tema islami dalam genre film di indonesia tahun 1959...
TRANSCRIPT
TEMA ISLAMI DALAM GENRE FILM DI
INDONESIA TAHUN 1959-2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Humaniora (S.Hum)
Oleh :
EDO NABIL AROVI
216-14-003
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DAN
KESEDIAAN DIPUBLIKASIKAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Edo Nabil Arovi
NIM : 21614003
Fakultas : Ushulluddin, Adab dan Humaniora
Jurusan : Sejarah Peradaban Islam
Menyatakan bahwa naskahskripsi saya berjudul “Tema Islami dalam
Genre Film di Indonesia Tahun 1959-2008“ adalah benar-benar hasil
penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk
sumbernya berdasakan kode etik ilmiah, dan bebas dari plagiatisme. Jika
kemudian hari terbukti ditemukan plagiarisme, maka saya siap ditindak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Salatiga, 08Oktober 2018
Yang menyatakan,
Edo Nabil Arovi
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara:
Nama : Edo Nabil Arovi
NIM : 21614003
Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora
Program Studi : Sejarah Peradaban Islam
Judul : Tema Islami dalam Genre Film di
Indonesia Tahun 1959-2008
telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan.
Salatiga, 08 Oktober 2018
Pembimbing
Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A.
iv
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi Saudara Edo Nabil Arovi dengan Nomor Induk Mahasiswa
21614003 yang
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
Jalan Nakula Sadewa VA/No. 09 Salatiga 50721 Telp (0298)
323706 Fax. 323433
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Masa depan bergantung dari sekarang, jika anda melakukannya
dengan sangat baik bagi hidup anda, maka sejarah anda akan bermakna.
Jangan pernah mengeluh dan mengatakan tidak bisa, lakukan hal
apapun (jika itu baik) dengan selalu bersyukur dan ikhlas”.
(Edo Nabil Arovi)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya tercinta yang
telah memberi dukungan materi dan moral serta tak pernah lelah
mendoakan saya.
Untuk Bapak Haryo Aji yang selalu sedia membimbing disetiap kesulitan
saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Teruntuk Ayahanda tercinta, Mohammad Akhsin, yang selalu bekerja
keras demi kelangsungan hidup saya.
Teruntuk Ibunda tercinta, Dyah Anggraini, yang selalu mendoakan saya
dalam keadaan apapun.
Teruntuk Kakak Tercinta. Hanif Aditya Iga Nugraha, yang menjadi
teman dalam kehidupan saya.
vi
Teruntuk keluarga besar Bani Rastawi dan Keluarga Mbah Suwarno yang
selalu mendukung dan memberi semangat kepada saya.
Teruntuk orang terkasih yang selalu mensuport dan membantu saya
dalam penyelesaian skripsi ini.
Teruntuk sahabat dan keluargaku mahasiswa Sejarah Peradaban Islam
angkatan 2014.
Teruntuk teman-teman HMI Cabang Salatiga yang telah membantu saya
memberikan inspirasi dan pengalaman hidup saya.
Teruntuk keluarga besar IMKS yang telah bersediameluangkan waktunya
untuk berbagi inspirasi.
Untuk teman-teman seperjuangan yang selama ini menemai saya hingga
detik ini. Terima Kasih.
vii
ABSTRAK
Perkembangan film religi Islam telah banyak mewarnai wajah
perfilman Indonesia yang tidak bisa terlepas dari pengaruh modernisasi
terhadap nilai-nilai budaya Islam dalam masyarakat. Film religi Islam
merupakan kajian media visual berisikan nilai-nilai dasar dan simbol-
simbol agama Islam dengan tujuan dakwah yang dimaksudkan untuk
mengenalkan Islam dalam ruang publik. Mengenai film bertemakan
Islam tidak bisa terlepas dari pengaruh kebangkitan Islam pasca
kemerdekaan Indonesia, dimana terjadi pergulatan politik antar dua kubu
besar, yaitu Komunis dan Islam. di Indonesia pada masa Orde Baru
memang baru menggeliatnya kajian atau budaya Islamisme yang
menginspirasi para mahasiswa dan orang-orang kelas menengah untuk
gencar-gencarnya membuat gerakan Islamisasi. Meningkatnya jumlah
perempuan berjilbab dan munculnya budaya pop bertema Islam, seperti
novel, progam televisi, sinetron, lagu-lagu dan sebagainya menjadi
indikator yang signifikan yang menunjukkan identitas Islam yang di
ekspresikan dalam ruang publik.
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah,
dimana terdapat metode heuristik, verifikasi, intepretasi, dan hisoriografi
dengan menggunakan perspektif Islam. Penelitian ini dilakukan karena
melihat banyaknya perbincangan mengenai film-film bertemakan Islam
yang relatif potensial untuk dijual.
Kata Kunci : Film Religi , Film, Budaya, Islam.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi allah swt, tuhan semesta alam, yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada kita semua. Sehingga penulis
mampu menyelesaikan karya tulis yang berbentuk skripsi ini dengan lancar.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabiyullah nabi
muhammad saw beserta keluarga, sahabat-sahabatnya, dan tabiin-tabiin.
Sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah bagi penulis dalam mencari,
mengumpulkan, menyeleksi, menganalisis, dan menulis data-data yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Namun berkat usaha, kesabaran, dan
do‟ a akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna untuk memperoleh gelar sarjana humaniora. Adapun judul skripsi
ini adalah “Tema Islami dalam Genre Film di Indonesia Tahun 1959-2008”
penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini dapat terlaksana berkat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab,
dan Humaniora IAIN Salatiga.
3. Bapak Haryo Aji Nugroho, S.Sos. M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam IAIN Salatiga dan selaku Dosen Pembimbing Skripsi
penulis yang berkenan memberikan pengarahan, meluangkan waktu serta
mencurahkan waktu dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
4. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora Jurusan Sejarah
Peradaban Islam yang telah berkenan memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis dan pelayanan hingga studi ini dapat selesai.
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..................................................................................... i
Pernyataan Keaslian Tulisan ................................................................ ii
Persetujuan Pembimbing...................................................................... iii
Pernyataan Kelulusan ........................................................................... iv
Motto Dan Persembahan ...................................................................... v
Abstrak ................................................................................................. vii
Kata Pengantar .................................................................................... viii
Daftar Isi ............................................................................................. x
I. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian ..... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ......................................................... 6
E. Kerangka Konseptual .................................................. 7
F. Metode Penelitian ....................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ................................................. 14
II. PERFILMAN NASIONAL TAHUN 1900-1959..................... 16
A. Lahir dan Perkembangan Indusri Film di Indonesia .... 16
B. Perfilman Indonesia Masa Penjajahan hingga Peralihan
...................................................................................... 20
1. Film Propaganda .................................................... 20
2. Film Perjuangan ..................................................... 24
C. Perkembangan Film Nasional di Indonesia ................. 26
III. AKHLAK ISLAMIYAH DALAM FILM RELIGI ISLAM
TAHUN 1959-2000 .................................................................... 29
A. Lonjakan Pertama Film “Titian Serambut Dibelah Tujuh”
...................................................................................... 29
B. Genre Film Religi bertemakan Islam ........................... 31
1. Film Religi Sejarah dan Mitos .............................. 32
xi
2. Film Religi Drama-Musikal ................................... 34
3. Film Religi Horor ................................................... 35
C. Pengaruh Islam dalam Film Indonesia Masa Orde Baru
...................................................................................... 36
IV. DOMINASI PERCINTAAN DALAM FILM RELIGI ISLAM
TAHUN 2000-2008 .................................................................... 40
A. Dari Foklor hingga Ekranisasi Novel ........................... 40
B. Film Ayat-Ayat Cinta : “Booming-nya” Film Religi Islam
di Indonesia .................................................................. 42
V. PENUTUP .................................................................................. 46
A. Kesimpulan ................................................................. 46
B. Saran............................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 49
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Film layar lebar sudah menjadi tontonan yang relatif diminati oleh
masyarakat secara luas di Indonesia. Dua dekade terakhir, produksi film di
Indonesia telah meningkat pesat baik kualitas maupun kuantitas, yang bukan
hanya diminati oleh warga Indonesia sendiri, namun dikenal di negara lain
juga menikmati film indonesia. Seperti misalnya, film Tjoet Nja’ Dhien
(1988), film yang menceritakan tentang perjuangan Pahlawan Naional
melawan penjajah yang dibintangi oleh Cristine Hakim dan disutradarai oleh
Eros Djarot berhasil mengundang penonton sebanyak 214 ribu penonton dan
menjadi film pertama yang diputar dalam Festival Film Channes.1 Kemudian
film The Mirror Never Lies atau Laut Bercermin (2001) dengan
sutradaranya Kamila Adini berhasil diputar di sejumlah festival
internasional, seperti Busan International Film Festival,Vancouver
International Film Festival, Mumbai Film Festival, Tokyo International Film
Festival, Seattle International Film Festival, dan Melbourne International
Film Festival. Film Ini juga memenangkan Naskah Asli Terbaik dalam
Festival Film Indonesia tahun 2001.2 Itulah beberapa prestasi yang diraih
para sineas Indonesia yang sukses dengan filmnya.
Namun, jika dilihat dari perkembangannya, kemunculan “gambar
Idoep” atau perfilman Indonesia mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia
sejak awal abad ke-20.3 Hal ini dapat dilihat dari sejumlah iklan di surat
kabar pada masa itu.4 Kemunculan film Indonesia tidak terlepas dari
1https://www.liputan6.com/showbiz/read/2471476/8-film-indonesia-yang-sukses-
mendunia, diakses pada 4 September 2018 pukul 11.31 WIB. 2Ibid.
3Biran, Misbach Yusa,Sejarah Film 1900-1950,Cet. II, Komunitas Bambu dan
Dewan Kesenian Jakarta, (Jakarta: 2009), hlm. xvi. 4Iklan dari De Nederlandsche Bioscope Maatschappij yang dipasang di suratkabar
Bintang Betawi, Jumat 30 November 1900 menyatakan “...bahoewa lagi sedikit hari ija
2
kebudayaan yang dibawah oleh orang-orang Eropa untuk menonton sebuah
panggung hiburan yang bertransformasi dari era tradisional seperti
pertunjukan opera menuju ke era digital seperti film.
Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau
dikenal dengan sebutan “film bisu”. Di Indonesia, film bisu pertama kali
diproduksi tahun 1926 dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” oleh perusahaan
NV Java Film Company, dan diputar pertama kali pada Jum’at malam, 31
Desember 1926, di Bioskop Elita dan Oriental.5 Setelah berakhirnya film
bisu, kemudian berkembang pula “film bicara” yang dibuat untuk penonton
utama kalangan Cina yang berjudul “Boenga Roos dari Tjikembang” oleh
perusahaan Cino Motion Picture pada tahun 1931.6
Seiring perkembangannya, film Indonesia memproduksi berbagai
macam film dengan genre yang cukup bervariasi. Misalnya film horror,
komedi, drama, action,thriller, bahkan religi yang bertemakan Islam dalam
dua dekade terakhir.
Sebenarnya, film-film bertemakan Islam pada dasarnya cukup
mendominasi dalam berbagai genre yang berkembang. Apabila dari film
tersebut menceritakan tokoh Kyai atau sesuatu yang mengidentik-kan agama
Islam seperti sholat, mengaji, dakwah, dan lain sebagainya, itu sudah
menunjukkan identitas Islam dalam film dan bisa disebut film religi Islam.
Namun ada beberapa faktor yang masih diperbincangkan mengenai karakter
film religi Islam.
nanti kasi lihat tontonan amat bagoes jaitu gambar-gambar idoep dari banyak hal...”.
Dalam suratkabar yang sama terbitan Selasa 4 Desember 1900, ada iklan yang berbunyi“...besok hari Rebo 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA di
dalam satoe roemah di Tanah Abang Kebondjae (MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE
malem...”. 5Ibid, hlm. 68.
6Biran, Misbach Yusa,Sejarah Film 1900-1950,hlm. 94.
3
Genre film religi Islam sendiri mulai menggeliat ketika masa Orde
Baru, ketika revolusi Islam besar-besaran yang terjadi di Iran tahun 1979
membuat banyak negara di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia
mulai mengadopsi budaya pop bertema Islam, seperti novel, progam televisi,
sinetron-film, lagu-lagu dan sebagainya merupakan indikator yang
signifikan yang menunjukkan bagaimana identitas Islam telah diekspresikan
dalam ruang publik.7 Didukung pula dengan menggeliatnya para pelajar dan
cendekiawan muslim di Indonesia yang mencoba mengapresiasikan identitas
Islam dalam ruang publik melalui berbagai media, termasuk film.
