tesis

104
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Semburan Lapindo atau Lumpur Sidoarjo, adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas yang telah terjadi selama 4 tahun ini menyebabkan tergenangnya kawasan pemukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur (Wibisono, 2006). Lumpur Lapindo memiliki kandungan beberapa oksida, antara lain SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , TiO 2 , CaO, MgO, Na 2 O, K 2 O dan SO 2 dengan kandungan Alumina (Al 2 O 3 ) sebesar 18,27%, hal ini didasarkan pada penelitian Aristianto (2006). Gunradi dan Joko (2007) juga telah melakukan penelitian yang sama terhadap lumpur Lapindo, bahwa Al 2 O 3 digolongkan sebagai major elemen, karena kadungan Al 2 O 3 sebesar 17,08 18,95%. Setyowati (2007) memanfaatkan tingginya kadar silika dalam lumpur lapindo sehingga sangat mendukung untuk digunakan sebagai bahan pembuatan keramik dan genteng keramik. Uji coba pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai bahan keramik telah dilakukan juga oleh Satria (2010). Lumpur terlebih dahulu diekstrak dengan aquades agar garam-garam larut air dapat dihilangkan kemudian dibuat keramik. Keramik juga dibuat dari lumpur tanpa perlakuan ekstraksi, kemudian dicetak di dalam cetakan

Upload: ilyas

Post on 21-Nov-2015

49 views

Category:

Documents


22 download

DESCRIPTION

keramik berpori

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1.Latar Belakang

    Semburan Lapindo atau Lumpur Sidoarjo, adalah peristiwa menyemburnya

    lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di Dusun Balongnongo

    Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak

    tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas yang telah terjadi selama 4 tahun ini

    menyebabkan tergenangnya kawasan pemukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga

    kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur

    (Wibisono, 2006).

    Lumpur Lapindo memiliki kandungan beberapa oksida, antara lain SiO2,

    Al2O3, Fe2O3, TiO2, CaO, MgO, Na2O, K2O dan SO2 dengan kandungan Alumina

    (Al2O3) sebesar 18,27%, hal ini didasarkan pada penelitian Aristianto (2006).

    Gunradi dan Joko (2007) juga telah melakukan penelitian yang sama terhadap lumpur

    Lapindo, bahwa Al2O3 digolongkan sebagai major elemen, karena kadungan Al2O3

    sebesar 17,08 18,95%. Setyowati (2007) memanfaatkan tingginya kadar silika

    dalam lumpur lapindo sehingga sangat mendukung untuk digunakan sebagai bahan

    pembuatan keramik dan genteng keramik.

    Uji coba pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai bahan keramik telah dilakukan

    juga oleh Satria (2010). Lumpur terlebih dahulu diekstrak dengan aquades agar

    garam-garam larut air dapat dihilangkan kemudian dibuat keramik. Keramik juga

    dibuat dari lumpur tanpa perlakuan ekstraksi, kemudian dicetak di dalam cetakan

  • 2

    berbentuk silinder berdiameter 0,8 cm dan tinggi 1,5 cm. Keramik kemudian

    dikalsinasi hingga suhu 1200 oC dengan kenaikan suhu secara bertahap. Pemanasan

    secara bertahap dimaksudkan agar pengeringan dan pelepasan molekul air pada

    sampel keramik lebih merata, sehingga mengurangi kerusakan atau keretakan pada

    keramik sebelum memadat dan mengeras, kemudian keduanya dibandingkan. Hasil

    uji kekerasan dan densitas menunjukkan nilai lebih tinggi bila lumpur diekstraksi

    terlebih dahulu. Dilihat dari kandungan mineralnya maka lumpur Lapindo bisa

    dijadikan kandidat bahan untuk pembuatan keramik berpori.

    Saat ini keramik berpori dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain

    sebagai penyokong katalis, pemurnian air, filtrasi (udara, gas dan cairan), dan

    sebagainya. Nainggolan (2008) membuat keramik berpori dengan bahan organik

    berupa cangkang kelapa sebagai aditif atau cetakan pori. Keramik yang dibuat

    dimanfaatkan sebagai filter gas buang kendaraan. Bahan organik ini ditambahkan ke

    dalam bahan dasar keramik berupa clay dan feldspar kemudian dicetak dengan

    ukuran diameter 2,19 cm dan tinggi 1,30 cm. Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa

    semakin banyak bahan organik yang ditambahkan akan meningkatkan porositas dan

    menurunkan densitas dari keramik. Tak jauh berbeda dengan penelitian Subiyanto

    (2003) yang meneliti pengaruh suhu sintering dalam proses pembentukan ikatan

    dalam keramik. Suhu sintering bervariasi mulai dari suhu 900 oC, 1000

    oC, 1100

    oC

    dan 1200 oC. Karakter struktur mikro dan kekuatan keramik yang baik diperlihatkan

    oleh suhu sinter 1200 oC.

    Pembuatan dan penelitian tentang keramik berpori dengan metode yang

    berbeda antara lain dilakukan oleh Manap (2010). Manap membuat keramik dari

  • 3

    bahan alam yaitu sekam padi dan ragi sebagai cetakan pori. Sekam padi sebelum ke

    tahap selanjutnya ditanur pada suhu 900 oC hingga berbentuk abu. Dengan

    kandungan silika yang tinggi, abu sekam padi dijadikan precursor dalam pembuatan

    keramik berpori. Proses selanjutnya adalah kalsinasi dengan pemanasan bertingkat

    dengan berbagai rentang suhu. Pemanasan ini bertujuan untuk melihat pengurangan

    campuran organik secara bertahap serta karakter pori yang terbentuk dari setiap tahap

    pemanasan (Rungrodnimitchai dkk, 2009).

    Bahan organik yang digunakan sebagai cetakan pori dalam penelitian ini

    adalah tanin. Tanin merupakan senyawa polifenol dari golongan flavonoid yang

    merupakan hasil dari metabolit sekunder tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang

    mengandung tanin adalah jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis dari Hutan Tanaman

    Industri seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp) dan

    sebagainya. Selain itu tanin juga terdapat dalam tanaman teh (Risnasari, 2002).

    Wasrin (2000) memanfaatkan tanin dari kulit kayu Acacia decurrens sebagai bahan

    perekat dalam pembuatan papan serat. Tanin terbaik sebagai perekat diperoleh dari

    ekstraski serbuk kulit kayu selama 3 jam pada suhu 80 oC. keteguhan papan serat

    yang dihasilkan memenuhi persyaratan British Standard.

    Dari beberapa uraian di atas maka dalam penelitian ini dibuat keramik berpori

    dari lumpur Lapindo dengan tanin sebagai cetakan pori. Pemilihan tanin karena selain

    memiliki ukuran molekul besar dengan berat molekul yang mencapai angka 3000

    sampai 20000 juga karena bisa berperan sebagai perekat. Kemampuan tanin sebagai

    perekat ini diharapkan mampu mengikat butiran partikel lumpur lapindo menjadi

    lebih stabil dan mudah untuk dicetak dan disintering. Ketika disintering dengan suhu

  • 4

    bertahap, tanin akan mulai terdekomposisi pada suhu 300 oC dan pada suhu 800

    oC

    ikatan C-H pada gugus fenolik terputus (Sumin dkk, 2002). Pada proses ini tanin

    akan terurai dan meninggalkan pori pada keramik yang dibuat dari lumpur Lapindo.

    Penelitian ini mengkaji variasi penambahan tanin terhadap ukuran pori dan

    kekerasan yang terbentuk. Keramik yang dihasilkan selanjutnya dikarakterisasi

    berupa susut bakar, uji densitas, diameter pori, gambar mikro penampang pori, uji

    difraksi sinar-X, uji kekerasan keramik, dan uji asam Bronsted.

    1.2.Rumusan Masalah

    Dari latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah yang diajukan

    adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah pengaruh penambahan tanin sebagai cetakan pori terhadap

    karakter fisik dan kimia keramik berpori yang dibuat dari lumpur Lapindo?

    2. Bagaimanakah pengaruh pemanasan bertahap terhadap oksidasi bahan organik

    tanin sebagai cetakan pori pada keramik berpori dari lumpur Lapindo?

    1.3.Batasan Masalah

    Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Sampel lumpur Lapindo diambil di bagian pinggir tanggul di Desa Siring

    Kecamatan Porong.

    2. Tanin yang digunakan sebagai cetakan pori adalah bahan murni.

    3. Ekstraksi pengurangan senyawa garam-garam larut air dengan metode yg telah

    dilakukan oleh Satria (2011).

  • 5

    4. Variasi penambahan tanin sebagai cetakan pori dengan batasan 0% sampai 40%

    dengan interval 10%.

    5. Pemanasan bertahap atau suhu sintering mulai dari suhu 28 oC sampai dengan

    1200 oC untuk masing-masing sampel dengan variasi tanin yang berbeda.

    6. Karakterisasi keramik berpori lumpur Lapindo meliputi analisa XRF, uji DTA,

    susut bakar, uji densitas, uji diameter pori, gambar mikro penampang pori, uji

    difraksi sinar-X, uji kekerasan keramik, dan uji asam Bronsted.

    1.4.Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian yang dilakukan adalah:

    1. Mengetahui pengaruh variasi penambahan tanin dalam batasan 0% sampai 40%

    dengan interval 10% terhadap karakter fisik yang meliputi susut bakar, densitas,

    diameter pori, dan kekerasan, serta sifat kimia keramik yang meliputi asam

    Bronsted.

    2. Mengetahui pengaruh pemanasan bertahap mulai dari suhu 28 oC hingga 1200 oC

    terhadap bahan organik tanin sebagai cetakan pori untuk masing-masing sampel

    keramik dengan batasan 0% sampai 40%, dilihat dari penurunan massa serta

    gambar mikro penampang pori setelah sintering.

  • 6

    1.5.Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Pemanfaatan lumpur Lapindo sebagai bahan pembuatan keramik berpori dan

    tanin sebagai catakan pori.

    2. Memperoleh informasi tentang karakter fisik dan kimia keramik berpori yang

    dibuat dari lumpur Lapindo dengan tanin sebagai cetakan pori.

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Sifat Kimia dan Fisika Lumpur Lapindo

    Pada tahun 2006 lumpur mulai menyembur di daerah Porong, Sidoarjo.

    Lumpur panas yang keluar dari perut bumi memiliki volume sangat besar yang keluar

    menimbulkan berbagai dampak buruk pada kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan

    masyarakat Sidoarjo pada khususnya. Penelitian oleh Balai Besar Keramik telah

    dilakukan untuk mengetahui komponen kimia dari lumpur Porong. Detailnya dapat

    dilihat pada Tabel 2.1

    Tabel 2.1. Prosentase komposisi Lumpur Kering didapatkan dengan analisa

    kimia (Balai Besar Keramik)

    Oksida Prosentase Oksida Prosentase Oksida Prosentase

    SiO2 53.08 Na2O 2.97 P2O5 -

    Al2O3 18.27 K2O 1.44 SO3 -

    Fe2O3 5.6 TiO2 0.57 SO2 2.96

    CaO 2.07 MgO 2.89 Senyawa lain 10.15

    2.1.1. Sifat Kimia Lumpur Lapindo

    Berbagai penelitian mengenai unsur yang terkandung dalam lumpur Lapindo

    telah dilakukan, antara lain oleh Aristianto (2006) dan Joko (2007). Selain itu

    Seminar Nasional Teknik Kimia (SNTK) juga menyajikan hasil penelitian pada 2009

    mengenai kandungan unsur lumpur Lapindo.

  • 8

    Tabel 2.2. Kandungan Unsur-Unsur Lumpur Lapindo Menggunakan AAS

    (Seminar Nasional Teknik Kimia, 2009)

    No Parameter Hasil Pengukuran (ppm)

    1 Al 138.098,427

    2 Ca 1.175,506

    3 Cr 14,377

    4 Mn 653,846

    5 Pb 105,169

    6 Si 236.817,104

    7 Zn 330,927

    Triwulan dkk (2007) melakukan penelitian komposisi kimia yaitu kandungan

    oksida dan logam. Hasilnya menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi

    kadar silikanya maka kadar aluminanya akan semakin rendah. Dengan tingginya

    kadar alumina (Al2O3 sekitar 19%) dapat dipastikan lumpur Lapindo mengandung

    mineral feldspar. Disamping mengandung oksida silika dan alumina, lumpur Lapindo

    juga mengandung besi oksida sekitar 4,95 6,02% dan menunjukkan kehadiran

    serpih merah (red shales). Hal ini akan menjadi tidak normal apabila kandungan

    besinya melebihi 12%. Dengan tingginya kandungan alumina dan silika dalam

    lumpur Lapindo, maka dapat dijadikan sebagai bahan pembuat keramik. Garam-

    garam sederhana yang bukan merupakan komponen utama keramik juga merupakan

    bagian dari lumpur Lapindo yang telah dilaporkan oleh United Nations tahun 2006

    (Tabel 2.3).

