teknologi reproduksi

33
1 KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Seleksi Pejantan Pada Sapi Potong” dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih untuk pihak-pihak yang telah ikut membantu selama pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat membantu para mahasiswa lebih memahami tentang seleksi sapi potong pejantan,tahapan- tahapan,kriteria seleksi sapi pejantan,dan seleksi pejantan berdasarkan kualitas dan kuantitas semen sapi. Kami sebagai penulis menyadari masih perlu banyak perbaikan untuk kesempurnaan makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun masih diharapkan dari para pembaca.

Upload: dimas-rizky-eerste-putra

Post on 16-Feb-2016

23 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

TRIB

TRANSCRIPT

Page 1: teknologi reproduksi

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-

Nya, kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Seleksi Pejantan Pada Sapi Potong”

dengan baik dan tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih untuk pihak-

pihak yang telah ikut membantu selama pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat membantu para mahasiswa lebih memahami tentang

seleksi sapi potong pejantan,tahapan-tahapan,kriteria seleksi sapi pejantan,dan seleksi

pejantan berdasarkan kualitas dan kuantitas semen sapi.

Kami sebagai penulis menyadari masih perlu banyak perbaikan untuk kesempurnaan

makalah ini, sehingga kritik dan saran yang membangun masih diharapkan dari para

pembaca.

Page 2: teknologi reproduksi

2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 1

Daftar isi .......................................................................................................... 2

Bab I. Pendahuluan .......................................................................................... 3

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 3

1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................4

1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................4

Bab II. Isi..........................................................................................................5

2.1 Seleksi...............................................................................................5

2.2 Tahapan Seleksi.................................................................................6

2.3 Kriteria Seleksi.................................................................................. 9

2.4 Seleksi Pejantan Dari Kualitas dan Kuantitas Semen.......................12

Bab III. Penutup................................................................................................20

3.1 Kesimpulan ........................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................20

Page 3: teknologi reproduksi

3

BAB I

PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang

Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor pertanian, karena pada tahun

2003 saja telah mampu menyumbang 66 % atau lebih 350.000 ton dari total produksi daging

dalam negeri yang sebesar lebih 530.000 ton. Namun demikian, kemampuan produksi daging

sapi dalam negeri tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, sehingga

menyebabkan impor sapi hidup, daging sapi maupun jeroan sapi masih terus tinggi. Beberapa

permasalahan penyebab keterbatasan produksi daging dalam negeri ini, antara lain adalah :

masih tingginya pemotongan sapi yang memiliki kondisi baik dan induk/betina produktif,

yaitu mencapai 40 %, menyebabkan terjadinya seleksi negatif yang langsung berdampak

terjadinya kecenderungan penurunan mutu genetik sapi; terjadinya inbreeding karena

terbatasnya ketersediaan pejantan unggul, serta penurunan populasi sapi antara lain karena

performans reproduksi yang rendah. Kondisi ini harus segera dicarikan solusinya, terlebih

untuk mendukung keberhasilan Program Nasional Kecukupan Daging 2010 yang telah

dicanangkan oleh pemerintah.

Sapi potong lokal Indonesia (Gambar 1) mempunyai keragaman genetik yang cukup

besar dan mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tropis yang kering (udara panas

dengan kelembaban rendah dan tatalaksana pemeliharaan ekstensif), kuantitas dan kualitas

pakan yang terbatas, relatif tahan serangan penyakit tropis dan parasit, serta performans

reproduksinya cukup efisien, sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai materi genetik

dalam pengembangan sapi potong yang unggul. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat

ditempuh untuk memperbaiki produktivitas (produksi dan reproduksi) sekaligus

meningkatkan populasi sapi potong, adalah melalui pengembangan komponen teknologi

berupa teknik seleksi dan pengaturan perkawinan (untuk mendapatkan sapi bibit), dan

tatalaksana pemeliharaan dalam sistem perbibitan sapi potong. Peningkatan produktivitas sapi

dapat meningkatkan produksi sehingga menurunkan jumlah sapi yang dipotong, serta

menekan kematian ternak (terutama pedet), sehingga akan meningkatkan jumlah populasi;

kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan

efisiensi dan harga jual produksi.

Oleh karena itu makalah ini di buat agar mahasiswa dan masyarakat umumnya

terutama peternak sapi mengetahui bagaimana melakukan seleksi pejantan yang unggul dan

apa saja ciri-ciri yang di butuhkan sebagai pejantan yang baik dan unggul.

Page 4: teknologi reproduksi

4

Tujuan Penulisan :

1. Mengetahui pengertian seleksi sapi potong

2. Mengetahui tahapan seleksi potong

3. Mengetahui kriteria seleksi pejantan

4. Mengetahui kualitas dan kuantitas semen

Manfaat Penulisan :

1. Untuk memberikan wawasan tentang pengertian dari seleksi

2. Untuk memberikan informasi mengenai tahapan-tahapan seleksi

3. Untuk mengetahui kriteria seleksi pejantan

4. Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas semen sapi

Page 5: teknologi reproduksi

5

BAB II

ISI

2.1. Pengertian Seleksi.

Seleksi adalah tindakan memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan

membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam

melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih,

bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut.

