tentang hutan

28
4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahun di Indonesia khususnya dimusim kemarau. Hal ini bukan hanya menjadi masalah nasional bangsa tetapi juga telah menjadi masalah dunia, dimana Indonesia hampir secara rutin setiap tahunnya menuai protes dan kecaman dari negara-negara lain terkait kebakaran yang terjadi. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 22/KPTS/DJ-IV/2002 tanggal 13 September 2002 menegaskan bahwa dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah Indonesia yang merupakan daerah rentan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah maka perlu dibentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Dephut, 2003). Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan luas areal gambut yang cukup besar. Adanya kegiatan mega proyek lahan gambut sejuta hektar yang dilakukan pada tahun 1995, ternyata telah menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kawasan gambut ini. Pembukaan lahan yang dilakukan di areal gambut ini menyebabkan daerah ini menjadi rentan terhadap bahaya banjir pada musim penghujan dan bahaya kebakaran pada musim kemarau.

Upload: romualdy-widiyanto

Post on 23-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: tentang hutan

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahun di Indonesia

khususnya dimusim kemarau. Hal ini bukan hanya menjadi masalah nasional

bangsa tetapi juga telah menjadi masalah dunia, dimana Indonesia hampir secara

rutin setiap tahunnya menuai protes dan kecaman dari negara-negara lain terkait

kebakaran yang terjadi.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam Nomor: 22/KPTS/DJ-IV/2002 tanggal 13 September 2002

menegaskan bahwa dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di

beberapa wilayah Indonesia yang merupakan daerah rentan terjadinya bencana

kebakaran hutan dan lahan, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi,

Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah maka perlu dibentuk Brigade

Pengendalian Kebakaran Hutan (Dephut, 2003).

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi terbesar di Indonesia

dengan luas areal gambut yang cukup besar. Adanya kegiatan mega proyek lahan

gambut sejuta hektar yang dilakukan pada tahun 1995, ternyata telah

menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap kawasan gambut ini.

Pembukaan lahan yang dilakukan di areal gambut ini menyebabkan daerah ini

menjadi rentan terhadap bahaya banjir pada musim penghujan dan bahaya

kebakaran pada musim kemarau.

Page 2: tentang hutan

5

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap aspek kehidupan

(Purbawaseso, 2004) yaitu :

1. Dampak terhadap Lingkungan Fisik

Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan fisik mencakup

tanah, air dan udara.

a. Dampak terhadap tanah

Kebakaran akan memberikan dampak terhadap sifat fisik, kimia dan

biologi tanah dengan tahapan yang berbeda tergantung kepada beberapa

faktor, seperti : karakteristik tanah, intensitas dan lamanya kebakaran,

waktu dan intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran serta sifat bahan

bakar (Amril, 2009).

b. Dampak terhadap air

Dampak yang terjadi menyebabkan terganggunya siklus hidrologi.

Hilangnya vegetasi penutup tanah, sehingga mengakibatkan fungsi

penghambat air hujan menurun. Akibat dari aliran permukaan yang besar

menyebabkan meningkatnya erosi dan sedimentasi (Purbawaseso, 2004).

c. Dampak terhadap iklim dan kualitas udara

Hilangnya vegetasi hutan karena terbakar akan menyebabkan

terganggunya iklim baik iklim makro maupun mikro. Dan akibat

kebakaran hutan juga menimbulkan asap, asap tebal yang menyebabkan

menurunnya kualitas udara/Polusi udara (Purbawaseso, 2004).

Page 3: tentang hutan

6

2. Dampak terhadap flora dan fauna

Kebakaran hutan akan memusnahkan berbagai macam jenis tumbuhan yang

merupakan sumber daya alam hayati. Dan juga mengakibatkan hilangnya

tumbuhan obat tradisional bagi masyarakat, dan musnahnya berbagai jenis

satwa liar baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi. Hal ini akan

menambah kelangkaan jenis satwa yang terancam punah, serta hilangnya

sumber mata pencaharian sebagian masyarakat.

3. Dampak terhadap sosial ekonomi dan kesehatan

a. Dampak terhadap sosial ekonomi

Kejadian kebakaran akan berdampak terhadap penurunan pendapatan,

hilangnya rasa keamanan, kebersatuan dan keharmonisan di dalam

masyarakat.

b. Dampak terhadap kesehatan

Kebakaran hutan selalu menimbulkan asap. Bahkan tidak jarang asap yang

muncul merupakan asap yang tebal atau pekat. Asap tebal menyebabkan

polusi udara. Gangguan kesehatan yang sering timbul akibat asap yang

tebal adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Asma bronchial,

bronchitis, radang paru, iritasi mata dan kulit.

Melihat begitu besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh manusia dalam

hal kebakaran hutan dan lahan secara sengaja atau tidak sengaja, maka diperlukan

sikap dan tindakan yang bijaksana dalam segala kegiatan yang berhubungan

dengan “api”.

