tentang penulis air dan - universitas bung hatta
TRANSCRIPT
AIR DAN AKUAKULTUR
*
A UT NIT VA EH R SG ITN YUB
LPPM* *
LPPM Universitas Bung HattaLPPM Universitas Bung Hatta
Tentang Penulis
Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, MS, lahir di Pangian, Batusangkar 20 Januari 1960. Sebagai seorang Guru Besar dalam bidang ilmu pengelolaan sumberdaya perairan umum daratan. Danau menjadi salah satu fokus objek dalam penelitiannya, disamping penelitian dengan topik perikanan yang lain. Dengan latar pendidikan dan riset dalam bidang perikanan, keahlian dan kemampuan penulis di bidang pengelolaan sumberdaya perairan sudah tidak diragukan lagi. Saat ini penulis sebagai dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Pascasarjana Universitas Bung Hatta
Padang. Dia saat ini lebih memfokuskan kegiatannya dalam bidang Tri Dharma Perguruan Tinggi. Riset yang sudah pernah diraih dari Kemenristek Dikti adalah Hibah Bersaing, Fundamental, Riset Strategis Nasional, Hibah Kompotensi, Riset Unggulan Perguruan Tinggi, Riset Insinas dan Riset Produktif (Rispro) dari LPDP yang sudah diraih selama dua periode dengan focus Restorasi Danau Maninjau. Hasil riset tersebut dalam bentuk artikel telah dipublikasikan pada Journal Internasional bereputasi terindek Scopus dan juga telah diimplementasikan untuk masyarakat. Ditengah kesibukannya buku ini disusun dengan tujuan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi tentang air dan akuakultur untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan insan perikanan.
Disamping itu juga sebagai dosen di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Bung Hatta. Pengelolaan budidaya perikanan dengan memanfaatkan bioteknologi juga menjadi objek penelitiannya. Dari hasil riset yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi RI dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dia sudah
mempublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal internasioanl bereputasi. Dari hasil risetnya dia menyumbangkan ilmu pengetahuannya dalam menyusun buku tentang Air dan Akuakultur.
AIR D
AN A
KUAKULTUR
Pro
f. Dr. Ir. H
afrija
l Sya
ndri, M
S, D
r. Azrita
, S.P
i, M.S
i
Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, MSDr. Azrita, S.Pi, M.Si
Dr. Azrita, S.Pi, M.Si, lahir di Palembang 31 Juli 1975. Sebagai seorang akuakulturis dalam bidang Bioteknologi dan Genetika Ikan, dia menjadi dosen tetap Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bung Hatta.
K e a n e k a r a g a m a n H a y a t i | i
AIR DAN AKUAKULTUR
ii| K e a n e k a r a g a m a n H a y a t i
Sanksi pelanggaran pasal 44: Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang
Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta.
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (Iima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
K e a n e k a r a g a m a n H a y a t i | iii
AIR DAN AKUAKULTUR
Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, MS
Dr. Azrita, S.Pi., M.Si
Penerbit
LPPM Universitas Bung Hatta
2020
iv| K e a n e k a r a g a m a n H a y a t i
Judul : Air dan Akuakultur
Penulis : Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, MS dan Dr. Azrita, S.Pi., M.Si
Sampul : Dr. Azrita, S.Pi., M.Si
Perwajahan: LPPM Universitas Bung Hatta
Diterbitkan oleh LPPM Universitas Bung Hatta April 2020
Alamat Penerbit:
Badan Penerbit Universitas Bung Hatta
LPPM Universitas Bung Hatta Gedung Rektorat Lt.III
(LPPM) Universitas Bung Hatta
Jl. Sumatra Ulak Karang Padang, Sumbar, Indonesia
Telp.(0751) 7051678 Ext.323, Fax. (0751) 7055475
e-mail: [email protected]
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruhnya isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Cetakan Pertama : April 2020
Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, MS dan Dr. Azrita, S.Pi., M.Si
Air dan Akuakultur, Oleh: Prof. Dr. Ir. Hafrijal Syandri, MS
dan Dr. Azrita., S.Pi., M.Si, Padang : LPPM Universitas Bung
Hatta, April 2020.
110 Hlm + viii ; 18,2 cm
ISBN 978-623-93573-2-0
K a t a P e n g a n t a r | v
KATA PENGANTAR
egiatan akuakultur telah bertanggung jawab atas pasokan ikan untuk
konsumsi pangan manusia. Untuk memenuhi permintaan pangan dari
produksi akuakultur muncul persaingan menggunakan sumber daya
air, tanah dan sumberdaya alam lainnya. Produksi akuakultur tergantung pada
banyak faktor, termasuk air yang sehat, spesies ikan, pakan berkualitas, sistem
akuakultur, efisiensi teknis, produksi input dan infrastruktur. Intensifikasi
produksi akuakultur akan memerlukan penggunaan lebih banyak input produksi
terutama pakan per unit luas lahan. Pakan ikan adalah sumber utama beban
limbah yang telah berdampak negatif terhadap lingkungan perairan. Jika
ambang batas variabel keseimbangan ekologis dilintasi, dampaknya akan
memunculkan efek negatif yang dapat menyebabkan ekosistem perairan hancur
dan runtuh. Oleh karena itu operasional akuakultur mesti berdasarkan daya
dukung ekologis yang dapat membantu menetapkan batas maksimum toleransi
sumberdaya air untuk produksi akuakultur.
Buku ini membahas tentang budidaya ikan pada keramba jaring apung di
danau dan waduk, kolam dan tanki dengan sistem resirkulasi. Pemuatan beban
limbah karbon, nitrogen dan fosfor berbasis karakteristik pakan dan spesies
ikan. Komponen limbah dari operasional akuakultur seperti pakan ikan, bahan
kimia, pathogens dan jenis limbah. Diakhir tulisan ini kami membahas tentang
dampak limbah akuakultur terhadap ekosistem perairan dan upaya pengelolaan
dalam sistem akuakultur.
Akhirnya kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas
selesainya penulisan buku ini. Kami memberikan penghargaan dan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat menambah
khasnah ilmu pengetahuan insan perikanan dalam bidang akuakultur.
April 2020
Penulis
K
vi | K a t a P e n g a n t a r
D a f t a r I s i | vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................ ..................... vii
PENDAHULUAN ........................................................................ ....................... 1
CHAPTER 1. AKUAKULTUR UNTUK PANGAN ................. ....................... 3
Air untuk akuakultur ................................................................... ....................... 3
Komoditi akuakultur ........................................................................................... 4
Fungsi perairan umum daratan.................................................... ....................... 6
Teknologi akuakultur masa depan .............................................. ....................... 6
Kesimpulan ................................................................................ ....................... 7
Daftar Pusataka ........................................................................... ....................... 8
CHAPTER 2. BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG................... 13
Karakteristik perikanan keramba jaring apung .............................. ..................... 13
Benih ikan ................................................................................... ..................... 14
Pakan ikan .................................................................................... ..................... 16
Tantangan budidaya ikan keramba jaring apung ........................... ..................... 18
Kesimpulan .................................................................................. ..................... 21
Daftar Pustaka .............................................................................. ..................... 21
CHAPTER 3. PEMUATAN BEBAN LIMBAH DARI AKUAKULTUR . 27
Pemuatan nitrogen dan phosphorus............................................... ..................... 27
Bagaimana polutan (N dan P) masuk ke air .................................. ..................... 29
Pemuatan limbah nitrogen dan fosfor dari ikan mati massal ................................ 34
Pemuatan limbah nitrogen dan fosfor dari spesies ikan
berbeda………………………………………………………… .......................... 36
Pemuatan limbah nitrogen dan fosfor dari tipe pakan ikan…… ….. .................... 44
Kesimpulan ………………………………………………….......... ..................... 50
Daftar Pustaka …………………………………………………….. .................... 51
CHAPTER 4. KOMPONEN LIMBAH DALAM AKUAKULTUR .................... 57
Input produksi dalam sistem akuakultur………………………. .......................... 57
Jenis limbah dalam sistem akuakultur…………………………........................... 63
Kesimpulan……………………………………………………. .......................... 66
Daftar Pustaka…………………………………………………. .......................... 67
viii | D a f t a r I s i
CHAPTER 5. DAMPAK LIMBAH AKUAKULTUR
TERHADAP EKOSISTEM PERAIRAN……….………………….. .............................71
Dampak limbah akuakultur terhadap kualitas air ……………… .................... 71
Dampak limbah akuakultur terhadap plankton………………… ..................... 74
Dampak limbah akuakultur terhadap eutrofikasi ..……………. ...................... 76
Kesimpulan……………………………………………………. ...................... 80
Daftar Pustaka…………………………………………………… ................... 81
...............................................................................................................................
CHAPTER 6. PENGELOLAAN LIMBAH PADA SISTEM
AKUAKULTUR ................................................................................................ 85
Pengelolaan limbah pakan ikan ........................................................................... 85
Pengelolaan limbah padat ................................................................................... 89
Pengelolaan limbah terlarut ............................................................................... 90
Pengelolaan sistem operasioan akuakultur .......................................................... 90
Pengelolaan limbah dengan sistem resirkulasi .................................................... 93
Pengelolaan limbah berbasis daya tempung ........................................................ 95
Kesimpulan ........................................................................................................ 98
Daftar Pustaka .................................................................................................... 98 Daftar Glosarium .............................................................................................. 103
Daftar Indek ..................................................................................................... 107
Singkatan yang digunakan dalam teks............................................................... 109
P e n d a h u l u a n | 1
PENDAHULUAN
Pertumbuhan populasi penduduk dunia saat ini dan peningkatan konsumsi ikan
per kapita akan menuntut sumber daya air agar lebih efisien dalam
memproduksi pangan dalam skala global. Meningkatnya permintaan pangan
dari ikan telah mendorong ekspansi akuakultur yang semula diusahakan di
kolam ke areal baru seperti danau, waduk dan sungai. Pengembangan
akuakultur ikan intensif di danau, waduk dan sungai dengan keramba apung
dalam beberapa tahun terakhir telah membawa ancaman besar terhadap
lingkungan perairan. Sementara teknologi akuakultur yang dioperasikan belum
mampu untuk mengurangi beban limbah yang masuk ke badan air. Akibatnya
tingkat pencemaran air semakin meningkat karena beban nutrisi dari pakan yang
tidak dimakan dan produk limbah metabolism lainnya. Teknologi yang terbatas
untuk pengolahan bahan limbah yang dihasilkan merupakan masalah utama
dalam kepedulian terhadap budidaya ikan di keramba apung. Oleh karena itu
pengembangan akuakultur yang berkelanjutan harus direncanakan dan
dirancang dengan cara yang bertanggung jawab yang meminimalkan sebanyak
mungkin dampak negatif pada kualitas air.
Daya dukung ekologis adalah konsep penting untuk pengelolaan berdasarkan
pedoman keberlanjutan untuk ketahanan dan praktik terbaik yang membantu
menetapkan batas maksimum toleransi sumberdaya air untuk produksi
akuakultur. Dengan demikian dapat menghindari "perubahan yang tidak dapat
diterima" pada ekosistem perairan alami, dan menekan efek input nutrisi. Jika
ambang batas variabel keseimbangan ekologis dilintasi, dampaknya akan
memunculkan efek negatif yang dapat menyebabkan ekosistem perairan hancur
dan runtuh. Penimbunan limbah akuakultur dan kematian ikan budidaya secara
besar-besaran akibat melampaui daya dukung ekologis telah memunculkan
kurangnya ketersediaan oksigen dan eutrofikasi yang berlebihan pada badan air.
Banyak danau, waduk dan sungai yang mengalami masalah kualitas air,
mengakibatkan pengaruh negatif pada penggunaannya sehingga semakin
membatasi untuk pembangunan masyarakat lokal. Oleh karena itu beban nutrisi
mesti berada dalam kapasits asimilatif tanpa menimbulkan degradasi lingkungan
perairan. Namun sejumlah muatan nutrisi mungkin bermanfaat bagi lingkungan
dalam jaringan makanan pada perairan oligotrofik, dan oleh karenanya harus
ada batas tingkat produksi yang tidak menyebabkan kerusakan sumberdaya air.
2 | P e n d a h u l u a n
Kami mengusulkan struktur hierarkis untuk menentukan daya dukung ekologis
badan air tertentu. Tahap pertama dapat dilakukan perhitungan daya dukung
fisik atau kesesuaian lokasi, berdasarkan kondisi alam, kebutuhan spesies dan
sistem akuakultur. Ini diikuti oleh perhitungan besarnya produksi akuakultur
yang dapat didukung oleh area yang tersedia, menggunakan model
keseimbangan massa carbon, nitrogen dan fosfor tanpa mengarah pada
perubahan signifikan pada proses ekologis, jasa, spesies, populasi atau
komunitas di perairan. Banyak pengguna danau, waduk dan sungai, termasuk
petani ikan, harus memiliki kepedulian yang sama untuk meningkatkan kualitas
air dan mempertahankan kondisi ini dari generasi ke generasi.
Dalam buku ini kami akan menganalisis tentang perkembangan akuakultur
untuk pangan, budidaya ikan keramba jaring apung di danau, pemuatan
nitrogen dan phosphorus dari budidaya ikan di karamba apung, dampak beban
limbah keramba apung terhadap eutrofikasi, daya tampung beban pencemaran
air danau, budidaya ikan sistem multi trofik dan pengelolaan budidaya ikan
keramba dimasa depan.
A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n | 3
CHAPTER 1
AKUAKULTUR UNTUK PANGAN
Air untuk akuakultur
Pada tahun 2050, hampir 10 miliar orang perlu mengakses kualitas dan kuantitas
pangan yang memadai. Disisi lain kerusakan lingkungan oleh aktifitas pangan
harus diminimalkan. Banyak Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals, SDGs) yang dirumuskan oleh PBB tahun 2015 yang terkait
dengan tujuan ini misalnya SDG 1 (tidak ada kemiskinan), SDG 2 (tidak ada
kelaparan), SDG 6 (air bersih dan sanitasi), SDG 12 (konsumsi), SDG 13
(perubahan iklim), SDG 14 (hidup bersahabat dengan air), SDG 15 (kehidupan
di darat). Meskipun akuakultur memberikan nutrisi kepada sebagian populasi
dunia yang semakin meningkat, akuakultur mesti merupakan pendorong utama
mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Ditemukan bukti kuat bahwa cadangan air danau, waduk, sungai dan kolam
yang masih utuh memiliki kelentingan lebih baik dibandingkan dengan air
danau, waduk, sungai dan kolam yang telah tercemar (Mungkung et al., 2013;
Syandri et al., 2016; Syandri et al., 2020; Pouil et al., 2019). Oleh karena itu
pengurangan tingkat pencemaran air harus menjadi kunci utama bagi ketahanan
air (Zhaoxia et al., 2017). Ditemukan petunjuk bahwa kebijakan yang terkait
dengan pengelolaan daratan dan air dapat meningkatkan kelentingan air
terhadap perubahan yang terjadi, termasuk air danau (Meng et al., 2016; Ye et
al., 2017). Lahan basah danau merupakan ekosistem yang sangat unik di muka
bumi dan sering disebut sebagai "ginjal bumi" karena perannya yang sangat
penting dalam pengentasan polusi air yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Lahan basah (danau, sungai, rawa banjiran) dikenal sebagai salah satu ekosistem
paling produktif di dunia karena berperan penting untuk memberikan layanan
bagi banyak kehidupan (Hale et al., 2019; Moges et al,. 2017). Spesies burung,
mamalia, reptil, amfibi, ikan dan invertebrata yang tak terhitung jumlahnya
bergantung pada air dan tumbuh-tumbuhan di habitat lahan basah, termasuk
danau (Dudgeon et al., 2006; Adapa et al., 2016). Lahan basah secara langsung
dan tidak langsung juga memberikan manfaat kepada masyarakat dengan
menyediakan layanan ekosistem seperti pengurangan banjir, cadangan sumber
makanan, penyediaan air bersih, keindahan estetika, pendidikan dan rekreasi,
dan penyerap karbon (Jiang et al., 2016; Davies et al., 2016).
4 | A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n
Komoditi akuakultur
Akuakultur telah menjadi industri pangan yang berkembang pesat di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2014, total produksi perikanan dunia
adalah 158 juta ton, 44,1% merupakan produksi dari sektor akuakultur (FAO,
2016). Hampir 60% dari kegiatan akuakultur ini dilaksanakan di perairan tawar,
dan 88% dari semua produksi akuakultur berasal dari Asia. Indonesia
memproduksi sekitar 17,22 juta ton yang dilakukan di air tawar, payau dan asin,
dengan produksi terbatas pada sejumlah kecil spesies ikan dibandingkan dengan
perikanan tangkap (CDSI KKP, 2018). Tahun 2018 produksi akuakultur
Indonesia, termasuk rumput laut sebesar 16.114.991 ton yang disumbangkan
oleh sembilan spesies yaitu: nila (25,84%), patin (11,18%) lele (17,29%), mas
(9,93%), gurame (2,96%), kakap (0,14%), kerapu (0,39%), bandeng (10,08%)
dan udang (14,19%). Setiap kelompok komoditas ikan telah memainkan peran
penting bagi ekonomi Indonesia melalui penciptaan pendapatan, diversifikasi
mata pencaharian, dan pasokan protein hewani untuk masyarakat pedesaan dan
perkotaan (Syandri et al., 2015; Trans et al., 2017). Usaha budidaya ikan telah
dilakukan di berbagai habitat seperti di danau, waduk, sungai dan kolam,
termasuk tambak air payau dan keramba air asin (Syandri et al, 2016; Poiul et
al, 2017; Mungkung et al., 2013; Kawasaki et al., 2016).
Indonesia pada tahun 2030 membutuhkan produksi ikan dari sektor akuakultur
sebanyak 19,72 juta ton. Produksi tersebut berpeluang untuk tercapai karena
Indonesia memiliki perairan umum daratan seluas 13,85 juta hektar, yang terdiri
dari 12 juta hektar sungai dan paparan banjir, 1,85 juta hektar danau alam, dan
0.05 juta hektar waduk (Kartamihardja et al., 2009). Lebih dari 17.000 pulau
dengan garis pantai sekitar 81.000 km dan tambahan 26 juta hektar lahan yang
cocok untuk ekspansi budidaya. Teknologi akuakultur yang berpeluang untuk
dikembangkan adalah teknologi yang inovatif berbasis lahan ideal, akukultur di
air yang sehat, daya dukung ekologis, dan akuakultur terintegrasi (Integrated
Multi-Trophic Aquaculture, IMTA). Namun, ekspansi global yang cepat dari
industri akuakultur akan menyebabkan banyak masalah lingkungan, seperti
pencemaran air, degradasi ekosistem, wabah penyakit, kematian ikan secara
besar-besaran, termasuk perubahan iklim yang ditandai dengan pemanasan
global, hujan asam, eutrofikasi, peningkatan penggunaan lahan, peningkatan
konsumsi air tawar, dan peningkatan penggunaan energi.
A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n | 5
Di Indonesia, termasuk negara lain kegiatan operasional budidaya ikan di danau
dan waduk mempergunakan wadah budidaya karamba jaring apung. Spesies
ikan yang dominan di budidayakan adalah ikan nile tilapia, carp dan rainbow
trout (Syandri et al., 2018; Gondwe et al., 2011; Asir dan Pulatsu., 2008).
Dampak lingkungan industri akuakultur pada lingkungan sekitarnya adalah
pelepasan kelebihan nutrisi dan antibiotik ke lingkungan sekitarnya. Jumlahnya
sangat bergantung kapada spesies ikan yang dibudidayakan (Syandri et al.,
2018a), tipe pakan, persentase pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan dan
waktu pemberian pakan (Sun et al., 2016; Syandri et al., 2018b).
Beban nutrisi dalam budidaya keramba berbeda jauh dari sistem akuakultur
berbasis lahan konvensional di mana pakan merupakan sumber input nutrisi
terbesar dalam budidaya keramba dan budidaya keramba biasanya dicirikan
oleh proporsi kehilangan pakan yang lebih tinggi. Biasanya 80% atau lebih
pakan dikonsumsi oleh ikan, sedangkan sekitar 10-20% pakan yang dikonsumsi
menjadi feces dan dilepaskan ke dalam sistem akuakultur (Boyd dan Turker.,
2014). Oleh karena itu, sebagian besar dari bahan-bahan tersebut dikaitkan
dengan limbah pakan. Namun, jumlah dan komposisi limbah tergantung pada
kandungan nutrient pakan, terutama carbon, nitrogen dan phosphorous dan
praktik pemberian pakan oleh pembudidaya ikan (Gondwe et al., 2011; Sun et
al., 2016; Syandri et al., 2018a). Selain itu, juga bergantung kepada karakteristik
produksi seperti desain dan bahan karamba jaring apung, tingkat padat tebar,
tipe pakan (terapung dan terbenam), feed conversion ratio (FCR), jenis dan
ukuran pakan, regim pemberian pakan, persyaratan kualitas air dan tingkat
teknologi yang tersedia (Franco-Nava et al, 2004; Chatvijitkul et al., 2017; Guo
et al., 2018).
Total bahan organik dan nutrisi lainnya yang dilepaskan dari operasi akuakultur
dikategorikan sebagai beban limbah (Boyd dan Queiroz, 2001; Ballester-Moltó
et al., 2017). Beban limbah menyebabkan kualitas air dalam sistem budidaya
memburuk (Syandri et al, 2017;Syandri et al., 2020; Kassam dan Dorward.,
2017). Lebih jauh lagi, tingkat berlebihan nutrien yang dilepaskan ke badan air
dapat berbahaya bagi lingkungan karena dapat menstimulasi pertumbuhan
fitoplankton, alga makro dan tanaman vaskular (Prathumchai et al., 2016;
Lindim et al., 2015). Sementara itu, dampak yang terkait dengan limbah dekat
wadah budidaya ikan adalah terjadi eutrofikasi, ganggang beracun, peningkatan
kekeruhan, penurunan kondisi oksigen dan hilangnya keanekaragaman hayati
(Horppila et al., 2017; Yogev et al., 2016; Moraes et al., 2016).
6 | A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n
Fungsi perairan umum daratan
Fungsi lahan basah (danau, waduk, sungai dan rawa banjiran) tidak hanya
menyediakan makanan, bahan baku dan sumber air bagi umat manusia
(Maimaitihan et al., 2016), tetapi juga menjaga keseimbangan ekologis,
keanekaragaman hayati dan spesies langka (Jiang et al., 2016), tempat budidaya
ikan dengan KJA (Syandri et al., 2016a; Syandri et al., 2016b). Selain itu, lahan
basah danau memegang peranan penting dalam konservasi air, pengendalian
banjir dan kekeringan (Aguilera et al., 2016), degradasi dari polusi (Zeng et al.,
2016), mengatur/menjaga perubahan iklim (Deng et al., 2016), dan sumber air
bawah tanah (Agboola et al., 2016). Sementara ini, lahan danau secara alami
dan berkelanjutan mampu memperbaiki kualitas air dan meningkatkan
keanekaragaman hayati selama danau tersebut tidak tercemar. Danau adalah
area lahan basah yang penting dengan modal ekosistem 8 kali lipat dari hutan,
dan 35 kali lebih tinggi dari padang rumput (Mallick et al., 2016).
Air lahan basah yang tidak tercemar berat secara alami memiliki kelentingan
yang lebih baik terhadap biota air, terutama terhadap ikan yang dibudidayakan,
termasuk manusia yang memanfaatkan air tersebut. Hal tersebut menjadi alasan
yang lebih kuat diperlukannya aktifitas budidaya ikan pada karamba jaring
apung (KJA) yang ramah lingkungan dengan komoditi basis (Syandri et al.,
2017). Operasional budidaya ikan dengan karamba jaring apung akan
berkorelasi dengan pelepasan nitrogen dan phosphorous ke badan air yang dapat
menghasilkan sedimen dan berkurangnya ketahanan ekonomi dan kualitas hidup
masyarakat lokal dan kesehatan ekosistem perairan (Henderson et al., 2009;
Chohen et al., 2014; Zhao et al., 2016).
Teknologi akuakultur masa depan
Aktifitas akuakultur diproyeksikan akan terus tumbuh pada masa yang akan
datang karena pertambahan penduduk dunia, termasuk pertambahan penduduk
di Indonesia (Tran et al, 2017; FAO, 2016). Masyarakat dunia pada masa yang
akan datang akan lebih cenderung mengkonsumsi sumber pangan dari ikan
karena memberikan dampak yang luar biasa terhadap kesehatan manusia
(Zuraini et al., 2006; Jabeen dan Chaudhry, 2011; Ahmed dan Thompson,
2019).
Produksi ikan dari hasil penangkapan yang dilakukan di air asin (laut) dan air
tawar (danau, sungai, waduk dan tasik) akan terus berkurang karena
A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n | 7
penangkapan yang tidak selektif. Selain itu, ada ancaman serius terhadap
keanekaragaman hayati ikan, karena penambangan pasir secara ilegal,
perburuan ikan secara ilegal, penggundulan hutan yang luas, perubahan
penggunaan lahan, bendungan PLTA, dan perubahan iklim. Padahal
peningkatan produksi ikan dari akuakultur secara global diprediksi sebesar 50%
pada tahun 2050 (FAO, 2017).
Pada tahun 2030 permintaan terhadap produksi akuakultur akan meningkat di
kawasan Asia Pasifik, terutama pada 22 kota besar, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan yang berkelanjutan dalam jangka panjang dari akuakultur, seperti
halnya pertanian tradisional membutuhkan banyak air dengan kualitas yang
memadai. Saat sekarang banyak budidaya ikan yang dilaksanakan di kolam,
waduk, dan danau atau di pesisir di lingkungan perkotaan dan pedesaan (mis.,
Danau Maninjau, Sumatera Barat), secara sadar atau tidak sadar menggunakan
air yang sudah tercemar berat (air limbah atau limbah cair yang diolah). Sejauh
mana praktek penggunaan air seperti yang sekarang terjadi untuk akuakultur
dimasa depan secara umum tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu teknologi
akuakultur untuk masa depan harus berbasis luas lahan yang ideal dengan air
yang memiliki kelentingan yang lebih baik, berbasis daya dukung ekologis
dengan spesies tahan penyakit dan mempunyai nilai jual di pasaran.
Kesimpulan
Di Indonesia akuakultur pada masa depan menjadi tumpuan penting dan
menguntungkan guna memenuhi kebutuhan ketahanan pangan bagi masyarakat
pedesaan dan perkotaan. Namun aktifitas akuakultur jika tidak dikelola dengan
teknologi ramah lingkungan akan memberikan efek negatif pada lingkungan
perairan yang pada gilirannya menurunkan baku mutu kualitas air,
menimbulkan penyakit dan kematian masal terhadap ikan yang dibudidayakan,
serta berpengaruh kepada keamanan pangan dari ikan. Upaya semacam itu
tampak sangat penting karena polusi dan penyakit tidak menular meningkat di
Indonesia yang dapat mengancam kesehatan masyarakat. Untuk melindungi
kesehatan masyarakat dan lingkungan sepatutnya di masa depan praktek
akuakultur dilakukan bersahabat dengan sistem akuakultur dan lingkungan..
8 | A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n
Daftar Pustaka
Adapa, S., Bhullar, N., de Souza, S.V., 2016. A systematic review and agenda for
using alternative water sources for consumer markets in Australia. J. Clean.
Prod 124, 1420.
Aguilera, H., L. Moreno, J.G Wesseling, M.E Jimenez-Hernandez, S. Castano.
2016. Soil moisture prediction to support management in semiarid wetlands
during drying episodes. Catena 147: 709-724.
Agboola, J.I., P.E. Ndimele, S. Odunuga, A Akanni, B. Kosemani,, M.A Ahove.
2016. Ecological health status of the Lagos wetland ecosystems: implications
for coastal risk reduction. Estuarine, Coast. Shelf Sci. 183: 73-81.
Ahmed, N and S. Thompson, 2018. The blue dimensions of aquaculture: A
global synthesis. Science of the Total Environment, 652: 851-861.
Asir, U. and S. Pulatsu, 2008. Estimation of the nitrogen-phosphorus
load caused by rainbow trout ( Oncorhynchus mykiss Walbaum, 1792)
Cage-Culture farms in Kesikkopru Dam Lake: A comparison of pelleted and
extruded feed. Turk. J. Vet. Anim. Sci., 32: 417-422.
Boyd, C.E. and C.S. Tucker, 2014. Handbook for Aquaculture Water Quality.
Craftmaster Printers, Auburn, Alabama.
Boyd, C.E. and J. Queiroz, 2001. Nitrogen and phosphorus loads by system,
USEPA should consider system variables in setting new effluent rules.
