terakreditasi, sk dirjen dikti: 167/dikti/kep/2007
TRANSCRIPT
TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007
TERAKREDITASI, SK DIRJEN DIKTI: 167/DIKTI/Kep/2007
Studia Philosophica et Theologica
E-ISSN 2550 - 0589
ISSN 1412-0674
Vol. 19 No. 1 April 2019
Hal. 1 - 118
DAFTAR ISI
ARTIKEL
Humanistic and Existential Psychology
in the Pratice of Psychotherapy
Aureliano Pacciolla .............................................................................. 1 - 19
Visi Eskatologis - Kreatif dan Eksemplaris - Terbuka
Sebagai Model Kehadiran Kristen dalam Konteks Indonesia
Christanto Sema Raffan Paledung ...................................................... 20 - 36
Tentang Harmoni Antara Tuhan, Manusia dan Alam
Dalam Tradisi Beduruk Di Dusun Medang
Fransiskus Gregorius Nyaming ......................................................... 37 - 56
Tergeraklah Hatinya oleh Belas Kasihan: Belajar dari
Perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati (Luk. 10:25-37)
Dalam Mengasihi Embrio Manusia Sebagai Sesama
Benny Phang ........................................................................................ 57 - 79
Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap
Refleksi Teologis atas Keberpihakan Gereja Terhadap Masyarakat
Dalam Upaya Pelestarian Alam
I Ketut Gegel ........................................................................................ 80 - 97
Awal Moral Kristiani
Edison R.L. Tinambunan ..................................................................... 98 - 114
TELAAH BUKU
Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi:
Aku, Teks, Liyan, Fenomena
Donatus Sermada Kelen .................................................................. 115 - 118
80 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
HUTAN DIBABAT, MASYARAKAT
MELARAT, MASA DEPAN GELAP
REFLEKSI TEOLOGIS ATAS
KEBERPIHAKAN GEREJA TERHADAP
MASYARAKAT DALAM UPAYA
PELESTARIAN ALAM
I Ketut Gegel1
Abstract
The Dayak community is known as a community that is close to nature, and
even, can be said theyunite themselves with nature. Nature is a “home” for
shelter, a “pool” for fishing and Savannah for hunting wilds animals. Short
words, nature is a treasure that is not counted in their lives. Therefore,
whennature was damaged by investors for mining and coconut palm planta-
tion businesses, the Dayak community was faced with great difficulties to
maintain the sustainability for their ownlives, because the nature that sus-
tains their lives today has been damaged and destroyed. The critical question
that arises: “How to deal with this challenge and who should help them fight
for their rights in the face of greedy investors?”Fighting alone, should be dif-
ficult, because they should faced not only investors, but also by two other
forces, namely: security authorities and local authorities. For this reason, other
institutions are needed to help overcome this difficulty.
The Catholic Church is an institution which present among Dayak commu-
nity and together with them, fighting and protect their rights and lives. The
Church’s partisanship is a clear evidence of the embodyment of its main mis-
sion, that is, proclaiming the Goos News for the people. This noble task, merely,
does not layed down in the act of liturgical cult, but also in real action, in
concrete actions to fight for the rights, freedoms and the goodness of human
life. Through these actions, the Church presents salvation to human being. Of
course, the effort and commitment to ptotect local community and nature
will producemore a good and better result when done together with other
institutions. Therefore, Pope Francis through his Encyclical Letter Laudato Si,
invites all parties who are well-wished to be jointly involved in seeking salva-
tion for everyone through concrete efforts, thatis, to protect the earth, our
common home.
1 Penulis adalah dosen STFT Widya Sasana, Malang.
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 81
Key Words: Catholic Church, Dayak community, Protection, Mission and
Nature
Abstrak
Masyarakat Dayak dikenal sebagai masyarakat yang dekat dengan alam,
bahkan dapat dikatakan menyatu dengan alam. Alam adalah “rumah” tempat
bernaung, “kolam” tempat mencari ikan dan padang savana, tempat berburu
binatang liar. Pendek kata, alam adalah kekayaan yang tidak terbilang nilainya
dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ketika alam dirusak oleh para
investor untuk usaha pertambangan (minings) dan kebun sawit (palm
plantation),masyarakat Dayak dihadapkan pada kesulitan besar untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup, karena alam yang menopang
kehidupan mereka selama ini sudah rusak dan hancur. Pertanyaan kritis yang
muncul: “bagaimana harus menyikapi situasi ini dan siapa yang harus
membantu memperjuangkan hak-hak mereka berhadapan dengan para in-
vestor yang rakus”? Berjuang sendirian tanpa dukungan pihak lain nampaknya
sulit, bahkan hampir dikatakan mustahil, karena yang dihadapi tidak hanya
para investor, tetapi juga 2 kekuatan lain, yakni: aparat keamanan dan
penguasa lokal. Untuk itu, diperlukan kehadiran lembaga lain yang dapat
membantu mengatasi situasi sulit ini.
Gereja Katolik adalah salah satu lembaga yang berjuang untuk melindungi
hak-hak dan hidup masyarakat Dayak. Keberpihakan Gereja adalah
perwujudan nyata dari misi pokok yang diembannya, yakni mewartakan
kabar gembira kepada dunia. Tugas yang mulia itu tidak hanya dipahami
sebatas pada tindakan cultus liturgi, tetapi lebih-lebih dalam aksi nyata, dalam
tindakan kongkret memperjuangkan hak, kebebasan dan hidup manusia.
Melalui aksi-aksi itu, Gereja menghadirkan keselamatan Allah bagi manusia.
Tentu, usaha dan perjuangan itu akan menjadi lebih bermakna dan
berdampak luas manakala dilakukan bersama dengan lembaga lain. Oleh
karena itu, Paus Fransiscus melalui ensiklik Laudato Si mengajak semua pihak
yang berkehendak baik untuk bersama-sama terlibat dalam mengusahakan
keselamatan bagi sesama melalui usaha-usaha nyata: memelihara bumi, rumah
kita bersama.
