terapi non medis pada paralisis nervus facialis pada omk (refference)
DESCRIPTION
Bell’s palsy merupakan kelumpuhan dari saraf fasialis bagian periferSalah satunya merupakan komplikasi dari otitis media supuratif kronik, yang jarang terjadi. Dimana otitis media kronik tersebut dibutuhkan penganan segera jika bersifat aktifSelain dengan Terapi Medis, dapat pula dilakukan dengan Terapi rehabilitasi yang salah satunya dengan manual massageTRANSCRIPT
TUGAS REFERAT
PENATALAKSANAAN NON-MEDIS
PARALISIS NERVUS VII PADA OMK
Kelompok C13:
Albertus Sri Agseyogi, S.Ked (201020401011181)
Pembimbing :
dr. Syamsul Arif, Sp.THT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………... iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………… v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… vi
BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 2
2.1 Anatomi ………………………………………………………………. 2
2.1.1 Anatomi telinga tengah …………………………………………. 2
2.1.2 Anatomi wajah …………………………………………………. 5
2.2 Bell’s Palsy ………………………………………………………….... 7
2.2.1 Definisi …………………………………………………………. 7
2.2.2 Etiologi …………………………………………………………. 8
2.2.3 Gejala klinis dan penegakkan diagnosis ………………………... 8
2.2.4 Diferensial diagnosis …………………………………………... 12
2.2.5 Penatalaksanaan ……………………………………………….. 13
2.2.5.1 Terapi medis……………………………………………….. 13
2.2.5.2 Terapi non-medis…………………………………………… 14
2.2.6 Prognosis dan komplikasi …………………………………….. 25
BAB 3 KESIMPULAN ……………………………………………………… 27
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Membran Timpani Kanan dengan Hammer dan Corda Timpani,
Dilihat dari Dalam, Belakang, dan Atas …………………………. 3
Gambar 2.2 Dilihat dari Dinding Dalam Timpani (diperbesar) ………………. 4
Gambar 2.3 Dinding Medial dan Bagian Posterior dan Anterior dari Kavum
Membran Timpani Kanan, Dilihat dari Samping ……………….. 5
Gamber 24 Cabang-cabang Nervus Fasialis ………………………………… 7
Gambar 2.5 Perjalanan dan Komponen Nervus Fasialis, yang Dapat Membantu
Identifikasi Bagian Lesi ………………………………………… 9
Gambar 2.6 Akibat Lesi Nervus Fasialis ……………………………………. 10
Gambar 2.7 Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Perifer dan Central, dan Spasme
Hemifasial ………………………………………………………. 13
Gambar 2.8 Rehabilitasi Kabat ………………………………………………. 18
Gambar 2.9 Rehabilitasi Kabat ………………………………………………. 19
Gambar 2.10 Arah Gerakan dan Tarikan Otot-otot Wajah ……………………. 23
Gambar 2.11 Latihan Wajah pada Bell’s Palsy ……………………………….. 24
Gambar 2.12 Latihan Menutup Mata pada Bell’s Palsy ………………………. 24
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sistem Grading Menurut House-Brackman ………………………… 11
Tabel 2.2 Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Tiper Perifer dan Sentral ………….. 12
Tabel 2.3 Gerakan-gerakan yang Direkam dan Dievaluasi …………………… 17
Tabel 2.3 Frekuensi Terapi ……………………………………………………. 20
Tabel 2.4 Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis …………………….. 25
BAB 1
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan kelumpuhan dari saraf fasialis bagian perifer. Bell’s
palsy dinamai oleh Charles Bell (1774-1842), yang pertama kali menggambarkan
sindrom berhubungan dengan anatomi dan fungsi nervus fasialis. Insidensi
penyakit ini sekitar 15-30 per 100.000 orang, setara antara laki-laki maupun
perempuan (Jeffrey dkk, 2007). Sedangkan menurut Murthy & Saxena (2011)
sekitar 20-30 kasus per 100.000 orang. Insidensi terendah di bawah 10 tahun dan
insidensi tertinggi yaitu di atas 70 tahun. Tidak ada predileksi baik sisi kiri
maupun kanan wajah. Baik sisi kiri maupun kanan sama saja.
Beberapa etiologi dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini. Salah satunya
merupakan komplikasi dari otitis media supuratif kronik, yang jarang terjadi.
Dimana otitis media kronik tersebut dibutuhkan penganan segera jika bersifat
aktif (Harold & Patrick, 2007).
