tebu akbar saitama

18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tebu adalah salah satu komoditas perkebunan penting yang ditanam untuk bahan baku utama gula. Hingga saat ini, gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia karena disamping sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai sumber kalori yang relatif murah. Berdasarkan penghitungan dari data hasil Susenas, konsumsi gula oleh rumah tangga cenderung mengalami peningkatan. Penurunan konsumsi terjadi pada tahun 1998 sebagai akibat dari tingginya peningkatan harga gula di pasar domestik. Namun periode berikutnya konsumsi gula kembali mengalami peningkatan. Sementara itu dari sisi penawaran, meskipun produksi gula nasional pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 diproyeksikan akan terus meningkat rata- rata sebesar 2,96% per tahun, namun produksi gula dalam negeri diperkirakan baru mampu memenuhi tingkat konsumsi gula rumah tangga, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan industri. Pada tahun 2010 diperkirakan produksi gula sebesar 3,08 juta ton dan 2012 sebesar 3,1 juta ton. Kebutuhan gula oleh rumah tangga pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 2,1 juta ton dan tahun 2012 sebesar 2,3 juta ton. Dengan demikian permintaan oleh rumah tangga masih bias dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun berdasarkan data ketersediaan untuk industri yang diperoleh dari ketersediaan total dikurangi konsumsi rumah tangga diperoleh informasi bahwa rata-rata kebutuhan industri setiap tahunnya berkisar antara 1,6 – 1,7 juta ton. Dengan demikian maka untuk tiga tahun mendatang diperkirakan Indonesia masih membutuhkan impor gula sekitar 700 – 800 ribu ton per tahun. Namun demikian, keragaan ekspor impor gula tidak lepas dari kebijakan pemerintah. 1.2 MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengetahui :

Upload: akbar-saitama-umar

Post on 14-Aug-2015

43 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tebu Akbar Saitama

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tebu adalah salah satu komoditas perkebunan penting yang ditanam untuk

bahan baku utama gula. Hingga saat ini, gula merupakan salah satu komoditas

strategis dalam perekonomian Indonesia karena disamping sebagai salah satu

kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai sumber kalori yang relatif murah.

Berdasarkan penghitungan dari data hasil Susenas, konsumsi gula oleh rumah

tangga cenderung mengalami peningkatan. Penurunan konsumsi terjadi pada

tahun 1998 sebagai akibat dari tingginya peningkatan harga gula di pasar

domestik. Namun periode berikutnya konsumsi gula kembali mengalami

peningkatan.

Sementara itu dari sisi penawaran, meskipun produksi gula nasional pada

tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 diproyeksikan akan terus meningkat rata-

rata sebesar 2,96% per tahun, namun produksi gula dalam negeri diperkirakan

baru mampu memenuhi tingkat konsumsi gula rumah tangga, tetapi belum mampu

memenuhi kebutuhan industri. Pada tahun 2010 diperkirakan produksi gula

sebesar 3,08 juta ton dan 2012 sebesar 3,1 juta ton.

Kebutuhan gula oleh rumah tangga pada tahun 2010 diperkirakan sebesar

2,1 juta ton dan tahun 2012 sebesar 2,3 juta ton. Dengan demikian permintaan

oleh rumah tangga masih bias dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun

berdasarkan data ketersediaan untuk industri yang diperoleh dari ketersediaan

total dikurangi konsumsi rumah tangga diperoleh informasi bahwa rata-rata

kebutuhan industri setiap tahunnya berkisar antara 1,6 – 1,7 juta ton. Dengan

demikian maka untuk tiga tahun mendatang diperkirakan Indonesia masih

membutuhkan impor gula sekitar 700 – 800 ribu ton per tahun. Namun demikian,

keragaan ekspor impor gula tidak lepas dari kebijakan pemerintah.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengetahui :

Page 2: Tebu Akbar Saitama

– Sentra produksi penting dari komoditas tebu dan jumlah

produsen/petani tebu di Indonesia

– Tren tingkat produksi, produktivitas, luas panen/jumlah pohon tebu

dalam 10 tahun terakhir

– Segmentasi pasar, tujuan pasar dalam negeri dan luar negeri

– Perkembangan ekspor/impor dalam 10 tahun terakhir

Page 3: Tebu Akbar Saitama

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu di

Indonesia

Perkembangan luas areal tebu di Indonesia pada periode tahun 1969-2009

cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 123.036 ha pada tahun 1969

menjadi 443.832 ha pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata

sebesar 3,53% per tahun. Namun demikian, pada periode 1997-2003 luas areal

tebu di Indonesia cenderung mengalami penurunan, tetapi tahun berikutnya

kembali mengalami peningkatan. Penurunan luas areal tebu yang cukup tinggi

terjadi pada periode tahun 1997 sebesar 13,36%.

