terjemahan: performance budgetingtjahjanulindomai.lecture.ub.ac.id/files/2014/10/pak-ulin... ·...
TRANSCRIPT
1
TERJEMAHAN:
PERFORMANCE BUDGETING
Ronald McGill (2001)
United Nations Capital Development Fund, New York, USA
Kata kunci: Organisasi, Perencanaan, Output, Performance
Abstrak
Paper ini adalah yang keempat dari seri institutional development (ID) di
pemerintah di negara berkembang. Seri pertama adalah tentang pemahaman
ID. Yang kedua adalah tentang pengujian ID di fase diagnostik analisis
organisasi selama reformasi civil service. Seri ketiga menjelaskan spektrum
ID di reformasi civil service, tepatnya di analisis fungsional basis-klien yang
membantu terjadinya reformasi struktur dan proses. Paper menjelaskan
konsep dan pengembangan dari proses ID lewat istilah generik performance
budgeting (PB). Pemerintah US memiliki pengalaman dalam hal PB, karena
US adalah tempat kelahiran dari konsep dan praktek PB. Review komparatif
antara negara OECD dan US dilakukan. Prinsip yang terbentuk di negara
tersebut dibandingkan dengan pengalaman praktek PB di Tanzania dan negara
bagian Andhra Pradesh di India. Hasil perbandingan adalah empat prakondisi
yang mendasari performance budgeting.
Pendahuluan
Pemerintah US adalah pionir dari performance budgeting (PB). Dalam
prakteknya, konsep dan praktek dari performance budgeting masih sulit
memuaskan politisi dan manajer publik. Karena itulah, implementasi PB
berkembang sampai generasi keempat. Manajer publik dan perencana
kebijakan sulit memahami keuntungan dari pengeluaran publik. Bila dianalisa
2
dengan cermat, keuntungan ini berputar pada tiga prinsip, yaitu dampak
pengeluaran, output untuk mencapai impact, dan proses untuk mencapai
output. Di sektor privat, tidak ada masalah karena efisiensi didapat dari profit
riil yang harus di atas biaya operasional. Pasar menjadi tempat pengujian. Di
lain pihak, tidak ada pengujian seperti ini di administrasi publik. PB adalah
upaya menciptakan sektor publik (non-trading) yang setara dengan disiplin
pasar. Jika ini bisa dilakukan di negara yang secara ekonomi maju, ini
pastinya juga bisa dilakukan di negara berkembang. Sayangnya, catatan
tentang ini di negara berkembang masih sedikit.
Selain pengalaman peneliti di Tanzania dan Andhra Pradesh,
signifikansi dua tempat tersebut adalah karakteristik umum yang berkembang
menjadi sebuah ekonomi modern. Tanzania adalah salahsatu negara termiskin
di dunia yang berusaha mengembangkan civil service modern. Satu fitur
pendekatan modern ke manajemen publik adalah upaya memperkenalkan PB.
India adalah negara demokrasi terbesar di dunia, tapi juga bangsa yang
ekstrim. Tampilan pemerintah sentral dan pemerintah negara bagiannya
malah mirip karakteristik negara-negara Afrika, yaitu pegawai pemerintah
yang berjumlah banyak dan tidak efisien. Meski begitu, berbeda dari
Tanzania, India menjalankan PB sejak PB diperkenalkan resmi di pertengahan
1970-an. Di beberapa tahun terakhir, komitmen pelaksanaan PB memudar,
dan ini terjadi di Andhra Pradesh.
Paper, karena itu, mencoba menginvestigasi konsep dan praktek dari
performance budgeting (PB). Ini dilakukan dengan mereview sejarah
berdasarkan perspektif Amerika. Analisis komparatif dilakukan berdasarkan
penelitian di negara OECD dan beberapa negara bagian Amerika. Hasil
analisis yang diinginkan di sini adalah identifikasi beberapa prinsip general.
Ini nantinya memudahkan PB diuji berdasarkan praktek. Bagian ketiga,
karena itu, menjelaskan tantangan praktek performance budgeting pada civil
service Tanzania. Bagian keempat menjelaskan sistem performance budgeting
3
dari pemerintah negara bagian India. Bagian terakhir berisi kesimpulan.
Intinya, paper mencoba menjelaskan prinsip PB dan tantangan praktek di
beberapa bagian negara berkembang.
Perspektif historis Amerika
United States General Accountant Office (1997) memberikan review historis
tentang PB. Dikatakan bahwa sejak tahun 1950, pemerintah federal
mengupayakan empat inisiatif pemerintah yang dijalankan untuk
menyesuaikan keputusan pengeluaran dan performance yang diharapkan – ini
disebut “performance budgeting” (PB). Konsensus yang didapat adalah bahwa
semua usaha ternyata gagal mengalihkan fokus proses budget federal dari
konsentrasi kepada item pengeluaran pemerintah, menjadi konsentrasi kepada
hasil program.
Meski gagal, didapat satu kesimpulan, yaitu bahwa PB adalah proses
menghubungkan hasil ke level budget, tapi tidak ke pendekatan tertentu.
Karena itu, tidak ada proses PB definitif. Konsep dan teknik PB sudah
berkembang sejak tahun 1950. Perkembangan pertama berasal dari Hoover
Commission di tahun 1949. Perkembangan kedua adalah planning-
programming-budgeting-system (PPBS), yang digagas oleh Presiden Johnson
dari tahun 1965. Perkembangan ketiga adalah management by objectives
(MBO) yang dijalankan di tahun 1973 oleh Presiden Nixon. Yang terakhir
adalah zero-base budgeting (ZBB) yang dijalankan oleh Presiden Carter.