  • 9

    Tabel 2.3. Komposisi Garam-Garam dalam Lumpur Lapindo

    (United Nations, 2006)

    Sample Name Cl

    -

    (mg/L)

    NH4+

    (mg/L)

    NO3-

    (mg/L)

    SO42-

    (mg/L)

    PO4

    (mg/L)

    Mud 2 624,9 4,48 0,000 0,224 0,299

    Mud 3+4 mix 876,9 5,96 0,000 6,308 0,0466

    Mud 5+6 mix 1264,8 6,765 0,000 17,721 0,0218

    Soil 7 5,1 0,061 0,064 11,023 1,3449

    Soil 8 7,7 0,101 0,643 13,685 1,4397

    2.1.2. Sifat Fisika Lumpur Lapindo

    Agustanto (2007) melakukan pengujian berat jenis lumpur Lapindo yang

    menunjukkan bahwa lumpur Lapindo memiliki berat jenis berkisar antara 1,24 1,37.

    Hasil ini menunjukkan bahwa lumpur Lapindo tergolong cukup berat karena adanya

    kandungan berbagai oksida karena oksida silika, kalsium, natrium dan kalium

    mempunyai densitas yang berat dan menyebabkan lumpur juga mempunyai densitas

    yang berat. Di samping itu, secara fisik lumpur mempunyai ukuran partikel yang

    halus, sehingga ruang yang ditempati akan semakin kecil, dan jarak antar partikel

    semakin kecil, sehingga dalam satuan volume tertentu akan ditempati partikel lebih

    banyak.

    Dari hasil analisa keseragaman butir lumpur Lapindo menunjukkan

    keseragaman butir (grain size), hal ini menunjukkan bahwa clay merupakan

    komponen terbesar (sekitar 81,5%), mengindikasikan butiran lumpur sangat halus.

    Dengan ukuran seperti ini memungkinkan pertikel menyusun diri dengan rapat

    sehingga tidak mudah disisipi oleh molekul lain (misalnya molekul air). Tetapi

  • 10

    dengan pengadukan, tumbukan antar partikel akan intensif, sehingga apabila ada

    aliran alir yang cukup kuat, secara perlahan partikel lumpur akan saling terlepas.

    Scanning Electron Microscope (SEM) alat yang digunakan Timnas PSLS

    (2006) untuk memperoleh gambaran pengujian sifat fisika lainnya. Pengujian ini

    untuk memperoleh gambaran susunan partikel lumpur secara mikro. Pengujian telah

    dilakukan dengan perbesaran 150; 600; 1.000; 2.500, 5000; dan 10.000 kali.

    Gambar 2.1 Perbesaran Lumpur 150,

    600, 1.000 dan 2.500 kali

    Penampang lumpur dengan perbesaran 1.000 kali (Gambar 2.1) mulai

    menunjukkan gambaran bahwa struktur kristalnya merupakan lempeng dalam satuan

    10 m dan mulai kelihatan adanya poros. Perbesaran penampang partikel sampai

    2.500 kali memperlihatkan bahwa partikel lumpur mempunyai bentuk kristal berupa

  • 11

    lempeng. Pada perbesaran ini belum dapat diukur tebal lempengnya, tetapi sudah

    jelas adanya poros di antara lempeng (Timnas PSLS, 2006).

    Jadi secara makro, lumpur tidak akan mengendap menjadi seperti semen

    (cementing), tetapi karena lempeng kristalnya tipis dan permukaannya luas, maka

    dibutuhkan energi sebesar luas permukaan lempeng dikalikan dengan ketebalan

    lempeng kali lipat dibanding dengan bentuk kristal kubus. Adanya rongga paling

    kurang 30% memungkinkan air menyusup ke dalam rongga. Atas dasar ini, untuk

    menghanyutkan lumpur dengan air adalah upaya yang masuk akal (Timnas PSLS,

    2006).

    2.2.Keramik

    Keramik berasal dari kata Ceramos yang berarti batuan yang berasal dari

    pegunungan, dan selanjutnya menjadi kata ceramics yang dalam bahasa Inggris

    berarti bahan inorganik dan metalik yang merupakan campuran metal dan non metal

    yang terikat secara ionik dan kovalen (Sembiring, 1995).

    2.2.1. Kategori dan sifat Keramik

    Keramik merujuk kepada kategori bahan anorganik yang secara luas memiliki

    kekerasan dan kerapuhan tinggi (dekat dengan berlian pada skala Moh), menonjolkan

    ketahanan terhadap panas dan korosi, dan sebagai isolator listrik dan panas. Adapun

    beberapa senyawa organik yang dikategorikan dalam keramik karena beberapa

    derajat kristalinitasnya. Seringkali bahan-bahan ini menunjukkan daerah amorf dan

    polikristalin, dengan menunjukkan perubahan mendadak dalam orientasi kristal di

    batas butir individu dalam perpanjangan kisi (Fahlman, 2011).

  • 12

    Bahan keramik terdiri dari fasa kompleks yang merupakan senyawa unsur

    logam dan nonlogam yang terikat secara ionik maupun kovalen. Keramik pada

    umumnya mempunyai struktur kristalin dan sedikit elektron bebasnya. Susunan kimia

    keramik sangat bermacam-macam yang terdiri dari senyawa sederhana hingga

    campuran beberapa fasa kompleks. Hampir semua keramik merupakan senyawa

    antara unsur-unsur elektropositif dan elektronegatif. Keramik mempunyai sifat-sifat

    antara lain mudah pecah dan ketahanan rendah. Kekuatan dan ikatan keramik

    menyebabkan tingginya titik lebur, kerapuhan, daya tahan terhadap korosi, rendahnya

    konduktivitas termal dan tingginya kekuatan kompressif dari material tersebut.

    Keramik secara umum dapat ditunjukkan oleh rumus kimia SiO2, Al2O3, CaO, Na2O,

    TiC, UO2, PbS, MgSiO3, dan lain-lain (Joskar, 2009).

    Definisi keramik terbaru mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik

    yang berbentuk padat. Umumnya senyawa keramik lebih stabil dalam lingkungan

    termal dan kimia dibandingkan elemennya. Oleh karena itu sifat keramik juga

    tergantung pada lingkungan geologi dimana bahan diperoleh. Secara umum

    strukturnya sangat rumit dengan sedikit elektron-elektron bebas (Hardjito dkk, 2005).

    Ada tiga kategori keramik: oksida (contohnya alumina, zirconia), nonoksida

    (karbida, boride, nitride, dan silisida) dan komposit dari oksida dan nonoksida.

    Keramik zirkonia termasuk kategori keramik oksida. Keramik zirkonia

    digunakan dalam bidang kedokteran gigi yang dikarakterisasi dengan sifat kekuatan

    yang sangat tinggi berdasarkan pada efek transformasi fasa, seperti transformasi

    tegangan terinduksi dari fasa tetragonal ke monoklinik pada partikel zirconia

    metastabil (Joachim dkk, 2006).

  • 13

    2.2.2. Manfaat Keramik

    Keramik banyak digunakan dalam berbagai bidang terutama dalam bidang

    konstruksi dan rumah tangga. Pada umumnya keramik banyak dipakai sebagai

    peralatan rumah tangga seperti periuk, belanga, kendi dan berbagai jenis gerabah

    lainnya. Selain itu banyak pula yang menggunaannya sebagai barang-barang seni dan

    dekorasi, misalnya guci, vas bunga, piring dan gelas hias. Bahan-bahan bangunan

    juga banyak yang terbuat dari keramik seperti batu bata, tegel, ubin dan sebagainya.

    Karena sifatnya yang tahan panas, tidak korosi dan bersifat isolator, keramik

    digunakan sebagai bahan pembuatan komponen elektronika misalnya untuk resistor,

    kondensator dan dioda.

    Material keramik menawarkan stabilitas kimia dan termal yang tinggi, oleh

    karenanya berpotensi sebagai kandidat bahan yang dapat digunakan pada suhu tinggi

    dalam lingkungan ekstrim, dimana logam tidak dapat digunakan. Dalam aplikasi

    energi masa depan, pada proses dengan suhu tinggi > 1200 oC diperlukan untuk

    meningkatkan efisiensi, untuk mengurangi konsumsi bahan bakar, dan mengurangi

    emisi. Dengan tujuan untuk mencapai sasaran, material keramik baru dan proses

    pembuatannya untuk struktur yang kompleks sedang dalam pengembangan

    (Heidenreich dkk, 2008).

    2.3.Keramik Berpori

    Keramik memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan sebagai filter antara lain tahan

    korosi, tidak bereaksi dengan campuran yang dipisahkan serta pori dan kekuatannya

    dapat diatur. Porositas dapat diatur antara lain dengan menambahkan bahan aditif

  • 14

    seperti serbuk kayu dan bahan lain misalnya grog yang dapat menghasilkan gas pada

    saat dibakar sehingga meninggalkan rongga yang disebut pori. Hasil pengukuran

    keramik cordierite berpori menunjukkan bahwa densitas berkisar 0,75-1,17 gr/cm3,

    porositas 58, kekuatan patah 0,5-2 MPa, kekerasan (HV) 0,3-1,8 GPa (Sebayang,

    2006).

    Dalam beberapa tahun terakhir, keramik berpori menjadi material yang

    penting untuk berbagai aplikasi seperti isolasi termal dan/atau suara, absorpsi, filtrasi,

    dan sebagai katalis. Berbagai jenis material dan metode telah dipelajari terkait dengan

    preparasi keramik berpori (Mizutani, 2004).

    Membran keramik berpori telah manjadi perhatian dalam beberapa dekade

    terakhir terkait dengan kemampuan uniknya yang dapat digunakan di bawah

    lingkungan ekstrim. Membran keramik secara teknik memiliki peranan penting pada

    pemisahan dan filtrasi disamping reaksi katalitik, karena memiliki stabilitas kimia

    dan termal yang tinggi, dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama dan good

    defouling properties jika dibandingkan dengan membran polimer. Beberapa peneliti

    telah melaporkan perkembangan sintesis dan mikro struktur membran keramik dan

    kegunaannya. Kesulitan terbesar selama pembuatan membran keramik berpori adalah

    efisiensi kombinasi dan selektifitas bahan yang digunakan. Ada beberapa cara untuk

    mempersiapkan membran keramik berpori berdasarkan pada tipe material yang

    digunakan dan karakteristik struktur yang diperlukan (porositas, ukuran pori dan

    ketebalan).

  • 15

    Swedish Ceramic Institute dapat membuat keramik berpori dengan tehnik

    yang berbeda yang dinamakan tehnik protein suspensi hingga memperoleh porositas

    antara 50-80% dari volume keramik. Refractron Technologies Corp New York USA

    adalah badan yang meneliti dan memproduksi keramik berpori, dimana mereka

    memproduksi keramik berpori dengan karakteristik standar porositas antara 40-50%

    sedangkan HP Technical Ceramics memproduksi keramik berpori dengan standar

    porositas 35-50% (Joskar, 2009).

    Beberapa aplikasi keramik berpori:

    1. Filtrasi udara, gas, dan cairan.

    2. Penyokong katalis

    3. Proses difusi

    4. Penyokong membran

    5. Pemurnian

    Beberapa sifat keramik berpori:

    1. Tahan terhadap temperatur ringgi hingga di atas 1700 F

    2. Tidak mudah teroksidasi

    3. Tidak mdah terkorosi

    4. Tahan terhadap kejutan termal

    5. Tahan abrasi

  • 16

    2.4. Tanin sebagai cetakan pori

    Tannin didefinisikan sebagai senyawa fenolik larut air yang memiliki berat

    molekul antara 500 dan 3000, memberikan reaksi fenolik umum dan memiliki sifat

    khusus seperti kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin dan protein lainnya

    (Haggerman, 2002).

    Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh

    dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas

    yang berbeda-beda. Menurut Markham dalam Risnasari (2002), sebagian besar

    flavonoid yang berasal dari hasil biosintesa (kira-kira 2% dari seluruh karbon yang

    difotosintesis oleh tumbuhan) diubah menjadi tanin, sehingga flavonoid tersebut

    merupakan salah satu fenol alam yang terbesar.

    Haslam memiliki beberapa istilah polifenol pengganti yang lebih baru untuk

    "tannin", dalam upaya untuk menekankan banyaknya karakteristik kelompok fenolik

    dari senyawa ini. Dia mencatat bahwa berat molekul setinggi 20.000 telah dilaporkan,

    dan kompleks tanin tidak hanya dengan protein dan alkaloid, tetapi juga dengan

    polisakarida tertentu. Istilah tanin lebih disukai karena menekankan karakter yang

    menetapkan tanin terpisah dari semua fenolat lain, seperti kemampuan untuk

    mengendapkan protein.

    Proanthocyanidins (tanin terkondensasi) merupakan polimer flavonoid.

    Flavonoid adalah kelompok beragam metabolit berdasarkan sistem cincin heterosiklik

    berasal dari fenilalanin (B) dan biosintesis poliketida (A). Meskipun jalur biosintesis

    untuk sintesis flavanoid dipahami dengan baik, langkah-langkah menuju kondensasi

  • 17

    dan polimerisasi belum bisa dijelaskan. Kerangka flavonoid huruf standar untuk

    menandai cincin dan penomoran, ditunjukkan pada gambar 2.2 dan 2.3.

    Gambar 2.2. cincin flavonoid

    Tanin terkondensasi yang paling banyak dipelajari didasarkan pada flavan-3-ol, yaitu

    (-)-epikatekin, dan (+)-katekin.

    (A)

    (B)

    Gambar 2.3 Flavan-3-ol: epikatekin (A) dan katekin (B)

    2.4.1. Beberapa Jenis Tanin yang digunakan sebagai Cetakan Pori

    a) Ellagitannin and Dehydroellagitannin

    Ellagitannin memeiliki gugus hexahydroxydiphenoyl (HHDP), dan

    dehydroellagitannins memiliki gugus dehydrohexahydroxydiphenoyl (DHHDP) yang

  • 18

    merupakan modifikasi oksidatif gugus HHDP congener mengesterifikasi gugus

    hidroksil dalam karbohidrat atau inti siklitol. Beberapa dehydroellagitannins, seperti

    geraniin, berbentuk Kristal.

    b) Oligomer Ellagitannin and Dehydroellagitannin

    Agrimoniin. Dimer ini diisolasi bersama dengan potentillin, unit monomer dari

    agrimoniin, dan pedunculagin dari Agrimonia pilosa dan Potentilla kleiniana,

    keduanya termasuk Rosaceae. Ikatan -glukosidik dalam agrimoniin dan

    potentillin terlihat. Agrimoniin adalah salah satu oligomer yang menunjukkan

    host mediasi aktivitas anti-tumor. Agrimoniin juga ditemukan pada spesies

    Agrimonia, Rosa, Potentilla dan beberapa Rosaceae genera lainnya.

    Gemin A. Dimer ini diisolasi dari Geum japonicum, dan ditemukan secara khusus

    dalam spesies Geum, sedangkan agrimoniin terdapat di beberapa genera

    Rosaceae. Coriariin A. Dimer ini memiliki poten mediasi host aktivitas antitumor

    yang kuat, dan diisolasi dari Coriaria japonica.

    Oligomer yang lebih tinggi (pentamer). Pentameric ellagitannins melastoflorin

    A-D, diisolasi dari Monochaetum multiflorum, tumbuhan melastomataceous.

    Meskipun produk dari oligomer yang lebih tinggi, trimer, tetramer dan pentamer,

    umumnya lebih rendah dibandingkan dari dimernya. Kehadiran heksamer dan

    heptamer diusulkan berdasarkan pada analisis HPLC-MS. Kegiatan host mediasi

    anti tumor dari oligomer yang lebih tinggi agak kurang kuat dibandingkan dengan

    beberapa dimer.

  • 19

    Gambar 2.4. Oligomer Ellagitannin

    2.4.2. Sifat Fisika dan Kimia Tanin Tumbuh-tumbuhan

    Menurut Browning (1966) sifat utama tanin tumbuh-tumbuhan tergantung

    pada gugusan phenolik-OH yang terkandung dalam tanin, dan sifat tersebut secara

    garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

    a) Sifat kimia tanin

    Tanin memiliki sifat umum, yaitu memiliki gugus phenol dan bersifat koloid.

    Karena itu di dalam air bersifat koloid dan asam lemah.

    Semua jenis tanin dapat larut dalam air. Kelarutannya besar, dan akan

    bertambah besar apabila dilarutkan dalam air panas. Begitu juga tanin akan

  • 20

    larut dalam pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan pelarut organik

    lainnya.

    Dengan garam besi memberikan reaksi warna. Reaksi ini digunakan untuk

    menguji klasifikasi tanin, karena tanin dengan garam besi memberikan warna

    hijau dan biru kehitaman. Tetapi uji ini kurang baik, karena selain tanin yang

    dapat memberikan reaksi warna, zat-zat lain juga dapat memberikan warna

    yang sama.

    Tanin akan terurai menjadi pyrogallol, pyrocatechol dan phloroglucinol bila

    dipanaskan sampai suhu 98,89 0C - 101,67

    0C.

    Tanin dapat dihidrolisis oleh asam, basa dan enzim.

    Ikatan kimia yang terjadi antara tanin-protein atau polimer-polimer lainnya

    terdiri dari ikatan hidrogen, ikatan ionik dan ikatan kovalen.

    b) Sifat fisik tanin

    Umumnya tanin mempunyai berat molekul tinggi dan cenderung mudah

    dioksidasi menjadi suatu polimer, sebagian besar tanin bentuknya amorf dan

    tidak mempunyai titik leleh.

    Tanin berwarna putih kekuning-kuningan sampai coklat terang, tergantung

    dari sumber tanin tersebut.

    Tanin berbentuk serbuk atau berlapis-lapis seperti kulit kerang, berbau khas

    dan mempunyai rasa sepat (astrigent).

    Warna tanin akan menjadi gelap apabila terkena cahaya langsung atau

    dibiarkan di udara terbuka.

  • 21

    Tanin mempunyai sifat atau daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan

    racun.

    2.5. Pembentukan Keramik

    Berbagai cara dapat dilakukan pada proses pembentukan keramik, antara lain:

    (Nainggolan, 2008)

    2.5.1. Die Pressing

    Pada proses ini bahan keramik dihaluskan hingga membentuk bubuk, lalu

    dicampur dengan pengikat (binder) organik kemudian di masukkan ke dalam cetakan

    dan ditekan hingga mencapai bentuk padat yang cukup kuat. Metode die pressing

    digunakan dalam penelitian ini karena umumnya digunakan dalam pembuatan ubin,

    keramik elektronik atau produk dengan cukup sederhana, dan metode ini cukup

    murah.

    2.5.2. Rubber Mold Pressing

    Metode ini dilakukan untuk menghasilkan bubuk padat yang tidak seragam

    dan disebut rubber mold pressing karena dalam pembuatannya ini menggunakan

    sarung yang terbuat dari karet. Bubuk dimasukkan kedalam sarung karet kemudian di

    bentuk dalam cetaan hidrostatis.

    2.5.3. Extrusion Molding

    Pembentukan keramik pada metode ini melalui lobang cetakan. Metode ini

    biasa digunakan untuk membuat pipa saluran, pipa reactor atau material lain yang

  • 22

    memiliki suhu normal untuk penampang lintang tetap.

    2.5.4. Slip Casting

    Metode ini dilakukan untuk memperkeras suspensi dengan air dan cairan

    lainnya, di tuang kedalam plester berpori, air akan diserap dari daerah kontak

    kedalam cetakan dan lapisan lempung yang kuat terbentuk.

    2.5.5. Injection Molding

    Bahan yang bersifat plastis diinjeksikan dan dicampur dengan bubuk pada

    cetakan. Metode ini banyak digunakan untuk memproduksi benda benda yang

    mempunyai bentuk yang komplek.

    2.6. Sintering

    Sintering adalah teknik pengolahan yang digunakan untuk menghasilkan

    kepadatan material yang dikendalikan, dan komponen dari logam dan/atau bubuk

    keramik dengan menerapkan energi panas (Kang, 2005). tujuan dari sintering adalah

    untuk memadatkan bubuk keramik hingga permukaannya kecil. Hal ini dikarenakan

    butiran-butiran dari sampel saling menyatu membentuk ikatan yang kuat

    (Nainggolan, 2008).

    Untuk memperoleh sifat yang diperlukan dilakukan dengan menghilangkan

    kandungan air yang terdaapt dalam sampel. Hal ini dilakukan dengan memanaskan

    sampel pada suhu tertentu sehingga diperoleh keramik yang kuat dan padat. Selama

    pembakaran bahan keramik, terdapat dua perubahan penting yaitu perubahan bentuk

    pori tanpa mengalami perubahan ukuran dan perubahan bentuk dan ukuran pori.

  • 23

    Secara keseluruhan, kedua perubahan tersebut menyebabkan porositas

    berkurang pada keramik umumnya, reaksi tersebut dapat berupa reaksi keadaan padat

    membentuk fase baru. Proses terjadinya perubahan tersebut dapat dijelaskan pada

    Gambar 2.5 dan 2.6.

    Gambar 2.5. Perubahan dan bentuk ukuran pori

    Sebagai model untuk menggambarkan terjadinya proses sintering, pada

    Gambar 2.6 ditunjukkan dua buah butiran yang saling bersinggungan. Antara kedua

    partikel terdapat leher dengan radius kelengkungan (P). tekanan uap pada daerah

    leher lebih rendah daripada tekanan uap pada permukaan butiran. Akibat perbedaan

    tersebut, material pada permukaan butiran cenderung pindah ke daerah leher dengan

    evaporasi kondensasi. Akibat adanya perpindahan material, maka bentuk pori

    semakin mendekati bentuk pola dan ukuran yang lebih kecil.

    Pembakaran keramik pada umumnya menghasilkan porositas kecil pada

    temperatu tinggi.

    Gambar 2.6. Tahap awal sintering dengan cara evaporasi dan kondensasi

    Perubahan bentuk pori

    Perubahan bentuk

    dan ukuran pori

  • 24

    Struktur pori dapat diperoleh dengan beberapa cara:

    a. Proses pembakaran berlangsung dengan cara yang sama. Struktur pori akan

    terbentuk dengan baik dengan luas permukaan yang besar.

    b. Campuran partikel aditif berdiameter lebih dari 20 mm dicampur dengan

    serbuk keramik, maka setelah pembentukan dan pembakaran akan dihasilkan

    ukuran pori yang bersesuaian. Partikel-partikel campuran serbuk keramik

    dengan campuran aditif akan memerlukan lebih dari 20% volum bila porositas

    masih ada.

    Porositas yang tinggi dapat diamati dari banyaknya partikel yang saling terikat.

    Porositas yang kontinu dan tidak kontinu aka bersesuaian dengan komposisi binder

    dan sedikit perubahan pada saat pembentukan dan pembakaran. Bahan dengan pori

    lebar dapat dihasilkan dengan cara ini.

    2.7. Difraksi Sinar-X

    Peristiwa hamburan yang terjadi apabila sinar-X datang pada atom-atom

    dalam bidang kristal disebut difraksi. Pada tahun 1912, fisikawan Jerman Max Van

    Laue menyatakan bahwa jika kristal tediri dari barisan-barisan atom-atom yang

    teratur dan sinar-X adalah gelombang elektromagnetik yang mempunyai panjang

    gelombang yang sama dengan jarak antar atom pada kristal, maka kristal tersebut

    dapat mendifraksikan sinar-X.

    Berkas sinar x monokromatik yang ditembakkan pada sebuah kristal akan

    dihamburkan kesegala arah. Akan tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada

    arah tertentu gelombang yang terhambur itu akan berinterferensi konstruktif,

  • 25

    sedangkan yang lain akan berinterferensi destruktif. Atom-atom dalam kristal dapat

    dipandang sebagai unsur yang membentuk keluarga bidang datar.

