tema sosial-politik dalam sejumlah cerpen majalah pandji
TRANSCRIPT
1
Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun 1959—1960 dan 1966—1974
oleh Teguh Prasetyo dan Ibnu Wahyudi
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
E-mail: [email protected]
Abstrak
Pandji Masjarakat merupakan majalah berhaluan Islam modernis yang terbit tahun 1959. Majalah tersebut sempat dibredel tahun 1960 karena memuat artikel “Demokrasi Kita” hingga terbit kembali tahun 1966. Dalam rentang tahun 1959—1974, Pandji Masjarakat banyak menerbitkan artikel dan karya sastra yang bersinggungan dengan gejolak politik zamannya. Genre sastra yang cukup jelas memperlihatkan gagasan sosial-politik adalah cerpen-cerpen yang diterbitkannya. Sejumlah cerpen bertema sosial-politik itu akan ditelaah dengan metode sosiologi sastra. Setelah dilakukan penelaahan, diketahui bahwa tujuh cerpen majalah Pandji Masjarakat mempunyai gagasan yang menyuarakan kritik sosial-politik terhadap zamannya. Kata Kunci: Pandji Masjarakat, Tema, Sosial-politik, Orde Lama, Orde Baru, Demokrasi Terpimpin.
Socio-political Theme in A Batch of Short Stories in Pandji Masjarakat Magazines in
1959—1960 and 1966—1974
Abstract
Pandji Masjarakat was an Islamic modernist magazine that was published in 1959. That magazine was ceased in 1960 because of the article “Demokrasi Kita” and was published again in 1966. In years between1959–1974, Pandji Masjarakat published a lot of articles and literary works that were related to the political turmoil of the era. The obvious literary genre shows the socio-political thoughts in the published short stories. Those socio-political short stories then were examined with the socioliterary method. After that, it is known that seven short stories in the Pandji Masjarakat magazine have a socio-political thought that expresses a socio-political criticism of that era. Key words: Pandji Masjarakat, Theme, Socio-political, Old Order, New Order, Guided Democracy. 1. Pendahulan
H.B. Jassin dalam bukunya yang berjudul Koran dan Sastra Indonesia mengemukakan
bahwa perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan surat kabar.
Selain itu, Jassin juga menambahkan bahwa sebagian besar karya para sastrawan Indonesia
terlebih dahulu dipublikasikan melalui surat kabar, baru kemudian dibukukan. Kumpulan
puisi atau kumpulan cerpen biasanya berasal dari puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang dimuat
di berbagai media massa, sedangkan novel biasanya dari cerita bersambung (1994: 86).
Merujuk pada pernyataan Jassin tersebut, dapatlah kita menilik beberapa surat kabar
ataupun media yang pernah ada dan menampilkan karya-karya sastra di dalamnya. Sejak awal
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
2
abad ke-20 surat kabar telah turut andil dalam penerbitan karya sastra di Indonesia. Claudine
Salmon mencatat pada tahun 1905 cerita Tambahsia terbit pada koran Warna Warta sebagai
cerita bersambung (1985: 5). Selanjutnya, pada tahun 1920-an, muncul majalah Jong Sumatra
yang di dalamnya memuat karya-karya Muhammad Yamin, Moh. Hatta, dan Sanusi Pane
(Rosidi: 1964: 7). Dalam periode tahun 1920-an ini pula muncul surat kabar yang masih
berada dalam pengawasan lembaga penerbitan Balai Pustaka, seperti Sri Poestaka, Pandji
Poestaka, Kedjawen, dan Perhiangan yang di dalamnya dimuat pula karya-karya sastra mulai
dari puisi hingga prosa (Iskandar: 1960: 8).
Pada dasawarsa 1930-an, muncul sebuah majalah yang menjadi salah satu majalah
yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, yakni majalah
Pujangga Baru. Majalah ini memunculkan nama-nama sastrawan besar, seperti Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Maria Josephine Mantik mencatat, selama
umur terbitnya, majalah Pujangga Baru memunculkan ratusan puisi, 38 cerpen, dan enam
buah drama (1981: 20—36).
Setelah dasawarsa 1930-an, penerbitan karya sastra melalui surat kabar atau majalah
terus bermunculan. Puncaknya terjadi pada dasawarsa 1950-an. Jakob Sumardjo menyatakan
bahwa pada dasawarsa 1950-an, majalah kebudayaan bermunculan seperti marmot1 sehingga
pada dasawarsa ini muncullah istilah “sastra majalah” (2000: 635). Selain itu, Nugroho
Notosusanto juga menyatakan bahwa pada dasawarsa 1950-an ini muncul berbagai surat
kabar ataupun majalah yang memuat karya sastra, seperti Zenith, Basis, Budaya, Konfrontasi,
Gajah Mada atau Pelangi, Medan Sastera (di Yogyakarta), Kompas, dan Dwiwarna (2000:
285—286).
Selanjutnya, tahun 1960-an hingga sekarang ini, surat kabar ataupun majalah yang
berkontribusi dalam penerbitan karya sastra terus bermunculan, misalnya seperti majalah
Sastra, Horizon, surat kabar Tempo, dan Kompas. Tidak hanya itu, bahkan surat kabar dan
majalah juga menjadi media tanding ide dalam polemik antara sastrawan Lekra dan Manikebu
pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an. Surat kabar atau majalah tersebut diantaranya
majalah Sastra, surat kabar Duta Masjarakat, Harian Rakyat, maupun Bintang Timur.
Masing-masing surat kabar atau majalah tersebut memiliki keberpihakan terhadap kubunya
1 Kata marmot yang digunakan oleh Jakob Sumardjo pastilah merupakan sebuah metafor dari
banyaknya karya sastra yang muncul pada saat itu (1950-an). Marmot merupakan sebuah hewan yang sangat mudah berkembang biak sehingga penulis menyimpulkan bahwa kata marmot merupakan metafor dari penerbitan karya sastra yang sangat pesat dalam surat kabar atau majalah.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
3
sendiri, seperti Sastra yang pro Manikebu dan Harian Rakjat atau Bintang Timur yang pro
Lekra (Ismail dan Moeljanto, 1995).
Di antara sekian banyak surat kabar dan majalah kebudayaan yang terbit dan memuat
karya sastra di akhir tahun 1950-an dan sepanjang tahun 1960-an, terdapat majalah yang
bergerak di bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam yang juga turut memuat karya-karya
sastra di dalamnya, yakni majalah Pandji Masjarakat. Majalah Pandji Masjarakat ini terbit di
akhir tahun 1959. Majalah ini sempat dibredel pada tahun 1960 karena dianggap memicu
tindakan subversif dengan pemuatan artikel Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”.
