tebu akbar saitama
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tebu adalah salah satu komoditas perkebunan penting yang ditanam untuk
bahan baku utama gula. Hingga saat ini, gula merupakan salah satu komoditas
strategis dalam perekonomian Indonesia karena disamping sebagai salah satu
kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai sumber kalori yang relatif murah.
Berdasarkan penghitungan dari data hasil Susenas, konsumsi gula oleh rumah
tangga cenderung mengalami peningkatan. Penurunan konsumsi terjadi pada
tahun 1998 sebagai akibat dari tingginya peningkatan harga gula di pasar
domestik. Namun periode berikutnya konsumsi gula kembali mengalami
peningkatan.
Sementara itu dari sisi penawaran, meskipun produksi gula nasional pada
tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 diproyeksikan akan terus meningkat rata-
rata sebesar 2,96% per tahun, namun produksi gula dalam negeri diperkirakan
baru mampu memenuhi tingkat konsumsi gula rumah tangga, tetapi belum mampu
memenuhi kebutuhan industri. Pada tahun 2010 diperkirakan produksi gula
sebesar 3,08 juta ton dan 2012 sebesar 3,1 juta ton.
Kebutuhan gula oleh rumah tangga pada tahun 2010 diperkirakan sebesar
2,1 juta ton dan tahun 2012 sebesar 2,3 juta ton. Dengan demikian permintaan
oleh rumah tangga masih bias dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun
berdasarkan data ketersediaan untuk industri yang diperoleh dari ketersediaan
total dikurangi konsumsi rumah tangga diperoleh informasi bahwa rata-rata
kebutuhan industri setiap tahunnya berkisar antara 1,6 – 1,7 juta ton. Dengan
demikian maka untuk tiga tahun mendatang diperkirakan Indonesia masih
membutuhkan impor gula sekitar 700 – 800 ribu ton per tahun. Namun demikian,
keragaan ekspor impor gula tidak lepas dari kebijakan pemerintah.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengetahui :
– Sentra produksi penting dari komoditas tebu dan jumlah
produsen/petani tebu di Indonesia
– Tren tingkat produksi, produktivitas, luas panen/jumlah pohon tebu
dalam 10 tahun terakhir
– Segmentasi pasar, tujuan pasar dalam negeri dan luar negeri
– Perkembangan ekspor/impor dalam 10 tahun terakhir
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu di
Indonesia
Perkembangan luas areal tebu di Indonesia pada periode tahun 1969-2009
cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 123.036 ha pada tahun 1969
menjadi 443.832 ha pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 3,53% per tahun. Namun demikian, pada periode 1997-2003 luas areal
tebu di Indonesia cenderung mengalami penurunan, tetapi tahun berikutnya
kembali mengalami peningkatan. Penurunan luas areal tebu yang cukup tinggi
terjadi pada periode tahun 1997 sebesar 13,36%.
Gambar 8.1. Perkembangan luas areal tebu di Indonesia, 1969–2009
Rata-rata peningkatan luas areal tebu tertinggi terjadi pada dekade 1970-
1979 dengan peningkatan luas areal rata-rata per tahun sebesar 11,31%. Pada
dekade berikutnya hanya mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar
0,63%. Periode 1990-1999, saat terjadi krisis, luas areal tebu mengalami
penurunan rata-rata sebesar 0,25%, tetapi pada dekade terakhir 2000-2009
kembali mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,71% per tahun.
Perkembangan luas areal tebu berdasarkan status pengusahaan pada
periode 1969 – 1979 sebagian besar merupakan kontribusi dari perkebunan besar
negara (PBN) dengan rata-rata kontribusi sebesar 50,21%, diikuti perkebunan
rakyat (PR) sebesar 42,14% dan sisanya merupakan perkebunan besar swasta
(PBS). Tetapi setelah periode tersebut, PR yang justru lebih mendominasi, diikuti
PBN dan PBS. Bahkan pada dekade terakhir, perkebunan besar negara ada
dibawah kontribusi perkebunan besar swasta (Lampiran 8.1).