Semua perkembangan ini menghasilkan sebuah aturan yaitu Government
Performance and Results Act (GPRA). Setiap inisiatif memiliki beragam
prosedur yang memiliki keunikan tersendiri dalam menghubungkan
sumberdaya dan hasil.
“Performance Budget” dari Hoover Commission dijalankan untuk
memindah fokus dari input pemerintah ke fokus fungsi, aktivitas, biaya dan
pencapaian. Karena itu, bukannya menitikberatkan pada item pengeluaran –
4
seperti gaji, sewa dan perlengkapan – sebuah performance budget lebih
mendeskripsikan sebuah harapan hasil dari fungsi atau aktivitas tertentu –
seperti senjata atau training. Meski sukses, yang menjadi persoalan adalah
bahwa budget tidak menghubungkan “program dengan biaya”. PB ternyata
“memiliki kesulitan praktek lebih besar dibanding yang dibayangkan”.
Karena performance budget tidak berkembang menjadi program budget
sebenarnya, maka Kongres memilih kembali ke sistem lama. Ini menjadi
kelemahan serius, tapi ini juga menggambarkan tuntutan intelektual dan
praktikal dari PB.
Planning-programming-budgeting-system (PPBS) berasumsi bahwa
level dan tipe performance yang berbeda bisa dipelajari, dihitung, dan
dianalisa untuk membuat keputusan budgeting terbaik. Proses inti PPBS
adalah presentasi dan analisis pilihan yang berisi sejumlah target kebijakan
jangka panjang dan beberapa cara untuk mencapainya. Performance, karena
itu, didefinisikan sebagai output lembaga, beserta “struktur program sebuah
lembaga yang menghubungkan output dengan target jangka panjang”.
Struktur inti PPBS adalah “program”. Contoh program adalah pendidikan.
Untuk program ini, kategori programnya adalah pendidikan sekunder, sub-
kategorinya adalah aktivitas kejuruan (vokasional), dan elemennya (inputnya)
adalah buku dan pengajar. PPBS sebagai inisiatif pemerintah dihentikan
secara formal di tahun 1971. Kompleksitas analisis dan dimensi politisnya
yang sulit (sifat non-kuantitatifnya) menimbulkan masalah besar. Prinsip
PPBS dianggap “benar hanya di konsep”. Ide baru memang dibutuhkan tapi
harus dijalankan.
Management by objectives (MBO) menghubungkan target lembaga
dengan permintaan budget-nya. MBO didesain untuk membuat manajer
bertanggungjawab dalam mencapai output dan hasil yang disepakati.
Performance didefinisikan sebagai output lembaga dan efisiensi dari proses
untuk mencapai output. Untuk memahami performance, hasil pengeluaran
5
federal harus dinilai, dan hasil tersebut disebut “outcome”. Kehancuran MBO
dikondisikan secara politis oleh mundurnya Presiden Nixon. Secara teknis,
kegagalannya adalah bahwa MBO terpisah dari proses formulasi budget yang
ada, dan kesulitannya dalam mengidentifikasi dan mengukur target. Meski
begitu, MBO berhasil dalam “menegosiasikan goal dan membuat bawahan
bertanggungjawab untuk mencapai goal”.
Zero-base budgeting (ZBB) mengharuskan lembaga “menset prioritas
berdasarkan hasil program yang bisa dicapai di level pengeluaran alternatif,
yang pastinya harus di bawah pendanaan yang ada”. Dalam membuat proposal
budget, alternatif ini diranking satu sama lain dan diurutkan. ZBB berupaya
menciptakan keterkaitan jelas antara sumberdaya budget dan hasil program.
Kunci bagi ZBB sebagai proses adalah bahwa planning dan budgeting harus
dilakukan bersamaan. Keduanya ibarat adalah bagian dari proses sama.
Kegagalan ZBB adalah kelemahannya dalam perhitungan paket-keputusan,
besarnya jumlah kertas yang mendukung proses, dan masalah proses dan
aktivitasnya, bukan bagaimana cara ini dijalankan.
GPRA berusaha belajar dari aktivitas masa lalu. Ada empat prinsip
yang diatur di sini:
• Warisan budgeting dari Hoover Commission adalah lompatan besar
secara konseptual dari input-based budgeting sampai output-based
budgeting. PB dikatakan gagal jika konsep ini tidak diterima dan tidak
dipraktekkan.
• Warisan PPBS adalah program sebagai unit kunci dari analisis
planning dan budgeting. Meski begitu, PB harus memadukan struktur
program dengan struktur organisasi yang direpresentasikannya.
• MBO menciptakan prinsip akuntabilitas manajemen bagi output
program dan pola pengeluaran untuk mencapainya. PB adalah pondasi
6
untuk menciptakan kesepakatan performance dengan manajer
(programer) senior lembaga.
• ZBB menekankan perlunya sekuensi ranking, bukan kategorisasi
program. PB mengharuskan adanya sekuensi set-prioritas sehingga
pilihan sulit selalu ada.