Untuk dapat memperoleh peningkatan mutu genetik pada generasi berikutnya dari sapi-sapi

hasil seleksi, maka harus ditentukan sifat apa yang akan diseleksi. Sifat seleksi yang dipilih

harus yang bersifat menurun dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai,

yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi. Penjelasan lebih lengkap tentang sifat-sifat

yang biasanya digunakan sebagai dasar seleksi, dijelaskan dalam buku ”aplikasi

pemuliabiakan ternak di lapangan ” karangan Wartomo Hardjosubroto (1994).

Sapi yang dapat digolongkan sebagai bibit sumber (indukan dan pejantan penghasil sapi-sapi

unggul), jumlahnya di dalam populasi di suatu wilayah, biasanya sangat terbatas karena

sebagian besar merupakan bibit sapi (bakalan) yang dipelihara untuk dipotong.

2.2. Tahapan Seleksi

Untuk dapat mencapai tujuan akhir dari seleksi, diperlukan adanya beberapa tahapan

seleksi, yaitu meliputi : seleksi untuk pembentukan kelompok dasar (foundation stock),

seleksi untuk pembentukan kelompok inti (nucleus) dan seleksi untuk pembentukan

kelompok pengembang (breeding stock).

1. Pembentukan kelompok dasar (foundation stock)

Kelompok dasar merupakan kumpulan sapi potong terpilih dari hasil seleksi yang

memiliki tampilan luar tertentu (misal tinggi gumba, berat badan, dsb) yang terbaik dari

populasi yang ada di suatu wilayah atau di suatu kelompok pembibitan. Tujuan utama

pembentukan kelompok dasar adalah mendapatkan sapi-sapi (jantan dan betina) pilihan yang

nantinya mampu menghasilkan keturunan sapi-sapi bibit dan dikembangkan sebagai bibit

sumber.

Sapi-sapi di kelompok dasar yang tidak terpilih sebagai bibit sumber, dikembangkan

sebagai bibit sapi yang digemukkan untuk dipotong. Di tahapan ini, sapi-sapi yang terpilih

diamati dan dicatat perkembangan tampilan yang menjadi dasar kriteria seleksi dan data

pendukung lainnya. Data perkembangan ini diperlukan sebagai dasar dalam melakukan

seleksi-seleksi selanjutnya sampai mendapatkan sapi-sapi terpilih untuk tahapan seleksi

Page 6: teknologi reproduksi

6

berikutnya, yaitu pembentukan kelompok elit. Untuk memperoleh sapi bibit dalam kelompok

dasar, pada prinsipnya diperlukan dua kegiatan, yaitu penjaringan (screening) dan seleksi.

2. Penjaringan (Screening)

Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di

peternakan rakyat atau di pasar hewan), untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik

penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya (Gambar 3 dan 4).

Keterangan : kiri : indukan dan kanan : (pe) jantan. (tinggi pinggul indukan atau tinggi gumba

(pe) jantan di atas rata-rata populasi; tulang punggung yang rata; serta badan membentuk

segitiga (bagian depan/dada lebih lebar dibanding bagian belakang) dengan perdagingan yang

cukup padat (tulang rusuk dan pinggul tidak terlalu nampak.

Page 7: teknologi reproduksi

7

3. Seleksi keturunan

Seleksi keturunan adalah seleksi yang dilakukan selama beberapa generasi terhadap

sapi-sapi yang dihasilkan di tahapan kelompok dasar. Sapi-sapi F 1 yang terpilih dalam

seleksi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi anakannya (F 2), kemudian sesama

sapi F 2 yang terpilih dalam sekelsi saling dikawinkan untuk mendapatkan sapi-sapi F 3, dan

seterusnya (Gambar 5).

F 2 diseleksi lagi, sapi yang terpilih diatur lagi perkawinannya, dan seterusnya sampai

mendapatkan sapi dengan kriteria performans yang dikehendaki untuk dijadikan sebagai sapi

bibit sumber.

Tujuan seleksi keturunan adalah memperoleh sapi-sapi dengan performans tertentu

(sesuai kriteria yang digunakan untuk seleksi) di atas rata-rata populasi kelompok dasar,

kemudian nantinya dikembangkan sebagai sapi-sapi bibit sumber di tahapan seleksi

berikutnya, yaitu kelompok elit/inti.

Page 8: teknologi reproduksi

8

Dalam melakukan pengaturan perkawinan, dapat dilakukan perkawinan back-cross

secara terbatas guna mendapatkan keunggulan dari kriteria seleksi (Gambar 6), tetapi harus

dihindari terjadinya in-breeding (Gambar 7).

4. Pembentukan Kelompok Inti (Elite)

Kelompok elit adalah tahapan akhir dari rangkaian program seleksi. Populasi di

kelompok inti adalah sapi-sapi bibit sumber, yiatu sapi dengan produktivitas yang tinggi dan

keragaman genetiknya kecil. Di kelompok elit, dilakukan dua kegiatan, yaitu perbanyakan

bibit sumber dan menghasilkan sapi-sapi unggul untuk siap disebarkan ke kelompok dasar

dan kelompok pengembang.