Pada periode 1980-1989, luas areal PR mampu menyusul dominasi PBN
dengan memberikan kontribusi sebesar 73,81%, sedangkan PBN dan PBS
memberikan kontribusi masing-masing sebesar 20,60% dan 5,59%. Pada dekade
berikutnya yakni tahun 1990-1999 luas areal tebu PR sebesar 63,94% dari
perkebunan tebu nasional, PBN sebesar 23,14% dan PBS naik menjadi 12,15%.
Perkembangan luas areal tebu secara umum untuk setiap status
pengusahaan pada periode 1969-2009 cenderung mengalami peningkatan.
Peningkatan rata-rata tertinggi terjadi pada PBS yaitu sebesar 14,32%.
Selanjutnya diikuti PR dan PBN masing-masing sebesar 5,72% dan 3,30%.
Peningkatan luas areal PBS yang cukup tinggi mampu meningkatkan kontribusi
luas areal tebu pada tahun 1998. Sementara itu luas areal tebu pada PBN sejak
tahun 1991 sudah tidak banyak mengalami peningkatan. Bahkan sejak tahun 2004
sudah berada dibawah luas areal PBS.
Gambar 8.2. Perkembangan luas areal tebu Indonesia
berdasarkan status pengusahaan, 1969 – 2009
Produktivitas tebu nasional diukur dalam wujud produksi gula hablur.
Perkembangan produktivitas tebu nasional pada kurun waktu 1969–2009 secara
umum terus berfluktuasi. Pada tahun 1969–1979 produktivitas tebu cenderung
mengalami penurunan, tetapi pada periode 1980–1987 cenderung mengalami
peningkatan. Pada periode berikutnya yakni tahun 1988–1998 kembali cenderung
menurun dan pada periode 1999–2009 cenderung mengalami peningkatan
(Gambar 8.3).
Gambar 8.3. Perkembangan produktivitas tebu di Indonesia, 1969 – 2009
Rata-rata produktivitas tebu nasional pada periode 1969–1979 sebesar
6,38 ton/ha gula hablur dengan rata-rata pertumbuhan turun sebesar 5,21%. Untuk
kurun waktu 1980–1989, rata-rata produktivitas sebesar 5,21 ton/ha dengan
pertumbuhan sebesar 6,35%. Untuk periode 1990 – 1999 rata-rata pertumbuhan
produktivitas turun sebesar 1,98% dengan produktivitas rata-rata sebesar 5,20
ton/ha dan pada periode 2000 – 2009 rata-rata produktivitas tebu nasional sebesar
5,61 ton/ha dengan rata-rata pertumbuhan naik sebesar 4,19%. Secara umum pada
kurun waktu 1969 – 2009 rata-rata produktivitas tebu nasional sebesar 5,62 ton/ha
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,84% (Lampiran 8.2).
Perkembangan produktivitas tebu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan,
1969 – 2009
Berdasarkan status pengusahaannya, selama kurun waktu 1969 – 2009
tebu PR memiliki rata-rata produktivitas terendah yaitu sebesar 4,94 ton/ha dalam
wujud gula hablur. Sementara di PBS mencapai 7,08 ton/ha dan PBN sebesar 5,58
ton/ha.
Gambar 8.4. Perkembangan produktivitas tebu di Indonesia
berdasarkan status pengusahaan, 1969 - 2009
Gambar 8.5. Perkembangan produksi gula hablur di Indonesia, 1969 – 2009
Produksi tebu nasional dihitung dalam wujud produksi gula hablur.
