tesis
DESCRIPTION
keramik berporiTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Semburan Lapindo atau Lumpur Sidoarjo, adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak
tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas yang telah terjadi selama 4 tahun ini
menyebabkan tergenangnya kawasan pemukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur
(Wibisono, 2006).
Lumpur Lapindo memiliki kandungan beberapa oksida, antara lain SiO2,
Al2O3, Fe2O3, TiO2, CaO, MgO, Na2O, K2O dan SO2 dengan kandungan Alumina
(Al2O3) sebesar 18,27%, hal ini didasarkan pada penelitian Aristianto (2006).
Gunradi dan Joko (2007) juga telah melakukan penelitian yang sama terhadap lumpur
Lapindo, bahwa Al2O3 digolongkan sebagai major elemen, karena kadungan Al2O3
sebesar 17,08 18,95%. Setyowati (2007) memanfaatkan tingginya kadar silika
dalam lumpur lapindo sehingga sangat mendukung untuk digunakan sebagai bahan
pembuatan keramik dan genteng keramik.
Uji coba pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai bahan keramik telah dilakukan
juga oleh Satria (2010). Lumpur terlebih dahulu diekstrak dengan aquades agar
garam-garam larut air dapat dihilangkan kemudian dibuat keramik. Keramik juga
dibuat dari lumpur tanpa perlakuan ekstraksi, kemudian dicetak di dalam cetakan
-
2
berbentuk silinder berdiameter 0,8 cm dan tinggi 1,5 cm. Keramik kemudian
dikalsinasi hingga suhu 1200 oC dengan kenaikan suhu secara bertahap. Pemanasan
secara bertahap dimaksudkan agar pengeringan dan pelepasan molekul air pada
sampel keramik lebih merata, sehingga mengurangi kerusakan atau keretakan pada
keramik sebelum memadat dan mengeras, kemudian keduanya dibandingkan. Hasil
uji kekerasan dan densitas menunjukkan nilai lebih tinggi bila lumpur diekstraksi
terlebih dahulu. Dilihat dari kandungan mineralnya maka lumpur Lapindo bisa
dijadikan kandidat bahan untuk pembuatan keramik berpori.
Saat ini keramik berpori dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain
sebagai penyokong katalis, pemurnian air, filtrasi (udara, gas dan cairan), dan
sebagainya. Nainggolan (2008) membuat keramik berpori dengan bahan organik
berupa cangkang kelapa sebagai aditif atau cetakan pori. Keramik yang dibuat
dimanfaatkan sebagai filter gas buang kendaraan. Bahan organik ini ditambahkan ke
dalam bahan dasar keramik berupa clay dan feldspar kemudian dicetak dengan
ukuran diameter 2,19 cm dan tinggi 1,30 cm. Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa
semakin banyak bahan organik yang ditambahkan akan meningkatkan porositas dan
menurunkan densitas dari keramik. Tak jauh berbeda dengan penelitian Subiyanto
(2003) yang meneliti pengaruh suhu sintering dalam proses pembentukan ikatan
dalam keramik. Suhu sintering bervariasi mulai dari suhu 900 oC, 1000
oC, 1100
oC
dan 1200 oC. Karakter struktur mikro dan kekuatan keramik yang baik diperlihatkan
oleh suhu sinter 1200 oC.
Pembuatan dan penelitian tentang keramik berpori dengan metode yang
berbeda antara lain dilakukan oleh Manap (2010). Manap membuat keramik dari
-
3
bahan alam yaitu sekam padi dan ragi sebagai cetakan pori. Sekam padi sebelum ke
tahap selanjutnya ditanur pada suhu 900 oC hingga berbentuk abu. Dengan
kandungan silika yang tinggi, abu sekam padi dijadikan precursor dalam pembuatan
keramik berpori. Proses selanjutnya adalah kalsinasi dengan pemanasan bertingkat
dengan berbagai rentang suhu. Pemanasan ini bertujuan untuk melihat pengurangan
campuran organik secara bertahap serta karakter pori yang terbentuk dari setiap tahap
pemanasan (Rungrodnimitchai dkk, 2009).
Bahan organik yang digunakan sebagai cetakan pori dalam penelitian ini
adalah tanin. Tanin merupakan senyawa polifenol dari golongan flavonoid yang
merupakan hasil dari metabolit sekunder tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang
mengandung tanin adalah jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis dari Hutan Tanaman
Industri seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp) dan
sebagainya. Selain itu tanin juga terdapat dalam tanaman teh (Risnasari, 2002).
Wasrin (2000) memanfaatkan tanin dari kulit kayu Acacia decurrens sebagai bahan
perekat dalam pembuatan papan serat. Tanin terbaik sebagai perekat diperoleh dari
ekstraski serbuk kulit kayu selama 3 jam pada suhu 80 oC. keteguhan papan serat
yang dihasilkan memenuhi persyaratan British Standard.
Dari beberapa uraian di atas maka dalam penelitian ini dibuat keramik berpori
dari lumpur Lapindo dengan tanin sebagai cetakan pori. Pemilihan tanin karena selain
memiliki ukuran molekul besar dengan berat molekul yang mencapai angka 3000
sampai 20000 juga karena bisa berperan sebagai perekat. Kemampuan tanin sebagai
perekat ini diharapkan mampu mengikat butiran partikel lumpur lapindo menjadi
lebih stabil dan mudah untuk dicetak dan disintering. Ketika disintering dengan suhu
-
4
bertahap, tanin akan mulai terdekomposisi pada suhu 300 oC dan pada suhu 800
oC
ikatan C-H pada gugus fenolik terputus (Sumin dkk, 2002). Pada proses ini tanin
akan terurai dan meninggalkan pori pada keramik yang dibuat dari lumpur Lapindo.
Penelitian ini mengkaji variasi penambahan tanin terhadap ukuran pori dan
kekerasan yang terbentuk. Keramik yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi
berupa susut bakar, uji densitas, diameter pori, gambar mikro penampang pori, uji
difraksi sinar-X, uji kekerasan keramik, dan uji asam Bronsted.
1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang diajukan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh penambahan tanin sebagai cetakan pori terhadap
karakter fisik dan kimia keramik berpori yang dibuat dari lumpur Lapindo?
2. Bagaimanakah pengaruh pemanasan bertahap terhadap oksidasi bahan organik
tanin sebagai cetakan pori pada keramik berpori dari lumpur Lapindo?
1.3.Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sampel lumpur Lapindo diambil di bagian pinggir tanggul di Desa Siring
Kecamatan Porong.
2. Tanin yang digunakan sebagai cetakan pori adalah bahan murni.
3. Ekstraksi pengurangan senyawa garam-garam larut air dengan metode yg telah
dilakukan oleh Satria (2011).
-
5
4. Variasi penambahan tanin sebagai cetakan pori dengan batasan 0% sampai 40%
dengan interval 10%.
5. Pemanasan bertahap atau suhu sintering mulai dari suhu 28 oC sampai dengan
1200 oC untuk masing-masing sampel dengan variasi tanin yang berbeda.
6. Karakterisasi keramik berpori lumpur Lapindo meliputi analisa XRF, uji DTA,
susut bakar, uji densitas, uji diameter pori, gambar mikro penampang pori, uji
difraksi sinar-X, uji kekerasan keramik, dan uji asam Bronsted.
1.4.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah:
1. Mengetahui pengaruh variasi penambahan tanin dalam batasan 0% sampai 40%
dengan interval 10% terhadap karakter fisik yang meliputi susut bakar, densitas,
diameter pori, dan kekerasan, serta sifat kimia keramik yang meliputi asam
Bronsted.
2. Mengetahui pengaruh pemanasan bertahap mulai dari suhu 28 oC hingga 1200 oC
terhadap bahan organik tanin sebagai cetakan pori untuk masing-masing sampel
keramik dengan batasan 0% sampai 40%, dilihat dari penurunan massa serta
gambar mikro penampang pori setelah sintering.
-
6
1.5.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai bahan pembuatan keramik berpori dan
tanin sebagai catakan pori.
2. Memperoleh informasi tentang karakter fisik dan kimia keramik berpori yang
dibuat dari lumpur Lapindo dengan tanin sebagai cetakan pori.
-
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sifat Kimia dan Fisika Lumpur Lapindo
Pada tahun 2006 lumpur mulai menyembur di daerah Porong, Sidoarjo.
Lumpur panas yang keluar dari perut bumi memiliki volume sangat besar yang keluar
menimbulkan berbagai dampak buruk pada kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan
masyarakat Sidoarjo pada khususnya. Penelitian oleh Balai Besar Keramik telah
dilakukan untuk mengetahui komponen kimia dari lumpur Porong. Detailnya dapat
dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1. Prosentase komposisi Lumpur Kering didapatkan dengan analisa
kimia (Balai Besar Keramik)
Oksida Prosentase Oksida Prosentase Oksida Prosentase
SiO2 53.08 Na2O 2.97 P2O5 -
Al2O3 18.27 K2O 1.44 SO3 -
Fe2O3 5.6 TiO2 0.57 SO2 2.96
CaO 2.07 MgO 2.89 Senyawa lain 10.15
2.1.1. Sifat Kimia Lumpur Lapindo
Berbagai penelitian mengenai unsur yang terkandung dalam lumpur Lapindo
telah dilakukan, antara lain oleh Aristianto (2006) dan Joko (2007). Selain itu
Seminar Nasional Teknik Kimia (SNTK) juga menyajikan hasil penelitian pada 2009
mengenai kandungan unsur lumpur Lapindo.
-
8
Tabel 2.2. Kandungan Unsur-Unsur Lumpur Lapindo Menggunakan AAS
(Seminar Nasional Teknik Kimia, 2009)
No Parameter Hasil Pengukuran (ppm)
1 Al 138.098,427
2 Ca 1.175,506
3 Cr 14,377
4 Mn 653,846
5 Pb 105,169
6 Si 236.817,104
7 Zn 330,927
Triwulan dkk (2007) melakukan penelitian komposisi kimia yaitu kandungan
oksida dan logam. Hasilnya menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi
kadar silikanya maka kadar aluminanya akan semakin rendah. Dengan tingginya
kadar alumina (Al2O3 sekitar 19%) dapat dipastikan lumpur Lapindo mengandung
mineral feldspar. Disamping mengandung oksida silika dan alumina, lumpur Lapindo
juga mengandung besi oksida sekitar 4,95 6,02% dan menunjukkan kehadiran
serpih merah (red shales). Hal ini akan menjadi tidak normal apabila kandungan
besinya melebihi 12%. Dengan tingginya kandungan alumina dan silika dalam
lumpur Lapindo, maka dapat dijadikan sebagai bahan pembuat keramik. Garam-
garam sederhana yang bukan merupakan komponen utama keramik juga merupakan
bagian dari lumpur Lapindo yang telah dilaporkan oleh United Nations tahun 2006
(Tabel 2.3).
-
9
Tabel 2.3. Komposisi Garam-Garam dalam Lumpur Lapindo
(United Nations, 2006)
Sample Name Cl
-
(mg/L)
NH4+
(mg/L)
NO3-
(mg/L)
SO42-
(mg/L)
PO4
(mg/L)
Mud 2 624,9 4,48 0,000 0,224 0,299
Mud 3+4 mix 876,9 5,96 0,000 6,308 0,0466
Mud 5+6 mix 1264,8 6,765 0,000 17,721 0,0218
Soil 7 5,1 0,061 0,064 11,023 1,3449
Soil 8 7,7 0,101 0,643 13,685 1,4397
2.1.2. Sifat Fisika Lumpur Lapindo
Agustanto (2007) melakukan pengujian berat jenis lumpur Lapindo yang
menunjukkan bahwa lumpur Lapindo memiliki berat jenis berkisar antara 1,24 1,37.