Mekanisme seleksi dan pengaturan perkawinan yang dilakukan di tahap kelompok elit

ini hampir sama dengan di tahap kelompok dasar (gambar 5, 6 dan 7), tetapi materi sapinya

sudah berupa bibit sumber dan sekecil mungkin memasukkan sapi-sapi baru untuk digunakan

sebagai tetuanya.

Di tahapan kelompok elit ini sangat dibutuhkan pencatatann yang lengkap, berurutan

dan jelas tentang silsilah/asal usul dan performans produktivitas dari masing-masing sapi

bibit sumber,karena keturunannya akan disebarkan sebagai sapi bibit unggul untuk

Page 9: teknologi reproduksi

9

memperbaiki genetik sapi-sapi di peternak rakyat, atau dijadikan sebagai perbanyakan bibit

sumber yang ada.

5. Pembentukan Kelompok Pengembang (breeding stock)

Kelompok pengembang adalah tahapan terakhir dari tahapan rangkaian program-

program. Kelompok pengembang dibentuk untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan yang akan

digemukkan dan akhirnya dipotong sebagai sumber penghasil daging, sehingga menggunakan

sapi-sapi indukan milik peternak rakyat/swasta dan sapi-sapi pejantan dari kelompok elit.

Potensi wilayah suatu daerah dalam menyediakan pakan, akan menjadi salah satu

pertimbangan utama dalam menentukan tingkat keunggulan sapi pejantan yang akan

digunakan di kelompok pengembang.

Pengaturan perkawinan dan model seleksi yang dilakukan di kelompok pengembang

(Gambar 8), adalah mengawinkan sapi indukan di peternak dengan sapi pejantan dari

kelompok elit. Anak-anak sapi yang dihasilkan diseleksi untuk dibagi menjadi tiga kelompok

sesuai performans kriteria seleksi yang digunakan : (a) performans sangat sampai bagus di

prioritaskan untuk dipertahankan (tidak dipotong) menjadi perbanyakan / pengganti sapi

pejantan/indukan ; (b) performans cukup bagus di arahkan menjadi sapi bakalan untuk

digemukkan, dan (c) performans jelek dikeluarkan dari populasi kelompok pengembang.

2.3. Kriteria Seleksi

Beberapa ciri-ciri tubuh luar sapi yang dapat langsung dilihat, dapat digunakan sebagai salah

satu kriteria awal atau kriteria pelengkap dalam melakukan seleksi, misalnya :

a. Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya. Sapi PO harus berwarna putih, sapi Madura

harus berwarna coklat, sapi Bali betina harus berwarna merah bata dan yang jantan saat telah

dewasa berwarna hitam (Gambar 2).

b. Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak.

c. Tingkat pertambahan dan pencapaian berat badan ternak pada umur tertentu yang tinggi.

d. Ukuran minimal tinggi punuk/gumba pada sapi potong calon bibit (indukan dan pejantan),

mengacu pada standar bibit populasi setempat, regional atau Nasional.

Page 10: teknologi reproduksi

10

e. Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat menurun, baik yang dominan (terjadi di sapi

yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi di sapi yang bersangkutan, tetapi

terjadi di sapi tetua dan atau di sapi keturunannya).

f. Untuk pejantan, testes sapi umur di atas 18 bulan harus simetris (bentuk dan ukuran yang

sama antara scrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran

terpanjangnya lebih dari 32 cm (32–37 cm).

g. Kondisi sapi sehat yang ditunjukkan dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi

tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta

bebas dari penyakit menular terutama yang dapat disebarkan melalui aktifitas reproduksi.

Seleksi dapat dilakukan pada saat sapi umur sapih (205 hari), umur muda (365 hari) dan atau

umur dewasa (2 tahun), tergantung pada kriteria seleksinya. Untuk menentukan /

mendapatkan besaran patokan minimal suatu kriteria seleksi, dapat dihitung dari rata-rata

ukuran kriteria yang dimaksud di populasi (sapi dengan umur yang sama yang ada di daerah

sekitar peternak atau di populasinya), dan atau ditambah sedikitnya satu standar deviasi.

Contoh: cara perhitungan pada kriteria seleksi berat badan ternak:

rata-rata = total berat badan semua sapi yang ditimbang dibagi jumlah sapi yang ditimbang

= misalnya A kg dibagi B ekor = C kg

standar deviasi = akar dari ((A – C) dibagi B) = misal D kg jadi, sapi yang dipilih pada

seleksi untuk dijadikan sapi bibit sumber, adalah yang minimal mempunyai berat badan

sebesar C + D kg.

Pengelolaan usaha perbibitan sapi potong tidak dapat dipisahkan dari manajemen

produksi bibit, karena tujuan usahanya adalah perbanyakan sapi dengan produk akhir berupa

sapi bibit (bukan bibit sapi). Untuk dapat mencapai hal tersebut, salah satu kunci pokok

yang berperanan di dalamnya adalah teknik perkawinannya.