Point terakhir adalah yang paling mendasar dari itu. Semua target layanan
perlu diidentifikasi. Target didaftar berdasarkan prioritas. Dalam teorinya,
target tahunan mengalir dari kerangka strategis. Budget ceiling (atap budget)
dari sebuah organisasi dibuat oleh pusat. Di negara berkembang, yang
dilakukan tidak hanya mencapai semua target. Tim manajemen harus bekerja
menyelesaikan item dari bawah daftar target hingga mencapai break-even
point (level jangkauan). Karena itu, goal, target dan strategi (didominasi
kebijakan) selalu dibatasi oleh realita atap pengeluaran di tahun selanjutnya
(biasanya didominasi budget).
Pengalaman komparatif terbaru
Analisis komparatif internasional terbaru diproduksi oleh OECD (1997).
Eksperimen dan pengalaman performance budgeting bisa dikatakan luas. Di
Finlandia, results-budgeting digunakan untuk administrasi negara
keseluruhan. Di Swedia, proses performance budgeting baru berhasil
memperbaiki laporan tahunan (yang memperlihatkan apa yang dicapai dan
dimana performance mengalami perbaikan).
Selandia Baru memiliki hubungan paling dekat antara alokasi
sumberdaya dan performance. Fokusnya, karena itu, diberikan ke output,
bukan hasil (outcome). Sebuah fokus output menghasilkan produksi efisien,
tapi ada kemungkinan menghasilkan produk atau layanan yang salah. Untuk
memahami prinsip performance organisasi berdasarkan impact-nya, maka
laporan tahunan dijadikan sebuah fitur dari performance budgeting. Argumen
7
tentang analisis “output-impact” dan laporan tahunan yang terkait dengan
siklus planning banyak dibahas di literatur sebelumnya (McGill, 1984).
Laporan tahunan semakin populer dan digunakan sebagai sarana untuk
menghubungkan budget dan informasi performance. Di Australia, Swedia,
Finlandia dan Kanada, ada peralihan, yaitu dari performance budgeting ke
fokus lebih kuat pada laporan tahunan. Ini berarti bahwa laporan tahunan
memunculkan pertimbangan lebih diskursif tentang performance dan
menghasilkan alokasi budget yang berkaitan dengan performance, khususnya
dalam konteks kerangka strategis atau planning. Ini berbeda dari
pertimbangan kurang strategis antara alokasi budget detail di level program
dan level input detail. Kerangka strategis untuk kondisi PB, karena itu, jelas
diperlukan.
Ada beragam pendekatan ke PB. Setiap pendekatan berbeda teknis. Di
sini, diberikan dua contoh analisis pertanyaan. Untuk pertanyaan “keputusan
yang didasari performance” (dalam proses budgeting), didapatkan sejumlah
respon affirmatif (dalam kadar berbeda) dari Australia, Kanada, Denmark,
Finlandia, Perancis, Belanda, Selandia Baru, Swedia, UK dan USA. Untuk
pertanyaan tentang “alokasi berbasis performance” (dalam budget),
didapatkan tiga jawaban positif. Di Selandia Baru, “budget lebih didasarkan
pada output daripada input – yaitu menghubungkan alokasi sumberdaya
sedekat mungkin dengan performance”. Respon Swedia menjelaskan
alokasinya ke sektor universitas, yang “dihubungkan langsung ke
performance” (jumlah ujian yang dilewati dan kursus yang dituntaskan). Di
US, alokasi berbasis-performance (sumberdaya) adalah salahsatu tujuan
utama dari GPRA.
Pemerintah negara bagian Maine di US (1996) memiliki panduan untuk
strategic planing dan performance budgeting. Panduan tersebut
mendefinisikan kebutuhan akan PB dan proses yang harus dijalankan.
Kuncinya adalah pada hasil (outcome). Hasil ini adalah hasil kerja dari
8
sebuah lembaga – yaitu impact-nya terhadap publik yang dilayani. Sarana
untuk melayani publik adalah output, yaitu barang dan layanan yang
dihasilkan oleh lembaga. Proses mencapai output agar output menghasilkan
impact adalah PB, dan karena itu, PB adalah metode untuk mengalokasikan
sumberdaya yang didapat dari rencana strategis. Definisi rencana strategis
dirasa penting dalam hal ini.
Panduan tersebut menyatakan bahwa rencana strategis adalah
“dokumen yang berorientasi ke kebijakan jangka panjang yang memetakan
sebuah jalur antara masa sekarang dan visi masa depan”. Panduan tersebut
juga mengidentifikasi misi, goal, target dan strategi basis-hasil dari sebuah
lembaga negara dan membantu pelaksanaan alokasi sumberdaya berbasis
prioritas. Unit dasar dari analisis adalah program. Sebuah program adalah
“sekelompok aktivitas dan hasil yang diharapkan, yang diarahkan menuju
pencapaian set goal dan tujuan”. Di sini, sebuah program merepresentasikan
sebuh departemen, sebuah biro, sebuah divisi atau sebuah entitas operasi lain
yang menjadi tempat alokasi dana dari legislatur.
Ada juga teks yang lebih diskursif tentang PB (Friedman, 1997). Ini
berisi pengalaman negara bagian seperti Texas, Arizona dan North Carolina.
Friedman mengemukakan beragam terminologi yang digunakan untuk
mendeskripsikan proses umumnya, yang memiliki tahapan analisis sama
(yaitu dari strategis sampai operasional, dan begitu juga, tentang output dan
outcome). Friedman berusaha menegaskan benarnya perbedaan antara
performance organisasi dan hasil masyarakat (“kondisi nasib”). Berdasarkan
pengalaman Texas, ukuran performance organisasi adalah tentang outcome,
output, input (alokasi sumberdaya) dan juga tes efisiensi (unit biaya, unit
waktu atau ukuran lain yang didasarkan rasio).