Global Aquacult. Adv., 4: 84-86
Ballester-Molto, M., P. Sanchez-Jerez, J. Cerezo-Valverde and F. Aguado-
Gimenez, 2017. Particulate waste outflow from fish-farming cages. How much
is uneaten feed? Mar. Pollut. Bull., 119: 23-30
Chatvijitkul, S., C.E. Boyd, D.A. Davis and A.A. McNevin, 2017. Pollution
potential indicators for feed-based fish and shrimp culture. Aquaculture, 477:
43-49.
CDSI (Central Data System Information). Ministry of Marine and Fisheries
Republic of Indonesia, 2018 (In Indonesian).
Cohen, E., G.J. Levy, M Borisover, 2014. Fluorescent components of organic
matter in wastewater: efficacy and selectivity of the water treatment. Water
Res. 55: 323–336.
Dudgeon, D., Arthington, A.H., Gessner, M.O., Kawabata, Z.I., Knowler, D.J
Leveque, C., Naiman, R.J., Prieur-Richard, A.H., Soto, D., Stiassny, M.L.J
Sullivan, C.A., 2006. Freshwater biodiversity: importance, threats, status and
conservation challenges. Biol. Rev. 81(2), 163-182.
A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n | 9
FAO, 2016. The State of World Fisheries and Aquaculture 2016. Contributing to
Food Security and Nutrition for All. Rome.
FAO, 2017. The Future of Food and Agriculture-Trends and Challenges. Rome.
Franco-Nava, M. A., Blancheton, J. P., Deviller, G., Charrier, A., & Le-Gall, J. Y.
(2004). Effect of fish size and hydraulic regime on particulate organic matter
dynamics in a recirculating aquaculture system: elemental carbon and nitrogen
approach. Aquaculture, 239(1-4), 179–198.
Gondwe, M.J.S., S.J. Guildford and R.E. Hecky, 2011. Carbon, nitrogen and
phosphorus loadings from tilapia sh cages in Lake Malawi and factors in
uencing their magnitude. J. Great Lakes Res., 37: 93-101.
Hale, R, S. E. Swearer, M. Sievers, R. Coleman, 2019. Balancing biodiversity
outcomes and pollution management in urban stormwater treatment wetland.
Journal of Environmental Management, 233: 302-307.
Henriksson, P.J.G., N. Tran, C.V. Mohan, C.Y. Chan and U.P. Rodriguez et
al ., 2017. Indonesian aquaculture futures-evaluating environmental and
socioeconomic potentials and limitations. J. Cleaner Prod., 162: 1482-1490.
Horppila, J., H. Holmroos, J. Niemisto, I. Massa and N. Nygren et al,
2017. Variations of internal phosphorus loading and water quality in a
Hypertrophic lake during 40 years of different management efforts. Ecol.
Eng., 103: 264-272.
Jabeen, F, Chaudhry, AS, 2011. Chemical compositions and fatty acid profiles
of three freshwater fish species. Food Chemistry, 125:991-996.
Kartamihardja.E, Kunto, P, Charulwan.U, 2009. Sumberdaya perikanan
perairan Indonesia terabaikan. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia,
1(1):1-15. Kassam, L. and A. Dorward, 2017. A comparative assessment of the poverty
impacts of pond and cage aquaculture in Ghana. Aquaculture 470:110-122.
Kawasaki, N, M.R.M. Kushairi, N. Nagao, F. Yusoff, A. Imai and A. Kohzu, 2016.
Release of nitrogen and phosphorus from aquaculture farms to Selangor River,
Malaysia. Int. J. Environ. Sci. Dev., 7: 113-116.
Lindim, C., A. Becker, B. Gruneberg, H. Fischer, 2015. Modelling the effects of
nutrient loads reduction and testing the N and P control paradigm in a
German shallow lake. Ecol. Eng., 82: 415-427.
Mallick, P.H, S.K. Chakraborty, 2016. Forest, wetland and biodiversity: Revealing
multiaceted ecological services from ecorestoration of a degraded tropical
landscape. Ecohydrology & Hydrobiology, 18(3):278-296.
Meng, H., Wang, L., Zhang, Z.S., Xue, Z.S., Lu, X.G., Zou, Y.C., 2016. Researches
on the impacts of climate change on spatial distribution and main ecological
functions of inland wetland ecosystem in China. Wetland Sci. 14 (5): 710-716.
10 | A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n
Moraes, M.A.B., C.F. Carmo, Y.A. Tabata, A.M. Vaz-dos-Santos and C.T.J.
Mercante, 2016. Environmental indicators in effluent assessment of rainbow
trout ( Oncorhynchus mykiss ) reared in raceway system through phosphorus
and nitrogen. Braz. J. Biol., 76: 1021-1028.
Moges, A, A. Beyene, A. Ambelu, S.T. Mereta, L. Triest, E. Kelbessa, 2017. Plant
species composition and diversity in wetlands under forest, agriculture and
urban land uses. Aquatic Botani, 138: 9-15.
Mungkung,R, J. Aubin, T.H. Prihadi, J. Slembrouck, H.M.G. van der Werf, .
Legendre. 2013. Life Cycle Assessment for environmentally sustainable
aquaculture management: a case study of combined aquaculture systems for
carp and tilapia. Journal of Cleaner Production, 47:249-256.
Pouil S, Samsudin R, Slembrouck J, et al,: 2019. Nutrient budgets in a small-scale
freshwater fish pond system in Indonesia. Aquaculture 504: 267-274.
Prathumchai, N., C. Polprasert and A.J. Englande, 2016. Phosphorus leakage from
fisheries sector-A case study in Thailand. Environ. Pollut., 219: 967-975
Syandri, H. 2003. Cages culture and problem in Maninjau Lake, West Sumatra
Province. Journal of Fisheries and Maritime Affairs. 8 (2):74– 81.
Syandri, H., Elfiondri, Junaidi and Azrita, 2015. Social status of the fish-
farmers of floating-net-cages in lake Maninjau, Indonesia. J. Aquacult. Res.
Dev., Vol. 7. 10.4172/2155-9546.1000391
Syandri, H., Azrita and Niagara, 2016a. Trophic status and load capacity of water
pollution waste fish-culture with floating net cages in Maninjau lake,
Indonesia. Ecol. Environ. Conserv., 22: 459-466.
Syandri, H, Elfiondri, Ainul Mardiah and Azrita. 2016b. Social Status of Nile
Tilapia Hatchery Fish-farmers at Maninjau Lake Areas, Indonesia. J. Fish.
Aquat. Sci., 11 (6): 411-417.
Syandri. H, Azrita, Junaidi and A.Mardiah. 2017. Levels of Available Nitrogen-
Phosphorus Before and After Fish Mass Mortality in Maninjau Lake of
Indonesia. J. Fish. Aquat. Sci., 12 (4): 191-196.
Syandri, H., Azrita and A. Mardiah, 2018. Nitrogen and phosphorus waste
production from different fish species cultured at floating net cages in lake
Maninjau, Indonesia. Asian J. Scient. Res., 11: 287-294.
Syandri,H, Azrita and A.Mardiah. 2018a. Effect of feed types and estimation of
nitrogen-phosphorus loading caused by Common carp (Cyprinus carpio) in
Lake Maninjau, Indonesia. Pak. J. Nutr., 17 (9): 454-461.
Syandri. H, Azrita and A.Mardiah. 2018b. Nitrogen and phosphorus waste
production from different fish species cultured at floating net cages in
Lake Maninjau,Indonesia. Asian J. Sci. Res., 11 (2): 287-294.
A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n | 11
Syandri, H, A. Mardiah . Azrita. 2020. Water Quality Status and Pollution Waste
Load from Floating Net Cages at Maninjau Lake, West Sumatera Indonesia.
IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 430 (2020) 012031.
Sun, M., S.G. Hassan and D. Li, 2016. Models for estimating feed intake in
aquaculture: A review. Comput. Electron. Agric., 127: 425-438.
Tran, N., U.P. Rodriguez, C.Y. Chan, M.J. Phillips, C.V. Mohan, P.J.G. Henrikson,
S. Koeshendrajana, S. Suri, S. Hall, 2017. Indonesian aquaculture futures: An
analysis of fish supply and demand in Indonesia to 2030 and role of
aquaculture using the Asia Fish model. Marine Polycy, 79: 25-32.
Yogev, U., K.R. Sowers, N. Mozes and A. Gross, 2017. Nitrogen and carbon
balance in a novel near-zero water exchange saline recirculating aquaculture
system. Aquaculture, 467: 118-126.
Zhaoxia Ye, Weihong Li, Yaning Chen, Jingjun Qiu, Dilinuer Aji. 2017.
Investigation of the safety threshold of eco-environmental water demands for
the Bosten Lake wetlands, western China. Quaternary International Part B,
440: 130-136.
Ye, Z, W. Li, Y. Chen, J. Qiu, D. Aji. 2017. Investigation of the safety threshold of
eco-environmental water demands for the Bosten Lake wetlands, western
China. Quaternary International Part B, 440 : 130-136.
Zhao, Y., Song, K.S., Li, S.J., 2016. Characterization of CDOM from urban waters
in Northern-Northeastern China using excitation-emission matrix fluorescence
and parallel factor analysis. Environ. Sci. Pollut. Res.
Zuraini, A, MN. Somchit, MH Solihah., YM Goh, AK. Arifah., MS. Zakaria,
N. Somchit., MA. Rajion, A Zakaria., MS. Mat Jais, 2006. Fatty acid and
amino acid composition of three local Malaysian Channa spp. fish. Food
Chemistry 97:674–678.
12 | A k u a k u l t u r U n t u k P a n g a n
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 13
CHAPTER 2
BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG
Karakteristik perikanan keramba jaring apung
Metode produksi dan sistem keramba jaring apung tunggal telah
dipraktekkan oleh petani ikan di Indonesia, termasuk di danau Maninjau karena
alasan ekonomi. Ciri khas unit produksi terdiri dari rangka besi yang dilapisi
dengan bahan anti karat (cat besi), didukung dengan empat keramba jaring
apung (ukuran 5 x 5 x 3 m) yang dibangun menggunakan ukuran mesh 10 mm.
Unit-unit tersebut dikombinasikan dengan fasilitas lain (yaitu daya apung,
tempat pemberian makan, dan jalur kandang). Pelampung yang digunakan
adalah drum plastik dengan tipe cincin ganda, diameter tubuh 58 cm, tinggi total
93 cm, berat produk 8,6 kg, dan volume penuh 200 L. Warna pelampung
berwarna biru.
Sejak 2001, jumlah keramba jaring apung di danau Maninjau meningkat secara
eksponensial. Dalam lima tahun terakhir, itu meningkat sebanyak 90,14%. Ini
menunjukkan bahwa tumbuhnya minat budidaya di sistem produksi akuakultur
(Gambar 1). Jumlah keramba jaring apung di setiap rumah tangga petani ikan
berkisar antara 4 hingga 60 jaring. Mayoritas petani ikan memiliki keramba
jaring apung per rumah tangga (41,25%) adalah 20-40 petak, 27,08% adalah 41-
60 petak, 23,33% adalah 8-20 petak, dan 8,33% adalah 4-8 petak (Gambar 2).
Budidaya spesies ikan oleh petani ikan adalah nila, gurame, lele dan Patin.
Peneliti lain juga melaporkan bahwa tilapia (Oreochromis niloticus) adalah
spesies dominan yang dibudidayakan dalam keramba jaring apung (Mbowa et
al., 2017; Hasimuna et al., 2019). Ukuran keramba jaring apung di danau
Maninjau adalah 5 x 5 x 3 m (75 m3) per jaring. Sebaliknya, Opiyo et al. (2018)
melaporkan bahwa ukuran kandang akuakultur di lima distrik riparian di Kenya
berkisar antara 8 - 125 m3. Variasi ukuran kandang dapat dikaitkan dengan
perbedaan dalam sumber daya keuangan. Pembudidaya ikan yang memiliki
modal lebih banyak memiliki ukuran kandang yang besar, dan lebih
menguntungkan secara ekonomi.
14 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
Gambar 1. Jumlah keramba jaring apung tercatat pada tahun 2001 – 2019
Gambar 2. Pemilik KJA setiap rumah tangga perikanan (N=240)
Benih ikan
Di danau Maninjau sebagian besar petani ikan (77,91%) memperoleh bibit nila
dari perusahaan pembenihan, 20% dari pembenihan pribadi dan 2,08%
ditangkap dari danau (Gambar 3). Kegiatan pembenihan ikan nila biasanya
dilakukan di areal persawahan di sekitar danau Maninjau. Di Kecamatan
Tanjung Raya, luas sawah 2.430 ha. Diperkirakan 1.458 ha (60%) sawah telah
berubah menjadi daerah pembenihan ikan nila (Data BPS Statistik Kabupaten
Agam, 2018). Perubahan ini terjadi karena tingginya permintaan benih nila dari
petani ikan untuk dibudidayakan di keramba jaring apung. Selain itu,
permintaan benih nila berasal dari pembudidaya ikan di Kota Padang,
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 15
Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Riau dan Provinsi
Jambi.
Gambar 3. Sumber benih ikan nila untuk budidaya ikan KJA
di danau Maninjau
Pada 2015, keramba apung telah tercatat sebanyak 16.608 jaring di danau
Maninjau (Syandri et al., 2016). Sementara, tahun 2019 tercatat sebanyak
17.563 jaring. Mayoritas keramba jaring apung (72,91%) digunakan untuk ikan
nila, 18,75% untuk ikan mas, 4,58% untuk ikan lele dumbo dan 3,75% untuk
ikan patin dan gurami (Gambar 4.). Kepadatan rata-rata tebar ikan nila di
keramba apung adalah 100 ekor / m3 (7.500 ekor / jaring), ikan mas 66 ekor / m
3
(5.000 ekor / jaring), ikan lele dumbo, patin adalah 133 ekor / m3 (10.000 ekor) /
jaring) dan ikan gurame sekitar 50 ekor/m3 (3.750 ekor/jaring). Total bibit pada
masing-masing spesies ikan berdasarkan jumlah keramba apung dan kepadatan
tebar disajikan pada Tabel 1.
Gambar 4. Jumlah RTP (%) yang membudidyakan ikan berdasarkan spesies
(N=240)
16 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
Tabel 1. Jumlah keramba jaring apung dan perkirakan total permintaan benih
untuk kegiatan akuakultur
Spesies Jumlah
KJA
(petak)
Rata-rata
padat
tebar
(ekor/m3)
Ukuran
KJA
(5 x5x3
m)
Perkiraan
kebutuhan
benih
(ekor)
Waktu
pemeliha
raan
(hari)
Permintaan
pasar
(g/ekor)
Nile 12,917 100 75 96.877.500 120 - 160 200 - 250
Majalaya 1,620 66 75 8.100.000 120 - 150 200 - 250
Lele 800 133 75 8.000.000 60 - 75 125 - 150
Patin &
Gurami
400 133 75 4.000.000 150 - 180 400 - 500
Di sisi lain, pasokan ikan mas, gurami dan ikan lele untuk budidaya keramba
apung dikumpulkan dari perusahaan swasta di Kecamatan Luak, Kabupaten
Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Sementara itu, benih lele Pangasius
dikumpulkan dari Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak lokasi mereka
masing-masing adalah 75 km dan 160 km dari danau Maninjau.
Mortalitas massal ikan nila berkisar antara 50% hingga 60% selama kegiatan
budidaya karena penurunan kualitas air, sehingga berdampak pada produktivitas
keramba jaring apung. Dalam beberapa tahun terakhir, para pembudidaya ikan
belum bisa memprediksi penyebab kematian massal ikan nila. Petani ikan
membudidayakan tiga spesies ikan seperti lele, patin dan gurai. Ketiga spesies
ini tahan terhadap kualitas air yang buruk. Ikan lele dan patin tidak diberi pakan
pelet komersial, dan hanya diberi makan ikan nila mati yang berasal dari
keramba jaring apung di daerah ini.
Pakan ikan
Petani ikan di danau Maninjau telah melakukan kegiatan budidaya selama 60
hingga 180 hari per siklus produksi untuk mencapai ukuran pasar (Tabel 1).
Sebagian besar petani ikan memberi makan ikan dua kali sehari pada pukul
09:00 hingga 10:00 dan 16:00 berdasarkan pada berat ikan hidup (3-5%).
Karakteristik pakan yang digunakan adalah pakan komersial terapung dan
terbenam. Temuan serupa dengan Thongprajukaew et al. (2017), yang
melaporkan bahwa ikan nila diberi makan dua kali sehari (06.00 dan 18.00),
dapat digunakan secara praktis dalam manajemen makanan. Menurut Prem dan
Tewari. (2020) memberi makan ikan dengan cara yang tidak tepat dapat menjadi
masalah bagi petani ikan di negara berkembang. Petani ikan menganggap bahwa
pemberian makanan secara manual lebih ekonomis daripada menggunakan
teknologi modern (mekanis). Selain itu, Mungkung et al. (2013) melaporkan
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 17
bahwa FCR tinggi karena manajemen pemberian makanan yang buruk atau
kualitas air yang buruk. Chatvijitkul et al. (2017), menyatakan bahwa limbah
pakan terkait dengan FCR, sehingga mempengaruhi kualitas air. Oleh karena
itu, untuk memastikan bahwa pakan dikonsumsi secara optimal oleh ikan,
praktik manajemen pakan harus dilakukan dengan lebih baik.
Semua pakan yang digunakan untuk produksi perikanan budidaya di danau
Maninjau diperoleh dari perusahaan manufaktur pakan yang berlokasi di
Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Jumlah pasokan pakan saat ini ke
Kecamatan Tanjung Raya rata-rata 2.000 ton per bulan. Sebaliknya, pasokan
pakan ikan ke danau Kariba di Zambia berasal dari dua perusahaan berkisar
antara 50 - 100 ton per hari (Hasimuna et al., 2019). Pakan diangkut dengan
truk, jarak lokasi perusahaan pakan ke danau Maninjau adalah 650 km.
Penilaian kualitas pakan oleh petani ikan adalah 60% adalah kualitas terbaik,
30% adalah kualitas baik, sedangkan 10% menunjukkan bahwa agak buruk.
Pakan ikan komersial di danau Maninjau, biasanya mengandung 28 - 30%
protein kasar untuk ikan nila dan ikan mas, termasuk untuk ikan gurami. Tujuh
perusahaan yang memasok pakan ikan adalah Japfa Comfeed Indonesia Ltd,
Central Proteina Prima Ltd, Mabar Feed Indonesia Ltd, Malindo Feedmill Ltd,
Sinta Prima Feedmill Ltd, Universal Agri Bisnisindo Ltd dan Gargill Feed and
Nutrition Ltd (Gambar 5).
Gambar 5. Persentase pakan ikan yang dipasok oleh masing-masing perusahaan
ke danau Maninjau
18 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
Tantangan budidaya ikan keramba jaring apung
Tantangan pertama
Beberapa tantangan terjadi di danau Maninjau dan dapat menghambat
pengembangan akuakultur terutama ikan nila. Sebagian besar petani ikan
menghadapi tantangan kematian massal pada periode awal kegiatan budidaya
mereka. Kondisi ini memerlukan dukungan keuangan sebelum memulai
produksi lagi. Kemudian, kualitas airnya buruk dengan status hypereutrophic.
Menurut Ji et al. (2018) bahwa danau eutrofik didominasi oleh Cyanobacteria.
Cyanobacteria akan menghasilkan cyanotoxin (Burgos et al., 2018). Zhao et al.
(2006) melaporkan bahwa kematian massal ikan dikaitkan dengan racun dari
cyanobacteria. Sementara itu, tantangan utama budidaya ikan nila adalah
penyakit dari Streptococcus agalactiae yang menyebabkan kerugian besar bagi
petani nila di seluruh dunia (de Oliveira et al., 2018). Sedangkan, Nicholson et
al (2019) menyatakan bahwa TiLV ditemukan bersama dengan bakteri patogen
yang terkenal seperti Aeromonas spp.
Selain itu, negara lain telah melaporkan bahwa kematian ikan nila disebabkan
oleh infeksi virus yaitu Virus Danau Tilapia (TiLV) yang dapat menurunkan
produksi nila dan berpotensi menyebabkan dampak sosial ekonomi yang serius
(Hounmanou et al, 2018; Ferguson et al., 2014; Tsofack et al., 2017; Amal et
al., 2018; Mugimba et al., 2018)). Namun, belum ada penelitian tentang
kematian ikan nila oleh TiLV di danau Maninjau. Oleh karena itu, kematian
yang tinggi dari budidaya nila di keramba jaring apung merupakan tantangan
utama yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan produksi ikan di danau
Maninjau.
Tantangan kedua
Harga pakan pelet komersial (Rp 12.000 / kg) juga dilaporkan merupakan
tantangan besar bagi budidaya ikan di danau Maninjau. Karena harga jual ikan
tidak sebanding dengan harga pakan. Ikan nila menjadi sasaran spesies dengan
harga pasar lokal (Rp 19.000 / kg) dan tingkat produksi lebih tinggi (sekitar
85% dari total produksi). Selain itu, harga ikan mas majalaya Rp 22.000 / kg,
ikan lele dumbo Rp 15.000 / kg dan ikan patin Rp 14.000 / kg, sedangkan ikan
gurami harga jual Rp 35.000/kg. Biaya pakan menyumbang sekitar 60% dari
biaya operasi dalam sistem akuakultur di danau Maninjau. Selain itu, sebagian
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 19
besar dari mereka memiliki pengalaman tantangan dalam memperkirakan
jumlah pakan yang tepat untuk diberikan kepada ikan, sehingga nilai FCR
bervariasi antara 1,6 dan 1,8. Mirip dengan temuan Ali et al (2018) dan
Thongprajukaew et al (2017) yang menyatakan bahwa pakan merupakan input
paling signifikan dari biaya operasi dalam sistem akuakultur intensif, sehingga
pemberian pakan yang optimal tanpa limbah akan menentukan kelayakan
ekonomi dari sistem. Oleh karena itu, memberi makan ikan sesuai dengan
kebutuhan mereka dapat meningkatkan produktivitas, membantu mengurangi
kehilangan pakan dan menjaga lingkungan budidaya yang sesuai (Verdegem &
Bosma, 2009).
Sementara itu, beberapa tantangan penting dalam kegiatan budidaya ikan adalah
pencurian dan pemangsa seperti burung dan biawak (Hasimuna et al., 2019).
Namun, di danau Maninjau ditemukan bahwa pemangsa di atas tidak menjadi
tantangan bagi pembudidaya ikan Karena para petani ikan menjalankan kegiatan
budidaya mereka di sekitar tempat tinggal mereka.
Tantangan ketiga
Menurut peraturan pemerintah Kabupaten Agam Nomor 5/2014 tentang
pengelolaan danau Maninjau. Jumlah total keramba jaring apung yang diizinkan
untuk kegiatan budidaya adalah 6000 jaring. Jumlah jaring didasarkan pada
daya dukung akuakultur danau Maninjau. Dalam studi ini, peraturan pemerintah
di atas belum diterapkan oleh petani ikan. Mayoritas produsen akuakultur
(58,34%) menyatakan bahwa peraturan tersebut merupakan tantangan bagi
mereka untuk meningkatkan produksi dan pendapatan ikan. Sementara itu,
sangat sedikit kegiatan pertanian dapat dilakukan di darat karena lahannya
sempit, berbukit dan berbatu (data statistik BPS Kabupaten Agam). Namun,
David et al. (2015) menyatakan bahwa badan air harus digunakan secara
rasional berdasarkan daya dukung ekologis sehingga produksi akuakultur dapat
berkelanjutan. Misalnya, di sepanjang pantai Norwegia, peraturan pemerintah
telah diterapkan untuk menentukan distribusi spasial keramba salmon seperti
ukuran dan struktur kepemilikan keramba (Asche et al., 2009). Sementara itu, di
danau Victoria, Kariba, Malawi dan Taihu, petani ikan telah mematuhi
peraturan terbaik untuk mempromosikan budidaya berkelanjutan (Musinguzi et
al., 2019; Jamu et al., 2011; Jia et al., 2013).
20 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
Selain itu, kerusakan air yang terus berlanjut merupakan tantangan utama
pemerintah dalam upaya menyelamatkan danau Maninjau. Peneliti lain
menemukan bahwa kerusakan danau disebabkan oleh adanya komponen
nitrogen dan fosfor dalam badan air (David et al., 2015; Lindim et al., 2015).
Menurut Syandri et al. (2017), ketersediaan nitrogen, fosfor dan total bahan
organik dalam badan air secara signifikan lebih tinggi setelah kematian massal
ikan dan memiliki efek negatif pada kualitas air danau Maninjau. Kemudian,
pelepasan nutrisi dari kegiatan akuakultur kandang di lingkungan air tidak
hanya mempengaruhi kualitas air dan membawa konflik dengan banyak
pengguna, tetapi juga terutama memberikan efek umpan balik negatif dalam
operasi keramba apung sendiri (David et al., 2015; Lindim et al ., 2015; Du et
al., 2019; Ni et al., 2017).
Pada Tabel 2 menunjukkan masalah danau Maninjau. Kualitas air yang buruk,
mortalitas massa ikan dan hukum akuakultur yang tidak pasti adalah faktor
utama yang menyebabkan kerusakan air danau Maninjau. Variabel biofisik
seperti penyakit, polusi, dan kurangnya lingkungan yang sesuai (Jia et al., 2013;
Moura et al., 2016; Ni et al., 2017) termasuk politik, sosial dan partisipasi
masyarakat lokal adalah tantangan dominan untuk pengembangan akuakultur di
masa depan (Young et al., 2019; Holden et al., 2019; Weitzman, 2019; Senff et
al., 2018).
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prospek untuk perluasan produksi
akuakultur di danau Maninjau
Hambatan Persentase (%)
Ikan mati secara besar-besaran 87.50
Harga pakan mahal 83.33
Harga ikan rendah 72.61
Kualitas air buruk 95.83
Regulasi pemerintah tidak mendukung 41.66
Tidak ada izin /belum ada peraturan 58.33
Pembayaran ikan yang dijual tidak
kontan
91.66
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 21
Kesimpulan
Selama beberapa dekade, budidaya ikan keramba jaring apung di Danau
Maninjau telah mewakili proporsi terbesar dari total produksi perikanan
budidaya regional. Namun, itu tidak mampu menutupi kekurangan kebutuhan
ikan air tawar di Provinsi Sumatera Barat, termasuk Provinsi Riau dan Jambi.
Akhir-akhir ini, para pembudidaya ikan menghadapi tantangan seperti kondisi
kualitas air yang buruk, kematian massal nila Nil, biaya pakan yang tinggi,
penjualan ikan yang rendah, dan tidak dibayar tunai dari penjualan ikan. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa produksi budidaya keramba jaring apung memiliki
potensi besar di Danau Maninjau. Potensi ini dapat ditingkatkan berdasarkan
daya dukung akuakultur dengan memecahkan tantangan lain dalam budidaya
ikan. Selain itu, kami merekomendasikan bahwa budidaya ikan nila nila, ikan
mas, lele dumbo dan lele pangasius harus dimasukkan dalam inisiatif
perencanaan budidaya air tawar dengan mempertimbangkan faktor ekologis,
lingkungan, ekonomi, dan komunitas sosial lokal. Kebijakan ini memungkinkan
pemanfaatan danau Maninjau secara optimal untuk berbagai kegiatan seperti
pariwisata, pembangkit listrik tenaga air, dan kegiatan budidaya lainnya secara
berkelanjutan.
Daftar Pusataka
Ali. H., Rahman, M.M., Murshed-e-Jahan, K., Dhar, G.C., 2018. Production
economics of striped catfish (Pangasianodon hypophthalmus, Sauvage,
1878) farming under polyculture system in Bangladesh. Aquaculture 491,
281-390.
Amal, M.N.A., Koh, C.B., Nurliyana, M., Suhaiba,M., Nor-Amalina,Z.,
Shanta, S., Diyana Nadhirah, K.P., Yosuf, M.T., Ina-Salwany, M.Y., Zambri-
Saat, M., 2018. A case of natural co-infection of Tilapia Lake Virus
and Aeromonas veronii in a Malaysian red hybrid tilapia (Oreochromis
niloticus × O. mossambicus) farm experiencing high mortality. Aquaculture,
485: 12-16.
Aryani, N., Azrita, Mardiah, A., Syandri,H., 2017. Influence of feeding rate on
the growth, feed efficiency and carcass composition of the Giant gourami
(Osphronemus goramy). Pakistan Journal of Zoology, 49(5): 1775-1781.
DOI:
22 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
Asch, F., Roll, K.H. Tveteras, R., 2009. Economic inefficiency and
environmental impact: An application to aquaculture production. Journal of
Environmental Economics and Management 58:93-105.
https://doi.org/10.1016/j.jeem.2008.10.003
Burgos, M.J.G., Romero, J.L., Pulido,R.P., Molinos,A.C., Gálvez,A,. Lucas,
R., 2018. Analysis of potential risks from the bacterial communities
associated with air-contact surfaces from tilapia (Oreochromis niloticus) fish
farming. Environmental Research
CDSI, Central Data Statistic Indonesia, 2018. Ministry of Marine and Fisheries
Republic of Indonesia. Marine and Fisheries in Figures. Ministry of Marine
and Fisheries Republic of Indonesia (in Indonesian).