Kata Kunci: Gereja Katolik, Komunitas Dayak, Perlindungan, Misi dan Alam
1. Pengantar
Perkembangan serta kemajuan tekhnologi telah merambah masuk
nun jauh sampai kepelosok tanah air. Apalagi dengan ketersediaan sarana
komunikasi yang canggih, semua daerah dengan mudah terhubung dan
82 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
setiap orang dapat mengakses informasi dalam status kekinian. Namun,
seperti biasa, perkembangan yang pesat tidak hanya berdampak positif,
namun juga membawa dampak yang buruk bagi masyarakat, khususnya
mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan.Ketersingkiran
masyarakat adat atau masyarakat asli sebagai dampak langsung dari
industi pertambangan dan perkebunan adalah salah satu fenomena yang
menunjukkan bahwa pihak yang lemah selalu menjadi korban dari sebuah
fenomena sosial yang disebut dengan perkembangan.
Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sulit: menjual tanah
kepada pihak investor atau mempertahankannya. Kedua pilihan ini sama-
sama sulit dan berisiko tinggi. Bila tidak menjual tanah berarti tidak ikut
perkembangan, tetapi masih mempunyai tanah sebagai sumber
penghidupan. Perkembangan dalam konteks ini dimaknai sebagai
kepemilikan barang-barang “mewah”: mobil, sepeda motor, rumah;
sebaliknya, bila menjual tanah, mereka memiliki semua barang-barang
kemewahan tersebut, tetapi kehilangan sumber penghidupan.Yang
menjadi keprihatinan bahwa kerapkali masyarakat dikondisikan untuk
menjual tanah kepada pihak investor melalui strategi jitu yang dibuat
oleh pihak investor dalam kerjasama dengan pihak keamanan dan
penguasa lokal. Dari sini muncul persoalan sosial akut yang “meng-
hantui” kehidupan mereka: keterpinggiran, kemiskinan dan keterasingan
dari tanah tumpah darah mereka. Pada poin ini, Gereja dipanggil untuk
bertindak.
2. Hutan, Kesejahteraan Hidup dan Masa Depan
Ungkapan yang tertuang dalam judul tulisan ini, mungkin terasa
berlebihan bagi banyak orang, khususnya mereka yang tidak memahami
secara utuh budaya suku Dayak. Mungkin akan langsung muncul
sanggahan berupa pertanyaan: “apakah benar, ketika hutan dibabat
masyarakat melarat dan masa depan gelap?” Bagi masyarakat suku
Dayak memang ada keterkaitan yang sangat erat, bahkan tidak
terpisahkan antara hutan, jaminan hidup dan keberlanjutan hidup (masa
depan). Jika hutan terjaga dengan baik, maka masyarakat Dayak akan
mengalami kesejahteraan hidup, sebab dari hutan mereka bisa mem-
peroleh segala-galanya yang diperlukan untuk menopang hidup:
makanan dan minuman yang tersedia secara melimpah, obat-obatan;
demikian keberlanjutan hidup (masa depan) juga akan terjamin;
sebaliknya, jika hutan habis dibabat berarti masyarakat Dayak kehilangan
sumber kehidupan dan hal ini akan membawa kepada kemelaratan dan
pada gilirannya, masa depan yang cerah akan berubah menjadi gelap.
Melihat demikian pentingnya “arti” hutan bagi masyarakat Dayak, maka
menjadi suatu masalah besar ketika hutan-hutan di bumi Kalimantan
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 83
dibabat oleh para investor dengan berbagai tujuan: pertambangan (min-
ing), bisnis kayu (logging) dan perkebunan kelapa sawit (oil plantation).
3. Hutan: Lingkungan Fisik Orang Dayak
Bagi masyarakat suku Dayak, hutan adalah lingkungan fisik yang
terpenting bagi mereka. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan
yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan
tanah, biasanya terlebih dahulu mereka meneliti keadaan pepohonan
yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-
pohon kayu besar dan tinggi hal itu menandakan bahwa tanah tersebut
sudah lama tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat subur.
Cara yang dipakai untuk memastikan kesuburan tanah adalah
dengan cara memasuki ujung parang kedalaman tanah kira-kira 10 cm.
Ketika parang dicabut kembali maka tanah yang melekat pada ke dua
belah sisi parang dapat menunjukkan tentang kesuburan tanah. Jika
banyak tanah yang melekat pada ke dua sisi parang dan gembur kehitam-
hitaman berarti tanah tersebut adalah subur; sebaliknya, jika kondisi
tanah setempat kurus maka yang melekat pada kedua sisi parang adalah
tanah berpasir.
Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah
tanah yang terletak pada lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini
untuk orang Dayak di Kalimantan Barat disebut jenis tanah payak labak
atau payak. Keadaan tanah payak selalu berair dan becek. Ladang di
tanah payak biasanya bersifat monokultur dapat ditanam padi selama 3
tahun berturut-turut. Sesudah tahun ke tiga tanah payak ditinggalkan
selama 2-4 tahun untuk kemudian ditanam lagi.
4. Mata Pencaharian Orang Daya
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang
Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan; dengan kata lain, hutan
yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya
dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil
hutan. Sapardi 2, menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang
menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu, hutan telah
menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan
hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi
hingga kini. Secara defakto, mereka telah menguasai kawasan itu dan
dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan
2 Sapardi Antonius, “Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di
Kecamatan Parindu,”(Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992), 23-30.
84 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
pokok.
Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil
hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada,
karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang.3Kegiatan
perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha
untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai
sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian
mereka masih bersifat subsistensi.4
Menurut Arman5, orang Dayak kalau mau berladang pergi ke hutan,
dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan.
Kalau mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih
tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis
Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp).
Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan
refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-
abad dengan hutan dan segala isinya. Hubungan antara orang Dayak
dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam
memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya
orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah
hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.6
Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan,
pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan.
Seorang tokoh Dayaknologi, F. Ukur menjelaskan bahwa sistem
perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Hal
yang sama juga ditegaskan oleh pengamat budaya Dayak lainnya, Ave
dan King yang menegaskan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation
atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang
mereka yang merupakan mata pencaharian utama. Sellato7, mem-
perkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah
dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo8, menyebutkan cara hidup
berladang diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun
3 Idem., hal 90.
4 Mering Ngo, “Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di
Kalimantan Barat,”Prisma no. 4 Tahun XVIII (Jakarta: LP3ES, 1989), 40.Dove Michael R., Peranan
Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).
5 Arman Syamsuni, “Analisa Budaya Dayak,”Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan
Transformasi,Paulus Florus (ed.) (Jakarta: Grasindo Utama, 1994), 85.
6 Idem., 90.
7 Sellato Bernard, Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon (Aquitaire Indonesia: ELF. 1989), 73.
8 Mering Ngo, “Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di
Kalimantan Barat”, Prisma no. 4 Tahun XVIII (Jakarta: LP3ES, 1980), 40.