Dengan mempertimbangkan perbandingan ini, didapatkan empat
prinsip:
9
(1) Performance budgeting berisi sebuah kerangka strategis (apapun cara
mendefinisikannya) dan mekanika alokasi sumberdaya dibanding
performance. PB, karena itu, adalah redundan secara konsep karena
tidak memiliki konteks strategis untuk mengkondisikan prosesnya.
(2) Konteks strategis untuk PB hanya bisa dipuaskan lewat pelaporan
tahunan publik, dan ini berisi penetapan intensi strategis dan hasil
performance. Performance di sini dipahami dari outcome (impact
masyarakat yang lebih luas) dan output (impact spesifik organisasi).
PB yang ideal adalah ketika koneksi kausal antara output dan impact
bisa dilacak.
(3) PB berasumsi bahwa alokasi budget masa depan dipengaruhi oleh
keputusan yang didasarkan pada performance (yang berisi sebuah
kerangka strategis untuk menbuat keputusan). Lebih tepatnya, alokasi
yang didasarkan pada performance tergantung pada tes performance
spesifik. Dalam kasus apapun, dikatakan bahwa tes riil adalah alokasi
sumberdaya untuk intensi masa depan (rencana). Intensi ini
dikondisikan oleh performance terbaru.
(4) PB membutuhkan empat tes performance dasar, yaitu tes input, tes
output, tes efisiensi, dan assessment untuk impact. Tantangannya
adalah pada pertanyaan: Pada level apa program diadakan (unit dasar
analisis performance)? Apakah ini berada di organisasi (sebuah
lembaga)? Apakah ini didefinisikan di konteks rencana (dijatahkan ke
bagian lembaga yang membantu program)?
Prinsip di atas membantu tes (pengujian) performance budgeting di dua
negara berkembang. Prinsip ini dipilih karena penulis memiliki pengalaman
langsung di dua tempat tersebut. Tempat tersebut dipilih karena keduanya
menggambarkan sisi praktek pelaksanaan ide (Tanzania) atau penguatan ide
10
(Andhra Pradesh). Ini adalah hasil dari pengembangan institusional di negara
berkembang.
Performance budgeting di Tanzania
Tanzania memiliki 26 juta orang. Ada struktur pemerintah tiga-tingkat, yaitu
nasional, regional dan lokal. Pemerintah nasional adalah kekuatan dominan.
Pemerintah regional adalah sebuah layanan administratif, yang mewarisi ide
politik (komisaris regional). Pemerintah lokalnya berisi urban dan rural.
Komitmen pemerintah adalah desentralisasi sampai tingkat terbawah kepada
administrasi yang kompeten. Intinya, ini berisi devolusi pemberian layanan
praktek ke pemerintah lokal (yang juga dikuatkan).
Dalam konteks program reformasi civil service Tanzania, analisis
fungsional bukan hanya membantu penciptaan struktur dan penempatan staff
tapi juga membantu terciptanya sistem planning, budgeting dan pelaporan
tahunan yang baru di setiap kementerian di civil service Tanzania (McGill,
1999). Argumen yang melandasi ini adalah bahwa di dalam agenda
pengembangan institusi yang berisi “reformasi struktur, proses dan konteks”
(McGill, 1995), struktur ramping sulit diciptakan jika proses pendukungnya
tidak ada, padahal ini dibutuhkan untuk menjalankan struktur baru tersebut.
Karena itu, diperkenalkanlah PB.
Di bulan Januari 1998, Kabinet memperkenalkan performance
budgeting ke laporan tahunan pemerintah. Ini diatur dalam Budget Guidelines
periode 1998-1999 sampai 2000-2001. Pemerintah menguji coba PB pada
tujuh kementerian di tahun 1998-1999. Pengalaman yang ada direview agar
semua kementerian bisa membuat dan mengajukan budget performance untuk
tahun 1999-2000. Pengalaman yang ada kemudian dimasukkan ke versi
terupdate dari pedoman operasi PB. Versi baru berisi struktur aturan PB yang
baru. Struktur aturan baru ini menyatakan bahwa PB terintegrasi dengan
11
sistem integrasi manajemen finansial pemerintah (IFMS – integrated
financial management system) dan kerangka statistik finansial pemerintah
(GFS – government financial statistic).
Pedoman ini (Tanzanian Government, 1999) menyatakan bahwa
performance budgeting berusaha merubah orietnasi proses alokasi
sumberdaya tahunan dari incremental budgeting (basis-input) menjadi output
budgeting (basis-target). Budgeting membutuhkan tiga elemen penting:
(1) kerangka performance strategis;
(2) target pemberian layanan untuk tahun selanjutnya;
(3) aktivitas, analisis input dan estimasi.
Konteks untuk performance budgeting dijelaskan dalam laporan tahunan dan
rencana perbaikan layanan dari setiap kementerian (ARSIP – annual report
and service improvement plan). Inti dari planning dan budgeting untuk
performance di dokumen ini adalah:
• Kerangka performance strategis – dalam perspektif tiga tahun
(dijelaskan di Bab 5);
• Performance di tahun lalu (di Bab 5);
• Progress di tahun berjalan (Bab 6);
• Proposal untuk tahun selanjutnya (Bab 7); dan
• Kebutuhan sumberdaya untuk tahun selanjutnya – terkait dengan
tawaran budget (Bab 8).
