terapi medik nyeri pada lansia
DESCRIPTION
TUGAS WIRNA EKA HARAPTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Anonim, 2011).
Dikutip dalam Eko (2013), insiden nyeri meningkat dengan
bertambahnya umur. Nyeri diderita oleh seperempat dari lanjut usia
(lansia). Pada komunitas sebanyak 25-50% lansia menderita nyeri kronik,
sedangkan pada nursing home prevalensinya 45-85%. Prevalensi nyeri
kronik yang tinggi dan menurunnya kualitas hidup lansia menyebabkan
beberapa organisasi dunia seperti International Association for the Study
of Pain (IASP), the American Geriatrics Society, the Australian Pain
Society, the British Geriatric Society, the British Pain Society, the
American Medical Directors Association (AGS) dan the European
Federation of IASP Chapter memandang perlu untuk memberikan prioritas
pada manajemen nyeri pada lansia, dengan membuat guideline assessment
dan manajemen nyeri pada lansia. Berdasarkan guideline tersebut setiap
lansia yang periksa ke dokter harus dilakukan assessment nyeri.
Nyeri kronik yang paling sering diderita oleh lansia adalah kelainan
muskuloskeletal (osteoartritis, artritis inflamasi, stenosis spinal, degenerasi
diskus), dan nyeri neuropatik. Nyeri pada lansia sering disertai depresi,
kecemasan, gangguan tidur, nafsu makan menurun, dan gangguan kognitif
sehingga pada akhirnya kualitas hidu penderita menurun. Menejemen
nyeri pada lansia berbeda dengan pasien muda. Penyebab, komorbiditas,
efek samping pengobatan, dan respon terhadap nyeri dan pengobatannya
berbeda dengan pasien yang muda. Terapi farmakologi pada lansia sering
menimbulkan efek samping terutama analgesik, NSAID, dan opiat. Opiat
cukup efektif untuk mengobati nyeri kronik pada lansia tetapi dokter
1
sering enggan menggunakan opiat karena khawatir terjadi adiksi.
Manajemen nyeri yang efektif pada lansia meliputi pendekatan
farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun memiliki risiko yang tinggi
terjadinya efek samping, intervensi farmakologi masih merupakan
modalitas utama dalam pengobatan nyeri pada lansia (Eko, 2013).
Pendekatan farmakologi meliputi pemberian obat analgesik non-
opiat, analgesik opiat, dan analgesik ajuvan. Dalam manajemen nyeri pada
lansia dokter harus mempertimbangkan perubahan metabolisme obat
karena umur, efek samping obat, interaksi antara obat dan penyakit, serta
interaksi obat dengan obat. Disarankan untuk memberikan dosis titrasi dan
pendekatan start low and go slow. Pada lansia sensitivitas terhadap
analgesik meningkat sehingga diperlukan dosis yang lebih sedikit
dibandingkan orang muda. Perlu dilakukan pemantauan yang hati-hati
terhadap lansia yang menggunakan berbagai macam obat, bukan hanya
memperhatikan efektivitas obatnya saja tetapi juga kemungkinan
terjadinya efek samping obat (Eko, 2013).
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang terapi
medik yang dianjurkan untuk mengatasi nyeri pada lansia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasrakan latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi
fokus pembahasan dalam makalah ini yaitu tentang “Bagaimana terapi
medik yang dianjurkan untuk mengatasi nyeri pada lansia ?”
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca dapat
mengetahui tentang terapi medik yang dapat diberikan kepada lansia untuk
mengatasi nyeri.
2
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu agar para pembaca dapat
memahmai lebih dalam tentang terapi medik nyeri pada lansia, meliputi.
1. Definisi nyeri.
2. Fisiologi nyeri.
3. Perubahan persepsi nyeri berhubungan dengan usia.
4. Penanganan rasa nyeri.
5. Penggolongan analgetika.
6. Penatalaksanaan farmakologis.
7. Penetapan dosis.
3
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Nyeri
Menurut Tjay (2007;312), nyeri adalah perasaan sensoris dan
emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri
merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri
berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan,
yakni pada 44-45 0C.
