telaah retorika dakwah muhammad arifin...
TRANSCRIPT
TELAAH RETORIKA DAKWAH MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
HIFZANUL HANIF
NIM: 105051001969
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
TELAAH RETORIKA DAKWAH MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
HIFZANUL HANIF
NIM: 105051001969
Pembimbing
Dr. Sunandar, MA
NIP. 19620626 199303 1 004
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
PENGESAHAN P ANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Telaah Retorika Dakwah Muhammad Arifin I1ham, telah
diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 17 September 2012
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperolah ge]ar Sarjana
Komunikasi Is]am (S.Kom.n pada program strata satu (SI) Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
Jakarta, 17 September 2012
Sidang Munaqasab
Sekretaris Merangkap Anggota
Anggota
Penguji I Penguji II
Rubi an h MA NIP. 19730822 99803 2 001
Pembimbing
Dr. unandar MA IP. 19620626 199303 1 004
~
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Sarjana (Strata 1/S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti secara hukum bahwa karya ini bukan karya
asli saya atau merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2012
Hifzanul Hanif
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis hantarkan kehadlirat yang Maha Mulia,
Allah SWT. Yang telah mencurahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis.
Sehingga penulis dapat memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa yang dituntut
untuk menyusun karya ilmiah ini dengan penuh tanggung jawab. Shalawat serta
salam tercurah bagi beliau sang Nabi Agung Muhammad SAW.
Apresiasi penulis sampaikan kepada mereka yang penuh keikhlasan dan
kesabaran dalam membantu penulisan skripsi ini.
1. Orang tua tercinta, almarhum Ayahanda Ali Uddin Tuanku Kuning dan
Ibunda Nurhayati. dan seluruh keluarga yang telah bersabar dalam
memberikan dukungan, baik moril maupun matriil..
2. Pembimbing, Dr. Sunandar, MA, dalam rentan waktu kesibukan beliau
masih berkenan membimbing penulisan skripsi ini. Meskipun penulis
memahami kesibukan beliau yang hilir mudik Jakarta-Surabaya.
3. Dekan fakulatas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Arief Subhan,
MA. Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Drs. Wahidin Saputra, MA. Pembantu Dekan Bidang
Administrasi Umum Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Drs.
Mahmud Jalal, MA. Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Studi Rizal LK, MA
4. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Drs. Jumroni, M.Si.
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ibu Umi Musyarofah,
MA
5. Kawan-kawan di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan juga di tempat
lain yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu. Tak lupa kepada seluruh
guru dan dosen yang turut serta membantu peneliti hingga sampai pada
tahap akhir ini. Terima Kasih.
Jakarta, 17 September 2012
Hifzanul Hanif
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12
E. Metodologi Penelitian ................................................................................ 12
F. Sistematika Penelitian ................................................................................ 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG RETORIKA DAKWAH
A. Pengertian Media Massa ............................................................................ 15
B. Pengertian Retorika .................................................................................... 17
C. Tujuan dan Fungsi Retorika ....................................................................... 19
D. Penerapan Retorika dalam dakwah ............................................................ 21
E. Ruang Lingkup Dakwah ............................................................................ 27
F. Hubungan Retorika dengan Dakwah ......................................................... 34
BAB III PROFIL USTAD MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
A. Biografi Ustad Muhammad Arifin Ilham ................................................... 36
B. Proses Pencarian Identitas Ustad Muhammad Arifin Ilham ...................... 39
BAB IV PENERAPAN RETORIKA DALAM PELAKSANAAN
TAUSIYAH USTAD MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
A. Peran Media dalam Dakwah Islam ............................................................ 44
B. Perspektif M. Arifin Ilham terhadap Retorika dalam Dakwah .................. 49
C. Penerapan Retorika dalam Dakwah Muhammad Arifin Ilham .................. 53
D. Kekuatan Retorika Dakwah Ustad Muhammad Arifin Ilham .................... 61
E. Refleksi Dakwah Muhammad Arifin Ilham ............................................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 70
B. Saran-saran ................................................................................................. 72
KEPUSTAKAAN ..................................................................................... 68
BIODATA PENELITI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan Islam secara garis besar membawa misi penyelamatan manusia dari
kesengsaraan, baik kesengsaraan Dunia ataupun kesengsaraan di Akhirat. Penyebaran
misi keselamatan tersebut diusahakan dengan melakukan seruan/ajakan supaya manusia
tidak terjerembab dalam lubang kesengsaraan. Seruan/ajakan yang digunakan untuk
menyelamatkan manusia tersebut kita kenal dengan istilah ―dakwah‖. Dakwah, dalam
perkembangannya bukan hanya kegiatan penyeruan kepada kebaikan sebagaimana yang
dijalankan bertahun-tahun oleh Nabi Muhammad SAW. Lalu diteruskan oleh
penerusnya, dan hingga hari ini. Dakwah turut serta mengalami perkembangan dalam
tatacara penyampaian misi religius. Jika pada masa awal perkembangan Islam dilakukan
olh orang per orang secara tertutup, maka hari ini Dakwah merupakan kegiatan yang
terbuka dan dilaksanakan tidak saja perorangan namun juga dalam bentuk perlembagaan
Dakwah Islamiyah.
Secara istilah, Dakwah merupakan istilah khusus yang dimiliki oleh Agama
Islam. Menjadi tidak mengherankan jika dalam diskursus keagamaan, istilah dakwah
selalu diidentikkan dengan Islam, karena tidak ada agama di dunia ini yang
menggunakan kata dakwah dalam misi penyebaran agama selain Islam. Dakwah dalam
ajaran Islam adalah panggilan atau seruan bagi umat manusia menuju jalan Allah.
Seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an (12: 108). Sedangkan jalan yang telah
ditetapkan sebagai jalan kebenaran ialah jalan menuju Islam (Q.S, 3: 19).
2
Dari sisi lain, dakwah dapat dipahami sebagai sebuah upaya setiap Muslim untuk
merealisasikan fungsi kerisalahan yang dibawa Muhammad SAW yang harus
disebarluaskan ke seluruh umat manusia—realisasi fungsi kerahmatan Islam sebagai
penyejahtera, pambahagia, pemecah persoalan bagi seluruh manusia. Singkatnya,
dakwah berfungsi sebagai transformasi nilai, yang berarti perubahan bentuk dan perilaku
dari yang tidak/belum Islami berubah menjadi islami. Oleh karena itu, kegiatan dakwah
merupakan suatu yang sangat penting dan merupakan unsur vital dalam Islam.
Mengingat pentingnya peran dakwah tersebut, dakwah dapat dikatakan sebagai
tanggung jawab setiap individu yang mengikrarkan diri beragama Islam sejak seseorang
mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, dalam pengertian selanjutnya dakwah
bukan hanya menjadi kewajiban setiap individu/Muslim tetapi menjadi kewajiban
kolektif.
Perkembangan teknologi yang melaju sangat cepat berimbas pada segala aspek
kehidupan manusia, mulai dari industri hingga interaksi antar manusia di belahan dunia
yang berbeda. Tidak terkecuali pada dunia dakwah atau penyampaian pesan agama.
Perbincangan teknologi dakwah tersebut yang kemudian peneliti sebut sebagai media
dakwah, lebih jauh lagi adalah televisi.
Jika merujuk pada pola kehidupan manusia diera digital, keseluruhan aktivitas
kehidupan tidak luput dari dunia informasi, dimulai pada saat terbangun dari tidur
hingga tidur kembali. Diera 1980an, dengan menjamurnya antena parabola, masyarakat
dengan mudah dapat menikmati siaran dari berbagai stasiun televisi asing yang berbasis
pada jaringan satelit. Dengan kebebasan mendapat tayangan tanpa batas tersebut timbul
polemik dan pro kontra atas efek dari materi berbagai siaran televisi.
3
Terhitung setidaknya di Indonesia sebanyak 11 stasiun televisi mengudara secara
nasional ditambah dengan televisi lokal dan televisi komunitas serta beberapa jaringan
televisi kabel sehingga banyak pihak dari masyarakat terus berpolemik mengenai efek
negatif dari tayangan-tayangan media informasi mutakhir ini.1
Kehadiran televisi di Indonesia tahun 1962, menjadi suatu kebanggaan bagi
rakyat Indonesia. Terlebih lagi bertepatan dengan acara pesta olahraga se-Asia
Tenggara, Asean Games. Kehadirannya ditandai dengan berdirinya Stasiun Televisi
Republik Indonesia atau TVRI pada bulan Agustus 1962. Dengan demikian dalam
lingkungan Internasional, Indonesia telah menjadi suatu bangsa merdeka yang modern,
berkembang cepat dan maju dalam masalah teknologi.2
Namun, perkembangan dunia pertelevisian baru terasa pesat memasuki tahun
1989.3 Momen tersebut ditandai dengan berdirinya stasiun swasta pertama yaitu
1Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunandar, dalam disrtasinya mnjlaskan
banyak lapisan masyarakat menyesalkan tayangan-tayangan yang tidak mendidik seperti kekerasan,
permissiveness, dan lain-lain. Hal ini banyak tertuang pada surat-surat pembaca di beberapa media cetak,
sebagai contoh Harian Republika, edisi hari Rabu (18/8/04), memuat surat pembaca dari seorang siswi
SLTP IT Al-Hikmah, dalam suratnya mengungkapkan kekuatirannya atas sejumlah tayangan sinetron
remaja di televisi. Menurutnya, sinetron-sinetron itu memberi pengaruh besar terhadap merosotnya moral
dan akidah pelajar Indonesia. Lihat juga tulisan Harian Suara Merdeka 21/06/2005 berjudul ―Tayangan
TV Swasta Meresahkan‖. Untuk lebih jelas memahami polemik seputar televisi sebagai media informasi
secara teoritis lihat teori agenda setting dari Maxwell McCombs dan Charles Wright (Prisgunanto 2004:
90-91) serta teori propaganda Lasswell dan teori Lippman tentang bentuk opini publik (Prisgunanto 2004:
160-161). Lihat juga tulisan Aeron Davis dalam jurnal Media, Culture and Society (Media Effect and the
Question of Rational Audiences : Lessons from the financial markets, 2006) yang menilai seberapa besar
pengaruh informasi dari televisi pada perilaku orang pada umumnya. 2Iskandar Muda, Jurnalistik Televisi, 190. Lihat juga Sunardian Wirodono dalam, ”Matikan TV-
Mu”!, ia mengatakan bahwa sebenarnya TVRI mengudara pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1962.
tapi tanggal itu merupakan siaran percobaan untuk menghadapi siaran rutin bertepatan dengan pembukaan
Asian Games IV. Baru pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI mulai siaran rutin, dan tanggal itulah
ditetapkan sebagai tanggal lahirnya TVRI. Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu!, (Yogyakarta : RESIST
BOOK, 2005), Cet. Ke-1. Lihat situs Wikipedia mengenai TVRI Sejarah dan Perkembangannya. 3Setelah sekian lama TVRI satu-satunya stasiun televisi kepunyaan pemerintah yang memegang
hak siaran televisi, kemudian pemerintah Indonesia secara resmi memberikan izin pendirian stasiun
televisi swasta yang tertuang dalam peraturan pemerintah Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor : 190
4
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang secara resmi mengudara pada tanggal 24
agustus 1989. Berturut-turut kemudian mengudara stasiun-stasiun televisi swasta
lainnya; SCTV (24/8/1990), TPI (23/1/1991) yang kemudian berganti nama menjadi
MNC TV (Oktober 2010), Anteve (7/3/1993), Indosiar (11/1/1995), Metro TV
(25/11/2000), Trans TV (25/11/2001), dan Lativi (17/1/2002) juga kemudian berganti
nama menjadi TV ONE. Selanjutnya menyusul pula TV 7 (Trans 7) dan TV Global.
Stasiun-stasiun Televisi Swasta tersebut belum termasuk stasiun televisi lokal – regional
yang berdiri di beberapa daerah. Televisi dan dunia pertelevisian di beberapa negara
berkembang berperan sebagai agen pembangunan.4
Industri media, di dalamnya termasuk produksi pesan sekaligus distribusi
informasi seringkali menjadi ajang perbincangan yang tak kunjung berakhir. Dalam
telaah kajian Ilmu Komunikasi, khususnya kajian penyiaran Islam, media dan profesi
da’i berada dalam satu konsep industri senantiasa terlibat dalam dialektika kehidupan
khalayak sepanjang masa. Hubungan media dan masyarakat (khalayak media) telah
terjalin sedemikian rupa, sehingga menghasilkan asumsi dasar bahwa media
memberikan pemaknaan baru terhadap kehidupan, masyarakat, dan juga interaksi sosial,
yang kemudian disebut dengan istilah realitas sosial media.
A/Kep/Menpen/ 1987 tentang siaran saluran terbatas, yang membuka peluang bagi televisi swasta untuk
beroperasi. 4Jim Macnamara, Strategi Jitu Menaklukkan Media, Cetakan ke-1, Mitra Media, Jakarta: 1999,
9-10. Di Indonesia misalnya, pemerintah melihat media televisi sebagai sumber daya yang kritis dan
strategis untuk ikut membantu dalam mengomunikasikan pendidikan dan informasi vital mengenai isu
mendasar seperti kesehatan, perairan, pengendalian kelahiran, bahaya penyakit epidemik, ekonomi,
budaya, agama, olah raga dan seni bahkan sampai ke berita seputar politik dan kebijakan pemerintah4.
Bukan hanya sebatas domestik–nasional saja. Namun pengaruh media televisi ini telah meluas seantero
dunia layaknya membuka jendela dunia. Sehingga semangat kemerdekaan yang ditiupkan dari Benua Asia
telah menyalakan semangat beberapa negara di Benua Afrika untuk merdeka dari kolonialisme Barat.
5
Sehingga wajar, jika ada juru dakwah dengan kemampuan seadanya, namun
kemasannya meyakinkan maka realitanya juru dakwah tersebut diangap oleh
kebanyakan orang sebagai pakar dakwah. Meskipun kondisi yang sebenarnya seringkali
salah dan kurang mumpuni. Kenapa hal tersebut terjadi, konsep utamanya adalah
kemasan media yang mampu membuat penokohan menjadi sempurna. Hanya
brmodalkan klucuan, ataupun tindakan yang mngundang glak tawa, kmudian mmbuat
pndngar snang, maka mdia akan trus mnrus mmanfaatkan kondisi trsbut.
Berbeda lagi ketika bahasan merujuk pada pemberitaan, bukan program acara,
yakni rumusan antara media dan jurnalis. Setidaknya ada dua kata kunci yang menjadi
klaim Jurnalis atau pekerja media selama ini bahwa dia adalah ―Independen dan
Objektif‖, Seorang Jurnalis selalu menyatakan dirinya telah bertindak objektif, seimbang
serta tidak berpihak pada siapapun dan pada kepentingan apapun dalam mengetahui
kebenaran serta memberitakannya pada khalayak. Namun dalam kenyataan, kita ketahui
lewat pemberitaan suatu peristiwa yang sama, Media tertentu memberitakan dengan
cara menonjolkan aspek tertentu, sedangkan media lainnya memelintir bahkan menutup
aspek tersebut dari pemberitaan.
Pada dasarnya Media adalah pekerjaaan yang berhubungan dengan pembentukan
realitas. Setiap pekerja media mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas
suatu peristiwa. Pembentukan konstruksi peristiwa dalam pemberitaan, sangat
dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan
berbagai tekanannya. Ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan
pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi
6
sosial yang mendefenisikan realitas. ―Berita bukanlah dari realitas, ia hanya konstruksi
dari realitas. (Eriyanto, 2002: 23)‖.
Idealnya bahwa setiap Media menyajikan secara utuh suatu peristiwa, namun
pada kenyataannya dalam banyak penelitian yang membuktikan bahwa isi media tidak
selalu mencerminkan seluruh realitas sosial yang ingin disampaikan. Begitu juga dengan
media yang berbeda akan menghasilkan isi yang berbeda pula dalam menyajikan suatu
realitas yang sama. Produksi berita di media massa pada dasarnya merupakan
penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah ―cerita‖. Maka tugas redaksional
media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa.
