tesis perkawinan beda agama
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
1/135
ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN
DI LUAR NEGERI
TESIS
OLEH :
MARIS YOLANDA SOEMARNO
NIM. 087011010
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,2009
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
2/135
ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN
DI LUAR NEGERI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatanpada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
MARIS YOLANDA SOEMARNO
NIM. 087011010
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
3/135
Telah diuji pada
Tanggal: 30 Desember 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
2.
Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum.
3. Prof. Budiman Ginting, SH.,M.Hum.
4. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
4/135
ABSTRACT
Phenomenon of different religion marriage is not a new thing in Indonesia although
the Marriage Act No. 1 of 1974 did not regulate the marriage with one of the couple
has a different religion. While all of recognized religion in Indonesia did not permit
the marriage if both of bride and bridegroom have different religion. In this condition
there is a law vacancy for them who will do a marriage. There are any alternative for
them to marriage by do the marriage in abroad or one of party embrace one the
religion. But there is a problem when both of couple return to Indonesia. He
marriage regulation in Indonesia requires a recording of the marriage either in
Indonesia or in abroad. The registration cause a new issue whether the marriage in
abroad can recognize as the legal marriage in Indonesia.
The problem in this thesis in what the position of different religion marriage in law
system in Indonesia, what the registration of different religion marriage held inabroad and what the law consequences of the different religion marriage that did not
registered in the Vital Statistic office. This research applies normative juridical
method to study the regulations and the jurisdiction. As a normative law research, he
data collecting method in this study is a library research and field research by
interview ot the respondents, i.e. Dra. Susi Rasida, a Marriage and Divorce division
of Vital statistic office of Medan.
The results of research indicates that one of alternative for the different religion
marriage is held a marriage in abroad. The marriage in abroad must be registered
at the Vital Statistic office to get a legal adinistartio. But the marriage statement must
indicates that this statement is not a marriage certificate. The registration ofmarriage did not means that the marriage is legal according to the Indonesia law.
The registration only as an administartion requirement and provide the status for the
society living. The marriage has not yet registered is illegal marriage and the child of
the marriage only has a civil case to his/he mother and not onn inheritance.
Keywords : The different religion marriage, Held in abroad
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
5/135
ABSTRAK
Fenomena perkawinan beda agama bukan hal yang baru di Indonesia, meskipun Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon
suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Sementara seluruh agamayang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jikakedua calon berbeda agama. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum bagi pihak
yang ingin melakukan perkawinan. Beberapa cara yang dilakukan sebagai alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di
luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Namunterjadi permasalahan ketika kedua pasangan kembali ke Indonesia. PengaturanPerkawinan di Indonesia mewajibkan adanya pencatatan bagi perkawinan, baik yang
dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Adanya pencatatan menimbulkan kembali persoalan apakah perkawinan yang telah dilangsungkan di luar negeri dapat disebut
sebagai perkawinan yang sah di Indonesia.
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimanakedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia, bagaimanakah
pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri danBagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatifterutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan.
Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan Penelitian
lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu ibuDra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan dan CatatanSipil Kota Medan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa salah satu cara yang dilakukan pasangan bedaagama adalah melakukan perkawinan di luar negeri. Perkawinan yang dilakukan di luar
negeri harus dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mencatatkanadministrasi peristiwa hukum yang dilakukannya.Namun Surat Pelaporan Perkawinan itudituliskan dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan merupakan Akta
Perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan tidak berarti bahwa perkawinan itu sahmenurut hukum Indonesia. Pencatatan hanya merupakan pemenuhan kewajiban
administrasi dan memberikan status dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan yang tidakdicatatkan berakibat perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan tidak berhak atas harta warisan.
Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Dilangsungkan Di Luar Negeri
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
6/135
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,
yang telah memberikan Rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul “Analisis Atas Keabsahan
Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri.”
Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk menyelesaikan sutudi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU. Akan
tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus
dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh
keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.
Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan
terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A (k) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah begitu
sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis lebih
baik lagi.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
7/135
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
sekaligus dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan dan
dorongan kepada penulis.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
sekaligus dosen pembimbing III, yang telah banyak membantu Penulis dalam hal
memberikan bimbingan, petunjuk, saran-saran, dorongan dan semangat untuk
kesempurnaan tulisan ini.
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang
telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.
6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn, selaku dosen penguji yang selalu
memberi perhatian, dorongan, dukungan arahan dan masukan kepada penulis.
7. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Soemarno Wagiman dan
ibunda Is Farida F. Miharja, SH, yang telah membesarkan dengan penuh kasih
sayang dan pengorbanan dalam dukungan moril dan finansial kepada ananda,
serta do’a restunya sehingga ananda dapat melanjutkan dan menyelesaikan
pendidikan Strata II (S-2) Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
8/135
9. Buat suami tercinta, AKP. Thelly Iskandar Muda, Sik, dan anak-anakku
tersayang Teuku Kenzie Revano Azriel Iskandar dan Cut Keysha Fayyaza
Kareska Iskandar, terima kasih yang tulus buat doa, semangat, sayang, cinta dan
tempat untuk berbagi. Semoga kita bisa lebih baik lagi dalam segala hal.
