tektonik gbg 2
DESCRIPTION
Genesa Bahan Galian - Magmatic ArcsTRANSCRIPT
![Page 1: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/1.jpg)
Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional
Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan
hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda
berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta
berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung,
punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman
menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta
menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini
terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem
penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang
berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut
Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi
merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai
kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit longitudinal,
serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen klastik tersebut
terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak 3.000 km dari
palung. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan ketebalan material
terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh imbrikasi internal serta
pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang merupakan hasil penggilasan
simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan muka busur mengalami migrasi,
relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan
yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh luncuran di lereng punggungan akresi.
Cekungan muka busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem
penunjaman Sunda dengan lebar 150 – 200 km. Bagian dasar cekungan Jawa dan Sumatera
mempunyai kecepatan tipikal litosfer samudera, dengan kecepatan di sektor Sumatera lebih besar
dari litosfer samudera. Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada
kedalaman 100 – 130 km. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di
Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok.
![Page 2: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/2.jpg)
Komposisi vulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter
litosfer dengan magma yang dierupsikan.
Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman,
busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa,
Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara
Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas
tenggara lempeng Burma. Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat Sunda. Di propinsi
ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini konvergensi sepanjang
propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman antara 5o – 8o. Sedimen
memiliki ketebalan antara 200 – 900 m. Imbrikasi di bawah punggungan muka busur mempunyai
ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis.
Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda
yang dianggap sebagai zona diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi
Jawa dan Sumatera busur Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng
Burma. Namun apabila dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak
di sekitar Banten dan Jawa Barat.
Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun
dari 6.000 – 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1
km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7,0 –
5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat
berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera.
Pada Propinsi Sumatera Utara – Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung menajam
ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara – barat-laut. Palung mempunyai
kedalaman berkisar antara 3.500 – 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring
dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 – 4,1 cm/tahun.
Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara – selatan dengan kedalaman sekitar 3.000 m.
Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan penunjaman
![Page 3: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/3.jpg)
berkisar antara 0,7 – 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh pemekaran di laut
Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia.
Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka busur
menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah barat dari
Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di propinsi ini
sekitar 8.000 – 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya sesar Sagaing
di Burma.
Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda Sesar besar Sumatra dan Pulau Sumatra
merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional pada pola
tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh
keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng
benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng samudera sekitar
20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer (Hamilton, 1979).
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan
antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu, yang
mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai
dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi
padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter /
tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan
tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses
konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu
kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993
dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada akhirnya
mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka
dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan
menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera
![Page 4: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/4.jpg)
menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000).
Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu
dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian selatan Pulau Sumatera
memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah pola geser
kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2) lokasi
gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka terbentuk
sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama, (4) punggungan
busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk sederhana, (5) sesar
Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka dan cekungan busur
muka relatif utuh, dan (6) sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera
berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2)
busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka 1 ~
2 kilometer, (4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat beragam,
(5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur Mentawai
yang berada di sebelah selatannya, dan (6) sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.
Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350 kilometer
potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2) busur
vulkanik memotong dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar
0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring , (4) busur luar
terpecah-pecah, (5) homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur
muka tercabik-cabik, dan (6) sudut kemiringan penunjaman beragam. Proses penunjaman miring
di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya pembagian / penyebaran vektor tegasan
tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus dengan arah zona penunjaman yang
diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini terutama berada di prisma akresi dan
slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem
sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini tidak cukup diakomodasi oleh sesar
![Page 5: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/5.jpg)
Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga
disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992).
Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng
Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara geometri akan
mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi
antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan terjadinya proses
peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut sebagai lempeng mikro
Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen sejajar palung harus
semakin besar ke arah barat-laut. Sebagai konsekuensi dari kenaikan slip-vector pada daerah
busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di sepanjang sesar Sumatera ke
arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan radiometrik dari unsur yang terofsetkan
di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi
(Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran slip-rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan
gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang
sebesar 11 milimeter / tahun (Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11
milimeter / tahun (Zen dkk, 1991)
Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer tersebut
merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India–Australia
dengan arah tumbukan 10°N ~ 7°S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang masing-
masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75°S ~ 5.9°S), segmen Semangko
(5.9°S ~ 5.25°S), segmen Kumering (5.3°S ~ 4.35°S), segmen Manna (4.35°S ~ 3.8°S), segmen
Musi (3.65°S ~ 3.25°S), segmen Ketaun (3.35°S ~ 2.75°S), segmen Dikit (2.75°S ~ 2.3°S),
segmen Siulak (2.25°S ~ 1.7°S), segmen Sulii (1.75°S ~ 1.0°S), segmen Sumani (1.0°S ~ 0.5°S),
segmen Sianok (0.7°S ~ 0.1°N), segmen Barumun (0.3°N ~ 1.2°N), segmen Angkola (0.3°N ~
1.8°N), segmen Toru (1.2°N ~ 2.0°N), segmen Renun (2.0°N ~ 3.55°N), segmen Tripa (3.2°N ~
4.4°N), segmen Aceh (4.4°N ~ 5.4°N), segmen Seulimeum (5.0°N ~ 5.9°N)
Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat,
pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia
![Page 6: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/6.jpg)
mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang
relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra Australia
dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur
kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil. Perbedaan sudut penunjaman antara propinsi
Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas
busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di selat
Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakan anomali
gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang cenderung
lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian Timur. Secara
vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jika dilakukan
pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatra
secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga.
Tektonik Indonesia Barat dan Timur
Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng telah lama
dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di Indonesia dilakukan
oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975, 1978, 1980). Secara
setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk menjelaskan gejala
geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak (1986) menerapkannya
untuk memahami keruwetan Sulawesi. Sartono (1990) mengemukakan bahwa tatanan tektonik
Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur
geosiklin ini merupakan zona akibat proses tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua
yang bekerja pada waktu itu terdiri dari kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan,
benua mikro Sunda, kerak samudra Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami
tersebut membentuk busur-busur geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-
Papua. Peta anomali gaya berat dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan
tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding
Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan
Sunda yang relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran
![Page 7: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/7.jpg)
Kalimantan serta peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi
Indonesia Barat (Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara
keberadaan benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973
dan Pigram dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik
Indonesia bagian timur.
Manfaat dari tatanan lempeng tektonik Indonesia
Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran batuan,
penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia yang rumit.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha penelusuran keberadaan mineral ekonomis
telah dilakukan oleh banyak orang. Mineral ekonomis adalah mineral bahan galian dan energi
yang mempunyai nilai ekonomis. Mineral logam yang termasuk golongan ini adalah tembaga,
besi, emas, perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non logam yang termasuk golongan ini
adalah fosfat, mika, belerang, fluorit, mangan. Mineral industri adalah mineral bahan baku dan
bahan penolong dalam industri, misalnya felspar, ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak,
gas dan batubara atau bituminus lainnya. Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam
golongan ini walaupun cara pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999)
Keberadaan Mineral Logam
Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme dan vulkanisme,
pada saat proses magmatisme akhir (late magmatism), pada suhu sekitar 200oC. Westerveld
(1952) menerbitkan peta jalur kegiatan magmatik. Dari peta tersebut dapat diperkirakan
kemungkinan keterdapatan mineral logam dasar yang pembentukannya berkaitan dengan
kegiatan magmatik. Carlile dan Mitchell (1994), berdasarkan data-data mutakhir Simanjuntak
(1986), Sikumbang (1990), Cameron (1980), Adimangga dan Trail (1980), memaparkan busur-
busur magmatik seluruh Indonesia sebagai dasar eksplorasi mineral. Teridentifikasikan 15 busur
magmatik, 7 diantaranya membawa jebakan emas dan tembaga, dan 8 lainnya belum diketahui.