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 85
Sebelum Masehi. Almutahar9 mengemukakan bahwa aktivitas orang
Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam
variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat dari
teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang
akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
5. Sistem Perladangan dalam Masyarakat Dayak
Sistem perladangan dilakukan dengan cara berotasi atau bergilir,
merupakan budaya khas semua suku Dayak. Sistem perladangan
semacam itu mempunyai kearifan dan pengetahuan tersendiri, dalam
hal pemeliharaan keseimbangan lingkungan.Namun demikian, sistem
perladangan semacam ini sering dipecundangi, dituduh tidak produktif
dan merusak hutan. Suatu vonis yang harus diluruskan, sebab banyak
penelitian telah membuktikan salah satu diantaranya adalah penelitian
yang dilakukan oleh Dove10
terhadap suku Kantu di Kalimantan Barat
yang menyatakan sistem perladangan suku Dayak tidak menyebabkan
kerusakan hutan, tanah dan lingkungan; sebaliknya, justru memelihara
keutuhan hutan sebab sesudah sekian tahun ladang yang sama baru akan
digarap kembali setelah menjadi hutan kembali.
Dengan sistem perladangan semacam ini, tanah diistirahatkan
sampai “daya kekuatannya” kembali, artinya sampai menjadi subur dan
siap untuk digarap kembali. Pola perladangan semacam ini jauh dari
upaya merusak hutan; sebaliknya, menjadi salah satu cara masyarakat
suku Dayak untuk memelihara keseimbangan ekosistem dalam alam.
Tanah yang ditinggalkan akan kembali kepada habitatnya semula,
ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayu yang akan menjadi
hutan kembali dan karena itu, segala tumbuh-tumbuhan dan binatang
akan kembali menjadi penghuninya.
6. Pembabatan Hutan oleh Lembaga Internasional dan Nasional
6.1. Lembaga Internasional
Pembabatan hutan yang pada akhirnya membawa kepada
kehancuran ekosistem dan berujung pada kemelaratan dan kegelapan
masa depan jelas tidak dilakukan oleh penduduk masyarakat suku
9 Almutahar Hasan, “Respon Petani Dayak Kandayan Terhadap Teknologi Pertanian”(Tesis
Magister, Program Pascasarjana UNPAD, 1995), 55.
10 Dove Michael R., Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat(Gajahmada
University Press, Yogyakarta 1988), 83.
86 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
Dayak. Pelaku dari pembabatan dan perusakan hutan di Kalimantan
adalah perusahan-perusahan besar yang bergerak dalam bidang
agrobisnis, jasa keuangan yang bertanggungjawab atas pembiayaan
sebanyak 298 perusahaan yang terdaftar resmi.11
Dengan dukungan dana
dalam skala besar serta didukung oleh pemerintahan yang sedang
melakukan ekspansi dalam hal pangan ke negara-negara yang memiliki
tanah luas, tetapi miskin dari sisi dana dan tekhnologi, mereka berhasil
menguasai jutaan tanah rakyat miskin. Indonesia adalah salah satu dari
daftar negara-negara yang menjadi tujuan ekspansi tersebut, selain
Filipina dan Laos.12
Dalam tahun 201113
, di Indonesia saja telah terjadi perampasan tanah
penduduk seluas 4, 24 juta hektar oleh perusahan-perusahan besar dengan
dukungan dari negara-negara kaya. Negara-negara yang melakukan
ekspansi di Indonesia adalah: Amerika, Saudi Arabia, China, India dan
Inggris. Lebih lanjut, laporan dari Down to Earth menegaskan bahwa
selain Asia, negara-negara lain yang juga menjadi target adalah: Afrika,
Amerika Latin dan Eropa Timur. Negara-negara kaya ini, selain menjadi
penyangga dana dan “pemain” langsung, juga tempat perlindungan yang
aman (safe haven) bagi para “perampok” tanah negara-negara miskin.14
Menurut para pemerhati dan pembela hak rakyat miskin, selain
korporasi swasta yang mengucurkan triliunan Rupiah untuk menguasai
tanah-tanah di negara-negara miskin, ternyata organisasi berlabel
internasional pun tidak luput dari permainan itu. Sejumlah LSM telah
menuduh Bank Dunia sebagai pemeran kunci dalam hal perampasan
tanah dengan menyediakan dana, bantuan yang bersifat teknis, termasuk
mendorong peningkatan iklim investasi dalam sektor pertanian di negara-
negara yang menjadi sasaran serta mendukung kebijakan serta aturan
yang lebih memihak perusahaan daripada masyarakat.15
Lebih lanjut, menurut laporan yang dibuat oleh Guardian, Bank Dunia
telah meningkatkan 3 kali lipat bantuannya untuk proyek penguasaan
tanah dengan total bantuan dana 6-8 miliar Dollar per tahun dalam
sepuluh tahun terakhir, meskipun tidak ada data yang tersedia berapa
banyak tanah yang berhasil dikuasai dengan dukungan dana sebesar
itu. Demikian juga perusahaan yang bergerak dalam bidang pertanahan
11 Lihat Laporan lengkap mengenai hal ini dalam, Down to Earth,”The Struggle for
Land,”Special Edition Newsletter no. 93-93, (December 2012), 10.
12 Idem.
13 Idem.
14 Idem.
15 World Bank: “Get out of land! Statement signed by Campagna per la Riforma della Banca
Mondiale,”Fian International, Focus on the Global South, Friends of the Earth International, Grain,
La Via Campesina, and the Transnational Institute (23 April 2012).
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 87
telah mengivestasikan dana sebanyak 600 juta Dollar untuk penguasaan
tanah seluas 0,7 juta hektar.
Oxfam (salah satu LSM) telah mendorong Bank Dunia agar
menghentikan aktivitas bisnisnya dalam perampasan tanah rakyat.