I love u all........
10. Buat adikku tersayang Yogi Soemarno, Cut Cempaka dan buat keponakanku
yang lucu, Keanu ........ terima kasih atas doa dan dukungannya.
11. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, khususnya untuk kelas reguler khusus, terima kasih
atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memberi semangat dalam
menyelesaikan tesis ini.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis
menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalam
Medan, November 2009
Penulis
(Maris Yolanda Soemarno)
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
9/135
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Maris Yolanda Soemarno
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 16 Januari 1980
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Soemarno Wagiman
Nama Ibu : Is Farida F. Miharja, SH
III. PEKERJAAN
Wiraswasta
IV. PENDIDIKAN
1. SD : SD Swasta Pertiwi Medan
2. SMP : SMP Negeri VI Medan
3. SMA : SMU swasta Harapan Medan
4. S – 1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara
5. S – 2 : SPs USU Program Magister Kenotariatan (M.Kn)
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
10/135
DAFTAR ISI
ABSTRACT.........................................................................................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...........................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 10
C. Tujuan penelitian................................................................................ 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 10
E. Keaslian penelitian ............................................................................. 11
F. Kerangka Teori dan Konspsi............................................................. 13
1. Kerangka Teori............................................................................. 13
2. Konsepsi....................................................................................... 23
G. Metode Penelitian............................................................................... 24
2. Sifat Penelitian ............................................................................. 24
3. Teknik Pengumpul Data............................................................... 25
4. Alat Pengumpulan Data ............................................................... 26
5. Analisis Data ................................................................................ 27
BAB II KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SISTEM
HUKUM DI INDONESIA
A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-syarat Perkawinan ........................... 29
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,2009
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
11/135
1. Sahnya Perkawinan ...................................................................... 29
2. Syarat Perkawinan........................................................................ 36
B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama dalam Hukum PerkawinanIndonesia ............................................................................................ 38
C. Perbedaan Pandangan tentang Perkawinan Beda Agama .................. 47
1. Pandangan Yang Menyatakan Perkawinan Beda Agama adalahPelanggaran .................................................................................. 48
2. Pandangan yang Membolehkan Perkawinan Beda Agama.......... 51
D. Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Pandangan Agama DiIndonesia ............................................................................................ 63
BAB III PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG
DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI ..................................... 69
A. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 69
B. Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri..................................... 72
1. Alasan Kawin di Luar Negeri ................................................. 72
2. Tata Cara Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri ............... 75
C. Tata Cara Perkawinan Secara Umum .......................................... 86
BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG
DICATATKAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN
CATATAN SIPIL
A. Akibat Hukum Perkawinan Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri ....................................................................................... 99
B. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan ................ 112
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 117
A. Kesimpulan ................................................................................... 117
B. Saran .............................................................................................. 118
DAFTAR PUSTAKA
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,2009
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
12/135
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada hakekatnya setiap manusia secara pribadi selalu ingin mengelompokkan
dirinya dengan sesamanya yang merupakan satu kesatuan sosial, oleh karena dapat
dirasakan bahwa tanpa adanya kebersamaan hidup dalam menghadapi suatu
kenyataan yang timbul dalam masyarakat, akan mengurangi kesempurnaan dalam
roda kehidupan.
Kebersamaan hidup dapat ditempuh dengan melangsungkan perkawinan
antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang akhirnya rumah tangga
tersebut akan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan
dilangsungkannya perkawinan oleh suami dan istri, maka timbullah akibat hukum
bagi suami dan istri. Salah satu akibat hukum itu adalah mengenai harta rumah tangga
menurut KUH Perdata bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan maka dengan
sendirinya harta dalam perilaku mereka menjadi satu kesatuan bulat sebagaimana
yang dimaksud Pasal 119 KUH Perdata.
Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara
relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di
Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa Undang Undang ini telah mengatur
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,2009
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
13/135
semua aspek yang terkait dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur
oleh Undang-undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan
antara seorang laki laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.1
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi
semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam
berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran,2 perkawinan sejenis,
3 kawin
kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang
berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali
berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga
menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang
lintas negara juga pasangan lintas agama.4
Fenomena perkawinan antar-agama bukan hal yang baru di Indonesia.
Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-
Muslim. Ada Nurul Arifin yang kawin dengan Mayong (Katolik). Juga Yuni Shara
yang menikah dengan Henry Siahaan (Kristen). Dan masih banyak yang lain. Tetapi,
1 Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Pionir Jaya, Bandung.1986,
hal. 11.2 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.
3. 3 Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang
dimaksudkan di sini.4 lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk
yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual,
transseksual/transgende
http://aruspelangi.pbwiki.com/Profilhttp://aruspelangi.pbwiki.com/Profil
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
14/135
mereka-mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen.
Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina,
pada awal Tahun 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh
penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan
apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami istri adalah
dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan dari jiwa dari Pasal 27
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “semua warga negara
bersaman dengan kedudukannya dalam hukum”. Di sini warga negara, sekalipun
berlainan agamanya. Kemudian dijelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya
yang memeluk agama yang berbeda.
Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat.
Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi
baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang
negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan
antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan
agama/keyakinan salah satu pihak
Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan
adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Sebagai salah
satu alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
15/135
melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada
salah satu agama. Ketentuan-ketentuan ini disebut sebagai salah satu cara
penyelundupan hukum bagi perkawinan beda agama.5
Apabila diperhatikan dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya pihak yang akan kawin menganut
agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam
Undang-undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan
tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak
lainnya itu.
Walaupun demikian Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak
merumuskan secara jelas perkawinan campuran berdasarkan perbedaanagama. Mengenai nikah siri, pernikahan seperti ini walaupun sah secara
agama tetapi tidak mempunyai bukti karena tidak dicatat dengan kata lain
pernikahan tersebut tidak dilakukan dihadapan pencatat nikah. Dengan
perkawinan seperti ini dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istericenderung banyak merugikan pihak isteri terutama jika terjadi perceraian.
6
Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau
pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan
5 “Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar
Negeri”http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14922&cl=Berita, Zulfa Djoko Basuki
berpendapat perkawinan beda agama di luar negeri lebih sebagai upaya menghindari hukum yangseharusnya berlaku kepada mereka. Yaitu Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan 1974. Perkawinandemikian merupakan "penyelundupan hukum", dan karenanya dapat dibatalkan. perkawinan itu tidak
sah karena tidak memenuhi syarat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak sah menurut hukum
Indonesia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan
administratif.6 Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005), hal. 5.
al. 6.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
16/135
perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari,
terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak
yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan.
Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup hidup bersama
atau hidup tanpa pasangan7 yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya
perkawinan beda-agama.
Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian
hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut Undang-Undang
Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia
dengan Warga Negara Asing, akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat
sering pula disebut sebagai perkawinan campuran.
Undang-undang Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui
perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang
sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan
perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangatmungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang
berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materimungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun
bagaimana yang kond isi ekonominya serba pas-pasan. Tentu ini menimbulkan
suatu masalah hukum.8
Jarwo Yunu mengatakan ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda
agama ini:
1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti
penyelundupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya
7 “Perkawinan Beda Agama”, http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita ,
diakses tanggal 5 Agustus 2009 8 Ibid, hal.6.
http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Beritahttp://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
17/135
menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing
pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak
disarankan.
2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 Kantor
Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.
Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny
Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
Dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan pengajuan
pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Vonny telah tidak
menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus
dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan
menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama
Islam, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan perkawinan tersebut.9
Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bisa
saja terjadi pasangan perkawinan beda agama ini pagi menikah sesuai agama laki-
laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan yang akan menyulitkan
untuk menentukan perkawinan mana yang sah.
9 S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit: CV.
Insani, 2005), hal. 11.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
18/135
Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama pasangan yang akan
menikah mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-
laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab. Ayat Al-Quran
inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid
Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), bahkan
diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim.10
Untuk perkawinan beda agama, mantan Menteri Agama Quraish Shihab
berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam
jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan
agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada
jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap
10 Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalahagama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al
Maidah(5):5,"Pada hari mi dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang^orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.". b. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang,
dengan dasar Al Baqarah(2):222,"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
19/135
menghormati agama pasangannya. "Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk
menjalankan ibadah sesuai agamanya.
11
Pernyataan juga disampaikan Romo Andang Binawan, dosen Sekolah Tinggi
Filsafat Driyakarya. Romo Andang juga menerangkan hukum gereja Katholik
memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non-Katholik
bersedia berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak
bercerai seumur hidup, serta membiarkan pasangannya tetap memeluk Katholik.12
Sudhar Indopa menyatakan bahwa sesungguhnya bukan negara yang
melarang adanya perkawinan beda agama, namun hukum agama. "Negara bukannya
tidak mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang
dari negara melainkan dari hukum agama. Sepanjang tidak ada pengesahan agama,
adalah tidak mungkin Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat sebuah
perkawinan."13
Ditinjau dari hukum Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang
perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, agama-agama lain juga tidak
membolehkan, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan
kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya
11 Salmah Zuhriyah, “Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara”,http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-
negara/, diakses tanggal 5 Agustus 2009.12 Ibid 13 Sudhar Indopa, Perkawinan Beda agama, Solosi dan Pemecahannya, (Jakarta, Penerbit FH
UI, 2006), hal. 5.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
20/135
dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga
ikut hubungan hukum dengan ibunya.
14
Banyaknya masyarakat yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan
Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di
luar negeri berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat
akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya
tidak memperoleh akte lagi dari negara.
Meskipun Undang-undang tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda
agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum Indonesia. Secara
hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah
sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada.
Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan.15
Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk membahas
perkawinan Beda agama, sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul:
Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar
Negeri.
14 Ibid, hal. 615 Ibid, hal. 7
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
21/135
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di
Indonesia ?
2. Bagaimanakah pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar
negeri ?
3. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yaitu ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan kedudukan perkawinan beda agama
dalam sistem hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan pencatatan perkawinan beda agama
yang di langsungkan di luar negeri.
3. Untuk mengetahui memberi penjelasan akibat hukum perkawinan beda agama
yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
22/135
praktis, yakni:
1. Secara Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat sebagai
sumbangsih dalam hukum perdata yang berlaku, umumnya yang mengatur hukum
perkawinan beda agama di Indonesia, khususnya dalam pencatatan perkawinan
beda agama di Indonesia.
2. Secara Praktis
Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat
diterapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum hukum
perkawinan, secara khusus terutama dalam hal pengaturan perkawinan beda
agama di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada perpustakaan
di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan karena telah pernah
dilakukan penelitian sebelumnya mengenai Perkawinan bagi pasangan yang berbeda
Agama, antara lain:
1. Juliani, Tahun 1995, dengan judul: ”Akibat Hukum dari Suatu Perkawinan
yang Tidak Didaftarkan Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 (Suatu
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
23/135
Kajian Lapangan di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh)”dengan
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa yang menjadi faktor penyebab perkawinan tidak didaftarkan?
b. Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan menurut
hukum agama dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974?
2. Julianty, Tahun 2006, dengan judul “Perkawinan yang Dilangsungkan Di
Luar Negeri dan Akibat Hukumnya”, dengan perumusan masalah:
a. Bagaimana akibat hukum terhadap kelalaian pendaftaran perkawinan di
luar negeri ?
b. Bagaimana peranan pendaftaran perkawinan yang dilangsungkan di luar
negeri?
3. Agustina, Tahun 2007, dengan judul ”Perkawinan Antar Agama dan Akibat
Hukumnya (Kajian Putusan MARI No. 1400/K/Pdt/1986) dengan perumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana akibat hukum perkawinan antar agama di Indonesia ?
b. Bagaimana kedudukan perkawinan antar agama dengan lahirnya Putusan
MARI No. 1400/K/Pdt/1986?
Berdasarkan informasi yang ada serta penelusuran kepustakaan khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul "Analisis Atas
Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri”belum
pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, karena itu penelitian ini baik dari segi objek
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
24/135
permasalahan, substansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara
akademis dan ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kalau berbicara dalam hal masalah perkawinan, maka yang menjadi persoalan
yang ramai dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah perkawinan yang sangat
banyak mendapat perhatian. Menurut Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani yang
terkemuka mengatakan manusia yang ingin selalu hidup bersama antara orang yang
satu dengan orang lainnya. Kehidupan bersama ini bisa dalam bentuk keluarga,
masyarakat dan negara, pembentukan suatu keluarga ini harus dilakukan melalui
ikatan perkawinan yang sah.
"Menurut Undang-Undang, Perkawinan adalah suatu persetujuan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh peraturan-peraturan negara dan
bertujuan untuk menyelenggarakan persatuan hidup yang abadi, jadi perkawinan
adalah pertalian yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk waktu
yang lama".16
Perbuatan hukum yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga disebut perkawinan.
Pengertian dari perkawinan menurut Mohammad Idris Ramulyo adalah:
16 Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Penerbit: FT. Pembimbing Masa,
Cetakan 9,1970), hal. 14.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
25/135
Perkawinan adalah perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia yang kekal, dimana antara suami isteri ituharus saling menyantuni, kasih mengasihi, terdapat keadaan aman dan tentram
penuh kebahagiaan baik moral spritual dan material berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.17
Pengertian perkawinan menurut Hazairin adalah: Perkawinan itu adalah
hubungan seksual, tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan
seksual, dan bila tidak ada hubungan seksual antara suami isteri maka tidak perlu ada
tenggang waktu tunggu (iddah) untuk menikah lagi bekas isteri itu dengan laki-laki
lain.18
Menurut R, Subekti secara tegas menyatakan pengertian dari perkawinan ini
adalah: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama.19
Pengertian perkawinan yang secara khusus adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berikut ini: Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga
sejahtera dan bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung
jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang berat
yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.20
17 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.287.18 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1981, hal.61.19 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 23.20 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1987, hal.2.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
26/135
Dari pengertian perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa suatu
perkawinan merupakan perhubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan sebagai suami isteri dalam membentuk suatu kehidupan rumah tangga
yang bahagia, kekal dan abadi dengan berdasarkan kepada kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, dimana dengan adanya perkawinan ini diharapkan memperoleh anak
sebagai sebagai penerus keturunan mereka kelak dikemudian hari.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut
agamanya dan kepercayaannya masing-masing.
