tesis analisis kondisi lokasi bertelur maleo senkawor ... · analisis kondisi lokasi bertelur maleo...
TRANSCRIPT
TESIS Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
(Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat
RISANI GAZI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
tesis saya yang berjudul:
Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2008
Risani Gazi NRP.P052050071
ABSTRACT Risani Gazi. The Analysis of Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) Nesting
Ground Condition at Mamuju Regency West Sulawesi Province. Supervised by
Ani Mardiastuti and Yeni. A. Mulyani.
The maleo (Macrocephalon maleo) is one of Sulawesi`s endemic birds. It is
known that as megapode, maleo lays eggs in communal nesting grounds and the
eggs were incubated by solar or geothermal heat sources. Recently, almost all
nesting grounds show increasing vulnerability associated with the destruction of
nesting ground condition, intensive disturbance to the nesting ground, limited
acces for maleos, and overgrown by secondary vegetation. Those resulted on the
abandonment of nesting ground by maleos. I surveyed 23 nesting grounds in
Mamuju Regency at West Sulawesi Province, and located 18 active nesting
grounds, two abandoned nesting grounds, three nesting grounds with unknown
status, and eight new confirmed active sites. Out of the 18 active nesting ground
sites, ten (55.6%) were in partly destroyed condition, six (33.3%) nesting grounds
were in destroyed condition and two (11.1%) nesting grounds were in extremely
destroyed condition. All nesting ground sites were in unprotected status area. I
recommend eight (44.4%) nesting ground areas the first priority conservation
where efforts are required to protect their habitats, seven (38.9%) nesting ground
areas as second priority where efforts are required to improve the habitats, and
three (16.7%) nesting ground areas as third priority where efforts are required to
sustain maintenance.
RINGKASAN Risani Gazi. Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon
maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Dibawah Bimbingan Ani
Mardiastuti dan Yeni. A. Mulyani.
Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan salah satu burung endemik
yang terdapat di Sulawesi. Dikenali sebagai megapoda, Maleo senkawor
meletakkan telur pada lokasi bertelur komunal di dalam lubang berpasir,
kemudian telur di inkubasi dengan sumber panas berasal dari sinar matahari
atau aktivitas vulkanis. Saat ini, hampir semua lokasi bertelur menunjukkan
kerawanan karena tindakan pengrusakan kondisi lokasi bertelur, gangguan
intensif pada lokasi bertelur, akses terbatas bagi Maleo senkawor, dan invasi
vegetasi sekunder di lokasi bertelur. Semua hal tersebut berakibat pada
ditinggalkannya lokasi bertelur oleh Maleo senkawor. Survei dilakukan pada 23
lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Ditemukan 18
lokasi bertelur aktif, 2 (dua) lokasi bertelur yang telah ditinggalkan oleh Maleo
senkawor, 3 (tiga) lokasi bertelur yang statusnya tidak diketahui, dan 8 (delapan)
lokasi bertelur baru ditemukan. Dari 18 lokasi bertelur yang aktif digunakan oleh
Maleo senkawor, 10 (sepuluh) lokasi bertelur dalam kondisi sebagian rusak, 6
(enam) lokasi bertelur yang dalam kondisi rusak, dan 2 (dua) lokasi bertelur yang
dalam kondisi sangat rusak. Semua lokasi bertelur dalam kawasan yang tidak
terlindungi. Saya menyarankan, 8 (delapan) atau 44% lokasi bertelur pada
prioritas I dengan tujuan melindungi lokasi bertelur, 7 (tujuh) atau 38.9% lokasi
bertelur pada prioritas II dengan tujuan memperbaiki kondisi lokasi bertelur, dan
3 (tiga) atau 6.7% lokasi bertelur pada prioritas III dengan tujuan melakukan
pengelolaan terpadu pada lokasi bertelur.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan karya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebaggian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju
Provinsi Sulawesi Barat
RISANI GAZI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Judul Tesis : Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat
Nama : Risani Gazi NRP : P052050071 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc Dr. Ir. Yeni A. Mulyani, M.ScKetua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof.Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas selesainya
penulisan tesis ini dengan judul; “Analisis Kondisi Lokasi Bertelur Maleo
Senkawor (Macrocephalon maleo) di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi
Barat”. Atas rahmat-Nya hingga pada akhirnya penulis dapat mengikuti program
pendidikan S2 dan hingga selesai dengan baik. Tesis ini diajukan sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan kepada
pihak- pihak yang terkait dalam pelaksanaan konservasi suatu kawasan,
khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setinggi-
tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc dan Dr. Ir. Yeni. A. Mulyani,
M.Sc atas kesediaannya sebagai komisi pembimbing penelitian ini. Bimbingan,
arahan dan saran yang diberikan sangat berarti bagi penulis sejak dalam
persiapan sampai akhir penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS atas perhatiannya selama ini.
Ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan kepada aparat
Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju yang telah membantu selama penulis
melakukan penelitian. Terima kasih dan penghargaan kepada segenap
masyarakat di setiap lokasi penelitian yang terlibat langsung membantu proses
pengambilan data.
Terima kasih penulis sampaikan kepada IdOU, PILI, WCS, Burung
Indonesia, Kelompok Diskusi dan Pemerhati Burung yang memberikan masukan
dan arahan selama penulisan tesis ini. Buat Mr. Edwar Hung terima kasih banyak
atas kontribusi yang besar dalam memberikan informasi satwa endemik
Indonesia.
Kepada rekan-rekan di IPB, khususnya PSL 2005 yang penuh suka dan
duka, terimakasih untuk selalu membagi kebahagiaan. Buat Sandi
Prasetyo,ST,M.Si, Teh Hijau, tetap jaya!. Kepada segenap penghuni Asrama
Mahasiswa Sul-Sel Latimojong II, terima kasih untuk rasa senasib
sepenanggungan di perantauan.
Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua
orang tua, Drs. H. Gazi Manan dan Hj. Salma Ibrahim, serta kedua saudara
tercinta Oche Sulawijaya, SH (beserta keluarga kecilnya) dan Adiat Gazi, SE.
Terima kasih atas dorongan, harapan, semangat, kasih sayang, doa dan materi
yang tiada henti diberikan.
Akhirnya penulis persembahkan buah pikir yang sederhana ini untuk
membantu segala upaya dalam perlindungan satwa yang terancam punah
seperti Maleo senkawor. Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam
penulisan tesis ini, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.
Amien!
Bogor,
Februari 2008
Risani Gazi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 12 Juni 1979 dari
pasangan Drs. H. Gazi Manan dan Hj. Salma Ibrahim. Penulis adalah anak
kedua dari tiga bersaudara.
Tahun 1994 penulis lulus dari SMP Negeri I8 Makassar. Pada tahun
1997 penulis lulus dari SMU Negeri 11 Makassar dan pada tahun yang sama
melanjutkan pendidikan pada Fakultas Peternakan, Jurusan Produksi Ternak di
Universitas Hasanuddin Makassar.
Penulis mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 2004 dengan
mempertahankan skripsi dengan judul Karakteristik Telur Maleo (Macrocephalon
maleo) pada Habitat Bertelur yang Berbeda. Tahun 2005 penulis mendapatkan
kepercayaan untuk mengikuti program pendidikan S2 di Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... vii PRAKATA .............................................................................................. viii RIWAYAT HIDUP .................................................................................. x DAFTAR ISI .......................................................................................... xi DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Permasalahan ......................................................................... 3
1.3. Kerangka Pemikiran................................................................ 3
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6 2.1. Gambaran Umum tentang Maleo Senkawor .......................... 6
2.2 Karakteristik Telur Maleo Senkawor ...................................... 7
2.3 Habitat Maleo Senkawor ......................................................... 7
2.4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ........................................... 8
2.5 Karakteristik Vegetasi ............................................................ 9
2.6 Suhu Lubang Peneluran ........................................................ 9
2.7 Sifat Tanah ............................................................................. 10
2.8 Musuh Alami .......................................................................... 12
2.9 Makanan ................................................................................ 12
2.10 Degaradasi Habitat ................................................................ 13
III. METODE PENELITIAN .................................................................... 14 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................. 14
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ...................................................... 15
3.3 Metode Penelitian .................................................................. 15
3.3.1 Penentuan Lokasi Bertelur ........................................... 16
3.3.2 Analisis Kondisi Lokasi Bertelur ................................... 16
3.3.3 Analisis Pemahaman Masyarakat ................................ 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 22
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................ 22
4.1.1 Lokasi Penelitian............................................................ 22
4.1.2 Tanah dan Geologi ........................................................ 22
4.1.3 Iklim................................................................................ 22
4.1.4 Flora dan Fauna ............................................................ 24
4.1.5 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju .................................................... 24
4.2 Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju.............................................................. 35
4.2.1 Kondisi Fisik Lokasi Bertelur.......................................... 38
4.2.2 Gangguan ...................................................................... 41
4.2.3 Invasi Vegetasi Sekunder .............................................. 42
4.2.4 Akses ............................................................................. 44
4.3 Adaptasi Maleo Senkawor ....................................................... 45
4.3.1 Bentuk Adaptasi Maleo Senkawor................................. 46
4.3.2 Syarat Adaptasi Maleo Senkawor di Lokasi Bertelur..... 49
4.4 Aspek Sosial ............................................................................ 51
4.4.1 Sikap dan Perilaku Masyarakat ...................................... 53
4.4.2 Pemahaman Masyarakat ............................................... 53
4.5 Prioritas Konservasi................................................................. 54
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 59
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 59
5.2 Saran ....................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 61
LAMPIRAN ............................................................................................. 63
DAFTAR TABEL Halaman
1. Tekstur Tanah .................................................................................... 11
2. Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ........................... 17
3. Penilaian Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor................ 19
4. Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju.................... 25
5. Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ............................... 36
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 4
2 . Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 14
3. Diagram Alir Penelitian ...................................................................... 15
4. Peta Penyebaran Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju........................................................................ 23
5. Lokasi Bertelur Aktif yang Digunakan Maleo Senkawor.................... 26
6. Lokasi Bertelur yang telah Ditinggalkan Maleo Senkawor ................ 24
7. Peta Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Wilayah ......................................................................... 28
8. Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung....................................... 29
9. Lokasi Bertelur dengan Hutan Mangrove .......................................... 30
10. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Dataran Rendah................. 31
11. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Berbukit.............................. 32
12. Lokasi Bertelur di dalam Perkebunan Perseorangan........................ 33
13. Lokasi Bertelur di antara Tumbuhan Semak Tinggi .......................... 33
14. Lokasi Bertelur di Pasir Longsoran Perbukitan ................................. 34
15. Peta Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju........................................................................ 37
16. Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor......... 39
17. Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor.................................. 40
18. Hasil Penilaian Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor................................................................................ 41
19. Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor................... 42
20. Hasil Penilaian Keberadaan Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ................................................... 42
21. Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ......... 43
22. Hasil Penilaian Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur... 44
23. Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur............................ 45
24. Lokasi Bertelur di Tobinta.................................................................. 46
25. Lubang Galian yang Berada di Tepi Jalan ........................................ 47
26. Lokasi Bertelur di Antara Lahan Perkebunan.................................... 49
27. Persentase Tingkat Pendidikan Masyarakat di Sekitar Lokasi Bertelur Maleo Senkawor....................................................... 51
28. Peta Prioritas Konservasi Lokasi Bertelur ......................................... 58
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju ..................................................................... 60
2. Hasil Penilaian Gangguan di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju ..................................................................... 61
3. Hasil Penilaian Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju.......................................... 62
4. Hasil Penilaian Akses Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju ..................................................................... 63
5. Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Wilayah ....................................................................... 64
6. Profil Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Lokasi Bertelur .... 65
7. Hasil Penilaian Aspek Sosial Masyarakat di Kabupaten Mamuju ... 66 8. Hasil Penilaian Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju.......................................... 67 9. Hasil Penilaian Pemahaman Masyarakat terhadap Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju.......................................... 68
10. Tally Sheet Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor ..................... 69
11. Kuisioner Aspek Sosial Masyarakat di sekitar Lokasi Bertelur Maleo Senkawor.............................................................................. 74
12. Tally Sheet Pembobotan Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor.............................................................................. 78
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sulawesi merupakan pulau terbesar dalam sub-kawasan Wallacea yang
juga menyimpan kekayaan alam yang melimpah. Maleo senkawor
(Macrocephalon maleo) adalah salah satu satwa yang penyebarannya hanya
terbatas di pulau Sulawesi (endemik), yang memiliki keunikan tersendiri dan
menarik untuk dikaji lebih dalam (Dekker, 1990). Maleo senkawor adalah bangsa
aves yang memiliki perilaku yang unik dan aneh. Tidak seperti bangsa aves pada
umumnya, Maleo senkawor tidak memiliki perilaku mengerami telurnya,
melainkan membenamkan telurnya dalam lubang galian di tanah berpasir. Maleo
senkawor juga mempunyai telur dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan
dengan telur ayam, meskipun ukuran tubuh kedua induk tidak terpaut jauh
(Dekker, 1990).
Maleo senkawor hidup dan mendiami daerah pesisir pantai hingga daerah
berbukit-bukit dan hutan primer dataran rendah dengan ketinggian hingga 1.200
meter di atas permukaan laut (Dekker, 1990). Maleo senkawor tersebar luas di
berbagai lokasi di Sulawesi Utara, Tenggara, Tengah, dan Barat, kecuali di
Sulawesi Selatan (Mallombasang, 1995). Penyebaran Maleo senkawor di
Sulawesi Barat terkonsentrasi di Kabupaten Mamuju, namun masih
membutuhkan konfirmasi mengenai penyebaran dan status lokasi bertelur Maleo
senkawor (Dekker, 1990). Beberapa lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju telah
ditinggalkan oleh Maleo senkawor. Populasi Maleo senkawor saat ini
diperkirakan 4000-7000 pasang dan tersebar di 131 tempat bertelur di Sulawesi
Utara, sementara di Sulawesi Tengah dan Barat Maleo senkawor tersebar di 63
lokasi (Buchart dan Baker, 1999). Diperkirakan jumlah Maleo senkawor di
Kabupaten Mamuju tidak lebih dari 100 ekor (Gazi, 2004).
Maleo senkawor mempunyai dua tipe lokasi bertelur, lokasi bertelur di tepi
pantai dan lokasi bertelur di dalam hutan. Pada lokasi bertelur di tepi pantai,
Maleo senkawor menggunakan tanah berpasir di pesisir pantai untuk aktivitas
bertelur. Sumber panas untuk proses inkubasi embrio sebagian besar diperoleh
dari radiasi sinar matahari.
Lokasi bertelur di dalam hutan merupakan lokasi bertelur yang tidak umum
tersedia berupa suatu kawasan yang keadaan vegetasinya tidak terlalu rapat.
Keadaan vegetasi tersebut memudahkan akses Maleo senkawor menuju ke dan
dari lokasi tersebut. Sumber panas bagi embrio di dalam telur berasal dari
aktivitas vulkanis di dalam tanah (Gunawan, 2000). Maleo senkawor menggali
lubang dan meletakkan telur dengan suhu berkisar antara 34.00–40.70oC
(Gunawan, 1994).
Maleo senkawor memanfaatkan lokasi bertelur selama lokasi tersebut
masih dapat memberi daya dukung. Daya dukung lokasi digambarkan dengan
kemudahan Maleo senkawor mencapai lokasi bertelur, kenyamanan bagi Maleo
senkawor dengan ketersediaan lokasi bertelur yang sunyi dan tenang dari
gangguan manusia dan predator sehingga aktivitas bertelur berjalan lancar, dan
keamanan Maleo senkawor dari gangguan selama aktivitas bertelur (Buchart dan
Baker, 1999). Aktivitas manusia seperti pembabatan hutan serta konversi lahan
telah berdampak pada menurunnya daya dukung ekosistem. Aktivitas tersebut
disadari telah menjadi faktor utama hilangnya habitat hutan, terjadinya degradasi
hutan, dan fragmentasi habitat (Buchart dan Baker, 1999). Kurangnya
kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap upaya pelestarian Maleo
senkawor mengakibatkan pemanfaatan telur yang tidak terkendali. Pemahaman
yang kurang pada fungsi lokasi bertelur berdampak pada terabaikannya fungsi
penting mempertahankan lokasi bertelur dalam kondisi yang baik (Gunawan,
2000).
Kondisi Maleo senkawor kini di ambang kepunahan akibat aktivitas
perburuan burung maupun telurnya, konversi hutan dan aktivitas pertanian yang
tidak terkendali kian mempercepat laju kepunahan Maleo senkawor padahal
satwa ini telah dilindungi oleh Undang-undang sejak 1931 berdasarkan Undang-
undang binatang liar tahun 1931 dan peraturan perlindungan binatang liar tahun
1931 kemudian pada tahun 1970 dipertegas kembali statusnya sebagai satwa
dilindungi. Sementara itu IUCN (International Union of Conservation for Nature
and Nature Reserve) dalam red data book memasukkan Maleo senkawor dalam
kategori genting.
Kondisi ideal suatu lokasi bertelur bagi Maleo senkawor dapat dinilai
berdasarkan komponen-komponen penting yang memberi daya dukung seperti
kemudahan, kenyamanan, dan keamanan. Faktor yang selalu ada pada lokasi
bertelur yang telah ditinggalkan dapat dipandang sebagai komponen ancaman
terhadap lokasi bertelur. Sikap dan perilaku masyarakat di sekitar lokasi bertelur
juga turut memberi kontribusi terhadap perubahan kondisi lokasi bertelur.
1.2 Permasalahan
Lokasi bertelur Maleo senkawor merupakan salah satu habitat penting
yang harus tersedia dalam menunjang keberlangsungan hidup Maleo senkawor.
Berangkat dari latar belakang penelitian ini maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: Pertama, lokasi bertelur dapat terus aktif
digunakan oleh Maleo senkawor selama komponen pendukung (kemudahan,
kenyamanan, dan keamanan) dapat terus terjaga. Kedua, beberapa lokasi
bertelur di Kabupaten Mamuju telah kehilangan daya dukung yang diakibatkan
gangguan manusia dan alam sehingga ditinggalkan oleh Maleo senkawor.
Ketiga, Maleo senkawor masih menggunakan lokasi bertelur yang terganggu,
tapi menunjukkan perkembangan ke depan akan ditinggalkan terlihat dari
semakin menurunnya jumlah Maleo senkawor yang menggunakan lokasi
tersebut. Keempat, lemahnya pemahaman masyarakat terhadap upaya
pelestarian Maleo senkawor dan mempertahankan lokasi bertelur Maleo
senkawor makin mempercepat laju kepunahan Maleo senkawor di Kabupaten
Mamuju.