Asrul Sani, seorang sutradara legendaris, telah memproduksi
beberapa film religi, seperti “Titian Serambut Dibelah Tujuh” dan “Al-
Kautsar”. Film-film lain yang cukup populer di era 80-an adalah film
“Sunan Kalijaga” atau “Walisongo”. Namun film-film religi pada periode
revormasi berbeda dengan film-film pada periode Orde Baru. Film-film
religi dalam dua dekade terakhir dinilai sebagai komoditas yang potensial
untuk dijual. Akibatnya film-film religi seringkali dituduh hanya menjadikan
nilai-nilai Islam sebagai bagian dari strategi pemasaran. Nilai-nilai Islam
yang ditampilkan hanyalah kemasan yang membungkus kisah romantik yang
menjadi narasi dari film tersebut.8
Namun dari kalangan lain, khususnya anak muda, belakangan mulai
menaruh perhatiannya terhadap film yang bertemakan cinta, oleh karena itu
Hanung Bramantyo, seorang sutradara, melihat peluang untuk membuat film
yang diangkat dari novel yang berjudul “Ayat-Ayat Cinta” karangan
Habiburrahman Saerozi yang merupakan film bertemakan cinta dibalut
dengan nuansa Islami. Film ini menjadi histori tersendiri, mengingat film ini
berhasil meraih jumlah penonton yang relatif sukses yakni sebanyak tiga juta
penonton hanya dalam tiga minggu pertama sejak film itu diputar.
7Thesis.umy.ac.id/../PNLT1745.pdf, hlm. 2. Diakses pada hari Sabtu, 6 Mei 2017
pukul 17.15 WIB. 8 Thesis.umy.ac.id/../PNLT1744.pdf, hlm. 3. Diakses pada hari Sabtu, 6 Mei 2017
pukul 17.20 WIB.
4
Pencapaian lain dari film ini adalah film ini disaksikan oleh masyarakat dari
berbagai kelas dalam masyarakat, yang menarik adalah film ini berhasil
membawa komunitas religiusuntuk pergi ke bioskop, padahal sebelumnya
mereka tidak pernah berkunjung ke bioskop karena dianggap sebagai tempat
yang tidak Islami.9
Karena hal tersebut maka peneliti ingin meneliti lebih mendalam
tentang film religi bertemakan Islam utamaya mengenai pengertian,
karakter, dan perkembangannya dengan latar belakang budaya keagamaan
dan politik tertentu terkait film religi Islam yang belakangan banyak
diadopsi dari novel-novel tentang percintaan, persahabatan, baik dari
kalangan remaja, hingga dewasa sehingga nantinya dapat menjadikan bahan
diskusi yang menarik untuk dibicarakan.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Spasial
Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang film religi Islam
tahun 1959 sampai tahun 2008 mulai dari sejarah perfilman nasional, jenis-
jenis perfilman nasional, munculnya genre film religi bertemakan Islam,
perkembangan film religi Islam masa orde baru, sampai citra film religi
Islam pasca orde baru (masa reformasi) dan tanggapan masyarakat mengenai
film religi Islam di Indonesia.
2. Batasan Temporal
Pada penelitian ini peneliti akan membatasi kajian penelitian mulai
dari tahun 1959, karena pada tahun tersebut mulai berkembang film-film
bertemakan Islam yang awalnya adalah untuk mengajarkan ajaran agama
Islam dan akhlak dalam hidup melalui film “Titian Serambut dibelah Tujuh”
yang nantinya seiring dengan perkembangannya film religi mulai terdapat
unsur percintaan seperti yang terdapat dalam film “Ayat-Ayat Cinta” tahun
2008.
9Thesis.umy.ac.id/../PNLT1745.pdf, hlm. 3. Diakses pada hari Sabtu, 6 Mei 2017
pukul 17.20 WIB.
5
Berdasarkan pada latar belakang dan jenis penelitian, maka
perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kondisi perfilman nasional tahun 1900-1959 ?
2. Bagaimana perkembangan film religi bertemakan Islam tahun
1959-2000 ?
3. Mengapa unsur percintaan mendoninasi film religi bertemakan
Islam tahun 2000-2008 ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan
Penelitian tentang perkembangan film religi di Indonesia pada
tahun 1959-2008 mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui kondisi perfilman nasional tahun 1900-1959.
2. Mengetahui perkembangan film religi bertemakan Islam tahun
1959-2000.
3. Mengetahui alasan unsur percintaan mendominasi film religi
bertemakan Islam tahun 2000-2008.
b. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan di bidang sejarah
maupun perfilman bahwa perfilman Indonesia khususnya film
religi bertemakan Islam merupakan suatu perkembangan media
massa visual dengan latar belakang budaya keagamaan dan
politik tertentu yang dapat menjadi inspirasi bagi penelitian
selanjutnya terkait film religi di Indonesia.
2. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum yang ingin
mengetahui perkembangan perfilman Indonesia khususnya
perkembangan film religi dari tahun 1959 – 2008.
6
D. Kajian Pustaka
Kepustakaan merupakan bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan
dan berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas pada
sebuah penulisan skripsi maupun karya tulis. Pada tema diatas, pembicaraan
mengenai perfilman Indonesia dan perkembangannya memang bukan
merupakan suatu hal yang baru, akan tetapi karya tulis yang meneliti tentang
perkembangan film religi Islam dari tahun 1959-2008 belum ditemukan.
Diantara beberapa karya ilmiah yang pernah mengupas tentang
perkembangan film di Indonesia adalah buku karangan Misbach Yusa Biran
yang berjudul “Sejarah Film 1900-1950” membahas tentang kemunculan,
pembuatan, serta perkembangan film di Indonesia. Dimana pada awalnya
masyarakat Indonesia membutuhkan suatu hiburan seperti seni pertunjukan
Opera, Wayang dan seni tari lainnya. Namun setelah kemunculan film,
panggung hiburan banyak berubah menjadi tempat Layar Tancep (Bioskop).
Pasang surut industri perfilman pun cukup mewarnai pertumbuhan film
indonesia, mulai dari pemikiran para produser menganut pada penonton,
orang panggung tidak berkembang, serta pada saat penjajahan jepang, film
dijadikan sebagai media propaganda, yang membuat para produser film
tidak dapat berekspresi dengan bebas.Namun di dalam buku tersebut tidak
menjelaskan tentang pemikiran religiusitas, sehingga tidak dapat
menjelaskan tentang pertumbuhan, serta perkembangan film religi.
Dalam sumber lain, peneliti juga menemukan skripsi karya Nur
Fatimah yang berjudul “Produksi Film Dokumenter Religi : Bukan Seperti
Miskin Tidak Seperti Kaya” tahun 2015 juga menjelaskan tentang kajian-
kajian film dokumen bergenre religi mulai dari pengertian, tipe, sampai
proses produksi film dokumenter religi. Namun peneliti tidak menemukan
perkembangan film religi dari masa ke masa. Karena penulis lebih
menonjolkan proses produksinya mulai dari rancangan dan desain,
implementasi sampai hasilnya.
7
Peneliti juga menemukan tulisan lain, dalam jurnal yang berjudul
“New Wave of Islamic Feminism in the Religious Film Ketika Cinta
Bertasbih 2” karya Lukman Hakim, yang membahas tentang warna baru
dalam islam feminim diimplementasikan dalam film Religi Ketika Cinta
Bertasbih 2. Yang merupakan representasi dari gerakan feminism Islam
yang mencoba mendekonstruksi pandangan para muslim fundamentalis yang
mensubordinasi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki, baik di ranah
pendidikan, politik, ekonomi, sosial maupun di ruang domistik, dengan tetap
mendasarkan pada rasionalitas agama yang dikontekstualisasikan dengan
realitas sosial kontemporer dan tradisi lokal. Namun peneliti tidak
menemukan sisi perkembangan film religinya, melainkan lebih menjelaskan
tentang karakter feminisme Islam dalam film religi KCB 2.
Dalam jurnal lain dengan judul “Dakwah Dalam Film Islam di
Indonesia (Antara Idealisme dan Komoditas Agama)” karya Hakim Syah,
yang hampir menyerupai penelitian ini menjelaskan tentang pengertian film
Islam dan perkembangan film Islam di Indonesia secara garis besar, namun
peneliti tidak menemukan kesamaan antara karya tulis tersebut dengan
penelitian ini,melainkan karya tulis tersebut lebih mengarah tentang
ideologisme dalam film Islam, berbeda dengan penelitian ini yang lebih
membahas tentang perkembangan secara lebih spesifik tentang film religi
Islam.
E. Kerangka Konseptual
Dalam kajian ini, penulis membuat kerangka konseptual berdasarkan
pengertian dan fungsinya. Menurut Sifaul Fauziyah, dalam skripsinya, film
adalah perpaduan dari berbagai unsur seni, yaitu seni akting, seni musik,
seni tari, seni tulis atau sastra dan sebagainya. Film tidak terlepas dari
skenario atau naskah. Naskah film seperti naskah-naskah drama pada
umunya dan merupakan bentuk karya sastra tertulis, yang didalamnya
8
terkandung ide, gagasan, pesan, ajaran yang diungkapkan dalam bentuk
cerita dan selanjutnya divisualisasikan.10
Lebih jauh, film merupakan gambaran dan realitas sosial yang
terjadi di masyarakat yang disajikan kembali dengan logika dan sistematik.
Media film ini juga sebagai salah satu sarana bagi umat Islam dalam
melaksanakan kewajiban menyampaikan pesan untuk mengajak kepada
kebaikan. Seiring dengan perkembangan zaman, film pun mengalami
perkembangan genre, mulai dari film bergenre horror, komedi, drama,
action, thriller, bahkan religi dalam dua dekade terakhir, yang mana ini
merupakan kabar gembira bagi kita umat Islam untuk proses penyampaian
pesan kebaikan kepada khalayak umat.
Menurut The Liang Gie (1976), tema merupakan ide pokok yang
dipersoalkan dalam karya seni. Ide pokok suatu karya seni dapat dipahami
atau dikenal melalui pemilihan subject matter (Pokok soal) dan judul karya.
Pokok soal dapat berhubungan dengan nilai estetis atau nilai kehidupan.
Contohnya dalam kajian ini adalah mengenai film religi Islam di Indonesia.
Menurut Alicia, dalam bukunya Gender and Islam in Indonesian
Cinema, menjelaskan bahwa film bergenre religi Islam adalah film yang
dibuat oleh orang Islam untuk tujuan dakwah dan dibuat sebagaimana
mungkin menggunakan audiovisual sehingga para penonton bisa mengetahui
dan beranggapan bahwa film tersebut adalah film Islam.11
Sedangkan menurut M.J. Wright, dalam bukunya, Religion and film:
an introduction(2007). Film religi merupakan film yang didalamnya terdapat
unsur atau gagasan-gagasan agama yang bersumber dari kitab suci,ritual
atau aktivitas kegamaan, serta komunitas agama, bahkan menampilkan
10
Sifaul Fauziyah, Representasi Pesan Sedekah dalam Film Kun Fayakun,
Yogyakarta : Fakultas Dakwah dan komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga, 2012, hlm. 6. 11
Alicia Izharuddin, Gender and Islam in IndonesianCinema, 2017, Kuala Lumpur:
Palgrave Macmillan, hlm. 40.
9
secara implisit tentang ideologi, life style, keramahtamahan, dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan tema-tema keagamaan.12
Dalam beberapa film religi yang ditayangkan di Indonesia, selain
untuk menunjukkan citra Islam tujuan lainnya adalah untuk berdakwah.
Samsul Munir Amin, dalam bukunya Ilmu Dakwah (2009) menyebutkan
bahwa dakwah merupakan bagian yang sangat esensial dalam kehidupan
seorang muslim, dimana esensinya berada pada ajakan dorongan (motivasi),
rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran
agama Islam dengan penuh kesadaran demi keuntungan dirinya dan bukan
untuk kepentingan pengajaknya.13
Sejalan dengan gagasan yang dikemukakan budayawan
Kuntowijoyo, dalam bukunya, Muslim Tanpa Masjid (2001), hendaknya
umat Islam juga memahami dan menyeru kepada kebaikan, terutamanya
dalam hal menyampaikan dakwah secara terang-terangan dalam bentuk
media apapun.14 Lebih jauh, kuntowijoyo mengatakan bahwa umat Islam
dalam berdakwah sebenarnya mempunyai pekerjaan rumah. Salah satunya
adalah perubahan sistem pengetahuan. Yaitu pengetahuan tentang aktualisasi
Islam dalam masyarakat luas.15 Melalui media film religi bisa menjadi
bagian dari aktualisasi Islam dalam masyarakat luas, sehingga dapat
tersampaikan nilai-nilai Islam di dalam masyarakat modern yang dimulai
dalam satu dekade terakhir.
Setelah melakukan dakwah maka output-nya adalah akhlak yang
baik. Imam Al-Ghazali, dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din, Juz III,
menjelaskan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia
yang melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa memerlukan
12
M.J. Wright, Religion and film: an introduction, ib. Tauris, London & New York,
2007, hlm. 2-6. 13
Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta, Amzah, 2009, hlm. 6. 14
Kuntowijoyo.,Muslimtanpa Masjid, Bandung : Mizan, 2001, hlm. 136. 15
Ibid.
