terapi gatifloxacin pada demam enterik
DESCRIPTION
internaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Demam enterik (Salmonella typhi dan S. Paratyphi) sudah mengenai 26
juta manusia terutama populasi usia muda. Resistensi terhadap pengobatan
demam enteric mulai banyak ditemukan dan tersebar luas sehingga terdapat
beberapa pilihan pengobatan demam enterik agar pemberiannya lebih efektif
dan mencegah “carrier”. Tidak ada antibiotik khusus yang dikembangkan
untuk pengobatan demam enteric. Beberapa negara menggunakan vaksin
hypoid untuk mengurangi kemungkinan terkena demam enterik.
MDR (keadaan resisten terhadap kloramfenikol, ampicillin dan
kotrimoksazole) dan resistensi terhadap asam nalidixat (berkurangnya
sensitivitas terhadap fluorokuinolon klasik seperti ofloxacin dan
ciprofloxacin) sudah tersebar luas. Resistensi menyebabkan kegagalan terapi
dan carrier, peningkatan resiko komplikasi, dan peningkatan potensial
terhadap penularan.
Terdapat fakta baik dari beberapa penilitian yang dilakukan secara
“randomized controlled trial” bahwa gatifloxacin dapat digunakan secara luas
di semua daerah endemik.
Satu butir tablet gatifloxacin per hari efektif dan aman untuk pengobatan
demam enterik, termasuk demam enterik dengan MDR dan resisten terhadap
asam nalidixat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Demam Enterik
a. Definisi
Demam enterik atau yang biasa disebut dengan demam typhoid adalah penyakit akut berhubungan dengan demam yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.
Bakteri tersebut terdapat dalam makanan dan air yang tercemar. Penularannya melalui oral-fekal.
b. Epidemiologi
Demam demam tifoid dan paratifoid atau yang disebut dengan demam enterik adalah penykit disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella enterica serovar Typhi (S. typhi) dan Salmonella enterica serovar Paratyphi (S. paratyphi) A, B dan C. Sementara infeksi S. typhi dan S. paratyphi A dan B dibatasi untuk manusia, S. paratyphi C terdapat pada hewan. Demam enterik merupakan penyakit endemik di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan dan ditemukan di bagian Timur Tengah, Eropa selatan dan timur. Perbaikan infrastruktur dan sanitasi telah hampir mengeliminasi demam tifoid di negara maju dan infeksi terlihat di Eropa, Australia, dan Amerika Utara biasanya diperoleh di luar negeri (sebagian besar dari anak benua India, Asia Tenggara dan Amerika Selatan). Estimasi saat ini dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa beban global demam tifoid adalah sekitar 21 juta kasus per tahun dengan lebih dari 210.000 kematian dan bahwa demam paratifoid menyebabkan tambahan 5 juta kasus. Angka-angka ini didasarkan pada ekstrapolasi data
2
dari 22 penelitian yang menggunakan kultur darah yang merupakan gold standard untuk diagnosis demam tifoid. Banyak lembaga di negara-negara endemik kekurangan fasilitas kultur darah dan sensitivitas kultur darah kurang dari 50%. Penularan demam tifoid terjadi melalui rute faeco-oral dengan mengkonsumsi air dan makanan yang terkontaminasi secara langsung. Pada daerah endemis demam enterik adalah penyakit yang mengenai dari anak-anak sekolah sampai dewasa muda. Sebuah laporan WHO memperkirakan tingkat kematian kasus demam enterik pada 1% (7). Kontributor paling penting untuk hasil yang buruk adalah keterlambatan dalam pengobatan antibiotik yang tepat dibuat lebih mungkin dengan kehadiran strain resisten obat di masyarakat. Distribusi geografis S. typhi dan daerah multi-obat dan nalidix tahan asam.
c. Gejala Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 – 14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai
dengan komplikasi hingga kematian.