Gambar 8.1. Perkembangan luas areal tebu di Indonesia, 1969–2009

Rata-rata peningkatan luas areal tebu tertinggi terjadi pada dekade 1970-

1979 dengan peningkatan luas areal rata-rata per tahun sebesar 11,31%. Pada

dekade berikutnya hanya mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar

0,63%. Periode 1990-1999, saat terjadi krisis, luas areal tebu mengalami

Page 4: Tebu Akbar Saitama

penurunan rata-rata sebesar 0,25%, tetapi pada dekade terakhir 2000-2009

kembali mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,71% per tahun.

Perkembangan luas areal tebu berdasarkan status pengusahaan pada

periode 1969 – 1979 sebagian besar merupakan kontribusi dari perkebunan besar

negara (PBN) dengan rata-rata kontribusi sebesar 50,21%, diikuti perkebunan

rakyat (PR) sebesar 42,14% dan sisanya merupakan perkebunan besar swasta

(PBS). Tetapi setelah periode tersebut, PR yang justru lebih mendominasi, diikuti

PBN dan PBS. Bahkan pada dekade terakhir, perkebunan besar negara ada

dibawah kontribusi perkebunan besar swasta (Lampiran 8.1).

Pada periode 1980-1989, luas areal PR mampu menyusul dominasi PBN

dengan memberikan kontribusi sebesar 73,81%, sedangkan PBN dan PBS

memberikan kontribusi masing-masing sebesar 20,60% dan 5,59%. Pada dekade

berikutnya yakni tahun 1990-1999 luas areal tebu PR sebesar 63,94% dari

perkebunan tebu nasional, PBN sebesar 23,14% dan PBS naik menjadi 12,15%.

Perkembangan luas areal tebu secara umum untuk setiap status

pengusahaan pada periode 1969-2009 cenderung mengalami peningkatan.

Peningkatan rata-rata tertinggi terjadi pada PBS yaitu sebesar 14,32%.

Selanjutnya diikuti PR dan PBN masing-masing sebesar 5,72% dan 3,30%.

Peningkatan luas areal PBS yang cukup tinggi mampu meningkatkan kontribusi

luas areal tebu pada tahun 1998. Sementara itu luas areal tebu pada PBN sejak

tahun 1991 sudah tidak banyak mengalami peningkatan. Bahkan sejak tahun 2004

sudah berada dibawah luas areal PBS.

Gambar 8.2. Perkembangan luas areal tebu Indonesia

berdasarkan status pengusahaan, 1969 – 2009

Page 5: Tebu Akbar Saitama

Produktivitas tebu nasional diukur dalam wujud produksi gula hablur.

Perkembangan produktivitas tebu nasional pada kurun waktu 1969–2009 secara

umum terus berfluktuasi. Pada tahun 1969–1979 produktivitas tebu cenderung

mengalami penurunan, tetapi pada periode 1980–1987 cenderung mengalami

peningkatan. Pada periode berikutnya yakni tahun 1988–1998 kembali cenderung

menurun dan pada periode 1999–2009 cenderung mengalami peningkatan

(Gambar 8.3).

Gambar 8.3. Perkembangan produktivitas tebu di Indonesia, 1969 – 2009

Rata-rata produktivitas tebu nasional pada periode 1969–1979 sebesar

6,38 ton/ha gula hablur dengan rata-rata pertumbuhan turun sebesar 5,21%. Untuk

kurun waktu 1980–1989, rata-rata produktivitas sebesar 5,21 ton/ha dengan

pertumbuhan sebesar 6,35%. Untuk periode 1990 – 1999 rata-rata pertumbuhan

produktivitas turun sebesar 1,98% dengan produktivitas rata-rata sebesar 5,20

ton/ha dan pada periode 2000 – 2009 rata-rata produktivitas tebu nasional sebesar

5,61 ton/ha dengan rata-rata pertumbuhan naik sebesar 4,19%. Secara umum pada

kurun waktu 1969 – 2009 rata-rata produktivitas tebu nasional sebesar 5,62 ton/ha

dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,84% (Lampiran 8.2).

