan. Semenjak berdirinya keraton
Kanoman pada tahun 1678 M, kesultanan Cirebon terbagi dua yang terdiri keraton
Kasepuhan (Sepuh) dan keraton Kanoman (Anom) ibarat pemimpin dan wakilnya.
Gambar 2.3 Siti Inggil di Keraton Kanoman
*Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi pada tanggal 18 April 2015
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini
berlokasi di belakang Pasar Kanoman. Di keraton ini tinggal sultan ke-12 yang
bernama Raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Keraton Kanoman
memiliki bangunan kuno yang salah satunya bernama Bangsal Witana yang
merupakan cikal bakal keraton. Di keraton ini masih terdapat barang barang,
seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat
63
baik dan tersimpan di museum. Sebagai kereta Singa Barong di Kasepuhan,
bentuk kereta Paksi Naga Liman juga memiliki filosofi khusus; burak, yakni
hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj; naga, yang berarti
hewan suci bangsa Cina, dan Gajah hewan yang disucikan umat Hindu. Kereta itu
juga melambangkan akulturasi budaya dari masyarakat di Cirebon.
Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk
Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti
Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat kompleks bangunan bangunan
bernama Siti Hinggil. Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya
piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua
keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran
hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Sebagaimana model keraton di
pesisir, keraton Kanoman juga smenghadap ke utara. Di depan keraton selalu
terdapat alun-alun untuk rakyat berkumpul, pasar sebagai pusat perekonomian,
dan di sebelah timur keraton terdapat ada masjid.
B.3. Keraton Kacirebonan
Kacirebonan terletak di wilayah Kel. Pulasaren Kec. Pekalipan, tepatnya
1 km sebelah barat daya keraton Kasepuhan, atau 500 meter sebelah selatan
keraton Kanoman. Kacirebonan merupakan pemekaran dari keraton Kanoman
setelah Sultan Anom IV, yakni PR. Muhammad Khaerudin wafat, putra mahkota
yang seharusnya menggantikan tahta (PR. Anom Madenda) diasingkan oleh
Belanda ke Ambon karena dianggap pembangkang dan memberontak. Ketika
64
kembali dari pengasingan, tahta sudah diduduki oleh PR. Abu sholeh Imamuddin,
atas kesepakatan keluarga. Akhirnya PR. Anom Madenda membangun keraton
Kacirebonan tahun 1800 M, kemudian muncullah Sultan Carbon I sebagai Sultan
Kacirebonan pertama. Namun gelar sultan hanya dipakai sampai masa jabatan itu,
dan atas kebijakan Belanda keturunan setelahnya bergelar kepangeranan.
Bangunan Kacirebonan tidak termasuk tipologi arsitektural bangunan
keraton, karena memang tidak memiliki alun-alun, masjid, dan wilayah yang
cukup luas untuk disebut keraton, sehingga kebanyakan menyebutnya sebagai
bangunan Kacirebonan dibanding keraton Kacirebonan. Bila dilihat dari segi
bentuknya, bangunan Kacirebonan seperti bangunan pembesar pada zaman
kolonial Belanda dengan pengaruh arsitektur Eropa yang kuat, dan lebih memiliki
gaya arsitektur Jawa. Bahkan gelar kesultanan yang saat ini adalah KGPH.
Gambar 2.4 Jinem di Keraton Kacirebonan
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 18 April 2015
65
Bangunan yang didirikan pada masa kolonial ini banyak menyimpan benda-
benda peninggalan sejarah seperti: keris,wayang, perlengkapan perang, gamelan
dan naskah-naskah kuno Di depan sebelah timur, terdapat sebuah paseban, tempat
menerima tamu atau pengunjung keraton. Di sebelah barat, terdapat taman kecil
dan air mancur. Kemudian bangunan utama keraton ini ialah jinem yang cukup
luas tempat sultan menerima tamu-tamu keraton atau pemerintahan, yang
terkadang juga digunakan sebagai pementasan kesenian. Di dalamnya, terdapat
peninggalan sejarah seperti: keris, lukisan, perlengkapan perang, gamelan,
perlengkapan upacara, serta naskah-naskah kuno. Salah satu naskah tersebut
adalah sebuah kitab klasik karangan Imam Ibn „Arabi yang merupakan kitab
tasawuf berbahasa Arab yang sudah rapuh kertasnya. Adapaun naskah-naskah
yang lain adalah naskah-naskah berbahasa Arab-Pegon (Arab-Jawa). Dan di
bagian belakang terdapat halaman kecil yang dijadikan tempat latihan kesenian
Tari Topeng, Sintren, dan Gamelan khas kesenian Cirebon. Seperti halnya keraton
Kasepuhan dan Kanoman, Kecirebonan tetap menjaga dan melestarikan tradisi
dan upacara adat seperti upacara Pajang Jimat (perayaan maulid Nabi Saw).
B.4. Pengguron Kaprabonan
Pengguron Kaprabonan terletak di sebelah timur keraton Kanoman dan
berada di tengah-tengah Pasar Kanoman. Kompleks pengguron ini terbilang kecil
bila dibandingkan dengan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Di dalamnya
terdapat dua tempat tinggal keluarga Kaprabonan dan sebuah tajug (mushola)
yang terletak di bagian barat, di sebelah air mancur kecil. Tajug tersebut dahulu
66
dipakai untuk mengajarkan ilmu tarekat oleh Rama Guru Adipati Kaprabon
(pendiri Kaprabonan) kepada para murid-murid beliau.
Gambar 2.5 Halaman Pengguron Kaprabonan
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 17 April 2015
Namun perkembangan saat ini, pengguron Kaprabonan tidak lagi berfungsi
sebagai pusat pengguron tarekat sebagaimana dahulu. Malah Pangeran Hempi
Raja Kaprabon, penerus pengguron Kaprabonan mengangkat dirinya sebagai
sultan dan menjadikan pengguron Kaprabonan sebagai keraton. Memang agaknya
ada kepentingan politis yang mungkin menyelimuti perkembangan tarekat di
Kaprabonan. Oleh karenanya, kebanyakan pengguron yang ada saat ini mulai
keluar dari lingkungan Kaprabonan dan bertempat di luar keraton-keraton lainnya.
Bahkan dari pengamatan peneliti, tidak ada sama sekali aktivitas ketarekatan yang
67
diadakan di Kaprabonan. Hanya ditemukan beberapa kitab ketarekatan berbahasa
Arab-Pegon milik keluarga Kaprabonan.
Dari keempat lokasi penelitian di wilayah keraton yang peneliti telusuri,
masih tersisa bekas-bekas peninggalan dari sejarah dan perkembangan tarekat
Syattariyah di Cirebon. Peninggalan-peninggalan tersebut antara lain seperti tajug,
kitab, naskah/manuskrip, dan benda-benda bersejarah yang memang berkaitan
dengan tarekat Syattariyah. Memang keraton tersebut dahulu memang dijadikan
sebagai pusat penyebaran agama dan tarekat. Tapi karena pengaruh politis dan
penjajahan, maka aktivitas ketarekatan akhirnya keluar dari keraton. Selain itu, di
keempat lokasi tersebut sudah tidak ada lagi rama guru (mursyid) yang tinggal di
sana, walaupun memang sebagaian murid-murid tarekat dari keluarga keluarga
keraton masih banyak yang mengamalkan tarekat Syattariyah sebagai warisan
Sunan Gunung Jati. Dengan menimbang beberapa hal di atas, maka data-data
yang dikumpulkan dari keempat lokasi tersebut lebih bersifat data skunder yang
bersifat historis dan dokumentatif.
B.5. Pengguron Tarekat
Sebagaimana telah dijelaskan, pengguron-pengguron tarekat yang awalnya
berada dalam wilayah keraton, sekarang bertempat di luar lingkungan keraton.
Namun demikian, mereka masih memiliki hubungan baik dengan pihak keraton,
bahkan dalam upacara-upacara keagamaan keraton turut mengundang pihak
pengguron. Berikut adalah pengguron yang masih berafiliasi dengan keraton dan
masih eksis hingga saat ini:
68
Tabel 2.1 Lokasi Pengguron-pengguron Tarekat Syattariyah
No Nama Pengguron Pimpinan Lokasi
1. Pengguron Tarekat
Agama Islam
Rama Guru Pangeran
Muhammad Nurbuwat
Purbaningrat
Jl. Jagasatru, Pegajahan,
Kotamadya Cirebon
2. Pengguron Krapyak Rama Guru Pangeran
Muhammad Afiyah
Gg. Kaprabonan,
Kotamadya Cirebon
3. Pengguron Lam Alif Rama Guru Raden
Bambang Iriyanto
Jl. Drajat, Kotamadya
Cirebon
4. Pengguron Rama Guru
Pangeran Muhammad
Hilman
Rama guru Pangeran
Muhammad Hilman
Perumnas, Kotamadya
Cirebon
5. Pengguron Rama Guru
Pangeran Yudi
Kusumaningrat
Rama Guru Pangeran
Yudi Kusumaningrat
Gg. Kaprabonan,
Kotamadya Cirebon
6. Pengguron Rama Guru
Pangeran Yunan
Kaprabonan
Rama Guru Pangeran
Yunan Kaprabonan
Gg. Kaprabonan,
Kotamadya Cirebon
7. Pengguron Tarekat
Islam
Rama Guru Pangeran
Harman Raja Kaprabon
Tuparev, Kotamadya
Cirebon
Sumber: Persebaran tarekat ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Rama Guru Pangeran
Muh. Nurbuwat P., Rama Guru Rd.Bambang Iriyanto dan Rama Guru Pangeran
Harman Raja Kaprabon pada Mei 2015.
Pengguron-pengguron tersebut merupakan pengguron yang masih aktif
hingga saat ini. Sebagian dari pengguron ini lokasinya tidak terlalu jauh dari
keraton, seperti Pengguron Krapyak, Pengguron Tarekat Agama Islam, dan
Pengguron Rama Guru Yudi Kusumaningrat, yang letaknya masih berdekatan
Keraton Kasepuhan dan Kaprabonan. Namun adapula pengguron yang memang
berjauhan atau sengaja menjauhi keraton, seperti Pengguron Lam Alif dan
Pengguron Tarekat Islam yang terletak di Drajat dan Tuparev.
Dengan menimbang efisiensi waktu dan jarak, keterkaitan pengguron dan
keraton yang lebih erat, serta sanad dari Rama Guru yang memang berasal dari
trah laki-laki, lokasi penelitian ini lebih terfokus di pengguron Tarekat Agama
69
Islam, yang terletak di Jl. Jagasatru, Pegajahan Utara No.59. Pengguron ini
merupakan pimpinan Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat,
keturunan Kaprabonan yang memiliki sanad sampai kepada Nabi Muhammad
Saw. Di antara pengguron-pengguron yang lain, pengguron Mama Nung
(panggilan akrab Rama Guru PM. Nurbuwat Purbaningrat) memang yang paling
aktif kegiatannya. Selain itu, pengguron ini juga yang terbesar dengan terdapat
sebuah tajug dan dua buah pendopo sebagai tempat berkumpulnya para murid
(ikhwan) tarekat setiap seminggu/sebulan sekali. Di sinilah selanjutnya peneliti
melakukan observasi, wawancara, dan pencatatan secara intens guna melihat
relasi dan kontribusi tarekat Syattariyah terhadap keraton di Cirebon.
Gambar 2.6 Halaman Depan Pengguron Pegajahan
*Sumber: Dokumentasi peneliti setelah wawancara tanggal 22 April 2015
70
Peneliti juga melakukan pengamatan dan wawancara di beberapa pengguron
lain sebagai bahan perbandingan dan pelengkap terhadap data yang didapat dari
Pengguron Pegajahan. Beberapa pengguron yang terbuka untuk penelitian, antara
lain: Pengguron Lam Alif dan Pengguron Tarekat Islam. Kedua pengguron ini
terletak berjauhan dengan keraton sehingga hanya menjadi lokasi tambahan untuk
melengkapi data yang di dapat. Melalui ketiga pengguron yang berafiliasi dengan
keraton, peneliti akan menganalisis bagaimana kontribusi tarekat Syattariyah
terhadap keraton sebagai relasi antara aspek agama dan sosial-budaya di keraton.
C. Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep
Selain di lingkungan keraton, tarekat Syattariyah juga berafiliasi dengan
pondok-pondok pesantren di Cirebon, antara lain: Pesantren Benda Kerep dan
Pesantren Buntet. Kedua pondok pesantren klasik ini memiliki akar historis yang
terkait erat dengan penyebaran Islam dan perkembangan tarekat Syattariyah di
Cirebon. Kedua pesantren ini memiliki kaitan genalogis dengan Mbah Muqoyyim
(mufti keraton yang belakangan mendirikan pesantren Buntet, dan keturunannya
mendirikan pesantren Benda). Antara Buntet dan Benda, keduanya juga bersama-
sama berjuang dalam rangka syiar Islam dan melawan penjajahan Belanda. Selain
itu, keduanya juga masih mempertahankan tradisi-tradisi yang sarat dengan ritual-
ritual sufistik. Oleh karena itu, penelusuran tentang afiliasi tarekat Syattariyah
terhadap pesantren akan ditelusuri melalui kedua pondok pesantren ini.
71
C.1. Pondok Pesantren Buntet
Lokasi pondok pesantren Buntet saat ini terletak di Desa Mertapada Kulon,
Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Lokasi awal-mula Pondok Buntet
Pesantren berlokasi di dekat Dawuan Sela, kira-kira 1km di sebelah barat lokasi
pesantren sekarang, tepatnya di blok Sidabagus (Dusun II Desa Buntet). Kondisi
fisik bangunan awal Buntet saat ini terbilang kurang terawat; beratapkan ilalang
berukuran kira-kira 8 x 12 meter, dan di sekitarnya hanya ditumbuhi semak
belukar. Dulunya memang bangunan tersebut dibakar oleh pemerintah Belanda,
dan saat ini hanya tertinggal bukti peninggalan berupa sumur tua dan makam
santri. Guna menghindari serangan dari pihak kolonial Belanda, beliau
memindahkan pondok pesantren ke lokasi saat ini, yaitu desa Mertapada Kulon.
Di desa ini terdapat 44 Pondok Pesantren yang diasuh oleh sekitar 40 kyai
dan 40 nyai. Santri yang belajar (mondok) di sini berjumlah sekitar 3000 orang
yang tersebar dari tingkat MI, MTs, dan MA. Memang desa Buntet bisa disebut
juga sebagai “desa pesantren” karena di desa ini terdapat banyak sekali
pemondokan yang dipimpin oleh kyai-kyai yang berbeda. Pemondokan yang ada
pun terbilang sederhana, karena di sini rumah kyai dijadikan sebagai tempat
pondok para santri.
Para santri dan masyarakat di desa ini berbaur menjadi satu. Mayoritas
masyarakat menganut Islam yang lebih bersifat tradisionalis. Sehari-hari baik
santri maupun masyarakat biasanya memakai sarung dan peci sebagai pakaian
harian. Pakaian ini telah menjadi trademark pakaian masyarakat Buntet. Bahasa
72
yang digunakan pun berbaur dengan bahasa masyarakat Buntet yang umumnya
berbahasa Jawa Cirebon. Namun karena sebagian santri berasal dari luar Jawa,
adapula yang memakai bahasa Indonesia.
Kehidupan sehari-hari di pondok pesantren ini tak terlepas dari kegiatan
belajar-mengajar. Pada pagi hari, biasanya para santri setelah shalat subuh
berjama‟ah mereka membaca kitab, lalu bersiap dan berangkat ke madrasah
(sekolah). Hingga menjelang sore, sekitar pukul 14.00 siang, mereka sudah pulang
kembali ke pondok untuk istirahat. Setelah shalat ashar berjama‟ah sekitar pukul
16.00 sore, mereka kembali mengaji kitab kuning sampai waktu maghrib yang
dipimpin langsung oleh Kyai. Setelah shalat maghrib berjama‟ah, sekitar pukul
18.30 sore dilanjutkan dengan mengaji tajwid Al-Qur‟an. Setelah shalat Isya
berjama‟ah, sekitar 19.30 malam dilanjutkan kembali membaca kitab sampai
sekitar pukul 21.00 malam. Aktivitas ini rutin dilakukan setiap harinya yang
dibawah bimbingan sang kyai.
Gambar 2.7 Masjid Kuno di Pesantren Buntet
*Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi tanggal 19 April 2015
73
Di Buntet sendiri saat ini hanya terdapat 3 orang mursyid, dan 2 di
antaranya bersifat sangat tertutup, bahkan tidak mau menemui peneliti saat
berkunjung ke rumahnya. Satu di antaranya yang terbuka ialah KH. Ade M.
Nasihul Umam yang bersedia untuk diwawancara dan memberikan banyak kitab-
kitab rujukan tarekat Syattariyah. Oleh karenanya, penelitian ini akan lebih
difokuskan di pondok Andalucia, pimpinan KH. Ade M. Nasihul umam.
C.2. Pondok Pesantren Benda Kerep
Pondok pesantren ini terletak di Desa Benda, Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti, Kotamdya Cirebon. Bentang alamnya seluas 33 hektar,
yang dikelilingi oleh kebun-kebun dan persawahan. Desa ini juga dibatasi oleh
kali yang menjadi salah satu lahan pencaharian ekonomi masyarakat, yaitu batu
akik. Sebagian besar masyarakat juga masih bertani, berkebun, dan berdagang
sebagai sumber mata pencaharian.
Meskipun terletak di Kotamadya yang sarat akan hiruk-pikuk kemodernan,
sikap masyarakat di desa ini masih sangat tradisional dan menolak keras adanya
modernisasi. Pesantren ini menolak dibuatkan jembatan, sehingga untuk sampai
ke desa Benda, peneliti harus melewati kali yang cukup deras airnya melalui jalan
batu setapak. Motor, mobil, dan kendaraan lain pun tidak diperbolehkan masuk ke
desa Benda ini. Selain itu mereka menolak adanya radio dan televisi karena tidak
ingin terkontaminasi hal-hal negatif dari dunia luar. Bahkan telah lama mereka
menolak masuknya listrik yang diususng oleh pemerintah, sampai akhirnya sekitar
tahun 1980-an, masyarakat mulai memakai listrik, dengan syarat tidak boleh
74
menggunakan televisi, radio, dan pengeras suara. Kendati demikian, handphone
masih boleh digunakan sebagai media komunikasi.
Sistem religi di kampung benda ialah menganut agama Islam, khususnya
Islam tradisional. Di desa ini terdapat banyak pondok pesantren, yang dipimpin
oleh kyai-kyai berbeda. Terdapat sekitar 40 kyai dan 40 pondokan di seluruh desa.
Santrinya berasal dari berbagai macam daerah, baik dari desa Benda ataupun dari
luar sekitar Cirebon. Beberapa juga ada yang berasal dari daerah lain seperti,
Kuningan, Karawang, Jawa, Sumatera, dan sebagainya. Tidak ada aturan tertulis
tetapi masyarakat mengikuti peraturan di sini, mengikuti adat istiadat di sini
dengan disesuaikan dengan aturan agama.
Gambar 2.8 Masjid Kuno di Pesantren Benda Kerep
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 12 Mei 2015
Sampai sekarang, pondok pesantren Benda Kerep merupakan salah satu
pondok pesantren, selain Buntet, sebagai basis tarekat Syattariyah di Cirebon.
Selama di Desa Benda peneliti tinggal di salah satu pondok yang dipimpin oleh
75
KH. Muhammad Hasan, sesepuh sekaligus mursyid tarekat Syattariyah di
pesantren Benda Kerep. Beliau juga termasuk salah satu keturunan Kyai Soleh
(pendiri pondok pesantren Benda Kerep), dan juga keturunan ke-19 dari Sunan
Gunang Jati. Kyai Hasan merupakan sosok yang sederhana, ramah, santun, dan
terbuka ketika menerima kedatangan peneliti. Beliau juga sangat terbuka dan
bersedia diwawancara perihal tarekat Syattariyah di desa Benda ini.
Rumah tempat tinggal Kyai Hasan cukup sederhana, sebagaimana aturan
masyarakat di sini, di rumah ini memang tidak terdapat TV atau radio, walaupun
listrik memang sudah ada. Kyai.Hasan memiliki satu rumah tinggal, satu majlis
ta‟lim tempat mengajarkan kitab-kitab, termasuk ajaran tarekat, dan satu
pondokan santri yang terletak di depan rumah Kyai. Di depan pondok juga
terdapat sebuah masjid tua yang masih digunakan untuk shalat berjamaah dan
mengaji bagi para santri.
Kondisi perkembangan pondok pesantren di sini terbilang menurun dalam
kurun satu dekade belakangan. Santri yang mondok di pondok Kyai Hasan. Hasan
juga terbilang sedikit, hanya ada sekitar 10 orang santri. Kalau jumlah
keseluruhan santri di pondok-pondok yang lain mungkin ada ratusan, tidak
banyak. Hal itu dikarenakan pondok-pondok di desa ini merupakan pondok klasik
yang hanya mengajarkan kitab kuning tanpa ada sekolahan. Jadi, kemungkinan
minat masyarakat lebih tertuju pada pondok-pondok modern yang membekali
santrinya dengan materi sekolahan dan legitimasi formal.
76
Walaupun sekarang perkembangan pondok pesantren Benda mulai
menurun, lokasi ini terbilang tepat untuk melihat persinggungan tarekat dengan
kehidupan masyarakat setempat. Para penganut tarekat Syattariyah di sini hampir
semuanya merupakan murid tarekat Kyai Hasan yang berbai‟at langsung kepada
beliau. Para penganut tarekat juga telah berbaur dengan kehidupan sosial
nasyarakat Benda, di mana sebagian mereka berprofesi sebagai pedagang, petani,
pengusaha, pejabat pemerintahan, atau pengajar di pondok pesantren. Kendati
demikian, dalam hal ritual tarekat mereka terbilang tertutup karena ritual
ketarekatan dilaksanakan secara individual dan tidak ada ritual yang dilakukan
secara berjama‟ah. Terkecuali aktivitas sosial-keagamaan seperti tawasulan,
tahlilan, haul dan perayaan hari-hari besar Islam masih dilakukan bersama-sama.
Dengan demikian, untuk melihat kontribusi para penganut tarekat
Syattariyah terhadap perkembangan pondok pesantren, akan dilakukan di Pondok
Pesantren Buntet dan Benda Kerep. Keduanya akan dapat merepresentasikan
relasi antara kehidupan pondok pesantren dan kehidupan sosial para penganut
tarekat. Keduanya juga memiliki kaitan genealogis terhadap keraton di Cirebon
sehingga terdapat relasi institusional antara pondok pesantren, keraton, dan tarekat
Syattariyah di Cirebon.
D. Desa Batik Trusmi
Lokasi desa batik Trusmi sekitar 4 km di sebelah barat Kota Cirebon. Desa
batik ini terletak di Kel. Trusmi, Kec. Tengah Tani, Kabupaten Cirebon, Jawa
Barat. Saat ini Desa batik Trusmi merupakan sentral industri batik di Cirebon
77
yang telah meningkatkan perekonomian masyarakat sebagai sumber mata
pencaharian. Selain batik, terdapat sedikit industri lain berupa industri rotan,
kuliner, dan lukisan kaca.
Di sepanjang jalan utama yang berjarak 1,5 km dari desa Trusmi sampai
Panembahan, saat ini terdapat puluhan showroom batik. Dengan papan nama yang
nampak berjejer menghiasi setiap bangunan di tepi jalan. Munculnya berbagai
showroom ini tidaj terlepas dari tingginya minat masyarakat terutama dari luar
kota terhadap batik Cirebon, mulai dari showroom batik hingga online-shop.
Gambar 2.9 Show Room Batik di Desa Trusmi
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 14 Mei 2015
Selain showroom, batik Trusmi sendiri berhasil menjadi ikon batik koleksi
kain nasional. Terdapat dua golongan batik Trusmi, yaitu pesisiran dan
keratonan. Dari kedua tipe batik tersebut, muncul beberapa desain batik yang
hingga sekarang masih dibuat oleh sebagian masyarakat desa Trusmi.
78
Adapun motif batik yang banyak dibuat oleh para pengarajin di Trusmi,
antara lain: Mega Mendung, Paksi Naga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung,
Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten,
Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, ataupun Simbar Kendo. Motif-
motif tersebut pada dasarnya memilki makna simbolik yang mana motifnya
bersumber dari keraton, sementara maknanya bersumber dari tarekat Syattariyah.
Terkait perkembangan tarekat Syattariyah, di Trusmi saat ini sudah tidak
ada mursyid Syattariyah yang tinggal di Trusmi. Oleh karena itu, penelitian di
Trusmi ini akan lebih dipusatkan di tempat tinggal sep (ketua pengurus makam
Mbah Buyut Trusmi) dan sanggar pembuatan batik, untuk mengaitkan kontribusi
tarekat Syattariyah terhadap motif simbolik dan perkembangan batik Trusmi.
Dengan demikian, dengan menimbang efisiensi jarak dan ketersedian data,
lokasi penelitian ini meliputi: (1) Kel. Lemahwungkuk, Drajat, dan Pegajahan,
yang terletak di lingkungan keraton, Kec. Lemahwungkuk dan Pekalipan; (2)
Pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep sebagai basis tarekat Syattariyah di
Kec. Astanajapura dan Harjamukti; dan (3) Desa Trusmi Wetan di Kec.Tengah
Tani, yang menjadi pusat industri batik di mana motif-motif batik yang memiliki
makna simbolik dari ajaran tarekat. Dengan berpusat di ketiga wilayah penelitian
tersebut, peneliti hendak menganalisis kontribusi tarekat Syattariyah terhadap
perkembangan institusi sosial yang meliputi institusi keraton, pondok pesantren,
dan industri batik.
79
BAB III
TAREKAT SYATTARIYAH DI CIREBON
A. Akar Historis Tarekat Syattariyah
Tarekat Syattariyah pertama kali muncul sekitar abad ke-15 M di India.
Sebagaimana tarekat lainnya __
seperti tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada
Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani (w. 561 H/1166 M), tarekat Rifa‟iyah yang
dinisbatkan kepada Syeikh Ahmad bin Ali Al-Rifa‟iyah (w. 578 H/1182 M),
tarekat Syadzaliyah yang dinisbatkan kepada Syeikh Abu Al-Hasan bin Abdullah
Asy-Syadzili (w. 656 H/1258 M), ataupun tarekat Naqsabandiyah yang
dinisbatkan kepada Syeikh Baha‟ Al-Din An-Naqsyabndi (w. 791 H/ 1389 M)__
penamaan tarekat „Syattariyah‟ dinisbatkan kepada seorang ulama besar dari India
bernama Syeikh Abdullah Asy-Syattari (w.890 H/1485 M) (Fathurrahman,
2004:153). Penamaan tersebut mengikuti tradisi tasawuf men-ta‟dzim-kan
(memuliakan) guru sebagai figur kharismatik yang memiliki silsilah sampai ke
Nabi Muhammad Saw.
Akar historis tarekat Syattariyah berkaitan erat dengan tarekat Isyqiyyah di
Iran dan tarekat Bistamiyah di Turki. Hal itu dikarenakan sanad tarekat
Syattariyah terhubung dengan nama Abu Yazid Al-Isyqi dan Abu Yazid Al-
Bustami yang menjadi sandaran untuk menghubungkan sampai kepada Imam
80
Ja‟far Al-Shadiq, dan akhirnya sampai ke Nabi Muhammad Saw. Tarekat
Isyqiyyah atau Bistamiyah itu seolah mengalami kebangkitannya setelah Syeikh
Abdullah Asy-Syattari mengembangkannya di wilayah India dan menyebutnya
sebagai tarekat Syattariyah (Fathurrahman, 2004:154).
Di India bagian tengah, di sebuah desa bernama Mandu, Syeikh Abdullah
Asy-Syattari mendirikan khanaqah pertama bagi para murid tarekat Syattariyah.
Beliau juga telah menulis kitab berjudul Lata‟iful Ghaibbiyyah tentang prinsip-
prinsip dasar ajaran tarekat Syattariyah, yang disebutnya sebagai jalan alternatif
untuk mencapai tingkat makrifat. Dakwahnya ini dapat lebih memfokuskan pada
misi Islamisasi dengan berjuang meningkatkan moral dan spiritual masyarakat
India yang kebanyakan masih menganut kepercayaan Hindu. Kecenderungan
dakwahnya bersifat akomodatif terhadap budaya lokal dengan menyesuaikan
ajaran Islam dan tradisi masyarakat setempat yang masih dipengaruhi ajaran
Hindu. Sikap akomodatif ini menjadi nilai plus bagi kesuksesan dakwah Syeikh
Abdullah Asy-Syattarri untuk menyebarkan tarekat Syattariyah (Fathurrahman,
2004:155).
Nama-nama ulama pada masa awal kemunculan tarekat Syattariyah, seperti
Syeikh Muhammad A‟la (Qazam Syattari), Syeikh Hafiz Jawnpur, dan Syeikh
Buddhan adalah murid-murid Syeikh Abdullah Asy-Syattari yang berhasil
menjadi ulama terkemuka dan turut menyebarkan serta menyempurnakan ajaran
tarekat Syattariyah. Selain mereka, terdapat nama Imam Qadhi Asy-Syaththari,
Syeikh Hidayat Al-Sarmasti, Syeikh Haji Hudhuri, dan Syeikh Ahmad Gauts yang
81
selanjutnya berperan dalam melebarkan sayap tarekat Syattariyah melalui karya-
karya mereka.
Yang disebutkan terkahir, yaitu Syeikh Ahmad Gauts (w. 970 H/ 1563 M)
telah berperan dalam menyempurnakan ajaran tarekat Syattariyah melalui
sejumlah karangannya, antara lain: Jawahirul Khamsah, Kilid Makhzan, Dama‟ir
Basyair, dan Kanzul Tauhid. Namun hanya kitab Jawahirul Khamsah yang
mampu disosialisasikan kepada ulama Syattariyah generasi berikutnya. Di antara
murid Syeikh Ahmad Gauts ialah Wajih Al-Din Alawi (w. 1080 H/1609 M) yang
tinggal di Ahmadabad, India. Keduanya berperan dalam dakwah tarekat
Syattariyah di India. Setelah kewafatan mereka berdua, pengaruh tarekat
Syattariyah di India pun mulai kendur, dan pada periode berikutnya digantikan
oleh tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah.
Kendati demikian, Syeikh Wajih Al-Din Alawi memiliki seorang murid
bernama Sayyid Sibghatullah bin Ruhullah Jamal Al-Barwaji (w. 1015 H/1606
M). Dalam lindungan kekuasaan pejabat setempat, Sibghatullah mendakwahkan
ajaran Syattariyah di India sebelum ia berangkat haji. Pada tahun 999 H/1591 M,
ia melakukan ibadah haji ke Arab Saudi. Kemudian, Sibghatullah membangun
rumah dan ribat untuk menetap di Madinah seraya turut mendakwahkan ajaran
tarekat Syattariyah di Mekah dan Madinah, dan di sana pula beliau mendapatkan
momentumnya. Sayyid Sibghatullah ternyata telah melahirkan era baru bagi
sejarah tarekat Syattariyah. Beliau mendakwahkan ajaran Syattariyah di tanah
Arab dan Haramayn kepada para ulama setempat melalui kitab Jawahirul Khasah
karangan Syeikh Ahmad Gauts. Murid-muridnya pun berasal dari berbagai
82
kalangan. Di antara penerus tarekat Syattariyah ialah Ahmad Al-Syinawi dan
Ahmad Al-Qusyasyi, yang melanjutkan tongkat estafet tarekat Syattariyah ke
Haramyn (Fathurrahman, 2004:159-160).
Setelah al-Syinawi wafat, Al-Qusyasyi semakin memantapkan dakwah
tarekat Syattariyah di Haramayn. Al-Qusyasyi juga aktif sebagai pengarang
produktif dalam berbagai disiplin keilmuan, seperti tasawuf, hadits, fiqih, dan
tafsir, dan salah satu kitab yang terkenal ialah Al-Simt Al-Majid dalam bidang
tasawuf. Al-Qusyasyi juga mengembangkan ajaran tarekat Syattariyah dengan
mereorientasikan fokus tarekat dari sebelumnya yang bersifat mistis dengan
memadukan antara aspek mistisme dan syari‟at Islam. Oleh karenanya, reorientasi
tersebut telah melahirkan ajaran tarekat Syattariyah yang bersifat „neo-sufisme‟,
yaitu rekonsiliasi (memadukan) antara syariat dan tasawuf, yang mana telah
menjadi kecenderungan pada masa ulama yang terlibat dalam jaringan keilmuan
Haramayn pada abad ke-17 dan 18 (Azra, 2013:136). Fazlur Rahman (dalam
Azra, 2013:125) menjelaskan bahwa istilah neo-sufisme adalah tasawuf yang
telah diperbarui, yang dilucuti dari ciri kandungan ecstatic dan metafisikanya, dan
digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil ortodoksi Islam. Pusat
perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral, yang berbeda dari tasawuf
sebelumnya yang menekankan individu bukan masyarakat.
Pada perkembangan berikutnya, melalui murid-murid yang datang dari
berbagai kalangan, Al-Qusyasyi mentransmisikan ajaran tarekat Syattariyah yang
neo-sufism tersebut ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah Melayu-
Indonesia (Nusantara). Di antara murid-murid Al-Qusyasyi yang paling penting
83
dalam konteks ini ialah Syeikh Ibrahim Al-Kurani (w. 1102 H/1609 M) dan
Syeikh Abdurrauf As-Singkili (w. 1105 H/1693 M) (Azra, 2013:96-97).
Keduanya merupakan ulama yang selanjutnya menjadi jembatan bagi masuknya
ajaran tarekat Syattariyah ke dari Timur Tengah dan India ke tanah Nusantara.
B. Masuknya Tarekat Syattariyah ke Nusantara Sampai ke
Cirebon
Dari berbagai sumber literatur yang ada dikatakan bahwa masuknya tarekat
Syattariyah ke Nusantara (Melayu-Indonesia) pertama kali dibawa oleh Syeikh
Abdurrauf As-Singkil, ulama kenamaan dari Aceh, Sumatera Barat. Terhitung
sejak 1661 M, atau setelah 19 tahun belajar agama Islam di Haramayn kepada
para ulama di sana, beliau kembali dan menyebarkan ajaran tarekat Syattariyah di
kampung halamannya. As-Singkili sendiri bisa jadi merupakan satu-satunya
ulama yang memiliki otoritas untuk menyebarkan tarekat Syattariyah di Nusantara
pada masanya. Hal itu dikarenakan hampir semua silsilah tarekat Syattariyah di
Nusantara bermuara pada dirinya (Azra, 2013:266).
Di Aceh, Syeikh Abdurrauf mendapat respon yang baik dari kalangan
masyarakat maupun kalangan istana karena kedalaman penggetahuannya. Bahkan
beliau pun dipercaya oleh Sultan Safiyatuddin menjadi Qadi Malik Al-Adil istana,
orang yang bertanggung jawab pada masalah sosial-keagamaan saat itu. Dengan
dukungan tersebut, beliau mampu mengaktualisasikan gagasannya dan juga
menjadi penengah bagi konflik pemikiran akibat kontroversi ajaran wahdatul
wujud Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani dengan Nuruddin Ar-Raniri.
84
Situasi inilah yang selanjutnya menjadikan pemikiran Syeikh Abdurrauf menjadi
sangat moderat dan rekonsiliatif dengan selalu memadukan dua kecenderungan
yang bertentangan (Faturrahman, 2004:162). Sikap moderat tersebut pada
gilirannya telah mengukuhkan kharisma As-Singkili sehingga banyaklah
masyarakat yang berguru padanya.
Banyak sudah ulama-ulama besar yang lahir dari zawiyah tempat As-
Singkili mengajar. Di antara murid-murid As-Singkili yang terkemuka ialah
Syeikh Burhanuddin Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, dan Syeikh Abdul Muhyi
Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya merupakan ulama yang nantinya
melanjutkan silsilah tarekat Syattariyah sehingga menyebar luas ke berbagai
wilayah, khususnya di kampung halaman masing-masing. Syeikh Burhanuddin
menjadi khalifah utama bagi semua khalifah tarekat Syattariyah di wilayah
Sumatera Barat pada periode berikutnya. Sementara Syeikh Abdul Muhyi
melanjutkan mata rantai bagi terhubungnya silsilah tarekat Syattariyah di wilayah
Jawa Barat, dan Jawa pada umumnya. Memang banyak murid-murid lainnya dari
As-Singkili sebagaimana dicatat oleh Azyumardi Azra (2013:267), seperti: Syeikh
Abdul Malik bin Abdullah (Tok Pulau Manis) dari Trengganu, Tengku Dawud
Al-Fansuri, dan Syeikh Daim bin Syeikh Abdullah Al-Malik. Tanpa mengabaikan
kapabalitas dan kharisma para murid As-Singkili yang lain, Syeikh Burhanuddin
dan Syeikh Abdul Muhyi merupakan dua murid utama yang mendapatkan otoritas
(ijazah) untuk meneruskan silsilah tarekat Syattariyah di wilayah tempat asalnya.
Tommy Christomy (2001:65-66) mencatat pula terdapat sembilan mursyid
tarekat yang berpengaruh terhadap silsilah Syattariyah sebelum Syeikh Abdul
85
Muhyi, yaitu: Syeikh Abdullah Asy-Syattari, Syeikh Hidayatullah Sarmat,
Muhammad Ghauts, Syeikh Wajhuddin, Hamzah Fansuri, Samsuddin Pasai,
Nurruddin Ar-Raniri, dan Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Berdasarkan keterangan
di atas, maka silsilah masuknya ajaran tarekat Syattariyah ke Jawa Barat dibawa
oleh Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan yang merupakan murid langsung dari
Syeikh Abdurrauf. Pengikut tarekat Syattariyah di Jawa Barat saat ini sudah
tersebar luas, antara lain ke Tasikmalaya, Purwakarata, Ciamis, Kuningan, dan
Cirebon.
Namun demikian, berdasarkan temuan di lapangan dan literatur yang ada,
terdapat perbedaan tentang jalur masuk Tarekat Syattariyah ke Cirebon,
khususnya di keraton: (1) Jalur Syeikh Abdul Muhyi; dan (2) Jalur Syeikh Syarif
Hidayatullah. Jalur yang pertama, yaitu jalur Syeikh Abdul Muhyi bersambung
sampai kepada Syeikh Abdurrauf As-Singkili, Syeikh Ahmad Gauts, Syeikh
Ahmad Al-Qusyasyi, dan Syeikh Abdullah Asy-Syattari. Jalur ini didasarkan atas
hasil kajian historis filologis dari penelitian Tarekat Syattariyah di Minangkabau
(Oman Faturrahman, 2004). Hasil kajian tersebut menyatakan bahwa Tarekat
Syattariyah masuk ke Cirebon melalui jalur Syeikh Abdul Muhyi yang diteruskan
oleh murid-muridnya yang berasal dari Cirebon sampai kepada Raja Ratu
Fatimah, Keraton Kanoman.
Temuan dari Oman Faturrahman (2004), yang merujuk pada silsilah dari
Rama Guru R. Bambang Irianto dalam kitab Ratu Raja Fatimah, yang disebut
Oman sebagai Naskah Syattariyah versi Cirebon, silsilahnya sebagai berikut:
86
Nabi Muhammad Saw, Ali bin Abi Thalib r.a, Husein bin Ali r.a, Imam Zainul
Abidin, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ja‟far Shodiq, Syeikh Abu Yazid Al-
Busthomi, Syeikh Muhammad Al-Maghribi, Syeikh Al-„Arabi Yazid Al-Isyqi, Syeikh
Abi Al-Muzaffar Al-Tusi, Al-Qutb bin Hasan Al-Hirqani, Syeikh Hadaqili Al-
Mawiri, Syeikh Muhammad „Ashiq, Sayyid Muhammad „Arif, Syeikh „Abdullah
Asy-Syattari, Imam Qadi Asy-Syattari, Syeikh Hidayatullah Al-Sarmasti, Syeikh
Haji Huduri, Syeikh Muhammad Gauts Al-Hindi, Sayyid Sibghatullah, Syeikh
Ahmad As-Shinawi, Syeikh Ahmad Al-Qusyasyi, Syeikh Abdurrauf bin Ali As-
Singkili, Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, Haji Abdullah Karang Saparwadi, Haji
M. Hasanuddin Karang Saparwadi, Kyai Muhammad Soleh Cirebon, Kyai
Muhammad Arjain Cirebon, Ratu Raja Fatimah Kanoman Cirebon.
Adapun jalur yang kedua, yaitu jalur Syeikh Syarif Hidayatullah. Jalur ini
merujuk pada data-data hasil temuan peneliti di lapangan, baik dari hasil
wawancara maupun teks-teks sanad milik mursyid yang peneliti temui. Peneliti
tidak menemukan sama-sekali mursyid tarekat Syattariyah yang sanadnya sampai
ke Syeikh Abdul Muhyi, kecuali sanad tarekat dari Rama Guru R. Bambang
Iriyanto. Namun sanad terakhir dari beliau merujuk kepada Ratu Raja Fatimah
Kanoman, yang notabene adalah seorang perempuan. Sanad ini dirasa kurang
kuat, karena dalam dunia tarekat seorang mursyid tidak boleh perempuan. Hal itu
merujuk pada syarat dari seorang mursyid yang harus laki-laki, dan hanya
mursyid laki-laki yang boleh membai‟at. Mursyid laki-laki dapat membai‟at
perempuan maupun laki-laki, tetapi perempuan tidak boleh menjadi mursyid.
Adapun jalur yang kedua, yaitu Jalur Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) didasarkan atas hasil wawancara dengan Rama Guru Pangeran
Muhammad Nurbuwat Purbaningrat, dan lembaran sanad milik beliau. Sanad
Rama Guru PM. Nurbuwat Purbaningrat ini menyatakan bahwa jalur masuk
Tarekat Syattariyah ke Cirebon melalui jalur Syeikh Syarif Hidayatullah yang
sampai kepada Pangeran Muhammad Shifuyuddin Kanoman, bukan kepada Ratu
87
Raja Fatimah, hingga kepada PM Nurbuwat Purbaningrat. Berikut adalah silsilah
sanad ketarekatan Rama Guru PM Nurbuwat Purbaningrat:
Nabi Muhammad Saw., Ali bin Abi Thalib, Husein bin Ali, Sayyid Muhammad Al-
Baqir, Sayyid Ja‟far Shodiq, Syeikh Abu Yazid Al-Busthomi, Syeikh Maghribi,
Syeikh Arabi, Syeikh Mudhloffar, Syeikh Abu Hanail Al-Harqani, Syeikh Khad
Koniyi, Syeikh Muhammad Asyiq, Syeikh Muhammad Arif, Syeikh Abdullah As-
Syattari, Syeikh Imam Qadli Syattari, Syeikh Hidayatullah, Syeikh Kutubi Modari
Haji, Syeikh Ahmad Ghauts, Syeikh Qudratul Ulama, Syeikh Sultonul „Arifin,
Syeikh Ahmad bin Quraisyi Asy-Syanawi, Syeikh „Alim Ar-Rabbaniy, Syeikh Khotib
Qubbatul Islam, Syeikh Abdul Wahab, Syeikh Imam Tobri Al-Makki, Syeikh
Abdullah bin Abdul Qohar, Syeikh Haji Muhammad bin Muktasim, Syeikh Imam
Qodli Hidayat, Pangeran Syeikh Muhammad Shofiyyudin Kanoman, Pangeran
Adikusuma Adiningrat Kaprabonan, Pangeran M. Appiyah Adikusuma
Kaprabonan, Pangeran M. Arifudin Purbaningrat, Pangeran M. Nurbuwat
Purbaningrat.
Dari silsilah (sanad) ketarekatan Rama Guru P.M. Nurbuwat Purbaningrat
tidak ditemukan silsilah yang sampai kepada Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan,
ataupun Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Memang silsilahnya sampai kepada
Syeikh Abdullah Asy-Syathari, Syeikh Ahmad Ghauts, ataupun Syeikh Ahmad
Asy-Syanawi, namun jalur tersebut melalui jalur Syeikh Hidayatullah sampai
kepada Pangeran M. Shofiyyudin Kanoman, dan Pangeran M. Nurbuwat
Purbaningrat. Hal ini didukung bahwa tarekat Syattariyah di Cirebon memang
disebarkan oleh Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) karena Islam di
Jawa Barat disebarkan melalui pendekatan sufistik yang akulturatif dengan
budaya dan tradisi masyarakat. Ini senada dengan ciri khas tarekat Syattariyah
yang neo-sufistik, yang menyeimbangkan antara aspek tarekat dan syari‟at secara
seimbang. Belum lagi, tarekat Syattariyah memang sangat kental dengan
kehidupan keraton dan budaya masyarakat Cirebon yang terlihat dalam berbagai
upacara keagamaan dan tradisi masyarakat.
88
Menurut Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat,
mursyid di Pengguron Pegajahan:
“Nasab tarekat Syattariyah itu kalau di Cirebon dari Sunan Gunung Jati. Beliau
menguasai banyak tarekat, mungkin 12 aliran tarekat, tapi yang diwariskan
kepada keluarga dan masyarakat itu hanya tarekat Syattariyah karena mungkin
lebih mudah diamalkan. Jadi, nasabnyanya itu dari beliau”.
Maka bila dibandingkan antara jalur Syeikh Abdul Muhyi dan Syeikh Syarif
Hidayatullah, memang keduanya memiliki perbedaan yang cukup kontras. Jalur
pertama sampai kepada Raja Ratu Fatimah Kanoman, sementara jalur kedua
sampai kepada PM. Shofiyuddin Kanoman. Memang pada akhirnya kedua jalur
tersebut sampai kepada jalur keraton Kanoman, namun jalur kedua dirasa lebih
kuat karena jalur ini berasal dari trah laki-laki, yang mana seorang mursyid tarekat
memang haruslah seorang laki-laki untuk membai‟at. Selain itu, keterkaitan antara
tarekat Syattariyah serta penyebaran Islam di Cirebon dan Jawa Barat masa wali
songo (abad ke-16) sangat erat dengan sosok Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini lebih diprioritaskan pada Jalur Sunan Gunung Jati karena
sanadnya mengikuti jalur laki-laki yang keabsahannya diakui dari segi tarekat.
Dengan demikian, jalur masuknya tarekat Syattariyah ke keraton Cirebon
dapat dilihat melalui dua jalur dalam naskah yang berbeda, yaitu jalur Syeikh
Abdul Muhyi dan Jalur Sunan Gunung Jati. Namun dapat disimpulkan bahwa
jalur yang pertama (Ratu Raja Fatimah) tidak memenuhi kriteria karena beliau
adalah perempuan dan tidak berwenang untuk membai‟at, sehingga jalur yang
kedua, yang sampai melalui trah laki-laki (PM. Shofiyuddin dan PM Nurbuwat
Purbaningrat) memang lebih memenuhi syarat. Ditambah dari jalur yang kedua
89
ajarannya diwariskan oleh Syeikh Syarif Hidayatullah yang notabene adalah
penyebar Islam dan tarekat Syattariyah di seluruh tanah Jawa Barat. Maka
perkembangan tarekat di Cirebon selanjutnya akan dijelaskan melalui jalur Sunan
Gunung Jati (Syeikh Syarif Hidayatullah).
C. Pemetaan Tarekat Syattariyah di Cirebon
Berdasarkan hasil observasi peneliti, dari jalur Sunan Gunung Jati sendiri
terdapat enam mursyid yang masih eksis memimpin pengguron hingga saat ini.
Keenam mursyid tersebut memiliki garis sanad tarekat dan keturunan (trah) laki-
laki sampai kepada Sunan Gunung Jati dan keturunan Kaprabonan, dan hanya
seorang mursyid yang mengikuti jalur Syeikh Abdul Muhyi yang keturunannya
kepada Kanoman.
Di wilayah Kesultanan Cirebon sendiri, tepatnya di daerah Kaprabonan dan
sekitarnya, satu dekade silam terdapat salah seorang mursyid tarekat Syattariyah
yang cukup populer, yaitu mendiang P.S. Sulediningrat, pengarang buku sejarah
Cirebon berjudul “Sejarah Cirebon” dan pendiri Pengguron Krapyak. Beliau
merupakan keturunan Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunnan Gunung Djati) dari
jalur Kaprabonan. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi seperti
MUI, sebagai ketua Tim Situs Wil.III Cirebon, dan sebagai mursyid tarekat.
Setelah beliau wafat pengguron tersebut diteruskan oleh anaknya, Rama Guru
Pangeran Apiyah Sulendraningrat, namun pengguron ini sekarang lebih bersifat
tertutup, dan berkebalikan dengan masa Rama Guru PS. Sulendraningrat
sebelumnya.
90
Selain Pengguron Krapyak, terdapat enam pengguron lagi berafiliasi dengan
keraton. Di antara pengguron-pengguron tersebut, Pengguron Tarekat Agama
Islam Pegajahan, pimpinan Rama Guru Pangeran Nurbuwat Purbaningrat,
merupakan yang paling aktif dalam hal kegiatan tarekat. Pengguron ini juga
dituakan (sepuh) oleh pengguron-pengguron lainnya di Cirebon, karena setelah
wafatnya, Rama Guru PS. Sulendraningrat, Rama Guru PM. Nurbuwat
Purbaningrat yang dituakan.
Tabel 3.1 Jalur Tarekat dan Keturunan Pengguron Tarekat Syattariyah di
Cirebon
No Nama
Pengguron
Pimpinan Jalur Tarekat Keturunan
1. Pengguron
Tarekat Agama
Islam
Rama guru
Pangeran
Muhammad
Nurbuwat
Purbaningrat
Jalur Sunan
Gunung Jati
Kaprabonan
2. Pengguron
Krapyak
Rama Guru
Pangeran
Muhammad
Afiyah
Jalur Sunan
Gunung Jati
Kaprabonan
3. Pengguron
Lam Alif
Rama Guru Raden
Bambang Iriyanto
Jalur Syeikh
Abdul Muhyi
Kanoman
4. Pengguron
Rama Guru
Pangeran
Muhammad
Hilman
Rama guru
Pangeran
Muhammad
Hilman
Jalur Sunan
Gunung Jati
Kaprabonan
5. Pengguron
Rama Guru
Pangeran Yudi
Kusumaningrat
Rama guru
Pangeran Yudi
Kusumaningrat
Jalur Sunan
Gunung Jati
Kaprabonan
6. Pengguron
Rama Guru
Rama Guru
Pangeran Yunan
Jalur Sunan
Gunung Jati
Kaprabonan
91
Pangeran
Yunan
Kaprabonan
Kaprabonan
7. Pengguron
Tarekat Islam
Rama Guru
Pangeran Harman
Raja Kaprabon
Jalur Sunan
Gunung Jati
Kaprabonan
Sumber: Persebaran tarekat ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Rama Guru Pangeran
Muh. Nurbuwat P., Rama Guru Rd.Bambang Iriyanto dan Rama Guru Pangeran
Harman Raja Kaprabon pada Mei 2015.
Mayoritas dari pengguron-pengguron tersebut memiliki jalur keturunan
Kaprabonan seperti Pengguron Tarekat Agama Islam, Krapyak, dan Tarekat
Islam. Hanya satu yang berasal dari jalur Kanoman, yaitu Pengguron Lam Alif,
pimpinan Rama Guru R. Bambang Iriyanto. Dari keempat keraton yang ada pun
tidak ditemukan keturunan langsung dari Keraton Kasepuhan ataupun
Kacirebonan. Walau demikian, muara dari keempat keraton ini pun dapat ditarik
benang merah yang akan berujung pada Sunan Gunung Jati yang merupakan
leluhur keluarga keraton Cirebon.
Adapun keenam pengguron yang merupakan keturunan Kaprabonan,
memang pada awalnya mengkhususkan diri untuk memisahkan diri dari keraton
Kanoman untuk fokus pada urusan ketarekatan dan keagamaan, dibanding urusan
politik-pemerintahan. Saat ini pun lokasi mereka berdekatan dengan Kaprabonan,
namun tidak ada yang tinggal di Kaprabonan itu sendiri. Faktor politis yang
ditunjukan oleh para keluarga Kaprabonan yang menggeser fungsi pengguron
menjadi keraton menjadi faktor utama mengapa sekarang tidak ada lagi Rama
Guru (mursyid) yang tinggal di Kaprabonan. Hal ini pun menuai pro-kontra dari
keluarga Kaprabonan sendiri. Hal itu dikarenakan, mengubah pengguron menjadi
92
keraton berlawanan dengan cita-cita para leluhur seperti Pangeran Raja Adipati
Kaprabon I yang khusus mendirikan Kaprabonan agar terhindar dari intervensi
politik, dan lebih beriorientasi terhadap syi‟ar keagamaan sebagaimana ajaran
Sunan Gunung Jati terdahulu.
Selain di lingkungan keraton, perkembangan Tarekat Syattariyah di
Cirebon juga meluas ke wilayah pesantren di pinggiran kota Cirebon. Yang
terkenal sebagai pelopor berdirinya pesantren-pesantren sepuh di Cirebon ini ialah
Mbah Muqoyyim, penghulu keraton yang memelopori berdirinya pesantren
Buntet sampai ke Benda Kerep. Berdirinya Pesantren Buntet hingga saat ini telah
menjadi salah satu basis sentral tarekat Syattariyah di Cirebon selain keraton.
Namun demikian, pada masa Mbah Muqoyim tarekat Syattariyah belum
berkembang pesat. Walaupun Mbah Muqoyim merupakan mufti keraton yang
juga penganut tarekat Syattariyah, beliau tidak menyebarkan tarekat Syattariyah
secara masif dan terbuka. Adapun dominasi tarekat Syattariyah di Pesantren
Buntet mencapai puncaknya pada masa KH. Abbas Abdul Jamil (1883-1946 H)
yaitu pada masa kolonial, atau masa pra-kemerdekaan. Memang pada saat itu,
tarekat Syattariyah tengah berkembang pesat di Buntet dan sekitarnya.
Setelah masa kepemimpinan KH. Abbas Abdul Jamil, perkembangan
tarekat di Buntet mulai beralih kepada Tarekat Tijaniyah yang dibawa oleh KH.
Annas bin KH. Abbas Abdul Jamil. Beliau mengambil sanad ketarekatan dari
Syeikh Ali Ath-Thayyib ketika beribadah haji ke Mekah. Sepulang dari haji,
beliau pun telah berpredikat sebagai muqaddam (mursyid), dan menyebarkan
93
Tarekat Tijaniyah di Buntet dan sekitarnya. Menurut KH. Anas Azas, muqaddam
Tarekat Tijaniyah di Buntet saat ini: “Setelah Kyai Annas naik haji, beliau
mengambil tarekat Tijani. Nah setelah pulang haji, yang pertama menyebarkan
tarekat Tijani, bukan Cuma di Buntet tapi seluruh Indonesia, yaitu Kyai Annas.
Dengan kata lain, peralihan dari tarekat Syattariyah ke Tijaniyah di Buntet
terjadi sekitar 1920-an pada masa KH. Abdullah Abbas. Namun, perkembangan
tarekat Tijaniyah mulai pesat sekitar tahun 1950an (sepeninggal KH. Abbas
Abdul Jamil). Saat ini pun dominasi tarekat Tijaniyah begitu kental, yang terlihat
dari berbagai ritual sosial-keagamaan, seperti tahlilan, muludan, dan haul yang
bercorak Tijaniyah dalam hal dzikir dan pemaknaan. KH. Anas Azas juga
mengatakan: “Peningkatan tarekat Syattariyah ke Tijaniyah yang ada di Buntet
Pesantren itu lebih besar. Karena pembacaan amalan tarekat Tijaniyah
cenderung lebih mudah”. Ya memang, amalan (wiridan) tarekat Tijaniyah
terbilang lebih ringan karena hanya dibaca dua waktu saja, yaitu setelah shalat
subuh dan ashar, sedangkan tarekat Syattariyah harus dibaca setiap sehabis shalat.
Jadi, terdapat dua faktor yang melatarbelakangi peralihan Tarekat Syattariyah ke
Tijaniyah saat ini. Pertama, karena faktor difusi tarekat oleh KH. Annas bin KH.
Abdul Jamil; dan Kedua, karena faktor kemudahan dalam amalan tarekat
Tijaniyah. Oleh karena itu, mayoritas penganut tarekat di Buntet saat ini telah
didominasi Tarekat Tijaniyah, sedangkan Tarekat Syattariyah bersifat minoritas.
Adapun mursyid Tarekat Syattariyah di Buntet saat ini hanya terdapat dua
orang, yaitu Kyai Ade dan Kyai Syafei, namun Kyai Syefei lebih bersifat tertutup.
Hanya satu yang bersifat terbuka dan menyambut dengan hangat ketika peneliti
94
datang ke rumahnya, yaitu KH. Ade M. Nasihul Umam, atau biasa dipanggil Kyai
Babas atau Kyai Ade oleh para santri dan kerabatnya. Beliau merupakan mursyid
tarekat Syattariyah di Buntet. Selain sebagai mursyid, beliau juga dikenal sebagai
kepala sekolah Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putera di Buntet.
Beliau juga menjadi salah satu penerus tarekat Syattariyah di Buntet setelah
tenggelam oleh dominasi Tijaniyah. Tentang sejarah Tarekat Syattariyah di
Buntet, Kyai Ade mengatakan:
Memang keberadaan thoriqoh Syattariyah di Buntet lebih tua, karena lebih dulu
daripada Tijaniyah. Jadi setelah thoriqoh Syattariyah itu sudah mencapai 3
generasi, mulai dari Mbah Kyai Kriyan, Kyai Abdul Jamil, lalu Kyai Abbas, nah
Kyai Annas adiknya Kyai Abbas membawa thoriqoh Tijani.
Jadi memang, selain KH. Abdul Jamil, terdapat nama Mbah Kyai Kriyan,
guru dari KH. Abdul Jamil. Mengenai hal ini, Kyai Ade menambahkan:
Perkembangan tarekat Syattariyah di Buntet itu, pertama dimulai dari Mbah
Kyai Kriyan. Beliau mendapatkan sanad tarekat Syattariyah dari Kyai Asy‟ari,
yaitu dari Kaliwungu. Kemudian diteruskan kepada salah satu muridnya, yang
ada di Benda yaitu Kyai Soleh. Kyai Soleh punya adik namanya Kyai Abdul
Jamil. Jadi pertama kali memberikan mandat itu, Kyai Kriyan kepada Kyai
Soleh. Kyai Abdul Jamil masih belum mendapatkan mandat. Padahal Kyai Abdul
Jamil juga menantu beliau, karena Kyai Soleh sudah nampak ketasawufannya.
Berdasarkan keterangan di atas, sanad ketarekatan di tarekat Syattariyah
itu mengikuti jalur yang berbeda dengan jalur yang ada di keraton. Sanad
ketarekatan di Buntet saat ini bersambung kepada KH. Hasyim Asy‟ari di
Kaliwungu (lihat tabel 3.2). Kemudian dibawa oleh Kyai Kriyan ke Buntet dan
diteruskan oleh muridnya, yaitu Kyai Soleh yang merupakan kakak dari Kyai
Abdul Jamil. Kyai Abdul Jamil pun mengambil sanad tarekat kepada Kyai Soleh.
Namun, karena tidak ingin terpengaruh oleh modernasisasi (eksklusif), akhirnya
95
Kyai Soleh memilih meneruskan pengajaran dan penyebaran tarekat Syattariyah
dengan mendirikan Pesantren Benda Kerep. Sementara Kyai Abdul Jamil
memimpin pesantren Buntet dan menyebarkan tarekat Syattariyah mengikuti arus
perkembangan zaman dan lebih bersifat terbuka (inklusif).
