terakreditasi, sk dirjen dikti: 167/dikti/kep/2007

23
TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

Page 2: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007
Page 3: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

Page 4: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

Studia Philosophica et Theologica

E-ISSN 2550 - 0589

ISSN 1412-0674

Vol. 19 No. 1 April 2019

Hal. 1 - 118

DAFTAR ISI

ARTIKEL

Humanistic and Existential Psychology

in the Pratice of Psychotherapy

Aureliano Pacciolla .............................................................................. 1 - 19

Visi Eskatologis - Kreatif dan Eksemplaris - Terbuka

Sebagai Model Kehadiran Kristen dalam Konteks Indonesia

Christanto Sema Raffan Paledung ...................................................... 20 - 36

Tentang Harmoni Antara Tuhan, Manusia dan Alam

Dalam Tradisi Beduruk Di Dusun Medang

Fransiskus Gregorius Nyaming ......................................................... 37 - 56

Tergeraklah Hatinya oleh Belas Kasihan: Belajar dari

Perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37)

Dalam Mengasihi Embrio Manusia Sebagai Sesama

Benny Phang ........................................................................................ 57 - 79

Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap

Refleksi Teologis atas Keberpihakan Gereja Terhadap Masyarakat

Dalam Upaya Pelestarian Alam

I Ketut Gegel ........................................................................................ 80 - 97

Awal Moral Kristiani

Edison R.L. Tinambunan ..................................................................... 98 - 114

Page 5: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

TELAAH BUKU

Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi:

Aku, Teks, Liyan, Fenomena

Donatus Sermada Kelen .................................................................. 115 - 118

Page 6: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

80 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

HUTAN DIBABAT, MASYARAKAT

MELARAT, MASA DEPAN GELAP

REFLEKSI TEOLOGIS ATAS

KEBERPIHAKAN GEREJA TERHADAP

MASYARAKAT DALAM UPAYA

PELESTARIAN ALAM

I Ketut Gegel1

Abstract

The Dayak community is known as a community that is close to nature, and

even, can be said theyunite themselves with nature. Nature is a “home” for

shelter, a “pool” for fishing and Savannah for hunting wilds animals. Short

words, nature is a treasure that is not counted in their lives. Therefore,

whennature was damaged by investors for mining and coconut palm planta-

tion businesses, the Dayak community was faced with great difficulties to

maintain the sustainability for their ownlives, because the nature that sus-

tains their lives today has been damaged and destroyed. The critical question

that arises: “How to deal with this challenge and who should help them fight

for their rights in the face of greedy investors?”Fighting alone, should be dif-

ficult, because they should faced not only investors, but also by two other

forces, namely: security authorities and local authorities. For this reason, other

institutions are needed to help overcome this difficulty.

The Catholic Church is an institution which present among Dayak commu-

nity and together with them, fighting and protect their rights and lives. The

Church’s partisanship is a clear evidence of the embodyment of its main mis-

sion, that is, proclaiming the Goos News for the people. This noble task, merely,

does not layed down in the act of liturgical cult, but also in real action, in

concrete actions to fight for the rights, freedoms and the goodness of human

life. Through these actions, the Church presents salvation to human being. Of

course, the effort and commitment to ptotect local community and nature

will producemore a good and better result when done together with other

institutions. Therefore, Pope Francis through his Encyclical Letter Laudato Si,

invites all parties who are well-wished to be jointly involved in seeking salva-

tion for everyone through concrete efforts, thatis, to protect the earth, our

common home.

1 Penulis adalah dosen STFT Widya Sasana, Malang.

Page 7: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 81

Key Words: Catholic Church, Dayak community, Protection, Mission and

Nature

Abstrak

Masyarakat Dayak dikenal sebagai masyarakat yang dekat dengan alam,

bahkan dapat dikatakan menyatu dengan alam. Alam adalah “rumah” tempat

bernaung, “kolam” tempat mencari ikan dan padang savana, tempat berburu

binatang liar. Pendek kata, alam adalah kekayaan yang tidak terbilang nilainya

dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ketika alam dirusak oleh para

investor untuk usaha pertambangan (minings) dan kebun sawit (palm

plantation),masyarakat Dayak dihadapkan pada kesulitan besar untuk

mempertahankan keberlangsungan hidup, karena alam yang menopang

kehidupan mereka selama ini sudah rusak dan hancur. Pertanyaan kritis yang

muncul: “bagaimana harus menyikapi situasi ini dan siapa yang harus

membantu memperjuangkan hak-hak mereka berhadapan dengan para in-

vestor yang rakus”? Berjuang sendirian tanpa dukungan pihak lain nampaknya

sulit, bahkan hampir dikatakan mustahil, karena yang dihadapi tidak hanya

para investor, tetapi juga 2 kekuatan lain, yakni: aparat keamanan dan

penguasa lokal. Untuk itu, diperlukan kehadiran lembaga lain yang dapat

membantu mengatasi situasi sulit ini.

Gereja Katolik adalah salah satu lembaga yang berjuang untuk melindungi

hak-hak dan hidup masyarakat Dayak. Keberpihakan Gereja adalah

perwujudan nyata dari misi pokok yang diembannya, yakni mewartakan

kabar gembira kepada dunia. Tugas yang mulia itu tidak hanya dipahami

sebatas pada tindakan cultus liturgi, tetapi lebih-lebih dalam aksi nyata, dalam

tindakan kongkret memperjuangkan hak, kebebasan dan hidup manusia.

Melalui aksi-aksi itu, Gereja menghadirkan keselamatan Allah bagi manusia.

Tentu, usaha dan perjuangan itu akan menjadi lebih bermakna dan

berdampak luas manakala dilakukan bersama dengan lembaga lain. Oleh

karena itu, Paus Fransiscus melalui ensiklik Laudato Si mengajak semua pihak

yang berkehendak baik untuk bersama-sama terlibat dalam mengusahakan

keselamatan bagi sesama melalui usaha-usaha nyata: memelihara bumi, rumah

kita bersama.

