tatalaksana endometriosis fixx
DESCRIPTION
o b g y nTRANSCRIPT
TATALAKSANA KONSERVATIF NYERI ENDOMETRIOSIS
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen, sehingga salah
satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon menggunakan obat-obatan untuk
mengobatinya. Saat ini, kontrasepsi oral, progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah
jenis obat-obatan yang sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa masing-masing obat tersebut setara dalam pengobatan
endometriosis, sehingga jenis obat yang digunakan harus mempertimbangkan preferensi pasien,
efek samping ,biaya dan ketersediaan obat tersebut.
1. Kontrasepsi Hormonal
a. Cara Kerja
Kontrasepsi oral kombinasi bekerja pada kelainan endometriosis dengan cara
menekan LH dan FSH serta mencegah terjadinya ovulasi dengan cara menginduksi
munculnya keadaan pseudo-pregnancy. Selain itu penggunaan kontrasepsi oral
kombinasi juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi implant endometriosis,
dan meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik pada wanita dengan
endometriosis (ESHRE, 2013).
b. Pemilihan Jenis Pil Kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi oral kombinasi merupakan pilihan yang efektif untuk
mengurangi gejala yang ditimbulkan oleh endometriosis. Terapi ini juga aman dan dapat
digunakan jangka panjang pada wanita yang tidak ingin memiliki anak dan membutuhkan
kontrasepsi (ESHRE, 2013).
c. Efektifitas
Pada review sistematik Cochrane, hanya satu penelitian yang membahas mengenai
penggunaan kontrasepsi hormonal sebagai terapi nyeri pada endometriosis. Peneliti
menyimpulkan bahwa penggunaan dosis rendah kontrasepsi oral efektif dalam
mengurangi nyeri pada endometriosis, tapi kesimpulan ini diambil dari jumlah sampel
penelitian yang terbatas dan waktu follow up 6 bulan. Didapatkan hasil dalam follow up
6 bulan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok kontrasepsi oral dengan
kelompok GnRH analog mengenai efektifitas dalam mengobati dismenorea (OR 0.48; IK
0.08 – 2.90). Hasil yang sama juga didapatkan untuk nyeri yang tidak terkait menstruasi
(OR 0.93; IK 0.25-3.53) dan dyspareunia (OR 4.87; IK 0.96-24.65) (ESHRE, 2013).
d. Rekomendasi (ESHRE, 2013)
1. Klinisi dapat mempertimbangkan pemberian kontrasepsi oral kombinasi karena
mengurangi dyspareunia, dismenore dan nyeri tidak terkait menstruasi (Rekomendasi
B)
2. Klinisi boleh mempertimbangkan pemakaian berlanjut kontrasepsi oral kombinasi
pada wanita dengan dismenore terkait endometriosis (Rekomendasi C)
3. Klinisi boleh mempertimbangkan pemakaian kontrasepsi ring vagina atau transdermal
(estrogen/progestin) untuk mengurangi dyspareunia, dismenore dan nyeri pelvis
kronis (Rekomendasi C)
2. Progestagens dan anti-progestagens
Progesteron memilik efek antimitotik terhadap sel endometrium, sehingga memiliki potensi
dalam pengobatan endometriosis. Progestagens (contoh : Progestin) turunan 19-
nortestosteron seperti dienogest memiliki kemampuan untuk menghambat enzim aromatase
dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 pada kultur sel endometriosis. Biopsi percontoh
jaringan endometrium dari wanita yang diobati dengan LNG-IUS (Levonorgestrel
Intrauterine System) selama 6 bulan menunjukkan ekspresi reseptor estrogen yang
berkurang, menurunnya indeks proliferasi sel dan peningkatan ekspresi Fas (Soares et al,
2012)
a. Pemilihan jenis progestin
Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi dan LNG-IUS. Selain
bentuk, preparat progestin juga dapat dibagi menjadi turunan progesteron alami
(didrogesteron, medroksiprogesteron asetat) dan turunan C-19-nortestosteron
(noretisteron, linestrenol, desogestrel) (Schweppe, 2009).