Dalam penatalaksanaanya, beberapa penelitian tidak hanya fokus terapi
dengan medikasi saja namun dapat juga dengan terapi non medis, seperti yang
akan dijabarkan dalam tinjauan pustaka.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi telinga tengah
Letak telinga tengah ditentukan oleh batas-batas. Batas-batas telinga tengah
(Efiaty dkk, 2009) antara lain yaitu :
a. Batas Luar : membran timpani
b. Batas Dalam : semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap
lonjong (oval window), tingkap bundar (round window)
dan promontorium
c. Batas Depan : tuba eustachius
d. Batas Belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis
e. Batas Atas : tegmen timpani (meningen/otak)
f. Batas Bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
(AAA, 2009)Gambar 2.1
Membran Timpani Kanan dengan Hammer dan Corda Timpani, Dilihat dari Dalam, Belakang, dan Atas
Tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam yaitu :
a. Maleus (melekat pada incus dan proc. Longus melekat pada membrane
timpani)
b. Incus (melekat pada stapes)
c. Stapes (terletak pada tingkap lonjong, berhubungan dengan koklea)
Tulang-tulang pendengaran di atas berhubungan satu dan yang lainnya,
sehingga terdapat suatu persendian.
Perdarahan dan persyarafan telinga tengah yaitu:
1. Arteri dari membran timpani berasal dari cabang aurikular dari maxilaris
interna yang cabang-cabangnya di bawah lapisan kulit, dan cabang dari
aurikularis posterior, dan cabang timpani dari maxilaris interna, yang
didistribusikan ke permukaan mukosa.
2. Vena superficialis terbuka ke arah jugularis externa, vena superficial pada
permukaan dalam mengalir sebagian ke sinus transversus dan vena dura
mater, dan sebagian lagi ke dalam pleksus pada tuba auditorik.
3. Saraf didapat dari cabang auriculotemporal pada mandibula, cabang
N.Vagus, dan cabang timpani dari dari N. Glossopharyngeal
(AAA, 2009)Gambar 2.2
Dilihat dari Dinding Dalam Timpani (diperbesar)
(AAA, 2009)Gambar 2.3
Dinding Medial dan Bagian Posterior dan Anterior dari Kavum Membran Timpani Kanan, Dilihat dari Samping
Prominensia dari kanalis fasialis (prominensia kanalis fasialis; prominensia
akuaduktus falopi) menunjukkan posisi kanal tulang dimana nervus fasialis
berada. Kanal ini melintasi dinding labirin dari rongga timpani di atas vestibule
fenestra.
2.1.2 Anatomi wajah
Serabut saraf motorik, nukleus fasialis dan serabut eferen teroganisir
somatotopik. Serabut saraf yang muncul pertama kali keluar dari nukleus fasialis,
berjalan kearah dorsomedial, kemudian berjalan lagi kearah anterolateral melewati
sekitar nukleus abducens (genu terdalam nervus fasialis), dan keluar dari batang
otak sebagai saraf fasialis pada cerebellopontine angle dekat nervus kranialis VI
dan nervus kranialis VIII. Nervus fasialis masuk ke meatus akustik internal
bersama dengan nervus intermedius dan nervus kranialis VIII, kemudian
meninggalkan meatus dan masuk ke kanalis fasialis, melewati antara koklea dan
labirin, dan kembali lagi (genu terluar nervus fasialis). Setelah meninggalkan
tengkorak di foramen stilomastoidea, nervus ini berlanjut ke dalam kelenjar
parotis dan memberikan cabang-cabang motorik ke semua otot dari ekspresi
wajah, seperti platysma, otot telinga, stapedius, digastric, dan otot stylohioid
(Rohkamm, 2004).
Serabut saraf sensorik, dari ganglion genikulatum berjalan ke nukleus
salivatorik superior, nukleus traktus solitaries dan nukleus spinalis dari nervus
trigeminal. Pengecap rasa dari 2/3 anterior lidah (nervus lingualis) dan palatum
mole (nervus petrosus mayor) menyatu di corda tympani. Serabut parasimpatik
preganglionik berjalan di nervus petrosus mayor ke ganglion pterygopalatine, dari
mana serabut saraf postganglionik melewati lakrimalis, nasal, kelenjar palatine.
Sedangkan serabut saraf lainnya berjalan di corda tympani menuju ganglion
submandibular, dari mana serabut postganglionik melewati kelenjar sublingualis
dan submandibular (Rohkamm, 2004).
(Rohkamm, 2004)Gambar 2.4
Cabang-cabang Nervus Fasialis
2.2 Bell’s Palsy
2.2.1 Definisi
Ekspresi wajah merupakan bagian penting dalam komunikasi nonverbal,
setiap kekurangan ataupun kelemahan dari otot-otot dan gerakan wajah tidak
terlalu begitu nampak, tetapi menjadikan stigma sosial yang serius bagi pasien itu
sendiri.
