tgs-ilmu tasawwuf1al ghazali

Download Tgs-Ilmu Tasawwuf1Al Ghazali

If you can't read please download the document

Upload: ibeng

Post on 25-Jun-2015

146 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Islam sebagai agama Rahmatan Lil Alamin, memiliki ciri khas tersendiri dari agama-agama lainnya. Khususnya dalam perkembangan ilmu-ilmu keagamaannya, hal ini dapat kita ketahui dari banyaknya ilmu yang dilahirkan dari tokoh Islam bahkan dari luar Islam sendiri banyak sekali yang melakukan pengkajian terhadap Islam baik itu Al Quran ataupun lainnya. Salah satu cabang ilmu yang dilahirkan oleh tokoh Islam adalah tasawwuf yang lebih terkenal dengan tokoh-tokoh sufi, seperti Rabiah Al Adawiyah, Al Ghazali, Syeikh Siti Jenar ataupun lainnya. Dalam makalah ini kami ingin mengkaji salah satu tokoh tasawwuf yaitu imam Al Ghazali beserta karakteristik pemikiran tasawwufnya dan pengaruh yang ditimbulkan dari pemikirannya. Tapi sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya untuk lebih bisa memahami siapa Al Ghazali dan bagaimana karekteristik pemikiran tasawwufnya terbentuk, ada baiknya kita mengenal apa yang dimaksudkan dengan tasawwuf dan perkembangannya sebelum Al Ghazali dilahirkan. Karena bagaimanapun seperti yang dikatakan oleh Hegel menguak sejarah berarti memahami proses manusia menuju tujuan tertentu atau sejarah yang terarah, dan proses ke arah tujuan itu berlangsung secara dialektis1. A. Definisi Tasawwuf Tasawwuf sebagai salah salah satu tipe mistisme, dalam bahasa Inggris disebut dengan sufisme, dan Tasawwuf mulai dipercakapkan sekitar abad ke dua hijriyah yang dikaitkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut Shuff atau wool kasar. Karena bentuknya yang kasar, kain ini digemari oleh para zahid sebagai pakaian sehingga pada masa itu pakaian ini disimbolkan sebagai pakaian kesederhanaan.1 Proses dialektika memungkinkan hal-hal yang rasional dari masa-masa tertentu dikoreksi Francis Fukuyama, The End Of History And The Last Man ; kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal, hal Pendahuluan, Qalam, Jogjakarta, 2003. Cet ketiga.

1

Menghubungkan sufi atau Tasawwuf dengan shuff nampaknya cukup beralasan. Sebab, antara keduanya ada hubungan korelasi yakni antara jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi. Kebiasaan memakai wool kasar juga merupakan karakteristik kehidupan orang-orang shaleh sebelum datangnya Islam,2 sehingga mereka dijiluki dengan sufi yaitu orang-orang yang memakai shuff. Sekelompok muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di madinah pun memakainya, mereka selalu berkumpul di serambi masjid nabi yang disebutkan shuffah. Oleh karena mereka mengambil tempat di serambi masjid itu, maka kelompok itu disebut dengan ahl as-shuffah. Cara hidup saleh yang diperagakan oleh kelompok itu kemudian menjadi pola panutan bagi sebagian umat Islam yang kemudian disebut dengan sufi dan ajarannya dinamai dengan Tasawwuf. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kata tasawwuf berasal dari bahasa yunani yakni sophos yang berarti hikmah atau keutamaan. Menurut pendapat ini , para sufi itu adalah pencari hikmah atau penganut ilmu hakikat.3 Pendapat lain memperkirakan kata sufi berasal dari kata shafa atau shafwun yang berarti bening. Sementara lainnya mengatakan kata sufi berasal dari kata shaff yang berarti barisan, karena para sufi selalu berada pada barisan terdepan dalam mencari keridloan Ilahi.4 Melihat beberapa pendapat diatas, nampaknya kata sufi adalah merupakan gelar semata yang tidak terdapat dalam akar kata bahasa arab, merupakan suatu panggilan kehormatan yang semisal dengan sebutan sahabat.5 Kalau dalam pencarian akar kata Tasawwuf sebagai upaya awal untuk pendefinisian Tasawwuf, ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat, kesulitan serupa ternyata dijumpai pula dalam pendefinisian Tasawwuf sebagai halnya dalam pendefinisian Tasawwuf sebagaimana halnya dalam mendefinisikan filsafat atau mistisme.2 R.A. Nilcholson, The Mystic Of Islam, Kegan Paul, London,1996; juga dapat dilihat dalam Al-Thusi, Al-Luma; Kairo,1960, hlm 40-41. 3 Qomar Khailani, Fi al-Tasawwuf al-Islam, Dar al-maarif, Kairo,1969, hlm 111-113. 4 Mohd. Musthafa Hilmi, al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam, Kairo,1945, hlm 83-85. 5 Al- Qusyairi, Ar-Risalah al- Qusyairiyah, Kairo,1966, hlm 7-8.

2

Kesulitan itu nampaknya berpangkal kepada esensi Tasawwuf sebagai pengalaman rohaniyah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing-masing orang yang mengalaminya mempunyai penghayatan yang berbeda dari orang lain sehingga pengungkapannya juga melalui cara yang berbeda. Maka muncullah definisi Tasawwuf sebanyak orang yang mencoba menginformasikan pengalaman ruhaniyahnya itu. Kesulitan dalam mendefinisikan Tasawwuf tersebut diatas, di samping karena faktor esensi dari pada Tasawwuf, juga karena ciri Tasawwuf yang intuitif subjektif , juga oleh pertumbuhan dan kesenjangan Tasawwuf yang melalui berbagai segmen dan dalam kawasan kultur yang bervariasi. Dalam setiap fase dan kawasan kultur, kemunculan Tasawwuf terlihat hanya sebagian dari unsur-unsurnya saja sehingga penampilan tidak utuh dalam satu ruang dan waktu yang disistematisir satu disiplin ilmu yang disebut dengan Tasawwuf. Satu disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritual yang mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Namun begitu, dari serangkaian definisi yang ditawarkan oleh para ahli,6 ada satu asas yang disepakati yakni Tasawwuf adalah moralitas-moralitas yang berasaskan Islam. Artinya, pada prinsipnya Tasawwuf berarti moral dan semangat Islam, karena seluruh ajaran Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral.7 Meskipun definisi Tasawwuf sangatlah sulit, akan tetapi Ibrahim alBasuni, salah satu dari sekian ahli yang merumuskan Tasawwuf, bisa dikatakan yang paling tepat merumuskannya. Dari definisi yang banyak jumlahnya itu, ia kelompokkan kepada tiga kategori yaitu : 1. Al-Bidayat. Yang dimaksud adalah bahwa prinsip awal tumbuhnya Tasawwuf adalah sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran tersebut mendorong manusia, dalam hal ini orang sufi, untuk6 Menurut koleksi Ibrahim Basuni, ia telah mengumpulkan kurang lebih 40 definisi Tasawwuf sampai ia menulis bukunya, Nas al-Tasawwuf al-Islam, tahun 1969. 7 Al-Quran surat Al-Qolam, ayat 4.