Page 4: tentang hutan

7

Beberapa upaya penangganan kebakaran hutan (Syaufina, 2009) adalah :

1. Pencegahan Kebakaran Hutan

a. Sistem peringatan dini

Sistem peringatan dini sangat diperlukan baik untuk kegiatan pencegahan

maupun kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Sistem peringatan dini

dikembangkan antara lain melalui penilaian bahaya kebakaran (fire

danger rating system). Ada tiga tingkat upaya pencegahan dan sarana

serta prasarana untu melakukan pemadaman (pra-pemadaman):

1). Tingkat Pusat

a). Mengumpulkan informasi tentang prakiraan awal dan lamanya

musim kemarau diseluruh Indonesia dari Badan Meteorologi dan

Geofisika (BMG), Pusat dan menyebarluaskan informasi

sehingga setiap unit pengelolaan hutan yang ada dapat

mempersiapkan upaya antisipasinya.

b). Melakukan penilaian bahaya kebakaran secara nasional dengan

sistem peringkat bahaya kebakaran (SPBK/FDRS), sehingga

setiap hari dapat diketahui daerah yang rawan kebakaran.

2). Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota

a). Mengumpulkan informasi tentang prakiraan awal dan lamanya

musim kemarau dari kantor BMG setempat dan menyebarluaskan

informasi tersebut ke seluruh unit pengelolaan hutan yang ada di

wilayahnya dan seluruh masyarakat.

Page 5: tentang hutan

8

b). Melakukan penilaian bahaya kebakaran di tingkat

propinsi/kabupaten/kota dengan menggunakan SPBK dan

menyampaikannya secara harian ke setiap unit pengelolaan hutan.

c). Dalam jangka panjang pengembangan sistem peringatan dini

melalui pengembangan sistem-sistem penilaian bahaya kebakaran

lain, selain SPBK.

3). Tingkat Lapangan (unit pengelolaan hutan, daerah operasi dan

sebagainya)

a). Memanfaatkan informasi prakiraan awal dan lamanya musim

kemarau untuk upaya-upaya pencegahan dan persiapan

pemadaman kebakaran hutan.

b). Membuat tanda-tanda atau rambu-rambu atau papan peringatan

bahaya kebakaran hutan sesuai dengan peringkat bahayanya

sehingga dapat diketahui oleh seluruh pegawai, petugas

pemadaman kebakaran hutan dan seluruh masyarakat.

c). Membuat peta resiko kebakaran (fire risk map) melalui survei

lapangan dilokasi-lokasi dimana aktivitas manusia dapat

menimbulkan kebakaran hutan.

d). Memantau kondisi bahan bakar sebagai sumber bahaya (fire

hazard) terutama kadar airnya di daerah-daerah beresiko terjadi

kebakaran.

Page 6: tentang hutan

9

e). Melakukan segala macam aktivitas pencegahan dan persiapan

pemadaman sesuai dengan peringatan bahaya kebakaran yang

terjadi.

b. Penyusunan Rencana Pencegahan

Rencana pencegahan kebakaran hutan perlu disusun setiap tahun yang

secara umum berisi hal-hal sebagai berikut (Syaufina, 2009):

1). Data dasar perencanaan

a). Luas hutan yang harus dilindungi dari kebakaran, dirinci menurut

tipe hutan (hutan daratan, hutan gambut, hutan tanaman) dan

keadaan penutupan hutannya (hutan primer, hutan sekunder,

semak belukar dan sebagainya). Untuk areal HPH dilengkapi

dengan umur tegakan sejak tebang pilih (Logged Over Area) dan

untuk hutan tanaman disertai dengan umur tegakan.

b). Peta kejadian kebakaran

c). Statistik kebakaran hutan yang menguraikan bulan-bulan kejadian

kebakaran, tipe hutan yang terbakar, penyebab kebakaran, luas

areal yang terbakar dan lainnya.

d). Peta resiko kebakaran

e). Peta bahaya bahan bakar

f). Kondisi social ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan

(jumlah penduduk, pendidikan, agama, mata pencaharian, adat

istiadat dan sebagainya).

Page 7: tentang hutan

10

g). Peta-peta tematik lain (peta topografi, peta hidrologi, jaringan

jalan, peta lokasi, menara pengawas kebakaran).

2). Menetapkan tujuan pencegahan kebakaran hutan

3). Menyusun rencana kegiatan pencegahan kebakaran hutan yang

dilaksanakan melalui jalur :

a). Edukatif (pendidikan)

b). Yustisi/penegakan hukum

c). Keteknikan hutan yang mencakup pengelolaan bahan bakar,

tindakan silvikultur, penerapan pemanenan berdampak rendah,

menyusun rencana pemantauan dan evaluasi kegiatan pencegahan

kebakaran hutan.

c. Pelaksanaan pencegahan kebakaran hutan

Pencegahan kebakaran hutan seringkali dapat berhasil dengan memuaskan

apabila dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi metodaa edukatif,

keteknikan dan penegakan hukum. Keberhasilan pencegahan kebakaran

ditentukan oleh :

1). Ketepatan pemilihan program kegiatan yang sesuai dengan sasarannya

2). Ketepatan pemilihan model pendekatan/metode dan penjadwalannya.

