the elementary forms of religious life · 2016-06-09 · emile durkheim introduction 1 ......
TRANSCRIPT
BOOK REVIEW:
THE ELEMENTARY FORMS OF RELIGIOUS LIFE
Author:
EMILE DURKHEIM
Introduction
1 Buku ini dipersiapkan untuk mempelajari pemahaman yang paling primitf dari
agama-agama yang dikenal saat ini. Hal ini dilakukan untuk menemukan prinsip-
prinsip agama itu dan usaha untuk menjelaskannya. Sebuah sistem beragama
dikatakan sangat primitif bila memenuhi observasi ketika dia berjumpa dengan dua
kondisi, yaitu:
Pertama, sistem beragama itu harus ditemukan dalam masyarakat sederhana
yang mana organisasinya tidak ada di beberapa tempat. Kedua, sistem beragama itu
dijelaskan tanpa elemen-elemen pengantar dari tokoh leluhur agama tersebut.
Buku ini akan membuat upaya untuk menjelaskan sistem organisasi agama itu
dengan semua perhatian dan ketelitian sebagaimana seorang ahli budaya atau
seorang sejarawan yang akan membuat sebuah penelitian. Buku ini meneliti agama
yang sangat kuno sebagai subjek penelitian karena agama kuno tersebut lebih
konprehensif menjelaskan dasar agama tentang kemanusiaan. Agama kuno lebih
jelas mengungkapkan aspek kemanusiaan yang mendasar dan permanen.
2 Melalui buku ini ditemukan penjelasan hakekat religious manusia, sebab agama-
agama kuno mampu memperlihatkan aspek kemanusiaa yang paling fundamendal
dan mendasar. Pada dasarnya tidak ada agama yang salah. Semua agama itu benar
menurut bentuknya masing-masing. Semua agama memenuhi syarat-syarat
eksistensi kemanusiaan meskipun itu dengan cara yang berbeda. Namun, agama-
agama yang berbeda itu dapat diurutkan secara hierarki, dimana beberapa aspek
beragama itu dinyatakan lebih unggul atau kaya daripada yang lain dalam hal ide
kemanusiaan, serta kecapakan yang lebih baik memerankan ide-ide kemanusiaan itu.
3 Mengapa agama primitif dijadikan sebagai ojek penelitian dalam buku ini ?
Pertama, kita tidak akan tiba pada sebuah pemahama tentang agama-agama modern
tanpa menelusuri cara beragama masa lalu yang mana agama tersebut secara
bertahap mengambil bentuk. Kedua, Dengan menampakkan agama itu pada situasi
dimana dia dilahirkan, maka kita dapat mengidentifikasi penyebab agama itu
menjadi ada.
Book One
The Elementary Question
21 Observasi dan identifikasi agama-agama primitif dapat memberikan pemahaman
bagi kita tentang apa agama itu. Namun, agama itu mesti didefinisikan terlebih
dahulu. Jika hal itu tidak dilakukan, maka resiko yang terjadi adalah pemahaman
atas ide dan praktek beragama tidak sesuai dengan cara berpikir dari agama itu
sendiri, atau fenomena beragama akan terlewatkan tanpa menyadari bahwa itu
adalah fenomena beragama.
Hal yang wajib dilakukan adalah menentukan beberapa aspek kasat mata yang
memungkinkan kita memiliki pemahaman atas fenomena religius dimana saja.
Dengan demikian, kita dapat menghindarkan diri dari pencampuradukan dengan
fenomena yang bukan religius.
22 Karakteristik yang dianggap melekat menjadi sesuatu yang religius adalah konsep
supernatural. Supernatural adalah dunia misteri, yang tidak dapat diketahui atau
yang tidak dapat dipahami. Menurut Spencer, agama yang ajaran-ajarannya
kadangkala berlawanan, diam-diam sepakat bahwa dunia beserta isinya adalah
sebuah misteri yang membutuhkan penjelasan. Mempertajam ini, Max Muller juga
berakata bahwa agama merupakan usaha untuk memahami segala hal yang belum
dapat dipahami dan mengungkapkan hal yang belum dapat diungkapkan.
23 Tentu peran yang dimainkan oleh perasaan misteri atau supernatural belum penting
dalam agama-agama tertentu, termasuk Kristen. Meski begitu, pentingnya peran
misteri ini telah menunjukkan variasi yang berbeda dalam sejarah Kristen. Ada
periode sejarah kekristenan ketika gagasan misteri menjadi yang sekunder dan
bahkan pudar sama sekali. Abad ketujuh belas, misalnya, dogma Kristen
mengandung pemikiran yang sudah matang, tentu dengan argumen-argumen yang
rasional. Dengan demikian, iman mudah mendamaikan dirinya dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat.
Tentunya ketika kita melihat manusia menghubungkan atau menganggap alam
lahir dari prinsip-prinsip mahatingging yang terbuat dari unsur-unssur dari alam itu
sendiri, maka dengan mudah kita dapat mencium bau misteri disana. Dalam nalar
modern, kita akan menemui kesulitan memahami mengapa orang bisa melekatkan
diri mereka pada ide-ide supranatural hanya karena mereka tidak mampu
menemukan cara-cara yang lebih rasional.
24 Ide supernatural dalam agama menurut buku ini baru muncul akhir-akhir ini. Ide ini
berangkat dari pemahaman bahwa yang supernatural itu merupakan lawan dari apa
yang ada sekarang
45 Agama yang paling sederhana yang diperkenalkan dalam sejarah kepada kita
merupakan sesuatu yang kompleks sehingga tidak cocok dikaitkan dengan
masyarakat sehinga tidak cocok dikaitkan dengan masyarakat yang memiliki
mentalitas primitif. Agama-agama primitif kini merupakan hasil akhir dari proses
evaluasi yang panjang. Agar kita dapat mengetahui bentuk asal kehidupan religius,
maka penting untuk mengidentifikasi elemen-elemen dasar dan mencari tahu apakah
satu elemen berasal dari elemen lainnya.
Ada dua teori yang digunakan orang untuk menjelaskan awal mula pemikiran
religius. Pertama, Naturisme, yaitu pemahaman yang ditujukan pada fenomena di
alam, kekuatan-kekuatan kosmis seperti angin, sungai, bintang langit, atau segala
jenis yang ada di permukaan bumi, seperti tanaman, batu dan sebagainya.
Kedua, Animisme, yaitu pemahaman yang ditujukan pada hal-hal spritual,
seperti: roh, jiwa, setan, dewa-dewi. Makhluk-makhluk ini adalah pelaku-pelaku ang
hidup dan berkesadaran, tetapi berbeda dengan manusia dalam hal kekuatan-
kekuatan yang dimilikinya. Beberapa kalangan mengatakan bahwa animisme
merupakan agama yang paling mendasar, dan naturisme hanya bentuk sekunder dari
agama.
47 Tiga syarat harus dijumpai jika praktek dan keyakinan anisme dikatakan sebagai
bentuk asli dari kehidupan beragama. Pertama, harus perlihatkan bahwa ide tentang
jiwa tidak diambil dari agama-agama sebelumnya. Kedua, menunjukkan pemujaan
jiwa-jiwa berubah menjadi pemujaan roh. Ketiga, menjelaskan pemujaan roh
memunculkan pemujaan agama.
Teori animisme menjelaskan tentang kehidupan ganda manusia, yaitu
kehidupan saat terjaga dan kehidupan saat tidur. Menurut orang-orang primitif,
gambaran-gambaran dalam pikiran sama pentingnya dalam kondisi terjaga atau
bermimpi. Artinya, gambaran-gambaran itu merupakan citra dari objek eksternal.
Misalnya, bila seseorang bermimipi mengunjungi sebuh negera yang jauh, dia
percaya bahwa dia benar-benar pergi ke sana. Situasi ini hanya dapat terjadi bila ada
dua tubuh dalam dirinya. Tubuh yang satu terlelap di atas ranjang yang akan didapati
pada posisi yang sama ketika bangun, dan tubuh yang lain adalah yang melintasi
ruang pada waktu bersamaan. Dari pengalaman seperti ini, sedikit demi sedikit,
muncul ide tentang diri yang lain, yang dapat nyata pada masing-masing orang. Pada
kondisi tertentu, diri yang lain ini memiliki kekuatan untuk meninggalkan tubuh
dimana di tinggal dan pergi jauh.
Tentu saja, kehidupan ganda ini melandasi seluruh makhluk yang kasat mata.
Tubuh yang tidak kelihatan itu lebih bebas bergerak dari tubuh yang kelihatan
karena dia dapat melintasi jarak yang sangat jauh dengan waktu yang sangat singkat.
Tubuh yang tidak kelihatan lebih lemah dan lentur, karena untuk meninggalkan
tubuh yang kelihatan, tubuh yang tidak kelihatan itu dapat melewati rongga tubuh,
seperti mulut dan hidung. Tubuh yang tidak kelihatan ini jauh lebih ringan serta
halus dari benda yang kita lihat selama ini. Di berbagai suku-suku, seperti di
Australia, memotong jari jempol kanan musuhnya setelah mereka dibunuh bertujuan
agar jiwa lepas dari tubuh sehingga tidak bisa lagi melemparkan tombak dan
melakukan balas dendam kepada yang lain.
48-49 Jiwa harus dipisahkan dari badan sebab jiwa merupakan bagian badan yang tidak
punya substansi sama sekali, seperti cahaya dan udara. Ia tidak memiliki daging,
tulang, ataupun urat syaraf. Tetapi jiwa dengan roh harus dipisahkan sebab dua
unsur itu memiliki perbedaan. Jiwa jarang terikat dengan satu tubuh; dan saat jiwa
itu tidak ada, maka dia tidak dapat dipergunakan sebagai objek pemujaan.
Sebaliknya, roh dapat menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai tempat
berdiamnya, tetapi sewaktu-waktu roh itu dapat meninggalkannya. Agar manusia
dapat berhubungan dengan roh itu, maka manusia dapat melakukan ritual-ritual
penyembahan.
Titik persinggungan antara jiwa dan roh ialah saat jiwa dapat mermetamorfosa
menjadi roh. Metamorfosa ini terjadi melalui realitas kematian. Kematian dianggap
sebagai peristiwa terpisahkan jiwa dan tubuh, sama seperti keterpisahan yang terjadi
setiap malam. Namun, keterpisahan itu bersifat final manakal tubuh menghadapi
proses penghancuran dalam kubur.
Pada situasi ini, roh terpisah dari tubuh dan melayang bebas, dimana populasi
jiwa-jiwa terbentuk di sekitar mereka yang hidup dengan jumlah yang terus
bertambah. Jiwa-jiwa itu memiliki keinginan dan nafsu seperti manusia biasa. Itu
sebabnya mereka berusaha untuk terlibat lagi dalam kehidupan manusia. Keadaan
kehidupan jiwa-jiwa ini membuat mereka menjadi sekutu yang baik dan jahat bagi
manusia. Maka setiap orang yang masih terbiasa hidup menggunakan cara berpikir
pemisahan tubuh dan jiwa menganggap kehidupan yang tidak bisa dijelaskan adalah
yang berkaitan dengan jiwa-jiwa itu. Akibatnya, segala sesuatu akan dijelaskan
dalam kerangka sebab-akibat roh-roh yang baik dan yang jahat itu.
Misalnya, apakah seseorang itu sah dalam berbicara ?, maka roh kebaikan ada di
dalamnya. Apakah seseorang itu dirasuki roh jahat dan kegilaan ?, maka roh jahat
yang merasuki tubuhnya. Hingga pada satu pemahaman, bahwa tidak ada penyakit
yang tidak dihubungkan dengan kekuatan jahat ini.
Dengan cara berpikir demikian, maka manusia terperangkap dalam dunia
imajiner, walaupun pencipta dan pelaku pencipta dunia ini adalah dia sendiri.
Manusia menjadi pengikut kekuatan-kekuatan spritual yang dia ciptakan sendiri
karena jiwa-jiwa ini terlalu banyak campur tangan dalam mengurus kesehatan dan
penyakit atau baik buruknya sesuatu. Akibatnya, akan muncul keinginan untuk
menyenangkan hatinya atau membujuk roh-roh itu. Dari kondisi inilah muncul
sesembahan, kurban, doa, dan seluruh bagian-bagian dalam peribadatan religius.
Pemujaan yang pertama dilakukan oleh masyarakat primitif ditujukan kepada
orang mati. Sehingga, ritus yang pertama dilakukan oleh manusia ialah ritus
kematian.
50 Di kemudian hari, masyarakat primitif melakukan perluasan pemahaman terhadap
jiwa-jiwa, terutama untuk memahami fenomena alam. Jiwa benda yang tidak
bernyawa tetap tinggal dalam benda-benda itu dan dipandang sebagai penyebab
segala kejadian menyangkut benda tersebut. Kesehatan atau penyakit, ketangkasan
dan kelemahan, dan lain sebagainya dapat dijelaskan dengan jiwa-jiwa manusia.
Sedangkan fenomena alam fisik, seperti aliran air, gerakan binatang-binatang,
berseminya tanaman, perkembangbiakan binatang dan lain sebagainya, dijelaskan
dengan jiwa benda-benda. Maka filsafat tentang manusia pada akhirnya berubah
menjadi filsafat tentang dunia (kosmis).
Ketergantungan manusia dengan jiwa nenek moyang, sebenarnya hendak
menjelaskan ketergantungan manusia itu pada benda-benda. Manusia percaya bahwa
dia juga membutuhkan roh-roh yang dianggap menghidupkan benda-benda dan
mengawasi wujudnya. Maka untuk mendapatkan pertolongannya, manusia
memberikan sesembahan dan doa-doa. Maka, sentuhan akhir agama manusia adalah
agama alam.
51 Menurut Herbert Spencer, sebagian besar masyarakat terbelakang memiliki
kebiasaan umum menamakan seseorang dengan nama binatang, taman, bintang, atau
lainnya pada waktu kelahirannya. Sehubungan dengan keterbatasan masyarakat itu
untuk membedakan metafora dan realita, maka lambat laun masyarakat primitif
kehilangan pandang yang jernih dengan memaknai nama itu secara harafiah.
Akhirnya, mereka memahami bahwa nenek moyang yang dinamakan singa atau
haramau itu adalah singa atau harimau yang sebenarnya. Maka pemujaan yang
menjadikan nenek moyang sebagai obyeknya berubah menjadi pemujaan terhadap
binatang, karena nenek moyang dan binatang telah menjadi satu dan sama. Agama
alam menggantikan agama sebelumnya yang memuja nenek moyang.
52-56 Masih ada teori Tylor lain yang juga sangat kuat. Karena hipotesa-hipotesanya
tentang mimpi dan bagaimana munculnya ide tentang jiwa dan roh masih kuat, maka
hal ini tentu perlu dikaji lebih jauh.
Pertama, walaupun jiwa dalam hal tertentu tergantung pada tubuh tempat ia
hidup, namun ia tergabung dengan tubuh, dan sudah barang tentu tidak bisa
dipisahkan darinya. Organ-organ tertentu tidak hanya merupakan tempat khusus bagi
jiwa, tetapi juga merupakan bentuk perwujudan fisik dari jiwa tersebut. Antara tubuh
dan jiwa adalah dua hakekat yang sama sekali berbeda meskipun masyarakat primitf
tidak bisa menjelaskan pemahaman dualitas bahwa tubuh dan jiwa saling terkait,
sebuah kesatuan dan interpenetrasi yang intim satu sama lain.
Kedua. Untuk memahami ide yang kedua ini, kita mesti berangkat dari titik
awal tentang mimpi. Telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk memahami kenapa
seseorang bisa melihat tempat-tempat yang jauh, padahal tubuhnya waktu itu
terbaring di ranjang, dapat dijelaskan melalui dua pribadi dalam manusia itu. Pribadi
pertama ialah tubuhnya sendiri dan pribadi kedua ialah yang bisa meninggalkan
tubuh dan bergerak melintasi ruang. Namun, ada hipotesa baru tentang mimpi-
mimpi itu. Misalnya, mengapa orang tidur tidak bisa bermimpi tentang
kemampuannya unntuk pergi ke tempat yang jauh sewaktu tidur ?
Seringkali mimpi-mimpi kita merujuk pada kejadian-kejadian masa lalu. Kita
melihat lagi apa telah dilihat atau lakukan waktu terjaga kemarin, kemarin lusa,
masa muda kita dan lain-lain; mimpi seperti itu sangat lumrah yang barangkali
memenuhi sebagian besar malam-malam kita seumur hidup. Meskipun demikian,
fenomena itu belum cukup menjelaskan tentang ide kegandaan manusia itu sendiri.
Sekalipun pribadi yang kedua itu bisa memindahkan dirinya dari satu tempat ke
tempat lain, namun tetap tidak akan bisa dipahami bagaimana tubuh yang lain itu
bisa kembali dalam aliran waktu.
Hal yang tidak bisa dijelaskan ketika orang-orang lain yang ikut serta bersama
kita mempunyai peran yang tidak berbeda dari kita. Kita mengira telah melihat dan
mendengarnya sama dengan dia melihat dan mendengar kita. Menurut paham
animisme, bahwa dirinya yang kedua itu telah dikunjungi atau dijumpai oleh diri
kedua orang lain. Tetapi apa yang mereka alami tidak sama dengan apa yang akan
ditanyankannya pada mereka setelah bangun, meskipun di saat yang bersamaan
mereka juga mengalami mimpi-mimpin namun mimpi itu berlainan satu sama lain.
Mereka tidak menganggap terlibat dalam adegan yang sama.
Fenomena ini merupakan kontradiksi-kontradiksi yang mengarahkan manusia
pada satu kesalahan, yaitu imajinasi dan ilusi. Mereka belum bisa mengetahui bahwa
kadangkala indera bisa mengecoh, bahkan ketika mereka tidak tidur sekalipun.
Alasan-alasan yang mereka gunakan untuk menarik mimpi-mimpi ke alam nyata
terlalu sederhana dan buru-buru menafsirkannya sebagai diri yang lain dari
tubuhnya.
Bagi masyarakat primitif, keturunan merupakan satu fenomena yang sudah
dikenal lama sekali tetapi baru saat ini orang berusaha membangun teorinya.
Masyarakat primitif Australia sebagai contoh, bahwa mereka memahami keturunan
tidak dianggap sebagai hasil biologis orang tuanya. Tidak bisa diingkari bahwa
kelambanan intelektual merupakan problem terbesar dalam masyarakat primitif.
Masyarakat primitif itu berjuang keras untuk kehidupannya melawan kekuatan yang
mengancamnya, kekurangan kesempatan untuk menggunakan spekulasi. Barangkali
itu menyebabkan mereka kekurangan waktu untuk berefleksi sehingga sulit
menjadikan mimpi sebagai bahan renungan.
Dari dua eksistensi yang berbeda, yaitu eksistensi siang hari dan eksistensi
malam hari, tentu eksistensi sianglah yang paling menarik perhatian mereka. Tetapi
yang aneh ialah justru eksistensi malam hari yang malah menyedot perhatiannya
sehingga dia dijadikan sebagai landasan bagi segenap ide yang dianggap sangat
berpengaruh pada pemikiran dan tingkah lakunya. Nampaknya, semua ini cenderung
memperlihatkan bahwa teori animisme tentang jiwa harus dikaji ulang, terlepas
pengaruhnya masih terasa hingga saat ini. Mereka belum tiba pada pada anggapan
bahwa semua mimpi itu bersifat intuisi mistik. Malahan mereka beranggapan bahwa
mimpi itu merupakan bagian dari yang profan. Dengan demikian, barangkali kita
harus mengartikan mimpi-mimpi itu sebagai kepercayaan masyarakat primitif bahwa
dia pada waktu tidur bersentuhan dengan hal-hal yang religius, jin-jin yang baik dan
jahat, dan arwah leluhur.
Fakta yang ditunjukkan Howitt tentang masyarakat Australia yang
menganggap kemampuan meninggalkan tubuh muncul dari campur tangan jiwa
yang juga memiliki karakter mistis. Orang tidur percaya bahwa dirinya telah pindah
ke tanah orang-orang yang telah mati, atau meyakini bahwa dia sedang berbicara
dengan teman-temannya yang telah meninggal. Pemahaman tentang mimpi seperti
ini adalah hal yang lumrah di kalangan orang-orang primitif. Barangkali, hal ini
berhubungan dengan fakta-fakta yang membentuk teori mereka tentang pribadi
manusia.
Pemahaman tentang mimpi seperti di atas hanya mungkin dapat dimengerti
kalau orang memiliki ide tentang roh, jiwa, dan alam baka tempat orang mati berada.
Cara seperti itu menunjukkan ide fundamental tempat agama dibentuk dan
merupakan hasil dari sistem agama yang telah jadi.
III
57-61 Bagian ini merupakan inti persoalan tentang agama yang diuraikan penulis dalam
bukunya. Pemujaan merupakan tipe awal dari semua agama. Agar diri kedua dari
manusia itu menjadi objek pemujaan, maka jiwa itu tidak lagi dipahami sebagai
replika dari individu (diri pertama). Ia mesti memiliki karakteristik entitas tertentu
yang menjadi syarat agar bisa disejajarkan dengan hal yang sakral. Mencapai hal itu,
maka kematian dipandang sebagai tempat transformasi dari replika diri pertama
menjadi entitas tertentu yang terpisah dari pribadi pertama tersebut.
Pada masa manusia itu hidup, jiwa merupakan sesuatu yang profan. Lalu,
setelah kematian jiwa itu berubah menjadi hal yang sakral dan obyek perasaan
religius. Dengan tidak menempati obyek tertentu setelah kematian, maka jiwa bisa
berbuat sesuatu dan kapan saja, bukan hanya saat pada waktu malam. Pertanyaan,
kenapa diri kedua yang telah memisahkan diri dan pergi dari tubuh manusia tidak
dianggap sebagai sesuatu yang masih sama atau katakan menjadi kawan bagi
manusia ? Jiwa barangkali menjadi teman yang kedekatannya mungkin tidak
diharapkan, tetapi ia bukan sesuatu yang patut disembah.