Oxfam ingin supaya pemerintah Inggris-salah satu pemegang saham
terbesar dari Bank Dunia mendorong hal ini dan menempatkannya
sebagai salah satu agenda penting dalam pertemuan G8 pada thn 2011
yang lalu; demikian juga Oxfam ingin supaya pemerintah Inggris
menekan masyarakat Uni Eropa agar mengalihkan sasaran agrofuel ke
sektor lain, karena hal ini menjadi kunci penggerak bagi penjarahan dan
perampokan tanah rakyat di negara-negara miskin.16
Selain Bank Dunia, dua organisasi dunia lainnya: Bank Eropa untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD) serta Organisasi Pangan sedunia
(FAO) juga menjadi sasaran kritik dari sejumlah LSM dunia. Suma
Chakrabarti (Direktur EBRD) dan Jose Graziano (Direktur FAO) dalam
artikelnya: “Lapar untuk investasi” yang dimuat dalam Wall Street Jour-
nal, sebelum dilangsungkannya pertemuan mengenai keputusan yang harus
diambil dalam hal agrobisnis, di Istambul, September 2012 yang lalu
menegaskan bahwa dunia memerlukan pangan yang lebih banyak lagi,
yang berarti lebih banyak lagi pangan yang harus dihasilkan dan dalam
kaitan dengan hal ini sektor swasta dapat menjadi “mesin utama” bagi
pertumbuhan sektor pertanian.
Dengan merujuk kepada perkembangan ekonomi di negara Eropa
Timur, Asia dan Afrika Utara, mereka mendorong investasi sektor swasta
lebih banyak lagi di negara-negara tersebut dalam hal penguasaan tanah
dan mendorong pihak pemerintah agar membuat kebijakan-kebijakan
yang mendukung investasi swasta dalam hal sektor pertanian dalam skala
besar yang berarti penguasaan lahan masyarakat. Berkaitan dengan hal
ini, mereka mengatakan: “Adalah tanggungjawab dari sektor investasi
swasta seluruh dunia untuk menyuburkan tanah-tanah pertanian yang
tidak produktif dengan uang ketika iklim investasi mendukung. Banyak
negara sangat merindukan investasi semacam itu dan investasi mereka
dapat membantu mempermudah kehidupan, khususnya bagi dunia yang
sedang dilanda kelaparan.17
6.2. Lembaga/Perusahaan Nasional
Di negara kita, perampasan tanah rakyat oleh perusahaan telah
melahirkan banyak kasus kekerasan yang melibatkan masyarakat dengan
16 The Guardian, (October 4, 2012), 10-15.
17 Wall Street Journal (Sept 6, 2012), 20-24.
88 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
aparat keamanan (TNI, POLRI) yang secara khusus disewa oleh pihak
perusahan. Di Mesuji, Lampung telah terjadi protes oleh masyarakat atas
“perampasan” tanah masyarakat yang melibatkan 2 perusahaan kelapa
sawit: PT Sumber Wangi Alam dan PT Barat Selatan Makmur Investindo
dan perusahaan negara yang bergerak dalam penanaman kayu, Silva
Inhutani yang mengakibatkan 4 orang meninggal.18
Korban meninggal
selama periode 2009-2011 sebanyak 30 orang.19
Di Bima, Nusa Tenggara
Barat, 3 orang ditembak mati dan 9 luka parah ketika Polisi dan Militer
menembak kerumunan masa yang berdemo secara damai memprotes
perampasan tanah pertanian penduduk oleh perusahaan tambang Aus-
tralia, PT Sumber Mineral Nusantara.20
Pada bulan yang sama di
Sumbawa, sekitar 50 rumah yang dihuni oleh keluarga Pekasa (penduduk
asli) dilaporkan telah dibakar oleh polisi dan militer, untuk mencegah
mereka menghuni lahan yang diklaim oleh pemerintah sebagai hutan
lindung dan sasaran eksplorasi dari perusahaan tambang emas Newmont
Nusa Tenggara.21
Badan Pertanahan Nasional melaporkan bahwa pada tahun 2011
telah terjadi konflik tanah sebanyak 2791, sementara Komisi Hak Asasi
Manusia mengatakan sebanyak 738 konflik tanah yang telah melahirkan
4502 pengaduan resmi berkaitan dengan perampasan hak warga.22
Sementara organisasi sipil memberikan detil yang lebih lengkap mengenai
perluasan dan jenis konflik tanah di Indonesia dewasa ini. KPA, salah
satu LSM yang menangani isu-isu agraria mencatat telah terjadi konflik
agraria sebanyak 163 di seluruh negeri selama tahun 2011, jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun 2010 yang berjumlah 106 konflik. 22
orang telah terbunuh dalam konflik itu yang melibatkan sebanyak 70.000
kepala keluarga dan 500. 000 hektar tanah. Kebanyakan kasus (60%)
terjadi pada bidang sawit, 22% pada hutan, 21% pada proyek
infrastruktur, 4% pada tambang. Jawa Timur adalah daerah yang pal-
ing tinggi (36 kasus) untuk kasus-kasus tersebut selama tahun 2011,
Sumatera Utara (25 kasus), Sulawesi Tenggara (15 kasus), Jawa Tengah
18 Kasus Mesuji, Pemerintah Belum Sentuh Akar Konflik’, KPA website: http://www.kpa.or.id/
?p=672, (23-11-2012).
19 Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis, KPA website: http://www.kpa.or.id/?p=636,
(23-11-2012).
20 Joint Press Release 24/Dec/11, Walhi. The Australian company is named as PT. Arc.
Exploartion Ltd.
21 Berita HUKUM.com, http://www.beritahukum.com/detail_berita, (24-12-2011).php?judul= Polisi+
Akui+Pembakaran+Puluhan+Rumah+Adat+Pekasa#.UK9vyGeXICo, (23-11-2012).
22 Energy, food and climate crises: are they driving an Indoensian land grab?, East Asia Fo-
rum, John McCarthy, http://www.eastasiaforum.org/2012/07/17/energy-food-and-climate-crises-
are-they-driving-an-Indonesian-land-grab, (17-07-2012).