Page 6: Tebu Akbar Saitama

Perkembangan produktivitas tebu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan,

1969 – 2009

Berdasarkan status pengusahaannya, selama kurun waktu 1969 – 2009

tebu PR memiliki rata-rata produktivitas terendah yaitu sebesar 4,94 ton/ha dalam

wujud gula hablur. Sementara di PBS mencapai 7,08 ton/ha dan PBN sebesar 5,58

ton/ha.

Gambar 8.4. Perkembangan produktivitas tebu di Indonesia

berdasarkan status pengusahaan, 1969 - 2009

Page 7: Tebu Akbar Saitama

Gambar 8.5. Perkembangan produksi gula hablur di Indonesia, 1969 – 2009

Produksi tebu nasional dihitung dalam wujud produksi gula hablur.

Perkembangan produksi gula hablur di Indonesia pada periode tahun 1969 – 2009

cenderung mengalami peningkatan walaupun sempat mengalami guncangan

berupa penurunan produksi pada tahun 1998 dan 1999. Hal tersebut lebih banyak

disebabkan menurunnya luas areal pada periode tersebut dan tak kunjung

meningkatnya produktivitas tebu. Namun demikian, setelah periode tersebut

produksi tebu mulai membaik dan sedikit demi sedikit mengalami peningkatan

seiring dengan peningkatan luas areal dan produktivitasnya.

Gambar 8.6. Perkembangan produksi gula hablur

berdasarkan status pengusahaan, 1969 – 2009

Seperti halnya produksi tebu nasional, perkembangan produksi gula hablur

menurut pengusahaan dari tahun 1969 sampai dengan 2009 juga cenderung

mengalami peningkatan, khususnya untuk PBS (Gambar 8.6). Produksi gula

Page 8: Tebu Akbar Saitama

hablur PR cenderung mengalami peningkatan, khususnya pada periode 1969 –

1994. Setelah periode tersebut, produksi gula hablur yang berasal dari PR sedikit

mengalami penurunan. Walaupun demikian, sejak tahun 2000 produksi gula

hablur dari PR mulai bergerak naik meski secara perlahan. Sedangkan produksi

gula hablur yang berasal dari PBN sejak tahun 1979 sampai sekarang cenderung

stagnan dan tidak mengalami perkembangan yang signifikan.

Padahal pada periode 1969 – 1978 produksi gula hablur yang berasal dari

PBN memberi kontribusi yang dominan bahkan lebih tinggi dari PR. Pada periode

1969 – 1978 seperti yang disebutkan sebelumnya, produksi gula hablur dari PBN

mendominasi produksi nasional. Namun pada tahun berikutnya seiring dengan

menurunnya produksi gula hablur dari PBN dan meningkatnya PR maka produksi

tebu dari PBN mampu dilampaui PR. Bahkan sejak tahun 1999 – 2009 sudah

dilampaui oleh produksi tebu dari PBS yang saat ini menempati urutan kedua

setelah PR (Lampiran 8.3).

Tabel 8.2. Perkembangan rata-rata produksi gula hablur di Indonesia berdasarkan

status pengusahaan, 1969 – 2009

Berdasarkan angka rata-rata produksi gula hablur PR per provinsi periode

2006 - 2010 terdapat 8 (delapan) provinsi yang menghasilkan gula hablur bagi

produksi nasional. Jawa Timur merupakan penyumbang produksi tebu PR terbesar

yaitu sebesar 72,57%, disusul oleh Jawa Tengah dan Lampung yang masing-

Page 9: Tebu Akbar Saitama

masing berkontribusi sebesar 16,90% dan 4,60%. Jawa Barat mempunyai

kontribusi sebesar 3,95%, disusul DI Yogyakarta sebesar 1,34%. Sedangkan

provinsi lainnya yakni Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan

hanya menyumbang masing-masing kurang dari 1,00% (Lampiran 8.4).