3

memusatkan perhatiannya dalam beribadat kepada Khaliqnya yang dibarengi dengan kehidupan asketisme atau zuhud, dengan tujuan sebagai pembinaan moral. Kecenderungan kepada moralitas itu mendorong mereka untuk mempercakapkan pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya. Dari aspek ini Tasawwuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakikat Allah seraya melupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesenangan duniawi. 2. Al- Mujahadat adalah seperangkat amaliah dan latihan yang keras dengan satu tujuan yaitu berjumpa dengan Allah. Berdasarkan sudut tinjauan ini, Tasawwuf diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh agar berada sedekat mungkin dengan Allah. 3. Al-Madzaqot, diartikan sebagai apa dan bagaimana yang dialami dan dirasakan seseorang di hadirat Allah, apakah dia melihat Tuhan, ataukah dia merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau dia merasa bersatu dengan Tuhan. Berdasarkan pendekatan ini maka Tasawwuf dipahami sebagai al-marifatul Haqq, yakni ilmu tentang hakikat realitas-realitas intuitif yang terbuka bagi seorang sufi. Definisi lain mengatakan bahwa Tasawwuf adalah usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, yang merupakan landasan lahirnya ajaran alhubb atau cinta ilahi.8 Dan selain yang telah disebutkan diatas, masih ada jalan lain untuk memahami tentang Tasawwuf, yaitu melalui pemahaman terhadap karakteristik Tasawwuf dan mistisme pada umumnya. Berdasarkan kajian terhadap Tasawwuf dari berbagai alirannya, ternyata Tasawwuf memiliki lima ciri khas atau karakteristik umum, yaitu : 1. Tasawwuf dari semua alirannya memiliki obsesi kedamaian dan kebahagian spiritual yang abadi. Oleh karena itu, Tasawwuf8 Ibrahim Basuni, Nas- ah al-Tasawwuf al-Islam, Dar al-Maarif, Kairo, 1969, hlm 17-25

4

difungsikan sebagai pengendali berbagai macam kekuatan yang bersifat merusak keseimbangan daya dan getaran jiwa sehingga ia bebas dari pengaruh yang datang dari luar hakekat dirinya. Rasa kebebasan diri adalah inti dari kedamaian dan kebahagiaan jiwa. 2. Tasawwuf sebagai semacam pengetahuan langsung yang diperoleh melalui tanggapan instuisi. Epistimologi sufisme mencari hakikat kebenaran atau realitas melalui penyingkapan tabir penghalang yang yang membatasi antara sufi dengan realitas. Dengan terbukanya tabir penghalang tersebut, maka sufi dapat secara langsung melihat dan merasakan realitas itu. 3. Pada setiap perjalanan sufi berangkat dari dan untuk peningkatan kualitas moral yakni pemurnian jiwa melalui serial latihan yang keras dan berkelanjutan. 4. Peleburan diri pada kehendak Tuhan melalui fana, baik dalam pengertian simbolis atributis atau pengertian subtansial. Artinya, peleburan diri dengan dengan sifat-sifat Tuhan dan atau pernyataan diri dengan-Nya dalam realitas yang tunggal. 5. Penggunaan kata simbolis dalam pengungkapan pengalaman. Setiap ucapan atau kata yang dipergunakan selalu memuat makna ganda, tetapi yang dimaksudkan biasanya adalahmakna apa yang ia rasa dan alami bukan arti harfiahnya. Jadi, secara garis besar kita dapat mengetahui bahwasannya tasawwuf adalah salah satu cabang ilmu yang lahir dari kegelisahan para kaum muslimin untuk memperoleh bimbingan hidup menuju marifat illahiyah baik itu dengan jalan pengalaman pengamalan hidup yang menjauhi keduniawian melalui tirakat atau menyepikan diri selama beberapa waktu yang lama. B. Perkembangan Tasawwuf Pra Al Ghazali Setelah kita mendefinisikan Tasawwuf yaitu sebagai usaha mengisi hati dengan hanya ingat kepada Allah, dan Term Tasawwuf itu sendiri mulai dikenal 5

secara luas dikawasan Islam pada abad kedua hijriyah, berawal dari pengkelompokan para zahid di serambi masjid madinah yang melakukan ibadah dan mengembangkan kehidupan ruhaniah dengan mengabaikan kehidupan duniawi, maka kita akan membahas tentang perkembangan Tasawwuf, khususnya di dunia Islam dapat dikelompokan atas beberapa fase, yaitu : Pertama, Fase Asketis yaitu kehidupan para zahid yang lebih mengkhususkan diri pada peribadatan dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kehidupan duniawi, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadat saja kepada Allah, fase ini berkembang mulai abad kedua hijriyah sampai awal abad ketiga hijriyah. Kedua, Fase sufisme yaitu perkembangan Tasawwuf yang ditandai antara lain dengan peralihan sebutan di kalangan zahid menjadi sufi. Fase ini muncul pada awal abad ketiga hijriyah. Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya serta perbincangan tentang masalah teoritis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (almaqomat), serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang marifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan ittihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tentang Tasawwuf, seperti alMuhasibi, al- kharraj, dan al-Junaid, serta penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu Tasawwuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis berkembang kepada arah yang lebih spesifik seperti konsep instuisi, al-kasyf dan dzauq.9 Kepesatan perkembangan Tasawwuf sebagai salah satu kultur keIslaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor, infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul. Faktor tersebut yaitu:9 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, 80-82.

6

Pertama, karena corak kehidupan yang profan dan hidup keplesiran yang diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling deras adalah sebagai reaksi terhadap hidup yang sekuler dan glamour dari kelompok elit penguasa istana. Protes tersamar dilakukan oleh kaum sufi dilakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal, tindakan tersebut akhirnya menjadi aliran Tasawwuf dan tindakan tersebut dipelopori oleh Hasan al-Basri yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam melalui doktrin al-zuhd dan khouf, dan ar-roja. Selain hasan al-basri juga oleh Rabiah al Adawiyah dengan ajaran al Hubb/mahabbah, serta oleh Maruf al-Kharki dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya.10 Nampaknya, setidaknya pada awal munculnya aliran tersebut, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang introversioner, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian sebagai upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.

Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi radikalisme kaum Khawarij dan ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan politik

maksimal kepada politik yang pada masa itu

polarisasi

menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap demikian itu melahirkan ajaran Uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Shaqathi. Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan sempalan , yaitu satu umat yang sengaja mengambil sikap uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa. Dalam pandangan ini, kecenderungan10 R.A Nicholin,Op.cit; 4

7

memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta. Ketiga, karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotifasi etikal, yang menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dengan penciptanya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, para zuhhad tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu terhadap pergeseran asketisme kesalehan terhadap Tasawwuf. Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir kehidupan spiritual. Kalau Tasawwuf bertujuan hanya untuk mencintai dan dekat dengan Tuhan sehingga dapat berkomunikasi langsung, tujuan itu telah naik lagi pada tingkat penyatuan diripada Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma bahwa manusia secara bilogis adalah mahluk yang mampu melakukan transformasi atau transendensi melalui tangga spiritual ke alam ilahiyat. Fase ketiga adalah Tasawwuf sebagai ilmu, ditandai dengan mulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan Tasawwuf. Ciri penting lainnya dari fase ini adalah pada fase ini timbul ketegangan antara kaum ortodoks dengan kelompok sufi berpaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari pemikiran itu, maka sekitar abad tiga hijriyah tampil al-Kharraj bersama al-Junaidi menawarkan konsep-konsep Tasawwuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoks. Tujuan 8

gerakan

ini

adalah

untuk

menjembatani

dan

atau

bila

dapat

untuk

mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syariat sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis Tasawwuf tipologi sepeti alSarraj dengan al-luma , al-khalabazi dengan al-taarruf li madzhab ahl alTasawwuf, dan al-Qusayri dengan ar-risalah. Sesudah masanya ketiga tokoh sufi ini, muncul jenis Tasawwuf yang berbeda yaitu Tasawwuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil buah fikiran Ibn Masarrah dengan konsepsinya marifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi neo-plotonis gagasan ini, sesudah masa Al Ghazali diembangkan oleh suhrawardi al-maqtul dengan doktrin al-isyariqoh atau illuminasi.

BAB II KEHIDUPAN AL GHAZALI A. Biografi Al Ghazali 9

Nama lengkap Al Ghazali adalah abu hamid muhammad ibn muhammad Al Ghazali at-thusi, seorang persia asli. Dia dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M. di thus (sekarang dekat mashed), sebuah kota kecil di Khurasan, Iran dan wafat di sini juga dan dikuburkan tahun 505 H/1111 M.11 Ayahnya seorang pengrajin yang bekerja memintal woll dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di Thus. 12 Dengan kehidupannya yang sederhana itu, ayahnya menggemari kehidupan sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya, untuk memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil yaitu muhammad dan ahmad, dengan berbekal sedikit warisan yang ditinggalkannya. Sufi itupun menerima wasiatnya. Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu memberinya tambahan. Maka Al Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Disinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual Al Ghazali yang penuh arti sampai akhir hayatnya.13 Namun dalam perkembangan tersebut situasi kultural dan struktural pada masa hidupnya juga berpengaruh besar.14 Karena itu, situasi masa itu perlu disoroti terlebih dahulu. B. Kondisi Sosio Historis Al Ghazali Sebagai seorang tokoh pemikir Islam, Al Ghazali mempunyai suatu konsep teologi Islam yang unik, karena pola struktur teologinya yang berbeda dari konsep-konsep teolog lainnya. Salah satu keunikan teologi Islam yang dihasilkan Al Ghazali adalah konsepsinya mengenai kalam, yang berbeda dari pandangan para teolog (mutakallimun), yang menganggap kalam identik dengan teologi dalam Islam. Menurut Abdul Qodir Mahmud, teologi Al Ghazali menyatu11 Abd halim mahmud, Qodhiyat al thasawuf al-munqid min al-al dhalat (selanjutnya disebut al qhadiyat), dar al maarif, kairo. 12 Karena kerja ayahnya itulah dia disebut dengan Al Ghazali (pemintal wol). Bandingkan Mustafa jawwad Ashr Al Ghazali, dalam mahrajan Al Ghazali bi damsiq, abu hamid Al Ghazali fi al dzikr al miawiyat al-thasiat li miladih (selanjutnya disebut abu hamid), al majlis al Ala li riyat al funun wa al-adab wa al-ulum al ijtimaiyah, kairo.1962, hlm 495-46. 13 Lihat as-subki, thabaqat al syafiiyat al kubra, Isa al babi al halabi, mesir, juz VI hlm191. 14 Pendapat Ahmad Fuad al-Ahwani dalam kata penantar kitab Abd Al karim Al Usman,hlm,8

10

seutuhnya dengan pribadinya, yaitu dengan perkembangan intelektual dan spiritual sejak muda sampai akhir hayatnya.15 Setengah abad dari masa Al Ghazali dilaluinya dalam abad ke 5 M. hanya lebih kurang lima tahun dia sempat mereguk abad berikutnya. Itulah masa hidupnya Al Ghazali, yang dihabiskannya beberapa lama di Khurasan, Iran (tempat kelahiran dan pendidikannya), di Baghdad, Irak (tempat puncak karir intelektualnya), dan di Damaskus, Al Quds, Mekkah, Madinah, dan kota-kota lain (tempat persinggahan dalam pengembaraannya yang panjang untuk memenuhi tuntutan spiritualnya). Situasi kultural dan struktural di daerah-daerah tersebut ketika itu dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut: Dari segi politik, di Dunia Islam bagian timur, eksistensi Dinasti Abbasiyyah, yang beribukota di Baghdad, masih diakui. Hanya saja kekuasaan efektifnya berada ditangan para Sultan yang membagi wilayah tersebut menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Dinasti Saljuq, yang didirikan oleh Sultan Togrel Bek (1037 1063 M.), sempat berkuasa di daerah-daerah : Khurasan, Rayy, Jabal, Irak, Al Jazirah, Parsi dan Ahwaz selama 90 tahun lebih (429 -522 H/1037 1127 M.). Kota Baghdad dikuasainya pada tahun 1055 M. tiga tahun sebelum Al Ghazali lahir. Dinasti Saljuq mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Alp Arslan (1063 1072 M.) dan Sultan Malik Syah (1072 1092 M.), dengan wazirnya yang terkenal Nizam Al Mulk (1063 1092 M.) 16. Sesudah itu dinasti saljuq mengalami kemunduran, karena terjadinya perebutan tahta dan gangguan stabilitas keamanan dalam negeri yang dilancarkan golongan bathiniyah. Al Ghazali hidup dan berprestasi pada kedua frase tersebut, baik pada masa kejayaan ataupun pada masa kemundurannya.17 Cabang lain dari dinasti saljuk juga berkuasa di wilayah siria, wilayah yang direbutnya dari dinasti15 Abd Qodir Mahmud menganggap Al Ghazali sama dengan Aurelius Augustinus (354-430 M). SEORANG TEOLOG DAN FILSUF KRISTEN TERBESAR MASA SKOLASTIK, lihat : Abd qodir mahmud, Al-Falsaft al-sfiyah al Islam, dar al fikr-al arabi, kairo1967, hlm,151. 16 pendapat ahmad fuad al-ahwani dalam kata pengantar kitab al kariem al-usman,hlm,8 17 selain dua sultan tersebut, Al Ghazali mengalami pula masa pemerintahan empat sultan yang lain. Lihat abd karim al usman, hlm,25-26