    Metode difraksi sinar-X memegang peranan yang sangat penting untuk

    analisis padatan kristalin yaitu untuk meneliti ciri utama struktur kristal (parameter

    kisi) dan untuk mengetahui rincian lain, misalnya susunan berbagai jenis atom dalam

    kristal, keberadaan cacat, ukuran butiran dan sub butiran, orientasi, ukuran dan

    kerapatan presipitat.

    Sinar-X adalah suatu radiasi elektromagnetik yang mempunyai energi pada

    kisaran 200 eV hingga 1 MeV. Energi sebesar ini berhubungan dengan panjang

    gelombang antara 10 nm hingga 1 pikometer, sehingga kisaran panjang gelombang

    sinar-X tersebut sangat cocok digunakan untuk mempelajari jarak antara atom di

    dalam kristal umumnya dalam kisaran 0,2 nm (2).

    Menurut W.L. Bragg (1913), gelombang-gelombang datang pada atom akan

    dihamburkan oleh bidang bidang atom yang sejajar seperti itunjukkan Gambar 2.7

    berikut,

    Gambar 2.7. Hamburan sinar-X

  • 26

    Atom atom dalam kristal menghamburkan sinar-X kesegala arah, akan tetapi

    dari efek interferensi penguatan (konstruktif) berkas difraksi hanya terjadi pada sudut

    tertentu. Sering juga digunakan istilah refleksi Bragg dikaitkan dengan kenyataan

    bahwa sudut datang sama dengan sudut pantul tetapi proses fisisnya bukanlah

    pemantulan, melainkan efek hamburan bersama. Secara trigonometri dengan

    mengikuti persyaratan terjadinya interferensi konstruktif akan diperoleh persamaan :

    n = 2d sin .......................................................(2.1)

    Persamaan ini dinamakan persamaan Bragg, dimana n adalah orde difraksi,

    adalah panjang gelombang yang digunakan, d adalah jarak antara bidang dua atom,

    sedang sudut adalah sudut antar bidang-bidang atom dengan arah berkas datang

    atau berkas difraksi.

    Difraktometer sinar-X merupakan instrumen penting untuk mendeteksi

    struktur kristal sederhana. Tingkat atom yang berbeda memiliki indeks Miller yang

    bervariasi, memberi peningkatan terhadap puncak difraksi ketika kondisi dari

    persamaan Bragg terpenuhi.

    2.8. Spektrometer Fluoresensi Sinar-X (XRF)

    Spektroskopi Fluoresensi sinar-X (XRF) menyelidiki unsur kimia spesimen

    dengan mendeteksi karakteristik pancaran sinar-X dari spesimen setelah diradiasi

    oleh sinar-X utama yang berenergi tinggi. Karakteristik sinar-X dapat dianalisa

    melalui salah satu dari panjang gelombag atau energi. Dengan demikian ada dua tipe

    XRF yaitu spektroskopi panjang gelombang dispersiv atau wavelength dispersive

    spectroscopy (WDS) dan spektroskopi energy dispersiv atau energy dispersive

  • 27

    spectroscopy (EDS). Gambar 2.8 mengilustrasikan secara skematik persamaan dan

    perbedaan instrumen WDS dan EDS. Instrumen XRF terdiri dari tiga bagian utama

    yaitu sumber sinar-X, sistem deteksi, koleksi data dan sistem proses.

    Gambar 2.8. komponen utama WDS dan EDS

    Sumber sinar-X menghasilkan siar-X utama untuk mengeksitasi atom

    spesimen. Sumber sinar-X yang digunakan sama dengan yang digunakan pada XRD.

    Tabung sinar-X dioperasikan pada daya 0,5 3 kW dengan tegangan tinggi 30 50

    kV. Alasan menggunakan tegangan tinggi adalah untuk memastikan bahwa potensial

    kritis dari karakteristik sinar-X unsur dalam spesimen dapat dilampaui. Rasio

    optimum dari tabung tegangan ke potensial kritis berkisar antara 3 5. Radiasi sinar-

    X dihasilkan dengan menumbukkan elektron dengan target logam pada tabung.

    Logam target meliputi Cr, Rh, W, Ag, Au dan Mo (Leng, 2008).

    Prinsip dari analisis XRF hampir sama dengan XRD, yaitu menembakkan

    radiasi foton elektromagnetik ke material yang diteliti. Radiasi elektromagnetik yang

    dipancarkan akan berinteraksi dengan elektron yang berada di kulit K suatu unsur.

    Elektron yang berada di kulit K akan memiliki energi kinetik yang cukup untuk

    melepaskan diri dari ikatan inti, sehingga elektron itu akan terpental keluar

    (Setiabudi, 2010)

  • 28

    Kelebihan dari metode XRF adalah dapat menentukan kandungan mineral

    dalam bahan biologik maupun dalam material secara langsung, akurasi yang tinggi,

    dan dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya standar. Kelemahan dari

    metode XRF adalah tidak dapat mengetahui senyawa apa yang dibentuk oleh unsur-

    unsur yang terkandung dalam material yang akan kita teliti dan tidak dapat

    menentukan struktur dari atom yang membentuk material itu.

    2.9.Scanning Electron Microscope (SEM)

    Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan tipe mikroskop elektron

    yang penggunaanya paling luas. Memeriksa struktur mikroskopi dengan memindai

    permukaan material, mirip dengan mikroskop confocal tapi dengan resolusi yang

    lebih tinggi dan kedalaman yang lebih besar. Gambar SEM terbentuk dengan

    memfokuskan berkas elektron yang memindai permukaan spesimen tidak terbentuk

    oleh pencahayaan seketika dari seluruh bidang seperti pada TEM (Leng, 2008).

    Gambar 2.9. Skema SEM (http://science.howstuffworks.com/scanning-electron-

    microscope2.htm)

    2 1

    3 4

    8

    7

    6 5

    9

    11 10

    12

  • 29

    Keterangan gambar:

    1. Sumber elektron (electron gun)

    2. Ruang vakum

    3. Anoda

    4. Lensa kondensator

    5. Berkas elektron

    6. Lensa kondensator

    7. Lensa objektif

    8. Ruang sampel

    9. Detektor elektron hamburan balik

    10. Detektor sinar-X

    11. Detektor elektron sekunder

    12. Sampel.

    Fitur yang paling penting dari SEM adalah penampilan tiga dimensi dari

    gambar yang dihasilkan karena kedalamannya yang tinggi. Sebagai contoh,

    kedalaman dapat mencapai urutan puluhan mikrometer pada perbesaran 103 dan

    urutan mikrometer di 104 perbesaran (Leng, 2008).

    Dalam SEM, berkas elektron diemisikan dari sumber elektron (electron gun)

    terkondensasi agar menghasilkan penelitian yang baik untuk pemindaian permukaan.

    Keuntungan sistem SEM adalah menggunakan sumber emisi (emission gun) karena

    tingkat kecerahan emisi yang tinggi. Berkas yang cerah memegang peranan penting

    dalam kualitas gambar yang dihasilkan. Tegangan untuk menghasilkan berkas

    elektron berkisar antara 1-40 kV.

  • 30

    Scanning Electron Microscope terdiri dari dua bagian utama, kolom elektron

    dan detektor electron. Dalam kolom elektron, katoda elektron menghasilkan berkas

    elektron, yang darahkan oleh lensa kondensator elektromagnetik, difokuskan oleh

    lensa objektif, yang pada akhirnya diarahkan untuk memindai sampel oleh gulungan

    pemindai. Sampel menghasilkan emisi elektron setelah dipindai oleh elektron primer

    dan dikumpulkan oleh detektor sebagai gambar sampel pada mikroskop (Lee, 1993).

    Berkas elektron dapat berinteraksi dengan medan Coulomb (muatan listrik)

    dari inti dan elektron pada spesimen. Interaksi ini bertanggung jawab atas beberapa

    jenis sinyal seperti: backscattered electrons, secondary electrons, sinar-X, dan

    elektron Auger. Namun yang menjadi pusat perhatian adalah backscattered electrons

    dan secondary electrons (Hafner, 2007)

    Gambar 2.10. Berkas elektron pada sampel

    2

    3

    1

    4 6

    5

    Sampel

  • 31

    Keterangan gambar:

    1. Berkas elektron

    2. Cathadoluminescence

    3. Elektron hamburan balik

    4. Elektron sekunder

    5. Sinar-X

    6. Elektron Auger

    Tumbukan inelastis terjadi apabila berkas electron berinteraksi dengan medan

    listrik dari elektron pada sampel. Menghasilkan transfer energi ke atom sampel dan

    potensial yang menyebabkan elektron sampel meninggalkan lintasannya sebagai

    secondary electron (SE). SE ini dikatakan memiliki energi kurang dari 50 eV. Jika

    kekosongan karena penciptaan sebuah elektron sekunder diisi dari tingkat orbital

    yang lebih tinggi, karakteristik X-Ray akan dihasilkan dari transisi energi tersebut.

    Gambar 2.11. Proses terjadinya elektron sekunder (tumbukan inelastis)

    Tumbukan elastis terjadi ketika berkas electron berinteraksi dengan medan listrik dari

  • 32

    inti atom sampel, menghasilkan perubahan arah berkas elektron tanpa terjadinya

    perubahan energi berkas elektron (< 1eV). Apabila penyebaran berkas elektron

    dipantulkan kembali keluar spesimen, dinamakan backscattered electron (BSE). BSE

    dapat memiliki rentang energi dari 50 eV hampir sama dengan berkas dari sumber

    elektron.

    Gambar 2.12. Tumbukan elastis pada proses hamburan balik

    2.10. Porositas

    Mayoritas material memiliki tingkatan pori, sebenarnya tergolong sulit untuk

    menemukan atau membuat padatan yang benar-benar tidak berpori. Sifat fisik yang

    dikenal antara lain densitas, konduktivitas termal dan kekuatan semuanya bergantung

    pada struktur pori dari padatan dan kontrol porositas merupakan hal penting dalam

    industri seperti pada desain katalis, industri adsorben, membran dan keramik.

    Selanjutnya porositas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap

    reaktivitas kimia padatan dan interaksi fisik dengan gas dan cairan.

    Material padat yang terdiri atas rongga, saluran atau celah kemungkinan

    Hamburan

    balik

    elektron

    Hamburan

    elektron

    elastis

  • 33

    diperhatikan sebagai pori. Dengan bantuan Gambar 2.13 Klasifikasi dapat dilakukan

    berdasarkan keberadaannya terhadap cairan luar. Dari sudut pandang ini, kategori

    pertama dari pori terisolasi total dari tetangganya, sebagai daerah (a), yang

    digambarkan sebagai pori tertutup. Pori ini mempengaruhi sifat makroskopis,

    densitas yang besar, kekuatan mekanik dan konduktivitas termal, tetapi tidak aktif

    dalam proses sebagai aliran cairan dan adsorpsi gas. Di sisi lain, pori yang memiliki

    celah yang tersambung ke permukaan luar seperti (b) (c) (d) (e) dan (f), dijelaskan

    sebagai pori terbuka. Beberapa pori hanya terbuka pasa satu ujung seperti pada (b)

    dan (f), yang lainnya kemungkinan terbuka dan memiliki dua ujung (pori terusan),

    seperti pada sekitar (e). pori juga di bagi berdasarkan bentuknya: ada yang berbentuk

    silinder (pada (c) dan (f)), berbentuk botol (b), bentuk corong (d) atau berbentuk

    belahan. Selain pori, ada juga kekasaran pada permukaan luar yang diperlihatkan

    pada sekitar (g), namun tidak tergolong ke dalam pori (Rouquerol, dkk, 1994).

    Gambar 2.13. Skema penampang dari padatan berpori

  • 34

    Dalam menggunakan sebagian besar padatan berpori, ukuran pori adalah

    parameter utama, maka sejumlah metode dikembangkan bertujuan untuk melakukan

    analisa ukuran pori. Ukuran pori memiliki arti yang tepat ketika bentuk geometris

    dari pori didefinisikan dengan baik dan telah dikenal sebelumnya (misalnya

    berbentuk silinder dan celah). Untuk menghindari perubahan menyesatkan dalam

    skala ketika membandingkan silinder dan pori berbentuk celah, ukuran yang

    digunakan adalah diameter pori silinder (bukan jari-jari) sebagai lebar pori.