Tabel 3.2 Silsilah Tarekat Syattariyah di Pondok Pesantren Buntet
1 Nabi Muhammad Saw.
2 Ali bin Abi Thalib
3 Husein
4 Zainal Abidin
5 Al-Baqir
6 Ja‟far Shadiq
7 Abi Yazid Al-Busthami
8 Muhammad Maghribi
9 Abu Yazid Al-Ashaq
10 Abi Mudaffar Turki Al-Tusi
11 Hasan Khirqani
12 Hadaqly
13 Muhamad „Ashiq
14 „Arif
15 Abdullah Asy-Syaththari
16 Qadhi Syaththari
17 Hidayatillah Sarmat
18 Hudari
19 Al-Ghauts
20 Sibghatullah
21 Ahmad Shanani (Al-Syinwani)
22 Ahmad Qasyasyi (Al-Qusyasyi)
23 Malla Ibrahim Al-Mu‟alla (Ibrahim Al-Kurani)
24 Thahir bin Ibrahim Al-Kurani
25 Ibrahim
26 Thahir Madani
27 Muhammad Sayid Madani
28 KH. Hasyim Asy‟ari
29 Muhammad Anwaruddin Kriyani (Ki Buyut Kriyan)
30 Kyai Soleh Zamzami (Benda Kerep)
31 KH. Abdul Jamil (Buntet)
32 KH. Abbas (Buntet)
33 KH. Mustahdi Abbas (Buntet)
34 KH. Abdullah Abbas (Buntet)
96
*Sumber: diadopsi dari Muhaimin AG (1997). “Pesantren and Tarekat in the
Modern Era” dalam Studia Islamika, vol.4, No.1, h.8-9
Setelah Kyai Soleh mendirikan Pesantren Benda Kerep, Tarekat
Syattariyah mulai berkembang di desa Benda. Kebanyakan santri dan pengikut
tarekat Syattariyah di sana adalah masyarakat Benda dan sekitarnya sehingga
sekarang mayoritas masyarakat desa adalah penganut tarekat Syattariyah. Setelah
Kyai Soleh wafat sekitar tahun 1940-an, tarekat Syattariyah diteruskan oleh anak-
cucu keturunannya. Saat ini mursyid tarekat Syattariyah di Pesantren Benda
Kerep ialah KH. Muhammad Hasan. Beliau merupakan pimpinan atau sesepuh
Desa Benda, pengajar pesantren, dan guru/mursyid dari Kyai Babas (Kyai Ade) di
Buntet. Saat peneliti singgah di rumahnya, sikap Kyai Hasan awalnya agak
selektif terhadap penelitian atau riset ilmiah, namun perlahan dengan menjelaskan
maksud peneliti secara baik-baik, beliau semakin terbuka dan menyambut peneliti
dengan ramah-tamah. Peneliti diizinkan untuk tinggal dan mewawancara beliau,
dan beliau pun bersedia memperlihatkan kitab-kitab rujukan tarekat Syattariyah
beserta sanad ketarekatan beliau yang bersambung kepada Kyai Kriyan.
Menurut Kyai Babas, murid dari Kyai Hasan:
Kyai Soleh menyebarkan thoriqohnya di Pesantren Benda, dan kehidupan sehari-
harinya itu kehidupan thoriqoh. Masyarakatnya juga berkehidupan thoriqoh,
dari mulai cara berpakaiannya, cara makannya, dan segala kehidupan sehari-
harinya diwarnai aspek thoriqoh.
Senada dengan pernyataan Kyai Babas di atas, menurut pengamatan
peneliti, memang ajaran tersebut telah meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat Benda. Mereka masih mengamalkan ajaran Islam yang tradisionalis
dan tidak terpengaruh oleh perkembangan dunia luar. Hubungan antara kaum laki-
97
laki dan perempuan dijaga ketat sedemikian rupa sebagaimana umumnya tradisi di
pesantren. Tradisi tahlilan pun dilaksanakan sebagai media ibadah dan silaturahmi
antar warga. Dari segi pakaian, kebiasaan “sarungan” khas kaum santri dengan
menggunakan kain sarung dan peci menjadi pakaian khas masyarakat Benda
Kerep. Sehari-hari mereka ada yang bekerja sebagai petani, pedagang, pengajar,
dan sebagainya. Walaupun sebagai penganut tarekat, mereka tidak bersifat acuh
dalam mencari nafkah atau zuhud yang berlebihan sehingga menafikan
kemodernan. Salah satu pengaruh ajaran tarekat terhadap masyarakat desa Benda,
ialah sikap selektif terhadap pengaruh budaya luar. Masyarakat Benda tidak
menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan adzan shalat berjamaah,
dan sebagai gantinya bedug menjadi alat pengingat waktu shalat. Selain itu
mereka juga tidak menggunakan radio atau televisi karena tidak ingin terpengaruh
oleh tayangan yang bersifat “bebas” dari kemodernan budaya negatif di perkotaan.
Namun demikian, masyarakat pun masih mau menerima handphone sebagai alat
komunikasi, dan tidak lebih. Cara hidup sederhana, dan selektif terhadap
kemodernan menjadi ciri khas masyarakat Benda yang banyak dipengaruhi ajaran
tarekat Syattariyah.
Jadi bila dibandingkan, perkembangan tarekat Syattariyah di Buntet saat
ini telah didominasi tarekat Tijaniyah, sementara perkembangan di Benda Kerep
masih dominasi Syattariyah yang begitu kental. Kedua pesantren klasik di
Cirebon ini telah merepresentasikan suatu kepaduan antara tradisi pesantren dan
tarekat sebagai suatu keutuhan. Selain itu, dari penelusuran tentang sanad tarekat
Syattariyah di kedua pesantren tersebut, terdapat jalur ketiga, yaitu jalur Kyai
98
Kriyan, yang bersambung kepada KH. Hasyim Asy‟ari. Jalur Kyai Kriyan ini
menjadi temuan baru tentang jalur masuk tarekat Syattariyah ke Cirebon, yaitu
melalui jalur: Syeikh Abdul Muhyi, Sunan Gunung Jati, dan Mbah Kyai Kriyan.
Dengan demikian, berdasarkan pemetaan tarekat Syattariyah di Cirebon,
dapat ditarik beberapa hal berkaitan dengan sanad dan persebaran tarekat
Syattariyah di Cirebon, antara lain: (i) tarekat Syattariyah di Cirebon tidak hanya
berkembang di lingkungan keraton, tetapi juga di pesantren-pesantren klasik di
pinggiran kota Cirebon, seperti pesantren Buntet dan Benda Kerep; (ii) jalur
ketarekatan tarekat Syattariyah di lingkungan keraton Cirebon berkembang
melalui jalur Syeikh Abdul Muhyi dan jalur Sunan Gunung Jati; dan (iii) jalur
ketarekatan di pesantren Buntet dan Benda Kerep berkembang melalui jalur Mbah
Kyai Kriyan.
C. Ajaran-ajaran Tarekat Syattariyah
Dalam dunia tarekat, khususnya tarekat Syattariyah terdapat suatu proses
untuk masuk ke dalam kelompok tarekat, yaitu bai‟at dan talqin. Selain itu, dalam
tarekat Syattariyah memiliki ajaran-ajaran khusus yang berkaitan dengan amalan
(wiridan), pemahaman, dan filosofi terhadap realitas kehidupan. Berikut adalah
berbagai ajaran khas dari tarekat Syattariyah.
1. Bai’at dan Talqin
Menurut Al-Qusyasyi, (dalam Sri Mulyati dkk., 2011:174), gerbang pertama
bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat ialah bai‟at dan talqin. Talqin
99
adalah hal yang terlebih dulu dilakukan sebelum seseorang dibai‟at menjadi
anggota tarekat. Untuk menjadi anggota Tarekat Syattariyah, keduanya
merupakan syarat utama. Orang yang boleh memberikan talqin adalah
mursyid atau orang yang telah mendapatkan ijazah (legalitas) yang sah
untuk memberikan atau mewariskan wirid dan ajaran Syattariyah. Al-
Qusyasyi juga menjelaskan bahwa di antara tata cara talqin, yaitu calon
murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh
syeikhnya selama tiga malam dalam seadaan suci (berwudhu). Setiap malam
ia harus melakukan shalat sunat sebanyak enam rakaat dengan tiga kali
salam. Rinciannya ialah sebagai berikut:
a. Pada shalat dua rakaat pertama, setelah surah al-fatihah, membaca
surah al-qadr enam kali kemudian pada rakaat kedua setelah surah al-
fatihah membaca surat al-qadr dua kali. Pahala shalat tersebut
dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw. seraya mengharapkan ridho
Allah Swt.
b. Kemudian pada shalat dua rakaat kedua, rakaat pertama membaca surah
al-fatihah dan diteruskan surah al-kafirun lima kali, dan pada rakaat
kedua setelah surah al-fatihah membaca surah al-kafirun tiga kali.
Pahala shalat tersebut dihadahkan untuk arwah para nabi, keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya.
c. Pada dua rakaat terakhir, rakaat pertama membaca surah al-fatihah, dan
diteruskan membaca surah al-ikhlas empat kali, kemudian pada rakaat
kedua membaca surah al-fatihah dan diteruskan surah al-ikhlas dua
100
kali. Pahala dari shalat ini dihadiahkan untuk arwah para guru tarekat,
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya.
Rangkaian shalat sunat keenam rakaat tersebut kemudian diakhiri dengan
membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. sebanyak sepuluh kali.
Setelah menjalani talqin, kemudian barulah dilakukan bai‟at. Menurut Al-
Qusyasyi (dalam Sri Mulyati dkk., 2011:175), bai‟at merupakan ungkapan
kesetiaan dan penyerahan diri seorang murid secara khusus kepada
syeikhnya, dan secara umum kepada organisasi tarekat yang dimasukinya.
Konsekuensinya, seorang murid yang telah mengikrarkan diri masuk ke
dalam suatu kelompok tarekat tidak diperbolehkan untuk keluar dari ikatan
ketarekatan tersebut.
Walaupun secara khusus tata-cara bai‟at antar satu tarekat dengan tarekat
lain seringkali berbeda, namun prinsipnya secara umum sama. Terdapat tiga
hal yang harus dilakukan dalam proses bai‟at:
a. Talqin al-uikr (mengulang-ngulang dzikir tertentu), yaitu mengulang-
ulang dzikir laa ilaaha illa Allah;
b. Akhu al-ahad (mengambil sumpah), yaitu pengambilan sumpah dari
murid terhadap gurunya, yang pada hakikatnya si murid bersumpah
kepada Allah. Untuk rumusan kalimat bai‟ah berbeda-beda antar satu
guru dengan guru lainnya. Namun demikian, terdapat satu ayat khusus
yang tidak terpisahkan dalam pembacaan lafal bai‟ah (ayat al-
mubaya‟ah), yaitu Q.S. Al-Fath (10):
101
ي فىق أيديهم فمه إن ٱلذيه يبايعىوك إوما يبايعىن ٱلل د ٱلل
هد عليه ٱلل وكث فئوما يىكث على وفسهۦ ومه أوفى بما ع
ا فسيؤتيه أجرا عظيم
Artinya:
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya
akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang
siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya
pahala yang besar”.
c. Libsul Khirqah (mengenakan jubah), yaitu di mana syeikh atau mursyid
mengenakan jubah kepada murid yang baru saja mengucapkan ikrar
bai‟at sebagai tanda masuknya sang murid ke dalam organisasi tarekat.
Dengan demikian, melalui proses bai‟at tersebut dapat terjalin hubungan
yang tidak pernah terputus antara murid dan mursyidnya, dan meyakini
bahwa mursyidnya adalah wakil Nabi, bahkan mursyid menjadi jembatan
antara hamba dan Tuhannya.
2. Kewajiban dan Larangan atas Murid
Setelah melalui proses bai‟at dan mengucapkan sumpah setia, sang murid
dibebankan segenap kewajiban dan arahan dari sang mursyid yang harus
dijalankan dan dipatuhi. Kewajiban-kewajiban murid tarekat Syattariyah
tersebut, antara lain (Masyhuri, 2011:295):
102
a. Harus menjaga syari‟at,
b. Harus menjaga shalat lima waktu berjama‟ah bila mungkin,
c. Harus mencintai Syeikh Abdullah Asy-Syathari,
d. Harus menghormati siapa saja yang ada hubungannya dengan Syeikh
Abdullah Asy-Syathari,
e. Harus menghormati semua wali Allah Swt. dan semua tarekat,
f. Harus mantap pada tarekatnya dan tidak boleh ragu-ragu,
g. Harus selamat dari mencela tarekat Syattariyah,
h. Harus berbuat baik kepada orang tua,
i. Harus menjauhi orang yang mencela tarekat Syattariyah,
j. Harus mengamalkan wirid-wirid (aurad) tarekat Syattariyah sampai
akhir hayat.
Sementara larangan-larangan bagi seorang murid Syattariyah antara lain
(Masyhuri, 2011:295-296):
a. Mencaci, membenci, dan memusuhi Syeikh Abdullah Asy-Syathari.
b. Meremehkan wirid tarekat Syattariyah.
c. Memutuskan hubungan dengan mahluk tanpa ada izin syara‟, terutama
dengan sesama anggota tarekat Syattariyah.
d. Merasa aman dari murka Allah.
3. Dzikir/Wirid
Setelah mengetahui kewajiban dan larangan sebagai murid Syattariyah,
diharuskan untuk membaca dzikir/wirid dari tarekat Syattariyah. Adapun
dzikir tersebut dikenal tujuh macam dzikir yang disesuaikan dengan tujuh
103
macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir tersebut ialah sebagai
berikut (Masyhuri, 2011:279):
a. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri
menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan
nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan
illalallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-
kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawamah.
b. Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih
mengeraskan lafal nafi (laa ilaha)-nya, ketimbang lafal itsbat (illallah)-
nya.
c. Dzikir Itsbat Faqat, yaitu dzikir dengan lafal illallah, illallah, illallah,
yang dihujamkan ke dalam sanubari.
d. Dzikir Ismu Dzat, yaitu dzikir dengan lafal Allah, Allah, Allah yang
dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang
menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
e. Dikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah Hu, Allah Hu. Dzikir Allah diambil
dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam Baitul Makmur (otak,
markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari
oleh cahaya Ilahi.
f. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu Allah, Hu Allah. Dzikir Hu diambil dari
Baitul Makmur dan dzikir Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini
dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang
tinggi sebagai insan Ilahi.
104
g. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu, dengan mata dipejamkan
dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada
menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir tersebut bertujuan untuk memerangi tujuh macam
nafsu yang bersemayam dalam tubuh manusia. Adapaun ketujuh macam
nafsu yang harus diperangi tersebut, yaitu (Masyhuri, 2011:280):
a. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-
sifat meliputi senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam,
bodoh, sombong, pemarah, dan gelap tidak mengetahui Tuhannya.
b. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu
ini ialah riya (pamer), „ujub (sombong), ghibah (menggosip), dusta,
pura-pura tidak tahu kewajiban.
c. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan.
Sifat-sifatnya antara lain dermawan, sederhana, qana‟ah, belas asih,
lemah lembut, tawadhu (rendah hati), taubat, sabar dan tabah
menghadapi segala kesulitan.
d. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah
susu kiri. Sifat-sifatnya, yaitu senang bersedekah, tawakkal, senang
ibadah, syukur, ridha (menerima segala kehendak Tuhan), dan takut
kepada Allah Swt.
e. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya ialah zuhud,
wara‟, riyadhah, dan menepati janji.
105
f. Nafsu Mardhiyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya, yaitu
berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan
mahluk.
g. Nafsu Kamilah, letaknya di dalam dada yang paling dalam. Sifat-
sifatnya yaitu ilmul yaqin, „ainul yaqin, dan haqqul yaqin. Nafsu ini
merupakan tingkatan nafsu yang tertinggi karena berkaitan dengan
aspek ketauhidan (mengesakan Allah) dengan sebenar-benarnya.
Sebagaimana tarekat lainnya, tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir
di dalam ajarannya untuk memerangi nafsu yang tujuh tersebut. Tujuannya
ialah mencapai kehidupan asketisme (zuhud) secara kaffah (menyeluruh).
4. Pandangan Filosofis Tarekat Syattariyah
Pandangan filosofis kaum tarekat Syattariyah yang masuk ke nusantara
sejak abad ke-16 ini, pada pokoknya meliputi tiga masalah pokok, yang
merupakan konsepsi pandangan antara mahluk (manusia dan alam) dengan
khaliqnya (pencipta). Ketiga masalah pokok, yaitu tentang konsep:
wahdatul wujud, insan kamil, dan thariq illallah. Secara ringkas,
penjabarannya ketiga konsep ini yaitu sebagai berikut:
a. Wahdatul Wujud (Kesatuan Tuhan dan Alam)
Konsep Wahdatul wujud ini pada dasarnya merupakan paham kesatuan
wujud Tuhan dan Alam. Pengertiannya ialah bahwa Tuhan dan alam itu
adalah satu kesatuan (wahdah), atau Tuhan itu immanen dengan alam.
Wujud yang hakiki adalah Tuhan, sementara alam adalah wujud yang
nisbi. Para mursyid tarekat berpandangan bahwa sebelum Tuhan
106
menciptakan alam raya, Tuhan selalu memikirkan tentang diri-Nya,
yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya
Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola
dasar (a‟san tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang
menjadi sumber dari pola dasar luar (a‟yan al-kharijiyah), yaitu ciptaan
dalam bentuk konkretnya. Ajaran tentang ketuhanan ini merupakan
ajaran yang dikembangkan olah Syeikh Abdurrauf As-Singkili dengan
memperlunaknya, yang kemudian berkembang sampai ke Jawa. Ajaran
tersebut dapat disimpulkan sebagai tauhid (pondasi iman) penganut
tarekat (Masyhuri, 2011:291).
b. Insan Kamil (Manusia Sempurna)
Konsep Insan Kamil lebih mengacu pada haikat manusia (mahluq) dan
hubungannya dengan penciptanya (Khaliq). Manusia adalah
penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya yang tidak
mengenal pensifatan sebagaimana mahluk. Oleh karenanya, mahluk
pertama yaitu “Adam” diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya,
sehingga mencerminkan berbagai sifat dan nama-Nya. Manusia adalah
kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampai akhirnya. Pada
setiap zaman ini manusia mempunyai nama yang sesuai dengan
pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudan pada suatu zaman,
itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi dari Nabi Adam As.
sampai Nabi Muhammad Saw. Setelah kewafatan Nabi Muhammad
Saw. sebagai Khatamu Al-Anbiya (penutup para Nabi), kepemimpinan
107
manusia diteruskan pada era sahabat, selanjutnya era para wali,
sehingga dikenal wali quthub (wali tertinggi pada suatu zaman) yang
datang sesudah para Nabi. Insan Kamil ini berarti manusia ideal, yaitu
manusia yang dilingkupi ketuhanan dan akhlaq mulia. Manifestasinya
ialah para Nabi dan para wali yang dijelaskan tersebut. Dengan begitu,
konsep Insan Kamil ini mengisyaratkan bahwa hubungan wujud Tuhan
dengan Insan Kamil bagaikan cermin dan bayangannya. Konsep inilah
yang digunakan dewan wali songo untuk berdakwah menggunakan
wayang di mana dalang diumpamakan sebagai Tuhan dan wayang
merupakan Insan Kamil yang mana bersemayam bayangan Tuhan
dalam setiap gerak diamnya (Masyhuri, 2011:292).
c. Thariq Illallah (Jalan Kepada Tuhan)
Dalam ketauhidan, konsep keimanan tarekat ini terbagi dalam empat
martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid dzat, dan tauhid
af‟al. Keempat tauhid tersebut terhimpun dalam kalimat tauhid, Laa Illa
Ha Illa Allah (tiada Tuhan kecuali Allah) yang menjadi dzikiran utama
kaum tarekat.Begitu juga halnya dengan dzikir yang tentunya
diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf)
guna “bertemu dengan Tuhan”. Dzikir ini dimaksudkan untuk
mendapatkan Al-Mawatul Ikhtiari (kematian sukarela), atau disebut
juga Al-Mawatul Ma‟nawi (kematian ideasional), yang merupakan
lawan dari Al-Mawatut Thabi‟i (kematian alamiah). Dalam bertauhid
demikian, tarekat ini tidak menafikan syari‟at (aturan-aturan Islam,
108
termasuk ibadah dan mu‟amalah). Dalam konsep ini, tarekat
Syattariyah menekankan pada rekonsiliasi syari‟at dan tarekat
(tasawuf), dengan memadukan tauhid dan dzikir. Jalan menuju Tuhan
ditempuh dengan memadukan kedua aspek tersebut secara seimbang.
Mereka tidak meninggalkan dan tetap mempraktikan syari‟at dengan
diiringi dzikir-dizikir tarekat Syattariyah (Masyhuri, 2011:293). Dengan
keseimbangan tersebut kaum tarekat berzuhud tanpa meninggalkan
kehidupan dunia. Mereka tetap menjalankan aktivitas sosial maupun
keagamaan tanpa harus takut atau meninggalkan dunia.
D. Aktivitas Tarekat Syattariyah
Di tiap-tiap pengguron tarekat Syattariyah ataupun pesantren di Cirebon,
aktivitas para penganut tarekat berbeda-beda. Hal itu bergantung pada peran para
mursyid dalam mengatur agenda kegiatan/pertemuan dengan para murid. Agenda
tersebut ditentukan berdasarkan ototritas mursyid sebagai pemimpin tarekat dan
guru spiritual bagi para salik (murid tarekat). Bila para mursyid memilih suatu
pola yang cenderung “personal”, maka aktivitas ketarekatan, khususnya dzikir
dijalankan secara individual. Jadi, setelah bai‟at, para murid hanya menjalankan
dzikir, wirid, atau hizb-hizb yang diberikan oleh mursyid, dan kembali menjalani
kehidupannya sebagaimana biasa, dengan dibekali dzikir dan pakem-pakem
tarekat yang harus ditaati. Setelah itu, para murid kembali menemui mursyidnya
untuk berkonsultasi prihal pengalaman spiritual yang telah dialaminya pada waktu
yang tidak rutin.
109
Berbeda bila para mursyid memilih pola hubungan yang bersifat “komunal”,
maka aktivitas ketarekatan dijalankan secara aktif. Mursyid beserta murid-
muridnya melakukan tawajuhan (tatap muka) setiap minggunya, khususnya setiap
kamis malam dengan melakukan dzikir dan pembekalan ajaran tarekat. Pada
malam jum‟at kliwon, para murid bersama mursyid rutin melaksanakan kliwonan
berupa pembacaan manaqib dan tawasulan. Mereka juga turut aktif dalam
perayaan bulan-bulan Islam seperti acara rajaban, syawalan, muharaman, dan
nisfu sya‟ban. Kegiatan-kegiatan tahunan seperti muludan, „idul fitri, „idul adha,
dan haul juga aktif dilaksankan. Oleh karena itu, aktif atau pasifnya aktivitas
tarekat Syattariyah di Cirebon bergantung pada peran mursyid.
Sebagaimana telah disinggung, mursyid-mursyid tarekat Syattariyah di
pesantren pesantren Buntet dan Benda Kerep berperan lebih pasif dibandingkan di
pengguron-pengguron. Para mursyid seperti Kyai Hasan Benda dan Kyai Babas
Buntet hanya mengadakan kegiatan tawajuhan (bertatap muka) secara individual
pada waktu-waktu tertentu yang tidak rutin. Kegiatan tawajuhan biasanya dihadiri
oleh sekitar 3-5 orang saja, malah ada yang secara privat hanya antara mursyid
dan murid saja. Dalam kegiatan tawajuhan ini mursyid biasanya memberikan
„aurod‟, yaitu berupa amalan dzikir atau wirid-wirid yang harus dibaca oleh murid
pada waktu-waktu khusus. Selain itu, murid juga diperkenankan untuk
berkonsultasi perihal pengalaman spiritual yang dialami, seperti misalnya bertemu
Nabi Muhammad Saw., atau bertemu para wali baik dalam keadaan terjaga
(sedang dzikir) ataupun dalam mimpinya. Kegiatan tawajuhan itu biasanya
dilakukan pada sore atau malam hari, bergantung pada ketentuan dari mursyid.
110
Kegiatan tawajuhan ini memiliki fungsi menguatkan hubungan murid dan
mursyid secara terus menerus. Selain itu, dalam kegiatan tersebut si mursyid juga
dapat menentukan sejauh mana tingkatan (martabah) spritual dari murid melalui
pengamalan spiritual dan perubahan personal dari para murid. Bila tingkatan
spiritualnya meningkat, maka para mursyid akan memberikan dzikir-dzikir yang
lebih tinggi, sesuai dengan tingkatan masing-masing muridnya.
Dari hasil observasi dan wawancara dari para mursyid di pesantren, peneliti
tidak menemukan kegiatan dzikir bersama ataupun perayaan hari-hari raya Islam
yang dilakukan di tempat mursyid yang bermukim di pesantren. Menurut Kyai
Hasan Benda Kerep prihal kegiatan tarekat di pondoknya:
Ya ritual berjama‟ah di sini tidak ada. Sendiri-sendiri saja. Tarekat kan amalan ya
diamalkan. Paling kalau acara yang ramai itu haul saja. Kalau thoriqot sih
sendiri-sendiri. Nanti sesekali mereka balik lagi ke sini. Ya silaturahmi, mulaqqo-
lah, nah nanti saya perhatikan perkembangannya sudah sampai mana tingkatnya.
Berdasarkan komentar dari Kyai Hasan di atas, maka dapat dilihat bahwa
perspektif tarekat yang dibangun oleh beliau lebih bersifat individualistik. Tarekat
lebih dimaknai sebagai suatu “amalan” yang harus dijalankan secara individual
saja. Akhirnya, aktivitas ketarekatan pun dijalankan secara sendiri-sendiri. Hanya
acara haul (peringatan kewafatan pendiri pesantren) dan acara muludan
(peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw.) yang dilakukan setiap tahun dalam
skala yang besar. Itupun tidak khusus bagi kalangan tarekat saja, bagi kalangan
umum, seperti para santri dan masyarakat yang bukan penganut tarekat diizinkan
hadir. Oleh karena itu, hubungan murid dan mursyid di pesantren terjalin secara
personal, dan tidak ada kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Sekalipun
111
itu kegiatan dzikir berjama‟ah yang khas dari suatu organisasi tarekat, itupun tidak
dilakukan oleh para penganut tarekat Syattariyah di pesantren Buntet maupun
Benda Kerep.
Berkebalikan dengan fenomena tarekat yang individualistik di pesantren,
kegiatan ketarekatan di pengguron-pengguron sekitar keraton berjalan secara
kolektif. Di pengguron-pengguron, terdapat adanya agenda kegiatan rutin
mingguan, bulanan, maupun tahunan bagi para murid tarekat. Memang dari
ketujuh pengguron yang aktif saat ini, hanya satu pengguron yang memiliki
aktivitas intens dan terbuka, sementara enam yang lain lebih khusus diperuntukan
bagi kalangan tarekat saja di mana masyarakat ataupun peneliti tidak diizinkan
mengikuti kegiatan tersebut.
Di antara pengguron yang paling aktif mengadakan kegiatan rutin secara
terbuka, yaitu Pengguron Tarekat Agama Islam Pegajahan. Pengguron pimpinan
Rama Guru Pangeran M. Nubuwat Purbaningrat (biasa disapa Mama Nung) ini,
memiliki kegiatan rutin mingguan, bulanan, maupun tahunan. Dalam hal ini,
wakil mursyid di Pengguron Pegajahan, yaitu Pangeran Bagoes Chandra
Kusumaningrat menjelaskan:
Kegiatan di sini itu ada yang mingguan, bulanan, 3 bulanan, dan tahunan. Yang
mingguan itu seperti dzikir setiap malam jum‟at. Lalu sebulan sekali ada setiap
malam jum‟at kliwon. Itu banyak yang datang dari jauh-jauh yang biasa sibuk,
biasanya pada datang. Lalu ada juga pengajian triwulanan. Setiap tiga bulan
sekali, pengguron Pegajahan sini diundang, yang ngadain murid-muridnya. Jadi
mengundang Rama Guru untuk mengajar khusus tarekat,terutama wilayah Jawa.
Biasanya ada juga tahunan, kaya Muludan, Rajaban, Syawalan, terfokus di sini, di
Pegajahan. Jadi murid-murid yang di Jawa Barat, khususnya di Cirebon,
dipusatkan di sini.
112
Berdasarkan penjelasan Pangeran Bagoes (biasa disapa Elang Bagoes) di
atas, terdapat kegiatan mingguan, bulanan, dan tahunan, di mana pengguron ini
menjadi pusat kegiatan dari tarekat Syattariyah se-Jawa Barat. Adapun kegiatan
mingguannya, yaitu dzikir setiap malam Jum‟at (kamis Malam). Kegiatan yang
dilakukan ialah dzikir bersama, tawasullan, lalu ada pemberian materi. Kegiatan
ini biasanya dihadiri sekitar 20-30 orang, bertempat di tajug (mushola) Pengguron
Pegajahan yang dimulai pada pukul 20.00-22.00. Pertama-tama, para ikhwan
(sebutan untuk sesama murid tarekat), melakukan tawasul yaitu pembacaan surat
al-fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw., para Nabi, para wali,
Syeikh Abdullah Asy-Syattari, Sunan Gunung Jati, dan para mursyid terdahulu.
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dzikir bersama berupa kalimat laa
ilaaha illallah secara berulang-ulang. Terakhir, yaitu pemberian materi tasawuf
dari kitab berbahasa Jawa yang merupakan kitab turun-temurun dari para Rama
Guru sebelumnya. Setelah pemeberian materi selesai, para murid dan mursyid
menutup dengan acara sarasehan, makan bersama. Kegiatan mingguan ini
dikhususkan bagi para ikhwan tarekat saja. Bagi masyarakat umum ataupun
keluarga keraton yang belum ber-bai‟at tidak diperkenankan ikut.
Selain kegiatan mingguan, Pengguron Pegajahan juga rutin mengadakan
kegiatan bulanan, yaitu kliwonan dan triwulanan. Kliwonan dilaksanakan setiap
satu bulan sekali, tepatnya pada malam Jum‟at Kliwon. Kegiatan ini biasa dihadiri
sekitar 50-100 orang, yang dimulai dari pukul 20.00-23.00 di tajug Pengguron
Pegajahan. Kliwonan juga boleh dihadiri oleh masyarakat umum ataupun kerabat
keraton, sekalipun mereka belum berbai‟at. Kegiatan yang dilakukan ialah
113
tawasul dengan membaca manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani oleh 7 orang
„ulama atau sesepuh Masjid Sang Cipta Rasa, yang biasa disebut kaum.
Gambar 3.1 Kegiatan Kliwonan Tarekat Syattariyah di Pengguron Pegajahan
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi kegiatan kliwonan tanggal 23 April 2015.
Menurut Elang Bagoes:
Kalau yang malam jum‟at kliwon itu, ada tawasulan khsusus. Namanya Tawasulan
Qadiran. Itu artinya, kita mengagungkan kemuliaan Syeikh Abdul Qadir Jailani
sebagai wali quthub. Ya di dalam doanya tidak hanya ditujukan kepada beliau
saja, tatapi juga kepada para Nabi. Tawasulan ke semua, tapi khususnya kepada
Syeikh Abdul Qadir Jailani, dan Sunan Gunung Jati sebagai pendiri keraton.
Dengan membaca Tawasulan Qadiran tersebut, para penganut tarekat
bertujuan untuk ngaleb berkah (memohon berkah) kepada Allah dengan
mendoakan Para Nabi dan Wali, agar dapat mengikuti dan menapaki jalan yang
lurus, sebagaimana jalan mereka. Salah satu hal yang unik dari kegiatan ini yaitu
bahwa kitab manaqib yang dibaca bukan manaqib dari Syeikh Abdullah Asy-
114
Syattari selaku pendiri tarekat Syattariyah, tetapi manaqib dari Syeikh Abdul
Qadir Al-Jailani. Mengenai hal ini, Kyai Ade menjelaskan:
Kalau thoriqoh Syattariyah, rutinitasnya itu membaca manaqib, tapi bukan
manaqibnya Syeikh Syathari, tapi manaqibnya Syeikh Abdul Qadir Jailani. Nah
kenapa yang dibaca manaqib Syeikh Abdul Qadir, bukan manaqib Syeikh Abdullah
Asy-Syattari, itu karena sampai saat ini belum ditemukan satu kitab yang khusus
menceritakan tentang riwayat lengkap dari Syeikh Abdullah Asy-Syattari. Satu-
satunya kitab yang ada riwayat beliau itu kitab Al-I‟lam dari Syeikh Abdul Hayi
bin Fakhruddin Al-Hasani dari India.
Berdasarkan penjelasan Kyai Ade di atas, dapat diketahui bahwa satu-
satunya kitab yang menceritakan riwayat Syeikh Abdullah Asy-Syattari ialah
kitab Al-I‟lam, berbahasa Arab karangan Syeikh Abdul Hayi dari India. Oleh
karena itu, pembacaan manaqib menggunakan kitab manaqib Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani, yang dipercaya kalangan tarekat sebagai wali quthub (wali tertinggi).
Selain kliwonan, terdapat pula kegiatan triwulanan, yaitu pengajian khusus
tarekat setiap tiga bulan sekali. Triwulanan biasanya diadakan di luar kota,
khususnya di tempat mukim para murid yang kebanyakan berasal dari
Purwokerto, Banyumas, daerah sekitar Jawa Tengah. Kegiatan ini termasuk dalam
acara besar, dan murid yang hadir biasanya cukup banyak sekitar 200-300 orang
dari berbagai daerah. Kegiatan ini juga tidak diperuntukan bagi masyarakat
umum, dan hanya ikhwan tarekat yang boleh menghadirinya. Tidak seperti
pengajian mingguan atau kliwonan yang dilakukan malam hari, waktu kegiatan ini
bisa pagi atau siang hari. Dalam kegiatan ini, bukan mursyid yang mengadakan,
tetapi para murid atau ikhwan tarekat yang berinisiatif mengadakan pengajian dan
Mama Nung diundang untuk memberikan pengajian ke tempat mereka. Biasanya
115
pengajian ini diawali dengan bertawasul, berdzikir bersama, dan terakhir
diberikan materi perihal tasawuf dan ketarekatan. Selesai acara pokok, kemudian
ditutup dengan pembacaan do‟a. Kemudian para ikhwan dan Rama Guru
diperkenankan untuk sarasehan dan makan bersama.
Acara besar lainnya dari Pengguron Pegajahan ialah acara tahunan, yaitu:
Rajaban, Syawalan, dan Muludan. Ketiga acara tersebut mengikuti kalender Islam
yang jatuh pada setiap bulan Rajab, Syawal, dan Rabi‟ul Awal. Ketiga kegiatan
tersebut biasanya dilaksanakan di Pengguron Pegajahan Cirebon, dan dihadiri
hampir semua ikhwan yang berjumlah sekitar 1000-3000 orang dari berbagai
daerah. Acara Rajaban dilaksanakan setiap tanggal 1 Rajab kalender Hijriah,
setiap setahun sekali, dimulai pukul 20.00-23.00. Pada dasarnya kegiatan ini
untuk memperingati peristiwa Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad Saw. Pada acara ini
dibacakan kitab berbahasa Jawa Kuno (Kawi) Cirebonan, yang menceritakan
tentang perjalanan Nabi Muhammad Saw. untuk Isra‟ (berjalan) dari Masjid Al-
Haram Mekah ke Masjid Al-Aqsa Palestina. Kitab dibacakan oleh dua orang
„ulama dari Masjid Sang Cipta Rasa (kaum) secara bergantian. Setelah
pembahasan kitab, dilanjutkan acara sarasehan. Dan khusus bagi kalangan ikhwan
tarekat terdapat acara shalawatan dari pukul 23.00 malam sampai sekitar pukul
02.00 dini hari. Shalawatan tersebut berupa pembacaan shalawat Nabi Saw. tapi
dengan bahasa Jawa Kawi Cirebon. Para ikhwan mengikuti dan mendengarkan
shalawat yang dibacakan oleh para juru shalawat, dengan diiringi oleh tabuhan
gendang, rebana, gong, dan alat musik tradisional lainnya. Tim yang biasa
membacakan shalawat merupakan ikhwan/murid yang berasal dari Purwokerto.
116
Gambar 3.2 Kegiatan Shalawatan Tarekat Syattariyah Pada Acara Rajaban
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi kegiatan shalawatan tanggal 17 Mei 2015
Kemudian kegiatan Syawalan dilaksanakan pada bulan Syawal, yaitu
biasanya 7 hari setelah hari raya Idul Fitri, atau tanggal 8 Syawal menurut
kalender Islam. Pada kegiatan ini dilaksanakan shalat isyqi, yang merupakan
ritual khas bagi kalangan tarekat Syattariyah setelah hari raya Idul Fitri. Mama
Nung menjelaskan bahwa “Itsqi itu artinya bebas, jadi ibarat kita supaya
dibebaskan dari segala dosa setelah menjalani puasa Ramadhan dan puasa
selama 6 hari”. Sebelum mengadakan kegiatan Syawalan ini, para anggota tarekat
berpuasa selama 6 hari, dan pada hari ketujuh mereka melaksanakan shalat isyqi.
Di sekitar Jawa Tengah dan Timur, kegiatan ini dikenal juga sebagai Grebeg
Syawal.
117
Terakhir, dari kegiatan Pengguron Pegajahan yaitu Muludan. Kegiatan ini
dilaksanakan pada tanggal 12 Rabi‟ul Awal kalender Hijriah. Biasanya para
ikhwan yang berjumlah 300-500 orang telah datang tujuh hari sebelum tanggal
acara, secara bergantian. Setiap harinya mereka mempersiapkan perlengkapan dan
kebutuhan baik konsumsi maupun peralatan. Setiap malam juga diadakan
shalawatan oleh tim shalawat yang biasa membacakan shalawat pada acara
Rajaban. Pada malam hari tanggal 12 Rabi‟ul Awal, barulah mereka mengadakan
Muludan. Kegiatan ini dimulai setelah shalat Isya berjamaah atau sekitar pukul
20.00-23.00. Pada acara ini, diawali dengan membaca tawasul yang dipimpin oleh
Mama Nung. Kemudian dilanjutkan membaca kitab Barzanji berbahasa Arab
(kitab riwayat hidup Nabi Muhammad Saw.), yang dibacakan oleh para „ulama
dari Masjid Sang Cipta Rasa.
Gambar 3.3 Kegiatan Muludan Tarekat Syattariyah di Pengguron Pegajahan
*Sumber: Dokumentasi kegiatan Muludan Pengguron Pegajahan tanggal 20 Februari 2011.
118
Pembacaan kitab Barzanji ini bertujuan untuk semakin meningkatkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw., di mana para ikhwan diharapkan dapat
memetik hikmah-hikmah kehidupan Nabi Saw. Setelah pembacaan kitab Barzanji,
lalu ditutup dengan do‟a oleh Mama Nung. Kemudian para ikhwan dan mursyid,
beserta tamu-tamu dan masyarakat umum diperkenan-kan untuk sarasehan, makan
bersama berupa hidangan nasi panjang jimat yang sama dengan nasi panjang
jimat di keraton-keraton Cirebon. Jadi kalau di keraton dilaksanakan upacara
Panjang Jimat, di pengguron dibacakan kitab Barzanji. Terkadang keluarga
keraton juga turut berpartisipasi dalam kegiatan Muludan ini, ataupun sebaliknya.
Demikianlah deskripsi sejarah, perkembangan, ajaran, dan kegiatan tarekat
Syattariyah di Cirebon. Dapat dilihat bahwa tradisi kebudayaan dan tasawuf telah
berbaur dalam setiap kegiatan yang dijalankan. Terdapat perpaduan harmonis
(akulturasi dan singkretisasi) antara tasawuf dan budaya Cirebon. Dari bab ini
juga ditemukan bahwa pemetaan tarekat Syattariyah di Cirebon melalui tiga jalur
ketarekatan, yaitu jalur Syeikh Abdul Muhyi, Sunan Gunung Jati, dan Mbah Kyai
Kriyan. Jalur tersebut membuktikan bahwa tarekat Syattariyah di Cirebon bukan
hanya melalui jalur Syeikh Abdul Muhyi, tetapi juga jalur Sunan Gunung Jati
yang mengikuti trah laki-laki, dan jalur Mbah Kyai Kriyan yang bersambung
sampai kepada Syeikh Hasyim Asy‟ari, Kaliwungu. Dari pola hubungan antar
mursyid-murid di pengguron, nampak pula bahwa tradisi kesufian yang terdapat
di pengguron berlangsung lebih aktif dibandingkan di pesantren. Peran mursyid
menjadi penentu bagaimana hubungan sosial dan kontribusi anggota tarekat
terhadap perkembangan berbagai institusi di mana mereka berada.
119
BAB IV
KONTRIBUSI TAREKAT SYATTARIYAH
TERHADAP PERKEMBANGAN INSTITUSI SOSIAL
DI CIREBON
A. Peran Musyid Dalam Perspektif Strukturasi
Untuk memasuki pembahasan tentang kontribusi tarekat Syattariyah
terhadap perkembangan institusi sosial di Cirebon, pertama-tama perlu dibahas
tentang peran mursyid dalam sebuah organisasi tarekat. Pembahasan tentang
peran mursyid ini menjadi penting mengingat dalam organisasi tarekat mursyid
merupakan sosok sentral dari segala aktivitas dan praktik-praktik sosial para
murid dan institusi sosial di mana mereka berada. Oleh karena itu, peran mursyid
sebagai agency (pelaku tindakan sosial) dari perspektif strukturasi akan
dikomparasikan dengan peran mursyid dari perspektif tarekat.
Dari perspektif tarekat, mursyid dalam dunia tarekat merupakan
“pembimbing atau guru spiritual yang diyakini oleh para muridnya sebagai
pewaris ajaran Nabi, yang menuntun para murid menapaki jalan spiritual menuju
kedekatan ilahiah” (Fathurrahman, 2008:151). Berdasarkan definisi ini, mursyid
berperan sebagai guru spiritual yang memiliki otoritas penuh dalam membimbing
para muridnya dan mengarahkan segala perilaku dan pandangan para muridnya.
120
Mursyid juga berfungsi sebagai pembmbing, pimpinan, sekaligus tokoh
sentral bagi para murid atau pengikutnya. Hubungan antara mursyid dan murid
dapat diidentifikasi ibarat hubungan antara Nabi Muhammad Saw. dan para
sahabat selaku pengikutnya. Para murid dalam lingkaran kelompok tarekat
terpusat pada mursyid sebagai tokoh sentral. Oleh karena itu, segala perilaku, tata
cara ibadah, dan dzikir-dzikir yang dibaca tidak lepas dari ajaran yang
disampaikan oleh mursyid kepada muridnya (Mu‟tashim dan Mulkhan, 1998:3).
Dalam ranah aktivitas sosial, peran mursyid juga dilihat sebagai orang suci.
Mursyid di sini diyakini sebagai orang suci tempat bergantung para pengikutnya
dalam segala persoalan, bukan hanya masalah agama. Dalam hal mengenai
pernikahan, pekerjaan, ataupun masalah politik, para murid kerap berkonsultasi
kepada mursyidnya di sela kegiatan tawajjuh (tatap muka). Mursyid memberikan
nasihat, bimbingan, dan amalan-amalan yang kerap diyakini sebagai solusi bagi
berbagai masalah kehidupan yang dihadapi para murid.
Dari paparan tersebut dapat dilihat bahwa dari perspektif dunia tarekat,
peran mursyid bersifat kompleks, yang tidak hanya menangani masalah spiritual
saja, tetapi juga masalah-masalah umum dari para muridnya. Maka demikian,
dapat disimpulkan bahwa peran mursyid dari perspektif tarekat antara lain: (1)
Guru/pembimbing spiritual; (2) Pimpinan suatu organisasi tarekat; dan (3) Tokoh
suci yang dapat menjawab masalah-masalah para muridnya, baik masalah
spiritual, sosial, pekerjaan, ataupun rumah tangga.
121
Dalam tarekat, seorang mursyid juga memiliki prasyarat yang tidak ringan
di mana tidak sembarang orang dapat menjadi mursyid. Seorang mursyid mesti
memiliki predikat wali, dalam artian seorang mursyid yang bisa diandalkan adalah
seorang mursyid yang “kamil mukammil”, yaitu seorang yang telah mencapai
keparipurnaan ma‟rifatullah sebagai insan kamil, sekaligus bisa memberikan
bimbingan jalan keparipurnaan bagi para murid tarekatnya. Rama Guru Pangeran
Harman Raja Kaprabon (mursyid tarekat Syattariyah di pengguron Tarekat Islam)
mengatkan:
Untuk menjadi mursyid itu, pertama, dari ilmunya. Ilmu yang sejatinya, yang
diamalkan, baru disampaikan, ilmu hakikat. Kedua, dari silsilahnya apakah
keturunannya nyambung sampai ke Nabi Saw. Ketiga, siapa gurunya, dari mana
sanadnya. Terakhir, dia diakui oleh rama guru yang lain tentang keilmuan
Berdasarkan kriteria atau prinsip di atas, maka tidak sembarang orang bisa
menjadi mursyid yang bisa mengijazahkan atau membai‟at sesorang untuk masuk
ke dalam suatu organisasi tarekat. Harus ada prasyarat dan tahapan-tahapan untuk
menjadi mursyid tarekat. Mursyid harus cakap secara spiritual dan mencapai
derajat kewalian yang diakui oleh para mursyid lainnya. Mursyid juga harus cakap
dari segi keilmuan, dan mursyid juga harus memiliki sanad yang bersambung
sampai ke Rasulullah Saw. baik dari segi keturunan maupun keilmuan. Oleh
karena itu, sosok mursyid begitu kharismatik di mata para muridnya sehingga
memiliki otoritas yang tinggi dalam mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan
berprilaku bagi murid-muridnya. Demikianlah sosok dan peran mursyid dari sudut
pandang dunia ketarekatan yang penuh aspek spiritual dan lingkup keagamaan.
122
Adapun dari sudut pandang sosiologis, peranan mursyid dari perspektif teori
strukturasi dapat dilihat sebagai agency atau agent. Menurut teori strukturasi,
agen (agent) merupakan aktor yang melakukan tindakan dan aktivitas sosial.
Mursyid sebagai aktor berartikan bahwa mursyid melakukan tindakan dan
aktivitas sosial yang tercermin dari praktik-praktik sosial yang dilakukan secara
berulang. Praktik-praktik sosial tersebut atau tindakan mursyid tercermin dari
perilaku sehari-harinya yang diikuti dan dijadikan role model oleh para muridnya.
Dalam prihal agency ini, Giddens (1984:5) menjelaskan bahwa terdapat tiga
aspek penting yang terdapat pada agen dalam praktek-praktek sosialnya, yaitu: (i)
reflective monitoring of action (memonitor tindakan secara reflektif), yaitu
gambaran tindakan sehari-hari aktor, meliputi hubungan aktor dengan orang lain
di mana aktor tidak hanya memonitor tindakanya secara kontinyu, tetapi juga
aspek-aspek sosial dan psikologis di mana mereka berada; (ii) rasionalization of
action (rasionalisasi tindakan), yaitu aktor secara rutin membangun “theoritical
understanding”-nya terhadap tindakan-tindakannya; (iii) motivation of action
(motivasi tindakan), yaitu potensi (tujuan) yang mendorong aktor untuk bertindak.
Pertama, mursyid melakukan reflexive monitoring of action (memonitor
tindakan secara reflektif). Hal ini tergambar dari aktivitas tawajuhan antara
mursyid dan para murid di pengguron. Dalam tawajuhan, dilakukan dzikir
bersama dan pemberian materi tarekat. Di sini, mursyid atau rama guru
memonitor tindakannya yang mencerminkan dirinya sebagai mursyid, baik dari
segi tata bicara, perilakunya, ataupun segala apa yang disampaikannya. Hubungan
mursyid dan murid di sini merupakan hubungan antara guru yang superior dan
123
murid yang inferior. Murid mengalami proses internalisasi tindakan mursyid ke
dalam dirinya melalui pemberian materi tarekat yang bersumber dari kitab tarekat
yang dipelajari. Mursyid pun mengikuti tata-prilaku yang tercantum dalam kitab
tersebut sehingga tindakan-tindakan dan praktik-praktik sosial antara mursyid dan
murid menjadi kesinambungan yang dicapai melalui proses reflexive monitoring.
Reflexive monitoring tersebut tidak hanya sebatas prihal spiritual saja, tetapi
juga aspek sosial berupa tata pergaulan murid dan mursyid, serta murid dan
murid. Hubungan murid dan mursyid sebagaimana telah dijelaskan, berlangsung
secara superior-inferior atau patron-klien, di mana mursyid berperan sebagai
tokoh sentral bagi para murid sehingga murid secara sungguh-sungguh dan
sukarela mengikuti bimbingan dari mursyid.
Hubungan antara murid dan murid juga berlangsung melalui proses reflexive
monitoring ini. Murid dan murid terhubung dalam jalinan persaudaraan sesama
murid tarekat yang disebut ikhwan (saudara laki-laki) dan akhwat (saudara
perempuan). Memang ketika murid-murid atau salik telah dibai‟at dan masuk ke
dalam organisasi tarekat, mereka diibaratkan telah terhubung menjadi satu saudara
dan satu keluarga sebagai sesama pengamal tarekat Syattariyah. Mursyid
menanamkan hal ini sebagai suatu proses monitoring sehingga para murid
merefleksikan perasaan kekeluargaan ketika dalam berkumpul bersama. Dari hasil
observasi ketika kegiatan Rajaban, para murid dari berbagai daerah seperti
wilayah sekitar Cirebon, Kuningan, Majalengka, bahkan Purwokerto, berkumpul
bersama mengikuti dzikiran dan shalawatan tanpa canggung satu sama lain.
Mereka saling berbincang, ber-dzikir, dan merasa bahwa mereka bersaudara satu
124
sama lain, sekalipun jarang bertemu. Bila sesama ikhwan mengalami musibah
atau kesulitan, ikhwan yang lain tak segan membantunya, baik secara materil
maupun non-materil. Dengan kata lain, ikatan sosial dari anggota tarekat
terefleksikan sebagai suatu persaudaraan sesama anggota tarekat. Melalui kegiatan
tawajuhan (pertemuan mursyid dan murid), mursyid mempengaruhi tindakan para
murid tarekat secara kontinyu untuk mengikuti bimbingannya yang berdasarakan
kitab tarekat Syattariyah, yang kemudian turut memengaruhi aspek hubungan
sosial dan psikologis para ikhwan tarekat.
Kedua, mursyid melakukan razionalization of action (merasionalisasikan
tindakan). Dalam kegiatan-kegiatan ketarekatan baik dalam skala mingguan,
bulanan, ataupun tahunan, mursyid merasionalkan tindakan-tindakannya sebagai
suatu yang rasional. Melalui dzikir bersama setiap minggunya para mursyid
merasionalkan kepada muridnya bahwa dzikir bersama yang didalamnya terdapat
proses tawasul, mereka terhubung kepada leluhurnya seperti para mursyid
terdahulu, Syeikh Abdullah Asy-Syattari, Sunan Gunung Jati, bahkan sampai
kepada Rasulullah Saw. Dalam kegiatan muludan misalnya, mereka merasa
bahwa kegiatan muludan merupakan bentuk kecintaan terhadap Nabi Muhammad
Saw. Dalam setiap kegiatan tersebut, mursyid berperan sebagai “penghubung”
untuk sampai kepada jalan Ilahiyah. Para murid pun senantiasa mengikuti
bimbingan dan kegiatan dari organisasi tarekat ini sebagai suatu bentuk ta‟dzim
terhadap mursyidnya dan bentuk kecintaan mereka kepada guru spiritualnya.
Kemudian dalam proses bai‟at (sumpah setia) pun demikian. Memang
sejatinya dalam proses bai‟at, murid berikar dihadapan gurunya, namun sejatinya
125
orang yang masuk tarekat berikrar kepada Tuhannya. Proses bai‟at antara mursyid
dan murid dirasionalkan menjadi proses bai‟at antara mahluq dan khaliq.
Kesetiaan terhadap mursyid adalah kesetiaan terhadap Tuhan. Namun bukan
berarti mursyid adalah Tuhan, tetapi mursyid merupakan wakil Tuhan, pengganti
Nabi, yang dipercaya sebagai tokoh kharismatik yang dapat membimbing menuju
jalan Ketuhanan yang sesuai dengan jalan para wali dan Nabi. Oleh karena itu,
murid-murid tarekat begitu taat kepada mursyidnya karena memandang mursyid
sebagai wakil Tuhan dalam membimbing jalan spiritual para muridnya. Peran
mursyid di sini merasionalkan segala tindakan ketarekatan dengan memberikan
makna-makna simbolis dari setiap kegiatan yang dijalankan.
Ketiga, mursyid melakukan motivation of action (motivasi tindakan), yaitu
potensi atau tujuan yang mendorong aktor untuk bertindak. Dalam setiap
pertemuan dengan muridnya, mursyid selalu memberikan motivasi, dorongan, dan
hakikat (tujuan) dari setiap tindakan yang dilakukan oleh muridnya dalam konteks
tarekat. Ketika mursyid memberikan (mengijazahkan) suatu amalan, dzikir, atau
hizb kepada muridnya, maka mursyid mengiringinya dengan motivasi bahwa
melalui dzikir tersebut akan mencapaikan pada suatu kenikmatan spiritual, atau
tingkatan (martabah) yang lebih tinggi kepada muridnya. Motivasi ini bertujuan
untuk membimbing para murid dalam menapaki tingkatan-tingkatan spiritual
(maqamat) dalam ranah tasawuf hingga sampai kepada Tuhannya. Ini merupakan
salah satu aspek mistisme dalam tarekat, namun merupakan hal yang rasional bagi
mereka yang didalamnya mursyid memotivasi muridnya untuk melakukan suatu
tindakan yang sesuai tuntunan kitab-kitab tarekat.
126
Dengan demikian, peran mursyid sebagai agency dapat dilihat dari dua
sudut pandang antara perspektif tarekat dan sosiologis (lihat tabel 4.1). Dari
perspektif tarekat mursyid berperan sebagai guru spiritual, pemimpin organisasi
tarekat, dan pembimbing kehidupan murid. Namun dari perspektif sosiologis,
mursyid memiliki peran, meliputi reflexive monitoring of action, rasionalization
of action, dan motivation of action. Ketiga peranan ini merupakan penerapan dari
peran mursyid sebagai guru/pembimbing spiritual dan tokoh sentral dari
organisasi tarekat sebagai agent dalam perspektif strukturasi. Mursyid senantiasa
memonitor, memberikan penjelasan rasional, dan memotivasi tindakan-tindakan
murid yang merupakan refleksi tindakannya berdasarkan ajaran kitab tarekat.
Tabel 4.1 Perbandingan Peran Mursyid dari Perspektif Tarekat dan Strukturasi
No Peran Mursyid Perspektif Tarekat Peran Mursyid Perspektif
Strukturasi
1 Guru (Pembimbing) spiritual Memonitor tindakan murid secara
reflektif
2 Pimpinan organisasi tarekat Merasionalisasikan tindakan-
tindakan ketarekatan
3 Orang Suci Memotivasi tindakan-tindakan
ketarekatan
Dari perspektif teori strukturasi, dalam diri agent juga melekat power, yaitu
kemampuan untuk mengubah (sense of transformative capacity) dan membuat
perbedaan (make a difference) (Giddens 1984:15). Mursyid sebagai agent yang
memiliki power, dapat menciptakan perubahan dan perbedaan dari kharisma dan
otoritas yang dimiliki. Power yang dimiliki didapat dari keilmuan dan kharisma
yang dimiliki mursyid sehingga setiap orang yang berinteraksi dengannya dapat
127
tunduk dan taat padanya. Para mursyid dapat mempengaruhi murid untuk
bertindak sesuai dengan bimbingannya.
Dalam melakukan praktik-praktik sosial, mursyid juga memiliki power yang
meliputi otonomi dan ketergantungan dalam kontinuitas ruang dan waktu.
Otonomi dalam artian bahwa mursyid tidak terpengaruh oleh struktur yang ada
sehingga ia berdiri secara otonom. Tapi di satu sisi, mursyid juga mengalami
subordinat karena berafiliasi terhadap institusi lain seperti keraton atau pesantren.
Namun ketika mursyid berhubungan dengan sultan, misalnya, sebagai pimpinan
keraton, mursyid dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan keraton. Inilah yang
disebut Giddens (1984:17) sebagai dialectic of control.
Dengan demikian, power mursyid sebagai agency dapat bersifat dialektis, di
satu sisi bersifat otonom terhadap institusi di mana tarekatnya berada, tetapi di
satu sisi ia dapat bersifat sub-ordinat. Namun, sifat sub-ordinat ini dengan tanpa
menghilangkan otonomi yang dimiliki mursyid. Oleh karenanya, power dari
mursyid memiliki fleksibilitas dalam mempengaruhi sekitarnya sehingga
memberikan ruang bagi mursyid sebagai agent untuk berkontribusi terhadap
institusi-institusi di mana mereka berada.
B. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Institusi Keraton
Institusi pertama yang memiliki pengaruh kuat dari kontribusi tarekat
Syattariyah ialah keraton-keraton di Cirebon. Kontribusi tarekat Syattariyah dan
keraton di Cirebon dapat dilihat sebagai suatu hubungan dialektis, yang mana
128
perkembangan tarekat Syattariyah tidak bisa lepas dari perkembangan keraton dan
perkembangan keraton merupakan bagian dari kontribusi tarekat Syattariyah.
Peran mursyid sebagai agency telah banyak berkontribusi terhadap sendi-sendi
kehidupan di keraton, namun mursyid juga tidak bisa lepas dari rules (aturan-
aturan) yang dibuat dalam institusi keraton.
Dalam pembahasan tentang kaitan antara tarekat dan keraton ini, akan
digunakan konsep „substantivities‟, yaitu konsep yang terdiri atas tiga aspek
dalam institusi: (i) signifikansi (significations), berisikan aspek simbolik dan
pemaknaan; (ii), dominasi (dominations), berisikan tentang adanya power dalam
institusi; dan (iii) legitimasi (legitimations) berisikan pengesahan hukum dari
sebuah institusi. Ketiga aspek tersebut diterapkan dalam analisis beberapa
kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi keraton, yang
meliputi: (1) Berdirinya keraton; (2) Peralihan dari kerajaan Pajajaran ke
Kesultanan Cirebon; (3) Tradisi Panjang Jimat; dan (4) Modernisasi di keraton.
B.1. Berdirinya Keraton Cirebon
Kontribusi pertama dari tarekat Syattariyah terhadap institusi keraton ialah
berdirinya keraton Cirebon itu sendiri. Berdirinya keraton di Cirebon merupakan
kontribusi dari dua orang mursyid tarekat Syattariyah yang paling berpengaruh di
Cirebon, yaitu Pangeran Cakrabuana dan Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati). Secara historis, keraton di Cirebon pertama kali berdiri pada tahun
1430 dengan nama Keraton Dalem Agung Pakungwati. Orang pertama yang
mendirikannya ialah Pangeran Cakrabuana, paman dan mertua Sunan Gunung
129
Jati. Beliau bergelar Mbah Kuwu Cirebon, yang juga merupakan putra mahkota
dari Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Pangeran Cakrabuana merupakan orang
yang telah menerima Islam dari seorang ulama sepuh yang pertama berdakwah di
Cirebon, yaitu Syeikh Nurjati (Syeikh Datul Kahfi). Setelah cukup menimba ilmu
di pengguron Amparan Jati milik Syeikh Nurjati, barulah Pangeran Cakrabuana
membabat kebon pesisir yang nantinya menjadi awal terbentuknya Cirebon dan
menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa Barat melalui Kesultanan Cirebon. Salah
seorang lurah keraton, Bapak Moh. Maskun menjelaskan:
Jadi berdirinya keraton sini, pertama itu dari putera Pajajaran, yang bernama
Pangeran Walangsungsang, beliau bergelar Pangeran Cakrabuana, terkenal
sebutannya Mbah Kuwu Cirebon. Beliau membangan Keraton Dalem Agung
Pakungwati pada tahun 1430M. Dan beliau menyerahkan kepada keponakannya,
yang juga sebagai menantu, yaitu yang bernama Syeikh Syarif Hidayatullah,
bergelar Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati melebarkan ke barat daya
pada tahun 1529M. Keratonnya diberi nama Keraton Pakungwati juga,
Pakungwati tuh nama istrinya beliau, puteranya Pangeran Cakrabuana
Berdasarkan penuturan Bapak Moh. Maskun di atas, maka keraton Cirebon
pertama kali didirikan pada 1430 M oleh Pangeran Cakrabuana, selaku paman dan
mertua dari Sunan Gunung Jati. Setelah mulai sepuh, selanjutnya Pangeran
Cakrabuana menyerahkan tonggak kesultanan kepada Sunan Gunung Jati pada
tahun 1479 M, yang pada tahun ini juga Sunan Gunung Jati menghentikan
pemberian upeti/bulu bakti kepada Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sejak inilah
Cirebon menjadi negara merdeka bercorak Islam (Kesultanan Cirebon).
Berdirinya kesultanan ini disempurnakan kedaulatannya dengan kemenangan
melawan Raja Galuh pada tahun 1528 M (Sulendraningrat 1985:18). Dapat dilihat
130
bahwa Sunan Gunung Jati merupakan tokoh yang paling berpengaruh terhadap
berdiri dan berkembangnya institusi keraton.
Gambar 4.1 Peninggalan Bangunan Keraton Dalem Agung Pakungwati
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Keraton Kasepuhan tanggal 22 Mei 2015.