10
pemikiran ataupun pertimbangan.16 Akhlak sendiri menempati posisi yang
sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama Islam
itu selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia,
yang disebut al-akhlâq alkarîmah. Akhlakiyah (moralisme) menjadi karakter
Islam karena akhlakiyah merasuk kedalam semua eksistensi Islam dan
dalam semua ajarannya, sampai kepada akidah, ibadah, dan mu'amalah, serta
masuk ke dalam politik dan ekonomi.17
Kemudian konsep yang terakhir adalah mengenai percintaan dalam
perspektif Islam. Erich Fromm dalam bukunya The Art of loving, Erich
Fromm (1983) menyatakan bahwa cinta sebagai alat untuk mengatasi
keterpisahan manusia,sebagai pemenuhan kerinduan akan kesatuan.tetapi di
atas kebutuhan eksistensi dan menyeluruh itu, timbul suatu kebutuhan
biologis, yang lebih spesifik yaitu keinginan untuk menyatu antara kutub-
kutub jantan dan betina. Ide pengutupan ini diungkapkan dengan adanya
mitos bahwa pada mulanya laki-laki dan wanita adalah satu, kemudian
mereka dipisahkan menjadi setengah setengah dan sejak itu sampai
seterusnya, setiap laki-laki terus mencari belahan wanita yang hilang dari
dirinya untuk bersatu kembali dengannya.18
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian sejarah, peneliti menggunakan metode penelitian
sejarah diantaranya yaitu :
A. Heuristik
Tahap pertama adalah heuristik atau mencari sumber.
Sumber sejarah dapat berupa bukti yang ditinggalkan manusia
16
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, (Mesir: Isa Bab al-Halaby, tt.), hlm. 53.
17 Mahmud Thohier, Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya, (Jurnal
Sosial dan Pembangunan: Volume XXIII No. 1 Januari-Maret 2007), LPPM-UNISBA, 2007, hlm. 2.
18 Alex Sobur, Psikologi Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm. 419.
11
yang menunjukkan segala aktivitasnya di masa lampau baik
berupa peninggalan-penilnggalan maupun catatan-catatan.19
Pada tahap ini, peneliti akan mencari sumber yang berkaitan
dengan film religi, perkembangan film religi di Indonesia sejak
kemunculan film “Titian Serambut dibelah Tujuh” (1959)
sampai film “Ayat-Ayat Cinta (2008).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk
mendapatkan data-data dan informasi yang dibutuhkan untuk
menyusun penelitian ini yaitu :
Lokasi atau tempat penelitian berada di Sinematek
Indonesia, tepatnya Gedung Pusat Perfilman Nasional H. Usmar
Ismail, yang berada di Jl. HR. Rasuna Said, RT.2/RW.5, Karet
Kuningan, Setia Budi, Jakarta Selatan. Peneliti menjadikan
lokasi tersebut sebagai prioritas utama dan selanjutnya di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang berada di Jl.
Medan Merdeka Selatan No. 11 Senen, Gambir, RT.11/RW.2,
Gambir, Jakarta Pusat, sebagai lokasi kedu. Alasan lain peneliti
mengadakan penelitian di daerah tersebut adalah dikarenakan
sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian berada di
daerah tersebut.Adapun sumber fisik dalam penelitian ini adalah
koran, arsip, buku, karya tulis, jurnal, maupun film yang
berkaitan dengan tema penelitian.
Adapun sumber-sumber yang penulis dapatkan dari
Sinematek Indonesia adalah sumber berupa, buku katalog film
tahun 1926-2007, buku karangan Usmar Ismail, daftar bioskop
di Indonesia, daftar penonton tahun 1926-2007, foto tokoh
pendiri industri film pertama di Indonesia, The Teng Chun, dan
tokoh yang mempengaruhi perkembangan film di Indonesia,
Asrul Sani, dan Misbach Yusa Biran. Dan beberapa kliping
berisi koran-koran tentang film Darah dan Do’a, Untuk Sang
19
Prof. A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2012, hlm.
27.
12
Merah Putih, Kenangan Revolusi, Bungan Bangsa, Sunan
Kalijaga, Walisongo, poster Tengkorak Hidoep, poster Loetoeng
Kasaroeng, dan Ayat-Ayat Cinta.
Sumber lain yang penulis dapatkan pula dari
Perpustakaan Nasional adalah daftar buku berisikan sinopsis dari
judul film dari tahun 1950-1990, buku-buku tentang
perkembangan perfilman di Indonesia, terutama pada masa orde
baru.
B. Verifikasi
Dalam penulisan sejarah dikenal ada dua macam jenis
sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder, sumber
primer adalah kesaksian dari seseorang dengan mata kepala
sendiri atau saksi dengan panca indra yang lain atau dengan alat
mekanis. Sumber sekunder, merupakan kesaksian dari siapapun
yang bukan saksi mata, yakni dari orang yang tidak hadir pada
peristiwa yang dikisahkan.
Pada tahap ini, peneliti mencoba memilah dan memilih
sumber-sumber yang telah ditemukan, antara lain adalah sumber
primer berupa dokumen, berupa lampiran yang berisi daftar
judul film dari tahun 1926-2007 berbentuk buku katalog, dari
sumber tersebut penulis dapat mengetahui film-film yang
berkaitan dengan film Religi bertemakan Islam, dengan cara
melihat sinopsis dari setiap film yang penulis kaji. Lampiran
koran yang berisi tentang berita, opini, kritikan tentang film
Darah dan Do’a, Untuk Sang Merah Putih, Kenangan Revolusi,
Bungan Bangsa, Sunan Kalijaga, Walisongo, Poster Tengkorak
Hidoep, Poster Loetoeng Kasaroeng, Ayat-Ayat Cinta, dari data
tersebut penulis mendapatkan mengetahui informasi mengenai
keberadaan film pada periode tersebut, karena berkaitan dengan
13
proses perjalanan film religi dari masa Orde Baru hingga Masa
Revormasi.
Sumber primer berupa foto dan video, yaitu foto pendiri
industri perfilman pertama di Indonesia, The Teng Chun, dan
beberapa foto tokoh yang sangat berperan dalam perkembangan
dunia film di Indonesia, H. Usmar Ismail, Asrul Sani, Misbach
Yusa Biran, dan foto-foto bioskop masa lalu dari berbagai kota
di Indonesia. Termasuk juga film Titian Serambut di Belah
Tujuh, Al-Kaustar, Sunan Kalijaga, Darah dan Do’a, Ayat-Ayat
Cinta.
Sumber sekunder diperoleh dari beberapa referensi buku,
jurnal, ataupun artikel yang berkaitan dengan film religi
bertemakan Islam.
C. Interpretasi
Tahap selanjutnya adalah intepretasi atau penafsiran
sejarah. Dalam tahap ini dilakukan analisis berdasarkan data-
data atau sumber-sumber yang diperoleh yang akhirnya
dihasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penulisan yang utuh
atau disebut dengan historiografi. Setelah peneliti
mengkomunikasikan hasil penelitiannya maka disebut tulisan
atau karya sejarah. Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah
dan merangkai fakta tersebut hingga menjadi suatu kesatuan
yang harmonis dan masuk akal.20
D. Historiografi
Setelah melakukan proses analisis dan sintesis, proses
kerja mencapai tahap akhir yaitu historiografi atau penulisan
sejarah. Proses penelitian dilakukan agar fakta-fakta yang
sebelumnya terlepas satu sama lain dapat disatukan, sehingga
20
Prof. A. Daliman, M. Pd. Metode Penelitian Sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2012,
hlm. 31-32.
14
menjadi satu perpaduan yang logis dan sistematis dalam bentuk
narasi kronologis.
Historiografi adalah proses penyusunan fakta-fakta
sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah
bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap
data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu
bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga
untuk dibaca orang lain. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus
menyadari dan berusaha agarorang lain dapat mengerti pokok-
pokok pemikiran yang diajukan.
G. Sistematika Penulisan
Pada sistematika penulisan, peneliti akan membahas beberapa hal
yang sekiranya penting dan bersangkutan dengan tema atau judul dalam
penelitian ini.Pada bab satu, peneliti akan membahas mengenai latar
belakang permasalahan, rumusan masalah yang ada dalam penelitian
tersebut, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual yang
digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan
sistematika penelitian.
Pada bab dua, peneliti akan mengutarakan kondisi perfilman
nasional indonesia tahun 1900-1959. Mulai dari lahir dan berkembangnya
industri film di Indonesia, Perfilman Indonesia masa penjajahan hingga
peralihan meliputi film propaganda, film perjuangan, dan film hiburan. Dan
perkembangan film nasioanl di Indonesia.
Pada bab tiga peneliti lebih meneliti tentang perkembangan film
religi bertemakan Islam tahun 1959-2000. Mulai dari lonjakan pertama dari
film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”, genre film bertemakan Islam
meliputi film religi sejarah, film religi drama-musikal, dan film religi horor.
Dan pengaruh Islam dalam film Indonesia masa Orde Baru.
15
Pada bab empat ini, peneliti akan menjelaskan tentang dominasi
percintaan dalam film religi Islam tahun 2000-2008. Mulai dari foklor
hingga ke ekranisasi novel, danfilm Ayat-Ayat Cinta : Boomingnya” film
religi Islam di Indonesia.
Bab terakhir adalah penutup, pada bab ini akan dijelaskan mengenai
kesimpulan terhadap suatu keseluruhan penelitian yang telah terlaksana dan
pada bab ini pula akan ditambahkannya saran-saran terhadap peneliti.
16
BAB II
PERFILMAN NASIONAL TAHUN 1900-1959
A. Lahir dan Perkembangan Industri Film di Indonesia
Pada tahun 1911-an, film-film di wilayah Hindia Belanda mulai
bermunculan dan hanya membuat sebuah film dokumenter, atau hanya
sekedar mendokumentasikan apa yang nampak, bahkan cara perekamannya
sangat kuno, yaitu hanya dengan meletakkan kamera di sudut ruangan atau
dengan merekam secara langsung dari aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan oleh orang-orang Belanda dan pribumi pada waktu tersebut. Salah
satu contoh dari film Dokumenter yang dibuat di Hindia Belanda adalah film
rekaman Pasar Gambir (Miniatur Jakarta Fair) yang film-film tersebut
masih tersimpan baik di Pusat Audio-Visual Kerajaan Belanda.21 Industri
film sendiri di wilayah Hidia Belanda mulai berdiri pada tahun 1926, yaitu
perusahaan NV Java Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldorp dari
Batavia dan G. Krugers dai Bandung, dengan film pertamanya berjudul
Loetoeng Kasaroeng buatan L. Hoveldorp.22
Pertunjukan perdana film Loetoeng Kasaroeng diadakan pada Jumat
malam, 31 Desember 1926, di Bioskop Elita dan Oriental. Sejak 30
Desember 1926, iklannya antara lain dimuat di koran Kaoem Moeda dan De
Indische Telegraaf.23Dan ketika film tersebut dimuat di dalam koran, sudah
wajar jika film tersebut ditambah bubu propaganda. Dalam Kaoem Moeda,
film Loetoeng Kasaroeng disebut film yang ditunggu-tunggu oleh penduduk
Bandung, karena pembuatan film tersebut berada di sekitar Bandung.
Setelah keberhasilan film Loetoeng Kasaroeng, garapan selanjutnya
adalah film Eulis Atjih, sebuah film rumah tangga modern, bukan lagi cerita
dongeng kuno. Setelah selesai diproduksi, film tersebut diputar pertama kali
21
Misbah Yusa bIran, Sejarah Film tahun 1900-1950, hlm. 54. 22
Ibid,hlm. 60. 23
Ibid, hlm. 68.
17
di Bioskop Bandung pada Agustus 1927. Hasilnya kurang memuaskan,
karena penataannya masih kurang sempurna, walaupun tekniknya tidak
kalah dari film luar negeri. Namun setelah film Eulis Atjih di putar di
Singapura, Eropa, dan Amerika, Universal Picture Coy. di Amsterdam, First
National di Singapura, dan Film Arts Guild di New York memberikan
pinjaman obligasi sebesar f 25.00. yang terbagi dalam kupon dari f 100, 250,
500, 1000 dengan bunga sebesar 9% dan tiap bulannya ditebus f 1000.24
Setelah keberhasilan dua film tersebut, banyak perusahaan film yang
mencoba membuat film cerita yang ditandai dengan kedatangan para
pengusaha dari Thionghoa, yang sebelumnya mereka hanya menjadi
pengusaha bioskop dan importir film. Secara perlahan para pengusaha
Thionghoa mulai menguasai pasar, karena banyka film-film China yang laku
di pasaran dan mulai menggeser pengusaha dari orang kulit putih. Pada
periode ini sampai masa kependudukan Jepang, perusahaan dari Thionghoa
yang berkuasa di pasaran.
Pada tahun 1926 sampai tahun 1930, tercatat ada sekitar delapan
perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film
(keduanya berasal dari Bandung), serta Halimoen Film, Batavia Motion
Pictures, Nangsin Film Coorporation, Tan Film, Prod. Tan Boen Soan, dan
Kruger Film Bedrijf dari Batavia. Dari semua perusahaan film tersebut,
hanya dua perusahaan film yang menjadi milik orang kulit putih, yaitu
Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya
milik orang-orang Thionghoa. Rata-rata pada periode ini perusahaan film
hanya memproduksi sekitar dua sampai tiga film saja, kecuali Tan’s Film
yang bisa memproduksi sampai lima film. Dan pada periode ini juga banyak
perusahaan yang mengalami kebangkrutan salah satunya adalah perusahaan
Nangsin Film karena pemborosan produksi film yaitu dengan mendatangkan
24
MYB, Sejarah Film Indonesia 1900-1950, hlm. 75.