1.3 Kerangka Pemikiran
Maleo senkawor seperti halnya satwa endemik kawasan Sub-Wallacea
lainnya memiliki ketergantungan yang tinggi pada komponen ekosistem. Salah
satu komponen yang dibutuhkan Maleo senkawor adalah tersedianya lokasi
bertelur. Lokasi bertelur letaknya terpisah dengan habitat hidup Maleo senkawor.
Berdasarkan letaknya, lokasi bertelur Maleo senkawor terdapat di 2 (dua) tempat,
yaitu di dalam hutan dan di pesisir pantai. Terjadinya degradasi habitat di sekitar
lokasi bertelur menyebabkan terjadinya perubahan pada kondisi fisik lokasi
bertelur, meningkatnya gangguan, invasi vegetasi sekunder, serta sulitnya akses
bagi Maleo senkawor menuju lokasi bertelur.
Lokasi Bertelur
Gangguan Akses
Pesisir Pantai Pedalaman Hutan
Degradasi Habitat di Lokasi Bertelur
Invasi Vegetasi Sekunder
Lokasi Bertelur yang Telah Ditinggalkan
Penentuan Kriteria Lokasi Bertelur
Status Konservasi Berdasarkan Kondisi Lokasi Bertelur
Perubahan yang terjadi pada suatu lokasi bertelur berakhir dengan
ditinggalkan suatu lokasi bertelur. Lokasi bertelur ditinggalkan oleh Maleo
senkawor apabila telah kehilangan daya dukung. Berdasarkan keadaan umum
yang ada di lokasi bertelur kemudian dianalisis kondisi lokasi bertelur Maleo
senkawor yang ada di Kabupaten Mamuju. Selanjutnya, dengan mengetahui
penyebaran Maleo senkawor, kondisi daya dukung lokasi bertelur Maleo
senkawor di Kabupaten Mamuju, maka diharapkan kita mendapat gambaran
tingkat keterancaman lokasi bertelur Maleo senkawor berdasarkan atribut
gangguannya masing-masing sehingga dapat menentukan status konservasi
lokasi bertelur tersebut. Bagan alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada
Gambar 1.
Kondisi Fisik Lokasi Bertelur
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
a) Mengevaluasi penyebaran dan status lokasi bertelur Maleo senkawor di
Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat;
b) Menganalisis kondisi umum lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten
Mamuju Provinsi Sulawesi Barat;
c) Menganalisis bentuk adaptasi yang dilakukan oleh Maleo senkawor;
d) Mengkaji pemahaman masyarakat terhadap upaya pelestarian Maleo
senkawor dan lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat;
e) Menetapkan prioritas konservasi lokasi bertelur Maleo senkawor di
Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini :
a) Berperan sebagai langkah awal dalam upaya konservasi kawasan bertelur
Maleo senkawor dengan mengetahui tingkat keterancaman dan kemungkinan
akan ditinggalkannya lokasi bertelur di masa yang akan datang;
b) Pengembangan ilmu pengetahuan dengan pembaharuan data tentang
ditemukan, ditinggalkan, dan perubahan kondisi lokasi bertelur Maleo
senkawor yang belum atau pernah tercatat oleh peneliti sebelumnya;
c) Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju
untuk usaha pelaksanaan konservasi kawasan yang merupakan lokasi
bertelur Maleo senkawor.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum tentang Maleo Senkawor
Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan bangsa burung
endemik yang memiliki keunikan pada perilaku bertelur. Maleo senkawor tidak
menggunakan panas tubuh untuk mengerami telur, tetapi memanfaatkan daya
dukung alam untuk menyukseskan proses pengeraman. Berikut susunan
taksonomi Maleo senkawor : Kingdom : Animalia; Phylum : Chordata; Kelas :
Aves; Orde : Galliformes; Famili : Megapodiidae; Genus : Macrocephalon;
Spesies : Macrocephalon maleo (Sumangando, 2002). Famili Megapodiidae
terdiri atas 2 genus, yaitu Macrocephalon dengan satu spesies Macrocephalon
maleo dan Megapodius dengan 9 spesies, Megapodius cumingii, Megapodius
nicobarienssis, Megapodius bernsteinii, Megapodius reindwardii, Megapodius
freycinet, Megapodius affinis, Megapodius. Evemita, Megapodius layordi, dan
Megapodius wallacei (White dan Bruce, 1986). Maleo senkawor memiliki
bentuk badan memanjang, dan bulu didominasi oleh warna putih agak
kemerahan dan hitam, dan memiliki sepasang kaki yang kuat dengan empat
kuku yang tajam. Salah satu anggota tubuh yang dimiliki oleh Maleo senkawor
adalah tonjolan keras pada bagian kepala yang menyerupai mahkota yang
diduga berfungsi sebagai pendeteksi suhu selagi Maleo senkawor hendak
meletakkan telurnya dalam lubang (Dekker, 1990).
Penamaan Maleo senkawor bervariasi bervariasi disetiap daerah, yaitu :
Senkawor, Sengkawur, Songkel, Melaosan, (Minahasa), Saungke (Bintauna),
Tuanggoi (Bolaang Mongondow), Tuangoho (Bolaang Itang), Bagoho (Suwawa),
Momongo, Panua (Gorontalo), Molo (Sulawesi Utara), dan Mamuang (Mamuju)
(Anonim, 1994; Jones dkk, 1995). Menurut konsensus penulisan nama burung
yang di gunakan di Indonesia, nama Maleo adalah Maleo senkawor (Coates dkk,
2000). Maleo senkawor hidup dan mendiami daerah pesisir pantai hingga daerah
berbukit-bukit dan hutan primer dataran rendah dengan ketinggian hingga 1.200
meter di atas permukaan laut (Dekker, 1990). Maleo senkawor tersebar luas di
berbagai lokasi di Sulawesi Utara, Tenggara, Tengah, dan Barat kecuali di
Sulawesi Selatan (Mallombasang, 1995).
Di Sulawesi Barat Maleo senkawor terkonsentrasi di Kabupaten Mamuju,
namun demikian hal tersebut masih membutuhkan konfirmasi mengenai
penyebaran dan status lokasi bertelur (Dekker, 1990). Beberapa lokasi bertelur
di Kabupaten Mamuju telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor. Populasi Maleo
senkawor saat ini diperkirakan 4000-7000 pasang dan tersebar di 131 tempat
bertelur di Sulawesi Utara, sementara di Sulawesi Tengah dan Barat Maleo
senkawor tersebar di 63 lokasi (Buchart dan Baker, 1999). Diperkirakan jumlah
Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju tidak lebih dari 100 ekor (Gazi, 2004).
2.2 Karakteristik Telur Maleo Senkawor
Maleo senkawor merupakan bangsa burung yang mempunyai telur yang
sangat besar bila dibandingkan dengan ukuran tubuh, yaitu 10 sampai 17 persen
dari ukuran tubuh. Sebagai gambaran, berat telur ayam kampung (Gallus
domesticus) hanya 3 (tiga) persen dari ukuran tubuh dimana ukuran tubuh kedua
induk tidak terpaut jauh (Dekker dan Wattel, 1987).
Ukuran telur Maleo senkawor adalah sebagai berikut berat telur: 215.71
+ 24.81 g, panjang telur: 101.84 + 2.87 cm, dan lebar telur: 61.06 + 2.22 cm.
Proporsi telur Maleo senkawor didominasi dengan jumlah kuning telur yang
banyak. Kandungan kuning telur pada Maleo senkawor sebesar 67.8%. Hal ini
menjadikan telur Maleo senkawor sangat menarik untuk dikonsumsi oleh
manusia dibandingkan telur ayam kampung yang beratnya hanya berkisar antara
50–60 g dengan kandungan kuning telur 30% (Gazi, 2004).
2.3 Habitat Maleo Senkawor
Habitat mempunyai peranan penting bagi setiap organisme di dalamnya,
setidaknya fungsi habitat sebagai penyedia makanan, serta air, dan sebagai
pelindung. Berdasarkan komponennya, habitat dibedakan atas komponen fisik
dan komponen biotik, dan kedua komponen ini saling berinteraksi sehingga
dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Secara terperinci komponen fisik
terdiri atas air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen
biotik terdiri atas vegetasi, mikro dan makro, fauna, serta adanya manusia
(Alikodra, 2002).
Maleo senkawor adalah bangsa burung yang hidup pada daerah hutan primer
dataran rendah yang aktivitasnya meliputi tidur, beristirahat, mencari makan,
bertelur, dan aktivitas sosial lainnya. Aktivitas pada hutan sekunder hampir mirip
dengan aktivitas pada hutan primer, namun burung Maleo senkawor jarang
menggunakan kawasan hutan sekunder sebagai tempat tidur. Beberapa
populasi aleo juga menggunakan daerah berpasir di tepi pantai untuk bertelur
(Gunawan, 1994).
2.4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Keberadaan lokasi bertelur sangat berperan penting sesuai dengan
perannya sebagai penyokong kehidupan bagi Maleo senkawor. Lokasi bertelur
dipergunakan untuk mencari makan, minum, dan menjalankan aktivitas
reproduksinya. Dalam hal aktivitas reproduksi, Maleo senkawor menggunakan
lokasi bertelur untuk membantu proses pengeraman telur, hal ini terkait dengan
perilaku Maleo senkawor yang tidak mempunyai naluri mengerami telur dan
mengasuh anak (Dekker dan Wattel, 1987). Lokasi bertelur bagi Maleo
senkawor merupakan suatu lokasi yang memiliki sumber panas yang dapat
membantu proses pengeraman telur. Lokasi bertelur terbagi dua tipe yaitu lokasi
bertelur di dalam hutan dan lokasi bertelur di tepi pantai.
Lokasi bertelur di dalam hutan biasanya merupakan suatu areal yang
tidak umum tersedia karena merupakan tempat yang cukup terbuka dan memiliki
vegetasi yang tidak terlalu rapat. Sumber panas bagi telur Maleo senkawor
dapat berasal dari aktivitas vulkanis di dalam tanah, aliran air panas dalam tanah,
proses dekomposisi daun lapuk oleh jasad renik, atau panas sinar matahari
(Gunawan, 2000). Lokasi bertelur di tepi pantai merupakan daerah berpasir yang
digunakan Maleo senkawor untuk meletakkan telurnya yang letaknya terpisah
dari habitat hutan yang merupakan tempat hidupnya. Biasanya Maleo senkawor
menggali lubang dalam kelompok yang terdiri atas beberapa pasang secara
bersama-sama. Aktivitas bertelur ini dilakukan pada pagi hingga siang hari dan
kegiatan penggalian dilakukan oleh kedua induk Maleo senkawor. Sumber panas
bagi telur Maleo senkawor di dalam tanah diperoleh dari radiasi sinar matahari
(Argeloo, 1991).
Faktor kunci bagi Maleo senkawor dalam memilih lokasi bertelur adalah:
1) sumber panas, (2) aksesibilitas, (3) keamanan dari gangguan, dan (4) musim
(untuk lokasi bersumber panas matahari). Dalam menentukan sarang untuk
meletakkan telur, Maleo senkawor cenderung lebih menyukai tempat dengan
kondisi: (1) aman dari gangguan manusia, (2) efektivitas sumber panas, (3)
kelembaban tanah, (4) pengaruh iklim mikro di atas permukaan tanah (terutama
hujan), dan (4) keamanan dari predator (Gunawan, 2000).
2.5 Karakteristik Vegetasi
Habitat satwa terdiri atas dua komponen penting, yaitu lokasi geografis
dan vegetasi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya suatu jenis satwa liar
mempertahankan kelangsungan hidupnya ditentukan salah satunya oleh faktor
karakteristik vegetasinya (Copperider dkk, 1988). Selanjutnya dikatakan bahwa
yang dimaksud dengan karakteristik vegetasi adalah :
a) Struktur vegetasi yang terdiri atas tinggi pohon, kerapatan semak, persentase
penutupan tajuk;
b) Komposisi vegetasi.
Khusus untuk Maleo senkawor, suatu habitat yang terdapat vegetasi
sekunder dengan kerapatan yang tinggi maka struktur dan kerapatan vegetasi
tersebut dipandang sangat penting (Zieren, 1985). Komponen-komponen
tersebut amat berperan di dalam aktivitas rutin selama musim bertelur dari Maleo
senkawor. Aktivitas tersebut adalah :
a) Hinggap;
b) Bertengger;
c) Menghindari bahaya/gangguan (berlari dan terbang);
d) Jarak antarpohon, semak, dan perakaran agar memungkinkan penggalian
lubang peneluran;
2.6 Suhu Lubang Peneluran
Maleo senkawor, seperti telah disebutkan di atas, merupakan burung
yang tidak memiliki naluri mengerami telur dan mengasuh anak. Setelah
meletakkan telur, Maleo senkawor akan kembali ke dalam hutan dan tidak
memperdulikan terhadap telur yang telah ditimbun dalam lubang.
Maleo senkawor membenamkan telurnya kedalam lubang galian kemudian
selanjutnya alam akan mengambil alih peran induk untuk memberi sumber panas
untuk perkembangan embrio dalam telur. Setelah telur menetas, maka anak
Maleo senkawor akan mencari makan sendiri tanpa bantuan dari induk. Menurut
Gunawan (1994) temperatur di lubang peneluran berkisar antara 34.00-40.70oC.
Temperatur di lubang peneluran di daerah Tambun Sulawesi Utara berdasarkan
lubang kedalaman lubang yang berbeda beda secara berturut-turut adalah; 29.4-
31.0oC, 30.9-32.7oC, 32.1-34.3oC, dan 33.8-36oC untuk kedalaman lubang 20,
30, 40, dan 50 cm (Dekker, 1990). Kelembaban tanah di sekitar lokasi bertelur
Maleo senkawor tercatat bervariasi mulai 6.3-11%.
2.7 Sifat Tanah
Maleo senkawor meletakkan telurnya di lubang yang memiliki kondisi
tertentu, salah satunya adalah sifat tanah yang berpasir. Tekstur tanah yang
berpasir memudahkan induk Maleo senkawor untuk menggali lubang untuk
pengeraman telur. Sifat tanah berpasir juga tidak mengikat dan cepat
melepaskan air sehingga temperatur tanah di sekitar telur tidak terlalu
terpengaruh oleh genangan air dan sifatnya yang relatif konstan. Menurut
Gunawan (1994), sifat tanah di empat lokasi bertelur Maleo senkawor di Taman
Nasional Dumoga Bone (TNDB), yaitu Tambun, Matayangan, Tapakolintang, dan
Bakan memiliki kelas tekstur berlempung, lempung berpasir, lempung berdebu,
dan pasir berlempung, tanah keempat lapangan peneluran tersebut memiliki
kandungan utama berupa pasir yang berkisar antara 41.67-82.12%.
Menurut Beckman dan Brady (1969) dalam Alikodra (2002), tekstur tanah
dibagi dalam beberapa tekstur sesuai dengan keadaannya. Pengelompokan
tekstur tanah disajikan lebih jelas pada Tabel 1.
Tabel 1 Tekstur Tanah
Tekstur tanah Keadaan Pasir 1. Rasa kasar sangat jelas
2. Tidak melekat 3. Tidak dapat dibentuk bola dan gulungan
Pasir berlempung
1. Rasa kasar jelas 2. Sedikit melekat 3. Dapat dibentuk bola gulungan yang mudah sekali hancur
Lempung berpasir
1. Rasa kasar agak jelas 2. Agak melekat 3. Dapat dibuat bola, mudah hancur
Lempung 1. Rasa tidak kasar dan tidak licin 2. Agak melekat 3. Dapat membentuk bola agak teguh, dapat sedikit dibuat
gulungan dengan permukaan mengkilat Lempung berdebu
1. Rasa licin 2. Agak melekat 3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit dibuat
gulungan dengan permukaan mengkilat Debu 1. Rasa licin sekali
2. Agak melekat 3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit digulung
dengan permukaan mengkilat Lempung berkilat 1. Rasa agak licin
2. Agak melekat 3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat sedikit dibuat
gulungan agak mudah hancur Lempung liat berpasir
1. Rasa halus dengan sedikit bagian kasar 2. Agak melekat 3. Dapat dibuat bola agak teguh, dapat dibentuk gulungan
agak mudah hancur Lempung liat berdebu
1. Rasa halus agak licin 2. Melekat 3. Dapat dibuat bola teguh, gulungan mengkilat
Liat berpasir 1. Rasa halus, berat berat tapi terasa sedikit kasar 2. Melekat 3. Dapat dibentuk bola teguh, mudah digulung
Liat berdebu 1. Rasa halus, berat, agak licin 2. Sangat lekat 3. Dapat dibentuk bola teguh, mudah digulung
Debu 1. Rasa berat, halus 2. Sangat lekat 3. Dapat dibentuk bola dengan baik
2.8 Musuh Alami
Maleo senkawor memiliki musuh alami antara lain biawak (Varanus
salvator), babi hutan (Sus celebensis), ular sanca (Phyton reticulatus), elang
(Spizaetus lanceolatus), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), dan anjing (Canis
canis). Keberadaan musuh alami dipandang bukanlah merupakan ancaman yang
serius terkait dengan keseimbangan ekosistem yang dalam keadaan alami selalu
stabil, manusia dengan kegiatan memburu burung dan mengambil telur
merupakan ancaman yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup Maleo
senkawor. Keberadaan satwa domestikasi juga terbukti mempengaruhi populasi
Maleo senkawor seperti sapi, kelinci, dan kambing yang berkompetisi dalam hal
ketersediaan lahan dan jenis pakan tertentu (Gunawan, 1994).
2.9 Makanan
Berbagai jenis pepohonan membantu Maleo senkawor dalam hal
menyediakan berbagai jenis buah-buahan, biji-bijian, serta sebagai tempat
berlindung dan beristirahat. Maleo senkawor menyukai pohon yang pertajukan
atau percabangan ranting cukup besar dan kokoh yang mampu menahan beban
tubuh Maleo senkawor, seperti; kemiri (Aleuritus moluccana), nibung
(Oncosperma filamentosum), rao (Dracontomelon mangiferum), nantuk
(Endiandra sp), Ficus sp., dan Macaranga sp. Wilayah jelajah untuk mencari
pakan (Feeding territory) Maleo senkawor utamanya bukan di lokasi bertelur,
tetapi di dalam hutan tropis dataran rendah. Meskipun demikian, jika di lokasi
bertelur tersedia makanan, maka Maleo senkawor akan mencari makan baik
sebelum bertelur maupun sesudah bertelur. Maleo senkawor termasuk omnivora
atau pemakan segala, makanannya meliputi buah-buahan, biji-bijian, serangga,
invertebrata lantai hutan, siput dan kepiting. Maleo senkawor mencari makan di
lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau mengais serasah, Maleo
senkawor juga mancari makan di tepi-tepi sungai, tepi rawa, atau tepi danau
(Gunawan, 2000).
