telaah puisi(17 2-10)

6
TUGAS BAHASA INDONESIA SMA N 1 WONOSARI TELAAH PUISI Judul Puisi :Kampung (karya Subagyo Sastrowardoyo,” Dan Kematian Semakin Akrab” ) Nama : Elsana Bekti Nugroho No : 11 Kelas : XA

Upload: elsens-viele

Post on 01-Jul-2015

1.060 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Telaah puisi(17 2-10)

TUGAS BAHASA INDONESIA

SMA N 1 WONOSARI

T E L A A H P U IS IJ u d u l P u is i : K a m p u n g ( k a r y a S u b a g y o

S a s t r o w a r d o y o , ” D a n K e m a t ia n S e m a k in A k r a b ” )

N a m a : E ls a n a B e k t i N u g r o h o

N o : 11

K e la s : X A

Page 2: Telaah puisi(17 2-10)

SMA N 1

WONOSAR

I

SM

A N

1 W

ON

OS

AR

I

TELAAH PUISI

P U I S I

Kampung

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik

karena hawa di sini sudah pengap oleh

pikiran-pikiran beku,

Hidup di negeri ini seperti dalam kampung

di mana setiap orang ingin bikin peraturan

mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan

daftar diri di kemantren.

di mana setiap orang ingin bersuara

dan berbincang tentang susila, politik dan agama

seperti soal-soal yang dikuasai.

Di mana setiap orang ingin jadi hakim

dan mengeroyok keluarga berdansa, orang asing

dan borjuis yang menyendiri,

Di mana tukang jamu disambut dengan hangat,

dengan perhatian dan tawanya,

Di mana ocehan di jalan lebih berharga

dari renungan tenang di kamar.

Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Page 3: Telaah puisi(17 2-10)

SMA N 1

WONOSAR

I

SM

A N

1 W

ON

OS

AR

I

TELAAH PUISI

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik

karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.

Karya :

Subagyo Sastrowardoyo ( Dan Kematian Semakin Akrab )

TE L A A H P U I S I

Ketika Rumah Tak Kunjung Ramah

Pernahkah terbesit di pikiran Anda untuk mencari pencerahan hidup

yang lebih kompleks dengan memutuskan pindah ke luar negeri? Menurut

Anda, hal apakah yang mendasari alasan Anda? Mungkinkah Anda merasa

terposisi layaknya “katak dalam tempurung”? Yang seolah-olah

terperangkap dan tersekap oleh pola konsumsi individual pemerintahannya?

Seakan meloncat kian terjepit oleh terali ketidakadilan, seakan diam

terjerumus oleh permainan para predator bangsa. Disitulah, puncak

kebatinan yang selalu begejolak di angan-angan masyarakat pribumi pada

setiap langkah menyelusuri renungan nurani untuk menempatkan diri

sebagai oposisi kekangan carut marut pemerintahannya.

Kadang kala kita tak sadar, bahwa kitalah sebenarnya yang

menghendaki regulasi, modernisasi, dan posisi yang semacam ini. Layaknya

Page 4: Telaah puisi(17 2-10)

SMA N 1

WONOSAR

I

SM

A N

1 W

ON

OS

AR

I

TELAAH PUISI

pola keumuman yang telah memodifikasi cara kerja manusia pada semua

sendi-sendi kehidupan dalam bermasyarakat. Serta menciptakan rasa haus

untuk bersaing secara tidak sehat, tak kenal sedarah, sekomunitas, apalagi

sebuah kesatuan di bawah lambang suatu negara. Berusaha meraih

kepuasan individual dalam seleksi rekayasa dengan cara yang semena-

mena, agar tidak terperosok jauh oleh nafsu isu global.

Di tempat umum mereka mengumbar angin surga. Ya, mereka ialah

para penerus nasib bangsa, mengatur dengan dua buah tangan predator

yang siap mencengkeram hak-hak asasi boneka-boneka tawanan bangsa.

Di tempat khusus, tangan jail nan licin mempermainkan lajur lalu lintas uang

sehingga masuk ke “ bank saku “ mereka.