Sunan Gunung Jati yang merupakan mursyid tarekat Syattariyah
sebagaimana penuturan Elang Bagoes Candra Kusumaningrat, “Sunan Gunung
Jati menguasai 12 tarekat, tapi yang diajarakan ke family, ke anak-cucuknya itu
tarekat Syattariyah”. Sunan Gunung Jati juga telah mewariskan tarekat
Syattariyah kepada keturunannya yang sekarang tersebar di empat keraton;
Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan. Oleh karena itu, melalui
dakwah Islam dan pengajaran tarekat di lingkungan keraton Cirebon, Sunan
Gunung Jati sebagai mursyid telah berkontribusi terhadap terbentuknya struktur
institusi keraton bercorak Islam pertama di Jawa Barat.
131
Dari perspektif teori strukturasi, dapat dilihat telah terjadi proses practical
consiousness berupa tindakan mursyid yang didasari kesadaran praktis dari
terbentuknya keraton Cirebon. Practical consiousness ini berbeda dengan
discursive consiousness yang hanya berupa kesadaran diskursif yang dinyatakan
dengan kata-kata saja. Practical consiousness di sini berarti mursyid telah
melakukan tindakan dengan mendakwahkan Islam dan tarekat Syattariyah yang
selanjutnya diterima oleh kalangan masyarakat Cirebon dan keturunannya di
keraton secara sukarela. Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati telah berhasil
membuat suatu tindakan praktis yang berkontribusi terhadap berdirinya keraton.
Selanjutnya dari sisi analisis institusional dapat dilihat dengan konsep
substansitives (legitimasi, signifikansi, dan dominasi) dalam teori strukturasi.
Keraton atau kesultanan Cirebon tidak mungkin berdiri tanpa peran dominasi
politik dari sosok Pangeran Cakrabuana sebagai pendiri keraton. Beliau mendapat
legitimasi (keabsahan) untuk mendirikan keraton Cirebon karena selain memiliki
kecakapan agama dalam bidang tasawuf, beliau juga merupakan putra Kerajaan
Pakuan Pajajaran.
Keraton juga tidak akan berkembang tanpa peran besar dari Sunan Gunung
Jati yang mendapat legitimasi sebagai wali kutub (ketua) dewan walisongo setelah
kewafatan Sunan Ampel dan sebagai putra kerajaan Mesir yang memiliki
kecapakan dalam bidang agama, khususnya tarekat, serta sebagai cucu Prabu
Siliwangi. Sunan Gunung Jati telah berhasil melebarkan dominasinya bukan
hanya dalam masalah agama dengan mengislamkan seantro Jawa Barat, tetapi
juga dalam masalah politik, yang telah mampu mendeklarasikan kedaulatan
132
kesultanan Cirebon merdeka dari Pajajaran. Jadi, para mursyid tarekat, khususnya
Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana memiliki power (otoritas) untuk
mendirikan suatu struktur baru berupa institusi keraton. Berawal dari dakwah
Islam, mursyid telah mampu melebarkan otoritas power-nya dalam bidang politik
dengan berdirinya institusi keraton di Cirebon.
Dengan berdirinya keraton Cirebon oleh Sunan Gunung Jati maupun
Pangeran Cakrabuana selaku mursyid tarekat, mereka berdua tidak lepas dari
struktur keraton yang merupakan kontribusi dari peran mereka sebagai agen dan
mursyid. Kedua mursyid tersebut tetap dipengaruhi dan tunduk terhadap aturan-
aturan (rules) yang bersumber (resources) dari ajaran tarekat dan Islam. Ini
merupakan proses dualitas struktur (duality of structure) dari sudut pandang teori
strukturasi. Setelah para agen (mursyid) turut mempengaruhi perubahan pada
struktur hingga melahirkan struktur yang baru (keraton), mereka tidak lepas dari
struktur yang baru terebut. Mereka tetap berada dalam struktur keraton dan
mengikuti segala tata nilai dan moral yang menjadi pondasi dari kehidupan
masyarakat dalam struktur tersebut.
Kemudian berdirinya institusi keraton ini dapat dilihat berdasarkan lima
sudut pandang dalam konsep Gillin dan Gillin tentang tipologi institusi sosial
(lihat tabel 4.2.). Pertama, dari sudut pandang perkembangan institusi
(development of institutions), keraton di Cirebon termasuk dalam enacted
institutions (institusi yang segaja dibentuk untuk memenuhi tujuan tertentu).
Keraton sengaja dididirkan oleh Pangeran Cakrabuana dan diteruskan oleh Sunan
Gunung Jati sebagai basis/pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
133
Tujuannya ialah mengubah tatanan masyarakat Hindu di Jawa Barat yang berada
di bawah kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran untuk memeluk Islam.
Kedua, dari sudut pandang sistem nilai yang diterima masyarakat (the
accepted system of values), institusi keraton dapat termasuk dalam tipe basic
institutions (institusi yang penting untuk menjaga ketertiban sosial dan memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat). Keraton berperan dalam menjaga tatanan kehidupan
sosial-budaya, politik, ekonomi, pemerintahan, dan agama pada masa awal
didirikannya. Pada masa Sunan Gunung Jati ini, keraton berfungsi layaknya
sebuah negara yang mengurusi berbagai aspek kebutuhan masyarakat.
Ketiga, dari sudut pandang penyebaran dalam populasi (spread of
population), institusi keraton dapat digolongkan sebagai general institutions
(institusi yang dikenal seluruh masyarakat). Sebagai sebuah kesultanan di Cirebon
yang wilayah kekuasaannya tersebar ke seluruh Jawa Barat, seluruh masyarakat
Cirebon secara otomatis mengenal adanya institusi keraton.
Tabel 4.2 Analisis Keraton Berdasarkan Konsep Tipologi Institusi Sosial
Sudut Pandang Tipologi Institusi
Sosial
Relevansi Berdirinya Keraton
di Cirebon
development of
institutions
enacted institutions Keraton sengaja sebagai
basis/pusat penyebaran agama
Islam di Jawa dan mengubah
tatanan masyarakat Hindu
menjadi Islam.
the accepted system
of values basic institutions Keraton berperan menjaga
tatanan kehidupan sosial-budaya,
politik, ekonomi, pemerintahan,
dan agama pada masa awal
134
didirikannya.
spread of population general institutions Kesultanan Cirebon yang wilayah
kekuasaannya tersebar ke seluruh
Jawa Barat secara otomatis oleh
seluruh masyarakat Cirebon
public acceptance sanctioned institutions Masyarakat menerima adanya
keraton dengan mengikuti dan
menjaga tradisi di keraton dengan
ikut berpartisipasi dalam berbagai
acara keagamaan di keraton
method of
functioning regulative institutions Keraton hanya berfungsi menjaga
dan mengawasi adat-instiadat di
keraton dengan kehilangan fungsi
politisnya yang melebur ke dalam
NKRI. Sultan hanya berfungsi
sebagai pemangku adat yang
berperan menjaga adat dan tradisi
di keraton.
Keempat, dari sudut pandang penerimaan masyarakat (public acceptance),
keraton termasuk dalam tipe sanctioned institutions, yaitu institusi yang diterima
masyarakat. Masyarakat Cirebon menerima adanya keraton Cirebon. Semenjak
keraton berdiri hingga saat ini, masyarakat senantiasa menerima adanya keraton
dengan mengikuti aturan keraton dan menjaga tradisi di keraton. Partisipasi
masyarakat Cirebon pun sangat antusias ketika mengikuti berbagai acara
keagamaan hari besar Islam di keraton, seperti tradisi Panjang Jimat. Selain itu,
belum pernah terjadi pemberontakan atau penolakan terhadap keraton dari
masyarakat Cirebon semenjak keraton ini berdiri.
Kelima, dari sudut pandang metode penggunaannya (method of functioning),
keraton termasuk dalam regulative institutions, yaitu institusi yang berfungsi
untuk meregulasi atau mengawasi adat istiadat atau tata perilaku masyarakat.
Memang semenjak diplokamirkannya kemerdekaan Indonesia, keraton melebur ke
135
dalam kedaulatan (NKRI) Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpengaruh
terhadap fungsi dari keraton itu sendiri. Keraton hanya berfungsi menjaga dan
mengawasi adat-instiadat di keraton dengan kehilangan fungsi politisnya. Hal ini
terlihat bahwa sultan hanya berfungsi sebagai pemangku adat yang berperan
menjaga adat dan tradisi di keraton. Sementara fungsi politis keraton sebagai
sebuah kerajaan dileburkan ke dalam negara.
B.2. Peralihan dari Kerajaan Pajajaran menjadi Kesultanan Cirebon
Kontribusi kedua dari tarekat Syattariyah terhadap keraton ialah adanya
peralihan tatanan sosial dari masyarakat Hindu ke Islam. Peralihan ini merupakan
konsekuensi logis dari berdirinya Kesultanan Cirebon yang menggantikan
kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Sebagaimana dijelaskan Rama Guru
PS. Sulendraningrat (1985:19) bahwa “Kedaulatan Kesultanan Cirebon yang
bercorak Islam itu merata ke segenap bekas wilayah Pajajaran, dengan
perkataan lain Pajajaran adalah awal Cirebon dan Cirebon adalah akhir
Pajajaran”. Lambang dari Cirebon sebagai penerus Pajajaran terdapat pada
simbol patung „Macan Ali‟ di halaman Keraton Kasepuhan (lihat gambar 4.2).
Peralihan kekuasaan Pajajaran kepada Kesultanan Cirebon juga diperkuat
oleh data-data atau bukti yang terdapat di Astana Gunung Sembung berupa:
Mande Pajajaran (balai besar singgasana Prabu Siliwangi) dan Lampu Kerajaan
Pakuan. Keduanya memiliki arti simbolik sebagai pengakuan berdirinya
Kesultanan Cirebon yang meneruskan kekuasaan Pajajaran. Oleh karena itu,
setelah Kesultanan Cirebon berdiri, hampir seluruh masyarakat Jawa Barat yang
136
dahulu di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Pajajaran, beralih memeluk Islam di
bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati.
Gambar 4.2 Patung Macan Ali sebagai Lambang Kesultanan Cirebon Penerus
Kerajaan Pajajaran
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Keraton Kasepuhan tanggal 16 April 2015.
Seorang sesepuh Keraton Kasepuhan, Bapak Her. Mungal Kartaningrat
menjelaskan tentang peralihan kekuasaan dari Pajajaran ke Cirebon:
Pada 1479, setelah Syarif Hidayatullah dikukuhkan oleh Sunan Ampel sebagai
wali kutub, beliau langsung mendeklarasikan berdirinya Cirebon yang Islam dan
menyatakan lepas dari ikatan Papajaran. Sudah begitu, Prabu Siliwangi merestui,
menyutujui karena beliau menyadari daerah-daerah yang tadinya ikut Pajajaran
melepaskan diri beralih ikut kepada cucunya ke Cirebon.
Jadi, berdasarkan penuturan di atas, faktor utama yang mendorong peralihan
dari masyarakat Kerajaan Pajajaran Kesultanan Cirebon ini ialah faktor strategi
137
dakwah Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati secara apik dapat mensinergikan
aspek islam, tasawuf, dan budaya Hindu. Strategi dakwah ini menarik masyarakat
untuk dapat memeluk Islam secara damai.
Selanjutnya, Bapak Her. Mungal menambahkan:
Syarif Hidayatullah itu syiar Islam cukup beberapa kali, kemudian masyarakat ikut
masuk Islam. Tapi perang juga ada, yang dengan Raja Galuh itu. Beberapa kali
ada yang perang, tapi umumnya melalui dakwah mereka langsung Islam. Belum
lagi para wali itu syiar Islamnya agak unik. Seperti pementasan kesenian-
kesenian: gamelan, wayang, dll. untuk mengumpulkan masyarakat Hindu. Setelah
kumpul, para wali mengganti yang tadinya tontonan menjadi tuntunan,
ceramah/dakwah tentang Islam sehingga orang-orang Hindu yang menonton ini
merasa punya penilaian. Kemudian mereka aklamasi masuk Islam dengan
syahadat. Karena peran para wali itu, kemudian di Jawa ini timbul Islam
tradisional, „Islam-adat‟. Seperti ada upacara muludan, nujuh bulanan, dan
macem-macem.
Dengan kata lain, terdapat suatu proses sinkretisasi dengan cara melalui
transformasi esensi Islam ke dalam tradisi Hindu yang telah mengakar sebagai
budaya dan adat istiadat masyarakat. Transformasi tersebut berlangsung dengan
mengubah esensi (filosofi) tradisi, tanpa merubah secara radikal format tradisi
yang sudah ada.
Dalam teori strukturasi, transformasi budaya ini merupakan bagian dari
power yang dimiliki mursyid yaitu kemampuan untuk mengubah (sense of
transformative capacity) dan membuat perbedaan (make a difference).
Kemampuan transformasi ini dilakukan, misalnya melalui tradisi seni wayang.
Tradisi pagelaran wayang yang sebelumnya merupakan ritual keagamaan Hindu,
telah ditransformasikan menjadi media dakwah Islam. Sunan Gunung Jati dan
para tokoh Wali Songo lainnya telah melakukan perubahan deformatif dalam
138
rangka penyesuaian seni pertunjukan wayang dengan Islam. Perubahan tersebut
dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti: pengubahan bentuk wayang sehingga
tidak menyerupai manusia; penyisipan tokoh-tokoh Islam secara tersirat dari
cerita yang dibawakan; dan penambahan perlengkapan wayang seperti kelir,
debog, blencong, dan sebagainya (Sunyoto, 2011:100-101). Cerita utama
pewayangan, yaitu Ramayana-Mahabrata yang berasal dari agama Hindu, turut
pula dimodifikasi dengan menyisipkan aspek filosofis ajaran Islam.
Dengan kata lain, strategi dakwah Sunan Gunung Jati tersebut juga bersifat
akulturatif. Islam yang bersifat akulturatif ini berarti bahwa Islam yang
disampaikan bukan dengan jalan peperangan, tetapi Islam yang membumi. Islam
yang menyatu dengan bingkai lokal ini merupakan ciri khas dari ajaran tarekat
Syattariyah yang bersifat neo-sufism (menjalankan hakikat, tanpa meninggalkan
syari‟at). Martin Van Bruinessen (1994:10) mengatakan:
The Shattariyyah accommodated itself relatively easily with local traditions; it
became the most „indigenized‟ of orders... it was throufh the Shattariyyah that sufi
metaphysical ideas and symbolic classifications based on the martabat tujuh
doctrine became part of Javanese popular beliefs.
Jadi, tarekat Syattariyah relatif dapat dengan mudah berpadu dengan
berbagai tradisi setempat sehingga menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di
antara berbagai tarekat yang ada. Selain itu, melalui Syattariyah-lah berbagai
gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasaran atas
ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Dalam analisis teori strukturasi, sifat tarekat Syattariyah yang “membumi”
ini termasuk dalam proses signifikansi, yang berpengaruh terhadap aspek simbolik
139
dan pemaknaan. Mursyid melakukan proses signifikansi simbolik dari filosofi
keagamaan Hindu yang ditransformasikan menjadi filosofi Islam. Proses ini juga
menyangkut bagaiamana proses singkretisme budaya Hindu dan Islam yang
berpadu menjadi suatu tradisi baru yang membentuk struktur simbolik masyarakat
Cirebon, sekitar abad ke-16 pada masa wali songo.
Peranan tarekat dalam proses Islamisasi ini juga terlihat dari lahirnya sastra-
sastra sufistik dan tradisi keagamaan baru. Sastra-sastra sufistik ini terbentuk
dalam tembang, kidung, syair, dan hikayat, seperti Suluk Linglung, Suluk Sukarsa,
Serat Dewaruci, Serat Centini, dan sebagainya. Kemudian dalam hal tradisi,
proses asimilasi dapat pula dilihat dari tradisi keagamaan Hindu yang disebut
Sradha, seperti upacara “meruwat arwah”, lahir tradisi baru Islam yang disebut
Nyadran, yaitu upacara “mengirim doa kepada arawah” setiap tahun yang
bermakna mengucap syukur kepada Tuhan (Sunyoto, 2011:92-93).
Melalui berbagai transformasi kultural ini, capaian proses dakwah dan
Islamisasi masyarakat berlangsung melalui sikap asimilatif terhadap budaya lokal.
Tujuannya ialah mengubah tontonan menjadi tuntunan, dan menarik masyarakat
Hindu pada saat itu agar familiar dengan tradisi yang sudah ada. Proses ini
sejatinya merupakan kontribusi dari para mursyid, khususnya Sunan Gunung Jati,
dan para wali songo pada umumnya, dalam rangka mentransformasikan struktur
masyarakat Hindu yang telah mapan, menjadi struktur masyarakat Islam yang
sarat dengan pengaruh sufisme dalam berbagai sendi kehidupannya.
140
Perubahan pada struktur simbolik dalam sistem kebudayaan masyarakat
Cirebon juga turut mempengaruhi kehidupan para mursyid dan anggota tarekat
yang berperan dalam proses perubahan ini. Para mursyid baik Sunan Gunung Jati
maupun mursyid keturunan selanjutnya masih dipengaruhi dan tmenjalankan
berbagai tradisi kebudayaan tersebut. Walaupun para mursyid yang melakukan
transformasi budaya dari tradisi masyarakat yang Hinduistik dengan menyisipkan
esensi Islam yang sufistik, mereka tidak begitu saja lepas dari struktur tersebut.
Para mursyid dan anggota tarekat masih menjalankan dan mensosialisasikan nilai-
nilai yang terdapat dalam struktur keraton, meskipun mereka tahu bahwa nilai-
nilai tersebut merupakan bagian peran mereka sebagai agen yang mempengaruhi
tradisi-tradisi di keraton, seperti tradisi Panjang Jimat yang rutin diadakan setiap
tahun di Cirebon.
B.3. Tradisi Panjang Jimat di Keraton
Kontribusi ketiga dari tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi
keraton adalah berkembang dan bertahannya budaya atau tradisi-tradisi di keraton
yang dipengaruhi ajaran tarekat. Pada awalnya, Sunan Gunung Jati selaku
mursyid berperan sebagai resources (sumber) yang telah mentransmisikan rules
(aturan-aturan) dalam bentuk ajaran, tradisi, upacara, dan tata-krama yang ada di
institusi keraton. Oleh karena itu, berbagai tradisi yang ada di keraton banyak
bernafaskan sendi-sendi tasawuf, khususnya ajaran tarekat Syattariyah yang
banyak dianut oleh keluarga keraton yang juga merupakan keturunan Sunan
Gunung Jati.
141
Sunan Gunung Jati pada masanya memang memiliki dwi-fungsi yaitu
sebagai kepala pemerintahan dan pemuka agama. Beliau juga bergelar Panetap
Panata Agama. Menurut Elang Bagoes Candra Kusumaningrat, “Pada saat itu,
pengguron masuk ke dalam keraton. Jadi, Sunan Gunung Jati itu Rama Guru
sekaligus Raja lah. Makannya, Sunan Guung Jati itu gelarnya ulama dan umara,
pemuka agama dan pemimpin pemerintahan. Jadi, Sunan Gunung Jati berperan
sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai penata agama yang cakupannya
seaentro Jawa Barat. Dengan legitimasi yang dimiliki tersebut, Sunan Gunung Jati
membentuk suatu institusi simbolik berupa tradisi keagamaan yang banyak
bernafaskan tasawuf dengan mengadopsi aspek-aspek budaya lokal.
Sebagaimana peran Sunan Gunung Jati, sultan-sultan penerusnya pun juga
kerap memiliki dwi-fungsi sebagai mursyid tarekat dan pemangku adat di keraton,
yang mana hal ini berperan dalam mempertahankan eksistensi budaya di keraton.
Salah satu fakta kebudayaan atau tradisi yang masih bertahan hingga saat ini di
keraton ialah tradisi Panjang Jimat.
Tradisi Panjang Jimat memang merupakan tradisi keraton di Cirebon yang
menjadi kegiatan terbesar yang rutin diadakan setiap tahunnya. Istilah “Panjang
Jimat” terdiri dari dua kata, yaitu “Panjang” yang berarti terus menerus diadakan
setiap tahunnya, dan “Jimat” yang berarti mengagungkan dalam rangka
memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw. Sejak tahun 1479 pada masa
pemerintahan Sunan Gunung Jati, perayaan maulid atau upacara Panjang Jimat
sudah dilakukan secara besar-besaran. Namun sebelumnya pada pemerintahan
Pangeran Cakrabuana sekitar tahun 1450, upacara ini dilakukan tidak sebesar pada
142
pemerintahan Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati berfungsi sebagai
„ulama dan „umara, upacara Panjang Jimat dilakukan secara besar-besaran
sebagai upacara tahunan keraton Cirebon. Hal ini mengingat pada masa Sunan
Gunung Jati seluruh Jawa Barat telah memeluk Islam dan tunduk sepenuhnya
terhadap kekuasaan Kesultanan Cirebon (Sulendraningrat, 1985:83-84).
Saat keluarnya iring-iringan dalam upcara Panjang Jimat, berupa pusaka-
pusaka, nasi Panjang Jimat, dan iringan abdi dalem keraton, sebetulnya upacara
ini bukan hanya perayaan biasa, melainkan sebuah “sandiwara” (lakon) yang
menggambarkan proses kelahiran seorang bayi Nabi Muhammad Saw. ke dunia
dari rahim ibunya. Memang tujuan utama dari upacara ini pada umumnya ialah
memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Namun, secara khusus perayaan
ini merupakan bagian dari syi‟ar Islam yang berusaha mensinergikan antara aspek
Islam, tasawuf, dan nilai kebudayaan lokal (Sulendraningrat, 1985:84).
Urutan-urutan (atribut) yang digunakan dalam upacara panjang jimat yaitu
sebagai berikut (Sulendraningrat, 1985:87):
1. Beberapa lilin dipasang di atas dudukannya.
2. Dua buah Manggaran, dua buah Nagan, dan dua buah Jantungan.
3. Kembang goyak (kembang bentuk sumping) 4 (empat) laki-laki.
4. Serbad dua buah guci dan dua puluh botol tengahan.
5. Boreh/Parem.
6. Tumpeng.
143
7. Ancak Sanggar (panggung) 4 (empat) buah yang keluar dari pintu Bangsal
Pringgandani.
8. Dongdang berisi makanan 4 (empat) buah menyusul belakangan dari pintu
Barat Bangsal Pringgandani ke teras Jinem.
Prosesi dari pelaksanaannya ialah pertama-tama, setelah Sultan merestui,
kemudian penghulu, para kaum naik ke Bangsal dan petugas khusus memanggil
barisan Santana yang berjumlah 28 orang (14 orang berdiri sebelah kiri dan 14
orang berdiri sebelah kanan). Setelah lilin dinyalakan, maka petugas khusus
mengatur jalannya upacara. Kemudian penghulu turun dari Bangsal Dalem dan di
belakangnya berturut-turut Panjang Jimat 7 (tujuh) buah mengiringi. Tiap-tiap
Panjang diusung oleh 4 orang kaum dan didampingi kanan-kirinya oleh para
Santana dua-dua (4 santana). Selanjutnya iringan diarak menuju ke teras Jinem,
dan disambut oleh petugas luar barisan. Setelah turun di luar Jinem, iringan
Panjang Jimat barulah disambut oleh masyarakat yang telah ramai menunggu di
pintu gerbang keraton (Sulendraningrat, 1985:88).
Sebagai suatu tradisi yang memiliki nilai sufistik, tentu deretan Panjang
Jimat yang merupakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw. ini memiliki
makna-makna filosofis. Adapun makna dari deretan Panjang Jimat yaitu sebagai
berikut (Sulendrangningrat, 1985:88-89):
1. Kepel artinya pengembaraan kakek Abdul Mutholib ketika kelahiran
cucunya, Nabi Saw.; dan Payung Kerompak artinya Abdul Mutholib sebagai
pengayom masyarakat (pembesar kabilah Bani Hasyim).
144
2. Laki-laki pembawa tombak artinya Abdul Mutholib mengatur seorang
berangkat memanggil paraji (dukun bersalin) di mana tombak berarti
sebagai penjaga diri.
3. Laki-laki membawa obor, artinya pembantu penerangan karena menari
paraji terjadi pada malam hari.
4. Rerenggan (baris upacara), berarti atribut keagungan.
5. Nyi Kotib Agung, artinya gambaran paraji.
6. Nyi Penghulu, artinya gambaran Siti Aminah yang akan bersalin.
7. Air mawar dua botol, artinya gambaran keluarnya kakang-kekawah (air
ketuban) ketika proses melahirkan.
8. Sultan atau penghulu, artinya gambaran si jabang bayi yang sifatnya suci.
9. Panjang Jimat 7 Deret, artinya tujuh buah iringin ini bermakna bahwa
manusia lahir di dunia ini di antara hari yang tujuh. Namun menurut tradisi
keraton Kanoman, Panjang Jimat pertama adalah gambaran Nabi
Muhammad Saw., empat selanjutnya gambaran empat sahabat Nabi
khulafaurrasyiddin (Abu Bakar, Umar, Utsman, „Ali), dan dua terakhir
gambaran sahabat dan sekertaris Nabi Saw. (Abbas dan Hamzah).
10. Pembawa Kembang Goyang 4 baki, artinya gambaran ari-ari bayi.
11. Pembawa serbad dua guci dan gelas kosong dua baki, menggambarkan
darah bayi.
12. Boreh/Parem 4 Piring, melambangkan pengobatan terhadap ibu bersalin
hingga sehat kembali.
145
13. Pembawa Nasi Tumpeng Jeneng, melambangkan pemberian nama kepada
sang bayi.
14. Buah Ancak Sanggar (Panggung) dan Dongdang 4 buah, melambangkan
kehidupan manusia itu adalah ciptaan dari Tuhan, di mana anasir hakikat
manusia terdiri dari: (1) wujud – ilmu – nur – zuhud; (2) zat api – zat air –
zat angin – zat tanah/bumi.
Setelah sampai di langgar (musholla) keraton, barisan/iringan Panjang
Jimat pun diatur, dan setelahnya barulah dibacakan kitab maulid Barzanji sampai
selesai. Setelah selesai membaca Barzanji, barulah Nasi Jimat dan hidangan
dibagikan kepada tamu undangan dan masyarakat. Demikianlah ringkasan prosesi
dan makna upacara Panjang Jimat di keraton Kasepuhan Cirebon.
Berangsur-angsur para keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu para sultan di
keraton Kasepuhan maupun Kanoman terus mempertahankan tradisi tersebut.
Para sultan sebagai generasi penerus ajaran-ajaran Sunan Gunung Jati selalu
mengamalkan secara baik dan khidmat. Kita dapat melihat prosesi pelaksanaan
upacara Panjang Jimat setiap tanggal 12 Rabi‟ul Awal menurut kalender Hijriyah.
Pada tahun ini, Sultan Arif Natadiningrat sebagai sultan Kasepuhan juga turut
merayakan tradisi Panjang Jimat ini. Dalam perayaan ini terlihat bagaimana Islam
dan budaya Cirebon berbaur dalam suatu harmoni. Nilai-nilai yang diusung
memiliki filosofi yang luhur dari kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw.
Atribut khas yang digunakan tetap memakai produk kebudayaan lokal, seperti:
petugas upacara, termasuk sultan yang menggunakan kain dan belangkon bermotif
batik Cirebon, hidangannya berupa masakan khas Cirebon bukan nasi kebuli,
146
bahasa yang digunakan menggunakan bahasa lokal, dan atribut perayaan (pusaka)
merupakan benda-benda peninggalan Kesultanan Cirebon.
Tommy Christomy (2001:59) mengatakan, “Sufism is an Islamic mystical
traditions which expresses not only ascetic rituals but also model of social
practices. As a social practice sufism has an intensive contact with other different
traditions, which the creates various impact on its articulations”. Jadi, tasawuf
sebagai praktik sosial dapat berjalan beriringan dengan tradisi lain di mana tradisi
tersebut dapat banyak dipengaruhi ajaran tarekat. Nilai-nilai (rules) yang terdapat
dari perayaan tradisi panjang jimat pun tidak lepas dari peranan sultan sejak masa
Sunan Gunung Jati hingga saat ini. Sunan Gunung Jati telah menciptakan format
perayaan maulid Nabi Saw. dengan sangat “membumi” yang terus dipraktikan
oleh para sultan penerusnya. Maka di sini, sultan memiliki peran ganda sebagai
pemangku adat dan tokoh agama.
Memang pada masa Sunan Gunung Jati sultan sembari merangkap sebagai
pemimpin negara. Namun sejak masa kemerdekaan RI, sultan tidak lagi memiliki
otoritas politk. Mengingat para sultan adalah keturunan Sunan Gunung Jati, tak
jarang sultan juga merangkap sebagai mursyid tarekat Syattariyah yang juga
warisan Sunan Gunung Jati. Dengan perannya saat ini sebagai pemangku adat dan
tokoh agama, sultan dapat dilihat memiliki fungsi signifikansi, yaitu dengan
mempertahankan rules dalm bentuk tradisi Panjang Jimat sebagai suatu
manifestasi simbolik perayaan kelahiran Nabi. Sultan tetap mempertahankan
warisan leluhurnya dengan terus mempraktikan perayaan ini setiap tahunnya.
147
Dalam perayaan Panjang Jimat ini, fungsi signifikansi tersebut juga terlihat
dari makna-makna setiap bagian dari prosesi ini sebagaimana telah dijelaskan.
Dari ajaran Syattariyah terdapat konsep „martabah pitu‟ (martabah tujuh: ajaran
penciptaan alam dan manusia melalui penampakan diri Tuhan dalam tujuh
tingkatan; ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam mithal, alam arwah, alam ajsam,
insan kamil) yang diadopsi menjadi tujuh iringan panjang jimat. Makna-makna
filosofis yang terdapat di dalamnya juga bersumber dari ajaran Syattariyah karena
memang merupakan warisan Sunan Gunung Jati sebagai mursyid Syattariyah.
Dengan demikian, tarekat Syattariyah telah berkontribusi terhadap signifikansi
makna tradisi upacara Panjang Jimat, yang mana para mursyidnya yang terkadang
merangkap sultan juga tetap mempertahankan tradisi ini dari satu generasi ke
generasi berikutnya tanpa merubah suatu apapun dari setiap prosesi upacara ini.
Walaupun dalam proses signifikansi para mursyid sebagai agen berperan
dalam menanamkan aspek simbolik ajaran tarekat dalam tradisi Panjang Jimat,
para mursyid beserta murid dan keluarga keraton tidak meninggalkan tradisi
tersebut dan terus mempraktikannya secara berkelanjutan. Bahkan di tengah era
modernisasi keraton yang sarat dengan perubahan pemikiran yang semakin
rasional, tradisi ini masih tetap dipraktikan dari tahun ke tahun dengan dukungan
dan partisipasi masyarakat yang sangat antusias dengan motivasi untuk mendapat
keberkahan. Jadi dapat dilihat suatu dualitas yang mana di satu sisi mursyid
berperan dalam mempengaruhi aspek simbolik tradisi Panjang Jimat, tetapi di sisi
lain mereka tetap mempertahankan dan mempraktikannya secara terus menerus.
148
B.4. Modernisasi di Keraton
Kontribusi keempat dari tarekat Syattariyah terhadap perkembangan
institusi keraton ialah modernisasi di keraton. Modernisasi ini terlihat dari
perubahan fungsi keraton yang berbeda dengan fungsi tradisionalnya dan adanya
sistem birokrasi dalam kepengurusan keraton. Di dalam proses perubahan tersebut
tarekat berperan dalam mempertahankan nilai-nilai dan tata-krama (pepakem)
yang ada di keraton.
Saat ini keraton telah berubah dari fungsi awalnya yang holistik sebagai
institusi pemerintahan, kebudayaan, dan institusi agama. Keraton di Cirebon, baik
Keraton Kasepuhan, Kanoman, maupun Kaprabonan, tidak lagi menjalankan
fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan keagamaan, di mana. sultan tidak lagi
berperan sebagai kepala negara dan pemuka agama („ulama wa „umaro) seperti
peran yang dijalankan Sunan Gunung Jati sampai keturunan ke-15. Sekarang,
sultan hanya berperan sebagai “pemangku adat” dan keraton lebih berfungsi
sebagai institusi simbolik atau pusat kebudayaan. Menurut sesepuh keraton
Kasepuhan, Bapak Her. Mungal:
Setelah merdeka jadi NKRI, sultan hanya tokoh masyarakat, pemangku adat,
turun-temurun kesultanan. Karena keraton ini bukan lembaga perusahaan, bukan
lembaga pemerintahan, keraton ini sebagai situs cagar budaya yang dilindungi
oleh pemerintah. Jadi lebih tepatnya sebagai lembaga adat, lembaga tradisional.
Jadi, perubahan fungsi ini merupakan konsekuensi modernisasi dari
berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dalam bentuk republik.
Sejak tahun 1945, keraton telah melebur ke dalam Republik Indonesia dan
menimbulkan banyak konsekuensi perubahan pada institusi ini. Konsekuensi
149
tersebut antara lain: (1) Legitimasi kekuasaan keraton melebur ke dalam negara
yang kekuasaannya dialihkan kepada pemerintahan daerah; (2) Sultan hanya
berperan sebagai pemangku adat dan tidak berwenang menjalankan peran politis
untuk menjalankan pemerintahan; (3) Tanah kekuasaan keraton Cirebon sebagian
besar harus diserahkan ke negara dan semakin mempersempit areal keraton; (4)
Fungsi keraton yang semula berfungsi sebagai pusat kebudayaan, agama, dan
pemerintahan, hanya menjalankan fungsinya sebagai pusat kebudayaan.
Selanjutnya Bapak Her. Mungal juga menjelaskan:
Sejak masa sultan ke-18, oleh beliau keraton ini setahap demi setahap dibenahi
sebagai sentra budaya, obyek wisata, dan obyek penelitian untuk para pelajar dan
mahasiswa demi kepentingan studinya. Jadi sekarang banyak peneliti-peneliti
yang ke sini, dari luar negeri pun banyak.
Jadi, sejak masa kesultanan Cirebon ke-18, keraton sampai saat ini
berfungsi sebagai pusat kebudayaan, obyek wisata, dan obyek penelitian. Sebagai
pusat kebudayaan keraton menjalankan fungsinya dalam me-maintanence
(mempertahankan pola) budaya, dalam bentuk tradisi keagamaan dan tata-krama,
serta peninggalan-peninggalan budaya dari era kesultanan Cirebon sewaktu masih
aktif sebagai negara. Sebagai obyek wisata, keraton menjadi tempat rekreasi bagi
masyarakat untuk melihat peninggalan-peninggalan kesultanan Cirebon, seperti
naskah kuno, benda-benda kuno, dan bangunan keraton yang masih dalam bentuk
aslinya. Sebagai obyek penelitian, keraton memang sering kali menjadi tempat
penelitian bagi para akademisi yang berasal dari berbagai universitas dengan
latarbelakang disiplin ilmu yang berbeda-beda, seperti: sejarah, filologi, sosiologi,
antropologi, ushuluddin, ataupun politik.
150
Berdasarkan observasi peneliti, ketiga fungsi keraton saat ini, baik sebagai
pusat kebudayaan, obyek wisata dan obyek penelitian, dijalankan melalui sistem
birokrasi seperti kampus, perusahaan, atau pemerintahan. Terdapat struktur yang
baku dalam kepengurusan keraton, mulai dari sultan sebagai pimpinan tertinggi,
lurah keraton, abdi dalem, dan pengurus administrasi keraton. Keraton juga
memiliki koperasi dan loket masuk, yang dananya digunakan untuk membiayai
kepengurusan keraton. Semua kepengurusan keraton dijalankan secara semi-
formal di mana pengurus keraton berasal dari lingkungan keluarga keraton dan
sistem kepengurusan memakai sistem birokrasi modern.
Dengan berbagai perubahan tersebut dapat dilihat bahwa keraton telah
mengalami proses modernisasi, yaitu proses untuk menjadi modern yang ditandai
oleh rasionalitas keluarga keraton yang semakin tinggi, yang ditandai oleh
perubahan fungsi keraton dan sistem birokrasi kepengurusan keraton. Modernisasi
memiliki konsekuensi dengan terpangkasnya fungsi keraton, yang mengalami
spesialisasi untuk hanya berfungsi sebagai institusi kebudayaan, dan tidak
berwenang secara politis sebagai institusi pemerintahan. Terlihat bahwa institusi
keraton melakukan adaptasi dengan melebur kepada negara, menggunakan sistem
negara, tunduk kepada negara. Walaupun fungsi keraton tidak lagi memiliki
legitimasi dan otoritas politik, keraton tetap mempertahankan pola kebudayaan
dan tradisi di kraton.
Dalam proses modernisasi ini, tarekat Syattariyah berperan dalam
mengontrol laju perkembangan keraton agar tetap sesuai dengan pepakem yang
sudah ada dan sesuai dengan syari‟at agama. Rama guru selaku mursyid tarekat
151
menjalankan peran sebagai penasihat sultan. Ketika keraton menghadapi masalah,
sultan berkunjung ke pengguron untuk meminta wejangan atau nasihat dari rama
guru. Tujuannya adalah agar kebijakan yang dijalankan sesuai dan tidak
menyimpang dari ajaran yang diwariskan Sunan Gunung Jati.
Dengan peran demikian, tarekat menjalankan peran keraton sebagai pusat
keagamaan, melalui pengguron-pengguron yang berada di luar keraton. Jadi
modernisasi telah memberikan pembagian fungsi institusi keraton yang awalnya
sebagai pusat pemerintahan, keagamaan, dan kebudayaan, sekarang hanya
menjalankan fungsi kebudayaan. Semantara fungsi pemerintahan dialihkan ke
negara, fungsi agama dialihkan kepada pengguron. Jadi, pengguron tarekat dapat
dikatakan sebagai cabang keraton yang khusus menangani masalah keagamaan, di
mana rama guru berperan sebagai dewan penasihat sultan.
Sebagai pusat keagamaan di keraton, pengguron juga berperan dalam
mempertahankan tradisi keagamaan di keraton. Sebagaimana telah disinggung,
walaupun keraton telah mengalami modernisasi, keraton tetap mempertahankan
tradisi dan pepakem yang ada. Tradisi keagamaan, semisal Panjang Jimat,
mendapat pengaruh kuat dari ajaran tarekat. Tarekat pun berperan dalam
mempertahankan pola dan pepakem tradisi tersebut. Seperti Rama Guru Bambang
Iriyanto, selain sebagai mursyid tarekat, beliau merupakan dewan kebudayaan di
Keraton Kacirebonan. Dalam setiap pelaksanaan tradisi panjang jimat, rama guru
Bambang selalu diundang untuk mengawasi/mengontrol pelaksanaan upacara
keagamaan. Hal ini merupakan tindakan untuk menjaga pola tradisi dan pepakem
agar sesuai dengan pola terdahulu yang bersumber dari ajaran tarekat.
152
Dalam perspektif strukturasi, dapat dilihat bahwa peran tarekat dalam proses
modernisasi keraton sebagai dewan penasihat keraton merupakan proses
signifikansi. Rama guru berperan mempertahankan aspek simbolik dalam bentuk
nilai-nilai dan tradisi di keraton. Hal ini adalah konsekuensi dari keraton sebagai
institusi simbolik, di mana sultan dan rama guru menjalankan peran signifikansi
dalam mempertahankan pola kebudayaan di keraton.
Ketika menjalankan peran signifikansi ini, rama guru melakukan reflexive
monitoring of action di mana rama guru mengawasi/mengontrol pelaksanaan
tradisi dan pepakem di keraton. Tujuan dari tindakan ini ialah agar tradisi yang
ada tetap bertahan dan sesuai dengan institusi simbolik yang bersumber dari
ajaran tarekat. Walaupun rama guru tidak lagi memimpin pengguron di dalam
keraton, perannya sangat penting dalam mempertahankan nilai-nilai dan tradisi,
yang mana tanpa kontrol dari mursyid, nilai-nilai simbolik di keraton dapat
memudar atau tergilas oleh modernisasi. Konsekuensi modernisasi yang banyak
menuntut perubahan di keraton, dikhawatirkan dapat merubah pepakem dan
tradisi yang ada. Di sinilah mursyid berperan dalam mempertahankan nilai-nilai
tersebut agar dapat sesuai dengan perubahan di keraton.
Di tengah modernisasi ini, peran signifikansi mursyid dan sultan dalam
mempertahankan pepakem di keraton merupakan proses dualitas dari perubahan
di keraton. Keraton telah mengalami perubahan fungsi sebagai konsekuensi dari
sultan untuk meleburkan keraton ke dalam Republik Indonesia. Sultan dan
mursyid tidak lantas terlepas dari perubahan tersebut karena mereka juga di satu
sisi harus menyesuaikan dan tunduk terhadap konsekuensi perubahan. Mereka
153
menjalankan peran di keraton dengan memodifikasi sistem keraton dengan tetap
mempertahankan pepakem dan tradisi yang ada. Jadi, dualitas dari peran agen dan
struktur dalam modernisasi keraton terlihat dari peran mursyid dan sultan dalam
mempertahankan tradisi di tengah perubahan fungsi keraton yang juga merupakan
kontribusi dari mereka dalam menyikapi perubahan di tataran negara.
Dengan demikian, dapat dilihat kontribusi tarekat Syattariyah terhadap
keraton yang meliputi: berdirinya keraton, peralihan dari Kerajaan Pajajaran ke
Kesultanan Cirebon, tradisi Panjang Jimat, dan modernisasi di keraton. Dalam
kontribusi terhadap berdirinya keraton, dapat dilihat proses dominasi mursyid
Syattariyah (Sunan Gunung Jati dan Pangeran Cakrabuana) yang menggunakan
peran politisnya untuk menyebarkan Islam melalui institusi politk (keraton).
Dalam kontribusi terhadap peralihan dari Kerajaan Pajajaran ke Kesultanan
Cirebon dapat dilihat peran mursyid dalam melakukan sense of transformatif
dengan mengubah tatanan sosial dari Hindu ke Islam dengan legitimasi politisnya.
Kemudian dalam kontribusi terhadap berkembangnya tradisi di keraton,
khususnya tradisi Panjang Jimat, dapat dilihat proses signifikansi berupa
pembentukan aspek simbolik keraton, di mana mursyid berperan sebagai sumber
(resources) dari ajaran-ajaran dan tradisi (rules) di keraton. Terakhir, dalam
kontribusi terhadap modernisasi keraton, mursyid berperan mempertahankan
aspek simbolik di keraton dengan melakukan reflexive monitoring of action, agar
nilai-nilai dan tradisi dapat selaras dan terus bertahan di tengah perubahan keraton
akibat modernisasi. Dari keempat kontribusi tersebut, para mursyid tidak lepas
dari tindakannya dalam mempengaruhi struktur keraton, baik berupa nilai-nilai,
154
tradisi, ataupun perubahan di keraton yang sebagian besar bersumber dari ajaran
tarekat. Para mursyid juga turut dipengaruhi oleh struktur yang ada dan mereka
tetap tunduk terhadap pepakem dan tradisi di keraton. Hubungan dialektis antara
peran mursyid dan perubahan di keraton tersebut merupakan dualitas yang tidak
dapat dihindarkan sebagai kontribusi mursyid mempengaruhi struktur keraton.
C. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Institusi Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep
Selain keraton, institusi sosial yang perkembangannya banyak dipengaruhi
oleh tarekat Syattariyah ialah pondok pesantren. Sejak masa wali songo dahulu,
telah banyak pondok pesantren yang berkembang di Cirebon sehingga dapat
ditemui banyak pondok pesantren klasik yang masih menyimpan sisa-sisa
penyebaran Islam generasi terdahulu, seperti: masjid kuno, kitab-kitab klasik,
tradisi dan kesenian Islam yang sarat dengan aspek singkretisme. Adapun pondok
pesantren yang akan dibahas di sini ialah pondok pesantren Buntet dan Benda
Kerep. Kedua pesantren ini merupakan dua pesantren tertua di Cirebon yang telah
berumur sekitar III-IV abad. Kedua pesantren ini juga memiliki pengaruh yang
kuat dari ajaran tarekat Syattariyah.
Pesantren Buntet dan Benda Kerep memiliki genealogis yang sama yang
berujung pada Mbah Muqoyyim. Beliau merupakan salah satu pennganut tarekat
Syattariyah yang dahulu menjabat sebagai mufti keraton Kanoman. Melalui Mbah
Muqoyyim, ajaran tarekat Syattariyah yang berkembang di keraton banyak
berkontribusi bagi perkembangan kedua pesantren ini. Oleh karena itu, kontribusi
155
tarekat Syattariyah dapat tersebar di luar lingkungan keraton berkat peran dari
Mbah Muqoyyim dengan berdirinya kedua institusi pesantren ini.
Dengan analisis berdasarkan perspektif strukturasi, peneliti akan tetap
menggunakan konsep substantives yang mengandung tiga aspek: signifikansi,
dominasi, dan legitimasi. Kemudian institusi pesantren juga dilihat sebagai
institusi pendidikan yang telah menjadi media bagi penyebaran tarekat dan
pembumian ajaran-ajaran tarekat. Mursyid akan dilihat sebagai agency yang
menjadi tokoh sentral dalam membahas kontribusinya terhadap struktur pesantren.
Dengan mengacu pada berbagai konsep ini, arah dari analisis ini akan
lebih bersifat komparatif (pebandingan antar institusi). Peneliti berusaha membuat
perbandingan antara kontribusi tarekat Syattariyah di Buntet dan di Benda Kerep
melalui kasus-kasus yang bersifat sosiologis. Berikut adalah hasil analisis dari
kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi pesantren.
C.1. Berdirinya Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep
Secara historis, pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep termasuk dalam
pondok pesantren klasik yang telah berumur ratusan tahun. Kedua pondok
pesantren tersebut juga sama-sama berdiri atas prakarsa dua orang tokoh tarekat
Syattariyah, yaitu Mbah Muqoyyim dan Mbah Kyai Soleh. Sampai sekarang pun,
kedua pondok pesantren ini masih sarat akan tradisi yang bersifat sufistik sebagai
bagian dari kontribusi tarekat.
Pondok pesantren Buntet berdiri pada tahun 1758 oleh Mbah Muqoyyim.
Sebenarnya, sebelum mendirikan Buntet, Mbah Muqoyyim (Kyai Muqoyyim)
156
merupakan mufti keraton yang bertugas mengurusi bidang keagamaan di keraton
pada masa kolonial Belanda. Namun karena pandangan dan sikap yang non-
kooperatif terhadap Belanda yang telah banyak mencampuri urusan internal
keraton, Kyai Muqoyyim memilih pergi meninggalkan keraton dan berkelana
menyeb arkan syi‟ar Islam ke wilayah sekitar Cirebon. Kyai Muqoyyim pun
berdakwah secara nomaden dari satu tempat ke tempat lain (Hasan, 2014:20-21).
Beliau memilih tidak menetap karena dakwahnya dianggap mengancam
dominasi status quo Belanda yang dapat memicu pemberontakan. Setelah beliau
berkelana bertahun-tahun, akhirnya beliau menetap di sebelah barat Sindang Laut,
di tempat yang bernama Buntet. Tempat pertama kali dakwah beliau bukan
terletak di pondok pesantren Buntet sekarang, tetapi di sebelah selatan desa.
Peninggalan dakwah Kyai Muqoyyim ialah adanya makam santri, yang dipercaya
sebagai makam santri beliau yang dibunuh Belanda secara membabi-buta karena
gagal menyergap beliau (Hasan, 2014:22).
Gambar 4.3 Makam Santri di Buntet Sebagai Bukti Dakwah Mbah Muqoyyim
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Buntet pada tanggal 5 Mei 2015.
157
Awalnya santri Kyai Muqoyyim hanya berjumlah sedikit yang terbatas pada
masyarakat sekitar desa saja. Lama-kelamaan, orang-orang mulai melihat
karomah dari beliau dan bersimpati sehingga banyak orang berguru pada beliau
yang berasal dari berbagai wilayah dari Jawa Barat ataupun Jawa Timur. Dengan
santri yang semakin banyak akhirnya berdirilah pondok pesantren Buntet pada
sebagai pondok pesantren pertama di Cirebon. Maka dari sini, dapat dilihat bahwa
berawal dari mufti keraton, Mbah Muqoyyim telah berkontribusi terhadap
berdirinya pondok Pesantren Buntet.
Menurut Kyai Kyai Babas: “Mbah Muqoyim mufti keraton, otomatislah karena
thoriqoh Syattariyah itu menjadi thoriqoh kesultanan, ya otomatis para muftinya juga.
Tapi dari ajaran-ajaran beliau juga itu mengarah kepada thoriqoh Syattariyah”. Mbah
Muqoyyim yang merupakan mursyid tarekat telah berperan dalam membentuk
suatu institusi sosial dalam format pondok pesantren dengan basis ajaran tarekat
Syattariyah. Di sini terdapat proses legitimasi dalam perspektif strukturasi. Latar
belakang beliau sebagai mufti keraton telah memberikan legitimasi (keabsahan)
sehingga keraton pun mendukung tindakan beliau untuk berdakwah mendirikan
pesantren. Namun Belanda bersikap skeptis terhadap berdirinya pondok pesantren
Buntet karena sikap non-kooperatif dari Mbah Muqoyyim terhadap pemerintah
kolonial. Walaupun tidak mendapat legitimasi dari pihak kolonial, dukungan
keraton akhirnya telah memberikan dominasi terhadap usaha penyebaran Islam
yang sulit dilakukan di keraton karena berada di bawah pengawasan Belanda.
Singkatnya, Mbah Muqoyyim sebagai mursyid tarekat Syattariyah telah
berkontribusi terhadap berdirinya pesantren Buntet sebagai basis penyebaran
158
Islam dan tarekat. Bahkan mendominasi peran penyebaran Islam yang semula
dilakukan keraton.
Sebagaimana di Buntet, berdirinya pesantren Benda Kerep juga merupakan
kontribusi dari mursyid tarekat Syattariyah. Pesantren Benda Kerep didirikan
sekitar tahun 1830-an oleh Mbah Kyai Soleh di sebidang tanah yang merupakan
hibah dari Keraton Kanoman. Beliau merupakan keturunan Mbah Muqoyyim
yang juga merupakan salah satu mursyid tarekat Syattariyah di Buntet. Kyai
Hasan, mursyid tarekat Syattariyah dan sesepuh Pesantren Benda Kerep
menjelaskan:
Nah kenapa, di sini namanya Benda Kerep, itu awalnya namanya Alas
Cimeuweuh. Kalau bahasa Sunda, Ci itu air, nah eweuh itu enggak ada, enggak
kelihatan. Kakek saya datang, jadilah pemukiman. Babad alas, babad hutan lah
istilahnya. Setelah jadi pemukiman, ditempati orang, namanya diganti jadi Benda
Kerep. Benda itu benda, barang, kerep itu banyak. Jadi banyak bendanya. Benda
juga bisa artinya pohon, karena memang dulu banyak pohon Benda. Kalau
tanahnya sih hibah, hibah dari keraton ke kakek saya supaya dibabad hutan itu
menjadi pedukuhan, ditempati orang, menyiarkan Islam di sini.
Awalnya Benda Kerep merupakan sebuah hutan (alas) yang tidak
berpenghuni dengan nama Cimeuweuh. Lalu keraton Kanoman mengadakan
sayembara, barang siapa yang bisa menduduki daerah ini maka dia akan
menguasai kampung ini. Kemudian datanglah Mbah Kyai Soleh bersama gurunya
yang juga mursyid tarekat, bernama Kyai Anwaruddin Al-Kriyani (Mbah Kyai
Kriyan). Akhirnya, yang semula hutan, dibabat oleh Mbah Kyai Soleh dan
gurunya menjadi pedukuhan dan tempat berdakwah. Kyai Soleh kemudian
mendirikan pondok pesantren dan Ciemeuweuh pun diganti namanya menjadi
Desa Benda Kerep. Nama Benda tersebut diambil dari nama pohon yang banyak
159
terdapat di sana yaitu pohon Benda. Adapun Kerep berarti banyak. Dengan kata
lain, Desa Benda Kerep berarti desa yang terdapat banyak pohon Benda di sana.
Menurut Kyai Hasan, Benda Kerep juga berarti banyak harta, yang maksudnya
masyarakat Benda tidak akan kekurangan karena alamnya subur.
Di pesantren Benda Kerep, tarekat Syattariyah didakwahkan secara terbuka
tidak terbatas di kalangan keluarga secara turun-temurun saja. Masyarakat umum
dan para santri pun dipersilahkan untuk berbai‟at tarekat Syattariyah. Akhirnya
banyak masyarakat yang menganut tarekat dan hampir semua tradisi masyarakat
desa dipengaruhi aspek tarekat. Tarekat Syattariyah pun tumbuh pesat di sana.
Dari segi adat-istiadat ataupun tradisi semuanya memiliki akar ajaran Syattariyah.
Pendirian pondok pesantren pun mendukung proses singkretisme antara tradisi
masyarakat dan ajaran tarekat. Berdirinya pondok pesantren menjadi media dalam
peran mursyid untuk mempengaruhi aspek sosial, budaya, agama, dan sistem
pendidikan di desa Benda. Kontribusi ini tidak lepas dari peran Mbah Kyai Soleh
sebagai agency yang telah berperan dalam proses signifikansi terhadap berdirinya
aspek simbolik dalam struktur institusi pesanten.
Bila dikomparasikan, terdapat persamaan dan perbedaan antara kontribusi
tarekat Syattariyah di Buntet dan Benda Kerep (lihat tabel 4.3). Persamaannya
ialah pertama, Mbah Muqoyyim dan Mbah Kyai Soleh, kedua mursyid tarekat
Syattariyah tersebut telah berkontribusi terhadap berdirinya pondok pesantren
Buntet dan Benda Kerep sebagai sebuah institusi sosial. Kedua, Mbah Muqoyyim
dan Mbah kyai Soleh memiliki akar genealogis yang sama sebagai keturunan
keraton Kanoman. Ketiga, mursyid tarekat Syattariyah di di Buntet dan Benda
160
Kerep telah menanamkan ajaran, aturan, dan tata kehidupan (rules) yang
bersumber dari ajaran tarekat Syattariyah (resources). Keempat, mursyid tarekat
di kedua pesantren tersebut berperan dalam proses signifikansi yang
mentransmisikan ajaran tarekat sebagai aspek simbolik nilai-nilai di masyarakat.
Tabel 4.3 Hasil Komparasi Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Berdirinya
Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep
No Persamaan Perbedaan
1 Pendiri pesantren Buntet dan
Benda Kerep (Mbah Kyai
Muqoyyim dan Kyai Soleh) adalah
mursyid tarekat Syattariyah
Pada awal berdirinya pondok
pesantren, Mbah Muqoyyim
melakukan bai‟at secara lebih inklusif
(tertutup), sementara Mbah Kyai
Soleh melakukan bai‟at secara lebih
inklusif (terbuka)
2 Mbah Muqoyyim dan Mbah kyai
Soleh memiliki akar genealogis
yang sama sebagai keturunan
keraton Kanoman
Pondok pesantren Buntet berdiri
karena sikap anti-kolonial terhadap
Belanda, sementara Benda Kerep
berdiri karena dukungan Keraton
Kanoman
3 Mursyid tarekat Syattariyah di di
Buntet dan Benda Kerep telah
menanamkan ajaran, aturan, dan
tata kehidupan (rules) yang
bersumber dari ajaran tarekat
Syattariyah (resources).
Dominasi tarekat Syattariyah di
Benda lebih kuat, sementara di Buntet
dominasinya tergantikan oleh tarekat
Tijaniyah yang masuk pada generasi
ke-3 kepemimpinan Buntet
4 Mursyid tarekat Syattariyah di
kedua pesantren tersebut telah
berperan dalam proses signifikansi
yang mentransmisikan ajaran
tarekat sebagai aspek simbolik
dalam nilai-nilai sosial di pesantren
Awal berdirinya pesantren Buntet
tidak mendapat legitimasi dari keraton
karena pengaruh politk Belanda.
Sementara berdirinya pesantren Benda
Kerep mendapat legitimasi penuh dari
Keraton Kanoman yang mempelopori
berdirinya Benda Kerep.
Adapun perbedaan dari kontribusi tarekat Syattariyah di Buntet dan Benda
Kerep ialah pertama, pada awal berdirinya pondok pesantren, di Benda proses
bai‟at tarekat Syattariyah berlangsung secara lebih inklusif (terbuka), di mana
161
murid tarekatnya dapat berasal dari kalangan mana saja yang berbai‟at kepada
Kyai Soleh. Berkebalikan dengan di Buntet yang berlangsung secara lebih
eksklusif (terbatas di kalangan keturunan saja), di mana Mbah Muqoyyim hanya
mengijazahkan tarekat kepada keturunannya saja dan tidak secara luas. Kedua,
berdirinya pesantren Buntet merupakan sikap anti-kolonial dari Mbah Muqoyyim
karena tidak bersedia untuk bekerja sama dengan Belanda yang terlalu banyak
ikut campur terhadap masalah internal keraton. Sementara pesantren Benda
berdiri karena adanya sayembara dari keraton Kanoman untuk membuka hutan
menjadi pemukiman yang hadiahnya berupa hibah tanah tersebut. Ketiga,
dominasi tarekat Syattariyah di Benda lebih kuat, sementara di Buntet
dominasinya tergantikan oleh tarekat Tijaniyah sejak generasi ke-3 kepemimpinan
Buntet. Keempat, awal berdirinya pesantren Buntet tidak mendapat legitimasi
politik dari Belanda karena sikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Sebaliknya, berdirinya pesantren Benda Kerep mendapat legitimasi penuh dari
keraton Kanoman yang telah mengadakan sayembara untuk membabad hutan
menjadi pemukiman masyarakat yang akhirnya menjadi pesantren.
C.2. Berkembangnya Tradisi-tradisi di Pesantren
Tarekat Syattariyah di Buntet dan Benda juga telah berkontribusi terhadap
perkembangan tradisi di pesantren. Sifatnya yang neo-sufistik telah mendukung
tarekat ini untuk lebih membumi sehingga dapat bersinergi dengan tatanan sosial
yang ada. Tradisi-tradisi di pesantren Buntet dan Benda pun telah berbaur dengan
ajaran tarekat yang termanifestasi dalam hubungan antara kyai dan santrinya.
162
Tradisi di pesantren yang dipengaruhi oleh ajaran tarekat ialah tradisi
kliwonan, muludan, dan haul. Seperti di pengguron, tarekat di pesantren juga
mengadakan tradisi kliwonan. Tradisi ini merupakan pembacaan manaqib Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani setiap sebulan sekali, tepatnya pada malam Jum‟at Kliwon
dalam kalender Jawa. Sejatinya tradisi ini merupakan tradisi tarekat yang
diterapkan di pesantren. Partisipannya pun tidak hanya dari kalangan murid
tarekat saja, tetapi para santri dan masyarakat juga diperkenankan untuk hadir.
Tradisi kedua yaitu muludan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw).
Sebagaimana di pengguoron, tradisi muludan dilaksanakan secara besar-besaran
dengan acara utamanya yaitu pembacaan kitab Barzanji. Muludan merupakan
tradisi tahunan yang juga berakar dari tradisi tarekat. Secara formal (fiqih), tradisi
muludan tidak diajarakan dalam tradisi Islam yang formalistik. Tradisi muludan
ini dikatakan sebagai bid‟ah hasannah, yaitu ajaran yang tidak dilakukan Nabi
tetapi memiliki fungsi yang positif bagi masyarakat. Tradisi ini mulai dilakukan
semenjak Sunan Gunung Jati menggelarnya secara besar-besaran yang terpusat di
Keraton Pakungwati, yang dikenal dengan acara Panjang Jimat. Para wali lah
yang telah memformulasikan tradisi ini sebagai suatu agenda hari besar Islam.
Kemudian para kyai atau mursyid di Buntet dan Benda yang masih merupakan
keturunan beliau menerapkan tradisi ini di pesantren.
Tradisi ketiga yaitu haul (tradisi tahunan yang dilakukan setiap tanggal dari
kewafatan pendiri atau sesepuh pesantren). Tradisi ini berjalan lebih semarak dari
tradisi muludan. Biasanya di Buntet segenap santri, kyai, alumni, dan masyarakat
pesantren ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Acara pokoknya yaitu rangkaian
163
tawasulan dan tahlil yang dipimpin oleh tokoh keagamaan di pesantren.
Kemudian disusul dengan ceramah dari ulama tingkat nasional yang sengaja
diundang untuk memberikan tausiyah. Terakhir biasanya ditutup dengan
sarasehan dan makan bersama. Tradisi haul ini sejatinya merupakan bentuk
Islamisasi dari tradisi masyarakat nusantara yang dahulu beragama Hindu. Tradisi
perayaan 7 hari, 100 hari, atau 1 tahun kewafatan merupakan tradisi Hindu. Para
wali dengan menekankan aspek tasawuf untuk membumikan ajaran Islam,
memformulasikan tradisi yang sudah berkembang menjadi tradisi Islam melalui
transformasi tradisi Hindu dengan menyisipkan esensi Islam. Ini merupakan
kelebihan dari tasawuf untuk dapat membumikan ajaran Islam dengan meng-
Islamkan tradisi yang sudah ada, khususnya tradisi haul.