Majalah ini kemudian terbit kembali pada tahun 1966 hingga tahun 2003. Semenjak
diterbitkan kembali pada tahun 1966 itu majalah ini lebih memiliki kebebasan dalam
menyuarakan aspirasinya, termasuk kritik terhadap pemerintahan. Hal tersebut sekiranya
terlihat hingga tahun 1974.2
Sebagai sebuah majalah yang berbasis Islam,3 artikel dalam majalah ini banyak
menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, tidak terkecuali karya sastra yang
diterbitkannya. Karya-karya sastra yang bernafaskan Islam ini juga sebenarnya tidak lepas
dari pengaruh ideologi majalah tersebut. Bahkan, dalam sebuah artikel yang ditulis Jusuf
Abdullah Puar yang berjudul “Posisi Sastera nan Bernafaskan Ketuhanan: Persadjakan Islam
dalam Menghadapi Individualisme, Naturalisme, dan Realisme Proletar” yang dimuat dalam
majalah ini pada edisi 15/15 Januari 1960, dikatakan bahwa kesusastraan bernafaskan Islam
memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan gaya kesusastraan individualisnya Chairil
Anwar ataupun Realisme Proletar yang ditunjukkan Lekra (1960: 12—14).
Hal yang cukup menarik yang ditunjukkan karya-karya sastra yang dimuat dalam
majalah ini adalah munculnya karya sastra yang ternyata turut andil dalam menyuarakan
kritik sosial-politik terhadap keadaan sosial zamannya, misalnya terhadap pemerintahan Orde
Lama, PKI, bahkan konflik Lekra dan Manikebu. Terlebih lagi, kritik yang terlihat dari karya-
karya tersebut disuarakan dengan lebih gamblang ketika majalah ini terbit kembali tahun 1966
atau setelah keruntuhan Orde Lama, sedangkan pada tahun 1959—1960, kritik sosial-politik
dalam beberapa karya sastra dinyatakan dengan lebih tersirat.
2 Penulis menyimpulkan hal tersebut karena penulis hanya membatasi penelitiannya pada Pandji
Masjarakat yang terbit tahun 1959—1960 dan 1966 hingga awal tahun 1974. 3 Profil majalah Pandji Masjarakat yang menerangkan bahwa majalah tersebut merupakan majalah
yang berbasis Islam akan lebih lanjut dijelaskan pada subbab “Pandji Masjarakat dan Kesusastraan”.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
4
Hal tersebut membuat penulis kemudian mencoba merumuskan beberapa
permasalahan yang akan coba dikaji dalam makalah ini. Pertama, seperti apakah profil singkat
majalah Pandji Masjarakat beserta rubrik sastra di dalamnya? Selanjutnya, bagaimana
kecenderungan tematiknya? Terakhir, bagaimana penggambaran tema sosial-politik dalam
cerpen-cerpen majalah ini.
2. Tinjauan Teoritis
Makalah ini akan menyajikan analisis terhadap cerpen-cerpen yang diterbitkan pada
majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974, khususnya cerpen-cerpen
yang memiliki tema sosial-politik. Oleh karena analisis cerpen tersebut menggunakan kajian
tematik, dalam subbab ini akan pula dipaparkan landasan teori kajian tematik tersebut. Akan
tetapi, karena korpus penganalisisan ini adalah cerpen, terlebih dahulu akan coba dipaparkan
pengertian cerpen itu sendiri.
H.B. Jassin mendefinisikan cerpen atau cerita pendek sebagai cerita yang pendek.
Pendeknya cerita pendek menurutnya memang masih diperdebatkan, tetapi cerita yang seratus
halaman panjangnya sudah tentu tidak dapat disebut cerita pendek dan memang tidak ada
cerita pendek yang demikian panjangnya. Menurutnya pula, cerita yang panjangnya sepuluh
atau dua puluh halaman masih dapat disebut cerita pendek, tapi ada juga cerita pendek yang
panjangnya hanya satu halaman (1983: 69). Mengenai panjang atau pendeknya cerita pendek,
Richard Summers (1948: 27) menekankan keriteria pendek itu biasanya terdiri dari 500
hingga 40.000. Pernyataan Summers tersebut mungkin akan mengaburkan perbedaan cerpen
dan novel karena 40.000 kata dapat dikategorikan menjadi cerita yang cukup panjang.
Kekaburan mengenai perbedaan cerpen dan novel tersebut dapat dijawab dari pernyataan H.B.
Jassin yang berbunyi, “Kalau roman ceritanya melingkungi seluruh kehidupan, cerita pendek
hanya sesuatu kejadian saja dalam kehidupan yang luas itu.” Kemudian, Ia juga menyatakan
bahwa cerita pendek harus lebih padu dari roman (1983: 69—71).
Cerita pendek sebagai sebuah karya sastra tentu memiliki sebuah gagasan. Gagasan,
ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra disebut juga dengan tema
(Sudjiman, 1987: 50). Tema sebagai sebuah gagasan yang mendasari karya (cerpen) dapat
didukung oleh pelukisan latar, atau dalam karya yang lain tersirat dalam tokoh dan
penokohan. Kadang pula tema menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu
alur (Sudjiman, 1988: 51). Oleh karena itu, pengkajian tema tentunya akan melibatkan unsur
penting lain dalam karya seperti, latar, alur, dan penokohan—pendekatan struktural.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
5
Analisis dalam makalah ini memfokuskan penelaahan pada sejumlah cerpen yang
dianggap menyuarakan kritik sosial-politik terhadap pemerintahan pada masa itu. Dengan
demikian, pengkajian tema atau gagasan dalam cerpen-cerpen tersebut cenderung lebih
menitikberatkan pada pendekatan kontekstual. Hal itu disebabkan karya sastra tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh pengarang sebagai pembuat karya. Ronald Tanaka (1976)
mengatakan bahwa teks tidak jatuh dari langit. Di sekeliling teks ada berbagai persoalan
sosial, politik, ekonomi, budaya, yang melatarbelakangi dan melatardepani kelahiran teks,
penerbitan karya sastra (dalam Mahayana, 2007: 6). Hal yang senada juga diungkapkan oleh
Sapardi Djoko Damono bahwa karya sastra tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan oleh
sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menurutnya pula, sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
sesuatu kenyataan sosial sehingga sah apabila kita memasalahkan pengaruh timbal balik
antara sastra, sastrawan, dan masyarakat (2010: 1). Selain itu, karya sastra yang dimuat dalam
sebuah majalah dapat saja memiliki keterkaitan dengan ideologi dari majalah tersebut. Hal itu
disebabkan karya sastra memang pada saatnya dapat menjadi sebuah alat penyebarluasan
ideologi (Damono, 2010: 105).
Studi sosiologi terhadap sastra menurut Rene Wellek dan Austin Warren dapat,
pertama, ditelusuri melalui pengarang dan biografinya sebagai makhluk sosial; kedua, dari isi
karya sastra, tujuan, dan hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri yang berkaitan
dengan masalah sosial; dan ketiga, adalah dari pembaca dan dampak sosial karya sastra itu.