Bell’s palsy merupakan kelumpuhan saraf wajah LMN yang idiopatik
(Harold & Patrick, 2007) atau merupakan kondisi neurologis akibat lesi dari
nervus kranialis VII mengakibatkan onset akut atau paralisis total pada wajah sisi
ipsilateral (Nabeel, 2007).
2.2.2 Etiologi
Bell’s palsy merupakan parese dan paralisis dari saraf fasialis. Berbagai
faktor dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini. Beberapa faktor penyebab
tersebut pada sebagian besar kasus penyebab tidak diketahui. Beberapa bukti lain
membuktikan adanya keterlibatan dari Herpes Simplex Virus (HSV). Etiologi
yang dijabarkan oleh Harold & Patrick (2007) dan Nabeel (2007) yaitu:
a. Infeksi (otitis media, herpes zoster/Ramsay Hunt Syndrome, lyme
disease)
b. Neoplasma (malignant parotid neoplasm, middle ear carcinoma)
c. Trauma (bedah atau non-bedah)
d. Lainnnya (sarkoidosis, multiple sclerosis)
Bell’s palsy terkait dengan infeksi, salah satunya yaitu otitis media supuratif
kronik. Paralisis fasialis adalah komplikasi yang jarang dari otitis media supuratif
kronik. Kelemahannya bisa ringan dan biasanya dapat pulih lebih cepat. Pada
otitis media supuratif kronik, biasanya terjadi pada otitis media supuratif kronis
tipe skuamosa (kolesteatom) tetapi dapat juga terjadi pada otitis media supuratif
kronis tipe mukosa. Hal ini terjadi karena terkait dengan dehisensi nervus fasialis
pada kanalis falopi dan granulasi jaringan yang melapisi saraf tersebut (Harold &
Patrick, 2007).
2.2.3 Gejala klinis dan penegakkan diagnosis
Mula terjadinya Bell’s palsy cukup mendadak, kelemahan maksimal yang
dicapai sekitar 48 jam. Manifestasi klinis yang muncul dapat dapat didahului
timbul nyeri dibelakang telinga sekitar 1 atau 2 hari, hilangnya sensasi pengecap
rasa, juga bisa disertai hiperakusis (Stephen, 2010).
(Harold & Patrick, 2007)Gambar 2.5
Perjalanan dan Komponen Nervus Fasialis, yang Dapat MembantuIdentifikasi Bagian Lesi
Dari gambar di atas, adanya gangguan pada meatus akustikus interna
mengakibatkan hilangnya fungsi lakrimasi dan pengecap rasa. Sedangkan
lakrimasi dapat intak namun pengecap rasa saja yang terganggu dapat terjadi bila
tingkat lesi yang lebih rendah di bagian vertikal nervus VII pada mastoid. Dan
fungsi lakrimasi maupun pengecap rasa dapat intak bila lesi pada foramen
stylomastoid.
(Rohkamm, 2004)Gambar 2.6
Akibat Lesi Nervus Fasialis
Bell’s palsy dapat dibagi dalam beberapa grade menurut House-Brackman
yang didapat dari Harold & Patrick (2007), dan terbagi dalam enam grade.
Tabel 2.1 Sistem Grading Menurut House-Brackman
Grade Makna
I Fungsi normal dan simetris
II Sedikit kelemahan terlihat dengan inspeksi jarak dekat Penutupan mata sempurna dengan usaha minimal Dengan upaya maksimal sedikit asimteris bila tersenyum Sinkinesis hampir tak terlihat, tidak ada kontraktur ataupun
spasme
III Kelemahan yang jelas, namun tidak tampak perbedaan kedua sisi
Mungkin tidak dapat mengangkat alis Menutup mata sempurna dan kuat, namun gerakan mulut
tampak asimetris dengan upaya maksimal Jelas, gerakan massa atau spasme
IV Kelemahan yang jelas, tampak perbedaan kedua sisi Tidak mampu mengangkat alis Menutup mata tak sempurna dan mulut asimteris dengan
upaya maksimal Sinkinesis berat, gerakan massa, spasme
V Hampir tidak terlihat gerak Penutupan mata tak sempurna, terdapat gerakan kecil dari
sudut mulut Sinkinesis, kontraktur dan kejang biasanya tidak ada
VI Tidak ada gerakan, hilang tonus, tidak ada sinkinesis, kontraktur ataupun spasme
Diagnosis Bell’s palsy secara klinis dapat dibuat pada pasien dengan:
1. Presentasi klinis yang tipikal
2. Tidak adanya faktor resiko atau gejala yang ada sebelumnya, penyebab
lain paralisis fasialis
3. Adanya lesi kutaneous herpes zoster pada meatus akustikus eksterna
4. Pemeriksaan neurologis yang normal, kecuali nervus fasialis
Pemeriksaan fungsi motorik dilakukan saat istirahat (wajah asimetri, lipatan
kulit, atrofi, gerakan spontan, kedipan) dan selama gerakan involunter (dahi,
kelopak mata dan alis, daerah mulut, platysma). Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan pengecapan rasa, lakrimasi (shirmer’s test) yang hasilnya positif air
mata berkurang atau tidak ada, tes salivasi, dan reflek stapedius yang diuji dengan
mengukur kontraksi otor stapedius dalam menanggapi stiumulus akustik
(Rohkamm, 2004).