3). Sarana, prasarana dan dana yang memadai

4). Jumlah dan kualitas sumber daya manusia sebagai pelaksananya.

2. Pemadaman Kebakaran Hutan

a. Deteksi kebakaran hutan

Page 8: tentang hutan

11

Prinsip pemadaman kebakaran hutan adalah menemukan kebakaran

secara cepat/dini dan kemudian memadamkannya selagi api masih kecil.

Prinsip dasar dalam pemadaman kebakaran hutan adalah :

1). Capailah setiap lokasi kebakaran hutan secepat yang dapat dicapai

dengan selamat. Seranglah dengan kekuatan penuh, sehingga api

mengecil. Jaga hingga dapat dipastikan bahwa api benar-benar mati.

2). Buatlah ilaran lebih cepat dari penjalaran api.

3). Klasifikasi bahan bakar perlu diketahui untuk menentukan kecepatan

menjalar dan ketahanan untuk mengendalikan api.

4). Perencanaan pengendalian kebakaran hutan untuk kondisi kebakaran

yang paling buruk tetap diperlukan.

5). Kondisi-kondisi yang terjadi akibat perkembangan kebakaran hutan

selalu berubah-ubah, oleh karena itu perencanaan pengendalian

kebakaran hutan merupakan proses yang terus menerus dengan

memperhatikan perubahan kondisi yang terjadi, sehingga didapatkan

hasil pemadaman yang lebih baik.

Cara-cara pemantauan/deteksi yang mungkin dapat dilakukan antara lain:

1). Cara deteksi umum

2). Cara deteksi terorganisir

Terdeteksi atau tidak terdeteksinya suatu kebakaran dalam peta sebaran

hotspot tergantung pada dua kemungkinan, yaitu :

1). Dalam keadaan cuaca baik, luas areal terbakar kecil sekali sehingga

temperatur yang dihasilkan masih lebih rendah dari temperatur

Page 9: tentang hutan

12

minimal yang dapat ditangkap oleh satelit NOAA sebagai satu pixel

hotspot.

2). Dalam keadaan cuaca berawan tebal, sehingga satelit NOAA tidak

dapat menangkap atau merekam apapun termasuk areal-areal yang

terbakar yang berada dibawah awan tersebut.

b. Sistem koordinasi dan komunikasi

Sistem koordinasi merupakan hal penting untuk menggalang dukungan

dan kerjasama dalam pemadaman kebakaran hutan. Dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan,

mengamanahkan bahwa dalam rangka mencegah dan membatasi

kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran, maka diperlukan

kegiatan pengendalian yang meliputi pencegahan, pemadaman dan

penanganan dampak pasca kebakaran hutan. Kegiatan pengendalian

kebakaran hutan ini memerlukan koordinasi pada tingkat nasional,

propinsi dan kabupaten/kota.

c. Prosedur mobilisasi

Pemadaman kebakaran hutan dan lahan adalah serangkaian kegiatan yang

ditujukan untuk mematikan api yang membakar hutan dan lahan

(Keputusam Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Nomor 21/KPTS/DJ/IV/2002). Berkaitan dengan upaya pemadaman,

terdapat sejumlah prosedur yang perlu dilakukan oleh setiap elemen

penanganan kebakaran hutan dan lahan, antara lain :

Page 10: tentang hutan

13

1). Deteksi

2). Penanganan pertama

3). Pelaporan

4). Koordinasi dan mobilisasi

5). Kegiatan pra-pemadaman

6). Kegiatan pemadaman

7). Mobiliasai personil, peralatan dan logistik

d. Teknik pemadaman

Pemadaman kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan secara langsung

dan tidak langsung. Apabila tidak terlalu besar dan kondisi panas dan asap

masih memungkinkan untuk regu pemadaman bekerja, maka pemadaman

kebakaran secara langsung dapat dilakukan. Sebaliknya apabila kondisi

api terlalu besar dan akan membahayakan regu pemadam, maka

pemadaman kebakaran secara tidak langsung dilakukan dengan cara

membuat ilaran api berupa jalur yang dibersuhkan dari bahan bakar.

e. Penyelamatan (evakuasi)

Pemadaman kebakaran hutan adalah tugas yang berbahaya dan penuh

resiko. Berikut adalah langkah-langkah strategis tanggap darurat yang

harus dilakukan oleh Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan jajaran

dibawahnya dalam penyelamatan (evakuasi):

1). Mendirikan pos komando dengan perlengkapan yang memadai untuk

dioperasikan.

Page 11: tentang hutan

14

2). Mengkoordinasikan pendirian dan penempatan pos komando dengan

satkorlak setempat dan melengkapi pos komando dengan peralatan

Manggala Agni yang memadai.

3). Menggalang dan menyalurkan bantuan kepada korban yang tepat

sasaran.

4). Menugaskan personil dengan tugas dan kewenangan yang jelas,

rotasikan petugas pada periode tertentu untuk mmenghindari

kejenuhan.