Menurutnya, pengarang juga seorang warga masyarakat yang mempunyai pendapat tentang
masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta mengikuti isu-isu zamannya. Karena
itu, dalam sastra dapat ditelusuri pandangan-pandangan atau ideologi yang muncul dalam
karya sastra. Selain itu, karena pengarang terkadang dalam mengarang sebuah karya
mempertimbangkan siapa pembacanya, studi sosiologi dalam sastra juga harus
mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkan karya (1995: 110—117). Namun, dalam
penelitian ini, penulis akan lebih menitikberatkan pada metode sosiologi sastra yang meninjau
isi karya sastra itu sendiri yang berkaitan dengan masalah sosial. Hal itu dikatakan Wellek
dan Warren sebagai sosiologi karya, yakni mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, atau
potret kenyataan sosial. Menurutnya, sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk
menguraikan ikhtisar sejarah sosial (1995: 122). Akan tetapi, Wellek juga menegaskan bahwa
tidak benar pengarang mengekspresikan kehidupan secara konkret dan menyeluruh dalam
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
6
karyanya (1995: 110). Oleh karena itu, kita harus bisa menyikapi sastra sebagai sebuah karya
seni bukan sebuah gambaran kehidupan yang utuh.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian
kualitatif. Menurut Sugiyono (2008: 1) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
yang digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Selanjutnya, Sugiyono juga
menerangkan bahwa data alamiah merupakan data yang tidak dibuat-buat (berdasar dari yang
sudah ada), dan analisis induktif merupakan analisis dari data-data yang kemudian
dikonstruksikan menjadi hipotesis atau teori. Metode penelitian seperti ini oleh Nyoman
Kutha Ratna disebut pula sebagai metode deskriptif-analitik, yakni metode yang dilakukan
dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta atau data-data yang kemudian disusul dengan
analisis (Ratna, 2007: 53)
Penelitian ini berfokus pada cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—
1960 dan 1966—1974. Dibatasinya fokus penelitian ini hanya pada Pandji Masjarakat tahun
1959—1960 dan 1966—1974 karena kedua periode tersebut merupakan periode yang sangat
berpengaruh pada pandangan majalah ini mengenai keadaan sosial-politik masa itu. Tahun
1959—1960 merupakan tahun ketika majalah ini merasakan tekanan dari pemerintahan Orde
Lama dalam menyampaikan aspirasinya. Sementara itu, tahun 1966—1974 merupakan
periode awal Pandji Masjarakat setelah terbit kembali, juga pada tahun tersebut Orde Lama
telah runtuh dan Orde Baru berada pada awal mulanya sehingga kebijakan pada saat itu juga
dirasa turut mempengaruhi pandangan yang muncul dari cerpen-cerpen majalah ini. Tidak
hanya itu, majalah ini selama periode 1959—1960 dan 1966—1974 mengusung semboyan
“penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”
sehingga penulis juga membatasi penelitian tersebut dengan pertimbangan masih berada
dalam periode yang mengusung semboyan tersebut.
Setelah pembatasan tahun, penulis juga mencoba membatasi cerpen yang akan
dianalisis sebagai sampel. Pertimbangan pemilihan sampel ini didasarkan pada cerpen-cerpen
yang dilihat memiliki kecenderungan tema atau kritik sosial-politik. Dengan demikian,
penulis memilih tujuh cerpen yang dilihat memiliki tema sosial-politik, yakni cerpen
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
7
“Turunnja Sebuah Ilham”, “Dia dan Kemauannya”, “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”,
“Di Tengah Sawah”, “Djandji Anak-anakku”, dan “Tanggul”.
Penelitian ini sendiri diawali dengan mengumpulkan data, yakni cerpen-cerpen dalam
Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974. Cerpen-cerpen tersebut, yang disebut
sebagai data primer, kemudian ditelaah secara tematik. Penelaahan secara tematik tersebut
memungkinkan penulis untuk menganalisis data tersebut dengan metode struktural (intrinsik)
dan sosiologis (ekstrinsik). Selanjutnya, tujuh cerpen yang menjadi sampel akan ditelaah lebih
mendalam dengan menitikberatkan pada penggunaan pendekatan sosiologis. Selain itu,
penelitian ini juga akan sedikit mengulas perjalanan Pandji Masjarakat serta kolom
kesusastraannya, yang merupakan konteks yang mungkin mempunyai pengaruh pada cerpen-
cerpen yang diteliti. Dari langkah-langkah itu, penulis akan mendapatkan sebuah kesimpulan
yang dapat dijadikan sebagai pengetahuan baru dalam perkembangan kesusastraan Indonesia,
terutama kesusastraan yang diterbitkan lewat media, seperti koran dan majalah.
4. Pandji Masjarakat dan Kesusastraan
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Pandji Masjarakat terbit di tahun 1959 dan
sempat dibredel pada tahun 1960 karena memuat artikel Moh. Hatta yang berjudul
“Demokrasi Kita”. Majalah ini kemudian terbit kembali tahun 1966 hingga tahun 2003.
Selama itu, Pandji Masjarakat terus menghadapi situasi yang berbeda, juga berganti struktur
keredaksian dan semboyan.
Oleh karena itu, di bawah ini penulis akan memaparkan profil Pandji Masjarakat
tahun 1959—1960 dan 1966—19744 beserta dengan perkembangan rubrik sastra dan
pemuatan karya di dalamnya.
4.1 Profil Pandji Masjarakat 1959—1960 dan 1966—1974
Pada tanggal 15 Juni 1959, didirikanlah sebuah majalah berbasis Islam yang dinamai
Pandji Masjarakat. Majalah ini berdiri atas prakarsa Moh. Faqih Usman, Hamka, Jusuf
Abdullah Puar, dan M. Jusuf Ahmad.5 Keempat pemrakarsa majalah ini sejatinya merupakan
4 Pembatasan ruang lingkup waktu tersebut disebabkan penelitian ini, seperti yang dipaparkan
sebelumnya, hanya berfokus pada Pandji Masjarakat yang terbit tahun 1959—1974, yang pada saat itu masih bersemboyan “penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”.
5 Keempat pemrakarsa majalah Pandji Masjarakat ini kemudian duduk sebagai pengurus inti dalam keredaksian majalah ini. Moh. Faqih Usman duduk sebagai pemimpin umum, Hamka dan Jusuf Abdullah Puar duduk sebagai pemimpin redaksi, dan M Jusuf Ahmad duduk sebagai pemimpin usaha. Namun, pada edisi majalah yang ke-12, Jusuf Abdullah Puar mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi. Karena itu, dari edisi majalah yang ke-13 hingga ke-33, Hamka duduk sendiri sebagai pemimpin redaksi.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
8
sekumpulan teman lama yang pernah menerbitkan majalah-majalah Islam yang cukup
populer, yakni majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat. Karena itu, dengan
diterbitkannya majalah ini, mereka seolah membangun kembali cita-cita mereka sebagai
manusia yang mencintai kebudayaan dan pengetahuan yang berasaskan Islam.
Majalah yang juga dikenal dengan Pandjimas ini dapat dikatakan berorientasi pada
organisasi Muhammadiyah. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendiri majalah ini, yang
merupakan orang-orang yang menjadi pimpinan majalah Pandji Islam dan Pedoman
Masjarakat. Hal itu dilandaskan para pendapat Abdurrachman Surjomihardjo yang
menyebutkan bahwa majalah Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat merupakan majalah
yang membawa suara Muhammadiyah (1980: 80).
Orientasi pada organisasi Muhammadiyah membuat majalah ini juga memiliki
pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri
merupakan organisasi sosial-kemasyarakatan Islam yang modernis (Sjadzali, 2001: 3). Islam
modernis dapat diartikan sebagai Islam yang lebih rasional atau tidak akliah (2001: 155).
