thelaziosis pada ternak sapi potong peternakan … · konjungtivitis yang mengarah ke...
TRANSCRIPT
21
THELAZIOSIS PADA TERNAK SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT
DI KABUPATEN KUPANG
DEWI F. L. DJUNGU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Thelaziosis pada Ternak
Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Kupang adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Dewi F. L. Djungu
B252110041
iv
RINGKASAN
DEWI DJUNGU. Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat di
Kabupaten Kupang. Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan YUSUF
RIDWAN
Thelaziosis adalah kecacingan pada mata yang disebabkan oleh nematoda.
Siklus hidup cacing ini memerlukan inang antara lalat dari famili Muscidae.
Kabupaten Kupang merupakan daerah yang memiliki potensi peternakan sapi
potong yang cukup besar. Umumnya sapi potong di Kabupaten Kupang dipelihara
secara tradisional dengan cara digembalakan di padang penggembalaan. Metode
pemeliharaan ini memiliki risiko terinfeksi oleh berbagai penyakit diantaranya
thelaziosis. Informasi thelaziosis di Kabupaten Kupang sangat minim. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui spesies Thelazia, tingkat prevalensi, derajat
infeksi, gejala klinis dan faktor risiko terkait kejadian thelaziosis.
Survei thelaziosis di Kabupaten Kupang dilakukan dengan menggunakan
metode cross-sectional. Sebanyak 385 ekor sapi diambil sebagai sampel dari 96
peternakan yang dipilih secara acak dari tiga kecamatan dari Kabupaten Kupang.
sampel sapi diamati gejala klinis akibat thelaziosis dan cacing yang terdapat pada
mata sapi dikoleksi menggunakan pinset setelah di berikan cairan anestesi lokal
(10% Xylocaine). Informasi tentang umur ternak, sumber daya manusia dan
manajemen peternakan yang berpotensi sebagai faktor risiko thelaziosis diperoleh
melalui wawancara menggunakan metode kuesioner. Pengaruh berbagai faktor
risiko terhadap nilai prevalensi thelaziosis dianalisis menggunakan chi-square,
sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap faktor risiko dianalisis
menggunakan regresi logistik.
Sebanyak 357 cacing (157 jantan dan 210 betina) yang dikoleksi dari 23
ekor sapi yang terinfeksi, dengan rataan jumlah cacing sebanyak 32.92 ± 21.03
ekor. Berdasarkan hasil pengamatan morfometrik, cacing yang ditemukan
diidentifikasi sebagai spesies Thelazia rhodesii. Hasil penelitian menunjukkan
prevalensi thelaziosis rhodesii 5.97 % (23/385), sebanyak 22 ekor sapi yang
terinfeksi menunjukkan gejala klinis yaitu lakrimasi yang berlebihan dan
konjungtivitis yang mengarah ke keratokonjungtivitis, sementara satu ekor sapi
menunjukkan ulserasi. Hasil analisis terhadap faktor risiko infeksi menunjukkan
bahwa sapi yang berumur >6-12 bulan dan >12 bulan memiliki prevalensi lebih
tinggi dari sapi yang berumur 0-6 bulan (P<0.05). Faktor risiko infeksi yang
bersumber dari manajemen peternakan yang mempengaruhi prevalensi thelaziosis
pada sapi adalah pengobatan terhadap cacing, manajemen penggembalaan,
pembersihan kandang dan pengelolaan feses. Pengobatan menggunakan
anthelmintik setahun sekali memiliki risiko terinfeksi Thelazia spp 19.06 (P<0.05)
kali lebih tinggi dibandingkan pengobatan menggunakan anthelmintik dua kali
setahun. Pembersihan kandang secara teratur sebulan sekali memiliki risiko
terhadap infeksi T.rhodesii 124.08 (P<0.05) kali lebih tinggi dari yang dibersihkan
setiap hari. Lokasi penggembalan di padang rumput memiliki risiko terinfeksi
Thelazia spp 19.3 (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan di sawah. Kata kunci : Thelazia rhodesii, sapi, prevalensi, derajat infeksi, faktor risiko.
v
SUMMARY
DEWI DJUNGU. Bovine Thelaziosis in Kupang District Livestock. Supervised
by ELOK BUDI RETNANI and YUSUF RIDWAN
Thelaziosis is eyeworm disease caused by nematodes. The life cycle of this
worm requires the host intermediate flies of the family Muscidae. Kupang district
is an area that has the potential of beef cattle farms large enough. Generally, beef
cattle in Kupang district has traditionally maintained by means of grazing on
pasture. This maintenance method has the risk of becoming infected by various
diseases including thelaziosis. Information of thelaziosis in Indonesia is very
minimal including in Kupang district. This study was conducted to identify
species of Thelazia, determine the prevalence, the intensity infection, clinical sign
and to investigate associated risk factors of thelaziosis.
Survey thelaziosis in Kupang district were carried out using Cross-sectional
study. A total of 385 cattles were randomly selected from 96 farms in three
subdistrict of Kupang District and observed to thelaziosis. The nematode present
in the eye of cattle were collected with a forcep after administrating of local
anesthesia (10% Xylocaine). The potential risk factors regarding to age of cattle,
human resources and farm management were obtained by interviewing the
farmers. The influence of various risk factors to the prevalence of thelaziosis were
analized using chi-square, while logistic regression was applied to analyze related
risk factor of thelaziosis.
Total of 357 worms (157 males and 210 female) were collected from 23
infected cattles with the mean number of worms in infected cattle was 32.92 ±
21.03. Observation using Scanning Electron Microscope (SEM) on morphology
characteristic showed that nematode species founded were identified as Thelazia
rhodesii. The result showed that of the total 385 cattles observed, 23 (5.96%) were
infected by T.rhodesii, of which 22 cattles showed apparent clinical signs namely
excessive lacrimation and conjunctivitis that leads to keratoconjunctivitis, while
one cattle showed ulceration. The infection was more prevalence in older cattle
(>6-12 month old and >12 month old) than calf (0-6 month old) (P<0.05).
Significant risk factors of animal husbandry practices affecting the prevalence of
thelaziosis in cattle were anthelmintic treatment, grazing management, barn
cleaning, and manure management. The regular once a year anthelmintic
treatment had 19.06 (P<0.05) times higher risk to Thelazia spp infection than the
regular twice a year treatment. Regular cleaning of barn, once a month had 124.08
(P<0.05)times higher risk factors to Thelazia spp infection than everyday and
pastoral locations on pasture had 19.3 (P<0.05) higher risk factors than field rice
to Thelazia spp infection. Our results highlight that significancy risk factors for
the occurrence of the disease should be considered in designing control programs
of thelaziosis. Key words : Thelazia rhodesii, cattles, prevalence, worm burden, risk factors.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
THELAZIOSIS PADA TERNAK SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT
DI KABUPATEN KUPANG
DEWI F. L. DJUNGU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D
ix
Judul Tesis : Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat di
Kabupaten Kupang
Nama : Dewi F. L. Djungu
NIM : B252110041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr drh Elok Budi Retnani, MS
Ketua
Dr drh Yusuf Ridwan, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan
Prof Dr drh Upik K. Hadi, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
21 Januari 2014
x
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
segala karunia-Nya maka studi dan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
thelaziosis, dengan judul Thelaziosis pada Ternak Sapi Potong Peternakan Rakyat
di Kabupaten Kupang.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.drh.
Elok Budi Retnani,MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.drh. Yusuf
Ridwan,MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah sabar dan setia
meluangkan banyak waktu untuk memberikan arahan dan saran dalam proses
pembimbingan dan penyelesaian tesis. Terimakasih sebesar-besarnya penulis
ucapkan kepada Bapak drh.Fadjar Satrija,M.Sc.,Ph.D selaku penguji dan Ibu
Prof.Dr.drh.Upik Kesumawati Hadi,MS selaku ketua program studi Parasitologi
dan Entomologi Kesehatan serta seluruh dosen program studi PEK beserta tenaga
kependidikan yang turut membantu dan mendukung secara penuh dan konsisten
sehingga studi dan penelitian penulis dapat selesai dengan baik.
Terimaksih kepada Universitas Nusa Cendana Kupang yang telah
memberikan beasiswa dan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani proses
pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB. Terimaksih kepada Ibu Ir.
Endang Purwaningsih atas dedikasi dan kesetiaanya mendampingi penulis selama
penelitian di laboratorium. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga
disampaikan kepada peternak pada kecamatan Amarasi, Fatuleu dan Kupang
Timur yang telah memfasilitasi dan mendukung secara penuh terhadap kegiatan
penelitian yang saya lakukan.
Kepada Papa Dominggus A.Djungu (Alm) dan Mama Adelaide Djungu
terimakasih untuk kasih sayang dan pengorbanannya yang tulus dalam mendidik
dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam
segala hal. Kakak serta adik tersayang beserta keluarganya, terimaksih atas doa
dan kasih sayang serta dorongan semangatnya. Tunangan tercinta Apri Dira
Tome,ST terimaksih atas izin, kesabaran, doa serta kasih sayangnya yang selalu
membesarkan hati sebagai pemacu semangat dalam mendampingi penulis hingga
menyelesaikan studi.
Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang
telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari
Tuhan Yang Maha Esa. Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga
diharapkan adanya saran dan kritik yang dapat membangun di masa mendatang.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Februari 2014
Dewi F. L Djungu
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN
Latar belakang 1
Tujuan 1 Manfaat 1
2 TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran umum Kabupaten Kupang 2
Populasi ternak di Kabupaten Kupang 2
Manajemen pemeliharaan 3
Morfologi dan klasifikasi Thelazia spp 4
Siklus hidup 4
Patogenesis dan gejala klinis 5
Epidemiologi 5
3 METODE
Waktu dan tempat penelitian 6
Desain penelitian 7
Pengamatan parasiotologi 7
Pengamatan gejala klinis dan cacing parasit 7
Identifikasi parasit 7
Faktor risiko terkait kejadian thelaziosis 7
Analisis data 8
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi umum fisik dan tata laksana peternakan 8
Total prevalensi dan derajat infeksi Thelazia spp 10
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian thelaziosis 13
Pembahasan 15
5 SIMPULAN DAN SARAN 17
6 DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 20
RIWAYAT HIDUP 21
xii
DAFTAR TABEL
1 Populasi ternak besar menurut jenis ternak dan kecamatan 3
2 Total prevalensi infeksi Thelazia spp 10
3 Rataan derajat infeksi Thelazia spp 10
4 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor umur dan jenis kelamin 13
5 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor kandang 14
6 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor pengelolaan feses 14
7 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor penggembalaan 14
8 Nilai Crude Odds-Ratio (OR) faktor pemberian anthelmintika 15
DAFTAR GAMBAR
1 Siklus hidup Thelazia spp 4
2 Peta lokasi penelitian 6
3 Struktur bangunan kandang sapi 9
4 Lokasi penggembalaan sapi 9
5 Gejala klinis sapi yang terinfeksi 11
6 Morfologi cacing betina Thelazia rhodesii 12
7 Morfologi cacing jantan Thelazia rhodesii 12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Makalah publikasi 20
2 Riwayat hidup 21
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Kupang merupakan daerah yang memiliki potensi peternakan
sapi potong yang cukup besar. Umumnya sapi potong di Kabupaten Kupang
dipelihara secara tradisional dengan cara digembalakan di padang penggembalaan.
Metode pemeliharaan ini memiliki risiko terinfeksi oleh berbagai penyakit
diantaranya thelaziosis.
Thelaziosis adalah kecacingan pada mata yang disebabkan oleh nematoda.
Siklus hidup cacing ini memerlukan inang antara lalat dari famili Muscidae. Larva
maupun cacing dewasa Thelazia spp dalam kantung konjungtiva dan saluran air
mata sapi menyebabkan konjungtivitis disertai lakrimasi yang dapat mengakibatkan kongesti konjugtiva. Bila keadaan ini dibiarkan dapat
menyebabkan kekeruhan kornea, keratitis, ulserasi pada kornea mata dan
konjungtiva membengkak karena adanya penyumbatan duktus lakrimalis oleh
cairan purulen (Otranto dan Traversa 2005). Thelaziosis pada sapi disebabkan oleh spesies Thelazia rhodesii, Thelazia
gulosa dan Thelazia skrjabini. Thelaziosis pada sapi di Eropa, umumnya
disebabkan oleh T.gulosa dan T.skrjabini, akan tetapi laporan terbaru
menunjukkan adanya thelaziosis pada sapi disebabkan oleh T.rhodesii di Portugal
(Bras 2012). Thelaziosis yang disebabkan oleh T.rhodesii juga dilaporkan di
Zambia Afrika Selatan (Munang’andu et al. 2011) dan di Filipina (Aken et al.
1996). Infeksi oleh T.rhodesii di Indonesia telah dilaporkan di pulau Jawa dan
Sumatera pada tahun 1893 (Yamaguti 1963).
Informasi thelaziosis pada sapi di Kabupaten Kupang sangat minim.
PUSKESWAN Takari (2009) melaporkan kejadian thelaziosis pada 152 ekor
ternak sapi (10.93%) di Kecamatan Takari. Sebanyak dua ekor dari sapi yang
menderita thelaziosis mati dan 63 ekor mengalami kebutaan sementara.
Mengingat kerugian tersebut, maka diperlukan usaha pengendalian yang efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kejadian thelaziosis,
mengidentifikasi spesies Thelazia spp, mengetahui derajat infeksi thelaziosis serta
menganalisis faktor risiko thelaziosis. Hasil penelitian ini merupakan dasar
pengetahuan untuk menyusun strategi pengendalian thelaziosis pada ternak sapi
potong di Kabupaten Kupang.
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kabupaten Kupang
Kabupaten Kupang terletak di antara 9015 – 10
022 Lintang Selatan dan
123016 – 124
011 Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya di bagian utara dan barat
berbatasan dengan Laut Sawu, bagian Selatan berbatasan dengan Samudera
Hindia dan di bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara
dan Timor Leste (Disnak NTT 2011).
Wilayah Kabupaten Kupang terdiri dari 24 kecamatan dengan luas daratan
5.490,97 ribu km2. Kondisi fisik kabupaten Kupang berbukit-bukit, bergunung-
gunung dan sebagian terdiri dari dataran rendah yang luas. Kabupaten Kupang
memiliki dua musim yaitu musim kemarau pada Juni – September, sedangkan
musim hujan pada bulan Desember – Maret. Dalam beberapa tahun terakhir telah
terjadi perubahan periode musim yang cukup signifikan, waktu hujan menjadi
lebih panjang dibanding tahun-tahun sebelumnya (Disnak NTT 2011).
Populasi Ternak Sapi Potong di Kabupaten Kupang
Populasi ternak sapi potong di NTT mencapai 788.600 ekor. Sebagian besar
populasi sapi potong terdapat di Pulau Timor yaitu sebanyak 533.700 ekor atau
68.5% dari total populasi sapi potong di NTT. Pulau Flores 132.400 ekor (17.0%),
pulau Sumba 62.500 ekor (8.0%) dan kepulauan lainnya (Alor, Lembata, Rote
Ndao dan Sabu Raijua) sebanyak 50 ribu ekor (6.4%). Bangsa sapi yang paling
banyak dipelihara di provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sapi bali dengan
populasi mencapai 87.87% dari total populasi sapi yang tersebar di provinsi Nusa
Tenggara Timur. Jenis sapi lainnya yang dipelihara di NTT adalah sapi Ongole
dengan populasi sebesar 10.48%, sapi madura dengan populasi sebesar 1.51% dan
sapi Brahman dengan populasi sebesar 0.41%. Populasi sapi terbanyak terdapat di
pulau Timor yaitu 533.7 ribu ekor atau 68.5% dari populasi sapi potong di NTT
(BPS NTT 2011). Tingginya populasi sapi di Pulau Timor disebabkan karena
ketersediaan padang penggembalaan yang cukup luas bagi sapi di pulau tersebut
dibandingkan dengan ketersediaan padang penggembalaan di pulau lain seperti
Alor ataupun Flores. Bangsa sapi yang dipelihara di NTT umumnya memiliki
keistimewaan antara lain tahan terhadap panas, tidak selektif terhadap pakan yang
diberikan termasuk pakan yang berkualitas rendah, mempunyai daya cerna yang
baik terhadap pakan, memiliki presentase karkas yang tinggi dan fertilitas tinggi
(Blakely dan Bade 1994).
Berikut ini adalah tabel populasi ternak sapi di Kabupaten Kupang menurut
jenis ternak dan Kecamatan di Kabupaten Kupang pada tahun 2011.
3
Tabel 1 Populasi ternak besar menurut jenis ternak dan kecamatan di kabupaten
Kupang
Kecamatan
Sapi
Kerbau
Kuda
Semau 8.538 45 107 Semau Selatan - - - Kupang Barat 9.990 45 371 Nekamese - - - Kupang Tengah 6.565 17 108 Taebenu - - - Amarasi 20.421 16 1.344 Amarasi Barat - - - Amarasi Selatan - - - Amarasi Timur - - - Kupang Timur 36.962 1.223 1.321 Amabi Oefeto Timur - - - Amabi Oefeto - - - Sulamu 8.350 36 1.082 Fatuleu 18.275 354 789 Fatuleu Barat - - - Fatuleu Tengah - - - Takari 16.617 15 128 Amfoang Selatan 17.175 176 2.076 Amfoang Barat Daya - - - Amfoang Utara 16.231 122 1.057 Amfoang Barat Laut - - - Amfoang Timur - - - Amfoang Tengah - - - Jumlah/Total 159.124 2.039 8.383
Sumber : BPS NTT 2012
Manajemen Pemeliharaan
Padang penggembalaan yang luas berupa savana di Kabupaten Kupang
memungkinkan sektor peternakan berkembang dengan baik. Hampir 25% dari
luas wilayah NTT adalah padang penggembalaan savana (Disnak NTT 2011).
Pada umumnya manajemen pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Kupang
dilakukan melalui dua metode yaitu ternak digembalakan disiang hari dan pada
malam hari dikandangkan tanpa adanya pemberian pakan serta ternak dipelihara
di dalam kandang, pakan berupa hijauan dan konsentrat yaitu dedak disediakan
dalam kandang sepanjang hari (Disnak NTT 2011). Sistem ini sering dilakukan
pada penggemukan sapi.
4
Morfologi dan klasifikasi Thelazia spp
Secara taksonomi menurut Soulsby (1982) Thelazia spp termasuk ke dalam
kelas Nematoda, sub kelas Secernentea, ordo Spirurorida, famili Thelaziidae dan
genus Thelazia.
Ciri umum Thelazia spp adalah memiliki tubuh berwarna putih susu,
mulutnya tidak mempunyai bibir tetapi tepi anterior kapsula bukal terbalik keluar
dan terbagi oleh lekukan menjadi 6 feston serta memiliki kutikula yang tebal
bergaris-garis transversal. Cacing jantan dewasa memiliki ciri berukuran 8-12
mm, ekor tumpul dan menggulung, testes terdapat pada bagian pertengahan dari
ekor dan memiliki spikulum yang tidak sama besar serta memiliki sekitar 14
pasang papila pre kloakal dan 3 pasang papila pada kloaka (Soulsby 1982).