2.10 Degradasi Habitat
Degradasi habitat merupakan bentuk perubahan kondisi habitat yang
mengakibatkan pengurangan luas dan kualitas yang tersedia bagi spesis
tertentu. Hilangnya habitat dapat diakibatkan oleh penebangan hutan, konversi
hutan menjadi lahan pertanian, dan pembangunan kota. Kehilangan habitat
untuk kegiatan pembangunan kota meliputi semua bentuk bangunan seperti
perumahan dan jalan raya (Dekker dan McGowan, 1995).
Kehilangan habitat dikarenakan pemenuhan sektor pertanian merupakan semua
bentuk konversi habitat yang masih baik menjadi lahan pertanian. Kerusakan
habitat adalah berkurangnya kualitas habitat dengan cara berkurangnya
lindungan vegetasi, kerusakan habitat diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti
penebangan juga disebabkan oleh over grazing oleh ternak.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun dengan perincian; awal
Januari hingga akhir Juli penelusuran pustaka,dan pengumpulan data sekunder.
Penelitian lapangan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, yaitu mulai pada awal
bulan Agustus hingga awal bulan November tahun 2007. Lokasi penelitian
sebanyak 23 lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat (Gambar 2).
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini terdiri atas peta lokasi skala
1 : 250.000, kompas, GPS (Global Positioning System), teropong binokular, dan
kamera. Alat yang dibutuhkan untuk pengolahan data adalah perangkat
komputer dengan program ArcView GIS 3.3.
Penentuan Lokasi Bertelur - Aktif - Telah ditinggalkan - Status tidak diketahui - Penemuan Lokasi Baru - Pengelompokan Lokasi
Bertelur
- Pengamatan Langsung - Studi Pustaka
Analisis Data
Analisis Kondisi Lokasi Bertelur
Metode Penelitian
Analisis Pemahaman Masyarakat
- Wawancara - Kuisioner
- Pengamatan Langsung - Studi Pustaka
Kondisi Fisik - Tipe Lokasi Bertelur - Luas Lokasi Bertelur - Tekstur Tanah - Jarak dengan Bibir Pantai
Akses - Jarak dengan Hutan- Jarak dengan Jalan - Jarak dengan
Permukiman
Invasi Vegetasi Sekunder- Luas Tutupan Vegetasi
Sekunder - Jenis Vegetasi
Gangguan - Kehadiran Manusia - Bentuk Gangguan - Frekuensi Gangguan
Kondisi - Baik - Sedang - Kurang - Tidak Baik
Invasi Vegetasi Sekunder- Bersih - Agak Tertutup - Sebagian Tertutup - Tertutup
Akses - Bebas - Terbatas - Terganggu - Tidak Ada Akses
Gangguan - Tidak Ada - Kurang - Sering - Ada Gangguan
Prioritas Konservasi - Sikap dan Perilaku
Lokasi Bertelur Aktif
- Pemahaman Penyebaran dan Status
Lokasi Bertelur
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu penentuan lokasi bertelur
dan analisis lokasi bertelur. Tahap analisis lokasi bertelur dibagi menjadi analisis
kondisi lokasi bertelur dan analisis pemahaman masyarakat (Gambar 3).
Gambar 3 Diagram Alir Penelitian
3.3.1 Penentuan Lokasi Bertelur
Survei pendahuluan dan studi pustaka dilakukan untuk mengetahui
gambaran umum lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju.
Selanjutnya metode tersebut dianalisis secara deskriptif. Penelitian ini
digolongkan ke dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu
penelitian yang memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai
keadaan suatu individu, gejala atau kelompok tertentu (Walpole, 1992). Lebih
lanjut, hal ini akan dianalisis berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan.
Analisis dalam penentuan lokasi bertelur dilakukan secara sengaja atau
purposive sampling (Nawawi, 1995). Penentuan lokasi mengacu pada referensi
peneliti sebelumnya (Gazi, 2004; Buchart dan Baker, 1999; Mallombasang,
1995). Pada tahap ini, dilakukan inventarisasi ulang lokasi bertelur dan
kemungkinan ditemukannya lokasi bertelur baru.
3.3.2 Analisis Kondisi Lokasi Bertelur
a. Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur
Pada tahap ini dilakukan inventarisasi pada beberapa komponen
yang berperan penting untuk menilai kondisi suatu lokasi bertelur. Metode
survei dianalisis secara deskriptif dengan pengamatan langsung dan
berdasarkan studi pustaka. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan dan uraian berdasarkan data dan informasi yang
akan diperoleh selama penelitian. Penilaian terhadap kriteria lokasi
bertelur (Tabel 2) yaitu :
a) Dimensi lokasi: luas lokasi bertelur Maleo senkawor;
b) Tipe lokasi: apakah tiap lokasi bertelur merupakan tipe lokasi bertelur
tepi pantai atau lokasi bertelur di tengah hutan yang ditentukan
berdasarkan karakertistik lokasi bertelur;
c) Jarak dengan jalan terdekat: diukur jarak antara tepi jalan raya dengan
titik tengah lokasi bertelur. Pengukuran berdasarkan acuan peta jalan
dan dihubungkan dengan penentuan lokasi bertelur dengan bantuan
GPS;
d) Jarak terdekat dengan bibir pantai: diukur jarak batas air di bibir pantai
dengan titik tengah lokasi bertelur;
e) Jarak terdekat dengan perkampungan: diukur jarak terdekat titik tengah
lokasi bertelur dengan permukiman masyarakat;
f) Jarak dengan hutan: diukur jarak terdekat titik tengah lokasi bertelur
dengan batas wilayah hutan terdekat. Semua pengukuran dilakukan
dengan satuan meter dengan alat GPS;
g) Kondisi vegetasi sekunder: dicatat keberadaan vegetasi sekunder, luas
tutupan vegetasi;
h) Kondisi lubang peneluran: dimensi dan jumlah lubang peneluran;
i) Kondisi pasir: dicatat jenis pasir yang terdapat di lokasi bertelur;
j) Predator: dihitung apakah terdapat atau tidak pemangsa, jumlah dan
jenis pemangsa yang ada di lokasi bertelur;
k) Jumlah pasangan Maleo senkawor yang menggunakan lokasi bertelur:
dihitung dengan mengamati secara langsung dari tempat tersembunyi,
dari hasil wawancara dengan masyarakat pengumpul telur, atau dari
referensi peneliti sebelumnya jumlah pasangan Maleo senkawor yang
mendatangi lokasi bertelur;
l) Pengumpulan telur: dihitung ada atau tidaknya aktivitas pengambilan
telur oleh masyarakat;
m) Gangguan manusia: ada atau tidaknya aktivitas manusia disekitar
lokasi bertelur, bentuk gangguan, serta frekuensi terjadinya gangguan
manusia di lokasi bertelur.
Tabel 2 Penilaian Kriteria Lokasi Bertelur
Atribut Kriteria Metode Pengambilan Data Kondisi fisik 1. Tipe Lokasi
2. Luas Lokasi 3. Tekstur Tanah 4. Jarak dengan Bibir Pantai 5. Kondisi Lubang
1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka
Akses 1. Jarak dengan Hutan
2. Jarak dengan Jalan 3. Jarak dengan Permukiman
1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka
Invasi Vegetasi Sekunder
1. Jenis Vegetasi 2. Luas Tutupan Vegetasi
1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka
Gangguan 1. Kehadiran Manusia
2. Bentuk Gangguan 3. Frekuensi Gangguan
1. Pengamatan Lapangan 2. Studi Pustaka
b. Analisis Data Kondisi Lokasi Bertelur
Dalam analisis kondisi lokasi bertelur, dilakukan pendekatan
menggunakan metode dari peneliti sebelumnya yang telah dimodifikasi
(Gorog dkk, 2005) yaitu metode evaluasi terhadap 4 (empat) atribut dasar
untuk menilai lokasi habitat bertelur, teknik kuisioner juga dilakukan dengan
berbagai pihak antara lain kepala desa serta pengumpul telur yang berada di
sekitar lokasi bertelur Maleo senkawor yang dimodifikasi dari (Christy dan
Lentey, 2001). Empat atribut dasar dalam analisis kondisi lokasi bertelur
antara lain:
a) Kondisi: kondisi lokasi bertelur yang ditentukan dengan luas lokasi
bertelur, tekstur pasir yang ada di lokasi bertelur, kondisi di dalam lubang
peneluran serta jarak dengan bibir pantai;
b) Akses: akses menuju lokasi bertelur ditentukan dengan kedekatan antara
lokasi bertelur dengan hutan;
c) Invasi Vegetasi Sekunder: ditentukan berdasarkan penutupan lokasi
bertelur oleh tanaman semak dan perdu;
d) Gangguan: penilaian ini ditentukan berdasarkan kehadiran manusia di
lokasi bertelur, bentuk gangguan, serta frekuensi terjadinya gangguan di
lokasi bertelur.
Tahapan selanjutnya dari penelitian ini adalah penentuan derajat
kepentingan tiap atribut yang ada. Analisis data lokasi bertelur ditentukan
berdasarkan derajat kepentingan atau bobot dari setiap atribut yang telah
ditetapkan. Penentuan bobot ini dinilai sangat penting karena akan
mempengaruhi nilai total akhir dari setiap pilihan keputusan. Penentuan bobot
dilakukan dengan pemberian bobot secara langsung kepada setiap atribut
(Ma`arif dan Tanjung, 2003). Penentuan bobot untuk setiap atribut dalam menilai
kondisi lokasi bertelur adalah: kondisi fisik (0.30), gangguan (0.30); akses (0.20),
dan invasi vegetasi sekunder (0.20). Skor derajat kepentingan diberikan angka 1-
4, dimana angka empat (4) menyatakan kondisi baik dan satu (1) menyatakan
kondisi buruk.
Faktor-faktor dengan tingkat pengaruh yang terbesar akan menempati
urutan teratas dengan memperoleh pembobotan yang terbesar. Faktor-faktor
dengan tingkat pengaruh yang rendah atau kecil akan menempati urutan
berikutnya. Penjelasan pada tiap-tiap atribut, yaitu kondisi, akses, invasi
vegetasi sekunder dan gangguan manusia, pembobotan, dan skor dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Penilaian Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Kriteria Kategori Penilaian Skor Bobot Atribut
Dasar Lokasi bertelur tersedia cukup luas (+ 1 km2) dan jarak lokasi dengan bibir pantai cukup jauh > 100 m Lokasi bertelur memiliki luas 500-1000 m2, dengan jarak bibir pantai 75-100 m Lokasi bertelur memiliki luas < 500 m2 dengan jarak terdekat dengan bibir pantai < 50 m Lokasi bertelur kecil dan letaknya terpisah-pisah, lokasi sangat dekat dengan bibir pantai
Baik Sedang Kurang Tidak Baik
4 3 2 1
0.30
Kondisi Fisik
Sangat sedikit bahkan tidak ada gangguan manusia Terdapat kehadiran manusia dalam jumlah kecil 1 bulan sekali Terdapat aktivitas rutin tiap minggu oleh masyarakat dan pengumpul telur Maleo senkawor Setiap hari lokasi bertelur dikunjungi masyarakat untuk mengambil telur Maleo senkawor dan untuk kepentingan lainnya
Tidak Ada Kurang Sering Aktif
4 3 2 1
0.30 Gangguan
Tabel 3 Lanjutan ...
Kriteria Kategori Penilaian Skor Bobot Atribut
Dasar Lokasi bertelur bersih dari tanaman semak dan perdu Lokasi bertelur ditutupi oleh tanaman sekunder dalam jumlah yang sedikit < 50% luas lokasi bertelur Lokasi bertelur ditutupi oleh tanaman sekunder hingga 75% Lokasi bertelur tertutup oleh tanaman sekunder sehingga Maleo senkawor tidak dapat menggali lubang peneluran.
Bersih Kurang Sebagian Tertutup Tertutup
4 3 2 1
0.20 Invasi Vegetasi Sekunder
Lokasi bertelur langsung dikelilingi oleh hutan primer > 50% dari pinggiran, yang memungkinkan Maleo senkawor untuk menjangkau lokasi tersebut tanpa gangguan Tempat bertelur dikelilingi hutan primer < 50 % dari batas luarnya menghalangi Maleo senkawor dari hutan primer; Tempat bertelur dikelilingi hutan < 25%, Maleo senkawor hanya memiliki satu jalur akses menuju lokasi bertelur Tempat bertelur benar-benar terpisah dari hutan primer dan Maleo senkawor tidak dapat menjangkau tempat bertelur tanpa melintasi lahan pertanian, vegetasi sekunder atau gangguan lainnya oleh aktivitas manusia.
Bebas Terbatas Terganggu Tak Ada Akses
4 3 2 1
0.20 Akses
Berdasarkan hasil penjumlahan bobot dan skor kemudian diperoleh nilai
untuk menentukan kondisi lokasi bertelur Maleo senkawor. Nilai > 3.00
menyatakan kondisi lokasi bertelur baik, nilai 2.01-3.00 menyatakan kondisi
lokasi yang sedang, nilai 1.01-2.00 menyatakan kondisi umum lokasi bertelur
yang buruk dan nilai 1.00 menyatakan kondisi lokasi bertelur yang sangat buruk.
3.3.3 Analisis Pemahaman Masyarakat
Penelitian pada tahap ini digolongkan ke dalam penelitian deskriptif.
Menurut Walpole (1992), penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang
memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai keadaan suatu
individu, gejala atau kelompok tertentu, dalam hal ini lebih lanjut akan dianalisis
berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan. Analisis pemahaman masyarakat
dilakukan secara sengaja atau purposive sampling (Nawawi, 1995). Pada tahap
ini, dilakukan evaluasi pada data dasar keberadaan masyarakat berupa data dari
kantor administratif setempat. Penentuan responden juga didasarkan pada
kedekatan pemukiman penduduk dengan lokasi bertelur yang sebelumnya telah
diketahui.
Pengumpulan data melalui wawancara dan kuesioner dilakukan untuk
mendapatkan (i) tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar
lokasi bertelur; (ii) pemahaman masyarakat di sekitar lokasi bertelur terhadap
lokasi bertelur Maleo senkawor; dan (iii) sikap dan perilaku masyarakat di lokasi
bertelur Maleo senkawor. Penentuan responden dilakukan secara sengaja atau
purposive sampling (Nazir, 1999). Koentjaraningrat (1983) memberi batasan
ukuran sampel yang diambil untuk penelitian deskriptif minimal 10 persen dari
populasi, sedangkan untuk ukuran populasi yang sangat kecil minimal 20 persen.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Lokasi Penelitian
Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat terletak di bagian utara
Provinsi Sulawesi Selatan atau pada bagian barat dari pulau Sulawesi, yaitu
terletak pada posisi : 0o 52` 10`` - 2o 54`52`` Lintang Selatan dan 11o 54`47`` -
13o5`35`` Bujur Timur. Batas wilayah administratif Kabupaten Mamuju adalah;
sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi
Tengah, sebelah timur dengan Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan,
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majene, Kabupaten Polewali
Mandar Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Tana Toraja Provinsi Sulawesi
Selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Peta lokasi
penelitian di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Gambar 4.
Luas wilayah Kabupaten Mamuju adalah 11.057.81 km2 dan memiliki luas
kawasan hutan menurut fungsinya sebesar 849.777 Ha. Dengan perincian hutan
lindung 505.156 Ha, hutan produksi 195.615 Ha, hutan produksi tetap 51.250 Ha
dan hutan produksi yang dapat dikonversi 97.876 Ha, sedangkan hutan suaka
alam pada daerah ini belum ada (Bappeda dan Kantor Statistik Mamuju, 1992).
4.1.2 Tanah dan Geologi
Keadaan tanah di wilayah Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat
umumnya berasal dari endapan dan pasir, sedangkan jenis tanahnya adalah
tanah-tanah aluvial coklat kekelabuan (Bappeda dan Kantor Statistik Mamuju,
1992).
4.1.3 Iklim Berdasarkan klasifikasi curah hujan oleh Schmidt dan Ferguson
(Mallombasang, 1995), Kabupaten Mamuju termasuk dalam tipe E dengan nilai
Q = 125 %, dengan rata-rata curah hujan setiap tahun berkisar antara 34 mm
sampai 375 mm (Bappeda dan Kantor Statistik Mamuju, 1992).
Gambar 4 Peta Penyebaran Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju
4.1.4 Flora dan Fauna
a) Flora Secara umum vegetasi hutan di Kabupaten Mamuju termasuk tipe hutan hujan
tropis dataran rendah dan pada umumnya dijumpai jenis-jenis pohon antara lain
Diospirus sp, Kemiri (Aleurites moluccana), Dracontomelon mangiferum, Instia
bijuga, Alstonia sp. Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ficus sp, dan sebagainya.
Vegetasi berupa semak didominasi oleh Lantana camara dan Alang-alang
(Imperata cilindrica) (Whitten dkk., 1987).
b) Fauna Menurut Whitten, dkk (1987) jenis-jenis fauna yang dijumpai di daerah ini antara
lain : Dare (Macaca maura), Mandar Sulawesi (Aramidopsis plateni), Nuri
(Tanygnathus megalorhynchus), Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi),
Rangkong (Rhyticeros cassidix), jenis-jenis Kuntul dan Maleo senkawor
(Macrocephalon Maleo senkawor).
4.1.5 Lokasi Bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju
Maleo senkawor tersebar dan bertelur pada beberapa tempat di
Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat. Berdasarkan hasil penelitian
setidaknya terdapat 23 lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju.
Lokasi bertelur digunakan Maleo senkawor untuk membuat lubang dan
meletakkan telur. Di Kabupaten Mamuju terdapat 18 lokasi bertelur yang masih
aktif digunakan Maleo senkawor, 2 (dua) lokasi bertelur yang telah ditinggalkan
oleh Maleo senkawor, dan 3 (tiga) lokasi bertelur yang tidak diketahui statusnya
(Tabel 4). Tipe lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju umumnya merupakan lokasi
bertelur pesisir pantai yakni sebanyak 17 lokasi bertelur dan hanya 1 (satu) lokasi
bertelur yang merupakan lokasi bertelur di dalam hutan, yaitu terdapat di lokasi
bertelur Tobinta.