Perkembangan produksi gula hablur di Indonesia pada periode tahun 1969 – 2009
cenderung mengalami peningkatan walaupun sempat mengalami guncangan
berupa penurunan produksi pada tahun 1998 dan 1999. Hal tersebut lebih banyak
disebabkan menurunnya luas areal pada periode tersebut dan tak kunjung
meningkatnya produktivitas tebu. Namun demikian, setelah periode tersebut
produksi tebu mulai membaik dan sedikit demi sedikit mengalami peningkatan
seiring dengan peningkatan luas areal dan produktivitasnya.
Gambar 8.6. Perkembangan produksi gula hablur
berdasarkan status pengusahaan, 1969 – 2009
Seperti halnya produksi tebu nasional, perkembangan produksi gula hablur
menurut pengusahaan dari tahun 1969 sampai dengan 2009 juga cenderung
mengalami peningkatan, khususnya untuk PBS (Gambar 8.6). Produksi gula
hablur PR cenderung mengalami peningkatan, khususnya pada periode 1969 –
1994. Setelah periode tersebut, produksi gula hablur yang berasal dari PR sedikit
mengalami penurunan. Walaupun demikian, sejak tahun 2000 produksi gula
hablur dari PR mulai bergerak naik meski secara perlahan. Sedangkan produksi
gula hablur yang berasal dari PBN sejak tahun 1979 sampai sekarang cenderung
stagnan dan tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Padahal pada periode 1969 – 1978 produksi gula hablur yang berasal dari
PBN memberi kontribusi yang dominan bahkan lebih tinggi dari PR. Pada periode
1969 – 1978 seperti yang disebutkan sebelumnya, produksi gula hablur dari PBN
mendominasi produksi nasional. Namun pada tahun berikutnya seiring dengan
menurunnya produksi gula hablur dari PBN dan meningkatnya PR maka produksi
tebu dari PBN mampu dilampaui PR. Bahkan sejak tahun 1999 – 2009 sudah
dilampaui oleh produksi tebu dari PBS yang saat ini menempati urutan kedua
setelah PR (Lampiran 8.3).
Tabel 8.2. Perkembangan rata-rata produksi gula hablur di Indonesia berdasarkan
status pengusahaan, 1969 – 2009
Berdasarkan angka rata-rata produksi gula hablur PR per provinsi periode
2006 - 2010 terdapat 8 (delapan) provinsi yang menghasilkan gula hablur bagi
produksi nasional. Jawa Timur merupakan penyumbang produksi tebu PR terbesar
yaitu sebesar 72,57%, disusul oleh Jawa Tengah dan Lampung yang masing-
masing berkontribusi sebesar 16,90% dan 4,60%. Jawa Barat mempunyai
kontribusi sebesar 3,95%, disusul DI Yogyakarta sebesar 1,34%. Sedangkan
provinsi lainnya yakni Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan
hanya menyumbang masing-masing kurang dari 1,00% (Lampiran 8.4).
Gambar 8.7. Provinsi sentra produksi tebu Perkebunan Rakyat, 2006-2010
Berdasarkan produksi gula hablur nasional, meskipun Jawa Timur masih
merupakan penyumbang produksi nasional terbesar tetapi kontribusinya hanya
sebesar 45,87%. Provinsi Lampung yang produksi gula hablur di PR berada di
peringkat ketiga (4,60%), tetapi secara nasional berada peringkat kedua dengan
kontribusi produksi gula hablur nasional sebesar 32,78%. Disusul oleh Jawa
Tengah dan Jawa Barat, yang masing-masing berkontribusi bagi produksi gula
hablur nasional sebesar 9,79% dan 4,37%. Provinsi lainnya masing-masing hanya
menyumbang kurang dari 3,00%.
Gambar 8.8. Provinsi sentra produksi tebu Nasional, 2009
2.2. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia
Konsumsi gula nasional oleh rumah tangga per tahun dihitung berdasarkan
konsumsi gula per kapita per minggu dari data hasil Susenas BPS dikalikan
dengan jumlah penduduk pada tahun bersangkutan. Mengingat bahwa Susenas
pada tahun-tahun sebelumnya tidak dilakukan setiap tahun maka pada periode
yang tidak dilakukan survei, terlebih dahulu dilakukan estimasi.