Sebagai organisasi Islam modernis, Muhammadiyah mengembangkan etos atau sikap tajdid
(pembaruan, reformasi, dan purifikasi). Selain itu, Muhammadiyah juga senantiasa kukuh
mempertahankan identitas sebagai gerakan Islam dan dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
juga mendasarkan pandangan pada Al-quran dan Sunah (Baraas, dkk, 2000:32—33).
Pandangan Pandji Masjarakat yang selaras dengan pandangan Muhammadiyah
tersebut sebenarnya cukup tercermin pada semboyannya sebagai “penyebar kebudayaan dan
pengetahuan untuk perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”. Dengan semboyan tersebut,
majalah ini berusaha menyajikan artikel-artikel yang oleh Moh. Faqih Usman disebut artikel
bermuatan gerakan “tajdid”6 dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan. Oleh karena itu,
majalah Pandji Masjarakat ini berusaha melihat segala sesuatu dari bidang pengetahuan dan
kebudayaan. Kalaupun ada pemuatan artikel-artikel yang berbicara mengenai kenegaraan, itu
akan dilihat dari segi yang menjadi bidangnya, yakni pengetahuan dan kebudayaan (Usman,
1960: 3).
Pemuatan artikel-artikel yang berdasarkan pandangan tajdid itu dapat dilihat dari
beberapa artikel, seperti “Orthodox dan Modernisasi” karya Hamka, “Perbandingan Alam
Pikiran Islam Moderen di Indonesia dan Mesir” karya A. Mukti Ali, dan “Islam Mentjapai
6 Gerakan tajdid merupakan gerakan pembaruan dalam kalangan umat Islam yang berhaluan modern yang kemudian membawa gerakan-gerakan kemerdekaan dan kemajuan hidup (Usman, 1960: 3). Gerakan tajdid ini tentunya selaras dengan gerakan tajdid yang disuarakan Muhammadiyah, yakni yang membawa pembaruan, reformasi, dan purifikasi.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
9
Masjarakat Bahagia”. Artikel-artikel tersebut merupakan artikel yang membawa semangat
kebaruan dalam pemikiran Islam.
Selain artikel-artikel tersebut, terdapat pula beberapa artikel yang secara langsung
maupun tidak langsung turut mengkritik keadaan zaman itu, seperti “Dasar Parlementer dan
Demokrasi dalam Islam” karya Wiranta Koesoemah, “Tantangan dan Djawaban” karya Ali
Audah, dan “Machiavellisme dan Khaldounisme” karya Amir Ma’sum. Namun dari seluruh
artikel yang menyuarakan aspirasinya tentang kehidupan sosial-politik saat itu, artikel karya
Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” lah yang paling disorot pemerintah. Artikel ini
menyoroti pemerintahan Soekarno yang dianggap “diktator” dan “krisis” (Hatta, 1960: 3).
Sikap oposisi dari artikel yang dimuat oleh Muhammad Hatta ini, serta beberapa artikel yang
bernada subversif, membuat Pandji Masjarakat kemudian dibredel di akhir tahun 1960.
Selepas runtuhnya Orde Lama bersamaan dengan Gestapu, Orde Baru didirikan.
Penpres no. 6/1963 dicabut secara resmi dan digantikan dengan UU No. 11/1966
(Surjomihardjo, 1980: 150—151). Dicabutnya Penpres no. 6/1963 tersebut membuat beberapa
surat kabar yang sempat dibredel dapat terbit kembali, salah satunya Pandji Masjarakat.
Majalah Pandji Masjarakat terbit kembali, setelah dibredel di penghujung tahun 1960,
pada tanggal 1 Oktober 1966 dengan Surat Ijin Terbit (SIT) No. 0487/SK/Dirdjen
PPG/SIT/1966. Sebelum itu, Hamka, M. Jusuf Ahmad, Syafril Umar Ali, Hasjim St.
Pamenan, dan Rusjdi Hamka mendirikan Yayasan Nurul Islam sebagai badan hukum penerbit
majalah Pandji Masjarakat (Noorsy, 1993: 44). Struktur keredaksian mengalami sedikit
perubahan. Mesipun begitu, visi, semboyan, dan ideologi majalah ini tetap sama.
Semenjak Orde Lama runtuh, suara-suara lantang yang dikeluarkan sebagai kritik
terhadap Orde Lama banyak dimuat di majalah ini. Salah satunya adalah artikel “Orde Baru
dan Orde Lama” karya Sumarsono. Artikel tersebut menyuarakan betapa bobroknya sistem
yang ada dalam Orde Lama. Selain itu, artikel tersebut juga menyatakan bahwa Orde Lama
merupakan bentuk dari berbagai penyelewengan baik sosial, politik, maupun ekonomi
(Sumarsono, 1966: 26). Berkebalikan dengan sikapnya terhadap pemerintahan Orde Lama,
pada awal terbit kembali, Pandji Masjarakat dan majalah-majalah Islam lainnya menyatakan
harapan besarnya pada Orde Baru. Dalam artikel yang berjudul “Madjalah Islam dan Orde
Baru” disebutkan bahwa dengan ditumbangkannya Orde Lama dan dibentuknya Orde Baru,
kebebasan berpendapat dapat dijunjung tinggi dan tidak ada tali pengekang lagi yang dapat
membredel majalah Islam (Sumarsono, 1967: 18—19). Meskipun tidak terus menerus
memuji-muji Orde Baru, Pandji Masjarakat hingga terbit tahun 1974, tidak pernah
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
10
menyatakan kritik-kritik dan pernyataan yang ofensif dan subversif terhadap Orde Baru.
Karena itu, majalah ini dapat terus bertahan di antara berbagai majalah yang satu persatu
dibredel pada awal tahun 1974.
4.2 Rubrik Sastra Majalah Pandji Masjarakat Tahun 1959—1960 dan 1966—1974
Sebagai majalah yang bergerak dalam bidang kebudayaan dan pengetahuan Islam,
majalah Pandji Masjarakat juga mempunyai rubrik yang memuat karya-karya sastra. Rubrik
sastra tersebut, selama periode 1959—1960 dan 1966—1974, tidak ditampilkan secara
konsisten dan sering berubah-ubah namanya. Pada awalnya rubrik sastra tersebut tampil
dengan nama “Bahasa dan Sastera”, kemudian berubah menjadi “Sadjak-sadjak Kebangkitan
Angkatan 1966” pada tahun 1966, kemudian berubah lagi menjadi “Lembaran Seni dan
Budaja”, hingga terakhir menjadi “Lembaran Sastra dan Seni”. Meskipun sering berubah-
ubah, rubrik sastra tersebut telah banyak menerbitkan berbagai bentuk karya sastra seperti
puisi, prosa, maupun drama. Tidak hanya itu, Rubrik sastra dalam majalah ini juga telah
banyak menampilkan pengarang-pengarang dan penyair-penyair baru yang tidak pernah
tercatat dalam catatan H.B. Jassin, seperti Ndang Adi Nusantara, Saiful Huda, Sutadyananta,
dan Abdulhafiz Rafie.