Chatvijitkul, S, Boyd, C. E..Davis, D. A , McNevin, A.A., 2017. Pollution
potential indicators for feed-based fish and shrimp culture. Aquaculture
477: 43-49.
Data BPS-statistics West Sumatera Province., 2018. Department of Marine and
Fisheries West Sumatera Province (in Indonesian). https://sumbar.bps.go.id/
Data BPS-Statistics Agam District, 2018. Agam District, West Sumatera
Province, Indonesia (in Indonesian).
David, G.S, Carvalho E.D., Lemos, D., Silveira, A.N., Dall'Aglio-Sobrinho, M.,
2015. Ecological carrying capacity for intensive Tilapia (Oreochromis
niloticus) cage aquaculture in a large hydroelectrical reservoir in
Southeastern Brazil. Aquacultural Engineering, 66:30-40.
De Oliveira, T.F., Queiroz, G.A., Teixeira, J.P., Figueiredo, H.C.P., Leal,
C.A.G., 2018. Recurrent Streptoccoccus agalactiae infection in Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) treated with florfenicol. Aquaculture 493: 51-60.
Dong, H.T., Ataguba, G.A., Khunrae, P., Rattanarojpong, T., Senapin, S., 2017.
Evidence of TiLV infection in tilapia hatcheries from 2012 to 2017 reveals
probable global spread of the disease. Aquaculture 479, 579–583.
https://doi.org/10.1016/j.aquaculture.2017.06.035
Du, H., Chen, Z., Mao G., Chen, L., Crittenden, J., Li, R.Y.M., Chai, L., 2019.
Evaluation of eutrophication in freshwater lakes: A new non-equilibrium
statistical approach. Ecological Indicators, 102:686-692.
FAO, 2018. The state of world fisheries and aquaculture 2018: contributing to
food security and nutrition for all, Rome.
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 23
Ferguson, H.W., Kabuusu, R., Beltran, S., Reyes, E., Lince, J.A., del Pozo, J.,
2014. Syncytial hepatitis of farmed tilapia, Oreochromis niloticus (L.): a case
report. Journal of Fish Diseases 37, 583–589.
Hasimuna, O.J., Maulu, S., Monde, C., Mweemba, M., 2019. Cage aquaculture
production in Zambia: Assessment of opportunities and challenges on Lake
Kariba, Siavonga district. Egyptian Journal of Aquatic Research, 45: 281-
285.
Henriksson, P.J.G., Tran, N., Mohan C.V., Chan, C.Y., Rodriguez, U-P., Suri,
S., Mateos, L.D., Utomo, N.B.P., Hall, S., Phillips, M.J., 2017. Indonesian
aquaculture futures evaluating environmental and socioeconomic potentials
and limitations. Journal of Cleaner Production, 162:1482-1490.
Holden, J.J., Collicutt, B., Covernton, G., Cox, K.D., Lancaster, D., Dudas, S.
E., Ban, N.C., Jacob, A.L., 2019. Synergies on the coast: Challenges facing
shellfish aquaculture development on the central and north coast of British
Columbia. Marine Policy, 101:108-117.
Hounmanou, Y.M.G., Mdegela, R.H, Dougnon, T.V., Achoh, M.E., Mhongole,
O.J., Agadjihouèdé, H., Gangbè, L., Dalsgaard, A., 2018. Tilapia lake virus
threatens tilapiines farming and food security: Socio-economic challenges
and preventive measures in Sub- Saharan Africa. Aquaculture 493: 123-129.
Jamu, D., Banda, M., Njaya, F., Hecky, R.E., 2011. Challenges to sustainable
management of the lakes of Malawi. Journal of Great Lakes Research, 37: 3-
14.
Ji, B., Qin, H., Guo,S., Chen, W., Zhang, X., Liang, J., 2018. Bacterial
communities of four adjacent fresh lakes at different trophic status.
Ecotoxicology and Environmental Safety 157:388-394.
Jia, P., Zhang, W., Liu, Q., 2013. Lake fisheries in China: Challenges and
opportunities. Fisheries Research, 140: 66-72. https://doi.org/10.1016/
j.fishres.2012.12.007.
Lindim, C., Becker, A., Grüneberg, B., Fische, H., 2015. Modelling the effects
of nutrient loads reduction and testing the N and P control paradigm in a
German shallow lake. Aquacultural Engineering, 82:418-457.
Mbowa, S., Odokonyero, T., Munyaho, A.T., 2017. Harnessing floating cage
technology to increase fish production in Uganda, Research Series No. 138.
Moura, R.S.T., Valenti, W.C., Henry-Silva, G.G., 2016. Sustainability of Nile
tilapia net-cage culture in a reservoir in a semi-arid region. Ecological
Indicators 66:574-582.
24 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
Mungkung, R., Aubin, J., Prihadi, T.H., Slembrouck, J., van der Werf, H.M.G.,
Legendre, M., 2013. Life Cycle Assessment for environmentally sustainable
aquaculture management: a case study of combined aquaculture systems for
carp and tilapia. Journal of Cleaner Production, 47:249-256.
Mugimba, K.K., Chengula, A.A., Wamala, S., Mwega, E.D., Kasanga, C.J.,
Byarugaba, D.K., Mdegela, R.H., Tal, S., Bornstein, B., Dishon, A., Mutoloki,
S., David, L., Evensen, Ø., Munang’andu, H.M., 2018. Detection of tilapia lake
virus (TiLV) infection by PCR in farmed and wild Nile tilapia (Oreochromis
niloticus) from Lake Victoria. Journal of Fish Diseases, 1-9.
Musinguzi, L., Lugya, J., Rwezawula, P., Kamya, A., Nuwahereza, C., Halafo,
J., Kamondo, S., Njaya, F., Aura, C., Shoko, A.P., Osinde, R., Natugoza, V.,
Ogutu-Ohwayo, R., 2019. The extent of cage aquaculture, adherence to best
practices and reflections for sustainable aquaculture on African inland
waters. Journal of Great Lakes Research, in press.
Nicholson, P., Mon-on, N., Jaemwimol, P., Tattiyapong, P., Surachetpong,W.,
2019. Coinfection of tilapia lake virus and Aeromonas hydrophila
synergistically increased mortality and worsened the disease severity in
tilapia (Oreochromis spp.). Aquaculture Inpress.
Ni, Z., Wu, X., Li, L., Lv, Z., Zhang, Z., Hao, A., Iseri, Y., Kuba, T., Zhang, X.,
Wu, W-M., Li, C., 2017. Pollution control and in situ bioremediation for lake
aquaculture using an ecological dam. Journal of Cleaner Production, 172:
2256-2265.
Opiyo, M.A., Marijani, E., Muendo, P., Odede, R., Leschen, W., Charo-Karisa,
H., 2018.A review of aquaculture production and health management
practices of farmed fish in Kenya. Int. J. Vet. Sci. Med. 6, 141–148.
Pouil, S., Samsudin, R., Slembrouck, J., Sihabuddin, A., Sundari, G.,
Khazaidan, K., Kristanto, A.H., Pantjara, B., Caruso, D., 2019. Nutrient
budgets in a small-scale freshwater fish pond system in Indonesia.
Aquaculture 504: 267-274.
Prem, R and Tewari, V.K,. 2020. Development of human-powered fish feeding
machine for freshwater aquaculture farms of developing countries.
Aquacultural Engineering, 88:102028.
Rimmer, M.A., Sugama, K., Rakhmawati, D., Rofiq, R., Habgood, R.H., 2013.
A review and SWOT analysis of aquaculture development in Indonesia. Rev.
Aquac. 5, 255–279.
B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g | 25
The Agam Regency Government, West Sumatera Province, 2014. Regulation
Number 5 /2014 concerning Management of Lake Maninjau.
Senff, P., Partelow, S., Indriana, L. F., Buhari, N., Kunzmann, A., 2018.
Improving pond aquaculture production on Lombok, Indonesia.
Suhenda, N., Samsudin,R., Nugroho, E., 2010. Growth of green catfish
(Hemibagrus nemurus) fry in floating net cage feed by artificial food with
different protein content. Journal Iktiologi Indonesia, 10(1): 65-71 (in
Indonesian).
Sunarto, A., Kusrini, E., 2006. Mass mortality of Common carp (Cyprinus
carpio) in floating net cages Lake Toba of North Province. Media
Akuakultur, 1(1):13-17 (in Indonesian)
Syandri, H., Junaidi., Azrita., Yunus, T., 2014. State of aquatic resources
Maninjau Lake West Sumatra Province, Indonesia. J. Ecology and Env. Sci,
1 (5): 109-113.
Syandri, H., Azrita., Junaidi., Elfiondri., 2015. Social Status of the fish-farmers
of floating-net-cages in Lake Maninjau, Indonesia. Journal of Aquaculture
Research & Development, 7:1. DOI: 10.4172/2155-9546.1000391
Syandri, H, Azrita., Niagara., 2016. Trophic status and load capacity of water
pollution waste fish culture with floating net cages in Maninjau Lake,
Indonesia. Eco. Env. & Cons. 22 (1): 469-476.
Syandri, H., Azrita., Junaidi., Mardiah, A., 2017. Levels of available nitrogen-
phosphorus before and after fish mass mortality in Maninjau Lake of
Indonesia. J. Fish. Aquat. Sci., 12 (4): 191-196. DOI:
10.3923/jfas.2017.191.196
Syandri, H., Azrita., Mardiah, A., 2018. Nitrogen and phosphorus waste
production from different fish species cultured at floating net cages in
Lake Maninjau, Indonesia. Asian J. Sci. Res, 11 (2): 287-294.
Tanjung, R.S., 2015. Mollusca of Lake Maninjau: Nutrition content and
economic potensial. Limnotek, 22(2): 118-128 (in Indonesian).
http://limnotek.or.id/index.php/limnotek/article/view/37
Tran, N., Rodriguez, U.P., Chan, C.Y., Phillips, M.J., Mohan, C.V., Henrikson,
P.J.G., Koeshendrajana, S., Suri, S., Hall, S., 2017. Indonesian aquaculture
futures: An analysis of fish supply and demand in Indonesia to 2030 and role
of aquaculture using the Asia Fish model. Marine Policy, 79: 25-32.
Thongprajukaew, K., Kovitvadhi, S., Kovitvadhi, U., Preprame, P., 2017.
Effects of feeding frequency on growth performance and digestive enzyme
26 | B u d i d a y a I k a n K e r a m b a J a r i n g A p u n g
activity of sex-reversed Nile tilapia, Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758).
Agriculture and Natural Resources, 51(4): 292-298.
Tsofack, K.J.E., Zamostiano, R., Watted, S., Berkowitz, A., Rosenbluth, E.,
Mishra, N., Briese, T., Lipkin, W.I., Kabuusu, R.M., Ferguson, H., del
Pozo, J., Eldar, A., Bacharach, E., 2017. Detection of Tilapia Lake Virus in
Clinical Samples by Culturing and Nested Reverse Transcription-PCR.
Journal of Clinical Microbiology 55, 759–767.
Verdegem, M.C.J., Bosma, R.H., 2009. Water withdrawal for brackish and
inland aquaculture and options to produce more fish in ponds with present
water use. Water Policy 11, 52–68 Supplement 1.
Weitzman, J., 2019. Applying the ecosystem services concept to aquaculture: A
review of approaches, definitions, and uses. Ecosystem Services, 35:194-206.
Young, N., Brattland, C., Digiovanni, C., Hersoung, B., Johnsen, J.P., Karlsen,
K.M., Kvalvik I., Olofsson E., Siomonsen K., Solas, A-M., Thorarensen, H.,
2019 Limitations to growth: Social-ecological challenges to aquaculture
development in five wealthy nations. Marine Policy, 104:216-224.
Zhao, M., Xie, S., Zhu, X., Yang, Y., Gan, N., Song, L., 2006. Effect of dietary
cyanobacteria on growth and accumulation of microcystins in Nile tilapia
(Oreochromis niloticus). Aquaculture 261: 960 – 966.
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 27
CHAPTER 3
PEMUATAN BEBAN LIMBAH DARI AKUAKULTUR
Pemuatan nitrogen dan phosphorus
Nitrogen (N) dan phosphorus (P) adalah elemen penting untuk sistem
kehidupan. Produksi N dan P dalam bentuk pupuk dan pakan ikan secara global
terus meningkat sebagai respons terhadap pertumbuhan populasi penduduk dan
peningkatan permintaan untuk tanaman pangan, tanaman non-pangan seperti
biofuel dan pakan ikan yang dibudidayakan di berbagai tipe perairan
(danau,waduk, sungai dan kolam). Aktifitas ini ini telah menyebabkan
penggunaan N dan P yang berlebihan di sejumlah sistem produksi pangan-
agribisnis di seluruh dunia, termasuk agribisnis perikanan budidaya di Indonesia
(Mungkung et al., 2013; Prathumchai et al, 2016; Syandri et al, 2018) .
Aktifitas budidaya ikan adalah salah satu sektor penghasil makanan yang
berasal dari hewani yang paling cepat berkembang, terhitung hampir separuh
dari total pasokan ikan untuk sumber pangan (FAO, 2014). Jika tidak ditangani
secara bijaksana, praktik budidaya ikan saat ini dapat memiliki dampak
lingkungan negatif yang dapat mengakibatkan eutrofikasi di badan air,
perubahan lanskap kawasan perairaan, dan perubahan dalam keanekaragaman
hayati (Tovar et al., 2000). Eutrofikasi adalah pertumbuhan berlebihan dan
akumulasi alga dan tanaman air lainnya sebagai respons terhadap peningkatan
input nutrisi. Hal ini diakui sebagai ancaman serius terhadap kualitas air dengan
mengurangi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem akuatik berharga
lainnya (Seppälä et al., 2004; Smith, 2003; Tilman et al., 2001). Umumnya,
diasumsikan bahwa eutrofikasi sistem air tawar hanya dibatasi oleh P, dan
sistem air asin dibatasi oleh N. Konsep "membatasi gizi" telah digunakan untuk
menyederhanakan pemodelan, karena nutrisi lain biasanya hanya menjadi
terbatas dalam kondisi tertentu (Finnveden dan Potting, 1999). Meskipun
eutrofikasi akuatik menjadi perhatian dunia, metode LCIA untuk pemodelan
dampak eutrofikasi air dari N dan P masih langka.
Faktor ini juga menimbulkan kekhawatiran lainnya (misalnya berkembangnya
penyakit ikan dan tingkat eutrofik perairan). Untuk mengurangi dampak negatif
dari aktifitas budidaya ikan para peneliti telah memotivasi industri untuk
28 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
mengeksplorasi sistem budidaya perairan berbasis lahan (RASs) sebagai
alternatif untuk mengurangi dampak dari budidaya ikan di kolam terbuka secara
tradisional dan sistem budidaya ikan di karamba jaring apung (Avenue and
Kong, 1995; Timmons dan Ebeling, 2007).
Dalam RAS, air dari tangki pemeliharaan ikan disirkulasikan melalui bioreaktor
yang mampu meningkatkan kualitas seperti sediakala dan digunakan kembali
dalam tangki budidaya untuk pertumbuhan ikan. Konsep ini memberikan
peningkatan kontrol atas kualitas air, performa ikan, biosekuriti dan penggunaan
energi (Ebeling, 2000; Timmons dan Ebeling, 2007; Tal et al., 2009). Di RAS,
pakan ikan sebenarnya adalah satu-satunya sumber padatan karbon dan nitrogen
yang merupakan sumber utama pencemaran. Diperkirakan bahwa menurut
beratnya, jumlah padatan yang dihasilkan dalam sistem RAS adalah sekitar 30
hingga 60% dari pakan ikan yang digunakan (Chen et al., 1994).
Limbah padat terutama terdiri dari hasil ekskresi ikan dan dalam jumlah
persentase kecil dari pakan yang tidak dimakan. Fraksi organik berkisar antara
50 hingga 92% dan biasanya mengandung total padatan yang rendah berkisar
antara 1,5-3% dalam efluen (Mirzoyan et al., 2008). Bahan padat dan lumpur
RAS biasanya dihilangkan dengan sedimentasi atau filtrasi fisik (Chen et al.,
1994; Timmons dan Ebeling, 2007). Sementara air tawar dari hasil RAS dapat
digunakan sebagai pupuk, penggunaan lumpur RAS saline sangat terbatas (jika
sama sekali), karena salinitasnya yang tinggi (Sharrer et al., 2007). Saat ini,
pembuangan lumpur dari sebagian besar RAS dilakukan di luar lokasi
(Piedrahita, 2003), tetapi memerlukan volume air yang tinggi dan merupakan
sumber pencemaran yang potensial.
Danau Maninjau tergolong tecto-vulkanik dengan luas permukaan air 99.5 km2,
berada pada elevasi 463 m.dpl (Apip et al., 2003). Merupakan satu dari lima
belas danau perioritas yang sangat penting diselamatkan di Indonesia (KLH,
2012). Danau ini dijadikan sebagai kawasan strategis Provinsi Sumatera Barat.
Berperan penting sebagai tempat dinasti wisata, pembangkit listrik tenaga air
(PLTA), aktivitas budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA), serta
kawasan konservasi plasma nutfah ikan lokal endemik (Syandri et al, 2016a;
Syandri et al, 2016b).
Air danau Maninjau dengan volume 10,33 milyar m3 (Apip et al., 2003), saat ini
sudah tercemar berat, berbusa dan bau busuk, kecerahan hanya 1,2 meter
sehingga tidak layak digunakan untuk kehidupan manusia dan biota danau
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 29
(Syandri et al, 2017), biota danau (ikan) tercemar logam berat (Syandri et al.,
2015a). 93,45% beban pencemaran air danau berasal dari limbah budidaya ikan
KJA (Syandri et al., 2016b). Total KJA tahun 2011 (15.000 unit), 2012 (15.860
unit), 2014 (16.580 unit), dan 2015 (20.608 unit) (Junaidi et al., 2014; Syandri
et al., 2015). Daya dukung danau Maninjau terhadap produksi ikan KJA adalah
15.432,90 ton/tahun, setara dengan 8.230 petak KJA (Syandri et al., 2016).
Berdasarkan data di atas, pemanfaatan danau Maninjau untuk budidaya ikan
dengan KJA telah melebihi daya dukung danau (Syandri et al, 2016b).
Akibatnya telah terakumulasi limbah budidaya ikan KJA dalam bentuk sedimen
di dasar danau sebanyak 111.889,94 ton (Junaidi et al., 2014). Limbah KJA
terdiri senyawa nitrogen (N) dan phosphorus (P) (Gondwe et al., 2011; Abou et
al., 2012; Koçer et al., 2013; Kawasaki et al, 2016; Yang et al, 2017). Menurut
Syandri et al (2017a) setiap ton produksi ikan nila dari KJA menghasilkan N
dan P masing-masing sebesar 50,14±8,34 kg dan 12,86±1,74 kg. Asir dan
Pulatsu (2008) menyatakan bahwa setiap ton produksi budidaya ikan Rainbow
trout menghasilkan limbah N dan P masing-masing 25.97 kg dan 62.92 kg.
Bagaimana polutan (N dan P) masuk ke air?
Mirip dengan mahluk hidup lainnya, hewan akuatik memiliki kebutuhan nutrisi
spesifik. Oleh karena itu, pakan yang diformulasikan dengan gizi seimbang atau
makanan alami baik dalam bentuk segar atau beku digunakan dalam budidaya.
Pembentukan limbah tidak dapat dihindari dalam memberi makan hewan, yang
bahkan lebih jelas dalam budidaya. Dengan demikian, pencemaran lingkungan
budidaya dimulai dengan praktik pemberian pakan. Secara umum, pakan untuk
budidaya ikan diproduksi menggunakan bahan yang tidak digunakan atau
memiliki lebih sedikit permintaan untuk konsumsi manusia (Xu et al., 2007).
Konsep di balik pengumpanan artifisial adalah mengubah bahan pakan bernilai
rendah, sebagian besar bahan nabati dan produk sampingan ikan, menjadi ikan
yang sangat mudah menguap (Tovar et al., 2000) atau lebih disukai protein
hewani. Efisiensi konversi ini tidak hanya penting secara ekonomi tetapi juga
dari sudut pandang pemborosan.
Limbah akuakultur termasuk pakan yang dimakan, limbah metabolik, kotoran,
dan residu obat yang digunakan (Tovar et al., 2000; Wu., 1995). Sebagai pakan
ikan biasanya kaya makro dan mikronutrien (protein, lipid, karbohidrat, vitamin,
mineral, dan beberapa pigmen), limbah yang berasal dari diet juga mengandung
30 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
tingkat tertentu dari nutrisi sebelumnya (Fernandes., 2003; Piedrahita., 2003;
Sugiura et al., 2006). Pakan yang dimakan dan tinja terakumulasi sebagai bahan
organik, sementara produk ekskretori anorganik, terutama amonia / amonium
dan sebagian urea, bikarbonat, dan fosfat masuk ke air dalam bentuk terlarut. Qi
et al (2019) mendeskripsikan model N dan P dari pakan non formulasi dengan
pakan formulasi masuk ke badan air (Gambar 1).
Gambar 1. Model nitrogen dan fosfor (kg [ton diproduksi × tahun] −1
) untuk
sistem kandang menggunakan pakan ikan rucah (A dan B) dan untuk sistem
kandang menggunakan pakan formulasi (C dan D) di Teluk Daya China Selatan.
DIN dan DIP untuk N dan P anorganik terlarut; DON dan DOP masing-masing
untuk N dan P organik terlarut; PON dan POP masing-masing untuk partikel
organik N dan P.
Selanjutnya Qi et al. (2019) melaporkan jumlah tahunan N dan P yang
dilepaskan dari budidaya ikan adalah 205,6 ton N dan 39,2 ton P, termasuk
142,7 ton nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan 15,1 ton fosfor anorganik
terlarut (DIP). Di antara sumber nutrisi yang dianalisis, kontribusi DIN dan DIP
dari budidaya ikan masing-masing adalah 7,0% dan 2,7%. Untuk keramba yang
mengonsumsi pakan rucah secara konvensional, 142 kg N dan 26 kg P
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 31
dilepaskan ke lingkungan per ton produksi ikan, jauh lebih tinggi daripada nilai
(72 kg N dan 17,3 kg P) untuk keramba menggunakan pakan yang
diformulasikan. Pada budidaya ikan, nutrisi terlarut lebih kaya N, tetapi nutrisi
partikulat lebih kaya P. Rasio N dan P yang dilepaskan dari keramba adalah
21:1, lebih tinggi dari rasio air laut pantai (27:1), ini menunjukkan bahwa
akuakultur dengan keramba juga dapat berdampak pada bentuk nutrisi lokal di
sekitar wilayah perikanan. Budidaya tiram dan panen menghilangkan 126,3 ton
N dan 35,1 ton P dari teluk. Mengganti ikan rucah dengan pakan yang
diformulasikan dan membudidayakan bersama spesies yang dapat
mengekstraksi nutrisi (mis., bivalvia, makroalga) dan spesies yang memberi
makan deposit (mis., teripang) di zona budidaya ikan dapat menjadi strategi
mitigasi nutrisi yang efisien.
Menurut literatur yang diterbitkan, pemuatan gizi yang timbul dari makanan dan
makan ikan dapat secara luas dibagi menjadi faktor-faktor yang tercantum di
bawah ini. Entah faktor tunggal atau kombinasi faktor akan menentukan output
limbah dari sistem tertentu:
1. Penggunaan tepung ikan yang tinggi di dalam ransum pakan;
2. Penggunaan pakan yang melebihi persyaratan nutrisi ikan atau
ketidakseimbangan nutrisi;
3. Kualitas pakan yang buruk (stabilitas yang buruk dan daya larut pelet
pakan yang tinggi dalam air);
4. Praktek pemberian makan yang tidak sesuai;
5. Penggunaan diet yang tidak menyeimbangkan rasio energi protein (P /
E);
6. Penggunaan pakan dengan bahan dengan daya cerna rendah;
7. Penggunaan ikan rucah sebagai makanan dalam budidaya ikan karamba
jaring apung;
8. Penggunaan produk sampingan berbiaya rendah untuk pakan tambahan /
penggunaan sintetis atau pupuk organik untuk meningkatkan
produktivitas budidaya ikan.
Karena pakan ikan kaya nitrogen dan fosfor, jumlah N dan P yang signifikan
akan masuk ke dalam air melalui pakan yang dimakan dan feces ikan.
Kandungan nitrogen protein bervariasi dari 13% hingga 19%, dan protein
hewani mengandung sekitar 16% nitrogen. Jika kandungan protein dari tepung
ikan diperkirakan sebesar 65%, maka jumlah N dalam 1 kg tepung ikan dapat
diprediksi sebanyak 130 g. Efisiensi retensi nitrogen dari banyak spesies ikan
32 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
dapat diperkirakan sebesar 30%. Oleh karena itu, setiap kilogram pakan ikan
yang diberikan kepada ikan akan melepaskan setidaknya 70 g nitrogen ke
lingkungan. Selanjutnya, kebutuhan fosfor minimal ikan umumnya dilampaui
ketika menggunakan tepung ikan (atau pakan dengan kadar abu yang tinggi)
sebagai sumber protein utama dalam pakan. Fosfor dalam tepung ikan terutama
dikaitkan dengan jaringan keras yaitu tulang dan sisik, dan memiliki daya cerna
yang baik untuk sebagian besar spesies. Namun, penggunaan persentase tinggi
tepung ikan dalam pakan yang melampaui kebutuhan minimal, merupakan salah
satu faktor potensial yang berkontribusi terhadap pembebanan kelebihan nutrisi
dari budidaya ikan di karamba jaring apung.
Memberi makan hewan adalah suatu ilmu da teknologi yang perlu dikuasai
untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi dan meminimalkan pemborosan.
Memberi makan hewan akuatik tidak sebanding dengan pakan hewan darat
karena jauh lebih sulit. Ikan hidup di lingkungan akuatik di mana kelarutan
pakan sangat tinggi. Setelah diberikan pakan untuk ikan, sulit memprediksi
apakah pakan tersebut dimakan oleh ikan atau terbuang ke badan air. Pakan
dapat langsung masuk ke lingkungan ketika tidak dimakan oleh ikan atau hanya
karena makan berlebih dan terakumulasi di badan air. Hal ini sangat serius
dalam budidaya ikan karamba jaring apung dan karamba tancap ketika unit
budidaya ikan dilaksanakan dalam lingkungan perairan terbuka.
Rasio konversi pakan (FCR) adalah kriteria yang biasanya digunakan untuk
mengevaluasi pemanfaatan pakan pada usaha budidaya ikan. FCR memberikan
gagasan tentang berapa banyak unit pakan yang diperlukan untuk menghasilkan
unit biomassa organisme budidaya. Semakin tinggi FCR, semakin banyak pakan
diperlukan untuk menghasilkan satu unit ikan. Secara umum, FCR paling baik
dievaluasi pada kepadatan nutrisi yang sama karena FCR berbanding terbalik
dengan kepadatan nutrisi dari pakan. Misalnya, protein rendah, FCR tinggi.
Dalam hal apapun, ini juga dipengaruhi oleh daya cerna dan keseimbangan
nutrisi pakan. Karena jenis-jenis pakan dan praktik manajemen bervariasi pada
lingkungan tertentu, FCR dapat bervariasi menurut wilayah tetapi seringkali
sangat mirip dalam spesies. FCR terutama merupakan istilah ekonomi serta
indikasi pemuatan karbon. Sebaliknya semakin tinggi FCR maka nilai efisiensi
pakan semakin rendah (Tabel 1).
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 33
34 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
Pemuatan limbah nitrogen dan fosfor dari ikan mati massal
Senyawa N dan P yang berasal dari ikan mati massal telah menyebabkan
bencana kerusakan air dan biota danau Maninjau, seperti dipresentasikan pada
Tabel 2 dan 3 (Syandri et al., 2017), selain itu telah menimbulkan efek
blooming phytoplankton (Syandri et al, 2020), sebagaimana juga terjadi di
danau lain di seantaro dunia (Horppila et al, 2017; Li et al., 2016; Ho and Anna,
2017), yang dapat menghasilkan racun, bau busuk dan membuat airnya tidak
bisa digunakan untuk aktivitas rekreasi (Azevedo et al., 2015), sehingga
menimbulkan kerugian secara ekonomi (das Neves Almeida et al., 2017). Selain
itu, pengaruh eutrofikasi dapat menyebabkan ikan mati dan pada akhirnya dapat
menyebabkan pengurangan keanekaragaman hayati (Lapointe et al., 2015).