Perlunya perhatian terhadap nervus VIII, yang letaknya berdekatan dengan
vervus VII di pontomedullary junction pada tulang temporal, dan juga nervus
kranialis lainnya. Dalam beberapa kasus yang atipikal atau tidak pasti diperlukan
dari lab yaitu LED, gula darah, lyme titer, angiotensin converting enzyme, foto
thorax menyingkirkan kemungkinan sarkoidosis, LP untuk kemungkinan GBS,
dan scan MRI (Stephen, 2010).
2.2.4 Diferensial diagnosis
Table 2.2 Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Tiper Perifer dan Sentral
Karakteristik Perifer Sentral
Kelemahan wajah bagian atas
Ya Tidak
Kelemahan wajah bagian bawah
Ya Ya
Letak lesi Saraf perifer, pons Hemisfer kontralateral
(Donald, 2004)
(Donald, 2004)Gambar 2.7
Perbedaan Lesi Nervus Fasialis Perifer dan Central, dan Spasme Hemifasial
Dari gambar di atas jelas terdapat perbedaan antara lesi di perifer dan
sentral, yaitu terlihat dari garis lipatan kulit di dahi. Wajah A memiliki lipatan
dahi (lesi sentral), sedangkan wajah B tidak memiliki lipatan kulit di dahi pada
sisi yang lumpuh (lesi perifer). Pada wajah C terdapat spasme hemifasial yang
ditandai kontraksi otot orbikularis okuli, dengan penutupan mata dan retraksi otot
wajah bagian bawah sisi kanan. Inspeksi yang kurang akurat dapat memberikan
kesan false-positive paralisis wajah sebelah kiri (Donald, 2004).
Diagnosis banding lainnya yang dapat menjadi pertimbangan seperti yang
telah dijabarkan sebelumnya penyebab dari paralisis nervus fasialis yang
diungkapkan oleh Harold & Patrick (2007) dan Nabeel (2007).
2.2.5 Penaatalaksanaan
2.2.5.1 Terapi medis
Penatalaksanaan Bell’s palsy dibagi menjadi terapi medis dan non medis.
Untuk terapi medis dapat diberikan kortikosteroid seperti prednisone 60-80
mg/hari selama 5 hari dan tapering off 5 hari. Berbagai penelitian memeberikan
pula antiviral seperti acyclovir 400 mg 5x/hari selama 10 hari yang memberikan
hasil lebih baik dibandingkan kortikosteroid saja (Stephen, 2010).
Selain dengan obat-obatan juga dapat dilakukan bedah dekompresi. Bedah
dekompresi ini direkomendasikan bila onset Bell’s palsy kurang lebih 2 minggu,
jikan dengan elekroneurografi menunjukkan adanya degenerasi serabut saraf
fasialis >90%. Namun bedah dekompresi ini masih kontroversial. Untuk
perlindungan mata bisa dibagi menjadi 2, (Shafshak, 2006), yaitu:
1. Early treatment. Air mata buatan, juga salep mata yang diberikan
sebelum tidur. Selain itu bisa menggunakan kacamata untuk
menghindari dari debu, cahaya, dan angin.
2. Long-term treatment. Konsultasi ke spesialis mata, apakah indikasi
intervensi bedah, jika ada kegagalan dari penutupan mata secara spontan
(tarsorrhapy, lateral canthoplasty)
2.2.5.2 Terapi non-medis
Untuk terapi non medis yaitu dengan terapi fisik. Beberapa pilihan terapi
fisik antara lain (Nabeel, 2007):
a. Electrotherapy
b. Neuromuscular Retraining
c. Manual Massage
d. Kabat Rehabilitation
Terapi elektrik dapat digunakan sebagai terapi adjunctive. Modalitas yang
dibahas termasuk stimulasi elektrik (ES), electromyography biofeedback (EMG),
ultrasound, laser, short-wave diathermy (SWD). Efek yang ditimbulkan dari terapi
elektrik terkait dengan jenis lesi dari sarafnya, yaitu:
1. Neuropraxia. Konduksi saraf memblok sementara dengan menjaga atau
melindungi axon, berespon terhadap rangsangan listrik, dan biasanya
pemulihan secara sempurna.