Hasil ini menunjukkan bahwa lumpur Lapindo tergolong cukup berat karena adanya
kandungan berbagai oksida karena oksida silika, kalsium, natrium dan kalium
mempunyai densitas yang berat dan menyebabkan lumpur juga mempunyai densitas
yang berat. Di samping itu, secara fisik lumpur mempunyai ukuran partikel yang
halus, sehingga ruang yang ditempati akan semakin kecil, dan jarak antar partikel
semakin kecil, sehingga dalam satuan volume tertentu akan ditempati partikel lebih
banyak.
Dari hasil analisa keseragaman butir lumpur Lapindo menunjukkan
keseragaman butir (grain size), hal ini menunjukkan bahwa clay merupakan
komponen terbesar (sekitar 81,5%), mengindikasikan butiran lumpur sangat halus.
Dengan ukuran seperti ini memungkinkan pertikel menyusun diri dengan rapat
sehingga tidak mudah disisipi oleh molekul lain (misalnya molekul air). Tetapi
-
10
dengan pengadukan, tumbukan antar partikel akan intensif, sehingga apabila ada
aliran alir yang cukup kuat, secara perlahan partikel lumpur akan saling terlepas.
Scanning Electron Microscope (SEM) alat yang digunakan Timnas PSLS
(2006) untuk memperoleh gambaran pengujian sifat fisika lainnya. Pengujian ini
untuk memperoleh gambaran susunan partikel lumpur secara mikro. Pengujian telah
dilakukan dengan perbesaran 150; 600; 1.000; 2.500, 5000; dan 10.000 kali.
Gambar 2.1 Perbesaran Lumpur 150,
600, 1.000 dan 2.500 kali
Penampang lumpur dengan perbesaran 1.000 kali (Gambar 2.1) mulai
menunjukkan gambaran bahwa struktur kristalnya merupakan lempeng dalam satuan
10 m dan mulai kelihatan adanya poros. Perbesaran penampang partikel sampai
2.500 kali memperlihatkan bahwa partikel lumpur mempunyai bentuk kristal berupa
-
11
lempeng. Pada perbesaran ini belum dapat diukur tebal lempengnya, tetapi sudah
jelas adanya poros di antara lempeng (Timnas PSLS, 2006).
Jadi secara makro, lumpur tidak akan mengendap menjadi seperti semen
(cementing), tetapi karena lempeng kristalnya tipis dan permukaannya luas, maka
dibutuhkan energi sebesar luas permukaan lempeng dikalikan dengan ketebalan
lempeng kali lipat dibanding dengan bentuk kristal kubus. Adanya rongga paling
kurang 30% memungkinkan air menyusup ke dalam rongga. Atas dasar ini, untuk
menghanyutkan lumpur dengan air adalah upaya yang masuk akal (Timnas PSLS,
2006).
2.2.Keramik
Keramik berasal dari kata Ceramos yang berarti batuan yang berasal dari
pegunungan, dan selanjutnya menjadi kata ceramics yang dalam bahasa Inggris
berarti bahan inorganik dan metalik yang merupakan campuran metal dan non metal
yang terikat secara ionik dan kovalen (Sembiring, 1995).
2.2.1. Kategori dan sifat Keramik
Keramik merujuk kepada kategori bahan anorganik yang secara luas memiliki
kekerasan dan kerapuhan tinggi (dekat dengan berlian pada skala Moh), menonjolkan
ketahanan terhadap panas dan korosi, dan sebagai isolator listrik dan panas. Adapun
beberapa senyawa organik yang dikategorikan dalam keramik karena beberapa
derajat kristalinitasnya. Seringkali bahan-bahan ini menunjukkan daerah amorf dan
polikristalin, dengan menunjukkan perubahan mendadak dalam orientasi kristal di
batas butir individu dalam perpanjangan kisi (Fahlman, 2011).
-
12
Bahan keramik terdiri dari fasa kompleks yang merupakan senyawa unsur
logam dan nonlogam yang terikat secara ionik maupun kovalen. Keramik pada
umumnya mempunyai struktur kristalin dan sedikit elektron bebasnya. Susunan kimia
keramik sangat bermacam-macam yang terdiri dari senyawa sederhana hingga
campuran beberapa fasa kompleks. Hampir semua keramik merupakan senyawa
antara unsur-unsur elektropositif dan elektronegatif. Keramik mempunyai sifat-sifat
antara lain mudah pecah dan ketahanan rendah. Kekuatan dan ikatan keramik
menyebabkan tingginya titik lebur, kerapuhan, daya tahan terhadap korosi, rendahnya
konduktivitas termal dan tingginya kekuatan kompressif dari material tersebut.
Keramik secara umum dapat ditunjukkan oleh rumus kimia SiO2, Al2O3, CaO, Na2O,
TiC, UO2, PbS, MgSiO3, dan lain-lain (Joskar, 2009).
Definisi keramik terbaru mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik
yang berbentuk padat. Umumnya senyawa keramik lebih stabil dalam lingkungan
termal dan kimia dibandingkan elemennya. Oleh karena itu sifat keramik juga
tergantung pada lingkungan geologi dimana bahan diperoleh. Secara umum
strukturnya sangat rumit dengan sedikit elektron-elektron bebas (Hardjito dkk, 2005).
Ada tiga kategori keramik: oksida (contohnya alumina, zirconia), nonoksida
(karbida, boride, nitride, dan silisida) dan komposit dari oksida dan nonoksida.
Keramik zirkonia termasuk kategori keramik oksida. Keramik zirkonia
digunakan dalam bidang kedokteran gigi yang dikarakterisasi dengan sifat kekuatan
yang sangat tinggi berdasarkan pada efek transformasi fasa, seperti transformasi
tegangan terinduksi dari fasa tetragonal ke monoklinik pada partikel zirconia
metastabil (Joachim dkk, 2006).
-
13
2.2.2. Manfaat Keramik
Keramik banyak digunakan dalam berbagai bidang terutama dalam bidang
konstruksi dan rumah tangga. Pada umumnya keramik banyak dipakai sebagai
peralatan rumah tangga seperti periuk, belanga, kendi dan berbagai jenis gerabah
lainnya. Selain itu banyak pula yang menggunaannya sebagai barang-barang seni dan
dekorasi, misalnya guci, vas bunga, piring dan gelas hias. Bahan-bahan bangunan
juga banyak yang terbuat dari keramik seperti batu bata, tegel, ubin dan sebagainya.
Karena sifatnya yang tahan panas, tidak korosi dan bersifat isolator, keramik
digunakan sebagai bahan pembuatan komponen elektronika misalnya untuk resistor,
kondensator dan dioda.
Material keramik menawarkan stabilitas kimia dan termal yang tinggi, oleh
karenanya berpotensi sebagai kandidat bahan yang dapat digunakan pada suhu tinggi
dalam lingkungan ekstrim, dimana logam tidak dapat digunakan. Dalam aplikasi
energi masa depan, pada proses dengan suhu tinggi > 1200 oC diperlukan untuk
meningkatkan efisiensi, untuk mengurangi konsumsi bahan bakar, dan mengurangi
emisi. Dengan tujuan untuk mencapai sasaran, material keramik baru dan proses
pembuatannya untuk struktur yang kompleks sedang dalam pengembangan
(Heidenreich dkk, 2008).
2.3.Keramik Berpori
Keramik memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan sebagai filter antara lain tahan
korosi, tidak bereaksi dengan campuran yang dipisahkan serta pori dan kekuatannya
dapat diatur. Porositas dapat diatur antara lain dengan menambahkan bahan aditif
-
14
seperti serbuk kayu dan bahan lain misalnya grog yang dapat menghasilkan gas pada
saat dibakar sehingga meninggalkan rongga yang disebut pori. Hasil pengukuran
keramik cordierite berpori menunjukkan bahwa densitas berkisar 0,75-1,17 gr/cm3,
porositas 58, kekuatan patah 0,5-2 MPa, kekerasan (HV) 0,3-1,8 GPa (Sebayang,
2006).
Dalam beberapa tahun terakhir, keramik berpori menjadi material yang
penting untuk berbagai aplikasi seperti isolasi termal dan/atau suara, absorpsi, filtrasi,
dan sebagai katalis. Berbagai jenis material dan metode telah dipelajari terkait dengan
preparasi keramik berpori (Mizutani, 2004).
Membran keramik berpori telah manjadi perhatian dalam beberapa dekade
terakhir terkait dengan kemampuan uniknya yang dapat digunakan di bawah
lingkungan ekstrim. Membran keramik secara teknik memiliki peranan penting pada
pemisahan dan filtrasi disamping reaksi katalitik, karena memiliki stabilitas kimia
dan termal yang tinggi, dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama dan good
defouling properties jika dibandingkan dengan membran polimer. Beberapa peneliti
telah melaporkan perkembangan sintesis dan mikro struktur membran keramik dan
kegunaannya. Kesulitan terbesar selama pembuatan membran keramik berpori adalah
efisiensi kombinasi dan selektifitas bahan yang digunakan. Ada beberapa cara untuk
mempersiapkan membran keramik berpori berdasarkan pada tipe material yang
digunakan dan karakteristik struktur yang diperlukan (porositas, ukuran pori dan
ketebalan).
-
15
Swedish Ceramic Institute dapat membuat keramik berpori dengan tehnik
yang berbeda yang dinamakan tehnik protein suspensi hingga memperoleh porositas
antara 50-80% dari volume keramik. Refractron Technologies Corp New York USA
adalah badan yang meneliti dan memproduksi keramik berpori, dimana mereka
memproduksi keramik berpori dengan karakteristik standar porositas antara 40-50%
sedangkan HP Technical Ceramics memproduksi keramik berpori dengan standar
porositas 35-50% (Joskar, 2009).
Beberapa aplikasi keramik berpori:
1. Filtrasi udara, gas, dan cairan.
2. Penyokong katalis
3. Proses difusi
4. Penyokong membran
5. Pemurnian
Beberapa sifat keramik berpori:
1. Tahan terhadap temperatur ringgi hingga di atas 1700 F
2. Tidak mudah teroksidasi
3. Tidak mdah terkorosi
4. Tahan terhadap kejutan termal
5. Tahan abrasi
-
16
2.4. Tanin sebagai cetakan pori
Tannin didefinisikan sebagai senyawa fenolik larut air yang memiliki berat
molekul antara 500 dan 3000, memberikan reaksi fenolik umum dan memiliki sifat
khusus seperti kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin dan protein lainnya
(Haggerman, 2002).
Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh
dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas
yang berbeda-beda. Menurut Markham dalam Risnasari (2002), sebagian besar
flavonoid yang berasal dari hasil biosintesa (kira-kira 2% dari seluruh karbon yang
difotosintesis oleh tumbuhan) diubah menjadi tanin, sehingga flavonoid tersebut
merupakan salah satu fenol alam yang terbesar.
Haslam memiliki beberapa istilah polifenol pengganti yang lebih baru untuk
"tannin", dalam upaya untuk menekankan banyaknya karakteristik kelompok fenolik
dari senyawa ini. Dia mencatat bahwa berat molekul setinggi 20.000 telah dilaporkan,
dan kompleks tanin tidak hanya dengan protein dan alkaloid, tetapi juga dengan
polisakarida tertentu. Istilah tanin lebih disukai karena menekankan karakter yang
menetapkan tanin terpisah dari semua fenolat lain, seperti kemampuan untuk
mengendapkan protein.