Page 11: teknologi reproduksi

11

Status fisiologis sapi yang digunakan sebagai modal awal usaha perbibitan, sebaiknya adalah

sapi betina siap bunting dan sapi jantan siap sebagai pejantan. Penentuan modal awal sapi ini

memang membutuhkan dana cukup besar, tetapi akan lebih murah dan lebih cepat

menghasilkan sapi bibit dibandingkan apabila dimulai dari sapi yang umurnya lebih muda.

Pemeliharaan sapi bibit sumber yang sudah terpilih secara morfologis (penampilan tubuh

luarnya) dan silsilah keturunannya melalui kegiatan seleksi/penjaringan, adalah dimulai

dengan

pemeriksaan :

a. Kesehatan terhadap kemungkinan terserang/mengidap penyakit yang dapat ditularkan

melalui perkawinan seperti Brucellosis, Leptospirosis, Enzootic Bovine Loucosis dan

Infectious Bovine Rhinotracheitis. Sapi pejantan harus bebas dari penyakit reproduksi,

minimal terhadap keempat penyakit tersebut.

b. Uji kualitas dan kuantitas produksi semen sapi pejantan dengan kriteria persyaratan : pH

6,2 – 7,0; warna minimal putih susu; konsistensi minimal sedang; gerakan massa ++ ; motil

minimal 70 %; konsentrasi di atas 100 juta/ml dengan jumlah sperma yang hidup di atas 70 %

dan yang mati di bawah 30 %.

Dalam memproduksi sapi bibit, harus dihindari terjadinya perkawinan keluarga (in

breeding), yaitu perkawinan antara induk dengan pejantan yang masih ada hubungan keturun

an yang sama. Telah banyak terbukti bahwa perkawinan keluarga akan memperbesar peluang

kemungkinan menghasilkan keturunan/anak dengan tampilan produksi yang rendah

(meskipun induk dan pejantannya terbukti mempunyai tampilan produksi yang tinggi) atau

bahkan cacat (mandul, kerdil, tidak sehat, dll).

Oleh karena itu di dalam usaha perbibitan sapi potong, usia produktif sapi (usia untuk

menghasilkan anak) induk maupun pejantan harus selalu dibatasi dan diawasi untuk

memperkecil kemungkinan terjadinya anak yang telah dewasa mengawini/ dikawini oleh

salah satu orang tuanya. Disamping dilakukan pembatasan usia produktif, juga harus

diupayakan jumlah sapi (terutama yang induk) yang digunakan untuk menghasilkan sapi bibit

adalah cukup banyak, sehingga memperbesar pilihan sapi pejantan untuk mengawini sapi

induk yang ada.

Sapi pejantan ideal digunakan sebagai bibit sumber, dimulai pada umur sekitar 24 –

28 bulan yaitu ditandai dengan mulai intensifnya mengawini sapi-sapi betina, kemudian harus

sudah dikeluarkan sebagai pejantan pada umur sekitar 5 – 6 tahun. Untuk mempertahan kan

kemampuan maksimalnya agar mampu membuntingi sapi indukan, maka seekor sapi jantan

yang telah intensif menjadi seekor pejantan dapat digunakan untuk mengawini 10 – 15

Page 12: teknologi reproduksi

12

indukan pada sistem perkawinan alam di kandang kelompok, atau 15 – 20 indukan per bulan

pada sistem perkawinan alam di kandang individu. Untuk produksi semen beku, seekor

pejantan dapat ditampung semennya 1- 2 kali per minggu.

2.4. Seleksi Pejantan Pada Sapi Melalui Kualitas dan Kuantitas Semen

Inseminasi buatan merupakan bioteknologi yang pertama diterapkan untuk

meningkatkan genetik dan reproduksi pada hewan ternak. Sejalan dengan perkembangan

waktu, penerapan IB melibatkan berbagai metode seperti pengelolaan pejantan dan koleksi

semen, evaluasi, preservasi serta inseminasi (Foote 2002). Selain itu keberhasilan IB juga

tidak lepas dari faktor betina, seperti deteksi estrus dan kontrol siklus estrus. Untuk

menjaga kualitas genetik dan menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan maka perlu

dilakukan seleksi calon-calon pejantan sebelum digunakan atau dikoleksi semennya. Balai

inseminasi buatan Lembang mengelompokan pejantan dalam tiga kategori, yaitu proven bull

(keunggulan sudah terbukti berdasarkan produksi dari anak-anaknya), register bull

(keunggulan didasarkan pada catatan produksi (susu dan pertambahan berat badan) dari tiga

generasi diatasnya), serta performances bull (keunggulan berdasarkan tampilan individu

pejantan tersebut) (Tumbuh Agribisnis Indonesia 2008).

Sementara itu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) sapi perah Batu

Raden menerapkan seleksi berdasarkan; berat sapih (weaning weight), berat setahun (yearling

weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat,dengan metode seleksi dilakukan

secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat melampaui salah

satu kriteria tersebut di atas, akan disingkirkan sebagai calon pejantan elit (BBPTU 2009).