Tragedi yang terjadi pada usaha budidaya ikan KJA di danau Maninjau adalah
kematian ikan di KJA secara besar-besaran sejak tahun 1997-2015 sebanyak
17.643 ton dengan nilai kerugian sebesar Rp 212,175 milyar (Syandri et al,
2016). Pada bulan Agustus dan September 2016 kembali terjadi tragedi
kematian ikan KJA secara massal sebanyak 600 ton. Semua bangkai ikan
tenggelam ke dasar danau sehingga berdampak buruk terhadap kualitas air, bau
busuk, termasuk dampak ekonomi dan sosial masyarakat (Syandri et al, 2017).
Menurut Motallebi et al, (2017) program penyelamatan pencemaran air akibat
pembebanan bahan nutrisi organik sangat penting dilakukan di danau, waduk
dan sungai, termasuk di danau Maninjau (Syandri et al, 2017).
Tabel 2. Level nitrogen (N) dan phosphorus (P) di permukaan air danau
Maninjau sebelum dan sesudah ikan mati massal (Syandri, Azrita, A.
Mardiah, 2017)
Stations N (mg L⁻¹) P (mg L⁻¹)
February 2016 February 2017 February 2016 February 2017
Muko-Muko 0.85±0.015aA*
1.83±0.015aB
0.16±0.015aA
0.91±0.010aB
Pasa 1.16±0.025bA
2.15±0.025bB
0.23±0.030bA
0.72±0.010bB
Pandan 0.71±0.015cA
2.09±0.020cB
0.14±0.015cA
0.50±0.020cB
Sungai
Tampang
1.13±0.030dA
1.95±0.020dB
0.53±0.020dA
0.74±0.010dB
Air sampel pada kedalaman 0.10 m
Data dipresentasi rata-rata (±SD) dari tiga kali ulangan
Februari 2016 sebelum ikan karamba jaring apung (KJA) mati massal, Februari
2017 setelah ikan KJA mati massal
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 35
Tabel 3. Level nitrogen (N) and phosphorus (P) pada air di bawah KJA di danau
Maninjau sebelum dan setelah ikan mati massal (Syandri et al, 2017).
Stations
N (mg L⁻¹) P (mg L⁻¹)
February
2016
February
2017
February
2016
February
2017
Muko-
Muko
0.96±0.017aA*
2.11±0.035aB
0.36±0.015aA
0.72±0.010bB
Pasa 1.23±0.015bA
2.30±0.020bB
0.37±0.030bA
0.97±0.010bB
Pandan 0.90±0.010cA
2.60±0.030cB
0.34±0.015cA
0.81±0.020bB
Sungai
Tampang
1.43±0.010dA
2.41±0.025dB
0.63±0.020dA
0.85±0.010aB
Surface water samples were taken at a depth of 30 m
Data are presented as the mean (±SD) of triplicate samples.
Februari 2016 sebelum ikan karamba jaring apung (KJA) mati massal, Februari
2017 setelah ikan KJA mati massal
Total KJA, kebutuhan pakan, total produksi ikan, total N dan P yang dilepaskan
ke badan air dari produksi ikan dan dari pakan yang konsumsi ikan dari tahun
2017 - 2022 dipresentasikan pada Tabel 4.
Tabel 4.Estimasi total KJA, pakan, produksi ikan, total N dan P yang dilepaskan
ke badan air Tahun KJA
Produktif
(petak)
Kebutuh
an Pakan
(ton)
Produksi
ikan
(ton)
Total N yang
dilepas ke
badan air dari produksi ikan
(ton)
Total P yang
dilepaskan ke
badan air dari produksi ikan
(ton)
Total N yang
dilepas ke
badan air dari pakan yang
dikonsumsi
(ton)
Total P
yang
dilepas ke badan air
dari pakan
yang dikonsumsi
(ton) 2017 21.594,00 52.019 34.640,90 1.710,59 693,28 1124,24 287,04
2018 22.805,00 54.926 36.578,60 1.804,15 732,05 1284,48 327,96
2019 24.016,00 57.833 38.516,30 1.897,72 770,84 1358,12 346,76
2020 25.228,00 60.740 40.454,00 1.991,28 809,62 1380,38 352,45
2021 26.439,00 63.647 42.391,70 2.084,84 848,40 1419,78 362,51
2022 27.650,00 65.740 44.329,40 2.178,41 887,18 1.764,66 450,56
Estimasi total nitrogen (N) dan phosphorus (P) yang akan dilepaskan ke badan
air danau Maninjau dari produksi ikan dari tahun 2017 – 2022 akan terus
meningkat. Hubungannya sangat kuat jika dihubungkan dengan produksi ikan
36 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
(R2) masing-masing adalah 0,79 dan 0,84. Selanjutnya dari pakan yang
dikonsumsi oleh ikan maka diestimasi total N dan P yang akan dilepaskan ke
badan air danau Maninjau setiap tahun juga meningkat. Hubungan sangat kuat
(R2) masing-masing adalah 0.98
Total N dan P di perairan danau Maninjau yang berasal dari operasional
budidaya ikan KJA lebih dominan jika dibandingkan dengan aktifitas lainnya.
Peningkatan muatan N dan P sebagai sumber bahan pencemaran ke badan air
danau dapat disebabkan oleh aktifitas budidaya ikan karamba jaring apung
(Junaidi et al, 2015; Syandri et al, 2016).
Pemuatan limbah nitrogen dan fosfor dari spesies ikan berbeda
Kegiatan perikanan, khususnya akuakultur, adalah salah satu masalah
lingkungan utama yang menyebabkan polusi air karena tingginya tingkat nutrisi
dan padatan tersuspensi yang terkandung dalam limbah cairan (Paez-Osuna,
2001; Rosa et al., 2013). Budidaya ikan menghasilkan limbah yang berasal
pemborosan pakan, ekskresi ikan, antibiotik, dan oksigen terlarut rendah yang
menghasilkan efek yang tidak diinginkan pada populasi ikan-ikan liar yang
hidup disekitar areal budidaya (Syandri et al, 2016), termasuk ikan yang mati
secara besar-besaran (Syandri et al, 2017). Ini termasuk efek potensial yang
dapat menimbulkan penyakit kepada ikan budidaya dan ikan – ikan liar, di
samping efek negatif lainnya pada ekosistem perairan. Dampak lingkungan
global dari budidaya ikan sistem karamba jaring apung telah dilaporkan dalam
banyak penelitian; misalnya dari Jepang (Islam, 2005), Kanada (Wu, 1995),
Hong Kong (McGhie et al., 2000), Cina (Herbeck et al., 2013), Sri Lanka
(Herath dan Satoh, 2015) dan Spanyol (Rabasso dan Hern, 2015), tidak
terkecuali di Indonesia (Syandri et al, 2014; Syandri et al, 2016, Mungkung et
al, 2013). Fosfor juga merupakan salah satu polutan utama yang berkaitan
dengan dampak yang disebutkan di atas yang disebabkan oleh budidaya ikan
keramba jaring apung di perairan danau (Syandri et al., 2018, Syandri et al,
2020).
Hasil budidaya ikan di karamba jaring apung meliputi parameter pertumbuhan,
FCR, mortalitas dan analisis kimia dari masing-masing pakan dan spesies ikan
disajikan pada Tabel 5. Perbedaan spesies ikan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap bobot akhir rata-rata dari ikan, FCR dan mortalitas.
Kandungan N dan P dari pakan masing-masing adalah 5,52±0,29% dan
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 37
1,41±0,03%. Kandungan N dan P dari masing-masing jenis ikan disajikan pada
Tabel 5. Variasi bulanan dalam parameter kualitas air di danau Maninjau seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
kecerahan air, suhu air, oksigen terlarut, pH, alkalinitas atau nilai kesadahan
selama bulan Maret, April, Mei dan Juni 2017 (Tabel 6).
Tabel 5. Hasil parameter pertumbuhan dan analisis kimia spesies ikan yang
berbeda (Sumber: Syandri et al, 2018)
Parameters Spesies
T₁ T₂ T₃ T₄
Rata-rata berat awal (g) 56.79±1.77 53.08±1.60 55.33±1.14 51.18±1.59
Rata-rata berat akhir (g) 182.45±2.00a 175.10± 2.30b 148.55±7.53c 233.30±7.51d
Feed conversion ratio 1.44±0.02a 1.55±0.03b 1.69±0.03c 1.13±0.10d
Tingkat kematian (%) 12.46±0.93a 10.92 ± 0.36b 8.18±0.28c 5.20±0.30d
Kadar N pada ikan (%) 4.17±0.05 3.55 ± 0.05 4.59±0.07 4.13±0.04
Kadar P pada ikan (%) 0.20±0.02 0.18 ± 0.02 0.13±0.03 0.29±0.02
Kadar N pada pakan (%) 5.52±0.29 5.52±0.29 5.52±0.29 5.52±0.29
Kadar P pada ikan (%) 1.41±0.03 1.41±0.03 1.41±0.03 1.41±0.03
*Values in the same row with a different superscript are significantly different
(p<0.05), T₁: C.carpio, T₂: O.niloticus, T₃: O.goramy, T₄: C.gariepinus
Beban N dan P dari budidaya ikan karamba jaring apung diperkirakan sesuai
dengan metode yang dijelaskan oleh Ackefors dan Enell (1990). Parameter
berikut dianalisis sesuai dengan rumus di bawah ini:
N load (kg N) = [(Feed x FeedN) - (Fish x FishN)]
P load (kg P) = [(Feed x FeedP) - (Fish x FishP)]
Keterangan: feed = adalah total pakan yang digunakan selama percobaan,
dan Fish = adalah berat basah ikan yang diproduksi per panen. FeedN = adalah
kadar N dari feed, dan FeedP = adalah kadar P dari pakan yang dinyatakan
sebagai persentase berat kering. FishN = adalah kadar N pada daging ikan, dan
FishP = adalah kadar P dari dari daging ikan yang dinyatakan sebagai
persentase berat basah.
Beban N dan P dari produksi 1 ton ikan = (total pakan yang digunakan selama
percobaan x FCR) x (kadar N atau P pakan) - (1 ton ikan x kadar N atau P pada
ikan). Beban N dan P dari 1 ton pakan yang dikonsumsi = [(pakan 1 ton x kadar
N atau P pakan)) x(FCR)]
38 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
Keseimbangan massa kandungan N dan P untuk empat spesies ikan disajikan
pada Tabel 7. Perkiraan beban untuk N dan P dari produksi satu ton ikan pada
T₁ (37,93 ± 2,59 kg untuk N dan 18,30 ± 0,12 kg untuk P), T₂ (49,90 ± 5,17 kg
untuk N dan 20,01 ± 0,99 kg untuk P), T₃ (45,90 ± 4,18 kg untuk N dan 22,60 ±
0,80 kg untuk P) dan T₄ (20,35 ± 4,12 kg untuk N dan 13,93 ± 1,47 kg untuk P)
(Gambar 2). Perkiraan untuk N dan P beban dari satu ton konsumsi pakan pada
T₁ (38,26 ± 2,55 kg untuk N dan 11,45 ± 2,43 kg untuk P), T₂ (35,68 ± 1,69 kg
untuk N dan 9,11 ± 0,21 kg untuk P), T₃ (32,12 ± 0,39 kg untuk N dan 8,34 ±
0,04 kg untuk P) dan T₄ (48,99 ± 2,35 kg untuk N dan 12,51 ± 0,30 kg untuk P)
(Gambar 3).
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis beban N dan P yang dilepaskan
oleh karamba jaring apung di danau Maninjau. Hasil kami menunjukkan bahwa
spesies T₄ memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan
T1, T₂ dan T₃. Perbedaan dalam tingkat pertumbuhan mungkin karena tingkat
pertumbuhan spesifik dari masing-masing spesies ikan. Tingkat pertumbuhan
spesifik (SGR,% d⁻¹) untuk T₁, T₂, T₃ dan T₄ digunakan dengan laju pemberian
4% masing-masing adalah 1,16, 1,19, 0,98 dan 1,52. Sejumlah penelitian di
tempat lain menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan spesifik (SGR) dari setiap
spesies ikan berbeda. SGR (% d⁻¹) adalah 1,63 untuk Cyprinus carpio (Ackefors
and Enell, 1990), 2,14 untuk Oreochromis niloticus (Ahmed, et al, 2013), 2,47
untuk Clarias gariepinus (Skov et a, 2017), dan 1,66 untuk Osphronemus
goramy (Aryani et al, 2017).
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 39
Tabel 6.Variasi physicochemical parameter kualitas air di danau Maninjau
(Syandri et al, 2018) March 2017 April 2017 May 2017 June 2017
Water transparency (m)
Mean 1.96ª 1.98ª 1.99ª 1.91ª
Standard deviation 0.14 0.07 0.10 0.10
Median 1.85 1.98 2.01 1.94
Min-Max 1.80-2.10 1.90-2.08 1.85-2.10 1.90-2.00
Temperature (oC)
Mean 28.20ª 27.20ª 27.00ª 27.00ª
Standard deviation 0.83 0.83 28.00 1.22
Median 28.00 27.00 0.70 27.00
Min-Max 27.00-29.00 26.00-28.00 27.00-29.00 26.00-29.00
Dissolved oxygen (mg L⁻¹)
Mean 6.21ª 5.78ᵇ 6.11ª 6.00ª
Standard deviation 0.12 0.44 0.05 0.04
Median 6.24 5.44 6.13 5.96
Min-Max 6.00-6.31 5.40-6.24 6.03-6.13 5.96-6.05
pH
Mean 7.67ª 7.45ª 7.41ª 7.68ª
Standard deviation 0.05 0.32 0.35 0.07
Median 7.69 7.65 7.51 7.67
Min-Max 7.62-7.76 7.08-7.71 6.90-7.68 7.62-7.79
Alkalinity (mg L⁻¹)
Mean 83.79ª 78.30ᵇ 79.12 79.88ª
Standard deviation 4.37 1.48 2.44 5.14
Median 80.70 78.50 77.97 83.74
Min-Max 80.51-88.90 76.00-80.00 76.68-82.00 76.15-84.34
Hardness (mg L⁻¹)
Mean 64.84ª 65.28ª 70.64ª 70.20ª
Standard deviation 3.31 2.10 5.93 5.95
Median 67.00 66.50 73.71 68.70
Min-Max 61.64-68.50 62.80-67.01 63.83-74.91 64.59-79.30
40 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
`
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 41
Gambar 2: Beban nitrogen dan phosphorus dari produksi setiap ton ikan
budidaya keramba jaring apung di danau Maninjau
Gambar 3: Beban nitrogen dan phosphorus dari setiap ton ikan pakan yang
dikonsumsi oleh ikan budidaya keramba jaring apung di danau
Maninjau.
Dalam penelitian kami, kualitas air di setiap jaring apung selama bulan Maret,
April, Mei dan Juni tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Pertumbuhan spesies ikan tidak hanya tergantung pada kualitas air (Aryani et al,
2017; Mukai dan Lim, 2011; Masiha et al, 2013; Asuwaju et al, 2014; Paray et
al, 2015), tetapi juga pada spesies ikan (Milstein et al, 2008; Medeiros et al,
2017). Meskipun masing-masing spesies ikan menggunakan jenis pakan
terbenam dengan tingkat pemberian pakan 4%, rasio konversi pakan (FCR)
untuk setiap spesies berbeda secara signifikan (Tabel 5). FCR biasanya
digunakan untuk memperkirakan efisiensi mengubah pakan menjadi massa
42 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
tubuh. Dalam penelitian ini, nilai FCR terendah diperoleh pada T₄ (1,13),
sedangkan yang tertinggi pada T₃ (1,69).
Perbedaan antara nilai FCR disebabkan oleh perbedaan spesies ikan (T₁, T₂, T₃
dan T₄) dan kemungkinan juga oleh kebiasaan makanan. Sebaliknya, nilai FCR
yang lebih rendah menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan pakan lebih baik.
Nilai FCR yang kurang dari 2.0 atau sangat dekat dengan 2.0 dianggap "bagus"
dalam industri akuakultur (Bag et al, 2016). Sebaliknya, FCR untuk ikan nila
pada karamba jaring apung di danau Malawi adalah antara 2,1 dan 3,9, dan nilai
FCR cenderung lebih tinggi dalam siklus produksi baru-baru ini. Siklus
produksi selama periode penelitian rata-rata (± SE), selama 376 ± 9 hari
(Gondwe et al, 2011).
Dampak lingkungan negatif dari operasi akuakultur karamba jaring apung telah
dilaporkan di banyak bagian dunia (Avadi et al, 2015; David et al, 2015;
Tsagaraki, et al, 2011)). Dalam penelitian ini, perbedaan spesies ikan memiliki
efek yang signifikan pada keseimbangan massa N dan P (Tabel 6). Retensi N
dan P (kg) secara signifikan lebih tinggi dalam T₄ dibandingkan dengan T₁,
diikuti oleh T₃ dan T₂, sementara N dan P load (kg) secara signifikan lebih
tinggi untuk T₂ dibandingkan dengan T₁, T₃ dan T₄. Meskipun umpan yang
sama diterapkan pada rasio yang sama, keseimbangan massa N dan P berbeda
secara signifikan di antara semua spesies ikan. Alasan untuk perbedaan ini
mungkin karena perbedaan FCR untuk setiap spesies dan ada perbedaan yang
kurang dalam perbaikan genetik untuk konsumsi pakan. Beban N dalam T₁, T₂,
T₃ dan T₄ adalah 47.60%, 58.34%, 49.94% dan 33.46%, sedangkan beban P di
T₁, T₂, T₃ dan T₄ masing-masing adalah 90.62%, 91.83%, 94.60% dan 81.77%.
Untuk Oreochromis karongae dan O. shiranus di danau Malawi, beban N
adalah 59% dan 80% masing-masing, dan beban P masing-masing adalah 85%
dan 92% (Gondwe et al, 2011). Selain itu, untuk Rainbow Trout (Oncorhynchus
mykiss) di danau Kesikköprü Dam, beban N adalah 54,37% dan beban P adalah
70,00% (Aşir, and Palatsü, 2008). Menurut Yogev et al (2017) ikan hanya
menggunakan 20-30% N pada pakan dan 50% P dalam pakan, sedangkan
sisanya dilepaskan ke dalam air.
Dalam tulisan ini, total beban N dan P yang dilepaskan ke badan air berbeda
untuk setiap ton produksi di T₁, T₂, T₃ dan T₄ (Gambar 2). Perbedaan-perbedaan
ini bisa disebabkan oleh FCR dan kandungan N dan P pakan dan ikan. Ada
hubungan linear yang kuat antara FCR dan N (r² = 0,87) dan P (r² = 0,99) beban
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 43
untuk keramba jaring apung. Sebagai perbandingan nilai-nilai lain dalam
literatur, menunjukkan bahwa N yang dilepas ke badan air (per ton ikan
berbobot) untuk Tilapia, Black Pacu dan Trout masing-masing adalah 34,7 kg,
25,8 kg dan 66,1 kg. dan P masing-masing adalah 3,0 kg, 9,7 kg dan 9,6 kg,
(Avadí et al, 2014). Penelitian lain menemukan bahwa 56,0 kg N dan 10,66 kg
P dilepaskan untuk Trout, dan 64,0 kg N dan 4,6 kg P dilepas untuk Tilapia
(Pelletier and Tyedmers, 2010). Nilai pembebanan N juga bervariasi dengan
spesies ikan dengan Rainbow trout yang memiliki nilai terendah dari 47,3
hingga 124,2 kg / ton, sedangkan nilai yang diberikan oleh ikan lain berkisar
antara 103,5 - 320,6 kg ton⁻¹ (Islam, 2005).
Dalam penelitian Syandri et al, (2018) total pelepasan beban N dan P ke badan
air berbeda untuk setiap ton pakan yang dikonsumsi oleh T1, T2, T3 dan T4
(Gambar 3). Perbedaan ini juga disebabkan oleh FCR dan komposisi pakan. The
FCRs untuk T₁, T₂, T₃ dan T₄ masing-masing adalah 1,44 ± 0,02, 1,55 ± 0,03,
1,69 ± 0,03 dan 1,13 ± 0,10. Ada hubungan linear yang kuat antara FCR dan N
(r² = 0,99) dan P (r² = 0,87) beban untuk keramba jaring apung. Tingkat N dan P
dalam pakan yang digunakan dan FCR di peternakan secara langsung
mempengaruhi beban N dan P untuk setiap ton pakan pellet yang digunakan.
Berarti beban N (kg) yang dilepaskan ke danau Maninjau di T₁, T₂, T₃ dan T₄
masing-masing adalah 38,26 ± 2,55, 35,68 ± 1,69, 32,12 ± 0,39 dan 48,99 ±
2,35, sedangkan pelepasan beban P rata-rata (kg) masing-masing adalah 11,45 ±
2,43, 9.11 ± 0.21, 8.34 ± 0.04 dan 12.51 ± 0.30.Selanjutnya, pelepasan N dan P
per ton pakan ke dalam danau Kesikköprü Dam untuk Oncorhynchus mykiss
masing-msing adalah 44,78 kg dan 8,60 kg (Aşir and Palatsü, 2008).
Komposisi pakan dan konversi pakan operasi akuakultur terutama memiliki efek
negatif terhadap lingkungan. Selain itu, model terpadu akuakultur, sistem
budidaya resirkulasi, pemilihan lokasi, tingkat pemberian pakan, ukuran lahan
pertanian dan spesies ikan budidaya juga harus dianggap sebagai faktor penting.
Akumulasi nutrient N dan P di bagian dasar danau tergantung kepada aliran air
masuk dan keluar, morfometrik cekungan dan laju sirkulasi air (Søndergaard et
al, 2003), penumpukan nutrient sisa pakan dan faces biasanya dalam bentuk
sedimen (Petterson, 1998). Sedimen terdiri atas total organic matter (TOM),
protein, karbohidrat dan lipid (Li et al, 2016). Nutrien sedimen sering
berimplikasi terhadap kualitas air, karena terjadi proses pembalikan ke
permukaan air (Horppila et al, 2017), akibatnya danau menjadi kotor karena
44 | P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r r
meningkatnya muatan P di badan air (Lindim et al, 2015; Tianzhi et al, 2016).
Gejala ini di danau Maninjau diistilakan dengan “Tubo Balerang”.
Unsur P mempunyai peran penting dalam metabolism biologis, dibandingkan
dengan mikronutrien lain yang dibutuhkan oleh biota (Nurnberg, 2009).
Senyawa P merupakan unsur pertama pembatas produktivitas biologis, karena
memiliki kadar minimum di badan air. Keberadaan P di perairan dalam bentuk
fosfate-phosphorus (PO4-P), dapat digunakan secara langsung oleh komponen
nabati (Rahman, 2015). Blooming fitoplankton di danau Erie dapat disebabkan
oleh pembebanan dari unsur phosphorus (Ho and Anna, 2017).
Pemuatan limbah nitrogen dan fosfor dari tipe pakan ikan
Hasil dari parameter pertumbuhan tertentu, FCR, FCE, mortalitas dan analisis
kimia dari masing-masing jenis pakan dan ikan disajikan pada Tabel 8. Tipe
pakan berbeda (terbenam dan terapung) memiliki pengaruh yang signifikan
pada bobot rata-rata akhir, WG (%), FCR dan FCE (%). Dalam penelitian ini,
kualitas air dari masing-masing pertanian selama September, Oktober dan
November 2017 menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal transparansi
air, amonia, alkalinitas, dan total N dan P (Tabel 9). Tabel 10 merangkum
keseimbangan massa N dan P di dua lokasi budidaya, sementara Gambar 4 dan
5 memberikan perkiraan beban N dan P yang terbentuk dari produksi 1 ton ikan
dan 1 ton konsumsi pakan.
Tabel 8. Pertumbuhan dan kadar N dan P pada ikan dan pakan (Syandri et al,
2018b).
Floating net cages Farm - I Farm - II
Type of feed Pakan
terapung
Pakan terbenam Pakan
terapung
Pakan terbenam
Parameter
Initial mean weight (g) 56.79±1.77a 56.79±1.77a 56.79±1.77a 56.79±1.77a
Final mean weight (g) 182.45±2.00a 201.50±15.30b 184.25±3.00a 202.60±10.30b
WG (%) 221.40±6.49a 254.48±15.90b 224.54±4.83a 256.60±7.02b
FCR 1.51±0.10a 1.44±0.02b 1.49±0.15a 1.42±0.02b
FCE (%) 66.10±0.01a 69.20±0.02b 67.05±0.03a 70.15±0.02b
Mortality (%) 15.63±0.45a 15.92±0.36a 15.98±0.52a 15.30±0.30a
N content of fish (%) 4.18±0.05a 3.47±0.01b 4.20±0.09a 3.45±0.02b
P content of fish (%) 0.20±0.02a 0.18±0.02a 0.21±0.03a 0.20±0.02a
N content of feed (%) 6.26±0.29a 5.14±0.02b 6.26±0.29a 5.14±0.02b
P content of feed (%) 1.38±0.03a 1.45±0.02b 1.38±0.03a 1.45±0.02b
P e m u a t a n B e b a n L i m b a h D a r i A k u a k u l t u r | 45
Tabel 9. Variasi kualitas air pada budidaya ikan keramba jaring apung di danau
Maninjau (Sumber Syandri et al, 2018a)
Parameter Farm September
2017 October 2017
November
2017
Kecerahan (cm) I 185.33±2.51
a 170.67±2.08
a 174.00±2.00
a
II 208.00±2.00b 204.33±1.53
b 199.00±1.00
b
temperatur (⁰C) I
II
28.50±0.50a 28.50±0.50
a 27.00±1.00
a
27.33±0.57a 27.33±0.57
a 28.00±1.00
a
Dissolved oxygen
(mg Lˉ1
)
I 6.70±0.03a 6.40±0.04
a 6.21±0.08
a
II 7.10±0.28a 6.24±0.05
a 6.18±0.05
a
pH I 7.69±0.07
a 7.68±0.03
a 7.86±0.07
a
II 7.62±0.07a 7.63±0.02
a 7.58±0.07
a
Ammonia (mg Lˉ1
) I 0.26±0.01
a 0.31±0.01
a 0.23±0.01
a
II 0.16±0.02b 0.26±0.01
b 0.15±0.01
b
Alkalinity (mg Lˉ1
) I 80.51±0.07
a 76.00±1.00
a 76.68±0.79
a
II 88.26±0.64b 78.50±0.50
b 81.50±0.50
b
Hardness (mg Lˉ1
) I 61.64±0.55
a 62.80±0.60
a 63.83±0.76
a
II 66.00±1.00a 66.93±0.07
b 76.16±1.25
b
Total N (mg Lˉ1
) I 0.94±0.04
a 0.86±0.01
a 0.73±0.02
a
II 1.32±0.02b 1.09±0.04
b 1.16±0.01
b
Total P (mg Lˉ1
) I 0.21±0.01
a 0.34±0.04
a 0.42±0.02
a
II 0.26±0.01b 0.40±0.02
b 0.60 ± 0.15
b
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a . . . . . . | 46
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . . | 47
Gambar 4. Beban N dan P dari setiap satu ton produksi ikan
Gambar 5. Beban N dan P dari setiap satu ton pakan ikan yang
dikonsumsi
Pertumbuhan ikan budidaya sangat tergantung pada spesies ikan, tingkat makan,
overstocking, stok ikan prematur dan kualitas pakan, termasuk pakan pellet
komersial dan pakan yang dibuat sendiri (Aşir, and Palatsü, 2008; Gondwe et
al, 2011). Hasil kami menunjukkan bahwa C.carpio yang diberi pakan
48 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . .
tenggelam memperoleh tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada ikan
yang diberi pakan terapung. Hasil ini mungkin terkait dengan nilai FCR, karena
FCR dalam pakan terbenam lebih rendah dari FCR dalam pakan terapung
(Tabel 8). FCR biasanya digunakan untuk memperkirakan efisiensi mengubah
pakan menjadi massa tubuh. Meskipun ada perbedaan yang signifikan dalam
pertumbuhan, FCR dan FCE dari C.carpio pada pakan terapung dan pakan
tenggelam tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua lokasi peternakan
ikan.
Pada penelitian kami, nilai Feed Coversion Efficiency (FCE) untuk C.carpio
yang diberi makan dengan pakan terapung di peternakan I dan II masing-masing
adalah 66,10 ± 0,01 dan 67,05 ± 0,03% (1 kg pakan ikan menghasilkan 0,66 dan
0,67 kg ikan x 100), sementara nilai FCE untuk ikan yang diberi makan dengan
pakan terbenam masing-masing adalah 69,20 ± 0,02 dan 70,15 ± 0,02%
(Syandri et al., 2018). Nilai FCE yang berbeda mungkin disebabkan oleh
komposisi proksimat dari jenis pakan dan asupan pakan C. carpio. Di sisi lain
Desai dan Singh (2009) menyatakan bahwa nilai FCE untuk C. carpio yang
dikultur dalam suhu antara 28 dan 32oC dengan tingkat pemberian makan 4%
berat badan per hari masing-masing adalah 44,36 ± 0,80 dan 40,98 ± 1,75%.