Tabel 4 Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju
No Lokasi bertelur Koordinat Status 1 Tobinta 01o57’53.3”S 119o19’44.3”E Aktif
2 Lelo losso 01o57’47.4”S 119o16’23.9”E Aktif
3 Tambung Tangnga 01o57’05.7”S 119o16’42.9”E Aktif
4 Tikke 01o20’58.4”S 119o19’55.5”E Ditinggalkan
5 Terbao 01o01’22.3”S 119o28’22.7”E Ditinggalkan
6 Koloe 01o21’44.4”S 119o19’21.6”E Aktif
7 Lemo 01o22’13.8”S 119o18’41.7”E Aktif
8 Pambua 00o52’50.3”S 119o32’07.3”E Aktif
9 Bambamata 00o59’54.3”S 119o28’52.7”E Aktif
10 Kasoloang 01o00’33.6”S 119o28’40.7”E Aktif
11 Randomayang 01o03’15.8”S 119o28’12.0”E Aktif
12 Kayumoloa 01o05’47.1”S 119o26’46.8”E Aktif
13 Tanjung Tambue 01o09’37.6”S 119o22’48.7”E Aktif
14 Padongga 01o17’27.5”S 119o18’53.3”E Aktif
15 Belang-belang 02o27’51.2”S 119o07’38.2”E Aktif
16 Barang-barang 02o28’59.5”S 119o06’51.9”E Aktif
17 Malasigo 02o28’57.6”S 119o07’07.6”E Aktif
18 Tambung 02o34’44.7”S 119o01’58.5”E Aktif
19 Tapanduli 02o40’20.6”S 118o47’20.3”E Aktif
20 Udung Butung 02o48’02.6”S 118o45’43.0”E Aktif
21 Lariang 01o25’S 119o17’E Status tidak diketahui
22 Tanjung Dapuran 01o45’S 119o20’E Status tidak diketahui
23 Mamuju 02o40’S 118o55’E Status tidak diketahui
a. Penemuan Lokasi Bertelur Baru
Dari 23 lokasi bertelur yang dilakukan inventarisasi, ditemukan 8
(delapan) lokasi bertelur aktif baru ditemukan, dan belum pernah disebutkan
sebelumnya. Lokasi tersebut adalah Tobinta, Lelo Losso, Tambung Tangnga,
Barang-barang, Malasigo, Tambung, Tapanduli dan Udung Butung (Gambar 4).
Penemuan lokasi bertelur tersebut berdasarkan penelusuran informasi dari
berbagai sumber antara lain penduduk lokal, dan aparat pemerintahan terkait.
b. Lokasi Bertelur Aktif
Suatu lokasi bertelur dikatakan sebagai lokasi aktif digunakan Maleo
senkawor selama atau jika lokasi bertelur tersebut secara simultan dikunjungi
Maleo senkawor untuk bertelur. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan
terhadap lokasi bertelur yang terdapat di Kabupaten Mamuju, terdapat 18 lokasi
aktif yang digunakan oleh Maleo senkawor.
Status aktif diberikan pada suatu lokasi berdasarkan beberapa penilaian yaitu
melalui pertama; referensi peneliti sebelumnya, kedua; pertemuan penduduk
lokal dengan Maleo senkawor ataupun aktivitas pengumpulan telur di lokasi
bertelur yang informasi tersebut diperoleh dari penyebaran kuesioner, ketiga;
melalui bukti fisik yang ditinggalkan Maleo senkawor di lokasi bertelur seperti
guguran bulu, jejak kaki yang masih segar, bongkahan pasir galian yang
menandakan penggalian yang belum begitu lama terjadi, kondisi areal peneluran
yang masih bersih dari kotoran dedaunan yang terbawa angin. Selanjutnya,
berdasarkan uji lapang kemudian ditetapkan suatu lokasi bertelur masih aktif
digunakan Maleo senkawor untuk meletakkan telur. Gambaran mengenai lokasi
bertelur yang aktif digunakan oleh Maleo senkawor disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Lokasi Bertelur Aktif yang Digunakan oleh Maleo Senkawor
c. Lokasi Bertelur yang Telah Ditinggalkan
Lokasi bertelur yang dinyatakan sebagai lokasi bertelur yang telah tidak
aktif atau telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor ditetapkan berdasarkan 3 (tiga)
pendekatan yaitu, pertama; referensi dari peneliti sebelumnya, kedua; informasi
dari penduduk terdekat dengan lokasi bertelur melalui kuesioner, ketiga; melalui
bukti fisik yang tersisa di lokasi bertelur. Hasil gambaran di lokasi bertelur Maleo
senkawor menunjukkan bahwa, lokasi bertelur yang telah ditinggalkan umumnya
merupakan lokasi yang telah terinvasi oleh tanaman sekunder, lokasi bertelur
telah berganti fungsi sebagai lahan yang telah dikelola oleh manusia. Kondisi
tersebut tidak memberikan ruang dan waktu untuk Maleo senkawor agar dapat
menjalankan aktfitas bertelur Maleo senkawor dengan baik.
Lokasi bertelur yang telah ditinggalkan oleh Maleo senkawor sebagai
tempat bertelur adalah Tikke dan Terbao. Kondisi terakhir di daerah tersebut,
merupakan kawasan pesisir pantai yang telah menjadi hunian penduduk, daerah
yang dulunya diperkirakan sebagai hutan mangrove, sekarang telah dikonversi
dan dikelola penduduk desa menjadi petak-petak tambak (Gambar 6).
Gambar 6 Lokasi Bertelur yang Telah Ditinggalkan oleh Maleo Senkawor
d. Lokasi Bertelur yang Statusnya Tidak Diketahui
Hasil inventarisasi lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju menunjukkan,
bahwa 3 (tiga) lokasi bertelur yang informasinya diperoleh dari peneliti
sebelumnya, yaitu Tanjung Dapuran, Lariang, dan Mamuju tidak dapat ditemukan
titik tepat lokasi tempat Maleo senkawor meletakkan telur. Tanjung Dapuran tidak
dapat diakses dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. Lariang
merupakan nama suatu daerah yang dibelah oleh sungai besar dimana menurut
beberapa narasumber, sempadan sungai tersebut dahulu digunakan oleh Maleo
senkawor untuk bertelur. Saat ini aktivitas penambangan pasir sungai aktif
dilakukan dan sudah tidak ada jejak lokasi bertelur Maleo senkawor di daerah
tersebut.
Mamuju merupakan Ibu kota Provinsi Sulawesi Barat yang sudah ramai
dengan pelbagai aktivitas manusia. Berdasarkan informasi dari penduduk kota
Mamuju dahulu memang terdapat beberapa titik tempat Maleo senkawor bertelur,
namun saat ini telah menjadi hunian padat atau dijadikan tempat pusat kegiatan
ekonomi kota sehingga lokasi tersebut sudah sangat tidak layak disebut sebagai
lokasi bertelur Maleo senkawor.
e. Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Wilayah
Hasil penelitian di 18 lokasi aktif yang digunakan Maleo senkawor untuk
bertelur menunjukkan, bahwa lokasi bertelur Maleo senkawor memiliki
karakteristik yang cukup beragam mulai dari letak areal peneluran di pantai
hingga vegetasi hutan yang menjadi koridor penghubung bagi Maleo senkawor
menuju lokasi bertelur (Gambar 7).
Gambar 7 Peta Pengelompokan Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik
Wilayah
1. Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung
Lokasi bertelur memiliki karakteristik semacam tanggul yang
letaknya antara 20 hingga 30 meter dari lokasi bertelur. Lokasi bertelur
lebih aman dari jangkauan gelombang pasang dikarenakan adanya
tanggul pelindung alami sehingga lokasi bertelur tidak bersentuhan
langsung dengan laut lepas. (Gambar 8).
Gambar 8 Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung
Lokasi bertelur dapat dengan mudah dibedakan dibandingkan daerah
berpasir lainnya karena adanya semacam kubangan-kubangan yang
merupakan lubang yang telah turun temurun digunakan oleh Maleo
senkawor (Lampiran 6). Masyarakat yang mengambil hasil laut pada saat
air surut acap kali menyaksikan Maleo senkawor bertelur dan selanjutnya
mengintai dari kejauhan untuk menunggu proses bertelur selesai dan
mengambil telur Maleo senkawor. Masyarakat dapat mencapai menuju
lokasi bertelur dari dua arah, yaitu dari hamparan pantai pasang surut dan
dengan melewati hutan. Tipe pantai dengan keadaan alam seperti ini
tidak umum tersedia dan hanya terdapat di 2 (dua) lokasi bertelur, yaitu di
Barang-barang dan Udung Butung.
2. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Mangrove
Lokasi bertelur dengan vegetasi mangrove merupakan suatu areal
tepi pantai yang berhadapan dengan laut lepas. Lapangan peneluran
posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal yang
membedakan dibandingkan tipe lokasi bertelur lainnya adalah terdapat
hutan mangrove yang selalu terisi air pada saat keadaan pasang.
Maleo senkawor yang menggunakan lokasi bertelur dengan tipe seperti
ini harus melewati hutan mangrove terlebih dahulu. Lokasi bertelur
dengan vegetasi mangrove letaknya cukup jauh dari permukiman
penduduk, akses manusia menuju lokasi bertelur hanya dapat ditempuh
dengan menggunakan sampan. Sistem perakaran pohon bakau sangat
sulit dilalui dan berlumpur, hal tersebut menyebabkan akses darat melalui
hutan bakau yang sulit dilalui.
Terdapat 3 (tiga) lokasi yang memiliki tipe dengan vegetasi
mangrove sebagai hutan penghubung bagi Maleo senkawor dari hutan
primer menuju lokasi bertelur. Lokasi tersebut adalah Lelo Losso,
Tambung dan Padongga yang secara lengkap tersaji pada Gambar 9.
Gambar 9 Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Mangrove
3. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Landai Dataran Rendah
Topografi wilayah yang rata dan landai merupakan kondisi umum
wilayah pantai yang ada di Kabupaten Mamuju. Lokasi bertelur dengan
kondisi demikian ini paling banyak dijumpai selama penelitian.
Karakteristik lokasi bertelur tersebut ditandai dengan lapangan peneluran
yang lebar, lokasi bertelur berada di tepi pantai yang secara langsung
berbatasan laut lepas tanpa sekat apapun seperti halnya tanggul
pelindung. Meskipun lokasi bertelur langsung berhadapan dengan lautan
lepas, tetapi dengan kondisi lokasi bertelur yang tersedia cukup lebar,
maka hal ini akan menjamin lokasi bertelur aman dari pengaruh pasang
surut air laut.
Lubang-lubang tempat Maleo senkawor meletakkan telurnya berada
di lapangan terbuka yang bebas dari naungan. Lubang galian sangat
mudah dikenali oleh karena keadaannya yang bersih dari semak rendah.
Lubang bertelur dapat berjumlah lebih dari satu hingga memiliki bentuk
seperti kubangan pasir, ataupun dapat terpisah satu dengan yang lainnya
dalam kawasan yang cukup luas.
Terdapat 7 (tujuh) lokasi bertelur dengan karakteristik hutan dataran
rendah yang keadaannya landai, yaitu Koloe, Lemo, Pambua,
Bambamata, Kasoloang, Tanjung Tambue, dan Belang-belang. Lokasi
bertelur yang landai seperti ini tersebar di bagian utara Kabupaten
Mamuju di mana di bagian wilayah tersebut kondisi alam lebih rata
dengan sedikit daerah berbukit. Secara rinci, gambaran mengenai lokasi
bertelur dengan karakteristik vegetasi hutan landai dataran rendah
disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Landai Dataran Rendah
4. Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Berbukit
Lokasi bertelur dengan kondisi alam hutan berbukit terdapat di bagian
selatan Kabupaten Mamuju. Dua lokasi bertelur yang memiliki
karakteristik tersebut adalah lokasi bertelur di Tapanduli dan Udung
butung. Lapangan peneluran yang tersedia tidak terlalu luas dan letak
lubang terpisah satu dengan lainnya. Lokasi bertelur umumnya berada di
bawah naungan pepohonan yang tajuknya cukup jarang ataupun pohon
kelapa dan semak. Maleo senkawor dapat menjangkau lokasi bertelur
langsung dari kawasan hutan berbukit.
Menurut informasi penduduk lokal mengatakan, bahwa mereka
beberapa kali mendapati Maleo senkawor terbang meluncur dari
pepohonan di perbukitan menuju pepohonan yang lebih rendah di sekitar
lokasi bertelur. Deskripsi mengenai lokasi bertelur yang berbatasan
dengan hutan berbukit dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Hutan Berbukit
5. Lokasi Bertelur di Dalam Perkebunan Perseorangan
Perkebunan masyarakat yang kebanyakan menanam pohon kelapa
sebagai komoditas andalan banyak terdapat di Kabupaten Mamuju.
Kepemilikan lahan ini kebanyakan dikuasai secara perseorangan
sehingga terdapat banyak petakan-petakan pagar hidup di antara kebun
kelapa. Kebun kelapa yang berada di tepi pantai berpasir juga digunakan
Maleo senkawor untuk bertelur, biasanya Maleo senkawor memilih
perkebunan kelapa yang jarang dikunjungi pemiliknya seperti yang
terdapat di lokasi bertelur Tapanduli, Kayumaloa, dan Malasigo. Lokasi
bertelur di Randomayang merupakan lahan pertanian yang sepertinya
belum lama dikelola oleh penduduk lokal, hal ini di tandai dengan
tanaman yang terlihat baru di tanam.
Pada dasarnya bukanlah Maleo senkawor yang memilih untuk
bersarang di perkebunan penduduk, namun areal tersebut diduga sejak
awal digunakan Maleo senkawor untuk bertelur, kemudian setelah
pembukaan lahan dan pengelolaan lahan intensif dilakukan hingga ke
pelosok-pelosok desa maka terbentuklah lokasi bertelur Maleo senkawor
di dalam kawasan yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kondisi lokasi bertelur Maleo senkawor di dalam lahan pemanfaatan oleh
manusia dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Lokasi Bertelur di Dalam Perkebunan Perseorangan
6. Lokasi Bertelur di Antara Semak Tinggi
Lokasi bertelur dengan kondisi yang tersembunyi oleh semak yang
kurang lebih 1 (satu) meter merupakan salah satu tipe lokasi yang tidak
umum ditemukan di Kabupaten Mamuju dan hanya terdapat di lokasi
bertelur Udung Butung. Maleo senkawor menggali lubang di bawah
semak-semak yang umumnya didominasi oleh Lantana camara. Lokasi
bertelur cukup sulit diketahui karena tersembunyi di balik semak-semak
yang cukup tinggi. Keadaan lokasi bertelur yang tertutup oleh tanaman
semak justru berperan sebagai kamuflase yang sempurna bagi induk
selama melakukan aktivitas bertelur dan juga untuk melindungi lokasi
bertelur dari penglihatan pemangsa. Gambaran jelas mengenai lokasi
bertelur di antara semak tinggi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Lokasi Bertelur di Antara Tumbuhan Semak Tinggi
7. Lokasi Bertelur di Longsoran Perbukitan Berpasir
Satu-satunya lokasi bertelur yang tidak berada di pesisir pantai adalah
lokasi bertelur di Tobinta. Merupakan lokasi bertelur yang terletak di
pinggir hutan yang terbentuk oleh longsoran perbukitan berpasir.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermukim
disekitar lokasi bertelur tersebut, bahwa lokasi bertelur Tobinta awalnya
merupakan kawasan berhutan. Terjadinya longsor dibagian tebing
menciptakan kawasan berpasir yang kontras keadaannya dengan daerah
bervegetasi di sekitarnya, dan pada akhirnya digunakan oleh Maleo
senkawor sebagai lokasi bertelur (Gambar 14).
Gambar 14 Lokasi Bertelur di Pasir Longsoran Perbukitan
4.2 Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju
Kondisi umum lokasi bertelur Maleo senkawor diketahui berdasarkan
penilaian atas 4 (empat) atribut dasar, yaitu kondisi fisik, gangguan, invasi
vegetasi sekunder, dan akses. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tidak ada
lokasi bertelur yang dalam keadaan baik, 10 (sepuluh) lokasi bertelur yang
termasuk dalam keadaan sedang, 6 (enam) lokasi bertelur yang kondisinya buruk
dan 2 (dua) lokasi bertelur yang dalam kondisi yang sangat buruk (Tabel 5).
Beberapa lokasi bertelur Maleo senkawor memiliki pola sebaran sesuai dengan
kondisi umum lokasi bertelur. Lokasi bertelur yang memiliki kondisi umum buruk
hingga sangat buruk membentuk kelompok seperti pada lokasi bertelur Belang-
belang, Barang-barang, Malasigo, Tambung. Lokasi bertelur dengan kondisi
umum dengan kategori sedang yang berkelompok terdapat di lokasi bertelur
Tapanduli dan Udung Butung, serta di Tobinta, Lelo Losso, dan Tambung
Tangnga (Gambar 15).
Hubungan antara kondisi umum lokasi bertelur dengan pola sebaran yang
berkelompok erat kaitannya dengan jumlah penduduk. Lokasi bertelur yang
berkelompok dengan kondisi yang buruk hingga sangat buruk, umumnya telah
menerima tekanan gangguan tambahan dikarenakan jumlah penduduk yang
padat. Lokasi bertelur juga berdekatan dengan pusat aktivitas masyarakat,
seperti dermaga dan perusahaan yang terdapat di Belang-belang. Kondisi
demikian memberi dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap
keberadaan lokasi bertelur Maleo senkawor. Lokasi bertelur makin intensif
menerima gangguan karena jumlah permukiman yang terus bertambah.
Lokasi bertelur Maleo senkawor dengan pola sebaran berkelompok yang
memiliki kategori penilaian sedang, memiliki tekanan yang sedikit dikarenakan
jumlah penduduk terdekat dengan lokasi bertelur masih sedikit, sehingga
tekanan terhadap lokasi bertelur juga relatif kecil. Letak lokasi bertelur juga
terpencil sehingga sulit dijangkau oleh manusia, dan umumnya kondisi hutan
masih tergolong baik. Lokasi bertelur bukan berarti bebas dari gangguan karena
semua lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju mendapatkan
gangguan manusia dengan tingkatan yang bervariasi.