Jadi, dapat dilihat bahwa tarekat berkontribusi terhadap berbagai tradisi di
pesantren melalui proses transformasi tradisi dari budaya ke agama, seperti haul,
muludan, kliwonan, ataupun pola hubungan santri-kyai. Para mursyid dan kyai
berperan sebagai agency dalam memformulasi ajaran tarekat yang dapat diterima
di masyarakat. Konsekuensi dari tindakannya telah membentuk tradisi-tradisi
yang sekarang dipraktikan sebagai ritual rutin dan praktik sehari-hari. Dalam
kacamata strukturasi, proses transformasi tradisi ini merupakan bagian
signifikansi para mursyid dengan menyisipkan aspek simbolik dalam tradisi
keagamaan yang telah mengakar di masyarakat menjadi tradisi Islam. Ajaran
tarekat dijadikan sebagai pondasi membumikan aspek tasawuf dalam tradisi di
pesantren. Baik mursyid di Buntet maupun Benda Kerep telah membentuk suatu
institusi simbolik dalam tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat.
164
C.3. Hubungan Sosial di Pondok Pesantren Buntet dan Benda Kerep
Di pondok pesantren Buntet dan Benda Kerep, tarekat Syattariyah juga turut
berkontribusi dalam membentuk hubungan sosial di masyarakat pesantren.
Kontribusi tersebut tercermin dari bagaimana tarekat turut mempengaruhi pola
hubungan-hubungan sosial di pesantren. Hubungan sosial ini dapat dilihat dari (1)
hubungan antara kyai dan santri; (2) pola pernikahan; (3) hubungan antar
penganut tarekat di pesantren; dan (4) hubungan antar pesantren.
Pertama, kontribusi terhadap hubungan antara kyai dan santri. Hubungan
kyai-santri berlangsung dalam hubungan patron-klien. Segala tingkah laku, pola
berpikir dan tindakan dari para santri bersumber dari ajaran kyai. Para santri
sangat taat kepada kyainya yang menyangkut segala hal, baik urusan keagamaan
maupun sikap sehari-hari. Kyai menjadi tokoh sentral dari pesantren yang
dipimpinnya. Santri pun dengan taat mengikuti setiap apa yang kyai perintahkan.
Menurut Kyai Babas:
Pendidikan apa pun di sini, terutama dalam mashalah yaumiyah, yang paling
ditekankan pertama itu akhlaqul karimah. Kalau memang pelajaran dalam kitab
Ta‟lim Muta‟alim, kita wajib menghormati guru, nah ketika santri menghormati
kyai nya itu di atas rata-rata menghormati para guru. Dan itu diterapkan bukan
hanya kepada guru-guru dalam bidang agama, guru matematika pun para santri
diajarkan ta‟dzhim sebagaimana kepada guru-guru dalam bidang agama. Nah
dalam tarekat juga kita diajarkan untuk menghormati, ta‟dzhim kepada guru,
syeikh, orang-orang sufi semua. Nah di sini juga ditekankan untuk pelajaran
aqidah, akhlaq juga dari para kyai, bahwa ketika mengenal kyai, siapa saja orang
yang dekat dengan kyai, keluarga, khodam (pembantu), dll. itu harus dihormati.
Dalam tradisi pesantren, pola hubungan demikian merupakan bagian dari
pendidikan untuk ta‟dzhim (memuliakan) guru. Rujukannya ialah kitab Ta‟lim
165
Muta‟alim yang memuat ajaran tentang bagaimana jalan hidup seorang muta‟alim
untuk dapat mencapai kesuksesan hidup. Di dalamnya, santri diajarakan untuk taat
terhadap guru atau kyainya yang dimotivasi oleh kesuksesan dalam belajar. Maka,
kyai merasionalkan ajaran ini bahwa bila ingin sukses belajar maka haruslah taat
kepada kyai. Dan di dalamnya juga diajarkan untuk menghormati bukan hanya
pada kyainya saja, tetapi juga pada keluarga dan orang-orang yang bersangkutan
dengannya seperti anak, istri, sanak-famili, bahkan khodam (pembantunya).
Tradisi ini telah mengakar dalam pola hubungan santri-kyai di pesantren.
Selanjutnya Kyai Babas menjelaskan tentang pola hubungan kyai-santri ini
sebagai berikut:
Jadi hubungan antara kyai dengan murid, antara guru dengan murid, tidak hanya
sebatas hubungan murid mengaji saja, tetapi ditanamkan ibarat hubungan murid
dengan mursyid. Walaupun seumpama kyainya belum masuk thoriqoh, kyainya
bukan mursyid, tapi yang ditanamkan kepada para santrinya itu, santri adalah
muridnya dan kyai adalah mursyidnya, sehingga ta‟dzhimnya, menghormatinya,
tidak seperti guru biasa, tapi seperti guru spiritual ataupun guru mursyid. Jadi
hubungan antara santri dengan kyainya diibaratkan hubungan murid dengan
mursyidnya.
Maka demikian, konsep ta‟dzhim terhadap kyai ini sejatinya merupakan
bagian dari manifestasi untuk mahabbah terhadap mursyid. Secara linear, para
mursyid di Buntet dan Benda Kerep yang juga berpredikat kyai menerapkan
konsep mahabbah ini dalam pola hubungan ta‟dzhim terhadap kyai. Serupa
dengan ta‟dzhim terhadap kyai, konsep mahabbah terhadap mursyid berartikan
bahwa para murid haruslah menaati segala perintah, ucapan, perbuatan, dan
menghomati keluarga dan sanak famili mursyidnya. Tujuannya ialah mencapai
kesuksesan dalam menapaki jalan spiritual karena mursyid dipandang sebagai
166
wakil Nabi yang berderajat wali. Pola hubungan ini pun telah mengakar dan
membudaya di kalangan tarekat dan juga pondok pesantren. Dengan demikian,
ajaran ta‟dzhim terhadap kyai bersumber dari konsep mahabbah yang diajarkan
dalam tarekat.
Kedua, kontribusi terhadap pola pernikahan di pesantren. Di pesantren
Buntet pada umumnya, penganut tarekat Syattariyah menikah dengan sesama
penganut Syattariyah. Hal itu didasari oleh adanya kesamaan pola pikir, amalan,
dan ritual yang dijalankan karena berada dalam satu lingkup tarekat yang sama.
Namun demikian, beberapa kasus mencerminkan bahwa terdapat sebagian
masyarakat pesantren yang menikah dengan penganut tarekat yang berbeda,
seperti murid-murid dari Kyai Babas. Sebagaimana dijelaskan bahwa di Buntet
mayoritas masyarakat Buntet merupakan penganut tarekat Tijaniyah, sementara
Syattariyah jumlahnya minoritas. Hal ini mendorong adanya pernikahan antar
penganut Syattariyah dan Tijaniyah di Buntet. Karena memang pernikahan beda
tarekat tidak dilarang dalam dunia tasawuf. Menurut Kyai Babas:
Jadi, kalau di Buntet unik, ada memang suaminya thoriqoh Syattariyah, istrinya
thoriqoh Tijaniyah. Contohnya Kyai Abdullah Abbas itu dia kan mursyid
Syattariyah, tapi Nyai Zaenab nya Tijaniyah. Sehingga keadaan ini berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat sekitar. Jadi keberadaan tarekat Syattariyah
dengan Tijaniyah telah mewarnai kehidupan para santri, kehidupan masyarakat
sekitar, kehidupan keluarga, sudah diwarnai dengan perjalanan kedua tarekat ini.
Kendati menikah beda tarekat, hubungan antar suami-istri dalam keluarga
berjalan secara harmonis. Tidak ada perselisihan yang didasarkan atas perbedaan
aliran tarekat. Hanya saja memang amalan harian (wiridan) antar suami-istri
memang berlainan karena setiap tarekat memiliki patokan amalan masing-masing.
167
Perbedaan itu pun sebatas amalan saja, sehari-hari hubungan mereka berjalan
harmonis dan perbedaan tarekat bukan menjadi sumber konflik dalam pernikahan.
Bila dibandingkan, di pesantren Buntet tarekat Syattariyah lebih minoritas,
sementara di Benda Kerep Syattariyah lebih mendominasi. Kebanyakan murid
dari Kyai Hasan pun menikah dengan sesama penganut Syattariyah. Pernikahan
sama tarekat telah menjadi suatu kriteria pertimbangan dalam memilih pasangan.
Memang pernikahan beda tarekat tidak dilarang, namun nilai-nilai sosial yang
berkembang menjadikan pernikahan sama tarekat sebagai suatu syarat memilih
pasangan. Hal ini bertujuan agar hubungan dalam rumah tangga lebih harmonis
dan tidak ada suatu perselisihan yang meruncing.
Ketiga, kontribusi terhadap hubungan sesama anggota tarekat. Di Buntet
dan Benda Kerep, tarekat juga berkontribusi dalam membentuk hubungan antar
penganut tarekat menjadi lebih personal. Bila di pengguron hubungan antar murid
tarekat dan mursyid lebih bersifat sosial dan terbuka, di pesantren hubungan
tersebut lebih bersifat personal dan tertutup. Hal ini dikarenakan di pesantren,
tarekat lebih dipandang sebagai amalan individual yang dijalankan secara sendiri-
sendiri. Kyai Hasan menjelaskan tentang pandangannya pada tarekat yang lebih
bersifat wirid:
Kan thoriqoh cuma wiridan. Wiridnya itu sendiri-sendiri. Intinya sih membaca
kalimat laa ilaha illallah. Paling kalau acara yang ramai itu haul saja. Kalau
thoriqot sih sendiri-sendiri. Nanti sesekali mereka balik lagi ke sini. Silaturahmi.
Mulaqqo lah, nah nanti saya perhatikan perkembangannya.
Berdasarkan pandangan Kyai Hasan tersebut, maka dapat dilihat bahwa
tarekat adalah aktivitas individual, berupa amalan yang sifatnya personal. Di sini
168
juga tidak ada aktivitas ketarekatan semisal dzikiran, yang dilakukan secara
berjamaah. Malahan terkadang, antar sesama penganut tarekat tidak saling kenal
satu sama lain. Oleh karena itu, tidak ditemukan aktivitas ketarekatan yang
dilakukan secara sosial, kecuali dalam perayaan tradisi keagamaan, seperti haul
yang sifatnya umum.
Keempat, kontribusi terhadap hubungan antar pesantren. Saat ini, pola
hubungan antara pesantren Buntet dan Benda terbilang kurang harmonis.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Benda Kerep secara genealogis merupakan
keturunan dari Buntet, karena Mbah Kyai Soleh merupakan anak dari Kyai Abdul
Jamil, atau kakak dari Kyai Abdullah Abbas, yang seharusnya mewarisi
kepemimpinan Buntet. Namun karena pada masa itu tarekat Tijaniyah mulai
mendominasi di Buntet, akhirnya hal itu menjadi salah satu faktor yang
mendorong Kyai Soleh untuk mendirikan Benda Kerep dan menyebarkan tarekat
Syattariyah di sana. Kyai Annas, yang merupakan mursyid Tijaniyah menjelaskan
secara panjang lebar:
Kenapa Buntet gak pernah akur dengan Benda Kerep, karena Buntet sudah
Tijaniyah. Jadi awalnya, Kyai Muta‟ad punya putera yang mendirikan pondok itu
tiga. Yang berhak memimpin tambuk kekuasaan Buntet Pesantren itu Kyai Sholeh.
Nah Benda Kerep itu sebetulnya jatahnya Kyai Abdul Jamil. Kerena Benda Kerep
itu bukan punya Buntet, itu tanah yang diberikan oleh keraton untuk Kyai Abdul
Jamil. Kyai Sholeh tidak sanggup menerima modernisasi. Akhirnya Kyai Sholeh
yang memimpin Benda Kerep, Kyai Abdul Jamil memimpin Buntet. Tukeran lah
gitu. Buntet zaman Kyai Annas mengambil tarekat Tijaniyah, akhirnya Benda
Kerep menjauhi Buntet. Itu karena satu modernisasi, dua karena tarekatnya beda,
Tijaniyah. Akhirnya sampai sekarang tidak ada orang Benda Kerep yang mencoba
menjalin hubungan kekeluargaan dengan menikahkan putera-puterinya dengan
orang Buntet.
169
Dengan kata lain, akibat perbedaan aliran tarekat akhirnya hubungan antara
pesantren Buntet dan Benda Kerep menjadi tidak harmonis. Selain faktor
perbedaan tarekat, memang penerimaan Buntet terhadap modernisasi juga memicu
ketidakharmonisan hubungan antara Buntet dan Benda Kerep. Dengan demikian,
dalam kasus ini tarekat berkontribusi sebagai sumber konflik dari hubungan antar
Buntet dan Benda Kerep. Bahkan, sampai saat ini masyarakat Benda tidak
diperkenankan untuk menikah dengan masyrakat Buntet.
C.4. Modernisasi Pondok Pesantren
Saat ini pondok pesantren Buntet telah bertransformasi menjadi pesantren
modern. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya sekolah dalam format madrasah
„aliyah dan tsanawiyah. Kebijakan untuk memodernisasikan pondok pesantren
memiliki tujuan untuk dapat membekali para santri dengan skill yang lebih agar
setelah lulus dapat lebih berkompetisi di era modern saat ini.
Kendati telah modern, para ulama Buntet tidak menghilangkan unsur
tradisional pesantren berupa pengajaran kitab kuning dan tata-cara kehidupan
santri. Para kyai juga tetap membuka pengajian rutin selepas para santri selesai
sekolah. Biasanya pada pagi hari dari pukul 07.00-14.00 para santri sekolah, dan
mulai pukul 16.00 atau setelah shalat ashar mereka memulai pengajian kitab
sampai pukul 21.00 malam. Pola pengajaran ini menjadi suatu perpaduan antara
unsur modern dan tradisional sebagai bentuk adaptasi terhadap modernisasi.
Modernisasi pondok pesantren ini pun tidak lepas dari peran para mursyid
tarekat yang terdapat di Buntet. Para mursyid tidak menolak modernisasi, tetapi
170
bersikap lebih selektif. Mereka mengambil hal-hal positif dari kemajuan
peradaban dan menyisihkan hal-hal negatif. Ini merupakan bagian dari sikap
tarekat Syattariyah yang neo-sufistik yang dapat bersinergi dengan tradisi dan hal-
hal lain di luar tarekat. Dalam sudut pandang strukturasi, para mursyid telah
berperan dalam proses monitoring of action prihal modernisasi di pesantren.
Mereka mengadopsi sistem sekolah bagi para santri dengan tidak meninggalkan
aspek tradisional dalam sistem pengajaran pesantren.
Seperti figur Kyai Babas, selain berpredikat sebagai mursyid, beliau juga
mengajar di madrasah dan menjadi kepala sekolah MANU Putra. Beliau tetap
membai‟at dan memimpin para murid tarekat di Buntet dengan tetap mengajar di
sekolah. Beliau juga tidak meninggalkan unsur tradisional pengajian kitab di
pondok Andalucia yang dipimpinnya. Dengan kata lain, walaupun Kyai Babas
seorang mursyid, beliau tidak menafikan modernisasi intitusi pesantren. Bahkan,
beliau ikut berpartisipasi dalam struktur kepengurusan madrasah di Buntet.
Berbeda dengan proses monitoring di pesantren Benda Kerep. Para mursyid
yang juga merangkap kyai menolak mentah-mentah modernisasi di pondok
pesantren. Para ulama Benda Kerep tetap menerapkan sistem pengajaran klasik
yaitu sistem sorogan pembacaan kitab kuning. Mereka memandang sekolah dapat
mengkontaminasikan ajaran-ajaran dan tradisi ketarekatan dan merubah tatanan
sosial yang sudah ada. Sikap selektif ini merupakan bagian dari monitoring of
action para mursyid terhadap modernisasi institusi pendidikan pesantren.
Sebagaimana telah dijelaskan pula bahwa modernisasi pondok pesantren ini juga
171
menjadi pemicu hijrahnya Kyai Soleh dari Buntet dan mendirikan pondok
pesantren Benda Kerep.
Bila dikomparasikan proses monitoring of action antara mursyid di pondok
pesantren Buntet dan Benda Kerep, keduanya saling kontradiktif prihal
modernisasi pondok pesantren. Mursyid di Buntet lebih bersifat inklusif terhadap
modernisasi pendidikan. Mereka mengadopsi sistem sekolah dan mengombinasi-
kan dengan sistem sorogan tanpa menghilangkan unsur tradisional. Sementara
mursyid di Benda kerep cenderung menolak modernisasi pondok pesantren
dengan tujuan menjaga tatanan sosial yang sudah ada agar tidak terkontaminasi
oleh hal-hal baru. Di sini peneliti tidak mengunggulkan yang satu di atas yang
lain. Keduanya sikap yang saling kontradiktif ini merupakan bagian dari peran
mursyid sebagai agency. Mursyid di Buntet lebih berorientasi terhadap
pengembangan institusi pesantren, sementara mursyid di Benda lebih berorientasi
untuk me-maintenance pola tradisional yang telah mengakar di institusi pesantren.
Dalam perspektif strukturasi, modernisasi di Buntet juga dapat dilihat
sebagai suatu proses obsolence (keusangan) dari struktur yang ada. Struktur
tradisional pesantren yang hanya membekali para santri dengan bekal keagamaan
ataupun amalan-amalan sufistik dinilai tidak relevan dengan perkembangan
zaman yang menuntut adanya keseimbangan antara agama dan sains. Para santri
memerlukan skill baik pengetahuan maupun keahlian untuk dapat berpartisipasi,
bahkan berada di garda depan untuk berprestasi di era modern. Oleh karena itu,
para kyai yang juga merangkap mursyid di Buntet memilih untuk menyinergikan
antara tradisi dan modernisasi dengan cara melakukan invensi pada pola
172
tradisional dan sistem pendidikan sekolah. Dengan begitu struktur tradisional
yang dinilai telah usang, diperbaharui dengan sistem pendidikan modern agar
relevan dengan modernisasi dan tuntutan zaman setelah para santri tamat belajar.
Melalui proses demikian, para mursyid telah berperan dalam perubahan
(modernisasi) pendidikan di pesantren melalui transformasi dan kombinasi antara
pola pengajaran kitab kuning dan sistem sekolah. Perubahan tersebut juga turut
mempengaruhi cara pandang dan tindakan mursyid di pesantren, seperti Kyai
Babas yang menjadi guru di madrasah sembari tetap mengajari kitab kuning dan
tarekat. Ini merupakan bagian dari proses dualitas struktur di pesantren, yang
mana mursyid berperan mempengaruhi struktur, tetapi di satu sisi mursyid juga
tidak dapat lepas dari perubahan dalam struktur tersebut sebagai kotribusinya.
Dengan demikian, kontribusi tarekat terhadap institusi pesantren Buntet dan
Benda Kerep meliputi kontribusi terhadap berdirinya pesantren, terhadap
perkembangan tradisi-tradisi di pesantren, terhadap pola hubungan sosial di
pesantren, dan proses modernisasi di pesantren. Dalam kontribusi terhadap
berdirinya pesantren, dapat dilihat bagaimana mursyid berperan dalam mendirikan
pesantren yang mendapat legitimasi politis dari keraton. Di sini juga dapat dilihat
bahwa kesamaan dengan keraton, di mana mursyid berperan terhadap berdirinya
institusi sosial. Dalam kontribusi terhadap berkembangnya tradisi di pesantren,
mursyid memiliki peran signifikansi dengan membentuk aspek simbolik pesantren
berupa tradisi kliwonan, muludan, dan haul yang dipengaruhi nilai-nilai sufistik
ajaran tarekat. Dalam kontribusi terhadap pola hubungan sosial di pesantren,
mursyid sebagai agency berperan dalam proses monitoring of action dalam
173
memonitor bentuk dan pola hubungan sosial yang mempengaruhi hubungan
antara santri-kyai, pola pernikahan, hubungan antar sesama anggota tarekat, dan
hubungan antar pesantren. Dengan proses monitoring of action, mursyid juga
berperan dalam mempengaruhi perkembangan institusi pesantren dalam proses
modernisasi. Mursyid memiliki otoritas untuk menentukan pola perubahan dan
pengembangan pesantren untuk menerima modernisasi dengan memadukannya
bersama pengajaran kitab kuning di pesantren, atau menolaknya dengan
memertahankan format institusi pesantren untuk tetap mengikuti pola tradisional.
Dengan berbagai kontribusi tersebut dapat dilihat bahwa terdapat peran
mursyid dalam mempengaruhi pola kehidupan keagamaan maupun perkembangan
institusi pesantren itu sendiri. Kontribusi yang diberikan para mursyid sebagai
agen terhadap struktur pesantren tetap mempengaruhi diri mereka yang masih
berada dalam lingkungan struktur tersebut. Misalnya, dalam pola hubungan kyai-
santri yang diadopsi dari hubungan mursyid-murid dalam konsep ta‟dzim, mereka
tetap mempraktikannya dan tidak bisa lepas dari pola yang telah mereka buat.
Pola hubungan seperti ini menjadi basis dari relasi sosial dalam institusi pesantren
yang tetap berlangsung di Buntet maupun Benda Kerep. Mursyid memang
menjadi agen bagi perkembangan institusi pesantren sebagai kontribusinya dalam
mempengaruhi dinamika perubahan di dalamnya, namun mursyid pun tidak bisa
lepas dari kontribusi tindakannya yang selanjutnya turut mempengaruhi dirinya
dalam melakukan tindakan karena mursyid pun masih berada dan terkait erat
dengan institusi pesantren di mana mereka berada.
174
D. Kontribusi Tarekat Syattariyah Terhadap Perkembangan
Industri Batik Trusmi
Selain keraton dan pondok pesantren, industri batik Trusmi merupakan
institusi sosial di Cirebon yang juga dipengaruhi oleh tarekat Syattariyah. Industri
batik ini telah lama berkembang di Cirebon sejak masa kesultanan dahulu. Lambat
laun, industri batik yang terpusat di wilayah desa Trusmi ini telah menjelma
menjadi salah satu sentral industri di Cirebon dalam bidang tekstil.
Adapun perkembangan tarekat di Trusmi saat ini, tidak lagi terdapat
aktivitas ketarekatan sebagaimana di keraton dan pondok pesantren. Semenjak
para mursyidnya wafat, tidak ada lagi pengganti yang meneruskan kegiatan
tarekat. Saat ini hanya tersisa murid-murid tarekat yang bersifat sangat eksklusif
dan menjalankan kehidupan bertarekat secara individual. Kyai Tonny, seorang sep
(sesepuh/pimpinan pengurus makam kramat Mbah Trusmi) menjelaskan:
Kalau di sini ya sudah gak ada perkumpulan thoriqoh. Dulunya Naqsabandiyah
ada, Syattariyah ada. Tapi sekarang sudah gak ada, karena para mursyidnya
sudah meninggal. Ya dulu tempatnya di dekat makam keramat situ. Sampai
sekarang juga masih kosong, gak ada apa-apanya, gak ada yang nempati.
Walaupun sudah tidak ada lagi aktivitas ketarekatan di Trusmi, berbagai
tradisi yang masih bertahan banyak dipengaruhi aspek-aspek tarekat khususnya
kegiatan membatik. Berdasarkan data-data yang terkumpul baik dari sumber
primer maupun skunder, tradisi membatik di Trusmi memiliki aspek-aspek
simbolik, seperti motif batik, yang banyak memiliki filosofi dari ajaran tarekat.
Selain itu, tradisi membatik dari masyarakat Trusmi juga pada awalnya dipelopori
175
oleh para penganut tarekat. Oleh karena itu, pembahasan pada bagian ini akan
lebih ditekankan pada kontribusi tarekat Syattariyah terhadap awal-mula
perekembangan dan aspek-aspek simbolik batik Trusmi.
Konsep yang digunakan untuk menganalisis kontribusi tarekat Syattariyah
terhadap industri batik masih menggunakan konsep substantivies, yang terdiri dari
legitimasi, signifikansi, dan dominasi. Para mursyid juga akan dilihat sebagai
agency yang berperan dalam proses reflexive monitoring, rationalization, dan
motivation of action. Konsep-konsep tersebut akan digunakan untuk menganalisis
bagaimana mursyid tarekat Syattariyah berkontribusi terhadap perkembangan
industri batik. Hasil dari analisis kontribusi tersebut ialah sebagai berikut.
D.1. Pelopor Tradisi Membatik
Kontribusi pertama dari tarekat Syattariyah terhadap industri batik ialah
memelopori kegiatan membatik di Trusmi. Kegiatan membatik ini merupakan
proses difusi tradisi membatik dari keraton ke Desa Trusmi oleh para murid
tarekat. Rama Guru Bambang Irianto menjelaskan tentang awal-mula kegiatan
membatik oleh para murid tarekat sebagai berikut:
Jadi dulu di Pegajahan ada Pangeran Insan Kamil. Dia rama guru tarekat. Nah
beliau muridnya banyak, dari sekian murid itu ada para petani yang dari Trusmi.
Nah setelah petani-petani itu diajari tarekat Syattariyah. Sambil nunggu di sawah,
mereka diajari membatik ragam hias keraton, yang ternyata memiliki makna
simbolik tarekat Syattariyah. Simbol-simbol yang ada di bangunan keraton,
semisal Singa Barong, Mega Mendung, itu dijadikan motif kain. Jadi semuanya
bernuansa tarekat Syattariyah. Jadi Pangeran Insan Kamil semacam jembatan lah
antara tarekat dan batik. Nah kemudian karena yang melukis, membatik itu laki-
laki semua tidak ada
176
Jadi, kegiatan membatik pada awalnya dilakukan oleh para penganut
tarekat yang berguru ke keraton. Mereka dulunya adalah para petani yang belajar
tarekat kepada rama guru di keraton. Sambil menunggu padi yang belum
menguning, mereka diajari cara-cara membatik. Setelah mahir membatik, mereka
memakainya untuk pakaian sehari-hari. Lama-kelamaan masyarakat pun meminati
hasil batik buatan para murid tarekat tersebut. Maka timbullah kegiatan ekonomi
penganut tarekat dari hasil menjual batik buatannya. Inilah awal mula industri
batik di Trusmi yang awalnya dipelopori oleh para penganut tarekat Syattariyah
yang berasal dari Trusmi (Irianto, 2015:41-42).
Dalam perspektif strukturasi para mursyid atau rama guru telah melakukan
proses motivation of action yaitu memotivasi para murid untuk melakukan
kegiatan membatik guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan keluarga.
Kasus yang demikian menggambarkan bahwa tarekat Syattariyah tidak menafikan
atau menghambat perkembangan dalam hal keduniawian. Nyatanya tarekat telah
dapat berkontribusi bagi awal-mula perkembangan batik di Trusmi.
Kegiatan membatik oleh para anggota tarekat Syattariyah ini telah dimulai
pada masa awal berdirinya Desa Trumi oleh Mbah Buyut Trusmi (Bung Cikal),
sekitar abad ke-17. Kemudian kegiatan membatik di Trusmi dan di keraton juga
telah mengalami pasang surut. Terlebih pada masa kolonial abad ke-18 sampai 19,
Cirebon mengalami berbagai macam masalah sosial seperti wabah penyakit,
kelaparan, dan emigrasi masal. Pada tahun 1943 misalnya, Cirebon mengalami
wabah kelaparan akut karena Cirebon yang awalnya merupakan produsen dan
177
pengekspor beras, dipaksa menanam kopi, gula, tarum, teh, dan cengkeh oleh
Jepang, yang saat itu masih menjajah Indonesia (Irianto, 2015:47).
Walaupun banyak mengalami hambatan pada masa kolonial, kegiatan
membatik di Trusmi masih bertahan dan terus dilakukan hingga saat ini. Salah
seorang penganut tarekat yang masih menjalankan kegiatan membatik ialah Bibi
Sanira. Beliau menghubungkan antara produsen batik di Trusmi dan sekitarnya
dengan konsumen batik dari kalangan famili keraton. Dahulu ketika masih remaja,
beliau merupakan murid tarekat dari pengguron Pegajahan, Keraton Kaprabonan.
Karena sekarang sudah sepuh, beliau menurunkan keahliannya kepada anak dan
cucunya. Tujuannya ialah melestarikan kegiatan membatik secara estafet, turun-
temurun dari generasi ke generasi (Irianto, 2015:52-53).
Kemudian dapat dilihat bahwa walaupun Bibi Sanira selaku anggota tarekat
dan pengrajin batik adalah seorang perempuan, awal mula kegiatan membatik ini
dilakukan oleh laki-laki. Konsekuensi pembuatan batik yang mayoritas dilakukan
oleh anggota tarekat laki-laki ialah batik yang dihasilkan lebih bersifat maskulin
yang dicirikan oleh motifnya yang besar-besar dan tegak/kaku yang berbeda
dengan batik Solo atau Pekalongan yang bermotif larik lentur (Irianto, 2015:42).
Rama Guru Bambang Irianto mengatakan, “Seiring perkembangan zaman, yang
membatik bergeser. Yang laki-laki semakin menyusut, ganti yang perempuan
semua sampai sekarang. Tapi yang membuat sketsa awal itu masih laki-laki”.
Oleh karena itu, saat ini yang tersisa dari anggota tarekat yang masih membuat
batik hanya perempuan. Kendati demikian, desain dan motif masih dibuat oleh
laki-laki untuk mempertahankan ciri batik Cirebonan.
178
D.2. Makna Simbolik Batik
Kontribusi kedua dari tarekat Syattariyah terhadap institusi industri batik di
Trusmi ialah memberikan makna simbolik pada batik-batik Trusmi. Konsekuensi
dari dipeloporinya batik oleh para murid tarekat ialah masuknya filosofi yang
bersumber dari ajaran tarekat ke dalam motif batik yang dibuat sehingga motif
batik yang dihasilkan mengandung makna-makna simbolik dari ajaran tarekat
(Irianto, 2015:42).
Menurut salah seorang pengerajin batik di Trusmi, Bapak Katura AR.:
“Jadi motif batik itu secara umum ada dua. Pertama itu pesisiran, kedua
keratonan. Nah kalau pesisiran itu biasanya binatang, pohon-pohon di pesisir,
seperti itu. Nah kalau keratonan ya yang ada di keraton, seperti singabarong,
mega-mendung, paksi naga liman, sunyaragi, tiap keraton juga ada.
Berdasarkan penjelasan Bapak Katura AR tersebut, secara umum klasifikasi
motif batik Trusmi terbagi menjadi dua, yaitu batik keratonan dan batik pesisiran.
Batik keratonan adalah batik yang terinspirasi dari simbol-simbol yang terdapat di
keraton dan pengguron yang banyak memiliki nilai filosofis ajaran tarekat.
Motifnya bermacam-macam, ada motif motif mega-mendung, paksi naga liman,
dan motif-motif lainnya yang memiliki makna simbolik dari ajaran tarekat dari
simbol-simbol di keraton. Kemudian motif batik pesisiran adalah batik yang
terinspirasi dari binatang dan tumbuhan yang terdapat di pesisir, karena Cirebon
memang kota yang terletak di pinggir laut. Motifnya antara lain teratai, kangkung,
ikan, dan sebagainya.
179
Gambar 4.4 Motif Mega Mendung Pada Medium Ikat Kepala
*Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi di Sanggar Batik Katura tanggal 15 Mei 2015.
Baik motif keratonan ataupun pesisiran, motif-motif tersebut memiliki
makna filosofis dari ajaran tarekat karena memang para pembuatnya pada
awalnya adalah para murid tarekat di pengguron. Makna-makna dari motif batik
tersebut bersumber dari para mursyid yang mengajarkan tentang makna simbol-
simbol tarekat dan diaplikasikan sebagai motif batik. Di sini para mursyid dan
anggota tarekat berperan dalam proses signifikansi, yang mana mereka telah
menyisipkan makna simbolik ajaran tarekat terhadap motif batik yang dibuat.
Rama Guru Bambang Irianto (2015) dalam Makna Simbolik Batik Keraton
Cirebon telah menjelaskan motif-motif batik yang memiliki makna simbolis
ajaran tarekat. Berikut adalah uraian makna simbolis motif-motif batik Cirebonan
yang diklasifikasikan menurut motif keratonan dan pesisiran:
180
1. Makna Simbolik Motif Batik Keratonan
a) Mega Mendung;
Motif ini pertama kali dibuat oleh Pangeran Cakrabuana ketika melihat
mega di atas kolam tempat beliau berwudhu, lalu memindahkannya ke
banyu (media lukis). Selain untuk batik, motif ini juga dipakai pada
berbagai arsitektur keraton seperti jumeneng keraton Kasepuhan. Motif
mega mendung berbentuk awan bergumpal-gumpal yang memiliki 3-7
gradasi warna. Saat ini motif batik mega mendung telah menjadi
trademark (ciri khas) dari bati Trusmi Cirebon. Bagi para penganut
tarekat, motif ini memiliki makna simbolik tentang konsistensi
mengharapkan hujan rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih kepada
hamba-Nya tanpa pilih kasih, Yang Maha Penyayang bagi hamba-Nya
yang taat dan selalu mejalankan perintah-Nya.
b) Singa Barong;
Motif ini terinspirasi dari kereta Singa Barong yang dibuat pada tahun
1649 M yang sekarang ada di keraton Kasepuhan. Motif ini berbentuk
mahluk ilustrasi dari gabungan tiga binatang yang melambangkan
akulturasi tiga budaya (buroq berasal dari tradisi Islam, gajah berasal
dari tradisi Hindu/India, dan naga berasal dari tradisi Cina). Ini juga
melambangkan bahwa kesultanan Cirebon menjalin hubungan
multilateral dengan India dan Cina, terutama dalam perdagangan. Bagi
para penganut tarekat, gabungan dari kesatuan tiga budaya itu
divisualkan dalam bentuk trisula di belalai gajah (tri berarti tiga dan
181
sula berarti tajam). Maknanya ialah tajamnya alam pikiran manusia,
yaitu cipta, rasa, dan karsa. Makna ini diilhami dari ukiran di kereta
Singa Barong yang bertuliskan inskripsi sastra Jawa yang berbunyi
“witing guna saka kawruh dayane satulu”, artinya “asalnya
kebijaksanaan berasal itu dari pengetahuan, maka jalankanlah dengan
baik dan teguh”.
c) Ayam Alas;
Motif ini bergambarkan ayam gunung jantan yang berdiri tegak di atas
wedasan yang ditumbuhi tanaman rambat sekitarnya. Dari makna
tarekat, ayam alas merupakan simbol kepemimpinan bahwa seorang
pemimpin harus bisa berdiri tegas dan bertahan dalam segala kondisi,
serta selalu menjadi panutan bagi sekelilingnya. Motif ini pernah
dipakai oleh Sunan Gunung Jati saat jumenengan (diangkat menjadi
pemimpin negara dan pengembang islam di Jawa Barat yang berpusat
di Cirebon) yang bermakna bahwa pemimpin negara sekaligus
pemimpin agama harus bisa tegas dan bijaksana, serta menjadi contoh
bagi yang dipimpinnya.
d) Banjar Balong;
Motif ini terinspirasi dari banjar balong (Taman Air) Sunyaragi, gua
yang dahulu dipakai untuk pertapaan keluarga keraton Kacirebonan.
Motif ini bergambarkan sepasang sayap (sawat) burung yang ingin
terbang dan ditengahnya terdapat motif banjar balong. Dari sudut
pandang tarekat, sawat ini bermakna kebergantungan mahluk pada
182
Tuhannya Yang Esa bahwa hanya kepada Dzat yang tunggal tempat
bergantung dan berlindung. Banjar balong bermaknakan berderetnya
fase kehidupan yang dilambangkan dengan balong sebagai wadah air
kehidupan mulai dari alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam kubur,
sampai alam akhirat, yang selalu dilalui oleh manusia. Motif ini banyak
dibuat pada batik bagi keluarga keraton, dan juga dipakai sebagai
simbol pengguron Kaprabonan.
e) Siti Inggil;
Motif ini terinspirasi dari bagian Siti Inggil yang terdapat di keraton
Kasepuhan dan Kanoman. Siti berarti tanah dan inggil berarti tinggi.
Bagian keraton ini dipakai sultan untuk proses pegadilan dan tempat
mengawasi para prajurit yang sedang latihan di alun-alun setiap hari
Sabtu (Saptonan). Siti Inggil juga berfungsi sebagai tempat dakwah
yang kerap dipakai untuk menabuh Gamelan Sekati setiap acara
muludan/panjang jimat sebagai media dakwah. Dari perspektif tarekat
motif Siti Inggil ini berartikan bahwa keadilan harus ditegakan dan
gamelan sekati berartikan tentang syahadatain (dua kalimat syahadat)
di mana orang-orang Hindu yang ingin menyaksikan pertunjukan
gamelan harus membaca kalimat syahadat.
2. Makna Simbolik Motif Batik Pesisiran
a) Pandan Wangi;
Motif pandan wangi teinspirasi dari kebanyakan tanaman yang ada di
pesisir. Tanaman pandan wangi merupakan tanaman yang daunnya
183
harum yang dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, namun dapat
menebarkan aroma wangi ke sekelilingnya. Menurut pemaknaan
tarekat, pandan wangi berarti manusia hendaknya selalu dapat
menebarkan kebaikan kepada sekelilingnya, meskipun hidup dalam
kesulitan dan di lingkungan yang menyimpang dari norma yang
berlaku. Motif pandan wangi dipakai pada ukiran kayu Pintu Mergu
tempat menziarahi makam istri Sunan Gunung Jati dari Cina, Putri Ong
Tin Nio yang terletak di Astana (pemakaman) Gunung Sembung.
b) Bunga Teratai;
Motif teratai terinspirasi dari bunga teratai yang terdapat di danau atau
kolam yang dahulu banyak terdapat di Cirebon. Dalam istilah keluarga
keraton, teratai merupakan seloka tunjang tanpa telaga, yang artinya
bunga teratai dapat hidup tanpa air. Dalam perspektif tarekat, motif
teratai ini dikatakan sebagai hayun bila ruhin, yang artinya hidup
dengan tanpa ruh. Maksudnya ialah suatu keadaan puncak rasa dari
seorang salik yang mengalami fana al-fana (keadaan yang ruhnya
mengalami perjalanan spiritual ketika dibukanya hijab/tabir antara
mahluk dan Tuhannya). Tuhan lah yang hidup sementara mahluk
adalah fana, sebagaimana teratai yang dapat hidup tanpa air.
c) Kangkung;
Motif kangkung terinspirasi dari banyaknya tanaman kangkung yang
tumbuh di pesisir Cirebon. Motif kangkung ini mempunyai makna dari
kalangan tarekat yang disebut khafiyah, yang dalam naskah Cirebon
184
dikatakan: “lir umpani ati ning kangkung, sejati-jatine kangkung iku iya
ora nama atine. Iya atine ya badane, sabab ing jerone bolong ora nana
apa-apane. Kang den prlabeni ing ciptane wong arif ing katunggalane
iya badan iya ati iya sukma wisesa, kang angliputi ing kahanane kabeh.
Mongkono kang ideping wong arif, titi”. Artinya bahwa “diibaratkan
hatinya kangkung, sesungguhnya batang kangkung itu kosong. Hati dan
badan menyatune, menunjukan cipta orang yang mengenal Tuhan
dalam hal manunggalnya badan dengan hati, serta manunggalnya hati
dengan Sukma Wisesa (Allah)., yang berkuasa atas segala sesuatu”.
Batang kangkung yang kosong adalah lambang pengosongan diri dari
seorang salik, yaitu mengosongkan dari nafsu kepada selain Allah, Dzat
Yang Tunggal, sehinga memperolah kenikmatan dan kebahagiaan.
d) Bangau;
Motif ini terinspirasi dari bangau, unggas yang banyak terdapat di
pesisiran rawa di Cirebon. Motif bangau ini oleh para penganut tarekat
dimaknai sebagai Aji Bangau Butak, yaitu kaidah tata nilai dalam
proses menjalani kehidupan tasawuf. Aji Bangau Butak berartikan
sebuah ritual yang terilhami dari cara bangau menyantap mangsanya.
Dalam posisi berdiri satu kaki kepala menengadah ke atas kemudian
dengan cepat menukik ke bawah untuk memakan mangsanya. Artinya
ketika seseorang ingin menikmati sesuatu maka hendaknya ia memohon
kepada Tuhan (mendongakan kepala ke atas). Paruh yang menukik ke
bawah mengandung makna mencari rezeki atas karunia Tuhan dalam
185
bingkai syari‟at Islam, yang akhirnya dibawa ke atas melalui proses
tarekat, hakikat, dan ma‟rifat.
e) Ikan;
Motif ini terilhami dari hewan yang banyak di daerah pesisiran yang
banyak ditangkap sebagai sumber penghidupan nelayan. Dalam
perspektif tarekat, motif ikan ini bermakna Iwak iklas ing awak, artinya
keikhlasan atas ketetapan Tuhan terhadap diri manusia. Ikan
merupakan simbol tingkatan seseorang yang sudah menerima segala
ketentuan Tuhan. Motif ini selain dipakai pada batik, dipakai juga
sebagai lambang keraton Kacirebonan yang berbentuk ikan berbadan
tiga berkepala satu. Tuhan dilambangkan dengan kepala ikan,
sedangkan badan yang tiga berarti zat, sifat, dan af‟al. Artinya
manunggalnya rasa seorang hamba terhadap Tuhan Yang Tunggal.
Demikianlah berbagai motif batik yang memiliki makna simbolik dari
perspektif tarekat. Dapat dilihat bahwa motif-motif batik Trusmi memiliki akar
historis dari kontribusi tarekat Syattariyah. Makna simbolik tersebut berasal dari
ajaran tarekat yang disampaikan oleh mursyid di keraton kepada murid-muridnya
yang berasal dari Trusmi. Kemudian mereka membuat batik dan mengaplikasikan
makna simbolik tersebut kepada motif batik yang dibuat. Dalam perspektif
strukturasi, ini merupakan proses signifikansi dimana para mursyid menciptakan
institusi simbolik melalui simbol-simbol pada batik sebagai tata nilai para anggota
tarekat dan masyarakat secara umum.
186
D.3. Industrialisasi Batik Trusmi
Kontribusi ketiga dari tarekat Syattariyah ialah menjaga tradisi sufistik dari
kegiatan membatik dalam proses modernisasi berupa industrialisasi pada kegiatan
membatik di Trusmi. Saat ini perkembangan batik Trusmi sangat pesat karena
banyaknya pengusaha batik yang mengembangkan usahanya dalam skala besar.
Belum lagi hal tersebut mendapat dukungan dan bantuan dari pemerintah terhadap
perkembangan industri batik. Akhirnya, hal itu menciptakan Trusmi menjadi
sebuah desa industri batik yang berkembang pesat di Cirebon. Bapak Katura AR
(tokoh batik nasional motif Cirebonan) menuturkan, “batik mulai ramai itu ya
baru-baru ini, baru tahun 1990an lah. Banyak bantuan dari pemerintah,
pengusaha, investor juga akhirnya ramai seperti sekarang”.
Sistem ekonomi yang diterapkan dalam industri batik ini adalah sistem
ekonomi kapitalis, di mana orientasi ekonomi lebih diutamakan dan persaingan
bisnis antar pengusaha batik pun sangat sengit. Para pengrajin lebih merupakan
buruh batik, yang bukan lagi berasal dari kalangan tarekat. Hasil usahanya pun
hanya menjadi komoditas untuk dijual dengan nilai yang tinggi. Sementara yang
diuntungkan adalah pemilik modal, pengusaha batik yang memiliki show room
mewah yang berjajar di sisi jalan desa Trusmi Wetan.
Namun sayangnya, perkembangan industri batik Trusmi yang demikian
pesat sejak tahun 1990-an ini, tidak berjalan beriringan dengan perkembangan
dari penganut tarekat di Trusmi. Perkembangan tarekat mengalami penurunan
signifikan yang terlihat dari sedikitnya pengrajin batik yang dari kalangan tarekat.
187
Saat ini pengusaha dan pengrajin batik di Trusmi sudah tercerabut dari akarnya,
yaitu tarekat (Irianto, 2015:48). Dengan kata lain banyak pengrajin dan pengusaha
yang tidak mengerti makna simbolik yang terkandung pada batik yang dibuatnya.
Kontribusi tarekat terhadap institusi industri batik Trusmi dapat dilihat dari
peran tarekat dalam mempelopori kegiatan membatik dan makna simbolik batik
yang dipengaruhi nilai-nilai ajaran tarekat. Tarekat telah menjadi pelopor terhadap
berdirinya industri batik Trusmi karena awal mula kegiatan membatik di Trusmi
dilakukan oleh anggota tarekat dan semenjak itu telah dimulai kegiatan ekonomi
dari kegiatan membatik. Di sini musyid berperan dalam proses motivation of
action yang telah memotivasi para murid tarekat untuk meningkatkan
kesejahteraan melalui produksi batik. Kemudian dalam makna simbolik batik,
mursyid juga berperan dalam proses signifikansi di mana motif-motif batik
Cirebon banyak yang dipengaruhi makna simbolik ajaran tarekat. Namun,
modernisasi memangkas kontribusi tarekat Syattariyah terhadap aspek simbolik
batik. Peran tarekat telah tergesar oleh pola sistem kapitalisme yang diterapkan
para pemodal di desa Trusmi. Para pengusaha lebih mementingkan keuntungan
yang berlipat sebagai surplus value dari hasil penjualan batik. Sementara
pengrajin batik hanya mendapat upah dari hasil batik.
Para pengrajin hanya hidup sederhana dan sulit untuk meningkatkan
perekonomiannya. Mereka hanya membuat batik sesuai dengan selera dan
pesanan pasar tanpa memikirkan hakikat makna simbolik dari batik yang dibuat.
Terkadang pepakem batik pun juga ditinggalkan untuk mengikuti trend selera
188
pasar. Bapak Katura AR menjelaskan marjinalisasi pepakem batik pada motif
Mega Mendung sebagai berikut:
Mega mendung itu kan artinya kan setiap orang itu harus mampu menahan
emosinya. Dengan kata lain, hati manusia diharapkan bisa tetap „adem‟ meskipun
dalam keadaan marah, seperti awan kan muncul pas mendung itu bisa bikin sejuk.
Kemudian makna dari warna batik Mega Mendung ini lambang dari pemimpin dan
awan biru sebagai sifat pemimpin, harus bisa mengayomi seluruh masyarakat. Nah
kalau gradasi warnanya yang berada di ornamen awannya, gradasi asli dari batik
Mega Mendung ini ada tujuh gradasi yang maknanya diambil dari lapisan langit
yang memiliki 7 lapis, begitu juga bumi yang tersusun dari 7 lapisan tanah.
Jumlah hari dalam seminggu kan ada 7 hari. Kalau sekarang gradasi warna
batik Mega Mendung sudah disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Gradasinya
dikurangi atau diminimalkan menjadi 3-5 gradasi sesuai pesanan. Bahkan sudah
ada juga batik Mega Mendung yang sengaja tidak diberi gradasi warna pada motif
awannya karena tuntutan pasar.
Memang saat ini pepakem motif tersebut tak lagi diperhatikan. Selama motif
yang dibuat sesuai dengan selera pasar, sekalipun melanggar pakem yang ada,
maka motif tersebut dapat diproduksi secara masal. Faktor inilah yang membuat
signifikansi tarekat kian memudar. Batik Trusmi saat ini lebih merupakan sebuah
industri yang mengejar keuntungan bisnis saja. Sementara aspek simbolik batik
yang merupakan kontribusi tarekat sebagai pelopor membatik kian memudar
karena tidak sesuai dengan model industri batik saat ini. Bapak Katura AR
mengatakan, “Kadang batik itu banyak yang keluar dari pakemnya, karena
memang tuntunan pasar. Sudah buat bisnis saja”.
Jadi, berdasarkan temuan ini dapat dilihat bahwa apabila pada institusi
keraton dan pesantren modernisasi dapat beriringan dengan tradisi yang
berkembang, kondisi di Trusmi berjalan berkebalikan. Modernisasi yang
mendukung tumbuhnya pola ekonomi kapitalisme dari industri batik desa Trusmi,
malah meredupkan peran tarekat sebagai pelopor kegiatan membatik. Para
189
penganut tarekat tidak lagi membuat batik sebagai suatu ekspresi simbolik
keagamaan tarekat yang dituangkan dalam motif batik. Hal itu dikarenakan sistem
indutri yang ada menuntut mereka hanya menjadi buruh batik yang membuat
batik untuk keuntungan semata. Padahal, kegiatan membatik merupakan bagian
dari dakwah tarekat melalui motif-motif simbolik batik yang bersumber dari
ajaran tarekat. Ketidaksesuaian antara aspek modernisasi dengan sufistik ini
akhirnya mengebiri peran tarekat terhadap industri batik di Trusmi.
E. Perubahan Sosial di Keraton, Pesantren, dan Industri Batik
Berdasarkan pembahasan tentang kontribusi tarekat Syattariyah terhadap
perkembangan institusi keraton, pesantren, dan industri batik, dapat dilihat
beberapa bentuk perubahan sosial. Dari kontribusi terhadap keraton, telah terjadi
perubahan sosial berupa peralihan dari sistem sosial Hindu ke sistem sosial Islam.
Proses perubahan tersebut terjadi pada masa Sunan Gunung Jati sekitar abad ke-
16 di mana sistem sosial Hindu di bawah dominasi Kerajaan Pajajaran berubah
menjadi sistem sosial Islam di bawah dominasi Kesultanan Cirebon. Perubahan
ini ditandai dengan berdirinya Kesultanan Cirebon dan keruntuhan Kerajaan
Pajajaran. Sunan Gunung Jati menjadi agency (pelaku) perubahan dengan
mendeklarasikan Kesultanan Cirebon sebagai penerus Pajajaran yang menerapkan
sistem Islam pada tatanan sosial masyarakat Hindu yang tersebar di seluruh Jawa
Barat, mulai dari Cirebon, Kuningan, Majalengka, Jakarta, hingga Banten. Sunan
Gunung Jati selaku mursyid telah melakukan sense of transformative dengan
menerapkan aturan-aturan dan nilai-nilai Islam terhadap kehidupan masyarakat.
190
Secara sosiologis, perubahan tersebut merupakan bentuk invantion
(invensi), yaitu perubahan yang mengombinasikan antara unsur sosial yang sudah
ada dengan unsur sosial baru, yang meliputi rangkaian modifikasi atau
pengembangan ulang baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya (Horton
dan Hunt, 1984:212). Jadi, sistem keagamaan yang saat itu menjadi poros dari
tatanan sosial masyarakat Cirebon merupakan gabungan dari nilai-nilai Hinduistik
yang telah tertanam kuat dengan nilai-nilai Islam yang bernuansa sufistik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial tersebut diantaranya,
yaitu faktor the role of innovator (peran dari inovator). Jadi, Sunan Gunung Jati
sebagai agen perubahan telah berhasil manjadi inovator yang dilegitimasi dengan
berdirinya Kesultanan Cirebon. Peran Sunan Gunung Jati yang utama ialah
melakukan perubahan dengan menggabungkan antara nilai-nilai dan tradisi
Hindu, termasuk sistem ketuhanannya, dengan nilai-nilai Islam sehingga selaras
dengan ajaran Islam. Hal itu dapat dilihat dari berbagai tradisi dan ritual
keagamaan yang berkembang hingga saat ini, seperti: panjang jimat, ziarah
kubur, nujuh bulanan, tari topeng, sintren, ataupun wayang purwa Cirebon.
Perubahan pada tatanan budaya (simbolik) ini selanjutnya berpengaruh terhadap
aspek ekonomi, politik, dan pendidikan masyarakat yang kesemuanya diwarnai
singkretisme budaya Hindu dan ajaran Islam.
Selain perubahan dari masyarakat Hindu ke masyarakat Islam, perubahan
sosial di Cirebon juga dapat dilihat dari modernisasi di Keraton Kasepuhan,
Kanoman, dan Kacirebonan. Ketiga keraton tersebut telah mengalami modernisasi
yang ditandai oleh perubahan fungsi yang awalnya sebagai institusi pemerintahan,
191
agama, dan budaya, sekarang hanya sebagai institusi budaya. Keraton hanya
berperan dalam menjaga eksistensi budaya Cirebon, dan sultan berperan sebagai
pemangku adat yang tidak memiliki otoritas politik ataupun pemerintahan.
Perubahan ini terjadi pada awal berdirinya Republik Indonesia tahun 1945 hingga
saat ini, di mana keraton melebur ke dalam negara, mengikuti, serta tunduk
terhadap aturan negara. Semenjak saat itu, keraton kehilangan otoritas politiknya
dan sistem kepengurusan keraton mulai berubah dengan mengadopsi sistem
birokrasi dalam hal administrasi, ekonomi, ataupun legitimasi politik.
Modernisasi di keraton ini dipengaruhi oleh faktor institutional integration,
yaitu sistem yag mempersatukan berbagai institusi agar berjalan secara harmonis.
Integrasi tersebut dipersatukan oleh adanya sistem negara yang mengharuskan
semua keraton yang ada untuk melebur ke dalam Republik Indonesia.
Konsekuensinya ialah keraton terintegrasi kepada negara sehingga modernisasi
dan peralihan fungsi keraton tak terhindarkan.
Dalam perubahan ini, tarekat berperan dalam menjaga tradisi dan pepakem
di keraton di mana mursyid (rama guru) merupakan dewan penasihat sultan.
Sebagai dewan penasihat, mursyid memiliki peran signifikansi, yaitu menjaga dan
mengawasi tatanan simbolik berupa tradisi, pepeakem, dan tata-krama di keraton
agar sesuai dengan ajaran tarekat yang diwariskan Sunan Gunung Jati. Oleh
karena itu, peran mursyid penting untuk menyinergikan antara modernisasi yang
terjadi di keraton dengan ajaran tarekat yang berisikan aspek-aspek simbolik
tradisi di keraton yang bersumber dari ajaran tarekat.
192
Peran mursyid dalam menyinergikan antara tradisi dan modernisasi
merupakan konsekuensi dari dualitas antara agen dan struktur di keraton. Di satu
sisi mursyid berperan dalam mendirikan keraton dan mengembangkan tradisi-
tradisi keagamaan di keraton dengan tetap mempraktikannya dari satu generasi ke
generasi hingga saat ini. Tetapi di sisi yang lain, ketika keraton dituntut untuk
melebur ke dalam negara mursyid pun turut dipengaruhi oleh perubahan berupa
modernisasi di keraton. Mursyid harus mengikuti aturan-aturan yang ada di
keraton yang sedikit banyak turut mempengaruhi peran pengguron. Fungsi yang
dahulu juga berperan dalam menyebarkan agama, beralih kepada pengguron untuk
menjalankan peran tersebut. Mursyid akhirnya harus mengawal prosesi ritual
keagamaan di keraton, sekalipun pengguronnya berada di luar lingkungan
keraton. Dengan demikian, untuk menjaga tradisi dan pepakem di keraton,
mursyid harus berperan ekstra untuk dapat mempraktikannya di tengah
modernisasi keraton, dan mursyid pun tetap dipengaruhi perubahan keraton yang
mengikuti arah modernisasi, seperti perubahan fungsi dan sistem keraton.
Kemudian beralih kepada kontribusi tarekat Syattariyah terhadap pondok
pesantren, dapat dilihat telah terjadi modernisasi pondok pesantren. Perubahan
berupa modernisasi pesantren ini terjadi di Buntet dan tidak di Benda Kerep. Di
Buntet, pondok pesantren telah mengadopsi sistem sekolah dalam bentuk
Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah „Aliyah (MA) yang mengharuskan
para santri untuk sekolah pada pagi hari dan mengaji pada sore dan malam hari.
Para kyai telah menggabungkan antara sistem pengajaran modern dengan sistem
pengajian klasik kitab kuning.
193
Dalam perspektif sosiologis, modernisasi pesantren di Buntet ini adalah
perubahan dalam bentuk invensi, yang menggabungkan unsur sosial lama dengan
unsur sosial baru. Kyai yang sebagai merangkap mursyid tarekat berusaha
menyinergikan antara tuntutan sosial akan kebutuhan softskill di dunia kerja
melalui sekolah, dengan pengetahuan dan moral ke-Islaman melalui pengajian.
Dapat dilihat bahwa kendati pesantren telah mengadopsi sistem pendidikan
modern, tetapi unsur tradisional seperti pengajian kitab, ta‟dzhim terhadap kyai,
ataupun tradisi-tradisi keagamaan lokal tidak dihilangkan. Malah, terdapat
persinggungan antara pengajaran Islam tradisional dengan pendidikan modern.
Berkebalikan dengan kondisi di Buntet, pesantren Benda Kerep menolak
modernisasi pondok pesantren untuk mengadopsi sistem sekolah. Pesantren
Benda tetap mempertahankan pola tradisional pengajaran Islam yang hanya
melalui pengajian kitab kuning. Para kyai menanggapi modernisasi dengan tetap
mempertahankan pola klasik, dan menolak modernisasi. Kyai di pesantren Benda
memang lebih menampilkan eksklusivitas untuk menjaga tradisi dan pola-pola
keagamaan di masyarakat. Bahkan bukan dalam aspek pendidikan, kehidupan
masyarakat pun masih jauh dari modernisasi.
Walaupun letak desa Benda termasuk dalam wilayah kotamadya Cirebon,
masyarakat desa ini memang masih menggantungkan hidup dari bertani atau
berkebun, dan sebagian ada pula yang berdagang warungan. Masyarakat tidak
diperkenankan menggunakan televisi, radio, ataupun pengeras suara di masjid
atau mushola. Listrik pun baru masuk ke desa sekitar satu dekade belakangan.
Untuk menuju desa yang dibatasi oleh kali ini, jembatan pun tidak ada dan harus
194
melalui jalan setapak. Dari segi sistem keagamaan, pola tradisional kaum santri
pun masih lekat dengan nilai-nilai yang berlaku, seperti dari cara berpakaian,
nilai-nilai sosial, ataupun pola peribadahan.
Memang sikap kyai di tengah modernisasi di pesantren Buntet dan Benda
Kerep saling bertolak belakang. Kemungkinan, perbedaan sikap kyai ini pula yang
menjadi faktor kurang harmonisnya hubungan antara Buntet dan Benda,
disamping perbedaan aliran tarekat. Di tengah perbedaan sikap yang demikian,
mursyid tarekat berperan dalam proses rasionalization of action. Rasionalisasi
tindakan ini terlihat dari sikap para mursyid dan kyai dalam merasionalkan
modernisasi kepada masyarakat, para santri, dan murid tarekatnya. Apabila
mursyid merasionalkan modernisasi sebagai “lawan”, dalam artian sesuatu yang
harus dihindari, maka akan terjadi penolakan terhadap modernisasi pesantren
sebagaimana terjadi di Benda. Namun, apabila mursyid merasionalkan
modernisasi sebagai “kawan”, maka akan terjadi invensi berupa kombinasi antara
sistem pengajian tradisional dengan sistem sekolah sebagaimana terjadi di Buntet.
Dengan kata lain, mursyid sebagai agen perubahan, berperan dalam
menentukan arah perkembangan dan perubahan institusi pesantren. Perubahan
sistem pendidikan di Buntet dapat dilihat sebagai bentuk obselence (keusangan)
sistem pendidikan pesantren yang tradisional sehingga tidak sepenuhnya dapat
relevan dengan era modern. Para mursyid sebagai agen akhirnya melakukan
transformasi sistemik pada institusi pesantren dengan menggabungkan antara
sistem pendidikan tradisional dan modern, dengan mengadopsi sistem sekolah
dengan tetap memberikan pengajaran kitab kuning. Mursyid tidak hanya me-
195
maintenance pendidikan tradisional berupa pengajaran kitab kuning, tetapi
mereka mengombinasikan dengan pengajaran klasik. Perubahan ini bertujuan agar
para santri kelak dapat berpartisipasi, bahkan berprestasi ketika telah terjun ke
masyarakat. Oleh karena itu, institusi pesantren bukan hanya dapat berperan
dalam mempertahankan tradisi yang ada, tetapi dapat mengombinasikan tradisi
dan modernisasi secara sinergis agar tradisi-tradisi di pesantren yang bersumber
dari ajaran tarekat dapat selaras dengan tuntutan perubahan.
Perubahan sosial lainnya di Cirebon ialah industrialisasi batik Trusmi.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari peningkatan perekonomian di desa Trusmi
dengan hadirnya kegiatan membatik yang menjadi komoditi bisnis. Kegiatan ini
memang pada awalnya dipelopori oleh kaum tarekat yang menjadi jembatan bagi
tradisi membatik ke Trusmi yang berasal dari keraton. Dari motif-motif batik,
juga terlihat meresapnya nilai-nilai filosofis ajaran tarekat ke dalam motif-motif
batik, baik bernuansa keratonan atau pesisiran. Di sini telah terjadi proses
diffussion (penyebaran) budaya dari batik keraton ke masyarakat Trusmi sehingga
terjadi interaksi budaya membatik yang diadopsi menjadi tradisi membatik.