5). Melakukan evakuasi korban bencana segera mungkin dan efektif,

utamakan yang masih hidup dan memerlukan pertolongan segera.

6). Memprioritaskan bantuan terhadap korban yang mengalami luka dan

dalam keadaan yang membahayakan.

7). Mengkoordinasikan penanganan pengungsi dengan instansi terkait

yang ada dilokasi.

8). Dalam memberikan bantuan makanan agar dilaksanakan secepatnya

kepada korban, dan dikoordinasikan dengan instansi lain yang masih

ada dilokasi.

9). Dalam melakukan pencarian orang hilang dilaksanakan bersama

regu lain yang ada dilokasi dengan rencana yang jelas dan

terkoordinasi.

10). Membuka aksesibilitas jalur logistik dan melakukan suplai serta

pendistribusian logistic yang diperlukan.

Page 12: tentang hutan

15

11). Memanfaatkan fasilitas komunikasi MANGGALA AGNI untuk

mendukung Jaringan komunikasi yang terputus.

12). Melakukan pembersihan lokasi yang hancur akibat bencana.

13). Dalam pengelolaan bantuan dilakukan dengan baik dan transparan

antara instansi yang ada dilokasi dan para korban bencana.

3. Penangganan pasca kebakaran hutan

a. Penyebab terjadinya kebakaran hutan

1). Sumber penyebab

Diperkirakan 99 persen terjadinya kebakaran hutan di Indonesia

disebabkan oleh tindakan manusia, baik yang sengaja maupun yang

tidak sengaja atau unsur kelalaian.

2). Pemicu Kebakaran

Ada beberapa pemicu terjadi nya kebakaran hutan dan lahan antara

lain :

a). Kemarau panjang

b). Sumber energi (batubara dan gambut)

c). Perilaku masyarakat/pengusaha

d). Kejadian alam

b. Tingkat keparahan kebakaran dan klasifikasinya

Dalam mempelajari dampak kebakaran hutan dan lahan, perlu dipahami

tingkat keparahan kebakaran (fire severity). Istilah tingkat kekerasan

kebakaran didefinisikan sebagai suatu istilah yang menggambarkan

respon ekosistem terhadap api, dan dapat digunakan untuk menerangkan

Page 13: tentang hutan

16

dampak kebakaran terhadap tanah dan sistem air, ekosistem flora dan

fauna, atsmosfer dan masyarakat.

Tingkat keparahan kebakaran tidak dapat dinyatakan sebagai ukuran

kuantitaif tunggal, tapi merupakan satu set ukuran yang terintegritasi.

Karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan

kebakaran hutan dan lahan yang kompleks dan saling mempengaruhi.

Klasifikasi tingkat keparahan kebakaran juga ditentukan oleh berbagai

faktor, antara lain : kondisi tanah, kondisi vegetasi, dan luaas areal

terbakar.

c. Penyelidikan (investigasi) penyebab kebakaran hutan

Penyelidikan atau investasi dimaksudkan disini adalah melakukan

kegiatan pengumpulan bahan keterangan dan informasi (pulbaket)

terhadap penyebab terjadinya kebakaran hutan.

d. Rehabilitasi areal bekas kebakaran.

Rehabilitasi merupakan upaya pemulihan kondisi hutan. Rehabilitasi

merupakan kelanjutan proses identifikasi dan evaluasi. Pihak yang

melakukan rehabilitasi adalah Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan,

Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan

Hutan dan Pemilik Hutan Hak.

B. Definisi Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan merupakan suatu proses pembakaran yang menyebar

secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput,

humus, ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon

Page 14: tentang hutan

17

besar untuk tingkat terbatas (United Statis Forest Service, 1956) dalam Brown dan

Davis (1973) dalam Heryalianto (2006). kebakaran hutan sifatnya tidak tertekan

dan menyebar secara bebas. Dengan kata lain, kebakaran adalah fenomena alam

yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesis.

Proses Fotosintesis :

CO2 + H2O + Energi matahari ( C6H12O6 ) n + O2

Proses Pembakaran :

(C6H12O6) n + O2 + Kindling temperatur CO2 + H2O + Energi Panas

Segitiga api adalah bentuk sederhana untuk menggambarkan proses

penyalaan api. Di dalam segitiga api tergambarkan 3 (tiga) faktor penyebab

terjadinya penyalaan. Ketiga unsur tersebut (Sumantri, 2007) adalah :

1. Adanya benda yang dapat terbakar (Bahan bakaran)

2. Pemanasan (Sumber panas)

3. Oksigen (di udara kandungan oksigen adalah 21 %, sedangkan apabila di udara

kandungan oksigen kurang dari 15 % maka kondisi ini akan menguntungkan

bagi anggota pemadam).