Satu pemahaman dalam masyarakat primitif, bahwa jiwa campur tangan dalam
tubuh-tubuh yang hidup. Jika tubuh terluka, maka jiwa tersebut juga terluka, bahkan
persis di tempat yang sama. Oleh karena itu, jiwa dapat dikatakan seumur dengan
tubuh. Di antara masyarakat primitif tertentu, orang yang meninggal pada usia
sangat tua tidak dikuburkan sebagaimana biasanya sebab jiwa mereka dianggap juga
sudah tua. Bahkan ada kasus-kasus tertentu dimana individu-individu yang memiliki
kesitimewaan tertentu “disuruh mati” sebelum mereka mencapai usia tua. Hal ini
dapat dikenakan kepada raja atau pendeta yang dianggap menjadi tempat roh maha
kuat yang menjadi tumpuan keselamatan masyarakat.
Tujuan dari cara seperti itu ialah menjaga agar roh tersebut tidak rusak seiring
dengan semakin tuanya dan rusaknya tubuh temporal yang ditempati oleh roh
tersebut. Oleh sebab itu, roh itu dipindahkan sebelum tubuh melemah karena usia.
Agar roh itu tidak boleh kehilangan kekuatannya, maka dia dipindahkan ke dalam
tubuh orang yang lebih mudah agar kekuatan dan vitalitasnya tetap terjaga.
Jika jiwa dipahami sebagai tubuh yang kedua, maka tidak jelas bagaimana ia
terus hidup ketika tubuh akhirnya mati dan hancur. Dari sudut pandang ini,
pemikiran bahwa jiwa dapat bertahan sangat tidak masuk akal. Bahkan yang muncul
adalah kontradiksi, antara ide tentang diri yang kedua ketika mendapat kebebasan
dari tubuh dan ide tentang roh yang menjadi obyek penyembahan.
Kontradiksi ini semakin kentara saat kita mengetahui betapa luasnya jarak
yang memisahkan dunia sakral dengan dunia profan. Sesuatu hal dikatakan sakral
berbeda dengan yang profan tidak cukup bila semata-mata didasarkan pada
bentuknya yang tetap atau asing, bahkan berdasarkan kedahsyatan kekuatan yang
dimilikinya. Alam jiwa tidak bisa dikatakan akan lebih baik atau lebih buruk apabila
keluar dari tubuh yang pertama. Semuanya itu tergantung dari seseorang dalam
menyikapi baik atau buruk alam jiwa tersebut. Dalam hal inilah respon orang akan
terlihat dari munculnya rasa takut. Namun, hal ini belum dapat dikatakan sebagai
alasan yang tepat untuk membedakan alam jiwa dengan orang-orang yang merasa
terancam ketenteramannya.
Sudah pasti bahwa ketakutan dan rasa kurang selalu menghantui perasaan para
penganut terhadap hal-hal yang mereka hormati. Namun perasaan ini tidak lebih dari
rasa kagum ketimbang rasa takut, sebab dalam diri manusia melekat suasan emosi
yang khusus, yakni “keagungan”. Ide tentang keagungan ini dapat berubah menjadi
sesuatu yang benar-benar religius. Untuk itu, kita tidak akan pernah bisa
mendefinisikan agama sepanjang asal mula keagungan itu tidak ditemukan, serta
bagian kesadaran yang mana telah menimbulkannya.
Kehidupan masyarakat Melanesia dapat menjelaskan hal ini. Orang Melanesia
percaya bahwa manusia memiiki jiwa yang meninggalkan badan ketika mati dan
berubah nama menjadi tindalo, natmat. Pada saat yang sama, mereka juga memuja
orang-orang yang telah meninggal: jiwa-jiwa ini dipuja, bahkan dibangkitkan
melalui cara sesembahan yang dipersembahkan untuk jiwa-jiwa tersebut. Tetapi
tidak semua tindalo yang dapat dijadikan sebagai objek ritual. Pemujaan itu hanya
ditujukan bagi jiwa yang keluar dari tubuh orang yang semasa hidupnya dipercaya
masyarakat memiliki kelebihan yang sangat khusus, yang kemudian mereka sebut
dengan mana. Mana adalah sesuatu yang menjadi penyebab yang berada di luar
kekuatan manusia biasa dan di luar proses-proses alam.
Tindalo kategori sakral adalah pemilik yang ketika masa hidupnya sudah
memperoleh kehormatan religius. Jiwa manusia biasa yang berasal dari ranah profan
tidak akan menjadi apa-apa setelah mereka mati, sama seperti waktu hidup. Tetapi
bila manusia itu telah melepaskan diri secara total dari yang profan selama
hidupnya, maka jiwanya sudah memiliki kualitas kesakralan. Tetapi perlu
diperhatikan, bukan kematian yang membentuk itu menjadi sakral, tetapi semasa
hidup pemilik jiwa tersebut telah melepaskan diri secara total dari yang profan.
Banyak orang membuat kesimpulan tentang orang primitif, bila hal yang
sakral pada awalnya adalah jiwa orang mati dan pemujaan pada awalnya adalah
pemujaan nenek moyang, maka pemujaan religius makin dominan dalam kehidupan
mereka. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar sebab karakter pemujaan
religius terdapat juga di tengah masyarakat yang lebih maju seperti: Cina, Mesir,
Yunani, Roma. Sebaliknya hal tersebut kurang berkembang dalam masyarakat
Australia yang merupakan representasi masyarakat yang paling rendah dan
terbelakang pada saat itu.
Memang, bagi masyarakat Australia, upacara berkabung dan pemakaman
masih dapat dijumpai. Meskipun upacara itu kerap disebut dengan „pemujaan‟, tetapi
itu belum cukup untuk disebut sebagai pemujaan. Pemujaan tidak terletak pada
kumpulan ritual pencegahan yang dilakukan oleh manusia pada keadaan-keadaan
tertentu. Pemujaan adalah sistem ritus dengan karakteristik yang selalu diulang-
ulang secara periodik. Pemujaan itu dilakukan oleh penganutnya secara periodik
untuk mempererat dan memperkuat ikatan antar mereka dengan hal yang sakral.
Melalui pemahaman ini, orang bicara tentang upacara perkawinan, bukan pemujaan
perkawinan; upacara menyambut kelahiran, bukan pemujaan kelahiran – karena
ritual itu tidak dilakukan secara periodik.
Dengan cara yang sama, ada beberapa cara pemujaan nenek moyang yang
diadakan jika pengurbanan dilakukan di atas kuburan dari waktu ke waktu; demikian
juga bila minyak suci dipercikkan ke atasnya secara periodik. Atau jika pesta
persembahan dilaksanakan dalam rangka menghormati orang yang telah meninggal.
Tetapi bagi masyarakat Australia, hal ini tidak ditemukan. Memang mereka
memiliki kebiasaan dengan meratapi kematian selama beberapa waktu tertentu
sembari menyebutkan jasa-jasa yang meninggal tersebut. Namun hal tersebut
dilakukan hanya sebatas masa perkabungan semata. Setelah itu, tradisi seperti itu
akan berakhir, dan mereka yang hidup tidak lagi memiliki kewajiban-kewajiban
yang harus dibayarkan kepada yang mati tersebut.
Memang ada kalanya kejadian dimana si mati tetap bertahan di tempat tertentu
di tengah kehidupan mereka yang masih hidup, bahkan setelah masa berkabung usai.
Kadangkala hal itu dapat melalui bagian tubuh, seperti rambut atau tulang yang
dijaga karena kelebihan khusus yang melekat padanya. Tetapi hal itu tidak dapat
disebut sebagai pemujaan melainkan jimat yang anonim. Dengan demikian, benda-
benda tersebut tidak lagi menjadi objek pemujaan, melainkan tujuan satu-satunya
adalah magis semata.
Secara periodik beberapa suku di Australia merayakan ritus tertentu untuk
menghormati neneka moyang dalam dongeng, yang konon menurut tradiri, terletak
pada awal waktu. Upacara-upacara ini berisikan penampilan dramatis yang meniru
pahlawan-pahlawan legendaris yang diceritakan dalam mitos. Jadi tokoh yang
dilakonkan disini bukanlah manusia yang menjalani kehidupan sebagaimana
layaknya manusia biasa, tetapi tokoh yang berubah menjadi dewa setelah kematian.
Bahkan tokoh ini dianggap pada masa hidupnya memiliki kekuatan supra-manusia.
Tokoh yang dihormati ini diyakini memiliki hubungan dengan seluruh
peristiwa besar dalam sejarah suku mereka, bahkan sejarah dunia. Secara umum,
mereka ini dipercayai sebagai pencipta dunia dan manusia. Aura yang mengelilingi
tokoh tersebut tidak hanya karena mereka nenek moyang, atau dengan kata lain
karena mereka sudah mati. Tetapi sifat ketuhanan telah dilekatkan kepada mereka
dan itu sudah berlangsung sangat lama.
Mengulang contoh bagi masyarakat Melanesia, tokoh tersebut telah diberkati
dengan mana oleh alam. Oleh sebab itu, tidak mungkin melalui kematian mereka
menjadi dewa atau tuhan. Jika pemujaan terhadap orang mati memang ada bagi
masyarakat Australia, maka nenek moyang atau keluarga yang meninggal setiap
harinya, pasti juga menjadi objek pemujaan setelah kematian tersebut. Hal tersebut
tidak meninggalkan bekas dan bukti pemuajaan pada masyarakat Australia.
Masyarakat Australia hanya konsern dengan kematian pada saat kematian itu sendiri
dan apa-apa yang terjadi sesaat setelah itu. Dengan demikian, bukankah jiwa
manusia dari semula dianggap sebgai emanasi (pancaran) dari tuhan ? bukan
sebaliknya, menjadi model tempat dimana imajinasi tentang dewa-dewi berasal.
IV
61-65 Kecendurungan untuk mengenali segala sesuatu dalam citra kita sendiri merupakan
faktor yang mengakibatkan perluasan dari pemujaan orang mati menjadi pemujaan
terhadap alam. Pemujaan terhadap alam berangkat dari pandangan bahwa alam ini
merupakan makhluk yang berpikir dan hidup. Secara khusus, simbol-simbol agama
animisme sering menjadikan binatang sebagai objek pemujaan. Menurut Spencer,
hal itu berangkat dari keyakinan bahwa kemampuan, insting, dan kecakapan
binatang telah diwarisi kepada manusia secara keseluruhan. Artinya, alam manusia
merupakan hasil penyusunan kembali alam binatang. Uraian-uraian disini hendak
menjelaskan tentang pertanyaan, apakah ide tentang roh berasal dari ide tentang
jiwa.
Terhadap pandangan di atas, buku ini menjelaskan bahwa usaha untuk
memasuki susunan mental manusia primitif dengan jalur susunan mental binatang
adalah usaha yang sia-sia. Buku ini membuat sebuah analogi tentang seseorang yang
menempatkan objek yang telah menyakitinya sebagai makhluk sadar seperti dirinya.
Analogi itu ditemukan pada diri anak kecil. Rasa marah yang muncul pada diri
seorang anak akibat rasa sakit, ia akan mencari suatu objek yang dijadikan sebagai
kambing hitam. Namun, ketika emosi anak itu sudah reda, maka dia pasti
mengetahui perbedaan antara objek yang membuat rasa sakit itu dengan manusia
seperti dirinya. Artinya, ketika rasa marah belum reda, maka objek itu akan
disamakan seperti manusia. Namun, saat rasa marah sudah reda, maka dia dapat
membedakan objek itu dengan dirinya sebagai manusia.
Durkheim dalam buku ini justru berpendapat bahwa analogi seperti itu sedikit
membingungkan. Durkheim lebih tertarik melihat keyakinan dalam kepercayaan
primitif tersebut. Jika roh dan dewa-dewi alam dikonstruksi dalam citraan jiwa
manusia, maka mereka ini pasti masih ada kaitannya dengan asal mula dan esensi
keyakinan itu sendiri. Jiwa merupakan sesuatu yang menggerakkan tubuh dan
membuat tubuh itu menjadi hidup. Hidup itu sendiri akan berakhir bila jiwa itu pergi
dari tubuh manusia. Dengan kata lain, tubuh merupakan tempat alami bagi jiwa
sepanjang tubuh itu masih ada.
Pandangan Durkheim itu jelas berbeda dengan dengan fenomena alam yang
hendak dijelaskan oleh Spencer. Sebagai contoh, belum tentu dewa matahari itu
berada di matahari, atau roh dari betu berada di dalam batu yang dipandang sebagai
tempat persemayaman dari roh tersebut. Durkheim berpendapat bahwa roh pasti
memiliki hubungan dekat dengan tubuh tempat dia berada, tetapi dengan
menyebutkan roh sebagai jiwa tubuh tersebut merupakan pandangan yang salah
kaprah. Masyarakat Melanesia dapat menjelaskan hal itu.
Bagi masyarakat Melanesia, tidak ada kepercayaan yang mengatakan adanya
roh-roh yang menghidupkan objek-objek alam seperti pohon, air terjun, badai atau
batu, persis seperti roh-roh yang diyakini telah menghidupkan manusia. Masyaraat
primitif berpendapat bahwa roh sering mengunjungi hutan atau laut dan ia memiliki
kekuatan untuk menimbulkan badai dan membuat pengembara-pengembara menjadi
sakit. Sebaliknya, jiwa merupakan bagian yang ada dalam tubuh manusia, sementara
itu roh berusaha untuk mewujudkan eksistensi yang lebih besar di luar objek atau
tubuh manusia. Perbedaan ini tidak dapat membuktikan bahwa ide tentang roh
berasal dari ide tentang jiwa.
Untuk mempertajam pendapat di atas, Durkheim juga membuat penjelasan
dari sudut padang lain. Bila manusia didorong untuk memproyeksikan citraannya
kepada benda-benda, tentu manusia itu pertama-tama akan berusaha mengenali yang
sakral. Pada mulanya, hal-hal yang sakral dibayangkan dalam bentuk binatang atau
tanaman tempat dimana manusia itu diyakini pertama-tama muncul. Seperti bagi
masyarakat Australia yang berpendapat bahwa binatang dan tanaman menduduki
tempat tertinggi dalam hal-hal yang sakral.
Masyarakat Indian Amerika Utara lebih melihatnya lebih jelas. Tuhan-tuhan
kosmis yang mulai dijadikan sebagai objek pemujaan sering dibayangkan dalam
bentuk binatang. Dalam buku ini, Durkehim mengutip pernyataan Reville, bahwa
bentuk binatang merupakan bentuk yang paling fundamental.
Pada buku ini, Durkheim hendak mempertajam relasi atau hubungan antara
pembentukan ide tentang tuhan dengan sifat manusia itu sendiri. Durkheim
berpendapat bahwa dalam kekristenan Tuhan adalah manusia, tidak hanya dalam
aspek fisik tempat Tuhan itu mewujudkan diri secara temporal. Bukan hanya aspek
fisik yang sama dengan manusia, tetapi meliputi aspek ide dan perasaan. Dengan
menggunakan ide tentang tuhan dalam kekristenan, Durkheim hendak menjelaskan
bahwa tuhan itu diwakili dalam sifat-sifat manusia.
Tetapi hal ini jelas bertentangan dengan tradisi dewa-dewi Romawi dan
Yunani. Beberapa tokoh mistis dalam tradisi Romawi dan Yunani justru tidak
dipandang berasal dari binatang. Dewa Dionysus misalnya, yang dikenal dalam rupa
sapi atau setidaknya yang dalam bentuk tanduk sapi; dewa Demeter yang
digambarkan dengan bulu tengkuk kuda. Dengan demikian, manusia sering
membayangkan dirinya menjadi bagian dari alam binatang. Hal ini didukung oleh
keyakinan masyarakat primitf Austraila dan Indian Amerika Utara yang percaya
bahwa nenek-moyang manusia adalah binatang atau tanaman. Maka manusia tidak
melihat makhluk sebagaimana dirinya. Dia mulai berpikir tentang dirinya di dalam
citraan-citraan yang berbeda dengan dirinya.
V
65-67 Selanjutnya, teori animisme melahirkan kosekuensi yang justru paling ingin
dihindarinya. Ada asumsi dalam teori animisme yang berkata bahwa semua
kepercayaan berasal dari ide tentang jiwa, karena roh dan dewa-dewi dipandang
tidak lebih dari sekedar jiwa-jiwa yang telah disucikan. Tetapi Durkheim mengutip
pandang Tylor yang berbeda dengan pandang jiwa yang telah disucikan itu.
Tylor berpendapat bahwa jiwa itu sendiri tercipta dari citraan-citraan kabur
dan berbagai macam hal yang ada dalam pikiran sewaktu tidur. Jiwa merupakan diri
kedua, dan diri kedua itu tidak lain adalah manusia sebagaimana yang hadir bagi
dirinya sewaktu tidur. Pandangan ini melahirkan ide bahwa hal-hal yang sakral
hanya menjadi citraan-citraan imajiner yang diciptakan manusia dalam alam tidur.
Tentu tidak ada korelasi citraan imajiner itu dengan dunia realitas.
Berangkat dari pandangan Tylor tersebut, agama hanyalah sebuah mimpi,
yang disistematisasi dan dihidupkan, namun tidak memiliki landasan pada dunia
nyata.1 Melalui pandang Tylor tersebut, segala simbol dan ritus-ritus religi,
pengklasifikasian antara yang sakral dan profan, sama sekali berbeda dengan alam
nyata. Merespon pandangan itu, Durkheim berpendapat bahwa sistem ide roh dan
dewa-dewi dalam agama merupakan ilusi belaka. Namun, hukum dan moral yang
telah lama lahir dan berbaur dalam agama ternyata adalah sesuatu yang nyata serta
telah memberikan pengaruh dalam semangat ilmiah.
Durkheim berpendapat bahwa yang menjadi dasar sains tentang agama bila
agama itu tidak mengekspresikan sesuatu yang buka berasal dari alam. Ilmu dan
sains tentang agama sebenarnya sains tentang fenomena alam belaka. Memperkuat
hal ini, Dukrheim mengutip pendapat para filsuf abad ke-18 yang mengemukakan
kesalahan besar yang dilakukan oleh pendeta-pendeta. Para filsuf abad ke-18
memiliki pendapat bahwa para pendeta telah menjelaskan agama dengan orientasi
pada kepentingan kasta pendeta untuk mempengaruhi masyarakat.
Memang menggunakan „sains tentang agama‟ dalam konteks asal-usul agama
masih dapat dipersoalkan. Sains merupakan disiplin ilmu yang kebenaran-
kebenarannya harus dibuktikan melalui sains. Ada sains yang bersifat psikologis
sebab kesadaran merupakan sesuatu yang riil. Tetapi, agama tidak bisa
mempertahankan teori animis bila manusia itu sendiri tidak bisa membebaskan diri
dari kekeliruan pemahaman terhadap asal usul dan hakikat agama itu sendiri.
Chapter Three
The Leading Conceptions Of The Elementary Religion (Continuation)
II. Naturisme
68-70 Mazhab naturalis memiliki sisi pandang yang berbeda dengan penganut aliran
animisme. Teoritikus animisme biasanya memiliki latar belakang yang berbeda
dengan naturalis, dimana mereka lebih cenderung berasal dari etnografer atau
antropolog. Biasanya teoritikus animisme mempelajari agama-agama paling
sederhana yang pernah dijalankan oleh manusia. Akibatnya, perhatian mereka lebih
cenderung pada roh-roh orang mati, jiwa, dan setan, serta tidak memperhatikan
makhluk yang tinggi dari itu. Dalam hal inilah, Durkheim memberikan perhatian
1 Spencer memiliki pandangan lain untuk hal ini. Spencer berpendapat bahwa kekuatan yang
terwujud dalam kesadaran merupakan bentuk lain kekuatan yang terwujud di luar kesadaran.
Dengan pandangan ini, Spencer mengatakan bahwa konsep tentang kekuatan merupakan
perasaan terhadap kekuatan yang kita meiliki dan kekuatan yang menyebar pada seluruh alam.
pada karya sarjana-sarjana yang menaruh perhatian pada peradaban-peradaban besar
Eropa dan Asia.
Durkheim berpendapat dalam buku ini bahwa perbandingan ragam mitologi
masyarakat Indo-Eropa rupanya melahirkan persamaan-persamaan dalam mitologi.
Memang ada nama-nama yang berlainan antara figur mistis antara di antara dua
masyarakat itu, tetapi pada hakekatnya antara figus mistis itu memiliki fungsi-fungsi
yang sama. Nama figur-figur mistis itu diperbandingkan untuk meniliti apakah ada
keterkaitan antara mitologi masyarakat Asia dan Eropa. Hal ini menjadi sangat
penting untuk melacak apakah sistem ide dalam agama primitif memiliki pengaruh
terhadap agama-agama yang berkembang pada masa selanjutnya.
Max Muller melalui esay berjudul Coperative Mytology2 melahirkan konsep-
konsep agama yang digali berdasarkan sains oleh aliran yang umum saat itu di dua
negeri yang berbeda pada saat yang sama. Sumber penelitiannya ialah teks paling
kuno pada masyarakat Asia dengan agama yang lebih primitif dari agama Jerman
kuno. Durkheim mengaku bahwa untuk menggali pemikiran naturisme ini, dia
banyak menggunakan kerangka berpikir Max Mueller.
I
70-76 Penganut animisme menyatakan bahwa agama pertama-tama tidak mengungkapkan
realitas eksperimental. Sementara itu, Max Muller berpendapat bahwa agama harus
mulai dari pengalaman inderawi, seperti halnya seluruh pengetahuan manusia.3 Hal
itu diungkapkan dalam pernyataan nihil est intelectu quod non ante fuerit in sensu,
tidak ada sesuatu pun yang dalam pikiran tanpa terlebih dahulu ada dalam ide. Dari
pandangan ini, agama seharusnya tampil bukan sebagai bentuk mimpi tetapi sebagai
sistem ide dan praktek-praktek yang benar-benar didasarkan pada realitas. Yang
menjadi pertanyaan adalah, pengalaman-pengalaman inderawi mana yang dapat
2 Dalam sebuah esai berjudul Comperative Mytologi [New York, Arno Press, 1977), hlm. 47.
[Yang diterjemahkan dari bahasa Perancis yang berjudul Essai de mythologie Comparee, Paris-
London, 1859] 3 Muller, Natural Religion, hal. 114
melahirkan pemikiran religius ?. Buku ini hendak menjawab pertanyaan itu melalui
kajian terhadap teks Veda.