Cacing betina dewasa memiliki ciri berukuran 12-21 mm, vulva dari betina
memiliki penutup yang terletak di bagian kiri anterior tubuh. Lubang vagina
berukuran kira-kira 62-160 µm dan terletak pada bagian anterior antara esofagus
dan usus. Bagian posterior terdapat uterus yang berisi telur yang belum matang
dan pada bagian ujung ekor terdapat dua phasmid sensorik. Telur pada mulanya
beukuran 26-29 mikron, tetapi kemudian terenggang oleh perkembangan larva
dan menjadi 207x4 mikron. Betina dari Thelazia spp bersifat ovoviviparosa
(Levine 1994).
Siklus hidup Thelazia spp
Gambar 1 Siklus hidup Thelazia spp
Sumber : modifikasi dari text book Soulsby (1982)
5
Siklus hidup Thelazia spp (Gambar 1) tidak langsung membutuhkan inang
antara yaitu lalat famili Muscidae (diptera). Lalat terinfeksi oleh cacing stadium
larva (L1) pada saat makan disekitar mata inang defenitif. Larva (L1) memasuki
usus lalat dan menembus folikel ovarium kemudian berkembang menjadi larva
tahap kedua (L2) yang berukuran panjang 3-4 mm. Larva kemudian ekdisis
menjadi larva tahap ketiga (L3) berukuran panjang 5-7 mm yang merupakan larva
infektif. Larva kemudian meninggalkan folikel ovarium dan bermigrasi kebagian
mulut lalat. Perkembangan dari larva tahap pertama sampai dengan larva tahap
ketiga berlangsung selama 15-20 hari di dalam tubuh lalat. Larva infektif akan
menginfeksi mata sapi ketika lalat makan disekitar mata sapi. Di dalam mata sapi
cacing akan menjadi dewasa dalam waktu 20-25 hari (Soulsby 1982).
Patogenesis dan Gejala Klinis
Kornea mata, kantung konjungtiva dan membran pengerjap merupakan
habitat dari T. rhodesii, T. skrjabini, dan T. gulosa. Kutikula yang keras dan
bergerigi dari Thelazia rhodesii menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel
konjungtiva dan kornea sehingga produksi air mata meningkat yang berperan
penting dalam transmisi cacing ke vektornya dalam hal ini lalat Musca spp (face
flies) yang pakannya adalah sekresi air mata sapi (Otranto dan Traversa 2005).
Dalam infeksi eksperimental menggunakan T.callipaeda yang dilakukan
terhadap 20 ekor kelinci, 3 di antaranya mengalami kebutaan dengan jumlah
cacing 40-50 ekor dan 17 ekor lainnya menunjukkan gejala klinis inflamasi dan
penyumbatan duktus lakrimalis oleh cairan purulen (Wang et al. 2002 ; Wang et
al. 2006).
Gejala klinis yang paling umum dari thelaziosis adalah konjungtivitis,
hipertrofi konjungtiva, lakrimasi yang berlebihan, penyumbatan duktus lakrimalis
dan keratitis. Gejala klinis tersebut dipengaruhi oleh jumlah cacing, habitat cacing
dan respon imun dari inang (Wang et al. 1999).
Epidemiologi
Epidemiologi Thelaziosis pada sapi dipengaruhi oleh manajemen
peternakan serta keberadaan, biologi dan etiologi dari lalat yang berperan sebagai
inang antara (Bras 2012). Thelaziosis pada sapi telah di laporkan di Amerika
Amerika Serikat (Genden dan Stoffolano 1980 ; O'Hara dan Kennedy 1991 ;
Turfrey dan Chandler 1978). Penelitian selanjutnya melaporkan adanya thelaziosis
pada sapi di Iran (Ebadi 1951), Jepang (Okoshi dan Kitano 1966), Ghana
(Vohradsky 1970), Afghanistan (Barus et al. 1976), Kanada (Krafsur dan Church
1985), Inggris (Arbuckle dan Khalil 1978), Zambia (Ghirotti et al. 1989;
Munang’andhu et al. 2011 ) dan di Asia dilaporkan di Filipina (Aken et al. 1996).
Survei epidemiologi molekuler menggunakan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) telah dilakukan untuk mengidentifikasi tiga spesies Thelazia spp
dalam tubuh lalat yang merupakan inang antara, pada kondisi lapangan di Italia
Selatan. Lalat sebanyak 5190 yang dikumpulkan selama lima musim dari enam
peternakan sebanyak 2.86% dari total jumlah lalat yang dikumpulkan, memiliki
6
larva Thelazia spp dalam tubuhya (Otranto 2003). Kebiasaan lalat yang memakan
sekresi mata sangat berpotensi dalam transmisi penyakit thelaziosis. Tingkat
infeksi umumnya cenderung meningkat dengan bertambahnya umur inang
defenitif (Aken et al. 1996).
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di tiga Kecamatan di Kabupaten Kupang. Pengolahan
serta identifikasi secara morfologi hasil pengumpulan parasit dilaksanakan di
Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan di Laboratorium Malakologi dan
Invertebrata Lain, Bidang Zoology Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Waktu yang diperlukan untuk
pengumpulan sampel serta identifikasi parasit di laboratorium melalui prosesing,
penghitungan, serta analisis data dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni
2013.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
7
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang dilakukan di
Kabupaten Kupang untuk mengetahui prevalensi thelaziosis, derajat infeksi, jenis-
jenis cacing mata dan faktor-faktor risiko terkait kejadian thelaziosis. Populasi
target dari penelitian ini adalah ternak sapi peternakan rakyat di wilayah
Kabupaten Kupang. Jumlah sampel sapi dalam penelitian ini dihitung
menggunakan software winepiscope 2.0 dengan prevalensi yang diharapkan 20%
dan sensivitas uji 95%. Sampel parasit diambil secara acak di tiga kecamatan pada
mata sapi dewasa ( 12 bulan), anak ( >6 – 12 bulan) dan pedet (0-6 bulan)
selanjutnya dikoleksi untuk diidentifikasi di laboratorium. Data mengenai
karakteristik sumber daya manusia peternak dan manajemen peternakan diperoleh
melalui wawancara menggunakan kuesioner. Semua data yang diperoleh
kemudian di analisis statistik.
Pengamatan Parasitologi
Pengamatan Gejala Klinis dan Pengumpulan Cacing Parasit
Sebanyak 385 sampel sapi dewasa (> 12 bulan), anak (>6-12 bulan), pedet
(0-6 bulan) diperiksa gejala klinisnya akibat thelaziosis. Cacing dikoleksi dari sapi
yang terinfeksi thelaziosis dengan memberikan cairan anestesi (Xylocaine 10% )
pada mata. Cacing kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi
larutan garam fisiologis (Otranto dan Dutto 2008). Sampel cacing kemudian
dibawa ke laboratorium untuk proses identifikasi.
Identifikasi Parasit
Proses identifikasi dimulai dengan pembilasan cacing kemudian dibunuh,
difiksasi dan selanjutnya di clearing kemudian diidentifikasi secara morfologi
mengikuti ciri-ciri yang dideskripsikan oleh Yamaguti (1963) dan Naem (2007).
Identifikasi secara morfologi dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui
ukuran tubuh dari cacing, ukuran bukal kapsul, jarak servikal papila dari anterior,
jarak vulva dari anterior dan panjang spikula. Scanning Electron Microscopy
(SEM) digunakan untuk melihat karakter dari kutikula, jumlah papila pre-anal dan
pola kutikula disekitar vulva. Jumlah cacing mata dihitung untuk mengetahui
derajat infeksi. Derajat infeksi dikategorikan ringan (1-10 ekor), sedang (11-20
ekor) dan berat ( 21).
Faktor risiko terkait kejadian thelaziosis
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian thelaziosis yang yang berkaitan
dengan manajemen peternakan dan sumber daya manusia di peternakan dilakukan
wawancara menggunakan kuesioner.
8
Analisis Data
Data yang diperoleh dari wawancara dan pemeriksaan laboratorium diinput
dalam data base menggunakan SPSS 17.0. Berbagai faktor risiko kejadian
thelaziosis yang berkaitan dengan manajemen peternakan dan sumber daya
manusia di peternakan dianalisis menggunakan regresi logistik.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kondisi Umum Fisik dan Tata Laksana Peternakan
Ketiga kecamatan yang diamati dalam penelitian ini secara geografis
terletak pada tipe iklim yang sama menurut banyaknya bulan basah dan kering di
wilayah Kabupaten Kupang. Secara umum bulan Juni sampai September, arus
angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga
mengakibatkan musim kemarau, sebaliknya pada bulan Desember sampai Maret
arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera
Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Rata-rata kelembaban udara di Kabupaten
Kupang tahun 2012 sebesar 73.75%, tekanan udara 1.768.21 mb dan rata-rata
suhu udara diatas 27.230C (BMG kelas II Kupang).
Seluruh sampel peternakan tergolong peternak skala usaha kecil dengan
populasi paling sedikit 5 ekor dan terbanyak sebesar 15 ekor. Populasi setiap
kelompok bervariasi setiap peternakan, minimal 5 ekor/kelompok dan setiap
kandang terdapat 2-4 ekor pedet. Jenis sapi bali adalah ras terbanyak yang
dipelihara (95%) dan sisanya adalah bangsa sapi madura dan sapi ongole (5%).