Sementara itu, untuk budidaya ikan nila, nilai FCE adalah sekitar 59%
(Chatvijitkul et al, 2017). Berbeda dengan ikan nila yang dibudidayakan di
danau Malawi, FCE adalah 37,54 ± 6,48% (Gondwe et al, 2011).
Kami membuktikan tidak ada efek yang signifikan terhadap FCE yang
disebabkan oleh kualitas air pada budidaya ikan C. carpio di danau Maninjau.
Ini karena, tidak ada perbedaan antara kedua peternakan dalam hal suhu air,
oksigen terlarut dan pH (Tabel 9). Peneliti lain menyatakan bahwa nilai FCE
dapat dipengaruhi oleh level DO (Sun dan Hassan, 2016; Yuan et al, 2017).
Sementara itu, dalam sistem produksi akuakultur persentase pakan yang
digunakan yang dikonsumsi oleh hewan yang dibudidayakan jelas tergantung
pada kualitas pakan, praktik pemberian makan, suhu, spesies, padat penebaran
dan nafsu makan ikan (Bag et al, 2016; Chatvijitkul et al, 2017; Xiaolong et al,
2018). Namun, faktor-faktor lain dapat mempengaruhi asupan pakan hewan air,
seperti faktor fisiologis, faktor gizi, faktor lingkungan dan faktor peternakan
(Sun and Hassan, 2016).
Suatu jenis pakan yang kurang tepat dapat mengurangi pertumbuhan ikan dan
meningkatkan kuantitas limbah pakan yang dilepas ke lingkungan. Oleh karena
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . . | 49
itu, pertimbangan jenis pakan diperlukan ketika mengelola produksi ikan.
Menurut Condwe et al (2011), kualitas pakan, kuantitas pakan, dan bagaimana
disediakan untuk ikan yang dibesarkan adalah semua aspek penting yang harus
dipertimbangkan dalam budidaya ikan karena panen dari budidaya ikan di
karamba secara langsung berkaitan dengan kualitas dan kuantitas suplai pakan.
Dalam penelitian Syandri et al (2018) kadar N dan P dari pakan terapung
dipertahankan oleh C.carpio masing-masing adalah 44,25 ± 1,52% (Farm I) dan
45,35 ± 5,60% (Farm II), dan 9,76 ± 0,47% (Farm I) dan 10,39 ± 0,50% (Farm
II). Nilai-nilai ini sedikit lebih tinggi dari tingkat yang diukur untuk pakan yang
terbenam (Tabel 10). Namun demikian, data yang dihasilkan lebih rendah
daripada yang dilaporkan oleh Aşir dan Palatsu(2008). Hasil yang berbeda ini
mungkin disebabkan oleh spesies ikan yang berbeda dievaluasi dan oleh tingkat
N dan P yang berbeda dalam jenis pakan. Beban N dan P yang diamati juga
lebih rendah daripada yang dilaporkan oleh Boyd dan Queiroz1. Sekitar 60-80%
dari N dan P dari pakan dilepaskan dari operasi akuakultur sebagai limbah
(Boyd and Tucker, 2014; Moraes et al, 2016).
Dampak lingkungan negatif dari operasi akuakultur keramba telah dilaporkan di
banyak bagian dunia, misalnya di Chana (Kassam. dan Dorward, 2017), di
Thailand (Prathumchai et al, 2016), di Indonesia (Henriksson et al, 2017),
Switzerland and Italy (Lepori dan Roberts, 2017). Dalam studi ini, beban N dari
pakan terapung masing-masing peternakan diperkirakan rata-rata 42,95±5,49 kg
dan 51,69±12,61 kg tˉ¹ produksi ikan. Sebaliknya, beban dari pakan terbenam
adalah 39,31±0,64 kg dan 39,17±0,60 kg tˉ¹ produksi ikan. Selanjutnya, beban P
dari pakan terapung adalah antara 18,85±1,63 kg dan 18,52±2,21 kg tˉ1
produksi
ikan. Sementara nilai dari pakan terbenam antara 19,07±0,20 kg dan 17,44±2,76
tˉ¹ produksi ikan . Dalam penelitian lain, Rainbow trout yang diberi pakan pellet
komersial dan pakan buatan memiliki beban N antara 59,46 dan 29,72 kg
produksi ikan t-1, dan beban P adalah antara 11,42 dan 7,64 kg produksi ikan t-
1
(Aşir, and Palatsü, 2008). Beban N yang timbul dari kultur C.carpio yang diberi
pakan terapung dan terbenam ditemukan lebih tinggi daripada yang berasal dari
Oncorhynchus mykiss yang diberi pakan pellet dan diekstrusi. Sebagai
perbandingan, peternakan ikan rainbow trout telah memperkirakan pelepasan N
yang lebih tinggi dari 125 hingga 127 kg untuk produksi satu ton ikan, dan
pelepasan P dari 24 hingga 25 kg untuk produksi 1 ton ikan ikan di Laut
Mediterania timur (Penczak et al, 1982). Guo dan Li (2003) menyatakan bahwa
produksi 1 ton ikan dari sistem karamba jaring apung menghasilkan 65 kg N
50 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . .
dan 35 kg P. Beberapa penulis juga melaporkan hasil yang sama. dengan N
antara 82 dan 124 kg tˉ1
produksi ikan dan P antara 23 dan 29 kg tˉ1
produksi
ikan (Penczak, T, W. Galicka, M. Molinski, E. Kusto, M. Zalewski, 1982; Lin
and Zhang, 1995). Phillips et al, (1985) melaporkan bahwa nilai P adalah 56 kg
tˉ1
produksi ikan.
Kesimpulan
Budidaya ikan keramba apung di danau, waduk dan sungai, termasuk di kolam
dengan berbagai spesies ikan dan sistem akuakultur adalah peluang untuk
meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan pelaku perikanan. Namun
aktifitas akuakultur tersebut merupakan sumber nitrogen dan phosphorus yang
dominan sebagai beban limbah dari akuakultur. Sumber nitrogen dan fosfor
berasal dari pakan ikan pellet komersial dan pakan yang diramu secara mandiri
oleh pembudidaya ikan, termasuk limbah metabolik, kotoran, dan residu obat
yang digunakan.
Perkiraan jumlah nitrogen dan fosfor yang lepas ke badan air dari setiap ton
pakan pada operasional budidaya ikan tergantung kepada species ikan,
karakteristik pakan (pakan terapung atau terbenam), asupan pakan, efisiensi
pakan, dan wilayah akuakultur (tropis dan sub-tropis). Nitrogen dan fosfor yang
dilepaskan ke badan air akuakultur telah berdampak terhadap nilai estetika
danau yang secara langsung telah menimbulkan penyakit terhadap ikan
budidaya. Disisi lain, kematian ikan akuakultur secara besar-besaran di
keramba apung juga terbukti sebagai sumber senyawa N, P dan TOM yang
merusak kualitas air. Tingkat kerusakan air lebih tinggi di perairan yang lebih
dalam daripada perairan permukaan.
Beban limbah dan kematian ikan secara besar-besaran dapat dikurangi dengan
menyesuaikan waktu tebar, spesies ikan yang yang dibudidayakan dan
kepadatan tebar ikan akuakultur. Ini akan membantu mengurangi dampak
negatif hilir pada danau dan sekitarnya dan pada gilirannya berdampak positif
bagi banyak penduduk setempat, karena tenaga kerja dapat beraktifitas secara
berkelanjutan yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi pelaku
perikanan.
Output limbah akuakultur akan tergantung kepada: (1) penggunaan tepung ikan
yang tinggi di dalam ransum pakan; (2) penggunaan pakan yang melebihi
persyaratan nutrisi ikan atau ketidakseimbangan nutrisi; (3) kualitas pakan yang
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . . | 51
buruk (stabilitas yang buruk dan daya larut pelet pakan yang tinggi dalam air;
(4) praktek pemberian makan yang tidak sesuai; (5) penggunaan diet yang tidak
menyeimbangkan rasio energi protein (P / E); (6) penggunaan pakan dengan
bahan dengan daya cerna rendah; (7) penggunaan ikan rucah sebagai makanan
dalam budidaya ikan karamba jaring apung; (8) penggunaan produk sampingan
berbiaya rendah untuk pakan tambahan / penggunaan sintetis atau pupuk
organik untuk meningkatkan produktivitas budidaya ikan.
Daftar pustaka
Abou,Y., A. Saidou, D.Mama, D. Emile, E.D. Fiogbé, J.C. Micha, 2012.
Evaluation of nitrogen and phosphorus wastes produced by Nile tilapia
(Oreochromis niloticus L.) fed Azolla-diets in earthen ponds. Journal of
Environmental Protection, 3 : 502-507.
Ahmed, A.R, A.J. Moody, A.Fisher, S.J. Davies, 2013. Growth performance
and starch utilization in common carp (Cyprinus carpio L.) in response to
dietary chromium chloride supplementation. Journal of Trace Elements in
Medicine and Biology, 27:45-51.
AOAC, 2000. Association of Official Analytical Chemists. Official methods of
analysis, 13th edition. Association of Official Analytical Chemists,
Washington, DC, USA.
Ackefors, H, M. Enell, 1990. Discharge of nutrients from Swedish fish farming
to adjacent sea areas. Ambio, 19: 28-35.
Asche, F, K.H. Roll, R .Tveteras, 2009. Economic inefficiency and
environmental impact: an application to aquaculture production. Journal of
Environmental Economics and Management 58, 93-105.
Aşir, U, R. Palatsü, 2008. Estimation of the nitrogen-phosphorus load caused by
Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum, 1792) cage-culture farms
in Kesikköprü Dam Lake: A comparison of pelleted and extruded Feed.
Turk. J. Vet. Anim. Sci. 32 (6): 417-422.
Budi,D.S, Alimudin, M.A. Suprayudi, 2015. Growth Response and Feed
Utilization of Giant Gourami (Osphronemus goramy) Juvenile Feeding
52 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . .
Different Protein Levels of the Diets Supplemented with Recombinant
Growth Hormone. HAYATI Journal of Biosciences, 1 (22):12-19.
Asuwaju, F.P, V.O. Onyeche, , K.E. Ogbuebunu, I.I.F Moradun, E.Robert,
2014. Effect of feeding frequency on growth and survival rate of Clarias
gariepinus fingerlings reared in plastic Bowls. Journal Fisheries and
Aquatic Science, 9 (5): 425-429.
Avadí, A, N. Pelletie, J.Aubin, S.Ralite, J. Núñez, P. Fréon. 2015. Comparative
environmental performance of artisanal and commercial feed use in
Peruvian freshwater aquaculture. Aquaculture, 435:52-66.
Bag, N, S. Moulick, B.C. Mal, 2016. Effect of stocking density on water and
soil quality, growth, production and profitability of farming Indian major
carps. Indian J Fish, 63 (3): 39-46.
Besson, M, J.Aubin, H.Komen, M.Poelman, E.Quilet, M.Vandeputte, J.A.M.
van Arendonk, I.J.R.de Boer, 2016. Environmental impacts of genetic
improvement of growth rate and feed conversion ratio in fish farming under
rearing density and nitrogen output limitations. Journal of Cleaner
Production, 116: 100-109.
Boyd, C.E, C.S .Tucker, B. Shomridhivej, 2016. Alkalinity and Hardness:
Critical but elusive concepts in aquaculture. Journal of The World
Aquaculture Society, 47 (1): 6-41.
Cao, L, W.M. Wang, Y.Yang, C.T. Yang, Z.H.Yuan, S.B. Xiong, J.Diana,
2007. Environmental impact of aquaculture and countermeasures to
aquaculture pollution in China. Environmental Science and Pollution
Research, 14 (7): 452–462.
Carroll, M.L., Coahrane, S., Fieler, R., Velvin, R and White, P. 2003. Organic
enrichment of sediments from salmon farming in Norway: environmental
factors, management practices, and monitoring techniques. Aquaculture,
226 : 165–180.
David.G.S, E.D. Carvalho D.E.L. Lemos, A.N. Silveira, M. D. Sobrinho. 2015.
Ecological carrying capacity for intensive tilapia (Oreochromis niloticus)
cage aquaculture in a large hydroelectrical reservoir in Southeastern Brazil.
Aquacultural Engineering, 66:30-40.
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . . | 53
De Oliveira, E. G., Pinheiro, A. B., de Oliveira, V. Q., da Silva, A. R. M., de
Moraes, M. G., Rocha, Í. R. C. B.,Costa, F. H. F. 2012. Effects of stocking
density on the performance of juvenile pirarucu (Arapaima gigas) in cages.
Aquaculture, 370-371, 96–101.
Duncan D B. Multiple range and multiple F tests. Biometrics 11:1-42.
Gondwe, M.J.S., S.J. Guildford., R.E. Hecky. 2011. Carbon, nitrogen and
phosphorus loadings from tilapia fish cages in Lake Malawi and factors
influencing their magnitude. Journal of Great Lakes Research, 37 : 93-101.
Widyantoro, W, Sarjito, D.Harwanto, 2014. The effect of fasting time on the
growth and bloods profile of catfish (Clarias gariepinus) in the recirculating
system. Journal of Aquaculture Management and Technology, 2 (3): 103-
108.
Henriksson, P.J.G, N.Tran, C. V. Mohan, C. Y. Chan, U-P.Rodriguez, S. Suri,
L.D. Mateos, N. B. P.Utomo. 2017.Indonesian aquaculture futures–
Evaluating environmental and socioeconomic potentials and limitations.
Journal of Cleaner Production, 162: 1482-1490.
Herbeck, L.S., Unger, D., Wu, Y and Jennerjahn, T.C. 2013. Effluent, nutrient
and organic matter export from shrimp and fish ponds causing
eutrophication in coastal and back-reef waters of NE Hainan, tropical
China. Continental Shelf Research, 57: 92-104.
Horppila, J., H. Holmroos, J. Niemisto, I. Massa, N. Nygrorg, P. Schonach, P.
Tapio, O. Tommeorg. 2017. Variations of internal phosphorus loading
and water quality in a Hypertrophic lake during 40 years of different
management efforts. Ecological Engineering, 103: 264-272.
Islam, Md. S. 2005. Nitrogen and phosphorus budget in coastal and marine cage
aquaculture and impacts of effluent loading on ecosystem: review and
analysis towards model development. Marine Pollution Bulletin 50 : 48–61.
Junaidi, Syandri H, and Azrita, 2014. Loading and distribution of organic
materials in Lake Maninjau West Sumatra Province-Indonesia. Journal of
Aquaculture Research & Development., 5:7.
Kassam. L, A. Dorward, 2017. A comparative assessment of the poverty
impacts of pond and cage aquaculture in Ghana. Aquaculture, 470:110-122.
54 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . .
Kawasaki. N., M.R.M. Kushairi., N. Nagao., F. Yusoff., A. Imai., A. Kohzu.
2016. Release of Nitrogen and Phosphorus from Aquaculture Farms to
Selangor River, Malaysia. International Journal of Environmental Science
and Development, 7 (2): 113-116
Lazzari, R and B. Baldisserotto. 2008. Nitrogen and phosphorus waste in fish
farming. B. Inst. Pesca, São Paulo, 34(4): 591-600.
Lepori. F, J. J. Roberts, 2017. Effects of internal phosphorus loadings and food-
web structure on the recovery of a deep lake from eutrophication. Journal
of Great Lakes Research, 43 (2): 255-264.
Maccoux, M. J, A. Dove, S.M. Backus,, D. M. Dolan, 2016. Total and soluble
reactive phosphorus loadings to Lake Erie A detailed accounting by year,
basin, country, and tributary. Journal of Great Lakes Research. 6 (42)
:1151-1165.
Masiha, A, E Ebrahimi, M.NSoofiani, M.Kadivar, 2013. Effect of dietary canola
oil level on the growth performance and fatty acid composition on
fingerlings of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Iranian Journal of
Fisheries Sciences, 14 (2): 336-349.
Mukai. Y, L.S.Lim, 2011. Larval rearing and feeding behavior of African
catfish (Clarias gariepinus) under dark conditions. Journal of Fisheries
and Aquatic Science, 6(3): 272-278.
Medeiros, M.V, J.Aubin, A.F.M. Camargo, 2017. Life cycle assessment of fish
and prawn production: Comparison of monoculture and polyculture
freshwater systems in Brazil. Journal of Cleaner Production, 156: 528-537.
Milstein, A, A.Kadir, M.A. Wahab, 2008. The effects of partially substituting
Indian carps or adding silver carp on polycultures including small
indigenous fish species (SIS). Aquaculture, 279:92-98.
Paray, B.A., Al-Sadoon, M.K., Haniffa, A., 2015. Impact of different feeds on
growth, survival and feed conversion in stripped snakehead Channa
striatus (Bloch 1793) larvae. Indian J Fish, 62 (3): 82-88.
Pelletier, N., P. Tyedmers, 2010. Life cycle assessment of frozen tilapia fillets
from Indonesian lake-based and pond-based intensive aquaculture systems.
J. Ind. Ecol.14, 467–481
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . . | 55
Prathumcha, N, C.Polprasert, A. J. Englande Jr. 2016. Phosphorus leakage from
fisheries sector – A case study in Thailand. Environmental Pollution, 219:
967-975.
Qing-jun. M, F. Qi-yan, W. Qing-qing, M. Lei, C. Zhi-yang. 2009. Distribution
characteristics of nitrogen and phosphorus in mining induced subsidence
wetland in Panbei coal mine, China. Procedia Earth and Planetary Science,
1 (1) :1237-1241.
Rahman, M. 2013. Revitalization of fish cage aquaculture management in Riam
Kanan Stream of Kalimantan Selatan Province-Indonesia. Jurnal Iktiologi
Indonesia, 13(2):197-203.
Rosa, R.D.S., Aguiar, A.C.F., Boëchat, I.G., Gücker, B., 2013. Impacts of fish
farm pollution on ecosystem structure and function of tropical headwater
streams. Environmental Pollution, 174: 204-213.
Skov, P.V, C. P. Duodu, D.Adjei-Boateng, 2017. The influence of ration size
on energetics and nitrogen retention in tilapia (Oreochromis niloticus).
Aquaculture, 473:121-127.
Suhenda, N, R.Samsudin, E.Nugroho, 2010. Growth of green catfish
(Hemibagrus nemurus) fry in floating net cage feed by artificial food with
different protein content. Jurnal Iktiologi Indonesia, 10(1): 65-71.
Syandri H, Junaidi, Azrita, T.Yunus, 2014. State of aquatic resources Lake
Maninjau West Sumatra Province, Indonesia. Journal of Ecology and
Environmental Sciences 1: 109-113
Syandri,H, Elfiondri, Junaidi, Azrita, 2015. Social status of the fish-farmers of
floating-net-cages in Lake Maninjau, Indonesia. Journal of Aquaculture
Research & Development, 7:1.
Syandri, H., Elfiondri, Mardiah, A and Azrita. 2016a. Social status of Nile
tilapia hatchery fish-farmers at Maninjau Lake areas, Indonesia. Journal of
Fisheries and Aquatic Science, 11 (6) : 411-417.
Syandri, H., Azrita. and Niagara., 2016b. Trophic status and load capacity of
water pollution waste fish culture with floating net cages in Maninjau Lake,
Indonesia. Eco.Env & Cons, 22 (1) : 469-476.
56 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . . .
Syandri, H, Azrita, Junaidi, A. Mardiah, 2017. Levels of available nitrogen-
phosphorus before and after fish mass mortality in Maninjau Lake of
Indonesia. J. Fish. Aquat. Sci., 12 (4): 191-196, 2017
Syandri. H, Azrita, A. Mardiah. 2018. Nitrogen and phosphorus waste
production from different fish species cultured at floating net cages in
Lake Maninjau, Indonesia. Asian J. Sci. Res, 11 (2): 287-294.
Timalsina, P., Yadav, C. N. R., Lamsal, G. P., Acharya, K. P., & Pandit, N. P.
(2017). Effect of stocking density and source of animal protein on growth
and survival of rainbow trout fingerlings in flow-through system at
Nuwakot, Nepal. Aquaculture Reports, 8, 58–64.
Tran, N., U.P. Rodriguez., C.Y. Chan., M.J. Phillips., C.V.Mohan., P.J.G.
Henrikson., S. Koeshendrajana., S.Suri., S. Hall, 2017. Indonesian
aquaculture furures: An analysis of fish supplay and demand in Indonesia
to 2030 and role of aquaculture using the AsiaFish model. Marine Polycy,
79: 25-32.
Tsagaraki, T.M, G.Petihakis, K.Tsiaras, G. Triantafyllou, M.Tsapakis,
G.Korres, G.Kakagiannis, C.Frangoulis, I.Karakassis. 2011. Beyond the
cage: Ecosystem modeling for impact evaluation in aquaculture. Ecological
Modelling, 14 (222): 2512-2523.
Zhu Z.M, X.T Lin, J.X Pan Z.N Xu, 2014. Effect of cyclical feeding on
compensatory growth, nitrogen and phosphorus budgets in juvenile
Litopenaeus vannamei. Aquaculture research, 47 (1) : 283 – 289.
Yogev. U, K. R.Sowers, N. Mozes, A. Gross, 2017. Nitrogen and carbon
balance in a novel near-zero water exchange saline recirculating
aquaculture system. Aquaculture, 467:118-126.
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 57
CHAPTER 4
KOMPONEN LIMBAH DALAM AKUAKULTUR
Input produksi untuk operasional akuakultur
Intensifikasi produksi akuakultur membutuhkan penggunaan lebih banyak input
produksi, terutama pakan per unit luas lahan, yang mengarah pada peningkatan
timbunan limbah dari sistem produksi. Selalu ada pemborosan dalam sistem
seperti itu, yang merupakan input atau produk sampingan yang tidak digunakan.
Limbah dari budidaya ikan tidak memiliki nilai ekonomi dan sering kali
mengganggu lingkungan. Dampak limbah dari budidaya ikan telah menurunkan
nilai estetika perairan. Ada banyak komponen limbah yang berdampak negatif
terhadap kualitas perairan, misalnya pakan ikan, bahan kimia, limbah padat,
limbah terlarut, pathogen (Syandri et al, 2018; Syandri et al, 2017; Dauda et al.,
2018).
Pakan
Efek dari operasi akuakultur pada lingkungan perairan telah dinilai dalam
beberapa penelitian (Gondwe et al., 2011; Avadi et al., 2015; David et al., 2015;
Farmaki et al, 2014; Dauda et al., 2018) dan umumnya menunjukkan bahwa
nutrisi carbon (C), nitrogen (N) dan fosfor (P) memiliki dampak negatif pada
kualitas air (Horppila, 2019, Du et al., 2019). Jumlah nutrient C, N dan P yang
lepas ke badan air tergantung kepada jumlah keramba jaring apung (KJA),
jumlah pakan, padat tebar ikan, ukuran ikan ditebar, dan ukuran ikan pada saat
panen. Selain limbah C, N dan P tergantung pada kadar C, N, dan P pada pakan,
juvenile dan ikan panen. Formulasi yang digunakan untuk menghitung jumlah
nutrient C, N dan P yang lepas ke badan air danau atau waduk, termasuk kolam
adalah berdasarkan Schmittou, (2006):
C (loss, kg) = (F*CDF + J*CDj) – (H*CDH + M*CDM)
N (loss, kg) = (F*NDF + J*NDj) – (H*NDH + M*NDM)
P (loss, kg) = (F*PDF + J*PDj) – (H*PDH + M*PDM)
58 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
Keterangan: F, J, H, dan M adalah bobot kering (D) dari pakan yang dipasok,
juvenil yang ditebar, ikan yang dipanen, dan total kematian yang dipindahkan
dari kandang, masing-masing, sebagaimana dicatat pada akhir setiap siklus
produksi. CDF, CDJ, CDH dan CDM adalah kandungan karbon dalam pakan kering
(DF), remaja kering (DJ), panen kering (DH) dan kematian kering (DM),
masing-masing, dinyatakan sebagai% dari berat kering. Isi N dan P dalam
persamaan keseimbangan N dan P telah diekspresikan dengan cara yang sama
seperti konten C dalam persamaan kehilangan C di atas. Dari hasil analisis kami
dari budidaya ikan nila pada keramba jaring apung di danau Maninjau total C, N
dan P yang lepas ke badan air di cantumkan pada Tabel 1,2 dan 3.
Sebagai hasil analisis kami antara tahun 2001 dan 2018, total produksi ikan nila
dari keramba jaring apung di danau Maninjau adalah 341.831.764,7 kg
(341.831,76 ton) berat basah dari rata-rata 11.442 petak KJA/tahun yang
menggunakan 581.114.000 kg (581.114 ton) pakan komersial dengan rasio
konversi pakan (FCR) rata-rata adalah 1.7. Di antara 205.964 petak keramba
jaring apung, rata-rata produksi ikan tahunan (± SD) 18.990.653,59 ±
6.041.451,64 kg berat basah per keramba. Siklus produksi selama periode studi
bervariasi 150 hingga 175 hari. Rata-rata FCE untuk budidaya ikan nila pada
keramba jaring apung adalah 0,59 (1,0 kg pakan menghasilkan 0,59 ikan). Nilai
ini menunjukkan bahwa beban limbah adalah 0,41 kg (pakan 1,0 kg - 0,60 kg
ikan). Hasil riset ini membuktikan total pakan yang digunakan adalah
581.114.000 kg, menghasilkan beban limbah sebanyak 238.256.740 kg
(238.256, 74 ton) selama periode antara 2001 dan 2018.
Bahan kimia
Praktek-praktek akuakultur saat ini sangat membatasi penggunaan bahan kimia
di peternakan ikan, namun, beberapa bahan kimia masih digunakan dalam
bentuk obat-obatan, desinfektan, dan antifoulant. Obat-obatan digunakan untuk
keperluan kemoterapi, yang meliputi antibiotik yang digunakan untuk
profilaksis dan tujuan kuratif. Anestetik, ektoparasitisida, endoparasitisida, dan
vaksin, digunakan untuk pengobatan dan pengendalian parasit (internal dan
eksternal), serta infeksi mikroba (Lue et al., 2017). Garam, terutama, digunakan
untuk mengurangi stres pada ikan, kapur digunakan untuk mengolah dasar
kolam untuk keasaman selama persiapan kolam, dan bahan kimia lain yang
dianggap tidak berbahaya bagi ikan juga digunakan. Meskipun bahan kimia ini
penting untuk budidaya ikan, mereka juga dapat merupakan gangguan terhadap
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 59
lingkungan (Shen et al., 2019) dan manusia (Liu et al., 2017) Saat air dilepaskan
dari kolam, air mengalir ke badan air alami. Efek limbah kimia ini pada sistem
air alami ini tergantung pada konsentrasi bahan kimia yang digunakan, ukuran
tambak, dan ukuran badan air penerima.
Akuakultur dengan kepadatan tinggi memberikan peluang besar bagi organisme
penyebab penyakit tumbuh dengan cepat. Untuk mengendalikan penyakit-
penyakit ini dalam akuakultur, antibiotik telah banyak digunakan di Cina sejak
1980-an karena biayanya yang murah, kenyamanan penggunaan dan efek
penyembuhan yang luar biasa. Sebelum tahun 1990-an, antibiotik terutama
digunakan untuk merawat spesies akuatik dengan nilai tinggi (misalnya, udang,
larva ikan, belut, dan kura-kura cangkang lunak) dan kemudian aplikasi mereka
telah diperluas, termasuk air tawar dan air asin dalam beberapa tahun terakhir
(Liu et al., 2017). Ilustrasi efek antibiotic pada pakan dan ikan terhadap
konsumen (Gambar 1) .
Gambar 1. Ilustrasi dampak antibiotic yang ada pada pakan ikan terhadap
kesehatan manusia (Sumber Liu et al, 2017)
60 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 61
62 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 63
Phatogens
Kelompok limbah ini jarang dipertimbangkan dalam sistem akuakultur,
terutama ketika berada di bawah level yang mempengaruhi ikan budidaya.
Namun, pemakaian patogen dengan air limbah dapat berdampak negatif
terhadap organisme akuatik dalam badan air alami (Goldburg dan Triplett,
1997). Badan air alami memiliki muatan patogeniknya sendiri dan menerima
beban tambahan dari sistem budidaya ikan dapat menyebabkan stres atau
kematian organisme air secara langsung. Pembuangan limbah tambak
merajalela di tambak semi intensif yang lebih umum di Afrika (FAO, 2009), di
mana pupuk organik yang digunakan dalam budidaya menghasilkan patogen
tingkat tinggi. Empat pupuk organik (limbah darah sapi, kotoran sapi, kotoran
babi, dan kotoran unggas) berkontribusi pada streptokokus feses tingkat tinggi
(Ampofo & Clerk, 2003).