Menurut Hidayat (2009;214), nyeri merupakan kondisi berupa
perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan
nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan
hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa
nyeri yang di alaminya.
2.2 Fisiologi Nyeri
Menurut Tjay (2007;312), rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya
merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang
adanya gangguan di jaringan misalnya seperti peradangan, infeksi jasad
renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis,
kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada
jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan mediator nyeri seperti
histamin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin.
Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di
ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian
menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor
juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari
tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-
tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum belakang, sumsum
lanjutan dan otak tengah. Dari talamus impuls kemudian diteruskna ke
pusat nyeri di otak besar, di mana impuls dirasakan sebagai nyeri.
4
Mediator penting adalah amin histamin yang bertanggung jawab
untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan
mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradikinin adalah polipeptida (rangkaian
asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip
strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat.
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) di mana nyeri
dirasakan untuk pertama kalinya. Untuk setiap orang ambang nyerinya
adalah konstan.
2.3 Perubahan Persepsi Nyeri Berhubungan dengan Usia
Pada lansia terjadi perubahan pada serat saraf A (delta) yang
berfungsi untuk menghantarkan transmisi epikritik, nyeri yang terlokalisir
dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf C yang berfungsi untuk
transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan berlangsung lambat,
relatif tidak begitu terganggu. Respon otak terhadap stimuli nyeri juga
melambat. Perubahan-perubahan ini dapat menerangkan terjadinya
kesulitan pada orang tua untuk mendiskripsikan dan melokalisir nyeri.
Berkurangnya kemampuan untuk memodulasi nyeri dan inhibisi desenden
menyebabkan tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada lansia (Eko,
2013).
2.4 Penanganan Rasa Nyeri
Menurut Tjay (2007;313), berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri
dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu.
1. Analgetika perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada
reseptor nyeri perifer.
2. Anestetika lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf
sensoris.
3. Analgetika sentral (narkotika), yang memblokir pusat nyeri di sistem
saraf pusat dengan anestesi umum.
4. Antidepresiva trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf,
mekanisme kerjanya belum diketahui, misalnya amitriptilin.
5
5. Antiepileptika, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang
sinaps pada nyeri, misalnya pregabalin, karbamazepin, okskarbazepin,
fenitoin, valproat, dll.
Pada pengobatan nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut
memegang peranan. Obat-obat di bawah ini dapat digunakan sesuai
dengan nyeri.
1. Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer seperti
parasetamol, asetosal, mefenaminat, propifenazon atau
aminofenazon, begitu pula nyeri dengan demam.
2. Nyeri sedang dapat ditambahkan dengan kafein atau kodein. Nyeri
yang disertai pembengkakkan atau akibat trauma sebaiknya diobati
dengan analgetikum antiradang, seperti aminofenazon dan NSAID
(ibuprofen, mefenaminat, dan lain-lain).
3. Nyeri hebat perlu ditanggulangi dengan morfin atau opiat lainnya
(tramadol).
4. Nyeri pada kanker umunya diobati menurut suatu skema bertingkat
empat yaitu.
a. Obat perifer per oral atau rektal : parasetamol dan asetosal.
b. Obat perifer bersama kodein atau tramadol.
c. Obat sentral (opioid) per oral atau rektal.
d. Obat opioid parenteral.
5. Polyneuropati merupakan suatu gangguan saraf perifer dengan
perasaan seperti ditusuk-tusuk, kelemahan otot, hilang refleks yang
diawali dari jari-jari, kemudian menimbulkan kelumpuhan pada
kedua kaki dan tangan. Nyeri ini sukar diatasi dengan analgetika
klasik (parasetamol, NSAIDs dan opioid) karena tidak bersifat
nociceptif. Yang efektif adalah antidepresiva trisiklis dan
antiepileptika, tunggal atau juga sebagai tambahan pada zat opioid
seperti tramadol dan fentanil.