Dari jumlah sapi yang diperiksa, umur yang terbanyak (33%) adalah sapi berumur
1-3 tahun berturut –turut diikuti oleh sapi berumur 6-12 bulan (24%), >3 tahun
(23%) dan 0-6 bulan (20%).
Letak geografis, kondisi fisik peternakan, sanitasi secara umum, serta tata
laksana menunjukkan pula gambaran prevalensi thelaziosis yang beragam pula
pada setiap Kecamatan. Secara umum struktur bangunan kandang berkerangka
kayu, tidak memiliki atap dan berlantai tanah (Gambar 3). Kandang tersebut tidak
dilengkapi dengan tempat tempat pakan dan minum karena pada umumnya ternak
digembalakan pada siang hari dan pada malam hari dikandangkan tanpa
pemberian pakan pada saat di dalam kandang (Gambar 4). Peternakan rata-rata
tidak memiliki tempat pembuangan feses sehingga kondisi lingkungan di sekitar
kandang relatif kotor dan menimbulkan bau karena terdapat tumpukkan feses
yang basah. Tata laksana pembersihan kandang tidak seragam pada setiap
peternakan, sebanyak 34.3% dari 96 peternakan membersihkan kandang secara
tidak teratur, 65.6% dilakukan secara periodik setiap semingu sekali atau lebih.
Sehubungan dengan pengendalian kecacingan, pemberian antelmintika tidak
diimbangi dengan tata laksana lingkungan yang dapat menunjang keefektifan
9
pengendalian. Jenis dan waktu serta metode pemberian antelmintika berbeda-beda
diantara peternak-peternak. Sebagian besar peternak (84%) mengobati secara
periodik setahun 2 kali menggunakan tetramisol, sisanya memberikan obat hanya
ketika mengetahui dengan pasti bahwa ternaknya kecacingan dari hasil
pemeriksaan oleh petugas dinas peternakan.
Gambar 3 Struktur bangunan kandang sapi
A. Kecamatan Amarasi
B. Kecamatan Fatuleu
C. Kecamatan Kupang Timur
Gambar 4 Lokasi penggembalaan sapi di Kabupaten Kupang
A. Padang rumput B. Sawah
10
Total Prevalensi dan Derajat Infeksi Thelazia spp
Sapi yang diperiksa sebanyak 385 ekor, 23 ekor (5.97%) dari kecamatan
Amarasi dan Fatuleu terinfeksi Thelazia spp. Prevalensi thelaziosis diantara kedua
kecamatan tersebut tidak berbeda (Tabel 2) (P>0.05), akan tetapi rataan jumlah
cacing per ekor sapi lebih tinggi pada Kecamatan Fatuleu (Tabel 3).
Tabel 2 Total prevalensi infeksi Thelazia spp pada setiap kecamatan
Kecamatan Prevalensi P
n (ekor) Thelaziosis (%) Chi-square
Amarasi 150 8.66
Fatuleu 118 8.47 0.120
Kupang Timur 117 0.00 TOTAL 385 5.97
nJumlah sapi yang diperiksa; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio
Tabel 3 Rataan derajat infeksi Thelazia spp pada setiap kecamatan
Kecamatan Tidak infeksi Infeksi Rataan jumlah cacing per
ekor sapi
n (ekor) n (ekor) ( ±SD)
Amarasi 150 13 8.10±8.50* Fatuleu 118 10 24±13.24* Kupang Timur 117 0 0
TOTAL 385 23 32.92±21.74 nJumlah sapi yang diperiksa; *berbeda nyata pada α < 0.05
Sapi yang terinfeksi Thelazia spp menunjukkan gejala klinis yaitu lakrimasi
yang berlebihan, konjungtivitis yang mengarah ke keratokonjungtivitis dan
ulserasi (Gambar 5). Adapun sapi yang tidak terinfeksi tidak menunjukkan gejala
klinis tersebut. Gejala klinis lakrimasi, konjungtivitis yang mengarah ke
keratokonjungtivitis ditemukan pada 22 ekor sapi (22/23) sedangkan ulserasi
hanya ditemukan pada satu ekor sapi (1/23) dengan jumlah cacing 8 ekor.
Perubahan patologis yang paling menonjol yang diamati pada pada 18 ekor sapi
(18/23) pada saat pemeriksaan adalah kekeruhan pada kornea mata (opacity
cornea). Sapi yang memiliki jumlah cacing 1-10 ekor (5/23) menunjukkan gejala
klinis lakrimasi dan konjungtivitis, sedangkan keratokonjungtivitis dan opasiti
kornea diamati pada sapi dengan jumlah cacing 11-20 ekor (10/23) dan >21 ekor
(8/23).
11
Cacing dewasa sebanyak 357 ekor diperoleh dari ternak sapi yang terinfeksi
Thelazia spp, terdiri atas 210 ekor cacing betina dan 147 ekor cacing jantan.
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi mikroskopik cacing yang diamati
memiliki ciri-ciri sebagai berikut, tubuh berwarna putih susu, memiliki kutikula
yang tebal dan bergaris transversal. Bagian kepala dari cacing jantan dan betina
memiliki bentuk yang sama dan tidak memiliki bibir. Bukal kapsul berukuran 20-
24 x 44-52 µm, terdapat dua cervical papillae pada bagian lateral, yang terletak
pada sisi kanan dan kiri dari tubuh cacing yang berjarak 350-384 µm diukur dari
ujung anterior. Cervical papillae ini dimiliki oleh cacing jantan dan betina. Cacing
betina (Gambar 6) memiliki panjang 12.5-20.5 mm dan lebar 300-500 µm. Vulva
terletak pada daerah esofagus yang berjarak 505.2-536.3 µm dari bagian kepala.
Lubang anal terdapat pada bagian posterior dan memiliki ujung ekor yang keras.
Cacing jantan (Gambar 7) memiliki panjang 7.5-14.5 mm dan lebar 420-475 µm.
Cacing ini memiliki ekor yang tumpul dan menggulung, spikula tidak sama
panjang yaitu 624-850 µm dan 100-130 µm dan tidak memiliki gubernakulum.
Hasil pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) diamati 14
pasang papila pre anal dan papila tunggal terdapat pada bagian anterior dari
kloaka, sedangkan sepasang papila terdapat pada bagian post anal. Sepasang
phasmid yang berbentuk seperti puting yang terletak pada ujung posterior. Ciri
tersebut menurut Yamaguti (1963) dan Naem (2007) adalah spesies Thelazia
rhodesii.
Gambar 5 Gejala klinis pada sapi yang terinfeksi Thelazia rhodesii
A. Lakrimasi B. Konjungtivitis C. Ulserasi
12
Gambar 6 Morfologi cacing betina Thelazia rhodesii
Buccal Capsule (BC), Cervical Papillae (CP), Vulva (V), Cuticula
Transversa (CT)
Gambar 7 Morfologi cacing jantan Thelazia rhodesii
Spicula (S), Papilla pre anal (PrCP), Papila post anal (PoCP), Phasmid (Ph).
13
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian thelaziosis
Faktor risiko infeksi parasit adalah semua faktor yang secara nyata
meningkatkan peluang terjadinya transmisi stadium infektif parasit sehingga
menyebabkan inang sakit. Satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan
dalam mendukung terjadinya penyakit. Terdapat perbedaan yang signifikan
(P<0.05) pada tingkat infeksi antara sapi dewasa dan anak. Ternak sapi dewasa
memiliki risiko terinfeksi lebih besar dibandingkan dengan sapi anak (Tabel 4)
sedangkan prevalensi infeksi antar jenis kelamin ternak sapi tidak berbeda (Tabel
4). Prevalensi infeksi yang lebih tinggi ditemukan pada peternakan yang
membersihkan kandang tidak teratur dibandingkan dengan peternakan yang
membersihkan kandang secara teratur demikian pula dengan frekwensi
pembersihan kandang. Kandang yang dibersihkan sebanyak sebulan sekali
memiliki prevalensi infeksi lebih besar dibandingkan dengan kandang yang
dibersihkan setiap hari (Tabel 5). Perbedaan yang signifikan (P<0.05) prevalensi
infeksi terdapat pada sapi yang digembalakan dipadang rumput lebih tinggi
dibandingkan dengan yang di sawah (Tabel 7). Risiko infeksi Thelazia rhodesii
secara signifikan (P<0.05) lebih tinggi pada ternak yang mendapatkan
anthelmintik sebanyak satu kali setahun dibandingkan dengan ternak yang
mendapatkan anthelmintik sebanyak dua kali setahun (Tabel 8).