Jenis limbah dari sistem akuakultur
Komponen limbah yang dihasilkan dari sistem akuakultur telah dilaporkan
oleh banyak penulis (Syandri et al, 2017; Akinwole et al., 2016; Gondwe et al.,
2011; Pouil et al., 2017). Fokus kami dipersempit menjadi limbah akuakultur
utama dari pakan. Secara umum, limbah dari akuakultur dapat diklasifikasi
menjadi limbah padat dan limbah terlarut.
Limbah padat
Limbah padat terutama berasal dari pakan yang tidak dimakan dan kotoran
tinja ikan yang dibudidayakan (Akinwole et al., 2016). Mayoritas limbah padat
akuakultur berasal dari feses Kehilangan feses yang berasal dari nutrisi pakan
yang tidak tercerna dapat mencapai sekitar 10-30% dari pakan (Chen et al.,
1997). Mereka kadang-kadang memasukkan ikan-ikan yang tidak kurang sehat
untuk dipelihara. Limbah padat dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai
padatan tersuspensi dan padatan. Padatan tersuspensi adalah partikel halus dan
tetap tersuspensi dalam air, kecuali ketika metode koagulasi atau sedimentasi
digunakan, dan merupakan jenis padatan yang paling sulit untuk dihilangkan
dari sistem akukultur (Cripps & Bergheim, 2000). Padatan padat adalah partikel
yang lebih besar yang mengendap dalam waktu singkat dan dapat dengan
mudah dikeluarkan dari kolom kultur (Ebeling & Timmons, 2012). Limbah
64 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
padat telah diklasifikasikan sebagai limbah paling berbahaya dalam sistem
budidaya ikan dan harus secara efektif dihilangkan secepat mungkin..
Limbah padat dianggap sangat berbahaya karena dapat menyumbat insang ikan
dan menyebabkan kematian, terutama dalam kasus partikel padat yang besar
(Akinwole et al., 2016). Jika dibiarkan dalam waktu lama dan dibiarkan
membusuk, limbah ini menyebabkan peningkatan pada total padatan tersuspensi
dan total padatan terlarut. Mereka juga dapat meningkatkan senyawa nitrogen
dan menekankan ikan berbudaya (Akinwole et al., 2016). Jika limbah padat
dalam akuakultur tetap dalam sistem budidaya, aktivitas bakteri aerobik mereka
akan meningkatkan permintaan oksigen kimia dan menguras oksigen dalam
kolom budidaya (Green and Ward, 2011). Di kolam yang dikelola dengan baik,
(yaitu, pakan disimpan dengan benar, diberi makan secara efektif, dan ukuran
yang tepat digunakan) sekitar 30 persen dari pakan akan menjadi limbah padat.
Ini tergantung pada jenis sistem budidaya.
Limbah terlarut
Limbah terlarut adalah produk dari metabolisme makanan di ikan atau makanan
yang tidak dimakan. Dalam limbah terlarut, dua komponen utama yang menjadi
perhatian adalah produk nitrogen (N) dan fosfor (P) (Boyd & Massaut, 1999).
Kedua elemen ini merupakan komponen penting dari protein, yang merupakan
komponen utama dari pakan ikan. Terlepas dari spesies, ikan membutuhkan
protein kasar diet tinggi mulai dari 25 hingga 50%. Namun di Indonesia protein
yang diberikan untuk pembesaran ikan berkisar antara 28-30%, kecuali untuk
pakan udang (38-40%). Pakan ikan berprotein tinggi mengandung nitrogen dan
fosfor dalam jumlah tinggi, namun kurang dari 50% dari nitrogen dan fosfor
yang disimpan dalam tubuh ikan (Syandri et al, 2018; Asir dan Pulatsu, 2017).
Oleh karena itu, sebagian besar ditransfer ke dalam perairan budidaya. N dan P
yang berlebihan di dalam air budidaya ikan akan mencemari lingkunga. Jumlah
nitrogen dan fosfor yang ditahan oleh ikan bervariasi, dengan nitrogen rata-rata
dipertahankan berkisar antara 25% dan 30% (Boyd, 2003) hingga 10% -49%
(Piedrahita, 2003) dan 17-40% untuk retensi fosfor (Piedrahita, 2003).
Piedrahita (2003) melangkah lebih jauh untuk mengungkapkan bahwa kotoran
tinja ikan mengandung 3,6% -35% N dan 15% -70% P, sedangkan jumlah N
dan P sebagai produk ekskresi masing-masing adalah 37% -72% dan 1% -62%.
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 65
Nitrogen terutama diekskresikan dalam bentuk terlarut sebagai amonia,
sementara fosfor diekskresikan sebagai partikel (Boyd et al., 2016).
Ikan tidak dapat memanfaatkan substansi dari N dan P, yang merupakan
komponen nutrisi utama dari pakan, sehingga memberikan potensi tinggi untuk
pencemaran lingkungan (Lazzari dan Baldisserotto., 2008). Oleh karena itu
dikategorikan sebagai limbah industri. Nutrien N dan P yang tidak dimanfaatkan
akhirnya dilepaskan ke lingkungan sebagai limbah (Syandri et al., 2016; Syandri
et al., 2018). Nutrien ini pada konsentrasi tinggi ketika dilepaskan ke badan air,
dapat membahayakan ikan dan penghuni ekosistem perairan lainnya (Syandri et
al., 2017; Syandri et al., 2020). Ada kemungkinan bahwa nurien terlarut ini
memiliki sedikit atau tidak ada efek yang signifikan pada ikan yang
dibudidayakan, tergantung pada konsentrasinya (Ansah, 2010). Namun,
melepaskan air budidaya dengan kualitas buruk mungkin memiliki dampak
yang signifikan pada organisme akuatik di badan air penerima.
Nitrogen dilepaskan ke dalam air akuakultur dalam bentuk amonia, yang
selanjutnya dapat didekomposisi menjadi nitrit dan nitrat (Dauda et al., 2014;
Piedrahita, 2003), tergantung pada aktivitas biologis dalam kolom budidaya.
Ammonia (NH3) sangat beracun bagi ikan yang dibudidayakan dalam sistem
akuakultur, jika tidak dikelola sebelum dilepaskan ke lingkungan perairan
(Boyd et al, 2016). Amonia ada dalam dua bentuk, bentuk tidak terionisasi dan
bentuk terionisasi (NH3 dan NH4). Dalam air, keduanya senyawa ini dalam
kesetimbangan pada rasio yang ditentukan oleh suhu air dan pH (Ebeling dan
Timmons, 2012). Bentuk un-terionisasi sangat beracun, bentuk terionisasi
sedikit kurang beracun, dan penjumlahan dari keduanya adalah total amonia
nitrogen (TAN). Polutan kritis kedua dari air budidaya ikan adalah ammonia
nitrogen, terutama dalam bentuk yang tidak terionisasi (Romano dan Zeng,
2013). Ikan budidaya memiliki toleransi beragam terhadap amonia-nitrogen
yang tergantung pada spesies ikan, umur, dan status fisiologis. Ikan daerah
tropis lebih toleran daripada ikan sub tropis, sedangkan ikan dewasa lebih
toleran daripada ikan dan remaja. Amonia umumnya direkomendasikan untuk
berada di bawah 1 mg / L dalam tangki akuakultur (Ajani et al., 2011). Menurut
Boyd (2003), aliansi akuakultur global (GAA) merekomendasikan total amonia
nitrogen (amoniak terionisasi + amoniak terionisasi) dari 5 mg / L dalam limbah
akuakultur sebagai bagian dari pedoman untuk pengelolaan limbah akuakultur.
66 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
Nitrit adalah produk antara oksidasi amonia menjadi nitrat, juga beracun, dan
tingkat di bawah 0,5 mg / L umumnya diinginkan dalam sistem budidaya ikan
(Ajani et al., 2011). Namun, nitrit tidak stabil dan selanjutnya teroksidasi
menjadi nitrat. Nitrat adalah produk akhir dari oksidasi amonia dan umumnya
dianggap aman karena tidak beracun bagi sebagian besar spesies ikan bahkan
pada konsentrasi setinggi 200 mg/L (Dauda & Akinwole, 2015). Namun, itu
merupakan gangguan terhadap lingkungan karena mampu memperkaya air
penerima dan, dengan fosfor, menyebabkan eutrofikasi (Varol, 2019). Sistem
budidaya ikan di mana air diperlakukan untuk reduksi amonia, terutama dalam
sistem resirkulasi akuakultur, menggunakan bio filter untuk oksidasi amonia
menjadi nitrat (Dauda et al, 2018). Nitrat dapat terakumulasi dari waktu ke
waktu hingga level tinggi 300-400 mg / L (Boyd et al, 2016) dan, tergantung
pada frekuensi pertukaran air dan ketika air tersebut dilepaskan, akan
berdampak negatif pada badan air penerima (Dauda et al., 2014 ).
Fosfor adalah metabolit penting atau produk terurai lainnya dari pakan yang
juga kurang dimanfaatkan. Tidak seperti amonia, fosfor tidak beracun bagi ikan
yang dibudidayakan, tetapi ketika dilepaskan ke lingkungan, fosfor memperkaya
badan air alami dan menyebabkan eutrofikasi, tergantung pada konsentrasi,
frekuensi pelepasan, dan ukuran badan air penerima (Yu et al., 2020). Tidak
seperti nitrogen yang dilepaskan ke dalam air terutama dalam bentuk terlarut,
persentase P yang lebih besar dilepaskan sebagai partikulat dalam tinja ikan. Ini
bervariasi dengan spesies, dengan Tilapia hibrida melepaskan fosfor utama (60-
62%) dalam bentuk terlarut melalui ekskresi (Piedrahita, 2003). Fosfor dalam
air akuakulture terutama dilepaskan sebagai fosfat, yang merupakan nutrisi
penting untuk menerima air bersama dengan rekan nitratnya dari nitrogen
(Lazzari & Baldisserotto., 2008). Sayangnya, ketika konsentrasi tinggi,
keduanya menyebabkan eutrofikasi di badan air penerima.
Kesimpulan
Komponen limbah dalam akuakultur terdiri atas pakan, tinja dan antibiotic.
Komponen tersebut teridiri terdiri karbon, nitrogen, dan fosfor yang dominan
bersumber dari pakan ikan dan tinja ikan. Semua komponen tersebut dilepaskan
ke badan air tergantung kepada kadar karbon, nitrogen dan fosfor yang terdapat
di dalam pakan, juvenile ikan, ikan mati selama pembesaran dan ukuran ikan
saat panen. Ikan tidak dapat memanfaatkan substansi dari N dan P, terutama
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 67
yang merupakan komponen nutrisi utama dari pakan, sehingga memberikan
potensi tinggi untuk pencemaran lingkungan
Komponen limbah akuakultur terdiri dari sisa pakan ikan, tinja ikan, pathogen
yang dapat berupa limbah padat dan limbah terlarut. Komponen tersebut telah
berdampak negative terhadap kualitas air. Nitrogen dilepaskan ke dalam air
akuakultur dalam bentuk amonia, yang selanjutnya dapat didekomposisi
menjadi nitrit dan nitrat. Nitrit adalah produk senyawa beracun bagi ikan,
umumnya diinginkan dalam sistem budidaya di bawah 0,5 mg / L. Namun
sistem ini dipertahankan pada tingkat yang tidak akan menimbulkan toksik pada
ikan dan lingkungan, termasuk manusia yang mengkomsumsi ikan hasil dari
akuakultur.
Fosfor adalah metabolit penting atau produk terurai lainnya dari pakan yang
juga kurang dimanfaatkan. Tidak seperti amonia, fosfor tidak beracun bagi ikan
yang dibudidayakan, tetapi ketika dilepaskan ke lingkungan, fosfor memperkaya
badan air alami dan menyebabkan eutrofikasi, tergantung pada konsentrasi,
frekuensi pelepasan, dan ukuran badan air penerima.Untuk produksi akuakultur
supaya dapat meminimumkan nutrient lepas ke badan air mesti
mempertimbangkan karakteristik pakan yang digunakan, asupan pakan, ukuran
ikan yang ditebar dan pemakaian antibiotic.
Daftar Pustaka
Ajani, E. K., Akinwole, A. O., & Ayodele, I. A. 2011. Fundamentals of fish
farming in Nigeria. Nigeria: Walecrown publishers Ibadan.
Akinwole, A.O; Dauda, A.B; Ololade, A.O, 2016. Haematological response of
Clarias gariepinus juveniles reared in treated wastewater after waste solids
removal using alunm or Moringa oleifera seed powder. International
Journal of Acarology 6(11): 1-8
Ampofo, J. A., & Clerk, G. C. 2003. Bacterial flora of fish feeds and organic
fertilizers for fish culture ponds in Ghana. Aquaculture Research, 34(8),
677–680.
Aşir, U, Palatsü,R 2008. Estimation of the nitrogen-phosphorus load caused by
Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum, 1792) cage-culture farms
in Kesikköprü Dam Lake: A comparison of pelleted and extruded Feed.
Turk. J. Vet. Anim. Sci. 32 (6): 417-422.
68 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
Avadí, A., Pelletier, N., Aubin, J., Ralite, S., Núñez, J., & Fréon, P.
2015. Comparative environmental performance of artisanal and commercial
feed use in Peruvian freshwater aquaculture. Aquaculture, 435, 52–66.
Boyd, C. E., & Massaut, L. 1999. Risks associated with the use of chemicals in
pond aquaculture. Aquacultural Engineering, 20, 113–132.
Boyd, C. E. 2003. Guidelines for aquaculture effluent management at the farm-
level.Aquaculture, 226, 101–112.
Boyd CE, Turker CS, Somridhivej B,: Alkalinity and hardness: Critical but
Elusive concepts in aquaculture. Journal of the World Aquaculture Society.
2016; 47(1): 6-41.
Chen, S., Coffin, D.E., Malone, R.F., 1997. Sludge production and management
for recirculating aquacultural systems. Journal of the World Aquaculture
Society. 28, 303-315.
Liu, X., Steele, J. C., & Meng, X.-Z. 2017. Usage, residue, and human health
risk of antibiotics in Chinese aquaculture: A review. Environmental
Pollution, 223, 161–169.
Dauda, A. B., & Akinwole, A. O. 2014. Interrelationships among water quality
parameters in recirculating aquaculture system. NJRED, 8(4), 20–25.
Dauda, A. B., & Akinwole, A. O. 2015. Evaluation of polypropylene and palm
kernel shell as biofilter media for denitrification of fish culture wastewater.
NSUK JST, 5, 207–213.
Dauda, A. B., Ajadi, A., Tola-Fabunmi, A. S., & Akinwole, A. O. 2018. Waste
production in aquaculture: Sources, components and managements in
different culture systems. Aquaculture and Fisheries.
Dauda, A. B., Ajadi, A., Tola-Fabunmi, A. S., & Akinwole, A. O. 2018. Waste
production in aquaculture: Sources, components and managements in
different culture systems. Aquaculture and
Fisheries. doi:10.1016/j.aaf.2018.10.002
Horppila, J. 2019. Sediment nutrients, ecological status and restoration of lakes.
Water Research. doi:10.1016/j.watres.2019.05.074
K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r | 69
Cripps, S. J., & Bergheim, A. 2000. Solids management and removal for
intensive landbased aquaculture production systems. Aquacultural
Engineering, 22, 33–56.
FAO, 2016. The state of world fisheries and aquaculture-contributing to food
security and nutrition for all. Fisheries and aquaculture department. Rome:
Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Farmaki, E. G., Thomaidis, N. S., Pasias, I. N., Baulard, C., Papaharisis, L., &
Efstathiou, C. E. (2014). Environmental impact of intensive aquaculture:
Investigation on the accumulation of metals and nutrients in marine
sediments of Greece. Science of The Total Environment, 485-486, 554–
562.
Green, B., & Ward, G. H. (2011). Ultimate biochemical oxygen demand in
semi-intensively managed shrimp pond waters. Aquaculture, 319(1-2),
253–261. doi:10.1016/j.aquaculture.2011.06.031
Gondwe, M. J. S., Guildford, S. J., & Hecky, R. E. 2011. Carbon, nitrogen and
phosphorus loadings from tilapia fish cages in Lake Malawi and factors
influencing their magnitude. Journal of Great Lakes Research, 37, 93–
101. doi:10.1016/j.jglr.2010.11.014
Goldburg, R., & Triplett, T. 1997. Murky waters: Environmental effects of
aquaculture in the United States. Washington, DC: Environmental Defense
Fund.
Lazzari, R., & Baldisserotto, B.2008. Nitrogen and phosphorus waste in fish
farming, Vol. Boletim do Instituto de Pesca 591–600.
Schmittou, H.R., 2006. Cage culture. In: Lim, C., Webster, C.D. (Eds.), Tilapia:
Biology, Culture and Nutrition. Haworth Press. Binghamton, New York,
pp. 313–342.
Shen, X., Jin, G., Zhao, Y., & Shao, X. 2019. Prevalence and distribution
analysis of antibiotic resistance genes in a large-scale aquaculture
environment. Science of The Total Environment, 134626.
Piedrahita, R. H. (2003). Reducing the potential environmental impact of tank
aquaculture effluents through intensification and recirculation. Aquaculture,
226, 35–44.
70 | K o m p o n e n L i m b a h D a l a m A k u a k u l t u r
Pouil,S, R. Samsudin, J. Slembrouck, A. Sihabuddin, G. Sundari, K. Khazaidan,
A.H. Kristanto, B. Pantjara, D. Caruso. 2019. Nutrient budgets in a small-
scale freshwater fish pond system in Indonesia. Aquaculture 504: 267-274.
Syandri. H, Azrita and Niagara. 2016. Trophic status and load capacity of water
pollution waste fish culture with floating net cages in Maninjau Lake,
Indonesia. Eco. Env. & Cons. 22 (1): 469-476.
Syandri, H, Azrita, Junaidi, A. Mardiah 2017. Levels of available nitrogen-
phosphorus before and after fish mass mortality in Maninjau Lake of
Indonesia. J. Fish. Aquat. Sci., 12 (4): 191-196.
Syandri. H, Azrita, A. Mardiah. 2018. Nitrogen and phosphorus waste
production from different fish species cultured at floating net cages in
Lake Maninjau, Indonesia. Asian J. Sci. Res, 11 (2): 287-294
Syandri, H, A. Mardiah . Azrita. 2020. Water Quality Status and Pollution
Waste Load from Floating Net Cages at Maninjau Lake, West Sumatera
Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 430 (2020)
012031.
Varol M,: 2019. Impacts of cage fish farms in a large reservoir on water and
sediment chemistry. Environmental Pollution. 252: 1448-1454.
Yu, C., Li, Z., Xu, Z., & Yang, Z. 2020. Lake recovery from eutrophication:
Quantitative response of trophic states to anthropogenic influences.
Ecological Engineering, 143, 105697. doi:10.1016/j.ecoleng.2019.105697
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 71
CHAPTER 5
DAMPAK LIMBAH AKUAKULTUR TERHADAP
EKOSISTIM PERAIRAN
Dampak limbah akuakultur terhadap kualitas air
Studi yang telah dilaporkan oleh Davidson et al (2016) tentang efek dari pakan
ikan yang ransumnya mengandung tepung ikan (FMF) dan pakan yang
ransumnya tidak mengandung tepung ikan (FM) yang diujikan pada salmon
Atlantik (Salmo salar) dengan teknologi sistem resirkulasi (RAS). Selama
durasi penelitian ternyata total ammonia nitrogen (TAN) pada pakan yang
mengandung tepung ikan lebih tinggi daripada pakan yang tidak mengandung
tepung ikan masing-masing adalah 0,17±0,01 dan 0,13±0,01 mg / L. Nitrit
nitrogen masing-masing adalah 0,05 ± 0,04 dan 0,03±0,02 mg / L untuk FMF
dan FM. Nitrat nitrogen masing-masing adalah 65±2 dan 57±1 mg / L untuk
ransum pakan FMF dan FM.
Total fosfor (TP) di dalam air yang pakannya mengandung FMF dan pakan FM
masing-masing adalah 4,3±0,1 dan 0,9 ± 0,0 mg/ L (Tabel 1); karenanya, pakan
FMF menghasilkan total fosfor yang lebih besar dalam air akuakultur. Air
akukultur yang menerima FMF dan FM masing-masing mengandung kadar TSS
rata-rata 1,3 ± 0,2 dan 1,7 ± 0,1 mg / L, terbukti TSS lebih tinggi pada NTP
daripada MTP (Tabel 1).
Pada budidaya ikan dan industri pakan ikan telah cukup lama mengakui dan
mengantisipasi masalah yang berdampak pada keberlanjutan tepung ikan di
industri pakan ikan terhadap lingkungan perairan. Karena keterbatasan pasakon
tepung ikan untuk ransum pakan, maka beberapa peneliti telah mencoba
menggembangkan bahan-bahan protein alternaif, terutama protein nabati.
72 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
Tabel 1. Parameter kualitas air pada budidaya ikan salmon yang diberi pakan FMF
dan FM
Pakan FMF Pakan FM
Alkalinity 206±2 208±2
Carbon Dioxide 4±0 3±0
cBOD5 0.9±0.1 0.9±0.1
Dissolved Oxygen 10.0±0.0 10.0±0.0
Heterotroph Bacteria (CFU/ml) 437±83 493±121
Nitrit Nitrogen 0.05±0.04 0.03±0.02
Nitrate Nitrogen 65±2 57±1
Oxidative Reduction Potensial (mV) 248±1 255±4
pH 8.1 8.1
Temperature 15.2 15.2
Total Amonia Nitrogen 0.17±0.01 0.13±0.01
Total Phosphorus 4.3±0.1 0.9±0.0
Total Suspended Solid 1.3±0.2 1.7±0.1
Sumber: Davidson et al., 2016.
Hasilnya menunjukkan bahwa kinerja pertumbuhan ikan trout pelangi yang
diberi semua protein nabati tanpa tepung ikan sebanding dengan kinerja ikan
trout yang diberi makan tepung ikan tradisional (Davidson et al., 2013). Pada
Tabel 2 dilaporkan kualitas air media pemeliharaan ikan rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) dengan RAS dengan dua jenis pakan (protein pakan
bersumber dari tepung ikan dan protein pakan dari biji-bijian). Bahan protein
utama dalam diet GB adalah kedelai dan jagung konsentrat protein. Diet FM
diformulasikan untuk mewakili diet trout khas yang mengandung makanan
menhaden, produk sampingan unggas, tepung kedelai, dan tepung darah.
Penggunaan alternatif selain tepung ikan untuk akuakultur semakin menjadi
kebutuhan karena menurunnya stok perikanan. Dengan demikian, formulasi
makanan dan dampaknya tetap menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan
sektor akuakultur. Bahan tanaman telah berhasil digunakan sebagai alternatif
berkelanjutan untuk pengganti tepung ikan untuk beberapa spesies akuakultur.
Namun, adanya faktor antinutritional di sebagian besar bahan-bahan ini
mengganggu penerimaan pakan dan kinerja hewan, menyebabkan gangguan
metabolisme dan pencernaan. Selain biaya produksi yang meningkat,
kekhawatiran lain juga muncul dari dampak gangguan ini, seperti produksi
limbah yang berasal dari nutrisi yang tidak disimpan dalam biomassa dan
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 73
dilepaskan di lingkungan sebagai kerugian feses atau non-feses (Kokou dan
Fountoulaki, 2018).
Tabel 2. Konsentrasi kualitas air tangki rata-rata (mg/L, kecuali dinyatakan lain)
dikumpulkan di saluran pembuangan dinding samping untuk
pertukaran rendah yang diberi makan berbasis pakan (GB) dan pakan
berbasis ikan (FM).
Disisi lain, sumber beban pencemaran air danau Maninjau dominan berasal dari
aktifitas budidaya ikan keramba jaring jaring apung yaitu sisa pakan ikan, tinja
ikan dan ikan mati secara massal (Junaidi et al, 2015; Syandri et al., 2020;
Syandri et al., 2017). Sumber pencemaran tersebut telah berdampak terhadap
kualitas air dan status trofik danau. Sulastri et al (2019) telah melaporkan
kualitas air danau Maninjau seperti dipresentasikan pada Tabel 3.
Kecerahan perairan yang ditentukan berdasarkan kedalaman Secchi Dish rata-
rata berkisar antara 0.8-2.96 m. Untuk perairan mesotrofik dan eutrofik
kedalaman kerahan (Secchi dish) masing-masing adalah 4-2 m dan 2-1 m
(Carlson dan Simpson, 1996). Suhu perairan menunjukkan kondisi umum
perairan tropis dan mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton (Affan et al.
2016). Kisaran pH menunjukkan perairan lebih bersifat alkali. konsentrasi total
fosfor rata-rata berkisar antara 0, 021-0,298 mg/L untuk perairan mesotrofik dan
eutrofik konsentrasi total fosfor berkisar masing-masing antara 0,012-0,024
mg/L dan 0,24-0, 96 mg/L, sedangkan untuk perairan hipertrofik berkisar antara
0.96-> 0,192 mg/L. Rasio TN:TP pada umumnya > 12 menunjukkan fosfor
menjadi faktor pembatas fitoplakton (Sulastri et al., 2019).
74 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
Tabel 3. Parameter kualitas air danau Maninjau
Dampak limbah akuakultur terhadap plankton
Para peneliti telah meloporkan tentang keanekaragaman plankton di perairan
danau Maninjau (Merina et al, 2014; Sulastri et al, 2019). Jenis fitoplankton di
danau Maninjau disajikan pada pada Tabel 4 (Sulastri et al., 2019). Berdasarkan
waktu pengamatan, jumlah jenis yang tinggi adalah phylum Chlorophyta kecuali
pada April, 2018 tidak ditemukan jenis dari alga hijau (Chlorophyta). Synedra
ulna merupakan jenis dari kelompok diatom yang melimpah dan ditemukan
selama pengamatan (Tabel 4). Jenis-jenis dari famili Desmidiaceae (kelompok
desmid) seperti dari genus Cosmarium dan Staurastrum memiliki
keanekaragaman jenis yang tinggi selama pengamatan, kecuali pada bulan April
2018. Jenis dari phylum alga biru hijau (Cyanophyta) yang selalu ditemukan di
danau Maninjau adalah Microcystis aeruginosa, Anabaena affinis dan
Cylindrospermopcis raciborskii (Tabel 4).
Faktor pertama penyebab ledakan populasi fitoplankton itu biasanya dipicu oleh
zat hara. Suatu perairan yang memiliki konsentrasi zat hara berlebih, dapat
memicu terjadinya ledakan fitoplankton. Karena zat hara tersebut terserap oleh
fitoplankton sebagai nutrisi pertumbuhan dan perkembangannya. Disamping itu
Cyanobacteria merupakan mayoritas fitoplankton di beberapa negara danau
oligotrofik hingga eutrofik besar, dan karena kelimpahannya dan di mana-mana,
hingga 70% fiksasi karbon dalam air dapat dikaitkan dengan cyanobacteria (Yan
et al., 2019). Peningkatan biomassa cyanobacterial secara mekar dapat
menyebabkan degradasi ekosistem perairan dengan meningkatkan proses
anaerob, mengurangi kualitas air dan mengubah keanekaragaman air, dan
dengan demikian menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia (Liao et
al., 2016).
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 75
Tabel 4. Jenis-jenis fitoplaknton di danau Maninjau, Sumatera Barat
76 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
Taipale et al (2019) menemukan bahwa nilai gizi fitoplankton, asam amino, EPA,
DHA, dan sterol menunjukkan hubungan kuadratik yang signifikan dengan status
trofik danau. Lebih khusus, kandungan asam amino adalah sama di danau oligo dan
mesotropik, tetapi secara substansial lebih rendah di danau eutrofik (TP> ug L -1 /
1.13 μmol L -1 56). Kandungan EPA dan DHA tertinggi di fitoplankton ditemukan
di danau mesotropik, sedangkan kandungan sterol tertinggi di danau oligotropik.
Berdasarkan hasil ini, nilai gizi fitoplankton berkurang dengan terjadinya
eutrofikasi, meskipun kontribusi ganggang berkualitas tinggi tidak berkurang. Oleh
karena itu, hasilnya menekankan bahwa eutrofikasi, sebagai kelebihan TP,
mengurangi nilai gizi fitoplankton, yang mungkin memiliki dampak signifikan pada
nilai gizi zooplankton, ikan, dan hewan air lainnya pada tingkat rantai makanan
yang lebih tinggi. Selanjutnya perubahan komposisi spesies plankton dan
kepadatan akibat eutrofikasi dapat menghasilkan ikan dengan nilai gizi lebih rendah
dan dengan demikian meningkatkan risiko bagi konsumen ikan dengan mengubah
ketersediaan Se dan EPA terhadap MeHg (Razawi et al., 2014).