Biasanya nama dewa-dewi Veda adalah kata benda umum yang masih tetap
dipakai atau kata kerja arkhais, sesuai yang sangat kuno dan sudah jarang
ditemukan. Namun demikian, makna asalnya masih dapat ditelusuri. Sebagai contoh
penggunaan nama dalam masyarakat India yang bernama Agni. Pada awalnya, Agni
berarti api sebagai fenomena alam yang dapat diserap dan dirasakan oleh indera
manusia. Penggunaan nama Agni ternyata digunakan juga dalam bahasa Indo-Eropa
lainnya, seperti: kata Ignis dalam bahasa Latin, Ugnis dalam bahasa Lituania, dan
Ongi dalam bahasa Slavogny, yang seluruh maknanya dekat dengan Agni.
Hal yang sama juga terdapat melalui nama dewa Dyaus dalam bahasa
Sansekerta. Nama dewa ini memiliki kedekatan dengan Zeus dalam bahasa Yunani,
Jovis dalam bahasa Latin dan Zio dalam bahasa Jerman. Hubungan ini menjelaskan
dan membuktikan bahwa kata-kata yang berbeda merujuk pada satu dewa yang
sama-sama diakui oleh orang-orang Indo-Eropa.
Diaus sendiri memiliki arti: “langit yang cerah”. Ini menjadi dasar untuk
memahami bahwa di tengah masyarakat itu, tubuh dan kekuatan alam merupakan
objek pertama yang dituju oleh perasaan religius. Objek-objek inilah menjadi benda-
benda pertama yang dituju oleh perasaan religius. Berdasarkan hal inilah, maka Max
Muller berpendapat bahwa evolusi religius manusia berangkat dari titik yang sama.
Bagi Max Muller, fenomena yang diperlihatkan alam kepada manusia
merupakan syarat atas munculnya ide religius dalam pemikiran manusia. Manusia
menganggap bahwa alam merupakan sesuatu yang benar-benar mengejutkan dan
menakutkan. Alam diyakini memiliki kekuatan ajaib dan gaib yang abadi. Menurut
Max Muller, inilah pemicu pertama lahirnya pemikiran dan bahasa religius bagi
manusia.4 Untuk melengkapi penjelasannya ini, Max Muller menerapkan
penggunaan fenomena alam yang menempati posisi penting dalam teks Veda, yaitu
api. Durkheim mengutip pendapat Max Muller untuk hal ini: “Cobalah anda menarik
pemikiran ke belakang ke dalam kehidupan primitif di mana setiap orang pasti
menempatkan segenap asalh mula dan bahkan fase pertama agama alam; dengan
mudah anda bisa membayangkan impresi apa yang hadir dalam pikiran manusia
ketika api muncul untuk kali yang pertama”.
4 Muller, Physical Religion, hlm. 119-120
Alam justru menjelaskan ketidakterbatasannya di hadapan manusia, seperti
aliran sungai yang menggambarkan kekuatan tidak terbatas. Dengan demikian, tidak
ada aspek alam yang tidak menciptakan rasa lemah dalam diri manusia sebab
ketidakterbatasan alam itu rupannya telah mengurung dan menguasai manusia. Bagi
Muller, dari kesadaran seperti inilah agama berasal.
Bagaimanapun juga, hanya benih-benih saja yang hadir dalam indera. Agama
akan terbentuk saat kekuatan-kekuatan alam tidak lagi dipandang sebagai sesuatu
yang abstrak dengan cara merubah alam menjadi kekuatan-kekuatan spritual, dewa-
dewi, sebab pemujaan biasanya dihubungkan dengan hal seperti itu. Namun,
Durkheim menyebutkan bahwa Max Muller menolak logika seperti ini untuk
melahirkan ide tentang agama.
Menurut Max Muller, bahasa memiliki pengaruh yang besar untuk
mempengaruhi alam pikiran manusia. Merespon dahsyatnya kekuatan-kekuatan
alam, manusia bertanya di dalam diri sendiri apakah kekuatan tersebut dan
bagaimana mengganti kesadaran yang tidak jelas atas kekuatan itu menjadi ide dan
konsep yang lebih jelas. Namun, ide dan kosep itu tidak akan mungkin ada tanpa
kata-kata atau bahasa.
Bahasa bukan hanya sebatas baju luar pikiran, tetapi merupakan rangkaian
internal pikiran manusia. Bahasa tidak semata-mata berdiri di luar pikiran manusia
untuk menerjemahkan yang sudah terbentuk dan jadi. Pada kenyataannya, bahasa
juga berfungsi membentuk pikiran manusia. Karena bahasa dapat membantu
manusia menyusun pikirannya, maka adakalanya bahasa itu sedikit jahat terhadap
pikiran; sekaligus bahasa dapat juga mendistorsi ide atau konsep. Distorsi inilah
yang kemungkinan dapat melahirkan kekhasan representasi religius manusia.
Pada dasarnya, berpikir adalah menata dan mengelompokkan ide-ide manusia.
Sebagai contoh, bila manusia berpikir mengenai api, maka ide manusia akan
terbentuk dengan benda kategori tertentu. Pada saat yang sama, mengklasifikasi
berarti memberi nama, sebab sebuah gagasan tidak mempunyai eksistensi dan
realitas bila tidak melekat sebuah nama. Dengan demikian, bahasa selalu
mempengaruhi cara pengklasifikasian hal-hal baru yang diketahui manusia dalam
pikiran mereka. Dengan alasan ini, ketika manusia hendak membuat representasi
yang komprehensif tentang alam semesta, maka bahasa yang akan dipakai dipastikan
mempengaruhi sistem ide yang kemudian lahir.
Bahasa dalam Indo-Eropa masih berisi relik-relik yang memungkinkan kita
mampu mengimajinasikan apa yang seharusnya ada. Relik itu berupa akar-akar kata
(kata dasar). Max Muller berpendapat bahwa kata-kata yang menjadi asal dari kata-
kata lain yang digunakan pada saat ini merupakan dasar dari seluhur dialek Indo-
Eropa, yaitu sebagai bentuk bahasa yang dipakai masyarakat yang dahulu dipakai
pada saat agama pertama sekali terbentuk. Untuk memahami bagaimana hubungan
linguistik bahasa dapat mempengaruhi bahasa dalam membentuk ide dan konsep
agama, maka perlu diperhatikan dua hal berikut ini:
Pertama, akar-akar ditipifikasi. Artinya, kata itu tidak mengekspresikan hal atau
individu-individu tertentu, melainkan pada tipe dan makna kata itu. Oleh sebab itu
cakupan dari kata ditipifikasi lebih luas.
Kedua, tipe kata yang berkorespondensi dengan tindakan. Apa yang diekspresikan
melalui kata, merupakan cara-cara bertindak yang bisa diamati di antara makhluk
hidup, terutama manusia, seperti: memukul, mendorong, menggorok, mengikat, dan
sebagainya. Dengan kata lain, manusia menamai bentuk tindakan paling mendasar
sebelum menamai fenomena alam.
Ketika manusia mengarahkan perhatian pada satu hal dan mulai menamai dan
berpikir tentangnya, maka dia menerapkan kata-kata itu pada sesuatu hal yang
barangkali tidak dapat dipahaminya. Pada awalnya, kata-kata itu bisa menunjukkan
ragam kekuatan alam dengan manifestasi-manifestasi yang menyerupai tindakan
manusia, seperti: guntur dinamakan dengan sesuatu yang menyambar tanah,
matahari dinamakan dengan sesuatu yang menghantar panas, sungai dinamakan
dengan sesuatu yang mengalir, dan lain sebagainya.
Karena fenomena-fenomena alam ini menyerupai tindakan-tindakan manusia,
maka fenomena itu dipersonifikasikan pada manusia. Cara ini merupakan metode
metafora yang diterima sebagai sesuatu yang harafiah. Durkheim mengatakan bahwa
cara ini merupakan cara yang keliru karena sains saat itu belum ada untuk
menghilangkan sesuatu ilusi. Kita tidak bisa berbicara tentang suatu objek tanpa
terlebih dahulu mengkhususkannya dengan sebuah kata pelengkap. Demikian juga
halnya dengan subjek kalimat yang mesti selalu hadir dalam bentuk sesuatu yang
bertindak. Artinya, setiap ide atau konsep mesti menjelaskan sebuah tindakan serta
durasi tindakan, baik bersifat permanen maupun sementara, yang dibatasi oleh jenis
kalimat tempat dan waktu kata kerja itu diletakkan. Budaya ilmiah seperti ini
dibutuhkan untuk memudahkan kita mengoreksi kekeliruan yang diperlihatkan oleh
bahasa. Terhadap dunia fisik yang diserap oleh indera kita, bahasa dapat melekatkan
satu dunia baru yang berisikan hal spritual yang tercipta dari ketiadaan dan mulai
saat itu dipandang sebagai penyebab dan penentu fenomena. Dengan begitu bisa
diandaikan bahwa konsep ketuhanan telah terbentuk.
Berdasarkan teori di atas, gagasan tentang jiwa hampir sama antara Tylor
dengan Max Muller. Namun, tujuan dari teori yang telah dipaparkan di atas adalah
untuk menjelaskan kematian, bukan mimpi. Karena berbagai macam pengaruh
lingkungan, roh-roh manusia ketika telah berpisah dengan tubuh, perlahan-lahan
dianggap bergerak mendekati lingkaran ketuhanan, dan dianggap bergerak
mendekati ketuhanan, hingga akhirnya dituhankan.
II
76-81 Para ilmuwan lingusitik masih memperdebatkan keabsahan nama-nama dewa yang
menurut Max Muller telah dia temukan dalam berbagai bahasa Eropa. Mereka
terutama meragukan tafsiran Muller terhadap nama-nama tersebut. Nama-nama yang
berbeda itu bukanlah sebagai tanda dari agama primitif, melainkan hasil akhir dari
proses pertukaran atau asimilasi antar masyarakat.
Akar kata yang menyebut nama dewa-dewi diandaikan bisa membantu kita
merekonstruksi bahasa primitif masyarakat Indo-Eropa. Studi-studi terakhir
cenderung membuktikan bahwa tidak semua dewa-dewi Veda secara eksklusif
mempunyai kualitas alam seperti yang dilekatkan Max Muller dan para pengikutnya.
Setiap manusia memiliki keinginan untuk mengetahui dunia di sekelilingnya,
sekaligus dia akan merefleksikan dunia yang ada di sekelilingnya itu. Metode ini
akan melahirkan refleksi-refleksi yang partikular. Tetapi, bila pemikiran religius
lahir dari refleksi yang partikular ini, maka kesimpulan yang tidak dapat dihindari
adalah bahwa pemikiran religius mesti bertahan pada hasil dari refleksi tersebut.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa gambaran agama yang diberikan kepada
manusia belum cukup melahirkan praktek-praktek yang sifatnya sekuler. Jika tujuan
agama adalah memberi gambaran bagi manusia untuk hidup di dalam agama itu,
maka dapat dipastikan agama itu tidak akan berfungsi apa-apa. Artinya, agama itu
akan menghasilkan kegagalan lebih dominan ketimbang keberhasilan. Pemikiran
religius yang mengarahkan pengikutnya untuk hidup semata-mata di dalam agama,
maka agama itu telah berjalan pada arah yang salah. Sifat yang demikian bila
melekat pada agama, maka agama itu tidak akan dapat bertahan lama.
Naturisme, menurut Durkheim, dapat mereduksi agama, sebab agama
ditempatkan sekedar citraan-citraan halusinasi. Tentu saja, naturisme menentukan
titik tolak dari respon inderawai atas fenomena alam. Kemudian, respon iderawi itu
diramu dalam bahasa magis yang kemudian berubah menjadi ide-ide yang aneh.
Menurut Durkheim, Max Muller sadar akan hal ini. Max Muller mengakui bahwa
mitos-mitos tumbuh dari penyakit bahasa. Bahasa dan pikiran merupakan sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan, maka apa yang benar menurut sebagian orang setelah
diramu dalam bahasa, maka itu menjadi benar bagi yang lain.
Menjelaskan hal itu, Max Muller memberi contoh dari sistem religius
masyarakat Yunani. Orang-orang Yunani percaya bahwa Zeus adalah dewa paling
berkuasa, bapak manusia, pelindung hukum, pembasmi kejahatan, dan lain-lain.
Tetapi segala hal yang menyangkut dewa Zeus, meliputi kehidupannya,
perkawinannya, dan petualangannya hanya mitos belaka.
Mitologi merupakan bagian yang sangat esensial dari kehidupan religius. Jika
mitos dihilangkan dari agama, maka ritual dalam agama itu menjadi tidak berarti.
Ritus-ritus dalam kehidupan religius biasanya dihubungkan dengan pribadi-pribai
yang memiliki nama, karakter, sifat, dan sejarah tertentu. Dengan demikian, bentuk
pemujaan yang dilakukan terhadap dewa atau tuhan sangat tergantung pada bentuk
yang diberikan terhadap dewa atau tuhan tersebut.
Durkheim dalam buku ini memberikan sebuah contoh tentang Perjamuan
Kudus dalam agama Kristen. Perjamuan itu tidak bisa dipisahkan dari mitos Paska
tempat seluruh makna perjamuan itu diambil. Karena pemujaan berkaitan dengan
mitos, maka eksistensi dan aturan-aturan pemujaan itu tetap saja tidak bisa
dijelaskan. Menjadi pertanyaan, apakah masuk akal bila manusia tetap melakuka
satu hal selama berabad-abad kalau yang dilakukannya itu tidak punya makna ?.
Lalu, apa kemudian yang tersisa dari agama bila konsep dewa-dewi dihilangkan dari
agama ? Apakah yang tersisa kemudian dari Tuhan hanya ide tentang kekuatan
transenden tempat manusia bergantung dan menyandarkan nasibnya ? Hal inilah
yang merupakan konsepsi abstrak dan filosofis yang tidak pernah disadari dalam
agama historis.
Bila kita mengandaikan agama tidak lahir untuk menempatkan manusia dalam
keharmonisan dengan alam, maka agama dapat bertarung dengan alam yang
akhirnya tidak membawa agama itu pada sumber agama itu sendiri. Agama bisa saja
dijadikan manusia sebagai benteng untuk melindungi dirinya dari kelemahan-
kelemahan. Bila ini yang terjadi, maka itu telah menciptakan ketidaknyamanan
dalam agama. Hal ini dapat membimbing agama itu pada sifat defensif yang
menolak pengakuan kesalahan dalam agama itu sendiri. Yang terjadi di kemudian
hari adalah perasaan religius yang semakin kuat untuk mencari penjelasan-
penjelasan yang memperkokoh agama itu sendiri.
III
81-83 Fenomena-fenomena alam tidak dapat dijadikan sebagai dasar dari sistem-sistem ide
dan praktek yang permanen dalam membentuk agama. Tentu, perasaan dan kesan
setiap orang atas fenomena alam itu memiliki bentuk yang berbeda-beda. Disamping
itu, memori-memori atas berbagai fenomena alam dapat hilang begitu saja ditelan
waktu. Namun, bagi agama-agama primitif, berbagai fenomena alam ini mereka
jadikan sebagai sesuatu yang sakral dan membentuk sistem ide dan praktek agama
sebab fenomena itu sendiri dilihat dapat mempertemukan antara yang profan dan
yang sakral sekaligus. Durkheim berpendapat dalam buku ini, kita akan salah kaprah
bila perasaan religius dibangun di atas setiap kesan yang muncul dari rasa kagum,
termasuk rasa kagum pada fenomena alam. Manusia tidak dapat berhubungan
dengan alam tanpa menyadari kedahsyatan alam yang memukau dirinya. Rasa
kagum atas kedahsyatan fenomena alam ini, ketidakterbatasan alam yang memukai
dirinya, dan kekuatan tidak terbatas merupakan ragam ide menjadi elemen paling
dasari dari konsepsi ketuhanan.
Berangkat dari rasa kagum atas fenomena alam itu, maka agama seringkali
lahir dari keinginan untuk mencari sebab-sebab fenomena fisikal alam itu sendiri.
Bila ini yang menjadi dasar dari suatu agama, maka agama itu sendiri tidak lebih
sakral dibandingkan dengan hasil penelitian ilmuwan ketika dapat menjelaskan
fenomena alam itu pada saat ini. Akibatnya, tidak ada lagi yang dapat disebut sakral,
atau seluruhnya adalah hal yang profan. Dengan demikian, tidak ada lagi agama.
Mengapa kekuatan dan fenomena alam bagi masyarakat primitif menjadi
elemen paling dasar dari sistem ide dan praktek agama ? Hal itu diakibatkan oleh
ilmu pengetahuan yang belum datang untuk mengajarkan kepada mereka, mengapa
fenomena alam itu terjadi. Kurangnya ilmu pengentahuan yang menjadi sumber
penjelasan atas fenomena alam itu, maka masyarakat primitif memiliki khalayan
bahwa kekuatan alam lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan mereka. Pada
posisi seperti ini, agama dapat melahirkan rasa aman bagi mereka sebab agama
ditempatkan untuk menghubungkan dia dengan kekuatan lain yang mengatasi alam.
Ritus-ritus pun pada akhirnya dijadikan bertujuan agar seseorang itu mampu
mendapatkan apa yang diinginkannya dari alam. Dampak dari konsepsi tentang
agama ini bagi masyarakat primitif adalah memacu semangat untuk bertempur
berhadapan melawan alam. Ada keyakinan, dengan berbekal keimanan mereka dapat
memindahkan gunung, artinya menguasai alam berikut dengan fenomena-fenomena
alam yang terjadi. Pertanyaannya adalah, bagaimana masyarakat primitif memiliki
kepercayaan yang bertempur melawan alam padahal bangunan kepercayaan itu
sendiri berdiri di atas rasa kagum atas fenomen alam ini ?
BAB IV
TOTEMISM AS ELEMENTARY RELIGION
(Review of The Question – Method of Treating It)
84-85 Dari dua penjelasan konsep tentang tuhan yang telah dijelaskan sebelumnya,
masing-masing memiliki cara berpikir yang sama, yaitu cerapan inderawi atas
fenomena tertentu, baik fisik maupun biologis. Menurut penganut teori animisme,
mimpi-mimpi adalah titik awal evolusi agama; sedangkan bagi penganut teroi
naturisme, gejala-gejala alam merupakan titik awal evolusi agama. Namun,
keduanya memiliki kesimpulan yang sama, bahwa alam merupakan titik perjumpaan
antara yang profan dengan yang sakral.
Tidak bisa disangkal bahwa manusia yang tampak dalam mimpi seseorang
hanyalah manusia biasa. Kekuatan alam yang dicerap oleh iderawi manusia adalah
kekuatan alam biasa, bagaimanapun dahsyatnya alam itu. Kesimpulan yang dapat
diambil dari pengamatan ini adalah: Karena manusia maupun alam tidaklah sakral di
dalam dirinya, maka keduanya memperoleh kesakralan dari luar. Oleh karena itu, di
luar manusia individual dan dunia alamiah, ada realitas lain yang ada hubungannya
dengan makhluk khayali, yang sangat penting artinya bagi agama. Dengan kata lain,
di luar apa yang disebut naturisme dan amimisme, pasti ada pemujaan yang lebih
primitif dan fundamental yang merupakan asal animisme dan naturisme, atau bahwa
keduanya merupakan aspek darinya. Pemujaan itu disebut dengan “Tottemisme”
I
85-90 Kata “Totem” baru muncul pada abad ke-18 yang diperkenalkan oleh seorang
penafsir Indian, J. Long. Karyanya yang berjudul Voyages and Travels of an Indian
Interpreter and Trades, diterbitkan pertama sekali tahun 1791. Hampir setengah
abad lamanya, totemisme dikenal secara eksklusif sebagai institusi Amerika. Pada
tahun 1842 George Grey tertarik dengan praktek-praktek yang sama dengan
Amerika. Dengan demikian, para ahli menyadari bahwa mereka berhadapan dengan
satu sistem yang memiliki keumuman tertentu.
Saat itu, para ahli melihat totemisme sekedar institusi agama purbakala yang
sudah ada sejak dahulu. Mereka tertarik untuk menyelidiki hubungan antara
totemisme dengan persoalan sejarah. Seorang ahli, McLennan untuk pertama sekali
tertarik menghubungkan antara totemisme dengan sejarah umat manusia. Dia
berpendapat bahwa totemisme bukan sekedar agama, tetapi buah dari kemajemukan
kepercayaan dan praktek yang muncul bahkan dalam sistem religius yang maju
sekalipun berasal dari totemisme. Bahkan McLennan juga menjelaskan perluasan
totemisme meliputi bentuk pemujaan dan penyembahan binatang yang lazim
ditemukan pada masyarakat primitif.
Ahli-ahli tentang Amerika juga memiliki pendapat tentang totemisme itu.
Totemisme berkaitan dengan organisasi sosial yang defenitif, dimana terdapat
pembagian masyarakat berdasarkan marga-marga. Bahkan berdasarkan sebuah riset
menghasilkan sebuah kajian bahwa totemisme merupakan sebuah agama dan
institusi legal. Namun, hasil dari studi ini belum masuk pada elaborasi yang lebih
detail tentang ide-ide mendasar dari totemisme tersebut.
Robertson merupakan orang yang pertama sekali mencoba mengelaborasi
totemisme itu lebih mendalam. Robertson mengutarakan betapa kaya dan
berharganya agama primitif, tetapi sekaligus membingungkan pada masa akan
datang. Totemisme tidak dapat direduksi sebatas penyembahan binatang atau
tumbuhan belaka sebab itu justru mereduksi makna totemisme itu sendiri.
Totemisme mengandaikan adanya penyatuan hakikat manusia dengan binatang atau
tumbuhan, apakah itu berlangsung secara alamiah atau rekayasa.
Durkheim lebih tertarik untuk meneliti konsep totemisme pada masyarakat
Australia. Menurut Durkheim, penilitian tentang totemisme lebih baik bila
ditargetkan pada masyarakat yang memiliki agama yang paling primitif dan paling
sederhana. Agama yang paling primitif mengarahkan diri masyarakat sedekat
mungkin pada titik awal evolusi agama tersebut. Tidak ada karakteristik yang lebih
sempurna dalam meneliti totemisme selain suku-suku di Australia sebab organisasi
mereka merupakan paling primitif dan sederhanya yang pernah ditemukan.