Berangkat dari pernyataan di atas, bahwa media massa memiliki pengaruh yang
sangat kuat terhadap kehidupan. Sejalan dengan pemikiran peneliti, salah satu kekuatan
media massa adalah membentuk realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret,
Approach to Media: a Reader (1995; 12), memperkenalkan konsep efek sebaran
(resonansi). Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan
kesamaan persepsi dan secara terus menerus. Ketika realitas media mirip dengan realitas
sosial yang terjadi di lingkungannya, proses resonansi itu tercipta.
Dalam konteks kekuataannya inilah media menjadi alat ampuh dalam
pembentukan opini publik, jika asumsinya digeser ke wilayah realitas masyarakat maka
opini publik akan membentuk persepsi simpati dan empati. Dalam penelitian ini, peneliti
akan mencari kebenaran apakah ada peran media dalam membangun kemasan terhadap
model dan retorika dakwah yang disampaikan oleh da’i muda, Muhammad Arifin Ilham.
Dalam dunia dakwah, televisi berperan agresif dalam pola penyebaran ajaran
agama, sehingga saat penelitian ini dilakukan telah tersebar di seluruh pelosok darah
7
termasuk di wilayah-wilayah tersulit dalam jangkauan manusia. Secara khusus, tidak
berlebihan jika Thomas W. Arnol menyebut Agama Islam sebagai agama dakwah.5
Dakwah yang diartikan mengajak ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara dan
kapasitas pribadi muslim masing-masing. Dakwah bisa dilakukan dengan cara audio
(billisan), tulisan (bilkalam), dan dengan tindakan ataupun praktik (bilhal). Dalam Al-
Qur’an, surah an-Nahl disbutkan:
ادع انً سبيم ربك ببنحكمة وانمىعظة انحسنة وجبدنهم ببنتً هً احسه ان ربك هى اعهم بمه ضم عه سبيهه وهى
اعهم بمه ضم عه سبيهه وهى اعهم ببنمهتذيه
Artinya: ―Suruhlah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk‖. (QS. An-Nahl: 125).
Uraian penggalan kalimat di atas jelaslah bahwa berdakwah menyampaikan
tentang jalan kebenaran merujuk pada konteks ajaran Islam, Allah dan segala
kekuasaan-Nya serta taat kepada-Nya merupakan perjalanan, ciri-ciri dan syarat para
Nabi dan Rasul Allah Swt mengutus, memerintah, berwasiat dan menganjurkan kepada
para nabi dan para rasul untuk berdakwah dan untuk berdakwah pula para ulama dan
para waliyullah sesudahnya.6
Sejarah mencatat, sejak zaman Rasul Muhammad, perjalanan dakwah Agama
Islam mengalami banyak perubahan sesuai dengan keadaan dan tuntutan zaman,
5 Thomas W. Arnol, Sejarah Dakwah Islam, Diterj. The Preaching of Islam, Penj. A. Nawawi
Rambe, (Yogyakarta: Widjaya, 1981), h. 1. Agama dakwah ialah agama yang di dalamnya usaha untuk
menyebarkan kebenaran dan mengajak orang-orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas
suci olah para pendirinya atau para penggantinya.
6 Imam Habibi Abdullah al-hadad, Kelengkapan Dakwah, (Semarang:CV Toha Putra, 1980), h.
17-18
8
sehingga umat Islam melakukan pergerakan dakwah Islamiyah menyesuaikan dengan
profesi dan kapasitas masing-masing. Misalnya seorang kepala rumah tangga berdakwah
dengan cara menjadi figur ayah yang baik bagi anak-anak dan keluarganya, pedagang
berdakwah dengan cara berdagang yang baik, jujur sesuai dengan syariat Islam.
Negarawan berdakwah dengan cara menunjukkan figur pemimpin yang berani, tangguh,
gagah, jujur, adil dan taat kepada Allah swt.
Dan apatah lagi seorang muballigh berdakwah dengan menggunakan posisinya
sebagai seorang guru dengan cara memberikan tausiyah dari satu tempat ke tempat lain,
dari satu kelompok ke kelompok lain yang berbeda, sehingga membutuhkan cara
penyampaian yang berbeda pula, menggunakan retorika dakwah Islam yang fleksibel,
dinamis, memikat dan menarik perhatian, berpedoman pada al Quran dan al Hadis.
Dalam konteks tersebut, perjalanan dakwah seperti inipun terjadi di Indonesia,
sehingga Islam di Indonesia mudah meluas dan berkembang. Keberadaan Islam di
Indonesia sudah ada sejak beberapa abad lalu. Azyumardi Azra, misalnya
mengidentifikasi empat hal yang menjadi proses masuknya Islam nusantara, yaitu
dibawa langsung dari tanah Arab, diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah.
Orang-orang pertama yang masuk Islam adalah penguasa dan sebagian besar juru
dakwah datang di nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.7
Tujuan dakwah bukanlah sekedar menyuguhkan fakta semata, tapi juga
menjelaskan fakta tersebut sedemikian rupa sehingga tidak saja ia menjadi jelas bagi
kelompok elit di masyarakat, tapi juga dipahami oleh orang-orang awam. Kebenaran
mesti disuguhkan dengan bahasa yang indah dan dalam bentuk yang anggun supaya
7 Azyumardi Azra, Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), h. 31
9
mereka yang berkemampuan menerima kebenaran dapat menerimanya, dan mereka yang
berpaling darinya tidak mempunyai alasan apa-apa lagi kecuali hawa nafsu dan
kekerasan kepada mereka.8
Melihat napak tilas sejarah penyebaran Islam dimasa-masa awal. Rasulullah Saw
adalah seorang penyeru kebenaran yang sangat baik, memiliki tutur sapa dan gaya lemah
lembut, sehingga kata-kata yang bersumber dari lubuk hati yang paling dalam tersebut
itu, mampu menggetarkan hati orang-orang yang mendengarnya. Dan kata-kata yang
baik itu banyak terdapat dalam Al quran dan al hadis. Rasulullah saw bersabda:
ان خير انحذيث كتبة اهلل وخير انهذي هذي محمذ وشر االمىر محذثبتهب
Artinya: Sesungguhnya ucapan yang paling baik adlah kitab Allah (Al quran) dan
sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad dan seburuk-buruknya
perkara adalah yang diada adakan (HR. Muslim)
Bahkan Nabi menekankan agar berpegang pada hadis beliau dalam kondisi arus
budaya dan tradisi masyarakat yang telah menyimpang.9 Oleh karena itu, dakwah
haruslah dilakukan dengan multidisiplin keilmuan untuk kemudian dengan gaya
persuasinya mengerahkan potensi untuk berbuat kebaikan dari potensi yang dimiliki
oleh manusia.
Ketika modernisasi, terjadi pula perubahan pemahaman umat terhadap ajaran
agama. Menurut banyak literatur dalam masalah ini, perkembangan dalam bidang sosial,
8 Amin Ahsan Islahi, Serba-serbi Dakwah, (Bandung: Pustaka, 1982), h. 69
9 Shahih Muslim, 3:11/ Dr. Nuruddin ltr, Ulumu al Hadis, (Bandung: Rosdakarya, 1995), h. 4
10
politik dan ekonomi mungkin pula dibarengi oleh perubahan dalam sikap agama.10
Perubahan ini yang mewarnai corak kehidupan masyarakat sosial, hingga perhatian
mereka terhadap agama dan kebudayaan mengalami kelenturan. Di bidang agama
perubahan sikap ini dinamakan sekularisme. Dikatakan demikian karena dibatasinya
lembag-lembaga agama, pengrasionalan moralitas dan mengurangi perhatian pada hal-
hal mistik dan supranatural.
Di sinilah dakwah berfungsi untuk menyadarkan dan mengembalikan umat
manusia untuk bersatu dalam bertauhid, melenturkan bubungan komunikasi mereka
dalam batas-batas religi. Sementara ini hal lainnya yang juga perlu diperhatikan bahwa
dakwah berkembang pesat dan mengalami ekspansi. Bila berdakwah memperhatikan
kepada siapa kita berdakwah, apa kultur mereka, berapa usia, pendidikan dan pekerjaan
mereka. Semua ini menjadi tuntutan agar para da’i lebih berhati-hati dalam penyampaian
dakwah hingga dakwahnya dapat diterima dengan baik.
Muhammad Arifin Ilham adalah salah satu dari sekian banyak muballigh yang
terbilang sukses dalam penyampaian dakwahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung (melalui stasiun tlvisi swasta). Dengan sistem penyampaian dakwah yang baik
beliau dapat merekrut begitu banyak mad’u dari berbagai kalangan dan status sosial.
Ustad Arifin Ilham yang dikenal dengan majlis zikirnya juga seorang orator yang
handal, kadang ia hanya memimpin zikir bersama, kadang pula ceramah dan zikir dan
terkadang ceramah murni.
10 John L. Esposito, Identitas Islam pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1986), h. 307
11
Hal inilah yang menjadikan penulis memiliki ketertarikan terhadap figur
muballigh muda yang memiliki cita-cita luhur ini untuk mengajak manusia menjadi
hamba yang terbaik dalam pandangan Tuhan (khairu ummah). Dengan gaya bahasa
ceramahnya yang lembut yang menggetarkan hati, suara yang khas, pengolahan kata-
kata yang indah dan menarik serta dibarengi dengan akhlak yang baik.
Berdasarkan pertimbangan dan alasan yang telah dikemukakan di atas dan
dikuatkan pula oleh fakta bahwa retorika adalah suatu ilmu yang sangat penting untuk
dimiliki oleh seorang da’i dalam penyampaian dakwahnya agar pesan-pesan dakwah
yang disampaikan dapat dikemas dengan baik dan diterima oleh khalayak. Maka dari itu
peneliti merumuskan penitian ini dengan judul TELAAH RETORIKA DAKWAH
MUHAMMAD ARIFIN DI MEDIA
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan pengantar di atas, agar penelitian ini lebih terfokus pada kajian yang
ingin peneliti hasilkan, selain itu juga untuk memperjelas permasalahan dalam penulisan
penelitian ini, maka peneliti merumuskan masalah-masalah berikut ini:
1. Bagaimana pola dakwah yang diljalankan oleh Muhammad Arifin Ilham?
2. Apa kekuatan retorika dakwah dalam tausiyah Muhammad Arifin Ilham?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, setidaknya akan menghasilkan
beberapa indikasi tujuan, maka penelitian ini bertujuan untuk:
12
1. Mengetahui tata cara, retorika dan pola penyampaian dakwah Muhammad Arifin
Ilham.
2. Mengetahui kekuatan dan nilai lebih dari retorika dakwah dalam tausiyah
Muhammad Arifin Ilham
D. Manfaat Penelitian
Setidaknya ada dua manfaat yang menjadi pertimbangan hasil penlitian ini, yaitu
manfaat akademis dan manfaat praktis.
Pertama, merujuk pada manfaat akademis peneliti berharap hasil penelitian ini
berguna bagi dunia akademik, terkait kajian retorika dan pola dakwah di media. Selain
itu juga mampu menjadi penyelaras referensi yang berkaitan dengan isu media massa
dalam perannya terhadap program religi. Secara khusus bagi peneliti sebagai sarana
untuk menambah wawasan dalam ilmu komunikasi khususnya di bidang retorika.
Kedua, penelitian ini menjadi salah atu sayarat untuk memenuhi kewajiban peneliti
sebagai mahasiswa, yakni sebagai tugas akhir yang akan peneliti susun sebagai skripsi.
E. Metodologi Penelitian
1 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis atau langkah
analisa kritis, yaitu metode yang memiliki beberapa langkah penerapan. Langkah
pertama adalah mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi bahasan utama. Gagasan
primer ini diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan nara sumber. Langkah
13
selanjutnya adalah membahas gagasan primer tersebut yang pada hakikatnya
memberikan penafsiran penulis terhadap gagasan penulis yang telah dideskripsikan.
2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pusat majelis Az Zikra yang bertempat di Kompleks
Az Zikra, perumahan Mampang Indah Dua, Pancoran Mas Depok 16435, (sekarang
telah memiliki lokasi lain yakni di Masjid Moammar Khadafy, Sentul-Bogor) Penelitian
ini dimulai pada bulan November 2011 sampai bulan April 2012.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini bersifat deskriptif analisis dengan sistematika penulisan
yang terbagi menjadi lima bab yang masing-masing bab dibagi menjadi beberapa sub
bab secara rinci.
Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistemtika penulis.
BAB II Landasan teoritis tentang retorika dakwah. Terdiri dari telaah media
massa khususnya televisi, pengertian retorika, tujuan dan fungsi retorika,
penerapan retorika dalam dakwah di media, ruang lingkup dakwah dan
media.
14
BAB III Profil Muhammad Arifin Ilham terdiri dari gambaran singkat tentang
Muhammad Arifin Ilham dan proses pencarian identitas Muhammad
Arifin Ilham hingga ia dikenal sebagai tokoh dakwah Indonesia.
BAB IV Kemasan media massa dan pola penerapan retorika terhadap pelaksanaan
dakwah Muhammad Arifin Ilham, terdiri dari pandangan Muhammad
Arfin Ilham tentang retorika dakwah dan penerapan retorika dalam
tausiyah Muhammad Arifin Ilham.
BAB V Penutup, berisi tentang jawaban atas permasalahan penelitian yang
tertuang dalam kesimpulan dan saran.
15
BAB II
LANDASAN TEORITIS RETORIKA DAKWAH DAN MEDIA MASSA
A. Pengertian Media Massa
Televisi, sebagai presentasi media massa yang terbesar selain Radio, Koran
(Surat Kabar) dan Film. Media massa, sebagaimana telah dijelaskan di atas disebut
sebagai produsen sekaligus distributor informasi, hal ini sekaligus menjadi kritik
terhadap istilah penyedia informasi.1 Dewasa ini, media semakin memegang peran yang
penting dalam kehidupan, tidak saja terkait dakwah, namun juga politik, dan beberapa
wilayah kepentingan lainnya.
Dalam kajian ilmu komunikasi, perbincangan media massa adalah perbincangan
komunikasi massa (mass communication), Ringkasnya, Komunikasi massa adalah
serangkaian bahasan yang meliputi pengiriman pesan, informasi, dan juga menerima
pesan melalui media massa (televisi, radio, pers, film). Secara sederhana, komunikasi
massa adalah proses komunikasi yang terjadi antara pengirim pesan (source/sender) dan
penerima (receiver) melalui media massa.2
1 Penelitian ini juga ingin memberikan koreksi terhadap istilah penyedia informasi, penyedia
informasi adalah realitas nyata yang setiap hari dijumpai oleh manusia, kejadian-kejadian apapun
bentuknya adalah sebuah informasi. Media massa, bukan sebagai penyedia melainkan berperan sebagai
produsen, artinya, informasi yang didistribusikan oleh media massa tidak selamanya hasil dari persediaan
realitas, melainkan sebagian hasil dari produksi media massa itu sendiri. Sehingga wajar bila kemudian
banyak yang mengeluhkan tentang informasi berlebihan, karena begitulah media massa, bersinggungan
dengan politik, dan juga kapitalistis. Bahkan, realitas yang sedemikian adanya akan di produksi ulang oleh
media massa, sehingga terlihat lebih pada kemasannya. 2 Jenis media massa berupa Televisi, Radio, Pers atau Surat Kabar dan Film, keempat kategori
media massa tersebut berdasarkan kesepakatan para pakar Ilmu komunikasi, salah satunya Everet M.