Busur yang menghasilkan jebakan mineral logam tersebut adalah busur magmatik Aceh,
Sumatera-Meratus, Sunda-Banda, Kalimantan Tengah, Sulawesi-Mindanau Timur, Halmahera
Tengah, Irian Jaya. Busur yang belum diketahui potensi sumberdaya mineralnya adalah Paparan
![Page 8: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/8.jpg)
Sunda, Borneo Barat-laut, Talaud, Sumba-Timor, Moon-Utawa dan dataran Utara Irian Jaya.
Jebakan tersebut merupakan hasil mineralisasi utama yang umumnya berupa porphyry copper-
gold mineralization, skarn mineralization, high sulphidation epithermal mineralization, gold-
silver-barite-base metal mineralization, low sulphidation epithermal mineralization dan sediment
hosted mineralization.
Jebakan emas dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan fase
akhir magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal sebagai proses
epitermal, karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga dapat terjadi di
lingkungan batuan vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen (sedimen hosted
rock), yang lebih dikenal dengan skarn. Contoh cukup baik atas skarn terdapat di Erstberg
(Sudradjat, 1999). Skarn Erstberg berupa roofpendant batugamping yang diintrusi oleh
granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh oleh struktur geologi setempat. Sebagai sebuah
roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatik contact sampai metamorphic zone
(Juharlan, 1993).
Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan signifikan
pada potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini terdapat pada
kedalaman kurang dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi muda berumur kurang
dari 70 juta tahun. Sebagian besar host rock merupakan batuan vulkanik, dan hanya beberapa
yang merupakan sediment hosted rock. Cebakan emas epitermal umumnya terbentuk pada bekas-
bekas kaldera dan daerah retakan akibat sistem patahan.
Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai sistem porfiri
(porphyry). Contoh baik atas porfiri terdapat di kompleks Grasberg di Papua, dengan
mineralisasi utama bersifat disseminated sulfide dengan mineral bijih utama kalkopirit yang
banyak pada veinlet (MacDonald, 1994). Contoh lain terdapat di Pongkor dan Cikotok di Jawa
Barat, Batu Hijau di Sumbawa, dan Ratotok di Minahasa. Lingkungan lain adalah kondisi
gunungapi di daerah laut dangkal. Air laut yang masuk ke dalam tubuh bumi berperan membawa
larutan mineral ke permukaan dan mengendapkannya. Contoh terbaik atas proses ini terjadi di
Pulau Wetar, yang menghasilkan mineral barit. Proses pengkayaan batuan karena pelapukan
![Page 9: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/9.jpg)
dikenal dengan nama pengkayaan supergen. Batuan granitik yang lapuk akan menghasilkan
mineral pembawa aluminium, antara lain bauxit. Proses ini sangat berhubungan dengan
keberadaan jalur magmatik, berupa subduksi pada lempeng benua bersifat asam, sehingga
menghasilkan baruan bersifat asam. Contoh pelapukan granit ini antara lain terjadi di Kalimantan
Barat, Bangka, Belitung dan Bintan. Peridotit terbentuk di lingkungan lempeng samudera yang
akan kaya mineral berat besi, nikel, kromit, magnesium dan mangan. Keberadaannya di
permukaan disebabkan oleh lempeng benua Pasifik yang terangkat ke daratan oleh proses
obduksi dengan lempeng benua Eurasia, yang kemudian “disebarkan” oleh sesar Sorong (Katili,
1980) sebagai pulau-pulau kecil di berada di kepulauan Maluku. Pelapukan akan menguraikan
batuan ultrabasa tersebut menjadi mineral terlarut dan tak terlarut. Air tanah melarutkan
karbonat, kobalt dan magnesium, serta membawa mineral besi, nikel, kobalt, silikat dan
magnesium silikat dalam bentuk koloid yang mengendap. Endapan kaya nikel dan magnesium
oksida disebut krisopas, dan cebakan nikel ini disebut saprolit. Proses pelapukan peridotit akan
menghasilkan saprolit, batuan yang kaya nikel. Pelapukan ini terjadi di sebagian kepulauan
Maluku, antara lain di pulau Gag, Buton dan Gebe (Sudrajat, 1999).