Oksigen (O2)

API

Bahan Bakar Sumber Panas

Gambar 1. Segitiga Api (Sumantri, 2007)

Page 15: tentang hutan

18

C. Tipe Kebakaran

Tipe kebakaran hutan dan lahan dibagi menjadi 3 (tiga) tipe (Sumantri,

2007), yaitu :

1. Kebakaran Bawah

Tipe kebakaran bawah adalah jenis kebakaran dimana api merayap di

bawah lantai hutan. Kebakaran bawah biasanya ditunjukkan dengan

munculnya asap dari sela-sela lantai hutan. Tipe kebakaran ini biasanya

terjadi pada lahan gambut dan batubara.

2. Kebakaran Permukaan

Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang terjadi di atas

permukaan tanah dan biasanya membakar rerumputan, alang-alang, semak-

belukar, hingga hutan sekunder. Pengaruh cuaca akan berpengaruh langsung

terhadap pengeringan bahan bakar di permukaan, sehingga bahan bakaran

permukaanlah yang pertama kali menyala apabila ada sumber panas.

3. Kebakaran Tajuk

Kebakaran atas atau kebakaran tajuk adalah kebakaran yang berkembang

dari bagian atas pohon yang satu ke tajuk pohon yang lainnya, dan berasal

dari kebakaran permukaan yang menjalar kearah tajuk permukaan pohon.

Dalam tegakan hutan yang rapat pada kondisi tanah yang curam dan dengan

tiupan angin yang cepat, kebakaran tajuk dapat pula menyebabkan kebakaran

permukaan.

Page 16: tentang hutan

19

D. Penyebab dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran

Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan

faktor manusia. Secara alam, kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (misalnya

pinus mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan

monokultur tertentu), bahan-bahan sisa vegetasi (serasah, ranting kering), humus

dan lain-lain (Direktorat Perlindungan Hukum, 1983 dalam Frangky, 1999, dalam

Heryalianto, 2006).

BKSDA Kalimantan Tengah (2002), menyatakan bahwa kebakaran hutan

dapat disebabkan oleh :

1. Gejala alam seperti petir dan gesekan ranting yang kering.

2. Nyala api yang disebabkan oleh manusia pada saat penyiapan lahan untuk

HTI, perkebunan dan ladang.

3. Kurang sempurna mematikan api (termasuk membuang putung rokok, lalai

atau tidak sempurna dalam mematikan api unggun bekas camping).

4. Kesengajaan pembakaran limbah pertanian.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Fakta

tersebut, menurut Purbawaseso (2004) adalah :

1. Bahan bakar

Terdapat lima sifat bahan bakar yang mempengaruhi proses terjadinya

kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, susunan bahan bakar, volume bahan

bakar, jenis bahan bakar, dan kandungan kadar air bahan bakar.

Page 17: tentang hutan

20

a. Ukuran bahan bakar

Untuk menyatakan ukuran bahan bakar biasanya disertai dengan

bentuknya. Terdapat enam kelas bentuk dan ukuran bahan bakar seperti

pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Bentuk dan Ukuran Bahan Bakar No Ukuran Bentuk

1. Rabuk/sangat halus Gambut, akar, humus

2. Halus Daun, rumput,alang-alang, serasah

3. Kecil Ranting berkayu, cabang <0,63 cm

4. Medium Cabang, batang 0,63 cm – 2, 54 cm

5. Kasar Tonggak, tiang 2, 54 cm – 7, 62 cm

6. Besar Batang > 7, 62 cm

Sumber : Purbawaseso (2004)

b. Susunan bahan bakar

Susunan bahan bakar dibedakan atas susunan secara vertikal dan

horisontal. Bahan bakar dengan susunan vertikal atau kearah atas tajuk

akan memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu singkat. Sedangkan

susunan bahan bakar secara horisontal menyebabkan bahan bakar dapat

menyebar, sehingga api juga dapat menyebar berkesinambungan secara

mendatar. Apabila bahan bakar tersusun longgar, maka api akan lebih

cepat merambat dibandingkan dengan bahan bakar yang tersusun lebih

padat.

Page 18: tentang hutan

21

c. Volume bahan bakar

Volume bahan bakar dalam jumlah besar akan menyebabkan api lebih

besar, temperatur sekitar lebih tinggi, sehingga terjadi kebakaran yang sulit

dipadamkan. Sedangkan volume bahan bakar yang sedikit akan terjadi

sebaliknya yaitu api yang terjadi kecil dan mudah dipadamkan. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian McArthur (1973) dalam Purbowaseso

(2004) bahwa kecepatan menjalarnya api meningkat secara langsung dan

proporsional dengan meningkatnya volume bahan bakar tersedia.

d. Jenis bahan bakar

Bahan bakar berasal dari berbagai komponen vegetasi, baik yang masih

hidup maupun yang sudah mati. Berbagai komponen tersebut akan

menentukan kelompok bahan bakar, yang terbagi atas rumput, semak-

belukar, pohon-pohon atau tegakan dan sisa-sisa.

e. Kandungan kadar air dan kimiawi bahan bakar

Kadar air adalah jumlah kandungan air di dalam bahan bakar terhadap

berat kotor bahan bakar (dalam persen) yang dikeringkan pada suhu

100ºC. Istilah lain yang juga sering dipakai adalah kelembapan bahan

bakar. Kadar air bahan bakar sangat mempengaruhi dalam menentukan

perilaku kebakaran. Kadar air menentukakn kemudahan bahan bakar untuk

menyala, dan kecepatan proses pembakaran, kecepatan menjalarnya api,

dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Bahan

bakar yang mengandung banyak air akan sulit terbakar, demikian

sebaliknya.