Dampak limbah akuakultur terhadap eutrofikasi
Danau air tawar adalah salah satu ekosistem terpenting di dunia tetapi aktivitas
yang berhubungan dengan manusia telah mengubah ekosistem secara bertahap
dengan meningkatkan aliran nutrisi anorganik dan zat organik ke dalam
ekosistem, yang selalu dikaitkan dengan peradaban dan urbanisasi. Meskipun
proses pengolahan air limbah dapat mengurangi pembuangan nutrisi, akumulasi
kelebihan pasokan nutrisi dapat mengakibatkan eutrofikasi. Sebagian besar
danau air tawar dan lahan basah menghadapi masalah penurunan kualitas air
dan ketidakseimbangan ekologis karena meningkatnya kegiatan antropogenik
terutama di negara-negara berkembang. Pemahaman tentang mekanisme dan
identifikasi sumber-sumber eutrofikasi sangat bermanfaat untuk mengurangi
masalah melalui kebijakan manajemen yang tepat. Mekanisme dan efek
eutrofikasi serta permodelan untuk mitigasi eutrofikasi telah dijelaskan oleh
banyak peneliti (Bhagowati et al, 2019; Liu et al., 2018;Tang et al., 2019).
Dengan kemajuan pemodelan ekosistem, menjadi layak bagi badan pemerintah
dan pembuat kebijakan untuk mengusulkan skema pengendalian danau dan
program restorasi yang lebih baik, melalui kapasitas prediksi yang lebih baik.
Sementara prediksi dan kontrol eutrofikasi danau sekarang menjadi lebih mudah
daripada sebelumnya, penyempurnaan masih terjadi karena kompleksitas yang
terus meningkat dan masalah khusus danau yang membutuhkan pengalaman
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 77
yang lebih luas dan lebih detail. Status pengetahuan saat ini tentang eutrofikasi
danau dan kemajuan dalam pemodelan ekologi dan hidrodinamik akan sangat
bermanfaat bagi prospek pengelolaan danau di masa depan.
Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrisi dan digunakan untuk
mengkarakterisasi keadaan ekosistem perairan. 'Status trofik' badan air
digunakan sebagai deskripsi badan air untuk tujuan ini. Untuk memahami status
nutrisi dari badan air biasanya digunakan istilah oligotrophic, mesotrophic,
eutrophic dan hypertrophic (Walmsley, 2000).
1. Oligotropik adalah keadaan konsentrasi nutrisi yang rendah dan tidak
produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air. Danau-danau
ini memiliki produksi alga yang sangat sedikit dan cocok digunakan
untuk air minum.
2. Mesotropik adalah zat gizi tingkat menengah, cukup produktif dalam hal
kehidupan hewan dan tumbuhan air dan menunjukkan inisiasi tanda-
tanda masalah kualitas air.
3. Eutrofik adalah keadaan di mana badan air kaya akan konsentrasi nutrisi,
sangat produktif dalam hal kehidupan hewan dan tumbuhan air dan
menunjukkan tanda-tanda meningkatnya masalah kualitas air. Karena
meningkatnya muatan alga, air menjadi kurang transparan.
4. Hipertrofik adalah keadaan di mana konsentrasi nutrisi berlebihan
terjadi, dan pertumbuhan tanaman dapat ditentukan oleh faktor fisik.
Masalah kualitas air serius dan hampir terus menerus. Air menjadi
kurang transparan dan kehidupan akuatik berhenti pada kedalaman yang
lebih rendah karena hilangnya kandungan oksigen terlarut.
Secara umum, fenomena eutrofikasi danau dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori yaitu gejala alam dan aktifitas manusia. Proses eutrofikasi alami
berlangsung sangat lambat dalam waktu umur geologis tetapi dapat sangat
dipercepat oleh kegiatan antropogenik yang umumnya disebut sebagai
eutrofikasi buatan manusia, sebagai contoh aktifitas budidaya ikan dengan
keramba apung. Secara umum dapat diterima bahwa input nutrisi yang
berlebihan terutama nitrogen (N) dan fosfor (P), adalah faktor kunci yang
mempercepat proses eutofikasi dalam ekosistem perairan. Sumber N dan P
dapat berasal dari kegiatan pertanian di luar badan air dan dialirkan ke danau
atau waduk, disatu sisi juga berasal dari badan air itu sendiri.
78 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
Ketersediaan fosfor dianggap sebagai faktor terpenting untuk menentukan
kualitas air danau. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pemuatan
fosfor yang tinggi menyebabkan biomassa fitoplankton tinggi, air keruh, dan
sering terjadi perubahan biologis yang tidak diinginkan. Yang terakhir termasuk
hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya macrophytes yang terendam,
perubahan stok ikan, dan penurunan kontrol top-down oleh zooplankton pada
fitoplankton.
Untuk menurunkan tingkat eutrofikasi danau, banyak upaya telah dilakukan
untuk mengurangi pemuatan fosfor ke badan air. Beberapa pengelola danau
merespon dengan cepat terhadap pengurangan semacam itu. Tetapi penundaan
pemulihan danau sering terlihat lambat, karena sumbangan fosfor dari aktifitas
akuakultur dan pertanian sangat besar, sehingga membutuhkan waktu untuk
menyeimbangkan dengan tingkat pembebanan baru. Pelepasan fosfor dari
sedimen ke dalam kolom air danau mungkin begitu kuat dan persisten, sehingga
memperlambat periode waktu peningkatan kualitas air setelah pengurangan
pembebanan (Zhang et al, 2019; Ni et al, 2018).
Eutrofikasi di air tawar memperlihatkan hubungan antara limbah fosfor dan
hilangnya keanekaragaman spesies ikan di air tawar, seperti di danau, sungai
dan waduk, termasuk rawa banjiran. Dalam perairan tawar, fosfor biasanya
ditunjukkan sebagai nutrisi yang membatasi pertumbuhan fitoplankton
(Jorgensen, 1980). Sampai saat ini, upaya untuk mengontrol pertumbuhan
fitoplankton di badan air memang difokuskan terutama pada pengurangan
fosfor. Namun, ada pendapat yang berkembang bahwa dengan mengurangi
fosfor mungkin tidak cukup untuk memperbaiki kondisi ekologis perairan.
Penggabungan pengurangan nitrogen dan fosfor mungkin bisa memberikan
hasil yang lebih baik. Strategi untuk pengendalian eutrofikasi dengan membatasi
jumlah fosfor yang dilepaskan ke badan air ternyata kurang berhasil pada
sejumlah badan air. Namun para peneliti telah membuktikan bahwa senyawa
nitrogen juga harus dipertimbangkan untuk dikurangi yang lepas ke badan air
((Finlay et al., 2013; Paerl, 2009; Sterner, 2008; Syandri et al, 2017). Namun
demikian, efektivitas langkah-langkah pengurangan nitrogen untuk mengontrol
pertumbuhan fitoplankton juga jauh dari pasti karena banyak spesies
cyanobacteria dapat langsung memperbaiki nitrogen atmosfer (Yan et al, 2019)
dan karena itu dapat mengimbangi muatan nitrogen yang lebih rendah.
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 79
Berdasarkan pengetahuan ilmiah saat ini ada peneliti yang sangat menganjurkan
pengurangan gabungan nitrogen dan fosfor untuk mengontrol eutrofikasi di
perairan air tawar (Abell et al., 2010) sementara yang lain sangat menentangnya
dan mendorong hanya kontrol fosfor (Schindler et al., 2008). Kedua strategi
memiliki kisah sukses dan kegagalan dan tampaknya tergantung pada kondisi
hidrologi dari badan air tertentu. Pengurangan beban nitrogen ke badan air
biasanya memiliki biaya lebih tinggi daripada pengurangan phosphorus karena
kompleksitas teknis yang lebih tinggi mengingat sebagian besar muatan
nitrogen berasal dari sumber yang tersebar dan bukan seperti dari beban
phosphorus (Sharpley et al., 2000). Penilaian variabel kualitas air mesti
menganalisis parameter berikut, termasuk tiga kelompok fitoplankton
(cyanobacteria, diatom dan ganggang hijau), oksigen terlarut, senyawa nitrogen
(nitrat, nitrit, amonium, nitrogen organik, nitrogen teradsorp dan nitrogen total),
senyawa fosfor (fosfat, fosfor organik, fosfor teradsorpsi dan fosfor total),
karbon organik partikulat dan terlarut, silika dan zooplankton (Lindim et al.,
2015).
Kunci untuk manajemen kualitas air yang sukses bagi danau yang menerima air
masukan dari sungai-sungai besar tampaknya tidak hanya mengurangi jumlah
input eksternal nutrisi tetapi juga mempertimbangkan beban internal.
Sebaliknya danau-danau yang tidak mempunyai inlet sungai besar input internal
harus sangat dipertimbangkan. Sebagai contoh adalah danau Maninjau. Beban
nutrisi yang berasal dari internal adalah operasional budidaya ikan dengan
karamba jaring apung. Selama musim panas perhatian harus diberikan pada
stratifikasi termal pada himpunan dan durasi karena peningkatan risiko
pengembangan cyanobacteria yang beracun.
Namun ikan mas perak, Hypophthalmichthys molitrix, dan Nile tilapia telah
dianggap efektif dalam menekan mekar cyanobacterial di danau eutrofik (Miura,
1990; Starling dan Rocha, 1990; Starling, 1993, in Turker et al, 2003). Turker et
al (2013) telah melaporkan bahwa ikan nila menyaring lebih banyak partikel
ukuran yang lebih besar dalam sumber air ganggang hijau dan cyanobacterial.
Sebagai contoh dari jenis ganggang hijau (Scenedesmus, Tetraedron, Chlorella,
Ankistrodesmus), dan Cyanobacteria (Microcystis, Merismopedia). Perkiraan
laju filtrasi ikan nila ( mgC / kg / jam) dapat dihitung dari data literatur. Sebagai
contoh, tingkat filtrasi fitoplankton rata-rata yang ditentukan dari berapa species
ikan dicantumkan pada Tabel 5. . Peningkatan signifikan dalam tingkat filtrasi
ikan nila yang dianalisis karena suhu air meningkat dari 23,8 menjadi 31,2 oC.
80 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
Nila adalah spesies tropis, laju pemberian makan diperkirakan akan meningkat
saat suhu air meningkat. Tingkat filtrasi yang lebih tinggi juga terjadi pada ikan
yang di budidayakan pada suhu hangat dibanding dengan ikan yang dipelihara
di dalam laboratorium. Turker et al (2003) menyatakan bahwa nila tilapia
secara efektif dapat menyaring cyanobacteria yang dapat dijadikan sebagai agen
hayati untuk mengendalikan fitoplankton yang mengganggu seperti Microcystis.
Temuan lain menyatakan bahwa danau oligtrofik didominasi oleh
Actinobacteria, dan danau eutrofik didiminasi oleh Cyanobacteria (Ji et al.,
2018).
Tabel 5. Jenis fitoplankton yang dikonsumsi oleh ikan nila disitasi oleh
Turker et al, 2003
Kesimpulan
Operasional akuakultur yang tidak ramah lingkungan telah memberikan dampak
negatif terhadap ekosistem perairan. Dampak limbah akuakultur bersumber dari
pakan ikan, tinja ikan, dan senyawa organik lainnya. Limbah dari operasional
akuakultur telah berdampak negatif terhadap kualitas perairan, keanekaragaman
fitoplankton, termasuk nilai gizi yang terkandung pada fitoplankton, misalnya
asam amino esensial. Selain itu juga berdampak terhadap keanekaragam spesies
ikan, blooming fitoplankton dan eutrofikasi perairan. Ikan nila dapat dijadikan
sebagai salah species ikan yang berfungsi sebagai agen hayati yang dapat
memanen fitoplankton yang mekar di badan air danau dan waduk, termasuk di
kolam ikan.
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 81
Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrisi yang digunakan untuk
mengkarakterisasi keadaan ekosistem perairan. Status trofik badan air
digunakan sebagai deskripsi badan air untuk tujuan ini yaitu oligotrofik,
mesotrofik, eutrofik dan hipereutrofik.
Pada umumnya kondisi status trofik danau di berbagai negara, termasuk
Indonesia adalah hipereutrofik di mana konsentrasi nutrisi sangat berlebihan,
dan pertumbuhan tanaman air terjadi secara massive. Masalah kualitas air serius
dan hampir terus menerus. Air menjadi kurang transparan dan kehidupan
akuatik berhenti pada kedalaman yang lebih rendah karena hilangnya
kandungan oksigen terlarut.
Kunci untuk manajemen kualitas air yang sukses bagi danau yang menerima air
masukan dari sungai-sungai besar tampaknya tidak hanya mengurangi jumlah
input eksternal nutrisi tetapi juga mempertimbangkan beban internal.
Sebaliknya danau-danau yang tidak mempunyai inlet sungai besar input internal
harus sangat dipertimbangkan seperti di danau Maninjau dan danau lain dengan
kasus yang sama.
Daftar Pustaka
Abel. J.M, Deniz Özkundakci & David P. H. Nitrogen and Phosphorus
Limitation of Phytoplankton Growth in New Zealand Lakes: Implications
for Eutrophication Control. Ecosystem, 13:966-977.
Affan, MA., El-Sayed Touliabah H, Al-Harbi SM, Abdulwassi NI, Turki Aj,
Haque MM, Khan S, Elbassat RA.2016. Influence of environmental
parameters on toxic cyanobacterial bloom occurrence in a Lake of
Bangladesh. Rend Fis Acc Lincei 27: 473-481
Bhagowati, B., & Ahamad, K. U. (2018). A review on lake eutrophication
dynamics and recent developments in lake modeling. Ecohydrology &
Hydrobiology,19(1): 155-166.
Carlson RE, Simpson J. 1996. A coordinator’s guide to volunteer lake
monitoring methods. North American Lake Management Society, Madison,
WI. Affan et al. 2016.
Davidson, J., Barrows, F. T., Kenney, P. B., Good, C., Schroyer, K., &
Summerfelt, S. T. (2016). Effects of feeding a fishmeal-free versus a
fishmeal-based diet on post-smolt Atlantic salmon Salmo salar
82 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
performance, water quality, and waste production in recirculation
aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 74, 38–51.
Davidson, J., Good, C., Barrows, F. T., Welsh, C., Kenney, P. B., &
Summerfelt, S. T. (2013). Comparing the effects of feeding a grain- or a
fish meal-based diet on water quality, waste production, and rainbow trout
Oncorhynchus mykiss performance within low exchange water
recirculating aquaculture systems. Aquacultural Engineering, 52, 45–57.
De Oliveira, E. G., Pinheiro, A. B., de Oliveira, V. Q., da Silva, A. R. M., de
Moraes, M. G., Rocha, Í. R. C. B., … Costa, F. H. F. (2012). Effects of
stocking density on the performance of juvenile pirarucu (Arapaima gigas)
in cages. Aquaculture, 370-371, 96–101.
Finlay J.C, , Gaston E. S, Robert W. S, 2013. Human Influences on Nitrogen
Removal in Lakes. Science, 342, Issue 6155, 247-250. Ji, B., Qin, H., Guo, S., Chen, W., Zhang, X., & Liang, J. (2018). Bacterial
communities of four adjacent fresh lakes at different trophic status. Ecotoxicology
and Environmental Safety, 157, 388–394. Jorgensen SE.1980. Lake Manjement, Pergamon Press Ltd, Oxford, UK.
Schindler, 1974
Junaidi, Syandri, H, Azrita, 2014. Loading and Distribution of Organic
Materials in Maninjau Lake West Sumatra Province-Indonesia. Junaidi et
al., J Aquac Res Development 2014, 5:7
Kokou, F., & Fountoulaki, E. (2018). Aquaculture waste production associated
with antinutrient presence in common fish feed plant ingredients.
Aquaculture, 495, 295–310.
Merina, G, Afrizal dan Izmiarti, 2014. Composition and Structure of
Phytoplankton Community at Maninjau Lake West Sumatera. Jurnal
Biologi Universitas Andalas, 3(6): 267-274.
Liao.J, Lei Z, Xiaofeng C, Jinhua S, Zhe G, Jie W, Dalin J, Hao F, Yi H, 2016.
Cyanobacteria in lakes on Yungui Plateau, China are assembled via niche
processes driven by water physicochemical property, lake morphology and
watershed land-use. Sci. Rep.-UK 6, 36357.
Lindim, C., Becker, A., Grüneberg, B., & Fischer, H. (2015). Modelling the
effects of nutrient loads reduction and testing the N and P control paradigm
in a German shallow lake. Ecological Engineering, 82, 415–427.
Liu, B., McLean, C. E., Long, D. T., Steinman, A. D., & Stevenson, R. J.
(2018). Eutrophication and recovery of a Lake inferred from sedimentary
diatoms originating from different habitats. Science of The Total
Environment, 628-629, 1352–1361.
D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . . | 83
Martin Søndergaard, Jens Peder Jensen & Erik Jeppesen, 2003. Role of
sediment and internal loading of phosphorus in shallow lakes,
Hydrobiologia 506, 135–145.
Moriarty, C.M., Moriarty, D.J.W., 1973. Quantitative estimation of the daily
ingestion rate of phytoplankton by Tilapia nilotica and Haplochromis
nigripinnis in Lake George, Uganda. J. Zool. (London) 171, 15 – 23.
Ni, Z., Wu, X., Li, L., Lv, Z., Zhang, Z., Hao, A.,Li, C. (2018). Pollution
control and in situ bioremediation for lake aquaculture using an ecological
dam. Journal of Cleaner Production, 172, 2256–2265.
Paerl, H.W. 2009, Controlling Eutrophication along the Freshwater–Marine
Continuum: Dual Nutrient (N and P) Reductions are Essential. Estuaies and
Coast, 32(4): 593-601.
Razavi, N. R., Arts, M. T., Qu, M., Jin, B., Ren, W., Wang, Y., & Campbell, L.
M. (2014). Effect of eutrophication on mercury, selenium, and essential
fatty acids in Bighead Carp (Hypophthalmichthys nobilis) from reservoirs
of eastern China. Science of The Total Environment, 499, 36–46.
Syandri, H, Azrita, Junaidi, A. Mardiah 2017. Levels of available nitrogen-
phosphorus before and after fish mass mortality in Maninjau Lake of
Indonesia. J. Fish. Aquat. Sci., 12 (4): 191-196.
Syandri, H, A. Mardiah . Azrita. 2020. Water Quality Status and Pollution
Waste Load from Floating Net Cages at Maninjau Lake, West Sumatera
Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 430 (2020)
012031.
Sulastri, Cynthia H, Sulung N, 2019. Keanekaragaman fitoplankton dan status
trofik Perairan Danau Maninjau di Sumatera Barat, Indonesia. Pros Sem
Nas Masy Biodiv Indon, 2(5): 242-250.
Zhang, Y., Yu, J., Su, Y., Du, Y., & Liu, Z. 2019. Long-term changes of water
quality in aquaculture-dominated lakes as revealed by sediment
geochemical records in Lake Taibai (Eastern China). Chemosphere.
Schindler, D.W, R. E. Hecky, D. L. Findlay, M. P. Stainton, B. R. Parker, M. J.
Paterson, K. G. Beaty, M. Lyng, and S. E. M. Kasian, 2008. Eutrophication
of lakes cannot be controlled by reducing nitrogen input: Results of a 37-
year whole-ecosystem experiment. PNAS August 12, 2008 105 (32) 11254-
11258
Sharpley, A. Bob, F, Paul. W, 2000. Practical and Innovative Measures for the
Control of Agricultural Phosphorus Losses to Water: An Overview.Journal
of Environment Quantity1(29): 1-9.
84 | D a m p a k L i m b a h A k u a k u l t u r T e r h a d a p . . . .
Taipale, S.J., Vuorio, K., Aalto, S.L., Peltomaa, E., Tiirola, M.,2019.
Eutrophication reduces the nutritional value of phytoplankton in boreal
lakes, Environmental Research, Volume 179, Part B, 108836
Tang, C., Yi, Y., Yang, Z., Zhou, Y., Zerizghi, T., Wang, X., … Duan, P.
(2019). Planktonic indicators of trophic states for a shallow lake
(Baiyangdian Lake, China). Limnologica, 78: 125712.
Turker, H., Eversole, A. G., & Brune, D. E. (2003). Filtration of green algae and
cyanobacteria by Nile tilapia, Oreochromis niloticus, in the Partitioned
Aquaculture System. Aquaculture, 215(1-4), 93–101
Walmsley, R.D., 2000. Perspectives on Eutrophication of Surface Waters: 1214
Policy/Research Needs in South Africa. WRC Report No. KV 129/00. 1215
Water Research Commission, Pretoria, South Africa.
Yan, D., Xu, H., Yang, M., Lan, J., Hou, W., Wang, F.,Goldsmith, Y.
2019. Responses of cyanobacteria to climate and human activities at Lake
Chenghai over the past 100 years. Ecological Indicators.104:755-763
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 85
CHAPTER 6
PENGELOLAAN LIMBAH PADA SISTEM
AKUAKULTUR
Pengelolaan limbah pakan ikan
Beban limbah didefinisikan oleh Boyd dan Turker (2001) sebagai jumlah bahan
organik dan nutrisi lain yang ditambahkan ke sistem produksi akuakultur dalam
pakan yang tidak berhasil menjadi biomassa daging ikan pada saat panen. Solusi
utama untuk mengelola dampak lingkungan dari akuakultur adalah pengelolaan
pakan (Syandri et al., 2016; Syandri et al, 2018). Sistem pakan dan pemberian
pakan dapat secara efektif mengurangi limbah yang dihasilkan dari pakan ikan
melalui manajemen input yang tepat ke dalam sistem budidaya. d'Orbcastel et
al. (2009) melaporkan bahwa pengurangan rasio konversi pakan (FCR) sebesar
30% di kolam ikan akan membawa sekitar 20% pengurangan dampak
lingkungan dari sistem budidaya ikan. Disisi lain feeding rates yang tepat juga
dapat mengurangi limbah yang bersal dari pakan (Skov et al, 2017). Untuk
mengurangi limbah dari akuakultur, Syandri et al (2018) merekomendasikan hal
berikut:
Jenis spesies dan spesifik ukuran ikan untuk setiap spesies yang ditebar
harus diketahui.
Pakan yang diberikan harus sesuai dengan ukuran pertumbuhan ikan,
minimal setiap 30 hari mesti disampling untuk menentukan feeding rate.
Mesti diketahui proksimat pakan yang dapat digunakan untuk durasi
pemberian pakan selama siklus produksi.
Ini mungkin mengharuskan pemberian label pakan dengan informasi yang
diperlukan tentang kecernaan pakan dan produksi limbah, termasuk
jumlah padatan, fosfor, dan nitrogen. Mungkin juga ada informasi tentang
FCR yang diperoleh di bawah kondisi percobaan dengan sistem yang
dioptimalkan;
Harus ada pengetahuan tentang biomassa ikan dalam sistem;
86 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
Informasi yang memadai tentang kesehatan dan status fisiologis ikan
harus tersedia;
Keseragaman ukuran ikan sangat penting, agar mereka dapat menerima
ukuran pellet yang sama;
Pakan harus disaring untuk menghilangkan debu dan pelet sebelum
diumpankan; dan
Pakan harus diberikan secara efektif untuk memastikan sedikit atau tidak
ada limbah yang dihasilkan dari pakan yang tidak dimakan.
Disisi lain untuk mengontrol polutan yang bersumber dari operasional budidaya
ikan dengan keramba, agar tidak lepas ke badan air danau, Ni et al (2017)
merekomendasikan bendungan ekologi yaitu membendung limbah dengan
penggunaan tanaman air (Lihat gambar Gambar 1 dan 2). Sementara kami tim
penulis mencoba dengan metode bendungan disekitar waah budidaya KJA
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.
Bendungan ekologi menghilangkan polutan akuakultur melalui biodegradasi
oleh beragam populasi mikroba, termasuk bakteri, jamur, protozoa, metazoa,
dan hewan planktonik, dan pengambilan oleh tanaman air di tempat dasar
tanaman dan bio filter. Polutan organik yang dihasilkan di zona budidaya ikan,
seperti feses dan sisa pakan, disimpan dalam endapan dan didekomposisi oleh
mikroorganisme, menghasilkan pelepasan bahan organik terlarut dan senyawa
amonia dan fosfor (Syandri et al., 2017; ). Dalam kondisi aerobik, amonia
dioksidasi oleh bakteri pengoksidasi amonia (AOB) menjadi nitrit dan
kemudian menjadi nitrat oleh bakteri pengoksidasi nitrit (NOB). Ketika air
mengalir melalui bendungan ekologi, aktivitas mikroba dalam biofilm terlihat
pada SBF mendegradasi bahan organik terlarut menjadi CO2 oleh
mikroorganisme heterotrofik, dan bakteri nitrifikasi memetabolisme amonia
menjadi nitrit dan nitrat, dan kemudian menjadi gas nitrogen. Tumbuhan air dan
mikroorganisme menyerap polutan seperti fosfat dan nitrat sebagai nutrisi.
Polutan ini berfungsi sebagai bahan baku dalam ekosistem di mana bio-film
dihasilkan dari biodegradasi polutan oleh mikroorganisme. Secara tidak
langsung, polutan merupakan sumber makanan bagi ikan, serangga air, udang,
dan cangkang spiral.
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 87
88 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 89
Pengelolaan limbah padat
Limbah padat telah tergolong sebagai limbah yang paling merusak sistem
budidaya ikan. Dalam aktifitas budidaya perikanan mesti menjadi perioritas
penting untuk mengurangi limbah tersebut di dalam sistem budidaya. Dua
sumber utama limbah padat dalam akuakultur adalah pakan yang tidak dimakan
dan zat-zat yang tidak tercerna, termasuk feces ikan yang masuk ke badan air.
Jumlah limbah padat dalam sistem budidaya ikan dan yang akhirnya dilepaskan
ke lingkungan bervariasi dengan jenis sistem budidaya ikan (Bergheim dan
Asgard, 1996). Sebagai contoh pada aktifitas budidaya ikan gurami
(Osphronemus goramy) di kolam, rata-rata, 61% total N dan 77% input P
terperangkap dalam akumulasi sedimen. Hanya 15% dari total input N dan <3%
yang dimasukkan ke dalam kolam dipulihkan pada ikan yang dipanen.
Akumulasi nutrisi sedimen meningkat secara linier dengan total input nutrisi.
Konsekuensi dari intensifikasi budidaya gurami menggunakan model produksi
harus efisien dalam penggunaan pakan sehingga tidak berdampak terhadap
lingkungan (Pouil et al, 2019).
Disisi lain, intensifikasi budidaya ikan nila dengan peningkatan kepadatan ikan
dan penggunaan pakan komersial dapat menghasilkan pelepasan sejumlah besar
nutrisi ke dalam air. Pengayaan nutrisi ini seperti nitrogen (N) dan fosfor (P)
yang ditujukan untuk akuakultur dapat berkontribusi terhadap penurunan
kualitas air dan eutrofikasi (Syandri et al., 2018). Karena pelet komersial adalah
salah satu sumber utama input N dan P dalam sistem produksi akuakultur semi
intensif dan intensif (Pouil et al, 2019; Dauda et al., 2018). Dengan demikian,
asimilasi nutrisi oleh organisme akuakultur memiliki implikasi penting bagi
kualitas air dan profitabilitas kolam. Dalam kebanyakan kasus, tidak kurang dari
20% hingga 50% dari N dan P yang dimasukkan ke dalam kolam melalui pupuk
dan pakan dipulihkan dalam organisme budidaya saat panen, sedangkan sisanya
diencerkan ke dalam kolom air atau diakumulasikan dalam sedimen (Boyd dan
Tucker, 1998).
90 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
Pengelolaan limbah terlarut
Limbah organik terlarut dalam sistem budidaya ikan terutama nitrogen dan
fosfor. Walaupun ada berbagai teknik untuk menghilangkan nitrogen dalam
sistem budidaya ikan, hampir tidak ada teknik yang dirancang khusus untuk
menghilangkan fosfor dalam sistem budidaya ikan. Ini mungkin sebagian
disebabkan oleh fakta bahwa fosfor tidak beracun bagi ikan budidaya, tidak
seperti nitrogen, yang memiliki turunan beracun, seperti amonia dan nitrit.
Fosfor direduksi dalam sistem akuakultur melalui: reduksi fosfor dalam pakan;
dimasukkannya phytase untuk meningkatkan bioavailabilitas dan pemanfaatan
fosfor makanan (Orisasona dan Ajani, 2015); atau melalui penghilangan padatan
yang efisien dan cepat, karena sejumlah besar fosfor dilepaskan dalam bentuk
partikel (Zhang et al., 2019). Meskipun Abeysinghe, Shanableh, dan Rigden
(1996) merancang model RAS dengan penghilangan nutrisi total yang mampu
mengurangi setinggi 40% fosfor dari sistem kultur, belum ada catatan dari
sistem tersebut yang digunakan untuk tujuan komersial. Disisi lain bahwa eco-
substrat secara signifikan mengurangi nitrogen amonia, nitrogen nitrat, karbon
organik total, nitrogen total, dan fosfor total dalam air kolam budidaya intensif
(Zhang et al., 2019).