Keberadaan Minyak dan Gas Bumi
Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai kegiatan
ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini memiliki peran
sekitar 80% dari total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di Indonesia. Dengan
demikian peran minyak dan gas bumi dalam peningkatan perolehan devisa negara masih sangat
diperlukan. Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan bahwa terdapat hubungan
yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat dengan elemen-
elemen tektonik yang ada. Cekungan-cekungan besar di wilayah Asia Tenggara
merepresentasikan kondisi setiap elemen tektonik yang ada, yaitu cekungan busur muka (forearc
basin), cekungan busur belakang (back-arc basin), cekungan intra kraton (intracratonic basin),
dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona tumbukan (collision zone basin).
Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui ada sekitar 60
basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial. Diantaranya basin
![Page 10: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/10.jpg)
Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat, Natuna
Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.
Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-lapangan
minyak paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat flow dari proses
penurunan cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya kompresi telah
menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap struktur sebagai
tempat akumulasi hidrokarbon (Barber, 1985). Secara lebih rinci, perkembangan sistem
cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh tatanan struktur
geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin menentukan perkembangan sistem
cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan gaya kompresif dan ekstensional dari
proses peregangan berarah utara-selatan mempengaruhi pola pembentukan antiklinorium dan
cekungan Palembang yang berarah N300oE (Pulunggono, 1986). Demikian pula pola sebaran
cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat dipengaruhi oleh pola struktur berarah timur-barat
(Brandsen & Mattew, 1992), sedang pola cekungan di Laut Jawa bagian barat-laut berarah
berarah timur-laut – baratdaya, sedang pola cekungan di timur-laut berarah barat-laut – tenggara.
Cekungan Kutai dan Tarakan merupakan cekungan intra kraton (intracratonic basin) di
Indonesia. Pembentukan cekungan terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan
cekungan dan sedimentasi yang bersifat transgresif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen
Tengah (Barber, 1985). Pola-pola ini menjadiken pembentukan delta berjalan efektif sebagai
pembentuk perangkap minyak bumi maupun batubara.
Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan dengan
kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula, Seram, Bituni
dan Salawati di sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi, serta Buton,
merupakan cekungan yang masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985). Keberadaan endapan aspal
di Buton berasosiasi dengan zona tumbukan antara mikro kontinen Tukang Besi dengan lengan
timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono,
1999). Kehadiran minyak di Papua berasosiasi dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang
merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat dengan tepi benua Australia (Barber, 1985).
![Page 11: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/11.jpg)
Sumber dan reservoar hidrokarbon terperangkap struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal
serta di bagian bawah hanging-wall sesar sungkup (Simanjuntak dkk, 1994.
Keberadaan Batubara dan Bituminus
Parameter yang mengendalikan bembentukan batubara adalah (1) sumber vegetasi, (2) posisi
muka air tanah (3) penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, (4) penurunan yang
terjadi setelah pengendapan, (5) kendali lingkungan geotektonik endapan batubara dan (6)
lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. Batubara lazim terbentuk di lingkungan (1)
dataran sungai teranyam, (2) lembah aluvial, (3) dataran delta, (4) pantai berpenghalang dan (5)
estuaria (Diessel, 1992). Batubara di Indonesia umumnya menyebar tidak merata, 60% terletak
di Sumatera Selatan dan 30% di Kalimantan Timur dan Selatan. Sebagian besar batubara
terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan delta, sedang beberapa terbentuk di lingkungan
cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara umumnya berupa bituminous, termasuk dalam
steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena pemanasan oleh intrusi ditemukan di Bukit
Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan karena tekanan tektonik terbentuk di
Ombilin, Sumatera Barat (Sudradjat, 1999).