11

fatimiyah di mesir. Karena letak geografisnya yang strategis, wilayah ini selalu menjadi rebutan para penguasa penguasa. Saljuk berkuasa di daerah ini sejak tahun 468 H/1075 M. waktu Al Ghazali datang kesini , pemerintahan ini dipegang oleh Daqqaq Abu Nashr alias Syams Al Muluk, yang memulai memerintah pada tahun 488 M pada masa pemerintahannya pula mulai terjadi perang salib, yang berhasil mendirikan beberapa kerajaan kristen di wilayah ini, seperti Kerajaan Ruha pada tahun 490 H/1097 M dan kerajaan Antiochia pada tahun 491 H/1099 M ke tangan kaum salib dan pada tahun 491 H menyusul kota tripolis.18 Pada waktu itu, di mesir masih tetap berdiri khalifah fatimiyah. Wilayah kekuasaannya tidak terbatas di mesir saja, tetapi sampai ke daerah afrika utara dan siria. Bahkan menjelang munculnya dinasti saljuk, pernah beberapa bulanmenguasai baghdad, ibukota abbasiyah. Dinasti saljuklah yang merobekrobek wilayah fathimiyyah di Iraq dan Siria, sebagaimana telah dikemukakan. Pada tahun 472 H/1079 M, fathimiyah sempat berusaha merebut kembali wilayah siria dari tangan saljuq, tetapi gagal. Mungkin karena kegagalan inilah, Fathimiyah bersikap dia tatkala dinasti saljuq berjuang mati-matian dalam menghadapi gelombang tentara salib yang menjadi ancaman dunia Islam waktu itu. Situasi politik dan keamanan dalam negeri dinasti saljuq tidak stabil, karena adanya gangguan dari gerakan politik bawah tanah yang berbajukan agama, yakni gerakan bathiniyah. Gerakan ini yang semula merupakan pecahan sekte syiah Ismailliyah yang terjadi dalam istana dinasti fathimiyah di mesir dalam pimpinan hasan Al-shabah mulai tahun 483 H/ 1090 M yang bersentral di alamut ( sebelah utara Quzwin), gerakan ini tidak segan-segan melakukan serangkaian pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penguasa dan ulama yang dianggap penghalang mereka. Diantara korbannya yang paling besar adalah Nizham alMulk, Wazir saljuq terbesar dan sangat berjasa bagi karir intelektual Al Ghazali, yang terbunuh pada tahun 485 H/1092 M. Usaha bani saljuk untuk menghancurkan gerakan ini dengan serangkaian serangan kepusat gerakan di18 Lihat,Ibid,hlm126 dan khalid muaz, Dimasyiq ayyam Al Ghazali, abu hamid hlm,485-486.

12

alamut selalu gagal. Bahkan, pada tahun 490 H, bathiniyah berhasil menguasai sebelas benteng di seluruh iran, yang terbentang dari Qahistan di timur sampai sampai dailam di barat laut. Gerakan ini baru dapat dihancurkan setelah 177 tahun berdiri dengan delapan orang pimpinan- oleh tentara tartar dibawah Hulaku pada tahun 654 H/1256 M. Pada masa Al Ghazali, bukan saja telah terjadi disintegrasi dibidang politik umat Islam, tetapi juga dibidang sosial keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilahpilah dalam beberapa golongan mazhab fiqih dan aliran kalam, masing-masing dengan ulamanya yang dengan sadar menanam fanatisme golongan kepada umat. Sebenarnya tindakan serupa juga diperankan oleh pihak penguasa . setiap penguasa cenderung untuk berusaha menanamkan pahamnya kepada rakyat dengan segala upaya, bahkan dengan cara kekerasan. Akibat dari fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik antar golongan madzhab dan aliran, malah sampai meningkat menjadi konflik fisik yang meminta korban jiwa. Konflik tersebut terjadi antar berbagai madzhab dan aliran. Masing-masing madzhab memang mempunyai wilayah penganutnya. Penanaman fanatisme madzhab dan aliran dalam masyarakat tersebut banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi sosial waktu itu, dibawah status para penguasa. Hal ini karena adanya interdependensi antara penguasa dan ulama. Dengan peran ulama, para penguasa memperoleh semacam legitimasi terhadap kekuasaannya di mata umat, sebaliknya, dengan peran penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut dengan kemuliaan hidup. Karena itu, para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa, para ulama bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut dengan kemewahan hidup.19 Disamping itu ada pula golongan sufi yang hidup secara ekslusif di khahkankhahkan (semacam asrama) dengan kehidupan mereka yang khas. Di daerah syria,19 Sulayman Dunya, Al-Haqiqat fi Nazhr Al Ghazali, Dar al-Maarif, Mesir, 1971,cet III.hlm.15

13

dinasti saljuk mendirikan dua buah khankahyang megah yaitu al Qasr dan Al Tawawis sebagai tambahan khahkan yang sudah ada yaitu Al samisatiyyah yang dibangun oleh penguasa sebelumnya. Di damaskus pada masa itu, golongan sufi yang di khankah-khankah yang megah seperti mahligai taman firdausnya dianggap kelompok istimewa. KebuTuhannya dicukupi oleh masyarakat dan penguasa. Mereka dianggap sebagai orang-orang ynag tak menghiraukan kehidupan dunia yang penuh noda dan mampu mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah bisa terkabul20 status ini, oleh sebagian sufi, digunakan untuk kemudahan hidup dan kemuliaan dengan sarana kehidupan sufi yang mereka tojolkan.21 Konflik sosial yang terjadi di kalangan umat Islam pada masa Al Ghazali yang bersumber dari perbedaan persepsi terhadap ajaran agama, sebenarnya berpangkal dari adanya pelbagai pengaruh kultural terhadap Islam yang sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya. Diantara tokoh yang paling berpengaruh pada masa Al Ghazali ialah filsafat yunani, maupun flsafat india dan persia. Filsafat yunani banyak diserap oleh para teolog, filsafat india diadaptasi oleh kaum sufi, dan filsafat Persia banyak mempengaruhi doktrin Syiah dalam konsep Imamah.22 Tetapi yang lebih penting lagi, pada masa itu dalam mempropagandakan pahamnya, masing-masing aliran menggunakan filsafat (terutama filsafat logika) sebagai alatnya, sehingga semua intelektual, baiok yang menerima maupun yang menolak unsur-unsur filsafat dalam agama, harus mempelajari filsafat lebih dahulu.23 Interdependensi antara para penguasa dan para ulama pada masa itu juga membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berkompetisi dalam mempelajari berbagai ilmu, meskipun bukan hanya bermotif untuk pengembangan ilmu, tetapio juga untuk mendapatkan simpati dari para20 Khalid Muadz,ibid, hlm,473-474. 21 Lihat Zaki Mubarak, op.cit. hlm, 19. (selanjutnya disebut dengan al-ihya), dar al- fikr, beirut,1980,cet,II juz.XI, hlm 122-123. 22 Ibrahim Madkur, Al Ghazali Al Failasuf, dalam Abu Hamid. Op. Cit. Hal 213 23 Lihat : Abd Al Karim Al Ustman, Op. Cit. Hal 29 dan Victor Said Basil, Manhaj Al BahtsAn AlMarifat ind Al Ghazali, Dar Al Kutub Al Lubnani, Bairut Hal 8