Kata Kunci: Gereja Katolik, Komunitas Dayak, Perlindungan, Misi dan Alam

1. Pengantar

Perkembangan serta kemajuan tekhnologi telah merambah masuk

nun jauh sampai kepelosok tanah air. Apalagi dengan ketersediaan sarana

komunikasi yang canggih, semua daerah dengan mudah terhubung dan

Page 8: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

82 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

setiap orang dapat mengakses informasi dalam status kekinian. Namun,

seperti biasa, perkembangan yang pesat tidak hanya berdampak positif,

namun juga membawa dampak yang buruk bagi masyarakat, khususnya

mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan.Ketersingkiran

masyarakat adat atau masyarakat asli sebagai dampak langsung dari

industi pertambangan dan perkebunan adalah salah satu fenomena yang

menunjukkan bahwa pihak yang lemah selalu menjadi korban dari sebuah

fenomena sosial yang disebut dengan perkembangan.

Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit: menjual tanah

kepada pihak investor atau mempertahankannya. Kedua pilihan ini sama-

sama sulit dan berisiko tinggi. Bila tidak menjual tanah berarti tidak ikut

perkembangan, tetapi masih mempunyai tanah sebagai sumber

penghidupan. Perkembangan dalam konteks ini dimaknai sebagai

kepemilikan barang-barang “mewah”: mobil, sepeda motor, rumah;

sebaliknya, bila menjual tanah, mereka memiliki semua barang-barang

kemewahan tersebut, tetapi kehilangan sumber penghidupan.Yang

menjadi keprihatinan bahwa kerapkali masyarakat dikondisikan untuk

menjual tanah kepada pihak investor melalui strategi jitu yang dibuat

oleh pihak investor dalam kerjasama dengan pihak keamanan dan

penguasa lokal. Dari sini muncul persoalan sosial akut yang “meng-

hantui” kehidupan mereka: keterpinggiran, kemiskinan dan keterasingan

dari tanah tumpah darah mereka. Pada poin ini, Gereja dipanggil untuk

bertindak.

2. Hutan, Kesejahteraan Hidup dan Masa Depan

Ungkapan yang tertuang dalam judul tulisan ini, mungkin terasa

berlebihan bagi banyak orang, khususnya mereka yang tidak memahami

secara utuh budaya suku Dayak. Mungkin akan langsung muncul

sanggahan berupa pertanyaan: “apakah benar, ketika hutan dibabat

masyarakat melarat dan masa depan gelap?” Bagi masyarakat suku

Dayak memang ada keterkaitan yang sangat erat, bahkan tidak

terpisahkan antara hutan, jaminan hidup dan keberlanjutan hidup (masa

depan). Jika hutan terjaga dengan baik, maka masyarakat Dayak akan

mengalami kesejahteraan hidup, sebab dari hutan mereka bisa mem-

peroleh segala-galanya yang diperlukan untuk menopang hidup:

makanan dan minuman yang tersedia secara melimpah, obat-obatan;

demikian keberlanjutan hidup (masa depan) juga akan terjamin;

sebaliknya, jika hutan habis dibabat berarti masyarakat Dayak kehilangan

sumber kehidupan dan hal ini akan membawa kepada kemelaratan dan

pada gilirannya, masa depan yang cerah akan berubah menjadi gelap.

Melihat demikian pentingnya “arti” hutan bagi masyarakat Dayak, maka

menjadi suatu masalah besar ketika hutan-hutan di bumi Kalimantan

Page 9: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 83

dibabat oleh para investor dengan berbagai tujuan: pertambangan (min-

ing), bisnis kayu (logging) dan perkebunan kelapa sawit (oil plantation).

3. Hutan: Lingkungan Fisik Orang Dayak

Bagi masyarakat suku Dayak, hutan adalah lingkungan fisik yang

terpenting bagi mereka. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan

yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan

tanah, biasanya terlebih dahulu mereka meneliti keadaan pepohonan

yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-

pohon kayu besar dan tinggi hal itu menandakan bahwa tanah tersebut

sudah lama tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat subur.

Cara yang dipakai untuk memastikan kesuburan tanah adalah

dengan cara memasuki ujung parang kedalaman tanah kira-kira 10 cm.

Ketika parang dicabut kembali maka tanah yang melekat pada ke dua

belah sisi parang dapat menunjukkan tentang kesuburan tanah. Jika

banyak tanah yang melekat pada ke dua sisi parang dan gembur kehitam-

hitaman berarti tanah tersebut adalah subur; sebaliknya, jika kondisi

tanah setempat kurus maka yang melekat pada kedua sisi parang adalah

tanah berpasir.

Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah

tanah yang terletak pada lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini

untuk orang Dayak di Kalimantan Barat disebut jenis tanah payak labak

atau payak. Keadaan tanah payak selalu berair dan becek. Ladang di

tanah payak biasanya bersifat monokultur dapat ditanam padi selama 3

tahun berturut-turut. Sesudah tahun ke tiga tanah payak ditinggalkan

selama 2-4 tahun untuk kemudian ditanam lagi.

4. Mata Pencaharian Orang Daya

Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang

Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan; dengan kata lain, hutan

yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya

dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil

hutan. Sapardi 2, menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang

menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu, hutan telah

menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan

hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi

hingga kini. Secara defakto, mereka telah menguasai kawasan itu dan

dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan

2 Sapardi Antonius, “Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di

Kecamatan Parindu,”(Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992), 23-30.

Page 10: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

84 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

pokok.

Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil

hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada,

karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang.3Kegiatan

perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha

untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai

sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi

kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian

mereka masih bersifat subsistensi.4

Menurut Arman5, orang Dayak kalau mau berladang pergi ke hutan,

dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan.

Kalau mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih

tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis

Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp).

Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan

refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-

abad dengan hutan dan segala isinya. Hubungan antara orang Dayak

dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam

memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya

orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah

hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.6

Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan,

pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan.

Seorang tokoh Dayaknologi, F. Ukur menjelaskan bahwa sistem

perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Hal

yang sama juga ditegaskan oleh pengamat budaya Dayak lainnya, Ave

dan King yang menegaskan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation

atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang

mereka yang merupakan mata pencaharian utama. Sellato7, mem-

perkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah

dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo8, menyebutkan cara hidup

berladang diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun

3 Idem., hal 90.

4 Mering Ngo, “Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di

Kalimantan Barat,”Prisma no. 4 Tahun XVIII (Jakarta: LP3ES, 1989), 40.Dove Michael R., Peranan

Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

5 Arman Syamsuni, “Analisa Budaya Dayak,”Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan

Transformasi,Paulus Florus (ed.) (Jakarta: Grasindo Utama, 1994), 85.