Meskipun Durkheim menjadikan masyarakat Australia sebagai objek penelitian,
tetapi dia juga mencatat agar memberi pertimbangan pada masyarakat-masyarakat
lain tempat totemisme ditemukan pertama sekali, yaitu suku-suku Indian di Amerika
Utara.
BOOK TWO
THE ELEMENTARY BELIEFS
Chapter One
The Principal Totemic Beliefs
The Totem as Name and as Emblem – Totem sebagai lambang dan simbol
99-100 Study tentang totem yang hendak dielaborasi oleh Durkheim mencakup dua hal,
yaitu kepercayaan dan ritus dalam agama totemik. Pembahasan itu akan dilakukan
secara berurutan. Dua elemen dalam agama totemik tersebut sangat rentan pada
pemisahan radikal. Ada beberapa bagian yang akan memiliki hubungan saling
terkait dengan perecayaan dan ritus. Sebut saja antara pemujaan dan kepercayaan.
Meskipun pada prinsipnya, pemujaan lahir dari kepercayaan, tetapi pemujaan itu
bukanlah dampak dari kepercayaan itu sendiri. Selain itu, dapat juga ditemukan
posisi mitos dengan ritus, sebab mitos dibentuk berdasarkan ritus, terutama untuk
menjelaskan ritus yang belum kelihatan jelas. Tujuan dari Durkheim disini ialah
untuk mendapatkan ide-ide agama yang paling elementer, tetapi bukan mengamini
pemikiran yang sifatnya spekulatif.
I
100-110 Pada masyarakat Australia, kita dapat menemukan satu kelompok yang memiliki
kehidupan kolektif. Kelompok itu disebut dengan marga. Ada dua ciri utama yang
menjadi karakter marga ini pada masyarakat Australia.
Individu-individu yang menjadi anggota kelompok itu merasa terikat oleh
hubungan kekeluargaan dengan ikatan yang sangat khas. Hubungan ikatan tersebut
dinyatakan melalui pemakaian nama yang sama, jadi tidak lahir dari hubungan darah
yang jelas dan baku. Jadi marga pada konteks masyarakat Australia tidak
menjelaskan hubungan bapak, ibu, putera, paman, seperti pemikiran masyarakat
modern. Mereka menjadi satu kelompok marga disebabkan penggunaan kata (nama)
yang sama antara yang satu dengan yang lain. Konsekuensi dari kelompok marga ini
adalah hubungan timbal balik dalam tanggung jawab untuk menolong, balas
dendam, dan tidak mengawini antara yang satu dengan yang lain.
Ciri yang hampir sama dalam masyarakat Australia dapat juga ditemukan pada
masyarakat Romawi dengan nama gens atau masyarakat Yunani dengan nama
Yevos. Meskipun memiliki konsep yang hampir sama, tetapi kelompok marga dalam
masyarakat Australia memiliki ciri khas sendiri, yaitu dengan menggunakan nama
marga sesuai dengan nama-nama benda yang memiliki hubungan yang khusus
dengan anggota kelompok marga tersebut. Spesies benda-benda yang dipakai
sebagai nama marga secara kolektif dalam kelompok itulah yang kemudian disebut
dengan totem marga. Totem marga itu menjadi totem setiap anggotanya.
Bagi masyarakat Australia, kesatuan marga tidak mesti dibatasi oleh kesatuan
wilayah geografis. Adalah hal yang sangat biasa bagi satu marga untuk tidak
menempati wilayah yang sama, tetapi anggota-anggotanya tersebar di wilayah yang
berbeda-beda. Meskipun mereka berada pada wilayah geografis yang berbeda-beda,
tanggung jawab masing-masing individu yang memiliki kesamaan kelompok marga
adalah sama. Tanggung jawab ini tidak dibatasi oleh luasnya sebaran kelompok
marga tersebut.
Dari antara 500 nama-nama totemik dari suku-suku Australia Selatan, hanya
ada 40 nama yang bukan berasal dari nama binatang dan tumbuhan. 40 marga itu
memakai nama awan, hujan, hujan salju, embun, bulan, petir, matahari, angin,
musim gugur, musim panas, api, asap, air, akar merah, dan laut. Itu menandakan
bahwa kecenderungan marga totem bagi masyarakat Australia dengan menggunakan
nama makhuk yang hidup.
Nama totem yang lazim dipergunakan bukan spesies bersifat parsial, tetapi
spesies bersifat universal. Contohnya: Tidak ada totem kangguru dan gagak „yang
ini‟ atau „yang itu‟, tetapi keseluruhan kangguru dan burung gagak. Tetapi kadang-
kadang, ada totem yang berbentuk objek tertentu yang menggunakan matahari,
bulan, konstelasi bintang-bintang. Biasanya mereka menggunakan objek tersebut
sebagai totem marga dikaitkan dengan tekanan yang mereka hadapi dalam
mengelola lahan pertanian.
Disamping menggunaka spesies binatang, kalangan suku Warramunga dan
Tjingilli menggunakan totem marga dengan nama seorang leluhur. Mereka
menggunakan totem marga dengan seorang leluhur yang disebut dengan Thaballa.
Penggunaan totem marga dengan nama seorang leluhur erat kaitannya dengan
hubungan yang bersifat mitis.
Berdasarkan suku-suku yang ada di Australia, ada tiga aturan yang berbeda
dalam penggunaan totem marga. Pertama, seorang anak memiliki totem yang sama
dengan ibunya. Beberapa suku di Australia selatan dan tengah seperti: Dieri dan
Urabunna, di Victoria, seperti: Wotjobaluk dan Gournditch-Mara, dan beberapa suku
di Australia bagian lainnya. Totem seorang ibu harus berbeda dengan suaminya
(aturan eksogami). Berhubung seorang isteri harus tinggal di tempat suaminya, maka
anggota dari suatu totem tentu saja terpencar-pencar di berbagai wilayah, tergantung
tempat perkawinannya. Hasilnya tentu kelompok marga totem tidak memiliki basis
teritorial.
Kedua, totem marga yang terbawa lewat garis paternal. Dalam kasus ini, anak-
anak tetap tinggal bersama bapak dan kelompok lokalnya. Dengan kata lain, setiap
marga totem memiliki basis tempat tinggal sebagai daerah teritorinya.
Ketiga, kombinasi antara yang pertama dengan kedua. Model totem marga
yang ketiga ini menjelaskan totem anak yang tidak harus sama dengan bapak dan
ibunya. Totem anak ditentukan oleh totem leluhur mitis yang secara mistis telah
“menghamili” si ibu pada proses pembuahan rahim. Sehingga, totem anak seringkali
ditentukan berdasarkan persoalan kebetulan belaka.
Individu-individu yang menjadi anggota kelompok marga tertentu memiliki
aturan yang tidak boleh memakan jenis binatang tertentu. Namun kelompok marga
lain boleh memakan binatang yang dilarang oleh kelompok lainnya. Ini berarti,
bahwa binatang-binatang yang tidak boleh dimakan itu menjadi totem bagi
kelompok yang melarangnya.
II
111-117 Disamping sebagai nama, totem juga memiliki makna sebagai lambang, mirip
dengan lencana pengenal. George Grey mengatakan, “Orang Australia selalu
memakai nama seekor binatang atau tanaman sebagai simbol atau tanda” 5 Hal yang
sama juga dikatakan oleh Fison dan Howwit, “Organisasi masyarakat Australia
memperlihatkan bahwa totem pertama-tama merupakan tanda pengenal sebuah
kelompok”6. Membandingkan dengan Amerika Utara, kita dapat menggunakan
pandangan Schoolcraft yang mengatakan: “Totem pada dasarnya adalah sebuah
desain yang berhubungan dengan lambang yang menjadi panji-panji sebuah bangsa
5 George Grey, Journals of Two Espeditions in Northwestern and Western Australia, London, T
and W. Boone, 1841, hlm. 228 6 Fison and Howitt, Kita Laroi and Kurnai, hlm. 165
beradab, dan setiap orang berhak memakainya sebagai identitas keluarganya. Hal ini
ditunjukkan oleh etimologi kata tersebut yang berasal dari kata dodaim, yang berarti
kampung atau tempat tinggal kelompok keluarga”
Para bangsawan pada zaman feodal memahatkan, melukiskan, dan dalam
setiap kesempatan, menggambarkan lencana-lencana mereka di dinding-dinding
istana, senjata dan segala macam benda lain yang mereka miliki. Ini merupakan
kebiasaan yang sama antara masyarakat Australia dan orang India Amerika Utara.
Orang Indian yang diteliti oleh Samuel Hearne menggambarkan totem mereka di
atas perisai-perisai mereka sebelum pergi ke medan tempur. Dalam keadaan perang,
beberapa suku Indian memiliki panji-panji yang terbuat dari potongan kulit kayu
yang diikatkan pada lubang dimana totem dianggap menampakkan diri.
Setelah peradaban masyarakat mengalami perkembangan, dimana rumah telah
menggantikan tenda, maka totem pun mulai dibuat dalam bentuk patung atau
dipahatkan pada dinding rumah. Biasanya, totem yang dipahatkan adalah wujud
binatang yang dalam beberapa kasus dikombinasikan dengan wujud manusia dan
dipatungka di sisi pintu masuk rumah setinggi hampir lima belas meter. Biasanya,
patung-patung ini dilukis dengan warna-warna yang cerah.
Namun di perkampungan Tlingit, gambar totemik ini tidak merata di semua
rumah dalam satu perkampungan itu. Disini, hanya ada beberapa rumah yang
memahatkan totemik itu pada dinding rumah, yakni kepala suku dan orang-orang
kaya. Berbeda dengan perkampungan Tlingit, pada suku Haida ditemukan hampir
semua rumah memahatkan totemik di dinding rumah. Perkampungan suku Haida
seakan-akan menjadi kota suci akibat dari banyaknya patung yang diletakkan di
berbagai tempat di setiap sudut dengan ukuran-ukuran yang besar. Sementara pada
suku Salish, totem seringkali menjadi bagian dari interior rumah.
Contoh-contoh di atas ditemukan pada suku-suku Indian di Amerika Utara.
Gambar-gambar totemik yang dipahat atau dalam bentuk patung hanya dapat
dikerjakan bila teknik-teknik seni telah dikuasai oleh masyarakat. Hal yang berbeda
dengan suku-suku di Australia. Pada masyarakat Warramunga di Australia, di akhir
upacara pemakaman, tulang-tulang orang yang meninggal dikuburkan setelah
dibakar terlebih dahulu. Sebuah patung yang menggambarkan totem ikut dikuburkan
disamping abu jenazah tadi. Hal yang berbeda terdapat pada masyarakat Mara dan
Anula, jenazah yang meninggal itu diletakkan di dalam cabang pohon yang telah
dilubangi dan dihias sesuai dengan totem yang mati tersebut.
Bukti-bukti di atas mengindikasikan betapa pentingnya posisi totem dalam
kehidupan sosial masyarakat primitif. Totem tidak hanya merepresentasikan sesuatu
yang material; yakni terpisah dari manusia. Dari berbagai contoh-contoh di atas,
totem tersebut tidak hanya diletakkan sebagai bagian dari ornamen rumah, senjata,
perabotan, dan makan. Tetapi, totem juga sering dilukiskan pada tubuh manusia dan
menjadi bagian dari dirinya. Sebenarnya, inilah representasi yang paling penting dari
totem tersebut.
Seluruh masyarakat pada dasarnya memiliki kewajiban untuk memperlihatkan
totem masing-masing. Bagi masyarakat Tlingit, setiap orang yang memimpin
upacara keagamaan harus memakai kostum yang secara keseluruhan atau sebagian
dari kostum itu menggambarkan tubuh binatang yang menjadi nama marganya.
Praktek-praktek yang sama juga ditemukan pada masyarakat di Amerika Barat Laut.
Jika sebuah suku memiliki totem burung, maka anggota suku ini memakai bulu-bulu
burung sebagai totem di kepala mereka.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa totem itu sering dijadikan menjadi
bagian tidak terpisah dari tubuh, seperti melalui penggunaan tato. Disamping itu,
ritus yang mencabut gigi seorang remaja saat menginjak usia puber sebagaimana
tradisi suku Arunta, selalu dikaitkan dengan harapan agar hujan cepat turun. Juga di
dalam suku Arunta, selama ritus sunatan dilaksanakan, luka yang mirip juga
ditorehkan kepada saudara perempuan atau calon isterinya di masa datang. Bekas
luka seperti itu digambarkan pada benda-benda sakral yang disebut Churinga.
III
118-126 Dekorasi-dekorasi totemik tidak hanya bermakna nama dan simbol. Simbol-simbo
totemik itu sendiri memiliki makna religius sebab kerap dipergunakan dalam
upacara-upacara religius. Suatu kelompok marga menggunakan totem sebagai label
kolektif atas kelompok mereka, maka totem itu sendiri sekaligus memiliki karakter
religius terhadap kelompok tersebut. Klasifikasi antara yang sakral dan profan dapat
dikerjakan bila merujuk pada totem.
Beberapa suku di Australia, khususnya: Arunta, Loritja, Kaitish,
mempergunakan alat-alat tertentu dalam melaksanakan ritus yang disebut dengan
Churinga. Alat-alat tersebut terdiri dari beberapa keping kayu atau serpihan batu
kecil dalam berbagai bentuk meskipun bentuk oval dan persegi menjadi bentuk yang
dominan. Tiap benda itu diukir dengan desain yang menggambarkan totem
kelompok tersebut. Churinga ini dibutuhkan dalam ritus-ritus yang mengakibatkan
perasaan religius bagi kelompok marga tersebut.
Churinga memiliki dua sisi jenis kata yang saling melekat. Di satu sisi, kata
ini adalah kata benda. Namun pada saat yang sama, kata ini merujuk pada sesuatu
yang sakral, sebab arti kata Churinga sendiri adalah „sakral‟. Tingkat kesakralan
kata ini dapat dilihat melalui cara suku Arunta yang tidak boleh mengucapkan kata
itu di hadapan orang asing. Sehingga kata ini sangat jarang diucapkan. Meskipun
harus diucapkan mesti dilakukan dengan suara rendah, semacam gumaman yang
misterius. Hal ini berarti, bila kata Churinga dipakai sebagai kata kerja, maka kata
itu memiliki ciri hakiki sebagai yang sakral. Dengan demikian, yang profan – wanita
dan pria yang belum diinisiasi ke dalam kehidupan religius – tidak diperbolehkan
melihat Churinga dari dekat, melainkan dari jauh dan itupun sangat jarang
dilakukan.
Kesakralan Churinga dinyatakan dengan cara pemisahannya dengan segala hal
yang sifatnya profan. Dia diisolasi pada sebuah tempat, biasanya sebuah goa di
tempat terpencil, yang disebut dengan ertnatulunga. Ertnatulunga adalah lambang
tempat yang damai sebagaimana juga dikenal oleh masyarakat Jermanik sebagai
tempat berlindungnya kelompok-kelompok totemik, yang disebut dengan asylum.
Kesakralan Ertnatulunga dipraktekkan dengan cara menjaga kedamaian di dalam
goa, bahkan di sekitar goa tersebut. Sebagai contoh: bilamana seorang pelarian telah
mencapai ertnatulunga, maka dia tidak boleh ditangkap di tempat itu. Bahkan
binatang buruan yang kebetulan tersesat disekitar ertantulunga itu, juga harus
dihormati.
Churinga memiliki nilai religius yang sangat tinggi bagi masyarakat Arunta.
Dapang dibayangkan bila nilai itu hilang, maka nasib individu dan kelompok itu
berada dalam bahaya. Kesakralan Churinga itu juga meliputi pada kemampuannya
untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Oleh karena kesakralan yang melekat pada
Churinga itu, maka tidak ada perlengkapan ritus yang memiliki arti penting melebihi
Churinga. Pada saat upacara ritus dilaksanakan, kesakralan Churinga ini dapat
dipindahkan kepada setiap individu dengan cara memercikkan minyak suci tempat
Churinga itu direndam. Atau, Churinga itu dibungkus pada sebuah bungkus kulit
lalu diputar ke segala arah dengan maksud untuk menebarkan kekuatan dan
kebaikan yang ada dalam Churinga tersebut.
Churinga memang berwujud benda-benda yang terbuat dari kayu atau batu
seperti benda-benda lainnya. Namun, benda ini tidak bisa disamakan dengan benda
profan lainnya. Benda ini menjadi pusaka kolektif bagi suatu kelompok. Sebagai
pusaka kolektif, maka tidak ada satu orangpun individu yang memiliki hak privat
sebab masa depan kelompok itu ditentukan oleh Churinga tersebut. Dengan
demikian, pengawasan atas Churinga dilaksanakan oleh kepala kelompok. Churinga
ini mesti dijaga, diminyaki, dilap, dan dibersihkan. Ketika Churinga harus
dipindahkan ke suatu tempat, maka harus melalui suatu upacara khusus.
Menurut Spencer dan Gillen, Churinga ini semata-mata memiliki nilai
kesakralan. Churinga diyakini berfungsi sebagai tempat bersemayam arwah para
leluhur dan kehendak arwah inilah yang memberikan keistimewaan pada benda itu.
Churinga dianggap sebagai pencitraan leluhur yang kemudian berubah menjadi
objek penyembahan. Namun, Churinga tidak serta merta dapat diterima sebagai
mitos, sebab sama sekali tidak ada tanda-tanda dalam pembuatan kayu atau batu itu,
dan dalam bentuk jadinya setelah itu, yang memperlihatkan bahwa benda-benda itu
nantinya menjadi tempat bersemayam arwah para leluhur atau sebagai citra tubuh
mereka. Jadi, keseluruhan ritus-ritus itu hanya ditujukan pada citra yang ada pada
Churinga tersebut.
Di beberapa suku-suku lain di Australia, pemahaman terhadap citra arwah
leluhur yang melekat pada suatu benda juga berkembang. Dengan pemahaman yang
sama, suku-suku yang lain itu memberikan nama berbeda, seperti: Churinga,
nurtunja, dan warniga. Namun keseluruhannya itu tetap dikatakan sebagai lambang
totemik. Apa yang sakral disini bukanlah benda totemik itu, melainkan gambar dan
lambang yang dilukiskan pada benda tersebut.
Chapter Two
The Principal Totemic Beliefs (Continued)
The Totemic Animal and Man
I
127-133 Ada beberapa hal yang riil yang dijadikan sebagai objek ritus karena hubungannya
dengan totem. Hal yang dimaksud adalah adalah ciptaan-ciptaan yang menyerupai
spesies totemik, dalam bentuk tumbuhan dan binatang. Keprofanan tumbuhan dan
binatang terletak pada fungsinya sebagai bahan makanan. Tetapi kesakralannya
terletak pada larangan untuk memakannya. Bila ada ada individu yang melanggar
kesakralan tumbuhan dan binatang itu bukan berarti kelompok tersebut akann
melaksanakan penghukuman secara langsung, melainkan ada keyakinan bahwa
individu yang melanggar itu telah menjerumsukan diri pada kematian.
Meskipun larangan ini bersifat absolut, namun lambat laun kelonggaran atas
larangan tersebut sering terjadi meskipun hanya segelintir orang yang menerimanya
di antara jumlah suku-suku yang masih menolaknya. Menurut Spencer dan Gillen,
pelarangan ini sebenarnya merupakan tahap awal dari bentuk larangan lain yang
mulai meneguhkan diri. Menurut mereka, kebebasan untuk mengkonsumsi binatang
dan tumbuhan apa saja mendahului larangan memakan jenis tertentu. Sehingga ada
dua tesis yang lazim ditemukan. Pertama, saat anggota suku atau pemimpin mereka
bukan hanya boleh, tetapi harus memakan binatang atau tumbuhan totemik. Kedua,
leluhur marga tersebut yang selalu memakan binatang totem mereka.
Perubahan status binatang dan tumbuhan dari yang sakral menjadi yang profan
justru kerap berawal dari ritus-ritus yang dilaksanakan. Untuk keperluan ritual
kadang ada semacam izin khusus untuk mengkonsumsi totem selama
berlangsungnya upacara religius tersebut. Izin khusus ini berakibatkan pada
perubahan sifat makanan tersebut menjadi hal yang profan. Namun, kesakralan
sebuah makanan dapat dipertahankan atau dibentengi dari hal yang profan bila
makanan itu dianggap sebagai yang sakral oleh sebab itu dimakan pada saat
perjamuan. Aturan kesakralan makanan ini kadangkal tidak berlaku terhadap orang
dewasa dan anggota lain dalam kelompok itu yang sudah memiliki status religius
yang tinggi. Mereka tidak lagi terikat dengan aturan larangan makanan tersebut.
Absolotisme larangan memakan tumbuhan dan binatang totem bukanlah
sesuatu yang penting, sebab yang menentukan adalah kebutuhan. Sebagai bagi
masyarakat Kaitish dan Warramunga yang memakai air sebagai benda totem bagi
mereka. Mustahil bila masyarakat tersebut tidak boleh meminum air. Mereka tetap
diperbolehkan untuk menggunakan air dengan beberapa syarat, seperti: mereka tidak
boleh mengambil air itu secara langsung melainkan harus melalui pihak lain yang
memiliki totem berbeda dengan mereka. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan mereka terhadap benda totem tersebut sehingga akses terhadap yang
sakral itu tidak sembarangan.
Prinsip yang sama juga terdapat pada larangan untuk membunuh binatang
totem. Bila kebetulan benda totem suatu kelompok adalah binatang buas, atau saat
tidak ada lagi makanan, maka kasus ini dianggap sebagai status darurat. Meskipun,
masih ada aturan-aturan yang melarang membunuh binatang totem tersebut, namun
ada hal-hal yang kemudian memperbolehkan mereka untuk membunuhnya, yakni
dengan kata “permisi”. Hal ini menunjukkan sikap yang membunuh benda totem itu
dengan nada sedih dan memelas, dan dalam keadaan terjepit.