Tabel 5 Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Keterangan : Kp = kategori penilaian Kondisi fisik = 4;baik, 3;sedang, 2;kurang, 1;tidak baik Gangguan manusia = 4;tidak ada, 3;kurang, 2;sering, 1;aktif Invasi vegetasi sekunder = 4;bersih, 3;kurang, sebagian tertutup, 1;tertutup Akses = 4;bebas, 3;terbatas, 2;terganggu, 1;tidak ada akses Kondisi umum lokasi bertelur = > 3.00; baik, 2.01 – 3.00; sedang, 1.01 – 2.00; buruk, 1.00; sangat buruk
Kondisi Fisik Gangguan Invasi Vegetasi Sekunder Akses No Lokasi
Bobot
Skor
KP Bobot Skor
KP Bobot Skor
KP Bobot
Skor
KP
Nilai Hasil Penilaian
1 Tobinta 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 3 Kurang 0.20 4 Bebas 2.60 Sedang2 Lelo losso
0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 2.40 Sedang3 Tambung Tangnga
0.30 3 Sedang 0.30 3 Kurang 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 3.00 Sedang
4 Koloe 0.30 3 Sedang 0.30 3 Kurang 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 3.00 Sedang5 Lemo 0.30 3 Sedang
0.30 3 Kurang 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 4 Bebas 3.00 Sedang
6 Pambua 0.30 4 Baik 0.30 2 Sering
0.20 2 Sbg tertutup 0.20 3 Terbatas 2.80 Sedang 7 Bambamata
0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 2 Sbg tertutup
0.20 3 Terbatas 1.60 Buruk
8 Kasoloang 0.30 3 Sedang 0.30 2 Sering
0.20 3 Kurang 0.20 3 Terbatas 2.70 Sedang9 Randomayang
0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 1 Tertutup 0.20 1 Tdk ada akses 1.00 Sgt buruk
10 Kayumoloa 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 1 Tertutup 0.20 2 Terganggu
1.20 Buruk11 Tanjung Tambue
0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering
0.20 2 Sbg tertutup 0.20 3 Terbatas 2.20 Sedang
12 Padongga 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 2 Sbg tertutup 0.20 1 Tdk ada akses 1.20 Buruk13 Belang-belang 0.30 1 Tdk baik 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup
0.20 1 Tdk ada akses 1.50 Buruk
14 Barang-barang
0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering
0.20 3 Kurang 0.20 1 Tdk ada akses 2.00 Buruk15 Malasigo 0.30 2 Kurang 0.30 1 Aktif 0.20 2 Sbg tertutup
0.20 2 Terganggu 1.70 Buruk
16 Tambung 0.30 1 Tdk baik 0.30 1 Aktif 0.20 1 Tertutup 0.20 1 Tdk ada akses
1.00 Sgt buruk
17 Tapanduli 0.30 2 Kurang 0.30 2 Sering 0.20 2 Sbg tertutup
0.20 3 Terbatas 2.20 Sedang
18 Udung Butung 0.30 3 Sedang 0.30 2 Sering 0.20 3 Kurang 0.20 3 Terbatas 2.70 Sedang
Gambar 15 Peta Kondisi Umum Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju
Tidak ada lokasi bertelur dalam keadaan baik memberi indikasi bahwa
semua lokasi bertelur yang ada di Kabupaten Mamuju mendapat tekanan.
Berdasarkan 4 (empat) atribut dasar untuk menilai kondisi umum suatu lokasi
bertelur, atribut yang dijadikan acuan dalam menilai kondisi umum lokasi bertelur
Maleo senkawor adalah kondisi fisik, gangguan manusia, invasi vegetasi
sekunder, dan akses Maleo senkawor yang dapat dilihat pada Tabel 5. Sebagian
besar lokasi bertelur dalam keadaan sedang yang berarti bahwa meskipun lokasi
bertelur menerima tekanan tetapi ada faktor lain yang mendukung.
Contoh kasus pada lokasi bertelur Pambua, meskipun sering menerima
gangguan, selanjutnya vegetasi sekunder telah sekitar 75% lokasi bertelur telah
tertutup oleh semak/vegetasi sekunder serta akses Maleo senkawor menuju
lokasi bertelur terbatas. Tetapi, berdasarkan kondisi fisik lokasi bertelur di
Pambua memiliki ukuran yang paling luas sehingga hasil berdasarkan hasil
pembobotan lokasi bertelur Pambua dimasukkan dalam kondisi yang sedang.
Lokasi bertelur yang dalam kondisi buruk dan bahkan sangat buruk berarti
umumnya lokasi bertelur yang termasuk dalam kategori tersebut memiliki ukuran
yang lebih kecil, menerima gangguan yang aktif, sebagian bahkan seluruh lokasi
bertelur telah tertutupi oleh tanaman sekunder serta letaknya yang terpisah dari
hutan primer. Lokasi bertelur yang berdasarkan hasil penilaian kondisi umum
termasuk dalam kategori sangat buruk dapat dijumpai pada lokasi bertelur
Randomayang dan Tambung.
4.2.1 Kondisi Fisik Lokasi Bertelur
Kondisi fisik lokasi bertelur Maleo senkawor diketahui berdasarkan
beberapa parameter penyusunnya, antara lain luas lokasi, tekstur pasir, dimensi
lubang, jumlah lubang, serta jarak dari bibir pantai. Berdasarkan hasil penentuan
derajat kepentingan untuk mengetahui kondisi fisik suatu lokasi bertelur maka
diperoleh data 5.6% lokasi bertelur yang berada dalam kondisi yang baik,
sebanyak 27.8% lokasi bertelur yang kondisnya sedang dan nilai yang sama
yaitu 33.3% berada pada lokasi bertelurnya kurang baik dan tidak baik (Lampiran
1). Secara lengkap pembagian kondisi fisik lokasi bertelur dapat dilihat pada
Gambar 16.
5.6%
27.8%
33.3%
33.3%
BaikSedangKurangTidak baik
Gambar 16 Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Lokasi yang kondisi fisiknya tergolong baik terdapat di Pambua.
Berdasarkan kondisi fisik lokasi bertelur Pambua memliliki ukuran yang cukup
luas dan berada cukup jauh dari bibir pantai sehingga lokasi tersebut dikatakan
cukup aman dari gerusan ombak pada saat gelombang pasang. Di lokasi bertelur
di Pambua juga terdapat lubang bertelur yang banyak, yaitu 27 lubang
peneluran. Banyaknya lubang bertelur tidak lepas kaitannya dengan masih
tersedianya areal yang cukup luas sehingga Maleo senkawor dapat leluasa
membuat lubang dan meletakkan telur Maleo senkawor.
Berdasarkan hasil pembobotan, lokasi bertelur yang berada pada kondisi
tidak baik berjumlah 6 (enam) dari 18 lokasi bertelur. Lokasi bertelur tersebut
adalah Bambamata, Randomayang, Kayumaloa, Padongga, Belang-belang, dan
Tambung. Lokasi bertelur ini memiliki ukuran yang kecil bahkan di lokasi bertelur
Bambamata luas lokasi bertelurnya hanya 25 m2. Lokasi bertelur dengan ukuran
yang kecil berdampak pada terbatasnya daerah berpasir untuk digali oleh Maleo
senkawor. Frekuensi penggunaan lubang peneluran oleh induk Maleo senkawor
akan meningkat dan telur yang telah terinkubasi akan tergali kembali karena
tidak tersedianya lubang-lubang yang cukup banyak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gunawan (1994) bahwa jika lokasi bertelur Maleo senkawor yang
tersedia ukurannya tidak cukup luas maka penggunaan lokasi tersebut akan
intensif sehingga fenomena dimana telur akan tergali kembali sering terjadi.
Jarak lokasi bertelur dengan bibir pantai juga memegang peranan penting
dalam penilaian kondisi fisik lokasi bertelur. Lokasi bertelur yang keberadaannya
sangat dekat dengan bibir pantai dapat berdampak buruk telur yang berada
dalam lubang berpasir. Dalam keadaan pasang, telur Maleo senkawor yang
sedang mengalami proses inkubasi akan terendam dan akhirnya temperatur dan
kelembaban didalam lubang akan terganggu oleh intrusi air laut. Lokasi bertelur
dengan jarak yang sangat dekat bahkan langsung berbatasan dengan bibir
pantai terdapat di Padongga.
Secara umum keadaan tekstur tanah di setiap lokasi bertelur Maleo
senkawor di Kabupaten Mamuju hampir serupa yaitu lempung berpasir dan
lempung. Kondisi tanah memiliki tekstur tidak kasar, tetapi tidak juga halus, agak
melekat dan sedikit mengkilat dengan kandungan utama adalah pasir. Maleo
senkawor cenderung memilih tanah berpasir dikarenakan sifat dari pasir tersebut.
Tanah berpasir lebih mudah digali oleh Maleo senkawor dan keunggulan media
tersebut adalah kemampuannya menyerap dan mengalirkan air yang baik
sehingga telur yang terinkubasi tidak akan terendam oleh air hujan maupun air
laut yang pasang. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan (1994) bahwa
tekstur tanah yang berpasir memudahkan induk Maleo senkawor untuk menggali
lubang untuk pengeraman telurnya. Sifat tanah berpasir juga tidak mengikat dan
cepat melepaskan air sehingga temperatur tanah di sekitar telur tidak terlelu
terpengaruh oleh genangan air dan sifatnya yang relatif konstan. Perbandingan
kondisi fisik lokasi bertelur yang baik dan yang tidak baik dapat dilihat pada
Gambar 17.
Kondisi baik Kondisi tidak baik
Gambar 17 Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
0.0%16.7%
50.0%
33.3%
Tidak adaKurangSeringAktif
4.2.2 Gangguan
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa semua lokasi bertelur di
Kabupaten Mamuju semua lokasi bertelur terdapat gangguan manusia dengan
frekuensi dan jenis gangguan yang beragam. Sebanyak 16.7% atau 3 (tiga)
lokasi bertelur dengan kriteria gangguan yang kurang terganggu, 50.0% atau
sebanyak 9 (sembilan) lokasi bertelur yang mendapati gangguan yang sering,
dan 33.3% atau sebanyak 6 (enam) lokasi bertelur yang aktif menerima
gangguan oleh manusia. Perbandingan gangguan yang ditimbulkan oleh
manusia disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Hasil Penilaian Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo
Senkawor
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi bertelur Maleo senkawor
terdapat gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia. Sebanyak 6 (enam)
lokasi yang paling sering menerima gangguan adalah Bambamata,
Randomayang, Kayumaloa, Padongga, Malasigo, dan Tambung. Jenis gangguan
yang paling sering muncul di lokasi ini adalah kehadiran manusia yang melintasi
lokasi bertelur. Lokasi bertelur Maleo senkawor dilewati secara rutin oleh
manusia hingga terbentuk jalan setapak yang digunakan untuk menuju kebun
atau menuju pantai. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa masyarakat
juga meningkatkan frekuensi kehadiran manusia di sekitar lokasi bertelur Maleo
senkawor. Di samping itu terdapatnya permukiman di sekitar lokasi bertelur
dilihat sebagai faktor penyebab kehadiran manusia. Dampak dari tingginya
frekuensi kehadiran manusia berkorelasi positif dengan tingginya frekuensi
pengambilan telur Maleo senkawor (Gambar 19).
Gambar 19 Gangguan Manusia di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Masyarakat melintasi lokasi bertelur secara rutin tiap minggu merupakan
kondisi umum gangguan manusia di 10 (sepuluh) lokasi bertelur, sedangkan
hanya 3 (tiga) lokasi yang kurang mendapatkan gangguan manusia yaitu
Tambung Tangnga, Koloe dan Lemo. Kurangnya gangguan manusia pada lokasi
tersebut dikarenakan akses masyarakat menuju lokasi bertelur yang cukup sulit
dan harus melintasi perairan.
4.2.3 Invasi Vegetasi Sekunder
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa di Kabupaten Mamuju tidak ada
lokasi yang benar-benar bersih dari vegetasi sekunder; 22.2% lokasi bertelur
yang berada pada kategori kurang, 61.1% sebagian tertutup dan 16.7% lokasi
yang hampir semua areal bertelur tertutupi oleh vegetasi sekunder. Secara
lengkap hasil penilaian terhadap invasi vegetasi sekunder disajikan pada
Gambar 20.
0.0%
22.2%
61.1%
16.7%
BersihKurangSbg tertutupTertutup
Gambar 20 Hasil Penilaian Keberadaan Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Dari data yang diperoleh tampak bahwa semua lokasi bertelur Maleo
senkawor yang ada di Kabupaten Mamuju telah terinvasi oleh vegetasi sekunder
dengan kategori yang berbeda-beda. Sebanyak 22.2% atau 4 (empat) lokasi
bertelur yang tingkat penutupan oleh vegetasi sekunder masih di bawah 50%
yaitu terdapat di lokasi bertelur Tobinta, Kasuloang, Barang-barang, dan Udung
Butung. 61.1% atau sebanyak 11 lokasi bertelur yang memiliki daerah tutupan
vegetasi sekunder hingga 75% dan sebanyak 16.7% atau 3 (tiga) lokasi bertelur
yang hampir ditutupi secara keseluruhan oleh begetasi sekunder. Gambaran
tentang invasi vegetasi sekunder disajikan pada Gambar 21.
Kurang Sebagian Tertutup Tertutup
Gambar 21 Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Vegetasi sekunder atau tanaman semak yang memiliki perakaran yang
kuat dapat mengikat pasir permukaan sehingga menyulitkan Maleo senkawor
untuk menggali lubang. Beberapa jenis tanaman pengganggu yang
perakarannya cukup kuat dan bersifat merambat antara lain jenis Convolvuceae
antara lain Ipomoea pes-caprae, dan jenis Leguminosa antara lain
Calophogonyum sp dan Coenea aquatica. Pertumbuhan semak merambat lebih
cepat dibandingkan jenis semak lainnya dan apabila tidak ada upaya
pengendalian tanaman semak dikhawatirkan dapat menginvasi secara besar-
besaran dan akhirnya menutup seluruh permukaan tanah lokasi bertelur Maleo
senkawor.
Keberadaan tanaman sekunder sebenarnya bukan hal yang sangat
mengancam terhadap penggunaan suatu lokasi bertelur selama masih dalam
persentase yang kecil. Beberapa lokasi bertelur seperti di Udung Butung Desa
Labuhan Rano keberadaan semak dapat melindungi lokasi bertelur dari aktivitas
manusia yang melintas di pesisir pantai. Keberadaan tanaman semak yang ada
cukup tinggi ternyata juga berfungsi melindungi lokasi bertelur Maleo senkawor
dari gangguan manusia.
4.2.4 Akses
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 18 lokasi bertelur yang
digunakan oleh Maleo senkawor untuk bertelur di Kabupaten Mamuju, terdapat
27.8% atau sebanyak 5 (lima) lokasi bertelur memiliki akses masing-masing
bebas dan tidak ada akses, dan 6 (enam) lokasi bertelur dengan akses terbatas
dan 2 (dua) lokasi bertelur yang dikategorikan terganggu. Gambaran kriteria
akses Maleo senkawor menuju lokasi bertelur disajikan pada Gambar 22.
27.8%
33.3%
11.1%
27.8%
BebasTerbatasTergangguTdk ada akses
Gambar 22 Hasil Penilaian Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa lokasi yang memiliki akses
yang bebas sama banyaknya dengan lokasi yang tidak memiliki akses. Akses
yang bebas ditunjukkan dengan keadaan dimana lokasi bertelur langsung
dikelilingi oleh hutan lebih dari 50%. Lokasi bertelur dengan akses bebas
terdapat di Tobinta, Lelo Losso, Tambung Tangnga, Koloe dan Lemo. Maleo
senkawor yang menggunakan lokasi tersebut dapat langsung menjangkau lokasi
bertelur dari dalam hutan tanpa penghalang.
Aksesibilitas Maleo senkawor menuju dan dari lokasi bertelur dipengaruhi
oleh luas tutupan hutan yang berbatasan langsung dengan lokasi bertelur. Lokasi
bertelur dengan akses terbatas hanya ditutupi kurang dari 50% sedangkan akses
Maleo senkawor yang dalam kategori terganggu apabila luas daerah tutupan
hutan yang berbatasan langsung dengan lokasi bertelur hanya kurang dari 25%.
Akses yang terbatas juga membuat Maleo senkawor dapat menuju lokasi bertelur
hanya dari satu arah. Gambaran mengenai akses Maleo senkawor menuju lokasi
bertelur disajikan pada Gambar 23.
Bebas Terbatas Tidak ada akses
Gambar 23 Akses Maleo Senkawor Terhadap Lokasi Bertelur
Gambar 23 tampak bahwa suatu lokasi bertelur Maleo senkawor
dikatakan sudah tidak memiliki akses apabila lokasi tersebut benar-benar
terpisah dari hutan primer. Maleo senkawor hanya dapat mencapai lokasi
bertelur dengan melintasi areal pertanian, tanaman perkebunan dan jenis
gangguan lainnya yang dibuat manusia. Pembukaan hutan untuk dijadikan
daerah tambak juga menghilangkan akses Maleo senkawor menuju lokasi
bertelur. Kehadiran permukiman juga memberi kontribusi karena kawasan
permukiman memerlukan sarana mobilitas berupa jalan yang sering kali
memotong antara lokasi bertelur Maleo senkawor dan daerah berhutan.
4.3 Adaptasi Maleo Senkawor
Maleo senkawor merupakan satwa liar yang “pencemas” yang sangat
responsif dengan kondisi lingkungan di mana pun satwa tersebut berada.
Berdasarkan hasil penelitian, Maleo senkawor juga memperlihatkan bentuk-
bentuk adaptasi dengan memanfaatkan lokasi bertelur yang telah dikelola oleh
masyarakat atau memanfaatkan lokasi-lokasi bertelur baru yang sebelumnya
tidak digunakan oleh Maleo senkawor.
4.3.1 Bentuk Adaptasi Maleo Senkawor
a. Terbentuknya Lokasi Bertelur Baru
Maleo senkawor merupakan bangsa burung yang sangat
menyukai daerah berpasir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi
bertelur di Tobinta dapat dijadikan parameter bentuk adaptasi Maleo
senkawor. Lokasi bertelur tersebut saat ini dimanfaatkan Maleo senkawor
untuk bertelur setelah terjadi longsoran di bagian hutan berbukit di
atasnya.
Lokasi bertelur tersebut terlihat seperti kubangan pasir dan sangat
mencolok dibandingkan daerah sekelilingnya yang berwarna hijau.
Diduga oleh karena alasan ini Maleo senkawor yang melintasi daerah
tersebut selanjutnya menggunakan lokasi tersebut sebagai tempat
meletakkan telur (Gambar 24).
Gambar 24 Lokasi Bertelur di Tobinta
Maleo senkawor mempunyai dua tipe lokasi bertelur, yakni lokasi
bertelur di hutan dan lokasi bertelur di tepi pantai. Berdasarkan hasil
identifikasi, lokasi bertelur di Tobinta merupakan satu-satunya lokasi
bertelur di hutan dari 18 lokasi bertelur aktif yang ada di Kabupaten
Mamuju. Sedikitnya jumlah lokasi bertelur di hutan diduga karena tidak di
setiap tempat terdapat daerah di dalam hutan yang kondisinya terbuka
dan terdapat hamparan tanah berpasir. Hal ini sesuai dengan pendapat
Dekker (1990) bahwa lokasi bertelur dengan sumber panas berasal dari
aktivitas geotermal (di hutan) dapat berupa kawasan seluas beberapa
hektar yang terpisah dari daerah berhutan dan tidak umum selalu
tersedia.