Beberapa bab lain adalah ringkasan eksekutif (Bab 1), laporan menteri (Bab
2), dan perkenalan oleh sekretaris tetap (PS – permanent secretary) (Bab 3).
Bab inti dijelaskan sebagai berikut.
Bab 4 menjelaskan analisis dan kesimpulan dalam dua bagian. Pertama
adalah tujuan, visi dan misi dari setiap kementerian, yang dikembangkan dari
kebijakan dan analisis dari sektor terkait. Kedua adalah target setiap
12
kementerian (dalam rangking prioritas), kebijakan/strategi, dan target layanan
tiga-tahun (dalam rangking prioritas).
Bab 5 membahas review performance terkait dengan target yang diset
di tahun lalu. Bab 6 mengulas review progress berdasarkan target pemberian
layanan yang diset untuk tahun berjalan. Review untuk assessment jangka
menengah untuk tahun lalu dan tahun berjalan dilakukan untuk memahami
penyesuaian yang mungkin dibutuhkan. Review ini juga berguna untuk
mencari pondasi review yang lebih jelas untuk menset target di tahun
mendatang.
Bab 7 menjelaskan target pemberian layanan untuk tahun mendatang.
Target pembentukan kapasitas dan target investasi modal mendukung target
pemberian layanan. Target tahunan mengalir langsung dari target layanan
tiga-tahun dan target sebelumnya, yang dijelaskan di Bab 4. Target
dipengaruhi oleh performance yang dinilai di tahun lalu (Bab 5) dan oleh
progress di tahun berjalan (Bab 6). Target tahunan adalah basis untuk
membuat estimasi.
Untuk setiap target, ada sejumlah aktivitas yang harus dilakukan.
Aktivitas harus mendeskripsikan aksi yang terlibat dalam mencapai target.
Setiap aktivitas memunculkan set kebutuhan akan input sumberdaya. Sebuah
input adalah kebutuhan sumberdaya yang terhitung untuk
mengimplementasikan sebuah aktivitas.
PB melibatkan dua inisiatif manajemen finansial lainnya. Pertama
adalah integrated financial management system (IFMS) dan kedua adalah
government financial statistic (GFS). Tautan antara PB, IFMS, dan GFS
menghasilkan struktur aturan manajemen finansial terintegrasi yang baru.
Performance budgeting adalah sub-set enam digit dari sistem aturan baru.
Struktur aturan PB berisi tiga bagian:
(1) XX (target);
(2) XX (target tiga-tahun); dan
13
(3) XX (target tahunan)
Setiap angka dua-digit diurutkan berdasarkan rangking prioritas untuk
memperlihatkan target, target tiga-tahun dan target tahunan. Angka “01”
adalah prioritas teratas dan angka terakhir (maksimum “99”) adalah prioritas
terbawah. Karena itu, budget performance adalah kaskade dari prioritas yang
terkait dan terurut. Setiap target tahunan memiliki aturan unik dan
terintegrasi vertikal dengan target tiga-tahun dan targetnya. Sekuensi aturan
pra-PB menjelaskan lokasi institusional (misal, sub-vote). Sekuensi aturan
pasca-PB menjelaskan klasifikasi item pengeluaran. Struktur PB (dan sistem
komputer pendukungnya) melacak berapa banyak biaya yang dikeluarkan
untuk mengimplementasikan sebuah target, sebuah target tiga-tahun atau
sebuah target tahunan. Level agregasi ditentukan oleh kebutuhan reviewer.
Seorang politisi cenderung peduli dengan apapun target, sedangkan akuntan
selalu peduli dengan target tahunan.
Karakteristik kunci dari PB di Tanzania adalah:
• kerangka performance strategis dengan ranking setting target tertentu;
• target pemberian layanan spesifik untuk tahun mendatang;
• aktivitas, analisis input dan estimasi; dan
• PB dan aturan akuntansi untuk melacak pengeluaran per target.
Proses keseluruhan dipusatkan pada laporan tahunan sebuah organisasi
(strategi dan review performance) dan estimasi budget dukungan untuk tahun
mendatang (berdasarkan strategi, yang dikuatkan performance).
Performance budgeting di Andhra Pradesh
Andhra Pradesh memiliki 70 juta orang penduduk (67 juta berdasarkan sensus
1991). Sekitar 27 persen populasi bertempat di area urban. Ukuran rumah
tangga rata-rata adalah 4,77. Sekitar 30 juta orang memiliki pekerjaan, dan
18,7 juta orang adalah pria dan 11,3 juta orang adlaah wanita. Aktivitas
14
ekonomi dominan adalah pertanian dan usaha terkait pertanian. Sekitar 20
juta orang terlibat dalam pertanian (67 persen dari populasi). Segmen terbesar
selanjutnya adalah manufaktur yang diisi adalah 2,5 juta orang. Aktivitas
perdagangan menyerap 2 juta lainnya.
Sebuah review tentang impact dan pengeluaran dari sektor industri dan
perdagangan di negara bagian India Andhra Pradesh (AP) dilakukan di tahun
2000-2001. Review ini dilakukan untuk menilai performance dari departemen
pemerintah negara bagian di sektor industri dan perdagangan. Asumsi awal
bahwa kerangka analitik performance budgeting dibutuhkan terbukti
prematur.