Pengelolaan sistem operasional akuakultur
Sistem keramba adalah sistem semi-intensif dan intensif budidaya ikan
(Gondwe et al., 2011; Hasimura et al, 2019; Syandri et al, 2016) dan dilakukan
secara global di daerah tropis maupun sub-tropis. Menurut Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2018), 42,11% dari semua
budidaya ikan di Indonesia masih dilakukan dalam sistem budidaya kolam air
tenang dan 10,98% dilakukan pada keramba jaring apung dan keramba (Tabel
1). Sistem budidaya kolam bersifat statis dan tidak memiliki sarana khusus
untuk pengolahan air. Sistem kolam air tenang terutama bergantung pada proses
internal, di mana limbah padat mengendap di dasar kolam dan menumpuk dari
waktu ke waktu (Pouil et al, 2017). Sedangkan budidaya ikan pada keramba
apung, limbah lepas ke badan air dan dalam waktu yang lama menjadi sedimen
di dasar perairan. Pelaku perikanan dapat memindahkan posisi keramba jaring
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 91
apung yang sangat tergantung kepada kondisi arus dan kualitas air di sekitar
keramba jaring apung (Syandri et al, 2020). Contoh limbah keramba jaring
apung yang dikoleksi di dasar danau dengan sediment crab lihat Gambar 5.
Mikroba dalam sistem akuakultur bekerja pada limbah yang menetap dan
mengubahnya menjadi bahan yang kurang beracun. Namun, jika limbah yang
terakumulasi telah menumpuk dari waktu ke waktu, aktivitas alami apa pun,
seperti erosi dan umbalan, dapat menyebabkan pencampuran dasar kolam atau
danau yang kayu unsur nutrient dapat menyebabkan ganggang berkembang.
Satu-satunya cara untuk menghilangkan limbah padat dari budidaya kolam
adalah dengan desilting, yang dilakukan setelah dua atau lebih putaran budidaya
ikan. Kurangnya teknik pengelolaan limbah yang memadai dalam sistem
budidaya kolam telah membatasi penggunaannya untuk operasi budidaya semi-
intensif. Sedangkan upaya untuk mengurangi limbah yang berasal dari keramba
jaring apung lepas ke badan air danau atau waduk dapat dilakukan dengan cara
menampung limbah di bawah keramba jaring apung (Gambar 6).
92 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
Gambar 5. Contoh sedimen di dasar danau yang bersal dari operasional
budidaya ikan keramba jaring apung
Gambar 6. Konsep penampungan limbah di bawah keramba jaring apung
(Metode Syandri & Azrita, 2018)
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 93
Pengelolaan limbah dengan sistem resirkulasi
(Recirculating aquaculture system, RAS)
Tantangan utama dalam sistem resirkulasi akuakultur (RAS) adalah akumulasi
bahan organik partikulat, terutama fraksi halus dan koloid karena efisiensi
penghilangan yang rendah dari teknologi saat ini (Fossmark et al, 2020). RAS
menggunakan sistem biologis untuk pengelolaan nitrogen dalam sistem
akuakultur. Crab et al. (2007) mencatat bahwa pengolahan air yang paling
penting dalam RAS adalah proses biologis yang menggunakan proses nitrifikasi
untuk mengubah amonia beracun menjadi nitrat yang kurang beracun. Penelitian
tentang proses nitrifikasi efek akuakultur telah menyebabkan pengembangan
berbagai media (bio filter) dengan sifat, keuntungan, dan kerugian yang berbeda
(Martins et al., 2010). Oleh karena itu, budidaya ikan, sebagai sektor penghasil
makanan hewani, telah mencatat pertumbuhan tercepat di dunia (Abumourad et
al., 2013) dan RAS diperkirakan memiliki peran penting dalam masa depan
akuakultur (Zhang et al., 2018).
Biofilter memberikan peluang untuk pertumbuhan mikroba yang bersentuhan
dengan air limbah dan mengubah amonia beracun menjadi nitrat (Ebeling &
Timmons, 2012). RAS konvensional tidak menghilangkan nitrogen (amonia)
dari air akuakultur, melainkan mengubahnya menjadi produk nitrogen yang
kurang beracun (nitrat) (Dauda et al., 2014). Penggunaan RAS telah
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan akuakultur
karena berbagai keunggulannya, yang meliputi: mengurangi penggunaan air
melalui penggunaan kembali sebagian air pemeliharaan ikan (Badiola et al,
2018), mengurangi dampak lingkungan dari sistem budidaya ikan melalui
peningkatan pengelolaan limbah dan daur ulang nutrisi (Martins et al., 2010),
meningkatkan kondisi higienis; mengurangi munculnya penyakit (Tal et al.,
2009) dan membatasi kontrol biologis melalui pergerakan ikan budidaya.
Penggunaan RAS lebih banyak pada budidaya indoor jika dibandingkan dengan
kolam, dan sistem keramba.
94 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
Gambar 7. Sistem daur ulang limbah akuakultur pada budidaya ikan sistem
RAS (Pedrosa et al., 2018)
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 95
Pengelolaan limbah berbasis daya tampung
Daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk adalah kemampuan
air danau dan air waduk untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa
mengakibatkan air danau dan air waduk menjadi cemar (Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Daya Tampung
Beban Pencemaran Air Danau Dan/Atau Waduk). Total N dan P yang masuk ke
badan air semestinya tidak melampaui daya tampung beban pencemaran air.
96 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
Daya tampung beban pencemaran air adalah batas kemampuan sumber daya air
untuk menerima masukan beban pencemaran yang tidak melebihi batas syarat
kualitas air untuk berbagai peruntukannya. Penghitungan daya tampung beban
pencemaran air Danau Maninjau dianalisis dengan formula yang dituangkan di
dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Dan/Atau Waduk.
Indikator perhitungan daya tampung beban pencemaran air adalah kadar fosfor
yang terkandung pada sampel air. Hasil perhitungan produksi ikan, kuota pakan
dan jumlah KJA sesuai dengan daya tampung beban pencemaran air dan realita
data di danau Maninjau dipresentasikan pada Tabel 2.
Produksi ikan yang dihasilkan dari KJA, kuota pakan yang diberikan dan
jumlah KJA (petak) di Danau Maninjau sejak tahun 2008 hingga 2017 tidak
sesuai dengan daya tampung beban pencemaran air. Akibatnya status mutu air
Danau Maninjau pada kelas 1-3 berada pada status buruk (cemar berat) dengan
tingkat kesuburan perairan tergolong eutropik berat.
Tabel 2. Daya tampung beban pencemaran Danau Maninjau berdasarkan
produksi ikan, kuota pakan dan jumlah KJA
Produksi ikan
(ton/tahun) Kuota Pakan (ton/tahun) Jumlah KJA (petak)
Sesuai
daya
tampung
Realita
lapangan
Sesuai daya
tampung
Realita
lapangan
Sesuai
daya
tampung
Realita
lapangan
2008 6.393,94 28.350 9.590,92 45.360 4.262 7.560
2009 11.044,08 14.745 16.566,13 47.184 7.362 7.864
2013 12.884,76 24.180 19.327,15 38.688 8.589 12.896
2014 9.300,28 24.870 13.950,42 39.792 6.200 13.264
2015 9.300,28 24.870 13.950,42 39.792 6.200 13.264
2016 8.331,50 25.101 12.497,25 40.162 5.554 13.387
2017 6.490,82 28.381 9.736,23 45.410 4.327 15.136
Sumber: Syandri and Azrita (un publish)
Ikan nila adalah produksi terbesar dari usaha budidaya ikan dengan KJA di
beberapa perairan kolam, danau dan waduk di Indonesia (Henriksson et al,
2017), termasuk di Danau Maninjau (Syandri et al, 2016). Dampak dari kualitas
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 97
air yang buruk telah menimbulkan wabah penyakit mematikan yang disebabkan
oleh virus dinamakan Tilapia Lake Virus (TiLV) saat ini mungkin sudah
mengancam produksi ika nila di Danau Maninjau sehingga berdampak terhadap
sosial ekonomi pembudidaya ikan. Til V ditularkan secara horizontal antara
ikan yang terinfeksi dengan ikan yang masih hidup di lingkungan perairan mulai
dari ukuran fingerling sampai ukuran konsumsi dan berpotensi sebagai penyakit
hewan lintas batas yang mempengaruhi perdagangan. Penyakit TilV saat ini
dikonfirmasi telah berjangkit di delapan negara seperti Ekuador, Israel,
Kolombia, Mesir, Thailand, Taiwan, India dan Malaysia (Hounmanou et al,
2018). Di Egypt misalnya, pada tahun 2015 dampak kematian pada budidaya
nila yang diduga disebabkan oleh TiLV, diperkirakan mencapai 98.000 ton
dengan nilai USD 100 juta yang memengaruhi 37% pembudidaya ikan di negara
itu (Fathi et al., 2017).
Akuakultur intensif selain memberikan dampak negative terhadap kualitas air,
status tropic perairan dan kesehatan ikan. Dampak kegiatan budidaya intensif
juga berpengaruh terhadap kandungan sedimen disekitar lokasi kegiatan
akuakultur. Farmaki et al (2014) menemukan logam berat (Cu, Cd, Pb, Hg, Ni,
Fe, Mn, Zn, As) pada sedimen di bawah lokasi keramba wilayah pantai di
Yunani. Demikian juga Mendiguchía, (2011) telah melaporkan logam berat
seperti seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), cadmium (Cd), timbal (Pb) dan nikel
(Ni) di kolom air dan sedimen di bawah keramba ikan. Studi lain tentang
akumulasi logam berat pada ikan, air dan sedimen telah dipublikasikan oleh
(Syandri et al., 2015).
Dilain hal, Hendriksson et al (2017) mengkuantifikasi dampak lingkungan
akibat budidaya intensif menggunakan penilaian siklus hidup (LCA), dan
beberapa indikator sosial ekonomi. Dengan asumsi bisnis yang dilakukan seperti
saat sekarang, maka hingga tahun 2030, dampak / indikator pemanasan global
(terjadi peningkatan 3,3 kali lipat), hujan asam (peningkatan 3,3 kali lipat),
eutrofikasi (peningkatan 3,5 kali lipat), penggunaan lahan (peningkatan 3,6 kali
lipat), konsumsi air tawar ( peningkatan 4 kali lipat), penggunaan energi
(peningkatan 3,4 kali lipat), ketergantungan pada ikan liar (peningkatan 3,4 kali
98 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
lipat), total output ikan (peningkatan 3,3 kali lipat), dan pekerjaan penuh waktu
(peningkatan 3,3 kali lipat).
Kesimpulan
Pengembangan akuakultur sebagai sumber protein hewani yang dapat
dilaksanakan sangat penting bagi keberadaan manusia. Namun, pembatasan di
beberapa bagian dunia, terutama negara maju, membutuhkan upaya
berkelanjutan untuk mengembangkan metode produksi berkelanjutan yang tidak
akan membahayakan lingkungan. Penggunaan sistem kolam dan keramba apung
masih dapat dilanjutkan untuk budidaya perikanan ekstensif dan semi intensif.
Sistem ini dapat dipertahankan pada tingkat yang tidak akan berdampak negatif
pada kesehatan ikan dan lingkungan.
Karakteristik pakan, persentase pemberian pakan dan waktu pemberian pakan
dapat secara efektif mengurangi limbah yang dihasilkan dari pakan ikan melalui
manajemen input yang tepat ke dalam sistem budidaya. Dua sumber utama
limbah padat dalam akuakultur adalah pakan yang tidak dimakan dan zat-zat
yang tidak tercerna, termasuk feces ikan yang masuk ke badan air. Sedangkan
limbah organik terlarut dalam sistem budidaya ikan terutama adalah nitrogen
dan fosfor. Parameter tersebut adalah limbah yang memicu terjadinya
eutrofikasi.
Pengelolan limbah dari budidaya ikan dapat dilakukan dengan metode
bendungan ekologi, akuakultur dengan sistem resirkulasi dan penyesuian jumlah
keramba apung dan input pakan berdasarkan daya tampang beban pencemaran
air. Faktor-faktor tersebut jika tidak dilakukan dengan baik maka eutrofikasi di
perairan umum daratan akan terjadi peningkatan 3,5 lipat pada tahun 2030.
Daftar Pustaka
Abumourad, I.M.K, Wafaa T. Abba et al., 2013. Evaluation of Lactobacillus
plantarum as a probiotic in aquaculture: Emphasis on growth performance
and innate immunity. Journal of Applied Sciences Research, 9(1): 572-582.
Ebeling J.M & Timmons, M.B, 2012. Recirculating Aquaculture Systems. Book
Editor(s): James H. Tidwell
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 99
Badiola, M., Basurko, O. C., Piedrahita, R., Hundley, P., & Mendiola, D.
2018. Energy use in Recirculating Aquaculture Systems (RAS): A review.
Aquacultural Engineering, 81, 57–70.
Boyd, C.E., Queiroz, J., 2001. Nitrogen and phosphorus loads by system,
USEPA should consider system variables in setting new effluent rules.
Global Aquacult. Adv. 4(6), 84-86.
Boyd, C.E., Tucker, C.S., 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management.
Kluwer Academic Publishers, Boston, Massachusetts.
Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., & Verstraete, W.
(2007). Nitrogen removal techniques in aquaculture for a sustainable
production. Aquaculture, 270(1-4), 1–14.
Dauda, A. Babatunde and Akinwole, A. Olusegun. 2014. Interrelationships
among Water Quality Parameters in Recirculating Aquaculture System.
Nigerian Journal of Rural Extension and Development. 8 :20-25.
Dauda, A. B., Ajadi, A., Tola-Fabunmi, A. S., & Akinwole, A. O. 2018. Waste
production in aquaculture: Sources, components and managements in
different culture systems. Aquaculture and Fisheries.
Fathi, M., Dickson, C., Dickson, M., Leschen, W., Baily, J., Muir, F., …
Weidmann, M. (2017). Identification of Tilapia Lake Virus in Egypt in Nile
tilapia affected by “summer mortality” syndrome. Aquaculture, 473, 430–
432.
Farmaki, E. G., Thomaidis, N. S., Pasias, I. N., Baulard, C., Papaharisis, L., &
Efstathiou, C. E. (2014). Environmental impact of intensive aquaculture:
Investigation on the accumulation of metals and nutrients in marine
sediments of Greece. Science of The Total Environment, 485-486, 554–
562.
Fossmark, R. O., Vadstein, O., Rosten, T. W., Bakke, I., Košeto, D., Bugten, A.
V., Attramadal, K. J. K. (2020). Effects of reduced organic matter loading
through membrane filtration on the microbial community dynamics in
recirculating aquaculture systems (RAS) with Atlantic salmon parr (Salmo
salar). Aquaculture, 525, 735268
100 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
Gondwe, M. J. S., Guildford, S. J., & Hecky, R. E. 2011. Carbon, nitrogen and
phosphorus loadings from tilapia fish cages in Lake Malawi and factors
influencing their magnitude. Journal of Great Lakes Research, 37, 93–101.
Hasimuna, O.J, S. Maulu, C. Monde, M. Mweemba, 2019. Cage aquaculture
production in Zambia: Assessment of opportunities and challenges on Lake
Kariba, Siavonga district. Egyptian Journal of Aquatic Research, 45: 281-
285.
Hounmanou, Y.M.G, R.H. Mdegela, T.V. Dougnon, M.E. Achoh, O.J.
Mhongole, H. Agadjihouèdé, L. Gangbè, A. Dalsgaard, 2018. Tilapia lake
virus threatens tilapiines farming and food security: Socio-economic
challenges and preventive measures in Sub- Saharan Africa. Aquaculture
493: 123-129.
Henriksson, P. J. G., Tran, N., Mohan, C. V., Chan, C. Y., Rodriguez, U.-P.,
Suri, S., Phillips, M. J. (2017). Indonesian aquaculture futures – Evaluating
environmental and socioeconomic potentials and limitations. Journal of
Cleaner Production, 162, 1482–1490.
Ni, Z., Wu, X., Li, L., Lv, Z., Zhang, Z., Hao, A.,Li, C. (2018). Pollution
control and in situ bioremediation for lake aquaculture using an ecological
dam. Journal of Cleaner Production, 172, 2256–2265.
Orisasona O and Ajani EK, 2015. The Growth and Mineral Utilization of
Clarias Gariepinus Fingerlings Fed Phytase-Supplemented Toasted Lima
Bean (Phaseolus lunatus) Diets. J Aquac Res Development 2015, 6:9
Pouil,S, R. Samsudin, J. Slembrouck, A. Sihabuddin, G. Sundari, K. Khazaidan,
A.H. Kristanto, B. Pantjara, D. Caruso. 2019. Nutrient budgets in a small-
scale freshwater fish pond system in Indonesia. Aquaculture 504: 267-274.
Martins, C. I. M., Eding, E. H., & Verreth, J. A. J. (2011). The effect of
recirculating aquaculture systems on the concentrations of heavy metals in
culture water and tissues of Nile tilapia Oreochromis niloticus. Food
Chemistry, 126(3), 1001–1005.
Mendiguchía, C., Moreno, C., Mánuel-Vez, M. P., & García-Vargas, M.
(2006). Preliminary investigation on the enrichment of heavy metals in
marine sediments originated from intensive aquaculture effluents.
Aquaculture, 254(1-4), 317–325.
P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r | 101
Pedrosa, R. U., de Mattos, B. O., Costa, D. S. P., Rodrigues, M. L., Braga, L. G.
T., & Fortes-Silva, R. (2018). Effects of feeding strategies on growth,
biochemical parameters and waste excretion of juvenile arapaima
(Arapaima gigas) raised in recirculating aquaculture systems (RAS).
Aquaculture, 500:562-568.
Skov, P. V., Duodu, C. P., & Adjei-Boateng, D. 2017. The influence of ration
size on energetics and nitrogen retention in tilapia ( Oreochromis niloticus
). Aquaculture, 473, 121–127.
Syandri.H Azrita, Junaidi, Elfiondri , 2015. Heavy Metals in Maninjau Lake,
Indonesia: water column, sediment and biota . International Journal of
Fisheries and Aquatic Studies 3(2): 273-278.
Syandri. H, Azrita, Niagara. 2016. Trophic status and load capacity of water
pollution waste fish culture with floating net cages in Maninjau Lake,
Indonesia. Eco. Env. & Cons. 22 (1): 469-476.
Syandri. H, Azrita, A. Mardiah. 2018. Nitrogen and phosphorus waste
production from different fish species cultured at floating net cages in
Lake Maninjau, Indonesia. Asian J. Sci. Res, 11 (2): 287-294
Syandri, H, A. Mardiah . Azrita. 2020. Water Quality Status and Pollution
Waste Load from Floating Net Cages at Maninjau Lake, West Sumatera
Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 430 (2020)
012031.
Tal, Y., Schreier, H. J., Sowers, K. R., Stubblefield, J. D., Place, A. R., &
Zohar, Y. (2009). Environmentally sustainable land-based marine
aquaculture. Aquaculture, 286(1-2), 28–35.
Zhang, Y., Yu, J., Su, Y., Du, Y., & Liu, Z. 2019. Long-term changes of water
quality in aquaculture-dominated lakes as revealed by sediment
geochemical records in Lake Taibai (Eastern China). Chemosphere,
235:297-307.
102 | P e n g e l o l a a n L i m b a h P a d a S i s t e m A k u a k u l t u r
D a f t a r G l o s a r i u m | 103
Daftar Glosarium
1. Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup
di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata
yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di
seluruh dunia.
2. Pakan ikan adalah campuran dari berbagai bahan pangan (biasa disebut
bahan mentah), baik nabati maupun hewani yang diolah sedemikian rupa
sehingga mudah dimakan dan dicerna sekaligus merupakan sumber nutrisi
bagi ikan yang dapat menghasilkan energi untuk aktivitas hidup.
3. Pakan komersial adalah pakan yang diproduksi secara masal oleh
industri pakan dengan memiliki kandungan nutrisi yang sesuai dengan
kebutuhan ikan.
4. Pakan buatan adalah pakan yang dibuat oleh manusia untuk ikan
peliharaan yang berasal dari berbagai macam bahan baku yang mempunyai
kandungan gizi yang baik sesuai dengan kebutuhan ikan dan dalam
pembuatannya sangat memperhatikan sifat dan ukuran ikan.
5. Limbah adalah sisa-sisa dari suatu kegiatan usaha, termasuk kegiatan
usaha budidaya ikan
6. Limbah organik adalah limbah yang mudah diuraikan
7. limbah anorganik adalah limbah yang susah/tidak dapat diuraikan. contoh
plastic
8. Limbah buangan dari budidaya adalah berupa limbah organik dan
anorganik. Adapun limbah organik yang tinggi pada limbah buangan
memberikan potensi untuk dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan bagi
organisme lainnya karena kandungan nutrisinya yang cukup tinggi.
9. Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang
merupakan polimer dari monomer asam amino yang dihubungkan satu
sama lain dengan ikatan peptida.
10. Nitrogen adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang N dan nomor atom 7.
11. Fosfor ialah zat yang dapat berpendar karena mengalami fosforesens
12. Karbon atau zat arang merupakan unsur kimia yang mempunyai simbol C
dan nomor atom 6 .
13. Nutrisi atau gizi adalah substansi organik yang dibutuhkan organisme
untuk fungsi normal dari sistem tubuh, pertumbuhan, pemeliharaan
kesehatan.
104 | D a f t a r G l o s a r i u m
14. Kualitas air adalah suatu ukuran kondisi air dilihat dari karakteristik fisik,
kimiawi, dan biologisnya. Kualitas air juga menunjukkan ukuran
kondisi air relatif terhadap kebutuhan biota air dan manusia.
15. Bahan organik total atau Total Organic Matter (TOM) menggambarkan
kandungan bahan organik total suatu perairan yang terdiri dari bahan
organik terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid.
16. Lahan basah atau wetland (Ingg.) adalah wilayah-wilayah di mana
tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau
musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang
tergenangi oleh lapisan air yang dangkal
17. Danau adalah cekungan besar di permukaan bumi yang digenangi oleh air
bisa tawar ataupun asin yang seluruh cekungan tersebut dikelilingi oleh
daratan.
18. Waduk atau reservoir adalah danau alam atau danau buatan, kolam
penyimpan atau pembendungan sungai yang bertujuan untuk menyimpan
air.
19. Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara
terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara).
20. Kolam ikan adalah perairan terkendali, danau buatan, atau reservoir air
yang digunakan untuk memelihara sejumlah ikan untuk aktivitas budi
daya ikan,
21. Degradasi Lingkungan merupakan penurunan kualitas
lingkungan karena kegiatan pembangunan yang dicirikan dengan tidak
bergunanya komponen-komponen lingkungan secara baik
22. Polusi air merupakan adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air (seperti danau, sungai, lautan, atau air tanah) akibat
aktivitas manusia.
23. Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat
penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat
aktivitas manusia.
24. Budi daya ikan adalah salah satu bentuk budi daya perairan yang khusus
membudidayakan ikan di tangki atau ruang tertutup, biasanya untuk
menghasilkan bahan pangan, ikan hias, dan rekreasi (pemancingan).
25. Keramba adalah wadah budi daya ikan berupa kandang yang terbuat dari
bambu atau papan kayu yang ditempatkan di badan sungai.
D a f t a r G l o s a r i u m | 105
26. Keramba jaring apung adalah salah satu wadah budidaya perairan yang
cukup ideal, yang ditempatkan di badan air dalam, seperti waduk, danau,
dan laut.
27. Benih Ikan adalah anak ikan dengan ukuran tertentu yang akan digunakan
sebagai bahan organik dalam kegiatan pembudidayaan ikan.
28. Padat tebar ikan adalah jumlah ikan (ekor) yang ditebar pada wadah
budidaya dalam satuan ekor/m3.
29. Nilai efisiensi pakan diperoleh dari hasil perbandingan antara pertambahan
bobot tubuh ikan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan selama
masa pemeliharaan. Semakin besar nilai efisiensi pakan, berarti
semakin efisien ikan memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk
pertumbuhannya.
30. Rasio konversi pakan (FCR) dihitung dari jumlah kilogram pakan yang
digunakan untuk menghasilkan satu kilogram ikan. Sedangkan
efisiensi pakan (FE) merupakan persentase dari berat ikan yang dihasilkan
dibandingkan dengan berat pakan yang diberikan.
31. Daya dukung adalah jumlah atau kuantitas maksimum ikan yang dapat
didukung oleh suatu badan air dalam jangka panjang, yang dipengaruhi
oleh waktu pembilasan (flushing time), volume badan air, dan beban limbah
yang masuk ke perairan.
32. Plankton didefinisikan sebagai organisme hanyut apapun yang hidup
dalam zona pelagik (bagian atas) samudera, laut, dan badan air tawar.
Secara luas plankton dianggap sebagai salah satu organisme terpenting di
dunia, karena menjadi bekal makanan untuk kehidupan akuatik.
33. Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan
sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering
disebut dengan blooming.
106 | D a f t a r G l o s a r i u m
D a f t a r I n d e k | 107
Daftar Indek
Air tawar 3, 4, 6, 18, 25, 25, 66, 84, 105
Antibiotik 4, 37, 63
Budidaya ikan 1, 2, 4, 5, 6, 13, 16, 17, 19, 26, 28, 29,
31, 32, 33, 37, 38, 48, 52, 62, 63, 64,
69, 73, 74, 79, 92, 96, 97,98,104, 105
Beban limbah 1,2, 5, 25, 33, 62, 63, 91
Benih ikan 101
Bendungan ekologi 92, 93
Danau 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 11, 13, 15, 16, 17, 18,
19, 26, 28, 35, 36, 37, 40, 41, 43, 44,
45, 46, 48, 51, 52, 54, 62, 63, 84, 85,
86, 88
Eutrofik 82, 84, 86
Eutrofikasi 2, 4, 26, 27, 35, 73, 74, 84, 85, 88
FCR 2, 14, 16, 33, 34,38, 39, 44, 45, 46, 47,
51, 63, 92, 93
FCE 34, 47, 48, 51, 52, 53, 63
Keramba jaring apung 4, 9, 11, 12, 13, 16, 17, 19, 28, 38, 43,
48, 54, 55, 62, 63, 66
Komponen limbah 62, 69
Kualitas air 2, 13, 14, 15, 18, 19, 26, 27, 35, 38, 41,
43, 46, 47, 48, 51, 54, 55, 62, 74, 79,
80, 81, 82, 84, 85, 86, 96, 98, 104
Limbah padat 27, 69, 70, 74
Limbah terlarut 70, 74
Limbah pakan 2, 14, 52, 79, 92
Mesotrofik 82
Pakan terbenam 44, 49, 51, 52, 53, 55
Pakan terapung 48, 51, 52, 53, 55
Spesies ikan 1, 9, 12, 13, 32, 34, 37, 38, 39, 40, 43,
44, 45, 46, 52, 54
Tipe pakan 42
108 | D a f t a r I n d e k
S i n g k a t a n y a n g D i g u n a k a n D a l a m T e k s | 109
Singkatan Yang Digunakan Dalam Teks AOB Ammonia-Oxidizing Bacteria
BPS Badan Pusat Statistik
CDSI Central Data System Information, Kementerian Kelautan
dan Perikanan
FAO Food and Agriculture Organization of the United
Nations
C Carbon
DIN dissolved inorganic nitrogen
DIP Dissolved Inorganic Phosphorus
DON Dissolved Organic Nitrogen
DOP Dissolved Organic Phosphorus
DHA Docosahexaenoic acid
EPA Eicosapentaenoic acid
FCR Feed Conversion Ratio
FCE Feed Conversion Efficiency
FMF Feeding A Fishmeal-Free Diet
FM Fishmeal-Based Diet
IMTA Integrated Multi trophic Aquaculture
KJA Keramba jaring apung
LCIA Life cycle assessment of quaculture systems
LCA Life Cycle Assessment
N Nitrogen
NOB Nitrite Oxidizing Bacteria
PLTA Pembangkit Listrik Tenaga Air
PON Particulate Organic Nitrogen
POP Particulate Organic Phosphorus
P Phosphorus
PFB Plant floating Bed
RAS Recirculating aquaculture system
SBF submerged bio-filter
TiLV Tilapia Lake Virus
TAN Total Ammonia Nitrogen
TSS Total suspended solids
TP Total Phosphorus
110 | S i n g k a t a n y a n g D i g u n a k a n D a l a m T e k s