18
secara langsung artis dari Sanghai China, Olive Young, untuk membintang
film Resia Boroboedoer yaitu sebesar 10.000 gulden untuk artis tersebut.25
Pada tahun 1930, muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal
terbentuknya Java Industrial Film, perusahaan tersebut yaitu Cino Motion
Pictures oleh The Teng Chun yang sudah berpengalaman dalam urusan
bisnis film. Perusahaan Cino Motion Pictures memproduksi film dengan
cerita Thionghoa, antara lain : Sam Pek Eng Tay (1931), Pat Bie To (1932),
Pat Kiam Hiap (1933), serta Ouw Phe Tjoa(1934). Setelah memproduksi
film tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaan tersebut menjadi
Java Industrial Film pada 1935. Kemudian perusahaannya meneruskan
produksi-produksi film klasik Tionghoa, seperti Lima Siloeman Tikoes
(1935), Pan Sie Tong (1935), The Pat Kai Kawin (1935), Ouw Phe Tjoa II
(1936), dan Hong Lian Sie (1937).26
Pada tahun 1937, perusahaan ANIF (Algemeene Nederlandsch Indie
Film Syndicaat) dengn sutradaranya Albert Balink, memproduksi sebuah
film Terang Boelan yang sangat laku di pasaran, karena komposisi sistem
bintangnya dan adegan-adegan yang disukai publik pada masa itu. Adegan
seperti nyanyian, lelucon, perkelahian, dan keajaiban adalah yang paling
banyak disukai publik penikmat film.
Pada tahun 1937 hingga 1942, terdapat perusahaan film yang mulai
aktif berproduksi lagi hingga menjelang kedatangan Jepang, yaitu Java
Industrial Film, Tan’s Film, Popular’s Film, Oriental Film, Djawa Film,
Union Film, Star Film, Majestic Film Coy, dan Standard Film. sejak
kesuksesan film Terang Boelan, dunia perfilman menunjukkan grafik yang
sangat luar biasa hingga pada masa kependudukan Jepang. Tercatat ada
sekitar 52 judul film yang dihasilkan. Hebatnya, 15 dari 52 judul film
25
Fandi Hutari, Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal, 2011, Yogyakarta: INSISTPress, hlm. 140.
26Ibid, hlm. 142.
19
tersebut film-film tersebut hasil produksi dari perusahaan Java Industrial
Film milik The Teng Chun.27
Salah satu yang menjadi tonggak kesuksesan dari The Teng Chun
adalah dengan mempergunakannya aktris-aktris dari perkumpulan sandiwara
yang ada untuk bermain dalam film hasil dari produksi mereka. Strategi ini
dipergunakan untuk meningkatkan mutu film dan untuk menarik minat
penonton sebesar-besarnya.
Besar kemunkinan, The Teng Chun mempergunakan artis mantan
anggota Dardanella karena perkumpulan tersebut adalah perkumpulan besar
pada dekade 1926-1935 dan pemain-pemainnya sudah dikenal masyarakat
dan sangat berpengalaman di atas panggung, seperti Astaman, Ali Yugo, M.
Rasjid Manggis, Ferry Kock dan istrinya Dewi Mada, Tan Tjeng Bok
(ketiga-nya dari perkumpulan Sandiwara Dardanella), dan Inoe Perbatasari
(dari perkumpulan Bolero), serta beberapa pemain lain seperti Raden Ismail,
Ludi Mara, dan Aisyah.
Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan The Teng Chun
membentuk dua anak perusahaan, yaitu Jacatra Film dan Action Film. dan
ketika itu pula perusahaan Java Industrial Film berubah nama menjadi New
Java Industrial Film. Antara tahun 1940 hingga akhir 1941, perusahaan in
menghasilkan 15 judul film, yaitu Rentjong Atjeh, Dasima, Melatie van
Agam, Soerga Palsoe, Matoela, Serigala Item, Matjan Berbisik, Si Gomar,
Singa Laoet, Kartinah, Elang Darat, Ratna Moetoe Mankam, Poetri Rimba,
Tengkorang Hidoep, dan Noesa Penida.28
Hampir seluruh film produksi Java Industrial Film laku di pasaran.
Namun sayangnya, banyak yang menyadap dari film-film luar
negeri/Amerika. Seperti film Zorro disadap menjadi film Serigala Item dan
Singa laoet, serta film Tarzan yang diadaptasi menjadi film Rentjong Atjeh
27
Ibid, hlm. 142. 28
Ibid, hlm. 143.
20
dan Alang-Alang. Mungkin strategi ini merupakan alasan suksesnya film
Terang Boelan yang diadaptasi dari film The Jungle Princess yang
dibintangi oleh Dorothy Lamour, yang film tersebut sudah beredar di
Batavia pada tahun 1936. Kemudian Java Industrial Film mengakhiri
riwayatnya setelah ditutup paksa oleh tentara Jepang pada tahun 1942.
Pemerintah Jepang meyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga
Kosha (perusahaan Film Jawa).
B. Perfilman Indonesia Masa Penjajahan Hingga Peralihan
Setelah melihat perkembangan perusahaan film dari tahun 1926
hingga 1942, sudah dapat dirasakan bahwa masyarakat Indonesia pada
periode tersebut mulai melirik bidang perfilman, yaitu sebagai penonton
yang setia menunggu hiburan sesuai dengan minatnya masing-masing. Dari
perkembangan tersebut pula, dapat dilihat bahwa pertumbuhan bioskop di
kota-kota besar mulai didirikan, mulai dari kota Batavia (sekarang Jakarta),
Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, hingga Yogyakarta. Para sineas
film pun meng-kategori-kan karakter/genre dari masing-masing film yang
diproduksi, mulai dari film-film yang dianggap propaganda, dari masa
kependudukan Jepang, film-film Perjuangan, yaitu film-film pasca
kemerdekaan, dan film-film hiburan, yang dianggap sebagai pertumbuhan
kembali perfilman nasional.
1. Film Propaganda
Setelah masa kependudukan Jepang, beberapai cabang kesenian
mampu dikuasai untuk menyebarluaskan propaganda politiknya, yang
dianggap ampuh untuk mencapai penduduk. Dimasa ini pula, mulai tersebar
idiom-idiom musik baru yang biasanya hanya musik tradisional yang banyak
didengarkan oleh masyarakat jawa. Antara lain musik tersebut adalah
21
musik/lirik Cornel Simanjuntak dan Usmar Ismail serta lagu Bekerja karya
bersama Nobuo Iida dan Inoe Kertapati. Jepang juga menguasai radio dan
media cetak untuk mempengaruhi penduduk kota yang bisa baca tulis.
Bahkan Jepang juga memanfaatkan wayang kulit untuk alat propaganda,
disamping sandiwara dan film.29
Di Jepang sendiri, pemerintah menggariskan dengan tajam panduan
tentang peraturan perfiman Jepang30 :
1. Ide hidup individualistik pengaruh barat harus dilenyapkan.
2. Semangat Jepang, khususnya megenai keindahan sistem hidup
kekeluargaan harus diangkat, dan semangat pengorbanan diri demi
kepentingan bangsa dan masyarakat harus didorong.
3. Film harus mengambil peran yang positif dalam mendidik massa,
khususnya dalam menghilangkan westernisasi di kalangan anak
muda, terutama anak perempuan.
4. Perbuatan dan ucapan yang sembarangan dan sembrono harus
dihilangkan dari layar serta harus dilakukan dorongan untuk
memperkuat rasa dan sikap hormat kepada yang lebih tua.
Pada tahun 1940, tambahan pengarahan diberikan kepada
Departemen Dalam Negeri sebagai berikut31:
1. Apa yang diinginkan adalah hiburan melalui suara dan gambar
dengan tema positif.
2. Penampilan dan dialog lawak yang biasanya tidak lazim pada
sajian film harus dikurangi untuk mengurangi akibat buruk.
3. Hal-hal berikut harus dilarang:
a. Cerita tentang tokoh Borjuis kecil.
29
Taufik Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I , 1993, Jakarta:Perum Percetakan
Negara RI, hlm. 289. 30
Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 333. 31
Ibid.
22
b. Cerita yang mengkisahkan hanya tentang kebahagiaan
orang secara individu.
c. Adegan wanita merokok.
d. Adegan cafe (tempat hiburan yang menyajikan minuman
keras).
e. Watak sembrono dan sembarangan.
4. Direkomendasikan film yang menceritakan sektor produktif dari
masyarakat, seperti kehidupan pedesaan.
5. Skrip harus disensor secara ketat, jika terdapat masalah maka
harus dikembalikan da ditulis ulang.
Hampir semua film Jepang yang ditayagkan di Jawa adalah film-film yang
mematuhi “kebijakan nasional tentang film” tersebut.
Jepang sangat menyadari amat pentingnya media film sebagai alat
propaganda. Hal ini terlihat ketika Gunseikanbu mendirikan Sindenbu
(badan propaganda). Pada Oktober 1942, badan ini juga segera mendirikan
Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). Pimpinannya diserahkan kepada
Soichi Oya. Sebelum itu, pemerintah Jepang telah menentukan
kebijaksanaan bagi film propaganda di wilayah Asia Tenggara (Nampo Eiga
Kosha).
Pada mulanya, kegiatan bidang film adalah hanya memutar film
yang didatangkan dari Jepang. Film yang berbahasa Jepang itu diberi
subtitle atau teks bahasa Indonesia. Beberapa film Jepang yang khusus
dibuat untuk penduduk Asia Tenggara, termasuk Indonesia, narasi bahasa
Indonesianya dibuat di Tokyo. Akan tetapi, sebagian besar film tidak
meggunakan subtitle maupun narasi.32
32
Eiko Kurasawa, Film as Propaganda Media in Java under the Japanese, 1942-1945. In Japanese Culture Policies in South East Asia during Word War II, ed. By Grant K.
Goodman, hlm. 50.
23
Mengenai hal itu, akibat dari Perang Dunia ke-II, film-film impor
terutama Amerika diberhentikan, karena Amerika merupakan musuh dari
Jepang, dan pasokan impor menjadi tidak terurus. Sehingga yang
ditayangkan di bioskop-bioskop adalah film-film dalam negeri dan sisa-sisa
film Jerman (sekutu Jepang) yang diimpor sebelum Perang Dunia ke-II.
Diantaranya film-film tersebut yang dibintangi aktris populer Roekiah,
seperti Gagak Item (1939), Roekihati (1940) dan Koeda Sembrani (1941).
Dalam surat kabar Tjahaya (Bandung) terbitan 23 Juli 1944 juga
mengabarkan bahwa bioskop Tayo memutar film Indonesia, Moestika dari
Djemar (1941) dengan bintang utamanya Rd. Mochtar dan Dhalia.
Sedangkan bioskop Fuji memutar film Jerman, Es Leuchten die Sterne. Di
bioskop Futaba maupun Nippon diputar film Cina, masing-masing Tien Lun
dan Pai Sheek Kung Tjoe.33
Sebelumnya, pada bulan Juli 1938, Departemen Dalam Negeri
Jepang pernah mengeluarkan undang-undang film (Eiga Ho). Kemudian
undang-undang film (Eiga Ho) diperbaiki kembali pada bulan Oktober 1939,
dan diberlakukan juga di Indonesia, karena untuk menghindari pikiran
individualistis ala Barat,dan harus mengambil peranan positif dalam
mendidik massa, dengan cara menghilangkan sikap santai dan berani
berkorban demi kejayaan bangsa.
Selanjutnya, dampak dari pertunjukan film, baik film perang yang
didatangkan dari Jepang, maupun film propaganda yang dibuat Nippon
Eigasha, sangat besar pengaruhnya bagi rakyat jelata. Film mengenai praktik
gotong royong dalam mengangkut air untuk memadamkan kebakaran, secara
beranting, segera dijadikan cara praktis untuk mengerjakan sesuatu bersama-
sama. Film tentang Tonari Gumi, melahirkan organisasi warga, yang sampai
sekarang menjadi organiasasi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW). Pertunjukan film perang, yang selalu dipertotonkan adalah mengenai
33
Ibid.
24
kemenangan bala tetara Jepang yang selalu menang melawan musuh, yang
dianggap kekuatan tetara Jepang yang sangat hebat, namun masyarakat
terkejut ketika pada tahun 1945 tentara Jepang kalah dengan pasuka
Amerika.
2. Film Perjuangan
Pasca kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945
yang diprokalamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh. Hatta, kaum pemuda
hingga pejuang mulai mengobarkan semangat revolusi dari penjajahan
Jepang. Mereka melulucti tentara Jepang dan mulai mengambil alih dan
menguasai alat-alat propaganda tersebut, dan semuanya menjadi alat
perjuangan.
Beberapa hari sesudah proklamasi, para seniman yang bekerja di
Pusat Kebudayaan, Keimin Bunka Shidoso Jakarta, mendirikan Badan
Perjuangan dengan nama Seniman Merdeka. Didukung oleh Usmar,
Djajakusuma, Cornel, Surjosumanto, Hamidi T. Djamil serta Malidar.
Setelah mereka berhasil mengambil alih Kantor Pusat Kebudayaan, mereka
mengganti kantor tersebut dengan nama Badan Perjoeangan Seniman
Merdeka. Rombongan sandiwara Seniman Merdeka ini berkeliling kampung
hingga kota menerangkan bahwa rakyat Indonesia sudah merdeka dan
terbebas dari penjajahan manapun.