Cara lain untuk seleksi atau melihat potensi pejantan yang biasa dilakukan di luar

negeri dengan menggunakan metode breeding soundness evaluation (BSE). Breeding

soundness evaluation merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi

masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan. Breeding soundness evaluation atau

bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah dilakukan dan relative tidak mahal serta

sangat berguna untuk peternakan. Society for Theriogenology (SFT) menggunakan standar

BBSE yang diadopsi pada tahun 1993, empat katagori standar minimum yang harus dipenuhi

seekor pejantan, yaitu pemeriksaan kesehatan dan organ reproduksi secara umum, indeks

lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai umurnya, motilitas spermatozoa dan

morfologi spermatozoa (Alexander 2008).

Untuk dapat digunakan dalam program breeding, seekor pejantan harus melebihi

nilai minimum dari ketentuan yang ditetapkan. Menurut Godfrey dan Dodson (2005),

Page 13: teknologi reproduksi

13

minimum lingkar skrotum seekor sapi ditetapkan berdasarkan umur, dimana minimal

berukuran 30 cm pada umur 12-15 bulan, dengan morfologi spermatozoa normal sekurang-

kurangnya 70%, dan sedikitnya 30% spermatozoa memiliki motilitas progresif. Lebih

lengkap lagi Alexander (2008) menguraikan batasan minimum BSE yang harus dipenuhi

seekor pejantan sapi adalah; lingkar skrotum, 30 cm (umur < 15 bulan), 31 cm (umur 15-18

bulan), 32 cm (umur 18-21 bulan), 33 cm (umur 21-24 bulan), dan 34 cm (> 24 bulan);

morfologi spermatozoa (= 70% spermatozoa normal); motilitas spermatozoa (= 30% motilitas

individu).

Fisiologi Semen

Semen terdiri atas sel spermatozoa (gamet jantan) dan campuran antara cairan seluler

dan sekresi-sekresi kelenjar asesoris (plasma seminalis) yang berasal dari saluran reproduksi

jantan (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa dibentuk didalam tubuli seminiferi testes dan

selanjutnya mengalami proses penyempurnaan untuk kemudian disimpan pada epididimis,

sedangkan plasma seminalis merupakan cairan dengan pH basa serta banyak mengandung

bahanbahan kimia yang diperlukan bagi spermatozoa. Karakteristik dan komponen kimia

dari beberapa hewan ternak tersaji dalam Tabel 1.

Morfologi Spermatozoa

Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri atas bagian kepala berbentuk datar

dan ekor yang mengandung mitokondria yang penting bagi pergerakan sel, dimana diantara

kepala dan ekor dihubungkan oleh bagian yang disebut leher (Garner & Hafez 2000)(Gambar

1). Komponen utama kepala adalah nukleus, yang tersusun atas kromatin, dengan 60%

bagian anterior kepala diliputi akrosom; bagian belakang kepala diliputi oleh tudung nuklear

(Salisbury et al. 1978) (Gambar 2). Hubungan antara anterior dan posterior disebut cincin

nuklear.

Page 14: teknologi reproduksi

14

Dibagian tengah dan ekor dibagi menjadi tiga daerah. Dimulai dari bagian anterior

adalah bagian tengah, bagian yang lebih tipis adalah bagian utama ekor, dan bagian yang

sangat tipis merupakan bagian ujung. Bagian utama ekor, merupakan pusat metabolisme,

dihubungkan dengan bagian kepala spermatozoa dengan suatu segmen yang sangat pendek

yang disebut ekor.

Gambar 1 Struktur sel spermatozoa

sapi. Potongan melintang dari bagian

tengah, utama dan ujung

memperlihatkan serat-serat axonema

yang dilapisi oleh mitokondria pada

bagian tengah, pembungkus berserabut

pada bagian utama dan serabut

aksonema pada bagian ujung

(Sumber; Barth & Oko 1989)

Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi (Sumber; Saacke & Almquist

1964)

Kepala Spermatozoa

Pada hewan ruminan, kepala spermatozoa berbentuk oval, datar/flat, dengan nukleus

terdiri atas kromatin yang kompak. Kromatin yang sangat padat mengandung

deoksiribonuklead asid (DNA) kromosom. Jumlah kromosom yang terdapat pada

spermatozoa adalah haploid atau setengah dari jumlah DNA sel somatik pada spesies yang

Page 15: teknologi reproduksi

15

sama, yang dihasilkan dari pembelahan miosis yang terjadi selama pembentukan spermatozoa

(Ball & Peters 2004).

Membran Plasma

Membran plasma atau disebut juga plasmalemma merupakan bagian yang

mengandung sedikit sisa sitoplasma dan meliputi seluruh permukaan spermatozoa dan

merupakan bagian luar spermatozoa juga berfungsi sebagai sebagai tempat keluar-masuknya

cairan seluler. Bagian utama membran spermatozoa terdiri atas lipoprotein yang tersusun

ganda (Gambar 3). Menurut Salisbury et al. (1978) membran plasma pada sapi mengandung

31.1% lipoprotein.