Noretindron asetat, 5 sampai 20 mg per hari, efektif pada sebagian besar pasien dalam
meredakan dismenorea dan nyeri panggul menahun. Efek samping yang ditimbulkan
termasuk nyeri payudara dan perdarahan luruh. Progestin intramuskular dan subkutan
yang diberikan setiap 3 bulan diketahui efektif dalam menekan gejala endometriosis.
Levonorgestrel 20 mg per hari yang terkandung dalam LNG-IUS akan berefek pada atrofi
endometrium dan amenorea pada 60% pasien tanpa menghambat ovulasi (Leyland et al,
2010). Didrogesteron 5-10 mg per hari sampai dengan 4 bulan telah diteliti efektif untuk
meredakan gejala endometriosis. Penelitian desogestrel 75 mg per hari diketahui efektif
menurunkan skala nyeri panggul (VAS) dibandingkan dengan kontrasepsi oral.
Dienogest merupakan progestin selektif yang mengkombinasikan 19-norprogestin
dan turunan progesteron sehingga hanya memberikan efek lokal pada jaringan
endometrium. Tidak seperti agen 19-norprogestin lainnya, dienogest memiliki efek
androgenik yang rendah, bahkan memiliki efek antiandrogenik yang menguntungkan
sehingga hanya memberikan efek yang minimal terhadap perubahan kadar lemak dan
karbohidrat (Schindler, 2011).
Tabel 1. Aktifitas biologis progesterone dan progestogen
Keterangan : * TE, Tidak ada Efek, + tidak memberikan efek atau efek ringan, + memberikan efek sedang, ++ memberikan efek yang kuat **17 os-OH, 17-hydroxyprogesterone derivates
Pemilihan jenis progestin yang digunakan harus mempertimbangkan efek androgenik,
efek antimineralokortikoid dan efek glukokortikoid (lihat tabel di atas).
b. Efektifitas
Review sistematis Cochrane melakukan kajian mengenai efektifitas progestin atau
anti progestin dalam pengobatan nyeri akibat endometriosis. Kajian ini meliputi 2 RCT
yang membandingkan progestin dengan placebo dan 8 penelitian yang membandingkan
dengan pengobatan lainnya. Dari penelitian yang membandingkan dengan placebo, satu
penelitan memberikan hasil yang bermakna namun penelitian kedua tidak memberikan
hasil yang bermakna (Brown et al , 2012).
Dienogest dengan dosis harian 2 mg telah dibuktikan bermakna dalam mengurangi
nyeri pelvik dan nyeri haid yang terkait endometriosis. Dienogest juga setara dengan
GnRH agonis dalam pengobatan nyeri endometriosis (Leyland et al, 2010).
Terdapat tiga penelitian yang menilai efek penggunaan LNG IUS terhadap gejala
terkait endometriosis. Penelitian pertama oleh Petta dkk membandingkan LNG IUS
dengan leuprolide asetat. Didapatkan penurunan bermakna skor visual analogue pain
scores (VAS) setelah 6 bulan pada kedua kelompok dan tidak ada perbedaan antar
kelompok tersebut. Penelitian kedua oleh Gomes dkk menilai efek LNG IUS berdasarkan
ASRM stadium skor, yang menemukan penurunan yang bermakna skor nyeri pelvik
setelah 6 bulan dan tidak ada perbedaan antara LNG IUS dengan leuprolide asetat.