Hal lainnya yang menyebabkan lokasi bertelur di dalam hutan
tidak banyak jumlahnya diduga karena terkait hubungannya dengan sifat
tanaman hutan, dimana apabila ada daerah yang terbuka maka tanaman
perintis berupa tanaman merambat dan jenis liana akan dengan segera
menginvasi dan menutup daerah tidak berhutan tersebut. Namun hal ini
masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
b. Lokasi Bertelur di Jalan Pengerasan
Maleo senkawor dapat menggali lubang dan melakukan aktivitas
bertelurnya sepanjang tempat tersebut memberi kenyamanan bagi Maleo
senkawor, bahkan untuk lokasi yang berada ditepi jalan. Kondisi demikian
merupakan tempat Maleo senkawor membuat lubang untuk bertelur di
tepi jalan seperti terlihat di lokasi bertelur Udung Butung. Fenomena ini
dapat dipandang sebagai salah satu bentuk adaptasi Maleo senkawor
mengingat daerah tersebut bukan merupakan lokasi bertelur. Secara
lengkap, gambaran mengenai lubang peneluran di tepi jalan disajikan
pada Gambar 25.
Gambar 25 Lubang Galian yang Berada di Tepi Jalan
Berdasarkan hasil identifikasi kondisi lokasi bertelur di Udung
Butung, Maleo senkawor dapat menggali lubang peneluran di tepi jalan
dikarenakan kondisi fisik merupakan tanah berpasir. Diduga bahwa Maleo
senkawor memanfaatkan pinggiran jalan untuk menggali lubang dan
bertelur, karena kondisi fisik lokasi tersebut tidak berbeda dengan lokasi
bertelur utama yang terletak tidak jauh dari lokasi jalan tersebut.
Alasan lain mengapa Maleo senkawor bertelur di tepi jalan adalah
frekuensi penggunaan jalan oleh manusia masih kurang. Jalan tersebut
baru akan ramai dilalui apabila ada kegiatan penting, seperti halnya
upacara adat ataupun pertemuan di balai-balai desa. Selebihnya,
penduduk desa lebih banyak menghabiskan waktu di kampung-kampung
yang letaknya terpencar dan melakukan rutinitas harian sebagai nelayan.
Oleh karena itu, Maleo senkawor dapat leluasa melakukan aktivitas
bertelur terutama di pagi hingga siang hari dengan frekuensi pertemuan
dengan manusia yang jarang.
Meskipun memberikan alternatif lokasi bertelur bagi Maleo
senkawor, lubang yang berada di tepi jalan tersebut belum dapat
menjamin akan selalu digunakan Maleo senkawor. Lubang tersebut
nantinya akan diabaikan oleh Maleo senkawor apabila penggunaan jalan
oleh penduduk desa makin tinggi frekuensinya.
c. Lokasi Bertelur di Dalam Areal Perkebunan
Maleo senkawor yang menyebar dan hidup di Kabupaten Mamuju
telah menjalankan strategi untuk dapat bertahan hidup. Bentuk lain dari
proses adaptasi Maleo senkawor adalah dengan memanfaatkan areal
perkebunan sebagai lokasi untuk membuat lubang galian dan bertelur.
Berdasarkan hasil penelitian, Maleo senkawor memilih kawasan
perkebunan yang pertajukannya atau dahan pohon yang besar dan
berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
Lokasi dengan kondisi Maleo senkawor memanfaatkan areal
perkebunan sebagai lokasi bertelur, terdapat di Randomayang,
Kayumaloa, Malasigo, dan Tapanduli. Di lokasi tersebut, Maleo senkawor
bertelur di perkebunan kelapa yang juga berbatasan langsung dengan
pantai. Hal ini sesuai pendapat Alikodra (2002) bahwa proses adaptasi
dapat terjadi akibat perubahan habitat yang disebabkan oleh kegiatan
manusia yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan pokok dalam
suatu populasi. Gambaran mengenai bentuk adaptasi Maleo senkawor di
areal perkebunan dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Lokasi Bertelur di Antara Lahan Perkebunan
4.3.2 Syarat Adaptasi Maleo Senkawor di Lokasi Bertelur
Maleo senkawor dapat memberikan umpan balik positif dan dapat
melakukan suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan habitat sepanjang
perubahan yang terjadi masih dapat ditoleransi dan tidak terjadi secara
drastis. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa hal penting yang
membuat Maleo senkawor memilih lokasi yang berbeda dengan lokasi
bertelur pada umumnya. Hal tersebut adalah :
a. Terdapat Tanah Berpasir
Salah satu alasan Maleo senkawor menggunakan lokasi baru
untuk menggali lubang dan bertelur adalah karena lokasi tersebut
memiliki kondisi fisik yang berpasir. Lokasi berpasir yang
keberadaannya cukup terbuka dari tajuk-tajuk pohon sehingga sinar
matahari dapat menyentuh hingga permukaan pasir merupakan
kriteria utama Maleo senkawor dalam memilih lokasi bertelur.
Sebaliknya lokasi bertelur akan ditinggalkan oleh Maleo senkawor
apabila lokasi tersebut telah kehilangan fungsi utama, yaitu lokasi
berpasir karena telah tertutupi permukaan pasir secara keseluruhan
oleh semak.
b. Aman dari Gangguan Benda Asing
Maleo senkawor merupakan satwa liar yang sangat peka dengan
hal-hal yang mencurigakan. Bahkan pertemuan dengan Maleo
senkawor di lokasi bertelur akan menyebabkan satwa tersebut
langsung melarikan diri menuju hutan jika jarak kurang dari 30 meter.
Gangguan benda-benda yang tidak terlihat alamiah dan bukan
merupakan bagian dari lokasi bertelur akan mengganggu Maleo
senkawor sehingga menunda proses peneluran. Gangguan tersebut
dapat berupa audio maupun visual antara lain; suara mesin chain-
saw, kendaraan bermotor, sepeda, atau pun hasil tebangan pohon
yang berserakan di sekitar lokasi bertelur.
c. Waktu Pertemuan dengan Manusia
Berdasarkan hasil penelitian, Maleo senkawor akan dengan
segera meninggalkan lokasi bertelur dan menuju hutan apabila
terganggu. Tetapi, menurut masyarakat yang sering berhubungan
langsung dengan lokasi bertelur, apabila kondisi kembali tenang
maka, Maleo senkawor akan kembali untuk melanjutkan aktivitas
yang sempat terganggu pada sore hari. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gunawan (1994) bahwa apabila melakukan aktivitas
bertelur Maleo senkawor mendapat gangguan maka pekerjaannya
akan ditinggalkan dan kembali dilanjutkan apabila kondisi telah
kembali tenang dan biasanya pada sore hari.
Berdasarkan fenomena di atas dapat dikatakan bahwa Maleo
senkawor dapat menerima toleransi gangguan di lokasi bertelur
selama gangguan tersebut tidak terjadi sepanjang hari. Apabila waktu
pagi hari dil okasi bertelur terjadi pertemuan Manusia dan Maleo
senkawor, biasanya Maleo senkawor akan melarikan diri ke hutan.
Namun, asalkan sepanjang siang dan sore hari lokasi bertelur telah
tenang kembali, lokasi tersebut masih terus dapat digunakan dan
Maleo senkawor juga dapat beradaptasi dengan keadaan tersebut.
42.2%
27.7%
18.8%
9.4%1.9%
Tdk tamat SDSDSMPSMULainnya
4.4 Aspek Sosial
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat yang bermukim di dekat lokasi
bertelur berjumlah sekitar 915 kepala keluarga yang bermata pencaharian
umumnya sangat bergantung pada sumber daya alam. Mata pencaharian utama
masyarakat yang berada di sekitar lokasi bertelur adalah nelayan.
Untuk meningkatkan pendapatan, penduduk juga bermata pencaharian dengan
mengelola perkebunan ataupun bekerja di tambak-tambak (Lampiran 5). Bahkan,
di tengah-tengah waktu luang beberapa anggota masyarakat melakukan
kegiatan pengambilan telur Maleo senkawor.
Penduduk di Kabupaten Mamuju mayoritas berasal dari suku Mandar,
terdapat juga suku Bugis dan suku Kaili yang menghuni kawasan pesisir di
Kabupaten Mamuju. Tingkat pendidikan masyarakat desa yang bermukim di
sekitar lokasi bertelur juga tergolong masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian,
dari total 415 responden yang diperoleh sebanyak 42.2% tidak menamatkan
pendidikan dasar. Kemudian, anggota masyarakat yang mampu menamatkan
pendidikan hingga jenjang SMU hanya sebanyak 9.4% dan hanya 1.9% yang
dapat melanjutkan ke tingkat sekolah tinggi, pendidikan diploma, atau pun
universitas. Persentase tingkat pendidikan masyarakat yang berada di sekitar
lokasi bertelur di Kabupaten Mamuju disajikan pada gambar 27.
Gambar 27 Persentase Tingkat Pendidikan Masyarakat di Sekitar Lokasi
Bertelur Maleo Senkawor
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di lokasi tersebut tidak lepas
kaitannya dengan masih sangat minimnya sarana dan prasarana penunjang
kegiatan pendidikan. Bahkan di beberapa tempat, jenjang pendidikan yang
tersedia hanya pada tingkat SD (Sekolah Dasar) sehingga apabila ingin
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi maka harus ke desa tetangga
atau bahkan harus ke kota. Letak permukiman yang terisolasi juga menjadi faktor
tidak meratanya pendidikan di daerah-daerah terpencil seperti permukiman yang
berada di dekat lokasi bertelur Maleo senkawor. Tidak semua masyarakat yang
bermukim di sekitar lokasi bertelur memiliki perhatian terhadap Maleo senkawor.
Hanya orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan mengenai musim
bertelur Maleo senkawor, teknik dalam penggalian lubang hingga perilaku
bertelur Maleo senkawor. Anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan
tersebut biasanya merupakan pengumpul telur. Berdasarkan hasil wawancara
dengan masyarakat, hanya masyarakat yang memiliki profesi sebagai penggali
telur dan orang-orang tua yang memiliki keahlian untuk mendapatkan telur Maleo
senkawor. Kesulitan dalam mendapatkan telur Maleo senkawor dikarenakan
sang induk akan membuat lubang-lubang jebakan yang tidak berisi telur hingga 5
(lima) lubang. Hal ini sesuai dengan pendapat Dekker (1990) bahwa selain
lubang utama induk Maleo senkawor juga membuat lubang-lubang jebakan yang
berfungsi untuk mengecoh predator atau manusia yang akan mengambil telur
Maleo senkawor.
Para pengumpul telur umumnya mengetahui dengan pasti bahwa Maleo
senkawor bertelur di musim kemarau, musim pada angin timur atau sekitar bulan
April hingga Oktober. Hal ini hampir sesuai dengan pendapat Argeloo (1991)
bahwa Maleo senkawor yang bertelur di lokasi bertelur di tepi pantai terjadi pada
bulan Juni hingga September. Diduga pada bulan tersebut frekuensi hujan tidak
banyak dan sinar matahari cukup terik sehingga akan memberikan kondisi
pengeraman yang optimal. Berdasarkan data hasil kuesioner, rata-rata
masyarakat tidak menjadikan aktivitas pencarian telur Maleo senkawor sebagai
pekerjaan utama. Mereka melakukan pencarian telur Maleo senkawor di sela-
sela rutinitas harian mereka seperti pada saat istirahat memancing, menebar
pukat di pantai, atau mencari kayu bakar di hutan.
Telur yang diperoleh biasanya dijadikan lauk makan siang dengan cara
dibakar. Menurut masyarakat, bahwa telah terjadi penurunan populasi Maleo
senkawor salah satunya diketahui dengan makin sedikitnya induk Maleo
senkawor yang terlihat mengunjungi lokasi bertelur dan jumlah telur berhasil
ditemukan semakin hari semakin berkurang jumlahnya.
4.4.1 Sikap dan Perilaku Masyarakat
Masyarakat memanfaatkan telur Maleo senkawor secara langsung, yaitu
sebagai bekal santap siang pada saat sedang melakukan pekerjaan sebagai
nelayan ataupun dibawa pulang ke rumah untuk dimakan atau dijual. Tidak ada
lokasi khusus yang dijadikan tempat menjual telur Maleo senkawor, dan biasanya
telur dijual ke tetangga atau pembeli yang datang langsung ke rumah-rumah
penduduk. Berdasarkan hasil kuesioner yang dilakukan dalam penelitian,
masyarakat menggemari telur Maleo senkawor karena ukurannya yang besar
dan cita rasa yang nikmat dan sedikit beda dibandingkan telur pada umumnya
karena tidak amis. Telur Maleo senkawor telah mempunyai nilai historis dan telah
mengakar dalam budaya orang Mamuju.
Telur Maleo senkawor digunakan sebagai salah satu syarat dalam
pelaksanaan upacara adat penting, seperti pelaksanaan Maulid, pernikahan,
sunatan atau neuri, yakni peringatan 7 (tujuh) bulan usia kandungan ibu hamil.
Selain digunakan dalam kepentingan tersebut, telur Maleo senkawor juga
dimanfaatkan sebagai media untuk melakukan tindakan penyuapan dengan
seseorang yang tingkatan sosialnya lebih tinggi ataupun sebagai oleh-oleh khas
daerah.
4.4.2 Pemahaman Masyarakat terhadap Maleo Senkawor
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat sebagian besar
belum mengetahui bahwa burung Maleo senkawor merupakan satwa dilindungi
undang-undang dan perburuan terhadap telur dan burung Maleo senkawor
merupakan hal terlarang. Pemahaman masyarakat yang rendah dengan tingkat
pendidikan yang juga rendah menyebabkan aktivitas perburuan telur dan Maleo
senkawor serta pengrusakan lokasi bertelur terus berlangsung hingga saat ini.
Berbagai tindakan ekspliotasi dan pengrusakan menyebabkan penurunan
populasi Maleo senkawor dewasa. Diduga jumlah Maleo senkawor dewasa yang
ada di Kabupaten Mamuju saat ini kurang dari 100 ekor. Tidak berjalannya
kegiatan penyuluhan oleh aparat pemerintahan yang terkait mengakibatkan
terpuruknya pemahaman masyarakat akan nilai penting satwa Maleo senkawor,
arti satwa endemik dan satwa yang terancam punah yang harus segera
dilestarikan keberadaannya.
4.5 Prioritas Konservasi
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis kondisi umum lokasi
bertelur, karakteristik lokasi bertelur serta pengaruh aspek sosial maka diperoleh
3 (tiga) peringkat untuk menetapkan prioritas konservasi kawasan di lokasi
bertelur, yaitu prioritas I dengan tujuan utama perlindungan lokasi bertelur,
prioritas II dengan tujuan pembinaan lokasi bertelur dan prioritas III dengan
tujuan utama berupa pengelolaan lokasi bertelur secara terpadu. Lebih lengkap
mengenai gambaran prioritas konservasi disajikan pada Gambar 28.
Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan secara benar dan berkelanjutan
harus dilakukan, untuk menggugah kesadaran masyarakat yang selama ini
berhubungan dengan Maleo senkawor. Motivasi masyarakat untuk menghargai
dan turut melestarikan Maleo senkawor sebagai satwa khas Sulawesi, dapat
ditumbuhkan dengan mengangkat nilai historis hubungan antara Maleo senkawor
dengan leluhur asli masyarakat Mamuju. Mengkaji ulang norma-norma adat yang
mulai kurang diperhatikan juga merupakan salah satu pertimbangan dalam
upaya menggugah kesadaran. Beberapa daerah di Sulawesi menetapkan hukum
adat yang memberlakukan larangan mengambil telur Maleo senkawor pada saat-
saat tertentu. Tindakan seperti ini dapat dijadikan panduan dalam kegiatan
sosialisasi dan penyuluhan terhadap masyarakat.
a. Prioritas I (Perlindungan Lokasi Bertelur)
Lokasi bertelur yang dimaksud dalam prioritas konservasi I adalah
lokasi bertelur yang perlu mendapat perlindungan hukum sehingga
diharapkan dengan adanya status hukum dapat mengurangi gangguan
bagi telur, Maleo senkawor dan lokasi bertelur Maleo senkawor. Prioritas I
ditetapkan berdasarkan hasil analisis kondisi umum lokasi bertelur
dimana lokasi bertelur yang memiliki nilai dan hasil yang lebih baik lebih
diprioritaskan dibandingkan lokasi memiliki hasil lebih buruk. Hal lain yang
mendasari penetapan prioritas I adalah adanya keunikan, kekhasan yang
dimiliki suatu lokasi bertelur terkait dengan hal ini adalah topografi wilayah
(Lampiran 6). Berdasarkan berbagai syarat tersebut maka lokasi yang
mendapat prioritas I adalah 44.4% dan diharapkan dapat dilindungi lokasi
bertelur tersebut adalah
1. Tambung Tangnga
2. Koloe
3. Lemo
4. Pambua
5. Kasoloang
6. Udung Butung
7. Lelo Losso
8. Tapanduli
Segala bentuk aktivitas masyarakat yang mengancam keberadaan
Maleo senkawor serta dapat mengubah kondisi apalagi merusak lokasi
bertelur Maleo senkawor merupakan tindakan melawan hukum.
Penetapan lokasi bertelur sebagai kawasan khusus dan dilindungi dimulai
dengan tahap awal, yaitu sosialisasi dan kegiatan penyuluhan intensif
dengan masyarakat. Masyarakat diberikan alternatif sumber-sumber mata
pencaharian sehingga mengurangi tingkat ketergantungan terhadap
lokasi bertelur Maleo senkawor. Bentuk mata pencaharian alternatif bagi
masyarakat di pesisir pantai adalah dengan membentuk kelompok-
kelompok tani/nelayan dan terkoordinasi dengan baik, selanjutnya
mengupayakan pemberian bantuan penyediaan sarana yang dibutuhkan
dalam menangkap ikan.