Pedoman Budget Andhra Pradesh (2000), Bab 2, berisi beberapa
gagasan tentang PB. Bila tidak ada teknik ilmiah untuk mengukur output di
proses pembuatan keputusan pemerintah, maka tidak ada cara untuk
memahami apakah berbagai program telah mencapai apa yang ingin
dicapainya. Tanpa target yang didefinisikan baik dan ditentukan waktunya,
maka sulit menganalisa performance administratif. Pendekatan Programme
and Performance Budgeting berisi konsep dan teknik yang direvisi sebagai
substitusi bagi proses budgeting tradisional dalam mencapai targetnya.
Programme and Performance Budgeting berusaha menggunakan mekanisme
built-in untuk memastikan bahwa pendekatan tersebut telah dijalankan
(termasuk penentuan target dan mengidentifikasi sumberdaya yang
dibutuhkan untuk menjalankannya).
PB sejatinya sudah diberlakukan untuk Budget tahun 1987-1988. Tidak
heran bila ini mencerminkan pertimbangan yang direkognisi sebelumnya,
khususnya sebelum tahun 2000. Karena itu pula, keputusan pemerintah untuk
berpindah dari budget pembukuan (book keeper) ke budget manajer
didefinisikan sebagai Programme and Performance Budgeting. Yang
mengejutkan adalah bahwa hasil observasi yang dibahas di sini adalah hasil
pengamatan yang dilakukan pada 1 April 1974.
15
Klasifikasi budget yang baru mulai diperkenalkan lewat statement
bahwa “planning, budgeting, akuntansi dan pelaporan dari operasi harus
diintegrasikan agar bisa mempermudah pelaksanaan Performance
Budgeting”(data budget Andhra Pradesh, 2000). Klasifikasi yang dimaksud
adalah:
• sektor luas (seperti layanan ekonomi);
• kelompok mayor (seperti industri pedesaan dan industri kecil);
• kelompok minor (seperti industri kecil);
• kelompok sub-minor (seperti laboratorium penguji);
• detail (seperti gaji-gaji).
Klasifikasi ini berlaku aktif di sisi audit pemerintah. Klasifikasi ini penting
dalam menciptakan sebuah kerangka evaluasi performance guna pelaksanaan
assessment seputar impact dan pengeluaran.
Departemen (kementerian) yang direview memiliki sebuah
performance budget. Meski secara teknis, tidak sangat terstruktur, budget
tersebut memiliki tiga manfaat signifikan, yaitu:
• mendeskripsikan target dan maksud, dan juga menggambarkan dana
yang dialokasikan untuk meraih manfaat tersebut;
• menggunakan Vision 2020 sebagai sebuah kerangka strategis, dan
menawarkan beberapa koneksi kausal antara Vision dan intensi
pengeluarannya;
• menjadi jembatan antara Vision 2020 dan detail buku estimasi budget.
Selain itu, departemen industri telah memfinalisasi “indikator pembangunan”,
yang dijalankan berdasarkan Vision 2020, dan ini diwujudkan sebagai
rencana implementasi sektoral 2000-2001. Puncak dari rencana ini adalah
target tahunan. Kerangka strategis jangka-menengah juga difinalisasi dan ini
didasarkan pada indikator pembangunan. Karena itu, tahap analisis dari
planning dan budgeting bisa dikatakan berisi item berikut:
16
(1) Vision 2020;
(2) Indikator dukungan pembangunan;
(3) Kerangka strategis jangka menengah;
(4) Performance budget (ringkasan tahunan);
(5) Budget tahunan;
a. Kelompok mayor;
b. Kelompok minor;
c. Kelompok sub-minor;
d. Detail-detail.
Kerangka analitik yang terkait dengan kebutuhan PB digambarkan di Tabel I.
Tabel I. Kerangka analisis budget dasar
Klasifikasi
budget (1)
Contoh (2) Tahap
pelaksanaan
(1)
Tahap
rencana/
budget
Kebutuhan akan
performance
budgeting
Sektor luas Layanan
ekonomi
Visi Vision 2020
diterjemahkan
menjadi visi sub-
sektor (industri dan
perdagangan).
Kelompok
mayor
Industri
pedesaan dan
industri kecil
Fungsi Target Mendefinisikan
target berdasarkan
“indikator
pembangunan”
spesifik dan visi
sub-sektor.
Kelompok
minor
Industri skala
kecil
Program Target
Tiga-
Kesepakatan target
tiga-tahun untuk
17
Tahun pemberian produk
dan layanan.
Kelompok
sub-minor
Laboratorium
pengujian
Skema Target
Tahunan
Menterjemahkan
target tiga-tahun
menjadi target
tahunan, dan
digunakan sebagai
pondasi budgeting.
Detail Gaji Aktivitas Input
Biaya
Estimasi akurat
tentang analisis
aktivitas per target.
Catatan: (1) Diambil dari Pedoman Budget Andhra Pradesh; (2) Diambil dari
buku budget Department of Industry and Commerce.
Tabel I berisi sisi pengeluaran. Tepatnya, ini menawarkan sebuah
struktur yang membuat planning bisa dikunci dalam budgeting. Tepatnya, ini
adalah tes pertama seputar pemahaman yang dibutuhkan dalam analisis
performance. Tes kedua adalah mengekstrak data performance. Ada empat
pertanyaan dalam menganalisis kinerja budget.