Proanthocyanidins (tanin terkondensasi) merupakan polimer flavonoid.
Flavonoid adalah kelompok beragam metabolit berdasarkan sistem cincin heterosiklik
berasal dari fenilalanin (B) dan biosintesis poliketida (A). Meskipun jalur biosintesis
untuk sintesis flavanoid dipahami dengan baik, langkah-langkah menuju kondensasi
-
17
dan polimerisasi belum bisa dijelaskan. Kerangka flavonoid huruf standar untuk
menandai cincin dan penomoran, ditunjukkan pada gambar 2.2 dan 2.3.
Gambar 2.2. cincin flavonoid
Tanin terkondensasi yang paling banyak dipelajari didasarkan pada flavan-3-ol, yaitu
(-)-epikatekin, dan (+)-katekin.
(A)
(B)
Gambar 2.3 Flavan-3-ol: epikatekin (A) dan katekin (B)
2.4.1. Beberapa Jenis Tanin yang digunakan sebagai Cetakan Pori
a) Ellagitannin and Dehydroellagitannin
Ellagitannin memeiliki gugus hexahydroxydiphenoyl (HHDP), dan
dehydroellagitannins memiliki gugus dehydrohexahydroxydiphenoyl (DHHDP) yang
-
18
merupakan modifikasi oksidatif gugus HHDP congener mengesterifikasi gugus
hidroksil dalam karbohidrat atau inti siklitol. Beberapa dehydroellagitannins, seperti
geraniin, berbentuk Kristal.
b) Oligomer Ellagitannin and Dehydroellagitannin
Agrimoniin. Dimer ini diisolasi bersama dengan potentillin, unit monomer dari
agrimoniin, dan pedunculagin dari Agrimonia pilosa dan Potentilla kleiniana,
keduanya termasuk Rosaceae. Ikatan -glukosidik dalam agrimoniin dan
potentillin terlihat. Agrimoniin adalah salah satu oligomer yang menunjukkan
host mediasi aktivitas anti-tumor. Agrimoniin juga ditemukan pada spesies
Agrimonia, Rosa, Potentilla dan beberapa Rosaceae genera lainnya.
Gemin A. Dimer ini diisolasi dari Geum japonicum, dan ditemukan secara khusus
dalam spesies Geum, sedangkan agrimoniin terdapat di beberapa genera
Rosaceae. Coriariin A. Dimer ini memiliki poten mediasi host aktivitas antitumor
yang kuat, dan diisolasi dari Coriaria japonica.
Oligomer yang lebih tinggi (pentamer). Pentameric ellagitannins melastoflorin
A-D, diisolasi dari Monochaetum multiflorum, tumbuhan melastomataceous.
Meskipun produk dari oligomer yang lebih tinggi, trimer, tetramer dan pentamer,
umumnya lebih rendah dibandingkan dari dimernya. Kehadiran heksamer dan
heptamer diusulkan berdasarkan pada analisis HPLC-MS. Kegiatan host mediasi
anti tumor dari oligomer yang lebih tinggi agak kurang kuat dibandingkan dengan
beberapa dimer.
-
19
Gambar 2.4. Oligomer Ellagitannin
2.4.2. Sifat Fisika dan Kimia Tanin Tumbuh-tumbuhan
Menurut Browning (1966) sifat utama tanin tumbuh-tumbuhan tergantung
pada gugusan phenolik-OH yang terkandung dalam tanin, dan sifat tersebut secara
garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Sifat kimia tanin
Tanin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus phenol dan bersifat koloid.
Karena itu di dalam air bersifat koloid dan asam lemah.
Semua jenis tanin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar, dan akan
bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tanin akan
-
20
larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik
lainnya.
Dengan garam besi memberikan reaksi warna. Reaksi ini digunakan untuk
menguji klasifikasi tanin, karena tanin dengan garam besi memberikan warna
hijau dan biru kehitaman. Tetapi uji ini kurang baik, karena selain tanin yang
dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan warna
yang sama.
Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol bila
dipanaskan sampai suhu 98,89 0C - 101,67
0C.
Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa dan enzim.
Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer-polimer lainnya
terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik dan ikatan kovalen.
b) Sifat fisik tanin
Umumnya tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah
dioksidasi menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin bentuknya amorf dan
tidak mempunyai titik leleh.
Tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung
dari sumber tanin tersebut.
Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas
dan mempunyai rasa sepat (astrigent).
Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau
dibiarkan di udara terbuka.
-
21
Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan
racun.
2.5. Pembentukan Keramik
Berbagai cara dapat dilakukan pada proses pembentukan keramik, antara lain:
(Nainggolan, 2008)
2.5.1. Die Pressing
Pada proses ini bahan keramik dihaluskan hingga membentuk bubuk, lalu
dicampur dengan pengikat (binder) organik kemudian di masukkan ke dalam cetakan
dan ditekan hingga mencapai bentuk padat yang cukup kuat. Metode die pressing
digunakan dalam penelitian ini karena umumnya digunakan dalam pembuatan ubin,
keramik elektronik atau produk dengan cukup sederhana, dan metode ini cukup
murah.
2.5.2. Rubber Mold Pressing
Metode ini dilakukan untuk menghasilkan bubuk padat yang tidak seragam
dan disebut rubber mold pressing karena dalam pembuatannya ini menggunakan
sarung yang terbuat dari karet. Bubuk dimasukkan kedalam sarung karet kemudian di
bentuk dalam cetaan hidrostatis.
2.5.3. Extrusion Molding
Pembentukan keramik pada metode ini melalui lobang cetakan. Metode ini
biasa digunakan untuk membuat pipa saluran, pipa reactor atau material lain yang
-
22
memiliki suhu normal untuk penampang lintang tetap.
2.5.4. Slip Casting
Metode ini dilakukan untuk memperkeras suspensi dengan air dan cairan
lainnya, di tuang kedalam plester berpori, air akan diserap dari daerah kontak
kedalam cetakan dan lapisan lempung yang kuat terbentuk.
2.5.5. Injection Molding
Bahan yang bersifat plastis diinjeksikan dan dicampur dengan bubuk pada
cetakan. Metode ini banyak digunakan untuk memproduksi benda benda yang
mempunyai bentuk yang komplek.
2.6. Sintering
Sintering adalah teknik pengolahan yang digunakan untuk menghasilkan
kepadatan material yang dikendalikan, dan komponen dari logam dan/atau bubuk
keramik dengan menerapkan energi panas (Kang, 2005). tujuan dari sintering adalah
untuk memadatkan bubuk keramik hingga permukaannya kecil. Hal ini dikarenakan
butiran-butiran dari sampel saling menyatu membentuk ikatan yang kuat
(Nainggolan, 2008).
Untuk memperoleh sifat yang diperlukan dilakukan dengan menghilangkan
kandungan air yang terdaapt dalam sampel. Hal ini dilakukan dengan memanaskan
sampel pada suhu tertentu sehingga diperoleh keramik yang kuat dan padat. Selama
pembakaran bahan keramik, terdapat dua perubahan penting yaitu perubahan bentuk
pori tanpa mengalami perubahan ukuran dan perubahan bentuk dan ukuran pori.
-
23
Secara keseluruhan, kedua perubahan tersebut menyebabkan porositas
berkurang pada keramik umumnya, reaksi tersebut dapat berupa reaksi keadaan padat
membentuk fase baru. Proses terjadinya perubahan tersebut dapat dijelaskan pada
Gambar 2.5 dan 2.6.
Gambar 2.5. Perubahan dan bentuk ukuran pori
Sebagai model untuk menggambarkan terjadinya proses sintering, pada
Gambar 2.6 ditunjukkan dua buah butiran yang saling bersinggungan. Antara kedua
partikel terdapat leher dengan radius kelengkungan (P). tekanan uap pada daerah
leher lebih rendah daripada tekanan uap pada permukaan butiran. Akibat perbedaan
tersebut, material pada permukaan butiran cenderung pindah ke daerah leher dengan
evaporasi kondensasi. Akibat adanya perpindahan material, maka bentuk pori
semakin mendekati bentuk pola dan ukuran yang lebih kecil.
Pembakaran keramik pada umumnya menghasilkan porositas kecil pada
temperatu tinggi.
Gambar 2.6. Tahap awal sintering dengan cara evaporasi dan kondensasi
Perubahan bentuk pori
Perubahan bentuk
dan ukuran pori
-
24
Struktur pori dapat diperoleh dengan beberapa cara:
a. Proses pembakaran berlangsung dengan cara yang sama. Struktur pori akan
terbentuk dengan baik dengan luas permukaan yang besar.
b. Campuran partikel aditif berdiameter lebih dari 20 mm dicampur dengan
serbuk keramik, maka setelah pembentukan dan pembakaran akan dihasilkan
ukuran pori yang bersesuaian. Partikel-partikel campuran serbuk keramik
dengan campuran aditif akan memerlukan lebih dari 20% volum bila porositas
masih ada.
Porositas yang tinggi dapat diamati dari banyaknya partikel yang saling terikat.
Porositas yang kontinu dan tidak kontinu aka bersesuaian dengan komposisi binder
dan sedikit perubahan pada saat pembentukan dan pembakaran. Bahan dengan pori
lebar dapat dihasilkan dengan cara ini.
2.7. Difraksi Sinar-X
Peristiwa hamburan yang terjadi apabila sinar-X datang pada atom-atom
dalam bidang kristal disebut difraksi. Pada tahun 1912, fisikawan Jerman Max Van
Laue menyatakan bahwa jika kristal tediri dari barisan-barisan atom-atom yang
teratur dan sinar-X adalah gelombang elektromagnetik yang mempunyai panjang
gelombang yang sama dengan jarak antar atom pada kristal, maka kristal tersebut
dapat mendifraksikan sinar-X.
Berkas sinar x monokromatik yang ditembakkan pada sebuah kristal akan
dihamburkan kesegala arah. Akan tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada
arah tertentu gelombang yang terhambur itu akan berinterferensi konstruktif,
-
25
sedangkan yang lain akan berinterferensi destruktif. Atom-atom dalam kristal dapat
dipandang sebagai unsur yang membentuk keluarga bidang datar.
Metode difraksi sinar-X memegang peranan yang sangat penting untuk
analisis padatan kristalin yaitu untuk meneliti ciri utama struktur kristal (parameter
kisi) dan untuk mengetahui rincian lain, misalnya susunan berbagai jenis atom dalam
kristal, keberadaan cacat, ukuran butiran dan sub butiran, orientasi, ukuran dan
kerapatan presipitat.
Sinar-X adalah suatu radiasi elektromagnetik yang mempunyai energi pada
kisaran 200 eV hingga 1 MeV. Energi sebesar ini berhubungan dengan panjang
gelombang antara 10 nm hingga 1 pikometer, sehingga kisaran panjang gelombang
sinar-X tersebut sangat cocok digunakan untuk mempelajari jarak antara atom di
dalam kristal umumnya dalam kisaran 0,2 nm (2).