Binatang dan tumbuhan yang menjadi benda totemik ini jelas berbeda dengan
churinga. Churinga ditempatkan pada suatu tempat yang khusus jauh dari kebisingan
profan. Sementara itu binatang dan tumbuhan totemik berada di alam liar yang tidak
bisa dibatasi oleh tempat khusus dan justru melekat pada hal yang profan. Namun,
yang menjadi pokok persoalan ialah bahwa citraan-citraan ada benda totem itu jauh
lebih penting dari benda totem itu sendiri.
II
133-140 Hal yang lebih akan dibahas pada bagian ini adalah posisi manusia dalam benda
totem itu. Bagi masyarakat primitif, nama seseorang justru menjelaskan hakikat
dirinya. Nama merupakan being, hakekat keberadaan seseorang. Jadi, bila
masyarakat primitif menyebut dirinya dengan totem binatang, maka hakekat
keberadaannya adalah binatang. Sebagai contoh: bila salah satu suku di Australia
menyebut totemnya sebagai kanguru, maka hakekat keberadaannya adalah kanguru.
Dengan demikian, setiap individu memiliki hakekat ganda, yakni: manusia dan
binatang.
Ini merupakan dualitas keberadaan manusia, dan posisi mitos dalam
masyarakat primitif adalah merekonstruksi dualitas ini. Tugas dari mitos adalah
menetapkan relasi genealogis antara manusia dan binatang totemik yang telah
menciptakan manusia itu sebagai bagian dari binatang totemik. Sehingga suku-suku
di Australia menganggap bahwa binatang-binatang aneh merupakan bapak moyang
manusia, dimana binatang yang telah melahirkan manusia melalui cara-cara tertentu.
Mereka percaya bahwa binatang menjadi benda totemik sekaligus bapak moyang
manusia sudah yang tidak bisa lagi ditemukan hingga saat ini.
Di dalam diri leluhur, ada dua unsur anggota badan yang dipandang memiliki
nilai kesakralan, yaitu darah dan rambut. Bagi masyarakat Arunta misalnya,
khususnya laki-laki dari marga Emu menempatkan darah manusia merupakan
sesuatu yang suci. Seluruh upacara religius menempatkan darah memegang peranan
penting. Salah satu contoh saat proses inisiasi seorang pria muda dinisiasi menjadi
pria dewasa. Pria dewasa yang akan melaksanakan upacara inisiasi melukai satu
pembuluh darah kecilnya dan memercikkannya pada pria muda yang diinisiasi.
Fungsi religius rambut juga memiliki kesamaan dengan darah. Penduduk asli
Australia Tengah memakai selempang yang terbuat dari rambut manusia. Selempang
yang terbuat dari rambut manusia itu dililitkan pada objek-objek pemujaan dalam
upacara ritus. Bila suatu ketika, satu kelompok marga meminjam churinga dari
kelompok lain, maka kelompok yang meminjam itu akan memberikan rambutnya
sebagai bentuk dan ucapan terima kasihnya. Bukan hanya itu saja, pemotongan
rambut harus dilakukan melalui upacara ritual tersebut. Orang yang rambutnya akan
dipotong harus berjongkok di tanah serta menghadap ke arah makan leluhur ibunya.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat menemukan hubungan
yang tidak bisa dipisahkan antara manusia dengan binatang totemnya. Bahkan,
binatang totemnya itu dianggap memiliki hubungan kerabat sedarah dengan mereka.
Dia akan meminta perlindungan kepada binatang totem itu, sekaligus menjadikannya
sebagai penuntun dalam berburu dan menghadapi bahaya yang mungkin
menghadang.
Beberapa kelompok marga totemik juga memiliki cara yang berbeda
memperlakukan totemnya. Ada kelompok marga yang memiliki larangan untuk
tidak memakan suatu jenis binatang bila totem mereka adalah binatang; atau tidak
boleh menebang pohon tertentu bila totemnya adalah tumbuhan. Namun, ada
kelompok lain marga yang memahami bahwa binatang dan tumbuhan totemnya itu
merupakan milik eksklusif mereka. Dengan demikian, mereka memiliki hak
istimewa untuk membunuh jenis binatang totemiknya atau menebang jenis
tumbuhan totemiknya.
Chapter Three
THE PRINCIPAL TOTEMIC BELIEFS (CONTINUED)
The Cosmolical System of Totemism and the Notion of Kind
Sebuah totemisme baru bisa dikategorikan sebagai suatu agama bila dapat
memberikan konsepsi tentang alam semesta. Seluruh agama yang dikenal oleh
manusia merupakan suatu sistem ide yang mencakup universalitas segala sesuatu
dan memberi konsep tentang dunia sebagai satu kesatuan yang padu.
I
141-145 Suatu suku dapat terdiri dari beberap phratri. Phratri itu akan dibagi dalam beberapa
klasifikasi marga, dimana masing-masing marga memiliki totem. Masing-masing
marga dapat memiliki beberapa totem yang menunjukkan hubungan unsur-unsur
kosmis yang ada di alam semesta.
II
Chapter Four
THE PRINCIPAL TOTEMIC BELIEFS (END)
The Individual Totem and the Sexual Totem
Sejauh ini, Durkheim masih membahas totemisme sebatas institusi marga. Meskipun
individu-individu terlibat dalam totem tersebut, itu akibat keberadaannya sebagai
bagian dari kelompok marga totemik tersebut. Padahal, tidak ada agama yang tidak
mengakomodir sisi-sisi individual. Terlepas dari totem yang personal dan individual,
ada juga totem milik pribadi dimana individu yang bersangkutan mengekspresikan
kepribadiannya pada totem tersebut.
I
158-166 Beberapa suku di Australia dan sebagian besar di Amerika Utara, tiap-tiap individu
memiliki hubungan personal dengan objek-objek tertentu. Objek itu menjadi totem
individu bagi dirinya, yang biasanya memiliki kesamaan jenis dengan totem
kelompok. Biasanya, objek yang dijadikan sebagai totem individu adalah binatang.
Jenis binatang yang menjadi totem individu dijadikan menjadi nama bagi
individu tersebut. Biasanya, individu yang memiliki totem individu akan menghias
dirinya dengan organ yang dimiliki oleh binatang itu. Misalnya, bila seseorang
memiliki totem burung, maka dia akan menghiasi dirinya dengan bulu-bulu burung
tersebut. Namun, di beberapa suku, individu-individu yang memiliki totem pribadi
melukis atau mengukir binatang totemik tersebut pada perkakas-perkakas yang
dimilikinya. Lukisan atau ukiran itu berfungsi juga sebagai tanda kepemilikiannya
atas perkakas atau barang itu.
Ada ikatan yang sangat kuat antara individu tersebut dengan binatang totemik
itu. Alam binatang tetap menjadi alam manusia. Termasuk bila binatang totemik itu
memiliki kelemahan atau kelebihan, itu menjadi bagian dari kelemahan dan
kelebihan individu tersebut. Bila binatang totemik itu memiliki status yang
dipandang rendah, maka perlakuan sama akan diberikan kepada individu pemiliki
nama totem tersebut. Hal itulah yang menjadikan sehingga binatang dianggap
sebagai pribadi kedua dari manusia, alter ego. Sehingga larangan untuk memakan
binatang totemik tertentu lebih mengikat bila binatang totemik tersebut dijadikan
sebagai nama atau totem terhadap satu individu. Hal ini tentu berbeda dengan totem
kelompok, dimana larangan memakan binatang totemik kelompok itu kadang
memperoleh pengecualian.
Binatang totemik itu dianggap sebagai penjaga dan pelindung bagi seseorang.
Sebagai sahabat, atau pribadi kedua dari satu individu, maka kekuatan ajaib dan gaib
yang dimiliki oleh binatang itu dapat berpindah kepada individu pemilik totem
tersebut. Dengan demikian, si individu tadi akan memiliki kekuatan untuk
menghindar dari berbagai ancaman terhadap dirinya.
Hubungan yang spesial antara seseorang dengan binatang totem hanya berlaku
untuk satu jenis binatang, bukan spesies. Tidak ada individu yang menjadi spesies
sebagai totem pribadinya. Namun, hubungan yang erat antara seseorang dengan
totem personalnya, tetap saja ada sisi yang berbeda dengan konsep dan ide totem
kelompok. Kelompok marga dipandang sebagai tempat munculnya binatang atau
tumbuhan totemik. Ini yang membedakannya dengan totem personal, yang
menganggap bahwa binatang totem itu tidak lahir dari dalam dirinya, melainkan
sebatas teman bagi dirinya.
Di samping perbedaan di atas, totem personal juga memiliki keunikan. Totem
personal itu bukan hasil dari sebuah pilihan, melainkan pemberian. Namun, kita
tidak mengentahui secara pasti, bagaimana cara memperoleh totem tersebut. Karena
totem personal sebagai pemberian, maka sifatnya hanya pelengkap bagi seseorang
bukan sebagai kewajiwab. Artinya, tidak ada aturan bagi masyarakat primitif bahwa
setiap individu harus memiliki totem personal. Akan tetapi, walau totem personal
hanya sebagai pelengkap, dia memiliki kekuatan yang tidak dimiliki totem marga.
Hal ini masih ditemukan pada masyarakat yang sudah maju, seperti Eropa.
Meskipun bagi masyarakat yang sudah maju konsep totem kelompok sudah tidak
ada lagi, namun kebiasaan untuk mengaitkan seseorang dengan objek-objek
eksternal masih kerap terjadi.7
II
166-167 Disamping totem individual dan kolektif, pada masyarakat suku Australia terdapat
totem seksual. Totem seksual merupakan perantara antara totem individu dan
7 Maka pada saat kelahiran seorang anak, orang-orang menanam sebuah pohon di tempat mereka
mengadakan perjamuan, karena mereka yakin bahwa takdir si anak dan pohon akann seiring.
Masih banyak lagi kebiasaan masyarakat maju yang mengaiktan takdir personal dengan objek-
objek eksternal.
kolektif. Suku Kurnai contohnya, seluruh pria menganggap diri mereka sebagai
saudara burung emu-wren, dan setiap wanita adalah saudara burung linnet. Setiap
pria adalah emu-wren dan setiap wanita adalah linnet. Masing-masing jenis kelamin
memandang binatang totemnya satu darah dengan dirinya, sekaligus berperan
sebagai pelindung terhadap dirinya. Oleh karena itu membunuh dan memakan
dagingnya adalah hal terlarang. Peranan binatang totem itu dalam melindungi jenis
kelamin tertentu sama dengan peranan binatang terhadap individu dan kelompok.
Disamping itu, binatang totem dianggap sebagai keturunan dari jenis totem
binatang tertentu. Bagi masyarakat Kurnai misalnya, Tilmun, sejenis burung kecil
sebangsa pelatuk. Dianggap sebagai wanita pertama. Oleh karena itu, seluruh wanita
sangat menghormati burung ini, dan tidak bisa memakannnya. Satu jenis totem
binatang dianggap sebagai asal dari satu jenis kelamin tertentu.
Chapter Five
ORIGINS OF THESE BELIEFS
Critical Examination of the Theories
Keberadaan organisasi sosial dalam bentuk kesatuan marga tidak bisa dipisahkan
dari fenomena religius beserta ritus-ritusnya. Dengan demikian totemisme dapat
dilihat sebagai bentuk agama yang didefinisikan berdasarkan eksistensi dan
keberadaan organisasi sosial. Artinya, totemisme hanya bisa didefinisikan
berdasarkan organisasi sosial dalam bentuk marga.
Marga yang begitu banyak di Australia tidak ada tanpa adanya totem. Setiap
anggota marga terikat antara yang satu dengan yang lain tidak berdasarkan pertalian
darah atau kesamaan tempat tinggal. Keterikatan antara yang satu dengan yang lain
hanya diakibatkan oleh kesamaan totem. Kesatuan individu di dalam satu marga
tertentu muncul dari penggunaan nama dan lambang marga yang sama, sekaligus di
dalamnya kesamaan ritus-ritus yang dipraktekkan secara bersama-sama. Inilah
organisasi masyarakat yang paling sederhana.
I
170-174 Pada bagian ini, Durkheim mencoba untuk memisahkan pemujaan binatang yang
dijadikan totem dengan ritus upacara yang dilaksanakan terhadap citraan binatang
pada benda totem. Durkheim membandingkan, sekaligus mengkritisi pemikiran
Tylor8 dan Wilken
9. Tylor dan Wilken berpendapat bahwa totemisme merupakan
bentuk khusus dari pemujaan terhadap leluhur. Pemikiran mereka adalah, jiwa tidak
selamanya terpisah dari badan setelah seseorang meninggal. Jiwa itu akan kembali
memasuki jasad yang masih hidup. Biasanya jiwa itu akan bergabung dengan
binatang sehingga bintang itu dianggap sebagai penjelmaan dari leluhur. Dengan
demikian, totem marga merupakan bentuk penjelmaan dari para leluhur.
Namun, bagi Durkheim bukan itulah yang menjadi hakekat dari pemujaan
terhadap totemik. Meskipun tidak ada landasan yang dapat dipakai untuk memahami
bagaimana totemisme itu terbentuk, namun bagi masyarakat suku di Australia tidak
ada ditemukan ritus penyembahan terhadap leluhur. Dengan demikian, totemisme
bukanlah doktrin perpindahan jiwa.
Penyembahan terhadap benda totemik bukanlah penyembahan terhadap arwah
leluhu yang beresemayam dalam binatang tersebut. Memang ada kalanya, leluhur
pertama digambarkan dalam wujud binatang. Namun, totemisme ini harus dibedakan
dengan zoolatri yang melakukan penyembahan binatang disebabkan arwah atau jiwa
nenek moyang masuk dalam binatang tersebut. Sesungguhnya, pemujaan dalam
bentuk ritus-ritus yang dilakukan pada benda totemik bukanlah penyembahan
terhadap binatang. Pemujaan itu adalah pada citra yang ada pada benda totemik
tersebut. Dalam hal inilah, Durkheim dipengaruhi oleh pemikiran Jevons, sekaligus
mengkritik pemikiran Tylor. Durkheim melihat bahwa pemikiran Tylor telah
mereduksi totemisme menjadi sebatas pemujaan terhadap leluhur. Sementara Jevons
mengkaitkan totemisme dengan pemujaan terhadap alam10
.
Benda totemik berangkat dari kebingungan masyarakat kolektif terhadap
ketidakteraturan fenomena alam. Menghadapi hal itu, manusia lalu mengisi dunia ini
dengan makhluk-makhluk supernatural. Oleh karena itu, manusia perlu melakukan
perdamaian dengan kekuatan-kekuatan dahsyat yang di sekelilingnya. Cara terbaik
untuk selamat dari fenomena alam tersebut adalah bersukutu dengan salah satu
makhluk spritual guna memdapat bantuan dari mereka.
8 Edward Brunnet Tulor, Primitive Culture, Vol. 1, New York, Hendry Holt, 1874, Vol. I, hal.
402, Vol. II, hal. 237, dan “Remarks on Totemism, With Special Reference to Some Modern
Theories (Respecting) It” dalam JAI, Vol. XXVIII, 1899, hal. 133-148. 9 Albertus Christian Kruijt Wilken, Het Animisme bij den Volken van den indischen Archipel,
Cravenhage, M. Nijhoff, 1906, hal. 69-75. 10
Frank Byron Jevons, Introduction to the History Religion, London, Methuen, 1902, hal. 96.
Pada masa primitif bentuk persekutuan yang paling dekat adalah persekutuan
sedarah. Setiap anggota akan saling tolong-menolong sebab mereka adalah anggota
sebuah marga. Sementara itu, marga yang berbeda dengan mereka merupakan
musuh yang harus dihadapi secara bersama-sama. Jalan satu-satunya jalan
mendapatkan dukungan dari makhluk supernatural adalah menerima mereka sebagai
saudara sedarah atau menyerahkan diri sebagai saudara sedarah dari makhluk
tersebut. Makhluk yang dianggap supernatural inilah yang menjadi totem bagi marga
tersebut. Oleh karena itu, totem merupakan penyatuan marga melalui simbol atau
citraan makhluk supernatural.
II
173-182 Dari uraian Durkheim sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada dua jenis totem, yaitu:
totem individu dan totem kolektif. Masalahnya adalah, totem mana yang terlebih
dahulu ada, totem individu atau totekm kolektif ? Bila totem individu yang
mendahului totem kolektif, maka agama lahir dari kesadaran individu. Dalam
perspektif ini, totem kolektif merupakan totem individu yang diterima secara
menyeluruh. Seseorang yang telah menerima manfaat totem ini, akan diteruskan dan
diwariskan kepada generasi berikutnya. Kemudian keluarga besar yang telah
menerima warisan totem individu itu akan menjadikannya menjadi totem kolektif.
Yang perlu mendapat penjelasan berikutnya ialah asa usul totemisme
individual itu. Durkheim mengutip pendapat Hill Tout yang menganggap totem
individual merupakan bentuk yang lebih spesifik dari fetisisme (suatu transformasi
budaya). Seseorang yang menerima dirinya diancam oleh roh-roh jahat memiliki
perasaan untuk mempertahankan diri dengan mencari perlindungan dari unsur di luar
dirinya. Dengan demikian, lahirlah totem individual. Jadi, proses lahirnya totem
individual memiliki kesamaan dengan proses kelahiran totem kolektif sebagaimana
pendapat Jevons.
III
182-186 Kelahiran totemisme dengan ciri-ciri yang fundamental dapat dilihat dalam konsepsi
totem bagi suku Arunta. Durkheim mengacu pada pendapat Fraser untuk
menjelaskan hal ini. Suku Arunta belum memahami kaitan antara hubungan seksual
dengan proses kelahiran. Dengan demikian, mereka memahami setiap kehamilan
merupakan „kehamilan mistis‟
Menurut suku Arunta, kehamilan mistis merupakan proses masuknya jiwa
leluhur ke dalam tubuh seorang wanita, yang kemudian menjadi inti kehidupan
(manusia) baru. Jadi, saat seorang wanita mulai merasa gerakan janin dalam
kandungannya, dia berimajinasi telah kemasukan salah satu jiwa yang menjadi
penunggu tempat dimana dia pertama kali merasakan gerakan janin itu. Itulah
sebabnya, totem bagi masyarakat Arunta selalu dikaitkan dengan tempat. Konsep
hubungan antara tempat dan totem juga yang menjadi dasar bagi masyarakat Arunta
untuk menempatkan Churinga pada tempat khusus. Di tempat itu, mereka akan
melakukan upacara-upacara ritual.
Ketika seorang wanita merasa dirinya telah hamil, dia harus berpikir bahwa
roh-roh yang dia yakini sebagai miliknya telah mendatanginya melalui objek-objek
yang ada di sekitarnya. Objek yang menjadi perantara roh atau leluhur mendatangi
seorang perempuan adalah tumbuhan atau melihat yang sedang dia lihat atau yang
menarik perhatiannya. Melalui cara berpikir demikian, pada suatu saat nanti, bayi
yang lahir itu dianggap sebagai bagian dari tumbuhan atau binatang tadi. Oleh
Frazer, model totemisme seperti disebut dengan totemisme “konsepsional”
Chapter Six
ORIGINS OF THESE BELIEFS
(CONTINUED)
The Nature Of Totemic Principle, Or Mana, and the idea of Force
I
190-192 Totemisme bukanlah agama yang menyembah binatang, orang-orang tertentu atau
citraan-citraan lain. Totemisme merupakan agama yang menyembah kekuatan
anonim dan impersonal yang bisa dikenali dalam bentuk spesies binatang tetapi
tidak identik dengan spesies tadi. Disamping memiliki alam kekuatan fisik,
totemisme juga memiliki alam kekuatan moral.
Ketika seorang penduduk primitif ditanya, mengapa mereka menjalankan
ritus-ritus tertentu, maka mereka akan menjawab karena leluhur mereka telah
berbuat demikian pada waktu sebelumnya. Dengan demikian, mereka pun wajib
mengikuti teladan nenek moyang itu. Totem adalah sumber kehidupan moral sebuah
marga. Segala sesuatu yang bernaung di bawah prinsip totemik itu terikat pada
kewajiban moral yang sama, dengan demikian mereka dituntut untuk hidup saling
tolong menolong. Oleh karena itu, prinsip totemik tidak sekedar kekuatan fisikal
semata, tetapi mencakup daya moral sekaligus.
II
193-200 Perubahan konsep totem menjadi agama perlu juga untuk ditelaah. Durkheim dalam
buku ini melihat benang merah keterkaitan antara agama dan totem. Agama
masyarakat asli Samoa misalnya, yang menurut Durkheim telah melewati fase
totemik. Namun, warisan totem itu belum dapat dihilangkan dari agama masyarakat
Samoa.
Agama masyarakat Samoa menjelaskan bahwa dewa-dewi mereka masih
menguasa satu kelompok terotorial atau kekeluargaan, seperti halnya totemisme
marga. Tuhan tidak bersemayam pada obyek yang partikular sebagaimana
pemahaman totem, tetapi Tuhan itu imanen yang mengejewantah pada satu spesies
binatang tertentu. Buku ini menjelaskan titik peralihan dari totem pada agama adalah
pengejewantahan Tuhan yang imanen pada salah satu spesies binatang tertentu. Titik
perbedaannya, persemayaman Tuhan bagi agama tidak dibatasi pada satu obyek
partikular, berbeda dengan totem yang meyakini persemayaman Tuhan pada satu
obyek partikular. Pada tahap ini pergeseran Tuhan sebagai objek impersonal sudah
terjadi.
Bagi masyarakat Amerika terdapat keyakinan terhadap kekuatan dewa-dewi
yang menjadi sesembahan mereka, disebut dengan wakan. Wakan merupakan
sumber dari segala sesuatu yang oleh para peneliti menerjemahkannya dengan „roh
agung‟ (great spirit). Wakan bukanlah sesuatu yang personal dan dapat
didefinisikan. Seorang peneliti mengatakan bahwa wakan merupakan Tuhan yang
dapat mengubah sifat dan fungsinya sesuai dengan keadaan dan lingkungan.