Pada saat penyerbuan gedung-gedung milik tentara Jepang pasca
kemerdekaan, karyawan film Indonesia yang berada di studio film milik
Jepang, merebut Nippon Eiga Sha atas perintah dari R.M. Soetarto, dan
mengubah namanya menjadi Berita Film Indonesia (BFI). Pada tanggal 6
Oktober 1945, studio tersebut secara resmi diserahkan oleh Ishimoto kepada
pemerintah Indonesia, yang diwakili R.M. Soetarto, dengan disaksikan oleh
menteri penerangan RI.
Sementara itu, Belanda dan sekutunya (Inggris) mulai mendarat di
Tanjung Priok pada 29 September 1945. Tentara Belanda menteror BFI dan
25
menganggap bahwa kantor tersebut milik Belanda (Multi Film) dan
membebaskan J.C. Moll dan V. Fedoroff , selaku pimpinan Multi Film.
akibat daripada itu, Usmar dan teman-temannya termasuk studio BFI
dipindahkan ke Solo, kemudian ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta, Seniman Merdeka mulai membuat suatu kegiatan
yang tujuannya agar masyarakat Yogya merasa terhibur dengan pertunjukan
yang diberikan dengan mengelilingi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
memberikan penerangan kepada masyarakat tentang pendidikan
sandiwara.Dari Yogya pula, tepatnya di Jl. Sumbing No. 5, pendidikan
Sinematografi mulai diadakan, meski hanya bersifat Lingkaran Studi, tetapi
hasil dari pendidikan ini melahirkan tokoh-tokoh perfilman Nasional, sperti :
Usmar, Gayus, Djajakusuma, Surjosumanto, Soemarjono, dan lain-lain.
Pada periode ini pula, pertumbuhan perusahaan film mulai lahir,
yang pertama dari perusahaan film bernama Kino Drama Atelier, yang
dipimpin oleh Huyung, mantan prajurit Jepang keturunan Korea, dengan
film pertamanya Antara Bumi dan Langit (1950), film tersebut termasuk
film hiburan karena menceritakan tentang percintaan antara seorang pribumi
yang mencintai gadis Belanda, dan belum termasuk film perjuangan karena
film pertama tersebut sebagai batu loncatan untuk film-film selanjutnya,
sekaligus memancing para penonton yang kala itu masih menginginkan
panggung hiburan.
Adanya film-film perjuangan dirasa masyarakat Indonesia masih
merasakan dampak dari penjajahan Jepang sebelum kemerdekaan. Film-film
perjuangan diharapkan dapat menggugah semangat masyarakat Indonesia
dengan mengingat kembali perjuangan tentara Indonesia dalam
memerdekakan NKRI. Adapun judul film-film perjuangan yang diproduksi
tahun 1950-1959, antara lain : Djembatan Merah (1950), Darah dan Doa
(1950), Untuk Sang Merah Putih (1950), Bunga Bangsa (1951), Enam Djam
26
di Djogdja (1951), Peristiwa 10 Nopember (1956), Bunga dan Samurai
(1958), dan Detik-Detik Revolusi (1959).34
C. Perkembangan Film Nasional di Indonesia
Salah satu tanda bahwa Indonesia dikatakan sedang dalam masa
pertumbuhan dalam bidang teknologi dan multimedia adalah film. Film pada
masa ini mengalami perkembangan pesat sehingga dapat melahirkan
identitas baru di Indonesia, dengan munculnya film Darah dan Do’a (1950)
oleh Usmar Ismail, yang nantinya film ini bisa menjadi cikal bakal
pertumbuhan film Nasional. Film nasional dapat dihasilkan dari karya
kreatifitas seseorang, dan juga nantinya bisa menjadi suatu identitas baru
dari produk budaya sebuah bangsa. Menurut Anon dalam bukunya Sight and
Sound (Hjort, 2000:69) yang menyatakan bahwa35 :
“Perfilman nasional adalah proyek realis bahwa... ia akan
mencerminkan waktu, kehidupan dan budaya penduduk suatu
negara. Bisa dibayangkan betapa kita akan kehilangan performa
sosial sesungguhnya akan sebuah bangsa-negara kitika efek
globalisasi benar-benar menghilangkan identitas-identitas yang
sesungguhnya, karena setiap pembuat film akan dipacu dengan
kecepatan globalisasi dalam proses penggambarannya di film.”
Salah satu ide konsep perfilman nasional adalah invasi film-film
Hollywood ke seluruh dunia, terutama pada awal tahun 1910. Bahkan
sampai tahun 1915 sekitar 50 persen semua film yang terdistribusi di dunia
34
Sumber dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 karangan J.B. Kristanto,
penulis merangkum berdasarkan tahun produksi film pada periode tersebut. 35
Arda Muhlisiun, Film “Darah dan Do’a” sebagai Wacana Film Nasional
Indonesia, Jurnal Panggung Vol. 26 No. 3, September 2016, hlm. 235.
27
adalah hasil produksi Hollywood.36 Maka dari itu film Nasional dihadirkan
diharapkan agar budaya bangsa tetap terjaga dan tidak terpengaruhi oleh
budaya lain yang diperkenalkan dari film-film Amerika.
Berbicara mengenai film Nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa
Usmar Ismail adalah penggagas lahirnya film nasional, lewat filmnya Darah
dan Do’a, sutradara dan para pemian film mencoba membuka dunia bahwa
Indonesia juga mempunyai eksistensi sebagai negara yang berdaulat,
tentunya melalui pepresentasi film.37
Sejak pembuatan film Darah dan Do’a yang dilakukan tepat tanggal
30 Maret 1950, ditetapkanlah hari tersesbut sebagai Hari Film Nasional.38
Dengan beberapa pertimbangannya sesuai dengan keputusan Presiden
Republik Indonesia adalah karena untu pertama kalinya film cerita Indonesia
dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia sendiri, dan untuk
meningkatkan motivasi dan kepercayaan orang-orang Indonesia akan film
produksinya yang relatif baik. Dan menurut Misbach Yusa Biran, dalam
bukunya sejarah film 1900-1950, sejak Usmar Ismail pembuatan film sudah
didasarai oleh kesadaran nasional, dan ia (Usmar Ismail) akan membuat film
yang bisa mencerminkan national personality, kepribadian bangsa. –Ketika
diucapkan dalam wawancaranya.39
Film Darah dan Do’a juga mencerminkan terdapat unsur Islami
dalam film tersebut. Menunjukkan bahwa proses Islamisasi sudah dimulai
36
Andrea Gronemenyer, Film, 1998, New York: Barron’s Educational Series, Inc,
hlm. 41. 37
Arda Muhlisiun, Film “Darah dan Do’a” sebagai Wacana Film Nasional
Indonesia, hlm. 236. 38
Ibid, hlm. 237. Tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai Hari Film Nasional memalui Keputusan
Presiden Republik Indoneisa Nomor 25 Tahun 1999, yang kala itu dijabat oleh Presiden BJ. Habibie. Tepatnya ditandatangani tanggal 29 Maret 1999 di Jakarta. Jauh sebelumnya, rapat
kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi-organisasi perfilman tanggal 11 Oktober 1962
telah menetapkan hari syuting dalam pembuatan film nasional yang pertama Darah dan Do’a sebagai Hari Film Indonesia.
39 MYB, Sejarah Film 1900-1950, hlm. 49.
28
sejak periode ini. Selain daripada film Darah dan Do’a, terdapat juga film
Titian Serambut dibelah Tujuh (1959) karya Asrul Sani, yang juga
merupakan film bernuansa Islami. Film ini bercerita tentang seorang guru
beragama Islam yang mencoba mengajar di desa lain. Di desa tersebut guru
Ibrahim (nama tokoh utama film tersebut) mulai mendapat beberapa
rintangan mulai dari ancaman oleh guru agama sesepuh desa tersebut,
ancaman jika menolong Halimah (orang yang dianggap gila oleh penduduk
setempat karena sering bertingkah laku tidak wajar), padahal Halimah
seperti itu karena trauma mendapat fitnah dan hampir menjadi korban
pemerkosaan.40 Dengan diputarnya film tersebut, Asrul Sani, Sutradara film
tersebut berusaha menunjukkan bahwa komoditas agama Islam pun dapat
direalisasikan dalam media film.
40
Sumber-sumber mengenai film Titian Serambut dibelah Tujuh tahun 1959 masih
sulit ditemukan. Bahkan di Sinematek pun data berbentuk koran yang sumber primernya pun
berhubungan dengan film tersebut tidak ditemukan. Maka penulis berusaha merangkum beberapa sumber sekunder yang dihasilkan dari buku atau dokumen yang berhubungan
dengan film tersebut.
29
BAB III
AKHLAK ISLAMIYAH DALAM FILM RELIGI ISLAM
TAHUN 1959-2000
A. Lonjakan Pertama Film “Titian Serambut Dibelah Tujuh”
Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep Tauhid, suatu konsep
sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, dan
bahwa manusia harusmengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep
tauhid ini mengandung implikasi diktrinal lebih jauh bahwa tujuan hidup
manusia harus diorientasikan utuk penganbdian kepada Allah inilah yang
merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam.
Film Titian Serambut dibelah Tujuh mencoba memberikan tononan
bermoral dan menjunjung tinggi nilai moral yakni keyakinan, perjuangan,
kepasrahan, kesetiaan serta harapan. Film ini juga berisi tentang dakwah
Islam, dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di desa Batu Hampar
yang dilakukan oleh okoh protagonis Ibrahim dalam mengaktualisasika
ajaran Islam yag sesuai dengan konteks amar ma’ruf nahi munkar. Ibrahim
dalam mengaktualisasikan ajaran agama Islam yang sesuai dalam konteks
amar ma’ruf nahi munkar. Ibrahim dalam meangsungkan dakwahnya
terbukti telah memberikan perubahan yang signifikan bagi desa Batu
Hampar dengan menggapas dan mengimplementasikan Islam yang berpihak
pada transformasi sosial. Memang pada awalnya usaha untuk merintis
gagasan Islam yang transformatif banyak mendapatkan tantangan terutama
dari H. Sulaeman selaku guru agama dan sesepuh kampung kehidupannya
banyak dipengaruhi kebejatan moral Harun, orang terkaya di kampung itu.
Di tambah ulah seseorang pemuda berandalan yang bernama Arsad dengan
30
berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Ibrahim dalam
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di desa Batu Hampar.41
Megenai tentang pesan moral yang dapat tersampaikan dalam film
tersebut adalah, antara lain42 :
1. Tentang keimanan kepada Allah SWT.
Dalam skenario ini, isi cerita yang diangkat megenai
perjuangan Ibrahim sebagai guru muda yang teguh, menemuka
kejanggalan-kejanggalan dalam kehiupan kampung yang akan ia
tinggali. Namun Ibrahim tidak berputus asa. Ibrahim senantiasa
memberikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat desa Batu
Hampar, Ibrahim selalu berdoa meminta pertolongan kepada
Allah dan pada akhirnya Allah memberikan jalan keluar atas
permasalahan yang sedang dihadapi, dan mereka percaya bahwa
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu perbuatan
yang amat terpuji.
2. Tentang ikhtiar
Dalam film ini, penulis mencoba menggambarkan fakta
mengenai kepasrahan seorang ibu yang telah merawat Halimah
dari kecil hingga dewasa yang menceritakan kepada guru
Ibrahim tentang keadaan anaknya yang telah difitnah berzina.
Oleh karena itu ibu Halimah selalu menangis melihat keadaan
psikologis dari Halimah yag terkadang membingungkan.
3. Tentang kesabaran
Film ini menggambarkan tentang kesabaran guru ibrahim
yang tinggal di desa Batu hampar yang telah melihat
kejanggalan-kejanggalan. Kesabaran Ibrahim ditunjukkan dalam
mengatasi problematika yang hadir di tengah prahara yang
membelutnya. Disetiap langkahya selalu saja di terpa oleh
41
Skripsi : Zakka Abdul Malik Syam, Analisis Wacana Film Titian Serambut
dibelah Tujuh Karya Chaerul Umam, Jurusan KPI, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010, hlm. 6.
42Ibid, hlm. 57-61.
31
cobaan yang hadir disaat ingin menegakkan amar ma’ruf,
namun kesabaran guru Ibrahim dalam mengarungi kehidupan
yang nyata dengan penuh kesabaran.
4. Tentang perjuangan
Selain kesabaran, film ini juga mengangkat tema tentang
perjuangan menegakkan amar ma’ruf dan melawan munkar,
sosok guru Ibrahim dalam membela yang haq dan bathil melihat
dari usaha untuk menciptakan ajaran Islam yang benar. Ketika
dihadapkan sebuah masalah yang penuh dilematika, maka
Ibrahim selalu memperjuangkan dengan bentuk perbuatan yang
sebenarnya dan tidak melalui peperangan tetapi melalui reorika
yang baik dan benar.
5. Muamallah
Di dalam film ini juga digambarkan mengenai pesan
muamallah. Manusia hidup di dunia tidak sendiri tetapi masih
ada orang lain di sekitar kita, karena sesama muslim dengan
muslim lainnya adalah bersaudara. Jadi, apabila ada seseorang
yang butuh pertolongan, maka kewajiban kita seharusnya
menolong orang tersebut.
