tektonik gbg 2

19
Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung, punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit longitudinal, serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen klastik tersebut terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak 3.000 km dari palung. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh imbrikasi internal serta pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang merupakan hasil penggilasan simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan muka busur mengalami migrasi, relatif menuju ke arah

Upload: vigen-roka

Post on 24-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Genesa Bahan Galian - Magmatic Arcs

TRANSCRIPT

Page 1: Tektonik GBG 2

Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional

Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan

hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda

berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta

berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung,

punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman

menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta

menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini

terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem

penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang

berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut

Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi

merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai

kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit longitudinal,

serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen klastik tersebut

terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak 3.000 km dari

palung. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan ketebalan material

terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh imbrikasi internal serta

pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang merupakan hasil penggilasan

simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan muka busur mengalami migrasi,

relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan

yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh luncuran di lereng punggungan akresi.

Cekungan muka busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem

penunjaman Sunda dengan lebar 150 – 200 km. Bagian dasar cekungan Jawa dan Sumatera

mempunyai kecepatan tipikal litosfer samudera, dengan kecepatan di sektor Sumatera lebih besar

dari litosfer samudera. Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada

kedalaman 100 – 130 km. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di

Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok.

Page 2: Tektonik GBG 2

Komposisi vulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter

litosfer dengan magma yang dierupsikan.

Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman,

busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa,

Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara

Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas

tenggara lempeng Burma.  Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat Sunda. Di propinsi

ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini konvergensi sepanjang

propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman antara 5o – 8o. Sedimen

memiliki ketebalan antara 200 – 900 m. Imbrikasi di bawah punggungan muka busur mempunyai

ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis.

Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda

yang dianggap sebagai zona diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi

Jawa dan Sumatera busur Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng

Burma. Namun apabila dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak

di sekitar Banten dan Jawa Barat.

Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun

dari 6.000 – 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1

km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7,0 –

5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat

berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera.

Pada Propinsi Sumatera Utara – Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung menajam

ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara – barat-laut. Palung mempunyai

kedalaman berkisar antara 3.500 – 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring

dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 – 4,1 cm/tahun.

Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara – selatan dengan kedalaman sekitar 3.000 m.

Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan penunjaman

Page 3: Tektonik GBG 2

berkisar antara 0,7 – 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh pemekaran di laut

Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia.

Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka busur

menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah barat dari

Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di propinsi ini

sekitar 8.000 – 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya sesar Sagaing

di Burma.

Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda Sesar besar Sumatra dan Pulau Sumatra

merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional pada pola

tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh

keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng

benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng samudera sekitar

20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer (Hamilton, 1979).

Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan

antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu, yang

mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai

dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi

padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter /

tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan

tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses

konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu

kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993

dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada akhirnya

mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk

mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka

dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan

menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera

Page 4: Tektonik GBG 2

menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000).

Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu

dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan

bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian selatan Pulau Sumatera

memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah pola geser

kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2) lokasi

gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka terbentuk

sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama, (4) punggungan

busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk sederhana, (5) sesar

Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka dan cekungan busur

muka relatif utuh, dan (6) sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.

Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera

berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2)

busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka 1 ~

2 kilometer, (4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat beragam,

(5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur Mentawai

yang berada di sebelah selatannya, dan (6) sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.

Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350 kilometer

potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2) busur

vulkanik memotong dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar

0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring , (4) busur luar

terpecah-pecah, (5) homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur

muka tercabik-cabik, dan (6) sudut kemiringan penunjaman beragam. Proses penunjaman miring

di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya pembagian / penyebaran vektor tegasan

tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus dengan arah zona penunjaman yang

diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini terutama berada di prisma akresi dan

slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem

sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini tidak cukup diakomodasi oleh sesar

Page 5: Tektonik GBG 2

Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga

disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992).

Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng

Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara geometri akan

mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi

antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan terjadinya proses

peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut sebagai lempeng mikro

Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen sejajar palung harus

semakin besar ke arah barat-laut. Sebagai konsekuensi dari kenaikan slip-vector pada daerah

busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di sepanjang sesar Sumatera ke

arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan radiometrik dari unsur yang terofsetkan

di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi

(Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran slip-rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan

gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang

sebesar 11 milimeter / tahun (Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11

milimeter / tahun (Zen dkk, 1991)

Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer tersebut

merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India–Australia

dengan arah tumbukan 10°N ~ 7°S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang masing-

masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75°S ~ 5.9°S), segmen Semangko

(5.9°S ~ 5.25°S), segmen Kumering (5.3°S ~ 4.35°S), segmen Manna (4.35°S ~ 3.8°S), segmen

Musi (3.65°S ~ 3.25°S), segmen Ketaun (3.35°S ~ 2.75°S), segmen Dikit (2.75°S ~ 2.3°S),

segmen Siulak (2.25°S ~ 1.7°S), segmen Sulii (1.75°S ~ 1.0°S), segmen Sumani (1.0°S ~ 0.5°S),

segmen Sianok (0.7°S ~ 0.1°N), segmen Barumun (0.3°N ~ 1.2°N), segmen Angkola (0.3°N ~

1.8°N), segmen Toru (1.2°N ~ 2.0°N), segmen Renun (2.0°N ~ 3.55°N), segmen Tripa (3.2°N ~

4.4°N), segmen Aceh (4.4°N ~ 5.4°N), segmen Seulimeum (5.0°N ~ 5.9°N)

Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat,

pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia

Page 6: Tektonik GBG 2

mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang

relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra Australia

dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur

kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil. Perbedaan sudut penunjaman antara propinsi

Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas

busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di selat

Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakan anomali

gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang cenderung

lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian Timur. Secara

vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jika dilakukan

pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatra

secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga.

Tektonik Indonesia Barat dan Timur

Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng telah lama

dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di Indonesia dilakukan

oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975, 1978, 1980). Secara

setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk menjelaskan gejala

geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak (1986) menerapkannya

untuk memahami keruwetan Sulawesi. Sartono (1990) mengemukakan bahwa tatanan tektonik

Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur

geosiklin ini merupakan zona akibat proses tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua

yang bekerja pada waktu itu terdiri dari kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan,

benua mikro Sunda, kerak samudra Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami

tersebut membentuk busur-busur geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-

Papua. Peta anomali gaya berat dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan

tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding

Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan

Sunda yang relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran

Page 7: Tektonik GBG 2

Kalimantan serta peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi

Indonesia Barat (Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara

keberadaan benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973

dan Pigram dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik

Indonesia bagian timur.

Manfaat dari tatanan lempeng tektonik Indonesia

Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran batuan,

penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia yang rumit.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha penelusuran keberadaan mineral ekonomis

telah dilakukan oleh banyak orang. Mineral ekonomis adalah mineral bahan galian dan energi

yang mempunyai nilai ekonomis. Mineral logam yang termasuk golongan ini adalah tembaga,

besi, emas, perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non logam yang termasuk golongan ini

adalah fosfat, mika, belerang, fluorit, mangan. Mineral industri adalah mineral bahan baku dan

bahan penolong dalam industri, misalnya felspar, ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak,

gas dan batubara atau bituminus lainnya. Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam

golongan ini walaupun cara pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999)

Keberadaan Mineral Logam

Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme dan vulkanisme,

pada saat proses magmatisme akhir (late magmatism), pada suhu sekitar 200oC. Westerveld

(1952) menerbitkan peta jalur kegiatan magmatik. Dari peta tersebut dapat diperkirakan

kemungkinan keterdapatan mineral logam dasar yang pembentukannya berkaitan dengan

kegiatan magmatik. Carlile dan Mitchell (1994), berdasarkan data-data mutakhir Simanjuntak

(1986), Sikumbang (1990), Cameron (1980), Adimangga dan Trail (1980), memaparkan busur-

busur magmatik seluruh Indonesia sebagai dasar eksplorasi mineral. Teridentifikasikan 15 busur

magmatik, 7 diantaranya membawa jebakan emas dan tembaga, dan 8 lainnya belum diketahui.