3
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan
dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga
malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput (coated tongue),
hepatomegaly, splenomegaly, meteorismus, gangguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.
d. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella
paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menebus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat
di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bacteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di
luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bacteremia kedua dengan disertai tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu di ekskresikan secara
“intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui
4
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik semeperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel MN di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapt berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
5
e. Pemeriksaan Penunjang
i. Pemeriksaan Darah Rutin
Pada penderita demam enterik, sering ditemukan leukopenia tetapi
bisa juga terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula
dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia. Laju endap darah pada pemeriksaan demam tifoid dapat
meningkat.
SGOT dan SGPT setingkali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
ii. Pemeriksaan Kultur Darah
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1). Telah mendapat terapi
antibiotic. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat
antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan
hasil mungkin negative; 2). Volume darah yang kurang (diperlukan
kurang lebih 5cc darah). Ila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil
6
biakan bisa menjadi negative. Darah yang diambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall)
untuk pertumbuhan kuman; 3). Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa
lampau menimbulakn antibody dalam darah pasien. Antibody ini dapat
menekan bacteremia hingga biakan darah dapat menjadi negative; 4).
Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.
iii. Pemeriksaan Serologi
Uji Widal
Dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspense salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan
adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid,
yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagella
kuman), dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semaking tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu: 1).
Pengobaatan dini dengan antibiotic, 2). Gangguan pembentukan
antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah,
4). Daerah endemic atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi, 6).
Reaksi anamnestic, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi
bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi. 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat
aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk
suspense antigen.
IgM Anti Salmonella
Pemeriksaan IgM dapat dilakukan pada pasien dengan demam > 3
hari.
7
f. Penatalaksanaan
i. Non Farmakologi
Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan professional berutjuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar
akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet Lunak dan Rendah Serat
Diet lunak dan rendah serat perlu diberikan agar kerja dari lambung
dan usus tidak begitu berat dalam masa pemulihan.
ii. Farmakologi
Tidak ada pedoman khusus dari WHO tentang pengobatan demam
enterik, hingga pada tahun 2003 WHO mengeluarkan pedoman tentang
demam tifoid, yang salah satunya berisi tentang penatalaksanaan.
Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama
untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500
mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan
sampai dengan 7 hari bebas demam. Penyuntikan intramuskulat tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
8
tempat suntikan terasa nyeri. Berdasarkan pengguanaan, rata-rata
kloramfenikol dapat menurunkan demam dalam waktu 7,2 hari.
Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastic lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam
rata-rata menurun pada hari ke – 5 atau hari ke – 6.
Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet = sulfametoksazole
400 mg dan trimethoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan Amoxicilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
antara 50 – 150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
Sefalosporin Generasi ketiga
Hingga saat ini yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah
seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3 – 4 gram dalam
dextrose 100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
diberikan selama 3 sampai 5 hari.
Golongan Fluoroquinolon
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
- Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloxacin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari
2. Gatifloxacin
9
a. Pendahuluan
Asam nalidiksat, prototipe 4 - antibiotik kuinolon ditemukan pada
tahun 1962 adalah aktif terhadap bakteri gram negatif dan hanya mencapai
serum rendah dan jaringan konsentrasi. Hampir 20 tahun kemudian,
penambahan molekul fluor pada posisi C6 menciptakan fluoroquinolones.
Substituen 6-fluoro menciptakan spektrum yang lebih besar dari aktivitas
terhadap Gram negatif dan Gram positif patogen, mungkin dengan
meningkatkan penetrasi jaringan dan mengikat enzim DNA girase.