Fereira dkk (2010) juga mendapatkan penurunan skor nyeri dan tidak ada perbedaan
antar LNG IUS dengan GnRH analog (ESHRE, 2013).
c. Rekomendasi (ESHRE, 2013)
1. Klinisi direkomendasikan menggunakan progestin (medroxyprogesterone acetate
(oral or depot) , dienogest, cyproterone asetat, norethisterone acetate or danazol) or
anti-progestagens (gestrinone) sebagai salah satu pilihan untuk mengurangi nyeri
akibat endometriosis (Rekomendasi A)
2. GDG merekomendasikan agar klinisi melihat dan menilai efek samping dari
progestagens dan anti progestagens ketika akan memberikan obat ini, terutama efek
samping ireversibel (misalnya trombosis, efek samping androgenic) (Rekomendasi D
GPP)
3. Klinisi dapat mempertimbangakan pemberian LNG IUS sebagai salah satu pilihan
dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis (Rekomendasi B)
3. Agonis GnRH
a. Cara kerja
Pajanan GnRH yang terus menerus ke hipofisis akan mengakibatkan down-regulation
reseptor GnRH yang akan mengakibatkan berkurangnya sensitifitas kelenjar hipofisis.
Kondisi ini akan mengakibatkan keadaan hipogonadotropin hipogonadisme yang akan
mempengaruhi lesi endometriosis yang sudah ada. Amenore yang timbul akibat kondisi
tersebut akan mencegah pembentukan lesi baru (Soares et al, 2012). GnRH juga akan
meningkatkan apoptosis susukan endometriosis. Selain itu GnRH bekerja langsung pada
jaringan endometriosis. Hal ini dibuktikan dengan adanya reseptor GnRH pada
endometrium ektopik. Kadar mRNA reseptor estrogen (ERá) menurun pada
endometriosis setelah terapi jangka panjang. GnRH juga menurunkan VEGF
yangmerupakan faktor angiogenik yang berperan untuk mempertahankan pertumbuhan
endometriosis. Interleukin 1A (IL-1A) merupakan faktor imunologi yang berperan
melindungi sel dari apoptosis
b. Efektifitas
Review sistematis Cochrane tahun 2010 membandingkan pemberian GnRH analog
dalam mengobati nyeri yang terkait endometriosis. Hasil menunjukkan bahwa GnRH
analog lebih efektif dibandingkan placebo, namun tidak lebih baik bila dibandingkan
dengan LNG-IUS atau danazol oral. Tidak ada perbedaan efektifitas bila GnRH analog
diberikan intramuskuler, sub kutan atau intranasal (Brown et al, 2010).
Karena efek pemberian GnRH analog adalah efek hipoestrogenik, maka diperlukan
pemberian estrogen sebagai terapi add back. Hal ini didasari bahwa kadar estrogen yang
diperlukan untuk melindungi tulang, fungsi kognitif dan mengatasi gejala defisiensi
estrogen lainnya lebih rendah dibandingkan kadar yang akan mengaktifasi jaringan
endometriosis. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa terapi add back ini tidak
mengurangi efektifitas GnRH analog. Pada pemberian GnRH analog dengan terapi add
back estrogen dan progestogen selama 6 bulan, densitas mineral tulang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian GnRH saja (ESHRE, 2013).
c. Rekomendasi
1. Klinisi direkomendasikan menggunakan agonis GnRH (nafarelin, leuprolid,
buserelin, goserelin atau triptorelin) sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi
nyeri akibat endometriosis, meskipun bukti penelitian mengenai dosis atau durasi
pengobatan terbatas (Rekomendasi A)
2. Klinisi direkomendasikan memberikan terapi hormone add-back saat memulai terapi
agonis GnRH untuk mencegah hilangnya massa tulang dan timbulnya gejala
hipoestrogenik. Pemberian terapi add back tidak mengurangi efek pengobatan nyeri
(Rekomendasi A)
3. GDG merekomendasikan agar klinisi berhati-hati mempertimbangkan pemberian
agonis GnRH pada wanita muda dan dewasa, karena wanita mungkin tidak mencapai
kepadatan tulang maksimal (Rekomendasi D GPP)
4. Aromatase inhibitor
a. Cara Kerja
Beberapa penelitian menunjukkan potensi mitogenik estradiol yang mendorong
pertumbuhan dan proses inflamasi di lesi endometriosis. Estrogen lokal dari lesi
endometriosis berkaitan erat dengan ekspresi enzim aromatase sitokrom P450. Kadar
mRNA aromatase yang meningkat ditemukan pada lesi endometriosis dan endometrioma
ovarium. Karena peran penting enzim aromatase dan estrogen lokal pada endometriosis,
maka aromatase inhibitor dipikirkan menjadi pilihan terapi yang potensial pada pasien
dengan endometriosis (Pavone dan Bulun, 2012).
b. Efek Samping
Efek samping relatif ringan seperti nyeri kepala ringan, nyeri sendi, mual dan diare.