Mursyid tarekat yang berasal dari pengguron di lingkungan keraton telah
melakukan motivation of action terhadap para murid tarekatnya. Mursyid
memotivasi para murid melakukan kegiatan membatik dengan mengajari proses,
teknik pembuatan, dan makna simbolik batik yang berasal dari ajaran tarekat.
Kegiatan membatik dari anggota tarekat yang selanjutnya berkembang di desa
Trusmi, telah merubah pola sistem ekonomi masyarakat Trusmi. Masyarakat desa
Trusmi yang awalnya menggantungkan sumber ekonomi dari hasil pertanian dan
196
nelayan, perlahan beralih menjadi pengrajin batik. Awalnya memang kegiatan
membatik hanya menjadi sampingan, namun lambat laun karena tingginya
permintaan, masyarakat mulai sepenuhnya menjadi pengrajin batik. Para kaum
tarekat pun menjadi bagian dari proses perubahan ini.
Namun, sejak tahun 1980-an, di mana produksi batik lebih mementingkan
selera pasar, kegiatan membatik kaum tarekat mulai tergeser oleh sistem ekonomi
kapitalis yang diterapkan para investor batik. Pada masa ini, batik lebih bernilai
sebagai komoditas bisnis, bahkan tak jarang kaidah dan pepakem dalam membatik
yang bernuansa sufistik diabaikan begitu saja sehingga para pengusaha batik
ataupun pengrajinnya saat ini tidak memahami esensi sufistik yang terdapat pada
makna simbolik batik. Dengan kata lain, unsur tarekat dalam membatik telah
tercerabut dari akarnya. Di tengah perubahan berupa industrialisasi batik tersebut,
kaum tarekat berperan dalam proses signifikansi dengan mempertahankan makna
simbolik ajaran tarekat pada motif-motif batik. Desain motif batik yang bernuansa
sufistik pun tetap dipertahankan dan dibuat untuk kebutuhan keluarga keraton,
atau bagi masyarakat umum jika berminat. Para kaum tarekat tidak membuat batik
untuk kegiatan komersil, seperti memenuhi kebutuhan pasar atau bisnis dalam
skala besar karena hal itu akan menyimpang dari ajaran tarekat untuk lebih
condong pada keuntungan material. Kaum tarekat lebih mengorientasikan
kegiatan membatik sebagai aktivitas sufistik, yaitu memanifestasikan ajaran
tarekat dalam medium kain batik agar pemakainya ataupun orang yang melihat
dapat selalu ingat pada ajaran-ajaran Sunan Gunung Jati dan para mursyid tarekat.
197
Dapat dilihat bahwa di tengah industrialisasi batik di Trusmi, terdapat
distingsi antara orientasi para penganut tarekat dengan pengusaha batik. Distingsi
tersebut akhirnya meredupkan perkembangan batik dalam bentuknya yang orisinil
menjadi komoditas bisnis. Dengan kata lain, walaupun industri batik di Trusmi
berkembang pesat, makna simbolik batik yang bersumber dari ajaran tarekat telah
tercerabut dari akarnya. Dalam proses yang dialektis ini, tarekat Syattariyah
berperan dalam mempertahankan motif simbolik batik agar tidak semakin jauh
tergilas oleh industrialisasi. Para pengrajin batik dari anggota tarekat lebih
memperuntukan batik buatannya untuk keluarga keraton dan para anggota tarekat
di keraton ataupun pengguron. Para mursyid dan murid tarekat pun, semisal di
Pengguron Pegajahan ataupun di keraton-keraton, tetap memakai batik bermotif
Cirebonan pada setiap kegiatan ketarekatan. Hal ini untuk mempertahankan dan
menjaga esensi motif simbolik batik agar tetap selaras dengan ajaran tarekat di
tengah modernisasi yang menuntut perubahan sedemikian rupa.
Dengan demikian, hasil temuan perubahan sosial di keraton, pesantren, dan
industri batik membuktikan bahwa di tengah arus perubahan menuju modernisasi,
tarekat berperan dalam mempertahankan tradisi simbolik di berbagai institusi
tersebut. Peran tersebut bergantung pada rasionalisasi mursyid untuk menerima
atau menolak modernisasi yang berpengaruh terhadap tatanan sosial di mana
mursyid berada. Peran mursyid terhadap keraton dan pesantren Buntet
membuktikan bahwa mursyid berperan dalam mempertahankan tradisi melalui
proses invensi, dengan menggabungkan antara tradisi dan modernisasi. Namun,
198
peran mursyid terhadap pesantren Buntet dan industi batik Trusmi membuktikan
bahwa tradisi tetap dipertahankan dengan menolak modernisasi.
Oleh karena itu, komparasi dari peran mursyid yang kontras tersebut
memperlihatkan bahwa tarekat dapat berkontribusi dalam ranah sosial, dan tidak
hanya bersikap eksklusif dan terturup, sehingga dapat mempengaruhi proses dan
arah perubahan sosial pada institusi sosial yang berafiliasi dengannya. Perubahan
yang ada pun turut mempengaruhi tarekat itu sendiri sebagai agen yang
berpengaruh di dalamnya. Tarekat tetap harus melakukan adaptasi, modifikasi,
ataupun kombinasi antara struktur yang ada dengan struktur baru agar dapat
berjalan selaras. Proses dualitas antara agen dan struktur ini akan terus terjadi
dalam praktik-praktik sosial di ketiga institusi baik keraton, pesantren, maupun
industri batik, seiring dengan dinamika perubahan yang terjadi saat ini maupun di
masa mendatang sebagai dinamika kehidupan sosial yang tak pernah diam.
199
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan dan analisis yang telah dipaparkan dalam
pembahasan, simpulan atau hasil temuan penelitian ini ialah bahwa tarekat
Syattariyah di Cirebon telah berkontribusi terhadap perkembangan institusi
keraton, pesantren, dan industri batik, di mana mursyid tarekat berperan dalam
menciptakan perubahan sosial berupa perubahan masyarakat Hindu ke Islam di
Cirebon yang ditandai oleh berdirinya kesultanan Cirebon, berdirinya pesantren
Buntet dan Benda Kerep, dan memelopori praktik membatik di Trusmi. Tarekat
juga berperan dalam melakukan invensi (kombinasi) antara tradisi dan
modernisasi di institusi keraton, pesantren, dan industri batik.
Di tengah modernisasi di ketiga institusi tersebut, mursyid memang
berperan dalam memelopori ataupun mempengaruhi perubahan yang ada. Tetapi,
perubahan tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap tindakan dan aktivitas
mursyid beserta para muridnya sebagai suatu dualitas antara agen dan struktur.
Mursyid harus dapat beradaptasi dan menyesuaikan tindakan dan aktivitasnya
agar dapat berjalan dengan hubungan tarik menarik antara tradisi dan modernisasi.
Secara lebih rinci, uraian hasil penelitian ini guna menjawab pertanyaan
penelitian ialah sebagai berikut:
200
1. Sejarah tarekat Syattariyah memiliki akar historis yang muncul sekitar
abad ke-15 di India, yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdullah Asy-
Syattari sebagai pendiri tarekat ini. Perkembangan tarekat Syattariyah
di Cirebon masuk dan berkembang melalui tiga jalur nasab tarekat,
yaitu: jalur Sunan Gunung Jati (Syeikh Syarif Hidayatullah), jalur
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan, dan jalur Mbah Kyai Kriyan.
Persebaran tarekat ini terdapat di pengguron, keraton, dan pesantren,
sehingga memiliki afiliasi kuat dengan keraton, pesantren, dan industri
batik. Adapun ajaran-ajaran pokok tarekat Syattariyah di Cirebon, di
antaranya: bai‟at-talqin, tujuh dzikir pelawan hawa nafsu, martabah
pitu, wahdatul wujud, insan kamil, thariq illallah. Berbagai ajaran
tersebut diajarkan dan diaplikasikan melalui aktivitas ketarekatan yang
terdapat di pengguron dan pesantren, seperti tawajuhhan (tatap-muka
murid dan mursyid), dzikir berjama‟ah, tawasullan, kliwonan,
pengajian tarekat triwulanan, rajaban, syawalan, dan muludan.
2. Kontribusi tarekat Syattariyah terhadap perkembangan institusi sosial di
Cirebon terlihat dari analisis historis terhadap berdirinya keraton,
pesantren dan industri batik Trusmi, di mana mursyid tarekat berperan
dalam mempelopori berdirinya ketiga institusi sosial tersebut. Dengan
mengacu pada konsep agency dalam teori strukturasi, peran mursyid
dilihat sebagai agency yang melakukan tindakan sosial berupa reflexive
monitoring of action, rasionalization of action, dan motivation of
action. Peran mursyid tersebut menimbulkan kontribusi terhadap
201
berbagai aspek perkembangan dan perubahan di institusi keraton,
pesantren, dan industri batik, yang meliputi aspek legitimation (aspek
hukum dan keabsahan), domination (aspek politik dan ekonomi), serta
signification (aspek simbolik). Adapun perubahan sosial yang diteliti
ialah perubahan dari masyarakat Hindu ke Islam di Cirebon pada abad
ke-16, dan modernisasi di keraton, pesantren, dan industri batik pada
abad ke-20. Perubahan tersebut berada pada tataran messo, yang
merupakan perubahan pada tataran institusional di Cirebon di mana
tarekat menjadi titik tolak analisis perubahan. Dari kedua fenomena
perubahan tersebut, tarekat telah berkontribusi terhadap perkembangan
institusi sosial, yaitu: (i) memelopori perubahan dari masarakat Hindu
ke Islam melali proses invantion (kombinasi unsur tradisi Hindu dan
ajaran Islam); dan (ii) menyinergikan antara tradisi di Cirebon yang
bernuansa sufistik dengan modernisasi di institusi keraton, pesantren,
dan industri batik.
Dengan demikian, temuan di Cirebon ini membuktikan bahwa tarekat tidak
bisa dianggap sebagai aktor yang pasif, eksklusif, atau anti-perubahan
sebagaimana stigma dari kalangan awam maupun akademisi. Dari kacamata
sosiologis, tarekat Syattariyah di Cirebon merupakan aktor yang aktif dengan
kontribusinya dalam menciptakan dan mensinergikan antara tradisi dan struktur
yang ada dengan perubahan berupa modernisasi di institusi keraton, pesantren,
dan industri batik.
202
B. Saran
Dengan mengacu pada hasil penelitian ini, peneliti menyarankan agar para
peneliti selanjutnya dari berbagai disiplin ilmu, khususnya sosiologi, agar dapat
melakukan penelitian yang lebih komprehensif tentang fenomena tarekat yang
semakin lama semakin berkembang pesat di tengah arus modernisasi ini.
Penelitian tentang tarekat ini begitu menarik perhatian dan rasa keingintahuan
yang dalam, terutama tentang akar perkembangan ke-Islaman di Indonesia yang
sudah mengundang banyak peneliti dalam maupun luar negeri untuk menyajikan
karya-karya ilmiah yang telah berpengaruh pada ranah perkembangan ilmu
pengetahuan. Namun, penelitian berbasis tarekat dari disiplin sosiologi agama
terbilang masih kurang dari cukup untuk menjadi acuan bagi model penelitian-
penelitian berbasis sosiologis selanjutnya, sebagaimana hambatan yang peneliti
alami dalam merampungkan penelitian ini.
Oleh karena itu, secara khusus disarankan kepada para peneliti selanjutnya
untuk dapat mengaplikasikan teori-teori sosiologi dalam kajian sosiologi agama
secara lebih mendalam, dengan harapan agar disipilin ilmu sosiologi dapat
semakin berkembang dan lahir kajian-kajian yang dapat berkontribusi bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, bangsa, agama, dan negara.
203
DAFTAR PUSTAKA
A.G., Muhaimin. 1995. “The Islamic Tradisions of Cirebon: Ibadat and Adat
Among Javanase Muslims”. Disertasi. Departemen Antropologi. Australian
National University.
______________. 1997. “Pesantren and Tarekat in the Modern Era: An Account
on the Transmission of Traditional Islam in Java” dalam Studia Islamika.
Vol.4, No.1, h.1-28.
______________. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Taftazani, Abu Wafa‟ Al-Ghanimi. 2008. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan
Perkembangannya. (terj.). Jakarta : Gaya Media Pratama.
Azra, Azyumardi. 2006. Islam in the Indonesian World: An Account of
Institutional Formation. Bandung : Mizan.
________________________. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pemaruan Islam Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Bakhtiar, Amsal (ed). 2003. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Penerbit
Angkasa.
Bruinessen, Martin Van. 1994. “The Origins and Development of Sufi Orders
(Tarekat) in Southeast Asia” dalam Studia Islamika. Vol.1 No.1, h.1-23.
_______________. 1996. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survey Historis,
Geografis, dan Sosiologis. (terj.). cet.ke-4. Bandung: Mizan.
_______________. 1999. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. cet.ke-3. Bandung: Mizan.
_______________ dan Julia Day Howell (ed). 2008. Urban Sufism. Jakarta:
Rajawali Pers.
Christomy, Tommy. 2001. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of
Pamijahan” dalam Studia Islamika. Vol.8, No.2, h.55-81.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches.(terj.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
204
Darno. 1995. Studi Kasus Tarekat Syathariyah di Kecamatan Karangrejo
Kabupaten Tulungagung Propinsi Jawa Timur. Semarang : Balai Penelitian
Aliran Kerohanian/Keagamaan.
Fatuhurrahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan
Konteks. Jakarta: Predana Media Group.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration. Cambridge: Polity Press.
Hakim, Lukman. 2003. “Etos Kerja Penganut Tarekat (Studi Kasus Terhadap
Pengikut Tarekat Assyahadatain di Desa Gebang Kulon Kecamatan Gebang
Kabupaten Cirebon”. Thesis. Departemen Sosiologi. Universitas Indonesia.
Hamdi, Mohammad. 2009. “Dinamika Tarekat Syattariyah di Lingkungan Kraton
Cirebon”. Skripsi. Fakultas Adab dan Humaniora. Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hasan, Ahmad Zaini. 2014. Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas,
Pesantren Buntet, dan Bela Negara. Yogyakarta: LKiS.
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. (terj). Jilid 1 dan 2. Jakarta
: Erlangga.
Ibnu Khaldun, Abdurrahman Muhammad. 2011. Mukaddimah. (terj.). Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar.
Irianto, Bambang dan Sally Giovanny. 2015. Makna Simbolik batik Keraton
Cirebon. Yogyakarta: Deepublish.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi Agama. Cet.ke-5. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Perubahan Sosial. (terj.). cet.ke-4. Jakarta : PT.
Rineka Cipta.
Masyhuri, A. Aziz. 2011. Ensiklopedia 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf.
Surabaya: Imtiyaz.
Merriam, Sharan B. 2009. Qualitative Research. USA : Joyye-Bass.
Mulyati, Sri dkk. 2005. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabrah di
Indonesia. Cet.ke-2. Jakarta : Prenada Media.
Mustofa, HA. 2007. Akhlak Tasawuf. ed-revisi, cet.ke-4. Bandung : Pustaka Setia.
Mu‟tasim, Radjasa dan Abdul Munir Mulkhan. 1998. Bisnis Kaum Sufi: Studi
Tarekat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
205
Najib, M. Nurun. 2013. “Konstruksi Identitas Keagamaan: Studi Tentang Pondok
Pesantren Al-Mukmin Ngruki Dengan Masyarakat Lokal” dalam
Memahami Kembali Indonesia (Publikasi ISI 2013). A. Ramdhon (peny.).
Yogyakarta: Buku Litera.
Nasution, Harun. 2010. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. cet.ke-12. Jakarta:
Bulan Bintang.
Neuman, W. Lawrence. 2007. Basics of Social Reaserch: Qualitative and
Quantitative Approaches. Boston: Pearson Education, Inc.
Ogburn, William F. & Meyer F. Nimkoff. 1964. Sociology. 4th edition. Boston:
Houghton Mifflin Company.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. (terj.). ed-8. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Schaefer, Richard T. 2008. Sociology Matters. 3th edition. New York: McGraw
Hill Inc.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya).
Jakarta: Kencana.
Silalahi, Uber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Cet.ke-2. Bandung : Refika
Aditama.
Soemardjan, Selo. 1961. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah
Mada Univeristy Press.
_______________. dan Soelaeman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Stark, Rodney. 1987. Sociology. 2nd edition. California: Wadsworth Inc.
Sumner, William G. 1960. Folkways: A Study of the Sociological Importance of
Usages, Manners, Customs, Mores and Morals. New York: The New
American Library of World Literature.
Sztompka, Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. (terj.). Cet.ke-5. Jakarta :
Prenada.
Sulendraningrat, P.S. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta : Balai Pustaka.
Syam, Nur. 2013. Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal.
Yogyakarta: LKiS.
206
Thohir, Ajid. 2002. Gerakan Politik Kaum Tarekat: Telaah Historis Gerakan
Politik Anti-Kolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di Pulau
Jawa. Bandung: Pustaka Hidayah.
Turner, Bryan S. 2012. Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer. (terj.).
Yogyakarta: IRCiSod.
Zanden, James W. Vander. 1979. Sociology. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Zulkifli. 2002. Sufism in Java: the Role of Pesantren in the Maintenance of Sufism
in Java. Jakarta: INIS.
iv
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN I
SILSILAH-SILSILAH
1. Silsilah Kesultanan Pakungwati (Kasepuhan)
No Nama Sultan Masa Pemerintahan
1 Pangeran Cakrabuana 1452-1479 M
2 Sunan Gunung Jati (Syeikh Syarif Hidayatullah) 1479-1547 M
3 P. Muhammad Arifin (P. Pasarean) 1547-1552 M
4 P. Jaenal Abidin (P. Suwarga) 1552-1565 M
5 P. Mas Jaenal Arifin (Panembahan Ratu I) 1565-1649 M
6 Ratu P. Seda Inggayam (Tidak Bertahta)
7 P. Muhammad Karim (Panembahan Ratu II) 1649-1666 M
8 Panembahan Wangsakerta 1666-1678 M
9 Sultan Samsudin Mertawijaya 1679-1697 M
10 Sultan Jamaludin 1697-1723 M
11 Sultan Jaenudin 1723-1753 M
12 Sultan Amir Sena Amirudin 1753-1773 M
13 Sultan Saipudin Matangaji 1773-1786 M
14 Sultan Hasanudin 1786-1791 M
15 Sultan Joharudin 1791-1815 M
16 Sultan Raja Udaka 1815-1845 M
17 Sultan Raja Sulaiman 1845-1880 M
18 Sultan Raja Atmaja 1880-1899 M
19 Sultan Raja Aluda 1899-1942 M
20 Sultan Sepuh Rajaningrat 1942-1969 M
21 Sultan Maulana Pakuningrat 1969-2010 M
22 Sultan Sepuh PRA. Arif Natadiningrat 2010-sekarang
v
2. Silsilah Keraton Kanoman
No Nama Sultan Masa Kepemimpinan
1 Sultan Badriddin Kartawijaya 1678-1703 M
2 Sultan Madureja Kadirudin 1703-1706 M
3 Pangeran Raja Kususma (Polmak) 1706-1719 M
4 Tumenggung Bau Denda (Polmak) 1733-1744 M
5 Sultan Muhamad Ali Mudin 1744-1798 M
6 Sultan Muhamad Kaerudin 1798-1803 M
7 Sultan Abu Soleh Imamudin 1803-1811 M
8 Sultan Komarudin 1811-1857 M
9 Sultan Muhamad Komarudin 1858-1873 M
10 Sultan Julkarnaen 1873-1934 M
11 Sultan Muhamad Nurbuwat 1934-1935 M
12 Sultan Muhamad Nurus 1935-1989 M
13 Sultan Muhamad Jalaludin 1989-2002 M
14 Sultan Anom Emirudin 2002-sekarang
3. Silsilah Keraton Kacirebonan
No Nama Sultan Masa Kepemimpinan
1 P. Abu Baharudin Raja Kanoman 1808-1814 M
2 P. Raja Hidayat Madenda I 1814-1851 M
3 P. Denda Wijaya Madenda II 1851-1914 M
4 P. Partadiningrat Madenda III 1914-1931 M
5 P. Raharja Dirja Madenda IV 1931-1950 M
6 P. Sidik Arjaningrat 1950-1960 M
7 P. Harkat Natadiningrat 1960-1968 M
8 P. Amir Mulyono 1968-1996 M
9 P. Abdul Ghani 1997-sekarang
4. Silsilah Pengguron Kaprabonan
No Nama Sultan Masa Kepemimpinan
1 Pangeran Raja Adipati Kaprabon 1707-1734 M
2 Pangeran Kusumawaningyun 1734-1766 M
3 Pangeran Brataningrat 1766-1798 M
4 Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat 1798-1838 M
5 Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja 1838-1878 M
vi
6 Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon 1878-1918 M
7 Pangeran Angkawijaya Kaprabon 1918-1946 M
8 Pangeran Aruman Raja Kaprabon 1946-1874 M
9 Pangeran Herman Raja Kaprabon 1974-2001 M
10 Pangeran Hempi Raja Kaprabon 2001-sekarang
5. Silsilah Mursyid Pengguron Pegajahan
Silsilah Rama Guru di Pengguron Pegajahan
Pangeran Raja Adipati Kaprabon
Pangeran Kusumawaningyun
Pangeran Brataningrat
Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat
Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja
Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon
Pangeran Mohammad Apiyyah Adikusuma
Pangeran Mohammad Arifudin Purbaningrat
Pangeran Mohammad Nurbuwat Purbaningrat
6. Silsilah Mursyid Pesantren Buntet
Silsilah Mursyid di Pondok Pesantren Buntet
KH. Hasyim Asy‟ari
Muhammad Anwaruddin Kriyani (Ki Buyut Kriyan)
Kyai Soleh Zamzami (Benda Kerep)
KH. Abdul Jamil (Buntet)
vii
KH. Abbas (Buntet)
KH. Mustahdi Abbas (Buntet)
KH. Abdullah Abbas (Buntet)
KH. Ade Nasihul Umam/Kyai Babas (Buntet)
7. Silsilah Pesantren Benda Kerep
Silsilah Mursyid di Pondok Pesantren Buntet
KH. Hasyim Asy‟ari
Muhammad Anwaruddin Kriyani (Ki Buyut Kriyan)
Kyai Soleh Zamzami (Benda Kerep)
Kyai Adnan (Benda Kerep)
KKyai Muhammad Hasan (Benda Kerep)
viii
LAMPIRAN II
DOKUMENTASI VISUAL
1. Kegiatan-kegiatan Tarekat Syattariyah
Pembacaan kitab berbahasa Jawa Cirebon tentang riwayat Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad Saw oleh
kaum Masjid Sang Cipta Rasa pada kegiatan Rajaban Tarekat Syattariyah Pengguron Pegajahan.
Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi pada tanggal 16 Mei 2015.
Pembacaan kitab Barzanji pada kegiatan Muludan Tarekat Syattariyah di Pengguron Pegajahan.
Sumber: Dokumentasi Pengguron Pegajahan pada tanggal 20 Februari 2011.
ix
Pembacaan tawasulan dan manaqib pada kegiatan kliwonan (qadiran) tarekat Syattariyah di
Pengguron Pegajahan.
Sumber: Dokumentasi peneliti saat observasi pada tanggal 23 April 2015.
Kegiatan Shalawatan berbahasa Jawa oleh murid tarekat Syattariyah di Pengguron Pegajahan
Setekah Acara Rajaban.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi pada tanggal 17 Mei 2016.
x
2. Kitab dan Naskah Tarekat Syattariyah di Cirebon
Kitab tarekat Syattariyah Simtul Majid dan Jawahirul Khamsah berbahasa Arab koleksi mursyid
tarekat di Buntet.
Sumber Dokumentasi Peneliti pada wawancara tanggal 5 Mei 2015.
Naskah tarekat Syattariyah di Pengguron Lam Alif
berbahasa Jawa koleksi Rama Guru Bambang Irianto.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada wawancara tanggal
27 April 2015
Naskah tarekat Syattariyah koleksi Keraton Kacirebonan berbahasa Arab.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada obeservasi tanggal 25 April 2015.
xi
3. Bangunan-bangunan yang Berhubungan Dengan Tarekat
Syattariyah di Cirebon
Patung Macan Ali (lambang kesultanan Cirebon sebagai penerus Pajajaran) di Keraton Kasepuhan.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 20 April 2015.
Petilasan Pangeran Cakrabuana (depan) dan Keraton Dalem Agung Pakungwati (belakang),
bangunan awal Kesultanan Cirebon.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 22 Mei 2015.
xii
Tajug (Mushola), tempat kegiatan tarekat di Pengguron Pegajahan.
Sumber: Dokumentasi pengguron Pegajahan pada tanggal 6 Agusts 2014.
Majlis Ta‟lim tempat kegiatan tarekat di pondok Kyai Hasan, Pesantren Benda Kerep.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 12 Mei 2015.
xiii
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, peninggalan Sunan Gunung Jati dan Wali Songo, di sebelah barat
Keraton Kasepuhan.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 26 April 2015.
Para peziarah di pintu Pasujudan Makam (Astana) Gunung Sembung (makam Sunan Gunung Jati).
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 10 Mei 2015.
xiv
Makam Mbah Muqoyyim, pendiri dan mursyid tarekat Syattariyah di Buntet.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 5 Mei 2015.
Makam Mbah Kyai Kriyan, penyebar tarekat Syattariyah di pesantren Buntet di Jagasatru.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 10 Mei 2015.
xv
Makam Santri, tempat pertama Mbah Muqoyyim berdakwah di Buntet (cikal bakal pesantren
Buntet).
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 5 Mei 2015.
xvi
4. Motif Batik Bernuansa Tarekat
Motif Mega Mendung pada ikat kepala koleksi bapak Katura AR.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada wawancara tanggal 15 Mei 2015.
Batik motif Kaprabonan dan koleksi-koleksi batik bapak Katura AR.
Sumber: Dokumentasi peneliti pada wawancara tanggal 15 Mei 2015.
xvii
Ikat kepala khas tarekat Syattariyah di Pesantren Benda Kerep dengan motif batik pesisiran,
koleksi juru kunci makam Mbah Kyai Soleh (murid Kyai Hasan)
Sumber: Dokumentasi peneliti pada observasi tanggal 13 Mei 2015.
xviii
5. Peneliti Bersama Mursyid dan Informan
Peneliti bersama Rama Guru Pangeran Muhammad Nurbuwat Purbaningrat di Pengguron
Pegajahan, kediaman beliau tanggal 17 Mei 2015.
xix
Peneliti bersama Kyai Ade, mursyid di Buntet Peneliti bersama murid tarekat, sekaligusJuru
setelah wawancara tanggal 5 Mei 2015. Kunci makam Mbah Soleh Benda Kerep setelah
observasi tanggal 13 Mei 2015.
Peneliti bersama bapak Katura AR, pemilik Sanggar Batik Katura di Trusmi setelah wawancara
tanggal 15 Mei 2015.
xx
LAMPIRAN III
TRANSKRIP WAWANCARA
TRANSKRIP WAWANCARA I
Informan : Moh. Maskun
Lokasi : Keraton Kasepuhan
Status : Abdi Dalem, Lurah keraton, Ketua Tim Situs Willayah III Cirebon,
Pemandu Keraton
Tanggal : 20 April 2014
Waktu : 13.25-14.05 WIB
No Dialog Komentar
1. P: Kalau Bapak di sini sebagai apa pak jabatannya?
I: Saya jabatan di sini itu harian sebagai pemandu, sebagai lurah
keraton, strukturnya itu kalau dari sultan sampai ke saya.
.2. P: Tadi dengan bapak siapa?
I: Moh. Maskun. Dan saya juga sebagai ketua tim situs. Jadi situs-
situs yang ada di wilayah III Cirebon, dari sini kita yang nangani.
3. P: Kalau boleh tahu, pak Maskun sejarah berdirinya Keraton
Kasepuhan itu seperti apa?
I: Jadi berdirinya keraton sini, pertama itu dari putera Pajajaran,
yang bernama Pangeran Walangsungsang, belaiau bergelar
Pangeran Cakrabuana. Terkenal sebutannya Mbah Kuwu Cirebon.
Itu membangan Keraton Dalem Agung Pakungwati pada tahun
1430M. Dan beliau menyerahkan kepada keponakannya, yang juga
sebagai menantu, yaitu yang bernama Syeikh Syarif Hidayatullah,
bergelar Sunan Gunung Djati. Sunan Gunung Djati melebarkan ke
barat daya pada tahun 1529M. Keratonnya diberi nama Keraton
Pakungwati juga, Pakungwati tuh nama istrinya beliau, puteranya
Pangeran Cakrabuana.
- Keraton Cirebon
(Dalem Agung
Pakungwati)
dibangun oleh
Pangeran
Cakrabuana dan
Sunan Gunung Jati.
- Nama Pakungwati
diambil dari nama
anak pangeran
Cakrabuana
sekaligus istri Sunan
Gunung Jati, yaitu
Nyi Mas
Pakungwati.
4 P: Berarti Pangeran Cakrabuana punya anak perempuan,
dinikahkan dengan Sunan Gunung Djati.
I: Jadi mereka itu sepupu, kakak, terus dinikahkan. Karena satu,
Sunan Gunung Djati itu cakap dalam beragama, ilmunya tinggi,
Jadi Sunan Gunung Jati itu sebagai raja, kepala pemerintahan,
sekaligus kepala agama pada waktu itu.
Setelah ada Keraton Kanoman, pada tahun 1679M, itu Keraton
- Kesultanan Cirebon
awal bukan
berbentuk kerajaan,
karena Pangeran
Cakrabuana tidak
P = Peneliti
I = Informan
xxi
Pakungwati diganti menjadi nama Keraton Kasepuhan. Kan tadinya
Keraton tetap satu sih di sini, setelah adanya hubungan diplomatik
dengan Mataram, pisah menjadi dua. Karena Cirebon itu dalam era
Panembahan II dinikahkan dengan puteri dari Mataram.
Mempunyai putera yaitu: Pangeran Syamsuddin, menjadi Sultan
Kasepuhan, dan Pangeran Badriddin menjadi Sultan Kanoman.
Yang datang ke sini Badriddin dulu berhubung di sini gak ada
Sultannya, jadi diangkatlah pada waktu itu Sultan Badriddin, Sultan
Cirebon di Kasepuhan. Dua tahun kemudian ditemukan kakaknya,
dibawa pulang dari Banten, Di sini juga berhubung sudah ada
Sultan jadi dia gak mau. Adiknya juga sudah tidak mau lagi karena
bukan haknya, ini haknya kakak. Nah kakaknya juga bilang, „kamu
sudah dinobatkan‟, rakyat Cirebon itu sudah tahu bahwa yang jadi
Sultan itu kamu. Nah ini gak mau, ini gak mau, akhirnya para sepuh
berunding. Dibangunlah Keraton yang kedua, di Witana pertama
kali ada bangunan rumah di Cirebon, di belakang balai desa
Lemahwungkuk, jadi dimasukkan ke wilayah Keraton Kanoman.
Nah jadi tahun 1679 ada Keraton Kanoman. Kakaknya yang baru
datang ke sini, adiknya dipindahkan ke Kanoman. Segala
sesuatunya masih tanggung jawab sini. Nah jadi kalau ada apa-apa
di Kanoman melapor, jadi tergantung apa putusan dari Sultan
Sepuh.
Nah masuk 1745, di situ diadu-domba sama Belanda, gitu. „Kamu
udah berdiri sendiri aja, jangan bergantung segala sesuatunya sama
kakak kamu‟. Jadi keraton terpecah, hubungan diplomatiknya tuh.
mewariskan kepada
anak laki-lakinya,
tetapi kepada
keponakanannya
yaitu Sunan Gunung
Jati.
- Belanda merupakan
faktor utama
terpecahnya keraton
dari Keraton
Pakungwati menjadi
Keraton Kasepuhan
dan Kanoman.
P: Jadi Belanda masuk, ngacak-ngacak internal keraton gitu?
I: Iya ngacak-ngacak. Jadi Kanoman tersendiri, Kasepuhan ya
tersendiri.
Kanoman ya pecah, karena melawan Belanda dibuang ke Ambon.
Diasingkan, saya mau pulang kembali tapi dijemput sama Sultan
Sepuh.
Terus mendirkan Kacirebonan sebatas kepala rumah tangga, tapi
sebatas anda sebagai sultan, ke bawahnya kepangeranan. Nah
berhubung, dari zaman segitu kosong hanya kepangeranan, di era
Sultan Amir karena beliau itu sebagai PNS di Balai Kota, tahu
kalau ada bantuan-bantuan itu tahu. Jadi ngangkat sendiri jadi
Sultan, sampai puteranya juga Elang Abdul Ghani itu diangkat jadi
Sultan, dari Kasepuhan gak hadir, dari Kanoman gak hadir, dari
balai kota pun, walikota gak hadir. Yang hadir dari Solo. Makannya
makainya KGPA (Kanjeng Gusti Pangeran Aryo) di Kacirebonan.
Dari Kanoman mulai
terpecah menjadi
Kacirebonan.
5 P: Pantas bangunannya juga ada nuansa Jawa ya?
I: Iya itu juga udah di kesinikan, masa Belanda, sekitar 1800an.
Terus dari Kanomannya pecah lagi dari Kaprabonan, kalau
Kaprabonan kan Krapyak, pengguron, bukan keraton, khusus
agama, untuk tasawuf gitu.
Nah di Kasepuhan terus berlanjut dari Sultan Syamsuddin, ke
Sultan Wilaya, sampai ke sini itu gelarnya Sultan Sepuh di
Kasepuhan.
Jadi kalau sekarang itu menjabat Sultan XIV itu kan dari Sunan
Gunung Jati turunannya, ke XIX.
Dari Keraton
Kacirebonan,
Kanoman terpecah
lagi menjadi
Kaprabonan, tetapi
bukan berbentuk
keraton, tetapi
pengguron.
6 P: Kalau di Kasepuhan itu apa ada pengguron?
I: Gak ada. Ya dulu kan pengguronnya di Kaprabonan semua.
7 P: Mungkin dulunya waktu awal-awal di sini?
I: Ya waktu awal-awal pengguron ya di sini, pusatnya itu di Dalem
Agung, yang tempat petilasan.
xxii
8 P: Apakah yang mimpin langsung Sunan Gunung Djati?
I: Ya, langsung Sunan Gunung Djati. Kalau dulu diperdampingkan
dengan uwa nya, kalau itu kan langung Sunan Gunung Djati. Sunan
Gunung Jati itu usianya sampai 120 tahun, makannya istrinya ada
enam, tapi tidak poligami, meninggal terus menikah, sampai enam
kali menikah.
9 P: Kalau di sini pak lurah, abdi dalem masih ada yang ikut
pengguron semacam kegiatan tarekat?
I: Ya kan belajarnya tarekat, ngambilnya tarekat Syattariyah. Kalau
Sunan Gunung Djati itu megangnya tarekat Syattariyah. Nah kalau
abdi dalem yang di Gunung Sembung itu megangnya tarekat
Sa‟bandiyah. Seperti, almarhum penghulu Qasim itu megangnya
tarekat Sa‟bandiyah.
Sunan Gunung Jati
mewariskan tarekat
Syattariyah.
10 P: Berarti yang di Kasepuhan itu tarekatnya Syattariyah?
I: Ya Syattariyah, seperti Elang Upi Supriyadi itu megangnya
tarekat Syattariyah karena cikal-bakalnya itu megangnya tarekat
Syattariyah.
11 P: Berarti berdirinya Keraton Kasepuhan ada kaitannya dengan
Tarekat Syattariyah itu sendiri?
I: Iya ada. Karena yang bawa Sunan Gunung Djati sebelum wali-
wali yang lain.
12 P: Kalau pak lurah juga termasuk tarekat Syattariyah?
I: Ah belum-belum, kalau kita sih umum aja. Tapi tahu sedikit-
sedikit. Ya memang seharusnya kita juga ngikut, tapi saya nya
kurang ini. Kita sih pakainya yang umum saja.
13 P: Tapi banyak abdi dalem yang ikut pengguron?
I: Ya, ada-ada.
14 P: Kira-kira berapa orang?
I: Kalau sekarang sih sedikit, hanya pada mengetahui, udah. Gak
ikut terjun langsung, seperti dibai‟at. Karena itu kan melalui bai‟at,
semacam disumpah lah.
Itu kan kalau tarekat itu, kita mempelajari jalannya meninggal.
Makannya itu kalau dibai‟at ada kain putih, kain kafan, diikat,
sambil mengucap sumpah.
- Menurut lurah,
proses bai‟at ibarat
proses kematian.
15 P: Kalau dari pengguron-pengguron ada semacam kontribusi gak
pak?
I: Gak ada. Masing-masing. Biar dari makam Sunan Gunung Jati,
atau di Gunung Sembung juga, itu gak memberikan anu ke sini,
malah Sultan kalau dari sini memberi. Hanya setahun sekali, abis
muludan, kuncen-kuncen atau jeneng itu melaporkan mau muludan
kepada Sultan, lalu diberi alakadarnya oleh Sultan. Paling berapa,
karena di sana kan asetnya besar.
16 P: Kalau tata-krama di keraton itu ada juga dari ajaran tarekat
Syattariyah?
I: Tapi tata-krama di sini sudah tidak dipakai seperti di Yogya dan
Solo. Di sini biasa. Memang ada adat dari dulu sampai sekarang
yang masih dijalankan itu, kalau istilahnya menerima tamu bakti,
atau kuncen-kuncen, kita duduk di tikar, pak Sultan duduk di kursi
gitu aja. Berarti Sultannya lebih tinggi. Kita di bawah, Sultan di
atas. Tapi kalau tamu-tamu pejabat, setatap, sejajar.
- Pola tata krama di
kraton mulai
mengendur dan
mulai terbatas pada
hubungan ketika abdi
dalem bertemu
sultan.
17 P: Kalau di era modern saat ini, keraton itu menolak kemodernan,
atau bisa mengambil nilai-nilai positif pak?
I: Ya mengikuti, mengikuti era zaman. Tapi ya dia tidak
menghilangkan pepakem gitu. Contohnya kalau upacara muludan
xxiii
itu yang pembawa acaranya, Sultan duduk di kursi, kita duduk di
bawah gitu.
18 P: Kalau bentuk kemodernan yang lain, seperti sistem loket itu,
apakah ada bentuk kemodernan yang lain?
I: Kalau di dalam ya, kita bertemu pak Sultan, kita di bawah,
nyalam sembah ke pak Sultan. Tapi kalau di luar, pak Sultan duduk
di kursi, ya di kursi juga kita. Kalau di dalem sih kita masih pakai
tata-krama.
19 P: Kalau pak Sultan masih di sini? karena kan kalau di Kacirebonan
sudah tidak ada.
I: Masih kok masih, karena semua keraton di sini bukan hanya
bangunannya saja, tetapi isinya, yang menunggunya seperti Sultan
juga ada. Sampingnya family, samping juga family. Hanya dulu sih
para kerabat, keluarga Sultan kalau mau bertemu pak Sultan itu
ditempatkan di Jinem Arum, menunggu di situ, lalu kalau ada
petugas yang menerima tamu dipersilahkan masuk, baru masuk.
Karena dulu itu putera-puterinya terpisah. Yang laki-laki di
keputeraan sebelah timur, yang perempuan di keputerian sebelah
barat. Kalau sekarang sudah berbaur, biasa.
20 P: Berarti dulu kaya pondok pesantren ya pak? Tujuannya itu
supaya apa pak?
I: Iya, dipisah. Ya, satu di sini kan sebagai penyebar agama, antara
laki-laki dan perempuan jangan sampai terjadi yang tidak-tidak.
Ditempatkan rapi.
21 P: Lalu pak, dahulu itu kan keraton berfungsi sebagai pusat
pemerintahan, kalau sekarang masih pak?
I: Jadi kalau sekarang keraton itu menginduk ke Pemerintah
Daerah, ke walikota. Sultan itu hanya sebagai pemangku adat.
Makannya kalau lebaran/idul adha, kita mengikuti pemerintah,
tanggal lebarannya, mulai puasanya. Tapi kalau muludan, kita
mempunyai hitungan tersendiri. Pakai hitungan Jawa, pakai Aboge.
Pertamanya pakai alif, tanggal pertamanya itu Rebo Wage. Kalau di
luar kan pakainya Hijriyah, Asapon, seperti sekarang aja udah mau
tanggal 1 Rajab, tapi dikita besok. Nanti perayaan Isra‟ Mi‟raj itu
kita malem 16 ke 17 Mei. Jadi, besoknya Rajaban, kita udah mau
ngadakan Tabligh Akbar di dalem.
- Di era modern
fungsi keraton lebih
sebagai pusat
kebudayaan, dan
Sultan hanya sebagai
pemangku adat.
22 P: Kalau Tabligh Akbar yang bertindak sebagai penceramahnya itu
siapa pak?
I: Ya penghulu Masjid Agung. Lalu dipasang batasannya keluargi
dan abdi dalem, sedikit tangganya juga kecil.
24 P: Biasanya ramai pak?
I: Ah enggak, biasa aja. Paling masyarakat sekitar sini yang tahu, ya
gak apa-apa.
26 P: Tadi kan Sunan Gunung Jati itu menyebarkan tarekat
Syattariyah, kalau Pangeran Cakrabuana juga sama pak?
I: Sama pak, jadi Mbah Kuwu juga kalau orang yang tahu, kenapa
Sunan Gunung Jati yang diangkat, kenapa bukan turunannya yang
laki-laki, melainkan menantu yang diangkat menggantikan dia,
karena satu, masih saudara, kedua dia menantu, dan ketiga yang
paling cakap dalam agama dan dalam pemerintahan pada waktu itu.
Akhirnya yang diangkat menantu.
27 P: Berarti, secara tidak langsung sejarah berdiri dan
berkembangnya keraton itu berkaitan dengan tarekat Syattariyah
juga ya pak?
I: Iya.
xxiv
28 P: Tapi masih diteruskan pengguron setelah masa Sunan Gunung
Jati ke bawah?
I: Masih, ya seperti di Pegajahan, gitu ya. Memang yang biasa
megang pengguron itu dari keluarga Kanoman. Sebab di sini
dulunya itu turun dari istri, jadi anaknya itu kebanyakan perempuan
semua. Makannya family nya di Kasepuhan itu, kurang.
Dan ada dulu itu Ramalan Joyoboyo itu, “Keraton Kasepuhan ajeg
Keratone, Keraton Ancur Keratone, Ajeg Isine”. Makannya di
Kanoman itu keluarganya banyak, tetapi rusak keratonnya. Jadi
tertutup. Buktinya sekarang, tertutup pasar.
Makannya di Kasepuhan itu, petugas ada dari Kanoman,
Kacirebonan, sebab dulu patihnya itu kebanyakan dari
Kacirebonan. Jadi diangkat jadi patih, wakil Sultan.
29 P: Jadi kalau Sultan wafat digantikan oleh patih gitu pak?
I: Enggak, jadi kalau Sultan wafat digantikan sama putera mahkota.
Kalau putera mahkota sudah diangkat, otomatis juga jadi Sultan
penerusnya. Kalau belum nanti kita membentuk dulu, siapa yang
kira-kira cakap, ngambilnya dari laki-laki.
30 P: Berarti setelah keraton terpecah jadi tarekat Syattariyah lebih
banyak di Kaprabonan ya?
I: Ya lebih banyak di luar, di Kaprabonan dan Kanoman.
Diteruskan sama family-family, jadi yang megang itu masih family.
Misalkan ada pangeran, lalu dididik, setelah ayahnya mangkat
digantikan sama anaknya. Makannya salah satu harus bisa, ada
penerusnya. Kalau pusatnya memang di Kaprabonan, tapi ada juga
di luar, seperti Pangeran Nurbuwat, Pangeran Sandewa, Pangeran
Nurmas.
Setelah keraton
terpecah dan Keraton
Kasepuhan sedikit
anak laki-lakinya,
pengguron tarekat
Syattariyah lebih
banyak diteruskan
oleh keturunan
Kaprabonan.
31 P: Baik pak, sudah, terima kasih banyak atas waktu dan
informasinya.
I: Ya sama-sama. Semoga sukses ya. Nanti suratnya dikasihkan ke
dalam aja.
xxv
TRANSKRIP WAWANCARA II
Informan : Pangeran Bagoes Chandra Kusumaningrat
Lokasi : Pengguron Tarekat Agama Islam (Jl. Pegajahan No.39)
Status : Wakil Mursyid, Alumni/Sarjana IAIN Syeikh Nurjati, Putera dari Rama
Guru Pangeran Nurbuwat
Tanggal : 22 April 2014
Waktu : 13.00-14.05 WIB
No Dialog Komentar
1 P: Maaf kalau boleh tahu sejarah berkembangnya tarekat
Syattariyah di Cirebon itu seperti apa mas?
I: Jadi sejarahnya itu awalnya ada pengguron di Cirebon, dari
Syeikh Nurjati di Gunung Jati, beliau buka pengguron di sana. Lalu
diteruskan oleh Pangeran Cakrabuana. Setelah Pangeran
Cakrabuana, diteruskan oleh Sunan Gunung Jati. Nah pada saat itu,
pengguron masuk ke dalam keraton. Jadi, Sunan Gunung Jati itu
Rama Guru sekaligus Raja lah. Makannya Sunan Guung Jati itu
gelarnya ulama dan umara, pemuka agama dan pemimpin
pemerintahan. Lalu terus berlanjut sampai ke era panembahan-
panembahan. Sampai ke era Sultan Badriddin Kanoman I. Dari
Sultan Badriddin Kanoman I punya anak, namanya Pangeran Raja
Adipati Kaprabon I. Nah Pangeran Raja Adipati Kaprabon itu gak
mau jadi Sultan, dia mau melanjutkan leluhur-leluhurnya
menyiarkan tarekat agama Islam. Dia gak mau berkecimpung
dalam bidang politik, karena udah dicampuri Belanda. Jadi banyak
kong-kalikong-nya. Dia meminta kepada ayahandanya untuk diberi
sebidang tanah di Keprabonan sekarang itu, untuk membuat
pengguron. Jadi tidak di dalam keraton, tapi di samping keratonnya.
Dulu sih lapang jadi pengguronnya kelihatan dari keraton, tapi
sekarang kan ketutup pasar, ketutupan. Jadi asal-muasal
Keprabonan itu dari situ. Nama Keprabon diambil dari putera
pertama Sultan Badriddin itu, Pangeran Raja Adipati Kaprabon,
yang gak mau jadi Sultan. Jadi beliau itu sangat mulia sekali, diberi
jabatan itu tidak mau.
- Pengguron pertama
didirikan oleh Syeikh
Nurjati.
- Sunan Gunung Jati
adalah rama guru
sekaligus raja.
.2 P: Jadi Keprabonan itu bukan keraton, tapi khusus agama gitu?
I: Iya, pengguron. Pangeran Raja Adipati Kaprabon, pendirinya.
Nah di situ, abad 19 awal, berkembang pengguron itu. Berkembang
itu dalam artian, bapak punya anak empat, mereka meneruskan
pengguron itu.
3 P: Berarti pengguron itu awalnya dari Kaprabonan itu?
I: Iya dari Kaprabonan. Rama Guru di sini ya dari Kaprabonan,
semua pengguron ya dari Kaprabonan. Gak ada dari keraton lain.
Nah Kaprabonan sendiri bukan keraton, tetapi pengguron. Sekarang
banyak yang salah kaprah, Keprabonan adalah keraton, seperti yang
dibilang Pangeran Hempi kalau Keprabonan itu keraton. Pingin
- Pengguron awalnya
terpusat di
Kaprabonan, tetapi
sekarang mulai
keluar.
P = Peneliti
I = Informan
xxvi
diaku lah sama keraton lain. Ambisi, gelar kesultanannya lah. Dia
mencoba memutarbalikan fakta sejarah lah. Ya, kalau kita berbicara
sejarah, pendirinya aja itu tidak mau jadi Sultan. Kenapa
turunannya malah berambisi kuat jadi Sultan. Sedangkan sekarang
zaman kemerdekaan. Kalau zaman dulu sih punya rakyat, punya
keraton. Ya, gak memenuhi kriteria lah untuk menjadi keraton.
- Perkembangan
Kaprabonan
sekarang mulai
beralih ke politik,
karena keturunannya
memiliki
kepentingan untuk
mengubah peran
pengguron menjadi
keraton.
4 P: Itu yang diajarakan dari zaman Syeikh Nurjati sampai ke
Keprabonan itu tarekatnya Syattariyah?
I: Ya, tarekat Syattariyah. Jadi tarekat itu banyak, Sunan Gunung
Jati aja menguasai 12 tarekat. Tapi yang diajarakan ke family, ke
anak-cucuknya itu tarekat Syattariyah.
- Sunan Gunung Jati
menguasai sekitar 12
aliran tarekat, tetapi
yang diwariskan
hanya Syattariyah.
5 P: Kalau sekarang, perkembangannya seperti apa Mas Bagus, apa
masih ada di Keprabonan, atau sudah menyebar?
I: Ya, misalkan Pangeran Harman, di Tufaref itu juga dari
Kaprabonan. Terus itu, Pangeran Atho‟, Pangeran Hilman itu juga
dari Kaprabonan pengguronnya. Ya, misah-misah tapi pengguron
itu asalnya ya dari Kaprabonan. Terus juga ada kriterianya untuk
mendirikan pengguron itu. Enggak semua keturunan Kaprabonan
bisa mendirikan pengguron. Tergantung, pengguronnya seperti apa.
Kalau pengguron ngaji, alif ba ta, ya silahkan kalau bisa. Kalau ini
kan pengguronnya tarekat. Tarekat kan orang-orang pilihan Allah
yang enggak semua orang bisa. Ya diuji dulu. Banyak ujiannya lah.
Jadi gak semudah membalikan telapak tangan untuk jadi Rama
Guru. Sangat sulit. Berbeda dengan kyai di pesantren lah,yang bisa
nahwu-sharaf lalu mengajarkan. Kalau Rama Guru maqamnya lebih
tinggi lah. Untuk jadi murid saja berat, apalagi menjadi seorang
mursyid. Sekarang banyak orang yang berambisi menjadi mursyid,
tapi perilaku, akhlaqnya gak mencerminkan sebagai mursyid itu
banyak. Jadi kita harus hati-hati, kritis.
6 P: Kira-kira di seluruh Cirebon ini ada berapa pengguron?
I: Yang jelas itu, Rama Guru sini, Rama Yudi, Rama Apiyah, ada
lagi Rama Guru Yunan tetapi sudah tua, itu di Kaprabonan. Karena
pengguron yang paling tua, sesepuh lah, di sini. Pangeran Hilman
juga ada di Perum di belakang Kacirebonan rumah ibunya. Nah ada
juga Pangeran Atho‟ buka pengguron.
- Ada sekitar lima
pengguron.
7 P: Kalau di daerah Trusmi ada pengguron?
I: Gak ada, ya karena pengguron itu khusus orang-orang
Kaprabonan. Kalau di Trusmi mungkin tarekat lain ada.
8 P: Jadi di sana gak ada ya?
I: Iya, karena pengguron Syattariyah itu punyanya orang-orang
keraton. Tepatnya putera-putera Sultan itu ketika sudah baligh tapi
belum dewasa, dia belajar di pengguron tarekat. Jadi ketika sudah
dewasa, dia sudah mempunyai bekal hidup.
Jadi di sini, yang berhak mengajrkan dan belajar tarekat Syattariyah
itu kebanyakan orang keraton, terutama Kaprabonan. Misalnya,
Buntet itu kan kebanyakan yang diamalkan tarekat Tijaniyah,
karena mereka mengerti kalau nasab dia itu, Buntet dari pihak
perempuan. Jadi kalau tarekat Syattariyah itu khusus orang-orang
keraton.
- Tarekat Syattariyah
di Cirebon lebih
didominasi oleh
orang-orang keraton.
xxvii
9 P: Tapi masih ada murid yang di Buntet tapi belajar tarekat
Syattariyah?
I: Ada, banyak. Ya pengguron itu perguruan orang-orang keraton
lah.
10 P: Kalau di pengguron sini, muridnya ada sekitar berapa?
I: Ada sekitar 9000-10000 ikhwan lah, itu dari seluruh Jawa yang
belajar di sini.
11 P: Lalu kalau di sini kegiatannya apa saja?
I: Ya kegiatan itu ada yang mingguan, bulanan, 3 bulanan, dan
tahunan. Yang mingguan itu seperti dzikir setiap malam jum‟at.
Lalu sebulan sekali ada setiap malam jum‟at kliwon. Itu banyak
yang datang dari jauh-jauh yang biasa sibuk, biasanya pada datang.
Lalu juga ada tingkatan-tingkatan pengajian murid.; mubtadi,
mutashitho, insan kamil, kamil-mukamil. Jadi ada 5 tingkatan;
Syattariyah, Muhammadiyah, Ashroriyah, Insan kamil, dan Kamil-
mukamil. Ada tingkatan-tingkatannya.
Lalu ada juga pengajian triwulanan. Setiap tiga bulan sekali,
pengguron Pegajahan sini diundang, yang ngadain murid-muridnya,
kita ke daerah-daerah. Jadi mengundang Rama Guru untuk
mengajar khusus tarekat,terutama, wilayah Jawa.
Kegiatan di
pengguron:
- Pengajian Malam
Jum‟at (Pemberian
materi, tawasulan)
- Pengajian (bulanan)
Malam Jum‟at
Kliwon (membaca
manaqib Syeikh
Abdul Qadir)
- Pengajian
Triwulanan (di
Purwokerto)
12 P: Kalau yang mingguan itu, kegiatannya seperti apa?
I: Ya dzikir bersama, tawasullan, lalu ada pemberian materi. Mulai
ba‟da isya, jam 20.00-22.00. Selesainya ada sarasehan lah, makan
bersama lah. Sekitar 30-50 orang lah.
13 P: Kalau yang bulanan, malam jumat kliwon itu kegitannya seperti
apa?
14 I: Kalau yang malam jum‟at kliwon itu, ada tawasulan khsusus lah.
Namanya Tawasulan Qadiran, setiap bulannya. Itu artinya, kita
mengagungkan kemuliaan Syeikh Abdul Qadir Jailani sebagai wali
quthub. Ya di dalam doanya tidak hanya ditujukan kepada beliau
saja, tatapi juga kepada para Nabi. Tawasulan ke semua, tapi
khususnya kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Sunan Gunung
Jati sebagai pendiri keraton. Ya membaca manaqib juga. Ya penuh,
banyak yang datang sekitar 200-300 orang.
15 P: Kalau yang 3bulanan ramai ya?
I: Ya ramai, karena mereka sudah mempersiapkan sih. kalau yang
mingguan, yang di Cirebon, itu jadi murid-murid yang di Cirebon
semuanya belajar ke sini.
16 P: Selain kegiatan-kegiatan tadi, apa ada kegiatan lain?
I: Ya, biasanya ada tahunan Muludan, Rajaban, Syawalan, terfokus
di sini, di Pegajahan. Jadi murid-murid yang di Jawa Barat,
khususnya di Cirebon, dipusatkan di sini.
- Kegiatan Tahunan:
-Muludan (Panjang
Jimat)
- Rajaban
(Pembacaan Riwayat
Nabi Saw.) „bahasa
Jawa Kawi Cirebon‟
- Syawalan
(silaturahmi), shalat
Isqi.
17 P: Kalau acara tahunan seperti itu, masyarakat juga ikut
berpartisipasi?
I: Kalau ini kan acara umum lah, jadi masyarakat juga boleh ikut.
Tapi dikhususkan untuk murid-murid di sini. Yang umum juga kita
undang, seperti kuwu, sultan, kepala-kepala dinas, kalau tidak
xxviii
berhalangan.
18 P: Lalu kalau muludan seperti apa, apa seperti panjang jimat juga?
I: Ya kalau panjang jimat kan di keraton. Kalau kita, ya muludan
biasa, baca barzanji lah.
19 P: Kalau masyarakat mau menjadi anggota tarekat itu ada
prosesnya, persyaratannya?
I: Jadi ada aturannya. Ada tata caranya, sebelum kita ikut pengajian
ya jadi murid dulu. Syarat jadi murid itu: Islam, baligh, tapa
(puasa), ngawula (ngabdi), dam (denda). Tapa itu puasa, ya
merendahkan diri, membersihkan diri, mengosongkan diri dan
nafsu. Tapi puasanya tergantung gurunya, ada yang seminggu,
sebulan, 40 hari. Itu puasanya udah yang paling mudah. Karena
zaman para wali dulu, mau jadi murid tarekat 3 tahun baru
diangkat, tahunan, berbulan-bulan. Seperti kisah Sunan Bonang dan
Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga ketika bertemu Sunan Bonang
disuruh puasa 3 tahun, 6 tahun, 9 tahun, suruh puasa di pinggir kali,
tapi tertidur. Jadi orang tertidur tidak terkena takhlif, jadi bukannya
dia tidak shalat, tapi tertidur sembari puasa. Itu mengetes kesabaran
supaya diangkat jadi murid. Ya makannya Sunan Kalijaga lulus
dalam mendapatkan ilmu sejatinya.
Nah sekarang banyak kemudahan, karena banyak aktivitas kan,
kerja, kuliah, sekolah, jadi tergantung sama gurunya lah.
Lalu kedua, ada Ngawula, dari bahasa Jawa artinya Ngabdi,
mengabdi. Hablumminallah wa Hablumminannas. Berhubungan
baik kepada Allah, lalu berbuat baik kepada manusia, semua
mahluk hidup juga. Terhadap yang ghaib juga harus baik, tidak
boleh mengganggu lah. Nah kalau mau masuk tarekat harus punya
itu.
Dan yang ketiga, dam, yaitu denda, karena kita memang tempatnya
salah. Ditebuslah dengan meneteskan darah hewan kurban. Jadi
orang tersebut dituntut keikhlasannya. Harus keluar sodaqohnya.
Nah dalam manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani, ketika
mengangkat murid, beliau ingin mengetes keikhlasan si murid.
Muridnya terkenal pelit, tapi kaya. Nah dimintalah oleh Syeikh
Abdul Qadir Jailani emas seberat badan muridnya itu. Dia ikhlas
tidak untuk mendapatkan ilmu itu. Kalau dia ikhlas, maka diberikan
karena ilmu ini lebih tinggi dari harta kekayaannya. Kalau sekarang
kan masuk tarekat itu gak ditarifkan berapa-berapa, tapi
seikhlasnya. Hitungannya sodaqoh lah. Nah orang yang gak kerja,
yang gak bisa bayar dam, ditebus dengan puasa lagi. Jadi puasanya
ditambah lah.
- Persyaratan Masuk
Tarekat: Tapa
Ngawula Dam.
20 P: Kalau bai‟at itu seperti apa mas?
I: Ya jadi bai‟at itu sumpah menjadi murid. Nah sebelum dibai‟at,
itu ada persyaratannya yang tiga tadi itu. Teksnya ada lah. Karena
orang yang di luar tarekat belum bisa kita sampaikan.
21 P: Berkaitan dengan keraton. Sekarang kan ada dua keraton di
Cirebon, Kasepuhan dan Kanoman. Adapun Kacirebonan itu kan
cabang dari Kanoman. Lalu kalau terbagi duanya keraton itu apa
ada kaitannya dengan tarekat Syattariyah?
I: Iya ada. Jadi, seperti yang saya katakan, pengguron itu tempat
belajarnya putera-putera Sultan. Supaya ketika dewasa memilki
bekal. Tapi itu zaman dulu, kalau sekarang kan sudah modern ya.
Jadi masyarakat awam malah lebih tertarik, tapi orang-orang
keratonnya sendiri ya wallahua’lam. Mereka kadang bertanya kan,
tarekat itu apa sih, bagaimana sih. Tarekat itu kan artinya thariq,
- Arti Tarekat
menurut wakil
Mursyid.
xxix
jalan, jalan yang diridhoi oleh Allah. Kalau secara syari‟at ya
dengan mengucapkan syahadat saja sudah cukup, tapi kalau secara
hakikat, ya belum. Karena kan kalau syahadat, menyaksikan, kita
harus bersaksi, harus tahu syahadat, melihat, tapi bukan melihat
dengan mata lahir, tapi dengan mata batin.
22 P: Jadi apakah awal berdirinya keraton didorong oleh adanya
tarekat Syattariyah?
I: Ya, Syeikh Nurjati penyebar tarekat Syattariyah, Mbah Kuwu
penyebar tarekat Syattariyah, Sunan Gunung Jati penyebar tarekat
Syattariyah. Tapi Sunan Gunung Jati itu menguasai banyak tarekat,
Cuma ke anak-cucu dia khusus tarekat Syattariyah. Makanya yang
berhak untuk menjadi guru itu ya keturunan dari pengguron tadi.