Ciprofloxacin dan Ofloxacin (fluoroquinolones generasi kedua) memiliki
aktivitas yang sangat baik terhadap organisme Gram negatif. Karena
ketersediaan dan keterjangkauan, ofloksasin telah banyak digunakan untuk
pengobatan demam tifoid. Namun selama beberapa tahun terakhir strain
resisten terhadap asam nalidiksat telah muncul dan menyebar luas. Strain
ini jauh lebih rentan terhadap ciprofloxacin dan ofloxacin dengan pasien
yang menderita time clearance fever berkepanjangan, kegagalan klinis dan
“carrier”. Oleh karena itu efektivitas kedua obat ini telah menurun
meninggalkan beberapa pilihan untuk pengobatan di daerah dengan multi-
drug resisten dan tahan asam nalidixat. Gatifloksasin adalah spektrum
yang luas fluorokuinolon 8-metoksi dengan aktivitas ditingkatkan terhadap
organisme gram positif, yang telah menerima US Food and Drug
Administration (FDA) persetujuan pada tahun 1999. Ini fitur sekelompok
siklopropil pada posisi 1 sama dengan ciprofloxacin. Penambahan gugus
metoksi pada posisi 8 target kedua topisomerase II dan IV dan mungkin
mencegah (atau penundaan) perkembangan resistensi kuinolon.
Fluoroquinolones dianggap agen bakterisida dan memiliki sangat baik
dalam kegiatan vitro terhadap berbagai organisme gram positif dan gram
negatif. Kuinolon cepat menghambat sintesis DNA bakteri, menyebabkan
kematian sel yang cepat. Target untuk fluoroquinolones adalah enzim
topisomerase bakteri, girase DNA (topoisomerase II) dan topoisomerase
IV.
b. Definisi
10
Gatifloksasin (gatifloxacin) adalah antibiotik golongan
fluorokuinolon generasi ke 4 yang mempunyai spektrum luas, aktif
terhadap bakteri gram negatif maupun gram positif.
c. Mekanisme Kerja
Gatifloxacin menghambat dua enzim bakteri yaitu: DNA girase
(membantu untuk replikasi DNA dan perbaikan DNA, yang merupakan
target utama bagi bakteri gram negative) dan Topoisomerase IV
(membantu sel bakteri bereplikasi, yang merupakan target utama bagi
bakteri gram positif).
Mekanisme utama resistensi kuinolon pada S. Typhi adalah
akumulasi substitusi asam amino dalam bakteri enzim sasaran girase
DNA. Perubahan yang paling umum diidentifikasi telah menjadi serin
untuk substitusi fenilalanin pada posisi 83 dari gyrA. mutasi ini
difokuskan di sekitar wilayah yang disebut wilayah resistensi kuinolon
menentukan (QRDR). The QRDR dari gyrA dekat tirosin pada posisi 122,
situs aktif enzim, yang kovalen terkait dengan DNA selama untai
kerusakan. Mutasi titik tunggal di gyrA S. Typhi menyebabkan resistensi
asam nalidiksat (MIC ≥ 32 mg / ml) dan mengurangi kerentanan terhadap
fluoroquinolones generasi tua. Isolat tunggal tahan sepenuhnya
fluorokuinolon S. Typhi dan S. paratyphi A telah dilaporkan dari India.
Resistensi fluorokuinolon tingkat tinggi terlihat dalam S. Typhi ini
(ciprofloxacin MIC ≥ 4 mg / ml) isolat dianugerahkan oleh mutasi ganda
dalam gyrA dan mutasi tunggal di parc. Gatifloksasin mengikat dengan
afinitas yang lebih besar untuk QRDR dan kurang rentan terhadap mutasi
ini tetap efektif terhadap strain tersebut.
d. Farmakodinamik
Gatifloxacin merupakan antibiotic sintetik berspektrum luas yang
digunakan secara oral dan intravena. Bekerja sebagai penghambat replikasi
DNA, sehingga gatifloxacin termasuk dalam golongan bakterisid. Afinitas
terhadap DNA girase bakteri 100x lebih besar daripada pada mamalia.
e. Farmakokinetik
Absorpsi
11
Penyerapan terjadi 1 – 2 jam setelah pemberian obat, dengan
bioavailabilitas 96% dan tidak dipengaruhi oleh makanan.