Rubrik sastra majalah Pandji Masjarakat ini menampilkan puisi, prosa dan drama
dengan intensitas yang berbeda-beda. Puisi menjadi genre sastra yang paling banyak
diterbitkan oleh majalah ini. Sejak tahun 1959 hingga tahun 1974, lebih dari dua ratus puisi
telah diterbitkan dalam rubrik sastra majalah ini. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah
yang tidak dapat ditemukan oleh penulis. Puisi-puisi yang diterbitkan oleh majalah Pandji
Masjarakat ini lebih banyak didominasi oleh penyair-penyair baru, seperti Hasyim K.S.,
Muhammad Bilal, Ndang Adi Nusantara, Slamet Rahardjo Rais, Basriyan, dan Badruzzaman
Busyairi. Akan tetapi, penyair-penyair yang sudah lebih dulu dikenal, seperti Taufik Ismail,
Bur Rasuanto, Marwan Saridjo, dan M. Saribi Afn juga tidak jarang muncul.
Berbeda dengan puisi, penerbitan prosa dalam rubrik sastra majalah Pandji
Masjarakat cenderung lebih sedikit. Selama periode 1959 hingga 1974, penulis hanya
menemukan empat puluh buah prosa yang terdiri dari satu fragmen dan 39 cerpen. Dalam hal
pemunculan nama-nama pengarangnya, prosa juga beberapa kali memunculkan nama-nama
baru seperti Abdulhafiz Rafie, Nasiv H.A., Moechith Ilham, dan M. Rasjid Nur. Akan tetapi,
pengarang-pengarang yang lebih dikenal seperti Djamil Suherman, B. Sularto, M. Saribi Afn,
Marwan Saridjo, dan Junus Mukri Adi juga sering ditampilkan karya-karyanya.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
11
Jika penerbitan puisi mencapai angka lebih dari dua ratus dan prosa mencapai empat
puluh buah, penerbitan drama jauh lebih sedikit. Selama periode 1959 hingga 1974, penulis
hanya menemukan tujuh drama. Ketujuh Drama itu pun didominasi oleh nama-nama yang
telah dikenal di kancah kesusastraan Indonesia, seperti Djamil Suherman, Taufik Ismail, dan
Mohammad Saribi.
5. Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun
1959—1960 dan 1966—1974 Seperti telah disebutkan dalam pendahuluan, karya-karya sastra majalah Pandji
Masjarakat sebagian memiliki kecenderungan merespon keadaan zaman. Namun, karena
penulis hanya berfokus pada karya sastra yang berbentuk cerpen, dalam subbab ini, penulis
akan memaparkan kecenderungan tematik cerpen-cerpen Pandji Masjarakat dan tendensi
tema sosial-politik cerpen-cerpen majalah tersebut tahun 1959—1960 dan 1966—1974.
5.1 Kecenderungan Tematik Cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—
1960 dan 1966—1974
Pandji Masjarakat, seperti telah disebutkan, selama periode tahun 191959—1960 dan
1966—1974, mengusung semboyan “penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk
perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”. Semboyan itu merupakan semboyan yang oleh
M. Faqih Usman disebut beraroma tajdid yang khas dengan Islam Modernis. Semboyan yang
bernada tajdid tersebut secara tidak langsung mempengaruhi ideologi majalah Pandji
Masjarakat. Ideologi itulah yang secara tidak langsung juga mempengaruhi isi majalah
tersebut, termasuk cerpen-cerpen di dalamnya. Oleh karena itu, tema cerpen-cerpen majalah
Pandji Masjarakat ini tentu tidak akan menyimpang dari ideologi Islam yang modernis.
Dalam lingkup tahun 1959—1960, Pandji Masjarakat memiliki cerpen-cerpen yang
didominasi oleh tema-tema keagamaan dan ketuhanan. Sementara itu, semenjak terbit
kembali pada tahun 1966 hingga tahun 1974, tema-tema yang ditampilkan oleh cerpen-cerpen
Pandji Masjarakat lebih beragam, walaupun cara penyajian ceritanya masih banyak yang
dibalut dengan kehidupan keagamaan. Secara keseluruhan, tema yang muncul pada cerpen-
cerpen majalah Pandji Masjarakat dari tahun 1959—1960 dan 1966—1974 dapat diuraikan
menjadi tema keagamaan, modernisasi, eksistensialisme, kehidupan keluarga (domestik),
pergolakan zaman perjuangan, dan sosial-politik.7
7 Dalam penggolongan tema ini, dapat dimungkinkan sebuah cerpen memiliki dua tema yang berbeda.
Karena itu, dalam pembahasan kecenderungan tematis ini, sebuah cerpen bisa saja dimasukkan atau digolongkan
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
12
Kecenderungan tematik yang ada dalam cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat
tahun 1959—1960 dan 1966—1974 dapat dilihat dalam poin-poin berikut.
a. Tema keagamaan merupakan tema yang paling dominan dalam cerpen-cerpen majalah
Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974. Tema keagamaan yang
muncul dalam cerpen-cerpen majalah tersebut memiliki bentuk penyajian cerita yang
berbeda-beda. Umumnya bentuk cerita yang bertema keagamaan memiliki balutan
keagamaan yang kental dengan menempatkan latar serta watak tokoh yang religius
ataupun Islami. Cerpen-cerpen yang memiliki kecenderungan tersebut di antaranya
“Kebaktian Anak” karya Moechith Ilham, “Awal Sekolah Mengadji” karya Piek
Ardijanto Suprijadi, dan “Kesunyian Mendjelang Ashar” karya Djamil Suherman.
Akan tetapi, terdapat pula tema keagamaan yang menyajikan atau memposisikan hal-
hal berbau keagamaan sebagai pemecah masalah. Cerpen-cerpen yang memiliki
kecenderungan seperti itu di antaranya “Putri Zulecha” karya Junus Mukri Adi “Gadis
Pembawa Puisi” karya Nurcholis Huda, dan “Sebuah Tas Hitam” karya A.G Mustopa.
b. Tema Modernisasi dalam cerpen-cerpen Pandji Masjarakat merupakan tema yang
menonjolkan perbedaan antara modern dan tradisional. Perbedaan modern dan
tradisional itu ditonjolkan melalui penokohan dengan memperlihatkan adanya dialog
antara watak tokoh yang mempunyai pola pikir tradisional dan pola pikir modern. Hal
tersebut dapat dilihat dalam cerpen “Ketjemburuan Orang Tua” karya Usman Al
Hudawy dan “Bang Sikur Berpesta Pora” karya Abdulhafiz Rafie. Namun, tema
modernisasi juga ada yang ditampilkan dalam bentuk penyalahartian pemikiran
modern, seperti yang ditunjukkan oleh cerpen “Hostess” karya Abdulhafiz Rafie.
c. Tema eksistensialisme merupakan tema yang menyoal tentang keberadaan manusia
atau Tuhannya. Dalam cerpen-cerpen Pandji Masjarakat ini, tema Eksistensialisme
disajikan dalam bentuk dialog. Dialog antara pandangan yang materiil dan pandangan
yang religius. Hal tersebut dapat dilihat melalui cerpen “mentjari Kebenaran” karya Ki
Agus Soeryo.