Menurut W.L. Bragg (1913), gelombang-gelombang datang pada atom akan
dihamburkan oleh bidang bidang atom yang sejajar seperti itunjukkan Gambar 2.7
berikut,
Gambar 2.7. Hamburan sinar-X
-
26
Atom atom dalam kristal menghamburkan sinar-X kesegala arah, akan tetapi
dari efek interferensi penguatan (konstruktif) berkas difraksi hanya terjadi pada sudut
tertentu. Sering juga digunakan istilah refleksi Bragg dikaitkan dengan kenyataan
bahwa sudut datang sama dengan sudut pantul tetapi proses fisisnya bukanlah
pemantulan, melainkan efek hamburan bersama. Secara trigonometri dengan
mengikuti persyaratan terjadinya interferensi konstruktif akan diperoleh persamaan :
n = 2d sin .......................................................(2.1)
Persamaan ini dinamakan persamaan Bragg, dimana n adalah orde difraksi,
adalah panjang gelombang yang digunakan, d adalah jarak antara bidang dua atom,
sedang sudut adalah sudut antar bidang-bidang atom dengan arah berkas datang
atau berkas difraksi.
Difraktometer sinar-X merupakan instrumen penting untuk mendeteksi
struktur kristal sederhana. Tingkat atom yang berbeda memiliki indeks Miller yang
bervariasi, memberi peningkatan terhadap puncak difraksi ketika kondisi dari
persamaan Bragg terpenuhi.
2.8. Spektrometer Fluoresensi Sinar-X (XRF)
Spektroskopi Fluoresensi sinar-X (XRF) menyelidiki unsur kimia spesimen
dengan mendeteksi karakteristik pancaran sinar-X dari spesimen setelah diradiasi
oleh sinar-X utama yang berenergi tinggi. Karakteristik sinar-X dapat dianalisa
melalui salah satu dari panjang gelombag atau energi. Dengan demikian ada dua tipe
XRF yaitu spektroskopi panjang gelombang dispersiv atau wavelength dispersive
spectroscopy (WDS) dan spektroskopi energy dispersiv atau energy dispersive
-
27
spectroscopy (EDS). Gambar 2.8 mengilustrasikan secara skematik persamaan dan
perbedaan instrumen WDS dan EDS. Instrumen XRF terdiri dari tiga bagian utama
yaitu sumber sinar-X, sistem deteksi, koleksi data dan sistem proses.
Gambar 2.8. komponen utama WDS dan EDS
Sumber sinar-X menghasilkan siar-X utama untuk mengeksitasi atom
spesimen. Sumber sinar-X yang digunakan sama dengan yang digunakan pada XRD.
Tabung sinar-X dioperasikan pada daya 0,5 3 kW dengan tegangan tinggi 30 50
kV. Alasan menggunakan tegangan tinggi adalah untuk memastikan bahwa potensial
kritis dari karakteristik sinar-X unsur dalam spesimen dapat dilampaui. Rasio
optimum dari tabung tegangan ke potensial kritis berkisar antara 3 5. Radiasi sinar-
X dihasilkan dengan menumbukkan elektron dengan target logam pada tabung.
Logam target meliputi Cr, Rh, W, Ag, Au dan Mo (Leng, 2008).
Prinsip dari analisis XRF hampir sama dengan XRD, yaitu menembakkan
radiasi foton elektromagnetik ke material yang diteliti. Radiasi elektromagnetik yang
dipancarkan akan berinteraksi dengan elektron yang berada di kulit K suatu unsur.
Elektron yang berada di kulit K akan memiliki energi kinetik yang cukup untuk
melepaskan diri dari ikatan inti, sehingga elektron itu akan terpental keluar
(Setiabudi, 2010)
-
28
Kelebihan dari metode XRF adalah dapat menentukan kandungan mineral
dalam bahan biologik maupun dalam material secara langsung, akurasi yang tinggi,
dan dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya standar. Kelemahan dari
metode XRF adalah tidak dapat mengetahui senyawa apa yang dibentuk oleh unsur-
unsur yang terkandung dalam material yang akan kita teliti dan tidak dapat
menentukan struktur dari atom yang membentuk material itu.
2.9.Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan tipe mikroskop elektron
yang penggunaanya paling luas. Memeriksa struktur mikroskopi dengan memindai
permukaan material, mirip dengan mikroskop confocal tapi dengan resolusi yang
lebih tinggi dan kedalaman yang lebih besar. Gambar SEM terbentuk dengan
memfokuskan berkas elektron yang memindai permukaan spesimen tidak terbentuk
oleh pencahayaan seketika dari seluruh bidang seperti pada TEM (Leng, 2008).
Gambar 2.9. Skema SEM (http://science.howstuffworks.com/scanning-electron-
microscope2.htm)
2 1
3 4
8
7
6 5
9
11 10
12
-
29
Keterangan gambar:
1. Sumber elektron (electron gun)
2. Ruang vakum
3. Anoda
4. Lensa kondensator
5. Berkas elektron
6. Lensa kondensator
7. Lensa objektif
8. Ruang sampel
9. Detektor elektron hamburan balik
10. Detektor sinar-X
11. Detektor elektron sekunder
12. Sampel.
Fitur yang paling penting dari SEM adalah penampilan tiga dimensi dari
gambar yang dihasilkan karena kedalamannya yang tinggi. Sebagai contoh,
kedalaman dapat mencapai urutan puluhan mikrometer pada perbesaran 103 dan
urutan mikrometer di 104 perbesaran (Leng, 2008).
Dalam SEM, berkas elektron diemisikan dari sumber elektron (electron gun)
terkondensasi agar menghasilkan penelitian yang baik untuk pemindaian permukaan.
Keuntungan sistem SEM adalah menggunakan sumber emisi (emission gun) karena
tingkat kecerahan emisi yang tinggi. Berkas yang cerah memegang peranan penting
dalam kualitas gambar yang dihasilkan. Tegangan untuk menghasilkan berkas
elektron berkisar antara 1-40 kV.
-
30
Scanning Electron Microscope terdiri dari dua bagian utama, kolom elektron
dan detektor electron. Dalam kolom elektron, katoda elektron menghasilkan berkas
elektron, yang darahkan oleh lensa kondensator elektromagnetik, difokuskan oleh
lensa objektif, yang pada akhirnya diarahkan untuk memindai sampel oleh gulungan
pemindai. Sampel menghasilkan emisi elektron setelah dipindai oleh elektron primer
dan dikumpulkan oleh detektor sebagai gambar sampel pada mikroskop (Lee, 1993).
Berkas elektron dapat berinteraksi dengan medan Coulomb (muatan listrik)
dari inti dan elektron pada spesimen. Interaksi ini bertanggung jawab atas beberapa
jenis sinyal seperti: backscattered electrons, secondary electrons, sinar-X, dan
elektron Auger. Namun yang menjadi pusat perhatian adalah backscattered electrons
dan secondary electrons (Hafner, 2007)
Gambar 2.10. Berkas elektron pada sampel
2
3
1
4 6
5
Sampel
-
31
Keterangan gambar:
1. Berkas elektron
2. Cathadoluminescence
3. Elektron hamburan balik
4. Elektron sekunder
5. Sinar-X
6. Elektron Auger
Tumbukan inelastis terjadi apabila berkas electron berinteraksi dengan medan
listrik dari elektron pada sampel. Menghasilkan transfer energi ke atom sampel dan
potensial yang menyebabkan elektron sampel meninggalkan lintasannya sebagai
secondary electron (SE). SE ini dikatakan memiliki energi kurang dari 50 eV. Jika
kekosongan karena penciptaan sebuah elektron sekunder diisi dari tingkat orbital
yang lebih tinggi, karakteristik X-Ray akan dihasilkan dari transisi energi tersebut.
Gambar 2.11. Proses terjadinya elektron sekunder (tumbukan inelastis)
Tumbukan elastis terjadi ketika berkas electron berinteraksi dengan medan listrik dari
-
32
inti atom sampel, menghasilkan perubahan arah berkas elektron tanpa terjadinya
perubahan energi berkas elektron (< 1eV). Apabila penyebaran berkas elektron
dipantulkan kembali keluar spesimen, dinamakan backscattered electron (BSE). BSE
dapat memiliki rentang energi dari 50 eV hampir sama dengan berkas dari sumber
elektron.
Gambar 2.12. Tumbukan elastis pada proses hamburan balik
2.10. Porositas
Mayoritas material memiliki tingkatan pori, sebenarnya tergolong sulit untuk
menemukan atau membuat padatan yang benar-benar tidak berpori. Sifat fisik yang
dikenal antara lain densitas, konduktivitas termal dan kekuatan semuanya bergantung
pada struktur pori dari padatan dan kontrol porositas merupakan hal penting dalam
industri seperti pada desain katalis, industri adsorben, membran dan keramik.
Selanjutnya porositas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap
reaktivitas kimia padatan dan interaksi fisik dengan gas dan cairan.
Material padat yang terdiri atas rongga, saluran atau celah kemungkinan
Hamburan
balik
elektron
Hamburan
elektron
elastis
-
33
diperhatikan sebagai pori. Dengan bantuan Gambar 2.13 Klasifikasi dapat dilakukan
berdasarkan keberadaannya terhadap cairan luar. Dari sudut pandang ini, kategori
pertama dari pori terisolasi total dari tetangganya, sebagai daerah (a), yang
digambarkan sebagai pori tertutup. Pori ini mempengaruhi sifat makroskopis,
densitas yang besar, kekuatan mekanik dan konduktivitas termal, tetapi tidak aktif
dalam proses sebagai aliran cairan dan adsorpsi gas. Di sisi lain, pori yang memiliki
celah yang tersambung ke permukaan luar seperti (b) (c) (d) (e) dan (f), dijelaskan
sebagai pori terbuka. Beberapa pori hanya terbuka pasa satu ujung seperti pada (b)
dan (f), yang lainnya kemungkinan terbuka dan memiliki dua ujung (pori terusan),
seperti pada sekitar (e). pori juga di bagi berdasarkan bentuknya: ada yang berbentuk
silinder (pada (c) dan (f)), berbentuk botol (b), bentuk corong (d) atau berbentuk
belahan. Selain pori, ada juga kekasaran pada permukaan luar yang diperlihatkan
pada sekitar (g), namun tidak tergolong ke dalam pori (Rouquerol, dkk, 1994).
Gambar 2.13. Skema penampang dari padatan berpori
-
34
Dalam menggunakan sebagian besar padatan berpori, ukuran pori adalah
parameter utama, maka sejumlah metode dikembangkan bertujuan untuk melakukan
analisa ukuran pori. Ukuran pori memiliki arti yang tepat ketika bentuk geometris
dari pori didefinisikan dengan baik dan telah dikenal sebelumnya (misalnya
berbentuk silinder dan celah). Untuk menghindari perubahan menyesatkan dalam
skala ketika membandingkan silinder dan pori berbentuk celah, ukuran yang
digunakan adalah diameter pori silinder (bukan jari-jari) sebagai lebar pori.
Perbedaan dan ukuran pori yang diadopsi dari dokumen IUPAC:
1. Mikropori memiliki diameter kurang dari 2 nm.
2. Mesopori memiliki diameter antara 2 dan 50 nm.
3. Makropori memiliki diameter lebih dari 50 nm.
2.11. Karakterisasi Keramik
Karakterisasi keramik berpori yang dibuat dari lumpur lapindo meliputi Susut
bakar, uji densitas, uji porositas (volume pori dan diameter pori), struktur mikro, uji
difraksi sinar-X, uji kekerasan keramik, dan uji keasaman brownsted.
2.11.1. Susut Bakar Keramik Berpori
Nainggolan (2008) melakukan pengukuran susut bakar pada sampel uji
berbentuk pelet (silinder pejal kecil) dan silinder berongga. Susut bakar terdiri dari
dua bagian yaitu:
a. Susut bakar volum, yaitu perbandingan perubahan volum (V) dengan volume
sampel sebelum dilakukan pembakaran (V0).