Dari hasil perhitungan tersebut, konsumsi rumah tangga per tahun untuk
komoditas gula pada tahun 1990 sebesar 1,41 juta ton yang secara beruntun terus
meningkat menjadi 1,73 juta ton pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1997,
konsumsi gula oleh rumah tangga berkurang menjadi 1,72 juta ton dan berturut-
turut menurun menjadi 1,71 juta ton dan 1,67 juta ton pada tahun 1998 dan 1999.
Penurunan tersebut disebabkan turunnya jumlah konsumsi perkapita yang
diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan harga gula di pasar domestik pada
tahun 1998.
Jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga kembali naik pada tahun 2000-
2002, tetapi setelah periode tersebut jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga
cenderung stabil pada kisaran 1,94 - 1,96 juta ton per tahun sampai dengan tahun
2006. Pada tahun 2007 konsumsi gula oleh rumah tangga juga mengalami inilah
yang mengakibatkan harga gula di dalam negeri pada saat itu meningkat pesat.
Gambar 8.10. Perkembangan harga gula pasir dalam negeri, 1997-2009
2.3. Perkembangan Ekspor Impor Gula Indonesia
Gambar 8.11 menyajikan perkembangan volume ekspor dan impor gula
Indonesia pada periode tahun 1969 – 2009 dalam bentuk molase dan dalam
bentuk gula hablur.
Gambar 8.11. Perkembangan volume ekspor dan impor gula di Indonesia, 1969–
2009
Masa surplus volume ekspor impor gula di Indonesia terjadi antara tahun
1969 – 1975 dan 1983 – 1994. Untuk periode lainnya, Indonesia selalu mengalami
defisit volume ekspor-impor. Bahkan pada tahun 1996 – 2007 defisit neraca
perdagangan gula Indonesia semakin besar dengan semakin banyaknya gula
impor di pasaran domestik. Melalui kebijakan pembatasan impor gula, pada tahun
2008 impor gula sudah mulai berkurang. Kebijakan pemerintah dengan
memperketat impor gula mampu mengurangi impor gula nasional. Namun seiring
dengan berkurangnya stok gula pada awal tahun maka dikeluarkan kebijakan
penurunan bea masuk gula melalui Peraturan Menteri Keuangan No.
150/PMK.011/2009 pada tanggal 24 September 2009 yang bertujuan
meningkatkan volume impor sehingga pada tahun 2009, impor gula kembali
mengalami peningkatan (Purna, Ibnu et all. 2009).
Neraca perdagangan komoditas gula Indonesia (dalam bentuk molase dan
hablur) dari tahun ke tahun sejak 1969 hingga 2009 terus mengalami defisit
dengan pola berfluktuasi. Defisit neraca perdagangan tertinggi terjadi pada tahun
2007 hingga mencapai US$ 999,62 juta. Pada tahun 2008 melalui kebijakan
pemerintah terhadap impor gula, maka defisit neraca perdagangan gula sudah
mampu ditekan. Namun pada tahun 2009, defisit perdagangan kembali melebar
setelah dikeluarkannya penurunan bea masuk untuk impor gula (Lampiran 8.5).
2.4. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas dan Produksi Tebu Dunia
Perkembangan luas areal tebu dunia pada periode tahun 1970 – 2008
cenderung terus mengalami peningkatan meskipun pada tahun-tahun tertentu
terjadi penurunan (Gambar 8.12). Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 1993
yaitu sebesar 4,73% dari 18,15 juta ha menjadi 17,29 juta ha. Rata-rata laju
pertumbuhan luas areal tebu dunia sejak tahun 1970 – 2008 adalah sebesar 2,14%.