Pertama, apakah budget dikeluarkan seperti yang direncanakan? Secara
detail, ini berisi pertanyaan berikut, apakah dana diberikan ke organisasi yang
dikeluarkan dan apakah pengeluaran dilakukan berdasarkan level yang
disetujui. Ini memberikan dasar bagi analisis variansi, meski ini menutupi
beragam pertanyaan manajemen (misal, pengeluaran tidak dilakukan karena
dana tidak dilepas (makro) atau karena manajer lini tidak kompeten dalam
manajemen program (mikro)). Ini tidak dikeluarkan sepenuhnya karena
manajer mendapatkan efisiensi dalam proses pemberian layanan. Ini
18
memunculkan pertanyaan lain seputar insentif institusional untuk efisiensi
budget, dan ini di luar skop paper.
Kedua, apakah pengeluaran bisa meraih output yang diinginkan?
Secara operasional, pengeluaran didasarkan pada target tahunan. Dalam hal
pemberian layanan, pengeluaran didasarkan pada skema tertentu (atau proyek
tertentu). Dalam hal transportasi, mudah untuk menghitung biaya unit untuk
membangun atau merawat satu meter jalan. Dalam industri dan perdagangan,
meski begitu, tidak mudah menghitung biaya unit dari beragam output
departemen pemerintah negara bagian. Contoh, apakah biaya unit setiap
pekerjaan baru bisa diciptakan atau dihemat?
Terakhir, apakah output memiliki dampak (kumulatif) dalam
pembangunan? Pengalaman Selandia Baru mempertegas adanya definisi
teknis sempit di lingkungan yang terkontrol, yaitu apa yang dihasilkan
kementerian lewat cara output. Patokan yang digunakan di sini adalah bahwa
ukuran impact seringkali adalah sifat masyarakat – seperti pengurangan angka
kejahatan – dan ini tidak selalu terlihat jika output kementerian (seperti
menyebar lebih banyak polisi di jalan) adalah tautan kausal dengan impact
yang diinginkan, yaitu pengurangan angka kejahatan. Faktor lain mungkin
juga terlibat di satu tahun tertentu, seperti lapangan kerja yang terisi.
Intinya, tantangan yang dihadapi adalah mencari impact dari target
(kelompok mayor) dan output dibanding dengan impact dari program
(kelompok minor).
Karakteristik kunci dari PB di Andhra Pradesh adalah:
• kerangka strategis yang longgar;
• definisi program didasarkan pada organisasi;
• PB dan aturan akuntansi.
Karena itu, meski ada beberapa bahan penting, praktek PB cenderung minim
komponen sentral dinamis. Siklus budget dan kebijakan yang terstruktur,
19
eksplisit dan formal, semacam di Tanzania, cenderung dipusatkan ke laporan
tahunan.
Prinsip umum dan kesimpulan
Prinsip umum dari PB akan dijelaskan sebagai berikut. Masing-masing
prinsip didasarkan pada pengalaman di Tanzania dan Andhra Pradesh (AP).
• PB bisa gagal sejak awal khususnya jika peralihan dari budgeting
basis-input kepada budgeting basis-output tidak diterima, dan karena
itu, tidak dipraktekkan.
Di Tanzania, perubahan dari budgeting basis-input ke budgeting basis-output
dikatakan jelas dan eksplisit. Dalam hal praktek, ini didasarkan pada
pedoman operasi PB. Di Andhra Pradesh, peralihan yang dibutuhkan
dirasakan di level nasional dan level negara bagian, dan ini dijelaskan di
pedoman budget. Meski begitu, budgeting negara bagian Andhra Pradesh
(lewat inersia) berusaha kembali ke penyesuaian inkremental tahunan.
• PB adalah redundan secara konsep tanpa konteks strategis untuk
mengkondisikan proses alokasi sumberdaya.
Di Tanzania, konteks strategis didefinisikan secara eksplisit berdasarkan
intensi organisasi yang diikuti oleh target terhitung, target tiga-tahun dan
target-tahunan, yang dikondisikan oleh sebuah review performance. Di
Andhra Pradesh, Vision 2020 yang baru masih harus diterjemahkan menjadi
target terkait, seperti yang ditunjukkan di Tabel I.
• Konteks strategis dari PB bisa dipenuhi lewat pelaporan tahunan
publik, yang didasarkan pada hasil (impact masyarakat yang lebih
luas) dan output (pencapaian yang bisa dilacak sebabnya dan
cenderung spesifik organisasi).
20
Di Tanzania, laporan tahunan dan rencana perbaikan layanan adalah
prakondisi eksplisit dari penentuan estimasi tahunan. Ini berisi tes output dan
tes impact. Di AP, dokumen publik semacam itu tidak dibutuhkan. Karena
itu, tidak ada planning tahunan dan siklus review yang eksplisit.
• PB berasumsi bahwa tes sebenarnya adalah alokasi sumberdaya
berdasarkan intensi masa depan (rencana) tapi ini dikuatkan oleh
performance terbaru.
Pengalaman PB Tanzania yang terbatas membuat budgetingnya disesuaikan
dengan intensi planning. Butuh tiga tahun untuk beralih ke siklus review
performance yang penuh (performance tahun lalu, progress tahun berjalan,
dan target tahun selanjutnya, semuanya dikondisikan oleh review impact di
setiap tahun ketiga). Di Andhra Pradesh, tidak ada assessment seputar target
program karena memang tidak ada target tertentu, target tiga-tahunan atau
target tahunan (dalam format yang yang dibutuhkan, setidaknya di sektor
yang di-review).
• PB mengharuskan semua prioritas untuk dirangking urut sehingga
pilihan sulit tidak akan dihindari.