Dari rumusan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat
disimpulkan bahwa sahnya tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan
oleh agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. “Ini
berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan
hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan
perkawinan.”21
Sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas bagi
warganegara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan
perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan
21 H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 /1974 sampai KHI, Prenada Media, Jakarta,
2004, hal. 60
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
27/135
yang telah diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Yang masih menjadi persoalan
adalah perkawinan antara mereka yang berbeda agama, sebab pelaksanaan
perkawinan bagi perbedaan agama tidak ada ketentuannya baik dalam undang-undang
perkawinan maupun dalam peraturan pelaksanaannya. Namun dalam prakteknya
perkawinan bagi yang berbeda agama belum diperkenankan di Indonesia. Dengan
melihat ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas maka sebetulnya tujuan diadakan
ketentuan tersebut di atas adalah untuk menghindarkan konflik hukum baik antara
hukum adat, antara hukum agama dan hukum antara golongan.
Dengan demikian apabila terjadi perkawinan antara dua orang yang berbeda
agama maka terlebih dahulu harus diadakan pemilihan agama dan kepercayaan yang
mereka peluk. Tanpa menentukan sikap atas agama dan kepercayaan lebih dulu,
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 tidak mungkin dapat dilakukan perkawinan,
sebab tidak mungkin sekaligus dipergunakan dua ketentuan hukum agama dan
kepercayaan.
Karena bagaimanapun sifat universalnya aturan agama, antara satu dengan
yang lain tentu mempunyai perbedaan-perbedaan kaidah hukum yang mengatur
tatacara, persyaratan dan rukun-rukun yang melandasi upacara perkawinan diantara
agama-agama tadi. Sedangkan penentuan sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh
agama masing-masing. “Oleh karena itu jika terjadi perkawinan di antara dua orang
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
28/135
yang berlainan agama dan kepercayaan mau tidak mau harus menentukan pilihan
salah satu agama dari kelainan agama yang mereka peluk”.
22
Bagi orang yang beragama Islam untuk dapat melaksanakan perkawinan
dengan orang yang berlainan agamanya supaya sah menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1
tersebut harus mengikuti ketentuan-ketentuan tentang perkawinan antar agama seperti
yang telah ditentukan dalam Hukum Islam.
Dalam perkawinan antar agama yaitu perkawinan antara seorang muslim
dengan sorang yang bukan muslim, hukum Islam mengatur sebagai berikut:
a. Bagi seorang pria muslim boleh kawin dengan seorang wanita bukan muslim,
tetapi hanya dikhususkan wanita-wanita yang mempunyai kitab suci selain kitab
suci al-Qur'an, yang diakui oleh Allah (al-Qur'an S. Al-Maidah ayat 5).
Ketentuan di atas menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi
wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), hanya saja harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, antara lain dipenuhinya syarat dan rukun nikah menurut agama Islam
dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Syarat lain yang harus dipenuhi
adalah si suami harus memiliki keyakinan bahwa dia tidak akan murtad atau
berpindah ke agama istri, serta dengan segala upaya bisa menimbulkan rasa
simpati pada agama Islam yang akhirnya nanti bisa membawa istrinya untuk
masuk Islam. Persyaratan ini dibuat agak memberatkan agar tidak sembarangan
22 Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan
Secara Sosiologis Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 83.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
29/135
laki-laki muslim untuk kawin dengan wanita ahli kitab. Tetapi saat ini tidak ada
disebutkan kriteria bagi wanita ahli kitab.
b. Bagi seorang wanita muslim dilarang kawin dengan pria non muslim tanpa ada
perkecualian. (al-Qur'an S. al-Baqarah ayat 221 dan S. al- Muntahanah ayat 10).
Adanya larangan di atas dikarenakan pada umumnya posisi wanita (istri)
sangat tergantung kepada suami. Jika dipaksakan, maka pernikahannya batal dan
tidak sah.
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa sahnya perkawinan adalah ditentukan oleh agama dan
kepercayaannya masing-masing, maka menurut Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengenai tujuan pencatatan ini dalam undang-undang perkawinan tidak
dijelaskan lebih lanjut, hanya di dalam Penjelasan Umum dikatakan bahwa
pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan.
Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat
dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
30/135
bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu,
sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dapat dipakai sebagai
alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah
suatu perbuatan yang lain.
Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan,
tetapi hanya menyatakan bahwa: “Peristiwa perkawinan benar-benar terjadi jadi
semata-mata bersifat administratif.”23
Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan
ini diatur lebih lanjut dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 9.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 beserta
penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut:
a. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah:
1. Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai
Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.
2. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat
yang membuatnya.
b. Tatacara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan:
23 Lies Soegondo, Administrasi Kependudukan dari Aspek Hak Keperdataan, makalah
Konperensi Nasional Pengembangan Pelayanan Publik di Bidang Kependudukan , Mei 2002.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
31/135
1. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 .
2. Ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang
merupakan perlengkapan bagi peraturan pemerintah ini, yaitu:
a) Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk (L.N 1954 No. 98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama
yang berhubungan dengan hal tersebut.
b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen
di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 No. 75 yo.