Busur yang menghasilkan jebakan mineral logam tersebut adalah busur magmatik Aceh,

Sumatera-Meratus, Sunda-Banda, Kalimantan Tengah, Sulawesi-Mindanau Timur, Halmahera

Tengah, Irian Jaya. Busur yang belum diketahui potensi sumberdaya mineralnya adalah Paparan

Page 8: Tektonik GBG 2

Sunda, Borneo Barat-laut, Talaud, Sumba-Timor, Moon-Utawa dan dataran Utara Irian Jaya.

Jebakan tersebut merupakan hasil mineralisasi utama yang umumnya berupa porphyry copper-

gold mineralization, skarn mineralization, high sulphidation epithermal mineralization, gold-

silver-barite-base metal mineralization, low sulphidation epithermal mineralization dan sediment

hosted mineralization.

Jebakan emas dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan fase

akhir magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal sebagai proses

epitermal, karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga dapat terjadi di

lingkungan batuan vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen (sedimen hosted

rock), yang lebih dikenal dengan skarn. Contoh cukup baik atas skarn terdapat di Erstberg

(Sudradjat, 1999). Skarn Erstberg berupa roofpendant batugamping yang diintrusi oleh

granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh oleh struktur geologi setempat. Sebagai sebuah

roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatik contact sampai metamorphic zone

(Juharlan, 1993).

Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan signifikan

pada potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini terdapat pada

kedalaman kurang dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi muda berumur kurang

dari 70 juta tahun. Sebagian besar host rock merupakan batuan vulkanik, dan hanya beberapa

yang merupakan sediment hosted rock. Cebakan emas epitermal umumnya terbentuk pada bekas-

bekas kaldera dan daerah retakan akibat sistem patahan.

Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai sistem porfiri

(porphyry). Contoh baik atas porfiri terdapat di kompleks Grasberg di Papua, dengan

mineralisasi utama bersifat disseminated sulfide dengan mineral bijih utama kalkopirit yang

banyak pada veinlet (MacDonald, 1994). Contoh lain terdapat di Pongkor dan Cikotok di Jawa

Barat, Batu Hijau di Sumbawa, dan Ratotok di Minahasa. Lingkungan lain adalah kondisi

gunungapi di daerah laut dangkal. Air laut yang masuk ke dalam tubuh bumi berperan membawa

larutan mineral ke permukaan dan mengendapkannya. Contoh terbaik atas proses ini terjadi di

Pulau Wetar, yang menghasilkan mineral barit. Proses pengkayaan batuan karena pelapukan

Page 9: Tektonik GBG 2

dikenal dengan nama pengkayaan supergen. Batuan granitik yang lapuk akan menghasilkan

mineral pembawa aluminium, antara lain bauxit. Proses ini sangat berhubungan dengan

keberadaan jalur magmatik, berupa subduksi pada lempeng benua bersifat asam, sehingga

menghasilkan baruan bersifat asam. Contoh pelapukan granit ini antara lain terjadi di Kalimantan

Barat, Bangka, Belitung dan Bintan. Peridotit terbentuk di lingkungan lempeng samudera yang

akan kaya mineral berat besi, nikel, kromit, magnesium dan mangan. Keberadaannya di

permukaan disebabkan oleh lempeng benua Pasifik yang terangkat ke daratan oleh proses

obduksi dengan lempeng benua Eurasia, yang kemudian “disebarkan” oleh sesar Sorong (Katili,

1980) sebagai pulau-pulau kecil di berada di kepulauan Maluku. Pelapukan akan menguraikan

batuan ultrabasa tersebut menjadi mineral terlarut dan tak terlarut. Air tanah melarutkan

karbonat, kobalt dan magnesium, serta membawa mineral besi, nikel, kobalt, silikat dan

magnesium silikat dalam bentuk koloid yang mengendap. Endapan kaya nikel dan magnesium

oksida disebut krisopas, dan cebakan nikel ini disebut saprolit. Proses pelapukan peridotit akan

menghasilkan saprolit, batuan yang kaya nikel. Pelapukan ini terjadi di sebagian kepulauan

Maluku, antara lain di pulau Gag, Buton dan Gebe (Sudrajat, 1999).