Gambar 8.7. Provinsi sentra produksi tebu Perkebunan Rakyat, 2006-2010

Berdasarkan produksi gula hablur nasional, meskipun Jawa Timur masih

merupakan penyumbang produksi nasional terbesar tetapi kontribusinya hanya

sebesar 45,87%. Provinsi Lampung yang produksi gula hablur di PR berada di

peringkat ketiga (4,60%), tetapi secara nasional berada peringkat kedua dengan

kontribusi produksi gula hablur nasional sebesar 32,78%. Disusul oleh Jawa

Tengah dan Jawa Barat, yang masing-masing berkontribusi bagi produksi gula

hablur nasional sebesar 9,79% dan 4,37%. Provinsi lainnya masing-masing hanya

menyumbang kurang dari 3,00%.

Page 10: Tebu Akbar Saitama

Gambar 8.8. Provinsi sentra produksi tebu Nasional, 2009

2.2. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia

Konsumsi gula nasional oleh rumah tangga per tahun dihitung berdasarkan

konsumsi gula per kapita per minggu dari data hasil Susenas BPS dikalikan

dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan. Mengingat bahwa Susenas

pada tahun-tahun sebelumnya tidak dilakukan setiap tahun maka pada periode

yang tidak dilakukan survei, terlebih dahulu dilakukan estimasi.

Dari hasil perhitungan tersebut, konsumsi rumah tangga per tahun untuk

komoditas gula pada tahun 1990 sebesar 1,41 juta ton yang secara beruntun terus

meningkat menjadi 1,73 juta ton pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1997,

konsumsi gula oleh rumah tangga berkurang menjadi 1,72 juta ton dan berturut-

turut menurun menjadi 1,71 juta ton dan 1,67 juta ton pada tahun 1998 dan 1999.

Penurunan tersebut disebabkan turunnya jumlah konsumsi perkapita yang

diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan harga gula di pasar domestik pada

tahun 1998.

Jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga kembali naik pada tahun 2000-

2002, tetapi setelah periode tersebut jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga

cenderung stabil pada kisaran 1,94 - 1,96 juta ton per tahun sampai dengan tahun

2006. Pada tahun 2007 konsumsi gula oleh rumah tangga juga mengalami inilah

yang mengakibatkan harga gula di dalam negeri pada saat itu meningkat pesat.

Gambar 8.10. Perkembangan harga gula pasir dalam negeri, 1997-2009

2.3. Perkembangan Ekspor Impor Gula Indonesia

Page 11: Tebu Akbar Saitama

Gambar 8.11 menyajikan perkembangan volume ekspor dan impor gula

Indonesia pada periode tahun 1969 – 2009 dalam bentuk molase dan dalam

bentuk gula hablur.

Gambar 8.11. Perkembangan volume ekspor dan impor gula di Indonesia, 1969–

2009

Masa surplus volume ekspor impor gula di Indonesia terjadi antara tahun

1969 – 1975 dan 1983 – 1994. Untuk periode lainnya, Indonesia selalu mengalami

defisit volume ekspor-impor. Bahkan pada tahun 1996 – 2007 defisit neraca

perdagangan gula Indonesia semakin besar dengan semakin banyaknya gula

impor di pasaran domestik. Melalui kebijakan pembatasan impor gula, pada tahun

2008 impor gula sudah mulai berkurang. Kebijakan pemerintah dengan

memperketat impor gula mampu mengurangi impor gula nasional. Namun seiring

dengan berkurangnya stok gula pada awal tahun maka dikeluarkan kebijakan

penurunan bea masuk gula melalui Peraturan Menteri Keuangan No.

150/PMK.011/2009 pada tanggal 24 September 2009 yang bertujuan

meningkatkan volume impor sehingga pada tahun 2009, impor gula kembali

mengalami peningkatan (Purna, Ibnu et all. 2009).

Neraca perdagangan komoditas gula Indonesia (dalam bentuk molase dan

hablur) dari tahun ke tahun sejak 1969 hingga 2009 terus mengalami defisit

dengan pola berfluktuasi. Defisit neraca perdagangan tertinggi terjadi pada tahun

2007 hingga mencapai US$ 999,62 juta. Pada tahun 2008 melalui kebijakan

pemerintah terhadap impor gula, maka defisit neraca perdagangan gula sudah

mampu ditekan. Namun pada tahun 2009, defisit perdagangan kembali melebar

setelah dikeluarkannya penurunan bea masuk untuk impor gula (Lampiran 8.5).