Konsep Wakan dalam masyarakat Amerika juga terdapat pada masyarakat
Melanesia. Meskipun terdapat pemahaman yang berbeda, namun paham itu
dibangun pada cara berpikir yang sama. Orang Melanesia percaya dengan
keberadaan sebuah daya asbolut yang berbeda dari kekuatan fisik, yang bekerja
dalam setiap hal, untuk tujuan yang baik atau jahat. Manusia memiliki kepentingan
yang sama untuk menguasai dan mengontrol daya tersebut. Daya tersebut disebut
dengan Mana. Mana adalah sebuah daya, yang memiliki pengaruh non material dan
supernatural, akan tetapi dia mengejewantahkan dirinya dalam bentuk kekuata fisik
atau dengan bentuk kekuatan dan superioritas lain yang dimiliki manusia. Mana
terdapat dalam objek-objek tertentu, dia bisa dibawa-bawa bila ditaruh pada suatu
tempat. Seluruh masyarakat Melanesia memiliki benda yang berisi mana ini untuk
tujuan dirinya sendiri maupun orang lain.
III
201-205 Pemujaan totemik tidak ditujukan pada binatang atau tumbuhan tertentu, tetapi
terhadap daya-daya yang mengalami difusi dalam berbagai bentuk, baik itu binatang
maupun tumbuhan. Ide seperti ini mendominasi seluruh sistem religius, terutama
agama yang lahir dari sistem pemujaan totem. Ide pemujaan dalam totem itu
merupakan dasar yang dijadikan agama sebagai objek penyembahan dan penyerahan
diri terhadap daya-daya tersebut. Hal itu telah berlaku sepanjang sejarah.
Hal itulah yang membentuk sistem keyakinan pada agama masyarakat
Amerika sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang disebut dengan Wakan. Wakan
merupakan daya yang muncu dan hadir di dunia serta menjadikan hal yang sakral
sebagai tempatnya bersemayam. Konsepsi tentang Wakan berbeda dengan animisme
dan naturisme. Jika masyarakat Amerika menyembah matahari, bulan, dan bintang,
bukan berarti itu pemujaan pada objek tersebut. Benda-benda dalam konsep Wakan
hanya objek ritus, dimana objek itu menjadi sakral disebabkan daya supranatural
yang bersemayam di dalamnya. Artinya, daya supranatural telah menyatu pada
substansi-substansi material.
Penyatuan daya supranatural pada substansi material terikut juga pada sistem
kata dan gerak. Suara yang diucapkan atau gerak yang dilakukan hanya akan
menimbulkan dampat melalui kata atau gerak tanpa sedikit pun akibat bantuan dari
dewa atau roh. Kekuatan sebuah daya supranatural terletak dalam sebuah ritus, dan
melalui ritus tersebut akan menciptakan dewa-dewi atau tuhan. Dengan demikian,
cara inilah yang seringkali dipakai untuk mempersonalkan tuhan secara mistis.
Durkheim pada tahun 1899 mengusulkan agar konsep personalitas mistis itu tidak
dibawa dalam mendefinisikan agama.
Chapter Seven
ORIGINS OF THESE BELIEFS
(CONCLUSION)
Origins of the Notion of Totemic Principle, of Mana
I
207-208 Totem merupakan simbol yaitu ungkapan dan ekspresi yang kasat mata dari sesuatu
yang lain. Sehingga kesan yang ditangkap manusia tentang kadal, ulat, tikus, katak,
kalkun, serta simbol-simbol totem lainnya tidak memiliki kemiripan dengan emosi
religius yang kuat dan agung yang mengharuskan kesakralan dilekatkan pada
binatang atau tumbuhan totem. Dengan demikian, lambang dan simbol yang ada
pada objek totemik merupakan sumber religius yang harus ditemukan. Artinya,
objek totem yang direpresentasikan oleh lambang atau simbol hanya menerima
refleksi dari sesuatu yang religius.
II
208-216 Dalam akar pikiran manusia, masyarakat secara umum memiliki segala hal yang
diperlukan untuk merangsang kepekaan terhadap ketuhanan. Tuhan pada awalnya
adalah sesuatu yang dipandang manusia lebih superior daripada dirinya, sehingga
Dia menjadi tempat untuk menggantungkan kepercayaan. Masyarakat memiliki
peranan dalam perkembangan agama di kemudian hari, dimana masyarakat
menimbulkan semacam ketergantungan kepadanya. Masyarakat menuntut kita agar
menjadi pelayan serta menyuruh kita melupakan segala kepentingan pribadi. Agama
mengikat kita dengan segala macam bentuk kekangan, privasi, dan pengorbanan.
Apabila hal ini tidak ada, Durkheim berkata kehidupan sosial mustahil ada. Oleh
karena itu, kita harus mematuhi aturan-aturan tingkah laku dan pikiran yang
sebenarnya tidak kita buat maupun butuhkan dan kadangkala malah bertentangan
dengan keinginan atau instring dasariah kita.
Seorang individu menunjukkan kepatuhan terhadap agama merupakan hasil
dari konsesi masyarakat yang memaksa pengorbanan dengan tekanan-tekananan
fisik. Yang timbul dalam pikiran manusia tentang agama itu adalah kekuatan fisik,
bukan kekuasaan moral yang melekat pada agama tersebut. Masyarakat pada
akhirnya merupakan objek rasa hormat manusia. Tata laku demikian tidak dapat
dicapai oleh keadaan kesadaran individual. Dengan demikian, manusia tidak lagi
menjumpai kekuatan di dalam dirinya.
Akibat dari konsep agama yang dilahirkan oleh masyarakat, maka Tuhan merupakan
pihak yang menekan kekuatan kita. Manusia menaati Tuhannya, dengan demikian
manusia itu merasa bahwa tuhan telah bersama dengan dia. Situasi ini menimbulkan
rasa bagi manusia itu bahwa dia telah cukup memiliki kekuatan. Tata laku seperti ini
menjadi rasa kolektif bagi masyarakat sebab masyarakat itu sendiri dibentuk masing-
masing individu. Metode seperti inilah yang akhirnya membentuk agama sebagai
realitas sosial di tengah-tengah masyarakat. Kesadaran kolektif inilah yang
menundukkan masing-masing individu untuk patuh pada nilai kesakralan agama.
III
216-225 Durkheim menjelaskan dua fase kehidupan masyarakat Australia. Pertama, populasi
masyarakat tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang mendiami wilayah
masing-masing secara permanen. Kedua, hidup bersama pada satu tempat selama
beberapa hari atau bulan. Pemusatan ini terjadi saat sebuah marga atau sebagian
anggota suku diundang untuk berkumpul bersama mengadakan upacaya religius,
atau yang lazim disebut dengan corroboree (ritus seperti ini berbeda dengan ritus
lain karena boleh diikuti oleh wanita dan anak-anak yang belum diinisiasi).
Banyak hal yang akhirnya terjadi saat corroboree diadakan. Itu terjadi akibat
potensi emosional dan hasrat orang primitif belum sepenuhnya ditaklukkan rasio dan
kehendaknya. Karena hasrat dan keinginan begitu kuat dan bebas dari segala bentuk
kontrol yang tidak dapat dibentung, maka dari segala penjuru yang ada hanyalah
gerakan-gerakan liar dan kasar, teriakan, lolongan, dan suara-suara yang
memekakkan telinga yang bertujuan untuk mempertajam intensitas ekspresi tadi.
Suara-suara itu akhirnya membentuk bentuk harmoni yang ritmis dan teratur, dan
kemudian berubah menjadi nyanyian dan tari-tarian.
Akhirnya, sistem sosial yang terbentuk pada masyarakat Australia ini terbagi
dalam dua, yakni: pertama, dunia profan waktu menjalani ritme kehidupan; kedua,
dunia sakral dimana kekuatan emosionalnya mengangkat dirinya memasuki ekstasi
rohani. Dua fase kehidupan ini menciptakan garis penghubung. Penghubung ini
terletak saat mereka memaknai totem dari simbol-simbol yang akrab dijumpai pada
fase kehidupan pertama, yaitu: binatang, tumbuhan, bahkan berbagai jenis warna-
warni. Simbol itu berubah menjadi totem saat mereka menjalani corroboree. Lambat
laun, proses asimilasi simbol kehidupan pada fase pertama menjadi totem setelah
menjalani kehidupan fase kedua akan melahirkan totem-totem kelompok. Totem
kelompok ini secara otomatis mengikat totem individual. Akibatnya, mereka
memahami bahwa kehadiran lambang-lambang totemik bersifat imanen sebab
simbol pada lambang totemik akrab dijumpai pada fase kehidupan pertama.
Situasi ini mengakibatkkan munculnya daya dorong moral dalam kehidupan
kolektif masyarakat. Daya dorong moral ini dilatarbelakangi oleh penjelasan di atas,
yaitu simbol totem yang akrab dijumpai pada kehidupan fase pertama. Perwujudan
simbol totem dalam bentuk material yang sering dijumpai pada kehidupan fase
pertama menimbulkan moral kolektif tentang apa yang dapat dilakukan dan yang
tidak dapat dilakukan. Daya dorong moral inilah yang menghidupkan dan
mendisiplinkan kesadaran, yang menyebabkan tumbuhan dan binatang bisa
berkembang biak. Karena itu, titik persinggungan antara kehidupan fase pertama dan
kedua ini menjadikan agama mampu menjadi rahim tempat benih prinsip peradaban
manusia dapat bertumbuh dan berkembang. Agama telah menyatakan dirinya
realitas sebagai kesatuan yang utuh antara dunia material dengan dunia moral.
Sehingga kekuatan yang menggerakkan tubuh dan pikiran akhirnya dipandang
sebagai wujud religius. Durkheim berpendapat, perumusan antara teori dan praktek,
sadar atau tidak sadar pertama sekali lahir dari agama.
IV
225-231 Biasanya, ide-ide religius sering dikaitkan dengan perasaan-perasaan lemah dan
tertindas atau rasa takut dan was-was. Manusia mengimajinasikan dirinya dikelilingi
oleh daya-daya yang jahat dan menakutkan. Tujuan utama setiap ritus sering
diperuntukkan untuk membujuk daya-daya tersebut agar tidak marah kepada
manusia. Durkheim berpendapat, pandangan seperti ini tidak dapat dipergunakan
untuk memahami proses lahirnya agama.
Durkheim berpendapat bahwa proses kelahiran agama berawal dari kesadaran
bahwa dewa-dewi adalah kawan, sahabat karib, dan pelindung. Agama bukan
halusinasi yang tidak bisa diterangkan dan yang tidak bisa dilihat akarnya di dalam
realitas. Setiap orang mengikuti ritus dalam agama akibat dari keyakinan bahwa di
dalamnya terdapat daya-daya moral yang harus diikuti dan tempat mereka menerima
petunjuk tentang apa yang terbaik untuk mereka. Daya moral itu adalah masyarakat.
Hal ini menjelaskan hubungan antara agama dan masyarakat, bahwa masyarakat
yang membentuk agama sekaligus di dalam masyarakat muncul daya dorong moral
yang didasarkan pada agama tersebut. Daya dorong ini serta merta mengikat setiap
individu dalam masyarakat tersebut.
Karena itu, agama bukanlah representasi natural alam semesta. Tugas utama
yang terutama adalah menjadi satu sistem ide yang digunakan oleh setiap individu
untuk mengimajinasikan masyarkat tempat mereka menjadi anggotanya. Dengan
demikian, agama berperan juga sebagai pengikat yang kabur, namun cenderung
insting, sesama individu di dalam masyarakat.
V
231-236 Mengapa ide tentang totem dan lambang marga bisa terbentuk ?. (1) Apa yang
menyebabkan sebuah marga memilih satu lambang marga tertentu ? (2) Kenapa
lambang-lambang ini mengambil wujud binatang atau tumbuhan, khususnya, dunia
binatang ?.
Marga adalah sebuah masyarakat yang tidak bisa berjalan bila tidak ada
lambang atau simbol. Sebuah kumpulan marga tidak bisa didefinisikan dengan
wilayah teritorial yang dikuasai karena saat itu pola hidup masyarakat bersifat
nomadik. Sistem nomadik mengakibatkan penguasaan teritori sebuah marga tidak
terikat dengan sama sekali dengan tempat dan wilayah. Untuk itu, masyarakat
primitif perlu membuat nama kolektif sebagai tanda kesatuan bersama dengan
sesama anggota marga itu. Biasanya, tanda itu diwujudkan melalui gambar atau
lukisan pada tubuh individu-individu anggota masyarakat itu. Melalui tanda-tanda
tersebut, maka setiap individu dalam kelompok marga yang sama akan merasakan
kesatuan antara yang satu dengan yang lainnya.
Biasanya, tanda kolektif yang berlaku pada sekelompok marga lebih banyak
menggunakan simbol binatang. Mengapa demikian ? Di atas telah dijelaskan bahwa
pola hidup masyarakat primitif saat itu masih bersifat nomaden. Ciri khusus sistem
ekonomi masyarakat nomaden ialah berburu dan mencari ikan. Oleh sebab itu,
segala sesuatu akan dijadikan lambang harus berasal dari hal-hal yang sangat dekat
dengan keseharian manusia, dan binatanglah yang paling memenuhi persyaratan ini.
Jenis tumbuh menempati urutan kedua sebagai tanda totemik sebab saat itu budidaya
pertanian belum lazim pada masyarakat primitif.
Menurut penelitian Strehlow yang dikutip oleh Dukrheim menjelaskan bahwa
pusat totemik biasanya di dekat sebuah gunung, mata air atau ngarai yang menjadi
habitat binatang-binatang yang dijadikan totem kelompok. Oleh karena itu masing-
masing kelompok memilih lambang binatang atau tetumbuhannya sesuai dengan
binatang atau tetumbuhan yang sangat banyak mendiami daerah tempat marga
tersebut melakukan ritual mereka.
VI
236-241 Pada bagian ini, Durkheim hendak menjelaskan bagaimana logika riligius
masyarakat primitf dapat menjelaskan asimilasi antara alam dengan manusia.
Masyarakat primitif sangat menekankan insting antropomorfik. Ada dua pencitraan
yang dilakukan sekaligus dalam insting antropomorfik ini. Manusia
mengimajinasikan dunia dalam dirinya, sekaligus mengimajinasikan dirinya pada
dunia. Dua insting ini berjalan sekaligus.
Bagaimana dua hal dapat berjalan sekaligus ? Agama memiliki peran dalam
proses asimilasi tersebut. Pemahaman fundamental totemisme ialah bahwa seluruh
anggota marga direpresentasikan dalam tanda totemik. Dengan demikian, marga
tidak akan pernah ada tanda sebuah nama dan lambang. Oleh sebab itu, perasaan
yang muncul dalam masyarakat selalu diarahkan pada lambang dan objek yang
menjadi citraannya. Dengan demikian kehidupan sosial telah memprakarsai insting
religius dalam masyarakat.
Agama memiliki peran untuk mengkonstruksi representasi hubungan keluarga
pada sebuah simbol totemik. Agama bersifat sosial dalam memainkan peranan untuk
mengatur dan mengontrol kesan-kesan yang ditangkap oleh indera manusia. Kesan
yang ditangkap itu ditukar untuk mencitrakan realitas. Hasil dari pencitraan itu
menjadi pikiran baru, yaitu pikiran kolektif. Cara berpikir seperti ini berlaku secara
khusus untuk menjelaskan hubungan manusia dengan realitas di luar dirinya, secara
khusus dunia binatang dan tumbuhan. Kesan yang muncul terhadap realitas di luar
dirinya itu melahirkan pencitraan yang membentuk kesadaran kolektif sehingga
menjadikan realitas itu menjadi simbol totemik bagi mereka. Disinilah peranan
agama, yakni membentuk citra atas realitas di luar diri tersebut. Dengan demikian,
pemikiran agama tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial masyarakat.
Chapter Eight
THE NOTION OF SOUL
I
242-248 Setiap agama memiliki representasi-representasi kolektif yang berkaitan dengan
jiwa, asal dan tujuannya. Durkehim mencatat bahwa seluruh masyarakat Australia
meyakini bahwa setiap tubuh manusia mengandung sesuatu yang inferior sifatnya,
yakni prinsip kehidupan yang menggerakkan dan menghidupkan tubuh tersebut, dan
itulah yang dinamakan jiwa. Namun, tidak mudah menentukan seperti apa ide orang
Australia menyangkut jiwa, sebab ide mereka tentang jiwa sangat kabur dan
bermacam-macam.
Dalam beberapa kasus, masyarakat Australia berpendapat bahwa jiwa
merupakan penampakan eksternal (external appearance) dari tubuh. Sementara pada
kasus lain, jiwa diimajinasikan sebagai sesuatu yang ukurannya sangat kecil sebesar
biji arah sehingga bisa melewati celah yang sangat kecil. Dalam konteks ini, Dawson
mengatakan bahwa anak-anak di bawah umur 4 atau 5 tahun tidak memiliki roh
ataupun kehidupan setelah mati. Sementara pada sisi lain, jiwa juga dianggap dalam
wujud binatang. Dengan kata lain, wujud jiwa sama sekali tidak tetap dan tidak jelas.
Jiwa dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu untuk menyesuaikan diri
dengan keadaan mitos dan ritus. Dia tercipta dari substansi yang tidak bisa
didefenisikan. Dengan wujud yang tidak jelas ini, kita belum bisa menentukan
bahwa jiwa itu sesuatu yang immaterial. Pada kenyataannya, ide tentang jiwa bagi
masyarakat Australia menjelaskan bahwa dia sesungguhnya memerlukan sesuatu
yang bersifat fisik, seperti: makan, tetapi hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, dia
bisa dimakan. Artinya, jiwa dapat menjalani hidup yang lazim dijalani oleh manusia.
Ketika jiwa itu berada di dahan-dahan pohon, dia bisa membuat pohon itu bergerak
dan bersuara sehingga makhluk profan dapat mendengarnya.
Sementara pada sisi lain, ahli-ahli magis dan orang tua memiliki kemampuan
untuk melihat jiwa, meskipun jiwa itu tidak bisa tercerap pada tubuh inderawi.
Kemampuan untuk melihat jiwa itu merupakan kemampuan khusus. Bila jiwa itu
mendatangi orang biasa, maka keistimewaan itu hanya dinikmati sekali seumur
hidup dan tidak akan terulang lagi. Kesempatan itu terjadi saat seseorang menjelang
ajalnya. Kemampuan ini kemudian dikatakan sebagai tanda ke-arwah-an
(spritualness). Oleh karena itulah, suku-suku di wilayah Tully River berpendapat
bahwa jiwa merupakan sesuatu yang immaterial karena jiwa itu tidak dapat dicerap
oleh panca indera tubuh manusia.
Meskipun penjelasan di atas mencerminkan pemisahan antara tubuh dan jiwa,
tetapi bentuk pemisahan itu tidak bersifat absolut. Jiwa tetap dipahami memiliki
keterkaitan dengan kehidupan tubuh. Keterkaitan itu juga mencakup pada tingkatan
asimilasi parsial. Artinya, bagian-bagian tubuh fisik bukan hanya sekedar tempat
bersemayam jiwa, melainkan tampakan luar dari jiwa itu sendiri. Sebagai contoh:
saat darah mengalir, jiwa juga mengalir bersama dengan darah itu. Inilah latar
belakang pemikiran yang mengatakan bahwa masing-masing bagian tubuh memiliki
jiwa masing-masing.
Pemikiran asmilasi parsial tersebut di atas menegaskan bahwa dalam satu
tubuh manusia bisa saja terdapat banyak jiwa. Jiwa hati tidak bisa disamakan dengan
jiwa nafas, atau jiwa dari beberapa organ manusia lainnya. Namun, masing-masing
jiwa itu saling berkaitan tetapi harus tetap dibedakan.
Pemahaman ini sangat kental terlihat pada proses kematian seseorang. Jiwa
yang terdapat pada nafas seseorang itu akan meninggalkan tubuhnya ketika dia
mengalami kematian. Namun, jiwa nafas itu tetap berada pada sisi orang mati itu
sebab organ tubuh masih utuh dan memiliki jiwa. Dari sinilah awal dari ritus
pemakaman atau pembakaran orang mati yang bertujuan untuk melepaskan jiwa dari
seluruh organ tubuh sebab dengan hancurnya seluruh organ tubuh maka hal yang
sakral itu terlepas dari tubuh manusia. Hal yang sakral itulah yang disebut dengan
jiwa.
Tetapi masih ada kemungkinan salah satu tubuh organ manusia itu masih
tersisa meskipun sudah dimakamkan atau dibakar. Organ tubuh yang tinggal
biasanya masih diyakini memiliki jiwa atau yang sakral. Untuk itu, masyarakat
primitif biasanya mengambil sisa dari organ tubuh, seperti tulang belulang, untuk
dijadikan sebagai benda-benda sakral atau peralatan magis. Hal itu tetap dilakukan
sekalipun organ tubuh seperti tulang belulang itu sudah gosong. Namun, jiwa itu
akan terlepas dari manusia yang mati itu bila organ tubuh itu hancur secara total.
Kala manusia telah mati dan jiwa meninggalkan tubuh yang hancur itu, maka
jiwa itu akan berangkat ke “negeri jiwa-jiwa”. Pemahaman tentang „negeri jiwa-
jiwa‟ ini berbeda antara suku yang satu dengan suku lainnya. Alam negeri jiwa-jiwa
ini memiliki kesamaan dengan geografis dunia orang hidup. Disana masih terdapat
matahari; sungai yang mengalir, dan sebagainya. Konsep ini dibangun dalam sistem
masyarakat Arunta serta suku lainnya di Australia. Di wilayah lain Australia, seluruh
orang yang mati, apapun totemnya, dianggap hidup bersama di sebuah tempat yang
tidak dijelaskan dengan pasti. Ada suku yang mengatakan pada sebuah pulau di
tengah samudera luas. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa jiwa itu akan naik
ke langit, melampaui awan-awan. Menjelaskan ini, Dawson mengutip pendapat
Durkheim, “Di sana terdapat negeri yang begitu indah dipenuhi kangguru dan
berbagai macam permainan. Singkatnya seluruh kehidupan yang menyenangkan ada
disana. Jiwa-jiwa saling bertemu disana dan antara yang satu dengan yang lain
saling mengenal”. Konsep ini sepertinya memiliki kemiripan dengan pengajaran
para missionaris Kristen. Dengan demikian, ide tentang setiap jiwa yang naik ke
langit setelah kematian memiliki kemiripan di antara beberapa agama yang ada di
benua lain.