Page 19: tentang hutan

22

Hawley dan Stickel (1948) dalam Septicorini (2006), membagi bahan

bakar hutan berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran kedalam

7 (tujuh) kelompok, yaitu :

a. Pohon hidup yang menyusun hutan tersebut

b. Semak belukar

c. Rumput tanaman penutup tanah

d. Serasah dan humus

e. Dahan mati dan lumut yang terdapat pada pohon hidup

f. Pohon mati yang masih berdiri

g. Sisa pembalakan

2. Topografi

Topografi adalah gambaran permukaan bumi yang meliputi relief dan

posisi alamnya serta ciri-ciri yang merupakan hasil dari bentukan manusia.

Faktor topografi merupakan salah satu faktor yang bisa berperan dalam

kebakaran hutan dan lahan. Ada tiga faktor topografi yang biasannya

berperan penting yaitu kemiringan, arah lereng (aspek) dan medan.

(Purbowaseso, 2004).

a. Kemiringan

Kemiringan merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkah

laku api. Lahan dengan kemiringan sangat curam kemungkinan terjadi

lidah api yang besar, sehingga hal ini mempercepat pengeringan bahan

bakar. Bahan bakar yang kering akan mudah dan cepat tersulut api.

Page 20: tentang hutan

23

Semakin curam kemiringannya akan semakin cepat pula api menjalar. Hal

ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

1). Pada lereng yang naik, nyala api lebih dekat dengan bahan bakar.

2). Aliran angin biasanya mengarah ke puncak, sehingga menyebabkan

terdorong panas dan lidah api ke bahan bakar baru di atasnya.

3). Udara terpanasi secara konveksi dan naik sepanjang lereng

menyebabkan bertambahnya kecepatan yang pada akhirnya akan

mempercepat laju perembetan api.

4). Bara api mungkin akan menggelinding ke bawah dan menimpa bahan

bakar baru yang ada di bawahnya, sehingga akan mempercepat

penjalaran serta menyulut sumber api baru.

b. Arah lereng (Aspek)

Arah lereng mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku kebakaran.

Wilayah dengan arah lereng (aspek) menghadap matahari akan lebih cepat

terjadinya pengeringan bahan bakar dibandingkan dengan wilayah yang

memiliki arah kemiringan yang tidak mrnghadap matahari. Dengan

demikian lereng yang menghadap arah timur dan barat akan relatif cepat

mengalami pengeringan bahan bakar. Semakin tinggi intensitas penyinaran

matahari pada suatu daerah, maka angin lereng akan terjadi lebih awal dan

lebih kuat. Pada arah lereng yang langsung menghadap matahari akan

terjadi hal-hal sebagai berikut :

1). Kondisi suhu lebih tinggi

2). Angin akan bertiup lebih kencang.

Page 21: tentang hutan

24

3). Kelembapan udara lebih rendah, dan

4). Kandungan air bahan bakar lebih rendah.

c. Medan

Medan merupakan kondisi lapangan, yang bersifat khas. Kondisi medan

sebenarnya berperan sebagai penghalang yang mampu mengendalikan

aliran angin.

3. Cuaca

Faktor-faktor cuaca yang menyebabkan kebakaran hutan adalah suhu,

angin, kelembapan relatif dan curah hujan (Sumantri, 2004).

a. Suhu

Pengaturan suhu adalah penting diketahui karena bahan bakar yang telah

kering karena panas matahari akan terbakar lebih cepat dari pada bahan

bakar yang masih basah. Pra pemanasan juga mengurangi kelembaban

bahan bakar dan hanya diperlukan sedikit panas untuk membakar bahan

bakar. Sekali bahan bakar tersebut menyala/terbakar, maka bahan bakar

yang sudah mengalami pra pemanasan akan terbakar lebih cepat. Suhu

permukaan tanah mempengaruhi pergerakan aliran udara. Begitu panas

matahari menghangatkan permukaan tanah, maka udara yang berdekatan

dengan permukaan tanah akan menjadi panas dan udara dipermukaan

tanah naik keatas.

b. Angin

Angin merupakan faktor pemicu dalam tingkah laku api. Angin

merangsang pembakaran dan penjalaran api, melalui :

Page 22: tentang hutan

25

1). Peningkatan suplai oksigen

2). Pengaruh arah penjalaran api

3). Pengeringan bahan bakar

4). Mengubah menjadi bara api (api loncat)

5). Menggerakan udara yang dipanaskan ke bahan bakar disekitarnya.

c. Kelembapan relatif

Kelembapan relatif adalah perbandingan antara jumlah uap air yang ada

dengan jumlah uap air yang dapat ditampung oleh volume udara, pada

suhu dan tekanan atmosfer tertentu. Begitu udara terpanaskan oleh

matahari, kelembapan relatif menurun dan begitu udara menjadi dingin

maka kelembapan relatif bertambah. Kelembapan relatif akan

mempengaruhi kelembaban bahan bakar dan keberadaan air pada bahan

bakar.

d. Curah Hujan

1). Kadar air bahan bakar dipengaruhi oleh jumlah dan lamanya curah

hujan.