6. Neuralgia postherpetis (setelah sembuh dari herpes zoster) di sekitar
bagian atas tubuh dan neuralgia trigeminus di wajah juga
6
merupakan gangguan saraf perifer terkenal. Untuk pengobatan
umumnya digunakan amitriptilin, karbamazepin, atau juga
gabpentin, fenitoin dan valproat.
2.5 Penggolongan Analgetika
Menurut Tjay (2007;313), berdasarkan kerja farmakologisnya,
analgetika dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu.
1. Analgetika perifer (non-narkotik)
a. Penggolongan
Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi ke dalam
beberapa kelompok yaitu.
1) Parasetamol
2) Salisilat : asetosal, slisilamida, dan benorilat.
3) Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll.
4) Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin.
5) Derivat-pirazolinon : propifenazon, isopropilaminofenazon dan
metamizol.
6) Lainnya : Benzidamin (Tantum).
b. Penggunaan
Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa
nyeri tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga
tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya
antipiretis dan/atau antiradang. Oleh karena itu, tidak hanya
digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam
(infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan seperti rema
dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan
sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri
kepala, gigi, otot atau sendi (rema, encok), perut, nyeri haid
(dysmenorre), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma).
7
c. Efek samping
Yang paling umum adalah gangguan lambung-usus, kerusakan
darah, kerusakan hati dan ginjal, dan juga reaksi alergi kulit.
Untuk ibu hamildan menyusui, hanya parasetamol yang
dianggap aman. Asetosal dan salisilat, NSAIDs dan metamizol dapat
mengganggu perkembangan janin, sehingga sebaiknya dihindari.
d. Zat-zat tersendiri
1) Aminofenazon: aminopyrin (F.I) amidopyrin, pyramidon.
Derivat-pirazolinon ini (1887) berkhasiat analgenis,
antipiretis dan antiradang. Resopsinya di usus cepat, mulai
kerjanya sesudah 30-45 menit, plasma-t ½-nya 2-7 jam. Karena
efek sampingnya terhadap darah (agranulositosis, leukopenia)
sering fatal, obat ini sudah sejak tahun 1980-an dilarang
peredarannya di banyak negara. Bila timbul borok-borok kecil di
mulut, nyeri tenggorok atau demam (tanda-tanda
agranulositosis), pengobatan harus segera di hentikan.
Kehamilan dan laktasi. Semua obat dari kelompok
pirazolinon tidak boleh digunakan selama kehamilan dan laktasi.
Dosis: 3 dd 300-600 mg, maksimal 3 g/hari.
2) Asam asetisalitasilat (F.I): asetosal, aspirin, cefanol, naspro.
Asetosal adalah obat anti-nyeri tertua (1899), yang sampai
kini paling banyak digunakan di seluruh dunia. Zat ini juga
berkhasiat anti-demam kuat dan pada dosis rendah sekali (80 mg)
berdaya menghambat agregasi trombosit. Efek antitrombotis ini
tidak reversible dan berdasarkan blokade enzim cyclo-oxyigenase
(COX-1) yang bertahan selama hidupnya trombosit. Dengan
demikian sintesa tromboksan A2 (TxA2) – yang bersifat
trombotis dan vasokonstriktif-dihindarkan. Pada dosis lebih besar
dari normal (diatas 5 g sehari) obat ini juga berkhasiat antiradang
akibat gagalnya sintesa prostaglandin-E (PgE2).
8
Penggunaan. Selain merupakan analgetikum asetosal dewasa
ini banyak digunakan sebagai alternatif dari antikoagulasia untuk
obat pencegah infrak kedua setelah terjadi serangan. Hal ini
berkat daya antitrombotisnya. Obat ini juga efektif untuk
profilaksis serangan stroke kedua setelah menderita TIA
(transient ischaenic attack serangan kekurangan darah sementara
di otak), terutama pada pria.
Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian
pertama duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat
diserap juga di lambung. BA-nya lebih rendah akibat FPE dan
hidrolisa selama resorpsi. Mulai efek analgetis dan antipiretisnya
cepat, yakni selama 30 menit dan bertahan 3-6 jam,
kerjaantiradangnya baru nampak setelah 3-6 jam, kerja
antiradangnya baru nampak setelah 1-4 hari. Reserpsi dan rectum
lambat dan tidak menentu, sehingga dosisnya perlu digandakan.
Dalam hati zat ini segera dihdrolisa menjadi asam salisilat
dengand aya antinyeri lebih ringan. PP-nya 90-95%, plasma-t ½
naya 15-20 menit masa paruh asam salisilat adalah 2-3 jam pada
dosis 1-3 g/hari.
Efek samping yang paling sering terjadi berupa iritasi
mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan perdarahan
samar (occult). Penyebabnya adalah sifat asam dari asetosal,
yang dapat dikurangi melalui kombinasi dengan suatu antasidum
(MgO aluminiumhidroksida, CaCO3) atau digunakan garam
kalsiumnya (carbasalat). Pada dosis besar faktor lain memegang
peranan, yakni hilangnya efek pelindung dari prostacyclin (PgI2)
terhadap mukosa lambung yang sintesanya turun dihalangi akibat
blokade cyclo-oxygenase.
Selain itu asetosal menimbulkan efek spesifik, seperti reaksi
alergi kulit dan tinnitus (telinga berdengung) pada dosis lebih
tinggi efek yang lebih serius adalah kejang0kejang bronchi hebat,
yang pada pasien asma dapat menimbulkan serangan, walaupun
9
dalam dosis rendah. Anak-anak kecil yang menderita cacar air
atau flu/selesma sebaiknya jarang diberikan asetosal (melainkan
paresetamol) karena beresiko terkena sindrom rye yang
berbahaya. Syindrom bercirikan muntah berat, termanggu-
manggu, gangguan pernapasan, konvulsi dan adakalanya koma.
Dosis : pada nyeri dan demam oral 4 dd 0,5-1 g p.c maks 4 g
sehari, anak-anak sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12
thn 4-6 dd, diatas 12 thn 4 dd 320-500 mg, maks 2 g/hari. Rektal
dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak sampai 2 thn 2 dd 20 mg/kg, di
atas 2 thn 3 dd 20 mg/kg p.c. pada rema oral dan rektal 6 dd 1 g,
maks 6 g/hari, pada serangan migrain single dose dari 1 g, 15-30
menit sesudah minum domperidon atau metoklopramida.
3) Metilsalisilat (Wintegreen oil, sloant’s liniment) adalah cairan
dengan bau khas yang diperoleh dari daun dan akar tumbuhan
akar wangi (Gaultheria procumbens). Zat ini juga di buat
sintetis. Khasiat analgetisnya pada penggunaan likal sama
dengan senyawa salisilat lainnya. Metilsaisilat diresopsi baik
oleh kulit dan banyak digunakan dalam obat gosok dan krem (3-
10%) untuk nyeri otot, sendi, dll penggunaan oras sebanyak 30
ml sudah bisa fatal, terutama sama anak-anak yang sangat peka
untuk.
2. Analgetik narkotik
a. Definisi
Analgetik narkotik (opioid) adalah obat-obat yang daya kerjanya
meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari
reseptor-reseptor opioid. Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid
khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respon semosional terhadap
nyeri berubah.
10
b. Mekanisme kerja
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor
nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik
opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa
reseptor nyeri yang belum ditempati endorfin. Tetapi bila analgetik
tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor
baru distimulasi dan produksi endorfin di ujung saraf otak dirintangi.
Akibatnya terjadilah efek ketagihan.
c. Efek samping umum
1) Sipresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernapasan dan batuk,
miosis, hipotermia, dan perubahan suasana jiwa (mood).
2) Saluran napas, bronchokonstriksi, pernapasan menjadi lebih
dangjal dan frekuensinya menurun.