Rogers, adapun kalangan baru menyebutkan jika Internet termasuk komunikasi massa. Lihat: Onong
Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Wiyata Bakti, 2003), h. 79
16
Satu hal lagi yang membedakan media massa dengan media lainnya yaitu sifat
keterlembagaan media tersebut, untuk itulah media terbaru seperti Internet tidak dapat
disebut sebagai media massa. Kesemua konsep media massa memiliki karakter yang
sama, yakni penyampaian pesan secara serentak kepada khalayak, publik sebagai
penerima pesan bersifat beragam, mampu mendapatkan respon namun tidak memiliki
feedback langsung, dan terjadi dalam satu arah (one way communications). Beberapa
pakar dalam kajian komunikasi massa dan media berpendapat lain, salah satuya adalah
Everret M. Rogers, ia mengemukakan pendapat bahwa media massa tidak hanya berlaku
bagi media modern, namun media tradisional juga termasuk seperti teater rakyat, konser
amal, dan pertunjukan-pertunjukan besar lainnya yang langsung menemui khalayak.3
Media massa melakukan proses pesan melalui sistem yang sistematis dan
tersusun rapi, tidak semua pesan dapat dengan bebas diterima oleh khalayak namun
harus melalui proses seleksi oleh media (censored). Semua pesan yang diproduksi akan
masuk dalam wilayah pemilihan redaksi, pemilihan pesan berlandaskan pada dua
kepentingan besar, penting menurut media dan penting menurut khalayak. Jika salah
satu unsur kepentingan tersebut tidak terpenuhi maka pesan tidak akan disampaikan.
Informasi, ide dan gagasan yang disampaikan media bersifat umum, hal demikian
melihat sifat media massa yang umum pula.
Tentu berkomunikasi melalui media massa tidak semudah dengan transaksi
pesan lainnya, semisal komunikasi antar pribadi, kelompok, organisasi bahkan budaya.
Pesan yang terkirim melalui komunikasi antar pribadi tidak akan sesuai dengan pesan
3 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003), h. 79.
17
yang sama untuk komunikasi massa, media sebagai komunikator harus mampu
membingkai pesan dengan tujuan mendapatkan emphaty (effect) dari khalayak, karena
pesan akan terkirim secara serentak kepada ribuan komunikan yang beragam antara satu
dengan yang lainnya, keberagaman meliputi cara pandang, pendidikan dan budaya.
Untuk itu, kesigapan dan daya pikir media harus jeli dan bersifat kreatif, pesan harus
mengena kepada individu-individu sebagai penerima pesan.
B. Pengertian Retorika
Ditinjau dari bahasa, perkataan retorika berasal dari bahasa Yunani, yaitu: rethor
yang mengandung arti seorang juru pidato yang bersinonimkan orator.4 Dalam bahasa
Inggris rethoric bersumber dari perkataan rethorica yang berarti ilmu bicara.5
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa retorika adalah
kepandaian menggunakan bahasa secara efektif sehingga menimbulkan rasa indah.6
Aristoteles mengatakan bahwa retorika adalah “the art of persuasion”, lalu dia
mengatakan bahwa dalam retorika suatu uraian harus singkat, jelas dan meyakinkan.
Secara istilah retorika didefinisikan dengan beragam pengertian. Keragaman
definisi retorika itu sendiri antara lain karena berubahnya metode, media dan cara
seseorang mengkemas pesan (message) yang akan disampaikan pada khalayak, serta
fungsi retorika itu sendiri pada kehidupan sosial. Namun demikian untuk memenuhi
kebutuhan penulisan skripsi ini serta memudahkan mengikuti uraian yang berkaitan
4 MH. Isror, Retorika dan Dakwah Islam Era Modern, (Jakarta: CV Firdaus, 1993), cet.ke-6, h.
10. 5 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik dan
Framming, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), cet.ke-1, h. 83 6 Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), cet.ke-1, h. 1164
18
dengan apa yang menjadi pokok bahasan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
pengertian retorika. Menurut tokoh ilmu retorika:
1. I Gusti Ngurah Ika, mengatakan bahwa ―Retorika adalah ilmu yang mengajarkan
tindak dan usaha efektif dalam persuasi penataan dan penampilan kultur untuk
membina saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan
masyarakat‖.7
2. Sei. H. Datuk Tombak Alam mengatakan bahwa ―Retorika adalah seni
mempergunakan bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap
pendengar dan pembaca‖.8
3. Prof. Dr. Jalaludin Rachmat, mengatakan bahwa ―Retorika adalah pemekaran
bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan imajinasi untuk menggerakkan
kemampuan secara lebih baik atau pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia
yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi
dalam medan pemikiran‖.9
4. Gorys Keraf mengatakan bahwa retorika adalah ―Suatu tehnik pemakaian bahasa
sebagai seni baik lisan maupun tertulis yang didasarkan pada suatu pengetahuan
yang tersusun baik‖.10
Dari pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa retorika adalah seni bicara yang
tersusun rapi guna memaparkan bakat, pemikiran, pengetahuan dan imajinasi dalam
berkomunikasi kepada khalayak.
7 I Gusti Ngurah Oka, Retorika; Sebuah Tinjauan Sejarah Pengantar, (Bandung: Terate, 1976),
cet.ke-1, h. 44
8 Datuk Tombak Alam, op.cit., h. 36
9 Jalaludin Rahmat, op.cit., h. 17
10
Gory Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet.ke-13,
h. 3
19
C. Tujuan dan Fungsi Retorika
1. Tujuan Retorika
Pada abad ke-4 SM, salah seorang pakar retorika yang bernama Aristoteles
menampilkan retorika sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri, dikatakan bahwa
tujuannya adalah persuasi. Yang dimaksudkan persuasi dalam hubungan ini adalah
yakinnya penaggap tutur akan kebenaran gagasan topik tutur sipenutur.11
Melihat
pernyataan tersebut, kebenaran atau fakta-fakta yang dipaparkan oleh seorang orator
amatlah erat kaitannya dengan persuasif yang menjadi tujuan retorika.
Drs. Toto Tasmara, mengatakan bahwa: ― Di dalam persuasif ini yang dituju
adalah persetujuan atau perubahan sikap, dimana perubahan tersebut terjadi sekakan-
akan kehendaknya sendiri tanpa merasa adanya unsur paksaan kekuataan retorika di
dalam kekuatan persuasif. Hal ini dikarenakan sasaran dari retorika adalah emosi
pendengarnya sehingga agar dapat berhasil proses persuasi tersebut hendaknya dipenuhi
beberapa hal berikut:
a. Kredibilitas: Persuasif akan lebih berhasil apabila sebelumnya sudah tertanam
tingkat kepercayaan pendengarnya terhadap pembicara.
b. Pengembangan emosi, seorang komunikator akan berhasil dalam melakukan
retorikanya apabila ia mampu mengetahui momen-momen tertentu dimana
rangsangan emosional dari audiensnya mudah untuk dibangkitkan.
c. Argumentasi: walaupun kekuatan terbesar dari retorika adalah pada kemampuan
membangkitkan rangsangan emosi dari audiensnya, tidak berarti kita
11 I Gusti Ngurah Oka, op.cit., h. 63
20
menyepelekan peranan argumentasi yaitu pemaparan fakta atas materi yang
sedang dibahas. Dengan memaparkan fakta-fakta dari materi yang dibahas maka
hal tersebut dapat menunjang tingkat kredibilitas kita di depan audiensnya.
Di dalam proses persuasif, peranan fakta tidaklah terlalu dominan, kalaupun ada
hal itu hanya merupakan faktor penunjang untuk dapat merangsang emosi semata-mata.
Dengan kata lain, peranan argumentasi dalam retorika sepanjang hal tersebut masih tetap
relevan terhadap usaha kita mengadakan atau membangkitkan stimulan terhadap emosi
dari sasaran retorika kita (Emotional appeal).12
2 Fungsi Retorika
I Gusti Ngurah Oka menjelaskan bahwa retorika adalah untuk:
a. Menyediakan gambaran yang jelas tentang manusia terutama dalam hubungan
kegiatan bertuturnya, termasuk ke dalam gambaran ini antara lain gambaran
proses kejiwaannya ketika ia terdorong untuk bertutur ketika ia mengidentifikasi
pokok persoalan dan retorika bertutur ditampilkan.
b. Menampilkan gambaran yang jelas tentang bahasa atau benda yang biasa
diangkat menjadi topok tutur. Misalnya saja gambaran tentang hakikatnya,
strukturnya, fungsi dan sebagainya.
c. Mengemukakan gambaran terperinci tentang masalah tutur misalnya
dikemukakan gambaran tentang hakikatnya, strukturnya, bagian-bagiannya dan
sebagainnya.
12 Toto Tasmara, op.cit., h. 156
21
d. Bersama-sama dengan penampilan gambaran ketiga hal tersebut di atas disiapkan
pula bimbingan tentang:
1) Cara-cara memilih topik
2) Cara-cara memandang dan menganalisa topik tutur untuk menemukan
saran ulasan yang persuasive objective
3) Pemilihan jenis tutur yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai
4) Pemilihan materi bahasan serta penyusunan menjadi kalimat-kalimat yang
padu, utuh, mantap dan berpriasi.
5) Pemilihan gaya bahasa dan gaya berutur dalam penampilan tuturnya.
D. Penerapan Retorika dalam Dakwah
Seorang dai dapat memaparkan materi dakwah kepada jamaah haruslah
menguasai retorika dakwah itu sendiri, sekaligus mampu menerapkannya dalam
berkhutbah di hadapan puluhan, ratusan bahkan ribuan jamaah. Maka penulis sedikit
memberikan gambaran cara beretorika di hadapan jamaah, yaitu:
1. Mengetahui daerah tempat ia akan berdakwah. Dai yang baik akan bertanya
terlebih dahulu dimana ia akan berdakwah. Sebab dengan mengetahui daerah
tempat ia berdakwah, ia akan tahu suku, budaya dan bahasa daerah tersebut.
Karena apalah artinya ceramah yang berapi-api, isi materi dan bahasa yang luas,
namun jamaahnya tidak mengerti bahasa sang dai. Maka dakwah tersebut
tergolong gagal.
2. Mengetahui tingkat pendidikan jamaah. Seorang orator yang cerdas ia akan
menyesuaikan diri saat akan berdakwah. Dengan siapa ia berbicara, sebab salah
22
satu keberhasilan retorika ialah mengetahui lawan bicara. Dengan warga
pedesaankah atau kaum intelek.
3. Menguasai materi yang akan disampaikan. Seorang juru dakwah akan makin
disegani dan digemari bila ia betul-betul menguasi materi ceramahnya. Gaya
bicara yang baik tidak ada artinya jika juru dakwahnya tidak menguasi materi
yang dibicarakan. Sebab orator akan kehabisan bahan dalam berdakwah dan bisa
mengakibatkan menyimpang dari materi yang sebenarnya.
4. Memiliki olah vokal dan keluwesan dalam berbicara. Setiap orator harus
memiliki vokal yang lantang dan khas serta luwes dalam berbicara dan tidak
bertele-tele sehingga materi yang disampaikan akan mudah dicerna dan dipahami
oleh jamaah.
Toto Tasmara menyatakan dalam bukunya Komunikasi Dakwah bahwa ada
beberapa hal yang dominan dalam retorika:
1. Pengetahuan bahasa
2. Pengetahuan atas materi
3. Kelincahan berlogika
4. Pengetahuan atas jiwa masa
5. Pengetahuan atas sistem sosial budaya masyarakat (pengetahuan
interdisipliner).13
Beberapa faktor tersebut di atas merupakan alat pokok yang harus dikuasai oleh
seorang dai dalam menyampaikan pesan kepada mad’unya. Hal ini disebabkan eratnya
kepentingan dai dan mad’u, sehingga merasakan manfaat dari pesan tersebut. Untuk itu
13 Toto Tasmara, op.cit., h. 137
23
dai harus mampu memaparkan atau melukiskan pesan (materi) dan kemudian
merangsang khalayak (pendengar) untuk mengambil suatu kesimpulan yang sesuai
dengan harapan dai.
Ada beberapa prinsip utama yang dapat diterapkan dalam retorika, yaitu suatu
rumusan yang dikenal dengan AIDDA, terdiri dari attention (perhatian), interest (minat
dan kepentingan), desire (hasrat dan keinginan), decision (keputusan), action (tindakan
atau aksi).14
Penerapan retorika dalam dakwah Islam adalah dengan kedatangan agama Islam
dan perintah untuk menyebarluaskannya. Di zaman Rasulullah saw juga
mempergunakan retorika dalam memberikan keterangan kepada umatnya. Hal ini dapat
dilihat dari firman Allah swt yang berbunyi:
ومب ارسهنب مه رسىل اال بهسبن قىمه نيبيه نهم فيضم اهلل مه يشبء ويهذٌ مه يشبء وهى انعزيز احكيم
Artinya:―Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka maka Allah
swt menyesatkan kepada siapa yang ia kehendaki dan memberi petunjuk yang
ia kehendaki. Dan Dialah yang Maha Kuasa dan Bijaksana‖ (QS. Ibrahim
Ayat-4)
Disamping penerapan retorika dalam bentuk ucapan atau khutbah, Rasulullah
saw juga mempergunakan media tulisan untuk menyebarkan agama Islam. Jadi
Rasulullah dalam berdakwah menyebarluaskan ajaran Islam, telah menerapkan retorika
14 Ibid, h. 138
24
baik dalam bentuk ucapan maupun tulisan sehingga keterkaitan antara dakwah dan
retorika sangatlah erat sekali.15
Maka dari itu untuk tersebar luasnya ajaran Islam yang merupakan rahmat bagi
seluruh isi alam kepada seluruh umat manusia, maka para dai atau muballigh semenjak
dari dulu sehingga sekarang dalam setiap kesempatan khutbah dan ceramah tidaklah
hanya bicara demi bicara akan tetapi bagaimana pembicaraan tersebut dapat merangsang
mereka yang mendengarkan (mad’u) untuk berbuat sesuatu yang nyata dalam kehidupan
sesuai dengan tuntutan Al quran dan al hadis
Retorika adalah sebuah seni (sistem) berpidato menggunakan bahasa lisan, agar
dapat menghasilkan kesan terutama dari para pendengar. Retorika termasuk seni yang
paling tua dalam komunikasi massa. Karena itu berpidato termasuk salah satu cara dari
sekian banyak cara berkomunikasi yaitu antara si pembicara (komunikator) dengan
sejumlah orang. Jadi berpidato termasuk untuk menyampaikan isi hati, pesan, ide,
program, perasaan dan sebagainya oleh seseorang kepada sejumlah orang. Dengan kata
lain pidato merupakan salah satu sarana informasi dan komunikasi yang sangat penting
karena melalui pidato orang akan dapat menyebarluaskan idenya, dapat menanamkan
pengaruhnya bahkan dapat memberikan arah berfikir yang baik dan sistematis. Jadi
pidato jelas bukan ―omong besar‖ dan ―berteriak-teriak tidak karuan‖ melainkan suatu
usaha memaparkan gagasan-gagasan suara jelas dengan melalui oral dan harus didukung
oleh ritme, volume, penyajian dan penampilan yang sempurna.16
15 Isar, op.cit., h. 91
16
Effendi M.S. Siregar, Teknik Berpidato dan Menguasai Massa, (Jakarta: Yayasan Mari
Belajar, 1992), cet.ke-2, h. 29
25
Dakwah dengan memperhatikan retorika adalah memaparkan suatu masalah
agama dan kemudian orang merasa begitu terlibat dengan masalah yang sedang
dipaparkan. Sama halnya apabila seorang orator menyampaikan suatu persoalan
kemudian orang merasa terdorong untuk mencari sebab deviasi (penyimpangan) dan
kemudian membuat keputusan tertentu untuk mencari pemecahannya.
Dengan kata lain di dalam proses retorika usaha untuk melibatkan emosi dan
rasio dari pihak khalayak agar merasa terlibat dengan masalah atau persoalan yang
disajikan merupakan inti dari pemaparan retorika sebagai sarana menuju tujuan akhir
yaitu suatu tindakan yang sesuai dengan harapan komunikator. Sementara tujuan yang
ingin dicapai dakwah antara lain, agar manusia mengajarkan kebaikan dan
meninggalkan kejahatan serta memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah swt.
Menurut seorang dai kondang KH. Zainuddin MZ dalam pengantar buku saku
Teori Praktis dan Manajemen Dakwah oleh H. Dahlan H. MA berpendapat bahwa
―Dakwah dewasa ini berkembang menjadi suatu profesi yang menuntut skill,
perencanaan dan manajemen yang baik. Menurutnya hal yang perlu diperhatikan dalam
berdakwah adalah:
1. Dakwah harus bersifat aktual, artinya segar dan sesuai dengan kejadian-kejadian
yang baru atau sedang terjadi saat ini.