Distribusi
Gatifloxacin terdistribusi baik pada jaringan dan terkonsentrasi di empedu.
Volume distribusi > 1.8kg/L dan 20% protein serum binding. Konsentrasi
gatifloxacin cukup tinggi pada makrofag alveolus dan parenkim paru (26,5
dan 4,09 x konsentrasi plasma). Berpenetrasi baik di intraseluler.
Gatifloxacin memiliki konsentrasi pada serebrospinal lebih tinggi
dibanding dengan fluoroquinolone yang lain (0.36 kali konsentrasi serum).
Metabolisme
Di kantung empedu.
Eliminasi
Waktu paruh eliminasi gatifloxacin adalah 7 – 14 jam dengan lebih dari
70% terekskresi setelah 48 jam.
f. Indikasi
Untuk pengobatan demam enterik dan infeksi enteritis yang disebabkan
oleh Salmonella sp.
g. Kontraindikasi
Penderita Diabetes Mellitus
Pada penelitian yang dilakukan dengan cara Randomised
Controlled Trial, hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar
gula dalam darah pada hari ke – 2 sampai hari ke – 7, sehingga
Gatifloxacin tidak dianjurkan untuk penderita DM dan pasien geriatric
resiko tinggi.
12
Ibu Hamil, Menyusui dan Anak-anak
Gatifloxacin tidak dianjurkan untuk ibu hamil, ibu menyusui dan
anak-anak. Penggunaan pada anak-anak masih sedikit kontroveresial,
tetapi sejak golongan quinolones dapat menyebabkan arthropati pada
anak-anak, sebaiknya penggunaan gatifloxacin tidak diberikan pada anak-
anak.
h. Dosis dan Sediaan
Tablet: 200 mg, 400 mg.
Anak dan Dewasa : 10 mg/kgBB per oral (maksimal 600mg / hari) setiap
24 jam selama 7 hari.
BAB III
KESIMPULAN
13
Gatifloksasin merupakan antibiotik fluoroquinolone generasi keempat,
bekerja menghambat enzim bakteri DNA girase dan topoisomerase IV.
Gatifloksasin umumnya ditoleransi dengan baik. Secara umum dengan semua
antibiotik spektrum luas, gangguan pencernaan mungkin ditemui.
Fluoroquinolones juga diketahui memiliki sejumlah efek samping yang dianggap
umum, meskipun keparahan ini bervariasi antara senyawa. Ini termasuk efek pada
konduksi jantung, pembentukan kolagen (missal: tendon pecah), photosensitivity,
dan dysglycaemia. Sementara yang lain generasi fluorokuinolon 4,
moksifloksasin, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap repolarisasi jantung
(perpanjangan interval QT). Sebaliknya, efek dysglycaemic (hipoglikemia pada
awal pengobatan, diikuti kemudian oleh hiperglikemia) yang paling sering
dilaporkan dengan gatifloksasin. Petunjuk efek gatifloxacin terkait pada
homeostasis glukosa pertama kali dicatat selama pengembangan praklinis. Studi
praklinis yang diberikan hingga 19 kali dosis 400 mg sampai 6 bulan
menunjukkan dosis penurunan pelepasan insulin di pankreas β-sel di semua
spesies terkait yang dipelajari. Tak lama setelah gatifloxacin diperkenalkan,
laporan kasus efek pada homeostasis glukosa mulai muncul. Pasien diidentifikasi
sebagai "berisiko" termasuk mereka dengan terapi diabetes non-insulin-dependent
dan pasien lansia dengan penurunan fungsi ginjal.
Singkatnya, data ini menunjukkan mekanisme dysglycemia terkait dengan
pemberian gatifloxacin, pasien dengan resiko tinggi seperti penderita diabetes
yang sedang menjalani pengobatan OHO, dan pasien lanjut usia dengan
penurunan fungsi ginjal.
14