3) Sistem sirkulasi, vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi
dan bardikardia.
4) Saluran cerna, motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter
kandung empedu (kolik batu empedu), sekresi pankreas, usus
dan empedu berkurang.
5) Saluan urogenital, retensi urine (karena naiknya tonus dari
sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (wakttu
persalinan diperpanjang).
6) Histamin-liberator, urtikaria dan gatal-gatal, karena menstimulasi
pelepasan histamin.
7) Kebiasaan dengan resiko adiksi pada penggunaan lama. Bila
terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi.
d. Zat-zat tersendiri
1) Morfin (F.I): MTS continus, MS Contin, Kapanol
Candu atau opium adalah getah yan dikerinkan dan diperoleh
dari tubuh-tumbuhan Papaver somniferum (Lat. menyebabkan
tidur). Morfin mengandung dua kelompok alkaloida yan secara
11
kimiawi sanat berlainan. kelompok fenantren meliputi morfin,
kodein dan tebain, kelompok kedua adalah kelompo isokinolin
denan struktur kimiawi dan khasiat amat berlainan (a.l non-
narkotik) dan narsein. morfin berkhasiat analgetis sanat kuat, lai
pula memiliki banyak jenis kerja pusat lainnya, a.l sedatif dan
hipnotis, menimbulakan euforia, menakan pernapasan dan
menhilangkan refleks batuk yang semuanya berdasarkan supresi
susunan saraf puasat (SPP). morfin yan jua menimbulkan efek
stimulasi SPP mis. miosis (penciuta pupil mata), eksitasi dan
konvulsi. daya stimulasinya pada CTZ mengakibatkan mual dan
mentah-muntah. efek perifernya yang pentin adalah obstipasi,
retensi kemih dan pelepasan histamin yang mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh kulit dan gatal-gatal (urtikaria).
Penggunaanya khusus pada nyeri hebat akut dan kronis,
seperti pasca edah dan setelah infark jantung, juga pada fase
terminal dari kanker. banyak digunakan sebagai tablet retard
untuk memperpanjang kerjanya.
Resorpsinya di usus baik, tetapi BA-nya hanya k.l 25% akibat
FBE besar. mulai kerjanya setelah setelah 1-2 jam dan
bertambah sapai 7 jam. resorpsi dan suppositoria umumnya
sedikit lebih baik, secara s.c / i.m baik sekali. PP-nya 35%
dalam hati 70% dari morfin dimetaboisasi melalui senyawa
konyugasi dengan asam glukuronat menjadi morfin-3-
glukuronida yang tidak aktif dan hanya sebagian kecil (3%) dari
julah ini terbentuk morfin 6-glukuroninda dengan daya
analgesik lebih kuat dari morfin sendiri. ekskresinya melalui
kemih, empedu dengan siklus enterohepatis dan tinja.
2) Kodein (F.I): metilmorfin Codipront
Alkoholida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan
induknya, tetapi lebih lemah, misalnya efek analgetiknya 6-7 x
kurang kuat. efek samping dan resiko adiksinya lebih ringan,
12
sehingga sering digunakan sebagai obat batuk, obat anti diare
dan obat anti nyeri, yang diperkuat melalui kombinasi dengan
parasetamol / asetosal. obstipasi dan mual dapat terjadi terutama
pada dosis lebih tinggi (diatas 3 dd 20 mg). Resorpsi oral dan
rektal baik, di dalam hati zat ini dimentilasi menjadi norkodein
dan morfin (10%) yang memberikan sifat analgetiknya.
Eksresinya lewat kemih sebagai glikuronida dan 10% secara
utuh.