    Perbedaan dan ukuran pori yang diadopsi dari dokumen IUPAC:

    1. Mikropori memiliki diameter kurang dari 2 nm.

    2. Mesopori memiliki diameter antara 2 dan 50 nm.

    3. Makropori memiliki diameter lebih dari 50 nm.

    2.11. Karakterisasi Keramik

    Karakterisasi keramik berpori yang dibuat dari lumpur lapindo meliputi Susut

    bakar, uji densitas, uji porositas (volume pori dan diameter pori), struktur mikro, uji

    difraksi sinar-X, uji kekerasan keramik, dan uji keasaman brownsted.

    2.11.1. Susut Bakar Keramik Berpori

    Nainggolan (2008) melakukan pengukuran susut bakar pada sampel uji

    berbentuk pelet (silinder pejal kecil) dan silinder berongga. Susut bakar terdiri dari

    dua bagian yaitu:

    a. Susut bakar volum, yaitu perbandingan perubahan volum (V) dengan volume

    sampel sebelum dilakukan pembakaran (V0).

  • 35

    (2.2)

    b. Susut bakar massa, yaitu perbandingan perubahan massa (m) dengan massa

    sampel sebelum dilakukan pembakaran (m0).

    (2.3)

    Dimana: V0 = volume sampel sebelum dibakar (cm3)

    Vs = volume sampel setelah dibakar (cm3)

    m0 = massa sampel sebelum dibakar (gram)

    ms = massa sampel setelah dibakar (gram)

    Susut bakar umumnya terjadi akibat hlangnya air akibat penguapan dan hilangnya zat

    adiktif dari dalam keramik dan butiran kecil menyatu aktif terhadap butiran besar.

    Kekosongan yang terjadi akan diisi oleh bagan fluks (pelebur). Hal inilah yang

    menyebabkan berkurangnya massa dan volume sampel.

    2.11.2. Karakterisasi Kekerasan Keramik

    Sifat mekanik pada tingkat makroskopik bahan berpori sangat diatur oleh

    struktur mikronya yang dicirikan oleh perilaku mekanik, pengaturan geometris,

    ukuran dan bentuk pori yang tersaji dalam mikrostruktur. Optimalisasi sifat mekanik

    makroskopik dapat dicapai dengan mengadaptasi struktur mikro secara hati-hati. Ada

    banyak penyelidikan, di mana pengaruh porositas bahan, ukuran rongga, jumlah dan

    modus distribusi pada kekuatan, termal, penyaringan dan sifat lainnya telah diselidiki

    (Zeleniakien dkk, 2003).

    Kekerasan didefenisikan sebagai ketahanan bahan terhadap penetrasi pada

    permukaan, namun pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan terhadap

  • 36

    deformasi plastis karena pada bahan yang ulet kekerasan memiliki hubungan yang

    sejajar dengan kekuatan. Untuk menguji kekerasan suatu material bisa digunakan

    berbagai macam cara, salah satu diantaranya adalah metode Vicker.

    Pengujian kekerasan dilakukan dengan alat digital Equotip Hardness Tester,

    dimana hasilnya dapat dibaca secara langsung dan diperoleh dalam satuan HB

    (Hardness of Brinnel) yang dapat dikorelasikan nilainya ke satuan Hardness of

    Vickers dari tabel korelasi nilai kekerasan Brinell, Rockwell dan Vickers (Joskar,

    2009).

    Menurut metoda Vickers (HV) pengukuran kekerasan digunakan persamaan

    berikut:

    (2.4)

    dimana P adalah beban penekan (kgf), dan D adalah panjang diagonal jejak indentor

    (mm).

    Alat yang digunakan pada uji kekerasan adalah Equotip Hardness, alat uji ini

    diperkenalkan pada tahun 1977, dengan satuan pengukurannya disebut Leeb Value

    sesuai dengan nama penemunya Dietmar Leeb, menggunakan baterai dalam

    mengoperasikannya dan bekerja secara otomatis (digital), penggunaanya sangat

    praktis sesuai dengan bentuknya yang kecil dan sederhana dan dapat dibawa

    kemanapun (George F. Vander Voort, 1984).

  • 37

    2.11.3. Karakterisasi Pori dengan Metode Bubble Point

    Bubble point merupakan salah satu metode sederhana untuk karakterisasi

    ukuran pori maksimum pada membran dengan menentukan tekanan minimum yang

    diberikan hingga terbentuk gelembung udara di permukaan membran (Fane, 1996).

    Skema susunan alat seperti pada Gambar 2.14.

    Gambar 2.14. Skema alat metode bubble point

    Bagian atas diisi oleh cairan (misalnya air) yang akan berinteraksi dengan membran

    berpori. Bagian bawah beriisi udara dan ketika tekanan udara diberikan terus menerus

    maka gelembung udara akan menembus membran selama membran tersebut

    diberikan tekanan tertentu. Hubungan antara tekanan dan jari-jari pori ditunjukkan

    pada persamaan 2.5.

    rp = (2/P) cos (2.5)

    Dimana rp merupakan jari-jari pori dan tegangan permukaan cairan yang digunakan.

    Diketahui air sebesar 72 x 10-3 N/m dan etanol sebesar 22,3 x 10-3 N/m. Nilai cos

    diasumsikan sama dengan satu karena gelembung udara akan muncul melalui pori

    yang setara dengan ukuran jari-jarinya. Untuk mengetahui P maka digunakan

    persamaan 2.6.

  • 38

    P = (Vi / Vf) x 105 Nm

    -2 .. ..(2.6)

    Dimana Vi merupakan volume awal udara dan Vf adalah volume akhir ketika

    gelembung mulai muncul.

    2.11.4. Uji Asam Bronsted

    Lumpur lapindo mengandung sebagian besar aluminosilikat sehingga dalam

    bentuk padatan akan mamiliki permukaan asam. Beberapa reaksi penting yang

    melibatkan keasaman Lewis dari senyawa anorganik terjadi pada permukaan padatan.

    Seperti pada permukaan asam dengan luas permukaan yang tinggi dan situs asam

    Lewis yang digunakan sebagai katalis dalam industri perminyakan untuk isomerisasi

    dan alkilasi senyawa aromatik. Keasaman permukaan juga penting dalam kimia tanah

    dan air alami.

    Contohnya pada alumina (Al2O3), yang memiliki permukaan asam karena

    keberadaan Al dengan muatan (+3). Ketika aluminium oksida hidro baru diendapkan

    setelah dipanaskan di atas 150 oC, dehidrasi dimulai dan mengalami perubahan

    permukaan seperti: (Upadhya, 2001)

    Gambar 2.15. Dehidrasi permukaan alumina

    Ion Al3+

    terbentuk di permukaan bertindak sebagai asam Lewis dan ion O2 tak

    terprotonasi yang terbentuk bertindak sebagai basa Lewis.

  • 39

    Berbeda dengan alumina, aluminosilikat dapat memperlihatkan keasaman

    kuat Bronsted. Pembentukan situs asam mungkin dianggap sebagai kondensasi Si

    unit Si(OH)4 dengan unit aluminium hidrous, H2O.Al(OH)3. Jadi

    Gambar 2.16 pembentukan situs asam Bronsed

    Proses ini menghasilkan sebuah situs asam kuat Bronsted dimana proton

    dipertahankan untuk menyeimbangkan muatan positif dari ion Al3+

    . Penentuan

    keasaman ditentukan dengan penggabungan gravimetri dan spektroskopi inframerah

    (Triyono dkk, 1990).

    2.11.5. Uji Densitas

    Densitas pada material didefinisikan sebagai: massa per satuan volum,

    pengukurannya dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

    (2.7)

    Dalam prakteknya kadang-kadang sampel yang akan diukur mempunyai

    bentuk dan ukuran yang tidak teratur, sehingga penentuan volum mengalami

    kesulitan dan kerapatannya diragukan. Pengukuran massa jenis memberikan hasil

    yang lebih akurat dan dapat dilakukan dengan prinsip Archimedes (Debora, 2008).

  • 40

    2.11.6. Analisa Termal dengan DTA

    Diferensial analisis termal (DTA), merupakan metode yang kurang akurat

    atau definitif, namun memiliki peranan yang penting di antara teknik-teknik yang

    memungkinkan karakterisasi bahan. Metode ini terbatasi oleh sensitifitas alat, kurva

    diferensial termal merekam semua transformasi panas yang diserap dan dilepaskan.

    Beberapa proses ini termasuk dehidrasi tanah liat, dekarbonasi karbonat, perubahan

    reversibel dari - ke -kuarsa, pembakaran bahan, dan rekombinasi elemen menjadi

    bentuk yang lebih stabil. Teknik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah

    senyawa yang cukup murni dan untuk mengikuti perubahan dalam campuran untuk

    tujuan pengendalian (Rowland, 1990).

    DTA mendeteksi pelepasan dan penyerapan panas, yang diasosiasikan dengan

    peruahan kimia dan fisika pada saat sampel dipanaskan atau didinginkan, seperti

    informasi yang penting untuk pemahaman sifat termal dari material. Menganalisa

    dekomposisi material gelas, perubahan fasa kristalin, reaksi kimia dan suhu transisi

    gelas merupakan beberapa sifat yang dapat diukur dengan DTA. Rentang suhu

    instrumen biasanya dari suhu kamar sampai 1000 oC.

  • 41

    Gambar 2.17. Grafik DTA

    Dari jenis grafik DTA seperti pada Gambar 2.17, kita dapat mengidentifikasi suhu

    transisi gelas (Tg), kristalisasi (Tb), suhu cair ditunjukkan sebagai Tl.

    DTA terdiri dari pemegang sampel yang terdiri dari termokopel, wadah

    sampel dan satu blok keramik atau logam, tungku, seorang programmer suhu; dan

    sistem perekaman. Fitur utama adalah keberadaan dua termokopel dihubungkan

    dengan voltmeter. Satu termokopel ditempatkan dalam bahan inert seperti Al2O3,

    sementara yang lain ditempatkan dalam sampel dari bahan yang diteliti. Karena suhu

    meningkat, akan ada defleksi singkat voltmeter jika sampel sedang mengalami

    transisi fase. Hal ini terjadi karena masukan dari panas akan meningkatkan suhu zat

    inert, tetapi akan dimasukkan sebagai panas laten dalam fase perubahan materi.

    Kurva TG tanin yang yang berasal dari pohon cemara diperlakukan selama 10

    menit di dalam oven dengan masing-masing kekerasannya seperti yang ditunjukkan

    pada Gambar 2.18.

  • 42

    Gambar 2.18. Termogram analisa tanin

    Berdasarkan literatur, mekanisme dekomposisi termal dari tanin meliputi 3 tahap.

    Tahap pertama adalah peningkatan densitas ikatan silang, yang terjadi dari suhu 300

    sampai 500 oC. tahap kedua adalah dari 400 sampai 800

    oC, yang melibatkan

    peningkatan vibrasi molekul dengan suhu. Pada tahap ini jaringan ikatan silang

    mengalami kerusakan. Tahap ketiga adalah dari 560 sampai 800 oC yang melibatkan

    pemecahan gugus C-H pada gugus fenol (Sumin, 2002).

  • 43

    BAB III

    KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS

    3.1. Konsep Penelitian

    Semburan lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo pada tahun 2006

    menimbulkan berbagai dampak. Dampak dari semburan ini paling dirasakan oleh

    masyarakat tiga kecamatan sekitar semburan karena menyebabkan tergenangnya

    kawasan pemukiman, pertanian, dan perindustrian, serta mempengaruhi aktivitas

    perekonomian di Jawa Timur pada umunya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk

    menghentikan semburan lumpur oleh pihak PT. Lapindo. Salah satunya adalah

    dengan mengalirkan lumpur ke sungai Porong yang bermuara ke laut.

    Berbagai penelitian tentang kandungan lumpur Lapindo telah banyak

    dilakukan. Terdapat beberapa oksida seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, TiO2, CaO, MgO,

    Na2O, K2O dan SO2. Silika dan alumina merupakan oksida dengan jumlah terbanyak

    dibandingkan dengan oksida lain. Melihat beberapa kandungan oksida dari lumpur

    Lapindo, maka lumpur ini bisa dijadikan kandidat bahan untuk pembuatan keramik.

    Selain itu, terdapat beberapa garam sederhana yang bukan merupakan komposisi

    keramik. Keberadaan garam ini akan sangat mengganggu apabila lumpur Lapindo

    dijadikan bahan baku pembuatan keramik, terutama pada aspek kekerasan. Oleh

    karena itu perlu dilakukan ekstraksi untuk mengurangi garam-garam sederhana

    sebelum lumpur dicetak menjadi keramik.