2). Bahan bakar halus dapat menyerap dan melepaskan air dengan mudah.

3). Curah hujan yang tinggi dalam waktu yang pendek tidak

meningkatkan kelembapan bahan bakar, sebaliknya curah hujan

rendah dalam waktu yang panjang bahan bakar dapat menyerap lebih

banyak air.

Page 23: tentang hutan

26

4. Waktu

Waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Pembagian

waktu secara mudah dibedakan atas waktu siang dan waktu malam hari. Pada

waktu siang hari umumnya kondisi cuaca yang terjadi adalah kelembapan

udara rendah, suhu udara tinggi dan angin bertiup kencang. Sedangkan pada

waktu malam hari kondisi cuaca umumnya justru sebaliknya yaitu

kelembapan udara tinggi, suhu udara rendah dan angin bertiup tenang.

Tabel 2. Hubungan Antara Waktu dengan Kondisi Kebakaran Hutan dan Lahan. No Waktu (pukul) Kondisi Kebakaran Hutan dan Lahan

1. 09.00-21.00 Kebakaran bisa besar, cepat, dan sukar di control

2. 21.00-04.00 Kebakaran biasanya lmbat, mudah dikendalikan

3. 04.00-06.00 Kebakaran paling lambat, mudah dikendalikan

4. 06.00-09.00 Intensitas api naik dan sulit dipadamkan.

Sumber : Purbawaseso (2004)

E. Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah untuk titik yang memiliki

suhu lebih tinggi dibandingkan dengan ambang batas yang ditentukan oleh data

digital satelit. Data digital yang digunakan berasal dari satelit NOAA-AVHRR

(National Oceanic Atmospheric Administration, Advanced Very Hight Resulaton

Radiometer). Nilai ambang batas yang digunakan dalam menentukan suatu

hotspot yaitu 315K (420C) pada siang hari dan 310K (370C) pada malam hari.

Page 24: tentang hutan

27

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki

suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh

sensor satelit data digital. Ukuran kebakaran yang luasannya kurang dari 1.21 km2

akan dipresentasikan sebagai satu pixel dan yang lebih dari 1.21 km2 akan

dipresentasikan sebagai 2 pixel. luas areal minimum yang mampu dideteksi

sebagai 1 pixel diperkirakan seluas 0.15 ha (Albar, 2002 dalam Septicorini, 2006).

Metode Hotspot dapat dideteksi dengan satelit NOAA yang dilengkapi

sensor AVHRR. Dalam mendeteksi kebakaran hutan dengan satelit NOAA adalah

tidak mendeteksi kebakaran secara langsung namun yang dideteksi adalah titik

panas (hotspot). Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai Negara

untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara pendugaan bahaya

kebakaran yang lebih menjurus menunjukan akan atau terjadinya kebakaran hutan

adalah dengan metode titik panas (hotspot).

F. Satelit Pemantau Titik Panas (Hotspot)

Satelit yang digunakan untuk memantau titik panas (hotspot) adalah :

1. NOAA (National Oceanic and Atmosfheric Administration) adalah satelit

milik Pemerintah Amerika Serikat dengan sensor AVHRR (Advanced Very

High Resolution Radiometer) yang mampu mendeteksi kebakaran hutan,

analisa vegetasi, analisa ramalan cuaca, penelitian dan ramalan iklim,

pengukuran suhu muka laut global, pencarian dan penyelamatan laut.

Satelit NOAA merupakan satelit meteorology generasi ketiga milik

“Oceanic and Atmosfheric Administration” Amerika Serikat. Munculnya

satelit ini untuk menggantikan generasi satelit sebelumnya, seperti seri

Page 25: tentang hutan

28

TIROS (Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960-1965)

dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite, tahun 1970-1976).

Konfigurasi satelite NOAA adalah pada ketinggian orbit 833-870 km,

inklinasi sekitar 98,7º-98,9º, mempunyai kemampuan mengindera suatu

daerah 2x dalam 24 jam (sehari semalam). NOAA merupakan satelit yang

dapat diandalkan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan fisik

lautan/samudera dan atmosfer.