14

penguasa, yang selalu memantau kemajuan mereka guna direkrut untuk jabatanjabatan intelektual yang menggiurkan. Dalam situasi dan masa seperti itulah Al Ghazali lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah.24

BAB III PEMIKIRAN TASAWWUF AL GHAZALI A. Tasawwuf Menurut Al Ghazali Sebagai seorang sufi sejati yang terkonstruk dari sosio historis24 Dr. HM Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali : Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar) 1996 . Hal 70

15

kehidupannya, ia telah mempunyai pengalaman iluminasi yang mempengaruhi karya dan akhlaknya. Nilai pengalaman mistik Al Ghazali telah meninggalkan warisan yang nyata tentang pengalaman ini dalam bentuk pengetahuan riil yang objektif berdasarkan penelitian dan pencariannya. Pemikirannya mengenai persoalan keagamaan dan etika yang berakar pada Tasawwuf sebagaimana pada tulisan-tulisannya yang sangat sarat muatan Tasawwuf, ini menjadi bukti tentang peranan Al Ghazali sebagai seorang sufi. Oleh karena itu, sebagaimana yang dikatakan Al Ghazali bahwa agama adalah hak individu dan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang utamanya semua kekuatan istimewa, sama sekali tidak berdasarkan pada hakikat kemanusiaan melainkan hanya dari allah semata. Jadi, wajar jika kemudian muncul pengakuan bahwasanya kontribusi terbesar dari Al Ghazali adalah terletak pada kecanggihannya mengkolaborasikan sinergi antara syariah (eksoteris) dengan Tasawwuf (esoteris). Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataannya bahwa pokok ajaran dari kaum sufi terletak pada pengendalian hawa nafsu, membuang watak dan sifat yang jelek, sehingga hati mereka benar-benar bersih dari segala hal dan hanya dipenuhi oleh allah semata.25 Pokok pikiran Al Ghazali berasal dan bermuara pada keikhlasan. Hal ini sesuai dengan upaya mendidik dirinya agar supaya berlaku ikhlas sekaligus mengajarkan kepada umat Islam bahwa perbuatan ikhlas adalah laku yang paling penting dipegangi. Hal ini penting menurutnya karena keberhasilan generasi awal umat Islam dalam memenangkan peperangan dan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan didasarkan atas keikhlasan. Sesuai dengan metode yang digunakan Al Ghazali dalam mencapai kebenaran, menurutnya pertama metode iluminasi (pancaran Tuhan). Ia mendapatkannya dengan cara membebaskan diri dari skeptisisme. Kedua dengan metode pengembaraan dalam selang waktu yang relatif lama. Dalam metode ini, ia sudah berjalan dengan cahaya keyakinan tanpa ada25Al Ghazali , Samudra Pemikiran Al Ghazali, Alih Bahasa Kamran Asad Irsyadi, Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2002, halaman Pendahuluan

16

keragu-raguan walaupun sebagai seorang penempuh jalan sufi yang membutuhkan pembimbing untuk mampu mendapatkan ridla allah tetap ia butuhkan. Oleh karena itu, ia tetap melakukan diskusi dengan wujud ujian kepada para teolog sekolastik, filosof, para guru dan imam-imam di kalangan para sufi. Di kala itu keadaan yang dihadapi oleh Al Ghazali sangat komplek, disaat itu ia harus berhadapan dengan golongan penganut filsafat, teologi, syariat yang mempertahankan alasan-alasan rasional disamping ayat-ayyat Al Quran, serta golongan sufi yang pada dasarnya bersikap ekstrim, emosional dan rohaniah. Dari hasil diskusi dan pemahaman terhadap realita kehidupannya ia menyadari betul bahwa ada beberapa hal positif di dalam ajaran Tasawwuf. Bahkan menurut dia melalui ajaran Tasawwuf orang akan menemukan kemantapan keyakinan ajaran agama sebagai sarana untuk pembinaan keagamaan kearah budi luhur.26 B. Karekteristik Tasawwuf Al Ghazali Bagi Al Ghazali Tasawwuf adalah penemuan jati diri manusia terhadap Tuhannya dengan disertai rasa ikhlas untuk mencapai kehidupan yang budi luhur di dunia dan kehidupan suci di akhirat. Sehingga ia mencoba mempertemukan Syariat dan Teologi karena menurutnya orang yang hanya baru mengenal ajaranajaran yang benar dan lurus sesuai tuntunan Sunnah. Artinya dengan tuntunan teologi, orang baru mengenal akidah yang benar dan lurus. Akan tetapi terkait dengan proses memperoleh keyakinan yang benar-benar mantap serta menumbuhkan perasaan beragama yang menyala-nyala, teologi yang bersendi dengan rumusan rasional tidaklah mampu memenuhi tuntutan itu. Bagi Al Ghazali hanya dengan Tasawwuflah sebagai pelengkap tuntutan itu. Karena bagaimanapun ilmu-ilmu agama yang berkembang sangat pesat dengan memanfaatkan metode berfikir rasional hakikatnya merupakan bangunan yang sangat indah dan kokoh, namun belum memiliki dasar-dasar26 Simuh Dr. Sufiisme Jawa : Tranformasi Tasawwuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta : Bentang) ,1996, Cet II Hal 100

17

keyakinan agama serta jiwa yang benar-benar hidup. Maka ia harus dihidupkan dengan memanfaatkan ajaran-ajaran tasawwuf. Akhirnya Al Ghazali menulis karyanya yang terbesar yaitu Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama) dan melalui karya ini ia juga mengkritik habis serta menunjukkan kelemahan dasar pemikiran rasional dalam filsafat dan ilmu kalam. Dengan hasil karyanya, ia menyadari betul bahwasanya ia tidak bisa mengelak dan tunduk pada kejiwaan yang bersifat mistik dalam tasawwuf. Kebenaran mistik itulah yang menjadi awal membawa dia kepada dunia yang bersifat Illahiah. Dalam kitabnya, Al Ghazali memegangi penghayatan yang bersifat mistis atau penghayatan jiwa sebagai kebenaran yang bersifat mutlak. Dimana Al Ghazali membagi tingkat keimanan manusia menjadi tiga level. Level yang paling rendah adalah keimanan orang-orang awam, yakni iman yang sematamata dengan taklid27. Kedua adalah keimanan para ahli kalam yakni keimanan yang dibina di atas dalil-dalil. Ketiga adalah keimanan para arifin (orang yang telah mencapai marifat kepada Tuhan) yakani keimanan orang yang menghayati Tuhan dengan cahaya keyakinan (nurul Yaqin).28 Dari konsep di atas menjadi dasar konsepsi metafisis Al Ghazali yaitu : 1. Konsepsi metafisika Al Ghazali. Didasari penghayatan marifat kepada allah. Al Ghazali mencoba membina ajaran metafisika, bahwasanya Tuhan menciptakan alam semesta seperti halnya seorang arsitek. Sebagaimana arsitek pada awalnya menyusun naskah gambar gedung kemudian membuatnya sesuai gambar, begitu pula Tuhan awalnya membuat naskah alam semesta beserta isinya sampai akhir di dalam laukhul mahfudz, baru mewujudkan secara lahiriah dalam bentuk dunia. Dari pandangan di atas, ia membagi alam menjadi empat derajat, antara lain : Wujud hakiki yang berada di lauhul mahfudz. Melalui pandangan ini, Al Ghazali membagi ilmu yang diserap oleh indera disebut27 Taklid adalah mengikuti atau percaya kepada orang lain tanpa mengetahui dasar dan landasannya. 28 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz III, Mesir 1907, Hal 15