II
249-259 Bentuk elementer dari sebuah kepercayaan adalah pemahaman tentang jiwa, dan
kemana tujuan dari jiwa tersebut. Menemukan pemahaman ini tentu harus terlebih
dahulu diusahakan sumber prinsip roh dan bagaimana roh itu dirasakan oleh
masyarakat primitif itu. Jika permasalahan ini dianalisa dengan tepat, maka
pemahaman terhadap jiwa itu akan dapat ditemukan.
Durkehim mencoba menjelaskan ide tentang jiwa dan kemana tujuan jiwa itu.
Mengacu pada pendapat Spencer dan Gellen, bahwa jiwa itu datang kepada setiap
generasi melalui bayi-bayi yang lahir. Suku-suku di Australia tengah memiliki ide
bahwa jumlah jiwa-jiwa itu terbatas. Kuantitas jiwa itu tidak akan mungkin
bertambah. Ketika seseorang meninggal dunia, maka jiwanya akan meninggalkan
raga kemudian pergi ke negeri jiwa-jiwa. Selang beberapa waktu, jiwa itu akan
berinkarnasi dan menyebabkan terjadinya kelahiran.
Di balik proses inkarnasi jiwa ini sehingga mengambil bentuk pada bayi yang
lahir di generasi berikutnya, tentu harus ada penjelasan ide tentang jiwa yang
pertama melahirkan manusia pertama pada salah satu suku. Jiwa demikian disebut
sebagai jiwa utama dimana jiwa itulah yang menghidupkan para pendiri marga saat
permulaan waktu. Pada suku Arunta, jiwa yang menghidupkan pendiri marga itu
disebut Altjirangamitjina, yaitu sesuatu yang tidak diciptakan atau sesuatu yang
menjadi sumber segala keabadian. Alcharinga adalah nama yang diberikan orang
Arunta untuk suatu masa dimana segala makhluk dan segala sesuatu yang mistis
hidup. Makhluk mistis ini diorganisir berdasarkan marga-marga totemik seperti
manusia yang hidup saat ini.
Pada suatu waktu, makhluk mistis tersebut berakhir sehingga secara terpisah
menurut kelompok, makhluk-makhluk itu lenyap masuk ke dalam perut bumi.
Tubuh dari makhluk mistis berubah menjadi pohon atau bebatuan yang berada persis
pada tempat makhluk itu lenyap ke dalam perut bumi. Masyarakat primitif akan
terus mengunjungi tempat dimana tubuh atau wujud makhluk itu lenyap di telan
bumi. Karena mereka selalu lekat dalam ingatan, maka tempat-tempat ini pun
memiliki kualitas kesakralan sehingga masyarakat primitif akan meletakkan
churinga pada tempat ini. Saat jiwa yang ada pada tempat itu masuk ke dalam tubuh
seorang perempuan, berarti proses pembuahan yang menyebabkan kelahiran akan
terjadi. Dengan demikian, setiap individu dianggap sebagai avatar (inkarnasi) dari
leluhur. Dengan kata lain, seorang individu merupakan leluhur itu sendiri yang
dilahirkan kembali ke dalam tubuh dan ciri-ciri yang baru. Namun, selalu ada
pertanyaan yang harus dijawab, siapakah leluhur itu ?
Pertama, leluhur itu merupakan pribadi yang memiliki kemampuan melebihi
kemampuan manusia biasa. Kelebihan itu bisa dilihat pada kemampuan berjalan di
atas tanah, di dalam tanah dan di udara. Merekalah yang menciptakan dan
memberikan wujud kepada daratan sebagaimana terlihat sekarang; menciptakan
makhluk hidup, baik manusia maupun binatang. Bisa dikatakan, mereka inilah
semacam dewa-dewi. Karena jiwa manusia adalah jiwa leluhur yang berinkarnasi ke
dalam tubuh manusia, maka jiwa ini bersifat sakral.
Kedua, para leluhur itu tidak bisa dikatakan sebagai manusia dalam arti
sesungguhnya. Di dalam diri leluhur, terdapat juga unsur binatang atau tumbuhan.
Menurut Spencer dan Gillen, hal ini terjadi sebab ide tentang leluhur dibangun
dalam konteks masa legenda. Misalnya sosok Alcheringa, yang dibayangkan sebagai
makhluk setengah manusia, setengah kanguru. Personalitas leluhur sebagai manusia
berada dalam bayangan hakikat binatang maupun tumbuhan. Unsur manusia dan
binatang menyatu dalam diri leluhur tersebut. Jadi substansi jiwa-jiwa sama dengan
prinsip totemik.
Strehlow memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat Spencer dan
Gillen mengenai ide inkarnasi. Menurut Strehlow, jiwa tidak berinkarnasi. Ketika
seorang individu meninggal, maka jiwanya akan pergi ke pulai orang-orang mati
untuk menghabiskan waktu dengan tidur di siang hari dan menari di malam hari,
sampai suatu hari dia turun ke bumi. Jiwa itu akan kembali ke lingkungan orang-
orang yang hidup dan akan berperan sebagai jin pelindung bagi cucu laki-laki yang
ditinggalkannya. Memang, jiwa itu dapat masuk ke dalam tubuh keturunannya tetapi
sebatas untuk memberi pertumbuhan. Jadi, jiwa itu tidak berintegrasi pada individu
yang lain, tetapi jiwa itu tetap berada di lingkungan keluarga yang ditinggalkannya.
Jadi, jiwa tidak dapat berinkarnasi pada individu yang lain. Sementara itu, proses
kelahiran tidak ada kaitannya dengan reinkarnasi jiwa ke dalam tubuh individu yang
baru.
III
259-265 Doktrin reinkarnasi yang telah dikaji sebelumnya merupakan doktrin yang terdapa
dalam suku Australia tengah. Pada suku Australia Tengah terdapat kata yang dikenal
mura-mura, yang dapat diterjemahkan dengan Roh yang Baik. Menurut Gason
sebagaimana dikutip oleh Durkheim, di dalam kata mura-mura terkandung
keyakinan akan adanya satu tuhan pencipta.11
Kata ini merupakan nama kolektif
yang merujuk pada kumpulan leluhur yang hidup pada masa awal pembentukan
suku. Jiwa-jiwa itu diyakini masih hidup persis seperti kehidupan masa lalu yang
diyakini mendiami pepohonan, yang mengakibatkannya menjad objek sakral.
Bagian-bagian tertentu dari batu, pohon, atau mata air tadi ada yang diidentifikasi
sebagai mura-mura.
Bila sedikit bergeser ke arah Australia Utara, terdapat suku Niol-Niol.
Pemahaman tentang jiwa menurut suku Niol-Niol hampir sama dengan suku Arunta.
Setiap kelahiran selalu dikaitkan dengan inkarnasi jiwa yang telah ada sebelumnya
telah masuk ke dalam tubuh perempuan. Hal itu berarti ada semacam kontinuitas
jiwa yang terjadi antar generasi. Jiwa yang sama berpindah dari leluhur kepada
keturunan berikutnya. Jiwa yang berpindah ini merupakan jiwa yang menghidupkan
leluhur pertama, pada saat permulaan segala sesuatu.
Ide tentang jiwa merupakan prinsip totemik yang diindividualisasi. Oleh
karena itu, jiwa harus memiliki hubungan yang erat dengan spesies binatang atau
tumbuhan. Spesies binatang dan tumbuhan inilah yang menjadi rujukan wujud dari
totem. Ide ini membentuk prinsip bahwa jiwa sering digambarkan dengan seekor
binatang.
IV
265-270 Jiwa dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Dia adalah lawan dari tubuh, sekaligus
bagian dalam dari hal yang profan. Jiwa dapat membangkitan perasaan-perasaan
yang merujuk pada sesuatu yang sifatnya ke-Ilahi-an. Memang di dalam diri
manusia terdapat dualitas, yaitu yang profan dan sakral. Segala sesuatu yang sakral
di dalam diri manusia tidak digerakkan oleh sesuatu dari luar, tetapi juga diatur dan
diorganisir oleh sesuatu dari dalam diri manusia itu.
11
Gason, “The Manners and Customs of the Dieyerie Tribe of Australian Aborigines” in [Edward
M.] Curr {The Australian Race, Its Origin, Languanges, Customs, Place of Landing in
Australia, and the Routes by Which It Spread Itself over That Continent, Melbourne, J. Ferres,
1886-1887}, vol. II, hlm. 47
Di dalam diri manusia ada unsur yang bersifat keilahian. Hal itu terjadi karena
di dalam diri manusia itu terdapat jiwa yang dipengaruhi oleh jiwa kolektifitas.
Artinya, jiwa individu merupakan bagian dari jiwa kolektifitas kelompok. Pada
umumnya jiwa individu terbentuk akibat dari akar psikologis. Sesuatu itu menjadi
sakral dan terbentuk dalam jiwa individu dibangkitkan oleh perasaan respek secara
kolektif yang menjauhkannya dari kontak terhadap hal-hal yang bersifat profan. Hal
seperti ini seringkali dikatikan dengan hal-hal spritual.
Sebagai contoh dapat dilihat pada churinga dan binatang totemik pada
masyarakat Australia. Churinga menjadi hal yang sakral disebabkan oleh lambang-
lambang totemik yang dilukis padanya mampu membangkitkan rasa respek kolektif.
Rasa respek kolektif ini akan terinkarnasi pada masing-masing individu.
V
270-272 Mengapa manusia percaya bahwa jiwa dapat membuat tubuh dapat bertahan hidup ?
Jiwa pada hakekatnya tidak dapat membuat tubuh bertahan hidup sebab kepercayaan
terhadap keabadian tidak terbentuk karean pengaruh ide tentang moralitas.
Eksistensi sesudah kematian tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai moral yang
dianut oleh masing-masing individu.
Ada dua pandangan yang berbicara tentang jiwa dan keabadian tubuh.
Pertama, orang primitif menerima kematian secara acuh. Di dalam kematian, tidak
banyak hal yang patut dipermasalahkan sebab sepanjang hidup mereka telah biasa
bersanding dengan bahaya. Dengan demikian, masyarakat primitif dengan mudah
menerima kematian. Kedua, keabadian jiwa tidak terikat pada satu personal tertentu
saja sebab jiwa itu harus melanjutkan misinya untuk menghidupkan tubuh-tubuh lain
sehingga menjadi kehidupan bagi personalitas yang baru.
Bagi masyarakat primitif, tidak ada pemahaman yang mengatakan bahwa
tuhan yang maha kuasa telah menciptakan jiwa dari ketiadakadaan. Bagi mereka
jiwa berasal dari jiwa lain, yaitu jiwa yang sudah ada sebelumnya. Pemahaman ini
tentu menguatkan konsep totemik pada suatu masyarakat marga kolektif. Konsep
jiwa yang berasal dari jiwa yang sudah ada sebelumnya telah menciptakan kesatuan
spritual marga tertentu sepanjang waktu, dari generasi yang lebih tua terhadap
generasi yang lebih muda. Oleh karena itu, jiwa-jiwa dikatakan abadi hanya sejauh
keabadian ini berguna untuk kelanggengan kehidupan kolektif suatu marga.
VI
272-275 Hakikat jiwa pada dasarnya hanyalah ekspresi simbolik dari personalitas seorang
manusia. Walaupun jiwa bersatu dengan tubuh, namun jiwa jelas-jelas berbeda dan
independen dari tubuh. Jiwa meminjam tubuh sebagai bentuk pisiknya dan akibat
dari bentuk pisik tersebut, jiwa menjadi terindividualisasi. Namun, bukan berarti
jiwa dapat dikatakan berhutang kepada tubuh.
Elemen yang membentuk ide tentang jiwa ini muncul dari dua pandangan.
Pertama, jiwa terdiri dari kesan dan citraan yang datang dari seluruh bagian tubuh.
Kedua, jiwa berasal dari ide dan perasaan-perasaan yang datang dari masyarakat dan
jiwa itu justru mengekspresikan masyarakat itu sendiri.
CHAPTER NINE
THE NOTION OF SPIRITS AND GODS
Pada bagian ini akan Emile Durkheim menggali tiga bentuk kategori spritual
menurut masyarakat Australia, dan bagaimana kategori-kategori tersebut cocok
dengan sistem religius secara keseluruhan tanpa harus masuk ke dalam mitologi
secara mendetail
I
276-284 Jiwa bukanlah roh sebab jiwa merupakan sesuatu yang terkurung dalam tubuh. Jiwa
hanya bisa pergi meninggalkan tubuh ketika kematian menjemput. Sementara itu,
roh terkait dengan objek khusus seperti mata air, batu-batuan, pohon, binatang-
binatang. Dengan demikian, jangkauan pengaruh roh lebih luas daripada jiwa.
Meskipun demikian, adakalanya jiwa memiliki kebebasan yang sama seperti roh.
Selama jiwa tidak kembali kepada tubuh, maka jiwa memiliki kebebasan bergerak
yang sama seperti roh.
Namun adakalanya roh mengalami kondisi dualitas, dimana roh itu merupakan
jiwa yang sebenarnya, yaitu jiwa-jiwa dari tokoh-tokoh terkemuka pada suatu
kelompok masyarkat kolektif. Disebutkan roh akibat dari kekuatannya yang pernah
menghidupkan tubuh-tubuh pada waktu lalu. Roh tersebut diyakini mempunyai
kekuatan yang luar biasa. Roh yang menghidupkan tubuh pada waktu lalu itulah
diyakini sebagai leluhur pada masyarakat primitif.
Leluhur itu menemani anak-anak yang sedang tumbuh dewasa dalam berburu,
bermain, sekaligus mengingatkannya tentang mimpi buruk serta melindunginya dari
musuh dan sebagainya. Dia memelihara jiwa anak-anak dari luar karena roh leluhur
itu tidak berinkarnasi seutuhnya pada tubuh anak-anak tersebut. Konsep ini memiliki
kemiripan dengan dengan konsep roh-roh para leluhur yang dikenal oleh orang Latin
dengan istilah genius, atau orang Yunani dengan daimon.
Genius merepresentasikan sebuah kekuasaan yang melindungi dan
membimbing individu-individu yang telah ia pilih. Dengan cara pandang yang sama,
orang Arunta di Australia memahami bahwa roh-roh leluhur berkedudukan sebagai
genius bagi anggota atau individu-inidivud masyarakat. Leluhur memiliki posisi
yang jelas dan berhubungan dengan seseorang. Menurut keyakinan masyarakat
Arunta, roh-roh leluhur itu mencari tempat di pepohonan atau bebatuan atau mata
air.
Roh yang berdiam pada objek-objek tertentu itu menimbulkan perasaan atau
respek religius bagi anggota masyarakat. Respek religius ini menghasilkan norma-
norma yang menjadi anutan bagi masyarkat primitif. Norma-norma itu dapat
berbentuk larangan, seperti: bila seseorang mematahkan cabang pohon, maka ia akan
jatuh sakit, atau bila seseorang menembang atau merusak pohon maka dapat
menyebabkan kematian. Bahkan, menangkap dan membunuh segala jenis binatang
yang hinggap pada pohon tersebut merupakan suatu larangan yang harus dipatuhi.
Kekeramatan ini menunjukkan betapa pentingnya ide-ide tentang roh leluhur bagi
masyarakat primitif.
Figur roh leluhur itu kadang-kadang bisa berubah menjadi dewa. Objek yang
dijadikan sebagai tempat berdiamnya roh leluhur tersebut akan dikeramatkan
sekaligus dijadikan sebagai objek pemujaan. Pemujaan itu dilaksanakan secara
kolektif oleh masyarakat yang lambat laun, objek pemujaan tersebut berubah
menjadi ide tentang tempat dan sosok mistif yang diturunkan secara turun-temurun
kepada generasi berikutnya. Berangkat dari ide ini, lambat laun lahirnlah ide tentang
jin pelindung yang dimiliki oleh setiap individu dalam suatu masyarakat kolektif.
Konsep ini memiliki kemiripan dengan benda totemik yang dikenal oleh masyarakat
Arunta di Australia, yaitu Churinga.
II
284-286 Pada dasarnya, roh-roh leluhur itu terkadang akan menghukum dan mengganggu
manusia bila mereka tidak diperlakukan dengan baik. Meskipun demikian, tabiat
roh-roh leluhur tersebut sebenarnya bukanla tabiat yang jahat. Memang, roh-roh ini
bisa digunakan untuk tujuan yang jahat, seperti halnya juga bisa digunakan untuk
kebaikan
III-IV
286-298 Beberapa suku pada masyarakat Australia telah berhasil mencapai konsepsi tentang
dewa atau Tuhan. Meskipun pemahaman mereka tentang tuhan atau dewa belum
bersifat tunggal, namun setidaknya mereka sudah menerima bahwa ada satu di
antara dewa tau tuhan-tuhan tersebut yang paling tinggi, yang menempati posisi
paling mulia di antara semua entitas religius lain. Di berbagai tempat di Australia,
masyarakat-masyarakat kolektif telah mempercayai dewa-dewa suku yang
mempunyai nama yang berbeda-bedan antara suku dan tempat yang satu dengan
yang lainnya.
Meskipun memiliki nama yang berbeda antara tempat yang satu dengan
lainnya, namun dewa atau tuhan itu sebenarnya memiliki karakter yang sama di
setiap tempat. Dewa atau tuhan itu merupakan mahkluk kekal dan abadi karena ia
tidak berasal dari apa pun. Dewa-dewa atau tuhan itu memiliki kekuatan untuk
menguasai bintang-bintang. Dia juga yang mengatur perputaran matahari dan bulan;
juga menyebabkan cahaya mampu menembus awan dan menciptakan halilintar.
Karena tuhan atau dewa manusia mengalami kekurangan atau kelebihan air, mereka
akan mengadu pada dewa atau tuhan tersebut.
Tuhan atau dewa tersebut juga disebut juga sebagai pencipta. Dia dipanggil
sebagai bapak manusia sebab dia telah menciptakan mereka. Ada banyak legenda
dan mitos yang berkembang di masyarakat Australia menurut Emile Durkheim
menjelaskan hakekat tuhan atau dewa itu sebagai pencipta. Penciptaan itu tidak
hanya dilakukan pada objek-objek, melainkan dewa tersebut juga menentukan
kematian, membedakan antara yang baik dan yang buruk dan tidak
mencampuradukkan antara yang baik dan yang buruk tersebut.
Oleh karena itu, segala ritus-ritus dipersembahkan kepada dewa tertinggi ini
dan dialah yang menjadi pusat semua ritus. Dalam upacara-upacara yang berkaitan
dengan ritus tersebut, dewa atau tuhan tersebut sering direpresentasikan melalui
citraan yang dilukis di atas kulit kayu atau digambar di atas permukaan tanah.
Orang-orang akan menari mengelilinginya, bernyanyi sebagai bentuk penghormatan
terhadapnya dan tentu juga mereka juga berdoa kepada dewa tertinggi tersebut.
BOOK THREE
THE PRINCIPAL MODES OF RITUAL CONDUCT
I
303-313 Yang sakral adalah sesuatu yang dipisahkan. Pemisahan inilah yang membedakan
sesuatu yang sakral dengan yang profan. Disinilah peran ritus, yaitu untuk
menegaskan pemisahan yang sakral tersebut, dan pemisahan ini bersifat esensial.
Ritus tersebut bertujuan untuk menghalangi terjadinya percampuran antara yang
sakral dan yang profan. Oleh sebab itu, ritus-ritus sangat erat kaitannya pada
pantangan dan larangan; bahkan ritus lebih menekankan pantangan dan larangan
dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemeluk
suatu agama.
Ada dua bentuk larangan-larangan yang dikenal oleh masyarakat primitif,
yaitu larangan riligius dan larangan magis. Dua bentuk larangan ini memiliki garis
persamaan. Larangan-larangan dalam dua bentuk itu sama-sama menekankan
pemisahan yang sakral dengan yang profan. Namun, di antara kedua bentuk larangan
tersebut ada dua perbedaan yang mendasar.
Pertama, terletak pada aspek hukuman. Hukuman akibat pelanggaran terhadap
larangan merupakan perbedaan yang mendasar. Larangan religius menekankan dua
hal sebagai hukuman atas pelanggaran sebuah perintah. Pelanggaran terhadap
larangan religius kerapkali dianggap secara otomatis berakibat langsung pada
gangguan fisik. Seseorang yang melanggar larangan tersebut akan menderita dan
menerima ganjanran atas tindakan pelanggaran yang telah dilakukannya. Akan
tetapi, ganjaran yang diterima oleh orang yang melanggar larangan tersebut tidak
berhenti pada gangguan fisik semata. Dia akan menerima sanksi sosial dari
masyarakat yang dapat berbentuk cercaan dan celaan publik. Bahkan ketika yang
melanggar tersebut sudah mati sekalipun, namun pelanggarannya masih terus
disuarakan di tengah masyarakat. Larangan religius erat kaitannya dengan ide yang
sakral, sebab larangan itu muncul sebagai sikap respek yang dituntut oleh objek-
objek yang sakral itu. Larangan dalam religius bertujuan untuk mencegah lahirnya
rasa tidak respek terhadap objek yang sakral tersebut. Dengan demikian, dalam
larangan religius melekat makna dosa. Setiap orang yang melanggar larangan
religius dikategorikan sebagai orang yang berdosa.
Inilah yang membedakannya dengan larangan magis. Larangan magis erat
kaitannya dengan hal-hal yang sekular. Patokan yang muncul pada larangan magis
ialah patokan sekular. Emile Durkheim menyebutkan bahwa laragan magis inilah
yang menjadi awal dari larangan-larangan yang menyangkut kebersihan dan
kesehatan, serta hal-hal lainnya yang bersangkutpaut dengan penataan terhadap
objek-objek yang sifatnya sekular. Dengan demikian, di dalam larangan magis tidak
melekat aspek dosa.