-
35
(2.2)
b. Susut bakar massa, yaitu perbandingan perubahan massa (m) dengan massa
sampel sebelum dilakukan pembakaran (m0).
(2.3)
Dimana: V0 = volume sampel sebelum dibakar (cm3)
Vs = volume sampel setelah dibakar (cm3)
m0 = massa sampel sebelum dibakar (gram)
ms = massa sampel setelah dibakar (gram)
Susut bakar umumnya terjadi akibat hlangnya air akibat penguapan dan hilangnya zat
adiktif dari dalam keramik dan butiran kecil menyatu aktif terhadap butiran besar.
Kekosongan yang terjadi akan diisi oleh bagan fluks (pelebur). Hal inilah yang
menyebabkan berkurangnya massa dan volume sampel.
2.11.2. Karakterisasi Kekerasan Keramik
Sifat mekanik pada tingkat makroskopik bahan berpori sangat diatur oleh
struktur mikronya yang dicirikan oleh perilaku mekanik, pengaturan geometris,
ukuran dan bentuk pori yang tersaji dalam mikrostruktur. Optimalisasi sifat mekanik
makroskopik dapat dicapai dengan mengadaptasi struktur mikro secara hati-hati. Ada
banyak penyelidikan, di mana pengaruh porositas bahan, ukuran rongga, jumlah dan
modus distribusi pada kekuatan, termal, penyaringan dan sifat lainnya telah diselidiki
(Zeleniakien dkk, 2003).
Kekerasan didefenisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi pada
permukaan, namun pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan terhadap
-
36
deformasi plastis karena pada bahan yang ulet kekerasan memiliki hubungan yang
sejajar dengan kekuatan. Untuk menguji kekerasan suatu material bisa digunakan
berbagai macam cara, salah satu diantaranya adalah metode Vicker.
Pengujian kekerasan dilakukan dengan alat digital Equotip Hardness Tester,
dimana hasilnya dapat dibaca secara langsung dan diperoleh dalam satuan HB
(Hardness of Brinnel) yang dapat dikorelasikan nilainya ke satuan Hardness of
Vickers dari tabel korelasi nilai kekerasan Brinell, Rockwell dan Vickers (Joskar,
2009).
Menurut metoda Vickers (HV) pengukuran kekerasan digunakan persamaan
berikut:
(2.4)
dimana P adalah beban penekan (kgf), dan D adalah panjang diagonal jejak indentor
(mm).
Alat yang digunakan pada uji kekerasan adalah Equotip Hardness, alat uji ini
diperkenalkan pada tahun 1977, dengan satuan pengukurannya disebut Leeb Value
sesuai dengan nama penemunya Dietmar Leeb, menggunakan baterai dalam
mengoperasikannya dan bekerja secara otomatis (digital), penggunaanya sangat
praktis sesuai dengan bentuknya yang kecil dan sederhana dan dapat dibawa
kemanapun (George F. Vander Voort, 1984).
-
37
2.11.3. Karakterisasi Pori dengan Metode Bubble Point
Bubble point merupakan salah satu metode sederhana untuk karakterisasi
ukuran pori maksimum pada membran dengan menentukan tekanan minimum yang
diberikan hingga terbentuk gelembung udara di permukaan membran (Fane, 1996).
Skema susunan alat seperti pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14. Skema alat metode bubble point
Bagian atas diisi oleh cairan (misalnya air) yang akan berinteraksi dengan membran
berpori. Bagian bawah beriisi udara dan ketika tekanan udara diberikan terus menerus
maka gelembung udara akan menembus membran selama membran tersebut
diberikan tekanan tertentu. Hubungan antara tekanan dan jari-jari pori ditunjukkan
pada persamaan 2.5.
rp = (2/P) cos (2.5)
Dimana rp merupakan jari-jari pori dan tegangan permukaan cairan yang digunakan.
Diketahui air sebesar 72 x 10-3 N/m dan etanol sebesar 22,3 x 10-3 N/m. Nilai cos
diasumsikan sama dengan satu karena gelembung udara akan muncul melalui pori
yang setara dengan ukuran jari-jarinya. Untuk mengetahui P maka digunakan
persamaan 2.6.
-
38
P = (Vi / Vf) x 105 Nm
-2 .. ..(2.6)
Dimana Vi merupakan volume awal udara dan Vf adalah volume akhir ketika
gelembung mulai muncul.
2.11.4. Uji Asam Bronsted
Lumpur lapindo mengandung sebagian besar aluminosilikat sehingga dalam
bentuk padatan akan mamiliki permukaan asam. Beberapa reaksi penting yang
melibatkan keasaman Lewis dari senyawa anorganik terjadi pada permukaan padatan.
Seperti pada permukaan asam dengan luas permukaan yang tinggi dan situs asam
Lewis yang digunakan sebagai katalis dalam industri perminyakan untuk isomerisasi
dan alkilasi senyawa aromatik. Keasaman permukaan juga penting dalam kimia tanah
dan air alami.
Contohnya pada alumina (Al2O3), yang memiliki permukaan asam karena
keberadaan Al dengan muatan (+3). Ketika aluminium oksida hidro baru diendapkan
setelah dipanaskan di atas 150 oC, dehidrasi dimulai dan mengalami perubahan
permukaan seperti: (Upadhya, 2001)
Gambar 2.15. Dehidrasi permukaan alumina
Ion Al3+
terbentuk di permukaan bertindak sebagai asam Lewis dan ion O2 tak
terprotonasi yang terbentuk bertindak sebagai basa Lewis.
-
39
Berbeda dengan alumina, aluminosilikat dapat memperlihatkan keasaman
kuat Bronsted. Pembentukan situs asam mungkin dianggap sebagai kondensasi Si
unit Si(OH)4 dengan unit aluminium hidrous, H2O.Al(OH)3. Jadi
Gambar 2.16 pembentukan situs asam Bronsed
Proses ini menghasilkan sebuah situs asam kuat Bronsted dimana proton
dipertahankan untuk menyeimbangkan muatan positif dari ion Al3+
. Penentuan
keasaman ditentukan dengan penggabungan gravimetri dan spektroskopi inframerah
(Triyono dkk, 1990).
2.11.5. Uji Densitas
Densitas pada material didefinisikan sebagai: massa per satuan volum,
pengukurannya dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
(2.7)
Dalam prakteknya kadang-kadang sampel yang akan diukur mempunyai
bentuk dan ukuran yang tidak teratur, sehingga penentuan volum mengalami
kesulitan dan kerapatannya diragukan. Pengukuran massa jenis memberikan hasil
yang lebih akurat dan dapat dilakukan dengan prinsip Archimedes (Debora, 2008).
-
40
2.11.6. Analisa Termal dengan DTA
Diferensial analisis termal (DTA), merupakan metode yang kurang akurat
atau definitif, namun memiliki peranan yang penting di antara teknik-teknik yang
memungkinkan karakterisasi bahan. Metode ini terbatasi oleh sensitifitas alat, kurva
diferensial termal merekam semua transformasi panas yang diserap dan dilepaskan.
Beberapa proses ini termasuk dehidrasi tanah liat, dekarbonasi karbonat, perubahan
reversibel dari - ke -kuarsa, pembakaran bahan, dan rekombinasi elemen menjadi
bentuk yang lebih stabil. Teknik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah
senyawa yang cukup murni dan untuk mengikuti perubahan dalam campuran untuk
tujuan pengendalian (Rowland, 1990).
DTA mendeteksi pelepasan dan penyerapan panas, yang diasosiasikan dengan
peruahan kimia dan fisika pada saat sampel dipanaskan atau didinginkan, seperti
informasi yang penting untuk pemahaman sifat termal dari material. Menganalisa
dekomposisi material gelas, perubahan fasa kristalin, reaksi kimia dan suhu transisi
gelas merupakan beberapa sifat yang dapat diukur dengan DTA. Rentang suhu
instrumen biasanya dari suhu kamar sampai 1000 oC.
-
41
Gambar 2.17. Grafik DTA
Dari jenis grafik DTA seperti pada Gambar 2.17, kita dapat mengidentifikasi suhu
transisi gelas (Tg), kristalisasi (Tb), suhu cair ditunjukkan sebagai Tl.
DTA terdiri dari pemegang sampel yang terdiri dari termokopel, wadah
sampel dan satu blok keramik atau logam, tungku, seorang programmer suhu; dan
sistem perekaman. Fitur utama adalah keberadaan dua termokopel dihubungkan
dengan voltmeter. Satu termokopel ditempatkan dalam bahan inert seperti Al2O3,
sementara yang lain ditempatkan dalam sampel dari bahan yang diteliti. Karena suhu
meningkat, akan ada defleksi singkat voltmeter jika sampel sedang mengalami
transisi fase. Hal ini terjadi karena masukan dari panas akan meningkatkan suhu zat
inert, tetapi akan dimasukkan sebagai panas laten dalam fase perubahan materi.
Kurva TG tanin yang yang berasal dari pohon cemara diperlakukan selama 10
menit di dalam oven dengan masing-masing kekerasannya seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.18.
-
42
Gambar 2.18. Termogram analisa tanin
Berdasarkan literatur, mekanisme dekomposisi termal dari tanin meliputi 3 tahap.
Tahap pertama adalah peningkatan densitas ikatan silang, yang terjadi dari suhu 300
sampai 500 oC. tahap kedua adalah dari 400 sampai 800
oC, yang melibatkan
peningkatan vibrasi molekul dengan suhu. Pada tahap ini jaringan ikatan silang
mengalami kerusakan. Tahap ketiga adalah dari 560 sampai 800 oC yang melibatkan
pemecahan gugus C-H pada gugus fenol (Sumin, 2002).
-
43
BAB III
KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS
3.1. Konsep Penelitian
Semburan lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo pada tahun 2006
menimbulkan berbagai dampak. Dampak dari semburan ini paling dirasakan oleh
masyarakat tiga kecamatan sekitar semburan karena menyebabkan tergenangnya
kawasan pemukiman, pertanian, dan perindustrian, serta mempengaruhi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur pada umunya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menghentikan semburan lumpur oleh pihak PT. Lapindo. Salah satunya adalah
dengan mengalirkan lumpur ke sungai Porong yang bermuara ke laut.
Berbagai penelitian tentang kandungan lumpur Lapindo telah banyak
dilakukan. Terdapat beberapa oksida seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, TiO2, CaO, MgO,
Na2O, K2O dan SO2. Silika dan alumina merupakan oksida dengan jumlah terbanyak
dibandingkan dengan oksida lain. Melihat beberapa kandungan oksida dari lumpur
Lapindo, maka lumpur ini bisa dijadikan kandidat bahan untuk pembuatan keramik.
Selain itu, terdapat beberapa garam sederhana yang bukan merupakan komposisi
keramik. Keberadaan garam ini akan sangat mengganggu apabila lumpur Lapindo
dijadikan bahan baku pembuatan keramik, terutama pada aspek kekerasan. Oleh
karena itu perlu dilakukan ekstraksi untuk mengurangi garam-garam sederhana
sebelum lumpur dicetak menjadi keramik.
Perkembangan material berpori khususnya keramik berpori dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan dan dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, antara lain
-
44
sebagai penyokong katalis, pemurnian air, filtrasi (udara, gas dan cairan), dan
sebagainya. Keramik berpori telah dikembangkan dengan berbagai metode yang
berbeda untuk aplikasi yang berbeda pula. Beberapa metode yang dikenal antara lain
metode sol gel, gel casting, slip casting, rubber mold pressing, die pressing, extrusion
molding, dan sebagainya.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat keramik berpori dengan tanin sebagai
cetakan pori dengan metode die pressing. Pemilihan bahan organik tanin didasarkan
pada sifat-sifat kimia dan fisikanya serta keberadaannya yang melimpah di alam.