    Perkembangan material berpori khususnya keramik berpori dari tahun ke tahun

    mengalami peningkatan dan dimanfaatkan dalam berbagai keperluan, antara lain

  • 44

    sebagai penyokong katalis, pemurnian air, filtrasi (udara, gas dan cairan), dan

    sebagainya. Keramik berpori telah dikembangkan dengan berbagai metode yang

    berbeda untuk aplikasi yang berbeda pula. Beberapa metode yang dikenal antara lain

    metode sol gel, gel casting, slip casting, rubber mold pressing, die pressing, extrusion

    molding, dan sebagainya.

    Penelitian ini bertujuan untuk membuat keramik berpori dengan tanin sebagai

    cetakan pori dengan metode die pressing. Pemilihan bahan organik tanin didasarkan

    pada sifat-sifat kimia dan fisikanya serta keberadaannya yang melimpah di alam.

    Tanin berasal dari metabolit sekunder tumbuhan hijau tingkat tinggi dan ada beberapa

    yang berasal dari tumbuhan tingkat rendah. Tanin merupakan golongon flavonoid

    dengan berat molekul besar yang mncapai 20.000, memiliki sifat mulai

    terdekomposisi pada suhu 300 oC dan pada suhu 800

    oC ikatan C-H pada gugus

    fenolik terputus. Pada proses ini tanin akan terurai dan meninggalkan pori pada

    keramik yang dicetak dari lumpur Lpindo. Pemilihan tanin sebagai bahan organik

    pencetak pori karena dalam beberapa penelitian sebelumnya tanin digunakan sebagai

    bahan perekat. Bahan keramik akan terikat dengan baik serta lebih stabil dengan

    adanya tanin yang merekatkan partikel lumpur penyusun keramik sebelum

    disinterring.

    Keramik berpori dari lumpur Lapindo dibuat berdasarkan HP Technical

    Ceramics dengan standar porositas 35-50%. Keramik dicetak ke dalam wadah atau

    cetakan berbentuk silinder dengan diameter 1,6 cm dan tinggi 1,55 cm. sebelum

    dicetak sampel lumpur Lapindo dan tanin dalam bentuk serbuk dicampur dan di

    homogenkan selama 5 sampai 10 menit dengan perbandingan antara sampel lumpur

  • 45

    dan tanin bervariasi mulai dari 0%, 10%, 20%, 30% dan 40% tanin. Perbedaan

    komposisi tanin ini bertujuan untuk melihat beberapa karakter karamik stelah

    disintering dengan suhu bertahap mulai dari suhu 28 oC sampai 1200

    oC. dengan

    adanya variasi penambahan tanin ini akan menunjukkan porositas berbeda yang

    terbentuk setelah disintering serta karakter yang berbeda dari kekerasan dan densitas.

    Uji densitas dilakukan dengan prinsip hukum Archimedes, uji diameter pori dengan

    metode bubble point, gambar mikro penampang pori dengan SEM, uji difraksi sinar-

    X untuk mengetahui mineral serta parameter kisi, uji kekerasan dengan Equotip

    Hardness Tester, serta uji asam Bronsted dengan spektroskopi inframerah.

    3.2. Hipotesis

    Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah keramik

    yang dibuat dari lumpur Lapindo dengan variasi tanin sebagai cetakan pori akan

    memiliki karakter yang berbeda. Semakin banyak jumlah tanin sebagai cetakan pori,

    akan meningkatkan intensitas pori, tetapi menurunkan kekerasan keramik.

  • 46

    BAB IV

    METODOLOGI PENELITIAN

    4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik, Laboraorium

    Kimia Fisika Jurusan Kimia Fakultas MIPA, Laboratorium Karakterisasi Jurusan

    Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, dan Laboratorium Bersama

    Universitas Negeri Malang pada bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Desember

    2011.

    4.2. Alat dan Bahan Penelitian

    4.2.1. Sampel Penelitian

    Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Lumpur Lapindo yang

    diambil di daerah semburan panas Lumpur Lapindo Porong di Desa Siring

    Kecamatan Porong pada koordinat 7o3139,72 LS, 112o4214,58 BT. Koordinat

    diperoleh dengan GPS Nokia 5230 Nuron yang disesuaikan dengan Google Earth

    Real Time GPS Integrated. Sampel lumpur Lapindo yang telah didapatkan berwarna

    coklat keabu-abuan, diletakkan dalam wadah sampel.

    4.2.2. Bahan-bahan Penelitian

    Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah tawas

    [KAl(SO4)2], dan aquades.

  • 47

    4.2.3. Alat-alat Penelitian

    Alat-alat yang digunakan di laboratorium anorganik Universitas Brawijaya

    antara lain mortar, Oven Fisher Scientific 655 F, Tanur Nabertherm model N-31,

    desikator, neraca analitis Mettler, botol semprot, bola hisap, ayakan 40 dan dan 60

    mesh, seperangkat alat sentrifugasi lengkap dengan tabung sentrifugasi, magnetic

    stirrer, seperangkat peralatan gelas, pipet tetes, pipet, 5 mL, 10 mL dan corong

    Buchner, shaker (laboratorium Kimia Fisik UB), FT-IR Shimadzu, Hardness Tester

    HLN-11A dengan Device Impact tipe D (laboratorium Karakterisasi Jurusan Teknik

    Mesin Fakultas Teknik UB). Alat yang digunakan di Laboratorium Bersama

    Universitas Negeri Malang antara lain Scanning Electron Microscopy (SEM) FEI

    Type Inspect S50, XRD PANanalytical Xpert PRO, XRF PANanalytical type

    Minipal 4, DTA lainsesiss.

    4.3. Tahapan Penelitian

    Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

    1. Preparasi sampel Lumpur Lapindo yang meliputi ekstraksi logam-logam terlarut

    serta analisa logam dengan XRF

    2. Persiapan tanin sebagai cetakan pori

    3. Pembuatan keramik dengan metode die pressing

    4. Karakterisasi keramik yang meliputi uji XRF, Uji DTA, susut bakar, uji diameter

    pori, uji densitas, uji kekerasan keramik, gambar mikro penampang pori, uji

    difraksi sinar-X, dan uji asam bronsted.

  • 48

    4.4. Prosedur Penelitian

    4.4.1. Preparasi Sampel Lumpur Lapindo

    Sampel Lumpur Lapindo basah sekitar 1.5 2 kg dikeringkan di dalam oven

    pada suhu 110 oC selama 24 jam untuk menghilangkan kandungan air. Sampel

    berwarna abu-abu gelap. Kemudian sampel ditumbuk halus di dalam mortar

    kemudian diayak dengan ayakan berukuran 60 mesh sehingga didapatkan sampel

    yang berbentuk butiran halus.

    4.4.2. Penentuan Lama Pengocokan dan Jumlah Pelarut Pada Pengurangan

    Garam-Garam Na+, K

    +, dan Mg

    2+

    Penentuan lama pengocokan dan jumlah pelarut untuk mengurngi garam-

    garam Na+, K

    +, dan Mg

    + dilakukan menurut prosedur ekstraksi garam-garam larut air

    yang telah dilakukan oleh Satria (2011).

    4.4.4. Tanin sebagai cetakan pori

    Tanin yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanin murni dari Riedel-de

    Han.

    4.4.5. Pembuatan Keramik

    Keramik yang dibuat dengan prosentase tanin bervariasi mulai dari 0%, 10%,

    20%, 30% dan 40% dari berat total. Cetakan yang digunakan dalm pembuatan

    keramik ini adalah cetakan berbentuk silinder dengan diameter 1,6 cm dan tinggi 1,55

    cm. Berat total dari campuran lumpur kering dan tanin dengan prosentase 0-20%

    adalah 5 gram, sedangkan berat total dari campuran lumpur kering dan tanin dengan

    30% dan 40% tanin adalah masing-masing 5,5 gram dan 6 gram. Pembuatana

  • 49

    keramik dilakukan dengan metode die pressing, dimana bahan keramik dalam bentuk

    bubuk dicampur dengan binder atau pengikat. Bahan yang berperans ebagai binder

    adalah tanin. Untuk keramik dengan 0% tanin dibuat dengan meninbang 5 gram

    lumpur lapindo yang sudah dihaluskan kemudian ditetesi air sedikit demi sedikit dan

    dihomogenkan selama 10 menit agar mudah dibentuk dan dicetak. Keramik dengan

    10% tanin dibuat dengan menimbang sampel lumpur Lapindo sebanyak 4,5 gram

    kemudian ditambahkan 0,5 gram tanin yang berbentuk bubuk atau butiran halus,

    setelah itu dihomogenkan selama 5 menit dan ditambahkan air sedikit demi sedikit

    sambil dihomogenkan kembali selam 10 menit. Setelah homogen sampel dibentuk

    dan ditempatkan ke dalam cetakan. Keramik dengan 20% tanin dibuat dengan cara

    yang sama tapi dengan perbandingan lumpur dan tanin yang berbeda yakni 4 gram

    lumpur dan 1 gram tanin. Sedangkan untuk keramik dengan 30% yaitu perbandingan

    lumpur dan tanin masing-masing 3,85 gram dan 1,65 gram dengan berat total 5,5

    gram. Terakhir adalah keramik dengan 40% tanin. Dibuat dengan campuran lumpur

    dan tanin masing-masing 3,6 gram dan 2,4 gram.

    Lumpur dengan variasi tanin yang sudah dicetak kemudian diangin-anginkan

    selama 24 jam. Setelah diangin-anginkan, dilepas dari cetakan sehingga berbentuk

    keramik mentah yang kemudian disintering dengan perlakuan temperatur dan waktu

    yaitu 28 oC - 50

    oC selama 30 menit, 50

    oC 100 oC selama 30 menit, 100 oC 100

    oC selama 60 menit, 100

    oC 150 oC selama 15 menit, 150 oC 200 oC selama 15

    menit, sampai dengan 1200 oC dengan masing-masing interval 50

    oC/15 menit. Pada

    suhu 350 oC dan 800

    oC ditahan selama satu jam.

    Pemanasan secara bertahap

    dimaksudkan agar pengeringan dan pelepasan molekul air pada sampel keramik lebih

  • 50

    merata, sehingga mengurangi kerusakan atau keretakan pada keramik sebelum

    memadat dan mengeras. Pemanasan hingga suhu di atas 1000 oC dimaksudkan untuk

    menghilangkan tanin dari dalam keramik sebagai cetakan pori. Kemudian dilakukan

    penimbangan keramik secara teliti dilakukan sebelum dan sesudah sintering.

    4.4.6. Karakterisasi Keramik

    Karakterisasi keramik berpori yang dibuat dari lumpur lapindo meliputi uji

    XRF, Uji DTA, susut bakar, uji porositas (diameter pori), uji densitas, uji kekerasan

    keramik, struktur mikro (SEM), uji difraksi sinar-X, dan uji keasaman brownsted.

    a) Analisa Kadar Logam Sampel Lumpur Lapindo

    Analisa kadar logam bahan baku lumpur Lapindo dilakukan sebelum dan

    sesudah ekstrasksi logam dan garam terlarut menggunakan XRF (X-ray fluorescence

    spectrometry)

    b) Analisa Termal dengan DTA

    Analisa termal dilakukan untuk menentukan perlakuan suhu dan waktu pada

    saat sintering dan untuk mengetahui suhu tanin mulai mengalami degradasi. Analisa

    termal dilakukan menggunakan DTA. Tanin dan keramik mentah yang akan dianalisa

    diletakkan dalam cawan yang digantung dalam reaktor. Gantungan cawan

    dihubungkan dengan timbangan digital untuk mengukur perubahan massa keramik

    terhadap fungsi suhu.

  • 51

    c) Susut Bakar

    Susut bakar pada sampel keramik yang disintering memiliki perbedaan sesuai

    dengan kandungan air dan bahan organik sebagai cetakan pori yang ada pada bahan

    keramik. Susut bakar menyebabkan hilangnya kandungan air dan senyawa organik

    dalam bahan keramik. Volume yang menjadi kecil disebabkan oleh kekosongan

    bekas kandungan air dan senyawa organik.