Seri NOAA (Geoscience Australia, 2011 dalam Permana, 2013) dilengkapi

dengan 6 (enam) sensor utama, yaitu:

a. AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer)

b. TOVS (Tiros Operational Vertical Sonde)

c. HIRS (High Resolution Infrared Sounder (bagian dari TOVS)

d. DCS (Data Collection System)

e. SEM (Space Environment Monitor)

f. SARSAT (Search and Rescue Sattelite System)

Diantara 6 (enam) sensor utama di atas, maka sensor yang relevan untuk

pemantauan bumi adalah sensor AVHRR dengan kemampuan memantau lima

saluran yang dimulai dari saluran tampak (visible band) sampai dengan saluran

inframerah jauh (far infrared band). Periode untuk sekali orbit bagi satelit NOAA

adalah 102 menit, sehingga setiap hari menghasilkan kurang lebih 14,1 orbit.

Bilangan orbit yang tidak genap ini menyebabkan sub-orbital track tidak berulang

pada baris harian walaupun pada saat perekaman data waktu lokalnya tidak

berubah dalam satu lintang.

Page 26: tentang hutan

29

Secara umum sensor AVHRR mempunyai karateristik (Geoscience

Australia, 2011 dalam Permana, 2013) sebagai berikut :

a. Kepekaan Saluran merah infra ternal 0,12 K pada 300 K

b. Jumlah pixel sebanyak 1024

c. IFOV (Instantaneous Field of View) adalah 1,3 + 0,1 m rad

d. Resolusi terkecil adalah sebesar 1,1 x 1,1 km

e. Lebar liputan/sapuan adalah 2.590 km

f. FOV (Field of View) adalah 55,4º

g. Kecepatan garis (Line Rate) adalah 360 garis/menit

h. Kecepatan data (Line Data) adalah 665,4 x 103 bs

Data AVHRR dari NOAA dapat diaplikasikan untuk menganalisis

parameter-parameter dibidang meteorology, oseanografi, maupun hidrologi.

Kombinasi penggunaan beberapa saluran dari data AVHRR/NOAA dapat juga

dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, seperti pemantauan vegetasi, kebakaran

hutan, ekstraksi data albedo, ekstraksi data suhu permukaan laut dan suhu daratan,

pertanian, liputan awan maupun pendeteksian salju/es di permukaan bumi.

Sensor AVHRR terdiri dari 5 saluran (band) dengan panjang gelombang

tertentu berdasarkan jenis pengamatan dan panjang gelombang yang digunakan

oleh satelit NOAA dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Page 27: tentang hutan

30

Tabel 3. Pengamatan dan Panjang Gelombang yang Digunakan Satelit NOAA Saluran Panjang

Gelombang (µm)

Daerah Spektrum

Pengamatan

1 0,56 – 0,68 Tampak Albedo siang hari, (pemetaan awan) pemantauan salju lapisan es dan cuaca

2 0,73 – 1,10 Tampak sampai infra merah dekat

Pemantauan perkembangan tumbuhan

3 3,55 – 3,93 Infra merah tengah

Pemetaan awan malam hari Pengukuran temperatur permukaan Membedakan daratan dan lautan Pemantauan aktifitas vulkanik Pemantauan penyebaran debu vulkanik

4 10,5 – 11,5 Infra merah jauh

Pemetaan awan siang dan malam Pengukuran temperatur permukaan laut Penelitian air tanah untuk pertanian

5 11,5 – 12,5 Infra merah jauh

Pemetaan siang dan malam Pengukuran temperature permukaan laut Penelitian air tanah dan pertanian

Sumber : Geoscience Australia (2011) dalam Permana (2013)

Stasiun bumi NOAA adalah sistem stasiun bumi satelit polar untuk

keperluan akusisi, pengarsipan dan pengolahan data NOAA. NOAA merupakan

seri satelit meteorologi polar yang memiliki sejarah operasional sangat panjang.

Sampai saat ini ada 5 (lima) satelit NOAA yang berfungsi yaitu NOAA 10, 12,

14, 15 dan 16.

Waktu peluncuran satelit NOAA AVHRR dari generasi ke generasi dapat

dijelaskan pada Tabel 4 berikut ini :

Page 28: tentang hutan

31

Tabel 4. Waktu Peluncuran Satelit NOAA dari Generasi ke Generasi

Satelit Waktu peluncuran Akhir Misi Keterangan

NOAA 6 27 Jui 1979 16 November 1986 NOAA 7 23 Juni 1981 7 Juni 1986

NOAA 8 28 Maret 1983 31 Oktober 1985 Dihentikan pada tanggal 29 Desember 1985

NOAA 9 12 Desember 1984

11 Mei 1994 Dihentikan pada tanggal 13 Februari 1998

NOAA 10 17 September 1986

Masih beroperasi Kemampuan saluran inframerah menurun sejak tahun 1994

NOAA 11 24 September 1988

13 September 1994 Gagal pada akhir misi

NOAA 12 14 Mei 1991 15 Desember 1994 NOAA 13 9 Agustus 1993 21 Agustus 1993 Tidak beroperasi setelah

akhir misi NOAA 14 30 Desember

1994 Masih beroperasi

NOAA 15 13 Mei 1998 Sedang menjalankan prosedur pemeriksaan

NOAA 16 21 Januari 2000 Masih beroperasi Masih dalam pengembangan

Sumber: Geoscience Australia (2011) dalam Permana (2013)