2. Axonotmesis. Axon terganggu, tetapi dengan selubung saraf yang intak
dan regenerasi axon 1mm/hari, memiliki potensial pemulihan sempurna.
3. Endoneurotmesis. Endoneurium dan axon dihancurkan sementara
perineuriumnya intak, axon regenerasi dengan skar menyebabkan
reinervasi parsial dan sinkinesis oleh karena itu pemulihan kurang
sempurna
4. Perineurotmesis. Hanya epineurium yang intak sementara jaringan yang
lain rusak, menyebabkan regenerasi abnormal, sinkinesis, dan pemulihan
yang kurang sempurna.
5. Neurotmesis. Saraf putus sempurna/komplit dengan sedikit atau tidak
ada regenerasi dan pemulihan, dapat berkembang menjadi neuroma yang
nyeri disebelah saraf tersebut.
Melatih kembali neuromuskular (neuromuscular retraining) dilakukan
dengan latihan motorik secara selektif untuk memudahkan pergerakan secara
simetris dan mengontrol aktifitas motorik yang tidak dikehendaki (sinkinesis).
Reedukasi pasien merupakan aspek yang paling penting dari proses tatalaksana
tersebut. EMG biofeedback dan/atau cermin khusus akan memberikan feedback
sensorik untuk meningkatkan latihan. Saat tiap-tiap otot yang sedang dinilai,
pasien mengamati gerakan otot-otot di cermin dan diperintahkan untuk melakukan
gerakan-gerakan kecil tertentu simteris, dibantu dengan suara untuk mengetahui
apakah gerakannya benar atau salah. Sambil pasien mengenali area mana yang
mengalami disfungsi, pasien dapat memulai latihan memperbaiki gerakan
wajahnya. Repetisi dan frekuensi latihan dapat diubah sesuai dengan tingkat
kemajuan dari latihannya. Gerakannya dimulai perlahan dan bertahap, sehingga
pasien dapat mengamati sudut mulut, kekuatan, dan kecepatan dari masing-
masing gerakan, karena gerakan yang cepat tidak akan membantu dalam
mengontrol sinkinesis (Nabeel, 2007).
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Nabeel (2007) tersebut, sumber lain
yang diperoleh dari Jacqueline (2008), pada facial retraining ada beberapa
metode dalam evaluasi yaitu dengan instrumen klinis (clinical instruments),
videotape, fotografi (photographic), ataupun dengan penilaian diri sendiri (self-
assessment). Instrumen klinis haruslah objektif, mudah dijalankan, dan peka
terhadap perubahan yang dinamis, namun alat yang pasti masih belum
dikembangkan. Sebagai evaluasi yang objektif dalam menilai gerakan wajah,
videotape merekam gerakan-gerakan wajah yang memungkinkan pasien maupun
terapist untuk melihat kembali gerakan secara detail dan membandingkannya dari
waktu ke waktu. Untuk itu pasien disuruh melakukan beberapa gerakan seperti
pada tabel 2.3 sesuai patokan pada gambar otot-otot seperti yang tercantum pada
tabel 2.10. Fotografi, memungkinkan pasien dapat dengan mudah
membandingkan perubahan yang ada dari hari ke hari, meskipun terdapat
perubahan kecil. Penilaian diri sendiri, merupakan aspek penting dari proses
evaluasi karena memberikan pengertian/wawasan terhadap kepercayaan dirinya.
Dan pada akhirnya persepsi yang timbul terhadap dirinya sendiri akan
menentukan keberhasilan pengobatan.