2. Dakwah harus bersifat faktual artinya sejalan dengan kejadian nyata dan
kontekstual serta menyatu jalan pikirannya antara pembicara atau dai dengan
para jamaahnya.
26
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan dasar berpidato atau berdakwah setidak-
tidaknya harus mengandung empat unsur, yaitu:
1. Meyakinkan pada seorang tentang sesuatu
2. Menjalankan tentang sesuatu
3. Memotivasi seseorang supaya berbuat sesuatu
4. Menyajikan sesuatu yang berunsur hiburan
Selanjutnya dalam hal menerapkan retorika ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, persiapan mental dan kesehatan haruslah prima. Kemudian
materi dakwah harus dipersiapkan matang-matang dan dikuasai dengan baik serta
seorang dai itu haruslah mampu untuk melakukan empati, yaitu memahami suatu
indikasi atau situasi dari pihak madu. Kedua adalah membuat ringkasan atau resume
secara sistematis pada buku atau catatan-catatan kecil mengenai pokok-pokok dan
merelevansikannya antara satu dengan lain serta mengkombinasikannya dengan tamsil-
tamsil dengan mengimplikasikan dengan keadaan.
Karena retorika adalah sebagai seni bahasa maka kita tidak dapat
mengesampingkan faktor-faktor rasional serta penataan/ susunan dari paket
pembicaraan-pembicaraan dengan gaya bahasa yang bagaimanapun indahnya apabila
tidak didukung oleh sistematika, organisasi serta pengetahuan khalayak yang memadai
akan mengakibatkan tidak konsistennya pembicaraan sehingga beputar-putar tidak
efisien.
Seorang piawai dakwah, apabila berbicara ia pandai mengutarakan buah
pikirannya dengan susunan dan rangkaian kata yang mempesona, teras indah memikat
disertai dengan bunga rampai, laksana remaja sedang berbalas pantung tentang cinta.
27
Diselingi pula sentuhan kata-kata yang melirih mengharukan sehingga membuat orang
berdecak kagum, menangis karena sedih atau tertawa terbahak-bahak.
Dengan demikian jamaah mendengarkan pidato kita sangat khusu’, diam terpaku,
bagaikan batu tanpa kata seribu bahasa sekalipun berjam-jam kita berdiri di podium,
dilaluinya tanpa terasa dan hadirinpun tetap ceria. Sebaliknya bila seseorang berpidato
tanpa retorika niscaya hanya akan menyakitkan telingan hambar dan membosankan ini
berbarti ia telah membuat kesengsaraan dalam jiwa hadirin.
E. Ruang Lingkup Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Dakwah menurut pengertian bahasa (lughawi), berasal dari bahasa Arab: yang
berarti mengajak, memanggil dan menyeru.17
Secara integralistik, dakwah merupakan
suatu proses untuk mendorong orang lain agar memahami dan mengamalkan suatu
keyakinan tertentu. Menurut terminologi, Dakwah mengandung beberapa arti yang
beranekaragam tergantung pada sudut pandang mana membidiknya.
Berikut ini ada beberapa pendapat para pakar ilmu dakwah, diantaranya:
a. Menurut Thoha Yahya Umar, Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara
bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.18
b. Menurut KH. Isa Anshary, dakwah adalah mengajak dan memanggil umat
manusia agar menerima serta mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam,
17 Muhammad Fath al-Bayanuni, Al-Madkal ila „Ilmi Da‟wah, (Madinah: Muassasah al-Risalah,
1994), h. 2002 18
Toha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1971), h.1
28
berdakwah artinya memprogram suatu keyakinan menyerukan suatu pandangan
iman dan agama.19
c. Drs. Muhammad al-Wakil mendefinisikan dakwah adalah mengumpulkan manusia
dalam kebaikan dan menunjukkan mereka kepada jalan yang benar dengan cara
makruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah dalam suat Ali- Imran ayat 104:
ونتكه منكم امة يذعىن انً انخير ويْبمرون ببنمعروف وينهىن عه انمنكر وْاونئك هم انمفهحىن
Artinya:―Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyeru kepda yang makruf dan mencegah dari yang mungkar
merekalah orang-orang yang beruntung.‖
Sedangkan Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS memberikan definisi dakwah bahwa
dakwah adalah kewajiban yang harus dipikul oleh tiap-tiap muslim dan muslimah serta
tidak boleh seorang muslim atau muslimah menghindari diri darinya.
2. Subjek dan Objek Dakwah
Subjek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah, yaitu oang yang berusaha
mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah swt, baik secara
individu atau kelompok (organisasi) sekaligus sebagai pemberi informasi dan pembawa
misi, atau lebih jelas disebut dengan dai.20
Subjek dakwah (ulama, dai, muballigh) yaitu orang yang melakukan tugas
dakwah. Pelaksanaan tugas dakwah ini bisa perorangan atau kelompok. Pribadi atau
19
Isa Anshary, Mujahid Dakwah, Pembimbing Muballigh Islam, (Bandung: CV. Diponegoro,
1999), h. 17
20
M. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah,( Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), cet.ke-
1, h. 179
29
subjek adalah sosok manusia yang mempunyai nilai keteladanan yang baik (uswatun
hasanah) dalam segala hal.
Daerah dai mulai dari masyarakat desa yang primitif hingga masyarakat industri
yang telah terpengaruh diktatornya pengaruh ekonomi raksasa dan teknologi ultra
modern dan merajalelanya individualisme. Dai berada di tengah gejolak masyarakat
yang sedang bergejolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dai adalah seorang
yang harus paham benar tentang kondisi masyarakat itu dari berbagai segi mulai dari
psikologi, sosial, kultur, etnis, ekonomi, politik, mahluk Tuhan ahsani taqwim.21
M. Ghazali juga menegaskan dua syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang
juru dakwah yaitu pengetahuan mendalam tentang Islam dan juru dakwah harus
memiliki jiwa kebenaran (ruh yang penuh dengan kebenaran, kegiatan, kesadaran dan
kemajuan).22
Adapun objek dakwah ini disebut juga mad’u atau sasaran dakwah. Mereka
adalah orang-orang yang diseru, dipanggil atau diundang. Maksudnya ialah orang yang
diajak kedalam Islam sebagi pendakwah.23
Sehubungan dengan kenyataan yang bekembang dalam masyarakat, jika dilihat
dari aspek kehidupan psikologis, maka pelaksanaan program kegiatan dakwah, sasaran
dakwahnya terbagi menjadi:
21 M. Syafaat Habib, Buku Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), cet. Ke-1, h. 106-107
22
A. Hasyim, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 167 23
Hasanuddin, Hukum dan Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet.ke-1, h. 34
30
a. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis
berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di
daerah marginal dari kota besar.
b. Sasaran berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi struktur
kelembagaan berupa masyarakat pemerintah dan keluarga
c. Sasaran yang berupa kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial budaya berupa
golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terdapat dalam
masyarakat jawa.
d. Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi tingkat usia berupa
golongan anak-anak, remaja dan orang tua.
e. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup
sosial ekonomi berupa golongan orang kaya, mencegah dan miskin.
f. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi pekerjaan
berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri dan
sebagainya.
g. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari jenis kelamin (sex)
berupa golongan wanita, pria dan sebagainya.24
Dari penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa yang menjadi
dasar prinsip semua dai dalam menyampaikan pesan-pesan Islam kepada sasaran
dakwahnya harus didasarkan pada konsistensi dan komitmen yang dilandaskan pada
24 Muzayin Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara)
31
keikhlasan dalam menjalankan dakwah karena dakwah yang ikhlas akan memberi
pengaruh yang luar biasa terhadap objek dakwah yang menjadi sasarannya.
3. Metode dakwah
Metode dakwah ialah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang dai
(komunikator) kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih
sayang. Metode dakwah ada tiga macam, diantaranya:
a. Al-Hikmah
b. Al-Mauizatil Hasanah
c. Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan
Pengertian al hikmah menurut Prof. Dr. Toha Yahya Umar adalah meletakkan
pada tempatnya dengan berfikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang
sesuai dengan keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.25
Sedangkan al-Mauizatil Hasanah adalah ungkapan yang mengandung unsur
bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan
positif (wasiyat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan
keselamatan dunia akhirat.26
Metode yang ketiga adalah jadilhum billati hiyua ahsan, maksudnya adalah
membantah dengan cara baik. Menurut Kyai M.A. Mahfoed, allati hiya ahsan harus
25 Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35
26
Munzier Suparta dan Harjani Hefni (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Rahmat Semesta, 2003, h.
16
32
biqadri uqulihim dengan kadar tingkat objek yang bersikap bantahan maka harus melihat
apakah objek tersebut Islam, Islam abangan atau non-muslim.27
4. Media Dakwah
Bila dilihat dari asal katanya, media berasal dari bahasa latin yaitu median yang
artinya alat perantara, sedangkan pengertian istilahnya media berarti segala sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai satu tujuan tertentu.28
Dalam kamus Istilah Telekomunikasi, media adalah sarana yang digunakan oleh
komunikator sebagai saluran untuk menyampaikan suatu pesan kepada komunikan
apabila komunikan jauh tempatnya dan banyaknya atau keduanya.29
Dengan mengetahui pengertian media dan dakwah tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media
juga berarti alat objektif yang manjadi saluran yang menghubungkan antara ide dengan
umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam kegiatan dakwah.
Jika dilihat dari segi sifatnya, media dakwah dapat digolongkan menjadi dua
golongan, yaitu:
a. Media tradisional, yaitu berbagai macam seni dan pertunjukan yang secara
tradisional dipentaskan di depan umum terutama sebagai hiburan yang memiliki
sifat komunikasi seperti: drama, pewayanan, ketoprak humor dan lain-lain.
27 Ibid, h. 20
28
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 163
29
Ghazali Syahdar BC, TT, Kamus Istilah Komunikasi, (Bandung: Djembatan, 1992), h. 227
33
b. Media modern, yaitu media yang dihasilkan dari teknologi yang antara lain
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain sebagainya.30
4. Tujuan Dakwah
Adapun dakwah juga mempunyai tujuan, sebab tidak mungkin dakwah dilakukan
dengan berbagai cara baik itu dengan dakwah bil-lisan, bil-qalam maupun bil-haal
dengan tanpa tujuan yang jelas. Secara umum tujuan dari dakwah yakni mengubah
perilaku sasaran dakwah agar menerima dan mengamalkan ajaran Islam dalam dataran
kenyataan kehidupan sehari-hari, baik dengan masalah pribadi, keluarga, maupun
masalah sosial kemasyarakatan agar terdapat kehidupan yang penuh dengan
keberkahan.31
Ditinjau dari aspek berlangsungnya suatu kegiatan dakwah, maka tujuan dakwah
itu terbagi menjadi dua bagian:
a. Tujuan jangka pendek
Dalam jangka pendek itu adalah untuk memberikan pemahaman Islam kepada
masyarakat sasaran dakwah itu. Dengan adanya pemahaman masyarakat tentang Islam
maka masyarakat akan terhindar dari sikap perbuatan yang mungkar dan jahat.
b. Tujuan jangka panjang
Sedangkan tujuan jangka panjang dakwah itu adalah untuk mengadakan
perubahan sikap masyarakat dakwah itu. Sikap yang dimaksud adalah perilaku-perilaku
yang tidak terpuji bagi masyarakat yang tergolong kepada kemaksiatan yang tentunya
30
Adi Sasono, Solusi Islam atas Problematika Umat Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998), cet.ke-1, h. 154
31
Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), cet.ke-1, h. 78
34
membawa kepada kemadaratan dan mengganggu ketentraman masyarakat
lingkungannya.
Kedua tujuan di atas secara jelas tergambar dalam Al quran surat ali-Imran: 104:
ونتكه منكم امة يذعىن انً انخير ويْبمرون ببنمعروف وينهىن عه انمنكر وْاونئك هم انمفهحىن
Artinya: ―Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar
merekalah orang-orang yang beruntung.‖
Sedangkan secara operasional syeikh Ali Mahfudz merumuskan tujuan dakwah
sebagai berikut:
a. Menyiarkan tuntunan Islam, membetulkan aqidah dan meluruskan amal
perbuatan manusia terutama budi pekerti
b. Memindahkan hati dari keadaan yang jelek kepada keadaan yang baik
c. Membentuk persaudaraan dan menguatkan tali persatuan diantara kaum
muslimin
d. Menolak subhat, bid’ah dan khurafat dengan mendalami ilmu Ushuluddin.32
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa tujuan dakwah adalah terealisasinya
ajaran-ajaran Islam dalam aspek kehidupan ini sehingga mendatangkan sisi positif
berupa kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia hingga akhirat nanti.
32 Hasanuddin, op.cit., h. 34
35
F. Hubungan Retorika dengan Dakwah
Retorika adalah seni bicara dalam berkomunikasi sedangkan dakwah adalah
mengajak manusia menuju kebaikan sehingga menjadi khairu ummah. Dakwah atau
ajakan yang baik ini bisa disampaikan dan diterima dengan baik oleh khalayak bila yang
menyampaikan mampu memiliki seni bicara yang baik (retorika).
Maka hubungan retorika dengan dakwah amatlah erat. TA. Latif Rusdi dalam
bukunya ―Dasar-dasar Retorika, Komunikasi dan Informasi‖ mengatakan bahwa:
―Kemampuan dalam kemahiran bahasa untuk melahirkan fikiran dan
perasaan. Itulah sebenar-benarnya hakikat retorika. Kemahiran dan kesenian
menggunakan bahasa adalah masalah pokok dalam menyempaikan dakwah.
Karena itu antara dakwah dan retorika tidak dapat dipisahkan, di mana ada
dakwah di sana ada retorika (fannul khitabah)‖.33
Kesuksesan para dai di atas podium adalah karena mereka menguasai seni bicara
(fannul khitabah) dengan baik, mereka mampu menguasai medan dakwah, mengetahui
dengan siapa ia berdakwah dan mampu menyesuaikan isi materi dakwah dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bahwa retorika dan dakwah amatlah
erat hubungannya dan dengan kata lain tidak ada dakwah yang tidak menggunakan
retorika karena retorika adalah alat penyampai yang baik.
33
M. H. Israr, op.cit., h. 94
36
BAB III
PROFIL MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
A. Sekilas Tentang Muhammad Arifin Ilham
1. Kelahiran
Banjarmasin, 8 Juni 1969. Putra dari pasangan H. Ilham Marzuki dan Hj.
Nurhayati. ―Ipin‖, begitulah panggilan kecilnya. Ia tumbuh selayaknya anak-anak biasa.
Ayahnya masih keturunan ke tujuh syeikh al-Banjar, ulama Kalimantan, sementara
ibunya Hj. Nurhayati kelahiran Haruyan, kabupaten Barabay. Setahun setelah menikah,
pasangan ini dikaruniai seorang putri pada tahun 1967, karena anak mereka perempuan
betapa bahagianya ketika anak yang kedua lahir adalah seorang bayi laki-laki.
Kalau diruntut asal usul/keturunannya, ia merupakan keturunan kedelapan dari
seorang ulama terkenal dari Banjar, Kalimantan Selatan, yang bernama syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, yang lahir pada tanggal 13 Safar 1122 H bertepatan
dengan tahun 1710 M dan wafat tahun 1227 yang punya silsilah sampai kepada
Rasulullah.
Sejak kecil Muhammad Arifin Ilham dan saudara-saudaranya diajarkan untuk
mencintai ilmu. Beliaupun memiliki cita-cita tinggi untuk memajukan Islam. Pendidikan
yang diterima dari orang tuanya menjadikan beliau orang yang selalu prihatin pada
keadaan disekelilingnya. Sejak kecil beliau terkenal dengan jiwa sosialnya dan inilah
yang menyebabkan beliau kokoh untuk mengembangkan dakwah Islam.