Tanin berasal dari metabolit sekunder tumbuhan hijau tingkat tinggi dan ada beberapa
yang berasal dari tumbuhan tingkat rendah. Tanin merupakan golongon flavonoid
dengan berat molekul besar yang mncapai 20.000, memiliki sifat mulai
terdekomposisi pada suhu 300 oC dan pada suhu 800
oC ikatan C-H pada gugus
fenolik terputus. Pada proses ini tanin akan terurai dan meninggalkan pori pada
keramik yang dicetak dari lumpur Lpindo. Pemilihan tanin sebagai bahan organik
pencetak pori karena dalam beberapa penelitian sebelumnya tanin digunakan sebagai
bahan perekat. Bahan keramik akan terikat dengan baik serta lebih stabil dengan
adanya tanin yang merekatkan partikel lumpur penyusun keramik sebelum
disinterring.
Keramik berpori dari lumpur Lapindo dibuat berdasarkan HP Technical
Ceramics dengan standar porositas 35-50%. Keramik dicetak ke dalam wadah atau
cetakan berbentuk silinder dengan diameter 1,6 cm dan tinggi 1,55 cm. sebelum
dicetak sampel lumpur Lapindo dan tanin dalam bentuk serbuk dicampur dan di
homogenkan selama 5 sampai 10 menit dengan perbandingan antara sampel lumpur
-
45
dan tanin bervariasi mulai dari 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% tanin. Perbedaan
komposisi tanin ini bertujuan untuk melihat beberapa karakter karamik stelah
disintering dengan suhu bertahap mulai dari suhu 28 oC sampai 1200
oC. dengan
adanya variasi penambahan tanin ini akan menunjukkan porositas berbeda yang
terbentuk setelah disintering serta karakter yang berbeda dari kekerasan dan densitas.
Uji densitas dilakukan dengan prinsip hukum Archimedes, uji diameter pori dengan
metode bubble point, gambar mikro penampang pori dengan SEM, uji difraksi sinar-
X untuk mengetahui mineral serta parameter kisi, uji kekerasan dengan Equotip
Hardness Tester, serta uji asam Bronsted dengan spektroskopi inframerah.
3.2. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah keramik
yang dibuat dari lumpur Lapindo dengan variasi tanin sebagai cetakan pori akan
memiliki karakter yang berbeda. Semakin banyak jumlah tanin sebagai cetakan pori,
akan meningkatkan intensitas pori, tetapi menurunkan kekerasan keramik.
-
46
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik, Laboraorium
Kimia Fisika Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Laboratorium Karakterisasi Jurusan
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, dan Laboratorium Bersama
Universitas Negeri Malang pada bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Desember
2011.
4.2. Alat dan Bahan Penelitian
4.2.1. Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Lumpur Lapindo yang
diambil di daerah semburan panas Lumpur Lapindo Porong di Desa Siring
Kecamatan Porong pada koordinat 7o3139,72 LS, 112o4214,58 BT. Koordinat
diperoleh dengan GPS Nokia 5230 Nuron yang disesuaikan dengan Google Earth
Real Time GPS Integrated. Sampel lumpur Lapindo yang telah didapatkan berwarna
coklat keabu-abuan, diletakkan dalam wadah sampel.
4.2.2. Bahan-bahan Penelitian
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah tawas
[KAl(SO4)2], dan aquades.
-
47
4.2.3. Alat-alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan di laboratorium anorganik Universitas Brawijaya
antara lain mortar, Oven Fisher Scientific 655 F, Tanur Nabertherm model N-31,
desikator, neraca analitis Mettler, botol semprot, bola hisap, ayakan 40 dan dan 60
mesh, seperangkat alat sentrifugasi lengkap dengan tabung sentrifugasi, magnetic
stirrer, seperangkat peralatan gelas, pipet tetes, pipet, 5 mL, 10 mL dan corong
Buchner, shaker (laboratorium Kimia Fisik UB), FT-IR Shimadzu, Hardness Tester
HLN-11A dengan Device Impact tipe D (laboratorium Karakterisasi Jurusan Teknik
Mesin Fakultas Teknik UB). Alat yang digunakan di Laboratorium Bersama
Universitas Negeri Malang antara lain Scanning Electron Microscopy (SEM) FEI
Type Inspect S50, XRD PANanalytical Xpert PRO, XRF PANanalytical type
Minipal 4, DTA lainsesiss.
4.3. Tahapan Penelitian
Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Preparasi sampel Lumpur Lapindo yang meliputi ekstraksi logam-logam terlarut
serta analisa logam dengan XRF
2. Persiapan tanin sebagai cetakan pori
3. Pembuatan keramik dengan metode die pressing
4. Karakterisasi keramik yang meliputi uji XRF, Uji DTA, susut bakar, uji diameter
pori, uji densitas, uji kekerasan keramik, gambar mikro penampang pori, uji
difraksi sinar-X, dan uji asam bronsted.
-
48
4.4. Prosedur Penelitian
4.4.1. Preparasi Sampel Lumpur Lapindo
Sampel Lumpur Lapindo basah sekitar 1.5 2 kg dikeringkan di dalam oven
pada suhu 110 oC selama 24 jam untuk menghilangkan kandungan air. Sampel
berwarna abu-abu gelap. Kemudian sampel ditumbuk halus di dalam mortar
kemudian diayak dengan ayakan berukuran 60 mesh sehingga didapatkan sampel
yang berbentuk butiran halus.
4.4.2. Penentuan Lama Pengocokan dan Jumlah Pelarut Pada Pengurangan
Garam-Garam Na+, K
+, dan Mg
2+
Penentuan lama pengocokan dan jumlah pelarut untuk mengurngi garam-
garam Na+, K
+, dan Mg
+ dilakukan menurut prosedur ekstraksi garam-garam larut air
yang telah dilakukan oleh Satria (2011).
4.4.4. Tanin sebagai cetakan pori
Tanin yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanin murni dari Riedel-de
Han.
4.4.5. Pembuatan Keramik
Keramik yang dibuat dengan prosentase tanin bervariasi mulai dari 0%, 10%,
20%, 30% dan 40% dari berat total. Cetakan yang digunakan dalm pembuatan
keramik ini adalah cetakan berbentuk silinder dengan diameter 1,6 cm dan tinggi 1,55
cm. Berat total dari campuran lumpur kering dan tanin dengan prosentase 0-20%
adalah 5 gram, sedangkan berat total dari campuran lumpur kering dan tanin dengan
30% dan 40% tanin adalah masing-masing 5,5 gram dan 6 gram. Pembuatana
-
49
keramik dilakukan dengan metode die pressing, dimana bahan keramik dalam bentuk
bubuk dicampur dengan binder atau pengikat. Bahan yang berperans ebagai binder
adalah tanin. Untuk keramik dengan 0% tanin dibuat dengan meninbang 5 gram
lumpur lapindo yang sudah dihaluskan kemudian ditetesi air sedikit demi sedikit dan
dihomogenkan selama 10 menit agar mudah dibentuk dan dicetak. Keramik dengan
10% tanin dibuat dengan menimbang sampel lumpur Lapindo sebanyak 4,5 gram
kemudian ditambahkan 0,5 gram tanin yang berbentuk bubuk atau butiran halus,
setelah itu dihomogenkan selama 5 menit dan ditambahkan air sedikit demi sedikit
sambil dihomogenkan kembali selam 10 menit. Setelah homogen sampel dibentuk
dan ditempatkan ke dalam cetakan. Keramik dengan 20% tanin dibuat dengan cara
yang sama tapi dengan perbandingan lumpur dan tanin yang berbeda yakni 4 gram
lumpur dan 1 gram tanin. Sedangkan untuk keramik dengan 30% yaitu perbandingan
lumpur dan tanin masing-masing 3,85 gram dan 1,65 gram dengan berat total 5,5
gram. Terakhir adalah keramik dengan 40% tanin. Dibuat dengan campuran lumpur
dan tanin masing-masing 3,6 gram dan 2,4 gram.
Lumpur dengan variasi tanin yang sudah dicetak kemudian diangin-anginkan
selama 24 jam. Setelah diangin-anginkan, dilepas dari cetakan sehingga berbentuk
keramik mentah yang kemudian disintering dengan perlakuan temperatur dan waktu
yaitu 28 oC - 50
oC selama 30 menit, 50
oC 100 oC selama 30 menit, 100 oC 100
oC selama 60 menit, 100
oC 150 oC selama 15 menit, 150 oC 200 oC selama 15
menit, sampai dengan 1200 oC dengan masing-masing interval 50
oC/15 menit. Pada
suhu 350 oC dan 800
oC ditahan selama satu jam.
Pemanasan secara bertahap
dimaksudkan agar pengeringan dan pelepasan molekul air pada sampel keramik lebih
-
50
merata, sehingga mengurangi kerusakan atau keretakan pada keramik sebelum
memadat dan mengeras. Pemanasan hingga suhu di atas 1000 oC dimaksudkan untuk
menghilangkan tanin dari dalam keramik sebagai cetakan pori. Kemudian dilakukan
penimbangan keramik secara teliti dilakukan sebelum dan sesudah sintering.
4.4.6. Karakterisasi Keramik
Karakterisasi keramik berpori yang dibuat dari lumpur lapindo meliputi uji
XRF, Uji DTA, susut bakar, uji porositas (diameter pori), uji densitas, uji kekerasan
keramik, struktur mikro (SEM), uji difraksi sinar-X, dan uji keasaman brownsted.
a) Analisa Kadar Logam Sampel Lumpur Lapindo
Analisa kadar logam bahan baku lumpur Lapindo dilakukan sebelum dan
sesudah ekstrasksi logam dan garam terlarut menggunakan XRF (X-ray fluorescence
spectrometry)
b) Analisa Termal dengan DTA
Analisa termal dilakukan untuk menentukan perlakuan suhu dan waktu pada
saat sintering dan untuk mengetahui suhu tanin mulai mengalami degradasi. Analisa
termal dilakukan menggunakan DTA. Tanin dan keramik mentah yang akan dianalisa
diletakkan dalam cawan yang digantung dalam reaktor. Gantungan cawan
dihubungkan dengan timbangan digital untuk mengukur perubahan massa keramik
terhadap fungsi suhu.
-
51
c) Susut Bakar
Susut bakar pada sampel keramik yang disintering memiliki perbedaan sesuai
dengan kandungan air dan bahan organik sebagai cetakan pori yang ada pada bahan
keramik. Susut bakar menyebabkan hilangnya kandungan air dan senyawa organik
dalam bahan keramik. Volume yang menjadi kecil disebabkan oleh kekosongan
bekas kandungan air dan senyawa organik.