Urutan kualitas batubara cenderung menggambarkan umurnya. Selama ini batubara di Indonesia
dihasilkan oleh cekungan berumur Tersier. Gambut berumur Resen sampai Paleosen, batubara
sub bituminus berumur Miosen dan batubara bituminus berumur Eosen.
Keberadaan Panasbumi
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki panas bumi terbesar di dunia. Panasbumi
sebaai energi alternatif tidak mempunyai potensi bahaya seperti energi nuklir, serta dari sisi
pencemaran jauh lebih rendah dari batubara. Keberadaan lapangan panas bumi tersebut secara
umum dikontrol oleh keberadaan sistem gunungapi. Di Indonesia lapangan panasbumi tersebar
di sepanjang jalur gunungapi yang memperlihatkan kegiatan sejak Kwarter hingga saat ini. Jalur
ini merentang dari ujung barat-laut Sumatera sampai kepulau Nusatenggara, kemudian
melengkung ke Maluku dan Sulawesi Utara. Pada jalur memanjang sekitar 7.000 km, dengan
lebar 50-200 km tersebut, terdapat 217 lokasi prospek, terdiri dari 70 lokasi prospek entalpi
tinggi (t > 200oC) dan selebihnya entalpi menengah dan rendah. Lapangan prospek tersebut
![Page 12: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/12.jpg)
tersebar di Sumatera (31), Jawa-Bali (22), Sulawesi (6), Nusatenggara (8) dan Maluku (3),
dengan seluruh potensi mencapai 20.000 MWe, dengan total cadangan sekitar 9.100 Mwe.
Pengembangan geotermal di Indonesia saat ini dikonsentrasikan di Sumatera, Jawa-Bali dan
Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai
serta memiliki pertumbuhan kebutuhan listrik yang tinggi. (Sudrajat, 1982: Sudarman dkk.,
1998)
Mineralisasi Busur Vulkanik Jawa:
Sebuah Contoh Busur vulkanik Jawa merupakan bagian dari busur vulkanik Sunda-Banda yang
membentang dari Sumatera hingga Banda, sepanjang 3.700 km yang dikenal banyak
mengandung endapan bijih logam (Carlile & Mitchell, 1994). Batuan vulkanik hasil kegiatan
gunungapi yang berumur Eosen hingga sekarang merupakan penyusun utama pulau Jawa.
Terbentuknya jalur gunungapi ini merupakan hasil dinamika subduksi ke arah utara lempeng
Samudera Hindia ke Lempeng Benua Eurasia (Katili, 1989) yang berlangsung sejak jaman Eosen
(Hall, 1999). Kerak kontinen yang membentuk tepi benua aktif (active continent margin)
mempengaruhi kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian barat, sedang kerak samudera yang
membentuk busur kepulauan (island arc) mempengarui kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian
timur (Carlile & Mitchell, 1994).
Jalur penyebaran gunungapi di Indonesia terdiri dari jalur gunungapi tua (Tersier) dan muda
(Kwarter), yang sejajar dengan jalur penunjaman. Kegiatan vulkanisma Tersier terjadi dalam dua
perioda, yaitu perioda Eosen Akhir – Miosen Awal yang sebagian besar berafinitas toleitik dan
perioda Miosen Akhir – Pliosen yang sebagian besar berafinitas alkali kapur K tinggi (Soeria-
Atmadja dkk, 1991) beberapa batuan berafinitas shosonitik terdapat di Pacitan dan Jatiluhur
(Sutanto, 1993). Berdasarkan pentarikhan umur dengan menggunakan metoda K/Ar, batuan
volkanik Tersier tertua terdapat di Pacitan dengan umur 42,7, juta tahun, sedang termuda
terdapat di Bayah dengan umur 2,65 juta tahun (Soeria-Atmadja, 1991). Kegiatan vulkanisma
umumnya menghasilkan komposisi batuan bersifat andesitik. Beberapa singkapan batuan beku
bersifat dasitik terdapat di beberapa tempat, misalnya intrusi dasit Ciemas Jawa Barat dan
granodiorit Meruberi Jawa Timur serta retas-retas basalt yang banyak terdapat di Kulonprogo
![Page 13: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/13.jpg)
Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur (Soeria-Atmadja, 1991; Sutanto, 1993; Paripurno dan
Sutarto, 1996). Pola ritmik initerjadi karena adanya perubahan sudut penunjaman.