Tabel 4 Nilai Crude Odds-Ratio faktor umur dan jenis kelamin terhadap
kejadian thelaziosis
Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi SK P OR n(ekor) % n(ekor) %
Umur sapi
0-6 bulan 6 4.9 117 95.1 1.00 >6-12 bulan 15 6.9 200 93.1 1.140-9.091 0.027* 3.21 >12 bulan 2 4.9 45 95.1 1.28-22.145 0.018* 5.42
Jenis kelamin Jantan 11 5.9 179 94.1 1.00 Betina 12 6 183 94 0.464-4.701 0.467 1.57
nJumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio
14
Tabel 5 Nilai Crude Odds-Ratio faktor kandang terhadap kejadian thelaziosis
Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi SK P OR n(ekor) % n(ekor) %
Keteraturan pembersihan kandang
Teratur 7 3.9 200 96.1 1.00
Tidak teratur 16 8.9 162 91.1 8.834-115.91 0.000* 32.01
Frekwensi pembersihan kandang
Setiap hari 4 3.9 102 96.1 1.00
Sebulan sekali 19 6.9 260 93.1 14.73-1058.4 0.001* 124.30
Cara bersihkan kandang Disapu 9 2.0 209 98.0 1.00
Tidak disapu 14 8.9 153 91.1 0.225-2.497 0.639 0.80
nJumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR = Odds Ratio
Tabel 6 Nilai Crude Odds-Ratio faktor pengelolaan feses terhadap kejadian
thelaziosis
Tabel 7 Nilai Crude Odds-Ratio faktor penggembalaan terhadap kejadian
thelaziosis
Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi
SK P OR n(ekor) % n(ekor) %
Lokasi gembala
Sawah 6 2.7 212 97.3 1.00
Padang rumput 17 10.8 150 89.2 2.35-158.4 0.018* 19.38
Cara memelihara
Dikandangkan terus menerus 3 1.9 227 98.1 0.13-0.93 0.072 0.11
Siang dilepas,malam dikandang 20 12.1 135 87.9 1.00
nJumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio
Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi SK P OR n(ekor) % n(ekor) %
Tempat feses
Ada 8 4.9 170 95.1 1.00
Tidak ada 15 7.9 192 92.1 2.351-4.85 0.004* 19.33
Pengelolaan feses
Dibuat pupuk 5 3.4 139 96.6 1.00
Dibiarkan saja 18 7.4 223 92.6 0.664-4.311 0.269 1.78
nJumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio
15
Tabel 8 Nilai Crude Odds-Ratio faktor pemberian anthelmintika terhadap
kejadian thelaziosis
Faktor risiko Infeksi Tidak infeksi SK P OR
n(ekor) % n(ekor) %
Pengobatan cacing
mata
Diobati 5 2.9 197 97.1 1.00
Tidak diobati 18 10 165 90 1.1-7.0 0.062 2.85
Pemberian obat cacing
Dua kali setahun 7 4.9 162 95.1 1.00
Setahun sekali 16 7.9 200 92.1 5.697-63.812 0.001* 19.06
nJumlah sapi yang diperiksa; *signifikan pada α < 0.05; SK= Selang Kepercayaan; OR= Odds Ratio
PEMBAHASAN
Thelazia yang menginfeksi ternak sapi di Kabupaten Kupang diidentifikasi
sebagai Thelazia rhodesii. T.rhodesii memiliki perbedaan yang spesifik terhadap
T.gulosa dan T.skrjabini yang juga menginfeksi ternak sapi. Perbedaan tersebut
terletak pada karakteristik kutikula, jumlah papila pre anal dan pola kutikula di
sekitar vulva yang dapat diamati menggunakan Scanning Electron Microscopy
(SEM). Kutikula yang dimiliki oleh T.rhodesii bergerigi dan keras sedangkan
kutikula yang dimiliki oleh T.gulosa dan T.skrjabini lebih halus. Demikian pula
dengan jumlah papila pre-anal pada cacing jantan, T.rhodesii memiliki papila pre-
anal sebanyak 14 pasang sedangkan jumlah papila pre-anal T.gulosa dan
T.skrjabini sebanyak 35-40 dan 31-38 tidak berpasangan (Naem 2007). Cacing
betina perbedaan yang paling spesifik terletak pada pola kutikula disekitar vulva.
Pada T.rhodesii kutikula di sekitar vulva membentuk kumpulan papil sedangkan
T.skrjabini dan T.gulosa tidak memiliki pola di sekitar vulva tetapi memiliki
vulva yang menonjol (Naem 2007).
Infeksi oleh T.rhodesii pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis,
akan tetapi dalam beberapa kasus infeksi oleh T.rhodesii menunujukkan gejala
klinis diantaranya epiphora, konjungtivitis, keratitis, opasiti kornea dan ulserasi.
Asimptomatik klinis dari thelaziosis disebabkan oleh aktifitas dari cacing jantan
sedangkan gejala simptomatik klinis disebabkan aktifitas dari cacing betina yang
gravid atau bunting. Kutikula yang keras dan bergerigi dari T.rhodesii
menyebabkan kerusakan mekanis pada epitel konjungtiva dan kornea, sehingga
produksi air mata meningkat yang berperan dalam transmisi cacing ke inang
antara (Otranto dan Traversa 2005).
Sapi yang terinfeksi T.rhodesii pada penelitian ini menunjukkan gejala
klinis lakrimasi yang berlebihan, konjungtivitis yang mengarah ke
keratokonjungtivitis dan ulserasi meskipun perubahan patologis yang paling
menonjol yang diamati pada pada mata 18 ekor sapi pada saat pemeriksaan adalah
kekeruhan pada kornea mata (opacity cornea), kemungkinan infeksi diawali
dengan keratokonjuntivitis sehingga menyebabkan opasiti kornea. Terdapat
16
kecenderungan hubungan antara gejala klinis terhadap jumlah cacing. Semakin
banyak jumlah cacing maka semakin menginduksi keparahan panyakit. Kerusakan
mekanik yang diakibatkan oleh kutikula yang bergerigi dari T.rhodesii
menyebabkan perlukaan sehingga terjadi infeksi sekunder oleh organisme lain.
Kemungkinan infeksi sekunder ini ditunjukkan pada sapi yang hanya memiliki 8
ekor cacing. Thelaziosis tidak menyebabkan kematian namun konjungtivitis,
keratitis, kekeruhan pada kornea mata (opacity cornea) dan kebutaan memberikan
dampak negatif pada ternak itu sendiri yaitu ternak rentan terhadap predator dan
juga ternak mengalami kesulitan dalam merumput karena adanya gangguan
penglihatan.
T.rhodesii tersebar di daerah beriklim tropis dan sub tropis dengan topografi
dan lingkungan yang dapat mendukung perkembangan lalat yang merupakan
inang antara dari cacing T.rhodesii (Kennedy 1993; Zubairova dan Ataev 2010).
Kejadian thelaziosis di daerah tropis meningkat pada musim penghujan sedangkan
di daerah sub tropis kejadian thelaziosis terjadi pada musim semi (Ghirotti dan
Iliamupu 1989; Aken et al. 1996). Musca autumnalis merupakan inang antara di
Eropa, Afrika Utara, Asia dan Amerika Utara bahkan di Afrika Timur Musca
autumnalis merupakan satu-satunya inang antara thelaziosis pada sapi. Selain
M.autumnalis di negara tropis maupun subtropis terdapat beberapa spesies lainnya
yaitu M.amita, M.sorbens, M.vitripennis dan M.larvipara (Krafsur dan Moon
1997). Prevalensi Thelaziosis pada sapi dipengaruhi oleh distribusi ternak yang
terinfeksi, banyaknya lalat betina yang terinfeksi dan ekologi suatu daerah untuk
mendukung perkembangan lalat yang berpotensi sebagai inang antara T.rhodesii
(Kennedy 1993).
Prevalensi thelaziosis di Kabupaten Kupang termasuk rendah. Hal ini
diduga berkaitan dengan berkurangnya media perindukkan lalat akibat feses
ternak yang cepat mengering sebelum larva menyelesaikan perkembangan ke
tahap dewasa pada musim kemarau. Prevalensi yang rendah pada musim kemarau
juga dilaporkan di Zambia sebesar 3.1% dibandingkan pada musim hujan sebesar
26.6% (Munang’andhu et al. 2011).
Pemberian anthelmintik juga ikut mempengaruhi prevalensi thelaziosis pada
sapi. Ternak yang mendapatkan pengobatan terhadap infeksi cacing parasit
setahun sekali memiliki risiko terinfeksi sebesar 19.06 kali lebih besar
dibandingkan ternak yang mendapatkan pengobatan sebanyak dua kali setahun.
Tetramisol yang diberikan secara teratur sebanyak dua kali setahun sebagai
anthelmintik untuk mengobati ternak yang terinfeksi Thelazia rhodesii
menunjukkan efektivitas yang cukup baik. Meskipun pemberian anthelmintik ini
cukup efektif, namun perlu diwaspadai risiko timbulnya populasi parasit yang
resisten. Diperlukan strategi pemberian anthelmintik yang dapat memperlambat
timbulnya populasi parasit yang resisten.
Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap kejadian thelaziosis adalah umur
inang yaitu sapi yang berumur >6-12 bulan berisiko terinfeksi sebesar 3.21 kali
dibandingkan sapi yang berumur 0-6 bulan demikian pula dengan sapi yang
berumur >12 bulan, memiliki risiko terinfeksi sebesar 5.42 kali lebih tinggi
dibandingkan sapi yang berumur 0-6 bulan. Hal tersebut disebabkan oleh umur
yang panjang dari cacing T. rhodesii (lebih dari satu tahun), tidak adanya respon
imun dari tubuh inang defenitif, re-infeksi cacing yang terjadi sepanjang hidup
inang defenitif dan lebih lamanya waktu merumput ternak dewasa dibandingkan
17
dengan ternak muda (Otranto dan Traversa 2005). Demikian pula dengan
manajemen pemeliharaan, sapi yang digembalakan di padang rumput memiliki
risiko 19.30 kali lebih besar terinfeksi thelaziosis dibandingkan sapi yang
digembalakan di sawah. Manajemen pemeliharaan ternak dengan cara ternak
digembalakan di padang penggembalaan yang sama secara terus menerus tanpa
adanya rotasi penggembalaan menyebabkan ternak tidak dapat terhindar dari
infeksi parasit. Rotasi penggembalaan sangat besar manfaatnya bagi pengendalian
penyebaran infeksi parasit dan menghindari telur cacing yang berasal dari hewan
terinfeksi di padang penggembalaan. Padang penggembalaan yang tidak
digunakan selama 3 bulan berturut-turut mampu menurunkan jumlah stadium pre
parasitik di lingkungan (Subronto et al. 2001). Frekwensi pembersihan kandang
pada peternakan juga berpengaruh terhadap kejadian thelaziosis. Pembersihan
kandang yang dilakukan sebulan sekali memiliki risiko terinfeksi thelaziosis 124
kali lebih besar dibandingkan dengan setiap hari.
Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor biotik maupun abiotik
yang meliputi inang, parasit dan lingkungan dapat mendukung terjadinya infeksi
thelaziosis. Prevalensi thelaziosis di Kabupaten Kupang disebabkan berbagai
faktor risiko diantaranya inang, parasit dan manajemen peternakan. Oleh karena
itu pengendalian terhadap thelaziosis secara utuh membutuhkan suatu pendekatan
termasuk pemberian anthelmintik dan perbaikan manajemen peternakan untuk
mengurangi populasi lalat. Nilai Crude Odds-Ratio hasil penelitian ini merupakan
pengetahuan yang perlu dipertimbangkan dalam merancang strategi pengendalian
thelaziosis di Kabupaten Kupang.
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1 Prevalensi kejadian thelaziosis di Kabupaten Kupang adalah sebesar 5.97%.
2 Jenis Thelazia spp yang menginfeksi sapi di Kabupaten Kupang adalah
Thelazia rhodesii
3 Ternak sapi yang terinfeksi thelaziosis menunujukkan gejala klinis lakrimasi,
serta konjungtivitis yang mengarah ke keratokonjungtivitis.
4 Faktor risiko yang secara nyata mempengaruhi kejadian thelaziosis pada
ternak sapi peternakan rakyat adalah umur sapi, manajemen peternakan dan
pemberian anthelmintika. Saran
1 Penelitian serupa perlu dilakukan untuk melihat pola kejadian yang
dihubungkan dengan faktor musim.
2 Perlu diperhatikan aspek tata laksana peternakan untuk meminimalkan
kejadian thelaziosis pada peternakan rakyat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arbuckle JB, Khalil LF. 1978. A survey of Thelazia worms in the eyelids of
british Cattle. J Vet Rec (2):207-210.
Aken VD, Dargantes AP, Lagapa JT. Vercruysse J. 1996. Thelazia rhodesii
(Desmaret,1828) infections in cattle in Mindanao, Philippines. Vet
Parasitol (66):125-129.
Bras ALL. 2012. Estude epidemilogico geospacial de Thelazia spp em bovinos da
regiao de alentejo [Dissertation]. Lisboa Portugal.
[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2012. Data curah hujan dan
klimatologi wilayah Kabupaten Kupang. Badan Meteorologi dan
Geofisika Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang.
Badan Pusat Statistik. 2011. Rilis hasil PSPK. No 7/II/53/XIV Hal 1-14.
Badan Pusat Statistik. 2012. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. Katalog BPPS :
1102001.53 Hal 192.
Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan (Terjemahan). Edisi Keempat.
Gadjah Mada University Press.
Barus V, Blazek A, Morayec F. 1976. Nematodes parasitizing domestic ruminants
in Afganistan. J Folia Parasitol (23):207-216.
[Disnak] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. 2011. Kabupaten Kupang
Dalam Angka. Kupang
Ebadi A. 1951. A survey on Thelazia spp in cattle in Tehran,Iran [Tesis]. College
of veterinary medicine. Taheran Iran.
Genden CJ, Stoffolano JG. 1980. Bovine thelaziosis in Massachusetts. J Corn Vet
(70):344-359
Ghirotti M, Iliamupu DS. 1989. Thelazia rhodesii (Desmarest 1828) In cattle of
central Province, Zambia. J Parassitologia (31):231-237
Krafsur ES, Church CJ. 1985. Bovine thelaziosis in Iowa. J Parasitol (71):279-
286
Krafsur ES, Moon RD. 1997. Bionomics of the face fly, Musca autumnalis. Ann
review of entomology (42):503-523. Kennedy MJ. 1993. Prevalence of eyeworm (Nematoda:Thelazioidea) in beef
cattle grazing different range pasture zones in Alberta,Canada. J Parasitol (79):866-869.
Levine ND.1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Munang’andhu HM, Chaembensofu M, Siamudaala VM, Munyeme M,
Mantandiko W. 2011. Thelazia rhodesii The African Buffalo Syncerus
caffer, In Zambia. Korean J Parasitol (49): 91-94
Naem S. 2007. Morphological differentiation among three Thelazia species
(Nematoda Thelaziidae) by scaning electron microscopy. Parasitol Res
(101):145-151.
Otranto D, Dutto M. 2008. Human Thelaziosis, Europe. Emerging Infectious
Diseases (14):647-649.
Okoshi S, Kitano N. 1966. Studies on Thelaziosis of cattle I. Thelazia skrjabini
Erschow, 1982 Found In Japan. Jpn J Vet (28): 11-15
Otranto DT. 2003.Molecular epidemiological survey on the vectors of Thelazia
gulosa,Thelazia rhodesii and Thelazia skrjabini (Spirurida :
Thelazidae). J parasitol (12)7 : 365-373.
19
Otranto D, Traversa D. 2005. Thelazia Eyeworm : An original endo and ecto
parasitic nematode. J Trends Parasitol (21): 1-4.
O’hara JE, Kenndy MJ. 1991. Development of the nematode eyeworm, Thelazia
skrjabini ( Nematoda : Thelaziodea), in experimentally infected face
flies, Musca autumnalis (Diptera : Muscidae). J parasitol (77): 417-
425
[PUSKESWAN] Pusat Kesehatan Hewan Takari.2009.Laporan Tahunan.Kupang
Subronto, Tjahajati I. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada University
Press
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. Ed ke-7. Bailliere Tindall. London.
Turfrey BA, Chandler RL. 1978. Incidence of Thelazia nematodes in the eyes of
cattle at a research institute in berkshire. Vet Rec (102): 23.
Vohradsky F. 1970. Clinical course of Thelazia rhodesii infection of cattle in
Accra Plains of Ghana. Bull Epizoot Dis Afr (18):159-170.
Wang KC, Wang ZX, Shen JL. 1999. Canine infection with Thelazia callipaeda
and human thelaziasiasis. J Trop Dis Parasitol (28):216-218.
Wang ZX, Chen Q, Jiang BL. 2002. Epidemiology of thelaziasis in China.
Chinese J Parasitic Dis Cntrl (6):335-337.
Wang ZX, Shen JL, Wang HY, Otranto D. 2006. An update on the research of
human thelaziosis. Chinese J Parasitic Dis (4):299-303.
Yamaguti S. 1963. Systema Helminthum Vol III. The nematodes of vertebrata Part
1. Interscience Publishers Ltd. London.
Zubairova MM, Ataev AM. 2010. Fauna and distribution of nematodes from the
sub orders spirurata and filariata parasitizing cattle in Dangestan, from
the perspective of vertical zoning. J Parasitol (44):525-530.
20
LAMPIRAN
21
Thelazia rhodesii infection on cattle in Kupang District
Dewi F.L. Djungu1,2
, Elok Budi Retnani1,3
, Yusuf Ridwan1,3
1Graduate School of Bogor Agricultural University
2 University of Nusa Cendana Kupang
3Helmintologi Laboratory Department of Parasitology and Entomology,
Department of Animal Disease and Veterinary Public Health.
Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University,Agatis
Street,Dramaga,Bogor
Email: [email protected]
Abstract
A cross-sectional study was carried out to determine the prevalence, the
intensity infection, clinical sign, to identify species and to investigate associated
risk factors of thelaziosis on cattle in Kupang district, Nusa Tenggara Timur
Province. A total of 385 cattles were randomly selected from 96 farms in three
subdistricts of Kupang District and observed for thelaziosis. The nematode present
in the eye of cattle were collected with a forcep after administering local
anesthesia (10% Xylocaine). The potential risk factors related to age of cattle,
human resources and farm management were obtained by interviewing the
farmers. Logistic regression was applied to analyze related risk factor of
Thelaziosis. The result showed that of the total 385 cattles observed, 23 (5.96%)
were infected by Thelazia spp, of which 22 cattles showed apparent clinical signs
namely excessive lacrimation and conjunctivitis that leads to ceratoconjunctivitis,
while one cattle showed ulceration. A total of 357 worms (157 males and 210
female) were collected from 23 infected cattles with the mean number of worms
in infected cattle was 32.92 ± 21.03. Observation using Scanning Electron
Microscope (SEM) on morphology characteristic showed that nematode species
founded were identified as Thelazia rhodesii. The infection was more prevalentin
older cattle (≥6-12 month old) than calf (0-6 month old) (P<0.05). Significant risk
factors of animal husbandry practices affecting the prevalence of thelaziosis in
cattle were anthelmintic treatment, grazing management, barn cleaning, and
manure management. Our results highlight that significancy risk factors for the
occurrence of the disease should be considered in designing control strategic
program of thelaziosis.
INTRODUCTION
Spiruride nematodes belonging to the genus Thelazia Bosc,1819 are
helminths that infect the conjunctiva sacks and lachrymal ducts of animals. They
cause a variety of clinical signs that include conjunctivitis and lacrimation which
could cause a conjunctive congestion which in the end resulted an opacity cornea,
cerathitic, ulceration on the cornea and the swelling conjunctive as a result of a
lacrimalis duct obstruction which caused by a purulent liquid (Otranto and
Traversa, 2005).
22
Thelazia rhodesii (Asia, Afrika, Europe), Thelazia gulosa (Asia, North
Amerika, Europe) and Thelazia skrjabini (Europe, North Amerika) are the
primary species in cattle. However, a new report shows that there is a thelaziosis
infection on cattle which caused by T.rhodesii in Alentejo Portugal (Bras, 2012).