Penyusutan volum sampel diketahui dari hasil selisih pengukuran untuk
masing-masing diameter dan tinggi sampel sebelum dan sesudah pembakaran. Alat
ukur yang digunakan adalah jangka sorong dan penggaris. Untuk mengetahui susut
massa dilakukan dengan mengukur selisih massa sebelum dan sesudah pembakaran
yang ditimbang menggunakan neraca analitik. Susut volum dan susut massa diukur
berdasarkan persamaan 2.2 dan 2.3.
d) Uji Densitas
Uji densitas dapat dilakukan dengan metode yang didasari hukum
Archimedes. Prinsip dari metode ini adalah mengukur massa air yang berpindah
akibat adanya desakan dari keramik yang dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer.
berisi air. Terlebih dahulu ditimbang gelas Erlenmeyer kosong 100 mL, keramik A +
gelas Erlenmeyer kosong 100 mL, serta keramik A + gelas Erlenmeyer 100 mL yang
telah ditambahkan air sampai dengan tanda batas. Setelah itu densitasnya dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Satria, 2010)
(4.1)
-
52
Dimana: m = massa keramik
V = volume keramik
Untuk mendapatkan data m dan V yang dibutuhkan maka dilakukan
penimbangan:
X = gelas erlenmeyer 100 mL kosong
Y = gelas erlenmeyer 100 mL + keramik
Z = gelas erlenmeyer 100 mL + keramik + akuades sampai tanda batas
maka:
m = Y X
V = 100 - Z Y air
sehingga persamaan di atas berubah menjadi:
(4.2)
e) Uji Porositas (Diameter Pori)
Karakterisasi diameter pori dilakukan menggunakan metode bubble point.
Skema alat metode ini ditunjukkan pada Gambar 2.14. Keramik diletakkan di filter
holder kemudian dibasahkan dengan akuades. Syringe diisi dengan udara 20 mL dan
dihubungkan dengan filter holder. Diberikan tekanan pada syringe (udara) hingga
gelembung udara muncul di permukaan keramik. Dicatat berapa volume yang
dibutuhkan hingga terbentuk gelembung udara, dihitung jari-jari pori berdasarkan
pada persamaan 2.5 dan 2.6.
-
53
f) Gambar Mikro Penampang Pori
Gambar mikro penampang pori dapat dikarakterisasi secara kualitatif dengan
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Alat ini memiliki ketelitian dan
perbesaran yang tinggi dalam menampilkan gambar sampel dalam bentuk tiga
dimensi. Berbagai jenis pori yang sudah dikenal antara lain pori tertutup dan pori
terbuka. Berdasarkan bentuknya pori dibagi menjadi bentuk silinder, bentuk botol,
bentuk corong atau belahan.
g) Uji Difraksi Sinar-X (XRD)
Uji difraksi sinar-X bertujuan untuk mengetahui berbagai parameter dalam
material padat, antara lain untuk meneliti ciri utama struktur kristal (parameter kisi)
dan untuk mengetahui rincian lain, misalnya susunan berbagai jenis atom dalam
kristal, keberadaan cacat, ukuran butiran dan sub butiran, orientasi, ukuran dan
kerapatan presipitat.
h) Uji Kekerasan Keramik
Uji kekerasan keramik berguna untuk mengetahui ketahanan bahan terhadap
penetrasi pada permukaan, namun pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan
terhadap deformasi plastis karena pada bahan yang ulet kekerasan memiliki hubungan
yang sejajar dengan kekuatan. Pengujian kekerasan dilakukan dengan menempatkan
keramik berpori di bawah alat Equotip Hardness Tester. Keramik yang akan diuji
dihaluskan permukaannya menggunakan polising machine. Keramik diletakkan pada
dudukan dan dipastikan stabil. Hv dihitung berdasarkan persamaan 2.4. pengukuran
-
54
dilakukan pada 3-4 titik pada badan keramik untuk memperoleh keseragaman
pengukuran.
i) Uji Asam Bronsted
Lumpur Lapindo mengandung sebagian besar aluminosilikat sehingga dalam
bentuk padatan akan mamiliki permukaan asam. Oleh karena itu penentuan sifat asam
ditentukan dengan spektroskopi inframerah. Pengujian IR dilakukan dengan
menggerus keramik yang sudah disinterring kemudian dibentuk seperti pellet untuk
dianalisa.
-
55
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian ini didapatkan hasil yang diperoleh dari beberapa parameter
yang dijadikan obyek penelitian. Hasil yang diperoleh berupa karakterisasi sampel
keramik berpori lumpur Lapindo yang meliputi uji XRF, Uji DTA, susut bakar, uji
porositas (diameter pori), uji densitas, uji kekerasan keramik, gambar mikro
penampang pori (menggunakan SEM), uji difraksi sinar-X, dan identifikasi situs
asam Bronsted dengan FT-IR.
5.1. Penentuan Suhu Sintering dengan Analisa DTA Keramik berpori dari
Lumpur Lapindo
Hasil analisa termal keramik mentah 30% ditunjukkan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Termogram analisa termal keramik mentah 30% tanin menggunakan
TGA/DTA. Keterangan : ( ) TGA, ( ) DTA, dan ( ) suhu
1
2
3
-
56
Penentuan suhu sintering dalam penelitian ini dilakukan setelah analisa termal
keramik dengan 30% tanin menggunakan TGA/DTA. Data hasil pengukuran
menunjukkan suhu terjadinya pengurangan berat keramik dan terjadinya perubahan
fasa beberapa mineral. Laju pemanasan pada analisa DTA adalah 10 oC/menit dengan
berat sampel yang dianalisa adalah 90,29 mg.
Tabel 5.1. Interpretasi Hasil Analisa Termal Keramik Mentah Menggunakan
TGA/DTA
No. Suhu
(oC)
Interpretasi Penyusutan
massa
1 100 Lepasnya air pada sistem keramik 6%
2 350
Pengerasan pada badan keramik dan tanin, serta
lepasnya air hidrat. 24,18%
3 800
Degradasi termal pada tanin yang ditandai pemecahan
ikatan C-H pada gugus fenol dan pembentukan CO2. 42,72%
Dari Tabel 5.1 tentang interpretasi hasil analisa termal, dilakukan berbagai perlakuan
suhu terhadap keramik mentah yang disinter. Tahap sintering dilakukan dengan
menahanan suhu selama 60 menit pada suhu 100 oC, 350
oC, dan 800
oC. pada suhu
100 oC terjadi penguapan air pada sistem keramik, hal ini terlihat dari pengurangan
massa sebesar 6%. Kemudian Pada suhu 300 sampai 500
oC, terjadi curing atau
pengerasan pada badan keramik dan tanin, serta terjadi pelepasan air hidrat yang
terikat pada mineral. Pada suhu ini terjadi juga perubahan tanin menjadi bentuk
amorf. Pada suhu 800 oC ditahan selama 60 menit untuk memaksimalkan penguraian
tanin, karena pada suhu 560 800 oC ikatan antara C-H dalam gugus fenolik pada
tanin akan pecah. Pada suhu 800 oC hingga 1180
oC tidak terjadi pengurangan berat
keramik secara signifikan karena pada rentang suhu ini hanya terjadi perubahan fasa
-
57
pada keramik. Pemanasan dilakukan dengan laju pemanasan 50 oC per 15 menit
hingga suhu 1180 oC. Ketika mencapai suhu 1180
OC ditahan lagi selama 60 menit.
Pemanasan dilakukan hingga suhu 1180 oC karena transformasi fasa -Al2O3 menjadi
-Al2O3 (korundum) terjadi di atas suhu 1000 oC. Untuk aluminosilikat (Al2SiO5)
stabil hingga suhu 1250 oC dalam bentuk amorf. Pada 573 C, -quartz berubah
menjadi -quartz, umumnya kedua bentuk ini memiliki struktur yang sama.
Pemanasan quartz pada 867 C terjadi perubahan dari -quartz ke -tridimit
(Shackelford dan Doremus, 2008). Perubahan fasa sebelum dan setelah sintering
dijelaskan pada bagian 5.2 tentang hasil analisa dengan XRD.
5.2. Sifat Fisik dan kimia Keramik Berpori dari Lumpur Lapindo
5.2.1. Analisa Sifat Fisik
Nainggoalan (2008) menyebutkan susut bakar umumnya terjadi akibat
hilangnya air akibat penguapan dan hilangnya zat aditif dari dalam keramik dan
butiran kecil menyatu aktif terhadap butiran besar. Kekosongan yang terjadi akan
diisi oleh bagian fluks (pelebur). Hasil analisa susut bakar keramik berpori dari
lumpur Lapindo dilakukan dengan mengukur volume dan menimbang massa sebelum
dan sesudah sintering. Keramik berpori lumpur Lapindo ini dicetak dengan
menggunakan cetakan berbentuk silinder dengan diameter 1,6 cm dan tinggi 1,55 cm
dan untuk analisa susut bakar digunakan persamaan 2.7 dan 2.8. Hasil yang diperoleh
dari analisa susut bakar ini dapat dilihat dari grafik susut volume dan susut massa
pada Gambar 5.2.
-
58
Gambar 5.2. Grafik hubungan prosentase susut volume dan massa dengan
prosentase jumlah tanin
Tanin yang digunakan sebagai cetakan pori pada pembuatan keramik berpori
juga berguna sebagai perekat (Warsin 2000). Tanin akan mengikat partikel lumpur
Lapindo setelah diberi air pada saat pencetakan sehingga meningkatkan kekuatan
keramik sebelum disintering, berbeda dengan keramik tanpa tanin yang cenderung
rapuh dan mudah pecah. Tanin juga akan memberikan warna hijau dan biru
kehitaman bila bereaksi dengan besi (Browning 1996).
Keramik berpori yang dibuat dari lumpur Lapindo disintering hingga suhu 1180
oC, keramik sebelum dan sesudah sintering memperlihatkan perbedaan volume yang
cukup signifikan. Keramik dengan prosentase tanin 10% sampai 40% dengan interval
10% mengalami susut bakar (massa dan volume) yang relatif meningkat dengan
prosentase berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 5.2.
17,32
27,75
35,185
41,115
50,155
-48,075
13,23 18,515
37,7
49,685
-60
-40
-20
0
20
40
60
0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50
susu
t m
assa
(%
)
jumlah tanin (%)
susu
t vo
lum
e (
%)
susut massa
susut volume
-
59
Tabel 5.2. Hasil analisa sifat fisik keramik berpori
jumlah
tanin
(%)
% susut
massa
% susut
volume densitas
Kekerasan
(Hv)
Diameter
pori (m)
0 17.32 -48.075 4.42 99.07 2.82
10 27.75 13.23 2.82 71.245 2.77
20 35.185 18.515 2.175 55.83 2.72
30 41.115 37.7 1.525 42.02 2.65
40 50.155 49.685 1.18 39.5 2.58
Dari data ini terlihat prosentase penyusutan volume dan massa semakin meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah tanin dalam keramik (Gambar 5.2), penyusutan
ini disebabkan karena tanin yang dicetak bersama sampel lumpur Lapindo mengalami
pembakaran dan terurai pada saat sintering. Dalam penelitian Sumin (2002),
diperoleh data DTA bahwa tanin akan mengalami pemecahan ikatan C-H pada suhu
560 800 oC. Pada keramik tanpa tanin tidak terjadi penyusutan volume melainkan
terjadi peningkatan volume. Peningkatan volume ini diperkirakan karena tingginya
kadar Fe dalam bentuk oksida besi (Fe2O3) pada sampel lumpur Lapindo, berdasarkan
hasil analisa XRF yaitu sekitar 25,9% (lampiran 6.6). Hasil analisa XRF untuk
lumpur sebelum ekstraksi memperlihatkan 3 unsur logam terbesar dengan nilai
prosentase di atas 10% adalah Si, Fe, dan Al dengan masing-masing 40,1%, 28,8%,
dan 15%. Unsur logam ini terdapat pada sampel lumpur Lapindo dalam bentuk
oksida yang lebih lanjut dijelaskan pada bagian hasil analisa dengan XRD. Dengan
mengetahui bahwa kandungan Si sebagai Silika dan Al sebagai alumina, maka
lumpur Lapindo layak digunakan sebagai bahan pembuat keramik. Setelah dilakukan
ekstraksi, komposisi masing-masing 3 unsur tersebut mengalami peruberubahan
-
60
dengan nilai 45,6% Si, 14% Al, dan 25,9% Fe. Prosentase Al dan Fe mengalami
penurunan sedangkan Si mengalami peningkatan.