Peningkatan keterampilan bagi para perempuan dan ibu-ibu perlu
dilakukan, dengan pelatihan atau kursus membuat kerajinan tangan dari
bahan-bahan alami yang tersedia melimpah di daerah tersebut. Dengan
meningkatnya kesadaran terhadap pelestarian Maleo senkawor dan taraf
hidup yang lebih mapan, ketergantungan masyarakat terhadap telur dan
Maleo senkawor secara perlahan berkurang dan pola pikir yang
sebelumnya memanfaatkan menjadi melindungi Maleo senkawor, habitat
hidup serta lokasi bertelur.
b. Prioritas II (Pembinaan Lokasi Bertelur)
Lokasi bertelur yang dimaksud prioritas konservasi II adalah lokasi
bertelur perlu mendapat perhatian oleh segenap elemen terkait untuk
dapat bersama-sama memperbaiki kualitas lokasi bertelur. Lokasi bertelur
yang termasuk dalam kategori ini adalah 38.9% lokasi bertelur yang
berdasarkan hasil penilaian kondisi umum mendapat gangguan yang
mengkhawatirkan. Lokasi tersebut adalah
1. Tobinta
2. Bambamata
3. Tanjung Tambue
4. Padongga
5. Belang-belang
6. Barang-barang
7. Tambung
Lokasi bertelur yang ditetapkan pada prioritas II dengan tujuan
utama pembinaan habitat. Lokasi dengan kondisi demikian perlu
mendapat perhatian yang serius. Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan
berkesinambungan perlu dilakukan sebagai tahap awal sebelum
mengerjakan program berikutnya.
Apabila masyarakat telah faham sepenuhnya, bahkan diharapkan
ada sebagian anggota masyarakat yang tergugah kesadarannya dan
membantu secara sukarela program yang akan dijalankan di lokasi
bertelur. Maka, pembinaan habitat dan lokasi bertelur Maleo senkawor
telah dapat dilaksanakan.
Pemberantasan vegetasi sekunder yang memiliki perakaran kuat harus
dilakukan, sehingga memperluas areal peneluran Maleo senkawor.
Penanaman kembali bibit-bibit tanaman keras lokal sebaiknya dilakukan,
untuk menjamin tersedianya pakan Maleo senkawor di masa yang akan
datang, dan menjamin tersedianya habitat hutan tempat Maleo senkawor
hidup.
Mengubah pola pandang masyarakat pengumpul telur, dengan
memberlakukan kegiatan pemanenan telur yang arif dan bijaksana.
Aktivitas pemanenan telur menjadi lebih baik dan menjamin
keberlangsungan populasi Maleo senkawor, dengan menerapkan sistem
ambil 5 (lima) butir telur dan simpan 2 (dua) butir telur. Diharapkan
dengan sistem pemanenan demikian memberi kesempatan telur Maleo
senkawor yang tidak diambil oleh pegumpul telur untuk dapat menetas.
c. Prioritas III (Pengelolaan Terpadu Lokasi Bertelur)
Lokasi bertelur yang dimaksud dalam lokasi bertelur yang perlu
mendapat pengelolaan terpadu adalah lokasi bertelur yang terletak pada
kawasan yang dikuasai oleh perseorangan atau berada pada perkebunan
Masyarakat. Lokasi bertelur yang termasuk dalam prioritas konservasi III
adalah sebanyak 16.7%, yaitu :
1. Randomayang
2. Kayumaloa
3. Malasigo
Pelaksanaan konservasi terhadap lokasi bertelur yang tumpang
tindih dengan lahan milik masyarakat harus dilaksanakan dengan
melibatkan pemilik lahan. Pemilik lahan perlu mendapat penyadaran dan
pemahaman sehingga nantinya pemilik lahan mampu bertindak sebagai
polisi dan mengatur kegiatan pengambilan telur sehingga dapat lestari.
Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan selalu merupakan langkah awal
dalam upaya konservasi kawasan, demi tercapainya tujuan konservasi.
Gambar 28 Peta Prioitas Konservasi Lokasi Bertelur
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data serta pembahasan, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
a. Di Kabupaten Mamuju ditemukan sebanyak 23 lokasi bertelur Maleo
senkawor, 18 lokasi bertelur aktif, 2 (dua) lokasi bertelur yang telah
ditinggalkan, dan 3 (tiga) lokasi bertelur yang statusnya tidak diketahui.
Terdapat 8 (delapan) lokasi baru yang ditemukan dan belum pernah
diungkapkan oleh peneliti sebelumnya.
b. Kondisi umum lokasi bertelur Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju
adalah tidak ada lokasi bertelur yang kondisinya baik, 55.6% lokasi
bertelur dalam keadaan sedang, lokasi yang kondisi buruk terdapat
33.3% dan lokasi yang kondisinya sangat buruk sebanyak 11.1%.
c. Maleo senkawor melakukan proses adaptasi dengan cara membuat suatu
lokasi bertelur baru, memanfaatkan tepi jalan sebagai areal bertelur, atau
membuat lokasi bertelur dalam areal perkebunan
d. Masyarakat belum paham sepenuhnya bahwa Maleo senkawor adalah
satwa yang endemik, dillindungi, dan saat ini terancam punah.
e. Prioritas konservasi kawasan di lokasi bertelur yaitu prioritas I dengan 8
(delapan) atau 44.4% lokasi bertelur, prioritas II dengan 7 (tujuh) atau
38.9% lokasi bertelur dan prioritas III dengan 3 (tiga) atau 6.7% lokasi
bertelur.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis serta pembahasan, maka
diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan bagi penetapan
kawasan konservasi serta penelitian selanjutnya. Adapun saran yang ditawarkan
adalah :
a. Lokasi bertelur Maleo senkawor yang telah teridentifikasi perlu mendapat
perhatian oleh aparat terkait sesuai dengan skala prioritas konservasi
kawasan
b. Perbaikan lokasi bertelur merupakan hal mendasar yang harus dilakukan
untuk memperbaiki kualitas hidup Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju
c. Status lokasi bertelur perlu terus dipantau untuk mengetahui perubahan
yang terjadi apakah terjadi perbaikan kondisi atau penurunan kualitas
lokasi bertelur
d. Perlu dilakukan upaya penyuluhan dan penyadaran masyarakat yang
berada di sekitar lokasi bertelur terhadap pentingnya menjaga kelestarian
sumber daya alam termasuk Maleo senkawor dan lokasi bertelur Maleo
senkawor.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Yayasan Penerbit Fakultas
Kehutanan IPB, Bogor. Anonim. 1994. Burung. Mengenal Lebih Dekat Satwa yang Dilindungi.
Departemen Kehutanan. Jakarta. Argeloo, M. 1991. The Maleo Conservation Project. Institute of Taxonomix
Zoology. Universitas Of Amsterdam. Netherlands. Bappeda dan Kantor Statistik Kabupaten Mamuju. 1992. Kabupaten Mamuju
dalam Angka. Kantor Statistik Kabupaten Mamuju. Sulawesi Selatan. Butchart, S.H.M. dan G.C, Baker. 1999. Priority Site for Conservation of Maleos
(Macrocephalon maleo) in Central Sulawesi. Journal of Biological Conservation. 94 : 79-91.
Christy, M.J. dan S.M. Lentey. 2001. Proyek Maleo Tahap 1 & 2. The Wildlife
Conservation Society. Coates, B.J., K.D. Bishop, dan D. Gardner. 2000. Panduan Lapangan Burung-
burung di Kawasan Wallacea. Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. penerjemah; S.N. Kartikasari, M.D. Tapilatu, dan D. Rini. BirdLIfe International-Indonesia Programme & Dove Publications. Bogor. Terjemahan dari: A Guide to the birds of Wallacea: Sulawesi, The Moluccas and Lesser Sunda Islands, Indonesia.
Cooperrider, A.Y., R.J, Boyd dan H.R. Stuart. 1988. Inventory and Monitoring of
Wildlife Habitat. The Journal of Wildlife Management 52(3): 568. Dekker, R.W.R.J. dan J. Wattel. 1987. Egg and Image : New and Traditional
Uses for Maleo (Macrocephalon maleo). ICBP Technical Publication 6:83-87.
Dekker, R.W.R.J. 1990. Conservation and Biology of Megapodes. Radopi.
Amsterdam. Dekker, R.W.R.J. dan P.J.K. McGowan. 1995. Megapodes: An Action Plan for
Their Conservation 1995-1999. IUCN, Gland, Switzerland. Gazi, R. 2004. Karakteristik Telur Burung Maleo Pada Habitat Telur yang
Berbeda. [Skripsi]. Universitas Hasanuddin, Makassar. Gorog A.J., B, Pamungkas, dan R.J. Lee. 2005. Nesting Groound Abandonment
by the Maleo (Macrocephalon maleo) in North Sulawesi : Identifying conservation priorities for Indonesia`s Endemic Megapode. Journal of Biological Conservation 126: 548-555.
Gunawan, H. 1994. Karakteristik Lapangan Peneluran Alami Burung Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Dumoga Bone, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Kehutanan 7(1): 175-188.
____________, 2000. Strategi Burung Maleo (Macrocephalon maleo SAL
MULLER 1846) dalam Seleksi Habitat Tempat Bertelurnya di Sulawesi. [Tesis]. Program Pascarsarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Jones, D. N., R. W. R. J. Dekker. dan C. S Roselaar. 1995. The Megapodes.
Oxford University Press, Oxford. Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia.
Jakarta. Ma’arif, M.S. dan H. Tanjung. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif untuk Manajemen.
Grasindo. Jakarta. Mallombasang, S.N. 1995. Peran Vegetasi Pada Habitat Bertelur (Nesting
Ground) Burung Maleo di Kabupaten Mamuju Sulawesi Selatan. [Tesis]. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah mada.
Nawawi, H. H. 1995. Metode Penelitian Sosial. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Cetakan keempat. Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta. Sumangando, A. 2002. Biologi Perkembangan Burung Maleo (Macrocephalon
maleo Sall Muller;1846) yang ditetaskan secara Ex-Situ. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. White, C.M.N. dan M.D. Bruce., 1986. The Bird of Wallacea. B.O.U. Check list
7. British Ornitologist Union. Whitten, A.J., M, Mustopa. dan G.S. Anderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta Zieren. M. 1985. Maleo Birds (Macrocephalon maleo) in Dumoga Bone National
Park. An analysis of habitat suitability of nesting grounds. Mimegraphed Report, Agricult. University of Wageningen.
Lampiran 1 Hasil Penilaian Kondisi Fisik Lokasi Bertelur di Kabupaten Mamuju
Keterangan : KP = Kategori Penilaian Pembobotan = 4;baik, 3;sedang, 2;kurang, 1;tidak baik
Kondisi Fisik Pembobotan
No Lokasi bertelur Status
Tipe lokasi
Luas lokasi (m2)
Bentuk lokasi
Tekstur tanah
Jumlah lubang
Dalam lubang (cm)
Jarak dgn pantai (m)
Bobot
Skor KP Keterangan
1 Tobinta Aktif/baru ditemukan
Hutan 20 Oval Kerikil halus 11 40 150 0.30 2 Kurang Lokasi ada karena ada longsoran.
2 Lelo losso Aktif/baru ditemukan
Pantai
500 Persegi Pasirberlempung
10 45 20 0.30 2 Kurang
3 Tambung Tangnga Aktif/baru ditemukan
Pantai 500 Persegi Pasirberlempung
40 55 40 0.30 3 Sedang
4 Koloe Aktif Pantai 600 Persegi Pasirberlempung
32 60 20 0.30 3 Sedang
5 Lemo Aktif Pantai 600 Persegi Pasirberlempung
31 60 20 0.30 3 Sedang
6 Pambua Aktif Pantai 1000 Persegi Pasirberlempung
25 55 100 0.30 4 Baik
7 Bambamata Aktif Pantai 25 Bulat Pasirberlempung
1 30 50 0.30 1 Tdk baik Lokasi sangat kecil
8 Kasoloang Aktif Pantai 200 Bulat Pasirberlempung
18 50 50 0.30 3 Sedang
9 Randomayang Aktif Pantai 100 Bulat Lempungberpasir
1 30 100 0.30 1 Tdk baik Tdk terdapat jejak Maleo
10 Kayumoloa Aktif Pantai 50 Persegi Lempung 2 40 10 0.30 1 Tdk baik Tdk terdapat jejak Maleo
11 Tanjung Tambue Aktif Pantai 150 Oval Pasirberlempung
60 50 20 0.30 2 Kurang
12 Padongga Aktif Pantai 50 Persegi Lempungberpasir
9 50 < 10 0.30 1 Tdk baik
13 Belang-belang Aktif Pantai 40 Bulat Pasirberlempung
7 50 10 0.30 1 Tdk baik Tdk terdapat jejak Maleo
14 Barang-barang Aktif/baru ditemukan
Pantai 20 Bulat Lempungberpasir
3 65 30 0.30 2 Kurang Lokasi sangat kecil
15 Malasigo Aktif/baru ditemukan
Pantai 500 Persegi Lempungberpasir
5 30 20 0.30 2 Kurang
16 Tambung Aktif/baru ditemukan
Pantai 450 Oval Lempung 1 20 100 0.30 1 Tdk baik Tdk terdapat jejak Maleo
17 Tapanduli Aktif/baru ditemukan
Pantai 100 Persegi Lempungberpasir
30 60 15 0.30 2 Kurang
18 Udung Butung Aktif/baru ditemukan
Pantai 1000 Persegi Lempungberpasir
74 55 50 0.30 3 Sedang
Lampiran 2 Hasil Penilaian Gangguan di Lokasi Bertelur di Kabupaten Mamuju
Keterangan : KP = Kategori Penilaian Pembobotan = 4;tidak ada, 3;kurang, 2;sering, 1;aktif
Gangguan Pembobotan No
Lokasi bertelurKehadiran manusia Pengambilan telur Bentuk gangguan Frekuensi
gangguan Predator Bobot Skor KP
1 Tobinta Ya Ya Jalan, tapak Sering Anjing 0.30 2 Sering2
Lelo Losso Ya Ya Penebangan bakau Aktif Biawak, Elang 0.30 2 Sering3 Tambung Tangnga
Ya Ya Aktivitas pemancingan Sering Biawak, Elang 0.30 3 Kurang
4 Koloe Ya Ya - Kurang Babi hutan, Biawak 0.30 3 Kurang5 Lemo Ya Ya - Kurang Babi hutan, Biawak
0.30 3 Kurang
6 Pambua Ya Ya - Kurang Biawak 0.30 2 Sering 7 Bambamata Ya Ya Jalan Sering Anjing, Biawak 0.30 1 Aktif
8 Kasoloang Ya Ya Jalan Sering Anjing 0.30 2 Sering 9 Randomayang Ya Ya Pertanian, jalan, menangkap
Maleo Sering Anjing, Biawak 0.30 1 Aktif
10 Kayumoloa Ya Ya Pertanian, nelayan Sering Anjing, Biawak 0.30 1 Aktif11 Tanjung Tambue
Ya Ya Pertanian, jalan Kurang Anjing, Biawak 0.30 2 Sering
12 Padongga Ya Ya Penebangan pohon,pembuatan tambak
Sering Biawak, Elang,Monyet Dare,
0.30 1 Aktif
13 Belang-belang Ya Ya Jalan, pemukiman, suara chain-saw, tempat rekreasi.
Sering Anjing, Biawak 0.30 2 Sering
14 Barang-barang
Ya Ya Perkebunan, jalan Sering Biawak 0.30 2 Sering 15 Malasigo Ya Ya Jalan, pemukiman Aktif Anjing, Biawak 0.30 1 Aktif
16 Tambung Ya Ya Pembuatan tambak Sering Anjing, Biawak 0.30 1 Aktif17 Tapanduli Ya Ya Jalan, suara mesin chain-saw Sering Anjing, Biawak 0.30 2 Sering18 Udung Butung Ya Ya Pertanian, jalan, jebakan Kurang Anjing, Biawak,
Elang 0.30 2 Sering
Lampiran 3 Hasil Pembobotan Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur di Kabupaten Mamuju
Pembobotan No
Lokasi bertelurLuas lokasi (m2)
Tutupan vegetasi
(%) Jenis vegetasi
Bobot Skor KP
1 Tobinta 20 20 Cleome ruditidosperma, Lantana camara, Calopogonium sp, Mimosa pudica 0.20 3 Kurang2
Lelo Losso 500 75 Calopogonium sp, Coenea aquatica, Commelina nud F, Cyperus rotundus, Elettariopsis curtisii.