B. Genre Film Religi bertemakan Islam
Menurut Alicia, dalam bukunya Gender and Islam in Indonesian
Cinema, menjelaskan bahwa film bergenre religi Islam adalah film yang
dibuat oleh orang Islam untuk tujuan dakwah dan dibuat sebagaimana
mungkin menggunakan audiovisual sehingga para penonton bisa mengetahui
dan beranggapan bahwa film tersebut adalah film Islam.43 Sesuai genrenya,
tentu saja film tersebut selalu menampilkan idiom/simbol tentang ajaran
agama Islam, seperti menyembah Allah SWT. Melaksanakan sholat,
mengaji, berpakaian Islami, dan melakukan syiar Islam dengan cara dakwah.
Dakwah merupakan rekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam,
43
Alicia Izharuddin, Gender and Islam in IndonesianCinema, 2017, Kuala Lumpur:
Palgrave Macmillan, hlm. 40.
32
bahkan seluruh aspek kehidupan bisa digunakan untuk sarana atau alat
dakwah.
Berdakwah dapat menggunakan media apapun terutamanya melalui
film, film-film pada masa orde baru lebih mempunyai ciri khas tentang
identitas keislaman. Dimana budaya Islam dan pemerintah saling bisa
berkolaborasi dalam membangun bangsa Indonesia.
1. Film Religi Sejarah dan Mitos
Kesenian yang merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia sudah
berkembang pesat sebelum Islam datang di Nusantara dan semakin
menunjukkan corak yang khas ketika bersentuhan dengan agama baru.
Kesenian ini lebih bercirikan Hindu dan Budha yang sudah terlebih dahulu
melekat di kebudayaan Nusantara dalam waktu yang lama, kemudian
disambung dengan kebudayaan Islam yang relatif membawa dampak
perubahan di masyarakat indonesia (pada abad ke-20) utamanya foklor,
hingga dituangkan dalam film.44
Komoditi film-film sejarah bernuansa Islam pada periode ini relatif
menuai pro dan kontrak dari kalangan sineas maupun masyarakat, seperti
kata Dr. Budhisantoso, dalam koran Kompas edisi 5 Mei 1985, hlm. 6.
“Besar kemungkinan merangsang dan meningkatkan
kesadaran pemuka agama untuk memperoleh wewenang
yang lebih besar dalam mengatur penyebaran ajaran agama,
termasuk kalau perlu menghukum orang yang dianggap
tidak menguntungkan.”
Anggapan itu ditambahkan dengan sejumlah pendapat, bahwa
digambarkan dalam film-film religi tersebut selalu disertai dengan gambaran
44
Nurrohim dan Firtri Sari Setyorini, Millati, Journal of Islamic Studies and Humanities Vol. 3, No. 1, Juni 2018 : Analisis Historis terhadap Corak Kesenian Islam
Nusantara, Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humuniora, IAIN Salatiga, hlm. 126.
33
“biadab” nya masyarakat Indonesia sebelum mereka memeluk agama Islam.
Padahal sebelum kedatangan Islam, nenek moyang kita sudah mampu
mendirikan tempat-tempat ibadah seperti Borobudur, itu menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia pada waktu itu sudah mengenal budi pekerti
yang luhur.
Anggapan lain mengungkapkan bahwa Islam menawarkan konsep
kerukunan beragama. Dalam film Sunan Kalijaga misalnya, produksi PT
Tobali Indah bersama PT Empat Gajah Film, sang sutradara, Sofyan Shama,
dalam film ini berusaha menampilkan “tongkat” yang dijaga oleh Sunan
Kalijaga (Dedi Mizwar) yang diperintahkan oleh gurunya, Sunan Bonang,
bahwa tongkat tersebut merupakan lambang agama yang akan menjadi
tetunjuk dan penopang kehidupan manusia. Sedangkan gagang tongkat yang
terbuat dari emas menunjukkan keimanan yang merupakan syarat mutlak
dalam beragama yang harus selalu dipegang.45
Kemudian, dalam film tersebut juga ditayangkan bahwa Sunan
Kalijaga melarang anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran di tempat
peribadatan umat Budha yaitu di candi Borbudur, menunjukkan bagaimana
Islam sangat menghargai keberagaman umat beragama seperti yang
diperankan oleh Raden Mas Sahid (Sunan Kalijaga) tersebut.
Melihat dari kondisinya, nampaknya film Sunan Kalijaga ini yang
menjadi film religi yang sangat fenomena pada periode ini, dikabarkan di
beberapa surat kabar bahwa film ini mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak karena keseriusan penggarapan film ini dengan persiapan lebih dari
satu tahun dan biaya yang dibutuhkan untuk produksi film tersebut sekitar
500 juta untuk segala persiapan hingga proses cetak copy film ini.
Dikabarkan juga bahwa ilustrator film ini, Sudharnoto, mendapatkan
predikat ilustrator musik film kolosal terbaik.46
Dengan mengambil tiga lokasi shooting di Solo, Yogyakarta, dan
Demak. Di Solo, di Langen Budaya Istana Pakubowono diatas tanah seluas
45
Lihat koran Pelita, edisi 7 Juli 1984 hlm. 8, didapatkan dari koleksi Sinematek Indonesia, pusat perfilman Indonesia. (Lihat di Lampiran).
46Koran Berita Yudha Miggu, edisi 19 Juni 1983, hlm. 8.
34
2,5 hektar telah dibuat set disamping melakukan pemugaran istana, dengan
menelan biaya sekitar 45 juta rupiah. Disamping itu, untuk dapat menyorot
hasil gambar yang bagus, telah dibuat crane berderek seperti dolli yang
bergerak vertikal dengan ketinggian 25 meter dengan biaya 4 juta rupiah.
Dan rupanya, pihak produser tidak ingin sembarangan dalam membuat film,
banyak nama-nama dan pejabat pemerintah yang berkompeten ikut terlibat
langsung seperti KH. Dr. Idham Chalid dan KH. Abdurrohman Ma’shum
duduk sebagai penasehat, sedangkan Drs. Masbuchin dari Departemen
Agama turut hadir sebagai penasehat lapangan dan Kuswadji K sebagai
penasehat mengenai budaya Jawa.47
Dan beberapa film religi sejarah yang lain, film Arya Penangsang
(1983), Jaka Sembung Sang Penakluk (1981), Sembilan Wali (Walisanga)
tahun 1985, Sunan Gunung Jati (1985), Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar
(1985), Syeh Siti Kobar Membangkang (1989), Fatahillah (1997) yang
merupakan kelanjutan dari perkembangan film religi Islam berdasarkan film
sejarah.
Dan tidak dapat dipungkiri, film mempunyai pengaruh besar
terhadap masyarakat. Dan menghimbau produser-produser film untuk tidak
membuat film sekedar tontonan untuk mencari penghasilan semata tetapi
juga dapat berguna bagi masyarakat secara luas.48 Dari perkembangan film
sejarah bernuansa Islam tersebut diharapkan masyarakat dapat memahami
tentang sejarah para wali dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara
pada abad ke-14 hingga 16.
2. Film Religi Drama-Musikal
Salah satu genre film adalah film musikal. Genre film musikal
adalah film yang mengkombinasi unsur musik, lagu, tari (dansa), serta gerak
(koreogragbfi). Dalam flm musikal, unsur yang paling sering muncul adalah
47
Koran Pelita, edisi 1 Juli 1983, hlm. 8. 48
Lihat di lampiran, Majeli Ulama Dukung Film “Wali sanga”.
35
lagu dan tarian. Kedua unsur itulah yang berperan penting pada film
musikal. Hal ini menyebabkan film musikal sagat minim ditemuka dialog.49
Film-film religi Islam pada masa Orde Baru yang beraliran Drama-
Musikal didominasi oleh artis sekaligus penyanyi dangdut terkenal Rhoma
Irama. Raja dangdut tersebut (sebutan sekarang) sering menyiarkan dakwah
melalui lagu-lagu yang dibawakannya, seperti : Keagungan Tuhan (1980),
Perjuangan dan Doa (1980), Nada dan Dakwah (1991) dan masih banyak
diantaranya.
3. Film Religi Horor
Kebanyakan film horor di Indonesia masa Orde Baru berbau
pornografi, mulai tindakan pelecehan terhadap wanita dan pemerkosaan
yang akhirnya meninggal dunia, kemudian film-film tersebut selalu
digambarkan dengan arwah gentayangan yang tujuannya untuk mencari
jawaban atau pertanggungjawaban atas apa yang telah orang lain lakukan
terhadapnya. Tak jarang pula berakhir dengan datangnya seorang ulama/kyai
untuk mengusir hantu/arwah gentanyangan tersebut.
Karl Heider dalam Rusdiarti (2009:11) menyatakan bahwa film
horor pada Orde Baru tidak bisa lepas dari tiga unsur. Tiga unsur tersbut
antara lain, unsur komedi, seks, dan religi. Ketiga unsur tersebut menjadi
resep yang mampu membuat film horor digemari oleh penonton masa Orde
Baru.
Terdapat lagi beberapa ciri-ciri film horor di Indonesia, sebagai
berikut :
a. Tokoh utama identik dengan korban yang mengalami teror atau
tokoh pembawa bencana.
b. Tokoh antagonis atau tokoh pembawa kejahatan biasanya
terasing atau tesingkir secara sosial atau bukan bagian dari dunia
nyata.
49
Skripsi: Lianita Musikaning Raras, Film Musikal Dokumeter “Generasi Biru”: Sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010, hlm.
1.
36
c. Dekor ruang relatif monoton. Misal, sebuah rumah, kota
terpencil, rumah sakit, dekor waktu didominasi malam hari atau
suasana gelap.
d. Tokoh agama sering dilibatkan untuk menyelesaikan masalah.
e. Hal-hal supranatural dipakai untuk menjelaskan peristiwa yang
tidak dapat dijelaskan secara rasional.
f. Tokoh anak biasanya memiliki kekuatan berkat kemurnian
jiwanya.
g. Adegan kekerasan fisik sering menjadi warna utamanya. Misal,
pembunuhan, teror, dan mutilasi.
h. Teknologi sering menjadi salah satu pemicu masalah kearifan
lokal dan kedekatan manusia dengan alam justru yang menjadi
pemenangnya.
Berikut beberapa film horor bernuasa Islami: Pengabdi Setan
(1980), Perjanjian Setan (1983), Kuburan Angker (1987), Arwah Anak Ajaib
(1988), Nenek Lampir di Rumah Angker (1988), Manusia Penunggu
Jenazah (1988), Santet (1988), Setan Pocong (1988), Pembalasan Setan
Karang Bolong (1989), Susuk (1989), Titisan Nenek Lampir (1989), Nyi
Lamped (1990), Perjanjian Terlarang (1990).
C. Pengaruh Islam dalam Film Indonesia Masa Orde Baru
Selama hampir lima tahun setelah kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa revolusi (1945-1950). Selama periode tersebut, tidak ada
hambatan serius antara aktivis Islam dengan politik dengan kelompok
nasionalis, mereka cenderung lebih memikirkan bagaimana cara
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru berdiri
dan mencegah Belanda menjajah kembali.
Setelah Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia pada
Desember 1949, kelompok Islam mulai menunjukkan kekuatannya dengan
membentuk partai Masyumi pada November 1945 dan mendapat dukungan
37
yang relatif banyak.50 Setelah Masyumi, lahir pula partai-partai Islam selain
dari Masyumi, seperti NU (yang memisahkan diri dari Masyumi), PSII, dan
Perti. Sementara dari kaum nasionalis diwakili oleh Partai Nasional
Indonesia (PNI), akhirnya kelopok Islam mampu menguasai 114 dari 257
kursi (43,5 % suara) dalam parlemen.51
Namun demikian, terjalinnya komunikasi yang baik dari komunitas
Islam dengan kaum Nasionalis tidak berjalan lama, ini karena dari kalanan
elit politik negara terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis
mengenai bentuk negara dan kerangka konstitusionalnya.
Seiring perkembangannya, komunitas Islam semakin besar hingga
ingin mendirikan Negara Islam yang dipelopori oleh Muhammad Natsir.
Beberapa kejadian seperti pemberontakan DI/TII dan pemberontakan G30S
PKI turut mewarnai arus perpolitikan Indonesia pada periode tersebut.
Akibat dari pada itu, banyak tokoh-tokoh yang dipenjara hingga dibunuh
mulai dari kalangan Islam maupun kaum komunis atau bahkan siapapun
yang mencoba menentang Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian Islam mendapatkan harapan cukup besar dalam
mengembangkan politiknya ketika Presiden Soeharto membebaskan tokoh-
tokoh Masyumi dari penjara, termasuk Muhammad Natsir, Sjafruddin
Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto
Mangkusasmito, dan Hamka. Namun dengan syarat, bahwa mereka (orang-
orang Masyumi) bersedia mengikuti dan menaati peraturan yang dibuat
pemerintah, yaitu ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas satu-
satunya yang harus ditaati.
50
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, 1998, Jakarta: Paramadina, hlm. 93. Terdapat beberapa pendapat tentang
Masyumi, sebagian kalangan menyatakan bahwa partai Masyumi merupakan kelanjutan dari Masyumi yang dibentuk kolonial Jepang, seperti dalam tulisan Harold Crouch, Indonesia,
Muhammed Ayoob (ed.), The Politics of Islamic Reassertion, 1981, London: Croom Helm, hlm. 193; B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, hlm. 42. Mengenai
referensi lainnya, menganggap bahwa partai itu adalah organisasi baru dan berbeda, seperti
dalam tulisan George Mc.T. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, hlm. 156; dan Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, hlm. 47.