Page 12: Tebu Akbar Saitama

2.4. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu Dunia

Perkembangan luas areal tebu dunia pada periode tahun 1970 – 2008

cenderung terus mengalami peningkatan meskipun pada tahun-tahun tertentu

terjadi penurunan (Gambar 8.12). Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1993

yaitu sebesar 4,73% dari 18,15 juta ha menjadi 17,29 juta ha. Rata-rata laju

pertumbuhan luas areal tebu dunia sejak tahun 1970 – 2008 adalah sebesar 2,14%.

Berdasarkan data dari FAO, total luas areal tebu dunia pada tahun 2008 mencapai

angka 18,57 juta ha. Luas areal tertinggi pada kurun waktu tersebut terjadi pada

tahun 2003 yaitu sebesar 24,37 juta ha (Lampiran 8.6).

Gambar 8.12. Perkembangan luas areal tebu dunia, 1970 – 2008

Laju pertumbuhan produktivitas tebu dunia (dalam bentuk tebu) dari tahun

1970 hingga 2008 terus mengalami peningkatan, walaupun ada beberapa

penurunan tetapi terlalu tinggi (Gambar 8.13). Laju pertumbuhan produktivitas

tebu dunia selama periode tersebut adalah sebesar 0,73%. Menurut data dari FAO,

produktivitas tebu dunia pada tahun 2008 mencapai 71,51 ton/ha dalam wujud

tebu. Peningkatan produktivitas tebu dunia yang cukup tinggi terjadi pada tahun

2007 yakni sebesar 4,00% (Lampiran 8.6).

Page 13: Tebu Akbar Saitama

Gambar 8.13. Perkembangan produktivitas tebu dunia, 1970 – 2008

Berdasarkan data rata-rata luas areal tebu periode 2004 - 2008 dari FAO,

Brazil merupakan negara yang memiliki rata-rata luas areal tebu tahun 2004 -

2008 terbesar di dunia yakni sebesar 6,60 juta ha atau 30,39% dari total luas areal

tebu dunia. Urutan kedua adalah India dengan luas areal tebu rata-rata mencapai

4,40 juta ha (20,26%). Selanjutnya China menempati urutan ketiga dengan luas

areal mencapai 1,49 juta ha (6,86%), dan urutan berikutnya ditempati oleh

Pakistan dengan luas areal mencapai 1,04 juta ha, kemudian disusul oleh Thailand

dengan luas areal sebesar 1,04 juta ha (Gambar 8.15). Sementara itu, Indonesia

berada pada posisi 11 dibawah Meksiko, Kuba, Afrika Selatan, Australia dan

Kolombia yang menempati posisi 6 sampai 10. Luas areal tebu beberapa negara di

dunia secara rinci disajikan pada Lampiran 8.7.

Gambar 8.15. Negara dengan luas areal tebu terbesar di dunia, 2004 – 2008

Page 14: Tebu Akbar Saitama

Berdasarkan data produksi tebu rata-rata selama 5 tahun terakhir (2004-

2008), Brazil merupakan negara produsen tebu terbesar di dunia, dengan produksi

mencapai 502,84 juta ton (dalam bentuk tebu) atau sebesar 33,76% dari produksi

dunia. Urutan kedua ditempati oleh India dengan produksi tebu mencapai 291,17

juta ton (19,55%). China menempati urutan ke-3 dengan rata-rata produksi tebu 5

tahun terakhir sebesar 102,12 juta ton (6,86%). Urutan keempat dan kelima

ditempati oleh Thailand dan Pakistan. Sementara itu Indonesia berada pada urutan

ke-10 dunia dengan produksi tebu 27,31 juta ton. Produksi tebu di beberapa

negara di dunia secara rinci disajikan pada Lampiran 8.8.

Gambar 8.16. Negara produsen tebu terbesar dunia, 2004 – 2008

2.5. Proyeksi Penawaran Gula 2010-2012

Perilaku penawaran dari suatu komoditas dicerminkan oleh respon atau

keputusan produsen terhadap mekanisme pasar dan pengaruh faktor non pasar,

yang dalam hal ini direpresentasikan oleh produksi. Sedangkan perilaku

penawaran komoditas pertanian dicerminkan oleh pengaruh harga pasar dan

kekuatan non harga (teknologi, kondisi krisis, dan sebagainya) terhadap keputusan

petani dalam memproduksi komoditas yang dihasilkan (Syafa’at et al, 2005).