0.20 2 Sbg tertutup
3 Tambung Tangnga 500 75 Calopogonium sp, Coenea aquatica, Commelina nud F, Cyperus rotundus 0.20 2 Sbg tertutup
4 Koloe 600 50 Imperata cilindrica, Lantana camara, Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
5 Lemo 600 60 Imperata cilindrica, Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
6 Pambua 1000 50 Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
7 Bambamata
25 50 Piper adumcum, Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
8 Kasoloang 200 75 Mimosa pudica, Coenea aquatica 0.20 3 Kurang9 Randomayang 100 95 Cyperus rotundus, Commelina nud F, Lantana camara, Mimosa pudica, Piper
adumcum 0.20 1 Tertutup
10 Kayumoloa 50 80 Ipomoea pes-caprae, Coenea aquatica, calopogonium sp, Purtulaca oleraceae, Lantana camaraCyperus rotundus
0.20 1 Tertutup
11 Tanjung Tambue
150 60 Lantana camara, Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
12 Padongga 50 10 Imperata cilindrica, Lantana camara, Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
13 Belang-belang 40 75 Ipomoea pes-caprae, Lantana camara, Piper adumcum. 0.20 2 Sbg tertutup
14 Barang-barang
20 50 Commelina nud F, Piper adumcum 0.20 3 Kurang15 Malasigo 500 70 Imperata cilindrica, Cyperus rotundus, Lantana camara, Purtulaca oleraceae,
Coenea aquatica 0.20 2 Sbg tertutup
16 Tambung 450 95 Lantana camara, Purtulaca oleraceae, Emilia sonchifolia, Cleome ruditidosperma. 0.20 1 Tertutup17 Tapanduli 100 60 Piper adumcum, Coenea aquatica, Lantana camara 0.20 2 Sbg tertutup
18 Udung Butung 1000 80 Lantana camara, Cleome ruditidosperma 0.20 3 Kurang
Keterangan : KP = Kategori Penilaian Pembobotan = 4;bersih, 3;kurang, 2;sebagian tertutup, 1;tetutup
Lampiran 4 Hasil Pembobotan Akses Lokasi Bertelur Maleo Senkawor di Kabupaten Mamuju
Keterangan : KP = Kategori Penilaian Pembobotan = 4;bebas, 3;terbatas, 2;terganggu, 1;tidak ada akses
Akses Keberadaan pemukiman
terdekat Jumlah Maleo (ekor) Pembobotan
No Lokasi bertelur
Jarak (m)
Jumlah (KK)
Jarak hutan
(m) Akses menuju lokasi
bertelur Survey Masyarakat Literatur (tahun) Bobot Skor KP
Keterangan
1 Tobinta 30 10 0 > 50% dikelilingi hutan 2 2 - 0.20 4 Bebas Pelelangan ikan 2 Lelo Losso - - 0 > 50% dikelilingi hutan - 2 - 0.20 4 Bebas 3 Tambung
Tangnga - - 0 > 50% dikelilingi hutan 4 4 - 0.20 4 Bebas
4 Koloe - - 0 > 50% dikelilingi hutan - 6 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20
4 Bebas
5 Lemo - - 0 > 50% dikelilingi hutan 4 6 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 4 Bebas
6 Pambua - - 0 > 50% dikelilingi hutan - 8 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 3 Terbatas
7 Bambamata 400 23 50 25 – 50 % dikelilingi hutan - - 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 3 Terbatas
8 Kasoloang 750 10 0 25 – 50 % dikelilingi hutan - 4 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 3 Terbatas
9 Randomayang 100 7 750 Terpisah oleh areal pertanian & perkebunan
- 2 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 1 Tdk adaakses
10 Kayumoloa 500 50 200 25 – 50 % dikelilingi hutan - 2 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 2 Terganggu
11 Tanjung Tambue 1500 50 0 25 – 50 % dikelilingi hutan - 4 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 3 Terbatas
12 Padongga - - 1000 Terpisah oleh tambak - 6 1-10 (Butchart & Baker, 2000)
0.20 1 Tdk adaakses
13 Belang-belang 50 25 10 Terpisah oleh jalan - 2 7 (Mallombasang, 1995)
0.20 1 Tdk adaakses
14 Barang-barang 100 10 100 Terpisah oleh jalan dan perkebunan
2 2 - 0.20 1 Tdk adaakses
15 Malasigo 10 5 30 Terpisah oleh jalan - 2 - 0.20 2 Terganggu Pertambangan, Pelabuhan
16 Tambung 150 15 500 Terpisah oleh tambak - 2 - 0.20 1 Tdk ada akses
17 Tapanduli 200 10 30 Dibatasi oleh perkebunan kelapa
8 0.20 3 Terbatas
18 Udung Butung 100 10 0 > 50% dikelilingi hutan 10 0.20 3 Terbatas
Lampiran 5 Pengelompokan Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Berdasarkan Karakteristik Wilayah
Karakteristik Lokasi Bertelur
No Lokasi bertelur Koordinat 1 2 3 4 5 6 7
1 Tobinta 01o57’53.3”S 119o19’44.3”E 2 Lelo Losso 01o57’47.4”S 119o16’23.9”E 3 Tambung Tangnga 01o57’05.7”S 119o16’42.9”E 4 Koloe 01o21’44.4”S 119o19’21.6”E 5 Lemo 01o22’13.8”S 119o18’41.7”E 6 Pambua 00o52’50.3”S 119o32’07.3”E 7 Bambamata 00o59’54.3”S 119o28’52.7”E 8 Kasoloang 01o00’33.6”S 119o28’40.7”E 9 Randomayang 01o03’15.8”S 119o28’12.0”E 10 Kayumoloa 01o05’47.1”S 119o26’46.8”E 11 Tanjung Tambue 01o09’37.6”S 119o22’48.7”E 12 Padongga 01o17’27.5”S 119o18’53.3”E 13 Belang-belang 02o27’51.2”S 119o07’38.2”E 14 Barang-barang 02o28’59.5”S 119o06’51.9”E 15 Malasigo 02o28’57.6”S 119o07’07.6”E 16 Tambung 02o34’44.7”S 119o01’58.5”E 17 Tapanduli 02o40’20.6”S 118o47’20.3”E 18 Udung Butung 02o48’02.6”S 118o45’43.0”E Keterangan :
1. lokasi bertelur dengan tanggul pelindung 2. lokasi bertelur dengan vegetasi mangrove 3. lokasi bertelur dengan hutan dataran rendah 4. lokasi bertelur dengan hutan berbukit 5. lokasi bertelur di perkebunan perseorangan 6. lokasi bertelur diantara semak tinggi 7. lokasi bertelur diguguran tanah tebing
Lampiran 6 Profil Lokasi Bertelur Berdasarkan Karakteristik Wilayah
Lokasi Bertelur dengan Tanggul Pelindung
Lokasi Bertelur dengan Vegetasi Mangrove
Lokasi Bertelur dengan Hutan Dataran Rendah Lokasi Bertelur dengan Hutan Berbukit
Lokasi Bertelur di Perkebunan Perseorangan
Lokasi Bertelur di Antara Semak Tinggi
Lokasi Bertelur di Guguran Tanah Tebing
Lampiran 7 Hasil Penilaian Aspek Sosial di Lokasi Bertelur di Kabupaten Mamuju Jenis
kelamin Pendidikan No
Lokasi bertelurKepala
keluarga (KK)
Responden (org)
Umur (thn) LK PR < SD SD SMP SMU Lainnya
Pekerjaan
1 Tobinta 300 42 21-65 34 8 8 14 15 5 Nelayan, Berkebun, Bertani, Guru, Pelajar, Karyawan
2
Lelo Losso sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda
3 Tambung Tangnga
sda
sda sda sda sda
sda sda
sda
sda sda
4 Koloe 21 29-67 12 9 10 5 3 3 - Nelayan, Berkebun, Guru,Berburu telur Maleo
5 Lemo sda sda sda sda sda
sda sda
sda
sda sda
6 Pambua 65 30 20-53 21 9 17 7 2 3 1 (SPG) Nelayan, Bertani,Berladang, Pekerja tambak, Guru
7 Bambamata
55 20 18-65 14 6 10 5 2 3 - Nelayan, Berladang, Bertani
8 Kasoloang 25 23 16-53 17 6 9 6 5 2 1 (SPG) Nelayan, Berkebun, Bertani, Guru, Pedagang
9 Randomayang
15 15 20-65 11 4 6 4 5 - - Nelayan, Bertani
10 Kayumoloa
95 30 20-57 21 9 13 11 2 4 - Nelayan, Bertani
11 TanjungTambue
62 32 21-60 24 8 17 8 4 1 2 (D3,SPG)
Nelayan, Pekerja tambak, Bertani, Guru
12 Padongga 55 35 17-65 20 15 20 10 4 1 Berladang, Nelayan
13 Belang-belang 20 20 21-40 12 8 2 0 6 8 4 (SPG,D3, S1)
Nelayan, Karyawan, Pedagang
14 Barang-barang
30 22 22-40 16 6 10 10 2 - - Nelayan
15 Malasigo 30 26 25-37 19 7 7 10 9 - - Nelayan, Berladang
16 Tambung 57 16 14-40 11 5 10 2 2 2 - Nelayan, Berladang, Bertani
17 Tapanduli 30 30 12-63 17 13 16 8 6 - - Nelayan, Bertani, Berladang
18 Udung Butung 76 53 17-57
40 13 20 15 11 7 - Nelayan, Bertani, Berladang
Jumlah 915 415 289 126 175 115 78 39 8
Lampiran 8 Sikap dan Perilaku Masyarakat Terhadap Maleo Senkawor
Lokasi Bertelur Pemanfaatan Telur Keistimewaan Telur No Dijual
Dimakan Disimpan Lainnya Rasa Aroma Ukuran Lainnya Pengunaan Lain
1 Tobinta √ √ √ - √ √ √ Tahan lama, mudah didapat, bisa dijual pernikahan, Malulid, Sunatan, Neuri.
2
Lelo Losso √ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, diperoleh gratis, bisa dijual pernikahan, Malulid, Sunatan, Neuri.
3 Tambung Tangnga √ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, diperoleh gratis, bisa dijual pernikahan, Malulid, Sunatan, Neuri.
4 Koloe - √ √ - √ √ √ Tahan lama, gratis Hiasan, pernikahan, Maulid.
5 Lemo - √ √ - √ √ √ Tahan lama, gratis Hiasan, pernikahan, Maulid.
6 Pambua √ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
7 Bambamata
√ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
8 Kasoloang √ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
9 Randomayang
√ √ √ - √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
10 Kayumoloa √ √ √ - √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
11 Tanjung Tambue
√ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
12 Padongga - √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama Pernikahan, Maulid
13 Belang-belang - √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama Pernikahan, Maulid
14 Barang-barang
√ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
15 Malasigo √ √ √ Oleh-oleh √ √ √ Tahan lama, bisa dijual Pernikahan, Maulid
16 Tambung √ √ √ - √ √ √ Tahan lama, mudah didapat, bisa dijual Pernikahan, Maulid
17 Tapanduli - √ - - √ √ √ Tahan lama, mudah didapat, bisa dijual -
18 Udung Butung - √ - - √ √ √ Tahan lama, mudah didapat, bisa dijual -
Lampiran 9 Pemahaman Masyarakat Terhadap Maleo Senkawor No Lokasi
Bertelur Maleo Satwa Dilindungi
Kegiatan yang diperbolehkan Pemerintah
Penyuluhan Taksiran Jumlah Maleo
Endemik dan Terancam Punah
Ya Tidak Pernah Tdkpernah
Tahu Tidaktahu
Tidak peduli 1 Tobinta √ - Mengambil telur, memelihara
Maleo - √ Sedikit - √
2
Lelo Losso √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit - √
3 Tambung Tangnga √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit - √
4 Koloe - √ Mengambil telur Maleo - √ Sedikit - √5 Lemo - √ Mengambil telur Maleo - √ Sedikit - √6 Pambua √ - Mengambil telur, memelihara
Maleo √ - Banyak √ √
7 Bambamata - √ Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit sekali - √ √
8 Kasoloang - √ Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit - √
9 Randomayang - √ Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit sekali - √
10 Kayumoloa - √ Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit sekali - √
11 Tanjung Tambue - √ Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit - √
12 Padongga √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit sekali - √ √
13 Belang-belang √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit sekali - √
14 Barang-barang √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit sekali - √
15 Malasigo √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sudah tdk ada - √ √
16 Tambung - √ Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sudah tdk ada - √ √
17 Tapanduli √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
- √ Sedikit - √
18 Udung Butung √ - Mengambil telur, memelihara Maleo
√ - Sedikit - √
Lampiran 10 Tally Sheet Kondisi Lokasi Bertelur Maleo Senkawor I. SURVEI DATA KONDISI FISIK LOKASI BERTELUR MALEO SENKAWOR Survey : Nama lokasi :
Hari & Tanggal : Lokasi peta :
Titik koordinat : Cuaca :
Ketinggian : Keterangan :
1. Status Lokasi Bertelur Maleo senkawor Digunakan ____
Ditinggalkan ____
Lainnya _____
2. Tipe lokasi : Lokasi bertelur tepi pantai.
Lokasi bertelur di pedalaman hutan.
3. Luas lokasi _________, panjang ______, lebar ______ Bentuk : persegi, bulat, oval
4. Tekstur tanah :
Pasir Lempung berkilat Pasir berlempung Lempung liat berpasir
Lempung berpasir Lempung liat berdebu
Lempung Liat berpasir
Lempung berdebu Liat berdebu
Debu Liat
5. Kedalaman lubang peneluran ______ cm 6. Jumlah lubang peneluran _____ 7. Jarak lokasi bertelur dengan bibir pantai ______ m
Foto Kondisi Fisik Lokasi Bertelur Maleo senkawor
II. SURVEI DATA AKSES LOKASI BERTELUR MALEO SENKAWOR 1. Keberadaan pemukiman terdekat :
Ya
Tidak
Jika ya, :
a) jarak terdekat dengan lokasi bertelur ______
b) jumlah pemukiman menuju lokasi bertelur _____
c) jumlah kepala keluarga _____
d) lainnya _____
2. a) Jarak terdekat dengan hutan _____
b) Akses menuju lokasi bertelur
lokasi dikelilingi > 50% hutan ______
lokasi dikelilingi 25 - 50% hutan ______
lokasi dikelilingi < 25 % hutan
lokasi terpisah dari hutan oleh ______
3. Jumlah pasang induk yang mengunjungi lokasi bertelur : _____
Sumber data : survey dari masyarakat literatur tahun ….
Foto Akses Lokasi Bertelur Maleo senkawor
III. SURVEI DATA INVASI VEGETASI SEKUNDER LOKASI BERTELUR MALEO SENKAWOR
1. Jenis spesis vegetasi invasif :
Lantana camara _____ Piper adumcum _____ Imperata cylindrica _____ Ipomoea pes-caprae _____ Spinifex lithorea ______ Lainnya _____
2. Luas tutupan lokasi oleh vegetasi sekunder ______
Luas lokasi bertelur ______ Persentase _____
Foto Invasi Vegetasi Sekunder di Lokasi Bertelur Maleo senkawor
IV. SURVEI DATA GANGGUAN DI LOKASI BERTELUR MALEO SENKAWOR 1. Kehadiran manusia :
Ya
Tidak
2. Bentuk gangguan manusia : Pertanian
Jalan/tapak
Jebakan
Lainnya : ________
4. Frekuensi gangguan : Tidak ada
Kurang
Sering
Aktif
Keberadaan predator di sekitar lokasi bertelur
Anjing ___
Biawak ____
Elang ____
Soa-soa ____
Ular sanca ____
Lainnya ______
Foto Gangguan di Lokasi Bertelur Maleo senkawor
Lampiran 11 Kuesioner Aspek Sosial Masyarakat di Sekitar Lokasi Bertelur Maleo Senkawor
Terima kasih atas kesediaan Saudara untuk mengisi lembar kuesioner ini, adapun kuisioner ini untuk kepentingan penelitian thesis (S2) dan tidak akan mempengaruhi status Saudara. Hasil kuesioner ini kami rahasiakan untuk kepentingan penelitian, jadi kami mohon saudara menjawab pertanyaan dengan singkat dan benar. Bila ada pertanyaan yang tidak saudara pahami bisa ditanyakan kepada Saya.
I. IDENTITAS DIRI
1. Umur : Laki- laki 2. Jenis Kelamin* : Perempuan
3. Pendidikan* : Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Lainnya, sebutkan ……… 4. Pekerjaan :
* beri tanda jawaban yang dianggap paling benar!
II. LINGKUNGAN TERDEKAT DENGAN LOKASI BERTELUR
Beri tanda jawaban yang dianggap paling benar !
1. Apakah Anda pernah melihat Maleo senkaworbaru-baru ini di lokasi bertelur ?
Ya Tidak
Jika jawaban Anda Ya, lanjutkan ke pertanyaan nomor 2 dan seterusnya ! Jika jawaban Anda Tidak, stop menjawab nomor selanjutnya, dan langsung menuju ke bagian IV. Pemahaman Masyarakat terhadap Maleo senkawor.
2. Apakah di lokasi bertelur masih ada telur yang diperoleh ? Ya, : sedikit (kurang dari 10 butir) banyak (lebih dari 10 butir) Tidak
3. Apakah Anda tahu kapan musim bertelur Maleo senkawor ?
Ya, bulan ...... Tidak tahu
4. Apakah pekerjaan yang setiap hari Anda kerjakan ? (jawaban Anda boleh lebih dari
satu) Berkebun Pedagang Pelajar Berladang Penjaga warung Pensiunan Bertani Guru Bekerja di tambak Nelayan Pegawai negeri Lainnya, sebutkan ……
5. Apakah Anda juga bekerja dengan mengumpulkan telur Maleo senkawor ? Ya Tidak
Jika jawaban Anda Ya, lanjutkan ke pertanyaan nomor berikutnya ! Jika jawaban Anda Tidak, stop menjawab nomor selanjutnya, dan langsung menuju ke bagian IV. Pemahaman Masyarakat terhadap Maleo senkawor.
Jika Ya, Apakah mengumpulkan telur Maleo senkawor merupakan kegiatan sehari-hari Anda ?
Ya Tidak
6. Sebutkan waktu telur Maleo senkawor dicari dan dikumpulkan ?
Setiap hari Seminggu sekali Sebulan sekali Lainnya, sebutkan …..
III. SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT 1. Apa yang dilakukan dengan telur yang diperoleh?
Dimakan Disimpan Dijual Diberikan kepada keluarga jauh sebagai oleh-oleh khas daerah Lainnya, sebutkan ……
2. Jika dijual, kepada siapa, di mana dan berapa banyak/harganya?
Dijual ke : Pasar Tetangga Orang yang selalu membeli telur Maleo senkawor untuk dijual lagi (penadah) Kota
Dijual di :
Pasar Tetangga Kota
Dijual dengan harga Rp ….. 3. Apakah Anda pernah membeli telur Maleo senkawor ?
Ya Tidak
4. Apakah Anda juga menangkap induk Maleo senkawor ?
Ya Tidak
Jika ya, untuk apa? (untuk pertanyaan ini, jawaban boleh lebih dari satu) Dimakan Dijual Disimpan Dipelihara Lainnya, sebutkan ……
7. Apa keistimewaan telur Maleo senkawor ? (jawaban boleh lebih dari satu)
Rasanya enak Bau/aromanya enak Mudah diperoleh Ukurannya besar Didapat secara gratis Lainnya, sebutkan ………
8. Apakah telur Maleo senkawor digunakan pada acara adat tertentu ?
Ya, digunakan untuk acara ……… Tidak
IV. PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP MALEO SENKAWOR 1. Apakah menurut Anda, Maleo senkawor adalah binatang yang dilindungi oleh
Pemerintah ? Ya Tidak
2. Menurut Anda, berapa kira-kira jumlah Maleo senkawor di Kabupaten Mamuju ?
Sangat banyak Banyak Sedikit Sedikit sekali Sudah tidak ada
3. Apakah pernah aparat Pemerintah memberi penyuluhan tentang Maleo senkawor ?
Ya Tidak Tidak Tahu
4. Menurut Anda, kegiatan apa yang diperbolehkan oleh Pemerintah ?
Mengambil telur Maleo senkawor Menjual telur Maleo senkawor Menangkap Maleo senkawor Memelihara Maleo senkawor Memakan telur dan Maleo senkawor Semuanya tidak boleh dilakukan
5. Menurut Anda, Maleo senkawor tersebar dan hidup dimana saja ?
Seluruh dunia Indonesia Sulawesi Mamuju Hanya di sekitar tempat tinggal Anda
Terima Kasih
Lampiran 12 Tally Sheet Pembobotan Lokasi Bertelur Maleo Senkawor Survey : Nama lokasi :
Hari & Tanggal : Lokasi peta :
Titik koordinat : Cuaca :
Ketinggian : Keterangan :
Atribut Bobot Skor Nilai
Kondisi 0.30 Gangguan 0.30 Invasi vegetasi 0.20 Akses 0.20
Total Keterangan Skor : 1 – 4 Total nilai :
> 3.00 : Baik 2.01 – 3.00 : Sedang 1.01 – 2.00 : Buruk 1.00 : Sangat Buruk
Foto keadaan lokasi bertelur Maleo senkawor