6 Idem., 90.

7 Sellato Bernard, Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon (Aquitaire Indonesia: ELF. 1989), 73.

8 Mering Ngo, “Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di

Kalimantan Barat”, Prisma no. 4 Tahun XVIII (Jakarta: LP3ES, 1980), 40.

Page 11: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 85

Sebelum Masehi. Almutahar9 mengemukakan bahwa aktivitas orang

Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam

variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat dari

teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang

akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.

5. Sistem Perladangan dalam Masyarakat Dayak

Sistem perladangan dilakukan dengan cara berotasi atau bergilir,

merupakan budaya khas semua suku Dayak. Sistem perladangan

semacam itu mempunyai kearifan dan pengetahuan tersendiri, dalam

hal pemeliharaan keseimbangan lingkungan.Namun demikian, sistem

perladangan semacam ini sering dipecundangi, dituduh tidak produktif

dan merusak hutan. Suatu vonis yang harus diluruskan, sebab banyak

penelitian telah membuktikan salah satu diantaranya adalah penelitian

yang dilakukan oleh Dove10

terhadap suku Kantu di Kalimantan Barat

yang menyatakan sistem perladangan suku Dayak tidak menyebabkan

kerusakan hutan, tanah dan lingkungan; sebaliknya, justru memelihara

keutuhan hutan sebab sesudah sekian tahun ladang yang sama baru akan

digarap kembali setelah menjadi hutan kembali.

Dengan sistem perladangan semacam ini, tanah diistirahatkan

sampai “daya kekuatannya” kembali, artinya sampai menjadi subur dan

siap untuk digarap kembali. Pola perladangan semacam ini jauh dari

upaya merusak hutan; sebaliknya, menjadi salah satu cara masyarakat

suku Dayak untuk memelihara keseimbangan ekosistem dalam alam.

Tanah yang ditinggalkan akan kembali kepada habitatnya semula,

ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayu yang akan menjadi

hutan kembali dan karena itu, segala tumbuh-tumbuhan dan binatang

akan kembali menjadi penghuninya.

6. Pembabatan Hutan oleh Lembaga Internasional dan Nasional

6.1. Lembaga Internasional

Pembabatan hutan yang pada akhirnya membawa kepada

kehancuran ekosistem dan berujung pada kemelaratan dan kegelapan

masa depan jelas tidak dilakukan oleh penduduk masyarakat suku

9 Almutahar Hasan, “Respon Petani Dayak Kandayan Terhadap Teknologi Pertanian”(Tesis

Magister, Program Pascasarjana UNPAD, 1995), 55.

10 Dove Michael R., Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat(Gajahmada

University Press, Yogyakarta 1988), 83.

Page 12: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

86 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

Dayak. Pelaku dari pembabatan dan perusakan hutan di Kalimantan

adalah perusahan-perusahan besar yang bergerak dalam bidang

agrobisnis, jasa keuangan yang bertanggungjawab atas pembiayaan

sebanyak 298 perusahaan yang terdaftar resmi.11

Dengan dukungan dana

dalam skala besar serta didukung oleh pemerintahan yang sedang

melakukan ekspansi dalam hal pangan ke negara-negara yang memiliki

tanah luas, tetapi miskin dari sisi dana dan tekhnologi, mereka berhasil

menguasai jutaan tanah rakyat miskin. Indonesia adalah salah satu dari

daftar negara-negara yang menjadi tujuan ekspansi tersebut, selain

Filipina dan Laos.12

Dalam tahun 201113

, di Indonesia saja telah terjadi perampasan tanah

penduduk seluas 4, 24 juta hektar oleh perusahan-perusahan besar dengan

dukungan dari negara-negara kaya. Negara-negara yang melakukan

ekspansi di Indonesia adalah: Amerika, Saudi Arabia, China, India dan

Inggris. Lebih lanjut, laporan dari Down to Earth menegaskan bahwa

selain Asia, negara-negara lain yang juga menjadi target adalah: Afrika,

Amerika Latin dan Eropa Timur. Negara-negara kaya ini, selain menjadi

penyangga dana dan “pemain” langsung, juga tempat perlindungan yang

aman (safe haven) bagi para “perampok” tanah negara-negara miskin.14

Menurut para pemerhati dan pembela hak rakyat miskin, selain

korporasi swasta yang mengucurkan triliunan Rupiah untuk menguasai

tanah-tanah di negara-negara miskin, ternyata organisasi berlabel

internasional pun tidak luput dari permainan itu. Sejumlah LSM telah

menuduh Bank Dunia sebagai pemeran kunci dalam hal perampasan

tanah dengan menyediakan dana, bantuan yang bersifat teknis, termasuk

mendorong peningkatan iklim investasi dalam sektor pertanian di negara-

negara yang menjadi sasaran serta mendukung kebijakan serta aturan

yang lebih memihak perusahaan daripada masyarakat.15

Lebih lanjut, menurut laporan yang dibuat oleh Guardian, Bank Dunia

telah meningkatkan 3 kali lipat bantuannya untuk proyek penguasaan

tanah dengan total bantuan dana 6-8 miliar Dollar per tahun dalam

sepuluh tahun terakhir, meskipun tidak ada data yang tersedia berapa

banyak tanah yang berhasil dikuasai dengan dukungan dana sebesar

itu. Demikian juga perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanahan

11 Lihat Laporan lengkap mengenai hal ini dalam, Down to Earth,”The Struggle for

Land,”Special Edition Newsletter no. 93-93, (December 2012), 10.

12 Idem.

13 Idem.

14 Idem.

15 World Bank: “Get out of land! Statement signed by Campagna per la Riforma della Banca

Mondiale,”Fian International, Focus on the Global South, Friends of the Earth International, Grain,

La Via Campesina, and the Transnational Institute (23 April 2012).

Page 13: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 87

telah mengivestasikan dana sebanyak 600 juta Dollar untuk penguasaan

tanah seluas 0,7 juta hektar.

Oxfam (salah satu LSM) telah mendorong Bank Dunia agar

menghentikan aktivitas bisnisnya dalam perampasan tanah rakyat.