1936 No. 607 dengan segala perubahannya).
c. Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Cina (Stb. 1917 No. 130 yo. 1919 No.
81 dengan segala perubahannya).
d. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropah yang disamakan (Stb. 1849 No.
25).
e. Daftar Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stb. 1904 No. 279).
Pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam tidak mengatur secara jelas
apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari
pencatatan perkawinan seperti yang telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya
pencatatan perkawinan ini banyak kegunaannya bagi kedua belah pihak yang
melaksanakan perkawinan itu baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam hidup
bermasyarakat. Misalnya dengan dimilikinya akta perkawinan sebagai bukti tertulis
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
32/135
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
33/135
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ini adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum
Islam.
Berpijak atas ketentuan-ketentuan serta penjelasan dari undang-undang
tersebut, perkawinan yang sah harus dibenarkan oleh ajaran/hukum agama
masing-masing calon suami-istri. Kalau ajaran agama yang bersangkutantidak membenarkan, mengapa harus berusaha mencar i-cari alasan sebagai alat
pembenaran agar perkawinannya dapat terlaksana.25
Secara tegas dapat dikatakan, tindakan di atas menyimpang dari apa yang
tersurat maupun yang tersirat dalam pasal-pasal dan penjelasan undang-undang ini.
Jadi, apabila terjadi kawin campur antar agama yang dilaksanakan di Kantor Urusan
Agama, maka perkawinan itu tetap tidak sah. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah
menutup pintu perkawinan antar agama.
Ketentuan yang diterapkan dalam Undang-undang Perkawinan ini, dulu bukan
tanpa melalui pembahasan yang mendalam, bahkan analisisnya dalam berbagai aspek
cukup matang. Mengingat sudah begitu jelasnya mengenai perkawinan tersebut, maka
perkawinan antar agama sama sekali tidak termasuk dalam ketentuan tersebut. Dalam
sejarah hukum perkawinan, memang, kolonial Belanda sama sekali tidak pernah
memperhatikan keterkaitannya dengan ajaran agama. Bagi penjajah Belanda waktu
itu, pemikiran ini dianggap wajar sebab dengan mendasarkan pada Pasal 26 BW,
25 http://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htm
http://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htmhttp://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htmhttp://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htmhttp://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htm
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
34/135
mereka memiliki sikap bahwa perkawinan tidak dapat dihalang-halangi hanya karena
beda agama (keyakinan).
26
2. Konsepsi
Berdasarkan judul yang dibahas, maka penulis membuat konsepsi sebagai
berikut:
1. Analisis atau analisa adalah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah bahasa
guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam. Kamus Umum
Bahasa Indonesia memberikan defenisi analisa: ”Penyelidikan sesuatu
peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-
sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya.”27
2. Keabsahan berarti pengesahan, pengakuan undang-undang terhadap sahnya
perkawinan tersebut.
3. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.28
26 Perkawinan Antar-agama Rawan Penyelundupan Hukum, http://www.kompas.com/
kompas-cetak /0303/31/dikbud/229187.htm27 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka , 1993)
hal. 3928 Lihat Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/31/dikbud/229187.htmhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/31/dikbud/229187.htmhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/31/dikbud/229187.htmhttp://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/31/dikbud/229187.htm
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
35/135
4. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
yang berbeda agama.
5. Luar negeri merupakan wilayah yang berada di luar wilayah Republik
Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan luar negeri sebagai
wilayah asing.29
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji
peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Metode penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
"Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin menyebut metode
penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu
suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book;
maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process." 30
Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang
bersifat kualitatif.
29 W. J. S. Poerwadarminta, Op.Cit, hal. 609.30 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah
Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum
Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
36/135
Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis
antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi
yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang
berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.
"Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat
menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic dimana hal itu
menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang
mendalam atau indepth information." 31
2. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk
mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan
penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang
dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya
ilmiah lainnya.
1. Penelitian kepustakaan ( Library Research). Melalui studi kepustakaan ini, data
yang dikumpulkan adalah data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dan peraturan perundang-undangan lainnya
31 Ibid, hal.2
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
37/135
yang berhubungan dengan obyek penelitian adalah merupakan bahan hukum
primer.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya
ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan
penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder.
c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris,
Indonesia, Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law
yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.
2. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan
nara sumber yaitu pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain
berupa informasi baik dalam bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang
dijadikan sebagai landasan teoritis. Wawancara dilakukan dengan pegawai Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.