Dibandingkan dengan penggunaan GnRH analog, keluhan hot flushes lebih ringan dan
lebih jarang. Penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan risiko osteopenia,
osteoporosis dan fraktur. Data jangka panjang didapat dari wanita yang diobati karena
kanker payudara, dimana ditemukan kejadian fraktur berkisar dari 2,5 hingga 11 persen
(Pavone dan Bulun, 2012).
c. Efektifitas
Dua kajian sistematis menilai potensi menggunakan aromatase inhibitor pada nyeri
akibat endometriosis. Kajian pertama oleh Nawathe dkk pada tahun 2008 menilai 5
penelitian dimana 4 penelitian menunjukkan efek yang signifikan pemberian aromatase
inhibitor terhadap nyeri terkait endometriosis. Namun kajian ini hanya mendapatkan
penelitian dengan jumlah kasus yang sedikit dan hanya satu uji klinis acak. 11 Ferero dkk
pada 2010 melakukan kajian sistematis yang menilai 7 penelitian pengobatan danazol
pada endometriosis. Didapatkan hasil letrozol oral yang dikombinasi dengan noretisteron
asetat atau desogestrel, anastrozol vaginal suposituria 250 ug/hari atau oral 1mg/hari
dengan kombinasi pil kontrasepsi kombinasi memberikan hasil penurunan bermakna
nyeri terkait endometriosis pada wanita pra-menopause (ESHRE, 2013).
d. Rekomendasi
Pada wanita dengan endometriosis rektovagina yang tidak berhasil dengan terapi
medis lain atau pembedahan, klinisi dapat mempertimbangkan pemberian aromatase
inhibitor yamg dikombinasikan dengan progestagen, kontrasepsi oral kombinasi atau
GnRH analog untuk mengurangi nyeri terkait endometriosis (Rekomendasi B)
5. Terapi analgesik
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di cairan peritoneum dan
lesi endometriosis pada wanita dengan endometriosis. Sehingga, obat anti inflamasi non
steroid (NSAIDs) banyak digunakan dalam penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis.
a. Efektifitas
Cobelis dkk (2004) melakukan uji klinis penggunaan penghambat COX-2 (rofecoxib)
dibandingkan dengan kontrol selama 6 bulan pada 28 pasien. Didapatkan penurunan yang
bermakna pada dismenore, dyspareunia dan nyeri pelvik kronik setelah pengobatan 6
bulan dibandingkan dengan placebo (p < 0.001).
Allen dkk melakukan review sistematis mengenai peran antiinflamasi non steroid
(NSAIDs) dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis. Disimpulkan bahwa masih
belum cukup bukti yang menunjukkan OAINS efektif dalam pengobatan nyeri terkait
endometriosis (ESHRE, 2013)
b. Rekomendasi (ESHRE, 2013)
GDG merekomendasikan, klinisi harus mempertimbangkan penggunaan obat
antiinflamasi non steroid (NSAIDs) atau analgetik lain untuk mengurangi nyeri terkait
endometriosis (D GPP)
TATALAKSANA BEDAH NYERI ENDOMETRIOSIS
1. Laparoscopic uterosacral nerve ablation (LUNA) dan pre-sacral neurectomy (PSN) pada
nyeri karena endometriosis
a. Prosedur
Prosedur LUNA adalah melakukan ablasi atau eksisi sekitar 1,5-2 cm bagian
ligamentum sakrouterina di insersi serviks. Prosedur ini dimulai dengan memposisikan
uterus anteversi menggunakan manipulator uterus, mengidentifikasi ligamentum
uterosakral yang kemudian salah satu atau keduanya dipotong dekat dengan insersinya di
serviks. Sebagian kecil ligamen diambil untuk pemeriksaan histologi dan konfirmasi
adanya serabut saraf didalamnya (Nassif et al, 2013). Sedangkan, Prosedur PSN pada
laparoskopi adalah melakukan eksisi jaringan saraf antara peritoneum dan periosteum
sebanyak paling tidak 2 cm (Nassif et al, 2011).