37
2. Latar Belakang Pendidikan
Masa kecil Arifin dihabiskan di kampung halamannya, Banjar, Banjarmasin,
Kalimantan. Pendidikan dasar keagamaannya ia dapatkan langsung dari ayahnya. Saat
berusia lima tahun Arifin Ilham dimasukkan ke TK Aisiyah dan setelah itu langsun ke
sekolah SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin.
Di SD Muhammadiyah ini beliau hanya sampai kelas tiga karena berkelahi
dengan teman sekelasnya. Kemudian oleh ayahnya Arifin dipindahkan ke SD Rajwali
Banjarmasin. Meskipun nakal Arifin berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan
agamanya biasa-biasa saja namun pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa
masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan Selatan itu.
Semenjak kecil Arifin sudah menjadi anak masjid. Ia mengikuti jejak ayahnya,
maklum ayahnya seorang aktifis masjid Sabil al-Muhtadin dan masjid al-Jihad di
Banjarmasin. Sehingga menular kepada anak laki satu-satunya dari lima bersaudara itu.
Di masjid ini ada ustad yang menjadi tauladan Arifin namanya KH. Rofii Hamdi, ustad
ini dikenal dengan tutur kata dan perilaku yang lembut. Kelembutan inilah yagn
mengesankan Arifin kecil hingga ia kelak ingin menjadi seorang penceramah seperti
ustad Rofi’i atau setidak-tidaknya seorang guru.1
Selepas menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) Arifin sempat mengenyam
Pendidikan Sekolah Pertama (SMP) selama setahun di Banjar. Karena tidak kerasan oleh
ayahnya Arifin dikirim ke salah satu pesantren di daerah Bintaro Jakarta Selatan,
tepatnya di Pesantren Darun Najah pada tahun 1983 dan dilanjutkan di Asyafi’iyah pada
1 A. Aririfn Ilham, Menggapai Kenikmatan Zikir, (Jakarta: Mizan, 2004), cet.ke-1, h. 35
38
tahun 1988 sampai 1989.2 Setahun kemudian ia berhasil lulus Aliyah dan mendapat
rangking ketiga. Di pondok ini keahlian pidatonya semakin mahir dan banyak dikenal
orang. Beberapa kali ia meraih juara pidato baik di Asyafi’iyah maupun antar pesantren
se-Indonesia dan internasional. Karena kemampuannya berceramah itu meski usianya
masih remaja Arifin kerap keluar kandang mengisi pengajian di luar pesantren.
Setamat dari Aliyah, Arifin melanjutkan studi ke Fakutlas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Nasional Jakarta, Jurusan Hubungan Internasional. Gelar S1
diraihnya pada tahun 1995. Semasa kuliah ia sering pindah-pindah tempat kos dari
Grogol, Kebon Jeruk, Cibubur sampai Pasar Minggu. Perjuangannya untuk
menyelesaikan kuliah ternyata tidak kecil. Misalnya buku-buku pelajarannya dibeli dari
duit ngamen di terminal, bahkan ia tak malu berjualan baju bekas agar bisa membayar
uang kuliah, pernah pula ia menjadi kenek (kondektur) angkutan umum jurusan
Cililitan-Cibubur pada malam hari. Arifin Juga pernah mencoba peruntungan dengan
berdagang mie rebus di terminal Pasar Minggu. Dari dagang mi rebus itu ia berhasil
mengumpulkan uang untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1994 setahun sebelum
wisuda.
2 Syamsul Yakin, Menghampiri Ilahi Melalui Zikir Taubah; Ikhtiar M. Arifin Ilham Membangun
Masyarakat Spritual Humanis, (Depok: Dar al-Akhyar Semesta Ilmu (DASI), 2002), cet.ke-2, h. 17
39
3. Latar Belakang Keluarga
Pada tahun 1998, ustad muda kelahiran Banjarmasin ini menyunting seorang
gadis Aceh bernama Wahyuniati al-Wali. Gadis cantik berkulit putih ini merupakan adik
kelas Arifin tatkala ia masih kuliah di UNAS. Dari pernikahannya bersama Wahyuniati
akhirnya dikarunia tiga orang putra. Putra pertama beliau bernama Muhammad Alvin
Faiz yang baru berusia lima tahun. Kedua bernama Muhammad Amir Azikra berusia
tiga tahun, dan terakhir adalah M. Azka Najhan yang merupakan putra bungsu beliau.
Di dalam berkeluarga ustad muda ini memiliki seni keluarga yang romantis. Cara
beliau bertutur sapa terhadap anak istri sangatlah halus dan lembut. Di tengah-tengah
kesibukan beliau dalam melaksanakan dakwah Islamiyah beliaupun membagi waktunya
untuk keluarga. Sehingga tatkala malam hari beliau memfokuskan pada keluarga dan
lebih mendekatkan diri kepada Allah yaitu bertahajjud shalat hajat, istikharah berzikir
dan tadarus serta tadabur quran di rumah atau di masjid.
Kepada putra-putranya beliaupun sangat menekankan pendidikan agama bagi
mereka, beliau menanamkan pada putra-putranya sejak kecil, bahkan dalam aktifitas
sehari-harinya pun selalu ditekankan agar menyebut asma Allah.
B. Proses Pencarian Identitas Muhammad Arifin Ilham
Berawal dari kehidupan beliau di pesantren Darun Najah dan Asyafi’iyah beliau
sudah sering berpidato, bahkan sering mengikuti lomba pidato antar pesantern dari
40
tingkat nasional hingga internasional. Karena kemampuannya dalam berpidato semakin
mahir, Arifinpun kerap keluar kandang untuk mengisi pengajian di luar pesanren.3
Selepas dari Madrasah Aliyah, Arifin melanjutkan studinya di Universitas
Nasional Jakarta. Tidak jelas pula alasan Arifin memilih perguruan tinggi umum
ketimbang perguruan tinggi agama sesuai dengan pendidikan sebelumnya. Tetapi yang
pasti di UNAS Arifin membentuk perguruan tinggi umum tersebut dengan pengetahuan
ke-Islaman yang dimiliki Arifin.
Saat itu Arifin menampilkan wajah Islam yang manis, penuh kasih sayang, yang
melindungi dan memperhatikan sesama, sehingga mahasiswa penganut agama lain
merasa tentram dan terlindungi dengan kehadiran Arifin di kampus itu. Bahkan banyak
diantara mereka yang mengatakan bahwa mereka kenal Islam dari Arifin. Wajah Islam
yang sesungguhnya.4 Setelah meraih gelar S1 di UNAS akatifitas dakwahnya semakin
lancar ia sudah melanglang buana ke beberapa daerah di nusantara ini antara lain ke
Lampung, Batam, Balikpapan, Samarinda dan Banjarmasin. Pernah pula ia berceramah
di Singapura.
Sampai suatu hari pada tahun 1996 beliau digigit ular yang membahayakan
karena beliau termasuk penyayang binatang. Di rumah Arifin waktu itu banyak
memelihara binatang antara lain burung, kera, giguana dan ayam kate. Salah satu jenis
hewan peliharaannya yang paling banyak adalah jenis ular.
3 Arifin Ilham, op.cit., h. 35
4 Syamsul Yakin, op.cit., h. 20
41
Sebelum dipatut ular beliau sudah bermimpi dipatut ular dua kali berturut-turut,
setelah digigit ular, Arifin mengalami koma yang cukup lama hampir setengah bulan.5
Selama 21 hari koma itu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya seperti diceritakan
Arifin selama masa kritis ia mendapat pengalaman spiritual yang sangat sepi dan sunyi.
Setelah berjalan keliling kampung, ditemuinya sebuah masjid yang kemudian
dimasukinya, di dalam masjid ternyata sudah menunggu tiga saf jamaah dengan
mengenakan pakaian putih, salah satu jamaahnya meminta Arifin untuk memimpin
mereke berzikir.
Keesokan harinya ia kembali bermimpi hanya saja sedikit berbeda. Kali ini ia
merasa berada di tengah kampung yang penduduknya berlarian ketakutan karena
kedatangan beberapa orang yang dianggap sebagai setan. Melihat kehadirannya para
pendudukpun berteriak dan meminta dirinya menjadi penolong mereka mengusir setan-
setan tersebut.
Hari berikutnya ia kembali bermimpi, kali ini ia diminta oleh seorang bapak
untuk mengobati istrinya yang sedang kesurupan. Mendengar permintaan bapak
tersebut, Arifin bergegas menolong dan mengobatinya. Berkat izin Allah swt, istri bapak
tersebut tertolong dan sembuh.6
Setelah sembuh dari sakitnya dan berbekal pengalaman-pengalaman ghaib yang
ia alami, Arifin pun memantapkan dirinya menjadi juru dakwah yang mengingatkan
manusia agar tidak lupa berzikir, ibadah kepada Allah swt. Ternyata lewat perantara
gigitan seekor ular ini Allah menjadikan ustad muda kelahiran Banjarmasin ini menjadi
5 Arifin Ilham, op.cit., h. 9
6 Ibid, h. 40-41
42
seorang fighter yang ulung dalam dakwah, memimpin dakwah dalam berzikir yang
jumlahnya hingga puluhan ribu orang. Kendatipun kondisinya semakin membaik namun
ada perubahan suara pada Arifin dan berkat suaranya yang khas Arifin mudah dikenal
orang.
Sekarang metode dakwahnya semakin menjadi sangat fenomenal, dinikmati dan
dirindukan oleh semua masyarkat, baik masyarakat awam maupun intelektual,
masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas (the have) bahkan para pejabat
dan kalangan selebritis. Misalnya kelompok musik Slank yang sempat penulis jumpai
sendiri saat menghadiri kegiatan ta’lim di majlis zikir mereka berdatangan dan memakai
baju putih dan ada yang lebih menarik lagi mereka mengajak sahabat mereka yang non-
muslim untuk masuk Islam dan diijabkan di hadapan jamaah majlis zikir.
Dialah dai muda yang bisa mengkondisikan ribuah jamaahnya berpakaian serba
putih, dia pula yang menoreh sejarah dakwah karena ibadah zikir akbarnya pada
peringatan tahun baru hijriah yang jamaahnya sampai memenuhi masjid Istiqlal hingga
lantai teratas dan dihadiri tokoh sekaliber Quraish Shihab, KH. M. Arifin Ilham, Ali
Yafie, intelektual Qamaruddin Hidayat, para habaib dan sebagainya dan ditayangkan
secara live oleh TransTV.
Dakwah melalui media elektronik secara rutin dijalaninya setiap hari Senin pukul
17.00-18.00 secara live di radio Music City, di acara mutiara subuh ANTV (siaran
tunda) setiap hari senin pukul 05.00-05.30 dalam format dialog dan secara insidentil di
RCTI (hikmah fajar) dan Indosiar (acara penyejuk iman Isalam). Sedangkan dakwah
zikirnya ditayangkan secara live berdurasi antara 60-90 menit oleh TransTV tidak secara
43
reguler dari beberapa tempat, seperti masjid At-Tin, masjid Istiqlal, masjid Sunda
Kelapa dan pada tanggal 11 Mei 2003 zikir akbar di PUSDAI Bandung.
Kegiatan zikir yang belokasi di masjid An-Nur Pamulang tanggal 17 April 2003
ditayangkan secara langsung oleh Lativi berdurasi selama 120 menit dikolaborasikan
dengan pembacaan puisi oleh Neno Warisman, Gito Rolies dan dialog oleh Ikang Fauzi
dan Dr. Qomari Anwar tokoh pendidikan, rektor UHAMKA yang mengarang buku
manajemen stress.
44
BAB IV
MODEL DAN RETORIKA DAKWAH MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
DI MEDIA
A. Peran Media dalam Dakwah Islam
Dekade terakhir ini disebut-sebut sebagai abad informasi. Teknologi komunikasi
telah melahirkan media baru yang lebih efisien, efektif dan mencapai jangkauan yang
lebih luas. Inilah yang membuat semua teknologi komunikasi menjadi sangat efektif
untuk digunakan sebagai media dakwah, terutama televisi.
Medium ini merupakan hasil teknologi komunikasi yang dapat menyiarkan suatu
program dalam bentuk suara sekaligus gambar (audio-visual) dari stasiun yang
memancarkannya, sehingga Jack Lyle,1 Director Of Communication Institute The West
Center, pernah menyatakan di depan rapat staf Menteri Penerangan RI tentang
efektivitas dalam menjalankan fungsi televisi. Ia memnyebutkan bahwa televisi bagi kita
sebagai "jendela dunia". Apa yang kita lihat melalui jendela ini sangat membantu dalam
mengembangkan daya kreasi kita.
Slamet Muhaimin dalam buku Prinsip-prinsip Mretodfologi Dakwah
menjelaskan, televisi sangat efektif untuk kepentingan dakwah karena kemampuannya
yang dapat menjangkau daerah yang cukup luas dengan melalui siaran gambar sekaligus
narasinya (suaranya). Dakwah melalui televisi dapat dilakukan dengan cara baik, dalam
bentuk ceramah, sandiwara, pragmen ataupun drama. Melalui televisi seorang pemirsa
1 Lihat Darwanto Sastro Subroto, Televisi sebagai Media Pendidikan, (Yogyakarta : Duta
Wacana University Press, 1994), 89.
45
dapat mengikuti dakwah seakan ia berhadapan dan berkomunikasi langsung di hadapan
seorang da'i. Sangat menarik dakwah melalui televisi, apalagi jika sang da'i benar-benar
mampu menyajikan dakwahnya dalam suatu program yang mudah dan disenangi
berbagai kalangan masyarakat.2
Ada banyak kelebihan berdakwah melalui media televisi dibandingkan dengan
melalui media lainnya, di antaranya menarik karena terbuka kemungkinan untuk
menyajikan dakwah dalam banyak variasi; dakwah ini pun mampu menjangkau daerah
yang cukup luas. Seorang da'i hanya cukup duduk beraksi di studio tanpa harus
tergantung berkumpulnya komunikan, sebaliknya komunikan tidak lagi harus
menyiapkan diri secara resmi mengikuti suatu program dakwah seperti halnya untuk
menghadiri pengajian.
Dengan demikian jelaslah bahwa secara fungsional televisi menjadi perangkat
strategis dan universal bagi usaha memacu pembangunan mental spiritual dan akhlak
masyarakat. Sejumlah kecanggihan yang dimiliki oleh televisi dengan segenap
perkembangan artistik, estetik, dan etiknya dapat didayagunakan secara optimal untuk
mendorong masyarakat mendalami ajaran agama mereka secara lebih intensif.
Sumbangan televisi swasta terhadap dakwah Islam dapat pula ditampilkan melalui
program-program acara lain, film, musik, atau sinetron dan lainnya.
Melalui keragaman program acara seperti itulah dakwah Islam dapat dilakukan
dengan berpegang pada etika dakwah. Sumbangan televisi swasta bagi dakwah Islam
sejalan dengan usianya yang masih sangat muda belum seberapa banyak. Dengan
2 Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-Prinsip Metodologi dakwah, (Surabaya: al-Ikhlas, 1994), h.
87-89.
46
demikian, masih memungkinkan bagi semua pihak untuk mengembangkan dan
menambahkan segaka kekurangan yang ada di masa mendatang. Namun, semua itu akan
menjadi kenyataan apabila partisipasi umat, pemuka-pemuka agama, budayawan, artis
dan musisi-musisi beragama Islam semakin memainkan peran mereka sebagai media
dakwah alternatif.3
Kehadiran berbagai stasiun televisi baik nasional maupun swasta secara tidak
langsung menjadi alternatif tontonan yang sangat luas bagi pemirsa di rumah. Sementara
bagi pengelola stasiun televisi, fenomena ini menjadi suatu kewajiban bagi mereka untuk
menampilkan paket acara-acara menarik televisi, termasuk menjadikan media ini
sebagai sarana potensial untuk berdakwah. Hal tersebut bisa dapat dilihat dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Roper Organization (AS) 1982, yang menyebutkan
bahwa televisi mempunyai tingkat kredibilitas 53%, surat kabar 22%, majalah 28%, dan
diikuti radio 6%.4
Dari hasil penelitian tersebut, semua pihak yang berkepentingan dengan dakwah
termasuk pihak pengelola televisi mestinya tanggap bahwa dakwah di televisi itu lebih
efektif karena ditonton oleh banyak orang, terlebih karena mayoritas penduduk
Indonesia adalah pemeluk agama Islam (85%). Sudah selayaknya para pengelola televisi
bisa menghadirkan paket-paket acara dengan nuansa islami sebagai penghormatan dan
sebagai penyeimbang bagi tayangan yang lebih berat kepada aspek politis, informatif,
dan hiburan semata.