Oxfam ingin supaya pemerintah Inggris-salah satu pemegang saham

terbesar dari Bank Dunia mendorong hal ini dan menempatkannya

sebagai salah satu agenda penting dalam pertemuan G8 pada thn 2011

yang lalu; demikian juga Oxfam ingin supaya pemerintah Inggris

menekan masyarakat Uni Eropa agar mengalihkan sasaran agrofuel ke

sektor lain, karena hal ini menjadi kunci penggerak bagi penjarahan dan

perampokan tanah rakyat di negara-negara miskin.16

Selain Bank Dunia, dua organisasi dunia lainnya: Bank Eropa untuk

Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD) serta Organisasi Pangan sedunia

(FAO) juga menjadi sasaran kritik dari sejumlah LSM dunia. Suma

Chakrabarti (Direktur EBRD) dan Jose Graziano (Direktur FAO) dalam

artikelnya: “Lapar untuk investasi” yang dimuat dalam Wall Street Jour-

nal, sebelum dilangsungkannya pertemuan mengenai keputusan yang harus

diambil dalam hal agrobisnis, di Istambul, September 2012 yang lalu

menegaskan bahwa dunia memerlukan pangan yang lebih banyak lagi,

yang berarti lebih banyak lagi pangan yang harus dihasilkan dan dalam

kaitan dengan hal ini sektor swasta dapat menjadi “mesin utama” bagi

pertumbuhan sektor pertanian.

Dengan merujuk kepada perkembangan ekonomi di negara Eropa

Timur, Asia dan Afrika Utara, mereka mendorong investasi sektor swasta

lebih banyak lagi di negara-negara tersebut dalam hal penguasaan tanah

dan mendorong pihak pemerintah agar membuat kebijakan-kebijakan

yang mendukung investasi swasta dalam hal sektor pertanian dalam skala

besar yang berarti penguasaan lahan masyarakat. Berkaitan dengan hal

ini, mereka mengatakan: “Adalah tanggungjawab dari sektor investasi

swasta seluruh dunia untuk menyuburkan tanah-tanah pertanian yang

tidak produktif dengan uang ketika iklim investasi mendukung. Banyak

negara sangat merindukan investasi semacam itu dan investasi mereka

dapat membantu mempermudah kehidupan, khususnya bagi dunia yang

sedang dilanda kelaparan.17

6.2. Lembaga/Perusahaan Nasional

Di negara kita, perampasan tanah rakyat oleh perusahaan telah

melahirkan banyak kasus kekerasan yang melibatkan masyarakat dengan

16 The Guardian, (October 4, 2012), 10-15.

17 Wall Street Journal (Sept 6, 2012), 20-24.

Page 14: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

88 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

aparat keamanan (TNI, POLRI) yang secara khusus disewa oleh pihak

perusahan. Di Mesuji, Lampung telah terjadi protes oleh masyarakat atas

“perampasan” tanah masyarakat yang melibatkan 2 perusahaan kelapa

sawit: PT Sumber Wangi Alam dan PT Barat Selatan Makmur Investindo

dan perusahaan negara yang bergerak dalam penanaman kayu, Silva

Inhutani yang mengakibatkan 4 orang meninggal.18

Korban meninggal

selama periode 2009-2011 sebanyak 30 orang.19

Di Bima, Nusa Tenggara

Barat, 3 orang ditembak mati dan 9 luka parah ketika Polisi dan Militer

menembak kerumunan masa yang berdemo secara damai memprotes

perampasan tanah pertanian penduduk oleh perusahaan tambang Aus-

tralia, PT Sumber Mineral Nusantara.20

Pada bulan yang sama di

Sumbawa, sekitar 50 rumah yang dihuni oleh keluarga Pekasa (penduduk

asli) dilaporkan telah dibakar oleh polisi dan militer, untuk mencegah

mereka menghuni lahan yang diklaim oleh pemerintah sebagai hutan

lindung dan sasaran eksplorasi dari perusahaan tambang emas Newmont

Nusa Tenggara.21

Badan Pertanahan Nasional melaporkan bahwa pada tahun 2011

telah terjadi konflik tanah sebanyak 2791, sementara Komisi Hak Asasi

Manusia mengatakan sebanyak 738 konflik tanah yang telah melahirkan

4502 pengaduan resmi berkaitan dengan perampasan hak warga.22

Sementara organisasi sipil memberikan detil yang lebih lengkap mengenai

perluasan dan jenis konflik tanah di Indonesia dewasa ini. KPA, salah

satu LSM yang menangani isu-isu agraria mencatat telah terjadi konflik

agraria sebanyak 163 di seluruh negeri selama tahun 2011, jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan tahun 2010 yang berjumlah 106 konflik. 22

orang telah terbunuh dalam konflik itu yang melibatkan sebanyak 70.000

kepala keluarga dan 500. 000 hektar tanah. Kebanyakan kasus (60%)

terjadi pada bidang sawit, 22% pada hutan, 21% pada proyek

infrastruktur, 4% pada tambang. Jawa Timur adalah daerah yang pal-

ing tinggi (36 kasus) untuk kasus-kasus tersebut selama tahun 2011,

Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah

18 Kasus Mesuji, Pemerintah Belum Sentuh Akar Konflik’, KPA website: http://www.kpa.or.id/

?p=672, (23-11-2012).

19 Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis, KPA website: http://www.kpa.or.id/?p=636,

(23-11-2012).

20 Joint Press Release 24/Dec/11, Walhi. The Australian company is named as PT. Arc.

Exploartion Ltd.

21 Berita HUKUM.com, http://www.beritahukum.com/detail_berita, (24-12-2011).php?judul= Polisi+

Akui+Pembakaran+Puluhan+Rumah+Adat+Pekasa#.UK9vyGeXICo, (23-11-2012).

22 Energy, food and climate crises: are they driving an Indoensian land grab?, East Asia Fo-

rum, John McCarthy, http://www.eastasiaforum.org/2012/07/17/energy-food-and-climate-crises-

are-they-driving-an-Indonesian-land-grab, (17-07-2012).