3. Alat Pengumpulan Data
Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan
dengan mempergunakan studi dokumen atau studi kepustakaan sebagai alat
pengumpul data. Penelitian Pustaka dimaksud merupakan penelitian bahan hukum
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
38/135
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
39/135
kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis
penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalani dilakukan secara
kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala
permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
40/135
BAB II
KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMADALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-Syarat Perkawinan
1. Sahnya Perkawinan
Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam
kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat
pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat
Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum
perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah menurut :
a. Hukum Adat
Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa
perkawinan33
adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya
secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup
kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu
persekutuan.
b. Hukum positif
33 Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 12
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
41/135
Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian menurut BW).34
Perkawinan menurut agama Islam sendiri adalah suatu proses akad atau ikatan
lahir batin di antara seorang pria dan wanita. Yang menjamin halalnya pergaulan
sebagai suami dan istri dan sahnya hidup berumah tangga. Dengan tujuan untuk
membentuk keluarga sejahtera35
, serta atas dasar suatu kerelaan dan kesukaan kedua
belah pihak dan dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang
sudah diatur oleh agama.36
Undang-Undang Perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan
secara materiil dalam Pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam Pasal 2 ayat (2), maka
secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh
masyarakat Indonesia.37
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagai syarat materil
suatu perkawinan, menentukan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” Dengan
perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
34 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 1982, hal. 3135 Abdurahman Al-Mukaffi, Op. cit36 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press. 1988. Hal. 27-3337 Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang Cemerlang,
Yogyakarta, 2000, hal. 13
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
42/135
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang Perkawinan. Setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya dilaksanakan pencatatan
perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang
berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”
Diberlakukannya Undang-Undang perkawinan yang bersifat nasional ini,
secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi
berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang
bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan
dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya
berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.
Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh
hukum agama, baik Islam, Nasrani (Katholik maupun Protestan), ataupun Hindu dan
Buddha, yang kemudian diserap oleh Undang-Undang perkawinan memperbesar
pergeseran pelaksanaan proses perkawinan.38
38 Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan
Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan shodaqah, Mandar Maju, Bandung,
1997, hlm.12.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
43/135
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
44/135
yang juga memegang teguh hukum adatnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang
yang memberlakukan KUHPerdata terhadap dirinya.
40
Berdasarkan pada kenyataan sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Maka
seperti yang dikemukan Achmad Ichsan, bahwa perlu kiranya pengkajian ulang
terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena masih
berkembangnya pendapat perkawinan itu tidak hanya urusan duniawi tetapi juga
masalah Tuhan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkawinan gereja (kerkelijk
huwelijk ) yang merupakan salah satu contoh perkawinan secara agama yang tidak
dilampirkan di Pencatatan Sipil ( Burgerlijk Stand ) sehingga perkawinan tersebut sah
menurut agama, tetapi tidak sah menurut Undang-Undang terutama pada Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan.41
Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda seperti
contoh yang dikemukakan di atas. Diusahakan adanya Hukum Negara yang
ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum
masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan:
Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubunganyang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur bathin/rokhani juga
mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat
40 Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998. Hal. 28-30.41 Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologi Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. Hal. 19.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
45/135
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.”
Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum
Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi:
“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
maka Undang-Undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip- prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang
hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah
menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum
Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”
Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa
sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan
kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu Undang-
Undang Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum
agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya
persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya
selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut
agama Islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan
syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam agama Islam.42
Begitu pula untuk pemeluk agama lainnya, apabila segala persyaratan yang
timbul dari hukum agama masing-masing terpenuhi, maka hukum negara akan
menguatkan atau mengukuhkan perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan
42 Abdul A’a Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, terjemahan Achmadi Rais, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 34.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
46/135
tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,
yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai
suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib administrasi bagi setiap
perkawinan yang dilangsungkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,
menentukan dalam suatu hukum perkawinan:43
a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa danEropa yang beragama Islam:
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Islam.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagiorang Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yangdiresipir dalam hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata
dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa
berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata. b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Nasrani (Katholik dan Protestan):1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Nasrani (Katholik dan Protestan).3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi
orang Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen,
bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku
hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata.c. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Hindu maupun Budha
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
43 Ibid , Hal. 26-29
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
47/135
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinansesuai dengan agama Hindu maupun Budha.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum adat, bagiTionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya,
bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnyamasing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.
Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan
menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi
akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi permasalahan
ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu44
adanya musyawarah
antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang diberlakukan, sesuai dengan
prinsip keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut Undang-Undang
Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah:
a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dankepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tatatertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon istri, bukan
perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut keduacalon suami istri dan atau keluarganya
45
b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah dari Kantor Catatan Sipil bagi orang non-muslim pribumi
maupun keturunan dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim baik pribumi maupun keturunan.
46
44 Djuhaendah Hasan, Op.Cit . Hal. 60-6245 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hal. 26-27.46 Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hal. 23.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
48/135
2. Syarat Perkawinan
Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2
ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun
formil, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Syarat-syarat perkawinan yang
dimaksud adalah terdiri dari:
a. Syarat Materil (Menurut Undang-Undang Perkawinan)
1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1))
guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;
2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun
sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat
penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21
tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua
orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu
menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih
ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).
3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu
karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan
susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku terdapat suatu larangan. Seseorang yang masih terikat
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
49/135
perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali karena izin
Pengadilan, sesuai Pasal 9.
4. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada
perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan
kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.
5. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan
Pasal 11.
b. Syarat Formil
Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan
perkawinan (Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10
dan 11 Peraturan Pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975.