ke dalam dua subtema yang berbeda. Meskipun demikian, sebuah cerpen tetap mempunyai tema utama atau gagasan yang menonjol sehingga dalam hal ini penulis mempunyai alasan tersendiri untuk memasukkan sebuah cerpen dalam subtema tertentu. Misalnya, cerpen “Djandji Anak-anakku” adalah cerpen yang menyajikan cerita tentang kehidupan domestik, tetapi karena dalam cerpen terdapat gagasan sosial-politik yang cukup kuat, penulis memasukkan cerpen tersebut dalam tema sosial-politik.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
13
d. Tema kehidupan keluarga (domestik) merupakan tema yang menunjukkan kehidupan
berkeluarga dan beberapa masalah di dalamnya. Dalam cerpen-cerpen majalah Pandji
Masjarakat ini, tema kehidupan keluarga menyajikan tokoh yang mengalami konflik
di dalam lingkup keluarganya. Hal tersebut dapat dilihat dalam cerpen “Buah-buah
pertama” dan “Kita Akan Mendapatkan Tanah Itu”
e. Tema pergolakan Zaman Perjuangan dalam cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat
merupakan tema yang menyoroti kehidupan zaman penjajahan maupun zaman
revolusi, ketika Indonesia masih berjuang mendapatkan kemerdekaannya. Tema
seperti itu terdapat dalam cerpen “Guru Mengaji Kami” karya Moechith Ilham dan
“Tahun 2603” karya Nasiv H.A.
f. Tema sosial-politik dalam hal ini penulis maksudkan sebagai gagasan yang berkenaan
dengan masalah sosial yang mempunyai hubungan erat dengan masalah politik. Dalam
cerpen-cerpen majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974,
terdapat tujuh cerpen yang mengindikasikan bertema sosial-politik, yakni “Turunnja
Sebuah Ilham”, “Dia dan Kemauannya”, “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”, “Di
Tengah Sawah”, “Djandji Anak-anakku”, dan “Tanggul”.
5.2 Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun
1959—1960
Setelah melakukan penelaahan secara tematik terhadap semua cerpen yang dimuat
dalam majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 dan 1966—1974, penulis mengambil
sampel tujuh cerpen yang bertema sosial-politik sebagai sejumlah cerpen yang menyuarakan
respon terhadap keadaan zamaannya. Dari ketujuh cerpen yang bertema sosial-politik, dua
diantaranya diterbitkan pada majalah Pandji Masjarakat tahun 1959—1960, yakni cerpen
“Turunnja Sebuah Ilham” karya Djamil Suherman dan “Dia dan Kemauannja” karya M.
Rasjid Nur”.
Cerpen-cerpen bertema sosial-politik pada Pandji Masjarakat tahun 1959—1960 ini
menampilkan kritik atau gagasan sosial-politiknya secara halus. Kedua cerpen tersebut
mencoba menampilkan kritik terhadap keadaan sosial-politik zamannya melalui pelukisan
latar sosial dari tokoh-tokohnya, yakni kehidupan sosial yang serba susah. Meskipun
demikian, kritik atau gagasan itu dibalut dengan warna dan pesan religius yang cukup kental.
Konflik yang ditampilkan juga lebih menyoroti dialog antara tokoh utama dengan keluarga
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
14
mereka maupun dirinya sendiri yang mempermasalahkan hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan keluarga mereka.
Hal tersebut dapat dilihat dalam deskripsi maupun dialog yang ditampilkan dalam
kedua cerpen tersebut. Misalnya saja, pada cerpen “Turunnja Sebuah Ilham”, terdapat
gagasan sosial-politik yang ditunjukkan melalui deskripsi atau penokohan Hafid sebagai
seorang pengarang yang serba kekurangan. Deskripsi tersebut mengandung suasana yang
religius karena adanya latar maupun watak tokoh itu sendiri yang menunjukkan hal-hal
bernuansa keagamaan. Deskripsi tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Ia tahu Hafidah, Isterinja sedang hamil tua, dan ia dapat mengirakan mendjelang idulfitri nanti sang baji bakal lahir. Ini berarti ia bakal djadi seorang bapak dari empat anak. Tentu sadja hadirnja hamba Allah itu akan memerlukan banjak uang untuk ongkos dukun dan djamu2, disamping, (ah, ini beban lagi), hari lebaran, jang mau takmau seorang kampung ia mesti dapat menjesuaikan dirinja (Suherman, 1960: 31).
Kutipan tersebut merupakan deskripsi isi pikiran Hafid yang sedang memikirkan
kondisi keluarganya. Hafidah adalah istri Hafid yang sebentar lagi akan melahirkan anak
keempat mereka. Karena itu, Hafid membutuhkan biaya untuk ongkos dukun maupun obat-
obatan (jamu). Dari kutipan kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa Hafid memiliki
masalah dengan keadaan ekonomi keluarganya. Masalah ekonomi tersebut sangat
membebaninya. Kutipan tersebut seolah mengisyaratkan sebuah kritik terhadap pemerintahan
Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Pada saat itu, keadaan ekonomi Indonesia sedang
memburuk. Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya, Sejarah Nasional Indonesia, mengatakan
bahwa sejak periode Demokrasi Terpimpin keadaan neraca perdagangan Indonesia belum
menampakkan suatu kemajuan, malahan telah menunjukkan perkembangan yang lebih
memburuk. Akibatnya, indeks biaya hidup menunjukkan perkembangan yang semakin
menaik (1975: 109).
Pada cerpen “Dia dan Kemauannja”, pesan dan kritik sosial-politik terhadap zamannya
juga masih terlihat dalam deskripsi keadaan sosial masyarakatnya yang serba kekurangan.
Akan tetapi, dalam cerpen ini, sisi religiositas cerpennya ditunjukkan oleh penokohan Nana
yang senantiasa tabah, sabar, dan terus berada di jalan Tuhan. Hal itu dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
15
Seminggu lamanja dia tidak pulang2. Berkirim wangpun dia tidak. Isterinja selalu meratap tanpa air mata lagi—membudjuk ketiga anaknja jang telah berlatih dalam kepahitan hidup.
Sekali malam hudjan turun lebat. Beras jang dapat dipindjam dari tetangga hanja tjukup makan untuk seorang anaknja. Ismed anaknja jang sulung, batuknja semakin mendjadi. Malam jang hanja digendangi runtuhan hudjan pada atap, mengetjilkan batuk Ismed jang beruntun2 (Nur, 1960: 26).
Kutipan tersebut memperlihatkan kepahitan Nana dan anak-anaknya ketika ditinggal
Irwan ke luar kota. Dari kutipan tersebut disebutkan bahwa Irwan sama sekali tidak
mengirimkan uang. Dengan demikian, Nana tidak bisa mengharapkan materi apa pun dari
suaminya. Ia harus meminjam beras ke tetangga untuk memenuhi kebutuhannya. Ia juga harus
menenangkan anak-anaknya, termasuk Ismed, anaknya yang sakit. Deskripsi yang
menyebutkan bahwa beras yang dipinjam dari tetangganya hanya cukup untuk makan satu
anaknya mengisyaratkan sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan pada tokoh Nana dan
anaknya. Kondisi kemiskinan seperti ini seolah mengkritik pemerintahan yang tidak mampu
mengatasi masalah kemiskinan. Hal tersebut didasarkan pada pernyataan Hamka dalam rubrik
“dari hati ke hati” yang terbit pada Pandji Masjarakat nomor 3 tahun 1966. Ia mengatakan
pada masa itu, Orde Lama, banyak rakyat yang disuruh makan batu, sedangkan para pejabat
makan roti, mentega, keju, dan kemewahan lainnya (1966: 4).