Page 15: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 89

(12 kasus), Jambi (11 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus), Riau (1 kasus).23

Perusahan kaya di Indonesia menjadi pemain yang mengontrol

kepemilikan tanah secara massive untuk proyek-proyek: sawit, pabrik

kertas, tambang, minyak dan gas, logging, wisata dan properti. Di sini

cukup menyebutkan beberapa Konglomerat yang bermain dalam sektor

tersebut diatas: (1). PT Bakrie & Brothers Tbk memiliki 7 divisi, termasuk

sawit, tambang, minyak dan gas yang memiliki lokasi tanah yang sangat

luas. 1. Bakrie Sumatra Plantaions memiliki area sawit seluas 92.000 hektar,

ditambah 11. 438 hektar plasma, 18.921 hektar karet di Sumatera,

Kalimantan Selatan dan Tengah (data 2011). 2. Bumi Resources yang

bergerak dalam sektor batu bara menguasai lahan seluas 187. 181 hektar

di Kalimantan dan Sumatra, sementara konsesi tambang non batu bara

seluas 289.919 hektar di Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Selatan, Sumatra

Utara dan Nusa Tenggara Timur. Group ini juga mendapat konsesi lahan

di Mauritinia dan Liberia. 3. PT Energi Mega Persada Tbk bergerak dalam

bidang minyak dan gas, memperoleh konsesi seluas 28.000 km2 (sebagian

di lepas pantai). 4. Bakrieland Development yang bergerak dalam bidang

properti adalah Developer terbesar di pusat bisnis Jakarta yang telah

mengembangkan 53,5 hektar dan mengontrol 25% supply untuk

apartement. Selain itu, juga memiliki investasi dekat ibu kota dan 15. 000

hektar di lokasi-lokasi utama di daerah Jakarta, Bogor, Lampung dan

Balikpapan.

(2). Wilmar, perusahaan yang berpusat di Singapura bergerak dalam

bidang sawit menguasai tanah seluas 247.081 hektar, 74% diantaranya

berlokasi di Indonesia (Sumatra, Kalimantan Barat dan Kalimantan

Tengah), 24% di Malaysia Timur dan 2% di Afrika. Dalam usaha untuk

menguasai tanah, perusahaan ini juga mengembangkan plasma seluas

38.021 hektar di Indonesia.

(3). PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) menguasai lahan perkebunan

sawit seluas 266.856 di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Menurut

Jakarta Globe, pada tahun 2012, perusahaan ini meraup laba bersih

sebanyak $15.8 miliar, naik dari tahun 2011 yang hanya $12.8 miliar,

menjadikannya sebagai peraih keuntungan terbesar di Indonesia.

(4). Royal Golden Eagle Group, dimiliki oleh Sukanto Tanoto bergerak

dalam bidang agrobisnis melalui anak perusahaan Asian Agri yang

menguasai lahan seluas 100. 000 hektar di Sumatra dan 60.000 ha dalam

skala lebih kecil; sementara melalui anak perusahaan APRIL yang bergerak

dalam pengelohan kertas, pada tahun 2010 berusaha untuk menguasai

hutan seluas 1.45 juta. Hutan itu termasuk 19% hutan lindung dan 25%

hutan rakyat yang melaluinya masyarakat menggantungkan hidupnya.

23 Joint Press Release, Catatan Akhir Tahun 2011, as above.

Page 16: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

90 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

Dalam bidang energi menguasai 3 blok di Sumatra: Jambi Merang,

Kisaran yang mencakup area seluas 2.178 km2 dan Perlak di Aceh.

(5). Sinar Mas Group, dipimpin oleh Eka Tjipta Widjaya menguasai

lahan untuk sawit seluas 138.959 ha. Selain itu, melalui Sinarmas For-

estry yang bergerak dalam bidang pengolahan kertas beroperasi di

Kalimantan dan Sumatra menguasai lahan seluas 1.4 juta ha. (6) Salim

Group menguasai lahan sawit seluas 216.837 ha, 38.152 untuk karet,

gula dan tanaman lainnya. (7) Korindo Group menguasai 56.217 ha untuk

sawit dan 97.850 ha.24

7. Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap

Data-data diatas jelas menunjukkan pelaku perusak hutan di tanah

air kita adalah perusahaan pemilik modal skala besar (Konglomerat)

yang bisa melobi pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan

izin penguasaan lahan yang luas serta mampu membayar aparat

keamanan untuk melindungi kepentingan mereka. Karena itu, tuduhan

bahwa rakyat kecil adalah perusak alam/hutan adalah tuduhan yang

tidak memiliki dasar sama sekali, sekadar pengalihan isu. Demi uang,

rakyat selalu menjadi korban atau sengaja dikorbankan oleh para

penguasa yang bersekongkol dengan pemilik modal dan aparat keamanan.

Berbagai data konflik yang disajikan diatas menegaskan kenyataan

tersebut. Harus dicatat bahwa data yang disajikan itu sifatnya masih

terbatas, artinya belum merekam semua konflik tanah yang terjadi antara

rakyat dengan pengusaha/aparat keamanan. Namun demikian, hal

tersebut sudah dapat menggambarkan secara jelas bahwa rakyat kecil

selalu menjadi korban kepentingan para pemodal yang didukung oleh

aparat keamanan. Aparat keamanan yang seharusnya berperan sebagai

pengaman dan pengayom masyarakat justru berbalik menjadi pengayom

dan pengabdi kepentingan modal dan pembunuh rakyat jelata.

Masuknya para investor besar ke Kalimantan selalu disertai dengan

janji manis akan mensejahterakan masyarakat setempat; namun fakta

menunjukkan bahwa tidak ada dampak perbaikan ekonomi atau

perbaikan taraf hidup masyarakat setempat dimana perusahan itu sedang

bereksplorasi. Dengan kata lain, kehadiran perusahaan tidak berbanding

lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Keadaan justru sebaliknya.

Masyarakat semakin miskin dan menderita. Mengapa? Karena tanah

mereka telah “dirampas” oleh pihak investor yang sekali lagi memanfaat-

kan jasa aparat keamanan, preman dan perangkat pemerintah setempat,

mulai dari Bupati, Camat, Kepala Desa sampai kepada Ketua Adat untuk

24 Data diambil dari “The Struggle for land”, DTE Special Edition Newsletter no 93-94, (Decem-

ber 2012), 19-20.

Page 17: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 91

memaksa rakyat menyerahkan tanah mereka kepada pihak perusahan.

Satu-satunya kekayaan yang mereka miliki, yakni tanah warisan

leluhur sudah lepas, lalu apa yang menjadi jaminan bagi hidup dan masa

depan mereka? Kalaupun dipekerjakan-karena keterbatasan skill, mereka

hanya menjadi pekerja “pinggiran” dengan upah yang tidak cukup untuk

mampu membiaya keperluan keluarga. Segala sesuatu harus dibeli,

sementara ketika masih punya tanah mereka tidak pernah berpikir untuk

membeli beras, lauk pauk, sayur mayur karena semuanya itu dapat

mereka peroleh dari tanah garapan atau dari hutan yang menyediakan

semua keperluan hidup mereka. Situasi seperti itu sudah tinggal masa

lalu yang harus mereka ratapi.