Thelaziosis rhodesii are reported on cattle in Zambia, South Africa (Munang’andu
et al., 2011), Philippines (Aken et al., 1996) including in Indonesia especially in
both Java & Sumatera Island in 1893 (Yamaguti, 1963).
Thelaziosis cases were reported on 152 (10.93%) cattle in Takari district,
Kupang regency in 2009. Two of infected cattles were reported dead and the
others showed clinical sign of temporally blind (PUSKESWAN Takari, 2009).
Although considerable works has been done on cattle thelaziosis prevalence and
losses to farm clinical level, however no report so far has been published on the
species of Thelazia spp and Musca as intermediate host. Considering the
economic importance and pathological effect of Thelazia spp infection and
unvailable baseline information of thelaziosis, therefore, this study was conducted
in Kupang district, to determine the magnitude of thelaziosis in cattle of Kupang
district, to determine the prevalence of thelaziosis in relation to age, sex and
husbandry managements as well as information on transmismission of disease and
control methods.
MATERIALS AND METHODS
Study Area
The study was conducted in three districts in Kupang Regency (Figure 1).
The area is located in between 9015 – 10
022 south latitude and 123
016 – 124
011
east longitude (Disnak NTT, 2011). Topographically, it is situated at altitude of 0-
500 m above sea level with the mean annual temperature and relative humadity of
27.230C and 73.75%, respectively Physical condition is hilly and mountainous.
Most of them consist of very wide lowland. There are two seasons: Dry season,
from June to September and rainy season, from December to March (BMG Class
II Kupang).
Clinical observations and worm collection
Clinical observations and worm collection were done from April to June
2013. A total of 385 cattle (> 12 months), calve (>6-12 months), calf (0-6 months)
were examined using visual observation foreign body, excessive lacrimation,
conjunctivitis, cheratitic, cornea opacity, ulceration of the eyes by flushing the
anesthesia liquid (Xylocaine 10%) on both eyes. The worm were collected
directly from the conjuctival sac of each animal and placed in a sample collection
bottle for the identification processing (Otranto and Dutto, 2008).
23
Species Identification
The worms which were cleared in alcohol and glycerin (Kruse & Pritchard,
1982) were prepared on object glass and examined under a streo microscope.
Species identification was made using keys developed by Yamaguti (1963) and
Naem (2007). The morphological identification was done by the microscope in
order to find out the worm’s body size, buccal capsule size, the cervical papilla
range from the anterior, the vulva range from the anterior and the specula length.
The Scanning Electron Microscopy (SEM) was used in order to find out the
cuticle character, pre-anal papilla total and the cuticle pattern around the vulva.
The total of the eye worm was calculated in order to find out its worm burden.
There are three worm burden categories: light (1-10 worms), medium (11-20
worms) and heavy (> 21).
Statistical Analysis
All collected data were (interview and laboratory research) entered to excel
sheet and analized using the SPSS 17.0. The risk factors of thelaziosis (age host,
sex, management and the cattle’s human resources) was analized using logistic
regression. Overall level of significance in all analized was P<0.05.
Ethical Considerations
Both of the clinical signs observed and parasite worm collecting on both
sample cattle were done based on the applied regulations, which is under the
supervision of veterinarian, in order to avoid the damages on both cattles’ eyes
during the parasite collecting sample.
All techniques involving collecton of samples from live animals were done
according to specified regulations (Animal care and use regulations) with the
attendance of a veterinarian (Committee on guidelines for the use of animals in
neuroscience and behavioral research, 2003).
RESULTS
Among 385 cattles examined, 23 (5.97%) cattles from two subdistrict of
Amarasi and Fatuleu were infected by Thelazia spp. The prevalence of thelaziosis
between Amarasi and Fatuleu sub district were not different. However, the
average worms burden per cattles was higher than Amarasi (Table 1).
The clinical signs observed in the infected cattle were an excessive
lacrimation, conjunctivitis, ceratoconjunctivity and ulceration (Figure 2). The
clinical signs of lacrimation, conjunctivitis and ceratoconjunctivity was found in
22 cattle (22/23) while, the ulceration only found in one cattle (1/23) with 8
worms. The most noticeable pathological changes found in 18 cattle (18/23)
during the examination was the opacity cornea.
There were 357 adult worms were collected from the infected cattles, which
consist of 210 female worms and 147 male worms. Based on the morphological
observation using a compound microscope showed that the worm has
morphological characteristic as follow a milk-white body and have a thick yet
24
stripes transversal cuticles. The head of both male & female worms has the same
shape and doesn’t have any lips at all. Inside the 20-24 x 44-52 µm buccal
capsule, there are two cervical papillae on the lateral part which located on both
right and left side of the worm bodies which has a length of 350-38µm measured
from the corner of the anterior in both of male & female worms. The female worm
(Figure 3) has a length of 12.5-20.5 mm and wide of 300-500µm. Vulva is located
on esophagus area which has range of 505.2-536.3 µm from head. The anal pore
is located on the posterior part and has a hard tip of tail. The male worm (Figure
4) has a length of 7.5-14.5 mm and wide of 420-475 µm with the tail blunt and
curved ventrally. The specules don’t have the same length which is 624-850 µm
and 100-130 µm. The male worm doesn’t have gubernaculum at all. Scanning
Electron Microscopy (SEM) observation showed that the worm had about 14 pairs
of papilla pre-anal and single papilla are located on the cloaca’s anterior part,
while a pair of papilla is located on the post-anal part and two nipple shaped
phasmids at the posterior end (Figure 3 & 4). Those characteristics according to
Yamaguti (1963) and Naem (2007) are the characteristic of Thelazia rhodesii
species.
There was difference in the rate of infection between the old and the young
cattle, in the old was higher than young with odds ratio of 7.3 which were
statistically significant (Table 2), while the prevalence between animal sex was
not different significantly (Table 2). Significantly (P<0.05) higher prevalence
were found in poorly managed farms as compared to well mananged farms in
terms of cleanliness (Table 3) as well as regular cleaning of barn, higher
prevalence were found on barn that cleaning once a month than everyday (Table
4). Significantly (P<0.05) higher prevalence of thelaziosis was recorded in cattle
that grazed in pasture than rice field (Table 5). The risk of Thelazia spp infection
was significantly higher on cattle that treated with anthelmintic once a year than
twice a year (Table 6).
DISCUSSION
Morphological characteristic of the nematodes examined in the present
study were identified as a T.rhodesii. Thelazia rhodesii has specific differences
with two other Thelazia spp species infected cattle. Those differences are on its
cuticle characteristic, the total of pre-anal papilla and the cuticle pattern around
the vulva which can be observed by using the Scanning Electron Microscopy
(SEM). The T.rhodesii cuticle is hard and ridged while T.gulosa & T.skrjabini are
smoother. Likewise, the total number of male worm’s pre-anal papilla, the
T.rhodesii has 14 pairs of pre-anal papilla while the total number of T.gulosa and
T.skrjabini pre-anal papilla is 35-40 and 31-38 unpaired (Naem, 2007). The
specific differences of female worm are on its cuticle pattern around the vulva. On
T.rhodesii, the cuticle around the vulva creates a group of papilla while both
T.gulosa and T.skrjabini don’t have any pattern around the vulva but rather have a
prominent vulva (Naem, 2007).
In general, T. rhodesii infection does not show clinical signs, however in
some cases T.rhodesii infection shows clinical signs such as epiphora,
conjunctivitis, cheratitic, cornea opacity and ulceration. All the cattle infected by
25
T.rhodesii in this research showed symptom namely excessive lacrimation,
conjunctivitis, ceratoconjunctivity and ulceration. The most prominent
pathological changes was opacity cornea which were observed in the eyes of 18
cattles. The clinical signs of thelaziosis is caused by the activites gravid (pregnant)
female worm. The T.rhodesii’s hard and ridged cuticle could cause a mechanical
damage on both cornea and conjunctive epitel thus, the lachrymal gland
productions increase (Otranto and Traversa, 2005). It is assumed that clinical
signs has correlation with worm burden. The severity of infection increased with
the number of worm that found in the eyes. Mechanical damage caused by the
T.rhodesii’s serrated cuticle port the entry of secondary infection. The possibility
of secondary infection is demonstrated in cattle that have only 8 worms.
Thelaziosis does not cause mortality on cattle, however, the morbidity in terms of
conjunctivitis, cerathitic, corneal opacity and blindness gives a negative impact to
the cattle itself such as vulnerability to the predator and having a difficulty on
grazing activity because of impaired vision.
Thelazia rhodesii distributed in both tropical and sub-tropical area are
supporting the fly’s growth (Kennedy, 1993; Zubairova & Ataev, 2010). The
Thelaziosis epidemic in the tropical area is increasing on rainy season while the
sub tropical area it happens in spring (Ghirotti & Iliamupu, 1989; Aken et al.,
1996). Musca autumnalis is a host intermediate in Europe, North Africa, Asia and
North America furthermore, in East Africa Musca.autumnalis is the only host
intermediate bovine thelazaiosis. Besides M. autumnalis, in both tropical and sub
tropical countries there are several other species such as: Musca.amita,
Musca.sorbens, Musca.vitripennis, Musca.larvipara (Krafsur & Moon, 1997).
The Thelaziosis prevalence on cattles is influenced by infected cattle distributions,
the numbers of infected flies and the ecology of one area to support flies
population (Kennedy, 1993).
The Thelaziosis prevalence in Kupang Regency lowest it is assumed that is
related to the decreasing fly’s brood media which caused by the quick-dry cattle
feces which is dry before the larva finished its growth to the adult phases in dry
season. Thelaziosis relatively low prevalence in the dry season was also report in
Zambia amount of 3.1% compared with the prevalence in the rainy season was
26.6% (Munang’andhu et al, 2011).