Dilihat dari ayahnya, Pangeran Nurbuwat kan punya ayah rama
guru, punya ayah rama guru lagi, terus jadi dilihat dari nasabnya
nyambung tidak, dilihat dari nasab lahir dan silsilah tarekatnya itu
nyambung tidak sampai ke Rasul. Kalau terputus, ya berarti
ilmunya bagaimana, ilmunya dari mana patut dipertanyakan. Jadi
nasabnya ya betul-betul lurus.
23 P: Kalau dari jalurnya, tadikan ada jalur Syeikh Nurjati yang masuk
ke Cirebon. Lalu ada jalur dari Syeikh Muhyi, kalau silsilahnya itu
sama atau beda?
I: Kalau sejarahnya, walaupun tarekatnya beda, tapi ujung-
ujungnya ketemu. Dari Syeikh Abdullah Syattari juga gitu. Jadi
sebenarnya nama Syattariyah itu bukan hanya nama orang, tapi
metodenya memang Rasulullah mengajarkan ya seperti itu. Kalau
Syattariyah itu tidak ada yang ditambah-tambah, tidak ada yang
dikurang. Zikirnya juga lebih banyak, lebih bagus. minimal ya 100
lah sehari. Jadi dari Rasulullah ke Abdullah Asy-Syattari, sampai
ke sini terceluplah nama Syattariyah. Tapi metodenya tetap seperti
yang diajarkan Rasulullah ya tetap seperti itu, penggemblengannya,
tata-caranya, yang merubah-merubah biasanya orangnya. Kurang
ilmunya, gutak-gatik-gatuk tambah ini, kurang ini.
24 P: Dulu kan waktu zaman Sunan Gunung Jati keraton berfungsi
sebagai pusat pemerintahan, pusat keagamaan, lalu sekarang kan
keraton lebih sebagai pusat budaya, karena Sultan kan sebagai
pemangku adat. Lalu beralih-fungsinya itu dipengaruhi oleh tarekat
atau lembaga lain?
I: Yang pasti sih lembaga lain. Karena kalau berbicara tarekat
filosofinya itu berbeda. Misalnya pengerti Paksi Naga Liman
dengan pengertian sebenarnya itu berbeda. Berbeda itu maksudnya
supaya orang awam itu mengerti. Misalnya, Paksi Naga Liman
menggambarkan sebagai 3 budaya, 3 negara, untuk orang yang
belum tarekat ya mungkin iya-iya begitu ya.
Tapi kita gak boleh, menyampaikan satu ilmu saja, satu kata aja
kepada orang yang belum tarekat, karena takut fitnah, takut orang
belum ngerti kita kasih tahu. Makannya kalau ke Cirebon, ilmu
sebenar-benarnya ya di pengguron.
25 P: Tapi kalau tata-krama yang ada di keraton itu ada juga yang
bersumber dari ajaran Syattariyah?
I: Ya jadi semacam tata-krama, sopan-santun, itu kan adanya di
akhlaqul karimah ya. Itu ya ajaran tarekat. Cara ngomong, cara
menghormat orang tua, jadi budaya Jawa itu memang sudah tinggi,
ditambah dengan adanya Islam. Nah kalau budaya kaya gitu tidak
dibarengi dengan ilmu sejatinya ya mudah terpeleset. Karena yang
namanya olah rasa itu kan seperti olah raga, seni-budaya, baru kita
xxx
mengapresiasikan diri kan, cara menghormati yang tua, tata-cara
bertamu, semuanya ada aturannya. Tiap bulan ini, bulan ini, ada
perayaan Islam. Isra‟ Mi‟raj, Syawalan, Muludan, kita merayakan
bulan-bulan yang dimuliakan sama Nabi Muhammad.
26 P: Yang tadi, beralih-fungsinya keraton dari pusat pemerintahan
menjadi pusat budaya itu dari pengguron sini turut mendorong atau
menolak perubahan itu?
I: Ya yang namanya keraton juga kan menguasai agama, seni, dan
budaya. Adapun pemerintahan itu adanya ya di agama. Misalkan
agama kita Islam, ya aturan yang diterapkan itu aturan Islam.
Keraton kan kerajaan, menguasai, gitu tapi keraton juga tidak lepas
dari agama, seni, dan budaya.Ya filosofi semacam tari-tarian itu
kan melambangkan arti sesuatu. Tari topeng, misalkan, seni kan
juga pengetahuan juga, kalau budaya ya budi pekerti yang
dibudayakan, dilakukan. Jadi jangan ngomong sesuatu, perilakunya
beda.
27 P: Misalkan tarekat Syattariyah di pengguron sini perannya
terhadap keraton itu seperti apa?
I: Ya mungkin peran pengguron itu sebagai dewan penasihat ya.
sultan juga kan sering datang, sharing, tidak berani langsung
berbuat sendiri lah, takut disalahkan. Kita juga kalau kita merasa
benar, kita harus yakin kalau ada yang lebih benar dari kita. Jadi
pengguron di sini sangat partisipatif, sangat aktif lah dibanding
pengguron yang lain.
Peran tarekat
terhadap keraton:
- Penasihat sultan
- Pelaksana upacara
keagamaan keraton
28 P: Kalau beralih-fungsinya keraton itu, lebih memperluas atau
mempersempit pergerakan pengguron ini?
I: Ya, kalau tarekat itu kan orang-orang pilihan. Jadi bukan hanya
orang-orang keraton saja yang berguru sekarang. Tapi orang-orang
masyarakat juga diperbolehkan. Jadi ya gak ada masalah, beralih-
fungsinya itu. Tarekat tetap jalan terus di bidang agama. Gak terlalu
berpengaruh lah. Paling kalau ada polemik kita diminta untuk
memberikan saran, masukan, kepada keraton. Kita biasanya
diundang, atau sultan ke sini konsultasi.
29 P: Kalau kegiatan keraton, apakah tarekat di sini turut partisipasi
gitu?
I: Ya sering, biasanya Rama Guru diundang untuk membaca doa.
Tergantung Rama Gurunya bisa atau tidak. Jadi kalau ada acara-
acara di keraton ya kita ikut. Sebenarnya pengguron juga kan
orang-orang keraton, tempat belajarnya orang-orang keraton. Jadi
ya kalau ada acara ya kita ikut.
30 P: Kalau aktivitas sosial di masyarakat, pengguron ini turut aktif
juga?
I: Kalau aktivitas sosial di masyarakat sih, tergantung per orangnya.
Misalkan di sini, sebagai warga masyarakat RT.01 kita ikut,
sebagai warga negara yang baik ya tetep kita berbaur ke
masyarakat. Kita tetap silaturahmi sama saudara, sama orang-orang
sini. Kalau ada kegiatan apa aja ya kita ikut. Jadi kita partisipasi
atas nama perorangan, bukan atas lembaga, bukan atas nama
pengguron. Kegiatan sosial di masyarakat, kerja bakti ya kita ikut.
- Para anggota
tarekat juga
berpartisipasi dalam
kegiatan sosial.
31 P: Karena kadang orang-orang tarekat kan tertutup, menutup diri,
tidak membaur gitu. Berarti di sini cenderung terbuka ya?
I: Ya seperti itu juga ada. Tapi kita kan mahluk sosial ya.
Hablumminallah wa hablumminannas, jadi kita juga jangan
tertutup, tapi juga jangan mendewa-dewakan dunia. Tapi kita juga
tidak mengenyampingkan dunia. Karena kita itu belajar ilmu
- Tarekat Syattariyah
lebih menekankan
keseimbangan antara
hubungan dengan
xxxi
tarekat untuk mendapatkan akhlaq yang benar. Selain ilmu
mengenal Allah, kita juga belajar akhlaq, tata-krama yang benar,
termasuk dalam hidup di masyarakat. Jangan bergaul di masyarakat
kita karena Elang merasa berkuasa. Jadi kita tidak tertutup, tapi
terbuka. Karena itu juga bagian dari penyiaran agama Islam.
Dengan kita berbuat baik, jadi kan orang tertarik untuk ikut mengaji
juga. Jadi merangsang orang lah. Yang jelas kita tidak mendewakan
dunia, tetapi juga turut partisipasi di masyarakat.
Tuhan dan hubungan
Sosial; bukan hanya
hubungan dengan
Tuhan.
32 P: Kalau terhadap kemodernan, untuk tarekat sendiri itu menolak
atau mengambil yang positif?
I: Ya selama itu positif, misalkan blog atau website, selama kita
menulis yang positif ya gak jadi masalah. Kita menulis artikel, atau
yang lainnya, seperti misalkan cara shalat khusyu, kan dibaca
semua orang, ya gak apa-apa. Jadi kan bermanfaat juga bagi semua
orang. Tapi balik lagi ke hati kita, jangan sampai kita riya, bangga,
sombong. Jadi terhadap kemodernan terbuka, tapi tidak terlalu. Ada
batas-batasnya lah, tapi selagi itu positif diambil, yang kurang baik
ya dibuang. Jangan sampai kecanduan.
- Tarekat Syattariyah
tidak menolak
kemoderanan selama
itu positif.
33 P: Apa media sosial juga digunakan, seperti facebook atau twitter?
I: Ya itu mungkin untuk berbagi ya, tapi yang umum seperti ayat,
hadits. Ada juga ikhwan, murid, gitu yang buat-buat fanpage, tapi
buat silaturahmi lah. Jangan sampai kita riya lah, berbangga diri.
Selama itu baik, ya gak masalah.
34 P: Kalau ada acara, pernah ngundang lewat facebook?
I: Kalau facebook Cuma formalitas lah, seperti yang kerja-kerja di
luar negeri kan susah kalau lewat surat. Jadi surat undangannya di
foto, terus dibagikan jadi mereka tahu. Untuk informasi aja sih
sebenarnya.
35 P: Kalau terhadap budaya Cirebon, apa ada ajaran Syattariyah yang
berbaur dengan tradisi di Cirebon, seperti muludan?
I: Kalau dari syari‟at kan kita memperingati maulid Nabi, tapi kalau
dari hakikat kan, panjang jimat misalkan, ada filosofi tersendiri lah.
Misalkan di keraton, ada upacara panjang jimat, iring-iringannya
ada berapa, 7 misalkan, melambangkan janin bayi sudah siap lahir.
Nanti di tingkat Muhammadiyah ada materinya. Jadi ada filosofi
tarekat yang di keraton. Karena bersumber dari Sunan Gunung Jati
sendiri sih. Pangeran Cakrabuana yang mendirikan keraton
pertama. Kemudian gurunya Syeikh Nurjati. Itu pendiri pengguron.
Kalau tarekatnya ya, Syattariyah. Kalau keraton kan lebih ke
budaya, tapi budaya juga kan mengandung makna. Cuma di
pengguron itu kan pengetahuannya lebih inti, lebih detail.
- Filosofi upacara
kebudayaan di
Cirebon banyak
dipengaruhi oleh
nilai-nilai tarekat
Syattariyah.
36 P: Kalau di luar keluarga keraton, murid tarekat di sini itu dari
mana saja?
I: Ya di kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka, Indramayu,
Bandung, Banten, Jakarta, se-Jawa Barat lah. Di Jawa Tengah itu,
ada di Banyumas, Purwokerto. Di Banyumas itu semua tarekat dari
sini, dari Cirebon. Lalu Tegal, Cilacap. Di Jawa Timur ada di
Surabaya.
37 P: Baik mas, sudah selesai. Terima kasih banyak informasinya.
I: Sudah banyak ya, sama-sama ya.
xxxii
TRANSKRIP WAWANCARA III
Informan : Rama Guru Pangeran Nurbuwat Purbaningrat
Lokasi : Pengguron Tarekat Agama Islam (Jl. Pegajahan No.39)
Status : Mursyid Tarekat Syattariyah, Pimpinan Pengguron Agama Islam
Tanggal : 22 April 2014
Waktu : 14.10-14.35 WIB
No Dialog Komentar
1 P: Kalau arti tasawuf atau tarekat Syattariyah itu bagaimana Rama?
I: Jadi kalau tasawuf itu ilmu untuk menuju akhlaqul karimah. Ada
syari‟at yang sesuai dengan jalan Allah dan Rasulullah, nah tasawuf
itu pondasinya. Jadi tarekat itu berasal dari kata thariq (jalan), tata-
cara menuju Allah, sesuai pedoman Rasulullah. Nah kalau
Syattariyah, itu dari syeikhnya itu, Abdullah Asy-Syattari. Seperti
misalnya Qadiriyah dari Syeikh Abdul Qadir Jailani. Itu bergantung
nasablah.
- Arti tarekat
menurut rama guru.
2 P: Kalau sejarah awalnya pengguron tarekat di Cirebon itu seperti
apa?
I: Pertama adanya pengguron di Cirebon itu dari Syeikh Nurjati.
Lalu diteruskan oleh Sunan Gunung Jati, kemudian mulai
berkembang ada pengguron, ada pesantren, ada madrasah.
- Awalnya
pengguron didirikan
oleh Syeikh Nurjati.
3 P: Kalau tahunnya, berdirinya pengguron itu tahun berapa?
I: Ya berdirinya itu, turun-temurun dari masa Sunan Gunung Jati.
Kemudian turun-temurun.
4 P: Apakah berdirinya tarekat itu lebih dulu daripada berdirinya
negera Cirebon itu sendiri?
I: Ya betul, jadi Sunan Gunung Jati berguru pada Syeikh Nurjati di
Jawa Barat, kalau di Karawang ada Syeikh Quro.
5 P: Apakah betul ada dua jalur masuknya tarekat Syattariyah ke
Cirebon? Satu dari jalur Syeikh Nurjati, satu lagi dari jalur Syeikh
Muhyi?
I: Ya dari Syeikh Nurjati, tapi nasab tarekat Syattariyah itu kalau di
Cirebon dari Sunan Gunung Jati. Beliau menguasai banyak tarekat,
mungkin 12 aliran tarekat, tapi yang diwariskan kepada keluarga
dan masyarakat itu hanya tarekat Syattariyah karena mungkin lebih
mudah diamalkan. Jadi, nasabnyanya itu dari beliau.
6 P: Kalau anggota tarekat di sini, ada berapa dan dari mana saja?
I: Pada awalnya itu, ada pengguron Kaprabonan. Lumayan banyak.
Sekarang sih ada sekitar 4 pengguron yang aktif. Di Kaprabonan
ada 3 dan di sini.
7 P: Kalau awal mula berawal dari Kaprabonan itu seperti apa?
I: Awalnya itu dari nama Pangeran Raja Adipati Kaprabon, jadi
Kaprabonan. Seperti Kasepuhan, karena sepuh jadi Kesepuhan,
Kanoman maka anom.
8 P: Kalau kegiatan, atau tradisi di keraton, pengguron di sini masih
P = Peneliti
I = Informan
xxxiii
ikut partisipasi?
I: Ya kadang-kadang ikut partisipasi. Seperti memberikan nasihat,
jadi pengguron itu sangat mendukung sekali adanya Kesultanan
Cirebon.
- Tarekat mendukung
adanya keraton.
9 P: Itu karena ada hubungan keluarga atau bagaimana?
I: Ya, satu karena ada hubungan keluarga. Lalu juga saling sharing
lah, memberi nasihat, saran, seperti itu.
10 P: Kalau aktivitas/kegiatan di pengguron ini seperti apa?
I: Kegiatannya, ritualnya itu kita ada peringatan hari besar Islam,
seperti muludan, rajaban, dan juga ada shalat itqi setiap 8 Syawal,
atau 6 hari setelah hari raya (Idul Fitri). Itqi itu artinya bebas.
11 P: Kalau proses dari masyarakat umum untuk menjadi tarekat itu
seperti apa?
I: Ya, ada tapa (puasa), tapi sekarang diringankan. Kalau dulu
sampai berbulan-bulan, bertahun-tahun, sekarang diringankan.
Karena zamannya beda, kalau sekarang ada yang kerja, sekolah,
ada kesibukan, tapi kalau dulu kan masih bisa.
Nah syaratnya, itu Islam, baligh, kalau di luar Islam tidak bisa.
Kemudian Halumminallah, hablumminannas, akhlaqul karimah,
berakhlak baik bukan kepada Allah saja, tapi sesama manusia juga.
Kemudian ada Dam (denda), seperti istilah ibadah haji. Dam itu
membayar seikhlasnya, sodaqoh lah. Nah kalau tidak mampu
membayar, atau belum kerja bisa, membayar dengan puasa. Jadi
puasanya ditambah.
- Ada toleransi ajaran
tarekat bagi
masyarakat yang
hidup di era modern.
- Tarekat Syattariyah
menekankan
keseimbangan
hubungan antara
Tuhan dan antar
manusia.
12 P: Kalau berkenaan dengan talqin, bai‟at, dan dzikir itu seperti apa?
I: Jadi kalau itu, ada lah harus melewati tahapan tadi dulu. Untuk
melihat kesungguhan, jadi tidak sembarang langsung bai‟at lalu
ditalqinkan. Karena banyak sekarang yang seperti itu. Nah jadi
untuk diangkat murid itu tidak gampang, harus melewati prosesnya
dulu.
13 P: Kalau hubungan dengan keraton bagaimana, apakah dalam
peralihan dari keraton yang tadinya sebagai pusat pemerintahan,
menjadi sebagai pusat kebudayaan, pengguron sini itu menolak atau
mendukung?
I: Ya jadi adanya kesultanan itu, pengguron sini mendukung lah.
14 P: Berkaitan dengan modernisasi, atau kemodernan, apakah
pengguron sini itu menolak atau mengambil hal-hal positif?
I: Ya selama itu baik, mendukung, kita ambil positifnya. Tapi itu
juga tidak terlalu ini lah, biasa saja.
15 P: Baik Rama, sudah selesai, terima kasih atas informasinya, maaf
ini agak mengganggu.
I: Ya tidak apa-apa. Mungkin itu saja sedikit dari Rama, bukan
cuma untuk penelitian aja, tetapi juga untuk bekal ya. Jadi sedekah
itu sangat penting, untuk membersihkan diri kita, untuk rezeki kita.
xxxiv
TRANSKRIP WAWANCARA IV
Informan : Bapak Her. Mungal Kartaningrat
Lokasi : Keraton Kasepuhan Cirebon
Status : Abdi Dalem, Sesepuh Keraton, Pemandu Wisata
Tanggal : 23 April 2014
Waktu : 14.50-16.05 WIB
No Dialog Komentar
1 P: Kalau berdirinya keraton Cirebon itu seperti apa pak?
I: Jadi kalau Cirebon ini awalnya bernama Caruban, dalam Purwaka
Caruban Nagari (PCN) itu. Caruban artinya campuran, karena
penduduk awal yang berada di Caruban, atau disebutnya Kebon
Pesisir itu karena daerah ini berada di pantai, pesisir gitu. Nah
kemudian campuran karena berasal dari berbagai bangsa yang
datang ke tempat ini, yaitu pedagang yang berasal dari India, Cina,
Sumasi, Champa, Kamboja, Arab, dan sebagainya, mereka
berdagang di Jawa khususnya Cirebon. Mereka bekerja sama,
membawa keramik, emas, sutera, lalu rempah-rempah dan kayu jati
mereka dapat dari sini. Jadi kita kerja sama dagang, barter kalau
istilah di sejarah mah. Dulu berbagai bangsa itu campur dengan
pribumi. Nah makanya, Cirebon ini cukup unik. Lalu karena kita
toleransi terhadap semua bangsa pendatang, jadi Cirebon ini sampai
sekarang juga masyarakatnya cukup dinamis.Artinya, walaupun
berbeda etnis, bangsa, agama, bahasa, kita rukun toleransi. Kalau
kata zaman sekarang mah, menghormati pluralisme. Makannya ada
masjid yang berdekatan dengan gereja di Cirebon. Misalnya kalau
di masjid itu ada spanduk yang bertuliskan Selamat Hari Natal,
begitu pun di Gereja kalau menjelang hari Idul Fitri atau puasa, itu
Selamat Menunaikan Puasa, gitu. Jadi toleransinya rukun di sini.
Jadi sampai sekarang ini gak pernah ada demo-demo yang sifatnya
anarkis, paling-paling ya supir angkot masalah kenaikan tarif. Yang
anarkis bakar-bakaran, yang lempar-lemparan seperti yang di
Jakarta itu gak pernah ada. Aman untuk Cirebon sampai sekarang.
- Masyarakat
Cirebon awal disebut
masyarakat Kebon
Pesisir.
- Islam di Cirebon
adalah Islam yang
toleran.
2 P: Jadi awalnya itu Caruban?
I: Ya, kemudian dari Caruban itu menjadi Cirebon. Kemudian
waktu itu karena perkembangan Cirebon itu pesat, makanya disebut
Negara Gede, atau Grage, yang sekarang dipakai jadi nama mall.
Lalu dari Cirebon, zaman Belanda itu disebut, Cheirbhon. Nah
terus jadi Cirebon sekarang.
Nah awal-awalnya itu, Cirebon dulu masih termasuk Pajajaran
sebelum zaman wali. Karena Prabu Siliwangi mempercayakan
„pekuwon‟, pedesaan kepada anaknya, Raden Walangsungsang. Dia
dipercaya sebagai kepala daerah (kuwu) di pakuwon Cirebon ini.
Dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana, dikenal juga Mbah
Kuwu Cirebon. Tapi pada saat itu Cirebon masih bayar upeti ke
bapaknya. Karena Pangeran Cakrabuana dari kecil sudah dididik
- Istilah nama
Cirebon: Caruban,
Grage, Cheirbhon,
Cirebon.
P = Peneliti
I = Informan
xxxv
Islam oleh ibunya, nah dia secara „ngumpet-ngumpet‟ syiar Islam.
Jadi syiar Islam di Cirebon ini pertama beliau di Pedaleman Agung
Pakungwati, yang di belakang itu petilasannya. Dan masjid nya pun
di sebelahnya. Itu masjid pertama di Cirebon, Masjid Pejlagrahan.
Waktu itu belum ada Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nah itu
secara ngumpet-ngumpet syiar Islamnya, santrinya pun masih
sedikit sebab takut ketahuan bapaknya yang kembali memeluk
Hindu lagi. Bapaknya kembali ke Hindu itu karena awalnya Prabu
Siliwangi menikah dengan Nyi Mas Subang Lharang, yang dari
pesantren Syeikh Quro Karawang, itu punya anak tiga. Kemudian
karena Nyi Mas Subang Lharang itu mau dinikah oleh sang raja,
tapi harus Islam. Jadi dia singkatnya melamar tapi Islam dulu.
Kemudian Prabu Siliwangi masuk Islam, Nyi Mas Subang Lharang
dibawa ke Pajajaran. Pada masa perkawinan ini Prabu Siliwangi
Islam, karena istrinya ini minta Islam. Nah kemudian lahir anak
tiga; Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana/Mbah Kuwu),
Rarasantang (ibu dari Sunan Gunung Djati), dan Raden Kian
Santang. Nah ketiga anak ini sudah dididik Islam oleh ibunya.
Makannya begitu ibunya meninggal, Prabu Siliwangi kembali ke
agama asal. Nah menurut naskah PCN itu, Prabu Siliwangi ketika
wafat dikremasi, dirancamaya di dekat Bogor (Pakuan), makannya
gak ada makamnya. Nah karena ketiga anaknya itu melaksanakan
amanat ibunya, maka berguru ke Syeikh Datul Kahfi (Syeikh
Nurjati). Nah kemudian Pangeran Walangsungsang diperintahkan
membuka/babad hutan kebon pesisir menjadi pemukiman nelayan
dan dia juga menjadi nelayan. Kegiatannya sehari-hari mencari
ikan, rebon, segala macam. Kemudian untuk menyempurnakan
Islamnya, disuruh oleh Sang Guru (Syeikh Nurjati) untuk pergi
haji. Tapi yang pergi haji hanya berdua, Pangeran Cakrabuana dan
Nyi Mas Rarasantang. Nah ketika di Mekah, ketemu
hulubalang/pengawal raja Mesir. Nah ketika hulubalang itu melihat
Nyi Mas Rarasantang, ternyata wajahnya mirip sekali dengan
almarhum istri raja Mesir yang sudah meninggal. Hulubalang itu
bilang kepada Nyi Mas, „kamu jangan kemana-mana, jangan keluar
dari Mekah. Saya mau kembali ke Mesir melaporkan kepada raja‟.
Singkatnya, Nyi Mas Rarasantang dibawa ke Mesir, kemudian
menikah. Lalu dari pernikahan itu lahir dua anak, Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif itu gelar bangsawan Islam
untuk laki-laki. Kalau Syarifah untuk perempuan. Makannya ketika
Rarasantang dinikah dengan Sultan Mesir, bergelar Syarifah
Mudha‟im. Kemudian, ketika Sultannya meninggal dilanjutkan di
kerajaan Mesir, karena berkepentingan kembali ke Cirebon bertemu
eyangnya, jadi tahta Syarif Hidayatullah diberikan ke adiknya, dan
dia kembali ke Jawa bersama ibunya. Kemudian, waktu berangkat
haji dulu, Raden Walangsungsang istrinya itu sedang mengandung,
dari Nyi Endang Geulis. Nah anaknya bernama Nyi Mas
Pakungwati, yang nanti dinikahkan dengan Syarif Hidayatullah,
keponakan Mbah Kuwu. Makannya nama keraton pertama bernama
Pakungwati sebagai hadiah dari Mbah Kuwu kepada anaknya.
Makannya keraton ini awalnya bernama keraton Pakungwati.
Kemudian pada 1479, setelah Syarif Hidayatullah dikukuhkan oleh
Sunan Ampel sebagai wali kutub, beliau langsung mendeklarasikan
berdirinya Cirebon yang Islam dan menyatakan lepas dari ikatan
Papajaran. Sudah begitu, Prabu Siliwangi merestui, menyutujui
karena beliau menyadari daerah-daerah yang tadinya ikut Pajajaran
xxxvi
melepaskan diri beralih ikut kepada cucunya ke Cirebon, begitupun
upetinya dipindah.
3 P: Ini pindahnya karena sukarela atau ada perang, semacam
pelebaran kekuasaan?
I: Itu karena Islam, Syarif Hidayatullah itu syiar Islam cukup
beberapa kali, kemudian masyarakat ikut masuk Islam. Tapi perang
juga ada, yang dengan Raja Galuh itu. Beberapa kali ada yang
perang. Tapi umumnya melalui dakwah, mereka langsung Islam.
Belum lagi para wali itu syiar Islamnya agak unik. Seperti
pementasan kesenian-kesenian: gamelan, wayang, dll. untuk
mengumpulkan masyarakat Hindu. Setelah kumpul, para wali
mengganti yang tadinya tontonan menjadi tuntunan,
ceramah/dakwah tentang Islam sehingga orang-orang Hindu yang
menonton ini merasa punya penilaian, „wah kayaknya ini lebih....‟
kemudian dia aklamasi masuk Islam dengan syahadat. Konon yang
paling banyak merekrut umat Hindu menjadi muslim itu Sunan
Kalijaga, yaitu anak Tumenggung Wirocipto, bupati Tuban. Nah
makannya dia salah satu wali dengan pakaian hitam. Yang konon
Islam wali itu ada dua versi, abangan dan putihan kan begitu. Tapi
kan itu mah jalan saja, intinya kan satu.
- Para walisongo
mengubah esensi
agama masyarakat
yang sebelumnya
Hindu dengan
kesenian, “dari
Tontonan menjadi
Tuntunan”
4 P: Jadi ada semacam kaitan ya antara Cirebon dan Jawa?
I: Iya, jadi kalau Majapahit menjadi Islam itu Demak, sementara
Pajajaran menjadi Islam itu Cirebon. Jadi Islam yang 99% itu di
Jawa. Karena peran para wali itu. Kemudian di Jawa ini timbul
Islam tradisional, „Islam-adat‟. Seperti ada upacara muludan, nujuh
bulanan, dan macem-macem. Itu hanya terjadi di Jawa, di luar Jawa
gak ada. Mungkin ada, tapi tidak sekental di Jawa. Nah itu uniknya
Jawa.
Sesudah itu Syarif Hidayatullah tahun 1529 membangun keraton
kedua. Itu pun masih keraton Pakungwati. Mungkin ini adalah
zaman keemasannya, habis mengusir Portugis bersama Demak dan
Banten di Sunda Kelapa 1527. Nah ketika keraton sudah pindah,
jadi urusan kenegaraan seperti dagang, pemerintahan, syiar, dll.
pindah ke sini, keraton dalem agung Pakungwati hanya dijadikan
tempat penyiaran agama Islam saja. Jadi kelebihan Syarif
Hidayatullah itu, kalau wali lain hanya sekedar wali, kalau Syarif
Hidayatullah dwi-fungi, selain dia panatagama (ahli syiar), dia juga
raja (ahli tata-negara).
- Cirebon merupakan
penerus Pasundan,
sementara Demak
merupakan penerus
Majapahit.
5 P: Kalau terjadinya pemisahan antara Kasepuhan dan Kanoman itu
bagaimana pak?
I: Nah pada keturunan ke-6 terjadi proses sejarah, adu domba,
devided-empera dari Belanda, yang menjadikan adik Sultan
Syamsuddin, Sultan Badriddin diangkat menjadi Sultan Anom, baru
dibangun Kanoman tahun 1679. Barulah ada sebutan Sultan Anom
I. Nah sejak itu Sultan Syamsyuddin melanjutkan kepemimpinan
Keraton Pakungwati di sini, mulai bergelar Sultan Sepuh. Turun-
temurun Sultan Sepuh I, ke-II, ke-II, sampai sekarang Pangeran
Arif ini ke-XIV. Tapi kalau dilihat dari silsilah Sunan Gunung Jati,
ini ke-XIX. Kalau gak ada Belanda sih tetep satu, gak ada keraton
Kasepuhan, Kanoman, tetep Pakungwati. Gak ada juga keraton
Jogya, keraton Solo, tetap Mataram. Karena kan Demak pindah ke
Pajang, Pajang pindah ke Mataram, sampai ada Sultan Agung.
Setelah Sultan Agung kan Amangkurat I dipengaruhi sehingga
membelot terjadi Perang Trunojoyo itulah yang membelah
Mataram jadi dua, begitu pula Cirebon. Nah begitu sejarahnya
- Belanda merupakan
dalang pecahnya
Keraton di Cirebon.
xxxvii
sehingga keraton Pakungwati lebih dikenal dengan Keraton
Kasepuhan karena sejak Sultan ke-VII itu bergelar Sultan Sepuh
sampai sekarang.
6 P: Jadi Belanda yang ngacak-ngacak ya?
I: Iya Belanda, malah yang paling parah itu Banten. Waktu itu
bapak dengar dari radio. Jadi Banten hancur dibumi-hanguskan
oleh Belanda itu karena adu-domba Belanda antara anak dengan
bapaknya, Sultan Ageng Tirtayasa. Cuma karena dipicu perbedaan
paham antara tradisionalis dan modern. Kemudian anaknya ini,
Sultan Haji bekerja sama dengan Belanda untuk membumi
hanguskan kerajaan bapaknya. Itu paling tragis Banten.
Kalau Cirebon mah, kelihatan keratonnya utuh itu, konon Sultan
Cirebon itu punya trick atau strategi khusus menghadapi Belanda.
Jadi kalau terhadap Belanda, sultan-sultan Cirebon ini sangat
respect, sangat patuh, tunduk kepada aturan Belanda di depan
mereka. Tapi di belakangnya, sultan melatih para santrinya
berperang sampai punya basecamp sendiri di daerah untuk melawan
Belanda tidak mengatasnamakan Keraton ataupun Sultan. Ada
yang dikenal paling gigih melawan Belanda itu Sultan Syafiuddin
Matangaji, sultan ke-5.
7 P: Jadi semacam politik dua kaki ya?
I: Iya betul. Bahkan pernah di keraton, ada opsir Belanda datang
karena ada laporan santri-santri sedang dilatih perang. Kemudian
Sultan keluar, ngadepin. Kata Sultan, „ada apa?‟. Terus Belana
nanya, „saya mau melihat ke dalam, katanya ada santri yang sedang
latihan perang‟. Kata Sultan,‟ah tidak, mereka sedang belajar ngaji‟.
Akhirnya karena percaya pada Sultan, opsir dan pasukannya itu
pulang. Padahal memang betul para santri sedang latihan perang di
belakang. Bahkan konon, Sultan Syafiuddin itu susah sekali
ditangkap. Yang tahu kelemahannya cuma istrinya saja. Jadi buat
menangkap dia, Belanda mempengaruhi adik iparnya, supaya
istrinya Sultan mau membocorkan rahasia kelemahannya. Yang
konon kelemahannya itu bila ditusuk oleh senjatanya sendiri. Lalu
dipinjam kerisnya langsung ditusukkan. Makamnya di Gunung
Sembung.
- Salah satu faktor
masih bertahanannya
keraton hingga saat
ini adalah
kepiawaian Sultan
untuk memainkan
politik dua kaki, dan
perang yang
diselenggarakan
bukan di Cirebon,
tetapi di Sumedang
sehingga keraton
tetap utuh, tidak
hancur.
8 P: Kalau tadi kan pecahnya keraton menjadi Kanoman dan
Kasepuhan itu karena Belanda, kalau Kacirebonan itu bagaimana
pak?
I: Kalau Kacirebonan itu yang pertama Sultan Khairuddin, Sultan
Anom III. Beliau itu terang-terangan melawan Belanda. Jadi oleh
Belanda itu, beliau ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Lalu
Belanda melantik adiknya untuk melanjutkan di keraton sebagai
sultan. Nah atas usul masyarakat Cirebon, dikembalikan Sultan
Khairuddin itu. Tapi dia tidak mau datang ke keratonnya sendiri,
tidak mau bergabung dengan keluarganya, lalu bikin sendiri di
Kacirebonan sekitar 1830. Tapi itu bukan keraton, tetapi
kepangeranan untuk beliau sendiri. Kalau sekarang mah, entah
bagaimana awal-awalnya di Cirebon secara formal ada empat
keraton, ada empat sultan. Padahal semestinya menurut sejarah
hanya Kasepuhan dan Kanoman. Sekarang Kacirebonan ada
sultannya, walaupun sultannya diangkat oleh Solo. Makannya
sultannya bergelar GPA. Kaprabonan juga sekarang sultan, padahal
dulunya pengguron, karena itu dulunya ada sultan yang menolak
tahta, dia lebih suka bergaul dengan para santri untuk membuka
pengguron tarekat, misalkan sekarang turunannya ada elang pia
xxxviii
(Rama Guru Pangeran Apiyah).
9 P: Tapi keempatnya itu diakui pak oleh Pemda?
I: Iya, diakui. Makannya kalau ada festival itu disebutnya empat-
empatnya kesultanan. Jadi sekarang Cirebon itu ada empat sultan.
Nah setelah ada Kanoman, benda-benda yang tadinya di sini,
dipindah misalnya kereta Paksi Naga Liman. Lucunya, masjid satu,
makamnya satu, keratonnya banyak.
10 P: Kalau perkembangan keraton sekarang seperti apa pak?
I: Kalau sekarang, sejak masa sultan ke-XVIII, oleh beliau keraton
ini setahap demi setahap dibenahi sebagai sentra budaya, obyek
wisata, dan obyek penelitian untuk para pelajar dan mahasiswa
demi kepentingan studinya. Jadi sekarang banyak peneliti-peneliti
yang ke sini, dari luar negeri pun banyak.
- Fungsi keraton saat
ini:
1. Sentra Budaya
2. Obyek Wisata
3. Obyek Riset
11 P: Kalau pengguron masih ada pak di sini?
I: Kalau pengguron sudah tidak ada. Itu di Kaprabonan. Itu
keluarga pengguron semua.
12 P: Kalau teman bapak, atau abdi dalem di sini masih ada yang ikut
ke pengguron atau belajar tarekat begitu?
I: Begini kalau tarekat itu kan, jalan untuk menuju tujuan. Kita kan
umumnya ada empat tingkat syari‟at, tarekat, hakikat, dan ma‟rifat.
Contohnya misalnya, bapak bilang ke mas, itu di ps.kanoman ada
mangga gedong yang enak sekali. Kalau syari‟at itu baru percaya,
untuk meyakini ditelusuri, ditarekati, terus dibeli kan menjadi hak,
hakikat, tapi belum tahu rasanya. Setelah dikupas, dicoba, wah
betul yang bapak bilang, manis. Jadi ma‟rifat itu rasa, merasakan
secara individual.
Kalau di sini sih abdi dalem ada saja, tapi yang berhak membuka
mungkin guru tarekat.
13 P: Kalau bapak sama mama apiyah atau mama nurbuwat masih ada
kerabat?
I: Masih kerabat, karena dari turunan keraton itu dari Sunan
Gunung Jati, dari trah laki-laki. Kalau sultan kan mengambil trah
laki-laki.
14 P: Kalau menurut bapak, Sunan Gunung Jati atau Syeikh Nurjati itu
penyebar tarekat Syattariyah juga, seperti yang di pengguron-
pengguron?
I: Menurut yang bapak tahu dari obrolan orang tua itu, Cirebon ini
dari Syarif Hidayatullah itu ada dua. Yang pertama Syattariyah dan
Muhammadiyah. Kalau Pangeran Cakrabuana dan lain-lain itu
memang setingkat wali, karena dia wakil Allah selalu berhubungan
langsung dengan Yang Maha Kuasa.
15 P: Tadi kan Sunan Gunung Jati itu salah satu penyebar tarekat
Syattariyah dan beliau juga sebagai raja (sultan), berarti secara gak
langsung perkembangan dan berdirinya keraton ini ada kaitan
dengan tarekat Syattariyah juga?
I: Ya karena di sini memang pusat penyebaran agama Islam di Jawa
Kulon. Dulu memang Jawa ada dua bagian, belum ada Jawa
Tengah, karena itu dari Daendless. Sebenarnya Jawa ada dua, yaitu
Jawa Kulon dan Jawa Wetan. Konon batasannya Banyumas.
Banyumas ke Timur itu Demak, kalau Banyumas ke Barat itu
Cirebon. Makannya banyak peninggalan-peninggalan di Jawa
Kulon itu dari empat wali: Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga,
Sunan Kudus, Sunan Bonang. Yang empat wali lain di Jawa Wetan,
ketuanya Sunan Ampel.
Konon menjelang Sunan Ampel meninggal, beliau mewasiatkan
xxxix
kepada para wali lain dia menunjuk Sunan Gunung Jati walaupun
muda tapi mungkin ada lebih. Wali juga sebetulnya banyak, nah
wali songo cuma sembilan itu karena yang sembilan ini ada lebih
yang didasarkan mufakat.
16 P: Berarti dulunya di sini itu keraton sekaligus pengguron ya pak?
I: Iya betul, pusat penyebaran Islam. Banyak pula keluarga keraton
yang buka pesantren di Buntet, misalnya itu asal-usulnya dari sini.
Mbah Muqoyim itu dari Kanoman. Pokoknya di sini pusat
penyebaran Islam, di Jawa Kulon itu Cirebon, di Jawa Wetan itu
Demak.
- Mbah Muqoyim,
pendiri Buntet
merupakan
keturunan Kanoman.
17 P: Kalau ada-istiadat atau tata-krama di keraton itu ada pengaruh
dari ajaran Syattariyah gak pak?
I: Kalau tata-krama itu secara otomatis ada. Karena agama itu
mengajari tentang saling menghormati, menghargai, dsb. itu tata-
krama lahir dari kerajaan terdahulu. Raja diagungkan, seperti orang
tua, itu tata-krama. Malah kalau kita menyebut yang lebih tinggi,
seperti mau punya hajat ke sultan, walaupun muda, dia figurnya
sultan, kita ngomongnya itu „gusti, kula bade nyunati anak kula.
Mugi panjenengan serta putera panjenengan suwun lawipun‟. Jadi
nyebut anak mereka dihormati, tapi anak sendiri biasa saja. Itu
kromonya.
- Tata krama di
kraton memiliki
kaitan dengan ajaran
tarekat.
18 P: Berarti sama seperti murid ke mursyidnya ya pak?
I: Ya betul, seperti murid ke rama gurunya. Maka kita itu, kalau
belajar, ada pepatah yang mengatakan „carilah guru yang mursyid‟.
Nyari mursyid itu susah. Makannya orang-orang itu kalau mencari
ilmu tarekat atau kebatinan itu di Cirebon, kalau cari ilmu kebal itu
Banten. Itu ilmu lahir, kalau ilmu batin itu di Cirebon.
19 P: Terus pak, kaitannya dengan kemodernan, kalau dari pihak
menolak kemodernan, seperti adanya internet dll., atau mengambil
yang positif?
I: Kita sih sudah universal. Zaman modern, kita ikut modernisasi.
Itu kan lahir. Nah kalau untuk batin, itu individual sifatnya.
Walaupun sekarang zaman sudah modern luar biasa begini, tapi kita
usahakan mendidik anak-cucu itu dengan dasar agama. Kalau orang
dulu, misalkan umur 7 tahun sudah harus hafal juz „amma, harus
bisa ngaji sebagai bekal. Jadi ketika dia menemui metode yang
modern dia sudah mempunyai pondasi yang kuat. Dia gak akan
mudah terpengaruh sama yang negatif.
Nah kemudian ruang museum dan audio-visual sekarang juga
termasuk modernisasi.
- Keraton tidak
menolak
kemodernan, malah
memanfaatkannya
untuk pengembangan
kraton.
20 P: Kalau sekarang fungsi keraton itu bagaimana pak, kan dulunya
sebagai pemerintahan, tetapi sekarang sebagai pusat budaya?
I: Sultan sejak kita merdeka 1945 itu sudah tidak berkuasa politik
atas wilayah. Waktu zaman Belanda masih dapet upeti, sultan
masih berkuasa. Tapi sebagian upeti harus setor ke Belanda melalui
residen dan goovernoor, sultan digaji oleh Belanda. Nah, setelah
merdeka jadi NKRI, sultan hanya tokoh masyarakat, pemangku
adat, turun-temurun kesultanan. Karena keraton ini bukan lembaga
perusahaan, bukan lembaga pemerintahan, keraton ini sebagai situs
cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Jadi lebih tepatnya
sebagai lembaga adat, lembaga tradisional. Sultan itu harus
memelihara tradisi turun-temurun. Malah, sultan juga kerja. Dulu
Sultan sebelumnya itu PNS, memimpin pembangunan daerah.
Sekarang Sultan Arif ya pengusaha, bussines man. Cuma bedanya
dia sultan memiliki hak mengelola situs turun-temurun ini sebagai
- Sultan saat ini
berfungsi sebagai
pemangku adat, dan
para abdi tidak
digaji, hanya 50 ribu
sebulan.
xl
lembaga adat jadi sultan dapat bantuan dari pemerintah.
Kami juga gak digaji, karingan, sebulan Cuma 50ribu. Tapi kita kan
dari pengunjung karena penjelasannya baik, kadang dikasih lah.
Makannya bapak ini pengabdian, bukan seperti diperusahaan ada
UMR.
21 P: Kalau menurut bapak sebagai abdi dalem keraton, peran
pengguron atau tarekat itu seberapa penting di era modern.
I: Kalau untuk pengguron atau guru-guru tarekat itu kaitannya
dengan individual. Sebab orang sekarang karena sibuk, ingin yang
praktis saja. Kalau untuk penelitian, itu bagus dan perlu. Karena
pengaruh global, itu sangat masif. Kalau tarekat sih individual. Juga
memerlukan waktu longgar. Karena itu urusan antara individu kita
antara kita dengan khaliq, untuk mengenal dirinya sendiri. man
‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’, untuk mengenal Tuhannya
harus mengenal dirinya dulu, ya kira-kira begitu.
- tarekat penting
diera modern.
22 P: Baik Pak Mungal, terima kasih banyak penjelasannya luar biasa.
Semoga sehat selalu.
I: Iya mas, sama-sama. Tapi mohon maaf kalau penuturan bapak ini
ada salah atau kurang jelas. Semoga sukses ya.
xli
TRANSKRIP WAWANCARA V
Informan : Bapak Slamet
Lokasi : Astana Gunung Sembung, Cirebon (Makam Sunan Gunung Jati)
Status : Juru Kunci, Abdi Dalem, Pemandu Ziarah
Tanggal : 24 April 2014
Waktu : 14.11-15.14 WIB
No Dialog Komentar
1 P: Kalau sejarah dari astana Gunung Jati itu bagaimana pak?
I: Jadi Gunung Sembung ini dulunya sih taman Sunan, namanya
Taman Pesambangan. Lama-lama ini menjadi pemakaman, setelah
beliau wafat. Jadi keratonnya di Kasepuhan, di Kanoman,
makamnya di sini. Dulu bangunannya tidak sebesar ini, bertahap.
Ini kan pintu ada 9 pintu ya, yang untuk ziarah sekarang ini pintu
ke-4. Wilayah ke-9 nya itu masih jauh di atas sana.
- Makam Sunan
Gunung Jati
(Gunung Sembung)
dulunya adalah
taman Keraton yang
disebut Taman
Pesambangan.
- Terdapat 9 pintu
untuk sampai ke
makam Sunan
Gunung Jati.
2 P: Kalau di sini yang jaga itu ada berapa orang pak?
I: Di sini, kuncen-kuncen keseluruhannya itu ada 121 dibagi 9.
Kalau pemain bola sih ini tim, tapi kalau kuncen di sini mengatakan
„golongan‟. Jadi kuncen-kuncen di sini itu gak tetap, ganti-ganti
setiap 15 hari ganti. Itu liburnya 4 bulan di rumah. Jadi harus punya
kegiatan di rumah. Bapak lagi masih fit itu di proyek. Jadi kuncen-
kuncen di sini itu memang kerja. Ada yang jadi supir, ada tukang
jahit, ada yang jualan ayam, petani macem-macem. Jadi gak
mengandalkan hasil di sini, kuncen-kuncennya. Soalnya kan lama
di rumah 4 bulan. Kalau gak ada kerja ya diem di rumah. Tapi
sekarang kan sudah mulai tua, jadi mengurangi lah.
- Kuncen di Gn.
Sembung terbagi
dalam golongan-
golongan (kelompok)
dan bergantian
berjaga.
- Selain sebagai
kuncen, para juru
kunci pun banyak
yang memiliki
pekerjaan sampingan
karena faktor
ekonomi.
3 P: Kalau bapak sudah berapa tahun pak jadi kuncen?
I: Saya kan turun-temurun, dulu kan gantiin ayahnya bapak tahun
2005. Jadi sekitar 10 tahunan lah. Itu pun pengabdian, gak ada yang
gaji. Bantuan dari Pemda gak ada. Kita sih dari pendatang, kalau
banyak ya banyak, kalau gak ada ya gak ada. Besok makan sama
apa ya gak tahu. Kalau banyak sih makan sama ayam, kalau sedikit
ya sama tempe aja masaknya.
Ya kalau untuk makan sih kenyang, ya keramatnya Kanjeng Sunan
gak ada habisnya.
4 P: Kalau bapak itu masih turunan Sunan?
I: Bukan, kalau bapak sih abdi bukan turunan. Abdi, yang merawat. - Para kuncen
P = Peneliti
I = Informan
xlii
Turunan Adipati Keling. umumnya adalah
keturunan Adipati
Keling
5 P: Kalau di sini masih ada pengguron pak?
I: Di sini sih gak ada, sekitar makam sih gak ada, jauh.
6 P: Kalau bapak kan tadi sebagai juru kunci, terus ikut proyek, terus
ikut tarekat atau pengguron juga pak?
I: Kalau bapak sih jauh lah, hanya dulu mengaji-mengaji biasa aja.
Gak memperdalem lah. Cuma tahu sholat begitu, ngaji begitu, ya
sudah. Jadi hanya sebatas itu aja, sekedar punya.
7 P: Kalau temen-temen sesama kuncen ada pak yang ikut tarekat?
I: Kalau timnya bapak sih gak ada. Hanya sebatas biasa-biasa saja.
Kalau di sini abdi-abdi nya gak ada sepertinya yang ikut begitu.
Misalnya ada juga keluar dari kuncen. Soalnya itu sudah sifatnya
beda nanti. Istilahnya sudah menjadi orang tua kalau begitu itu.
Perilakunya, pola berpikirnya, bicaranya, juga sudah berubah.
Misalnya S2 sama S3 kan gaya berbicaranya beda. Ya sama itu juga
nanti gaya bicara, berprilakunya beda.
- Kebanyakan
kuncen di
Gn.Sembung bukan
penganut tarekat.
8 P: Itu kalau 9 tim itu ada pemimpinnya pak?
I: Ada, komandannya ada. Cuma beliau ya namanya pemimpin,
kadang datang, kadang enggak, ya pemimpin suka-suka dia aja.
Tidak seperti bapak umpama tugas 15 hari ya stand-by terus lah.
Makan, masak, apa di sini. Paling belanja, ya uangnya dari orang-
orang yang datang.
9 P: Kalau selain ziarah, di sini kegiatannya apa lagi pak? Misalkan,
kalau di kampung-kampung kan suka ada tahlilan setiap malam
jumat?
I: Ya ada, kalau di sini sih orang pada ziarah pada datang ya ada,
dateng sendiri dari mana-mana. Pada tahlilan, pada sholawatan.
Mereka sih dateng sendiri, pulang sendiri, gak diundang.
10 P: Kalau kegiatan bulanan pak, seperti bulan-bulan tertentu gitu?
I: Kalau bulanan sih itu malam jum‟at kliwon. Ya tahlilan, dua kali;
jam 9 sama jam 12. Jadi dua kali. Kalau pengunjung sih bacaannya
macam-macam, mau tahlilan, mau sholawat, terserah mereka saja.
Lalu Rajaban ada, Mauludan ada, 1 Suro ada. Ya semua ada,
apalagi di sini lingkungan wali, ya semua ada.
11 P: Kalau yang ke sini selain masyarakat, pejabat ada pak, misalkan
punya hajat atau apa?
I: Kalau pejabat sih ada aja, seperti walikota, bupati, hanya sebatas
ziarah.
12 P: Kalau masjid di sini itu ada kegiatan juga pak?
I: Kalau masjid ini tuh namanya, masjid Tuh Jumenem. Itu bahasa
Jawa. Kalau diindonesiakan, Tuh itu tiba-tiba, Jumenem itu ada.
Jadi, tiba-tiba ada. Siapa yang bawa, siapa yang bikin, gak tahu.
Begitu memang.
Di sebelah timur
makam terdapat
sebuah masjid, yaitu
Masjid Tuh
Jemenem, yang
diyakini masyarakat
sebagai masjid yang
tiba-tiba ada tanpa
ada yang membuat.
13 P: Kalau di masjid kegiatannya banyak juga pak?
I: Kalau peziarah sih ada yang shalat berjamaah, ada yang
bermalam, kalau orang jauh dari Surabaya, dari mana-mana. Ada
pengajian juga, seperti Rajaban, malam jum‟at.
14 P: Kalau jamaah itu kenapa terbatas cuma sampai pintu ke-4 pak,
xliii
kenapa gak boleh sampe ke-9?
I: Jadi ya, kuncen aja kalau masuk ke sana harus bikin slametan.
Sakral sih. Cuma sekarang sih ada perubahan. Kalau orang maksa-
maksa mau masuk, ya sana izin ke sultan, boleh.
Tapi sebetulnya sih, doa mah sama saja di sini atau di dalam.
Memang orang itu untuk apa, hanya ingin tahu aja. Sebenarnya gak
ada bedanya.
Cuma di sini kan ada logika, ibarat di sini lautan besar, Mbah
Sunan tuh lautan besar, ya namanya lautan besar ada banyak sungai
yang mengalir ke laut, dari sungai mana aja. Kan tujuannya ke laut
semua, tapi setiap laut itu logikanya sama. Dari sungai A membawa
bangkai tikus, sungai B membawa bangkai kucing masuk, sungai C
membawa bantal rusak, masuk. Tapi ya namanya laut, itu
mempunyai gerak gelombang yang tiada hentinya. Sedikitpun tidak
ada hentinya. Jadi kotoran itu tidak bisa masuk ke laut, digoyang
oleh gelombang. Karena gelombang itu tidak ada hentinya.
Jangankan kotoran yang dari sungai, kotoran yang dari kapal di
tengah laut, didorong ke tepi. Logikanya begitu. Jadi boleh masuk,
tapi yang kotor-kotor itu digoyang ke tepi. Jadi logikanya sungai
dengan laut. Yang menyatu dengan laut, yang sama bersihnya. Jadi
yang diterima sama sunan itu hati sama akalnya yang pas, yang
bersih.
- Untuk masuk
melewati pintu ke-4
dan masuk ke
makam Sunan tidak
sembarang orang
bisa, termasuk para
kuncen. Namun bila
mendapat izin dari
Sultan, peziarah
dapat masuk dan
berziarah langsung
ke makam Sunan
Gunung Jati, yang
terletak di dalam
Pintu Teratai (pintu-
1).
- Menurut kuncen,
makam Sunan ibarat
lautan, banyak
ombak (hajat para
jamaah) tapi kotoran
(hajat duniawi) yang
dibawa ombak akan
tersisih ke pinggir.
15 P: Kadang orang kan ada yang punya hajat minta jodoh, minta
kaya, dan sebagainya itu kan mintanya ke sini, itu bagaimana pak?
I: Itu sih terserah mereka. Tapi kan sudah jelas, „iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in‟. Makannya, insya Allah, ini hanya perantara aja,
sareatnya lah. Yang mempunyai hak sih Allah. Mungkin ngarep
berkah ya.
16 P: Kalau bapak sekarang, tinggal di mana?
I: Ya saya tinggal sih di kampung sekitar sini. Sini sih semua
dikelilingin kampung. Jadi di sini tengah-tengah.
17 P: Kalau bangunan ini masih asli pak?
I:Ya kalau ini masih asli, belum direnovasi, nanti hilang
keasliannya. Piring-piring sih dari Cina, dari istri Sunan yang ke-4,
Putri Ong Tien.
18 P: Kalau yang jahil, semacam dicongkel-congkel piringnya ada
pak?
I: Dulu ada, waktu zamannya kakek saya. Pernah ada yang
nyongkel, terus dibawa pulang. Terus di rumah itu seperti ada
orang yang „ngoprak‟ gitu, jadi ketakutan, dikembalikan lagi.
19 P: Jadi betul sakral ya pak?
I: Logikanya begini, di sini tahlil, sholawat, gak ada hentinya. Ada
yang datang, pergi, datang lagi. Di sini kan terus, orang baca doa itu
kan silih berganti.
20 P: Kalau menurut bapak Sunan Gunung Jati itu sosok seperti apa?
I: Ya diakan wali, menurut sejarah kalau ziarah itu dia yang
pertama, kadang juga diambil belakangan. Nah diantara para wali
kan dia yang mendapat hidayah, makannya namanya Syarif
Hidayatullah.
21 P: Baik pak, terima kasih banyak atas informasinya. Selamat
bertugas.
I: Sama-sama mas, sering-sering main ke sini ya. Semoga lancar.
xliv
TRANSKRIP WAWANCARA VI
Informan : Elang Satriyono
Lokasi : Keraton Kacirebonan
Status : Abdi Dalem Keraton, Pemandu Keraton, Kompipas (Kelompok
Penggerak Pariwisata)
Tanggal : 25 April 2015
Waktu : 14.07-15.54
No Dialog Komentar
1 P: Kalau sejarah keraton Kacirebonan itu bagaimana pak?
I: Jadi awalnya keraton itu di Kasepuhan sana, sultan yang pertama
itu Pangeran Cakrabuana. Kemudian diteruskan oleh menantunya,
Syeikh Syarif Hidayatullah sampai ke generasi berikutnya, sampai
ada keraton Kanoman. Nah di Kacirebonan ini sultan yang pertama
itu Sultan Mohammad Chairudin. Setelah itu, Belanda mau minta
kerja sama. Beliau gak mau, langsung bertempur, perlawanan
dengan dibantu oleh santri-santri sehingga beliau ditangkap oleh
Belanda. Lalu dibuang ke Ambon. Setelah dibuang ke Ambon
rakyat Cirebon sama santri-santrinya gak terima, minta dipulangin
lagi. Kebetulan Belanda itu sedang dijajah oleh Inggris. Jadi boro-
boro mikiran tahanan, dipulangin lagi sultannya ke Cirebon.
Sampai di Cirebon juga gak nengok ke keratonnya, dibangun gua
Sunyaragi, untuk meditasi. Setelah jadi gua Sunyaragi, baru beliau
menengok keratonnya bersama istrinya. Setelah nengok keratonnya,
ternyata adiknya sudah naik tahta. Nah kakaknya ini, minta
dibikinin keraton, ya di sini, di Kacirebonan. Nah itu kan
pertempuran 1803-1806 baru merdeka. Nah setelah bertempur,
peletakan batu pertamanya itu 1808, sampai jadi 1814, sekitar 6
tahun. Kemudian beliau bertapa. Istilahnya kalau zaman dulu kan
kuat akal dan hatinya. Jadi gak sembarangan kita bangun asal
bangun aja, ada dzikir dulu, apa dulu, jadi ada kharismanya. Nah
setelah jadi di sini beliau ke Sunyaragi lagi, meditasi lagi. Di sini
meninggalkan putra-putrinya. Nah dari raja Kanoman ke sini
turunnya ke-IX, tapi kalau dari Sunan Gunung Jati itu ke-XIX. Nah
memang sejarah keraton Kacirebonan sedikit mas, tapi semua yang
di sini belum ada yang diganti. Ini luasnya sekitar 2500 m2.
Jadi kita memang kalau menurut sejarah besar, itu kan berawal dari
anak-anaknya Prabu Siliwangi, Pangeran Walangsungsang dan Nyi
Mas Rarasantang. Mereka kan keluar dari kerajaan gak bilang
ayahnya. Naik gunung, turun gunung, hingga sampai di Cirebon
Girang ketemu dengan Sang Hyang Danuarsi, seorang pendeta
Hindu. Mereka belajar selama 3 tahun, setelah ilmunya cukup
disuruh ke Gunung Jati Amparan, disuruh berguru ke Syeikh Datul
Kahfi/Syeikh Nurjati. Berdua 3 tahun di situ. Belajar ilmu segala
macem, komplit lah. Setelah itu Syeikh Datul Kahfi memberi tahu
Berdirinya keraton
Kacirebonan berawal
dari sikap non-
kooperatif terhadap
Belanda, ditandai
oleh sikap
perlawanan dari
Sultan bersama
santri-santrinya.
P = Peneliti
I = Informan
xlv
ke adiknya Syeikh Bayanullah, kemudian Pangeran
Walangsungsang dan adiknya mempelajari ilmu tasawuf sampai 3
tahun . Setelah belajar tasawuf mantep, nah adiknya Nyi Mas
Rarasantang dinikah sama Raja Mesir, Sultan Muhammad
Abdullah, masih turunan dari Kanjeng Nabi. Terus direstui sama
Prabu Siliwangi. Setelah dinikah, mempunyai putera dua yang
lahirnya di Madinah, Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Kemudian Syarif Hidayatullah ingin bertemu dengan Kanjeng
Nabi, bilanglah ke ibunya. Lalu beliau naik gunung, turun gunung
membawa Al-Qur‟an. Setelah bertemu Nabi kemudian disuruh
belajar ke syeikh-syeikh. Sampai ke Jawa. Kemudian berguru
kepada Syeikh Datul Kahfi sampai berdakwah, sampai menjadi
wali qutub.
2 P: Mengenai perkembangan di Cirebon berarti tidak terlepas dari
pengaruh tasawuf ya pak?
I: Ya kalau tasawuf itu tarekat. Di Cirebon itu ada tarekat
Syattariyah, tarekat Muhammadiyah, tarekat Ashroriyah. Itu yang
masuk ke Cirebon, ilmu para wali.
3 P: Itu masuknya tarekat ke Cirebon melalui jalur mana pak?
I: Awalnya itu melalui Syeikh Nurjati, kemudian Mbah Kuwu
muridnya, Sunan Gunung Jati juga muridnya. Terus sampai
sekarang. Kalau di Cirebon ini Syattariyah, mungkin kalau di Jawa
Barat itu Naqsabandiyyah, Qadiriyah, kan itu Abah Anom. Kalau
Cirebon ya kebanyakan Syattariyah.
Jalur masuknya
tarekat Syattariyah
dari Syeikh Nurjati.
4 P: Kalau bapak pernah ikut pengguron tarekat?
I: Pernah, saya itu gurunya dua, uwa saya sendiri, sampe
Ashroriyah. Waktu dulu juga belajar di Kanoman. Kalau udah
dzikirnya udah kramat jangan macam-macam, kalau gaplok orang
itu bisa bahaya. Sekarang sih banyak ya macem-macem aliran, tapi
ya sebenarnya tujuannya satu. Kan tarekat, thariq itu jalan,
tujuannya satu. Ya kalau orang tua ngasih ilmu itu satu, „eling‟,
ingat. Eling in Gusti Allah. Tingkah-laku, langkah kita, itu harus
eling. Semua dzikir, itu harus ikhlas.