Selain berdampak pada kehidupan ekonomi warga, masuknya

perusahaan-perusahaan itu juga membawa dampak bagi kesehatan

warga. Air, udara dan lingkungan hidup sudah tercemar oleh substansi

kimia yang dipakai dalam tambang dan perkebunan sawit. Air sudah

diracuni dengan mercuri dan limbah pupuk kimia sehingga tidak layak

untuk diminum, ikan-ikan sungai mati. Dampak lain, sumber-sumber

air/mata air sudah kering karena disedot oleh tanaman sawit yang

dikenal sebagai tanaman yang rakus dengan air. Akibatnya, panduduk

mengalami kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan rumah

tangga dan MCK. Keterbatasan penghasilan tidak memungkinkan mereka

untuk membeli air bersih, akibatnya mereka terpaksa minum dan

menggunakan air yang sudah terkontaminasi itu untuk pelbagai

keperluan. Akibat berikutnya adalah kesehatan. Berbagai macam

penyakit muncul: sakit kulit, gatal-gatal, diare, sesak pernapasan, dll.

Mana janji perusahaan menyejahterakan masyarakat?

Itulah dampak sosial-ekonomi yang mungkin tidak pernah dipikirkan

atau memang sengaja tidak mau dipikirkan oleh para investor, pihak

pemerintah dan aparat keamanan. Motif untuk memperoleh keuntungan

yang sebesar-besarnya (hukum ekonomi) dengan ongkos yang sekecilnya

adalah motivasi utama yang menggerakkan mereka untuk melakukan

semuanya ini. Nasib rakyat kecil serta rusaknya lingkungan tidak menjadi

perhatian. Inilah bentuk kejahatan kemanusiaan yang secara sistematis

dilakukan oleh para pemodal dan penguasa di zaman modern sekarang

ini. Siapa yang peduli dengan nasib rakyat kecil yang hanya dilihat

sebagai jumlah angka dan bukan sebagai pribadi dan stakeholder dari

kekayaan negara ini? Dengan melihat semua data yang tersaji ini, kiranya

tidaklah salah ketika judul tulisan ini dibuat demikian: Hutan dibabat,

rakyat melarat, masa depan gelap!

8. Gereja Terpanggil untuk Bertindak

Berhadapan dengan situasi demikian itu, Gereja tidak bisa berdiam

Page 18: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

diri, seolah-olah itu bukan masalah yang perlu direspon atau bukan

masalah yang bersentuhan dengan sisi kehidupan Gereja.25

Sebaliknya,

sebagai Pewarta Kabar Gembira, Gereja dipanggil untuk berbuat

sesuatu, menunjukkan sikap belarasa dan solidaritas26

terhadap

masyarakat terdampak, entah secara langsung melalui tindakan nyata,

misalnya mendampingi masyarakat terdampak melalui program advokasi

dan penguatan (empowerment) atau melalui suara kenabian: Surat

Gembala yang menunjukkan bahwa Gereja ada bersama dengan

masyarakat terdampak. Pada poin ini, Gereja telah berbuat banyak.

Melalui komisi Justice and Peace, Gereja (baca Gereja di Regio Kalimantan)

telah melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk medampingi

dan memperkuat posisi masyarakat agar memiliki daya tawar yang kuat

dalam bernegosiasi dengan pihak investor dan aparat keamanan serta

penguasa setempat terkait dengan upaya untuk mempertahankan hak

atas tanah.

Selain itu, pendampingan ini juga dimaksudkan untuk menyadarkan

masyarakat (proses konsientisasi) akan hak-hak yang melekat pada diri

mereka dan berjuang untuk mempertahankannya. Pertemuan gabungan

dua Komisi: PSE, JPIC dan Lembaga Kemanusiaan Caritas, baik pada

tingkat Propinsi Grejawi (Samarinda dan Pontianak) maupun tingkat

Regio Kalimantan yang secara rutin bertemu sekali setahun,telah

membicarakansecara bersama langkah-langkah kongkret yang perlu

diambil untuk sisi penguatan dan advokasi masyarakat.27

Berbagai usulan

dan rekomendasi telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut yang

semuanya mengarah kepada satu hal: perlunya penguatan masyarakat

agar memiliki daya tahan (resiliensi) dalam menghadapi para investor

yang rakus. Cukup untuk menyebut beberapa program yang disepakati

untuk dilaksanakan dalam pertemuan-pertemuan tersebut: mendorong

masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong dengan tanaman jangka

pendek: menanam sayur-sayuran, buah-buahan khas Kalimantan

(durian, cempedak, rambutan) maupun jangka panjang seperti: menanam

25 Bdk. Hasil akhir pertemuan Komisi PSE, JPIC dan Caritas Regio Kalimantan, tgl 4 – 8 Juni

2012 di Tanjung Selor yang menegaskan keterlibatan Gereja dalam hal kepeduliaan terhadap

keutuhan alam ciptaan adalah suatu imperatif moral yang harus dilakukan dalam

kehidupannya.

26 Sikap solidaritas Gereja terhadap kaum lemah, menjadi pembahasan dalam SAGKI 2005

dan dituangkan dalam keputusan SAGKI 2005, no. 4-6.

27 Lihat Hasil final pertemuan tahunan Komisi PSE, Justice Peace and Integration of Creation

(JPIC) dan Lembaga Kemanusiaan Caritas Sub-Regio Kalimantan Timur dan Regio

Kalimantan,19-23 Juni 2018 dengan judul: Bergerak bersama menuju Kalimantan Baru, yang

merekomendasikan agar seluruh Keuskupan yang ada di Regio Kalimantan untuk

melakukan advokasi bagi masyarakat agar memiliki daya tahan dalam memperjuangkan

hak-hak atas tanah milik berhadapan dengan para investor.

92 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

Page 19: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

karet, jati, sengon dengan maksud supaya masyarakat tidak mudah

tergoda untuk menjual tanah kepada para investor.