    Penyusutan volum sampel diketahui dari hasil selisih pengukuran untuk

    masing-masing diameter dan tinggi sampel sebelum dan sesudah pembakaran. Alat

    ukur yang digunakan adalah jangka sorong dan penggaris. Untuk mengetahui susut

    massa dilakukan dengan mengukur selisih massa sebelum dan sesudah pembakaran

    yang ditimbang menggunakan neraca analitik. Susut volum dan susut massa diukur

    berdasarkan persamaan 2.2 dan 2.3.

    d) Uji Densitas

    Uji densitas dapat dilakukan dengan metode yang didasari hukum

    Archimedes. Prinsip dari metode ini adalah mengukur massa air yang berpindah

    akibat adanya desakan dari keramik yang dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer.

    berisi air. Terlebih dahulu ditimbang gelas Erlenmeyer kosong 100 mL, keramik A +

    gelas Erlenmeyer kosong 100 mL, serta keramik A + gelas Erlenmeyer 100 mL yang

    telah ditambahkan air sampai dengan tanda batas. Setelah itu densitasnya dihitung

    dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (Satria, 2010)

    (4.1)

  • 52

    Dimana: m = massa keramik

    V = volume keramik

    Untuk mendapatkan data m dan V yang dibutuhkan maka dilakukan

    penimbangan:

    X = gelas erlenmeyer 100 mL kosong

    Y = gelas erlenmeyer 100 mL + keramik

    Z = gelas erlenmeyer 100 mL + keramik + akuades sampai tanda batas

    maka:

    m = Y X

    V = 100 - Z Y air

    sehingga persamaan di atas berubah menjadi:

    (4.2)

    e) Uji Porositas (Diameter Pori)

    Karakterisasi diameter pori dilakukan menggunakan metode bubble point.

    Skema alat metode ini ditunjukkan pada Gambar 2.14. Keramik diletakkan di filter

    holder kemudian dibasahkan dengan akuades. Syringe diisi dengan udara 20 mL dan

    dihubungkan dengan filter holder. Diberikan tekanan pada syringe (udara) hingga

    gelembung udara muncul di permukaan keramik. Dicatat berapa volume yang

    dibutuhkan hingga terbentuk gelembung udara, dihitung jari-jari pori berdasarkan

    pada persamaan 2.5 dan 2.6.

  • 53

    f) Gambar Mikro Penampang Pori

    Gambar mikro penampang pori dapat dikarakterisasi secara kualitatif dengan

    menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Alat ini memiliki ketelitian dan

    perbesaran yang tinggi dalam menampilkan gambar sampel dalam bentuk tiga

    dimensi. Berbagai jenis pori yang sudah dikenal antara lain pori tertutup dan pori

    terbuka. Berdasarkan bentuknya pori dibagi menjadi bentuk silinder, bentuk botol,

    bentuk corong atau belahan.

    g) Uji Difraksi Sinar-X (XRD)

    Uji difraksi sinar-X bertujuan untuk mengetahui berbagai parameter dalam

    material padat, antara lain untuk meneliti ciri utama struktur kristal (parameter kisi)

    dan untuk mengetahui rincian lain, misalnya susunan berbagai jenis atom dalam

    kristal, keberadaan cacat, ukuran butiran dan sub butiran, orientasi, ukuran dan

    kerapatan presipitat.

    h) Uji Kekerasan Keramik

    Uji kekerasan keramik berguna untuk mengetahui ketahanan bahan terhadap

    penetrasi pada permukaan, namun pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan

    terhadap deformasi plastis karena pada bahan yang ulet kekerasan memiliki hubungan

    yang sejajar dengan kekuatan. Pengujian kekerasan dilakukan dengan menempatkan

    keramik berpori di bawah alat Equotip Hardness Tester. Keramik yang akan diuji

    dihaluskan permukaannya menggunakan polising machine. Keramik diletakkan pada

    dudukan dan dipastikan stabil. Hv dihitung berdasarkan persamaan 2.4. pengukuran

  • 54

    dilakukan pada 3-4 titik pada badan keramik untuk memperoleh keseragaman

    pengukuran.

    i) Uji Asam Bronsted

    Lumpur Lapindo mengandung sebagian besar aluminosilikat sehingga dalam

    bentuk padatan akan mamiliki permukaan asam. Oleh karena itu penentuan sifat asam

    ditentukan dengan spektroskopi inframerah. Pengujian IR dilakukan dengan

    menggerus keramik yang sudah disinterring kemudian dibentuk seperti pellet untuk

    dianalisa.

  • 55

    BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Dari penelitian ini didapatkan hasil yang diperoleh dari beberapa parameter

    yang dijadikan obyek penelitian. Hasil yang diperoleh berupa karakterisasi sampel

    keramik berpori lumpur Lapindo yang meliputi uji XRF, Uji DTA, susut bakar, uji

    porositas (diameter pori), uji densitas, uji kekerasan keramik, gambar mikro

    penampang pori (menggunakan SEM), uji difraksi sinar-X, dan identifikasi situs

    asam Bronsted dengan FT-IR.

    5.1. Penentuan Suhu Sintering dengan Analisa DTA Keramik berpori dari

    Lumpur Lapindo

    Hasil analisa termal keramik mentah 30% ditunjukkan pada Gambar 5.1.

    Gambar 5.1. Termogram analisa termal keramik mentah 30% tanin menggunakan

    TGA/DTA. Keterangan : ( ) TGA, ( ) DTA, dan ( ) suhu

    1

    2

    3

  • 56

    Penentuan suhu sintering dalam penelitian ini dilakukan setelah analisa termal

    keramik dengan 30% tanin menggunakan TGA/DTA. Data hasil pengukuran

    menunjukkan suhu terjadinya pengurangan berat keramik dan terjadinya perubahan

    fasa beberapa mineral. Laju pemanasan pada analisa DTA adalah 10 oC/menit dengan

    berat sampel yang dianalisa adalah 90,29 mg.

    Tabel 5.1. Interpretasi Hasil Analisa Termal Keramik Mentah Menggunakan

    TGA/DTA

    No. Suhu

    (oC)

    Interpretasi Penyusutan

    massa

    1 100 Lepasnya air pada sistem keramik 6%

    2 350

    Pengerasan pada badan keramik dan tanin, serta

    lepasnya air hidrat. 24,18%

    3 800

    Degradasi termal pada tanin yang ditandai pemecahan

    ikatan C-H pada gugus fenol dan pembentukan CO2. 42,72%

    Dari Tabel 5.1 tentang interpretasi hasil analisa termal, dilakukan berbagai perlakuan

    suhu terhadap keramik mentah yang disinter. Tahap sintering dilakukan dengan

    menahanan suhu selama 60 menit pada suhu 100 oC, 350

    oC, dan 800

    oC. pada suhu

    100 oC terjadi penguapan air pada sistem keramik, hal ini terlihat dari pengurangan

    massa sebesar 6%. Kemudian Pada suhu 300 sampai 500

    oC, terjadi curing atau

    pengerasan pada badan keramik dan tanin, serta terjadi pelepasan air hidrat yang

    terikat pada mineral. Pada suhu ini terjadi juga perubahan tanin menjadi bentuk

    amorf. Pada suhu 800 oC ditahan selama 60 menit untuk memaksimalkan penguraian

    tanin, karena pada suhu 560 800 oC ikatan antara C-H dalam gugus fenolik pada

    tanin akan pecah. Pada suhu 800 oC hingga 1180

    oC tidak terjadi pengurangan berat

    keramik secara signifikan karena pada rentang suhu ini hanya terjadi perubahan fasa

  • 57

    pada keramik. Pemanasan dilakukan dengan laju pemanasan 50 oC per 15 menit

    hingga suhu 1180 oC. Ketika mencapai suhu 1180

    OC ditahan lagi selama 60 menit.

    Pemanasan dilakukan hingga suhu 1180 oC karena transformasi fasa -Al2O3 menjadi

    -Al2O3 (korundum) terjadi di atas suhu 1000 oC. Untuk aluminosilikat (Al2SiO5)

    stabil hingga suhu 1250 oC dalam bentuk amorf. Pada 573 C, -quartz berubah

    menjadi -quartz, umumnya kedua bentuk ini memiliki struktur yang sama.

    Pemanasan quartz pada 867 C terjadi perubahan dari -quartz ke -tridimit

    (Shackelford dan Doremus, 2008). Perubahan fasa sebelum dan setelah sintering

    dijelaskan pada bagian 5.2 tentang hasil analisa dengan XRD.

    5.2. Sifat Fisik dan kimia Keramik Berpori dari Lumpur Lapindo

    5.2.1. Analisa Sifat Fisik

    Nainggoalan (2008) menyebutkan susut bakar umumnya terjadi akibat

    hilangnya air akibat penguapan dan hilangnya zat aditif dari dalam keramik dan

    butiran kecil menyatu aktif terhadap butiran besar. Kekosongan yang terjadi akan

    diisi oleh bagian fluks (pelebur). Hasil analisa susut bakar keramik berpori dari

    lumpur Lapindo dilakukan dengan mengukur volume dan menimbang massa sebelum

    dan sesudah sintering. Keramik berpori lumpur Lapindo ini dicetak dengan

    menggunakan cetakan berbentuk silinder dengan diameter 1,6 cm dan tinggi 1,55 cm

    dan untuk analisa susut bakar digunakan persamaan 2.7 dan 2.8. Hasil yang diperoleh

    dari analisa susut bakar ini dapat dilihat dari grafik susut volume dan susut massa

    pada Gambar 5.2.

  • 58

    Gambar 5.2. Grafik hubungan prosentase susut volume dan massa dengan

    prosentase jumlah tanin

    Tanin yang digunakan sebagai cetakan pori pada pembuatan keramik berpori

    juga berguna sebagai perekat (Warsin 2000). Tanin akan mengikat partikel lumpur

    Lapindo setelah diberi air pada saat pencetakan sehingga meningkatkan kekuatan

    keramik sebelum disintering, berbeda dengan keramik tanpa tanin yang cenderung

    rapuh dan mudah pecah. Tanin juga akan memberikan warna hijau dan biru

    kehitaman bila bereaksi dengan besi (Browning 1996).

    Keramik berpori yang dibuat dari lumpur Lapindo disintering hingga suhu 1180

    oC, keramik sebelum dan sesudah sintering memperlihatkan perbedaan volume yang

    cukup signifikan. Keramik dengan prosentase tanin 10% sampai 40% dengan interval

    10% mengalami susut bakar (massa dan volume) yang relatif meningkat dengan

    prosentase berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 5.2.

    17,32

    27,75

    35,185

    41,115

    50,155

    -48,075

    13,23 18,515

    37,7

    49,685

    -60

    -40

    -20

    0

    20

    40

    60

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    0 10 20 30 40 50

    susu

    t m

    assa

    (%

    )

    jumlah tanin (%)

    susu

    t vo

    lum

    e (

    %)

    susut massa

    susut volume

  • 59

    Tabel 5.2. Hasil analisa sifat fisik keramik berpori

    jumlah

    tanin

    (%)

    % susut

    massa

    % susut

    volume densitas

    Kekerasan

    (Hv)

    Diameter

    pori (m)

    0 17.32 -48.075 4.42 99.07 2.82

    10 27.75 13.23 2.82 71.245 2.77

    20 35.185 18.515 2.175 55.83 2.72

    30 41.115 37.7 1.525 42.02 2.65

    40 50.155 49.685 1.18 39.5 2.58

    Dari data ini terlihat prosentase penyusutan volume dan massa semakin meningkat

    seiring dengan peningkatan jumlah tanin dalam keramik (Gambar 5.2), penyusutan

    ini disebabkan karena tanin yang dicetak bersama sampel lumpur Lapindo mengalami

    pembakaran dan terurai pada saat sintering. Dalam penelitian Sumin (2002),

    diperoleh data DTA bahwa tanin akan mengalami pemecahan ikatan C-H pada suhu

    560 800 oC. Pada keramik tanpa tanin tidak terjadi penyusutan volume melainkan

    terjadi peningkatan volume. Peningkatan volume ini diperkirakan karena tingginya

    kadar Fe dalam bentuk oksida besi (Fe2O3) pada sampel lumpur Lapindo, berdasarkan

    hasil analisa XRF yaitu sekitar 25,9% (lampiran 6.6). Hasil analisa XRF untuk

    lumpur sebelum ekstraksi memperlihatkan 3 unsur logam terbesar dengan nilai

    prosentase di atas 10% adalah Si, Fe, dan Al dengan masing-masing 40,1%, 28,8%,

    dan 15%. Unsur logam ini terdapat pada sampel lumpur Lapindo dalam bentuk

    oksida yang lebih lanjut dijelaskan pada bagian hasil analisa dengan XRD. Dengan

    mengetahui bahwa kandungan Si sebagai Silika dan Al sebagai alumina, maka

    lumpur Lapindo layak digunakan sebagai bahan pembuat keramik. Setelah dilakukan

    ekstraksi, komposisi masing-masing 3 unsur tersebut mengalami peruberubahan

  • 60

    dengan nilai 45,6% Si, 14% Al, dan 25,9% Fe. Prosentase Al dan Fe mengalami

    penurunan sedangkan Si mengalami peningkatan.