Tarekat dipandang
sebagai ilmu „eling‟
(ingat), ilmu yang
selalu menuntun
manusia untuk selalu
ingat kepada Allah.
5 P: Kalau ajaran dari tarekat Syattariyah, seperti dzikir dan tata-
kramanya itu ada yang pengaruh ke budaya di keraton gak pak?
I: Ya kita kalau di keraton itu kan ada tingkah, laku, lapah, sopan
santun. Di mana aja harus sopan, terutama di situs-situs. Sebab
kalau di lihat pakai mata-batin, ada yang lagi duduk, ada yang
ngelihatin, ada yang lagi ngobrol, macem-macem. Kalau kita gak
assalamu‟alaikum kan kurang ngajar.
6 P: Kalau selain salam atau permisi, dalam tradisi keraton apa ada
semacam pengaruh dari ajaran tarekat seperti filosofi atau makna-
maknanya?
I: Kalau keraton ini punya ilmu sendiri. Jadi ajaran keraton itu gak
bisa keluar. Tapi yang di luar bisa diterima, terus disaring oleh
keraton. Lalu juga mengajarkan ilmu Syattariyah itu juga gak
sembarangan orang. Dilihat karakternya, perilakunya, syari‟atnya.
Tapi kita juga hidup kalau tanpa guru, siapa yang nanti dimintai
tolong di akhirat. Kalau ada guru kan ada yang memantau.
7 P: Kalau dalam tradisi, semacam panjang jimat, itu ada makna
khusus yang sifatnya dari tarekat?
I: Ya itu sakral. Kalau panjang jimat itu pakai kitab barzanji. Di
panjang jimat juga istilahnya mencuci pusaka. Piring-piring jimat
itu juga digunakan untuk makanan, makanan buat dimakan. Yang
membuat juga masih keluarga keraton yang gak boleh sedang
xlvi
menstruasi. Dan sebulan selumnya juga gak boleh melayat orang
mati. Cara di keraton gitu.
8 P: Kalau di keraton Kacirebonan masih ada pengguron pak?
I: Ada, di Pegajahan itu Mama Nurbuwat. Kalau di Kacirebonan
sudah tidak ada, sudah meninggal, uwa saya sendiri. Tapi itu
sifatnya tertutup, lebih ke keluarga saja. Kalau yang umum itu di
Kaprabonan, di Krapyak namanya, pimpinan Mama Apiyah. Cuma
itu juga tertutup, kadang keluarga juga susah.
Dulu pernah ada
pengguron di
Kacirebonan, tetapi
sudah tidak ada.
Waktu ada pun
sifatnya tertutup.
9 P: Kalau hubungan antara keraton dan tarekat Syattariyah
bagaimana pak?
I: Ya, kalau lambang dari Keraton Kacirebonan juga lambang dari
ajaran Tarekat Syattariyah. Maknanya, itu kan ada tiga ikan,
maknaya jasad, roh, Allah. Jasad tanpa roh kan gak mungkin hidup,
roh dengan izin Allah baru hidup. Jadi hidup ini sudah ditentukan
sesuai kehendak-Nya. Seperti orang meninggal juga, jasadnya
hancur, rohnya tetap hidup. Semua berujung pada Allah. Ini kan
salah satu lambang Syattariyah.
Lambang keraton
Kacirebonan
mengambil filosofi
dari ajaran tarekat
Syattariyah.
10 P: Lalu kenapa lambangnya ikan pak, kenapa gak burung, atau
gajah?
I: Ya jadi, ikan itu kapan tidurnya, kan melek terus. Sama kaya kita
dzikir terus, tidur hanya sebentar. Nah kenapa ikan, karena dulu di
sini juga gak tidur, makan seadanya, puasa, dzikir. Karena orang
dulu kan kuat, hatinya gak mikirin dunia. Kan ada istilah,
“andaikata manusia mengejar dunia, maka dunia akan lari. Tapi
kalau kita mengejar Aku (Allah), dunia akan membuntuti.
Arti dari filosofi ikan
bahwa manusia harus
senantiasa mengingat
akhirat, dan tidak
terlena oleh dunia.
11 P: Kalau kemodernan di keraton, sekarang keraton fungsinya bukan
lagi sebagai pusat pemerintahan, tapi sebagai pusat kebudayaan.
Menurut pendapat bapak?
I: Kalau keraton, adat keraton itu „pepakem‟, tidak bisa dirubah.
Saat bulan Safar ya dilaksanakan, bagiin apem. Kalau 1 Suro ya
bikin bubur Suro. Rajaban, Ruwahan, itu kan „nasi bogana‟. Jadi
pepakem masih dipake. Kalau melanggar juga kita kan takut. Kalau
Muludan, ya bikin nasi panjang jimat. Ya walau zaman udah
modern, pepakem masih dipake. Kalau ada upacara yang salah
juga, gak pandang bulu saya, langung ditegur. Jadi semua juga
tradisi-tradisi keraton pepakemnya dipake.
Tradisi keraton sudah
menjadi „pepakem‟
yang telah
disosialisasikan oleh
Sultan sejak dahulu
dan masih dijalankan
sampai sekarang.
12 P: Kalau misalkan ada polemik, masalah, dari pihak sultan atau
keraton sering konsultasi ke rama guru, atau ke pengguron, atau
rama guru ke sini?
I: Kalau begitu mas, jadi rama guru ibaratnya itu sumur. Masa ada
sumur marani timba? Kan timba marani sumur. Karena sumur kan
pusatnya ilmu lah. Kalau kita mau belajar ilmu, ya kita ngalah
dekati sumur, biarpun jabatannya tinggi.
13 P: Baik pak, terima kasih banyak atas informasinya. Maaf ya pak,
jadi nyita waktunya.
I: Ya mas. Terima kasih juga. Ati-ati di jalan sing sukses.
xlvii
TRANSKRIP WAWANCARA VII
Informan : Pangeran Patih Mohammad Qodiran
Lokasi : Keraton Kanoman
Status : Patih Keraton, Pengurus Keraton, Keluarga Keraton
Tanggal : 26 April 2015
Waktu : 13.05-14.32
No Dialog Komentar
1 P: Kalau sejarah berdirinya keraton Kanoman itu seperti apa?
I: Jadi, berdirinya keraton ini berawal dari Sultan Badriddin. Jadi
Panembahahan Girilaya mempunyai 3 anak, Pangeran Syamsuddin,
Badriddin, dan Wangsakerta. Sultan Syamsuddin memimpin
Kanoman dan Badriddin mendirikan keraton lagi di sini.
Terpecahnya itu atas saran Sultan Tirtayasa Banten. Awalnya itu
Witana, kemudian berkembang luas menjadi keraton. Dulu sih
belum ada pasar seperti sekarang, tapi karena lahan keraton makin
sempit jadi keratonnya ada di belakang pasar. Sekarang yang
menjabat Sultan namanya Sultan Emirudin sampai sekarang.
Terdapat faktor
eksteranal, yaitu
pengaruh dari
kesultanan Banten
terhadap terpecahnya
keraton Cirebon
menjadi Kasepuhan
dan Kanoman.
2 P: Kalau di sini apakah ada pengguron tempat mengajarkan tarekat?
I: Kalau di sini sudah tidak ada. Adanya di pengguron-pengguron.
Sekarang sudah di Kaprabonan, misalnya di Krapyak. Kalau di sini
kan pemerintahan, kebudayaan. Bisa dibilang keraton ini institusi
budaya, peninggalan masa lalu. Hampir semua urusan diurusi oleh
keraton. Nah di keraton ini ada Sultan Zulkarnain yang beranakan
Siti Ratu Raja Fatimah. Nah dari beliau manuskrip Syattariyah
dirujuk untuk tarekat Syattariyah sekarang. Nah dari beliau, mulai
berkaitan dengan pesantren-pesantren seperti Benda Kerep,
Gedongan.
Siti Ratu Raja
Fatimah mewariskan
manuskrip tentang
ajaran tarekat
Syattariyah.
3 P: Kalau ajaran tarekat apa ada yang mempengaruhi nilai-nilai atau
tatakrama di keraton?
I: Ya. Karena budaya, tatakrama, tradisi, itu juga bagian dari
agama. Saling menghormati, menghargai, pepakem juga tetap di
jaga.
4 P: Kalau tradisi di keraton, seperti panjang jimat, apa maknanya,
filosofinya, ada pengaruh dari ajaran tarekat?
I: Ya ada. Jadi kita memperingati lahirnya Kanjeng Nabi
Muhammad, seorang panutan. Nah panjang jimat itu
menggambarkan bagaimana Kanjeng Nabi dilahirkan, kita sambut
dengan suka-cita. Singkatnya, apapun yang menyangkut ritus di
keraton ini, menyangkut pula ajaran Syattariyah. Sebaliknya,
Syattariyah sendiri mengadopsi apa yang sudah ada di sini. Tahun
1588 keraton ini berdiri.
Tradisi keraton dan
tarekat berhubungan
secara timbal balik.
5 P: Dari anggota keraton sendiri apa ada yang belajar tarekat di
pengguron?
I: Ada, tapi tidak semua. Sebenarnya tarekat itu kan untuk bekal
P = Peneliti
I = Informan
xlviii
hidup. Ya pengguron itu wadah lah, wadah belajar tentang hakikat
agama.
6 P: Kalau antara keraton dengan pengguron itu hubungannya
bagaimana?
I: Hubungannya itu sifatnya keluarga. Paling kalau ada acara di
keraton, pengguron diundang. Karena di keraton itu pusatnya.
7 P: Kalau kaitan antara tarekat dengan Trusmi apakah ada?
I: Ya otomatis mungkin ada. Murid-murid tarekat yang berasal dari
Trusmi, mereka belajar di pengguron dan akhirnya ajaran tarekat
juga berkembang di Trusmi.
8 P: Menurut pangeran, peran tarekat di tengah modernisasi sekarang
ini seperti apa?
I: Ya sebenarnya, permasalahan tarekat itu kan masalah spiritual,
mental, dan menyikapi hidup. Tarekat itu seperti jalan yang kecil
dan licin. Jadi kita harus hati-hati. Ya perannya bagaimana kita
berguna bagi sesama.
9 P: Berarti tarekat ini sifatnya terbuka ya?
I: Ya terbuka. Dulu sih tertutup. Akhirnya sekarang kan terbuka.
Karena yang menyebarkannya juga penghulu keraton.
10 P: Baik pangeran, terima kasih banyak atas waktunya,
penjelasannya.
I: Ya mas. Semoga sukses ya.
xlix
TRANSKRIP WAWANCARA VIII
Informan : Ust. Ahmad Mubarok
Lokasi : Pelataran Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Status : Pengurus Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Tokoh Masyarakat
Tanggal : 26 April 2015
Waktu : 17.26-17.56
No Dialog Komentar
1 P: Kalau nama masjid ini kenapa unik sekali, Sang Cipta Rasa, apa
ada makna tersendiri ustadz?
I: Ya jadi kalau masjid agung ini, kenapa dinamakan Sang Cipta
Rasa. Jadi Sang itu artinya Agung, Maha, kalau Cipta itu dibangun,
nah Rasa itu hati, perasaan, kalau di dalam itu kita berasa beda. Jadi
sederhana Keagungan Yang Membangun Rasa.
2 P: Nah kalau sejarah masjid ini sendiri bagaimana ustadz?
I: Masjid ini dibangun sekitar 600 tahun yang lalu, tahun 1500an
oleh wali songo. Pernah wali songo juga mengatakan pada kaum
muslimin-muslimat semua, “ingsun titip tajug nan fakir miskin”.
Artinya, saya titip tajug, masjid, dan orang-orang fakir miskin. Nah
masjid ini belum direnovasi, ya kalau diperbaharui sedikit sudah,
tapi tetap tidak menghilangkan bentuk aslinya. Karena masjid ini
juga titipan wali songo.
3 P: Kalau perkembangannya sekarang bagaimana pak?
I: Ya Alhamdulillah, kalau pengunjung sih ada aja. Khususnya
bulan lebaran, mulud, syawal, ramai di sini. Nah kalau di Gunung
Jati itu makam dari wali Syeikh Syarif Hidayatullah, yang
mendirikan masjid ini. Nah dulu para wali sholat di dalem. Kalau
ngambil wudhu di situ (sambil menunjuk kuwali besar di sisi kanan
masjid). Habis wudhu sholat di dalem, dari dzuhur sampai subuh.
Ya kalau mau sholat, wiridan di dalem, atau wudhu dulu mangga,
kalau mau ngambil air mangga. Kita mah ngaleb berkahnya.
Karena para wali itu walaupun sudah meninggal, tapi banyak
memberikan rezeki kepada kita.
4 P: Kalau di dalam, itu mimbarnya ada dua bagaimana itu pak?
I: Di dalam mimbarnya satu, yang satu gak dipake, karena
kondisinya udah peninggalan para wali. Khawatir reot, jatuh.
Makannya dibuat yang baru, dari Jepara. Jadi yang satunya cuma
simbolik, peninggalan.
5 P: Kalau selain mimbar, ada peninggalan apa lagi pak ?
I: Nah itu kan ada soko yang dilingkari (sambil menunjuk ke salah
satu tempat di depan masjid), nah itu namanya krapyak. Krapyak
itu tempat khusus sholatnya para sultan dan keluarga kalau ada idul
fitri, idul adha, hari-hari Islam.
Krapyak, tempat
khusus Sultan dan
keluarga.
6 P: Kalau di masjid ini kegiatan rutinnya apa saja pak selain sholat
rawatib, seperti pengajian misalnya?
P = Peneliti
I = Informan
l
I: Paling kalau Ramadhan ada ceramah, tapi di masjid yang
tambahan bukan yang dalam. Kalau yang di dalam khusus sholat
jumat.
Nah kegiatan mingguannya itu ada pengajian kitab, biasanya fiqih
setiap malam jumat. Kalau malam sabtu akhlaq. Kalau malam
jumat kliwon itu ada pembacaan manaqib Syeikh Abdul Qadir Al-
Jailani.
Tradisi di masjid
sama dengan tradisi
di pengguron, maka
tradisi
keagamaannya turut
dipengaruhi ajaran
Syattariyah.
7 P: Kalau pintu ini kenapa kecil ya pak?
I: Iya kenapa pintu ini kecil, maksudnya orang dengan derajat apa
pun, pangkat apa pun, strata sosial apa pun, ketika menghadap
Allah ya harus menunduk. Maksudnya, walaupun kita tinggi di
dunia, ada yang lebih tinggi. Harus rendah hati lah. Nah jumlah
pintu di sini ada 9, maksudnya menandakan jumlah para wali (wali
songo). Tapi ada juga yang memaknai lain. Nah pintu sembilan itu,
ada yang menafsirkannya itu 4 yang di sebelah kanan itu pintu
jasad. Jadi adanya jasad itu karena ada ruh, maka hidup. Adanya
dzikir itu karena ada hati. Nah yang di sebelah kiri itu pintu ruh.
Nah adanya dzikir itu karena ada ilmu, nah adanya ilmu itu karena
ada akal, nah adanya akal itu karena ada hati, adanya hati itu karena
ada makrifat. Kalau pintu yang di tengah besar, itu pintu makrifat.
Tidak pernah dibuka karena itu khusus dulu untuk orang-orang
yang derajatnya wali, drajatnya makrifat.
Filosofi-filosofi
bangunan, seperti
pintu, krapyak, dll.
banyak bermaknakan
nilai-nilai tasawuf.
Hal itu dikarenakan
masjid tersebut
merupakan
peninggalan wali
songo, khususnya
Sunan Gunung Jati.
8 P: Selain pintu, arsitektur masjid ini juga unik ya?
I: Ya masjid ini berbeda dari masjid kebanyakan lain. Kalau masjid
kan biasanya ada kubah, menara, segala macam. Tapi masjid ini
enggak. Tapi kalau ditelisik sejarahnya, sebenarnya kubah itu kan
peninggalan nasrani dan menara itu peninggalan yahudi. Nah
masjid ini mengadopsi dari bangunan Jawa, tidak mengadopsi dari
yang lain. Makannya bentuknya limas. Ya Islam juga sempat
ekspansi ke negara-negara Kristen, banyak gereja yang dijadikan
masjid, seperti di Turki, di Spanyol, jadi kubah yang tadinya gereja
banyak dijadikan masjid. Ya secara baku, tidak ada patokan masjid.
Karena Islam bukan tentang merubah bangunannya saja, tapi
merubah perilakunya.
Nah masjid ini yang asli yang dalam, kalau yang belakang itu
tambahan. Tehel ini juga masih asli. Nah saka yang di dalem juga
asli, ada 7 menandakan hari. Kalau yang kecil yang di dalam ada 12
menandakan bulan dalam satu tahun. Nah saka-saka yang kecil di
luar yang bentuknya bulat, ada 30 menandakan jumlah hari dalam
satu bulan. Jadi jumlah sakanya ada 49 buah.
9 P: Kalau bangunan ini, walaupun umurnya boleh dikatakan
berabad-abad, tapi kenapa masih awet ya?
I: Ya orang dulu kan kalau bikin apa-apa gak asal-asalan. Puasa
dulu, gak boleh yang haid, suci berwudhu, minta petunjuk dulu.
Seperti para wali, gak mungkin bikin masjid asal-asalan. Ini kalau
mau tahu, pondasi ini gak dalem lho mas. Orang zaman sekarang
kalau bikin pondasi harus dalem, pakai cakar ayam segala macem.
Tapi gak goyang. Malah pernah diteliti sama orang Jepang, katanya
bangunan ini tahan gempa. Karena, ketika gempa ke kanan,
bangunan ini akan ikut ke kanan, kalau ke kiri ikut ke kiri. Kayak
per fungsinya. Nah itulah salah satu kelebihan orang zaman dulu,
semuanya diperhitungkan masak-masak, gak asal-asalan.
Makannya, orang zaman dulu itu bukan cuma pake akal kalau bikin
apa-apa, tapi pake hati juga. Makannya keberkahannya beda. Jadi
orang dulu yang diharapkan itu bukan keuntungan apa-apa, yang
li
diharap itu ridho.
10 P: Baik pak ustadz, terima kasih banyak atas informasinya.
I: Ya sama-sama mas, semoga sukses.
lii
TRANSKRIP WAWANCARA IX
Informan : Rama Guru Drh. Bambang Iriyanto
Lokasi : Jl. Drajat, Kediaman/Tempat Praktik/Pengguron
Status : Pimpinan Pengguron Lam Alif, Ketua Pusat Konservasi dan
Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon, Pengageng Panata Budaya
Kacirebonan.
Tanggal : 27 April 2015
Waktu : 13.07-15.12
No Dialog Komentar
1 P: Kalau rama, awal mula atau perjalanan menjadi mursyid seperti
apa?
I: Kalau yang menjadi mursyid saya itu kakek saya sendiri,
Pangeran Abdullah. Beliau lah yang berasal dari pengguron
Kaprabonan. Memang dulunya pusat pengajaran tarekat Syattariyah
di Kaprabonan, yang lebih consern ke masalah tasawuf daripada
pemerintahan. Pernah dulu juga ada keluarga Kaprabonan yang
menjadi anggota Konstituante DPD mewakili Cirebon, tapi non-
partai. Bahkan sempat juga menyumbang emas untuk Tugu Monas
dari Kaprabonan. Jadi walaupun thoriqoh, dunia rama guru, tapi ada
hubungannya sedikit dengan politik.
Dalam tasawuf, kalau masih bersifat perorangan itu disebut sufi,
tapi kalau sudah melembaga ada organisasinya disebut tarekat.
Kalau sudah tarekat, berarti ada struktur, ada mursyid. Kalau di
Cirebon mursyid itu disebut Rama Guru, atau syeikh. Ya Rama kan
bapak, Guru ya guru. Jadi, sederhananya bapak guru. Jadi mursyid
itu guru praktik tasawuf. Di struktur paling bawah ada murid, lalu
salik, suluk, di atasnya lagi ada kholifah. Kholifah ini yang sudah
diberikan ijazah oleh mursyid untuk mengajar.
Awal mula
perkembangan
tarekat dari
pengguron.
Rama guru sebutan
mursyid di Cirebon
2 P: Kalau awal-mula berkembangnya atau masuknya tarekat
Syattariyah ke Cirebon bagaimana?
I: Kalau berdasarkan naskah filologi, itu berawal dari Syeikh Abdul
Muhyi, Pamijahan. Nah sebelum berdakwah di Tasik, ke Cirebon
dulu, mengajar di Cirebon. Kemudian ke Kuningan, bergeser terus
sampai ke Tasik. Jadi Syeikh Abdul Muhyi yang merupakan murid
langsung dari Syeikh Abdurrauf Singkel, pelopor tarekat
Syattariyah di Melayu-Indonesia.
Ada juga yang mengatakan, masuknya melalui jalur lain, bukan
jalur Abdurrauf, yaitu muridnya Al-Kurani itu, yaitu salah satu
penghulu keraton, Syeikh Anwaruddin Al-Kriyani. Makamnya di
dekat sini, yaitu disebutnya makam „Jabang Bayi‟.
Nah ada juga melalui jalur keraton, yang bersumber dari Sunan
Gunung Jati. Tapi, belum ditemukan bukti tertulis yang
menyebutkan itu. Hanya dari mulut ke mulut saja. Tapi kalau
dilihat tahunnya, mungkin ada kemungkinan Sunan bertemu
Berdasarkan naskah
filologi, masuknya
tarekat Syattariyah
berasal dari Syeikh
Abdul Muhyi. Tapi
di Cirebon terdapat
juga jalur Mbah Kyai
Kriyan. Ada juga
dari jalur keraton,
sumbernya dari
Sunan Gunung Jati.
Berdasarkan
tahunnya ada
P = Peneliti
I = Informan
liii
dengan pendiri tarekat Syattariyah, Abdullah Syathori. Karena
waktu beliau mulai perjalanan spritual, mempelajari ilmu tasawuf
beliau juga beberapa bulan sempat singgah di India. Nah kalau dari
tahun, masih bisa ketemu. Nah, kata beliau yang kelak
menggantikan beliau itu bukan anak, bukan cucu, tapi cicitnya.
Disebutnya, Panembahan Ratu. Panembahan Ratu itu disebut
tarekat Syattariyah yang letaknya di Keraton Pakungwati. Dari situ,
raja-raja Cirebon belajarnya pada Panembahan Ratu. Nah banyak
muridnya sampai didirikan pengguron. Pengguron itu perguruan.
Bahkkan terminolgi penggguron itu sudah ada sebelum ada
terminologi pesantren. Yang paling awal, patapan, tempat bertapa.
Nah waktu zamannya syeikh Nurjati, itu patapan.
Kemudian berubah menjadi pengguron. Nah, yang pertama itu
namanya Pengguron Pakungwati Cirebon. Yang menjadi rama
gurunya adalah Panembahan Ratu.
kemungkinan Sunan
Gunung Jati pernah
berguru langsung
pada Syeikh
Abdullah Asy-
Syattari.
Patapan adalah
sebutan awal
pengguron.
3 P: Kalau perkembangan di Cirebon saat ini kira-kira ada berapa
pengguron?
I: Kira-kira di sini ada Pengguron Lam Alif, lalu Pengguron
Pegajahan, Pengguron Krapyak, Rama Guru Pangeran Hilman di
Perumnas, Pangeran Muhammad Immamuddin di Pedaleman
Kanoman, Rama Guru Yudi, Rama Guru Apiyah. Sebagian ada
yang terbuka, tapi ada juga yang tertutup. Kemudian di Buntet juga
ada beberapa nama. Tapi saya kurang hafal. Nah kalau di Buntet
pamornya kalah sama Tijaniyah. Kemudian di Pondok Pesantren
Benda Kerep, namanya Kyai Hasan. Ya kurang lebih segitu.
4 P: Kalau di Trusmi apa ada pengguron juga?
I: Wah sudah gak ada. Jadi dulu di Pegajahan ada Pangeran Insan
Kamil. Dia orang kaya raya, tapi juga rama guru tarekat. Nah beliau
muridnya banyak, dari sekian murid itu ada para petani yang dari
Trusmi. Nah di Trusmi ini sudah ada kegiatan membatik, tapi tidak
ada ragam hias/motif keraton. Kebanyakan ragam batik pengaruh
Jogja dan Solo, dan motif pesisiran. Nah setelah petani-petani itu
jadi murid Pangeran Insan Kamil, diajari tarekat Syattariyah. Nah
sambil nunggu di sawah, mereka diajari membatik ragam hias
keraton, yang ternyata memiliki makna simbolik tarekat
Syattariyah. Simbol-simbol yang ada di bangunan keraton, semisal
Singa Barong, Mega Mendung, itu dijadikan motif kain. Jadi
semuanya bernuansa tarekat Syattariyah. Jadi Pangeran Insan
Kamil semacam jembatan lah antara tarekat dan batik. Nah
kemudian karena yang melukis, membatik itu laki-laki semua tidak
ada murid perempuan, maka batik Trusmi yang berasal dari
Cirebon ini bernuansa maskulin. Kemudian menyebar ke Trusmi,
banyak yang mencontoh.
Ini juga bagian dari kemajuan, karena menciptakan yang belum
ada. Budaya-budaya Cirebon lain seperti Sintren, Tari Topeng,
Jararumping dll. juga diwarnai unsur tarekat.
Di sana awalnya yang membatik laki-laki semua. Nah seiring
perkembangan zaman, yang membatik bergeser. Yang laki-laki
semakin menyusut, ganti yang perempuan semua sampai sekarang.
Tapi yang membuat sketsa awal itu masih laki-laki.
Pangeran Insan
Kamil dulu memiliki
murid yang berasal
dari Trusmi sebagai
awal kegiatan
membatik di Trusmi.
Ragam hias batik
memiliki makna
simbolik ajaran
Syattariyah.
5 P: Kalau pengguron di sini ada berapa muridnya rama?
I: Saya belum identifikasi, ya kira-kira lebih dari 100. Tapi gak
rutin dateng. Kalau yang rutin itu silih berganti. Saya membuka
jamnya saja seminggu dua kali. Malam jum‟at ba‟da isya dan
minggu pagi jam setengah delapan sampai setengah sepuluh.
Kegiatan rutin di
Pengguron lam alif
dua kali dalam
seminggu
liv
(konsultasi).
6 P: Kegiatannya itu seperti apa?
I: Kegiatannya berhadapan saja, jadi individual, satu-satu. Karena
tingkatannya berbeda-beda. Nah kalau dia punya pengalaman
spiritual saya suruh tulis di kertas hanya saya yang tahu.
7 P: Lalu kemudian, kalau ada masyarakat luar yang ingin menjadi
murid di sini, itu prosesnya bagaimana?
I: Jadi begini, prinsip sebagai Rama Guru Tarekat Syattariyah itu
tidak mengajak-ngajak orang lain. Yang kedua, tidak menolak
orang lain. Kalau ada yang mau belajar kita gak boleh nolak. Kalau
metode rekruitmennya itu, khusus di saya sendiri, tidak ada di
Rama Guru yang lain, saya membuat tata nafas dzikir, namanya
„Penyuwun Sari‟. Saya kasih nama Penyuwun Sari itu karena
termasuk lingkungan keraton Cirebon. Penyuwun itu permohonan,
doa, sari itu yang sesungguhnya. Intinya, penyuwun sari itu adalah
inti doa. Manakala teknik ini dibawa ke Jakarta, namanya berubah
menjadi „Cirebon meditation‟. Manakala masuk ke pondok
pesantren namanya, anfasiyah. Nah kalau menurut rama guru
Nurbuwat, tarekat di Cirebon itu jenjangnya yang pertama
Syattariyah, Muhammadiyah, setelah itu Ashroriyah, lalu ada
Anfasiyah. Nah kalau di pengguron saya, Anfasiyah itu teknik
dzikir yang ada di Ashroriyah, tentang teknik tata-nafas dzikir. Nah
setelah saya bermunajat kurang lebih 30 tahun, akhirnya ketemulah
penyuwun sari itu. Ada 6 teknik dasar, murid yang baru masuk itu
tertariknya dengan penyuwun sari. Jadi itu sebagai metode menarik
orang agar mudah mempelajari tarekat. Nah selain itu, ini juga
sebagai filterisasi, bahwa murid itu sungguh-sungguh gak belajar
tarekat sampai 1 tahun belajar Penyuwun Sari.
Setelah 1 tahun, bai‟at masuk tarekat Syattariyah.
Penyuwun Sari
metode dzikir khas
Pengguron Lam Alif.
Dalam tarekat,
terdapat pada
tingkatan anfasiyah.
8 P: Kalau bacaan tarekatnya bagaimana rama?
I: Bacaannya Cuma Ya Allah, Ya Lathif. Ambil nafas Ya Allah,
buang nafas Ya Lathif. Kemudian ada juga tata cara ngambil
nafasnya. Yang penting itu bukan banyak-banyakan, tetapi nikmat-
nikmatan. Nah saya menyebut Syattariyah itu dalam bahasa
sederhana, Lam Alif. Kan dalam kalimat la illa ha illallah huruf
pertamanya lam alif. Lalu juga tarekat Syattariyah sering
dihubungkan dengan ajaran martabah pitu dari ahadiyah sampai
insan kamil.
9 P: Kalau baiat itu prosesnya bagaimana rama?
I: Jadi bait itu ikrar, pentasbisan, sumpah setia untuk masuk ke
dalam tarekat. Sebenarnya itu adalah ikrar kepada Allah, tetapi bisa
mengikat murid dan mursyid bersama-sama. Kalau saya
terminologinya silturruhiyah, bahwa kita pernah bersaksi Allah itu
Tuhan kita waktu di alam azali. Bacaannya itu membaca syahadat,
asyhadu alla illa ha illallah, wa asyhadu anna
muhammadarrasulullah. Kalau laki-laki sambil salaman. Kalau
perempuan pakai tali lawe. Biasanya malam jum‟at, sehabis baiat
langsung dzikir bersama.
Proses bai‟atnya
disesuaikan dengan
nilai-nilai lokal.
10 P: Kalau hubungan antara keraton dan pengguron di Cirebon itu
seperti apa?
I: Jadi kalau saya, di Keraton Kacirebonan saya yang memegang
upacara adat keraton, panjang jimat, dsb. Yang ngatur segalanya
saya.
11 P: Kalau dari keluarga keraton ada yang belajar di pengguron sini?
I: Kalau keluarga menyebar di rama guru yang lain juga. Tapi kalau
lv
saya mau mengajar suatu ilmu di keraton, itu boleh. Misalnya ilmu
Aji Sumur Kajayan, harus diajarkan di Kasepuhan karena itu
miliknya Sultan Sepuh. Ilmu itu untuk membuat orang tua
menangis untuk mendoakan kita. Intinya berbakti kepada orang tua.
12 P: Kalau kaitannya dengan modernisasi, apakah tarekat Syattariyah
itu menolak atau mengambil hal-hal positif dari kemodernan?
I: Modern itu kan berarti berorientasi ke masa depan. Misalkan ada
teknologi terbaru, handphone misalnya, ya harus diikuti. Tapi pada
faktanya saya tidak seperti itu. Walau ada internet, saya paling
nyuruh istri saya. Jadi teknologi itu jangan sampai ketinggalan,
karena nanti bisa dibohongi orang. Saya juga sebagai dokter hewan
harus mengikuti peralatan teknologi kedokteran hewan. Belum lagi
2015 ini ada masyarakat ekonomi Asean. Jangan sampai kita
inferior dibanding orang yang lain. Harus mengikuti zaman, jangan
sampai ketinggalan.
13 P: Menyinggung tentang konsep tasawuf, zuhud, itu kan biasanya
bertolak dari kemodernan rama?
I: Ya tasawuf, zuhud itu kan di dalam hati. Jadi kita meletakan
dunia itu bukan di dalam hati, tetapi dalam genggaman tangan kita.
Jadi kita menjadi pioneer di depan itu dengan tangan kita, bukan
dengan hati. Jadi begitu tarekat. Bukannya sembunyi.
Tarekat harus maju,
bukan bersembunyi.
14 P: Berarti zuhud nya bukan yang sembunyi, menyendiri begitu?
I: Bukan. Zuhudnya di dalam hati, jangan sampai hati kita, ruhani
kita terpengaruh oleh dunia.
Zuhud dalam hati.
15 P: Kalau perkembangan sekarang itu semakin meningkat atau
menurun?
I: Ya kalau secara umum mungkin sedikit menurun ya. Mungkin
yang masih meningkat di Rama Nurbuwat. Tapi ya sekarang saya
juga sedang membuka cabang, di Kuningan, di sekitar Cirebon oleh
murid-murid beliau.
Perkembangan
tarekat sedikit
menurun.
16 P: Baik rama, terima kasih banyak atas penjelasannya. Mohon maaf
jadi mengganggu waktunya.
I: Ya sama-sama, semoga sukses, lancar.
lvi
TRANSKRIP WAWANCARA X
Informan : Rama Guru Pangeran Harman Raja Kaprabon
Lokasi : Jl. Tufarev, Kotamadya Cirebon, Pengguron Tarekat Islam
Status : Mursyid (Rama Guru), Pimpinan Pengguron Tarekat Islam, Mantan
politisi (Partai Hanura)
Tanggal : 1 Mei 2015
Waktu : 18.35-20.35
No Dialog Komentar
1 P: Kalau sejarah masuknya tarekat Syattariyah itu bagaimana rama?
I: Ya pada dasarnya, sebelumnya kita harus tahu tarekat itu artinya
jalan, dari kata thariq (jalan) menuju Allah, berujung akhlaqul
karimah. Islam adalah tarekat, tarekat adalah Islam. Tarekat itu
tauhid, kita mengenal Allah. Bukan seperti syari‟at yang cuma tata-
cara atau hukum-hukum saja, tapi tarekat itu esensi, untuk menuju
hakikat, dan berujung ma‟rifat. Jadi orang yang ma‟rifat itu
berakhlaq karimah, orang yang sempurna (insan kamil). Jadi tarekat
itu ilmu tentang kebenaran, bukan ilmu dongeng. Ini ilmu tauhid,
ilmu hakikat. Di dalamnya ada mantiq ada balaghoh, penuh makna-
makna. Ya itulah tarekat.
Makna tarekat
sebagai jalan menuju
Allah.
2 P: Ya, jadi sejarah masuknya tarekat Syattariyah ke Cirebon itu
melalui jalur yang mana, apakah melalui Sunan Gunung Jati, atau
Syeikh Muhyi Pamijahan?
I: Nah tarekat Syattariyah ini berawal dari Syeikh Syarif
Hidayatullah yang menyebarkan. Tarekat Syattariyah itu awal,
nanti ada tarekat Muhammadiyah, dan Ashroriyah.
Tarekat Syattariyah
dipandang sebagai
awal, ada dua
tingkatan di atasnya
yaitu
Muhammadiyah dan
Asroriyah
3 P: Kalau sekarang perkembangan tarekat di ssini bagaimana apa
semakin meningkat atau menurun?
I: Ya kalau perkembangan tentu semakin meningkat.
4 P: Kalau jumlah murid di pengguron sini kira-kira ada berapa?
I: Saya gak punya catatannya, tapi mungkin ada ya sekitar 300an.
5 P: Kalau kaitannya antara keraton dan pengguron itu seperti apa?
I: Ya saya sendiri dari Kaprabonan, Cuma memang saya misah gak
tinggal di keraton, tapi malah di Tuparev. Ya semua pengguron
awalnya dari keraton, keturunan lah.
Semua pengguron
merupakan
keturunan keraton.
6 P: Kalau tradisi di keraton apa ada yang bersumber dari ajaran
tarekat Syattariyah, seperti misalnya panjang jimat gitu?
I: Ya pasti ada. Ya sultan, saudara, famili, semua di keraton ya
ajarannya sama. Jadi antara budaya dan tarekat itu menyatu.
Antara budaya dan
tarekat menyatu
dalam tradisi
keagamaan.
P = Peneliti
I = Informan
lvii
7 P: Kalau kegiatan tarekat di sini bagaimana?
I: Di sini ada semacam dzikir, bai‟at, pengajaran tarekat. Tapi di
belakang. Biasanya setiap malam jum‟at, kliwon. Tergantung rama
gurunya.
Kegiatannya bersifat
kondisional, rutinnya
setiap malam jum‟at
kliwon (sebulan
sekali).
8 P: Kalau murid di sini berasal dari kalangan mana saja?
I: Ya macem-macem, ada ustadz, kyai, pejabat, pedagang, macem-
macem lah. Ada yang dari Cirebon, Kuningan, Indramayu, Jawa
Tengah, Jakarta, macem-macem.
9 P: Kalau kitab acuannya ada rama?
I: Ya ada, setiap murid itu saya kasih kitab, saya kasih buku. Itu sih
bahasa Arab, saya terjemahin ke bahasa Indonesia, bahasa Jawa,
biar ngerti. Cuma kalau orang yang belum dibai‟at belum boleh
baca. Nanti kalau sudah dibai‟at baru.
10 P: Kalau bacaan dzikirnya bagaimana rama yang ada di dalam
kitab?
I: Yang utama ya laa ilaha illallah, disebutin Allah nya. Tapi Allah
masih banyak, jadi illallah, illallah, illallah. Terus sebutin asma
nya, Allah, Allah, Allah. Diteruskan hu Allah, hu Allah, hu Allah.
11 P: Kalau untuk menjadi mursyid sendiri seperti apa kriterianya
rama?
I: Untuk menjadi mursyid itu, pertama, dari ilmunya. Ilmu yang
sejatinya, yang diamalkan, baru disampaikan. Ilmu hakikat. Kedua,
dari silsilahnya apakah keturunannya nyambung sampai ke Nabi
Saw. Ketiga, siapa gurunya, dari mana sanadnya. Terakhir, dia
diakui oleh rama guru yang lain tentang keilmuan. Sederhananya
yang disebut rama guru atau mursyid itu ya punya murid, jadi
antara mursyid dan murid itu hubungannya.
Untuk menjadi
mursyid terdapat
persyaratan yang
dilihat dari sisi: (1)
ilmu, (2) nasab, (3)
sanad keguruan, (4)
pengakuan dari
mursyid lainnya.
12 P: Kalau mau jadi murid itu kriterianya seperti apa rama?
I: Ya harus dibai‟at, disumpah. Jadi sumpahnya saya bacakan,
muridnya mengikuti. Tapi pada hakikatnya itu sumpah pada dirinya
sendiri, sumpah pada Allah, berjanji pada Allah.
13 P: Bai‟atnya itu prosesnya bagaimana?
I: Ya ada, namanya tapa, ngawula, dam. Sama seperti di Mama
Nung (Rama Nurbuwat).
14 P: Kalau di Cirebon ada berapa pengguron rama?
I: Ya ada saya, mama nung, mama piyah, mama yudi, itu yang
aktif.
15 P: Kalau kaitannya dengan kemodernan, apakah tarekat itu menolak
kemodernan?
I: Tidak, tarekat tidak menolak kemodernan. Kita gak tertutup,
buktikan kebenarannya. Saya juga biasa kemana-mana. Ke
pendidikan, pesantren, perkuliahan, bahkan saya pernah terjun ke
politik, dulu tahun 2005. Saya dulu di partai Hanura, sama pak
Wiranto. Saya itu yang mempelopori partai Hanura. Tapi 4 tahun
saya berhenti. Saya jadi tahu busuknya politik. Ya begitulah, politik
itu Cuma dua: membangun kekuasaan dan menghancurkan
kekuasaan.
16 P: Baik rama, mungkin sekian pertanyaannya. Terima kasih ya
penjelasannya. Mohon maaf kalau mengganggu.
I: Ya de, sama-sama. Sukses ya.
lviii
TRANSKRIP WAWANCARA XI
Informan : KH. Anas (Kang Anas)
Lokasi : Pesantren Buntet, Kantor YLPI
Status : Pimpinan Pondek Islahiyah Buntet Pesantren, Muqoddam Tijaniyah
(Mursyid), Ketua YLPI Buntet, Tokoh Masyarakat (ulama).
Tanggal : 5 Mei 2015
Waktu : 10.00-11.00
No Dialog Komentar
1 P: Sekarang kan, di Buntet itu lebih didominasi tarekat Tijaniyah,
memang kalau awal masuknya tarekat Syattariyah ke Buntet itu
seperti apa kyai?
I: Ya awalnya dari kyai Abdullah Abbas. Beliau punya putera lima,
Abbas, Annas, Ilyas, Akhyas, satu lagi beda ibu, Kyai Muta‟ad.
Nah kenapa perkembangan Syattariyah di Buntet sekarang
didominasi oleh Tijani, karena ketika Kyai Abbas haji, bertemu
dengan seorang muqoddam Tijani. Pulang dari naik haji, Kyai
Abbas ngomong sama adiknya Kyai Annas, nanti kalau naik haji
ngambil tarekat Tijani sama orang yang sudah saya temui di
Mekah. Nah setelah Kyai Annas naik haji, beliau mengambil
tarekat Tijani. Nah setelah pulang haji, yang pertama menyebarkan
tarekat Tijani, bukan Cuma di Buntet tapi seluruh Indonesia, yaitu
Kyai Annas. Sebenarnya yang menyebarkan pertama bukan Kyai
Abbas, karena ketika di penghujung umur, Kyai Abbas mengambil
tarekat Tijani ke adiknya, Kyai Annas. Nah sebelumnya Kyai
Abbas ngambil tarekatnya Syattariyah. Walaupun memang sampai
saat ini belum ada bukti otentik yang mengatakan bahwa Kyai
Abbas mengambil Tarekat Tijaniyah. Tapi kabar yang berkembang
di Buntet sendiri seperti itu. Nilai politisnya seperti apa juga saya
gak tahu. Peningkatan tarekat Syattariyah ke Tijaniyah yang ada di
Buntet Pesantren itu lebih besar. Karena pembacaan amalan tarekat
Tijaniyah cenderung lebih mudah, karena tidak perlu dibaca setiap
waktu sehabis shalat. Lalu juga gak perlu sebuah tempat yang
khusus, beda sama Syattariyah yang membutuhkan tempat yang
khusus. Dan kita juga harus membayangkan, minimal ada foto
mursyidnya.
Perkembangan
tarekat Syattariyah
terjadi pada masa
Kyai Abdullah
Abbas, dan berganti
dominasinya menjadi
Tijaniyah pada
periode Kyai Annas.
2 P: Berarti peralihannya dari Syattariyah ke Tijaniyah itu pas
generasi kedua?
I: Ya generasi kedua. Sekitar 1800an.
3 P: Itu kalau tarekat Tijaniyah dari Kyai Annas terus apa sampai
sekarang?
I: Ya dari Kyai Annas terus sampai sekarang.
4 P: Nah kalau sekarang tarekat Tijaniyah sudah mendominasi
Buntet, apa ada pesantren lain yang didominasi Syattariyah?
I: Nah itulah kenapa Buntet gak pernah akur dengan Benda Kerep, Perbedaan aliran
P = Peneliti
I = Informan
lix
karena Buntet sudah Tijaniyah. Nah jadi awalnya, Kyai Muta‟ad
punya putera yang mendirikan pondok itu tiga, Kyai Sholeh, yang
mendirikan Buntet. Nah Kyai Sholeh punya adik perempuan
diperistri oleh Kyai Said, Gedongan. Beliau yang menelurkan Kyai
Said Aqil Siraj, ketua PBNU. Seterusnya putera yang ketiga, Kyai
Abdul Jamil. Sebenarnya Kyai Abdul Jamil tidak punya kuasa di
Buntet. Yang berhak memimpin tambuk kekuasaan Buntet
Pesantren itu Kyai Sholeh. Nah Benda Kerep itu sebetulnya
jatahnya Kyai Abdul Jamil. Kerena Benda Kerep itu bukan punya
Buntet, itu tanah yang diberikan oleh keraton untuk Kyai Abdul
Jamil. Itu sejarah dan fakta, cuma dalam perjalanannya, Kyai
Sholeh tidak sanggup menerima modernisasi. Akhirnya Kyai
Sholeh yang memimpin Benda Kerep, Kyai Abdul Jamil memimpin
Buntet. Tukeran lah gitu. Walaupun Benda Kerep itu di tengah-
tengah kotamdya, yang hiruk-pikuknya sedemikian rupa, 5-10
tahun kebelakang ini baru masuk listrik, jembatan juga gak ada,
harus nyebrang kali. Nah di situlah berkembang pesat Syattariyah.
Buntet zaman Kyai Annas mengambil tarekat Tijaniyah, akhirnya
Benda Kerep menjauhi Buntet. Itu karena satu modernisasi, dua
karena tarekatnya beda, Tijaniyah. Akhirnya sampai sekarang tidak
ada orang Benda Kerep yang mencoba menjalin hubungan
kekeluargaan dengan menikahkan putera-puterinya dengan orang
Buntet. Nah sekarang beberapa Kyai di Buntet mengambil
Syattariyah di Benda Kerep. Karena memang mursyid yang
diperhitungkan oleh kyai-kyai secara nasab, kemursyidan, dan
kekramatan ada di Benda Kerep, yaitu Kyai Abdul Hasan.
tarekat
merenggangkan
hubungan Buntet dan
Benda Kerep.
5 P: Berarti kalau di Buntet ada berapa mursyid Syattariyah kyai?
I: Kurang lebih, ada tiga. Ada Kyai Ade, dia alumni Al-Azhar
bidang tasawuf, murid dari kyai Hasan. Kedua, ada Kyai Shefi,
cuma beliau agak tertutup. Nah ada lagi satu tapi saya gak mau
ngasih namanya, karena beliau kemursyidannya masih
dipertanyakan. Konon yang ketiga ini ngambil dari Habib Lutfi
Pekalongan, tapi Habib Lutfi sendiri tidak mengakui. Habib Lutfi
ini seorang waliyullah. Beliau juga yang mencetuskan MATAN
(Mahasiswa Ahli Thoriqoh-Muktabarah, Nahdlatul „Ulama). Waktu
ada muktamar, kemursyidan kyai yang ketiga tadi tidak diakui oleh
Habib Luthfi. Nah kami ini mengusulkan bahwa pengangkatan
mursyid itu seharusnya dicatat secara administratif. Karena kan,
kalau pengangkatan mursyid atau guru itu harus ada SK-nya, kan
kalau pengangkatan murid gak perlu ada SK-nya. Ya sekarang,
paling kalau mau wawancara ke Kyai Ade saja.
Ada dua mursyid di
Buntet.
6 P: Jadi unik ya dalam dunia tarekat itu, ada muktamar, ya ada SK
juga?
I: Iya. Selain itu kalau dalam tarekat, yang sunnah jadi wajib.
Artinya, wirid yang sebelumnya itu cuma sunnah sekarang menjadi
wajib. Prosesnya kan seperti itu. Nah di Buntet sendiri dari dulu
yang ikut tarekat Syattariyah juga jarang. Kebanyakan memang
orang tua. Nah semalam juga kan ada yang ke rumah, masuk, ada
Kyai yang pakai peci hitam, itu juga orang Syattariyah. Dia juga
seorang pegawai negeri. Jadi dalam tarekat, yang pedagang berjalan
sebagai pedagang, yang guru sebagai guru, yang pegawai negeri
sebagai pegawai negeri, tidak pernah setelah jadi pegawai dia
mandek bacanya, yang jadi tukang beca tetap jadi tukang becak,
atau sebaliknya setelah tarekat dia mandek pegawai negerinya.
Kebanyakan jamaah
tarekat Syattariyah di
Buntet dari golongan
orang lanjut usia
(sudah tua).
7 P: Kalau di Buntet apakah ada yang Syattariyah mengajar sebagai
lx
guru di madrasah atau pesantren?
I: Oiya ada, yang jadi guru, jadi PNS. Tapi kalau di sekolah ajaran
Syattariyah gak masuk ke pelajarannya, gak ada pelajarannya.
Kembali lagi, kalau tarekat Syattariyah itu, usia untuk mengambil
tarekat Syattariyah, setahu saya yang diajrakan almarhum bapak
saya itu harus minimal 40 tahun. Makannya mana ada pesantren
mengajarkan Syattariyah, gak ada. Untuk kelas pondoknya juga,
gak ada kelas pondok untuk Syattariyah. Kan sudah modern,
sekolahan sih.
Di pesantren, tarekat
Syattariyah tidak
diajarkan secara
umum.
8 P: Nah kalau dari segi sosiologis, penganut tarekat Syattariyah itu
apa punya kontribusi besar?
I: Ya secara sosiologis, penganut Syattariyah itu termasuk kalangan
apa saja, kebanyakan orang tua, tapi juga bersosialisasi sama.
9 P: Kalau di pesantren ada pelajaran tasawuf/akhlaq?
I: Kalau di pesantren ada pelajarannya. Tapi untuk pengambilan
tarekatnya gak ada. Sampai sekarang saya belum pernah mendengar
ada orang bertarekat ngajar di sini. Ya Kyai sini baca Ihya, Al-
Hikam, tapi tidak mengajarkan kitab tarekat. Itu juga anak-anaknya
sudah pada pandai. Karena itu kan harus punya kapasitas, gak bisa
semuanya paham.
10 P: Kalau jumlah kyai yang ada di Buntet kira-kira ada berapa?
I: Ada mungkin 40 lebih, banyak. Masing-masing punya pondok,
ada catatannya, nanti saya kasihkan.
11 P: Baik pak kyai, matur suwun penjelasannya, maaf ya sudah nyita
waktunya.
I: Ya mas, sama-sama. Semoga lancar ya.
lxi
TRANSKRIP WAWANCARA XII
Informan : KH. Ade Nasihul Umam Lc. (Kang Babas)
Lokasi : Pesantren Buntet, Pondok Andalucia Buntet (Kediaman Beliau)
Status : Kyai Pengajar Pesantren, Pimpinan MANU Putra, Mursyid Syattariyah
di Buntet, Alumni Universitas Al-Azhar Kairo.
Tanggal : 5 Mei 2015
Waktu : 14.07-17.11
No Dialog Komentar
1 P: Kalau sejarah masuknya tarekat Syattariyah ke Cirebon itu
seperti apa kyai?
I: Ya, begini secara umum di Buntet itu kan ada beberapa thoriqoh,
ada thoriqoh Tijani, yang pertama kali membawa ke Indonesia ya
Kyai Annas Buntet. Memang keberadaan dari thoriqoh Syattariyah
keberadaan di Buntet lebih tua, karena lebih dulu daripada
Tijaniyah. Jadi setelah thoriqoh Syattariyah itu sudah mencapai 3
generasi, mulai dari Mbah Kyai Kriyan, Kyai Abdul Jamil, lalu
Kyai Abbas, nah Kyai Annas adiknya Kyai Abbas membawa
thoriqoh Tijani. Dan juga, antara thoriqoh Syattariyah dengan
thoriqoh Tijaniyah itu berbeda.
Jadi, kalau di Buntet unik, ada memang suaminya thoriqoh
Syattariyah, istrinya thoriqoh Tijaniyah. Contohnya Kyai Abdullah
Abbas itu dia kan mursyid Syattariyah, tapi Nyai Zaenab nya
Tijaniyah. Sehingga keadaan ini berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat sekitar. Tapi ketika kyai itu merupakan penganut salah
satu tarekat, santri tidak diharuskan bahwa „kamu harus Tijani,
kamu harus Syattariyah‟. Selain itu ada juga penganut tarekat
Qadiriyah, tapi presentasenya sangat kecil sekali.
Jadi keberadaan tarekat Syattariyah dengan Tijaniyah telah
mewarnai kehidupan para santri, kehidupan masyarakat sekitar,
kehidupan keluarga, sudah diwarnai dengan perjalanan kedua
tarekat ini.
Kemudian perihal masyarakat sekitar, itu jangan sembarangan.
Tukang becak yang biasa wara-wiri itu kalau ditanyain, mereka
sudah pada masuk thoriqoh. Ada yang menganut Syattariyah, ada
yang menganut Tijaniyah.
Hubungan tarekat
Syattariyah dan
Tijaniyah di Buntet
berjalan harmonis
2 P: Kalau kegiatan yang biasa dilakukan penganut tarekat di sini itu
bagaimana?
I: Ya kalau Tijaniyah itu ada rutinitasnya, ya tahlilan, tabarukan,
tawasulan, musifah, hailalah, dan sebagainya. Makannya, Kyai
Annas muter kalau sudah waktunya. Tapi kalau Syattariyah di sini
tidak ada rutinitasnya. Nah para santri juga sudah ada yang mulai
diajak, walaupun secara langsung tidak. Diajak kegiatan-kegiatan
Rutinitas tarekat
Syattariyah di Buntet
hanya membaca
manaqib setiap
malam jum‟at
P = Peneliti
I = Informan
lxii
Tijani, kegiatan yang lainnya. Kalau thoriqoh Syattariyah,
rutinitasnya itu membaca manaqib, tapi bukan manaqibnya Syeikh
Syathari, tapi manaqibnya Syeikh Abdul Qadir Jailani. Contohnya,
di rumah mbah saya itu manaqiban malam jumat, terus malam
sabtu di rumah Kyai Ahmad Tijani, pindah ke rumah yang lain,
malam minggu, malam senin di rumah Kyai Hasan, keliling terus.
Nah beberapa ada yang sudah paham tentang thoriqoh Tijaniyah,
tapi kegiatan yang lain dia tidak ikut, hanya manaqibnya saja. Ada
juga yang masih di sini ikut, di sana ikut.
(Kliwonan).
3 P: Kalau peran tarekat dalam hal pendidikan itu seperti apa kyai?
I: Ya, masalah pendidikan juga, para santri, pendidikan apa pun di
sini, terutama dalam mashalah yaumiyah, yang paling ditekankan
pertama itu akhlaqul karimah. Kalau memang pelajaran dalam kitab
Ta‟lim Muta‟alim, kita wajib menghormati guru, nah ketika santri
menghormati kyai nya itu di atas rata-rata menghormati para guru.
Dan itu diterapkan bukan hanya kepada guru-guru dalam bidang
agama, guru matematika pun para santri diajarkan ta‟dzhim
sebagaimana kepada guru-guru dalam bidang agama. Nah dalam
tarekat juga kita diajarkan untuk menghormati, ta‟dzhim kepada
guru, syeikh, orang-orang sufi semua. Nah di sini juga ditekankan
untuk pelajaran aqidah, akhlaq juga dari para kyai, bahwa ketika
mengenal kyai, siapa saja orang yang dekat dengan kyai, keluarga,
khodam (pembantu), dll. itu harus dihormati. Berbeda dengan di
sekolah umum, guru agama dihormati, guru yang lain biasa-biasa
saja. Nah hubungan antara kyai dengan murid, antara guru dengan
murid, tidak hanya sebatas hubungan murid mengaji saja, tetapi
ditanamkan ibarat hubungan murid dengan mursyid. Walaupun
seumpama kyainya belum masuk thoriqoh, kyainya bukan mursyid,
tapi yang ditanamkan kepada para santrinya itu, santri adalah
muridnya dan kyai adalah mursyidnya, sehingga ta‟dzhimnya,
menghormatinya, tidak seperti guru biasa, tapi seperti guru spiritual
ataupun guru mursyid. Karena memang pada hakikatnya para kyai
yang ada di sini tidak hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran yang
umum saja. Tidak hanya belajar nahwu-shorof nya saja, tidak hanya
belajar fiqih nya saja, tetapi juga dibarengi dengan pelajaran-
pelajaran akhlaqul karimahnya. Makannya pelajaran-pelajaran
kitab-kitabnya juga, kitab-kitab tasawuf yang banyak. Fiqihnya
menggunakan fiqih, hadits, umum, tapi juga dimasukan unsur
tasawufnya. Misalnya kitab, riyadhul badi‟ah, tanbihul khauf, atau
hadits arba‟in an-nawawiyah, Syeikh Nawawi Al-Bantani,
kemudian selanjutnya sampai ke Ihya Ulummuddin, Al-Hikam, dan
sebagainya.
Jadi hubungan antara santri dengan kyainya diibaratkan hubungan
murid dengan mursyidnya sehingga ketika berhadapan juga beda.
Contohnya, jangankan kyainya, kepada orang yang dekat dengan
kyainya juga hormat, temannya, keluarganya, tetangganya, nah itu
kelebihannya menanamkan unsur tasawuf kepada para murid, para
santri. Kadang kita kalau di sekolah, kita hormat pada guru, karena
dia guru kita, keluarganya tapi gak ada yang kenal. Siapa temannya
dia, sampai khodamnya, pembantunya, santri menghormati
pembantunya itu hampir sama seperti menghormati kyainya.
Karena misalnya, khodam itu selalu bersangkutan dengan kyai,
ngeladeni, ngambil air, nyiapin sarapan, sampai mijetin. Yang
namanya pembantu di pondok pesantren itu mulia, dibandingkan
dengan istrinya sendiri. Karena apa, karena pembantu itu lebih
Hubungan mursyid
dan murid dalam
tarekat diterapkan
oleh para kyai dalam
hubungan dengan
santrinya. Ini
merupakan
penerapan tarekat
dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu
menta‟dzimkan guru.
lxiii
banyak membantu kyai, lebih banyak memancarakan nur (cahaya)
kyainya. Makannya di sini, banyak sekali orang yang berhasil itu
rata-rata dari pembantu kyai. Contoh Kyai Abdul Karim Lirboyo,
itu kan khodamnya Kyai Hasyim Asy‟ari yang suka membawa,
membukakan kitabnya, tiap hari ngangon kambing. Mbah Cholil
Bangkalan, dia itu gembalain kambingnya. Makannya di sini itu
yang namanya orang nyantri sudah tertanamkan tasawufnya. Jadi
para santri tanpa disuruh pun sudah menghormati, melayani kyai.
Itulah penanaman kepada santri yang dibarengi dengan tarekat
seperti itu. Jadi ketika sudah ditanamkan tasawuf ketika kyainya
mengajar, dan santrinya belajar, sama-sama ikhlas.
4 P: Kalau perkembangan yang sekarang bagaimana kyai, semakin
meningkat atau menurun perkembangan tarekat di sini?
I: Ya perkembangannya semakin meningkat, semakin banyak.
Bahkan, perkembangannya sudah mengarah ke arah pemuda.
Karena kebanyakan menganggap yang namanya tasawuf itu
kebanyakan orang-orang tua. Jadi rekomendasi dari Muktamar
Thoriqoh waktu di Malang itu, merekomendasikan, bahkan
membuat organisasi thoriqoh untuk kalangan mahasiswa, namanya
MATAN (Mahasiswa Ahlut-thoriqoh. Muktabaroh Nahdlatul
Ulama). Karena kita zamannya sudah berbeda, orang sudah mulai
masuk thoriqoh sejak dini agar perjalanan kehidupan itu tidak
terjerumus dengan hal yang tidak baik, dan responnya sangat luar
biasa. Makannya kalau di Buntet itu, ini ketika dia lulus sekolah
sudah selelai, dia sudah punya sanad Al-Qur‟an, dia sudah punya
sanad kitab, dia akan pulang. Tapi dia punya tugas satu lagi, ketika
dia kembali lagi ke Buntet dia ngambil Thoriqoh, baik itu
Syattariyah atau Tijaniyah. Jadi ketika mereka sudah mapan,
mereka sudah punya bekal. Jadi ikatannya itu terus, sebab kalau
guru dengan murid, al-ustadz dengan ath-tholib setelah lulus alumni
udah selesai. Tapi kalau mursyid dengan murid tidak ada habisnya,
tidak ada habisnya, tidak ada bekas murid, tidak ada bekas guru.
Jadi yang seperti ini sudah dirasakan, tidak hanya menyebar di
kalangan santri saja, di kalangan orang luar juga prinsip seperti ini
sudah masuk. Misalkan ketika sudah jadi presiden, wah itu dulu
guru saya waktu kecil. Jadi di Jawa, di Indonesia, tasawufnya itu
sangat terasa.
Nah perkembangan dari tasawuf, tarekat Syattariyah beberapa
tahun belakangan sempat stagnan. Tapi tarekat Tijaniyah ketika
dipimpin oleh Kyai Junaedi Annas, semua orang Jawa pada datang
ke sini ngalab thoriqoh ke sini. Kemudian setelah ngaleb, orang
yang membai‟at Kyai Annas itu mampir ke Indonesia. Para murid-
murid yang sebelumnya ngaleb sama Kyai Annas itu berbondong-
bondong datang minta ditajdid lagi. Jadi awalnya yang membai‟at
itu Kyai Annas. Tapi ketika Syeikh nya itu datang, mereka pada
ngaleb lagi. Kemudian berkembang pada adik beliau yaitu Kyai
Akhyas, orang yang sangat gigih menanamkan ke-Tijani-annya.
Mulai dari Indramayu, Pemalang, Pekalongan, terus sampai
Petarukan, itu beliau sangat luar biasa menyebarkan thoriqoh
Tijaniyah, akhirnya pada ngaleb. Kemudian setelah Kyai Akhyas,
diberikan kepada beberapa nama yaitu, pertama putranya Kyai
Junaedi Annas menyebarkan ke Purbalingga, Purwokerto, Cilacap.