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 89
(12 kasus), Jambi (11 kasus), Sumatera Selatan (9 kasus), Riau (1 kasus).23
Perusahan kaya di Indonesia menjadi pemain yang mengontrol
kepemilikan tanah secara massive untuk proyek-proyek: sawit, pabrik
kertas, tambang, minyak dan gas, logging, wisata dan properti. Di sini
cukup menyebutkan beberapa Konglomerat yang bermain dalam sektor
tersebut diatas: (1). PT Bakrie & Brothers Tbk memiliki 7 divisi, termasuk
sawit, tambang, minyak dan gas yang memiliki lokasi tanah yang sangat
luas. 1. Bakrie Sumatra Plantaions memiliki area sawit seluas 92.000 hektar,
ditambah 11. 438 hektar plasma, 18.921 hektar karet di Sumatera,
Kalimantan Selatan dan Tengah (data 2011). 2. Bumi Resources yang
bergerak dalam sektor batu bara menguasai lahan seluas 187. 181 hektar
di Kalimantan dan Sumatra, sementara konsesi tambang non batu bara
seluas 289.919 hektar di Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Selatan, Sumatra
Utara dan Nusa Tenggara Timur. Group ini juga mendapat konsesi lahan
di Mauritinia dan Liberia. 3. PT Energi Mega Persada Tbk bergerak dalam
bidang minyak dan gas, memperoleh konsesi seluas 28.000 km2 (sebagian
di lepas pantai). 4. Bakrieland Development yang bergerak dalam bidang
properti adalah Developer terbesar di pusat bisnis Jakarta yang telah
mengembangkan 53,5 hektar dan mengontrol 25% supply untuk
apartement. Selain itu, juga memiliki investasi dekat ibu kota dan 15. 000
hektar di lokasi-lokasi utama di daerah Jakarta, Bogor, Lampung dan
Balikpapan.
(2). Wilmar, perusahaan yang berpusat di Singapura bergerak dalam
bidang sawit menguasai tanah seluas 247.081 hektar, 74% diantaranya
berlokasi di Indonesia (Sumatra, Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah), 24% di Malaysia Timur dan 2% di Afrika. Dalam usaha untuk
menguasai tanah, perusahaan ini juga mengembangkan plasma seluas
38.021 hektar di Indonesia.
(3). PT Astra Agro Lestari Tbk (AAL) menguasai lahan perkebunan
sawit seluas 266.856 di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Menurut
Jakarta Globe, pada tahun 2012, perusahaan ini meraup laba bersih
sebanyak $15.8 miliar, naik dari tahun 2011 yang hanya $12.8 miliar,
menjadikannya sebagai peraih keuntungan terbesar di Indonesia.
(4). Royal Golden Eagle Group, dimiliki oleh Sukanto Tanoto bergerak
dalam bidang agrobisnis melalui anak perusahaan Asian Agri yang
menguasai lahan seluas 100. 000 hektar di Sumatra dan 60.000 ha dalam
skala lebih kecil; sementara melalui anak perusahaan APRIL yang bergerak
dalam pengelohan kertas, pada tahun 2010 berusaha untuk menguasai
hutan seluas 1.45 juta. Hutan itu termasuk 19% hutan lindung dan 25%
hutan rakyat yang melaluinya masyarakat menggantungkan hidupnya.
23 Joint Press Release, Catatan Akhir Tahun 2011, as above.
90 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
Dalam bidang energi menguasai 3 blok di Sumatra: Jambi Merang,
Kisaran yang mencakup area seluas 2.178 km2 dan Perlak di Aceh.
(5). Sinar Mas Group, dipimpin oleh Eka Tjipta Widjaya menguasai
lahan untuk sawit seluas 138.959 ha. Selain itu, melalui Sinarmas For-
estry yang bergerak dalam bidang pengolahan kertas beroperasi di
Kalimantan dan Sumatra menguasai lahan seluas 1.4 juta ha. (6) Salim
Group menguasai lahan sawit seluas 216.837 ha, 38.152 untuk karet,
gula dan tanaman lainnya. (7) Korindo Group menguasai 56.217 ha untuk
sawit dan 97.850 ha.24
7. Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap
Data-data diatas jelas menunjukkan pelaku perusak hutan di tanah
air kita adalah perusahaan pemilik modal skala besar (Konglomerat)
yang bisa melobi pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan
izin penguasaan lahan yang luas serta mampu membayar aparat
keamanan untuk melindungi kepentingan mereka. Karena itu, tuduhan
bahwa rakyat kecil adalah perusak alam/hutan adalah tuduhan yang
tidak memiliki dasar sama sekali, sekadar pengalihan isu. Demi uang,
rakyat selalu menjadi korban atau sengaja dikorbankan oleh para
penguasa yang bersekongkol dengan pemilik modal dan aparat keamanan.
Berbagai data konflik yang disajikan diatas menegaskan kenyataan
tersebut. Harus dicatat bahwa data yang disajikan itu sifatnya masih
terbatas, artinya belum merekam semua konflik tanah yang terjadi antara
rakyat dengan pengusaha/aparat keamanan. Namun demikian, hal
tersebut sudah dapat menggambarkan secara jelas bahwa rakyat kecil
selalu menjadi korban kepentingan para pemodal yang didukung oleh
aparat keamanan. Aparat keamanan yang seharusnya berperan sebagai
pengaman dan pengayom masyarakat justru berbalik menjadi pengayom
dan pengabdi kepentingan modal dan pembunuh rakyat jelata.
Masuknya para investor besar ke Kalimantan selalu disertai dengan
janji manis akan mensejahterakan masyarakat setempat; namun fakta
menunjukkan bahwa tidak ada dampak perbaikan ekonomi atau
perbaikan taraf hidup masyarakat setempat dimana perusahan itu sedang
bereksplorasi. Dengan kata lain, kehadiran perusahaan tidak berbanding
lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Keadaan justru sebaliknya.
Masyarakat semakin miskin dan menderita. Mengapa? Karena tanah
mereka telah “dirampas” oleh pihak investor yang sekali lagi memanfaat-
kan jasa aparat keamanan, preman dan perangkat pemerintah setempat,
mulai dari Bupati, Camat, Kepala Desa sampai kepada Ketua Adat untuk
24 Data diambil dari “The Struggle for land”, DTE Special Edition Newsletter no 93-94, (Decem-
ber 2012), 19-20.
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 91
memaksa rakyat menyerahkan tanah mereka kepada pihak perusahan.
Satu-satunya kekayaan yang mereka miliki, yakni tanah warisan
leluhur sudah lepas, lalu apa yang menjadi jaminan bagi hidup dan masa
depan mereka? Kalaupun dipekerjakan-karena keterbatasan skill, mereka
hanya menjadi pekerja “pinggiran” dengan upah yang tidak cukup untuk
mampu membiaya keperluan keluarga. Segala sesuatu harus dibeli,
sementara ketika masih punya tanah mereka tidak pernah berpikir untuk
membeli beras, lauk pauk, sayur mayur karena semuanya itu dapat
mereka peroleh dari tanah garapan atau dari hutan yang menyediakan
semua keperluan hidup mereka. Situasi seperti itu sudah tinggal masa
lalu yang harus mereka ratapi.