b. Efektivitas LUNA dan PSN dalam menekan nyeri karena endometriosis
Cochrane review tahun 2010 menilai efektifitas pembedahan jalur saraf pelvik dalam
penatalaksanaan dismenore primer dan sekunder. Terdapat 4 uji klinis acak pada pasien
endometriosis yang membandingkan LUNA dengan pembedahan laparoskopi
konservatif. Setelah follow up 6 bulan tidak ada perbedaan bermakna antar kedua
kelompok dalam keluhan nyeri(OR 1.03, IK 95% 0.52-2.02). Dalam penilaian jangka
panjang juga tidak menunjukkan perbedaan (OR 0.77, IK 95% 0.43-1.39) (Proctor et al,
2010)
Cochrane review 2010 oleh Proctor menilai presacral neurectomy (PSN) dalam terapi
pembedahan endometriosis dibandingkan dengan pembedahan konservatif. Dalam follow
up 6 bulan didapatkan perubahan nyeri yang signifikan pada kelompok PSN (OR 4.52,
IK 95% 1.84-11.09). Pada follow up 12 bulan juga didapatkan perbedaan bermakna (OR
3.14, IK 95% 1.59-6.21).
Pembedahan dengan PSN memiliki risiko efek samping yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pembedahan konservatif antara lain perdarahan, konstipasi,
urgensi. Pada kelompok pembedahan konservatif tidak dilaporkan adanya efek samping ,
namun pada kelompok PSN dilaporkan 13 wanita dengan keluhan konstipasi, 3 wanita
dengan urgency dan dua wanita tidak merasakan nyeri pada persalinan (OR 14.6, IK 95%
5.0-42.2)
c. Rekomendasi (ESHRE, 2013)
1. Klinisi sebaiknya tidak melakukan LUNA sebagai prosedur tambahan pembedahan
konservatif dalam menangani nyeri terkait endometriosis (Rekomendasi A)
2. Klinisi harus menyadari bahwa pre-sacral neurectomy merupakan prosedur tambahan
yang efektif untuk mengurangi nyeri terkait endometriosis, namun membutuhkan
keterampilan yang khusus dan mempunyai risiko yang besar (Rekomendasi A)
2. Ablasi vs eksisi pada endometriosis
Ablasi dan eksisi sama-sama efektif pada pengobatan nyeri terkait endometriosis.
Bagaimanapun, informasi ini didapatkan dari studi kecil sehingga kesimpulan harus menjadi
suatu perhatian.
Eksisi lesi dapat digunakan dengan kemungkinan kepentingan pengambilan sampel untuk
pemeriksaan histologi . Selanjutnya , teknik ablasi tidak cocok untuk stadium endometriosis
dengan komponen endometriosis yang mendalam (ESHRE, 2013).
Rekomendasi
Klinisi dapat mempertimbangkan keduanya baik ablasi ataupun eksisi peritoneal
endometriosis untuk mengurangi nyeri terkait endometriosis (Rekomendasi C).
ALGORITMA PENATALAKSANAAN NYERI PADA ENDOMETRIOSIS
TATALAKSANA INFERTILITAS PADA ENDOMETRIOSIS
Pembedahan harus ditawarkan lebih dini pada pasien infertilitas terkait endometriosis
sebagai bagian dari penatalaksanaan karena keuntungannya dalam meningkatkan angka konsepsi
alami. Waktu yang tersedia terkait usia, cadangan ovarium dan status faktor tuba dan faktor pria
merupakan faktor utama yang penting untuk dipertimbangkan selain stadium penyakit. Setelah
tindakan operatif kita masih membutuhkan waktu 12 bulan untuk memberikan kesempatan
pemulihan dan kemungkinan untuk konsepsi secara alami.