Tabel 2.3 Gerakan-gerakan yang Direkam dan DievaluasiOtot-otot Gerakan
FRO Angkat alis
COR, FRO Turunkan alis bersama-sama
OCS, OCI Tutup mata dengan lembut
OCS, OCI Kedipkan kelopak mata bawah ke atas
OCS, OCI Tutup mata dengan kuat
DIN Kembangkan lubang hidung
RIS, ZYJ, ZYN, LAO, LLS
Tersenyum datar dengan bibir bersama-sama
RIS, ZYJ, ZYN, LAO, LLS
Tersenyum lebar dengan bibir terpisah
LLS, LAO Angkat bibir atas sambil mengerutkan hidung
LLS, LAO Angkat bibir atas bagian kiri atau kanan sambil mengerutkan hidung (dimulai dari sisi normal)
RIS Gerakkan sudut mulut ke arah telinga (dimulai dari sisi normal)
OOS, OOI Kerutkan bibir
OOS, OOI Tekan bibir bersama-sama
OOS, OOI Tarik kembali bibir ke atas gigi
OOS, OOI Dorong bibir sejauh mungkin
OOI, DAO, DLI Gulung bibir bawah keluar dan ke bawah
DAO, DLI Putar sudut mulut ke bawah
DAO, DLI Tarik bibir bawah untuk menujukkan gigi bawa
MEN Kencangkan dagu
PLA Kencangkan leher
(Jacqueline, 2008)
Manual massage dapat dilakukan dibantu dengan pilihan tatalaksana yang
lainnya. Manipulasi pemijatan meliputi :
a. Effleurage
b. Jari atau jempol yang meremas (Finger or thumb kneading)
c. Memeras (Wringing)
d. Mencincang (Hacking)
e. Mengetuk (Tapping)
f. Memukul (Stroking)
Rehabilitasi Kabat merupakan jenis dari teknik rehabilitasi kontrol motorik.
Selama dilakukan rehabilitasi Kabat, terapis memfasilitasi kontraksi volunter pada
otot yang lemah dengan menerapkan peregangan menyeluruh. Sebelum dilakukan
Kabat, stimulasi dengan es harus dilakukan pada otot tertentu., agar dapat
meningkatkan kekuatan kontraksinya.
(Nabeel, 2007)Gambar 2.8
Rehabilitasi Kabat
(Nabeel, 2007)Gambar 2.9
Rehabilitasi Kabat
Frekuensi dilakukannya keempat terapi diatas berbeda-beda, tergantung dari
tingkat beratnya penyakit tersebut sesuai dengan klasifikasi dari House-
Brackman.
Table 2.4 Frekuensi Terapi
Bulan Sesi/minggu
Pertama 3 sesi/minggu
Kedua 2 sesi/minggu
Ketiga 1 sesi/minggu
(Nabeel, 2007)
Selain keempat terapi fisik diatas, beberapa penelitian lain salah satunya
oleh David (2007) menggunakan terapi elektroakupuntur yang juga dapat
bermanfaat untuk paralisis fasialis perifer. Elektroakupungtur (EA) merupakan
stimulasi elektrik dari titik akupungtur melalui jarum. Listrik yang megalir
melalui jarum memberikan stimulasi lanjutan, biasanya selama 20-30 menit. EA
diterapkan pada titik-titik yang sama seperti akupungtur tradisional atau
akupungtur manual (MA), dan dilakukan berdasarkan indikasi bila rangsangan
MA tidak berespon. EA diindikasikan untuk nyeri (sindrom obstruksi yang nyeri),
paralisis (baik flacid maupun spastik), hilangnya otot-otot (sindrom kelainan
atropi). Teknik EA ini terdapat efek yang menguntungkan pada mikrosirkulasi,
inflamasi, dan saraf yang mengalami kerusakan.
Beberapa keuntungan lainnya dari EA yaitu:
a. Lebih efektif dibanding MA pada beberapa situasi, dan efek potensiasi
dari metode tradisional.
b. EA sedikit memakan waktu dan mengurangi perlunya praktisi daripada
MA, baik dalam pelatihannya maupun prakteknya
c. Hasilnya lebih cepat dan lebih panjang efeknya
d. Efek sedikit nyeri, relaksasi, berbeda dengan MA
e. EA lebih terkontrol, lebih baku, dan terukur secara objektif daripada MA
f. Metode stimulasi non-invasive, biaya lebih efektif pasien yang dirawat
dirumah,
g. Kerusakan jaringan minimal.