Hasil estimasi perilaku penawaran gula dengan menggunakan data time

series menunjukkan bahwa produksi gula dipengaruhi oleh peubah-peubah luas

areal tanam, harga gula dalam negeri dan harga gula ekspor periode sebelumnya

dengan koefisien determinasi (R2) = 0,782 (Tabel 8.4). Ini berarti bahwa 78,2%

Page 15: Tebu Akbar Saitama

variasi areal tanam tebu dapat dijelaskan oleh variasi peubah-peubah yang

digunakan dalam model.

Tabel 8.3. Hasil proyeksi fungsi penawaran gula di Indonesia

Berdasarkan hasil analisis fungsi tersebut, produksi gula pada tahun 2010

diproyeksikan akan meningkat menjadi 3,08 juta ton dan menjadi 3,10 juta ton

pada tahun 2012. Rata-rata peningkatan produksi gula nasional diperkirakan

hanya sebesar 2,96%. Proyeksi produksi gula nasional disajikan pada Tabel 8.4.

Tabel 8.4. Proyeksi produksi gula Indonesia, 2010 – 2012

2.6. Proyeksi Permintaan Gula 2010-2012

Hasil proyeksi perilaku permintaan gula untuk konsumsi rumah tangga

dengan menggunakan data time series hasil Susenas, BPS dikalikan dengan

jumlah penduduk menunjukkan bahwa konsumsi gula hanya dipengaruhi oleh tren

(tahun) dengan koefisien determinasi (R2) = 0,932. Hal itu juga berarti faktor

utama yang mempengaruhi jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga adalah

pertambahan jumlah penduduk. Nilai koefisien determinasi 0,932 menunjukkan

bahwa 93,2% variasi permintaan gula dapat dijelaskan oleh variasi peubah yang

digunakan dalam model.

Page 16: Tebu Akbar Saitama

Tabel 8.5. Hasil proyeksi fungsi permintaan gula di Indonesia

Berdasarkan hasil analisis fungsi tersebut, permintaan gula untuk

konsumsi rumah tangga pada tahun 2010 diproyeksikan akan meningkat menjadi

2,18 juta ton dan mencapai 2,26 juta ton pada 2012. Rata-rata peningkatan

permintaan gula nasional diperkirakan sebesar 1,75%. Peningkatan permintaan

gula hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan dari hasil

analisis tidak dipengaruhi oleh harga gula dalam negeri maupun gula impor.

Proyeksi permintaan gula nasional secara rinci disajikan pada Tabel 8.6.

Tabel 8.6. Proyeksi permintaan gula Indonesia, 2010-2012

2.7. Proyeksi Surplus/ Defisit Gula

Page 17: Tebu Akbar Saitama

Gambar 8.17. Perkembangan penawaran dan permintaan gula Indonesia, 1990-

2012

Perhitungan surplus/defisit gula diperoleh dari produksi dikurangi dengan

konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2010 diperkirakan produksi gula nasional

masih mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga dan mengalami surplus sebesar

898.505 ton. Demikian pula pada tahun 2011 mengalami surplus sebesar 801.733

ton dan pada tahun 2012 mengalami surplus sebesar 845.933 ton (Tabel 8.7).

Tabel 8.7. Proyeksi surplus/defisit gula Indonesia, 2010 – 2012

Kelebihan/surplus penawaran ini hanya berlaku apabila tidak ada

kebutuhan gula untuk industri. Dalam hal ini artinya Indonesia sudah swasembada

gula untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Hanya saja apabila dilihat dari

ketersediaan untuk industri rata-rata selama 5 tahun terakhir, kebutuhan gula

untuk industri setiap tahunnya berkisar antara 1,6 – 1,7 juta ton, sehingga

Indonesia selama 3 tahun ke depan Indonesia masih membutuhkan impor gula

antara 700.000 – 800.000 ton setiap tahun.

Page 18: Tebu Akbar Saitama

DAFTAR PUSTAKA

http://www.deptan.go.id/pusdatin/admin/PUB/Outlook/outlook_komoditas_bun.p

df

Purna, Ibnu et all. 2009. Kebijakan HPP Beras dan Penurunan Bea Masuk Impor Gula. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task= view&id=4082&Itemid=29 [terhubung berkala].