Kemudian Kyai Abdullah Syifa di Buntet ke masyarakat sekitar,
dan satu lagi Kyai Hawi. Mereka menyebarkan tasawuf, ke daerah
Jawa Timur. Kemudian setelah beliau, gantian yang muda-muda.
Perkembangan
tarekat semakin
meningkat, mengarah
pada kaum pemuda.
Beberapa tahun
belakangan
perkembangan
Syattariyah sempat
stagnan
lxiv
Nah itulah perkembangan Tijaniyah.
5 P: Ya Kyai, maaf kalau perkembangan tarekat Syattariyah?
I: Ya perkembangan tarekat Syattariyah di Buntet itu, pertama
dimulai dari Mbah Kyai Kriyan. Beliau mendapatkan sanad tarekat
Syattariyah dari Kyai Asy‟ari, yaitu dari Kaliwungu. Kemudian
diteruskan kepada salah satu muridnya, yang ada di Benda yaitu
Kyai Soleh. Kyai Soleh punya adik namanya Kyai Abdul Jamil.
Jadi pertama kali memberikan mandat itu, Kyai Kriyan kepada
Kyai Soleh. Kyai Abdul Jamil masih belum mendapatkan mandat.
Padahal Kyai Abdul Jamil juga menantu beliau. Karena Kyai Soleh
sudah nampak ke-Tasawufannya. Kyai Soleh menyebarkan
thoriqohnya di Pesantren Benda, dan kehidupan sehari-harinya itu
kehidupan thoriqoh. Masyarakatnya juga berkehidupan thoriqoh,
dari mulai cara berpakaiannya, cara makannya, dan segala
kehidupan sehari-harinya diwarnai aspek thoriqoh.
Sanad tarekat di
Buntet berasal dari
Kyai Kriyan, yang
berujung pada
Syeikh Hasyim
Asy‟ari.
6 P: Jadi tadi dari Kyai Kriyan di Buntet, kemudian masuk ke Kyai
Soleh di Benda Kerep?
I: Ya jadi Kyai Kriyan itu asalnya tinggal di kota. Jadi beliau ini
tinggal di Cirebon. Beliau ini makamnya di Duku Semar,
disebutnya makam Jabang Bayi. Nah di situ kan juga ada makam
Habib Seh, itu ayahnya Habib Muh. Nah beliau minta dikuburnya
di kakinya Kyai Kriyan. Makannya persis sejajar dengan Kyai
Kriyan. Nah Kyai Kriyan itu orangnya luar biasa, kenapa
dinamakan Kriyan, itu artinya Wali Kariyan. Wali Ke-Ari-an. Wali
lahir. Wali akhiran. Kriyan atau akhiran. Nah Kyai Kriyan itu
punya murid, di antaranya itu yang utamanya Kyai Sholeh.
Kemudian Kyai Said, dari Plerednya ada Kyai Nasuha, ada juga
dari Indramayu. Nah yang paling utama Kyai Soleh, Kyai Abdul
jamil, dan Kyai Hawi. Tiga orang inilah yang disuruh membuat
pondok pesantren, yang lainnya membantu. Yang dari Plered, kamu
bagian perkayuan, kyai Indramayu bagian sawah, untuk pangan
beras.
Jadi Kyai Kriyan dari Kaliwungu, menyebar kemana-mana thoriqoh
Syattariyah itu. Menyebar ke daerah Jogja, Ngawi, Buntet
Pesantren, karena dibawa sama Mbah Kyai Kriyan.
Kalau menurut riwayat, Mbah Kriyan itu ketika mondok di
Kaliwungu, Mbah Asy‟ari itu sambil wirid, jalan-jalan. Kalau dia
pingin minum, pohon kelapanya menciut, dan itu diketahui oleh
Kyai Kriyan. Nah di situ tidak ada yang mengetahui wali kecuali
sesama wali itu sendiri. Kata Mbah Asy‟ari, „kamu pulang, sudah
cukup ilmumu‟, karena ke-Waliannya ketahuan sama Kyai Kriyan.
Kata Kyai Kriyan, „Saya masih mau ngaji di sini‟. Lalu jawab
Mbah Asy‟ari, „yaudah kalau mau ngaji tinggal ke sini saja‟. Jadi
Kyai Kriyan pulang. Tapi pada saat ngaji, dia sudah ada di depan
Mbah Asy‟ari, orangnya di rumah kalau ashar ngaji, sudah ada lagi,
pulang lagi.
Jadi dari Mbah Kriyan, diberikan ke Kyai Soleh, dilanjutkan
adiknya Kyai Abdul Jamil. Kyai Soleh juga menyebarkan kepada
putera-puteranya yang ada di Benda. Makannya di Benda,
kehidupan thoriqohnya masih berjalan. Tidak terpengaruh dengan
kondisi zaman. Ini luar biasa. Makanya jangan kaget, di Benda gak
ada radio, gak ada siaran televisi, gak ada adzan pakai pengeras,
soalnya di sana itu listrik aja gak ada. Pakaian juga harus pakai
kain, jalan juga harus diatur. Kalau hajatan juga, adik gak boleh
Sosok Kyai Kriyan
menurut Kyai Babas.
Sanad tarekat
Syattariyah di Buntet
dan Benda Kerep
berujung pada Kyai
Kriyan.
Sanadnya: Kyai
Kriyan, Kyai Soleh,
Kyai Abdul Jamil.
lxv
berkatnya melebihi punya kakak. Seperti itu.
7 P: Jadi dari Kyai Soleh dibawa ke Buntet oleh Kyai Abdul Jamil.
I: Jadi Kyai Abdul Jamil dapet ngalebnya dari kakaknya. Walaupun
dia mantunya Kyai Kriyan tapi ngaleb tarekatnya dari Kyai Soleh.
Nah dari Kyai Abdul Jamil, itu ada dua, yang satu diserahkan
kepada Kyai Abbas, yang satu lagi kepada puteranya Kyai Ahmad
sebagai mursyid. Nah dengan kemasyhuran Kyai Abbas pada saat
itu, banyak orang pada ngaji thoriqoh, ngaji segala-galanya: ngaji
thoriqoh, ngaji kanuragan, ngaji qira‟ah, pada ngaleb thoriqoh. Ada
yang dari Purbalingga, ada yang di Pemalang, ada juga yang di
Subang, dan di tempat-tempat tertentu juga ada tarekat Syattariyah.
Nah dari Kyai Abbas turun kepada puteranya Kyai Mu‟tadi Abbas.
Nah tarekat di sini semakin berkembang lagi, karena Kyai Mu‟tadi
Abbas sering jalan, nengokin murid-muridnya Kyai Abbas.
Kemudian ke daerah Jawa Tengah, ke Brebes, Karanganyar,
Kerawang, Batang. Nah setelah Kyai Mu‟tadi Abbas wafat,
puteranya namanya Kyai Sobih. Selain itu, kyai Mu‟tadi Abbas
juga seorang anggota MPR. Jadi mulai tarekat Syattariyah
merambah ke ranah politik. Mereka-mereka yang tadinya thoriqoh,
merambah ke ranah politis. Kemudian setelah itu turun lagi ke Kyai
Abdullah Abbas. Beliau aktif di NU-nya, di thoriqohnya,
meneruskan langkah-langkah terdahulu, membai‟at masyarakat
sektitar Buntet Pesantren. Dari Kyai Abdullah menyerahkan
kepada Kyai Abdul Shobih, puteranya Kyai Mu’tadi, tapi
belum lama beliau wafat duluan usia 48. Akhir diambil lagi oleh
Kyai Abdullah tetapi beliau sudah sangat sepuh. Tapi ada adik dari
Kyai Shobih.
Nah di sini nantinya ada istilah mursyid, badal mursyid, kholifah,
murid, ikhwan. Nah sekarang dalam thoriqoh itu ada mursyid dan
ada mulaqqin. Mulaqqin itu fungsinya sebagai orang kedua setelah
mursyid (wakil). Nah mursyid itu nantinya langsung membai‟at,
sementara yang memberikan talqin tentang penjelasan arti thoriqoh
Syattariyah, bagaimana tata-cara wiridannya. Tetapi juga sangat
susah untuk menjadi mulaqqin itu. Kadang-kadang mursyid
langsung mengajarkan tata-caranya karena susah menjadi mulaqqin
itu karena harus tahu sejarah, asal-usul, ajaran tentang thoriqoh
Syattariyah. Makannya dulu saya banyak ditugaskan oleh Kyai
Abdullah Abbas ketika ada orang yang ngaleb thoriqoh, melalui
saya dulu. Saya yang menjelaskan, saya yang menerangkan.
8 P: Kalau pendiri Buntet Pesantren itu, Mbah Muqoyim, itu juga
penyebar tarekat Syattariyah?
I: Itu sebetulnya bisa diotomatiskan. Walaupun secara sanadnya,
secara tertulisnya, tidak nampak. Karena Mbah Muqoyim itu
seorang mufti keraton, otomatislah karena thoriqoh Syattariyah itu
menjadi thoriqoh kenegaraan, kesultanan, ya otomatis para
muftinya juga. Tapi dari ajaran-ajaran beliau juga itu mengarah
kepada thoriqoh Syattariyah.
Mbah Muqoyim
merupakan penganut
tarekat Syattariyah,
tapi tidak
menyebarkannya
secara luas.
9 P: Kalau ajaran thoriqoh Syattariyah yang dimaksud seperti apa
kyai?
I: Nah makannya, dalam dzikir thoriqoh Syattariyah itu kan, mulai
dari dzikir laa illa ha illallah, itu kan ada tiga bacaan yang
dipanjangkan. Seperti bacaan tahlil yang umum, itu muaranya
kepada muara Syattariyah. Laaa illaa ha illallah, laa illa ha illallah,
laa illa ha illallah (Kyai Ade sambil memraktikan), laa illa ha
illallah,..... (dengan nada cepat), ada kemungkinan bahwa bacaan
Bacaan tahlil yang
dibaca oleh banyak
kalangan muslim
Indonesia, ada
kemungkinan berasal
dari tata cara
lxvi
tahlil yang biasa dipakai oleh umum di Indonesia itu mirip sekali
dengan tahlilnya thoriqoh Syattariyah.
dzikir/tahlil
Syattariyah.
10 P: Berarti bacaan tahlil seperti thoriqoh Qadiriyah, Naqsabandiyah,
Tijaniyah, itu beda ya?
I: Iya tahlilnya beda. Ada, misalnya Tijaniyah langsung tahlil saja,
hailallah itu langsung. Memang kalau di Syattariyah itu 3 bacaan
tahlil yang pertama itu dipanjangkan. Misalkan membaca tahlil 13
kali, maka 3 di awal panjang, 3 di akhir panjang. Ada kemungkinan
bersumber dari Syattariyah.
Sebab di thoriqoh-thoriqoh yang lain tahlilnya memang langsung.
Kalau 100 ya langsung 100, tidak diawali dengan panjang di awal,
panjang di akhir. Tapi kemungkinannya, thoriqoh Tijaniyah pada
saat itu, khususnya pada periode Kyai Abbas, membaca tahlilnya
tidak sama dengan thoriqoh Syattariyah.
11 P: Begini kyai, saya memang agak bingung, masuknya thoriqoh
Syattariyah ke Cirebon ini lewat jalur yang mana gitu?
I: Ya memang, untuk jalur masuknya ada beberapa versi. Tapi
untuk versi yang terdata itu melalui jalur Syeikh Muhyi Pamijahan.
Itu yang terdata. Tapi yang tidak terdata juga ada versinya. Bahwa
Syarif Hidayatullah itu juga thoriqohnya, thoriqoh Syattariyah. Tapi
itu masih sebatas klaim, karena tidak didukung oleh data-data yang
ada mencantumkan silsilah thoriqoh Syattariyah dari Syeikh Syarif
Hidayatullah. Sebab pada waktu itu memang ada keterangan Syeikh
Syarif Hidayatullah di dalam babad, diterangkan bahwa Pangeran
Cakrabuana berguru pada Syeikh Abdullah di Mekah. Jadi
kemungkinannya, Syeikh Abdullah itu adalah Abdullah Asy-
Syaththori. Ada kemungkinan seperti itu. Itu kemungkinan sebelum
Syeikh Abdullah Asy-Syaththori berhijrah ke India. Ada
kemungkinan juga di Mekah, ada kemungkinan juga di Asia kecil.
Jadi kalau kita lihat di babad bahwa Pangeran Cakrabuana akan
bertemu Syeikh Abdullah. Tapi yang paling ilmiah sih, masuknya
ke Cirebon itu dari Safarwadi. Di Kanoman juga silsilahnya
ngambil dari Syeikh Abdul Muhyi.
Tapi memang, tarekat Syattariyah yang dari Singkel, tidak
mengembangkan tentang Wahdatul Wujud. Yang penting
wiridannya saja. Untuk mistiknya tidak boleh dikembangkan. Tapi
ingat, murid-murid yang dari Buntet atau dari Kyai Kriyan, itu
Syattariyah bi Wahdatul Wujud. Tapi saya juga punya teman di
daerah Pemalang, Kyai Abdul Aziz. Dia punya almanak yang
menerangkan silsilahnya dengan wahdatul wujud.
Nah makannya, tarekat Syattariyah itu dapat berkesinambungan
dengan tradisi. Di keraton Kanoman juga, tarekat Syattariyah telah
bergabung dengan tradisi ke-Cirebonannya.
Perbedaan versi jalur
masuk tarekat
Syattariyah di
Cirebon.
12 P: Kalau ajaran yang khas dari Syattariyah itu kan ada di buku
Oman Fathurrahman Syattariyah di Minangkabau tentang Martabah
Pitu, Martabah tujuh, itu bagaimana kyai?
I: Jadi martabah tujuh itu begini, itu di dalam diri manusia, itu ada
tingkatan-tingkatan nafsunya. Ada nafsu amarah, ada nafsu
lawwamah, ada nafsu muthma‟innah, ada nafsu radhiyah, ada nafsu
malghiyah. Yang paling harus diperangi itu nafsu amarah, itu ada
ciri-cirinya, semua nafsu juga ada ciri-cirinya. Yang namanya nafsu
itu bukan Cuma terhadap hal yang tidak baik, dalam ibadah juga
ada nafsu. Sebab nafsu radhiyah, nafsu muthma‟innah, nafsu yang
untuk beribadah. Nah itu ada di dalam buku ini (sambil memberi
buku, kyai menyuruh saya membaca, sambil dijelaskannya satu
Macam-macam
dzikir tarekat
Syattariyah ada
tujuh.
Tarekat Syattariyah
mengadopsi tata cara
medtasi yoga yang
berasal dari
lxvii
persatu).
Nah di dalam berwiridnya juga ada tujuh juga, ada namanya dzikir
nafi itsbat, yaitu dzikir dengan mendahulukan nafi dan
mengakhirkan itsbat, bacaannya laa ilaha illallah. Nanti puteran
juga beda-beda (sambil mempraktikan tata-cara dzikirnya),
misalnya dari kiri ke kanan, sampai ditancapkan ke dalam sanubari
hati. Jadi tidak hanya goyang-goyang saja, tapi ada maknanya. Di
dalam kitab Jawahirul Khamsah itu ada berbagai macam tata-cara
dzikir. Yang paling gampang itu, ketika laa itu di dada sebelah kiri,
kemudian ke dada di tengah, ke dada sebelah kanan, lalu
ditancapkan ke sanubari. La ilaha illallah terus, nanti ada iramanya.
Kemudian ada dzikir-dzikir yang lain seperti illallah, allah hu, hu
Allah, ismu dzat ada dzikir Allah. Kemudian ismul ghoib, huu huu.
Nah ketika sudah huu saja berarti semakin tinggi nilai dzikir kita
(sambil kyai mempraktikan lagi). Nanti dzikir itu ada semua di
buku ini (kyai memberikan saya referensi kitab dan buku).
Nah di dalam Syattariyah juga ada istidraq nya. Satu-satunya
tarekat yang mengadopsi teknik yoga dalam ritualnya itu tarekat
Syattariyah. Makanya tarekat syattariyah dalam ritualnya ada
namanya istidraq, dzikir istidraq itu menenggelamkan diri pada
kalimat laa ilaaha illallah dengan tata-cara tangan yoga (Kyai
sambil mempraktikan lagi, duduk yoga, tahan nafas, sambil
menyebutkan kalimat laa ilaaha illalah sekuatnya, sambil
memejamkan mata). Nah Syeikh Ahmad Ghauts yang memasukan
teknik yoga ke dalam wirid Syattariyah. Jadi kearifan lokalnya
dibawa. Tadinya tidak ada metode istidraq, tapi setelah Syeikh
Ghauts sampai ke tanah India, baru dimasukan unsur yoga ke dalam
wirid Syattariyah. Nah sama di Jawa juga banyak kan kearifan lokal
yang dimasukan tarekat Syattariyah.
Nah untuk orang yang awam gak dikasih dalem-dalem cuma segitu
saja. Tapi ketika orang itu sudah bisa berpikir, diajarkan seperti ini ,
“Ketika kamu melihat, apa yang kamu rasakan kembalikan kepada
Allah”. Karena yang terlintas dipikiran kita kan ada masa lalu, masa
kini, kegiatan kita, segalanya kembalikan kepada Allah. Memang
yang haikiki hanya Allah saja, yang lainnya ciptaan. Itu tadi
Wahdatul Wujud nya itu. Nah itulah kenapa kita harus bertafakur.
Itu kadang kan para santri suka mengadakan rihlah, atau piknik lah,
kalau kita kan istilahnya ada yang tadabbur, tafakur, kita juga
mengarahkan seperti itu. Itu bagian dari esensi tasawuf.
India sebagai salah
satu bukti tarekat ini
sebagai neo-sufisme
yang rekonsiliatif
terhadap budaya
lokal.
13 P: Pak kyai, tadi kan sudah diterangkan tentang sejarahnya,
perkembangannya, kalau kegiatan rutinnya di sini seperti apa kyai?
I: Kalau kegiatan rutin yang ada itu Tijaniyah, makannya di masjid
kalau hari Jum‟at ada hailalah, itu wirid la ilaha illallah. Nah itu
pengamalan thoriqoh Tijaniyah. Sebab kalau thoriqoh Syattariyah
itu sedikit ke khalwat, lebih indiviual. Khalwat pada saat sepi,
kondisi yang tenang, uzlah, kalau Syattariyah lebih mengena
menurut saya. Karena di dalamnya ada khalwatiyah, ada
bustamiyah, yang keduanya muaranya kepada Abu Yazid Al-
Busthomi. Meditasi lah, uzlah, berkhalwat. Dan dimasukkan unsur
yoga dalam tasawuf kalau tarekat Syattariyah, jadi kearifan
lokalnya dimasukan ke dalam tasawuf.
14 P: Tapi gak ada seperti ritual bareng-bareng begitu?
I: Nah, enggak ada. Tapi memang dianjurkan untuk liqo, dianjurkan
untuk bertemu, kemudian memberikan pengarahan-pengarahan.
Kegiatan di Buntet,
tarekat Syattariyah
lxviii
Ada anjuran seperti itu, terutama antara mursyid dengan muridnya.
Jadi ada multaqo, antara murid dengan mursyid, memberikan
wejangan, ajaran, terkadang menalqin lagi, mempersamakan
persepsi. Sebab, istidraq itu kan sifatnya individual sekali.
Kalau di Tijani misalnya ada hailalah yang sifatnya berjamaah. Jadi
khalwatnya besar sekali kalau tarekat Syattariyah.
Tapi mengenai wahdatul wujud tidak bisa lepas, kita tetap
memberikan pengertian kepada para santri. Wahdatul wujud
walaupun kadarnya tidak seperti yang kita pahami. Hanya sekadar
saja.
Misalnya, kita sering mengingatkan bahwa ikhtiar itu wajib, tapi
hasil akhirnya ada di Gusti Allah, apakah happy apakah sedih.
Itukan nilai-nilai tasawuf yang ada diterapkan kepada para santri.
Segalanya dikembalikan kepada Allah.
hanya menjalankan
multaqo, pertemuan
antara mursyid dan
murid secara
individual.
15 P: Kalau pak kyai sampai sekarang, muridnya itu ada berapa orang,
ada catatannya gak?
I: Sebetulnya sih gak saya catat, karena biasanya dalam thoriqoh
Syattariyah itu bai‟atnya itu banyak secara jamaah, rombongan.
Jadi mereka lebih senang manggil saya, supaya tidak repot sayanya
kalau harus satu-satu. Kadang ada 40, kadang cuma 17, cuma yang
datang ke sini paling 2 orang, 4 orang. Jadi yang kalau sudah
dibai‟at sama saya itu kira-kira ada 200an lah kalau dikalkulasi.
Setiap tahun 50, berarti 4 tahun ada 200. Itupun saya membai‟at itu
kalangan orang-orang yang awam saja, itu dulu sama Kyai
Abdullah Abbas. Tapi kalau yang sepuh, dan beliau itu tokoh
masyarakat di sana, itu ke kyai sepuh, atau Kyai Hasan Kriyani. Itu
yang di Benda Kerep. Saya arahkan kepada beliau.
Dulu itu memang saya sudah dapat mandat dari Kyai Abdullah
Abbas, mandatnya sih berupa isyarah saja. Isyarahnya, ketika ada
orang yang membai‟at, saya yang mewakilkan beliau. Nanti beliau
yang mendo‟akan. Kemudian setelah beliau wafat, saya kembalikan
ke Kyai Hasan Kriyani. Tapi kadang beliau gak mau. Ya kan gak
pantas kalau saya, yang istilahnya masih muda, membai‟at yang
lebih sepuh, gak pantes. Nah sekarang saya diangkat beliau jadi
mulaqqin. Makannya kalau ada yang ngaleb thoriqoh dia ke sini
dulu. Nanti saya terangkan dulu cara-caranya, wiridan-wiridannya.
Nah saya juga ngambil thoriqoh dari Kyai Hasan, setelah Kyai
Abdullah Abbas wafat saya cari guru lagi. Makannya saya juga
berguru pada Kyai Hasan.
16 P: Jadi proses bai‟at itu bagaimana kyai?
I: Bai‟at itu kan ditalqin dulu. Misalkan kaya antum begini.
Diceritakan dulu sejarahnya, guru-gurunya siapa saja, nah nanti
diajarkan tata-cara wiridannya, baca ini, baca ini. Nah lalu juga
ditanya tentang syari‟at. Jangan masuk tarekat dulu kalau
syari‟atnya belum bener. Kamu kalau masuk tarekat ada niat
syari‟atnya harus lebih baik. Supaya ada peningkatan terus. Nah
setelah ditalqin sudah ngerti tata-caranya, baru dibai‟at.
Nah bai‟at itu berarti mengijazahkan thoriqoh Syattariyah untuk
diamalkan.
Proses bai‟at
Syattariyah.
17 P: Nah kalau bacaan bai‟atnya itu seperti apa kyai?
I: Ya, itu sebelum bai‟at dibaca ayat... yadullah fauqa aydihim...
yang mana kita berjanji kepada mursyid, itu hakikatnya kita berjanji
kepada Allah. Setelah dibacakan ayat itu, baru nanti murid
mengikuti apa yang diucapkan oleh mursyid. Hayu, baca la illaha
ilallah dulu, baca astaghfirullah dulu, baca sholawat dulu, baca
lxix
radhitubillah (radhitubillahi rabbah, wabil islami dinna, wabi
sayyidina muhammadin nabiya wa rasula, wabil qur‟ani imama wa
hukma, wabi sayyikhi mursyiddan wa zalilan) dulu, setelah itu baru
diberikan nasihat-nasihat. Baru setelah itu selesai. Itu adanya di
kitab Al-Simth Al-Majid. Nah kalau kita merujuk ke radhitubillah
itu, kedudukan mursyid itu dua tingkat setelah Allah. Jadi Allah,
Nabi, mursyid. Jadi mursyid itu warasatul anbiya sekali.
18 P: Jadi kitabnya ada simthul majid, sama?
I: Satu lagi, Jawahirul Khamsah. Nah di sana ada ajaran-ajaran
Syattariyah nya. Kitab ini kalau kita gali, itu luar biasa. Setiap hari
kalau kita menjalankan secara utuh, tidak ada waktu untuk bekerja
itu. Isinya betul-betul taqarub ilallah sekali. Jadi memang
hakikatnya seperti itu, tidak ada waktu lain karena setiap aktivitas
ada bacaannya, ada wiridannya.
Referensi utama
tarekat Syattariyah
yaitu kitab Simtul
Majid dan Jawahirul
Khamsah.
19 P: Berarti di tengah kemodernan sekarang, orang-orang thoriqot
gak mesti diam di dalam kamar, menyendiri, begitu ya pak kyai?
I: Ah enggak, karena wirid di dalam hati itu 1000x lipat dibanding
wirid yang dilisankan. Makannya orang-orang seperti itu bukan
pakai mulut wiridnya, pakai hati.
Di dalam era
modern, orang-orang
tarekat tidak lagi
berzikir hanya di
mulut, tapi di hati.
Jadi mereka tidak
menjauhi dunia.
20 P: Iya seperti pak Kyai Ade, pak Kyai Annas, itu gak menutup diri,
tapi terbuka gitu?
I: Main bola, ya main bola. Cuma ya ada fase-fasenya. Saya juga
masih main bulu tangkis. Masih ada helah nya. Padahal secara
tasawuf itu kan menghamburkan waktu. Tapi sih saya masih ada
helahnya, menjaga kesehatan. Tapi kalau sudah waktunya sih, ah
untuk apa bulu tangkis, suatu saat ditinggalkan semua. Karena kan
tingkatannya semakin naik, semakin meninggalkan, semakin naik,
semakin meninggalkan. Begitu terus. Sampai sudah tinggi,
ditinggalkan semua, di rumah saja. Makannya orang thoriqot tuh
pengen, cepet pensiun itu pengen. Di sini rata-rata pensiunnya
pensiun muda saja. Sudah lewat 40 tahun boleh pensiun, sudah
pensiun.
21 P: Baik pak kyai terima kasih, matur suwun penjelasannya,
arahannya, waktunya. Maaf saya so‟an ganggu pak kyai.
I: Ya de ivan, sama-sama. Semoga sukses penelitiannya. Ini ada
beberapa manuskrip, buku-buku dan kitab-kitab. Silahkan dibawa,
diphoto-qopy.
22 P: Baik pak kyai, terima kasih banyak.
I: Ya nanti setelah diqopy, dikembalikan. Sore atau malam.
lxx
TRANSKRIP WAWANCARA XIII
Informan : KH. Muhammad Hasan
Lokasi : Pesantren Benda Kerep, Kediaman Beliau
Status : Kyai Pimpinan Pondok Pesantren Benda Kerep, Sesepuh (Tokoh)
Masyarakat, Mursyid Tarekat Syattariyah di Benda Kerep.
Tanggal : 11 Mei 2015
Waktu : 14.07-17.11
No Dialog Komentar
1 P: Kalau sejarah thoriqot syattariyah di sini, adanya sudah lama ya
kyai?
I: Ya sudah lama, dari kakek saya (Mbah Kyai Sholeh). Dulu sudah
sejak zaman Belanda. Sejarah pesantren ini memang dulu ikut
perang melawan Belanda. Dulu ada terkenal sebutannya Hizbullah.
Ya kita perang, perang fisik. Tapi kebanyakan yang terbunuh itu
tentara Belanda. Masyarakat sini sedikit. Dulu yang mimpin perang
itu langsung Kyai Soleh, guru thoriqot, sufi, ulama, pemimpin
masyarakat. Santri-santri itu ikut berperang dulu.
Nah kenapa, di sini namanya Benda Kerep, itu awalnya namanya
Alas Cimeuweuh. Kalau bahasa Sunda, Ci itu air, kali, sungai, nah
eweuh itu enggak ada, enggak kelihatan. Jadi memang dulu banyak
yang hilang kalau masuk sini. Pas kakek saya datang, penunggu-
penunggu, jin-jin yang besar-besar itu diusir, jadilah pemukiman.
Babad alas, babad hutan lah istilahnya. Setelah jadi pemukiman,
ditempati orang namanya diganti jadi Benda Kerep. Benda itu
benda, barang, kerep itu banyak. Jadi banyak bendanya. Benda juga
bisa artinya pohon, karena memang dulu banyak pohon Benda.
Kalau tanahnya sih hibah, hibah dari keraton ke kakek saya supaya
dibabad hutan itu menjadi pedukuhan, ditempati orang, menyiarkan
Islam di sini.
2 P: Kalau perkembangan thoriqotnya di pesantren sini itu kira-kira
semakin meningkat atau menurun?
I: Ya kalau dibilang, semakin menurun. Karena orang-orang
semakin senengnya foya-foya, ya zaman sih.
Bagaimana tidak menurun, pemerintah itu tidak ada partisipasinya
kepada pondok pesantren. Jangankan pondok lah, zakat saja. Zakat
itu sumber utama kyai-kyai, tapi sekarang pemerintah mendirikan
badan zakat, sekarang zakat-zakat lari ke sana. Bagaimana kyai
mau ngajar, kan sumber hidupnya dari zakat itu. Itu sama saja
pembunuhan itu. Nantinya kyai-kyai itu bisa meninggalkan pondok,
jadi santrinya juga libur. Bagaimana pesantren mau jalan kalau
begini. Apalagi thoriqot.
3 P: Kalau di sini, murid tarekatnya berasal dari kalangan mana saja?
I: Ya macam-macam, ada yang dari santri, masyarakat sini,
pengusaha, pedagang, petani, guru-guru, pejabat juga ada. Ya
P = Peneliti
I = Informan
lxxi
macam-macam.
4 P: Kalau secara umum, jumlah murid di sini ada berapa Kyai?
I: Ya kurang tahu, saya tidak punya catatannya ya.
5 P: Tapi kebanyakan masyarakat sekitar sini ikut thoriqot kyai?
I: Ya masyarakat, tapi yang ikut thoriqot ikut, yang enggak ya
enggak. Yang mau ya boleh, ya namanya amalan ya.
6 P: Kalau proses untuk jadi murid thoriqot itu seperti apa kyai?
I: Ya harus dibai‟at, diijazahkan. Disumpah, seperti pegawai negeri
lah. Nanti saya bacakan ayatnya (yang yadullah fauqo aydihim)
kemudian diikuti. Nah sebelumnya puasa dulu barang 3 hari,
seminggu, dulu sih sampai 40 hari, tapi karena sekarang kan beda
ya, orang banyak kesibukan apa-apa, jadi diringankan. Nah
sebelum bai‟at ditalqin dulu, dijelaskan tata-caranya, bacaan-
bacaannya, amalan-amalannya, hizb-hizb nya. kemudian
diamalkan. Sesekali datang lagi ke saya.
Itu juga ada tingkatannya kan ada mubtadi, muthawassitthoh, insan
kamil.
Setelah bai‟at, ya diamalkan. Ringan, Cuma membaca laa ilaaha
illallah sehabis shalat, 100x.
Proses menjadi
murid.
7 P: Kalau ritualnya itu bagaimana kyai, apa ada ritual rutin setiap
seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau tahunan?
I: Ya enggak ada. Sendiri-sendiri saja. Itu kan amalan ya
diamalkan.
8 P: Iya maksudnya seperti dzikir bersama, atau pemberian materi
thoriqot?
I: Kalau itu sendiri-sendiri saja. Paling kalau acara yang ramai itu
haul saja. Kalau thoriqot sih sendiri-sendiri. Nanti sesekali mereka
balik lagi ke sini. Silaturahmi. Mulaqqo lah, nah nanti saya
perhatikan perkembangannya.
Thoriqot di Benda
lebih bersifat
individualistik
9 P: Kalau thoriqot di sini pakai kitabnya itu kitab apa kalau boleh
tahu kyai?
I: Ya ada lah. Ada Simthul Majid, Jawahirul Khamsah. Ya ada
kitabnya.
10 P: Kalau kontribusi thoriqot terhadap berdirinya pesantren di Benda
Kerep itu bagaimana kyai?
I: Ya kontribusinya dari kakek saya itu, mendirikan pesantren,
mengajarkan thoriqot, terus dilanjutkan keturunannya sampai
sekarang.
11 P: Kalau thoriqot yang berkembang di sini itu apa ada thoriqot lain
selain syattariyah?
I: Ya ada Qodiriyah, Syadzaliyah, tapi jumlahnya sedikit.
12 P: Kalau perkembangan tarekat Syathoriyah terhadap pesantren itu
sendiri bagaimana kyai?
I: Ya di sini kalau masyarakat mau masuk thoriqot silahkan. Tapi
tidak ada, kyai mengajak-ajak untuk masuk thoriqot itu tidak ada.
Kalau sudah masuk thoriqot ya diamalkan. Jadi di sini kalau mau
ngaleb thoriqot Syattariyah ya sudah, diamalkan. Ya Syattariyah itu
kan wirid. Yang dinamakan tarekat Syattariyah itu wirid yang
diajarkan Allah kepada Rasulullah Saw, melalui perantaraan
malaikat Jibril. Wirid yang diamalkan sama, tidak jauh beda sama
wirid umum saja. Cuma bedanya, kalau thoriqot itu langsung dari
Allah ke Rasulullah. Nah Cuma wiridnya itu nyambung, dari saya
ke guru saya, guru saya ke gurunya lagi, terus sampai ke
Rasulullah. Nah Rasulullah dari Allah Swt.
13 P: Wiridnya itu seperti apa kyai?
lxxii
I: Wiridnya itu sendiri-sendiri. Intinya sih membaca kalimat laa
ilaha illallah. Kalau sudah thoriqoh itu betul-betul ta‟dzhim kepada
guru. Seperti ente misalnya, ngambil thoriqot dari saya ya sudah
fokus ke saya, gak bisa ke lain-lain.
14 P: Kalau seperti saya yang notabene anak muda gitu, bisa ikut
thoriqot?
I: Ya bisa, malah bagus. Banyak itu masih muda udah ikut thoriqot.
15 P: Lalu saya kan juga dari Jakarta, dari kota lah, itu kalau ikut
thoriqot masih bisa hidup di masyarakat gak menyendiri atau
tertutup gitu?
I: Ya masih bisa. Kan thoriqoh cuma wiridan, gak Cuma di kamar
aja. Nanti, gimana kalau jualan,dilalahnya kan harus usaha. Nanti
kalau ikut thoriqoh kan kita punya prinsip. Misalkan mau berbuat
keburukan mandang guru, guru gak ngelakuin gitu, gak mau ah.
Saya juga ya biasa. Saya thoriqoh. Kalau diundang sama pejabat,
presiden, dulu SBY itu, ya saya datang. Kalau ikut thoriqoh juga
nanti bisa ngebedain mana yang baik, mana yang buruk, gak mudah
dipengaruhi.
16 P: Kalau pengajian di sini itu biasanya diadakan kapan kyai?
I: Kalau sekarang lagi pere (libur), nanti diadakan lagi bulan puasa.
Santri di sini cuma sedikit, sekarang lagi pada pulang. Kebanyakan
santrinya sekarang pada sekolah udah gak pada ngaji.
17 P: Kalau terhadap kemodernan, misalnya terhadap perkembangan
teknologi seperti handphone, TV, radio, internet, media sosial, apa
memang dari pihak pesantren atau dari sudut pandang thoriqot, itu
menolak atau malah memanfaatkan kemodernan itu sendiri kyai?
I: Ya terhadap kemodernan, kita ambil positifnya saja. Yang jelek-
jelek ya ditinggal. Misalnya dari segi TV memang lebih banyak
mudhorotnya, jadi kita gak pakai. Nanti malah jadinya malas,
bukannya ngaji malah asyik nonton TV. Kalau internet ya gak lah.
Paling handphone, kan untuk komunikasi, saya juga pakai
handphone. Yang modern-modern kita gak terlalu ini lah, tapi ya
tetap mengimbangi karena zaman.
18 P: Baik pak kyai, terima kasih banyak atas informasinya. Mungkin
sekian dulu. Mohon maaf sekiranya saya banyak salah-salah.
I: Iya sama-sama, semoga sukses, lancar kuliahnya.
lxxiii
TRANSKRIP WAWANCARA XIV
Informan : Kyai Tonny
Lokasi : Desa Trusmi Wetan, Kediaman Beliau
Status : Sep (Pimpinan Juru Kunci) Makam Mbah Buyut Trusmi, Tokoh
Masyarakat, Sesepuh, Pengusaha Rotan.
Tanggal : 14 Mei 2015
Waktu : 14.05-15.35
No Dialog Komentar
1 P: Kalau awal mula sejarah perkembangan desa Trusmi itu
bagaimana kyai?
I: Singkatnya saja, supaya tidak terlalu jauh. Jadi yang dinamakan
Mbah Buyut Trusmi itu memang aslinya anak pertama dari
Pajajaran. Yang disebut Raden Walangsungsang. Raden
Walangsungsang hijrah ke tanah ini itu dengan berpakaian kyai,
dan membawa keponakannya yang bernama Bung Cikal. Bung
Cikal dikenal sakti mandraguna itu dari lahir itu sudah kelihatan
kesaktiannya. Tapi memang waktu kecilnya itu nakal sekali. Raden
Walangsungsang di pedukuhan ini itu dikenal bukan hanya sebagai
penyebar agama Islam saja, tetapi juga mengajari tanam-menanam,
membatik, dan sebagainya, tujuannya untuk mengubah
kesejahteraan rakyat di sini. Dan dia juga gemar sekali menanam-
nanam pepohonan, apa saja, Cuma serba dirusak oleh
keponakannya Bung Cikal itu. Jadi nanam ini, dirusak, nanam itu
dirusak, paginya. Nanti sorenya tumbuh lagi. Nah terus-terusan
dirusak tapi tumbuh lagi. Jadi desa Trusmi itu, terus bersemi,
dirusak tumuh lagi, dirusak tumbuh lagi, begitu terus, semi terus.
Akhirnya padepokan ini dinamakan Trusmi. Jadi yang dinamakan
Trusmi itu terus semi, jadi Trusmi.
Nah sudah ningkat dewasa, Bung Cikal itu pamit. Konon menurut
masyarakat ada di Kawah Gunung Ciremai. Di sana dicari, ketemu,
tapi tidak mau pulang. Dia tidak mau pulang, tapi besok katanya
akan masuk ke Ratu Adil. Maksudnya Ratu itu presiden, nanti
presiden yang adil itu dalamnya dia. Jadi sejarah singkatnya begitu.
2 P: Kalau sejarah awal berkembangnya batik di sini itu bagaimana
kyai?
I: Kalau batik itu sejak abad ke-3 sudah ada. Cuma dimodifikasi
dengan Cina, kaya bayangan itu sudah dimodifikasi Cina.
Ada pengaruh Cina
dalam motif batik
Cirebon
3 P: Kalau mulai merebak menjadi industri-industri batik, toko-toko
batik itu sejak kapan kyai?
I: Ya dari dulu sudah ada toko batik, cuma nampak sekalinya kan
baru tahun 80-an lah ke sini, baru. Itu dorongan pemerintah juga
kan. Dulu kan gak ada, jarang tapi sekarang kan ada sumbangan.
Nah kalau keramat, satu-satunya se-Indonesia yang belum pernah
Tumbuhnya industri
batik baru pada tahun
80-an.
P = Peneliti
I = Informan
lxxiv
nerima sumbangan dari pemerintah itu ya di Trusmi. Gak ada
bantuan itu. Jadi, dari masyarakat untuk masyarakat aja, demokrasi
itu betul-betul. Misalkan buka kirap, setiap 4 tahun sekali itu
biayanya lebih dari 2,4 milyar. Atapnya pakai kayu kan diganti, nah
kalau memayu, itu kan setahun sekali.
Situs keramat di
Trusmi bersikap
mandiri dengan tidak
menerima bantuan
pemerintah.
4 P: Itu digantinya pas kapan pak yai, apa pas muludan atau kapan?
I: Ya muludan, muludan. Biasanya itu waktu mau tanam padi,
musim awal tanam. Kalau di sini mayu, nanti habis mayu itu hujan.
Jadi kalau gak mayu-mayu, gak hujan-hujan. Semacam ngeruwat
gitu.
5 P: Jadi tradisinya itu tadi ada ganti kirap, memayu, muludan, ada
lagi pak?
I: Ya satu Suro, Syawal, banyak lah. Cuma yang teramai itu
memayu sama buka kirap. Kalau memayu ada arak-arakannya.
Kalau buka kirap tujuh hari, tujuh malam, itu dari masyarakat
semua. Jadi tujuh malam itu ada 4 sampai 5 yang jaga itu.
6 P: Kalau di makam itu ada yang jaga itu ikut juga kyai?
I: Ya, itu kemit, pembantu juru kunci kyai lah. Itu jumlahnya
zaman dulu 52, sekarang 48. Berkurang 4 lah. Kalau zaman dulu
kan susah nyari kerjaan, ikut kemit kan gampang. Kalau sekarang
susah, yang ngabdi-ngabdi aja. Kalau kehidupan di sini itu gak bisa
diandalkan untuk sehari-hari, milik-milikan. Seminggu paling dapat
200 ribu. Cuma makan, selama dinas seminggu ya gak kurang.
Kalau gak dinas ya sudah, dalam sebulan kan dinasnya cuma
seminggu.
Struktur pengurus
makam: sep, kaum
(kyai), kemit.
7 P: Berarti di sini itu pengurusnya ada kemit, ada kyai, lalu ada apa
lagi pak?
I: Ada kaum. Kaum khusus untuk nangani agama. Dalam urusan
agama itu diusrus sama 4 kaum, kalau saya kepala kyai, sep
sebutannya. Jadi kyai ada 8, 9 nya pimpinan, sep. Itu ngikuti 9 wali.
8 P: Kalau pengurusnya itu masih keturunan mbah Trusmi kyai?
I: Ya masih keturunan. Nanti dipilih seperti pemilihan kuwu gitu.
Malah lebih dari itu, ramai. Jadi dipilih, ini turunan, ini turunan,
mana yang baik kan gitu.
9 P: Pak kyai, berkaitan dengan thoriqot, kalau dari penelitian yang
dulu itu, batik Trusmi itu awalnya dibuat sama penganut-penganut
thoriqot gitu. Itu apa benar begitu kyai?
I: Itu zaman dulu. Sekarang sih udah umum, hampir bisa semua,
anak-cucunya kan udah bisa semua. Dulu orang-orang tuanya
punya, tapi gak ada yang neruskan.
10 P: Kalau filosofi motif-motif batiknya itu ada yang bersumber dari
ajaran thoriqot kyai?
I: Ya bisa saja, umpanya difoto itu motif-motifnya bisa. Di vcd nya
ada, paling sekitar 500 macam. Kalau di sini itu ribuan. Nanti saja
lihat. (lalu kyai mengajak saya ke dalam, tempat beliau biasa
menerima tamu khusus dan melakukan ritual <berdo‟a> untuk tamu
yang kesulitan).
Ya batik, di sini harganya ada yang sampai 23 juta ada. Kalau batik
yang saya pakai paling sekitar 3 jutaan. Ya kita dikasih dari orang
lain.
11 P: Kalau sanggar batik di sini cuma sanggar Katura saja kyai?
I: Ya sanggar batik yang aktif itu dulu sih banyak, tapi sekarang
yang aktif cuma Sanggar Katura itu. Kalau buka sejarah di sini kan
gak bisa gitu aja, ada syaratnya, harus ada tumpeng apa gitu. Yang
perempuan juga gak boleh. Jadinya sejarahnya sepintas-pintas aja,
lxxv
umum saja. Karena pertamanya ada alam, ya di sini. Yang samping
kolam itu namanya witana, witana tuh awit-awitnya adanya tanah
tuh di situ. Itu ada kula, ya mula-mulanya ada air ya di situ. Di sini
belum ada orang di langit sudah ada orang, namanya planet wusna,
yang dipimpin Batara Guru. Jadi orang-orang wayang itu ada, ya
sama dengan orang kita. Kalau pewayangan itu mengisahkan orang
tua.
12 P: Kalau vcd yang batiknya ada maknanya, seperti mega mendung
maknanya apa gitu gak ada pak yai?
I: Ya ada, cuma dipinjam. Ya dulu kalau kita pakai mega mendung,
itu dipanggil sama raja. „Kamu yang sabar, yang tenang, dalam
rumah tangga‟. Kalau masih bujangan ya jangan marahan sama
pacar. Ya udah kelihatan dari batik aja. Umpamanya kapal kandas,
berarti sedang kandas dalam percintaan, apa dalam pekerjaan,
dalam rumah tangga. Udah tahu raja tuh dari batik aja.
Batik mencerminkan
kepribadian
pemakainya.
13 P: Berarti batik tuh mencerminkan kepribadian ya kyai?
I: Ya begitu.
14 P: Kalau toko-toko batik itu kalau buka izin ke sini dulu kyai?
I: Ya sekarang sih sudah umum aja, wong orang dari mana-mana ke
sini semua, dari Bandung, Jakarta, Brebes, banyak. Ya kalau Sunan
Gunung Jati terangnya kan ponakan, kalau di sini uwa nya.
15 P: Jadi Mbah Trusmi itu bagaimana kyai?
I: Ya Mbah Kuwu Cirebon ya Mbah Trusmi, ya awal-awal Cirebon
ya di Trusmi ini.
16 P: Sama dengan Pangeran Cakrabuana?
I: Ya sama, Pangeran Cakrabuana, Raden Walangsungsang,
orangnya itu-itu juga, namanya banyak. Itu tuh yang bikin daerah,
yang bikin negara, ya dia.
17 P: Kalau bangunan yang ada sekarang itu di makam dari dulu
memang begitu kyai?
I: Ya begitu.
18 P: Gak pernah direnovasi tah kyai?
I: Gak, gak pernah. Cuma diperbaiki yang bocor-bocor. Ya gak
boleh dirubah. Kita misalnya kalau mau dapat bantuan, ya bisa
bikin proposal ke pemerintah, tapi kita gak mau jadi komersil.
19 P: Kalau masyarakat di Trusmi itu kebanyakan apa pekerjaan kyai?
I: Kebanyakan ya masyarakat sini membatik, di rumah-rumah.
Saya juga dulu batik, selain Kyai terus juga usaha rotan, ke mana-
mana, untuk ekspor. Dulu juga pameran di Jerman juara 1, ya saya.
Saya tuh apa saja. Pernah sekali saya perputaran itu sampai
milyaran, dari nol saya. Saya tiap usaha itu gak pernah punya
modal. Cuma kalau orang tua dulu itu besar pasak daripada tiang.
Jadi, usaha omset berapa sampai melambung milyaran, itu lebih
banyak sedekahnya. Jadi antara sosial sama keuntungan itu lebih
banyak sosialnya. Karena saya seneng nolong orang. Tapi saya
walau sudah untung banyak, tetap bergaul dengan siapa saja,
dengan tukang becak, dengan apa. Karena kalau kita bergaul
dengan orang miskin itu kita bisa sedekah.
Mayoritas
masyarakat Trusmi
bekerja sebagai
pembatik.
20 P: Jadi kita jadi orang itu harus berjiwa sosial ya kyai?
I: Iya, cuma berat, mana ada pengusaha mau begitu. Saya kalau
ada ya ada, enggak ada ya gak ada. Kalau ada ya saya kasih. Kita
itu harus jujur, yang sering bohong itu ya ustadz-ustadz yang suka
ceramah itu. Bicara surga itu begini-begini, memang dia pernah ke
surga? kan enggak.
Nah kita juga harus jujur, apa adanya. Misalnya kalau dilihat oleh
lxxvi
orang-orang yang sudah ma‟rifat, di sini itu akan kelihatan.
Makannya dalam hadits itu man „arafa nafsahu faqad „arafa
rabbahu, siapa mengenal dirinya pasti mengenal tuhannya. Cuma
ilmu-ilmu seperti itu gak diajarai di Pesantren, nanti kalau diajari
kyai-kyai gak ada murid. Hubungan dengan ghaib udah langsung.
21 P: Berarti itu seperti thoriqot-thoriqot itu ya kyai. Kalau di sini ada
itu kyai, kalau di keraton kan ada pengguron, kalau di sini apa ada
perkumpulan thoriqot seperti itu?
Sudah tidak ada
mursyid tarekat di
Trusmi.
I: Kalau di sini ya sudah gak ada perkumpulan thoriqoh.
22 P: Kalau peziarah itu biasanya pada nginep di sini atau di makam
kyai?
I: Kalau yang tirakat ada yang di sini, ada yang di makam sana.
23 P: Kalau thoriqot-thoriqot seperti Naqsabandiyah, Syattariyah, di
Trusmi itu apa ada sampai sekarang kyai?
I: Dulunya Naqsabandiyah ada, Syattariyah ada. Tapi sekarang
sudah gak ada, karena para mursyidnya sudah meninggal.
Dulu sempat ada
tarekat Syattariyah
dan Naqsabandiyah,
namun karena
mursyidnya
meninggal sekarang
sudah tidak ada.
24 P: Itu waktu masih ada thoriqot-thoriqot itu tahun berapa pak kyai?
I: Ya sekitar tahun 73an. Itu terakhirnya, jadi sekitar 70an lah. Dulu
sih kebanyakan orang sini semua. Kan yang paling pertama itu
Naqsabandiyah, kalau Syattariyah itu lebih ke sini.
25 P: Kalau thoriqot yang 70an itu ada yang membatik juga?
I: Ya ada, bisa semua. Dulu kan mursyidnya di sini, Kyai Tholhah.
Tapi sekarang sudah meninggal.
Sampai tahun 70an
tarekat masih ada.
26 P: Berarti sepeninggalnya itu, perkembangan thoriqotnya tergilas
oleh kemodernan ya kyai?
I: Ya, oleh keadaan.
27 P: Kalau di sini, dulu pimpinan thoriqot Naqsabandiyah nya itu
siapa pak yai?
I: Itu Kyai Amad, Haji Tholhah. Ya dulu tempatnya di dekat
makam keramat situ. Sampai sekarang juga masih kosong, gak ada
apa-apanya, gak ada yang nempati. Dulu sih apa-apa itu sederhana.
Kalau makan ada ya sama-sama, kalau gak ada ya sudah.
28 P: Jadi modelnya bukan pengguron atau pondok pesantren ya kyai?
I: Ya kalau pesantren kan dikomersilkan kalau di sini enggak.
Makannya di sini lambangnya juga padi. Kalau Belanda itu kan
lambangnya pohon kelapa, kalau Cirebon kan padi. Kita gak bisa
seperti ini kalau gak ada isinya. Orang juga kalau belum punya
ilmu ya sombong aja. Tapi kan kalau punya ilmu ya nunduk. Dan
kalau di sini itu gak ada murid gak ada guru, ya sama-sama.
Nanggapnya ya anak saya, saudara saya, jadi gak mau kita
menjatuhkan martabat orang lain. Sifatnya jadi kaya keluarga.
Kalau murid ada bekas murid, kalau saudara gak ada bekas saudara.
29 P: Kalau batik ini kan mulai ramainya itu tahun 80an, itu memang
ada bantuan dari pemerintah atau menjamur sendiri begitu?
I: Ya bantuan ya ada untuk pengerajin-pengerajin kecil itu.
Pameran ya ada. Tapi kebanyakan buka sendiri.
30 P: Itu pengusahanya orang Cirebon semua atau pendatang?
I: Ya orang sini, dari luar ada, tapi tetep orang sini.
31 P: Kalau selain membatik orang Trusmi ada yang bertani juga kyai?
lxxvii
I: Ya ada. Ya yang tani yang membatik juga, sama itu. Ya
membatik dia nyuruh orang, tani dia juga buruh orang. Sawahnya
itu luas-luas orang sini. Itu showroom-showroom omsetnya bisa
ada 50 juta sehari. Tapi mereka itu kalau di keramat ada yang rusak,
ratusan juta juga keluar itu. Asal kebutuhan di situ langsung, tapi ya
kotak sumbangan tidak ada.
32 P: Berarti kalau ngasih ke sini dulu pak yai?
I: Ya walaupun ke sana, saya juga tahu karena kan ada laporan ke
saya. Kalau ada saya ya langsung ke saya.
33 P: Baik pak yai, terima kasih banyak informasinya mohon maaf
kalau saya ganggu gitu. Saya pamit dulu.
I: Ya sama-sama. Nanti kalau ke sini, kemaleman, mampir aja, tidur
di sini gak apa-apa jangan malu-malu.
lxxviii
TRANSKRIP WAWANCARA XV
Informan : Bapak Katura AR.
Lokasi : Sanggar Batik Katura, Desa Trusmi Wetan, Kediaman Beliau
Status : Tokoh Masyarakat, Pimpinan (Pemilik) Sanggar Batik Katura, Seniman
Batik Nasional, Peraih Honoris Causa Magister of Art dari Hawaii
University.
Tanggal : 15 Mei 2015
Waktu : 14.03-15.05
No Dialog Komentar
1 P: Kalau awal mula berkembangnya industri batik di Trusmi itu
bagaimana pak?
I: Ya batik ini sudah ada sejak abad 14 dulu. Awalnya sih yang buat
orang Trusmi sendiri, atas permintaan sultan waktu itu. Itu juga
untuk dipakai sendiri saja, jadi dibuat lalu dijual untuk masyarakat
sendiri saja.
Awalnya batik di
Trusmi dibuat untuk
dipakai sendiri.
Mulai ada sejak abad
14 M.
2 P: Kalau mulai ramai seperti sekarang itu sejak kapan, apa
perkembangannya meningkat atau menurun?
I: Kalau itu sih meningkat. Tapi batik mulai ramai itu ya baru-baru
ini, baru tahun 1990an lah. Banyak bantuan dari pemerintah,
pengusaha, investor juga akhirnya ramai seperti sekarang. Tapi
sekarang batik itu ada yang dicap, ada yang ditulis. Tapi yang
ditulis itu beda, harganya bisa sampai jutaan, dan lama bisa sampai
berbulan-bulan. Kalau di sini kebanyakan tulis.
Mulai berkembang
menjadi industri
batik sejak 1990an.
3 P: Kalau di sini, itu sanggar Katura ini mulai perkembangannya
bagaimana, apa Cuma ada di sini saja yang mengajarkan batik?
I: Ya sekarang cuma di sini saja. Dulu sih banyak. Sanggar ini itu
berdiri tahun 2007, baru. Tapi saya membatik ya sudah lama.
Sering dari sekolah-sekolah itu pada ke sini, belajar batik. Biasanya
rombongan gitu. Dulu juga ada dari Jepang, seperti mas ini, tapi
dari fakultas seni. Dia skripsi saya yang bantu sampai selesai. Tapi
dia lama waktu itu sampai berbulan-bulan.
4 P: Kalau pengrajin di sini sekarang ada berapa pak, apa kebanyakan
itu orang Trusmi?
I: Kalau yang kerja sih sekarang sekitar 30 orang. Ya macam-
macam, ada yang dari Garut, Indramayu, Tasik, tapi ya kebanyakan
memang orang sini.
5 P: Itu bekerja nya dari kapan pak?
I: Itu setiap hari, tapi malam jumat libur. Karena kata orang tua
dulu, ya harus seimbang lah antara usaha dan ibadah, jadi malam
jumat ya untuk ibadah saja.
6 P: Kalau bekerjanya dari jam berapa pak?
I: Bekerjanya sih mulai jam 8 pagi sampai sore jam 5 lah.
P = Peneliti
I = Informan
lxxix
7 P: Pak kalau dari sejarah yang saya baca, dulu itu awalnya batik
Trusmi itu dibuat oleh para penganut thoriqot, itu apa betul pak?
I: Ya sekarang sih sudah tidak ada pengrajin dari orang tarekat.
Dulu mungkin iya waktu awal-awal. Tapi sekarang sudah umum
saja. Yang kerja ya biasa gak ada yang thoriqot begitu.
Waktu awal-awal
masih ada pekerja
batik dari golongan
kaum tarekat.
8 P: Kalau begitu, berarti apa ada makna atau filosofi dari batik itu
yang berkaitan dengan ajaran thoriqot gitu pak, misalkan seperti
mega mendung, kangkung, atau paksi naga liman?
I: Ya mungkin ada ya. Seperti mega mendung itu kan artinya kan
setiap orang itu harus mampu menahan emosinya, dengan kata
lain, hati manusia diharapkan bisa tetap „adem‟ meskipun dalam
keadaan marah, seperti awan kan muncul pas mendung itu bisa
bikin sejuk. Kemudian makna dari warna batik Mega Mendung ini
lambang dari pemimpin dan awan biru sebagai sifat pemimpin,
harus bisa mengayomi seluruh masyarakat. Nah kalau gradasi
warnanya yang berada di ornamen awannya, gradasi asli dari batik
Mega Mendung ini ada tujuh gradasi yang maknanya diambil dari
lapisan langit yang memiliki 7 lapis, begitu juga bumi yang
tersusun dari 7 lapisan tanah. Jumlah hari dalam seminggu kan ada
7 hari. Kalau sekarang gradasi warna batik Mega Mendung sudah
disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Gradasinya dikurangi atau
diminimalkan menjadi 3-5 gradasi sesuai pesanan. Bahkan sudah
ada juga batik Mega Mendung yang sengaja tidak diberi gradasi
warna pada motif awannya karena tuntutan pasar.
Banyak motif batik
yang bermaknakan
nilai-nilai sufistik.
9 P: Kalau motif lain apa ada juga pak yang maknanya berkaitan
dengan ajaran thoriqot syattariyah?
I: Ya kalau saya sih secara umum saja, memang ada kaitannya
dengan agama, tapi kalau lebih mendalam saya kurang tahu, karena
saya kan seniman ya. Mungkin ada motif dzal, dzal itu kan huruf ke
lima, jadi melambangkan rukun Islam yang lima. Paling itu saja.
Seperti tadi misalkan mega-mendung yang aslinya 7 gradasi warna,
itu kan lambang langit ada 7, bumi ada 7 lapis. Ya paling seperti
itu.
Tapi ya sebenarnya istilah batik juga ada filosofinya sendiri mas.
Memang ada itu profesor yang bilang batik itu dari Arab, dari
istilah huruf ba, ba dan titik, jadi batik. Tapi menurut saya batik itu
ya dari Jawa, artinya bayane sitik, bayarnya sedikit, untungnya
sedikit. Jadi sampai sekarang saya belum pernah melihat orang
membatik, orangnya lho bukan pengusahanya itu kaya. Karena
memang untuk satu batik saja butuh berbulan-bulan. Ya belum
makannya sehari-hari, lain-lain, lakunya juga belum tentu batik itu.
10 P: Kalau dari motifnya apa ada yang berkaitan dengan thoriqot,
atau pengguron di keraton?
I: Ya motif keraton ada, misalnya motif Keprabonan, (pak Katura
lalu ke dalam mengambil kain batik). Nah ini motif keprabonan.
Jadi benda-benda yang nempel di keraton itu dijadikan inspirasi
untuk motif batiknya. Begitu. Jadi motif batik itu secara umum ada
dua. Pertama itu pesisiran, kedua keratonan. Nah kalau pesisiran itu
biasanya binatang, pohon-pohon di pesisir, seperti itu. Nah kalau
keratonan ya yang ada di keraton, seperti singabarong, mega-
mendung, paksi naga liman, sunyaragi, tiap keraton juga ada.
Begitu.
Motif batik Cirebon
terbagi dua, ada
pesisiran dan
keratonan.
Motif keratonan
banyak terinspirasi
dari bangunan
keraton yang
memiliki nilai
lxxx
filosofis dari tarekat.
11 P: Wah jadi setiap keraton itu punya ya pak. Kalau motif yang
keprabonan itu maknanya bagaimana pak, karena kan pengguron
tarekat itu kebanyakan ya dari kaprabonan ya?
I: Iya, kalau keprabonan sih tentang benda-benda yang ada di
Kaprabonan saja, seperti pagar, air mancurnya, macam-macam.
Terus kita sebagai pembuat batik itu dikreasikan.
12 P: Kalau sekarang di tengah kemodernan perkembangan batik itu
seperti apa pak?
I: Ya sekarang sih bisnis. Kadang batik itu banyak yang keluar dari
pakemnya, karena memang tuntunan pasar. Sudah buat bisnis saja.
Ada batik cap, kalau yang asli kan pakai malam, lilin itu. Jadi ya
kalau batik tulis di sini sekarang sudah mulai mahal. Tapi ya
sekarang perkembangannya pesat lah, karena bantuan juga semakin
besar dari pemerintah. Internet juga kan sekarang sudah zaman
modern, maju, jadi kalau mau mesan batik bisa lewat internet.
Informasi, segala macam, juga sekarang bisa.
Nilai batik saat ini
sudah menjadi
komoditas bisnis.
13 P: Apa modernisasi juga malah menghambat perkembangan batik
di Trusmi ini pak?
I: Kalau menghambat sih tidak, paling ya sedikit informasi bisa lah
lewat internet.
14 P: Baik pak Katura, terima kasih banyak atas waktunya,
informasinya, mohon maaf saya jadi mengganggu.
I: Iya mas, sama-sama, semoga sukses ya.