    Perubahan logam dengan prosentase kurang dari 10% persen dapat dilihat pada

    Lampiran 5.1. Dengan tingginya kandungan logam pada lumpur Lapindo

    menyebabkan massa jenisnya juga lebih besar dari massa jenis air yaitu berkisar 1,24

    1,37 (Agustanto, 2007). Tingginya kadar Fe pada sampel lumpur akan berpengaruh

    pada kekerasan dan warna keramik setelah sintering.

    Bertambahnya volume keramik 0% tanin dapat dijelaskan dengan hasil analisa

    XRD yang tertera pada Tabel 5.3.

    Tabel 5.3. Hasil analisa XRD keramik sebelum dan setelah sintering

    no. senyawa fasa

    % fasa sistem kristal parameter sel

    sebelum

    sintering

    setelah

    sintering

    sebelum

    sintering

    setelah

    sintering

    sebelum

    sintering

    setelah

    sintering

    1 SiO2 Quartz 9,60% 14,20% heksagonal heksagonal a=4,8362

    c=5,3439

    a=4,9160

    c=5,4054

    2 Al2O3 Corundum 26,70% 15,70% heksagonal heksagonal a=4,7570

    c=12,9877

    a=4,7602

    c=12,9933

    3 Fe2O3 Hematite 7,50% 6% rombohedral heksagonal a=5,4200 a=5,0380

    c=13,7720

    4 Al2SiO5 Andalusite 34,30% 25,30% ortorombik ortorombik

    a=7,7980

    b=7,9031

    c=5,5566

    a=7,8355

    b=7,9289

    c=5,5611

    5 Al2Si2O5(OH)4 Kaolinite 21,90% 38,90% triklinik triklinik

    a=5,1554

    b=8,9448

    c=7,4048

    a=5,1554

    b=8,9448

    c=7,4048

    Hasil analisa XRD keramik memperlihatkan oksida besi (Fe2O3) dengan fasa

    hematit muncul pada sudut 2 = 56,3o dengan prosentase fasa 7,5% pada keramik

    sebelum sintering. Perubahan sudut 2 terjadi setelah sintering keramik, dan Fe2O3

    muncul pada 69,43o. Selain perubahan sudut 2, terjadi juga penurunan prosentase

    fasa menjadi 6%. Hal ini disebabkan karena selama proses sintering hingga suhu di

  • 61

    atas 1180 oC berakibat pada berubahnya sistem kristal pada oksida besi, dari

    rombohedral dengan parameter sel a=5,4200 menjadi heksagonal dengan

    parameter sel a=5,0380 , c=13,7720 . Menurut Cornell dan Schwertmann (2003),

    pada sistem rombohedral hanya terdapat dua unit Fe2O3 dalam satu sel, sedangkan

    pada sistem heksagonal terdapat enam unit Fe2O3 dalam satu sel. Dengan adanya

    perubahan sistem Kristal dan parameter sel, diperkirakan pengaruh terhadap volume

    keramik secara makro adalah membesar dan menyebabkan keramik dengan tanin 0%

    mengalami penambahan volume setelah sintering.

    Perubahan parameter sel terjadi pada semua oksida dan mineral pada keramik,

    namun perubahan yang paling signifikan terlihat pada oksida besi. Pada silika terjadi

    perubahan sebelum sintering dari -quartz menjadi -tridimit setelah sintering. hal ini

    ditandai dengan perubahan parameter sel.

    Berbeda dengan diameter pori, kekerasan dan massa jenis menunjukkan

    penurunan nilai, mulai dari prosentase tanin 0% sampai 40%. Hal dapat dilihat pada

    Gambar 5.3 dan 5.4.

  • 62

    Gambar 5.3. Grafik masa jenis dan diameter pori keramik

    Penentuan diameter pori dilakukan dengan menggunakan metode bubble

    point, sedangkan penentuan massa jenis dilakukan dengan menggunakan persamaan

    2.7 dan 4.2 yang dikenal dengan hukum Archimedes.

    Seperti yang dijelaskan sebelumnya, volume keramik tanpa tanin menjadi

    lebih besar setelah disintering. Hal ini akan berpengaruh juga pada diameter pori,

    massa jenis, dan kekerasan keramik yang terbentuk selama proses sintering karena

    adanya oksida besi berupa Fe2O3. Clay yang juga terdiri atas kaolin dan feldspar

    menurut Diamond (1970) memiliki diameter pori 10 nm sampai 10.000 nm,

    sedangkan menurut IUPAC apabila suatu pori memiliki diameter lebih besar dari 50

    nm maka pori tersebut digolongkan ke dalam makropori. Hasil dari penelitian ini

    memperlihatkan bahwa diameter pori keramik dari lumpur Lapindo yang dianalisa

    4,42

    2,82

    2,175

    1,525

    1,18

    2,82

    2,77

    2,72

    2,65

    2,58

    2,55

    2,6

    2,65

    2,7

    2,75

    2,8

    2,85

    0

    0,5

    1

    1,5

    2

    2,5

    3

    3,5

    4

    4,5

    5

    0 10 20 30 40 50

    mas

    sa je

    nis

    (gr

    /cm

    3

    jumlah tanin (%)

    dia

    me

    ter

    po

    ri (

    m)

    Massa jenis (gr/cm3)

    diameter pori (m)

  • 63

    dengan metode bubble point berada dalam katergori makropori, dan keramik

    berdasarkan hasil analisa XRD terdiri dari kaolin dan aluminosilikat. Adanya tanin

    yang berperan sebagai cetakan pori sekaligus perekat antarpartikel lumpur Lapindo

    menyebabkan keramik tidak merekah pada saat sintering dan menghasilkan pori yang

    cenderung semakin kecil sesuai dengan semakin banyaknya prosentase tanin yang

    ditambahkan ke dalam keramik. Untuk massa jenis keramik, semakin banyak tanin

    akan menyebabkan semakin banyak ruang kosong berupa pori dengan berbagai

    ukuran dan bentuk setelah sintering seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5.4.

    dengan adanya pori ini akan menyebabkan pengurangan massa yang berpengaruh

    pada pengurangan massa jenis. Penentuan jumlah penambahan tanin ini berdasarkan

    penelitian oleh HP Technical Ceramics yang memproduksi keramik berpori dengan

    standar porositas 35-50%

    a1. 100 X

    b1. 100 X

    a2. 500 X

    b2. 500 X

  • 64

    a3. 1000 X

    b3. 1000 X

    a4. 2500 X

    b4. 2500 X

    a5. 5000 X

    b5. 5000 X

    a6. 10000 X

    b6. 10000 X

    Gambar 5.4. Struktur mikro keramik dengan 30% tanin a (sebelum sintering),

    b (setelah sintering) dengan perbesaran 100, 500, 1000, 2500, 5000, dan 10.000

    kali.

  • 65

    Berdasarkan hasil analisa gambar mikro dengan menggunakan SEM pada

    Gambar 5.4, terlihat perbedaan antara keramik sebelum sintering dan setelah

    sintering. Perbedaan ini mulai terlihat pada perbesaran 1000X yang memperlihatkan

    banyaknya pori pada badan keramik, dan pada perbesaran 10000X terlihat jelas

    ukuran dan bentuk pori yang memperlihatkan ukuran makropori serta bentuk yang

    bervariasi. Hasil analisa dengan metode bubble point dan SEM memperlihatkan

    adanya pori terbuka dan tertutup. Adanya pori ini menyebabkan terbentuknya jarak

    atau ruang antar pertikel penyusun keramik yang menyebabkan menurunnya

    kekerasan mulai dari keramik dengan tanin 0% sampai 40%. Nilai kekerasan yang

    paling tinggi (skala Vickers) ditunjukkan oleh keramik dengan prosentase tanin 0%

    karena pada kondisi ini intesitas pori sangat sedikit karena tidak ada tanin yang

    menghalagi interaksi antarpartikel selama proses sntering.

    Gambar 5.5. Grafik hubungan kekerasan keramik dengan variasi tanin

    .

    99,07

    71,245

    55,83

    42,02 39,5

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    0 10 20 30 40 50

    Ke

    kera

    san

    (H

    v)

    Prosentase tanin

  • 66

    Dari hasil analisa gambar mikro dan bubble point dapat diketahui bahwa

    urkuran pori adalah dalam kategori makropori. Keramik alumina silika dengan

    ukuran seperti ini dapat dijadikan sebagai sistem katalis plasma hibrid. Penelitian

    Hensel dkk (2005) memperlihatkan bahwa ukuran diameter pori antara 10-15 m

    menunjukkan lucutan plasma paling stabil dan efektif apabila digunakan untuk

    mengurangi emisi gas buang kendaran berupa nitrogen oksida dan hidrokarbon.

    5.2.2. Analisa Sifat Kimia

    Analisa kualitatif dengan FT-IR dilakukan untuk mengetahui sifat kimia berupa

    situs asam Bronsted pada keramik berpori dari lumpur Lapindo. Aluminosilikat dapat

    memperlihatkan situs asam Bronsted. Pembentukan situs asam mungkin dianggap

    sebagai kondensasi Si unit Si(OH)4 dengan unit aluminium hidrous, H2O.Al(OH)3.

    Prinsip dari analisa FT-IR adalah menggunakan vibrasi molekul sebagai kunci

    untuk struktur. Keadaan vibrasi dari ikatan terjadi pada keadaan tetap, atau

    terkuantitas pada tingkat energi tertentu. Panjang gelombang eksak dari absorpsi oleh

    suatu ikatan tertentu, bergantung pada jenis getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena

    itu, tipe ikatan yang berlainan (C-H, C-C, O-H, dan sebagainya) menyerap radiasi

    infra merah pada panjang gelombang yang berlainan (Fessenden, 2004). Gambar 5.6

    memperlihatkan spektra IR dari keramik yang dibuat dari lumpur Lapindo dengan 0%

    tanin.

  • 67

    Gambar 5.6. Spektra IR keramik dengan jumlah tanin 0%

    Dari spectra IR pada Gambar 5.6 dapat dilihat hubungan antara transmitan

    persen (%T) dan bilangan gelombang dari keramik dengan jumlah tanin 0%. Tabel

    5.4 menunjukkan daerah serapan untuk berbagai vibrasi Si-O dan Si-O-Al.

    Tabel 5.4. vibrasi beberapa gugus kimia (Hlavay dkk, 1978)

    Sampel Gugus Bilangan gelombang (cm-1

    )

    Quartz

    Feldspar

    SiO vibrasi regangan asimetris SiO vibrasi regangan simetris SiO vibrasi tekuk simetris SiO vibrasi tekuk asimetris SiO vibrasi regangan asimetris SiOAl kumpulan vibrasi SiO vibrasi tekuk simetris SiO vibrasi tekuk asimetris AlO vibrasi koordinasi

    1175 1100 802 785 695

    516 470 1200 950 775 735 570

    538

    648

    Beberapa jenis vibrasi pada gugus yang tersaji dalam Tabel 5.4 digunakan

    untuk menyesuaikan serapan pada spektra IR pada Gambar 5.10. Pada daerah serapan

    900 1200 cm-1 terjadi overlapping antara vibrasi regangan simetris SiO feldspar

    dan quartz, overlapping ini menyebabkan pelebaran puncak pada spektra. Menurut

  • 68

    Hlavay dkk (1978) silika amorf dengan vibrasi tekuk simetri biasanya terlihat pada

    695 cm-1

    , namun pada spektra sampel keramik getaran tekuk simetri ini terlihat pada

    694,33 cm-1

    . Hal ini disebabkan karena proses sintering dengan pemanasan bertahap

    sampai 1180 oC

    yang mengubah silika dari bentuk amorf menjadi kristalin sehingga

    mempengaruhi serapan. Pada spektra IR keramik, terlihat puncak pada 794,62 dan

    694,33 cm-1

    yang menunjukkan pada daerah ini terdapat terdapat kumpulan berbagai

    vibrasi SiOAl antara 7