Di samping hal di atas, masih ada lagi sistem larangan religius yang lebih luas
dan penting, yaitu yang memisahkan segala hal yang sakral dari segala hal yang
profan. Sistem larangan ini diturunkan secara langsung dari arti kesakralan yang
diekspresikan dan dimunculkan oleh larangan itu sendiri. Sistem larangan seperti
inilah yang membentuk dasar pemujaan dimana seluruh sistem religius berada di
atasnya. Emile Durkheim menyebut ini sebagai pemujaan negatif, dan bentuk
larangan ini dapat disebut sebagai larangan religius. Pada masyarakat Australia
bentuk-bentuk larangan ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk.
Bentuk larangan yang paling mendasar ialah larangan-larangan kontak. Prinsip
dari larangan ini didasarkann pada prinsip bahwa yang profan sekali-kali tidak boleh
bersentuhan dengan yang sakral. Sebagai contoh, Churinga bagi masyarakat Arunta
tidak boleh disentuh oleh orang yang belum dinisiasi sebagai orang dewasa. Pada
intinya, larangan kontak ialah pemisahan secara total antara yang sakral dan profan;
dimana yang sakral tidak boleh bercampur dengan yang profan.
Masalah makanan juga melahirkan masalah keintiman kontak. Larangan untuk
memakan binatang atau tumbuhan sakral merupakan bagian yang tidak bisah
dipisahkan dari kedudukannya sebagai totem pada suatu masyarakat kolektif. Hanya
orang-orang yang telah mencapai tingkatan religius tertentu yang tidak terikat
dengan larangan ini.
Larangan untuk memakan suatu binatang dan tumbuhan totemik erat
kaitannya dengan hubungan darah mistis yang menyatukan manusia dengan
binatang atau tumbuhan yang menjadi namanya. Binatang dan tumbuhan totemik itu
dilindungi oleh rasa hormat karena itu telah dipandang sebagai saudaranya. Asal
usul larangan ini tidak hanya lahir dari rasa segan akibat solidaritas kekeluargaan.
Larangan memakan tersebut terjadi karena bila dilanggar akan menyebabkan sakit
atau mendatangkan kematian.
Larangan kontak bukan hanya berarti bersentuhan. Seseorang bisa dikatakan
melakukan kontak dengan sesuatu kalau dia memandangnya. Pandangan atau
tatapan merupakan salah satu pengertian kontak. Itulah sebabnya dalam berbagai
kasus, memandang benda-benda yang sakral adalah terlarang bagi manusia yang
profan.
Kedua, kehidupan religius dan kehidupan profan tidak bisa berada pada waktu
yang bersamaan. Akibatnya, kehidupan religius mesti diberi hari atau saat-saat yang
hanya khusus diperuntukkan bagianya dan sama sekali tidak berbaur dengan remeh
temeh kehidupan profan. Dengan demikian, muncullah apa yang disebut dengan
hari-hari suci.
II
313-321 Manusia dapat berhubungan erat dengan hal-hal yang sakral jika dia mampu
menyingkirkan segala sesuatu yang profan dalam dirinya. Seseorang tidak dapat
menjalani kehidupan religius kecuali bila dia dapat memisahkan diri dari kehidupan
sekular. Pemujaan negatif – seperti telah diutarakan oleh Emile Durkheim di atas –
merupakan satu cara untuk mencapai sebuah tujuan. Di samping itu pemujaan
negatif merupakan pra kondisi untuk bisa berhubungan dengan pemujaan positif.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pemujaan negatif berfungsi untuk
melindungi hal-hal yang sakral dari kontak dengan hal-hal yang profan. Sementara
itu, pemujaan positif lebih pada daya dorong pada diri si pemuja untuk merubah
kesadarannya secara positif. Artinya, dia tidak hidup lagi berdasarkan larangan-
larangan melainkan berdasarkan kesadaran religius untuk hidup dalam wilayah yang
sakral. Bila si pemuja itu telah memasuki kesadaran religius yang dimaksud, maka
dia duduk sama rendah dan sama tinggi dengan kekuatan-kekuatan religius tersebut,
karena dia telah mendekati hal-hal yang sakral dengan cara menjarakkan dirinya dari
hal-hal yang profan.
Untuk memasuki proses pemujaan positif, seseorang itu biasanya memasuki
tahap inisiasi. Orang yang harus diinisiasi harus mengucilkan diri dari masyarakat
dimana dia selama ini menjalani hidup. Dia disuruh untuk sementara waktu hidup di
tempat pengucilan, yang jauh dari sanak familinya dan diawasi oleh beberapa orang
tetua yang berkedudukan sebagai bapak angkat bagi dirinya. Biasanya, orang yang
akan diinisiasi itu akan hidup sementara waktu di hutan sehingga mereka sering
disebut sebagai „orang yang ada di hutan‟. Ada banyak larangan-larangan yang harus
dijalani oleh orang tersebut. Tujuan dari larangan ini adalah untuk melahirkan
perubahan secara radikal status orang yang diinisiasi. Perubahan ini seringkali
disebut sebagai kelahiran kedua.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kita dapat memahami asketisme, serta
apa posisinya dalam kehidupan religius. Metode yang dijalankan oleh model
asketisme ini ialah pengekangan diri yang berubah menjadi kebutuhan. Larangan-
larangan yang dijalankan itu berubah menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini menjadi
kebutuhan. Oleh karena itu, asketisme merupakan bagian kehidupan religius yang
paling esensial. Semua agama pasti memiliki benih-benih asketisme sebab tidak ada
agama yang tidak memiliki larangan.
Pantangan dan larangan bukanlah sesuatu yang harus dijalani tanpa beban atau
kesulitan sebab seseorang itu mengucilkan diri dari hal yang sifatnya profan. Dunia
profan bukanlah sekedar panggung tempat kehidupan bagi kita, melainkan dunia
profan itu telah berubah menjadi insting kehidupan manusia. Agar dapat melepaskan
diri dari dunia profan itu, maka manusia harus berbenturan dengan insting kehidupan
itu sendiri. Inilah yang menjadi bagian penderitaan bagi manusia, sekaligus menjadi
bagian dari ritus yang harus dijalani agar kehidupannya semakin mendekati hal-hal
yang sakral. Mereka akan memandang penderitaan sebagai satu kebahagiaan yang
tertunda.
Penderitaan merupakan tanda bahwa ikatan-ikatan tertentu yang mengikatnya
dengan dunia profan telah berhasil diputuskan. Penderitaan merupakan ujian
terhadap kemampuan seseorang melepaskan diri dari dunia profan. Atau bisa
dikatakan, penderitaan merupakan alat untuk melepaskan diri dari dunia profan.
Dengan mengorbankan sesuatu (menderita), ia berhasil mengatasi segala sesuatu.
Metode inilah yang dapat dipergunakan dalam melayani dewa-dewinya.
Untuk melayani dewa-dewi, seseorang itu harus melupakan dirinya sendiri.
Melupakan diri dapat dilaksanakan dalam bentuk mengorbankan segala
kepentingan-kepentingan profannya. Maka pemujaan positif dapat terjadi bila
seorang pria dilatih untuk berkobran, melakukan penolakan dan tidak
memperdulikan dirinya sendiri. Dengan kata lain, dia harus menderita. Dia tidak
boleh lari dari penderitaan, karena dia hanya akan bisa melaksanakan tugasnya
denga ikhlas kalau dia memiliki rasa cinta terhadap tugas tersebut. Maka kalau inilah
yang akan dilakukannya, dia harus melatih diri untuk menderita, dan di sinilah
praktek-praktek asketis berperan.
CHAPTER TWO
THE POSITIVE CULT
The Elements Of The Sacrifice
330-354 Pemujaan negatif merupakan pintu gerbang ke arah kehidupan religius. Dalam
pemujaan negatif, kehidupan religius belum dibentuk. Jikwa pemujaan negatif
memerintahkan penganut beriman untuk menjauhi dunia profan, itu bertujuan agar
mereka bisa lebih dekat dengan dunia sakral.
Ritus yang dijalankan oleh masyarakat primitif Australia tidak bisa dilepaskan
dari ingatan mereka bahwa leluhur-leluhur mistis yang dianggap sebagai nenek
moyang pernah hidup di bumi ini dan meninggalkan jejak-jejak mereka. Jejak-jejak
itu termasuk dalam bebatuan atau karang yang dianggap telah diletakkan persis pada
lokasi leluhur mereka itu masuk ke dalam perut bumi. Kepala marta (yang disebut
dengan istilah „Alatunja‟) akan menentukan hari yang tepat bagi suatu marga
totemik untuk melaksanakan ritus. Biasanya ritus ini dilaksanakan pada saat musim
hujan mulai tiba.
Upacara ritus yang dilaksanakan oleh Alatunja ialah dengan cara memukul
batu sakral dengan tujuan menyingkirkan debu dari batu tersebut. Debu itu diyakini
sebagai debu suci, dimana debu tersebut mengawali kehidupan baru apabila masuk
ke dalam suatu organisme dari spesies binatang totemik mereka. Dahan-dahan
pohon yang digunakan para peserta upacara ritus itu dimaksudkan untuk
menyebarkan debu tersebut ke segala penjuru sehingga mendatangkan proses
reproduksi binatang yang ditunggu-tunggu marga, yakni yang menjadi binatang
totemik bagi marga tersebut. Dengan demikian, berkembangnya suatu tanaman atau
binatang totemik suatu marga dipercayai akibat dari upacara ritus tersebut.
Upacara ritus ttersebut merupakan bentuk ritus suci yang pertama. Setelah ini,
tidak ada lagi upacara-upacara regular yang dilakukan. Melalui upacara ritus seperti
ini, kesakralan totem semakin diperkuat; sekaligus pengorbanan diri untuk
menjauhkan diri dari hal yang profan. Bentuk upacara ritus seperti ini merupakan
elemen yang paling mendasar dari institusi religiuas yang akan menjadi pemujaan
positif. Elemen tersebut adalah institusi pengorbanan.
Emile Durkheim mengutip pendapat Robertson Smith yang memberikan
perhatian pada upacara ritus yang menjadi elemen mendasar dari kehidupan
beragama masyarakat tradisional. Smith menjelaskan bahwa ada dua sifat utama dari
ritus pengorbanan. Pertama, adanya daging, dengan demikian substansi utama dari
kurban adalah makanan. Kedua, penganut beragama yang mempersembahkan
daging tersebut juga ikut memakannya. Ada bagian-bagian tertentu dari binatang
kurban yang khusus diperuntukkan untuk tuhan atau dewa-dewi, sementara bagian-
bagian lain dibagi kepada peserta upacara. Menurut Smith, tujuan dari daging
kurban adalah menyatukan penganut beriman dengan tuhannya dalam satu ikatan
darah.
Biasanya, perjamuan pengorbanan menggunakan binatang totemik suatu
marga. Saat binatang totemik itu disembelaih, maka Alatunja dan para tetua
kelompok marga tersebut dengan khidmat akan memakannya. Dengan demikian
mereka telah bersatu dengan prinsip sakral yang terdapa di dalam binatang tersebut
dan memindahkannya ke dalam diri mereka. Kesakralan binatang tersebut akan
masuk ke dalam tubuh manusia si pemuja itu bersamaan ketika binatang itu dimakan
secara bersama-sama oleh anggota kelompok marga totemik tersebut.
Si pemuja akan menjadi seorang pribadi (person) akibat adanya substansi yang
sakral di dalam tubuhnya. Kekuatan binatang totemik itu dipindahkan ke dalam
dirinya sendiri ketika dia memakan binatang totemik itu. Dalam rangka
mempertahankan dan meneguhkan kualitas tersebut dari waktu ke waktu, dia harus
memakan daging binatang tersebut agar kekuatannya indah ke dalam dirinya. Hanya
satu bagian saja dari binatang itu yang dimakan, itu sudah cukup sebab ada
pandangan yang mengatakan bahwa bagian sama baiknya dan bagusnya dengan
keseluruhan. Inilah bentuk komuni yang muncul pada awalnya di tengah masyarakat
Australia primitif.
Pemikiran Smith yang harus dievaluasi menurut Emile Durkheim ialah
padangan tentang fungsi utama dewa-dewi atau tuhan. Fungsi utama dewa-dewi atau
tuhan adalah mengamati kebutuhan manusia itu. Dengan demikian, sangat mustahil
bila pengurbanan bertujuan untuk mempersembahkan makanan kepada dewa-dewi
atau tuhan tersebut. Terlihat sangat konyol bila tuhan atau dewa-dewi berharap
makanan dari manusia, padahal manusia bergantung kepada tuhan atau dewa-dewi
tersebut. Sehingga konsep pengorbanan yang dilakukan oleh manusia hanya sebatas
untuk mengharap balasan dari dewa-dewi atau tuhan semata.
Menjelaskan hal ini, Emile Durkheim mengacu pada upacara ritus masyarakat
Arunta yang dilaksanakan untuk mendapatkan kesuburan binatang atau tanaman
yang dijadikan totem marga. Spesies binatang atau tumbuhan tersebut merupakan
hal-hal yang sakral. Kita melihat melalui upacara ritus masyarakat Arunta bahwa
tuhan-tuhan totemik ini memerlukan campur tangan manusia agar dapat bertahan.
Upacara ritus tersebut merupakan wujud campur tangan manusia agar binatang atau
tanaman totemik tersebut dapat bertahan. Seandainya manusia berhenti
melaksanakan upacara ritus tersebut, maka makhluk-makhluk sakral itu akan lenyap
dari bumi.
Dari pendapat Emile Durkheim ini dapat dikatakan bahwa manusia justru yang
menciptakan dewa-dewinya. Agar dewa-dewi manusia itu dapat bertahan maka
sangat dibutuhkan campur tangan manusia itu agar dewa-dewi tersebut dapat
bertahan. Tetapi pada saat yang sama, justru melalui dewa-dewi ini jugalah manusia
dapat mempertahankan hidupnya. Butir-butir debu dari batu sakral itu memiliki
prinsip kehidupan yang diterbarkan ke segala arah akan menambah kekuatan spesies
totemik dan menyebabkannya berkembang biak. Upacara ritus inilah yang menjadi
awal dari sistem sakrfisial dalam kehidupan beragama.
CHAPTER THREE
THE POSITIVE CULT
(CONTINUED)
Mimetic Rites and the Principle of Causality
335-391 Emile Durkheim memperkenalkan penyebutan terhadap suatu ritus yang berbentuk
gerekan dan teriakan yang dimaksudkan meniru gerakan atau suara binatang totemik
yang diharapkan akan bereprodusi setelah upacara dilaksanakan. Ritus ini disebut
dengan ritus mimetik.
Pada masyarakat Arunta, ritus-ritus yang dijalankan tidak hanya berhubungan
dengan batu sakral seperti telah dijelaskan sebelumnya. Setelah upacara batu sakral
dilaksanakan, para peserta upacara kembali ke perkemahan. Salah seorang tetua
akan mengumumkan di tengah perjalanan, bahwa upacara penting akan segera
dilaksanakan. Dalam prosesi ritus ini himne-himne dinyanyikan terus menerus.
Himne itu mengisahkan fase-fase perkembangan hidup binatang dan mitos-mitos
batus sakral. Di akhir himne, Alatunja keluar sebari terus berteriak-teriak merangkak
pelan-pelan ke tanah. Gerakan ini diikuti oleh para peserta lain yang menirukan
gerak yang dilakukannya. Mereka sepertinya menggambarkan proses keluarnya
serangga dari kepompong. Nyanyian akan terus menerus terdengar sepanjang proses
ini berlangsung.
Model-model ritus seperti ini juga terdapat pada suku-suku lain pada
masyarakat Australia. Upacara sakral ini hampir memiliki kesamaan antara suku
yang satu dengan suku yang lain, yakni sebuah gerakan yang diikuti oleh nyanyian.
Gerakan dan nyanyian itu menirukan gerakan binatang atau tumbuhan totemik yang
ada pada marga kolektif mereka.
Untuk memahami hal ini, Emile Durkheim menawarkan sebuah pernyataan:
Apa saja yang menyentuh sebuah objek berarti juga telah menyentuh segala sesuatu
yang ada kaitannya dengan objek tersebut. Disamping itu, sesuatu yang mirip juga
akan memunculkan hasil-hasil yang mirip. Meniru sesuatu atau satu keadaan akan
menghasilkan sesuatu atau keadaan tersebut. Jadi ritus mimetik ini tidak sekedar
ritus yang mengandaikan perpindahan suatu keadaan atau kualitas dari satu objek
kepada objek yang lain. Ritus tersebut merupakan upaya menghasilkan sesuatu yang
baru. Melalui imitasi gerakan atau suara binatang totemik akan menciptakan dan
melahirkan generasi binatang totemik berikutnya. Sebagai contoh: ketika yang ditiru
adalah suara angin atau air, orang yakin telah menciptakan awan dan merubahnya
menjadi hujan, dan lain sebagainya.
Ritus mimetik tidak sekedar menggambarkan pertalian darah antara si pemuja
dengan binatang totemiknya. Ritus ini merupakan upaya menghasilkan dan
menciptakan binatang totemik itu kembali, sebab pertalian darah hanya eksis selama
dia masih diyakini masih ada. Hasil yang diharapkan dari pertunjukan kolektif ini
adalah agar kepercayaan yang menjadi landasannya tetap hidup. Jadi, walaupun
lompatan, teriakan, dan gerakan-gerakan yang dilakukan ini terlihat sangat aneh dan
konyol, namun sesungguhnya dia memiliki makna yang sangat jelas. Dengan
menggunakan metode seperti ini, reproduksi spesies totemik dapat dicapai. Mereka
percaya dengan keampuhan metode ini.
CHAPTER FOUR
THE POSITIVE CULT
(CONTINUED)
Reprsentative of Commerative Rites
374-391 Selain model upacara ritus yang dipraktekkan oleh suku Arunta sebagai upaya untuk
melanjutkan reproduksi binatang totemik mereka, suku Warramunga
mempraktekkan upacara ritus untuk menghadirkan ingatan terhadap leluhur mereka.
Bagi suku Waramunga, setiap marga berasal dari leluhur yang sama. Meskipun
leluhur itu lahir di sebuah tempat, tetapi telah menghabiskan hidupnya dengan
melakukan perjalanan ke seluruh penjuru bumi. Leluhur itulah yang telah
menciptakan daratan di setiap ruang yang disinggahi selama perjalanan. Leluhur itu
pula yang menciptakan gunungdan tumbuh-tumbuhan. Bahkan dia juga menaburkan
benih-benih kehidupan yang muncul dari tubuhnya, yang sampai saat ini menjadi
anggota setiap marga melalui reinkarnasi yang silih berganti.
Disinilah letak perbedaan ritus bagi suku Arunta dibanding dengan suku
Warramunga. Bagi suku Warramunga, upacara tidak berisi korban melainkan usaha
mengingat masa lalu dan kenghadirkannya kembali melalui peragaan-peragaan.
Mereka melakonkan sejara mitis para leluhur yang bernama Thalualla, mulai dari
saat dia muncul dari tanah sampai pada saat dia kemblai lenyap masuk perut bumi.
Seluruh perjalanan leluhur itu direpresentasikan melalui gerek.
Gerak-gerak yang dilakukan berulang-ulang adalah semacam tarian tak
berbentuk dengan ritme tertentu. Mereka melakukan pola ini berdasarkan keyakinan
bahwa pada zaman mistis dulu, leluhur menggerak-gerakkan tubuhnya dengan cara
seperti ini agar benih-benih kehidupan keluar dari tubuhnya. Tubuh para penari ini
ditutupi dengan bulu-bulu halus yang akan berjatuhan dan bertebaran ke setiap
penjuru akibat gerakan yang dilakukannya. Ini menggambarkan benih kehidupan
yang bertebaran di udara.
Jadi, gerakan yang mereka lakukan itu merupakan upaya menghadirkan mistis
masa lalu pada situasi kehidupan masyarakat sukut Warramunga. Itulah yang
mengakibatkan mereka tidak menggunakan suatu tempat yang khusus seperti suku
Arunta dalam menjalankan upacara ritus ini. Tempat pelaksanaan upacara ritus ini
bersifat kesepakatan. Artinya, tidak ada tempat yang khusus disakralkan untuk
pelaksanaan upacara ritus ini.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, ada dua tujuan upacara ritus yang
dilaksanakan pada masyarakat Australia. Dua tujuan itu diwakili oleh ritus suku
Arunta dan Warramunga. Pertama, ritus itu dilaksanakan untuk mencapai tujuan
reproduksi spesies totemik. Kedua, ritus dilaksanakan dengan maksud dan
kepentingan untuk merepresentasikan masa lalu, yaitu leluhur mereka. Namun, ritus-
ritus itu dijalankan untuk mencapai tujuan hakiki yang sama yaitu membangkitkan
ide dan perasaan. Menggabungkan ide dan perasaan pada masa lalu kepada masa
sekarang, itulah landasan hakiki dari ritus dan upacara yang dilaksanakan oleh
masyarakat primitif tersebut. Landasan hakiki ini merupakan basis yang solid dan
mapan bagi suatu kelompok marga totemik.
Berbagai ritus yang terdapat di berbagai suku-suku yang berbeda-beda dapat
dikataka sebagai alat yang digunakan kelompok sosial untuk mengafirmasikan
dirinya. Melalui ritus-ritus tersebut, masing-masing orang dalam suatu kelompok
sosial disatukan, digabungkan berdama dan memiliki kesadaran yang sama tentang
kesatuan moral mereka. Ritus itu berarti juga sebagai alat untuk menyadari kesatuan
sebagai suatu substansi yang dimiliki secara bersama-sama. Sebagai contoh: mereka
menganggap dirinya secara bersama-sama tergabung dalam hakikat satu jenis
binatang. Dengan kondisi seperti ini, mereka hanya punya satu cara untuk
mengafirmasikan eksistensi kolektif mereka. Mereka mengafirmasikan diri mereka
sebagai satu kesatuan kolektif sebagai keturunan dari leluhur mereka, yatiu binatang
dengan spesies tertentu. Pada akhirnya, seluruh praktek ini hanyalah variasi dari
tema yang sama. Dimanapun kita akan menjumpai keadaan jiwa sama meskipun
digerakkan oleh ritus yang sepertinya berbeda-beda. Ritus itu menjadi berbeda
akibat dari penafsiran yang berbeda sesuai dengan lingkungan dimana dia terdapat,
peristiwa historis yang melatarbelakanginya, kecenderungan, dan keinginan para
penganut beriman yang memegangnya.