Keberadaan Minyak dan Gas Bumi

Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai kegiatan

ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini memiliki peran

sekitar 80% dari total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di Indonesia. Dengan

demikian peran minyak dan gas bumi dalam peningkatan perolehan devisa negara masih sangat

diperlukan. Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan bahwa terdapat hubungan

yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat dengan elemen-

elemen tektonik yang ada. Cekungan-cekungan besar di wilayah Asia Tenggara

merepresentasikan kondisi setiap elemen tektonik yang ada, yaitu cekungan busur muka (forearc

basin), cekungan busur belakang (back-arc basin), cekungan intra kraton (intracratonic basin),

dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona tumbukan (collision zone basin).

Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui ada sekitar 60

basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial. Diantaranya basin

Page 10: Tektonik GBG 2

Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat, Natuna

Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.

Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-lapangan

minyak paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat flow dari proses

penurunan cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya kompresi telah

menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap struktur sebagai

tempat akumulasi hidrokarbon (Barber, 1985). Secara lebih rinci, perkembangan sistem

cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh tatanan struktur

geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin menentukan perkembangan sistem

cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan gaya kompresif dan ekstensional dari

proses peregangan berarah utara-selatan mempengaruhi pola pembentukan antiklinorium dan

cekungan Palembang yang berarah N300oE (Pulunggono, 1986). Demikian pula pola sebaran

cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat dipengaruhi oleh pola struktur berarah timur-barat

(Brandsen & Mattew, 1992), sedang pola cekungan di Laut Jawa bagian barat-laut berarah

berarah timur-laut – baratdaya, sedang pola cekungan di timur-laut berarah barat-laut – tenggara.

Cekungan Kutai dan Tarakan merupakan cekungan intra kraton (intracratonic basin) di

Indonesia. Pembentukan cekungan terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan

cekungan dan sedimentasi yang bersifat transgresif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen

Tengah (Barber, 1985). Pola-pola ini menjadiken pembentukan delta berjalan efektif sebagai

pembentuk perangkap minyak bumi maupun batubara.

Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan dengan

kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula, Seram, Bituni

dan Salawati di sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi, serta Buton,

merupakan cekungan yang masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985). Keberadaan endapan aspal

di Buton berasosiasi dengan zona tumbukan antara mikro kontinen Tukang Besi dengan lengan

timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono,

1999). Kehadiran minyak di Papua berasosiasi dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang

merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat dengan tepi benua Australia (Barber, 1985).

Page 11: Tektonik GBG 2

Sumber dan reservoar hidrokarbon terperangkap struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal

serta di bagian bawah hanging-wall sesar sungkup (Simanjuntak dkk, 1994.

Keberadaan Batubara dan Bituminus

Parameter yang mengendalikan bembentukan batubara adalah (1) sumber vegetasi, (2) posisi

muka air tanah (3) penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, (4) penurunan yang

terjadi setelah pengendapan, (5) kendali lingkungan geotektonik endapan batubara dan (6)

lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. Batubara lazim terbentuk di lingkungan (1)

dataran sungai teranyam, (2) lembah aluvial, (3) dataran delta, (4) pantai berpenghalang dan (5)

estuaria (Diessel, 1992). Batubara di Indonesia umumnya menyebar tidak merata, 60% terletak

di Sumatera Selatan dan 30% di Kalimantan Timur dan Selatan. Sebagian besar batubara

terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan delta, sedang beberapa terbentuk di lingkungan

cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara umumnya berupa bituminous, termasuk dalam

steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena pemanasan oleh intrusi ditemukan di Bukit

Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan karena tekanan tektonik terbentuk di

Ombilin, Sumatera Barat (Sudradjat, 1999).