The anthelmintic usage is also influencing the thelaziosis prevalence on
cattles. The antihelmintic management distribution which applied by every cattle
gives a real influence which is the cattle that got a antihelmintic treatment parasite
worm infection once a year has 19.06 times more risk than the cattle that got
antihelmintic treatment twice a year. It can be seen on farm in Kupang Timur
which has prevalence of 0% due administration of anthelmintic done regularly and
for monitoring the health of livestock by the development of animal husbandry
department officials conducted every month.
The age of the animals is considered as a factor in the prevalence of
thelaziosis. The infection rate increased with the increase of age. Thelaziosis was
observed higher in cattle aged >6-12 months than 0-6 months cattle with the risk
infection of 7.3 times higher. The higher infection rate in older animals could be
due to long time exposure to disease. Other factors involving in the higher rate of
infection in older cattle is the long lifespan of Thelazia spp (more than one year).
Therefore the infection could not induce developing host immune responses. The
26
reinfection will occure as long as the definitive host lives and the more exposure
to the disease the higher rate of infection on cattle (Otranto & Traversa, 2005).
Management of cattle is also influencing the incidence of thelaziosis. The
cattles which is pastoral in pasture has 19.30 times more risk to be infected by
thelaziosis than a cattle which pastured in field rice. Susceptibility of cattles to
Thelazia spp and free-grazing are more likely to be exposed than other animals to
fly vectors of the eyeworm. Meanwhile the frequency of barn cleaning once a
month has 124 time more risk to be infected by thelaziosis than cattle which barn
cleaning every day.
Generally, it can be said that both biotic and abiotic factors including host,
parasite and environment could influence the occurrence of thelaziosis infection.
Prevalence of thelaziosis in Kupang is attributed by multifactorial risk factors
which comprises host, parasite and animal husbandry management effects.
Therefore, thelaziosis control needs comprehenship approach including the
anthelmintic treatment and the management improvement in order to decrease the
fly population. Detailed study on the seasonal infection and presumably the crude
odds ratio value are need to design appropriate control program of thelaziosis in
Kupang district.
ACKNOWLEDGEMENTS
This study was supported financially by Nusa Cendana Kupang University.
We are grateful to Mrs. Ir. Endang Purwaningsih for her loyalty and dedications in
helping the authors while doing the research in laboratory. We also thank to the
entire field technicians who made this research goes smoothly.
REFERENCES
Aken, D.V., Dargantes, A.P., Lagapa, J.T &, Vercruysse, J. (1996). Thelazia
rhodesii (Desmaret,1828) Infections In Cattle In Mindanao, Philippines.
Veterinary Parasitolology 66 (1-2): 125-129
Bras, A.L.L. (2012). Estude epidemilogico geospacial de Thelazia spp em bovinos
da regiao de alentejo [Dissertation] Lisboa Portugal.
[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. (2012). Data curah hujan dan
klimatologi wilayah Kabupaten Kupang. Badan Meteorologi dan
Geofisika Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang.
Committee on guidelines for the use of animals in neuroscience and behavioral
research. (2003). Guidelines for the use of animals in neuroscience and
behavioral research. The national academies press. Washington, DC
[Disnak] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. (2011). Kabupaten Kupang
Dalam Angka. Kupang.
Ghirotti M. & Iliamupu, D.S. (1989). Thelazia rhodesii (Desmarest,1828) in cattle
of Central Province, Zambia. Parasitologia 31 (2-3):503-523.
Krafsur, E.S & Moon, R.D. (1997). Bionomics of the face fly, Musca autumnalis.
Annual Review of Entomology (42) : 503-523.
27
Kennedy, M.J. (1993). Prevalence of eyeworm (Nematoda:Thelazioidea) in beef
cattle grazing different range pasture zones in Alberta,Canada. Journal of
Parasitology 79 (6):866-869.
Kruse G.O.W., Pritchard M.H. (1982). The collcetion and preservation of animal
parasites. University of Nebraska Press, Lincoln and London.
Munang’andhu, H.M., Chaembensofu, M., Siamudaala, V.M., Munyeme, M.&
Mantandiko, W. (2011). Thelazia rhodesii The African Buffalo Syncerus
caffer, In Zambia. Korean Journal of Parasitology 49 (1): 91-94
Naem, S. (2007). Morphological differentiation among three Thelazia species
(Nematoda Thelaziidae) by scaning electron microscopy : Parasitol Res
101 (1): 145-151
Otranto, D. & Dutto, M. (2008). Human Thelaziosis, Europe. Emerging Infectious
Diseases 14 (4) : 647-649.
Otranto, D. & Traversa, D. (2005). Thelazia Eyeworm : An Original Endo and
Ecto Parasitic Nematode. Trends in Parasitology 21 (1): 1-4.
[PUSKESWAN] Pusat Kesehatan Hewan Takari. (2009). Laporan Tahunan.
Kupang
Yamaguti S. (1963).Systema Helminthum Vol III. The Nematodes of Vertebrata
Part 1. Interscience Publishers Ltd. London.
Zubairova, M.M.& Ataev, A.M. (2010). Fauna and distribution of nematodes
from the sub orders spirurata and filariata parasitizing cattle in Dangestan,
from the perspective of vertical zoning. Parasitologia 44 (6):525-530.
28
FIGURE :
Figure 1 Research location’s map Figure 3 Thelazia rhodesii female worm
morphological
Figure 4 Thelazia rhodesii male worm
morphological
Figure 2 Clinical signs on infected cattle
A. Excessive lacrimation B. Conjunctivitis C. Ulceration
29
TABLE :
Table 1: The total prevalence and Thelazia spp worm burden average on each
district
District
Prevalence
The Worm Total Average per
Cattle
n (cattle) Thelaziosis (%) ( ±SD)
Amarasi 150 8.66 8.10±8.50
Fatuleu 118 8.47 24±13.24
Kupang Timur 117 0.00 0
TOTAL 385 5.97 32.92±21.03 nThe Total Checked Cattle
Table 2 Crude Odds-Ratio value of sex & age cattle factors to thelaziosis infection
Risk factors Infection Not infection CI P OR
n(cattle) % n(cattle) %
Age cattle
0-6 months 6 4.9 117 95.1 1.00
> 6-12 months 15 6.9 200 93.1 1.6-31.3 0.025* 7.35
>12 months 2 4.9 45 95.1 1.6-31.3 0.025* 7.35
Sex
Male 11 5.9 179 94.1 1.00
Female 12 6 183 94 0.4-4.7 0.467 1.57
nThe total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR
Table 3 Crude Odds-Ratio value of barn factors to thelaziosis infection
Risk factors Infection Not infection CI P OR
n(cattle) % n(cattle) %
Barn Cleaning Regularity
Regular 7 3.9 200 96.1 1.00
Irregular 16 8.9 162 91.1 8.834-115.91 0.000* 32.01
Barn Cleaning Frequency
Every day 4 3.9 102 96.1 1.00
Once a month 19 6.9 260 93.1 14.73-1058.4 0.001* 124.30
Cleaning methods
Unswept 14 8.9 153 91.1 0.225-2.497 0.639 0.80
Swept 9 2.0 209 98.0 1.00
nThe total checked cattle; OR :Odds Ratio; CI :Convidence Intervals; P : Probability value for OR
30
Table 4 Crude Odds-Ratio value of Feces management factors to thelaziosis
infection
Risk factors Infection Not infection CI P OR
n(cattle) % n(cattle) %
Container
Available 8 4.9 170 95.1 1.00
Unavailable 15 7.9 192 92.1 2.351-4.85 0.004* 19.33
Manure
management
Composting 5 3.4 139 96.6 1.00
Not treatment 18 7.4 223 92.6 0.664-
4.311
0.269 1.78
nThe total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR
Table 5 Crude Odds-Ratio value of pastoral factors to thelaziosis infection
Risk factors Infection Not infection CI P OR
n(cattle) % n(cattle) %
Grazing management
Non grazing 3 1.9 227 98.1 0.13-0.93 0.07 0.11
Grazing 20 12.1 135 87.9 1.00
Pastoral locations
Field rice 6 2.7 212 97.3 1.00
Pasture 17 10.8 150 89.2 2.35-158.4 0.018* 19.38
nThe total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR
Table 6 Crude Odds-Ratio value of anthelmintica distribution factors to
thelaziosis infection
Risk factors Infection Not infection CI P OR
n(cattle) % n(cattle)) %
Wormeye
Treatment
treated 5 2.9 197 97.1 1.00
Untreated 18 10 165 90 1.1-7.0 0.062 2.85
Treated of
anthelmintic
Twice a year 7 4.9 162 95.1 1.00
Once a year 16 7.9 200 92.1 5.697-
63.812
0.001* 19.06
nThe total checked cattle; OR : Odds Ratio; CI : Convidence Intervals; P : Probability value for OR
31
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah putri ketiga, dari Bapak Dominggus A. Djungu (Alm) dan
Ibu Adelaide Djungu, dilahirkan di kota Kupang pada tanggal 9 Februari 1980.
Pendidikan strata-1 ditempuh di Fakultas Peternakan, Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak, Universitas Nusa Cendana Kupang. Berdasarkan SK Rektor
Universitas Nusa Cendana Nomor 213/KP/2010 penulis ditetapkan sebagai tenaga
pendidik honorer pada Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Nusa
Cendana Kupang. Pada tahun 2011 terdaftar sebagai mahasiswi pascasarjana pada
Mayor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
21