Sutanto (1993) mengelompokkan batuan vulkanik Jawa berdasarkan waktu terbentuknya, yaitu
batuan-batuan vulkanik yang terbentuk oleh (1) Eosen-Oligosen awal, (2) vulkanisme Eosen-
Miosen Akhir, (3) vulkanisme Eosen Akhir – Miosen Awal, (4) vulkanisme Miosen Tengah –
Pliosen, serta (5) vulkanisme Kwarter. Batuan-batuan volkanik Tersier di atas dikenal sebagai
batuan vulkanik kelompok Andesit Tua (van Bemmerlen, 1933), yang saat ini lebih dikenal
dengan nama Formasi Jampang, Formasi Cikotok dan Formasi Cimapag untuk wilayah Jawa
Barat; Formasi Gabo, Formasi Totogan, untuk wilayah Kebumen dan sekitarnya; Formasi Kebo,
Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Semilir, untuk kawasan
Gunungsewu dan sekitarnya; serta Formasi Kaligesing, Formasi Dukuh, Formasi Giripurwo
untuk wilayah Kulonprogo dan sekitarnya; serta di Jawa Timur dikenal dengan nama Formasi
Besole, Formasi Mandalika dan Fomasi Arjosari.
Proses hidrotermal di Jawa yang terdapat mulai dari Pongkor Jawa Barat sampai Sukamade Jawa
Timur. Sebagian besar cebakan merupakan tipe low sulphidation epithermal mineralization. Tipe
lain berupa volcanogenic massive sulphide mineralization, misalnya terdapat di Cibuniasih;
sedang tipe veins assosiated with porphyry system misalnya terdapat di Ciomas, dan sediment
hosted mineralization hanya terdapat di beberapa tempat, misalnya di Cikotok.
Secara umum cadangan yang terdapat di Jawa bagian barat lebih besar dibanding yang terdapat
di Jawa bagian timur. Cadangan terbesar di Jawa bagian barat terdapat di Pongkor dengan kadar
rata-rata 17,4 (Sumanagara dan Sinambela, 1991) dan jumlah cadangan lebih dari 98 ton Au dan
1.026 Ag (Milesi dkk, 1999). Vulkanisme yang terkait dengan mineralisasi umumnya
menunjukkan umur yang relatif muda, Miosen Tengah – Pliosen. Pentarikhan pada beberapa urat
di Pongkor menunjukkan umur 2,7 juta tahun, di Cirotan menujukkan umur 1,7 juta tahun, serta
di Ciawitali menujukkan umur 1,5 juta tahun. Di Cirotan urat-urat tersebut memotong ignimbrit
riodasit berumur 9,5 juta tahun yang diintrusi oleh mikrodiorit berumur 4,5 juta tahun (Milesi
dkk., 1994). Di Pongkor urat-urat tersebut berada pada lingkungan vulkanik kaldera purba yang
![Page 14: Tektonik GBG 2](https://reader035.vdocuments.pub/reader035/viewer/2022071709/55cf9210550346f57b932a6c/html5/thumbnails/14.jpg)
terdiri dari batuan tufa breksi, piroklastika dan lava bersusunan andesit-basalt yang diintrusi oleh
andesit, dasit dan basalt (Sumanagara dan Sinambela, 1991).
Gempa dan bencana lain suatu saat dan kapan saja akan terjadi pada kita. Namun daibalik dari
semua itu ada sisi baik dari sebuah bencana yang terjadi selama ini dengan kelimpahan selain
sumber daya alam adalah berupa bahan tambang yang telah dapat kita nimati. Rasa syukur kita
senantiasa menjauhkan kita dari bencana dan marabahaya yang sewaktu – waktu datang pada
kita