3) Metadon
Zat ini adalah salah satu campuran resemis, yang memiiki
daya analgetik 2x lebih kuat daripada morfin dan hanya
berkhasiat anastetik lokal. resorpsinya din usus baik, PP-nya
90%, plamanya-t1/2 nya rata-rata 25 jam dan efeknya dapat
bertahan sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi para
pecandu. umumnya metadon tidak memimbulkan euforia,
sehingga banyak digunanakan untuk menghindari gejala
abstinensi setelah penghentian penggunaan opioida lain. khusus
digunakan pada para pecandu sebagai obat pengganti heroin dan
morfin pada terapi substitusi.
Efek samping kurang hebat dari morfin, terutama efek
hipnotis dan euforiaya lemah, tetapi bertahan lebih lama.
penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang lebih mudah
disembuhkan. Efek obstipasinya agak ringan, tetapi
penggunaannya selama persalinan harus dengan berhati-hati
karena dapat menakan pernapasan.
2.6 Penatalaksanaan Farmakologis (Anonim, 2010)
2.6.1 Analgesik Non-Opioid
Asetaminofen (Tylenol) dan aspirin adalah dua jenis analgesik non-
opioid (non-narkotik) yang paling sering digunakan. Obat-obat ini bekerja
terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi nyeri. Efek analgesik dari
13
obat-obat tersebut sama (1000 mg/dosis adalah optimal) tetapi efek anti
inflamasinya bervariasi. Obat ini biasanya tidak bisa membantu menangani
nyeri inflamasi seperti arthritis rheumatoid atau osteoarthritis karena
asetaminofen memiliki sedikit efek antiinflamasi.
Walaupun asetaminofen secara umum aman, dan mudah dibeli, obat
ini memiliki efek samping utama, yaitu hepatotoksik. Perawat harus
memantau dosis harian asetaminofen untuk memastikan dosisnya kurang
dari 4000 mg/hari.
Aspirin adalah salah satu obat antiinflamasi nonsteroid (Non-Steroid
Anti-Inflamatory Drugs [NSAID]). Penghilang nyeri yang bernilai untuk
banyak tipe nyeri, NSAID bekerja dengan menghambat sintesis
prostaglandin, mediator penting dalam nyeri dan inflamasi. Obat-obat
NSAID sangat efektif dalam menurunkan nyeri dan inflamasi pada banyak
kondisi yang umum terjadi pada lansia seperti arthritis rheumatoid,
osteoarthritis, nyeri punggung dan leher, nyeri pascaoperasi, sakit gigi, dan
nyeri yang bermetastasis pada tulang.
NSAID bukannya tanpa efek samping, yang paling sering adalah
gangguan pada gastrointestinal. Kemungkinan efek samping lain termasuk
perdarahan gastrointestinal (dua pertiganya asimptomatik sebelum terjadi
perdarahan), retensi cairan dan komplikasi ginjal. Beberapa NSAID
dianjurkan untuk lansia karena obat-obat tersebut kurang menyebabkan
iritasi GI yaitu Salsalat (Disalcid), Kolin Magnesium Trisalisilat
(Trisilate), Diflunisal (Dolobid), Dan Nabumeton (Relafen). Jika terjadi
masalah GI, Misoprostol (Cytotex) dapat diberikan untuk melawan efek
samping NSAID pada gastrointestinal.
Piroksikam (Feldene) adalah NSAID dengan waktu paruh panjang
yang dapat menimbulkan akumulasi masalah, terutama pada orang yang
mengakami disfungsi hepar atau ginjal. Indometasin (Indocin) adalah
NSAID lain yang tampaknya memiliki peningkatan efek pada ginjal.
Kedua NSAID ini tidak dianjurkan untuk lansia.
Ketika memulai pengobatan pada lansia dengan NSAID, dokter
sering meresepkan setengah sampai dua pertiga dari dosis yang dianjurkan.
14
Dosis kemudian ditingkatkan secara perlahan-lahan (setiap minggu)
sampai tercapai dosis yang dianjurkan.
2.6.2 Analgesik Opioid
Analgesik opioid (narkotik) bekerja dengan cara melekatkan diri
pada reseptor-reseptor nyeri spesifik di dalam SSP. Opioid
direkomendasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Terdapat dua jenis
opioid : analgesik agonis murni (jenis morfin) dan campuran agonis-
antagonis Pentazocin (Talwin), Nalbufin (Nubain), Dan Butorfanol
(Stadol).