Pentingnya fungsi membran plasma pada spermatozoa dikarenakan keutuhan

membran plasma akan menjadi tolak ukur bagi keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan

sel telur. Menurut Colenbrander et al. (1992) kerusakan membran pada bagian tengah

spermatozoa akan menyebabkan produksi ATP terhenti sehingga spermatozoa tidak bisa

bergerak. Sementara Flesch dan Gadella (2000) menyatakan membran plasma akan

mengalami modifikasi sehingga menyebabkan spermatozoa menjadi lebih aktif atau yang

disebut dengan kapasitasi untuk proses fertilisasi.

Akrosom

Akrosom terletak pada bagian ujung anterior dari nukleus, yang menutupi

spermatozoa. Akrosom merupakan kantong membran dengan lapisan ganda, yang melapisi

nukleus selama tahap akhir pembentukkan spermatozoa, mengandung unsur-unsur enzim

yang penting, seperti akrosin, hialuronidase, dan berbagai enzim hidrolisis lain yang berperan

dalam proses fertilisasi. Pada akrosom terdapat bagian equatorial (equatorial segmen) yang

merupakan bagian akrosom yang penting dari spermatozoon, bagian ini terdapat di sepanjang

Page 16: teknologi reproduksi

16

anterior dari daerah setelah akrosom (post acrosomal region), yang menginisiasi

penggabungan dengan membran oosit selama fertilisasi .

Ekor Sperma

Ekor spermatozoa terbagi atas bagian leher (neck), tengah (middle), utama (principal),

dan bagian ujung (end piece). Pada bagian tengah serta seluruh ekor terdiri atas aksonema.

Aksonema merupakan tersusun dari sembilan pasang mikrotubulus secara radial mengelilingi

dua pusat filamen. Di dalam bagian tengah ini tersusun 9+2 mikrotubulus yang di bagian

luar dibungkus oleh sembilan lapisan kasar atau serabut tebal yang berhubungan dengan

sembilan pasang aksonema (Garner & Hafez 2000). Selanjutnya aksonema dan serabut tebal

ini di bagian periper dilapisi oleh sejumlah mitokondria, yang merupakan sumber energi yang

diperlukan bagi spermatozoa untuk motilitasnya (Silva & Gadella 2006)

Bagian utama (principal piece) merupakan lanjutan dari annulus sampai

mendekatiujung ekor, dibagian tengahnya disusun oleh aksonema yang berhubungan dengan

serabut tebal. Selanjutnya bagian ujung ekor (end piece), merupakan bagian posterior dari

pembungkus berserabut, yang terdiri hanya bagian aksonema yang dibungkus oleh membran

plasma (Ball & Peters 2004). Protoplasmik atau sitoplasmik droplet biasanya dilepaskan

pada saat spermatozoa diejakulasikan, yang merupakan sisa sitoplasma. Pada beberapa

spesies, abnormal ejakulasi spermatozoa, droplet dapat tertahan didaerah leher sering disebut

proksimal droplet, dan pada bagian yang mendekati annulus disebut distal droplet (Garner &

Hafez 2000).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa

Tingginya persentase abnormalitas spermatozoa dapat berpengaruh terhadap

peningkatan fertilitas (Al-Makhzoomi 2008). Abnormalitas spermatozoa merupakan

kelainan struktur spermatozoa dari struktur normal yang dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, yaitu lingkungan, genetik atau kombinasi dari keduanya (Chenoweth 2005).

Faktor Lingkungan

Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan sekitar. Miller et al. (1982) menemukan adanya peningkatan abnormalitas

spermatozoa jenis diadem diakibatkan oleh obat-obatan, ketidak seimbangan hormonal dan

stress. Sementara Barth dan Oko (1989) menemukan kurangnya pakan dan keadaan iklim

yang terlalu ekstrim dapat berpengaruh terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa

tersebut. Sedangkan Dada et al. (2001) juga menemukan adanya peningkatan abnormalitas

spermatozoa thick coiled tail, amorphous head, pinpoint head, narrow, dilated midpiece dan

short thick tail pada orang-orang yang bekerja dengan temperatur tinggi.

Page 17: teknologi reproduksi

17

Faktor Genetik

Menurut Chenoweth (2005), ada beberapa katagori kelainan spermatozoa bersifat

genetik yaitu, kelainan pada akrosom (KA defect, ruffled dan incomplete acrosome), kepala

(abnormal DNA condensation, decapitated (disintegrated) sperm defect, round head, rolled-

head, nuclear crest, dan giant head syndrome), kelainan pada midpiece (dag, pseudo-droplet,

dan corkscrew midpiece defect) dan kelainan pada ekor spermatozoa (coiled tails, tail stump

defect, dan primary ciliary dyskinesia (immotile cilia syndrome)).

Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi

Pada dasarnya analisis semen bertujuan mengukur kemampuan pejantan dalam

menghasilkan semen yang berkualitas. Beberapa analisis tersebutdiantaranya adalah; 1)

Kapasitas produksi semen seekor pejantan yang biasanya digambarkan dengan pengukuran

lingkar skrotum atau melalui pengukuran volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa, 2)

Viabilitas spermatozoa yang diukur melalui pengamatan motilitas, rasio hidup/mati. Pada

kasus semen beku umumnya diamati persentase tudung akrosom utuh, dan 3) Persentase

spermatozoa yang memiliki struktur anatomi normal (morfologi), dimana parameter ini

secara umum akan saling berhubungan (Barth & Oko 1989). Untuk mengetahui bagaimana

batasan struktur normal dan abnormalitas spermatozoa, Barth dan Oko (1989),

menyimpulkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh William pada tahun 1920 dan

Lagerlof pada 1934, yaitu ; 1) Ukuran kepala spermatozoa dari pejantan-pejantan yang

mempunyai fertilitas yang baik benarbenar seragam, 2) Pada pejantan-pejantan yang

mempunyai tingkat abnormalitas >17%

tidak mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi, dan 3) Jumlah yang diijinkan bagi

abnormalitas spermatozoa dalam satu ejakulat bergantung besarnya jenis abnormalitas yang

ada. Hubungan antara abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas dipengaruhi oleh beberapa

faktor, baik faktor eksternal dan internal.

Adanya pengaruh faktor eksternal terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa

harus dapat dikendalikan dan ditangani. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi

abnormalitas spermatozoa diantaranya adalah teknik penampungan. Penelitian yang

dilakukan oleh Arifiantini dan Ferdian (2004) menemukan bahwa koleksi semen dengan

teknik masase pada kerbau lumpur menghasilkan abnormalitas spermatozoa sebesar 31.86%.

Pengaruh faktor internal yang mempengaruhi fertilitas dapat dikontrol ketika melakukan

analisis semen di laboratorium. Hal ini dimaksudkan agar dapat semakin meningkatkan

kualitas spermatozoa yang akan digunakan dalam program breeding.

Page 18: teknologi reproduksi

18

Abnormalitas sel spermatozoa dapat terjadi pada saat pem bentukkan spermatozoa

dan selama penanganan semen (baik selama dan setelah koleksi). Abnormalitas spermatozoa

dapat dihasilkan oleh kegagalan proses spermatogenesis atau spermiogenesis yang

disebabkan faktor genetik, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Selain itu juga

dapat disebabkan karena penanganan semen yang tidak benar. Berbagai penelitian telah

dilakukan untuk melihat tingkat abnormalitas spermatozoa yang terdapat pada beberapa sapi

pejantan (Tabel 2). Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa, yang apabila tinggi ditemukan

pada satu individu akan berpengaruh besar terhadap tingkat fertilitas individu tersebut, seperti

pada abnormalitas inti aneuploid, kandungan gen yang abnormal atau perubahan struktur,

dapat menurunkan fertiltas pejantan dan masih belum dapat diketahui melalui pengamatan

secara morfologi (Salisbury et al. 1978).

Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti maupun

laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa terbagi dalam dua

katagori, yakni berdasarkan sekuen proses proses pembentukan spermatozoa (primer dan

sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas.

Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat

spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi. Pengelompokkan

kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap fertilitas jantan tersebut.

Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas, sebaliknya kelainan yang bersifat

minor dampaknya kecil pada fertilitas.

Sementara itu Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke dalam

tiga katagori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan

akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan

pada ekor). McPeake dan Pennington (2009), mengelompokkan abnormalitas dalam dua

Page 19: teknologi reproduksi

19

katagori, yaitu primer (yang meliputi abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas

midpiece dan tightly coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan

ekor yang membengkok).

Pada pejantan sapi potong dan perah, kuda , rodensia (dasyprocta leprorina) ,

ruminansia kecil (capricornis sumatraensis) , anjing , dan sterlet (golongan ikan) . Pada

beberapa ternak, morfologi spermatozoa yang abnormal telah banyak dilaporkan akan

mempengaruhi fertilitas. Spermatozoa yang abnormal kemungkinan tidak dapat digunakan

untuk membuahi oosit. Menurut Salisbury et al. (1978) kemampuan membuahi seekor

pejantan tergantung perbandingan antara spermatozoa normal dan abnormal dalam semen,

akan tetapi penurunan fertilitas tidak selalu berhubungan dengan morfologi abnormal

spermatozoa. Beberapa kelainan abnormalitas spermatozoa dapat ditemukan dalam satu

ejakulat dan telah diinterpretasikan berbeda-beda antar peneliti dan laboratorium, demikian

juga untuk tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas.

Berbagai kemungkinan morfologi abnormalitas primer dapat ditemui dalam

melakukan pengamatan morfologi. Adapun abnormalitas morfologi primer yang mungkin

teramati meliputi tapered head, micro dan macrocephalic, head less, amorphous, double

head, dan immature sperm ,selain itu jenis abnormalitas kepala lainnya dapat pula teramati

seperti underdeveloped, knobbed acrosome defect, diadem defect, pearshape, narrow at the

base, narrow, abnormal contour, detached head, dan abaxial implantation.

Page 20: teknologi reproduksi

20

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Seleksi adalah tindakan memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan

membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Oleh karena itu, dalam

melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih,

bagaimana cara mengukurnya dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut.