Perubahan logam dengan prosentase kurang dari 10% persen dapat dilihat pada
Lampiran 5.1. Dengan tingginya kandungan logam pada lumpur Lapindo
menyebabkan massa jenisnya juga lebih besar dari massa jenis air yaitu berkisar 1,24
1,37 (Agustanto, 2007). Tingginya kadar Fe pada sampel lumpur akan berpengaruh
pada kekerasan dan warna keramik setelah sintering.
Bertambahnya volume keramik 0% tanin dapat dijelaskan dengan hasil analisa
XRD yang tertera pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Hasil analisa XRD keramik sebelum dan setelah sintering
no. senyawa fasa
% fasa sistem kristal parameter sel
sebelum
sintering
setelah
sintering
sebelum
sintering
setelah
sintering
sebelum
sintering
setelah
sintering
1 SiO2 Quartz 9,60% 14,20% heksagonal heksagonal a=4,8362
c=5,3439
a=4,9160
c=5,4054
2 Al2O3 Corundum 26,70% 15,70% heksagonal heksagonal a=4,7570
c=12,9877
a=4,7602
c=12,9933
3 Fe2O3 Hematite 7,50% 6% rombohedral heksagonal a=5,4200 a=5,0380
c=13,7720
4 Al2SiO5 Andalusite 34,30% 25,30% ortorombik ortorombik
a=7,7980
b=7,9031
c=5,5566
a=7,8355
b=7,9289
c=5,5611
5 Al2Si2O5(OH)4 Kaolinite 21,90% 38,90% triklinik triklinik
a=5,1554
b=8,9448
c=7,4048
a=5,1554
b=8,9448
c=7,4048
Hasil analisa XRD keramik memperlihatkan oksida besi (Fe2O3) dengan fasa
hematit muncul pada sudut 2 = 56,3o dengan prosentase fasa 7,5% pada keramik
sebelum sintering. Perubahan sudut 2 terjadi setelah sintering keramik, dan Fe2O3
muncul pada 69,43o. Selain perubahan sudut 2, terjadi juga penurunan prosentase
fasa menjadi 6%. Hal ini disebabkan karena selama proses sintering hingga suhu di
-
61
atas 1180 oC berakibat pada berubahnya sistem kristal pada oksida besi, dari
rombohedral dengan parameter sel a=5,4200 menjadi heksagonal dengan
parameter sel a=5,0380 , c=13,7720 . Menurut Cornell dan Schwertmann (2003),
pada sistem rombohedral hanya terdapat dua unit Fe2O3 dalam satu sel, sedangkan
pada sistem heksagonal terdapat enam unit Fe2O3 dalam satu sel. Dengan adanya
perubahan sistem Kristal dan parameter sel, diperkirakan pengaruh terhadap volume
keramik secara makro adalah membesar dan menyebabkan keramik dengan tanin 0%
mengalami penambahan volume setelah sintering.
Perubahan parameter sel terjadi pada semua oksida dan mineral pada keramik,
namun perubahan yang paling signifikan terlihat pada oksida besi. Pada silika terjadi
perubahan sebelum sintering dari -quartz menjadi -tridimit setelah sintering. hal ini
ditandai dengan perubahan parameter sel.
Berbeda dengan diameter pori, kekerasan dan massa jenis menunjukkan
penurunan nilai, mulai dari prosentase tanin 0% sampai 40%. Hal dapat dilihat pada
Gambar 5.3 dan 5.4.
-
62
Gambar 5.3. Grafik masa jenis dan diameter pori keramik
Penentuan diameter pori dilakukan dengan menggunakan metode bubble
point, sedangkan penentuan massa jenis dilakukan dengan menggunakan persamaan
2.7 dan 4.2 yang dikenal dengan hukum Archimedes.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, volume keramik tanpa tanin menjadi
lebih besar setelah disintering. Hal ini akan berpengaruh juga pada diameter pori,
massa jenis, dan kekerasan keramik yang terbentuk selama proses sintering karena
adanya oksida besi berupa Fe2O3. Clay yang juga terdiri atas kaolin dan feldspar
menurut Diamond (1970) memiliki diameter pori 10 nm sampai 10.000 nm,
sedangkan menurut IUPAC apabila suatu pori memiliki diameter lebih besar dari 50
nm maka pori tersebut digolongkan ke dalam makropori. Hasil dari penelitian ini
memperlihatkan bahwa diameter pori keramik dari lumpur Lapindo yang dianalisa
4,42
2,82
2,175
1,525
1,18
2,82
2,77
2,72
2,65
2,58
2,55
2,6
2,65
2,7
2,75
2,8
2,85
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
0 10 20 30 40 50
mas
sa je
nis
(gr
/cm
3
jumlah tanin (%)
dia
me
ter
po
ri (
m)
Massa jenis (gr/cm3)
diameter pori (m)
-
63
dengan metode bubble point berada dalam katergori makropori, dan keramik
berdasarkan hasil analisa XRD terdiri dari kaolin dan aluminosilikat. Adanya tanin
yang berperan sebagai cetakan pori sekaligus perekat antarpartikel lumpur Lapindo
menyebabkan keramik tidak merekah pada saat sintering dan menghasilkan pori yang
cenderung semakin kecil sesuai dengan semakin banyaknya prosentase tanin yang
ditambahkan ke dalam keramik. Untuk massa jenis keramik, semakin banyak tanin
akan menyebabkan semakin banyak ruang kosong berupa pori dengan berbagai
ukuran dan bentuk setelah sintering seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.4.
dengan adanya pori ini akan menyebabkan pengurangan massa yang berpengaruh
pada pengurangan massa jenis. Penentuan jumlah penambahan tanin ini berdasarkan
penelitian oleh HP Technical Ceramics yang memproduksi keramik berpori dengan
standar porositas 35-50%
a1. 100 X
b1. 100 X
a2. 500 X
b2. 500 X
-
64
a3. 1000 X
b3. 1000 X
a4. 2500 X
b4. 2500 X
a5. 5000 X
b5. 5000 X
a6. 10000 X
b6. 10000 X
Gambar 5.4. Struktur mikro keramik dengan 30% tanin a (sebelum sintering),
b (setelah sintering) dengan perbesaran 100, 500, 1000, 2500, 5000, dan 10.000
kali.
-
65
Berdasarkan hasil analisa gambar mikro dengan menggunakan SEM pada
Gambar 5.4, terlihat perbedaan antara keramik sebelum sintering dan setelah
sintering. Perbedaan ini mulai terlihat pada perbesaran 1000X yang memperlihatkan
banyaknya pori pada badan keramik, dan pada perbesaran 10000X terlihat jelas
ukuran dan bentuk pori yang memperlihatkan ukuran makropori serta bentuk yang
bervariasi. Hasil analisa dengan metode bubble point dan SEM memperlihatkan
adanya pori terbuka dan tertutup. Adanya pori ini menyebabkan terbentuknya jarak
atau ruang antar pertikel penyusun keramik yang menyebabkan menurunnya
kekerasan mulai dari keramik dengan tanin 0% sampai 40%. Nilai kekerasan yang
paling tinggi (skala Vickers) ditunjukkan oleh keramik dengan prosentase tanin 0%
karena pada kondisi ini intesitas pori sangat sedikit karena tidak ada tanin yang
menghalagi interaksi antarpartikel selama proses sntering.
Gambar 5.5. Grafik hubungan kekerasan keramik dengan variasi tanin
.
99,07
71,245
55,83
42,02 39,5
0
20
40
60
80
100
120
0 10 20 30 40 50
Ke
kera
san
(H
v)
Prosentase tanin
-
66
Dari hasil analisa gambar mikro dan bubble point dapat diketahui bahwa
urkuran pori adalah dalam kategori makropori. Keramik alumina silika dengan
ukuran seperti ini dapat dijadikan sebagai sistem katalis plasma hibrid. Penelitian
Hensel dkk (2005) memperlihatkan bahwa ukuran diameter pori antara 10-15 m
menunjukkan lucutan plasma paling stabil dan efektif apabila digunakan untuk
mengurangi emisi gas buang kendaran berupa nitrogen oksida dan hidrokarbon.
5.2.2. Analisa Sifat Kimia
Analisa kualitatif dengan FT-IR dilakukan untuk mengetahui sifat kimia berupa
situs asam Bronsted pada keramik berpori dari lumpur Lapindo. Aluminosilikat dapat
memperlihatkan situs asam Bronsted. Pembentukan situs asam mungkin dianggap
sebagai kondensasi Si unit Si(OH)4 dengan unit aluminium hidrous, H2O.Al(OH)3.
Prinsip dari analisa FT-IR adalah menggunakan vibrasi molekul sebagai kunci
untuk struktur. Keadaan vibrasi dari ikatan terjadi pada keadaan tetap, atau
terkuantitas pada tingkat energi tertentu. Panjang gelombang eksak dari absorpsi oleh
suatu ikatan tertentu, bergantung pada jenis getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena
itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi
infra merah pada panjang gelombang yang berlainan (Fessenden, 2004). Gambar 5.6
memperlihatkan spektra IR dari keramik yang dibuat dari lumpur Lapindo dengan 0%
tanin.
-
67
Gambar 5.6. Spektra IR keramik dengan jumlah tanin 0%
Dari spectra IR pada Gambar 5.6 dapat dilihat hubungan antara transmitan
persen (%T) dan bilangan gelombang dari keramik dengan jumlah tanin 0%. Tabel
5.4 menunjukkan daerah serapan untuk berbagai vibrasi Si-O dan Si-O-Al.
Tabel 5.4. vibrasi beberapa gugus kimia (Hlavay dkk, 1978)
Sampel Gugus Bilangan gelombang (cm-1
)
Quartz
Feldspar
SiO vibrasi regangan asimetris SiO vibrasi regangan simetris SiO vibrasi tekuk simetris SiO vibrasi tekuk asimetris SiO vibrasi regangan asimetris SiOAl kumpulan vibrasi SiO vibrasi tekuk simetris SiO vibrasi tekuk asimetris AlO vibrasi koordinasi
1175 1100 802 785 695
516 470 1200 950 775 735 570
538
648
Beberapa jenis vibrasi pada gugus yang tersaji dalam Tabel 5.4 digunakan
untuk menyesuaikan serapan pada spektra IR pada Gambar 5.10. Pada daerah serapan
900 1200 cm-1 terjadi overlapping antara vibrasi regangan simetris SiO feldspar
dan quartz, overlapping ini menyebabkan pelebaran puncak pada spektra. Menurut
-
68
Hlavay dkk (1978) silika amorf dengan vibrasi tekuk simetri biasanya terlihat pada
695 cm-1
, namun pada spektra sampel keramik getaran tekuk simetri ini terlihat pada
694,33 cm-1
. Hal ini disebabkan karena proses sintering dengan pemanasan bertahap
sampai 1180 oC
yang mengubah silika dari bentuk amorf menjadi kristalin sehingga
mempengaruhi serapan. Pada spektra IR keramik, terlihat puncak pada 794,62 dan
694,33 cm-1
yang menunjukkan pada daerah ini terdapat terdapat kumpulan berbagai
vibrasi SiOAl antara 7