Selain berdampak pada kehidupan ekonomi warga, masuknya
perusahaan-perusahaan itu juga membawa dampak bagi kesehatan
warga. Air, udara dan lingkungan hidup sudah tercemar oleh substansi
kimia yang dipakai dalam tambang dan perkebunan sawit. Air sudah
diracuni dengan mercuri dan limbah pupuk kimia sehingga tidak layak
untuk diminum, ikan-ikan sungai mati. Dampak lain, sumber-sumber
air/mata air sudah kering karena disedot oleh tanaman sawit yang
dikenal sebagai tanaman yang rakus dengan air. Akibatnya, panduduk
mengalami kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan rumah
tangga dan MCK. Keterbatasan penghasilan tidak memungkinkan mereka
untuk membeli air bersih, akibatnya mereka terpaksa minum dan
menggunakan air yang sudah terkontaminasi itu untuk pelbagai
keperluan. Akibat berikutnya adalah kesehatan. Berbagai macam
penyakit muncul: sakit kulit, gatal-gatal, diare, sesak pernapasan, dll.
Mana janji perusahaan menyejahterakan masyarakat?
Itulah dampak sosial-ekonomi yang mungkin tidak pernah dipikirkan
atau memang sengaja tidak mau dipikirkan oleh para investor, pihak
pemerintah dan aparat keamanan. Motif untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya (hukum ekonomi) dengan ongkos yang sekecilnya
adalah motivasi utama yang menggerakkan mereka untuk melakukan
semuanya ini. Nasib rakyat kecil serta rusaknya lingkungan tidak menjadi
perhatian. Inilah bentuk kejahatan kemanusiaan yang secara sistematis
dilakukan oleh para pemodal dan penguasa di zaman modern sekarang
ini. Siapa yang peduli dengan nasib rakyat kecil yang hanya dilihat
sebagai jumlah angka dan bukan sebagai pribadi dan stakeholder dari
kekayaan negara ini? Dengan melihat semua data yang tersaji ini, kiranya
tidaklah salah ketika judul tulisan ini dibuat demikian: Hutan dibabat,
rakyat melarat, masa depan gelap!
8. Gereja Terpanggil untuk Bertindak
Berhadapan dengan situasi demikian itu, Gereja tidak bisa berdiam
diri, seolah-olah itu bukan masalah yang perlu direspon atau bukan
masalah yang bersentuhan dengan sisi kehidupan Gereja.25
Sebaliknya,
sebagai Pewarta Kabar Gembira, Gereja dipanggil untuk berbuat
sesuatu, menunjukkan sikap belarasa dan solidaritas26
terhadap
masyarakat terdampak, entah secara langsung melalui tindakan nyata,
misalnya mendampingi masyarakat terdampak melalui program advokasi
dan penguatan (empowerment) atau melalui suara kenabian: Surat
Gembala yang menunjukkan bahwa Gereja ada bersama dengan
masyarakat terdampak. Pada poin ini, Gereja telah berbuat banyak.
Melalui komisi Justice and Peace, Gereja (baca Gereja di Regio Kalimantan)
telah melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk medampingi
dan memperkuat posisi masyarakat agar memiliki daya tawar yang kuat
dalam bernegosiasi dengan pihak investor dan aparat keamanan serta
penguasa setempat terkait dengan upaya untuk mempertahankan hak
atas tanah.
Selain itu, pendampingan ini juga dimaksudkan untuk menyadarkan
masyarakat (proses konsientisasi) akan hak-hak yang melekat pada diri
mereka dan berjuang untuk mempertahankannya. Pertemuan gabungan
dua Komisi: PSE, JPIC dan Lembaga Kemanusiaan Caritas, baik pada
tingkat Propinsi Grejawi (Samarinda dan Pontianak) maupun tingkat
Regio Kalimantan yang secara rutin bertemu sekali setahun,telah
membicarakansecara bersama langkah-langkah kongkret yang perlu
diambil untuk sisi penguatan dan advokasi masyarakat.27
Berbagai usulan
dan rekomendasi telah dihasilkan dalam pertemuan tersebut yang
semuanya mengarah kepada satu hal: perlunya penguatan masyarakat
agar memiliki daya tahan (resiliensi) dalam menghadapi para investor
yang rakus. Cukup untuk menyebut beberapa program yang disepakati
untuk dilaksanakan dalam pertemuan-pertemuan tersebut: mendorong
masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong dengan tanaman jangka
pendek: menanam sayur-sayuran, buah-buahan khas Kalimantan
(durian, cempedak, rambutan) maupun jangka panjang seperti: menanam
25 Bdk. Hasil akhir pertemuan Komisi PSE, JPIC dan Caritas Regio Kalimantan, tgl 4 – 8 Juni
2012 di Tanjung Selor yang menegaskan keterlibatan Gereja dalam hal kepeduliaan terhadap
keutuhan alam ciptaan adalah suatu imperatif moral yang harus dilakukan dalam
kehidupannya.
26 Sikap solidaritas Gereja terhadap kaum lemah, menjadi pembahasan dalam SAGKI 2005
dan dituangkan dalam keputusan SAGKI 2005, no. 4-6.
27 Lihat Hasil final pertemuan tahunan Komisi PSE, Justice Peace and Integration of Creation
(JPIC) dan Lembaga Kemanusiaan Caritas Sub-Regio Kalimantan Timur dan Regio
Kalimantan,19-23 Juni 2018 dengan judul: Bergerak bersama menuju Kalimantan Baru, yang
merekomendasikan agar seluruh Keuskupan yang ada di Regio Kalimantan untuk
melakukan advokasi bagi masyarakat agar memiliki daya tahan dalam memperjuangkan
hak-hak atas tanah milik berhadapan dengan para investor.
92 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
karet, jati, sengon dengan maksud supaya masyarakat tidak mudah
tergoda untuk menjual tanah kepada para investor.