51Ibid, hlm. 94.
38
Pada masa Orde Baru bisa dikatakan bahwa perfiman Indonesia
sudah mencapai kesuksesan cukup besar, fim Indonesia banyak
memenangkan festifal yang diadakan di Fhilipina dan Hongkong, dan di
Indonesia sendiri. Dan pada periode ini juga perfilman Indonesia
mempunyai beberapa organisasi, diantaranya : PPFI, KFT, Parfi, GPBSI,
GASFI. Ditambah pula, sidang MPRS pada tahun 1960 mengeluarkan suatu
keputusan yang berbunyi : “Film bukan semata-mata barang dagangan,
melainkan alat pendidikan dan penerangan.” Keputusan ini kemudian
menjadi sumber hukum dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1964 tentang
Pembinaan Perfilman, yang kemudian ditingkatkan menjadi UU No.
I/Pnps/64.52
Umat Islam baik dari kalangan tradisional terutama dari kalangan
modernis masing berkeinginan melestarikan formalisme pendidikan.
Disamping karena dari kalangan elit muslim untuk bernostalgia pada masa
kejayaan politik Islam Orde Lama, juga untuk menghadapi tantangan zaman
modernisasi dimana dunia Islam dan non-Islam (Barat) saling berhadapan.53
Pada pariode ini pula, Islam mendapat ruang publik lebih luas karena
mendapat dukungan dari pemerintah sehingga mampu melahirkan aktivis
dan cendikiawan Islam, yang nantinya juga melahirkan suatu bentuk idiom-
idiom masyarakat Muslim dengan intelektual yang tinggi.
Berkaca dari film-film religi Islam masa Orde Baru yang merupakan
proses islamisasi yang relatif sukses, meskipun selera masyarakat Indonesia
pada periode tersebut adalah selera humor dan sensual, budaya Islam
mampu menjawab tantangan zaman tersebut, terbukti dengan diproduksinya
film-film seperti Pengabdi Setan (1980), Perjanjian Setan (1983), Kuburan
Angker (1987), Susuk (1989), Titisan Nenek Lampir (1989), Nyi Lamped
(1990), walaupun film-film tersebut bertemakan horor dimana sisi
sensualitasnya lebih mendominasi, namun simbol-simbol keislaman masih
52
H. Amura, Perfilm Indonesia dalam Era Orde Baru, 1989, Jakarta : Lembaga
Komunikasi Massa Islam Indonesia, hlm. 154. 53
Okrisal Eka Putra, Jurnal Dakwah: Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru, vol.IX No. 2, Juli-Desember 2008, hlm. 189, diakses pada hari Selasa, 20 Maret 2018
pukul 21.45 WIB.
39
terasa dengan kehadiran seorang santri, kyai, atau bahkan ulama yang
mensiasati tokoh protagis dalam film-film yang ditayangkan. Disisi lain,
film-film bertemakan drama-musikal seperti film-nya Rhoma Irama yang
selalu membawa pesan-pesan moral dari ajaran agama Islam melalui ucapan
atau bahkan lagu yang dilantukan seperti dalam film Nada dan Dakwah
(1991).
40
BAB IV
DOMINASI PERCINTAAN DALAM FILM RELIGI
ISLAM TAHUN 2000-2008
A. Dari Foklor Hingga Ekranisasi Novel
Mitologi dan dongeng adalah sastra lisan yang unik. Sastra lisan
(folklor lisan) adalah kreativitas manusia berupa prosa atau puisi yg
disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Menurut Robson (1978)
kajian terhadap karya sastra lisan sangat penting karena merupakan
perbendaharaan pemikiran warisan nenek moyang yang berguna untuk masa
ke masa. Sudjiman (1990) menyebutkan bahwa Folklor (cerita rakyat)
adalah kisahan anonim yang tidak terikat pada ruang dan waktu, beredar
secara lisan di tengah masyarakat. Danandjaya (1984) menyebutkan bahwa
cerita prosa rakyat merupakan satu Genre folklor lisan indonesia yang
diceritakan secara turun menurun, Bentuknya berupa mite, legenda,
dongeng. ataupun seni tradisi, upacara tradisi. Ciri pengenal
Folklor:Penyebaran secara lisan. Kini terjadi dengan bantuan mesin cetak,
elektronik,bersifat tradisional, menyebar dalam bentuk relatif tetap,folklor
hadir dlm versi-versi, bahkan dlm varian berbeda,bersifat anonym, memiliki
pola atau bentuk tertentu dan memanfaatkan bentuk bahasa klise, fungsi
dalam kehiupan bersama secara kolektif sebagai alat pendidikan, pelipur
lara, protes sosial, proyeksi keinginan terpendam, bersifat pralogis,
mempunyai logika sendiri yang individual (ciri berlaku bagi folklore lisan
atau sebagian lisan), milik bersama (kolektif).54
Foklor juga bisa diaktualisasikan dalam bentuk film. Film bukan
sekedar teknologi hiburan gambar bererak. Film juga bisa menunjukkan
54
Suwardi Endaswara, Foklor Nusantara : Hakekat, Bentuk, dan Fungsi,
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013, hlm. 47.
41
periodesasi, tren masyarakat, dan pemikiran dan keyakinan. Film Indonesia
yang diangkat dari cerita-cerita rakyat, seperti film Walisongo (1983), film
ini diangkat dari cerita sejarah yang juga dituturkan secara turun temurun
(foklor). Menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih mencintai budaya
Indonesia dengan menunjukkan atau mengkisahkan nenek moyang kita
yang menyebarkan ajaran agama Islam.
Namun, tema cerita film religi Indonesia mengalami perkembang,
yang pada masa Orde Baru, film-film Indonesia banyak menceritakan
tentang kisah-kisah heroit dimana kisahya diambil dari cerita rakyat atau
foklor, pada akhir abad ke-20 mulai beranjak dari foklor ke ekranisasi novel.
Menurut Eneste (1991: 11) Ekranisasi merupakan proses pelayar putihan
atau pemindahan dari novel ke dalam film.55 Ekranisasi juga bisa bersifat
subjektif atau suatu bentuk representasi dari hasil pemikiran pembaca yang
mencoba menuangkan hasil interpretasinya ke dalam film, yang dalam hal
ini bisa disebut sutradara.
Di Indonesia, proses ekranisasi sudah dimulai sejak zaman Hindia
Belanda, yaitu ketika novel Siti Noerbaja karya Marah Rusli (1922)
difilmkan dengan judul yang sama oleh sutradara Lie Tek Swie tahun 1942.
Siti Noebaja versi Lie masih dalam bentuk film hitam putih dan diiklankan
sebagai flm pencak bergaya Padang. Film ini pertama kali ditayangkan di
Surabaya pada 23 Januari 1942.56
Beberapa film lain juga diantaranya yang diangkat dari novel
menurut yang disebutkan Eneste dalam bukunya yang berjudul Novel dan
Film adalah film Atheis karya Sjumandjaja (1975) yang diangkat
berdasarkan novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Si Doel Anak Betawi
(1932) karya Sjumandjaja yang diangkat dari novel Si Doel Anak Betawi
(1972) karya Aman Dt. Madjoindo, film Salah Asuhan (1972) karya Asrul
55
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, 1991, Flores: Penerbit Nusa Indah, hlm.11. 56
Jurnal karangan Istadiyantha dan Riana Wati, Ekranisasi Sebagai Wahana
Adaptasi dari Karya Sastra ke Film, FIB UNS, hlm. 5.
42
Sani yang diangkat berdasarkan novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel
Moeis, film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983) karya Ami Priyono yang
diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari,
film Jangan Ambil Nyawaku (1981) yang diangkat dari novel karya Titi
Said, film Roro Mendut karya Ami Priyono (1984) yang diangkat dari novel
Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, film Ca Bau Kan karya Nia Dinata
yang diangkat dari novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado (2002).
Terdapat pula, film Detik Terakhir (2005), Me vs High Hell – Aku vs
Sepatu Hak Tinggi (2005), Jomblo (2006), Badai Pasti Berlalu (2007), yang
film-film tersebut diangkat dari novel dengan judul yang sama.
Dan salah satu proses ekranisasi novel ke dalam film yang paling
terkenal adalah film Ayat-Ayat Cinta (2008) karya Hanung Bramantyo yang
diangkat dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy. Dan
dilihat dari segi ceritanya, film yang diangkat dari novel dengan judul sama
tersebut, tidak terlalu istimewa. Hanya mengisahkan dongeng klasik tentang
seorang lelaki yang mencintai empat wanita dan ia harus menentukan
pilihan.57
B. Film Ayat-Ayat Cinta : “Booming-nya” Film Religi Islam di
Indonesia
Sejak tahun 2000an, film Indonesia banyak mengadirkan film-film
bertemakan cinta, karena mengikuti arus perkembangan anak-anak muda
yang identik dengan percintaan. Diawali dengan film Ada Apa Dengan
Cinta ? (2002) dimana film tersebut menceritakan tentang kisah percintaan
antara Rangga dan Cinta yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Dian
Sastrowardoyo. Cerita cinta tersebut dibalut dengan cerita anak SMA,
dimana Cinta (Dian Sastro) dan Rangga (Nicholas) sama-sama suka menulis
57
Ungkap Hanung, dalam Koran Kompas, edisi 2 Maret 2018, hlm. 21.
43
puisi, dan mereka mulai menjalin cinta. Masalah timbul ketika Alya, sahabat
Cinta yang mencoba bunuh diri karena masalah keluarga dan Cinta tidak
bisa menolong karena sering kencan dengan Rangga. Masalah lagi timbul
ketika Cinta dijauhi oleh sahabat-sahabatnya dan diminta untuk melupakan
Rangga. Singkat cerita, Rangga akhirnya ingin pergi ke Amerika,
mengetahui hal itu Cinta menyusulnya di bandara, setelah mereka bertemu
Rangga memberikan sebuah Buku yang isinya di halaman terakhir terdapat
puisi yang berisi tentang Cinta, dan di tulisan terakhir mengatakan bahwa
Rangga akan kembali sebelum bulan purnama.58
Film ini mempunyai cerita tersendiri dimana sutradara, Rudi
Soedjarwo, mampu memnghadirkan film yang patut untuk dijadikan
komoditi sehingga para kaum muda bisa ikut meramaikan bioskop yang
belakangan digemari oleh kaum muda. Tebukti dengan diputarnya film
tersebut, berhasil ditonton lebih dari 1,3 juta penonton.59
Setelah film yang cukup laris dipasaran tersebut, terdapat pula film
Ayat-Ayat Cinta. Ceritanya berdasarkan novel yang telah disebutkan di atas.
Alasan film ini juga menjadi penting untuk dibahas karena film ini mampu
menjadikan Islam sebagai wadh yang cocok untuk disandingkan dengan
fenomena yang sedang hangat dibicarakan, yaitu tentang percintaan dan
poligami.
Film Ayat-Ayat Cinta merupakan salah satu film Indonesia yang
telah mendorong perdebatan di kalangan aktivis feminis dan ahli budaya
mengenai masalah hubungan gender, dengan referensi khusus untuk
poligami dalam Islam. Ayat-Ayat Cinta berurusan dengan sejumlah isu
sensitif seperti perlakuan Islam terhadap wanita dan poligami. Beberapa
orang menyebutkan bahwa film ini mendukung poligami dan penggambaran
stereotipikal perempuan sebagai pasif, ekspresif dan bergantung. Afriadi
menyatakan bahwa Ayat-Ayat Cinta justru mendukung poligami sebagai
58
Sinopsis dari Wikipedia. Diakses pada 28 Maret 2018 pukul 15.20. 59
http://www.bintang-indonesia.com.
44
masih dipraktekkan oleh Muslim konservatif. Iswarini dalam menganalisis
novel Ayat-Ayat Cinta, menunjukkan bahwa penulis novel mencoba untuk
mendomestikasi peran wanita dengan memberi label dan mengklasifikasikan
perempuannya karakter sebagai wanita buruk atau baik, sementara juga
menempatkan agama sebagai hanya satu klaim kebenaran yang diwakili oleh
tradisionalis. Namun, orang lain menyatakan bahwa Ayat-Ayat Cinta
cenderung mewakili nilai-nilai kapitalis daripada islam. Syam berpendapat
bahwa beberapa adegan dalam film tidak layak dalam ajaran Islam dan tabu,
seperti adegan ciuman dan bulan madu.60
Dan film tersebut juga mengalahkan banyak film-film Hollywood di
box office,mendapatkan audiens lebih dari 4 juta orang. Ayat-AyatCinta
dengan jelas menempatkan simbol-simbol Islam ke depan, seperti
menyajikan ayat-ayatdari Al Qur'an, berjilbab, dan seterusnya. SejakOrde
Baru runtuh pada tahun 1998, telah terjadikecenderungan baru tentang
kehidupan beragama yang tidak dapat dipisahkan dariproduksi film.