Sebelum memutuskan untuk melakukan pembedahan atau medikamentosa terlebih dahulu,
cadangan ovarium sekali lagi merupakan faktor pertimbangan utama dalam penatalaksanaan
infertilitas jika terjadi penurunan atau usia pasien sudah lebih dari 38 tahun dan infertilitas telah
berlangsung lama maka tindakan in vitro fertilization (IVF) sangat perlu untuk segera dilakukan,
bahkan bila stadium endometriosis tidak terlalu berat tindakan pembedahan dapat ditunda.
Keputusan ini akan semakin kuat bila ternyata ada gangguan pada faktor tuba atau faktor pria
seperti tampak pada gambar 1.
Gambar 1. Algoritma penanganan infertilitas terkait endometriosis (de Ziegler, 2010)
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan diperlukan beberapa verifikasi. Cadangan
ovarium harus diperiksa terlebih dahulu jika nilainya rendah, usia pasien lebih dari 38 tahun atau
durasi infertilitas yang lama maka penjelasan pasien harus mengarah kepada tindakan IVF
sehingga tindakan pembedahan dapat dilewatkan.
Pembedahan tetap harus dipertimbangkan karena manfaatnya sangat besar bagi pasien
endometriosis untuk meningkatkan kemungkinan konsepsi alami. Diharapkan konsepsi alami
terjadi paling lama satu tahun setelah pembedahan. Jika hal ini gagal maka menurut de Ziegler
sebaiknya tindakan selanjutnya adalah IVF. Menurut bagan de Ziegler pada gambar 1 tidak
dianjurkan untuk dilakukan hiperstimulasi ovarium terkontrol yang dilanjutkan dengan
inseminasi karena tidak tepat guna secara ekonomis dan luarannya kurang baik berdasarkan
beberapa metaanalisis.
Bahkan mereka menganjurkan untuk setiap pasien endometriosis di stadium manapun yang
mungkin dilakukan pembedahan bila menghendaki untuk segera hamil semestinya juga
ditawarkan untuk langsung dilakukan IVF tanpa pembedahan dengan pertimbangan rumitnya
penatalaksanaan endometriosis dan kerugian dan ketidaknyamanan pasien yang timbul pada
setiap tindakan yang dipilih.
Pilihan untuk langsung melakukan IVF tanpa pembedahan pada endometriosis ini
sebaiknya tidak dilakukan bila memang ditemukan adanya nyeri pelvis berat, adanya
hidrosalping dan endometrioma yang besar atau bilateral. Pada kasus ini tindakan pembedahan
terlebih dahulu lebih memberikan manfaat dan dilanjutkan dengan IVF.
1. Oral terapi
Meskipun terapi medikamentosa endometriosis terbukti dapat mengurangi rasa nyeri
namun belum ada data yang menyebutkan bahwa pengobatan dapat meningkatkan fertilitas.
Beberapa penelitian acak melaporkan bahwa penggunaan progestin dan agonis GnRH tidak
dapat meningkatkan fertilitas pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang. Penelitian
acak yang dilakukan pada 71 pasien endometriosis derajat ringan sampai sedang melaporkan
laju kehamilan dalam 1-2 tahun sama dengan laju kehamilan bila diberikan agonis GnRH
selama 6 bulan (HIFERI, 2013).
Review sistematik dan meta analisis 16 penelitian acak yang dilakukan pada kelompok
yang menggunakan obat-obatan penekan ovulasi dibandingkan dengan kelompok tanpa
pengobatan atau danazol, melaporkan bahwa pengobatan obat-obatan penekan ovulasi
(medroksi-progesteron, gestrinone, pil kombinasi oral, dan agonis GnRH) pada perempuan
infertilitas yang mengalami endometriosis tidak meningkatkan kehamilan dibandingkan
kelompok tanpa pengobatan (OR 0.74; 95% CI 0.48 to 1.15) atau dengan danazol (OR 1.3;
95% CI 0.97 to 1.76) (HIFERI, 2013).