Agonis murni memiliki tempat yang penting dalam meredakan nyeri.
Obat-obat ini berbeda terutama dalam potensi, durasi kerja, dan efek
sampingnya pada lansia. Agonis murni memiliki keuntungan dengan
tersedianya dalam berbagai rute dan variasi, dan efek analgesiknya tidak
memiliki batas atas.
Morfin adalah analgesik opioid standar di antara jenis lain yang
dibandingkan. Morfin, oksikodon (Oxycontin), dan hidromorfon
(Dilaudid) dianjurkan diberikan secara oral untuk lansia yang sedang
dalam keadaan nyeri berat. Fenatanil (koyo Duragesik) sangat berguna
untuk pasien rawat inap yang memiliki penyakit berat atau kronis yang
tidak dapat menelan. Kodein dan Oksikodon (Percodan, Tylox) dianjurkan
untuk nyeri ringan sampai sedang. Dolofin (Methadone) dan Levorfanol
(Levodromoran) harus dihindari untuk lansia karena obat-obat ini memiliki
waktu paruh yang panjang dan dapat berakumulasi dan menyebabkan
sedasi berlebihan dan masalah-masalah SSP yang lain.
Konstipasi dan mual atau muntah adalah dua efek samping opioid
yang sering terjadi. Motilitas GI dapat berkurang, yang mengakibatkan
konstipasi. Mual adalah efek samping opioid yang salah dianggap sebagai
reaksi alergi. Untuk pemberian opioid yang terjadwal secara teratur
sepanjang waktu, terutama dengan nyeri kanker atau nyeri kronis yang
lain, obat antiemetic harus diberikan sampai mual berkurang. Sedasi
adalah kemungkinan efek samping yang lain.
15
Depresi pernafasan adalah efek samping opioid yang umumnya
ditakuti. Namun, depresi pernafasan jarang terlihat pada pasien yang
menggunakan opioid dalam waktu lama karena nyeri atau stress (atau
keduanya) merupakan stimulus untuk bernafas. Pasien tidaka akan
mengalami depresi pernafasan pada saat terjaga.
Lansia lebih sensistif terhadap aksi dan efek samping obat, terutama
hipnotik dan opioid. Ukuran tubuh dan volume tubuh total telah berkurang.
Sebagai akibat dari berkurangnya klirens hepatic dan renal, durasi aksi
obat menjadi lebih lama, sehingga memberikan kesempatan kadar toksik
terakumulasi di dalam tubuh. Dehidrasi dan hemokonsentrasi yang
menyertainya, yang umum terjadi pada lansia, semakin memperberat
masalah ini. Selain itu, kadar albumin serum menurun, yang memengaruhi
pengikatan protein terhadap berbagai jenis obat, termasuk narkotika.
Secara umum dosis obat-obat yang berikatan dengan protein harus
dikurangi pada awalnya dan dititrasi sampai pengurangan rasa nyeri dapat
dicapai dengan aman.
2.6.3 Adjuvan
Adjuvan adalah obat yang bukan analgesik tetapi masih memiliki
peran penting dalam mengurangi nyeri. Obat ini dapat digunakan sendiri
atau dikombinasikan dengan analgesik lain. Obat-obat ini dianjurkan
terutama untuk nyeri kronis.
Menurut Meridean (2011;627), antidepresi, antikonvulsan, agen
sedatif/antiansietas, steroid, relaksan otot, dan amfetamin sering kali
digunakan sebagai analgesik adjuvan.