18

ilmu Talimiyah dan ilmu yang diperoleh tanpa perantara disebut ilmu Ladunniyah atau Ilhamiyah. Wujud jasmani yang bisa tertangkap oleh panca indera Wujud khayali yang tergambar dalam khayal manusia Wujud akali yang tergambar dalam hati

Dari pemetaan wujud hakiki yang melahirkan ilmu ladunniyah hanya dapat diperoleh melalui jalan tasawwuf. Dalam hal ini Al Ghazali mengatakan : Ketahuilah bahwa kecenderungan para ahli tasawwuf kepada ilmu ilhaimiyah dan bukan pada talimiyah. Oleh karena itu mereka tidak tertarik untuk mempelajari ilmu dan menghasilkan apa yang telah disusun oleh para pengarang dan tiada tertarik pada pendapatpendapat serta dalil-dalil yang tersebut di dalamnya. Bagi para sufi, jalan untuk mencapai ilmu sejati adalah mendahulukan latihan rohani, melenyapkan sifat-sifat tercela dan memutuskan tali ikatan duniawi dari hati mereka, memusatkan seluruh kesadaran hanya kepada allah. Apabila berhasil, allah akan menganugerahkan cahaya ilmu dalam lubuk hati hamba-Nya, hati mereka terbuka baginya alam malakut (alam ghaib) tersingkaplah dinding-dinding kealpaan dari hati sanubari, dengan rahmat allah, nampak gemerlapan segala hakikat yang bersifat Illahi. Dari uraian di atas, Al Ghazali telah menunjukkan kecenderungan yang merupakan ciri dari ajaran Tasawwufnya. 2. Konsepsi Tentang Manusia Al Ghazali memandang bahwa hakikat manusia adalah kalbu (hati). Keistimewaan dan kelebihan manusia yang mengatasi makhluk-makhluk lainnya, memiliki potensi marifat kepada allah. Tangga untuk mencapai marifat kepada allah adalah kalbu. Dengan mengetahui marifat kepada allah adalah sebuah keagungan dan kesempurnaan bagi kehidupan akherat, serta merupakan perbendaharaan dan kemuliaannya. Bagi Al Ghazali, dengan hatilah manusia mampu menangkap alam 19

kebendaan ataupun alam kerohanian dan bahkan alam marifat pada dzat Tuhan itu sendiri. Hati dalam kejasmanian adalah segumpal daging yang berada dalam dada sebelah kiri, sedangkan ruh bersumber dari dalam hati jasmani mengalir ke seluruh anggota badan melalui aliran darah dan urat-urat yang menghidupi seluruh tubuh manusia. Nafsu adalah kekuatan syahwat ghodob (nafsu ego sentros dan polemos) yang menjadi sumber bagi timbulnya watak-watak yang tercela dan akal adalah kekuatan yang merupakan sifat ilmu yang terdapat dalam hati. Nafsu bagi Al Ghazali ada dua, pertama nafsu lawamah yang mengarah kepada keduniawian dan bersumber dari kekuatan syahwat, orang yang dikuasainya akan menjadi abdul hawa (budak hawa nafsu). Kedua nafsu amarah yang bersumber dari kekuatan ghodob. Perjuangan pokok hidup manusia bagi Al Ghazali adalah dngan menampakkan sifat-sifat keTuhanan yang terpendam dalam lubuk hatinya, dengan jalan mengnal, menguasai, dan membasmi watak-watak hewani yang memperbudak jiwanya. Perjuangan ini disebut jihad akbar yaitu perang melawan musuh dalam selimutnya sendiri. Al Ghazali juga tidak memungkiri bahwasanya dalam diri manusia memiliki bakat untuk menjadi penjahat atau bijaksana. Dengan kata lain, mansia sangat potensial untuk menjadi insan kamil atau menjadi penjahat yang paling buas yang lebih buas dari binatang. Konsep Insan Kamil atau sering disebut waliyuallah oleh Al Ghazali adalah orang yang dianugerahi penghayatan marifat kepada allah dan menjadi rang suci yang dikasihi oleh allah. Menurutnya wali dianugerahi berbagai macam ilmu gaib (malaikat, ruh para nabi, mengetahui suratan nasib yang tercantum di lauhul mahfudz) sehingga bisa mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia. Waliyullah adlah gambaran insan kamil yang dapat dicapai melalui jalan tasawwuf. ilmu ladunni adalah ilmu yang didapat langsung melalui terbukanya tabir alam gaib adalah suatu kemampuan dimana dalam ajaran tasawwuf adalah disebut keramat. Al Ghazali meyakini bahwasanya ilmu ladunni yang telah disucikan dan diletakkan di atas tingkatan para ulama. 20

Konsep insan kamil yang berada dibawah level kenabian membuktikan baha Al Ghazali berpaham moderat dalam hal tasawwuf, karena Al Ghazali mengusahakan agar tetap menghormati batas-batas syariah. Bahkan untuk menghidupkan kembali jiwa agama dengan kemantapan dan pendalaman keyakinan kepada Tuhan melalui tasawwuf.29 3. Konsepsi tentang tarekat Uraian tentang Tuhan dan kemampuan manusia mencapai marifat kepada Tuhan adalah tujuan hidup untuk mencapai kesempurnaan (insan kamil). Marifat kepada allah bukan merupakan ilmu yang dapat ditangkap dengan panca indera dan akal pikiran tetapi merupakan sebuah penghayatan dan pengalaman yang bersifat langsung karena bagi Al Ghazali, teramat terang bagi mata manusia untuk menangkap cahaya di hati sebab dzat allah dan alam ghaib adalah suatu yang objektif dan jelas. Dalam hal ini Al Ghazali mengatakan : Itulah hati, apabila manusia mengetahui hatinya, maka sungguh dia akan mengenal diri pribadinya sendiri. Dan apabila dia megenal diri pribadinya, maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya, jika manusia jahil dengan hatinya, sungguh dia jahil dengan dirinya, apabila dia jahil terhadap hatinya maka sungguh dia akan jahil terhadap Tuhannya. Dan barangsiapa jahil terhadap hatinya maka terhadap lainnya lebih jahil lagi. Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya kalbu dalam tasawwuf. Kalbu atau hati adalah hakikat manusia, mengenal kalbu berarti mengenal diri pribadinya atau sebaliknya. Mengenai hati sebagai sumber ilmu Al Ghazali mengatakan : Hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka kearah alam malakut, yaitu lauhul mahfudz dan alam malaikat dan satu pintu lagi29 Demi hal tersebut, Al Ghazali dengan tegas menolak paham ittihad (paham yang cenderung ke arah keTuhanan yang bersifat pantheistik dan immanenies), hulul (ajaran tentang adanya roh Tuhan yang menempat dalam diri manusia), dan paham wusul (sampai kepada Tuhan). Paham-paham itu hanyalah hayalan belaka. Simuh, ibid, hal 91