2. Combined Ovarian Stimulation (COS) dengan atau tanpa Intrauterine Insemination (IUI)
Beberapa RCT menunjukkan tingkat kehamilan secara signifikan lebih tinggi penanganan
dengan COS & IUI dibandingkan tanpa penanganan COS dan IUI. Namun adanya
endometriosis terbukti mengurangi efektivitas pengobatan IUI sekitar setengahnya (OR
0,45), jika dibandingkan dengan perlakuan yang sama pada wanita tanpa adanya
endometriosis. Secara umum, pengobatan berulang dengan COS dan IUI menunjukkan efek
datar atau menetap setelah 3-4 siklus, karena itu pasien harus dinasihati untuk beralih ke IVF
setelah 3-4 siklus.
IUI ditambah gonadotrophin telah terbukti secara signifikan meningkatkan tingkat
kelahiran hidup pada setidaknya dua RCT. Satu RCT melaporkan 29% tingkat kelahiran
hidup dengan IUI dan gonadotrophin dibandingkan 8% dengan tanpa pengobatan. RCT
cross-over menemukan bahwa alternatif penanganan dengan gonadotrophin ditambah IUI
memiliki angka kehamilan 19% dibandingkan 0% dengan IUI saja (Verma, 2012). Pada RCT
cross-over yang lain antara pasien dengan infertilitas yang tidak bisa dijelaskan atau pada
endometriosis yang dikoreksi dengan pembedahan, tingkat kehamilan per siklus secara
signifikan lebih tinggi dengan empat siklus clomiphene citrate / IUI dibandingkan dengan
empat siklus hubungan seks yang dijadwalkan (masing-masing 9,5% vs 3,3%) (ASRM,
2012).
Rekomendasi : Pengobatan dengan IUI meningkatkan angka kesuburan pada endometriosis
minimal - ringan. IUI dengan stimulasi ovarium efektif tetapi peran IUI tanpa stimulasi tidak
pasti (rekomendasi grade A)
3. Assisted Reproduction Techniques (ART)
In Vitro Fertilization (IVF) adalah terapi yang tepat, terutama jika fungsi tuba terganggu,
jika juga ada faktor infertilitas dari laki-laki dan / atau dengan terapi lain gagal (rekomendasi
grade B). Sebuah laporan baru dari hasil in vitro fertilization embrio transfer (IVFET) di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat persalinan pada wanita
infertil berkisar 44,6% pada mereka yang berusia di bawah 35 tahun menjadi 14,9% pada
mereka yang berusia 41 - 42 tahun. Rata-rata angka persalinan untuk semua diagnosis adalah
33,2%, dibandingkan dengan 39,1% pada wanita dengan endometriosis (ASRM, 2012).
Namun, meta-analisis dari penelitian yang dipublikasikan menunjukkan bahwa tingkat
kehamilan IVF lebih rendah pada pasien dengan endometriosis dibandingkan pada mereka
dengan infertilitas karena tuba. Review termasuk 22 studi, yang terdiri dari 2.377 siklus pada
wanita dengan endometriosis dan 4383 pada wanita tanpa penyakit. Setelah disesuaikan
untuk variabel pengganggu, ada 35% pengurangan kesempatan untuk mendapatkan
kehamilan (OR 0.63). Parameter hasil lainnya seperti tingkat fertilisasi, implantasi rate, rata-
rata jumlah oosit yang diambil dan puncak konsentrasi estradiol juga secara signifikan lebih
rendah pada kelompok endometriosis.
Meskipun kedua protokol GnRH antagonis dan GnRH-analog untuk IVF / ICSI sama-
sama efektif dalam hal implantasi dan angka kehamilan secara klinis, GnRH analog lebih
disukai.