Menurut Jan Opoline (2008), latihan wajah (facial exercise) dapat dilakukan
bila pasien terlebih dahulu mengenali wajahnya. Dan sebelumnya harus mengenal
juga gambaran otot-otot wajah seperti gambar 2.10. perlu diingat juga bahwa
dalam melakukan latihan tidak memaksakannya. Latihan dilakukan secara rutin 2-
3 kali sehari dan bisa lebih sesuai kemampuan, namun juga ditekankan bahwa
lebih baik melakukan sedikit namun secara benar, dari pada melakukan banyak
dengan cara yang salah. Berikut langkah-langkahnya:
1. Meringis, kerutkan hidung, kembangkan lubang hidung
2. Lengkungkan bibir atas dan naikkan dan tonjolkan bibir atas
3. Tekan bibir bersama-sama. kerutkan bibir & cobalah untuk bersiul
4. Tersenyum tanpa menunjukkan gigi, lalu tersenyum menunjukkan gigi
5. Coba gerakan bibir anda menjadi senyuman kecil secara perlahan. Lalu
dengan lembut kerutkan perlahan dengan kekuatan yang sama dari kedua
sisi
6. Gambarlah sudut mulut ke atas sehingga memperdalam alur dari sisi
hidung ke sisi mulut
7. Keraskan (kerut) dagu; tonjolkan dagu (seperti petinju)
8. Menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, tarik sudut bibir ke arah tengah.
Perlahan-lahan dan dengan lancar dorong ke arah luar dan ke atas
menjadi tersenyum. Lanjutkan gerakan sampai tulang pipi. Gunakan
tekanan kuat
9. Menempatkan 4 jari pada alis mata, dan gosokkan menggunakan tekanan
yang kuat hingga garis rambut. Kembali lagi turun ke alis mata. Lakukan
pemijatan yang sama dengan gerakan memutar pada pipi dan dagu, dan
keluar ke arah telinga
10. Cobalah untuk menutup mata perlahan dan lembut, tanpa membiarkan
mulut menarik atau alis mata bergerak ke bawah
11. Angkat alis mata dan tahan selama 10 detik -15 (hati-hati untuk
synkinesis - tahan dahi di mana sebelum sudut mulut mulai bergerak
atau pipi akan ikut membantu dalam bergerak). Kerutkan dahi
12. Mengerutkan dahi dan menarik alis ke bawah
13. Dengan lembut mengedipkan mata dengan satu mata dan kemudian
disusul yang lain sesuai dengan kemampuan. Jangan dipaksakan
14. Buka mata dengan lebar, tetapi tanpa melibatkan alis. Hentikan jika
melihat ada tindakan otot tidak sesuai
15. Jangan mengunyah permen – hal tersebut merupakan latihan yang salah,
dan dapat mencetuskan synkinesis
16. Jangan mencoba untuk mengunyah makanan menggunakan kedua sisi
mulut (setidaknya saat makan sendiri). hal ini akan membantu
mempertahankan pola yang normal saat gerakan muncul kembali
(Jan Opoline, 2008)Gambar 2.10
Arah Gerakan dan Tarikan Otot-otot Wajah
(Bell’s Palsy Association)Gambar 2.11
Latihan Wajah pada Bell’s Palsy
(Bell’s Palsy Association)Gambar 2.12
Latihan Menutup Mata pada Bell’s Palsy
2.2.6 Prognosis dan komplikasi
Secara umum, prognosis pada pasien Bell’s palsy sekitar 71% mengalami
pemulihan sempurna sekitar 6 bulan tanpa terapi. Dalam 6 bulan ini semua pasien
setidaknya menunjukkan sedikit perbaikan (Murthy & Saxena, 2011).
Prognosis yang dapat dilihat dari terapi yang diungkapkan oleh Nabeel
(2007), mayoritas pasien dengan paralisis nervus fasialis sekitar 85% pulih dalam
3 minggu pertama setelah onset terapi. Sementara 15% pemulihan berlangsung 2-
3 bulan setelah onset terapi. Pemulihan yang buruk biasanya ditetapkan setelah 6
bulan dari onset terapi, yang tercatat pada pasien dengan riwayat diabetes,
hipertensi dan obesitas.
Faktor resiko yang dapat berpengaruh terhadap prognosis yang buruk
(Nabeel, 2007), dapat dilihat dari table dibawah ini:
Tabel 2.5 Faktor Resiko yang Mempengaruhi Prognosis
Faktor Resiko Tinggi respon NET* Pemulihan yang buruk signifikan 83% pada pasien yang menunjukkan respon buruk terhadap NET pada sisi yang terkena
Pemulihan setelah 1 bulan onset terapi
79% pasien dengan grade 4 atau lebih setelah 1 bulan akan memiliki prognosis buruk dibandingkan pasien dengan grade 3 atau kurang
Faktor Resiko Sedang Tingkat Beratnya paralisis fasialis
47% pasien dengan paralisis berat (grade 5 keatas) memiliki prognosis buruk dari pada pasien dengan paralisis yang tidak
sempurna/inkomplit (grade 4 kebawah)
Usia 26% >50 tahun memiliki prognosis buruk yang signifikan
Faktor Resiko Rendah
Penyebab dari paralisis fasialis
24% pasien dengan VZV** menyebabkan prognosis lebih buruk dibanding penyebab lainnya
Reflek stapedius *** Jika reflek stapedius tidak ada, hanya 20% memiliki prognosis buruk
(Nabeel, 2007)
*Nerve excitability test, dilakukan oleh spesialis THT**varicella-zoster virus***dilakukan oleh spesialis THT
Beberapa kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi adalah iritasi dan
ulkus kornea yang dikarenakan mata tidak dapat ditutup, sehingga kurangnya
perlindungan bagi mata tersebut. Oleh karenanya, mata seharusnya diberikan
perlindungan mata.