Antidepresan trisiklik telah ditemukan efektif untuk nyeri
neuropati, yang disebabkan oleh kerusakan saraf pada SSP. Contoh dari
nyeri neuropati adalah nyeri fantom pada tungkai, neuropati diabetik,
neuralgia trigeminal, kausalgia, dan nyeri pasca stroke. Tipe nyeri
neuropati lain yang sering terjadi pada lansia adalah neuralgia pasca
herpatik atau herpes zoster. Nyeri neuropati dapat menjadi salah satu tipe
nyeri yang sulit untuk ditangani. Pasien-pasien menggambarkan nyeri ini
16
sangat kuat dan membakar. Obat anti konvulsan, karbamazepin (Tegretol)
telah diketahui efektif dalam menangani nyeri neuropati.
Antidepresan trisiklik harus diberikan sekali sehari pada jam-jam
tidur karena sedasi adalah efek samping yang sering terjadi. Dosis awal
harus sangat rendah (10 mg). dosis untuk mengurangi nyeri lebih rendah
daripada dosis yang dibutuhkan untuk mengurangi depresi. Efek samping
lain dari antikolinergik yang dapat terjadi adalah pandangan kabur, mulut
kering, retensi urin, dan hipotensi. Kewaspadaan yang sangat tinggi harus
dilakukan ketika obat-obatan ini harus diberikan kepada pasien yang
mengalami glaukoma sudut sempit, atau retensi urin. Nortripsepin
(Pamelor) menyebabkan sedikit sedasi dan Doksepin (Sinequan) memiliki
lebih sedikit efek antikolinergis daripada trisiklik, sehingga kedua obat
antidepresan ini direkomendasikan untuk lansia.
Lansia yang mengalami nyeri harus menghindari penggunaan obat-
obatan sedative hipnotik karena obat-obat ini tidak membantu untuk
mengurangi nyeri. Obat-obat ini dapat mendepresi SSP, yang dapat
mempengaruhi keamanan klien, terutama jika ia menggunakan analgesik
opioid.
2.7 Penetapan Dosis
Menurut Maas (2011;628), penetapan dosis analgetik bagi lansia
harus dilakukan dengan cara titrasi dan disesuaikan dengan masing-masing
individu untuk mencapai kendali nyeri yang maksimal. Rekomendasi yang
aman terhadap pemberian dosis pada lansia adalah menurunkan dosis awal
yaitu sebanyak 25%-50% dosis dewasa yang biasa digunakan dan
menjumlahkan dosisnya lebih tinggi atau lebih rendah berdasarkan respon
individual.
Pemberian analgesik secara kontinu merupakan standar perawatan
yang dianjurkan karena dapat mempertahankan kadar analgesik dalam
darah tetap stabil dan mencegah nyeri menjadi tidak terkendali. Cara ini
juga memberikan individu perasaan aman bahwa nyerinya telah
diselesaikan melalui rencana yang terjadwal.
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Menurut Tjay (2007;312), nyeri adalah perasaan sensoris dan
emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan kerusakan jaringan. Nyeri
merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri
berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan,
yakni pada 44-45 0C.
Pada lansia terjadi perubahan pada serat saraf A (delta) yang
berfungsi untuk menghantarkan transmisi epikritik, nyeri yang terlokalisir
dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf C yang berfungsi untuk
transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan berlangsung lambat,
relatif tidak begitu terganggu. Respon otak terhadap stimuli nyeri juga
melambat. Perubahan-perubahan ini dapat menerangkan terjadinya
kesulitan pada orang tua untuk mendiskripsikan dan melokalisir nyeri.
Berkurangnya kemampuan untuk memodulasi nyeri dan inhibisi desenden
menyebabkan tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada lansia (Eko,
2013).
Menurut Tjay (2007;313), berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri
dapat diatasi dengan beberapa cara yaitu analgetika perifer, anestetika
lokal, analgetika sentral (narkotika), antidepresiva trisiklis, antiepileptika.
Penatalaksanaan farmakologis yang diberikan berupa analgesik non-
opioid, opioid, dan adjuvan.
3.2 Saran
Diharapkan kita dapat memberikan terapi medik yang sesuai dengan
kondisi dan keadaaan klien dengan pemberian dosis yang tepat.
18