Untuk dapat mencapai tujuan akhir dari seleksi, diperlukan adanya beberapa tahapan

seleksi, yaitu meliputi : seleksi untuk pembentukan kelompok dasar (foundation stock),

seleksi untuk pembentukan kelompok inti (nucleus) dan seleksi untuk pembentukan

kelompok pengembang (breeding stock).

Beberpa metode seleksi pejantan yaitu berat sapih (weaning weight), berat setahun

(yearling weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat,dengan metode seleksi

dilakukan secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat

melampaui salah satu kriteria tersebut di atas, akan disingkirkan sebagai calon pejantan elit.

Breeding soundness evaluation merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan. Breeding

soundness evaluation atau bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah dilakukan dan

relative tidak mahal serta sangat berguna untuk peternakan. Society for Theriogenology (SFT)

menggunakan standar BBSE yang diadopsi pada tahun 1993, empat katagori standar

minimum yang harus dipenuhi seekor pejantan, yaitu pemeriksaan kesehatan dan organ

reproduksi secara umum, indeks lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai

umurnya, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa

3.2. Daftar Pustaka

Affandhy,L., P. Situmorang, D.B. Wijono, Aryogi dan P. . Prihandini. 2002. Evaluasi dan

alternatif pengelolaan reproduksi usaha ternak sapi potong pada konsisi lapang.

Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong.

Affandhy,L., D. Pamungkas. A. Rasyid dan P. Situmorang. 2003.Uji fertilitas semen cair dan

beku pada pejantan sapi potong lapang. Laporan Penelitian. Loka Penelitian Sapi

Potong.

Arifianini RI, Wresdiyati T, Retnani EF. 2006. Pengujian morfologi Spermatozoa Sapi Bali

(Bos Sondaicus) Menggunakan Pewarnaan Williams Jurnal Pengembangan Peternakan

Tropis. 31 (2) : 105-110

Page 21: teknologi reproduksi

21

Ax RL et al. 2000. Semen Evaluation. Di dalam : Hafez ESE, Hafez B. Editor. Reproduction

in Farm Animal. 7 th ed. USA : Lippincot Wiliams dan Wilkins

Barth AD, Oko RJ. 1989. Abnormal Morphology of bovine spermatozoa. lowa.State

University Press Ball,P.J.H.& A.R.Peters. 2004. Reproduction in Cattle 3 rd ed. UK :

Blackwell Publishing

Bestari, J., A.R. Siregar, P. Situmorang, Yulvian, S. dan Razali H. Matondang. 2000.

Penampilan reproduksi sapi induk peranakan Limousin, Charolais, Draughmaster dan

Hereford pada program IB di kabupaten Agam provinsi Sumatera Barat. Proc. Seminar

nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pulitbangnak. Bogor

Chenoweth PJ. 2005. Genetic Sperm Defect. Theriogenology 64 : 457-468

Den Daas, N. 1992 . Laboratory assessment of semen characteristics. Anint . Prod Sci. 28 :

87-94.

Fuou A Y . 1980 . Applied Animal Reproduction . Reston Publishing Co, htc. Prentice Hall

Co. Reston Virginia .

Hafez, E.S .E . 1980. Reproduction in Farm Animal. 4th Ed. Lea Febiger.Philadelphia.

Hedah, D. 1992 . Peranan Balai lseminasi Buatan Singosari dalam meningkatkan mutu sapi

madura melalui inseminasi buatan . Proc . Pertemuan llmiah Hasil Penelitian dan

Pengembangan Sapi Madura . Sub Balai Penelitian Temak Grati, Pasuruan ..

Makhzoomi A, Lundehim N, Haard M, Rodriguez-Martinez H. 2007. Sperm morphology and

fertility of progeny-tested AI Swedish dairy bull. J. of Anim and Vet. Advances 8:975-

980

Partodihadjo, S. 1982 . Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta.

Putu, I.G., P. Situmorang, M. Winugroho dan T.D. Chaniago. 2000. Stategi pemeliharaan

pedet dalam rangka meningkatkan performans produksi dan reproduksi. Proc.

Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor.

Salisbury, G.W., N.C . Vandermark, dan R. Djanuar. 1985 . Fisiologi Reproduksi dan

Inseminasi Buatan Pada Sapi . Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.

Vandeplasscfir, M. 1982 . Reproductive Efficiency in cattle : A Guideline for Project in

Developing Countries. FAO . Rome.

Wijono D.B ., Komarudin-Ma’suni, L. Affandy, dan A. Rasyid. 1995 . Peranan skor kondisi

badan dan berat badan terhadap elisiensi penggunaan pejantan sapi potong sebagai

sumber semen yang optimal. Pros . Pertemuan 11miah Komunikasi dan penyaluran

Hasil Penelitian . Sub Balitnak Klepu. Semarang.

Page 22: teknologi reproduksi

22

TUGAS MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI DAN INSEMINASI BUATAN

“Seleksi Pejantan Sapi Potong”

Nama Kelompok : Reski Maulidina/A/1051301

Dimas Rizky E P/A/105130100111038

Sukarno Wahyu/A/105130100111025

Ria Restu Wardhani/A/1051301

Nurfildzha Wafeta Abharia/A/

PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2012