BAB 3
KESIMPULAN
Bell’s palsy merupakan kondisi neurologis akibat lesi dari nervus kranialis
VII mengakibatkan onset akut atau paralisis total pada wajah sisi ipsilateral, yang
umumnya idiopatik. Beberapa etiologi menyebabkan penyakit ini jarang akibat
dari otitis media supuratif kronik. Gejala klinisnya tergantung dari tingkat lesi dan
dapat dinilai berdasarkan gradenya. Diagnosis banding yang mirip yaitu lesi
nervus fasialis tipe sentral yang bisa terlihat perbedaannya secara inspeksi,
kerutan dahi pasien tampak normal baik sisi kiri maupun kanan berbeda dengan
tipe perifer pada sisi yang lumpuh tidak terdapat kerutan dahi.
Penatalaksanaan Bell’s palsy dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi medis dan
non-medis. Terapi medis dapat dicapai dengan pemberian kortikosteroid dan
antiviral yang terbukti dari beberapa penelitian memberikan efek yang lebih baik
dibandingkan dengan kortikosteroid saja. Dan dapat diberikan perlindungan mata
seperti lubrikasi tetes mata. Sedangkan terapi non medis yaitu dengan terapi fisik
yang dapat dicapai dengan bermacam-macam metode, yaitu terapi elektrik,
melatih kembali neuromuskular, pemijatan manual, rehabilitasi kabat, dan
akupungtur elektrik. Metode yang sangat mudah dan lebih ekonomis bisa dengan
pemijatan manual dan juga rehabilitasi kabat dan juga latihan wajah (facial
exercise). Berbagai metode terapi yang ada memberikan respon berbeda pada tiap-
tiap pasien terkait dengan adanya faktor resiko yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
AAA, 2009, Middle Ear or Tympanic Cavitiy: American Journal of Anatomy, vol 10, Baltimore, Wistar Institute of Anatomy and Biology
Bell’s Palsy Association, ---, diakses 3 April 2012, http://www.bellspalsy.org.uk/exercises1.pdf
David, 2007, Electroacupuncture: An Introduction and Its Use For Peripheral Facial Paralysis, no.84, Journal of Chinese Medicine
Donald, 2004, Bell’s Palsy, vol 351, Denver, Massachusetts Medical Society, pp.1323-1331
Efiaty dkk, 2009, Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher: Kelainan Telinga Luar, cetakan VI, FKUI, Jakarta, pp.11-13
Harold & Patrick, 2007, Facial palsy: ABC of Ear Nose Throat, ed 5th, USA, Blackwell, pp.34-36
Jan Opoline, 2008, Bell’s Palsy Information Site, diakses 2 April 2012, http://www.bellspalsy.ws/exercise.htm
Jacqueline, 2008, New Concepts in Non-Surgical Facial Nerve Rehabilitation, diakses 9 April 2012, http://www.bellspalsy.ws/retrain.htm
Jeffrey et al, 2007, Bell’s Palsy: Diagnosis and Management, vol 76 no.7, Chicago, American Family Physicians, pp.997-1002
Murthy & Saxena, 2001, Bell’s Palsy: Treatment Guidelines, vol 14, India, Department of Neurology, The Institute of Neurological Science, pp.70-72
Nabeel, 2007, Physical Therapy Management for Facial Nerve Paralysis, Kuwait, Committee of Physical Therapy Protocols
Rohkamm, 2004, Facial Nerve: Color Atlas of Neurology, ed 2nd, New York, Thieme, pp.96-99
Shafshak, 2006, The Treatment of Facial Palsy From the Point of View of Physical and Rehabilitaion Medicine, vol 42, Egypt, Department of Physical and Rehabilitation Medicine Faculty of Medicine, Alexandria University, pp.41-47
Stephen, 2010, Trigeminal Neuralgia Bell’s Palsy and Other Cranial Nerve Disorder: Harrison’s Neurology in Clinical Medicine, ed 2nd, chapter 29, United States, McGrawHill, pp.379-380