Dalam pertemuan 2018 sudah disepakati bahwa Propinsi Grejawi
Samarinda menetapkan tanaman Sengon sebagai prioritas dalam upaya
pelestarian alam dan peningkatan ekonomi masyarakat. Keuskupan
Palangka Raya bahkan sudah melangkah selangkah lebih kongkrit dalam
merealisasikan program ini, yaitu dengan mengalokasikan dana APP
Keuskupan untuk pembelian bibit Sengon. Seluruh paroki yang berjumlah
25 telah bergerak bersama-sama untuk mewujudkan program bersama
ini. Program ini sepenuhnya mendapat dukungan dari Keuskupan
sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Sinode Keuskupan Palangka
Raya 2018.28
Tujuan program budidaya Sengon ini bersifat ganda. Di
satu sisi, melalui budidaya tanaman ini masyarakat mendapatkan
keuntungan ekonomis, dari sisi lain ikut ambil bagian dalam pelestarian
alam. Tentu, dengan harapan setelah melihat manfaat nyata dari
budidaya tanaman tersebut, masyarakat tidak akan tergiur untuk menjual
tanahnya kepada para investor, sebaliknya memanfaatkannya sebagai
lahan untuk budidaya tanaman produktif, diantaranya tanaman Sengon.
Bila maksud ini tercapai, maka peran Gereja dan masyarakat dalam
melestarikan alam akan semakin menjadi kenyataan.
Pada tataran yang lebih otoritatif, para Uskup Regio Kalimantan
telah mengeluarkan Surat Gembala dengan judul: “Marilah Melindungi
Bumi Rumah Kita Bersama”29
Walaupun isinya lebih dominan pada
upaya penyelamatan bumi sebagai rumah bersama, namun dalam surat
Gembala itu juga nampak jelas keprihatinan pimpinan Gereja terhadap
marjinalisasi yang dialami oleh masyarakat lokal. Akibat maraknya usaha
pertambangan dan perkebunan Sawit, masyarakat kecil, masyarakat
lokal semakin mengalami proses pemiskinan berhubung lahan, sumber
kehidupan mereka sudah terjual dan dirampas oleh para investor.
Akibatnya, mereka hanya menjadi buruh kasar (unskilled) dengan
pendapatan yang kecil. Dengan kondisi semacam ini, sulit memenuhi
kebutuhan pokok, apalagi harus membiayai pendidikan anak-anak.
Mereka menjadi “terasingkan”di tanah sendiri.
Usaha penyelamatan bumi perlu dibuat karena alam sudah dirusak
oleh manusia-manusia rakus yang hanya mengejar keuntungan sesaat,
28 Lihat Keputusan Sinode Keuskupan Palangka Raya, pada poin Gereja yang Peduli
Lingkungan Hidup, no. 1-5.
29 Surat Gembala Para Uskup Regio Kalimantan, Marilah Melindungi Bumi, Rumah Kita Bersama(24
Februari 2016). Lihat juga Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiscus, khususnya Bab I yang
berisi tinjauan tentang kerusakan ekologi yang terjadi di seluruh dunia. Dalam ensiklik ini
Paus mengritik konsumerisme dan pembangunan yang tak terkendali, menyesalkan
terjadinya kerusakan lingkungan dan pemanasan global, serta mengajak semua orang di
seluruh dunia untuk mengambil “aksi global yang terpadu dan segera”.
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 93
tetapi tidak memperhatikan kerusakan jangka panjang yang akan muncul
akibat tindakannya itu. Kerusakan alam adalah konsekuensi logis dari
maraknya usaha pertambangan (minings) dan perkebunan Sawit (plant
plantations)yang menghancurkan ribuan hektar alam beserta kekayaan
hayati yang terkandung didalamnya. Dalam usaha untuk mengakuisisi
lahan yang luas untuk keperluan bisnis tersebut, tindakan intimidasi dan
perampasan tanah masyarakat lokal oleh para investors menjadi per-
soalan serius yang perlu disikapi oleh Gereja. Pada titik ini, Gereja
dipanggil untuk menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat kecil,
suara kenabian Gereja harus digaungkan meski tidak selalu mendapatkan
respon yang positif dari masyarakat luas.
Keberpihakan Gereja terhadap masyarakat yang mengalami situasi
yang demikian itu adalah suatu panggilan yang harus dilaksanakan
sebagai wujud nyata dari keberpihakan Gereja terhadap kaum lemah,
terpinggirkan dan tertindas (option for the poor). Selain melalui gerakan
advokasi, Gereja juga melakukan pendampingan kepada masyarakat
terkait dengan pilihan bercocok tanam. Dengan bertolak dari situasi
kongkret serta kearifan lokal yang ada, Gereja mendorong masyarakat
untuk menanam tanaman karet. Tanaman karet adalah tanaman yang
sangat familiar dengan masyarakat lokal (Dayak) dan tidak memerlukan
perawatan yang rumit seperti tanaman lainnya: padi. Selain menanam
karet, masyarakat juga diajak untuk membudidyakan tanaman lain
seperti yang sudah diuraikan diatas. Dengan tanaman karet masyarakat
mendapat dua keuntungan, baik ekonomi maupun penghijauan lahan.
Secara ekonomi, getah karet dapat diperjual belikan sebagai sumber
penopang kehidupan, sedangkan dari sisi penghijauan, masyarakat telah
ikut secara nyata mewujudkan seruan apostolik Paus Fransiscus untuk
memelihara dan marawat bumi ini.
Terkait dengan upaya pelestarian alam, Paus mengajak semua pihak
untuk terlibat didalam karya yang besar ini. Secara kongkret, keterlibatan
bersama itu diwujudkan melalui dialog konstruktif dengan semua pihak
yang mempunyai kepeduliaan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Lebih jauh Paus menegaskan: “Saya mengundang dengan mendesak agar
diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan
planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang,
karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya,
menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua. Gerakan ekologi
diseluruh dunia telah membuat kemajuan besar dan berhasil membentuk
berbagai organisasi yang berkomitmen meningkatkan kesadaran terhadap
tantangan-tantangan ini...”30
30 Bdk. Esiklik Laudato Si, 14 yang berbicara secara khusus tentang upaya-upaya kongkret
yang harus dilakukan untuk memelihara keutuhan alam ciptaan dan mengajak semua
pihak untuk terlibat dalam pekerjaan yang besar ini.