Berdasarkan data dari FAO, total luas areal tebu dunia pada tahun 2008 mencapai
angka 18,57 juta ha. Luas areal tertinggi pada kurun waktu tersebut terjadi pada
tahun 2003 yaitu sebesar 24,37 juta ha (Lampiran 8.6).
Gambar 8.12. Perkembangan luas areal tebu dunia, 1970 – 2008
Laju pertumbuhan produktivitas tebu dunia (dalam bentuk tebu) dari tahun
1970 hingga 2008 terus mengalami peningkatan, walaupun ada beberapa
penurunan tetapi terlalu tinggi (Gambar 8.13). Laju pertumbuhan produktivitas
tebu dunia selama periode tersebut adalah sebesar 0,73%. Menurut data dari FAO,
produktivitas tebu dunia pada tahun 2008 mencapai 71,51 ton/ha dalam wujud
tebu. Peningkatan produktivitas tebu dunia yang cukup tinggi terjadi pada tahun
2007 yakni sebesar 4,00% (Lampiran 8.6).
Gambar 8.13. Perkembangan produktivitas tebu dunia, 1970 – 2008
Berdasarkan data rata-rata luas areal tebu periode 2004 - 2008 dari FAO,
Brazil merupakan negara yang memiliki rata-rata luas areal tebu tahun 2004 -
2008 terbesar di dunia yakni sebesar 6,60 juta ha atau 30,39% dari total luas areal
tebu dunia. Urutan kedua adalah India dengan luas areal tebu rata-rata mencapai
4,40 juta ha (20,26%). Selanjutnya China menempati urutan ketiga dengan luas
areal mencapai 1,49 juta ha (6,86%), dan urutan berikutnya ditempati oleh
Pakistan dengan luas areal mencapai 1,04 juta ha, kemudian disusul oleh Thailand
dengan luas areal sebesar 1,04 juta ha (Gambar 8.15). Sementara itu, Indonesia
berada pada posisi 11 dibawah Meksiko, Kuba, Afrika Selatan, Australia dan
Kolombia yang menempati posisi 6 sampai 10. Luas areal tebu beberapa negara di
dunia secara rinci disajikan pada Lampiran 8.7.
Gambar 8.15. Negara dengan luas areal tebu terbesar di dunia, 2004 – 2008
Berdasarkan data produksi tebu rata-rata selama 5 tahun terakhir (2004-
2008), Brazil merupakan negara produsen tebu terbesar di dunia, dengan produksi
mencapai 502,84 juta ton (dalam bentuk tebu) atau sebesar 33,76% dari produksi
dunia. Urutan kedua ditempati oleh India dengan produksi tebu mencapai 291,17
juta ton (19,55%). China menempati urutan ke-3 dengan rata-rata produksi tebu 5
tahun terakhir sebesar 102,12 juta ton (6,86%). Urutan keempat dan kelima
ditempati oleh Thailand dan Pakistan. Sementara itu Indonesia berada pada urutan
ke-10 dunia dengan produksi tebu 27,31 juta ton. Produksi tebu di beberapa
negara di dunia secara rinci disajikan pada Lampiran 8.8.
Gambar 8.16. Negara produsen tebu terbesar dunia, 2004 – 2008
2.5. Proyeksi Penawaran Gula 2010-2012
Perilaku penawaran dari suatu komoditas dicerminkan oleh respon atau
keputusan produsen terhadap mekanisme pasar dan pengaruh faktor non pasar,
yang dalam hal ini direpresentasikan oleh produksi. Sedangkan perilaku
penawaran komoditas pertanian dicerminkan oleh pengaruh harga pasar dan
kekuatan non harga (teknologi, kondisi krisis, dan sebagainya) terhadap keputusan
petani dalam memproduksi komoditas yang dihasilkan (Syafa’at et al, 2005).