Dalam pertemuan 2018 sudah disepakati bahwa Propinsi Grejawi

Samarinda menetapkan tanaman Sengon sebagai prioritas dalam upaya

pelestarian alam dan peningkatan ekonomi masyarakat. Keuskupan

Palangka Raya bahkan sudah melangkah selangkah lebih kongkrit dalam

merealisasikan program ini, yaitu dengan mengalokasikan dana APP

Keuskupan untuk pembelian bibit Sengon. Seluruh paroki yang berjumlah

25 telah bergerak bersama-sama untuk mewujudkan program bersama

ini. Program ini sepenuhnya mendapat dukungan dari Keuskupan

sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Sinode Keuskupan Palangka

Raya 2018.28

Tujuan program budidaya Sengon ini bersifat ganda. Di

satu sisi, melalui budidaya tanaman ini masyarakat mendapatkan

keuntungan ekonomis, dari sisi lain ikut ambil bagian dalam pelestarian

alam. Tentu, dengan harapan setelah melihat manfaat nyata dari

budidaya tanaman tersebut, masyarakat tidak akan tergiur untuk menjual

tanahnya kepada para investor, sebaliknya memanfaatkannya sebagai

lahan untuk budidaya tanaman produktif, diantaranya tanaman Sengon.

Bila maksud ini tercapai, maka peran Gereja dan masyarakat dalam

melestarikan alam akan semakin menjadi kenyataan.

Pada tataran yang lebih otoritatif, para Uskup Regio Kalimantan

telah mengeluarkan Surat Gembala dengan judul: “Marilah Melindungi

Bumi Rumah Kita Bersama”29

Walaupun isinya lebih dominan pada

upaya penyelamatan bumi sebagai rumah bersama, namun dalam surat

Gembala itu juga nampak jelas keprihatinan pimpinan Gereja terhadap

marjinalisasi yang dialami oleh masyarakat lokal. Akibat maraknya usaha

pertambangan dan perkebunan Sawit, masyarakat kecil, masyarakat

lokal semakin mengalami proses pemiskinan berhubung lahan, sumber

kehidupan mereka sudah terjual dan dirampas oleh para investor.

Akibatnya, mereka hanya menjadi buruh kasar (unskilled) dengan

pendapatan yang kecil. Dengan kondisi semacam ini, sulit memenuhi

kebutuhan pokok, apalagi harus membiayai pendidikan anak-anak.

Mereka menjadi “terasingkan”di tanah sendiri.

Usaha penyelamatan bumi perlu dibuat karena alam sudah dirusak

oleh manusia-manusia rakus yang hanya mengejar keuntungan sesaat,

28 Lihat Keputusan Sinode Keuskupan Palangka Raya, pada poin Gereja yang Peduli

Lingkungan Hidup, no. 1-5.

29 Surat Gembala Para Uskup Regio Kalimantan, Marilah Melindungi Bumi, Rumah Kita Bersama(24

Februari 2016). Lihat juga Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiscus, khususnya Bab I yang

berisi tinjauan tentang kerusakan ekologi yang terjadi di seluruh dunia. Dalam ensiklik ini

Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan

terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di

seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang terpadu dan segera”.

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 93

Page 20: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

tetapi tidak memperhatikan kerusakan jangka panjang yang akan muncul

akibat tindakannya itu. Kerusakan alam adalah konsekuensi logis dari

maraknya usaha pertambangan (minings) dan perkebunan Sawit (plant

plantations)yang menghancurkan ribuan hektar alam beserta kekayaan

hayati yang terkandung didalamnya. Dalam usaha untuk mengakuisisi

lahan yang luas untuk keperluan bisnis tersebut, tindakan intimidasi dan

perampasan tanah masyarakat lokal oleh para investors menjadi per-

soalan serius yang perlu disikapi oleh Gereja. Pada titik ini, Gereja

dipanggil untuk menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat kecil,

suara kenabian Gereja harus digaungkan meski tidak selalu mendapatkan

respon yang positif dari masyarakat luas.

Keberpihakan Gereja terhadap masyarakat yang mengalami situasi

yang demikian itu adalah suatu panggilan yang harus dilaksanakan

sebagai wujud nyata dari keberpihakan Gereja terhadap kaum lemah,

terpinggirkan dan tertindas (option for the poor). Selain melalui gerakan

advokasi, Gereja juga melakukan pendampingan kepada masyarakat

terkait dengan pilihan bercocok tanam. Dengan bertolak dari situasi

kongkret serta kearifan lokal yang ada, Gereja mendorong masyarakat

untuk menanam tanaman karet. Tanaman karet adalah tanaman yang

sangat familiar dengan masyarakat lokal (Dayak) dan tidak memerlukan

perawatan yang rumit seperti tanaman lainnya: padi. Selain menanam

karet, masyarakat juga diajak untuk membudidyakan tanaman lain

seperti yang sudah diuraikan diatas. Dengan tanaman karet masyarakat

mendapat dua keuntungan, baik ekonomi maupun penghijauan lahan.

Secara ekonomi, getah karet dapat diperjual belikan sebagai sumber

penopang kehidupan, sedangkan dari sisi penghijauan, masyarakat telah

ikut secara nyata mewujudkan seruan apostolik Paus Fransiscus untuk

memelihara dan marawat bumi ini.

Terkait dengan upaya pelestarian alam, Paus mengajak semua pihak

untuk terlibat didalam karya yang besar ini. Secara kongkret, keterlibatan

bersama itu diwujudkan melalui dialog konstruktif dengan semua pihak

yang mempunyai kepeduliaan terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Lebih jauh Paus menegaskan: “Saya mengundang dengan mendesak agar

diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan

planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang,

karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya,

menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua. Gerakan ekologi

diseluruh dunia telah membuat kemajuan besar dan berhasil membentuk

berbagai organisasi yang berkomitmen meningkatkan kesadaran terhadap

tantangan-tantangan ini...”30

30 Bdk. Esiklik Laudato Si, 14 yang berbicara secara khusus tentang upaya-upaya kongkret

yang harus dilakukan untuk memelihara keutuhan alam ciptaan dan mengajak semua

pihak untuk terlibat dalam pekerjaan yang besar ini.