Penggunaan jangka lama (3-6 bulan) sebelum IVF pada kelompok pasien dengan proporsi
cukup tinggi untuk diklasifikasikan sebagai endometriosis moderate - severe, menunjukkan
angka kehamilan lebih tinggi (rekomendasi kelas A).
PROGNOSIS
Endometriosis ditemukan dapat menghilang secara spontan pada 1/3 wanita yang tidak
ditatalaksana secara aktif. Manajemen medis (supresi ovulasi) efektif untuk mengurangi nyeri
pelvis tapi tidak efektif untuk pengobatan endometriosis yang berkaitan dengan infertilitas.
Namun, tetap ada potensi untuk konsepsi. Kombinasi estrogen progestin meredakan nyeri hingga
80-85% dari pasien dengan endometriosis yang berkaitan dengan nyeri pelvis. Setelah 6 bulan
terapi danazol, sebesar 90% pasien dengan endoimetriosis sedang mengalami penurunan nyeri
pelvis. Total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy dilaporkan efektif
hingga 90% dalam meredakan nyeri. Kehamilan masih mungkin bergantung pada keparahan
penyakit. Tanda dan gejala secara umum menurun dengan adanya onset menopause dan selama
kehamilan (Kapoor, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
American Society for Reproductive Medicine (ASRM). 2012. Endometriosis and Infertility : a Committe Opinion. Fertility and Sterility. 98(3)
Brown J, Kives S, Akhtar M. 2012.Progestagens and anti-progestagens for pain associated with endometriosis. Cochrane database of systematic reviews (Online). 3:CD002122.
Brown J, Pan A, Hart RJ. 2010. Gonadotrophin-releasing hormone analogues for pain associated with endometriosis. Cochrane database of systematic reviews (Online). (12):CD008475
Cobellis L, Razzi S, Simone SD, Sartini A, Fava A, Danero S, et al. 2004. The treatment with a COX-2 specific inhibitor is effective in the management of pain related to endometriosis. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology.116:100-2.
European Society for Human Reproduction and Embriology (ESHRE). 2013. Management of women with endometriosis.
Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia (HIFERI). 2013. Konsensus Penanganan Infertilitas.
Leyland N, Casper R, Laberge P, Singh SS. 2010. Endometriosis : Diagnosis and Management. SOGC Practice Guideline. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 32(7):S1-S28.
Nassif J, Mattar S, Abu Musa A, Eid A. 2013. Endometriosis and cancer: what do we know? Minerva ginecologica. 65(2):167-79. Epub 2013/04/20.
Nassif J, Trompoukis P, Barata S, Furtado A, Gabriel B, Wattiez A. 2011. Management of deep endometriosis. Reproductive Biomedicine Online.23:25-33.
Pavone ME, Bulun SE. 2012. Aromatase for the treatment of endometriosis. Fertility and Sterility. 98(6):1370-9.
Proctor M, Latthe P, Farquhar C, Khan K, Johnson N. 2010. Surgical interruption of pelvic nerve pathways for primary and secondary dysmenorrhoea. Cochrane Database of Systematic Reviews. (4).
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG). 2006. The investigation and management of endometriosis. Green-top Guideline. 24:1-14.
Schindler AE. 2011. Dienogest in long-term treatment of endometriosis. International journal of women's health.3:175-84.
Schweppe KW. 2009The place of dydrogesterone in the treatment of endometriosis and adenomyosis. Maturitas.65 Suppl 1:S23-7.
Soares SR, Martinez-Varea A, Hidalgo-Mora JJ, Pellicer A. 2012. Pharmacologic therapies in endometriosis: a systematic review. Fertility and Sterility. 98:529-55.
Verma, S. 2012, Evidence linked treatment for endometriosis associated infertility. Apollo medicine. 9(3), pp 184-192.
de Ziegler D, Borghese B, Chapron C. 2010. Endometriosis and infertility: pathophysiology and management. Lancet. 376(9742):730-8.
Kapoor, Dharmesh. Endometriosis. 2015. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/ 271899-overview#a6