3 Ibid.
4 Bisri Hasanuddin, Dakwah untuk Desa Global Dunia Islam, (Jakarta: Pelita), h. 23
47
Dalam proses komunikasi dakwah, da’i adalah para ustadz atau ustadzah yang
menjadi narasumber dan serta para moderator (host, presenter). Sementara pihak-pihak
yang dimaksud sebagai pelaku dakwah di televisi adalah produser, sutradara dan para
kru yang terlibat dalam memproduksi dan menayangkan acara dakwah, baik dalam acara
live (siaran langsung) atau taping (siaran tunda), siaran in door (dilaksanakan di dalam
studio) ataupun out door (dilaksanakan di luar studio).
Para da’i dalam menjalankan aktivitas dakwah di televisi tentunya harus
memahami karakter dan tipologi sasaran dakwah mereka. Sasaran adalah objek yang
akan dituju, dalam konteks ini adalah mad‟uw.5 Sasaran dapat diklasifikasi dalam
beberapa bentuk, di antaranya berdasarkan letak geografis dan kondisi psikologis
mad‟uw terhadap agama. Sasaran dakwah memiliki peran penting dalam menunjang
keberhasilan dakwah. Itu sebabnya jika seorang da’i atau da'iah, muballigh atau
muballighah mendapat undangan ceramah untuk peringatan hari besar Islam, maka para
da’i atau da'iah tadi harus menanyakan kepada panitia acara semua ihwal kondisi
mad’unya; mulai dari status sosial, latar belakang pendidikan, lokasi, sound system, dan
sebagainya. Namun, kaitannya dengan program dakwah di media televisi, tentunya
terdapat perbedaan dari aspek mad’u. Jama’ah lebih homogen dan pemirsa televisi
sangat heterogen, kritis, dan dinamis. Basrah Lubis mengategorikan sasaran dakwah jika
dilihat dari stratifikasi kelompok masyarakat berdasarkan letak geografisnya sebagai
berikut:6
5 Rafiuddin, Maman Abdul Djalil, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung: Pustaka setia, 1997),
h. 33 6 Basrah Lubis, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Tursina, 1993), h. 46-48
48
Pertama, masyarakat kota. Kehidupan masyarakat ini cenderung individualis dan
kompetisi untuk meningkatkan status sosial sangat terasa. Dengan demikian, nilai yang
berkembang menjadi jauh lebih materialistis dan rasionalis. Pola pikir rasional
merupakan titik utama yang perlu diperhatikan oleh para juru dakwah. Karena itu,
materi-materi dakwah seharusnya disajikan dengan lebih menggunakan pendekatan
rasional.
Kedua, masyarakat Desa. Kehidupan masyarakat ini erat hubungannya dengan
alam, mengandalkan sesuatu dengan kekayaan alam sekitarnya hingga membawa
mereka pada pola pikir yang cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan
masyarakat kota. Dengan demikian, berdakwah di hadapan masyarakat desa tidak
memerlukan bahas-bahasa ilmiah yang memungkinkan terjadinya kesalahpahaman
karena tidak komunikatif.
Ketiga, masyarakat primitif, yaitu masyarakat yang terbelakang di segala bidang.
Peradaban dan kebudayaan masyarakat ini masih asli dan sangat sederhana. Tapi dengan
kondisi seperti ini justru diperlukan para juru dakwah yang serba bisa, dapat
membimbing mereka langsung dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dakwah yang
lebih cocok adalah dengan pendekatan bil hal (perbuatan atau tingkah laku).
Sementara itu, Basri Ghazali menambahkan penjelasan tentang sasaran dakwah,
yaitu:7
Pertama, sasaran dakwah yang menyangkut golongan dilihat dari segi struktur
kelembagaan; mereka adalah masyarakat dari kalangan pemerintah dan keluarga. Kedua,
7 M. Basri Ghazali, Dakwah Komunikatif, Membangun Kerangka Dasar Ilmu Dakwah, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1997), h. 3.
49
sasaran dakwah berupa kelompok masyarakat dilihat dari segi sosio-kultural; mereka
adalah golongan priyayi, abangan, dan santri. Ini terjadi pada masyarakat Jawa. Ketiga,
sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi
okupasional (profesi) seperti petani, pedagang, pegawai negeri, dan sebagainya.
Keempat, sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari
segi usia; mereka adalah golongan anak-anak, remaja dan dewasa. Kelima, sasaran
dakwah yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi tingkat kehidupan
sosial ekonomi berupa golongan ekonomi atas, menengah, dan miskin. Keenam, sasaran
dakwah yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin, yaitu
laki-laki dan perempuan. Ketujuh, sasaran dakwah yang berhubungan dengan golongan
masyarakat dilihat dari segi kekhususan, yaitu golongan tunasusila, tunakarya,
tunawisma, narapidana, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam konsep dakwah
seluruh aspek penunjang seperti subjek, objek, materi, media, dan tujuan harus
diperhatikan secara cermat. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dalam
menunjang keberhasilan aktivitas dakwah.
B. Perspektif M. Arifin Ilham terhadap Retorika dalam Dakwah
Sebelum masuk pada uraian retorika dakwah Muhammad Arifin Ilham, akan di
ulas sedikit mengenai persoalan essensi dakwah itu sendiri. Dakwah, hanyalah metode
penyebaran Agama yang dilakukan oleh umat Islam. Islam sendiri mempunyai arti
keselamatan.
50
Keberadaan Islam secara garis besar membawa misi penyelamatan manusia dari
kesengsaraan, baik kesengsaraan dunia ataupun kesengsaraan di akhirat. Penyebaran
misi keselamatan tersebut diusahakan dengan melakukan seruan/ajakan supaya manusia
tidak terjerembab dalam lubang kesengsaraan. Seruan/ajakan yang digunakan untuk
menyelamatkan manusia tersebut kita kenal dengan istilah ―dakwah‖.
Dakwah merupakan istilah khusus yang dimiliki Agama Islam. Menjadi tidak
mengherankan jika dalam diskursus keagamaan, istilah dakwah selalu diidentikkan
dengan Islam, karena tidak ada agama di dunia ini yang menggunakan kata dakwah
dalam misi penyebaran agama selain Islam. Dakwah dalam ajaran Islam adalah
panggilan atau seruan bagi umat manusia menuju jalan Allah. Seperti yang termaktub
dalam Al-Qur’an (12: 108). Sedangkan jalan yang telah ditetapkan sebagai jalan
kebenaran ialah jalan menuju Islam (Q.S, 3: 19).
Dari sisi lain, dakwah dapat dipahami sebagai sebuah upaya setiap Muslim untuk
merealisasikan fungsi kerisalahan yang dibawa Muhammad SAW yang harus
disebarluaskan ke seluruh umat manusia—realisasi fungsi kerahmatan Islam sebagai
penyejahtera, pambahagia, pemecah persoalan bagi seluruh manusia. Singkatnya,
dakwah berfungsi sebagai transformasi nilai, yang berarti perubahan bentuk dan perilaku
dari yang tidak/belum Islami berubah menjadi islami. Oleh karena itu, kegiatan dakwah
merupakan suatu yang sangat penting dan merupakan unsur vital dalam Islam.
Mengingat pentingnya peran dakwah tersebut, dakwah dapat dikatakan sebagai
tanggung jawab setiap individu yang mengikrarkan diri beragama Islam sejak seseorang
mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, dalam pengertian selanjutnya dakwah
51
bukan hanya menjadi kewajiban setiap individu/Muslim tetapi menjadi kewajiban
kolektif.
Berbicara dengan bahasa yang indah, mudah dimengerti, mudah dipahami dan
dicerna oleh nalar orang yang mendengarnya, kata demi kata tersusun rapi, menyentuh
hati dan menghujam ke dalam jiwa manusia memang bukanlah hal yang mudah.
Dibutuhkan berbagai disiplin ilmu tata bahasa yang mendukung agar setiap kata yang
keluar dari bibir mudah dicerna dalam pikiran, terlontar melalui lisan diterima oleh
komunikan (khalayak) mudah dipahami dan dimengerti.
Dalam berdakwah seorang da’i haruslah memiliki seni bicara (fannul khitabah)
yang baik, sehingga pesan-pesan dakwah yang disampaikan diterima dan dicerna oleh
orang banyak atau jamaah yang hadir saat itu. Seni bicara (retorika) sudah merupakan
rasa atau warna dalam setiap kata yang terlontar dalam berkomunikasi, berdakwah dan
berpidato, sehingga setiap kata yang keluar dari lisan memiliki warna yagn indah dan
rasa yang enak untuk didengar serta mampu menghujam kalbu. Dan orang yang
mendengarnya akan tergerak hatinya untuk mendengar, mentelaah, meresapi bahkan
bisa membuat mereka ingin menikmati dan melaksanakan apa yang dikatakan atau apa-
apa yang mereka dengar.
Begitupun seorang dai yang bernama ustad Muhammad Arifin Ilham yang akrab
dipanggil dengan Bang Arifin yang sudah lama berjibaku dalam dunia dakwah. Beliau
berpendapat bahwa retorika adalah suatu seni bicara yang bersumber dari lubuk hati
yang ikhlas, yang disertai pengalaman dari apa-apa yang terucap dari lubuk hatinya
hingga menjadi buah keteladanan.
52
Retorika dakwah yang dimiliki oleh seorang dai harus diperkuat dan dipertajam
oleh ibadah amaliyahnya. Jadi tidak hanya bicara tapi juga mengamalkan. Orang yang
mengamalkan memiliki daya tusuk karena kunci retorika itu adalah keikhlasan hati.
Maka jika hati orang yang ikhlas berbicara dan mengamalkan, bicaranya akan sangat
tajam. Jangankan ia berbicara, belum bicara saja sudah menjadi pembicaraan, akhlaknya
kepada Allah dan manusia itulah yang menjadi retorika sebenarnya.8
Sebagai seorang dai yang profesional, ustad Arifin Ilham memiliki penampilan
yang sempurna dari cara berpakaian, berakhlak, baik akhlak kepada Allah maupun
kepada manusia, gaya penampilan dakwah yang baik, raut wajah, mimik, penjiwaan,
kata-kata yang terucap pun tersusun rapi, dan enak didengar. Sehingga ustad Saifullah
yang menjadi sekretaris pribadi beliau mengatakan bahwa retorika ustad Arifin itu
sekelas dengan dai sejuta umat, Aa Gym. Ia berbicara dengan kata-kata yang sederhana
namun mudah dicerna, mudah dipahami dan beliaupun bisa beradaptasi dengan jamaah.
Kalau ceramah dengan pejabat gaya bahasa menyesuaikan dengan bahasa birokrasi
pemerintahan, dihadapan kaum intelek iapun berucap dengan gaya bahasa intelektual
dan jika bicara dihadapan jamaah yang biasa saja, bahasanya pun sederhana, enak dan
mudah dimengerti.9
Dari uraian di atas, definisi retorika yang diutarakan ustad Muhammad Arifin
Ilham berbeda dengan yang diutarakan tokoh-tokoh retorika seperti Prof. Dr. Jalaluddin
Rahmat, Gorys Kraf, I Gusti Ngurah Oka dan yang lainnya. Ustad Arifin Ilham lebih
menekankan pentingnya sisi batiniyah. Jika hal ini sudah dikuasai niscaya ceramah akan
8 Ustad Muhammad Arifin Ilham, Wawancara Pribadi, Tanggal 5 April 2012
9 Ustad Saifullah, Wawancara pribadi, Tanggal 5 April 2012
53
sukses. Namun tidak berarti beliau mengabaikan masalah teknis retorika. Hal ini terlihat
dalam mempraktekkan retorika saat berdakwah yang tergolong sukses. Beliau mampu
menyajikan materi-materi dakwah dengan baik dan aktual sehingga memiliki daya tarik
dan ciri khas tersendiri.
C. Penerapan Retorika dalam Dakwah Muhammad Arifin Ilham
Di dalam berdakwah ustad Muhammad Arifin Ilham memiliki retorika yang
sangat bagus apalagi dibarengi dengan ibadah yang tekun, mengamalkan apa yang
beliau katakan. Dan memang sesuai dengan apa yang beliau katakan pada penulis
bahwa:
قىل انعبمم خير مه قىل انقبئم
Artinya: Perkataan orang yang mengamalkan lebih baik dari pada perkataan orang yang
hanya bicara.‖
Sebab jika orang yang mengamalkan bicara maka bicaranya akan mudah diikuti
dan didengar. Jika ia bicara hikmah orang mau terus menerus mendengarnya sehingga
perkataannya menjadi perkataan yang lembut, berbobot dan menghujam kalbu.
Dalam ilmu retorika seorang orator di saat bicara harus melakukan persiapan-
persiapan, menentukan topik, penguasaan materi, dan penyampaian dengan gaya bahasa
yang baik. Oleh karena itu untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian
tentang penerapan retorika dalam ceramah ustad Arifin Ilham maka penulis membagi
beberapa poin:
54
1. Persiapan-persiapan sebelum berpidato
Persiapan adalah setengan dari kesuksesan. Begitu bunyi kata bijak. Dalam
berbagai hal persiapan perlu dilakukan. Tidak terkecuali ceramah karena akan
menghadapi pendengar yang tidak sedikit. Kesalahan sedikit saja niscaya akan
mempengaruhi pamor sang penceramah tersebut.
Ustad Arifin Ilham sebagai dai ternama tidak luput dari persiapan-persiapan.
Meskipun jam terbang beliau sudah tinggi dalam berceramah, ternyata beliau juga masih
membutuhkan beberapa persiapan. Apalagi kita yang masih awam tentu perlu persiapan
yang lebih matang lagi.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah meluruskan niat hanya karena Allah.
Karena dakwah bertujuan untuk menegakkan kalimat Allah maka semua aktifitas yang
berkenaan dengan hal tersebut seharusnya ditujukan (diniatkan) hanya karena-Nya.
Bukan ditujuan untuk duniawi, misalnya hanya berorientasi amplop. Persiapan kedua
adalah memahami ilmu Allah. Pemahaman yang mendalam dan luas akan ilmu Allah
diperlukan agar bisa dengan mudah menyampaikan kepada jamaah.
Pemahaman yang benar terhadap ilmu Allah juga diperlukan agar tidak
menyesatkan jamaah. Disamping memahaminya diperlukan meyakini ilmu Allah bahwa
ilmu yang berasal darinya adalah benar. Dari sini ada perpaduan antara akal dan hati,
tinggal diwujudkan dalam tindakan nyata. Maka yang perlu kemudian dilakukan adalah
mengamalkan ilmu yang telah dipahami dan diyakini tersebut. Satu lagi agar ilmu yang
kita miliki tidak hanya bisa bermanfaat bagi diri kita saja maka perlu kiranya ilmu itu
didakwahkan. Begitulah ustad Arifin Ilham memaparkan persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan sebelum ceramah.
55
Disamping itu persiapan yang telah menjadi rutinitas sehari-hari adalah
melakukan kebiasaan 7 sunnah rasul, yaitu:
a. Shalat tahajjud
b. Qira’at Al quran dan terjemahannya
c. Shalat subuh di masjid atau mushalla
d. Shalat duha
e. Bersedekah
f. Selalu menjaga wudu
g. Istigfar setiap saat
Selain melaksanakan tujuh sunnah beliaupun melakukan zikir ma‟surat, makan
yang halal, puasa sunnah, membaca al-Qur’an dan belajar lagi, terus menerus
meningkatkan kemampuan dengan menimba ilmu dari berbagai guru.