94 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

Page 21: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

Seruan Paus itu telah ditanggapi secara serius oleh Gereja lokal

Kalimantan.31

Menyadari bahwa upaya pelestarian lingkungan hidup

adalah perkara yang besar, tentu tidak bisa dikerjakan oleh institusi Gereja

semata. Oleh karena itu, Gereja lokal Kalimantan (baca Hirarki) melibat-

kan banyak pihak yang memiliki kepedulian yang sama terhadap

keutuhan alam ciptaan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat maupun

NGO yang menjadi mitra kerja antara lain: WALHI (Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nasional), JPIC

Kalimantan, Jaringan Tambang (JATAM), Komisi (PSE, JPIC dan Karina)

KWI, lembaga masyarakat Adat yang ada di Kalimantan serta pribadi-

pribadi dari berbagai latar belakang agama, suku dan bahasa. Kerjasama

ini dilakukan, baik pada tataran pembahasan ide-ide melalui rapat rutin

dan pertemuan tahunan maupun pada tataran praksis, seperti pen-

dampingan dan pembelaan terhadap masyarakat terdampak melalui

program advokasi, penyuluhan serta pendampingan langsung di

lapangan, misalnya dalam hal budidaya tanaman Sengon dan Karet

unggul. Melalui semua kegiatan itu, Gereja menunjukkan keberpihakan

kepada masyarakat lokal yang terdampak dan pada saat yang sama ambil

bagian secara aktif dalam pemeliharaan bumi sebagai rumah bersama,

sebagaimana yang diamanatkan oleh Paus Fransiscus dalam Ensiklik

Laudato Si.

9. Simpulan

Keberpihakan Gereja terhadap masyarakat lokal yang dalam konteks

ini disebut sebagai pihak terdampak, akibat masifnya penetrasi industri

tambang (minings) dan perkebunan (palm plantation) kedalam wilayah

kehidupan mereka adalah suatu panggilan yang seyogyanya ditanggapi

dengan gembira. Dari hakekatnya, Gereja memang dipanggil oleh Sang

Guru untuk mengambil sikap dan pilihan yang jelas yakni keberpihakan

terhadap kaum lemah, miskin dan tersingkirkan sebagaimana yang

diteladankan oleh Sang Guru (bdk. Luk 4, 18-21). Tugas keberpihakan

ini menjadi bermakna ketika ditempatkan dalam konteks pewartaan kabar

gembira sebagai tugas utama dan pertama Gereja. Dalam mengemban

tugas pewartaan itu, Gereja terpanggil untuk melaksanakan tugas itu

tidak saja melalui perayaan liturgi dan pengajaran, tetapi juga melalui

aksi dan tindakan kongkret berupa pendampingan serta kepedulian

terhadap mereka yang tersisih, miskin dan menderita. Warta gembira

31 Bdk. Surat Gembala Para Uskup Kalimantan: Marilah Melindungi Bumi, Rumah Kita

Bersama, 24 Februari2016. Melalui Surat Gembala ini, Gereja Kalimantan mengajak semua

pihak untuk memelihara Bumi sebagai rumah bersama agar tetap layak menjadi tempat

tinggal manusia dan tetap menjadi “sumber” yang menopang kehidupan masyarakat.

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 95

Page 22: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

itu harus dibuat juga menjadi warta gembira bagi mereka dalam situasi

dan kondisi kekinian yang mereka hadapi. Pada poin ini kehadiran Gereja

menjadi krusial.

Menyadari bahwa tugas tersebut adalah tugas yang besar dan

kompleks, maka Gereja memerlukan kehadiran lembaga-lembaga, orang-

orang lain yang memiliki kehendak dan kepedulian yang sama terhadap

masyarakat terdampak itu. Kerjasama dengan banyak pihak menjadi

keharusan dalam upaya mewujudkan dan menterjemahkan misi

pewartaan itu menjadi misi penyelamatan yang kongkret bagi pihak

terdampak. Pentingnya membangun kerjasama serta dialog itu ditegaskan

dengan sangat baik oleh Paus Fransiscus dalam Ensiklik Laudato Si, no.

14. Dalam nomor 4 ini, Paus mengajak untuk membangun dialog, suatu

dialog yang melewati sekat-sekat pemisah: agama, suku, bangsa dan

bahasa dengan satu maksud agar tujuan mulia, yakni keberpihakan

terhadap masyarakat terdampak serta perawatan bumi sebagai rumah

bersama dapat terwujud. Untuk itu, Gereja diharapkan bersedia untuk

membuka diri dan mengulurkan tangan dalam membangun kerjasama

dengan pelbagai pihak demi pelaksanaan misi mulia itu, yakni

menghadirkan dan mewujudkan Kabar Gembira keselamatan, hic et

nunc!

Bibliografi

Almutahar, Hasan. Respon Petani Dayak Kandayan Terhadap Teknologi

Pertanian. Bandung: Tesis Magister, Program Pascasarjana UNPAD,

1995.

Arman, Syamsuni. ”Analisa Budaya Dayak.”Kebudayaan Dayak:

Aktualisasi Dan Transformasi. Paulus Florus (ed.,). Jakarta: Grasindo

Utama, 1994.

_____. Bangkit dan Bergeraklah. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indo-

nesia (SAGKI 2005). Jakarta: 2005.

Dove, Michael R. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan

Barat. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1988.

Fransiscus. Laudato Si. Vatikan: 2016.

Mering, Ngo.”Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan

Orang Kayan di Kalimantan Barat”. Prisma No. 4 Tahun XVIII (1989).

Komisi PSE, JPIC, Caritas Regio Kalimantan. Hasil-Hasil Pertemuan

tahunan 2011-2018: Isu-Isu Perusakan Alam dan Upaya-Upaya

Pemberdayaan Masyarakat. Manuscrift.

Komisi PSE, Justice Peace and Integration of Creation (JPIC) dan Lembaga

Kemanusiaan Caritas Sub-Regio Kalimantan Timur: Isu-Isu Krusial

dalam Pemberdayaan Masyarakat. Hasil Pertemuan Tahunan 2011-

96 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019

Page 23: TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007

2017, Manuscrift.

_____. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985.

Sellato, Bernard.Naga dan Burung Enggang. Hornbill and Dragon, Aquitaire

Indonesia: ELF, 1989.

_____. Marilah Melindungi Bumi, Rumah Kita Bersama. Uskup Regio

Kalimantan, Surat Gembala (24 Februari 2016).

World Bank: “get out of land!” Statement signed by Campagna per la

Riforma della Banca Mondiale, FIAN International, Focus on the

Global South, Friends of the Earth International, GRAIN, La Via

Campesina, and the Transnational Institute (23 April 2012).

Website http://www.kpa.or.id/?p=672, (23-11-2012).

http://www.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Polisi+Akui+

Pembakaran+Puluhan+Rumah+Adat+Pekasa#.UK9vyGeXICo, (23-11-

2012).

http://www.eastasiaforum.org/2012/07/17/energy-food-and-climate-crises-are-

they-driving-an-Indonesian-land-grab.

I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 97