5.3 Tema Sosial-politik dalam Sejumlah Cerpen Majalah Pandji Masjarakat Tahun
1966—1974
Jika dua cerpen bertemakan sosial-politik yang terbit pada Pandji Masjarakat tahun
1959—1960 cenderung menampilkan kritik lebih tersirat, empat cerpen bertema sosial-politik
pada Pandji Masjarakat tahun 1966—1974 seperti “Laporan Pertama”, “Ia Selalu Senjum”,
“Di Tengah Sawah”, dan “Tanggul” berkecenderungan menampilkan kritik atau gagasan
sosial-politiknya secara lebih terbuka atau gamblang. Gagasan-gagasan mengenai
permasalahan sosial-politik ditampilkan sebagai konflik dan ide utama dari cerpen tersebut.
Walaupun demikian, ada satu cerpen, yakni “Djandji Anak-anakku” yang menampilkan
kritiknya secara lebih halus, dengan menampilkan gagasan itu dibalik permasalahan domestik.
Contoh salah satu cerpen yang cukup gamblang menampilkan kritiknya adalah cerpen
“Ia Selalu Senjum” karya B. Sularto. Cerpen ini cukup unik. Cerpen ini merupakan satu-
satunya cerpen yang ditemukan penulis dalam majalah Pandji Masjarakat sebagai cerpen
yang mempunyai catatan kaki di akhir cerpennya. Catatan kaki tersebut berbunyi seperti
berikut.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
16
Tjerpen ini adalah kritik terhadap regime demokrasi-terpimpin jang setjara paksa terus-menerus memeras kekajaan rakjat, membikin berantakan perekonomian rakjat. Dan memaksa pengorbanan rakjat terus menerus dengan dalih “demi revolusi jang belum selesai” dan demi tertjapainja masjarakat sosialis NASAKOM, jang hakikatnja suatu praktek politik-sosial menurut konsepsi PKI. Tjerpen ini dimasa pra-gestapu, tidak mungkin bisa dipublikasi. Ditjipta pada tahun 1960 (Pandji Masjarakat edisi 15/I/Mei 1967).
Dari kutipan catatan kaki tersebut, cerpen ini jelas sekali diterbitkan untuk mengkritik
keadaan pada zaman Orde Lama. Catatan kaki ini seolah dibuat untuk menegaskan pesan-
pesan yang ingin disampaikan dalam cerpen. Hal tersebut jelas merupakan salah satu upaya
dari redaksi Pandji Masjarakat untuk turut mengkritik keadaan Orde Lama, meskipun
sebenarnya keberadaan catatan kaki tersebut hanya akan mengurangi nilai kesastraan dari
karya tersebut.
Sementara itu, cerpen itu sendiri menceritakan keadaan mbah Blantik yang terus
menderita karena kebijakan pemerintah. Mbah Blantik diceritakan harus bersabar karena
“Sang Gajah” dan “Sang Macan” ditarik dari peredaran. Berikut kutipan fragmen yang
menceritakan hal tersebut.
Di suatu tengah-hari sebuah pengumuman menjendatkan sjarap-sjarap sjantungnja pada ketegangan. Pengumuman bahwa Sang Gadjah dan Sang Matjan dibantai angka nolnja jang terahir, masing-masing dikebiri nilainja. Dan berpuluh lembar djenis kedua hewan jang tersimpan dalam peti-besinja tidak luput dari pembantaian.
-Kenapa musti ada tindakan begitu? Tanjanja pada pak Lurah, sobat baiknja. -Maksud Pemerintah tidak lain ialah untuk mentjegah merosotnja nilai uang
kita, untuk mentjegah in-plasi. Djadi demi eh demi keselamatan perekonomian rakjat dan Negara dari bentjana itu, pemerinth terpaksa mengambil tindakan mengebiri Sang Gadjah dan Sang Matjan (Sularto, 1967: 25).
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Mbah Blantik merasakan sesuatu yang
membuatnya resah, yakni pengebirian nilai “Sang Gadjah” dan “Sang Matjan”. “Sang
Gadjah” dan “Sang Matjan” dalam cerpen ini tentu bukanlah seekor gajah maupun macan
atau harimau asli. “Sang Gadjah” dan “Sang Matjan”, yang dalam catatan kaki juga
dijelaskan, merupakan mata uang yang memiliki nominal seribu rupiah dan lima ratus rupiah.
Kemudian, pengebirian yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah pemotongan nilai
angkanya (devaluasi).
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
17
Jika fragmen tersebut ditinjau secara sosiologis, fragmen cerita tersebut dapat
dikatakan sebagai sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah saat itu yang mendevaluasi
beberapa nilai mata uang. Hal tersebut dikatakan Sartono Kartodirdjo, dalam bukunya Sejarah
Nasional Indonesia jilid VI, sebagai berikut.
Pada tanggal 24 Agustus 1959 pemerintah mengadakan serangkaian tindakan di bidang ekonomi dan keuangan. Uang kertas yang bernilai Rp. 500,- didevaluasi menjadi Rp. 50,- dan yang bernilai Rp. 1000,- dihapuskan menjadi Rp. 100,-. Semua simpanan dalam bank yang melebihi Rp. 25.000 dibekukan, Bukti Export (BE) dihapuskan dan diganti dengan pungutan export dan pungutan import, serta penilaian kembali bilai rupiah denga valuta asing (Kartodirdjo, 1975: 231).
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah di era Demokrasi Terpimpin
melakukan sejumlah kebijakan ekonomi dengan cara mendevaluasi mata uang yang
bernominal seribu rupiah dan lima ratus rupiah menjadi seratus rupiah dan lima puluh rupiah.
Selain itu, jumlah tabungan yang melebihi Rp25.000,00 dibekukan. Hal ini tentunya akan
meresahkan dan menyusahkan kehidupan orang kecil (proletar) yang dalam cerpen ini
disimbolkan oleh Mbah Blantik.
Sementara itu, cerpen “Djandji Anak-anakku” merupakan cerpen yang masih
menyampaikan kritik secara halus walaupun cerpen tersebut diterbitkan setelah Orde Lama
runtuh. Cerita ini memang lebih menyoroti kehidupan keluarga, tetapi dalam beberapa
dekripsi dan dialog cerita tersebut tersirat sebuah pesan sosial-politik yang bisa saja dimaknai
sebagai sebuah kritik terhadap pemerintahan yang pernah ada pada zaman itu. Misalnya saja
pada kutipan berikut.
Pada suatu hari, terpaksa aku harus menghadapi mereka. Ketika itu siibu sedang bepergian, dan pemerintahan ruamahtangga diserahkan padaku. Rupanja mereka atjuh tak atjuh menerima keputusan ini. Si A jang menganggap aku sebagai diktator enggan bitjara, dan si T jang kasar itu melihatku seperti melihat lawan partainja.