Urutan kualitas batubara cenderung menggambarkan umurnya. Selama ini batubara di Indonesia

dihasilkan oleh cekungan berumur Tersier. Gambut berumur Resen sampai Paleosen, batubara

sub bituminus berumur Miosen dan batubara bituminus berumur Eosen.

Keberadaan Panasbumi

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki panas bumi terbesar di dunia. Panasbumi

sebaai energi alternatif tidak mempunyai potensi bahaya seperti energi nuklir, serta dari sisi

pencemaran jauh lebih rendah dari batubara. Keberadaan lapangan panas bumi tersebut secara

umum dikontrol oleh keberadaan sistem gunungapi. Di Indonesia lapangan panasbumi tersebar

di sepanjang jalur gunungapi yang memperlihatkan kegiatan sejak Kwarter hingga saat ini. Jalur

ini merentang dari ujung barat-laut Sumatera sampai kepulau Nusatenggara, kemudian

melengkung ke Maluku dan Sulawesi Utara. Pada jalur memanjang sekitar 7.000 km, dengan

lebar 50-200 km tersebut, terdapat 217 lokasi prospek, terdiri dari 70 lokasi prospek entalpi

tinggi (t > 200oC) dan selebihnya entalpi menengah dan rendah. Lapangan prospek tersebut

Page 12: Tektonik GBG 2

tersebar di Sumatera (31), Jawa-Bali (22), Sulawesi (6), Nusatenggara (8) dan Maluku (3),

dengan seluruh potensi mencapai 20.000 MWe, dengan total cadangan sekitar 9.100 Mwe.

Pengembangan geotermal di Indonesia saat ini dikonsentrasikan di Sumatera, Jawa-Bali dan

Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai

serta memiliki pertumbuhan kebutuhan listrik yang tinggi. (Sudrajat, 1982: Sudarman dkk.,

1998)

Mineralisasi Busur Vulkanik Jawa:

Sebuah Contoh Busur vulkanik Jawa merupakan bagian dari busur vulkanik Sunda-Banda yang

membentang dari Sumatera hingga Banda, sepanjang 3.700 km yang dikenal banyak

mengandung endapan bijih logam (Carlile & Mitchell, 1994). Batuan vulkanik hasil kegiatan

gunungapi yang berumur Eosen hingga sekarang merupakan penyusun utama pulau Jawa.

Terbentuknya jalur gunungapi ini merupakan hasil dinamika subduksi ke arah utara lempeng

Samudera Hindia ke Lempeng Benua Eurasia (Katili, 1989) yang berlangsung sejak jaman Eosen

(Hall, 1999). Kerak kontinen yang membentuk tepi benua aktif (active continent margin)

mempengaruhi kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian barat, sedang kerak samudera yang

membentuk busur kepulauan (island arc) mempengarui kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian

timur (Carlile & Mitchell, 1994).

Jalur penyebaran gunungapi di Indonesia terdiri dari jalur gunungapi tua (Tersier) dan muda

(Kwarter), yang sejajar dengan jalur penunjaman. Kegiatan vulkanisma Tersier terjadi dalam dua

perioda, yaitu perioda Eosen Akhir – Miosen Awal yang sebagian besar berafinitas toleitik dan

perioda Miosen Akhir – Pliosen yang sebagian besar berafinitas alkali kapur K tinggi (Soeria-

Atmadja dkk, 1991) beberapa batuan berafinitas shosonitik terdapat di Pacitan dan Jatiluhur

(Sutanto, 1993). Berdasarkan pentarikhan umur dengan menggunakan metoda K/Ar, batuan

volkanik Tersier tertua terdapat di Pacitan dengan umur 42,7, juta tahun, sedang termuda

terdapat di Bayah dengan umur 2,65 juta tahun (Soeria-Atmadja, 1991). Kegiatan vulkanisma

umumnya menghasilkan komposisi batuan bersifat andesitik. Beberapa singkapan batuan beku

bersifat dasitik terdapat di beberapa tempat, misalnya intrusi dasit Ciemas Jawa Barat dan

granodiorit Meruberi Jawa Timur serta retas-retas basalt yang banyak terdapat di Kulonprogo

Page 13: Tektonik GBG 2

Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur (Soeria-Atmadja, 1991; Sutanto, 1993; Paripurno dan

Sutarto, 1996). Pola ritmik initerjadi karena adanya perubahan sudut penunjaman.