Kecenderungan baru ini terlihat pada kebangkitan Islamkonservativisme
atau fundamentalis Muslim dan Islam liberal. Namun,di Indonesia Islam
moderat diakui sebagai masih dominan.61
Film ini menjadi histori tersendiri, mengingat film ini berhasil
meraih jumlah penonton yang relatif sukses yakni sebanyak tiga juta
penonton hanya dalam tiga minggu pertama sejak film itu diputar.
Pencapaian lain dari film ini adalah film ini disaksikan oleh masyarakat dari
berbagai kelas dalam masyarakat, yang menarik adalah film ini berhasil
membawa komunitas religiusuntuk pergi ke bioskop.62 Bukti lain
kesuksesan dari film Ayat-Ayat Cinta adalah film ini mampu menggandakan
pita film sebanyak 100 copy. Sebuah angka yang fenomenal untuk ukuran
film nasional. Karena rata-rata film Indonesia paling banyak hanya dicetak
60
Lukman Hakim, Conservative Islam Turn Or Popular Islam ? an Analysis of the
Film Ayat-Ayat Cinta. Jurnal: Al-Jami’ah vol. 48, No. 1, 2010, hlm. 103-104. 61
Ibid, hlm. 104. 62
Thesis.umy.ac.id/../PNLT1745.pdf, hlm. 3.
45
10-20 copy. Bahkan film-film utama Hollywood pun paling banyak dicetak
sebanyak 60-70 copy.63
Film ini, menurut Presiden SBY, menunjukkan bagaimana
mengapresiasikan nilai-nilai yang lebih dari sekedar simbol-simbol sehingga
masyarakat dunia dapat hidup berdampingan dalam perbedaan. Ia juga
menyebutkan, saat ini (pada periode 2008) negara Indonesia bersama dengan
negara lain sedang membangun kebersamaan guna menghindari perpecahan.
Disisi lain, Islam banyak disalahartikan, ini adalah bagian pelajaran bagi
semua Muslim bahwa Islam adalah peace, love, tolerance, and harmony dan
Islam benci kekerasan.64
Dalam situasi seperti inilah film Ayat-Ayat Cinta menjadi sebuah
karya yang memiliki nilai jual yang besar. Fim ini menjadi titik temu dari
berbagai gejala yang memperlihatkan fenomena mainstreaming dalam
diskusi mengenai budaya populer Islam. Bentuk sinema menjadi sesuatu
yang bukan kebetulan, dan juga dapat memberikan wacana budaya populer
Islam ini menjadi demikian luas dan masif.
Fase ini aka segera tampak dengan membanjirya film-film bernuansa
Islam ke bioskop pada tahun-tahun mendatang. Pembanjiran itu datang dari
dua arah. Pertama, para pelaku industri film akan membuat deretan epigon
karena melirik dari kesuksesan film AAC. Kedua, terbukanya pasar
penonton Islam akan merangsang para pelaku baru dalam dunia film.
Mereka percaya akan ada penonto muslim yang siap untuk diberi sajian
film-filmIslami.65
63
ungkap Manoj, dalam Koran Kompas, edisi 2 Maret 2018, hlm. 21. 64
Koran Republika, edisi 30 Maret 2008, hlm. B1. 65
Kompas, edisi 4 April 2008, hlm. 50.
46
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa
kemunculan film religi Islam di Indonesia bukan hanya tumbuh dan
berkembang serta merta, namun mengalami perkembangan yang cukup
signifikan bahwa industri film sendiri di wilayah Hidia Belanda mulai
berdiri pada tahun 1926, yaitu perusahaan NV Java Film Company yang
didirikan oleh L. Heuveldorp dari Batavia dan G. Krugers dai Bandung,
dengan film pertamanya berjudul Loetoeng Kasaroeng buatan L. Hoveldorp.
Pada tahun 1930, muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal
terbentuknya Java Industrial Film, perusahaan tersebut yaitu Cino Motion
Pictures oleh The Teng Chun yang sudah berpengalaman dalam urusan
bisnis film. Perusahaan Cino Motion Pictures memproduksi film dengan
cerita Thionghoa, antara lain : Sam Pek Eng Tay (1931), Pat Bie To (1932),
Pat Kiam Hiap (1933), serta Ouw Phe Tjoa(1934). Setelah memproduksi
film tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaan tersebut menjadi
Java Industrial Film pada 1935. Kemudian perusahaannya meneruskan
produksi-produksi film klasik Tionghoa, seperti Lima Siloeman Tikoes
(1935), Pan Sie Tong (1935), The Pat Kai Kawin (1935), Ouw Phe Tjoa II
(1936), dan Hong Lian Sie (1937). Pada tahun 1937, perusahaan ANIF
(Algemeene Nederlandsch Indie Film Syndicaat) dengn sutradaranya Albert
Balink, memproduksi sebuah film Terang Boelan yang sangat laku di
pasaran, karena komposisi sistem bintangnya dan adegan-adegan yang
disukai publik pada masa itu. Adegan seperti nyanyian, lelucon, perkelahian,
dan keajaiban adalah yang paling banyak disukai publik penikmat film.
Kemudian dilanjutkan pada masa penjajahan Jepang yang mulai
mempropagandakan film untuk kepentingan politik mereka. Film-film yang
47
diputar haruslah melalui badan sensor mereka (Nippon Eigha) yang
mempuyai syarat yaitu; film haruslah mempunyai unsur membangun,
menghilangkan budaya-budaya yang mencirikan budaya Barat, film haruslah
sopan, dan film yang dipertontonkan adalah tentang kebudayaan Jepang
mengenai norma-norma yang ada di Jepang dan juga bala tetaranya yang
dianggap kuat mengalahkan lawannya. Setelah Indonesia merdeka, film-film
nasional mulai bermunculan, utamaya film yang dianggap Islami pada era
Orde Lama, film Titian Serambut dibelah Tujuh (1959) karya Asrul Sani,
yang juga merupakan film bernuansa Islami. Film ini bercerita tentang
seorang guru beragama Islam yang mencoba mengajar di desa lain. Di desa
tersebut guru Ibrahim (nama tokoh utama film tersebut) mulai mendapat
beberapa rintangan mulai dari ancaman oleh guru agama sesepuh desa
tersebut, ancaman jika menolong Halimah (orang yang dianggap gila oleh
penduduk setempat karena sering bertingkah laku tidak wajar), padahal
Halimah seperti itu karena trauma mendapat fitnah dan hampir menjadi
korban pemerkosaan. Dengan diputarnya film tersebut, Asrul Sani,
Sutradara film tersebut berusaha menunjukkan bahwa komoditas agama
Islam pun dapat direalisasikan dalam media film. Film ini juga mengajarkan
tentang akhlak terpuji walaupun banyak rintangan yang guru alami dalam
film tersebut.
Kemudian disusul pula pembuatan film pada masa Orde Baru, yaitu
film yang sangat fenomenal, film Sunan Kalijaga (1983) yang hingga saat
ini masih dipertontonkan di beberapa daerah untuk mengenang jasa para
tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Film ini juga mengajarkan
tentang toleransi dalam beragama, dimana Islam datang adalah untuk
membawa kedamaian untuk kita semua, bukan malah merusak suatu
kebudayaan sebelumnya. Namun pada era reformasi hingga saat ini, film-
film religi yang ditampilkan lebih menonjolkan unsur percintaan, karena
mengikuti budaya populer yang berkembang, seperti dalam film Ayat-Ayat
Cinta (2008) yang mencapai angka tiga juta penoton dalam satu minggu
pertama. Ini menunjukkan bagaimana perkembangan film religi Islam
48
menjadi suatu kajian yag menarik, mulai dari akhlak-akhlak terpuji yang
diajarkan dalam agaman Islam menjadi dominasi percintaan sesuai dengan
ajaran agama Islam pula.
B. Saran
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan tambahan diskusi
tentang wacana keislaman dalam bingkai film religi Islam dari tahun 1959
hingga 2008. Besar harapannya para pembaca dapat mengetahui dan
memahami tentang apa yang sedikit saya singgug mengenai perkembangan
film religi di Indonesia, dan harapannya pula akan ada kajian lanjutan
megenai perkembangan film religi Islam di tahun-tahun berikutnya.
49
Daftar Pustaka
Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950. Cet. II. Jakarta :
Komunitas Bambu dan Dewan Kesenian Jakarta.
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama; Wisata Pemikiran dan
Kepercayaan Manusia.Jakarta: Rajawali Pers.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim tanpa Masji. Bandung : Mizan.
Daliman, A. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Eneste, Pamusuk. 1991.Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.
Hutari, Fandy. 2011. Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal. Yogyakarta :
INSISTPress.
Abdullah, Taufik, dkk. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Jakarta :
Perum Percetakan Negara RI.
Kristanto, JB. 2007. Katalog Film Indonesia 1926-2007. Jakarta : Nalar.
Amura, H. 1989. Perfilman Indonesia dalam Era Orde Baru. Jakarta :
Lembaga Komunikasi Massa Islam Indonesia.
Madjid, Nurcholis. 1970.Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat. Jakarta: Penerbit Islamic Research Center.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
50
Izharuddin, Alicia. 2017. Gender and Islam in IndonesianCinema. Kuala
Lumpur: Palgrave Macmillan.
Gronemenyer, Andrea. 1998. Film. New York: Barron’s Educational Series,
Inc.
Amin, Samsul Munir, 2009, Ilmu Dakwah, Jakarta, Amzah.
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, (Mesir: Isa Bab al-Halaby,tt.).Sobur,
Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Endaswara, Suwardi. (2013). Foklor Nusantara : Hakekat, Bentuk, dan
Fungsi, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Kurasawa, Eiko. Film as Propaganda Media in Java under the Japanese,
1942-1945. In Japanese Culture Policies in South East Asia during
Word War II, ed. By Grant K. Goodman
Fatimah, Nur. Produksi Film Dokumenter Religi: Bukan Seperti Miskin
Tidak Seperti Kaya. 2015. Semarang:IAIN Walisongo.
Fauziyah, Sifaul. Representasi Pesan Sedekah dalam Film Kun Fayakun.
(2012). Yogyakarta : Fakultas Dakwah dan komunikasi Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
http://digilib.uinsby.ac.id/878/
Musikaning Raras, Lianita. Film Musikal Dokumeter “Generasi Biru”:
Sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco. (2010). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
51
Abdul Malik Syam, Zaka. Analisis Wacana Film Titian Serambut dibelah
Tujuh Karya Chaerul Umam. (2010). Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
Putra, Okrisal Eka.Jurnal Dakwah: Hubungan Islam dan Politik Masa Orde
Baru. vol.IX No. 2. Juli-Desember 2008.
e-journal.uajy.ac.id/821/3/2TA11217.
Muhlisiun, Arda. Jurnal Panggung: Film “Darah dan Do’a” sebagai
Wacana Film Nasional Indonesia, Vol. 26 No. 3. September 2016.
Rusdiarti, SR. Film Horor Indonesia: Dinamika Genre.
Hakim, Lukman. Conservative Islam Turn Or Popular Islam ? an Analysis
of the Film Ayat-Ayat Cinta. Jurnal: Al-Jami’ah vol. 48 No. 1. 2010.
Thohier, Mahmud. Kajian Islam Tentang Akhlak dan Karakteristiknya,
(Jurnal Sosial dan Pembangunan: Volume XXIII No. 1 Januari-
Maret 2007). LPPM-UNISBA.
Setyorini, Fitri Sari dan Nurrohim. Millati, Journal of Islamic Studies and
HumanitiesVol. 3, No. 1, Juni 2018:Analisis Historis terhadap
Corak Kesenian Islam Nusantara. Fakultas Ushuluddin, Adab, dan
Humuniora, IAIN Salatiga.
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Berita tentang film Loetoeng Kasaroeng
Lampiran 2 : Berita tentang film Sunan Kalijaga
Lampiran 3 : Berita tentang film Sunan Kalijagamenawarkan
kerukunan beragama
Lampiran 4 : Berita tentang film Sunan Kalijaga mendapat
dukungan dari MUI
Lampiran 5 : Berita tentang memfilmkan Sunan Kalijaga
Lampiran 6 : Foto The Teng Chun
Lampiran 7 : Berita tentang film Ayat-Ayat Cinta mengajarkan
toleransi
Lampiran 8 : Berita tentang kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta
Lampiran 9 : Berita tentang film Ayat-Ayat Cinta ditonton di
Belanda
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae
I. Data Pribadi
1. Nama : Edo Nabil Arovi
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Kudus, 21 Desember 1996
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Status Pernikahan : Belum Kawin
6. Warga Negara : Indonesia
7. Alamat KTP : RT: 02/RW: 02, Kota, Kudus
8. Alamat Sekarang : RT: 02/RW: 02, Kota, Kudus
9. Nomor Telepon / HP : 085740120140
10. e-mail : [email protected]
11. Kode Pos : 59317
II. Pendidikan Formal :
Periode
(Tahun) Sekolah / Institusi Alamat
Jenjang
Pendidikan
2002 - 2008 SD NU NAWA
KARTIKA
Langgar Dalem, Kota,
Kudus SD
2008 - 2011 MTs NEGERI 1
KUDUS
Prambaan Lor,
Kaliwungu, Kudus SMP
2011 - 2014 SMK NU
MAARIF KUDUS
Prambatan Kidul,
Kaliwungu, Kudus SMK
2014 - 2018 IAIN Salatiga Salatiga, Jawa Tengah S1
Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 08 Okober 2018
Edo Nabil Arovi