Hasil estimasi perilaku penawaran gula dengan menggunakan data time
series menunjukkan bahwa produksi gula dipengaruhi oleh peubah-peubah luas
areal tanam, harga gula dalam negeri dan harga gula ekspor periode sebelumnya
dengan koefisien determinasi (R2) = 0,782 (Tabel 8.4). Ini berarti bahwa 78,2%
variasi areal tanam tebu dapat dijelaskan oleh variasi peubah-peubah yang
digunakan dalam model.
Tabel 8.3. Hasil proyeksi fungsi penawaran gula di Indonesia
Berdasarkan hasil analisis fungsi tersebut, produksi gula pada tahun 2010
diproyeksikan akan meningkat menjadi 3,08 juta ton dan menjadi 3,10 juta ton
pada tahun 2012. Rata-rata peningkatan produksi gula nasional diperkirakan
hanya sebesar 2,96%. Proyeksi produksi gula nasional disajikan pada Tabel 8.4.
Tabel 8.4. Proyeksi produksi gula Indonesia, 2010 – 2012
2.6. Proyeksi Permintaan Gula 2010-2012
Hasil proyeksi perilaku permintaan gula untuk konsumsi rumah tangga
dengan menggunakan data time series hasil Susenas, BPS dikalikan dengan
jumlah penduduk menunjukkan bahwa konsumsi gula hanya dipengaruhi oleh tren
(tahun) dengan koefisien determinasi (R2) = 0,932. Hal itu juga berarti faktor
utama yang mempengaruhi jumlah konsumsi gula oleh rumah tangga adalah
pertambahan jumlah penduduk. Nilai koefisien determinasi 0,932 menunjukkan
bahwa 93,2% variasi permintaan gula dapat dijelaskan oleh variasi peubah yang
digunakan dalam model.
Tabel 8.5. Hasil proyeksi fungsi permintaan gula di Indonesia
Berdasarkan hasil analisis fungsi tersebut, permintaan gula untuk
konsumsi rumah tangga pada tahun 2010 diproyeksikan akan meningkat menjadi
2,18 juta ton dan mencapai 2,26 juta ton pada 2012. Rata-rata peningkatan
permintaan gula nasional diperkirakan sebesar 1,75%. Peningkatan permintaan
gula hanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan dari hasil
analisis tidak dipengaruhi oleh harga gula dalam negeri maupun gula impor.
Proyeksi permintaan gula nasional secara rinci disajikan pada Tabel 8.6.
Tabel 8.6. Proyeksi permintaan gula Indonesia, 2010-2012
2.7. Proyeksi Surplus/ Defisit Gula
Gambar 8.17. Perkembangan penawaran dan permintaan gula Indonesia, 1990-
2012
Perhitungan surplus/defisit gula diperoleh dari produksi dikurangi dengan
konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2010 diperkirakan produksi gula nasional
masih mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga dan mengalami surplus sebesar
898.505 ton. Demikian pula pada tahun 2011 mengalami surplus sebesar 801.733
ton dan pada tahun 2012 mengalami surplus sebesar 845.933 ton (Tabel 8.7).
Tabel 8.7. Proyeksi surplus/defisit gula Indonesia, 2010 – 2012
Kelebihan/surplus penawaran ini hanya berlaku apabila tidak ada
kebutuhan gula untuk industri. Dalam hal ini artinya Indonesia sudah swasembada
gula untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Hanya saja apabila dilihat dari
ketersediaan untuk industri rata-rata selama 5 tahun terakhir, kebutuhan gula
untuk industri setiap tahunnya berkisar antara 1,6 – 1,7 juta ton, sehingga
Indonesia selama 3 tahun ke depan Indonesia masih membutuhkan impor gula
antara 700.000 – 800.000 ton setiap tahun.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.deptan.go.id/pusdatin/admin/PUB/Outlook/outlook_komoditas_bun.p
df
Purna, Ibnu et all. 2009. Kebijakan HPP Beras dan Penurunan Bea Masuk Impor Gula. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task= view&id=4082&Itemid=29 [terhubung berkala].