Sutanto (1993) mengelompokkan batuan vulkanik Jawa berdasarkan waktu terbentuknya, yaitu

batuan-batuan vulkanik yang terbentuk oleh (1) Eosen-Oligosen awal, (2) vulkanisme Eosen-

Miosen Akhir, (3) vulkanisme Eosen Akhir – Miosen Awal, (4) vulkanisme Miosen Tengah –

Pliosen, serta (5) vulkanisme Kwarter. Batuan-batuan volkanik Tersier di atas dikenal sebagai

batuan vulkanik kelompok Andesit Tua (van Bemmerlen, 1933), yang saat ini lebih dikenal

dengan nama Formasi Jampang, Formasi Cikotok dan Formasi Cimapag untuk wilayah Jawa

Barat; Formasi Gabo, Formasi Totogan, untuk wilayah Kebumen dan sekitarnya; Formasi Kebo,

Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Semilir, untuk kawasan

Gunungsewu dan sekitarnya; serta Formasi Kaligesing, Formasi Dukuh, Formasi Giripurwo

untuk wilayah Kulonprogo dan sekitarnya; serta di Jawa Timur dikenal dengan nama Formasi

Besole, Formasi Mandalika dan Fomasi Arjosari.

Proses hidrotermal di Jawa yang terdapat mulai dari Pongkor Jawa Barat sampai Sukamade Jawa

Timur. Sebagian besar cebakan merupakan tipe low sulphidation epithermal mineralization. Tipe

lain berupa volcanogenic massive sulphide mineralization, misalnya terdapat di Cibuniasih;

sedang tipe veins assosiated with porphyry system misalnya terdapat di Ciomas, dan sediment

hosted mineralization hanya terdapat di beberapa tempat, misalnya di Cikotok.

Secara umum cadangan yang terdapat di Jawa bagian barat lebih besar dibanding yang terdapat

di Jawa bagian timur. Cadangan terbesar di Jawa bagian barat terdapat di Pongkor dengan kadar

rata-rata 17,4 (Sumanagara dan Sinambela, 1991) dan jumlah cadangan lebih dari 98 ton Au dan

1.026 Ag (Milesi dkk, 1999). Vulkanisme yang terkait dengan mineralisasi umumnya

menunjukkan umur yang relatif muda, Miosen Tengah – Pliosen. Pentarikhan pada beberapa urat

di Pongkor menunjukkan umur 2,7 juta tahun, di Cirotan menujukkan umur 1,7 juta tahun, serta

di Ciawitali menujukkan umur 1,5 juta tahun. Di Cirotan urat-urat tersebut memotong ignimbrit

riodasit berumur 9,5 juta tahun yang diintrusi oleh mikrodiorit berumur 4,5 juta tahun (Milesi

dkk., 1994). Di Pongkor urat-urat tersebut berada pada lingkungan vulkanik kaldera purba yang

Page 14: Tektonik GBG 2

terdiri dari batuan tufa breksi, piroklastika dan lava bersusunan andesit-basalt yang diintrusi oleh

andesit, dasit dan basalt (Sumanagara dan Sinambela, 1991).

Gempa dan bencana lain suatu saat dan kapan saja akan terjadi pada kita. Namun daibalik dari

semua itu ada sisi baik dari sebuah bencana yang terjadi selama ini dengan kelimpahan selain

sumber daya alam adalah berupa bahan tambang yang telah dapat kita nimati. Rasa syukur kita

senantiasa menjauhkan kita dari bencana dan marabahaya yang sewaktu – waktu datang pada

kita