94 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
Seruan Paus itu telah ditanggapi secara serius oleh Gereja lokal
Kalimantan.31
Menyadari bahwa upaya pelestarian lingkungan hidup
adalah perkara yang besar, tentu tidak bisa dikerjakan oleh institusi Gereja
semata. Oleh karena itu, Gereja lokal Kalimantan (baca Hirarki) melibat-
kan banyak pihak yang memiliki kepedulian yang sama terhadap
keutuhan alam ciptaan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat maupun
NGO yang menjadi mitra kerja antara lain: WALHI (Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nasional), JPIC
Kalimantan, Jaringan Tambang (JATAM), Komisi (PSE, JPIC dan Karina)
KWI, lembaga masyarakat Adat yang ada di Kalimantan serta pribadi-
pribadi dari berbagai latar belakang agama, suku dan bahasa. Kerjasama
ini dilakukan, baik pada tataran pembahasan ide-ide melalui rapat rutin
dan pertemuan tahunan maupun pada tataran praksis, seperti pen-
dampingan dan pembelaan terhadap masyarakat terdampak melalui
program advokasi, penyuluhan serta pendampingan langsung di
lapangan, misalnya dalam hal budidaya tanaman Sengon dan Karet
unggul. Melalui semua kegiatan itu, Gereja menunjukkan keberpihakan
kepada masyarakat lokal yang terdampak dan pada saat yang sama ambil
bagian secara aktif dalam pemeliharaan bumi sebagai rumah bersama,
sebagaimana yang diamanatkan oleh Paus Fransiscus dalam Ensiklik
Laudato Si.
9. Simpulan
Keberpihakan Gereja terhadap masyarakat lokal yang dalam konteks
ini disebut sebagai pihak terdampak, akibat masifnya penetrasi industri
tambang (minings) dan perkebunan (palm plantation) kedalam wilayah
kehidupan mereka adalah suatu panggilan yang seyogyanya ditanggapi
dengan gembira. Dari hakekatnya, Gereja memang dipanggil oleh Sang
Guru untuk mengambil sikap dan pilihan yang jelas yakni keberpihakan
terhadap kaum lemah, miskin dan tersingkirkan sebagaimana yang
diteladankan oleh Sang Guru (bdk. Luk 4, 18-21). Tugas keberpihakan
ini menjadi bermakna ketika ditempatkan dalam konteks pewartaan kabar
gembira sebagai tugas utama dan pertama Gereja. Dalam mengemban
tugas pewartaan itu, Gereja terpanggil untuk melaksanakan tugas itu
tidak saja melalui perayaan liturgi dan pengajaran, tetapi juga melalui
aksi dan tindakan kongkret berupa pendampingan serta kepedulian
terhadap mereka yang tersisih, miskin dan menderita. Warta gembira
31 Bdk. Surat Gembala Para Uskup Kalimantan: Marilah Melindungi Bumi, Rumah Kita
Bersama, 24 Februari2016. Melalui Surat Gembala ini, Gereja Kalimantan mengajak semua
pihak untuk memelihara Bumi sebagai rumah bersama agar tetap layak menjadi tempat
tinggal manusia dan tetap menjadi “sumber” yang menopang kehidupan masyarakat.
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 95
itu harus dibuat juga menjadi warta gembira bagi mereka dalam situasi
dan kondisi kekinian yang mereka hadapi. Pada poin ini kehadiran Gereja
menjadi krusial.
Menyadari bahwa tugas tersebut adalah tugas yang besar dan
kompleks, maka Gereja memerlukan kehadiran lembaga-lembaga, orang-
orang lain yang memiliki kehendak dan kepedulian yang sama terhadap
masyarakat terdampak itu. Kerjasama dengan banyak pihak menjadi
keharusan dalam upaya mewujudkan dan menterjemahkan misi
pewartaan itu menjadi misi penyelamatan yang kongkret bagi pihak
terdampak. Pentingnya membangun kerjasama serta dialog itu ditegaskan
dengan sangat baik oleh Paus Fransiscus dalam Ensiklik Laudato Si, no.
14. Dalam nomor 4 ini, Paus mengajak untuk membangun dialog, suatu
dialog yang melewati sekat-sekat pemisah: agama, suku, bangsa dan
bahasa dengan satu maksud agar tujuan mulia, yakni keberpihakan
terhadap masyarakat terdampak serta perawatan bumi sebagai rumah
bersama dapat terwujud. Untuk itu, Gereja diharapkan bersedia untuk
membuka diri dan mengulurkan tangan dalam membangun kerjasama
dengan pelbagai pihak demi pelaksanaan misi mulia itu, yakni
menghadirkan dan mewujudkan Kabar Gembira keselamatan, hic et
nunc!
Bibliografi
Almutahar, Hasan. Respon Petani Dayak Kandayan Terhadap Teknologi
Pertanian. Bandung: Tesis Magister, Program Pascasarjana UNPAD,
1995.
Arman, Syamsuni. ”Analisa Budaya Dayak.”Kebudayaan Dayak:
Aktualisasi Dan Transformasi. Paulus Florus (ed.,). Jakarta: Grasindo
Utama, 1994.
_____. Bangkit dan Bergeraklah. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indo-
nesia (SAGKI 2005). Jakarta: 2005.
Dove, Michael R. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan
Barat. Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1988.
Fransiscus. Laudato Si. Vatikan: 2016.
Mering, Ngo.”Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan
Orang Kayan di Kalimantan Barat”. Prisma No. 4 Tahun XVIII (1989).
Komisi PSE, JPIC, Caritas Regio Kalimantan. Hasil-Hasil Pertemuan
tahunan 2011-2018: Isu-Isu Perusakan Alam dan Upaya-Upaya
Pemberdayaan Masyarakat. Manuscrift.
Komisi PSE, Justice Peace and Integration of Creation (JPIC) dan Lembaga
Kemanusiaan Caritas Sub-Regio Kalimantan Timur: Isu-Isu Krusial
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Hasil Pertemuan Tahunan 2011-
96 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 19 No. 1, April 2019
2017, Manuscrift.
_____. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1985.
Sellato, Bernard.Naga dan Burung Enggang. Hornbill and Dragon, Aquitaire
Indonesia: ELF, 1989.
_____. Marilah Melindungi Bumi, Rumah Kita Bersama. Uskup Regio
Kalimantan, Surat Gembala (24 Februari 2016).
World Bank: “get out of land!” Statement signed by Campagna per la
Riforma della Banca Mondiale, FIAN International, Focus on the
Global South, Friends of the Earth International, GRAIN, La Via
Campesina, and the Transnational Institute (23 April 2012).
Website http://www.kpa.or.id/?p=672, (23-11-2012).
http://www.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Polisi+Akui+
Pembakaran+Puluhan+Rumah+Adat+Pekasa#.UK9vyGeXICo, (23-11-
2012).
http://www.eastasiaforum.org/2012/07/17/energy-food-and-climate-crises-are-
they-driving-an-Indonesian-land-grab.
I Ketut Gegel, Hutan Dibabat, Masyarakat Melarat, Masa Depan Gelap 97