21

terbuka ke arah panca indera yang berhubungan dengan dunia dan segala yang yang bersifat empirik. Kegiatan tasawwuf untuk membuka pintu hati yang ke alam dalam, oleh Al Ghazali di sebut alam malakut, hanya bisa dibuka dan dimanfaatkan apabila pintu hati yang megarah keluar ditutupnya. Jalan untuk membuka pintu hati yang menghadap kedalam ini di sebut tarekat (thariqoh). Tarekat dibagi dalam dua bagian, Pertama penyucian hati terhadap apa saja selain allah dan menenggelamkan hati dalam berdzikir kepada allah. a. Penyucian Hati Al Ghazali menggambarkan hati seperti cermin, apabila permukaan cermin itu bersih dari kotoran keduniawian dan kemudian diarahkan ke hadirat allah dengan perantaraan dzikir, maka hati manusia aka menerima cahaya dzat allah. Hal ini meliputi upaya mawas diri untuk mengenal sifat-sifat nafsu dan keudian menemukan hakikat dari pribadinya lalu dengan upaya meninggalkan sifat-sifat tercela, menghias diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Puncaknya adalah Tajrid (membelakangi atau membatasi segala ikatan dengan dunia dari hatinya). Untuk mencapai ini dengan melakukan Uzlah (mengasingkan diri) seperti yang dilakukan Al Ghazali selama sepuluh tahun. Dalam Tasawwuf upaya ini dilaksanakan secara bertahap yakni latihan rohani yang cukup lama dan berat sebagai langkah untuk mencapai maqom,30 antara lain maqom tobat, waro, zuhud, faqir, sabar, tawakal dan ridha. b. Berdzikir Kepada Allah Dalam tasawwuf, dzikir merupakan saka guru tarekat. Dalam hal ini Al Ghazali mengatakan dzikir adalah rukun yang paling kokoh bagi30 maqom adalah taraf-taraf atau suasana batin yang berkaitan dngan pembinaan akhlak. Simuh, ibid, hal 94

22

jalan menuju allah yang maha tinggi. Bahkan dzikir merupakan saka guru bagi tarekat. Seseorang tiada akan sampai kepada allah kecuali dengan dzikir yang terus menerus kepada allah.31 Dzikir adalah menyebut nama allah dan menyaksikan keindahan wajah Tuhan yang menjadi kekasihnya. Dzikir merupakan awal dari tarekat serta menjadi wasilah untuk mengonsentrasikan seluruh pikiran dan kesadaran semata hanya kepada allah. Hal ini harus dilakukan dengan cara khusus sesuai petunjuk guru yang telah berpengalaman. 4. Konsepsi Tasawwuf Dan Syariah Pemikiran Al Ghazali Al Ghazali membagi derajat manusia menjadi empat tingkatan, yaitu : a. Para Nabi, merupakan tingkat tertinggi, paling dekat dengan allah dan mendapat ilmu dengan jalan wahyu. b. Para wali, yakni para ahli tasawwuf yang telah marifat kepada allah, sebagai insan kamil selapis dibawah tingkat nabi mendapat ilmu melalui penghayatan mistik (ladunniyah). c. Para ulama yakni ahli ilmu yang memperolehnya melalui belajar. d. Tingkat terendah adalah orang awam yang mendapat ilmu dengan jalan taqlid. Dari pembagian tersebut dapat kita ketahui, Al Ghazali menempatkan kedudukan para wali dibawah para nabi dan di atas para ulama dan orang awam, ini mengindikasikan Tasawwuf bahwasanya wali mempunyai tingkat kepaTuhan menjalankan syariat dengan ketaatan lahir dan batin. bagi Al Ghazali demikian penting untuk menghidupkan pemahaman-pemahaman syariah. Paham ini tercermin dalam kitabnya yakni Ihya Ulumuddin yang tersusun atas empat juz. Juz pertama dan kedua berisi ajaran syariat dan akidah disertai dasar-dasar ayat-ayat al-quran serta hadist dan penafsirannya. Dan dibahas pula tingkatan-tigkatan pengamalan syariah yang31 Qusyairi, Abu al-Qosim, Abd al-Karim, ar-Risalah, Mesir, 1959, hal 110

23

sempurna lahir batin. Pada juz ketiga dan keempat, membahas tasawwuf dan tuntunan budi luhur bagi kesempurnaan pengamalan syariat. Dari uraian sistematik ajaran ihya ulumudin, dapat dikonklusikan sebagai berikut, sebelum orang mempelajari dan mengamalkan ajaran Tasawwuf harus lebih terdahulu mempelajari serta memiliki pengertian yang cukup tentang pokokpokok ajaran syariat serta menjalankan dengan penuh kesadaran dan ketaatan. Ide yang terkandung Dalam konsepsi tasawwuf Al Ghazali dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut : Pengetahuan syariat yang memadai disertai dasar ayat suci al-quran Melaksanakan syariat dan tasawwuf Syariat dengan keyakinan mantap dan budi luhur di tambah ilmu ladunniyah III

I C. Pengaruh Tasawwuf Al Ghazali

II

Pemikiran Al Ghazali dapat berpengaruh sekali di dalam membentuk konstruk pemikiran pokok para filosofis daan teologis sesudahnya dalam merumuskan yang memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam, ajaranajaranya selalu dirujukkan pada al-quran dan hadist, baik ajaran syariat maupun ajaran tasawwuf diuraikan dengan gamblang sehingga membentuk konstruksi ajaran yang bulat dan utuh, bebas dari rumusan yang bersifat samar dan magis. Dari sinilah akhirnya konsepsi pemikiran Al Ghazali mendapat perhatian terbesar dari umat Islam sehingga disebut hujjatul Islam. Selain itu, konversi spiritual Al Ghazali telah memperlihatkan kegagalan fisafat untuk sampai pada ilmu, yakni tentang hakikat keTuhanan dan nurbuah. Dengan menyakinkan bahwa segala ilmu pengetahuan tanpa diiringi oleh ajaranajaran agama hanya akan membawa pada pembebasan jiwa tanpa kontrol. Sebagai akibatnya perkembangan filsafat Islam pasca Al Ghazali mandeg, dan di atas