B.
Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia
Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang
sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung
kesamaan tersebut adalah dalam hal :
1. Subjeknya harus antara pria dan wanita,
2. Timbulnya suatu ikatan,
3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan atau
peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat
suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
50/135
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
51/135
dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan
Perkawinan Campuran/ Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898
Nomor 158 (Gemengde Huwelijken Regeling), beberapa ketentuan tentang
perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:
Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia
Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1): Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.
Pasal 7 ayat (2): Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak
dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.
Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama
bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk
mencegah terjadinya perkawinan.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai
landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal
57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan Pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin. Pasal di atas memuncul beberapa penafsiran yang berbeda yang
mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
52/135
Indonesia. Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit
mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-
muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi
Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu, yaitu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara
laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-
Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun
agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.49
Sedangkan Pasal 44 menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini
secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-
muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-
Kitab.
Selanjutnya Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
49 M.Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, makalah,
http://www.pa-wonosari.net/asset/nikah_beda_agama.pdf, diakses tanggal 30 Oktober 2009.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
53/135
a. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
b. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang
akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan
perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini
menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.
Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan.
Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari negara. Mengenai
sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974.
Dalam penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur
adanya perkawinan beda agama, selanjutnya pada pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing¬masing agamanya
dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama merupakan landasan
filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan
keabsahan perkawinan. Oleh karena dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
54/135
masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan
mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan.
Tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan
Tahun 1974 menagrtikan bahwa Undang-Undang menyerahkan keputusannya sesuai
dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama
yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah
dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah (2):221). Selain itu juga
dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).
Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan
dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Fridolin Ukur, maka: Mereka
dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut
agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada
umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.50
Pendapat berbeda disebutkan Farida Prihatini, yang menyebutkan bahwa
Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, lanjut
Farida, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Itu
50 Zaldi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Agama-Agama,
http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/perkawinan-beda-agama-dalam-perspektif-agama-agama
/,diakses tanggal 20 November 2009.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
55/135
zina.51
Namun di sisi lain larangan ini dianggap sebagai tindakan diskriminatif bagi
pasangan yang ingin menikah.
52
Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara yang lazim ditempuh
pasangan beda agama yang akan menikah.
1. Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapanitulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil.
Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12
Tahun 1983.
2. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama.
Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorangmempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum
agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yangdianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)
menjadi persoalan kembali tentang status perkawinan pertama.
3. Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandanganmenyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah
seorang pasangan 'berpindah agama' sebagai bentuk penundukan hukum.
4. Yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan diluar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya
menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia.53
51 Ibid. 7 52 “Perkawinan Beda Agama dipandang dari Aspek Hak Asasi Manusia”,
http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18/PERKAWINAN_BEDA-AGAMA_DARI_ASPEK_HAK_
ASASI_MANUSIA, Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya
merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia itu
sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama.
Masalah agama merupakan salah satu komponen Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai peraturan perUndang-Undangan tertinggi di
Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dengan tegasmenjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang.
Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama. ecara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidakdiselaraskan dengan peraturan perUndang-Undangan lainnya. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak
Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas
kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan
yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak.53 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 102.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
56/135
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang
beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan
perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di
luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan
dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka akan dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan
tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Tahun
1974 tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan
berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan
perkawinan.54
Permasalahan yang mungkin terjadi, jika ternyata terjadi pemutusan
perkawinan atau cerai. Kalau nanti mau cerai, apakah bisa di Pengadilan Negeri.
Namun kalau luar negerinya ada yang beragama di Kantor Urusan Agama, karena di
luar negeri tidak ada Kantor Urusan Agama. di luar negeri semua perkawinan
dicatatkan di catatan sipil. Kalau beragama Islam, hanya dilakukan mesjid saja karena
tidak ada Kantor Urusan Agama di luar negeri.
Sebagai sebuah peristiwa dalam kehidupan, perkawinan pasangan laki-laki
dan perempuan Warga Negara Indonesia harus dicatatkan. Pentingnya pencatatan
54 Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
57/135
perkawinan bagi pasangan Warga Negara Indonesia semakin dipertegas secara teknis
dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Perkawinan seorang Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia
yang beragama Islam dilakukan dihadapan Kantor Urusan Agama di wilayah domisili
pengantin wanita yang kemudian dikeluarkan akta nikah. Apabila perkawinan
dilaksanakan secara Kristen ataupun agama lainnya, maka perkawinan tersebut harus
didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang kemudian akan
dikeluarkan surat tanda bukti pelaporan perkawinan dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil..
Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri sebagaimana diatur di dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 56 antara 2 orang Warga
Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
perkawinan dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar
ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Ada perbedaan pendapat mengenai status perkawinan beda agama, yaitu:
1. Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaranterhadap Undang-Undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena
itu pernikahan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
-
8/18/2019 Tesis Perkawinan Beda Agama
58/135
2. Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itudapat dilangsungkan, sebab pern