Disamping itu, persiapan yang ditekankan beliau adalah hendaknya berwudlu
sebelum berdakwah dan terus menjaganya. Menurut beliau pantangan jika da’i
berdakwah dalam keadaan batal (tidak memiliki wudlu) karena ia akan menyampaikan
kalam-kalam suci. Berdoa juga diperlukan baik berdoa untuk diri ustad sendiri maupun
untuk jamaah.
Retorika dakwahnya pun baik dan bagus. Beliau mampu menerapkan seni bicara
yang indah, enak didengar, luwes, mudah dipahami dari berbagai kalangan sosial.
Terkadang dakwahnya berapi-api membakar semangat jama’ah, kadang lembut
menyentuh kalbu hingga membuat jama’ah meresa tersentuh dan meneteskan air mata
tatkala teringat akan perbuatan-perbuatan mereka di masa lalu.
56
2. Topik dan Materi Dakwah
Topik yang diangkat oleh ustad Arifin Ilham sangat relevan dengan kondisi umat
pada saat ini. Beliau mampu menyajikan hal-hal yang memang sering terjadi di kalangan
umat Islam, misalnya tema-tema perjudian, prostitusi, kerusakan moral dan lain-lain.
Ditambah lagi, topik dakwah tersebut kemudian dikemas dalam sebuah sinetron, seperti
rahasia ilahi yang merupakan salah satu metode dakwah yang sangat efektif dan disertai
pembahasan topik yang nyata terjadi dikalangan umat itu sendiri.
Adapun materi dakwah yang disajikan sudah sangat layak dikatakan sempurna,
sumber-sumber rujukan (maraji‟) yang diambilpun sangat kuat dan jelas. Seperti Al
quran, Hadis, tafsir, qaul sahabat, fatwa-fatwa ulama, kisah-kisah hikmah. Dan materi
ini diangkat dan disajikan secara mendalam dan luas, serta disampaikan secara sukses.
Hal ini mengindikasikan bahwa ustad Arifin Ilham memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas.
Di sisi lain, Ustad Arifin Ilham gemar mengikuti taklim di Az-zikra setiap malam
Rabu. Selama penulis mengadakan penelitian ustad Arifin tidak pernah absen dalam
mengikuti malam tarbiyah di masjid al-Amru bittaqwa. Di masjid inilah murabbi yang
sudah kawakan memiliki wawasan keagamaan yang sangat luas memberikan materi-
materi dakwahnya. Dan ustad Arifin ikut belajar di dalamnya. Jadi menurut pengamatan
penulis ustad Arifin tidak hanya memiliki wawasan yang luas, tapi juga gemar
memperluas atau menambah wawasan keagamaan dalam berdakwah.
Keluasan wawasan beliau juga ditunjang dengan keaktifan beliau mengikuti isu
yang sedang berkembang melalui media massa baik elektronik maupun cetak. Selain itu,
57
beliu pada waktu mudanya rajin menulis apa yang disampaikan oleh para penceramah
yang ikut memperkaya wawasan beliau.
3. Penguasaan dan Penyampaian
Di dalam berdakwah, penguasaan terhadap materi dakwah yang akan
disampaikan sudah merupakan keharusan bagi seorang dai sebab tanpa penguasaan
materi yang mendalam maka sulit untuk membangun kepercayaan khalayak. Sehingga
penyampaian materi dakwahpun akan tersedat-sendat, tidak ada keluwesan, keahlian,
kemapanan dan ketenangan di saat menyampaikan materi dakwah.
Tapi jika seorang da’i sudah mampu menguasai matei dakwah dengan baik,
maka gaya penyampaiannyapun akan baik pula. Kontak dengan khalayak lebih tenang,
membangun kredibilitas di hadapan khalayak akan semakin mudah, oleh vokal pun akan
lancar dan memiliki makna-makna dari setiap kata yang terucap.
Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa ―Dalam penyampaian pidato atau khotbah
ada tiga hal yang harus diperhatikan di dalam berpidato dan beliau menyebutnya dengan
tiga rukun pidato atau Trisila Pidato, yaitu:
a. Pelihara kontak visual dan kontak mental dengan khalayak (kontak)
b. Gunakan lambang-lambang auditif atau usahakan agar suara anda memberikan
makna yang lebih kaya pada bahasa anda (olah vokal)
c. Berbicaralah dengan seluruh kepribadian anda: dengan wajah, tangan dan tubuh
anda (olah visual).10
10 Jalaluddin Rahmat, Retorika Modern; Pendekatan Praktis, tahun 2001, h. 78
58
Dalam pandangan dakwahnya Muhammad Arifin Ilham pun sudah sangat
menguasai materi dakwahnya. Sehingga gaya penyampaiannyapun sangat luwes, tenang,
menarik untuk disimak. Misalnya pada hari Selasa malam, tanggal 12 April tepatnya
malam Rabu yang disebut oleh Az-Zikra dengan sebutan malam Tarbiyah. Saat itu pihak
TVRI yang diwakili Bapak Dr. H. Sunandar, seorang pengamat dakwah dan dosen UIN
Fakultas Dakwah men-shoting langsung kegiatan dakwah Muhammad Arifin Ilham, di
saat itu penulis mengamati kepiawaian beliau dalam menguasai dan menyampaikan
materi dakwah yang betemakan tentang Maulid Nabi Muhammad saw.
Kontak visual dan kontak mental beliau dengan khalayak yang hadir dengan
baik, sehingga jamaah pun memperhatikan dengan serius. Olah vokal atau suara yang
beliau miliki sangat khas, nada dan irama suara yang turun naik terkadang mendatar dan
terkadang tinggi. Isi ceramah beliau mengalir begitu saja sehingga setiap kata yang
keluar dari mulut beliau memiliki makna yang membuat pendengar merasa tertarik
untuk terus mengikuti ceramah beliau sampai selesai.
Dalam olah vokal ustad Arifin Ilham, dalam berbicara dihadapan jamaah belul-
betul menampilkan seluruh kepribadiaannya. Beliau berbicara dengan menggunakan
tangan, raut wajah, bahasa tubuh (body language), hingga gaya penyampaian beliau
yang seperti itu semakin menambah keyakinan jamaah untuk lebih serius lagi dalam
mendengarkan dakwah beliau. Sehingga acara malam itu berjalan mulus dan lancar.11
11 Muhammad Arifin Ilham, Pengamatan Pribadi, tanggal 12 April 2012
59
4. Gaya Bahasa
Cleant Books dan Robert Penn Warren dalam bukunya yang berjudul “Modern
Rhetoric” mendefinisikan retorika sebagai the art using language effectively atau seni
menggunakan bahasa secara efektif.‖12
Begitulah yang terjadi dalam dakwah Ustad
Arifin Ilham beliau mampu mengolah kata dengan baik hingga gaya bahasa beliau enak
didengar, sederhana tapi mudah dicerna. Di sisi lain beliaupun mampu menyesuaikan
dengan siapa ia berbicara.
Pada akhirnya kata-kata yang keluar di bibir mengalir dengan tidak bertele-tele,
tepat sasaran dan bahasanya pun sangat efektif. Ustad Muhammad Saefullah
mengatakan: ―Retorika dakwah ustad Arifin Ilham sekelas dengan retorika da’i sejuta
umat, Aa Gym, gaya bahasa beliau sederhana dan mudah dicerna, mudah dipahami oleh
siapapun, oleh orang awam sekalipun. Dan beliau sangat menguasai materi yang
disampaikan, jadi retorikanya retorika yang menguasai medan. Saat beliau ceramah
dihadapan orang awam bahasa beliaupun sederhana, saat ceramah dihadapan pejabat
bahasa beliaupun sangat tegas dan tenang.13
5. Humor
Da’i muda yang terkenal dengan majlis zikirnya, ternyata tidak hanya mampu
menggugah perasaan jamaah dengan bahasa-bahasa tasawuf, bahasa-bahasa doa, mutiara
quran, kata-kata hikmah tetapi juga mampu mengocok perut jamaah. Membaut lelucon
12 Ir. Nogarsyah Moeda, Buku Pintar dakwah, (Intimedia dan Ladang Pustaka, 2002),
13
Saifullah (salah satu guru majelis az Zikra), Wawancara Pribadi, tanggal 20 April 2005
60
atau humor dalam dakwah hingga jamaah tertawa terpingkal-pingkal. Di setiap malam
Rabu, penulis selalu hadir mengikuti malam tarbiyah di majelsi Az-zikra yaitu malam
yang biasa di isi dengan ceramah-ceramah guru-guru senior, kyai-kyai yang sudah
kawakan yang diawali dengan tausiyah ustad Arifin Ilham setelah itu belajar besama
mendengarkan ceramah guru-guru yang lain.
Dalam tausiyahnya ustad Arifin Ilham selalu membuat humor-humor, tekadang
dari kisah-kisah hikmah, hal-hal yang sering terjadi ditengah kehidupan masyarakat dan
terkadang melalui body language (bahasa tubuh yang memang bisa membuat oran
tertawa). Humor-humor yang beliau pergunakan dalam berdakwah sangat berkaitan
dengan tema ceramah yang diangkat pada saat itu.
Beliau menggarisbawahi bahwa penggunaan humor hanyalah sebagai selingan
saja untuk membangkitkan perhatian jamaah. Oleh karena itu humor hendaklah harus
bermakna dan bukan kata-kata yang kotor, jorok, porno.14
Jamaah yang hadir pada saat itu pun sangat merespon humor-humor yang
disajikan dalam tausiyah ustad Arifin Ilham. Mereka memperhatikan dengan seksama
keseriusan mereka sangtlah tinggi dalam memperhatikan ceramah yang sedang
dipaparkan oleh sang da’i majlis dikir ini. Bahkan mereka rela duduk berdesak-desakan
di dalam dan di samping masjid, ada yang datang sejak sore hari agar tidak ketinggalan
dan ingin duduk di depan untuk mengikuti tausiyah ustad Arifin Ilham.
Sungguh sebuah retorika dakwah yang sangat menarik, penguasaan dakwah yang
sangat aktual, yang membuat seorang terharu terpikat dan terpesona serta tidak jemu-
jemunya untuk datang secara rutin guna mendengarkan tausiyah sang da’i pujaan hati
14 Ustad Muhammad Arifin Ilham, op.cit.
61
umat muslim. Kendatipun tempat tinggal para jamaah sangat jauh namun retorika
dakwahnya memiliki daya magnet yang mampu menyedot dan menarik jamaah yang
banyak.
D. Kekuatan Retorika Dakwah Ustad Muhammad Arifin Ilham
Dalam sejarah perkembangan retorika di Indonesia, banyak sekali ahli-ahli
retorika ulung di bumi pertiwi ini. Masing-masing mereka memiliki keunggulan dan
daya tarik tersendiri. Misalnya ada Bung Karno, Muhammad Natsir, Buya Hamka,
Zainuddin MZ dan Aa Gym. Kini muncul seorang ahli retorika yaitu ustad Muhammad
Arifin Ilham. Dai muda kelahiran Banjarmasin ini memilki kecakapan retorika yang
menarik.
Untaian katanya membuat orang terpana, keberanian dan kelantangan suaranya
membuat orang terpaku mendengar dan melihatnya. Tausiyahnya mampu menggugah
hati jamaah bahkan mampu membuat jamaah menangis tersedu-sedu dan tidak enggan-
enggan meneteskan air mata tatkala sang kyai atau dai mengucapkan tausiyahnya yang
menyejukkan dan membuka mata hati jamaah.
Maka dari pengamatan penulis dan pengamalaman yang penulis saksikan sendiri,
maka penulis memaparkan beberapa kekuatan retorika tausiyah ustad Muhammad Arifin
Ilham sebagai berikut:
1. KH. Muhammad Arifin Ilham, melalui dakwahnya secara konsisten dan
konsekuen setelah mengalami pengalaman rohani yaitu koma selama 21 hari,
sejak itulah beliau mulai melatih dan membiasakan diri untuk dekat dengan
62
Allah guna mensucikan diri atau dengan kata lain pembersihan (pensucian) diri
sebelum mensucikan umat. Beliau memberikan keteladanan terlebih dahulu
sebelum berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Dari cara berpakaian,
berakhlak bicara dan ibadah serta keluarga itulah yang membuat jamaah zikir
terus bertambah.
2. Ustad Muhammad Arifin Ilham pun gemar melakukan tujuh sunnah Nabi
Muhammad saw yakni: tahajjud setiap malam, membaca Al quran setiap hari,
sholat subuh berjamaah setiap hari, shalat duha setiap hati, sadakah setiap hari,
menjaga wudhu, istighfar setiap saat. Tujuh sunnah yang tidak putus itulah yang
membuat jamaah merasa yakin akan figur muballigh muda ini.
3. Ustad Muhammad Arifin Ilham dikelilingi oleh para ulama yang lebih senior dan
beliaupun tidak malu untuk terus berlajar dari para ulama, seperti kegiatan
malam tarbiyah pada setiap malam Rabu dimana ustad Arifin Ilham ikut belajar
bersama para jamaahnya.
4. Ustad Muhammad Arifin Ilham bersifat tawadhu, sederhana, santun. Beliau tidak
mau dipanggil kyai tapi lebih senang dipanggil abang dan beliau tidak segan
bercium tangan pada orang yang lebih tua darinya. Beliau bersifat lebih familiar
dan tidak pandang bulu.
63
5. Ustad Muhammad Arifin Ilham memiliki retorika bahasa yang sangat menarik.
Bahasa sederhana, mudah dicerna, gaya penyampaiannya yang baik, pola pikir
yang cemerlang, wawasan yang luas dan vokal yang khas.
6. Ustad Muhammad Arifin Ilhma saat memberikan tausiyahnya sangat yakin,
percaya diri dan mampu meyakinkan jamaah hingga jamaah duduk berjam-jam
dan berdesak-desakkan. Di sisi lain ustad Muhammad Arifin Ilham pun tidak
hanya berdakwah dengan ucapan tapi juga dakwah bil hal, memberikan suri
tauladan yang baik. Sehingga orang yang meilhatnya merasa yakin dan mantap
untuk mencontoh figur beliau.
7. Ustad Muhammad Arifin Ilham memiliki jamaah tetap yang mengikuti jejak
beliau menjadi ahli zikir, tahajjud atau ahli ibadah, hingga memiliki daya tarik
bagi jamaah yang belum pernah hadir.
8. Ustad Muhammad Arifin Ilham memiliki kekuatan bahasa dan doa, sehingga
setiap ayat, hadir, kata-kata hikmah yang keluar dari lisannya mampu
menghujam hati jamaah. Beliau tidak hanya mampu membuat orang tertawa tapi
juga mampu membuat jamaah menangis tersedu-sedu meratapi hidup mereka
yang menyimpang dari agama dan bergelimang dosa.
9. Ustad Muhammad Arifin Ilham memiliki akhlak yang baik, baik dalam
beribadah kepada Allah ataupun kepada jamaah. Beliau menjadi seorang
pengamal bukan hanya pembicara. Beliau memiliki prinsip yang kuat yaitu
―mendakwahi diri sendiri lebih dahulu baru mendakwahi ummat. Dan ada sebuah
64
semboyan yang beliau ungkapkan pada penulis yakni perkataan orang yang
mengamalkan lebih baik dari pada perkataan orang yang cuma ngomong.
10. Banyaknya orang-orang nasrani/ non muslim lainnya yang berdatangan ke majlis
Az-zikra untuk masuk Islam dan ini bisa dikatakan sebagai hadiah Allah kepada
umat Islam. Karena keseriusan mereka dalam bedoa dan mengamalkan ajaran
agama Allah.
E. REFLEKSI DAKWAH MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
Seperti yang telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an (3: 104):
―Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung‖
Dalam ayat di atas terbesit perintah berdakwah baik secara individu maupun
secara kelompok. Penafsiran berdakwah secara individu dan kelompok muncul ketika
ada yang berpedoman bahwa kata minkum dalam ayat tersebut (yang dalam bahasa
Indonesianya berarti di antara kamu), jika huruf mim-nya adalah mim bayaniyah maka
dakwah menjadi kewajiban individu yang hukumnya fardhu‟ain; akan tetapi, jika mim-
nya adalah mim tab‟idhiyyah (menyatakan sebagian), maka dakwah menjadi kewajiban
kolektif umat sehingga hukumnya fardhu kifayah.