24

panggung pemikiran timur yang muncul hanyalah para peringkas, komentator, pembuat catatan pinggir dan ulasan-ulasan yang tidak melampui para filosof klasik. Dalam ilmu kalam, Al Ghazali juga telah merubah orietasi dan menyusun jalan baru bagi ilmu kalam yang disandarkan pada akal dan kasyaf (pencerahan spiritual). Al Ghazali yang mencetuskan konversi spritualnya sebagai uapaya menghidupkan kembali dan kebangkitan baru bagi dirinya dengan menghembuskan gerakan ruh dan kebangkitan dalam segala aspek, terbukti dalam karyanya terangkum segala sikap dan ilmu keagamaan sebagai upaya membangkitkan kembali orientasi barunya di berbagai aspek kehidupan. Cita-cita Al Ghazali adalah mengembalikan kehidupan dan pemikiran Islam kepada masa sebelumnya (salaf) ; maka dia menuntut agar kwehidupan dari pemikiran Islam dibimbing oleh ruh yang sama yang telah membimbing Islam dan nilai-nilainya pada periode pertama. Letak orisinalitas revivalisme sufistiknya Al Ghazali mendalam adalah dimasukkanya ilmu-ilmu pengalaman-pengalaman yang terhadap

keagamaan Islam, serta pemahaman barunya terhadap agama di atas dasar tasawwuf. Perubahan lain adalah di masa lain ternyata apa yang dicetuskan oleh Al Ghazali memiliki peran yang sangat penting dalam menghidupkan dan menyebarkan tasawwuf di tengah-tengah kaum muslimin.dengannya ia telah menempatkan kedamaian dan persatuan diantara para sufi dan fuqoha, menggantikan tempat permusuhan yang berabad-abad. Dia mencampurkan ajaranajaran Islam dan menafsirkannya dalam sinaran makna-makna tasawwuf. dari pencampuran ini dia menghasilkan asuatu agama sufi, atau tasawwuf agamis, maka spiritualitas dalam bidang akidah, ibadah dan muamalah lebih mendalam setelah sebelumnya Islam di tangan fuqoha, ahli kalam dan filosof nyaris menjadi kuil (haikail) yang kosong dari ruh.3232 Al Ghazali, Menuju Labuhan akhirat: mengungkap Problematika keberagaman Ummat. Dalam pengantarnya Dr. Abu Al-Ula Afifi, Pengaruh Al Ghazali dalam memberikan Orientasi kehidu[pan Intelektual dan Spritual dalam Islam, surabaya, Pustaka Progresiff, 2002, cet Kedua.

25

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tasawwuf adalah salah satu cabang ilmu yang lahir dari kegelisahan para kaum muslimin untuk memperoleh bimbingan hidup menuju marifat illahiyah baik itu dengan jalan pengalaman pengamalan hidup yang menjauhi keduniawian melalui tirakat atau menyepikan diri selama beberapa waktu yang lama. 2. Perkembangan Tasawwuf terjadi pada awal abad pertama dan ketiga Hijriyah yang mengalami perkembangan cepat yang dipengaruhi oleh kondisi sosio 26

historis politik satt itu. 3. Al Ghozali mendasarkan tasawwuf pada keikhlasan sebagai jalan untuk mencapai marifat kepada Tuhan. Dengan metode pentucian diri dan pengembaraan yang cukup lama. 4. Al Ghozali membagi fase pencapaian marifat kepada Tuhan sesuai dengan konsepsinya, konsepsi tentang metafisika, konsepsi tentang manusia, konsepsi tentang tarekat, ketiga konsepsi ini yang menjadikan manusia bertingkat bagi Al Ghozali, dan terakhir konsepsi syariah dan tasawwuf. 5. Pengaruh pemikirannya sangatlah besar sekali, dengan tidak lahirnya lagi ahli tasawwuf pasca dirinya selama beberapa dekade. Tapi ia juga berhasil mempersatukan ahli tasawwuf kala itu. B. Penutup Demikian yang dapat kami uraikan secara bertahap, untuk memperoleh pemahaman yang sistematis dalam menulusuri kehidupan Al Ghozali dan pemikirannya terkait dengan tasawwuf. Sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Akhlak Tasawwuf yang disajikan untuk bahan diskusi, akan lengkap rasanya jika kita bersama-sama melakukan telaah untuk mendapatkan penjelasan yang terinci lagi. Karena bagaimanapun kami merasakan sekali sebagai manusia yang diliputi salah dan lupa, kekurangan di dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik yang konstruktif kami harapkan. Wassalam

27

DAFTAR PUSTAKA Al-Quran karim Al Ghazali , Samudra Pemikiran Al Ghazali, Alih Bahasa Kamran Asad Irsyadi, Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2002 Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz III, Mesir 1907 Al Ghazali, Menuju Labuhan akhirat: mengungkap Problematika keberagaman Ummat. Dalam pengantarnya Dr. Abu Al-Ula Afifi, Pengaruh Al Ghazali dalam memberikan Orientasi kehidu[pan Intelektual dan Spritual dalam Islam, surabaya, Pustaka Progresiff, 2002, cet Kedua. Abdullah, Amin, Filsafat Etika Islam : Antara Al Ghazali Dan Emannuel kant, Bandung, Mizan, 2002 28

Fukuyama, Francis, The End Of History And The Last Man ; kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal, Jogjakarta, Qalam, 2003. Cet ketiga. Hamid, Abu Al Ghazali Jawahirul Quran, Dar Ihya Beirut, 1904/1985 Hakim, Lukman, Muhammad, Permata Ayat Suci, Surabaya, Risalah Gusti, 2001 Hamid, Abu, Al Ghazali, Menuju Labuhan Akhirat : mengungkap Problematika Keberagaman Umat, Judul asli : Al Ajwibat Al Ghazaliyah wa almasalat al Ukhrawiyah ad-Durrat al-Fakhirat fi kasyfi Ulumi al Akhirah Risalah alLadunniyah, Penerjemah Drs. Mashur abadi, Drs. Husain, Surabay Pustaka Progresif, 2002 Imam Al Ghazali : Mengatasi Rintangan Beribadah, Alih Bahasa : Kholilah Marjijanto, Surabaya, Tiga Dua, 1995 Irsyadi, Asad, Kamran, Samudera Pemikiran Al Ghazali, Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2002 Jahja, H.M Zurkani, Teologi Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1996 . Al Ghazali: Pendekatan Metodologi,

Jahja, Zurkani, H.M, Teologi Al Ghazali: Pendekatan metodologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996 Majid, Nur Cholish, Islam Doktrin Dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, Dan Kemodernan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 2000 Majid, Nur Cholish, Islam Dan peradaban : membangun makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 2000 Robinson, Neal, Pengantar Islam Komprohensi, judul asli : Islam Al Ghazali Concise Introduction, Penerjemah Anam Sucipto Dkk, Yogyakarta Fajar Pustaka Baru, 2001 Simuh, Sufiisme Jawa : Tranformasi Tasawwuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta, Bentang,1996, Cet II Syatha, Ibn Muhammad, Abi Bakar, Kafayatul Athiqo Wa Manhajul Asyifa : Misi Suci Para Sufi, Penerjemah Djalaluddin Al-Buny, yogyakarta, Mitra 29

Pustaka,2000 Simuh, Tasawwuf Dan Perkembangan Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997 Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawwuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1996 Siregar, Rivay, Tasawwuf dari Sufisme Ke Neo Sufisme, Jakarta, PT. rja Grafindo Persada, 2000, Cet. Kedua

30