Di Tanzania, format dan struktur penentuan prioritas dibuat eksplisit
berdasarkan target, target tiga tahunan dan target tahunan. Di Andhra
Pradesh, prioritisasi dijelaskan berdasarkan jumlah sumberdaya yang
dialokasikan ke berbagai program. Selain itu, zero-budgeting yang terbaru
berhasil menutup beberapa pengeluaran yang kepentingannya minor.
• Unit analisis planning dan budgeting dari PB adalah program. Meski
begitu, PB harus memadukan struktur program dengan struktur
organisasi yang direpresentasikannya.
21
Di Tanzania, program tidak digunakan dalam PB. Selain itu, unit kunci
analisis adalah vote (sebuah kementerian) dan sub-vote (departemen).
Selanjutnya, departemen disamakan dengan fungsi. Berbagai section di dalam
departemen disamakan dengan tugas. Aktivitas spesifik dikatakan sebagai
“pejabat terskedul” (tujuan utama setiap pejabat adalah aktivitas di dalam
section). Tanzania kemudian memperkenalkan program antara vote dan sub-
vote Meski begitu, mereka tidak memiliki practical budgeting impact atau
reporting impact.
Sebaliknya, Andhra Pradesh memiliki definisi sebuah program yang
sangat terstruktru berdasarkan mode lain dari pemberian layanan, dan ini
berkaitan dengan struktur budget dan akuntansi dari sebuah organisasi (Tabel
I).
• PB adalah pondasi perjanjian performance dengan manajer senior
agensi.
Tanzania mulai berpindah ke sistem perjanjian performance. Intensi dasar
dari ini adalah menggunakan PB sebagai pondasi dari perjanjian, khususnya
di level vote (sekretaris permanen), sub-vote (direktur departemen), dan level
seleksi (leader tugas). Tidak ada perjanjian performance di Andhra Pradesh,
meski ada fakta bahwa program dipimpin oleh posisi tertentu (komisaris
normal).
• PB membutuhkan empat tes performance dasar, yaitu input, output, tes
efisiensi dan assessment terhadap impact.
Tes input di Tanzania dipusatkan pada analisis variansi pada setiap sub-vote.
Analisis output adalah tes terhadap target tahunan yang harus dipenuhi. Tes
efisiensi (katakanlah biaya unit) tidak pernah dijalankan. Assessment
22
terhadap impact adalah keharusan dan ini diset terhadap pencapaian target
tiga-tahun dan tes target yang lebih luas. Format assessment-basis masyarakat
juga telah dikembangkan, tapi ini belum dijalankan. Struktur PB dari Andhra
Pradesh mendorong dilakukannya analisis tersebut, tapi ini tidak bisa
dijalankan sebagai bagian otomatis dari proses PB. Review sektoral yang
terpisah masih harus dijalankan.
Prinsip dan observasi PB menghasilkan empat kesimpulan dasar.
Selain perlunya dukungan politik, komitmen top-management, dan ukuran
pembentukan kapasitas, hal berikut dibutuhkan sebagai prakondisi teknis bagi
PB, yaitu:
• Ada kerangka strategis tiga-tahun yang menghasilkan target tahunan
(idealnya, dalam format laporan tahunan);
• Analisis input untuk setiap target adalah pondasi bagi budgeting;
• Sistem kode terstruktur menguatkan sekuensi rangking dan pelacakan
pengeluaran dan target, dan;
• Performance direview untuk progress (pertengahan-tahun),
performance output (tahunan), dan assessment terhadap impact (setiap
tahun ketiga), yang menghasilkan sebuah kerangka strategis baru.
Point terakhir mungkin yang paling diperdebatkan. Demi tujuan menerbitkan
laporan tahunan, sebagai mekanisme yang menetapkan strategi tiga-tahun dan
juga yang mencatat progress tahun selanjutnya, maka emphasis normalnya
diberikan ke proses kesuksesan dan kegagalan program dan proyek. Analisis
terhadap impact mayor, yaitu organisasi keseluruhan (gambaran agregat),
dilakukan terhadap proses tahun akhir dari strategi tiga-tahunan. Ini
mendukung proses review strategis dalam merencanakan dan menetapkan
kerangka strategis tiga-tahunan selanjutnya. Meski begitu, analisis terhadap
impact program atau proyek tertentu, yang mengamati fokus pemberian
23
layanan, harus dijalankan seperti dan ketika dibutuhkan. Ini bisa dimasukkan
ke dalam assessment terhadap impact agregat. Satu cara untuk mencapai ini
adalah menetapkannya di dalam laporan tahunan. Untuk tahun yang
bersangkutan, tema-nya adalah “impact dari inisiatif suplai air ke area
pemukiman liar”. Ini adalah sebuah kontribusi ke pertimbangan agregat tahun
ketiga seputar kebutuhan dan suplai air, ketika personel dari pemukiman
tersebut (stakeholder terkait) berusaha membuat sebuah kerangka strategis
yang baru.
Karena itu, sistem PB dijalankan setiap tiga tahun (bukan tahunan). Ini
menghindari “masa depan perpetual (tidak bisa dirubah)” yang tidak pernah
bisa dicapai. Review tahun ketiga mendorong organisasi untuk fokus ke
tantangan analisis impact. Ini adalah basis dalam menetapkan outcome (hasil)
dan strategi tiga-tahun yang baru.
Dari situ, disarankan agar empat prakondisi dasar sebelumnya menjadi
batu pijakan dari performance budgeting. Ketiadaan satu prakondisi bisa
melemahkan konstruksi praktek PB yang dikondisikan ke lokal.