Belum lagi sedjam aku pegang pemerintahan, suatu huru-hara terdjadi. Si W, laki2 dan sudah duduk di SMP mau menang sendiri dengan adik2nja. (Suherman, 1970: 25)
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa sosok ayah yang memegang tanggung jawab
atas anak-anaknya, dalam cerpen ini, diibaratkan sebagai seorang pemerintah yang sedang
mengemban pemerintahan atas negara dan warganya. Hal tersebut dapat dilihat dari
penggunaan kata-kata “pemerintahan”, “diktator”, ataupun “partai”. Digunakannya kata-kata
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
18
tersebut oleh pengarang seolah menyiratkan sebuah pesan bahwa pemerintahan, baik dalam
keluarga maupun institusi yang lebih besar seperti negara, memiliki inti yang hampir sama.
Inti dari pemerintahan itu sendiri tentunya tidak lepas dari sesuatu yang telah disebutkan
dalam kutipan sebelumnya, yakni prinsip keadilan dan asas demokrasi (menyesuaikan pikiran
anak atau warga) yang dijunjung oleh pemerintah yang menjabatnya.
6. Kesimpulan
Pandji Masjarakat merupakan majalah pengetahuan dan kebudayaan yang berbasis
Islam. Majalah ini diterbitkan pada 15 Juni 1959 dan sempat dibredel akhir tahun 1960 karena
memuat artikel karya Moh. Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita”. Majalah ini kemudian
kembali terbit pada tahun 1966 setelah keruntuhan Orde Lama. Majalah ini terus terbit hingga
tahun 2003. Setelah majalah ini terbit kembali pada tahun 1966, majalah ini berani
menyuarakan aspirasinya dengan lebih gamblang, termasuk kritik-kritiknya terhadap
pemerintahan Orde Lama.
Majalah Pandji Masjarakat ini, selama terbit tahun 1959—1960 dan 1966—1970,
mengusung semboyan “penyebar kebudayaan dan pengetahuan untuk perjuangan reformasi
dan modernisasi Islam”. Semboyan tersebut tidak terlepas dari pengaruh Ideologi
Muhammadiyah yang mengusung gerakan tajdid. Semboyan dan ideologi tersebut
berpengaruh terhadap berbagai jenis rubrik dan tulisan di majalah Pandji Masjarakat ini,
termasuk karya sastra di dalamnya. Oleh karena itu, tema-tema yang muncul dalam karya
sastra majalah ini, khususnya cerpen, juga memiliki keterkaitan dengan ideologi gerakan
tajdid tersebut.
Cerpen-cerpen majalah ini sendiri sebagian besar bertemakan keagamaan. Akan tetapi,
tema-tema seperti eksistensialisme, modernisasi, kehidupan domestik, pergolakan zaman
perjuangan, maupun sosial-politik juga muncul.
Rekam jejak majalah ini yang pernah dibredel dan bersinggungan dengan isu sosial-
politik di Indonesia ternyata memiliki pengaruh terhadap karya-karya sastra, khususnya
cerpen, yang dimuatnya. Selama majalah ini terbit, terdapat sejumlah cerpen yang turut
menyuarakan kritik terhadap kedaan zaman waktu itu. Cerpen-cerpen tersebut antara lain,
“Turunnja Sebuah Ilham”, “Dia dan Kemauannya”, “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”,
“Di Tengah Sawah”, “Djandji Anak-anakku”, dan “Tanggul”. Cerpen yang terbit pada tahun
1959—1960, yakni “Turunnja Sebuah Ilham”, dan “Dia dan Kemauannya”, memiliki
kecenderungan menyampaikan kritik secara lebih tersirat. Hal tersebut diakibatkan pada saat
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
19
itu kebebasan bersuara dikekang. Semantara itu, cerpen yang terbit pada tahun 1966—1974,
yakni “Ia Selalu Senjum”, “Laporan Pertama”, “Di Tengah Sawah”, dan “Tanggul”,
berkenceduran menyuarakan kritik dengan lebih gamblang, kecuali cerpen “Djandji Anak-
anakku” yang penyampaian kritiknya masih cukup tersirat. Hal tersebut disebabkan pada saat
itu pemerintahan Orde Lama telah runtuh dan Pemerintah Orde Baru belum begitu
mengekang aspirasi pers, sebelum tahun 1974.
Daftar Pustaka:
Ahmad, M. Jusuf. 1960. “Setahun Pandjimas”. Pandji Masjarakat. Ed 25, hlm 5. Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949. “Kata Pengantar Peodjangga Baroe” dalam Kratz, E. Ulrich.
2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Baraas, Ahmad, dkk. 2000. “Mengatasi Tantangan Zaman” dalam Achmad, Nur dan Pramono
U. Tanthowi. (ed). 2000. Muhammadiyah Digugat: Reposisi Di Tengah Indonesia yang Berubah. Jakarta: Kompas.
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum. Hamka. 1966. Pantjasilais Munafik. Pandji Masjarakat. Ed 3, hlm 3—4. ______. 1966. “Pandji Masjarakat Terbit Kembali”. Pandji Masjarakat. Ed 1, hlm 2. Hatta, Mohammad. 1960. “Demokrasi Kita”. Pandji Masjarakat. Ed 22, hlm 3—8. Iskandar, Nur Sutan. 1960. “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia”
dalam Kratz, E. Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Jassin, H.B. 1983. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung. _______. 1994. Koran dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Kartodirdjo, Sartono, dkk. 1975. Sejarah Indonesia Modern Jilid VI. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Mantik, Maria Josephine. 1981. Cerita Pendek Majalah Pujangga Baru. Jakarta: Skripsi
Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Moeljanto, D.S. dan Taufik Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI
dkk. Jakarta: Mizan dan Republika
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014
20
Noorsy, Indi Kurnaini. 1993. Peranan Pers Islam dalam Era Industrialisasi Pers di
Indonesia: Studi Kasus Majalah Amanah dan Pandji Masjarakat. Depok: Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1954. “Situasi 1954, Mythe Kelesuan” dalam Kratz, E. Ulrich. 2000.
Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Puar, Jusuf Abdullah. 1960. Posisi Sastera nan Bernafaskan Ketuhanan: Persadjakan Islam
dalam menghadapi Individualisme, Naturalisma, dan Realisme Proletar. Pandji Masjarakat. Ed. 15, hlm 12—14.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme
hingga Poststrukturalime Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 1964. Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta; Bhratara. Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Terj. Dede Oetomo.
Jakarta: Balai Pustaka. Sjadzali, Munawir. 2001. “Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharu” dalam Maryadi, M.
A. Fattah Santosa. (ed). 2001. Muhammadiyah: Pemberdayaan Umat?. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit CV Alfabeta. Sumarsono. 1966. “Orde Baru Versus Orde Lama”. Pandji Masjarakat. Ed 1, hlm 26—28. ______. 1967. “Madjalah Islam dan Orde Baru”. Pandji Masjarakat. Ed 9, hlm 18—19. Summers, Richard. 1948. Craft of The Short Story. New York: Rinehaart & Company. Inc. Surjomihardjo, Abdurrachman, dkk. 1980. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan Departemen Penerangan RI.
Usman, Moh. Faqih. 1960. “Pandjimas Melangkah Tahun Jang ke Dua”. Pandji Masjarakat.
Ed 25, hlm 3. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Terj. Melanie Budianta.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tema sosial..., Teguh Prasetyo, FIB UI, 2014