Tak luput sorotan kamera ikut berperan aktif memamerkan kecerdasan

para provokator. Mereka yang di undang di acara politik berperan sebagai

politikus, di acara ekonomi ikut-ikutan berpendapat, apalagi di acara hokum

mereka malah sudah menghakimi sendiri fakta yang belum sepenuhnya

terungkap. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Tidak cukupkah

populeritas yang dimiliiki mereka sekarang? Seolah cendekiawan yang ahli

segalanya, memamerkan vokal gaya bicara yang kelihatan jenius. Menyikap

tabir bahwa merekalah orang yang tak bisa menjaga kekonsistenan dalam

berfikir. Banyak orang yang terhipnotis oleh alunan kata yang di buat para

“cendekiawan” itu, mereka sudah tidak sanggup berfikir rasional, logis dan

kritis terhadap akal sehat mereka sendiri.

Page 5: Telaah puisi(17 2-10)

SMA N 1

WONOSAR

I

SM

A N

1 W

ON

OS

AR

I

TELAAH PUISI

Di saat di mana penulis merasakan penatnya rutinitas yang kian

mengekang kebebasan pribadi, Subagyo Sastrowardoyo dengan kritis lewat

goresan karya puisinya berusaha mengungkapkan bahwa kita sekarang

beraktifitas dalam kehidupan bermasyarakat selalu berusaha menerapkan

aturan yang kadang kala tidak sesuai dengan nurani alam bawah sadar

kita. Sehingga “rumah” kita, yaitu bangsa kita sendiri sudah tidak “ramah”

terhadap perinsip dasar hidup kita yang tertanam sebagai pondasi,

sehingga terkontruksi bangunan macam apa yang sesuai dengan pondasi

yang secara fundamental melekat abadi di sistem otak kita.

“ Tak sanggup, tak mampu, maka ku tak hidup ” pelampiasan rasa

emosional sesaat memunculkan ide semacam itu di benak penyair, tatkala

gebrakan sistem yang lebih revolusioner merasuki jiwa-jiwa yang lemah akan

model keteraturan yang baru. Seperti “semut” yang melarikan diri berlari

terbirit-birit berusaha jauh dari bahaya yang melanda daerahnya, tak berani

melawan. Meskipun ada yang berusaha melawan “perusak” rumahnya, toh

perjuangan itu sia-sia, karene hanya segelintir “semut” yang tergugah untuk

memperjuangkan hidupnya. Layaknya analogi “semut” di atas, kita sebagai

orang yang menaruh perhatian terhadap masalah ini, kini tinggal sisa daya

yang tak mampu mengaspirasikan semua gejolak keumuman ini. Satu jalan

terbaik menembus awan hitam yang menutupi keadilan di “rumah” kita,

yaitu dengan cara mencari “rumah” baru di sela-sela perkembangan

negara maju yang kian pesat. Tak mudah memang, melawan arus tuk

mencari aliran baru yang membawa segarnya kebijakan yang diterapkan.

Page 6: Telaah puisi(17 2-10)

SMA N 1

WONOSAR

I

SM

A N

1 W

ON

OS

AR

I

TELAAH PUISI

Atau malah tersangkut ke dalam tumpukan” sampah” berbau busuk, sengir,

dan tengik.

Lautan penuh kebisikan ombak yang gemuruh dan tak teratur, seperti

memang benar tak ada jaminan hak personal maupun sosial di area itu. Tiap

ombak saling berebutan menyuarakan apa saja yang mereka inginkan, di

bawah ideologi keegoisan. Emigrasi di sisi keadaan batin seperti ini, sah-sah

saja. Sebaiknya perlu dirumuskan pikiran lanjutan seperti ini, “ Layakkah kita

berstatus emigran di tanah air yang lebih dari puluhan tahun,

memproklamirkan kemerdekaannya? “. “ Iya-iya, memang benar, mengapa

tak terpikir sebelumnya? “ cukup benar memang, silakan Anda bersandar,

dan mulai merenungi pertanyaan itu. Karena dengan susah-payahnya para

pencetus kemerdekaan mencapai itu, di balas dengan pernyataan sesaat

yang emosional? Mulai berpikir dan merasionalkan gagasan lanjutan ini,

hanya tinggal Anda yang terbangun dari tidur oleh nyanyian semu “nina

bubuk”. Mereka sepenuhnya belum sanggup membuka mata terhadap

rezim kebiadaban era global ini. Bangunkanlah! Ajak mereka singkirkan

kaum borjuis dari sisi bumi yang kalian tempati. Sebatas kehendak mayoritas,

mampu membersihkan ideologi bangsa yang mulai berkarat di terjang arus

keumuman ini. Karena kedaulatan masih menjadi hak priogatif rakyatnya

yang “bersatu dengan satu satuan maksud”. (Els.)