Sebelum kehidupan berkembang dengan begitu cepatnya, ketika keadaan masih
relatif terkontrol dan permasalahan dunia belum sekompleks sekarang, dakwah
(menyampaikan fungsi kerisalahan) cukup dilakukan dalam mimbar-mimbar masjid,
65
majelis taklim melalui penyampaian seorang da’i. Penyebaran dakwah yang
dilakukanpun terkesan lebih mengutamakan penambahan jumlah pengikut, belum
menyentuh pokok permasalahan yang dihadapi oleh obyek dakwah. Belum lagi dakwah
yang dilakukan bersifat monolog tanpa memperhatikan kondisi obyek dakwahnya. Hal
ini berarti dakwah yang dilakukan belum menyentuh realitas umat.
Berdakwah yang kurang merespon realitas bisa menyebabkan kegagalan misi
dakwah. Dakwah terkesan satu arah dan seolah-olah masalah akan dapat diatasi oleh
sang juru dakwah. Karena itu, dakwah yang dilakukan seharusnya tidaklah antirealitas
seperti yang masih berlangsung sekarang ini. Diperlukan sebuah recovery dalam
berdakwah. Untuk itu harus ada modifikasi metode dakwah dengan melakukan strategi
dakwah yang mantap dengan memahami dan menyelami kondisi masyarakat yang
sebenarnya.
Usaha tersebut antara lain dapat dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap
sasaran dakwah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan dan permasalahan yang
dihadapi. Sebelum dakwah dilakukan, seorang da’i semestinya mengerti terlebih dulu
kondisi masyarakat yang menjadi obyek dakwahnya. Sebab, kondisi masyarakat antara
tempat satu dan tempat yang lain berbeda, baik dalam kondisi sosial, politik, ekonomi
maupun budaya yang melingkupinya.
Kalau dakwah ingin tepat sasaran dan berhasil, maka usaha-usaha seperti
penelitian dan perencanaan dakwah harus dilakukan supaya dakwah tidak terkesan
verbalisme dan antirealitas. Metode dakwah yang terencana dan sistematis—demi
keberhasilan proses dakwah Islamiyah yang dilakukan—harus dimulai dari sekarang.
Dengan melihat fenomena kehidupan internal umat Islam yang semakin ditindas oleh
66
globalisasi dan modernisasi, menjadi sebuah keharusan untuk mengemas metode
dakwah dengan menyesuaikan perkembangan dan kemajuan. Kemasan dakwah yang
dilakukan merupakan respon terhadap globalisasi dan modernasasi yang berkembang
pesat.
Perkembangan kehidupan yang semakin modern membuat manusia semakin
tercerabut dari akarnya dan kehilangan ruh kehidupan. Hidup yang dirasakan terasa
hampa dan kering spiritual. Kondisi seperti ini menjadi problem keumatan yang serius
dan memerlukan daya tangkap yang lebih dari juru dakwah. Sampai sekarang kita bisa
melihat betapa kerasnya kehidupan yang harus dijalani, persaingan demi persaingan
yang sifatnya mengejar kehidupan dunia menjadi tontonan dari kehidupan sehari-hari.
Dunia hanya dinilai dan direduksi dalam dataran materi, yang pada akhirnya
terjebak pada paham materialisme sempit. Orang yang ada di sekeliling kita berpacu
dalam mengejar materi, seolah-olah materi adalah segalanya di dunia ini. Maka tidak
heran kalau angka kriminalitas semakin tinggi, dan semakin banyaknya orang
melakukan jalan pintas dengan melakukan bunuh diri. Anehnya, bunuh diri justru
menjadi tren pada kalangan berkecukupan (materi). Fenomena ini menarik untuk dikaji.
Fenomena munculnya Muhammad Arifin Ilham dengan ramuan Dzikir Bersama
merupakan ijtihad dakwah yang ia lakukan. Seperti yang kita lihat, Muhammad Arifin
Ilham mempunyai cara yang berbeda dari kebanyakan penyiar Agama, Muhammad
Arifin Ilham justru tidak hadir sebagai penasihat yang hanya melalui kata-kata, seruan
dan retorika lisan. Namun lebih dari itu, yaitu secara langsung bersama melakukan
ibadah bersama umat, yakni dengan konsep dzikir.
67
Meskipun demikian pada esensinya ada kesamaan, yaitu mengedepankan aspek
ruhiyah. Sebenarnya jika kita mencermati apa yang mereka lakukan, permasalahannya
sangat sederhana mengapa mereka bisa diterima di masyarakat. Para juru dakwah ini
menampilkan dimensi spiritulitas Islam yang semakin menghilang dari dalam jiwa
masyarakat. Wajah Islam yang esoteric (keberagaman keyakinan) dan kaya akan ajaran
kedamaian, kesejukan, kesantunan, keluhuran budi yang mereka tampilkan ke
permukaan.
Kesejukan hati inilah yang dicari oleh umat mengingat kondisi globalisasi dan
modernisasi serta situasi yang serba permisif menghantui realitas obyektif umat.
Muhammad Arifin Ilham menjadi terkenal dan laku di pasaran. Ketenaran yang ia raih
dalam diskursus ilmu sosial disebut ―ngepop‖ dan mereka dapat dikatakan sebagai
selebritis baru dalam bidang dakwah. Disebut ―ngepop‖ karena setiap majelis yang
mereka pimpin selalu dipadati oleh ribuan jamaah yang siap menerima siraman rohani.
Jamaah yang hadir pun sangat beragam, dari golongan orang tua sampai anak-
anak muda, laki-laki dan perempuan, lapisan elit pejabat yang kaya hingga orang-orang
miskin. Para da’i selebritis ini menjadi ikon baru bagi masyarakat Muslim. Tak ayal lagi
mereka para juru dakwah ngepop selalu menjadi sorotan publik dan figur yang didamba-
dambakan.
Namun adanya fenomena ustadz ngepop ini terkadang menyebabkan masyarakat
menjadi berlebihan dalam menghadiri majelis taklim. Orang baru berbondong-bondong
ketika yang hadir adalah ustadz ngepop tersebut. Akan tetapi, majelis taklim akan sepi
ketika yang datang bukanlah ustadz ngepop. Ini merupakan gejala yang tidak sehat di
68
masyarakat. Masyarakat masih memandang ketokohan yang datang, bukan mendengar
apa yang disampaikan. Umat sebagai sasaran dakwah terjebak pada kultus individu.
Padahal, agama menganjurkan untuk tidak melihat siapa yang menyampaikan
akan tetapi lihatlah apa yang telah disampaikan. Jika tradisi mengagungkan figur
tersebut semakin berkembang, hal ini akan menjadi masalah tersendiri bagi jalannya
dakwah. Umat Islam semakin lama akan mempunyai pola pikir bahwa yang berhak
berdakwah adalah mereka yang telah yang disebut ustadz, mereka yang telah disebut
kyai, mereka yang telah terkenal sebagai juru dakwah, dan di luar itu akan beranggapan
bahwa dirinya belum sempurna dan belum berhak berdakwah. Padahal, dakwah adalah
kewajiban setiap Muslim.
Pada dasarnya, dakwah bukanlah tanggung jawab perseorangan, akan tetapi
merupakan kerja keumatan yang harus dipikul bersama dan saling melengkapi antara
yang satu dengan yang lain. Dalam kesempatan lain Rasulullah menegaskan dalam
hadistnya yang artinya:
“Sampaikanlah apa yang kamu terima dariku walaupun satu ayat.”
Ini menandakan setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan berhak dan
berkewajiban menyampaikan kebenaran yang telah mereka terima, tidak memandang
apakah dia itu ustadz, kyai, syekh. Semua orang akan menjadi da’i bagi dirinya sendiri
dan orang di sekelilingnya. Kalau kerja kolektif seperti ini saling simultan, Insya Allah,
problem keumatan akan semakin ringan.
69
Masalahnya adalah, tidak semua penyelesaian bisa dilakukan seperti pendekatan
Muhammad Arifin Ilham. Saat ini problem umat kian kompleks. Mereka tidak hanya
dihadapkan pada realitas kehidupan seperti yang telah mampu dijawab Arifin Ilham.
Masih ada permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan, kebodohan, penindasan,
penggusuran, peperangan dan pemurtadan. Cukupkah kemiskinan, kebodohan,
penindasan, pemurtadan akan selesai hanya dengan diberi tausyiah oleh sang ustadz atau
hanya dengan dzikir bersama?
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Secara khusus dan tegas, pada pola dakwah yang di jalankan oleh Muhammad
Arifin Ilham dengan konsistn tidak memiliki keterkaitan dengan agenda media. Artinya,
sejak kemunculannya di media massa, dimulai dari sebuah radio kecil di bilangan
Cipete, Jakarta Selatan. Pola dakwahnya tetap sama, yakni menggunakan pendekatan
dzikir. Historisitas yang mencakup cara menyampaikan pesan, pada awalnya dengan
risalah pidato yang tidak jauh berbeda dengan dai lainnya, namun itu ia lakukan sebelum
masuk dalam sistem media massa yang membuatnya populer. Sehingga, perubahan cara
berdakwah tersebut tidak dapat di kategorikan sebagai kemasan media.
Meskipun demikian, media tetap memperhatikan estetika siaran program,
estetika yang dimaksud bukan pada pola dakwah itu sendiri, hanya saja semisal make up,
kerapian dan hal teknis yang berhubungan dengan visual. Dari sini, peneliti
berkesimpulan bahwa Muhammad Arifin Ilham bisa di kategorikan sebagai Man Behind
the Gun, bukan Media yang mengatur, akan tetapi media hanya mengikuti karakter sang
Ustad itu sndiri.
Beberapa uraian pnting yang dapat disimpulkan dalam pnelitian ini, stidaknya
ada dua hal yang mnyangkut konsp rtorika dakwah.
Pertama, Muhammad Arifin Ilham berpendapat bahwa retorika adalah suatu seni
bicara yang bersumber dari lubuk hati yang ikhlas, bersanding dengan pengamalan
hingga perkataannya menjadi perkataan yang lembut, berbobot dan menukik yang
71
akhirnya menjadi buah keteladanan. Pemahaman retorika beliau lebih memfokuskan
pada aspek batiniyah, yaitu pada kesucian hati seseorang. Jika hati orang sudah bersih
niscaya dakwah akan sukses. Namun jika dipadukan dengan pendapat para pakar
retorika, teori retorika yang dipaparkan ustad Arifin amatlah berbeda. Maka dapat
disimpulkan bahwa kalau berbicara teori retorika ustad Arifin kurang begitu memahami.
Beliau lebih mapan dalam mempraktekkan retorika atau dengan kata lain beliau lebih
pantas disebut dengan praktisi dakwah.
Kedua, Penerapan retorika Muhammad Arifin Ilham dalam pelaksanaan
tausiyahnya sangatlah bagus. Beliau mampu memaparkan gaya bahasa yang menarik,
kata-kata yang tersusun rapi, mudah dimengerti, vokal yang lantang, gaya penyampaian
yang mudah dipahami dan body language yang hidup, tidak kaku, luwes dan tenang.
Alasan lain, yang juga menjadi magnet terhadap jamaah pengajian, tentu suatu
hal yang sangat pnting melihat sejarah dakwah yang ia jalankan diterima dengan sangat
baik oleh penikmat sajian ruhaniah. Sekarang, metode dakwahnya menjadi sangat
fenomenal, dinikmati dan dirindukan oleh semua lapisan masyarakat; awam maupun
intelektual, masyarakat kelas bawah maupun kelompok the have dan bahkan para
pejabat dan kalangan selebritis.
Kesimpulan peneliti, dialah dai muda yang menoreh sejarah dakwah di Indonesia
karena setiap ritual ibadah zikirnya dihadiri dan diikuti oleh puluhan ribu jamaah yang
berpakaian serba putih yang datang bukan hanya dari wilayah Jabotabek, tapi juga dari
kota-kota luar Jawa dan bahkan ada pula yang dari Singapura dan Malaysia.
Tiada waktu yang terlewati kecuali ibadah dan dakwah, tausiah & zikir (on air maupun
72
off air), amal soleh, menulis materi dakwah, konsisten mengamalkan 7 Sunnah Rasul.
Dia mengaplikasikan dakwah secara komprehensif seperti yang dilakukan Rasulullah;
Dakwah billisan, bil-qolam dan juga bil-hal.
Beberapa paragraf terakhir ini, mudah-mudahan dapat menjawab persoalan
keutamaan atau kekuatan dakwah yang ia jalankan.
B. Saran-saran
Seiring dengan beberapa kesimpulan di atas, maka peneliti mengajukan beberapa
saran. Semoga saran-saran ini dapat bermanfaat dalam pengembangan dakwah
Muhammad Arifin Ilham. Dalam hal ini penulis mengajukan beberapa saran, yakni:
1. Dalam mendefinisikan retorika, ustad Muhammad Arifin Ilham hendaknya tidak
terpaku pada akhlak dari orator tersebut tetapi agar lebih memfokuskan lagi pada
inti retorika yaitu sebagai seni berbicara (the art of speech) yang dapat di pahami
dengan baik, juga mampu menggerakkan secara praktik bagi pendengar.
Faktanya, meskipun Muhammad Arifin Ilham mendefinisikan retorika dengan
mengacu pada perilaku orator, ia sendiri telah menguasai konsep retorika yang
sebenarnya. Hal tersebut dapat di lihat dari banyaknya jamaah yang tersebar di
Indonesia juga beberapa lainnya.
2. Dalam rangka meningkatkan kekuatan retorika dakwah, hendaknya ustad
Muhammad Arifin Ilham tidak melakukan pengulangan materi-materi yang telah
disajikan dan juga hendaknya materi yang disajikan tidak terbatas pada masalah
73
akhirat melainkan bisa diperluas terhadap segala permasalahan aktual yang
sedang dihadapi umat.
Adapun saran secara akademis, hendaknya hasil penelitian ini membangkitkan
gairah akademisi untuk melakukan penelitian serupa untuk memperkaya khazanah
keilmuan khususnya dibidang dakwah, retorika dan penyiaran Islam. Sejauh ini, buku-
buku tentang retorika sudah banyak sekali, namun yang berhubungan erat dan
membingkai persoalan dakwah masih sedikit.
74
KEPUSTAKAAN
Briggs, Asa dan Peter Burke, Sejarah Sosial Media; Dari Gutenberg Sampai
Internet. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006
Aziz, Mohammad Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
tp:tt
Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian. Terj.:
Khozin Afandi. Surabaya: Usaha Nasional, 1993
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Politik,
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010
----------, Sosiologi Komunikasi; Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007
Effendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2000
----------. Televisi Siaran Teori dan Praktik. Bandung: Mandar Maju, 1993.
Hadju, Didi A. Dakwah Kontemporer; Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi.
Bandung: Pusda’i Press, 2000
Habib, M. Syafa’at. Pedoman Dakwah. Jakarta: Widjaya Jakarta, 1982
Kusnawan, Aep. Komunikasi dan Penyiaran Islam; Mengembangkan Tabligh
Melalui Mimbar, Media Cetak, Radio, Televisi, Film dan Media Digital.
Bandung: Benang Merah Press, 2004
Mujtaba, Ahmad Nawawi. Menggapai Kenikmatan Zikir. Bandung: Mizan Media
Utama, 2003
Qardhawy, Yusuf (al). Pengantar Kajian Islam. Jakarat: Pustaka Al-Kausar, 2003
Rahmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya, 1985
Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam Abad 21. Bandung: Mizan, 1992
Subroto, Darwanto Sastro. Produksi Acara Televisi. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press, 1994
Sukirman, DM. Era Baru Televisi Kita dan Koreksi Terhadap Dampaknya.
Jakarat: Media Indonesia, 1993
Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Prenada Media Group, 2008